LAPORAN AKHIR ANALISIS EVALUASI IMPLEMENTASI KEBIJAKAN HARGA PANGAN POKOK Pusat Pengkajian Perdagangan Dalam Negeri Badan Pengkajian dan Pengembangan Perdagangan Kementerian Perdagangan Republik Indonesia 2019
LAPORAN AKHIR ANALISIS
EVALUASI IMPLEMENTASI KEBIJAKAN HARGA PANGAN POKOK
Pusat Pengkajian Perdagangan Dalam Negeri
Badan Pengkajian dan Pengembangan Perdagangan
Kementerian Perdagangan
Republik Indonesia
2019
PELAKSANA KEGIATAN ANALISIS
Kegiatan “Analisis Evaluasi Implementasi Kebijakan Harga Barang Pokok”
dilaksanakan oleh Pusat Pengkajian Perdagangan Negeri, Badan Pengkajian dan
Pengembangan Perdagangan, Kementerian Perdagangan pada Tahun Anggaran
2019 dengan susunan tim analisis sebagai berikut:
Penanggung Jawab : Rachmad Erland Danny D.
Koordinator : Yati Nuryati
Anggota : Dwi Wahyuniarti Prabowo
Aditya Priantomo
Rizqi Muflicha Pambayun
Narasumber Pendamping : Wayan. R. Susila
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan, 2019 i
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang atas izinNya Tim Peneliti Pusat Pengkajian Perdagangan Dalam Negeri dapat menyelesaikan Laporan “Analisis Evaluasi Implementasi Kebijakan Harga Barang Pokok” dengan baik.
Setiap rezim pemerintahan senantiasa memasukkan pengelolaan ketahanan
pangan dalam program pembangunannya, yang salah satunya dilakukan lewat menjaga stabilitas harga dan menjamin ketersediaan pasokan bahan pangan pokok. Pengelolaan ketersediaan pangan diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 Tentang Perdagangan dan Perpres Nomor 71 tahun 2015 tentang Penetapan dan Penyimpanan Barang Kebutuhan Pokok dan Barang Penting (Bapokting).
Sebagai penunjang pelaksanaan beleid tersebut, Kementerian Perdagangan
sebagai salah satu bagian dari pemangku kepentingan, mengeluarkan berbagai kebijakan yang mengatur pada sisi hilir maupun distribusinya. Diantara kebijakan tersebut yaitu Permendag Nomor 57/2017 tentang Penetapan HET beras dan Permendag 96/2018 tentang Harga Acuan Penjualan untuk beberapa barang pokok. Kebijakan-kebijakan harga tersebut telah berlaku sejak 2017 sehingga perlu ditelaah lebih lanjut bagaimana efektivitasnya dalam dalam menjaga stabilitas harga. Dengan demikian, analisis ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pengaruh kebijakan dimaksud terhadap stabilitas harga serta mengidentifikasi permasalahan yang dihadapi dalam pelaksanaan kebijakan harga bapok tersebut .
Tim penyusun menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari sempurna, oleh
karena itu kami mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun untuk perbaikan analisis berikutnya. Dalam kesempatan ini tim peneliti mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu terselesaikannya laporan ini. Sebagai penutup, semoga hasil analisis ini bermanfaat bagi semua pihak dan dapat digunakan sebagai bahan referensi dalam pengambilan keputusan pimpinan serta bahan masukan untuk perumusan kebijakan harga barang kebutuhan pokok dimasa yang akan datang.
Jakarta, November 2019
Pusat Pengkajian Perdagangan Dalam Negeri
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan, 2019 ii
RINGKASAN EKSEKUTIF
Secara multi dimensi, pangan mempunyai peran penting dalam segala aspek
kehidupan manusia. Selain merupakan kebutuhan pokok bagi manusia dalam bertahan
hidup dan berkembang biak, pada tingkatan sebuah negara, pangan sangat erat
kaitannya dengan kelangsungan hidup negara itu sendiri. Sebagai contoh, dari segi
ekonomi, sektor pangan merupakan salah satu penggerak perekonomian, khususnya bagi
negara agraris seperti Indonesia. Berdasarkan catatan BPS, Lapangan usaha Pertanian,
Kehutanan, dan Perikanan tumbuh positif 1,81 persen pada kuartal 1 2019 (yoy) dan
menyumbang 0.23 persen terhadap pertumbuhan PDB nasional. Pentingnya peran
pangan juga dapat dilihat dari pangsa pengeluaran masyarakat Indonesia, dimana pangsa
pengeluaran masarakat untuk pangan masih cukup tinggi atau sekitar 50% dari total
pengeluaran (BPS, 2018).
Dengan demikian, pengelolaan pangan nasional selalu menjadi agenda penting
dalam mewujudkan kesejehteraan bersama. Lebih jauh, pengelolaan pangan nasional
ditujukan untuk meningkatkan ketahanan pangan, yang mencakup aspek ketersediaan,
aksesibilitas, dan stabilitas. Dampak dari pengelolaan pangan setidaknya dapat dilihat
dari satu indikator, yaitu perkembangan harga, yang merefleksikan kondisi ketersediaan
(stok) dan juga tingkat permintaan di pasar (ceteris paribus).
Pemerintah melalui Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2015 tentang Penetapan
dan Penyimpanan Barang Kebutuhan Pokok dan Barang Penting, telah menentukan
beberapa komoditas, khususnya komoditas pangan, yang dianggap memiliki peran vital
dan strategis dalam proses pembangunan nasional. Secara lebih spesifik, komoditas
pangan yang diatur dalam beleid tersebut diantaranya yaitu beras, gula, minyak goreng,
bawang merah, daging sapi, daging ayam ras, dan telur ayam ras. Kemudian, sebagai
langkah operasional dalam menjamin ketersediaan pasokan dan stabilitas harga barang
kebutuhan pokok tersebut, Kementerian Perdagangan menerbitkan berbagai kebijakan
yang diarahkan untuk mendukung kelancaran distribusi dan ketersediaan bahan pangan,
termasuk didalamnya mendorong upaya pemenuhan ketersediaan dan keterjangkauan
bahan pangan (akses dan harga pangan). beberapa kebijakan yang mengatur harga
misalnya yaitu Permendag 57/2017 tentang HET beras, Permendag 96/2018 tentang
Harga Acuan Pembelian dan Penjualan beberapa komoditi pangan pokok. Kebijakan-
kebijakan harga tersebut telah berlaku sejak 2017 sehingga perlu ditelaah lebih lanjut
bagaimana efektivitasnya dalam dalam menjaga stabilitas harga. Dengan demikian,
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan, 2019 iii
analisis ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pengaruh kebijakan dimaksud
terhadap stabilitas harga serta mengidentifikasi permasalahan yang dihadapi dalam
pelaksanaan kebijakan harga bapok tersebut.
Dua kebijakan tersebut bertumpu pada konsep harga dasar (floor price) dan harga
atap (price ceiling). Kebijakan yang diterapkan khusus untuk komoditas beras mengikuti
harga atap dengan ditetapkannya harga eceran tertinggi (HET) bagi jenis beras medium
dan premium yang terbagi berdasarkan wilayah. Sedangkan kebijakan lainnya yaitu harga
acuan menerapkan prinsip harga dasar dan harga atap dengan ditetapkan harga
pembelian di tingkat produsen dan harga penjualan di tingkat konsumen. Dengan adanya
kebijakan diatas tersebut, diharapkan harga baik di tingkat produsen hingga konsumen
dapat lebih stabil.
Namun demikian, berdasarkan hasil pantauan harga pada komoditas tersebut,
didapati bahwa rata-rata harga komoditas pangan tersebut masih ada yang diatas HET
maupun harga acuannya. Sebagai contoh, sejak diimplementasikan kebijakan HET beras
pada bulan September 2017, berdasarkan data BPS hingga akhir tahun 2018 harga beras
masih diatas HET, bahkan ketika dan setelah musim panen tiba. Lebih parahnya,
walaupun pemerintah telah melakukan operasi pasar agar dapat mengendalikan harga
beras, namun tidak membuat harga beras tidak menurun signifikan, dan bahkan volume
beras di tingkat penggilingan relatif menurun. Hal yang relatif sama juga ditemui terhadap
beberapa komoditas pangan yang diatur dalam Permendag 96/2018. Cabai, bawang
merah, daging ayam ras, dan telur ayam ras merupakan beberapa komoditas yang
harganya terpantau sering terjadi fluktuasi sepanjang tahun 2017-2019 yang disebabkan
oleh adanya berbagai macam dinamika pasar, dari naiknya permintaan pasar hingga
hambatan distribusi. Berdasarkan uraian diatas, permasalahan utama yang perlu
ditemukan jawabannya adalah: bagaimana efektivitas kebijakan harga dalam menjaga
stabilitas harga pangan dan bagaimana permasalahan yang dihadapi dalam implementasi
kebijakan tersebut. . Oleh karena itu analisis ini memiliki tujuan untuk (i) Menganalisis
efektifitas kebijakan pengendalian harga terhadap stabilitas harga bapok; (ii)
Mengidentifikasi permasalahan yang dihadapi dalam pelaksanaan kebijakan
pengendalian harga pada barang kebutuhan pokok; serta (iii) Merumuskan rekomendasi
kebijakan dalam rangka meningkatkan efektivitas pengendalian harga bapok.
Dengan adanya perbedaan karakteristik pada kedua kebijakan tersebut, maka untuk
menjawab pertanyaan analisis, digunakan pendekatan kualitatif dan kuantitatif. Untuk
kebijakan HET beras, dilakukan pendekatan kualitatif dengan menggunakan regulatory
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan, 2019 iv
impact assesment (RIA) dan pendekatan kuantitatif dengan menggunakan persamaan
error correction model (ECM) untuk mengukur efektivitas kebijakan HET terhadap
stabilitas harga. Sedangan untuk harga acuan, dilakukan statitistik deskriptif, yaitu
menggambarkan fenomena pergerakan harga komoditas yang diamati (gula, minyak
goreng curah, daging ayam ras, telur ayam ras, daging sapi segar) dan
mengidentifikasikan kemungkinan pengaruh penetapan Permendag 96/2018 terhadap
pergerakan harga tersebut pada 10 Ibukota terpilih.
Data yang digunakan dalam analisisi ini yaitu data primer dan data sekunder. Data
primer diperoleh melalui pengamatan di lapangan dengan melakukan survei ke daerah
serta forum diskusi terbatas (FGD). Sementara data sekunder diperoleh dari BPS,
Kementerian Pertanian, Kementerian Perdagangan, Reuters serta sumber lainnya yang
relevan.
Beras sebagai salah satu komoditas pangan pokok memiliki karakteristik harga
fluktuatif sepanjang tahun karena adanya pengaruh musim dan permintaan. Sebagai
pangan pokok, konsumsi beras sangat besar karena makanan pokok hampir 90%
masyarakat Indonesia. Akibatnya, peran beras terhadap perekonomian, khususnya
terhadap pembentukan inflasi cukup besar, yaitu menyumbang bobot inflasi sebesar
3,68%. Ini berarti bahwa kenaikan sedikit saja pada harga beras akan memiliki dampak
yang signifikan terhadap perubahan inflasi nasional khususnya inflasi bahan makanan.
Perkembangan dan dinamika harga beras selama tahun 2015-2019 menunjukkan
bahwa harga beras cenderung naik dan berfluktuasi mengikuti harga gabah. Selama
periode sebelum penerapan kebijakan HET (Januari-September 2017) harga gabah kering
panen (GKP) berkisar antara Rp 4.300/kg – Rp 4.750/kg dan setelah periode penerapan
HET beras harga gabah berkisar antara Rp 4.500/kg – Rp 5.400/kg. Sementara harga
gabah kering giling (GKG) berkisar antara Rp 5.200/kg – Rp 5.500/kg (sebelum periode
kebijakan HET) dan harga GKG berkisar antara Rp 5.300/kg – Rp 6.000/kg (setelah
periode kebijakan HET). Trend kenaikan harga gabah ini telah mendorong harga beras di
tingkat konsumen yang juga cenderung naik. Selama periode tersebut harga beras
menunjukkan tren peningkatan dengan kenaikan harga rata-rata sebesar 3,02%. Harga
beras setelah penerapan HET terjadi kenaikan harga sekitar 5,6% dibandingkan periode
sebelum kebijakan HET.
Hasil pengamatan dilapangan menunjukkan bahwa permasalahan dan kendala
dalam pelaksanaan kebijakan HET beras yaitu: (i) pedagang menjual beras sesuai harga
pasar tidak terlalu memperhatikan HET. Penjualan beras tetap menyesuaikan dengan
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan, 2019 v
harga beli gabah, (ii) jenis beras medium dan premium hanya terdapat di tingkat
penggilingan yang mana penggilingan menjual harga beras berdasarkan harga gabah
yang mereka beli, (iii) secara umum, beras di pasar dijual berdasarkan varietas/merek
dimana setiap wilayah berbeda-beda serta (iv) struktur biaya produksi berbeda setiap
wilayah. Permasalahan-permasalahan tersebut berdampak pada kurang efektifnya
implementasi kebijakan HET. Lebih lanjut, kebijakan HET beras kurang efektif dilapangan
dikarenakan oleh (i) Pedagang beras di pasar masih menjual beras sesuai harga umum
yang berlaku di pasar dan tidak terlalu memperhatikan HET. Harga jual di pasar pada
akhirnya harus menyesuaikan dengan harga beli beras dari penggilingan dan harga
gabah dari petani; (ii) penggilingan menjual beras berdasarkan harga gabah yang mereka
beli saat itu; (iii) beras dijual berdasarkan varietas/merek yang berbeda-beda di setiap
wilayah, bukan kualitas; (iv) struktur biaya produksi yang bervariasi di masing-masing
wilayah (v) kriteria penentuan kualitas beras (medium dan premium) kurang implementatif
di pasar; (vi) Penentuan rentang HET antara beras medium dan premium yang cukup
lebar menjadi insentif bagi pedagang untuk meraup keuntungan di luar kewajaran (moral
hazard). Pada tingkat penggilingan, produksi beras terdorong untuk menghasilkan beras
premium karena prospek keuntungan yang lebih besar dibandingkan beras medium, serta
(vii) situasi nilai tukar rupiah yang tidak stabil.
Hasil analisis menunjukkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi harga beras
eceran di tingkat konsumen adalah harga beras medium di penggilingan, nilai tukar rupiah
terhadap dollar US, jumlah konsumsi beras, jumlah stok, jumlah produksi beras serta
kebijakan harga eceran tertinggi. kebijakan HET beras efektif mempengaruhi harga beras
di tingkat eceran dalam jangka pendek, hal ini dilihat dari sejak ditetapkan kebijakan HET,
kenaikan harga beras relatif sangat kecil dan kurang elastis (inelastis). Dalam jangka
panjang, ditemukan bahwa penetapan kebijakan HET beras tidak efektif dalam
menciptakan stabilisasi harga eceran beras di tingkat domestik. Selain disebabkan oleh
adanya variable-variabel lainnya yang mempengaruhi hal tersebut seperti variabel nilai
tukar, harga beras medium di tingkat penggilingan, dan jumlah konsumsi dimana
ketiganya secara signifikan mempengaruhi terhadap stabilisasi harga eceran beras di
pasar domestik.
Sedangkan pada beberapa komoditas pangan pokok lainnya yang diamati,
penerapan kebijakan harga acuan, yaitu Permendag nomor 96 tahun 2018 dalam
mengendalikan harga bahan pokok paling efektif dapat ditemui pada komoditi gula. Hal
ini tampak dari menurunnya jumlah kejadian harga pasar melebihi harga acuan pada kota
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan, 2019 vi
besar yang diamati. Pada periode tersebut, terjadi penurunan frekuensi harga rata-rata
nasional gula pasir yang berada diatas harga acuan, dari 90% (9 kota) di tahun 2017
menjadi 60% (6 kota) saja di tahun 2019. Perkembangan harga pada komoditas gula ini
mungkin dikarenakan banyak gula yang dijual oleh toko modern dan mungkin mendorong
harga penjualan gula di pasar tradisional juga ikut menyesuaikan dengan harga acuan.
Sedangkan pada komoditas lainnya (minyak goreng curah, daging sapi, daging ayam ras,
dan telur ayam ras) keadaan ini bervariasi. Penurunan frekuensi kasus melampaui harga
acuan juga terjadi pada minyak goreng curah, dari 80% menjadi 60% kasus. Untuk daging
sapi, tidak terjadi perubahan frekuensi, dimana karena pada seluruh daerah amatan
sepanjang periode terjadi rata-rata 80% kasus di atas harga acuan, atau 8 dari 10 kota
masih diatas harga acuan. Khusus untuk produk unggas, frekuensi kejadian harga diatas
harga acuan malah meningkat, daging ayam naik dari hanya 30% kasus, menjadi 50%,
dan bahkan telur ayam meningkat dari 50% menjadi 90%. Perkembangan harga produk
unggas dapat dipahami mengingat pada tahun 2018-2019 terjadi anomali harga, dimana
harga pada tingkat peternak sangat rendah, namun di pasar eceran terjadi kenaikan
harga.
Pergerakan pada komoditas gula ini mungkin dikarenakan banyak gula yang dijual
oleh toko modern. Toko modern memiliki kecenderungan untuk mematuhi peraturan yang
telah ditetapkan oleh pemerintah karena toko modern membutuhkan surat izin usaha
perdagangan untuk beroperasi, dan apabila toko modern tidak mematuhi peraturan yang
telah ditetapkan oleh pemerintah, maka toko modern bisa dikenakan sanksi administratif.
Penjualan harga gula sesuai harga acuan di toko modern mungkin mendorong harga
penjualan gula di pasar tradisional juga ikut menyesuaikan dengan harga acuan.
Sedangkan dari sisi daerah, dari 10 Ibukota provinsi yang diamati, rata-rata
menunjukkan perkembangan frekuensi kasus harga diatas harga acuan pada 5 komoditas
yang bervariasi, tergantung pada jenis komoditasnya. Namun demikian, Papua dan
Papua Barat menunjukkan konsistensi harga yang tinggi sepanjang tahun, dimana harga
pasar untuk seluruh komoditas pangan yang dipantau selalu berada diatas harga acuan
baik sebelum penerapan Permendag Nomor 96 tahun 2018 maupun sesudah penerapan
peraturan tersebut. Pada tahun 2019 (hingga bulan September) terdapat 4 daerah yang
konsisten menunjukkan perkembangan harga diatas harga acuan pada komoditas terpilih,
yaitu Provinsi DKI Jakarta, Jawa Barat, Papua, serta Papua Barat. Hal ini menunjukkan
adanya kemungkinan pada daerah-daerah kebijakan yang belum efektif atau belum
adanya respon yang memadai dari pemerintah dalam meredam tingginya harga barang
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan, 2019 vii
pokok di tingkat pengecer. Secara keseluruhan, rentang frekuensi kejadian harga pasar di
atas harga acuan pada komoditi dan daerah yang diamati sangat bervariasi, mulai dari
20%-100% selama periode pengamatan. Ini berarti, walaupun terdapat daerah yang
frekuensi harga pasar melebihi harga acuannya rendah, akan tetapi secara nasional
harga pasar komoditas-komoditas yang diamati rata-rata masih diatas harga acuan. Hal
ini menunjukkan penerapan kebijakan harga yang ada saat ini belum efektif dalam
meredam harga pangan pokok tersebut.
Rekomendasi yang dapat disampaikan yaitu Kebijakan HET yang diberlakukan pada
beras, akan efektif jika dilakukan dalam jangka pendek. Dalam jangka panjang kebijakan
tersebut akan mendorong peningkatkan harga gabah menjadi lebih tinggi dan relatif tidak
stabil (relatif berfluktuasi). Jika pemerintah tetap melanjutkan kebijakan HET beras,
beberapa hal yang perlu dilakukan, adalah (i) mempertimbangkan struktur biaya di tingkat
petani dengan kondisi saat ini; (ii) melakukan pengelompokkan kelas kualitas dari
berbagai jenis varietas/merek beras dalam kelompok beras medium dan premium melalui
pengujian laboratorium untuk memudahkan pengawasan; (iii) kebijakan HET harus
didukung oleh kondisi produksi dan stok beras yang aman dan mencukupi; (iv) kebijakan
HET perlu disertai dengan penegakan hukum dan sanksi yang tegas yang dituangkan
dalam peraturan; serta (v) menjaga tingkat nilai tukar rupiah terhadap US dollar agar tetap
terkendali, mengingat impor masih tetap dibutuhkan untuk mengisi stok beras pemerintah.
Sedangkan untuk kebijakan harga acuan, Pemerintah perlu meningkatkan
pengawasan dan intervensi terhadap harga bahan kebutuhan pokok yang berada diatas
harga acuan, khususnya pada daerah yang dianggap tinggi tingkat penyimpangannya
yaitu Papua dan Papua Barat dibandingkan daerah lainnya. Selain itu, pemerintah juga
disarankan untuk melakukan komunikasi yang lebih efisien, khususnya antara
Kementerian Pertanian, Kemenko Perekonomian, Kementerian Perdagangan, Bulog, dan
BUMN lainnya untuk mendukung implementasi kebijakan harga acuan, termasuk
didalamnya mengoptimalkan peran pelaku usaha distribusi bapok dalam mengendalikan
harga. Pemerintah daerah juga perlu membentuk BUMD atau BLUD (Badan Layanan
Umum Daerah) di tingkat Provinsi yang memiliki tugas untuk stabilisasi harga ditingkat
daerah dimana BUMD/BLUD dapat menjadi alat Pemda setempat untuk melakukan
intervensi. Terakhir, sebagai pengembangan analisis ini, perlu dilakukan kajian untuk
meningkatkan efisiensi dan kecepatan pelaksanaan kebijakan pengendalian harga oleh
Kementerian/Lembaga terkait.
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan, 2019 viii
ABSTRAK
Pemerintah melalui Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2015 telah menentukan beberapa komoditas pangan pokok. Lebih lanjut, Kementerian Perdagangan menerbitkan kebijakan yang mengatur harga bapok yaitu Permendag 57/2017 tentang HET beras dan Permendag 96/2018 tentang Harga Acuan Pembelian dan Penjualan beberapa komoditi pangan pokok. Analisis ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pengaruh kebijakan dimaksud terhadap stabilitas harga serta mengidentifikasi permasalahan yang dihadapi dalam pelaksanaan kebijakan harga bapok tersebut. Analisis kebijakan HET beras dilakukan melalui metode RIA dan ECM. Sedangkan kebijakan harga acuan bapok dievaluasi menggunakan statistik deskriptif. Hasil analisis menunjukkan faktor-faktor yang mempengaruhi harga beras eceran di tingkat konsumen adalah harga beras medium di penggilingan, nilai tukar rupiah terhadap dollar US, jumlah konsumsi beras, jumlah stok, jumlah produksi beras serta kebijakan harga eceran tertinggi. kebijakan HET beras hanya efektif mempengaruhi harga beras di tingkat eceran dalam jangka pendek. Selanjutnya, berdasarkan data perkembangan harga pada 5 komoditas terpilih di 10 Ibukota Provinsi, komoditas yang diamati rata-rata masih berada pada harga pasar diatas harga acuan, baik sebelum penerapan kebijakan maupun sesudahnya sehingga kebijakan harga acuan dianggap belum efektif mengendalikan harga. Rekomendasi kebijakan yang dihasilkan penelitian ini adalah kebijakan HET dapat dilaksanakan dengan persyaratan yaitu kebijakan HET harus didukung oleh kondisi produksi dan stok beras yang aman dan mencukupi; disertai dengan penegakan hukum dan sanksi yang tegas yang dituangkan dalam peraturan; serta menjaga tingkat nilai tukar rupiah terhadap US dollar agar tetap terkendali. Sedangkan untuk meningkatkan efektivitas harga acuan, Pemerintah perlu meningkatkan pengawasan dan intervensi terhadap harga bahan kebutuhan pokok yang berada diatas harga acuan, khususnya pada daerah yang dianggap tinggi tingkat penyimpangannya dibandingkan daerah lainnya, misalnya di Provinsi Papua dan Papua Barat. Selain itu, pemerintah juga disarankan untuk melakukan komunikasi yang lebih efisien, khususnya antara Kementerian Pertanian, Kemenko Perekonomian, Kementerian Perdagangan, Bulog, dan BUMN lainnya untuk mendukung implementasi kebijakan harga acuan, termasuk didalamnya mengoptimalkan peran pelaku usaha distribusi bapok dalam mengendalikan harga.
