Top Banner
i LAMAN JUDUL KEDUDUKAN NASAB ANAK DI LUAR NIKAH (Studi Komparasi antara Imam Syafi’i dan Ibnu Qayyim Al-Jauzziyah) SKRIPSI Oleh : DENDI FEBRIANSYAH SPM.152159 Dosen Pembimbing : Dr. A.A. MIFTAH, M.Ag DIAN MUSTIKA, S.HI., MA PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB FAKULTAS SYARIAH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTHAN THAHA SAIFUDDIN JAMBI 2019
89

LAMAN JUDUL SKRIPSIrepository.uinjambi.ac.id/1281/1/DENDI FEBRIANSYAH...LAMAN JUDUL KEDUDUKAN NASAB ANAK DI LUAR NIKAH (Studi Komparasi antara Imam Syafi’i dan Ibnu Qayyim Al-Jauzziyah)

Jan 31, 2021

Download

Documents

dariahiddleston
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
  • i

    LAMAN JUDUL

    KEDUDUKAN NASAB ANAK DI LUAR NIKAH (Studi Komparasi antara Imam Syafi’i

    dan Ibnu Qayyim Al-Jauzziyah)

    SKRIPSI

    Oleh :

    DENDI FEBRIANSYAH SPM.152159

    Dosen Pembimbing :

    Dr. A.A. MIFTAH, M.Ag DIAN MUSTIKA, S.HI., MA

    PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB FAKULTAS SYARIAH

    UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTHAN THAHA SAIFUDDIN JAMBI

    2019

  • ii

    ABSTRAK

    Dendi Febriansyah, SPM.152129, Kedudukan Nasab Anak Di Luar Nikah (Studi Komparasi Antara Imam Syafi‟i Dan Ibnu Qayyim Al-Jauzziyah). Status Nasab anak luar nikah masih beragam. Imam Syafi‟i berpendapat bahwa anak di luar nikah tidak bisa dinasabkan kepada ayah biologisnya sedangkan Imam Ibnu Qayyim berpendapat bahwa anak di luar nikah boleh dinasabkan kepada ayah biologisnya. Dalam masalah ini, penulis menggunakan studi kepustakaan (library research) dan dilakukan dengan menggunakan metode deskriptif-analisis. Hasil analisa penulis menunjukkan bahwa Imam Syafii berpendapat bahwa pemutusan hubungan nasab anak dengan laki-laki zina dan menisbatkannya kepada ibu dan keluarga ibunya dikarenakan Imam Syafi‟i berpendapat bahwa anak di luar nikah ialah ajnabiyah atau orang asing dan tidak bisa dinasabkan kepada ayah bilogisnya. Sedangkan menurut pendapat Ibnu Qayyim yang mana beliau mengqiyaskan nasab sama seperti ikatan mahram yang mana tidak bisa terputus dengan ayah biologisnya, dengan syarat ayah biologis anak tersebut(pelaku zinah) mengakui itu sebagai anaknya. Kata Kunci: Nasab, Anak di luar Nikah.

  • iii

    PERNYATAAN ORISINALITAS SKRIPSI

    Yang bertanda tangan di bawah ini:

    Nama : Dendi Febriansyah

    NIM : SPM.152129

    Jurusan/Kosentrasi : Perbandingan Mazhab

    Fakultas : Syari‟ah

    Alamat :Desa Rantau Benar, Kecamatan Remah Mendalu,

    Kabupaten Tanjung Jabung Barat

    Menyatakan dengan sesungguhnya, bahwa skripsi yang berjudul

    Kedudukan Nasab Anak di Luar Nikah (Studi komparasi Antara Imam Syafi‟i dan

    Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah) adalah hasil karya pribadi yang tidak mengandung

    plagiarisme dan tidak berisi materi yang dipublikasikan atau ditulis orang lain,

    kecuali kutipan yang telah disebutkan sumbernya sesuai ketentuan yang

    dibenarkan secara ilmiah.

    Apabila pernyataan ini tidak benar, maka penulis siap

    mempertanggungjawabkannya sesuai dengan hukum yang berlaku dan ketentuan

    UIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi, termasuk pencabutan gelar yang saya

    peroleh dari skripsi ini.

