BAB I PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang DNA (Deoxyribose Nucleic Acid) adalah suatu polimer yang monomernya terdiri atas gula, basa nukleotida, dan gugus fosfat. Secara alami, polimer DNA membentuk untai ganda yang disatabilkan oleh ikatan hidrogen antara pasangan basa. Setiap sel mengandung untai DNA yang disebut kromosom yang diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya setelah kromosom tersebut bereplikasi menjadi dua komponen yang identik. Sel eukariot mengandung sejumlah molekul DNA yang masing-masing berukuran jauh lebih besar dari satu molekul DNA di dalam prokariot. Molekul DNA dalam eukariot bergabung dengan sistem protein dan dikelompokkan menjadi serabut kromatin dalam molekul yang dikelilingi oleh sistem membran ganda yang bersifat 1
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAB I
PENDAHULUAN
1. 1 Latar Belakang
DNA (Deoxyribose Nucleic Acid) adalah suatu polimer yang monomernya
terdiri atas gula, basa nukleotida, dan gugus fosfat. Secara alami, polimer DNA
membentuk untai ganda yang disatabilkan oleh ikatan hidrogen antara pasangan basa.
Setiap sel mengandung untai DNA yang disebut kromosom yang diturunkan dari satu
generasi ke generasi berikutnya setelah kromosom tersebut bereplikasi menjadi dua
komponen yang identik.
Sel eukariot mengandung sejumlah molekul DNA yang masing-masing
berukuran jauh lebih besar dari satu molekul DNA di dalam prokariot. Molekul DNA
dalam eukariot bergabung dengan sistem protein dan dikelompokkan menjadi serabut
kromatin dalam molekul yang dikelilingi oleh sistem membran ganda yang bersifat
kompleks. DNA berperan dalam menyimpan informasi genetik yang menentukan
karakteristik dari suatu organisme tertentu.
DNA mitokondria berbeda dengan DNA inti walaupun keduanya berada
dalam satu sel. DNA mitokondria memiliki fungsi yang sangat penting dalam
hubungannya dengan pemasokan energi. Pewarisan DNA mitokondria dilakukan
secara maternal dan tidak ada rekombinasi. Pada DNA mitokondria terdapat daerah
pengontrol yang tidak mengkode (noncoding region), yang dikenal dengan daerah
displacement loop (D-loop).
1
PCR (Polymerase Chain Reaction) merupakan teknik in vitro yang sangat
berguna dalam membuat salinan DNA. PCR memungkinkan sejumlah kecil sekuens
DNA tertentu disalin untuk diperbanyak atau dimodifikasi secara tertentu. Dengan
teknik ini, perbanyakan fragmen DNA dapat dilakukan secara cepat dan spesifik.
PCR memanfaatkan enzim DNA polimerase yang secara alami memang berperan
dalam perbanyakan dalam proses replikasi. Teknik PCR dilakukan dengan siklus
suhu berulang. Setiap siklus terdiri atas tahap denaturasi (pembukaan untai ganda
DNA) pada suhu 92,5˚ – 97,5˚C; annealing (penempelan primer) pada suhu 60˚C; dan
polimerisasi (perpanjangan primer) pada suhu 70-75˚C.
Salah satu sifat unik DNA mitokondria adalah laju mutasi yang relatif lebih
tinggi dibandingkan DNA inti. Laju mutasi DNA mitokondria yang tinggi
menyebabkan adanya perbedaan urutan nukleotida DNA mitokondria antar individu
(tingkat polimorfisme yang tinggi). Karena sifat tersebut, DNA mitokondria dapat
dimanfaatkan untuk menetukan keragaman genetik antar individu dalam suatu
populasi, hubungan evolusi diantara populasi, dan rekonstruksi migrasi suatu
populasi.
Oleh karena itulah kami mencoba untuk mengisolasi, mengamplifikasi, dan
mengkarakterisasi fragmen D-Loop DNA mitokondria. Sampel yang digunakan
berasal dari sel folikel akar rambut. Digunakannya sel folikel akar rambut sebagai
sampel adalah karena sel tersebut dapat dikatakan mewakili keseluruhan jenis sel
yang ada pada tubuh manusia. Hal ini disebabkan karena sel tersebut bersumber dari
satu sel telur yang memiliki satu jenis DNA mitokondria, yang kemudian
2
terdiferensiasi seiring dengan perkembangan embrio. Pada fase perkembangan
selanjutnya menjadi manusia dewasa, diferensisasi ini tidak menyebabkan adanya
perubahan pada urutan nukleotida DNA mitokondria pada sel rambut dalam satu
individu. Oleh karena itu, urutan nukleotida D-loop DNA mitokondria pada sel
folikel rambut untuk tiap individu menunjukkan mutasi yang sama.
1. 2 Identifikasi Masalah
Masalah-masalah yang timbul dari penelitian yang dilakukan diantaranya :
1. Keberadaan DNA mitokondria dalam sel folikel rambut.
2. Amplifikasi fragmen D-Loop DNA mitokondria.
3. Karakterisasi fragmen D-Loop DNA mitokondria.
1. 3 Maksud dan Tujuan
1. Mengisolasi DNA mitokondria dari sampel sel folikel akar rambut dengan
cara lisis sel.
2. Mengamplifikasi daerah fragmen D-Loop DNA mitokondria secara in vitro
dengan teknik PCR.
3. Mengkarakterisasi fragmen DNA hasil PCR dengan metode elektoforesis gel
agarosa.
1. 4 Kegunaan Percobaan
Hasil praktikum ini diharapkan dapat berguna untuk :
3
1. Memberikan informasi tentang fragmen D-Loop DNA mitokondria dari sel
folikel akar rambut.
2. Perkembangan ilmu pengetahuan khususnya di bidang ilmu Biokimia.
1. 5 Metodologi Percobaan
Tahapan penelitian yang dilakukan meliputi penyiapan templat DNA
mitokondria dengan cara lisis sel, amplifikasi fragmen D-loop DNA mitokondria
dengan metode Polymerase Chain Reaction (PCR), dan analisis hasil PCR dengan
menggunakan elektroforesis gel agarosa.
1. 6 Tempat dan Waktu Percobaan
Percobaan ini bertempat di laboratorium Biokimia jurusan Kimia FMIPA
UNPAD, jalan Singa perbangsa No. 2, pada tanggal 26 November 2009 dan 3
Desember 2009.
