This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
tenggorokan; batuk; gatal; dan ruam pada kulit (skin rush). Untuk penderita asma
yang disertai dengan penyakit lainnya seperti: hipertiroidisme, diabetes mellitus,
gangguan jantung termasuk insufisiensi miokard maupun hipertensi, perlu adanya
pengawasan yang lebih ketat karena penggunaan salbutamol bisa memperparah
keadaan dan meningkatkan resiko efek samping. Pengawasan juga perlu
dilakukan pada penderita asma yang sedang hamil dan menyusui karena
salbutamol dapat menembus sawar plasenta. Untuk meminimalkan efek samping
maka untuk wanita hamil, sediaan inhalasi aeorosol bisa dijadikan pilihan
pertama. Penggunaan salbutamol dalam bentuk sediaan oral pada usia lanjut
sebaiknya dihindari mengingat efek samping yang mungkin muncul.
Beberapa hal penting yang perlu diketahui oleh para pengguna salbutamol
untuk mengatasi asma, adalah sebagai berikut:
Sebaiknya tidak menggunakan obat ini jika memiliki riwayat alergi
terhadap salbutamol atau bahan-bahan lain yang terkandung di dalamnya.
Untuk sediaan oral, sebaiknya diminum 1 jam sebelum atau 2 jam
sesudah makan.
Telan tablet salbutamol dan jangan memecah maupun mengunyahnya.
Untuk sediaan inhalasi, kocok dulu sebelum digunakan dan buang 4
semprotan pertama jika menggunakan inhaler baru atau inhaler yang sudah tidak
terpakai selama lebih dari 2 minggu.
Sebaiknya berkumur setiap kali sehabis mengkonsumsi salbutamol
supaya tenggorokan dan mulut tidak kering.
Jika dibutuhkan lebih dari 1 hisapan dalam sekali pemakaian, maka
beri jarak waktu minimal 1 menit untuk setiap hisapan.
Simpan obat pada suhu kamar agar stabil (aerosol: 15-25o C; inhalasi
cair: 2-25o C dan sirup: 2-30o C)
Jika ada dosis yang terlewat, segera minum salbutamol yang terlewat.
Namun jika waktu yang ada hampir mendekati waktu pengonsumsian
selanjutnya, lewati pengonsumsian yang tertinggal kemudian lanjutkan
mengkonsumsi salbutamol seperti biasa. Jangan pernah mengkonsumsi 2 dosis
dalam sekali pemakaian.
Obat-obat golongan beta blocker, seperti: propanolol, metoprolol,
atenolol, dll bisa menurunkan efek salbutamol.
Penggunaan salbutamol dosis tinggi bersamaan dengan kortikosteroid
dosis tinggi akan meningkatkan resiko hipokalemia.
Asetazolamid, diuretik kuat dan thiazida dosis tinggi akan
meningkatkan resiko hipokalemia jika diberikan bersamaan dengan salbutamol
dosis tinggi pula.
Penggunaan salbutamol bersama dengan obat golongan MAO-inhibitor
(misal: isocarboxazid, phenelzine) bisa menimbulkan reaksi yang serius. Hindari
pemakaian obat-obat golongan ini 2 minggu sebelum, selama maupun sesudah
konsumsi salbutamol.
Asma merupakan penyakit yang membutuhkan terapi jangka panjang
sehingga perlu dilakukan monitoring terhadap perkembangannya secara terus-
menerus untuk melihat apakah obat yang diberikan cocok atau tidak. Ada kalanya
asma tidak cukup diatasi hanya dengan satu macam obat saja, sehingga perlu
penambahan obat (kombinasi obat). Maka dari itu, pengetahuan akan salah satu
jenis obat saja tidak cukup karena masih banyak obat selain salbutamol yang
tentu saja memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing.
c. AMPICILIN
a. Indikasi obat
Ampicillin sebagai antibiotic termasuk antibiotic penicillin aktif terhadap
berbagai kuman gram positif dan gram negative.
b. Dosis
3 x sehari 1 tablet
c. Interaksi obat
Ampicillin dan surfactant meningkatkan efek metotreksa alupurinol,
uricosuric, menurunkan efek asam fusidik dan tetrasiklin. Namun tidak
berinteraksi dengan obat-obat dalam terapi ini.
d. Aturan pemakaian obat
Obat ini diberikan secara peroral, diberikan 3x sehari.
e. Efek samping obat
Reaksi alergi, diare, mual, muntah. Efek yang muncul dalam terapi adalah
mual dan muntah (Lacy,2010)
f. Mekanisme kerja
Ampicilin adalah antibiotik yang menghambat sintesis dinding sel bakteri.