    Jambi, Oktober 2019 Yang menyatakan,

    DENDI FEBRIANSYAH NIM: SPM.152129

  • iv

    Jambi, Oktober 2019 Pembimbing I : Dr. A.A. MIFTAH, M.Ag Pembimbing II : DIAN MUSTIKA, S.HI., MA Alamat : Fakultas Syariah UIN STS Jambi

    Jl. Jambi- Muara Bulian KM. 16 Simp. Sei Duren

    Jaluko Kab. Muaro Jambi 31346 Telp. (0741) 582021

    Kepada Yth. Dekan Fakultas Syariah UIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi Di- JAMBI

    PERSETUJUAN PEMBIMBING

    Assalamualaikum wr wb. Setelah membaca dan mengadakan perbaikan seperlunya, maka skripsi

    saudara Dendi Febriansyah, Nim: Spm.152129 yang berjudul: Kedudukan Nasab Anak di Luar Nikah (Studi komparasi Antara

    Imam Syafi’i dan Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah) Telah disetujui dan dapat diajukan untuk dimunaqasahkan guna

    melengkapi syarat-syarat memperoleh gelar sarjana strata satu (S1) dalam jurusan Ilmu Pemerintahan Fakultas Syariah Universitas Islam Negeri Sulthan Thaha Saifuddin Jambi.

    Demikianlah, kami ucapkan terima kasih semoga bermanfaat bagi kepentingan Agama, Nusa dan Bangsa. Wassalamualaikum wr wb. Pembimbing I Pembimbing II Dr. A.A. Miftah, M.Ag Dian Mustika, S.HI.,MA NIP.19731125 199603 1 001 NIP. 19830622 201101 2 012

  • v

  • vi

    MOTTO

    ِيٱََوُهوََ اَفََجَعلَهََُلَۡهآءَِٱَخلََقَِنَوَََّلذ َوََكَنََربَُّكَقَِديٗراََۥبَََشٗ ٥٤ََنََسٗباََوِصۡهٗراَۗ

    Dan Dia (pula) yang menciptakan manusia dari air lalu dia jadikan manusia itu

    (punya) keturunan dan mushaharah (hubungan kekeluargaan yang berasal dari

    perkawinan) dan adalah Tuhanmu Maha Kuasa (QS. Al-Furqan: 54)

  • vii

    KATA PENGANTAR

    ََِِمۡسِب ٱلرذِحيمََِٱلرذِنَٰمۡحَٱّللذ

    Assalamu’alaikum, Wr,Wb.

    Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang mana dalam

    penulisan skripsi ini penulis selalu diberikan kesehatan dan kekuatan, sehingga

    dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Di samping itu tidak lupa pula

    sholawat serta salam penulis sampaikan pada junjungan nabi Muhammad SAW

    yang telah memberi kita petunjuk dari zaman kebodohan hingga ke zaman yang

    terang benderang, sebagaimana yang kita rasakan saat ini, yang disinari iman dan

    islam.

    Dalam penulisan skripsi ini penulis akui tidak sedikit hambatan dan

    rintangan yang dilalui namun berkat dukungan dari berbagai pihak akhirnya

    skripsi ini dapat diselesaikan. Penulis berharap semoga dapat bermanfaat

    khususnya bagi diri penulis dan umumnya bagi seluruh pembaca serta

    memberikan kontribusi positif bagi dunia pendidikan, pemerintahan serta

    bermanfaat bagi masyarakat, bangsa dan negara.

    Selanjutnya penulis ucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada semua

    pihak yang turut berkontribusi dalam penyusunan skripsi ini, dan penghargaan

    yang setinggi-tingginya kepada yang terhormat:

  • viii

    1. Bapak Prof. Dr. Suaidi Asy‟ari MA.,Ph.D selaku Rektor UIN Sulthan Thaha

    Saifuddin Jambi.

    2. Bapak Dr. A. A. Miftah, M. Ag selaku Dekan Fakultas Syariah UIN STS

    Jambi.

    3. Bapak H. Hermanto Harun, lc. M. HI,. Ph.D selaku Wakil Dekan I Fakultas

    Syariah bidang Akademik.

