BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Do Not Resuscitate (DNR) menjadi trend dan issue yang akhir- akhir ini mulai sering diperbincangkan dalam dunia kesehatan. Do Not Resuscitate (DNR) merupakan sebuah perintah jangan dilakukannya resusitasi CPR (cardiopulmonary resusitation) atau Resusitasi Jantung Paru (RJP) bagi tenaga kesehatan ataupun masyarakat umum jika terjadi permasalahan darurat pada jantung pasien atau berhentinya pernapasan. Salah satu yang melatarbelakangi munculnya konsep DNR ialah sejumlah penelitian telah menunjukkan bahwa dalam situasi klinis tertentu CPR hampir selalu sia-sia. Jarang sekali pasien bertahan hidup setelah dilakukan RJP ketika henti jantung yang timbul disebabkan oleh penyakit selain jantung atau disfungsi organ. Harapan hidup pasien setelah dilakukan tindakan RJP sangat buruk (<5%) bila henti jantung terjadi pada pasien dengan gagal ginjal, kanker (kecuali dengan penyakit yang minimal), atau AIDS; dan dengan tidak adanya penyakit penyebab yang irreversible, diikuti dengan trauma, perdarahan, hipotensi yang berkepanjangan atau pneumonia. Asosiasi Kedokteran Amerika menjadi organisasi pertama yang mengusulkan pemberlakuan kebijakan DNR tersebut secara formal yang dikomunikasikan kepada seluruh staff terkait tentang kebijakan baru tersebut (American Medical Association, 1974 dalam Brewer, 2008). Asosiasi Perawat Amerika juga membicarakan tentang kebijakan DNR, bahwa keputusan DNR diambil dengan sebelumnya telah diinformasikan kepada pasien dan keluarganya mengenai keuntungan dan kerugian, serta 1
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Do Not Resuscitate (DNR) menjadi trend dan issue yang akhir-akhir ini mulai
sering diperbincangkan dalam dunia kesehatan. Do Not Resuscitate
(DNR) merupakan sebuah perintah jangan dilakukannya resusitasi CPR
(cardiopulmonary resusitation) atau Resusitasi Jantung Paru (RJP) bagi tenaga
kesehatan ataupun masyarakat umum jika terjadi permasalahan darurat pada
jantung pasien atau berhentinya pernapasan. Salah satu yang melatarbelakangi
munculnya konsep DNR ialah sejumlah penelitian telah menunjukkan bahwa dalam
situasi klinis tertentu CPR hampir selalu sia-sia. Jarang sekali pasien bertahan
hidup setelah dilakukan RJP ketika henti jantung yang timbul disebabkan oleh
penyakit selain jantung atau disfungsi organ. Harapan hidup pasien setelah
dilakukan tindakan RJP sangat buruk (<5%) bila henti jantung terjadi pada pasien
dengan gagal ginjal, kanker (kecuali dengan penyakit yang minimal), atau AIDS;
dan dengan tidak adanya penyakit penyebab yang irreversible, diikuti dengan
trauma, perdarahan, hipotensi yang berkepanjangan atau pneumonia.
Asosiasi Kedokteran Amerika menjadi organisasi pertama yang mengusulkan
pemberlakuan kebijakan DNR tersebut secara formal yang dikomunikasikan
kepada seluruh staff terkait tentang kebijakan baru tersebut (American Medical
Association, 1974 dalam Brewer, 2008). Asosiasi Perawat Amerika juga
membicarakan tentang kebijakan DNR, bahwa keputusan DNR diambil dengan
sebelumnya telah diinformasikan kepada pasien dan keluarganya mengenai
keuntungan dan kerugian, serta disepakati oleh semua pihak yang terlibat dalam
dokumen baku untuk menghindari tuntutan (American Nurses Association, 2003
dalam Brewer, 2008).
Sering kali DNR ini disalahartikan oleh para tim medis bahwa pasien DNR
tidak akan dilakukan tindakan medis apapun padahal sebenarnya tidak demikian.
