LAPORAN PRAKTIKUM BIOKIMIA KEDOKTERAN BLOK CHEM 2 PEMERIKSAAN ENZIM ASETILKOLINESTERASE Metode DGKC New Oleh : Nama : Yuni Hanifah NIM : G1A009097 Kelompok : III Asisten : Nia Tri Mulyani KEMENTRIAN PENDIDIKAN NASIONAL UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
LAPORAN PRAKTIKUM BIOKIMIA KEDOKTERANBLOK CHEM 2
PEMERIKSAAN ENZIM ASETILKOLINESTERASEMetode DGKC New
Oleh :
Nama : Yuni Hanifah
NIM : G1A009097
Kelompok : III
Asisten : Nia Tri Mulyani
KEMENTRIAN PENDIDIKAN NASIONAL UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATANJURUSAN KEDOKTERAN
PURWOKERTO
2010
LEMBAR PENGESAHAN
LAPORAN PRAKTIKUM BIOKIMIA KEDOKTERANBLOK CHEM 2
PEMERIKSAAN ENZIM ASETILKOLINESTERASEMetode DGKC New
Oleh:Yuni HanifahG1A009097
Kelompok III
Disusun untuk memenuhi persyaratan mengikuti ujian praktikum
Biokimia kedokteran BLOK CHEM II pada
Jurusan Kedokteran Universitas Jenderal Soedirman
Purwokerto
Diterima dan disahkan
Purwokerto, 24 Mei 2010
Asisten
Nia Tri Mulyani(GIA007003)
BAB I
PENDAHULUAN
A. Judul Praktikum
Pemeriksaan Enzim Asetilkolinesterase Metode DGKC New
B. Tanggal Praktikum
17 Mei 2010
C. Tujuan Praktikum
1. Mengukur kadar enzim asetilkolinesterase dengan metode DGKC new.
2. Menyimpulkan hasil pemeriksaan enzim asetilkolinesterase pada saaat
praktikum setelah membandingkannya dengan nilai normal.
3. Melakukan diagnosis dini penyakit apa saja yang ditandai oleh hasil
aktivita enzim asetilkolinesterase abnormal / patologis melalui bantuan
hasil praktikum yang dilakukan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Dasar Teori
Bila Nervus Vagus dirangsang maka di ujung saraf tersebut akan
dilepaskan suatu zat aktif yaitu asetilkolin (Ach). Dalam ujung saraf kolinergik,
Ach disimpan dalam gelembung sinaps dan dilepaskan oleh NAP (Nerve Action
Potensial). Asetilkolin sebagai transmitter harus diinaktifkan dalam waktu yang
cepat. Pada sambungan saraf otot, Ach dirusak secara cepat dalam waktu kurang
dari 1 milidetik. Kolinesterase yang tersebar luas di berbagai jaringan dan cairan
tubuh, menghidrolisis Ach menjadi kolin dan asam asetat. Ada 2 macam
kolinesterase, yaitu asetilkolinesterase (AchE) dan butirilkolinesterase (BuchE).
Asetilkolinesterase terutama terdapat di tempat transmisi kolinergik pada
membrane pra maupun post sinaps dan merupakan kolinesterase sejati yang
terutama memecah Ach. BuchE berfungsi dalam eliminasi suksinilkolin suatu
obat relaksan otot rangka dan fungsi fisiologis lainnya belum diketahui,
sedangkan metakolin dihidrolisis oleh AchE (Asscalbiass, 2010).
Transmisi kolinergik praktis dihentikan oleh enzim AchE, sehingga
penghambatan terhadap enzim ini, misalnya oleh senyawa organofosfat (sejenis
insektisida) menyebabkan aktivitas kolinergik yang berlebihan dan perangsangan
reseptor kolinergik secara terus menerus yang diakibatkan oleh penumpukan Ach
yang tidak dihidrolisis. Kelompok zat yang menghambat AchE dikenal sebagai
antikolinesterase (anti AchE). Dalam urutan kekuatan yang meningkat dikenal
senyawa-senyawa anti AchE sebagai berikut: fisostigmin, prostigmin,
diisopropilfluorofosfat (DFP) dan senyawa insektisida organofosfat seperti
malation, dan parathion (Asscalbiass, 2010).
