Top Banner
BAB I PENDAHULUAN Kor pulmonal "Pulmonary Heart Disease" adalah hipertrofi atau dilatasi ventrikel kanan akibat hipertensi pulmonal yang disebabkan penyakit parenkim paru dan atau pembuluh darah paru yang tidak berhubungan dengan kelainan jantung kiri. Istilah hipertrofi yang bermakna patologis menurut Weetzenblum sebaiknya diganti menjadi perubahan struktur dan fungsi ventrikel kanan. Untuk menetapkan kor pulmonal secara klinis pada pasien gagal napas diperlukan tanda pada pemeriksaan fisik yakni edema. Hipertensi pulmonal “sine qua non” dengan kor pulmonal maka definisi kor pulmonal yang terbaik adalah hipertensi pulmonal yang disebabkan penyakit yang mengenai struktur dan atau pembuluh darah paru; hipertensi pulmonal menghasilkan pembesaran ventrikel kanan (hipertrofi dan atau dilatasi) dan berlanjut dengan berjalannya waktu menjadi gagal jantung kanan. Penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) merupakan penyebab utama insufisiensi respirasi kronik dan kor pulmonal, diperkirakan 8-90% kasus. (Harun Sjaharuddin dan Ika Prasetya Wijaya. Kor Pulmonal Kronik dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi V Jilid II. Jakarta: Interna Publishing. 2009) Kor pulmonal akut adalah peregangan atau pembebanan akibat hipertensi pulmonal akut, sering disebabkan oleh emboli paru masif, sedangkan kor pulmonal kronis adalah hipertrofi dan dilatasi ventrikel kanan akibat hipertensi pulmonal yang berhubungan dengan penyakit paru obstruktif atau restriktif.
71

Lapkas Jantung Kor Pulmonal Ht Pulmonal RHF

Aug 05, 2015

Download

Documents

Yeni Anggraini
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Lapkas Jantung Kor Pulmonal Ht Pulmonal RHF

BAB I

PENDAHULUAN

Kor pulmonal "Pulmonary Heart Disease" adalah hipertrofi atau dilatasi ventrikel

kanan akibat hipertensi pulmonal yang disebabkan penyakit parenkim paru dan atau

pembuluh darah paru yang tidak berhubungan dengan kelainan jantung kiri. Istilah hipertrofi

yang bermakna patologis menurut Weetzenblum sebaiknya diganti menjadi perubahan

struktur dan fungsi ventrikel kanan. Untuk menetapkan kor pulmonal secara klinis pada

pasien gagal napas diperlukan tanda pada pemeriksaan fisik yakni edema. Hipertensi

pulmonal “sine qua non” dengan kor pulmonal maka definisi kor pulmonal yang terbaik

adalah hipertensi pulmonal yang disebabkan penyakit yang mengenai struktur dan atau

pembuluh darah paru; hipertensi pulmonal menghasilkan pembesaran ventrikel kanan

(hipertrofi dan atau dilatasi) dan berlanjut dengan berjalannya waktu menjadi gagal jantung

kanan. Penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) merupakan penyebab utama insufisiensi

respirasi kronik dan kor pulmonal, diperkirakan 8-90% kasus. (Harun Sjaharuddin dan Ika

Prasetya Wijaya. Kor Pulmonal Kronik dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi V Jilid

II. Jakarta: Interna Publishing. 2009)

Kor pulmonal akut adalah peregangan atau pembebanan akibat hipertensi pulmonal

akut, sering disebabkan oleh emboli paru masif, sedangkan kor pulmonal kronis adalah

hipertrofi dan dilatasi ventrikel kanan akibat hipertensi pulmonal yang berhubungan dengan

penyakit paru obstruktif atau restriktif. Pada PPOK, progresivitas hipertensi pulmonal

berlangsung lambat.

Penyakit cor pulmonale merupakan penyakit paru dengan hipertrofi dan atau dilatasi

ventrikel kanan akibat gangguan fungsi dan atau struktur paru (setelah menyingkirkan

penyakit jantung kongenital atau penyakit jantung lain yang primernya pada jantung kiri).

Cor pulmonale dapat terjadi secara akut maupun kronik penyebab akut tersering adalah

emboli paru masif dan biasanya terjadi dilatasi ventrikel kanan. Penyebab kronik tersering

adalah penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) dan biasanya terjadi hipertrofi ventrikel

kanan.

Insidens diperkirakan 6-7% dari semua penyakit jantung pada orang dewasa disebabkan

oleh PPOK. Umumnya pada daerah dengan polusi udara yang tinggi dan kebiasaan merokok

yang tinggi dengan prevalensi bronchitis kronik dan emfisema didapatkan peningkatan

kekerapan cor pulmonale. Lebih banyak disebabkan exposure daripada predisposisi dan pria

lebih sering terkena daripada wanita.

Page 2: Lapkas Jantung Kor Pulmonal Ht Pulmonal RHF

Hipertensi pulmonal adalah suatu penyakit yang jarang didapat namun progresif oleh

karena peningkatan resistensi vaskuler pulmonal yang menyebabkan menurunnya fungsi

ventrikel kanan oleh karena peningkatan afterload ventrikel kanan. Hipertensi pulmonal

primer adalah penyakit langka yang tidak diketahui etiologi, sedangkan hipertensi pulmonal

sekunder adalah komplikasi dari berbagai penyakit paru, jantung dan kondisi extrathoracic.

Penyakit paru obstruktif kronik, disfungsi ventrikel kiri dan gangguan yang terkait dengan

hypoxemia sering mengakibatkan hipertensi pulmonal.(munawar, rizka. Hipertensi pulmonal.

2009. Bagian ilmu penyakit paru FKUniversitas Syiah Kuala. Banda Aceh)

Terlepas dari etiologi, hipertensi pulmonal tak henti-hentinya dapat mengarah pada sisi

kanan gagal jantung. Tanda dan gejala hipertensi pulmonal seringkali halus dan spesifik.

Diagnosis harus dicurigai pada pasien dengan peningkatan dyspnea saat aktivitas dan

diketahui penyebab hipertensi paru. Dua-dimensi dengan Doppler echocardiography studi

aliran adalah modalitas pencitraan paling berguna pada pasien dengan hipertensi pulmonal

diduga. Jika hipertensi pulmonal hadir, evaluasi lebih lanjut termasuk penilaian oksigenasi,

pengujian fungsi paru, resolusi tinggi Pengobatan dengan infus intravena yang terus-menerus

dari prostasiklin memperbaiki kapasitas latihan, kualitas hidup, hemodynamics dan

kelangsungan hidup jangka panjang pada pasien dengan hipertensi paru primer. Manajemen

hipertensi pulmonal sekunder termasuk koreksi penyebab yang mendasarinya dan

pembalikan hypoxemia. Transplantasi paruparu tetap dipilih salah satu pilihan untuk pasien

dengan hipertensi pulmonal yang tidak merespon manajemen medis.

Hipertensi pulmonal primer sering didapatkan pada usia muda dan usia pertengahan,

lebih sering didapatkan pada perempuan dengan perbandingan 2:1, angka kejadian pertahun

sekitar 2-3 kasus per 1 juta penduduk, dengan mean survival dari awitan penyakit sampai

timbulnya gejala sekitar 2-3 tahun. Kriteria diagnosis untuk hipertensi pulmonal merujuk

pada National Institute of Health; bila tekanan sistolik arteri pulmonalis lebih dari 35 mmHg

atau “mean” tekanan arteri pulmonalis lebih dari 25 mmHg pada saat istirahat atau lebih 30

mmHg pada aktifitas dan tidak didapatkan adanya kelainan valvular pada jantung kiri,

penyakit myokardium, penyakit jantung kongenital dan tidak adanya kelainan paru.

Hipertensi pulmonal (Pulmonary hypertension) atau selanjutnya disebut hipertensi

paru, angka kejadian pada perempuan dua setengah kali lipat dibanding laki-laki. Pada kasus

hipertensi paru primer, penyakit ini diturunkan, atau terkait faktor genetik. Meski diakui,

meluasnya penyakit hipertensi paru saat ini kurang diketahui, namun diperkirakan sekitar 1-2

juta orang per tahun terdiagnosis menderita penyakit ini. Bahkan, angka yang sebenarnya

Page 3: Lapkas Jantung Kor Pulmonal Ht Pulmonal RHF

diprediksi lebih tinggi mengingat diagnosis penyakit ini masih minim. Di Indonesia dan

kawasan Asia Pasifik, hipertensi paru kurang terdiagnosis dan kurang pengobatan antara lain

faktor kurangnya kesadaran mengenai penyakit ini. Mereka yang menderita hipertensi paru

kebanyakan tidak terobati.

Kendala lain adalah banyak gejala yang dikaitkan dengan hipertensi paru ternyata tidak

spesifik mengarah pada hipertensi paru, sehingga tak heran diagnosis penyakit ini kian sulit

saja. Jika hipertensi paru dibiarkan tak diobati, harapan hidup penderita primer (hipertensi

paru yang tak diketahui penyebabnya) hanya kurang dari tiga tahun. Namun seiring kemajuan

teknologi, kini terapi hipertensi paru menggunakan pengobatan inhalasi dan diklaim sebagai

satu-satunya yang selektif bekerja ke paru-paru (bekerja lokal) yang bermanfaat

meningkatkan harapan hidup serta menghilangkan gejala serta efek samping terbatas.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kor Pulmonal

2.1.1. Definisi

Kor pulmonal adalah pembesaran ventrikel kanan sekunder terhadap penyakit paru,

toraks atau sirkulasi paru. Kadang-kadang disertai dengan gagal ventrikel kanan.

(Sulistyawati, Indah. Cor Pulmonale. FK Universitas Trisakti. 2004) Kor Pulmonal

merupakan hipertrofi dan dilatasi ventrikel kanan akibat hipertensi pulmonal yang

disebabkan penyakit parenkim paru dan atau pembuluh darah paru yang tidak

berhubungan dengan kelainan jantung kiri, atau dikenal juga dengan perubahan struktur

dan fungsi ventrikel kanan. Tipe kor pulmonal disebut akut jika dilatasi belahan jantung

kanan setelah embolisasi akut paru. (Tudas, Lita. Kor Pulmonal. Diakses dari

http://www.isjd.pdii.lipi.go.id/4481367_lita_tudas_kmb.pdf), tipe kronis ditentukan

lamanya gangguan pulmoner yang membawa ke pembesaran jantung. Berapa lama dan

sampai tahap apa jantung tetap membesar akan bergantung pada fluktuasi-fluktuasi pada

ketinggian tekanan arterial pulmoner. (Sulistyawati, Indah. Cor Pulmonale. FK

Universitas Trisakti. 2004)

Korpulmonale ialah perobahan struktur dan atau fungsi dari bilik kanan jantung

alcibat penyakit yang mengenai struktur atau fungsi paru atau pembuluh darahnya, tidak

termasuk penyakit pan' yang disebabkan karena kelainan jantung kiri atau penyakit

Page 4: Lapkas Jantung Kor Pulmonal Ht Pulmonal RHF

jantung kongenital. Sesuai dengan pembatasan diatas maka untuk membuat diagnose

korpulmonale tidak perlu adanya kegagalan jantung kanan sebagai mana anggapan

dimasa yang lalu ataupun hipertropi bilik kanan jantung sesuatu hal yang sukar

ditentukan secara klinis. Adanya pembesaran jantung karena dilatasi bilik kanan jantung

akibat hipertensi pulmonalis sudah mencukupi.

Menurut Braunwahl (1980), Kor Pulmonal Kronik adalah : Keadaan patologis

akibat hipertrofi / dilatasi ventrikel kanan yang disebabkan oleh hipertensi pulmonal.

Penyebabnya antara lain: penyakit parenkim paru, kelainan vaskuler paru dan gangguan

fungsi paru karena kelainan thoraks. Tidak termasuk kelainan vaskuler paru yang

disebabkan kelainan ventrikel kiri, vitium cordis, penyakit jantung bawaan, penyakit

jantung iskemik dan infark miokard akut. PPOK merupakan penyebab utama insufisiensi

respirasi kronik dan kor pulmonal diperkirakan 80-90% penyebabnya adalah PPOK.

2.1.2. Epidemiologi

2.1.3. Etiologi

Penyebab penyakit cor pulmonale antara lain :

a. Penyakit paru menahun dengan hipoksia

- penyakit paru obstruktif kronik

- fibrosis paru

- penyakit fibrokistik

- cyrptogenik fibrosing alveolitis

- penyakit paru lain yang berhubungan dengan hipoksia

b. Kelainan dinding dada

- Kifoskoliosis, torakoplasti, fibrosis pleura

- Penyakit neuro muskuler

c. Gangguan mekanisme kontrol pernafasan

- Obesitas, hipoventilasi idiopatik

- Penyakit serebrovaskular

d. Obstruksi saluran nafas atas pada anak

- hipertrofi tonsil dan adenoid

e. Kelainan primer pembuluh darah

- hipertensi pulmonal primer, emboli paru berulang, vaskulitis pembuluh

darah paru. (Sulistyawati, Indah. Cor Pulmonale. FK Universitas Trisakti.

2004)

Page 5: Lapkas Jantung Kor Pulmonal Ht Pulmonal RHF

2.1.4. Patofisiologi (Sulistyawati, Indah. Cor Pulmonale. FK Universitas Trisakti. 2004)

Apapun penyebab penyakit awalnya, sebelum timbul kor pulmonal biasanya terjadi

peningkatan resistensi vaskular paru-paru dan hipertensi pulmonar. Hipertensi pulmonar

pada akhirnya meningkatkan beban kerja dari ventrikel kanan, sehingga mengakibatkan

hipertrofi dan kemudian gagal jantung. Titik kritis dari rangkaian kejadian ini nampaknya

terletak pada peningkatan resistensi vaskular paru-paru para arteria dan arteriola kecil.

