LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOLOGIBLOK DIGESTIVEOBAT SALURAN
PENCERNAAN
Asisten :Farissa UtamiG1A012121
Kelompok D21. Putra Achsanal HudaG1A0121392. Putri Rahmawati
UtamiG1A0130523. Hilmi Puguh PanuntunG1A0130554. Muhammad Mahdi
AG1A0130565. Mada Dwi HariG1A0130576. M.Mukti MuryadiG1A0130727.
Dilla Alfinda RG1A0131128. Anggi Samudera RG1A0131139. Yuni Prima
WardaniG1A01311410. Chandrawati Prima DG1A013115
BLOK DIGESTIVEJURUSAN KEDOKTERANFAKULTAS KEDOKTERANUNIVERSITAS
JENDERAL SOEDIRMANPURWOKERTO2015LEMBAR PENGESAHAN
Oleh :Kelompok D21. Putra Achsanal HudaG1A0121392. Putri
Rahmawati UtamiG1A0130523. Hilmi Puguh PanuntunG1A0130554. Muhammad
Mahdi AG1A0130565. Mada Dwi HariG1A0130576. M.Mukti
MuryadiG1A0130727. Dilla Alfinda RG1A0131128. Anggi Samudera
RG1A0131139. Yuni Prima WardaniG1A01311410. Chandrawati Prima
DG1A013115
disusun untuk memenuhi persyaratanmengikuti ujian praktikum
Farmakologi Blok DigestiveJurusan KedokteranFakultas
KedokteranUniversitas Jenderal SoedirmanPurwokerto
diterima dan disahkanPurwokerto, Juni 2015Asisten,
Farissa UtamiNIM.G1A012121I. PENDAHULUAN
A. Judul PercobaanObat Saluran PencernaanB. Hari dan Tanggal
PercobaanRabu, 3 Juni 2015C. Tujuan Percobaan1. UmumSetelah
menyelesaikan praktikum farmakologi dan terapeutik kami dapat
menerapkan prinsip-prinsip farmakologi berbagai macam obat dan
memiliki keterampilan dalam memberi dan mengaplikasikan obat secara
rasionl untuk kepentingan klinik.2. Khususa. Untuk dapat
menjelaskan efek obat laksatif dan anti diare pada binatang
percobaan (tikus putih).b. Dapat menjelaskan jenis-jenis obat yang
sering digunakan pada kelainan gastrointestinal.c. Dapat
menjelaskan bahan-bahan alami yang dapat bersifat laksatif ataupun
anti diare.d. Dapat memilih jenis obat yang paling tepat dalam
praktek klinikD. Dasar Teori1. Fisiologi Sekresi Asam LambungSetiap
hari lambung mengeluarkan sekitar 2 liter getah lambung. Sel-sel
yang bertanggung jawab untuk fungsi sekresi, terletak di lapisan
mukosa lambung. Secara umum, mukosa lambung dapat dibagi menjadi
dua bagian terpisah : (1) mukosa oksintik yaitu yang melapisi
fundus dan badan (body), (2) daerah kelenjar pilorik yang melapisi
bagian antrum. Sel-sel kelenjar mukosa terdapat di kantong lambung
(gastric pits), yaitu suatu invaginasi atau kantung pada permukaan
luminal lambung. Variasi sel sekretori yang melapisi invaginasi ini
beberapa diantaranya adalah eksokrin, endokrin, dan parakrin
(Sherwood, 2010). Ada tiga jenis sel tipe eksokrin yang ditemukan
di dinding kantung dan kelenjar oksintik mukosa lambung, yaitu :a.
Sel mukus yang melapisi kantung lambung, yang menyekresikan mukus
yang encer. b. Bagian yang paling dalam dilapisi oleh sel utama
(chief cell) dan sel parietal. Sel utama menyekresikan prekursor
enzim pepsinogen. c. Sel parietal (oksintik) mengeluarkan HCl dan
faktor intrinsik. Oksintik artinya tajam, yang mengacu kepada
kemampuan sel ini untuk menghasilkan keadaan yang sangat asam.
Semua sekresi eksokrin ini dikeluarkan ke lumen lambung dan mereka
berperan dalam membentuk getah lambung (gastric juice ) (Sherwood,
2010). Sel mukus cepat membelah dan berfungsi sebagai sel induk
bagi semua sel baru di mukosa lambung.Sel-sel anak yang dihasilkan
dari pembelahan sel akan bermigrasi ke luar kantung untuk menjadi
sel epitel permukaan atau berdiferensiasi ke bawah untuk menjadi
sel utama atau sel parietal. Melalui aktivitas ini, seluruh mukosa
lambung diganti setiap tiga hari (Sherwood, 2010).Kantung-kantung
lambung pada daerah kelenjar pilorik terutama mengeluarkan mukus
dan sejumlah kecil pepsinogen, yang berbeda dengan mukosa oksintik.
Sel-sel di daerah kelenjar pilorik ini jenis selnya adalah sel
parakrin atau endokrin. Sel-sel tersebut adalah sel enterokromafin
yang menghasilkan histamin, sel G yang menghasilkan gastrin, sel D
menghasilkan somatostatin. Histamin yang dikeluarkan berperan
sebagai stimulus untuk sekresi asetilkolin, dan gastrin. Sel G yang
dihasilkan berperan sebagai stimuli sekresi produk protein, dan
sekresi asetilkolin. Sel D berperan sebagai stimuli asam (Sherwood,
2010).2. Mekanisme Sekresi Asam LambungSel-sel parietal secara
aktif mengeluarkan HCl ke dalam lumen kantung lambung, yang
kemudian mengalirkannya ke dalam lumen lambung. pH isi lumen turun
sampai serendah 2 akibat sekresi HCl. Ion hidorgen (H+) dan ion
klorida (Cl) secara aktif ditransportasikan oleh pompa yang berbeda
di membran plasma sel parietal. Ion hidrogen secara aktif
dipindahkan melawan gradien konsentrasi yang sangat besar, dengan
konsentrasi H+ di dalam lumen mencapai tiga sampai empat juta kali
lebih besar dari pada konsentrasinya dalam darah. Karena untuk
memindahkan H+ melawan gradien yang sedemikian besar diperlukan
banyak energi, sel-sel parietal memiliki banyak mitokondria, yaitu
organel penghasil energi. Klorida juga disekresikan secara aktif,
tetapi melawan gradien konsentrasi yang jauh lebih kecil, yakni
hanya sekitar satu setengah kali (Sherwood, 2010).Ion H+ yang
disekresikan tidak dipindahkan dari plasma tetapi berasal dari
proses-proses metabolisme di dalam sel parietal. Secara spesifik,
ion H+ disekresikan sebagai hasil pemecahan dari molekul H2O
menjadi H+ dan OH-. Di sel parietal H+ disekresikan ke lumen oleh
pompa H+-K+-ATPase yang berada di membran luminal sel parietal.
Transpot aktif primer ini juga memompa K+ masuk ke dalam sel dari
lumen. Ion K+ yang telah ditranspotkan, secara pasif balik ke
lumen, melalui kanal K+, sehingga jumlah K+ tidak berubah setelah
sekresi H+. Sel-sel parietal memiliki banyak enzim karbonat
anhidrase (ca). Dengan adanya karbonat anhidrase, H2O mudah
berikatan dengan CO2, yang diproduksi oleh sel parietal melalui
proses metabolisme atau berdifusi masuk dari darah. Kombinasi
antara H2O dan CO2 menghasilkan H2CO3 yang secara parsial terurai
menjadi H+ dan HCO3- (Sherwood, 2010).HCO3- dipindahkan ke plasma
oleh antipoter Cl- __ HCO3- pada membran basolateral dari sel
parietal. Kemudian mengangkat Cl- dari plasma ke lumen lambung.
Pertukaran Cl- dan HCO3- mempertahankan netralitas listrik plasma
selama sekresi HCl ( gambar 2.4 ) (Sherwood, 2010). Proses tersebut
dapat dituliskan sebagai berikut : CO2+H2O H2CO3 H+ +HCO3 Adapun
fungsi dari HCl adalah sebagai berikut (Sherwood, 2010) : a.
