LAPORAN TUTORIAL BLOK GERIATRI SKENARIO 2 INKONTINENSIA PADA LANSIA PASCA STROKE Oleh : KELOMPOK 7 Ensan Galuh Pertiwi G0009001 Bobbi Juni Saputra G0009039 Dwi Rachmawati H. G0009065 Ema Nur Fitriana G0009073 Farida Nur K. G0009077 Kristiana Margareta G0009117 Nimas Ayu Suri P. G0009149 Nur Zahratul Jannah G0009157 Putri Dini Azika G0009175 Raden Artheswara S. G0009177 Wisnu Yudho Hutomo G0009213
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
LAPORAN TUTORIAL BLOK GERIATRI
SKENARIO 2
INKONTINENSIA PADA LANSIA PASCA STROKE
Oleh :
KELOMPOK 7
Ensan Galuh Pertiwi G0009001
Bobbi Juni Saputra G0009039
Dwi Rachmawati H. G0009065
Ema Nur Fitriana G0009073
Farida Nur K. G0009077
Kristiana Margareta G0009117
Nimas Ayu Suri P. G0009149
Nur Zahratul Jannah G0009157
Putri Dini Azika G0009175
Raden Artheswara S. G0009177
Wisnu Yudho Hutomo G0009213
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2012
BAB I
PENDAHULUAN
Eyang Karto, usia 75 tahun, dibawa ke dokter oleh putrinya, karena
ngompol sejak 3 bulan, dan diikuti ngobrok selama 2 minggu. Sering marah –
marah, dan tidak bisa tidur, sehingga sering minum obat tidur. Sejak istri
penderita wafat, dia tinggal dengan putrinya. Dalam melakukan aktifitas sehari–
hari harus dibantu.
Dua tahun yang lalu, penderita dirawat akibat stroke. Pemeriksaan
neurologi ekstremitas superior dan inferior sinistra kekuatannya menurun (3+/3+).
Hasil rectal toucher dan USG didapatkan prostat tidak membesar. Dokter
melakukan pemeriksaan indeks barthel. Penderita juga dilakukan pemeriksaan
psikiatri.
BAB II
STUDI PUSTAKA DAN DISKUSI
Jump 1
Memahami skenario dan memahami pengertian beberapa istilah dalam
skenario.
1. Ngompol : Kencing secara tidak sengaja
(inkontinensia urine), yaitu keluhan
berkemih secara involunter karena
lemahnya otot vesica urinaria bagian
distal, biasanya karena beberapa penyakit.
2. Indeks Barthel : Pemeriksaan yang berfungsi untuk
mengetahui kemampuan fungsional tubuh,
biasanya pada pasien dengan kelainan
neuromusculer. Pemeriksaan ini juga dapat
menilai peningkatan fungsional tubuh
dalam evaluasi proses rehabilitasi.
3. Stroke : Tanda klinis yang berkembang cepat akibat
gangguan fungsi otak secara lokal maupun
sistemik, gejala dapat berkembang dalam
24 jam atau lebih tanpa adanya penyebab
yang jelas selain vaskuler.
4. Ngobrok : Suatu keadaan dimana penderita tidak
dapat menahan Buang Air Besar (BAB).
Keadaan ini disebut juga Inkontinensia alvi
5. Rectal Toucher : Pemeriksaan dengan dua jari, jari
dimasukkan ke anus. Pemeriksaan ini
berfungsi untuk menilai keadaan anus,
rectal dan prostat.
6. Pemeriksaan Ekstremitas : Pemeriksaan untuk menilai derajat
kekuatan otot, derajat kekuatan otot dinilai
dengan skor :
0 = tidak timbul kontraksi
1 = gerakan sedikit dan halus
2 = gerakan tidak dapat melawan gravitasi
3 = gerakan dapat melawan gravitasi tanpa
tahanan
4 = gerakan dapat melawan gravitasi
dengan tahanan sedang
5 = normal
7. Obat Tidur : Obat yang merangsang Susunan Syaraf
Pusat (SSP), mempunyai efek hipnotik
sehingga menyebabkan mengantuk,
mempermudah tidur dan mempertahankan
tidur. Contoh obat tidur seperti
Benzodiazepin, Barbitural dan golongan
lain.