Kata kunci: Kebijakan Harga Eceran Tertinggi (HET) beras, kebijakan harga acuan bapok, stabilitas harga.
ABSTRACT
Through the implementation of Presidential Regulation No. 71 of 2015, concerning Determination and Storage of Staple Goods and Important Goods, the Government has determined several staple food commodities. Furthermore, the Ministry of Trade issued some policies regulating food prices, namely Regulation of the Minister of Trade 57/2017 on rice price ceiling and Ministry of Trade Regulation Number 96/2018 concerning Reference Prices for Buying and Selling of several staple food commodities. Thus, this analysis aims to find out how the influence of the said policy on price stability as well as identify problems encountered in implementing the food price policy. Tthe rice price ceiling policy is analyzed through the RIA and ECM methods. Whereas the reference price policy is evaluated using descriptive statistics. The results suggest there are several factors that influence retail rice prices at the consumer level, namely: the price of medium rice in the milling, the exchange rate of the rupiah against the US dollar, the amount of rice consumption, the amount of stock, the amount of rice production and the highest retail price policy. the rice price policy is only effective in affecting the price of rice at the retail level in the short term. Furthermore, based on data on price developments on 5 selected commodities in 10 provincial capitals, the average of
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan, 2019 ix
observed commodities market price were above the reference price, both before and after policy implementation. Hence, the reference price policy is considered not yet effective in controlling food prices. The policy recommendations of this study are that ceiling price policy can be implemented with the requirements that the policy must be supported by sufficient production and stock of rice; accompanied by law enforcement and strict sanctions as outlined in the regulations; and keep the rupiah exchange rate against the US dollar under control. Meanwhile, to increase the effectiveness of the reference price, the Government needs to increase supervision and intervention of prices of basic needs that are above the reference price, especially in regions considered to have high levels of deviation, namely Papua and West Papua compared to other regions. In addition, the government is also advised to make more effective communication, especially between the Ministry of Agriculture, the Coordinating Ministry for the Economy, the Ministry of Trade, the National Logistics Agency, and other SOEs to support the implementation of the reference price policy, including optimizing the role of staple food distributors in controlling prices. Keywords: price ceiling (HET) of rice, reference price policy, price stability.
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan, 2019 x
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ........................................................................................................ i
RINGKASAN EKSEKUTIF ............................................................................................... ii
ABSTRAK ........................................................................................................................ viii
DAFTAR ISI ..................................................................................................................... x
DAFTAR GAMBAR .......................................................................................................... xii
DAFTAR TABEL .............................................................................................................. xiii
DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................................... xiv
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................................... 1
1.1. Latar Belakang ................................................................................................. 1
1.2. Tujuan Analisis ................................................................................................. 4
1.3. Output Analisis ................................................................................................. 4
1.4. Perkiraan Manfaat dan Dampak ....................................................................... 5
1.5. Ruang Lingkup Analisis .................................................................................... 5
1.6. Sistematika Laporan ......................................................................................... 5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................................... 7
2.1. Harga Eceran Tertinggi (Ceiling Price) dan Harga Dasar (Floor Price) ............. 7
2.1.1. Harga Eceran Tertinggi (Ceiling Price) ..................................................... 7
2.1.2. Harga Dasar (Floor Price) ........................................................................ 9
2.2. Kebijakan Pengendalian Harga Barang Kebutuhan Pokok ............................... 10
2.2.1. Komoditi Beras ........................................................................................ 11
2.2.2. Komoditas Lainnya .................................................................................. 14
2.3. Konsep Analisis Data ....................................................................................... 15
2.4. Kerangka Pemikiran ......................................................................................... 16
BAB III METODOLOGI ..................................................................................................... 19
3.1. Jenis dan Sumber Data .................................................................................... 19
3.1.1. Jenis dan Sumber Data Analisis HET ..................................................... 19
3.1.2. Jenis dan Sumber Data Harga Acuan .................................................... 19
3.2. Metode dan Teknik Pengumpulan Data ............................................................ 20
3.2.1. Metode Analisis Data HET ....................................................................... 20
3.2.2. Metode Analisis Data Harga Acuan ......................................................... 22
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................................ 25
4.1. Hasil Analisis Harga Eceran Tertinggi (HET) ................................................... 25
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan, 2019 xi
4.1.1. Deskripsi Perkembangan dan Dinamika Harga Gabah dan Beras ........ 25
4.1.2. Keragaman Implementasi Kebijakan HET Beras : Kasus di Daerah
Survei ................................................................................................... 30
4.1.3. Perhitungan Struktur Biaya Produksi Beras .......................................... 34
4.1.4. Isu-isu Lain terkait Implementasi Kebijakan Harga ................................ 37
4.1.5. Analisis Efektifitas Penetapan Kebijakan HET terhadap Stabilitas
Harga Beras ......................................................................................... 40
4.1.5.1. Estimasi Dampak Kebijakan HET Beras terhadap Stabilitas
Harga Beras ........................................................................................... 40
4.1.6. Masukan terhadap Kebijakan HET di Masa Mendatang ........................ 43
4.2. Hasil Analisis Harga Acuan ............................................................................. 45
4.2.1. Analisis Frekuensi Penyimpangan Harga Komoditas ............................ 45
4.2.2. Pandangan Menurut Komoditas ............................................................ 46
4.2.3. Pandangan Menurut Daerah ................................................................. 48
BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI ................................................................... 50
5.1. Kesimpulan .................................................................................................... 50
5.1.1. Analisis Harga Eceran Tertinggi ............................................................ 50
5.1.2. Analisis Harga Acuan ............................................................................ 51
5.2. Rekomendasi Kebijakan ................................................................................. 52
5.2.1. Harga Eceran Tertinggi ......................................................................... 52
5.2.2. Harga Acuan ......................................................................................... 53
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................................... 54
LAMPIRAN ...................................................................................................................... 56
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan, 2019 xii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1. Partial Equilibrium dalam Kebijakan Ceiling Price ......................................... 7
Gambar 2.2. Partial Equilibrium dalam Kebijakan Floor Price ........................................... 8
Gambar 2.3. Kebijakan Harga Eceran Tertinggi (HET) ...................................................... 16
Gambar 2.4. Binding dan Non-Binding Price Ceiling ......................................................... 17
Gambar 2.5. Kerangka Operasional Penelitian ................................................................. 18
Gambar 4.1. Perkembangan Harga Gabah Kering Panen (GKP) di Petani, Gabah Kering
Giling (GKG) di Penggilingan dan HPP Gabah di Petani, 2016-2019
(September) .................................................................................................. 27
Gambar 4.2. Perkembangan Harga Beras Umum di Tingkat Eceran, 2016-2019
(September) .................................................................................................. 28
Gambar 4.3. Rata-rata Harga GKP di Tingkat Petani di berbagai Daerah di Indonesia,
tahun 2019 (s.d. September 2019) ................................................................ 30
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan, 2019 xiii
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1. Kebutuhan Data Sekunder Harga ..................................................................... 19
Tabel 3.2. Metode Analisis Penerapan Kebijakan Harga Acuan ........................................ 22
Tabel 4.1. Rincian Struktur Biaya Seluruh Anggota Saluran Pemasaran Beras ................ 35
Tabel 4.2. Rekapitulasi Frekuensi Kejadian Harga Pasar di Atas Harga Acuan pada 10
Kota Tahun 2017-2019, menurut komoditas .................................................... 46
Tabel 4.3. Perbandingan Frekuensi Kejadian Harga Pasar di Atas Harga Acuan,
menurut daerah ............................................................................................... 48
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan, 2019 xiv
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 : Memo Kebijakan ........................................................................................... 57
Lampiran 2 : Perkembangan harga 5 komoditas pangan pokok pada 10 kota pantauan,
2017-2019 (september) ................................................................................ 63
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan, 2019 1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pangan merupakan kebutuhan pokok bagi manusia dalam bertahan hidup dan
berkembang baik dari segi kuantitas maupun kualitas. Demikian pula bagi suatu negara,
pangan mempunyai banyak dimensi yang sangat erat kaitannya dengan kelangsungan
hidup negara itu sendiri. Sebagai contoh, dari segi kualitas manusia, pangan memiliki peran
vital dalam menjaga kualitas serta meningkatkan produktivitas SDM. Dari segi politik dan
keamanan negara, pangan dapat menjadi isu panas yang bila tidak dikelola dengan baik
dapat menjatuhkan suatu pemerintahan. Pun dari segi ekonomi, sektor pangan merupakan
salah satu sektor penggerak perekonomian yang mampu menghasilkan kesejahteraan
masyarakat, khususnya bagi negara agraris seperti Indonesia. Berdasarkan catatan BPS,
Lapangan usaha Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan tumbuh positif 1,81 persen pada
kuartal 1 2019 (yoy) dan menyumbang 0.23 persen terhadap pertumbuhan PDB nasional.
Pentingnya peran pangan juga dapat dilihat dari pangsa pengeluaran masyarakat Indonesia,
dimana pangsa pengeluaran masarakat untuk pangan masih cukup tinggi atau sekitar 50%
dari total pengeluaran (BPS, 2018).
Dengan demikian, pengelolaan pangan nasional menjadi agenda penting dalam setiap
periode pemerintahan. Secara umum, pengelolaan pangan nasional ditujukan untuk
meningkatkan ketahanan pangan, yang mencakup aspek ketersediaan, aksesibilitas, dan
stabilitas. Dampak dari pengelolaan pangan setidaknya dapat dilihat dari satu indikator, yaitu
harga, yang merupakan indikator penting dalam menganalisis kondisi ketersediaan (stok)
dan juga tingkat permintaan di pasar. Oleh karena itu, harga pangan pada dasarnya
berkaitan erat dengan ketahanan pangan yang mencakup ketersediaan pangan dan harga
yang terjangkau oleh masyarakat serta kemudahan untuk memperoleh pangan tersebut.
Dengan terjaganya stabilitas harga bapok, maka dapat mengurangi beban
pengeluaran masyarakat dalam melakukan konsumsi pangan. Demikian pula dalam
menjamin ketersediaan pasokan, jika pasokan selalu tersedia, maka harga akan relatif stabil
dan juga dapat meminimalisir aksi spekulan yang hendak mendapatkan keuntungan lebih
dari harga pangan yang bergejolak. Namun sebaliknya, jika harga pangan tidak stabil dan
bahkan tinggi maka akan membebani pengeluaran masyarakat terutama kategori
berpendapatan rendah (miskin) dalam mencukupi kebutuhan dasar pangan serta
berdampak negatif terhadap inflasi. Dampak lebih lanjut dari tingginya harga pangan yaitu
menghambat akses masyarakat terhadap pangan yang berkualitas (gizi buruk),
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan, 2019 2
meningkatkan kemiskinan, dan pada akhirnya menurunkan tingkat kesejahteraan
masyarakat.
Oleh karena itu, untuk menjaga stabilitas harga dan pasokan serta menjamin
keberlanjutan pengelolaan bahan pangan pokok, maka pemerintah berupaya untuk
mengendalikan harga barang kebutuhan pokok, khususnya melalui berbagai instrumen
kebijakan baik dari sisi hulu dan hilir. Di sisi hilir misalnya adanya kebijakan untuk
meningkatkan produksi pangan nasional. Sedangkan di sisi hilir, salahnya satunya adalah
kebijakan pengendalian harga yang menjadi domain dari Kementerian Perdagangan.
Sebagai payung hukum dalam pengendalian harga, Kementerian Perdagangan
berpijak pada beberapa kebijakan utama dalam menyusun kebijakan operasionalnya.
Setidaknya terdapat dua kebijakan utama yaitu Undang-undang No 7 tahun 2014 tentang
Perdagangan yang mengamanatkan kelancaran distribusi dan ketersediaan bahan pangan
pokok, khususnya yang mencakup upaya pemenuhan ketersediaan dan keterjangkauan
bahan pangan (akses dan harga pangan). Dalam hal ini pemerintah mempunyai peran
melakukan intervensi kebijakan perdagangan pangan dalam menjaga stabilitas harga.
Lebih lanjut, untuk mengatur lebih spesifik komoditas pangan apa saja yang dapat
dikelola oleh Pemerintah, maka Kementerian Perdagangan mengambil acuan Peraturan
Presiden Nomor 71 Tahun 2015 tentang Penetapan dan Penyimpanan Barang Kebutuhan
Pokok dan Barang Penting yang bertujuan untuk menjamin ketersediaan, stabilitas, dan
kepastian harga. Setidaknya terdapat delapan komoditas yang diatur, antara lain jagung,
kedelai, gula, minyak goreng, bawang merah, daging sapi, daging ayam ras, dan telur ayam
ras.
Kemudian, sebagai langkah operasional dalam menjamin ketersediaan pasokan dan
stabilitas harga barang kebutuhan pokok tersebut, Kementerian Perdagangan menerbitkan
berbagai kebijakan yang diarahkan untuk mendukung kelancaran distribusi dan
ketersediaan bahan pangan, termasuk didalamnya mendorong upaya pemenuhan
ketersediaan dan keterjangkauan bahan pangan (akses dan harga pangan). Berbagai
kebijakan harga misalnya yaitu Permendag 57/2017 tentang HET beras, Permendag
96/2018 tentang Harga Acuan Pembelian dan Penjualan beberapa komoditi pangan pokok.
Untuk mengatur pasokan, pelaku usaha distribusi bapok juga diatur melalui Permendag
20/2017 tentang Pendaftaran Pelaku Usaha Barang Pokok, serta Permendag 16/2016
tentang Tanda Daftar Gudang. Sedangkan untuk menjamin masyarakat mendapatkan
bahan pangan yang berkualitas, terdapat Permendag 8/2019 yang mengatur kewajiban
pencantuman label kemasan beras.
Dengan diterapkannya kebijakan-kebijakan tersebut, Kementerian Perdagangan
mengharapkan harga barang kebutuhan pokok, khususnya komoditas yang diatur dalam
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan, 2019 3
berbagai regulasi tersebut dapat dikendalikan dari segi harga maupun pasokan pada tingkat
harga yang wajar, baik bagi konsumen maupun produsen. Kebijakan-kebijakan diatas
tentunya juga harus disinergikan dengan berbagai kebijakan di sektor lainnya, misalnya dari
sisi hulu dan juga kebijakan di tingkat daerah. Selain itu, kebijakan-kebijakan tersebut juga
memerlukan evaluasi serta masukan yang konstruktif agar dapat terus diperbaiki
efektivitasnya ke depan.
Namun demikian, pada kenyataannya terkadang terjadi bias dalam pelaksanaan
kebijakan tersebut sehingga dampaknya tidak seperti yang diharapkan. Sebagai contoh,
yaitu penerapan harga eceran tertinggi bagi komoditas beras yang diatur oleh Permendag
57/2017. Sebagaimana diketahui bahwa beras merupakan salah satu barang kebutuhan
pokok yang memiliki karakteristik harga yang fluktuatif sepanjang tahun karena adanya
pengaruh musim panen, paceklik dan gadu serta hari besar keagamaan nasional (HBKN).
Stabilitas harga beras sangat penting karena beras merupakan makanan pokok hampir 90%
masyarakat Indonesia, sehingga konsumsinya besar. Selain itu, beras memiliki peran
terhadap perekonomian yang cukup penting karena beras berperan dalam inflasi nasional
dengan bobot inflasi yang cukup besar yaitu 3,68%. Artinya kenaikan sedikit saja pada
komoditi tersebut akan memiliki dampak yang signifikan terhadap perubahan inflasi nasional
khususnya inflasi bahan makanan.
Amang (1998) dalam Kusumaningrum (2008) menjelaskan bahwa tujuan dasar dari
diberlakukannya kebijakan harga beras adalah: (a) menjaga harga dasar yang cukup tinggi
untuk merangsang produksi, (b) memberikan perlindungan terhadap harga maksimum untuk
menjamin harga yang layak bagi konsumen, (c) perbedaan yang layak antara harga dasar
dan harga maksimum untuk memberikan keuntungan yang wajar bagi swasta untuk
penyimpanan beras, dan (d) hubungan harga yang wajar antara daerah maupun terhadap
harga internasional.
Dengan diterapkannya HET diharapkan para pelaku usaha beras dapat menaati
aturan tersebut sehingga harga beras dapat dikendalikan, sekaligus memantau arus
distribusi beras di suatu wilayah. Namun pada kenyataannya harga beras khususnya jenis
medium terus merangkak naik. BPS mencatat bahwa harga beras umum di tingkat eceran
cenderung naik dan bertahan di atas HET yang telah ditetapkan, dan bahkan tidak menurun
secara signifikan pada musim panen raya (Maret-April 2019). Memasuki musim gadu
pertama tahun 2018, harga gabah kering panen (GKP) masih bertahan pada level Rp
4.300/kg – Rp 4.800/kg di sentra produksi padi di Jawa dan Sumatera. Sedangkan harga
beras medium curah di tingkat penggilingan padi sebesar Rp 8.600/kg – Rp 9.600/kg.
Kenaikan harga beras di tingkat penggilingan hingga grosir akhirnya ikut mendorong harga
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan, 2019 4
beras di pasar (tingkat eceran konsumen) hingga sekitar Rp 13.000/kg. Dengan demikian,
harga beras di tingkat konsumen masih diatas HET.
Demikian pula dengan kebijakan Harga Acuan yang tercantum dalam Permendag
96/2018, yang merupakan revisi dari Permendag 58/2018, yang mengatur harga acuan
pembelian di petani dan harga acuan penjualan di tingkat konsumen untuk beberapa
komoditas pangan pokok . Dengan demikian, ada harga dasar (floor price) yang bermanfaat
bagi produsen dan juga harga atas (ceiling price) yang berfungsi melindungi konsumen dari
lonjakan harga yang terlalu tinggi. Komoditas yang diatur dalam regulasi ini yaitu gula,
minyak goreng, bawang merah, daging sapi, daging ayam ras, dan telur ayam ras. Namun
demikian, berdasarkan data yang ada, masih ditemui anjloknya harga daging ayam ras di
tingkat peternak sehingga merugikan peternak ayam. Di samping itu, sejak
diimplementasikannya aturan tersebut, data harga BPS menunjukkan harga beberapa
komoditas seperti cabai, bawang merah, masih cukup fluktuatif dan bahkan melampaui
harga acuan yang telah ditetapkan. Berdasarkan uraian diatas, permasalahan utama yang
perlu ditemukan jawabannya adalah: bagaimana efektivitas kebijakan harga dalam menjaga
stabilitas harga pangan dan bagaimana permasalahan yang dihadapi dalam implementasi
kebijakan tersebut.
1.2. Tujuan Analisis
Tujuan dari analisis ini adalah:
1. Menganalisis efektifitas kebijakan pengendalian harga terhadap stabilitas harga
bapok;
2. Mengidentifikasi permasalahan yang dihadapi dalam pelaksanaan kebijakan
pengendalian harga pada barang kebutuhan pokok (bapok);
3. Merumuskan rekomendasi kebijakan dalam rangka meningkatkan efektivitas
pengendalian harga bapok.
1.3. Output Analisis
Adapun keluaran dari analisis ini adalah:
1. Hasil analisis efektifitas kebijakan pengendalian harga terhadap stabilitas harga
bapok;
2. Inventarisasi permasalahan dalam implementasi kebijakan pengendalian harga
bapok terhadap stabilitas harga bapok;
3. Rekomendasi tindak lanjut untuk meningkatkan efektivitas kebijakan pengendalian
harga bapok di lapangan.
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan, 2019 5
1.4. Perkiraan Manfaat dan Dampak
Adapun manfaat dan dampak dari kajian ini adalah:
1. Teridentifikasinya permasalahan terkait dengan pelaksanaan kebijakan
pengendalian harga terhadap stabilitas harga sebagai masukan bagi evaluasi
kebijakan pengendalian harga.
2. Mendorong upaya perbaikan dalam pelaksanaan kebijakan pengendalian harga
bapok agar lebih efektif dalam menjaga stabilitas harga.
1.5. Ruang Lingkup Analisis
Ruang lingkup dari analisis ini yaitu mencakup aspek sebagai berikut:
1. Perkembangan harga bapok yang diatur dalam 2 permendag pengendalian harga
Bapok
2. Kebijakan:
a. Permendag No 57/M-DAG/PER/8/2017 tentang penetapan Harga Eceran
Tertinggi Beras
b. Peraturan Menteri Perdagangan terkait harga acuan pembelian di tingkat
petani dan harga acuan penjualan di tingkat konsumen tahun 2018
(Permendag 58/2018 jo. Permendag 96/2018).
3. Kelembagaan: organisasi/unit kerja/lembaga yang terlibat serta sistem/mekanisme
pelaksanaan kebijakan pengendalian harga bapok.
4. Komoditas yang diamati adalah beberapa barang pangan pokok yang termuat
dalam Permendag 57/2017 yaitu beras, dan Permendag 58/2018, diantaranya
yaitu: gula, minyak goreng, daging sapi, daging ayam ras, dan telur ayam ras.
1.6. Sistematika Laporan
Laporan analisis akan disusun dalam 5 (lima) Bab, yaitu:
Bab I. Pendahuluan
Pada bab ini dibahas mengenai latar belakang yang menjelaskan permasalahan dan
alasan pelaksanaan analisi, tujuan, keluaran, manfaat, dan ruang lingkup kajian.
Bab II. Tinjauan Pustaka
Pada bab ini dibahas tinjauan pustaka mengenai konsep dan landasan teori kebijakan
harga, yaitu harga atap dan harga dasar, kebijakan pengendalian harga barang
pangan pokok, dan metode analisa data. Selanjutnya kerangka pemikiran yang
memuat uraian secara sistematis.
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan, 2019 6
Bab III. Metode Analisis
Pada bab ini di bahas mengenai, jenis data dan sumber data, teknik dan cara
pengumpulan data dan informasi dalam mendukung analisis serta metode yang
digunakan untuk analisis inflasi bahan makanan.
Bab IV. Hasil dan Pembahasan.
Pada bab ini di bahas mengenai hasil analisis terhadap data dan informasi yang telah
dikumpulkan baik berdasarkan data primer ataupun data sekunder, meliputi
perkembangan harga komoditi bahan makanan yang diamati, dan menguraikan hasil
analisis salah satunya faktor yang mempengaruhi pelaksanaan kebijakan harga dan
kondisi yang ditemui pada daerah survei.
Bab V. Kesimpulan dan Rekomendasi Kebijakan
Pada bab ini dituliskan kesimpulan berdasarkan hasil pengolahan data dan analisis
yang telah dilakukan sebelumnya disertai dengan rekomendasi yang diharapkan akan
berguna bagi perbaikan implementasi kebijakan serta saran-saran untuk penelitian
selanjutnya.
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan, 2019 7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Kebijakan pengendalian harga untuk komoditas pangan yang digunakan Pemerintah
Indonesia berpijak kepada teori harga dasar (floor price) dan harga eceran tertinggi
(HET/ceiling price). Penentuan harga dasar pada komoditas pangan pokok biasanya
ditujukan untuk melindungi pelaku usaha produksi, yaitu peternak, petani, petambak dari
jatuhnya harga komoditas ketika musim tertentu. Di sisi lain, penentuan harga plafon atau
harga eceran tertinggi bertujuan untuk meredam fluktuasi harga yang terlalu tinggi yang
dapat merugikan konsumen akhir. Untuk itu, dalam bab ini akan diuraikan teori tentang
kebijakan harga dasar dan harga plafon tersebut.
