LAPORAN AKHIR ANALISIS PEMANFAATAN MARITIME SILK ROAD SEBAGAI SALAH SATU ALTERNATIF JALUR DISTRIBUSI UNTUK MENINGKATKAN AKSES PASAR PRODUK EKSPOR INDONESIA KE DUNIA PUSAT PENGKAJIAN KERJASAMA PERDAGANGAN INTERNASIONAL BADAN PENGKAJIAN DAN PENGEMBANGAN PERDAGANGAN KEMENTERIAN PERDAGANGAN JAKARTA 2016
72
Embed
LAPORAN AKHIR ANALISIS PEMANFAATAN MARITIME SILK …
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
LAPORAN AKHIR
ANALISIS PEMANFAATAN MARITIME SILK ROAD SEBAGAI SALAH SATU
ALTERNATIF JALUR DISTRIBUSI UNTUK MENINGKATKAN AKSES PASAR
PRODUK EKSPOR INDONESIA KE DUNIA
PUSAT PENGKAJIAN KERJASAMA PERDAGANGAN INTERNASIONAL
ANALISIS PEMANFAATAN MARITIME SILK ROAD SEBAGAI SALAH SATU ALTERNATIF
JALUR DISTRIBUSI UNTUK MENINGKATKAN AKSES PASAR PRODUK EKSPOR
INDONESIA KE DUNIA
Pengarah : Sri Nastiti Budianti
Koordinator : Adrian Darmawan Lubis
Tim Peneliti : Dewi Kartikawati, Steven Bako,
Arie Mardiansyah
Tenaga Ahli : Dian V. Panjaitan, Amzul Rifin
PUSAT PENGKAJIAN KERJASAMA PERDAGANGAN INTERNASIONAL
BADAN PENGKAJIAN DAN PENGEMBANGAN PERDAGANGAN
KEMENTERIAN PERDAGANGAN
JAKARTA
2016
ABSTRAK
ANALISIS PEMANFAATAN MARITIME SILK ROAD SEBAGAI SALAH SATU ALTERNATIF JALUR DISTRIBUSI UNTUK MENINGKATKAN AKSES PASAR
PRODUK EKSPOR INDONESIA KE DUNIA
Pemerintah Tiongkok menawarkan kerjasama strategis Maritime Silk Road (MSR) kepada Presiden Republik Indonesia saat kunjungan kenegaraan Bapak Joko Widodo ke Tiongkok tahun 2015. MSR pada intinya merupakan jalur perdagangan laut yang melewati Asia, Afrika, dan Eropa, dimana pemerintah Tiongkok mengusulkan Jakarta sebagai satu-satunya hub ekspor dan impor di Indonesia. Namun, analisis ini yang menggunakan data primer dan data sekunder serta metode regresi model garivitasi menemukan bahwa pemanfaatan Jakarta sebagai satu-satunya hub akan merugikan Indonesia karena meningkatkan biaya distribusi khususnya biaya angkutan laut akibat macetnya jalur keluar dan masuk di Tanjung Priok. Oleh karena itu, disarankan pemanfaatan MSR dapat memebrikan manfaat bagi kegiatan ekspor Indonesia sebaiknya kerjasama strategis ini ditujukan untuk meningkatkan ketersediaan armada kapal khususnya kapal Tiongkok dengan ukuran kecil yang sesuai dengan potensi muatan di pelabuhan ekspor Indonesia khususnya dari Belawan, Makasar, dan Sorong.
Kata Kunci: Perdagangan Internasional, Maritime Silk Road, Biaya Angkutan Laut
ABSTRACT
ANALYSIS OF THE MARITIME SILK ROAD AS AN ALTERNATIVE ROUTES TO IMPROVE MARKET ACCESS OF INDONESIAN EXPORT TO THE WORLD
The Chinese Government offered strategic cooperation Maritime Silk Road
(MSR) to the President of the Republic of Indonesia during a state visit to China in 2015. MSR is essentially a sea trade route passing through Asia, Africa, and Europe, where the Chinese government proposes Jakarta as a one-only export and import hub in Indonesia. However, this analysis that uses primary data and secondary data as well as the method of regression models garivitasi found that the use of Jakarta as the only hub will harm Indonesia as increasing distribution costs, especially the cost of sea transport as a result of the breakdown lane exit and entrance at Tanjung Priok. Therefore, it is suggested the utilization of MSR can feed that benefit the export activities of Indonesia should this strategic partnership is intended to increase the availability of the Chinese ship fleet, especially with a small size that corresponds to the potential of the charge at the export port of Belawan in particular Indonesia, Makassar and Sorong.
Keywords: International Trade, Maritime Silk Road, Freight Cost
KATA PENGANTAR
Puji syukur dipanjatkan kepada Allah SWT atas rahmat dan karunianya sehingga
analisis yang berjudul Analisis Pemanfaatan Maritime Silk Road Sebagai Salah Satu
Alternatif Jalur Distribusi Untuk Meningkatkan Akses Pasar Produk Ekspor
Indonesia ke Dunia, dapat diselesaikan.
Selain itu Tim Penulis mengucapkan terima kasih kepada Kepala Pusat
Kerjasama Perdagangan Internasional, BPPP Kemendag dan Kepala Bidang
Multilateral di Pusat Kerjasama Perdagangan Internasional atas arahan dan bimbingan
dalam penulisan ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada rekan dan pihak
lain yang memberikan bantuan dan tidak dapat disebutkan satu per satu.
Menyadari laporan ini masih banyak kekurangan, diharapkan masukan yang
membangun untuk memperbaiki laporan ini dimasa mendatang.
Jakarta, Juni 2016
Tim Penulis
iii
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK ......................................................................................... i
KATA PENGANTAR ......................................................................... ii
DAFTAR ISI ...................................................................................... iii
DAFTAR GAMBAR DAN TABEL ...................................................... v
BAB I. PENDAHULUAN .................................................................. 1
1.1 Latar Belakang ............................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ......................................................... 2
1.3 Tujuan ............................................................................ 3
1.4 Hasil Analisis ................................................................. 3
errors umumnya terjadi karena respon yang tidak sesuai.
Puska KPI, BPPP, Kementerian Perdagangan 25
3. Masalah selektivitas (selectivity) yang mencakup hal-hal berikut:
a. Self-selectivity. Permasalahan ini muncul karena data yang
dikumpulkan untuk suatu penelitian tidak sepenuhnya dapat
menangkap fenomena yang ada.
b. Nonresponse. Permasalahan ini muncul dalam panel data ketika
ada ketidaklengkapan jawaban yang diberikan oleh responden.
c. Attrition, yaitu jumlah responden yang cenderung berkurang pada
survey lanjutan yang biasanya terjadi karena responden pindah,
meninggal dunia atau biaya menemukan responden yang terlalu
tinggi.
4. Cross-section dependence. Sebagai contoh, apabila macro panel
dengan unit analisis negara atau wilayah dengan deret waktu yang
panjang mengabaikan cross-country dependence akan mengakibatkan
kesimpulan yang tidak tepat (misleading inference).
Terdapat tiga metode pada teknik estimasi model data panel, yaitu
pooled Ordinary Least Square (OLS), fixed effect dan random effect. Dari
ketiga metode tersebut akan dipilih model yang terbaik menggunakan uji-
F, uji LM dan uji Hausman.
a. Metode Pooled OLS
Metode Pooled OLS merupakan suatu metode pengkombinasian
sederhanaantara data time-series dan data cross-section dan selanjutnya
dilakukan estimasi model yang mendasar menggunakan kuadrat terkecil
sederhana (OLS). MetodePooled OLS dapat dispesifikasikan kedalam
model berikut:
Ŷit = α + β Xit
dimana i menunjukkan urutan individu yang diobservasi pada data cross-
section,sedangkan t menunjukkan periode pada data time-series. Namun,
pada metode iniasumsi yang digunakan menjadi terbatas karena model
tersebut mengasumsikan bahwa intersep dan koefisien dari setiap
variabel sama untuk setiap individu yang diobservasi. Hal ini
Puska KPI, BPPP, Kementerian Perdagangan 26
menyebabkan variabel-variabel yang diabaikan akan membawa
perubahan pada intersep time-series dan cross-section.
b. Metode Fixed Effect
Masalah yang timbul pada penggunaan metode pooled OLS yaitu
adanyaasumsi bahwa intersep dan koefisien dari setiap variabel sama
pada setiapindividu yang diobservasi. Sementara pada fixed effect,
perbedaan individu data diakomodasi dalam intersep masing-masing
individu data. Untuk memperhitungkan individualitas dari setiap unitcross-
section, hal ini dilakukan dengan cara menjadikan intersep berbeda
padatiap unit individu. Pada metode fixed effect ditambahkan variabel
dummy untukmengubah intersep, tetapi koefisien-koefisien lainnya tetap
sama untuk setiapindividu yang diobservasi. Model estimasi ini seringkali
disebut dengan teknik Least Squares Dummy Variables (LSDV). Metode
ini dapat dispesifikasikan kedalam model berikut:
Yit = α + βXit + βDi + εit
Berdasarkan asumsi struktur matriks varians-covarians residual,
model fixed effect menggunakan tiga metode, yaitu:
1. Ordinary Least Square (OLS/LSDV), jika struktur matrik varian-
kovarian residualnya diasumsikan bersifat homoskedastisitas dan tidak
cross sectional correlation
2. Generalized Least Square (GLS)/Weighted Least Square (WLS): jika
struktur matriks varian-kovarian residualnya diasumsikan bersifat
heteroskedastistik dan tidak ada cross sectional correlation
3. Feasible Generalized Least Square (FGLS/Seemeingly Uncorrelated
Regression (SUR), jika struktur matriks varian-kovarian residualnya
diasumsikan bersifat heteroskedastik dan ada cross sectional
correlation.
Terdapat beberapa masalah penggunaan metodefixed effect.