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Mitokondria
Mitokondria berasal dari kata Yunani mito yang berarti benang dan chondrion
yang berarti seperti granul (butiran-butiran), sehingga dapat diartikan sebagai organel
dengan rangkaian butir-butir yang tersusun seperti benang. Mitokondria merupakan
orgnel yang unik karena memiliki DNA tersendiri dengan sifat-sifat yang spesifik
pula (Santosa et al.,2005).
Mitokondria memiliki dua membran, luar dan dalam. Membran dalam berlipat
membentuk Krista. Ruang antar mabran berada antara membran dan matriks menutup
membran dalam. Bentuk dan jumlah mitokondria berbeda tipa jenis sel tergantung
pada kebutuhan energi sel tersebut (Stryer, 2002). Protein yang terlibat di dalam
respirasi sel dan sintesis ATP berada di dalam membrane dalam (Lehtinen, 2001).
2.2 DNA
DNA adalah pembawa informasi genetik yang paling bertanggung jawab atas
karakteristik dari suatu sel. Semua informasi tersebut dikode dalam struktur DNA.
DNA marupakan polimer nukleotida yang sangat panjang. Setiap nukleotida terdiri
dari tiga unit, yaitu suatu gula dengan 5 atom C, suatu basa nitrogen dan basa fosfat.
Basa Nitrogen adalah cincin heterosiklik yang mempunyai kerangka karbon dan
nitrogen. Ada dua kelas basa nitrogen, yaitu puri dan pirimidin. Purin terdiri dari
5
cincin dengan 6 atom karbon bercampur dengan cincin dengan 5 atom karbon,
sedangkan pirimidin terdiri dari suatu cincin tunggal mengandung 6 atom karbon.
Nukleotida terdiri dari kombinasi satu buah gula, satu buah basa nitrogen dan paling
seikit satu buah gugus fosfat. Suatu rantai tunggal DNA merupakan suatu polimer
dari nukleotida-nukleotida yang berikatan satu sama lain dengan ikatan fosfodiester
3’-5’. Kerangka dari polimer tersebut disebut kerangka gula fosfat karena terdiri dari
unit-unit gula deoksiribosa dan gugus fosfat pada ikatan fosfodiesternya. Rantai
tunggal DNA kemudian berikatan dengan rantai tunggal lainnya sehingga menjadi
rantai ganda DNA. Kemudian pada rantai ganda DNA tersebut membentuk rantai
komplementer yang berbentuk heliks. Pembentukan struktur heliks ini terjadi karena
terbentuknya pasangan-pasangan basa (Chinnery & Turnbull, 2000).
2.3 DNA Mitokondria
DNA mitokondria berbeda dengan DNA inti walaupun keduanya berada
dalam satu sel. Pewrisan sifat DNA mitokondria dilakukan secara maternaldan tidak
ada rekombinasi. Pada DNA ini terjadi laju mutasi yang tinggi. Karena sifat tersebut,
DNA mitokondria dapat dimanfaatkan untuk menentukan keragaman genetic antar
individu dalam suatu populasi, hubungan evolusi diantara populasi dan rekonstruksi
migrasi suatu populasi. DNA mitokondria memiliki fungsi yang sangat penting dalam
hubungannya denagn pemasokan energi. Untuk kebanyakan organisme, kecuali ragi
yang bersifat anaerob fakultatif sehingga energinya dihasilkan tanpa membutuhkan
6
aktifitas mitokondria. DNA mitokondria pada umumny berbentuk silkular (Chinnery,
2003).
Perbedaan sifat khas mtDNA berbeda dengan DNA inti adalah:
1. mtDNA adalah genom multikopi. Tiap sel mengandung ratusan mitokondria
dan tiap mitokondria mengandung 5-10 kopi mtDNA (Goto, 2001). Tiap sel
mengandung 500-10.000 molekul mtDNA, tergantung jaringan dan kebutuhan
energi. Pada oosit dewasa terdapat 100.000-600.000 molekul mtDNA
(Reynier et al, 1998). Oosit menyimpan mitokondria untuk mengimbangi
kurangnya reflikasi mtDNA selama fase pembelahan pertama embrio
(Schaefer et al., 2001).
2. Dalam satu sel, semua molekul mtDNA dapat bersifat idendtik (homoplasmi),
atau terdiri dari dua tipe molekul mtDNA yang memiliki urutan yang berbeda,
yang keduanya berada dalam sel, jaringan atau bahkan di organelyang sama
(heteroplasmi) (Holt et al., 1988; Lightowlers et al., 1997).
3. MtDNA ditunkan seluruhnya melalui garis ibu, mtDNA ayah tidak berperan
pada penurunan sifat mitokondria, meskipun ada sedikit mitokondria sperma
yang masuk ke dalam sel telu (Schwartz & Vissing, 2002).
4. mtDNA tidak memiliki kemampuan seperti DNA inti untuk memperbaiki
urutan nukleotidanya bila terjadi kesalahan urutan nukleotida (Milligan et al.,
7
1993; Celeste et al., 2003), hal ini dikarenakan mtDNA tidak memiliki system
perbaikan selama proses replikasi.
5. mtDNA tidak dilindungi oleh histon (Croteau & Bohr, 1997). Hal tersebut
menyebabkan mtDNA lebih rentan terhadap gangguan dari luar, seperti
radikal bebas (Pieczenik & Neustadt, 2007).
Replikasi atau proses biosintesis DNA berlangsung dengan komponen-
komponen sebagai berikut:
1. DNA polimerase, yaitu enzim yang mengkatalisis pemanjangan rantai nukleotida
satu dengan yang lainnya,
2. Deoksiribonukleosida trifosfat berupa dATP, dTTP, dGTP, dCTP,
3. Protein pembentang dan 20 protein enzim lainnya atau sistem replikasi DNA atau
replisoma (fungsi kompleks),
4. DNA ligase yang mengkatalisis reaksi penyambungan fragmen-fragmen hasil
polimerasi,
5. DNA templat (DNA induk untuk sintesis DNA baru),
DNA primer (DNA pengawal untuk sintesis DNA baru).
2.4 Lisis Sel
Isolasi DNA merupakan teknik dasar yang harus dikuasai dalam teknologi
DNA rekombinan. Tujuan isolasi adalah mendapatkan DNA tanpa debris sel.