2.1. Harga Eceran Tertinggi (Ceiling Price) dan Harga Dasar (Floor Price)
Kebijakan pengendalian harga untuk komoditas pangan yang digunakan Pemerintah
Indonesia berpijak kepada teori harga dasar (floor price) dan harga eceran tertinggi
(HET/ceiling price). Sebagaimana diketahui, harga suatu komoditas merupakan hasil dari
keseimbangan permintaan dan penawaran. Tingkat harga yang dicapai pada keseimbangan
untuk berbagai komoditas, khususnya komoditas pangan pokok terkadang menimbulkan
dampak negatif. Pada beberapa kasus, dampak ini dapat berwujud ketidakpuasan publik
yang berujung pada tekanan politik terhadap pemerintah karena dianggap tidak dapat
mengelola pasar dengan baik, sehingga ada pihak yang dirugikan. Dengan demikian,
pemerintah diharapkan dapat menjaga harga pada tingkat tertentu sehingga tidak
merugikan baik produsen maupun konsumen (win win solution). Untuk membentuk suatu
tingkat harga tersebut, pemerintah melakukan intervensi pada pasar dalam bentuk kebijakan
pengendalian harga, berupa penetapan harga eceran tertinggi dan harga dasar. Intervensi
ini dilakukan manakala harga pasar berada di atas atau di bawah harga keseimbangan
(equilibrium). Adanya intervensi kebijakan harga terhadap pasar yang terbuka tentunya akan
mengubah keseimbangan pasar. Tujuan kebijakan tersebut tentunya dapat memberikan
dampak kepada masyarakat dan juga produsen, misalnya meminimalkan biaya atau
memberikan insentif serta trade off.
2.1.1. Harga Eceran Tertinggi (Ceiling Price)
Ceiling Price adalah harga maksimal yang ditetapkan oleh pemerintah pada
komoditas atau jasa tertentu yang diyakini telah dijual pada tingkat harga yang lebih
tinggi dari harga pasar sehingga berpotensi merugikan konsumen. Namun terdapat
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan, 2019 8
konsekuensi jika price ceiling ditetapkan pada tingkat harga di bawah harga
keseimbangan pasar.
Gambar 2.1. Partial Equilibrium dalam Kebijakan Ceiling Price
Ketika Price Ceiling ditetapkan pada tingkat harga di bawah harga pasar, maka
akan terdapat kelebihan permintaan (excess demand) atau kekurangan persediaan
(supply shortage). Jumlah produksi akan lebih sedikit ketika harga rendah, sedangkan
permintaan akan semakin banyak karena harga yang lebih murah. Permintaan akan
lebih besar dari penawaran dimana akan lebih banyak orang yang ini membeli pada
harga yang lebih murah, akan tetapi persediaan lebih terbatas.
Jika kurva permintaan elastis maka total dampak kepada surplus konsumen
akan positif. Di sisi produsen, surplusnya akan mengalami penurunan dimana akan
ada produsen yang keluar dari pasar karena tidak bisa berproduksi pada tingkat harga
yang ditentukan dan produsen yang tinggal di pasar harus menerima tingkat harga
yang rendah.
Price Ceiling ditujukan untuk melindungi konsumen dari gejolak kenaikan harga
yang terlalu tinggi. Dengan demikian, kebijakan ini akan efektif jika diiringi dengan
kebijakan operasional pendukung seperti Operasi Pasar pada waktu tertentu dimana
Pemerintah menambah jumlah barang yang ditawarkan ke pasar. Jika penerapan
Price Ceilings dirancang pada posisi di bawah harga keseimbangan (equilibrium price)
pasar pada kurva permintaan dan penawaran yang elastis akan menimbulkan dampak
sebagai berikut (Besanko dan Braeutigam, 2011, dalam Puska Dagri, 2015):
1. Terjadi kelebihan permintaan (excess demand);
2. Produksi yang disuplai ke pasar lebih rendah relatif terhadap tingkat yang efisien
yaitu jumlah yang disuplai saat tidak ada intervensi Pemerintah;
3. Surplus produsen lebih rendah dibandingkan sebelum penerapan price ceilings;
4. Akibat adanya excess demand, besarnya surplus konsumen tergantung pada
aksesibilitas konsumen terhadap produk. Oleh karena itu surplus konsumen dapat
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan, 2019 9
meningkat atau bahkan turun jika barang tidak tersedia karena penerapan price
ceilings;
5. Akan terjadi deadweight loss yaitu berkurangnya surplus total (surplus konsumen
dan surplus produsen) yang terjadi karena pasar tidak beroperasi secara optimal.
Dalam hal ini karena output yang tersedia terbatas.
2.1.2. Harga Dasar (floor price)
Floor price adalah harga minimum yang ditetapkan pemerintah untuk
komoditas atau jasa tertentu yang diyakini dijual pada tingkat harga yang lebih rendah
dari yang layak diterima oleh produsen. Harga dasar akan menimbulkan dampak jika
ditetapkan pada tingkat harga di atas tingkat harga keseimbangan. Jika harga dasar
ditetapkan dibawah tingkat harga keseimbangan maka intervensi kebijakan ini tidak
akan memberikan dampak terhadap pasar.
Ketika harga dasar ditetapkan di atas tingkat harga ekuilibrium maka akan
terjadi kelebihan penawaran (excess supply). Hal ini terjadi ketika produsen akan
berproduksi lebih banyak namun permintaan justru akan menurun karena harga
barang yang lebih tinggi.
Gambar 2.2. Partial Equilibrium dalam kebijakan Floor Price
Terdapat deadweight loss yang diwakilkan oleh kerugian di sisi konsumen dan
surplus produsen pada tingkat produksi yang lebih rendah. Produsen dapat
memperoleh keuntungan dari kebijakan ini hanya jika kurva penawaran relatif elastis
sehingga tidak terjadi nett loss. Konsumen dirugikan dalam kebijakan ini karena harus
membayar dengan harga yang lebih tinggi. Dengan demikian, kebijakan ini ditujukan
untuk melindungi produsen dari penurunan harga barang yang terlalu dalam.
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan, 2019 10
Mekanisme kebijakan ini akan lebih efektif jika pemerintah berperan dalam menyerap
kelebihan penawaran tersebut, yaitu dengan membeli surplus produksi.
Berbagai strategi dapat dilakukan oleh Pemerintah dalam menetapkan harga
dasar dan kemudian mengantisipasi dampaknya. Pilihan kebijakan lainnya yang
mendukung kebijakan harga dasar antara lain kebijakan price support, atau
menetapkan kuota produski. Price support dilakukan selain dengan menetapkan harga
minimum tetapi juga pemerintah dalam hal ini akan membeli berapapun kelebihan
produksi (excess supply), misalnya dengan kebijakan penyerapan. Metode ini tidak
efisien dan membutuhkan anggaran yang cukup besar bagi pemerintah serta
merugikan secara sosial dibandingkan jika pemerintah memberikan subsidi langsung
kepada produsen yang terkena dampak penetapan harga dasar.
Kebijakan lainnya, yaitu penetapan kuota produksi akan meningkatkan harga
secara artifisial melalui pembatasan produksi menggunakan aturan kuota atau
memberikan insentif usaha agar produsen mengurangi produksi. Cara ini dilakukan di
Amerika terutama pada sektor pertaniannya. Pemerintah membayar petani untuk
mengatur jumlah produksinya agar harga terjaga.Salam halnya dengan price support,
kebijakan ini akan efisien dan murah jika pemerintah memberikan subsidi langsung
kepada petani dari pada melakukan pembatasan produksi. Artinya, kebijakan harga
dasar di sektor pertanian sebenarnya bertujuan untuk melindungi pendapatan petani.
Stabilitas harga dapat dijaga melalui pembelian/penjualan dengan adanya pengelolaan
stok yang dilakukan oleh Pemerintah. Ketika Pemerintah menetapkan harga dasar
lebih tinggi dari pada harga keseimbangan pasar, maka dampak yang terjadi adalah
sebagai berikut:
1. Terjadi kelebihan penawaran/produksi (excess supply) di pasar;
2. Konsumen akan membeli lebih sedikit dari pada di pasar persaingan sempurna;
3. Surplus konsumen lebih rendah dibandingkan jika tidak ada kebijakan harga dasar;
4. Sebagian surplus konsumen akan berpindah kepada produsen;
5. Karena harga dasar menyebabkan kelebihan produksi, besarnya surplus produsen
akan tergantung pada produsen mana yang benar-benar dapat memasok produk.
Surplus produsen dapat meningkat atau menurun karena penetapan harga dasar.
2.2. Kebijakan Pengendalian Harga Barang Kebutuhan Pokok
Berdasarkan teori diatas, untuk mengendalikan harga barang kebutuhan pokok, maka
pemerintah menerapkan berbagai instrumen kebijakan harga. Kebijakan harga yang
diberlakukan baik dari sisi hulu (produsen) hingga sisi hilir (konsumen), yaitu berupa harga
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan, 2019 11
pembelian pemerintah atau HPP dan juga harga eceran tertinggi atau HET,serta harga
acuan pada beberapa komoditas pangan pokok.
Penetapan komoditas pangan pokok sendiri diatur dalam Perpres 71 tahun 2015
tentang Penetapan dan Penyimpanan Barang Kebutuhan Pokok dan Barang Penting.
Dalam kebijakan ini telah ditetapkan beberapa komoditas pangan menjadi barang
kebutuhan pokok. Barang kebutuhan pokok didefinisikan sebagai barang yang menyangkut
hajat hidup orang banyak dengan skala pemenuhan kebutuhan yang tinggi serta menjadi
faktor pendukung kesejahteraan masyarakat. Kebijakan ini juga mengamanatkan
pemerintah menjaga ketersediaan barang, yaitu tingkat kecukupan barang kebutuhan pokok
dan barang penting sesuai dengan tingkat konsumsi yang dibutuhkan masyarakat dalam
waktu tertentu, dengan mutu yang baik serta harga yang terjangkau di seluruh wilayah
NKRI.
Dalam Perpres tersebut terdapat sebelas komoditas pangan yang ditetapkan menjadi
Barang Kebutuhan Pokok (Bapok), yaitu beras, kedelai (bahan baku tahu tempe), cabe,
bawang merah, gula, minyak goreng, tepung terigu, daging sapi, daging ayam ras, telur
ayam ras, dan ikan segar (bandeng, kembung, dan tongkol/tuna/cakalang). Berdasarkan
kebijakan tersebut, maka pemerintah mengeluarkan berbagai kebijakan pelaksanaannya,
salah satunya kebijakan harga. Adapun kebijakan harga yang dikeluarkan Kementerian
Perdagangan saat ini dapat diuraikan sebagai berikut.
2.2.1. Komoditi Beras
Salah satu kebijakan pangan yang mendapat perhatian khusus adalah
kebijakan harga beras. Beras merupakan salah satu komoditas yang sangat strategis
dan sering bersifat politis. Oleh karenanya, beras sangat diatur baik dari sisi hulu
maupun hilir. Sejak awal Repelita I tahun 1969, instrumen kebijakan beras yang
ditempuh oleh pemerintah dapat dibagi menjadi dua kelompok. Kebijakan kelompok
pertama mencakup perbaikan teknologi (Revolusi Hijau) melalui program Intensifikasi
Masal (Inmas) dan Intensifikasi Khusus (Insus) serta perluasan areal melalui program
Ekstensifikasi. Kebijakan kelompok kedua meliputi penetapan harga dasar gabah yang
ditetapkan pemerintah, stabilisasi harga melalui pembelian oleh BULOG dan
penetapan harga eceran tertinggi serta subsidi pupuk dan subsidi bunga kredit
usahatani (Widiarsih 2012). Menurut Timmer et.al. 1983, empat tujuan dasar kebijakan
pangan nasional adalah : (1) efisiensi pertumbuhan di sektor pertanian, (2)
peningkatan distribusi pendapatan melalui penciptaan lapangan pekerjaan, (3)
kecukupan gizi bagi seluruh penduduk, dan (4) menjamin ketahanan pangan yang
memadai ketika gagal panen, bencana alam atau pasokan makanan dan harga dunia
yang tidak stabil.
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan, 2019 12
Instrumen kebijakan harga yang dilakukan pemerintah saat ini bertumpu pada
penetapan harga dasar (floor price) dengan tujuan untuk meningkatkan produksi beras
dan pendapatan petani melalui pemberian jaminan harga (guaranteed price) yang
wajar dan penetapan batasan harga eceran tertinggi (ceiling price) dengan tujuan
untuk memberikan perlindungan kepada konsumen.
Secara lebih spesifik, dari sisi hulu terdapat kebijakan harga dasar gabah dan
beras atau lebih dikenal sebagai HPP (Harga Pembelian Pemerintah) gabah dan
beras. Kebijakan ini berupa harga pembelian gabah dan beras oleh pemerintah di
tingkat produsen/petani yang akan dijadikan cadangan beras pemerintah dan
keperluan untuk golongan tertentu yang diatur dalam Peraturan Presiden RI Nomor 48
Tahun 2016. Kebijakan ini bertujuan memberikan insentif kepada petani produsen
yang diharapkan dapat mendorong perluasan areal tanam dan penggunaan teknologi
yang lebih baik dalam budidaya tanaman padi sehingga produktivitasnya dapat
meningkat, melindungi produsen dari kemerosotan harga pasar yang biasanya terjadi
pada musim panen, melindungi konsumen dari kenaikan harga yang melebihi daya
beli khususnya pada musim paceklik, serta mengendalikan inflasi melalui stabilitas
harga (Widiarsih 2012; Saputra 2014).
Akan tetapi, menurut (Sembiring et al. (2010), pelaksanaan harga pembelian
pemerintah (HPP) di berbagai tempat di Indonesia menemui beberapa kendala antara
lain: (1) pembelian gabah petani tidak dilakukan oleh Perum Bulog/badan
pemerintah/badan usaha di bidang pangan tetapi oleh agen/pedagang, (2) pada
umumnya proses penjualan gabah di antara petani dengan pedagang berdasarkan
pengalaman agen, tidak mengikuti persyaratan kualitas kadar air maksimum dan kadar
hampa/kotoran, (3) petani tetap dalam posisi tawar yang lemah dalam penentuan
harga gabah karena adanya informasi yang tidak simetris antara petani dengan
agen/pedagang, (4) alasan kendala infrastruktur seperti ketersediaan alat pengukur
kadar air gabah, kerusakan jalan dan jembatan, menjadi alat pembenaran penentuan
harga oleh pedagang secara sepihak, dan petani menerima saja harga yang
ditentukan oleh pedagang, dan (5) pada kasus tertentu, petani berusaha meningkatkan
posisi tawarnya dengan menyebutkan harga gabah pembelian pemerintah, justru
melemahkan posisi petani, karena reaksi agen/pedagang menyuruh petani menjual
gabahnya ke pemerintah atau PPL yang pada faktanya tidak mungkin dilakukan.
Di sisi hilir, pemerintah menerapkan kebijakan harga plafon (price ceiling) atau
harga eceran tertinggi (HET) beras yang diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan
No.57/M-DAG/PER/8/2017 tentang Penetapan Harga Eceran Tertinggi Beras. Harga
Eceran Tertinggi (HET) adalah harga jual tertinggi beras kemasan dan/atau curah di
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan, 2019 13
pasar rakyat, toko modern dan tempat penjualan eceran lainnya. Pengaturan HET
beras dibagi berdasarkan beberapa wilayah untuk dua jenis kualitas beras, yaitu
medium dan premium, dengan ketentuan sebagai berikut:
1. Wilayah Jawa, Lampung, dan Sumatera Selatan: HET medium Rp.9.450/kg, HET
Premium Rp.12.800/kg
2. Wilayah Sumatera, Kecuali Lampung dan Sumatera Selatan: HET medium Rp
9.950/kg, HET premium Rp 13.300/kg
3. Wilayah Sulawesi, Bali dan Nusa Tenggara Barat: HET medium Rp 9.450/kg, HET
premium Rp 12.800/kg
4. Wilayah Nusa Tenggara Timur dan Kalimantan: HET medium Rp 9.950/kg, HET
premium Rp 13.300/kg
5. Wilayah Maluku dan Papua: HET medium Rp 10.250/kg, HET premium Rp
13.600/kg
Berdasarkan penelitian Fatimah (2018), Harga Eceran Tertinggi Beras
Premium (HET Premium) berpengaruh signifikan terhadap Nilai Tukar Petani (NTP)
artinya hanya kebijakan HET Beras Premium yang efisien mempengaruhi
kesejahteraan petani. Sedangkan Harga Eceran Tertinggi Beras Medium (HET
Medium), Harga Pembelian Pemerintah Gabah Kering Panen (HPP GKP), dan Harga
Pembelian Pemerintah Gabah Kering Giling (HPP GKG) tidak berpengaruh signifikan
terhadap Nilai Tukar Petani (NTP). Hal ini disebabkan karena harga beras premium
lebih tinggi dari harga beras medium sehingga diaturnya HET untuk beras premium
berdampak pada peningkatan pendapatan petani yang pada akhirnya berdampak
positif terhadap kesejahteraan petani. Sedangkan HET beras medium tidak efisien
dalam meningkatkan kesejahteraan petani sebab harganya masih terlalu rendah dan
belum memberikan imbal balik biaya yang petani keluarkan untuk memproduksi beras
medium (Fatimah 2018).
Menurut Ellis (1992), kebijakan harga yang merupakan upaya untuk
menstabilkan harga pertanian, khususnya beras, dapat dilakukan melalui berbagai
instrumen, yaitu kebijakan perdagangan, kebijakan nilai tukar, pajak dan subsidi, serta
intervensi langsung. Selain melalui kebijakan harga, secara tidak langsung stabilisasi
harga dapat juga dilakukan melalui kebijakan pemasaran output dan kebijakan input.
Kebijakan input antara lain berupa subsidi harga sarana produksi yang diberlakukan
pemerintah terhadap pupuk, benih, pestisida dan kredit pertanian.
Kebijakan lainnya terkait dengan beras, selain Permendag No 57 tahun 2017
yaitu (i) Inpres No 5 tahun 2015 tentang Kebijakan Pengadaan Gabah/Beras dan
Penyaluran Beras oleh Pemerintah, (ii) PP No 71 tahun 2015 tentang Penetapan Dan
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan, 2019 14
Penyimpanan Barang Kebutuhan Pokok; serta (iii) Permentan No 31 tahun 2017
tentang Kelas Mutu Beras, serta (v) Permendag No 8 Tahun 2019 tentang Kewajiban
Pencantuman Label Kemasan Beras. Peraturan-peraturan tersebut saling terkait yang
mengatur komoditi beras mulai dari hulu sampai pada pendistribusian beras dalam
bentuk kemasan dan label.
2.2.2. Komoditas lainnya
Kebijakan harga lain yang mengatur pengelolaan harga komoditas bapok
lainnya tertuang dalam kebijakan harga acuan. Kebijakan harga acuan telah
diterapkan Kementerian Perdagangan sejak tahun 2016, yaitu dengan diterbitkannya
Permendag Nomor 63/M-DAG/PER/09/2016 tentang Harga Acuan Pembelian di
Petani dan Harga Acuan Penjualan di Konsumen. Dalam regulasi ini, Kemendag
menetapkan harga acuan pada 7 komoditas pangan, yaitu beras, jagung, kedelai,
gula, bawang merah, cabai, dan daging sapi. Tujuan regulasi ini untuk menjamin
ketersediaan, stabilitas, dan kepastian harga baik di tingkat petani maupun konsumen.
Untuk itu, harga acuan yang ditetapkan pemerintah terdapat dua jenis pada masing-
masing komoditas, yaitu harga pembelian di tingkat petani dan harga acuan penjualan
di tingkat konsumen dan akan di evaluasi sesuai kondisi yang berkembang. Jika harga
pembelian di bawah harga acuan dan harga penjualan berada di atas harga acuan,
maka pemerintah akan melakukan langkah-langkah stabilitas harga
Dalam perjalanannya, hingga tahun 2019 terdapat beberapa revisi terhadap
kebijakan ini, yaitu Permendag 27 tahun 2017, Permendag 58 tahun 2018, dan yang
terakhir yaitu Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 96 Tahun 2018. Pada
Permendag 27/2017, jumlah komoditas yang diatur harga acuannya ditambah menjadi
sembilan, yaitu beras, jagung, kedelai, gula, minyak goreng, bawang merah, daging
sapi, daging ayam ras, dan telur ayam ras. Permendag ini juga mencabut Permendag
Nomor 21/2016 tentang penetapan harga acuan pembelian jagung di tingkat petani
dan Permendag 63/2016 tentang harga acuan pembelian di petani dan harga acuan di
konsumen.
Selanjutnya, sejalan dengan diterbitkannya Permendag 57/2017 tentang HET
beras, maka Permendag 27/2017 direvisi menjadi Permendag 58/2018. Salah satu
perubahan penting selain kenaikan tingkat harga acuan untuk daging ayam ras dan
telur ayam ras, tetapi juga pengeluaran komoditas beras dari harga acuan karena telah
menjadi HET. Dengan demikian, saat ini delapan komoditas yang kini diatur harga
acuannya. Demikian pula pada revisi terakhir peraturan tersebut, menjadi Permendag
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan, 2019 15
96/2018, terdapat penyesuaian kembali terhadap harga acuan daging ayam ras dan
telur ayam ras untuk melindungi peternak.
Kebijakan harga acuan tersebut secara umum mempertimbangkan struktur
biaya yang wajar mencakup antara lain biaya produksi, biaya distribusi, keuntungan,
dan/atau biaya lain dari produsen. Sedangkan harga acuan penjualan di konsumen
merupakan harga penjualan di tingkat konsumen yang mempertimbangkan struktur
biaya yang wajar mencakup antara lain biaya produksi, biaya distribusi, keuntungan,
dan/atau biaya lain. Penerapan dari kebijakan mengenai harga acuan tersebut menjadi
penting karena dijadikan patokan oleh berbagai pihak, seperti Perum BULOG serta
BUMN lainnya, khususnya dalam melakukan pembelian dan penjualan barang pokok
tersebut.
Lebih jauh, keberadaan aturan mengenai harga acuan ini menjadi sangat
penting karena menyangkut kesejahteraan seluruh masyarakat sebagai konsumen.
Kenaikan harga pangan yang tidak terkontrol berdampak pada penurunan pemenuhan
asupan gizi masyarakat. Dengan adanya penetapan harga acuan tersebut diharapkan
dampaknya tak hanya mampu mengendalikan harga di tingkat konsumen, tetapi juga
tetap mampu memberikan keuntungan bagi produsen (petani dan peternak) hingga
pelaku usaha distribusi bapok sehingga menjamin ketersediaan, stabilitas dan
kepastian harga bahan pangan pokok.
2.3. Konsep analisis data
Dalam melakukan analisis data, terdapat beberapa konsep yang dapat digunakan
untuk mengukur pengaruh/dampak suatu kebijakan, salah satunya adalah konsep Error
Correction Model (ECM). Pengaruh HET terhadap komoditas beras akan di analisis
menggunakan konsep ini. ECM merupakan model analisis dinamik untuk menjelaskan
pengaruh perubahan variabel independen terhadap variabel dependen dalam jangka
pendek dan jangka panjang. Johansen Maximum Likelihood Error Correction Model dapat
digunakan untuk mengestimasi kedinamikan suatu kondisi pada jangka pendek maupun
jangka panjang (Khotimah 2013).
