Jan 09, 2016
BAB 1PENDAHULUANAnestesi secara umum adalah suatu tindakan menghilangkan rasa sakit ketika melakukan pembedahan dan berbagai prosedur lainnya yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh. Namun, obat-obat anestesi tidak hanya menghilangkan rasa sakit akan tetapi juga menghilangkan kesadaran. Selain itu, juga dibutuhkan relaksasi otot yang optimal agar operasi dapat berjalan lancer.
Anestesi umum adalah tindakan meniadakan nyeri secara sentral disertai dengan hilangnya kesadaran dan bersifat pulih kembali (reversible). Komponen anestesi yang ideal (trias anestesi) terdiri dari : hipnotik, analgesia dan relaksasi otot. Praktek anestesi umum juga termasuk mengendalikan pernapasanpemantauan fungsi-fungsi vital tubuh selama prosedur anestesi. Tahapannya mencakup induksi, maintenance, dan pemulihan.
BAB 2
LAPORAN KASUS
2.1Identitas PasienNama
: Tn. M
Jenis Kelamin
: Laki-lakiUsia
: 15 tahun Agama
: IslamSuku
: AcehPekerjaan
: PelajarAlamat
: Desa Punti, Matang KuliNo. RM
: 06.58.31
Tanggal Pemeriksaan
24 maret 2015Tangggal Operasi
: 24 maret 20152.2Anamnesis2.2.1Keluhan Utama
Lengan kanan bawah terkena sayatan potongan kaca.2.2.2Keluhan Tambahan
Lengan kanan nyeri dan tidak bisa diekstensikan, lemas.2.2.3. Riwayat Penyakit Sekarang (RPS)
Pasien datang ke IGD rumah sakit dengan keluhan utama lengan kanan bawah terkena sayatan potongan kaca. Luka sayat berukuran 5x2x1 cm. Luka ini dialami pasien 3 hari yang lalu ketika pasien terpeleset di kamar mandi rumahnya dan tersayat kaca jendela kamar mandi yang telah pecah sebelumnya. Seketika itu luka banyak mengeluarkan darah dan tangannya tidak dapat diekstensikan. 2.2.4Riwayat Penyakit Dahulu (RPD)
Riwayat trauma ada Riwayat asma disangkal
Riwayat alergi disangkal
Riwayat hipertensi disangkal
Riwayat diabetes melitus disangkal
Riwayat operasi sebelumnya disangkal
2.2.5Riwayat Penyakit Keluarga (RPK)
Tidak ada keluarga yang mengalami penyakit seperti pasien2.3Pemeriksaan Fisik
A. Status Present
1) Keadaan umum: tampak lemah
2) Kesadaran
: compos mentis
3) Tekanan darah
: 120/80 mmHg
4) Frekuensi Nadi: 92x/menit
5) Frekuensi Nafas: 22x/menit
6) Temperatur
: 36,8C
7) Berat badan
: 55 kg
8) Tinggi badan
: 160 cm9) Laboratorium
: Hb = 12,4 g% (23/03/2015)B. Status General
1) Kulit
Warna : sawo matang
Turgor: normal
Sianosis: (-)
Ikterus: (-)
Parut: (-)
Pucat: (-)
Spider nevi : (-)
2) Kepala
Bentuk: kesan normocephaliRambut: tebal, hitam
Wajah: simetris, deformitas (-)
Mata: konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil bulat(+/+),
pupil isokor (+/+), refleks cahaya (+/+)
Hidung: Hiperemis (-/-), sekret (-/-), deviasi septum (-), nafas cuping
hidung (-)
Telinga: bentuk aurikula normal, kedua membran timpani utuh, hiperemis
(-/-), sekret (-/-)
Mulut
- bibir: sianosis (-), stomatitis (-), pucat (-)
- lidah: beslag (-)
- gigi: struktur gigi atas dan bawah normal, karies (-)
- tonsil: dalam batas normal
- faring: dalam batas normal
3) Leher
Inspeksi: simetris, peningkatan tekanan vena jugularis (-)Palpasi: pembesaran KGB (-), pembesaran kelenjar tiroid (-), massa (-)4) Thoraks
Inspeksi: pergerakan dinding dada simetris, retraksi intercosta (-)
Palpasi: massa (-), fremitus vokal kanan dan kiri simetris serta tidak
meningkat
Perkusi: sonor (+/+)
Auskultasi: vesikular (+/+), wheezing (-/-), ronkhi (-/-)
5) Jantung
Inspeksi: ictus cordis tak terlihat
Palpasi: ictus cordis teraba di ICS V, 1 cm medial lineal midclavicula
sinistra
Perkusi:
batas kanan= ICS IV, linea parasternal dextra
batas kiri= ICS V, 1 cm medial lineal midclavicula sinistra
batas atas= ICS III, linea parasternal sinistra
Auskultasi: regular, bising (-)
6) Abdomen
Inspeksi: bentuk simetris, luka parut (-), Palpasi: hepatogemali (-), splenomegali (-), massa lain (-), nyeri tekan ulu hati (-)Perkusi: timpaniAuskultasi: peristaltik usus (+) nornal7) Genitalia
Tidak diperiksa
8) Anus
Tidak diperiksa
9) Ekstremitas
Superior: Edema (-/-), sianosis (-/-), petekie (-/-), fraktur (-/-), luka sayat (+/-) berukuran 5x2x1 cm, perdarahan (+), dislokasi (-/-). Inferior: Edema (-/-), sianosis (-/-), petekie (-/-), fraktur (-/-), dislokasi (-/-).2.4Diagnosa
Vulnus scissum at regio ante brachii dextra (Rupture tendon palmaris longus)2.5Kesimpulan