Pertama, penggunaan variabel dummy tidakdapat mengidentifikasikan
Puska KPI, BPPP, Kementerian Perdagangan 27
secara langsung penyebab perubahan garis regresi pada periode dan
individu. Kedua, teknik variabel dummy akan mengurangi jumlah derajat
bebas (Pyndick, 1998).
c. Metode Random Effect
Pada metode random effect, terdapat perbedaan intersep untuk
setiap individu data. Intersep tersebutmerupakan variabel random dan
stokastik. Penggunaan variabel dummy pada metode fixed effect
masihmenghasilkan kekurangan pada informasi mengenai model. Oleh
karena itu,kekurangan informasi tersebut dapat digambarkan melalui
komponen galat(disturbance atau error term).Pada metode random effect
dimasukkan komponen galat (error term) kedalam model untuk
menjelaskan variabel prediktor (explanatory variable) yangtidak masuk
kedalam model, komponen non linearitas hubungan variabel bebasdan
variabel tidak bebas, kesalahan ukur saat observasi dilakukan serta
kejadianyang sifatnya acak.Metode random effect dapat dispesifikasikan
kedalam model berikut:
Yit = α + βXit + βDi + Vit
dimana Vit = εit + μit
Ada beberapa asumsi yang harus dipenuhi model ini diantaranya:
1. Nilai harapan variabel gangguan nol, yaitu (Vit) = 0
2. Varian variabel gangguan homoskedastisitas, yaitu Var (Vit) = σμ2 +
σε2
3. Variabel gangguan individu data yang sama dalam periode yang
berbeda saling berkorelasi, yaitu Cov (Vit, Vis) (t≠s)
4. Variabel gangguan dari individu data yang berbeda tidak berkorelasi
Cov (Vit, Vjs) = 0, dengan j≠s
Formulasi dari metode random effect diperoleh dari model fixed
effect dengan mengasumsikan bahwa efek rata-rata dari variabel-variabel
Puska KPI, BPPP, Kementerian Perdagangan 28
time-series dan cross-section yang acak termasuk dalam intersep dan
deviasi acak rata-rata tersebut sama dengan komponen galat, ui dan vt.
Pada metode random effect diasumsikan bahwa komponen galat individu
tidak berkorelasi satu sama lain dan tidak ada auto korelasi antara setiap
unit cross-section dan time-series (Pyndick, 1998).
Karena adanya korelasi antara variabel gangguan, maka metode
OLS tidak bias digunakan untuk mendapatkan estimator yang efisien
(Greene, 1997). Metode yang tepat untuk mengestimasi metode random
effect adalah Generalizrd Least Squares (GLS).
Untuk menguji kesesuaian atau kebaikan model dari ketiga metode
padateknik estimasi model dengan data panel digunakan uji-F, uji LM, dan
ujiHausman. Uji-F digunakan untuk menguji kesesuaian model antara
model yangdiperoleh dari metode pooled OLS dengan model yang
diperoleh dari metode fixedeffect. Selanjutnya dilakukan uji Hausman
terhadap model terbaik yang diperolehdari hasil Fixed effect dengan
model yang diperoleh dari metode random effect. Semnatara uji LM Test
untuk menguji metode random effect dengan pooled leastsquare.
Uji-F (Chow Test)
Chow Test atau beberapa buku menyebutnya pengujian F Statistics
adalah pengujian untuk memilih apakah model yang digunakan Pooled
Least Square atau Fixed Effect. Terkadang asumsi bahwa setiap unit
cross section memiliki perilaku yang sama cenderung tidak realistis
mengingat dimungkinkan saja setiap unit cross section memiliki perilaku
yang berbeda. Dalam pengujian ini dilakukan dengan hipotesa sebagai
berikut:
H0: Model PLS (Restricted)
H1: Model Fixed Effect (Unrestricted).
Puska KPI, BPPP, Kementerian Perdagangan 29
Dasar penolakan terhadap hipotesa nol adalah dengan menggunakan F-
Statistik seperti yang dirumuskan oleh Chow:
)/(
)1/()(
KNNTURSS
NURSSRRSSCHOW
dimana:
RRSS = Restricted Residual Sum Square
URSS = Unrestricted Residual Sum Square
N = Jumlah data cross section
T = Jumlah data time series
K = Jumlah variabel penjelas,
Chow Test ini mengikuti distribusi F-statistik yaitu FN-1, NT-N-K. Jika nilai
CHOW Statistics (F-Stat) hasil pengujian lebih besar dari F Tabel, maka
cukup bukti untuk melakukan penolakan terhadap hipotesa nol sehingga
model yang digunakan adalah model fixed effect, begitu juga sebaliknya.
Pengujian ini disebut sebagai Chow Test karena kemiripannya dengan
Chow Test yang digunakan untuk menguji stabilitas dari parameter
(stability test).
Uji Hausman
Hausman Test adalah pengujian statistik sebagai dasar
pertimbangan kita dalam memilih apakah menggunakan model fixed effect
atau model random effect. Seperti yang kita ketahui bahwa penggunaan
model fixed effect mengandung suatu unsur trade off yaitu hilangnya
derajat kebebasan dengan memasukkan variabel dummy. Namun,
penggunaan metode random effect pun harus memperhatikan ketiadaan
pelanggaran asumsi dari setiap komponen galat.
Hausman Test dilakukan dengan hipotesa sebagai berikut:
H0: Random Effects Model
H1: Fixed Effects Model.
Puska KPI, BPPP, Kementerian Perdagangan 30
Sebagai dasar penolakan Hipotesa nol maka digunakan statistik hausman
dan membandingkannya dengan chi square.
Statistik hausman dirumuskan dengan:
bMMbm 1
10
' ~ KX 2
dimana adalah vektor untuk statistik variabel fixed effect, b adalah
vektor statistik variabel random effect, )( 0M adalah matriks kovarians
untuk dugaan FEM dan )( 1M adalah matriks kovarians untuk dugaan
REM.
LM Test
LM Test atau lengkapnya The Breusch – Pagan LM Test digunakan
sebagai pertimbangan statistik dalam memilih model Random Effect
versus Pooled Least Square.
H0: PLS
H1: Random Effect.
Dasar penolakan terhadap H0 adalah dengan menggunakan statistik LM
yang mengikuti distribusi dari Chi Squre. Statistik LM dihitung dengan
menggunakan residual OLS yang diperoleh dari hasil estimasi model
pooled.
Strategi Pengujian
Secara umum, dalam pengujian estimasi model-model data panel
diperlukan sebuah strategi. Strategi yang dapat dilakukan adalah dengan
menguji:
a) RE vs FE (Hausman Test);
b) PLS vs FE (Chow Test).
Puska KPI, BPPP, Kementerian Perdagangan 31
Kerangka pengambilan keputusan dalam memilih sebuah model yang
digunakan adalah sebagai berikut:
Jika (b) tidak signifikan maka kita menggunakan Pooled Least
Square.
Jika (b) signifikan namun (a) tidak signifikan maka kita
menggunakan Random Effect Model .
Jika keduanya signifikan, maka kita menggunakan Fixed Effect Model.
Akan tetapi, dalam penelitian ini model yang digunakan adalah
Random Effect Model (REM). Model REM langsung dipilih karena dapat
mengakomodir variabel jarak geografis yang bernilai konstan setiap tahun.
Jika menggunakan model FEM maka model penelitian ini tidak dapat
diolah karena data. Jika model yang dipilih adalah REM maka estimasi
dari model diasumsikan Best Linear Unbiased Estimator (BLUE) dan tidak
perlu dilakukan pengujian terhadap 3 asumsi utama model BLUE (non
multicolinearity, homokedasticity, dan non autocorrelation). Hal ini
dikarenakan: (1) sifat data panel adalah bebas dari gejala
multikolinearitas, dan (2) REM adalah model Generalized Least Square
(GLS) sehingga apabila estimasi menggunakan GLS secara otomatis
akan terbebas dari gejala autokorelasi, dan bahkan terbebas dari gejala
heterokedastisitas yang disebabkan variansi sisaannya yang konstan
(Gujarati, 2012).
Puska KPI, BPPP, Kementerian Perdagangan 32
BAB IV
ANALISIS FAKTOR YANG MEMPENGARUHI NERACA
PERDAGANGAN INDONESIA DENGAN NEGARA MSR DAN NON MSR
Analisis faktor yang mempengaruhi neraca perdagangan Indonesia
dengan negara MSR dan non MSR dilakukan dengan metode panel data.
Untuk itu perlu dilakukan pemilihan model terbaik antara model PLS, FEM
atau REM. Berdasarkan hasil Chow Test dan Hausman Test pada
lampiran 1 dan 3 dapat diketahui bahwa model yang digunakan untuk
menganalisis neraca perdagangan antara Indonesia dan negara dijalur
MSR maupun Non MSR adalah Fixed Effect Model (FEM).
4.1. Indeks Kualitas Pelabuhan (Quality of Port Infrastructure)
Variabel ini menunjukkan persepsi pengguna pelabuhan terhadap
kondisi infrastruktur dari pelabuhan tersebut. Data diperoleh dari survey
dari World Economic Forum's Executive Opinion Survey, yang dilakukan
selama 30 tahun bekerja sama dengan 150 lembaga mitra. Responden
dari survey tersebut lebih dari 13.000 responden dan berasal dari 133
negara. Sampling mengikuti stratifikasi ganda berdasarkan ukuran
perusahaan dan sektor kegiatan. Data dikumpulkan secara online atau
melalui wawancara langsung. Tanggapan dikumpulkan menggunakan
sector-weighted averaging. Data untuk tahun terbaru yang dikombinasikan
dengan data untuk tahun sebelumnya untuk membuat two-year moving
average. Skor berkisar dari 1 sampai 7, skor 1 menunjukkan infrastruktur
pelabuhan dianggap sangat terbelakang dan skor 7 menandakan bahwa
infrastruktur pelabuhan dianggap efisien dengan standar internasional.
Responden di negara-negara yang merupakan landlocked (terkurung
daratan) ditanya apakah dapat mengakses fasilitas pelabuhan (1 = sangat
tidak dapat diakses; 7 = sangat mudah diakses).
4.2. Indeks korupsi
Untuk mengukur tingkat korupsi di suatu negara, Transparency
International telah memiliki indikator yang dikenal dengan nama Indeks
Puska KPI, BPPP, Kementerian Perdagangan 33
Persepsi Korupsi (IPK), yaitu indeks yang mengukur persepsi pelaku
usaha terhadap praktik suap di suatu daerah. Indeks ini didasarkan pada
skala 10-point di mana skor 10 menunjukkan sangat sedikit korupsi dan
skor 0 menunjukkan pemerintah sangat korup. Dalam mencetak
kebebasan dari korupsi, Indeks mengkonversi data IPK baku untuk skala
0 sampai 100 dengan mengalikan skor IPK dengan 10. Sebagai contoh,
jika skor IPK data mentah suatu negara adalah 5.5, kebebasan
keseluruhan dari skor korupsi adalah 55.
Untuk negara-negara yang tidak tercakup dalam IPK1, kebebasan
dari indeks korupsi ditentukan dengan menggunakan informasi kualitatif
dari yang diakui secara internasional dan dapat diandalkan. Prosedur ini
menganggap sejauh mana korupsi berlaku di suatu negara. Semakin
tinggi tingkat korupsi, semakin rendah tingkat kebebasan ekonomi secara
keseluruhan dan lebih rendah skor suatu negara.