Faktor –faktor yang menyebabkan timbulnya komplikasi kardiovaskuler pada penderita -

penderita PPOM ialah :

1. Hipoventilasi alveoli.

2. Berkurangnya "vascular bed " di dalam paru.

3. Bertambahnya "intrapulmonary vasculer shunt"

4. Faktor kelainan dari miokardium sebagai akibat rendahnya oksigen di dalam arteria

"coronaria"

Dua mekanisme dasar yang mengakibatkan peningkatan resistensi vaskular paru-

paru adalah (1) vasokontriksi hipoksik dari pembuluh darah paru-paru dan (2) obstruksi

dan atau obliterasi anyaman vaskuler paru-paru. Mekanisme yang pertama paling penting

dalam patogenesis cor pulamale. Hipoksemia, hipercapnea, asidosis merupakan ciri khas

PPOM bronchitis lanjut adalah contoh yang paling baik. Hipoksia alveolar (jaringan)

memberikan rangsangan yang lebih kuat untuk menimbulkan vasokonstriksi pulmonar

daripada hipoksemia. Hipoksia alveolar kronik memudahkan terjadinya hipertrofi otot

polos arteriola paru-paru sehingga timbul respon yang lebih kuat terhadap hipoksia akut.

Asidosis, hipercapnea dan hipoksemia bekerja secara sinergistrik dalam menimbulkan

vasokontriksi. Viskositas darah yang meningkat akibat polisitemia dan peningkatan curah

jantung yang dirangsang oleh hipoksia kronik dan hipercapnea juga ikut meningkatkan

tekanan arteria paru-paru.

Mekanisme kedua yang turut meningkatkan resistensi vaskular dan tekanan arteria

paru-paru adalah bentuk anatomisnya. Hilangnya pembuluh darah secara permanen

menyebabkan berkurangnya anyaman vaskuler. Selain itu pada penyakit obstruktif,

pembuluh darah paru-paru juga tertekan dari luar karena efek mekanik dari volume paru-

paru yang besar. Tetapi, peranan obstruksi dan obliterasi anatomik terhadap anyaman

vaskuler diperkirakan tidak sepenting vasokontriksi hipoksik dalam patogenesa cor

pulmonale. Kira-kira dua pertiga sampai tiga perempat dari anyaman vaskuler harus

mengalami obstruksi atau rusak sebelum terjadi peningkatan tekanan arteria paru-paru

yang bermakna. Asidosis respiratorik kronik terjadi pada beberapa penyakit pernafasan

Page 6: Lapkas Jantung Kor Pulmonal Ht Pulmonal RHF

dan penyakit obstruktif sebagai akibat hipoventilasi alveolar umum atau akibat kelainan

perfusi ventilasi. Jadi setiap penyakit paru-paru yang mempengaruhi pertukaran gas,

mekanisme ventilasi atau anyaman vaskuler paru-paru dapat mengakibatkan cor

pulmonale.

Penyakit paru kronis akan mengakibatkan;

1. Berkurangnya vascular bed paru, dapat disebabkan oleh semakin terdesaknya pembuluh

darah oleh paru yang mengembang atau kerusakan paru

2. Asidosis dan hiperkapnia

3. Hipoksia alveolar, yang akan merangsang vasokonstriksi pembuluh paru

4. Polisitemia dan hiperviskositas darah

Keempat hal diatas akan menyebabkan hipertensi pulmonal, dalam jangka panjang

akan mengakibatkan hipertropi dan dilatasi ventrikel kanan dan menjadi gagal jantung

kanan. Berdasarkan perjalanan penyakitnya, Kor Pulmonal Kronik dibagi menjadi 5 fase,

yakni:

Fase: 1

Pada fase ini belum nampak gejala klinis yang jelas, selain ditemukannya gejala awal

penyakit paru obstruktif menahun (ppom), bronkitis kronis, tbc lama, bronkiektasis dan

sejenisnya. Anamnesa pada pasien 50 tahun biasanya didapatkan adanya kebiasaan banyak

merokok.

Fase: 2

Pada fase ini mulai ditemukan tanda-tanda berkurangnya ventilasi paru. Gejalanya antara

lain: batuk lama berdahak (terutama bronkiektasis), sesak napas/mengi, sesak napas ketika

berjalan menanjak atau setelah banyak bicara. Sedangkan sianosis masih belum nampak.

Pemeriksaan fisik ditemukan kelainan berupa: hipersonor, suara napas berkurang,

ekspirasi memanjang, ronchi basah dan kering, wheezing. Letak diafragma rendah dan

denyut jantung lebih redup. Pemeriksaan radiologi menunjukkan berkurangnya

bronchovascular pattern, letak diafragma rendah dan mendatar, posisi jantung vertikal.

Fase: 3

Pada fase ini nampak gejala hipoksemia yang lebih jelas. Didapatkan pula berkurangnya

nafsu makan, berat badan berkurang, cepat lelah. Pemeriksaan fisik

nampak sianotik, disertai sesak dan tanda-tanda emfisema yang lebih nyata.

Fase: 4

Ditandai dengan hiperkapnia, gelisah, mudah tersinggung kadang somnolens. Pada

keadaan yang berat dapat terjadi koma dan kehilangan kesadaran.

Page 7: Lapkas Jantung Kor Pulmonal Ht Pulmonal RHF

Fase: 5

Pada fase ini nampak kelainan jantung, dan tekanan arteri pulmonal meningkat. Tanda-

tanda peningkatan kerja ventrikel, namun fungsi ventrikel kanan masih dapat kompensasi.

Selanjutnya terjadi hipertrofi ventrikel kanan kemudian terjadi gagal jantung kanan.

Pemeriksaan fisik nampak sianotik, bendungan vena jugularis, hepatomegali, edema

tungkai dan kadang ascites. (Tudas, Lita. Kor Pulmonal. Diakses dari

http://www.isjd.pdii.lipi.go.id/4481367_lita_tudas_kmb.pdf)

2.1.5. Gambaran Klinis

Dimulai dengan PPOK, kemudian PPOK dengan hipertensi pulmonal, dan

akhirnya menjadi PPOK dengan hipertensi pulmonal serta gagal jantung kanan. Perlu

dilakukan anamnesis yang teliti ada tidaknya penyakit paru yang mendasari dan jenis

kelainan paru seperti batuk kronik yang produktif, sesak nafas waktu beraktifitas, nafas

yang berbunyi, mudah fatig kelemahan. Pada fase awal berupa pembesaran ventrikel

kanan, tidak menimbulkan keluhan jadi lebih banyak keluhan akibat penyakit parunya.

Keluhan akibat pembesaran ventrikel kanan baru timbul bila sudah ada gagal jantung

kanan misalnya edema dan nyeri parut kanan atas. Infeksi paru sering mencetuskan gagal

jantung, hipersekresi branchus, edema alveolar, serta bronkospasme yang menurunkan

ventilasi paru lalu timbul gagal jantung kanan.

Pada pemeriksaan fisik ditemukan sianosis, jari tabuh, peningkatan tekanan vena

jugularis, heaving ventrikel kanan atau irama derap, pulsasi menonjol di sternum bagian

bawah atau epigastrium (parasternal lift), pembesaran hepar dan nyeri tekan, ascites,

edema. Dispnea timbul sebagai gejala emfisema dengan atau tanpa cor pulmonale.

Dispnea yang memburuk dengan mendadak atau kelelahan, sinkop pada waktu bekerja,

atau rasa tidak enak angina pada substernal mengisyaratkan keterlibatan jantung.

Page 8: Lapkas Jantung Kor Pulmonal Ht Pulmonal RHF

Diagnosis ditemukan tanda PPOK, asidosis dan hiperkapnia, hipoksia, polisitemia

dan hiperviskositas darah, hipertensi pulmonal (EKG dengan P pulmonal dengan deviasi

aksis ke kanan dan hipertrofi ventrikel kanan, foto torak tampak pelebaran daerah cabang

paru hilus, ekokardiografi dengan ditemukan RVH), hipertropi/dilatasi ventrikel kanan dan

gagal jantung kanan (peningkatan tekanan vena jugularis, hepatomegali, asites maupun

edema tungkai). (Tudas, Lita. Kor Pulmonal. Diakses dari

http://www.isjd.pdii.lipi.go.id/4481367_lita_tudas_kmb.pdf)

2.1.6. Diagnosis

Diagnosis kor pulmonal biasanya menunjukkan kombinasi adanya gangguan

respirasi yang dihubungkan dengan hipertensi pulmonal dan adanya gangguan pada

ventrikel kanan yang didapat secara klinis, radiologis, elektrocardiogram. Dalam praktek

sehari-hari sering didapatkan kesulitan dalam membuat diagnosis kor pulmonal yakni

bila keadaan pasien sedang stabil atau belum terjadi gagal jantung kanan. Untuk itu

dianjurkan membuatkan EKG dan pemeriksaan radiologis dada secara serial.

Gambaran Radiologis

a). Rontgen Toraks

Terdapat kelainan disertai pembesaran ventrikel kanan, dilatasi arteri pulmonal dan

atrium kanan yang menonjol. Kardiomegali sering tertutup oleh hiper inflasi paru yang

menekan diafragma sehingga jantung tampaknya normal karena vertikal. Pembesaran

ventrikel kanan lebih jelas pada posisi oblik atau lateral. Selain itu didapatkan juga

diafragma yang rendah dan datar serta ruang udara retrosternal yang lebih besar,

sehingga hipertrofi dan dilatasi ventrikel kanan tidak membuat jantung menjadi lebih

besar dari normal.

b). Ekokardiografi

Dimensi ruang ventrikel kanan membesar, tapi struktur dan dimensi ventrikel kiri

normal. Pada gambaran ekokardiografi katup pulmonal, gelombang “a” hilang,

Page 9: Lapkas Jantung Kor Pulmonal Ht Pulmonal RHF

menunjukkan hipertensi pulmonal. Kadang-kadang dengan pemeriksaan ekokardiografi

susah terlihat katup pulmonal karena “accoustic window” sempit akibat penyakit paru.

c). Kateterisasi jantung

Ditemukan peningkatan tekanan jantung kanan dan tahanan pembuluh paru.

Tekanan atrium kiri dan tekanan kapiler paru normal, menandakan bahwa hipertensi

pulmonal berasal dari prekapiler dan bukan berasal dari jantung kiri. Pada kasus yang

ringan, kelainan ini belum nyata. Penyakit jantung paru tidak jarang disertai penyakit

jantung koroner terlebih pada penyakit paru obstruksi menahun karena perokok berat

(stenosis koroner pada angiografi).

2.1.7. Diagnosa Banding

- Hipertensi vena pulmonal yang biasanya diderita penderita stenosis katup mitral.

Gambaran foto toraks berupa pembesaran atrium kiri, pelebaran arteri pulmonal

karena peninggian tekanan aorta yang relatif kecil (pada fase lanjut), pembesaran

ventrikel kanan, pada paru-paru terlihat tanda-tanda bendungan vena.

- Perikarditis konstriktifa, dapat dibedakan dengan test fungsi paru dan analisa gas

darah

2.1.8. Tatalaksana

a. Konseling ( penyuluhan )

Memberikan edukasi agar pasien menghindari segala jenis polusi udara dan berhenti

merokok. Memperbaiki ventilasi ruangan-ruangan dalam rumah. Latihan pernafasan

dengan bimbingan ahli fisioterapi.

b. Memperbaiki fungsi pernafasan dan pengobatan terhadap obstruksi kronis.

1. Bronkodilator. Beta 2 adrenergik selektif ( Terbutalin atau Salbutamol ).

Berkhasiat vasodilator pulmoner, sehingga diharapkan dapat menambah aliran

darah paru. Setiap pemberian bronkodilator hendaknya mempertimbangkan efek

sampingnya yaitu berdebar, gemetar dan lemas.

2. Mukolitik dan ekspektoran

Mukolitik berguna untuk mencairkan dahak dengan memecah ikatan rantai

kimianya, sedangkan ekspektoran untuk mengeluarkan dahak dari paru.

3. Antibiotika

Pemberian antibiotika diperlukan karena biasanya kelainan parenkim paru

disebabkan oleh mikro-organisme, diantaranya: Hemophylus influenzae dan

Pneumococcus. Dapat pula disebabkan oleh Staphylococcus dan bakteri Gram

Page 10: Lapkas Jantung Kor Pulmonal Ht Pulmonal RHF

negatif seperti: Klebsiella. Idealnya, pemberian antibiotika disesuaikan dengan

hasil kultur sputum.

4. Oksigenasi

Peningkatan PaCO2 (tekanan karbondiosida arterial) dan asidosis pada penderita

PPOM disebabkan tidak sempurnanya pengeluaran CO2 sehingga menimbulkan

hipoksemia. Penanganan cor pulmonale ditujukan untuk memperbaiki hipoksia

alveolar dan vasokonstriksi paru-paru yang diakibatkannya dengan pemberian

oksigen konsentrasi rendah dengan hati-hati. Pemakaian O2 yang terus menerus

dapat menurunkan hipertensi pulmoner, polisitemia dan takipnea.Hal ini dapat

diatasi dengan pemberian oksigen 20-30 % melalui masker venturi. Dapat pula

diberikan oksigen secara intermitten dengan kadar 30-50 % secara lambat 1-3 liter

permenit.

c. Memperbaiki fungsi jantung dan pengobatan gagal jantung kongestif.

1. Diuretika Pemberian diuretika seperti furosemid atau hidroklorotiazid diharapkan

dapat mengurangi kongesti edema dengan cara mengeluarkan natrium dan

menurunkan volume darah. Sehingga pertukaran udara dalam paru dapat

diperbaiki, dan hipoksia maupun beban jantung kanan dapat dikurangi.

2. Digitalis Preparat digitalis ( digoxin, cedilanid dan sejenisnya ) perlu diberikan

kepada penderita dengan Gagal Jantung kanan berat. Pemberian digitalis penderita

Cor Pulmonale harus hati-hati karena mudah terjadi intoksikasi digitalis. Lebih-

lebih pada usia lanjut, toleransi terhadap digitalis menurun sehingga lebih mudah

terjadinya intoksikasi. Demikian pula kondisi hipoksemia akan meningkatkan

kepekaan terhadap digitalis yang berujung pada terjadinya intoksikasi.

2.1.9. Prognosis

Sangat bervariasi, tergantung perjalanan alamiah penyakit paru yang mendasarinya

dan ketaatan pasien berobat. Penyakit bronko pulmoner sistematis angka kematian rata-

rata 5 tahun sekitar 40-50%. Juga obstruksi vaskuler paru kronis dengan hipertrofi

ventrikel kanan mempunyai prognosis buruk. Biasanya penderita dengan hipertensi

pulmonal obstruksi vaskuler kronik hanya hidup 2-3 tahun sejak timbulnya gejala.