ASA 1 dengan general anestesi2.6Tindakan Informed consent Puasa 4-6 jam pre operasi (makanan padat) atau puasa 3 jam pre operasi (air putih)
Pasang infus RL 20 gtt/i
Oksigen (O2) kanul 2 liter/menit
2.7Laporan Anestesi
1. Diagnosa pre operasi : ruptur tendon brakialis
2. Diagnosa post operasi: ruptur tendon palmaris longus
3. Penatalaksanaan Durante Operasi:
a. Jenis pembedahan: repair tendon
b. Jenis anestesi: anestesi umum
c. Teknik anestesi: intavena + inhalasi dengan face mask
d. waktu anestesi:
e. Mulai operasi:
f. Respirasi
:
g. Posisi
:
4. Obat Anestesi
: Sulfas Atropin 1 A (1 cc) Fentanyl 1 A (2 cc) (1 3 g/kgBB) Propofol 8 cc Ketamin 3 cc (telah diencerkan dengan aquabides) Ranitidin 1 A Ondancentron 1A Ketorolac 1 A N2O 3 liter/menit
Halotan 2%
O2 3 liter/menit5. Keseimbangan Cairan : Input: ringer laktat 1000 mL2.8Recovery (Post Operatif)1. Pasien masuk ruang pemulihan dan setelah itu dibawa ke ruangan bedah pria2. Observasi tanda-tanda vital dalam batas normal
SpO2 : 98 %
Kesadaran : Compos mentis
TD : 110/70 x/menit Nadi : 82 x/menit3. RL 500 mL/8 jamBAB 3TINJAUAN PUSTAKA
3.1Definisi Anastesi UmumAnestesi umum adalah tindakan untuk menghilangkan nyeri secara sentral disertai dengan hilangnya kesadaran dan bersifat pulih kembali atau reversible. Anestesi memungkinkan pasien untuk mentoleransi prosedur bedah yang akan menimbulkan sakit yang tak tertahankan, mempotensiasi eksaserbasi fisiologis yang ekstrim, dan menghasilkan kenangan yang tidak menyenangkan.
Anestesi memiliki tujuan-tujuan sebagai berikut:
1. Hipnotik/sedasi: hilangnya kesadaran
2. Analgesia: hilangnya respon terhadap nyeri
3. Muscle relaxant: relaksasi otot rangka
Pilhan cara anestesi Umur
Bayi dan anak paling baik dengan anestesi umum
Pada orang dewasa untuk tindakan singkat dan hanya dipermudahkan dilakukan dengan anestesi local atau umum Status fisik
Riwayat penyakit dan anestesia terdahulu. Untuk mengetahui apakah pernah dioperasi dan anestesi. Dengan itu dapat mengetahui apakah ada komplikasi anestesia dan pasca bedah.
Gangguan fungsi kardiorespirasi berat sedapat mungkin dihindari penggunaan anestesia umum.
Pasien gelisah, tidak kooperatif, disorientasi dengan gangguan jiwa sebaikmya dilakukan dengan anestesia umum.
Pasien obesitas, bila disertai leher pendek dan besar, sering timbul gangguan sumbatan jalan napas atas sesudah dilakukan induksi anestesia. Pilihan anestesia adalah regional, spinal, atau anestesi umum endotrakeal.
Posisi pembedahan
Posisi seperti miring, tungkurap, duduk, atau litotomi memerlukan anestesis umum endotrakea untuk menjamin ventilasi selama pembedahan.demikian juga pembedahan yang berlangsung lama.
Keterampilan dan kebutuhan dokter pembedah
Memilih obat dan teknik anestesi juga disesuaikan dengan keterampilan dan kebutuhan dokter bedah antara lain teknik hipotensif untuk mengurangi perdarahan, relaksasi otot pada laparotomi, pemakaian adrenalin pada bedah plastik dan lain-lain.
Keterampilan dan pengalaman dokter anestesiologi
Keinginan pasien
Bahaya kebakaran dan ledakan
Pemakaian obat anestesia yang tidak terbakar dan tidak eksplosif adalah pilah utama pada pembedahan dengan alat elektrokauter.Faktor-faktor yang mempengaruhi anestesi umum:
Faktor respirasi
Pada setiap inspirasi sejumlah zat anestesika akan masuk ke dalam paru-paru (alveolus). Dalam alveolus akan dicapai suatu tekanan parsial tertentu. Kemudian zat anestesika akan berdifusi melalui membrane alveolus. Epitel alveolus bukan penghambat disfusi zat anestesika, sehingga tekanan parsial dalam alveolus sama dengan tekanan parsial dalam arteri pulmonarsi. Hal- hal yang mempengaruhi hal tersebut adalah:
Konsentrasi zat anestesika yang dihirup/ diinhalasi; makin tinggi konsentrasinya, makin cepat naik tekanan parsial zat anestesika dalam alveolus.
Ventilasi alveolus; makin tinggi ventilasi alveolus, makin cepat meningginya tekanan parsial alveolus dan keadaan sebaliknya pada hipoventilasi. Faktor sirkulasi
Terdiri dari sirkulasi arterial dan sirkulasi vena
Factor-faktor yang mempengaruhi:
1. Perubahan tekanan parsial zat anestesika yang jenuh dalam alveolus dan darah vena. Dalam sirkulasi, sebagian zat anestesika diserap jaringan dan sebagian kembali melalui vena.