Pada tahun 2015, untuk kesekian kalinya, Transparency
International Indonesia melakukan survei Indeks Persepsi Korupsi di 11
kota dengan total responden 1100. Survey yang berguna untuk mengukur
Indeks Persepsi Korupsi yang akan menggambarkan tingkat korupsi pada
level kota berdasarkan persepsi pelaku usaha. Tujuan dari survey ini
untuk mengukur kualitas pelayanan publik yang diberikan oleh institusi
publik kepada para pelaku usaha melalui Indeks Pelayanan/Service
Performance Index (SPI). Selain itu, untuk mengukur intensitas korupsi di
institusi publik dalam hubungannya dengan pelaku usaha, dalam kegiatan
pelayanan publik dan memperoleh kontrak bisnis dengan lembaga
pemerintah.
Survei Persepsi Korupsi merupakan survey dengan basis
responden pengusaha dan pelayan publik (Pemerintah) yang
dilaksanakan di 11 (sebelas) kota. Jumlah total sampel yang terlibat dalam
survey ini sebanyak 1100 pengusaha dan pelaku bisnis. Metode
pengambilan sampel menggunakan quota sampling.
1 Negara yang tidak ikut serta pada tahun 2011: Belize, Fiji, Mikronesia
Puska KPI, BPPP, Kementerian Perdagangan 34
IPK mencakup definisi-definisi korupsi yang digunakan 9 (sembilan)
survei dasar penyusun Corruption Perception Index (CPI). Kesembilan
survey tersebut adalah International Country Risk Guide, World Economic
Forum, World Economic Yearbook, Transparency International, Global
Insight, Bertelsmann Foundation Transformation Index, Political and
Economic Risk Consultancy, Economist Intelligent Unit, dan World
Justice Project.
Gambar 4.1. Dimensi Pehitungan IPK
IPK merupakan nilai rerata sederhana dari kelima dimensi
pengukuran korupsi di atas. Secara matematis formula perhitungan indeks
persepsi korupsi tersebut sebagai berikut:
𝐼𝑛𝑑𝑒𝑘𝑠 𝑃𝑒𝑟𝑠𝑒𝑝𝑠𝑖 𝐾𝑜𝑟𝑢𝑝𝑠𝑖 = ∑𝑥
𝑛
𝑛
𝑘=0
4.3. Pengaruh Indeks Kualitas Pelabuhan dan Indeks Korupsi
Terhadap Neraca Perdagangan
Kualitas pelabuhan menentukan kegiatan ekspor impor karena
sekitar 90 persen volume perdagangan dunia didistribusikan melalui moda
transportasi laut, sisanya sekitar 10 persen didistribusikan melalui moda
transportasi udara dan darat. Oleh karena itu infrastruktur terkait
transportasi laut khususnya sangatlah diperlukan terutama bagi negara-
Puska KPI, BPPP, Kementerian Perdagangan 35
negara berkembang yang sangat sensitif terhadap perbandingan harga
barang dagangnya terhadap ekspor potensialnya. Salah satu kelebihan
dari moda transportasi laut adalah kapasitasnya yang sangat besar yang
memungkinkan mengangkut suatu produk dalam jumlah yang sangat
besar, mampu melintasi jarak yang sangat jauh dengan biaya yang relatif
lebih murah. Namun demikian walaupun biaya transportasi moda
transportasi laut relatif lebih murah dibandingkan moda transportasi udara,
angkutan laut ini relatif lambat dan aksesibilitasnya terbatas. Selain itu
tidak semua pelabuhan dapat disandari semua jenis kapal.
Hummels (2007) menyebutkan bahwa walaupun sebagian besar
pengangkutan barang dilakukan melalui moda transportasi laut, namun
perkembangan akhir-akhir ini menunjukkan bahwa pengangkutan barang
melalui moda transportasi udara pun semakin meningkat. Barang-barang
yang diperdagangkan melalui moda transportasi laut umumnya bersifat
bulky bernilai relatif rendah seperti minyak dan produk minyak bumi, besi
dan bijih besi, batubara, dan biji-bijian (sereal).
Tabel 4.1. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Neraca Perdagangan
Variabel MSR Non MSR
LNECOGEO -0.34 -1.82
PORT_I -0.16* 0.13*
PORT_J 0.59* -0.07
TRADEOPEN_I 0.02* -0.003
TRADEOPEN_J -0.02* 0.001
CORRUPTION_I -0.05* -0.003
CORRUPTION_J 0.01* 0.002
LNGDP_J 1.3 1.08*
LNGDP_I -0.34** 0.20
C -4.76 -1.81
R-squared 0.99 0.95
Adjusted R-squared 0.99 0.94
Sumber: Lampiran 2 dan 4 Keterangan: *) Signifikan pada taraf nyata 5%
Berdasarkan hasil analisis dengan metode panel data dapat
diketahui bagaimana pengaruh indeks kualitas pelabuhan dan indeks
Puska KPI, BPPP, Kementerian Perdagangan 36
korupsi terhadap neraca perdagangan Indonesia dengan negara mitra
dagang di jalur MSR dan Non MSR. Hasil analisis secara lengkap dapat
dilihat pada Tabel 4.1.
Hasil estimasi pada Tabel 1 menunjukkan bahwa indikator kualitas
pelabuhan (port quality) dari negara mitra di jalur MSR signifikan
mempengaruhi neraca perdagangan dengan koefisien sebesar 0.59.
Artinya, semakin baik kualitas pelabuhan di negara mitra maka akan
meningkatkan neraca perdagangan diantara kedua negara. Hal ini karena
dengan adanya kualitas infrastruktur pelabuhan yang baik maka dapat
menurunkan biaya transportasi. Sedangkan kualitas pelabuhan di negara
mitra di jalur Non MSR tidak signifikan mempengaruhi neraca
perdagangan dengan koefisien 0.07. Jalur Non MSR saat ini merupakan
jalur utama yang digunakan untuk kegiatan ekspor-impor bagi Indonesia.
Jalur Non MSR ini sangat dibutuhkan dan pasti dilewati oleh barang-
barang yang keluar atau masuk Indonesia. Sehingga kualitas pelabuhan
di jalur Non MSR bukan menjadi faktor yang signifikan dalam
mempengaruhi neraca perdagangan karena jalur ini pasti dilewati oleh
kapal.
Kualitas infrastruktur pelabuhan di Indonesia signifkan
mempengaruhi neraca perdagangan Indonesia dengan negara mitra di
jalur MSR dan Non MSR dengan koefisien masing-masing -0.16 dan 0.13.
Perbaikan kualitas infrastruktur pelabuhan di Indonesia sebesar 1 persen
dapat menurunkan neraca perdagangan Indonesia dengan negara Non
MSR sebanyak 0.16 persen. Artinya perbaikan kualitas pelabuhan
cenderung meningkatkan impor Indonesia dari negara MSR dan bukan
meningkatkan ekspor Indonesia ke negara tersebut. Sebaliknya, jika
kualitas pelabuhan Indonesia meningkat 1 persen maka neraca
perdagangan dengan negara Non MSR akan meningkat sebesar 0.13
persen. Artinya, semakin baik kualitas pelabuhan Indonesia sebagai
negara pengekspor akan meningkatkan ekspor dan neraca perdagangan
Indonesia. Dengan kata lain, kualitas infrastruktur pelabuhan akan
Puska KPI, BPPP, Kementerian Perdagangan 37
menentukan daya saing ekspor Indonesia di pasaran internasional melalui
biaya transportasi yang pada akhirnya akan mempengaruhi ekspornya.
Krugman (1991), Henderson et al (2001), Hummels et al (2001),
Limao dan Anthony (2001), menyebutkan bahwa biaya transportasi
semakin berperan penting sejak munculnya liberalisasi perdagangan
dimana hambatan perdagangan baik tarif maupun non tarif dikurangi
bahkan dihapuskan. Salvatore (2004) menyebutkan bahwa biaya
transportasi memberikan pengaruh langsung maupun pengaruh tidak
langsung terhadap perekonomian. Pangaruh langsungnya terhadap
perdagangan yaitu melalui peningkatan harga maupun komoditi yang
diperdagangkan, sementara pengaruh tidak langsungnya adalah terhadap
lokasi penyelenggaraan produksi dan pusat-pusat industri. Demikian
halnya dengan Behar dan Anthony (2010) yang menyebutkan bahwa
biaya transportasi merupakan salah satu faktor yang membentuk volume
dan pola perdagangan.
Komponen-komponen yang menentukan kualitas/efisiensi
pelabuhan diantaranya terkait sarana prasarana fisik pelabuhan itu sendiri
maupun terkait non fisik pelabuhan seperti kelembagaan yang terkait
dengan aktivitas di pelabuhan. Terkait sarana dan prasarana fisik
diantaranya kondisi perairan/kedalaman pelabuhan untuk pergerakan lalu
lintas kapal, penjangkaran dan penambatan, fasilitas untuk bongkar muat,
pengurusan hewan, gudang, lapangan penumpukkan peti kemas, terminal
konvensional, peti kemas dan curah, dan terminal penumpang.
Tingkat kualitas pelabuhan di Indonesia pada tahun 2014 relatif
lebih rendah jika dibandingkan dengan negara mitra dagang di jalur MSR
dan Non MSR. Kualitas pelabuhan Indonesia relatif sama dengan India
dengan skor 4.0 (Gambar 4.2). India mempunyai lebih dari enam kota
pelabuhan dengan pusat industri dan perdagangan terdapat di kota
Calcutta yang merupakan pelabuhan laut terpenting bagi India dan
menjadi kota yang terbesar di India. Pelabuhan penting lainnya di India
adalah Madras/Chennai yang terletak di India selatan dan merupakan
pelabuhan yang sibuk di pantai tenggara.
Puska KPI, BPPP, Kementerian Perdagangan 38
Gambar 4.2. Kualitas Pelabuhan (Port Quality) Indonesia dan Negara
Mitra di Jalur MSR dan Non MSR Tahun 2014
Sumber: WDI, 2016
Indeks kualitas pelabuhan lainnya seperti Kenya yaitu 4,3 dimana
pelabuhan penting di negara tersebut adalah Mombasa. Sebagian besar
barang-barang impor di kawasan ini didatangkan melalui pelabuhan
Mombasa di Kenya. Sejumlah keuntungan yang dimiliki Kenya, antara lain
kemampuan warga Kenya dalam berbahasa Inggris meniadakan
hambatan komunikasi, infrastruktur pelabuhan Mombasa yang cukup baik
serta kondisi politik dalam negeri Kenya yang mendukung pelaku usaha.