Ampicillin termasuk golongan Beta-laktam menghambat pertumbuhan bakteri
dengan cara berikatan pada enzim DD-transpeptidase yang memperantarai
dinding peptidoglikan bakteri, sehingga dengan demikian akan melemahkan
dinding sel bakteri Hal ini mengakibatkan sitolisis karena ketidakseimbangan
tekanan osmotis, serta pengaktifan hidrolase dan autolysins yang mencerna
dinding peptidoglikan yang sudah terbentuk.Ampicillin mampu berpenetrasi
kepada bakteri gram positif dan gram negatif. Hal ini disebabkan keberadaan
gugus amino pada Ampicillin, sehingga membuatnya mampu menembus
membran terluar (outer membran) pada bakteri gram negatif.
Ampisilin termasuk salah satu antibiotik golongan beta-laktam dengan jenis
penisilin, subkelompok aminopecisilin. Penisilin merupakan antibiotik yang
efektif dan paling luas kegunaannya. Ampisilin termasuk obat yang sering
diresepkan dokter karena memiliki beberapa kelebihan antara lain harga
ekonomis dibandingkan antibiotik lain, efek samping dan toksisitas yang rendah,
memiliki spektrum luas terhadap bakteri gram positif dan gram negatif (Chamber,
2004).
g. Alasan
Sebagai profilaksis terhadap bakteri
d. LASAL EKSPEKTORAN
Indikasi obat
Mengatasi spasme bronkus pada asma bronkial, bronkitis kronis, emfisema
dan penyakit-penyakit paru lain dengan komplikasi bronkokonstriksi. Obat ini
juga dapat digunakan sebagai ekspektoran.
b. Dosis
1 - 2 sendok teh (5-10 ml), 3 - 4 kali sehari
g. Aturan pemakaian obat
Obat ini diberikan secara peroral, diberikan 3x sehari.
h. Efek samping obat
Satu-satunya efek samping yang sering kali terjadi yaitu tremor kecil pada
otot lurik, biasanya pada tangan. Efek ini tergantung dari besarnya dosis dan
berpengaruh langsung pada otot-otot lurik, seperti lazim terjadi pada semua obat
yang merangsang adreno reseptor beta. Apabila dosis agak tinggi atau pada
penderita hipersensitif, dapat terjadi vasodilatasi perifer dan denyut nadi
meningkat sebagai kompensasi. Guaifenesin dapat menimbulkan efek mual,
muntah (Lacy,2010).
i. Mekanisme kerja
Lasal ekspektoran adalah perangsang adreno reseptor β2 yang bersifat
selektif, efek utama terjadi pada otot-otot bronkus dan rahim. Oleh karena Lasal
ekspektoran bekerja selektif, maka akan timbul palpitasi / rasa tidak enak, jika
diberikan pada dosis terapeutik. Lasal ekspektoran mengandung Guaifenesin
yang berfungsi sebagai ekspektoran (Chamber, 2004).
g. Alasan
Sebagai bronkodilator dan ekspektoran
e. INFUS D5%
Kandungan : Setiap 100 mL dari Injeksi Dekstrosa 5% USP,
mengandung dekstrosa monohidrat 5 g dalam air untuk injeksi.
Nilai kalori 170 kkal / L. Osmolaritas adalah 252 mOsmol / L
(calc.), yang sedikit hipotonik.
Dosis : 10 tpm
Indikasi : Terapi parenteral untuk memenuhi kebutuhan air dan
kalori karbohidrat pada pasien yang mengalami dehidrasi.
Mekanisme : Meningkatkan kadar glukosa dalam darah,
sehingga dapat memenuhi kebutuhan akan kalori. Konsentrasi
dektrose akan menurun apabila terjadi penurunan jumlah protein dan
nitrogen dalam tubuh, dan juga dapat memicu pembentukan glikogen.
Dextrose merupakan senyawa monosakarida yang sangat cepat
diserap. Metabolismenya akan menghasilkan CO2, air, dan sumber
energy.
f. RANITIDIN
Ranitidin adalah obat golongan antagonis H2
histamin dengan nama generik ranitidin.