2. Koefisien partisi darah/ gas yaitu rasio konsentrasi zat anestesika dalam darah terhadap konsentrasi dalam gas setelah keduanya dalam keadaan seimbang.
3. Aliran darah, yaitu aliran darah paru dan curah jantung. Makin banyak aliran darah yang melalui paru makin banyak zat anestesika yang diambil dari alveolus, konsentrasi alveolus turun sehingga induksi lambat dan makin lama waktu yang dibutuhkan untuk mencapai tingkat anesthesia yang adekuat. Faktor jaringan
1. Perbedaan tekanan parsial obat anestesika antara darah arteri dan jaringan.2. Koefisien partisi jaringan/darah: kira-kira 1,0 untuk sebagian besar zat anestesika, kecuali halotan.3. Aliran darah terdapat dalam 4 kelompok jaringan:a) Jaringan kaya pembuluh darah (JKPD) : otak, jantung, hepar, ginjal. Organ-organ ini menerima 70-75% curah jantung hingga tekanan parsial zat anestesika ini meninggi dengan cepat dalam organ-organ ini. Otak menerima 14% curah jantung.b) Kelompok intermediate : otot skelet dan kulit.c) Lemak : jaringan lemakd) Jaringan sedikit pembuluh darah (JSPD) : relative tidak ada aliran darah : ligament dan tendon. Faktor zat anestesika
Bermacam-macam zat anestesika mempunyai potensi yang berbeda-beda. Untuk menentukan derajata potensi ini dikenal adanya MAC (minimal alveolar concentration atau konsentrasi alveolar minimal) yaitu konsentrasi terendah zat anestesika dalam udara alveolus yang mampu mencegah terjadinya tanggapan (respon) terhadap rangsang rasa sakit. Makin rendah nilai MAC, makin tinggi potensi zat anestesika tersebut.
3.2Tahapan Tindakan Anestesi UmumI. Penilaian dan persiapan pra anestesia
Persiapan prabedah yang kurang memadai merupakan faktor terjadinya kecelakaan dalam anestesia. Sebelum pasien dibedah sebaiknya dilakukan kunjungan pasien terlebih dahulu sehingga pada waktu pasien dibedah pasien dalam keadaan bugar. Tujuan dari kunjungan tersebut adalah untuk mengurangi angka kesakitan operasi, mengurangi biaya operasi dan meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan.
I.1 Penilaian pra bedah
Anamnesis Riwayat tentang apakah pasien pernah mendapat anestesia sebelumnya sangatlah penting untuk mengetahui apakah ada hal-hal yang perlu mendapat perhatian khusus,misalnya alergi, mual-muntah, nyeri otot, gatal-gatal atau sesak nafas pasca bedah, sehingga dapat dirancang anestesia berikutnya dengan lebih baik. Beberapa penelitit menganjurkan obat yang kiranya menimbulkan masalah dimasa lampau sebaiknya jangan digunakan ulang, misalnya halotan jangan digunakan ulang dalam waktu tiga bulan, suksinilkolin yang menimbulkan apnoe berkepanjangan juga jangan diulang. Kebiasaan merokok sebaiknya dihentikan 1-2 hari sebelumnyaPemeriksaan fisik
Pemeriksaan gigi-geligi, tindakan buka mulut, lidah relatif besar sangat penting untuk diketahui apakah akan menyulitkan tindakan laringoskopi intubasi. Leher pendek dan kaku juga akan menyulitkan laringoskopi intubasi.
Pemeriksaan rutin secara sistemik tentang keadaan umum tentu tidak boleh dilewatkan seperti inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi semua system organ tubuh pasien.
Pemeriksaan laboratoriumUji laboratorium hendaknya atas indikasi yang tepat sesuai dengan dugaan penyakit yang sedang dicurigai. Pemeriksaan yang dilakukan meliputi pemeriksaan darah kecil (Hb, lekosit, masa perdarahan dan masa pembekuan) dan urinalisis. Pada usia pasien diatas 50 tahun ada anjuran pemeriksaan EKG dan foto thoraks.Kebugaran untuk anestesia
Pembedahan elektif boleh ditunda tanpa batas waktu untuk menyiapkan agar pasien dalam keadaan bugar, sebaliknya pada operasi sito penundaan yang tidak perlu harus dihindari.
Klasifikasi status fisik
Klasifikasi yang lazim digunakan untuk menilai kebugaran fisik seseorang adalah yang berasal dari The American Society of Anesthesiologists (ASA). Klasifikasi fisik ini bukan alat prakiraan resiko anestesia, karena dampaksamping anestesia tidak dapat dipisahkan dari dampak samping pembedahan.
Kelas I: Pasien sehat organik, fisiologik, psikiatrik, biokimia.
Kelas II: Pasien dengan penyakit sistemik ringan atau sedang.
Kelas III: Pasien dengan penyakit sistemik berat, sehingga aktivitas rutin terbatas.
Kelas IV: Pasien dengan penyakit sistemik berat tak dapat melakukan aktivitas rutin dan penyakitnya merupakan ancaman kehidupannya setiap saat.
Kelas V: Pasien sekarat yang diperkirakan dengan atau tanpa pembedahan hidupnya tidak akan lebih dari 24 jam.
Masukan oral
Refleks laring mengalami penurunan selama anestesia. Regurgitasi isi lambung dan kotoran yang terdapat dalam jalan napas merupakan risiko utama pada pasien-pasien yang menjalani anestesia. Untuk meminimalkan risiko tersebut, semua pasien yang dijadwalkan untuk operasi elektif dengan anestesia harus dipantangkan dari masukan oral (puasa) selamaperiode tertentu sebelum induksi anestesia.
