LAPORAN PRAKTIKUM FISIOLOGI BLOK GASTROINTESTINAL TRACTKERUTAN
USUS DILUAR BADAN
KELOMPOK A-6
Ketua: Amorrita Puspita Ratu(1102013023)Anggota: Adinda Amalia
Sholeha(1102013007) Dea Dwi Miranti(1102013071) Dewi
Setianingsih(1102013079) Harvien Bhayangkara(1102013124) Hirari
Fattah Yasfi(1102013128) M. Fadli Ilham Akbari(1102013159) Kekar
Yogantoro(1102011135) M. Fariz Ghazwan Saleh(1102011148) Ika
Rohaeti(1102012117)
Fakultas Kedokteran - Universitas YARSI2014-2015SISTEM
GASTROINTESTINALKERUTAN USUS DILUAR BADAN
Tujuan Praktikum :Pada akhir latihan mahasiswa harus dapat :1.
Memasang peralatan perfusi usus dan mencatat gerakan usus2.
Memasang sediaan usus dalam tabung perfusi dan menghubungkannya
dengan pencatat sehingga kerutannya dapat dicatat pada kimograf3.
Menjelaskan pengaruh berbagai faktor di bawah ini pada frekuensi
dan amplitude kerutan serta tonus sediaan usus dalam tabung perfusi
:a. Epinefrinb. Asetilkolin c. Ion Kaliumd. Pilokaprine. Ion
BariumDasar TeoriPengaturan NeuralPengaturan gastrointestinal oleh
sistem sarag terdiri dari pesarafan intrinsik (enterik) dan
inervasi ekstrinsik. Fungsi dari persarafan ini adalah untuk
memonitor dan mengatur proses yang terjadi di Gastrointestinal.
Persarafan intrinsik terdiri dari dua pleksus yaitu pleksus
meienterikus atau pleksus auerbach sesuai namanya terletak di
lapisan muskularr antara otot polos sirkular dan otot polos
longitudinal. Sedangkan pleksus submukosa atau pleksusu meissner
terletak di lapisan submukosa. Sistem saraf intrinsik ini terdiri
dari motor neuron, sensorik, dan interneuron. Karena motor neuron
pleksus meienterikus sebagian besar menginervasi otot polos
longitudinal dan sirkular, pleksus ini sebagai pengontrol motilitas
gastrointestinal. Sedangkan pada pleksus submukosa motor neuronnya
kebanyakan mempersarafi sel sekret di epitel mukosa, sehingga
pleksus ini sebagai pengontrol sekresi organ traktus
gastrointestinal. Interneuron persarafan intrinsik berfungsi
sebagai penghubung pleksus submukosa dan meienterikus. Sedangkan
saraf sensorik yang bertugas di epitel mukossa berguna sebagai
kemoreseptor, stretch receptor, yang teraktivasi apabila dinding
organ gastrointestinal terisi makanan.Persarafan ekstrinsik dari
gastrointestinal dipersarafi oleh sistem saraf otonom. Bagian
parasimpatis dipersarafi oleh nervus vagus yang hampir mempersarafi
GIT secara keseluruhan kecuali setengah bagian akhir usus besar
yang dipersarafi oleh serat saraf dari medula spinalis yaitu nervus
pelvis. Kontrol persrafan ekstrinsik ini baik simpatis maupun
parasimpatis membentuk hubungan dengan sistem saraf enterik dengan
peersambungan ke pleksus meienterikus dan pleksus submukosa tempat
sistem saraf intrinsik (enterik) tersusun rapi. Saraf otonom dapat
mempengaruhi motilitas dan sekresi saluran pencernaan melalui
modifikasi aktivitas yang sedang berjalan di pleksus pleksus sistem
saraf intrinsik. Siste saraf simpatis dan parasimpatis yang
mempersarafi jaringan tertentu menimblkan efek yang bertentangan di
pencernaan. Sistem saraf simpatis bekerja menghambat/memperlambat
kontraksi dan sekresi saluran pencernaan. Sistem saraf parasimpatis
bekerja sebaliknya yaitu menigkatkan kerja denga cara menaikkan
motilitas dan sekresi enzim serta hormon pencernaan
meningkat.Kendali usus yang paling penting adalah aktivitas refleks
lokal yang diperantarai oleh pleksus nervosus intramural (Meissner
dan Auerbach) dan interkoneksinya. Jadi pasien dengan kerusakan
medula spinalis maka fungsi ususnya tetap normal, sedangkan pasien
dengan penyakit hirschsprung akan mempunyai fungsi usus yang
abnormal karena pada penyakit ini terjadi keabsenan pleksus
auerbach dan meissner.Refleks Perangsang agar terjadi refleks:
distensi lumen saluran GI, osmoloritas kimus, keasaman kimus, dan
hasil digestif (karbohidrat, lemak, protein). Reseptor yang
terletak di GI merupakan mekanoreseptor (untuk mengetahui distensi
saluran GI), osmoresptor (untuk mengetahui proses osmosis),
kemoreseptor (untuk melihat pH dan kandungan kandungannya).Jenis
refleksnya dibagi dua, yaitu reefleks panjang dan refleks pendek.