DNR tidak berarti semua tatalaksana / penanganan aktif terhadap kondisi pasien
diberhentikan. Pemeriksaan dan penanganan pasien (misalnya terapi intravena,
pemberian obat-obatan) tetap dilakukan pada pasien DNR. Semua perawatan
mendasar harus terus dilakukan, tanpa kecuali. Oleh karena itu pemahaman
konsep mengenai DNR sangat penting bagi perawat, selain itu sebagai seorang
perawat juga diharapkan mampu berkomunikasi kepada pasien atau keluarga
1
pasien terkait pengambilan keputusan untuk melakukan DNR dengan tetap
memperhatikan prinsip-prinsip etik di dalam keperawatan.
1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum
Meningkatkan pemahaman perawat mengenai konsep DNR (Do Not
Resusitation)
1.2.2 Tujuan Khusus
1. Mengetahui pengertian DNR
2. Mengetahui kriteria DNR
3. Mengetahui prinsip DNR
4. Mengetahui prosedur mendiskusikan DNR
5. Mengetahui SOP DNR
6. Mengetahui Etik DNR
7. Mengetahui perannya dalam pasien DNR
8. Mengetahui tentang konsep RJP
1.3 Manfaat
Dilakukan penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi semua
pihak yang terkait diantaranya yakni bagi perawat di IGD dr.Soepraoen agar dapat
lebih memahami konsep DNR secara jelas. Serta sebagai masukan kepada rumah
sakit agar dapat menerapkan sistem DNR dengan benar sesuai prosedur.
2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian DNR
DNR atau do-not-resuscitate adalah suatu perintah yang memberitahukan
tenaga medis untuk tidak melakukan CPR. Hal ini berarti bahwa dokter, perawat,
dan tenaga emergensi medis tidak akan melakukan usaha CPR emergensi bila
pernapasan maupun jantung pasien berhenti.
Do Not Resuscitation (DNR), sebuah perintah jangan dilakukan Resusitasi,
adalah pesan untuk tenaga kesehatan ataupun masyarakat umum untuk tidak
mencoba melakukan atau memberikan tindakan pertolongan berupa CPR
(cardiopulmonary resuscitation) atau Resusitasi Jantung Paru (RJP) jika terjadi
permasalahan darurat pada jantung pasien atau terjadinya henti napas pada
pasien (Wahyu, 2013).
Tindakan Do Not Resuscitate (DNR): adalah suatu tindakan di mana jika
pasien mengalami henti jantung dan atau napas, paramedis tidak akan dipanggil
dan tidak akan dilakukan usaha resusitasi jantung-paru dasar maupun lanjut.Jika
pasien mengalami henti jantung dan atau napas, lakukan asesmen segera untuk
mengidentifikasi penyebab dan memeriksa posisi pasien, patensi jalan napas, dan
sebagainya. Tidak perlu melakukan usaha bantuan hidup dasar maupun lanjut.
DNR tidak berarti semua tatalaksana / penanganan aktif terhadap kondisi
pasien diberhentikan. Pemeriksaan dan penanganan pasien (misalnya terapi
intravena, pemberian obat-obatan) tetap dilakukan pada pasien DNR. Semua
perawatan mendasar harus terus dilakukan, tanpa kecuali.
1.2 Kriteria DNR
1. Usia pasien harus > 18 tahun
2. Pasien harus kompeten dan memiliki kapasitas yang baik secara mental
untuk mengambil keputusan
3. Keputusan ini harus tertulis, yang berarti harus ditulis oleh pasien sendiri atau
keluarga / kerabat yang dipercaya oleh pasien, dan harus dicatat di rekam
medis.
4. Harus ditandatangani oleh 2 orang, yaitu:
a. Penulis / pembuat keputusan atau oleh orang lain atas nama pasien
sambil diarahkan oleh pasien (jika pasien tidak mampu
menandatanganinya sendiri)
b. Orang lain sebagai saksi
3
5. Harus diverifikasi oleh pernyataan spesifik yang dilakukan oleh pembuat
keputusan, dapat dituliskan di dokumen lain / terpisah, yang menyatakan
bahwa keputusan dini ini diaplikasikan untuk tindakan / penanganan spesifik,
bahkan jika terdapat risiko kematian.