Mengaktifkan prekursor enzim pepsinogen menjadi enzim aktif pepsin,
dan membentuk lingkungan asam yang optimal untuk aktivitas pepsin.
b. Membantu penguraian serat otot dan jaringan ikat, sehingga
partikel makanan berukuran besar dapat dipecah-pecah menjadi
partikel-partikel kecil. c. Bersama dengan lisozim air liur,
mematikan sebagian besar mikroorganisme yang masuk bersama makanan,
walaupun sebagian dapat lolos serta terus tumbuh dan berkembang
biak di usus besar. 3. Gangguan asam lambungDalam lambung makanan
disimpan dan dicampur dengan asam, mukus dan pepsin. Di lambung
terdapat sel-sel khusus yang mensekresi zat-zat tertentu. Sel
parietal yang banyak terdapat di fundus lambung mensekresikan asam
hidroklorida dan faktor intrinsik. Sel chief mensekresikan
pepsinogen. Sedangkan mukus disekresikan bersama HCO3- oleh sel
mukus di permukaan epitel (Guyton, 2008). Umumnya cairan lambung
disekresi sekitar 2500 ml setiap harinya. Asam klorida yang
disekresi berperan membunuh bakteri yang masuk dan mengondisikan pH
yang diperlukan pepsin untuk mencerna protein. Asam ini bersifat
kuat danpekat yang dapat menyebabkan kerusakan jaringan. Akan
tetapi, pada orang normal mukosa lambung tidak teriritasi karena
cairan lambung juga mengandung mukus. Mukus terdiri dari
glikoprotein yang membentuk gel fleksibel yang melapisi mukosa
(Guyton, 2008).Mekanisme dasar sekresi asam hidroklorida dilakukan
oleh sel parietal. Sel parietal mempunyai struktur kanalikulus
intrasel. Pada struktur inilah asam hidroklorida dibentuk. Pada
kanalikulus terdapat molekul H+-K+-ATPase yang memompa H+ melawan
gradien konsentrasi. Pada keadaan sel parietal istirahat kadar K+
dalam vesikel turun dan molekul ATPase inaktif. Namun, apabila sel
parietal diaktifkan ion K+ akan menempel dengan molekulH+-K+-ATPase
yang aktif dan terjadi pertukaran H+ dan K+. Ion H+ yang
dikeluarkan berasal dari H2CO3 yang terbentuk dari hidrasi CO2
(Ganong, 2010). Ion HCO3- yang terbentuk melalui disosiasi H2CO3
akan dikeluarkan oleh suatu antiport dengan cara menukarnya untuk
anion lain. Anion tersebut terutama adala Cl- yang banyak terdapat
di interstisium. Ion Cl- juga dikeluarkan seiring penurunan gradien
elektronnya melalui kanal yang diaktifkan oleh AMP. Pengeluaran
asam dirangsang oleh histamin melalui reseptor H2, oleh asetilkolin
melalui reseptor muskarinik, dan oleh gastrin melalui reseptor
gastrin di membran sel parietal. Beberapa zat seperti prostaglandin
golongan E dapat menghambat sekresi asam (Ganong, 2010).
Gambar 1. Sekresi asam lambung (Ganong, 2010)
Gangguan pencernaan yang biasa diakibatkan oleh hipersekresi
getah lambung adalah ulkus peptikum. Ulkus peptikum meruakan daerah
ekskoriasi mukosa yang disebabkan kerja pencernaan getah lambung.
Biasanya hipersekresi getah lambung juga dihubngkan dengan derajat
perlindungan yang diberikan mukus lambung. Oleh karena itu,
obat-obat yang digunakan ditujukan untuk untuk menghambat sekresi
asam dan meningkatkan resistensi mukosa terhadap asam (Ganong,
2010). Obat-obatan yang dapat digunakan contohnya antasida, yang
sebagian besar mengandung alumunium hidroksida, magnesium
hidroksida, atau kalsium karbonat. Penghambat reseptor histamin H2
di lambung seperti simetidin, ranitidin, nizatidin, dan famotidin
secara efektif mengurangi respons asam. Reseptor muskarinik dapat
dihambat dengan atropin atau obat anti kolinergik spesifik.
Omeprazol dapat menghambat pompa H+-K+-ATPase lambung. Garam
alumunium basa sukrosa oktasulfat seperti sukralfat dapat
menigkatkan resistensi mukosa terhadap asam dengan membentuk
protein lekt dan komples lain di tempat ulkus (Ganong, 2010).4.
LaksatifLaksatif merupakan agen yang biasa digunakan untuk
mengatasi konstipasi atau yang biasa disebut obat pencahar.
Konstipasi sendiri merupakan keadaan dimana terdapat kesulitan
dalam defekasi karena tinja yang mengeras, otot polos usus yang
lumpuh misalnya pada megakolon kongenital, gangguan refleks
defekasi (konstipasi habitual), dan kesulitan defekasi karena
adanya obstruksi intra atau ekstra lumen usus (obstipasi). Pasien
konstipasi biasanya mengeluhkan berkurangnya frekuensi buang air
besar selama seminggu, feses keras mengejan, rasa penuh bagian
abdomen bawah dan rasa evakuasi tak lengkap (Gunawan, 2007;Longo ,
2012).Laksatif merupakan agen yang dapat mengeluarkan feses yang
sudah terbentuk di rektum. Katartik merupakan agen yang dapat
mengeluarkan feses yang belum terbentuk, biasanya menyebabkan tinja
lunak sampai berair dengan sedikit kram (rasa nyeri). Kedua agen
itu merupakan obat pencahar yang dapat mempermudah pengeluaran
feses, namun yang paling sering digunakan biasanya adalah laksatif.
Katartik dapat berfungsi sebagai laksatif pada dosis rendah
(Brunton, 2006).Mekanisme kerja pencahar yang sesungguhnya masih
belum bisa dijelaskan, karena kompleksnya faktor-faktor yang
mempengaruhi fungsi kolon, transpor air dan elektrolit. Secara umum
laksatif bekerja dengan cara (Gunawan, 2007; Brunton, 2006):a.
Meningkatkan retensi air intralumen dengan mekanisme hidrofilik
atau osmotiknya sehingga terjadi penarikan air dengan akibat massa,
konsistensi dan transit tinja bertambahb. Menurunkan absorpsi air
dan NaCl bekerja secara langsung maupun tidak langsung terhadap
mukosa kolonc. Meningkatkan motilitas usus dengan akibat menurunnya
absorpsi garam dan air dan selanjutnya mengurangi waktu transit
atau menstimulasi kontraksi propulsif.Ada beberapa klasifikasi obat
laksatif, antara lain (Brunton, 2006):a. Agen lumen aktif1) Koloid
hidrofilik (pembentuk massa)Obat golongan ini berasal dari alam
atau dibuat secara semisintetik. Golongan ini bekerja dengan
mengikat air dan ion dalam lumen kolon, dengan demikian tinja akan
menjadi lebih banyak dan lunak. Sebagian dari komponennya misalnya
pektin akan dicerna bakteri kolon dan metabolitnya akan
meningkatkan efek pencahar melalui pengingkatan osmotik cairan
lumen. Contoh sediaan alam adalah agar-agar dan psilium sedangkan
sediaan semisintetik ialah metilselulosa dan natrium
karboksimetilselulosa (Gunawan , 2007).Serat merupakan agen koloid
hidrofilik alami yang bisa didapatkan dari makanan, sehingga diet
serat juga dapat menjadi terapi dari konstipasi. Serat merupakan
bagian dari makanan yang resisten terhadap enzim pencernaan.
Bakteria kolon memfermentasi serat secara bervariasi. Serat secara
general akan difermentasi sehingga menurunkan cairan pada feses,
membentuk asam lemak rantai pendek yang mungkin memiliki efek
prokinetik, dan meningkatkan massa bakteri sehingga meningkatkan
volume feses. Selain itu terdapat juga serat yang tidak
terfermentasi yang akan menarik air dan meningkatkan massa feses.
Lignin merupakan serat insoluble yang paling efektif untuk
meningkatkan pembuatan feses dan transit (Brunton, 2006).Bran atau
dedak merupakan ampas pembuatan sereal dari tepung yan mengandung
lebih dari 40% serat. Wheat bran atau dedak gandum mengandung
tinggi llignin, sehingga paling efektif untuk meningkatkan massa
feses. Buah dan tumbuhan mengandung banyak pectin dan hemiselulosa
yang dapat difermentasi dan memiliki efek yang lebih sedikit dalam
transit feses. Serat kontraindikasi pada pasien dengan gejala
obstruktif dan pasien dengan megakolon atau megarektum (Brunton,
2006).Psyllium husk merupakan turunan dari biji Plantago ovata yang
biasa digunakan untuk membuat produk konstipasi (metamucil).
Psilium sekarang telah digantikan dengan preparat yang lebih murni
dan ditambahkan dengan musiloid (mucilloid), suatu substansi
hidrofilik yang membentuk gelatin bila bercampur dengan air; dosis
yang dianjurkan 1-3 kali 3-3,6 g sehari dalam 250 mL air atau sari
buah. Pada penggunaan kronik, psilium dikatakan dapat menurunkan
kadar kolesterol darah, karena mengganggu absorpsi asam empedu
(Brunton, 2006;Gunawan, 2007).Metilselulosa (citrucel) merupakan
selulosa semisintetis yang diberikan secara oral dan tidak
diabsorpsi melalui saluran cerna sehingga diekskresi melalui tinja.
Dalam cairan usus, metalselulosa akan mengembang membentuk gel
emolien atau laruten kental, yang dapat melunakkan tinja. Mungkin
residu yang tidak dicerna merangsang peristalsis usus secara
refleks. Efek pencahar diperoleh setelah 12-24 jam dan efek
maksimal dalam beberapa hari pengobatan. Obat ini tidak menimbulkan
efek sistemik. Tetapi pada beberapa pasien bisa terjadi obstruksi
usus atau esofagus, oleh karena itu metilselulosa tidak boleh
diberikan pada pasien dengan kelainan mengunyah. Metilselulosa
digunakan untuk melembekkan tinja pada pasien yang tidak boleh
mengejan seperti hemoroid (Brunton, 2006;Gunawan, 2007).Natrium
karboksimetilselulosa, obat yang tidak larut dalam cairan lambung
dan juga digunakan sebagai antasid. Agar-agar merupakan koloid
hidrofilik, kaya akan hemiselulosa yang tidak dicerna dan tidak
diabsorpsi. Dosis yang dianjurkan ialah 4-16 g. Agar-agar merupakan
pencahar massa yang mudah didapat dan terterima baik karena rasa
dapat disesuaikan secara individual (Gunawan, 2007).Polikarbofil
dan kalsium polikarbofil (fibercon, fiberall) merupakan poliakrilik
resin hidrofilik yang tidak diabsorpsi, lebih banyak mengikat air
dari pencahar pembentuk massa lainnya. Polikarbofil dapat mengikat
air 60-100 kali dari beratnya sehingga memperbanyak massa tinja.