8. Pemeriksaan Psikiatri : Pemeriksaan yang bertujuan untuk
mengetahui kondisi kejiwaan seseorang,
pemeriksaan ini dibagi menjadi dua
tahapan yaitu pengambilan raport
(anamnesis) dan penilaian status mental
(mood, afek, tilikan, dll).
Jump 2
Menentukan/mendefinisikan permasalahan.
1. Bagaimana fisiologi dari proses miksi, defekasi dan tidur ?
2. Bagaimana hubungan faktor resiko umur 75 tahun dengan gejala klinis
yang dialami pasien ?
3. Bagaimana patofisiologi dari ngompol sejak 3 bulan yang lalu pada
skenario ?
4. Bagaimana patofisiologi dari ngobrok yang dialami pasien ?
5. Bagaimana patofisiologi dari keadaan emosi yang labil (sering marah-
marah) yang dialami pasien ?
6. Bagaimana patofisiologi dari insomniayang dialami pasien ?
7. Apakah hubungan obat tidur yang dikonsumsi pasien dengan gejala klinis
yang dialami oleh pasien ?
8. Apakah hubungan keadaan berkabung yang dialami pasien (istrinya wafat)
dengan gejala klinis pada pasien ?
9. Apakah hubungan antara kondisi fisik pasien yang dalam melakukan
aktifitasnya harus dibantu dengan gejala klinis yang dialami oleh pasien ?
10. Adakah hubungan antara riwayat stroke yang pernah dialami pasien
dengan riwayat penyakit sekarang pada pasien ?
11. Bagaimana intepretasi hasil pemeriksaan neurologi, rectal toucher dan
USG pada pasien ?
12. Apakah yang dimaksud dengan pemeriksaan indeks barthel itu dan
mengapa pemeriksaan ini perlu dilakukan pada kasus dalam skenario ini ?
13. Bagaimanakah cara pemeriksaan psikiatri yang dilakukan pada pasien
dalam kasus skenario ini ?
14. Apa diagnosis banding dalam kasus pada skenario ini ?
15. Bagaimana penatalaksanaan dan prognosis pada pasien dalam skenario
ini?
Jump 3
Menganalisis permasalahan dan membuat pernyataan sementara mengenai
permasalahan tersebut.
A. Fisiologi Miksi, Defekasi, dan Tidur
1. Miksi
Proses miksi merupakan aktifitas dari proses neurofisiologi yang
kompleks dan terkoordinasi dengan sangat tepat dan melibatkan aktifitas
neuronal mulai dari korteks serebri, batang otak, medula spinalis dan saraf-
saraf tepi baik otonom maupun somatik.
Fungsi penyimpanan dan pengeluaran urine merupakan dua fungsi
bulibuli yang diatur oleh sistem refleks yang kompleks. Pengaturan ini
menghasilkan koordinasi antara kontraksi otot polos dan lurik yang
berakhir dengan terjadinya miksi pada tekanan intra uretra yang rendah
dan fungsi kandung kemih yang terkontrol. Fisiologi kandung kemih
terdiri atas neurofisiologi mekanisme refleks miksi dan fisiologi detrusor
serta otot lurik periuretra.
Tekanan yang dihasilkan oleh otot polos dan lurik disekitar dan
pada uretra membuat jaringan penunjang dan pembuluh darah yang ada di
bagian dalam dinding uretra terjepit sehingga epitel uretra menjadi seperti
tutup yang kedap air. Semua faktor ini akan menjadi faktor penting
terjadinya kontinensia. Tekanan intra uretra dalam keadaan istirahat adalah
antara 50-100 cm H2O, suatu tekanan yang cukup bila diingat bahwa
tekanan intravesika maksimal adalah 50 cm H2O.
Sfingter uretra disokong oleh otot, ligamen, dan fasia dasar panggul
dan pengalaman klinis menunjukkan bahwa hal ini penting untuk
mekanisme kontinensia yang efisien. Lebih dari itu kontraksi otot levator
ani mengangkat, memanjangkan dan menekan uretra sehingga berperan
penting pada terjadinya kontinensia pada saat kondisi stress misalnya pada
peningkatan tekanan intraabdominal secara tiba-tiba.
Tekanan yang dihasilkan oleh mekanisme sfingter proksimal pada
leher kandung kemih jauh lebih rendah dibanding mekanisme sfingter
distal. Tertutupnya leher kandung kemih hanya tergantung fungsi
detrusor. Selama detrusor tidak berkonsentrasi leher kandung kemih akan
tetap tertutup walaupun terjadinya kenaikan tekanan intravesikal yang
ekstrim seperti mengedan, batuk dan lain-lain. Hanya dengan kontraksi
detrusor terjadi pembukaan leher kandung kemih.
