LAPORAN FIELDTRIP PERTANIAN BERLANJUT KELOMPOK 4 Anggota: Febry Ferdian Irianto 145040207111041 Ursulin Sacer Setyastika 145040207111034 Bagus Keswara Putra 145040207111037 Mia Maysitha 145040207111045 Delma Aida Syavitri 145040207111067 UNIVERSITAS BRAWIJAYA FAKULTAS PERTANIAN PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI MALANG 2016
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
LAPORAN FIELDTRIP
PERTANIAN BERLANJUT
KELOMPOK 4
Anggota:
Febry Ferdian Irianto 145040207111041
Ursulin Sacer Setyastika 145040207111034
Bagus Keswara Putra 145040207111037
Mia Maysitha 145040207111045
Delma Aida Syavitri 145040207111067
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
FAKULTAS PERTANIAN
PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI
MALANG
2016
ii
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI.......................................................................................................................... ii
DAFTAR GAMBAR .............................................................................................................. iii
DAFTAR TABEL .................................................................................................................. iv
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................................... vi
BAB I PENDAHULUAN ......................................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang .......................................................................................................... 1
1.2 Maksud dan Tujuan .................................................................................................. 1
Lampiran 2. Lampiran Aspek Hama dan Penyakit Tanaman ............................................ 76
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pertanian berkelanjutan (sustainable agriculture) adalah pemanfaatan
sumber daya yang dapat diperbaharui (renewable resources) dan sumberdaya
tidak dapat diperbaharui (unrenewable resources) untuk proses produksi
pertanian dengan menekan dampak negatif terhadap lingkungan seminimal
mungkin. Pertanian berkelanjutan bertujuan untuk menciptakan suatu sistem
pertanian yang tidak merusak, tidak mengubah, serasi, selaras, dan seimbang
dengan lingkungan atau sistem pertanian yang patuh dan tunduk terhadap
aturan-aturan alamiah. Sebenarnya sistem tersebut merupakan suatu remain,
mengingatkan kembali pada pola back to nature. Pertanian berkelanjutan juga
sebagai sarana untuk pengelolaan sumber daya yang berhasil untuk usaha
pertanian guna membantu kebutuhan manusia yang berubah, sekaligus
mempertahankan atau meningkatkan kualitas lingkungan dan melestarikan
sumber daya alam.
Dalam proses mengubah pertanian yang konvensional menjadi pertanian
yang berkelanjutan, membutuhkan beberapa konsep yang membutuhkan
keseimbangan dari seluruh aspek pertanian, yaitu ekologi, ekonomi dan sosial,
budidaya pertanian yang diterapkan dan hama penyakit tanaman. Dalam
menentukan keseimbangan ekologi diperlukan adanya kualitas sumberdaya alam
yang baik termasuk kedalamnya yaitu sumberdaya air. Selain itu, pertanian
berlanjut juga harus berlanjut secara ekonomi dan sosial yang dapat
mensejahterakan petaninya. Dibutuhkan pengaturan budidaya pertanian juga
untuk mewujudkan pertanian yang berkelanjutan. Selain itu, pengendalian OPT
yang ramah lingkungan juga sangat dibutuhkan agar terciptanya pertanian yang
berkelanjutan. Pertanian berkelanjutan tidak saja berbicara masalah peningkatan
hasil panen atau produksi komoditi, diversifikasi pangan, dan penyiapan
infrastruktur. Namun secara jelas bahwa pertanian berkelanjutan ini juga harus
bisa menjamin ketahan pangan bagi rakyat dan bangsanya.
1.2 Maksud dan Tujuan
Adapun maksud dan tujuan dari pengamatan lapang ini antara lain:
1. Untuk memahami konsep dari ekologi yang baik dalam pertanian
berkelanjutan, termasuk kedalamnya sumberdaya air.
2. Untuk mengetahui macam dan sebaran tutupan lahan dan juga interaksi antar
tutupan lahan.
3. Untuk mengetahui kondisi sosial ekonomi masyarakat di daerah tersebut.
2
4. Untuk mengetahui pengendalian OPT yang dilakukan pada lahan tersebut.
5. Untuk mengetahui apakah pertanian yang diterapkan pada daerah tersebut
dapat dikatakan sebagai pertanian yang berkelanjutan atau tidak.
1.3. Manfaat
1. Mampu menentukan ekologi, kualitas dari sumberdaya air pada wilayah
tersebut.
2. Mampu menentukan tutupan lahan yang ada pada lahan.
3. Mampu mengetahui kesejahteraan petani dan produktivitas dari tutupan
lahan pada lahan.
4. Mampu mengetahui pengendalian OPT yang diterapkan pada lahan.
Dapat menentukan apakah pada lahan tersebut masuk kedalam pertanian
yang berkelanjutan atau tidak.
3
BAB II
METODOLOGI
2.1 Tempat dan Waktu Pelaksanaan
Kegiatan fieldtrip Pertanian Berlanjut dilaksanakan pada:
Tempat : Desa Tulungrejo, Ngantang, Kabupaten Malang
Waktu : Sabtu, 15 Oktober 2016 pukul 08.00-12.00 WIB.
2.2 Metode Pelaksanaan
2.2.1 Pemahaman Karakteristik Lansekap
a. Alat dan Bahan
1. Kompas : untuk mengetahui arah mata angin
2. Klinometer : untuk mengetahui derajat kelerengan
3. Kamera : untuk mendokumentasikan
4. Form pengamatan : untuk acuan pengisian data
5. Alat tulis : untuk mencatat hasil pengamatan
b. Cara Kerja
Melakukan pengamatan secara menyeluruh terhadap berbagai bentuk penggunaan lahan yang ada
Setelah melakukan pengamatan, mengisikan hasil pengamatan pada kolom penggunaan lahan dan mendokumentasikan
Mengidentifikasikan jenis vegetasi yang ada, isikan hasil ke dalam kolom tutupan lahan
Melakukan pengamatan secara menyeluruh terhadap berbagai tingkat kemiringan lereng yang ada dan tingkat tutupan kanopi dan seresah
Mengisikan hasil pengamatan pada form pengamatan
Mentukan Lokasi yang presentatif sehingga dapat melihat lanskap secara keseluruhan
4
2.2.2 Pengukuran Kualitas Air
2.2.2.1 Pengambilan Contoh Air
a. Alat dan Bahan
1. 3 Botol Air Mineral : sebagai wadah untuk mengambil
sampel air
2. Spidol permanen : untuk mencatat keterangan pada
botol
3. Kantong Plastik Besar (ukuran 5 kg) : sebagai wadah dari botol yang berisi
contoh/sampel air
b. Cara Kerja
2.2.2.2. Pengamatan Kekeruhan Air
a. Alat dan Bahan
1. Tabung transparan tinggi 45 cm : untuk wadah sampel air
(terdiri dari 2 botol 1,5 L)
2. Secchi disc : untuk mengetahui kekeruhan air
Sebelum mengambil contoh air, sungai harus dalam kondisi yang alami (tidak
ada orang yang masuk ke dalam sungai) agar menghindari kekeruhan air
akibat gangguan tersebut
Mengambil contoh air dengan menggunakan botol ukuran 1,5 L (sampai
penuh) dan tutup rapat
Memberi label berisi waktu (jam, tanggal, bulan, tahun), tempat pengambilan
contoh, dan kelompok
Menyimpan baik-baik contoh air (memasukkan ke dalam plastik 5 kg) untuk
di bawa untuk analisis di laboratorium
5
Mencatat suhu udara sebelum mengukur suhu di dalam air
Memasukkan termometer ke dalam air selama 1 – 2 menit
Membaca suhu saat termometer masih dalam air, atau secepatnya setelah
dikeluarkan dari dalam
air
Mencatat suhu pada form pengamatan
b. Cara Kerja
2.2.2.3. Pengamatan Suhu
a. Alat dan Bahan
1. Termometer : untuk mengetahui suhu udara standar dan suhu air
b. Cara Kerja
Menuangkan contoh air dalam tabung/botol air mineral sampai ketinggian 40
cm
Mengaduk air secara merata
Memasukkan Secchi disc ke dalam tabung yang berisi air secara perlahan-
lahan; dan amati secara tegak lurus sampai awrna hitam-putih pada Secchi
disc tidak dapat dibedakan
Melihat berapa centimeter (cm) kedalaman Secchi disc tersebut
6
2.2.2.4 Pengamatan Oksigen Terlarut atau Dissolve Oxygen (DO), pH dan Angka
Kekeruhan
a. Alat dan Bahan
1. Multi Water Quality Checker : untuk mengukur kualitas air
b. Cara Kerja
2.2.3. Pengukuran Biodiversitas
Pertanian berlanjut tidak hanya memperhatikan aspek tanah dan kualitas
airnya, melainkan juga memperhatikan aspek keanekaragaman atau
keberagaman (biodiversitas) baik flora maupun fauna yang mendukung
keberlanjutan pertanian. Semakin tinggi tingkat biodiversitas suatu lahan, maka
lahan tersebut semakin kompleks. Tujuan dari pengukuran biodiversitas adalah
untuk mengetahui daya dukung komponen biotic (selain tanaman budidaya
seperti gulma) dan faktor abiotik terhadap keberlanjutan suatu agroekosistem.