Selain itu biaya angkut logistik dari Indonesia ke Kenya yang tidak terlalu
tinggi dan kemudahan transaksi perbankan merupakan suatu keuntungan.
Di antara negara ASEAN, kualitas infrastruktur pelabuhan
Indonesia masih dibawah Singapura, Malaysia, Thailand, dan Kamboja.
Dengan kata lain dapat dikatakan infrastruktur pelabuhan Indonesia masih
belum efektif dan efisien. Selama ini pelabuhan di Indonesia hanya
berfungsi sebagai pelabuhan pengumpan (freeder port). Hal ini lebih
karena Indonesia tidak memiliki pelabuhan Hub Internasional terutama
dalam hal kurang memadainya kedalaman pelabuhan atau deep sea port.
Sebagian besar pelabuhan di Indonesia tidak bisa menjaga tingkat
4.04.6
4.04.3
4.7 4.5
5.6
6.7 6.56.8
4.9
0.0
1.0
2.0
3.0
4.0
5.0
6.0
7.0
8.0
Puska KPI, BPPP, Kementerian Perdagangan 39
kedalaman lautnya sampai 14 meter atau lebih sehingga tidak dapat
memenuhi kriteria deep sea port.
Sampai dengan tahun 2009, hampir setiap tahun sekitar 90 persen
kargo yang masuk dan keluar Indonesia dialihkapalkan melalui pelabuhan
hubungan internasional yang berada di negara tetangga seperti Singapura
dan Malaysia. Kapasitas pelabuhan yang ada saat ini belum memadai
untuk mengakomodasi pertumbuhan perdagangan curah (bulky) maupun
peti kemas yang cenderung terus meningkat. Pada tahun 2011 Pelabuhan
Tanjung Priok menangani hampir 6 juta TEU, padahal berdasarkan
kapasitasnya hanya mampu sampai 5 juta TEU. Akibatnya, seringkali
kapal-kapal mengantri menunggu giliran untuk berlabuh dan bongkar
muat. Akibatnya, waktu tunggu (dwell time) pun menjadi lama yang pada
akhirnya berakibat pada naiknya biaya. Seringkali waktu tunggu untuk
berlabuh jauh lebih lama dibandingkan dengan waktu berlayar, yang
berimplikasinya pada tingginya biaya. Bahkan menurut laporan AUSAID
(2012), diperkirakan pada tahun 2020 aliran peti kemas di Indonesia akan
mencapai 30 juta TEU. Kargo curah kering dan cair diperkirakan akan
meningkat 50 persennya. Apabila tidak segera dibenahi kapasitas dan
kualitas pelabuhan yang ada saat ini tentunya akan semakin
meningkatkan waktu tunggu dan semakin menurunkan daya saing
perdagangan Indonesia.
Variabel lain yang signifikan mempengaruhi neraca perdagangan
adalah tingkat korupsi di Indonesia dan negara mitra dagang di jalur MSR
dengan koefisien masing-masing sebesar -0.05 dan 0.01. Tingkat korupsi
ditunjukkan oleh angka indeks korupsi dimana semakin tinggi indeks
korupsi menyatakan bahwa korupsi di negara tersebut semakin rendah.
Pada Tabel 1 dapat diketahui jika korupsi di Indonesia meningkat 1 persen
maka neraca perdagangan turun sebesar 0.05 persen. semakin tinggi
maka semakin rendahnya korupsi di negara mitra akan menaikkan neraca
perdagangan Indonesia dan negara di jalur MSR. Sebaliknya, tingkat
korupsi yang rendah di negara mitra akan meningkatkan neraca
perdagangan Indonesia.
Puska KPI, BPPP, Kementerian Perdagangan 40
Variabel indeks korupsi ini tidak signifikan mempengaruhi neraca
perdagangan Indonesia dengan negara mitra dagang di jalur Non MSR.
Jalur Non MSR merupakan jalur yang saat ini digunakan Indonesia
dimana kualitas pelabuhan di negara-negara tersebut sudah jauh lebih
baik dari Indonesia.
Pengaruh kedua variabel ini relatif kecil terhadap neraca
perdagangan Indonesia yaitu 0.04 persen. Walaupun koefisien korupsi
relatif kecil, hasil penelitian LPEM FE-UI (2005) menunjukkan masih
ditemukannya pungutan liar untuk mengurangi waktu antri karena
kurangnya sarana infrastruktur utama seperti derek jembatan dan ruang
penyimpanan. Walaupun tidak signifikan mempengaruhi neraca
perdagangan, akan tetapi nilai koefisien dari variabel indeks korupsi di
Indonesia yaitu -0.003. Pengaruhnya sama terhadap neraca perdagangan
Indonesia dengan negara mitra dagang di jalur MSR. Hal ini
mengindikasikan bahwa penurunan tingkat korupsi di Indonesia
cenderung meningkatkan impor dibandingkan dengan ekspor. Ekspor
Indonesia dapat meningkat dengan adanya penurunan tingka korupsi di
negara mitra dagang baik di jalur MSR maupun Non MSR.
Koefisien tingkat korupsi relatif kecil, akan tetapi variabel ini
merupakan masalah serius terutama terkait dengan prosedur bea cukai.
Dua survey yang sudah dilakukan mendukung pernyataan ini. Pertama,
hasil survei dari WEF (2007) menunjukkan buruknya posisi Indonesia
untuk isu ini. Kedua, hasil survei tahun 2005 dari LPEM UI bekerja sama
dengan Bank Dunia memperkirakan bahwa pungli yang harus dibayar
pengusaha kepada aparat Bea dan Cukai mencapai 800 juta dollar AS
atau Rp 7 triliun (pada kurs yang berlaku saat itu). Menurut laporan
tersebut, nilai ini setara 2.3 persen dari total nilai impor Indonesia pada
tahun 2004. Pengusaha menyebut setoran itu sebagai dana informal.
Dibayar kadang-kadang atau rutin. Pada bulan September, LPEM UI
kembali melakukan survei atas 589 perusahaan pengguna jasa
kepelabuhan. Hasilnya menunjukkan bahwa pungli memang menjadi
sedikit, tetapi berubah menjadi suap menyuap (Basuki, 2008).
Puska KPI, BPPP, Kementerian Perdagangan 41
Pada Gambar 3 dapat dilihat bahwa tingkat korupsi di Indonesia
dan Kenya masih tinggi jika dibandingkan dengan negara lain seperti Cina
dan Italia yang berada di jalur MSR. Bahkan pada tahun 2014, tingkat
korupsi Indonesia semakin meningkat jika dilihat dari indeks korupsi yang
bernilai 28 sedangkan pada tahun 2013 bernilai 30. Tingkat korupsi di
Indonesia juag relatif lebih tinggi jika dibandingkan dengan negara mitra
dagang yang berada di jalur Non MSR.
Gambar 4.3. Indeks Korupsi Indonesia dan Negara Mitra di Jalur MSR dan Non MSR Tahun 2014
Sumber: GCI dan WDI, 2016
Terkait dengan indikasi korupsi, beberapa temuan lapang survei
Kementerian Keuangan (2013) menunjukkan walaupun sudah relatif
mengalami perbaikan, namun masih ditemukan adanya pungutan yang
yang sifatnya ilegal terutama pada saat pengecekan dokumen dan cek
fisik untuk jalur merah. Hal ini umumnya dilakukan atas inisiatif importir
untuk mempercepat proses pengeluaran barang, karena biasanya
memerlukan waktu yang relatif lama.
Jalur merah adalah proses pelayanan dan pengawasan
pengeluaran Barang Impor dengan dilakukan pemeriksaan fisik barang,
dan dilakukan penelitian dokumen sebelum penerbitan Surat Persetujuan
2835 32
21
3339
44
92
66
88
42
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
Puska KPI, BPPP, Kementerian Perdagangan 42
Pengeluaran Barang (SPPB). Kriteria jalur merah meliputi: importir baru,
importir yang termasuk dalam kategori risiko tinggi (high risk importir),
barang impor sementara, barang Operasional Perminyakan (BOP)
golongan II, barang re-impor, terkena pemeriksaan acak, barang impor
tertentu yang ditetapkan oleh Pemerintah, dan barang impor yang
termasuk dalam komoditi berisiko tinggi dan/atau berasal dari negara yang
berisiko tinggi. Untuk mengatasi hal tersebut, pada akhir 2012, pemerintah
sudah berupa membangun fasilitas pemeriksanaan fisik terpadu yang
biasanya selain melibatkan DJBC juga instansi Karantina.
4.4. Pemanfaatan MSR Untuk Meningkatkan Ekspor Indonesia ke
Dunia
Hasil regresi menemukan bahwa variabel infrastruktur pelabuhan
dan indeks korupsi merupakan variabel yang mempengaruhi surplus
perdagangan Indonesia jika menggunakan jalur MSR. Hasil regresi ini
konsisten dengan kenyataan bahwa MSR merupakan jalur laut baru yang
menggunakan jalur alternatif yang berbeda dari jalur laut yang ada saat
ini. Nilai koefisien variabel pelabuhan (Port) yang mencapai 0.59
merupakan nilai koefisien paling besar dibandingkan dengan variabel lain.
Oleh karena itu, dalam pemanfaatan MSR Indonesia harus memilih
dengan baik pelabuhan yang akan digunakan sebagai hub ekspor.
Namun, berdasarkan data dari WDI (2016), ternyata kualitas
pelabuhan diantara negara MSR hampir sama. Nilai kualitas pelabuhan
antara negara MSR berkisar dari 4.0 (Indonesia dan India) sampai 4.7
(Yunani). Nilai kualitas pelabuhan yang hampir sama ini memberikan
peluang bagi armada kapal angkutan laut Indonesia untuk melakukan
kegiatan ekspor langsung dari Indonesia ke pelabuhan MSR. Jika
dibandingkan dengan pelaksanaan kegiatan ekspor diluar jalur MSR,
umumnya kapal Indonesia tidak dapat menembus standart pelabuhan non
MSR seperti Singapura, Dubai dan Belanda yang jauh lebih tinggi
dibandingkan Indonesia. Temuan ini merupakan angin segar bagi
angkutan laut nasional, mengingat pelaksanaan MSR membuka
Puska KPI, BPPP, Kementerian Perdagangan 43
kesempatan dan potensi pemanfaatan kapal nasional untuk kegiatan
ekspor langsung ke dunia. Indonesia perlu menyikapi hal ini dengan
meningkatkan ketersediaan kapal nasional mengingat beberapa negara
MSR seperti Malaysia dan Italia memiliki armada kapal yang jauh lebih
besar dari Indonesia. JIka Indonesia gagal meningkatkan ketersediaan
kapal nasional untuk ekspor, maka pemanfaatan MSR hanya memberi
manfaat bagi armada Tiongkok dan Italia, dimana biaya angkut dari kapal
Tiongkok dalam survey yang dilakukan dalam kajian ini ternyata jauh lebih
murah dibandingkan dengan armada kapal lain yang berasal dari Eropa.