Kandung kemih dapat penyimpanan pertambahan jumlah urine tanpa
diikuti kenaikan tekanan intravesika. Hal ini dapat terjadi karena sifat
elastisitas otot kandung kemih yang dapat meregang. Selain itu kandung
kemih dalam keadaan kosong bukanlah berupa organ yang berkontraksi,
tetapi lebih berupa kantong yang terlipat. Oleh karenanya pengisian urine
dalam jumlah yang sedikit hanya mengubah bentuk kandung kemih yang
terlipat tanpa perlu meregangkan dindingnya, begitu volume urinee
bertambah banyak barulah kandung kemih akan meregang untuk
menjamin tertampungnya urinee tanpa mengakibatkan kenaikan tekanan
intervesika. Diluar kedua faktor, elastisitas dan kemampuan merubah
bentuk kandung kemih, diduga faktor persarafan juga berperan dalam
menghambat terjadinya kontraksi detrusor atau secara aktif membuat
relaksasi detrusor selama fase pengisian urine.
Kandung kemih terisi dengan kecepatan 1 ml/menit dan pada
awalnya tanpa adanya sensasi apapun. Sesuai dengan bertambahnya
jumlah urine dalam kandung kemih akan timbul sensasi samar yang timbul
di daerah perineum atau dalam rongga pelvik. Lama kelamaan sensasi ini
makin jelas dan sulit untuk diabaikan dan dalam keadaan normal ini saat
untuk miksi. Bila kandung kemih dibiarkan terisi terus maka timbul
sensasi regangan daerah abdomen bawah yang timbul dari saraf simpatis
ke kolum lateral dan mungkin berasal dari reseptor regangan di trigonum.
Bila tidak juga terjadi miksi akan terdapat sensasi miksi yang sulit
tertahan. Sensasi ini berasal dari uretra atau otot lurik periuretra. Serat
aferen untuk sensasi ini berjalan bersama nervus pudendus menuju kolum
dorsal medula spinalis. Ketiga sensasi ini mempunyai alur saraf berbeda
dan dapat terjadi tanpa kenaikan tekanan intravesikal. Sensasi pertama
adalah yang terpenting. Rangsangan untuk ketiga sensasi adalah distensi
kandung kemih. Walaupun distensi saja sudah merupakan rangsangan
yang cukup tapi faktor pertambahan volume yang dihubungkan dengan
frekuensi kontraksi ritmin detrusor dengan amplitudo rendah juga
memegang peranan.
a. Fase pengisisan
Persarafan menyebabkan kandung kemih mampu menahan urine
di kandung kemih sampai distensi kandung kemih mencapai titik
batasnya. Mekanisme saraf yang menjaga saraf parasimpatis
postganglionik tetap tidak aktif melibatkan tiga faktor. Pertama
adanya inhibisi berulang terhadap saraf postganglionik dengan
menghambat hubungan antar saraf di intermediolateral grey columns.
Penghambatan ini terjadi pada volume kandung kemih kecil dan akan
hilang waktu terjadinya miksi. Faktor kedua adalah peranan ganglion
parasimpatik yang berfungsi sebagai filter, impuls preganglion yang
rendah tidak akan diteruskan. Faktor ini merupakan faktor terpenting
yang juga akan hilang waktu terjadinya miksi. Faktor ketiga adalah
inhibisi oleh saraf simpatis terhadap parasimpatis ganglioner.
Tekanan penutupan uretra meningkat pada beberapa keadaan
seperti pengisian buli-buli secara cepat, peningkatan tekanan intra
abdomen, aktifitas fisik dan kontraksi volunter otot dasar panggul.
Kenaikan tekanan sebagai respon terhadap pengisian buli-buli terjadi
melalui refleks eferen dan nervus pelvikus.
Aktivitas neural mempertahankan tekanan intravesikal lebih
rendah dari tekanan uretral. Perbedaan tekanan intravesikal dengan
tekanan uretral disebut sebagai urethral closure pressure. Tekanan
intra uretral dipertahankan tinggi pada proses pengisian kandung
kemih disebabkan elastisitas jaringan ikat mukosa uretral, sedang
yang aktif mempertahankan tekanan intra uretral adalah tonus otot-
otot polos dan otot lurik intra uretral.
