0 LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN STUDI AWAL PENUMBUHAN DAN PERSIAPAN AGRO TECHNO PARK BADAN LITBANG PERTANIAN (KOTA PAGAR ALAM, SUMATERA SELATAN DAN KABUPATEN TANAH LAUT KALIMANTAN SELATAN) Oleh Syahyuti Saptana Bambang Sayaka Ketut Kariyasa PUSAT SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN PERTANIAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN KEMENTERIAN PERTANIAN 2014
44
Embed
LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN - … file0 laporan akhir analisis kebijakan studi awal penumbuhan dan persiapan agro techno park badan litbang pertanian (kota pagar alam, sumatera
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
0
LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN
STUDI AWAL PENUMBUHAN DAN PERSIAPAN AGRO TECHNO PARK
BADAN LITBANG PERTANIAN (KOTA PAGAR ALAM, SUMATERA SELATAN
DAN KABUPATEN TANAH LAUT KALIMANTAN SELATAN)
Oleh
Syahyuti
Saptana Bambang Sayaka Ketut Kariyasa
PUSAT SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN PERTANIAN
BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN KEMENTERIAN PERTANIAN
2014
1
Ringkasan
Sesuai dengan visi dan misinya, Badan Litbang Pertanian memiliki fungsi
untuk mengaplikasikan hasil-hasil penelitian yang telah dihasilkannya ke tengah
masyarakat. Sementara, Indonesia telah menerapkan kebijakan Otonomi Daerah
semenjak tahun 2000, dimana pemerintah daerah diberikan kekuasaan dan
kesempatan yang lebih besar dalam pembangunan wilayahnya. Otonomi daerah
dapat diartikan sebagai hak, wewenang, dan kewajiban yang diberikan kepada
daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan
kepentingan masyarakat setempat untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna
penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka pelayanan terhadap masyarakat dan
pelaksanaan pembangunan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Dengan struktur kekuasaan saat ini, pemerintahan daerah dapat menjalankan
otonomi seluas-luasnya untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan
berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan. Namun, demikian, setelah
lebihdari 10 tahun berjalan, masih banyak permasalahan pembangunan pertanian di
level daerah. Beberapa masalah dimaksud adalah perencanaan pembangunan yang
disusun kurang berbasis sumber daya dan potensi setempat, alokasi anggaran untuk
pertanian kurang memadai, serta pemahaman dan motivasi untuk pembangunan
pertanian rendah terutama dari kalangan legislatif. Selain itu, koordinasi dan
sinkronisasi kegiatan lemah dan tumpang tindih, sistem pendataan statistik yang
menurun kualitasnya, tata organisasi pemerintahan belum kondusif dan tidak efisien,
dan adanya fenomena petani yang kurang memiliki saluran dan kekuatan politis
(voice-less). Keberadaan organisasi petani lemah terutama untuk level kabupaten,
sehingga tidak memiliki kekuatan politis dalam pengalokasian sumber daya daerah.
Kecilnya alokasi anggaran untuk kegiatan pembangunan pertanian misalnya tidak
dapat disuarakan petani, karena lemahnya posisi tawar berhadapan dengan
kalangan legislatif dan eksekutif.
Pengembangan pembangunan pertanian akan lebih banyak ditentukan oleh
kemampuan bersaing dari komoditas yang dikembangkan melalui proses produksi
yang efisien. Dalam hal ini, kemampuan wirausaha petani yang dicirikan oleh
kemampuannya dalam memilih komoditas sesuai dengan potensi daerahnya dan
3
mengolahnya menjadi produk yang mempunyai nilai jual lebih tinggi merupakan
faktor kunci keberhasilan pembangunan pertanian ke depan. Di sisi lain, dukungan
teknologi pertanian yang dihasilkan Badan Litbang Pertanian untuk pemanfaatan
lahan-lahan secara optimal melalui pengembangan pertanian di perdesaan telah
tersedia melalui jasa penelitian maupun pengkajian. Beberapa inovasi teknologi
tersebut mampu menjadi aspek pendorong utama pertumbuhan dan perkembangan
usaha dan sistem agribinsis berbagai komoditas pertanian. Sebagian teknologi
tersebut telah tersebar di tingkat pengguna dan stakeholder, namun
pengembangannya ke target area yang lebih luas perlu dilakukan upaya percepatan.
Berbagai upaya dapat dilakukan dalam upaya mempercepat adopsi inovasi
teknologi yang dihasilkan Badan Litbang Pertanian, dimana salah satunya adalah
melalui pengembangan Laboratorium Lapang. Kegiatan ini merupakan kerjasama
antara Badan Litbang Pertanian dengan Pemerintah Daerah, Swasta, dan pemangku
kepentingan lainnya dalam upaya memperderas penerapan inovasi teknologi
pertanian ke lahan pertanian. Laboratorium lapang juga menjadi media umpan balik
untuk memperbaiki dan menyempurnakan inovasi teknologi sehingga lebih sesuai
dengan kebutuhan pengguna.
Oleh karena itu, kegiatan pengembangan Agrotechnopark yang akan
dilakukan di Kota Pagar Alam (Sumatera Selatan) dan Kabupaten Tanah Laut
(Kalimanatan Selatan) melalui pemberdayaan dan penguatan kelembagaan
pertanian (pengelolaan air irgasi, input, produksi, panen dan pasca
panen/pengolahan, pemasaran, keuangan, dan sumberdaya manusia) menjadi
penting dan relevan untuk dilakukan.
Pada hakekatnya kegiatan ini merupakan langkah awal untuk memahami
kondisi biofisik dan sosial ekonomi sebagai bahan informasi untuk menyusun
Rancang Bangun Agrotechnopark di Kota Pagar Alam dan Kabupaten Tanah Laut
yang akan dijalankan bersama-sama dengan stake holders secara partisipatif.
Adapun tujuan kegiatan secara rinci adalah: (1) Mengumpukan data dan informasi
pokok berkenaan dengan potensi dan permasalahan pembangunan pertanian di
lokasi rencana pelaksanaan Agrotechnopark; (2) Mempelajari kondisi biofisik dan
sosial ekonomi sumber daya pertanian serta komoditas pertanian utama di lokasi
rencana pelaksanaan Agrotechnopark; (3) Mendikusikan dan mendapatkan
4
pemahaman awal dengan stakholders di daerah dalam upaya mewujudkan
Agrotechnopark di lokasi rencana pelaksanaan Agrotechnopark; dan (4)
Mendapatkan model dan pola pengembangan Agrotechnopark dengan
berbasiskan potensi SDA serta komoditas unggulan setempat di Kota Pagar Alam
dan Kabupaten Tanah Laut.
Hasil pengumpulan data di lapangan mendapatkan bahwa potensi untuk
membangun dan mengembangkan laboratorium lapang berupa agrotechnopark
di kedua wilayah sangat berpotensi dikembangkan. Dukungan dari pemerintah
daerah juga sangat tinggi, dan akan menjadi sumberdaya penting di dalam
pelaksanaan nantinya. Namun demikian, dibutuhkan kajian yang lebih dalam dan
detail sehingga penyusunan rancang bangun menjadi lebih aplikatif.
5
Daftar Isi
Ringkasan
Kata pengantar
Lembar pengesahan
Daftar Isi
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1.2. Justifikasi Kegiatan
1.3. Dasar Hukum 1.4. Tujuan kegiatan 1.5. Penerima Manfaat
Hal.
1 1
3 5
5
6
II. TINJAUAN PUSTAKA 7 III. METODE KEGIATAN 9
3.1. Metode Pelaksanaan 9 3.2. Tahapan Pelaksanaan 9
3.3. Cakupan Kegiatan 10
3.4. Pendekatan kegiatan : 12 3.5. Mobilisasi Sumber Daya Manusia 13
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
13
4.1. Karakter Pertanian dan Peluang Pengembangan Agrotechnopark 13
Kabupaten Tanah Laut, Kalimantan Selatan 4.2. Karakter Pertanian dan Peluang Pengembangan Agrotechnopark di Kota 24 Pagar Alam, Propinsi Sumatera Selatan
V. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN 33
DAFTAR PUSTAKA 35
Lampiran 36
6
Daftar Tabel Tabel 1. Perkembangan Produksi, Luas Panen, dan Produktivitas Beberapa
Tanaman Pangan di Kalsel, 2012-2013
Hal.
15
Tabel 2. Luas Panen, Produktivtas dan Produksi Jagung Menurut Kabupaten 16
di Provinsi Kalsel, 2013 Tabel 3. Analisa Kelayakan Usahtani Jagung pada Lahan Kering per ha di 19
Desa Tajo Pecah, Kec. Batu Ampar, Kab Tanah Laut-Kalsel, 2014 Tabel 4. Kondisi Wilayah Kota Pagar Alam 25
Daftar Gambar Hal.
Gambar 1. Distribusi Luas Panen Jagung di Kalsel, 2013 17 Gambar 2. Distribusi Produksi Jagung di Kalsel, 2013 17
Gambar 1. Keragaan Produktivitas Jagung di Kalsel, 2013 18
1
Bab I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Sesuai dengan visi dan misinya, Badan Litbang Pertanian berperan langsung
untuk mendiseminasikan hasil-hasil penelitian yang telah dihasilkannya ke tengah
masyarakat. Penerapan hasil penelitian setiap bidang ilmu membutuhkan wadah dan
lingkungan yang berbeda, termasuk pula penerapan pengetahuan bidang sosial
ekonomi pertanian.
Indonesia telah menerapkan kebijakan Otonomi Daerah semenjak tahun 2000,
dimana pemerintah daerah diberikan kekuasaan dan kesempatan yang lebih besar
dalam pembangunan wilayahnya. Otonomi daerah dapat diartikan sebagai hak,
wewenang, dan kewajiban yang diberikan kepada daerah otonom untuk mengatur
dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat
untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintahan
dalam rangka pelayanan terhadap masyarakat dan pelaksanaan pembangunan
sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Dengan semangat otonomi daerah, maka urusan pemerintahan pusat terbatas
hanya untuk enam bidang yaitu politik luar negeri, pertahanan, keamanan, hukum,
moneter dan fiskal nasional, serta agama. Sementara, Kewenangan Pemerintah
Daerah sesuai UU 32/2004, dimana urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan
pemerintahan daerah terdiri atas urusan wajib dan urusan pilihan. Terdapat 16
urusan wajib bagi pemerintah daerah antara lain dalam bidang pemerintahan,
pendidikan, kesehatan, pertanian, tata guna lahan, dan alokasi anggaran.
Sementara, urusan pilihan meliputi urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan
berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi,
kekhasan, dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan.
Dengan struktur kekuasaan saat ini, pemerintahan daerah dapat menjalankan
otonomi seluas-luasnya untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan
berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan. Namun, demikian, setelah
lebihdari 10 tahun berjalan, masih banyak permasalahan pembangunan pertanian di
2
level daerah. Beberapa masalah dimaksud adalah perencanaan pembangunan yang
disusun kurang berbasis sumber daya dan potensi setempat, alokasi anggaran untuk
pertanian kurang memadai, serta pemahaman dan motivasi untuk pembangunan
pertanian rendah terutama dari kalangan legislatif. Selain itu, koordinasi dan
sinkronisasi kegiatan lemah dan tumpang tindih, sistem pendataan statistik yang
menurun kualitasnya, tata organisasi pemerintahan belum kondusif dan tidak efisien,
dan adanya fenomena petani yang kurang memiliki saluran dan kekuatan politis
(voice-less). Keberadaan organisasi petani lemah terutama untuk level kabupaten,
sehingga tidak memiliki kekuatan politis dalam pengalokasian sumber daya daerah.
Kecilnya alokasi anggaran untuk kegiatan pembangunan pertanian misalnya tidak
dapat disuarakan petani, karena lemahnya posisi tawar berhadapan dengan
kalangan legislatif dan eksekutif.
Di sisi lain, patut disadari bahwa pembangunan pertanian selama orde baru
belum menunjukkan kinerja seperti yang diharapkan. Hal ini diduga karena selama
periode tersebut pendekatan pembangunan pada sektor pertanian dilakukan melalui
pendekatan komoditi (Kasryno dan Suryana, 1992). Menurut Simatupang (2004),
pendekatan pembangunan seperti ini dicirikan oleh pelaksanaan pembangunan
berdasarkan pengembangan komoditi secara sendiri-sendiri (parsial) dan lebih
berorientasi pada peningkatan produksi dibanding peningkatan pendapatan dan
kesejahteraan petani, dengan beberapa kelemahan mendasar, seperti: (1) tidak
memperhatikan keunggulan komparatif tiap komoditi, (2) tidak memperhatikan
paduan horizontal, vertikal, dan spasial berbagai kegiatan ekonomi, dan (3) kurang
memperhatikan aspirasi dan pendapatan petani. Dampak pendekatan
pembangunan seperti di atas menyebabkan pengembangan suatu komoditi menjadi
tidak efisien dan keberhasilannya sangat tergantung pada besarnya subsidi dan
proteksi pemerintah. Selain itu, pendekatan ini juga tidak mampu mendorong
peningkatan pendapatan petani secara signifikan.
Ke depan, pengembangan pembangunan pertanian akan lebih banyak
ditentukan oleh kemampuan bersaing dari komoditas yang dikembangkan melalui
proses produksi yang efisien. Dalam hal ini, kemampuan wirausaha petani yang
dicirikan oleh kemampuannya dalam memilih komoditas sesuai dengan potensi
3
daerahnya dan mengolahnya menjadi produk yang mempunyai nilai jual lebih tinggi
merupakan faktor kunci keberhasilan pembangunan pertanian ke depan.
Di sisi lain, dukungan teknologi pertanian yang dihasilkan Badan Litbang
Pertanian untuk pemanfaatan lahan-lahan secara optimal melalui pengembangan
pertanian di perdesaan telah tersedia melalui jasa penelitian maupun pengkajian.
Beberapa inovasi teknologi tersebut mampu menjadi aspek pendorong utama
pertumbuhan dan perkembangan usaha dan sistem agribinsis berbagai komoditas
pertanian (Simatupang, 2005). Sebagian teknologi tersebut telah tersebar di tingkat
pengguna dan stakeholder, namun pengembangannya ke target area yang lebih luas
perlu dilakukan upaya percepatan (Badan Litbang Pertanian, 2011).
Berbagai upaya dapat dilakukan dalam upaya mempercepat adopsi inovasi
teknologi yang dihasilkan Badan Litbang Pertanian, dimana salah satunya adalah
melalui pengembangan Laboratorium Lapang. Kegiatan ini merupakan kerjasama
antara Badan Litbang Pertanian dengan Pemerintah Daerah, Swasta, dan pemangku
kepentingan lainnya dalam upaya memperderas penerapan inovasi teknologi
pertanian ke lahan pertanian. Laboratorium lapang juga menjadi media umpan balik
untuk memperbaiki dan menyempurnakan inovasi teknologi sehingga lebih sesuai
dengan kebutuhan pengguna.
.1.2. Justifikasi Kegiatan
Dalam konteks “pengembangan”, Balitbangtan dituntut untuk
mengimplementasikan pengetahuan dan kemampuannya dalam dunia riil. Namun,
sebagai sebuah kantor penelitian, peran ini dijalankan dengan strategi kaji tidak
(action research). Kegiatan pengembangan Agrotechnopark merupakan salah satu
bentuk yang dapat mewadahi ini. Bidang sosial ekonomi memiliki dimensi yang lebih
luas dibandingkan dengan bidang ilmu teknis. Dalam konteks ini dicakup misalnya
hal-hal terkait menyusun perencanaan yang lebih baik, membangun dan melakukan
penguatan lembaga dan organisasi, peningkatan koordinasi dan sinkronisasi antar
stakeholders, perbaikan data base, serta melakukan monitoring dan evaluasi yang
lebih powerfull untuk pembangunan pertanian.
Kegiatan pengembangan Agrotechnopark meskipun secara intensif hanya
pada beberapa desa secara terbatas, namun pada hakekatnya dijalankan di level
4
“atas desa”, yakni satu unit kabupaten. Sesuai dengan semangat desentralisasi dan
otonomi daerah, kabupaten (dan kota) saat ini memiliki wewenang yang sangat kuat
dalam menata dan mendistribusikan berbagai sumber daya untuk pembangunan
pertanian. Pemerintahan kabupaten memiliki otoritas dalam hal anggaran,
perencanaan pembangunan, penataan organisasi, sumber daya manusia, dan lain-
lain.
Penataan pemerintahan dalam makna luas di level kabupaten merupakan
objek yang selama ini cenderung dilupakan, meskipun berbagai keluhan sering
dilontarkan. Beberapa hasil penelitian PSEKP, misalnya berkenaan dengan ketahanan
pangan lokal, penataan anggaran dan politik pertanian lokal; menunjukkan bahwa
hal ini semestinya dapat diperkuat dengan dukungan keilmuan yang tepat dan kuat.
Berbagai penelitian PSEKP selain mempelajari langsung level petani (misalnya
farming system, pola usaha, konsumsi, dan pendapatan rumah tangga), cukup
banyak pula yang melahirkan rekomendasi tentang bagaimana semestinya
pembangunan pertanian di level lokal (kabupaten). Hasil-hasil riset yang sudah
banyak ini belum pernah diimplementasikan secara langsung di lapangan. Untuk
dapat mendayagunakan hasil-hasil ini dengan efektif, maka laboratoirum lapang
sangat urgen dijalankan agar diperoleh pola dan model pengimpelementasian yang
sesuai dengan kondisi yang bersangkutan.
Terkait dengan upaya pencapaian swasembada padi, jagung, kedelai dalam 3
tahun ke depan, serta peningkatan produksi gula dan daging, maka keberadaan
laboratorium lapang (berupa Agrotechnopark) pada sentra-sentra produksi padi,
jagung, dan kedelai menjadi penting sebagai tempat petani untuk melihat dan
mempraktekan secara langsung cara-cara penerapan inovasi teknologi secara tepat
dalam upaya meningkatkan produksi pangan secara signifikan. Petani bisa melihat
secara langsung cara-cara penggunaan input produksi, sistem pengelolaan air secara
berkelanjutan, teknologi panen, dan pasca panen secara baik. Melalui penumbuhan
dan pengembangan inovasi pertanian/kelembagaan, petani juga bisa belajar banyak
terkait cara-cara penyediaan input produksi dan permodalan, serta membangun
kemitraan dalam pemasaran hasil. Leboh jauh juga diharapkan melalui pendekatan
ini akan tumbuh usaha-usaha abru yang mampu meningkatkan nilai tambah dan
sekaligus sebagai sumber baru pendapatan keluarga petani.
5
Oleh karena itu, kegiatan pengembangan Agrotechnopark yang akan
dilakukan di Kota Pagar Alam (Sumatera Selatan) dan Kabupaten Tanah Laut
(Kalimanatan Selatan melalui pemberdayaan dan penguatan kelembagaan pertanian
(pengelolaan air irgasi, input, produksi, panen dan pasca panen/pengolahan,
pemasaran, keuangan, dan sumberdaya manusia) menjadi penting dan relevan
untuk dilakukan.
1.3. Dasar Hukum
Dasar hukum yang melandasi kegiatan ini adalah:
a. UU No 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara
b. UU No 1 Tahun 2001 tentang Perbendaharaan Negara
c. Peraturan Menteri Pertanian No. 61/Permentan/OT.140/10/2010, tentang
tugas utama Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian (PSEKP)
1.4. Tujuan Kegiatan
Pada hakekatnya kegiatan ini merupakan langkah awal untuk memahami
kondisi biofisik dan sosial ekonomi sebagai bahan informasi untuk menyusun
Rancang Bangun Agrotechnopark di Kota Pagar Alam dan Kabupaten Tanah Laut
yang akan dijalankan bersama-sama dengan stake holders secara partisipatif.
Adapun tujuan kegiatan secara rinci adalah:
1. Mengumpukan data dan informasi pokok berkenaan dengan potensi
dan permasalahan pembangunan pertanian di lokasi rencana
pelaksanaan Agrotechnopark.
2. Mempelajari kondisi biofisik dan sosial ekonomi sumber daya pertanian
serta komoditas pertanian utama di lokasi rencana pelaksanaan
Agrotechnopark.
3. Mendikusikan dan mendapatkan pemahaman awal dengan stakholders
di daerah dalam upaya mewujudkan Agrotechnopark di lokasi rencana
pelaksanaan Agrotechnopark.
6
4. Mendapatkan model dan pola pengembangan Agrotechnopark dengan
berbasiskan potensi SDA serta komoditas unggulan setempat di Kota
Pagar Alam dan Kabupaten Tanah Laut.
1.5. Penerima Manfaat
Dengan melihat gambaran umum dan tujuan yang akan dicapai, maka penerima
manfaat terbesar dari kegiatan ini adalah petani di lokasi pengembangan. Peraih
manfaat lainnya adalah pemda daerah dan stakeholder terutama terkait dengan
langkah-langkah dan strategi peningkatkan produksi, nilai tambah, serta pola-pola
kemitraan dalam meningkatkan daya saing produk pertanian ke depan. Hasil analisis
kegiatan ini yang juga merupakan bahan rekomendasi bagi pengambil kebijakan
Kementerian Pertanian dalam rangka percepatan pencapaian swasembada pangan
ke depan.
Sementara, manfaat tidak langsung dari kegiatan ini, adalah tersedianya data
informasi yang penting baik bagi kalangan peneliti, pemerintah daerah, dan
masyarakat secara luas. Berbagai catatan dan pelajaran dari kegiatan lapang ini
dapat menjadi bahan pembelajaran yang penting ke depan, sehingga kegiatan
pemberdayaan akan semakin efektif.
7
Bab II. TINJAUAN PUSTAKA
Pada hakekatnya, Agro Techno Park (ATK) adalah suatu tempat yang digunakan
untuk mengimplementasikan corporate program LITKAJIBANGDIKLATLUHRAP
bidang pertanian dalam sistem usahatani skala luas dengan menerapkan prinsip
partisipatif, adaptif dan Interdisciplinary Fields; dalam rangka pemberdayaan
masyarakat. Hal ini sejalan dengan tujuan pembangunan pertanian nasional yakni
peningkatan produktivitas, produksi dan kesejahteraan petani.
Pelaksanaan Agrotechnopark memiliki tujuan dalam konteks research and
development serta bagi penerima manfaat (beneficiaries). Dalam konteks penelitian
dan pengembangan, kegiatan ini berupaya mencapai tujuan-tujuan validasi hasil-
hasil penelitian, customization dan promosi, invention dan innovation, sebagai
wahana pembelajaran dan pelatihan, serta mengimplementasikan konsep corporate
management dalam bentuk program dan pelaksanaan. Sedangkan bagi pihak
penerima, kegiatan ini berupaya memberdayakan masyarakat dan meningkatkan
pendapatan dan kesejahteraan petani.
Ada beberapa pendekatan yang digunakan dalam kegiatan Agrotechnopark
mencakup pendekatan Corporate Program yang melibatkan berbagai UK dan UPT
Badan Litbang Pertanian sekaligus dengan berbasiskan integrasi dalam perencanaan
dan pelaksanaan. Sedangkan dalam kontek research and development, kegiatan ini
merupakan bagian dari LITKAJIBANGDIKLATLUHRAP, dengan mengedepankan
Adaptive Research dan interdisciplinary, serta participative stakeholders.
Semantara, prinsip pengembangan kegiatan Agrotechnopark mencakup: (1)
Implementasi hasil penelitian dalam skala luas, (2) Adaptif stream research dengan
melibatkan stakeholders secara lebih luas dengan fokus pada aktivitas sesuai dengan
komoditas unggulan lokal, (3) Partsipatif Stakeholders (sharing planning, cost, dan
risk), (4) Interdisiplinary Fields of Study (Cross Cuttting Issues), (5) Corporate
Program dengan koordinator oleh salah satu UK tiap lokasi Agrotechnopark, (6)
Kegiatan dan output yang terukur (kuantitatif) dengan Time Frame yang jelas, (7)
mengimplementasikan LITKAJIBANGDIKLATLUHRAP dengan keterlibatan aktif
peneliti, perekayasa, pengkaji dan penyuluh dari hulu sampai hilir, serta (8)
mengoptimalkan internal Badan Litbang Pertanian (centralized budget atau sharing).
8
Demi memperoleh hasil yang lebih baik, maka basis kegiatan berdasarkan kepadal
komoditas unggulan daerah bersangkutan untuk meningkatkan efisiensi usaha dan
nilai tambah produk, serta menerapkan prinsip agroekosistem untuk
mengoptimalkan penggunaan sumberdaya pertanian secara terintegratif. Pihak yang
terlibat dalam kegiatan ini bersifat lintas instansi karena berbasiskan multi disiplin,
melibatkan stakeholders Pusat, propinsi sampai kabupaten. Penangung jawab utama
tentu saja pihak internal Badan Litbang Pertanian.
Dengan gambaran ini, maka cakupan kegiatan lebih luas mulai dari aspek
teknologi, aspek kelembagaan pelaku (kerjasama dan net working), aspek promosi
produk dan teknologi, aspek capacity building, serta aspek pengembangan ekonomi
produktif masyarakat setempat. Pada akhirnya, sasaran akhir adalah pemberdayaan
masyarakat melalui inovasi pertanian. Hal ini dicapai melalui percepatan inovasi
teknologi hasil Litbang Pertanian, perluasan jangkauan inovasi teknologi ke
pengguna (petani dan stakeholder), penggunaan sumberdaya pertanian menjadi
lebih optmal, serta terjadinya peningkatan produktivitas, efisiensi usaha dan
pendapatan serta kesejahtraan petani.
Indikator untuk mengukur kinerja keseluruhan kegiatan Agrotechnopark
mencakup: (1) Meningkatnya produktivitas, produksi dan pendapatan petani, (2)
Meningkatnya nilai tambah produksi atau terjadinya diversifikasi produk sesuai
permintaan pasar, (3) Meningkatnya aktivitas kelompok tani akibat dari
pemberdayaan, (4) Terbangunnya kemitraan dengan pihak luar, (5) tumbuhnya
apresiasi Pemda setempat yang diwujudkan berupa dana atau material lainnya
untuk mendukung kegiatan, (6) Dimanfaatkannya sumberdaya pertanian lebih
optimal , (7) Meningkatnya jumlah petani adopter, serta (8) Meluasnya diseminasi
hasil kegiatan ke berbagai pihak yang ditunjukkan salah satunya dengan banyaknya
jumlah petani dan stakeholder lain berkunjung ke lokasi kegiatan.
9
Bab III. METODE KEGIATAN
.3.1. Metode Pelaksanaan
Kegiatan ini dilaksanakan melalui kegiatan kaji tindak langsung di lapangan
dengan melibatkan berbagai UK/UT lingkup Balitbangtan, Pemda, swasta, dan
pemangku kepentingan lainnya. Petani merupakan mitra utama di lapangan dan
terlibat langsung dan ikut mengobservasi bagaimana proses kegiatan mulai dari
perencanaan sampai dengan penerapan inovasi kelembagaan dan teknologi di
lapangan.
Penelitian dilakukan dengan survei terbatas dengan wawancara secara
terbuka dengan berbagai stakeholder, baik di Pemerintah Kota, Dinas Teknis terkait
(Dinas Pertanian, UPTD, PPL) dan kelembagaan petani (Gapoktan dan kelompok
tani) serta tokoh-tokoh masyarakat petani (pengusaha benih/bibit, petani maju, dan
pedagang hasil pertanian).
DI Tanah Laut, dilakukan kunjungan dan wawancara dengan petani di
kecamatan Batu Ampar. Komoditas utama yang dipelajari adalah jagung, serta
peluang pengembangannya dengan mengintegrasikan dengan komoditas lain.
Sedangkan di Pagar Alam mencakup tiga kecamatan, yaitu: Kecamatan
Dempo Utara, Dempo Tengah, dan Dempo Selatan. Lokasi Survai adalah: (1)
Dempo Utara: mewakili komoditas hortikultura terutama sayuran , kopi robusta,
peternakan sapi potong, dan padi; (2) Dempo Tengah: mewakili komoditas tanaman