Pemberian nama sesuai panjang jalur yang dilewatinya. Reefleks
panjang jalurnya lewat pusat dulu contoh peristiwa: saat mencium
bau makanan memicu keluarnya kelenjar saliva. Contoh lain seperti
saar kita baru melihat, atau memikirkan makanan, saliva sudah
menetes dan tubuh menjadi merasa lapr. Neuron pathway-nya untuk
stimulus dari makanan yang kita lihat: sensoriknya berada di mata
akan terkirim ke saraf ekstrinsik ke otak lalu ke saraf
simpatik/parasimpatis ke interneuron/efferen neuron (ada yang tanpa
interneuron langsung ke GI) lalu ke GI.Kalau refleks pendek maka
refleks itu berjalan dari sensorik di GI dan motoriknya di Gi juga
misal pada refleks gastrolik. Reseptor di lambung mengirim sinyal
ke saraf di kolon. Efektornya otot polos kolon, sehingga akan
terjadi kontraksi di kolon. Refleks ini biasa terjadi setelah
makan. Hasilnya orang yang bersangkutan setelah makan akan langsung
kebelakang. Yang dikeluarkan di feses adalah sisa makanan yang
kemarin bukan yang baru masuk. Refleks in bertugas untuk mendorong
sisa sisa makanan yang ada di GI sehingga makanan baru bisa masuk.
Ada juga refleks duodenocolika. Refleksnya mirip gastrokolik cuman
bedanya makanan yang menstimulus ada di duodenum, efektornya sama
yaitu kolon. Menurut kuliah refleks ini paling penting karena tidak
melibatkan otak dalam pengorganisasian rangsang yang diterima, maka
prof Greshon menyebutkan bahwa di GI itu ada otak kita yang kedua
atau disebut juga otak kecil atau otak enterik.Pengaruh ACH
Asetilkolin adalah salah satu neurontransmitter yang digunkan oleh
saraf. Asetilkoli atau yang disebut juga sebagai Ach adalah
neurontransmitter yang digunakan oleh serat praganglion simpatis
dan parasimpatis. Ach juga digunakan sebagai neurotransmtter serat
pascaganglion parasimpatis. Serat ini mengluarkan asetilkolin.
Serat ini, bersama dengan semua serat praganglion otonom, disebut
juga sebagai serat kolinergik. Serat otonom pascaganglion ini tidak
berakhir di satu benjolan terminal saja (synaptic knob). Namun,
cabang cabang terminal serat otonom memiliki banyak pembengkakan
atau benjolan, yang disebut sebagai varicosities, yang secara
bersamaan mengeluarkan neurotransmitter ke suatu daerah luas di
organ yang disarafi dan bukan hanya untuk ke satu sel saja.
