Page 1
BAB I
PENDAHULUAN
Kor pulmonal "Pulmonary Heart Disease" adalah hipertrofi atau dilatasi ventrikel
kanan akibat hipertensi pulmonal yang disebabkan penyakit parenkim paru dan atau
pembuluh darah paru yang tidak berhubungan dengan kelainan jantung kiri. Istilah hipertrofi
yang bermakna patologis menurut Weetzenblum sebaiknya diganti menjadi perubahan
struktur dan fungsi ventrikel kanan. Untuk menetapkan kor pulmonal secara klinis pada
pasien gagal napas diperlukan tanda pada pemeriksaan fisik yakni edema. Hipertensi
pulmonal “sine qua non” dengan kor pulmonal maka definisi kor pulmonal yang terbaik
adalah hipertensi pulmonal yang disebabkan penyakit yang mengenai struktur dan atau
pembuluh darah paru; hipertensi pulmonal menghasilkan pembesaran ventrikel kanan
(hipertrofi dan atau dilatasi) dan berlanjut dengan berjalannya waktu menjadi gagal jantung
kanan. Penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) merupakan penyebab utama insufisiensi
respirasi kronik dan kor pulmonal, diperkirakan 8-90% kasus. (Harun Sjaharuddin dan Ika
Prasetya Wijaya. Kor Pulmonal Kronik dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi V Jilid
II. Jakarta: Interna Publishing. 2009)
Kor pulmonal akut adalah peregangan atau pembebanan akibat hipertensi pulmonal
akut, sering disebabkan oleh emboli paru masif, sedangkan kor pulmonal kronis adalah
hipertrofi dan dilatasi ventrikel kanan akibat hipertensi pulmonal yang berhubungan dengan
penyakit paru obstruktif atau restriktif. Pada PPOK, progresivitas hipertensi pulmonal
berlangsung lambat.
Penyakit cor pulmonale merupakan penyakit paru dengan hipertrofi dan atau dilatasi
ventrikel kanan akibat gangguan fungsi dan atau struktur paru (setelah menyingkirkan
penyakit jantung kongenital atau penyakit jantung lain yang primernya pada jantung kiri).
Cor pulmonale dapat terjadi secara akut maupun kronik penyebab akut tersering adalah
emboli paru masif dan biasanya terjadi dilatasi ventrikel kanan. Penyebab kronik tersering
adalah penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) dan biasanya terjadi hipertrofi ventrikel
kanan.
Insidens diperkirakan 6-7% dari semua penyakit jantung pada orang dewasa disebabkan
oleh PPOK. Umumnya pada daerah dengan polusi udara yang tinggi dan kebiasaan merokok
yang tinggi dengan prevalensi bronchitis kronik dan emfisema didapatkan peningkatan
kekerapan cor pulmonale. Lebih banyak disebabkan exposure daripada predisposisi dan pria
lebih sering terkena daripada wanita.
Page 2
Hipertensi pulmonal adalah suatu penyakit yang jarang didapat namun progresif oleh
karena peningkatan resistensi vaskuler pulmonal yang menyebabkan menurunnya fungsi
ventrikel kanan oleh karena peningkatan afterload ventrikel kanan. Hipertensi pulmonal
primer adalah penyakit langka yang tidak diketahui etiologi, sedangkan hipertensi pulmonal
sekunder adalah komplikasi dari berbagai penyakit paru, jantung dan kondisi extrathoracic.
Penyakit paru obstruktif kronik, disfungsi ventrikel kiri dan gangguan yang terkait dengan
hypoxemia sering mengakibatkan hipertensi pulmonal.(munawar, rizka. Hipertensi pulmonal.
2009. Bagian ilmu penyakit paru FKUniversitas Syiah Kuala. Banda Aceh)
Terlepas dari etiologi, hipertensi pulmonal tak henti-hentinya dapat mengarah pada sisi
kanan gagal jantung. Tanda dan gejala hipertensi pulmonal seringkali halus dan spesifik.
Diagnosis harus dicurigai pada pasien dengan peningkatan dyspnea saat aktivitas dan
diketahui penyebab hipertensi paru. Dua-dimensi dengan Doppler echocardiography studi
aliran adalah modalitas pencitraan paling berguna pada pasien dengan hipertensi pulmonal
diduga. Jika hipertensi pulmonal hadir, evaluasi lebih lanjut termasuk penilaian oksigenasi,
pengujian fungsi paru, resolusi tinggi Pengobatan dengan infus intravena yang terus-menerus
dari prostasiklin memperbaiki kapasitas latihan, kualitas hidup, hemodynamics dan
kelangsungan hidup jangka panjang pada pasien dengan hipertensi paru primer. Manajemen
hipertensi pulmonal sekunder termasuk koreksi penyebab yang mendasarinya dan
pembalikan hypoxemia. Transplantasi paruparu tetap dipilih salah satu pilihan untuk pasien
dengan hipertensi pulmonal yang tidak merespon manajemen medis.
Hipertensi pulmonal primer sering didapatkan pada usia muda dan usia pertengahan,
lebih sering didapatkan pada perempuan dengan perbandingan 2:1, angka kejadian pertahun
sekitar 2-3 kasus per 1 juta penduduk, dengan mean survival dari awitan penyakit sampai
timbulnya gejala sekitar 2-3 tahun. Kriteria diagnosis untuk hipertensi pulmonal merujuk
pada National Institute of Health; bila tekanan sistolik arteri pulmonalis lebih dari 35 mmHg
atau “mean” tekanan arteri pulmonalis lebih dari 25 mmHg pada saat istirahat atau lebih 30
mmHg pada aktifitas dan tidak didapatkan adanya kelainan valvular pada jantung kiri,
penyakit myokardium, penyakit jantung kongenital dan tidak adanya kelainan paru.
Hipertensi pulmonal (Pulmonary hypertension) atau selanjutnya disebut hipertensi
paru, angka kejadian pada perempuan dua setengah kali lipat dibanding laki-laki. Pada kasus
hipertensi paru primer, penyakit ini diturunkan, atau terkait faktor genetik. Meski diakui,
meluasnya penyakit hipertensi paru saat ini kurang diketahui, namun diperkirakan sekitar 1-2
juta orang per tahun terdiagnosis menderita penyakit ini. Bahkan, angka yang sebenarnya
Page 3
diprediksi lebih tinggi mengingat diagnosis penyakit ini masih minim. Di Indonesia dan
kawasan Asia Pasifik, hipertensi paru kurang terdiagnosis dan kurang pengobatan antara lain
faktor kurangnya kesadaran mengenai penyakit ini. Mereka yang menderita hipertensi paru
kebanyakan tidak terobati.
Kendala lain adalah banyak gejala yang dikaitkan dengan hipertensi paru ternyata tidak
spesifik mengarah pada hipertensi paru, sehingga tak heran diagnosis penyakit ini kian sulit
saja. Jika hipertensi paru dibiarkan tak diobati, harapan hidup penderita primer (hipertensi
paru yang tak diketahui penyebabnya) hanya kurang dari tiga tahun. Namun seiring kemajuan
teknologi, kini terapi hipertensi paru menggunakan pengobatan inhalasi dan diklaim sebagai
satu-satunya yang selektif bekerja ke paru-paru (bekerja lokal) yang bermanfaat
meningkatkan harapan hidup serta menghilangkan gejala serta efek samping terbatas.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kor Pulmonal
2.1.1. Definisi
Kor pulmonal adalah pembesaran ventrikel kanan sekunder terhadap penyakit paru,
toraks atau sirkulasi paru. Kadang-kadang disertai dengan gagal ventrikel kanan.
(Sulistyawati, Indah. Cor Pulmonale. FK Universitas Trisakti. 2004) Kor Pulmonal
merupakan hipertrofi dan dilatasi ventrikel kanan akibat hipertensi pulmonal yang
disebabkan penyakit parenkim paru dan atau pembuluh darah paru yang tidak
berhubungan dengan kelainan jantung kiri, atau dikenal juga dengan perubahan struktur
dan fungsi ventrikel kanan. Tipe kor pulmonal disebut akut jika dilatasi belahan jantung
kanan setelah embolisasi akut paru. (Tudas, Lita. Kor Pulmonal. Diakses dari
http://www.isjd.pdii.lipi.go.id/4481367_lita_tudas_kmb.pdf), tipe kronis ditentukan
lamanya gangguan pulmoner yang membawa ke pembesaran jantung. Berapa lama dan
sampai tahap apa jantung tetap membesar akan bergantung pada fluktuasi-fluktuasi pada
ketinggian tekanan arterial pulmoner. (Sulistyawati, Indah. Cor Pulmonale. FK
Universitas Trisakti. 2004)
Korpulmonale ialah perobahan struktur dan atau fungsi dari bilik kanan jantung
alcibat penyakit yang mengenai struktur atau fungsi paru atau pembuluh darahnya, tidak
termasuk penyakit pan' yang disebabkan karena kelainan jantung kiri atau penyakit
Page 4
jantung kongenital. Sesuai dengan pembatasan diatas maka untuk membuat diagnose
korpulmonale tidak perlu adanya kegagalan jantung kanan sebagai mana anggapan
dimasa yang lalu ataupun hipertropi bilik kanan jantung sesuatu hal yang sukar
ditentukan secara klinis. Adanya pembesaran jantung karena dilatasi bilik kanan jantung
akibat hipertensi pulmonalis sudah mencukupi.
Menurut Braunwahl (1980), Kor Pulmonal Kronik adalah : Keadaan patologis
akibat hipertrofi / dilatasi ventrikel kanan yang disebabkan oleh hipertensi pulmonal.
Penyebabnya antara lain: penyakit parenkim paru, kelainan vaskuler paru dan gangguan
fungsi paru karena kelainan thoraks. Tidak termasuk kelainan vaskuler paru yang
disebabkan kelainan ventrikel kiri, vitium cordis, penyakit jantung bawaan, penyakit
jantung iskemik dan infark miokard akut. PPOK merupakan penyebab utama insufisiensi
respirasi kronik dan kor pulmonal diperkirakan 80-90% penyebabnya adalah PPOK.
2.1.2. Epidemiologi
2.1.3. Etiologi
Penyebab penyakit cor pulmonale antara lain :
a. Penyakit paru menahun dengan hipoksia
- penyakit paru obstruktif kronik
- fibrosis paru
- penyakit fibrokistik
- cyrptogenik fibrosing alveolitis
- penyakit paru lain yang berhubungan dengan hipoksia
b. Kelainan dinding dada
- Kifoskoliosis, torakoplasti, fibrosis pleura
- Penyakit neuro muskuler
c. Gangguan mekanisme kontrol pernafasan
- Obesitas, hipoventilasi idiopatik
- Penyakit serebrovaskular
d. Obstruksi saluran nafas atas pada anak
- hipertrofi tonsil dan adenoid
e. Kelainan primer pembuluh darah
- hipertensi pulmonal primer, emboli paru berulang, vaskulitis pembuluh
darah paru. (Sulistyawati, Indah. Cor Pulmonale. FK Universitas Trisakti.
2004)
Page 5
2.1.4. Patofisiologi (Sulistyawati, Indah. Cor Pulmonale. FK Universitas Trisakti. 2004)
Apapun penyebab penyakit awalnya, sebelum timbul kor pulmonal biasanya terjadi
peningkatan resistensi vaskular paru-paru dan hipertensi pulmonar. Hipertensi pulmonar
pada akhirnya meningkatkan beban kerja dari ventrikel kanan, sehingga mengakibatkan
hipertrofi dan kemudian gagal jantung. Titik kritis dari rangkaian kejadian ini nampaknya
terletak pada peningkatan resistensi vaskular paru-paru para arteria dan arteriola kecil.
Faktor –faktor yang menyebabkan timbulnya komplikasi kardiovaskuler pada penderita -
penderita PPOM ialah :
1. Hipoventilasi alveoli.
2. Berkurangnya "vascular bed " di dalam paru.
3. Bertambahnya "intrapulmonary vasculer shunt"
4. Faktor kelainan dari miokardium sebagai akibat rendahnya oksigen di dalam arteria
"coronaria"
Dua mekanisme dasar yang mengakibatkan peningkatan resistensi vaskular paru-
paru adalah (1) vasokontriksi hipoksik dari pembuluh darah paru-paru dan (2) obstruksi
dan atau obliterasi anyaman vaskuler paru-paru. Mekanisme yang pertama paling penting
dalam patogenesis cor pulamale. Hipoksemia, hipercapnea, asidosis merupakan ciri khas
PPOM bronchitis lanjut adalah contoh yang paling baik. Hipoksia alveolar (jaringan)
memberikan rangsangan yang lebih kuat untuk menimbulkan vasokonstriksi pulmonar
daripada hipoksemia. Hipoksia alveolar kronik memudahkan terjadinya hipertrofi otot
polos arteriola paru-paru sehingga timbul respon yang lebih kuat terhadap hipoksia akut.
Asidosis, hipercapnea dan hipoksemia bekerja secara sinergistrik dalam menimbulkan
vasokontriksi. Viskositas darah yang meningkat akibat polisitemia dan peningkatan curah
jantung yang dirangsang oleh hipoksia kronik dan hipercapnea juga ikut meningkatkan
tekanan arteria paru-paru.