Peninggian mendadak tekanan intra andomen akan
ditransmisikan dan didistribusikan secara sama ke arah kandung
kemih dan ke uretral, sehingga pengaruh terhadap urethral closure
pressure tidak ada. Transmisi tekanan ini tergantung pada komponen
aktif yaitu kontraksi otot-otot lurik dan komponen pasif yaitu posisi
intra abdominal leher buli-buli dan uretra. Jika 6 otot-otot dan fasia
pada dasar pelvis melemah, penurunan posisi leher kandung kemih
dan uretral akan disertai dengan distribusi tekanan intra abdominal
yang tidak sama berakibat timbulnya stress inkontinensia.
b. Fase pengosongan
Pengosongan kandung kemih terjadi dengan adanya peningkatan
tekanan intravesika yang bertahan sampai kandung kemih kosong
disertai penurunan tekanan intra uretra. Miksi dimulai dengan
penurunan tekanan intra uretra yang mendahului kenaikan tekanan
intravesika beberapa detik walaupun kadang –kadang terjadi
bersamaan. Bila tekanan intravesika sampai batas tertentu maka leher
buli-buli akan membuka dan miksi dimulai. Pada saat miksi selesai
uretra pada daerah sfingter distal akan menutup dan penutupan ini
diikuti bagian yang lebih proksimal dan terakhir tertutupnya leher
kandung kemih.
2. Defekasi
Buang air besar atau defekasi adalah suatu tindakan atau proses
makhluk hidup untuk membuang kotoran atau tinja yang padat atau
setengah-padat yang berasal dari sistem pencernaan (Dianawuri, 2009).
Rektum biasanya kosong sampai menjelang defekasi. Seorang yang
mempunyai kebiasaan teratur akan merasa kebutuhan membung air besar
kira-kira pada waktu yang sama setiap hari. Hal ini disebabkan oleh refleks
gastro-kolika yang biasanya bekerja sesudah makan pagi. Setelah makanan
ini mencapai lambung dan setelah pencernaan dimulai maka peristaltik di
dalam usus terangsang, merambat ke kolon, dan sisa makanan dari hari
kemarinnya, yang waktu malam mencapai sekum mulai bergerak. Isi kolon
pelvis masuk ke dalam rektum, serentak peristaltik keras terjadi di dalam
kolon dan terjadi perasaan di daerah perineum. Tekanan intra-abdominal
bertambah dengan penutupan glottis dan kontraksi diafragma dan otot
abdominal, sfinkter anus mengendor dan kerjanya berakhir (Pearce, 2002).
Jenis gelombang peristaltik yang terlihat dalam usus halus jarang
timbul pada sebagian kolon, sebaliknya hampir semua dorongan
ditimbulkan oleh pergerakan lambat kearah anus oleh kontraksi haustrae
dan gerakan massa. Dorongan di dalam sekum dan kolon asenden
dihasilkan oleh kontraksi haustrae yang lambat tetapi berlangsung
persisten yang membutuhkan waktu 8 sampai 15 jam untuk menggerakkan
kimus hanya dari katup ileosekal ke kolon transversum, sementara
kimusnya sendiri menjadi berkualitas feses dan menjadi lumpur setengah
padat bukan setengah cair.
Pergerakan massa adalah jenis pristaltik yang termodifikasi yang
ditandai timbulnya sebuah cincin konstriksi pada titik yang teregang di
kolon transversum, kemudian dengan cepat kolon distal sepanjang 20 cm
atau lebih hingga ke tempat konstriksi tadi akan kehilangan haustrasinya
dan berkontraksi sebagai satu unit, mendorong materi feses dalam segmen
itu untuk menuruni kolon.
Kontraksi secara progresif menimbulkan tekanan yang lebih besar
selama kira-kira 30 detik, kemudian terjadi relaksasi selama 2 sampai 3
menit berikutnya sebelum terjadi pergerakan massa yang lain dan berjalan
lebih jauh sepanjang kolon. Seluruh rangkaian pergerakan massa biasanya
menetap hanya selama 10 sampai 30 menit, dan mungkin timbul kembali
setengah hari lagi atau bahkan satu hari berikutnya. Bila pergerakan sudah
mendorong massa feses ke dalam rektum, akan timbul keinginan untuk
defekasi (Guyton, 1997).