Puska KPI, BPPP, Kementerian Perdagangan 44
BAB V
TANTANGAN PEMANFAATAN MSR
5.1 Pandangan Pengusaha Untuk Pemanfaatan MSR
Hasil analisis Lubis et.al (2015) menemukan bahwa rute ekspor
yang dimanfaatkan pengusaha Indonesia ke Tiongkok sampai saat ini
umumnya dilakukan melalui tiga jalur utama yaitu a) ekspor langsung ke
Tiongkokmenggunakan kapal curah atau tanker, b) ekspor menggunakan
kontainer dengan pelabuhan antara di Singapura atau Malaysia, dan c)
ekspor menggunakan kontainer dengan pelabuhan antara di Surabaya,
Jakarta, lalu ke Singapura atau Malaysia. Perbedaan rute ekspor tersebut
mempengaruhi lama tempuh ekspor ke Tiongkok, sebagai perbandingan,
pemilihan rute (a) menyebakan lama tempuh ke Tiongkokmencapai 14
hari, pemilihan rute (b) menyebabkan lama tempuh dari Medan ke
Tiongkokmaksimal 9 hari, dengan transit paling lama satu hari di Malaysia
atau Singapura, namun pemilihan rute (c) menyebabkan lama tempuh ke
Tiongkokdengan transit di Jakarta, Surabaya, Malaysia atau Singapura
mencapai 21 hari.
Gambar 5.1. Alur Pelayaran Untuk Ekspor ke Tiongkok Saat Ini
Sumber: Lubis et.al., 2015
a
c c b
Tanjung Pelepas/ Port
Klang/Singapura
Tiongkok
Jakarta Medan Surabaya Makassar
c
Puska KPI, BPPP, Kementerian Perdagangan 45
Pemilihan rute ekspor (a) dilakukan khusus oleh perusahaan besar
di Makassar dengan menggunakan kapal curah berukuran kecil karena
keterbatasan kargo yang sampai saat ini maksimal 13.000 ton.
Penggunaan kapal kecil menyebabkan peningkatan lama tempuh karena
keterbatasan kecepatan kapal. Adapun pemilihan rute (b) dilakukan oleh
seluruh eksportir di Sumatera Utara dan sekitarnya saat ini, baik dengan
menggunakan kontainer ataupun kapal curah/tanker. Pemilihan Malaysia
atau Singapura menyebabkan pengusaha dari Sumatera Utara dan
sekitarnya dapat menggunakan kapal berukuran besar sehingga menekan
lama tempuh dan biaya angkut. Sedangkan rute (c) adalah pola ekspor
umum menggunakan kontainer dimana kapal akan berlayar mengelilingi
Indonesia menuju Makassar, Surabaya, Jakarta, selanjutnya transit di
Singapura kemudian menuju Tiongkok. Rute ini memiliki waktu tempuh
paling lama karena jarak dan lama antrian serta bongkar muat muatan di
setiap pelabuhan. Pemilihan rute (c) dilakukan untuk mengisi kargo agar
kapal tidak berlayar kosong atau setengah penuh dengan tujuan menekan
biaya angkut.
Hasil survey ke lima kota pelabuhan utama di Indonesia
menemukan bahwa pelaksanaan MSR dengan menggunakan Jakarta
sebagai pelabuhan antara (hub) tidak akan efektif untuk wilayah Sumatera
khususnya disekitar wilayah kerja Pelabuhan Belawan. Hasil survey ke
pelaku usaha di Medan menemukan bahwa kegiatan ekspor dari Belawan
dengan menggunakan pelabuhan Tanjung Priok sebagai hub akan
memperlama lama tempuh satu hari dengan peningkatan biaya per
kontainer diperkirakan mencapai Rp 1.000.000,-. Selain itu kontrak ekspor
ke Tiongkok saat ini dari Belawan yang dilakukan dengan Term of
Delivery (TOD) Free on Board (FOB) menyebabkan pengusaha domestik
harus tunduk dengan pilihan kapal dari pihak pembeli. Penggunaan TOD
FOB dalam kegiatan ekspor dari Belawan ke Tiongkok disebabkan
kesamaan produk ekspor dari Belawan dengan region ASEAN di
sekitarnya. Kesamaan produk ini menyebabkan pembeli lebih memilih
melakukan pengumpulan kargo di Malaysia atau Singapura untuk produk
Puska KPI, BPPP, Kementerian Perdagangan 46
sejenis yang berasal dari Sumatera, Thailand, IndoTiongkok, dan
selanjutnya diangkut ke Tiongkok atau wilayah lain di dunia (Lubis, et.al,
2015).
Gambar 5.2. Usulan Pelaksanaan Maritime Silk Road di Indonesia
Sumber: Lubis et.al., 2015
Pelaksanaan MSR dengan menggunakan hub Jakarta masih
mungkin dilaksanakan untuk ekspor yang berasal dari pelabuhan
Makassar, Surabaya dan Jakarta (digambarkan dengan garis putus-
putus). Namun sayangnya kebijakan ini diyakini tidak akan banyak
meningkatkan daya saing produk ekspor Indonesia ke Tiongkok, oleh
karena lama tempuh dari Makassar, Surabaya, Jakarta lalu ke Tiongkok
mencapai 21 hari. Penyebab utama lama tempuh menjadi 21 hari tersebut
adalah lamanya waktu tunggu sandar dan bongkar muat di pelabuhan
Surabaya dan Jakarta yang saat ini terkenal sangat macet.
Berdasarkan temuan survey, kajian ini mengusulkan agar
pelaksanaan ekspor langsung ke Tiongkok dengan menggunakan kapal
Tiongkok atau disebut juga dengan kebijakan MSR sebaiknya tidak
dipaksakan harus dilakukan dari Jakarta. Pelaksanaan MSR sebaiknya
dilakukan dari tiga pelabuhan utama Indonesia yaitu Jakarta, Surabaya,
dan Makassar. Pemilihan ketiga pelabuhan ini sebagai saran pelaksanaan
MSR disebabkan pengukuran lama tempuh paling singkat dan adanya
Tiongkok
Tanjung Pelepas/Port
Klang/Singapura
Medan Jakarta Surabaya
Makassar
Puska KPI, BPPP, Kementerian Perdagangan 47
kebijakan dari setiap pemerintah daerah yang memiliki pelabuhan ekspor
untuk melakukan ekspor langsung.
5.2 Peluang Indonesia Memanfaatkan MSR Untuk Ekspor Ke Dunia
Berdasarkan temuan Lubis et.al (2015) mengenai pemanfaatan
MSR untuk ekspor ke Tiongkok, dilakukan survey ke Medan dan
Makassar untuk mengetahui minat masyarakat memanfaatkan MSR
sebagai alternatif jalur distribusi ke dunia. Adapun pemililhan Medan dan
Makassar merujuk pada temuan Lubis et.al. (2015) yang menyatakan
bahwa pelaksanaan MSR jika melalui Jakarta dan Surabaya tidak efektif
karena akan meningkatkan lama tempuh dan biaya pengiriman.
5.2.1. Temuan Turun Lapang Medan
Dari hasil wawancara dan diskusi diperoleh beberapa temuan
lapangan sebagai berikut:
Disperindag SUMUT
Berdasarkan informasi dari Disperindag SUMUT, saat ini volume
ekspor SUMUT turun sebagai akibat banyaknya penutupan industri dan
pengalihan lahan komoditas pertanian. Adapun produk ekspor yang masih
mendominasi di SUMUT saat ini antara lain Crude Palm Oil (CPO),
minyak goreng dan karet. Sedangkan untuk hasil industri yang dieskpor
dengan menggunakan kontainer samakin turun.
Pelindo I
Saat ini Pelindo I melalui pelabuhan utama di Belawan melayani
aktivitas bongkar muat kapal curah, tanker, dan peti kemas. Saat ini
sedang dilakukan pengembangan terminal peti kemas di Belawan untuk
meningkatkan kapasitas penampungan peti kemas melalui
pengembangan Fase 1 dan 2 yang diharapkan selesai pada tahun 2018-
2019. Pengembangan pelabuhan Belawan diharapkan meningkatkan
kapasitas peti kemas Belawan sebesar 900 ribu Teus dan meningkatkan
penyerapan tenaga kerja sebanyak 600 orang. Lebih lanjut, juga dilakukan
pembangunan pelabuhan Kuala Tanjung yang diagendakan selesai
Puska KPI, BPPP, Kementerian Perdagangan 48
ditahun 2018 dengan peningkatan kapasitas peti kemas sebesar 400 ribu
Teus dan curah cair sebesar 3,5 juta ton.
Pengembangan kawasan pelabuhan Kuala Tanjung diikuti berbagai
upaya membangun kawasan tersebut menjadi kota pelabuhan modern
yang terintegrasi melalui penyediaan jalur kereta api, jalan tol baru,
kawasan kantor dan tempat tinggal. Selain itu juga dilakukan
pembangunan kawasan industri yang terdiri dari industri penyulingan dan
pengolahan kelapa sawit, alumunium, karet dan semen. Pengembangan
kawasan Kuala Tanjung dilakukan dengan kombinasi investasi domestik
dan asing, dimana saat ini mitra pengembangan berasal dari Belanda.
Namun sayangnya, belum ditemukan rencana kerja dari pengelola
pelabuhan di Medan untuk mensinergikan pengembangan pelabuhan di
Belawan maupun di Kuala Tanjung dengan kebijakan MSR.
ALFI (Asosiasi Logistik Forwarder Indonesia)
Perwakilan ALFI menginformasikan bahwa komoditi ekspor ke
Tiongkokdari Sumatera Utara adalah Crude Palm Oil (CPO), karet, kayu,
dan minyak goreng. Adapun komoditas impor dari Tiongkokadalah biji
besi, plat besi, pupuk, alat elektronik, baju dan mainan anak. Kegiatan
ekspor CPO ke Tiongkokdilakukan menggunakan kapal tanker yang
dilakukan dari Belawan, sedangkan untuk karet, kayu dan minyak goreng
menggunakan kontainer yang dilakukan dari Belawan dengan pelabuhan
antara di Tanjung Pelepas (Malaysia), Port Klang (Malaysia), dan
Pelabuhan Singapura. Adapun pelabuhan tujuan di Tiongkokadalah
Shanghai, Guanzou, dan Tianjin. Wakil dari ALFI belum mengetahui
mengenai konsep MSR, hanya pernah memperoleh informasi mengenai
Tol Laut. Selain itu untuk kegiatan ekspor impor menggunakan Renmimbi
mereka tidak masalah asalkan sesuai dengan keinginan pembeli.