Pada pasien dewasa umumnya puasa 6-8 jam, anak kecil 4-6 jam dan pada bayi 3-4 jam. Makanan tak berlemak diperbolehkan 5 jam sebeluminduksi anestesia. Minuman bening, air putih teh manis sampai 3 jam dan untuk keperluan minumobat air putih dalam jumlah terbatas boleh 1 jam sebelum induksi anestesia.I.2 PremedikasiSebelum pasien diberi obat anestesia, langkah selanjutnya adalah dilakukan premedikasi yaitu pemberian obat sebelum induksi anestesia diberi dengan tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari anestesi diantaranya:
1. Menimbulkan rasa nyaman bagi pasien
a. Menghilangkan rasa khawatir melalui:
i. Kunjungan pre anestesi
ii. Pengertian masalah yang dihadapi
iii. Keyakinan akan keberhasilan operasi
b. Memberikan ketenangan (sedative)
c. Membuat amnesia
d. Mengurangi rasa sakit (analgesic non/narkotik)
e. Mencegah mual dan muntah
2. Memudahkan atau memperlancar induksi
a. Pemberian hipnotik sedative atau narkotik
3. Mengurangi jumlah obat-obat anestesi
a. Pemberian hipnotik sedative atau narkotik
4. Menekan refleks-refleks yang tidak diinginkan (muntah/liur)
5. Mengurangi sekresi kelenjar saliva dan lambung
a. Pemberian antikolinergik atropine, primperan, rantin, H2 antagonis
6. Mengurangi rasa sakit
Waktu dan cara pemberian premedikasi:
Pemberian obat secara subkutan tidak akan efektif dalam1 jam, secara intramuscular minimum harus ditunggu 40 menit. Pada kasus yang sangat darurat dengan waktu tindakan pembedahan yang tidak pasti obat-obat dapat diberikan secara intravena. Obat akan sangat efektif sebelum induksi. Bila pembedahan belum dimulai dalam waktu 1 jam dianjurkan pemberian premedikasi intramuscular, subkutan tidak dianjurkan. Semua obat premedikasi bila diberikan secara intravena dapat menyebabkan sedikit hipotensi kecuali atropine dan hiosin. Hal ini dapat dikurangi dengan pemberian secara perlahan-lahan dan diencerkan.
Obat-obat yang sering digunakan:
1. Analgesik narkotik
a. Petidin ( amp 2cc = 100 mg), dosis 1-2 mg/kgBB
b. Morfin ( amp 2cc = 10 mg), dosis 0,1 mg/kgBB
c. Fentanyl ( fl 10cc = 500 mg), dosis 1-3gr/kgBB
2. Analgesik non narkotik
a. Ponstan
b. Tramol
c. Toradon
3. Hipnotik
a. Ketamin ( fl 10cc = 100 mg), dosis 1-2 mg/kgBB
b. Pentotal (amp 1cc = 1000 mg), dosis 4-6 mg/kgBB
4. Sedatif
a. Diazepam/valium/stesolid ( amp 2cc = 10mg), dosis 0,1 mg/kgBB
b. Midazolam/dormicum (amp 5cc/3cc = 15 mg),dosis 0,1mg/kgBB
c. Propofol/recofol/diprivan (amp 20cc = 200 mg), dosis 2,5 mg/kgBB
d. Dehydrobenzperidon/DBP (amp 2cc = 5 mg), dosis 0,1 mg/kgBB
5. Anti emetic
a. Sulfas atropine (anti kolinergik) (amp 1cc = 0,25 mg),dosis 0,001 mg/kgBB
b. DBP
c. Narfoz, rantin, primperan.II. Induksi AnestesiMerupakan tindakan untuk membuat pasien dari sadar menjadi tidak sadar, sehingga memungkinkan dimulainya anestesi dan pembedahan. Induksi dapat dikerjakan secara intravena, inhalasi, intramuscular atau rectal. Setelah pasien tidur akibat induksi anestesia langsung dilanjutkan dengan pemeliharaan anestesia sampai tindakan pembedahan selesai.
Untuk persiapan induksi anestesi diperlukan STATICS:
S : Scope ( Stetoskop untuk mendengarkan suara paru dan jantung. Laringo-Scope, pilih bilah atau daun (blade) yang sesuai dengan usia pasien. Lampu harus cukup terang.
T : Tube( Pipa trakea.pilih sesuai usia. Usia < 5 tahun tanpa balon (cuffed) dan > 5 tahun dengan balon (cuffed).
A : Airway( Pipa mulut faring (Guedel, orotracheal airway) atau pipa hidung-faring (naso-tracheal airway). Pipa ini untuk menahan lidah saat pasien tidak sadar untuk menjaga supaya lidah tidak menyumbat jalan napas.
T : Tape( Plester untuk fiksasi pipa supaya tidak terdorong atau tercabut.
I : Introducer ( Mandrin atau stilet dari kawat dibungkus plastic (kabel) yang mudah dibengkokan untuk pemandu supaya pipa trakea mudah dimasukkan.
C : Connector ( Penyambung antara pipa dan peralatan anestesia
S : Suction ( penyedot lender, ludah danlain-lainnya.
III. Rumatan Anestesi (Maintenance)Dapat dikerjakan secara intravena (anestesi intravena total) atau dengan inhalasi atau dengan campuran intravena inhalasi.Rumatan anestesi mengacu pada trias anestesi yaitu tidur rinan (hypnosis) sekedar tidak sadar, analgesia cukup, diusahakan agar pasien selama dibedah tidak menimbulkan nyeri dan relaksasi otot lurik yang cukup.
