LAPORAN PRAKTIKUM BIOKIMIA KEDOKTERAN
LAPORAN PRAKTIKUM BIOKIMIA KEDOKTERAN
BLOK HEMATO-IMMUNOLOGYPemeriksaan Resistensi Osmotik Darah
Secara Visual
Kelompok : B3Anggota kelompok :
Sofia KusumadewiG1A010006
Liliana Yeni SafiraG1A010019
Ning Maunah
G1A010031
Mona FadhilaG1A010043
Febrillia Mutiara SG1A010056
Atep Lutpia PG1A010069
Sania NadianisaG1A010083
Aria Yusti KusumaG1A010095
Gretta AyudhaG1A010107Asisten :
Yuditya Dwi Cahya L
G1A008024
KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATANJURUSAN
KEDOKTERAN
PURWOKERTO
2011LEMBAR PENGESAHAN
Pemeriksaan Resistensi Osmotik Darah Cara VisualKelompok :
B3Sofia KusumadewiG1A010006
Liliana Yeni SafiraG1A010019
Ning Maunah
G1A010031
Mona FadhilaG1A010043
Febrillia Mutiara SG1A010056
Atep Lutpia PG1A010069
Sania NadianisaG1A010083
Aria Yusti KusumaG1A010095
Gretta AyudhaG1A010107Disusun untuk memenuhi persyaratan nilai
praktikum biokimia blok HI pada Jurusan Kedokteran FKIK Universitas
Jenderal Soedirman Purwokerto
Diterima dan disahkan
Purwokerto, September 2011Asisten
Yuditya Dwi Cahya L.G1A008024BAB I
PENDAHULUAN
A. JUDUL PRAKTIKUM
Pemeriksaan Resistensi Osmotik Darah Secara Visual
B. TANGGAL PRAKTIKUM
Selasa, 13 September 2011
C. TUJUAN PRAKTIKUM1. Mahasiswa mampu menyimpulkan hasil
pemeriksaan fragilitas eritrosit pada saat praktikum setelah
membandingkannya dengan nilai normal.2. Mahasiswa memiliki
kemampuan untuk memeriksa resistensi osmotik darah secara
visual.BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Dasar TeoriA. Bentuk dan ukuran sel-sel darah merah
Sel darah normal, yang tampak pada gambar 1, berbentuk lempeng
bikonkaf dengan diameter rata-rata kira-kira 7,8 mikrometer dan
dengan ketebalan 2,5 mikrometer pada bagian yang paling tebal
serta1 mikrometer atau kurang di bagian tengahnya. Volume rata-rata
sel darah merah adalah 90 sampai 95 mikrometer kubik (Guyton dan
Hall, 2008).
Pada hakikatnya sel darah merah merupakan suatu membran yang
membungkus hemoglobin (protein ini membentuk sekitar 95% protein
intrasel sel darah merah) dan tidak memiliki organel sel misalnya
mitokondria, lisosom atau apparatus golgi. Sel darah merah manusia,
seperti sebagian sel darah merah hewan, tidak berinti(Murray dkk,
2009).
Bentuk sel darah merah dapat berubah-ubah ketika sel berjalan
melalui kapiler. Sesungguhnya, sel darah merah merupakan suatu
kantung yang dapat berubah menjadi berbagai bentuk. Selanjutnya,
karena sel yang normal mempunyai kelebihan membran sel untuk
menampung banyak zat di dalamnya, maka perubahan bentuk tadi tidak
akan meregangkan membran secara hebat, dan sebagai akibatnya, sel
tidak akan mengalami rupture, seperti yang terjadi pada banyak sel
lainnya. (Guyton dan Hall, 2008)
Gambar 1. Bentuk sel darah merah
Sumber :
http://ramditaa.blogspot.com/2011/04/sel-darah-merah-eritrosit.htmlB.Membran
Sel Darah MerahMembran eritrosit terdiri atas lipid (lipid
bilayer), protein membrane integral dan suatu rangka membran.
