Top Banner
LAPORAN AKHIR ANALISIS EVALUASI IMPLEMENTASI KEBIJAKAN HARGA PANGAN POKOK Pusat Pengkajian Perdagangan Dalam Negeri Badan Pengkajian dan Pengembangan Perdagangan Kementerian Perdagangan Republik Indonesia 2019
82

LAPORAN AKHIR ANALISIS EVALUASI IMPLEMENTASI ...

Feb 21, 2023

Download

Documents

Khang Minh
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: LAPORAN AKHIR ANALISIS EVALUASI IMPLEMENTASI ...

LAPORAN AKHIR ANALISIS

EVALUASI IMPLEMENTASI KEBIJAKAN HARGA PANGAN POKOK

Pusat Pengkajian Perdagangan Dalam Negeri

Badan Pengkajian dan Pengembangan Perdagangan

Kementerian Perdagangan

Republik Indonesia

2019

Page 2: LAPORAN AKHIR ANALISIS EVALUASI IMPLEMENTASI ...

PELAKSANA KEGIATAN ANALISIS

Kegiatan “Analisis Evaluasi Implementasi Kebijakan Harga Barang Pokok”

dilaksanakan oleh Pusat Pengkajian Perdagangan Negeri, Badan Pengkajian dan

Pengembangan Perdagangan, Kementerian Perdagangan pada Tahun Anggaran

2019 dengan susunan tim analisis sebagai berikut:

Penanggung Jawab : Rachmad Erland Danny D.

Koordinator : Yati Nuryati

Anggota : Dwi Wahyuniarti Prabowo

Aditya Priantomo

Rizqi Muflicha Pambayun

Narasumber Pendamping : Wayan. R. Susila

Page 3: LAPORAN AKHIR ANALISIS EVALUASI IMPLEMENTASI ...

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan, 2019 i

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang atas izinNya Tim Peneliti Pusat Pengkajian Perdagangan Dalam Negeri dapat menyelesaikan Laporan “Analisis Evaluasi Implementasi Kebijakan Harga Barang Pokok” dengan baik.

Setiap rezim pemerintahan senantiasa memasukkan pengelolaan ketahanan

pangan dalam program pembangunannya, yang salah satunya dilakukan lewat menjaga stabilitas harga dan menjamin ketersediaan pasokan bahan pangan pokok. Pengelolaan ketersediaan pangan diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 Tentang Perdagangan dan Perpres Nomor 71 tahun 2015 tentang Penetapan dan Penyimpanan Barang Kebutuhan Pokok dan Barang Penting (Bapokting).

Sebagai penunjang pelaksanaan beleid tersebut, Kementerian Perdagangan

sebagai salah satu bagian dari pemangku kepentingan, mengeluarkan berbagai kebijakan yang mengatur pada sisi hilir maupun distribusinya. Diantara kebijakan tersebut yaitu Permendag Nomor 57/2017 tentang Penetapan HET beras dan Permendag 96/2018 tentang Harga Acuan Penjualan untuk beberapa barang pokok. Kebijakan-kebijakan harga tersebut telah berlaku sejak 2017 sehingga perlu ditelaah lebih lanjut bagaimana efektivitasnya dalam dalam menjaga stabilitas harga. Dengan demikian, analisis ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pengaruh kebijakan dimaksud terhadap stabilitas harga serta mengidentifikasi permasalahan yang dihadapi dalam pelaksanaan kebijakan harga bapok tersebut .

Tim penyusun menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari sempurna, oleh

karena itu kami mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun untuk perbaikan analisis berikutnya. Dalam kesempatan ini tim peneliti mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu terselesaikannya laporan ini. Sebagai penutup, semoga hasil analisis ini bermanfaat bagi semua pihak dan dapat digunakan sebagai bahan referensi dalam pengambilan keputusan pimpinan serta bahan masukan untuk perumusan kebijakan harga barang kebutuhan pokok dimasa yang akan datang.

Jakarta, November 2019

Pusat Pengkajian Perdagangan Dalam Negeri

Page 4: LAPORAN AKHIR ANALISIS EVALUASI IMPLEMENTASI ...

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan, 2019 ii

RINGKASAN EKSEKUTIF

Secara multi dimensi, pangan mempunyai peran penting dalam segala aspek

kehidupan manusia. Selain merupakan kebutuhan pokok bagi manusia dalam bertahan

hidup dan berkembang biak, pada tingkatan sebuah negara, pangan sangat erat

kaitannya dengan kelangsungan hidup negara itu sendiri. Sebagai contoh, dari segi

ekonomi, sektor pangan merupakan salah satu penggerak perekonomian, khususnya bagi

negara agraris seperti Indonesia. Berdasarkan catatan BPS, Lapangan usaha Pertanian,

Kehutanan, dan Perikanan tumbuh positif 1,81 persen pada kuartal 1 2019 (yoy) dan

menyumbang 0.23 persen terhadap pertumbuhan PDB nasional. Pentingnya peran

pangan juga dapat dilihat dari pangsa pengeluaran masyarakat Indonesia, dimana pangsa

pengeluaran masarakat untuk pangan masih cukup tinggi atau sekitar 50% dari total

pengeluaran (BPS, 2018).

Dengan demikian, pengelolaan pangan nasional selalu menjadi agenda penting

dalam mewujudkan kesejehteraan bersama. Lebih jauh, pengelolaan pangan nasional

ditujukan untuk meningkatkan ketahanan pangan, yang mencakup aspek ketersediaan,

aksesibilitas, dan stabilitas. Dampak dari pengelolaan pangan setidaknya dapat dilihat

dari satu indikator, yaitu perkembangan harga, yang merefleksikan kondisi ketersediaan

(stok) dan juga tingkat permintaan di pasar (ceteris paribus).

Pemerintah melalui Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2015 tentang Penetapan

dan Penyimpanan Barang Kebutuhan Pokok dan Barang Penting, telah menentukan

beberapa komoditas, khususnya komoditas pangan, yang dianggap memiliki peran vital

dan strategis dalam proses pembangunan nasional. Secara lebih spesifik, komoditas

pangan yang diatur dalam beleid tersebut diantaranya yaitu beras, gula, minyak goreng,

bawang merah, daging sapi, daging ayam ras, dan telur ayam ras. Kemudian, sebagai

langkah operasional dalam menjamin ketersediaan pasokan dan stabilitas harga barang

kebutuhan pokok tersebut, Kementerian Perdagangan menerbitkan berbagai kebijakan

yang diarahkan untuk mendukung kelancaran distribusi dan ketersediaan bahan pangan,

termasuk didalamnya mendorong upaya pemenuhan ketersediaan dan keterjangkauan

bahan pangan (akses dan harga pangan). beberapa kebijakan yang mengatur harga

misalnya yaitu Permendag 57/2017 tentang HET beras, Permendag 96/2018 tentang

Harga Acuan Pembelian dan Penjualan beberapa komoditi pangan pokok. Kebijakan-

kebijakan harga tersebut telah berlaku sejak 2017 sehingga perlu ditelaah lebih lanjut

bagaimana efektivitasnya dalam dalam menjaga stabilitas harga. Dengan demikian,

Page 5: LAPORAN AKHIR ANALISIS EVALUASI IMPLEMENTASI ...

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan, 2019 iii

analisis ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pengaruh kebijakan dimaksud

terhadap stabilitas harga serta mengidentifikasi permasalahan yang dihadapi dalam

pelaksanaan kebijakan harga bapok tersebut.

Dua kebijakan tersebut bertumpu pada konsep harga dasar (floor price) dan harga

atap (price ceiling). Kebijakan yang diterapkan khusus untuk komoditas beras mengikuti

harga atap dengan ditetapkannya harga eceran tertinggi (HET) bagi jenis beras medium

dan premium yang terbagi berdasarkan wilayah. Sedangkan kebijakan lainnya yaitu harga

acuan menerapkan prinsip harga dasar dan harga atap dengan ditetapkan harga

pembelian di tingkat produsen dan harga penjualan di tingkat konsumen. Dengan adanya

kebijakan diatas tersebut, diharapkan harga baik di tingkat produsen hingga konsumen

dapat lebih stabil.

Namun demikian, berdasarkan hasil pantauan harga pada komoditas tersebut,

didapati bahwa rata-rata harga komoditas pangan tersebut masih ada yang diatas HET

maupun harga acuannya. Sebagai contoh, sejak diimplementasikan kebijakan HET beras

pada bulan September 2017, berdasarkan data BPS hingga akhir tahun 2018 harga beras

masih diatas HET, bahkan ketika dan setelah musim panen tiba. Lebih parahnya,

walaupun pemerintah telah melakukan operasi pasar agar dapat mengendalikan harga

beras, namun tidak membuat harga beras tidak menurun signifikan, dan bahkan volume

beras di tingkat penggilingan relatif menurun. Hal yang relatif sama juga ditemui terhadap

beberapa komoditas pangan yang diatur dalam Permendag 96/2018. Cabai, bawang

merah, daging ayam ras, dan telur ayam ras merupakan beberapa komoditas yang

harganya terpantau sering terjadi fluktuasi sepanjang tahun 2017-2019 yang disebabkan

oleh adanya berbagai macam dinamika pasar, dari naiknya permintaan pasar hingga

hambatan distribusi. Berdasarkan uraian diatas, permasalahan utama yang perlu

ditemukan jawabannya adalah: bagaimana efektivitas kebijakan harga dalam menjaga

stabilitas harga pangan dan bagaimana permasalahan yang dihadapi dalam implementasi

kebijakan tersebut. . Oleh karena itu analisis ini memiliki tujuan untuk (i) Menganalisis

efektifitas kebijakan pengendalian harga terhadap stabilitas harga bapok; (ii)

Mengidentifikasi permasalahan yang dihadapi dalam pelaksanaan kebijakan

pengendalian harga pada barang kebutuhan pokok; serta (iii) Merumuskan rekomendasi

kebijakan dalam rangka meningkatkan efektivitas pengendalian harga bapok.

Dengan adanya perbedaan karakteristik pada kedua kebijakan tersebut, maka untuk

menjawab pertanyaan analisis, digunakan pendekatan kualitatif dan kuantitatif. Untuk

kebijakan HET beras, dilakukan pendekatan kualitatif dengan menggunakan regulatory

Page 6: LAPORAN AKHIR ANALISIS EVALUASI IMPLEMENTASI ...

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan, 2019 iv

impact assesment (RIA) dan pendekatan kuantitatif dengan menggunakan persamaan

error correction model (ECM) untuk mengukur efektivitas kebijakan HET terhadap

stabilitas harga. Sedangan untuk harga acuan, dilakukan statitistik deskriptif, yaitu

menggambarkan fenomena pergerakan harga komoditas yang diamati (gula, minyak

goreng curah, daging ayam ras, telur ayam ras, daging sapi segar) dan

mengidentifikasikan kemungkinan pengaruh penetapan Permendag 96/2018 terhadap

pergerakan harga tersebut pada 10 Ibukota terpilih.

Data yang digunakan dalam analisisi ini yaitu data primer dan data sekunder. Data

primer diperoleh melalui pengamatan di lapangan dengan melakukan survei ke daerah

serta forum diskusi terbatas (FGD). Sementara data sekunder diperoleh dari BPS,

Kementerian Pertanian, Kementerian Perdagangan, Reuters serta sumber lainnya yang

relevan.

Beras sebagai salah satu komoditas pangan pokok memiliki karakteristik harga

fluktuatif sepanjang tahun karena adanya pengaruh musim dan permintaan. Sebagai

pangan pokok, konsumsi beras sangat besar karena makanan pokok hampir 90%

masyarakat Indonesia. Akibatnya, peran beras terhadap perekonomian, khususnya

terhadap pembentukan inflasi cukup besar, yaitu menyumbang bobot inflasi sebesar

3,68%. Ini berarti bahwa kenaikan sedikit saja pada harga beras akan memiliki dampak

yang signifikan terhadap perubahan inflasi nasional khususnya inflasi bahan makanan.

Perkembangan dan dinamika harga beras selama tahun 2015-2019 menunjukkan

bahwa harga beras cenderung naik dan berfluktuasi mengikuti harga gabah. Selama

periode sebelum penerapan kebijakan HET (Januari-September 2017) harga gabah kering

panen (GKP) berkisar antara Rp 4.300/kg – Rp 4.750/kg dan setelah periode penerapan

HET beras harga gabah berkisar antara Rp 4.500/kg – Rp 5.400/kg. Sementara harga

gabah kering giling (GKG) berkisar antara Rp 5.200/kg – Rp 5.500/kg (sebelum periode

kebijakan HET) dan harga GKG berkisar antara Rp 5.300/kg – Rp 6.000/kg (setelah

periode kebijakan HET). Trend kenaikan harga gabah ini telah mendorong harga beras di

tingkat konsumen yang juga cenderung naik. Selama periode tersebut harga beras

menunjukkan tren peningkatan dengan kenaikan harga rata-rata sebesar 3,02%. Harga

beras setelah penerapan HET terjadi kenaikan harga sekitar 5,6% dibandingkan periode

sebelum kebijakan HET.

Hasil pengamatan dilapangan menunjukkan bahwa permasalahan dan kendala

dalam pelaksanaan kebijakan HET beras yaitu: (i) pedagang menjual beras sesuai harga

pasar tidak terlalu memperhatikan HET. Penjualan beras tetap menyesuaikan dengan

Page 7: LAPORAN AKHIR ANALISIS EVALUASI IMPLEMENTASI ...

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan, 2019 v

harga beli gabah, (ii) jenis beras medium dan premium hanya terdapat di tingkat

penggilingan yang mana penggilingan menjual harga beras berdasarkan harga gabah

yang mereka beli, (iii) secara umum, beras di pasar dijual berdasarkan varietas/merek

dimana setiap wilayah berbeda-beda serta (iv) struktur biaya produksi berbeda setiap

wilayah. Permasalahan-permasalahan tersebut berdampak pada kurang efektifnya

implementasi kebijakan HET. Lebih lanjut, kebijakan HET beras kurang efektif dilapangan

dikarenakan oleh (i) Pedagang beras di pasar masih menjual beras sesuai harga umum

yang berlaku di pasar dan tidak terlalu memperhatikan HET. Harga jual di pasar pada

akhirnya harus menyesuaikan dengan harga beli beras dari penggilingan dan harga

gabah dari petani; (ii) penggilingan menjual beras berdasarkan harga gabah yang mereka

beli saat itu; (iii) beras dijual berdasarkan varietas/merek yang berbeda-beda di setiap

wilayah, bukan kualitas; (iv) struktur biaya produksi yang bervariasi di masing-masing

wilayah (v) kriteria penentuan kualitas beras (medium dan premium) kurang implementatif

di pasar; (vi) Penentuan rentang HET antara beras medium dan premium yang cukup

lebar menjadi insentif bagi pedagang untuk meraup keuntungan di luar kewajaran (moral

hazard). Pada tingkat penggilingan, produksi beras terdorong untuk menghasilkan beras

premium karena prospek keuntungan yang lebih besar dibandingkan beras medium, serta

(vii) situasi nilai tukar rupiah yang tidak stabil.

Hasil analisis menunjukkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi harga beras

eceran di tingkat konsumen adalah harga beras medium di penggilingan, nilai tukar rupiah

terhadap dollar US, jumlah konsumsi beras, jumlah stok, jumlah produksi beras serta

kebijakan harga eceran tertinggi. kebijakan HET beras efektif mempengaruhi harga beras

di tingkat eceran dalam jangka pendek, hal ini dilihat dari sejak ditetapkan kebijakan HET,

kenaikan harga beras relatif sangat kecil dan kurang elastis (inelastis). Dalam jangka

panjang, ditemukan bahwa penetapan kebijakan HET beras tidak efektif dalam

menciptakan stabilisasi harga eceran beras di tingkat domestik. Selain disebabkan oleh

adanya variable-variabel lainnya yang mempengaruhi hal tersebut seperti variabel nilai

tukar, harga beras medium di tingkat penggilingan, dan jumlah konsumsi dimana

ketiganya secara signifikan mempengaruhi terhadap stabilisasi harga eceran beras di

pasar domestik.

Sedangkan pada beberapa komoditas pangan pokok lainnya yang diamati,

penerapan kebijakan harga acuan, yaitu Permendag nomor 96 tahun 2018 dalam

mengendalikan harga bahan pokok paling efektif dapat ditemui pada komoditi gula. Hal

ini tampak dari menurunnya jumlah kejadian harga pasar melebihi harga acuan pada kota

Page 8: LAPORAN AKHIR ANALISIS EVALUASI IMPLEMENTASI ...

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan, 2019 vi

besar yang diamati. Pada periode tersebut, terjadi penurunan frekuensi harga rata-rata

nasional gula pasir yang berada diatas harga acuan, dari 90% (9 kota) di tahun 2017

menjadi 60% (6 kota) saja di tahun 2019. Perkembangan harga pada komoditas gula ini

mungkin dikarenakan banyak gula yang dijual oleh toko modern dan mungkin mendorong

harga penjualan gula di pasar tradisional juga ikut menyesuaikan dengan harga acuan.

Sedangkan pada komoditas lainnya (minyak goreng curah, daging sapi, daging ayam ras,

dan telur ayam ras) keadaan ini bervariasi. Penurunan frekuensi kasus melampaui harga

acuan juga terjadi pada minyak goreng curah, dari 80% menjadi 60% kasus. Untuk daging

sapi, tidak terjadi perubahan frekuensi, dimana karena pada seluruh daerah amatan

sepanjang periode terjadi rata-rata 80% kasus di atas harga acuan, atau 8 dari 10 kota

masih diatas harga acuan. Khusus untuk produk unggas, frekuensi kejadian harga diatas

harga acuan malah meningkat, daging ayam naik dari hanya 30% kasus, menjadi 50%,

dan bahkan telur ayam meningkat dari 50% menjadi 90%. Perkembangan harga produk

unggas dapat dipahami mengingat pada tahun 2018-2019 terjadi anomali harga, dimana

harga pada tingkat peternak sangat rendah, namun di pasar eceran terjadi kenaikan

harga.

Pergerakan pada komoditas gula ini mungkin dikarenakan banyak gula yang dijual

oleh toko modern. Toko modern memiliki kecenderungan untuk mematuhi peraturan yang

telah ditetapkan oleh pemerintah karena toko modern membutuhkan surat izin usaha

perdagangan untuk beroperasi, dan apabila toko modern tidak mematuhi peraturan yang

telah ditetapkan oleh pemerintah, maka toko modern bisa dikenakan sanksi administratif.

Penjualan harga gula sesuai harga acuan di toko modern mungkin mendorong harga

penjualan gula di pasar tradisional juga ikut menyesuaikan dengan harga acuan.

Sedangkan dari sisi daerah, dari 10 Ibukota provinsi yang diamati, rata-rata

menunjukkan perkembangan frekuensi kasus harga diatas harga acuan pada 5 komoditas

yang bervariasi, tergantung pada jenis komoditasnya. Namun demikian, Papua dan

Papua Barat menunjukkan konsistensi harga yang tinggi sepanjang tahun, dimana harga

pasar untuk seluruh komoditas pangan yang dipantau selalu berada diatas harga acuan

baik sebelum penerapan Permendag Nomor 96 tahun 2018 maupun sesudah penerapan

peraturan tersebut. Pada tahun 2019 (hingga bulan September) terdapat 4 daerah yang

konsisten menunjukkan perkembangan harga diatas harga acuan pada komoditas terpilih,

yaitu Provinsi DKI Jakarta, Jawa Barat, Papua, serta Papua Barat. Hal ini menunjukkan

adanya kemungkinan pada daerah-daerah kebijakan yang belum efektif atau belum

adanya respon yang memadai dari pemerintah dalam meredam tingginya harga barang

Page 9: LAPORAN AKHIR ANALISIS EVALUASI IMPLEMENTASI ...

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan, 2019 vii

pokok di tingkat pengecer. Secara keseluruhan, rentang frekuensi kejadian harga pasar di

atas harga acuan pada komoditi dan daerah yang diamati sangat bervariasi, mulai dari

20%-100% selama periode pengamatan. Ini berarti, walaupun terdapat daerah yang

frekuensi harga pasar melebihi harga acuannya rendah, akan tetapi secara nasional

harga pasar komoditas-komoditas yang diamati rata-rata masih diatas harga acuan. Hal

ini menunjukkan penerapan kebijakan harga yang ada saat ini belum efektif dalam

meredam harga pangan pokok tersebut.

Rekomendasi yang dapat disampaikan yaitu Kebijakan HET yang diberlakukan pada

beras, akan efektif jika dilakukan dalam jangka pendek. Dalam jangka panjang kebijakan

tersebut akan mendorong peningkatkan harga gabah menjadi lebih tinggi dan relatif tidak

stabil (relatif berfluktuasi). Jika pemerintah tetap melanjutkan kebijakan HET beras,

beberapa hal yang perlu dilakukan, adalah (i) mempertimbangkan struktur biaya di tingkat

petani dengan kondisi saat ini; (ii) melakukan pengelompokkan kelas kualitas dari

berbagai jenis varietas/merek beras dalam kelompok beras medium dan premium melalui

pengujian laboratorium untuk memudahkan pengawasan; (iii) kebijakan HET harus

didukung oleh kondisi produksi dan stok beras yang aman dan mencukupi; (iv) kebijakan

HET perlu disertai dengan penegakan hukum dan sanksi yang tegas yang dituangkan

dalam peraturan; serta (v) menjaga tingkat nilai tukar rupiah terhadap US dollar agar tetap

terkendali, mengingat impor masih tetap dibutuhkan untuk mengisi stok beras pemerintah.

Sedangkan untuk kebijakan harga acuan, Pemerintah perlu meningkatkan

pengawasan dan intervensi terhadap harga bahan kebutuhan pokok yang berada diatas

harga acuan, khususnya pada daerah yang dianggap tinggi tingkat penyimpangannya

yaitu Papua dan Papua Barat dibandingkan daerah lainnya. Selain itu, pemerintah juga

disarankan untuk melakukan komunikasi yang lebih efisien, khususnya antara

Kementerian Pertanian, Kemenko Perekonomian, Kementerian Perdagangan, Bulog, dan

BUMN lainnya untuk mendukung implementasi kebijakan harga acuan, termasuk

didalamnya mengoptimalkan peran pelaku usaha distribusi bapok dalam mengendalikan

harga. Pemerintah daerah juga perlu membentuk BUMD atau BLUD (Badan Layanan

Umum Daerah) di tingkat Provinsi yang memiliki tugas untuk stabilisasi harga ditingkat

daerah dimana BUMD/BLUD dapat menjadi alat Pemda setempat untuk melakukan

intervensi. Terakhir, sebagai pengembangan analisis ini, perlu dilakukan kajian untuk

meningkatkan efisiensi dan kecepatan pelaksanaan kebijakan pengendalian harga oleh

Kementerian/Lembaga terkait.

Page 10: LAPORAN AKHIR ANALISIS EVALUASI IMPLEMENTASI ...

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan, 2019 viii

ABSTRAK

Pemerintah melalui Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2015 telah menentukan beberapa komoditas pangan pokok. Lebih lanjut, Kementerian Perdagangan menerbitkan kebijakan yang mengatur harga bapok yaitu Permendag 57/2017 tentang HET beras dan Permendag 96/2018 tentang Harga Acuan Pembelian dan Penjualan beberapa komoditi pangan pokok. Analisis ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pengaruh kebijakan dimaksud terhadap stabilitas harga serta mengidentifikasi permasalahan yang dihadapi dalam pelaksanaan kebijakan harga bapok tersebut. Analisis kebijakan HET beras dilakukan melalui metode RIA dan ECM. Sedangkan kebijakan harga acuan bapok dievaluasi menggunakan statistik deskriptif. Hasil analisis menunjukkan faktor-faktor yang mempengaruhi harga beras eceran di tingkat konsumen adalah harga beras medium di penggilingan, nilai tukar rupiah terhadap dollar US, jumlah konsumsi beras, jumlah stok, jumlah produksi beras serta kebijakan harga eceran tertinggi. kebijakan HET beras hanya efektif mempengaruhi harga beras di tingkat eceran dalam jangka pendek. Selanjutnya, berdasarkan data perkembangan harga pada 5 komoditas terpilih di 10 Ibukota Provinsi, komoditas yang diamati rata-rata masih berada pada harga pasar diatas harga acuan, baik sebelum penerapan kebijakan maupun sesudahnya sehingga kebijakan harga acuan dianggap belum efektif mengendalikan harga. Rekomendasi kebijakan yang dihasilkan penelitian ini adalah kebijakan HET dapat dilaksanakan dengan persyaratan yaitu kebijakan HET harus didukung oleh kondisi produksi dan stok beras yang aman dan mencukupi; disertai dengan penegakan hukum dan sanksi yang tegas yang dituangkan dalam peraturan; serta menjaga tingkat nilai tukar rupiah terhadap US dollar agar tetap terkendali. Sedangkan untuk meningkatkan efektivitas harga acuan, Pemerintah perlu meningkatkan pengawasan dan intervensi terhadap harga bahan kebutuhan pokok yang berada diatas harga acuan, khususnya pada daerah yang dianggap tinggi tingkat penyimpangannya dibandingkan daerah lainnya, misalnya di Provinsi Papua dan Papua Barat. Selain itu, pemerintah juga disarankan untuk melakukan komunikasi yang lebih efisien, khususnya antara Kementerian Pertanian, Kemenko Perekonomian, Kementerian Perdagangan, Bulog, dan BUMN lainnya untuk mendukung implementasi kebijakan harga acuan, termasuk didalamnya mengoptimalkan peran pelaku usaha distribusi bapok dalam mengendalikan harga.