2.2.3.1 Aspek Agronomi
2.2.3.1.1 Biodiversitas tanaman
a. Alat dan Bahan
1. Kamera : untuk mendokumentasikan
2. Meteran : untuk mengukur jarak tanam tanaman dalam plot
3. Alat Tulis : untuk mencatat hasil pengamatan
4. Form pengamatan :sebagai acuan atau panduan untuk melakukan
pengamatan dan pengisian data
Memasukkan alat multi quality checker ke dalam contoh air yang telah di
ambil
Membaca tingkatan DO, pH dan angka kekeruhan yang tercatat (bandingkan
data tingkat kekeruhan hasil pengukuran dari lapangan dengan hasil
pembacaan dari alat ini)
Mengisikan data pengukuran pada form yang telah disediakan dan kelaskan
berdasarkan tabel kualitas air (PP no 82 tahun 2001)
v
v
v
Me-list data hasil analisis di data logger
7
b. Cara Kerja
2.2.3.1.2 Keragaman dan analisa vegetasi
a. Alat dan Bahan
1. Petak kuadrat 1mx1m: untuk pengamatan vegetasi gulma dalam petal
2. Kamera : untuk mendokumentasikan
3. Kantong plastik : sebagai wadah sampel gulma
4. Penggaris : untuk mengukur D1 dan D2
5. Alkohol 75% : untuk mengawetkan sampel gulma
6. Gulma : untuk sampel pengamatan
Membuat jalur transek pada hamparan yang akan dianalisis di kolom plot
yang disediakan
Menvatat karakteristik tanaman budidaya disetiap tutupan lahan yang telah
ditentukan
Menentukan titik pengamatan yang dapar melihat seluruh hamparan lanskap
Menggambar sketsa tutupan lahan lanskap
Menentukan titik pada jalur (transek) yang mewakili masing-masing tutupan
lahan dalam hamparan lanskap
Mengukur jarak tanam antar tanaman disetiap plot
8
b. Cara Kerja
2.2.3.2 Aspek Hama Penyakit
2.2.3.2.1 Biodiversitas Arthropoda
a. Alat dan Bahan
1. Sweep net : untuk menangkap serangga 2. Plastik klip : untuk menempatkan sampel serangga 3. Kapas : untuk alat bantu membius serangga 4. Alkohol 75% : untuk bahan pembius dan mengawetkan serangga 5. Serangga : sebagai bahan pengamatan
Menentukan titik pengambilan sampel pada masing-masing tutupan lahan
yang berbeda dalam hamparan lanskap secara acak
Mengidentifikasi dan mencatat gulma-gulma yang terdapat dalam petak
kuadrat
Menghitung jumlah populasi gulma dan mengukur D1 (diameter tajuk
terlebar) dan D2 (diameter tajuk tegak lurus D1)
Menyajikan hasil pengamatan ke dalam tabel pengamatan
Meletakkan petak kuadrat di titik pengamatan yang ditentukan secara acak
tersebut dan mendokumentasikannya
Mengambil sampel gulma yang belum teridentifikasi untuk diidentifikasi lebih
lanjut dan memberikan alkohol 75% pada gulma dan meletakkannya di plastik
Membandingkan sampel gulma dengan gambar dari buku atau internet, atau
menyakan kepada asisten apabila ada gulma yang belum diketahui
9
b. Cara Kerja
menan
2.2.3.2.2. Biodiversitas Penyakit
a. Alat dan Bahan
1. Kamera : untuk mendokumentasikan tanaman yang terkena penyakit
b. Cara Kerja
Menangkap
Menentukan titik-titik pengambilan sampel pada jalur transek yang mewakili
masing-masing agroekosistem atau agroforestri
Mengumpulkan serangga yang tertangkap dan memasukkan ke dalam
kantong plastik yang telah diberi kapas berisi alkohol 75%
Mengidentifikasikan serangga sesuai karakteristik morfologis dan
mencocokkannya dengan buku Kunci Determinasi Serangga
Menangkap serangga dengan menggunakan sweep net
Menentukan titik-titik pengambilan sampel pada jalur transek yang mewakili
masing-masing agroekosistem atau agroforestri
Mendokumentasikan tanaman yang terserang penyakit tersebut
Mengidentifikasikan sampel tanaman yang terkena penyakit dengan
membandingkan melalui gambar dari buku atau internet
Mengamati tanaman yang terserang penyakit
10
2.2.4. Pendugaan Cadangan Karbon
a. Alat dan Bahan
1. Kamera : untuk mendokumentasikan
2. Alat tulis : untuk mencatat hasil pengamatan
3. Form pengamatan : untuk acuan dan mencatat hasil pengamatan
4. Tabel cadangan karbon: sebagai informasi mengenai pendugaan
cadangan karbon dari masing-masing sistem
tanam
b. Cara Kerja
2.2.5. Identifikasi keberlanjutan lahan dari Aspek Sosial Ekonomi
a. Alat dan Bahan
1. Form wawancara : sebagai panduan dalam melakukan wawancara
2. Alat tulis : untuk mencatat hasil wawancara
3. Kamera : untuk mendokumentasikan
b. Cara kerja
Melakukan wawancara dengan petani
v
Mencatat hasil wawancara
v
Mentabulasi data sekelas (4 plot yang berbeda)
v
Melakukan perhitungan kelayakan usahatani
Mengidentifikasi pola pertanian di lanskap
Mencatat jenis vegetasi dan jumlah vegetasi
v
v
Mmencocokkan data dengan tabel kendali cadangan karbon
11
Adapun identifikasi keberlanjutan lahan tersebut menggunakan evaluasi
terhadap indikator-indikator sebagai berikut:
- Macam/jenis komoditas yang ditanam
- Akses terhadap sumber daya pertanian (penguasaan lahan, bibit, pupuk,
modal)
- Produksi pertanian dapat memenuhi kebutuhan konsumsi atau tidak.
- Akses pasar
- Apakah petani mengetahui usahatani yang dilakukan ramah lingkungan atau
tidak
- Diversifikasi sumber pendapatan
- Kepemilikan hewan ternak
- Pengelolaan produk sampingan.