Menurut Stuart Harrs dan Ude, Prognosis Cor Pulmonale sangat jelek

dikarenakan kerusakan parenkim paru yang berlangsung lama dan irreversile.

Pengobatan bersifat simptomatis, karena pada umumnya kondisi penyakit sudah dalam

fase lanjut. Berdasarkan penelitian, angka kemungkinan masa hidup berkisar antara 18

bulan (Flint) sampai 30,8 bulan dengan angka kematian setelah 5 tahun mencapai 68 %.

Page 11: Lapkas Jantung Kor Pulmonal Ht Pulmonal RHF

2.2 Hipertensi Pulmonal

2.2.1 Definisi

Hipertensi Pulmonal Primer adalah kelainan paru yang jarang, dimana didapat

peningkatan tekanan arteri pulmonalis jauh diatas normal tampa di dapatkan penyebab

yang jelas. Tekanan pulmonal normal pada waktu istirahat adalah lebih kurang 14 mmhg,

pada penderita hipertensi pulmonal tekanan arteri pulmonal akan lebih dari 25 mmhg saat

istirahat, dan 30 mmhg saat aktivitas, sehingga meningkatkan tahanan vaskular dari aliran

darah paru. Peningkatan tahanan arteri pulmonal ini akan menimbulkan beban pada

ventrikel kanan sehingga harus bekerja lebih kuat untuk mememopakan darah ke paru.

Hipertensi paru merupakan masalah kompleks yang ditandai dengan tanda-tanda

dan gejala tidak spesifik dan memiliki banyak penyebab potensial. Ini dapat didefinisikan

sebagai suatu tekanan sistolik arteri paru-paru yang lebih besar dari 30 mm Hg atau

tekanan arteri paru-paru berarti lebih besar dari 20 mm Hg. Hipertensi pulmonal adalah

suatu penyakit yang ditandai dengan peningkatan tekanan darah pada pembuluh darah

arteri paru-paru yang menyebabkan sesak nafas, pusing dan pingsan pada saat melakukan

aktivitas. Berdasar penyebabnya hipertensi pulmonal dapat menjadi penyakit berat yang

ditandai dengan penurunan toleransi dalam melakukan aktivitas dan gagal jantung kanan.

Penyakit ini pertama kali ditemukan oleh Dr Ernst von Romberg pada tahun 1891.

Hipertensi pulmonal terbagi atas hipertensi pulmonal primer dan sekunder. Hipertensi

pulmonal primer adalah hipertensi pulmonal yang tidak diketahui penyebabnya sedangkan

hipertensi pulmonal sekunder adalah hipertensi pulmonal yang disebabkan oleh kondisi

medis lain. Istilah ini saat ini menjadi kurang populer karena dapat menyebabkan

kesalahan dalam penanganannya sehingga istilah hipertensi pulmonal primer saat ini

diganti menjadi Hipertensi Arteri Pulmonal Idiopatik.

Gambar 1: Patologi pada pasien yang meninggal dari hipertensi pulmonal sekunder

berat patent ductus arteriosus persisten.

2.2.2 Etiologi

Page 12: Lapkas Jantung Kor Pulmonal Ht Pulmonal RHF

Hipertensi pulmonal sebelumnya dibagi menjadi 2 kategori: hipertensi pulmonal

primer dan hipertensi pulmonal sekunder, berdasarkan etiologi diidentifikasi.

a. Group 1, pulmonary arterial hypertension (PAH) dengan 2 sub-kelompok:

- Subgroup 1 Pasien dengan sporadis dan keluarga hipertensi arteri pulmonal

idiopatik (IPAH).

- Subgroup 2 - Kondisi yang diketahui lokalisasi lesi kecil arteriola paru, termasuk

penyakit pembuluh darah kolagen (skleroderma / Crest sindrom), kongenital kiri-

ke-kanan shunts, portopulmonary hipertensi, paru terkait HIV hipertensi,

hipertensi paru-paru bayi baru lahir, dan obat - diinduksi (mis. anorexigens)

hipertensi pulmonal

b. Group 2, hipertensi vena pulmonal: Kelompok ini terdiri dari infark sisi kiri dan

penyakit katup dan ekstrinsik kompresi dari pembuluh darah paru (misalnya tumor)

dan paru-paru penyakit veno-oklusi.

c. Group 3, hipertensi pulmonal yang terkait dengan penyakit paru-paru dan / atau

hypoxemia: Kelompok ini terdiri dari penyakit yang menyebabkan oksigenasi arteri

tidak memadai. 3 kelompok utama adalah yang disebabkan oleh penyakit paru-paru

(misalnya, PPOK, penyakit paru-paru interstisial), gangguan pernapasan (misalnya,

OSA, alveolar hipoventilasi gangguan), dan jangka panjang paparan ketinggian tinggi.

d. Group 4, hipertensi paru kronis akibat thrombotic dan / atau penyakit emboli, dengan

2 sub-kelompok:

- Subgroup 1 - kronis hipertensi tromboemboli paru (CTEPH) dari proksimal arteri.

- Subgroup 2 - embolisms paru paru distal dalam arteri, yang mungkin disebabkan

oleh trombosis, tumor, parasit, in situ trombosis, atau penyakit sel sabit.

e. Group 5, hipertensi pulmonal akibat efek langsung pembuluh darah paru: Kelompok

ini terdiri dari penyakit radang paru-paru mempengaruhi pembuluh darah termasuk,

schistosomiasis, sarcoidosis, histocytosis X, dan fibrosing mediastinitis.

Kelas yang tercantum di bawah ini berdasarkan informasi diadaptasi dari ringkasan

eksekutif dari word simposium on Primary Pulmonary Hypertension di Evian, Perancis

pada tahun 1998.

a. Class I: Kelas I: Ini adalah pasien dengan hipertensi pulmonal tetapi tanpa

mengakibatkan pembatasan aktivitas fisik. Aktivitas fisik biasa tidak menyebabkan

dyspnea berlebihan atau kelelahan, sakit dada, atau dekat sinkop.

Page 13: Lapkas Jantung Kor Pulmonal Ht Pulmonal RHF

b. Class II: Ini adalah pasien dengan hipertensi pulmonal mengakibatkan sedikit

pembatasan aktivitas fisik. Aktivitas fisik biasa tidak semestinya menyebabkan

dyspnea atau kelelahan, sakit dada, atau dekat sinkop.

c. Class III: Ini adalah pasien dengan hipertensi paru mengakibatkan ditandai

pembatasan aktivitas fisik.. Mereka merasa nyaman beristirahat. Kurang dari kegiatan

biasa yang tidak semestinya menyebabkan dyspnea atau kelelahan, sakit dada, atau

dekat sinkop.

d. Class IV: Ini adalah pasien dengan hipertensi pulmonal dengan ketidakmampuan

untuk melakukan aktivitas fisik apapun tanpa gejala. Pasien ini tanda-tanda nyata sisi

kanan gagal jantung. Dyspnea dan / atau kelelahan bahkan mungkin hadir diam.

Ketidaknyamanan meningkat oleh aktivitas fisik apapun.

2.2.3 Faktor Resiko

Dari klasifikasi yang telah digambarkan pada etiologi jelas bahwa berbagai faktor

resiko dapat berkembang menjadi hipertensi pulmonal berat dan oleh karenanya dapat

dianjurkan skrining dari bagian populasi terpilih untuk terjadinya hipertensi pulmonal atau

penyakit vaskular pulmonal. Pada simposium WHO, level resiko disertai dengan masing-

masing kondisi yang dinilai pada table 1.

Tabel 1: Klasifikasi faktor resiko hipertensi pulmonal menurut WHO

Page 14: Lapkas Jantung Kor Pulmonal Ht Pulmonal RHF
Page 15: Lapkas Jantung Kor Pulmonal Ht Pulmonal RHF

a. Riwayat keluarga

Genetik dari hipetensi pulmonal dibahas di bawah tetapi ini telah menjadi jelas untuk

suatu waktu bahwa proporsi signifikan dari pasien (berkisar 6-10% dari kasus) adalah ada

riwayat keluarga. Terdapt kemungkinan sekurangnya dua gen dari yang mana, yang

pertama ditutupi oleh PPH1(lokus 2q31-32). Kondisi ini diturunkan secara dominan

autosom dengan penetrasi tidak sempurna. Ini menunjukkan bahwa skrining pada

sekurangnya anggota keluarga derajat pertama dapat bermanfaat.8

b. Penyakit jaringan konektif

Lebih dari 10% pasien dengan hipertensi pulmonal primer mengalami fenomena

Raynaud’s. Diketahui pula bahwa pasien dengan penyakit jaringan konektif, khususnya

varian ‘CREST’ dari sklerosis sistemik tetapi juga kondisi lain seperti artritis reumatoid

dan sistemik lupus eritematous, rentan terkena hipertensi pulmonal. Tentu saja, lebih dari

40% pasien dengan CREST akan meninggal karena hipertensi pulmonal.8

c. Penekan nafsu makan

Simposium WHO pertama tahun 1973 diadakan mengikuti epidemi hipetensi pulmonal di

eropa bersamaan dengan agen penekan nafsu makan amionorex fumarat. Hubungan

terkini lainnya antara obat penekan nafsu makan dan hipertensi pulmonal telah terjadi

karena penggunaan luas dari fenfluramin dan dexflenfluramin. Untungnya, hubungan

tersebut saat ini telah ditemukan cukup awal dan prevalensinya hampir tidak setinggi

untuk aminorex.

d. Hipertensi portal

Pasien dengan penyakit hati dapat berkembang menjadi baik itu shunt kanan ke kiri

ataupun hipertensi pulmonal. Hipertensi pulmonal terlihat hanya muncul ketika terjadi

juga hipertensi portal, menunjukkan bahwa sirosi dengan sendirinya tidak cukup. 8

e. Infeksi HIV

Hubungan antara hipertensi pulmonal dengan infeksi HIV telah diketahui selama

beberapa tahun. Karena pasien seperti ini mungkin memiliki beberapa alasan penting

lainnya untuk sakit, tidak direkomendasikan agar mereka di skrining untuk hipertensi

pulmonal tetapi mereka harus disarankan untuk echokardiografi apabila berkembang

gejala yang sesuai.

f. Penggunaan obat

Tampaknya ada hubungan antara L-triptofan dan amfetamin dnegan hipertensi pulmonal.

Mekanismenya belum dimengerti.

g. Penyakit tiroid

Page 16: Lapkas Jantung Kor Pulmonal Ht Pulmonal RHF

Terdapat hubungan antara hipotiroidisme dan hipertensi pulmonal primer.

2.2.4 Patogenesis

Hipertensi pulmonal dapat menyebabkan pengerasan pembuluh pada darah dan di

dalam paru. Hal ini memperberat kerja jantung dalam memompa darah ke paru. Lama

kelamaan pembuluh darah yang terkena akan menjadi kaku dan menebal hal ini akan

menyebabkan tekanan dalam pembuluh darah meningkat dan aliran darah juga terganggu.

Hal ini akan menyebabkan bilik jantung kanan membesar sehingga menyebabkan suplai

darah dari jantung ke paru berkurang sehigga terjadi suatu keadaan yang disebut dengan

gagal jantung kanan. Sejalan dengan hal tersebut maka aliran darah ke jantung kiri juga

menurun sehingga darah membawa kandungan oksigen yang kurang dari normal untuk

mencukupi kebutuhan tubuh terutama pada saat melakukan aktivitas.

2.2.5 Manifestasi Klinis

Hipertensi pulmonal sering muncul dengan gejala nonspesifik (Tabel). Gejalagejala

ini seringkali sulit untuk memisahkan dari yang disebabkan oleh dikenal mendasari

gangguan paru-paru atau jantung. Gejala yang paling umum-exertional dyspnea, kelelahan

dan sinkop-mencerminkan ketidakmampuan untuk meningkatkan output jantung selama

aktivitas. Mekanisme tidak jelas, tetapi nyeri dada anginal mungkin disebabkan oleh

peregangan arteri paru-paru atau iskemia ventrikel kanan. Hemoptisis akibat pecahnya

pembuluh paru buncit jarang tapi berpotensi event. Fenomena Raynaud terjadi di sekitar 2

persen pasien dengan hipertensi pulmonal primer tapi lebih sering terjadi pada pasien

dengan hipertensi paru yang berhubungan dengan penyakit jaringan ikat. 4 gejala yang

lebih spesifik mungkin mencerminkan penyebab hipertensi paru.

Kelainan terdeteksi pada pemeriksaan fisik cenderung lokal ke sistem

kardiovaskular. Pemeriksaan yang seksama sering mendeteksi tanda-tanda hipertensi

pulmonal dan hipertrofi ventrikel kanan. Temuan pada pemeriksaan paru-paru yang tidak

spesifik tetapi dapat menunjukkan penyebab yang mendasari hipertensi pulmonal. Sebagai

contoh, mengi dapat mengakibatkan diagnosis PPOK, dan basilar crackles mungkin

menunjukkan adanya penyakit paru-paru interstisial.

Page 17: Lapkas Jantung Kor Pulmonal Ht Pulmonal RHF

2.2.6 Diagnosa

Untuk mendiagnosa hipertensi pulmonal, dokter dapat melakukan satu atau lebih tes

untuk mengevaluasi kerja jantung dan paru-paru pasien. Hal ini termasuk X-ray di daerah

dada untuk menunjukkan pembesaran dan ketidaknormalan pembuluh paru-paru,

echocardiograms yang menunjukkan visualisasi jantung, mengukur besar ukuran jantung,

fungsi dan aliran darah, dan mengadakan pengukuran tidak langsung terhadap tekanan di

pembuluh paru-paru.

a. Elektrokardiograf

Gambaran pada EKG brupa strain ventrikel kanan dan pergeseran aksis ke kanan dapat

membantu menegakkan diagnosis hipertensi pulmonal.