Rumatan intravena biasanya menggunakan opioid dosis tinggi, fentanil 10-50 g/kgBB. Dosis tinggi opioid menyebabkan pasien tidur dengan analgesia cukup, sehingga tinggal memberikan relaksasi pelumpuh otot. Rumatan intravena dapat juga menggunakan opioid dosis biasa, tetapi pasien ditidurkan dengan infuse propofol 4-12 mg/kgBB/jam. Bedah lama dengan anestesi total intravena, pelumpuh otot dan ventilator. Untuk mengembangkan paru digunakan inhalasi dengan udara + O2 atau N2O + O2.Rumatan inhalasi biasanya menggunakan campuran N2O dan O2 dengan perbandingan 3:1 ditambah halotan 0,5-2 vol% atau enfluran 2-4% atau isofluran 2-4 vol% atau sevofluran 2-4% bergantung apakah pasien bernapas spontan, dibantu atau dikendalikan.IV. Tatalaksana Jalan NapasHubungan jalan napas dan dunia luar melalui 2 jalan:
1. Hidung
Menuju nasofaring
2. Mulut
Menuju orofaring
Hidung dan mulut dibagian depan dipisahkan oleh palatum durum dan palatum molle dan dibagian belakang bersatu di hipofaring. Hipofaring menuju esophagus dan laring dipisahkan oleh epiglotis menuju ke trakea. Laring terdiri dari tulang rawan tiroid, krikoid, epiglotis dan sepasang aritenoid, kornikulata dan kuneiform.
A. Manuver tripel jalan napas
Terdiri dari:
1. Kepala ekstensi pada sendi atlanto-oksipital.
2. Mandibula didorong ke depan pada kedua angulus mandibula
3. Mulut dibuka
Dengan maneuver ini diharapkan lidah terangkat dan jalan napas bebas, sehingga gas atau udara lancer masuk ke trakea lewat hidung atau mulut.
B. Jalan napas faring
Jika maneuver tripel kurang berhasil, maka dapat dipasang jalan napas mulut-faring lewat mulut (oro-pharyngeal airway) atau jalan napas lewat hidung (naso-pharyngeal airway).C. Sungkup muka
Mengantar udara / gas anestesi dari alat resusitasi atau system anestesi ke jalan napas pasien. Bentuknya dibuat sedemikian rupa sehingga ketika digunakan untuk bernapas spontan atau dengan tekanan positif tidak bocor dan gas masuk semua ke trakea lewat mulut atau hidung.D. Sungkup laring (Laryngeal mask)
Merupakan alat jalan napas berbentuk sendok terdiri dari pipa besar berlubang dengan ujung menyerupai sendok yang pinggirnya dapat dikembang-kempiskan seperti balon pada pipa trakea. Tangkai LMA dapat berupa pipa kerasdari polivinil atau lembek dengan spiral untuk menjaga supaya tetap paten.
Dikenal 2 macam sungkup laring:
1. Sungkup laring standar dengan satu pipa napas
2. Sungkup laring dengan dua pipa yaitu satu pipa napas standar dan lainnya pipa tambahan yang ujung distalnya berhubungan dengan esophagus.E. Pipa trakea (endotracheal tube)
Mengantar gas anestesi langsung ke dalam trakea dan biasanya dibuat dari bahan standar polivinil-klorida. Pipa trakea dapat dimasukan melalui mulut (orotracheal tube) atau melalui hidung (nasotracheal tube).F. Laringoskopi dan intubasi
Fungsi laring ialah mencegah bedan asing masuk paru. Laringoskop merupakan alat yang digunakan untuk melihat laring secara langsung supaya kita dapat memasukkan pipa trakea dengan baik dan benar. Secara garis besar dikenal dua macam laringoskop:
1. Bilah, daun (blade) lurus (Macintosh) untuk bayi-anak-dewasa
2. Bilah lengkung (Miller, Magill) untuk anak besar-dewasa.
Klasifikasi tampakan faring pada saat membuka mulut terbuka maksimal dan lidah dijulurkan maksimal menurut Mallapati dibagi menjadi 4 gradasi.Gradasi Pilar faringUvulaPalatum Molle
1+++
2-++
3--+
4---
Indikasi intubasi trakea
Intubasi trakea ialah tindakan memasukkan pipa trakea ke dalam trakea melalui rima glottis, sehingga ujung distalnya berada kira-kira dipertengahan trakea antara pita suara dan bifurkasio trakea. Indikasi sangat bervariasi dan umumnya digolongkan sebagai berikut:
1. Menjaga patensi jalan napas oleh sebab apapun.
Kelainan anatomi, bedah kasus, bedah posisi khusus, pembersihan sekret jalan napas, dan lain-lainnya.
2. Mempermudah ventilasi positif dan oksigenasi
Misalnya saat resusitasi, memungkinkan penggunaan relaksan dengan efisien, ventilasi jangka panjang.