3. Tidur
Berdasarkan proses tidur terdapat dua jenis tidur. Pertama, jenis tidur
yang disebabkan menurunnya kegiatan di dalam sistem pengaktivasi
retikularis atau aebut dengan tidur gelombang lambat karena gelombang
otaknya sangat lambat atau disebut tidur NREM. Kedua, jenis tidur yang
disebabkan oleh penyaluran isyarat-isyarat abnormal dari dalam otak
meskipun kegiatan otak mungkin tidak tertekan secara disebut dengan
jenis tidur paradoks atau tidur REM (rapid eye moverment).
a. Tidur gelombang lambat (Slow wave sleep)
Jenis tidur ini dikenal dengan tidur yang dalam. Istirahat penuh,
dengan gelombang otak yang lebih lambat, tidur nyenyak. Ciri-ciri
tidur nyenyak adalah menyegarkan, tanpa mimpi atau tidur dengan
gelombang delta. Ciri lainnya berada dalam keadaan istirahat penuh,
tekanan darah menurun, frekuensi napas menurun, pergerakan bola
mata melambat, mimpi berkurang, metabolisme turun.
Tahapan tidur jenis NREM
1) Stadium 0 adalah periode dalam keadaan masih bangun tetapi
mata menutup. Fase ini ditandai dengan gelombang voltase
rendah, cepat, 8-12 siklus per detik. Tonus otot meningkat.
Aktivitas alfa menurun dengan meningkatnya rasa kantuk. Pada
fase mengantuk terdapat gelombang alfa campuran.
2) Stadium 1 disebut onset tidur. Tidur dimulai dengan stadium
NREM. Stadium 1 NREM adalah perpindahan dari bangun ke
tidur. Ia menduduki sekitar 5% dari total waktu tidur. Pada fase ini
terjadi penurunan aktivitas gelombang alfa (gelombang alfa
menurun kurang dari 50%), amplitudo rendah, sinyal campuran,
predominan beta dan teta, tegangan rendah, frekuensi 4-7 siklus
per detik. Aktivitas bola mata melambat, tonus otot menurun,
berlangsung sekitar 3-5 menit. Pada stadium ini seseorang mudah
dibangunkan dan bila terbangun merasa seperti setengah tidur.
3) Stadium 2 ditandai dengan gelombang EEG spesifik yaitu
didominasi oleh aktivitas teta, voltase rendah-sedang, kumparan
tidur dan kompleks K. Kumparan tidur adalah gelombang ritmik
pendek dengan frekuensi 12-14 siklus per detik. Kompleks K yaitu
gelombang tajam, negatif, voltase tinggi, diikuti oleh gelombang
lebih lambat, frekuensi 2-3 siklus per menit, aktivitas positif,
dengan durasi 500 mdetik. Tonus otot rendah, nadi dan tekanan
darah cenderung menurun. Stadium 1 dan 2 dikenal sebagai tidur
dangkal. Stadium ini menduduki sekitar 50% total tidur.
4) Stadium 3 ditandai dengan 20%-50% aktivitas delta, frekuensi 1-
2 siklus per detik, amplitudo tinggi, dan disebut juga tidur delta.
Tonus otot meningkat tetapi tidak ada gerakan bola mata.
5) Stadium 4 terjadi jika gelombang delta lebih dari 50%. Stadium 3
dan 4 sulit dibedakan. Stadium 4 lebih lambat dari stadium 3.
Rekaman EEG berupa delta. Stadium 3 dan 4 disebut juga tidur
gelombang lambat atau tidur dalam. Stadium ini menghabiskan
sekitar 10%-20% waktu tidur total. Tidur ini terjadi antara
sepertiga awal malam dengan setengah malam. Durasi tidur ini
meningkat bila seseorang mengalami deprivasi tidur. Tidur REM
ditandai dengan rekaman EEG yang hampir sama dengan tidur
stadium 1. Pada stadium ini terdapat letupan periodik gerakan bola
mata cepat. Refleks tendon melemah
b. Tidur paradoks /tidur REM (rapid eye movement)
Tidur jenis ini dapat bcrlangsung pada tidur malam yang terjadi
selama 5 - 20 menit, rata-rata timbul 90 menit. Periode pertama terjadi 80-
100 menit, akan tetapi apabila kondisi orang sangat lelah maka awal tidur
sangat cepat bahkan jemis tidur ini tidak ada.