Kata kunci: Kebijakan Harga Eceran Tertinggi (HET) beras, kebijakan harga acuan bapok, stabilitas harga.

ABSTRACT

Through the implementation of Presidential Regulation No. 71 of 2015, concerning Determination and Storage of Staple Goods and Important Goods, the Government has determined several staple food commodities. Furthermore, the Ministry of Trade issued some policies regulating food prices, namely Regulation of the Minister of Trade 57/2017 on rice price ceiling and Ministry of Trade Regulation Number 96/2018 concerning Reference Prices for Buying and Selling of several staple food commodities. Thus, this analysis aims to find out how the influence of the said policy on price stability as well as identify problems encountered in implementing the food price policy. Tthe rice price ceiling policy is analyzed through the RIA and ECM methods. Whereas the reference price policy is evaluated using descriptive statistics. The results suggest there are several factors that influence retail rice prices at the consumer level, namely: the price of medium rice in the milling, the exchange rate of the rupiah against the US dollar, the amount of rice consumption, the amount of stock, the amount of rice production and the highest retail price policy. the rice price policy is only effective in affecting the price of rice at the retail level in the short term. Furthermore, based on data on price developments on 5 selected commodities in 10 provincial capitals, the average of

Page 11: LAPORAN AKHIR ANALISIS EVALUASI IMPLEMENTASI ...

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan, 2019 ix

observed commodities market price were above the reference price, both before and after policy implementation. Hence, the reference price policy is considered not yet effective in controlling food prices. The policy recommendations of this study are that ceiling price policy can be implemented with the requirements that the policy must be supported by sufficient production and stock of rice; accompanied by law enforcement and strict sanctions as outlined in the regulations; and keep the rupiah exchange rate against the US dollar under control. Meanwhile, to increase the effectiveness of the reference price, the Government needs to increase supervision and intervention of prices of basic needs that are above the reference price, especially in regions considered to have high levels of deviation, namely Papua and West Papua compared to other regions. In addition, the government is also advised to make more effective communication, especially between the Ministry of Agriculture, the Coordinating Ministry for the Economy, the Ministry of Trade, the National Logistics Agency, and other SOEs to support the implementation of the reference price policy, including optimizing the role of staple food distributors in controlling prices. Keywords: price ceiling (HET) of rice, reference price policy, price stability.

Page 12: LAPORAN AKHIR ANALISIS EVALUASI IMPLEMENTASI ...

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan, 2019 x

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................................ i

RINGKASAN EKSEKUTIF ............................................................................................... ii

ABSTRAK ........................................................................................................................ viii

DAFTAR ISI ..................................................................................................................... x

DAFTAR GAMBAR .......................................................................................................... xii

DAFTAR TABEL .............................................................................................................. xiii

DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................................... xiv

BAB I PENDAHULUAN .................................................................................................... 1

1.1. Latar Belakang ................................................................................................. 1

1.2. Tujuan Analisis ................................................................................................. 4

1.3. Output Analisis ................................................................................................. 4

1.4. Perkiraan Manfaat dan Dampak ....................................................................... 5

1.5. Ruang Lingkup Analisis .................................................................................... 5

1.6. Sistematika Laporan ......................................................................................... 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................................... 7

2.1. Harga Eceran Tertinggi (Ceiling Price) dan Harga Dasar (Floor Price) ............. 7

2.1.1. Harga Eceran Tertinggi (Ceiling Price) ..................................................... 7

2.1.2. Harga Dasar (Floor Price) ........................................................................ 9

2.2. Kebijakan Pengendalian Harga Barang Kebutuhan Pokok ............................... 10

2.2.1. Komoditi Beras ........................................................................................ 11

2.2.2. Komoditas Lainnya .................................................................................. 14

2.3. Konsep Analisis Data ....................................................................................... 15

2.4. Kerangka Pemikiran ......................................................................................... 16

BAB III METODOLOGI ..................................................................................................... 19

3.1. Jenis dan Sumber Data .................................................................................... 19

3.1.1. Jenis dan Sumber Data Analisis HET ..................................................... 19

3.1.2. Jenis dan Sumber Data Harga Acuan .................................................... 19

3.2. Metode dan Teknik Pengumpulan Data ............................................................ 20

3.2.1. Metode Analisis Data HET ....................................................................... 20

3.2.2. Metode Analisis Data Harga Acuan ......................................................... 22

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................................ 25

4.1. Hasil Analisis Harga Eceran Tertinggi (HET) ................................................... 25

Page 13: LAPORAN AKHIR ANALISIS EVALUASI IMPLEMENTASI ...

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan, 2019 xi

4.1.1. Deskripsi Perkembangan dan Dinamika Harga Gabah dan Beras ........ 25

4.1.2. Keragaman Implementasi Kebijakan HET Beras : Kasus di Daerah

Survei ................................................................................................... 30

4.1.3. Perhitungan Struktur Biaya Produksi Beras .......................................... 34

4.1.4. Isu-isu Lain terkait Implementasi Kebijakan Harga ................................ 37

4.1.5. Analisis Efektifitas Penetapan Kebijakan HET terhadap Stabilitas

Harga Beras ......................................................................................... 40

4.1.5.1. Estimasi Dampak Kebijakan HET Beras terhadap Stabilitas

Harga Beras ........................................................................................... 40

4.1.6. Masukan terhadap Kebijakan HET di Masa Mendatang ........................ 43

4.2. Hasil Analisis Harga Acuan ............................................................................. 45

4.2.1. Analisis Frekuensi Penyimpangan Harga Komoditas ............................ 45

4.2.2. Pandangan Menurut Komoditas ............................................................ 46

4.2.3. Pandangan Menurut Daerah ................................................................. 48

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI ................................................................... 50

5.1. Kesimpulan .................................................................................................... 50

5.1.1. Analisis Harga Eceran Tertinggi ............................................................ 50

5.1.2. Analisis Harga Acuan ............................................................................ 51

5.2. Rekomendasi Kebijakan ................................................................................. 52

5.2.1. Harga Eceran Tertinggi ......................................................................... 52

5.2.2. Harga Acuan ......................................................................................... 53

DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................................... 54

LAMPIRAN ...................................................................................................................... 56

Page 14: LAPORAN AKHIR ANALISIS EVALUASI IMPLEMENTASI ...

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan, 2019 xii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1. Partial Equilibrium dalam Kebijakan Ceiling Price ......................................... 7

Gambar 2.2. Partial Equilibrium dalam Kebijakan Floor Price ........................................... 8

Gambar 2.3. Kebijakan Harga Eceran Tertinggi (HET) ...................................................... 16

Gambar 2.4. Binding dan Non-Binding Price Ceiling ......................................................... 17

Gambar 2.5. Kerangka Operasional Penelitian ................................................................. 18

Gambar 4.1. Perkembangan Harga Gabah Kering Panen (GKP) di Petani, Gabah Kering

Giling (GKG) di Penggilingan dan HPP Gabah di Petani, 2016-2019

(September) .................................................................................................. 27

Gambar 4.2. Perkembangan Harga Beras Umum di Tingkat Eceran, 2016-2019

(September) .................................................................................................. 28

Gambar 4.3. Rata-rata Harga GKP di Tingkat Petani di berbagai Daerah di Indonesia,

tahun 2019 (s.d. September 2019) ................................................................ 30

Page 15: LAPORAN AKHIR ANALISIS EVALUASI IMPLEMENTASI ...

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan, 2019 xiii

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1. Kebutuhan Data Sekunder Harga ..................................................................... 19

Tabel 3.2. Metode Analisis Penerapan Kebijakan Harga Acuan ........................................ 22

Tabel 4.1. Rincian Struktur Biaya Seluruh Anggota Saluran Pemasaran Beras ................ 35

Tabel 4.2. Rekapitulasi Frekuensi Kejadian Harga Pasar di Atas Harga Acuan pada 10

Kota Tahun 2017-2019, menurut komoditas .................................................... 46

Tabel 4.3. Perbandingan Frekuensi Kejadian Harga Pasar di Atas Harga Acuan,

menurut daerah ............................................................................................... 48

Page 16: LAPORAN AKHIR ANALISIS EVALUASI IMPLEMENTASI ...

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan, 2019 xiv

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 : Memo Kebijakan ........................................................................................... 57

Lampiran 2 : Perkembangan harga 5 komoditas pangan pokok pada 10 kota pantauan,

2017-2019 (september) ................................................................................ 63

Page 17: LAPORAN AKHIR ANALISIS EVALUASI IMPLEMENTASI ...

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan, 2019 1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pangan merupakan kebutuhan pokok bagi manusia dalam bertahan hidup dan

berkembang baik dari segi kuantitas maupun kualitas. Demikian pula bagi suatu negara,

pangan mempunyai banyak dimensi yang sangat erat kaitannya dengan kelangsungan

hidup negara itu sendiri. Sebagai contoh, dari segi kualitas manusia, pangan memiliki peran

vital dalam menjaga kualitas serta meningkatkan produktivitas SDM. Dari segi politik dan

keamanan negara, pangan dapat menjadi isu panas yang bila tidak dikelola dengan baik

dapat menjatuhkan suatu pemerintahan. Pun dari segi ekonomi, sektor pangan merupakan

salah satu sektor penggerak perekonomian yang mampu menghasilkan kesejahteraan

masyarakat, khususnya bagi negara agraris seperti Indonesia. Berdasarkan catatan BPS,

Lapangan usaha Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan tumbuh positif 1,81 persen pada

kuartal 1 2019 (yoy) dan menyumbang 0.23 persen terhadap pertumbuhan PDB nasional.

Pentingnya peran pangan juga dapat dilihat dari pangsa pengeluaran masyarakat Indonesia,

dimana pangsa pengeluaran masarakat untuk pangan masih cukup tinggi atau sekitar 50%

dari total pengeluaran (BPS, 2018).

Dengan demikian, pengelolaan pangan nasional menjadi agenda penting dalam setiap

periode pemerintahan. Secara umum, pengelolaan pangan nasional ditujukan untuk

meningkatkan ketahanan pangan, yang mencakup aspek ketersediaan, aksesibilitas, dan

stabilitas. Dampak dari pengelolaan pangan setidaknya dapat dilihat dari satu indikator, yaitu

harga, yang merupakan indikator penting dalam menganalisis kondisi ketersediaan (stok)

dan juga tingkat permintaan di pasar. Oleh karena itu, harga pangan pada dasarnya

berkaitan erat dengan ketahanan pangan yang mencakup ketersediaan pangan dan harga

yang terjangkau oleh masyarakat serta kemudahan untuk memperoleh pangan tersebut.

Dengan terjaganya stabilitas harga bapok, maka dapat mengurangi beban

pengeluaran masyarakat dalam melakukan konsumsi pangan. Demikian pula dalam

menjamin ketersediaan pasokan, jika pasokan selalu tersedia, maka harga akan relatif stabil

dan juga dapat meminimalisir aksi spekulan yang hendak mendapatkan keuntungan lebih

dari harga pangan yang bergejolak. Namun sebaliknya, jika harga pangan tidak stabil dan

bahkan tinggi maka akan membebani pengeluaran masyarakat terutama kategori

berpendapatan rendah (miskin) dalam mencukupi kebutuhan dasar pangan serta

berdampak negatif terhadap inflasi. Dampak lebih lanjut dari tingginya harga pangan yaitu

menghambat akses masyarakat terhadap pangan yang berkualitas (gizi buruk),

Page 18: LAPORAN AKHIR ANALISIS EVALUASI IMPLEMENTASI ...

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan, 2019 2

meningkatkan kemiskinan, dan pada akhirnya menurunkan tingkat kesejahteraan

masyarakat.

Oleh karena itu, untuk menjaga stabilitas harga dan pasokan serta menjamin

keberlanjutan pengelolaan bahan pangan pokok, maka pemerintah berupaya untuk

mengendalikan harga barang kebutuhan pokok, khususnya melalui berbagai instrumen

kebijakan baik dari sisi hulu dan hilir. Di sisi hilir misalnya adanya kebijakan untuk

meningkatkan produksi pangan nasional. Sedangkan di sisi hilir, salahnya satunya adalah

kebijakan pengendalian harga yang menjadi domain dari Kementerian Perdagangan.

Sebagai payung hukum dalam pengendalian harga, Kementerian Perdagangan

berpijak pada beberapa kebijakan utama dalam menyusun kebijakan operasionalnya.

Setidaknya terdapat dua kebijakan utama yaitu Undang-undang No 7 tahun 2014 tentang

Perdagangan yang mengamanatkan kelancaran distribusi dan ketersediaan bahan pangan

pokok, khususnya yang mencakup upaya pemenuhan ketersediaan dan keterjangkauan

bahan pangan (akses dan harga pangan). Dalam hal ini pemerintah mempunyai peran

melakukan intervensi kebijakan perdagangan pangan dalam menjaga stabilitas harga.

Lebih lanjut, untuk mengatur lebih spesifik komoditas pangan apa saja yang dapat

dikelola oleh Pemerintah, maka Kementerian Perdagangan mengambil acuan Peraturan

Presiden Nomor 71 Tahun 2015 tentang Penetapan dan Penyimpanan Barang Kebutuhan

Pokok dan Barang Penting yang bertujuan untuk menjamin ketersediaan, stabilitas, dan

kepastian harga. Setidaknya terdapat delapan komoditas yang diatur, antara lain jagung,

kedelai, gula, minyak goreng, bawang merah, daging sapi, daging ayam ras, dan telur ayam

ras.

Kemudian, sebagai langkah operasional dalam menjamin ketersediaan pasokan dan

stabilitas harga barang kebutuhan pokok tersebut, Kementerian Perdagangan menerbitkan

berbagai kebijakan yang diarahkan untuk mendukung kelancaran distribusi dan

ketersediaan bahan pangan, termasuk didalamnya mendorong upaya pemenuhan

ketersediaan dan keterjangkauan bahan pangan (akses dan harga pangan). Berbagai

kebijakan harga misalnya yaitu Permendag 57/2017 tentang HET beras, Permendag

96/2018 tentang Harga Acuan Pembelian dan Penjualan beberapa komoditi pangan pokok.

Untuk mengatur pasokan, pelaku usaha distribusi bapok juga diatur melalui Permendag

20/2017 tentang Pendaftaran Pelaku Usaha Barang Pokok, serta Permendag 16/2016

tentang Tanda Daftar Gudang. Sedangkan untuk menjamin masyarakat mendapatkan

bahan pangan yang berkualitas, terdapat Permendag 8/2019 yang mengatur kewajiban

pencantuman label kemasan beras.

Dengan diterapkannya kebijakan-kebijakan tersebut, Kementerian Perdagangan

mengharapkan harga barang kebutuhan pokok, khususnya komoditas yang diatur dalam

Page 19: LAPORAN AKHIR ANALISIS EVALUASI IMPLEMENTASI ...

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan, 2019 3

berbagai regulasi tersebut dapat dikendalikan dari segi harga maupun pasokan pada tingkat

harga yang wajar, baik bagi konsumen maupun produsen. Kebijakan-kebijakan diatas

tentunya juga harus disinergikan dengan berbagai kebijakan di sektor lainnya, misalnya dari

sisi hulu dan juga kebijakan di tingkat daerah. Selain itu, kebijakan-kebijakan tersebut juga

memerlukan evaluasi serta masukan yang konstruktif agar dapat terus diperbaiki

efektivitasnya ke depan.

Namun demikian, pada kenyataannya terkadang terjadi bias dalam pelaksanaan

kebijakan tersebut sehingga dampaknya tidak seperti yang diharapkan. Sebagai contoh,

yaitu penerapan harga eceran tertinggi bagi komoditas beras yang diatur oleh Permendag

57/2017. Sebagaimana diketahui bahwa beras merupakan salah satu barang kebutuhan

pokok yang memiliki karakteristik harga yang fluktuatif sepanjang tahun karena adanya

pengaruh musim panen, paceklik dan gadu serta hari besar keagamaan nasional (HBKN).

Stabilitas harga beras sangat penting karena beras merupakan makanan pokok hampir 90%

masyarakat Indonesia, sehingga konsumsinya besar. Selain itu, beras memiliki peran

terhadap perekonomian yang cukup penting karena beras berperan dalam inflasi nasional

dengan bobot inflasi yang cukup besar yaitu 3,68%. Artinya kenaikan sedikit saja pada

komoditi tersebut akan memiliki dampak yang signifikan terhadap perubahan inflasi nasional

khususnya inflasi bahan makanan.

Amang (1998) dalam Kusumaningrum (2008) menjelaskan bahwa tujuan dasar dari

diberlakukannya kebijakan harga beras adalah: (a) menjaga harga dasar yang cukup tinggi

untuk merangsang produksi, (b) memberikan perlindungan terhadap harga maksimum untuk

menjamin harga yang layak bagi konsumen, (c) perbedaan yang layak antara harga dasar

dan harga maksimum untuk memberikan keuntungan yang wajar bagi swasta untuk

penyimpanan beras, dan (d) hubungan harga yang wajar antara daerah maupun terhadap

harga internasional.

Dengan diterapkannya HET diharapkan para pelaku usaha beras dapat menaati

aturan tersebut sehingga harga beras dapat dikendalikan, sekaligus memantau arus

distribusi beras di suatu wilayah. Namun pada kenyataannya harga beras khususnya jenis

medium terus merangkak naik. BPS mencatat bahwa harga beras umum di tingkat eceran

cenderung naik dan bertahan di atas HET yang telah ditetapkan, dan bahkan tidak menurun

secara signifikan pada musim panen raya (Maret-April 2019). Memasuki musim gadu

pertama tahun 2018, harga gabah kering panen (GKP) masih bertahan pada level Rp

4.300/kg – Rp 4.800/kg di sentra produksi padi di Jawa dan Sumatera. Sedangkan harga

beras medium curah di tingkat penggilingan padi sebesar Rp 8.600/kg – Rp 9.600/kg.

Kenaikan harga beras di tingkat penggilingan hingga grosir akhirnya ikut mendorong harga

Page 20: LAPORAN AKHIR ANALISIS EVALUASI IMPLEMENTASI ...

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan, 2019 4

beras di pasar (tingkat eceran konsumen) hingga sekitar Rp 13.000/kg. Dengan demikian,

harga beras di tingkat konsumen masih diatas HET.

Demikian pula dengan kebijakan Harga Acuan yang tercantum dalam Permendag

96/2018, yang merupakan revisi dari Permendag 58/2018, yang mengatur harga acuan

pembelian di petani dan harga acuan penjualan di tingkat konsumen untuk beberapa

komoditas pangan pokok . Dengan demikian, ada harga dasar (floor price) yang bermanfaat

bagi produsen dan juga harga atas (ceiling price) yang berfungsi melindungi konsumen dari

lonjakan harga yang terlalu tinggi. Komoditas yang diatur dalam regulasi ini yaitu gula,

minyak goreng, bawang merah, daging sapi, daging ayam ras, dan telur ayam ras. Namun

demikian, berdasarkan data yang ada, masih ditemui anjloknya harga daging ayam ras di

tingkat peternak sehingga merugikan peternak ayam. Di samping itu, sejak

diimplementasikannya aturan tersebut, data harga BPS menunjukkan harga beberapa

komoditas seperti cabai, bawang merah, masih cukup fluktuatif dan bahkan melampaui

harga acuan yang telah ditetapkan. Berdasarkan uraian diatas, permasalahan utama yang

perlu ditemukan jawabannya adalah: bagaimana efektivitas kebijakan harga dalam menjaga

stabilitas harga pangan dan bagaimana permasalahan yang dihadapi dalam implementasi

kebijakan tersebut.

1.2. Tujuan Analisis

Tujuan dari analisis ini adalah:

1. Menganalisis efektifitas kebijakan pengendalian harga terhadap stabilitas harga

bapok;

2. Mengidentifikasi permasalahan yang dihadapi dalam pelaksanaan kebijakan

pengendalian harga pada barang kebutuhan pokok (bapok);

3. Merumuskan rekomendasi kebijakan dalam rangka meningkatkan efektivitas

pengendalian harga bapok.

1.3. Output Analisis

Adapun keluaran dari analisis ini adalah:

1. Hasil analisis efektifitas kebijakan pengendalian harga terhadap stabilitas harga

bapok;

2. Inventarisasi permasalahan dalam implementasi kebijakan pengendalian harga

bapok terhadap stabilitas harga bapok;

3. Rekomendasi tindak lanjut untuk meningkatkan efektivitas kebijakan pengendalian

harga bapok di lapangan.

Page 21: LAPORAN AKHIR ANALISIS EVALUASI IMPLEMENTASI ...

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan, 2019 5

1.4. Perkiraan Manfaat dan Dampak

Adapun manfaat dan dampak dari kajian ini adalah:

1. Teridentifikasinya permasalahan terkait dengan pelaksanaan kebijakan

pengendalian harga terhadap stabilitas harga sebagai masukan bagi evaluasi

kebijakan pengendalian harga.

2. Mendorong upaya perbaikan dalam pelaksanaan kebijakan pengendalian harga

bapok agar lebih efektif dalam menjaga stabilitas harga.

1.5. Ruang Lingkup Analisis

Ruang lingkup dari analisis ini yaitu mencakup aspek sebagai berikut:

1. Perkembangan harga bapok yang diatur dalam 2 permendag pengendalian harga

Bapok

2. Kebijakan:

a. Permendag No 57/M-DAG/PER/8/2017 tentang penetapan Harga Eceran

Tertinggi Beras

b. Peraturan Menteri Perdagangan terkait harga acuan pembelian di tingkat

petani dan harga acuan penjualan di tingkat konsumen tahun 2018

(Permendag 58/2018 jo. Permendag 96/2018).

3. Kelembagaan: organisasi/unit kerja/lembaga yang terlibat serta sistem/mekanisme

pelaksanaan kebijakan pengendalian harga bapok.

4. Komoditas yang diamati adalah beberapa barang pangan pokok yang termuat

dalam Permendag 57/2017 yaitu beras, dan Permendag 58/2018, diantaranya

yaitu: gula, minyak goreng, daging sapi, daging ayam ras, dan telur ayam ras.

1.6. Sistematika Laporan

Laporan analisis akan disusun dalam 5 (lima) Bab, yaitu:

Bab I. Pendahuluan

Pada bab ini dibahas mengenai latar belakang yang menjelaskan permasalahan dan

alasan pelaksanaan analisi, tujuan, keluaran, manfaat, dan ruang lingkup kajian.

Bab II. Tinjauan Pustaka

Pada bab ini dibahas tinjauan pustaka mengenai konsep dan landasan teori kebijakan

harga, yaitu harga atap dan harga dasar, kebijakan pengendalian harga barang

pangan pokok, dan metode analisa data. Selanjutnya kerangka pemikiran yang

memuat uraian secara sistematis.

Page 22: LAPORAN AKHIR ANALISIS EVALUASI IMPLEMENTASI ...

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan, 2019 6

Bab III. Metode Analisis

Pada bab ini di bahas mengenai, jenis data dan sumber data, teknik dan cara

pengumpulan data dan informasi dalam mendukung analisis serta metode yang

digunakan untuk analisis inflasi bahan makanan.

Bab IV. Hasil dan Pembahasan.

Pada bab ini di bahas mengenai hasil analisis terhadap data dan informasi yang telah

dikumpulkan baik berdasarkan data primer ataupun data sekunder, meliputi

perkembangan harga komoditi bahan makanan yang diamati, dan menguraikan hasil

analisis salah satunya faktor yang mempengaruhi pelaksanaan kebijakan harga dan

kondisi yang ditemui pada daerah survei.

Bab V. Kesimpulan dan Rekomendasi Kebijakan

Pada bab ini dituliskan kesimpulan berdasarkan hasil pengolahan data dan analisis

yang telah dilakukan sebelumnya disertai dengan rekomendasi yang diharapkan akan

berguna bagi perbaikan implementasi kebijakan serta saran-saran untuk penelitian

selanjutnya.

Page 23: LAPORAN AKHIR ANALISIS EVALUASI IMPLEMENTASI ...