Gambar 2:Elektrokardiogram menunjukkan perubahan hipertrofi ventrikel kanan (panah

panjang) dengan regangan pada pasien dengan hipertensi paru primer. Deviasi sumbu kanan

(pendek panah), peningkatan amplitudo gelombang P pada lead II (panah hitam), dan tidak

lengkap blok cabang berkas kanan (panah putih) yang sangat spesifik tetapi tidak memiliki

kepekaan untuk mendeteksi hipertrofi ventrikel kanan.

b. Radiologi

Khas parenkim paru pada hipertensi pulmonal bersih. Foto torak dapat membantu

diagnosis atau membantu menemukan penyakit lain yang mendasari hipertensi

pulmonal. Gambaran khas foto toraks pada hipertensi pulmonal ditemukan bayangan

hilar, bayangan arteri pulmonalis dan pada foto toraks lateral pembesaran ventrikel

kanan.

Gambar 2: Gambaran Foto Thoraks pada pasien dengan hipertensi pulmonal.

Page 18: Lapkas Jantung Kor Pulmonal Ht Pulmonal RHF

c. MRI

Hipertrofi dan dilatasi ventrikel kanan serta pergeseran aliran dari kiri ke kanan juga

terjadi.

d. Angiograf

Kateterisasi jantung merupakan baku emas untuk diagnosis hipertensi arteri pulmonal.

Kateterisasi membantu diagnosis dengan menyingkirkan etiologi lain seperti penyakit

jantung kiri dan memberikan informasi penting untuk dugaan prognostik pada pasien

dengan hipertensi pulmonal. Tes vasodilator dengan obat kerja singkat (seperti

adenosisn, inhalasi nitrit oxid atau epoprostenol) dapat dilakukan selama kateterisasi,

respons vasodilatasi positif bila didapatkan penurunan tekanan arteri pulmonalis dan

resistensi vaskular paru sedikitnya 20% dari tekanan awal. Pasien dengan hipertensi

arteri pulmonal yang berespon positif dengan vasodilator akut pada pemeriksaan

kateterisasi, survivalnya akan meningkat dengan pengobatan blokade saluran kalsium

jangka lama. Dengan katerisasi jantung juga dapat memberikan informasi mengenai

saturasi oksigen pada vena sentral, atrium dan ventrikel kanan dan arteri pulmonal

yang berguna dalam menilai prognostik hipertensi pulmonal.

Page 19: Lapkas Jantung Kor Pulmonal Ht Pulmonal RHF

2.2.7 Penatalaksanaan

Pengobatan hipertensi pulmonal bertujuan untuk mengoptimalkan fungsi jantung kiri

dengan menggunakan obat-obatan seperti : diuretik, beta-bloker dan ACE inhibitor atau

dengan cara memperbaiki katup jantung mitral atau katup aorta (pembuluh darah utama).

Pada hipertensi pulmonal pengobatan dengan perubahan pola hidup, diuretik, antikoagulan

dan terapi oksigen merupakan suatu terapi yang lazim dilakukan, tetapi berdasar dari

penelitian terapi tersebut belum pernah dinyatakan bermanfaat dalam mengatasi penyakit

tersebut. Beberapa kemungkinan pengobatan untuk hipertensi pulmonal tercantum dalam

Tabel. Pengobatan hipertensi pulmonal primer adalah rumit, kontroversial dan berpotensi

berbahaya.

Calcium channel blockers dapat mengurangi vasokonstriksi paru dan

memperpanjang hidup pada sekitar 20 persen pasien dengan hipertensi pulmonal primer.

Sayangnya, tidak ada cara untuk meramalkan mana pasien akan merespon vasodilators

dikelola secara lisan, dan obat-obatan ini biasanya memiliki efek yang signifikan.

Akibatnya, akan sangat membantu untuk mengevaluasi paru vasoreactivity selama

kateterisasi, sebelum jangka panjang terapi yang dipilih. Obat yang paling cocok untuk

pengujian respon akut yang kuat, pendek bertindak dan titratable. Pada pasien yang

menunjukkan bukti adanya respon hemodinamik akut, pengobatan jangka panjang dengan

calcium channel blockers, diberikan secara lisan dalam dosis tinggi, dapat menghasilkan

respon hemodinamik yang berkelanjutan dan meningkatkan kelangsungan hidup.

Epoprostenol (Flolan), atau prostasiklin, adalah satu kemajuan yang paling penting

dalam pengobatan hipertensi paru primer. ini Ampuh bertindak pendek vasodilator dan

penghambat agregasi trombosit yang dihasilkan oleh endotelium vaskular. Dalam sebuah

penelitian, kontinu infus intravena epoprostenol latihan peningkatan kapasitas, kualitas

hidup, hemodynamics dan kelangsungan hidup jangka panjang pada pasien dengan kelas

III atau IV fungsi. Meskipun sistem pengiriman infus kontinu adalah kompleks, sebagian

besar pasien dapat belajar bagaimana mempersiapkan dan memasukkan obat.

Antikoagulan dengan warfarin (Coumadin) disarankan untuk mencegah trombosis

dan telah ditunjukkan untuk memperpanjang hidup pada pasien dengan hipertensi

pulmonal primer. Pasien dengan kondisi ini rentan terhadap tromboemboli paru lamban

karena aliran darah, melebar bilik jantung kanan, vena kekurangan dan relatif aktivitas

fisik. Mempertahankan dinormalkan Internasional Rasio 1,5-2,0 dianjurkan. Antikoagulan

lain juga sedang dipelajari.

Page 20: Lapkas Jantung Kor Pulmonal Ht Pulmonal RHF

Agen Inotropic seperti digoxin (Lanoxin) saat ini sedang diselidiki. Dalam sebuah

penelitian, digoxin menghasilkan efek hemodinamik akut menguntungkan pada pasien

dengan gagal ventrikel kanan dan hipertensi pulmonal primer, namun jangka panjang

akibat dari perawatan ini tidak diketahui. obat parenteral juga mungkin bermanfaat.

Pada pasien dengan hipertensi pulmonal sekunder, manajemen diarahkan pada

pengenalan dini dan pengobatan penyakit yang mendasarinya (saat itu masih berpotensi

reversibel). Sebagai contoh, disfungsi ventrikel kiri harus ditangani dengan

afterloadreducing agen, digoksin dan diuretik. Struktural operasi untuk mengoreksi

anomali jantung dan paru-paru juga dapat efektif, dan dapat diakses

thromboendarterectomy untuk Tromboemboli kronis berpotensi kuratif. Perbaikan atau

resolusi hipertensi paru dapat terjadi setelah penghentian anorectic agen, meskipun

resolusi yang tidak khas. paru hipertensi yang berhubungan dengan penyakit paru-paru

interstisial dapat menanggapi kortikosteroid atau agen imunosupresif lainnya. Karena

Page 21: Lapkas Jantung Kor Pulmonal Ht Pulmonal RHF

hipoksia adalah paru-paru vasokonstriktor kuat, sangat penting untuk mengidentifikasi dan

sebaliknya hypoxemia. Aliran rendah terapi oksigen tambahan di hypoxemic

memperpanjang kelangsungan hidup pasien. Kegagalan untuk mengakui dan benar

hypoxemia mungkin merupakan kesalahan paling sering dilakukan dalam perawatan

pasien dengan hipertensi pulmonal.

Sebuah diet rendah garam dan bijaksana penggunaan diuretik dapat membantu

dalam mengurangi beban volume pada pasien dengan hipertensi paru dan kegagalan

ventrikel kanan. Karena hati yang tepat tergantung pada preload, perawatan harus

dilakukan untuk menghindari diuresis berlebihan dan pengurangan lebih lanjut dari curah

jantung. Pasien dengan hipertensi pulmonal persisten meskipun pengelolaan agresif

penyakit yang mendasari harus dirujuk untuk evaluasi di sebuah pusat yang

mengkhususkan diri dalam pengelolaan kondisi ini. Unik epoprostenol protokol yang

melibatkan 23 dan obat lainnya mungkin tersedia bagi pasien dengan hipertensi pulmonal

sekunder yang belum menanggapi tindakan lebih konvensional.

a. Terapi bedah

Pembedahan sekat antar serambi jantung (atrial septostomy) yang dapat

menghubungkan antara serambi kanan dan serambi kiri dapat mengurangi tekanan pada

jantung kanan tetapi kerugian dari terapi ini dapat mengurangi kadar oksigen dalam darah

(hipoksia). Transplantasi paru dapat menyembuhkan hipertensi pulmonal namun

komplikasi terapi ini cukup banyak dan angka harapan hidupnya kurang lebih selama 5

tahun.

b. Transplantasi paru-paru

Hipertensi pulmonal primer biasanya progresif dan akhirnya berakibat fatal. Paruparu

transplantasi adalah suatu pilihan pada beberapa pasien lebih muda dari 65 tahun yang

memiliki hipertensi pulmonal yang tidak merespon manajemen medis. Menurut AS tahun

1997 transplantasi laporan registri, 24 penerima transplantasi paru-paru dengan hipertensi

pulmonal primer memiliki tingkat ketahanan hidup dari 73 persen pada satu tahun, 55

persen di tiga tahun dan 45 persen pada lima tahun. Pengurangan langsung tekanan arteri

paru-paru dikaitkan dengan perbaikan dalam fungsi ventrikel kanan. Kambuhnya

hipertensi pulmonal primer setelah transplantasi paru-paru belum dilaporkan.

2.2.8 Prognosis

Durasi median kelangsungan hidup setelah diagnosis hipertensi pulmonal primer

adalah 2,8 tahun, 25 tapi angka ini sangat bervariasi. Sebagai hasil dari pengobatan baru,

pasien tanpa bukti hemodinamik disfungsi ventrikel kanan dapat bertahan hidup selama

Page 22: Lapkas Jantung Kor Pulmonal Ht Pulmonal RHF

lebih dari 10 tahun. Prognosis untuk pasien dengan hipertensi pulmonal sekunder

tergantung pada penyakit yang mendasari, serta fungsi ventrikel kanan. Sebagai contoh,

pasien dengan PPOK dan obstruksi aliran udara moderat memiliki tiga tahun angka

kematian 50 persen setelah onset kegagalan ventrikuler kanan. 26 Survival adalah juga

dipengaruhi pada pasien dengan penyakit paru-paru interstisial dan hipertensi pulmonal.

2.3 Gagal Jantung

2.3.1 Definisi

Gagal jantung adalah suatu keadaan patofisiologi dimana jantung gagal

mempertahankan sirkulasi adekuat untuk kebutuhan tubuh meskipun tekanan pengisian

cukup (Paul Wood, 1958). Gagal jantung juga dikatakan sebagai suatu sindroma dimana

fungsi jantung berhubungan dengan penurunan toleransi latihan, insidensi aritmia yang

tinggi, dan penurunan harapan hidup (Jay Chon, 1988). European Society of Cardiology,

1995 juga menjelaskan adanya gejala gagal jantung yang reversible dengan terapi, dan

bukti objektif adanya disfungsi jantung. Gagal jantung didefinisikan sebagai kondisi

dimana jantung tidak lagi dapat memompakan cukup darah ke jaringan tubuh. Keadaan ini

dapat timbul dengan atau tanpa penyakit jantung. Gangguan fungsi jantung dapat berupa

gangguan fungsi diastolik atau sistolik, gangguan irama jantung, atau ketidaksesuaian

preload dan afterload. Keadaan ini dapat menyebabkan kematian pada pasien.

2.3.2 Epidemiologi

Diperkirakan hampir lima persen dari pasien yang dirawat di rumah sakit, 4,7%

wanita dan 5,1% laki-laki. Insiden gagal jantung dalam setahun diperkirakan 2,3 – 3,7

perseribu penderita pertahun. Kejadian gagal jantung akan semakin meningkat di masa

depan karena semakin bertambahnya usia harapan hidup dan berkembangnya terapi

penanganan infark miokard mengakibatkan perbaikan harapan hidup penderita dengan

penurunan fungsi jantung.

2.3.3 Klasifikasi

Gagal jantung dapat dibagi menjadi gagal jantung kiri dan gagal jantung kanan.

Gagal jantung juga dapat dibagi menjadi gagal jantung akut, gagal jantung kronis

dekompensasi, serta gagal jantung kronis. Beberapa sistem klasifikasi telah dibuat untuk

mempermudah dalam pengenalan dan penanganan gagal jantung. Sistem klasifikasi

tersebut antara lain pembagian berdasarkan Killip yang digunakan pada Infark Miokard

Akut, klasifikasi berdasarkan tampilan klinis yaitu klasifikasi Forrester, Stevenson dan

NYHA.

Page 23: Lapkas Jantung Kor Pulmonal Ht Pulmonal RHF

Klasifikasi berdasarkan Killip digunakan pada penderita infark miokard akut,

dengan pembagian:

- Derajat I : tanpa gagal jantung

- Derajat II : Gagal jantung dengan ronki basah halus di basal paru, S3 galop dan

peningkatan tekanan vena pulmonalis

- Derajat III : Gagal jantung berat dengan edema paru seluruh lapangan paru.

- Derajat IV : Syok kardiogenik dengan hipotensi (tekanan darah sistolik 90 mmHg) dan

vasokonstriksi perifer (oliguria, sianosis dan diaforesis)

Klasifikasi Stevenson menggunakan tampilan klinis dengan melihat tanda kongesti

dan kecukupan perfusi. Kongesti didasarkan adanya ortopnea, distensi vena juguler, ronki

basah, refluks hepato jugular, edema perifer, suara jantung pulmonal yang berdeviasi ke

kiri, atau square wave blood pressure pada manuver valsava. Status perfusi ditetapkan

berdasarkan adanya tekanan nadi yang sempit, pulsus alternans, hipotensi simtomatik,

ekstremitas dingin dan penurunan kesadaran. Pasien yang mengalami kongesti disebut

basah (wet) yang tidak disebut kering (dry). Pasien dengan gangguan perfusi disebut

dingin (cold) dan yang tidak disebut panas (warm). Berdasarkan hal tersebut penderta

dibagi menjadi empat kelas, yaitu:

- Kelas I (A) : kering dan hangat (dry – warm)

- Kelas II (B) : basah dan hangat (wet – warm)

- Kelas III (L) : kering dan dingin (dry – cold)

- Kelas IV (C) : basah dan dingin (wet – cold)

2.3.4 Etiologi

Gagal jantung dapat disebabkan oleh banyak hal. Secara epidemiologi cukup

penting untung mengetahui penyebab dari gagal jantung, di negara berkembang penyakit

arteri koroner dan hipertensi merupakan penyebab terbanyak sedangkan di negara

berkembang yang menjadi penyebab terbanyak adalah penyakit jantung katup dan

penyakit jantung akibat malnutrisi.4 Pada beberapa keadaan sangat sulit untuk

menentukan penyebab dari gagal jantung. Terutama pada keadaan yang terjadi bersamaan

pada penderita.