Ciri tidur REM adalah sebagai berikut:
1) Biasanya disertai dengan mimpi aktif.
2) Lebih sulit dibangunkan daripada selama tidur nyenyak.
3) Tonus otot selama tidur nyenyak sangat tertekan, menunjukkan inhibisi
kuat proyeksi spinal atas sistcm pengaktivasi retikularis.
4) Frekuensi jantung dan pernapasan menjadi tidak teratur.
5) Pada otot perifer terjadi beberapa gerakan otot yang tidak teratur.
6) Mata cepat tertutup dan terbuka, nadi cepat dan tidak teratur, tekanan
darah meningkat atau berfluktuasi, sekresi gaster meningkat.
7) Tidur ini penting untuk kescimbangan mental, emosi, juga berperan
dalam belajar, memori, dan adaptasi
B. Inkontinensia
1. Inkontinensia Urin
Inkontinensia urin didefinisikan sebagai keluarnya urin yang tidak
terkendali pada waktu yang tidak dikehendaki tanpa memperhatikan
frekuensi dan jumlahnya, yang mengakibatkan masalah sosial dan higienis
penderitanya (Setiati dan Pramantara, 2007).
Proses berkemih berlangsung dibawah control dan koordinasi sistem
saraf pusat (SSP) dan sistem saraf tepi di daerah sakrum. Sensasi pertama
ingin berkemih timbul saat volume kandung kemih atau vesica urinaria
(VU) mencapai antara 150-350 ml. Kapasitas VU normal bervariasi sekitar
300-600 ml (Pranarka, 2000). Bila proses berkemih terjadi, otot-otot
detrusor VU berkontraksi, diikuti relaksasi dari sfingter dan uretra.
Tekanan dari otot detrusor meningkat melebihi tahanan dari muara uretra
dan urin akan memancar keluar (Van der Cammen dkk, Reuben dkk dalam
Pranarka, 2000). Sfingter uretra eksternal dan otot dasar panggul berada di
bawah control volunter dan disuplai oleh saraf pudendal, sedangkan otot
detrusor kandung kemih dan sfingter uretra internal berada di bawah
kontrol sistem saraf otonom, yang mungkin dimodulasi oleh korteks otak
(Setiati dan Pramantara, 2007).
Proses berkemih diatur oleh pusat refleks kemih di daerah sakrum.
Jaras aferen lewat persarafan somatik dan otonom membawa informasi
tentang isi VU ke medulla spinalis sesuai pengisian VU (Pranarka, 2000).
Ketika VU mulai terisi urin, rangsang saraf diteruskan melalui saraf pelvis
dan medulla spinalis ke pusat saraf kortikal dan subkortikal. Pusat
subkortikal (pada ganglia basal dan cerebellum) menyebabkan VU
relaksasi sehingga dapat mengisi tanpa menyebabkan seseorang
mengalami desakan untuk berkemih. Ketika pengisian VU berlanjut, rasa
penggembungan VU disadari, dan pusat kortikal (pada lobus frontalis)
bekerja menghambat pengeluaran urin. Gangguan pada pusat kortikal dan
subkortikal karena obat atau penyakit dapat mengurangi kemampuan
menunda pengeluaran urin (Setiati dan Pramantara, 2007).
Ketika terjadi desakan berkemih, rangsang dari korteks disalurkan
melalui medulla spinalis dan saraf pelvis ke otot detrusor. Aksi kolinergik
dari saraf pelvis kemudian menyebabkan otot detrusor berkontraksi.
Kontraksi otot detrusor tidak hanya tergantung pada inervasi kolinergik,
namun juga mengandung reseptor prostaglandin. Karena itu,
prostaglandin-inhibiting drugs dapat mengganggu kontraksi detrusor.
Kontraksi VU juga calcium-channel dependent, karena itu calcium-
channel blockers dapat mengganggu kontraksi VU. Interferensi aktivitas
kolinergik saraf pelvis menyebabkan pengurangan kontraktilitas otot
(Setiati dan Pramantara, 2007).
Aktivitas adrenergik-alfa menyebabkan sfingter uretra berkontraksi.
Karena itu, pengobatan dengan agonis adrenergik-alfa (pseudoefedrin)
dapat memperkuat kontraksi sfingter, sedangkan zat alpha-blocking dapat