Terdapat variabel ECT (error correction term) dalam ECM. Koefisien regresi variabel
ECT merupakan koefisien penyesuaian (coefficient of adjustment) yang juga sekaligus
menunjukkan kecepatan penyesuaian (speed of adjustment) antara nilai aktual dengan nilai
diinginkan yang akan dieliminasi dalam satu periode (Yuliadi 2007). Menurut Engle dan
Granger (1987), jika diantara sejumlah peubah terdapat kointegrasi, maka diperoleh kondisi
yang disebut error correction representation yang mengindikasikan bahwa perubahan yang
terjadi terhadap peubah bebas (dependent variable) tidak hanya dipengaruhi oleh peubah-
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan, 2019 16
Shortage
Qb Qa
HET
(Ceiling Price)
Kuantitas
keseimbangan
Kuantitas
Harg
a
Harga
Keseimbangan
peubah tidak bebas (explanatory variables), tetapi juga dipengaruhi oleh ketidakseimbangan
dari hubungan kointegrasi. Ketidakseimbangan dari hubungan kointegrasi ini ditunjukkan
oleh nilai error correction term.
Dalam ECM, ketidakseimbangan jangka pendek yang diwakili oleh error correction
term, yang merupakan bentuk lag dari nilai residual pada regresi awal. Regresi awal adalah
regresi dengan menggunakan data yang tidak stasioner, dimana nilai galat ini sudah
stasioner seperti yang sudah disyaratkan oleh metode Engle dan Granger (1987). Dengan
demikian ECM akan memperoleh peubah bebas yang memberikan pengaruh jangka
panjang dan jangka pendek. Karakteristik model ECM yang valid manakala memenuhi
ketentuan bahwa nilai koefisien ECT (ω) terletak dalam range 0 < ω < 1 dan secara statistik
harus signifikan (Yuliadi 2007).
2.4. Kerangka Pemikiran
Teori mengenai harga atap (ceiling price) menjadi teori dasar yang digunakan sebagai
basis dalam penelitian ini. Harga atap dapat disebut juga sebagai Harga Eceran Tertinggi
(HET). HET merupakan harga yang ditetapkan pemerintah dimana harga yang berlaku pada
umumnya di bawah harga pasar. Maksud HET adalah bahwa suatu barang tidak boleh dijual
dengan harga lebih tinggi daripada yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Kebijakan ini
bertujuan untuk melindungi konsumen. Kurva yang menjelaskan kebijakan HET dapat dilihat
pada Gambar 2.3.
Gambar 2.3. Kebijakan Harga Eceran Tertinggi (HET)
Harga keseimbangan merupakan harga yang berlaku di pasar. Oleh karena harga
yang berlaku dirasa terlalu tinggi, maka pemerintah menetapkan HET. Pada saat HET di
bawah harga pasar, maka permintaan (demand) akan lebih besar daripada penawaran
(supply). Hal tersebut akan mengakibatkan shortage (kekurangan) sebesar (Qb-Qa). Pada
Supply
Demand
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan, 2019 17
saat ini, pemerintah dapat melakukan operasi pasar yaitu dengan mengeluarkan cadangan
pangan yang sudah dibeli saat panen raya.
Sedangkan dalam literatur ekonomi pasar, penerapan harga acuan merupakan
bagian dari pengontrolan harga oleh Pemerintah (price control) yang merupakan bentuk
intervensi Pemerintah terhadap pasar. Pelaksanaannya dapat berupa harga tertinggi (price
ceiling) atau harga terendah (price floor). Maksud di balik penerapan kontrol harga tersebut
dapat berasal dari keinginan untuk mempertahankan keterjangkauan barang, untuk
menghambat inflasi, atau untuk memastikan pendapatan minimum untuk penyedia/pemasok
barang-barang tertentu, atau upah minimum.
Para ekonom-pasar umumnya berpendapat bahwa pengontrolan harga seharusnya
dihindari, karena dapat mengarahkan ekonomi pada distorsi alokasi sumberdaya, yang
membuat pasar berada dalam kondisi kelebihan permintaan dan potensi kenaikan harga.
Beberapa literatur menyebutkan dampak penetapan harga dapat mengarahkan pasar pada
kegagalan pasar, kegagalan usaha, hambatan pembentukan stok nasional, atau bahkan
krisis ekonomi.
Gambar 2.4. Binding dan Non-Binding Price Ceiling
Sumber: https://en.wikipedia.org/wiki/Price_ceiling
Tingkat harga tertinggi pada pelaksanaannya dapat berada diatas harga
keseimbangan pasar bebas (non-binding price ceiling) atau dibawah harga keseimbangan
pasar bebas (binding price ceiling). Dalam kondisi Binding produsen akan termotivasi
menurunkan jumlah yang dipasok, sehingga membuat pasar dalam kondisi kelebihan
permintaan (excess demand) dibandingkan saat keseimbangan pasar bebas. Sedangkan
dalam kondisi Non-Binding, meskipun tidak mempengaruhi keseimbangan dalam jangka
pendek, namun surplus produsen yang terbentuk akan memotivasi ruang kenaikan harga
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan, 2019 18
dalam jangka panjang. Hal-hal ini yang membuat penetapan harga acuan menjadi tidak
populer di kalangan ekonom pasar.
Sedikit berbeda dengan harga acuan yang digunakan sebagai harga eceran tertinggi
(HET), maka semangat Harga Acuan seperti yang dicantumkan dalam Permendag 96/2018
adalah batas harga yang menjadi “sinyal” bagi Pemerintah untuk mulai melakukan intervensi
pasar untuk membawa harga kembali pada acuannya (jika harga suatu komoditas
mulai/telah bergerak melampaui batas harga acuan tersebut). Harga acuan ini seharusnya
tidak mengikat kepada pedagang atau produsen, melainkan kepada institusi/lembaga yang
bertugas menjaga stabilisasi harga komoditas tersebut. Dengan demikian, Harga Acuan
yang dimaksud dalam Permendag 96/2018 tidak dapat disebut sebagai Harga Eceran
Tertinggi atau Price Ceiling seperti dalam pemahaman ekonomi pasar. Namun demikian,
harga yang telah ditetapkan menjadi acuan Pemerintah dalam mengendalikan harga
komoditas tersebut di pasar. Pada kebijakan harga yang saat ini diberlakukan, kerangka
operasional dalam analisis ini berawal dari adanya fakta bahwa terdapat kenaikan harga
komoditas pangan di tingkat eceran melebihi HET/harga acuan yang telah ditentukan.
Dengan demikian, dapat disusun kerangka operasional dalam penelitian ini sebagaimana
terlihat pada Gambar 2.5.
Gambar 2.5. Kerangka Operasional Penelitian
Implementasi kebijakan harga
Usulan penerapan kebijakan harga yang efektif
Analisis efektivitas penerapan kebijakan harga
terhadap stabilisasi harga
Identifikasi permasalahan dalam penerapan
kebijakan harga
Apakah kebijakan harga efektif dalam menstabilkan harga bapok?
Fakta:
- Harga berbagai bapok masih diatas HET/harga acuannya
- Terkadang terjadi kelangkaan pasokan yang mengakibatkan
harga menjadi tidak terkendali
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan, 2019 19
BAB III
METODOLOGI
3.1. Jenis dan Sumber Data
3.1.1. Jenis dan sumber data analisis HET
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data
sekunder. Data primer meliputi data dan informasi terkait dengan permasalahan dan
faktor-faktor yang dihadapai dalam pelaksanaan kebijakan HET beras. Berikutnya,
mengenai data sekunder meliputi data produksi, konsumsi, harga GKP dan GKG di
tingkat petani dan penggilingan; stok beras, harga beras di tingkat penggilingan, harga
beras di tingkat konsumen. Data sekunder tersebut dengan menggunakan data time
series periode bulanan waktu mulai dari tahun 2015-2018.
Sumber data primer diperoleh melalui diskusi kelompok terpumpun (Focus
Group Discussion/FGD) dan survey lapangan pada sentra produksi dan konsumsi
beras yang dianggap dalam pelaksanaan kebijakan HET sebagai lokasi yang volatile
datanya sangat signifikan. Metode penentuan lokasi survey tersebut dipilih melalui
purposive sampling, dengan lokasi atau wilayah survey terpilih yaitu Kepulauan Riau
dan Jawa Barat. Adapun sumber data sekunder tersebut diperoleh dari BPS,
Kementerian Perdagangan, Kementerian Pertanian, Perpadi, Bulog, PIBC serta
literatur lainnya yang relevan.
3.1.2. Jenis dan sumber data analisis Harga Acuan
Data yang dibutuhkan adalah data primer dan data sekunder. Data sekunder
berasal dari hasil pemantauan harga bahan pokok yang dilakukan oleh petugas di
daerah, serta yang dipublikasikan.
Tabel 3.1. Kebutuhan Data Sekunder Harga
No Data Frekuensi data Sumber Komoditas
Harga pasar Bulanan Pusat Informasi
Harga Pangan
Strategis
(PIHPS)
Gula
Minyak goreng curah
Daging sapi
Daging ayam ras
Telur ayam ras
Untuk pengolahan data akan digunakan metode statistik deskriptif. Statistik
deskriptif digunakan untuk menggambarkan data dalam bentuk informasi yang lebih
mudah dipahami. Secara umum, statistik deskriptif yang digunakan adalah (1)
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan, 2019 20
menghitung frekuensi kejadian penyimpangan harga pasar terhadap harga acuan
pada komoditas pangan tertentu di kota-kota terpilih, dan (2) pembuatan grafik-grafik.
3.2. Metode dan Teknik Pengumpulan Data
3.2.1. Metode Analisis Data HET
Metode pengumpulan data jenis data primer dilakukan dengan sampling.
Responden untuk mendapatkan data primer dipilih dengan metode purposive
sampling dan snowball sampling terutama kepada pelaku pasar yaitu penjual maupun
konsumen. Jumlah responden ditentukan dengan kebutuhan, yaitu dengan
menggunakan formula slovin.
Teknik pengumpulan jenis data primer dalam kajian ini dilakukan dengan
survey, wawancara dan observasi kepada para pelaku dan sasaran dari kebijakan
HET ini di lokasi kegiatan. Seperti kepada pedagang besar (supermarket), pedagang
pengumpul, pedagang retailer langsung end-user, petani, dan konsumen. Adapun
untuk jenis data sekunder dikumpulkan melalui survey instansi dan diskusi kelompok
terpumpun (FGD) langsung kepada sasaran yaitu dari instansi pemerintah daerah dan
stakeholders terkait dengan implementasi dari kebijakan HET di lokus kajian.
Metode analisis data yang digunakan untuk menjawab permasalahan dan
mencapai tujuan kajian ini adalah dengan analisis kualitatif dan kuantitatif. Analisis
kualitatif dilakukan dengan menggunakan analisis deskriptif. Analisis tersebut
melakukan tabulasi dan grafik silang dari hasil survey dan pemetaan terkait dengan
identifikasi permasalahan yang dihadapi dalam pelaksanaan kebijakan HET pada
komoditi beras selama ini.
Selanjutnya, metode untuk menganalisis efektifitas kebijakan HET terhadap
stabilitas harga digunakan dengan dua pendekatan yaitu pendekatan kualitiatif dan
kuantitatif, (i) pendekatan kualitatifnya dengan menggunakan pendekatan RIA
(Regulatory Impact Assesment). Regulatory Impact Assessment (RIA) merupakan
salah satu alat yang dapat digunakan untuk mengevaluasi kebijakan regulasi secara
efektif dan efisien. (ii) Berikutnya, pendekatan kuantitatif dalam menganalisis efekifitas
kebijakan HET terhadap stabilisasi harga menggunakan Vector Error Correction Model
(VECM). Metode VECM tersebut digunakan untuk mengukur efektivitas kebijakan HET
terhadap stabilitas harga dengan menggunakan jenis data sekunder.
Menurut McKay (1998) serta Angelo dan Zapata (2000) dalam model ECM
ketidakseimbangan jangka pendek diwakili oleh error correction term (ECT), yang
merupakan bentuk lag dari nilai residual pada regresi awal. Regresi awal merupakan
regresi dengan menggunakan data yang tidak statsioner, dimana nilai galat ini sudah
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan, 2019 21
statsioner. Dengan demikian, model error correction akan memperoleh perubah
bebas yang memberikan pengaruh jangka panjang dan jangka pendek. Persamaan
model yang digunakan untuk menganalisis dampak kebijakan HET terhadap harga
beras di tingkat eceran. Dalam penelitian ini menggunakan metode kointegrasi yaitu
metode koreksi kesalahan (Error Correction Model / ECM) yang pertama kali
diperkenalkan oleh Engel dan Granger pada tahun 1987. Secara matematik dapat
dijabarkan dengan persamaan berikut:
... (1)
Dimana:
HBEDt : Harga Beras Eceran Domestic pada periode ke t
HBMPGt : Harga Beras Medium di Tingkat Penggilingan pada periode ke t
STOKt : Stok Beras Bulog pada periode ke t
KURSt : Nilai tukar Rp terhadap $US pada periode ke t
PRODt : Jumlah produksi beras (kg) pada periode ke t
KONSt : Jumlah konsumsi beras (kg) pada periode ke t
HET : Dummy Kebijakan HET
ϵt : galat (Error Terrm)
Dalam pemodelan, harga eceran beras domestik sampai dengan September
2019 merupakan harapan harga eceran yang diwakili oleh harga eceran sebelumnya,
kemudian setelah September 2017 harga eceran yang diharapkan mengacu pada
HET beras medium (asumsinya banyak yang dikonsumsi oleh masyarakat).
Selanjutnya harga impor merupakan perhitungan antara harga landed price (harga
internasional) yang dikalikan dengan nilai tukar (kurs). Sehingga dalam persamaan,
harga internasional dan kurs tidak secara langsung menjadi variabel eksogen.
Selanjutnya dalam pengolahan data, variabel HPP beras maupun HPP gabah di
tingkat petani tidak dimasukkan karena selama periode analisis HPP nilainya konstan.
Sebagai mana yang telah dijelaskan oleh McKay (1998) serta Angelo dan
Zapata (2000) Selanjutnya dalam model ECM, ketidakseimbangan jangka pendek
diwakili oleh error correction term yang merupakan bentuk lag dari nilai residual pada
regresi awal. ECM memanfaatkan residual/error dari hubungan jangka panjang untuk
menyeimbangkan hubungan jangka pendeknya. Oleh karena itu, persamaan dengan
variabel error term sebagai exogenous dinamakan error correction.
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan, 2019 22
Persamaan ECM dengan data statsioner untuk menganalisis dampak kebijakan
HET terhadap harga beras di tingkat konsumen/eceran sebagai berikut:
... (2)
dimana:
ɛt-1 : residual error term yang berperan sebagai exogenus variabel error
correction term
Δd : semua variabel statsioner pada level 1
3.2.2. Metode Analisis Data Harga Acuan
Metode untuk menganalisis harga acuan dilakukan dengan statistik deskriptif
terhadap perkembangan harga komoditas pangan dalam periode tertentu dan
dibandingkan dengan harga acuannya. Adapun pendekatannya dapat dirangkum
sebagai berikut:
Tabel 3.2. Metode Analisis Penerapan Kebijakan Harga Acuan
No Sub-Tujuan Pendekatan Kebutuhan Data Keluaran
1. Mengidentifikasikan
saat dimana harga
acuan terlewati
secara signifikan
Analisis fluktuasi
harga komoditas
sesuai Permendag
96/2018 dan
perbandingan
dengan harga
acuan
Data sekunder:
Data harga
bulanan masing-
masing
komoditas, mulai
sebelum
penerapan hingga
saat ini
Data harga acuan
sesuai komoditas
pengamatan
Daftar barang
pokok dengan
harga pasar
diluar harga
acuan setelah
penerapan
harga acuan
Efektivitas
harga acuan
2. Menyusun
rekomendasi untuk
meningkatkan
efektivitas
penerapan harga
acuan.
Diskusi hasil
analisis kebijakan
harga
rekomendasi
untuk
meningkatkan
efektivitas
penerapan
Permendag
96/2018.
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan, 2019 23
Metode analisis digunakan statistik deskriptif, yaitu menggambarkan
fenomena pergerakan harga komoditas yang diamati, dan mengidentifikasikan
kemungkinan pengaruh penetapan Permendag 96/2018 terhadap pergerakan harga
tersebut. Pengaruh ini dapat diamati melalui frekuensi terjadinya harga pasar
melampaui harga acuannya dalam periode pengamatan. Adapun parameter
pengamatan dapat ditentukan sebagai berikut:
1. Terdapat 5 komoditas pangan pokok yang diamati pergerakan harganya, yaitu: gula
pasir, minyak goreng curah, daging ayam ras, telur ayam ras, dan daging sapi
segar.
2. Periode pengamatan ditentukan selama 3 tahun, yaitu 2017-2019. Periode ini
diambil untuk melihat perkembangan harga sebelum dan sesudah implementasi
kebijakan. Penulis juga mencatat bahwa kebijakan harga acuan sebenarnya telah
diterapkan sejak tahun 2016. Namun, untuk memfokuskan pengamatan, maka
diambil kebijakan terakhir, yaitu Permendag 96/2018. Selama periode tersebut,
perkembangan harga pada komoditas terpilih diamati secara bulanan. Untuk tahun
berjalan, yaitu tahun 2019 data yang diambil yaitu hingga bulan September.
3. Wilayah pengamatan juga dibatasi, yaitu pada 10 Ibukota provinsi yang mewakili
bagian barat Indonesia, bagian tengah, dan bagian timur. Ke sepuluh kota tersebut
yaitu Medan, Lampung, Jakarta, Bandung, Palangkaraya, Samarinda, Makassar,
Ambon, Jayapura, dan Manokwari.
4. Analisis pengaruh harga acuan dilakukan sebagai berikut:
a. Disajikan perkembangan harga bulanan untuk 5 komoditas pada 10 kota pada
tahun 2017-2019. Kemudian, setiap tahun pada setiap komoditas di hitung
frekuensi kejadian dimana harga pasar melampaui harga acuan, dengan
rentang frekuensi berdasarkan jumlah bulan dalam setahun, yaitu 0 paling kecil,
dan 12 paling tinggi dan dituliskan dalam prosentase.
Dengan demikian, semakin besar prosentasenya, maka semakin sering
kejadian harga pasar diatas harga acuan pada komoditas tersebut muncul. jika
muncul 0 persen, berarti harga pasar telah sesuai harga acuan, atau bahkan
dibawah harga acuan. Sebaliknya, jika didapati angka 100 persen, berarti
sepanjang tahun harga pasar berada di atas harga acuan.
b. Frekuensi tersebut kemudian ditabulasi untuk mendapatkan gambaran utuh
persentase kejadian harga 5 komoditas di 10 kota terpilih. Dari data tersebut,
ditentukan signifikansi frekuensi kejadian berdasarkan komoditas dan kota.
Penulis menetapkan jika dalam setahun terjadi sama dengan atau lebih dari
50% ( > 50%) kejadian harga pasar suatu komoditas diatas harga acuan, maka
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan, 2019 24
dianggap signifikan. Jika dibawah 50% maka tidak dianggap signifikan atau
dianggap tidak melampaui.
c. Selanjutnya, dengan bertumpu pada sudut pandang komoditas, kembali
dihitung frekuensi komoditas yang paling sering harganya melampaui harga
acuan pada 10 kota dalam setahun. Kali ini yang menjadi rentang frekuensi
adalah jumlah kota, yaitu paling sedikit 0 (0%) dan paling banyak 10 (100%).
Dengan demikian, jika harga suatu komoditas pada 10 kota selama setahun
tidak ada yang melampaui harga acuan melebihi batas signifikansi (lihat poin b),
maka komoditas tersebut dianggap masih sesuai atau di bawah harga acuan
dan mendapat frekuensi 0. Dengan parameter yang sama, jika suatu komoditas
kedapatan selama setahun mendapat frekuensi harga pasar diatas harga acuan
seluruhnya melebihi batas signifikansi ( > 50%) di seluruh kota, maka komoditas
tersebut mendapat frekuensi 100% pada tahun yang bersangkutan.
d. Sebagai data tambahan, juga turut ditabulasi kota yang paling sering
mengalami kejadian harga diatas harga acuan. Rentang frekuensi yaitu jumlah
komoditas yang diamati, yaitu 5 komoditas. Semakin banyak komoditas yang
harga pasarnya diatas harga acuan dalam setahun, maka frekuensinya semakin
tinggi. Terhadap data ini, hasil analisis ternyata sangat bervariasi di setiap kota
karena kenaikan harga bersumber dari beberapa pangan pokok yang diamati.
Sebagai contoh, di kota Medan selama tahun 2017, minyak goreng tidak
melampaui harga acuan, akan tetapi daging sapi dan gula pasir melampaui
harga acuan di tahun tersebut. Dari sini dapat diketahui kota dengan frekuensi
harga komoditas yang paling banyak berfluktuatif, atau khususnya diatas harga
acuan.
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan, 2019 25
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Hasil analisis harga eceran tertinggi (HET)
4.1.1. Deskripsi perkembangan dan dinamika harga gabah dan beras
Sebelum masuk kepada pengaruh penetapan kebijakan HET terhadap harga
beras, kita perlu memahami sedikit karakteristik beras sebagai bahan pangan pokok
nasional. Beras merupakan bahan pangan pokok masyarakat yang sangat penting,
mengingat hampir semua masyarakat Indonesia mengkonsumsi beras. Berdasarkan
survey BPS pada tahun 2017, jenis kualitas beras yang paling banyak dikonsumsi
masyarakat yaitu beras medium (konsumsi hampir 80%) dan 20% konsumsi beras
premium. Selain dikonsumsi sebagai bahan pangan, beras juga digunakan untuk
bahan baku industri di dalam negeri. Dengan demikian, kebutuhan beras di
Indonesia tidak hanya untuk pangan pokok, tetapi juga sebagai bahan baku industri.
Karena konsumsinya yang sangat besar dan hampir 70% pengeluaran masyarakat
untuk membeli beras maka stabilitas harga sangat penting dalam rangka ketahanan
pangan.
Ket: HPP Gabah di Tingkat Petani Mengacu Pada Inpres No 5 Tahun 2015
Sumber: BPS, diolah
Gambar 4.1. Perkembangan Harga Gabah Kering Panen (GKP) di Petani, Gabah
Kering Giling (GKG) di Penggilingan dan HPP Gabah di Petani, 2016-2019
(September)
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan, 2019 26
Sebagai salah satu produk pertanian, beras memiliki pola produksi yang
sifatnya musiman dan faktor cuaca menjadi salah satu faktor utama yang paling
menentukan waktu tanam dan panen serta hasil panen itu sendiri. Oleh karenanya,
produksi padi juga bersifat fluktuatif di sepanjang tahun. Hal ini yang menyebabkan
harga beras juga relatif berfluktuasi di sepanjang tahun setiap tahunnya akibat harga
gabah yang juga bervariasi di setiap musimnya. Di Indonesia setidaknya terdapat 3
periode musim tanam, yaitu:
1. Musim tanam utama, yaitu pada bulan November-Maret, dengan musim panen
raya pada bulan Februari-Juni;
2. Musim tanam gadu, yaitu pada bulan April-Juli, dengan musim panen gadu pada
bulan Juli-Oktober; dan
3. Musima tanam kemarau/paceklik, yaitu pada Agustus-Oktober, dengan musim
panen kecil di bulan November-Januari.
Dengan catatan cuaca normal (musim hujan/kemarau datang sesuai
siklusnya), beras tersedia dalam jumlah terbanyak pada satu bulan setelah periode
panen raya, atau pada bulan Maret sampai dengan Juli. Stok beras maksimal akan
tercapai pada bulan Agustus, dimana seluruh proses panen mulai dari penjemuran
hingga distribusi telah selesai dilakukan. Persediaan beras pada periode ini biasanya
akan terpakai pada periode panen kecil/paceklik. Dengan persediaan yang
melimpah, harga beras pada periode panen raya biasanya akan lebih rendah
dibandingkan periode lainnya.
Periode panen yang kedua yaitu disebut panen gadu. Panen di periode ini
biasa menghasilkan beras dengan mutu bagus, namun tidak sebanyak pada musim
panen raya. Karena pasokan yang cenderung tidak melimpah namun masih dapat
memenuhi kebutuhan, maka tingkat harga yang terbentuk biasanya masih wajar.