- Kearifan lokal
- Kelembagaan
- Ada atau tidaknya tokoh masyarakat/tokoh panutan dalam usahatani
- Analisis usahatani dan kelayakan usaha.
12
BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Hasil
3.1.1 Kondisi Umum Wilayah
Tabel 1. Kondisi Wilayah Plot 1 (Hutan)
No Penggunaan
Lahan
Tutupan
lahan Manfaat
Posisi
lereng
Tingkat tutupan Jumlah
spesies Kerapatan
C-
stock Kanopi seresah
1 Hutan Pinus G, K A S T Banyak S 150
2 Pisang B, D A S T Banyak S 150
3 Bambu K A T T Banyak T 250
Tabel 2. Kondisi Wilayah Plot 2 (Agroforestry)
No Penggunaan
Lahan
Tutupan
lahan Manfaat
Posisi
lereng
Tingkat tutupan Jumlah
spesies Kerapatan
C-
stock Kanopi seresah
1 Agroforestry Kopi B T T T Banyak T 80
2 Pisang B, D, K T R R Sedang R 50
3 Kelapa B, D, A,
K, B T R R Sedikit R 50
4 Sengon B T R R Sedang R 50
Tabel 3. Kondisi Wilayah Plot 3 (Lahan sebagai tanaman semusim)
No Penggunaan
Lahan
Tutupan
lahan Manfaat
Posisi
lereng
Tingkat tutupan Jumlah
spesies Kerapatan
C-
stock Kanopi seresah
1 Agroforestry Sengon K A T T Banyak T 80
2 Kelapa B, D A S R Banyak S 50
3 Pisang B, D A R R Sedang S 50
4 Kakao B A S S Sedang S 50
5 Tegalan Jagung B T T S Banyak T 1
6 Rumput
gajah D T S S Banyak T 1
Pisang B,D T R R Sedang R 1
Sengon K T R R Rendah R 1
pepaya B T R R rendah R 1
13
Tabel 4. Kondisi Wilayah Plot 4 (Tegalan dan Pemukiman)
No Penggunaan
Lahan
Tutupan
lahan Manfaat
Posisi
lereng
Tingkat tutupan Jumlah
spesies Kerapatan
C-
stock Kanopi seresah
1 Pemukiman Rumah - B - - - - -
2 Tegalan Jagung B B S R Rendah S 1
3 Rumput
gajah D B T R rendah T 1
Sengon A B R R Rendah R 1
Keterangan :
Manfaat : B (buah), D (daun), A (akar), K (kayu), G (Getah).
Posisi Lereng : A (atas), T (tengah), B (bawah)
Tingkat tutupan kanopy dan seresah : T (tinggi), S (sedang), R (rendah)
Kerapatan : T (tinggi), S (sedang), R (rendah)
Kegiatan fieldtrip dilaksanakan di Desa Tulungrejo, Kecamata Ngantang.
Malang, Jawa timur. Bagian hulu desa merupakan kawasan hutan perhutani
sementara bagian hilir desa merupakan kawasan Budidaya tanaman pangan dan
hortikultura serta pemukiman. Lokasi fieldtrip terletak dalam kawawasan Sub-
DAS Kalikonto. Desa Tulungrejo sesuai dengan kriteria yang dibutuhkan untuk
kegiatan fieldtrip sebab memiliki keanekaragaman jenis penggunaan lahan dalam
satu lanskap, diantaranya yaitu hutan yang merupakan kawasan hutan pinus
milik perhutani, kebun campuran atau agroforestry, lahan Budidaya tanaman
semusim seperti tegalan, dan pemukiman.
Plot 1 merupakan kawasan hutan produksi milik perhutani. Pada kawasan
ini, terdapat hutan pinus pada lereng pada bagian atas. Meski kawasan hutan
produksi milik perhutani, namun petani setempat diijinkan memanfaatkan lahan
di sekitarnya dengan syarat tidak menebang tanaman pinus tersebut. Pada plot 2
terdapat jenis penggunaan lahan berupa kebun campuran atau agroforestry.
Sementara pada plot 3, merupakan lahan tanaman semusim berupa tegalan
dengan terdapat beberapa tanaman semusim berupa tegalan dengan terdapat
beberapa tanaman agroforestry seperti kopi, snegon, kakao dan jagung.
Kemudian pada plot 4 yang terletak di bagian hilir merupakan kawasan lahan
tanaman semusim tegalan dan pemukiman warga. Komoditas yang terdapat
pada tegalan yaitu jagung, rumput gajah, dan singkong. Perbedaan jenis
penggunaan lahan pada keempat plot tersebut akan memberikan hasil
pengamatan yang beragam.
Dalam pertanian berlanjut, terdapat tiga aspek yang perlu dipahami yakni
aspek social, ekonomi, ekologi (biofisik). Berdasarkan aspek biofisik, terdapat
indicator yang dapat dikenali untuk mengetahui keberhasilan pertanian
14
berlanjut, yakni air, biodiversitas, dan karbon. Tipe lanskap akan mempengaruhi
desa Tulungrejo, tipe lanskap berdasarkan tingkat kerusakan habitat dan
fragmentasinya adalah lanskap fragmented dengan komposisi 10-60% habitat
asli tersisa. Klasifikasi lanskap fragmented memiliki habitat alami terpecah
(fragmen) dalam kondisi baik yang perlu dilakukan perbaikan pada habitat alami
terpecah tersebut. Habitat alami ini berperan seabgai daerah penyangga.
Sementara pada kawasan sekelilingnya telah dilakukan pengolahan dalam
bentuk matriks pertanian.
Selain itu lanskap, tingkst hetoregenitas pengguanaan lahan pada suatu
langkap jurga turut mempengaruhi keberhasilan pertanian berlanjut. Pada
lanskap Desa Tulung rejo, tingkat heterogenitas penggunaan lahan termasuk
tinggi karena dalam satu lanskap terdapat 4 jenis penggunaan lahan yaitu hutan
produksi. Agroforestry, lahan tanaman semusim berupa tegalan dan pemukiman.
Tentenuya, dalam keempat plot terjadi interaksi diantaranya. Seperti aspek
penyinaran dan siklus air dan hara , pada plot hutan dan agroforestry, terdapat
kanopi multistrata yang saling menaungi. Siklus air dan hara juga berjalan dengan
sangat baik karena terjadi keseimbangan ekologi. Sebaran organisme seperti
hama, penyakit dan pollinator juga terjadi secara normal, karena keseimbangan
populasi pada lanskap tersebut.