Mekanisme kedua yang turut meningkatkan resistensi vaskular dan tekanan arteria
paru-paru adalah bentuk anatomisnya. Hilangnya pembuluh darah secara permanen
menyebabkan berkurangnya anyaman vaskuler. Selain itu pada penyakit obstruktif,
pembuluh darah paru-paru juga tertekan dari luar karena efek mekanik dari volume paru-
paru yang besar. Tetapi, peranan obstruksi dan obliterasi anatomik terhadap anyaman
vaskuler diperkirakan tidak sepenting vasokontriksi hipoksik dalam patogenesa cor
pulmonale. Kira-kira dua pertiga sampai tiga perempat dari anyaman vaskuler harus
mengalami obstruksi atau rusak sebelum terjadi peningkatan tekanan arteria paru-paru
yang bermakna. Asidosis respiratorik kronik terjadi pada beberapa penyakit pernafasan
Page 6
dan penyakit obstruktif sebagai akibat hipoventilasi alveolar umum atau akibat kelainan
perfusi ventilasi. Jadi setiap penyakit paru-paru yang mempengaruhi pertukaran gas,
mekanisme ventilasi atau anyaman vaskuler paru-paru dapat mengakibatkan cor
pulmonale.
Penyakit paru kronis akan mengakibatkan;
1. Berkurangnya vascular bed paru, dapat disebabkan oleh semakin terdesaknya pembuluh
darah oleh paru yang mengembang atau kerusakan paru
2. Asidosis dan hiperkapnia
3. Hipoksia alveolar, yang akan merangsang vasokonstriksi pembuluh paru
4. Polisitemia dan hiperviskositas darah
Keempat hal diatas akan menyebabkan hipertensi pulmonal, dalam jangka panjang
akan mengakibatkan hipertropi dan dilatasi ventrikel kanan dan menjadi gagal jantung
kanan. Berdasarkan perjalanan penyakitnya, Kor Pulmonal Kronik dibagi menjadi 5 fase,
yakni:
Fase: 1
Pada fase ini belum nampak gejala klinis yang jelas, selain ditemukannya gejala awal
penyakit paru obstruktif menahun (ppom), bronkitis kronis, tbc lama, bronkiektasis dan
sejenisnya. Anamnesa pada pasien 50 tahun biasanya didapatkan adanya kebiasaan banyak
merokok.
Fase: 2
Pada fase ini mulai ditemukan tanda-tanda berkurangnya ventilasi paru. Gejalanya antara
lain: batuk lama berdahak (terutama bronkiektasis), sesak napas/mengi, sesak napas ketika
berjalan menanjak atau setelah banyak bicara. Sedangkan sianosis masih belum nampak.
Pemeriksaan fisik ditemukan kelainan berupa: hipersonor, suara napas berkurang,
ekspirasi memanjang, ronchi basah dan kering, wheezing. Letak diafragma rendah dan
denyut jantung lebih redup. Pemeriksaan radiologi menunjukkan berkurangnya
bronchovascular pattern, letak diafragma rendah dan mendatar, posisi jantung vertikal.
Fase: 3
Pada fase ini nampak gejala hipoksemia yang lebih jelas. Didapatkan pula berkurangnya
nafsu makan, berat badan berkurang, cepat lelah. Pemeriksaan fisik
nampak sianotik, disertai sesak dan tanda-tanda emfisema yang lebih nyata.
Fase: 4
Ditandai dengan hiperkapnia, gelisah, mudah tersinggung kadang somnolens. Pada
keadaan yang berat dapat terjadi koma dan kehilangan kesadaran.
Page 7
Fase: 5
Pada fase ini nampak kelainan jantung, dan tekanan arteri pulmonal meningkat. Tanda-
tanda peningkatan kerja ventrikel, namun fungsi ventrikel kanan masih dapat kompensasi.
Selanjutnya terjadi hipertrofi ventrikel kanan kemudian terjadi gagal jantung kanan.
Pemeriksaan fisik nampak sianotik, bendungan vena jugularis, hepatomegali, edema
tungkai dan kadang ascites. (Tudas, Lita. Kor Pulmonal. Diakses dari
http://www.isjd.pdii.lipi.go.id/4481367_lita_tudas_kmb.pdf)
2.1.5. Gambaran Klinis
Dimulai dengan PPOK, kemudian PPOK dengan hipertensi pulmonal, dan
akhirnya menjadi PPOK dengan hipertensi pulmonal serta gagal jantung kanan. Perlu
dilakukan anamnesis yang teliti ada tidaknya penyakit paru yang mendasari dan jenis
kelainan paru seperti batuk kronik yang produktif, sesak nafas waktu beraktifitas, nafas
yang berbunyi, mudah fatig kelemahan. Pada fase awal berupa pembesaran ventrikel
kanan, tidak menimbulkan keluhan jadi lebih banyak keluhan akibat penyakit parunya.
Keluhan akibat pembesaran ventrikel kanan baru timbul bila sudah ada gagal jantung
kanan misalnya edema dan nyeri parut kanan atas. Infeksi paru sering mencetuskan gagal
jantung, hipersekresi branchus, edema alveolar, serta bronkospasme yang menurunkan
ventilasi paru lalu timbul gagal jantung kanan.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan sianosis, jari tabuh, peningkatan tekanan vena
jugularis, heaving ventrikel kanan atau irama derap, pulsasi menonjol di sternum bagian
bawah atau epigastrium (parasternal lift), pembesaran hepar dan nyeri tekan, ascites,
edema. Dispnea timbul sebagai gejala emfisema dengan atau tanpa cor pulmonale.
Dispnea yang memburuk dengan mendadak atau kelelahan, sinkop pada waktu bekerja,
atau rasa tidak enak angina pada substernal mengisyaratkan keterlibatan jantung.
Page 8
Diagnosis ditemukan tanda PPOK, asidosis dan hiperkapnia, hipoksia, polisitemia
dan hiperviskositas darah, hipertensi pulmonal (EKG dengan P pulmonal dengan deviasi
aksis ke kanan dan hipertrofi ventrikel kanan, foto torak tampak pelebaran daerah cabang
paru hilus, ekokardiografi dengan ditemukan RVH), hipertropi/dilatasi ventrikel kanan dan
gagal jantung kanan (peningkatan tekanan vena jugularis, hepatomegali, asites maupun
edema tungkai). (Tudas, Lita. Kor Pulmonal. Diakses dari
http://www.isjd.pdii.lipi.go.id/4481367_lita_tudas_kmb.pdf)
2.1.6. Diagnosis
Diagnosis kor pulmonal biasanya menunjukkan kombinasi adanya gangguan
respirasi yang dihubungkan dengan hipertensi pulmonal dan adanya gangguan pada
ventrikel kanan yang didapat secara klinis, radiologis, elektrocardiogram. Dalam praktek
sehari-hari sering didapatkan kesulitan dalam membuat diagnosis kor pulmonal yakni
bila keadaan pasien sedang stabil atau belum terjadi gagal jantung kanan. Untuk itu
dianjurkan membuatkan EKG dan pemeriksaan radiologis dada secara serial.
Gambaran Radiologis
a). Rontgen Toraks
Terdapat kelainan disertai pembesaran ventrikel kanan, dilatasi arteri pulmonal dan
atrium kanan yang menonjol. Kardiomegali sering tertutup oleh hiper inflasi paru yang
menekan diafragma sehingga jantung tampaknya normal karena vertikal. Pembesaran
ventrikel kanan lebih jelas pada posisi oblik atau lateral. Selain itu didapatkan juga
diafragma yang rendah dan datar serta ruang udara retrosternal yang lebih besar,
sehingga hipertrofi dan dilatasi ventrikel kanan tidak membuat jantung menjadi lebih
besar dari normal.
b). Ekokardiografi
Dimensi ruang ventrikel kanan membesar, tapi struktur dan dimensi ventrikel kiri
normal. Pada gambaran ekokardiografi katup pulmonal, gelombang “a” hilang,
Page 9
menunjukkan hipertensi pulmonal. Kadang-kadang dengan pemeriksaan ekokardiografi
susah terlihat katup pulmonal karena “accoustic window” sempit akibat penyakit paru.
c). Kateterisasi jantung
Ditemukan peningkatan tekanan jantung kanan dan tahanan pembuluh paru.
Tekanan atrium kiri dan tekanan kapiler paru normal, menandakan bahwa hipertensi
pulmonal berasal dari prekapiler dan bukan berasal dari jantung kiri. Pada kasus yang
ringan, kelainan ini belum nyata. Penyakit jantung paru tidak jarang disertai penyakit
jantung koroner terlebih pada penyakit paru obstruksi menahun karena perokok berat
(stenosis koroner pada angiografi).
2.1.7. Diagnosa Banding
- Hipertensi vena pulmonal yang biasanya diderita penderita stenosis katup mitral.
Gambaran foto toraks berupa pembesaran atrium kiri, pelebaran arteri pulmonal
karena peninggian tekanan aorta yang relatif kecil (pada fase lanjut), pembesaran
ventrikel kanan, pada paru-paru terlihat tanda-tanda bendungan vena.
- Perikarditis konstriktifa, dapat dibedakan dengan test fungsi paru dan analisa gas
darah
2.1.8. Tatalaksana
a. Konseling ( penyuluhan )
Memberikan edukasi agar pasien menghindari segala jenis polusi udara dan berhenti
merokok. Memperbaiki ventilasi ruangan-ruangan dalam rumah. Latihan pernafasan
dengan bimbingan ahli fisioterapi.
b. Memperbaiki fungsi pernafasan dan pengobatan terhadap obstruksi kronis.
1. Bronkodilator. Beta 2 adrenergik selektif ( Terbutalin atau Salbutamol ).
Berkhasiat vasodilator pulmoner, sehingga diharapkan dapat menambah aliran
darah paru. Setiap pemberian bronkodilator hendaknya mempertimbangkan efek
sampingnya yaitu berdebar, gemetar dan lemas.
2. Mukolitik dan ekspektoran
Mukolitik berguna untuk mencairkan dahak dengan memecah ikatan rantai
kimianya, sedangkan ekspektoran untuk mengeluarkan dahak dari paru.
3. Antibiotika
Pemberian antibiotika diperlukan karena biasanya kelainan parenkim paru
disebabkan oleh mikro-organisme, diantaranya: Hemophylus influenzae dan
Pneumococcus. Dapat pula disebabkan oleh Staphylococcus dan bakteri Gram
Page 10
negatif seperti: Klebsiella. Idealnya, pemberian antibiotika disesuaikan dengan
hasil kultur sputum.
4. Oksigenasi
Peningkatan PaCO2 (tekanan karbondiosida arterial) dan asidosis pada penderita
PPOM disebabkan tidak sempurnanya pengeluaran CO2 sehingga menimbulkan
hipoksemia. Penanganan cor pulmonale ditujukan untuk memperbaiki hipoksia
alveolar dan vasokonstriksi paru-paru yang diakibatkannya dengan pemberian
oksigen konsentrasi rendah dengan hati-hati. Pemakaian O2 yang terus menerus
dapat menurunkan hipertensi pulmoner, polisitemia dan takipnea.Hal ini dapat
diatasi dengan pemberian oksigen 20-30 % melalui masker venturi. Dapat pula
diberikan oksigen secara intermitten dengan kadar 30-50 % secara lambat 1-3 liter
permenit.
c. Memperbaiki fungsi jantung dan pengobatan gagal jantung kongestif.
1. Diuretika Pemberian diuretika seperti furosemid atau hidroklorotiazid diharapkan
dapat mengurangi kongesti edema dengan cara mengeluarkan natrium dan
menurunkan volume darah. Sehingga pertukaran udara dalam paru dapat
diperbaiki, dan hipoksia maupun beban jantung kanan dapat dikurangi.
2. Digitalis Preparat digitalis ( digoxin, cedilanid dan sejenisnya ) perlu diberikan
kepada penderita dengan Gagal Jantung kanan berat. Pemberian digitalis penderita
Cor Pulmonale harus hati-hati karena mudah terjadi intoksikasi digitalis. Lebih-
lebih pada usia lanjut, toleransi terhadap digitalis menurun sehingga lebih mudah
terjadinya intoksikasi. Demikian pula kondisi hipoksemia akan meningkatkan
kepekaan terhadap digitalis yang berujung pada terjadinya intoksikasi.
2.1.9. Prognosis
Sangat bervariasi, tergantung perjalanan alamiah penyakit paru yang mendasarinya
dan ketaatan pasien berobat. Penyakit bronko pulmoner sistematis angka kematian rata-
rata 5 tahun sekitar 40-50%. Juga obstruksi vaskuler paru kronis dengan hipertrofi
ventrikel kanan mempunyai prognosis buruk. Biasanya penderita dengan hipertensi
pulmonal obstruksi vaskuler kronik hanya hidup 2-3 tahun sejak timbulnya gejala.
Menurut Stuart Harrs dan Ude, Prognosis Cor Pulmonale sangat jelek
dikarenakan kerusakan parenkim paru yang berlangsung lama dan irreversile.
Pengobatan bersifat simptomatis, karena pada umumnya kondisi penyakit sudah dalam
fase lanjut. Berdasarkan penelitian, angka kemungkinan masa hidup berkisar antara 18
bulan (Flint) sampai 30,8 bulan dengan angka kematian setelah 5 tahun mencapai 68 %.
Page 11
2.2 Hipertensi Pulmonal
2.2.1 Definisi
Hipertensi Pulmonal Primer adalah kelainan paru yang jarang, dimana didapat
peningkatan tekanan arteri pulmonalis jauh diatas normal tampa di dapatkan penyebab
yang jelas. Tekanan pulmonal normal pada waktu istirahat adalah lebih kurang 14 mmhg,
pada penderita hipertensi pulmonal tekanan arteri pulmonal akan lebih dari 25 mmhg saat
istirahat, dan 30 mmhg saat aktivitas, sehingga meningkatkan tahanan vaskular dari aliran
darah paru. Peningkatan tahanan arteri pulmonal ini akan menimbulkan beban pada
ventrikel kanan sehingga harus bekerja lebih kuat untuk mememopakan darah ke paru.