Periode panen terakhir dalam satu tahun disebut panen kecil. Panen pada
periode ini didapat dari hasil penanaman musim kemarau, yang hanya bisa dilakukan
pada lahan beririgasi dan banyak diselingi oleh palawija sehingga luasannya
terbatas. Panen di periode ini pasokan sudah menipis dan biasanya harga beras
berfluktuasi di musim ini. Pada daerah yang dilanda kemarau, bahkan sudah tidak
ada panen, atau disebut paceklik.
Gambar 4.1. menunjukkan bahwa harga gabah selama periode tahun 2016-
2019 berfluktuasi sesuai periode musimannya, yaitu musim panen raya, gadu, dan
paceklik. Sejak tahun 2015 HPP gabah mengalami perubahan menjadi Rp 3.700/kg
dan beras menjadi Rp.7.300/kg sesuai dengan Inpres No 5 tahun 2015. Kebijakan
harga dasar gabah atau lebih dikenal sebagai HPP (Harga Pembelian Pemerintah)
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan, 2019 27
adalah harga pembelian oleh pemerintah di tingkat produsen untuk jenis pangan
yang menjadi cadangan pangan pemerintah termasuk cadangan beras pemerintah
dan keperluan untuk golongan tertentu menurut Peraturan Presiden RI Nomor 48
Tahun 2016. Namun demikian, penetapan HPP sebagai harga acuan dalam
pembelian gabah di tingkat petani justru dianggap telah meningkatkan harga gabah.
Dalam implementasi kebijakan harga pembelian pemerintah (HPP), terdapat
berbagai kendala di beberapa tempat di Indonesia. Menurut Sembiring et al. (2010),
beberapa kendala yang dihadapi antara lain : (1) pembelian gabah petani tidak
dilakukan oleh Perum Bulog/badan pemerintah/badan usaha di bidang pangan tetapi
oleh agen/pedagang, (2) secara umum proses penjualan gabah di antara petani
dengan pedagang berdasarkan pengalaman agen, tidak mengikuti persyaratan
kualitas kadar air maksimum dan kadar hampa/kotoran, (3) petani tetap dalam posisi
tawar yang lemah, dalam penentuan harga gabah, karena adanya informasi yang
tidak simetris diantara petani dengan agen/pedagang, (4) kendala infrastruktur
seperti ketersediaan alat pengukur kadar air gabah, kerusakan jalan, jembatan yang
rusak, merupakan alat pembenaran harga oleh pedagang, dan pada akhirnya petani
menerima saja harga yang ditentukan oleh pedagang.
Gambar 4.1. juga menunjukkan bahwa pasca penerapan kebijakan HET
harga gabah kering panen maupun harga gabah kering giling tetap mengalami
peningkatan terutama selama bulan Desember 2017 hingga Februari 2018 dan
mendorong harga beras juga terus naik. Selama periode sebelum penerapan
kebijakan HET (Januari-September 2017) harga gabah kering panen (GKP) berkisar
antara Rp 4.300/kg – Rp 4.750/kg dan setelah periode penerapan HET beras harga
gabah berkisar antara Rp 4.500/kg – Rp 5.400/kg. Sementara harga gabah kering
giling (GKG) berkisar antara Rp 5.200/kg – Rp 5.500/kg (sebelum periode kebijakan
HET) dan harga GKG berkisar antara Rp 5300/kg – Rp 6.000/kg (setelah periode
kebijakan HET). Trend kenaikan harga gabah ini telah mendorong harga beras di
tngkat konsumen yang juga cenderung naik.
Secara historis tren perkembangan harga beras di tingkat eceran terus
meningkat dari waktu ke waktu mengikuti harga gabah yang juga terus meningkat.
Gambar 4.2. menunjukkan bahwa selama periode tahun 2014-2018 harga beras
terus meningkat dengan kenaikan per tahun rata-rata sekitar 0,38%. Kenaikan harga
beras sangat berpengaruh terhadap tingkat inflasi dan kemiskinan, sehingga
pemerintah sangat berkepentingan untuk menjaga harga beras. Di sisi lain, terdapat
trend perkembangan kelas masyarakat menengah yang mulai memilih kualitas beras
yang dikonsumsinya. Sejak akhir tahun 2014, harga beras di tingkat eceran terus
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan, 2019 28
meningkat. Ada beberapa faktor yang menyebabkan harga naik diantaranya yaitu
pergantian pemerintahan pada tahun 2014. Banyak pihak mengkritisi pemerintahan
yang baru terlambat melakukan pembagian raskin. Padahal, sebenarnya pemerintah
sebelumnya telah memajukan pembagian raskin di akhir masa jabatannya sehingga
stok bulog berkurang dan pemerintahan yang baru tidak dapat lagi melakukan
operasi pasar. Kondisi ini tergambar dari perkembangan harga beras umum di
tingkat eceran sejak akhir tahun 2016 yang terus naik walaupun tidak ada perubahan
HPP (Gambar 4.2.).
Ket: HPP beras mengacu pada Inpres No 5 Tahun 2015 dan fleksibilitas 10%
Sumber: BPS, diolah
Gambar 4.2. Perkembangan Harga beras Umum di Tingkat Eceran, 2016-2019
(September)
Kenaikan harga gabah dan beras selama periode akhir tahun 2017 hingga
2019 (September) juga tidak terlepas dari dampak implementasi kebijakan HET
beras serta penetapan harga acuan gabah/beras sebagaimana yang tercantum pada
Inpres No 5 Tahun 2015 beserta fleksibilitasnya. Berbagai studi sebelumnya
menunjukkan bahwa faktor-faktor yang membentuk atau menentukan harga beras di
dalam negeri, terutama adalah (i) produksi, (ii) konsumsi, (iii) stok, (iv) musim, (v)
harga beras di tingkat pedagang grosir, (vi) HPP gabah/HPP beras, (vii) kebijakan
impor serta (vii) harga beras pada periode sebelumnya. Data selama periode 2016-
2019, harga pembelian pemerintah untuk gabah sebesar Rp 3.700/kg dan beras
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan, 2019 29
sebesar Rp 7.300/kg yang mengacu pada Inpres No 5 tahun 2015. Untuk
mempermudah penyerapan gabah dan beras oleh Bulog, pada bulan April 2018
pemerintah kemudian menerapkan fleksibilitas 10%, sehingga HPP beras menjadi
Rp.8.030/kg. Selama periode tersebut, harga beras menunjukkan tren kenaikan
sebesar 3,02%, bahkan pasca penerapan HET terjadi kenaikan harga sekitar 5,6%
dibandingkan periode sebelum kebijakan HET. Artinya, penetapan harga dasar
(HPP) seharusnya mempunyai peran terhadap kenaikan harga. Namun demikian,
saat ini HPP gabah/HPP beras masih dinilai tidak berperan signifikan.
Kenaikan harga beras juga disebabkan oleh kenaikan harga gabah akibat
pasokan dari daerah penghasil utama beras di Jawa Barat menurun, antara lain
Karawang, Subang dan Indramayu di Jawa Barat. Kondisi ini kemudian berlanjut
pada kenaikan harga gabah di beberapa wilayah sentra produksi, seperti Sulawesi,
Sumatera, dan Jawa Tengah. Harga gabah rata-rata mencapai kisaran Rp 5.000/kg
– Rp 5.500/kg. Berkurangnya pasokan gabah selama bulan Desember 2017 hingga
Februari 2018 dikarenakan wabah hama penyakit, misalnya wereng batang coklat
yang menyerang persawahan terutama di wilayah Jawa Barat sehingga produksi
gabah menurun dan akhirnya turut mengganggu pasokan ke wilayah-wilayah
lainnya. Kondisi ini secara langsung mempengaruhi terhadap kondisi pasokan
gabah di wilayah sentra produksi lainnya dan berdampak pada kenaikan harga
gabah di akhir tahun 2017, sekaligus membuat stok nasional berkurang pada awal
tahun 2018. Menurut hasil monitoring di 84 Kabupaten/Kota kisaran harga gabah
kering panen (GKP) mencapai kisaran Rp 5.200/kg – Rp 6.000/kg. Jika dikonversi ke
gabah kering giling (GKG) harga bisa mencapai Rp 7.000/kg atau naik sekitar 25%.
Kenaikan harga di hulu ini yang menyebabkan harga beras jenis medium naik hingga
mencapai Rp 11.000/kg di tingkat pasar grosir PIBC. Adapun pada tahun 2019,
harga GKP tertinggi ada di Sumatera Barat, sedangkan yang terendah di Bali.
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan, 2019 30
Gambar 4.3. Rata-rata harga GKP di tingkat petani di berbagai daerah di
Indonesia, tahun 2019 (s.d September 2019)
4.1.2. Keragaman implementasi kebijakan HET beras: Kasus di daerah survei
Kebijakan harga eceran tertinggi (HET) beras ditetapkan berdasarkan
kualitas beras medium dan premium dengan target harga yang ditetapkan berbeda
berdasarkan wilayah. Survei pada kegiatan analisis implementasi kebijakan HET
dilakukan di dua wilayah sebagai sampel awal yaitu Kepulauan Riau dan Jawa
Barat. Kepulauan Riau merupakan salah satu wilayah yang merupakan sentra
konsumsi di kawasan barat Indonesia dan Jawa Barat merupakan wilayah sentra
produksi padi terbesar di Pulau Jawa, khususnya di Karawang, dan sentra
konsumsinya ada di wilayah perkotaan seperti Bandung.
1. Tingkat Petani
Luas lahan sawah di Karawang semakin hari semakin menurun. Namun,
produksi gabah kering per hektar yang dipanen petani semakin produktif seperti yang
dirasakan petani padi Karawang saat ini. Di Karawang, panen padi atau gabah
hanya 2 kali dalam setahun pada umumnya. Hal tersebut dikarenakan pasokan air
yang tidak cukup jika dilakukan 3 kali dalam setahun. Produktivitas petani setempat
saat ini meningkat karena perlakuan-perlakuan yang mereka terapkan berbeda bila
dibandingkan dengan perlakuan yang dilakukan dulu. Salah satunya, petani
menggunakan pupuk kimia dan pestisida untuk sawahnya dengan dosis yang lebih
banyak dibandingkan dulu karena meningkatnya kekuatiran gagal panen akibat
hama. Produksi gabah kering per hektar di tingkat petani Kabupaten Karawang
sebanyak 5 ton pada umumnya. Pada Desember 2017 hingga Januari 2018,
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan, 2019 31
produksi gabah nasional turun karena adanya serangan hama wereng yang cukup
intens. Akibatnya, harga beras menjadi sangat tinggi, bahkan di atas HET.
Dari sisi biaya produksi, biaya produksi gabah kering yang dilakukan oleh petani
semakin hari semakin naik. Saat ini, kisaran biaya produksi petani berada di kisaran
Rp. 9 juta hingga Rp. 10 juta. Petani juga khawatir akan rencana penetapan
peraturan pemerintah tahun depan untuk mengurangi jumlah pupuk bersubsidi untuk
petani. Jika jadi diberlakukan tahun depan, petani akan mendapatkan pasokan
pupuk bersubsidi lebih sedikit dari saat ini sehingga akan meningkatkan biaya
produksi.
Dari biaya produksi yang semakin tinggi, maka harga gabah kering petani juga
cenderung semakin tinggi. Saat ini, harga gabah yang mereka terima sedang bagus,
yaitu Rp. 5.000 per kg. Dilihat dari kecenderungan atau pergerakan harga gabah dari
dulu hingga sekarang, harga gabah akan cenderung naik. Jika harga beras di pasar
sedang naik, maka harga gabah juga naik. Akan tetapi, jika harga beras di pasar
turun, maka harga gabah sulit untuk turun. Petani saat ini sudah memiliki posisi
tawar yang lebih baik dibandingkan petani yang dulu. Dengan demikian, sebenarnya
kebijakan pemerintah mengenai HET tidak terlalu berpengaruh terhadap harga jual
gabah pada petani karena mereka akan tetap menjual sesuai biaya produksi yang
dikeluarkan, terlepas dari naik turunnya harga beras di pasar.
Masalah-masalah yang dihadapi para petani yaitu adanya “calo” yang meminta
uang secara cuma-cuma setiap mereka panen. Calo ini tidak melakukan kegiatan
apa-apa, jadi hanya meminta uang saja kepada para petani. Jika petani tidak
memberikan, calo tersebut akan berbuat hal-hal yang tidak diinginkan yang bahkan
dapat mengganggu produksi petani selanjutnya.
2. Tingkat Penggilingan
Penggilingan di Kabupaten Karawang ada yang berskala kecil maupun besar.
Hal yang membedakannya hanya kapasitas mesin penggilingan yang digunakan
oleh setiap penggilingan. Penggilingan membeli gabah petani langsung di sawah
petani sehingga penggilingan menanggung biaya transportasi yang lebih besar. Total
biaya yang dikeluarkan penggilingan pada umumnya sekitar Rp. 5.500 per kg beras.
Tingkat rendemen gabah menjadi beras masih rendah pada umumnya di Karawang.
Di Kabupaten Karawang, terdapat perusahaan penggilingan skala besar, yaitu PT.
JST (Jatisari Sri Rejeki). Perusahaan ini saat ini hanya memproduksi beras premium
untuk Bulog.
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan, 2019 32
Pada umumnya, penggilingan menggiling beras dengan kualitas di atas kualitas
medium, tetapi di bawah premium. Hal tersebut dilakukan agar penggilingan
mendapatkan harga lebih tinggi namun masih terjangkau oleh masyarakat. Selain itu,
pergeseran selera masyarakat untuk mengkonsumsi beras dengan kualitas lebih
baik juga berpean terhadap peningkatan produksi beras dengan kualitas menengah
tersebut. Akan tetapi, rata-rata penggilingan tidak mau memproduksi beras premium
karena takut bersaing dengan penggilingan-penggilingan lainnya sehingga beras
mereka tidak laku dijual kepada pedagang dan akhirnya rugi. Hal tersebutlah yang
membuat persentase keberadaan beras medium semakin sedikit. Beras dari
penggilingan dijual dalam kemasan 50 kg. Terdapat beberapa penggilingan yang
mencantumkan merek pada kemasan karungnya, beberapa tidak mencantumkan
merek. Beberapa juga ada yang mencantumkan jenis kualitas berasnya, beberapa
juga tidak. Namun, penggilingan pasti memberitahu informasi kualitas berasnya
kepada pedagang yang membeli beras mereka. Harga jual beras dari penggilingan
dapat ditentukan oleh pihak penggilingan itu sendiri atau pedagang. Biasanya harga
di tingkat penggilingan selalu mengikuti harga pasar.
Pada saat survey dilaksanakan, harga jual beras kualitas menengah di tingkat
penggilingan berada pada range Rp. 9.200 - Rp.9.500 per kg. Pergerakan harga
beras di tingkat penggilingan berbeda dengan pergerakan harga gabah di tingkat
petani. Pada saat harga beras di tingkat konsumen naik, harga beras di tingkat
penggilingan juga ikut naik. Sedangkan jika harga di tingkat konsumen turun, maka
harga beras di tingkat penggilingan juga ikut turun. Hal tersebutlah yang membuat
kesan bahwa penggilingan berada di posisi terjepit. Penggilingan membeli gabah
sebagai bahan bakunya dengan harga cenderung tinggi dan menjual beras sebagai
hasil produksinya dengan harga rendah jika harga di pasar sedang turun. Di tingkat
penggilingan, lagi-lagi penetapan HET tidak terlalu berpengaruh karena harga
sebagai hasil mekanisme pasarlah yang mempengaruhinya.
Masalah utama yang dihadapi penggilingan beras adalah besarnya ketakutan
akan peraturan pemerintah mengenai penyelundupan/penimbunan beras. Hal
tersebut akan merugikan pihak penggilingan. Pernah ditemukan kasus, ketika
pemerintah sedang melakukan sidak penimbunan beras, beberapa penggilingan di
Karawang langsung menjual beras yang ada di gudangnya ke pedagang dengan
harga rendah, bahkan rugi. Padahal, untuk menjaga kelangsungan produksi,
penggilingan membutuhkan pasokan gabah untuk digiling atau diproduksi setiap hari.
Oleh karena itu, mereka menyimpan sebagian gabah setiap hari di gudangnya. Jika
tidak melakukan hal tersebut, mesin penggilingan tidak akan bekerja setiap hari dan
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan, 2019 33
buruh pun akan menganggur karena buruh penggilingan dibayar per hari. Selain itu,
di tingkat penggilingan juga terdapat “Calo Beras”. Sama seperti calo gabah, calo
beras ini hanya meminta uang kepada penggilingan secara cuma-cuma. Hal tersebut
membuat biaya produksi penggilingan semakin besar.
3. Tingkat pedagang
Pasar Johar merupakan pasar induk beras di Kabupaten Karawang tempat
bertemunya penjual dan pembeli beras, baik dari daerah setempat maupun luar kota.
Banyak pedagang eceran yang membeli beras dalam jumlah grosir di pasar ini.
Sebaliknya, para penggiling dari Kabupaten Karawang bahkan luar kota pun datang
kesini untuk menjual berasnya. Kisaran harga beras yang diperdagangkan di pasar
ini juga beragam, mengikuti kualitas dan jenisnya. Terdapat beras dengan kualitas
rendah, biasa/medium hingga premium. Jika kualitas beras premium, maka yang
tercantum di kemasan karung adalah premium. Namun, jika kulitas beras diluar
premium (bisa dibawah premium tetapi diatas premium hingga medium ke bawah),
yang tercantum di dalam kemasan adalah “mutu terjamin” pada umumnya. Para
pedagang tidak mencantumkan beras medium secara langsung. Namun, dalam hal
kualitas, pedagang memberitahu kepada konsumen atau pengecer beras mengenai
jenis kualitas yang dijualnya.
Pergerakan harga di pasar ini cenderung fluktuatif. Pergerakan harganya
mengikuti mekanisme pasar atau pergerakan supply dan demand beras di pasar.
Terdapat beras yang harganya di bawah HET dan terdapat juga beras yang
harganya di atas HET. Hal tersebut disebabkan oleh jika HET yang dirasa terlalu
rendah, para pedagang akan kesulitan dalam menjual berasnya bahkan ada yang
tidak menjual beras. Hal tersebut akan berdampak pada supply beras di pasar turun
sehingga harga pun naik. Pada dasarnya, di tingkat pedagang pun, mereka tidak
mengacu atau mematok harganya pada HET. Mereka hanya mengikuti harga yang
berlaku di pasar.
Selain itu, pada prakteknya di pasar, kualitas beras lebih didasarkan pada
persepsi dari pedagang dan konsumen itu sendiri. Banyak produsen/penggilingan
beras yang tidak/belum mencantumkan kualitas beras tersebut karena sebagian
telah dicampur/oplos dengan kualitas lainnya sehingga sulit ditentukan kualitasnya
berdasarkan Permendag 57/2017. Sebagai contoh, berdasarkan pengamatan
peneliti baik di pasar maupun pada FGD perberasan, rata-rata persepsi tentang
kualitas beras yang digunakan di pasar yaitu berdasarkan harga dan kemasan.
Semakin mahal harga beras tersebut, maka beras tersebut akan dianggap sebagai
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan, 2019 34
beras premium atau bermutu tinggi. Demikian pula dengan kemasan, semakin bagus
dan mewah kemasan beras tersebut, dapat dikatakan beras tersebut berkualitas
premium. Persepsi yang berkembang ini tak lepas dari sulitnya menilai kualitas beras
di pasar yang dapat dilihat dari 3 syarat, yaitu derajat sosoh, kadar air, dan butir
patah/broken. Semua indikator tersebut memerlukan uji laboratorium yang tidak akan
mungkin dilakukan dalam proses jual beli di pasar tradisional maupun modern. Oleh
karena itu, jika pemerintah tetap berupaya untuk menerapkan HET beras, maka
perlu dicarikan solusi dalam meningkatkan efektivitas pengawasan implementasi
HET ke depan, khususnya dalam menentukan kualitas beras yang beredar di
pasaran agar lebih mudah diidentifikasi kualitasnya. Sebenarnya, Kementerian
Perdagangan telah mewajibkan setiap produsen untuk mencantumkan label jenis
kualitas baik melalui Permendag 57/2017 maupun Permendag 8/2019, namun
kebijakan label beras ini belum sepenuhnya ditaati oleh pelaku usaha distribusi beras
karena belum ada sanksi yang tegas dan jelas atas pelanggaran terhadap aturan
tersebut.
4.1.3. Perhitungan Struktur Biaya Produksi Beras
Banyak pelaku usaha yang kegiatan usahanya bergerak di perberasan. Hal
tersebut disebabkan oleh komoditas beras yang merupakan bahan pangan pokok
penduduk Indonesia sehingga usaha beras dinilai masih cukup menguntungkan.
Oleh karena itu, banyak pelaku usaha yang terlibat di perberasan dan membuat
saluran pemasaran komoditas beras cukup panjang. Berbeda daerah, maka saluran
pemasaran beras pun dapat berbeda. Di daerah yang sama juga belum tentu
memiliki saluran pemasaran beras yang seluruhnya sama. Saluran pemasaran beras
pada umumnya memiliki 3 pola saluran pemasaran, yaitu terdiri dari : 1) Petani –
Tengkulak – Penggilingan – Pedagang Besar – Pengecer – Konsumen Akhir; 2)
Petani – Penggilingan - Pedagang Besar – Pengecer – Konsumen Akhir; dan 3)
Petani – Pedagang Besar – Pengecer – Konsumen Akhir.
Sebagai contoh kasus di Jawa Barat (Karawang), Petani padi di Karawang
pada umumnya lebih banyak menjual gabahnya langsung ke penggilingan. Sudah
sangat sedikit keberadaan tengkulak yang ditemukan di Karawang. Istilah “calo”
sering ditemukan dalam usaha beras yang mereka lakukan. Calo ini tidak berperan
atau melakukan fungsi pemasaran apapun. Calo ini hanya meminta uang pungutan
secara cuma-cuma. Oleh karena itu, calo tidak dimasukkan sebagai anggota saluran
pemasaran di dalam saluran pemasaran beras.
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan, 2019 35
Menurut Peraturan Menteri Perdagangan No. 57/2017, harga eceran tertinggi
(HET) merupakan harga jual tertinggi beras kemasan dan/atau curah di pasar rakyat,
toko moderen, dan tempat penjualan eceran lainnya. Pada dasarnya, HET
ditetapkan dengan mempertimbangkan struktur biaya yang wajar, yaitu biaya
produksi, biaya distribusi atau pemasaran, keuntungan, dan atau biaya lain yang
dikeluakan oleh seluruh anggota saluran pemasaran beras. Jika dilihat dari rincian
pembentukan struktur biaya tersebut, dari hasil temuan lapang, analisis, serta studi
lliteratur, rincian komponen struktur biaya seluruh anggota saluran pemasaran beras
di Indonesia pada umumnya dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 4.1. Rincian Struktur Biaya Seluruh Anggota Saluran Pemasaran Beras
Anggota Saluran
Pemasaran Jenis Biaya
Biaya untuk beras
medium (Rp/kg)
Biaya untuk beras
premium (Rp/kg)
Petani Biaya Produksi 1.700 1.700
Biaya Pemasaran - -
Profit 3.300 3.300
Harga Jual 5.000 5.000
Penggilingan Biaya Produksi 5.500 5.700
Biaya Pemasaran 500 500
Profit 3.000 3.300
Harga Jual 9.000 9.500
Pedagang Besar Biaya Produksi 9.500 10.000
Biaya Pemasaran 80 80
Profit 420 920
Harga Jual 10.000 11.000
Pengecer Biaya Produksi 10.500 11.500
Biaya Pemasaran 55 55
Profit 445 445
Harga Jual Akhir 11.000 12.000
Jika dilihat dari tabel 4.1. di atas, biaya produksi yang dikeluarkan petani
dalam budidaya padi sebesar Rp. 1.700/kg gabah kering panen (GKP). Biaya
produksi yang dikeluarkan petani untuk menghasilkan beras medium dan premium
tidak berbeda karena kedua jenis beras tersebut dihasilkan dari gabah kering yang
sama. Petani tidak mengeluarkan biaya pemasaran karena tidak ada fungsi
pemasaran yang dilakukan petani padi. Pada saat ini, harga jual yang ditetapkan
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan, 2019 36
petani untuk GKP sebesar Rp. 5.000/kg. Profit yang diterima petani kurang lebih
Rp. 3.300/kg GKP. Di tingkat penggilingan, biaya produksi merupakan biaya
pembelian GKP petani dan biaya lainnya. Di tingkat ini, biaya produksi berbeda
antara biaya menghasilkan beras medium dan biaya yang menghasilkan beras
premium. Biaya produksi untuk beras premium sedikit lebih tinggi dibandingkan
beras medium. Hal tersebut dikarenakan pada saat proses penggilingan, lama
penggilingan untuk menghasilkan beras premium lebih lama sehingga biaya pun
menjadi sedikit lebih tinggi. Sedangkan biaya pemasaran yang dikeluarkan
penggilingan sebesar Rp. 500/kg beras. Biaya produksi yang dikeluarkan pedagang
besar juga merupakan biaya pembelian beras dari penggilingan dan biaya lainnya.