6. Pernyataan keputusan dini di dokumen terpisah ini juga harus ditandatangani
dan disaksikan oleh 2 orang (salah satunya pasien).
7. Diskusi antara dokter dengan keluarga pasien mengenai keputusan ini harus
atas izin pasien.
8. Jika pasien tidak kompeten secara mental, diskusi dapat dilakukan dengan
keluarga / wali sah pasien dengan mempertimbangkan kondisi dan keinginan
pasien. Jika tidak terdapat keluarga / wali yang sah, keputusan dapat diambil
oleh dokter penanggungjawab pasien.
9. Jika terdapat situasi di mana pasien kehilangan kompetensinya untuk
mengambil keputusan tetapi telah membuat ‘keputusan dini DNR’
sebelumnya yang valid, keputusan ini haruslah tetap dihargai.
10. Dokter dapat tidak mengindahkan keputusan dini yang dibuat oleh pasien,
jika terdapat hal-hal berikut ini:
a. Pasien telah melakukan hal-hal yang tidak konsisten terhadap keputusan
dini /awal yang dibuat, yang mempengaruhi validitas keputusan tersebut
(misalnya, pasien pindah agama)
b. Terdapat situasi yang tidak diantisipasi oleh pasien dan situasi tersebut
dapat mempengaruhi keputusan pasien (misalnya, perkembangan terkini
dalam tatalaksana pasien yang secara drastis mengubah prospek kondisi
tertentu pasien).
c. Situasi / kondisi yang ada tidak jelas dan tidak dapat diprediksi
d. Terdapat perdebatan / perselisihan mengenai validitas keputusan dini /
awal dan kasus tersebut telah dibawa ke pengadilan.
e. Jika terdapat keraguan terhadap apa yang pasien inginkan / maksudkan,
paramedis harus bertindak sesuai dengan kepentingan / hal yang terbaik
untuk pasien. Dapat meminta saran dari dokter senior juga.
11. Tatalaksana emergensi tidak boleh tertunda hanya kerena mencari ada
tidaknya instruksi DNR pasien jika tidak terdapat indikasi jelas bahwa
instrusksi tersebut ada.
12. Pasien tidak diperbolehkan menolak perawatan dasar yang diberikan.
13. Perawatan dasar ini didefinisikan sebagai pemberian tempat tidur yang
nyaman dan hangat, pengurang rasa sakit / analgesik, manajemen gejala-
4
gejala yang memicu stress fisik (seperti sesak napas, muntah,
inkontinensia), dan manajemen higene / kebersihan diri pasien.
14. Jika pasien tetap menolak perawatan dasar, dokter yang bertugas
sebaiknya meminta saran dari dokter senior, dan masalah ini dapat juga
dibawa ke komisi etik.
15. Rumah sakit sebaiknya membuat kerangka konsep dalam hal mengambil
keputusan DNR.
1.3 Prinsip Pelaksanaan DNR
1. Harus tetap ada anggapan untuk selalu melakukan resusitasi kecuali telah
dibuat keputusan secara lisan dan tertulis untuk tidak melakukan resusitasi
(DNR).
2. Keputusan tindakan DNR ini harus dicatat di rekam medis pasien.
3. Komunikasi yang baik sangatlah penting.
4. Dokter harus berdiskusi dengan pasien yang memiliki kemungkinan henti
napas / jantung mengenai tindakan apa yang pasien ingin tim medis lakukan
jika hal ini terjadi.
5. Pasien harus diberikan informasi selengkap-lengkapnya mengenai kondisi
dan penyakit pasien, prosedur RJP dan hasil yang mungkin terjadi.
6. Tanggung jawab dalam mengambil keputusan DNR terletak pada konsultan /
dokter umum yang bertanggungjawab atas pasien. Jika terdapat keraguan
dalam mengambil keputusan, dapat meminta saran dari dokter senior.