Sekitar 50 % membrane adalah protein, 40% lemak dan 10%
karbohidrat. Karbohidrat hanya terdapat pada permukaan luar
sedangkan protein dapat di perifer atau integral menembus lipid dua
lapis. (Hoffbrand dkk, 2005)
http://www.msc.univ-paris-diderot.fr/~frgallet/Research_Activities/Research.htmlSel
darah merah harus mampu melewati bagian-bagian yang sempit dari
mikrosirkulasi dalam perjalanannya mengelilingi tubuh, terutama
saat melewati sinusoid limpa. Berbagai lipid membrane membantu
menentukkan fluiditas membrane tersebut. Terdapat sejumlah protein
sitoskeleton perifer yang melekat pada bagian dalam membrane sel
darah merah. Dan berperan penting dalam mempertahankan bentuk dan
kelenturannya. (Murray dkk, 2009)Spektrin merupakan protein utama
sitoskeleton. Protein ini terdiri dari dua polipeptida, yaitu
spektrin 1 rantai alfa dan spektrin 2 rantai beta. Keduanya
tersususn atas segmen-segmen sebesar 106 asam amino yang tampak
melipat dan membentuk kumparan-kumparan alfa helix untai triple
yang disatukan oleh segmen-segmen non helix. Satu dimer
berinteraksi dengan dimer-dimer yang lain membentuk tetramer
pangkal ke pangkal. Brntuk ini akan menghasilkan fleksibilitas bagi
protein. (Murray dkk, 2009)Ankirin adalah suatu protein berbentuk
pyramid yang mengikat spektrin. Ankirin kemudian berikatan dengan
pita 3 yang memperkuat ikatan spektrin pada membrane. (Murray dkk,
2009)Aktin (pita 5) terdapat pada sel darah merah sebagai filament
pendek helix ganda F-aktin. Ekor dimer spektrin berikatan dengan
aktin, aktin juga berikatan dengan protein 4.1 (Murray dkk,
2009)Protein 4.1 adalah suatu protein globular yang berikatan erat
dengan ekor spektrin di tempat yang dekat dengan lokasi terikatnya
aktin, karena itu protein ini adalah bagian dari komplek triple
protein 4.1-spektrin-aktin. Protein 4.1 juga berikatan dengan
protein integral glikoforin a dan c, sehingga melekatkan kompleks
triple pada membrane. Protein 4.1 dapat berinteraksi dengan
fosfolipid sehingga lapisan ganda lipid terhubung dengan
sitoskeleton. (Murray dkk, 2009)
http://www.chem.purdue.edu/low/Blood%20Group/Red%20Blood%20Cell%20Home.htm
C.Daur hidup sel darah merahKetika sel darah merah dihantarkan
dari sumsum tulang masuk ke dalam sistem sirkulasi, sel tersebut
normalnya akan bersirkulasi rata-rata 120 hari sebelum dihancurkan.
Sistem metabolic dalam sel darah merah yang tua secara progresif
makin kurang aktif, dan sel menjadi semakin rapuh, diduga karena
proses kehidupannya sudah banyak yang terpakai. Begitu membrane sel
darah merah menjadi rapuh, sel tersebut bisa robek sewaktu melewati
tempat-tempat yang sempit di sirkulasi. (Guyton dan Hall, 2008)Jika
sel darah merah yang mengandung hemoglobin ini pecah, maka akan
segera difagosit oleh sel-sel makrofag di banyak bagian tubuh namun
terutama oleh sel-sel Kupffer hati, makrofag limpa dan makropaf
sumsum tulang. Selama beberapa jam atau beberapa hari sesudahnya,
makrofag akan melepaskan besi yang di dapat dari hemoglobin dan
menghantarkannya kembali ke dalam darah dan diangkut oleh
transferin ke sumsum tulang untuk membentuk sel darah merah baru.