Biaya pemasaran yang dikeluarkan pedagang besar sebesar Rp. 80/kg. Biaya
tersebut cukup kecil karena pedagang besar hanya melakukan sedikit fungsi
pemasaran, yaitu fungsi pembelian, penjualan, dan penyimpanan. Pengangkutan
dan pengemasan dilakukan oleh pihak penggilingan serta pengecer. Pengecer
langsung datang ke pedagang besar untuk membeli beras, bukan pedagang besar
yang memasarkan berasnya. Di tingkat pengecer, biaya produksi yang dkeluarkan
sebesar harga jual beras oleh pedagang besar dan biaya lainnya. Biaya pemasaran
tidak berbeda jauh dengan pedagang besar, yaitu sebesar Rp. 55/kg.
Jika dilihat secara keseluruhan, profit untuk menjual beras premium lebih
besar daripada beras medium kecuali di tingkat petani dan pengecer. Hal tersebut
tentu berbeda karena kualitas kedua jenis beras tersebut pun berbeda. Dan dilihat
dari hasil harga jual akhir oleh pengecer kepada konsumen, harga jual untuk beras
medium sebesar Rp. 11.000/kg dan harga jual beras premium sebesar Rp.
12.000/kg. Hal tersebut tidak sesuai dengan HET yang ditetapkan pemerintah.
Pemerintah menetapkan HET untuk beras medium sebesar Rp 9.450/kg dan HET
untuk beras premium sebesar Rp 12.800/kg. Implementasi HET untuk beras
premium masih sesuai, yaitu harga ecer beras di bawah Rp. 12.800/kg. Sedangkan
implementasi HET untuk beras medium tidak sesuai. HET beras medium di atas Rp.
9.450/kg. Ketidaksesuaian tersebut dikarenakan biaya produksi yang tinggi dan
profit yang ditetapkan anggota saluran pemasaran beras cukup tinggi. Profit yang
cukup tinggi tersebut ditetapkan anggota saluran pemasaran beras didasarkan pada
perhitungan cashflow mereka dan untuk keberlangsungan usaha ke depannya.
Dirasakan para anggota saluran pemasaran beras bahwa HET yang ditetapkan
pemerintah masih rendah terutama beras medium. Oleh karena itu, para anggota
saluran ini banyak yang beralih untuk menjual beras dengan kualitas menghampiri
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan, 2019 37
beras premium, namun bukan beras premium. Di kemasan beras hanya tertera
“good quality”.
Untuk HET beras premium masih berjalan baik, sedangkan untuk penetapan
HET beras medium harus diperbaiki. Pada dasarnya, tidak ada ketentuan atau
kebijakan khusus pemerintah saat ini yang menetapkan batas maksimal profit yang
ditetapkan pelaku usaha beras (profiteering). Sebaiknya harus dilakukan tinjauan
lebih dalam mengenai besaran profit yang dapat menunjang keberlangsungan
usaha anggota saluran pemasaran beras. HET beras premium masih dapat
diteruskan yaitu sebesar Rp. 12.800/kg, sedangkan untuk HET beras perlu
dilakukan penyesuaian kembali dengan mempertimbangkan biaya produksi,
pemasaran, dan juga dampaknya terhadap rasio pasokan beras medium dan
premium di pasar. Berdasarkan pengalaman sebelumnya, jika HET beras premium
dan medium terlalu jauh, maka akan mendorong penggilingan lebih banyak
memproduksi beras jenis premium. Dengan berkurangnya produksi beras medium
di penggilingan maka penyaluran beras medium di pasar juga akan berkurang dan
dampaknya menaikkan harga.
4.1.4. Isu-isu lain terkait implementasi kebijakan harga
1. Jawa Barat
Jawa Barat merupakan sentra produksi sekaligus sentra konsumsi untuk
barang pangan pokok. Ini berarti, ada komoditi bapok yang dihasilkan dan
dicukupi sendiri oleh Jawa Barat, namun ada juga beberapa bapok yang
harus didatangkan dari luar daerah. Disperindag menyatakan, setidaknya
terdapat beberapa komoditi bapok yang menjadi defisit dari Jawa Barat, yaitu
kedelai, cabai rawit, bawang merah, telur ayam ras, dan susu cair.
Berdasarkan pantauan harian Dinas Perindag Jawa Barat, harga bapok di
pasar pantauan rata-rata stabil, namun masih bertahan dengan harga tinggi,
termasuk di dalamnya adalah beras. harga beras berfluktuasi secara harian.
Hal ini terjadi karena pedagang mempertimbangkan kualitas beras yang
masuk pada hari itu. Sebagai contoh, jika pada hari itu beras yang masuk
dinilai baik kualitasnya, maka harganya akan dinaikkan lebih tinggi dari
sebelumnya. Sebaliknya, jika beras yang masuk kurang baik mutunya, maka
pedagang akan menurunkan harga jualnya. Dengan demikian, pedagang
kurang memperhatikan HET yang telah ditetapkan oleh Pemerintah.
Disperindag menemukan bahwa harga beras medium non Bulog rata-rata
dijual Rp.10.000-Rp.11.000/kg, atau mendekati HET beras premium di Jawa
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan, 2019 38
Barat sebesar Rp.12.800/kg. Sedangkan beras premium dijual hingga
Rp.14.000/kg untuk jenis pandan wangi campur. Terhadap hal tersebut,
Disperindag bersama Satgas Pangan telah melakukan penertiban berkala.
Mendekati musim hujan, panen padi di Jawa Barat diperkirakan akan surplus
sebesar 1,423 juta ton selama 6 bulan ke depan.
Berdasarkan pendapat dari berbagai kalangan di masyarakat, setidaknya
terdapat 2 usulan dalam pengendalian harga pangan, yaitu:
a. Pengendalian harga tidak hanya dilakukan dengan mengatur harga di
pasar akhir tetapi harus mulai dari pembentuk harganya, yaitu produsen
serta saluran distribusinya. Harga di pasar merupakan hasil akhir dari
saluran distribusi. Dengan demikian, pemerintah juga seharusnya
mengatur harga di tingkat produsen dan juga keuntungan yang diambil
oleh setiap mata rantai distribusi. Dengan demikian, harga yang terbentuk
di konsumen bisa lebih mudah dikendalikan. Untuk itu, Kementerian
Perdagangan disarankan dapat melihat mata rantai pasok secara
keseluruhan, sehingga dapat mengambil kebijakan harga yang tepat dan
berimbang. Sebagai contoh, saat ini pemerintah telah mengatur baik HPP
hingga HET. Kedua kebijakan tersebut belum mengatur keuntungan yang
didapat distributor/agen (middlemen). Dengan demikian, pemerintah juga
perlu mengatur keuntungan yang didapat perantara.
b. Pemerintah melalui Bulog telah berupaya menyediakan barang substitusi
(seperti beras, minyak goreng, gula, daging sapi/kerbau) dengan harga
yang lebih terjangkau jika harga di pasar sedang tinggi. Namun upaya ini
belum diketahui masyarakat luas sehingga dampaknya belum terlihat dan
barang substitusi tersebut belum sampai ke konsumen secara luas.
Dampak pengendalian harga yang ada saat ini lebih kepada efek
psikologis, karena dari sisi volume, barang substitusi tersebut juga belum
dapat memenuhi kebutuhan masyarakat. Selain itu, masyarakat Jawa
Barat lebih menyukai beras dengan tipe pulen, yang agak berbeda
dengan beras bulog yang bertekstur perak.
c. Kebijakan pangan yang ada saat ini pasti berpengaruh pada harga dan
pasokan, tapi dampaknya belum efektif, terlebih jika ingin menekan harga
supaya dibawah atau sama dengan HET/Harga Acuan. Kondisi ini terjadi
karena kebijakan tersebut tidak cukup fleksibel mengikuti perubahan pola
konsumsi/fluktuasi harga pangan yang frekuensinya harian.
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan, 2019 39
2. Kepulauan Riau
Pada umumnya harga-harga barang pokok di Tanjung Pinang dan
sekitarnya cukup stabil karena pasokan barang cukup stabil ke kota
Tanjung Pinang. Namun demikian, pada musim-musim tertentu,
khususnya musim utara dimana angin berhembus cukup kencang dan
ombak tinggi pasokan dapat sedikit terganggu dan menyebabkan harga
naik. Inflasi agak tinggi biasanya terjadi pada bulan November hingga
bulan Januari. Selain itu, mengingat rata-rata barang pokok didatangkan
dari luar daerah, maka Kepri rentan akan perubahan harga di daerah asal
barang. Misalnya saat harga cabai rawit dan bawang merah tinggi di
Pulau Jawa sebagai wilayah produsen, maka tingginya harga tersebut
juga ditransmisikan ke Kepri sebagai wilayah konsumsi. Berdasarkan
pantauan BPS, hampir semua bahan pokok di Kepri didatangkan dari
daerah sekitar Kepri sehingga seringkali terjadi imported inflation.
Beberapa daerah yang menjadi pemasok bagi Kepri yaitu Sumatera Utara
(Medan), Jambi, Pulau Jawa, Kalimantan Barat. BPS memberikan catatan
bahwa volatile food merupakan penyumbang inflasi terbesar untuk
Provinsi Kepri. Catatan untuk pelaksanaan kebijakan harga di provinsi ini
dapat dirangkum dalam poin berikut:
a. Berdasarkan wilayah pemberlakuan harga acuan dan HET,
Kepulauan Riau masuk ke dalam Zonasi Sumatera lainnya. Dengan
demikian, berlaku harga eceran tertinggi untuk beras, yaitu beras
medium sebesar Rp.9.950/kg dan beras premium sebesar
Rp.13.300/kg. Sedangkan untuk harga acuan/HET beberapa
komoditas bahan pokok, yaitu gula pasir Rp.12.500/kg, Daging beku
(paha depan) Rp.80.000/kg, dan minyak goreng kemasan sederhana
Rp. 11.000/liter. Untuk mendukung pemberlakuan regulasi tersebut,
Gubernur Kepri telah menerbitkan Surat Edaran Nomor:
120/1519.c/DPP/SET, tanggal 15 Juli 2019. Surat Edaran mulai
berlaku pada tanggal diterbitkan hingga 31 Desember 2019.
b. Di pasar tradisional, kebijakan harga sulit diterapkan kepada para
pedagang karena harga yang dikenakan pedagang bervariasi
mengikuti banyaknya modal ditambah margin keuntungan yang ingin
mereka dapatkan. Sebagai ekses negatif akan tingginya harga
pangan di Tanjung Pinang, masyarakat mencari alternatif bahan
pangan yang lebih murah dibandingkan di pasar tradisional, salah
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan, 2019 40
satunya adalah melalui barang ilegal. Dinas Perindag juga
menemukan adanya indikasi peredaran bapok ilegal, yaitu gula
rafinasi, daging sapi asal Brazil, dan daging ayam ras asal Hong
Kong. Gula rafinasi dijual eceran ke konsumen pada beberapa ritel
lokal sesuai dengan harga acuan atau sedikit lebih murah, yaitu
Rp.12.300-12.500/kg. Sedangkan daging sapi brazil ini dijual di pasar-
pasar tradisional dalam bentuk beku dengan harga Rp. 42.000/kg dan
juga didistribusikan ke pelaku usaha makanan/katering. Daging ayam
ras asal Hong Kong dijual di Tanjung Pinang dengan harga
Rp.36.000/kg. Daging ayam cukup diminati masyarakat karena harga
yang cukup murah namun bobot yang cukup berat dibandingkan
daging ayam lokal. Saat ini masih diselidiki asal daging beku tersebut.
c. Di toko ritel modern, peritel lokal rata-rata telah mematuhi aturan
harga, baik HET maupun harga acuan. Sebagai informasi, di Tanjung
Pinang banyak berdiri toko swalayan lokal dan tidak terdapat ritel
modern seperti Alfamart atau Indomaret. Namun demikian, harga di
pasar cukup bervariasi mulai dari dibawah hingga diatas HET dan
harga acuan.
d. Dinas Perindag menyatakan bahwa sebenarnya harga-harga bapok di
Kepri dan Tanjung Pinang khususnya sebenarnya bisa lebih rendah
dari saat ini. Namun demikian, pelaku usaha distribusi bapok masih
mengambil margin cukup tinggi dan enggan menurunkan harga
karena menguasai pasokan.
4.1.5. Analisis Efektifitas Penetapan Kebijakan HET Terhadap Stabilitas Harga
Beras
4.1.5.1. Estimasi Dampak Kebijakan HET Beras Terhadap Stabilitas
Harga Beras
Pada bagian ini akan dibahas mengenai dampak kebijakan HET
beras terhadap stabilitas harga eceran beras domestik, dimana hal ini untuk
memenuhi kebutuhan dalam negeri terutama karena beras memiliki volatilitas
yang tinggi. Perhitungan volatilitas dalam kajian ini dilakukan dengan melihat
volatilitas dihitung berdasarkan selisih dari log variabel harga seperti yang
disarankan oleh Maniloff dan Lee (2015). Perhitungan volatilitas ini
selanjutnya digunakan analisis melalui persamaan Error Correction Model
(ECM).
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan, 2019 41
Metode Error Correction Model (ECM) dipilih karena dua hal yaitu
untuk menghindari adanya spurious regression, serta dengan metode ini
semua variabel (kecuali variabel dummy) ditransformasikan menjadi first
difference. Perubahan variabel menjadi first difference membuat semua
variabel dapat diartikan sebagai perubahan dari variabel tersebut yang
dijadikan perhitungan dari volatilitas (Maniloff dan Lee, 2015). Dalam analisis
ini menggunakan model Error Correction Mechanism (ECM) karena model
tersebut merupakan analisis data time series yang digunakan untuk variabel-
variabel yang memilki ketergantungan yang sering disebut
dengan kointegrasi.
Metode ECM digunakan menyeimbangkan hubungan ekonomi
jangka pendek variabel-variabel yang telah memiliki keseimbangan/hubungan
ekonomi jangka panjang. Oleh karena itu, dalam analisis estimasi model
ECM ini diharapkan mampu menganalisis efektifitas penetapan kebijakan
HET terhadap stabilitas harga eceran beras di level konsumen. Dalam model
yang dibangun dihasilkan model ECM untuk jangka pendek dan jangka
panjang.
Adapun model jangka panjang dalam analisis ini yang sudah memenuhi
kriteria adalah sebagai berikut:
HBED = -9651.542 + 0.682*HBMPG + 325.875*HET + 0.489*KURS + 73.412*LOG(PROD)
sig. 0.0000 sig. 0.0033 sig. 0.0000 sig. 0.2811
- 186.271*LOG(STOK) + 6.964E10-6*KONS Fstat = 273.7547 ; adj R-square = 0.128574
Sig. 0.1500 sig. 0.0000 sig. 0.0000 ......................(9)
Beradasarkan model jangka panjang di atas dapat dilihat bahwa
model jangka panjang pada model kointegrasi secara signifikan pada taraf
nyata 5 persen pada selang kepercayaan sebesar 95 persen menunjukkan
kebijakan penentuan atau penetapan harga eceran tertinggi (HET) beras
mempengaruhi terhadap peningkatan harga beras eceran di tingkat domestik
(HBED) sebesar 325.875 persen. Hal ini menunjukkan bahwa adanya HET
beras akan mendorong harga eceran beras di level domestik secara
signifikan dalam jangka panjang. Hal ini berarti bahwa dalam jangka panjang,
penetapan kebijakan HET beras tidak efektif dalam menciptakan stabilisasi
harga ataupun menjaga harga tetap dalam HET. Dalam jangka panjang,
variabel-variabel yang mempengaruhi harga beras di pasar domestik yaitu
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan, 2019 42
nilai tukar (KURS), harga beras medium di tingkat penggilingan (HBMPG),
dan jumlah konsumsi (KONS) dimana ketiganya secara signifikan
mempengaruhi terhadap stabilisasi harga eceran beras domestic (HBED).
Variabel stok dapat menurunkan harga beras di pasar domestik signifikan
pada taraf nyata 15 persen
Temuan ini memberikan implikasi bahwa kebijakan HET tidak efektif
menstabilisasi harga eceran beras di domestik jika hanya mengandalkan
pada variabel harga beras medium di level penggilingan (HBMPG), nilai tukar
yang tidak stabil (depresiasi) (KURS), dan jumlah konsumsi dalam jangka
panjang (KONS). Tetapi akan sangat efektif apabila mengandalkan stok
pasokan beras (STOK). Artinya stok akan mendorong penurunan harga beras
domestic dengan signifikan pada taraf nyata 15 persen. Dengan kata lain,
bahwa kebijakan HET dalam jangka panjang akan sangat efektif melalui
peningkatan jumlah stok. Peningkatan jumlah stok beras (STOK) dalam
jangka panjang akan menstimulus terhadap penurunan harga beras eceran
domestic (HBED) secara signifikan.
Selanjutnya, apabila kita analisis berdasarkan model jangka pendek, dengan
model ECM, dimana model tersebut adalah:
LOG(HBED) = -15.756 + 5.435E-05*HBMPG + 0.017*HET + 0.475*LOG(KURS) –
sig. 0.0000 sig. 0.005 sig. 0.000
0.004*D(D(LOG(PROD))) - 0.028*LOG(STOK) + 0.975*LOG(KONS)
sig. 0.0416 sig. 0.0036 sig. 0.0000
+ 0.788*ECT4(-1) Fstat = 543.9173 ; adj R-square = 0.979889
sig. 0.0000 sig. 0.0000 ......................................(10)
Model ECM di atas merupakan model jangka pendek, dimana model
tersebut mampu mengestimasi terkait kebijakan HET terhadap stabilisasi
volatilitas harga eceran beras domestik (HBED). Berdasarkan model tersebut
juga dapat dilihat bahwa model ECM mampu menjelaskan secara signifikan
pada taraf alfa 5 persen pada selang kepercayaan sebesar 95 persen bahwa
kebijakan penentuan atau penetapan harga eceran tertinggi (HET) beras
sejak ditetapkan berpengaruh dalam meningkatkan harga beras eceran di
tingkat domestik (HBED) sebesar 0.017 persen, sangat kecil. Besaran
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan, 2019 43
tersebut menunjukkan bahwa kebijakan HET mampu menstabilisasi harga
eceran beras domestik secara signifikan. Hal ini berarti kebijakan HET dalam
jangka pendek sangat efektif menstabilisasi harga eceran beras (HBED)
secara signifikan.
Kondisi ini juga menunjukkan bahwa adanya kebijakan HET beras
dalam jangka pendek akan meningkatkan harga beras tetapi sangat kecil dan
bersifat inelastis. Artinya ada atau tidaknya kebijakan HET akan sangat kecil
mempengaruhi harga beras namun demikian setidaknya masih dapat
menjaga stabilitas harga beras melalui instrumen yang tepat. Menurut Ellis
(1992) menyatakan bahwa kebijakan harga yang merupakan upaya untuk
menstabilkan harga produk pertanian, khususnya beras dapat dilakukan
melalui berbagai instrumen seperti kebijakan perdagangan, kebijakan nilai
tukar, pajak dan subsidi serta intervensi langsung. Secara tidak langsung,
kebijakan stabilisasi harga dapat dilakukan melalui kebijakan input dan
kebijakan output. Kebijakan input berupa subsidi harga sarana produksi
terhadap pupuk, benih, pestisida dan kredit pertanian.
Dengan demikian, pemerintah sebaiknya menerapkan kebijakan
HET ini untuk stabilisasi harga eceran beras domestik, dan diterapkan hanya
untuk periode jangka pendek saja. Karena ternyata jangka pendek lebih
efektif dibandingkan dengan jangka panjang. Selain itu, stok beras juga akan
signifikan menurunkan harga eceran beras domestik. Dengan demikian,
kombinasi kebijakan HET sebaiknya diiringi secara bersamaan diterapkan
dengan peningkatan jumlah stok beras (STOK) dan produksi (PROD). Hal
ini berarti bahwa dalam jangka pendek, penetapan kebijakan HET beras
sangat efektif dalam menciptakan stabilisasi harga. Selain disebabkan oleh
adanya variable-variabel lainnya yang mempengaruhi hal tersebut seperti
variable nilai tukar (KURS), harga beras medium di tingkat penggilingan
(HBMPG), dan jumlah konsumsi (KONS) dimana ketiganya secara signifikan
mempengaruhi terhadap stabilisasi harga eceran beras domestic (HBED).
4.1.6. Masukan Terhadap Kebijakan HET di Masa Mendatang
Menurut pendapat para petani dan pedagang, kebijakan HET yang telah
ditetapkan oleh pemerintah selama ini tidak selalu menjadi acuan pedagang dalam
menjual beras di pasar. Karena ketika harga gabah naik, pedagang tidak mungkin
menjual harga kurang dari HET karena harga beras dari tingkat penggilingan sudah
naik. Dari sisi penggilingan, kebijakan HET mempunyai dampak yang cukup besar,
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan, 2019 44
karena penggilingan beli gabah di petani dengan harga yang mahal sementara di
harga jual pasar telah dibatasi oleh HET. Disamping itu, mereka juga akan menjual
beras sesuai dari harga gabah yang diterima.
Berdasarkan penjelasan di atas, dinamika harga gabah baik di tingkat petani
maupun di tingkat penggillingan memiliki tren yang terus meningkat diatas HPP yang
telah ditetapkan dalam Inpres No 5 Tahun 2015. HPP pada gabah di tingkat petani
ini merupakan acuan bagi Bulog untuk menyerap gabah di tingkat petani. Hasil
survey di lapangan menunjukkan bahwa gabah di petani (GKP) umumnya dijual ke
pedagang dari pada ke Bulog sehingga harga pasar masih menjadi acuan petani
untuk menjual gabahnya. Hal ini mengindikasikan bahwa HPP yang berlaku saat ini
kemungkinan sudah perlu ditinjau kembali karena sudah tidak sesuai dengan biaya
produksi yang harus ditanggung petani.
Disisi yg lain terlihat juga bahwa harga beras di tingkat produsen (petani-
penggiling) saat ini sudah melampaui harga yang ditetapkan dalam Inpres No 5
tahun 2015 yang sebesar Rp 6.600/kg dan harga beras di tingkat eceran saat ini
sudah lebih dari Rp 9.500/kg. Pelaksanaan kebijakan HET di lapangan terlihat
belum efektif karena selama ini di pasar, pedagang tetap menjual beras sesuai harga
pasar dan cenderung tidak terlalu memperhatikan HET. Di tingkat penggilingan,
karena telah membedakan harga beras medium dan premium, mereka menjual
sesuai dengan harga gabah yang dibeli dari petani. Harga HET tetap menjadi
acuan, tetapi jika harga gabah sudah naik, yang mana saat ini mencapai Rp 5.000/kg
(GKP), jika penjualan beras ke pasar dari penggilingan sekitar Rp 9.500-Rp
9.600/kg, maka harga jual di pasar paling minimum yaitu Rp 10.000/kg.