7. RJP sebaiknya tidak dilakukan pada kondisi-kondisi berikut ini:
a. RJP dinilai tidak dapat mengembalikan fungsi jantung dan pernapasan
pasien
b. Pasien dewasa, yang kompeten secara mental dan memiliki kapasitas
untuk mengambil keputusan, menolak untuk dilakukan usaha RJP
c. Terdapat alasan yang valid, kuat, dan dapat diterima mengenai
pengambilan keputusan untuk tidak melakukan tindakan RJP.
d. Terdapat perintah DNR sebelumnya yang valid, lengkap, dan dengan
alasan kuat.
e. Pada pasien-pasien yang berada dalam fase terminal penyakitnya, di
mana tindakan RJP tidak dapat menunda fase terminal / kodisi
sekarat pasien dan tidak memberikan keuntungan terapetik (risiko /
yang dialami pasien merupakan kejadian alamiah akibat penyakit
terminal yang diderita. Pada kasus ini, RJP mungkin dapat
5
mengembalikan fungsi jantung-paru pasien secara sementara tetapi
kondisi keseluruhan pasien dapat memburuk dan henti jantung /
napas akan terjadi kembali, yang merupakan bagian dari proses
alamiah dan tidak dapat terhindarkan dari proses kematian pasien.
Melakukan RJP pada kasus di atas akan membahayakan / merugikan
pasien dan bertolak belakang dengan etika kedokteran (prinsip ‘do no
harm’).
8. Semua pasien harus menjalani asesmen secara personal.
9. Pengambilan keputusan DNR harus merupakan langkah terbaik untuk pasien
dan harus didiskusikan dengan pasien meskipun tidak ada kewajiban secara
etika untuk mendiskusikan DNR dengan pasien-pasien yang menjalani
perawatan paliatif (di mana usaha RJP adalah sia-sia).
10. Diskusi dengan pasien dan keluarga merupakan hal yang penting dan
tergantung dengan kapasitas mental dan harapan hidup pasien. Diskusi dapat
dilakukan oleh konsultan rumah sakit, dokter umum, atau perawat yang
bertugas. Staf harus memberitahukan hasil diskusi mereka dengan pasien
kepada dokter penanggungjawab pasien.
11. Jika, pada situasi tertentu, terdapat perbedaan pendapat antara dokter dan
pasien mengenai tindakan DNR, dokter harus menghargai keinginan pasien
(yang kompeten secara mental).
12. Hasil diskusi dengan pasien dan atau keluarganya harus dicatat di rekam
medis pasien.
13. Di rekam medis, harus tercantum:
a. Tulisan ‘Pasien ini tidak dilakukan resusitasi’
b. Tulis tanggal dan waktu pengambilan keputusan
c. Indikasi / alasan tindakan DNR
d. Batas waktu berlakunya instruksi DNR
e. Nama dokter penanggungjawab pasien
f. Ditandatangani oleh dokter penanggungjawab pasien (yang mengambil
keputusan)
g. Contoh:
Tanggal 18 Maret 2010
Pukul 10.30 WIB
Tidak dilakukan RJP
Indikasi: syok kardiogenik
Batas waktu: 24 jam
6
14. Pada beberapa kasus, tidak terdapat batasan waktu pemberlakuan instruksi
DNR, misalnya: keganasan fase terminal.
15. Pada pasien asing (luar negeri) dan populasi etnis minoritas di mana terdapat
kesulitan pemahaman bahasa, harus terdapat layanan penerjemah yang
kompeten.
16. DNR hanya berarti tidak dilakukan tindakan RJP. Penanganan dan
tatalaksana pasien lainnya tetap dilakukan dengan optimal.
17. Tindakan DNR dapat dipertimbangkan dalam kondisi-kondisi sebagai berikut:
a. Pasien berada dalam fase terminal penyakitnya atau kerugian /
penderitaan yang dirasakan pasien saat menjalani terapi melebihi
keuntungan dilakukannya terapi.
b. Pasien, yang kompeten secara mental dan memiliki kapasitas untuk
mengambil keputusan, menolak untuk dilakukan usaha RJP.
c. RJP bertentangan dengan keputusan dini /awal yang dibuat oleh pasien,
yang bersifat valid dan matang, mengenai penolakan semua tindakan
untuk mempertahankan hidup pasien.