Gambar 1. Kondisi Plot 1 (Hutan)
15
Gambar 2. Kondisi Plot 2 (Agroforestry)
Gambar 3. Kondisi Plot 3 (Lahan sebagai Tanaman Semusim)
Gambar 4. Kondisi Plot 4 (Tegalan dan Pemukiman)
16
3.1.2 Indikator Pertanian Berlanjut dari Aspek Biofisik
3.1.2.1 Kualitas Air
Tabel 5. Parameter Pengamatan Kualitas Air
Parameter Satu-an
Lokasi Pengambilan Sampel Air
Kelas Plot 1 Plot 2 Plot 3 Plot 4
U 1 U 2 U 3 U 1 U 2 U3 U1 U2 U3 U 1 U2 U 3
Kekeruhan cm 40 40 40 40 40 40 40 40 40 40 40 40 I Suhu oC 24 24 24 24 24 24 24 24 24 24 24 24 I
Sedimentasi (ICRAF dan Modul)
Mg/l 20,33
20,33
20,33
20,33
20,33
20,33
20,33
20,33
20,33
20,33
20,33
20,33 I
0,042
0,042
0,042
0,042
0,042
0,042
0,042
0,042
0,042
0,042
0,042
0,042 I
pH 5,5
9 6,16
6,38
6,41
6,55
6,57
6,57
6,50
6,44
6,44
6,33
6,19
I
DO Mg/l 0,0
1 0,01
0,01
0,01
0,01
0,01
0,01
0,02
0,02
0,02
0,02
0,02
IV
Tabel 6. Parameter Pengamatan Kualitas Air pada Plot 1 (Hutan)
Parameter Satuan Lokasi Pengambilan Sampel
Air Kelas (PP No. 82
Tahun 2001) U1 U2 U3
Kekeruhan Cm 40 40 40 IV (Dapat digunakan untuk mengairi pertanaman dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut)
Suhu oC 24 24 24 Sedimentasi (ICRAF dan Modul)
Mg/l 20,33 20,33 20,33 0,042 0,042 0,042
pH 5,59 6,16 6,38 DO 0,01 0,01 0,01
Berdasarkan data di atas dapat diketahui bahwa pada plot 1 yang
merupakan hutan, masing-masing ulangan memiliki kekeruhan sedalam 40 cm
dan menunjukkan suhu yang sama yakni 24oC serta parameter DO juga
menunjukkan angka 0,01 akan tetapi pH menunjukkan hasil yang berbeda. Pada
ulangan ke 3 pH didapat dengan nilai 6,38, 6,16 pada ulangan ke 2 serta 5,59
pada ulangan pertama. Kondisi kualitas air di kawasan sistem pertanaman hutan
ini menunjukkan kondisi fisik yang baik akan tetapi ditinjau dari parameter pH
masih berada pada selag nilai yang kurang sesuai dengan baku mutu. Parameter
fisik kekeruhhan menunjukkan pengamatan pada jarak 40 cm masih terlihat
17
dalam pengukuran, namun tingkat kekeruhan dapat berpotensi menjadi lebih
keruh karena semakin bervariasinya penggunaan lahan. Sistem hutan yang
dikembangkan di sekitar badan air lebih lanjut dapat memperbaiki kualitas air
sehingga keadaan pada plot satu dengan penggunaan lahan hutan lindung harus
digunakan untuk memperbaiki kualitas air yang kurang baik karena kualitas air
yang berada pada plot pertama menentukan kualitas air yang berada pada plot
selanjutnya. Menurut Supangat (2008) kondisi kualitas air sungai yang berasal
dari kawasan hutan akan memburuk jika kualitas air sungai yang berasal dari
kawasan hutan akan memburuk jika daerah hulu diperuntukkan untuk
penggunaan lahan lain seperti aktivitas pertanian.
Berdasarkan analisis pH dan DO disesuaikan dengan PP No. 82 Tahun
2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air, maka
air yang telah diuji di kawasan plot 1 ini termasuk dalam mutu air kelas IV yaitu
air yang dapat digunakan untuk mengairi tanaman atau kebutuhan semacamnya.
Menurut Deril, M dan Novirina (2014) pH yang terkandung dalam air mineral
yang biasa diminum mengandung keasaman 7-7,3. Sehingga air yang terdapat di
plot 1 tidak dapat digunakan untuk peruntukan lain selain mengairi tanaman.
Tabel 7. Parameter Pengamatan Kualitas Air pada Plot 2 (Agroforestry)
Parameter Satuan
Lokasi Pengambilan Sampel Air
Kelas (PP No. 82 Tahun 2001)
U1 U2 U3
Kekeruhan Cm 40 40 40 IV (Dapat digunakan untuk mengairi pertanaman dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut)
Suhu oC 24 24 24 Sedimentasi (ICRAF dan Modul)
Mg/l 20,33 20,33 20,33 0,042 0,042 0,042
pH 6,41 6,55 6,57 DO 0,01 0,01 0,01
Berdasarkan data di atas dapat diketahui bahwa pada plot 1 masing-
masing ulangan memiliki kekeruhan sedalam 40 cm dan menunjukkan suhu yang
sama yakni 24oC serta parameter DO juga menunjukkan angka 0,01 akan tetapi
pH menunjukkan hasil yang sedikit berbeda. Pada ulangan 1 pH bernilai sebesar
6,41, sedangkan pada ulangan 2 nilai pH ialah 6,55n dan nilai ulangan ke 3 yakni
sebesar 6,57.
Kondisi kualitas air di kawasan sistem pertanaman kopi ini dapat
dikatakan baik pada kondisi fisik serta pH sudah mendekati netral namun masih
tergolong sedikit ke arah asam. Parameter fisik menunjukkan pengamatan pada
18
jarak 40 cm . keasaman air pada plot ini didapatkan pada kisaran 6,41-6,57, hal
ini tidak melebihi ambang batas yang telah ditetapkan dalam PP No. 82 Tahun
2001 untuk kategori air kelas I, II, III dengan pH 6-9 dan IV dengan pH 5-9. Akan
tetapi pada analisis DO nilai tersebut masuk ke kelas IV yang mana batas
minimumnya 0. Hal ini dapat disebabkan karena pembuangan limbah berupa
pupuk ataupun pestisida. Menurut Wardhana 2004 dalam Lewa 2004
mengatakan buangan limbah ke dalam air dapat mengubah konsentrasi ion
hidrogen (pH) di dalam air menjadi lebih asam ataupun basa dan zat kimia yang
terkandung di dalamnya. Menurut Deril, M dan Novirina (2014) pH yang
terkandung dalam air mineral yang biasa diminum mengandung keasaman 7-7,3.
Sehingga air yang terdapat di plot 2 tidak dapat digunakan untuk peruntukan lain
selain mengairi tanaman.
Tabel 8. Parameter Pengamatan Kualitas Air pada Plot 3 (Lahan sebagai
Tanaman Semusim)
Parameter Satuan Lokasi Pengambilan Sampel
Air Kelas (PP No. 82
Tahun 2001) U1 U2 U3
Kekeruhan cm 40 40 40 IV (Dapat digunakan untuk mengairi pertanaman dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut)
Suhu oC 24 24 24 Sedimentasi (ICRAF dan Modul)
Mg/l 20,33 20,33 20,33 0,042 0,042 0,042
pH 6,57 6,50 6,44 DO 0,01 0,02 0,02
Berdasarkan data di atas pada plot 3 yakni dengan penggunaan lahan
tegalan memiliki kekeruhan yang sama yakni 40 cm pada ketiga ulangan serta
suhu yang sama pada ketiga ulangan yakni 24oC. Nilai pH hanya menunjukkan
sedikit perbedaan yakni 6,57 pada ulangan pertama, 6,50 pada ulangan kedua
serta 6,44 pada ulangan ketiga. Nilai DO pada ulangan 1 ialah 0,01 dan pada
ulangan kedua serta ulangan ketiga memiliki nilai yang sama yakni 0,02. Menurut
PP NO. 82 Tahun 2001 pasal 8 yang mengklasifikasi kualitas dan mutu air menjadi
4 kelas. Sedangkan untuk kualitas dan mutu air di lahan yang kami amati
termasuk dalam kelas IV. Penetapan kelas tersebut ditentukan berdasarkan hasil
pengujian pH dan DO. Nilai pH dinilai masih dapat memasuki kelas-kelas lainnya,
akan tetapi nilai DO ialah antara 0,01 hingga 0,02 sehingga masih masuk ke
dalam kelas IV. Kelas IV peruntukannya untuk mengairi tanaman atau
peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan
tersebut. Kualitas air ini dipengaruhi oleh kondisi yang ada pada hulu. Menurut
19
Deril, M dan Novirina (2014) pH yang terkandung dalam air mineral yang biasa
diminum mengandung keasaman 7-7,3. Sehingga air yang terdapat di plot 3 tidak
dapat digunakan untuk peruntukan lain selain mengairi tanaman.