Hipertensi paru merupakan masalah kompleks yang ditandai dengan tanda-tanda
dan gejala tidak spesifik dan memiliki banyak penyebab potensial. Ini dapat didefinisikan
sebagai suatu tekanan sistolik arteri paru-paru yang lebih besar dari 30 mm Hg atau
tekanan arteri paru-paru berarti lebih besar dari 20 mm Hg. Hipertensi pulmonal adalah
suatu penyakit yang ditandai dengan peningkatan tekanan darah pada pembuluh darah
arteri paru-paru yang menyebabkan sesak nafas, pusing dan pingsan pada saat melakukan
aktivitas. Berdasar penyebabnya hipertensi pulmonal dapat menjadi penyakit berat yang
ditandai dengan penurunan toleransi dalam melakukan aktivitas dan gagal jantung kanan.
Penyakit ini pertama kali ditemukan oleh Dr Ernst von Romberg pada tahun 1891.
Hipertensi pulmonal terbagi atas hipertensi pulmonal primer dan sekunder. Hipertensi
pulmonal primer adalah hipertensi pulmonal yang tidak diketahui penyebabnya sedangkan
hipertensi pulmonal sekunder adalah hipertensi pulmonal yang disebabkan oleh kondisi
medis lain. Istilah ini saat ini menjadi kurang populer karena dapat menyebabkan
kesalahan dalam penanganannya sehingga istilah hipertensi pulmonal primer saat ini
diganti menjadi Hipertensi Arteri Pulmonal Idiopatik.
Gambar 1: Patologi pada pasien yang meninggal dari hipertensi pulmonal sekunder
berat patent ductus arteriosus persisten.
2.2.2 Etiologi
Page 12
Hipertensi pulmonal sebelumnya dibagi menjadi 2 kategori: hipertensi pulmonal
primer dan hipertensi pulmonal sekunder, berdasarkan etiologi diidentifikasi.
a. Group 1, pulmonary arterial hypertension (PAH) dengan 2 sub-kelompok:
- Subgroup 1 Pasien dengan sporadis dan keluarga hipertensi arteri pulmonal
idiopatik (IPAH).
- Subgroup 2 - Kondisi yang diketahui lokalisasi lesi kecil arteriola paru, termasuk
penyakit pembuluh darah kolagen (skleroderma / Crest sindrom), kongenital kiri-
ke-kanan shunts, portopulmonary hipertensi, paru terkait HIV hipertensi,
hipertensi paru-paru bayi baru lahir, dan obat - diinduksi (mis. anorexigens)
hipertensi pulmonal
b. Group 2, hipertensi vena pulmonal: Kelompok ini terdiri dari infark sisi kiri dan
penyakit katup dan ekstrinsik kompresi dari pembuluh darah paru (misalnya tumor)
dan paru-paru penyakit veno-oklusi.
c. Group 3, hipertensi pulmonal yang terkait dengan penyakit paru-paru dan / atau
hypoxemia: Kelompok ini terdiri dari penyakit yang menyebabkan oksigenasi arteri
tidak memadai. 3 kelompok utama adalah yang disebabkan oleh penyakit paru-paru
(misalnya, PPOK, penyakit paru-paru interstisial), gangguan pernapasan (misalnya,
OSA, alveolar hipoventilasi gangguan), dan jangka panjang paparan ketinggian tinggi.
d. Group 4, hipertensi paru kronis akibat thrombotic dan / atau penyakit emboli, dengan
2 sub-kelompok:
- Subgroup 1 - kronis hipertensi tromboemboli paru (CTEPH) dari proksimal arteri.
- Subgroup 2 - embolisms paru paru distal dalam arteri, yang mungkin disebabkan
oleh trombosis, tumor, parasit, in situ trombosis, atau penyakit sel sabit.
e. Group 5, hipertensi pulmonal akibat efek langsung pembuluh darah paru: Kelompok
ini terdiri dari penyakit radang paru-paru mempengaruhi pembuluh darah termasuk,
schistosomiasis, sarcoidosis, histocytosis X, dan fibrosing mediastinitis.
Kelas yang tercantum di bawah ini berdasarkan informasi diadaptasi dari ringkasan
eksekutif dari word simposium on Primary Pulmonary Hypertension di Evian, Perancis
pada tahun 1998.
a. Class I: Kelas I: Ini adalah pasien dengan hipertensi pulmonal tetapi tanpa
mengakibatkan pembatasan aktivitas fisik. Aktivitas fisik biasa tidak menyebabkan
dyspnea berlebihan atau kelelahan, sakit dada, atau dekat sinkop.
Page 13
b. Class II: Ini adalah pasien dengan hipertensi pulmonal mengakibatkan sedikit
pembatasan aktivitas fisik. Aktivitas fisik biasa tidak semestinya menyebabkan
dyspnea atau kelelahan, sakit dada, atau dekat sinkop.
c. Class III: Ini adalah pasien dengan hipertensi paru mengakibatkan ditandai
pembatasan aktivitas fisik.. Mereka merasa nyaman beristirahat. Kurang dari kegiatan
biasa yang tidak semestinya menyebabkan dyspnea atau kelelahan, sakit dada, atau
dekat sinkop.
d. Class IV: Ini adalah pasien dengan hipertensi pulmonal dengan ketidakmampuan
untuk melakukan aktivitas fisik apapun tanpa gejala. Pasien ini tanda-tanda nyata sisi
kanan gagal jantung. Dyspnea dan / atau kelelahan bahkan mungkin hadir diam.
Ketidaknyamanan meningkat oleh aktivitas fisik apapun.
2.2.3 Faktor Resiko
Dari klasifikasi yang telah digambarkan pada etiologi jelas bahwa berbagai faktor
resiko dapat berkembang menjadi hipertensi pulmonal berat dan oleh karenanya dapat
dianjurkan skrining dari bagian populasi terpilih untuk terjadinya hipertensi pulmonal atau
penyakit vaskular pulmonal. Pada simposium WHO, level resiko disertai dengan masing-
masing kondisi yang dinilai pada table 1.
Tabel 1: Klasifikasi faktor resiko hipertensi pulmonal menurut WHO
Page 15
a. Riwayat keluarga
Genetik dari hipetensi pulmonal dibahas di bawah tetapi ini telah menjadi jelas untuk
suatu waktu bahwa proporsi signifikan dari pasien (berkisar 6-10% dari kasus) adalah ada
riwayat keluarga. Terdapt kemungkinan sekurangnya dua gen dari yang mana, yang
pertama ditutupi oleh PPH1(lokus 2q31-32). Kondisi ini diturunkan secara dominan
autosom dengan penetrasi tidak sempurna. Ini menunjukkan bahwa skrining pada
sekurangnya anggota keluarga derajat pertama dapat bermanfaat.8
b. Penyakit jaringan konektif
Lebih dari 10% pasien dengan hipertensi pulmonal primer mengalami fenomena
Raynaud’s. Diketahui pula bahwa pasien dengan penyakit jaringan konektif, khususnya
varian ‘CREST’ dari sklerosis sistemik tetapi juga kondisi lain seperti artritis reumatoid
dan sistemik lupus eritematous, rentan terkena hipertensi pulmonal. Tentu saja, lebih dari
40% pasien dengan CREST akan meninggal karena hipertensi pulmonal.8
c. Penekan nafsu makan
Simposium WHO pertama tahun 1973 diadakan mengikuti epidemi hipetensi pulmonal di
eropa bersamaan dengan agen penekan nafsu makan amionorex fumarat. Hubungan
terkini lainnya antara obat penekan nafsu makan dan hipertensi pulmonal telah terjadi
karena penggunaan luas dari fenfluramin dan dexflenfluramin. Untungnya, hubungan
tersebut saat ini telah ditemukan cukup awal dan prevalensinya hampir tidak setinggi
untuk aminorex.
d. Hipertensi portal
Pasien dengan penyakit hati dapat berkembang menjadi baik itu shunt kanan ke kiri
ataupun hipertensi pulmonal. Hipertensi pulmonal terlihat hanya muncul ketika terjadi
juga hipertensi portal, menunjukkan bahwa sirosi dengan sendirinya tidak cukup. 8
e. Infeksi HIV
Hubungan antara hipertensi pulmonal dengan infeksi HIV telah diketahui selama
beberapa tahun. Karena pasien seperti ini mungkin memiliki beberapa alasan penting
lainnya untuk sakit, tidak direkomendasikan agar mereka di skrining untuk hipertensi
pulmonal tetapi mereka harus disarankan untuk echokardiografi apabila berkembang
gejala yang sesuai.
f. Penggunaan obat
Tampaknya ada hubungan antara L-triptofan dan amfetamin dnegan hipertensi pulmonal.
Mekanismenya belum dimengerti.
g. Penyakit tiroid
Page 16
Terdapat hubungan antara hipotiroidisme dan hipertensi pulmonal primer.
2.2.4 Patogenesis
Hipertensi pulmonal dapat menyebabkan pengerasan pembuluh pada darah dan di
dalam paru. Hal ini memperberat kerja jantung dalam memompa darah ke paru. Lama
kelamaan pembuluh darah yang terkena akan menjadi kaku dan menebal hal ini akan
menyebabkan tekanan dalam pembuluh darah meningkat dan aliran darah juga terganggu.
Hal ini akan menyebabkan bilik jantung kanan membesar sehingga menyebabkan suplai
darah dari jantung ke paru berkurang sehigga terjadi suatu keadaan yang disebut dengan
gagal jantung kanan. Sejalan dengan hal tersebut maka aliran darah ke jantung kiri juga
menurun sehingga darah membawa kandungan oksigen yang kurang dari normal untuk
mencukupi kebutuhan tubuh terutama pada saat melakukan aktivitas.
2.2.5 Manifestasi Klinis
Hipertensi pulmonal sering muncul dengan gejala nonspesifik (Tabel). Gejalagejala
ini seringkali sulit untuk memisahkan dari yang disebabkan oleh dikenal mendasari
gangguan paru-paru atau jantung. Gejala yang paling umum-exertional dyspnea, kelelahan
dan sinkop-mencerminkan ketidakmampuan untuk meningkatkan output jantung selama
aktivitas. Mekanisme tidak jelas, tetapi nyeri dada anginal mungkin disebabkan oleh
peregangan arteri paru-paru atau iskemia ventrikel kanan. Hemoptisis akibat pecahnya
pembuluh paru buncit jarang tapi berpotensi event. Fenomena Raynaud terjadi di sekitar 2
persen pasien dengan hipertensi pulmonal primer tapi lebih sering terjadi pada pasien
dengan hipertensi paru yang berhubungan dengan penyakit jaringan ikat. 4 gejala yang
lebih spesifik mungkin mencerminkan penyebab hipertensi paru.
Kelainan terdeteksi pada pemeriksaan fisik cenderung lokal ke sistem
kardiovaskular. Pemeriksaan yang seksama sering mendeteksi tanda-tanda hipertensi
pulmonal dan hipertrofi ventrikel kanan. Temuan pada pemeriksaan paru-paru yang tidak
spesifik tetapi dapat menunjukkan penyebab yang mendasari hipertensi pulmonal. Sebagai
contoh, mengi dapat mengakibatkan diagnosis PPOK, dan basilar crackles mungkin
menunjukkan adanya penyakit paru-paru interstisial.
Page 17
2.2.6 Diagnosa
Untuk mendiagnosa hipertensi pulmonal, dokter dapat melakukan satu atau lebih tes
untuk mengevaluasi kerja jantung dan paru-paru pasien. Hal ini termasuk X-ray di daerah
dada untuk menunjukkan pembesaran dan ketidaknormalan pembuluh paru-paru,
echocardiograms yang menunjukkan visualisasi jantung, mengukur besar ukuran jantung,
fungsi dan aliran darah, dan mengadakan pengukuran tidak langsung terhadap tekanan di
pembuluh paru-paru.
a. Elektrokardiograf
Gambaran pada EKG brupa strain ventrikel kanan dan pergeseran aksis ke kanan dapat
membantu menegakkan diagnosis hipertensi pulmonal.
Gambar 2:Elektrokardiogram menunjukkan perubahan hipertrofi ventrikel kanan (panah
panjang) dengan regangan pada pasien dengan hipertensi paru primer. Deviasi sumbu kanan
(pendek panah), peningkatan amplitudo gelombang P pada lead II (panah hitam), dan tidak
lengkap blok cabang berkas kanan (panah putih) yang sangat spesifik tetapi tidak memiliki
kepekaan untuk mendeteksi hipertrofi ventrikel kanan.
b. Radiologi
Khas parenkim paru pada hipertensi pulmonal bersih. Foto torak dapat membantu
diagnosis atau membantu menemukan penyakit lain yang mendasari hipertensi
pulmonal. Gambaran khas foto toraks pada hipertensi pulmonal ditemukan bayangan
hilar, bayangan arteri pulmonalis dan pada foto toraks lateral pembesaran ventrikel
kanan.
Gambar 2: Gambaran Foto Thoraks pada pasien dengan hipertensi pulmonal.
Page 18
c. MRI
Hipertrofi dan dilatasi ventrikel kanan serta pergeseran aliran dari kiri ke kanan juga
terjadi.
d. Angiograf
Kateterisasi jantung merupakan baku emas untuk diagnosis hipertensi arteri pulmonal.