Pelepasan neurotransmitter yang difus ini, disertai kenyataan bahwa
setiap perubahan aktivitas listrik yang terjadi menyebar ke seluruh
massa otot polos atau otot jantung (pada usus halus, yang berlaku
adalah otot polos) melalui taut celah, menyebabkan aktivias otonom
biasanya mempengaruhi organ keseluruhan bukan sel sel tertentu.Ach
juga berperan dalam persisteman parasimpatis yaitu sebagai
neurotransmitter pascaganglion. Sistem parasimpatis sangat berperan
dalam sistem pencernaan. Sistem ini mendominasi pada keadaan tenang
dan santai. Pada keadaan ranpa ancaman, tubuh berkonsentrasi
melaksanakan aktivitas normalnya, misalnya pencernaan. Sistem
parasimpatis merupakan tipe rest and digest, yaitu istirahat dan
cerna sekaligus memperlambat aktivitas aktivitas yang ditingkatkan
oleh sistem simpatis. Sebagai contoh efek stimulasi parasimpatis
pada sistem pencernaan adalah sebagai berikut :Meningkatkan
motilitas organ pencernaan, relaksasi sfingter (untuk memungkinkan
gerakan maju isi saluran cerna), stimulasi sekresi pencernaan,
stimulasi sekresi pankreas eksokrin (untuk pencernaan), pengeluaran
banyak liur encer kaya enzim.Pengaruh Ion CaIon Ca sangat
diperlukan dalam mekanisme kontraksi otot polos. Jika ion Ca tidak
ditemukan dalam suatu otot polos, maka otomatis, kontraksi otot
tidak terjadi, hal tersebut dikarenakan Ca merupakan pengaktivasi
miosin kinase yang diperlukan untuk proses kontraktil. Berikut
adalah proses yang terjadi pada mekanisme kontraksi otot polos
:Pada saat sebuah hormon berikatan pad areseptor di membran maka
akan mengaktifkan sebuah molekul G protein akibat terjadinya
mekanisme depolarisasi membran plasma. Akibat depolarisasi membran
plasma akan membuka kanal Ca di permukaan membran plasma dan memicu
proses difusi Ca melalui kanal Ca yang kemudian akan berkombinasi
dengan calmodulin.Calmodulin dengan Ca yang telah membentuk ikatan
kemudian melekat pada miosin kinase dan mengaktivasi protein kinase
ini (miosin adalah salah satu protein yang juga berperan penting
dalan mekanisme kontraksi otot polos).Aktivasi miosin kinase
menempelkan fosfat dari ATP pada kepala miosin untuk mengaktifkan
proses kontraktil.Kemudian terjadilah sebuah siklus crossbridge
formation, pergeraka, dan pelepasan ikatan protein kontraktil yang
terlihat. Siklus ini yang menyebabkan otot dapat berkontraksi
secara terus menerus (disesuaikan dengan siklus relaksasi
juga).Pengaruh PilokaprinPilokaprin memiliki efek yang sama dengan
asetilkolin. Pilokaprin termasuk dalam obat parasimpatonetik yang
langsung bekerja pada reseptor kolinergik tipe muskarinik.
Perbedaannya adalah pilokaprin dapat menimbulkan efek yang luas
parasimpatis yang khas, dan tidak mudah tidak begitu cepat dirusak
oleh kolinesterase yang terdapat dalam darah dan cairan tubuh.
Sedangkan, asetilkolin tidak mempunyai efek yang sama persis di
seluruh tubuh karena sebelum mencapai organ efektor, telah dirusak
terlebih dahulu oleh kolinesterase.Pengaruh SuhuGerakan usus dapat
dipengaruhi oleh suhu. Suhu normal tubuh membuat usus dapat
melakukan gerak peristaltiknya secara normal. Saat usus diberikan
perlakuan dingin, maka yang terjadi adalah gerakan usus semakin
melambat. Hal tersebut dapat dilihat dari amplitudonya yang semakin
mengecil. Kemudian usus diberikan perlakuan panas yang menyebabkan
gerakan usus semakin cepat. Akan tetapi, bukan berarti dengan suhu
yang semakin panas (diatas normal) usus dapat bergerak lebih cepat
lagi. Hal ini dikarenakan oleh faktor enzim. Enzim hanya bisa
bekerja dalam keadaan suhu tubuh normal.Pengaruh Ion BariumIon
barium mempunyai efek yang sangat kuat terhadap gerakan usus. Kerja
obat ini analog dengan pilokaprin dan asetilkolin karena
meningkatkan gerakan usus.
Tatalaksana PraktikumAlat sediaan dan bahan kimia yang
diperlukan :1. Kaki tiga + kawat kasa + pembakar bunsen dengan pipa
karet + statip2. Gelas beker pireks 600 cc + tabung perfusi usus
dengan klemnya3. Pipa kaca bengkok untuk perfusi usus + balon
rangkap + termometer kimia4. Pencatat gerakan usus + sinyal maknit
+ kawat listrik + kimograf rangkap5. Sepotong usus halus dengan
panjang +/- 5 cm (ini akan dibagikan oleh asisten yang bertugas)6.