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan, 2019 7

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Kebijakan pengendalian harga untuk komoditas pangan yang digunakan Pemerintah

Indonesia berpijak kepada teori harga dasar (floor price) dan harga eceran tertinggi

(HET/ceiling price). Penentuan harga dasar pada komoditas pangan pokok biasanya

ditujukan untuk melindungi pelaku usaha produksi, yaitu peternak, petani, petambak dari

jatuhnya harga komoditas ketika musim tertentu. Di sisi lain, penentuan harga plafon atau

harga eceran tertinggi bertujuan untuk meredam fluktuasi harga yang terlalu tinggi yang

dapat merugikan konsumen akhir. Untuk itu, dalam bab ini akan diuraikan teori tentang

kebijakan harga dasar dan harga plafon tersebut.

2.1. Harga Eceran Tertinggi (Ceiling Price) dan Harga Dasar (Floor Price)

Kebijakan pengendalian harga untuk komoditas pangan yang digunakan Pemerintah

Indonesia berpijak kepada teori harga dasar (floor price) dan harga eceran tertinggi

(HET/ceiling price). Sebagaimana diketahui, harga suatu komoditas merupakan hasil dari

keseimbangan permintaan dan penawaran. Tingkat harga yang dicapai pada keseimbangan

untuk berbagai komoditas, khususnya komoditas pangan pokok terkadang menimbulkan

dampak negatif. Pada beberapa kasus, dampak ini dapat berwujud ketidakpuasan publik

yang berujung pada tekanan politik terhadap pemerintah karena dianggap tidak dapat

mengelola pasar dengan baik, sehingga ada pihak yang dirugikan. Dengan demikian,

pemerintah diharapkan dapat menjaga harga pada tingkat tertentu sehingga tidak

merugikan baik produsen maupun konsumen (win win solution). Untuk membentuk suatu

tingkat harga tersebut, pemerintah melakukan intervensi pada pasar dalam bentuk kebijakan

pengendalian harga, berupa penetapan harga eceran tertinggi dan harga dasar. Intervensi

ini dilakukan manakala harga pasar berada di atas atau di bawah harga keseimbangan

(equilibrium). Adanya intervensi kebijakan harga terhadap pasar yang terbuka tentunya akan

mengubah keseimbangan pasar. Tujuan kebijakan tersebut tentunya dapat memberikan

dampak kepada masyarakat dan juga produsen, misalnya meminimalkan biaya atau

memberikan insentif serta trade off.

2.1.1. Harga Eceran Tertinggi (Ceiling Price)

Ceiling Price adalah harga maksimal yang ditetapkan oleh pemerintah pada

komoditas atau jasa tertentu yang diyakini telah dijual pada tingkat harga yang lebih

tinggi dari harga pasar sehingga berpotensi merugikan konsumen. Namun terdapat

Page 24: LAPORAN AKHIR ANALISIS EVALUASI IMPLEMENTASI ...

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan, 2019 8

konsekuensi jika price ceiling ditetapkan pada tingkat harga di bawah harga

keseimbangan pasar.

Gambar 2.1. Partial Equilibrium dalam Kebijakan Ceiling Price

Ketika Price Ceiling ditetapkan pada tingkat harga di bawah harga pasar, maka

akan terdapat kelebihan permintaan (excess demand) atau kekurangan persediaan

(supply shortage). Jumlah produksi akan lebih sedikit ketika harga rendah, sedangkan

permintaan akan semakin banyak karena harga yang lebih murah. Permintaan akan

lebih besar dari penawaran dimana akan lebih banyak orang yang ini membeli pada

harga yang lebih murah, akan tetapi persediaan lebih terbatas.

Jika kurva permintaan elastis maka total dampak kepada surplus konsumen

akan positif. Di sisi produsen, surplusnya akan mengalami penurunan dimana akan

ada produsen yang keluar dari pasar karena tidak bisa berproduksi pada tingkat harga

yang ditentukan dan produsen yang tinggal di pasar harus menerima tingkat harga

yang rendah.

Price Ceiling ditujukan untuk melindungi konsumen dari gejolak kenaikan harga

yang terlalu tinggi. Dengan demikian, kebijakan ini akan efektif jika diiringi dengan

kebijakan operasional pendukung seperti Operasi Pasar pada waktu tertentu dimana

Pemerintah menambah jumlah barang yang ditawarkan ke pasar. Jika penerapan

Price Ceilings dirancang pada posisi di bawah harga keseimbangan (equilibrium price)

pasar pada kurva permintaan dan penawaran yang elastis akan menimbulkan dampak

sebagai berikut (Besanko dan Braeutigam, 2011, dalam Puska Dagri, 2015):

1. Terjadi kelebihan permintaan (excess demand);

2. Produksi yang disuplai ke pasar lebih rendah relatif terhadap tingkat yang efisien

yaitu jumlah yang disuplai saat tidak ada intervensi Pemerintah;

3. Surplus produsen lebih rendah dibandingkan sebelum penerapan price ceilings;

4. Akibat adanya excess demand, besarnya surplus konsumen tergantung pada

aksesibilitas konsumen terhadap produk. Oleh karena itu surplus konsumen dapat

Page 25: LAPORAN AKHIR ANALISIS EVALUASI IMPLEMENTASI ...

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan, 2019 9

meningkat atau bahkan turun jika barang tidak tersedia karena penerapan price

ceilings;

5. Akan terjadi deadweight loss yaitu berkurangnya surplus total (surplus konsumen

dan surplus produsen) yang terjadi karena pasar tidak beroperasi secara optimal.

Dalam hal ini karena output yang tersedia terbatas.

2.1.2. Harga Dasar (floor price)

Floor price adalah harga minimum yang ditetapkan pemerintah untuk

komoditas atau jasa tertentu yang diyakini dijual pada tingkat harga yang lebih rendah

dari yang layak diterima oleh produsen. Harga dasar akan menimbulkan dampak jika

ditetapkan pada tingkat harga di atas tingkat harga keseimbangan. Jika harga dasar

ditetapkan dibawah tingkat harga keseimbangan maka intervensi kebijakan ini tidak

akan memberikan dampak terhadap pasar.

Ketika harga dasar ditetapkan di atas tingkat harga ekuilibrium maka akan

terjadi kelebihan penawaran (excess supply). Hal ini terjadi ketika produsen akan

berproduksi lebih banyak namun permintaan justru akan menurun karena harga

barang yang lebih tinggi.

Gambar 2.2. Partial Equilibrium dalam kebijakan Floor Price

Terdapat deadweight loss yang diwakilkan oleh kerugian di sisi konsumen dan

surplus produsen pada tingkat produksi yang lebih rendah. Produsen dapat

memperoleh keuntungan dari kebijakan ini hanya jika kurva penawaran relatif elastis

sehingga tidak terjadi nett loss. Konsumen dirugikan dalam kebijakan ini karena harus

membayar dengan harga yang lebih tinggi. Dengan demikian, kebijakan ini ditujukan

untuk melindungi produsen dari penurunan harga barang yang terlalu dalam.

Page 26: LAPORAN AKHIR ANALISIS EVALUASI IMPLEMENTASI ...

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan, 2019 10

Mekanisme kebijakan ini akan lebih efektif jika pemerintah berperan dalam menyerap

kelebihan penawaran tersebut, yaitu dengan membeli surplus produksi.

Berbagai strategi dapat dilakukan oleh Pemerintah dalam menetapkan harga

dasar dan kemudian mengantisipasi dampaknya. Pilihan kebijakan lainnya yang

mendukung kebijakan harga dasar antara lain kebijakan price support, atau

menetapkan kuota produski. Price support dilakukan selain dengan menetapkan harga

minimum tetapi juga pemerintah dalam hal ini akan membeli berapapun kelebihan

produksi (excess supply), misalnya dengan kebijakan penyerapan. Metode ini tidak

efisien dan membutuhkan anggaran yang cukup besar bagi pemerintah serta

merugikan secara sosial dibandingkan jika pemerintah memberikan subsidi langsung

kepada produsen yang terkena dampak penetapan harga dasar.

Kebijakan lainnya, yaitu penetapan kuota produksi akan meningkatkan harga

secara artifisial melalui pembatasan produksi menggunakan aturan kuota atau

memberikan insentif usaha agar produsen mengurangi produksi. Cara ini dilakukan di

Amerika terutama pada sektor pertaniannya. Pemerintah membayar petani untuk

mengatur jumlah produksinya agar harga terjaga.Salam halnya dengan price support,

kebijakan ini akan efisien dan murah jika pemerintah memberikan subsidi langsung

kepada petani dari pada melakukan pembatasan produksi. Artinya, kebijakan harga

dasar di sektor pertanian sebenarnya bertujuan untuk melindungi pendapatan petani.

Stabilitas harga dapat dijaga melalui pembelian/penjualan dengan adanya pengelolaan

stok yang dilakukan oleh Pemerintah. Ketika Pemerintah menetapkan harga dasar

lebih tinggi dari pada harga keseimbangan pasar, maka dampak yang terjadi adalah

sebagai berikut:

1. Terjadi kelebihan penawaran/produksi (excess supply) di pasar;

2. Konsumen akan membeli lebih sedikit dari pada di pasar persaingan sempurna;

3. Surplus konsumen lebih rendah dibandingkan jika tidak ada kebijakan harga dasar;

4. Sebagian surplus konsumen akan berpindah kepada produsen;

5. Karena harga dasar menyebabkan kelebihan produksi, besarnya surplus produsen

akan tergantung pada produsen mana yang benar-benar dapat memasok produk.

Surplus produsen dapat meningkat atau menurun karena penetapan harga dasar.

2.2. Kebijakan Pengendalian Harga Barang Kebutuhan Pokok

Berdasarkan teori diatas, untuk mengendalikan harga barang kebutuhan pokok, maka

pemerintah menerapkan berbagai instrumen kebijakan harga. Kebijakan harga yang

diberlakukan baik dari sisi hulu (produsen) hingga sisi hilir (konsumen), yaitu berupa harga

Page 27: LAPORAN AKHIR ANALISIS EVALUASI IMPLEMENTASI ...

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan, 2019 11

pembelian pemerintah atau HPP dan juga harga eceran tertinggi atau HET,serta harga

acuan pada beberapa komoditas pangan pokok.

Penetapan komoditas pangan pokok sendiri diatur dalam Perpres 71 tahun 2015

tentang Penetapan dan Penyimpanan Barang Kebutuhan Pokok dan Barang Penting.

Dalam kebijakan ini telah ditetapkan beberapa komoditas pangan menjadi barang

kebutuhan pokok. Barang kebutuhan pokok didefinisikan sebagai barang yang menyangkut

hajat hidup orang banyak dengan skala pemenuhan kebutuhan yang tinggi serta menjadi

faktor pendukung kesejahteraan masyarakat. Kebijakan ini juga mengamanatkan

pemerintah menjaga ketersediaan barang, yaitu tingkat kecukupan barang kebutuhan pokok

dan barang penting sesuai dengan tingkat konsumsi yang dibutuhkan masyarakat dalam

waktu tertentu, dengan mutu yang baik serta harga yang terjangkau di seluruh wilayah

NKRI.

Dalam Perpres tersebut terdapat sebelas komoditas pangan yang ditetapkan menjadi

Barang Kebutuhan Pokok (Bapok), yaitu beras, kedelai (bahan baku tahu tempe), cabe,

bawang merah, gula, minyak goreng, tepung terigu, daging sapi, daging ayam ras, telur

ayam ras, dan ikan segar (bandeng, kembung, dan tongkol/tuna/cakalang). Berdasarkan

kebijakan tersebut, maka pemerintah mengeluarkan berbagai kebijakan pelaksanaannya,

salah satunya kebijakan harga. Adapun kebijakan harga yang dikeluarkan Kementerian

Perdagangan saat ini dapat diuraikan sebagai berikut.

2.2.1. Komoditi Beras

Salah satu kebijakan pangan yang mendapat perhatian khusus adalah

kebijakan harga beras. Beras merupakan salah satu komoditas yang sangat strategis

dan sering bersifat politis. Oleh karenanya, beras sangat diatur baik dari sisi hulu

maupun hilir. Sejak awal Repelita I tahun 1969, instrumen kebijakan beras yang

ditempuh oleh pemerintah dapat dibagi menjadi dua kelompok. Kebijakan kelompok

pertama mencakup perbaikan teknologi (Revolusi Hijau) melalui program Intensifikasi

Masal (Inmas) dan Intensifikasi Khusus (Insus) serta perluasan areal melalui program

Ekstensifikasi. Kebijakan kelompok kedua meliputi penetapan harga dasar gabah yang

ditetapkan pemerintah, stabilisasi harga melalui pembelian oleh BULOG dan

penetapan harga eceran tertinggi serta subsidi pupuk dan subsidi bunga kredit

usahatani (Widiarsih 2012). Menurut Timmer et.al. 1983, empat tujuan dasar kebijakan

pangan nasional adalah : (1) efisiensi pertumbuhan di sektor pertanian, (2)

peningkatan distribusi pendapatan melalui penciptaan lapangan pekerjaan, (3)

kecukupan gizi bagi seluruh penduduk, dan (4) menjamin ketahanan pangan yang

memadai ketika gagal panen, bencana alam atau pasokan makanan dan harga dunia

yang tidak stabil.

Page 28: LAPORAN AKHIR ANALISIS EVALUASI IMPLEMENTASI ...

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan, 2019 12

Instrumen kebijakan harga yang dilakukan pemerintah saat ini bertumpu pada

penetapan harga dasar (floor price) dengan tujuan untuk meningkatkan produksi beras

dan pendapatan petani melalui pemberian jaminan harga (guaranteed price) yang

wajar dan penetapan batasan harga eceran tertinggi (ceiling price) dengan tujuan

untuk memberikan perlindungan kepada konsumen.

Secara lebih spesifik, dari sisi hulu terdapat kebijakan harga dasar gabah dan

beras atau lebih dikenal sebagai HPP (Harga Pembelian Pemerintah) gabah dan

beras. Kebijakan ini berupa harga pembelian gabah dan beras oleh pemerintah di

tingkat produsen/petani yang akan dijadikan cadangan beras pemerintah dan

keperluan untuk golongan tertentu yang diatur dalam Peraturan Presiden RI Nomor 48

Tahun 2016. Kebijakan ini bertujuan memberikan insentif kepada petani produsen

yang diharapkan dapat mendorong perluasan areal tanam dan penggunaan teknologi

yang lebih baik dalam budidaya tanaman padi sehingga produktivitasnya dapat

meningkat, melindungi produsen dari kemerosotan harga pasar yang biasanya terjadi

pada musim panen, melindungi konsumen dari kenaikan harga yang melebihi daya

beli khususnya pada musim paceklik, serta mengendalikan inflasi melalui stabilitas

harga (Widiarsih 2012; Saputra 2014).

Akan tetapi, menurut (Sembiring et al. (2010), pelaksanaan harga pembelian

pemerintah (HPP) di berbagai tempat di Indonesia menemui beberapa kendala antara

lain: (1) pembelian gabah petani tidak dilakukan oleh Perum Bulog/badan

pemerintah/badan usaha di bidang pangan tetapi oleh agen/pedagang, (2) pada

umumnya proses penjualan gabah di antara petani dengan pedagang berdasarkan

pengalaman agen, tidak mengikuti persyaratan kualitas kadar air maksimum dan kadar

hampa/kotoran, (3) petani tetap dalam posisi tawar yang lemah dalam penentuan

harga gabah karena adanya informasi yang tidak simetris antara petani dengan

agen/pedagang, (4) alasan kendala infrastruktur seperti ketersediaan alat pengukur

kadar air gabah, kerusakan jalan dan jembatan, menjadi alat pembenaran penentuan

harga oleh pedagang secara sepihak, dan petani menerima saja harga yang

ditentukan oleh pedagang, dan (5) pada kasus tertentu, petani berusaha meningkatkan

posisi tawarnya dengan menyebutkan harga gabah pembelian pemerintah, justru

melemahkan posisi petani, karena reaksi agen/pedagang menyuruh petani menjual

gabahnya ke pemerintah atau PPL yang pada faktanya tidak mungkin dilakukan.

Di sisi hilir, pemerintah menerapkan kebijakan harga plafon (price ceiling) atau

harga eceran tertinggi (HET) beras yang diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan

No.57/M-DAG/PER/8/2017 tentang Penetapan Harga Eceran Tertinggi Beras. Harga

Eceran Tertinggi (HET) adalah harga jual tertinggi beras kemasan dan/atau curah di

Page 29: LAPORAN AKHIR ANALISIS EVALUASI IMPLEMENTASI ...

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan, 2019 13

pasar rakyat, toko modern dan tempat penjualan eceran lainnya. Pengaturan HET

beras dibagi berdasarkan beberapa wilayah untuk dua jenis kualitas beras, yaitu

medium dan premium, dengan ketentuan sebagai berikut:

1. Wilayah Jawa, Lampung, dan Sumatera Selatan: HET medium Rp.9.450/kg, HET

Premium Rp.12.800/kg

2. Wilayah Sumatera, Kecuali Lampung dan Sumatera Selatan: HET medium Rp

9.950/kg, HET premium Rp 13.300/kg

3. Wilayah Sulawesi, Bali dan Nusa Tenggara Barat: HET medium Rp 9.450/kg, HET

premium Rp 12.800/kg

4. Wilayah Nusa Tenggara Timur dan Kalimantan: HET medium Rp 9.950/kg, HET

premium Rp 13.300/kg

5. Wilayah Maluku dan Papua: HET medium Rp 10.250/kg, HET premium Rp

13.600/kg

Berdasarkan penelitian Fatimah (2018), Harga Eceran Tertinggi Beras

Premium (HET Premium) berpengaruh signifikan terhadap Nilai Tukar Petani (NTP)

artinya hanya kebijakan HET Beras Premium yang efisien mempengaruhi

kesejahteraan petani. Sedangkan Harga Eceran Tertinggi Beras Medium (HET

Medium), Harga Pembelian Pemerintah Gabah Kering Panen (HPP GKP), dan Harga

Pembelian Pemerintah Gabah Kering Giling (HPP GKG) tidak berpengaruh signifikan

terhadap Nilai Tukar Petani (NTP). Hal ini disebabkan karena harga beras premium

lebih tinggi dari harga beras medium sehingga diaturnya HET untuk beras premium

berdampak pada peningkatan pendapatan petani yang pada akhirnya berdampak

positif terhadap kesejahteraan petani. Sedangkan HET beras medium tidak efisien

dalam meningkatkan kesejahteraan petani sebab harganya masih terlalu rendah dan

belum memberikan imbal balik biaya yang petani keluarkan untuk memproduksi beras

medium (Fatimah 2018).

Menurut Ellis (1992), kebijakan harga yang merupakan upaya untuk

menstabilkan harga pertanian, khususnya beras, dapat dilakukan melalui berbagai

instrumen, yaitu kebijakan perdagangan, kebijakan nilai tukar, pajak dan subsidi, serta

intervensi langsung. Selain melalui kebijakan harga, secara tidak langsung stabilisasi

harga dapat juga dilakukan melalui kebijakan pemasaran output dan kebijakan input.

Kebijakan input antara lain berupa subsidi harga sarana produksi yang diberlakukan

pemerintah terhadap pupuk, benih, pestisida dan kredit pertanian.

Kebijakan lainnya terkait dengan beras, selain Permendag No 57 tahun 2017

yaitu (i) Inpres No 5 tahun 2015 tentang Kebijakan Pengadaan Gabah/Beras dan

Penyaluran Beras oleh Pemerintah, (ii) PP No 71 tahun 2015 tentang Penetapan Dan

Page 30: LAPORAN AKHIR ANALISIS EVALUASI IMPLEMENTASI ...

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan, 2019 14

Penyimpanan Barang Kebutuhan Pokok; serta (iii) Permentan No 31 tahun 2017

tentang Kelas Mutu Beras, serta (v) Permendag No 8 Tahun 2019 tentang Kewajiban

Pencantuman Label Kemasan Beras. Peraturan-peraturan tersebut saling terkait yang

mengatur komoditi beras mulai dari hulu sampai pada pendistribusian beras dalam

bentuk kemasan dan label.

2.2.2. Komoditas lainnya

Kebijakan harga lain yang mengatur pengelolaan harga komoditas bapok

lainnya tertuang dalam kebijakan harga acuan. Kebijakan harga acuan telah

diterapkan Kementerian Perdagangan sejak tahun 2016, yaitu dengan diterbitkannya

Permendag Nomor 63/M-DAG/PER/09/2016 tentang Harga Acuan Pembelian di

Petani dan Harga Acuan Penjualan di Konsumen. Dalam regulasi ini, Kemendag

menetapkan harga acuan pada 7 komoditas pangan, yaitu beras, jagung, kedelai,

gula, bawang merah, cabai, dan daging sapi. Tujuan regulasi ini untuk menjamin

ketersediaan, stabilitas, dan kepastian harga baik di tingkat petani maupun konsumen.

Untuk itu, harga acuan yang ditetapkan pemerintah terdapat dua jenis pada masing-

masing komoditas, yaitu harga pembelian di tingkat petani dan harga acuan penjualan

di tingkat konsumen dan akan di evaluasi sesuai kondisi yang berkembang. Jika harga

pembelian di bawah harga acuan dan harga penjualan berada di atas harga acuan,

maka pemerintah akan melakukan langkah-langkah stabilitas harga

Dalam perjalanannya, hingga tahun 2019 terdapat beberapa revisi terhadap

kebijakan ini, yaitu Permendag 27 tahun 2017, Permendag 58 tahun 2018, dan yang

terakhir yaitu Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 96 Tahun 2018. Pada

Permendag 27/2017, jumlah komoditas yang diatur harga acuannya ditambah menjadi

sembilan, yaitu beras, jagung, kedelai, gula, minyak goreng, bawang merah, daging

sapi, daging ayam ras, dan telur ayam ras. Permendag ini juga mencabut Permendag

Nomor 21/2016 tentang penetapan harga acuan pembelian jagung di tingkat petani

dan Permendag 63/2016 tentang harga acuan pembelian di petani dan harga acuan di

konsumen.

Selanjutnya, sejalan dengan diterbitkannya Permendag 57/2017 tentang HET

beras, maka Permendag 27/2017 direvisi menjadi Permendag 58/2018. Salah satu

perubahan penting selain kenaikan tingkat harga acuan untuk daging ayam ras dan

telur ayam ras, tetapi juga pengeluaran komoditas beras dari harga acuan karena telah

menjadi HET. Dengan demikian, saat ini delapan komoditas yang kini diatur harga

acuannya. Demikian pula pada revisi terakhir peraturan tersebut, menjadi Permendag

Page 31: LAPORAN AKHIR ANALISIS EVALUASI IMPLEMENTASI ...

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan, 2019 15

96/2018, terdapat penyesuaian kembali terhadap harga acuan daging ayam ras dan

telur ayam ras untuk melindungi peternak.

Kebijakan harga acuan tersebut secara umum mempertimbangkan struktur

biaya yang wajar mencakup antara lain biaya produksi, biaya distribusi, keuntungan,

dan/atau biaya lain dari produsen. Sedangkan harga acuan penjualan di konsumen

merupakan harga penjualan di tingkat konsumen yang mempertimbangkan struktur

biaya yang wajar mencakup antara lain biaya produksi, biaya distribusi, keuntungan,

dan/atau biaya lain. Penerapan dari kebijakan mengenai harga acuan tersebut menjadi

penting karena dijadikan patokan oleh berbagai pihak, seperti Perum BULOG serta

BUMN lainnya, khususnya dalam melakukan pembelian dan penjualan barang pokok

tersebut.

Lebih jauh, keberadaan aturan mengenai harga acuan ini menjadi sangat

penting karena menyangkut kesejahteraan seluruh masyarakat sebagai konsumen.

Kenaikan harga pangan yang tidak terkontrol berdampak pada penurunan pemenuhan

asupan gizi masyarakat. Dengan adanya penetapan harga acuan tersebut diharapkan

dampaknya tak hanya mampu mengendalikan harga di tingkat konsumen, tetapi juga

tetap mampu memberikan keuntungan bagi produsen (petani dan peternak) hingga

pelaku usaha distribusi bapok sehingga menjamin ketersediaan, stabilitas dan

kepastian harga bahan pangan pokok.

2.3. Konsep analisis data

Dalam melakukan analisis data, terdapat beberapa konsep yang dapat digunakan

untuk mengukur pengaruh/dampak suatu kebijakan, salah satunya adalah konsep Error

Correction Model (ECM). Pengaruh HET terhadap komoditas beras akan di analisis

menggunakan konsep ini. ECM merupakan model analisis dinamik untuk menjelaskan

pengaruh perubahan variabel independen terhadap variabel dependen dalam jangka

pendek dan jangka panjang. Johansen Maximum Likelihood Error Correction Model dapat

digunakan untuk mengestimasi kedinamikan suatu kondisi pada jangka pendek maupun

jangka panjang (Khotimah 2013).

Terdapat variabel ECT (error correction term) dalam ECM. Koefisien regresi variabel

ECT merupakan koefisien penyesuaian (coefficient of adjustment) yang juga sekaligus

menunjukkan kecepatan penyesuaian (speed of adjustment) antara nilai aktual dengan nilai

diinginkan yang akan dieliminasi dalam satu periode (Yuliadi 2007). Menurut Engle dan

Granger (1987), jika diantara sejumlah peubah terdapat kointegrasi, maka diperoleh kondisi

yang disebut error correction representation yang mengindikasikan bahwa perubahan yang

terjadi terhadap peubah bebas (dependent variable) tidak hanya dipengaruhi oleh peubah-

Page 32: LAPORAN AKHIR ANALISIS EVALUASI IMPLEMENTASI ...