Terkait skema MSR, pelaksanaan ekspor langsung dari Belawan
menggunakan kapal Tiongkokdengan hub utama di Tanjung Priok
dianggap sangat tidak efisien. Hal ini disebabkan biaya angkutan laut dari
Belawan ke Tanjung Priok mencapai 3,5 juta selama tiga hari, sedangkan
Puska KPI, BPPP, Kementerian Perdagangan 49
jika menggunakan pelabuhan antara di Malaysia dan Singapura hanya 2,5
juta selama satu hari. Adapun biaya ekspor per kontainer saat ini untuk
tujuan ekspor ke Tiongkok dengan menggunakan kapal non
Tiongkokadalah USD 400 untuk kontainer 20 feet, dan USD 650 untuk
kontainer 40 feet. Selain untuk freight, dalam biaya tersebut telah
dimasukkan biaya Terminal Handling Cost (THC) sebesar USD 90 per
kontainer, biaya pengeluaran lokal lain di pelabuhan sebesar Rp 600.000
sampai Rp 800.000 per kontainer dan biaya truk sekitar Rp 1,5 sampai Rp
1,7 juta per kontainer.
Lebih lanjut disampaikan bahwa perwakilan ALFI menyatakan
kegiatan ekspor langsung di Sumatera Utara terhambat volume muatan
yang belum pasti dan relatif kecil. Sebagai upaya untuk mengatasi hal ini
perlu dilakukan : a) Pencegahan penyelundupan ekspor dari pelabuhan
kecil yang diyakini meningkatkan volume ekspor sebesar 30%, b)
Peningkatan kapasitas produksi serta konsolidasi ekspor di wilayah
Sumatera dan c) Penyediaan informasi potensi muatan bulanan.
Berdasarkan temuan diatas, pelaksanaan MSR di Sumatera Utara
sulit dilakukan jika harus melakukan konsolidasi muatan di Jakarta karena
biaya ekspor menjadi terlalu mahal dibandingkan melalui
Malaysia/Singapura. Untuk mengatasi hal ini perlu diusulkan : a) dilakukan
kegiatan ekspor langsung dari Belawan/Kuala Tanjung, dan b) penyediaan
informasi potensi muatan bulanan untuk memudahkan pengadaan kapal
oleh ALFI.
5.2.2. Temuan Turun Lapang Makassar
Dari hasil wawancara dan diskusi diperoleh beberapa temuan
lapangan antara lain:
Dinas Perindustrian dan Perdagangan Propinsi Sulawesi Selatan
Kepala Bidang Perdagangan Luar Negeri Dinas Perindustrian dan
Perdagangan Propinsi Sulawesi Selatan menyampaikan secara umum
kondisi ekspor saat ini dari Sulawesi Selatan dan pandangannya terhadap
MSR. Produk unggulan propinsi Sulawesi Selatan untuk di ekspor adalah
Puska KPI, BPPP, Kementerian Perdagangan 50
rumput laut, ikan, kopi dan kakao. Disperindag memberikan informasi,
saat ini Sulawesi Selatan mencanangkan peningkatan ekspor sebesar 3x
lipat pada periode 2013-2018. Disperindag terus mencari semua potensi
daerah untuk diekspor. Salah satu komoditi unggulan Sulawesi Selatan
yang mengalami peningkatan ekspor adalah ikan. Sejak Desember 2015,
terdapat pasar ekspor baru untuk komoditi ikan yaitu ke negara Arab
dengan pengiriman melalui pesawat ke Jeddah dan Dubai. Terkait dengan
Konsep MSR yang menjadikan Tanjung Priok sebagai pelabuhan hub
untuk ekspor, Disperindag menyatakan bahwa hal tersebut akan
menyebabkan tingginya biaya logistik untuk barang-barang yang berasal
dari Sulawesi Selatan dan lebih memilih untuk dapat mengirimkan
langsung ke Negara tujuan tanpa harus melalui Tanjung Priok.
PT X
Perwakilan dari Perusahaan menyampaikan gambaran hubungan
perdagangan PT X dengan Negara Tiongkok. Saat ini perusahaan tidak
mengirimkan Terigu, yang merupakan produksi utama dari perusahaan ini,
dikarenakan pemerintah Tiongkoksendiri melarang impor terigu. Untuk
pasar Tiongkok perusahaan menjual produk turunan yaitu Pakan ternak
dan dedak (kulit gandum) ke Tiongkok. Dedak dikirimkan sekitar 13.000
ton per tahun menggunakan kapal curah dan pakan ternak dengan kapal
pengangkut peti kemas sebanyak 250 ton per shipment. Lama pengiriman
ke Tiongkok jika ekspor langsung paling lama 14 hari, namun jika transit
ke Jakarta waktu pengiriman mencapai lebih dari 21 hari. Disampaikan
bahwa komponen biaya terbesar dalam proses pengiriman barang adalah
Freight dengan biaya Rp. 5.500.000/container sedangkan trucking hanya
sebesar Rp.400.000 dan biaya pelabuhan Rp.900.000. terkait dengan
MSR perusahaan menyatakan tidak ada masalah jika pengiriman
menggunakan kapal Tiongkok dan menyatakan bahwa tidak ada
perbedaan jika menggunakan kapal Tiongkok ataupun kapan Indonesia.
Terkait biaya kapal, perusahaan menyatakan bahwa kapal Tiongkok
memiliki biaya 26 USD/mt yang relatif lebih rendah biayanya dibandingkan
dengan kapal Vietnam yang berkisar 27 – 32 USD/mt, kapal Korea 32,5
Puska KPI, BPPP, Kementerian Perdagangan 51
USD/mt. walaupun jika kondisi kapal sedikit kapal Tiongkok pernah
mencapai 34,5 USD/mt.
Terkait konsep MSR, perusahaan belum dipahami oleh perusahaan
namun disarankan agar MSR sejalan dengan konsep Tol Laut Indonesia
karena dengan pemanfaatan tol laut, biaya logistik dapat dipangkas lebih
kurang 30% terutama pengiriman barang ke wilayah timur Indonesia.
Bank yang digunakan oleh perusahaan untuk melakukan transaksi adalah
Bank BCA dan HSBC namun disampaikan bahwa penggunaan RMB
dipandang menyulitkan karena perusahaan ini membeli bahan baku dalam
kurs USD dan jika menjual kembali dalam RMB dikhawatirkan akan
mengalami kerugian selisih kurs.
PT. OI
PT. OI merupakan eksportir biji kakao dimana hampir 100 persen
produksi biji kakao diperuntukkan untuk ekspor. Pengiriman ekpor
mayoritas ditujukan ke Malaysia walaupun sebelumnya pernah melakukan
pengiriman ke Brasil dan negara-negara Amerika Latin lainnya. Daerah
tujuan ekspor di Malaysia adalah Tanjung Pelepas dan Pasir Gudang.
Frekuensi pengiriman pada saat musim panen adalah 4 kali dalam 2 bulan
sedangkan jika sedang tidak musim pengiriman dilakukan 1 kali dalam 2
bulan. Volume rata-rata dalam 1 kali pengiriman adalah 250 ton.
Pengiriman melalui Singapura dengan skema pengiriman FOB maupun
CIF. Saat ini pengiriman ke Malaysia membutuhkan 10-12 hari. Kendala
yang dihadapi pada saat melakukan kegiatan ekspor adalah keterbatasan
container yang tersedia sehingga perlu menunggu lama untuk dapat
melakukan kegiatan ekspor. Skema MSR belum terlalu dipahami oleh
perusahaan namun perusahaan optimis MSR dapat memangkas waktu
pengiriman dan biaya.
Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI)
Perwakilan dari ALFI memberikan gambaran umum kondisi saat ini
pengiriman barang dari Makassar. Saat ini Tiongkok merupakan pangsa
ekspor terbesar propinsi Sulawesi Selatan mencapai 50% atau mencapai
Puska KPI, BPPP, Kementerian Perdagangan 52
1000 Teus per bulan. komoditi ekspor utama ke Tiongkok adalah rumput
laut, kokoa dan marmer sedangkan untuk impor dari Tiongkok adalah
keramik, elektronik dan mesin. Pengiriman ke Tiongkok tidak dapat
dilakukan langsung melalui pelabuhan di Makassar melainkan harus
melalui Jakarta ataupun Surabaya. Disampaikan bahwa ALFI sangat
mendukung pelaksanaan MSR jika dapat memberikan efisiensi, kepastian
dan biaya pengiriman yang kompetitif dimana saat ini komponen biaya
terbesar adalah freight. ALFI menyatakan bahwa sebaiknya ekspor
menuju Tiongkok dapat langsung dilakukan dari Makassar karena
memotong waktu pengiriman. Jika pengiriman dilakukan melalui Jakarta
atau Surabaya akan mencapai 21 hari namun jika pengiriman langsung
dilakukan dari Makassar maka hanya memakan waktu 14 hari. Pelabuhan
tujuan ekspor ke Tiongkokantara lain adalah ke Xiamen, Shanghai,
Qingdao. Saat ini pengiriman ke Tiongkok tidak menggunakan sistem
kontrak, namun dilakukan per pengiriman dengan penetapan harga sesuai
mekanisme pasar.
Terkait penggunaan kapal, ALFI menyatakan bahwa komponen
freight pada pengiriman barang ke Tiongkok menggunakan kapal
Tiongkok dikenakan biaya USD 350 sedangkan jika menggunakan kapal
lain dikenakan biaya freight sebesar USD 450. Biaya handling barang
door to CY (pengangkutan barang dari gudang di Makassar hingga naik
palka kapal) dikenakan biaya Rp.2.400.000/Container. Usulan metode
pembayaran menggunakan mata uang RMB tidak merupakan suatu
masalah dan diharapkan agar terdapat besaran patokan kurs yang jelas
karena disampaikan saat ini patokan kurs rupiah ke USD berbeda-beda
tiap pelayaran dan Bank yang biasa dipakai untuk bertransaksi adalah
Bank Mandiri. ALFI menyatakan bahwa volume ekspor di Makassar lebih
tinggi dibandingkan impor dengan perbandingan 2000 Teus ekspor dan
500 teus untuk impor sehingga sulit untuk mendatangkan kapal asing
untuk berlabuh di Makassar. Harapan terbesar ALFI saat ini adalah
pengiriman ekspor ke Tiongkok dapat dilakukan langsung dari Makassar.