(Guyton dan Hall, 2008)D. Metabolisme Eritrosit
Eritrosit adalah cakram bikonkaf yang fleksibel dengan kemampuan
menghasilkan energi sebagai adenosin trifosfat (ATP) melalui jalur
gikolisis anaerob(Embden Meyerhof) dan menghasilkan kekuatan
pereduksi sebagai NADH melalui jalur ini serta sebagai nikotamida
adenine dinukleotida fosfat tereduksi (NADPH) melalui jalur pintas
heksosa monofosfat (hexsose monophosphate shunt) (Hoffbrand et al,
2005).Jalur Embden-Meyerhof juga menghasilkan NADH yang diperlukan
oleh enzim methemoglobin reduktase untuk mereduksi methemoglobin
(hemoglobin teroksidasi) yang tidak berfungsi, yang mengandung besi
ferri (dihasilkan oleh oksidasi sekitar 3% hemoglobin setiap hari)
menjadi hemoglobin tereduksi yang aktif berfungsi. 2,3-DPG yang
dihasilkan pada pintas Luebering-Rapoport (Luebering-Rapoport
Shunt), atau jalur samping pada jalur ini membentuk suatu kompleks
1:1 dengan hemoglobin, dan seperti telah disebutkan di atas,
penting dalam regulasi afinitas hemoglobin terhadap oksigen
(Hoffbrand et al, 2005).Jalur Heksosa Monofosfat (pentosa fosfat).
Sekitar 5% glikolisis terjadi melalui jalur oksidatif ini, dengan
perubahan glukosa-6-fosfat menjadi 6-fosfo-glukonat dan kemudian
menjadi ribulosa-5-fosfat. NADPH dihasilkan dan berkaitan dengan
glutation yang mempertahankan gugus sulfhidril (SH) tetap utuh
dalam sel, termasuk SH dalam hemoglobin dan membran eritrosit.
NADPH juga digunakan oleh methemoglobin reduktase lain untuk
mempertahankan besi hemoglobin dalam keadaan Fe2+ yang aktif secara
fungsional. Pada salah satu kelainan eritrosit diturunkan yang
sering ditemukan (yaitu defisiensi glukosa-6-fosfat dehidrogenase
(G6PD)), eritrosit sangat rentan terhadap stres oksidasi (Hoffbrand
et al, 2005).E. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Fragilitas
Eritrosit
Ada 2 macam hemolisa, yaitu hemolisa osmotik dan hemolisa
kimiawi. Hemolisa osmotik terjadi karena adanya perubahan yang
besar antara tekanan osmosa cairan di dalam sel darah merah dengan
cairan di sekeliling sel darah merah. Dalam hal ini tekanan osmosa
sel darh merah jauh lebih besar daripada tekanan osmosa di luar
sel. Tekanan osmosa di dalam sel darah merah sama dengan tekanan
osmosa larutan NaCl 0.9%. Bila sel darah merah dimasukkan ke dalam
larutan 0.8% belum terlihat adanya hemolisa, tetapi sel darah merah
yang dimasukkan ke dalam larutan NaCl 0.4% hanya sebagian saja yang
megalami hemolisa, sedangkan sebagian sel darah merah yang lainnya
masih utuh. Perbedaan ini disebabkan karena umur sel darah merah,
SDM yang sudah tua, membran selnya mudah pecah sedangkan SDM muda
membran selnya masih kuat. Bila SDM dimasukkan ke dalam larutan
NaCl 0.3% semua SDM akan mengalami hemolisa. Hal ini disebut
hemolisa sempurna. Larutan yang mempunyai tekanan osmosa lebih
kecil daripada tekanan osmosa ini SDM disebut larutan hipotonis,
sedangkan larutan yang mempunyai tekanan osmosa lebih besar dari
tekanan osmosa isi SDM disebut larutan hipertonis. Suatu larutan
yang mempunyai tekanan osmosa yang sama besar dengan tekanan osmosa
isi SDM disebut larutan isotonis. Sedangkan pada jenis hemolisa
kimiawi, SDM dirusak oleh macam-macam substansi kimia. Dinding SDM
terutama terdiri dari lipid dan protein, membentuk suatu lapisan
lipoprotein. Jadi, setiap substansi kimia yang dapat melarutkan
lemak (pelarut lemak) dapat merusak atau melarutkan membran SDM.