3. Pencegahan terhadap aspirasi dan regurgitasi
Kesulitan intubasi
1. Leher pendek berotot
2. Mandibula menonjol
3. Maksila/gigi depan menonjol
4. Uvula tak terlihat
5. Gerak sendi temporo-mandibular terbatas
6. Gerak vertebra servikal terbatas
Komplikasi intubasi
1. Selama intubasi
a. Trauma gigi geligi
b. Laserasi bibir, gusi, laring
c. Merangsang saraf simpatis
d. Intubasi bronkus
e. Intubasi esophagus
f. Aspirasi
g. Spasme bronkus
2. Setelah ekstubasi
a. Spasme laring
b. Aspirasi
c. Gangguan fonasi
d. Edema glottis-subglotis
e. Infeksi laring, faring, trakea
Ekstubasi1. Ekstubasi ditunda sampai pasien benar-benar sadar, jika:
a. Intubasi kembali akan menimbulkan kesulitan
b. Pasca ekstubasi ada risiko aspirasi
2. Ekstubasi dikerjakan pada umumnya pada anestesi sudah ringan dengan catatan tak akan terjadi spasme laring.
3. Sebelum ekstubasi bersihkan rongga mulut laring faring dari sekret dan cairan lainnya.
3.3TendonTendon merupakan bagian dari jaringan lunak, sebagai kelanjutan otot, baik mulai maupun bertaut pada tulang (origo dan insertio).2
Tendon adalah struktur dalam tubuh yang menghubungkan otot ke tulang. Otot rangka dalam tubuh bertanggung jawab untuk menggerakkan tulang, sehingga memungkinkan untuk berjalan, melompat, mengangkat dan bergerak dalam banyak cara. Ketika otot kontraksi, tendon menarik tulang dan menyebabkan terjadinya gerakan.5 Rotator Cuff
Tendon Patella
Tendo Quadriceps
Tendon Achilles
Tendon Biceps
Kerusakan tergantung dari jenis trauma. Pada trauma tajam, permukaan luka rata, sedangkan pada trauma tumpul, sebagai akibat tarikan atau overstretch, maka luka yang terjadi tidak rata (compang camping), akan terjadi serabut yang tak sama panjang. Adakalanya terjadi fraktur avulse pada tempat origo atau insersinya.2Tendon dapat berukuran panjang atau pendek tergantung dari fungsinya. Tendon diliputi oleh serabut sinovia, yang panjang diliputi oleh selaput yang merupakan sarung (synovial sheath), tempat tendon meluncur. Misalnya pada jari jari dimana tendon melewati beberapa persendian.2Pada peradangan, sinovia dapat menebal dan terjadi penyempitan, sehingga tendon tidak bebas meluncur untuk menghindari bow string effect tendon ketika melewati sendi melalui retinaculum atau pully.2 Nutrisi tendon dari cairan sinovia dan paratenon. Hal ini perlu diperhatikan pada luka setelah diperbaiki (dijahit) yang cukup kuat, agar tidak menimbulkan benjolan yang dapat mengganggu; disamping itu juga timbulnya adhesi dengan jaringan sekitar akan mengakibatkan gangguan gerak sendi. Untuk menghindari hal tersebut perlu segera digerakkan secara pasif.
Seperti jaringan luka yang lainnya, maka penyembuhan tendon juga melalui fase fibrosis muda dan tua. Penyembuhan ini memakan waktu sekitar 4 6 minggu agar tendon yang diperbaiki kemudian dapat menahan beban berat.
Yang penting pada penyambungan tendon adalah teknik menjahit, mengingat serabut tendon berjalan secara paralel. Ada beberapa teknik menjahit antara lain :
Cara Bunnel
Cara Kessler
90 90
Selain itu penting juga mengingat ketegangannya yang disebut sebagai zero tension, agar tidak mengurangi kekuatan otot. Apabila jahitan cukup kuat, kontraksi guna menggerakkan sendi dapat diuji secara pasif pada waktu operasi. Bila cukup kuat, maka gerakan pasif dapat segera dilaksanakan dengan pemberian dynamic splint. Tidak demikian pada tendon yang tidak perlu meluncur melalui terowong sarung sinovia. Pada keadaaan demikian, maka sebaiknya mobilitasi dilakukan setelah 4 6 minggu, kemudian baru secara bertahap menahan beban.2Anatomi Tendon
Tendon terdiri dari jaringan padat dan jaringan ikat fibrosa yang tersusun secara paralel. Endotendon mengelilingi jaringan tendon dan epitendon mengelilingi unit tendon keseluruhan. Kedua jaringan ikat membawa suplai darah intrinsic ke struktur internal tendon. Selubung tendon terdapat diatas tempat tendon melintasi sendi. Selubung tendon terdiri dari dua lapisan, yaitu lapisan parietal yang berada di bagian luar dan lapisan visceral di bagian dalam. Selubung ini mensekresikan cairan synovial untuk membantu tendon bergerak. Tendon yang berselubung, mesotendonnya membawa suplai darah ekstrinsik ke tendon. Tendon yang tidak berselubung ditutupi oleh paratendon, yang memungkinkan tendon untuk bergerak dan memasok suplai darah ekstrinsik.5Fungsi TendonSetiap otot biasanya memiliki dua tendon untuk mengikat dua tulang yang berbeda dengan otot yang melintasi sendi. Hal ini memungkinkan tendon untuk bertindak sebagai katrol.