1.4 Prosedur Mendiskusikan DNR Bersama Pasien
1. Pastikan tercipta suasana yang kondusif, tenang, privasi pasien terjaga.
2. Kehadiran yang lengkap dari orang-orang yang ingin dilibatkan oleh pasien
dalam mendiskusikan hal ini.
3. Komunikasi dan tatap mata sebaiknya sejajar dengan tinggi / posisi pasien.
4. Jika pasien tidak keberatan, ajaklah satu orang perawat untuk mendampingi
diskusi.
5. Perawat dapat membantu dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan pasien,
memberi dukungan dan penguatan kepada pasien setelah dokter
meninggalkan ruangan.
6. Mulailah dengan memberikan pertanyaan – pertanyaan umum seperti
bagaimanakah pandangan pasien terhadap penyakit dan tatalaksana yang
dijalaninya.
7. Mengangkat topik utama:
a. Mulai dengan menyatakan: “Saya ingin berdiskusi dengan Anda.”
b. “Apa yang Anda ingin kami (paramedis) lakukan jika suatu waktu Anda
menjadi terlalu sakit untuk dapat berbicara dengan kami?”
c. Salah satu hal penting adalah mengenai pertanyaan tindakan resusitasi.
7
d. “Meskipun hal ini jarang terjadi, saya perlu untuk mempertimbangkan
mengenai tindakan apa yang harus kami lakukan jika jantung Anda
berhenti.”
e. “Beberapa orang memiliki pandangan yang kuat terhadap seberapa
banyak penanganan yang ingin mereka terima jika mereka menjadi
sangat sakit. Saya ingin tahu apakah Anda pernah memikirkan hal ini.”
8. Pemilihan waktu untuk berdiskusi:
a. Bukan waktu yang bagus untuk melakukan diskusi segera setelah
diagnosis ditegakkan.
b. Waktu diskusi yang terbaik adalah saat diagnosis dan prognosis sudah
jelas dan saat pasien telah mengetahui dan menerima penyakitnya.
9. Berusahalah untuk membangun pemahaman pasien mengenai situasinya
saat ini, sifat dasar resusitasi, kemungkinan tingkat keberhasilan resusitasi
jika dilakukan, serta harapan dan keinginan pasien. Pasien dan keluarganya
sering memiliki harapan / ekspektasi yang tidak realistis dari nilai resusitasi.
10. Berikan informasi mengenai RJP menggunakan kata-kata sederhana
yang dapat dimengerti oleh pasien.
11. Tingkat pemberian informasi harus dinilai dari respons dan
pemahaman setiap pasien.
12. Jika tidak tercapai kesepakatan, berikan pendapat dari sudut pandang
dokter (paramedis) mengenai kondisi pasien dan tindakan RJP. Dapat
dengan menyatakan: “Pendapat saya mungkin berbeda dengan apa yang
Anda inginkan. Karena alasan itulah saya ingin berdiskusi dengan Anda.”
13. Cobalah untuk mengerti:
a. Sudut pandang pasien
b. Nilai-nilai yang dianut oleh pasien
c. Ruang lingkup pengaplikasian (misalnya, penanganan apa saja yang
dijalani pasien)
14. Catat sudut pandang pasien, nilai-nilai yang dianut oleh pasien, dan ruang
lingkup pengaplikasian di rekam medis.
15. Diskusikan keputusan mengenai RJP dalam konteks positif sebagai bagian
dari perawatan suportif. Banyak pasien yang merasa takut diabaikan /
ditelantarkan dan merasa nyeri, melebihi rasa takutnya akan kematian.
16. Petugas harus menekankan mengenai terapi-terapi mana saja yang akan
tetap diberikan, pasien masih akan tetap dikunjungi oleh dokter secara
teratur, pengendalian nyeri, dan memberikan kenyamanan kepada pasien.