Kita mengenal bermacam-macam pelarut lemak, yaitu kloroform,
aseton, alkohol benzen, dan eter. Substansi lain yang dapat merusak
membran SDM diantaranya adalah bisa ular, bisa kalajengking, garam
empedu, saponin, nitrobenzen, pirogalol, asam karbon, resin, dan
senyawa arsen (Asscalbiass, 2011)
Sel penyusun suatu organisme pasti berada dalam suatu cairan
yang mengandung berbagai zat yang diperlukan oleh sel. Cairan
tersebut berupa cairan ekstraseluler yang dapat dibedakan menjadi
cairan interstitial dan/atau plasma darah. Sel pada umumnya berada
dalam cairan interstitial, sedangkan eritrosit berada dalam plasma
darah. Membran sel eritrosit seperti hanya membran sel lainnya
tersusun atas lipid bilyer, dan bersifat semipermeabel. Pada
kondisi cairan hipertonis, maka air akan berpindah dari dalam
eritrosit ke luar sehingga eritrosit akan mengalami penyusutan
(krenasi). Sebaliknya pada kondisi larutan hipotonis, maka air akan
masuk ke dalam sitoplasma eritrosit sehingga eritrosit akan
menggembung yang kemudian pecah (lisis). Kecepatan hemolisis dan
krenasi eritrosit diperngaruhi oleh konsentrasi larutan (Syamsuri
2000).
BAB III
METODE PRAKTIKUM
Data probandus
Nama
: Atep Lutpia Pahlepi
Jenis Kelamin: Laki-laki
Umur
: 19 tahun
A. ALAT DAN BAHAN
3. Alat
Tabung reaksi
Rak tabung reaksi
Pipet
Cavum med
Spuit Kapas
4. Bahan
Larutan NaCl 0,5%
Aquades
Alkohol
EDTA
B. TATA URUTAN KERJA
5. Disusun 12 tabung reaksi, dibagi menjadi 2 baris.
6. Diberi nomor urut dari nomor
25,24,23,22,21,20,19,18,17,16,15,14.
7. Dimasukkan NaCl 0,5% dengan jumlah tetes sesuai nomor
tabung.8. Ditambahkan aquades sehingga tiap tabung berjumlah 25
tetes, misalnya : 22 tetes NaCl 0,5% + 3 tetes aquades.9.
Dihomogenkan larutan sehingga konsentrasi NaCl berubah menghitung
dengan rumus V1M1 = V2M2, konsentrasi tabung menjadi 0,5%, 0,48%,
0,46%, 0,44%, 0,42%, 0,40%, 0,38%, 0,36%, 0,34%, 0,32%, 0,30%,
0,28%.
10. Diambil sampel darah, kemudian ditambah EDTA (whole blood)
tiap tabung diberi 1 tetes darah.
C. NILAI NORMAL
Permulaan lisis: 0,42% - 0,46%Hemolisis sempurna: 0,32% -
0,36%
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. HASIL
Hasil pengamatan:
a. Konsentrasi permulaan lisis: 0,44 %b. Konsentrasi hemolisis
sempurna: 0,36%
Gambar Hasil Praktikum
Interpretasi :
a. Konsentrasi permulaan lisis: normal
b. Konsentrasi hemolisis sempurna: normal
B. PEMBAHASAN
Praktikum biokimia pada blok Hemato-Imunologi (HI) melakukan
pemeriksaan fragilitas eritrosit dengan menggunakan metode daya
tahan osmotik cara visual. Secara sederhana fragilitas bisa berarti
kerapuhan. Uji fragilitas osmotic eritrosit (juga disebut
resistensi osmotik eritrosit) dilakukan untuk mengukur kemampuan
eritrosit menahan terjadinya hemolisis (destruksi eritrosit) dalam
larutan yang hipotonis. Sampel darah yang digunakan dalam praktikum
ini adalah sampel whole blood atau darah penuh. Sampel darah yang
sudah diambil dari probandus sebanyak 3 cc menggunakan spuit
dimasukkan ke dalam vacum med yang sudah diberi antikoagulan agar
sampel darah tidak mengalami pembekuan.