8
Organisme tingkat rendah, seperti bakteri dan lain-lain (sel prokariot), dan makhluk
tingkat tinggi seperti manusia, hewan, tumbuhan, dan lain-lain (sel eukariot)
merupakan sumber DNA (Toha, 2001).
Prinsip teknik isolasi DNA mencakup berbagai tahap reaksi dengan tujuan
yang berbeda-beda setiap tahapnya. Tahap pertama adalah penghancuran dinding sel.
Tahap ini dapat dilakukan secara mekanis dan secara enzimatis. Cara mekanis yang
sering dilakukan adalah teknik sonikasi, high pressure distruption dan mencairkan
dalam keadaan dingin. Sedangkan cara enzimatis yang umum dilakukan adalah
penggunaan lisozim. Saat ini kedua teknik ini sering digabungkan dengan beberapa
modifikasi perlakuan.
Tahap kedua adalah lisis sel. Proses ini dapat dilakukan dalam berbagai cara,
tergantung pada jenis selnya. Sel-sel lunak dapat disuspensi dengan mudah
menggunakan buffer non-osmotik. Sedangkan sel-sel yang kuat dapat dilisis dengan
penambahan detergen yang keras seperti Triton X-100 atau sodium dodesil sulfat
(SDS). Pada sel eukariot proses ini sering digabung dengan tujuan dapat merusak
membrane inti tempat asam nukleat.
Komponen-komponen yang terlibat dalam proses lisis :
1. Tris-HCl, suatu buffer untuk menjaga pH optimum untuk aktivitas enzim
proteinase K.
2. EDTA, mencegah denaturasidari struktur DNA karena merupakan pengkhelat zat-
zat kofaktor pada nuclease.
9
3. Detergen, berfungsi sebagai surfaktan untuk mersak fosfolipid dan mendenaturasi
protein.
4. Enzim proteinase K, enzim yang bekerja untuk memecah protein.
Gambar 2.1 Teknik Lisis Sel serta Isolasi DNA dan Gen
Tahap ketiga adalah membersihkan debris sel. Proses ini sering dilakukan
dengan cara sentrifugasi. Campuran molekul, seperti protein, DNA, dan lain-lain,
merupakan hasil sentrifugasi. Protein dapat dipresipitasi dengan menggunakan fenol
atau pelarut organik, seperti kloroform, dan lain-lain atau proteinnya dihancurkan
dengan enzim proteinase. Pemisahan DNA dapat dilakukan dengan mengambil
supernatan cairan hasil tahap ini dan dapat dipresipitasi dengan penambahan alkohol.
Selain teknik isolasi DNA, diperlukan juga teknik isolasi gen. Teknik ini
diawali dengan fragmentasi sel dan mengisolasi kromosom. Selanjutnya DNA
dipotong dengan berbagai enzim restriksi. Hasil reaksi ini adalah berbagai fragmen
DNA. Kemudian ditambahkan enzim ligase untuk mengkatalisis reaksi
10
penyambungan fragmen DNA dan DNA vektor. Hasilnya adalah berbagai molekul
DNA rekombinan dalam bentuk siklik. Kumpulan DNA rekombinan ini merupakan
pustaka gen yang akan dimanfaatkan untuk mengisolasi gen yang diinginkan (Toha,
2001).
Tahap pertama adalah denaturasi pada suhu 94 oC selama 1 menit. Selama
proses denaturasi, untai ganda DNA akan terputus menjadi untai tunggal DNA karena
terdenaturasi. Bila suhu yang diperlukan untuk denaturasi kurang dari suhu
optimumnya, dikhawatirkan proses denaturasi untai ganda DNA hanya terjadi
sebagian, namun jika melebihi suhu optimumnya, aktivitas enzim polimerase akan
menurun dan pada akhirnya reaksi polimerisasi terhenti.
Tahap kedua merupakan proses annealing, yaitu proses penempelan
primer kepada DNA templat. Suhu pada proses ini adalah sekitar 45-55 oC selama 1
menit. Suhu ini diperoleh setelah menghitung Tm primer, yaitu sekitar 3-5 oC
dibawah Tm. Bila suhu annealing berada terlalu jauh baik di atas dan di bawah Tm,
primer tidak akan menempel di templat dengan sempurna. Sehingga tahap ini dapat
menjadi penentu keberhasilan dari proses PCR.
Tahap ketiga atau tahap terakhir dari suatu siklus PCR adalah tahap
pemanjangan primer (ekstension/elongation) dengan bantuan enzim polimerase. Suhu
yang digunakan pada tahap ini adalah 74 oC selama 1 menit, suhu tersebut merupakan
suhu optimum bagi enzim polimerase untuk bekerja secara optimum (Toha, 2001).
11
Hasil akhir proses PCR disebut amplikon. Cara yang paling sederhana
untuk menentukan keberadaan amplikon adalah me”load” produk PCR yang
diperoleh dengan metode elektroforesis gel agarosa.
Teknologi PCR dapat dimanfaatkan untuk berbagai bidang. Misalnya,
menentukan bakteri dan protozoa pathogen pada manusia (HIV, Virus Leukimia,
Hepatitis B, Virus C dan Virus demam), untuk diagnosa penyakit tertentu (kanker),
juga untuk mendeteksi mikroba pathogen dalam makanan, dan lain-lain (Toha, 2001).
2.4 PCR (Polymerase Chain Reaction)
Polymerase Chain Reaction (PCR) merupakan reaksi biokimia sederhana,
tetapi berpengaruh dalam perkembangan teknik biologi molecular. PCR pertama kali
ditemukan olah K.B. Mullis pada tahun 1984, peraih nobel kimia tahun 1994, sepuluh
tahun setelah penemuannya. PCR merupakan teknologi yang sangat sensitive
sehingga dengan hanya satu DNA dapat diperbanyak dua kali lipat dalam satu siklus
suhu. Dengan menggunakan teknik PCR banyak metode dalam biologi molekul dapat
dipersingkat. Pada prinsipnya, masing-msing persyaratan demi keberhsilan PCR
dapat dimodifikasi menjadi prosedur yang potensial untuk menaikan hasil, spesifisitas
ataupun sensitivitas. Menurut definisi PCR adalah memoerbanyak DNA secara in-
vitro dengan memanfaatkan cara reflikasi DNA dengan bantuan enzim DNA
polymerase dan perubahan sifat fisik DNA terhadap suhu (Lisdiyanti, 1997).
12
Secara prinsip, PCR merupakan proses yang diulang0ulangantara 20-30 kali.