Tabel 9. Parameter Pengamatan Kualitas Air pada Plot 4 (Tegalan dan
Pemukiman)
Parameter Satuan Lokasi Pengambilan Sampel Air
Kelas (PP No. 82 Tahun 2001)
U1 U2 U3
Kekeruhan Cm 40 40 40 IV (Dapat digunakan untuk mengairi pertanaman dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut)
Suhu oC 24 24 24 Sedimentasi (ICRAF dan Modul)
Mg/l 20,33 20,33 20,33 0,042 0,042 0,042
pH 6,44 6,33 6,19 DO 0,02 0,02 0,02
Berdasarkan data di atas yakni pada plot 4 dengan penggunaan lahan
tegalan memiliki kekeruhan yang sama yakni 40 cm pada ketiga ulangan dan juga
suhu yang sama yakni 24oC pada ketiga ulangan. Nilai pH pada ulangan pertama
sebesar 6,44, pada ulangan kedua yakni sebesar 6,33 dan pada ulangan ketiga
yakni 6,19. Nilai DO pada ulangan 1 ialah 0,02 serta pada ulangan kedua dan
ketiga juga 0,02.
Menurut PP no 82 tahun 2001 pasal 8 yang mengklasifikasi kualitas dan
mutu air menjadi 4 kelas. Adapun kriteria pada PP No. 82 Tahun 2001 tentang
Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air, maka air sungai di
kawasan Ngantang pada plot 4 termasuk dalam mutu air kelas IV, yaitu air yang
dapat digunakan untuk mengairi pertanaman. Menurut Deril, M dan Novirina
(2014) pH yang terkandung dalam air mineral yang biasa diminum mengandung
keasaman 7-7,3. Sehingga air yang terdapat di plot 4 tidak dapat digunakan
untuk peruntukan lain selain mengairi tanaman.
Dapat disimpulkan bahwa kualitas dan mutu air di lahan yang kami amati
termasuk pada kelas IV, namun tidak menutup kemungkinan kualitas air dari plot
4 tersebut semakin lama keadaan dari air tersebut akan semakin memburuk
karena penggunaan lahan ataupun kerusakan bagian hulu tersebut sehingga
kualitasnya akan memburuk.
20
3.1.2.2 Biodiversitas Tanaman
a. Biodiversitas
Tabel 10.Biodiversitas pada Plot 1 (Hutan)
Titik pengambilan
sampel tutupan
lahan
Semusim/ Tahunan/ Campuran
Informasi tutupan lahan dan tanaman dalam lanskap
Luas Jarak tanam Populasi Sebaran
Sengon Tahunan 1 ha 5 x 2,5 800 Berpola Kopi Tahunan 1,8 x 2,4 2315 Berpola Nangka Tahunan 3 x 3,6 926 Berpola Pisang Tahunan 3,8 x 4,5 585 Berpola Pinus Tahunan 5,6 x 5,6 319 Berpola
Berdasarkan data tabel pengamatan biodiversitas, diketahui bahwa plot 1
merupakan jenis lahan hutan alami, di daerah tersebut diamati terdapat
biodiversitas tanaman sengon, kopi, nangka, pisang, dan pinus. Tanaman yang
terdapat pada lahan tersebut termasuk ke dalam tanaman tahunan dengan
sebaran yaitu berpola. Dalam luasan 1 hektar, tanaman sengon dengan jarak
tanam 5 x 2,5 m memiliki populasi 800; pada tanaman kopi dengan jarak tanam.
1,8 x 2,4 m memiliki populasi 2315; pada tanaman nangka dengan jarak tanam 3
x 3,6 m memiliki populasi 926; pada tanaman pisang dengan jarak tanam 3,8 x
4,5 memiliki populasi 585; dan pada tanaman pinus dengan jarak tanam 5,6 x 5,6
memiliki populasi 319. Menurut Dyke (2003), dalam lansekap yang heterogen
biasanya terdapat keragaman dan kekayaan jenis spesies baik flora maupun
fauna. Semakin tinggi tingkat heterogenitas suatu wilayah maka semakin stabil
wilayah tersebut dari gangguan yang datang.
Tabel 11. Biodiversitas pada Plot 2 (Agroforestry)
Titik pengambilan
sampel tutupan lahan
Semusim/ Tahunan/ Campuran
Informasi tutupan lahan dan tanaman dalam lanskap
Luas Jarak tanam (m)
Populasi Sebaran
Kopi Tahunan 1 ha 3.7 x 2.83 955 Berpola Pisang Tahunan 5.85 x 5.1 335 Berpola Kelapa Tahunan 8,8 x 1 45 Berpola Talas Semusim 2.2 x 2.3 1976 Berpola Lamtoro Tahunan 1.2 x 1.3 6410 Berpola
Berdasarkan data tabel pengamatan biodiversitas pada plot 2 dengan
penggunaan lahan agroforestry tersebut dihasilkan tutupan lahan antara lain
tanaman kopi, pisang, kelapa, talas, dan lamtoro. Untuk tanaman kopi, pisang,
kelapa, dan lamtoro termasuk ke dalam tanaman tahunan sedangkan tanaman
21
talas termasuk ke dalam tanaman semusim dengan sebaran yaitu berpola. Dalam
luasan 1 hektar, tanaman kopi ditanam dengan jarak tanam 3,7 x 2,83 m memiliki
populasi sebanyak 955; pada tanaman pisang dengan jarak tanam 5,85 x 5,1 m
memiliki populasi 335; pada tanaman kelapa dengan jarak tanam 8,8 x 1 m
memiliki populasi 45; pada tanaman talas dengan jarak tanam 2,2 x 2,3 m
memiliki populasi sebanyak 1976; dan pada lamtoro dengan jarak tanam 1,2 x
1,3 m memiliki populasi 6410.
Tabel 12. Biodiversitas pada Plot 3 (Lahan sebagai Tanaman Semusim)
Titik
pengambilan
sampel
tutupan lahan
Semusim/
Tahunan/
Campuran
Informasi tutupan lahan dan tanaman dalam
lanskap
Luas Jarak tanam
(m) Populasi Sebaran
Jagung Semusim 1 ha 0.3 x 1.1 35 Berpola
Pisang Tahunan 8 x 1 4 Menyebar
Cabai Semusim 0.5 x 1 13 Berpola
Pepaya Tahunan - 5 Menyebar
Sengon Tahunan - 4 Menyebar
Singkong Tahunan 0.2 x 0.5 20 Berpola
Berdasarkan tabel diatas, pada plot 3 dengan jenis penggunaan lahan
tegalan terdapat berbagai jenis tanaman yang didominasi oleh tanaman
semusim. Terdapat tanaman jagung, pisang, cabai, pepaya, sengon, dan singkong
dengan populasi paling banyak yaitu tanaman jagung dengan jumlah 35 tanaman
dan memiliki sebaran berpola. Pada tanaman jagung, cabai dan singkong
memiliki sebaran berpola sedangkan pada tanaman pisang, pepaya, sengon
memiliki sebaran menyebar. Dari populasi di tabel tersebut, pada lahan tersebut
memiliki keanekaragaman yang tergolong sedang. Dapat dilihat berdasarkan
jumlah populasi yang tidak banyak dan didominasi oleh tanaman budidaya.