Tendon berfungsi sebagai kekuatan untuk tarikan otot ke tulang. Kontraksi otot menarik tendon, kemudian tulang, sehingga terjadi gerakan. Tulang tulang berhubungan pada sendi oleh ligament dan jaringan ikat lainnya, sehingga kontraksi tendon menghasilkan gerakan gerakan tertentu, tergantung pada otot dan sendi yang terlibat.5Proses Penyembuhan Tendon
Penyembuhan tendon terjadi secara intrinsik maupun ekstrinsik. Penyembuhan intrinsik yang memasok kira kira seperempat dari volume tendon.5Penyembuhan ekstrinsik adalah hasil dari stimulasi jaringan peritendinous untuk berproliferasi dan memasok kebutuhan sel dan kapiler yang dibutuhkan untuk proses penyembuhan. Proses ini bertanggung jawab untuk pembentukkan adhesi tendon untuk semua struktur yang berdekatan dari luka menjadi satu dan terbentuk scar. Telah terbukti secara eksperimental bahwa suplai darah intrinsic tidak cukup untuk mendukung penyembuhan utama tendon dalam banyak kasus. Penyembuhan tendon di dalam selubung lebih lama dibandingkan penyembuhan bagian tendon di luar selubung.5Urutan penyembuhan tendon :
Fase Inflamasi (0 10 hari)
Urutan biologis ini sama dengan penyembuhan luka pada umumnya, kecuali dalam kasus ini, penyembuhan berlangsung lebih lambat. Bahkan, pada lima sampai tujuh hari setelah terluka, tendon menjadi lebih lemah.
Fase Proliferasi (4 21 hari)
Sebuah kalus fibrovaskular terbentuk di sekitar tendon dan menyatukan semua struktur luka menjadi satu bagian.
Fase Maturasi / Pematangan (28 120 hari)
Orientasi longitudinal dari fibroblast dan fiber dimulai. Pada 45 hari, kolagen lisis dan pembentukkan kolagen mencapai kesetimbangan. Pada 90 hari, pembentukkan awal bundle kolagen terlihat dan pada 120 hari bundle ini tampak seperti yang terlihat pada tendon normal.Definisi Ruptur Tendon
Ruptur adalah robek atau koyaknya jaringan secara paksa.5 Rupture tendon adalah robek, pecah atau terputusnya tendon yang diakibatkan karena tarikan yang melebihi kekuatan tendon.5
Ruptur Tendo Achilles
Ruptur Tendo Biceps
Ruptur Tendon Quadriceps
Ruptur Rotator Cuff
Ruptur Tendo Patella
Etiologi5a) Penyakit tertentu, seperti arthritis dan diabetes
b) Obat obatan, seperti kortikosteroid dan beberapa antibiotic yang dapat meningkatkan resiko rupture
c) Cedera dalam olahraga, seperti melompat dan berputar pada olahraga badminton, tenis, basket, dan sepakbola
d) Trauma benda tajam atau tumpul
Faktor Resiko5a) Umur
: 30 40 th (> 30 th)b) Jenis kelamin: Laki laki > Perempuan (5 : 1)c) Obesitas
d) Olahraga
e) Riwayat rupture tendon sebelumnya
f) Penyakit tertentu arthritis, DM
Manifestasi Klinis5a) Nyeri yang hebat
b) Memar
c) Seperti merasa atau mendengar bunyi pop
d) Terdapat kelemahan
e) Ketidakmampuan untuk menggunakan lengan atau kaki yang terkena
f) Ketidakmampuan untuk memindahkan bidang yang terlibat
g) Ketidakmampuan untuk menanggung beban
h) Teradpat deformitas
Penanganan Umum Ruptur TendonCedera pada tendon fleksor merupakan cedera yang sering terjadi. Akibat cedera ini penderita dapat mengalami gangguan fungsi yang berkepanjangan, yang menyebabkan baik penderitaan fisik maupun emosional, serta penurunan kualitas sosioekonominya. Untuk mengatasi masalah ini diperlukan penanganan yang baik dalam memperbaiki cedera tendon tersebut, yakni berupa pembersihan luka debridemen, dan kemudian dilakukan penyambungan tendon.4Penyambungan tendon bertujuan untuk mendekatkan kedua ujung tendon yang terputus atau melekatkan ujung tendon ke tulang dan mempertahankannya selama masa penyembuhan, dengan tetap memungkinkan dilakukannya latihan gerak dini hari pertama pasca operasi. Latihan gerak dini aktif diperlukan untuk meminimalkan terjadinya adhesi, yang hanya dapat dilakukan bila tensile strength jahitan tendonnya kuat. Tensile strength adalah kekuatan jahitan untuk menerima gaya regang pada arah yang berlawanan yang bekerja sejajar terhadap serabut kolagen tendon. Faktorfaktor yang berpengaruh terhadap tensile strength adalah jenis benang jahitnya dan teknik jahitan.6,7,8Teknik penjahitan yang sering dipakai adalah Kessler, menggunakan dua core suture (jahitan inti) dan dikombinasikan dengan simple epitendineal circumferential suture (jahitan epitendineal sederhana) yang mengelilingi tendon. Risitano, Silverskiold, Singer, dan Kubota menyatakan teknik jahitan tersebut tidak cukup kuat untuk menahan gaya yang dihasilkan akibat latihan gerak dini aktif pasca penyambungan, sehingga diperlukan teknik jahitan lain.8Teknik Kessler telah mengalami berbagai modifikasi, mulai dari banyaknya simpul, letak simpul, dan yang terakhir adalah ditambahkannya jahitan epitendineus running suture. Ismiarto menemukan bahwa, tidak didapatkan perbedaan yang bermakna secara statistik pada tensile strength teknik jahitan modifikasi Kessler 2 strand dibandingkan dengan teknik Kubota 2 strand. Teknik