Puska KPI, BPPP, Kementerian Perdagangan 53
PELINDO 4
Perwakilan dari Pelindo 4 menyampaikan bahwa cita – cita terbesar
adalah dapat melakukan ekspor langsung ke negara tujuan ekspor dan
dapat melakukan ekspor langsung ke Tiongkok dikarenakan Tiongkok
saat ini merupakan pasar yang penting Tiongkokmemiliki porsi 50% dari
total ekspor Sulawesi Selatan ke Dunia. Pengiriman ekspor ke Tiongkok
antara lain Ikan Beku, Biji Menthe, Rumput Laut, Kakao dan Marmer
sedangkan untuk impor antara lain adalah keramik dan mesin. Saat ini
dalam melakukan kegiatan ekspor, Pelindo 4 harus mengirim terlebih
dahulu ke Jakarta atau Surabaya baru dilanjutkan ke negara tujuan.
Namun sejak Desember 2015, Pelindo 4 sudah siap untuk melakukan
ekspor langsung ke Tiongkokdan menjamin untuk memberikan garansi
sandar langsung dan diskon tarif biaya pelabuhan sebesar 15%. Saat ini
pelayaran dari Tiongkok yaitu SITC sudah rutin melayani pengiriman peti
kemas dari Makassar langung ke Tiongkok. Volume bongkar rata-rata 146
Teus dan Volume muat 136 Teus. Dengan melakukan pengiriman
langsung terdapat efisiensi waktu pengiriman yang sebelumnya mencapai
18 hari saat ini hanya maksimal 10 hari.
Secara infrastruktur, Pelindo 4 terus memperbaiki kualitas
pelayanan dan pengembangan pelabuhan new Makassar Port. saat ini
kapasitas pelabuhan adalah 700.000 Teus dengan kedalaman -9.5 Meter
dan target Makassar New Port pada 2018 akan memberikan tambahan
kapasitas 500.000-700.000 Teus dengan target kedalaman -16 meter.
Pelindo 4 memberikan respon yang positif dan mendukung penuh jika
dalam skema MSR ini pemerintah Tiongkokikut membantu dalam hal
investasi untuk infrastruktur. Terkait penggunaan mata uang Pelindo 4
selalu menggunakan USD dan rupiah untuk transaksi namun tidak
menutup kemungkinan untuk penggunaan RMB asalkan ada peraturan
yang jelas untuk memayungi keputusan tersebut.
Puska KPI, BPPP, Kementerian Perdagangan 54
5.3 Usulan Sinkronisasi MSR dengan Tol Laut Untuk
Meningkatkan Ekspor Indonesia ke Dunia
Hasil temuan turun lapang menemukan bahwa kebijakan MSR saat
ini berhasil dilaksanakan di Makassar dengan pasar tujuan ekspor utama
Tiongkok. Adapun keberhasilan tersebut disebabkan masuknya investasi
kantor perwakilan armada laut Tiongkok yang membuka peluang untuk
mendatangkan kapal kontainer Tiongkok ke Makassar. Adapun kapal
yang digunakan adalah kapal berukuran kecil karena masih terbatasnya
muatan angkut akibat belum banyaknya industri pengolahan di Sulawesi
Selatan.
Keberhasilan Makassar menggunakan kapal Tiongkok untuk
menekan biaya ekspor dapat dicontoh dan diaplikasikan di pelabuhan lain
di Indonesia. JIka Indonesia ingin turut serta dalam pelaksanaan MSR,
maka Indonesia sebaiknya memanfaatkan MSR untuk memberikan
alternatif kapal kontainer berukuran kecil untuk pelabuhan ekspor
Indonesia yang belum banyak muatannya seperti Medan, Makassar,
maupun Sorong. Kebijakan ini akan memberikan alternatif kapal angkut
sehingga memungkinkan melakukan ekspor langsung dari pelabuhan
tersebut tanpa harus melalui Jakarta atau Surabaya.
Namun terhadap usulan Tiongkok yang memanfaatkan Jakarta
sebagai hub kegiatan ekspor dan impor di Indonesia sebaiknya ditolak
saja. Pemanfaatan Jakarta sebagai hub hanya memberikan kemudahan
untuk impor Indonesia dari Tiongkok, namun tidak akan bermanfaat bagi
kegiatan ekspor. Pemilihan Jakarta sebagai hub menyebabkan biaya
angkut menjadi mahal karena waktu tempuh terlalu lama akibat jalur laut
Jakarta terlalu macet. Pemaksaan Jakarta sebagai hub diyakini
menyebabkan biaya angkut meningkat sehingga barang Indonesia
menjadi tidak kompetitif di pasar Tiongkok dan atau dunia.
Puska KPI, BPPP, Kementerian Perdagangan 55
BAB VI
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
6.1 Kesimpulan
Kesimpulan dari analisis ini adalah:
1. Usulan kerjasama strategis MSR Tiongkok dengan memanfaatkan
Jakarta sebagai satu-satunya hub kegiatan ekspor dan impor akan
memudahkan produk impor dari Tiongkok menembus pasar paling
padat penduduk di Indonesia yaitu Jakarta dan sekitarnya.
2. Namun sayangnya usulan Tiongkok untuk hanya memanfaatkan
Jakarta sebagai hub kegiatan ekspor tidak ada manfaatnya bagi
Indonesia karena meningkatkan biaya angkutan laut untuk produk
ekspor yang berasal dari Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku
dan Papua, sehingga harga produk Indonesia menjadi lebih mahal
saat di terima buyer.
3. Selain itu usulan negara yang menjadi hub MSR antara lain China,
India, Kenya, Yunani dan Italia tidak memberikan manfaat untuk
ekspor Indonesia karena lebih mahal dibandingkan jalur saat ini
akibat infrastruktur yang lebih buruk dan korupsi (pungutan) tinggi
dibandingkan pelabuhan tujuan ekspor saat ini seperti Malaysia,
Singapura, Dubai, Belanda dan Afrika Selatan.
4. Indonesia dapat mensinergikan usulan kerjasama strategis MSR
dengan Tol Laut dengan menjadikan MSR sebagai bantuan
membangun infrastruktur pelabuhan dan sumber kapal murah
untuk pelabuhan di Sumatera Utara, Sulawesi Selatan dan Papua.
Kebijakan ini dapat digunakan Indonesia untuk mengurangi biaya
angkutan laut ekspor Indonesia ke dunia.
6.2 Rekomendasi
Menyadari kesimpulan diatas, direkomendasikan bagi Indonesia
dalam melaksanakan MSR untuk: a) Indonesia dapat menerima usulan
kerjasama strategis MSR, namun agar pelaksanaannya berjalan efektif
Puska KPI, BPPP, Kementerian Perdagangan 56
untuk mengurangi biaya angkutan laut ekspor, harus meniru kasus
Pelabuhan di Sulawesi Selatan, dimana mereka mengundang investor
dari armada angkutan laut China membangun kantor perwakilan di
Makassar dengan tujuan mendatangkan kapal kontainer berukuran kecil
untuk melakukan ekspor langsung, dan b) Indonesia sebaiknya
menegosiasikan usulan kerjasama strategis MSR Tiongkok yang hanya
memanfaatkan pelabuhan Jakarta, menggantinya dengan pelabuhan
ekspor yang berada di Sumatera Utara, Sulawesi Selatan dan Papua.
Puska KPI, BPPP, Kementerian Perdagangan 57
DAFTAR PUSTAKA
Bhagwati dan Arvind Panagariya. 2013. Why Growth Matters: How
Economic Growth in India Reduced Poverty and the Lessons for Other Developing Countries. PublicAffairs.
Baier, S & J Bergstrand. 2001. The growth of world trade: tariffs, transport
costs, and income similarity. Journal of International Economics, 53, 1–27.
Baier, S & J Bergstrand. 2009. Bonus Vetus OLS: A simple method for
approximating international trade-cost effects using the gravity equation. Journal of InternationalEconomics, 77, 77-85.
Basuki, O. 2008. Iklim Investasi NSW, Upaya Menundukkan Raksasa
Pungli. Kompas, Bisnis & Keuangan, Sabtu, 12 Januari: 19. Clark, X., David, D. Alejandro, M. 2004. “Port efficiency, maritime transport
costs, and bilateral trade”, Journal of Development Economics, 75, 417-450.
Chaney, T. 2008. Distorted Gravity: The Intensive and Extensive Margins
of International Trade. American Economic Review, 98:4, 1707–1721; Wang, et.al. 2010. Determinants of Recent Trade Flows in OECD Countries: Evidence from Gravity Panel Data Models. World Economy 33 (7), pp. 894-915.
Crunin and Sullivan. March 2015. Preserving the Rules: Countering
Coercion in Maritime Asia. Center for A New American Security. De, P., 2006. Impact of trade costs on trade: Empirical evidence from
Asian countries. pp. 281-307, Chapter IX in ESCAP, Trade facilitation beyond the multilateral trade negotiations: Regional practices, customs valuation and other emerging issues – A study by the Asia-Pacific Research and Training Network on Trade, (United Nations, New York).
Fuchsluger, J. 2000a. “An Analysis of Maritime Transport Costs in South
America.” Karlsruhe, Germany: University of Karlsruhe. Mimeographed document.
Fuchsluger, J. 2000b. “An Analysis of Maritime Transport and its
Costs for the Caribbean.” Paper presented at the Experts meeting of the United Nations Economic Commission for Latin America and the Caribbean, Port of Spain, Trinidad and Tobago.
Puska KPI, BPPP, Kementerian Perdagangan 58
Gindarsah and Priamarizki . 2015. Indonesia’s Maritime Doctrine And Security Concerns. S. Rajaratnam School of International Studies [RSIS],Singapore.
Mangunsong, R.C., Salemba Empat, buku 2, Edisi 5, Jakarta. Hummels, D. 2009. ‘Globalization and freight transport costs in maritime
shipping and aviation’, International Transport Forum Working Paper 3
Hummels, D & V Lugovskyy. 2006. ‘Are Matched Partner Trade Statistics
a Usable Measure of Transportation Costs?’, Review of International Economics, 14(1), 69–86
Hummels, D. 2007. Transportation Costs and International Trade in The
Second Era of Globalization. Journal of Economics Perspectives, Vol. 21. No. 3, 131-154.