Tabel 13. Biodiversitas pada Plot 4 (Tegalan dan Pemukiman)
Titik pengambilan
sampel tutupan lahan
Semusim/ Tahunan/ Campuran
Informasi tutupan lahan dan tanaman dalam lanskap
Luas Jarak tanam Popula-
si Sebaran
Jagung Semusim 1 ha 60 cmx 20cm 8333 Berpola Rumput gajah Tahunan 6 m x 6 m 277 Menyebar Pisang Tahunan - 6 Menyebar Papaya Tahunan - 2 Menyebar Sengon Tahunan 5 m x 5 m 400 Berpola
Singkong Tahunan 100 cm x 60 cm
1600 Berpola
Kelapa Tahunan - 10 Menyebar
22
Berdasarkan tabel diatas, pada plot 4 dengan jenis penggunaan lahan
tegalan dan pemukiman terdapat berbagai jenis tanaman baik dari tanaman
semusim maupun tahunan. Terdapat tanaman jagung sebagai tanaman semusim
dengan jarak tanam 60cmx20cm dan memiliki populasi 8333 dengan sebaran
berpola. Dan terdapat beberapa jenis tanaman tahunan, antara lain: rumput
gajah, pisang, pepaya, sengon, singkong dan kelapa. Pada tanaman rumput gajah
memiliki sebaran menyebar dengan total populasi 277; pada tanaman pisang
memiliki sebarang menyebar dengan total populasi 6; pada tanaman pepaya
memiliki sebaran menyebar dengan populasi 2; sengon dengan jarak tanam 5x5
m memiliki sebaran berpola dengan populasi 400; singkong dengan jarak tanam
100 cm x 60 cm memiliki pola sebaran berpola; dan kelapa dengan sebaran
menyebar memiliki populasi 10. Dari hasil pengamatan tersebut, populasi
tanaman jagung dan singkong yang mendominasi pada lahan tersebut. Menurut
Paimin et al (2012) menyatakan bahwa semakin tinggi jumlah penduduk yang
memiliki pekerjaan di bidang pertanian, maka semakin tinggi biodiversitas yang
ada khususnya agribiodiversitas.
b. Analisis Vegetasi Gulma
Berdasarkan hasil pengamatan yang kami lakukan terhadap analisis
vegetasi gulma, pada plot 1 dengan penggunaan lahan hutan terdapat 6 jenis
gulma diantaranya Godong Puser (Hyptis rhomboidea Mart.Gal.) dengan total 6
dan nilai D1 yaitu 11 cm dan D2 yaitu 8 cm; Anting-anting (Acalypha australis)
dengan total yaitu 12 dan nilai D1 yaitu 15 cm dan D2 yaitu 7,5 cm; tanaman
Rumput teki (Cyperus rotundus) dengan total 1 dan nilai D1 yaitu 6,5 cm dan D2
yaitu 4 cm; Rumput Parit (Axonopus compressus) dengan total yaitu 2 dan D1
yaitu 17 cm dan D2 yaitu 10 cm; Rumput Signal dengan total 3 dan nilai D1 yaitu
19 cm dan D2 yaitu 13,5 cm; dan Gulma 1 dengan total 5 dan D1 yaitu 14 cm dan
D2 yaitu 7 cm (lihat pada lampiran 1).
Pada plot 2 dengan penggunaan lahan agroforestry dapat dilihat (lihat
pada lampiran 1) terdapat 7 jenis gulma diantaranya Junggul atau Sintrong
Grafik Perbandingan Populasi Serangga pada Plot 2 (Agroforestry)
Hama
Serangga Lain
Musuh Alami
Grafik 3. Grafik Perbandingan Populasi Serangga pada Plot 2 (Agroforestry)
Serangga Lain
Hama Musuh Alami Gambar 6. Segitiga Fiktorial pada Plot 2 (Agroforestry)
29
Tabel 17. Pengamatan Penyakit pada Plot 2 (Agroforestry)
Lokasi Pengamatan
Penyakit yang ditemukan
Gejala
Ngantang Karat Daun Kopi (Hemileia vastatrix)
Timbul bercak kuning kemudian berubah mnjadi coklat, permukaan bercak pada sisi bawah daun terdapat uredospora seperti tepung berwarna oranye atau jingga. Pada serangan berat pohon tampak kekuningan, daunnya, gugur akhirnya pohon menjadi gundul.
Bercak Daun Kopi (Mycosphaerella coffeicola)
Timbul bercak berwarna kuning yang kopinya dikelilingi lingkaran berwarna kuning, buah yang terserang timbul bercak berwarna cokelat, biasanya pada sisi yang lebih banyak menerima cahaya matahari. Bercak ini membusuk dan dapat sampai ke biji hingga menurunkan kualitas biji kopi.
Data di atas merupakan data keragaman arthropoda yang didapat pada
plot 2 dengan penggunaan lahan agroforestri dengan komoditas kopi.
Didapatkan kupu-kupu yang berperan sebagai serangga lain, laba-laba kepiting
sebagai musuh alami, semut sebagai musuh alami, belalang coklat sebagai
serangga lain, kutu kebul sebagai hama, kumbang kubah spot M sebagai musuh
alami, kutu putih sebagai hama, lalat sebagai serangga lain, dan ulat jengkal
sebagai hama. Dalam plot ini juga ditemukan adanya penyakit yakni penyakit
karat daun dan bercak daun kopi. Pada setiap pohon ditemukan gejala yang
sama. Dalam kondisi aktual, kebersihan lahan kurang terjaga, banyak seresah
dan sampah yang berserakan sehingga membuat lahan lembab dan menjadi
sarang bagi penyakit maupun hama. Hal ini juga ditunjang dengan jumlah
serangga yang berperan sebagai hama yang banyak ditemukan. Sinar matahari
juga kurang masuk hingga mengenai tajuk terendah sehingga kondisinya lembab.
30
Tabel 18. Pengamatan Serangga pada Plot 3 (Lahan sebagai tanaman semusim)
Lokasi Pengambilan
Sampel
Nama Lokal Nama Ilmiah Jumlah Fungsi
Ngantang Belalang Hijau
Atrachtamorpha crenulata
1 Hama
Kumbang Kubah Spot M
Menochillus sexmaculatus
1 MA
Laba-laba serigala
Lycosa sp. 2 MA
Jangkrik Gryllus sp. 1 SL Belalang coklat
Oxya sp. 2 Hama
Tomcat Paederus littoralis
1 MA
0
10
20
30
40
50
Hama MusuhAlami
SeranggaLain
Grafik Perbandingan Populasi Serangga pada Plot 3 (Lahan sebagai tanaman
semusim)
Hama
Serangga Lain
Musuh Alami
Grafik 4. Grafik Perbandingan Populasi Serangga pada Plot 3 (Lahan sebagai
tanaman semusim)
31
Serangga Lain
Hama Musuh Alami Gambar 7. Segitiga Fiktorial pada Plot 3 (Lahan sebagai tanaman semusim) Tabel 19. Pengamatan Penyakit pada Plot 3 (Lahan sebagai Tanaman Semusim)
Lokasi Pengamatan Penyakit yang
ditemukan
Gejala
Ngantang Karat daun jagung
(Puccinia sorghi)
Terdapat bisul seperti karat
pada daun jagung di bagian
atas maupun bawah daun.
Bisul tersebut berwarna
kuning atau cokelat. Serangan
berat menyebabkan daun
mengering, hingga kematian
pada tanaman.
Data di atas didapat dari plot 3 dengan penggunaan lahan tegalan dengan
komoditas cabai. Didapatkan belalang hijau yang berperan sebagai hama,
kumbang kubah spot M sebagai musuh alami, laba-laba serigala yang berperan
sebagai musuh alami, jangkrik yang berperan sebagai serangga lain, belalang
coklat yang berperan sebagai hama serta tomcat yang berperan sebagai musuh
alami. Sedangkan untuk penyakit ditemukan adanya penyakit karat daun pada
jagung dengan gejala yang ditampakkan oleh tanaman ialah terdapat bisul
seperti karat pada daun jagung di bagian atas maupun bawah daun, bisul
tersebut berwarna kuning atau cokelat. Serangan berat menyebabkan daun
mengering, hingga kematian pada tanaman. Pada lahan ini keragaman serangga
yang ditemukan cukup banyak, akan tetapi lebih banyak serangga yang berperan
sebagai musuh alami. Hama tidak terlalu banyak ditemukan dikarenakan
penyemprotan pestisida sangat sering oleh petani. Dominansi suatu komponen
dapat memberikan dampak yang buruk bagi plot tersebut, apalagi plot tersebut
32
merupakan tanaman semusim yang pengolahannya lebih intensif sehingga
degradasi ekosistem tersebut akan berjalan cepat dan merupakan salah satu
indikator ekosistem yang tidak berkelanjutan.