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan, 2019 16

Shortage

Qb Qa

HET

(Ceiling Price)

Kuantitas

keseimbangan

Kuantitas

Harg

a

Harga

Keseimbangan

peubah tidak bebas (explanatory variables), tetapi juga dipengaruhi oleh ketidakseimbangan

dari hubungan kointegrasi. Ketidakseimbangan dari hubungan kointegrasi ini ditunjukkan

oleh nilai error correction term.

Dalam ECM, ketidakseimbangan jangka pendek yang diwakili oleh error correction

term, yang merupakan bentuk lag dari nilai residual pada regresi awal. Regresi awal adalah

regresi dengan menggunakan data yang tidak stasioner, dimana nilai galat ini sudah

stasioner seperti yang sudah disyaratkan oleh metode Engle dan Granger (1987). Dengan

demikian ECM akan memperoleh peubah bebas yang memberikan pengaruh jangka

panjang dan jangka pendek. Karakteristik model ECM yang valid manakala memenuhi

ketentuan bahwa nilai koefisien ECT (ω) terletak dalam range 0 < ω < 1 dan secara statistik

harus signifikan (Yuliadi 2007).

2.4. Kerangka Pemikiran

Teori mengenai harga atap (ceiling price) menjadi teori dasar yang digunakan sebagai

basis dalam penelitian ini. Harga atap dapat disebut juga sebagai Harga Eceran Tertinggi

(HET). HET merupakan harga yang ditetapkan pemerintah dimana harga yang berlaku pada

umumnya di bawah harga pasar. Maksud HET adalah bahwa suatu barang tidak boleh dijual

dengan harga lebih tinggi daripada yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Kebijakan ini

bertujuan untuk melindungi konsumen. Kurva yang menjelaskan kebijakan HET dapat dilihat

pada Gambar 2.3.

Gambar 2.3. Kebijakan Harga Eceran Tertinggi (HET)

Harga keseimbangan merupakan harga yang berlaku di pasar. Oleh karena harga

yang berlaku dirasa terlalu tinggi, maka pemerintah menetapkan HET. Pada saat HET di

bawah harga pasar, maka permintaan (demand) akan lebih besar daripada penawaran

(supply). Hal tersebut akan mengakibatkan shortage (kekurangan) sebesar (Qb-Qa). Pada

Supply

Demand

Page 33: LAPORAN AKHIR ANALISIS EVALUASI IMPLEMENTASI ...

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan, 2019 17

saat ini, pemerintah dapat melakukan operasi pasar yaitu dengan mengeluarkan cadangan

pangan yang sudah dibeli saat panen raya.

Sedangkan dalam literatur ekonomi pasar, penerapan harga acuan merupakan

bagian dari pengontrolan harga oleh Pemerintah (price control) yang merupakan bentuk

intervensi Pemerintah terhadap pasar. Pelaksanaannya dapat berupa harga tertinggi (price

ceiling) atau harga terendah (price floor). Maksud di balik penerapan kontrol harga tersebut

dapat berasal dari keinginan untuk mempertahankan keterjangkauan barang, untuk

menghambat inflasi, atau untuk memastikan pendapatan minimum untuk penyedia/pemasok

barang-barang tertentu, atau upah minimum.

Para ekonom-pasar umumnya berpendapat bahwa pengontrolan harga seharusnya

dihindari, karena dapat mengarahkan ekonomi pada distorsi alokasi sumberdaya, yang

membuat pasar berada dalam kondisi kelebihan permintaan dan potensi kenaikan harga.

Beberapa literatur menyebutkan dampak penetapan harga dapat mengarahkan pasar pada

kegagalan pasar, kegagalan usaha, hambatan pembentukan stok nasional, atau bahkan

krisis ekonomi.

Gambar 2.4. Binding dan Non-Binding Price Ceiling

Sumber: https://en.wikipedia.org/wiki/Price_ceiling

Tingkat harga tertinggi pada pelaksanaannya dapat berada diatas harga

keseimbangan pasar bebas (non-binding price ceiling) atau dibawah harga keseimbangan

pasar bebas (binding price ceiling). Dalam kondisi Binding produsen akan termotivasi

menurunkan jumlah yang dipasok, sehingga membuat pasar dalam kondisi kelebihan

permintaan (excess demand) dibandingkan saat keseimbangan pasar bebas. Sedangkan

dalam kondisi Non-Binding, meskipun tidak mempengaruhi keseimbangan dalam jangka

pendek, namun surplus produsen yang terbentuk akan memotivasi ruang kenaikan harga

Page 34: LAPORAN AKHIR ANALISIS EVALUASI IMPLEMENTASI ...

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan, 2019 18

dalam jangka panjang. Hal-hal ini yang membuat penetapan harga acuan menjadi tidak

populer di kalangan ekonom pasar.

Sedikit berbeda dengan harga acuan yang digunakan sebagai harga eceran tertinggi

(HET), maka semangat Harga Acuan seperti yang dicantumkan dalam Permendag 96/2018

adalah batas harga yang menjadi “sinyal” bagi Pemerintah untuk mulai melakukan intervensi

pasar untuk membawa harga kembali pada acuannya (jika harga suatu komoditas

mulai/telah bergerak melampaui batas harga acuan tersebut). Harga acuan ini seharusnya

tidak mengikat kepada pedagang atau produsen, melainkan kepada institusi/lembaga yang

bertugas menjaga stabilisasi harga komoditas tersebut. Dengan demikian, Harga Acuan

yang dimaksud dalam Permendag 96/2018 tidak dapat disebut sebagai Harga Eceran

Tertinggi atau Price Ceiling seperti dalam pemahaman ekonomi pasar. Namun demikian,

harga yang telah ditetapkan menjadi acuan Pemerintah dalam mengendalikan harga

komoditas tersebut di pasar. Pada kebijakan harga yang saat ini diberlakukan, kerangka

operasional dalam analisis ini berawal dari adanya fakta bahwa terdapat kenaikan harga

komoditas pangan di tingkat eceran melebihi HET/harga acuan yang telah ditentukan.

Dengan demikian, dapat disusun kerangka operasional dalam penelitian ini sebagaimana

terlihat pada Gambar 2.5.

Gambar 2.5. Kerangka Operasional Penelitian

Implementasi kebijakan harga

Usulan penerapan kebijakan harga yang efektif

Analisis efektivitas penerapan kebijakan harga

terhadap stabilisasi harga

Identifikasi permasalahan dalam penerapan

kebijakan harga

Apakah kebijakan harga efektif dalam menstabilkan harga bapok?

Fakta:

- Harga berbagai bapok masih diatas HET/harga acuannya

- Terkadang terjadi kelangkaan pasokan yang mengakibatkan

harga menjadi tidak terkendali

Page 35: LAPORAN AKHIR ANALISIS EVALUASI IMPLEMENTASI ...

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan, 2019 19

BAB III

METODOLOGI

3.1. Jenis dan Sumber Data

3.1.1. Jenis dan sumber data analisis HET

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data

sekunder. Data primer meliputi data dan informasi terkait dengan permasalahan dan

faktor-faktor yang dihadapai dalam pelaksanaan kebijakan HET beras. Berikutnya,

mengenai data sekunder meliputi data produksi, konsumsi, harga GKP dan GKG di

tingkat petani dan penggilingan; stok beras, harga beras di tingkat penggilingan, harga

beras di tingkat konsumen. Data sekunder tersebut dengan menggunakan data time

series periode bulanan waktu mulai dari tahun 2015-2018.

Sumber data primer diperoleh melalui diskusi kelompok terpumpun (Focus

Group Discussion/FGD) dan survey lapangan pada sentra produksi dan konsumsi

beras yang dianggap dalam pelaksanaan kebijakan HET sebagai lokasi yang volatile

datanya sangat signifikan. Metode penentuan lokasi survey tersebut dipilih melalui

purposive sampling, dengan lokasi atau wilayah survey terpilih yaitu Kepulauan Riau

dan Jawa Barat. Adapun sumber data sekunder tersebut diperoleh dari BPS,

Kementerian Perdagangan, Kementerian Pertanian, Perpadi, Bulog, PIBC serta

literatur lainnya yang relevan.

3.1.2. Jenis dan sumber data analisis Harga Acuan

Data yang dibutuhkan adalah data primer dan data sekunder. Data sekunder

berasal dari hasil pemantauan harga bahan pokok yang dilakukan oleh petugas di

daerah, serta yang dipublikasikan.

Tabel 3.1. Kebutuhan Data Sekunder Harga

No Data Frekuensi data Sumber Komoditas

Harga pasar Bulanan Pusat Informasi

Harga Pangan

Strategis

(PIHPS)

Gula

Minyak goreng curah

Daging sapi

Daging ayam ras

Telur ayam ras

Untuk pengolahan data akan digunakan metode statistik deskriptif. Statistik

deskriptif digunakan untuk menggambarkan data dalam bentuk informasi yang lebih

mudah dipahami. Secara umum, statistik deskriptif yang digunakan adalah (1)

Page 36: LAPORAN AKHIR ANALISIS EVALUASI IMPLEMENTASI ...

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan, 2019 20

menghitung frekuensi kejadian penyimpangan harga pasar terhadap harga acuan

pada komoditas pangan tertentu di kota-kota terpilih, dan (2) pembuatan grafik-grafik.

3.2. Metode dan Teknik Pengumpulan Data

3.2.1. Metode Analisis Data HET

Metode pengumpulan data jenis data primer dilakukan dengan sampling.

Responden untuk mendapatkan data primer dipilih dengan metode purposive

sampling dan snowball sampling terutama kepada pelaku pasar yaitu penjual maupun

konsumen. Jumlah responden ditentukan dengan kebutuhan, yaitu dengan

menggunakan formula slovin.

Teknik pengumpulan jenis data primer dalam kajian ini dilakukan dengan

survey, wawancara dan observasi kepada para pelaku dan sasaran dari kebijakan

HET ini di lokasi kegiatan. Seperti kepada pedagang besar (supermarket), pedagang

pengumpul, pedagang retailer langsung end-user, petani, dan konsumen. Adapun

untuk jenis data sekunder dikumpulkan melalui survey instansi dan diskusi kelompok

terpumpun (FGD) langsung kepada sasaran yaitu dari instansi pemerintah daerah dan

stakeholders terkait dengan implementasi dari kebijakan HET di lokus kajian.

Metode analisis data yang digunakan untuk menjawab permasalahan dan

mencapai tujuan kajian ini adalah dengan analisis kualitatif dan kuantitatif. Analisis

kualitatif dilakukan dengan menggunakan analisis deskriptif. Analisis tersebut

melakukan tabulasi dan grafik silang dari hasil survey dan pemetaan terkait dengan

identifikasi permasalahan yang dihadapi dalam pelaksanaan kebijakan HET pada

komoditi beras selama ini.

Selanjutnya, metode untuk menganalisis efektifitas kebijakan HET terhadap

stabilitas harga digunakan dengan dua pendekatan yaitu pendekatan kualitiatif dan

kuantitatif, (i) pendekatan kualitatifnya dengan menggunakan pendekatan RIA

(Regulatory Impact Assesment). Regulatory Impact Assessment (RIA) merupakan

salah satu alat yang dapat digunakan untuk mengevaluasi kebijakan regulasi secara

efektif dan efisien. (ii) Berikutnya, pendekatan kuantitatif dalam menganalisis efekifitas

kebijakan HET terhadap stabilisasi harga menggunakan Vector Error Correction Model

(VECM). Metode VECM tersebut digunakan untuk mengukur efektivitas kebijakan HET

terhadap stabilitas harga dengan menggunakan jenis data sekunder.

Menurut McKay (1998) serta Angelo dan Zapata (2000) dalam model ECM

ketidakseimbangan jangka pendek diwakili oleh error correction term (ECT), yang

merupakan bentuk lag dari nilai residual pada regresi awal. Regresi awal merupakan

regresi dengan menggunakan data yang tidak statsioner, dimana nilai galat ini sudah

Page 37: LAPORAN AKHIR ANALISIS EVALUASI IMPLEMENTASI ...

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan, 2019 21

statsioner. Dengan demikian, model error correction akan memperoleh perubah

bebas yang memberikan pengaruh jangka panjang dan jangka pendek. Persamaan

model yang digunakan untuk menganalisis dampak kebijakan HET terhadap harga

beras di tingkat eceran. Dalam penelitian ini menggunakan metode kointegrasi yaitu

metode koreksi kesalahan (Error Correction Model / ECM) yang pertama kali

diperkenalkan oleh Engel dan Granger pada tahun 1987. Secara matematik dapat

dijabarkan dengan persamaan berikut:

... (1)

Dimana:

HBEDt : Harga Beras Eceran Domestic pada periode ke t

HBMPGt : Harga Beras Medium di Tingkat Penggilingan pada periode ke t

STOKt : Stok Beras Bulog pada periode ke t

KURSt : Nilai tukar Rp terhadap $US pada periode ke t

PRODt : Jumlah produksi beras (kg) pada periode ke t

KONSt : Jumlah konsumsi beras (kg) pada periode ke t

HET : Dummy Kebijakan HET

ϵt : galat (Error Terrm)

Dalam pemodelan, harga eceran beras domestik sampai dengan September

2019 merupakan harapan harga eceran yang diwakili oleh harga eceran sebelumnya,

kemudian setelah September 2017 harga eceran yang diharapkan mengacu pada

HET beras medium (asumsinya banyak yang dikonsumsi oleh masyarakat).

Selanjutnya harga impor merupakan perhitungan antara harga landed price (harga

internasional) yang dikalikan dengan nilai tukar (kurs). Sehingga dalam persamaan,

harga internasional dan kurs tidak secara langsung menjadi variabel eksogen.

Selanjutnya dalam pengolahan data, variabel HPP beras maupun HPP gabah di

tingkat petani tidak dimasukkan karena selama periode analisis HPP nilainya konstan.

Sebagai mana yang telah dijelaskan oleh McKay (1998) serta Angelo dan

Zapata (2000) Selanjutnya dalam model ECM, ketidakseimbangan jangka pendek

diwakili oleh error correction term yang merupakan bentuk lag dari nilai residual pada

regresi awal. ECM memanfaatkan residual/error dari hubungan jangka panjang untuk

menyeimbangkan hubungan jangka pendeknya. Oleh karena itu, persamaan dengan

variabel error term sebagai exogenous dinamakan error correction.

Page 38: LAPORAN AKHIR ANALISIS EVALUASI IMPLEMENTASI ...

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan, 2019 22

Persamaan ECM dengan data statsioner untuk menganalisis dampak kebijakan

HET terhadap harga beras di tingkat konsumen/eceran sebagai berikut:

... (2)

dimana:

ɛt-1 : residual error term yang berperan sebagai exogenus variabel error

correction term

Δd : semua variabel statsioner pada level 1

3.2.2. Metode Analisis Data Harga Acuan

Metode untuk menganalisis harga acuan dilakukan dengan statistik deskriptif

terhadap perkembangan harga komoditas pangan dalam periode tertentu dan

dibandingkan dengan harga acuannya. Adapun pendekatannya dapat dirangkum

sebagai berikut:

Tabel 3.2. Metode Analisis Penerapan Kebijakan Harga Acuan

No Sub-Tujuan Pendekatan Kebutuhan Data Keluaran

1. Mengidentifikasikan

saat dimana harga

acuan terlewati

secara signifikan

Analisis fluktuasi

harga komoditas

sesuai Permendag

96/2018 dan

perbandingan

dengan harga

acuan

Data sekunder:

Data harga

bulanan masing-

masing

komoditas, mulai

sebelum

penerapan hingga

saat ini

Data harga acuan

sesuai komoditas

pengamatan

Daftar barang

pokok dengan

harga pasar

diluar harga

acuan setelah

penerapan

harga acuan

Efektivitas

harga acuan

2. Menyusun

rekomendasi untuk

meningkatkan

efektivitas

penerapan harga

acuan.

Diskusi hasil

analisis kebijakan

harga

rekomendasi

untuk

meningkatkan

efektivitas

penerapan

Permendag

96/2018.

Page 39: LAPORAN AKHIR ANALISIS EVALUASI IMPLEMENTASI ...

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan, 2019 23

Metode analisis digunakan statistik deskriptif, yaitu menggambarkan

fenomena pergerakan harga komoditas yang diamati, dan mengidentifikasikan

kemungkinan pengaruh penetapan Permendag 96/2018 terhadap pergerakan harga

tersebut. Pengaruh ini dapat diamati melalui frekuensi terjadinya harga pasar

melampaui harga acuannya dalam periode pengamatan. Adapun parameter

pengamatan dapat ditentukan sebagai berikut:

1. Terdapat 5 komoditas pangan pokok yang diamati pergerakan harganya, yaitu: gula

pasir, minyak goreng curah, daging ayam ras, telur ayam ras, dan daging sapi

segar.

2. Periode pengamatan ditentukan selama 3 tahun, yaitu 2017-2019. Periode ini

diambil untuk melihat perkembangan harga sebelum dan sesudah implementasi

kebijakan. Penulis juga mencatat bahwa kebijakan harga acuan sebenarnya telah

diterapkan sejak tahun 2016. Namun, untuk memfokuskan pengamatan, maka

diambil kebijakan terakhir, yaitu Permendag 96/2018. Selama periode tersebut,

perkembangan harga pada komoditas terpilih diamati secara bulanan. Untuk tahun

berjalan, yaitu tahun 2019 data yang diambil yaitu hingga bulan September.

3. Wilayah pengamatan juga dibatasi, yaitu pada 10 Ibukota provinsi yang mewakili

bagian barat Indonesia, bagian tengah, dan bagian timur. Ke sepuluh kota tersebut

yaitu Medan, Lampung, Jakarta, Bandung, Palangkaraya, Samarinda, Makassar,

Ambon, Jayapura, dan Manokwari.

4. Analisis pengaruh harga acuan dilakukan sebagai berikut:

a. Disajikan perkembangan harga bulanan untuk 5 komoditas pada 10 kota pada

tahun 2017-2019. Kemudian, setiap tahun pada setiap komoditas di hitung

frekuensi kejadian dimana harga pasar melampaui harga acuan, dengan

rentang frekuensi berdasarkan jumlah bulan dalam setahun, yaitu 0 paling kecil,

dan 12 paling tinggi dan dituliskan dalam prosentase.

Dengan demikian, semakin besar prosentasenya, maka semakin sering

kejadian harga pasar diatas harga acuan pada komoditas tersebut muncul. jika

muncul 0 persen, berarti harga pasar telah sesuai harga acuan, atau bahkan

dibawah harga acuan. Sebaliknya, jika didapati angka 100 persen, berarti

sepanjang tahun harga pasar berada di atas harga acuan.

b. Frekuensi tersebut kemudian ditabulasi untuk mendapatkan gambaran utuh

persentase kejadian harga 5 komoditas di 10 kota terpilih. Dari data tersebut,

ditentukan signifikansi frekuensi kejadian berdasarkan komoditas dan kota.

Penulis menetapkan jika dalam setahun terjadi sama dengan atau lebih dari

50% ( > 50%) kejadian harga pasar suatu komoditas diatas harga acuan, maka

Page 40: LAPORAN AKHIR ANALISIS EVALUASI IMPLEMENTASI ...

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan, 2019 24

dianggap signifikan. Jika dibawah 50% maka tidak dianggap signifikan atau

dianggap tidak melampaui.

c. Selanjutnya, dengan bertumpu pada sudut pandang komoditas, kembali

dihitung frekuensi komoditas yang paling sering harganya melampaui harga

acuan pada 10 kota dalam setahun. Kali ini yang menjadi rentang frekuensi

adalah jumlah kota, yaitu paling sedikit 0 (0%) dan paling banyak 10 (100%).

Dengan demikian, jika harga suatu komoditas pada 10 kota selama setahun

tidak ada yang melampaui harga acuan melebihi batas signifikansi (lihat poin b),

maka komoditas tersebut dianggap masih sesuai atau di bawah harga acuan

dan mendapat frekuensi 0. Dengan parameter yang sama, jika suatu komoditas

kedapatan selama setahun mendapat frekuensi harga pasar diatas harga acuan

seluruhnya melebihi batas signifikansi ( > 50%) di seluruh kota, maka komoditas

tersebut mendapat frekuensi 100% pada tahun yang bersangkutan.

d. Sebagai data tambahan, juga turut ditabulasi kota yang paling sering

mengalami kejadian harga diatas harga acuan. Rentang frekuensi yaitu jumlah

komoditas yang diamati, yaitu 5 komoditas. Semakin banyak komoditas yang

harga pasarnya diatas harga acuan dalam setahun, maka frekuensinya semakin

tinggi. Terhadap data ini, hasil analisis ternyata sangat bervariasi di setiap kota

karena kenaikan harga bersumber dari beberapa pangan pokok yang diamati.

Sebagai contoh, di kota Medan selama tahun 2017, minyak goreng tidak

melampaui harga acuan, akan tetapi daging sapi dan gula pasir melampaui

harga acuan di tahun tersebut. Dari sini dapat diketahui kota dengan frekuensi

harga komoditas yang paling banyak berfluktuatif, atau khususnya diatas harga

acuan.

Page 41: LAPORAN AKHIR ANALISIS EVALUASI IMPLEMENTASI ...

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan, 2019 25

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil analisis harga eceran tertinggi (HET)

4.1.1. Deskripsi perkembangan dan dinamika harga gabah dan beras

Sebelum masuk kepada pengaruh penetapan kebijakan HET terhadap harga

beras, kita perlu memahami sedikit karakteristik beras sebagai bahan pangan pokok

nasional. Beras merupakan bahan pangan pokok masyarakat yang sangat penting,

mengingat hampir semua masyarakat Indonesia mengkonsumsi beras. Berdasarkan

survey BPS pada tahun 2017, jenis kualitas beras yang paling banyak dikonsumsi

masyarakat yaitu beras medium (konsumsi hampir 80%) dan 20% konsumsi beras

premium. Selain dikonsumsi sebagai bahan pangan, beras juga digunakan untuk

bahan baku industri di dalam negeri. Dengan demikian, kebutuhan beras di

Indonesia tidak hanya untuk pangan pokok, tetapi juga sebagai bahan baku industri.

Karena konsumsinya yang sangat besar dan hampir 70% pengeluaran masyarakat

untuk membeli beras maka stabilitas harga sangat penting dalam rangka ketahanan

pangan.

Ket: HPP Gabah di Tingkat Petani Mengacu Pada Inpres No 5 Tahun 2015

Sumber: BPS, diolah

Gambar 4.1. Perkembangan Harga Gabah Kering Panen (GKP) di Petani, Gabah

Kering Giling (GKG) di Penggilingan dan HPP Gabah di Petani, 2016-2019

(September)

Page 42: LAPORAN AKHIR ANALISIS EVALUASI IMPLEMENTASI ...

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan, 2019 26

Sebagai salah satu produk pertanian, beras memiliki pola produksi yang

sifatnya musiman dan faktor cuaca menjadi salah satu faktor utama yang paling

menentukan waktu tanam dan panen serta hasil panen itu sendiri. Oleh karenanya,

produksi padi juga bersifat fluktuatif di sepanjang tahun. Hal ini yang menyebabkan

harga beras juga relatif berfluktuasi di sepanjang tahun setiap tahunnya akibat harga

gabah yang juga bervariasi di setiap musimnya. Di Indonesia setidaknya terdapat 3

periode musim tanam, yaitu:

1. Musim tanam utama, yaitu pada bulan November-Maret, dengan musim panen

raya pada bulan Februari-Juni;

2. Musim tanam gadu, yaitu pada bulan April-Juli, dengan musim panen gadu pada

bulan Juli-Oktober; dan

3. Musima tanam kemarau/paceklik, yaitu pada Agustus-Oktober, dengan musim

panen kecil di bulan November-Januari.

Dengan catatan cuaca normal (musim hujan/kemarau datang sesuai

siklusnya), beras tersedia dalam jumlah terbanyak pada satu bulan setelah periode

panen raya, atau pada bulan Maret sampai dengan Juli. Stok beras maksimal akan

tercapai pada bulan Agustus, dimana seluruh proses panen mulai dari penjemuran

hingga distribusi telah selesai dilakukan. Persediaan beras pada periode ini biasanya

akan terpakai pada periode panen kecil/paceklik. Dengan persediaan yang

melimpah, harga beras pada periode panen raya biasanya akan lebih rendah

dibandingkan periode lainnya.

Periode panen yang kedua yaitu disebut panen gadu. Panen di periode ini

biasa menghasilkan beras dengan mutu bagus, namun tidak sebanyak pada musim

panen raya. Karena pasokan yang cenderung tidak melimpah namun masih dapat

memenuhi kebutuhan, maka tingkat harga yang terbentuk biasanya masih wajar.