modifikasi Kessler dapat dikerjakan lebih cepat dan secara teknis lebih mudah dibandingkan Kubota.8Matthew membandingkan 8-strand pada repair tendon ke tendon dengan 2-strand atau 4-strand pada anjing. Pada minggu ke tiga dan ke empat setelah operasi didapatkan bahwa, repair yang menggunakan 8-strand memiliki ultimate force dan rigiditas yang lebih besar dibandingkan dengan teknik yang lain.9Eksperimen Hirpara dengan menggunakan teknik 2 strand Penington modifikasi Kessler, 4 strand modifikasi cruciate core repair, dan 6 strand savage repair menunjukkan bahwa, dengan bertambahnya core suture akan meningkatkan tensile strength. Selain itu eksperimen tersebut menunjukkan bahwa, 6 strand Savage memiliki tensile strength yang paling kuat dan 4 strand cruciate secara signifikan lebih kuat jika dibandingkan dengan 2 strand Pennington. Kegagalan pada 2 strand Penington modifikasi Kessler setengahnya karena pullout benang. Keuntungan prinsip dari penggunaan Penington 2 strand modifikasi Kessler adalah karena pengerjaannya lebih sederhana dibandingkan dengan yang lainnya. Sehingga dapat dipilih sebagai teknik jahitan pada cedera tendon multiple ataupun pada reimplantasi dimana pada kasus tersebut mobilisasi dini sering tidak memungkinkan oleh karena itu dengan karakteristik tensile strength yang paling rendahpun bukan merupakan pertimbangan.10Hirpara dalam eksperimennya mendapatkan bahwa teknik penjahitan 6 strand memang memiliki tensile strength yang paling tinggi, namun pengerjaannya tidak praktis dan menimbulkan bulk pada tendon sehingga pemilihan teknik ini terbatas pada kasus tendon yang besar dan bukan cedera tendon multiple. Teknik ini sangat berguna pada cedera tendon pada jari jempol yang memiliki tendon lebih besar jika di bandingkan jari lain dan memiliki angka kejadian rupture pasca repair yang tinggi sehingga dibutuhkan tensile strength yang kuat.10
Teknik jahitan 4 strand cruciate memiliki tensile strength yang lebih kuat secara signifikan jika dibandingkan dengan 2 strand Pennington, dengan pengerjaan yang sedikit lebih kompleks. Teknik ini banyak dipilih untuk sebagian besar cedera pada tendon karena memiliki tensile strength yang kuat memungkinkannya untuk melakukan gerakan menggenggam aktif .10
Di RSHS saat ini dipakai teknik penjahitan modifikasi Kessler 2 strand untuk penjahitan tendon baik untuk cedera tendon tunggal ataupun multipel. Penulis ingin menguji perbandingan tensile strength dengan menggunakan teknik modifikasi Kessler dan jahitan multiple-strand pada rupture tendon fleksor kelinci dengan sampling rancang acak lengkap.Teknik modifikasi Kessler 2 Strand
1. Pertama jarum masuk dari permukaan dalam tendon yang terpotong, keluar dari tepi tendon sejauh 0,75-1cm
2.Membentuk locking
3.Jahitan tranversal ke arah tepi tendon sebelahnya
4. Membentuk locking
5. Keluar dari permukaan tendon yang terpotong
6. Menyeberang ke segmen tendon 'lawan'nya sejauh 0,75 - 1 cm
7.Membentuk locking
8.Jahitan tranversal ke arah tepi tendon sebelahnya
9.Membentuk locking
10.Keluar dari permukaan tendon yang terpotong
11.Dilakukan aproksimasi tendon, kemudian dibuat simpul
12. Dilakukan epitenon sutute dengan menggunakan polypropylene 6-0
Gambar Teknik modifikasi Kessler 2 Strand
Dikutip dari: Clare
Teknik Modifikasi Kessler 4 Strand
1. Pertama jarum masuk dari permukaan dalam tendon yang terpotong, keluar dari tepi tendon sejauh 0,75 1 cm
2.Membentuk locking
3.Jahitan menyilang melintas di tengah permukaan tendon yang terpotong ke arah tepi tendon seberangnya
4.Membentuk locking
5. Keluar dari permukaan tendon yang terpotong
6. Menyeberang ke segmen tendon 'lawan'nya sejauh 0,75 1 cm
7.Membentuk locking
8.Jahitan menyilang melintas di tengah permukaan tendon yang terpotong ke arah tepi tendon seberangnya
9.Membentuk locking
10.Keluar dari permukaan tendon yang terpotong
Gambar Teknik modifikasi Kessler 4 Strand
Dikutip dari: Singer
Teknik Modifikasi Kessler 6 Strand
1. Pertama jarum masuk dari permukaan dalam tendon yang terpotong, keluar dari tepi tendon sejauh 0,75 - 1 cm
2.Membentuk locking
3.Jahitan menyilang melintas di tengah permukaan tendon yang terpotong ke arah tepi tendon seberangnya
4. Membentuk locking
5.Keluar dari permukaan tendon yang terpotong
6. Menyeberang ke segmen tendon 'lawan'nya sejauh 0,75 1 cm
7.Membentuk locking
8.Jahitan melintas di tengah permukaan tendon yang terpotong ke arah tepi
tendon seberangnya
9. Membentuk locking
10.Keluar dari permukaan tendon yang terpotong
11.Menyeberang ke segmen tendon 'lawan'nya
12.Membentuk locking
13.Jahitan melintas di tengah permukaan tendon yang terpotong ke arah tepi
tendon seberangnya
14.Membentuk locking
15.Keluar dari permukaan tendon yang terpotong
16.Dilakukan epitenon suture dengan menggunakan polypropylene 6-0
Gambar Teknik modifikasi Kessler 6 Strand