Otot rangka dirangsang untuk berkontraksi melalui pengeluaran asetilkolin
(Ach) di taut neuromuskulus antara ujng-ujung akhir neuron motorik dan sel otot.
Sebuah sel otot rangka, yang dieknal sebagai serat otot, berukuran relatif besar,
memanjang, dan berbentuk seperti silinder dengan garis tengah berukuran dari 10
sampai 100 mikrometer (1 mikrometer = sepersejuta meter) dan panjang sampai
750.000 mikrometer, atau 2.5 kaki. Sebuah otot rangka terdiri dari sejumlah serat
otot yang terletak sejajar satu sama lain dan disatukan oleh jaringan ikat. Serat-
serat tersebut menjulur di seluruh panjang otot. Ciri struktural yang paling
menonjol pada serat-serat otot rangka adalah adanya banyak miofibril. Unsur-
unsur kontraktil khusus ini, yang membentuk 80% dari volume serat otot, adalah
struktur intrasel berbentuk silindris dengan garis tengah 1 mikrometer yang
terlentang di seluruh panjang serat otot. Setiap miofibril terdiri dari susunan
teratur unsur-unsur sitoskleton yang sangat terorganisasi—filamen tabal dan tipis.
Filament tebal yang berdiameter12 sampai 18 nm dan panjang 1.6 mikrometer,
adalah susunan khusus dari protein miosin, sedangkan filament tipis, yang
bergaris tengah 5 sampai 8 nm dan panjang 1 mikrometer, keduanya terutama
dibentuk oleh protein aktin. Tingkat-tingkat organisasi pada sebuah otot rangka
dapat diringkas sebagai berikut:
(Sherwood, 2001).
Otot utuh
Serat otot
miofibril
Filament tebal
dan
Miosin dan
aktin
Dalam sistem saraf, pesan berpindah dari satu lokasi ke lokasi lain dalam
bentuk potensial aksi sepanjang akson. Agar menjadi efektif, sebuah pesan harus
tidak hanya berjalan di sepanjang akson saja tetapi juga ditransfer ke sel saraf
lainnya. Di sinapsis antara dua neuron, impuls berpindah dari neuron presinaps ke
neuron postsinaps (Martini, 2009).
Sinapsis yang melepas Ach disebut sinapsis kolinergik. Neuromuscular
junction adalah salah satu contoh sinapsis kolinergik. Ach, neurotransmitter yang
paling banyak menyebar, dilepas, di semua neuromuscular junction yang
melibatkan juga serat otot; di banyak sinaps di CNS; di semua sinapsis
antarneuron di PNS; dan di semua neuromuscular dan neuroglandular junction di
sistem saraf autonomi di bagian parasimpatis (Martini, 2009).
Di sinapsis kolinergik antara dua neuron, membrane presinapsis dan
postsinapsis dipisahkan oleh celah sinapsis dengan lebar sekitar 20 nm. Sebagian
besar Ach di knop sinapsis dibungkus di dalam vesikel, yang setiap vesikel
mengandung ribuan molekul neurotransmitter. Satu knop sinapsis bisa
mengandung sekitar satu juta vesikel (Martini, 2009).
Stimulus merangsang pelepasan neurotransmitter di knop sinapsis dan gate
di sinapsis terbuka, ion natrium dan kalium keluar-masuk menjadi potensial aksi.
Selanjutnya, potensial aksi merangsang pembukaan gate ion kalsium yang
dilepaskan oleh retikulum endoplasma (Martini, 2009).
Ion kalsium yang dilepas akan berikatan dengan troponin dan mengubah
bentuknya, sehingga kompleks troponin-tropomiosin secara fisik bergeser ke
samping, membuka tempat pengikatan jembatan silang aktin. Bagian aktin yang
telah terpajan tersebut berikatan dengan jembatan silang miosin, yang sebelumnya
telah mendapat energi dari penguraian ATP menjadi ADP + Pi + energy oleh
ATPase miosin di jembatan silang. Pengikatan aktin dan miosin di jembatan
silang menyebabkan jembatan silang menekuk, menghasilkan suatu gerakan
mengayun kuat yang menarik filament tipis ke arah dalam. Pergeseran ke arah
dalam dari semua filament tipis yang mengelilingi filament tebal memperpendek
sarkomer sehingga terjadi kontraksi otot (Sherwood, 2001).