Periode panen terakhir dalam satu tahun disebut panen kecil. Panen pada

periode ini didapat dari hasil penanaman musim kemarau, yang hanya bisa dilakukan

pada lahan beririgasi dan banyak diselingi oleh palawija sehingga luasannya

terbatas. Panen di periode ini pasokan sudah menipis dan biasanya harga beras

berfluktuasi di musim ini. Pada daerah yang dilanda kemarau, bahkan sudah tidak

ada panen, atau disebut paceklik.

Gambar 4.1. menunjukkan bahwa harga gabah selama periode tahun 2016-

2019 berfluktuasi sesuai periode musimannya, yaitu musim panen raya, gadu, dan

paceklik. Sejak tahun 2015 HPP gabah mengalami perubahan menjadi Rp 3.700/kg

dan beras menjadi Rp.7.300/kg sesuai dengan Inpres No 5 tahun 2015. Kebijakan

harga dasar gabah atau lebih dikenal sebagai HPP (Harga Pembelian Pemerintah)

Page 43: LAPORAN AKHIR ANALISIS EVALUASI IMPLEMENTASI ...

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan, 2019 27

adalah harga pembelian oleh pemerintah di tingkat produsen untuk jenis pangan

yang menjadi cadangan pangan pemerintah termasuk cadangan beras pemerintah

dan keperluan untuk golongan tertentu menurut Peraturan Presiden RI Nomor 48

Tahun 2016. Namun demikian, penetapan HPP sebagai harga acuan dalam

pembelian gabah di tingkat petani justru dianggap telah meningkatkan harga gabah.

Dalam implementasi kebijakan harga pembelian pemerintah (HPP), terdapat

berbagai kendala di beberapa tempat di Indonesia. Menurut Sembiring et al. (2010),

beberapa kendala yang dihadapi antara lain : (1) pembelian gabah petani tidak

dilakukan oleh Perum Bulog/badan pemerintah/badan usaha di bidang pangan tetapi

oleh agen/pedagang, (2) secara umum proses penjualan gabah di antara petani

dengan pedagang berdasarkan pengalaman agen, tidak mengikuti persyaratan

kualitas kadar air maksimum dan kadar hampa/kotoran, (3) petani tetap dalam posisi

tawar yang lemah, dalam penentuan harga gabah, karena adanya informasi yang

tidak simetris diantara petani dengan agen/pedagang, (4) kendala infrastruktur

seperti ketersediaan alat pengukur kadar air gabah, kerusakan jalan, jembatan yang

rusak, merupakan alat pembenaran harga oleh pedagang, dan pada akhirnya petani

menerima saja harga yang ditentukan oleh pedagang.

Gambar 4.1. juga menunjukkan bahwa pasca penerapan kebijakan HET

harga gabah kering panen maupun harga gabah kering giling tetap mengalami

peningkatan terutama selama bulan Desember 2017 hingga Februari 2018 dan

mendorong harga beras juga terus naik. Selama periode sebelum penerapan

kebijakan HET (Januari-September 2017) harga gabah kering panen (GKP) berkisar

antara Rp 4.300/kg – Rp 4.750/kg dan setelah periode penerapan HET beras harga

gabah berkisar antara Rp 4.500/kg – Rp 5.400/kg. Sementara harga gabah kering

giling (GKG) berkisar antara Rp 5.200/kg – Rp 5.500/kg (sebelum periode kebijakan

HET) dan harga GKG berkisar antara Rp 5300/kg – Rp 6.000/kg (setelah periode

kebijakan HET). Trend kenaikan harga gabah ini telah mendorong harga beras di

tngkat konsumen yang juga cenderung naik.

Secara historis tren perkembangan harga beras di tingkat eceran terus

meningkat dari waktu ke waktu mengikuti harga gabah yang juga terus meningkat.

Gambar 4.2. menunjukkan bahwa selama periode tahun 2014-2018 harga beras

terus meningkat dengan kenaikan per tahun rata-rata sekitar 0,38%. Kenaikan harga

beras sangat berpengaruh terhadap tingkat inflasi dan kemiskinan, sehingga

pemerintah sangat berkepentingan untuk menjaga harga beras. Di sisi lain, terdapat

trend perkembangan kelas masyarakat menengah yang mulai memilih kualitas beras

yang dikonsumsinya. Sejak akhir tahun 2014, harga beras di tingkat eceran terus

Page 44: LAPORAN AKHIR ANALISIS EVALUASI IMPLEMENTASI ...

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan, 2019 28

meningkat. Ada beberapa faktor yang menyebabkan harga naik diantaranya yaitu

pergantian pemerintahan pada tahun 2014. Banyak pihak mengkritisi pemerintahan

yang baru terlambat melakukan pembagian raskin. Padahal, sebenarnya pemerintah

sebelumnya telah memajukan pembagian raskin di akhir masa jabatannya sehingga

stok bulog berkurang dan pemerintahan yang baru tidak dapat lagi melakukan

operasi pasar. Kondisi ini tergambar dari perkembangan harga beras umum di

tingkat eceran sejak akhir tahun 2016 yang terus naik walaupun tidak ada perubahan

HPP (Gambar 4.2.).

Ket: HPP beras mengacu pada Inpres No 5 Tahun 2015 dan fleksibilitas 10%

Sumber: BPS, diolah

Gambar 4.2. Perkembangan Harga beras Umum di Tingkat Eceran, 2016-2019

(September)

Kenaikan harga gabah dan beras selama periode akhir tahun 2017 hingga

2019 (September) juga tidak terlepas dari dampak implementasi kebijakan HET

beras serta penetapan harga acuan gabah/beras sebagaimana yang tercantum pada

Inpres No 5 Tahun 2015 beserta fleksibilitasnya. Berbagai studi sebelumnya

menunjukkan bahwa faktor-faktor yang membentuk atau menentukan harga beras di

dalam negeri, terutama adalah (i) produksi, (ii) konsumsi, (iii) stok, (iv) musim, (v)

harga beras di tingkat pedagang grosir, (vi) HPP gabah/HPP beras, (vii) kebijakan

impor serta (vii) harga beras pada periode sebelumnya. Data selama periode 2016-

2019, harga pembelian pemerintah untuk gabah sebesar Rp 3.700/kg dan beras

Page 45: LAPORAN AKHIR ANALISIS EVALUASI IMPLEMENTASI ...

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan, 2019 29

sebesar Rp 7.300/kg yang mengacu pada Inpres No 5 tahun 2015. Untuk

mempermudah penyerapan gabah dan beras oleh Bulog, pada bulan April 2018

pemerintah kemudian menerapkan fleksibilitas 10%, sehingga HPP beras menjadi

Rp.8.030/kg. Selama periode tersebut, harga beras menunjukkan tren kenaikan

sebesar 3,02%, bahkan pasca penerapan HET terjadi kenaikan harga sekitar 5,6%

dibandingkan periode sebelum kebijakan HET. Artinya, penetapan harga dasar

(HPP) seharusnya mempunyai peran terhadap kenaikan harga. Namun demikian,

saat ini HPP gabah/HPP beras masih dinilai tidak berperan signifikan.

Kenaikan harga beras juga disebabkan oleh kenaikan harga gabah akibat

pasokan dari daerah penghasil utama beras di Jawa Barat menurun, antara lain

Karawang, Subang dan Indramayu di Jawa Barat. Kondisi ini kemudian berlanjut

pada kenaikan harga gabah di beberapa wilayah sentra produksi, seperti Sulawesi,

Sumatera, dan Jawa Tengah. Harga gabah rata-rata mencapai kisaran Rp 5.000/kg

– Rp 5.500/kg. Berkurangnya pasokan gabah selama bulan Desember 2017 hingga

Februari 2018 dikarenakan wabah hama penyakit, misalnya wereng batang coklat

yang menyerang persawahan terutama di wilayah Jawa Barat sehingga produksi

gabah menurun dan akhirnya turut mengganggu pasokan ke wilayah-wilayah

lainnya. Kondisi ini secara langsung mempengaruhi terhadap kondisi pasokan

gabah di wilayah sentra produksi lainnya dan berdampak pada kenaikan harga

gabah di akhir tahun 2017, sekaligus membuat stok nasional berkurang pada awal

tahun 2018. Menurut hasil monitoring di 84 Kabupaten/Kota kisaran harga gabah

kering panen (GKP) mencapai kisaran Rp 5.200/kg – Rp 6.000/kg. Jika dikonversi ke

gabah kering giling (GKG) harga bisa mencapai Rp 7.000/kg atau naik sekitar 25%.

Kenaikan harga di hulu ini yang menyebabkan harga beras jenis medium naik hingga

mencapai Rp 11.000/kg di tingkat pasar grosir PIBC. Adapun pada tahun 2019,

harga GKP tertinggi ada di Sumatera Barat, sedangkan yang terendah di Bali.

Page 46: LAPORAN AKHIR ANALISIS EVALUASI IMPLEMENTASI ...

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan, 2019 30

Gambar 4.3. Rata-rata harga GKP di tingkat petani di berbagai daerah di

Indonesia, tahun 2019 (s.d September 2019)

4.1.2. Keragaman implementasi kebijakan HET beras: Kasus di daerah survei

Kebijakan harga eceran tertinggi (HET) beras ditetapkan berdasarkan

kualitas beras medium dan premium dengan target harga yang ditetapkan berbeda

berdasarkan wilayah. Survei pada kegiatan analisis implementasi kebijakan HET

dilakukan di dua wilayah sebagai sampel awal yaitu Kepulauan Riau dan Jawa

Barat. Kepulauan Riau merupakan salah satu wilayah yang merupakan sentra

konsumsi di kawasan barat Indonesia dan Jawa Barat merupakan wilayah sentra

produksi padi terbesar di Pulau Jawa, khususnya di Karawang, dan sentra

konsumsinya ada di wilayah perkotaan seperti Bandung.

1. Tingkat Petani

Luas lahan sawah di Karawang semakin hari semakin menurun. Namun,

produksi gabah kering per hektar yang dipanen petani semakin produktif seperti yang

dirasakan petani padi Karawang saat ini. Di Karawang, panen padi atau gabah

hanya 2 kali dalam setahun pada umumnya. Hal tersebut dikarenakan pasokan air

yang tidak cukup jika dilakukan 3 kali dalam setahun. Produktivitas petani setempat

saat ini meningkat karena perlakuan-perlakuan yang mereka terapkan berbeda bila

dibandingkan dengan perlakuan yang dilakukan dulu. Salah satunya, petani

menggunakan pupuk kimia dan pestisida untuk sawahnya dengan dosis yang lebih

banyak dibandingkan dulu karena meningkatnya kekuatiran gagal panen akibat

hama. Produksi gabah kering per hektar di tingkat petani Kabupaten Karawang

sebanyak 5 ton pada umumnya. Pada Desember 2017 hingga Januari 2018,

Page 47: LAPORAN AKHIR ANALISIS EVALUASI IMPLEMENTASI ...

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan, 2019 31

produksi gabah nasional turun karena adanya serangan hama wereng yang cukup

intens. Akibatnya, harga beras menjadi sangat tinggi, bahkan di atas HET.

Dari sisi biaya produksi, biaya produksi gabah kering yang dilakukan oleh petani

semakin hari semakin naik. Saat ini, kisaran biaya produksi petani berada di kisaran

Rp. 9 juta hingga Rp. 10 juta. Petani juga khawatir akan rencana penetapan

peraturan pemerintah tahun depan untuk mengurangi jumlah pupuk bersubsidi untuk

petani. Jika jadi diberlakukan tahun depan, petani akan mendapatkan pasokan

pupuk bersubsidi lebih sedikit dari saat ini sehingga akan meningkatkan biaya

produksi.

Dari biaya produksi yang semakin tinggi, maka harga gabah kering petani juga

cenderung semakin tinggi. Saat ini, harga gabah yang mereka terima sedang bagus,

yaitu Rp. 5.000 per kg. Dilihat dari kecenderungan atau pergerakan harga gabah dari

dulu hingga sekarang, harga gabah akan cenderung naik. Jika harga beras di pasar

sedang naik, maka harga gabah juga naik. Akan tetapi, jika harga beras di pasar

turun, maka harga gabah sulit untuk turun. Petani saat ini sudah memiliki posisi

tawar yang lebih baik dibandingkan petani yang dulu. Dengan demikian, sebenarnya

kebijakan pemerintah mengenai HET tidak terlalu berpengaruh terhadap harga jual

gabah pada petani karena mereka akan tetap menjual sesuai biaya produksi yang

dikeluarkan, terlepas dari naik turunnya harga beras di pasar.

Masalah-masalah yang dihadapi para petani yaitu adanya “calo” yang meminta

uang secara cuma-cuma setiap mereka panen. Calo ini tidak melakukan kegiatan

apa-apa, jadi hanya meminta uang saja kepada para petani. Jika petani tidak

memberikan, calo tersebut akan berbuat hal-hal yang tidak diinginkan yang bahkan

dapat mengganggu produksi petani selanjutnya.

2. Tingkat Penggilingan

Penggilingan di Kabupaten Karawang ada yang berskala kecil maupun besar.

Hal yang membedakannya hanya kapasitas mesin penggilingan yang digunakan

oleh setiap penggilingan. Penggilingan membeli gabah petani langsung di sawah

petani sehingga penggilingan menanggung biaya transportasi yang lebih besar. Total

biaya yang dikeluarkan penggilingan pada umumnya sekitar Rp. 5.500 per kg beras.

Tingkat rendemen gabah menjadi beras masih rendah pada umumnya di Karawang.

Di Kabupaten Karawang, terdapat perusahaan penggilingan skala besar, yaitu PT.

JST (Jatisari Sri Rejeki). Perusahaan ini saat ini hanya memproduksi beras premium

untuk Bulog.

Page 48: LAPORAN AKHIR ANALISIS EVALUASI IMPLEMENTASI ...

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan, 2019 32

Pada umumnya, penggilingan menggiling beras dengan kualitas di atas kualitas

medium, tetapi di bawah premium. Hal tersebut dilakukan agar penggilingan

mendapatkan harga lebih tinggi namun masih terjangkau oleh masyarakat. Selain itu,

pergeseran selera masyarakat untuk mengkonsumsi beras dengan kualitas lebih

baik juga berpean terhadap peningkatan produksi beras dengan kualitas menengah

tersebut. Akan tetapi, rata-rata penggilingan tidak mau memproduksi beras premium

karena takut bersaing dengan penggilingan-penggilingan lainnya sehingga beras

mereka tidak laku dijual kepada pedagang dan akhirnya rugi. Hal tersebutlah yang

membuat persentase keberadaan beras medium semakin sedikit. Beras dari

penggilingan dijual dalam kemasan 50 kg. Terdapat beberapa penggilingan yang

mencantumkan merek pada kemasan karungnya, beberapa tidak mencantumkan

merek. Beberapa juga ada yang mencantumkan jenis kualitas berasnya, beberapa

juga tidak. Namun, penggilingan pasti memberitahu informasi kualitas berasnya

kepada pedagang yang membeli beras mereka. Harga jual beras dari penggilingan

dapat ditentukan oleh pihak penggilingan itu sendiri atau pedagang. Biasanya harga

di tingkat penggilingan selalu mengikuti harga pasar.

Pada saat survey dilaksanakan, harga jual beras kualitas menengah di tingkat

penggilingan berada pada range Rp. 9.200 - Rp.9.500 per kg. Pergerakan harga

beras di tingkat penggilingan berbeda dengan pergerakan harga gabah di tingkat

petani. Pada saat harga beras di tingkat konsumen naik, harga beras di tingkat

penggilingan juga ikut naik. Sedangkan jika harga di tingkat konsumen turun, maka

harga beras di tingkat penggilingan juga ikut turun. Hal tersebutlah yang membuat

kesan bahwa penggilingan berada di posisi terjepit. Penggilingan membeli gabah

sebagai bahan bakunya dengan harga cenderung tinggi dan menjual beras sebagai

hasil produksinya dengan harga rendah jika harga di pasar sedang turun. Di tingkat

penggilingan, lagi-lagi penetapan HET tidak terlalu berpengaruh karena harga

sebagai hasil mekanisme pasarlah yang mempengaruhinya.

Masalah utama yang dihadapi penggilingan beras adalah besarnya ketakutan

akan peraturan pemerintah mengenai penyelundupan/penimbunan beras. Hal

tersebut akan merugikan pihak penggilingan. Pernah ditemukan kasus, ketika

pemerintah sedang melakukan sidak penimbunan beras, beberapa penggilingan di

Karawang langsung menjual beras yang ada di gudangnya ke pedagang dengan

harga rendah, bahkan rugi. Padahal, untuk menjaga kelangsungan produksi,

penggilingan membutuhkan pasokan gabah untuk digiling atau diproduksi setiap hari.

Oleh karena itu, mereka menyimpan sebagian gabah setiap hari di gudangnya. Jika

tidak melakukan hal tersebut, mesin penggilingan tidak akan bekerja setiap hari dan

Page 49: LAPORAN AKHIR ANALISIS EVALUASI IMPLEMENTASI ...

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan, 2019 33

buruh pun akan menganggur karena buruh penggilingan dibayar per hari. Selain itu,

di tingkat penggilingan juga terdapat “Calo Beras”. Sama seperti calo gabah, calo

beras ini hanya meminta uang kepada penggilingan secara cuma-cuma. Hal tersebut

membuat biaya produksi penggilingan semakin besar.

3. Tingkat pedagang

Pasar Johar merupakan pasar induk beras di Kabupaten Karawang tempat

bertemunya penjual dan pembeli beras, baik dari daerah setempat maupun luar kota.

Banyak pedagang eceran yang membeli beras dalam jumlah grosir di pasar ini.

Sebaliknya, para penggiling dari Kabupaten Karawang bahkan luar kota pun datang

kesini untuk menjual berasnya. Kisaran harga beras yang diperdagangkan di pasar

ini juga beragam, mengikuti kualitas dan jenisnya. Terdapat beras dengan kualitas

rendah, biasa/medium hingga premium. Jika kualitas beras premium, maka yang

tercantum di kemasan karung adalah premium. Namun, jika kulitas beras diluar

premium (bisa dibawah premium tetapi diatas premium hingga medium ke bawah),

yang tercantum di dalam kemasan adalah “mutu terjamin” pada umumnya. Para

pedagang tidak mencantumkan beras medium secara langsung. Namun, dalam hal

kualitas, pedagang memberitahu kepada konsumen atau pengecer beras mengenai

jenis kualitas yang dijualnya.

Pergerakan harga di pasar ini cenderung fluktuatif. Pergerakan harganya

mengikuti mekanisme pasar atau pergerakan supply dan demand beras di pasar.

Terdapat beras yang harganya di bawah HET dan terdapat juga beras yang

harganya di atas HET. Hal tersebut disebabkan oleh jika HET yang dirasa terlalu

rendah, para pedagang akan kesulitan dalam menjual berasnya bahkan ada yang

tidak menjual beras. Hal tersebut akan berdampak pada supply beras di pasar turun

sehingga harga pun naik. Pada dasarnya, di tingkat pedagang pun, mereka tidak

mengacu atau mematok harganya pada HET. Mereka hanya mengikuti harga yang

berlaku di pasar.

Selain itu, pada prakteknya di pasar, kualitas beras lebih didasarkan pada

persepsi dari pedagang dan konsumen itu sendiri. Banyak produsen/penggilingan

beras yang tidak/belum mencantumkan kualitas beras tersebut karena sebagian

telah dicampur/oplos dengan kualitas lainnya sehingga sulit ditentukan kualitasnya

berdasarkan Permendag 57/2017. Sebagai contoh, berdasarkan pengamatan

peneliti baik di pasar maupun pada FGD perberasan, rata-rata persepsi tentang

kualitas beras yang digunakan di pasar yaitu berdasarkan harga dan kemasan.

Semakin mahal harga beras tersebut, maka beras tersebut akan dianggap sebagai

Page 50: LAPORAN AKHIR ANALISIS EVALUASI IMPLEMENTASI ...

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan, 2019 34

beras premium atau bermutu tinggi. Demikian pula dengan kemasan, semakin bagus

dan mewah kemasan beras tersebut, dapat dikatakan beras tersebut berkualitas

premium. Persepsi yang berkembang ini tak lepas dari sulitnya menilai kualitas beras

di pasar yang dapat dilihat dari 3 syarat, yaitu derajat sosoh, kadar air, dan butir

patah/broken. Semua indikator tersebut memerlukan uji laboratorium yang tidak akan

mungkin dilakukan dalam proses jual beli di pasar tradisional maupun modern. Oleh

karena itu, jika pemerintah tetap berupaya untuk menerapkan HET beras, maka

perlu dicarikan solusi dalam meningkatkan efektivitas pengawasan implementasi

HET ke depan, khususnya dalam menentukan kualitas beras yang beredar di

pasaran agar lebih mudah diidentifikasi kualitasnya. Sebenarnya, Kementerian

Perdagangan telah mewajibkan setiap produsen untuk mencantumkan label jenis

kualitas baik melalui Permendag 57/2017 maupun Permendag 8/2019, namun

kebijakan label beras ini belum sepenuhnya ditaati oleh pelaku usaha distribusi beras

karena belum ada sanksi yang tegas dan jelas atas pelanggaran terhadap aturan

tersebut.

4.1.3. Perhitungan Struktur Biaya Produksi Beras

Banyak pelaku usaha yang kegiatan usahanya bergerak di perberasan. Hal

tersebut disebabkan oleh komoditas beras yang merupakan bahan pangan pokok

penduduk Indonesia sehingga usaha beras dinilai masih cukup menguntungkan.

Oleh karena itu, banyak pelaku usaha yang terlibat di perberasan dan membuat

saluran pemasaran komoditas beras cukup panjang. Berbeda daerah, maka saluran

pemasaran beras pun dapat berbeda. Di daerah yang sama juga belum tentu

memiliki saluran pemasaran beras yang seluruhnya sama. Saluran pemasaran beras

pada umumnya memiliki 3 pola saluran pemasaran, yaitu terdiri dari : 1) Petani –

Tengkulak – Penggilingan – Pedagang Besar – Pengecer – Konsumen Akhir; 2)

Petani – Penggilingan - Pedagang Besar – Pengecer – Konsumen Akhir; dan 3)

Petani – Pedagang Besar – Pengecer – Konsumen Akhir.

Sebagai contoh kasus di Jawa Barat (Karawang), Petani padi di Karawang

pada umumnya lebih banyak menjual gabahnya langsung ke penggilingan. Sudah

sangat sedikit keberadaan tengkulak yang ditemukan di Karawang. Istilah “calo”

sering ditemukan dalam usaha beras yang mereka lakukan. Calo ini tidak berperan

atau melakukan fungsi pemasaran apapun. Calo ini hanya meminta uang pungutan

secara cuma-cuma. Oleh karena itu, calo tidak dimasukkan sebagai anggota saluran

pemasaran di dalam saluran pemasaran beras.

Page 51: LAPORAN AKHIR ANALISIS EVALUASI IMPLEMENTASI ...

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan, 2019 35

Menurut Peraturan Menteri Perdagangan No. 57/2017, harga eceran tertinggi

(HET) merupakan harga jual tertinggi beras kemasan dan/atau curah di pasar rakyat,

toko moderen, dan tempat penjualan eceran lainnya. Pada dasarnya, HET

ditetapkan dengan mempertimbangkan struktur biaya yang wajar, yaitu biaya

produksi, biaya distribusi atau pemasaran, keuntungan, dan atau biaya lain yang

dikeluakan oleh seluruh anggota saluran pemasaran beras. Jika dilihat dari rincian

pembentukan struktur biaya tersebut, dari hasil temuan lapang, analisis, serta studi

lliteratur, rincian komponen struktur biaya seluruh anggota saluran pemasaran beras

di Indonesia pada umumnya dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 4.1. Rincian Struktur Biaya Seluruh Anggota Saluran Pemasaran Beras

Anggota Saluran

Pemasaran Jenis Biaya

Biaya untuk beras

medium (Rp/kg)

Biaya untuk beras

premium (Rp/kg)

Petani Biaya Produksi 1.700 1.700

Biaya Pemasaran - -

Profit 3.300 3.300

Harga Jual 5.000 5.000

Penggilingan Biaya Produksi 5.500 5.700

Biaya Pemasaran 500 500

Profit 3.000 3.300

Harga Jual 9.000 9.500

Pedagang Besar Biaya Produksi 9.500 10.000

Biaya Pemasaran 80 80

Profit 420 920

Harga Jual 10.000 11.000

Pengecer Biaya Produksi 10.500 11.500

Biaya Pemasaran 55 55

Profit 445 445

Harga Jual Akhir 11.000 12.000

Jika dilihat dari tabel 4.1. di atas, biaya produksi yang dikeluarkan petani

dalam budidaya padi sebesar Rp. 1.700/kg gabah kering panen (GKP). Biaya

produksi yang dikeluarkan petani untuk menghasilkan beras medium dan premium

tidak berbeda karena kedua jenis beras tersebut dihasilkan dari gabah kering yang

sama. Petani tidak mengeluarkan biaya pemasaran karena tidak ada fungsi

pemasaran yang dilakukan petani padi. Pada saat ini, harga jual yang ditetapkan

Page 52: LAPORAN AKHIR ANALISIS EVALUASI IMPLEMENTASI ...