Setiap siklus terdiri dari tiga tahap. Berikut adalah tiga thp bekerjanya PCR dalam
siklus:
1. Tahap Peleburan (Melting) atau denaturasi.
Pada tahap ini (berlangsung pada suhu tinggi 94-960C) ikatan hydrogen DNA
terputus (denaturasi) dan DNA menjadi berbekas tunggal. Biasanya pada
tahap awal PCR tahap ini dilakukan agak lama (sampai menit) untuk
memastikan semua berkas DNA terpisah. Pemisahan ini menyebabkan DNA
tidak stabil dan siap menjadi templat (patokan) bagi rimer. Durasi tahap ini 1-
2 menit.
2. Tahap Penempelan atau Anealing.
Primer menmpel pada bagian DNA templet yang komplementer urutan
basanya. Ini dilakukan pada suhu antara 45-600C. Penempelan ini bersifat
spesifik. Suhu yang tidak tepat menyebabkan tidak terjadinya penempelan
atau primer menempel di sembarang tempat. Durasi tahap ini 1-2 menit.
3. Tahap Pemanjangan atau Elongasi.
Suhu untuk proses ini tergantung dari jenis DNA polymerase yang dipakai.
Dengan Taq-Polimerase, proses ini biasanya dilakukan pada suhu 760C. durasi
tahap ini biasanya 1 menit.
13
Melting temperature (Tm) primer dapat dikalkulasikan dari primer yang
digunakan dengan menggunakan beberapa persamaan, jika mungkin ketika
mendesain sepasang primer haruslah memiliki Tm yang sama. Persamaan yang sering
digunakan adalah: [(jumlah basa A + T) x 2 oC + (jumlah basa G + C) x 4 oC)]
yang dikalkulasikan dalam 1 M konsentrasi garam untuk hibridisasi oligonukleotida.
Walaupun demikian persamaan ini tidak tepat untuk primer yang lebih panjang dari
20 nukleotida. Kebanyakan laboratorium menggunakan suhu annealing pada 3-5oC
dibawah Tm (Chinnery & Turnbull, 2000).
2.5 Elektroforesis
Elektroforesis gel adalah salah satu teknik utam dalam biologi molecular.
Prinsip dasar teknik ini adalah bahwa DNA, RNA atau protein dapat dipisahkan oleh
medan listrik. Dalam hal ini, molekul-molekul tersebut dipisahkan berdasarkan laju
perpindahannya oleh gaya gerak listrik di dalam matriks gel. Laju perpindahan
tersebut bergantung pada ukuran molekul bersangkutan. Elektroforesis gel iasanya
dilakukan untuk tujuan analisis, namun dapat pula digunakan sebagai teknik
preparatif untuk memurnikan molekul sebelum digunakan dalam metode-metode lain
seperti spektrometri massa, PCR, cloning, sekuensing DNA atau immuno-bloting
yang merupakan metode-metode karakterisasi lebih lanjut.
14
Elektroforesis pada prinsipnya merupakan proses bergeraknya molekul
bermuatan melalui pori-pori gel di bawah pengaruh medan listrik dengan kekuatan
tertentu. Pada pH mendekati netral DNA bermuatan negatif, sehingga molekul ini
dapat bermigrasi dari katoda ke anoda dengan mobilitas yang dipengaruhi oleh
ukuran dan konformasi fragmen DNA, kekuatan arus listrik, konsentrasi etidium
bromida (EtBr), kekuatan ion buffer, dan konsentrasi gel yang digunakan.
Molekul DNA yang berukuran kecil dapat dengan mudah melalui pori-pori
gel sehingga pergerakannnya relatif cepat. Sebaliknya molekul DNA yang berukuran
besar karena sulit melewati pori-pori gel, maka akan bermigrasi lebih lambat. DNA
yang mempunyai ukuran sama, tetapi mempunyai konformasi berbeda akan bergerak
dengan kecepatan berbeda. DNA dengan konformasi siklik akan lebih mudah
melewati pori-pori gel dibandingkan dengan DNA konformasi linier. Bila voltage
rendah, maka kecepatan pergerakan fragmen DNA yang linier sebanding dengan
ketinggian voltagenya. Pada voltage yang tinggi, kecepatan pergerakan fragmen DNA
bertambah secara diferensial.
EtBr dalam gel dapat menurunkan sekitar 15% kecepatan pergerakan DNA
yang linier atau DNA dengan konformasi lingkaran terbuka. Proses elektroforesis
yang menggunakan bufer dengan kekuatan ion yang rendah akan menyebabkan
pergerakn DNA relatif lambat. Dan sebaliknya bergerka lebih cepat pada bufer
dengan kekuatan ion yang lebih tinggi. Namun bila kekuatan ion terlalu tinggi, maka
kan terbentuk panas, sehingga gel dapat meleleh dan DNA dapat terdenaturasi.
15
Kemampuan pemisahan DNA pada elektroforesis juga ditentukan oleh
konsentrasi dari masing-masing gel. Di bawah ini ditampilkan jenis elektroforesis,
perbedaan konsentrasi gel, dan kemampuan ukuran DNA yang dapat dipisahkan
(Toha, 2001).
Tabel 2.1 Pemisahan DNA dengan Elektroforesis Gel
ElektroforesisKonsentrasi Gel
(% w/v)
Ukuran DNA yang
dapat dipisahkan (kb)
Poliakrilamida 3,5 1 - 2
5,0 0,08 - 0,5
8,0 0,06 - 0,4
12,0 0,04 - 0,2
15,0 0,025 - 0,15
20,0 0,006 - 0,1
Agarosa 0,1 <750
0,3 5 - 60
0,6 1 - 20
0,7 0,8 - 10
0,9 0,5 - 7
1,2 0,4 - 6
1,5 0,2 - 3
2,0 0,1 - 2
16
Pengamatan hasil elektroforesis dilakukan di bawah sinar Ultra Violet
(UV) dengan bantuan EtBr yang dapat berfluororesensi bila disinari UV. EtBr
mempunyai kemampuan membentuk khelat dengan molekul DNA, sehingga jumlah
molekul EtBr sebanding dengan ukuran rantai DNA yang diamati. Dengan demikian
ukuran DNA yang dianalisis dapat diketahui. Pemberian EtBr diberikan sebelum atau
setelah proses elektroforesis.