8
17. Penting untuk memisahkan / membedakan keputusan DNR dengan
keputusan mengenai manajemen pasien lainnya.
18. Dengan memberikan kesempatan kepada pasien untuk berdiskusi dengan
dokter, akan membuat pasien merasa dihargai dan menurunkan tingkat
kecemasan / stress pasien juga.
1.5 SOP DNR
Penolakan Resusitasi/Bantuan Hidup DasarNomor Dokumen Nomor Revisi Halaman
Petunjuk Pelaksanaan
Tanggal Terbit Disetujui Oleh
Pengertian Suatu perintah yang memberitahukan tenaga medis untuk tidak melakukan cpr ( cardio pulmonary resuscitation)
Tujuan Untuk menyediakan suatu proses dimana pasien bisa memilih prosedur yang nyaman dalam hal bantuan hidup oleh tenaga medis emergency dalam [kasus henti jantung / henti nafas.
Kebijakan Surat penugasan oleh direktur rumah sakit tentang penunjukkan prosedur penolakan resusitas.
Prosedur Ucapkan salam “ assalamualaikum...” Jelaskan mengenai tindakan dan tujuan cpr kepada pasien /
keluarga pasien. Mintakan informed consent dari pasien atau keluarganya. instruksikan kepada keluarga pasien untuk mengisi formulir dnr. Tempatkan salinan pada rekam medis pasien dan serahkan juga
salinan pada pasien atau keluarga Instruksikan kepada pasien atau keluarga untuk memasang
formulir dnr di tempat-tempat yang mudah dilihat seperti bedstand.
Tinjau kembali status dnr secara berkala dengan pasien atau walinya, revisi bila ada perubahan keputusan yang terjadi dan catat dalam rekam medis. Bila keputusan dnr dibatalkan, catat tanggal terjadinya. Dan gelang dnr dimusnahkan
Perintah dnr harus mencakup hal-hal di bawah ini:A. DiagnosisB. Alasan dnrC. Kemampuan pasien untuk membuat keputusanD. Dokumentasi bahwa status dnr telah ditetapkan dan oleh siapa
Perintah dnr dapat dibatalkan dengan keputusan pasien sendiri atau dokter yang merawat, atau oleh wali yang sah. Dalam hal ini, catatan dnr di rekam medis harus pula dibatalkan dan gelang dnr (jika ada) harus dimusnahkan
Unit Terkait Dokter IGD Ruang Rawat Inap
(Sumber : Wahyu, 2013)
9
1.6 Prinsip Etik DNR
Keputusan penolakan resusitasi (DNR) menurut Brewer (2008) melibatkan
tiga prinsip moral yang dapat dikaji oleh perawat, yaitu autonomy,
beneficience, dan nonmalefecience, ketiga prinsip tersebut merupakan
dilema etik yang menuntut perawat berpikir kritis, karena terdapat dua
perbedaan nilai terhadap profesionalisme dalam memberikan asuhan
keperawatan, secara profesional perawat ingin memberikan pelayanan
secara optimal, tetapi disatu sisi terdapat pendapat yang mengharuskan
penghentian tindakan.
a. Prinsip Beneficence
Prinsip beneficence pada RJP adalah pemulihan kesehatan dan fungsi-
fungsinya serta meringankan rasa sakit dan penderitaan. Keuntungan
terbesar dari tindakan RJP, dengan kemungkinan hidup lebih dari 20%,
telah dilaporkan pada henti jantung selama tindakan anestesi, overdosis
obat, dan penyakit jantung koroner atau aritmia ventriculer primer.
Jarang sekali pasien bertahan hidup setelah dilakukan RJP ketika henti
jantung yang timbul disebabkan oleh penyakit selain jantung atau
disfungsi organ. Harapan hidup pasien setelah dilakukan tindakan RJP
sangat buruk (<5%) bila henti jantung terjadi pada pasien dengan gagal
ginjal, kanker (kecuali dengan penyakit yang minimal), atau AIDS; dan
dengan tidak adanya penyakit penyebab yang irrevers- ible, diikuti
dengan trauma, perdarahan, hipotensi yang berkepanjangan atau
pneumonia. Dibatasinya pelaksanaan RJP telah meningkatkan derajat
harapan hidup pasien sebesar 10,5% setelah tindakan RJP, meskipun 7-
10% lainnya ditunda untuk dilakukan RJP. RJP yang dimulai dengan cepat
di Seattle menghasilkan tingkat harapan hidup sebesar 36%, Usia bukan
merupakan salah satu kontraindikasi dilakukannya tindakan RJP.