Kateterisasi membantu diagnosis dengan menyingkirkan etiologi lain seperti penyakit
jantung kiri dan memberikan informasi penting untuk dugaan prognostik pada pasien
dengan hipertensi pulmonal. Tes vasodilator dengan obat kerja singkat (seperti
adenosisn, inhalasi nitrit oxid atau epoprostenol) dapat dilakukan selama kateterisasi,
respons vasodilatasi positif bila didapatkan penurunan tekanan arteri pulmonalis dan
resistensi vaskular paru sedikitnya 20% dari tekanan awal. Pasien dengan hipertensi
arteri pulmonal yang berespon positif dengan vasodilator akut pada pemeriksaan
kateterisasi, survivalnya akan meningkat dengan pengobatan blokade saluran kalsium
jangka lama. Dengan katerisasi jantung juga dapat memberikan informasi mengenai
saturasi oksigen pada vena sentral, atrium dan ventrikel kanan dan arteri pulmonal
yang berguna dalam menilai prognostik hipertensi pulmonal.
Page 19
2.2.7 Penatalaksanaan
Pengobatan hipertensi pulmonal bertujuan untuk mengoptimalkan fungsi jantung kiri
dengan menggunakan obat-obatan seperti : diuretik, beta-bloker dan ACE inhibitor atau
dengan cara memperbaiki katup jantung mitral atau katup aorta (pembuluh darah utama).
Pada hipertensi pulmonal pengobatan dengan perubahan pola hidup, diuretik, antikoagulan
dan terapi oksigen merupakan suatu terapi yang lazim dilakukan, tetapi berdasar dari
penelitian terapi tersebut belum pernah dinyatakan bermanfaat dalam mengatasi penyakit
tersebut. Beberapa kemungkinan pengobatan untuk hipertensi pulmonal tercantum dalam
Tabel. Pengobatan hipertensi pulmonal primer adalah rumit, kontroversial dan berpotensi
berbahaya.
Calcium channel blockers dapat mengurangi vasokonstriksi paru dan
memperpanjang hidup pada sekitar 20 persen pasien dengan hipertensi pulmonal primer.
Sayangnya, tidak ada cara untuk meramalkan mana pasien akan merespon vasodilators
dikelola secara lisan, dan obat-obatan ini biasanya memiliki efek yang signifikan.
Akibatnya, akan sangat membantu untuk mengevaluasi paru vasoreactivity selama
kateterisasi, sebelum jangka panjang terapi yang dipilih. Obat yang paling cocok untuk
pengujian respon akut yang kuat, pendek bertindak dan titratable. Pada pasien yang
menunjukkan bukti adanya respon hemodinamik akut, pengobatan jangka panjang dengan
calcium channel blockers, diberikan secara lisan dalam dosis tinggi, dapat menghasilkan
respon hemodinamik yang berkelanjutan dan meningkatkan kelangsungan hidup.
Epoprostenol (Flolan), atau prostasiklin, adalah satu kemajuan yang paling penting
dalam pengobatan hipertensi paru primer. ini Ampuh bertindak pendek vasodilator dan
penghambat agregasi trombosit yang dihasilkan oleh endotelium vaskular. Dalam sebuah
penelitian, kontinu infus intravena epoprostenol latihan peningkatan kapasitas, kualitas
hidup, hemodynamics dan kelangsungan hidup jangka panjang pada pasien dengan kelas
III atau IV fungsi. Meskipun sistem pengiriman infus kontinu adalah kompleks, sebagian
besar pasien dapat belajar bagaimana mempersiapkan dan memasukkan obat.
Antikoagulan dengan warfarin (Coumadin) disarankan untuk mencegah trombosis
dan telah ditunjukkan untuk memperpanjang hidup pada pasien dengan hipertensi
pulmonal primer. Pasien dengan kondisi ini rentan terhadap tromboemboli paru lamban
karena aliran darah, melebar bilik jantung kanan, vena kekurangan dan relatif aktivitas
fisik. Mempertahankan dinormalkan Internasional Rasio 1,5-2,0 dianjurkan. Antikoagulan
lain juga sedang dipelajari.
Page 20
Agen Inotropic seperti digoxin (Lanoxin) saat ini sedang diselidiki. Dalam sebuah
penelitian, digoxin menghasilkan efek hemodinamik akut menguntungkan pada pasien
dengan gagal ventrikel kanan dan hipertensi pulmonal primer, namun jangka panjang
akibat dari perawatan ini tidak diketahui. obat parenteral juga mungkin bermanfaat.
Pada pasien dengan hipertensi pulmonal sekunder, manajemen diarahkan pada
pengenalan dini dan pengobatan penyakit yang mendasarinya (saat itu masih berpotensi
reversibel). Sebagai contoh, disfungsi ventrikel kiri harus ditangani dengan
afterloadreducing agen, digoksin dan diuretik. Struktural operasi untuk mengoreksi
anomali jantung dan paru-paru juga dapat efektif, dan dapat diakses
thromboendarterectomy untuk Tromboemboli kronis berpotensi kuratif. Perbaikan atau
resolusi hipertensi paru dapat terjadi setelah penghentian anorectic agen, meskipun
resolusi yang tidak khas. paru hipertensi yang berhubungan dengan penyakit paru-paru
interstisial dapat menanggapi kortikosteroid atau agen imunosupresif lainnya. Karena
Page 21
hipoksia adalah paru-paru vasokonstriktor kuat, sangat penting untuk mengidentifikasi dan
sebaliknya hypoxemia. Aliran rendah terapi oksigen tambahan di hypoxemic
memperpanjang kelangsungan hidup pasien. Kegagalan untuk mengakui dan benar
hypoxemia mungkin merupakan kesalahan paling sering dilakukan dalam perawatan
pasien dengan hipertensi pulmonal.
Sebuah diet rendah garam dan bijaksana penggunaan diuretik dapat membantu
dalam mengurangi beban volume pada pasien dengan hipertensi paru dan kegagalan
ventrikel kanan. Karena hati yang tepat tergantung pada preload, perawatan harus
dilakukan untuk menghindari diuresis berlebihan dan pengurangan lebih lanjut dari curah
jantung. Pasien dengan hipertensi pulmonal persisten meskipun pengelolaan agresif
penyakit yang mendasari harus dirujuk untuk evaluasi di sebuah pusat yang
mengkhususkan diri dalam pengelolaan kondisi ini. Unik epoprostenol protokol yang
melibatkan 23 dan obat lainnya mungkin tersedia bagi pasien dengan hipertensi pulmonal
sekunder yang belum menanggapi tindakan lebih konvensional.
a. Terapi bedah
Pembedahan sekat antar serambi jantung (atrial septostomy) yang dapat
menghubungkan antara serambi kanan dan serambi kiri dapat mengurangi tekanan pada
jantung kanan tetapi kerugian dari terapi ini dapat mengurangi kadar oksigen dalam darah
(hipoksia). Transplantasi paru dapat menyembuhkan hipertensi pulmonal namun
komplikasi terapi ini cukup banyak dan angka harapan hidupnya kurang lebih selama 5
tahun.
b. Transplantasi paru-paru
Hipertensi pulmonal primer biasanya progresif dan akhirnya berakibat fatal. Paruparu
transplantasi adalah suatu pilihan pada beberapa pasien lebih muda dari 65 tahun yang
memiliki hipertensi pulmonal yang tidak merespon manajemen medis. Menurut AS tahun
1997 transplantasi laporan registri, 24 penerima transplantasi paru-paru dengan hipertensi
pulmonal primer memiliki tingkat ketahanan hidup dari 73 persen pada satu tahun, 55
persen di tiga tahun dan 45 persen pada lima tahun. Pengurangan langsung tekanan arteri
paru-paru dikaitkan dengan perbaikan dalam fungsi ventrikel kanan. Kambuhnya
hipertensi pulmonal primer setelah transplantasi paru-paru belum dilaporkan.
2.2.8 Prognosis
Durasi median kelangsungan hidup setelah diagnosis hipertensi pulmonal primer
adalah 2,8 tahun, 25 tapi angka ini sangat bervariasi. Sebagai hasil dari pengobatan baru,
pasien tanpa bukti hemodinamik disfungsi ventrikel kanan dapat bertahan hidup selama
Page 22
lebih dari 10 tahun. Prognosis untuk pasien dengan hipertensi pulmonal sekunder
tergantung pada penyakit yang mendasari, serta fungsi ventrikel kanan. Sebagai contoh,
pasien dengan PPOK dan obstruksi aliran udara moderat memiliki tiga tahun angka
kematian 50 persen setelah onset kegagalan ventrikuler kanan. 26 Survival adalah juga
dipengaruhi pada pasien dengan penyakit paru-paru interstisial dan hipertensi pulmonal.
2.3 Gagal Jantung
2.3.1 Definisi
Gagal jantung adalah suatu keadaan patofisiologi dimana jantung gagal
mempertahankan sirkulasi adekuat untuk kebutuhan tubuh meskipun tekanan pengisian
cukup (Paul Wood, 1958). Gagal jantung juga dikatakan sebagai suatu sindroma dimana
fungsi jantung berhubungan dengan penurunan toleransi latihan, insidensi aritmia yang
tinggi, dan penurunan harapan hidup (Jay Chon, 1988). European Society of Cardiology,
1995 juga menjelaskan adanya gejala gagal jantung yang reversible dengan terapi, dan
bukti objektif adanya disfungsi jantung. Gagal jantung didefinisikan sebagai kondisi
dimana jantung tidak lagi dapat memompakan cukup darah ke jaringan tubuh. Keadaan ini
dapat timbul dengan atau tanpa penyakit jantung. Gangguan fungsi jantung dapat berupa
gangguan fungsi diastolik atau sistolik, gangguan irama jantung, atau ketidaksesuaian
preload dan afterload. Keadaan ini dapat menyebabkan kematian pada pasien.
2.3.2 Epidemiologi
Diperkirakan hampir lima persen dari pasien yang dirawat di rumah sakit, 4,7%
wanita dan 5,1% laki-laki. Insiden gagal jantung dalam setahun diperkirakan 2,3 – 3,7
perseribu penderita pertahun. Kejadian gagal jantung akan semakin meningkat di masa
depan karena semakin bertambahnya usia harapan hidup dan berkembangnya terapi
penanganan infark miokard mengakibatkan perbaikan harapan hidup penderita dengan
penurunan fungsi jantung.
2.3.3 Klasifikasi
Gagal jantung dapat dibagi menjadi gagal jantung kiri dan gagal jantung kanan.
Gagal jantung juga dapat dibagi menjadi gagal jantung akut, gagal jantung kronis
dekompensasi, serta gagal jantung kronis. Beberapa sistem klasifikasi telah dibuat untuk
mempermudah dalam pengenalan dan penanganan gagal jantung. Sistem klasifikasi
tersebut antara lain pembagian berdasarkan Killip yang digunakan pada Infark Miokard
Akut, klasifikasi berdasarkan tampilan klinis yaitu klasifikasi Forrester, Stevenson dan
NYHA.
Page 23
Klasifikasi berdasarkan Killip digunakan pada penderita infark miokard akut,
dengan pembagian:
- Derajat I : tanpa gagal jantung
- Derajat II : Gagal jantung dengan ronki basah halus di basal paru, S3 galop dan
peningkatan tekanan vena pulmonalis
- Derajat III : Gagal jantung berat dengan edema paru seluruh lapangan paru.
- Derajat IV : Syok kardiogenik dengan hipotensi (tekanan darah sistolik 90 mmHg) dan
vasokonstriksi perifer (oliguria, sianosis dan diaforesis)
Klasifikasi Stevenson menggunakan tampilan klinis dengan melihat tanda kongesti
dan kecukupan perfusi. Kongesti didasarkan adanya ortopnea, distensi vena juguler, ronki
basah, refluks hepato jugular, edema perifer, suara jantung pulmonal yang berdeviasi ke
kiri, atau square wave blood pressure pada manuver valsava. Status perfusi ditetapkan
berdasarkan adanya tekanan nadi yang sempit, pulsus alternans, hipotensi simtomatik,
ekstremitas dingin dan penurunan kesadaran. Pasien yang mengalami kongesti disebut
basah (wet) yang tidak disebut kering (dry). Pasien dengan gangguan perfusi disebut
dingin (cold) dan yang tidak disebut panas (warm). Berdasarkan hal tersebut penderta
dibagi menjadi empat kelas, yaitu:
- Kelas I (A) : kering dan hangat (dry – warm)
- Kelas II (B) : basah dan hangat (wet – warm)
- Kelas III (L) : kering dan dingin (dry – cold)
- Kelas IV (C) : basah dan dingin (wet – cold)
2.3.4 Etiologi
Gagal jantung dapat disebabkan oleh banyak hal. Secara epidemiologi cukup
penting untung mengetahui penyebab dari gagal jantung, di negara berkembang penyakit
arteri koroner dan hipertensi merupakan penyebab terbanyak sedangkan di negara
berkembang yang menjadi penyebab terbanyak adalah penyakit jantung katup dan
penyakit jantung akibat malnutrisi.4 Pada beberapa keadaan sangat sulit untuk
menentukan penyebab dari gagal jantung. Terutama pada keadaan yang terjadi bersamaan
pada penderita.
Penyakit jantung koroner pada Framingham Study dikatakan sebagai penyebab
gagal jantung pada 46% laki-laki dan 27% pada wanita.4 Faktor risiko koroner seperti
diabetes dan merokok juga merupakan faktor yang dapat berpengaruh pada perkembangan
dari gagal jantung. Selain itu berat badan serta tingginya rasio kolesterol total dengan
Page 24
kolesterol HDL juga dikatakan sebagai faktor risiko independen perkembangan gagal
jantung.