Dengan demikian, faktor yang mempengaruhi efektivitas kebijakan HET yaitu
(i) perkembangan struktur biaya produksi di tingkat petani dengan kondisi saat ini, (ii)
varietas beras yang cukup banyak di setiap wilayah sehingga perlu dilakukan
pengujian untuk menentukan jenis varietas yang sesuai dengan kualitas medium dan
premium, serta (iii) perbedaan harga yang terlalu jauh antara harga beras medium
dan premium yang membuat pelaku pasar beras menjual beras yang kualitasnya
masih jenis medium tetapi menjual dengan harga di bawah premium (moral hazard).
Selain dari hasil produksi domestik, pemenuhan kebutuhan konsumsi beras
juga berasal dari beras impor. Berdasarkan hasil analisis diatas, kurs juga
berpengaruh terhadap efektivitas HET. Hal ini dapat dipahami bahwa harga impor
akan ditransmisikan ke dalam harga di dalam negeri. Jika terjadi fluktuasi nilai tukar
rupiah terhadap US dollar, maka fluktuasi tersebut juga akan berdampak terhadap
harga beras domestik. Walaupun saat ini beras impor hampir sepenuhnya digunakan
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan, 2019 45
dalam stabilisasi harga dan cadangan beras pemerintah, maka agar HET tidak
menjadi beban pemerintah karena fluktuasi kurs, sudah seharusnya diikuti dengan
kebijakan yang mampu menstabilisasi nilai tukar rupiah.
Hal terakhir yang harus dijaga pemerintah untuk mengendalikan harga beras
dengan efektif adalah menjaga cadangan beras pemerintah dan hasil produksi yang
mencukupi sesuai tingkat konsumsi masyarakat dalam bentuk stok beras nasional.
Tanpa cadangan beras yang kuat, akan sulit bagi pemerintah mengendalikan harga
karena hanya memegang sedikit stok. Semakin banyak stok yang dikelola
pemerintah, maka akan semakin baik pengendalian harga oleh pemerintah karena
mempunyai stok yang mencukupi untuk melakukan penetrasi pasar dan
mempengaruhi harga beras secara signifikan di pasar. Hasil produksi padi yang
konsisten juga turut menjaga efektivitas HET, karena hasil produksi padi domestik
dan cadangan beras pemerintah bersama-sama membentuk stok beras nasional.
Jika hasil produksi berfluktuasi terlalu tajam, dikuatirkan implementasi HET akan
kurang optimal karena harga sulit dikendalikan akibat mekanisme pasar, walaupun
operasi pasar telah digelar. Oleh karena itu, manajemen stok beras khususnya hasil
produksi domestik mutlak diperlukan untuk mengatasi sifat asli beras sebagai
komoditi pertanian, yang rentan fluktuasi musiman akibat pola tanam dan panen.
4.2. Hasil analisis Harga Acuan
4.2.1. Analisis Frekuensi Penyimpangan Harga Komoditas
Tabulasi data dilakukan dengan mengolah data harga bulanan pada 5
komoditas pangan pokok yang telah ditentukan pada 10 kota terpilih. Data harga
pasar yang digunakan adalah data Pusat Informasi Harga Pangan Strategis (PIHPS)
yang berasal dari Bank Indonesia.
Berdasarkan pengolahan data deskriptif, pada tahun 2017-2019 hampir di
seluruh kota yang diamati menunjukkan bahwa secara umum harga pasar/eceran
rata-rata komoditas pangan terpilih berada di atas harga pasar. Namun demikian,
pada waktu dan komoditas tertentu masih ditemui harga sesuai atau di bawah harga
acuan. Hal ini menunjukan penetapan harga acuan relatif bersifat ”binding” terhadap
harga pasar yang ada.
Binding adalah kondisi dimana harga acuan lebih rendah dibandingkan harga
pasar. Dalam kondisi ini, sesuai arahan Permendag 96/2018, Pemerintah, baik
Kemendag maupun Pemda setempat seharusnya mengambil tindakan untuk
menurunkan harga pasar kembali ke arah harga acuan. Pengamatan pada hasil
pengolahan data daerah secara deskriptif menunjukkan hasil yang beragam.
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan, 2019 46
Tabel 4.2. Rekapitulasi Frekuensi Kejadian harga pasar di atas harga acuan
pada 10 Kota tahun 2017-2019, menurut komoditas
Komoditi
Tahun 2017 2018 2019 2017 2018 2019 2017 2018 2019 2017 2018 2019 2017 2018 2019
M e d a n 17% 0% 22% 75% 0% 56% 100% 100% 100% 0% 8% 11% 0% 8% 100%
Bandar Lampung 100% 75% 0% 100% 75% 0% 100% 100% 100% 8% 58% 78% 0% 33% 11%
Jakarta 100% 100% 100% 100% 100% 100% 100% 100% 100% 0% 0% 0% 8% 75% 100%
Bandung 100% 100% 100% 100% 100% 100% 100% 100% 100% 25% 92% 56% 8% 50% 89%
Palangkaraya 67% 33% 11% 67% 33% 11% 100% 100% 100% 25% 83% 67% 100% 100% 100%
Samarinda 100% 100% 100% 100% 100% 100% 100% 100% 100% 67% 8% 0% 83% 100% 100%
A m b o n 33% 100% 0% 33% 100% 0% 0% 0% 0% 92% 0% 33% 100% 100% 100%
Makasar 100% 100% 89% 100% 100% 89% 0% 0% 0% 0% 17% 0% 8% 67% 56%
Jayapura 100% 100% 100% 100% 100% 100% 100% 100% 100% 100% 100% 100% 100% 100% 100%
Manokwari 100% 100% 100% 100% 100% 100% 50% 100% 100% 100% 100% 100% 100% 100% 100%
> 50% 80% 80% 60% 90% 80% 60% 80% 80% 80% 40% 50% 50% 50% 80% 90%
migor curah gula pasir daging sapi daging ayam telur ayam ras
4.2.2. Pandangan Menurut Komoditas
Berdasarkan tabel 4.2. diatas, dapat dilihat frekuensi kejadian/kasus dimana
harga pasar/eceran berada di atas harga acuan. Respon harga setiap komoditas
terhadap adanya kebijakan harga acuan ternyata cukup beragam di 10 kota
pantauan. Sebagaimana diketahui, faktor pembentuk harga yang utama yaitu
keseimbangan antara pasokan dan permintaan. Pada daerah yang bukan produsen
suatu komoditas, atau hanya sebagai sentra konsumsi, kemungkinan harga yang
lebih tinggi dari acuan lebih mudah ditemui dibandingkan pada sentra produksi.
Selain itu, faktor distribusi yaitu jarak, ongkos angkut, moda transportasi juga
mempengaruhi pembentukan harga. Semakin sulit distribusi dan semakin mahal
ongkos angkut, maka akan semakin tinggi harga komoditas pangan yang
didatangkan dari luar ke wilayah tersebut.
Pada komoditas minyak goreng dan gula pasir, terdapat kecenderungan
kebijakan harga sepertinya mampu menahan bahkan menurunkan laju kenaikan
harga. Pada tahun 2017 dan 2018, terdapat 80% atau 8 kota yang mengalami harga
pasar diatas harga acuan. Frekuensi ini kemudian menurun di 2019 menjadi 60%
atau tinggal 6 kota yang masih mempunyai harga minyak goreng curah di atas harga
acuan.
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan, 2019 47
Selanjutnya, komoditas daging sapi segar tidak terjadi perubahan frekuensi
kejadian harga pasar di atas harga acuan. Selama periode 2017-2019, terdapat 8
kota dengan harga pasar diatas harga acuan.
Sedangkan untuk komoditas unggas, yaitu daging ayam ras dan telur ayam
ras, tampak bahwa terdapat kenaikan frekuensi kota yang mengalami kenaikan
harga di atas harga acuan selama periode pengamatan. Untuk daging ayam ras,
frekuensi kejadian naik dari 40% atau hanya 4 kota yang memiliki harga pasar di
atas harga acuan di tahun 2017, menjadi 50% atau bertambah menjadi 5 kota di
tahun 2018-2019. Yang paling parah adalah telur ayam ras, dimana terjadi lonjakan
drastis kota dengan harga pasar di atas harga acuan. Pada tahun 2017 hanya
terdapat 50% atau 5 kota, namun jumlah ini meningkat menjadi 80% di tahun 2018
dan naik lagi di tahun 2019 menjadi 90% atau hanya tersisa 1 kota yang harga
pasarnya dibawah harga acuan.
Dari uraian tersebut, gula dan minyak goreng merupakan dua komoditas
pangan yang kemungkinan mampu menunjukkan respon positif terhadap kebijakan
harga acuan. Hal ini dapat dipahami mengingat keduanya merupakan produk industri
pangan dan banyak dipasarkan lewat jaringan ritel modern. Ritel modern memiliki
kecenderungan untuk mematuhi peraturan yang telah ditetapkan oleh pemerintah
karena membutuhkan surat izin usaha perdagangan untuk beroperasi, dan apabila
tidak mematuhi peraturan yang telah ditetapkan oleh pemerintah, maka ritel modern
dapat dikenakan sanksi administratif. Penjualan harga gula dan minyak goreng
curah/kemasan sederhana sesuai harga acuan di toko modern mungkin mendorong
harga penjualan di pasar tradisional juga ikut menyesuaikan dengan harga acuan.
Pada daging sapi segar, adanya defisit pemenuhan kebutuhan membuat
kebijakan harga acuan menjadi tidak efektif. Akibatnya, harga daging sapi segar
rata-rata masih di atas harga acuan, baik sebelum implementasi maupun setelah
adanya kebijakan harga acuan tersebut. Hanya pada kota tertentu daging sapi lebih
murah dibandingkan harga acuan, yaitu Makassar dan Ambon. Hal ini menunjukkan
bahwa kedua kota tersebut mendapat pasokan daging sapi yang sangat mencukupi
sehingga harga yang terbentuk berada di bawah harga acuan.
Komoditas unggas seperti daging ayam ras dan telur ayam ras juga terlihat
tidak merespon baik terhadap kebijakan harga tersebut. Adanya anomali harga
akibat permasalahan distribusi dan produksi pada pasar produk unggas tampaknya
menjadi hambatan bagi pengaturan harga komoditas tersebut. Selama ini peternak
unggas/ayam ras mengeluhkan harga livebird (ayam hidup di kandang) yang rendah,
bahkan di bawah ongkos produksi, padahal harga eceran karkas di pasar masih
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan, 2019 48
cukup tinggi. Terdapat disparitas harga yang cukup jauh antara harga livebird
dengan harga eceran karkas. Fluktuasi harga juga terjadi ketika hari besar
keagamaan nasional tiba, yang didorong oleh adanya kenaikan permintaan. Daging
ayam dan telur ayam ras juga merupakan beberapa komoditas yang paling aktif
berfluktuasi sepanjang periode pengamatan.
4.2.3. Pandangan Menurut Daerah
Jika diperhatikan lebih lanjut, terdapat analisis yang dapat dilakukan dari sisi
daerah sebagaimana disajikan dalam tabel 4.3. Secara umum, tidak ada daerah
yang mempunyai harga pasar pada seluruh komoditas yang diamati berada sama
dengan atau di bawah harga acuan. Namun demikian, terdapat daerah yang
didominasi oleh harga pasar di atas harga acuan dan juga sebaliknya.
Selama periode pengawasan, Jayapura dan Manokwari tercatat sebagai
daerah yang seluruh komoditinya selalu berada diatas harga acuan baik sebelum
penerapan Permendag Nomor 96 tahun 2018 maupun sesudah penerapan peraturan
tersebut. Ini berarti sepanjang 2017-2019, harga pasar dari 5 komoditas pangan
yang dipantau selalu lebih tinggi dibandingkan harga acuannya. Hal ini menunjukkan
bahwa kemungkinan pada daerah-daerah tersebut belum ada respon atau kebijakan
yang efektif dari pemerintah untuk menurunkan harga bahan pangan pokok yang
beredar di tingkat pengecer.
Tabel 4.3. Perbandingan frekuensi kejadian harga pasar di atas harga
acuan, Menurut Daerah
No Tahun 2017 2018 2019
1 M e d a n 40% 20% 60%
2 Bandar Lampung 60% 80% 40%
3 Jakarta 60% 80% 100%
4 Bandung 60% 100% 100%
5 Palangkaraya 80% 60% 60%
6 Samarinda 100% 80% 80%
7 A m b o n 40% 60% 20%
8 Makasar 40% 60% 60%
9 Jayapura 100% 100% 100%
10 Manokwari 100% 100% 100%
Kota Jakarta dan Bandung menjadi wilayah yang perlu diwaspadai,
mengingat pada kedua kota tersebut semakin banyak komoditas pangan dengan
harga pasar di atas harga acuan. Selama tahun 2017-2019 diketahui terjadi kenaikan
harga dari komoditas pangan pokok. Di Jakarta misalnya, pada tahun 2017 diketahui
rata-rata terdapat 60 persen komoditas pangan yang berada diatas harga acuan.
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan, 2019 49
Namun, setelah ada harga acuan, jumlah ini malah semakin meningkat menjadi 100
persen di tahun 2019, atau hanya 2 tahun. Hal yang sama juga terjadi pada
Bandung. Peningkatan harga di kedua kota ini kemungkinan lebih disebabkan oleh
bertambahnya penduduk dengan pesat sehingga mendorong pertumbuhan
permintaan lebih cepat dibandingkan tingkat pemenuhannya. Daerah lain yang
berada pada tren serupa yaitu Makasar dan Medan.
Sebaliknya, terdapat kota dengan kecenderungan semakin mendekatinya
harga pasar ke harga acuan. Sebagai contoh, yaitu Ambon dan Lampung. Ambon
merupakan kota yang paling progresif dalam menurunkan harga pangannya. Dari
tahun 2018 tercatat penurunan yang signifikan, dari 60 persen harga pasar yang
melampaui harga acuan, menjadi hanya 20 persen di tahun 2019. Lampung juga
demikian, dari 80 persen harga pangan yang ada di atas harga acuan di tahun 2018
menjadi 40 persen saja pada tahun 2019, atau turun setengah dibandingkan tahun
lalu. Daerah dengan tren yang sama namun dengan laju penurunan yang lebih
lambat dapat ditemui di Palangkaraya dan Samarinda. Semakin terkendalinya harga
pangan kemungkinan disebabkan oleh semakin membaiknya akses menuju daerah
tersebut, misalnya infrastruktur dan moda transportasi yang semakin banyak. Selain
itu, munculnya sentra produksi pangan baru di sekitar kawasan tersebut yang
mampu menambah pasokan dari luar daerah juga dapat membantu pengendalian
harga.
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan, 2019 50
BAB V
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
5.1. Kesimpulan
5.1.1. Analisis Harga Eceran Tertinggi
Berdasarkan hasil analisis dampak implementasi kebijakan HET beras
terhadap stabilitas harga beras di dalam negeri, dapat disimpulkan beberapa
poin sebagai berikut:
1. Perkembangan harga beras selama tahun 2015-2018, harga beras
menunjukkan tren peningkatan dengan kenaikan harga rata-rata sebesar
3,02%. Harga beras setelah penerapan HET terjadi kenaikan harga
sekitar 5,6% dibandingkan periode sebelum kebijakan HET.
2. Permasalahan dan kendala dalam pelaksanaan kebijakan HET beras: (i)
Pedagang menjual beras sesuai harga pasar tidak terlalu memperhatikan
HET. Penjualan beras tetap menyesuaikan dengan harga beli gabah, (ii)
jenis beras medium dan premium hanya terdapat di tingkat penggilingan
yang mana penggilingan menjual harga beras berdasarkan harga gabah
yang mereka beli, (iii) secara umum, beras di pasar dijual berdasarkan
varietas/merek dimana setiap wilayah berbeda-beda serta (iv) struktur
biaya produksi berbeda setiap wilayah.
3. Faktor yang mempengaruhi efektivitas kebijakan HET yaitu: (i)
perkembangan struktur biaya di tingkat petani hingga saat ini, (ii)
varietas/merk beras yang cukup banyak di setiap wilayah sehingga perlu
dilakukan pengujian untuk menentukan merk/varietas yang sesuai
dengan kualitas medium dan premium, serta (iii) perbedaan harga yang
terlalu jauh antara harga beras medium dan premium yang membuat
pelaku pasar beras menjual beras yang kualitasnya masih jenis medium
tetapi menjual diatas harga di bawah premium (moral hazard).
4. Implementasi kebijakan HET beras menjadi kurang efektif di lapangan
karena dihadapkan pada berbagai permasalahan yaitu: (i) Pedagang
beras di pasar masih menjual beras sesuai harga umum yang berlaku di
pasar dan tidak terlalu memperhatikan HET. Harga jual di pasar pada
akhirnya harus menyesuaikan dengan harga beli beras dari penggilingan
dan harga gabah dari petani; (ii) penggilingan menjual beras berdasarkan
harga gabah yang mereka beli saat itu; (iii) beras dijual berdasarkan
varietas/merek yang berbeda-beda di setiap wilayah, bukan kualitas; (iv)
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan, 2019 51
struktur biaya produksi yang bervariasi di masing-masing wilayah (v)
kriteria penentuan kualitas beras (medium dan premium) kurang
implementatif di pasar; (vi) Penentuan rentang HET antara beras medium
dan premium yang cukup lebar menjadi insentif bagi pedagang untuk
meraup keuntungan di luar kewajaran (moral hazard). Pada tingkat
penggilingan, produksi beras terdorong untuk menghasilkan beras
premium karena prospek keuntungan yang lebih besar dibandingkan
beras medium, serta (vii) situasi nilai tukar rupiah yang tidak stabil.
5. Faktor-faktor yang mempengaruhi harga beras eceran di tingkat
konsumen adalah harga beras medium di penggilingan, nilai tukar rupiah
terhadap dollar US, jumlah konsumsi beras, jumlah stok, jumlah produksi
beras serta kebijakan harga eceran tertinggi.
6. Kebijakan HET beras efektif mempengaruhi harga beras di tingkat eceran
dalam jangka pendek, hal ini dilihat dari sejak ditetapkan kebijakan HET,
kenaikan harga beras relatif sangat kecil dan inelastis.
7. Dalam jangka panjang, ditemukan bahwa penetapan kebijakan HET
beras tidak efektif dalam menciptakan stabilisasi harga eceran beras di
tingkat domestik. Selain disebabkan oleh adanya variable-variabel lainnya
yang mempengaruhi hal tersebut seperti variabel nilai tukar, harga beras
medium di tingkat penggilingan, dan jumlah konsumsi dimana ketiganya
secara signifikan mempengaruhi terhadap stabilisasi harga eceran beras
di pasar domestik.
5.1.2. Analisis Harga Acuan
1. Berdasarkan pengolahan data deskriptif, pada tahun 2017-2019 hampir di
seluruh kota yang diamati menunjukkan bahwa secara umum harga
pasar/eceran rata-rata komoditas pangan terpilih berada di atas harga
pasar. Namun, jika diamati lebih seksama, hasil pengolahan data daerah
secara deskriptif menunjukkan hasil yang beragam, tergantung jenis
komoditas dan wilayah yang dipantau.
2. Respon harga setiap komoditas terhadap adanya kebijakan harga acuan
ternyata cukup beragam di 10 kota pantauan. Sebagaimana diketahui,
faktor pembentuk harga yang utama yaitu keseimbangan antara pasokan
dan permintaan. Pada daerah yang bukan produsen suatu komoditas,
atau hanya sebagai sentra konsumsi, kemungkinan harga yang lebih
tinggi dari acuan lebih mudah ditemui dibandingkan pada sentra produksi.
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan, 2019 52
Selain itu, faktor distribusi yaitu jarak, ongkos angkut, moda transportasi
juga mempengaruhi pembentukan harga. Semakin sulit distribusi dan
semakin mahal ongkos angkut, maka akan semakin tinggi harga
komoditas pangan yang didatangkan dari luar ke wilayah tersebut.
3. Berdasarkan komoditas, gula pasir dan minyak goreng merupakan
komoditas yang mampu merespon dengan baik adanya kebijakan harga
acuan seiring dengan menurunnya frekuensi kenaikan harga melebihi
harga acuan. Sebaliknya, tiga komoditas lainnya menunjukkan respon
yang kurang baik, yaitu daging sapi dengan tidak ada perubahan, dan
produk unggas yaitu daging dan ayam ras menunjukkan peningkatan
harga pasar yang semakin tinggi menjauhi harga acuan.
4. Berdasarkan kota, Ambon merupakan kota yang paling progresif dalam
menurunkan harga pangannya, diikuti Lampung, Palangkaraya, dan
Samarinda. Sebaliknya, kota yang harga pasarnya semakin tinggi
meninggalkan harga acuan yaitu Jakarta dan Bandung serta disusul oleh
Medan dan Makassar. Papua dan Papua Barat menjadi provinsi yang
tidak pernah mencapai harga acuan.
5. Penerapan harga acuan memberikan dampak yang cukup beragam pada
komoditas dan wilayah yang diamati. Namun demikian,secara umum
kebijakan harga masih belum cukup efektif mengendalikan harga karena
tidak ada daerah yang mempunyai harga pasar di bawah harga acuan
secara konsisten selama periode pengamatan. Rentang frekuensi harga
pasar melebihi harga acuan pada 5 komoditas pangan pokok di 10 kota
pantauan yaitu berkisar antara 20-100 persen.
5.2. Rekomendasi Kebijakan
5.2.1. Harga Eceran Tertinggi
Berdasarkan Kesimpulan diatas, maka usulan rekomendasi kebijakan
sebagai berikut:
1. Kebijakan HET yang diberlakukan pada beras, akan efektif jika dilakukan
dalam jangka pendek. Dalam jangka panjang kebijakan tersebut akan
mendorong peningkatkan harga gabah menjadi lebih tinggi dan relatif
tidak stabil (relatif berfluktuasi).
2. Jika pemerintah tetap melanjutkan kebijakan HET beras, beberapa hal
yang perlu dilakukan, sebagai berikut:
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan, 2019 53
a. Mempertimbangkan struktur biaya di tingkat petani dengan kondisi saat
ini;
b. Melakukan pengelompokkan kelas kualitas dari berbagai jenis
varietas/merek beras dalam kelompok beras medium dan premium
melalui pengujian laboratorium untuk memudahkan pengawasan;
c. Kebijakan HET harus didukung oleh kondisi produksi dan stok beras
yang aman dan mencukupi;
d. Kebijakan HET perlu disertai dengan penegakan hukum dan sanksi
yang tegas yang dituangkan dalam peraturan;
e. Menjaga tingkat nilai tukar rupiah terhadap US dollar agar tetap
terkendali, mengingat impor masih tetap dibutuhkan untuk mengisi stok
beras pemerintah.
5.2.2. Harga Acuan
1. Perlu adanya peningkatan pengawasan dan intervensi oleh Pemerintah
terhadap harga bahan kebutuhan pokok yang berada diatas harga acuan
sesuai Permendag Nomor 96 Tahun 2018.
2. Kegiatan pengawasan dan intervensi harga perlu ditingkatkan untuk
daerah dengan frekuensi kejadian harga pasar diatas harga acuan tinggi,
yaitu Papua dan Papua Barat, DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Sulawesi
Selatan, serta Sumatera Utara. Selain itu, diperlukan perhatian khusus
terhadap komoditas dengan fluktuasi aktif seperti produk unggas, yaitu
daging ayam ras dan telur ayam ras.