Tekanan osmosa isi cairan di dalam sel darah merah sama dengan
tekanan osmosa larutan NaCl 0,9%. Apabila SDM dimasukkan ke dalam
larutan yang isotonis maka membrane SDM tetap utuh atau tidak
mengalami kerusakan. Secara teori membran sel darah merah akan
mengalami hemolisis atau pemecahan pada larutan yang bersifat
hipotonis daripada membran sel darah merah. Hemolisis akan terjadi
apabila tekanan osmosa isi cairan di dalam sel darah merah lebih
besar daripada tekanan osmosa cairan di sekeliling sel. Praktikum
ini menggunakan larutan NaCl 0,5%, untuk itu agar diperoleh
konsentrasi NaCl yang lebih hipotenis diperlukan pengenceran dengan
menggunakan aquades. Pengenceran larutan NaCl ini supaya ditemukan
konsentrasi NaCl yang menyebabkan permulaan lisis dan hemolisis
sempurna.Berdasarkan hasil pengamatan, permulaan lisis terjadi pada
tabung dengan konsentrasi 0,44%. Oleh karena itu, permulaan lisis
dapat dikatakan normal karena berada dalam rentang konsentrasi yang
normal yaitu pada konsentrasi NaCl 0,42%-0,46%.
Sedangkan untuk pengamatan hemolisis sempurna terjadi pada
konsentrasi 0,36% karena sel darah merah terlihat tersebar atau
mengalami fragilitas pada konsentrasi tersebut. Apabila
dibandingkan dengan nilai normal, hemolisis sempurna dapat
dikatakan normal karena nilai normal hemolisis sempurna adalah pada
konsentrasi NaCl 0,32%-0,36%.
Walaupun hasil praktikum yang menunjukkan bahwa permulaan lisis
dan hemolisis sempurna dinyatakan normal tetapi ketika praktikum
masih ditemukan beberapa kesalahan sehingga hasil praktikum belum
bisa dinyatakan valid.
Kesalahan yang mungkin terjadi diantaranya :
1. Kurang telitinya praktikan dalam mengukur bahan-bahan. Ketika
praktikann mengambil larutan NaCl sesuai tetes nomor tabung dan
aquades sehingga volumenya menjadi 25 tetes dilakukan oleh tiga
orang yang berbeda dan pipet yang berpeda pula sehingga dirasa
kurang valid jumlah volume pada tabung, hal ini juga dibuktikan
ketika tabung diletakkan di rak tabung reaksi dan dilihat dengan
mata tinggi volume larutan tidak sama. 2. Praktikan kurang
berhati-hati dalam meneteskan sampel whole blood, karena pada
tabung nomor 22 tetesan darah mengenai dinding tabung. Sehingga
pada tabung nomor 22 eritrosit tidak mengalami fragilitas.3.
Kesalahan dalam penyimpanan tabung, karena praktikan banyak
berjumlah sembilan mungkinrak tabung reaksi sedikit bergoyang.
Kesalahan dalam penafsiran pada tabung reaksi, hal ini terjadi
karena praktikan baru pertama kali melakukan praktikum fragilitas
eritrosit dan belum dirasa matang dalam menafsirkan.C. APLIKASI
KLINISFragilitas eritrosit bisa meningkat dan menurun. Hal tersebut
terjadi karena adanya gangguan pada eritrosit baik dari struktur
maupun membran . Pada kasus penurunan fragilitas bisa terjadi :
a. Polisitemia vera (PV)
Adalah suatu penyakit kelainan pada sistem mielopoliferatif di
mana terjadi klon abnormal pada hemopoietik sel induk dengan
peningkatan sensitivitas pada growth factor yang berbeda untuk
terjadinya maturasi yang berakibat meningkatnya banyak sel
(Sudoyo,2009).
Sel darah yang abnormal ini tidak memerlukan eritopoietin untuk
proses pematangannya. Di dalam sirkulasi darah tepi PV didapati
peningkatan hematokrit yang manggambarkan peningkatan konsentrasi
eritrosit terhadap plasma >49% pada wanita dan >52% pada pria
serta peningkatan eritrosit total(Sudoyo,2009) (Sudoyo,2009).