Ach dilepas melalui difusi eksositosis melewati celah sinapsis menuju
reseptor Ach di membrane postsinaps. Semakin banyak jumlah Ach yang dilepas
dari membran presinapsis, maka gate ion kalsium di membran postsinaps akan
lebih banyak terbuka. Dan depolarisasi akan semakin lama (Martini, 2009).
Efek di membran postsinaps bersiat sementara, karena di celah sinapsis
dan membran postsinaps mengandung enzim asetilkolinesterase (AchE, atau
kolinesterase). Sekitar setengah dari Ach yang dilepas dari membran presinaps
dihancurkan sebelum mencapai reseptornya di membran postsinaps. Molekul Ach
yang sukses berikatan di reseptornya biasanya dihancurkan dalam waktu 20
milidetik setelah menempati reseptor. Hidrolisis oleh enzim AchE memecah Ach
menjadi asam asetat dan kolin. Kolin diserap aktif oleh knop sinapsis dan
digunakan untuk mensintesis lebih banyak Ach. Asam asetat didifusikan dari
sinapsis dan bisa diabsorpsi atau dimetabolisme oleh membran postsinaps atau
oleh sel dan jaringan lain (Martini, 2009).
Petani terkena pajanan pestisida baik dari karena pekerjaannya maupun
karena para petani tinggal dekat dengan sawah. Sudah dilaporkan dari hasil
penelitian bahwa jarak rata-rata rumah petani dengan persawahan adalah 15 m di
komunitas Hood River. Hubungan yang ditemukan antara kontaminasi lingkungan
dan tingkat metabolit ekskresi yang disebabkan oleh transmisi pestisida pada para
petani yang tinggal tidak jauh dari persawahan, secara keseluruhan hubungannya
member kesan bahwa kadar pestisida saat itu (saat dilakukan penelitian) di debu
udara di rumah adalah marker yang selalu ada pada riwayat pajanan juga
berhubungan dengan hygiene yang dilakukan oleh para penduduk di Hood River
(Mc Cauley et al, 2001 dalam Rohlman 2006).
Pestisida digunakan untuk membasmi bermacam-macam hama (tumbuhan
maupun binatang) yang dijumpai dalam kehidupan manusia. Pestisida digunakan
di negaranegara dunia ini untuk melindungi tanaman dari kerusakan. Walaupun
dalam jumlah dan ukuran kecil tetapi pestisida jelas menimbulkan keracunan pada
manusia. Data kematian akibat pajanan dengan pestisida tersebut jarang dijumpai,
diduga setiap kematian yang terjadi tidak lebih akibat dari 100 kasus keracunan
yang tidak fatal. Survei statistik mengenai morbiditas dan mortalitas menunjukkan
penurunan jumlah kematian karena kecelakaan dalam penggunaan pestisida. Hal
ini dimungkinkan adanya peningkatan pengetahuan toksisitas pestisida melalui
program pencegahan keracunan (Lubis, 2002).
Di antara pestisida, golongan organofosfat yang paling umum ditemukan.
Insektisida paling banyak digunakan pada negara yang berkembang, sedangkan
herbisida lebih banyak digunakan pada negara yang maju. Organisasi Pangan dan
Pertanian (FAO 1986) mendefinisikan adalah setiap zat atau campuran yang
diharapkan sebagai pencegahan, menghancurkan atau pengawasan setiap hama
termasuk vector terhadap manusia atau penyakit pada binatang, dan tanaman yang
tidak disukai atau binatang yang menyebabkan keruskan selama atau dalam proses
pencampuran dengan produksi, penyimpanan atau pemasaran makanan, komiditi
pertanian, kayu dan produksi kayu, atau bahan makanan binatang, atau yang dapat
dilakukan pada binatang sebagai kontrol terhadap serangga, arachnoid, atau hama
lain di dalam atau pada tubuh binatang tersebut (Lubis, 2002).
Insektisida organofosfat adalah di antara pestisida yang paling toksik pada
manusia dan paling banyak frekuensinya ditemukan keracunan insektisida.
Tertelan sedikit saja seperti 2 mg pada anak-anak dapat menimbulkan kematian
(Lubis, 2002).