3. Perlu adanya peningkatan komunikasi yang lebih efisien antara
Kementerian Pertanian, Kemenko Perekonomian, Kementerian
Perdagangan, Bulog, dan BUMN terkait operasi pasar bagi penerapan
Permendag 96/2018. Termasuk peningkatan peran “Rumah Pangan Kita”
untuk membantu Bulog dan Dinas Perdagangan setempat dalam
mengimplementasikan Permendag Nomor 96 Tahun 2018.
4. Perlu dibentuk BUMD atau BLUD (Badan Layanan Umum Daerah) di
tingkat Provinsi yang memiliki tugas untuk stabilisasi harga ditingkat
daerah dimana BUMD/BLUD tersebut hanya membutuhkan perintah dari
Pemda setempat untuk melakukan intervensi.
5. Perlu dilakukan kajian untuk meningkatkan efisiensi dan kecepatan
pelaksanaan operasi pasar oleh Kementerian/Lembaga terkait penerapan
Permendag nomor 96 tahun 2018.
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan, 2019 54
DAFTAR PUSTAKA
Baltagi, Badi H. (2011). Econometrics (5th ed). New York. Springer.
Chintia, S. 2013. Dampak Guncangan Harga Minyak Mentah Dunia Terhadap Harga
Beras Domestik. [Thesis]. Bogor : Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Ellis, F. 1992. Agricultural Policies In Developing Countries. Cambridge University
Press:Cambridge.
Enders, Walter. (2004). Applied Econometrics Time Series (2rd ed). New York: Wiley.
Engle R, Granger C. 1987. Co-integration and Error Correction Representation, Testing
and Telling. Econometrica Journal. 55(2):251-276.
Fatimah A. 2018. Analisis Pengaruh Kebijakan Perberasan Terhadap Kesejahteraan
Petani di Indonesia. Prosiding The National Conferences Management and
Business (NCMAB). 5 Mei 2018. Indonesia: UM Surakarta Press. hlm 536-545.
Greene, Wlliam H. (2003). Econometric Analysis (5th ed). New York: Prentice Hall.
Gujarati, Damodar N. (2004). Basic Econometrics, (4th ed). The McGraw−Hill
Companies.
Ilham N, Siregar H, Priyarsono DS. 2006. Efektivitas Kebijakan Harga Pangan Terhadap
Ketahanan Pangan. Jurnal Agro Ekonomi. 24(2):157-177.
Ilham, N. 2006. Efektivitas Kebijakan Harga Pangan Terhadap Ketahanan Pangan dan
Dampaknya pada Stabilitas Ekonomi Makro. [Thesis]. Bogor : Sekolah
Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Khotimah H. 2013. The Price Transmission in Rice Market Chain in Indonesia. [Thesis].
Bogor : Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Kusumaningrum R. 2008. Dampak Kebijakan Harga Dasar Pembelian Pemerintah
Terhadap Penawaran dan Permintaan Beras di Indonesia. [Thesis]. Bogor :
Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Saputra A, Arifin B, Kasymir E. 2014. Analisis Kausalitas Harga Beras, Harga Pembelian
Pemerintah (Hpp) Dan Inflasi Serta Efektivitas Kebijakan Hpp Di Indonesia. Jurnal
Ilmu-Ilmu Agribisnis. 2(1):24-31.
Sembiring SA, Harianto, Siregar H, Saragih B. 2010. Implementasi Kebijakan Perberasan
di Tingkat Petani : Kinerja dan Perspektif ke Depan. Jurnal Analisis Kebijakan
Pertanian. 8(4):339-361.
Sumarno. 2016. Periodisasi Musim Tanam Padi Sebagai Landasan Manajemen Produksi
Beras Nasional. Puslitbang Tanaman Pangan, Kementerian Pertanian. Sinar Tani
No.3136, Tahun XXXVI
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan, 2019 55
Timmer CP, Falcon WP, Pearson SR. 1983. Food Policy Analysis. Baltimore : Johns
Hopkins University Press.
Widadie F, Sutanto A. 2012. Model Ekonomi Perberasan : Analisis Integrasi Pasar dan
Simulasi Kebijakan Harga. Jurnal SEPA. 8(2):51-182.
Widiarsih D. 2012. Pengaruh Sektor Komoditi Beras Terhadap Inflasi Bahan Makanan.
Jurnal Sosial Ekonomi Pembangunan. 6:244-256.
Yuliadi I. 2007. Analisis Nilai Tukar Rupiah dan Implikasinya pada Perekonomian
Indonesia : Pendekatan Error Correction Model (ECM). Jurnal Ekonomi
Pembangunan. 8(2):146-162.
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan, 2019 57
Lampiran 1. Memo Kebijakan
EVALUASI IMPLEMENTASI KEBIJAKAN HARGA BARANG POKOK
A. Isu kebijakan
1. Pengelolaan pangan nasional selalu menjadi agenda penting dalam
mewujudkan kesejehteraan bersama. Lebih jauh, pengelolaan pangan
nasional ditujukan untuk meningkatkan ketahanan pangan, yang mencakup
aspek ketersediaan, aksesibilitas, dan stabilitas. Dampak dari pengelolaan
pangan setidaknya dapat dilihat dari satu indikator, yaitu perkembangan
harga, yang merefleksikan kondisi ketersediaan (stok) dan juga tingkat
permintaan di pasar (ceteris paribus).
2. Pemerintah melalui Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2015 tentang
Penetapan dan Penyimpanan Barang Kebutuhan Pokok dan Barang Penting,
telah menentukan beberapa komoditas, khususnya komoditas pangan, yang
dianggap memiliki peran vital dan strategis dalam proses pembangunan
nasional. Secara lebih spesifik, komoditas pangan yang diatur dalam beleid
tersebut diantaranya yaitu beras, gula, minyak goreng, bawang merah, daging
sapi, daging ayam ras, dan telur ayam ras.
3. Dalam menjamin ketersediaan pasokan dan stabilitas harga barang
kebutuhan pokok tersebut, Kementerian Perdagangan menerbitkan berbagai
kebijakan. Diantara kebijakan yang mengatur harga bapok yaitu Permendag
57/2017 tentang HET beras dan Permendag 96/2018 tentang Harga Acuan
Pembelian dan Penjualan beberapa komoditi pangan pokok. Kebijakan-
kebijakan harga tersebut ada yang telah berlaku sejak 2017 sehingga perlu
ditelaah lebih lanjut bagaimana efektivitasnya dalam dalam menjaga stabilitas
harga. Dengan demikian, analisis ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana
pengaruh kebijakan dimaksud terhadap stabilitas harga serta mengidentifikasi
permasalahan yang dihadapi dalam pelaksanaan kebijakan harga bapok
tersebut.
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan, 2019 58
B. Efektivitas kebijakan harga terhadap stabilitas harga pangan pokok di
dalam negeri
1. Kebijakan pengendalian harga bapok yang diterapkan pemerintah bertumpu
pada konsep harga dasar (floor price) dan harga atap (price ceiling).
Kebijakan yang diterapkan khusus untuk komoditas beras mengikuti harga
atap dengan ditetapkannya harga eceran tertinggi (HET) bagi jenis beras
medium dan premium yang terbagi berdasarkan wilayah. Sedangkan
kebijakan lainnya yaitu harga acuan menerapkan prinsip harga dasar dan
harga atap dengan ditetapkan harga pembelian di tingkat produsen dan harga
penjualan di tingkat konsumen. Dengan adanya kebijakan diatas tersebut,
diharapkan harga baik di tingkat produsen hingga konsumen dapat lebih
stabil.
2. Berbagai studi menunjukkan bahwa banyak faktor yang mempengaruhi
pembentukan harga beras di dalam negeri, terutama adalah (i) produksi, (ii)
konsumsi, (iii) stok, (iv) musim, (v) harga beras di tingkat pedagang grosir, (vi)
HPP gabah/HPP beras, (vii) kebijakan impor, serta (vii) harga beras pada
periode sebelumnya. Selama periode pengamatan, 2015-2018, harga
pembelian pemerintah untuk gabah ditetapkan sebesar Rp 3.700/kg dan
beras sebesar Rp 7.300/kg yang mengacu pada Inpres No 5 tahun 2015.
Selama periode tersebut, harga beras menunjukkan tren kenaikan sebesar
3,02%. Harga beras setelah penerapan HET terjadi kenaikan harga sekitar
5,6% dibandingkan periode sebelum kebijakan HET. Artinya, dengan adanya
penetapan harga dasar akan mendorong pada kenaikan harga. Namun
demikian, saat ini HPP gabah/HPP beras dinilai tidak berperan terhadap
kenaikan harga beras di tingkat eceran karena selama periode pengamatan
tidak ada perubahan HPP.
3. Selama periode 2015-2019, faktor-faktor yang mempengaruhi harga beras
eceran di tingkat konsumen adalah harga beras medium di penggilingan, nilai
tukar rupiah terhadap dollar US, jumlah konsumsi beras, jumlah stok, jumlah
produksi beras serta kebijakan harga eceran tertinggi. Kebijakan HET beras
efektif mempengaruhi harga beras di tingkat eceran hanya dalam jangka
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan, 2019 59
pendek, sedangkan dalam jangka panjang kebijakan HET menjadi kurang
efektif dalam menjaga stabilitas harga beras di tingkat konsumen. Dalam
jangka panjang, ditemukan bahwa penetapan kebijakan HET beras tidak
efektif dalam menciptakan stabilisasi harga eceran beras di tingkat domestik.
Stabilitas harga beras di tingkat konsumen lebih disebabkan oleh variable nilai
tukar, harga beras medium di tingkat penggilingan, dan jumlah konsumsi
dimana ketiganya mempunyai pengaruh yang signifikan. Kebijakan
penentuan atau penetapan harga eceran tertinggi (HET) beras memiliki
pengaruh jangka pendek saja dalam menstabilkan harga beras di tingkat
konsumen.
4. Kebijakan HET beras dalam jangka panjang kurang berpengaruh secara
efektif terhadap stabilitas harga di tingkat eceran. Hal ini dikarenakan oleh (i)
kebijakan HET diterapkan pada kualitas beras medium dan premium,
sementara beras memiliki banyak jenis varietas/merek sehingga dilapangan
masih sulit dalam pengelompokkan kualitas beras medium dan premium
berdasarkan varietas/merek, (ii) Terdapat perbedaan harga (pricing gap) yang
cukup lebar antara medium dan premium sehingga memaksa keberlanjutan
pasokan beras medium mengarah ke premium, (iii) Banyak pemain beras
pada saat menjual beras tidak mengacu pada HET tetapi lebih pada
permintaan pasar; (iv) nilai tukar rupiah yang tidak stabil serta (v) HET belum
mempertimbangan perkembangan struktur biaya produksi serta margin
pemasaran sesuai kondisi terkini/musiman.
5. Implementasi kebijakan HET beras menjadi kurang efektif di lapangan karena
dihadapkan pada berbagai permasalahan yaitu: (i) Pedagang beras di pasar
masih menjual beras sesuai harga umum yang berlaku di pasar dan tidak
terlalu memperhatikan HET. Meski HET menjadi acuan, harga jual di pasar
pada akhirnya harus menyesuaikan dengan harga beli beras dari
penggilingan dan harga gabah dari petani; (ii) penggilingan menjual beras
berdasarkan harga gabah yang mereka beli saat itu; (iii) beras dijual
berdasarkan varietas/merek yang berbeda-beda di setiap wilayah, bukan
kualitas; (iv) struktur biaya produksi yang bervariasi di masing-masing
wilayah (v) kriteria penentuan kualitas beras (medium dan premium) kurang
implementatif di pasar; (vi) Penentuan rentang HET antara beras medium dan
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan, 2019 60
premium yang cukup lebar menjadi insentif bagi pedagang untuk meraup
keuntungan di luar kewajaran (moral hazard). Pada tingkat penggilingan,
produksi beras terdorong untuk menghasilkan beras premium karena prospek
keuntungan yang lebih besar dibandingkan beras medium.
6. Sedangkan pada beberapa komoditas pangan pokok lainnya yang diamati,
penerapan kebijakan harga acuan dalam mengendalikan harga bahan pokok
paling efektif dapat ditemui pada komoditi gula. Hal ini tampak dari
menurunnya jumlah kejadian harga pasar melebihi harga acuan pada kota
besar yang diamati. Pada periode tersebut, terjadi penurunan frekuensi harga
rata-rata nasional gula pasir yang berada diatas harga acuan, dari 90% (9
kota) di tahun 2017 menjadi 60% (6 kota) saja di tahun 2019. Perkembangan
harga pada komoditas gula ini mungkin dikarenakan banyak gula yang dijual
oleh toko modern dan mungkin mendorong harga penjualan gula di pasar
tradisional juga ikut menyesuaikan dengan harga acuan. Sedangkan pada
komoditas lainnya (minyak goreng curah, daging sapi, daging ayam ras, dan
telur ayam ras) keadaan ini bervariasi. Penurunan frekuensi kasus
melampaui harga acuan juga terjadi pada minyak goreng curah, dari 80%
menjadi 60% kasus. Untuk daging sapi, tidak terjadi perubahan frekuensi,
dimana karena pada seluruh daerah amatan sepanjang periode terjadi rata-
rata 80% kasus di atas harga acuan, atau 8 dari 10 kota masih diatas harga
acuan. Khusus untuk produk unggas, frekuensi kejadian harga diatas harga
acuan malah meningkat, daging ayam naik dari hanya 30% kasus, menjadi
50%, dan bahkan telur ayam meningkat dari 50% menjadi 90%.
Perkembangan harga produk unggas dapat dipahami mengingat pada tahun
2018-2019 terjadi anomali harga, dimana harga pada tingkat peternak sangat
rendah, namun di pasar eceran terjadi kenaikan harga.
7. Sedangkan dari sisi daerah, dari 10 Ibukota provinsi yang diamati, rata-rata
menunjukkan perkembangan frekuensi kasus harga diatas harga acuan pada
5 komoditas yang bervariasi, tergantung pada jenis komoditasnya. Namun
demikian, Papua dan Papua Barat menunjukkan konsistensi harga yang tinggi
sepanjang tahun, harga pasar untuk seluruh komoditi selalu berada diatas
harga acuan baik sebelum penerapan Permendag Nomor 96 tahun 2018
maupun sesudah penerapan peraturan tersebut. Pada tahun 2019 (hingga
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan, 2019 61
bulan September) terdapat 4 daerah yang konsisten menunjukkan
perkembangan harga diatas harga acuan pada komoditas terpilih, yaitu
Provinsi DKI Jakarta, Jawa Barat, Papua, serta Papua Barat. Hal ini
menunjukkan adanya kemungkinan pada daerah-daerah tersebut belum
efektifnya kebijakan pemerintah atau belum adanya respon yang memadai
dari pemerintah dalam meredam tingginya harga barang pokok di tingkat
pengecer. Secara keseluruhan, rentang frekuensi kejadian harga pasar di
atas harga acuan pada komoditi dan daerah yang diamati sangat bervariasi,
mulai dari 20%-100% selama periode pengamatan. Ini berarti, walaupun
terdapat daerah yang frekuensi harga pasar melebihi harga acuannya rendah,
akan tetapi secara nasional komoditas-komoditas yang diamati rata-rata
masih berada pada harga pasar diatas harga acuan, baik sebelum penerapan
kebijakan maupun sesudahnya. Hal ini menunjukkan kebijakan harga yang
ada saat ini belum efektif dalam meredam harga bapok yang diaturnya.
C. Rekomendasi Kebijakan
1. Kebijakan HET yang diberlakukan pada beras, akan efektif jika dilakukan
dalam jangka pendek. Dalam jangka panjang kebijakan tersebut tidak efektif
karena akan mendorong peningkatkan harga gabah menjadi lebih tinggi dan
relatif tidak stabil (relatif berfluktuasi).
2. Jika pemerintah tetap melanjutkan kebijakan HET beras, beberapa hal yang
perlu dilakukan, sebagai berikut:
(i) Mempertimbangkan struktur biaya di tingkat petani dengan kondisi saat
ini;
(ii) Melakukan pengelompokkan kelas kualitas dari berbagai jenis
varietas/merek beras dalam kelompok beras medium dan premium
melalui pengujian laboratorium untuk memudahkan pengawasan;
(iii) Kebijakan HET harus didukung oleh kondisi produksi dan stok beras
yang aman dan mencukupi;
(iv) Kebijakan HET perlu disertai dengan penegakan hukum dan sanksi yang
tegas yang dituangkan dalam peraturan;
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan, 2019 62
(v) Menjaga tingkat nilai tukar rupiah terhadap US dollar agar tetap
terkendali, mengingat impor masih tetap dibutuhkan untuk mengisi stok
beras pemerintah.
3. Sedangkan untuk kebijakan harga acuan, Pemerintah perlu meningkatkan
pengawasan dan intervensi terhadap harga bahan kebutuhan pokok yang
berada diatas harga acuan, khususnya pada daerah yang dianggap tinggi
tingkat penyimpangannya yaitu Papua dan Papua Barat dibandingkan daerah
lainnya. Selain itu, pemerintah juga disarankan untuk melakukan komunikasi
yang lebih efisien, khususnya antara Kementerian Pertanian, Kemenko
Perekonomian, Kementerian Perdagangan, Bulog, dan BUMN lainnya untuk
mendukung implementasi kebijakan harga acuan, termasuk didalamnya
mengoptimalkan peran pelaku usaha distribusi bapok dalam mengendalikan
harga. Pemerintah daerah juga perlu membentuk BUMD atau BLUD (Badan
Layanan Umum Daerah) di tingkat Provinsi yang memiliki tugas untuk
stabilisasi harga ditingkat daerah dimana BUMD/BLUD tersebut hanya
membutuhkan perintah dari Pemda setempat untuk melakukan intervensi.
Terakhir, sebagai pengembangan analisis ini, perlu dilakukan kajian untuk
meningkatkan efisiensi dan kecepatan pelaksanaan kebijakan pengendalian
harga oleh Kementerian/Lembaga terkait.
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan, 2019 63
Lampiran 2. Perkembangan harga 5 komoditas pangan pokok pada 10 kota pantauan,
2017-2019 (september)
Nasional
Minyak Goreng Curah Gula Minyak Goreng Bawang Merah Daging Sapi K1 Daging Sapi K2 Daging Ayam Ras Telur Ayam Ras
Jan Rp 12.450 Rp15.400 Rp 13.800 Rp 35.750 Rp 116.950 Rp 109.100 Rp 33.950 Rp 22.450
Feb Rp 12.650 Rp15.400 Rp 14.000 Rp 36.150 Rp 116.850 Rp 109.000 Rp 31.300 Rp 21.500
Mar Rp 12.650 Rp15.300 Rp 14.050 Rp 37.600 Rp 116.950 Rp 109.600 Rp 31.150 Rp 20.800
Apr Rp 12.500 Rp15.150 Rp 14.050 Rp 34.050 Rp 116.300 Rp 110.200 Rp 31.300 Rp 20.650
Mei Rp 12.500 Rp15.100 Rp 14.050 Rp 31.500 Rp 116.850 Rp 110.550 Rp 32.850 Rp 21.850
Jun Rp 12.450 Rp15.050 Rp 14.050 Rp 32.250 Rp 118.050 Rp 111.550 Rp 32.850 Rp 22.100
Jul Rp 12.250 Rp14.950 Rp 14.000 Rp 36.900 Rp 118.000 Rp 111.250 Rp 33.350 Rp 22.300
Agt Rp 12.100 Rp14.850 Rp 13.950 Rp 30.400 Rp 117.800 Rp 111.150 Rp 34.450 Rp 22.500
Sep Rp 12.150 Rp14.700 Rp 13.950 Rp 27.150 Rp 117.850 Rp 111.100 Rp 32.250 Rp 22.300
Okt Rp 12.200 Rp14.550 Rp 13.950 Rp 23.900 Rp 117.450 Rp 110.750 Rp 30.650 Rp 21.900
Nov Rp 12.150 Rp14.400 Rp 13.900 Rp 25.750 Rp 117.400 Rp 110.500 Rp 31.150 Rp 22.100
Des Rp 12.150 Rp14.350 Rp 13.950 Rp 26.400 Rp 117.800 Rp 110.900 Rp 33.450 Rp 24.950
Jan Rp 11.950 Rp14.200 Rp 13.850 Rp 25.850 Rp 117.700 Rp 110.600 Rp 34.250 Rp 25.250
Feb Rp 11.900 Rp14.100 Rp 13.800 Rp 25.700 Rp 117.550 Rp 110.200 Rp 32.150 Rp 23.400
Mar Rp 11.950 Rp14.000 Rp 13.800 Rp 28.000 Rp 117.850 Rp 109.850 Rp 31.900 Rp 22.700
Apr Rp 11.950 Rp14.000 Rp 13.750 Rp 36.450 Rp 118.000 Rp 109.600 Rp 33.400 Rp 23.250
Mei Rp 11.950 Rp13.950 Rp 13.750 Rp 36.350 Rp 119.050 Rp 110.200 Rp 35.850 Rp 25.300
Jun Rp 11.950 Rp13.900 Rp 13.750 Rp 35.400 Rp 120.950 Rp 112.450 Rp 37.550 Rp 25.150
Jul Rp 11.800 Rp13.800 Rp 13.650 Rp 30.450 Rp 119.100 Rp 110.500 Rp 39.050 Rp 26.650
Agt Rp 11.650 Rp13.700 Rp 13.600 Rp 27.000 Rp 119.700 Rp 111.100 Rp 37.600 Rp 25.250
Sep Rp 11.550 Rp13.550 Rp 13.500 Rp 23.850 Rp 119.250 Rp 110.550 Rp 34.100 Rp 24.000
Okt Rp 11.450 Rp13.450 Rp 13.450 Rp 22.400 Rp 119.450 Rp 110.500 Rp 34.100 Rp 23.200
Nov Rp 11.300 Rp13.350 Rp 13.350 Rp 25.300 Rp 119.450 Rp 110.800 Rp 34.200 Rp 23.750
Des Rp 11.100 Rp13.250 Rp 13.250 Rp 30.000 Rp 119.500 Rp 110.850 Rp 37.000 Rp 26.100
Jan Rp 11.150 Rp13.150 Rp 13.200 Rp 32.800 Rp 119.200 Rp 110.700 Rp 36.200 Rp 25.950
Feb Rp 11.250 Rp13.050 Rp 13.200 Rp 29.000 Rp 119.800 Rp 111.250 Rp 33.300 Rp 24.500
Mar Rp 11.300 Rp13.200 Rp 13.200 Rp 33.250 Rp 120.100 Rp 111.400 Rp 32.400 Rp 23.800
Apr Rp 11.300 Rp13.300 Rp 13.200 Rp 40.150 Rp 119.950 Rp 111.400 Rp 33.500 Rp 24.200
Mei Rp 11.300 Rp13.750 Rp 13.200 Rp 37.150 Rp 121.100 Rp 112.450 Rp 35.250 Rp 25.800
Jun Rp 11.250 Rp13.850 Rp 13.200 Rp 39.100 Rp 123.100 Rp 114.100 Rp 34.950 Rp 25.150
Jul Rp 11.200 Rp13.850 Rp 13.200 Rp 34.550 Rp 121.400 Rp 112.800 Rp 34.900 Rp 24.850
Agt Rp 11.250 Rp13.750 Rp 13.200 Rp 28.750 Rp 121.900 Rp 112.950 Rp 32.600 Rp 24.850
Sep Rp 11.300 Rp13.700 Rp 13.200 Rp 23.750 Rp 121.750 Rp 112.550 Rp 31.200 Rp 24.200
Okt Rp 11.200 Rp13.750 Rp 13.150 Rp 25.000 Rp 121.700 Rp 112.750 Rp 33.350 Rp 23.350
Nov Rp 11.650 Rp13.800 Rp 13.250 Rp 29.400 Rp 121.600 Rp 112.950 Rp 34.400 Rp 23.900
Des Rp 11.850 Rp13.900 Rp 13.400 Rp 31.850 Rp 122.200 Rp 113.450 Rp 35.200 Rp 25.600
2017
2018
2019
Komoditi