Analisis hasil teknik PCR, restriksi, ligasi, dan teknik pembentukan DNA
rekombinan menggunakan gel agarosa, sedangkan analisis hasil sekuensing
menggunakan gel poliakrilamida (Poedjiadi, 1994).
17
BAB III
BAHAN DAN METODE
3.1 Alat dan Bahan
3.1.1 Alat
Gunting, inkubator, sentrifugator, vortex, dan tabung mikro 1,5 ml, mesin
PCR, mikropipet 100, 10, 25 µl, dan mikrosentrifuga suhu kamar mini sub TM
dna electrophoresis cell (biord), pemanas, cetakan gel, alat sinar UV, dan
0,1% pH 8,0). Proses elektroforesis ini dilakukan dalam bufer TAE 1 x
dengan tegangan 75 Volt selam 45 menit. Dan di bantu dengan marker
pUC19/Hinfl sebanyak 1000 pb sebagai kontrol. Hasil elektroforesis
divisualisasikan dengan bantuan lampu ultra violet sehingga konsentrasi DNA
dapat ditentukan dengan membandingkan dengan ketebalan pita-pita pada
marker yang telah diketahui konsentrasinya.
20
Gambar 3.1 Bagan Alir Isolasi DNA Mitokondria Sel Folikel Rambut
Gambar 3.2 Bagan Alir Amplifikasi DNA Mitokondria Sel Folikel Rambut
21
5 helai rambut + akarpotong bagian akar dengan gunting yang telah dibersihkan dengan etanol 70%.masukkan ke dalam tabung mikro 1,5 mL.tambah 30 µL buffer lisis + 6 µL proteinase K6 + 264 µL akuabidest.inkubasi pada 55oC selama 1 jam, vortex tiap 15 menit sekali.inkubasi pada 95oC selama 5 menit.sentrifugasi pada 12000 rpm 4oC selama 5 menit.Supernatan
masukkan ke dalam tabung mikro 1,5 mL.simpan dalam kulkas pada -20oC.
Supernatan sebagai sumber mt DNA template
Master mix (11,3 µL akuabides steril, 2,5 µL MgCl2, 2,5 µL buffer PCR Taq DNA Polymerase, 2,5 µL dNTP, 0,5 µL primer M1 dan M2)
masukkan ke dalam tabung mikro secara berurutan.tambahkan 5 µL template + 0,2 µL Taq DNA Polymerase.vorteximpulsemasukkan ke dalam mesin PCR Automatic Thermal Cycler yang telah diset.denaturasi awal : 94oC, 1 menitdenaturasi : 94oC, 1 menitannealing : 55oC, 1 menitextention : 72oC, 1 menitextentin akhir : 72oC, 4 menit
Hasil PCR
Gambar 3.3 Bagan Alir Karakterisasi DNA Mitokondria Sel Folikel Rambut
22
0,4 gram Agarosa
larutkan dalam 40 mL buffer TAE.panaskan.dinginkan (50-60oC).tambahkan 0,2 µL etilidium bromida.masukkan dalam cetakan gel.
Gel Agarosa
masukkan 10 µL hasil PCR + 2 µL loading buffer ke dalam sumur.jalankan elektroforesis dengan marker pUC19/Hinfl serta tegangan 75 V selama 45 menit.
Hasil elektroforesis
visualisasikan di bawah lampu UV.prediksi konsentrasi DNA dengan membandingkannya dengan pita marker.
Konsentrasi pita DNA
BAB IV
PEMBAHASAN
Percobaan ini bertujuan mengisolasi dan mengamplifikasi fragmen D-loop
DNA mitokondria dari sel folikel rambut secara in vitro dengan teknik PCR.
Kemudian menganalisis fragmen DNA hasil PCR dengan metode elektroforesis
menggunakan agarosa. PCR merupakan teknik untuk amplifikasi dan produksi
fragmen DNA dalam jumlah banyak dari sumber DNA yang jumlahnya sangat kecil,
yang tanpa proses ini sulit untuk diidentifikasi.
Sumber DNA yang digunakan dalam percobaan ini adalah sel folikel rambut.
Sel ini berkembang karena adanya suatu sumber energi. Energi tersebut dihasilkan
oleh mitokondria. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa di dalam sel folikel
rambut pastilah mengandung banyak mitokondria.
Pada percobaan ini fragmen DNA mitokondria yang digunakan adalah daerah
D-loop. Dipilihnya daerah D-loop ini karena D-loop merupakan daerah hipervariabel,
yang mana pada setiap etnis berbeda (polimorfisme), sehingga DNA pada daerah ini
bisa digunakan untuk keperluan identifikasi dan forensik. Selain itu pada D-loop
terdapat daerah yang merupakan titik awal proses replikasi dan daerah promotor
transkripsi. Karena laju mutasi pada DNA mitokondria tinggi, yaitu sepuluh kali dari
DNA inti, maka tingkat polimorfisme tinggi sehingga dapat digunakan untuk
identifikasi. Meskipun tingkat atau laju mutasi DNA mitokondria tinggi, namun tidak
akan mengganggu kerja tubuh yang ada, karena pada DNA mitokondria terdapat D-
23
loop yang tidak memiliki histon, yaitu suatu protein yang mengkode sekitar
seperempat asam amino terutama arginin dan lisin yang berfungsi mengepak dan
menyusun DNA menjadi unit-unit struktural, sehingga tidak ada protein berbeda
yang diekspresikan yang dapat merusak kerja tubuh. Dapat terjadinya mutasi ini
secara umum terjadi pada DNA mitokondria yang terdapat di dalam matriks melalui
auatu reaksi oksidatif yang juga terjadi di matriks. Reaksi ini menghasilkan
superoksida yang apabila bereaksi dengan DNA mitokondria menyebabkan mutasi.
Sedangkan secara spesifik penyebab utama mudahnya mtDNA termutasi karena D-
loop tidak memiliki histon yang merupakan pelindung DNA sehingga akan mudah
diserang mutan dan akhirnya terjadi mutasi.