Organofosfat diabsorbsi dengan baik melalui inhalasi, kontak kulit, dan
tertelan dengan jalan utama pajanan pekerjaan adalah melalui kulit. Pada
umumnya organofosfat yang diperdagangkan dalam bentuk –thion (mengandung
sulfur) atau yang telah mengalami konversi menjadi –okson (mengandung
oksigen), dalam –okson lebih toksik dari bentuk –thion. Konversi terjadi pada
lingkungan sehingga hasil tanaman pekrja dijumpai pajanan residu yang dapat
lebih toksik dari pestisida yang digunakan. Sebagian besar sulfur dilepaskan ke
dalam bentuk mercaptan, yang merupakan hasil bentuk aroma dari bentuk –thion
organofosfat. Mercaptan memiliki aroma yang rendah, dan reaksi-reaksi
bahayanya meliputi sakit kepala, mual, muntah yang selalu keliru sebagai akibat
keracunan akut organofosfat. Konversi dari –thion menjadi -okson juga dijumpai
secara invivo pada metabolism mikrosom hati sehingga –okson menjadi pestisida
bentuk aktif pada hama binatang dan manusia. Hepatik esterase dengan cepat
menghidrolisa organofosfat ester, menghasilkan alkil fosfat dan fenol yang
memiliki aktifitas toksikologi lebih kecil dan cepat diekskresi. Organofosfat
menimbulkan efek pada serangga, mamalia dan manusia melalui inhibisi
asetilkolinesterase pada saraf. Fungsi normal asetilkolin esterase adalah hidrolisa
dan dengan cara demikian tidak mengaktifkan asetilkolin. Pengetahuan
mekanisme toksisitas memerlukan pengetahuan lebih dulu aksi kolinergik
neurotransmiter yaitu asetilkolin (Ach). Reseptor muskarinik dan nikotinik-
asetilkolin dijumpai pada sistem saraf pusat dan perifer. Pada sistem saraf perifer,
asetilkolin dilepaskan di ganglion otonomik :
1. sinaps preganglion simpatik dan parasimpatik
2. sinaps postgamglion parasimpatik
3. neuromuscular junction pada otot rangka (Lubis, 2002).
Pada sistem saraf pusat, reseptor asetilkolin umumnya lebih penting
toksisitas insektisitada organofosfat pada medulla sistem pernafasan dan pusat
vasomotor. Ketika asetilkolin dilepaskan, peranannya melepaskan neurotransmiter
untuk memperbanyak konduksi saraf perifer dan saraf pusat atau memulai
kontraksi otot. Efek asetilkolin diakhiri melalui hidrolisis dengan munculnya
enzim asetilkolinesterase (AchE). Ada dua bentuk AchE yaitu true cholinesterase
atau asetilkolinesterase yang berada pada eritrosit, saraf dan neuromuscular
junction. Pseudocholinesterase atau serum cholisterase berada terutama pada
serum, plasma dan hati. Insektisida organofosfat menghambat AchE melalui
proses fosforilasi bagian ester anion. Ikatan fosfor ini sangat kuat sekali yang
irreversibel. Aktivitas AchE tetap dihambat sampai enzim baru terbentuk atau
suatu reaktivator kolinesterase diberikan. Dengan berfungsi sebagai
antikolinesterase, kerjanya menginaktifkan enzim kolinesterase yang berfugnsi
menghidrolisa neurotransmiter asetilkolin (Ach) menjadi kolin yang tidak aktif.
Akibatnya terjadi penumpukan Ach pada sinapssinaps kolinergik, dan inilah yang
menimbulkan gejala-gejala keracunan organofosfat. Pajanan pada dosis rendah,
tanda dan gejala umumnya dihubungkan dengan stimulasi reseptor perifer
muskarinik. Pada dosis lebih besar juga mempengaruhi reseptor nikotinik dan
reseptor sentral muskarinik. Aktivitas ini kemudian akan menurun, dalam dua atau
empat minggu pada pseudocholinesterase plasma dan empat minggu sampai
beberapa bulan untuk eritrosit (Lubis, 2002).
Keracunan organofosfat dapat menimbulkan variasi reaksi keracunan.
Tanda dan gejala dihubungkan dengan hiperstimulasi asetilkolin yang persisten.