Hipertensi telah dibuktikan meningkat-kan risiko terjadinya gagal jantung pada
beberapa penelitian. Hipertensi dapat menyebabkan gagal jantung melalui beberapa
mekanisme, termasuk hipertrofi ventrikel kiri. Hipertensi ventrikel kiri dikaitkan dengan
disfungsi ventrikel kiri sistolik dan diastolik dan meningkatkan risiko terjadinya infark
miokard, serta memudahkan untuk terjadinya aritmia baik itu aritmia atrial maupun
aritmia ventrikel. Ekokardiografi yang menunjukkan hipertrofi ventrikel kiri berhubungan
kuat dengan perkembangan gagal jantung.
Kardiomiopati didefinisikan sebagai penyakit pada otot jantung yang bukan
disebabkan oleh penyakit koroner, hipertensi, maupun penyakit jantung kongenital, katup
ataupun penyakit pada perikardial. Kardiomiopati dibedakan menjadi empat kategori
fungsional : dilatasi (kongestif), hipertrofik, restriktif dan obliterasi. Kardiomiopati dilatasi
merupakan penyakit otot jantung dimana terjadi dilatasi abnormal pada ventrikel kiri
dengan atau tanpa dilatasi ventrikel kanan. Penyebabnya antara lain miokarditis virus,
penyakit pada jaringan ikat seperti SLE, sindrom Churg-Strauss dan poliarteritis nodosa.
Kardiomiopati hipertrofik dapat merupakan penyakit keturunan (autosomal dominan)
meski secara sporadik masih memungkinkan. Ditandai dengan adanya kelainan pada
serabut miokard dengan gambaran khas hipertrofi septum yang asimetris yang
berhubungan dengan obstruksi outflow aorta (kardiomiopati hipertrofik obstruktif).
Kardiomiopati restriktif ditandai dengan kekakuan serta compliance ventrikel yang buruk,
tidak membesar dan dihubungkan dengan kelainan fungsi diastolik (relaksasi) yang
menghambat pengisian ventrikel.
Penyakit katup sering disebabkan oleh penyakit jantung rematik, walaupun saat ini
sudah mulai berkurang kejadiannya di negara maju. Penyebab utama terjadinya gagal
jantung adalah regurgitasi mitral dan stenosis aorta. Regusitasi mitral (dan regurgitasi
aorta) menyebabkan kelebihan beban volume (peningkatan preload) sedangkan stenosis
aorta menimbulkan beban tekanan (peningkatan afterload). Aritmia sering ditemukan pada
pasien dengan gagal jantung dan dihubungkan dengan kelainan struktural termasuk
hipertofi ventrikel kiri pada penderita hipertensi. Atrial fibrilasi dan gagal jantung
seringkali timbul bersamaan.
Alkohol dapat berefek secara langsung pada jantung, menimbulkan gagal jantung
akut maupun gagal jantung akibat aritmia (tersering atrial fibrilasi). Konsumsi alkohol
yang berlebihan dapat menyebabkan kardiomiopati dilatasi (penyakit otot jantung
Page 25
alkoholik). Alkohol menyebabkan gagal jantung 2 – 3% dari kasus. Alkohol juga dapat
menyebabkan gangguan nutrisi dan defisiensi tiamin. Obat – obatan juga dapat
menyebabkan gagal jantung. Obat kemoterapi seperti doxorubicin dan obat antivirus
seperti zidofudin juga dapat menyebabkan gagal jantung akibat efek toksik langsung
terhadap otot jantung. (Mariyono, Harbanu dan Anwar Santoso. Gagal Jantung. Dalam
Jurnal Penyakit Dalam Volume 8 Nomor 3 Tahun 2007)
2.3.5 Patofisiologi
Gagal jantung merupakan kelainan multisitem dimana terjadi gangguan pada
jantung, otot skelet dan fungsi ginjal, stimulasi sistem saraf simpatis serta perubahan
neurohormonal yang kompleks. Pada disfungsi sistolik terjadi gangguan pada ventrikel
kiri yang menyebabkan terjadinya penurunan cardiac output. Hal ini menyebabkan
aktivasi mekanisme kompensasi neurohormonal, sistem Renin – Angiotensin – Aldosteron
(sistem RAA) serta kadar vasopresin dan natriuretic peptide yang bertujuan untuk
memperbaiki lingkungan jantung sehingga aktivitas jantung dapat terjaga.
Aktivasi sistem simpatis melalui tekanan pada baroreseptor menjaga cardiac
output dengan meningkatkan denyut jantung, meningkatkan kontraktilitas serta vasokons-
triksi perifer (peningkatan katekolamin). Apabila hal ini timbul berkelanjutan dapat
menyeababkan gangguan pada fungsi jantung. Aktivasi simpatis yang berlebihan dapat
menyebabkan terjadinya apoptosis miosit, hipertofi dan nekrosis miokard fokal. Stimulasi
sistem RAA menyebabkan penigkatan konsentrasi renin, angiotensin II plasma dan
aldosteron. Angiotensin II merupakan vasokonstriktor renal yang poten (arteriol eferen)
dan sirkulasi sistemik yang merangsang pelepasan noradrenalin dari pusat saraf simpatis,
menghambat tonus vagal dan merangsang pelepasan aldosteron. Aldosteron akan
menyebabkan retensi natrium dan air serta meningkatkan sekresi kalium. Angiotensin II
juga memiliki efek pada miosit serta berperan pada disfungsi endotel pada gagal jantung.
Terdapat tiga bentuk natriuretic peptide yang berstruktur hampir sama yeng
memiliki efek yang luas terhadap jantung, ginjal dan susunan saraf pusat. Atrial
Natriuretic Peptide (ANP) dihasilkan di atrium sebagai respon terhadap peregangan
menyebabkan natriuresis dan vasodilatsi. Pada manusia Brain Natriuretic Peptide (BNO)
juga dihasilkan di jantung, khususnya pada ventrikel, kerjanya mirip dengan ANP. C-type
natriuretic peptide terbatas pada endotel pembuluh darah dan susunan saraf pusat, efek
terhadap natriuresis danvasodilatasi minimal. Atrial dan brain natriuretic peptide
meningkat sebagai respon terhadap ekspansi volume dan kelebihan tekanan dan bekerja
Page 26
antagonis terhadap angiotensin II pada tonus vaskuler, sekresi ladosteron dan reabsorbsi
natrium di tubulus renal. Karena peningkatan natriuretic peptide pada gagal jantung, maka
banyak penelitianyang menunjukkan perannya sebagai marker diagnostik dan prognosis,
bahkan telah digunakan sebagai terapi pada penderita gagal jantung. Vasopressin merupakan
hormon antidiuretik yang meningkat kadarnya pada gagal jantung kronik yang berat. Kadar
yang tinggi juga didpatkan padapemberian diuretik yang akan menyebabkan hiponatremia.
Endotelin disekresikan oleh sel endotel pembuluh darah dan merupakan peptide
vasokonstriktor yang poten menyebabkan efek vasokonstriksi pada pembuluh darah ginjal,
yang bertanggung jawab atas retensi natrium. Konsentrasi endotelin-1 plasma akan semakin
meningkat sesuai dengan derajat gagal jantung. Selain itu juga berhubungan dengan tekanan
pulmonary artery capillary wedge pressure, perlu perawatan dan kematian. Telah
dikembangkan endotelin-1 antagonis sebagai obat kardioprotektor yang bekerja menghambat
terjadinya remodelling vaskular dan miokardial akibat endotelin.
Disfungsi diastolik merupakan akibat gangguan relaksasi miokard, dengan kekakuan
dinding ventrikel dan berkurangnya compliance ventrikel kiri menyebabkan gangguan pada
Gagal Jantung pengisian ventrikel saat diastolik. Penyebab tersering adalah penyakit jantung
koroner, hipertensi dengan hipertrofi ventrikel kiri dan kardiomiopati hipertrofik, selain
penyebab lain seperti infiltrasi pada penyakit jantung amiloid. Walaupun masih kontroversial,
dikatakan 30 – 40 % penderita gagal jantung memiliki kontraksi ventrikel yang masih
normal. Pada penderita gagal jantung sering ditemukan disfungsi sistolik dan diastolik yang
timbul bersamaan meski dapat timbul sendiri.
2.3.6 Gambaran klinis
2.3.7 Diagnosis
Secara klinis pada penderita gagal jantung dapat ditemukan gejala dan tanda seperti
sesak nafas saat aktivitas, edema paru, peningkatan JVP, hepatomegali, edema tungkai.8-
10 Pemeriksaan penunjang yang dapat dikerjakan untuk mendiagnosis adanya gagal
jantung antara lain foto thorax, EKG 12 lead, ekokardiografi, pemeriksaan darah,
pemeriksaan radionuklide, angiografi dan tes fungsi paru.
Pada pemeriksaan foto dada dapat ditemukan adanya pembesaran siluet jantung
(cardio thoraxic ratio > 50%), gambaran kongesti vena pulmonalis terutama di zona atas
pada tahap awal, bila tekanan vena pulmonal lebih dari 20 mmHg dapat timbul gambaran
cairan pada fisura horizontal dan garis Kerley B pada sudutkostofrenikus. Bila tekanan
lebih dari 25 mmHg didapatkan gambaran batwing pada lapangan paru yang menunjukkan
adanya udema paru bermakna.
Page 27
Dapat pula tampak gambaran efusi pleura bilateral, tetapi bila unilateral, yang lebih
banyak terkenadalah bagian kanan. Pada elektrokardiografi 12 lead didapatkan gambaran
abnormal pada hampir seluruh penderita dengan gagal jantung, meskipun gambaran
normal dapat dijumpai pada 10% kasus. Gambaran yang sering didapatkan antara lain
gelombang Q, abnormalitas ST – T, hipertrofi ventrikel kiri,bundle branch block dan
fibrilasi atrium. Bila gambaran EKG dan foto dada keduanya menunjukkan gambaran
yang normal, kemungkinan gagal jantung sebagai penyebab dispneu pada pasien sangat
kecil kemungkinannya.
Ekokardiografi merupakan pemeriksaan non-invasif yang sangat berguna pada
gagal jantung. Ekokardiografi dapat menunjukkan gambaran obyektif mengenai struktur
dan fungsi jantung. Penderita yang perlu dilakukan ekokardiografi adalah : semua pasien
dengan tanda gagal jantung, susah bernafas yang berhubungan dengan murmur, sesak
yang berhubungan dengan fibrilasi atrium, serta penderita dengan risiko disfungsi
ventrikel kiri (infark miokard anterior, hipertensi tak terkontrol, atau aritmia).
Ekokardiografi dapat mengidentifikasi gangguan fungsi sistolik, fungsi diastolik,
mengetahui adanya gangguan katup, serta mengetahui risiko emboli.
Pemeriksaan darah perlu dikerjakan untuk menyingkirkan anemia sebagai
penyebab susah bernafas, dan untuk mengetahui adanya penyakit dasar serta komplikasi.
Pada gagal jantung yang berat akibat berkurangnya kemampuan mengeluarkan air
sehingga dapat timbul hiponatremia dilusional, karena itu adanya hiponatremia
menunjukkan adanya gagal jantung yang berat. Pemeriksaan serum kreatinin perlu
dikerjakan selain untuk mengetahui adanyagangguan ginjal, juga mengetahui adanya
stenosisarteri renalis apabila terjadi peningkatan serum kreatinin setelah pemberian
angiotensin converting enzyme inhibitor dan diuretik dosis tinggi. Pada gagal jantung
berat dapat terjadi proteinuria. Hipokalemia dapat terjadi pada pemberian diuretiktanpa
suplementasi kalium dan obat potassium sparring. Hiperkalemia timbul pada gagal
jantung berat dengan penurunan fungsi ginjal, penggunaan ACE-inhibitor serta obat
potassium sparring. Pada gagal jantung kongestif tes fungsi hati (bilirubin, AST dan
LDH) gambarannya abnormal karena kongesti hati. Pemeriksaan profil lipid, albumin
serum fungsi tiroid dianjurkan sesuai kebutuhan.
Pemeriksaaan penanda BNP sebagai penanda biologis gagal jantung dengan kadar
BNP plasma 100pg/ml dan plasma NT-proBNP adalah 300 pg/ml. Pemeriksaan
radionuklide atau multigated ventrikulografi dapat mengetahui ejection fraction, laju
pengisian sistolik, laju pengosongan diastolik, dan abnormalitas dari pergerakan dinding.
Page 28
Angiografi dikerjakan pada nyeri dada berulang akibat gagal jantung. Angiografi
ventrikel kiri dapat mengetahui gangguan fungsi yang global maupun segmental serta
mengetahui tekanan diastolik, sedangkan kateterisasi jantung kanan untuk mengetahui
tekanan sebelah kanan (atrium kanan, ventrikel kanan dan arteri pulmonalis) serta
pulmonary artery capillary wedge pressure.
2.3.8 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan penderita dengan gagal jantung meliputi penalaksanaan secara
non farmakologis dan secara farmakologis, keduanya dibutuhkan karena akan saling
melengkapi untuk penatlaksaan paripurna penderita gagal jantung. Penatalaksanaan gagal
jantung baik itu akut dan kronik ditujukan untuk memperbaiki gejala dan prognosis,
meskipun penatalaksanaan secara individual tergantung dari etiologi serta beratnya
kondisi. Sehingga semakin cepat kita mengetahui penyebab gagal jantung akan semakin
baik prognosisnya.