Preparat ini mengandung natrium dalam jumlah kecil. Dalam saluran
cerna kalsium polikarbofil dilepaskan ion Ca++, sehingga jangan
digunakan pada pasien yang asupan kalsium dibatasi (Gunawan,
2007).2) Agen osmotik (garam atau gula anorganik yang tidak dapat
diserap)a) Laksatif salineLaksatif yang mengandung anion magnesium
atau fosfat disebut laksatif saline: magnesium sulfat, magnesium
hidroksida, magnesium sitrat, natrium fosfat. Aksi katartik
dipercaya terjadi akibat retensi air secara osmotik. Mekanisme lain
yang berpengaruh adalah terproduksinya mediator inflamasi.
Magnesium pada laksatid bisa menstimulasi pelepasan kolesistokinin
(CCK) yang dapat meningkatkan akumulasi cairan intralumen dan
elektrolit serta meningkatkan motilitas intestinum. Rasa pahit pada
preparat ini dapat menginduksi nausea yang bisa diatasi dengan
pemberian air jeruk (Brunton, 2006).Garam magnesium (MgSO4 = garam
Epsom, garam Inggris) diabsorpsi melalui usus kira-kira 20% dan
diekskresi melalui ginjal. Bila fungsi ginjal terganggu, garam
magnesium berefek sistemik menyebabkan dehidrasi, kegagalan fungsi
ginjal, hipotensi dan paralisis pernapasan. Pengobatan dalam
keadaan ini ialah dengan memberikan kalsium IV dan melakukan napas
buatan. Garam magnesium tidak boleh diberikan pada pasien dengan
gagal ginjal (Gunawan, 2007).Garam fosfat dapat diabsorpsi lebih
baik dibandingkan magnesium sehingga memerlukan dosis yang lebih
besar untuk menginduksi katartik. Garam magnesium dan fosfat dapat
ditoleransi baik oleh tubuh, namun harus dihindari pada pasien
dengan insufisiensi ginjal, penyakit jantung, preexisting
electrolyte abnormalities, dan pasien dengan terapi diuretik.
Pasien yang mengonsumsi lebih dari 45 ml natrium fosfat dapat
menyebabkan dehidrasi, gagal ginjal, asidosis metabollik, tetanus
akibat hipokalemia, dan bahkan kematian bagian populasi rentan
(Brunton, 2006).b) Alkohol dan gula tidak dapat dicernaLaktulosa
(cephulac, chronulac) adalah disakarida semisintetik dari galaktosa
dan fruktosa yang resisten terhadap aktivitas disakaridase pada
intestinum dan tidak dapat diabsorpsi. Laktulosa tersedia dalam
bentuk sirup. Obat ini diminum bersama sari buah atau air dalam
jumlah cukup banyak. Laktulosa biasa digunakan dalam terapi
enselopatik hepatika. Laktulosa dapat menjerat ammonia dan
mengubahnya menjadi ion ammonium di kolon akibat meningkatnya
pembentukan asam lemak rantai pendek yang diinduksi oleh penurunan
pH oleh laktulosa. Ammonia yang terjerat di usus tidak dapat
berjalan ke hepar, sehingga dapat mengurangi kinerja hepar untuk
mendetosifikasi ammonia (Brunton, 2006;Gunawan , 2007).Sorbitol dan
manitol merupakan gula yang tidak dapat diserap, gula ini akan
dihidrolisis di kolon menjadi asam lemak rantai pendek yang dapat
menstimulasi motilitas kolon dengan menarik cairan ke lumen secara
osmotik. Efeknya mungkin tidak terlihat dalam 24-28 jam setelah
pemberian. Abdominal discomfort atau distensi dan flatulensi
merupakan tanda umum yang dirasakan pada beberapa hari pertama pada
pengobatan (Brunton, 2006).c) Plyethylene Glycol-Electrolyte
SolutionsPlyethylene glycols rantai panjang (PEGs) sulit untuk
diabsorpsi dan PEG dapat tersimpan dalam lumen karena memiliki
sifat osmotik tinggi. Apabila diberikan volume yang tinggi, larutan
PEG dapat memberikan efek katartik secara efektif dan dapat
digunakan untuk membersihkan kolon saat persiapan prosedur
radiologi, bedah, dan endoskopi. Karena sifat osmotiknya yang
tinggi, PEG dapat menarik carian ke dalam intralumen dengan baik
(Brunton, 2006).3) Surfaktan dan emolienPencahar emolien dapat
memudahkan defekasi dengan jalan melunakkan tinja tanpa merangsang
peristalsis usus, baik langsung maupun tidak langsung. Pencahar
surfaktan bekerja dengan menurunkan tegangan permukaan, sehingga
mempermudah penetrasi air dan lemak ke dalam massa tinja. Tinja
menjadi lunak setelah 24-48 jam. Docusate salts merupakan surfaktan
anionik yang juga dapat menstimulasi intestinum untuk sekresi
cairan dan elektrolit (mungkin dikarenakan peningkatan siklus AMP
mukosa) dan meningkatkan permeabilitas mukosa intestinum. Docusate
sodium (dioksilsodium sulfosuccinate;colace, doxinate) dan
docusinate calcium (dioksilkalsium sulfosuccinate;surfak) tersedia
dalam beberapa dosis. Dioksilsodium sulfosuksinat pada manusia
sesekali menyebabkan kolik usus, bersifat hepatotoksik, dan dapat
meningkatkan risiko hepatotoksik obat-obat lain yang juga toksik
terhadap hati (Brunton, 2006;Gunawan, 2007).Parafin cair (mineral
oil) ialah campuran cairan hidrokarbon yang diperolah dari minyak
bumi. Setelah minum obat ini secara oral 2-3 hari tinja melunak,
disebabkan berkurangnya reabsorpsi air dari tinja. Parafin cair
tidak dicerna di dalam usus dan hanya sedikit diabsorpsi, yang
diabsorpsi ditemukan pada limfonodus mesenterik, hati dan limpa.
Kebiasaan menggunakan parafin cair akan mengganggu absorpsi zat
larut lemak misalnya absorpsi karoten menurun 50%, juga absorpsi
vitamin A dan D akan menurun. Absorpsi vitamin K menurun dengan
akibat hipoprotombinemia dan juga dilaporkan terjadinya pneumonia
lipid. Obat ini menyebabkan pruritus ani, menyulitkan penyembuhan
pascabedah daerah anorektal dan menyebabkan perdarahan. Jadi, untuk
penggunaan kronik jelas obat ini tidak aman (Brunton, 2006;Gunawan
, 2007).b. Stimultan nonspesifik atau iritan (berefek pada sekresi
cairan dan motilitas)Laksatif stimultan dapat bekerja langsung pada
enterosit, neuron enterik, dan otot polos usus sehingga
meningkatkan pristalsis dan sekresi lendir usus. Agen ini dapat
menginduksi inflamasi ringan pada usus halus dan usus besar
sehingga menyebabkan akumulasi air dan elektrolit serta stimulasi
motilitas usus. Mekanismenya dengan aktivasi prostaglandin pada
siklus AMP dan NO pada siklus GMP, produksi faktor aktivasi
platelet, dan mungkin menginhibisi Na+, K+-ATPase. Penghambatan
sintesis prostaglandin dengan indometasin menurunkan efek berbagai
obat ini terhadap jumlah sekresi air. Defilmetan dan antrakinon
bekerja terbatas pada usus besar sehingga terdapat masa laten 6 jam
sebelum timbul efeknya. Minyak jarak yang bekerja pada usus halus
memiliki masa laten 3 jam (Brunton, 2006;Gunawan, 2007).Obat-obatan
yang termasuk dalam golongan ini antara lain (Brunton,
2006;Gunawan, 2007) :1) Derivat difenilmetanFenolftalein diberikan
per oral dan mengalami absorpsi kira-kira 15% di usus halus. efek
fenilftalein dapat bertahan lama karena mengalami sirkulasi
enterohepatik. Sebagian besar dieksresi melalui tinja, sebagian
lagi melalui ginjal dalam bentuk metabolitnya. Pemberian dosis
besar fenolftalein menyebabkan bentuk utuh ditemukan dalam urin,
pada suasana alkali menyebabkan urin dan tinja berwarna merah.
Ekskresi bersama ASI jumlahnya kecil sehingga tidak mempengaruhi
bayi yang disusui. Fenolftalein dapat menimbulkan reaksi alergi
berupa erupsi, sindrom Stevens-Johnson, urtikaria, dan pigmentasi
kulit. Kadang-kadang menimbulkan albuminuria dan adanya hemoglobin
bebas dalam urin (Gunawan, 2007).Bisakodil (dulcolax, correctol)
secara oral megalami hidrolisis menjadi difenol di usus bagian
atas. Difenol yang diabsorpsi mengalami konjugasi di hati dan
dinding usus. Metabolit ini diekskresi melalui empedu, selanjutnya
mengalami rehidrolisis menjadi difenol kembali yang akan merangsang
motilitas usus besar. Efek pencahar timbul 6-12 jam setelah
pemberian oral, sehingga biasanya diberikan saat sebelum tidur dan
efeknya akan terasa besok pagi. 5% bisakodil diabsorpsi dan
dieksresikan bersama urin dalam bentuk glukoronid pada pemberian
oral. Ekskresi bisakodil terutama dalam tinja (Brunton,
2006;Gunawan, 2007).Dosis oral dewasa 10-15 mg dan anak 5-10 mg
(0,8 mg/kgBB). Bisakodil dapat menyebabkan kerusakan mukosa dan
menginisiasi respon inflamasi pada usus halus dan usus besar.