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan, 2019 36

petani untuk GKP sebesar Rp. 5.000/kg. Profit yang diterima petani kurang lebih

Rp. 3.300/kg GKP. Di tingkat penggilingan, biaya produksi merupakan biaya

pembelian GKP petani dan biaya lainnya. Di tingkat ini, biaya produksi berbeda

antara biaya menghasilkan beras medium dan biaya yang menghasilkan beras

premium. Biaya produksi untuk beras premium sedikit lebih tinggi dibandingkan

beras medium. Hal tersebut dikarenakan pada saat proses penggilingan, lama

penggilingan untuk menghasilkan beras premium lebih lama sehingga biaya pun

menjadi sedikit lebih tinggi. Sedangkan biaya pemasaran yang dikeluarkan

penggilingan sebesar Rp. 500/kg beras. Biaya produksi yang dikeluarkan pedagang

besar juga merupakan biaya pembelian beras dari penggilingan dan biaya lainnya.

Biaya pemasaran yang dikeluarkan pedagang besar sebesar Rp. 80/kg. Biaya

tersebut cukup kecil karena pedagang besar hanya melakukan sedikit fungsi

pemasaran, yaitu fungsi pembelian, penjualan, dan penyimpanan. Pengangkutan

dan pengemasan dilakukan oleh pihak penggilingan serta pengecer. Pengecer

langsung datang ke pedagang besar untuk membeli beras, bukan pedagang besar

yang memasarkan berasnya. Di tingkat pengecer, biaya produksi yang dkeluarkan

sebesar harga jual beras oleh pedagang besar dan biaya lainnya. Biaya pemasaran

tidak berbeda jauh dengan pedagang besar, yaitu sebesar Rp. 55/kg.

Jika dilihat secara keseluruhan, profit untuk menjual beras premium lebih

besar daripada beras medium kecuali di tingkat petani dan pengecer. Hal tersebut

tentu berbeda karena kualitas kedua jenis beras tersebut pun berbeda. Dan dilihat

dari hasil harga jual akhir oleh pengecer kepada konsumen, harga jual untuk beras

medium sebesar Rp. 11.000/kg dan harga jual beras premium sebesar Rp.

12.000/kg. Hal tersebut tidak sesuai dengan HET yang ditetapkan pemerintah.

Pemerintah menetapkan HET untuk beras medium sebesar Rp 9.450/kg dan HET

untuk beras premium sebesar Rp 12.800/kg. Implementasi HET untuk beras

premium masih sesuai, yaitu harga ecer beras di bawah Rp. 12.800/kg. Sedangkan

implementasi HET untuk beras medium tidak sesuai. HET beras medium di atas Rp.

9.450/kg. Ketidaksesuaian tersebut dikarenakan biaya produksi yang tinggi dan

profit yang ditetapkan anggota saluran pemasaran beras cukup tinggi. Profit yang

cukup tinggi tersebut ditetapkan anggota saluran pemasaran beras didasarkan pada

perhitungan cashflow mereka dan untuk keberlangsungan usaha ke depannya.

Dirasakan para anggota saluran pemasaran beras bahwa HET yang ditetapkan

pemerintah masih rendah terutama beras medium. Oleh karena itu, para anggota

saluran ini banyak yang beralih untuk menjual beras dengan kualitas menghampiri

Page 53: LAPORAN AKHIR ANALISIS EVALUASI IMPLEMENTASI ...

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan, 2019 37

beras premium, namun bukan beras premium. Di kemasan beras hanya tertera

“good quality”.

Untuk HET beras premium masih berjalan baik, sedangkan untuk penetapan

HET beras medium harus diperbaiki. Pada dasarnya, tidak ada ketentuan atau

kebijakan khusus pemerintah saat ini yang menetapkan batas maksimal profit yang

ditetapkan pelaku usaha beras (profiteering). Sebaiknya harus dilakukan tinjauan

lebih dalam mengenai besaran profit yang dapat menunjang keberlangsungan

usaha anggota saluran pemasaran beras. HET beras premium masih dapat

diteruskan yaitu sebesar Rp. 12.800/kg, sedangkan untuk HET beras perlu

dilakukan penyesuaian kembali dengan mempertimbangkan biaya produksi,

pemasaran, dan juga dampaknya terhadap rasio pasokan beras medium dan

premium di pasar. Berdasarkan pengalaman sebelumnya, jika HET beras premium

dan medium terlalu jauh, maka akan mendorong penggilingan lebih banyak

memproduksi beras jenis premium. Dengan berkurangnya produksi beras medium

di penggilingan maka penyaluran beras medium di pasar juga akan berkurang dan

dampaknya menaikkan harga.

4.1.4. Isu-isu lain terkait implementasi kebijakan harga

1. Jawa Barat

Jawa Barat merupakan sentra produksi sekaligus sentra konsumsi untuk

barang pangan pokok. Ini berarti, ada komoditi bapok yang dihasilkan dan

dicukupi sendiri oleh Jawa Barat, namun ada juga beberapa bapok yang

harus didatangkan dari luar daerah. Disperindag menyatakan, setidaknya

terdapat beberapa komoditi bapok yang menjadi defisit dari Jawa Barat, yaitu

kedelai, cabai rawit, bawang merah, telur ayam ras, dan susu cair.

Berdasarkan pantauan harian Dinas Perindag Jawa Barat, harga bapok di

pasar pantauan rata-rata stabil, namun masih bertahan dengan harga tinggi,

termasuk di dalamnya adalah beras. harga beras berfluktuasi secara harian.

Hal ini terjadi karena pedagang mempertimbangkan kualitas beras yang

masuk pada hari itu. Sebagai contoh, jika pada hari itu beras yang masuk

dinilai baik kualitasnya, maka harganya akan dinaikkan lebih tinggi dari

sebelumnya. Sebaliknya, jika beras yang masuk kurang baik mutunya, maka

pedagang akan menurunkan harga jualnya. Dengan demikian, pedagang

kurang memperhatikan HET yang telah ditetapkan oleh Pemerintah.

Disperindag menemukan bahwa harga beras medium non Bulog rata-rata

dijual Rp.10.000-Rp.11.000/kg, atau mendekati HET beras premium di Jawa

Page 54: LAPORAN AKHIR ANALISIS EVALUASI IMPLEMENTASI ...

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan, 2019 38

Barat sebesar Rp.12.800/kg. Sedangkan beras premium dijual hingga

Rp.14.000/kg untuk jenis pandan wangi campur. Terhadap hal tersebut,

Disperindag bersama Satgas Pangan telah melakukan penertiban berkala.

Mendekati musim hujan, panen padi di Jawa Barat diperkirakan akan surplus

sebesar 1,423 juta ton selama 6 bulan ke depan.

Berdasarkan pendapat dari berbagai kalangan di masyarakat, setidaknya

terdapat 2 usulan dalam pengendalian harga pangan, yaitu:

a. Pengendalian harga tidak hanya dilakukan dengan mengatur harga di

pasar akhir tetapi harus mulai dari pembentuk harganya, yaitu produsen

serta saluran distribusinya. Harga di pasar merupakan hasil akhir dari

saluran distribusi. Dengan demikian, pemerintah juga seharusnya

mengatur harga di tingkat produsen dan juga keuntungan yang diambil

oleh setiap mata rantai distribusi. Dengan demikian, harga yang terbentuk

di konsumen bisa lebih mudah dikendalikan. Untuk itu, Kementerian

Perdagangan disarankan dapat melihat mata rantai pasok secara

keseluruhan, sehingga dapat mengambil kebijakan harga yang tepat dan

berimbang. Sebagai contoh, saat ini pemerintah telah mengatur baik HPP

hingga HET. Kedua kebijakan tersebut belum mengatur keuntungan yang

didapat distributor/agen (middlemen). Dengan demikian, pemerintah juga

perlu mengatur keuntungan yang didapat perantara.

b. Pemerintah melalui Bulog telah berupaya menyediakan barang substitusi

(seperti beras, minyak goreng, gula, daging sapi/kerbau) dengan harga

yang lebih terjangkau jika harga di pasar sedang tinggi. Namun upaya ini

belum diketahui masyarakat luas sehingga dampaknya belum terlihat dan

barang substitusi tersebut belum sampai ke konsumen secara luas.

Dampak pengendalian harga yang ada saat ini lebih kepada efek

psikologis, karena dari sisi volume, barang substitusi tersebut juga belum

dapat memenuhi kebutuhan masyarakat. Selain itu, masyarakat Jawa

Barat lebih menyukai beras dengan tipe pulen, yang agak berbeda

dengan beras bulog yang bertekstur perak.

c. Kebijakan pangan yang ada saat ini pasti berpengaruh pada harga dan

pasokan, tapi dampaknya belum efektif, terlebih jika ingin menekan harga

supaya dibawah atau sama dengan HET/Harga Acuan. Kondisi ini terjadi

karena kebijakan tersebut tidak cukup fleksibel mengikuti perubahan pola

konsumsi/fluktuasi harga pangan yang frekuensinya harian.

Page 55: LAPORAN AKHIR ANALISIS EVALUASI IMPLEMENTASI ...

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan, 2019 39

2. Kepulauan Riau

Pada umumnya harga-harga barang pokok di Tanjung Pinang dan

sekitarnya cukup stabil karena pasokan barang cukup stabil ke kota

Tanjung Pinang. Namun demikian, pada musim-musim tertentu,

khususnya musim utara dimana angin berhembus cukup kencang dan

ombak tinggi pasokan dapat sedikit terganggu dan menyebabkan harga

naik. Inflasi agak tinggi biasanya terjadi pada bulan November hingga

bulan Januari. Selain itu, mengingat rata-rata barang pokok didatangkan

dari luar daerah, maka Kepri rentan akan perubahan harga di daerah asal

barang. Misalnya saat harga cabai rawit dan bawang merah tinggi di

Pulau Jawa sebagai wilayah produsen, maka tingginya harga tersebut

juga ditransmisikan ke Kepri sebagai wilayah konsumsi. Berdasarkan

pantauan BPS, hampir semua bahan pokok di Kepri didatangkan dari

daerah sekitar Kepri sehingga seringkali terjadi imported inflation.

Beberapa daerah yang menjadi pemasok bagi Kepri yaitu Sumatera Utara

(Medan), Jambi, Pulau Jawa, Kalimantan Barat. BPS memberikan catatan

bahwa volatile food merupakan penyumbang inflasi terbesar untuk

Provinsi Kepri. Catatan untuk pelaksanaan kebijakan harga di provinsi ini

dapat dirangkum dalam poin berikut:

a. Berdasarkan wilayah pemberlakuan harga acuan dan HET,

Kepulauan Riau masuk ke dalam Zonasi Sumatera lainnya. Dengan

demikian, berlaku harga eceran tertinggi untuk beras, yaitu beras

medium sebesar Rp.9.950/kg dan beras premium sebesar

Rp.13.300/kg. Sedangkan untuk harga acuan/HET beberapa

komoditas bahan pokok, yaitu gula pasir Rp.12.500/kg, Daging beku

(paha depan) Rp.80.000/kg, dan minyak goreng kemasan sederhana

Rp. 11.000/liter. Untuk mendukung pemberlakuan regulasi tersebut,

Gubernur Kepri telah menerbitkan Surat Edaran Nomor:

120/1519.c/DPP/SET, tanggal 15 Juli 2019. Surat Edaran mulai

berlaku pada tanggal diterbitkan hingga 31 Desember 2019.

b. Di pasar tradisional, kebijakan harga sulit diterapkan kepada para

pedagang karena harga yang dikenakan pedagang bervariasi

mengikuti banyaknya modal ditambah margin keuntungan yang ingin

mereka dapatkan. Sebagai ekses negatif akan tingginya harga

pangan di Tanjung Pinang, masyarakat mencari alternatif bahan

pangan yang lebih murah dibandingkan di pasar tradisional, salah

Page 56: LAPORAN AKHIR ANALISIS EVALUASI IMPLEMENTASI ...

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan, 2019 40

satunya adalah melalui barang ilegal. Dinas Perindag juga

menemukan adanya indikasi peredaran bapok ilegal, yaitu gula

rafinasi, daging sapi asal Brazil, dan daging ayam ras asal Hong

Kong. Gula rafinasi dijual eceran ke konsumen pada beberapa ritel

lokal sesuai dengan harga acuan atau sedikit lebih murah, yaitu

Rp.12.300-12.500/kg. Sedangkan daging sapi brazil ini dijual di pasar-

pasar tradisional dalam bentuk beku dengan harga Rp. 42.000/kg dan

juga didistribusikan ke pelaku usaha makanan/katering. Daging ayam

ras asal Hong Kong dijual di Tanjung Pinang dengan harga

Rp.36.000/kg. Daging ayam cukup diminati masyarakat karena harga

yang cukup murah namun bobot yang cukup berat dibandingkan

daging ayam lokal. Saat ini masih diselidiki asal daging beku tersebut.

c. Di toko ritel modern, peritel lokal rata-rata telah mematuhi aturan

harga, baik HET maupun harga acuan. Sebagai informasi, di Tanjung

Pinang banyak berdiri toko swalayan lokal dan tidak terdapat ritel

modern seperti Alfamart atau Indomaret. Namun demikian, harga di

pasar cukup bervariasi mulai dari dibawah hingga diatas HET dan

harga acuan.

d. Dinas Perindag menyatakan bahwa sebenarnya harga-harga bapok di

Kepri dan Tanjung Pinang khususnya sebenarnya bisa lebih rendah

dari saat ini. Namun demikian, pelaku usaha distribusi bapok masih

mengambil margin cukup tinggi dan enggan menurunkan harga

karena menguasai pasokan.

4.1.5. Analisis Efektifitas Penetapan Kebijakan HET Terhadap Stabilitas Harga

Beras

4.1.5.1. Estimasi Dampak Kebijakan HET Beras Terhadap Stabilitas

Harga Beras

Pada bagian ini akan dibahas mengenai dampak kebijakan HET

beras terhadap stabilitas harga eceran beras domestik, dimana hal ini untuk

memenuhi kebutuhan dalam negeri terutama karena beras memiliki volatilitas

yang tinggi. Perhitungan volatilitas dalam kajian ini dilakukan dengan melihat

volatilitas dihitung berdasarkan selisih dari log variabel harga seperti yang

disarankan oleh Maniloff dan Lee (2015). Perhitungan volatilitas ini

selanjutnya digunakan analisis melalui persamaan Error Correction Model

(ECM).

Page 57: LAPORAN AKHIR ANALISIS EVALUASI IMPLEMENTASI ...

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan, 2019 41

Metode Error Correction Model (ECM) dipilih karena dua hal yaitu

untuk menghindari adanya spurious regression, serta dengan metode ini

semua variabel (kecuali variabel dummy) ditransformasikan menjadi first

difference. Perubahan variabel menjadi first difference membuat semua

variabel dapat diartikan sebagai perubahan dari variabel tersebut yang

dijadikan perhitungan dari volatilitas (Maniloff dan Lee, 2015). Dalam analisis

ini menggunakan model Error Correction Mechanism (ECM) karena model

tersebut merupakan analisis data time series yang digunakan untuk variabel-

variabel yang memilki ketergantungan yang sering disebut

dengan kointegrasi.

Metode ECM digunakan menyeimbangkan hubungan ekonomi

jangka pendek variabel-variabel yang telah memiliki keseimbangan/hubungan

ekonomi jangka panjang. Oleh karena itu, dalam analisis estimasi model

ECM ini diharapkan mampu menganalisis efektifitas penetapan kebijakan

HET terhadap stabilitas harga eceran beras di level konsumen. Dalam model

yang dibangun dihasilkan model ECM untuk jangka pendek dan jangka

panjang.

Adapun model jangka panjang dalam analisis ini yang sudah memenuhi

kriteria adalah sebagai berikut:

HBED = -9651.542 + 0.682*HBMPG + 325.875*HET + 0.489*KURS + 73.412*LOG(PROD)

sig. 0.0000 sig. 0.0033 sig. 0.0000 sig. 0.2811

- 186.271*LOG(STOK) + 6.964E10-6*KONS Fstat = 273.7547 ; adj R-square = 0.128574

Sig. 0.1500 sig. 0.0000 sig. 0.0000 ......................(9)

Beradasarkan model jangka panjang di atas dapat dilihat bahwa

model jangka panjang pada model kointegrasi secara signifikan pada taraf

nyata 5 persen pada selang kepercayaan sebesar 95 persen menunjukkan

kebijakan penentuan atau penetapan harga eceran tertinggi (HET) beras

mempengaruhi terhadap peningkatan harga beras eceran di tingkat domestik

(HBED) sebesar 325.875 persen. Hal ini menunjukkan bahwa adanya HET

beras akan mendorong harga eceran beras di level domestik secara

signifikan dalam jangka panjang. Hal ini berarti bahwa dalam jangka panjang,

penetapan kebijakan HET beras tidak efektif dalam menciptakan stabilisasi

harga ataupun menjaga harga tetap dalam HET. Dalam jangka panjang,

variabel-variabel yang mempengaruhi harga beras di pasar domestik yaitu

Page 58: LAPORAN AKHIR ANALISIS EVALUASI IMPLEMENTASI ...

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan, 2019 42

nilai tukar (KURS), harga beras medium di tingkat penggilingan (HBMPG),

dan jumlah konsumsi (KONS) dimana ketiganya secara signifikan

mempengaruhi terhadap stabilisasi harga eceran beras domestic (HBED).

Variabel stok dapat menurunkan harga beras di pasar domestik signifikan

pada taraf nyata 15 persen

Temuan ini memberikan implikasi bahwa kebijakan HET tidak efektif

menstabilisasi harga eceran beras di domestik jika hanya mengandalkan

pada variabel harga beras medium di level penggilingan (HBMPG), nilai tukar

yang tidak stabil (depresiasi) (KURS), dan jumlah konsumsi dalam jangka

panjang (KONS). Tetapi akan sangat efektif apabila mengandalkan stok

pasokan beras (STOK). Artinya stok akan mendorong penurunan harga beras

domestic dengan signifikan pada taraf nyata 15 persen. Dengan kata lain,

bahwa kebijakan HET dalam jangka panjang akan sangat efektif melalui

peningkatan jumlah stok. Peningkatan jumlah stok beras (STOK) dalam

jangka panjang akan menstimulus terhadap penurunan harga beras eceran

domestic (HBED) secara signifikan.

Selanjutnya, apabila kita analisis berdasarkan model jangka pendek, dengan

model ECM, dimana model tersebut adalah:

LOG(HBED) = -15.756 + 5.435E-05*HBMPG + 0.017*HET + 0.475*LOG(KURS) –

sig. 0.0000 sig. 0.005 sig. 0.000

0.004*D(D(LOG(PROD))) - 0.028*LOG(STOK) + 0.975*LOG(KONS)

sig. 0.0416 sig. 0.0036 sig. 0.0000

+ 0.788*ECT4(-1) Fstat = 543.9173 ; adj R-square = 0.979889

sig. 0.0000 sig. 0.0000 ......................................(10)

Model ECM di atas merupakan model jangka pendek, dimana model

tersebut mampu mengestimasi terkait kebijakan HET terhadap stabilisasi

volatilitas harga eceran beras domestik (HBED). Berdasarkan model tersebut

juga dapat dilihat bahwa model ECM mampu menjelaskan secara signifikan

pada taraf alfa 5 persen pada selang kepercayaan sebesar 95 persen bahwa

kebijakan penentuan atau penetapan harga eceran tertinggi (HET) beras

sejak ditetapkan berpengaruh dalam meningkatkan harga beras eceran di

tingkat domestik (HBED) sebesar 0.017 persen, sangat kecil. Besaran

Page 59: LAPORAN AKHIR ANALISIS EVALUASI IMPLEMENTASI ...

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan, 2019 43

tersebut menunjukkan bahwa kebijakan HET mampu menstabilisasi harga

eceran beras domestik secara signifikan. Hal ini berarti kebijakan HET dalam

jangka pendek sangat efektif menstabilisasi harga eceran beras (HBED)

secara signifikan.

Kondisi ini juga menunjukkan bahwa adanya kebijakan HET beras

dalam jangka pendek akan meningkatkan harga beras tetapi sangat kecil dan

bersifat inelastis. Artinya ada atau tidaknya kebijakan HET akan sangat kecil

mempengaruhi harga beras namun demikian setidaknya masih dapat

menjaga stabilitas harga beras melalui instrumen yang tepat. Menurut Ellis

(1992) menyatakan bahwa kebijakan harga yang merupakan upaya untuk

menstabilkan harga produk pertanian, khususnya beras dapat dilakukan

melalui berbagai instrumen seperti kebijakan perdagangan, kebijakan nilai

tukar, pajak dan subsidi serta intervensi langsung. Secara tidak langsung,

kebijakan stabilisasi harga dapat dilakukan melalui kebijakan input dan

kebijakan output. Kebijakan input berupa subsidi harga sarana produksi

terhadap pupuk, benih, pestisida dan kredit pertanian.

Dengan demikian, pemerintah sebaiknya menerapkan kebijakan

HET ini untuk stabilisasi harga eceran beras domestik, dan diterapkan hanya

untuk periode jangka pendek saja. Karena ternyata jangka pendek lebih

efektif dibandingkan dengan jangka panjang. Selain itu, stok beras juga akan

signifikan menurunkan harga eceran beras domestik. Dengan demikian,

kombinasi kebijakan HET sebaiknya diiringi secara bersamaan diterapkan

dengan peningkatan jumlah stok beras (STOK) dan produksi (PROD). Hal

ini berarti bahwa dalam jangka pendek, penetapan kebijakan HET beras

sangat efektif dalam menciptakan stabilisasi harga. Selain disebabkan oleh

adanya variable-variabel lainnya yang mempengaruhi hal tersebut seperti

variable nilai tukar (KURS), harga beras medium di tingkat penggilingan

(HBMPG), dan jumlah konsumsi (KONS) dimana ketiganya secara signifikan

mempengaruhi terhadap stabilisasi harga eceran beras domestic (HBED).

4.1.6. Masukan Terhadap Kebijakan HET di Masa Mendatang

Menurut pendapat para petani dan pedagang, kebijakan HET yang telah

ditetapkan oleh pemerintah selama ini tidak selalu menjadi acuan pedagang dalam

menjual beras di pasar. Karena ketika harga gabah naik, pedagang tidak mungkin

menjual harga kurang dari HET karena harga beras dari tingkat penggilingan sudah

naik. Dari sisi penggilingan, kebijakan HET mempunyai dampak yang cukup besar,

Page 60: LAPORAN AKHIR ANALISIS EVALUASI IMPLEMENTASI ...

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan, 2019 44

karena penggilingan beli gabah di petani dengan harga yang mahal sementara di

harga jual pasar telah dibatasi oleh HET. Disamping itu, mereka juga akan menjual

beras sesuai dari harga gabah yang diterima.

Berdasarkan penjelasan di atas, dinamika harga gabah baik di tingkat petani

maupun di tingkat penggillingan memiliki tren yang terus meningkat diatas HPP yang

telah ditetapkan dalam Inpres No 5 Tahun 2015. HPP pada gabah di tingkat petani

ini merupakan acuan bagi Bulog untuk menyerap gabah di tingkat petani. Hasil

survey di lapangan menunjukkan bahwa gabah di petani (GKP) umumnya dijual ke

pedagang dari pada ke Bulog sehingga harga pasar masih menjadi acuan petani

untuk menjual gabahnya. Hal ini mengindikasikan bahwa HPP yang berlaku saat ini

kemungkinan sudah perlu ditinjau kembali karena sudah tidak sesuai dengan biaya

produksi yang harus ditanggung petani.

Disisi yg lain terlihat juga bahwa harga beras di tingkat produsen (petani-

penggiling) saat ini sudah melampaui harga yang ditetapkan dalam Inpres No 5

tahun 2015 yang sebesar Rp 6.600/kg dan harga beras di tingkat eceran saat ini

sudah lebih dari Rp 9.500/kg. Pelaksanaan kebijakan HET di lapangan terlihat

belum efektif karena selama ini di pasar, pedagang tetap menjual beras sesuai harga

pasar dan cenderung tidak terlalu memperhatikan HET. Di tingkat penggilingan,

karena telah membedakan harga beras medium dan premium, mereka menjual

sesuai dengan harga gabah yang dibeli dari petani. Harga HET tetap menjadi

acuan, tetapi jika harga gabah sudah naik, yang mana saat ini mencapai Rp 5.000/kg

(GKP), jika penjualan beras ke pasar dari penggilingan sekitar Rp 9.500-Rp

9.600/kg, maka harga jual di pasar paling minimum yaitu Rp 10.000/kg.