Penatalaksanaan non farmakologis yang dapat dikerjakan antara lain adalah dengan
menjelaskan kepada pasien mengenai penyakitnya, pengobatan serta pertolongan yang
dapat dilakukan sendiri. Perubahan gaya hidup seperti pengaturan nutrisi dan penurunan
berat badan pada penderita dengan kegemukan. Pembatasan asupan garam, konsumsi
alkohol, serta pembatasan asupan cairan perlu dianjurkan pada penderita terutama pada
kasus gagal jantung kongestif berat. Penderita juga dianjurkan untuk berolahraga karena
mempunyai efek yang positif terhadap otot skeletal, fungsi otonom, endotel serta
neurohormonal dan juga terhadap sensitifitas terhadap insulin meskipun efek terhadap
kelengsungan hidup belum dapat dibuktikan. Gagal jantung kronis mempermudah dan
dapat dicetuskan oleh infeksi paru, sehingga vaksinasi terhadap influenza dan
pneumococal perlu dipertimbangkan. Profilaksis antibiotik pada operasi dan prosedur gigi
diperlukan terutama pada penderita dengan penyakit katup primer maupun pengguna
katup prostesis.
Penatalaksanaan gagal jantung kronis meliputi penatalaksaan non farmakologis dan
farmakologis. Gagal jantung kronis bisa terkompensasi ataupun dekompensasi. Gagal
jantung terkompensasi biasanya stabil, dengan tanda retensi air dan edema paru tidak
dijumpai. Dekompensasi berarti terdapat gangguan yang mungkin timbul adalah episode
udema paru akut maupun malaise, penurunan toleransi latihan dan sesak nafas saat
aktifitas. Penatalaksaan ditujukan untuk menghilangkan gejala dan memperbaiki kualitas
hidup. Tujuan lainnya adalah untuk memperbaiki prognosis serta penurunan angka rawat.
Page 29
Obat – obat yang biasa digunakan untuk gagal jantung kronis antara lain: diuretik
(loop dan thiazide), angiotensin converting enzyme inhibitors, ß blocker (carvedilol,
bisoprolol, metoprolol), digoxin, spironolakton, vasodilator (hydralazine /nitrat),
antikoagulan, antiaritmia, serta obat positif inotropik.
Pada penderita yang memerlukan perawatan, restriksi cairan (1,5 – 2 l/hari) dan
pembatasan asupan garam dianjurkan pada pasien. Tirah baring jangka pendek dapat
membantu perbaikan gejala karena mengurangi metabolisme serta meningkatkan perfusi
ginjal. Pemberian heparin subkutan perlu diberikan pada penderita dengan imobilitas.
Pemberian antikoagulan diberikan pada pemderita dengan fibrilasi atrium, gangguan
fungsi sistolik berat dengan dilatasi ventrikel. Penderita gagal jantung akut datang dengan
gambaran klinis dispneu, takikardia serta cemas, pada kasus yang lebih berat penderita
tampak pucat dan hipotensi. Adanya trias hipotensi (tekanan darah sistolik < 90 mmHg),
oliguria serta cardiac output yang rendah menunjukkan bahwa penderita dalam kondisi
syok kardiogenik.
Gagal jantung akut yang berat serta syok kardiogenik biasanya timbul pada infark
miokard luas, aritmia yang menetap (fibrilasi atrium maupun ventrikel) atau adanya
problem mekanis seperti ruptur otot papilari akut maupun defek septum ventrikel pasca
infark. Gagal jantung akut yang berat merupakan kondisi emergensi dimana memerlukan
penatalaksanaan yang tepat termasuk mengetahui penyebab, perbaikan hemodinamik,
menghilangan kongesti paru, dan perbaikan oksigenasi jaringan. Menempatkan penderita
dengan posisi duduk dengan pemberian oksigen konsentrasi tinggi dengan masker sebagai
tindakan pertama yang dapat dilakukan. Monitoring gejala serta produksi kencing yang
akurat dengan kateterisasi urin serta oksigenasi jaringan dilakukan di ruangan khusus.
Base excess menunjukkan perfusi jaringan, semakin rendah menunjukkan adanya
asidosis laktat akibat metabolisme anerob dan merupakan prognosa yang buruk. Koreksi
hipoperfusi memperbaiki asidosis, pemberian bikarbonat hanya diberikan pada kasus yang
refrakter. Pemberian loop diuretik intravena seperti furosemid akan menyebabkan
venodilatasi yang akan memperbaiki gejala walaupun belum ada diuresis. Loop diuretik
juga meningkatkan produksi prostaglandin vasdilator renal. Efek ini dihambat oleh
prostaglandin inhibitor seperti obat antiflamasi nonsteroid, sehingga harus dihindari bila
memungkinkan.
Opioid parenteral seperti morfin atau diamorfin penting dalam penatalaksanaan
gagal jantung akut berat karena dapat menurunkan kecemasan, nyeri dan stress, serta
menurunkan kebutuhan oksigen. Opiat juga menurunkan preload dan tekanan pengisian
Page 30
ventrikel serta udem paru. Dosis pemberian 2 – 3 mg intravena dan dapat diulang sesuai
kebutuhan. Pemberian nitrat (sublingual, buccal dan intravenus) mengurangi preload serta
tekanan pengisian ventrikel dan berguna untuk pasien dengan angina serta gagal jantung.
Pada dosis rendah bertindak sebagai vasodilator vena dan pada dosis yang lebih tinggi
menyebabkan vasodilatasi arteri termasuk arteri koroner. Sehingga dosis pemberian harus
adekuat sehingga terjaid keseimbangan antara dilatasi vena dan arteri tanpa mengganggu
perfusi jaringan. Kekurangannya adalah teleransi terutama pada pemberian intravena dosis
tinggi, sehingga pemberiannya hanya 16 – 24 jam.
Sodium nitropusside dapat digunakan sebagai vasodilator yang diberikan pada
gagal jantung refrakter, diberikan pada pasien gagal jantung yang disertai krisis hipertensi.
Pemberian nitropusside dihindari pada gagal ginjal berat dan gangguan fungsi hati. Dosis
0,3 – 0,5 μg/kg/menit. Nesiritide adalah peptide natriuretik yang merupakan vasodilator.
Nesiritide adalah BNP rekombinan yang identik dengan yang dihasilkan ventrikel.
Pemberiannya akan memperbaiki hemodinamik dan neurohormonal, dapat menurunkan
aktivitas susunan saraf simpatis dan menurunkan kadar epinefrin, aldosteron dan endotelin
di plasma. Pemberian intravena menurunkan tekanan pengisian ventrikel tanpa
meningkatkan laju jantung, meningkatkan stroke volume karena berkurangnya afterload.
Dosis pemberiannya adalah bolus 2 μg/kg dalam 1 menit dilanjutkan dengan infus 0,01
μg/kg/menit.
Pemberian inotropik dan inodilator ditujukan pada gagal jantung akut yang disertai
hipotensi dan hipoperfusi perifer. Obat inotropik dan / atau vasodilator digunakan pada
penderita gagal jantung akut dengan tekanan darah 85 – 100 mmHg. Jika tekanan sistolik
< 85 mmHg maka inotropik dan/atau vasopressor merupakan pilihan. Peningkatan tekanan
darah yang berlebihan akan dapat meningkatkan afterload. Tekanan darah dianggap cukup
memenuhi perfusi jaringan bila tekanan arteri rata - rata > 65 mmHg. Pemberian dopamin
2 μg/kg/mnt menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah splanknik dan ginjal. Pada dosis 2
– 5 μg/kg/mnt akan merangsang reseptor adrenergik beta sehingga terjadi peningkatan laju
dan curah jantung. Pada pemberian 5 – 15 μg/kg/mnt akan merangsang reseptor
adrenergik alfa dan beta yang akan meningkatkan laju jantung serta vasokonstriksi.
Pemberian dopamin akan merangsang reseptor adrenergik _1 dan _2, menyebabkan
berkurangnya tahanan vaskular sistemik (vasodilatasi) dan meningkatnya kontrkatilitas.
Dosis umumnya 2 – 3 μg/kg/mnt, untuk meningkatkan curah jantung diperlukan dosis 2,5
– 15 μg/kg/mnt. Pada pasien yang telah mendapat terapi penyekat beta, dosis yang
dibutuhkan lebih tinggi yaitu 15 – 20 μg/kg/mnt.
Page 31
Phospodiesterase inhibitor menghambat penguraian cyclic-AMP menjadi AMP
sehingga terjadi efek vasodilatasi perifer dan inotropik jantung. Yang sering digunakan
dalam klinik adalah milrinone dan enoximone. Biasanya digunakan untuk terapi penderia
gagal jantung akut dengan hipotensi yang telah mendapat terapi penyekat beta yang
memerlukan inotropik positif. Dosis milrinone intravena 25 μg/kg bolus 10 – 20 menit
kemudian infus 0,375 – 075 μg/kg/mnt. Dosis enoximone 0,25 – 0,75 μg/kg bolus
kemudian 1,25 – 7,5 μg/kg/mnt.
Pemberian vasopressor ditujukan pada penderita gagal jantung akut yang disertai
syok kardiogenik dengan tekanan darah < 70 mmHg. Penderita dengan syok kardiogenik
biasanya dengan tekanan darah < 90 mmHg atau terjadi penurunan tekanan darah sistolik
30 mmHg selama 30 menit. Obat yang biasa digunakan adalah epinefrin dan norepinefrin.
Epinefrin diberikan infus kontinyu dengan dosis 0,05 – 0,5 μg/kg/mnt. Norepinefrin
diberikan dengan dosis 0,2 – 1 μg/kg/mnt. Penanganan yang lain adalah terapi penyakit
penyerta yang menyebabkan terjadinya gagal jantung akut de novo atau dekompensasi.
Yang tersering adalah penyakit jantung koroner dan sindrom koroner akut. Bila penderita
datang dengan hipertensi emergensi pengobatan bertujuan untuk menurunkan preload dan
afterload. Tekanan darah diturunkan dengan menggunakan obat seperti lood diuretik
intravena, nitrat atau nitroprusside intravena maupun natagonis kalsium intravena
(nicardipine). Loop diuretik diberkan pada penderita dengan tanda kelebihan cairan.
Terapi nitrat untuk menurunkan preload dan afterload, meningkatkan aliran darah koroner.
Nicardipine diberikan pada penderita dengan disfungsi diastolik dengan afterload tinggi.
Penderita dengan gagal ginjal, diterapi sesuai penyakit dasar. Aritmia jantung harus
diterapi.
Penanganan invasif yang dapat dikerjakan adalah Pompa balon intra aorta,
pemasangan pacu jantung, implantable cardioverter defibrilator, ventricular assist device.
Pompa balon intra aorta ditujukan pada penderita gagal jantung berat atau syok
kardiogenik yang tidak memberikan respon terhadap pengobatan, disertai regurgitasi
mitral atau ruptur septum interventrikel. Pemasangan pacu jantung bertujuan untuk
mempertahankan laju jantung dan mempertahankan sinkronisasi atrium dan ventrikel,
diindikasikan pada penderita dengan bradikardia yang simtomatik dan blok
atrioventrikular derajat tinggi. Implantable cardioverter device bertujuan untuk mengatasi
fibrilasi ventrikel dan takikardia ventrikel. Vascular Assist Device merupakan pompa
mekanis yang mengantikan sebgaian fungsi ventrikel, indikasi pada penderita dengan syok
kardiogenik yang tidak respon terhadap terapi terutama inotropik.
Page 32
2.3.9 Prognosis
2.4 Bronkiektasis
2.4.1. Definisi
Bronkiektasis adalah suatu penyakit yang ditandai dengan adanya dilatasi
(ektasis) bronkus lokal yang bersifat patologis dan berjalan kronik. Kelainan bronkus
tersebut disebabkan oleh perubahan-perubahan dalam dinding bronkus berupa destruksi
elemen-elemen elastis dan otot-otot polos bronkus. Bronkus yang terkena umumnya
adalah bronkus kecil (medium size), sedangkan bronkus besar jarang terkena.
2.4.2. Epidemiologi
Di negeri-negeri barat, kekerapan bronkiektasis diperkirakan sebanyak 1,3 % di
antara populasi. Di Indonesia belum ada laporan tentang angka-angka yang pasti
mengenai penyakit ini. Kenyataannya penyakit ini cukup sering ditemukan di klinik-
klinik dan diderita oleh laki-laki maupun wanita. Penyakit ini dapat diderita mulai sejak
anak-anak, bahkan dapat merupakan kelainan kongenital.
2.4.3. Etiologi
Penyebab bronkiektasis sampai sekarang masih belum diketahui dengan jelas.
Pada kenyataannya kasus-kasus bronkiektasis dapat timbul secara kongenital maupun
didapat.
a. Kelainan Kongenital
Dalam hal ini bronkiektasis terjadi sejak individu masih dalam kandungan. Faktor
genetik atau faktor pertumbuhan dan perkembangan fetus memegang peran penting.
Bronkiektasis yang timbul kongenital ini mempunyai ciri sebagai berikut, pertama,
bronkiektasis mengenai hampir seluruh cabang bronkus pada satu atau kedua paru.