Aktivasi obat di lambung dapat menyebabkan kram dan iritasi
lambung, pasien harus menelan obat secara langsung, jangan dihisap
atau dihancurkan. Bisakodil juga jangan dimakan bersama susu atau
antasid. Efek sistemik bisakodil belum pernah dilaporkan. Bisakodil
dapat menimbulkan proktitis pada penggunaan selama beberapa minggu
(Brunton, 2006;Gunawan, 2007).Oksifenisatin asetat memiliki
farmakodinamik mirip dengan bisakodil. Efek pencaharnya tidak
melebihi bisakodil. Obat ini jarang digunakan karena dapat
menimbulkan hepatitis dan ikterus (Gunawan, 2007).2)
AntrakuinonObat ini merupakan derivat dari tanaman aloe, cascara,
dan senna yang mengandung monoantron atau antrakinon seperti rhein
dan frangula. Antrakuinon dapat mengiritasi mukosa mulut. Proses
penuaan dapat mengubahnya menjadi diantron atau bentuk glikosida,
proses ini dibalik oleh bakteria kolon untuk menghasilkan bentuk
aktifnya, yaitu antrakinon. Efek antrakinon yang tidak diinginkan
ialah efek pencahar yang berlebihan. Zat aktif bisa ditemukan pada
ASI sehingga bisa mempengaruhi bayi yang disusui. Melanosis kolon
(pigmentasi kolon) dapat terjadi dan menghilang setelah obat
dihentikan 4-12 bulan (Brunton, 2006;Gunawan , 2007).Kaskara
sagrada (colamin, sagrada-lax) diperoleh dari kulit pohon Rhamnis
purshiana yang mengandung 6-9% antrakinon dan glikosida berupa
barbaloin dan chrysloin. Barbaloin juga dapat ditemukan di aloe.
Pemberian kaskara sagrada per oral menyebabkan tinja menjadi lembek
setelah 8-12 jam. Dilaporkan bahwa pasien wanita 55 tahun yang
mendapat kaskara sagrada 2-3 kali/minggu selama 5 tahun mengalami
hipokalemia (Brunton, 2006;Gunawan , 2007).Sena (senokot, ex-lax)
berasal dari daun atau buah Cassia acutifolia dan Cassia
angustifolia, mengandung zat aktif senosida A dan B. Sebagian
antrakinon yang diabsorpsi akan diekskresikan melalui ginjal dengan
warna kuning sampai merah bila suasana urin alkali. Sena banyak
digunakan dalam campuran obat tradisional yang diindikasikan
sebagai obat pelangsing tubuh. Dantron (dihiroksiantrakinon) lebih
banyak mengandung bentuk antrakinon bebas daripada bentuk
glikosidanya. Tinja menjadi lembek 6-8 jam setelah pemberian
(Gunawan, 2007).3) Castor oil (minyak jarak)Minyak jarak (Castrol
oil-oleum ricini) berasal dari biji Ricinus communis, suatu
trigliserida asam risinoleat dan asam lemak tidak jenuh. Di dalam
usus halus, minyak jarak dihidrolisis oleh enzim lipase menjadi
gliserol dan asam risinoleat. Asam risinoleat inilah yang merupakan
bahan aktif. Asam risinoleat menstimulasi usus halus untuk sekresi
cairan dan elektrolit serta mempercepar trnasit di intertinum.
Minyak jarak juga bersifat emolien. Sebagai pencahar obat ini tida
banyak digunakan lagi karena banyak obat lain yang lebih aman.
Minyak jarak menyebabkan kolik, dehidrasi yang disertai gangguan
elektrolit. Apabila diminum saat lambung kosong, 4 ml castor oil
dapat memnyebabkan efek laksatif 1-3 jam, bisanya dosis pada orang
dewasa 15-60 ml bisa menimbukan efek katartik (Brunton,
2006;Gunawan , 2007).c. Agen prokinetik (bekerja langsung terhadap
motilitas)Agen prokinetik dapat meningkatkan waktu transit di
saluran pencernaan dengan berinteraksi langsung pada reseptor
spesifik yang meregulasi motilitas. Obat ini sudah jarang digunakan
akibat efeknya yang dianggap kurang poten. Agonis reseptor 5-HT4
seperti tegaserol dianggap cukup poten untuk mengatasi konstipasi
kronis. Agen lain yang dapat digunakan ada misoprostol yang
merupakan analog sintesis prostaglandin yang berfungsi untuk
melawan pembentukan ulkus gaster. Prostaglandin dapat menstimulasi
kontraksi kolon. Prostaglandin juga dapat menyebabkan kontraksi
uterus, sehingga tidak boleh digunakan pada ibu hamil karena bisa
menginduksi keguguran (Brunton, 2006).Pencahar terutama digunakan
untuk mengobati konstipasi fungsional dan tidak dapat mengatasi
konstipasi yang disebabkan keadaan patologis usus. Banyak penyebab
konstipasi fungsional dapat diatasi secara sederhana tanpa obat,
misalnya dengan makanan berserat, minuman adekuat, dan olah raga.
Bila tindakan di atas tidak berhasil tidak berhasil bisa digunakan
obat pencahar. Sebaiknya obat pencahar digunakan dengan dosis
efektif yang paling rendah, jangan terlalu sering, dan pengobatan
dihentikan secepatnya (Gunawan, 2007).Pencahar emolien misalnya
dioktilnatrium sulfosuksinat diindikasikan pada penyakit bila
mengejan dan atau tinja keras dapat membahayakan misalnya hemoroid,
hernia, gagal jantung, penyakit koroner, hipertensi berat, dan
peninggian tekanan intrakranial atau intraokular. Untuk
membersihkan isi usus sebelum pemeriksaan radiologi, pemeriksaan
rektum dan operasi usus sebaiknya digunakan garam Inggris,
bisakodil atau minyak jarak. Untuk menghilangkan racun pada pasien
keracunan sebaiknya digunakan garam Inggris atau pencahar yang
mudah didapat misalnya minyak goreng (Gunawan, 2007).Pencahar dapat
menurunkan sensitivitas mukosa sehingga usus gagal bereaksi
terhadap rangsang fisiologik. Penggunaan pencahar secara kronik
dapat menyebabkan diare dengan akibat kehilangan air dan gangguan
keseimbangan elektrolit. Gangguan keseimbangan elektrolit akan
mengakibatkan hipokalemia melalui terjadinya aldosteronisme
sekunder, bila deplesi volum plasma jelas. Steatore dan
gastroenteropati disertai kehilangan protein dengan akibat
hipoalbuminuria. Di samping itu dapat pula terjadi kelemahan otot
rangka, berat badan menurun dan paralisis otot polos. Pengeluaran
kalsium yang terlalu bnyak dapat menimbulkan osteomalasia (Gunawan,
2007).Kontraindikasi penggunaan pencahar adalah pada pasien dengan
dugaan apendisitis, obstruksi usus atau sakit perut yang tidak
diketahui sebabnya, dapat membahayakan. Semua pencahar tidak boleh
diberikan pada pasien dengan mual, muntah, spasme, kolik atau
berbagai gangguan abdomen lainnya (Gunawan, 2007).5. Anti
DiareAntidiare dapat digunakan secara aman pada penderita diare
akut ringan hingga sedang. Namun, obat ini tidak boleh digunakan
pada penderita diare berdarah, demam tinggi atau toksisitas
sistemis karena adanya risiko perburukan kondisi-kondisi tersebut.