Tanda dan gejala awal keracunan adalah stimulasi berlebihan kolinergik pada otot
polos dan reseptor eksokrin muskarinik yang meliputi miosis, gangguan
perkemihan, diare, defekasi, eksitasi, dan salivasi (MUDDLES). Efek yang
terutama pada sistem respirasi yaitu bronkokonstriksi dengan sesak nafas dan
peningkatan sekresi bronkus. Dosis menengah sampai tinggi terutama terjadi
stimulasi nikotinik pusat daripada efek muskarinik (ataksia, hilangnya refleks,
bingung,, sukar bicara, kejang disusul paralisis, pernafasan Cheyne Stokes dan
coma. Pada umumnya gejala timbul dengan cepat dalam waktu 6 – 8 jam, tetapi
bila pajanan berlebihan dapat menimbulkan kematian dalam beberapa menit. Bila
gejala muncul setelah lebih dari 6 jam,ini bukan keracunan organofosfat karena
hal tersebut jarang terjadi. Kematian keracunan akut organofosfat umumnya
berupa kegagalan pernafasan. Oedem paru, bronkokonstriksi dan kelumpuhan
otot-otot pernafasan yang kesemuanya akan meningkatkan kegagalan pernafasan.
Aritmia jantung seperti hearth block dan henti jantung lebih sedikit sebagai
penyebab kematian (lubis, 2002).
Insektisida organofosfat diabsorbsi melalui cara pajanan yang bervariasi,
melalui inhalasi gejala timbul dalam beberapa menit. Ingesti atau pajanan
subkutan umumnya membutuhkan waktu lebih lama untuk menimbulkan tanda
dan gejala. Pajanan yang terbatas dapat menyebabkan akibat terlokalisir. Absorbsi
perkutan dapat menimbulkan keringat yang berlebihan dan kedutan (kejang) otot
pada daerah yang terpajan saja. Pajanan pada mata dapat menimbulkan hanya
berupa miosis atau pandangan kabur saja (Lubis, 2002).
Inhalasi dalam konsentrasi kecil dapat hanya menimbulkan sesak nafas
dan batuk. Komplikasi keracunan selalu dihubungkan dengan neurotoksisitas
lama dan organophosphorus-induced delayed neuropathy(OPIDN). Sindrom ini
berkembang dalam 8 – 35 hari sesudah pajanan terhadap organofosfat. Kelemahan
progresif dimulai dari tungkai bawah bagian distal, kemudian berkembang
kelemahan pada jari dan kaki berupa foot drop. Kehilangan sensori sedikit terjadi.
Demikian juga refleks tendon dihambat (Lubis, 2002).
Penanganan keracunan insektsida organofosfat harus secepat mungkin
dilakukan. Keragu-raguan dalam beberapa menit mengikuti pajanan berat akan
meningkatkan timbulnya korban akibat dosis letal. Beberapa puluh kali dosis letal
mungkin dapat diatasi dengan pengobatan cepat (Lubis, 2002).
Pertolongan pertama yang dapat dilakukan :
1. Bila organofosfat tertelan dan penderita sadar, segera muntahkan penderita
dengan mengorek dinding belakang tenggorok dengan jari atau alat lain,
dan /atau memberikan larutan garam dapur satu sendok makan penuh dalam
segelas air hangat. Bila penderita tidak sadar, tidak boleh dimuntahkan karena
bahaya aspirasi.
2. Bila penderita berhenti bernafas, segeralah dimulai pernafasan buatan.
Terlebih dahulu bersihkan mulut dari air liur, lendir atau makanan yang
menyumbat jalan nafas. Bila organofosfat tertelan, jangan lakukan pernafasan
dari mulut ke mulut.
3. Bila kulit terkena organofosfat, segera lepaskan pakaian yang terkena dan
kulit dicuci dengan air sabun.
4. Bila mata terkena organofosfat, segera cuci dengan banyak air selama 15
menit (Lubis, 2002).