Kedua, bronkiektasis kongenital sering menyertai penyakit-penyakit kongenital
lainnya, misalnya: mukoviskidosis (cystic pulmonary fibrosis), sindrom kartagener
(bronkiektasis kongenital, sinusitis paranasal dan situs inversus), hipo atau
agamaglobulinemia, bronkiektasis pada anak kembar satu telur (anak yang satu
dengan bronkiektasis, ternyata saudara kembarnya juga menderita bronkiektasis),
bronkiektasis sering bersamaan dengan kelainan kongenital berikut: tidak adanya
tulang rawan bronkus, penyakit jantung bawaan, kifoskoliosis kongenital.
b. Bronkiektasis Didapat
Bronkiektasis sering merupakan kelainan didapat dan kebanyakan merupakan
akibat proses berikut:
Infeksi
Page 33
Bronkiektasis sering terjadi sesudah seseorang anak menderita pneumonia yang
sering kambuh dan berlangsung lama. Pneumonia ini umumnya merupakan
komplikasi pertusis maupun influenza yang diderita semasa anak, tuberkulosis
paru, dan sebagainya.
Obstruksi bronkus
Obstruksi bronkus yang dimaksudkan disini dapat disebabkan oleh berbagai
macam sebab: korpus alineum, karsinoma bronkus atau tekanan dari luar lainnya
terhadap bronkus.Menurut penelitian para ahli diketahui bahwa adanya infeksi
ataupun obstruksi bronkus tidak selalu secara nyata menimbulkan bronkiektasis.
Oleh karenanya diduga mungkin masih ada faktor intrinsik ikut berperan terhadap
timbulnya bronkiektasis.
2.4.4. Patologi
Terdapat berbagai variasi bronkiektasis, baik mengenai jumlah atau luasnya
bronkus yang terkena maupun beratnya penyakit.
a. Tempat predisposisi bronkiektasis
Dapat mengenai bronkus pada satu segmen paru, bahkan dapat secara difus
mengeai kedua paru. Bagian paru yang sering terkena dan merupakan tempat
predisposisi bronkiektasis adalah lobus tengah paru kanan, bagian lingual paru kiri
lobus atas, segmen basal pada lobus bawah kedua paru.
b. Bronkus yang terkena
Umumnya adalah bronkus ukuran sedang, sedangkan bronkus yang besar jarang
terkena. Bronkus yang terkena dapat hanya pada satu segmen paru saja maupun
difus.
c. Perubahan morfologi bronkus yang terkena
Dinding bronkus
Dapat mengalami perubahan berupa proses inflamasi yang sifatnya destruktif
dan ireversibel. Pada pemeriksaan patologi anatomi sering ditemukan berbagai
tingkatan keaktifan proses inflamasi serta terdapat proses fibrosis. Jaringan bronkus
yang mengalami kerusakan selain otot-otot polos bronkus juga elemen-elemen
elastis.
Mukosa bronkus
Permukaannya menjadi abnormal, silia pada sel epitel menghilang, terjadi
perubahan metaplasia skuamosa dan terjadi sebukan hebat sel-sel inflamasi. Apabila
Page 34
terjadi eksaserbasi infeksi akut, pada mukosa akan terjadi pengelupasan, ulserasi dan
pernanahan
Jaringan paru peribronkial
Dapat ditemukan kelainan antara lain berupa pneumonia, fibrosis paru atau
pleuritis apabila prosesnya dekat pleura. Pada keadaan yang berat, jaringan paru
distal bronkiektasis akan diganti oleh jaringan fibrotik dengan kista-kista berisi
nanah.
d. Variasi kelainan anatomis bronkiektasis
Telah dikenal ada 3 variasi bentuk kelainan anatomis bronkiektasis, yaitu:
Bentuk tabung (tubular, cilindrical, fusiform bronchiectasis). Merupakan
bronkiektasis yang paling ingan. Bentuk ini sering ditemukan pada
bronkiektasis yang menyertai bronkitis kronis.
Bentuk kantong (saccular bronchiectasis). Merupakan bentuk bronkiektasis
yang klasik, ditandai dengan adanya dilatasi dan penyempitan bronkus yang
bersifat ireguler, Bentuk ini kadang-kadang berbentuk kista (cystic
bronkiektasis).
Varicose bronchiectasis. Merupakan bentuk antara bentuk tabung dan kantong.
Istilah ini digunakan karena perubahan bentuk bronkus menyerupai varises
pembuluh vena.
2.4.5. Patogenesis
Tergantung penyebabnya. Apabila bronkiektasis timbul kongenital,
patogenesisnya tidak diketahui, diduga erat hubungannya dengan genetik serta faktor
pertumbuhan dan perkembangan fetus dalam kandungan. Pada bronkiektasis yang
didapat, patogenesisnya diduga melalui beberapa mekanisme. Ada beberapa faktor yang
diduga ikut berperan, antara lain: (1) obstruksi bronkus, (2) infeksi pada bronkus atau
paru, (3) adanya beberapa penyakit tertentu seperti fibrosis paru, asthmatic pulmonary
eosinophilia dan (4) faktor intrinsik dalam bronkus atau paru.
Patogenesis pada kebanyakan bronkiektasis yang didapat, diduga melalui dua
mekanisme dasar. Permulaannya didahului adanya infeksi bakterial. Mula-mula karena
adanya infeksi pada bronkus atau paru, kemudian timbul bronkiektasis. Mekanisme
kejadiannya sangat rumit. Secara ringkas dapat dikatakan bahwa infeksi pada bronkus
atau paru, akan diikuti proses destruksi dinding bronkus daerah infeksi dan kemudian
timbul bronkiektasis.
Page 35
Permulaannya didahului adanya obstruksi bronkus. Adanya obstruksi bronkus
oleh beberapa penyebab (misalnya tuberkulosis kelenjar limfe pada anak, karsinoma
bronkus, korpus alineum dalam bronkus) akan diikuti terbentuknya bronkiektasis. Pada
bagian distal obstruksi biasanya akan terjadi infeksi dan destruksi bronkus, kemudian
terjadi bronkiektasis.
Pada bronkiektasis didapat, pada keadaan yang amat jarang, dapat terjadi atau
timbul sesudah masuknya bahan kimia korosif (biasanya bahan hidrokarbon) ke dalam
saluran nafas dan karena terjadinya aspirasi berulang bahan/cairan lambung ke dalam
paru. Seperti diketahui, bronkiektasis merupakan penyakit paru yang mengenai bronkus
dan sifatnya kronik. Keluhan-keluhan yang timbul berlangsung kronik dan menetap.
Keluhan-keluhan yang timbul berhubungan erat dengan: (1) luas atau banyaknya
bronkus yang terkena, (2) tingkatan beratnya penyakit, (3) lokasi bronkus yang terkena
dan (4) ada atau tidak adanya komplikasi lanjut.Pada bronkiektasis, keluhan-keluhan
timbul umumnya sebagai akibat adanya beberapa hal berikut: (1) adanya kerusakan
dinding bronkus, (2) adanya kerusakan fungsi bronkus dan (3) adanya akibat lanjut
bronkiektasis atau komplikasi dan sebagainya. Kerusakan dinding bronkus dapat berupa
dilatasi dinding bronkus, kerusakan elemen elastis dan otot-otot polos bronkus, kerusakan
mukosa dan silia. Kerusakan tersebut akan menimbulkan stasis sputum, gangguan
ekspektorasi, gangguan reflek batuk dan sesak nafas.
Mengenai infeksi dan hubungannya dengan patogenesis bronkiektasis, dapat
dijelaskan sebagai berikut:
a. Infeksi pertama (primer)
Kecuali pada bentuk bronkiektasis kongenital, tiap bronkiektasis kejadiannya
didahului infeksi bronkus (bronchitis) maupun jaringan paru (pneumonia). Masih
menjadi pertanyaan, apakah infeksi yang mendahului terjadinya bronkiektasis tersebut
Page 36
disebabkan oleh bakteri atau virus. Menurut hasil penelitian para ahli terdahulu
ditemukan bahwa infeksi yang mendahului bronkiektasis adalah infeksi bakterial,
yaitu mikroorganisme penyebab pneumonia atau bronkitis yang mendahuluinya.
Dikatakan bahwa hanya infeksi bakteri saja yang dapat menyebabkan kerusakan pada
dinding bronkus sehingga terjadi bronkiektasis, sedangkan infeksi virus tidak dapat.
Boleh jadi bahwa pneumonia atau bronkitis yang mendahului bronkiektasis tadi
didahului oleh infeksi virus (misalnya adenovirus tipe 21, virus influenza, campak dan
sebagainya).
b. Infeksi sekunder
Tiap pasien bronkiektasis tidak selalu disertai infeksi sekunder pada lesi (daerah
bronkiektasis). Secara praktis apabila sputum pasien bronkiektasis bersifat mukoid
dan putih jernih, menandakan tidak atau belum ada infeksi sekunder. Sebaliknya
apabila sputum pasien yang semula berwarna putih jernih kemudian berubah
warnanya menjadi kuning atau kehijauan atau berbau busuk berarti telah terjadi
infeksi sekunder. Untuk menentukan jenis kumannya bisa dilakukan pemeriksaan
mikrobiologis. Sputum berbau busuk menandakan adanya infeksi sekunder oleh
kuman anaerob. Contoh kuman anaerob ini: Fusiformis fusiformis, treponema
vincenti, anaerobic streptococci, dan sebagainya. Kuman-kuman aerob yang sering
ditemukan dan menginfeksi bronkiektasis misalnya: Streptokokus pneumonia,
hemopilis influenza, klebsiela ozeona, dan sebagainya.
Sesudah seseorang menderita bronkiektasis, perjalanan klinis penyakit
selanjutnya tergantung pada luasnya penyakit, efektivitas drainase sputum dan efektivitas
pengobatan infeksi. Kalau penyakitnya luas atau pengobatannya tidak memuaskan, dapat
timbul beberapa komplikasi lanjut yang tidak menyenangkan. Apabila penyakit ini
berlanjut terus, keadaan umum pasien dapat menjadi sangat menurun. Sebagai akibat daya
tahan tubuh yang menurun mudah timbul infeksi berulang, nafsu makan berkurang
menimbulkan malnutrisi dan sebagainya. Dalam keadaan yang sangat jarang, pada pasien
dapat timbul perubahan degeneratif yaitu terjadi amiloidosis.
2.4.6. Gambaran Klinis
Gejala dan tanda klinis yang timbul pada pasien bronkiektasis tergantung pada
luas dan beratnya penyakit, lokasi kelainannya dan ada atau tidak adanya komplikasi
lanjut. Ciri khas penyakit ini adalah adanya batuk kronik disertai produksi sputum,
adanya hemoptisis dan pneumonia berulang. Gejala dan tanda klinis tersebut dapat
demikian hebat pada penyakit yang berat, dan dapat tidak nyata atau tanpa gejala pada
Page 37
penyakit yang ringan.Bronkiektasis yang mengenai bronkus pada lobus atas sering dan
memberikan gejala:
a. Batuk
Batuk pada bronkiektasis mempunyai ciri antara lain batuk produktif berlangsung
kronik dan frekuensi mirip seperti pada bronkitis kronik, jumlah sputum bervariasi,
umumnya jumlahnya banyak terutama pada pagi hari sesudah ada perubahan posisi
tidur atau bangun. Kalau tidak ada infeksi sekunder sputumnya mukoid, sedang apabila
terjadi infeksi sekunder sputumnya purulen, dapat memberikan bau mulut yang tidak
sedap. Apabila terjadi infeksi sekunder oleh kuman anaerob akan menimbulkan sputum
sangat berbau busuk. Pada kasus yang ringan, pasien dapat tanpa batuk atau hanya
timbul batuk apabila ada infeksi sekunder. Pada kasus yang sudah berat, misalnya pada
sakular type brokiektasis, sputum jumlahnya banyak sekali, purulen dan apabila
ditampung beberapa lama, tampak terpisah jadi tiga lapisan: (a) Lapisan teratas agak
keruh terdiri atas mukus, (b) Lapisan tengah jernih terdiri atas saliva dan (c) Lapisan
terbawah keruh terdiri atas nanah dan jaringan nekrosis dari bronkus yang rusak.
b. Hemoptisis
Hemoptisis atau hemoptoe terjadi kira-kira pada 50% kasus bronkiektasis. Keluhan
ini terjadi akibat nekrosis atau destruksi mukosa bronkus mengenai pembuluh darah
dan timbul perdarahan. Perdarahan yang terjadi bervariasi mulai yang paling ringan
sampai perdarahan yang cukup banyak apabila nekrosis yang mengenai mukosa amat
hebat atau terjadi nekrosis yang mengenai cabang arteri bronkialis (darah berasal dari
peredaran darah sistemik). Pada bronkiektasis kering, hemoptisis justru merupakan
gejala satu-satunya, karena jenis ini letaknya di lobus atas paru, drainasenya baik,
sputum tidak pernah menumpuk dan kurang menimbulkan reflek batuk. Pasien tanpa
batuk atau batuknya minimal. Dapat diambil pelajaran, bahwa apabila kita menemukan
kasus hemoptisis hebat tanpa adanya gejala-gejala batuk sebelumnya atau tanpa
kelainan fisis yang jelas hendaknya diingat dry bronciektasis ini. Hemoptisis pada
bronkiektasis walaupun kadang-kadang hebat jarang fatal.
2.4.7. Diagnosis
a. Kelainan Fisik
Pasien mengalami batuk-batuk dengan pengeluaran sputum, sesak napas, demam
atau sedang batuk darah. Tanda-tanda fisis umum yang dapat ditemukan meliputi
sianosis, ajri tabuh, manifestasi klinis komplikasi bronkiektasis. Ditemukan ronki
Page 38
basah yang jelas pada lobus bawh paru yang terkena.(Pasiyan Rahmatullah.