Penggunaan agen-agen ini harus dihentikan pada pasien yang diarenya
memburuk walaupun sudah diberi terapi. Antidiare juga digunakan
pada penderita diare kronik yang disebabkan oleh berbagai sindrom,
seperti IBD atau penyakit usus inflamatorik (Katzung, 2010).Ada
beberapa golongan obat diare, antara lain:a. Agonis OpioidOpioid
memiliki efek konstipasi yang bermakna. Obat ini meningkatkan
segmentasi fasik kolon melalui inhibisi saraf kolinergik
presinaptik dalam pleksus submukosus dan mienterikus sehingga
menyebabkan peningkatan waktu transit dalam kolon dan penyerapan
air. Reflek gastrokolik dan pergerakan masal otot dihambat oleh
opioid. Meskipun semua opioid memiliki efek antidiare, efeknya
terhadap sistem saraf pusat dan adanya potensi adiktif membatasi
penggunaan dari opioid (Katzung, 2010). Loperamid, merupakan agen
opioid bebas yang tidak dapat melewati BBB juga tidak memilki efek
kecanduan dan analgesic. Biasanya obat ini digunakan dua sampai
empat kali dengan sediaan 2 mg. Contoh obat agonis opioid lainnya
adalah difenoksilat, yang pada dosis standar tidak memilki efek
analgesik, namun dosisnya jangka panjang dapat berefek pada sistem
saraf pusat sehingga dapat menyebabkan ketergantungan. Sediaan
umumnya mengandung sejumlah kecil substansi tambahan berupa atropin
(2,5 mg difenoksilat dengan 0,025 mg atropin) untuk mencegah
overdosis. Sifat antikolinergik pada atropin dapat berperan dalam
timbulnya efek antidiare.b. Senyawa bismuth koloidalSeperti
sukralfat, bismuth kemungkinan melapisi ulkus dan erosi, yang
menciptakan lapisan protektif terhadap asam dan pepsin. Sukralfat
kemungkinan juga merangsang sekresi prostaglandin, mucus, dan
bikarbonat. Bismuth subsalisilat menurunkan frekuensi buang air
besar dan tingkat kecairannya pada diare infeksius akut, akibat
adanya inhibisi salisilat terhadapat sekresi prostaglandin dan
klorida usus. Bismuth memiliki efek antimikroba langsung dan
mengikat enterotoksin sehingga bermanfaat dalam mencegah dan
mengobati travellers diarrhea. Semua sediaan bismuth memilki profil
keamanan yang sangat baik namun efek samping obat ini dapat
menghitamkan feses sehingga keliru diartikan sebagai perdarahan
gastrointestinal (Katzung, 2010).c. Kaolin dan pectinKaolin
merupakan magnesium alumunium silikat terhidrasi (atalpugit) yang
ada di alam, pectin adalah karbohidrat yang tidak tercerna dari
apel. Keduanya bekerja sebagai absorben bakteri, toksin, dan cairan
sehingga menurunkan kecairan dari feses. Efektif pada diare akut
namun jarang digunakan pada jangka panjang. Dosis yang digunakan
biasanya adalah 1,2-1,5 g setelah habis defekasi (maksimal 9
g/hari). Sedian ini tidak memilki efek samping yang bermakna. Obat
ini tidak bisa digunakan bersamaan dengan obat lain dalam waktu 2
jam, karena obat lain dapat diikat oleh kaolin-pektin (Katzung,
2010).d. Resin pengikat-garam empeduGaram empedu konjugat biasa
diserap di ileum terminal. Penyakit pada ileum terminal atau
reseksi bedah menyebabkan malabsrobsi garam empedu, yang dapat
menyebabkan diare sekretorik kolonik (Katzung, 2010). Kolestipol
atau kolestiramin merupakan obat yang dapat mengurangi diare yang
disebabkan oleh asam empedu yang berlebihan dalam feses. Dosis yang
digunakan biasanya 4-5 gram satu hingga tiga kali sehari sebelum
makan. Efek samping yang dapat muncul meliputi perut kembung,
flatulens, konstipasi, dan impaksi feses. Pada penderita dengan
penurunan asam empedu, pengurangan asam empedu lebih lanjut
menyebabkan eksaserbasi malabsorpsi lemak. Agen-agen ini mengikat
sejumlah obat dan mengurangi absorpsinya, karena itu obat ini tidak
boleh digunakan bersama obat lain dalam waktu 2 jam.e.
OktreotidSomastostatin adalah peptida 14 asam amino yang dilepaskan
dalam saluran cerna dan pancreas dari sel prakrin, sel D, dan saraf
enteric serta dari hipotalamus. Agen ini merupakan petida regulatik
penting yang memiliki banyak efek fisiologis (Katzung, 2010):1)
Hambat sekresi sejumlah hormon dan transmiter, termaksud gastrin,
kolesistokin, glukagon, hormon pertumbuhan, insulin, sekretin,
polipeptida pankreas, peptida vasoaktif usus, dan 5-HT.2)
Mengurangi sekresi dari cairan usus dan juga pancreas.3) Menghambat
kontraksi dari empedu dan motilitas saluran cerna.4) Memicu otot
polos vaskular berkontraksi, yang menyebabkan reduksi dari aliran
darah portal dan splanknik.5) Menghambat sekresi dari beberapa
hormon hipofisis anterior.
Penggunaan klinis somastostatin dibatasi oleh waktu paruhnya
yang sangat singkat yaitu 3 menit, ketika diberikan secara IV.
Okterotid adalah oktapeptida yang kerjanya sama dengan
somastostatin. Bila diberikan secara IV, waktu paruh serum selama
1,5 jam. Obat ini juga dapat diberikan secara subkutan, dan durasi
kerjanya menjadi 6-12 jam. Formulasi dengan durasi kerja lebih
panjang tersedia dalam bentuk suntikan IM sekali sebulan (Katzung,
2010).6. Anti Emetika. Antihistamin-H11) FarmakokinetikDiabsorbsi
dengan baik melalui saluran cerna, di metabolisme, terutama di
hati. Metabolit yg inaktif dieksresikn ke dalam urine.Obat ini
mulai berkerja biasanya dlm 40 menit setelah pemberian per oral.
Beberapa antihistamin & meklizin memliki masa kerja smpai 24
jam (Katzung, 2013).2) FarkodinamikMemblok stimulasi perifer (yg
berasal dr perifer) pusat muntah.Oleh karena itu, antihistamin ini
paling efektif untuk pengobtn & pencegeahan muntah pada mabuk
perjalanan dan disfungsi telinga dalam (Katzung, 2013).3) Indikasi
/ kontra indikasiPemakain dengan obat yg berkerja sebagai
antimuskarinik (gol.fenotiazin/antidepresan trisiklik) akan
menimbulkan keluhan kekeringan mulut, takikardia (Katzung, 2013).4)
Efek sampingPusing, sakit kpala, insomnia, gelisah, kelelahan, mual
ringan, rasa tidak enak di ulu hati atau anoreksia. Hipotensi,
mengantuk (Katzung, 2013).5) Dosis obat(katzung, 2013):a)
Prometazin12,5-50 mg IM/IVb) Siklizin25-50 mg IM/IV/POc)
Difenhidramin25-50 mg IM/IV/POd) Difenhidrinat25-50 mg IM/IV/POb.
Antikolinergik1) Bekreja dengan memblok area kolinergik pada
nucleus vestibular dan reticular formation. Digunakan pada motion
sickness (Katzung, 2013).2) Efek samping, konstipasi, mulut &
tenggorokn kring, disuria, retensi urine, impoten, gngguan pndgarn,
pndangn kabur (Katzung, 2013).3) Contoh obat (Katzung, 2013):
Atropin 0,4-0,6 mg IMSkopolamin0,3-0,6 mg IM
c. Benzodiazepine1) Potensial oprazolam dan loprazolam sebagai
anti muntah adalah rendah. Efeknya yang menguntungkan mungkin
disebabkan efek sedasi, ansiolitik, dan amnesiknya (Katzung,
2013).2) Karena waktu paruh yang singat derta durasi aksi yang
pendek midazolam mungkin tepat digunakan bagi pasien rawat jalan
(Katzung, 2013). 3) Benzodiazepin seperti lorazepam / diazepam
digunakan sebagai permulaan kemoterapi untuk mereduksi antisipasi
mual atau mual yang disebabkan oleh ansietas (Katzung, 2013).4)
Contoh obat : lorazepam dan diazepam (Katzung, 2013).d.
Cannabinoids1) Derivatb mariyuana, termasuk dronalbinol [droe
NABinol] dannabilon, efektif terhadap kemoterapi penyebab muntah
yang sedang. Namun, jarang menjadi obat anti muntah pilihan
pertama, karena efek sampingnya yang serius, termasuk disforia
halusinasi, sedasi, vertigo, dan disorientasi (Gunawan, 2007).2)
Meskipun sifat sifat psikotropik. Namun, efek anti muntah
kanabinoid tidak melibatkan otak, kanabinoid sintetik tidak
memiliki aktivitas psikotropik, namun merupakan anti muntah
(Gunawan, 2007).3) Contoh obat: tetrahydrocannabinol (THC)
(marinol) (Gunawan, 2007).e. Antagonis DopaminBekerja dengan
menghambat stimulasi CTZ dengan cara meningkatkan motilitas GIT
sehingga terjadi peningkatan gastric emptyingContoh obat :
Metoclopramide1) Sifat Kimia & Rumus Kimia ObatMetoclopramide
hydrochloride berbentuk bubuk putih, kristal, tidak berbau atau
hamper tidak berbau. Sanga tlarut dalam air, mudah larut dalam
alkohol, sedikit larut dalam kloroform, tidak mudah larut dalam
eter. Secara kimiawi, adalah 4-amino-5-chloro-N-[2 -(dietilamino)
etil]-2-methoxybenzamide monohydrochloride monohydrate. Rumus
struktur adalah sebagai berikut (Bennet, 2008):
2) Farmakologi Umum Metoklopramid sebagai antagonis dopamine
secara sentral menghambat stimulasi CTZ obat ini mempunyai efek
prokinetik yang memperbaiki pengosongan lambung dengan cara
mengurangi stimulasi pusat muntah yang berasal dari perifer.