Prosedur pertama dalam percobaan ini yaitu membuat template mtDNA yang
digunakan pada untuk reaksi PCR. Melisis sel folikel rambut yaitu dengan cara
memotong kecil-kecil bagian akar rambut yang memiliki ujung putih, sekitar satu
centimeter, kemudian memasukkannya ke dalam tabung mikro, ditambah dengan
buffer lisis, Proteinase K, dan akuabides dengan volume total untuk masing-
masingnya sebesar 300 μL, baru setelah itu disentrifugasi. Buffer lisis mengandung
50 mM tris-HCl pH 8,5 ; 1 mM EDTA pH 8,0; dan 0,5% Tween-20. Prosedur lisis
dilakukan untuk memecah membran sel dan membran organel (inti dan mitokondria)
sehingga DNA akan dapat diisolasi. Perusakan membran sel dan organel sel yaitu
dengan menggunakan enzim Proteinase K yang dapat memutuskan ikatan peptida
dari protein penyusun membran sehingga lapisan membran rusak. Tween-20 bersifat
seperti detergen (pengemulsi) yang dapat menyebabkan integritas dari fosfolipid dan
24
protein hidrofob sehingga DNA dapat keluar. Setelah DNA keluar (baik DNA inti
maupun DNA mitokondria), enzim nuklease telah menunggu di luar untuk
memfragmentasinya, dan hal ini tidak diharapkan. Oleh karena itu ditambahkan
EDTA pH 8,0 yang dapat membentuk khelat dengan Mg2+ atau logam lain yang
berfungsi sebagai kofaktor enzim nuklease, sehingga enzim nuklease menjadi tidak
aktif dan DNA tidak akan terfragmentasi. Penambahan EDTA ini tidak boleh
berlebihan atau kekurangan, artinya pengkhelatan tidak boleh terlalu kuat dan tidak
boleh terlalu lemah karena akan mengganggu proses PCR yang juga memerlukan
logam Mg2+. Sedangkan tris-HCl pH 8,5 berfungsi sebagai buffer yang
mengondisikan agar enzim Proteinase K bekerja pada pH optimum. Setelah
penambahan buffer lisis, ditambahkan akuabides dan kemudian diinkubasi pada suhu
56°C selama 1 jam. Inkubasi pada suhu ini dimaksudkan untuk mengaktifkan kerja
enzim Proteinase K karena pada suhu tersebut memiliki aktivitas optimum. Setiap 15
menit inkubasi dihentikan, kemudian tabung divortex agar reagen-reagen yang tadi
ditambahkan tercampur sempurna. Setelah 1 jam, kemudian diinkubasi lagi pada suhu
95°C selama 5 menit. Penginkubasian pada suhu ini berguna untuk mendenaturasi
atau menginaktifkan enzim Proteinase K. Enzim Proteinase K perlu dinonaktifkan
karena bila tidak, enzim proteinase K akan memotong enzim Taq polimerase yang
berperan penting dalam proses PCR. Kemudian dilakukan sentrifugasi. DNA
mitokondria akan berada di supernatan bukan di residu, karena perbedaan berat
molekul dari DNA mitokondria dan DNA inti maka dengan sentrifugasi keduanya
dapat terpisah. Sentrifugasi merupakan suatu metode pemisahan berdasarkan
25
perbedaan kecepatan sedimentasi dari partikel-partikel molekul yang disebabkan oleh
medan sentrifugal. Kecepatan sedimentasi ini dipengaruhi oleh bentuk molekul, berat
molekul atau radius molekul. Setelah itu supernatant disimpan dalam freezer -20°C
untuk mencegah kerusakan atau denaturasi protein dalam sebuah tabung mikro.
Prosedur berikutnya perbanyakan fragmen DNA mitokondria secara in vitro
dengan PCR. Terlebih dahulu dibuat master mix yang merupakan campuran dari
buffer PCR 10x (tris-HCl 100 mM pH 9, KCl 500 mM, dan MgCl2 15 mM) dengan
primer M1 dan M2, dNTP, akuabides, dan terakhir adalah DNA Taq polimerase.
Perlu diperhatikan pada saat belum digunakan semua reagen harus disimpan pada
suhu serbuk es (sekitar -20°C) yaitu untuk menjaga keakuratan volume. Pada saat
pemipetan, tip pipet harus menempel pada dinding tabung agar reagen yang
dikeluarkan tip pipet volumenya sesuai karena penambahan reagen harus dilakukan
secara kuantitatif.
Buffer PCR berfungsi untuk mendapat pH optimum untuk enzim Taq DNA
polimerase. Dalam buffer PCR ini terdapat ion Mg yang berfungsi :
1. Sebagai kofaktor enzim DNA polimerase untuk meningkatkan aktivitasnya.
2. Meningkatkan kelarutan dNTP sehingga reaksi kimia dalam PCR akan lebih
mudah.
Konsentrasi MgCl2 yang digunakan harus diperhatikan. Konsentrasi Mg yang rendah
akan menyebabkan produk PCR yang rendah, tapi Mg dengan konsentrasi yang
terlalu banyak menyebabkan hasil PCR tidak spesifik.
26
Primer M1 dan M2 yang digunakan merupakan komplemen dari template
primer yang digunakan dan hendaknya memenuhi pertimbangan sebagai berikut :
o Diketahui ukuran nukleotidanya
o Tidak terjadi dimerisasi antar primernya sendiri
o Memiliki % GC yang tinggi (minimum 50%)
o Tingkat homologinya tinggi
Primer M1 dan M2 masing-masing terdiri dari 20 nukleotida. Jumlah ini akan
menentukan suhu annealing yang akan digunakan dalam reaksi PCR. Basa dNTP
yang mengandung dATP, dGTP, dCTP, dan dTTP, merupakan sumber basa yang
akan menempel di template. Sedangkan enzim Taq DNA polimerase selain berfungsi
memperbanyak dan memperpanjang primer, juga akan membaca basa yang terdapat
pada template dan akan mendatangkan pasangan basa yang sesuai. Penggunaan
konsentrasi Taq DNA polimerase yang tinggi berakibat produk yang dihasilkan tidak
akan spesifik.
Setelah master mix dibuat dengan final volume 25 μL, kemudian ditambahkan
10 μL template mtDNA yang telah dibuat. Kemudian tabung divortex agar semua
reagen tercampur sempurna, lalu disentrifugasi selama 10 detik (impuls) untuk
mencampur dan mengumpulkan larutan di dasar tabung. Tabung kemudian disimpan
dalam es sambil menunggu set-up mesin PCR. Setelah siap, tabung dimasukkan ke
dalam mesin PCR dan prosesnya dimulai. Reaksi yang terjadi di dalam mesin PCR :
1. Denaturasi pada suhu 94°C, 1 menit
27
2. Annealing pada suhu 50°C, 1 menit
3. Extension pada suhu 72°C, 1 menit
Tahap pertama reaksi PCR adalah denaturasi pada suhu 94°C selama 1 menit.