Penyakit jantung koroner pada Framingham Study dikatakan sebagai penyebab

gagal jantung pada 46% laki-laki dan 27% pada wanita.4 Faktor risiko koroner seperti

diabetes dan merokok juga merupakan faktor yang dapat berpengaruh pada perkembangan

dari gagal jantung. Selain itu berat badan serta tingginya rasio kolesterol total dengan

Page 24: Lapkas Jantung Kor Pulmonal Ht Pulmonal RHF

kolesterol HDL juga dikatakan sebagai faktor risiko independen perkembangan gagal

jantung.

Hipertensi telah dibuktikan meningkat-kan risiko terjadinya gagal jantung pada

beberapa penelitian. Hipertensi dapat menyebabkan gagal jantung melalui beberapa

mekanisme, termasuk hipertrofi ventrikel kiri. Hipertensi ventrikel kiri dikaitkan dengan

disfungsi ventrikel kiri sistolik dan diastolik dan meningkatkan risiko terjadinya infark

miokard, serta memudahkan untuk terjadinya aritmia baik itu aritmia atrial maupun

aritmia ventrikel. Ekokardiografi yang menunjukkan hipertrofi ventrikel kiri berhubungan

kuat dengan perkembangan gagal jantung.

Kardiomiopati didefinisikan sebagai penyakit pada otot jantung yang bukan

disebabkan oleh penyakit koroner, hipertensi, maupun penyakit jantung kongenital, katup

ataupun penyakit pada perikardial. Kardiomiopati dibedakan menjadi empat kategori

fungsional : dilatasi (kongestif), hipertrofik, restriktif dan obliterasi. Kardiomiopati dilatasi

merupakan penyakit otot jantung dimana terjadi dilatasi abnormal pada ventrikel kiri

dengan atau tanpa dilatasi ventrikel kanan. Penyebabnya antara lain miokarditis virus,

penyakit pada jaringan ikat seperti SLE, sindrom Churg-Strauss dan poliarteritis nodosa.

Kardiomiopati hipertrofik dapat merupakan penyakit keturunan (autosomal dominan)

meski secara sporadik masih memungkinkan. Ditandai dengan adanya kelainan pada

serabut miokard dengan gambaran khas hipertrofi septum yang asimetris yang

berhubungan dengan obstruksi outflow aorta (kardiomiopati hipertrofik obstruktif).

Kardiomiopati restriktif ditandai dengan kekakuan serta compliance ventrikel yang buruk,

tidak membesar dan dihubungkan dengan kelainan fungsi diastolik (relaksasi) yang

menghambat pengisian ventrikel.

Penyakit katup sering disebabkan oleh penyakit jantung rematik, walaupun saat ini

sudah mulai berkurang kejadiannya di negara maju. Penyebab utama terjadinya gagal

jantung adalah regurgitasi mitral dan stenosis aorta. Regusitasi mitral (dan regurgitasi

aorta) menyebabkan kelebihan beban volume (peningkatan preload) sedangkan stenosis

aorta menimbulkan beban tekanan (peningkatan afterload). Aritmia sering ditemukan pada

pasien dengan gagal jantung dan dihubungkan dengan kelainan struktural termasuk

hipertofi ventrikel kiri pada penderita hipertensi. Atrial fibrilasi dan gagal jantung

seringkali timbul bersamaan.

Alkohol dapat berefek secara langsung pada jantung, menimbulkan gagal jantung

akut maupun gagal jantung akibat aritmia (tersering atrial fibrilasi). Konsumsi alkohol

yang berlebihan dapat menyebabkan kardiomiopati dilatasi (penyakit otot jantung

Page 25: Lapkas Jantung Kor Pulmonal Ht Pulmonal RHF

alkoholik). Alkohol menyebabkan gagal jantung 2 – 3% dari kasus. Alkohol juga dapat

menyebabkan gangguan nutrisi dan defisiensi tiamin. Obat – obatan juga dapat

menyebabkan gagal jantung. Obat kemoterapi seperti doxorubicin dan obat antivirus

seperti zidofudin juga dapat menyebabkan gagal jantung akibat efek toksik langsung

terhadap otot jantung. (Mariyono, Harbanu dan Anwar Santoso. Gagal Jantung. Dalam

Jurnal Penyakit Dalam Volume 8 Nomor 3 Tahun 2007)

2.3.5 Patofisiologi

Gagal jantung merupakan kelainan multisitem dimana terjadi gangguan pada

jantung, otot skelet dan fungsi ginjal, stimulasi sistem saraf simpatis serta perubahan

neurohormonal yang kompleks. Pada disfungsi sistolik terjadi gangguan pada ventrikel

kiri yang menyebabkan terjadinya penurunan cardiac output. Hal ini menyebabkan

aktivasi mekanisme kompensasi neurohormonal, sistem Renin – Angiotensin – Aldosteron

(sistem RAA) serta kadar vasopresin dan natriuretic peptide yang bertujuan untuk

memperbaiki lingkungan jantung sehingga aktivitas jantung dapat terjaga.

Aktivasi sistem simpatis melalui tekanan pada baroreseptor menjaga cardiac

output dengan meningkatkan denyut jantung, meningkatkan kontraktilitas serta vasokons-

triksi perifer (peningkatan katekolamin). Apabila hal ini timbul berkelanjutan dapat

menyeababkan gangguan pada fungsi jantung. Aktivasi simpatis yang berlebihan dapat

menyebabkan terjadinya apoptosis miosit, hipertofi dan nekrosis miokard fokal. Stimulasi

sistem RAA menyebabkan penigkatan konsentrasi renin, angiotensin II plasma dan

aldosteron. Angiotensin II merupakan vasokonstriktor renal yang poten (arteriol eferen)

dan sirkulasi sistemik yang merangsang pelepasan noradrenalin dari pusat saraf simpatis,

menghambat tonus vagal dan merangsang pelepasan aldosteron. Aldosteron akan

menyebabkan retensi natrium dan air serta meningkatkan sekresi kalium. Angiotensin II

juga memiliki efek pada miosit serta berperan pada disfungsi endotel pada gagal jantung.

Terdapat tiga bentuk natriuretic peptide yang berstruktur hampir sama yeng

memiliki efek yang luas terhadap jantung, ginjal dan susunan saraf pusat. Atrial

Natriuretic Peptide (ANP) dihasilkan di atrium sebagai respon terhadap peregangan

menyebabkan natriuresis dan vasodilatsi. Pada manusia Brain Natriuretic Peptide (BNO)

juga dihasilkan di jantung, khususnya pada ventrikel, kerjanya mirip dengan ANP. C-type

natriuretic peptide terbatas pada endotel pembuluh darah dan susunan saraf pusat, efek

terhadap natriuresis danvasodilatasi minimal. Atrial dan brain natriuretic peptide

meningkat sebagai respon terhadap ekspansi volume dan kelebihan tekanan dan bekerja

Page 26: Lapkas Jantung Kor Pulmonal Ht Pulmonal RHF

antagonis terhadap angiotensin II pada tonus vaskuler, sekresi ladosteron dan reabsorbsi

natrium di tubulus renal. Karena peningkatan natriuretic peptide pada gagal jantung, maka

banyak penelitianyang menunjukkan perannya sebagai marker diagnostik dan prognosis,

bahkan telah digunakan sebagai terapi pada penderita gagal jantung. Vasopressin merupakan

hormon antidiuretik yang meningkat kadarnya pada gagal jantung kronik yang berat. Kadar

yang tinggi juga didpatkan padapemberian diuretik yang akan menyebabkan hiponatremia.

Endotelin disekresikan oleh sel endotel pembuluh darah dan merupakan peptide

vasokonstriktor yang poten menyebabkan efek vasokonstriksi pada pembuluh darah ginjal,

yang bertanggung jawab atas retensi natrium. Konsentrasi endotelin-1 plasma akan semakin

meningkat sesuai dengan derajat gagal jantung. Selain itu juga berhubungan dengan tekanan

pulmonary artery capillary wedge pressure, perlu perawatan dan kematian. Telah

dikembangkan endotelin-1 antagonis sebagai obat kardioprotektor yang bekerja menghambat

terjadinya remodelling vaskular dan miokardial akibat endotelin.

Disfungsi diastolik merupakan akibat gangguan relaksasi miokard, dengan kekakuan

dinding ventrikel dan berkurangnya compliance ventrikel kiri menyebabkan gangguan pada

Gagal Jantung pengisian ventrikel saat diastolik. Penyebab tersering adalah penyakit jantung

koroner, hipertensi dengan hipertrofi ventrikel kiri dan kardiomiopati hipertrofik, selain

penyebab lain seperti infiltrasi pada penyakit jantung amiloid. Walaupun masih kontroversial,

dikatakan 30 – 40 % penderita gagal jantung memiliki kontraksi ventrikel yang masih

normal. Pada penderita gagal jantung sering ditemukan disfungsi sistolik dan diastolik yang

timbul bersamaan meski dapat timbul sendiri.

2.3.6 Gambaran klinis

2.3.7 Diagnosis

Secara klinis pada penderita gagal jantung dapat ditemukan gejala dan tanda seperti

sesak nafas saat aktivitas, edema paru, peningkatan JVP, hepatomegali, edema tungkai.8-

10 Pemeriksaan penunjang yang dapat dikerjakan untuk mendiagnosis adanya gagal

jantung antara lain foto thorax, EKG 12 lead, ekokardiografi, pemeriksaan darah,

pemeriksaan radionuklide, angiografi dan tes fungsi paru.

Pada pemeriksaan foto dada dapat ditemukan adanya pembesaran siluet jantung

(cardio thoraxic ratio > 50%), gambaran kongesti vena pulmonalis terutama di zona atas

pada tahap awal, bila tekanan vena pulmonal lebih dari 20 mmHg dapat timbul gambaran

cairan pada fisura horizontal dan garis Kerley B pada sudutkostofrenikus. Bila tekanan

lebih dari 25 mmHg didapatkan gambaran batwing pada lapangan paru yang menunjukkan

adanya udema paru bermakna.

Page 27: Lapkas Jantung Kor Pulmonal Ht Pulmonal RHF

Dapat pula tampak gambaran efusi pleura bilateral, tetapi bila unilateral, yang lebih

banyak terkenadalah bagian kanan. Pada elektrokardiografi 12 lead didapatkan gambaran

abnormal pada hampir seluruh penderita dengan gagal jantung, meskipun gambaran

normal dapat dijumpai pada 10% kasus. Gambaran yang sering didapatkan antara lain

gelombang Q, abnormalitas ST – T, hipertrofi ventrikel kiri,bundle branch block dan

fibrilasi atrium. Bila gambaran EKG dan foto dada keduanya menunjukkan gambaran

yang normal, kemungkinan gagal jantung sebagai penyebab dispneu pada pasien sangat

kecil kemungkinannya.

Ekokardiografi merupakan pemeriksaan non-invasif yang sangat berguna pada

gagal jantung. Ekokardiografi dapat menunjukkan gambaran obyektif mengenai struktur

dan fungsi jantung. Penderita yang perlu dilakukan ekokardiografi adalah : semua pasien

dengan tanda gagal jantung, susah bernafas yang berhubungan dengan murmur, sesak

yang berhubungan dengan fibrilasi atrium, serta penderita dengan risiko disfungsi

ventrikel kiri (infark miokard anterior, hipertensi tak terkontrol, atau aritmia).

Ekokardiografi dapat mengidentifikasi gangguan fungsi sistolik, fungsi diastolik,

mengetahui adanya gangguan katup, serta mengetahui risiko emboli.

Pemeriksaan darah perlu dikerjakan untuk menyingkirkan anemia sebagai

penyebab susah bernafas, dan untuk mengetahui adanya penyakit dasar serta komplikasi.

Pada gagal jantung yang berat akibat berkurangnya kemampuan mengeluarkan air

sehingga dapat timbul hiponatremia dilusional, karena itu adanya hiponatremia

menunjukkan adanya gagal jantung yang berat. Pemeriksaan serum kreatinin perlu

dikerjakan selain untuk mengetahui adanyagangguan ginjal, juga mengetahui adanya

stenosisarteri renalis apabila terjadi peningkatan serum kreatinin setelah pemberian

angiotensin converting enzyme inhibitor dan diuretik dosis tinggi. Pada gagal jantung

berat dapat terjadi proteinuria. Hipokalemia dapat terjadi pada pemberian diuretiktanpa

suplementasi kalium dan obat potassium sparring. Hiperkalemia timbul pada gagal

jantung berat dengan penurunan fungsi ginjal, penggunaan ACE-inhibitor serta obat

potassium sparring. Pada gagal jantung kongestif tes fungsi hati (bilirubin, AST dan

LDH) gambarannya abnormal karena kongesti hati. Pemeriksaan profil lipid, albumin

serum fungsi tiroid dianjurkan sesuai kebutuhan.

Pemeriksaaan penanda BNP sebagai penanda biologis gagal jantung dengan kadar

BNP plasma 100pg/ml dan plasma NT-proBNP adalah 300 pg/ml. Pemeriksaan

radionuklide atau multigated ventrikulografi dapat mengetahui ejection fraction, laju

pengisian sistolik, laju pengosongan diastolik, dan abnormalitas dari pergerakan dinding.

Page 28: Lapkas Jantung Kor Pulmonal Ht Pulmonal RHF

Angiografi dikerjakan pada nyeri dada berulang akibat gagal jantung. Angiografi

ventrikel kiri dapat mengetahui gangguan fungsi yang global maupun segmental serta

mengetahui tekanan diastolik, sedangkan kateterisasi jantung kanan untuk mengetahui

tekanan sebelah kanan (atrium kanan, ventrikel kanan dan arteri pulmonalis) serta

pulmonary artery capillary wedge pressure.