Metoklopramid tersedia dalam bentuk tablet dan cair. Obat ini
biasanya digunakan 4 kali sehari sebelum makan, 30 menit sebelum
makan dan tidur.Nama dagang yang sering dijumpai yaitu Clopra,
Maxolon, Metozolv, Reglan (Bennet, 2008).3)
FarmakodinamikMetoklopramid digunakan untuk mengurangi gejala mual
dan muntah, terutama pada pasien diabetes (Bennet, 2008).4)
FarmakokinetikMetoklopramid dengan cepat diabsorpsi di dalam
saluran cerna, dengan bioavailabilitas obat mencapai 32-100%. Waktu
paruh eliminasinya bergantung pada dosis intravena dan oral yang
dipakai, dosis tunggal 2-20 mg. Klirens obat ini menurun 50% pada
pasien gangguan fungsi ginjal (Bennet, 2008). 5)
ToksisitasMetoklopramid dapat menyebabkan efek samping seperti
mengantuk, kelelahan yang berat, badan lesu, sakit kepala, pusing,
gangguan siklus menstruasi, menurunkan libido, pembesaran atau
keluarnya cairan dari payudara dan ketidakmampuan dalam mengontrol
keluarnya urin (Bennet, 2008).
f. Derivat phenotiazineObat golongan ini bekerja dengan cara
menghambat transmisi dopaminergic. Selain itu obat golongan ini
dapat mengurangi vomit yang disebabkan oleh iritasi gaster.Contoh
obat: prochloperazine dan promethazin1) Sifat Kimia & Rumus
Kimia ObatPrometazinhidroklorida, turunanfenotiazin,
10H-Phenothiazine-10-ethanamine, N, N, -trimetil-,
monohydrochloride, () -denganrumus struktur berikut:
Promethazine hydrochloride berbentuk bubuk putih kekuningan,
tidak berbau, bubuk kristal yang perlahan-lahan mengoksidasi dan
berubah biru pada kontak yang terlalu lama dengan udara. Mudah
larut dalam air, dalam alkohol dehidrasi panas, dan dalam
kloroform, tidak larut dalam eter, dalam aseton dan etil
asetat(Bennet, 2008).2) Farmakologi Umum Obat ini bekerja pada CTZ
dengan cara menghambat transmisi dopaminergik di SSP. Obat-obat ini
juga mengurangi muntah yang disebabkan oleh iritan-iritan lambung
dan menunjukkan bahwa obat ini menghambat stimulasi vagal perifer
dan aferen simpatetik (Bennet, 2008).3) FarmakodinamikPromethazine
memiliki nama dagang Phenergan, digunakan untuk terapi mual atau
muntah, motion sickness dan reaksi alergi, tetapi dapat menyebabkan
efek sedasi yang melebihi obat golongan antihistamin
lainnya(Bennet, 2008). 4) FarmakokinetikBioavailabilitas
promethazine rendah bila diberikan secara oral dan per rectal.Obat
ini memulai kerjanya dalam waktu 3-5 menit bila diberikan secara
intravena dan 20 menit bila diberikan secara intramuscular, per
oral ataupun per rectal. Lamanya obat ini bekerja sekitar 4 sampai
6 jam bila diberikan per oral (terapi motion sickness), dan 4-6 jam
atau lebih dari 12 jam bila diberikan secara intravena (terapi mual
dan muntah). Dalam hal distribusi, obat ini sebsar 93% akan
berikatan dengan protein. Obat ini akan dimetabolisme oleh hepar
melalui kerja enzim P450 CYP2D6. Metabolitnya berupa promethazine
sulfoxide dan glucuronides (inaktif).Untuk mekanisme eliminasinya,
obat ini dieksresikan terutama melalui urin, bisa juga melalui
feses (Bennet, 2008). 5) ToksisitasEfek samping obat ini antara
lain mengantuk, pusing, pandangan kabur, sakit kepala, mulut
kering, susah buang air kecil dan konstipasi (Bennet, 2008).g.
Antagonis reseptor 5-HT3Pada bagian terminal nervus vagal dan
bagian central CTZ ditemukan adanya reseptor 5-HT3. Pada keadaan
tertentu sel mukosa pada GIT melepaskan serotonin yang menstimulasi
reseptor 5-HT3 untuk menginduksi muntah. Antagonis reseptor 5-HT3
akan memblok stimulasi serotonin sehingga tidak terjadinya induksi
(Gunawan, 2007).Golongan(Gunawan, 2007) :1) GranisetronGranisetron
tersedia dalam bentuk tablet dan cairan/sirup untuk diminum secara
oral. Untuk pencegahan mual dan muntah pada kemoterapi, Granisetron
biasanya diminum satu jam sebelum kemoterapi dijalankan. Dosis
kedua diberikan setelah 12 jam dari dosis pertama.2)
OndansetronOndansetron diperuntukkan untuk mencegah mual dan muntah
yang disebabkan kemoterapi kanker atau setelah operasi. Ondansetron
bekerja dengan memblokade hormon Serotonin yang menyebabkan
muntah.Selain itu Ondansentron digunakan untuk mengobati kecanduan
alkohol.3) TropisetronTropisetron digunakan untuk mual karena
kemoterapi dan muntah pada anak. Mencegah mual dan muntah setelah
operasi.7. Obat Gangguan Asam Lambunga. AntasidAntasid bekerja
dengan menetralkan kondisi tertentu asam tersebut, selain itu
antasida juga beerja dengan cara menghambat aktivitas enzim pepsin
yang aktif bekerja pada kondisi asam. Enzim ini diketahui juga
berperan dalam menimbulkan kerusakan pada organ saluran pencernaan
manusia (Spruil, 2012).Jenis-jenis obat antasida dan
karakteristiknya (Spruil, 2012) :Aluminium karbonatDapat digunakan
dalam terapi hiperfosfatemia (abnormalitas kadar fosfat dalam
darah) dengan cara mengikat senyawaan fosfat disaluran cerna
sehingga menghambat proses absorbsinya. Karena kemampuan ini juga
alumunium karbonat dapat digunakan untuk mencegah pembentukan batu
ginjal.
Calcium karbonatDapat digunakan pada kondisi kekurangan kalsium
contohnya osteoporosis posmenopouse
Magnesium karbonatDapat digunakan pada kasus defisiensi
magnesium
Cara kerja obat :Kombinasi aluminium hidroksida dan magnesium
hidroksida merupakan antasid yang bekerja menetralkan asam lambung
dan menginaktifkan pepsin sehingga rasa nyeri ulu hati akibat
iritasi oleh asam lambung dan pepsin berkurang. b. Antagonis
reseptor H2Golongan obat yang dapat menghambat kerja histamin pada
sel parietal lambung, oleh karenanya sekresi asam lambung
terganggu.Asam lambung dikeluarkan oleh sel parietal akibat adanya
rangasangan oleh histamin, gastrin, dan asetilkolin.Yang termasuk
antagonis reseptor H2 adalah simetidine, ranitidine, nizatidine dan
famotidine.Senyawa-senyawa antagonis resptor H2 secara kompetitif
dan reversibel berikatan dengan reseptor H2 di sel parietal,
menyebabkan berkurangya produksi sitolotik siklik AMP dan sekresi
histamine yang menstimulasi sekresi asam lambung.Interaksi antara
siklik AMP dan jalur kalsium menyebabkan inhibisi parsial
asetilkolin dan gastrin yang menstimulasi sekresi asam.Yang
potensinya paling lemah adalah simetidin sedangkan yang paling kuat
adalah femotidin.Ranitidin memiliki durasi yang lebih lama dari
simetidin.Ranitidin dan simetidin digunakan juga untuk profilaksis.
Reseptor H2 terdapat di lambung, pembuluh darah (Sutedjo,2010).c.
Proton Pump InhibitorMekanisme kerja obat golongan PPI mengurangi
sekresi lambung dengan jalan menghambat enzim H+, K+, ATPase (
enzim ini dikenal sebagai pompa proton) secara selektif dalam
sel-sel parietal. Enzim pompa proton bekerja memecah KH ATP yang
kemudian akan menghasilkan energi yang digunakan untuk mengeluarkan
asam kanalikuli sel parietal ke dalam lumen lambung. Ikatan antara
bentuk aktif obat dengan gugus sulfhidril dari enzim ini
menyebabkan terjadinya penghambat terhadap kerja enzim.Kemudian
dilanjutkan terhentinya produksi asam lambung.Obat-obatan golongan
ini mempunyai masalah bioavailabilitas karena mengalami aktivasi di
dalam lambung lalu terikat pada berbagai gugus sulfhidril mukus dan
makanan.Oleh karena itu, sebaiknya diberikan dalam bentuk tablet
salut enterik.Obat-obatan golongan ini juga mengalami metabolisme
lengkap.Tidak ditemukan dalam bentuk asal urin, 20% dari obat
radioaktif yang ditelan ditemukan dalam tinja (Sulistia, 2011).
II. METODE PEMERIKSAAN
A. Alat dan Bahan1. Alata. Beaker glassb. Sonde lambungc. Spuit
injeksi 3ccd. Kertas saringe. Papan lilin2. Bahana. MgSO4b.
Bisakodilc. Jamu Meritd. VegetaB. Hewan PercobaanTikus Putih
(Rattus Novergicus)
Gambar 3.1 Tikus Putih
C. Cara Kerja
4 tikus (masing-masing) Ditimbang beratnyaDimasukkan dalam
beaker glass yang sudah dilapisi kertas saringAmati selama 15
menit, apakah sudah mengeluarkan fesesDiberi MgSO4Diberi
bisakodilDiberi jamu meritAmati konsistensi dan jumlah feses
masing-masing tikus setelah dan sebelum pemberian obatBeri
vegeta
Bagan 3.1 Skema Cara Kerja Praktikum
Gambar 3.2 Pemberian Sonde Lambung pada Hewan PercobaanIII.