Pada tahap ini rantai ganda DNA akan terbuka membentuk rantai DNA tunggal.
Apabila suhu denaturasi di bawah 94°C, dikhawatirkan sebagian template akan
terdenaturasi, sedangkan bila suhu di atas 94°C, maka enzim Taq polimerase akan
kehilangan setengah aktivitasnya. Enzim Taq polimerase yang digunakan merupakan
suatu bakteri termofilik yang stabil pada suhu tinggi yaitu Thermos aquaticus,
sehingga pada suhu 94°C tidak terdenaturasi padahal suhu optimumnya adalah 72°C.
Tahap kedua adalah annealing pada suhu 50°C selama 1 menit. Annealing
merupakan proses penempelan primer pada template. Suhu annealing dapat
ditentukan melalui perhitungan Tm :
Tm = 4 (G + C) + 2 (A + T)
Tm atau temperature melting merupakan suhu yang menunjukkan pada saat DNA
terdenaturasi 50%. Suhu annealing pada proses PCR kali ini adalah 55°C. karena
primer M1 dan M2 yang digunakan terdiri atas nukleotida yang apabila kita hitung
dapat diperoleh 55°C suhu annealing. Tapi penentuan suhu annealing biasanya ± 5°C
di bawah Tm. Tapi pada suhu 55°C ini merupakan suhu optimum terjadinya
penempelan primer pada template. Suhu annealing tidak boleh lebih dari 60°C karena
dikhawatirkan primer tidak akan menempel pada template, dan tidak boleh lebih
rendah juga dari 60°C karena primer akan menempel di tempat yang tidak spesifik
bahkan pada satu siklus dapat terjadi penempelan dua primer.
28
Tahap terakhir adalah extension yaitu tahap pemanjangan primer akibat
adanya enzim Taq DNA polimerase. Extension ini terjadi pada suhu 72°C dimana
merupakan suhu optimum enzim Taq polimerase. Setelah annealing, primer ini
kemudian diperpanjang, membentuk salinan tambahan deretan atau urutan template
di antara dua primer oligonukleotida. Setelah pemanjangan primer lengkap, duplex
DNA didenaturasi dengan pemanasan sampel beberapa saat yang menghasilkan kira-
kira dua kali template untai tunggal untuk primer annealing pada siklus selanjutnya.
Pada percobaan ini siklus dilakukan berulang sebanyak 30 kali.
Setelah reaksi PCR selesai, maka hasilnya dikarakterisasi menggunakan
elektroforesis agarosa. Agarosa yang digunakan agarosa konsentrasi tinggi disebut
“Agarosa Minigels”. Agarosa minigels digunakan karena pemisahannya cepat dari
sejunlah kecil fragmen DNA dengan ukuran 0,3 – 1,0 kb. Sedangkan fragmen DNA
yang digunakan adalah 0,4 kb. Gel agarosa ini dibuat dengan melarutkan sebanyak
0,4 gram agarosa dalam 40 mL buffer TAE ( tris asetat 0,04 M, EDTA 0,001 M pH
8) sambil dipanaskan hingga mendidih agar agarosa larut semuanya. Kemudian
didinginkan hingga 50-60°C dan ditambahkan ethidium bromida. Dalam hal ini
buffer TAE sebagai media penghantar arus, dimana fragmen mtDNA akan bergerak
dengan perbedaan kecepatan akibat adanya perbedaan kekuatan ionik.
Fragmen DNA akan memisah berdasarkan ukuran pasangan basa. Untuk
melihat pita DNA maka harus menodai gel dengan ethidium bromida yang
merupakan warna fluorosence yang menginterkhelat DNA dan kemudian dapat
dilihat dengan sinar UV.
29
Agarosa merupakan suatu koloidal laut yang dimurnikan dari alga. Ketika
dididihkan dalam suatu larutan buffer, agarosa akan larut dan ketika didinginkan akan
memadat membentuk gel. Pendinginan dilakukan sekitar suhu 50-60°C, apabila
terlalu panas akan merusak karet-karet penyimpan agar. Selain itu, viskositasnya
rendah sehingga akan menimbulkan gelembung-gelembung, sehingga apabila
dituangkan dikhawatirkan ada udara yang terjebak.
Ethidium bromida ditambahkan setelah agarosa bersuhu sekitar 50-60°C.
senyawa ini berfluorosence merah-orange dibawah sinar UV dan tingkat fluorosence
bertambah ketika terikat pada DNA untai tunggal.
Stuktur ethidium bromida cukup kompleks dikenal juga dengan nama
phenenanthridium-3,8-diamino-5-etil-6-fenil-bromida. Ethidium bromida dapat
tersisipkan diantara basa asam nukleat dan memberikan deteksi dalam gel. Ethidium
bromida ini terdapat dalam bentuk bubuk atau larutan yang larut dalam air. Kristal
atau bubuknya tidak berbau dan menunjukkan warna merah tua.
Gambar 4.1 Struktur Ethidium Bromida
30
Dapat tersisipnya ethidium bromida diantara basa asam nukleat, karena
ethidium bromida sedikit mirip pasangan basa dan dapat masuk ke dalam rantai
ganda DNA di antara pasangan basanya. Hal tersebut sangat mutagen. Ethidium
bromida merupakan fluoresence yang lemah. Fluorosensi terjadi karena elektron
tereksitasi ke tingkat energi yang lebih tinggi (dengan UV 365 nm). Ketika elektron
kembali pada tingkat energi yang lebih rendah, menimbulkan perbedaan energi (sinar
tampak). Fluorosensi ethidium bromida bebas dalam larutan rendah, karena elektron
dapat mengalir diantara dua level energi, dalam tingkatan energi vibrasi. Ketika
ethidium bromida terikat pada DNA yang lebih kaku maka jalur pengeluaran energi
rendah. Jalur fluorosensi ini yang umum terjadi dimana Ethidium bromida tidak
tersisipkan lebih panjang di antara pasangan basa yang bersesuaian dengan stem
akseptor tRNA valin. Karena itu tersisipnya akan berada di antara pasangan basa pada
struktur stem-loop panjang bagian bawah. Dengan demikian ethidium bromida lebih
suka sisi penyisipannya dekat dari basa RNA helical stem.