2.3.8 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan penderita dengan gagal jantung meliputi penalaksanaan secara

non farmakologis dan secara farmakologis, keduanya dibutuhkan karena akan saling

melengkapi untuk penatlaksaan paripurna penderita gagal jantung. Penatalaksanaan gagal

jantung baik itu akut dan kronik ditujukan untuk memperbaiki gejala dan prognosis,

meskipun penatalaksanaan secara individual tergantung dari etiologi serta beratnya

kondisi. Sehingga semakin cepat kita mengetahui penyebab gagal jantung akan semakin

baik prognosisnya.

Penatalaksanaan non farmakologis yang dapat dikerjakan antara lain adalah dengan

menjelaskan kepada pasien mengenai penyakitnya, pengobatan serta pertolongan yang

dapat dilakukan sendiri. Perubahan gaya hidup seperti pengaturan nutrisi dan penurunan

berat badan pada penderita dengan kegemukan. Pembatasan asupan garam, konsumsi

alkohol, serta pembatasan asupan cairan perlu dianjurkan pada penderita terutama pada

kasus gagal jantung kongestif berat. Penderita juga dianjurkan untuk berolahraga karena

mempunyai efek yang positif terhadap otot skeletal, fungsi otonom, endotel serta

neurohormonal dan juga terhadap sensitifitas terhadap insulin meskipun efek terhadap

kelengsungan hidup belum dapat dibuktikan. Gagal jantung kronis mempermudah dan

dapat dicetuskan oleh infeksi paru, sehingga vaksinasi terhadap influenza dan

pneumococal perlu dipertimbangkan. Profilaksis antibiotik pada operasi dan prosedur gigi

diperlukan terutama pada penderita dengan penyakit katup primer maupun pengguna

katup prostesis.

Penatalaksanaan gagal jantung kronis meliputi penatalaksaan non farmakologis dan

farmakologis. Gagal jantung kronis bisa terkompensasi ataupun dekompensasi. Gagal

jantung terkompensasi biasanya stabil, dengan tanda retensi air dan edema paru tidak

dijumpai. Dekompensasi berarti terdapat gangguan yang mungkin timbul adalah episode

udema paru akut maupun malaise, penurunan toleransi latihan dan sesak nafas saat

aktifitas. Penatalaksaan ditujukan untuk menghilangkan gejala dan memperbaiki kualitas

hidup. Tujuan lainnya adalah untuk memperbaiki prognosis serta penurunan angka rawat.

Page 29: Lapkas Jantung Kor Pulmonal Ht Pulmonal RHF

Obat – obat yang biasa digunakan untuk gagal jantung kronis antara lain: diuretik

(loop dan thiazide), angiotensin converting enzyme inhibitors, ß blocker (carvedilol,

bisoprolol, metoprolol), digoxin, spironolakton, vasodilator (hydralazine /nitrat),

antikoagulan, antiaritmia, serta obat positif inotropik.

Pada penderita yang memerlukan perawatan, restriksi cairan (1,5 – 2 l/hari) dan

pembatasan asupan garam dianjurkan pada pasien. Tirah baring jangka pendek dapat

membantu perbaikan gejala karena mengurangi metabolisme serta meningkatkan perfusi

ginjal. Pemberian heparin subkutan perlu diberikan pada penderita dengan imobilitas.

Pemberian antikoagulan diberikan pada pemderita dengan fibrilasi atrium, gangguan

fungsi sistolik berat dengan dilatasi ventrikel. Penderita gagal jantung akut datang dengan

gambaran klinis dispneu, takikardia serta cemas, pada kasus yang lebih berat penderita

tampak pucat dan hipotensi. Adanya trias hipotensi (tekanan darah sistolik < 90 mmHg),

oliguria serta cardiac output yang rendah menunjukkan bahwa penderita dalam kondisi

syok kardiogenik.

Gagal jantung akut yang berat serta syok kardiogenik biasanya timbul pada infark

miokard luas, aritmia yang menetap (fibrilasi atrium maupun ventrikel) atau adanya

problem mekanis seperti ruptur otot papilari akut maupun defek septum ventrikel pasca

infark. Gagal jantung akut yang berat merupakan kondisi emergensi dimana memerlukan

penatalaksanaan yang tepat termasuk mengetahui penyebab, perbaikan hemodinamik,

menghilangan kongesti paru, dan perbaikan oksigenasi jaringan. Menempatkan penderita

dengan posisi duduk dengan pemberian oksigen konsentrasi tinggi dengan masker sebagai

tindakan pertama yang dapat dilakukan. Monitoring gejala serta produksi kencing yang

akurat dengan kateterisasi urin serta oksigenasi jaringan dilakukan di ruangan khusus.

Base excess menunjukkan perfusi jaringan, semakin rendah menunjukkan adanya

asidosis laktat akibat metabolisme anerob dan merupakan prognosa yang buruk. Koreksi

hipoperfusi memperbaiki asidosis, pemberian bikarbonat hanya diberikan pada kasus yang

refrakter. Pemberian loop diuretik intravena seperti furosemid akan menyebabkan

venodilatasi yang akan memperbaiki gejala walaupun belum ada diuresis. Loop diuretik

juga meningkatkan produksi prostaglandin vasdilator renal. Efek ini dihambat oleh

prostaglandin inhibitor seperti obat antiflamasi nonsteroid, sehingga harus dihindari bila

memungkinkan.

Opioid parenteral seperti morfin atau diamorfin penting dalam penatalaksanaan

gagal jantung akut berat karena dapat menurunkan kecemasan, nyeri dan stress, serta

menurunkan kebutuhan oksigen. Opiat juga menurunkan preload dan tekanan pengisian

Page 30: Lapkas Jantung Kor Pulmonal Ht Pulmonal RHF

ventrikel serta udem paru. Dosis pemberian 2 – 3 mg intravena dan dapat diulang sesuai

kebutuhan. Pemberian nitrat (sublingual, buccal dan intravenus) mengurangi preload serta

tekanan pengisian ventrikel dan berguna untuk pasien dengan angina serta gagal jantung.

Pada dosis rendah bertindak sebagai vasodilator vena dan pada dosis yang lebih tinggi

menyebabkan vasodilatasi arteri termasuk arteri koroner. Sehingga dosis pemberian harus

adekuat sehingga terjaid keseimbangan antara dilatasi vena dan arteri tanpa mengganggu

perfusi jaringan. Kekurangannya adalah teleransi terutama pada pemberian intravena dosis

tinggi, sehingga pemberiannya hanya 16 – 24 jam.

Sodium nitropusside dapat digunakan sebagai vasodilator yang diberikan pada

gagal jantung refrakter, diberikan pada pasien gagal jantung yang disertai krisis hipertensi.

Pemberian nitropusside dihindari pada gagal ginjal berat dan gangguan fungsi hati. Dosis

0,3 – 0,5 μg/kg/menit. Nesiritide adalah peptide natriuretik yang merupakan vasodilator.

Nesiritide adalah BNP rekombinan yang identik dengan yang dihasilkan ventrikel.

Pemberiannya akan memperbaiki hemodinamik dan neurohormonal, dapat menurunkan

aktivitas susunan saraf simpatis dan menurunkan kadar epinefrin, aldosteron dan endotelin

di plasma. Pemberian intravena menurunkan tekanan pengisian ventrikel tanpa

meningkatkan laju jantung, meningkatkan stroke volume karena berkurangnya afterload.

Dosis pemberiannya adalah bolus 2 μg/kg dalam 1 menit dilanjutkan dengan infus 0,01

μg/kg/menit.

Pemberian inotropik dan inodilator ditujukan pada gagal jantung akut yang disertai

hipotensi dan hipoperfusi perifer. Obat inotropik dan / atau vasodilator digunakan pada

penderita gagal jantung akut dengan tekanan darah 85 – 100 mmHg. Jika tekanan sistolik

< 85 mmHg maka inotropik dan/atau vasopressor merupakan pilihan. Peningkatan tekanan

darah yang berlebihan akan dapat meningkatkan afterload. Tekanan darah dianggap cukup

memenuhi perfusi jaringan bila tekanan arteri rata - rata > 65 mmHg. Pemberian dopamin

2 μg/kg/mnt menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah splanknik dan ginjal. Pada dosis 2

– 5 μg/kg/mnt akan merangsang reseptor adrenergik beta sehingga terjadi peningkatan laju

dan curah jantung. Pada pemberian 5 – 15 μg/kg/mnt akan merangsang reseptor

adrenergik alfa dan beta yang akan meningkatkan laju jantung serta vasokonstriksi.

Pemberian dopamin akan merangsang reseptor adrenergik _1 dan _2, menyebabkan

berkurangnya tahanan vaskular sistemik (vasodilatasi) dan meningkatnya kontrkatilitas.

Dosis umumnya 2 – 3 μg/kg/mnt, untuk meningkatkan curah jantung diperlukan dosis 2,5

– 15 μg/kg/mnt. Pada pasien yang telah mendapat terapi penyekat beta, dosis yang

dibutuhkan lebih tinggi yaitu 15 – 20 μg/kg/mnt.

Page 31: Lapkas Jantung Kor Pulmonal Ht Pulmonal RHF

Phospodiesterase inhibitor menghambat penguraian cyclic-AMP menjadi AMP

sehingga terjadi efek vasodilatasi perifer dan inotropik jantung. Yang sering digunakan

dalam klinik adalah milrinone dan enoximone. Biasanya digunakan untuk terapi penderia

gagal jantung akut dengan hipotensi yang telah mendapat terapi penyekat beta yang

memerlukan inotropik positif. Dosis milrinone intravena 25 μg/kg bolus 10 – 20 menit

kemudian infus 0,375 – 075 μg/kg/mnt. Dosis enoximone 0,25 – 0,75 μg/kg bolus

kemudian 1,25 – 7,5 μg/kg/mnt.

Pemberian vasopressor ditujukan pada penderita gagal jantung akut yang disertai

syok kardiogenik dengan tekanan darah < 70 mmHg. Penderita dengan syok kardiogenik

biasanya dengan tekanan darah < 90 mmHg atau terjadi penurunan tekanan darah sistolik

30 mmHg selama 30 menit. Obat yang biasa digunakan adalah epinefrin dan norepinefrin.

Epinefrin diberikan infus kontinyu dengan dosis 0,05 – 0,5 μg/kg/mnt. Norepinefrin

diberikan dengan dosis 0,2 – 1 μg/kg/mnt. Penanganan yang lain adalah terapi penyakit

penyerta yang menyebabkan terjadinya gagal jantung akut de novo atau dekompensasi.

Yang tersering adalah penyakit jantung koroner dan sindrom koroner akut. Bila penderita

datang dengan hipertensi emergensi pengobatan bertujuan untuk menurunkan preload dan

afterload. Tekanan darah diturunkan dengan menggunakan obat seperti lood diuretik

intravena, nitrat atau nitroprusside intravena maupun natagonis kalsium intravena

(nicardipine). Loop diuretik diberkan pada penderita dengan tanda kelebihan cairan.

Terapi nitrat untuk menurunkan preload dan afterload, meningkatkan aliran darah koroner.

Nicardipine diberikan pada penderita dengan disfungsi diastolik dengan afterload tinggi.

Penderita dengan gagal ginjal, diterapi sesuai penyakit dasar. Aritmia jantung harus

diterapi.

Penanganan invasif yang dapat dikerjakan adalah Pompa balon intra aorta,

pemasangan pacu jantung, implantable cardioverter defibrilator, ventricular assist device.

Pompa balon intra aorta ditujukan pada penderita gagal jantung berat atau syok

kardiogenik yang tidak memberikan respon terhadap pengobatan, disertai regurgitasi

mitral atau ruptur septum interventrikel. Pemasangan pacu jantung bertujuan untuk

mempertahankan laju jantung dan mempertahankan sinkronisasi atrium dan ventrikel,

diindikasikan pada penderita dengan bradikardia yang simtomatik dan blok

atrioventrikular derajat tinggi. Implantable cardioverter device bertujuan untuk mengatasi

fibrilasi ventrikel dan takikardia ventrikel. Vascular Assist Device merupakan pompa

mekanis yang mengantikan sebgaian fungsi ventrikel, indikasi pada penderita dengan syok

kardiogenik yang tidak respon terhadap terapi terutama inotropik.

Page 32: Lapkas Jantung Kor Pulmonal Ht Pulmonal RHF

2.3.9 Prognosis

2.4 Bronkiektasis

2.4.1. Definisi

Bronkiektasis adalah suatu penyakit yang ditandai dengan adanya dilatasi

(ektasis) bronkus lokal yang bersifat patologis dan berjalan kronik. Kelainan bronkus

tersebut disebabkan oleh perubahan-perubahan dalam dinding bronkus berupa destruksi

elemen-elemen elastis dan otot-otot polos bronkus. Bronkus yang terkena umumnya

adalah bronkus kecil (medium size), sedangkan bronkus besar jarang terkena.

2.4.2. Epidemiologi

Di negeri-negeri barat, kekerapan bronkiektasis diperkirakan sebanyak 1,3 % di

antara populasi. Di Indonesia belum ada laporan tentang angka-angka yang pasti

mengenai penyakit ini. Kenyataannya penyakit ini cukup sering ditemukan di klinik-

klinik dan diderita oleh laki-laki maupun wanita. Penyakit ini dapat diderita mulai sejak

anak-anak, bahkan dapat merupakan kelainan kongenital.

2.4.3. Etiologi

Penyebab bronkiektasis sampai sekarang masih belum diketahui dengan jelas.

Pada kenyataannya kasus-kasus bronkiektasis dapat timbul secara kongenital maupun

didapat.

a. Kelainan Kongenital

Dalam hal ini bronkiektasis terjadi sejak individu masih dalam kandungan. Faktor

genetik atau faktor pertumbuhan dan perkembangan fetus memegang peran penting.

Bronkiektasis yang timbul kongenital ini mempunyai ciri sebagai berikut, pertama,

bronkiektasis mengenai hampir seluruh cabang bronkus pada satu atau kedua paru.