Bronkiektasis dalam Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III edisiV .2009)
b. Kelainan Laboratorium
Kelainan laboratorium umumnya tidak khas, bila penyakitnya ringan gambaran
darahnya normal. Pada keadaan lanjut dan sudah ada insufisiensi paru dapat ditemukan
polisitemia sekunder. Sering ditemukan anemia yang menunjukkan adanya infeksi
kronik. Urin umumnya normal, kecuali bila ada komplikasi amiloidosis akan ditemukan
proteinuria. Pemeriksaan sputum perlu dilakukan untuk menentukan kuman apa yang
terdapat dalam sputum.
c. Kelainan Radiologis
Gambaran foto dada pasien bronkiektasis sangat bervariasi, tergantung berat
ringannya kelainan serta letak kelainannya. Gambaran radiologik khas untuk
bronkiektasis biasanya menunjukkan kista-kista kecil dengan fluid level, mirip seperti
gambaran sarang tawon (honey comb appearance) pada daerah yang terkena. Kadang-
kadang gambaran radiologis paru pada bronkiektasis menunjukkan adanya bercak-
bercak pneumonia, fibrosis atau atelektasis, bahkan kadang-kadang gambaran seperti
pada paru normal.
Radiologi paru menunjukkan peningkatan area suprahilus, bronkovascular, area
honeycomb atau area cystic dengan atau tanpa fluid level.
2.4.8. Komplikasi
1. Bronkitis kronik
2. Pneumonia
3. Pleuritis
4. Efusi pleura
5. Hemoptisis
Page 39
6. Kor pulmonal kronik (KPK)
7. Amiloidosis
2.4.9. Tatalaksana
a. Pengobatan Konservatif
- Melakukan drainase postural. Pasien diletakkan dengan posisi tubuh
sedemikian rupa sehingga dapat dicapai drainase sputum secara maksimal, tiap
kali dikerjakan selama 10-20 menit dan tiap hari dikerjakan 2-4 kali. Prinsip
drainase adalah usaha mengeluarkan sputum dengan bantuan gaya gravitasi.
- Mencairkan sputum yang kental, dapat dialkukan dengan jalan misalnya:
inhalasi uap air panas atau dingin, menggunakan obat-obatan mukolitik dan
perbaikan hidrasi tubuh.
- Mengatur posisi tempat tidur pasien sedemikian upa sehingga posisi tidur
pasien dapat memudahkan drainase sekret bronkus. Misalnya dengan
mengganjal kaki tempat tidur bagian kaki pasien.
- Mengontrol infeksi saluan napas dengan antibiotik yang sesuai.
b. Pengelolaan Khusus
- Drainase sekret degan brnkoskop
- Pengobatan demam pada psien yang mengalami eksaserbasi infeksi akut.
- Pengobatan hipoksia dengan pemberian oksigen.
BAB III
PENYAJIAN KASUS
ANAMNESIS
Nama : Ny. NA
Jenis Kelamin : Perempuan
Umur : 23 tahun, 8 bulan
Agama : Islam
Alamat : Gang Parwasal 7 no.26 Siantan, Pontianak
Pekerjaan : IRT
Tanggal Masuk RS : 1 Mei 2011
Anamnesis dilakukan pada tanggal 5 Mei 2011 pukul 14.15 WIB
Page 40
Keluhan Utama: Sesak napas
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien mengeluh sesak napas sejak 1 minggu yang lalu, hilang timbul. Pada saat sesak
napas, pasien mengeluhkan lehernya terasa seperti tercekik dan napas menjadi lebih pendek.
Sesak napas yang dirasakan diakui telah dirasakan sejak pasien berumur 2 tahun, namun
keluhan sesak yang sekarang dirasakan lebih berat. Menurut pengakuan pasien, sesak sudah
dirasakan saat pasien berbaring, sehingga sehari-harinya pasien tidak bisa melakukan
aktivitas seperti biasa, melainkan hanya berbaring saja. Pasien harus berbaring dengan
menggunakan 3 buah bantal agar mengurangi sesak, dan saat malam hari pasien sering
terbangun dari tidur akibat sesak napas. Pasien juga mengaku beberapa hari yang lalu kedua
kaki dan perut bengkak, keluhan tersebut diakui baru terjadi sekali saja. Bengkak-bengkak
tersebut hilang setelah pasien mengkonsumsi obat minum yang membuatnya sering buang air
kecil. Pasien juga mengeluh batuk berdahak sejak 1 bulan yang lalu, dahak yang keluar kental
dan berwarna hijau, sebelumnya dahak yang keluar berwarna kuning kental. Batuk paling
kuat dirasakan pada pagi hari. Keringat malam tidak ada dikeluhkan. Satu hari yang lalu
pasien juga mengalami demam tinggi tanpa disertai menggigil. Demam hilang setelah
mengkonsumsi obat. Pasien sebelumnya pernah mendapatkan pengobatan untuk sesak
napasnya dari dokter umum berupa obat minum.
Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien juga pernah mengkonsumsi obat dari puskesmas yang harus diminum selama
6 bulan saat pasien berusia 14 tahun. Pengobatan tersebut diakui telah tuntas dijalani selama
6 bulan.
Riwayat Penyakit Keluarga
Di keluarga, kakek pasien juga mengalami keluhan sesak napas.
Riwayat Kebiasaan
Pasien mengaku mudah merasa lelah. Sejak kecil tidak bisa melakukan aktivitas berat.
Sehari-hari makan 2 kali sehari, dengan lauk dan sayuran.
Riwayat Sosial Ekonomi
Pasien merupakan peserta JAMSKESMAS, suami pasien bekerja sebagai buruh bangunan
Page 41
PEMERIKSAAN FISIK
Dilakukan pada tanggal 5 dan 7 mei pukul 14.30 dan 10.00 WIB
Status Generalis
Keadaan umum : sedang, tampak sedikit sesak
Kesadaran : kompos mentis (GCS 4,5,6)
Tanda Vital
Nadi : 104x/menit irama ireguler, isi lemah
Tekanan darah : 90/70 mmHg
Napas : 28x menit dengan irama dan jenis pernapasan torako abdominal
Suhu : 36,5 ºC
Kulit : ikterik (-), eritem (-), sianosis (+)
Kepala : bentuk tidak ada kelainan, simetris dan tidak ada nyeri tekan
Mata : konjunngtiva anemis (+/+), sclera ikterik (-/-)
Telinga : secret (-/-), nyeri tekan tragus (-/-)
Hidung : secret (-/-), deformitas (-)
Mulut : bibir sianosis (-), lidah kotor (-)
Leher : pembesaran limfanodi (-), deviasi trakea (-), JVP ( 5+4cm H2O)
Torak : bentuk normal, rasio AP: laterolateral = 2:1
Paru
Inspeksi :
Statis : bentuk normal, pada kulit tidak terdapat kelainan kulit, sikatriks dan massa
Dinamis : pengembangan dada kiri dan kanan simetris, irama pernapasan teratur
Palpasi : fremitus taktil meningkat, nyeri tekan (-)
Perkusi :
Lapang paru atas : sonor
Lapang paru tengah : sonor
Lapang paru bawah : sonor
Batas paru-hepar sela iga 7 linea midklavikula sinistra, batas paru-lambung sela iga
8 linea axillaris anterior
Auskultasi : suara napas dasar : vesikuler, wheezing (+/+), ronki (+/+)
Page 42
Abdomen
Inspeksi : bentuk dan ukuran normal, venektasi (-)
Palpasi : nyeri tekan (-)
Hepar tak teraba, nyeri tekan kuadran kanan atas (-)
Lien tak teraba, nyeri tekan (-)
Perkusi : timpani pada 4 regio abdomen
Auskultasi : bising usus 8x/menit
Ekstremitas
Atas : oedema (-/-), sianosis (+), jari tabuh (+), akral dingin (-), pengisian kapiler 3
detik
Bawah : oedema (-/-), sianosis (+), jari tubuh (+), akral dingin (-), pengisian kapiler 3
detik
Status Lokalis
Jantung
Inspeksi : pulsasi iktus kordis tampak di sela iga 5 linea midklavikularis sinistra
Palpasi : diameter iktus kordis 3 jari
Kuat angkat (+), trill (+), melebar (-)
Perkusi : batas jantung
Atas : sela iga 2 linea strenalis sinistra
Kanan : sela iga 5 linea sternalis dextra
Kiri : sela iga 5 linea midklavikularis sinistra
Pinggang : sela iga 3 linea parasternal sinistra
Auskultasi : S1, S2 ireguler
S3 (+) di apeks, S4 (-), murmur (+) menjalar ke axilla sinistra
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Laboratorium (tanggal 1 Mei 2011)
Hb : 11,3 g/dl
Leu : 9100
Trombosit: 262000
Ht : 35,4%
EKG (hasil pemeriksaan tanggal (9 Mei 2011)
Page 43
Frekuensi 125x/mnt
Irama sinus
Aksis jantung deviasi ke kanan 35º
Interval PR 0,08 detik (2 kotak kecil)
Kompleks QRS lebarnya 0,08 detik (2 kotak kecil)
Gelombang P tinggi (3kotak kecil = 3mm) dan lancip di sadapan II, III dan avF, di sadapan
V1 terdapat defleksi P awal dengan dalam 1,5mm lebar 0,04 detik (1 kotak kecil)
Segmen ST normal
Interval QT 0,16 detik (4 kotak kecil)
Gelombang T normal
Q patologis (-)
Interpretasi :
Irama sinus takikardi, frekuensi 125x/mnt dengan abnormalitas atrium kanan
Pemeriksaan Radiologi
Foto thorax AP : Cardiomegali, multipel cystic di kanan dan infiltrat supra hilus kiri
CTR > 50%
Kesan : bronchiectasis dengan suspect infeksi TB + cardiomegali
Pemeriksaan Ekokardiografi (9 Mei 2011)
1.Katup-katup:
- Aorta dan mitral normal
- Tricuspid regurgitasi berat (P = 59 mmHg)
- Pulmonal regurgitasi ringan
2.Dimensi Left Atrium normal
Dimensi Right Atrium dilatasi
Dimensi Riht Ventricle dilatasi
3.VSD (-)
4.Dimensi Left Ventricle normal, normokinetik
5.EF = 92%
Kesimpulan : Cor Pulmonale Chronic Decompensata dengan Hipertensi Pulmonal Ringan
ASD (-)
Page 44
RESUME
Seorang wanita, 23 tahun, datang ke RSUD dr Soedarso dengan keluhan sesak napas
sejak 1 minggu yang lalu, hilang timbul. Sesak napas yang dirasakan diakui telah dirasakan
sejak pasien berumur 2 tahun, namun keluhan sesak yang dirasakan sekarang lebih berat.
Sesak dirasakan saat beristirahat. Timbulnya sesak tidak dipicu oleh cuaca, makanan dan
emosi. Pasien harus berbaring dengan menggunakan 3 buah bantal dan saat malam hari
pasien sering terbangun dari tidur akibat sesak napas. Nyeri dada (-), palpitasi (-). Beberapa
hari yang lalu kedua kaki dan perut bengkak, hilang setelah pasien mengkonsumsi obat
minum yang membuatnya sering buang air kecil. Pasien juga mengeluh batuk berdahak seak
1 bulan yang lalu, dahak yang keluar berwarna hijau, sebelumnya dahak yang kelaur
berwarna kuning kental. Demam (+), menggigil (-). Riwayat konsumsi OAT (+), riwayat
pengobatan (+).
Pada pemeriksaan fisik didapatkan konjugtiva yang anemis pada pemeriksaan umum,
takikardi, takipnea, sianosis (+), clubbing finger (+) dan JVP yang meningkat. Dari
pemeriksaan paru didapatkan wheezing dan rhonki pada kedusa lapang paru. Pemeriksaan
abdomen dalam batas normal, hepar-lien tidak teraba, ascites (-). Pemeriksaan jantung
didapatkan pulsasi iktus kordis tampak di sela iga 5 linea midklavikularis sinistra, diameter
iktus kordis 3 jari, batas jantung kanan bergeser ke bawah, S1 S2 ireguler, S3 di apeks,
murmur sistolik menjalar ke axilla sinistra. Pemeriksaan EKG menunjukkan abnormalitas
atrium kanan, foto thorax menunjukkan bronkiektasis dengan kecurigaan infeksi TB serta
kardiomegali. Dari pemeriksaan ekokardiografi diperoleh hasil regurgitasi katup trikuspid
dan pulmonal serta dilatasi atrium dan ventrikel kanan.
DIAGNOSIS
Diagnosis klinis : Kor Pulmonal Kronik Dekompensata Bronkiektasis
Diagnosis anatomi : Dilatasi Atrium dan Ventrikel Kanan
Diagnosis etiologi : Infeksi paru
TATALAKSANA
Non Medikamentosa:
Terapi cairan : IVFD RL 20 tpm
Page 45
Oksigen 2-4 l/mnt
Terapi nutrisi : diet tinggi kalori dan protein
Tirah baring
Medikamentosa:
Digoxin oral tablet 0,25 mg 1 x 1 tab/hari
Ceftriaxon iv 1 x 1-2 gram/hari
Ambroxol syrup 15mg/5ml, 3 x 1 sendok takar (10 ml)
Usulan pemeriksaan Lanjutan
Pemeriksaan Sputum dengan pewarnaan gram dan Ziehl-nielsen
Pemerriksaan darah lengkap
Ekokardiografi
PROGNOSIS
Ad vitam : dubia ad malam
Ad functionam : dubia ad malam
Ad sanactionam : dubia ad malam
BAB IV
PEMBAHASAN
BAB V
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA