xx Perancangan Buku Panduan…, Joanne Michellina, Universitas Multimedia Nusantara LAMPIRAN Lampiran A Form Bimbingan Tugas Akhir
xx Perancangan Buku Panduan…, Joanne Michellina, Universitas Multimedia Nusantara
LAMPIRAN Lampiran A Form Bimbingan Tugas Akhir
xxii Perancangan Buku Panduan…, Joanne Michellina, Universitas Multimedia Nusantara
Lampiran B Lembar Pengecekan Plagiarism Turnitin
xxiii Perancangan Buku Panduan…, Joanne Michellina, Universitas Multimedia Nusantara
Lampiran C Kuesioner 1
xxiv Perancangan Buku Panduan…, Joanne Michellina, Universitas Multimedia Nusantara
Section Prioritas Mahasiswa
xxv Perancangan Buku Panduan…, Joanne Michellina, Universitas Multimedia Nusantara
Section Hard Skill
xxvi Perancangan Buku Panduan…, Joanne Michellina, Universitas Multimedia Nusantara
Section Soft Skill
xxviii Perancangan Buku Panduan…, Joanne Michellina, Universitas Multimedia Nusantara
Section Sedang Mengasah Soft Skill
xxix Perancangan Buku Panduan…, Joanne Michellina, Universitas Multimedia Nusantara
Section Belum Mengasah Soft Skill
xxx Perancangan Buku Panduan…, Joanne Michellina, Universitas Multimedia Nusantara
Section Media Informasi
xxxii Perancangan Buku Panduan…, Joanne Michellina, Universitas Multimedia Nusantara
Lampiran D Kuesioner 2
xxxiv Perancangan Buku Panduan…, Joanne Michellina, Universitas Multimedia Nusantara
Lampiran E Transkrip Wawancara dengan Psikolog Klinis UMN
Wawancara dilakukan dengan Fiona Damanik, selaku Psikolog Klinis di
Universitas Multimedia Nusantara melalui aplikasi ZOOM Meeting pada 6
September 2021 pukul 10.30 – 11.00 WIB.
P : Pewawancara
N : Narasumber
P: Selamat siang mbak Fiona, perkenalkan saya Joanne Michellina jurusan Desain
Komunikasi Visual dan sedang melaksanakan Tugas Akhir.
N: Selamat siang Joanne, perkenalkan saya Fiona Damanik seorang psikolog klinis
di Universitas Multimedia Nusantara. Prakteknya sudah sejak tahun 2018, jadi
sudah sekitar 3,5 tahun jalan ke 4 tahun praktek sebagai psikolog.
P: Okee, langsung ke pertanyaan pertama yaa mbak Fiona. Bagaimana sih pola pikir
dan perilaku mahasiswa saat menempuh pendidikan di perguruan tinggi?
N: Yaa, ini tuh pertanyaan yang saya agak meraba-raba jawaban yang diharapkan.
Tetapi yang saya persiapkan ketika melihat pertanyaan itu begini, kalau seseorang
memasuki perguruan tinggi tuh masa perkembangannya masuk di remaja. Jadi bisa
dilihat biopsikososialnya yang berdampak ke perilakunya. Misalkan dari sisi
biologis, kalo pola pikir itu kan tentang kognitifnya. Di masa remaja ini, ada bagian
depan otak yang namanya prefrontal cortex yang tugasnya mengontrol perilaku,
mengambil keputusan, mempertimbangkan sesuatu. Di remaja itu sudah lumayan
matang tapi belum matang juga gitu, makanya kalo misalkan kita ngeliat masih ada
remaja yang labil atau masih belum bisa mengambil keputusan, itu masa
pembentukannya sampai nanti di tahap dewasa sudah matang. Jadi, pengambilan
keputusan hal yang sudah biasa dilakukan, yang berdampak ke pola pikir remaja.
Selain itu, untuk perilakunya karena mungkin kita bisa melihat remaja ini
emosional gitu ya, mungkin bisa dampak dari hormonal dan biologisnya juga jadi
xxxv Perancangan Buku Panduan…, Joanne Michellina, Universitas Multimedia Nusantara
berpengaruh ke moodnya atau psikologis remaja dan berdampak juga ke perilaku
yang dimunculkan.
P: Saya juga mau tambahin, tadi dibilang usianya remaja itu masih belum stabil dan
belum matang, tapi dalam pengambilan keputusan itu sebenarnya bisa dikembangin
gak sih?
N: Misalkan begini ya, kasih gambaran kalau bayi nggak boleh minum es nanti
batuk tapi bayi nggak paham, bukan karena gak mau paham tapi otaknya belum
mampu untuk paham apa sih kaitannya antara es dan sakit. Kalau remaja itu sudah
cukup mampu otaknya untuk menangkap secara abstrak kaitan-kaitan itu, jadi
memang sudah ditunjang dari biologisnya mampu memproses hal - hal abstrak
seperti kaitan antara es dan sakit, nilai atau aturan norma masyarakat yang tidak
tertulis tapi harus dilakukan, hormat dan sebagainya. Tapi kenapa ada remaja yang
tidak melakukan dan tetap seperti anak kecil, itu baru pengambilan keputusan
selama nanti referensi lingkungannya diajarin dan dikasih tahu kalau sama orang
tua yang hormat, senyum kalau disapa orang baru dan sebagainya. Itu kan mereka
mampu memahami tetapi eksekusi perilakunya bisa jadi dilakukan bisa jadi enggak.
Jadi untuk pertanyaannya tadi, iya akan berkembang karena secara biologis otak
kita semakin matang, semakin bagus, semakin mampu berpikir secara abstrak tapi
untuk eksekusi perilakunya balik lagi ke masing-masing individu.
P: Kebanyakan mahasiswa itu cenderung fokus dalam mengejar nilai akademis atau
IPK ga sih, mbak Fiona?
N: Kebanyakan tuh begitu, ya, tapi itu lebih karena sistem pendidikan sih, kayak
rapor itu kan. Rapor sekarang ini ada tuh, detail perilaku yang dicantumkan, kalau
diamati. Tapi kalau rapor saya dulu, udah cuma nilai doang. Nilai, apa, tidak ada
nilai perilaku, begitu. Tapi karena dari sistem pendidikan itu lebih banyak
mengapresiasi nilai kognitif ya, pengetahuan kita punya, adu memori begitu, siapa
memori yang lebih jago, itu lebih mendapat apresiasi. Apresiasi itu bisa juara, kalau
juara dapat hadiah dari sekolah misalkan, orang tua juga bangga, gitu kan.
P: Beasiswa juga, ya?
xxxvi Perancangan Buku Panduan…, Joanne Michellina, Universitas Multimedia Nusantara
N: Beasiswa, iya. Jadinya memang akhirnya IPK perlu banget, gitu loh, bagi
mahasiswa.
P: Tapi ada alasannya tersendiri ga sih mahasiswa itu menomor duakan soft skills
dan lebih mengutamakan nilai akademis itu?
N: Iya, itu menjadi penting karena masuk sistem, gitukan. Pun kalau di dunia kerja
filter pertama pasti IPK. Kenapa? karena CV kita dulu yang datang ke HRD nya.
Begitu juga dengan beasiswa yang tadi Joan bilang, kan. Sebelum bertemu langsung
tatap muka seperti ini yang mana kita bisa lihat nih, cara dia menyapa atau cara
menyambut orang baru kan langsung kelihatan, itukan soft skill tadi, kan.Tapi kalau
untuk, kayak, seleksi berkas itu kan IPK jadi barang konkret, barang konkret yang
bisa dilihat, yang bisa dibicarakan juga, konkret loh IPK ini. Atau hard skill, atau
pengetahuan tadi itu ya. Nah, kenapa soft skill jadi nomor dua? Satu tadi, tidak
kelihatan gitu. Misalkan kalau soft skill kan terlihat kepribadiannya, bekerja sama,
kemampuan mengelola emosi, berkomunikasi, mengatur dan lain sebagainya. Nah
itu tuh baru akan di-notice oleh orang lain ketika sudah ketemu. Apalagi online
kayak gini, kan, makin kita gatau loh kalau gak dikasih tau betapa gigih dia, itu kan
gak kelihatan. Nah akhirnya si remaja ini merasa, oh yang diapresiasi atau yang
kelihatan ini nih yang jadi lebih penting. Padahal sebenarnya soft skill ini malah
lebih penting, gitu. Karena, begini, yang membuat seseorang bertahan itu soft skill.
Hard skill tadi tuh jadi kayak luaran pertama, lah, jadi gimana bisa bertahan, bekerja
kelompok, atau di dunia kerja, itu ya soft skill. Kalau dia asal pintar aja tapi gak tau
berkomunikasi dengan bos, harus berbeda dengan berkomunikasi dengan rekan
sekerja, jadi problem, gitu kan kesannya. Itu pertama, yang kedua. Yang pertama
tadi kan berarti lingkungannya atau sistem itu membuat mereka berpikir bahwa
hanya hard skill yang diapresiasi. Yang kedua, ya mereka kurang informasi tentang
soft skill mungkin ya. Tapi, edukasi, kan ada beberapa kampus kayak misalnya
UMN ini ya, 5C ini kan sebenarnya soft skill, toh, dengan berbagai programnya itu
dengan menerapkan soft skill, begitu. Dapat nilai gak? Enggak. Dapetnya SKKM
point, gitu. Nah, jadi menempatkan diri di lingkungan yang tepat, yang punya
konsep atau mindset yang hard skill dan soft skill ini sama baiknya itu penting,
xxxvii Perancangan Buku Panduan…, Joanne Michellina, Universitas Multimedia Nusantara
begitu. Karena dari situlah mereka akan tahu informasi. Bayangkan kalau misalkan
mereka di lingkungan keluarga hanya ditanya IP, IP, IP, nilai, nilai, nilai rapot
misalnya kan. Terus masuk lagi ke sistem pendidikan perguruan tinggi yang tadi
tetap IP, IP terus, tidak ada informasi tentang soft skill yang gak tau sama sekali
kan. Jadi bukan gak bisa, tapi karena gak ada informasi, jadi informasi tentang soft
skill itu penting tuh menjadi penting juga, biar mereka terpapar, jadi minimal ada
refleksi pribadi, kontemplasi pribadi, gitu. Problem solving juga masuk soft skill,
jadi bisa kembangin hard skill dan soft skill nya juga.
P: Oke, tadi kan mbak Fiona bilang memang soft skill itu penting kan. Nah, faktor
apa saja sih yang dapat mendorong mahasiswa untuk mengembangkan soft skill
yang dimilikinya?
N: Informasi tentang pentingnya soft skill, itu, perlu disampaikan dulu. Juga dengan
contoh kasus. Kan ga susah, ya, cari contoh kasus tentang pentingnya soft skill gitu.
Misalkan, ada seseorang yang pintar banget, gitu, tapi dia ternyata semaunya dia,
gitu misalkan. Nah, apa yang terjadi, bisa tuh dikasih tau apa sih yang terjadi sama
orang-orang di sekitar dia? Dia pintar tapi gak disukai mungkin gitu, ga ada yang
mau kerjasama, malas orang, gitu. Orang akan memilih main dengan orang yang
biasa-biasa saja tapi enak diajak ngobrol, gak yang begini, gitu kan. Ya ada banyak
sih yang bisa mendorong supaya soft skill ini tuh jadi yang utama juga. Yang kedua
yang tadi ya, mesti masuk ke sistem, sistem pendidikan, kayak rapor yang tadi saya
sampaikan artinya kan ada perubahan kan, artinya tingkat SD, SMP, SMA itu sudah
ada tuh, penilaian ini, begitu. Sudah mengarah kesana, begitu.
P: Oke, kalau tadi kan faktor yang mendorong, kalau yang bisa menghambat
mahasiswa dalam mengembangkan soft skill yang dimiliki itu faktor apa saja?
N: Iya, yang satu tadi mungkin balik ke pertanyaan yang apresiasi tadi. Kan rajin,
tekun tuh, kalau hasilnya gak oke orang gak apresiasi, terus kita merasa sia-sia nih
rajin saya atau tekun saya, misalnya. Lebih fokus pada hasil, padahal berfokus pada
proses itu kan perlu, ya. Terus, mengasah soft skill itu kan mengasah diri ya, kalau
pengetahuan itu tuh kita baca, memori, paham, tahu, nilai bagus, gitu. Tapi soft skill
xxxviii Perancangan Buku Panduan…, Joanne Michellina, Universitas Multimedia Nusantara
itu mesti dialami, mesti lebih panjang lah waktunya. Mesti berlatih kadang up-and-
down, gitu kan. Kayak berinteraksi ini sampai pada satu titik kita tahu cara
berinteraksi dengan orang lain itu dengan seperti ini kan dari banyak trial and error
juga, gitu loh. Coba kalau terlalu ramah, ternyata respon nya gak oke. Kalau terlalu
pasif, gak oke juga. Jadi nemu yang sedang-sedangnya, gitu kan. Nah, mesti tekun,
tadi, gak pantang menyerah, kalau tadi malas sama orang, gak cocok saya interaksi
sama orang lain, jadi gak terasah kan soft skill nya. Jadi mungkin, hambatannya itu
ya, di usaha, di waktu juga mungkin. Memang mesti yang dialami, kan.
P: Oke, terus bagaimana sih cara mahasiswa mengembangkan soft skill nya di
perguruan tinggi?
N: Dengan aktif mengikuti organisasi, Unit Kegiatan Mahasiswa, kepanitiaan, baik
di dalam kampus maupun diluar kampus, ya. Jadi biar bertemu langsung dengan
orang untuk bisa melatih berbagai soft skill tadi. Kerjasama, cara komunikasi,
belajar percaya, banyak banget kalau ngomong soft skill ya, belajar percaya, belajar
kredibel, bisa dipercaya, belajar peduli, gitu.
P: Kalau di luar yang tadi itu, ada cara lain gak sih, mbak Fio, supaya mereka bisa
mengembangkan soft skill nya?
N: Di luar mengikuti kegiatan? Baik di kampus maupun di luar kampus? Mungkin
pelatihan, atau ikut workshop, gitu, workshop khusus misal mengelola emosi dan
lain sebagainya, itu secara singkatnya. Tapi ya setelah pelatihan itu mungkin ada
latihan-latihan simulasinya tapi the real nya itu ya organisasi tadi, kalau organisasi
tadi kan tidak akan pelatihannya, kan. Tapi kayak, coba, coba cari dan kepala kita
bakal mencari cara mengatasi masalah ini, gitu, dan jadi terbiasa, gitu, melatih diri.
P: Oke, oke. Apakah dengan mengembangkan soft skill itu dapat berdampak bagi
karier mahasiswa di dunia kerja?
N: Ya, jadi mungkin Joan pernah liat ya ada meme yang sering di Instagram bilang
kayak gini; orang kerja, misalnya kayak gini, saya tuh dibayar, itu tuh ngerjain
kerjaan yang sebenarnya tuh hanya 20-30%, 70% nya itu adalah handling problem
sama rekan sekerja dan sebagainya. Somehow it's true, gitu, maksudnya kerjaan itu
xxxix Perancangan Buku Panduan…, Joanne Michellina, Universitas Multimedia Nusantara
mungkin bisa kita handle tapi bagaimana mengkomunikasikan kalau ini tuh butuh
waktu sekian, gimana cara menyampaikan ide, biar gak terkesan gini, nah itu kayak
70 sampai 80 persen, kan. Artinya kan soft skill nya nih, gimana kamu
menyampaikan sesuatu. Kalau idemu brilian tapi penyampaiannya marah-marah,
maksa, ga mau kolaborasi? Ah udahlah tuh, jadi memang butuh hard skill, butuh
banget, tapi ya 50-50, gak ada yang 60-40, gak ada, gitu. Ya kalau di karier itu
menjadi penting. Nah, anak-anak yang IP nya tinggi kan ada wawancara tuh, nanti
ketahuan tuh dari caranya bicara, itu kayaknya gak sopan, dari caranya kok
sepertinya ini ya, nah nanti kan terasa, nanti gugur juga. IPK jadi saringan pertama,
iya, tapi untuk seterusnya yang membantumu bertahan hidup ya soft skill itu.
P: Menurut mbak Fiona nih, apakah diperlukan informasi yang dapat membantu
mahasiswa mengasah soft skill sebagai persiapan di dunia kerja?
N: Perlu informasi. Namun, sebenarnya dengan beberapa, aku berkaca di UMN ya,
dengan berkaca adanya wajib SKKM point 20, itukan mau gak mau kayak memaksa
seseorang untuk mengasah soft skill nya, kan? 20 itu lumayan banyak ya,
sebenarnya. Jadi harus ikut beberapa kegiatan, kepanitiaan, bahkan ada program
wajib, leadership, mentoring, OMB, gitu kan. Nah, itu sebenarnya secara tidak
langsung memberitahu juga, tapi pemberitahuan secara formal itu ya boleh juga sih,
baik juga. Supaya mereka teredukasi soft skill nya. Penting itu.
P: Menurut mbak Fiona, apakah dengan ada informasi dalam bentuk buku panduan
mengasah soft skill dapat membantu mahasiswa dalam mempersiapkan dunia kerja?
N: Tentu, tapi buku panduan tersebut wajib dibaca, gitu. Karena kan harus jadi
masuk ke sistem, gitu. Kalaupun mau dijual biar dibeli gitu judulnya mesti yang
lebih menarik, bukan buku panduan soft skill kan. Tapi kayak ‘Self improvement
untuk meningkatkan karier’, tapi dalam isi bukunya itu meningkatkan soft skill,
sebenarnya, apa yang perlu dilatih.
P: Menurut mbak Fiona sendiri, informasi apa saja sih yang perlu diketahui dan
diinformasikan untuk dapat membantu mahasiswa mengembangkan soft skill yang
dimiliki?
xl Perancangan Buku Panduan…, Joanne Michellina, Universitas Multimedia Nusantara
N: Selalu bergerak, gini kan, kalau kita mau mengajak seseorang, itu mesti yang
relevan. Relevan itu berdasarkan kebutuhan mereka. Maka, selalu cek, sebenarnya
kasus atau yang lagi hot sekarang ini tuh apa sih? Mereka ini lagi butuh apa sih?
Gitu, kita ambil kasusnya, kita paparkan lalu ‘tau ga sih kenapa ini bisa terjadi?’
Nah, lalu kita tarik ke belakang, ‘karena kurang soft skill loh, karena mengutamakan
hard skill’. Apakah soft skill itu? Sudahkah kita latih? Jadi baru materinya. Pertama
mesti yang, ‘ih aku banget nih’, mesti yang kena di kita, karena yang kita baca gitu
kan? Iya, kita akan baca kalau misalkan tentang parenting, begitu, kayaknya belum
deh, gitu kayaknya kita belum tertarik gitu kan karena tidak relevan. Tapi kayak
bagaimana supaya disukai oleh orang, bagaimana supaya orang bisa mendengarkan
apa yang kita omongkan, nah itu kan jadi ‘oh iya nih setiap kali kerja kelompok
sering gak didengerin,’ terus kita baca oh yang pertama itu kita begini, dan
sebagainya. Dan mesti spesifik, sih, soft skill yang mau dilatih kan apa, karena
saking banyaknya tadi, mesti spesifik, kan? Misalkan tadi, jadi percaya diri, atau
belajar mesti apa yang dilakukan.
P: Kendala apa saja sih yang dapat menghambat penanaman soft skill ke
mahasiswa?
N: Misalkan gini, mahasiswanya merasa tekun tapi kok gak langsung dapat hasil
dari ketekunan itu, gitu loh. Karena kan proses, kan? Gak bisa dapat langsung. Beda
kalau IPK, satu semester sudah pasti IPK keluar di akhir semester, gitu. Jadi dia
semakin semangat karena pasti hasilnya. Tapi kalau latihan kerja sama, latihan
komunikasi, latihan problem solving, menjadi percaya diri, gitu ya. Itu tuh gak
langsung dapat, itu membuat seseorang jadi lebih fokus pada hard skill tadi, padahal
sebenarnya itu kalau dilakukan terus menerus akan menguntungkan kita dalam
keseharian kita, begitu. Itu mungkin kendalanya, terus generasi millenial kalau yang
sekarang ini kan serba instan, nanti cari deh karakteristik generasi millenial salah
satunya adalah instan. Ingin yang sederhana, ingin yang cepat, ingin yang apa, gitu,
sehingga fokusnya pada hasil, padahal kan perlu fokus pada proses, begitu.
P: Apa yang mbak Fiona takutkan jika mahasiswa sekarang itu kekurangan soft
skill?
xli Perancangan Buku Panduan…, Joanne Michellina, Universitas Multimedia Nusantara
N: Mungkin mereka tidak akan survive, merasa ‘me against the world’, gitu, kayak
tidak ada yang mendukung mereka sama sekali, itu satu. Karena gak berusaha untuk
bisa mencari tahu apa yang salah, dia mengandalkan ‘karena saya pintar harusnya
kamu mendengarkan’, mungkin begitu ya, gak tau tuh pola pikir ada aja tuh yang
seperti itu, ya. Atau menomorsatukan hard skill padahal lingkungannya perlu orang
yang bisa, yang punya soft skill bagus juga, gitu misalkan. Itu paling untuk
kerugiannya di diri sendiri. Jadi yang kedua mungkin dampaknya adalah nama
baiknya dia, nama baik keluarganya, nama baik alumninya, mungkin? ‘Lulusan
mana sih, kok kayak gini?’ Misalkan gitu loh kalau soft skill-nya gak baik, paling
begitu. Ya rugi aja dapatnya jadinya.
P: Oke, terima kasih banyak ya mbak Fiona atas waktunya dan kesediaannya untuk
menjadi narasumber pada wawancara ini.
N: Sama-sama Joan, sukses ya buat TA nya, ya.
P: Iya, terima kasih mbak Fio, sukses juga ya mbak Fio.
xlii Perancangan Buku Panduan…, Joanne Michellina, Universitas Multimedia Nusantara
Lampiran F Transkrip Wawancara dengan Global Relations UMN
Wawancara dilakukan dengan Boby Arinto, selaku Global Relations Universitas
Multimedia Nusantara melalui email pada 6 September 2021 dan dilanjutkan
dengan wawancara lanjutan pada 7 September 2021 melalui aplikasi WhatsApp.
Wawancara via Email
P : Pewawancara
N : Narasumber
P: Menurut Anda, apa itu soft skill?
N: Soft skill adalah kemampuan non-teknis yang dibentuk secara alami oleh
lingkungan, pendidikan, dan pergaulan. Bagaimana mengelola emosi diri dan
dalam kaitannya saat interaksi dengan orang lain. Keterampilan ini meski seperti
bakat, bisa dipelajari dan dikembangkan. Banyak disebutkan bahwa soft skill
merupakan kemasan yang efektif untuk hard skill.
P: Apa saja kemampuan yang termasuk ke dalam soft skill?
N: Contoh soft skill yang penting misalnya keterampilan komunikasi,
kepemimpinan, kecerdasan emosi, kolaborasi, antusiasme, berpikir kritis, percaya
diri, kreativitas, pemecahan masalah, konsistensi, dll.
P: Apakah semua jenis soft skill harus dikuasai oleh mahasiswa?
N: Tentu akan lebih baik jika semuanya bisa dikuasai, tapi minimal beberapa contoh
utama di atas perlu dikuasai. Menguasai 1 keterampilan soft skill tertentu pada
dasarnya bisa digunakan dalam berbagai bidang kerja dan ini akan membantu dalam
peningkatan karier. Contoh, kemampuan komunikasi yang efektif sangat
bermanfaat untuk semua bidang pekerjaan dan kehidupan. Ini berbeda dengan hard
skill dimana 1 keterampilan digunakan untuk bidang tertentu, misal keterampilan
membuat laporan keuangan perusahaan digunakan dalam bidang keuangan
perusahaan.
xliii Perancangan Buku Panduan…, Joanne Michellina, Universitas Multimedia Nusantara
P: Apakah soft skill lebih penting daripada hard skill di dunia kerja?
N: Sebenarnya keduanya saling melengkapi dan sama penting. Hanya saja
penggunaannya berbeda. Hard skill sangat dibutuhkan dalam menyelesaikan
pekerjaan tertentu yang membutuhkan keterampilan yang sesuai. Misal, dokter
harus punya keterampilan sesuai standar kedokteran untuk bisa praktik kedokteran
dan pengobatan. Namun pengetahuan kedokteran saja belum cukup jika misalnya
kasar, kurang komunikatif dan kurang teliti. Ini harus dilengkapi dengan soft skill
agar menjadi optimal, karena pada dasarnya pasien pun perlu rasa tenang, nyaman
dan percaya kepada dokternya.
P: Mengapa soft skill menjadi salah satu modal dasar dalam memasuki dunia
kerja?
N: Saat ini perusahaan tidak hanya mencari karyawan dengan hard skill tertentu
saja karena itu merupakan minimum requirement. Tetapi perusahaan menginginkan
karyawan yang juga memiliki keterampilan soft skill karena ini merupakan
keterampilan yang memungkinkan karyawan untuk terus berkembang, berpikiran
maju, punya keterampilan komunikasi dan kerja sama yang baik dan dapat
diandalkan. Tanpa soft skill tersebut, karyawan akan ketinggalan perkembangan
dan bisa menjadi problem di masa datang.
P: Apakah mengasah soft skill penting dilakukan oleh mahasiswa sebelum
memasuki dunia kerja? Seberapa penting dalam skala 1 - 5?
N: Sangat penting dan bahkan skala 5 karena ini menjadi keharusan kalau mau
sukses dan terus berkembang sebagai pendamping hard skill yang dipelajari.
P: Soft skill apa saja yang perlu dipersiapkan dan paling penting dimiliki oleh
mahasiswa di dunia kerja? N: Terutama keterampilan komunikasi, kepemimpinan,
kecerdasan emosi, kolaborasi, antusiasme, berpikir kritis, percaya diri, kreativitas,
pemecahan masalah, serta konsistensi dan mau bekerja keras selain bekerja cerdas.
P: Bagaimana cara mengembangkan soft skill yang dimiliki?
xliv Perancangan Buku Panduan…, Joanne Michellina, Universitas Multimedia Nusantara
N: Bisa dengan mengikuti berbagai kegiatan seminar atau workshop soft skill,
sering berdiskusi dengan orang yang memiliki soft skill yang bagus, menggunakan
role model, ikut kegiatan organisasi mahasiswa, terlibat dalam event kampus,
komunitas, kegiatan bakti sosial, belajar dari youtube atau social media, dll. Setelah
mempelajari ini harus langsung dipraktekkan sebagai sebuah kebiasaan yang
kemudian menjadi personalitas.
P: Apa manfaat dari penguasaan soft skill di dunia kerja, masa depan, dan
masyarakat bagi mahasiswa?
N: Penguasaan soft skill akan memudahkan meraih tujuan dalam pekerjaan dan
kesuksesan. Baik secara utamanya secara intra-personal (pengembangan diri)
maupun interpersonal dengan masyarakat dan lingkungan yang lebih luas karena
menjadi pribadi yang lebih mudah diterima dan dapat diandalkan.
P: Mengapa soft skill menentukan kesuksesan di dunia kerja dan masa depan?
N: Secara umum soft skill merupakan pembeda seseorang dari orang lainnya.
Kemampuan soft skill yang kuat akan menjadi nilai tambah bagi seseorang untuk
sukses di dunia kerja maupun masa depan.
P: Mengapa penguasaan soft skill dapat membantu mahasiswa bersaing di era
revolusi industri 4.0?
N: Betul, karena dengan soft skill maka mahasiswa akan selalu open-minded,
terdorong untuk mempelajari hal yang baru, fleksibilitas tinggi dan selalu mencari
solusi atas perkembangan teknologi dan lingkungan yang akan meningkatkan daya
saingnya.
P: Apa dampak dari kurangnya penguasaan soft skill di dunia kerja?
N: Biasanya akan ada hambatan dalam karier, pencapaian target, lemah dalam kerja
sama dan sulit untuk mendapat dukungan yang dibutuhkan.
P: Menurut Anda, apakah diperlukan informasi yang dapat membantu mengasah
soft skill sebagai persiapan di dunia kerja?
xlv Perancangan Buku Panduan…, Joanne Michellina, Universitas Multimedia Nusantara
N: Tentu. Sekarang ini informasi selain sangat perlu, penting dan semakin mudah
didapat melalui internet, membaca buku termasuk e-book, mengikuti podcast,
youtube pembelajaran yang bagus dan mencerahkan.
P: Informasi apa saja yang perlu diketahui dan diinformasikan untuk dapat
membantu mahasiswa mengembangkan soft skill yang dimiliki?
N: Mulai searching topik-topik soft skill secara online, mengikuti seminar atau
workshop, diskusi dengan orang yang memiliki soft skill yang baik, mencontoh role
model, dan banyak lainnya. Mulailah dengan kata kunci “how to …. (soft skill
tertentu).” Kembangkan soft skill sejak muda.
Wawancara Tambahan via WhatsApp
P : Pewawancara
N : Narasumber
P: Terkait jawaban Bapak “Keterampilan ini meski seperti bakat, bisa dipelajari dan
dikembangkan.” Apakah bakat (cth: olahraga, musik, dsb) bisa dibilang termasuk
ke dalam soft skill? Atau sebenarnya soft skill dan bakat itu berbeda? Bisa tolong
dijelaskan mengenai soft skill yang seperti bakat itu?
N: Keterampilan menggunakan alat musik atau olahraga tertentu itu masuk hard
skill, tetapi kemampuan bisa mencipta lagu dan menyesuaikan dengan minat
audiens itu soft skill. Sama juga dengan setiap orang bisa saja bicara di depan umum
misalnya presentasi tetapi yang yang dimaksud dengan bakat misalnya kemampuan
persuasif dalam presentasi tersebut yang yang membuat lawan bicara merasa
nyaman, mengangkat topik yang menarik sehingga interaksi menjadi kuat. Jadi
bakat di sini maksudnya kemampuan yang sudah pre-installed sebelumnya dan jika
didukung dengan hard skill maka menjadi sesuatu yang luar biasa. Jadi, bakat
merupakan potensi bawaan terhadap soft skill tertentu.
xlvi Perancangan Buku Panduan…, Joanne Michellina, Universitas Multimedia Nusantara
P: Kemampuan berbahasa asing itu termasuk ke dalam soft skill, bakat, atau hard
skill?
N: Kemampuan berbahasa asing misalnya paham grammar, structure, written skill
itu kategorinya hard skill karena itu adalah basic competency. Tetapi jika seseorang
mampu berbicara dalam bahasa asing dengan pemilihan diksi yang tepat, mudah
dipahami oleh native speaker dan persuasif dalam bahasa asing tersebut, itu
kategorinya soft skill.
P: Terkait jawaban Bapak “Banyak disebutkan bahwa soft skill merupakan kemasan
yang efektif untuk hard skill.” Apakah maksudnya adalah soft skill dapat
melengkapi hard skill sehingga kompetensi yang dimiliki seseorang menjadi
seimbang?
N: Betul. Misalkan dengan contoh yang tadi mengenai presentasi, saat ini hampir
semua orang bisa melakukan presentasi. Tapi ada sebagian yang bisa mengemas
presentasinya menjadi sangat menarik, menggugah emosi, merangsang berpikir
audiens dan kemudian bisa mengajak audiens melakukan hal yang disampaikan, ini
sudah kategori soft skill. Itu sebabnya ada presentasi yang "membosankan" dan ada
presentasi yang "ditunggu" karena isinya penting dan menyenangkan saat didengar
atau dilihat.
P: Terkait keterampilan komunikasi, apakah public speaking dan keterampilan
presentasi juga termasuk ke dalam komunikasi? Sebenarnya tiga keterampilan
tersebut sama saja atau berbeda?
N: Dalam komunikasi ada intra-personal dan inter-personal. Public speaking dan
presentasi masuk dalam kategori inter-personal atau melibatkan orang lain. Jika
public speaking secara cakupan lebih luas, presentasi biasanya masuk dalam skala
audiens yang lebih spesifik dan terbatas. Meskipun secara basic hampir sama tetapi
ada pembedanya. Public speaking dan presentasi yang hanya "menyampaikan
informasi" menurut pandangan saya saat ini masih bisa dibedakan menjadi 2, yaitu
hard skill dan soft skill. Jika presentasi hanya menyajikan data dan cenderung
monoton maka ini masih hard skill dan belum masuk kategori memiliki kemampuan
xlvii Perancangan Buku Panduan…, Joanne Michellina, Universitas Multimedia Nusantara
soft skill. Tetapi jika sudah bisa mengemasnya sesuai kebutuhan dan minat audiens,
maka sudah masuk level soft skill. Kemampuan soft skill ini memang pada
umumnya bisa dirasakan tetapi kadang agak sulit jika dituliskan karena lebih efektif
menggunakan contoh-contoh. Misanya, seperti orang yang belum pernah
menikmati gula lalu dijelaskan tentang rasa manis.
P: Apakah dari sekian banyaknya jenis soft skill, dapat dikelompokkan menjadi
kategori yang lebih kecil? Contoh: Social Skills (Communication, Teamwork,
Presentation), Thinking Skills (Decision making, Problem Solving, Critical
Thinking, Leadership), Management Skills (Time, Stress, Conflict) Atau kategori
yang membedakannya adalah interpersonal dan intrapersonal?
N: Bisa dikategorikan berdasarkan kelompok yang lebih kecil sesuai kebutuhan.
Saya sendiri untuk memudahkannya bisa lebih kecil lagi menjadi intra-personal
(kemampuan mengelola dan mengembangkan diri sendiri) dan inter-personal
(dalam hubungannya dengan orang lain).
P: Menurut Anda, apakah dengan adanya informasi dalam bentuk buku panduan
mengasah soft skill (dengan ilustrasi) dapat membantu mahasiswa dalam
mempersiapkan dunia kerja? Mengapa?
N: Bisa saja. Pada prinsipnya adalah selain informasi yang disajikan komprehensif
dan menarik, juga yang penting adalah membangkitkan inspirasi pembaca untuk
melakukan hal yang disampaikan, jadi tujuan utamanya tercapai.
P: Kendala apa saja yang dapat menghambat penanaman soft skill ke mahasiswa?
N: Kendalanya jika mahasiswa tersebut belum open-minded, merasa soft skill
belum penting saat ini dan belum mau mulai mempelajarinya. Juga ketika
lingkungan di luar mahasiswa tersebut kurang mendukung, misal ketika ingin
mengikuti workshop atau seminar tentang soft skill dianggap aneh atau di luar
mainstream. Ini bisa melemahkan semangat pengembangan diri untuk mahasiswa
tersebut. Jadi penanaman soft skill ini pada dasarnya menjadi tugas semua orang,
tidak hanya per individu. Saling mendukung ke arah kesuksesan dan penting juga
untuk bergaul dengan orang-orang yang memiliki growing mindset.
xlviii Perancangan Buku Panduan…, Joanne Michellina, Universitas Multimedia Nusantara
Lampiran G Screenshot Wawancara dengan Global Relations UMN
Via Email
Via WhatsApp
xlix Perancangan Buku Panduan…, Joanne Michellina, Universitas Multimedia Nusantara
Lampiran H Transkrip Wawancara dengan HR Consultant
Wawancara dilakukan dengan Inaulia Sekar R., M.Psi., Psikolog, selaku HR
Consultant melalui aplikasi ZOOM Meeting pada 8 September 2021 pukul 17.00 –
17.30 WIB.
P : Pewawancara
N : Narasumber
P: Selamat sore kak, sebelumnya saya ingin berkenalan dulu sama kakak, mungkin
kakak bisa menyebutkan nama, bekerja sebagai apa, dimana, dan bekerja sudah
berapa lama.
N: Perkenalkan nama saya Inaulia Sekar Rarastiti, saya dulu sempat kerja di
Organizational Development di Astra International kurang lebih selama 5 tahun,
kemudian sempat di start up juga sebagai HR Generalist di Jakarta, namanya
Digiasia Bios sekarang saya sebagai HR Practitioner ya, HR Consultant dan
kemudian saya juga sebagai career coach dan CEO dari AIDE Consultant
Indonesia.
P: Oke, salam kenal kak Inaulia, panggilannya apa nih, kak?
N: Panggil saja Ina
P: Oke kak Ina, langsung ke pertanyaan pertama ya kak, menurut kakak soft skill
itu apa sih kak?
N: Soft skill itu adalah kemampuan non-teknis ya, jadi kayak sebuah emotional
intelligence sih, kalau saya omong. Itu adalah kecerdasan emosional yang
kemudian terepresentasi ke dalam emosi kita, ke dalam sikap kita, ke dalam
perilaku kita, nah itu adalah soft skill. Jadi bentuk soft skill itu banyak, ada soft skill
komunikasi, kemudian leadership, kemudian kemampuan bertahan, adaptif, dan
lain-lain. Itu adalah salah satu bentuk dari soft skills.
l Perancangan Buku Panduan…, Joanne Michellina, Universitas Multimedia Nusantara
P: Oke, kalau menurut kakak nih, seberapa penting sih penguasaan soft skill,
terutama mahasiswa, untuk persiapan di dunia kerja? Kalau dalam skala 1-5?
N: 5 sih, penting banget karena apa, ini juga didukung sih dengan apa yang
disampaikan oleh Daniel Goleman ya, bahwa faktor kesuksesan orang itu 75%
dipengaruhi oleh soft skill, 25% nya baru intelektual. Dan saya sendiri juga
merasakan ketika sudah di dunia kerja ternyata apa yang kita pelajari di kuliah itu
mungkin yang diimplementasikan hanya sekitar 10-20%. Selebihnya kita benar-
benar belajar secara learning by doing, sehingga memang soft skill sangat
menentukan kemampuan kita untuk belajar dalam dunia baru tersebut, dan survive
dalam dunia baru tersebut. Seperti itu.
P: Oke, mengapa sih soft skill itu menjadi salah satu modal dasar dalam memasuki
dunia kerja?
N: Karena ketika di dalam dunia kerja itu ya, banyak hal baru sih yang akan kita
pelajari, jauh berbeda dari saat kita kuliah, gitu. Dan untuk bisa survive dalam hal
tersebut, yang dibutuhkan adalah, itu tadi, kemampuan-kemampuan non teknis.
Karena kalau kemampuan teknis itu semua bisa dipelajari, begitu. Tapi kalau
kemampuan-kemampuan non teknis, soft skill itu tadi, itu adalah sesuatu yang
memang kita harus bangun, yang harus kita upayakan, lebih, kita upayakan lebih
awal lagi, agar kita dapat menghadapi setiap tantangan-tantangan di dalam dunia
kerja. Jadi intinya kenapa sih kita butuh soft skill, karena di dunia kerja itu adalah
dunia baru, yang berbeda dibanding dengan masa kuliah. Dan tantangannya itu
sangat banyak, dan ketika di dunia kerja kita itu dituntut untuk lebih mandiri. Kalau
pada saat kuliah kita kan ada orang tua, ada, tuntutannya berbeda, gitu, sama kita.
Tapi kalau pada saat kerja, kita itu diminta untuk lebih mandiri, kita diminta untuk
bisa berjuang lebih keras lagi, dan medannya pun juga berbeda, gitu ya. Kalau di
dunia kerja kan memang perubahan terjadi begitu cepat, kemudian kita, tanggung
jawabnya pun juga lebih besar, sehingga memang kemampuan non teknis atau soft
skill itu jauh lebih penting dibandingkan kemampuan hard skill. Seperti itu.
li Perancangan Buku Panduan…, Joanne Michellina, Universitas Multimedia Nusantara
P: Terus mengapa sih penguasaan soft skill itu lebih menentukan diterimanya calon
karyawan di dunia kerja?
N: Oke, baik. Karena itu tadi seperti yang saya katakan bahwa hard skill itu bisa
dipelajari, dengan lebih cepat dibandingkan soft skill. Dan soft skill itu kita tidak
bisa pelajari secara instan. Kalau kata Malcolm Gladwell dalam bukunya Outliers,
butuh 10.000 jam untuk mengubah habit seseorang. Maka, butuh 10.000 jam juga
untuk mengubah habit kita yang tadinya kita tuh gampang menyerah, kita mau
berubah jadi resilience, begitu, kita butuh waktu cukup lama, gitu loh, dibanding
kita mau menambah kemampuan hard skill kita, gitu. Dan yang namanya hard skill
itu tuh bisa lekang oleh waktu, tapi yang namanya soft skill itu enggak. Sehingga
itu yang jadi modal utama kita itu menghadapi tantangan apapun dalam dunia kerja.
Yang lebih utama itu kita punya soft skill itu dulu, baru setelah itu kita
mengembangkan hard skill.
P: Tapi sebenarnya dua-dua kemampuan itu tuh penting, sama penting, atau
gimana, kalau di dunia kerja?
N: Kalau di kacamata user ya, soft skill itu jauh lebih penting. Banyak orang yang
bilang, lebih baik saya tuh gak cari orang yang pintar, tapi orang yang bisa kerja.
Dimana yang bisa kerja itu adalah orang-orang yang memiliki soft skill yang bagus.
Karena kalau kebanyakan orang pintar itu gak punya kemampuan untuk bekerja
sama dalam team, mereka gak punya kemampuan komunikasi yang bagus, empati
yang bagus, sehingga makanya saya tuh bukannya nyari orang yang pintar tapi nyari
orang yang bisa bekerja. Sehingga kalau ditanya misalnya ada dua kandidat, satu
hard skill-nya oke, tapi soft skill-nya biasa saja, satunya soft skill-nya bagus, tetapi
hard skill-nya biasa saja, kalau disuruh memilih, saya akan memilih yang soft skill-
nya bagus.
P: Soft skill apa aja sih yang penting untuk dikembangkan sebagai persiapan untuk
memasuki dunia kerja?
N: Oke, jadi kalau merujuk dari World Economic Forum, itu ada yang utama itu
lima soft skills ya, yang pertama itu ialah communication, kemudian ada critical
lii Perancangan Buku Panduan…, Joanne Michellina, Universitas Multimedia Nusantara
thinking, creative, collaboration, dan yang terakhir itu kalau ga salah tuh adaptive,
agile ya jadi agile. Yang mana kita bisa merespon dengan cepat perubahan yang
ada.
P: Apa sih manfaat dari penguasaan soft skill di dunia kerja, masa depan, dan
masyarakat?
N: Oke, manfaat penguasaan soft skill untuk masa depan, dunia kerja dan
masyarakat, ya. Banyak banget sih manfaatnya, ya. Satu, kalau kita itu memiliki
soft skill yang bagus, ya, kita itu bisa berempati. Kita berempati sehingga kita itu
tau bagaimana kita harus bersikap, bagaimana kita itu harus menyikapi sebuah
situasi, itu. Sehingga bagaimanapun bentuk situasinya, bagaimanapun karakter
orang yang kita temui, bagaimanapun tantangannya, kalau kita bisa empati, ya,
maka kita itu akan bisa membaca situasi. Kalau kita bisa membaca situasi, maka
kita bisa tau tuh sikap seperti apa yang seharusnya kita munculkan.
P: Selain itu apakah ada manfaat lainnya kak?
N: Kalau manfaat lainnya ya tentu saja akan membuat kita survive sih, dengan
berbagai tantangan yang ada, ya. Apalagi di zaman sekarang perubahan itu terjadi
dengan sangat amat cepat, salah satu yang bisa membuat kita survive adalah itu tadi,
kita memiliki soft skill yang baik, gitu. Dan kalau di masyarakat tentu saja kalau
misalnya kita memiliki soft skill yang baik itu kita akan menjadi orang yang
memiliki networking yang bagus, memiliki personal branding yang baik pula,
begitu. Dan kalau di dunia kerja, ya, tentu saja kita, ya itu tadi sih, bisa
memperlancar karier kita. Karena kan berarti kita menunjukan orang yang adaptif,
ya, kita bisa menyesuaikan diri aja sih dalam berbagai situasi, begitu. Sehingga ya
orang-orang yang adaptif itu kan biasanya kariernya cepat, ya, tapi kita jangan
omongin, bandingin dengan orang yang memiliki privilege, itu beda. Jadi kita
omongin memang kita murni dari usaha kita, gitu ya, orang yang adaptif itu pasti
akan mendapatkan manfaat kariernya cepat, secara performance.
P: Kalau tadi kan kakak ada sebut kalo kita punya soft skill bisa survive kan di
kehidupan kerja, tapi berarti kalo untuk sebelum memasuki dunia kerja itu misalnya
liii Perancangan Buku Panduan…, Joanne Michellina, Universitas Multimedia Nusantara
seorang mahasiswa, dia sangat menguasai soft skill-nya itu apakah betul dapat
membantu dia bersaing di era industri 4.0 ini?
N: Iya, karena ketika dia tau dia punya soft skill-nya bagus ya maka dia itu bisa ya
itu tadi, beradaptasi dengan cepat dengan perubahan yang ada, industri, salah satu
ciri industri 4.0 itu kan perubahan terjadi dengan cepat ya gitu dan apa namanya
kalo kita punya soft skill yang baik gitu ya kita bisa menyesuaikan diri, kita bisa
membaca situasi seperti apa, kemudian kita bisa segera memutuskan bangkit
kembali dari ‘Oke ternyata ilmuku udah gak relevan lagi nih, berarti aku harus
seperti ini, harus seperti ini. Nah, itu adalah salah satu manfaat soft skill yang baik
di era saat ini.
P: Dari kakak sendiri sebagai seorang HR Consultant, apakah terdapat tips terkait
soft skill untuk mahasiswa sebelum melamar kerja?
N: Oke, tips untuk mahasiswa sebelum melamar kerja. Tips saya adalah perbanyak
exposure terhadap diri kita sih. Ya, jadi exposure terhadap diri kita bahwa ya
maksudnya dengan cara seperti apa? Ya sekarang itu kan banyak tuh webinar, terus
banyak juga platform yang memberikan kesempatan untuk internship ya.
Kemudian, apa namanya banyak juga konten-konten menarik yang bisa
membangun diri. Inget yang namanya soft skill itu tidak bisa diubah secara singkat
ya dan kalo gak kita ubah dari sekarang atau nunggu masuk dunia kerja terlebih
dahulu itu nanti takutnya terlambat karena apa? Kita membutuhkan waktu untuk
merubah atau meningkatkan kemampuan soft skill kita. Cara terbaik itu bukan
hanya dengan cara membaca buku, mendengarkan konten podcast atau YouTube
yah. Cara terbaik adalah dengan kita terjun langsung, dengan kita meningkatkan
experiences maka kita jadi tau bagaimana ‘Oh sikap apa atau mindset seperti apa
yang harus kita bangun? Soft skill yang harus kita bangun? seperti itu.
P: Harapan kakak sebagai HR Consultant soal soft skill untuk generasi muda itu
apa?
N: Harapan saya? Oke, harapan saya adalah generasi muda tidak mudah cukup puas
ya dan tidak hanya orientasinya itu nilai yah. Jadi, harapan saya adalah bagaimana
liv Perancangan Buku Panduan…, Joanne Michellina, Universitas Multimedia Nusantara
kita tumbuh menjadi generasi yang tangguh, dengan fokus terhadap apa yang bisa
kita kembangkan dari diri kita dan tidak menjadi generasi yang instan yang semua
itu nilainya udah bagus merasa sudah cukup. Gitu ya. Merasa tidak mau
mengembangkan diri sehingga teruslah menjadi generasi yang haus akan ilmu
pengetahuan, menjadi generasi yang menjadi gelas kosong di manapun kita berada
sehingga akan semakin banyak ilmu pengetahuan yang bisa kita serap dan
harapannya kita pun akan menjadi never ending learner ya. Never ending learner
dengan begitu itu adalah sebagai bukti kita atau cara kita merespons tantangan saat
ini. Dan itu lah yang kemudian akan bisa membuat kita survive gitu. Intinya
pokoknya jangan mudah puaslah terhadap apapun pencapaian kita. Terus liat ke
depan, teruslah haus akan hal-hal baru, kembangkan growth mindset kita sehingga
kita akan menjadi tadi itu never ending learner.
P: Apa yang kakak takutkan kalau misalnya mahasiswa sekarang ini kekurangan
soft skill?
N: Yang saya takutkan adalah itu tadi kalau generasi sekarang ini tidak memiliki
kemampuan soft skill mereka ini akan menjadi generasi yang mudah puas, mudah
puas atas pencapaian mereka dan kita menjadi generasi yang ngga bisa
berkolaborasi karena kita sudah merasa kita bisa kok kerja sendiri. Kita mampu
sehingga tidak mendorong kita untuk berkolaborasi atau berempati, menghargai
pendapat orang lain, mengakui kelebihan orang lain. Padahal, di era sekarang yang
dibutuhkan itu adalah eranya kolaborasi.
P: Menurut kakak sendiri sebenernya soft skill sama bakat itu mirip atau berbeda
sih, Kak?
N: Berbeda yah. Soft skill dan bakat itu berbeda yah. Bakat itu lebih ke capability
yang kita miliki. Kemampuan yang kita miliki tapi kalau soft skill itu lebih ke arah
skill yang kita butuhkan untuk bertahan hidup. Life skill, lebih ke life skill ya. Skill
yang kita butuhkan untuk menjalani kehidupan sehari-hari. Jadi ya itu tadi ada
creative thinking, critical thinking, agile, kemudian ada juga kemampuan asertif,
persuasion, negosiasi ya, kemampuan problem solving, flexibility gitu.
lv Perancangan Buku Panduan…, Joanne Michellina, Universitas Multimedia Nusantara
P: Kalau menurut kakak apakah diperlukan informasi yang dapat membantu
mengasah soft skill bagi mahasiswa sebagai persiapan untuk di dunia kerja?
N: Menurut saya perlu karena itu sebagai awareness dulu yah. Jadi informasi itu
adalah sebagai awareness biar temen-temen tuh sense of urgency-nya tumbuh dulu
tuh bahwa soft skill itu penting yah tapi inget informasi itu gak cukup untuk
mengubah soft skill harus ada experience langsung lah untuk bisa mengubah soft
skill.
P: Oke, menurut kakak apakah dengan adanya informasi dalam bentuk buku
panduan berilustrasi, mengasah soft skill dapat membantu mahasiswa dalam
mempersiapkan dunia kerja?
N: Bisa, bisa banget.
P: Kenapa, Kak?
N: Iya itu tadi jadi orang-orang tuh lebih merasa relate, lebih terbayang ya sehingga
awareness-nya akan tumbuh gitu.
P: Informasi apa aja sih yang perlu diketahui dan diinformasikan untuk dapat
membantu mahasiswa mengembangkan soft skill yang dimiliki sebagai persiapan
di dunia kerja?
N: Informasinya terkait dampak-dampaknya sih kalau misalnya kita gak punya soft
skill. Terus kita informasikan juga tantangan dunia ke depan itu seperti apa? Gitu
ya. Jadi, why-nya lah. Kenapa kita butuh soft skill ya, tantangan, dampaknya, serta
manfaat sih, kita bisa dapet kalo kita menguasai soft skill gitu.
P: Kalo kayak tips-tipsnya gitu, Kak?
N: Tips-tipsnya itu yah itu bisa juga ya tapi itu lagi sih. Oke, kalau tipsnya mungkin
bisa juga cuma kalau kita mau bangun awareness-nya dulu yah. Kalo ngomongin
awareness-nya dulu ya itu dulu gitu. Jadi, kita start with why, why? Kenapa aku
harus punya soft skill? Baru kita ngomongin what, baru kita ngomongin how gitu.
lvi Perancangan Buku Panduan…, Joanne Michellina, Universitas Multimedia Nusantara
P: Tadi kakak ada sebut dampak ya. Nah, dampak dari kekurangan soft skill
mahasiswa kalo melamar kerja itu apa sih, Kak?
N: Dampaknya ya pasti kita gak akan bisa menghadapi tantangan yang ada. Kita
gak bisa adaptive dengan tantangan dengan perubahan-perubahan yang terjadi di
dalam pekerjaannya dan akhirnya kemudian membuat kita gak bisa perform dalam
dunia kerja.
P: Menurut kakak kendala apa saja sih yang dapat menghambat penanaman soft
skill ke mahasiswa?
N: Oke, kendala apa ya, mindset sih. Kalo menurut aku banyak orang yang belum
sadar lah. Jadi tuh kan kalo melakukan kita sudah merasa butuh merasa apa ya
bahwa itu tuh memang harus kita lakukan gitu. Nah, orang-orang yang selama ini
mungkin udah di-treat tapi dia soft skill-nya belum terasah itu ya karena memang
satu dari segi mindset mereka belum terbentuk bahwa yang namanya soft skill ini
tuh butuh. Terus kemudian ketika mindset-nya belum ada udah pasti dari
kemauannya belum akan ada gitu. Jadi, yang paling utama tuh menurut saya
penghambat utama itu adalah mindset.
P: Masih banyak mahasiswa itu yang berpikiran nilai akademis itu lebih penting
gitu ya dibandingkan kemampuan non akademis-nya.
N: Bener.
P: Oke, terima kasih banyak, kak atas waktu dan kesediaan kakak untuk
diwawancarai.
N: Semoga bermanfaat yah
P: Bermanfaat sekali, kak.
N: Sukses ya, lancar ya skripsinya
P: Amin, sukses juga ya, Kak.
lvii Perancangan Buku Panduan…, Joanne Michellina, Universitas Multimedia Nusantara
Lampiran I Transkrip Wawancara dengan Editor Buku
Wawancara dilakukan dengan Katrine Gabby Kusuma, selaku editor buku
Kepustakaan Populer Gramedia (KPG) melalui aplikasi ZOOM Meeting pada 4
September 2021 pukul 13.00 – 14.00 WIB.
P : Pewawancara
N : Narasumber
P: Sebelumnya, boleh dari Kak Katrine memperkenalkan diri dulu dari nama,
bekerja sebagai editor di mana, dan sudah berapa lama bekerja.
N: Hai, aku Katrine Gabby Kusuma panjangnya. Panggilannya Gabby aja. Kerja
sebagai salah satu editor di salah satu penerbit di Gramedia Group namanya
Kepustakaan Populer Gramedia atau singkatnya KPG. Aku udah mulai kerja dari
November 2014, berarti hampir 7 tahun. Itu ya perkenalan singkatnya.
P: Oke kak, pertanyaan pertama, apa sih perbedaan buku dibandingkan media
informasi lainnya, atau apa sih pembedanya, apakah buku lebih oke atau enggak
dibandingkan media informasi lain?
N: Buku jelas pembahasannya lebih mendalam karena dalam bentuk tulisan dan
halamannya juga lebih banyak, misalkan dibandingkan artikel di website atau
video-video di YouTube gitu kan. Nah, tentu dalam setiap buku kan ada proses
editingnya, dan ada proses riset nya juga. Nah itu, bisa dibilang tingkat
pertanggungjawabannya lebih tinggi karena sudah melewati beberapa orang,
mungkin bisa dibilang ngeceknya ada filternya berulang kali. Jadi dalam hal
informasi, itu udah dipastikan bisa dipertanggungjawabkan gitu lho. Sementara, ya
oke kalo artikel juga pasti melalui riset dan lain-lain, tapi sumbernya pun dari buku
kan. Jadi istilahnya tuh, buku tuh bisa dibilang babonnya, kayak dia payung
besarnya, nanti bisa diturunkan kemana-mana salah satunya artikel, konten di
YouTube, dll. Jadi menurut aku, kalo buku tuh lebih itu sih, informasinya lebih
banyak dan mendalam membahas sesuatu hal.
lviii Perancangan Buku Panduan…, Joanne Michellina, Universitas Multimedia Nusantara
P: Apa kelebihan membaca buku fisik dan digital? Buku jenis mana yang lebih
banyak digemari orang tua generasi milenial dan mahasiswa?
N: Sebenernya kalau melihat secara global termasuk luar negeri ya, mungkin
sekarang buku digital juga banyak digemari karena mungkin lebih praktis, gampang
dibawa kemana-mana, lebih murah. Tapi kalau dari Indonesia sendiri, sebenernya
buku digital masih belum banyak peminatnya, bisa dibilang kayak gitu. Soalnya
kan, kebetulan penerbit aku juga selain buku fisik, pasti setiap buku fisik ada buku
digitalnya. Nah itu, orang-orang masih prefer baca yang fisik dibandingkan digital.
Bisa dilihat dari sales, maupun dari kalo misalkan di Gramedia ada namanya
Gramedia Digital, jadi dia ada kayak subscribe gitu modelnya kayak Netflix. Kamu
setiap bulan bebas baca buku. Itu juga, memang meningkat setiap tahun, cuma
angkanya masih belum bisa menyaingi yang fisik. Kayak gitu. Tapi itu memang
kita lihat sebagai salah satu media masa depan lah, maksudnya walaupun sedikit
hasilnya, cuma ga boleh kita abaikan karena siapa tahu di masa depan memang itu
salah satu media yang lebih digemari. Selain itu, ada audiobook juga kan sekarang.
Audiobook ini juga mungkin lebih praktis lagi. Kan bisa sambil ngapa-ngapain.
Kalau misal digital kan masih tetap harus baca kan, kalau audiobook kan bisa
sambil ngerjain yang lain-lain. Nah itu juga mulai kita jajakin. Hasilnya juga
memang belum kelihatan karena sejauh ini masih nyetok-nyetok sih. Gitu, tapi ya
itu mungkin jadi salah satu media masa depan. Jadi kalau misalkan untuk sekarang
kalau di Indonesia, masih yang cetak yang digemari, dibandingkan digital. Tapi ya
gak menutup kemungkinan di masa depannya, juga akan banyak penggemarnya.
P: Kan tadi kakak bilang kalau sekarang memang lebih banyak penggemarnya tuh
masih buku fisik, tapi di satu sisi kita tahu kalau di Indonesia sering disebut kalau
minat bacanya masih rendah. Menurut kakak, gimana sih supaya menarik
masyarakat terutama untuk orang tua generasi milenial dan mahasiswa supaya tetap
mau membaca buku?
N: Hm, iya sih memang minat bacanya gak tinggi di Indonesia. Tapi kita beberapa
tahun belakangan ini, mulai dari tahun 2018 lah, kita melihat ada beberapa buku
yang ternyata digemari sama usia-usia yang tadi kamu bilang, untuk milenial
lix Perancangan Buku Panduan…, Joanne Michellina, Universitas Multimedia Nusantara
ataupun anak muda. Itu biasanya buku-buku yang, kalau istilah di penerbit kami
“mini kata, maks citra”. Jadi “mini kata”, katanya dikit aja. “Maks citra”, banyak
gambar atau visualnya. Yah, itu mungkin lebih mudah dicerna oleh semua orang,
bahkan yang tadi katanya gak suka baca ya. Jadi itu bisa bantu. Maksudnya, buku
gak selamanya yang teks tebel dan isinya teks semua gitu. Ada market yang lebih
suka buku yang gambarnya banyak, dll. Itu kita mungkin perlu eksplor buku-buku
jenis lain yang belum banyak di pasaran, ya kayak tadi itu misalnya banyak ilustrasi.
Atau mungkin sekarang itu biasanya orang-orang suka yang, dari segi konten ya,
selain dari segi penampilan, suka buku-buku yang seperti teman. Jadi kalau baca
ini itu kayak merasa ada temen yang cerita. Jadi dari segi narasi di teksnya pun
dibuat yang lebih gak belibet. Kalau belibet, kayak baca buku kuliah aja, teks gitu
kan, yah maleslah. Kalian kalau di kuliah aja udah baca buku teks, masa di rumah
bacanya teks yang ngejelimet lagi. Yah maleslah gitu. Jadi dari segi tampilan kita
usahain eksplor yang lebih jauh, dari segi konten penulisan pun cari yang lebih
masuk ke mereka, misalnya yang tadi lebih ramahlah untuk pembaca.
P: Okee, tadi kan dari segi kontennya, kalau menurut kakak, dari segi untuk
meningkatkan daya beli sebuah buku itu, apakah ada hal penting yang harus
diperhatikan?
N: kalau belakangan ini, ini memang gak kasus di semua buku ya, tapi ada beberapa
buku yang perlu ada engagement terlebih dahulu sebelum dia terbit. Jadi misalnya,
kalian tau buku NKCTHI, Nanti Kita Cerita Tentang Hari Ini, itu kan di awalnya,
kebetulan penerbitnya penerbit aku, jadi aku tahu ceritanya. Ini kan terbitnya tahun
2018 akhir ya, jadi sebenarnya dia tuh udah ngasih naskah dari 2018 awal bulan
Februari. Normalnya kalau penerbitan biasa, habis terima, terus kita edit, semuanya
udah oke, oke terbit. Paling makan waktu satu dua bulan lah maksimal banget. Nah
ini tuh dia gak mau, jadi coba kita coba gimana supaya buku ini tuh, karena
bentuknya baru kan, maksudnya sebelumnya belum terlalu banyak yang bentuknya
kayak gitu, yang cuma quotes beberapa dan banyak gambarnya. Gimana caranya
supaya ini tuh, orang tuh familiar dulu dengan konsep ini. Jadilah dia bikin akunnya
si NKCTHI di Instagram itu. Nah habis itu, selama beberapa bulan dia engage
lx Perancangan Buku Panduan…, Joanne Michellina, Universitas Multimedia Nusantara
dengan followersnya, misal dengan tanya jawab, dengan qna yang curhat-curhat
malem-malem, kayak gitu. Kalau kalian lihat kan di highlightsnya kan banyak tuh
contoh-contohnya. Itu makin lama berkembang-berkembang, followersnya tiba-
tiba naiknya jadi pesat banget. Nah itu dia, berarti buku yang macem kayak gini
udah familiar nih, eh sorry bukan buku ya, maksudnya konten yang kayak gini udah
familiar dan keliatan marketnya tuh ada. Bahkan marketnya mereka itu yang tadi
aku bilang, orang yang pada dasarnya tuh gak terlalu hobi buku lah. Gak terlalu
hobi baca buku, tapi mereka setelah tau akun itu bikin buku jadi tertarik beli buku.
Jadi perlu ada engagement kalau misalkan mau tes-tes pasar gitu ya, perlu ada
engagement terlebih dahulu sih. Jadi setelah dia agak udah mulai rame di Instagram,
berapa bulan tuh ya, kayaknya 6 bulan deh, bulan September baru dia umumin kalau
dia mau bikin buku. Orang-orang pada antusias dan hasilnya ya bisa dibilang
berhasil. Orang-orang tertarik beli bukunya, jadi mega best seller, dll. Gitu, jadi
selain dari teks, dari visual, kalian kan anak DKV ya, sebenernya bisa dibilang
cover kan ya, orang banyak bilang “don’t judge a book by its cover”, tapi ya ujung-
ujungnya yang dilihat pertama ya covernya gitu kan. Mungkin kalian lebih bisa
eksplor itu, kan kalian anak DKV ya. Tambahannya ya satu lagi itu, harus ada tes
pasar atau engagement terlebih dahulu sama marketnya supaya lebih diterima atau
supaya orang lebih minat.
P: Kalau terkait engagement yang NKCTHI tadi, kan mereka share di sosmednya
beberapa quotes-quotes yang memang ada di dalam bukunya juga gitu kan.
Menurut kakak, apakah itu akan mempengaruhi, si pembelinya akan mikir gak ya
kalau ini sudah pernah dia baca dan jadinya dia gak mau beli lagi. Atau justru
sebaliknya?
N: Nah kebetulan NKCTHI ini yang dia share di sosmed itu kebetulan cuma 20%
nya lah yang ada di buku. Selain yang di buku itu, ya jadi orang-orang ada bahan
baru yang dia baca pas dia terima bukunya, kayak cuma 20%. Jadi memang begitu
sih sebaiknya, soalnya kalo memang yang sudah pernah dibaca, yah jadi bukan
pengalaman baru lagi pas dilihat. Pasti feelnya beda pas lihat di sosmed sama lihat
hasil di buku karena misalnya aku kasih contoh quotes-quotes yang 20% itu ya,
lxi Perancangan Buku Panduan…, Joanne Michellina, Universitas Multimedia Nusantara
yang udah pernah dilihat di sosmed, sama yang di buku kalau dibandingkan, yang
di sosmed itu dulunya dari segi desain polosan aja sih, serius kayak cuma yang
belakangnya ya polos. Nah gimana caranya dia mainin desainnya supaya nanti di
buku ada pengalaman beda pas baca.
P: Dalam pembuatan buku itu, supaya pembacanya nyaman dalam membaca
bukunya, ada hal-hal yang harus diperhatikan gak kak, kayak dari segi tulisan,
ukuran buku yang nyaman dipegang, atau apa gitu?
N: Iya, itu penting banget kan. Dari pemilihan font, ukurannya, terus biasanya font
kan ada yang tipis ada yang tebel. Ukuran font maupun ukuran buku itu pengaruh
sih. Kita tuh pertama kalau mau bikin buku tentuin dulu bukunya mau yang bisa
dibawa kemana-mana atau cuma yang buat dilihat-lihat kayak coffee table book.
Kalau mau dibawa kemana-mana tentu harus memperhitungkan ini harus
seenggaknya masuk ke dalam tas. Berarti ukurannya harus yang bisa dipegang gitu
lah, yang gampang dibawa, dan harus ringan. Males orang baca buku walaupun
kecil tapi kertasnya berat, ya maleslah bawanya. Terus walaupun buku kecil, font
gak boleh ikut kecil kelihatannya. Di layout kan ah misal ada gambar di sini kecil,
berarti tulisannya harus lebih kecil, ya gak juga. Karena font tuh biasa standar sih
semua buku mau ukurannya apa juga ya fontnya segitu. Soalnya kita bacanya juga
kan gak mungkin pake kaca pembesar juga. Kayak gitu sih. Nah terus font juga
penting kan, aku agak gak ngerti istilahnya mungkin kalian anak DKV lebih ngerti
ya. Kalau buku terutama yang banyak teksnya, jangan font yang tegak-tegak gitu.
Gimana sih contohnya, biasa yang ada cursivenya gitu. Nah iya yang kayak ada
ekor-ekornya itu. Kalau buku yang fontnya tegak-tegak gitu ya ampun, font yang
tegak-tegak itu enaknya kalau ngeliat yang singkat aja, misalnya brosur, atau apa.
Jangan ditaruh di dalam buku. Nah itulah pentingnya, jadi setiap orang mau bikin
buku itu, walaupun udah di layout, itu pasti ujungnya kita proof print dulu namanya.
Jadi sebelum dicetak itu dicetak coba dulu nih, pas gak, karena apa yang kita lihat
di layar sama kita lihat di kertas kan beda. Jadi nanti itu akan dibantu di situ juga
ujung-ujungnya, di proses proof print itu.
lxii Perancangan Buku Panduan…, Joanne Michellina, Universitas Multimedia Nusantara
P: Sebenarnya waktu mencetak itu memang pasti ada standar khususnya gak sih,
misal waktu mencetak buku minimal fontnya ada ukuran berapa, atau minimal
ukuran buku yang boleh dicetak dan diedarkan itu berapa, ada gak ya kak?
N: Kalau ukuran buku sih sebenernya gak ada minimal maksimalnya. Itu tadi aku
bilang sebelumnya ditentuin dulu ini bukunya mau buat siapa, mau buat bacanya
kayak gimana. Misalnya, oke buku anak, walaupun dibawa-bawa, tapi anak kan
biasa baru mulai belajar baca, jadi fontnya harus lebih besar. Juga misal kalau buku
itu untuk orang yang udah rada-rada tua, fontnya juga jangan yang normal biasa
kayak kita baca novel. Agak lebih gede juga soalnya biasanya mereka suka males
pake kacamata kalau mau baca. Kan mereka biasanya plus gitu kan matanya. Hm,
sama spasinya itu loh, spasi antar kalimat itu biasanya kalau buat anak juga lebih
gede karena ya itu tadi, karena mereka baru belajar baca. Untuk anak SD misalnya,
supaya mereka juga bacanya gak terlalu capek karena banyak kalimat, gitu.
P: Kalau dari segi cetaknya, untuk menjaga kualitasnya gimana? mungkin dari segi
warnanya, atau yang lainnya.
N: iya jadi sebelum di print itu, tadi yang aku bilang ada yang namanya proof print.
Jadi di situ kita ngecek, misalnya dari warna, dari segi seusai gak ini cetakan di
kertas itu, soalnya biasa kita print di kertas yang akan dipake gitu kan. Soalnya
misalnya foto nih, kontennya foto tapi kertasnya book paper, itu kadang-kadang
dari segi ketajaman, dll suka ga terlalu ngejar. Karena akan memang lebih bagus
kalau di kertas art paper misalnya. Tapi ada pertimbangan lain, oh art paper berat.
Berarti kita pake apa ya yang lebih enak dibawa namun juga tidak mengorbankan
kualitas foto itu. Mungkin pake HVS atau apa yang lebih masuk. Nah di proof print
itu kan biasanya kalau misalkan ada warna yang kurang nih, jadi nanti kita ada kasih
notes ke percetakannya. Ini tuh harusnya lebih naik warnanya, atau ya banyaklah
koreksi-koreksian. Biasanya tentang warna sih antara kenaikan atau keturunan.
Atau kalau misalkan book paper itu kan kuning ya dasarnya. Jadi kayak oh ini tuh
karena warna kuning jadi gambarnya ikut terlalu kuning, kan sayang ya. Jadi ini
nanti apa yang harus dibenerin. Kalau dari kertas mau diapain lagi kan ga mungkin,
berarti mungkin kita adjust dari file kita gitu. Nah selain itu, dari segi percetakan
lxiii Perancangan Buku Panduan…, Joanne Michellina, Universitas Multimedia Nusantara
itu biasanya ngasih report ini tuh ternyata pas dicetak, dia kasih progres gitu sih ini
tuh kalo dicetak nanti kayak gini hasilnya. Walaupun udah kita proof, terus nanti
pas cetak massalnya ada nih kayak gini kan, persis kan. Atau ada kalau orang yang
lebih perfeksionis lagi, biasa untuk buku fotografi ya, nih di penerbit aku kan ada
beberapa dan penulisnya lumayan sensitif soal warna. Kalau dia mau kualitasnya
lebih terjaga lagi, biasa dia nginep di percetakannya. Seriusan, di percetakan tuh
ada penginapannya. Biasanya untuk Al-Quran. Ngecekin Al-Quran itu kan biasanya
kalau ada titik dikit, itu udah beda arti kan tulisan arab. Nah itu yang biasanya sering
pake, biasa untuk cetak Al-Quran. Fotografi juga kayak gitu. Kalau penulis yang
bener-bener perfeksionis banget, biasa mereka memilih untuk ngecek langsung di
site nya. Seru kalo kalian ke percetakan, tapi ya gitu lama nungguinnya.
P: Kalau dalam pembuatan buku panduan atau informasi gitu ada standarnya gak
sih kak? Terus jenis buku seperti apa yang cocok untuk jadi buku panduan?
N: Kalo buku panduan sih sebenernya kalo dari segi konten pengennya yang gak
terlalu mendiktekan, kayak lo harus gini, lo harus gini. Karena orang nanti merasa
kok agak terlalu menggurui ya. Jadi triknya adalah kita bikin konten yang membuat
orang yang baca tuh kayak mikir juga, “oh, kalau lebih baik leadershipnya yang
kayak gini atau kayak gini ya?”, kalo dari segi kontennya kayak gitu. Atau misalnya
kalau tadi orang tua, munculin ada sharing, munculin contoh-contoh lain yang
bener-bener ada di lapangan. Soalnya kalau cuma dengan teori doang, orang juga
merasa jadi ikut kuliah nih, gak terlalu praktis nih buku dipake, di kehidupan
nyatanya kayak apa contohnya. Kayak gitu-gitu. Kalau aku sarannya jangan terlalu
banyak teori dan jangan terlalu banyak nyuruh-nyuruh, ini harus kayak 1 2 3 step-
stepnya. Sama mungkin agak lebih menarik, belakangan ini banyak buku yang
mencantumkan sesuatu yang bisa diisi. Misalnya, “gimana progresnya setelah kamu
melakukan ini? Coba ditulis”, jadi nanti mereka bisa merenungkan apa yang di buku
ini mereka lakukan atau engga. Mungkin bisa dikasih kayak gitu supaya gak terlalu
bosen banyak teksnya.
P: Berarti jangan kaku lah ya, gitu. Kalau misalnya kita mau masukin gambar,
ilustrasi, atau foto gitu ke buku, ada standarnya gak kak?
lxiv Perancangan Buku Panduan…, Joanne Michellina, Universitas Multimedia Nusantara
N: Hm, gak sih, kalau ilustrasi sebenernya yang perlu aja. Jadi misalnya, kalian mau
highlight apa nih yang paling penting dari omongan itu. Jadi jangan semuanya
dikasih ilustrasi atau di setiap halaman ada ilustrasi. Itu mungkin memang
membantu, cuman kalau untuk buku yang tadi kalian bilang panduan untuk orang
self-development mungkin gak terlalu banyak gambarnya kan pasti. Jadi kalian
highlight aja dari teks apa yang paling penting, nah nanti itu yang diilustrasikan,
gitu. Misalnya, oh, aku punya buku namanya The Art of Restaurant Review tentang
panduan cara menulis restaurant review yang baik. Nah ini tuh, ilustrasinya untuk
membedakan kayak di dalamnya disebutin mengenal tipe-tipe kategori restaurant
secara internasional, ada fast food, traditional eateries, casual dining, sama
upscale. Nah untuk membedakannya nanti bisa dikasih ilustrasi kayak ini bedanya
apa sih yang lebih nyata gitu. Kayak gitu-gitu, jadi apa bahan yang penting disitu,
itulah yang kalian ilustrasikan. Jadi untuk highlight juga, gitu. Nih ada contohnya,
jadi dia bikin restaurant review kan, dia kasih halaman untuk diisi, cara untuk
review restaurant itu kayak gimana. Dikasih kayak latihannya gitu, jadi biar gak
bosen itu kayak ada aktivitasnya.
P: Kalau tadi kan ada hal-hal penting yang harus diperhatikan kayak cover dan
finishingnya, bahan kertas, ukuran, bentuk, sama penjilidannya. Seperti apa sih
yang umumnya dipakai dan direkomendasikan dalam pembuatan buku panduan
berilustrasi?
N: Yang paling basic sih sebenernya pake book paper, softcover. Kalau ukuran sih
sebenernya bebas, cuman kalau misalkan mau yang bisa dibawa mungkin yang
lebih compact bukunya seukuran novel, gitu. Tapi tergantung lagi kalian kalau nulis
buku seenggaknya harus tau marketnya siapa, apakah dia rela mengeluarkan uang
yang lebih banyak untuk kualitas buku yang lebih baik juga. Misalnya kalian mau
upgrade jadi hardcover atau apa, gitu sih. Sebenernya kalau yang paling standar sih
book paper dan softcover tadi itu. Yang berwarna atau engganya itu bisa dimainkan
sesuai selera.
P: Biasanya untuk orang tua generasi milenial sama mahasiswa, visual dan desain
yang gimana sih yang mereka suka?
lxv Perancangan Buku Panduan…, Joanne Michellina, Universitas Multimedia Nusantara
N: Hm, mungkin kayak yang tadi aku bilang ya, perlu ada ilustrasi atau elemen-
elemen lain biar gak selamanya teks terus, sama ada aktivitas-aktivitasnya juga
supaya gak terlalu bosen bacanya. Kalau berwarna berarti kita harus mikirin
costnya yang pasti juga akan tinggi. Jadi biasanya dimainin, kan kalau misalkan
berwarna full colour kan 4/4 tuh, CMYK kalian ngerti lah. Biasanya kita mainin
jadi 2/2, cuma mainin dua warna, kuning sama hitam misalnya. Ini cara maininnya
sih, misalnya mereka kalau ada gambar mungkin berharap seenggaknya ada
warnanya lah jangan hitam semua. Pilihan lain selain full colour yang biasanya
harganya akan menjadi semakin mahal, ya itu misalnya dua warna.
P: Berarti kalau misalkan warnanya lebih sedikit memang jatuhnya lebih murah ya,
kak?
N: Iya, misalnya kayak gini kan, walaupun cuma dua warna tapi tetap enak dilihat
gitu lho. Ini bisa jadi satu alternatif. Tapi kalau misalkan marketnya, rasanya kalau
full colour mereka juga tetap akan beli ya, oke no problem.
P: Kalau menentukan budgeting dalam pembuatan sebuah buku itu gimana sih,
kak? Terus berapa kira-kira harga yang harus kita keluarkan untuk merilis satu
buku?
N: Hm, itu bener-bener tergantung bukunya banget sih. Cuma step awalnya,
biasanya kan kita nentuin dulu specs nya, misalnya dari segi ukuran, berapa
halaman, terus binding nya mau apa, softcover atau hardcover, dari warnanya. Nah
habis itu dapat kan harga cetaknya. Harga cetaknya kita hitung sama sekalian nanti
ditambah produksi ke penerbit besar ya, biasanya kan cost distribusi ke toko, cost
nanti harus bayar royalti, cost kalau misalnya nambah bayar ilustrator lagi, cost in
case ada penerjemah, kayak gitu-gitu. Nah itu semua biayanya ditambahin, dapetlah
nanti harga, sorry aku gabisa kasih detail cara hitungnya, tapi nanti dari komponen
harga-harga itu dapetlah harga jualnya nanti. Tentunya kalau misalkan oplah yang
kita terbitkan semakin banyak akan semakin bisa lebih murah juga harga jualnya.
Tapi biasanya kita normalnya ya sebelum pandemi itu, 2.000 sampai 3.000
eksemplar sekali cetak. Tapi sejak pandemi ini kita memang kurangi jadi 1.000
lxvi Perancangan Buku Panduan…, Joanne Michellina, Universitas Multimedia Nusantara
eksemplar, standarnya segitu. Kecuali untuk buku-buku yang memang kira-kira
akan jadi best seller nih, oke berani mungkin kita naikin tetap di 2.000 eksemplar.
Untuk budget bener-bener tergantung bukunya sih masing-masing.
P: Tapi kak kalau, tadi kan kakak bilangnya jumlah yang dicetak kan berdasarkan
apakah dia best seller atau karena pandemi atau gak. Sebenarnya ada gak sih
minimalnya harus cetak berapa banyak eksemplar sekali cetak?
N: Hm, sebenernya gak ada, kayak yang tadi aku bilang itu paling standarnya sih
1.000 eksemplar. Cuma kalau misalkan bener-bener buku ini tuh bagus, tapi kita
tuh masih tes-tes pasar lah ini tuh oke atau gak ya, kayak gitu. Bahkan sekarang tuh
ada yang namanya print on demand, jadi tergantung permintaan. Kalau misalkan
sebelum terbit kita buka pre-order dulu kan biasanya, oke dari pre-order ini yang
tertarik 100, berarti kita coba cetak 100 dulu. Sekarang tuh bener-bener tergantung
sih jadi gak ada minimal-minimalnya. Tapi kalo untuk standarnya, kebanyakan
buku, ya 90% nya lah, 1.000 eksemplar minimal kalau sekarang.
P: Kalau untuk targetnya mahasiswa dan orang tua milenial, biasanya tuh kira-kira
umumnya harga berapa sih kak yang mereka rela keluarkan untuk membeli sebuah
buku?
N: Kalau mahasiswa, di bawah Rp 100.000 biasanya, range Rp 70.000 - Rp 90.000
lah, kayak gitu. Kalau yang orang tua milenial mungkin bisa sampai Rp 125.000
masih oke. Tapi biasanya yang Rp 125.000 pun dengan kualitas yang berwarna,
hardcover, dll. Untuk orang tua milenial range nya bisa naik lagi bahkan Rp
150.000 pun mereka masih oke deh. Tapi yang Rp 150.000 itu bener-bener yang
udah hardcover, full colour, dan ada bonus apa gitu biasanya. Tapi biasanya
normalnya sekarang sih Rp 125.000an lah.
P: Kalau yang range harga untuk mahasiswa itu kak Rp 70.000 - Rp 90.000 kan
kira-kira, itu sudah bisa full colour gak?
N: Bisa, tapi softcover. Kemarin aku kebetulan baru hitungin ada satu buku, sekitar
240 halaman, ini untuk 1.000 eksemplar ya, itu dapet Rp 99.000 sih udah full colour
tapi softcover.
lxvii Perancangan Buku Panduan…, Joanne Michellina, Universitas Multimedia Nusantara
P: Sama itu kak, ada minimal atau maksimal jumlah halaman gak sih dalam satu
buku?
N: Jumlah halaman itu sebenernya akan berpengaruh ke gimana nanti kita akan
binding bukunya. Jadi kalau untuk softcover, minimal harus 48 halaman biasanya
yang kelihatan punggungnya. Karena biasanya kalau kita cetak itu harus kelipatan
delapan. Bahkan sekarang percetakan ada yang requestnya kelipatan enam belas.
Tergantung percetakannya nanti dealnya gimana, ada yang minta enam belas ada
yang minta delapan, tapi biasanya sih delapan. Kurang dari 48 halaman itu
bindingnya mau ga mau harus staples kayak majalah Bobo, namanya jilid kawat.
Kalau hardcover itu, kalau gak salah minimal 64 halaman deh untuk bisa ada
punggung hardcover nya. Jadi sebenernya minimal halaman itu balik lagi ke kalian
mau jenis jilidnya apa dan walaupun misalnya, oke kayaknya softcover bisa nih 48
halaman, cuma dilihat lagi bagus apa gak dengan spine yang sekecil itu untuk di
display misalnya. Apalagi kalau kalian tujuannya untuk itu, kan kalian anak DKV,
pasti visualnya berpengaruh. Biasanya ukuran spine yang bagus itu, kalau untuk
hardcover 120 halaman, nah itu pas lah kira-kira segitu, kalau menurut aku pribadi
sih. Terus kalau yang softcover, minimal bisa kelihatan tulisan di punggung
bukunya. Sebenernya kalau halaman sih gak ada ketentuan harus minimal berapa,
cuma balik lagi nanti ke estetikanya kelihatannya kayak gimana.
P: Berarti kalau softcover itu memang rata-rata semuanya pakai perfect binding ya
kak?
N: Iya, softcover kayak gini sih, pakai lem gitu kan jilidnya. Biasanya kalau yang
jilid kawat itu kita pakai buat buku anak sih memang buat belajar menulis AIUEO
yang kayak gitu-gitu.
P: Ada tips gak sih kak, kalau misalnya buat buku yang nantinya bakal di display
di toko buku, yang bisa menarik perhatian orang di tengah banyaknya buku lain?
N: Hm, kalau dari segi ukuran usahakan jangan terlalu heboh. Misalnya, normalnya
kan buku itu portrait, oke lucu sih kalau landscape, tapi nanti kalau buku landscape
ini di rak itu susah nempatinnya. Karena kalau di toko buku, kalau kalian jalan ke
lxviii Perancangan Buku Panduan…, Joanne Michellina, Universitas Multimedia Nusantara
Gramedia tuh biasanya kan nyusunnya sejajar, terus di belakangnya tumpukan buku
yang sejenis gitu kan. Nah orang toko tuh pengen dalam satu rak itu sebanyak-
banyaknya buku yang mereka bisa masukin. Kalau kalian bukunya landscape,
makan tempat nih buku, nanti di displaynya menyamping malah covernya gak
kelihatan. Ya boleh-boleh aja sih kalau kalian memang bukunya artsy banget yang
landscape, cuma saran aku lebih baik kalau buku untuk di display di toko buku sih
tetap portrait. Kalau buku anak itu kan biasanya agak gede A4 dan tipis, biasanya
untuk belajar menulis kayak gitu-gitu kan. Nah itu triknya, karena dia besar satu
rak itu kan harus muat semuanya, biasanya mereka numpuknya cover bagian kanan
buku aja yang kelihatan karena spinenya gak ada kan. Biasanya desainer buku anak
sebisa mungkin taruh informasi di ⅓ bagian kanan cover. Itu sih tips-tipsnya yang
paling sering ditemui. Kalau dari cover tentu ya kalian buatlah semenarik mungkin.
P: Kalau judul buku, biasanya kan kalau ke toko buku terus lihat judul menarik
orang jadi tertarik untuk beli buku, itu gimana kak?
N: Iya, judul juga penting sih. Jadi selain visual, judul tentu sangat penting untuk
menarik perhatian orang. Kan sekarang banyak banget misalnya buku tentang, yang
sekarang lagi rame itu self-improvement. Nih contohnya ada buku judulnya How to
Die, kurang bombastis apa kok ada buku tentang cara mati, tapi ternyata ini tuh
buku panduan klasik supaya menjalani hidup itu dengan to the fullest gitu lho.
Memang judul-judul yang agak menggelegar itu memang lumayan menarik
pembaca, cuma jangan terlalu heboh yang kayak judul-judul headline, clickbait
gitu, jangan ya. Kalau judul buku itu usahakan gak terlalu panjang-panjang tapi
menarik mata, gampang diingat, dan tentunya harus nyambung sama isi bukunya.
P: Kakak bisa ceritain sedikit gak kak, kira-kira dari waktu buku mulai ditulis,
didesain, dan lain sebagainya sampai bisa ada di toko buku itu perjalanannya
gimana kak?
N: Oke, naskah itu ada dua macam, jadi satunya itu memang full penulis sudah nulis
sampai habis baru kasih ke penerbit, nanti penerbit menilai ini akan diterima atau
gak. Atau satunya lagi naskah itu memang didesain bareng penulis sama penerbit
lxix Perancangan Buku Panduan…, Joanne Michellina, Universitas Multimedia Nusantara
bahkan dari sebelum cetak gitu. Misalnya, bukunya Naela Ali itu yang pertama kan
Stories ya, Stories itu awalnya memang dia sendiri yang nulis baru dikasih ke aku.
Tapi di ujung-ujungnya, misalnya seri Silly Gilly Daily itu dia sudah ngerjainnya
bareng aku. Dari sejak awal si Naela kasih, diskusi bareng, jadi ngebangun bareng
sama penerbitnya. Tapi normalnya kebanyakan memang dari penulis sudah full
baru kasih ke editor. Setelah kasih ke editor, biasanya kita akan kasih feedback atau
perbaikan apa, yang perlu ditambahin apa. Nah biasanya proses yang lama itu di
tektokannya itu. Jadi dari aku kasih feedback, nanti dari penulisnya perbaiki terus
nanti balik lagi ke aku, kalau sudah oke lanjut, kalau gak balik lagi ke aku, ya itu
tektokannya bisa beberapa kali. Nah setelah editing itu masuk ke layouting bareng
sama desainer, nentuin layoutnya mau kayak gimana, mau ada ilustrasi apa, dll.
Terus dari situ kalau sudah oke semuanya, baru di tes print sebelum dicetak kayak
yang tadi aku bilang. Oh, sebelum tes print itu kita ada yang namanya forum fiat.
Forum fiat itu adalah cross checking, jadi misalnya aku pegang bukunya Naela nanti
aku kasih buku itu ke editor lain untuk di check proofreading. Soalnya walaupun
kita sudah baca sampai berapa kali pun pasti nemu aja ada salahnya, jadi memang
perlu mata orang lain untuk lihat. Baru habis itu proof print, kalau sudah oke, cetak.
Kalau softcover cetak sekitar satu minggu, terus kalau hardcover bisa sebulan.
Habis itu baru didistribusikan ke toko-toko. Kalau durasinya sebenernya tergantung
banget sih, masing-masing penulis bisa beda-beda nyelesainnya. Kalau lancar
banget bisa dua sampai tiga bulan lah dari buku selesai sampai ke toko buku. Tapi
dengan catatan itu yang super lancar ya tanpa masalah apapun, karena memang ada
buku-buku khusus yang perlu waktu agak lama gitu.
P: Terima kasih banyak ya, kak.
N: Sama sama, semoga membantu ya.
lxx Perancangan Buku Panduan…, Joanne Michellina, Universitas Multimedia Nusantara
Lampiran J Transkrip Focus Group Discussion (FGD)
Focus Group Discussion (FGD) dilakukan dengan lima mahasiswa Universitas
Multimedia Nusantara berusia 19 – 22 tahun melalui aplikasi ZOOM Meeting pada
17 September 2021 pukul 19.00 – 20.00 WIB.
P : Penulis
ET : Elizabeth Tirta (22)
AW : Andit Winanda Putra (22)
WM : Wiliona Metta Septira (21)
AT : Albert Tanuwijaya (20)
VW : Virgina Wedyanti (19)
P: Selamat malam semua, sebelumnya boleh masing-masing perkenalan diri
dulu ya. Dari nama, jurusan, dan angkatan.
ET: Oke kenalin, nama aku Elizabeth Tirta dari Animasi 2017. Halo semua.
AW: Halo semua, perkenalkan nama aku Andit Winanda dari DKV 2018.
WM: Halo, nama aku Wiliona dari Animasi 2018.
AT: Oke, halo semua, aku Albert Tanuwijaya biasa dipanggil Atew. Aku dari
Jurnalistik 2018, salam kenal.
VW: Halo kakak-kakak, nama aku Virgina dari DKV 2019, salam kenal.
P: Kita lanjut ke pertanyaan yang pertama ya. Jadi kalian ada yang tau gak
sih hard skill itu apa?
WM: Hard skill itu kalau menurut aku kemampuan yang bisa dipelajari.
AT: Hard skill, kalau tadi kan Ona mungkin penjelasan ini nya ya umum dan
memang benar hard skill seperti itu. Kalau aku boleh kasih contoh biasanya tuh
lxxi Perancangan Buku Panduan…, Joanne Michellina, Universitas Multimedia Nusantara
hard skill itu yang dibutuhkan umumnya biasa kayak perusahaan-perusahaan kalau
kita mau lamar kerja gitu.
AW: Hard skill itu kemampuan di bidang studinya masing-masing.
VW: Hmm.. aku juga setuju sih sama pendapat yang lain. Mungkin mau nambahin
satu aja mungkin mempelajari bahasa asing itu termasuk ya.
P: Nah, tadi kan kalian udah kasih tau nih pengertian dari hard skill. Nah,
hard skill apa aja sih yang kalian itu punya?
ET: Nah, kalau aku dari animasi pastinya dituntut untuk bisa bikin animasi yang
baik. Baik secara 2D maupun 3D. Mungkin juga bisa collab sama anak film. Bahasa
mungkin harus bisa mungkin gimana ya kayak animasi kan juga lingkupnya bukan
cuma di Indonesia, di luar negeri juga bisa. Jadi, harus bisa ya bahasa lain-lain lah
karena aplikasi dan lain-lain juga pasti pake bahasa ya umumnya Inggris gitu kan.
AW: Kalau aku sesuai bidang aku sih. Aku DKV ambil brand design. Jadi, hard
skill yang berdasarkan perkuliahan aku paling kayak bikin desain buat poster, iklan,
terus desain packaging. Gak cuma itu doang sih paling sama bikin desain buat
kebutuhan umumnya kayak bikin kartu, mainan.
WM: Kalau aku hard skill-nya itu di bagian animasi. Animasi 2D, 3D. Terus ada
lagi desain grafis terus ada kayak hobi-hobi lain di luar animasi juga ada. Itu kan
termasuk hard skill. Terus bahasa.
AT: Di dunia perjurnalistikan ini hard skill aku adalah ya yang berbau jurnalistik
misalnya menulis berita, mengoperasikan kamera, hubungan dengan jurnalistik,
ngedit video yang berbau jurnalistik. Maksudnya beda kayak ngedit video biasa
gitu ya.
VW: Hmm… kalau dari aku, aku kurang lebih sama kayak kak Andit karena kan
sama-sama VBD kayak desain-desain packaging, poster, nge-layout gitu lah. Nah,
terus mungkin dari membuat hasil rancangan-rancangan itu di dalam prosesnya itu
kan ada analisis, analisa ya itu. Itu juga termasuk dari hard skill sih kayak gimana
caranya kita cari big idea, how to say, what to say gitu-gitu.
lxxii Perancangan Buku Panduan…, Joanne Michellina, Universitas Multimedia Nusantara
P: Oke, terima kasih semua. Lanjut ke pertanyaan selanjutnya. Selama kuliah,
kalian tuh fokus mengembangkan hard skill yang udah kalian sebutkan tadi
gak sih? Alasannya apa?
ET: Pastinya selama kuliah kita pasti harus ngembangin kan? karena kayak ya kita-
kita yang pada tahun terakhir ini pasti dituntut untuk bisa menyelesaikan apa yang
kita ambil di perkuliahan. Itu yang ditantang untuk jadi bahan kelulusan kita. Buat
nentuin kita tuh bisa sanggup untuk masuk ke dunia kerja apa enggak, sesuai dengan
jurusan kita.
AW: Kalau aku sih udah jelas sih selain ini sesuai minat aku juga. Pokoknya selama
penugasan itu kayak udah dijadiin pelatihan hard skill sih kayak bisa dari yang ngga
bisa ini jadi makin bisa.
WM: Jawabannya iya alasannya karena nanti di setelah keluar dari kuliah, itu yang
bakal pertama kali diliat supaya bisa masuk ke suatu company, kayak gitu.
AT: Secara tidak langsung itu pasti kita ter-develop sendiri sih karena kita belajar
mau kita seniat-niatnya orang atau seenggak niat-niatnya orang aku yakin pasti ada
satu dua poin yang bisa diambil gitu dari perkuliahan kita untuk meng-improve hard
skill ini.
VW: Aku juga setuju sama pendapat kakak-kakak kayak kita ngga secara langsung
ter-develop sendiri kan apa hard skillnya dari tugas-tugas, kerjaan-kerjaan gitu.
Nah, terus aku dari pernyataan kak Ona tadi aku jadi keingetan juga statement dari
Pak Ezza sama dari papaku bilang kita tuh kalau misalkan sudah kerja diliatnya ‘lu
dah bikin apa’ kayak kalau misalkan cuman dari kertas doang tapi nggak ada
hasilnya, portofolio yang udah kita apa aja bikin kayak kurang meyakinkan gitu sih.
P: Menurut kalian, nilai akademis/IPK itu penting gak sih untuk di kuliah
sekarang dan untuk nanti di masa depan, di dunia kerja? Alasannya apa?
ET: Kalau menurut aku pribadi sih sebenernya gak. Ya standar lah ya untuk dibilang
penting tapi kayaknya kalau untuk di dunia kerja orang pasti ngeliat lagi balik lagi
lxxiii Perancangan Buku Panduan…, Joanne Michellina, Universitas Multimedia Nusantara
ke patokan ‘oh ipk kamu berapa? kamu lulusan mana?’ Itu yang bakal jadi kayak
penentu kamu bakal diterima atau gak.
AW: Kalau menurut aku juga sih sebenernya standar kalau di zaman sekarang tuh
standar sih soal IPK. Kadang ada kan kalau misalnya IPK tinggi tapi kalau pas di
dunia kerja ternyata di misalnya ditanya tools ini itu kayak masih gak bisa jelasin
kayak percuma sih menurut aku. Jadi, balik lagi ke masing-masing kalau misalkan
IPK bagus tapi dikembangkan juga dengan niat yang bagus itu sebenernya jauh
lebih penting sih dan lebih bagus menurut aku.
WM: Kalau menurut aku semasa kuliah, IPK bagus itu penting untuk misalnya
mengejar beasiswa gitu. Itu kan sangat sangat membantu keuangan gitu secara
finansial tapi kalau misalnya di luar kerja mungkin buat company-company seni itu
tuh gak gitu jadi patokan karena mereka liatnya apa yang kalian bisa, apa yang udah
pernah kalian buat bukan dari IPK nya. Bahkan mereka gak akan nanya ‘IP lu
berapa’, gitu. Tapi kalau misalnya di perusahaan-perusahaan teori atau perusahaan-
perusahaan yang non seni itu sangat sangat membantu karena HR ngeliatnya dari
3,5 ke atas.
AT: Aku bisa dibilang setuju sama Ona juga karena itu balik lagi ke tadi kalo di
kuliah itu helpful banget buat akademis. Ya pokoknya selama kuliah IPK bagus,
mungkin bisa dapet beasiswa juga dan istilahnya aman lah. Kita kan juga kalau
kuliah ngomongin sks kan. Kalau kita IP nya segini bisa dapet bobot sksnya berapa.
Menurut aku itu penting. But again, di luar perkuliahan, ini kalau semester 7
sebenernya kan aku di semester 7 nih itungannya magang ini kan sekarang dan
memang jujur pas aku, aku cantumin IP juga di di CV, tapi pas aku wawancara
magang pun yang dilihat yang lebih utama portofolio. Selama hasil apapun yang
kalian bikin lebih bagus, aku yakin dengan IP yang pas-pasan tapi as long as
mungkin perusahaan itu sesuai dengan portofolio kamu itu menurut aku lebih bagus
daripada IP tinggi tapi portofolionya tidak sesuai gitu.
lxxiv Perancangan Buku Panduan…, Joanne Michellina, Universitas Multimedia Nusantara
VW: Kalau aku setuju sih sama ko Atew soalnya kayak walaupun IP nya mungkin
di bawah 3,5 tapi portofolionya diliatnya ternyata wow, itu kayak bakal sangat
membantu banget gitu sih jadi gak kayak selalu berpatokan sama IP.
P: Kalian-kalian yang di sini nih termasuk orang-orang yang ngejar nilai
akademis itu gak sih? Kalau misalnya disuruh urutin nih prioritas kalian di
kuliah dari belajar, nugas, IPK, sama organisasi?
ET: Nugas, belajar, organisasi, baru IPK kalau buat aku itu. Kayak kalau nugas kan
sebenernya dari awal kayak menurut aku ya itu kan kayak hard skill tadi kan lama-
lama terasah. Itu juga namanya nugas kita oke sambil jalan sambil belajar. Dari situ
juga kita juga belajarnya bukan cuman belajar di kuliah doang tapi juga belajar dari
organisasi buat dapet bukan cuma hard skill-nya tapi juga soft skill nya gitu kan.
Dari itu juga baru bisa prioritasin IPK nya.
AW: Kalau aku sih sesuai urutan sih belajar, nugas, IPK, sama abis itu organisasi.
Kenapa organisasi dari belakangan karena aku selama kuliah ikut organisasi baru
sekali jadi ini sesuai pengalaman aku sih.
WM: Pertama itu IPK, kedua itu belajar, tiga organisasi, keempat nugas karena kalo
IPK pertama itu karena ngejar beasiswa kalo IPK. Terus kalo kenapa nugas
terakhir? karena kalo misalnya lagi nugas, memang tujuannya itu buat belajar,
nugasnya juga pasti maksimal. kayak gitu. Jadi, pas di dalem belajarnya itu tuh udah
ada nugas. Iyah gitu. Terus organisasi di atas nugas karena dari organisasi bisa dapet
yang lain selain yang kita belajar di perkuliahan.
AT: Jadi, kalau buat aku itu nugas karena aku tipenya nugas sambil belajar.
Organisasi karena ini mungkin nanti entah dibahas soft skill nanti ya. Kalau buat
aku soft skill penting gitu. Terus baru IPK bener kata Ona itu buat mengejar
beasiswa juga. Ya syukur-syukur bisa bantu finansial tapi I think organisasi aku
utamain dulu. Tapi sekarang organisasiku udah selesai kemarin sempet utamain
IPK dulu gitu. Terakhir, baru belajar.
VW: Ya, aku juga kalau belajar tuh sambil nugas kayak belajar di luar nugas itu
kayak jarang gitu lho karena udah keburu capek kayak keburu gak ada motivasi
lxxv Perancangan Buku Panduan…, Joanne Michellina, Universitas Multimedia Nusantara
juga gitu. Urutan selanjutnya itu ya itu organisasi, terus terahir IPK. Cuman kalau
sekarang tuh kayak apa ya pengen lebih mentingin IPK daripada organisasi ngejar
beasiswa. Cuman gak bisa gitu kayak tetep pengen dilatih mental dan skill, soft
skill-nya itu untuk kerja.
P: Di antara kalian ini tau gak sih soft skill itu apa?
WM: Ya, kalau menurut Ona soft skill itu sesuatu yang udah ada di dalam diri kalian
tapi bisa dikembangkan. Pokoknya itu harus muncul dari niat kalian sendiri untuk
punya soft skill itu gitu.
AT: Setuju sama pendapat Ona ya. Itu bisa dikembangkan tapi emang kaliannya
harus niat.
P: Soft skill apa aja sih yang kalian tau?
ET: 5C Kompas Gramedia, mentoring kemaren yang kita pelajari kayak leadership,
ya tadi public speaking.
AW: Kalau soft skill menurut aku pasti yang jelas public speaking. Public speaking-
nya paling kayak misalnya debat atau bertukar pikiran secara kritis. Abis itu
menurut aku tuh analisa research tuh juga termasuk, masih bisa termasuk soft skill
juga. Sama cara kita beradaptasi itu juga termasuk sih menurut aku.
WM: Kalau dari aku itu ada lagi yang penting banget di pokoknya kehidupan deh
itu adalah time management, ada lagi project management, terus open minded, terus
analytical thinking yang tadi Andit ada bilang critical thinking juga, terus fast
learner, sosial, sama paling yang krusial itu menyuarakan opini.
AT: Komunikasi, public speaking, leadership, melatih mental, kayak 5C Kompas
Gramedia yang kita pelajari di UMN juga mayoritas termasuk soft skill kayak
competitive, customer delight, itu sih kalo menurut aku.
VW: Cara kita mengatasi stress. Terus kayak gimana cara kita mengendalikan
emosi di bawah tekanan, cara kita memotivasi diri, gimana caranya kita tanggung
jawab gitu.
lxxvi Perancangan Buku Panduan…, Joanne Michellina, Universitas Multimedia Nusantara
P: Nah, kalau menurut kalian sendiri di dunia kerja, itu tuh lebih penting soft
skill atau hard skill sih? Alasannya apa?
ET: Kalau menurut aku sih dua-duanya sama-sama penting ya. Karena kayak
memang mesti balanced gitu kan untuk masuk dunia kerja. Kita memang mesti bisa
kerja tapi kita juga mesti, kalau menurut aku ya, kayak tadi kan soft skill itu lebih
ke cara kita bersosialisasi juga. Jadi intinya tuh kayak kita bisa kerja tapi kita juga
bisa communication sama yang lain gitu lho soal kerjaan kita nih gimana gitu kan
itu juga penting.
AW: Agak susah sih sebenernya soalnya dua-duanya kayak bener-bener prioritas
sih tapi kalau menurut aku paling hard skill sih kayak yang dari awal bilang pasti
kalau di dunia kerja tuh sebenernya hard skill dulu sih yang dibutuhkan kalau
menurut aku, kemampuan secara bidang akademik yang menyesuaikan perusahaan
baru soft skill yang dibutuhkan juga.
WM: Kalau Ona lebih ke soft skill karena dengan kita punya misalnya kemauan
untuk belajar itu juga merupakan soft skill dan kita punya kemauan untuk belajar
kita punya hard skill dan kalau misalnya di luar itu banyak yang jatohnya ‘oh
yaudah deh dia ngga usah terlalu jago yang penting dia mau belajar gak?’ Jadi
menurut aku soft skill itu yang paling ditanya duluan karena orang liatnya, apalagi
yang liatnya dari relasi. Relasi kalau misalnya dari soft skill-nya dia aja kurang gitu
kan. Kurang memadai. Relasinya itu langsung putus.
AT: Kalau dari aku tergantung dunia kerja kalian. Kalau dingomongin lebih penting
kalo di perusahaan, perusahaan yang normal, mungkin katakanlah mengutamakan
hard skill. Ya berarti memang hard skill kamu harus lebih diutamakan. Misalnya
kayak programming pake coding segala macem tapi ya kalo ngobrol yaudah
ngobrol biasa aja yang penting kerjaan selesai. Tapi katakanlah kamu bekerja di
dunia entertainment. Nah, kalau di dunia entertainment kan ya mungkin ada hard
skill yang dibutuhin misalnya kayak tadi aku bilang kamu ngebuat video dan kamu
sekaligus mengedit video kamu sendiri. Berarti itu kan editing video kamu bisa
masuk ke hard skill kan. Cuman, cara kamu ngomong di depan kamera, cara kamu
lxxvii Perancangan Buku Panduan…, Joanne Michellina, Universitas Multimedia Nusantara
public speaking, cara kamu men-deliver something ke orang baik melalui langsung
atau video ya menurut aku itu soft skill jauh lebih penting.
VW: Kayak sebenernya dua-duanya penting kan kayak yang tadi kak Elizabeth
bilang kayak harus 50-50 gitu.
P: Kalian tau gak sih cara mengasah soft skill yang kalian miliki?
ET: Kalau aku sih ya mungkin selama sekolah lah ya dari awal sekolah, kuliah,
segala macem kita tau cara soft skill itu dari lingkungan pertemanan, organisasi, itu
pasti kita kelatih tuh lama-lama kan soft skill. Gimana cara kita komunikasi,
nyampein pendapat, tadi public speaking, dan lain-lain. Mungkin di luar itu biasa
sih kayak liat-liat video referensi kan kayak misalnya ‘Oh kita mau ngelatih public
speaking nih’, gitu kan ikutlah seminar-seminar yang lain gitu. Ada yang kayak
kasih ‘Oh gimana sih cara bisa menyampaikan pendapat yang baik?’ yang tidak
menyinggung dan tidak apa gitu kan. Ikut les mungkin yang kayak kalau menurut
aku buat tadi belajar bahasa juga masih termasuk soft skill kan. Jadi, itu mungkin
kayak ikut-ikut kursus untuk belajar bahasa yang lain.
AW: Kalau menurut aku hampir sama sih, setuju sama ci Elizabeth. Pertama dari
lingkungan pertemanan atau gak sosial di lingkungan sosial itu di luar dari
perkuliahan. Misalnya lagi naik kendaraan umum biasanya kan suka diajak ngobrol
gitu kan. Nah, itu juga bisa dijadiin belajar sih. Terus sama seminar juga iya bisa
juga. Menurut aku selain seminar, dari YouTube juga bisa sih sebenernya kayak
yang singkat lah contohnya kayak ‘Gimana caranya belajar public speaking?’.
WM: Kalau aku butuh bahannya itu dari diri sendiri muncul gitu kan ‘Aduh gue
tiba-tiba pengen jadi gini’ gitu kan karena sadar sendiri atau gak ‘ditampar’ sama
orang lain gitu. Misalnya kayak dia nonton hal-hal yang positif terus tiba-tiba ‘Aduh
iya gua tertampar’ gitu atau gak dari orang luar. Entah koneksi, atasan atau dari
dosen, atau dari temen sendiri, sahabat sendiri kayak gitu tuh yang mengkritik kita
terus kayak ‘Oh iya gue udah harus berubah’ atau ‘Gue gak bisa nih kayak gini
terus’ kayak gitu. Jadi, harus ada faktor luar dan faktor dalam ditambah sama kayak
media-media yang munculin sesuatu yang ‘menampar’.
lxxviii Perancangan Buku Panduan…, Joanne Michellina, Universitas Multimedia Nusantara
AT: Kalau aku dibilang udah tau. Ada yang sudah tau tapi aku yakin masih banyak
hal di luar sana yang belum aku tau. Mungkin tadi mirip yang Ona bilang ya faktor
dalam, faktor luar. Belum semua faktor dalam dan faktor luar dari diri aku itu udah
ku ketahui tapi mungkin beberapa di antaranya udah ada. Kayak mungkin
pengalaman aku di dunia jurnalistik, pengalaman aku bikin video baik untuk tugas
maupun di luar tugas.
VW: Kalau aku sama kayak ko Atew tadi bilang kayaknya aku lebih ke dari faktor
eksternal deh. Kayak harus ada kejadian pahit dulu. Kayak baru pengen ‘bales
dendam’ gitu dengan ningkatin worth sama value diri gitu. Kayak dari situ aku
jadinya ikut organisasi, seminar, terus nonton TikTok tentang apa sih kayak cara-
cara untuk tingkatin soft skill, terus kadang-kadang ada di explore IG, ada post-post
tentang soft skill. Terus kayak diskusi sama temen-temen atau gak sama orang
terdekat gitu lah, itu kan kadang-kadang bisa bertukar mindset, sudut pandang juga
gitu kan.
P: Kalian udah mengasah soft skill belum sih untuk persiapan di dunia kerja
nanti?
ET: Ya, kalau menurut aku sih kayaknya lebih sambil jalan ya. Maksudnya kan
kayak tadi aku bilang kayak soft skill itu kan termasuk yang cara adaptasi,
komunikasi, dan lain-lain kan kayak sekarang kita lagi magang nih gitu kan. Lagi
magang lagi yang magang merdeka apalagi, aku gak tau yang lain ya. Kalau aku
magang merdeka itu kan kayak magang sambil skripsi. Jadi, kita juga mesti
bisa komunikasi sama rekan kerja, komunikasi juga sama dosen gitu-gitu kan.
AW: Kalau aku sih udah sih. Aku kan lagi magang juga kan. Nah, terus aku juga
sekalian belajar juga misalnya ditanya apa aku jawab duluan. Terus ngasih pendapat
misalnya dari tugas atau misalkan baik dari tugas, instruksi tugas atau terus kayak
ngasih pendapat.
WM: Kalo Ona udah dicoba kembangkan dari sekolah terus masuk-masuk
organisasi, terus kalau sekarang di magang juga nyarinya bukan cuma ngembangin
hard skill tapi juga soft skill. Contohnya kayak aku itu slow respond orangnya,
lxxix Perancangan Buku Panduan…, Joanne Michellina, Universitas Multimedia Nusantara
sedangkan di kantor itu aku belajar untuk harus fast respond dengan jawaban yang
baik dan benar.
AT: Menurut aku untuk soft skill-nya aku sedang mempelajari itu. Belum selesai,
masih jauh, masih banyak yang harus aku pelajari.
VW: Kalau aku mulai ngasah soft skill nya itu sih dari awal masuk kuliah ya. Pas
kuliah itu aku jadi belajar lebih berani terus kayak public speaking, terus kayak cara
berkomunikasi gitu-gitu sih. Tapi aku ya kayak tadi Ko Atew bilang aku masih
dalam proses, masih banyak yang harus aku tingkatin.
P: Menurut kalian mengasah soft skill sebagai persiapan masuk ke dunia kerja
itu penting gak sih?
ET, AW, WM, AT, VW: Penting.
P: Kalian tau gak kalau soft skill itu menjadi salah satu modal dasar untuk
masuk ke dunia kerja di era industri 4.0?
AT, VW: Tau.
ET, AW, WM: Gak tau.
P: Kalian tau gak sih manfaat penguasaan soft skill di dunia kerja?
WM: Nah, itu kalau menurut aku ya itu tuh buat jadi fondasi diri kita, diri semuanya
dalam bertindak profesional. Soft skill itu fungsinya untuk itu.
AT: Mungkin komunikasi dan interaksi dengan rekan kerja jadi lebih baik.
P: Kalau tadi kan manfaatnya nih, kalau dampak dari kurangnya penguasaan
soft skill di dunia kerja kalian tau gak?
WM: Orang liat kita kurang gitu. Maksudnya kayak nanti ada cerita tentang diri
kita yang kurang. Jadi, itu kayak disadvantage dari kita punya soft skill yang
kurang.
AW: Kalau menurut aku ini sih bakal kacau sih kayak contoh simpelnya kayak
misalnya nanya pendapat, kalau misalnya nih kita tau sebuah teori atau tools tapi
lxxx Perancangan Buku Panduan…, Joanne Michellina, Universitas Multimedia Nusantara
kalau misalkan kita kayak gak pinter untuk mengkomunikasikan atau
membicarakannya kayak susah juga sih ujungnya.
VW: Mungkin kayak kalo misalkan soft skill kita kurang sama client itu jadi kayak
clientnya itu jadi gak jadi gitu lho kayak gak mau pake jasa kita karena udah
keliatan bahwa soft skill-nya kita tuh kurang. Jadi kayak daripada terjerumus gitu.
Negosiasinya itu kurang.
ET: Penilaian gak sih? Penilaian dari perusahaan apa calon client gitu ke kitanya ke
dampak kerjaannya yang nanti bakal kita kerjain gitu kan.
P: Kalian tadi kan beberapa udah ada yang mengasah soft skill kan? Upaya-
upaya yang tadi udah kalian sebutin itu udah cukup membantu kalian belum
sih menguasai soft skill itu?
ET: Kalau menurut aku pribadi mungkin ya yang udah dilakuin mungkin belum
maksimal karena belum keliatan juga hasilnya kan. Belum bisa kita praktekkin
langsung juga. Apalagi tadi kan poinnya itu lebih ke soft skill pada dunia kerja. Kita
kan belum sampai ke sana juga jadi kayak belum, menurut aku sih belum keliatan
dan jadi belum maksimal aja hasil soft skill-nya.
AW: Kalau menurut aku sih walaupun hasilnya kurang maksimal cuma kalau
misalnya bisa dilatih berkali-kali dengan baik pasti hasilnya juga bakal maksimal
sih.
WM: Kalo Ona masih belum, masih mau explore lebih karena manusia tidak pernah
puas teman-teman. Jadi, masih pengen explore lagi apalagi kalau nemu cara-cara
lain-lain maksudnya media-media lain yang bikin tertarik. Sebetulnya susah gitu
dapet yang ‘Oh iya boleh nih gua liat nih’ atau gak ‘Oh iya boleh nih gue contoh’.
AT: Masih jauh dari kata cukup bahkan. Udah bukan bagus lagi ya. Bahkan aku
masih di bawah cukup menurut aku. Hasil yang udah aku dapatkan dari
pengembangan soft skill aku masih banyak banget soft skill yang aku butuhkan di
jalur aku nanti yang belum aku explore banget gitu lho. Harus tetep ya kata Ona
tadi lah tidak pernah puas. Jangan pernah puas lah pokoknya.
lxxxi Perancangan Buku Panduan…, Joanne Michellina, Universitas Multimedia Nusantara
VW: Kalau menurut aku sih udah ya karena dari upaya-upaya itu soft skill-nya
akupun udah ningkat jauh gitu lho dari pas masa-masa aku dulu pas sekolah gitu.
Awal kuliah itu aku masih jauh banget lah dari yang sekarang. Jadi, kalau menurut
aku tuh setiap proses peningkatan yang aku capai dari upaya aku untuk
meningkatkan soft skill itu udah sangat baik. Jadi kayak aku sangat apresiasi proses-
prosesnya itu. Menurut apa yang aku tingkatin gitu.
P: Kalau dari upaya kalian tadi itu ada kendala gak sih selama kalian
mengasah soft skill itu? Kalau ada, kendala apa yang menghambat kalian?
WM: Kalo aku lebih ke faktor misalnya waktu mau ngembangin satu soft skill,
kayak maunya itu baru 50% gitu belum 100%. Terus yang kedua itu kalau misalnya
ada soft skill yang sebenernya belum punya nih, tapi belum mau diasah karena
belum nemu sesuatu yang ‘nendang’ gitu yang bikin ‘Sadar lu’ gitu. Terus ada lagi
gak sabaran kayak kan itu butuh proses tapi gak sabaran jadi merasa not worth it,
gitu lho yang kayak ‘Aduh gue gak bisa-bisa’.
VW: Time management sih kalo di aku. Parah banget.
ET: Kalo dari aku sih mungkin hampir sama kayak sama Ona. Belum semua yang
pengen kita pelajarin belum bisa semuanya dipelajarin mungkin juga karena
memang belum niat, belum kayak tadi bilang belum niat 100%.
AW: Kalau aku ini sih sama kayak Virgina, time management. Aku tuh tipe orang
yang agak susah fleksibel. Bagi waktu antara belajar soft skill sama nugas.
P: Menurut kalian informasi yang terkait soft skill sebagai persiapan dunia
kerja itu perlu gak sih?
AT: Ini kalau pendapat pribadi ya, pribadi, selagi itu cocok dengan jalur yang ingin
kita tempuh aku rasa bisa jadi informasi tambahan dan kalau emang bisa ngebantu
itu jadi penting gitu.
WM: Penting karena kalau kerja kita berhubungan sama orang lain. Jadi butuh soft
skill yang memang orang lain juga merasa ‘Oh iya lu worth to be friend with’, ‘lu
worth kerja di sini’, kayak gitu misalnya.
lxxxii Perancangan Buku Panduan…, Joanne Michellina, Universitas Multimedia Nusantara
AW: Tapi kalau menurut aku yang paling utama sih harus tau ilmunya dulu juga
sih.
VW: Aku udah setuju sih sama yang lain karena kayak kalau misalkan soft skill
juga gak ditingkatin ya apa ya why not aja gitu kayak kenapa gak sekalian soft skill
ditinggiin biar value jadi lebih tinggi gitu.
ET: Setuju sih sama semua juga tambahan lagi untuk pribadi kalau misalnya kita
bisa dapet soft skill sebanyak-banyaknya kenapa gak? Dan lagi kalau misalnya itu
bisa nambahin nilai pribadi itu juga bisa kan kita kayak sharing ke yang lain buat
berbagi buat kayak sharing ilmu buat siapa tau orang lain juga bisa gitu ningkatin.
P: Kalau misal informasi tentang soft skill tadi yang udah kita bahas dalam
bentuk buku panduan dengan ilustrasi juga menurut kalian membantu gak
sih sebagai acuan dan pedoman untuk kalian? Kalian tertarik gak untuk baca
kalau misalnya ada?
ET: Kalau buat aku sih pribadi aku bakal tertarik karena memang aku juga gak gitu
kuat baca buku yang banyak tulisan. Jadi pastinya kalau diselingin ama ilustrasi-
ilustrasi gitu bakal lebih menarik sih.
AW: Kalau aku tertarik juga sih dan menurut aku pribadi sih selain belajar soft skill,
aku juga bisa belajar hard skill nya juga sih kayak misalnya aku kurang pintar
ilustrasi, pas begitu aku liat ilustrasinya kok menarik banget kayak ada inspirasi
buat belajar juga sih. Jadi selain belajar soft skill, hard skill juga diseimbangin juga.
WM: Kalo dari Ona lebih tertarik kalau lebih banyak visualnya daripada tulisannya
karena ada beberapa buku-buku yang konteksnya serius tapi karena visualnya
bagus, tulisannya gak bertele-tele, jadi bukunya tuh bertahan dibaca sampai akhir
gitu.
AT: Dari pendapat pribadi juga dan memang sama ama temen-temen, better emang
ada visual, kenapa? lebih enak aja sih kalau buat aku pribadi ya karena aku emang
orangnya cepet bosenan. Kalau visualnya banyak kan berarti tidak bosen gitu kan.
lxxxiii Perancangan Buku Panduan…, Joanne Michellina, Universitas Multimedia Nusantara
VW: Aku bakal tertarik karena aku gak kuat baca teks gitu. Jadi harus ada visualnya
biar aku lebih masuk ke otak. Nah, terus dari yang kak Andit tadi juga aku kan
sebenernya pengen jadi ilustrator. Jadi kalau misalkan ngeliat ilustrasi-ilustrasi gitu
jadi apa sih sebagai referensi masukan juga kayak ‘Oh ini bagus juga nih. Gua foto
ah’ biar sebagai referensi ke depannya gitu. Siapa tau dibutuhin gitu.
P: Oke, sekian FGD kita pada malam ini. Terima kasih banyak buat kalian
semua yang udah bersedia ikut FGD ini dan udah kasih banyak banget insight,
thank you ya guys.