Kedua, bronkiektasis kongenital sering menyertai penyakit-penyakit kongenital

lainnya, misalnya: mukoviskidosis (cystic pulmonary fibrosis), sindrom kartagener

(bronkiektasis kongenital, sinusitis paranasal dan situs inversus), hipo atau

agamaglobulinemia, bronkiektasis pada anak kembar satu telur (anak yang satu

dengan bronkiektasis, ternyata saudara kembarnya juga menderita bronkiektasis),

bronkiektasis sering bersamaan dengan kelainan kongenital berikut: tidak adanya

tulang rawan bronkus, penyakit jantung bawaan, kifoskoliosis kongenital.

b. Bronkiektasis Didapat

Bronkiektasis sering merupakan kelainan didapat dan kebanyakan merupakan

akibat proses berikut:

Infeksi

Page 33: Lapkas Jantung Kor Pulmonal Ht Pulmonal RHF

Bronkiektasis sering terjadi sesudah seseorang anak menderita pneumonia yang

sering kambuh dan berlangsung lama. Pneumonia ini umumnya merupakan

komplikasi pertusis maupun influenza yang diderita semasa anak, tuberkulosis

paru, dan sebagainya.

Obstruksi bronkus

Obstruksi bronkus yang dimaksudkan disini dapat disebabkan oleh berbagai

macam sebab: korpus alineum, karsinoma bronkus atau tekanan dari luar lainnya

terhadap bronkus.Menurut penelitian para ahli diketahui bahwa adanya infeksi

ataupun obstruksi bronkus tidak selalu secara nyata menimbulkan bronkiektasis.

Oleh karenanya diduga mungkin masih ada faktor intrinsik ikut berperan terhadap

timbulnya bronkiektasis.

2.4.4. Patologi

Terdapat berbagai variasi bronkiektasis, baik mengenai jumlah atau luasnya

bronkus yang terkena maupun beratnya penyakit.

a. Tempat predisposisi bronkiektasis

Dapat mengenai bronkus pada satu segmen paru, bahkan dapat secara difus

mengeai kedua paru. Bagian paru yang sering terkena dan merupakan tempat

predisposisi bronkiektasis adalah lobus tengah paru kanan, bagian lingual paru kiri

lobus atas, segmen basal pada lobus bawah kedua paru.

b. Bronkus yang terkena

Umumnya adalah bronkus ukuran sedang, sedangkan bronkus yang besar jarang

terkena. Bronkus yang terkena dapat hanya pada satu segmen paru saja maupun

difus.

c. Perubahan morfologi bronkus yang terkena

Dinding bronkus

Dapat mengalami perubahan berupa proses inflamasi yang sifatnya destruktif

dan ireversibel. Pada pemeriksaan patologi anatomi sering ditemukan berbagai

tingkatan keaktifan proses inflamasi serta terdapat proses fibrosis. Jaringan bronkus

yang mengalami kerusakan selain otot-otot polos bronkus juga elemen-elemen

elastis.

Mukosa bronkus

Permukaannya menjadi abnormal, silia pada sel epitel menghilang, terjadi

perubahan metaplasia skuamosa dan terjadi sebukan hebat sel-sel inflamasi. Apabila

Page 34: Lapkas Jantung Kor Pulmonal Ht Pulmonal RHF

terjadi eksaserbasi infeksi akut, pada mukosa akan terjadi pengelupasan, ulserasi dan

pernanahan

Jaringan paru peribronkial

Dapat ditemukan kelainan antara lain berupa pneumonia, fibrosis paru atau

pleuritis apabila prosesnya dekat pleura. Pada keadaan yang berat, jaringan paru

distal bronkiektasis akan diganti oleh jaringan fibrotik dengan kista-kista berisi

nanah.

d. Variasi kelainan anatomis bronkiektasis

Telah dikenal ada 3 variasi bentuk kelainan anatomis bronkiektasis, yaitu:

Bentuk tabung (tubular, cilindrical, fusiform bronchiectasis). Merupakan

bronkiektasis yang paling ingan. Bentuk ini sering ditemukan pada

bronkiektasis yang menyertai bronkitis kronis.

Bentuk kantong (saccular bronchiectasis). Merupakan bentuk bronkiektasis

yang klasik, ditandai dengan adanya dilatasi dan penyempitan bronkus yang

bersifat ireguler, Bentuk ini kadang-kadang berbentuk kista (cystic

bronkiektasis).

Varicose bronchiectasis. Merupakan bentuk antara bentuk tabung dan kantong.

Istilah ini digunakan karena perubahan bentuk bronkus menyerupai varises

pembuluh vena.

2.4.5. Patogenesis

Tergantung penyebabnya. Apabila bronkiektasis timbul kongenital,

patogenesisnya tidak diketahui, diduga erat hubungannya dengan genetik serta faktor

pertumbuhan dan perkembangan fetus dalam kandungan. Pada bronkiektasis yang

didapat, patogenesisnya diduga melalui beberapa mekanisme. Ada beberapa faktor yang

diduga ikut berperan, antara lain: (1) obstruksi bronkus, (2) infeksi pada bronkus atau

paru, (3) adanya beberapa penyakit tertentu seperti fibrosis paru, asthmatic pulmonary

eosinophilia dan (4) faktor intrinsik dalam bronkus atau paru.

Patogenesis pada kebanyakan bronkiektasis yang didapat, diduga melalui dua

mekanisme dasar. Permulaannya didahului adanya infeksi bakterial. Mula-mula karena

adanya infeksi pada bronkus atau paru, kemudian timbul bronkiektasis. Mekanisme

kejadiannya sangat rumit. Secara ringkas dapat dikatakan bahwa infeksi pada bronkus

atau paru, akan diikuti proses destruksi dinding bronkus daerah infeksi dan kemudian

timbul bronkiektasis.

Page 35: Lapkas Jantung Kor Pulmonal Ht Pulmonal RHF

Permulaannya didahului adanya obstruksi bronkus. Adanya obstruksi bronkus

oleh beberapa penyebab (misalnya tuberkulosis kelenjar limfe pada anak, karsinoma

bronkus, korpus alineum dalam bronkus) akan diikuti terbentuknya bronkiektasis. Pada

bagian distal obstruksi biasanya akan terjadi infeksi dan destruksi bronkus, kemudian

terjadi bronkiektasis.

Pada bronkiektasis didapat, pada keadaan yang amat jarang, dapat terjadi atau

timbul sesudah masuknya bahan kimia korosif (biasanya bahan hidrokarbon) ke dalam

saluran nafas dan karena terjadinya aspirasi berulang bahan/cairan lambung ke dalam

paru. Seperti diketahui, bronkiektasis merupakan penyakit paru yang mengenai bronkus

dan sifatnya kronik. Keluhan-keluhan yang timbul berlangsung kronik dan menetap.

Keluhan-keluhan yang timbul berhubungan erat dengan: (1) luas atau banyaknya

bronkus yang terkena, (2) tingkatan beratnya penyakit, (3) lokasi bronkus yang terkena

dan (4) ada atau tidak adanya komplikasi lanjut.Pada bronkiektasis, keluhan-keluhan

timbul umumnya sebagai akibat adanya beberapa hal berikut: (1) adanya kerusakan

dinding bronkus, (2) adanya kerusakan fungsi bronkus dan (3) adanya akibat lanjut

bronkiektasis atau komplikasi dan sebagainya. Kerusakan dinding bronkus dapat berupa

dilatasi dinding bronkus, kerusakan elemen elastis dan otot-otot polos bronkus, kerusakan

mukosa dan silia. Kerusakan tersebut akan menimbulkan stasis sputum, gangguan

ekspektorasi, gangguan reflek batuk dan sesak nafas.

Mengenai infeksi dan hubungannya dengan patogenesis bronkiektasis, dapat

dijelaskan sebagai berikut:

a. Infeksi pertama (primer)

Kecuali pada bentuk bronkiektasis kongenital, tiap bronkiektasis kejadiannya

didahului infeksi bronkus (bronchitis) maupun jaringan paru (pneumonia). Masih

menjadi pertanyaan, apakah infeksi yang mendahului terjadinya bronkiektasis tersebut

Page 36: Lapkas Jantung Kor Pulmonal Ht Pulmonal RHF

disebabkan oleh bakteri atau virus. Menurut hasil penelitian para ahli terdahulu

ditemukan bahwa infeksi yang mendahului bronkiektasis adalah infeksi bakterial,

yaitu mikroorganisme penyebab pneumonia atau bronkitis yang mendahuluinya.

Dikatakan bahwa hanya infeksi bakteri saja yang dapat menyebabkan kerusakan pada

dinding bronkus sehingga terjadi bronkiektasis, sedangkan infeksi virus tidak dapat.

Boleh jadi bahwa pneumonia atau bronkitis yang mendahului bronkiektasis tadi

didahului oleh infeksi virus (misalnya adenovirus tipe 21, virus influenza, campak dan

sebagainya).

b. Infeksi sekunder

Tiap pasien bronkiektasis tidak selalu disertai infeksi sekunder pada lesi (daerah

bronkiektasis). Secara praktis apabila sputum pasien bronkiektasis bersifat mukoid

dan putih jernih, menandakan tidak atau belum ada infeksi sekunder. Sebaliknya

apabila sputum pasien yang semula berwarna putih jernih kemudian berubah

warnanya menjadi kuning atau kehijauan atau berbau busuk berarti telah terjadi

infeksi sekunder. Untuk menentukan jenis kumannya bisa dilakukan pemeriksaan

mikrobiologis. Sputum berbau busuk menandakan adanya infeksi sekunder oleh

kuman anaerob. Contoh kuman anaerob ini: Fusiformis fusiformis, treponema

vincenti, anaerobic streptococci, dan sebagainya. Kuman-kuman aerob yang sering

ditemukan dan menginfeksi bronkiektasis misalnya: Streptokokus pneumonia,

hemopilis influenza, klebsiela ozeona, dan sebagainya.

Sesudah seseorang menderita bronkiektasis, perjalanan klinis penyakit

selanjutnya tergantung pada luasnya penyakit, efektivitas drainase sputum dan efektivitas

pengobatan infeksi. Kalau penyakitnya luas atau pengobatannya tidak memuaskan, dapat

timbul beberapa komplikasi lanjut yang tidak menyenangkan. Apabila penyakit ini

berlanjut terus, keadaan umum pasien dapat menjadi sangat menurun. Sebagai akibat daya

tahan tubuh yang menurun mudah timbul infeksi berulang, nafsu makan berkurang

menimbulkan malnutrisi dan sebagainya. Dalam keadaan yang sangat jarang, pada pasien

dapat timbul perubahan degeneratif yaitu terjadi amiloidosis.

2.4.6. Gambaran Klinis

Gejala dan tanda klinis yang timbul pada pasien bronkiektasis tergantung pada

luas dan beratnya penyakit, lokasi kelainannya dan ada atau tidak adanya komplikasi

lanjut. Ciri khas penyakit ini adalah adanya batuk kronik disertai produksi sputum,

adanya hemoptisis dan pneumonia berulang. Gejala dan tanda klinis tersebut dapat

demikian hebat pada penyakit yang berat, dan dapat tidak nyata atau tanpa gejala pada

Page 37: Lapkas Jantung Kor Pulmonal Ht Pulmonal RHF

penyakit yang ringan.Bronkiektasis yang mengenai bronkus pada lobus atas sering dan

memberikan gejala:

a. Batuk

Batuk pada bronkiektasis mempunyai ciri antara lain batuk produktif berlangsung

kronik dan frekuensi mirip seperti pada bronkitis kronik, jumlah sputum bervariasi,

umumnya jumlahnya banyak terutama pada pagi hari sesudah ada perubahan posisi

tidur atau bangun. Kalau tidak ada infeksi sekunder sputumnya mukoid, sedang apabila

terjadi infeksi sekunder sputumnya purulen, dapat memberikan bau mulut yang tidak

sedap. Apabila terjadi infeksi sekunder oleh kuman anaerob akan menimbulkan sputum

sangat berbau busuk. Pada kasus yang ringan, pasien dapat tanpa batuk atau hanya

timbul batuk apabila ada infeksi sekunder. Pada kasus yang sudah berat, misalnya pada

sakular type brokiektasis, sputum jumlahnya banyak sekali, purulen dan apabila

ditampung beberapa lama, tampak terpisah jadi tiga lapisan: (a) Lapisan teratas agak

keruh terdiri atas mukus, (b) Lapisan tengah jernih terdiri atas saliva dan (c) Lapisan

terbawah keruh terdiri atas nanah dan jaringan nekrosis dari bronkus yang rusak.

b. Hemoptisis

Hemoptisis atau hemoptoe terjadi kira-kira pada 50% kasus bronkiektasis. Keluhan

ini terjadi akibat nekrosis atau destruksi mukosa bronkus mengenai pembuluh darah

dan timbul perdarahan. Perdarahan yang terjadi bervariasi mulai yang paling ringan

sampai perdarahan yang cukup banyak apabila nekrosis yang mengenai mukosa amat

hebat atau terjadi nekrosis yang mengenai cabang arteri bronkialis (darah berasal dari

peredaran darah sistemik). Pada bronkiektasis kering, hemoptisis justru merupakan

gejala satu-satunya, karena jenis ini letaknya di lobus atas paru, drainasenya baik,

sputum tidak pernah menumpuk dan kurang menimbulkan reflek batuk. Pasien tanpa

batuk atau batuknya minimal. Dapat diambil pelajaran, bahwa apabila kita menemukan

kasus hemoptisis hebat tanpa adanya gejala-gejala batuk sebelumnya atau tanpa

kelainan fisis yang jelas hendaknya diingat dry bronciektasis ini. Hemoptisis pada

bronkiektasis walaupun kadang-kadang hebat jarang fatal.

2.4.7. Diagnosis

a. Kelainan Fisik

Pasien mengalami batuk-batuk dengan pengeluaran sputum, sesak napas, demam

atau sedang batuk darah. Tanda-tanda fisis umum yang dapat ditemukan meliputi

sianosis, ajri tabuh, manifestasi klinis komplikasi bronkiektasis. Ditemukan ronki

Page 38: Lapkas Jantung Kor Pulmonal Ht Pulmonal RHF

basah yang jelas pada lobus bawh paru yang terkena.(Pasiyan Rahmatullah.