Dengan demikian, faktor yang mempengaruhi efektivitas kebijakan HET yaitu

(i) perkembangan struktur biaya produksi di tingkat petani dengan kondisi saat ini, (ii)

varietas beras yang cukup banyak di setiap wilayah sehingga perlu dilakukan

pengujian untuk menentukan jenis varietas yang sesuai dengan kualitas medium dan

premium, serta (iii) perbedaan harga yang terlalu jauh antara harga beras medium

dan premium yang membuat pelaku pasar beras menjual beras yang kualitasnya

masih jenis medium tetapi menjual dengan harga di bawah premium (moral hazard).

Selain dari hasil produksi domestik, pemenuhan kebutuhan konsumsi beras

juga berasal dari beras impor. Berdasarkan hasil analisis diatas, kurs juga

berpengaruh terhadap efektivitas HET. Hal ini dapat dipahami bahwa harga impor

akan ditransmisikan ke dalam harga di dalam negeri. Jika terjadi fluktuasi nilai tukar

rupiah terhadap US dollar, maka fluktuasi tersebut juga akan berdampak terhadap

harga beras domestik. Walaupun saat ini beras impor hampir sepenuhnya digunakan

Page 61: LAPORAN AKHIR ANALISIS EVALUASI IMPLEMENTASI ...

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan, 2019 45

dalam stabilisasi harga dan cadangan beras pemerintah, maka agar HET tidak

menjadi beban pemerintah karena fluktuasi kurs, sudah seharusnya diikuti dengan

kebijakan yang mampu menstabilisasi nilai tukar rupiah.

Hal terakhir yang harus dijaga pemerintah untuk mengendalikan harga beras

dengan efektif adalah menjaga cadangan beras pemerintah dan hasil produksi yang

mencukupi sesuai tingkat konsumsi masyarakat dalam bentuk stok beras nasional.

Tanpa cadangan beras yang kuat, akan sulit bagi pemerintah mengendalikan harga

karena hanya memegang sedikit stok. Semakin banyak stok yang dikelola

pemerintah, maka akan semakin baik pengendalian harga oleh pemerintah karena

mempunyai stok yang mencukupi untuk melakukan penetrasi pasar dan

mempengaruhi harga beras secara signifikan di pasar. Hasil produksi padi yang

konsisten juga turut menjaga efektivitas HET, karena hasil produksi padi domestik

dan cadangan beras pemerintah bersama-sama membentuk stok beras nasional.

Jika hasil produksi berfluktuasi terlalu tajam, dikuatirkan implementasi HET akan

kurang optimal karena harga sulit dikendalikan akibat mekanisme pasar, walaupun

operasi pasar telah digelar. Oleh karena itu, manajemen stok beras khususnya hasil

produksi domestik mutlak diperlukan untuk mengatasi sifat asli beras sebagai

komoditi pertanian, yang rentan fluktuasi musiman akibat pola tanam dan panen.

4.2. Hasil analisis Harga Acuan

4.2.1. Analisis Frekuensi Penyimpangan Harga Komoditas

Tabulasi data dilakukan dengan mengolah data harga bulanan pada 5

komoditas pangan pokok yang telah ditentukan pada 10 kota terpilih. Data harga

pasar yang digunakan adalah data Pusat Informasi Harga Pangan Strategis (PIHPS)

yang berasal dari Bank Indonesia.

Berdasarkan pengolahan data deskriptif, pada tahun 2017-2019 hampir di

seluruh kota yang diamati menunjukkan bahwa secara umum harga pasar/eceran

rata-rata komoditas pangan terpilih berada di atas harga pasar. Namun demikian,

pada waktu dan komoditas tertentu masih ditemui harga sesuai atau di bawah harga

acuan. Hal ini menunjukan penetapan harga acuan relatif bersifat ”binding” terhadap

harga pasar yang ada.

Binding adalah kondisi dimana harga acuan lebih rendah dibandingkan harga

pasar. Dalam kondisi ini, sesuai arahan Permendag 96/2018, Pemerintah, baik

Kemendag maupun Pemda setempat seharusnya mengambil tindakan untuk

menurunkan harga pasar kembali ke arah harga acuan. Pengamatan pada hasil

pengolahan data daerah secara deskriptif menunjukkan hasil yang beragam.

Page 62: LAPORAN AKHIR ANALISIS EVALUASI IMPLEMENTASI ...

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan, 2019 46

Tabel 4.2. Rekapitulasi Frekuensi Kejadian harga pasar di atas harga acuan

pada 10 Kota tahun 2017-2019, menurut komoditas

Komoditi

Tahun 2017 2018 2019 2017 2018 2019 2017 2018 2019 2017 2018 2019 2017 2018 2019

M e d a n 17% 0% 22% 75% 0% 56% 100% 100% 100% 0% 8% 11% 0% 8% 100%

Bandar Lampung 100% 75% 0% 100% 75% 0% 100% 100% 100% 8% 58% 78% 0% 33% 11%

Jakarta 100% 100% 100% 100% 100% 100% 100% 100% 100% 0% 0% 0% 8% 75% 100%

Bandung 100% 100% 100% 100% 100% 100% 100% 100% 100% 25% 92% 56% 8% 50% 89%

Palangkaraya 67% 33% 11% 67% 33% 11% 100% 100% 100% 25% 83% 67% 100% 100% 100%

Samarinda 100% 100% 100% 100% 100% 100% 100% 100% 100% 67% 8% 0% 83% 100% 100%

A m b o n 33% 100% 0% 33% 100% 0% 0% 0% 0% 92% 0% 33% 100% 100% 100%

Makasar 100% 100% 89% 100% 100% 89% 0% 0% 0% 0% 17% 0% 8% 67% 56%

Jayapura 100% 100% 100% 100% 100% 100% 100% 100% 100% 100% 100% 100% 100% 100% 100%

Manokwari 100% 100% 100% 100% 100% 100% 50% 100% 100% 100% 100% 100% 100% 100% 100%

> 50% 80% 80% 60% 90% 80% 60% 80% 80% 80% 40% 50% 50% 50% 80% 90%

migor curah gula pasir daging sapi daging ayam telur ayam ras

4.2.2. Pandangan Menurut Komoditas

Berdasarkan tabel 4.2. diatas, dapat dilihat frekuensi kejadian/kasus dimana

harga pasar/eceran berada di atas harga acuan. Respon harga setiap komoditas

terhadap adanya kebijakan harga acuan ternyata cukup beragam di 10 kota

pantauan. Sebagaimana diketahui, faktor pembentuk harga yang utama yaitu

keseimbangan antara pasokan dan permintaan. Pada daerah yang bukan produsen

suatu komoditas, atau hanya sebagai sentra konsumsi, kemungkinan harga yang

lebih tinggi dari acuan lebih mudah ditemui dibandingkan pada sentra produksi.

Selain itu, faktor distribusi yaitu jarak, ongkos angkut, moda transportasi juga

mempengaruhi pembentukan harga. Semakin sulit distribusi dan semakin mahal

ongkos angkut, maka akan semakin tinggi harga komoditas pangan yang

didatangkan dari luar ke wilayah tersebut.

Pada komoditas minyak goreng dan gula pasir, terdapat kecenderungan

kebijakan harga sepertinya mampu menahan bahkan menurunkan laju kenaikan

harga. Pada tahun 2017 dan 2018, terdapat 80% atau 8 kota yang mengalami harga

pasar diatas harga acuan. Frekuensi ini kemudian menurun di 2019 menjadi 60%

atau tinggal 6 kota yang masih mempunyai harga minyak goreng curah di atas harga

acuan.

Page 63: LAPORAN AKHIR ANALISIS EVALUASI IMPLEMENTASI ...

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan, 2019 47

Selanjutnya, komoditas daging sapi segar tidak terjadi perubahan frekuensi

kejadian harga pasar di atas harga acuan. Selama periode 2017-2019, terdapat 8

kota dengan harga pasar diatas harga acuan.

Sedangkan untuk komoditas unggas, yaitu daging ayam ras dan telur ayam

ras, tampak bahwa terdapat kenaikan frekuensi kota yang mengalami kenaikan

harga di atas harga acuan selama periode pengamatan. Untuk daging ayam ras,

frekuensi kejadian naik dari 40% atau hanya 4 kota yang memiliki harga pasar di

atas harga acuan di tahun 2017, menjadi 50% atau bertambah menjadi 5 kota di

tahun 2018-2019. Yang paling parah adalah telur ayam ras, dimana terjadi lonjakan

drastis kota dengan harga pasar di atas harga acuan. Pada tahun 2017 hanya

terdapat 50% atau 5 kota, namun jumlah ini meningkat menjadi 80% di tahun 2018

dan naik lagi di tahun 2019 menjadi 90% atau hanya tersisa 1 kota yang harga

pasarnya dibawah harga acuan.

Dari uraian tersebut, gula dan minyak goreng merupakan dua komoditas

pangan yang kemungkinan mampu menunjukkan respon positif terhadap kebijakan

harga acuan. Hal ini dapat dipahami mengingat keduanya merupakan produk industri

pangan dan banyak dipasarkan lewat jaringan ritel modern. Ritel modern memiliki

kecenderungan untuk mematuhi peraturan yang telah ditetapkan oleh pemerintah

karena membutuhkan surat izin usaha perdagangan untuk beroperasi, dan apabila

tidak mematuhi peraturan yang telah ditetapkan oleh pemerintah, maka ritel modern

dapat dikenakan sanksi administratif. Penjualan harga gula dan minyak goreng

curah/kemasan sederhana sesuai harga acuan di toko modern mungkin mendorong

harga penjualan di pasar tradisional juga ikut menyesuaikan dengan harga acuan.

Pada daging sapi segar, adanya defisit pemenuhan kebutuhan membuat

kebijakan harga acuan menjadi tidak efektif. Akibatnya, harga daging sapi segar

rata-rata masih di atas harga acuan, baik sebelum implementasi maupun setelah

adanya kebijakan harga acuan tersebut. Hanya pada kota tertentu daging sapi lebih

murah dibandingkan harga acuan, yaitu Makassar dan Ambon. Hal ini menunjukkan

bahwa kedua kota tersebut mendapat pasokan daging sapi yang sangat mencukupi

sehingga harga yang terbentuk berada di bawah harga acuan.

Komoditas unggas seperti daging ayam ras dan telur ayam ras juga terlihat

tidak merespon baik terhadap kebijakan harga tersebut. Adanya anomali harga

akibat permasalahan distribusi dan produksi pada pasar produk unggas tampaknya

menjadi hambatan bagi pengaturan harga komoditas tersebut. Selama ini peternak

unggas/ayam ras mengeluhkan harga livebird (ayam hidup di kandang) yang rendah,

bahkan di bawah ongkos produksi, padahal harga eceran karkas di pasar masih

Page 64: LAPORAN AKHIR ANALISIS EVALUASI IMPLEMENTASI ...

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan, 2019 48

cukup tinggi. Terdapat disparitas harga yang cukup jauh antara harga livebird

dengan harga eceran karkas. Fluktuasi harga juga terjadi ketika hari besar

keagamaan nasional tiba, yang didorong oleh adanya kenaikan permintaan. Daging

ayam dan telur ayam ras juga merupakan beberapa komoditas yang paling aktif

berfluktuasi sepanjang periode pengamatan.

4.2.3. Pandangan Menurut Daerah

Jika diperhatikan lebih lanjut, terdapat analisis yang dapat dilakukan dari sisi

daerah sebagaimana disajikan dalam tabel 4.3. Secara umum, tidak ada daerah

yang mempunyai harga pasar pada seluruh komoditas yang diamati berada sama

dengan atau di bawah harga acuan. Namun demikian, terdapat daerah yang

didominasi oleh harga pasar di atas harga acuan dan juga sebaliknya.

Selama periode pengawasan, Jayapura dan Manokwari tercatat sebagai

daerah yang seluruh komoditinya selalu berada diatas harga acuan baik sebelum

penerapan Permendag Nomor 96 tahun 2018 maupun sesudah penerapan peraturan

tersebut. Ini berarti sepanjang 2017-2019, harga pasar dari 5 komoditas pangan

yang dipantau selalu lebih tinggi dibandingkan harga acuannya. Hal ini menunjukkan

bahwa kemungkinan pada daerah-daerah tersebut belum ada respon atau kebijakan

yang efektif dari pemerintah untuk menurunkan harga bahan pangan pokok yang

beredar di tingkat pengecer.

Tabel 4.3. Perbandingan frekuensi kejadian harga pasar di atas harga

acuan, Menurut Daerah

No Tahun 2017 2018 2019

1 M e d a n 40% 20% 60%

2 Bandar Lampung 60% 80% 40%

3 Jakarta 60% 80% 100%

4 Bandung 60% 100% 100%

5 Palangkaraya 80% 60% 60%

6 Samarinda 100% 80% 80%

7 A m b o n 40% 60% 20%

8 Makasar 40% 60% 60%

9 Jayapura 100% 100% 100%

10 Manokwari 100% 100% 100%

Kota Jakarta dan Bandung menjadi wilayah yang perlu diwaspadai,

mengingat pada kedua kota tersebut semakin banyak komoditas pangan dengan

harga pasar di atas harga acuan. Selama tahun 2017-2019 diketahui terjadi kenaikan

harga dari komoditas pangan pokok. Di Jakarta misalnya, pada tahun 2017 diketahui

rata-rata terdapat 60 persen komoditas pangan yang berada diatas harga acuan.

Page 65: LAPORAN AKHIR ANALISIS EVALUASI IMPLEMENTASI ...

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan, 2019 49

Namun, setelah ada harga acuan, jumlah ini malah semakin meningkat menjadi 100

persen di tahun 2019, atau hanya 2 tahun. Hal yang sama juga terjadi pada

Bandung. Peningkatan harga di kedua kota ini kemungkinan lebih disebabkan oleh

bertambahnya penduduk dengan pesat sehingga mendorong pertumbuhan

permintaan lebih cepat dibandingkan tingkat pemenuhannya. Daerah lain yang

berada pada tren serupa yaitu Makasar dan Medan.

Sebaliknya, terdapat kota dengan kecenderungan semakin mendekatinya

harga pasar ke harga acuan. Sebagai contoh, yaitu Ambon dan Lampung. Ambon

merupakan kota yang paling progresif dalam menurunkan harga pangannya. Dari

tahun 2018 tercatat penurunan yang signifikan, dari 60 persen harga pasar yang

melampaui harga acuan, menjadi hanya 20 persen di tahun 2019. Lampung juga

demikian, dari 80 persen harga pangan yang ada di atas harga acuan di tahun 2018

menjadi 40 persen saja pada tahun 2019, atau turun setengah dibandingkan tahun

lalu. Daerah dengan tren yang sama namun dengan laju penurunan yang lebih

lambat dapat ditemui di Palangkaraya dan Samarinda. Semakin terkendalinya harga

pangan kemungkinan disebabkan oleh semakin membaiknya akses menuju daerah

tersebut, misalnya infrastruktur dan moda transportasi yang semakin banyak. Selain

itu, munculnya sentra produksi pangan baru di sekitar kawasan tersebut yang

mampu menambah pasokan dari luar daerah juga dapat membantu pengendalian

harga.

Page 66: LAPORAN AKHIR ANALISIS EVALUASI IMPLEMENTASI ...

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan, 2019 50

BAB V

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

5.1. Kesimpulan

5.1.1. Analisis Harga Eceran Tertinggi

Berdasarkan hasil analisis dampak implementasi kebijakan HET beras

terhadap stabilitas harga beras di dalam negeri, dapat disimpulkan beberapa

poin sebagai berikut:

1. Perkembangan harga beras selama tahun 2015-2018, harga beras

menunjukkan tren peningkatan dengan kenaikan harga rata-rata sebesar

3,02%. Harga beras setelah penerapan HET terjadi kenaikan harga

sekitar 5,6% dibandingkan periode sebelum kebijakan HET.

2. Permasalahan dan kendala dalam pelaksanaan kebijakan HET beras: (i)

Pedagang menjual beras sesuai harga pasar tidak terlalu memperhatikan

HET. Penjualan beras tetap menyesuaikan dengan harga beli gabah, (ii)

jenis beras medium dan premium hanya terdapat di tingkat penggilingan

yang mana penggilingan menjual harga beras berdasarkan harga gabah

yang mereka beli, (iii) secara umum, beras di pasar dijual berdasarkan

varietas/merek dimana setiap wilayah berbeda-beda serta (iv) struktur

biaya produksi berbeda setiap wilayah.

3. Faktor yang mempengaruhi efektivitas kebijakan HET yaitu: (i)

perkembangan struktur biaya di tingkat petani hingga saat ini, (ii)

varietas/merk beras yang cukup banyak di setiap wilayah sehingga perlu

dilakukan pengujian untuk menentukan merk/varietas yang sesuai

dengan kualitas medium dan premium, serta (iii) perbedaan harga yang

terlalu jauh antara harga beras medium dan premium yang membuat

pelaku pasar beras menjual beras yang kualitasnya masih jenis medium

tetapi menjual diatas harga di bawah premium (moral hazard).

4. Implementasi kebijakan HET beras menjadi kurang efektif di lapangan

karena dihadapkan pada berbagai permasalahan yaitu: (i) Pedagang

beras di pasar masih menjual beras sesuai harga umum yang berlaku di

pasar dan tidak terlalu memperhatikan HET. Harga jual di pasar pada

akhirnya harus menyesuaikan dengan harga beli beras dari penggilingan

dan harga gabah dari petani; (ii) penggilingan menjual beras berdasarkan

harga gabah yang mereka beli saat itu; (iii) beras dijual berdasarkan

varietas/merek yang berbeda-beda di setiap wilayah, bukan kualitas; (iv)

Page 67: LAPORAN AKHIR ANALISIS EVALUASI IMPLEMENTASI ...

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan, 2019 51

struktur biaya produksi yang bervariasi di masing-masing wilayah (v)

kriteria penentuan kualitas beras (medium dan premium) kurang

implementatif di pasar; (vi) Penentuan rentang HET antara beras medium

dan premium yang cukup lebar menjadi insentif bagi pedagang untuk

meraup keuntungan di luar kewajaran (moral hazard). Pada tingkat

penggilingan, produksi beras terdorong untuk menghasilkan beras

premium karena prospek keuntungan yang lebih besar dibandingkan

beras medium, serta (vii) situasi nilai tukar rupiah yang tidak stabil.

5. Faktor-faktor yang mempengaruhi harga beras eceran di tingkat

konsumen adalah harga beras medium di penggilingan, nilai tukar rupiah

terhadap dollar US, jumlah konsumsi beras, jumlah stok, jumlah produksi

beras serta kebijakan harga eceran tertinggi.

6. Kebijakan HET beras efektif mempengaruhi harga beras di tingkat eceran

dalam jangka pendek, hal ini dilihat dari sejak ditetapkan kebijakan HET,

kenaikan harga beras relatif sangat kecil dan inelastis.

7. Dalam jangka panjang, ditemukan bahwa penetapan kebijakan HET

beras tidak efektif dalam menciptakan stabilisasi harga eceran beras di

tingkat domestik. Selain disebabkan oleh adanya variable-variabel lainnya

yang mempengaruhi hal tersebut seperti variabel nilai tukar, harga beras

medium di tingkat penggilingan, dan jumlah konsumsi dimana ketiganya

secara signifikan mempengaruhi terhadap stabilisasi harga eceran beras

di pasar domestik.

5.1.2. Analisis Harga Acuan

1. Berdasarkan pengolahan data deskriptif, pada tahun 2017-2019 hampir di

seluruh kota yang diamati menunjukkan bahwa secara umum harga

pasar/eceran rata-rata komoditas pangan terpilih berada di atas harga

pasar. Namun, jika diamati lebih seksama, hasil pengolahan data daerah

secara deskriptif menunjukkan hasil yang beragam, tergantung jenis

komoditas dan wilayah yang dipantau.

2. Respon harga setiap komoditas terhadap adanya kebijakan harga acuan

ternyata cukup beragam di 10 kota pantauan. Sebagaimana diketahui,

faktor pembentuk harga yang utama yaitu keseimbangan antara pasokan

dan permintaan. Pada daerah yang bukan produsen suatu komoditas,

atau hanya sebagai sentra konsumsi, kemungkinan harga yang lebih

tinggi dari acuan lebih mudah ditemui dibandingkan pada sentra produksi.

Page 68: LAPORAN AKHIR ANALISIS EVALUASI IMPLEMENTASI ...

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan, 2019 52

Selain itu, faktor distribusi yaitu jarak, ongkos angkut, moda transportasi

juga mempengaruhi pembentukan harga. Semakin sulit distribusi dan

semakin mahal ongkos angkut, maka akan semakin tinggi harga

komoditas pangan yang didatangkan dari luar ke wilayah tersebut.

3. Berdasarkan komoditas, gula pasir dan minyak goreng merupakan

komoditas yang mampu merespon dengan baik adanya kebijakan harga

acuan seiring dengan menurunnya frekuensi kenaikan harga melebihi

harga acuan. Sebaliknya, tiga komoditas lainnya menunjukkan respon

yang kurang baik, yaitu daging sapi dengan tidak ada perubahan, dan

produk unggas yaitu daging dan ayam ras menunjukkan peningkatan

harga pasar yang semakin tinggi menjauhi harga acuan.

4. Berdasarkan kota, Ambon merupakan kota yang paling progresif dalam

menurunkan harga pangannya, diikuti Lampung, Palangkaraya, dan

Samarinda. Sebaliknya, kota yang harga pasarnya semakin tinggi

meninggalkan harga acuan yaitu Jakarta dan Bandung serta disusul oleh

Medan dan Makassar. Papua dan Papua Barat menjadi provinsi yang

tidak pernah mencapai harga acuan.

5. Penerapan harga acuan memberikan dampak yang cukup beragam pada

komoditas dan wilayah yang diamati. Namun demikian,secara umum

kebijakan harga masih belum cukup efektif mengendalikan harga karena

tidak ada daerah yang mempunyai harga pasar di bawah harga acuan

secara konsisten selama periode pengamatan. Rentang frekuensi harga

pasar melebihi harga acuan pada 5 komoditas pangan pokok di 10 kota

pantauan yaitu berkisar antara 20-100 persen.

5.2. Rekomendasi Kebijakan

5.2.1. Harga Eceran Tertinggi

Berdasarkan Kesimpulan diatas, maka usulan rekomendasi kebijakan

sebagai berikut:

1. Kebijakan HET yang diberlakukan pada beras, akan efektif jika dilakukan

dalam jangka pendek. Dalam jangka panjang kebijakan tersebut akan

mendorong peningkatkan harga gabah menjadi lebih tinggi dan relatif

tidak stabil (relatif berfluktuasi).

2. Jika pemerintah tetap melanjutkan kebijakan HET beras, beberapa hal

yang perlu dilakukan, sebagai berikut:

Page 69: LAPORAN AKHIR ANALISIS EVALUASI IMPLEMENTASI ...

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan, 2019 53

a. Mempertimbangkan struktur biaya di tingkat petani dengan kondisi saat

ini;

b. Melakukan pengelompokkan kelas kualitas dari berbagai jenis

varietas/merek beras dalam kelompok beras medium dan premium

melalui pengujian laboratorium untuk memudahkan pengawasan;

c. Kebijakan HET harus didukung oleh kondisi produksi dan stok beras

yang aman dan mencukupi;

d. Kebijakan HET perlu disertai dengan penegakan hukum dan sanksi

yang tegas yang dituangkan dalam peraturan;

e. Menjaga tingkat nilai tukar rupiah terhadap US dollar agar tetap

terkendali, mengingat impor masih tetap dibutuhkan untuk mengisi stok

beras pemerintah.

5.2.2. Harga Acuan

1. Perlu adanya peningkatan pengawasan dan intervensi oleh Pemerintah

terhadap harga bahan kebutuhan pokok yang berada diatas harga acuan

sesuai Permendag Nomor 96 Tahun 2018.

2. Kegiatan pengawasan dan intervensi harga perlu ditingkatkan untuk

daerah dengan frekuensi kejadian harga pasar diatas harga acuan tinggi,

yaitu Papua dan Papua Barat, DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Sulawesi

Selatan, serta Sumatera Utara. Selain itu, diperlukan perhatian khusus

terhadap komoditas dengan fluktuasi aktif seperti produk unggas, yaitu

daging ayam ras dan telur ayam ras.

3. Perlu adanya peningkatan komunikasi yang lebih efisien antara

Kementerian Pertanian, Kemenko Perekonomian, Kementerian

Perdagangan, Bulog, dan BUMN terkait operasi pasar bagi penerapan

Permendag 96/2018. Termasuk peningkatan peran “Rumah Pangan Kita”

untuk membantu Bulog dan Dinas Perdagangan setempat dalam

mengimplementasikan Permendag Nomor 96 Tahun 2018.

4. Perlu dibentuk BUMD atau BLUD (Badan Layanan Umum Daerah) di

tingkat Provinsi yang memiliki tugas untuk stabilisasi harga ditingkat

daerah dimana BUMD/BLUD tersebut hanya membutuhkan perintah dari

Pemda setempat untuk melakukan intervensi.

5. Perlu dilakukan kajian untuk meningkatkan efisiensi dan kecepatan

pelaksanaan operasi pasar oleh Kementerian/Lembaga terkait penerapan

Permendag nomor 96 tahun 2018.

Page 70: LAPORAN AKHIR ANALISIS EVALUASI IMPLEMENTASI ...

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan, 2019 54

DAFTAR PUSTAKA

Baltagi, Badi H. (2011). Econometrics (5th ed). New York. Springer.

Chintia, S. 2013. Dampak Guncangan Harga Minyak Mentah Dunia Terhadap Harga

Beras Domestik. [Thesis]. Bogor : Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Ellis, F. 1992. Agricultural Policies In Developing Countries. Cambridge University

Press:Cambridge.

Enders, Walter. (2004). Applied Econometrics Time Series (2rd ed). New York: Wiley.

Engle R, Granger C. 1987. Co-integration and Error Correction Representation, Testing

and Telling. Econometrica Journal. 55(2):251-276.

Fatimah A. 2018. Analisis Pengaruh Kebijakan Perberasan Terhadap Kesejahteraan

Petani di Indonesia. Prosiding The National Conferences Management and

Business (NCMAB). 5 Mei 2018. Indonesia: UM Surakarta Press. hlm 536-545.

Greene, Wlliam H. (2003). Econometric Analysis (5th ed). New York: Prentice Hall.

Gujarati, Damodar N. (2004). Basic Econometrics, (4th ed). The McGraw−Hill

Companies.

Ilham N, Siregar H, Priyarsono DS. 2006. Efektivitas Kebijakan Harga Pangan Terhadap

Ketahanan Pangan. Jurnal Agro Ekonomi. 24(2):157-177.

Ilham, N. 2006. Efektivitas Kebijakan Harga Pangan Terhadap Ketahanan Pangan dan

Dampaknya pada Stabilitas Ekonomi Makro. [Thesis]. Bogor : Sekolah

Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Khotimah H. 2013. The Price Transmission in Rice Market Chain in Indonesia. [Thesis].

Bogor : Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Kusumaningrum R. 2008. Dampak Kebijakan Harga Dasar Pembelian Pemerintah

Terhadap Penawaran dan Permintaan Beras di Indonesia. [Thesis]. Bogor :

Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Saputra A, Arifin B, Kasymir E. 2014. Analisis Kausalitas Harga Beras, Harga Pembelian

Pemerintah (Hpp) Dan Inflasi Serta Efektivitas Kebijakan Hpp Di Indonesia. Jurnal

Ilmu-Ilmu Agribisnis. 2(1):24-31.

Sembiring SA, Harianto, Siregar H, Saragih B. 2010. Implementasi Kebijakan Perberasan

di Tingkat Petani : Kinerja dan Perspektif ke Depan. Jurnal Analisis Kebijakan

Pertanian. 8(4):339-361.

Sumarno. 2016. Periodisasi Musim Tanam Padi Sebagai Landasan Manajemen Produksi

Beras Nasional. Puslitbang Tanaman Pangan, Kementerian Pertanian. Sinar Tani

No.3136, Tahun XXXVI

Page 71: LAPORAN AKHIR ANALISIS EVALUASI IMPLEMENTASI ...

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan, 2019 55

Timmer CP, Falcon WP, Pearson SR. 1983. Food Policy Analysis. Baltimore : Johns

Hopkins University Press.

Widadie F, Sutanto A. 2012. Model Ekonomi Perberasan : Analisis Integrasi Pasar dan

Simulasi Kebijakan Harga. Jurnal SEPA. 8(2):51-182.

Widiarsih D. 2012. Pengaruh Sektor Komoditi Beras Terhadap Inflasi Bahan Makanan.

Jurnal Sosial Ekonomi Pembangunan. 6:244-256.

Yuliadi I. 2007. Analisis Nilai Tukar Rupiah dan Implikasinya pada Perekonomian

Indonesia : Pendekatan Error Correction Model (ECM). Jurnal Ekonomi

Pembangunan. 8(2):146-162.

Page 72: LAPORAN AKHIR ANALISIS EVALUASI IMPLEMENTASI ...

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan, 2019 56

L A M P I R A N

Page 73: LAPORAN AKHIR ANALISIS EVALUASI IMPLEMENTASI ...

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan, 2019 57

Lampiran 1. Memo Kebijakan

EVALUASI IMPLEMENTASI KEBIJAKAN HARGA BARANG POKOK

A. Isu kebijakan

1. Pengelolaan pangan nasional selalu menjadi agenda penting dalam

mewujudkan kesejehteraan bersama. Lebih jauh, pengelolaan pangan

nasional ditujukan untuk meningkatkan ketahanan pangan, yang mencakup

aspek ketersediaan, aksesibilitas, dan stabilitas. Dampak dari pengelolaan

pangan setidaknya dapat dilihat dari satu indikator, yaitu perkembangan

harga, yang merefleksikan kondisi ketersediaan (stok) dan juga tingkat

permintaan di pasar (ceteris paribus).

2. Pemerintah melalui Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2015 tentang

Penetapan dan Penyimpanan Barang Kebutuhan Pokok dan Barang Penting,

telah menentukan beberapa komoditas, khususnya komoditas pangan, yang

dianggap memiliki peran vital dan strategis dalam proses pembangunan

nasional. Secara lebih spesifik, komoditas pangan yang diatur dalam beleid

tersebut diantaranya yaitu beras, gula, minyak goreng, bawang merah, daging

sapi, daging ayam ras, dan telur ayam ras.

3. Dalam menjamin ketersediaan pasokan dan stabilitas harga barang

kebutuhan pokok tersebut, Kementerian Perdagangan menerbitkan berbagai

kebijakan. Diantara kebijakan yang mengatur harga bapok yaitu Permendag

57/2017 tentang HET beras dan Permendag 96/2018 tentang Harga Acuan

Pembelian dan Penjualan beberapa komoditi pangan pokok. Kebijakan-

kebijakan harga tersebut ada yang telah berlaku sejak 2017 sehingga perlu

ditelaah lebih lanjut bagaimana efektivitasnya dalam dalam menjaga stabilitas

harga. Dengan demikian, analisis ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana

pengaruh kebijakan dimaksud terhadap stabilitas harga serta mengidentifikasi

permasalahan yang dihadapi dalam pelaksanaan kebijakan harga bapok

tersebut.

Page 74: LAPORAN AKHIR ANALISIS EVALUASI IMPLEMENTASI ...

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan, 2019 58

B. Efektivitas kebijakan harga terhadap stabilitas harga pangan pokok di

dalam negeri

1. Kebijakan pengendalian harga bapok yang diterapkan pemerintah bertumpu

pada konsep harga dasar (floor price) dan harga atap (price ceiling).

Kebijakan yang diterapkan khusus untuk komoditas beras mengikuti harga

atap dengan ditetapkannya harga eceran tertinggi (HET) bagi jenis beras

medium dan premium yang terbagi berdasarkan wilayah. Sedangkan

kebijakan lainnya yaitu harga acuan menerapkan prinsip harga dasar dan

harga atap dengan ditetapkan harga pembelian di tingkat produsen dan harga

penjualan di tingkat konsumen. Dengan adanya kebijakan diatas tersebut,

diharapkan harga baik di tingkat produsen hingga konsumen dapat lebih

stabil.

2. Berbagai studi menunjukkan bahwa banyak faktor yang mempengaruhi

pembentukan harga beras di dalam negeri, terutama adalah (i) produksi, (ii)

konsumsi, (iii) stok, (iv) musim, (v) harga beras di tingkat pedagang grosir, (vi)

HPP gabah/HPP beras, (vii) kebijakan impor, serta (vii) harga beras pada

periode sebelumnya. Selama periode pengamatan, 2015-2018, harga

pembelian pemerintah untuk gabah ditetapkan sebesar Rp 3.700/kg dan

beras sebesar Rp 7.300/kg yang mengacu pada Inpres No 5 tahun 2015.

Selama periode tersebut, harga beras menunjukkan tren kenaikan sebesar

3,02%. Harga beras setelah penerapan HET terjadi kenaikan harga sekitar

5,6% dibandingkan periode sebelum kebijakan HET. Artinya, dengan adanya

penetapan harga dasar akan mendorong pada kenaikan harga. Namun

demikian, saat ini HPP gabah/HPP beras dinilai tidak berperan terhadap

kenaikan harga beras di tingkat eceran karena selama periode pengamatan

tidak ada perubahan HPP.

3. Selama periode 2015-2019, faktor-faktor yang mempengaruhi harga beras

eceran di tingkat konsumen adalah harga beras medium di penggilingan, nilai

tukar rupiah terhadap dollar US, jumlah konsumsi beras, jumlah stok, jumlah

produksi beras serta kebijakan harga eceran tertinggi. Kebijakan HET beras

efektif mempengaruhi harga beras di tingkat eceran hanya dalam jangka

Page 75: LAPORAN AKHIR ANALISIS EVALUASI IMPLEMENTASI ...

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan, 2019 59

pendek, sedangkan dalam jangka panjang kebijakan HET menjadi kurang

efektif dalam menjaga stabilitas harga beras di tingkat konsumen. Dalam

jangka panjang, ditemukan bahwa penetapan kebijakan HET beras tidak

efektif dalam menciptakan stabilisasi harga eceran beras di tingkat domestik.

Stabilitas harga beras di tingkat konsumen lebih disebabkan oleh variable nilai

tukar, harga beras medium di tingkat penggilingan, dan jumlah konsumsi

dimana ketiganya mempunyai pengaruh yang signifikan. Kebijakan

penentuan atau penetapan harga eceran tertinggi (HET) beras memiliki

pengaruh jangka pendek saja dalam menstabilkan harga beras di tingkat

konsumen.

4. Kebijakan HET beras dalam jangka panjang kurang berpengaruh secara

efektif terhadap stabilitas harga di tingkat eceran. Hal ini dikarenakan oleh (i)

kebijakan HET diterapkan pada kualitas beras medium dan premium,

sementara beras memiliki banyak jenis varietas/merek sehingga dilapangan

masih sulit dalam pengelompokkan kualitas beras medium dan premium

berdasarkan varietas/merek, (ii) Terdapat perbedaan harga (pricing gap) yang

cukup lebar antara medium dan premium sehingga memaksa keberlanjutan

pasokan beras medium mengarah ke premium, (iii) Banyak pemain beras

pada saat menjual beras tidak mengacu pada HET tetapi lebih pada

permintaan pasar; (iv) nilai tukar rupiah yang tidak stabil serta (v) HET belum

mempertimbangan perkembangan struktur biaya produksi serta margin

pemasaran sesuai kondisi terkini/musiman.

5. Implementasi kebijakan HET beras menjadi kurang efektif di lapangan karena

dihadapkan pada berbagai permasalahan yaitu: (i) Pedagang beras di pasar

masih menjual beras sesuai harga umum yang berlaku di pasar dan tidak

terlalu memperhatikan HET. Meski HET menjadi acuan, harga jual di pasar

pada akhirnya harus menyesuaikan dengan harga beli beras dari

penggilingan dan harga gabah dari petani; (ii) penggilingan menjual beras

berdasarkan harga gabah yang mereka beli saat itu; (iii) beras dijual

berdasarkan varietas/merek yang berbeda-beda di setiap wilayah, bukan

kualitas; (iv) struktur biaya produksi yang bervariasi di masing-masing

wilayah (v) kriteria penentuan kualitas beras (medium dan premium) kurang

implementatif di pasar; (vi) Penentuan rentang HET antara beras medium dan

Page 76: LAPORAN AKHIR ANALISIS EVALUASI IMPLEMENTASI ...

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan, 2019 60

premium yang cukup lebar menjadi insentif bagi pedagang untuk meraup

keuntungan di luar kewajaran (moral hazard). Pada tingkat penggilingan,

produksi beras terdorong untuk menghasilkan beras premium karena prospek

keuntungan yang lebih besar dibandingkan beras medium.

6. Sedangkan pada beberapa komoditas pangan pokok lainnya yang diamati,

penerapan kebijakan harga acuan dalam mengendalikan harga bahan pokok

paling efektif dapat ditemui pada komoditi gula. Hal ini tampak dari

menurunnya jumlah kejadian harga pasar melebihi harga acuan pada kota

besar yang diamati. Pada periode tersebut, terjadi penurunan frekuensi harga

rata-rata nasional gula pasir yang berada diatas harga acuan, dari 90% (9

kota) di tahun 2017 menjadi 60% (6 kota) saja di tahun 2019. Perkembangan

harga pada komoditas gula ini mungkin dikarenakan banyak gula yang dijual

oleh toko modern dan mungkin mendorong harga penjualan gula di pasar

tradisional juga ikut menyesuaikan dengan harga acuan. Sedangkan pada

komoditas lainnya (minyak goreng curah, daging sapi, daging ayam ras, dan

telur ayam ras) keadaan ini bervariasi. Penurunan frekuensi kasus

melampaui harga acuan juga terjadi pada minyak goreng curah, dari 80%

menjadi 60% kasus. Untuk daging sapi, tidak terjadi perubahan frekuensi,

dimana karena pada seluruh daerah amatan sepanjang periode terjadi rata-

rata 80% kasus di atas harga acuan, atau 8 dari 10 kota masih diatas harga

acuan. Khusus untuk produk unggas, frekuensi kejadian harga diatas harga

acuan malah meningkat, daging ayam naik dari hanya 30% kasus, menjadi

50%, dan bahkan telur ayam meningkat dari 50% menjadi 90%.

Perkembangan harga produk unggas dapat dipahami mengingat pada tahun

2018-2019 terjadi anomali harga, dimana harga pada tingkat peternak sangat

rendah, namun di pasar eceran terjadi kenaikan harga.

7. Sedangkan dari sisi daerah, dari 10 Ibukota provinsi yang diamati, rata-rata

menunjukkan perkembangan frekuensi kasus harga diatas harga acuan pada

5 komoditas yang bervariasi, tergantung pada jenis komoditasnya. Namun

demikian, Papua dan Papua Barat menunjukkan konsistensi harga yang tinggi

sepanjang tahun, harga pasar untuk seluruh komoditi selalu berada diatas

harga acuan baik sebelum penerapan Permendag Nomor 96 tahun 2018

maupun sesudah penerapan peraturan tersebut. Pada tahun 2019 (hingga

Page 77: LAPORAN AKHIR ANALISIS EVALUASI IMPLEMENTASI ...

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan, 2019 61

bulan September) terdapat 4 daerah yang konsisten menunjukkan

perkembangan harga diatas harga acuan pada komoditas terpilih, yaitu

Provinsi DKI Jakarta, Jawa Barat, Papua, serta Papua Barat. Hal ini

menunjukkan adanya kemungkinan pada daerah-daerah tersebut belum

efektifnya kebijakan pemerintah atau belum adanya respon yang memadai

dari pemerintah dalam meredam tingginya harga barang pokok di tingkat

pengecer. Secara keseluruhan, rentang frekuensi kejadian harga pasar di

atas harga acuan pada komoditi dan daerah yang diamati sangat bervariasi,

mulai dari 20%-100% selama periode pengamatan. Ini berarti, walaupun

terdapat daerah yang frekuensi harga pasar melebihi harga acuannya rendah,

akan tetapi secara nasional komoditas-komoditas yang diamati rata-rata

masih berada pada harga pasar diatas harga acuan, baik sebelum penerapan

kebijakan maupun sesudahnya. Hal ini menunjukkan kebijakan harga yang

ada saat ini belum efektif dalam meredam harga bapok yang diaturnya.

C. Rekomendasi Kebijakan

1. Kebijakan HET yang diberlakukan pada beras, akan efektif jika dilakukan

dalam jangka pendek. Dalam jangka panjang kebijakan tersebut tidak efektif

karena akan mendorong peningkatkan harga gabah menjadi lebih tinggi dan

relatif tidak stabil (relatif berfluktuasi).

2. Jika pemerintah tetap melanjutkan kebijakan HET beras, beberapa hal yang

perlu dilakukan, sebagai berikut:

(i) Mempertimbangkan struktur biaya di tingkat petani dengan kondisi saat

ini;

(ii) Melakukan pengelompokkan kelas kualitas dari berbagai jenis

varietas/merek beras dalam kelompok beras medium dan premium

melalui pengujian laboratorium untuk memudahkan pengawasan;

(iii) Kebijakan HET harus didukung oleh kondisi produksi dan stok beras

yang aman dan mencukupi;

(iv) Kebijakan HET perlu disertai dengan penegakan hukum dan sanksi yang

tegas yang dituangkan dalam peraturan;

Page 78: LAPORAN AKHIR ANALISIS EVALUASI IMPLEMENTASI ...

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan, 2019 62

(v) Menjaga tingkat nilai tukar rupiah terhadap US dollar agar tetap

terkendali, mengingat impor masih tetap dibutuhkan untuk mengisi stok

beras pemerintah.

3. Sedangkan untuk kebijakan harga acuan, Pemerintah perlu meningkatkan

pengawasan dan intervensi terhadap harga bahan kebutuhan pokok yang

berada diatas harga acuan, khususnya pada daerah yang dianggap tinggi

tingkat penyimpangannya yaitu Papua dan Papua Barat dibandingkan daerah

lainnya. Selain itu, pemerintah juga disarankan untuk melakukan komunikasi

yang lebih efisien, khususnya antara Kementerian Pertanian, Kemenko

Perekonomian, Kementerian Perdagangan, Bulog, dan BUMN lainnya untuk

mendukung implementasi kebijakan harga acuan, termasuk didalamnya

mengoptimalkan peran pelaku usaha distribusi bapok dalam mengendalikan

harga. Pemerintah daerah juga perlu membentuk BUMD atau BLUD (Badan

Layanan Umum Daerah) di tingkat Provinsi yang memiliki tugas untuk

stabilisasi harga ditingkat daerah dimana BUMD/BLUD tersebut hanya

membutuhkan perintah dari Pemda setempat untuk melakukan intervensi.

Terakhir, sebagai pengembangan analisis ini, perlu dilakukan kajian untuk

meningkatkan efisiensi dan kecepatan pelaksanaan kebijakan pengendalian

harga oleh Kementerian/Lembaga terkait.

Page 79: LAPORAN AKHIR ANALISIS EVALUASI IMPLEMENTASI ...

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan, 2019 63

Lampiran 2. Perkembangan harga 5 komoditas pangan pokok pada 10 kota pantauan,

2017-2019 (september)

Nasional

Minyak Goreng Curah Gula Minyak Goreng Bawang Merah Daging Sapi K1 Daging Sapi K2 Daging Ayam Ras Telur Ayam Ras

Jan Rp 12.450 Rp15.400 Rp 13.800 Rp 35.750 Rp 116.950 Rp 109.100 Rp 33.950 Rp 22.450

Feb Rp 12.650 Rp15.400 Rp 14.000 Rp 36.150 Rp 116.850 Rp 109.000 Rp 31.300 Rp 21.500

Mar Rp 12.650 Rp15.300 Rp 14.050 Rp 37.600 Rp 116.950 Rp 109.600 Rp 31.150 Rp 20.800

Apr Rp 12.500 Rp15.150 Rp 14.050 Rp 34.050 Rp 116.300 Rp 110.200 Rp 31.300 Rp 20.650

Mei Rp 12.500 Rp15.100 Rp 14.050 Rp 31.500 Rp 116.850 Rp 110.550 Rp 32.850 Rp 21.850

Jun Rp 12.450 Rp15.050 Rp 14.050 Rp 32.250 Rp 118.050 Rp 111.550 Rp 32.850 Rp 22.100

Jul Rp 12.250 Rp14.950 Rp 14.000 Rp 36.900 Rp 118.000 Rp 111.250 Rp 33.350 Rp 22.300

Agt Rp 12.100 Rp14.850 Rp 13.950 Rp 30.400 Rp 117.800 Rp 111.150 Rp 34.450 Rp 22.500

Sep Rp 12.150 Rp14.700 Rp 13.950 Rp 27.150 Rp 117.850 Rp 111.100 Rp 32.250 Rp 22.300

Okt Rp 12.200 Rp14.550 Rp 13.950 Rp 23.900 Rp 117.450 Rp 110.750 Rp 30.650 Rp 21.900

Nov Rp 12.150 Rp14.400 Rp 13.900 Rp 25.750 Rp 117.400 Rp 110.500 Rp 31.150 Rp 22.100

Des Rp 12.150 Rp14.350 Rp 13.950 Rp 26.400 Rp 117.800 Rp 110.900 Rp 33.450 Rp 24.950

Jan Rp 11.950 Rp14.200 Rp 13.850 Rp 25.850 Rp 117.700 Rp 110.600 Rp 34.250 Rp 25.250

Feb Rp 11.900 Rp14.100 Rp 13.800 Rp 25.700 Rp 117.550 Rp 110.200 Rp 32.150 Rp 23.400

Mar Rp 11.950 Rp14.000 Rp 13.800 Rp 28.000 Rp 117.850 Rp 109.850 Rp 31.900 Rp 22.700

Apr Rp 11.950 Rp14.000 Rp 13.750 Rp 36.450 Rp 118.000 Rp 109.600 Rp 33.400 Rp 23.250

Mei Rp 11.950 Rp13.950 Rp 13.750 Rp 36.350 Rp 119.050 Rp 110.200 Rp 35.850 Rp 25.300

Jun Rp 11.950 Rp13.900 Rp 13.750 Rp 35.400 Rp 120.950 Rp 112.450 Rp 37.550 Rp 25.150

Jul Rp 11.800 Rp13.800 Rp 13.650 Rp 30.450 Rp 119.100 Rp 110.500 Rp 39.050 Rp 26.650

Agt Rp 11.650 Rp13.700 Rp 13.600 Rp 27.000 Rp 119.700 Rp 111.100 Rp 37.600 Rp 25.250

Sep Rp 11.550 Rp13.550 Rp 13.500 Rp 23.850 Rp 119.250 Rp 110.550 Rp 34.100 Rp 24.000

Okt Rp 11.450 Rp13.450 Rp 13.450 Rp 22.400 Rp 119.450 Rp 110.500 Rp 34.100 Rp 23.200

Nov Rp 11.300 Rp13.350 Rp 13.350 Rp 25.300 Rp 119.450 Rp 110.800 Rp 34.200 Rp 23.750

Des Rp 11.100 Rp13.250 Rp 13.250 Rp 30.000 Rp 119.500 Rp 110.850 Rp 37.000 Rp 26.100

Jan Rp 11.150 Rp13.150 Rp 13.200 Rp 32.800 Rp 119.200 Rp 110.700 Rp 36.200 Rp 25.950

Feb Rp 11.250 Rp13.050 Rp 13.200 Rp 29.000 Rp 119.800 Rp 111.250 Rp 33.300 Rp 24.500

Mar Rp 11.300 Rp13.200 Rp 13.200 Rp 33.250 Rp 120.100 Rp 111.400 Rp 32.400 Rp 23.800

Apr Rp 11.300 Rp13.300 Rp 13.200 Rp 40.150 Rp 119.950 Rp 111.400 Rp 33.500 Rp 24.200

Mei Rp 11.300 Rp13.750 Rp 13.200 Rp 37.150 Rp 121.100 Rp 112.450 Rp 35.250 Rp 25.800

Jun Rp 11.250 Rp13.850 Rp 13.200 Rp 39.100 Rp 123.100 Rp 114.100 Rp 34.950 Rp 25.150

Jul Rp 11.200 Rp13.850 Rp 13.200 Rp 34.550 Rp 121.400 Rp 112.800 Rp 34.900 Rp 24.850

Agt Rp 11.250 Rp13.750 Rp 13.200 Rp 28.750 Rp 121.900 Rp 112.950 Rp 32.600 Rp 24.850

Sep Rp 11.300 Rp13.700 Rp 13.200 Rp 23.750 Rp 121.750 Rp 112.550 Rp 31.200 Rp 24.200

Okt Rp 11.200 Rp13.750 Rp 13.150 Rp 25.000 Rp 121.700 Rp 112.750 Rp 33.350 Rp 23.350

Nov Rp 11.650 Rp13.800 Rp 13.250 Rp 29.400 Rp 121.600 Rp 112.950 Rp 34.400 Rp 23.900

Des Rp 11.850 Rp13.900 Rp 13.400 Rp 31.850 Rp 122.200 Rp 113.450 Rp 35.200 Rp 25.600

2017

2018

2019

Komoditi

Page 80: LAPORAN AKHIR ANALISIS EVALUASI IMPLEMENTASI ...

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan, 2019 64

Komoditas

1. Minyak Goreng Curah dan Kemasan

Page 81: LAPORAN AKHIR ANALISIS EVALUASI IMPLEMENTASI ...

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan, 2019 65

2. Gula Pasir

3. Daging Sapi

Page 82: LAPORAN AKHIR ANALISIS EVALUASI IMPLEMENTASI ...

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan, 2019 66

4. Daging Ayam Ras

5. Telur Ayam Ras