Larutan : Locke biasa dan Locke bersuhu 35oC Epinefrin 1:10.000
Locke tanpa kalsium CaCl2 1% Asetilkolin 1:1.000.000 Pilokaprin
0,5% BaCl2 1%7. Es dan waskomTata Kerja Praktikum :1. Susunlah alat
menurut gambar2. Hangatkan air dalam gelas beker pireks sehingga
larutan locke didalam tabung perfusi mencapai suhu 35oC3. Mintalah
sepotong usus halus kelinci kepada asisten yang bertugas4. Pasang
sediaan usus sebagai berikut :a. Ikatkan dengan benang salah astu
ujubg sediaan usus pada ujung pipa gelas bengkokb. Ikatkan ujung
yang lain pada pencatat usus (usahakan dalam hal ini supaya sediaan
usus tidak terlampau teregang)5. Alirkan udara kedalam larutan
locke dalam tabung perfusi dengan memompa balon dan mengatur klem,
sehingga gelembung udara menggoyangkan sediaan usus yang telah
dipasang6. Selama percobaan, perhatikan suhu larutan locke dalam
tabung perfusi yang harus dipertahankan pada suhu 35oC, kecuali
bila ada petunjuk petunjuk lain.
I. Pengaruh Epinefrin1. Catat 10 kerutan usus sebagai kontrol
pada tromol yang berputar lambat, tetapi setiap kerutan masih
tercatat terpisah2. Catat waktunya dengan interval 5 detik3. Tanpa
menghentikan tromol, teteskan 5 tetes larutan epinefrin 1:10.000
kedalam cairan perfusi4. Teruskan pencatatan, sampai pengaruh
epinefrin terlihat jelas5. Hentikan tromol dan cucilah sediaan usus
untuk menghilangkan pengaruh epinefrin sebagai berikut :a.
Pindahkan pembakar bunsen, kaki tiga, kawat kasa dan gelas beker
pireks dari tabung perfusib. Letakkan sebuah waskom dibawah tabung
perfusic. Bukalah sumbat tabung perfusi sehingga cairan perfusi
keluar sampai habisd. Tutup kembali tabung perfusi, dan isilah
dengan larutan locke yang baru (tidak perlu yang bersuhu 35oC) dan
besarkan aliran udara sehingga usus bergoyang goyange. Buka lahi
sumbat untuk mengeluarkan larutan lockenyaf. Ulangi hal diatas 2
kali lagi sehingga dapat dianggap sediaan usus telah bebas dari
pengaruh epinefring. Sesudah selesai hal hal diatas, tutup kembali
tbaung perfusi, dan isilah dengan larutan locke baru yang bersuhu
35oC (disediakan) serta atur kembalo aliran udaranyah. Pasang
kembali gelas beker pireks, kaki tiga, kawat kasa dan pembakar
bunsenII. Pengaruh Asetilkolin1. Catat 10 kerutan usus sebagai
kontrol2. Tanpa menghentikan tromol, teteskan 2 tetes larutan
asetilkolin 1:1.000.000 kedalam cairan perfusi. Beri tanda pada
saat penetesan3. Teruskan dengan pencatata sampai pengaruh
asetilkolin terlihat jelas4. Hentikan tromol dan cucilah sediaan
usus untuk menghilangkan pengaruh asetilkolin seperti pada ad
I.III. Pengaruh Ion Kalsium1. Catat 10 kerutan usus sebagai
kontrol2. Hentikan tromol dan antilah larutan locke ke dalam tabung
perfusi dengan larutan locke tanpa Ca yang bersuhu 35oC3. Jalankan
kembali tromol dan catatlah terus sampai pengaruh kekurangan ion Ca
terlihat jelas4. Tanpa menghentikan tromol, teteskan 1 tetes CaCl2
1% kedalam cairan perfusi. Beri tanda saat penetesan5. Teruskan
dengan pencatatan, sampai terjadi pemulihan. Bila pemulihan tidak
sempurna gantikanlah cairan dalam tabung perfusi dengan cairan
loxke baru yang bersuhu 35oCIV. Pengaruh Pilokaprin1. Catat 10
kerutan usus sebagai kontrol2. Tanpa menghentikan tromol, teteskan
2 tetes larutan pilokparin 0,5% ke dalam cairan perfusi. Beri tanda
saat penetesan3. Teruskan dengan pencatatan, sehingga pengaruh
pilokaprin terlihat jelas4. Hentikan tromol dan cucilah sediaan
usus untuk menghilangkan pengaruh pilokaprin seperti pada ad. I
4.V. Pengaruh Suhu 1. Catat 10 kerutan usus sebagai kontrol pada
suhu 35oC2. Hentikan tromol dan turunkan suhu cairan perfusi