Bronkiektasis dalam Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III edisiV .2009)

b. Kelainan Laboratorium

Kelainan laboratorium umumnya tidak khas, bila penyakitnya ringan gambaran

darahnya normal. Pada keadaan lanjut dan sudah ada insufisiensi paru dapat ditemukan

polisitemia sekunder. Sering ditemukan anemia yang menunjukkan adanya infeksi

kronik. Urin umumnya normal, kecuali bila ada komplikasi amiloidosis akan ditemukan

proteinuria. Pemeriksaan sputum perlu dilakukan untuk menentukan kuman apa yang

terdapat dalam sputum.

c. Kelainan Radiologis

Gambaran foto dada pasien bronkiektasis sangat bervariasi, tergantung berat

ringannya kelainan serta letak kelainannya. Gambaran radiologik khas untuk

bronkiektasis biasanya menunjukkan kista-kista kecil dengan fluid level, mirip seperti

gambaran sarang tawon (honey comb appearance) pada daerah yang terkena. Kadang-

kadang gambaran radiologis paru pada bronkiektasis menunjukkan adanya bercak-

bercak pneumonia, fibrosis atau atelektasis, bahkan kadang-kadang gambaran seperti

pada paru normal.

Radiologi paru menunjukkan peningkatan area suprahilus, bronkovascular, area

honeycomb atau area cystic dengan atau tanpa fluid level.

2.4.8. Komplikasi

1. Bronkitis kronik

2. Pneumonia

3. Pleuritis

4. Efusi pleura

5. Hemoptisis

Page 39: Lapkas Jantung Kor Pulmonal Ht Pulmonal RHF

6. Kor pulmonal kronik (KPK)

7. Amiloidosis

2.4.9. Tatalaksana

a. Pengobatan Konservatif

- Melakukan drainase postural. Pasien diletakkan dengan posisi tubuh

sedemikian rupa sehingga dapat dicapai drainase sputum secara maksimal, tiap

kali dikerjakan selama 10-20 menit dan tiap hari dikerjakan 2-4 kali. Prinsip

drainase adalah usaha mengeluarkan sputum dengan bantuan gaya gravitasi.

- Mencairkan sputum yang kental, dapat dialkukan dengan jalan misalnya:

inhalasi uap air panas atau dingin, menggunakan obat-obatan mukolitik dan

perbaikan hidrasi tubuh.

- Mengatur posisi tempat tidur pasien sedemikian upa sehingga posisi tidur

pasien dapat memudahkan drainase sekret bronkus. Misalnya dengan

mengganjal kaki tempat tidur bagian kaki pasien.

- Mengontrol infeksi saluan napas dengan antibiotik yang sesuai.

b. Pengelolaan Khusus

- Drainase sekret degan brnkoskop

- Pengobatan demam pada psien yang mengalami eksaserbasi infeksi akut.

- Pengobatan hipoksia dengan pemberian oksigen.

BAB III

PENYAJIAN KASUS

ANAMNESIS

Nama : Ny. NA

Jenis Kelamin : Perempuan

Umur : 23 tahun, 8 bulan

Agama : Islam

Alamat : Gang Parwasal 7 no.26 Siantan, Pontianak

Pekerjaan : IRT

Tanggal Masuk RS : 1 Mei 2011

Anamnesis dilakukan pada tanggal 5 Mei 2011 pukul 14.15 WIB

Page 40: Lapkas Jantung Kor Pulmonal Ht Pulmonal RHF

Keluhan Utama: Sesak napas

Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien mengeluh sesak napas sejak 1 minggu yang lalu, hilang timbul. Pada saat sesak

napas, pasien mengeluhkan lehernya terasa seperti tercekik dan napas menjadi lebih pendek.

Sesak napas yang dirasakan diakui telah dirasakan sejak pasien berumur 2 tahun, namun

keluhan sesak yang sekarang dirasakan lebih berat. Menurut pengakuan pasien, sesak sudah

dirasakan saat pasien berbaring, sehingga sehari-harinya pasien tidak bisa melakukan

aktivitas seperti biasa, melainkan hanya berbaring saja. Pasien harus berbaring dengan

menggunakan 3 buah bantal agar mengurangi sesak, dan saat malam hari pasien sering

terbangun dari tidur akibat sesak napas. Pasien juga mengaku beberapa hari yang lalu kedua

kaki dan perut bengkak, keluhan tersebut diakui baru terjadi sekali saja. Bengkak-bengkak

tersebut hilang setelah pasien mengkonsumsi obat minum yang membuatnya sering buang air

kecil. Pasien juga mengeluh batuk berdahak sejak 1 bulan yang lalu, dahak yang keluar kental

dan berwarna hijau, sebelumnya dahak yang keluar berwarna kuning kental. Batuk paling

kuat dirasakan pada pagi hari. Keringat malam tidak ada dikeluhkan. Satu hari yang lalu

pasien juga mengalami demam tinggi tanpa disertai menggigil. Demam hilang setelah

mengkonsumsi obat. Pasien sebelumnya pernah mendapatkan pengobatan untuk sesak

napasnya dari dokter umum berupa obat minum.

Riwayat Penyakit Dahulu

Pasien juga pernah mengkonsumsi obat dari puskesmas yang harus diminum selama

6 bulan saat pasien berusia 14 tahun. Pengobatan tersebut diakui telah tuntas dijalani selama

6 bulan.

Riwayat Penyakit Keluarga

Di keluarga, kakek pasien juga mengalami keluhan sesak napas.

Riwayat Kebiasaan

Pasien mengaku mudah merasa lelah. Sejak kecil tidak bisa melakukan aktivitas berat.

Sehari-hari makan 2 kali sehari, dengan lauk dan sayuran.

Riwayat Sosial Ekonomi

Pasien merupakan peserta JAMSKESMAS, suami pasien bekerja sebagai buruh bangunan

Page 41: Lapkas Jantung Kor Pulmonal Ht Pulmonal RHF

PEMERIKSAAN FISIK

Dilakukan pada tanggal 5 dan 7 mei pukul 14.30 dan 10.00 WIB

Status Generalis

Keadaan umum : sedang, tampak sedikit sesak

Kesadaran : kompos mentis (GCS 4,5,6)

Tanda Vital

Nadi : 104x/menit irama ireguler, isi lemah

Tekanan darah : 90/70 mmHg

Napas : 28x menit dengan irama dan jenis pernapasan torako abdominal

Suhu : 36,5 ºC

Kulit : ikterik (-), eritem (-), sianosis (+)

Kepala : bentuk tidak ada kelainan, simetris dan tidak ada nyeri tekan

Mata : konjunngtiva anemis (+/+), sclera ikterik (-/-)

Telinga : secret (-/-), nyeri tekan tragus (-/-)

Hidung : secret (-/-), deformitas (-)

Mulut : bibir sianosis (-), lidah kotor (-)

Leher : pembesaran limfanodi (-), deviasi trakea (-), JVP ( 5+4cm H2O)

Torak : bentuk normal, rasio AP: laterolateral = 2:1

Paru

Inspeksi :

Statis : bentuk normal, pada kulit tidak terdapat kelainan kulit, sikatriks dan massa

Dinamis : pengembangan dada kiri dan kanan simetris, irama pernapasan teratur

Palpasi : fremitus taktil meningkat, nyeri tekan (-)

Perkusi :

Lapang paru atas : sonor

Lapang paru tengah : sonor

Lapang paru bawah : sonor

Batas paru-hepar sela iga 7 linea midklavikula sinistra, batas paru-lambung sela iga

8 linea axillaris anterior

Auskultasi : suara napas dasar : vesikuler, wheezing (+/+), ronki (+/+)

Page 42: Lapkas Jantung Kor Pulmonal Ht Pulmonal RHF

Abdomen

Inspeksi : bentuk dan ukuran normal, venektasi (-)

Palpasi : nyeri tekan (-)

Hepar tak teraba, nyeri tekan kuadran kanan atas (-)

Lien tak teraba, nyeri tekan (-)

Perkusi : timpani pada 4 regio abdomen

Auskultasi : bising usus 8x/menit

Ekstremitas

Atas : oedema (-/-), sianosis (+), jari tabuh (+), akral dingin (-), pengisian kapiler 3

detik

Bawah : oedema (-/-), sianosis (+), jari tubuh (+), akral dingin (-), pengisian kapiler 3

detik

Status Lokalis

Jantung

Inspeksi : pulsasi iktus kordis tampak di sela iga 5 linea midklavikularis sinistra

Palpasi : diameter iktus kordis 3 jari

Kuat angkat (+), trill (+), melebar (-)

Perkusi : batas jantung

Atas : sela iga 2 linea strenalis sinistra

Kanan : sela iga 5 linea sternalis dextra

Kiri : sela iga 5 linea midklavikularis sinistra

Pinggang : sela iga 3 linea parasternal sinistra

Auskultasi : S1, S2 ireguler

S3 (+) di apeks, S4 (-), murmur (+) menjalar ke axilla sinistra

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan Laboratorium (tanggal 1 Mei 2011)

Hb : 11,3 g/dl

Leu : 9100

Trombosit: 262000

Ht : 35,4%

EKG (hasil pemeriksaan tanggal (9 Mei 2011)

Page 43: Lapkas Jantung Kor Pulmonal Ht Pulmonal RHF

Frekuensi 125x/mnt

Irama sinus

Aksis jantung deviasi ke kanan 35º

Interval PR 0,08 detik (2 kotak kecil)

Kompleks QRS lebarnya 0,08 detik (2 kotak kecil)

Gelombang P tinggi (3kotak kecil = 3mm) dan lancip di sadapan II, III dan avF, di sadapan

V1 terdapat defleksi P awal dengan dalam 1,5mm lebar 0,04 detik (1 kotak kecil)

Segmen ST normal

Interval QT 0,16 detik (4 kotak kecil)

Gelombang T normal

Q patologis (-)

Interpretasi :

Irama sinus takikardi, frekuensi 125x/mnt dengan abnormalitas atrium kanan

Pemeriksaan Radiologi

Foto thorax AP : Cardiomegali, multipel cystic di kanan dan infiltrat supra hilus kiri

CTR > 50%

Kesan : bronchiectasis dengan suspect infeksi TB + cardiomegali

Pemeriksaan Ekokardiografi (9 Mei 2011)

1.Katup-katup:

- Aorta dan mitral normal

- Tricuspid regurgitasi berat (P = 59 mmHg)

- Pulmonal regurgitasi ringan

2.Dimensi Left Atrium normal

Dimensi Right Atrium dilatasi

Dimensi Riht Ventricle dilatasi

3.VSD (-)

4.Dimensi Left Ventricle normal, normokinetik

5.EF = 92%

Kesimpulan : Cor Pulmonale Chronic Decompensata dengan Hipertensi Pulmonal Ringan

ASD (-)

Page 44: Lapkas Jantung Kor Pulmonal Ht Pulmonal RHF

RESUME

Seorang wanita, 23 tahun, datang ke RSUD dr Soedarso dengan keluhan sesak napas

sejak 1 minggu yang lalu, hilang timbul. Sesak napas yang dirasakan diakui telah dirasakan

sejak pasien berumur 2 tahun, namun keluhan sesak yang dirasakan sekarang lebih berat.

Sesak dirasakan saat beristirahat. Timbulnya sesak tidak dipicu oleh cuaca, makanan dan

emosi. Pasien harus berbaring dengan menggunakan 3 buah bantal dan saat malam hari

pasien sering terbangun dari tidur akibat sesak napas. Nyeri dada (-), palpitasi (-). Beberapa

hari yang lalu kedua kaki dan perut bengkak, hilang setelah pasien mengkonsumsi obat

minum yang membuatnya sering buang air kecil. Pasien juga mengeluh batuk berdahak seak

1 bulan yang lalu, dahak yang keluar berwarna hijau, sebelumnya dahak yang kelaur

berwarna kuning kental. Demam (+), menggigil (-). Riwayat konsumsi OAT (+), riwayat

pengobatan (+).

Pada pemeriksaan fisik didapatkan konjugtiva yang anemis pada pemeriksaan umum,

takikardi, takipnea, sianosis (+), clubbing finger (+) dan JVP yang meningkat. Dari

pemeriksaan paru didapatkan wheezing dan rhonki pada kedusa lapang paru. Pemeriksaan

abdomen dalam batas normal, hepar-lien tidak teraba, ascites (-). Pemeriksaan jantung

didapatkan pulsasi iktus kordis tampak di sela iga 5 linea midklavikularis sinistra, diameter

iktus kordis 3 jari, batas jantung kanan bergeser ke bawah, S1 S2 ireguler, S3 di apeks,

murmur sistolik menjalar ke axilla sinistra. Pemeriksaan EKG menunjukkan abnormalitas

atrium kanan, foto thorax menunjukkan bronkiektasis dengan kecurigaan infeksi TB serta

kardiomegali. Dari pemeriksaan ekokardiografi diperoleh hasil regurgitasi katup trikuspid

dan pulmonal serta dilatasi atrium dan ventrikel kanan.

DIAGNOSIS

Diagnosis klinis : Kor Pulmonal Kronik Dekompensata Bronkiektasis

Diagnosis anatomi : Dilatasi Atrium dan Ventrikel Kanan

Diagnosis etiologi : Infeksi paru

TATALAKSANA

Non Medikamentosa:

Terapi cairan : IVFD RL 20 tpm

Page 45: Lapkas Jantung Kor Pulmonal Ht Pulmonal RHF

Oksigen 2-4 l/mnt

Terapi nutrisi : diet tinggi kalori dan protein

Tirah baring

Medikamentosa:

Digoxin oral tablet 0,25 mg 1 x 1 tab/hari

Ceftriaxon iv 1 x 1-2 gram/hari

Ambroxol syrup 15mg/5ml, 3 x 1 sendok takar (10 ml)

Usulan pemeriksaan Lanjutan

Pemeriksaan Sputum dengan pewarnaan gram dan Ziehl-nielsen

Pemerriksaan darah lengkap

Ekokardiografi

PROGNOSIS

Ad vitam : dubia ad malam

Ad functionam : dubia ad malam

Ad sanactionam : dubia ad malam

BAB IV

PEMBAHASAN

BAB V

KESIMPULAN

DAFTAR PUSTAKA