1. HASIL PENGAMATANHasil Pengamatan Praktikum Fermentasi Kecap
dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Hasil Pengamatan Fermentasi KecapKelompokBahan dan
PerlakuanAromaWarnaRasaKekentalan
B1Kedelai Hitam 0,5% inokulum++++++++
B2Kedelai putih 0,75% inokulum----
B3Kedelai hitam 0,75% inokulum+++++++
B4Kedelai putih 1% inokulum----
B5Kedelai hitam 1% inokulum+++++++++
Keterangan :KekentalanRasa AromaWarna+: kurang kental+: kurang
kuat+: kurang kuat+: kurang hitam++: kental++: kuat++: kuat++:
hitam+++: sangat kental+++: sangat kuat+++: sangat kuat+++: sangat
hitam
Dari table hasil pengamatan diatas, dapat dilihat dari kelompok
B1 dengan bahan kedelai hitam dan pemberian 0,5% inoculum
menghasilkan kecap dengam aroma kurang kuat, warna kurang hitam,
rasa sangat kuat, dan kekentalan sangat kental. Kelompok B3 dengan
bahan kedelai hitam dan pemberian 0,75% inoculum menghasilkan kecap
dengan aroma sangat kuat, warna hitam, rasa kurang kuat, dan
kekentalan yang kurang kental. Kelompok B5 dengan bahan kedelai
hitam dan pemberian 1% inoculum menghasilkan kecap dengan aroma
kuat, warna sangat hitam, rasa kuat, dan kekentalannya cukup
kental. Pada kelompok B2 untuk bahan kedelai putih dengan pemberian
0,75% inoculum dan kelompok B4 untuk bahan kedelai putih dengan
pemberian 1% inoculum tidak diperoleh hasilnya karena dalam
fermentasi kecap ini mengalami kegagalan.
2. PEMBAHASANKecap merupakan makanan tradisional yang dihasilkan
dari fermentasi kedelai hitam ataupun kacang-kacangan jenis lainnya
yang pada nantinya akan menghasilkan cairan berwarna cokelat hingga
hitam (Rahman, 1992). Kecap ini sendiri merupakan salah satu jenis
makanan masyarakat Indonesia yang penggunaannya hingga sampe ke
pelosok-pelosok negeri. Proses pembuatan kecap di Indonesia,
sebagian besar dilakukan secara tradisional, dengan kata lain
dibuat dengan cara membiarkan kapang pembuat kecap tumbuh secara
spontan. Hal ini mengakibatkan atribut mutu yang dihasilkan pun
menjadi berbeda-beda satu dengan yang lainnya. Atribut mutu kecap
dipengaruhi berbagai faktor antara lain varietas kedelai yang
digunakan, lama fermentasi di dalam larutan garam, serta kemurnian
biakan kapang yang digunakan (Astawan & Astawan 1991).
Berdasarkan jurnal Karakteristik Moromi dan Kecap Manis Serta
Kajian Aktivitas Antioksidannya menyatakan bahwa kecap manis yang
dihasilkan juga mengandung aktivitas antioksidan. Senyawa
antioksidan yang berperan pada kecap manis disebabkan terutama oleh
produk dari reaksi Maillard. Mikroorganisme pembuat kecap merupakan
mikroorganisme yang terdapat secara alami di lingkungan tempat
pembuatan kecap tersebut. Kecap yang dihasilkan biasanya memiliki
pH sekitar 4,9-5,0. Selain itu, kecap juga merupakan jenis makanan
yang kandungan nutrisinya tergolong mudah untuk dicerna dan
diabsorbsi oleh tubuh manusia. Hal tersebut dikarenakan kecap
tersusun dari komponen yang memiliki berat molekul yang rendah.
Selain itu, kecap memiliki kelarutan dengan air hingga 90% dimana
rasio nitrogen amino dan nitrogen total sebesar 45%. Kandungan
protein pada kecap terdiri pada bentuk peptide-peptida sederhana
dan asam-asam amino (Kasmidjo, 1990). Menurut Muangthai et al.
(2007) asam amino yang paling banyak terkandung dalam kecap adalah
asam amino glutamat dimana asama amino inilah yang mengakibatkan
kecap memiliki flavor yang khas.
Dari atribut rasa dan kekentalannya, kecap digolongkan menjadi 2
jenis yakni kecap asin dan kecap manis. Kecap merupakan produk yang
biasa digunakan untuk memperkuat flavor dan memberikan warna pada
daging, ikan, sayuran, dan makanan-makanan lainnya. Pada masyarakat
Indonesia sendiri, kecap biasanya dimanfaat sebagai 2
penyedap rasa jika dibandingkan dengan dikonsumsi begitu saja.
Flavor kecap yang menciptakan rasa sedap ini disebabkan karena
adanya kandungan asam glutamat dalam kondisi bebas di dalam kecap
tersebut (Rahman, 1992).
Kecap dapat dibuat dengan 3 cara yakni dengan menggunakan proses
fermentasi, dengan proses hidrolisis asam, ataupun dari kombinasi
kedua proses tersebut. Kecap yang dibuat dengan fermentasi biasanya
memiliki cita rasa dan aroma yang lebih disukai oleh konsumen.
Prinsip dari pembuatan kecap secara fermentasi adalah penguraian
protein, lemak, dan karbohidrat menjadi asam amino, asam lemak, dan
monosakarida (Purwoko, 2007).
Pembuatan kecap dilakukan melalui 4 tahap, yakni persiapan koji
dengan cara fermentasi dengan kapang, fermentasi dengan menggunakan
larutan garam atau yang biasa disebut dengan brine fermentation
atau juga disebut dengan fermentasi moromi, tahap selanjutnya yang
dilakukan adalah filtrasi/pasteurisasi, dan tahap terakhir yang
dilakukan adalah tahap pematangan. Koji adalah hasil pengukusan
kedelai yang sudah dicampur dengan roasted wheat, lalu diinokulasi
dengan Aspergillus oryzae dan Aspergilus soyae. Koji yang
didapatkan lalu difermentasikan dengan larutan garam dan yeast
sehingga menghasilkan moromi. Setelah melalui tahap brine
fermentation yang menghasilkan moromi ini, kemudian moromi yang
didapatkan dimasak dan dimatangkan hingga beberapa saat. Setelah
kecap yang dimasak matang, kemudian kecap yang telah dihasilkan
difiltrasikan dan dibotolkan (Kasmidjo, 1990).
Pada praktikum pembuatan kecap yang dilakukan dengan menggunakan
kacang kedelai hitam dan kedelai putih sebagai media fermentasinya
dimana merupakan jenis kedelai yang utuh. Sebenarnya kecap dapat
dibuat dari kedelai putih ataupun kedelai hitam dalam bentuk utuh
atau bentuk yang sudah hancur ataupun yang sudah dihilangkan
lemaknya. Kecap yang dibuat dari bahan dasar kacang kedelai utuh
akan mengandung gliserol 1,0-1,2% sedangkan kecap yang dibuat
dengan menggunakan bahan dasar kacang kedelai yang bebas lemak akan
mengandung gliserol sebesar 0,4-0,5%. Apabila kandungan gliserol
yang dikandung oleh kecap lebih dari 0,5% maka rasa dari kecap
tersebut manis. Untuk pembuataan kecap, biasanya kacang kedelai
bebas lemak yang lebih sering digunakan sebagai bahan dasar.
Pemilihan kacang kedelai yang bebas lemak ini dilandasi dengan
alasan yakni karena kacang kedelai yang bebas lemak memiliki
kandungan protein yang lebih tinggi. Sedangkan penggunakan kacang
kedelai yang utuh digunakan karena dengan menggunakan kacang
kedelai yang utuh akan menghasilkan yang lebih stabil. Namun,
penggunaan kacang kedelai utuh juga mempunyai kelemahan yakni waktu
fermentasi dalam larutan akan lebih lama, karena asam lemak yang
terdapat dalam kedelai akan menghambat pertumbuhan yeast pada
proses pembuatan kecap (Kasmidjo, 1990).
Menurut jurnal Varietas Unggul Kedelai untuk Bahan Baku Industri
Pangan disebutkan dari hasil penelitian bahwa kecap manis yang
diolah dari kedelai hitam berbiji besar yaitu Detam 1 dan Detam 2,
menunjukkan kadar protein yang lebih sedikit dibandingkan kecap
manis yang diolah dari kedelai kuning. Akan tetapi, secara
keseluruhan segi sensorisnya relatif sama.
Kecap kedelai merupakan produk fermentasi yang mengandung
komponen flavor organik yang mudah menguap. Komponen flavor organik
yang terkandung dalam kecap ini antara lain alkohol, ester, fenol,
asam dan heterocyclics. Sedangkan komponen yang paling menentukan
flavor dari kecap yang dihasilkan adalah komponen flavor, asam
amino, dan asam organik. Komponen-komponen ini akan dihasilkan
terbentuk selama proses fermentasi berlangsung (Feng et al.,
2013).
Pembuatan kecap dengan kacang kedelai harus melalui 2 tahap
fermentasi yakni fermentasi koji dan fermentasi moromi. Untuk
fermentasi koji, pertama-tama kacang kedelai utuh yang sudah bersih
direndam terlebih dahulu di dalam air selama 1 malam tanpa dikupas
terlebih dahulu. Tujuan dari proses perendaman ini adalah untuk
membuat biji kedelai mengalami hidrasi dengan air sehingga proses
pemasakan kedelai akan menjadi lebih singkat. Proses hidrasi air
ini akan mengakibatkan biji kedelai tersebut menjadi lebih lunak
(Tortora et al., 1995). Selain membuat kacang kedelai menjadi
lunak, proses perendaman ini juga akan mengakibatkan proses
penghilangan kulit dari kacang kedelai menjadi lebih mudah. Proses
perendaman ini harus dilakukan dengan menggunakan volume air yang
berlebih. Dengan adanya proses perendaman yang mengakibatkan
terserapnya air ke dalam biji kedelai maka berat dari biji kedelai
tersebut akan meningkat sebanyak 2 kali lipat (Kasmidjo, 1990).
Setelah proses perendaman biji kedelai yang dilakukan selama 1
malam, hal ini akan mengakibatkan aktivitas air (Aw) dari biji
kedelai akan meningkat karena akan terjadi penyerapan air oleh biji
kedelai iu sendiri. Hal ini akan mengakibatkan biji kedelai ini
mudah ditumbuhi oleh mikroorganisme terutama jenis kapang. Kapang
menjadi mudah tumbuh pada kedelai yang telah direndam selama 1
malam karena kondisi kedelai setelah perendaman akan menjadi agak
lembab karena adanya air yang diserap. Disamping hal itu, kacang
kedelai juga akan mengakumulasikan beberapa enzim seperti
proteinase dan amilase. Enzim proteinase ini berasal dari jamur dan
berfungsi untuk menguraikan protein yang terkandung pada biji
kedelai menjadi asam amino. Sedangkan enzim amilase akan berperan
dalam pemecahan karbohidrat menjadi gula sederhana sehingga proses
fermentasi selanjutnya akan menjadi lebih mudah. Aktivitas dari
enzim tersebut yang akan menjadi tanda bahwa proses fermentasi oleh
kapang sudah dimulai (Atlas, 1984).
Proses selanjutnya yang dilakukan adalah pemisahan biji kedelai
tersebut dari kulitnya dan dicuci. Proses pencucian ini berguna
untuk memisahkan kotoran-kotroan yang masih berada pada biji
kedelai (Astawan & Astawan, 1991). Setelah bersih dari semua
kotoran-kotoran yang ada, kemudian biji kedelai di rebus hingga
empuk dan ditiriskan. Tujuan dari proses perebusan ini berguna
untuk melunakan biji kedelai sekaligus untuk menghilangkan protein
inhibitor, menginaktifkan zat antinutrisi, menghilangkan bau langu
(beany flavor), serta untuk menghilangkan bakteri yang terletak
pada permukaan biji kedelai. Proses perebusan ini juga berfungsi
untuk memecah protein menjadi bagian-bagian yang lebih sederhana
tanpa mengalami kerusakan. Perebusan ini juga berfungsi untuk
mengurangi mikroorganisme-mikroorganisme kontaminan yang terdapat
pada biji kedelai (Tortora et al., 1995). Gambar 1. Proses
Perebusan Kedelai
Setelah proses perebusan, selanjutnya biji kedelai harus
ditiriskan hingga setengah kering dan didiamkan hingga dingin
sebelum diinokulasikan dengan kapang yang digunakan untuk membuat
kecap. Penirisan kacang kedelai dengan harus dilakukan untuk
mengurangi kadar air yang terlalu tinggi yang juga mengakibatkan Aw
biji kedelai tersebut juga berkurang. Hal ini akan mengakibatkan
kontaminasi biji kapang oleh bakteri-bakteri pembusuk seperti
Bacillus subtilis yang biasanya ditandai dengan tumbuhnya lendir
pada permukaan biji kedelai.
Proses pendinginan juga harus dilakukan untuk menurunkan suhu
dari biji kedelai tersebut sehingga kapang yang akan diinokulasikan
pada biji kedelai tersebut akan menjadi lebih mudah untuk tumbuh
karena suhu yang paling sesuai untuk pertumbuhan kapang ini adalah
35-40oC. Kapang ini juga akan mudah untuk tumbuh di biji kedelai
yang strukturnya sudah lunak sehingga mudah untuk menggunakan
protein untuk pertumbuhannya (Rahayu et al., 1993). Gambar 2.
Proses Pengeringan Biji Kedelai
Kedelai diletakan pada diatas tampah yang telah disemprot
terlebih dahulu dengan alkohol steril dan kemudian biji kedelai
tersebut ditaburi dan diaduk dengan inokulum komersial hingga rata.
Proses fermentasi ini dilakukan dengan menggunakan kapang jenis
Rhizopus sp. Setelah diinokulasikan dengan kapang, selanjutnya
kedelai tersebut disimpan dengan kondisi tertutup selama 3 hari
pada temperatur ruang. Hal yang dilakukan pada praktikum ini sudah
sesuai dengan teori yang dinyatakan oleh Astawan & Astawan
(1991) bahwa fermentasi koji pada proses pembuatan kecap ini
dilakukan selama 1 hingga 3 hari. Jika fermentasi koji ini
dilakukan terlalu cepat, maka enzim-enzim yang dikeluarkan oleh
kapang hanya menghasilkan komponen tertentu saja dengan jumlah yang
tidak seharusnya dimana komponen tersebut berperan penting pada
proses fermentasi yang dilakukan. Jika fermentasi koji dilakukan
dengan waktu yang terlalu lama juga maka enzim yang dihasilkan akan
terlalu banyak sehingga atribut rasa pada kecap yang dihasilkan
akan menjadi kurang baik.Gambar 3. Pencampuran Kedelai dengan
Kapang
Kapang yang sangat berperan dalam proses fermentasi kecap antara
lain adalah Aspergillus oryzae, Aspergillus soyae, Aspergillus
niger dan Rhizopus sp. Disamping kapang, beberapa mikroorganisme
lain yang penting dalam proses pembuatan kecap adalah bakteri asam
laktat seperti Lactobacillus delbruckii dan ragi seperti
Zigosaccharomyces sp. dan Hansenula sp (Astawan & Astawan,
1991). Pada praktikum pembuatan kecap ini jumlah inokulum yang
ditambahkan ke kacang kedelai berbeda-beda. Pada kelompok B1
diberikan 0.5% inoculum; kelompok B2 dan B3 diberikan 0.75%
inoculum; kelompok B4 dan B5 diberikan 1% inoculum. Jumlah inokulum
yang ditambahkan ini akan mempengaruhi kecepatan degradasi
karbohidrat dan protein yang terkandung pada biji kedelai oleh
kapang yang tumbuh.
Pada tahap fermentasi koji ini terjadi perubahan-perubahan pada
kedelai seperti terurainya karbohidrat dan protein pada kedelai
oleh enzim yang dihasilkan oleh mikroorganisme kecap. Enzim-enzim
yang menguraikan karbohidrat dan protein pada tahap ini adalah
enzim protease, peptidase, dan amilase yang dikeluarkan oleh kapang
yang telah diinokulasikan. Semakin banyaknya kapang yang
diinokulasikan pada biji kedelai maka proses penguraian ini akan
berjalan semakin cepat, namun jika ditambahkan melewati batas yang
seharusnya maka flavor kecap yang dihasilkan tidak akan seperti
yang diinginkan. Proses penjamuran ini selesai ditandai dengan
munculnya jamur berwarna putih merata atau berwarna kehijau-hijauan
diseluruh permukaan biji kedelai (Rahayu et al., 1993).
Pada saat proses fermentasi, kondisi lingkungan dari media
fermentasi juga harus diatur sehingga proses fermentasi berjalan
dengan baik. Faktor-faktor yang diatur antara lain adalah suhu,
aerasi, dan kadar air. Dengan adanya pengaturan lingkungan ini,
hal-hal yang tidak diinginkan seperti misalnya tumbuhnya
mikroorganisme kontaminan yang mengakibatkan gagalnya proses
fermentasi kecap. Pada praktikum pembuatan kecap ini 2 kelompok
dengan bahan baku kedelai putih mengalami kontaminasi pada saat
fermentasi sehingga proses pembuatan kecapnya pun menjadi gagal.
Bagi kedelai yang hanya sedikit mengalami kontaminasi, maka bagian
yang terkontaminasi harus dipisahkan dari kedelai yang masih baik
sehingga proses fermentasi yang dilakukan dapat dilanjutkan
kembali.Gambar 4. Hasil Tahapan Koji
Setelah proses fermentasi koji selesai, maka proses pembuatan
kecap ini dilanjutkan ke tahapan selanjutnya yakni fermentasi
moromi. Tahapan-tahapan dari fermentasi moromi adalah sebagai
berikut. Pertama-tama koji yang telah dihasilkan dipotong-potong
dan dikeringkan selama 2 hingga 4 jam. Proses pemotongan dan
pengeringan ini dilakukan dengan tujuan untuk memudahkan
penghilangan kapang yang melekat pada permukaan (Tortora et al.,
1995). Kapang yang ada pada kedelai dihilangkan karena kapang
tersebut sudah tidak diperlukan kembali pada tahapan pembuatan
kecap selanjutnya. Proses pengeringan yang dilakukan tersebut juga
diperuntukan agar kadar air yang terkandung di dalam kedelai
berkurang sehingga kapang-kapang yang masih tumbuh akan terhambat
pertumbuhannya karena salah satu syarat untuk pertumbuhan kapang
adalah ketersediaan air yang cukup (Peppler & Perlman,
1979).
Hal yang selanjutnya dilakukan adalah proses perendaman kedelai
tersebut dengan larutan garam 20% selama 1 minggu. Larutan garam
yang ditambahkan memiliki konsentrasi 20% karena pada proses
pembuatan kecap, larutan garam ideal yang harus ditambahkan adalah
larutan garam dengan konsentrasi 15-20%. Hal ini dikarenakan
apabila konsentrasi larutan garam yang ditambahkan lebih rendah
dari 15% maka hal ini dapat mengakibatkan tumbuhnya mikroorganisme
yang tidak diinginkan pada proses ini. Larutan garam ini berfungsi
sebagai pengawet dan juga digunakan sebagai agen pembatas yang
menyeleksi mikroorganisme yang tumbuh. Tanpa adanya penambahan
larutan garam ini maka akan terjadi proses fermentasi secara
anaerob yang tidak dikehendaki. Proses perendaman ini juga berguna
untuk menjalankan proses ekstraksi senyawa-senyawa sederhana hasil
hidrolisis pada tahap fermentasi koji. Bakteri halofilik akan
tumbuh pada proses fermentasi moromi ini yang dimana bakteri
halofilik ini akan menghasilkan flavor khas kecap. Selain itu,
proses perendaman dengan larutan garam ini akan mengakibatkan rasa
asin pada kecap yang dihasilkan (Astawan & Astawan, 1991).
Menurut teori Astawan & Astawan (1991) seharusnya proses
fermentasi moromi ini dilakukan selama 2 hingga 4 minggu, namun
pada praktikum ini dilakukan fermentasi moromi hanya selama 1
minggu. Selama proses fermentasi dalam larutan garam ini warna dari
larutan kecap ini akan berubah menjadi kecoklatan. Hal ini
dikarenakan selama proses fermentasi moromi ini akan terjadi reaksi
browning antara senyawa gula pereduksi dengan gugus amino dari
protein. Pada proses fermentasi moromi ini juga dilakukan proses
pengadukan dan penjemuran pada siang hari setiap harinya selama
kurang lebih 1 jam. Proses pengadukan ini berguna untuk proses
aerasi pada larutan garam, memberikan udara untuk pertumbuhan
bakteri dan khamir yang diharapkan, serta untuk menghomogenkan
larutan garam sehingga permukaan kedelai yang difermentasi dengan
akan terkena larutan garam seluruhnya (Tortora et al., 1995).
Berdasarkan jurnal Analisis Karbohidrat, Protein, dan Lemak pada
Pembuatan Kecap Lamtoro Gung (Leucaena leucocephala) terfermentasi
Aspergillus oryzae menyebutkan bahwa proses pembuatan kecap melalui
2 tahap yaitu tahap koji dan moromi akan mempengaruhi kadar nutrisi
dalam kedelai itu sendiri. Disebutkan dari hasil penelitian, Kadar
gula reduksi koji dan moromi adalah 119,08 mg/g dan 164,29 mg/g.
Kadar pati pada koji dan moromi adalah 260,92 mg/g dan 179,50 mg/g.
Kadar protein pada koji dan moromi adalah 86,1 mg/g dan 208,56
mg/g. Kadar lemak pada koji dan moromi adalah 51,35 mg/g dan 80,86
mg/g. Kadar gula, protein, dan lemak akan mengalami peningkatan
saat proses moromi, akan tetapi untuk kadar gula akan menurun
setelah melewati proses moromi.
Berdasarkan jurnal Kandungan Protein Kecap Manis Tanpa
Fermentasi Moromi Hasil Fermentasi Rhizopus oryzae dan R.
oligosporus menyatakan bahwa dari penelitian tentang pembuatan
kecap manis tanpa adanya fermentasi moromi, menghasilkan kecap
manis dengan kandungan protein total yang lebih tinggi dibandingkan
kecap manis yang prosesnya terdapat fermentasi moromi. Sedangkan
dari segi starter yang digunakan, kecap manis dengan starter R.
oligosporus mengandung kadar protein total lebih tinggi daripada
kecap manis hasil fermentasi R. oryzae.
Setelah 1 minggu fermentasi moromi, kemudian kedelai tersebut
dipres dan disaring sehingga didapatkan filtrat. Hal ini sudah
sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Santoso (1994) yakni
setelah dilakukannnya fermentasi deng an larutan garam kemudian
dilakukan proses penyaringan. Filtrat dari hasil penyaringan inilah
yang nantinya akan menjadi kecap. Setelah melalui proses
penyaringan ini, kemudian filtrat tersebut dimasak dengan
menggunakan bumbu-bumbu yang ditentukan oleh masing-masing
kelompok. Untuk resep dari bumbu-bumbu yang digunakan untuk
pemasakan kecap ini adalah sebagai berikut. Secara keseluruhan,
bahan semua kelompok adalah gula jawa 1 kg, kayu manis 20 gram,
ketumbar 3 gram, laos 1 jentik, dan bunga pekak 1 biji. Pada
kelompok B1 dan B2 ditambahkan bumbu cengkeh 100 gram. Pada
kelompok B3 dan B4 ditambahkan bumbu daun sereh 1 batang, sedangkan
pada kelompok B5 ditambahkan bumbu pala parut 1 buah.Gambar 5.
Proses Penyaringan
Pada praktikum ini ada 3 kelompok yang kecapnya berhasil dibuat
yakni kelompok B1, B3, dan B5, sedangkan untuk kelompok B2 dan B4
tidak dapat dihasilkan kecap karena terjadi kontaminasi pada saat
proses pembuatannya. Kontaminasi ini dapat disebabkan oleh bakteri
Bacillaceae dimana bakteri ini biasa mengontaminasi kecap pada saat
tahapan proses fermentasi koji ataupun proses fermentasi moromi.
Sifat morfologi dari bakteri Bacillaceae ini antara lain bersifat
tahan terhadap konsenrtrasi garam yang tinggi sehingga pada saat
tahap fermentasi moromi pun masih dapat terkontaminasi dengan
bakteri yang satu ini. Biasanya kontaminasi ini terjadi karena
proses pembuatan kecap yang dilakukan kurang higienis (Sumague et
al., 2008).
Dari kecap yang dihasilkan, kelompok B1 menghasilkan kecap
dengan aroma kurang kuat, kelompok B3 menghasilkan aroma sangat
kuat, dan kelompok B5 menghasilkan aroma yang kuat. Aroma kecap ini
dihasilkan dari jenis bumbu yang digunakan pada tahap pemasakan
kecap. Selain hal itu, aroma kecap ini juga dipengaruhi oleh
komponen volatil yang dihasilkan selama proses pembuatan kecap
(Santoso, 1994). Komponen-komponen volatil ini dihasilkan pada
tahap fermentasi koji dan fermentasi moromi dimana akan dihasilkan
komponen seperti 15 alkohol alfatik dan aromatik, 14 aldehid
alfatik, 14 ester, 9 keton alifatik dan lakton, 12 turunan benzen,
9 asam lemak, 5 senyawa furan, 18 terpenoid, 3 pirazin, 1 tiazol, 1
piridin, dan 2 komponen bersulfur. Selain hal itu, aroma yang
dihasilkan ini juga dipengaruhi oleh jumlah inokulum yang
ditambahkan sebelumnya dimana semakin banyaknya jumlah inokulum
yang ditambahkan akan menghasilkan aroma yang semakin kuat karena
senyawa volatil yang dihasilkan akan semakin banyak pula.
Dari hasil pengamatan yang didapatkan diperoleh aroma yang
sangat kuat pada kelompok B3 dengan penambahan inoculum 0.75%,
diikuti dengan kelompok B5 dengan penambahan inoculum 1%, dan
kelompok B1 dengan penambahan inoculum 0.5%. Dapat dilihat bahwa
seharusnya menurut teori, aroma yang paling kuat dihasilkan oleh
inoculum 1%, akan tetapi pada praktikum dihasilkan aroma yang
paling kuat pada penambahan inoculum 0.75%. Hal ini terjadi
dikarenakan aroma yang dihasilkan ini juga dipengaruhi oleh
bumbu-bumbu yang digunakan dimana bumbu-bumbu tersebut dapat
menutupi aroma dari komponen volatil yang dihasilkan. Kurangnya
aroma ini juga dapat dikarenakan karena adanya waktu fermentasi
yang kurang (Apriyantono & Gono, 2004).
Berdasarkan hasil pengamatan, kecap yang dihasilkan kelompok B1
memiliki rasa yang sangat kuat, kelompok B3 dengan rasa yang kurang
kuat, dan kelompok B5 dengan rasa yang kuat. Dari atribut rasa yang
dihasilkan, ketiga kecap yang dihasilkan memiliki rasa yang
berbeda-beda. Hal ini dikarenakan pembentukan rasa kecap
berhubungan dengan keberadaan bakteri asam laktat yang tumbuh pada
proses fermentasi. Pada proses fermentasi moromi, pH kecap aka
menurun karena munculnya asam laktat dari metabolisme bakteri asam
laktat. Penurunan pH ini akan merangsang pertumbuhan ragi yang
bertugas sebagi agen pembentukan rasa kecap. Rasa kurang manis yang
dihasilkan dari ketiga kecap yang dihasilkan ini dikarenakan adanya
penambahan garam (proses fermentasi moromi) yang mengakibatkan rasa
manis yang ada akan tertutupi oleh rasa asin dari larutan garam
tersebut (Rahayu et al., 2005).
Berdasarkan hasil pengamatan kekentalan, kelompok B1
menghasilkan kecap yang sangat kental, kelompok B3 menghasilkan
kecap yang kurang kental, dan kelompok B5 mengahsilkan kecap yang
kental. Dari atribut kekentalannya, kecap yang paling kental
dihasilkan oleh B1, diikuti kelompok B5 dan terakhir B3. Perbedaan
ini dapat dihasilkan karena bedanya bumbu yang digunakan pada saat
pemasakan kecap dimasing-masing kelompok. Bumbu yang paling
mempengaruhi kekentalan dari kecap yang dihasilkan adalah gula
merah (Kasmidjo, 1990). Namun, disamping bumbu yang digunakan,
proses pemasakan juga mempengaruhi kekentalan dari kecap yang
dihasilkan (Rahayu et al., 2005). Karena pada praktikum ini proses
pemasakan dihentikan ketika kecap sudah mulai kental, maka atribut
kekentalan ini menjadi sukar untuk dianalisa, karena lama atau
tidaknya proses pemasakan ditentukan sendiri oleh praktikan
sehingga korelasi antara penambahan inokulum, penambahan bumbu,
serta variabel-variabel lainnya terhadap atribut sensori kekentalan
kecap yang dihasilkan menjadi sulit untuk didapatkan.
Pada table hasil pengamatan, dapat diihat dari segi warna, kecap
yang dihasilkan kelompok B1 memiliki warna yang kurang hitam,
kelompok B3 dengan warna hitam, dan kelompok B5 dengan warna yang
sangat hitam. Menurut teori dari Peppler & Perlman (1979),
kecap yang dihasilkan biasanya memiliki warna coklat kehitaman.
Warna kecap yang dihasilkan ini juga dipengaruhi oleh bumbu-bumbu
yang digunakan seperti banyaknya penambahan gula dan keluwak.
Selain dipengaruhi oleh bumbu yang digunakan, warna kecap ini juga
dipengaruhi oleh reaksi antar asam-asam amino dengan gula reduksi
(Kasmidjo, 1990).
Atribut sensori dari kecap seperti rasa, warna, kekentalan, dan
aroma ini juga dipengaruhi oleh jenis dan kondisi kedelai yang
digunakan sebagai media fermentasi pembuatan kecap (Muangthai et
al., 2009). Selain itu, rasa asin yang muncul pada kecap ini juga
ditimbulkan dari aspartic acid dan glutamic acid. Adanya asam amino
bebas pada kecap akan menghasilkan warna pahit pada kecap yang akan
lebih dominan dari rasa-rasa lainnnya seperti rasa asin, rasa
umami, dan rasa manis (Yanfang & Tao, 2009).
Gambar 6. Hasil Kecap Manis
Berdasarkan jurnal Kedelai Hitam Sebagai Bahan Baku Kecap
Tinjauan Varietas dan Lama Fermentasi Terhadap Mutu Kecap
menyatakan bahwa lama proses fermentasi dari kedelai ini
mempengaruhi rasa kecap yang dihasilkan. Pada penelitian dilakukan
3 macam variasi lama fermentasi yaitu 2 minggu, 3 minggu, dan 4
minggu. Dari proses fermentasi ini dihasilkan nilai tertinggi atau
dapat dikatakan paling disukai terhadap sifat warna, aroma, dan
juga rasa dari kecap manis yang dihasilkan.
3
3. KESIMPULAN Kecap merupakan produk fermentasi yang merupakan
makanan tradisional dengan bahan dasar kedelai hitam atau
kacang-kacangan lainnya. Proses fermentasi pembuatan kecap meliputi
2 tahap yakni fermentasi koji dan fermentasi moromi. Proses
perendaman berfungsi agar terjadinya proses hidrasi air pada biji
kedelai. Proses pencucian bertujuan untuk memisahkan
kotoran-kotoran pada biji kedelai. Proses perebusan biji kedelai
bertujuan untuk membuat biji kedelai menjadi lebih lunak, merusak
protein inhibitor yang terkandung di biji kedelai, menginaktifkan
zat antinutrisi, menghilangkan bau langu, serta menghilangkan
bakteri kontaminan yang ada di permukaan kedelai. Proses
pendinginan berfungsi untuk menurunkan suhu biji kedelai agar
proses fermentasi kapang berjalan dengan lebih optimum. Proses
penirisan berfungsi untuk menurunkan kadar air pada kedelai. Biji
kedelai yang mempunyai kadar air yang terlalu tinggi saat proses
pendinginan akan mengakibatkan kontaminasi oleh bakteri pembusuk
seperti Bacillus subtilis. Jumlah inokulum akan memiliki pengaruh
terhadap kecepatan degradasi karbohidrat dan protein pada biji
kedelai oleh kapang. Proses pengadukan dan pengeringan berfungsi
untuk memudahkan penghilangan kapang yang berada di permukaan
substrat. Pada saat proses perendaman, bakteri halofilik akan
tumbuh yang mengakibatkan terbentuknya flavor kecap yang khas.