sebanyak 5oC dengan jalan memindahkan pembakar bunsen dan mengganti
air hangat didalam gelas beker pireks dengan air biasa3. Segera
setelah sampai 30oC, jalankan tromol kembali dan catatlah 10
kerutan usus4. Hentikan tromol lagi dan ulangi percobaan ini dengan
setiap kali menurunkan suhu cairan perfusi sebanyak 5oC, sampai
tercapai 20oC dengan jalan memasukkan potongan potongan es ke dalam
gelas beker pireks. Dengan demikian didapat pencatatan keaktifan
berturut turut pada suhu 35oC, 30oC, 25oC, dan 20oC5. Hentikan
tromol perfusi dan naikkan suhu cairan perfusi sampai 35oC dengan
jalan mengganti air es didalam gelas beker pireks dengan air biasa
kemudian memanaskan air itu6. Segera setelah suhu mencapai 35oC
jalankan tromol kembali dan catatlah 10 kerutan ususCatatan :
Penurunan suhu secara perlahan perlahan akan memberikan hasil yang
memuaskan Penaikan suhu sehingga normal boleh dilakukan lebih cepta
dari pada penurunan suhu Koefisien suhu untuk setiap perbedaan 100C
(Q10) Merupakan perbandingan antara frekuensi pada t 0 Dengan
frekuensi pada (t0 100 ) Sebagai berikut :
Frekuensi pada t0Q10 = Frekuensi pada (t0 100)
Tetapi pengukuran yang paling baik ialah dengan membandingkan
kerja (Work Output) pada t0 dengan kerja pada (t0 100)
Menurut ilmu pesawat : Kerja = Jarak x Beban Oleh karena beban
disini dianggap selalu sama (yaitu berat alat pencatat), maka yang
diperbandingkan disini ialah jarak yaitu : frekuensi per menit x
amplitudo rata-rata, sehingga :
Frekuensi / menit x amplitudo rata-rata pada t0Q10 = Frekuensi /
menit x amplitudo rata-rata (t0 100)
Ini akan memberikan gambaran mengenai perbandingan kerja pada t0
dengan kerja pada suhu (t0 100).
VI. Pengaruh Ion Barium1. Catat 10 kerutan usus sebagai
kontrol2. Tanpa menghentikan tromol, teteskan 1 tetes larutan BaCl2
1% kedalam cairan perfusi. Bila 1 tetes tidak memberikan hasil
setelah 5-10 kerutan, lanjutkan penambahan BaCl2 tetes demi tetes
yang diberikan setiap sesudah 5-10 kerutan yang tidak jelas.
Hasil Praktikuma. Epinefrind. Pilokarpin b. Asetilkolin e. Ion
Barium c. Ion Kalsiumf. Suhu (35 derajat awal)
Suhu (30 derajat) Suhu (25 derajat) Suhu (20 derajat) Suhu (35
derajat kedua) Diskusi
1. Pemberian epinefrin dapat menurunkan kerutan usus. Hal
tersebut dikarenakan kerja dari epinefrin yang mempengaruhi saraf
simpatis. Dimana efek dari saraf simpatis tersebut terhadap usus
adalah penurunan motilitas usus. Sehingga pada sfignograf terlihat
gambaran penurunan usus pasca e
2. Asetilkolin merupakan neurotransmitter pada sistem syaraf
kolinergik. Syaraf ini memicu rangsangan syaraf parasimpatis yang
justru dapat meningkatkan motilitas usus. Pada percobaan terjadi
kenaikan sesaat pada saat pemberian asetilkolin, namun setelah itu
frekuensi menjadi berkurang. Kondisi ini mungkin terjadi akibat
efek usus yang digunakan berulang dan tidak bersih saat membilas
dengan larutan locke sehingga efeknya tidak sesuai seperti yang
diharapkan yaitu meningkatkan frekuensi dan motilitas usus.
3. Ion kalsium merupakan ion yang dibutuhkan otot untuk
berkontraksi. Dalam hal ini, saluran pencernaan lebih banyak
memiliki otot polos yang dapat menggunakan kalsium secara langsung
untuk berikatan dengan filament aktin F pada otot polos sehingga
otot polos berkontraksi. Dalam hasil percobaan ini tidak ditemukan
perbedaan berarti dari kontrol dan penambahan ion kalsium. Hal ini
mungkin terjadi karena cairan locke yang digunakan tidak diganti
dengan cairan locke tanpa ion kalsium. Sehingga tidak ada perbedaan
saat penambahan ion kalsium.