Permasalahan muncul berkaitan dengan masa eritrsit,basofil, dan
trombosit yang bertambah, serta perjalanan alamiah penyakit menuju
ke arah fibrosis sum-sum tulang(Sudoyo,2009).
Gejala awal penyakit adalah pusing, telinga berdenging, mudah
lelah, gangguan daya ingat, pengelihatan, dan sesak nafas. Gejala
akhir nya pasien PV mengalami perdarahan atau trombosis. Komplikasi
lain peningkatan asam urat dalam darah. Sekitar 30% gejala akhir
berkembang menjadi fase splenomegali. Pada fase ini terjadi
kegagalan sumsum tulangdan pasien menjadi anemia berat, kebutuhan
transfusi meningkat, liver dan limpa membesar(Sudoyo,2009).
Pengobatan yang dapat dilakukan adalah Flebotomi untuk
mempertahankan jumlah hematokrit agar mencegah timbulnya
hiperviskositas, selain itu kemoterapi biologi (sitokin) yang
bertujuan untuk mengontrol trombositopenia (Sudoyo,2009).
b. Post splenektomi
Splenoktomi adalah operasi pengangkatan limpa yang menjadi
pengobatan utama ada pasien hiperspenisme primer. Tindakan ini
diambil bila pada pemeriksaan sumsum tulang hasilnya normal atau
hiperseluler. Selain karena trauma, tumor limpa, atau penyakit
kimpa primer, tindakan splenektomi biasaya dilakukan pada pasien
anemia karena kelaian bentuk eritrosit, kelainan hemoglobin dan
pada keadaan trombositopeni sehingga penghancuran eritrosit dan dan
trombosit berkurang atau terhambat. Karena itu tinadakan
splenektomi dapat dilakukan sebagai pilihan terkahir pengobatan
penyakit-penyakit hipertensi portal, leukimia, dan limfoma
(Sudoyo,2009).
Pengangkatan limpa dapat menyebabkan terjadinya infeksi bakteri
atau sepsis terutama 1 sampai 3 bulan setelah operasi. Setelah
pengangkatan limpa terjadi kenaikan cepat jumlah trombosit yang
disertai jumlah eritrosit (Sudoyo,2009).
Kemudian untuk kasus peningkatan fragilitas dapat mengakibatkan
:
a. Anemia Hemolitik Autoimun
Anemia hemolitik autoimun (Autoimmune Hemolytic Anemia, AIHA)
merupakan kelainan darah yang didapat, dimana autoantibodi IgG yang
dibentuk terikat pada membran sel darah merah (SDM). Antibodi ini
biasanya berhadapan langsung dengan komponen dasar dari sistem Rh
dan sebenarnya dapat terlihat pada sel darah merah semua orang.
Klasifikasi AIHA adalah sebagai berikut :
1. Warm-antibody immunohemolytic anemia
Idiopatik : > 50% kasus Limfoma : leukimia limfositik kronik,
limfoma nonHodgkin, dan penyakit Hodgkin Lupus eritematosus
sistemik (LES) dan penyakit kolagen vaskuler lainnya Obat-obatana.
Tipe metildopa (autoantibodi pada antigen Rh)b. Tipe penisilin
(hapten stabil)c. Tipe kuinidin (hapten tak stabil) Pasca infeksi
virus Tumor-tumor lainnya (jarang)2. Cold-antibody immunohemolytic
anemia
Penyakit cold-aglutinin
a. Akut : infeksi mikoplasma, infeksi mononukleosisb. Kronik :
idopatik, limfoma Paroxymal cold hemoglobinuria
Manifestasi KlinisAnemia ini bervariasi dari yang ringan sampai
berat (mengancam jiwa). Pasien mengelu fatig dan keluhan ini dapat
terlihat bersama dengan angina atau gagal jantung kongestif. Pada
pemeriksaan fisik, biasanya dapat ditemukan ikterus dan
splenomegali. Apabila pasien mempunyai penyakit dasar seperti LES
atau leukimia limfositik kronik, gambaran klinis penyakit tersebut
dapat terlihat.Pemeriksaan PenunjangPemeriksaan laboratorium dapat
menemukan kadar Hb yang bervariasi dari ringan sampai berat (Ht