Tabel 20. Pengamatan Serangga pada Plot 4 (Tegalan dan Pemukiman)
Lokasi Pengambilan
Sampel
Nama Lokal Nama Ilmiah Jumlah Fungsi
Ngantang Semut Hitam Dolichoderus sp
1 SL
Semut Merah Formica rufa 1 SL Kumbang Kubah Spot
Epilachna sparsa
1 Hama
Kumbang Kubah Spot M
Menochillus sexmaculatus
2 MA
Nyamuk Aides sp. 1 SL Ulat Helicoverpa
armigera 1 Hama
Keong Achatina fulica
1 Hama
Capung Peluncur
Anax junius 1 MA
Belalang Oxya chinensis
1 Hama
Kumbang Leptinotarsa sp.
1 Hama
Larva dari undur-undur
Myrmeleon sp
1 SL
33
0
5
10
15
20
25
30
35
40
45
Hama Musuh Alami SeranggaLain
Grafik Perbandingan Populasi Serangga pada Plot 4 (Tegalan dan Pemukiman)
Hama
Serangga Lain
Musuh Alami
Grafik 5. Grafik Perbandingan Populasi Serangga pada Plot 4 (Tegalan dan Pemukiman)
Serangga Lain
Hama Musuh Alami
Gambar 8. Segitiga Fiktorial pada Plot 4 (Tegalan dan Pemukiman) Tabel 21. Pengamatan Penyakit pada Plot 4 (Tegalan dan Pemukiman)
Lokasi Pengamatan
Penyakit yang ditemukan
Gejala Penyebab
Ngantang Penyakit Karat Daun (Pucchinia sorghi)
Daun berubah warna, dan menjadi kasar. Untuk tingkatan jauh, dapat menyebabkan daun mengering dan warna hitam
Puccinia polysora Undrew membentuk uredium (urediosorus), sejenis jamur
34
Data di atas merupakan tabel keragaman arthropoda yang ditemukan di
plot 4 yakni pada penggunaan lahan tegalan, komoditas jagung. Ditemukan
semut hitam sebanyak 1 ekor, semut merah 1 ekor, kumbang kubah spot 1 ekor,
kumbang kubah spot M sebanyak 2 ekor, nyamuk sebanyak 1 ekor, ulat sebanyak
1 ekor, keong sebanyak 1 ekor, capung peluncur sebanyak 1 ekor, belalang
sebanyak 1 ekor, kumbang sebanyak 1 ekor serta larva dari undur-undur
sebanyak 1 ekor. Yang berperan sebagai hama adalah kumbang kubag spot,
belalang, kumbang, keong dan ulat. Sedangkan yang berperan sebagai serangga
lain ialah larva dari undur-undur, nyamuk, semut merah dan semut hitam.
Sedangkan yang berperan sebagai musuh alami ialah kumbang kubah spot M dan
capung peluncur. Dari data penyakit ditemukan penyakit karat daun yang
memiliki gejala daun berubah warna, dan menjadi kasar. Untuk tingkatan jauh,
dapat menyebabkan daun mengering bahkan berwarna hitam. Dalam plot ini
juga didominasi hama, hal ini dikarenakan ekosistem yang kurang baik
dikarenakan tidak adanya tanaman refugia yang berfungsi sebagai inang musuh
alami. Sehingga hama berkembang lebih banyak dan kurang akan populasi
musuh alami.
Tabel 22. Tabulasi data biodiversitas peran serangga
Lokasi pengambilan sampel
Jumlah individu yang berfungsi sebagai…
Presentase
Hama MA SL Total Hama MA SL
Plot 1 12 0 2 14 86% 0% 14%
Plot 2 6 4 3 13 46,15% 30,76% 23,07%
Plot 3 3 4 1 8 37,5% 50% 12,5%
Plot 4 5 3 4 12 41,66% 25% 33,33%
35
Grafik 6. Grafik Perbandingan Populasi Keragaman Antar Plot
Berdasarkan grafik perbandingan di atas dapat diketahui bahwa pada plot
pertama didominasi oleh hama, serangga lain hanya terdapat sebanyai 10% saja
dan tidak ditemukannya musuh alami. Sedangkan pada plot 2, dinominasi oleh
hama, sedangkan musuh alami sebanyak 30% dan serangga lain sebanyak
kurang lebih 20%. Pada plot 3, kondisi lahan lebih banyak memperlihatkan
adanya musuh alami ketimbang hama, musuh alami sebesar 50% sedangkan
hama hanya 30% dan serangga lain hanya 10%. Sedangkan pada plot 4, hama
sebesar 45% dan musuh alami sebesar 25% dan sisanya adalah serangga lain.
Dalam hal ini, lebih baik jika populasi antara serangga lain, hama, serta musuh
alami dalam kondisi yang seimbang sehingga ekosistem akan menjadi lebih
seimbang. Menurut Brewer dan Elliot (2004) keanekaragaman tumbuhan yang
berada di sekitar tanaman budidaya dapat mempengaruhi kehadiran predator.
Selain itu, kondisi lingkungan (ketinggian, suhu, intensitas cahaya matahari, dll),
dan cara manusia dalam mengelola lahannya juga berpengaruh. Sistem
pengelolaan yang salah seperti pengaplikasian pestisida yang kurang bijakasana
dan kurangnya pemanfaatan musuh alami pada lahan pertanian justru akan
meningkatkan populasi hama pada lahan sehingga kondisi lingkungan menjadi
tidak stabil. Berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan, keseimbangan paling
tinggi terjadi pada plot 3 karena populasi hama, musuh alami, dan serangga lain
tidak berbeda jauh satu sama lain meskipun lebih cenderung ke hama.
Kecenderungan terhadap hama ini tetap bisa diimbangi oleh jumlah musuh alami
yang ada di lahan. Berbeda dengan plot pertama yakni tidak ditemukan adanya
penyakit dan dominansi suatu komponen dikarenakan pada plot 1 keragaman
tinggi karena penggunaan lahan merupakan hutan. Dengan hasil yang
36
didapatkan dapat dikatakan bahwa kondisi ekologi yang ada disana seimbang
karena komposisi antara hama, musuh alami, dan serangga lain seimbang. Setiap
musuh alami yaitu capung jarum, kumbang kubah spot, dan kepik predator dapat
memangsa lebih dari 1 hama yang berada di lahan tersebut. Sehingga tidak
diperlukan campur tangan manusia secara intensif dalam pengelolaan OPT pada
plot ini. Dengan jenis tanaman yang bermacam-macam, akan menjadikan
agroekosistem lebih stabil karena mampu mengurangi dominasi oleh hama.
Artinya, keanekaragaman agroekosistem dapat berfungsi sebagai pelindung
untuk konservasi musuh alami (Altieri, 1999).