4. Pilokarpin merupakan agonis reseptor muskarinik pada sistem
parasimpatis. Merupakan alkaloid parasimpatomimetik yang biasa
digunakan pada penyakit glaucoma. Karena bersifat
parasimpatomimetik maka efeknya juga mirip dengan asetilkolin. Pada
percobaan dapat dilihat motilitas usus yang meningkat setelah
pemberian pilokarpin. Karena pilokarpin bersifat agonis non
selektif, maka terdapat banyak efek samping yang berkaitan dengan
syaraf kolinergik di seluruh tubuh.5. Ion barium merupakan ion yang
biasa digunakan untuk pencahar. Hal ini terjadi karena ion barium
dapat menghambat kanal ion kalium sehingga membuat otot polos
berkontraksi dan meningkatkan motilitas usus. Pada percobaan dapat
dilihat peningkatan sedikit dari frekuensi motilitas usus namun
kemudian kembali seperti semula. Hal ini dimungkinkan karena usus
sudah cukup lama digunakan dan cairan locke belum diganti sehingga
kadar ion kalium untuk berkontraksi berkurang akibatnya motilitas
usus tidak maksimal.
6. Suhu dapat mempengaruhi motilitas usus. Percobaan yang
dilakukan studier, et al menyebutkan bahwa semakin tinggi suhu maka
semakin tinggi frekuensi dari motilitas usus pada tikus percobaan.
Pada percobaan dapat dilihat semakin suhu diturunkan, maka
frekuensi motilitas usus semakin kecil.
Pertanyaan dan JawabanP-V.1.1 Apa tujuan pengaliran udara
kedalam cairan perfusi ? Digunakan untuk memfiksasi usus
menggunakan gelombang udara yang dialirkan agar usus tidak
goyangP-V1.2. Apa pengaruh epinefrin dalam peercobaan ini ?
Epinefrin berpengaruh sebagai rangsangan simpatis untuk menurunkan
kontraksi ususP-V.1.3. Apa pengaruh Asetilkolin pada sediaan usus ?
Pengaruh asetilkolin pada sediaan usus adalah untuk merangsang
parasimpatis pada usus sehingga akan meningkatkan kontraksi
ususP-V.1.4. Apa pengaruh kekurangan ion Ca terhadap kerutan usus ?
Depolarisasi pada usus akan terganggu, sehingga menurunkan tegangan
aktifasi menyebabkan kontraksi usus akan menurunP-V.1.5. Apa
pengaruh pilokaprin terhadap kerutan usus ? Berpengaruh untuk
merangsang parasimpatis yang meningkatkan kontraksi usus, kerja
dari pilokaprin ini luas jadi tidak bisa dihambat oleh enzim
kolinesteraseP-V.1.6. Apa pengaruh suhu pada keaktifan usus ? Enzim
enzim yang ada pada usus bekerja pada suhu yang optimal, jika suhu
rendah maka kerja enzim menjadi tidak optimal mengakibatkan kerja
otot pada usus akan menurun.P-V.1.7. Apa pengaruh yang diharapkan
terjadi pada penambahan larutan BaCl ? Terjadinya peningkatan
kontraksi pada otot polos usus sehingga akan mempercepat
pengosongan pada usus
Kesimpulan Pada pemberian epinefrin berpengaruh untuk menurunkan
motilitas usus Pemberian asetilkolin berpengaruh pada frekuensi dan
peningkatan motilitas usus Digunakan untuk berkontraksinya otot
polos Pilokaprin mempunyai efek yang sama seperti asetilkolin yaitu
untuk meningkatkan motilitas usus Pemberian ion Barium menyebabkan
kontraksinya otot polos dan peningkatan motilitas usus Suhu
berpengaruh pada motilitas usus dan kerja dari enzim di usus, jika
suhu rendah maka akan menurunkan motilitas usus dan menurunkan
kerja enzim, karena enzim bisa bekerja pada suhu tubuh normal.
DAFTAR PUSTAKA
Sherwood, L. 2001. Fisiologi manusia dari sel ke sistem. Edisi
2. Jakarta: EGC.
Guyton, AC, Hall JE. 2007. Buku ajar fisiologi kedokteran. Edisi
11. Jakarta : EGC.
http://deepblue.lib.umich.edu/bitstream/handle/2027.42/21797/0000196.pdf?sequence110