Gambar 4.2 Penyisipan Ethidium Bromida pada Pasangan Basa
31
Setelah penambahan ethidium bromida, agarosa cair dituangkan ke dalam
cetakan yang memiliki sisir untuk membentuk sumur gel. Setelah cetakan jadi, pada
tiap sumur dimasukkan masing-masing 12 μL sampel hasil PCR yang sebelumnya
telah dicampur dengan 2 μl loading buffer. Loading buffer terdiri atas sukrosa 50%,
EDTA pH 8,0 dan brom fenol biru yang digunakan sebagai pewarna guna
mempermudah pengamatan berpindahnya noda dalam gel dan memonitoring sejauh
mana proses elektroforesis telah berlangsung, dengan adanya warna biru yang
bergerak dalam agar. Selain itu, penambahan sukrosa ini sebagai pemberat bagi
sampel sehingga sampel tenggelam ke dalam sumur gel.
Setelah sumur diisi, kemudian dimasukkan ke dalam alat elektroforesis dan
proses dijalankan dengan tegangan 75 volt selama 45 menit. Tegangan yang
digunakan tidak boleh dinaikkan karena fragmen besar akan berpindah sebanding
dengan kecepatan fragmen kecil. Diketahui elektroforesis merupakan suatu
pemisahan zat berdasarkan pengaruh medan listrik. Karena adanya aliran listrik yang
mengalir pada gel, maka fragmen DNA bergerak ke kutub positif (ditandai dengan
noda biru bergerak ke kutub positif). Hal ini karena molekul DNA relatif lebih kecil
sehingga bergerak lebih dulu daripada molekul lain yang besar, selain itu DNA ini
bermuatan negatif akibat adanya gugus fosfat pada ujung 5’-nya.
Setelah proses elektroforesis selesai, untuk menunjukkan hasil PCR berhasil
atau tidak atau ingin mengetahui DNA mitokondria yang diisolasi itu benar dengan
yang diinginkan, maka divisualisasi di bawah lampu UV. Agarosa dikeluarkan dari
buffer. Setelah dikenakan sinar UV terlihat pita berwarna merah-orange, kemudian
32
difoto dan terlihat hasil seperti gambaran pita di bawah ini. Hal ini menunjukkan hasil
yang positif untuk sel folikel rambut:
Gambar 4.3 Hasil PCR
Keterangan :
Lajur 1 : Marker 1 Kb ladder
Lajur 2 -9 : hasil karaktrisasi kelompok 1-8 dgn primer M1-HV2R (982 pb)
Marker yang digunakan adalah pUC19/Hinfl. Pemotongan ini terjadi pada
empat titik sehingga terdapat lima fragmen (masing-masing berukuran 1.419 pb, 517
pb, 396 pb, 214 pb, dan 75 pb). Karena M1 dan M2 yang digunakan adalah MH dan
HV2R, maka banyaknya pasangan basa adalah 982 pb.
33
BAB V
KESIMPULAN
Dari hasil pecobaan yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa:
5.1 D-loop DNA mitokondria dari sel folikel rambut dapat diisolasi dengan cara
lisis.
5.2 D-loop DNA mitokondria dapat diamplifikasi secara in vitro dengan teknik
PCR.
5.3 Fragmen D-loop DNA mitokondria hasil PCR dapat dianalisis dengan metode
elektroforesis.
34
DAFTAR PUSTAKA
Celeste, A., Difilippantonio, S., Difilippantonio, M. J., Capentillo, O. F., Pilch, D. R., Sedelnikova, O. A., Eckhaus, M., Ried, T., Bonr, W. M., & Nussenweig, A. 2003. CellI. 144(3),371-383.
Chinnery, P. F. 2003. Mitochondrial Disorder Overview. Departement of Neurology University of Newcastle. Newcastle.
Chinnery, P.F. & D.M. Turnbull. 2000. Mitochondrial DNA Mutations in The Pathogenesis of Human Disease. Mol. Med. Today. 6,425-432.
Croteau, D.L. & Bohr, V.A. 1997. Repair of Oxidative Damage to Nuclear and Mitochondrial DNA in Mammalian Cells. The Journal of Biochemical Chemistry. 272, 25409-25412.
Goto, Y. 2001. Clinical and Molecular Studies of Mitochondrial Disease. J Inherit Metab Dis. 24, 181-188.
Holt, I.J., A.E.Harding & J.A. Morgan-Hughes.1988. Deletion of Muscle Mitochondrial DNA in Patients with Mitochondrial Myopathies. Nature. 331, 717-719.
Lehtinen, S.K. 2001. Genetic Selection in Human Mitochondrial. Acta Universitatis Tamperensis, Tampere, pp, 11-32.
Lisdiyanti. 1997. Polimerase Chain Reaction: Cara Mudah Memperbanyak DNA. Warta Biotek. Bogor.
Milligan, J.R., Aguilera, J.A., & Ward, J.F.1993. Variation of Single – Strand Break Yield with Scafenger Concentration for Plasmid DNA Iradiated in Aqueous Solution. JSTOR. Radiation Research. 133 (2), 151-157.
Pieczenik, S.R. & Neustadt, J. 2007. Mitochondrial Dysfunction and Molecular Pathway of Disease. Experimental and Molecular Pathology. 84,84-92.
Poedjiadi, A. 1994. Dasar-Dasar Biokimia. UI Press. Jakarta.
35
Reynier, P., Chretien, M.F., Safagner, F., Larcher, G.,Rohmer, V., Barriere, P., & Malthiery, Y. 1998. Long PCR Analysis of Human Gamete mtDNA Suggests Deffective Mitochondrial Maintenance in Spermatozoa and Supports The Bottleneck Theory for Oocytes. Biochem Biophys Res Common. 252, 373-377.
Santosa, Soenarto & Hadi, S. 2005. Pengenalan Miopati Mitokondria. Universitas Diponegoro. Semarang.
Schaefer, A.M., Taylor, R.W., & Turnbull,D.M. 2001. The Mitochondrial Genome and Mitochondrial Muscle Disorders. Curr Opin Pharmacol. 1, 288-293.
Schwartz, M.& Vising, J. 2002. Paternal in Heritance of Mitochondrial DNA. N Engl J Med. 347, 578-580.
Stryer, L., Berg, J.M., & Tymoczko, J.L.2002. Biochemistry. WH Freeman and Company. New York.
Toha, A.H.A. 2001. Deoxyribosa Nucleac Acid. Alfabeta. Bandung.