Indikasi
Ranitidin memiliki indikasi untuk pengobatan dan pemeliharaan
ulser duodenum, pengaturan penyakit refluks gastroesofagus, termasuk
penyakit erosif atau ulseratif, pengobatan jangka pendek, ulser gastrik jinak,
dan kerusakan gastrik karena NSAID. Penggunaan sebagian dari multidrug
regimen untuk membasmi H. pylori pada pengobatan ulser peptik, menjaga
peningkatan asam selama anastesi, mencegah kerusakan mukosa lambung
apabila digabung dengan NSAID jangka panjang, mengontrol pendarahan GI
bagian atas akut, dan menjaga ulser stress (Tatro, 2003).
Dosis
Sediaan Rantin yang ada di pasaran yaitu 1 ampul berisi 50 mg/2 ml.
Bila disesuaikan dengan dosis yang semestinya (50 mg tiap 6-8 jam) maka
pengobatan disarankan dilakukan dengan aturan pemakaian secara IV 2 x 1
ampul/hari. Rantin digunakan selama pengobatan rawat inap yaitu selama 10
hari.
Mekanisme kerja
Mekanisme kerja dari ranitidin ini adalah memblok histamin secara
reversibel dan kompetitif pada reseptor H2, terutama di sel parietal lambung,
dan menyebabkan penghambatan sekresi asam lambung (Tatro, 2003).
Interaksi obat
Pada terapi ini ranitidine tidak berinteraksi dengan obat lain.
Ranitidin dapat berinteraksi dengan:
1.diazepam, dengan menurunkan efek farmakologis dan absorpsi
diazepam;
2.etanol, dengan meningkatkan kadar etanol dalam plasma;
3.glipizide, dengan meningkatkan efek hipoglikemia;
4.ketokonazol, dengan menurunkan efek ketokonazol;
5.lidokain, dengan meningkatkan kadar lidokain;
6.warfarin, dengan mengganggu ranitidine dengan klirens
warfarin (Tatro, 2003).
Alasan pemilihan obat
Ranitidin digunakan dalam terapi ini karena pasien mengalami
mual, dan muntah.
3. TERAPI NON FARMAKOLOGI
Terapi non farmakologi adalah bentuk pengobatan dengan cara pendekatan,
edukasi dan pemahaman tentang penyakit asma. Berikut adalah beberapa terapi
non farmakologi untuk penyakit asma bronchial:
a) Menjaga Kesehatan
Menjaga kesehatan merupakan usaha yang tidak terpisahkan dari pengobatan
penyakit asma. Bila penderita lemah dan kurang gizi, tidak saja mudah terserang
penyakit tetapi juga berarti mudah untuk mendapat serangan penyakit asma
beserta komplikasinya. Usaha menjaga kesehatan ini antara lain berupa makan
makanan yang bernilai gizi baik, minum banyak, istirahat yang cukup, rekreasi
dan olahraga yang sesuai. Penderita dianjurkan banyak minum kecuali bila
dilarang dokter, karena menderita penyakit lain seperti penyakit jantung atau
ginjal yang berat. Banyak minum akan mengencerkan dahak yang ada di saluran
pernapasan, sehingga dahak tadi mudah dikeluarkan. Sebaliknya bila penderita
kurang minum, dahak akan menjadi sangat kental, liat dan sukar dikeluarkan.
Pada serangan penyakit asma berat banyak penderita yang kekurangan cairan. Hal
ini disebabkan oleh pengeluaran keringat yang berlebihan, kurang minum dan
penguapan cairan yang berlebihan dari saluran napas akibat bernapas cepat dan
dalam.
b) Menjaga Lingkungan
Lingkungan dimana penderita hidup sehari-hari sangat mempengaruhi timbulnya
serangan penyakit asma. Keadaan rumah misalnya sangat penting diperhatikan.
Rumah sebaiknya tidak lembab, cukup ventilasi dan cahaya matahari. Saluran
pembuangan air harus lancar. Kamar tidur merupakan tempat yang perlu
mendapat perhatian khusus. Sebaiknya kamar tidur sesedikit mungkin berisi
barang-barang untuk menghindari debu rumah. Hewan peliharaan, asap rokok,
semprotan nyamuk, atau yang lain-lain yang dapat memicu asma perlu
dihindarkan.