HASIL DAN PEMBAHASANA. HASIL
Tabel 1. Hasil Pengamatan Feses TikusNoObatSebelum pemberian
obat4 jam setelah pemberian obat14 jam setelah pemberian obat
1MgSO4
Jumlah feses 4, Konsistensi cukup kering,Bentuk silinder,Warna
kuning coklat kehitamanJumlah feses 6, konsistensi lembek , bentuk
silindrr , warna coklat kehitamanJumlah feses 3, konsistensi lembek
, bentuk silinder , warna kuning kecoklatan
2VegetaJumlah feses 6,Konsistensi padat,Warna coklat
kehijauanJumlah feses 9, Konsistensi lembek,Warna coklatJumlah
feses 4, konsistensi lembek berair , warna coklat
3BisacodilJumlah feses 6Konsistensi padatWarna coklat tuaJumlah
feses 7, Konsistensi lembek, Warna coklatJumlah feses 4,Konsistensi
lembek,Warna coklat
4MeritJumlah feses 5, Konsistensi padat,Warna coklat tuaJumlah
feses 8,Konsistensi lembekWarna hitamJumlah feses 5, Konsistensi
lembek berairWarna coklat tua
B. PEMBAHASAN1. MgSO4Pada tikus yang diberi obat pencahar MgSO4,
efek kerjanya baru terlihat 4 jam setelah pemberian obat. Setelah 4
jam pasca pemberian obat, terjadi perubahan konsistensi feses tikus
menjadi lebih lembek akan tetapi tidak ada perubahan pada bentuk
dan warna, akan tetapi jumlahnya lebih banyak menjadi 6 buah
setelah dibandingkan pada 30 menit setelah pemberian obat yang
hanya 4 buah..Setelah 14 jam pasca pemberian obat dapat dilihat
perubahan jumlah yang menjadi lebih sedikit yaitu 3 buah dengan
konsistensi lebih lembek lagi dan ada perubahan warna menjadi
kuning kecoklatan.MgSO4 merupakan obat pencahar golongan
osmotik/garam yang cara kerjanya dengan menarik air ke dalam lumen
kolon sehingga meningkatkan peristaltik usus dan tinja yang
dihasilkan akan menjadi lebih lembek. Efek kerja pencahar golongan
ini pada manusia biasanya terlihat 3-6 jam setelah pemberian obat.
Pada tikus percobaan ini, ternyata efek pencahar mulai terlihat
setelah 3 jam pasca pemberian MgSO4. Keadaan ini sesuai dengan
teori yang terdapat dalam literatur dimana obat ini akan mengurangi
kepadatan feses dan efeknya baru terlihat setelah 6 jam pasca
pemberian obat (Tanu, 2007).2. VegetaVegeta merupakan supplemen
yang terdiri dari kombinasi serat, laksatif alami dan anti kembung
yang berasal dari tumbuh-tumbuhan alami dan berfungsi untuk
melancarkan buang air besar yang sudah macet. Cara kerjanya dengan
mengikat air dan ion dalam lumen kolon, sehingga tinja yang
dihasilkan akan menjadi lebih banyak dan lunak. Laksatif pembentuk
massa adalah koloid hidrofilik tak tercerna yang menyerap air, dan
membentuk gel emolien bermassa yang meregangkan kolon sehingga
merangsang peristaltis. Sediaannya yang banyak dijumpai meliputi
produk tanaman alamiah seperti psilium, metilselulosa dan serat
sintetis polikarbofil. Efek kerja pencahar golongan ini pada
manusia biasanya terlihat 12-24 jam setelah pemberian obat.
(Estuningtyas, 2007).Pada tikus percobaan ini, ternyata efek
pencahar mulai terlihat sejak 4 jam pasca pemberian vegeta dan
efeknya mulai menurun setelah 14 jam pasca pemberian obat. Keadaan
ini mungkin terjadi akibat faktor stres dari tikus, karena pada
waktu praktikum praktikan kurang memberi efek stres pada tikus.
3. BisakodilBisakodil merupakan obat pencahar golongan pencahar
rangsang (stimulan/ irritan non spesifik) yang cara kerjanya dengan
merangsang mukosa, saraf intramural atau otot polos usus sehingga
meningkatkan peristaltik dan sekresi lendir usus. Efek kerja
pencahar golongan ini pada manusia biasanya terlihat 6-12 jam
setelah pemberian oral, dan 15 menit-1 jam pada pemberian rektal
(Estuningtyas, 2007). Pada tikus yang diberi obat pencahar
bisakodil, efek kerjanya terlihat setelah 4 jam pasca pemberian
obat dimana terjadi perubahan jumlah dan konsistensi feses tikus
menjadi lebih banyak dan lemek setelah pemberian obat dibandingkan
pada saat awal pengamatan sebelum pemberian obat. 14 jam setelah
pemberian bisakodil, perubahan terjadi konsistensi feses menjadi
lunak dan lebih sedikit dibanding 4 jam sebelumnya, hal ini mungkin
disebabkan karena efek obat yang mulai berkurang selama pasca
pemberian obat, dimana efek kerja golongan pencahar biasanya
terlihat 6-12 jam setelah pemberian oral dan mungkin juga
disebabkan karena feses dari tikus yang memang sudah habis, karena
kelompok kami juga tidak memberikan makanan ke tikus percobaan
tersebut (Estuningtyas, 2007).
4. MeritPada tikus yang diberi obat pencahar jamu merit, efek
kerjanya terlihat setelah 4 jam pasca pemberian obat dimana terjadi
perubahan jumlah dan konsistensi feses tikus menjadi lebih banyak
dan lebih lembek dan warnanya lebih hitam. Setelah pemberian obat
dibandingkan pada saat awal pengamatan sebelum pemberian obat 14
jam setelah pemberian jamu merit, efek obat terlihat semakin kuat
dengan ditandai perubahan konsistensi feses menjadi lembek berair
dengan jumlah yang lebih sedikit dibanding sebelumnya.Jamu merit
merupakan obat pencahar yang mengandung Guazumae Folium, Rhei
Radix, dan ekstrak Granati Fructus Cortex. Guazumae Folium bekerja
secara langsung dalam sistem pencernaan dengan membentuk sebuah
lapisan untuk melindungi membran mukosa dari saluran pencernaan
sehingga mempercepat perjalanan makanan. Rhei Radix merupakan
derivat dari Antrakuinon yang memiliki efek pencahar rangsang. Pada
saat yang bersamaan, ekstrak Granati Fructus Cortex menyebabkan
penyempitan pori-pori usus sehingga menurunkan absorbsi makanan.
Pada manusia, obat ini biasanya memberi efek pencahar 8-12 jam
setelah pemberian obat (Jamugarden, 2011).Pada tikus yang diberi
merit, ternyata efek pencahar mulai terlihat setelah 4 jam pasca
pemberian jamu merit dan efeknya mulai meningkat setelah 14 jam
pasca pemberian obat. Keadaan ini mungkin terjadi akibat kondisi
tubuh tikus yang berbeda dengan manusia juga mungkin berpengaruh
pada hasil percobaan sehingga efek obat tersebut berlangsung lebih
cepat pada tikus.