Hummels, D & G Schaur. 2009. ‘Hedging price volatility using fast
transport’, National Bureau of Economic Research Working Paper 15154
Hummels, D, V Lugovskyy & A Skiba. 2009. ‘The trade reducing effects of
market power in international shipping’ Journal of Development Economics, 89, 84–97 .
Kumar, S. dan J. Hoffman. 2002. Globalization: The Maritime Nexus.
In C.T. Grammenos (ed.), The Handbook of Maritime Economics and Business, London: LLP, pp.35-64.
Kementerian Keuangan. 2013. Laporan Akhir Survey Kepuasan
Pengguna Layanan Kementerian Keuangan. http://www.kemenkeu.go.id/sites/default/files/Survey%20Opini%20Stakeholders%202014.pdf. Akses Tanggal 11 Juni 2016.
Korinek dan Patricia. 2009. Maritime Transport Costs And Their Impact On
Trade. http://www.etsg.org/ETSG2009/papers/korinek.pdf. Akses Tanggal 25 Februari 2016.
Kurmanalieva E. 2006. Transport Costs in International Trade.
http://www.haveman.org/EITI07/Kurmanalieva.pdf accesed on 11 Jan 2012.
Kuwamori, H. 2006. The role of distance in determining international
transport costs: evidence from Philippine import data. Institute of Developing Economies Discussion Paper No 20, May, 2006.
Krugman, P. R and Maurice, O. 2003. International Economics : Theory and Policy. Sixth Edition. Perason Education, Inc. Boston.
Kuwamori, H. 2006. The Role of Distance in Determining International
Transport Costs : Evidence from Philipina Import Data. Discussion Paper No. 60. Institute of Developing Economies (IDE), JETRO. Japan.
Lakovou, 2001. E.T. An interactive multiobjective model for the strategic
maritime transportation of petroleum products: risk analysis and routing. Safety Science. Volume 39, Issues 1–2, October–November, Pages 19–29
Limâo, N. dan Venables, A. J. 2001. Infrastructure, geographical
disadvantage, transport costs and trade”, The World Bank Economic Review, 15 (3), 451-479.
Li, K., L. Song, and X. Zhau. 2008. Component Trade and Tiongkok’s
Global Economics Integration. United Kingdom:United Nations University.
Livikacansera, Setyanavidita. (2014). Kuala Tanjung, Pintu Perdagangan
Maritim Dunia. Indonesia:Republika.DiaksesMelalui:http://www.republika.co.id/berita/koran/teraju/14/11/28/nfqds912-kuala-tanjung-pintu-perdagangan-maritim-dunia
(ULCS): Designing to the limit of current and projected terminal infrastructure capabilities.
Lubis, Adrian Darmawan, Dewi Kartikawati, Steven Bako, Arie
Mardiansyah. 2015. Analisis Pemanfaatan Maritime Silk Road Untuk Meningkatkan Akses Pasar Dan Daya Saing Produk Ekspor Indonesia. BPPP bekerja sama dengan EU-TCF. Kementerian Perdagangan, Jakarta.
Martínez-Zarzoso, I., Pérez-García, E.M., San Juan-Lucas, M.E. and
Suárez-Burguet, C. 2004. How Important are Transport Costs for International Trade? An Empirical Study for Spanish Exporting Sectors. International Association ofMaritime Economists – IAME Annual Conference 2004 Proceedings, Volume I, Dokuz Eylul Publications, 597-608.
Márquez-Ramos, Laura, Inmaculada Martínez-Zarzoso, Eva Pérez-García
& Gordon Wilmsmeier Título. 2007. “The Interrelationship Of Maritime Network Connectivity, Transport Costs And Maritime Trade”, Congress: International Association of Maritime
Puska KPI, BPPP, Kementerian Perdagangan 60
Economists (IAME 2006 Conference) Melbourne (Australia). July 2007.
McGuire, G. 2003. Measuring Restrictions on Trade in Services: The Short
Journey so far and the Issues for the Road Ahead. in Regulation and Market Access, edited by A. Sidorenko and C. Findlay, Canberra: Asia Pacific Press, ANU, pp.40-77.
Micco, A. and Pérez, N. 2002. “Determinants of Maritime Transport Costs”,
WP-441, Inter-American Development Bank. Page, Jeremy. (2014). Tiongkok to Contribute $40 Billion to Silk Road
Fund. Hong Kong: Wall Street Journal Asia. Diakses Melalui: http://www.wsj.com/articles/Tiongkok-to-contribute-40-billion-to-silk-road-fund-1415454995
Pomfret R dan Patricia S. 2009. Why Do Trade Costs Vary?. Research
Papers No 2008-08. The University of Adelaide School of Economics. Australia.
Priyarsono, D.S. 2014. Beberapa Masalah dan Kebijakan Publik tentanhg
Infrastruktur : Tinjauan dari Perspektif Ilmu Ekonomi. Bahan Presentasi Orai Ilmiah Guru Besar IPB. Bogor.
Radelet, S., and J. Sachs. 1998.”Shipping Costs, Manufactured Exports
and Economic Growth.” Cambridge, United: Harvard University, Harvard Institute for International Development. Mimeographed document.
Salvatore. 2004. Ekonomi Internasional. Jakarta : Erlangga. Sanchez, R., Jan, H., Alejandro, M., Georgina, V.P., Pizzolitto, Martin, S.,
and Gordon, W. 2002. “Port Efficiency and International Trade : Port Efficiency as a Determinant of Maritime Transport Costs,”. Maritim Economics and Logistics 5 (2003): 199-218.
Sener and Ozturk. June 2015. A Quality Function Deployment (QFD)-
Based Decision Model for Ship Selection in Maritime Transportation. International Journal of Innovation, Management and Technology, Vol. 6.
Shaohui, Tian. (2015). Chronology of Tiongkok’s Belt and Road Initiative.
Shannon Tiezzi. 2015. Indonesia, Tiongkok Seal 'Maritime Partnership,
The Diplomat. Diunduh melalui:
Puska KPI, BPPP, Kementerian Perdagangan 61
http://thediplomat.com/2015/03/indonesia-Tiongkok-seal-maritime-partnership/ pada 21/1/2016.
Tommy Koh. Aug 4, 2015. 21st Century Maritime Silk Road. The Straits
Times. Diunduh melalui http://www.straitstimes.com/opinion/21st-century-maritime-silk-road pada 21/1/2016.
UNCTAD. 2012. Review of Maritime Transport 2011. UNCTAD, Geneva. Van Dijk, et.al. July 2015. Indonesia Maritime Hotshot. Final Report.
Maritime by Holland. Richet, X. dan W. Wei. One Belt One Road Initiative. The New
Development for Tiongkok’s International Economic Cooperation and it’s impact on Tiongkok EU Relations. BRICs International Seminar, Fudan University, Shanghai. April 20-21, 2016.
WEF (World Economic Forum). 2007. The Global Competitiveness Report
2007-2008, Geneva: World Economic Forum. WEF (World Economic Forum). 2006-2014. Global Competitiveness
Report. . WTO. 2010. International Trade Statistik 2010. WTO Switzerland. Zarzoso, M dan Nowak-Lehmann, F. 2003. Augmented Gravity Model: An
empirical application to Mercosur-European Union trade flows. Journal of Applied Economics, vol. VI, 2, 291-316.
Zarzoso, M dan Suárez-Burguet, C. 2003, “Transport costs and trade:
empirical evidence for Latin American imports from the European Union”. Maritime Profile, ECLAC.
Zarzoso, M dan García-Menéndez, L. and Suárez-Burguet, C. 2002.
“Maritime and Overland Transport Costs and Infrastructures: Do they influence exports?”. University of Valencia. Spain (Working Paper).
Zarzoso, M dan García-Menéndez, L. and Suárez-Burguet, C. 2003. “The
impact of transport costs on international trade: The case of Spanish ceramic exports”, Maritime Economic and Logistics, 5, 179-198.
Puska KPI, BPPP, Kementerian Perdagangan 62
Lampiran 1. Penetapan Model Terbaik Untuk Persamaan MSR
Effects Test Statistic d.f. Prob. Cross-section F 43.644842 (14,90) 0.0000
Cross-section Chi-square 234.012115 14 0.0000
Berdasarkan hasil Chow Test, nilai prob cross-section chis-square sebesar 0.000 dan kurang dari alpha 5% sehingga hipotesis H0 dapat ditolak. Model yang dipilih FEM.
Hausman Test: Correlated Random Effects - Hausman Test Equation: EQ02 Test cross-section random effects
Test Summary Chi-Sq. Statistic Chi-Sq. d.f. Prob.
Cross-section random 91.023011 9 0.0000
Berdasarkan hasil Hausman Test, nilai prob cross-section random sebesar
0.000 dan kurang dari alpha 5% sehingga hipotesis H0 dapat ditolak. Model
yang dipilih FEM.
Puska KPI, BPPP, Kementerian Perdagangan 63
Lampiran 2. Hasil Analisis Model Terbaik Untuk Persamaan MSR
Dependent Variable: LNNX Method: Panel EGLS (Cross-section weights) Sample: 2007 2014 Periods included: 8 Cross-sections included: 15 Total panel (unbalanced) observations: 114 Linear estimation after one-step weighting matrix Cross-section weights (PCSE) standard errors & covariance (d.f. corrected)
Effects Test Statistic d.f. Prob. Cross-section F 8.656820 (11,64) 0.0000
Cross-section Chi-square 77.472003 11 0.0000
Berdasarkan hasil Chow Test, nilai prob cross-section chis-square sebesar 0.000 dan kurang dari alpha 5% sehingga hipotesis H0 dapat ditolak. Model yang dipilih FEM. Hausman Test: Correlated Random Effects - Hausman Test Equation: EQ02 Test cross-section random effects
Test Summary Chi-Sq. Statistic Chi-Sq. d.f. Prob.
Cross-section random 52.143694 9 0.0000
Berdasarkan hasil Hausman Test, nilai prob cross-section random sebesar 0.000 dan kurang dari alpha 5% sehingga hipotesis H0 dapat ditolak. Model yang dipilih FEM.
Puska KPI, BPPP, Kementerian Perdagangan 65
Lampiran 4. Hasil Analisis Model Terbaik Untuk Persamaan Non MSR
Dependent Variable: LNNX Method: Panel EGLS (Cross-section weights) Sample: 2007 2014 Periods included: 8 Cross-sections included: 12 Total panel (unbalanced) observations: 85 Linear estimation after one-step weighting matrix Cross-section weights (PCSE) standard errors & covariance (d.f. corrected)