c) Menghindari Faktor Pencetus
Allergen yang sering menimbulkan asma adalah tungau debu, sehingga cara-cara
menghindari debu rumah harus diperhatikan. Alergen lain seperti kucing, anjing
perlu mendapat perhatian khusus. Infeksi virus saluran pernapasan sering
mencetuskan penyakit asma. Sebaiknya penderita penyakit asma menjauhi orang-
orang yang sedang terkena influenza. Zat-zat yang merangsang saluran napas
seperti asap rokok, asap mobil, uap bensin, uap cat, atau uap-uap zat kimia dan
udara kotor lainnya harus dihindari.
d) Edukasi kepada pasien/keluarga
Edukasi untuk pasien atau keluarga bertujuan untuk:
Meningkatkan pemahaman (mengenai penyakit asma secara umum dan pola
penyakit asma sendiri)
Meningkatkan keterampilan (kemampuan dalam penanganan asma
sendiri/asma mandiri)
Meningkatkan kepuasan
Meningkatkan rasa percaya diri
Meningkatkan kepatuhan (compliance) dan penanganan mandiri
Membantu pasien agar dapat melakukan penatalaksanaan dan mengontrol
asma .
4. INFORMASI OBAT
R/ Prednisolone
s.b.d.d 1 tab
Ampicilin
s.3.d.d 1 tab
Ranitidine
s.b.d.d 1 tab
Nebul / 8 jam K/P
s.p.r.n.
Lasal expectorant
s.t.d.d 1 cth.
Infus dekstrosa 5 %
20 tpm
VI. MONITORING
memantau pemberian infus D5% agar tidak terjadi udem
memantau data klinik pasien (TD, RR) agar berada pada nilai normal. TD 120/80
– 130/85, RR : 14-20
VII. KESIMPULAN
1. Pasien menderita asma bronkial karena kondisi kehamilan gravida 6 bulan
2. Obat yang diberikan
R/ Prednisolone
s.b.d.d 1 tab
Ampicilin
s.3.d.d 1 tab
Ranitidine
s.b.d.d 1 tab
Nebul / 8 jam K/P
s.p.r.n.
Lasal expectorant
s.t.d.d 1 cth.
Infus dekstrosa 5 %
20 tpm
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2000, Informatorium Obat Nasional Indonesia, Departemen Kesehatan Republik Indonesia : Jakarta.
Anonim, 2006, MIMS Petunjuk Konsultasi, Ed. Ke-6, 70-76, PT. InfoMaster : Jakarta
Anonim1, 2009, Active ingredient: Prednisone - Chemisty and Biological Activity, diunduh dari http://www.druglib.com/activeingredient/prednisone/chembio/. Diakses pada tgl 2 Desember 2012
Anonim2, 2009, Prednisone (Prednisone) - Clinical Pharmacology, diunduh dari http://www.druglib.com/druginfo/prednisone/pharmacology/. Diakses pada tgl 2 Desember 2012
Anonim, 2009, Drug Information Handbook 18th Edition, USA : American Pharmacist Association.
Anonim. 2012. Tips Mengenal Asma: Mengetahui 9 Jenis Asma.
http://bumbata.co/2506/tips-mengenal-asma-mengetahui-9-jenis-asma/ diakses tanggal 2
Desember 2012
Benvie. 2009. Asma Bronkial. http://doctorology.net/asma-bronkial/ diakses tanggal 2
Desember 2012
Chambers, H. F. 2004. Farmakologi Dasar dan Klinik . 8thed. Jakarta: SalembaMedika.
Cunningham, F. Gary, 2006, Obstetric Williams, Ed. 21. Vol. 2, EGC: Jakarta.
Greenberger, Paul A. dan Patterson, Roy, 1985, Management of Asthma during Pregnancy, Obstetrical and Gynecological Survey, Williams and Wilkins (Eds.) (34 – 36), Vol. 1 Number 1, January 1986
Katzung BG, 2001, Farmakologi Dasar dan Klinik, Buku 2, Edisi 8. Penerbit Salemba Medika : Jakarta
Lacy, Charles F.; Armstrong, Lora I.; Goldman, Morton P., 2003, Drug Information Handbook, 11th Ed., Lexi-Comp Inc. : Canada
Mangatas SM, Hermawan HM, dan Ketut S. 2006. Imunobiologi Asma Bronkial. Dexa
Medika No.1 Vol.9 Hal. 31-39.
Neal MJ, 2005, At a Glance: Farmakologi medis, Edisi 5, Penerbit Erlangga : Jakarta
Nelson. 1996. Ilmu Kesehatan Anak. Penerbit EGC. Jakarta.