BAB III
METODE
A. Alat dan Bahan
A.1. Alat
1. Spuit 3 cc
2. Tourniquet
3. Plakon
4. Eppendorf
5. Sentrifugator
6. Mikropipet (10 µL – 100 µL)
7. Yellow Tip
8. Pipet ukur 5 ml
9. Kuvet
10. Spektrofotometer
A.2. Bahan
1. Darah
2. EDTA
3. Reagen 1 (AchE)
4. Reagen 2 (BuchE)
B. Tata Urutan
1. Mengambil darah dari probandus
Persiapan sampel plasma
1. Mengambil darah sebanyak 3 cc menggunakan spuit
2. Memasukkan darah ke tabung eppendorf yang sudah diberi EDTA dan
didiamkan selama 10 menit dalam suhu ruangan
3. Darah yang sudah dicampur dengan EDTA dimasukkan ke
sentrifugator untuk disentrifugasi dengan kecepatan 4000 rpm selama
10 menit
4. Plasma didapatkan untuk sampel
Persiapan Working Reagen
1. Menyiapkan reagen 1 (AchE) sebanyak 4 mL
2. Menyiapkan reagen 2 (BuchE) sebanyak 1 mL
3. Mencampurkan reagen 1 dan reagen 2, diambil 1 mL
4. 1 ml working reagen dicampur dengan 10 µL plasma hasil sentrifugasi
5. Inkubasi di spektrofotometer selama 3 menit
6. Mengukur absorbansinya dengan panjang gelombang 405 nm selama
60 detik dan nilai faktor 13160.
7. Lihat dan catat hasilnya, dikalikan dengan 10.
8. Menghitung aktivitas enzim AchE
C. Nilai Normal
Laki-laki : 5.100 – 11.700 U/L
Perempuan : 4.000 – 12.600 U/L
D. Rumus Perhitungan
Aktivitas AchE = x x 100%
Nilai min
Interpretasi:
> 75% = normal
50% - 74% = ringan
25% - 49% = sedang
< 25% = berat
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil
1. Probandus
Nama : Fikri Fajrul Falah
Usia : 18 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
2. Sampel Darah
Plasma Darah
Sentrifugasi
Sel darah
3. Working Reagen
+
Reagen 1 Reagen 2 Working Reagen
4 mL 1 ml 1 mL
+ Inkubasi
Plasma 10 µL Working Reagen 1 mL
4. Absorbansi
Absorbansi AchE= 1483.4 x 10= 14.834
Aktivitas AchE = x x 100%
Nilai min
= 14.834 x 100%
5.100
= 290.8%
Interpretasi Normal (lebih dari 75%)
B. Pembahasan
Praktikum pemeriksaan Enzim AchE ini dimulai dengan mengambil darah
untuk dijadikan sampel plasma. Setelah darah diambil dari probandus, darah
segera disimpan di dalam plakon yang sudah ditetesi EDTA (Etilen Diamine Tetra
Acid) agar darah tidak menggumpal. Darah yang dimasukkan ke dalam plakon
dari spuit tidak disemprotkan begitu saja, tatapi dengan menempelkan spuit ke
dinding plakon agar sel-sel darah tidak rusak. Selanjutnya, darah disentrifugasi
dengan kecepatan 400 rpm selama 10 menit untuk mendapatkan sampel plasma.
Setelah itu, menyiapkan working reagen, disiapkan 2 reagen yaitu AchE dan
BuchE. Reagen AchE diambil sebanyak 4 cc dan BuchE sebanyak 1 cc lalu
dicampurkan untuk mendapatkan working reagen. Setelah itu, plasma yang
didapat dari sentrifugasi diambil sebanyak 10 mikroliter untuk dicampurkan
dengan working reagen sebanyak 1 ml. Selanjutnya, diinkubasi selama 3 menit di
spektrofotometer dan dibaca absorbansinya dengan panjang gelombang 405 dan
nilai faktor 13.160.
Setelah dibaca absorbansinya, ternyata angka absorbansinya adalah
1483.4, lalu dikalikan dengan 10 dan dihitung aktivitas enzim AchE-nya. Setelah
dihitung, ternyata aktivitas enzim AchE probadus adalah 290.8%.
Diinterpretasikan sebagai kadar normal dalam tubuh (> 75%).
C. Aplikasi Klinis
1. Keracunan Organofosfat
Insektisida Organofosfat. Insektisida ini adalah ester asam fosfat atau
asam trifosfat, masing-masing diwakili oleh diklorvos dan parathion. Mereka
bekerja menghambat asetilkolinesterase (AchE), mengakibatkan akumulasi
asetilkolin (Ach). Ach yang berlebihan menyebabkan berbagai jenis simtom
dan tanda-tanda. Beratnya gejala kurang lebih berkorelasi dengan tingkat
penghambatan kolinesterase dalam darah, tetapi hubungan yang tepat
tergantung pada senyawanya (Wills, 1972 dalam C.Lu 2006). Selain parathion
dan diklorvos, pestisida lain dalam kelompok ini antara lain adalah parathion-