Penambahan bumbu yang ditambahkan pada proses pemasakan kecap
mempengaruhi atribut sensori kecap yang dihasilkan. Aroma kecap
muncul karena dihasilkannya komponen volatil selama proses
fermentasi koji dan fermentasi moromi. Rasa manis kecap dipengaruhi
oleh penambahan gula jawa yang merupakan bumbu yang diberikan pada
proses pemasakan kecap. Semakin banyaknya gula jawa yang
ditambahkan maka atribut kekentalan dari kecap yang dihasilkan akan
meningkat.
14
Warna kecap yang dihasilkan terbentuk karena adanya reaksi antar
asam-asam amino dengan gula reduksi yang terkandung dalam
kecap.
Semarang, 22 Juni 2015Praktikan,Asisten Dosen, Abigail Sharon
Effendy Frisca Melia
Tjong, Theresia Sherly Santoso(12.70.0184)
15
4. DAFTAR PUSTAKAApriyantono, A dan Gono D. Y. (2004). Perubahan
Komponen Volatil Selama Fermentasi Kecap. Jurnal Teknologi dan
Industri Pangan. VOl XV, No 2.Astawan, M. dan M. W. Astawan.
(1991). Teknologi Pengolahan Pangan Nabati Tepat Guna. Edisi
Pertama. Akademika Pressindo. Bogor.Atlas, R. M. (1984).
Microbiology Fundamental and Application. Collier Mcmillan Inc. New
York.Feng, J.; Xiao-Bei Zhan; Zhi-Yong Zheng; Dong Wang; Li-Min
Zhang; and Chi-Chung Lin. (2013). New Model for Flavour Quality
Evaluation of Soy Sauce. Czech J. Food Sci. Vol. 31, No. 3:
292305.Kasmidjo, R. B. (1990). Tempe: Mikrobiologi Dan Biokimia
Pengolahan Serta Pemanfaatannya. P. A. U. UGM.
Yogyakarta.Muangthai, P.; P. Upajak; and W. Patumpai. (2007). Study
of Protease Enzyme and Amino Acid Contents in Soy sauce Production
from Peagion Pea and Soy bean. KMITL Sci. Tech. J. Vol. 7 No.
S2Muangthai, P.; P. Upajak; P. Suwunna; and W. Patumpai.(2009).
Development of Healthy Soy sauce from Pigeon Pea and Soybean. As.
J. Food Ag-Ind.2(03), 291-301.Peppler, H.J. and Perlman, D. (1979).
Microbial Technology. Fermentation Technology. Academic Press. San
Fransisco.
Purwoko, T dan Noor S. H. (2007). Kandungan Protein Kecap Manis
Tanpa Fermentasi Moromi Hasil Fermentasi Rhizopus oryzae dan R.
oligosporus. Biodiversitas Volume 8 No 2.Rahayu, A., Suranto, dan
T. Purwoko.(2005). Analisis Karbohidrat, Protein, dan Lemak pada
Pembuatan Kecap Lamtoro gung (Leucaenaleucocephala) terfermentasi
Aspergillusoryzae. Bioteknologi 2 (1): 14-20.Rahayu, E.; R.
Indrati; T.utami; E. Harmayani & M.N. Cahyanto. (1993). Bahan
Pangan Hasil Fermentasi Food & Nutition. Collection. PAU Pangan
& Gizi. Yogyakarta.Rahman, A. (1992). Teknologi Fermentasi.
Penerbit Arcan. Jakarta.Santoso, H.B. (1994). Kecap dan Taoco
Kedelai. Kanisius. Yogyakarta.
16
Sumague, M. J. V; Reynaldo C. M.; Erlinda I. D; Ernesto V.C.;
and Ninfa P. R. (2008). Predisposing Factors Contributing to
Spoilage of Soy Sauce by Bacillus circulans. Philippine Journal of
Science 137(3) : 105-114.Tortora, G.J., R. Funke & C.L. Case.
(1995). Microbiology. The Benjamin / Cummings Publishing Company,
Inc. USA.Yanfang, Z and Tao W. (2009). Flavor and Taste Compounds
Analysis in Chinese Solid Fermented Soy Sauce. African Journal of
Biotechnology Vol. 8 (4), pp. 673-681.
17
5. LAMPIRAN5.1. Laporan Sementara
5.2. Jurnal
5.3. Viper18