Walaupun dikatakan proses penuaan berkaitan dengan akumulasi
berbagai kelemahan dan penyakit, dengan terdapatnya perawatan jangka
panjang dan penurunan fungsi tubuh, masih menjadi salah satu
perkiraan hasil RJP yang buruk.
b. Prinsip Non Maleficence
Banyak pasien dengan disabilitas berat yang diikuti dengan
kerusakan otak berada dalam kondisi yang sama dengan kematian. RJP
menjadi berbahaya dan bersifat merusak ketika risiko kerusakan otak
10
relatif tinggi. Oleh karena gangguan aliran darah ke otak atau ke jantung
dapat menyebabkan kerusakan berat, RJP dapat dikatakan berhasil
hanya jika dilakukan tepat waktu. Pada beberapa kasus, walaupun
petugas gawat darurat sudah membatasi dilakukannya tindakan RJP
di lapangan, masih dapat ditemukan bukti RJP yang tidak dikehendaki.
c. Prinsip Otonomi
Otonomi pasien harus dihormati secara etik dan di sebagian besar
negara dihormati secara legal. Akan tetapi hal itu membutuhkan
kemampuan komunikasi seorang pasien untuk dapat menyetujui atau
menolak tindakan medis termasuk RJP. Informed consent
mensyaratkan bahwa pasien dapat menerima dan memahami informasi
yang akurat tentang kondisi mereka dan prognosis, jenis tindakan
medik yang diusulkan, tindakan alternatif lainnya, risiko dan manfaat dari
tindakan medis tersebut. Pasien juga harus dinilai kapasitasnya dalam
mengambil keputusan. Bila pasien ragu-ragu maka dia harus dianggap
mempunyai kapasitas, dan bila kapasitas dalam mengambil keputusan
tersebut terganggu. Baik dokter dan penderita mungkin mempunyai
persepsi yang berbeda tentang kualitas hidup. Dokter mempunyai
kewajiban untuk menerangkan kepada pasien tentang RJP dan
hasilnya. Pengambilan keputusan yang tepat dapat terjadi bila
penderita mempunyai pemahaman yang baik tentang persepsi dan
hasil resusitasi. Masalah kemudian dapat timbul karena banyak dokter
tidak dapat memprediksi secara akurat tentang kemungkinan hidup dari
serangan jantung, sehingga penderita tidak dapat dipaksa untuk
mengambil persetujuan tentang tindakan RJP
2.7 Peran Perawat Pada Pasien DNR
Secara umum menurut Adam et al (2011), peran perawat ketika menghadapi
pasien DNR diantaranya adalah):
1) Membina hubungan saling percaya antara perawat, pasien dan keluarga.
2) Memfasilitasi pasien dan keluarga terkait kebutuhan (kehadiran
rohaniawan).
3) Menghormati setiap keputusan yang diambil oleh pasien dan keluarga.
4) Mengidentifikasi persepsi keluarga tentang kematian.
5) Mengidentifikasi pengambil keputusan dalam keluarga.
6) Menjawab pertanyaan keluarga secara terbuka dan jujur.
11
7) Mendampingi pasien menghadapi proses kematian.
8) Memberikan dukungan kepada pasien dan keluarga.
9) Berkolaborasi dengan tenaga kesehatan lain terkait dengan keputusan
DNR.
10) Memberikan tanda berupa gelang berwarna ungu kepada pasien yang telah
dinyatakan DNR
2.8 Konsep RJP
2.8.1 Pengert ian
Suatu tindakan untuk mengembalikan fungsi pernafasan dan sirkulasi guna