Menurut Arifin (1997) menyatakan bahwa pengendalian hayati dengan
memanfaatkan musuh alami, walaupun usahanya memerlukan waktu yang
cukup lama dan berspektrum sempit (inangnya spesifik), tetapi banyak
keuntungannya, antara lain aman, relatif permanen, dalam jangka panjang relatif
murah dan efisien, serta tidak akan menyebabkan pencemaran lingkungan. Dari
uraian di atas, jelaslah bahwa musuh-musuh alami mempunyai peranan yang
sangat besar dalam membantu kita untuk menekan perkembangan hama
tanaman. Pengendalian hama yang hanya menggunakan pestisida saja dengan
spektrum luas dan terus-menerus sebenarnya tidak baik dari segi
ekologi. Dengan demikian dapat dikatakan plot 3 merupakan lahan yang mampu
melangsungkan dalam keberlanjutan pertanian dibandingkan plot 1, 2, dan 4
yang tidak memiliki musuh alami yang banyak pada lahannya.
37
3.1.2.4 Cadangan Karbon
Tabel 23. Cadangan Karbon Setiap Penggunaan Lahan
Plot Penggunaan
Lahan C-Stock (ton/ha)
Gambar
Plot 1 Hutan 183,33
Plot 2 Agroforestri 57,5
Plot 3 Tanaman Semusim
29,25
Plot 4 Tegalan 1
Berdasarkan hasil analisa yang telah dilakukan bahwa pada setiap plot
memiliki nilai c-stock yang berbeda. Hal ini didasari atas berbedanya penggunaan
lahan dan jenis tutupan lahan yang berada pada masing-masing plot. Hal
tersebut tentunya mempengaruhi faktor lainnya seperti suhu serta penyinaran
38
oleh cahaya matahari. Pada plot 1 didapatkan data c-stock yang ada ialah
sebesar 183,33 ton C/ha. Pada plot 2 terdapat penggunaan lahan yang berupa
agroforestri kopi, yakni dengan nilai c-stock sebesar 57,5 ton C/ha. Pada plot 3,
dengan penggunaan lahan yang diamati ialah tegalan dengan komoditas
hortikultura, nilai c-stocknya ialah sebesar 29,25 ton C/ha. Sedangkan pada plot
4 yang merupakan penggunaan lahan pemukiman dan tegalan dengan komoditas
tanaman semusim yakni jagung diperoleh nilai c-stock sebesar 1 ton C/ha.
Berdasarkan dari analisa data dapat diketahui bahwa c-stock berbeda pada
setiap jenis penggunaan lahan serta jenis tutupan lahan yang ada. C-stock
dipengaruhi oleh kerapatan pohon serta jenis tanaman yang ditanam. Setiap
tutupan lahan menyebabkan kerapatan juga berbeda. Jika dilihat dari
keseluruhan plot, dari plot 1, 2, 3, dan plot 4, yang memiliki cadangan karbon
tertinggi adalah plot 1. Hal ini bisa dilihat dari kondisi penggunaan lahan di
daereah ini yang berupa hutan. Sedangkan di daerah plot 4 merupakan yang
memiliki cadangan karbon paling rendah karena penggunaan lahan yang berupa
tanaman semusim dan pemukiman. Dilihat dari penggunaan lahan dari lereng
atas hingga ke bawah, maka semakin ke bawah jumlah cadangan karbon semakin
menurun sesuai dengan penggunaan lahan dan kerapatan pohon. Hal ini sesuai
dengan literatur yakni menurut Holdgate, 1995 dalam Adiriono, 2009 bahwa
kerusakan hutan, perubahan iklim dan pemanasan global, menyebabkan
manfaat tidak langsung dari hutan berkurang, yaitu karena hutan merupakan
penyerap karbon terbesar dan memainkan peranan yang penting dalam siklus
karbon global dan dapat menyimpan karbon sekurang kurangnya 10 kali lebih
besar dibandingkan dengan tipe vegetasi lain seperti padang rumput, tanaman
semusim dan tundra. Serta menurut Hairiah et al (2001) yakni jumlah carbon
stock pada setiap lahan berbeda-beda, hal ini bergantung pada keragaman dan
kerapatan setiap vegetasi, jenis tanaman atau keanekaragaman dapat
mempengaruhi karbon yang akan disimpan, hal tersebut akan berpengaruh pada
salah satunya adalah umur tanaman atau usia tanaman. Setiap jenis tanaman
memiliki umurnya masing-masing ada yang hanya beberapa bulan dan ada yang
cukup lama hingga bertahun-tahun. Hubungannya dengan cadangan karbon ialah
di saat menyimpan karbon, karbon dapat diserap dari udara oleh tanaman
melalui proses fotosintesis.
3.1.3 Indikator Pertanian Berlanjut dari Aspek Sosial Ekonomi
3.1.3.1 Economically viable (Keberlanjutan Secara Ekonomi)
1) Profil Petani dan Usahatani
Plot 1
Pada plot 1, kami melakukan wawancara terhadap petani yang bernama
Bapak Suwono beliau berumur 59 tahun. Bapak Suwono ialah petani jagung dan
39
kopi dengan status kepemilikan lahan sewa milik Perhutani. Pada plot 1 ini jenis
lahannya merupakan lahan agroforestry. Sumber pendapatan beliau hanya
berasal dari usaha taninya ini, yakni komoditas jagung dan kopi. Sistem
penggunaan yang diamati pada daerah plot 1 ini adalah daerah hutan dengan
berbagai macam tanaman tahunan yang dibudidayakan termasuk kopi serta di
lahan yang berada di bawahnya ditanami jagung.
Berikut merupakan analisa usaha taninya :
1. Jagung Tabel 24. Perhitungan Biaya Tetap pada Komoditas Jagung Plot 1
No Uraian Jumlah
(Unit)
Harga Perhitungan Biaya
1 Sewa lahan
(jagung)/ta
hun
1200 m2 Rp. 3.000.000,00 Rp. 3.000.000
2 Sewa Alat - - -
3 Penyusutan
alat
-Cangkul
-Sabit
1
1
((Rp. 130.000,00 –
Rp. 10.000,00)/3
tahun) x 1 unit
((Rp.50.000,00 –
Rp.5000,00)/3
tahun) x 1 unit
Rp. 40.000,00/ masa
tanam
Rp. 15.000,00/masa
tanam
Total Biaya Tetap Rp. 3.055.000,00
40
Tabel 25. Biaya Variebel pada Komoditas Jagung Plot 1
No Uraian Jumlah (unit)
Harga Biaya
1.
Benih/bibit : Jagung (25 m x 75 m)
6400 benih
Rp.65000/1 Kg
Rp. 65000
2. 3.
Pupuk : - kandang
- kompos -Urea -Phonska -SP-36
Tenaga kerja : -Persiapan lahan (1 laki-laki) -Tanam (2 laki-laki) -Panen ( 2 laki-laki) (1 perempuan)
200 kg 100 kg 100 Kg 300 Kg 100 Kg 2 hari 2 hari 1 hari 2 hari
200 x Rp 3000 100 xRp.2000 100 x Rp.1800 300 x Rp.2300 100 x Rp.1800 Rp. 50.000 x1 x2 hari Rp. 40.000 x 2 x 2 hari Rp.50.000,00 x 2 x 1 hari Rp. 40.000,00 x 1 x 2 hari
2. Kopi Tabel 29. Perhitungan Total Biaya Tetap dan Biaya Variabel Komoditas Kopi
Plot 1
Keterangan Unit Satuan Harga/Unit Jumlah biaya/tahun
Sewa lahan 0.45 Ha 15,000,000 6750000 Penyusutan alat: Cangkul 1 Unit 40,000 40000 Sabit 1 Unit 15,000 15000 Total Biaya Tetap 6805000 Total Biaya Variabel Bibit kopi 720 Bibit 2,500 1800000 Pupuk Organik
Pupuk kandang 1000 Kg 3,000 3000000 Tenaga kerja: Persiapan Lahan Laki-laki 2 2 35,000 17500