IV. APLIKASI KLINIS1. Ulkus PeptikumUlkus peptikum merupakan
luka terbuka dengan pinggir edema disertai indurasi dengan dasar
tukak tertutup debris (Tarigan, 2009).Ulkus peptikum merupakan
erosi lapisan mukosa biasanya di lambung atau duodenum (Corwin,
2009).Ulkus peptikum adalah keadaan terputusnya kontinuitas mukosa
yang meluas di bawah epitel atau kerusakan pada jaringan mukosa,
sub mukosa hingga lapisan otot dari suatu daerah saluran cerna yang
langsung berhubungan dengan cairan lambung asam/pepsin (Sanusi,
2011).Gambaran Klinis yang dapat ditemukan pada pasien dengan ulkus
peptik (Davey, 2005):1. Dispepsia, nyeri abdomen adalah gejala
klasik dari ulkus duodenum, khas memburuk di malam hari dan
seringkali berkurang dengan makan.1. Muntah bisa menunjukkan adanya
edema atau stenosis pilorus.1. Perdarahan gastrointestinal sering
merupakan keluhan utama pada ulkus peptik.1. Perforasi disertai
peritonitis kadang-kadang merupakan keluhan utama atau tanda
komplikasiTerdapat dua kunci utama yang berkaitan dengan
patogenesis ulkus peptikum.Pertama, prasyarat mendasar terjadinya
ulkus peptik adalah terpajannya mukosa ke asam lambung dan
pepsin.Kedua, terdapat keterkaitan kausal yang erat dengan infeksi
yang erat dengan infeksi Helicobacter Pylori.H. Pylori adalah
bakteri batang gram negatif, berbentuk S, tidak invasif, tidak
membentuk spora, dan berukuran sekitar 3,5 x 0,5 m. Apabila terjadi
infeksi H. Pylori, host akan memberi respon untuk
mengeliminasi/memusnahkan bakteri ini melalui mobilisasi sel-sel
PMN/limfosit yang menginfiltrasi mukosa secara intensif dengan
mengeluarkan mediator-mediator inflamasi atau sitokin seperti IL-8,
gamma interferon alfa, tumor nekrosis factor, dll, yang
bersama-sama dengan reaksi imun yang timbul justru akan menyebabkan
kerusakan sel-sel epitel gastroduodenal yang lebih parah namun
tidak berhasil mengeliminasi bakteri dan infeksi menjadi kronik
(Akil, 2009).Sedangkan patofisiologi utama kerusakan gastroduodenal
akibat OAINS adalah disrupsi fisiokimia pertahanan mukosa gaster
dan inhibisi sistemik terhadap pelindung mukosa gaster melalui
inhibisi aktivitas COX mukosa gaster.Kerusakan pertahanan mukosa
terjadi akibat efek OAINS secara lokal. Beberapa OAINS bersifat
asam lemah sehingga bila berada dalam lambung yang lumennya
bersifat asam (pH kurang dari 3) akan berbentuk partikel yang tidak
terionisasi. Dalam kondisi tersebut, partikel obat akan mudah
berdifusi melalui membran lipid ke dalam sel epitel mukosa lambung
bersama dengan ion H+ .Dalam epitel lambung, suasana menjadi netral
sehingga bagian obat yang berdifusi terperangkap dalam sel epitel
dan terjadi penumpukan obat pada epitel mukosa. Akibatnya, epitel
menjadi sembab, pembentukan PG terhambat, dan terjadi proses
inflamasi (Valle, 2008). Selain itu, adanya uncoupling of
mitochondrial oxidative phosphorylation yang menyebabkan penurunan
produksi adenosine triphosphate (ATP), peningkatan adenosine
monophosphate (AMP), dan peningkatan adenosine diphosphate (ADP)
dapat menyebabkan kerusakan sel. Perubahan itu diikuti oleh
kerusakan mitokondria, peningkatan pembentukan radikal oksigen, dan
perubahan keseimbangan Na+ /K+ sehingga menurunkan ketahanan mukosa
lambung. Lebih lanjut lagi, kondisi itu memungkinkan penetrasi
asam, pepsin, empedu, dan enzim proteolitik dari lumen lambung
(Gosal, 2012).Inhibisi sistemik terhadap pelindung mukosa gaster
terjadi melalui penghambatan aktivitas COX mukosa
gaster.Prostaglandin yang berasal dari esterifikasi asam arakidonat
pada membran sel berperan penting dalam memperbaiki dan
mempertahankan integritas mukosa gastroduodenal.Enzim utama yang
mengatur pembentukan PG adalah COX yang memiliki dua bentuk yaitu
COX-1 dan COX-2.Masing-masing enzim tersebut memiliki karakteristik
berbeda berdasarkan struktur dan distribusi jaringan.COX-1 yang
berada pada lambung, trombosit, ginjal, dan sel endotelial,
memiliki peran penting dalam mempertahankan integritas fungsi
ginjal, agregasi trombosit, dan integritas mukosa
gastrointestinal.Sementara itu, COX-2 yang diinduksi oleh
rangsangan inflamasi terekspresi pada makrofag, leukosit,
fibroblas, dan sel sinovial (Valle, 2008).Pada jaringan inflamasi,
OAINS memiliki efek menguntungkan melalui penghambatan COX-2 dan
efek toksik melalui penghambatan COX-1 yang dapat menyebabkan
ulserasi mukosa gastrointestinal dan disfungsi ginjal.Penghambat
COX-2 selektif mempunyai efek menguntungkan dengan menurunkan
inflamasi jaringan dan mengurangi efek toksik terhadap saluran
cerna. Namun demikian, golongan tersebut memiliki efek samping pada
sistem kardiovaskular berupa peningkatan risiko infark miokard,
stroke, dan kematian mendadak.5,11 Efek samping tersebut berkaitan
dengan efek antiplatelet yang minimal pada penghambat COX-2 karena
tidak memengaruhi tromboksan A2 (TX-A2 ). TX-A2 merupakan suatu
agonis platelet dan vasokonstriktor serta secara selektif
menyupresi prostasiklin endotel.Oleh karena itu, Food and Drugs
Administration (FDA) telah menarik valdekoksib dan rofekoksib yang
memiliki efek samping pada kardiovaskular dari pasaran (Gosal,
2012).Selekoksib adalah penghambat COX-2 dengan efek kardiovaskular
paling minimal dan aman digunakan dengan dosis rendah 200 mg/hari
(Scheiman, 2005).Sebagai konsekuensi penghambatan COX, sintesis
leukotrien meningkat melalui perubahan metabolisme asam arakidonat
ke jalur 5-lipoxygenase (5-LOX). Leukotrien terlibat dalam proses
kerusakan mukosa gaster karena menyebabkan iskemik jaringan dan
inflamasi. Peningkatkan ekspresi molekul adhesi seperti
intercellular adhesion molecule-1 oleh mediator proinflamasi
menyebabkan aktivasi neutrophilendothelial. Perlekatan neutrofil
ini berkaitan dengan patogenesis kerusakan mukosa gaster melalui
dua mekanisme utama: yaitu oklusi mikrovaskular gaster oleh
mikrotrombus menyebabkan penurunan aliran darah gaster dan iskemik
sel serta peningkatan pelepasan oksigen radikal. Radikal bebas
tersebut bereaksi dengan asam lemak tak jenuh mukosa dan
menyebabkan peroksidasi lemak serta kerusakan jaringan (Gosal,
2012). OAINS juga memiliki efek lain seperti menurunkan
angiogenesis, memperlambat penyembuhan, dan meningkatkan endostatin
(faktor antiangiogenik) relatif terhadap endothelial cell growth
factor (suatu faktor proangiogenik) (Blandizzi, 2008).Pada umumnya
manajemen atau pengobatan ulkus peptikum dilakukan secara
medikamentosa, sedangkan cara pembedahan dilakukan apabila terjadi
komplikasi seperti perforasi, obstruksi, dan perdarahan yang tidak
dapat diatasi. Tujuan pengobatan adalah (Akil, 2009):1.
Menghilangkan gejala-gejala terutama nyeri epigastrium.1.
Mempercepat penyembuhan ulkus secara sempurna.1. Mencegah
terjadinya komplikasi.1. Mencegah terjadinya kekambuhan.Tata
laksana awal yang paling sering digunakan untuk infeksi H. Pylori
yaitu triple therapy yang terdiri dari PPI, amoksisilin dan
klaritromisin yang diberikan 2 kali sehari selama 7-14 hari.
Metronidazol dapat digunakan untuk menggantikan amoksisilin pada
pasien yang alergi terhadap penisilin.Variasi dalam lamanya terapi
bergantung pada pola resistensi H. pylori yang berbeda di setiap
daerah. Untuk wilayah Eropa dan Asia Pasifik dianjurkan lama
eradikasi ini 7 hari sementara American College of Gastroenterology
(ACG) menganjurkan lama eradikasi 14 hari (Kho, 2010).Dosis yang
digunakan adalah amoksisilin 2x1g/hari, klaritromisin 2x500
mg/hari.dan omeprazol 2x20 mg/hari. Ada pula yang menggunakan
pantoprazol karena pantoprazol memiliki kemungkinan interaksi obat
yang lebih kecil dibandingkan dengan PPI lainnya.Studi HYPER
menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang bermakna antara
efektivitas regimen triple therapy 7 hari dengan regimen triple
therapy 14 hari (Kho, 2010).
DAFTAR PUSTAKAAkil KMZ. 2009. Tukak Duodenum dalam Buku Ajar
Ilmu Penyakit Ilmu Dalam Edisi V Jilid I. Jakarta: Interna
Publishing.
Ari,Estuningtyas; Azalia Arif. 2007.Obat Lokal. Farmakologi dan
Terapi edisi 6. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.
Bennet. P. N, Brown M J. 2008. Clinical Pharmacology Tenth
Edition. London : Churchill Livingstone.
Blandizzi C., et al. 2008. Clinical efficacy of esomeprazole in
the prevention and healing of gastrointestinal toxicity associated
with NSAIDs in elderly patients. Drugs Aging. Vol. 25(3)
:197-208.
Brunton L.L., Lazo J.S., Parker K.L. 2006. Goodman & Gilmans
The Pharmacological Basis of Therapeutics. New York:
McGraw-Hill.
Corwin, Elizabeth J. 2009. Ulkus Peptikum. Dalam: Buku Saku
Patofisiologi. Jakarta: Buku Kedokteran EGC
Davey, Patrick. 2005. At Glance Medicine. Jakarta: Erlangga
Guyton A. C, Hall J. E. 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran
Edisi 11. Jakarta : EGC.
Ganong, William F. 2010. Review of Medical Physiology 23rd
edition. New York: The McGraw-Hill Companies.Inc.
Gosal, Fandy, Bram Paringkoan, dan Nelly Tendean Wenas. 2012.
Patofisiologi dan Penanganan Gastropati Obat Antiinflamasi
Nonsteroid. Journal Indonesia Medical Association. Vol. 62(11):
444-449
Gunawan, S.G., et al. ed. 2012. Farmakologi Dan Terapi FKUI
Edisi 5. Jakarta: Badan Penerbit FKUI.
Jamugarden. 2011. Jamu Merit Plus - Lose Weight Fast The
Healthier Way. Jamugarden.
Katzung, B.G. 2010. Farmakologi Dasar Dan Klinik Edisi 10.
Jakarta: EGC
Kho, dragon. 2010. Diagnosis dan Tata Laksana Terkini Infeksi
Helicobacter pylori. Majalah Kedokteran Indonesia. Vol. 60(8):
381-384.
Longo, Dan L. et al. Harrison: Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit
Dalam. Ed.18. Jakarta: EGC
Sanusi, Iswan A. 2011. Tukak Lambungdalam Buku Ajar
Gastroenterologi. Jakarta : Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit
DalamTanu, Ian. 2007. Farmakologi dan Terapi edisi Kelima. Jakarta
: Balai Penerbit FKUI
Tarigan, P. 2009. Tukak Gaster dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit
Ilmu Dalam Edisi V Jilid I. Jakarta: Interna Publishing
Valle JD. 2008. Peptic ulcer disease and related disorders dalam
Harrisons principle of internal medicine16th Ed. New York:
McGraw-Hill