    4. Ibu Dr. Rahmi Hidayati, M.HI selaku Wakil Dekan II Fakultas Syariah

    bidang Administrasi Umum, Keuangan dan Perencanaan.

    5. Ibu Dr. Yuliatin, M. HI selaku Wakil Dekan III Fakultas Syariah bidang

    Kemahasiswaan dan Kerja Sama.

    6. Bapak Al-Husni, S.Ag., M.HI dan Bapak Yudi Armansyah, M.Hum selaku

    Ketua dan Sekretaris Jurusan Perbandingan Mazhab Fakultas Sayariah UIN

    Sulthan Thaha Saifuddin Jambi

    7. Bapak Dr. A. A. Miftah, M. Ag selaku Dosen Pembimbing I yang telah

    banyak membantu dalam pembuatan skripsi ini

    8. Ibu Dian Mustika, S.HI., MA. selaku Dosen Pembimbing II yang telah

    banyak membantu dalam pembuatan skripsi ini.

    9. Bapak-bapak dan ibu-ibu dosen, staf, karyawan/i dilingkungan Fakultas

    Syariah UIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi yang telah memberikan

    pelayanan dan bantuan serta bimbingannya selama perkuliahan.

    10. Pimpinan pustaka serta karyawan/i UIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi.

  • x

    PERSEMBAHAN

    ََِِمۡسِب ٱلرذِحيمََِٱلرذِنَٰمۡحَٱّللذ

    Skripsi ini penulis persembahkan khusus untuk ibunda tercinta NurAini

    dan ayahanda tersayang Suharto yang telah bersabar, tulus dan iklhas

    membesarkan, membimbing, mendidik hingga dewasa, serta menyekolahkan

    ananda sampai keperguruan tinggi ini. Kalianlah kekuatan untukku, yang menjadi

    penyemangat di setiap langkah kakiku, yang rela membanting tulang tidak pernah

    mengenal kata lelah demi sebuah cita-cita dan masa depan ananda. Tiada kata

    yang seindah yang paling bermakna untuk disampaikan kecuali permohonan yang

    amat sangat kepada Allah SWT agar mereka diberi balasan yang setimpal atas

    segala pengorbanan mereka berikan untuk mendidik anak-anaknya sampai saat

    ini.

    Skripsi ini juga penulis persembahkan kepada adik tersayang Nur Indah

    Elviana yang telah memberikan dan dukungan dan motivasi dalam perjalanan

    kuliah ini. Terima kasih kepada teman-teman yang telah banyak membatu saya

    dalam pembutan karya ilmiah ini, semoga kita semua menjadi orang-orang yang

    bermanfaat bagi manusia lainnya. Aamiin.

    Dengan mengucapkan alhamdulilah atas nikmat-nikmat yang telah

    diberikan Allah SWT. Selangkah menuju rasa syukur. Saya berharap skripsi yang

    tersaji menemani pembaca ini juga adalah rasa syukur saya kepada Allah SWT

    atas nikmat iman, ruh, nikmat ilmu, akal sehat dan nikmat jasmani dan rohani

    semoga Allah SWT memberikan taufik dan hidayahnya selalu. Aamiin.

  • xi

    DAFTAR ISI

    HALAMAN JUDUL .................................................................................. i

    ABSTRAK .................................................................................................. ii

    PERNYATAAN ORISINALITAS SKRIPSI ......................................... iii

    PERSETUJUAN PEMBIMBING ........................................................... iv

    MOTTO ...................................................................................................... v

    KATA PENGANTAR ............................................................................. vii

    PERSEMBAHAN ...................................................................................... x

    DAFTAR ISI ............................................................................................. xi

    BAB I PENDAHULUAN .......................................................................... 1

    A. Latar Belakang ................................................................................... 1

    B. Rumusaan Masalah ............................................................................ 4

    C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ....................................................... 4

    D. Kerangka Teori .................................................................................. 6

    E. Tinjauan Pustaka .............................................................................. 17

    F. Metode Penelitian ............................................................................ 18

    BAB II BIOGRAFI IMAM SYAFI’I DAN IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH .................................................................................. 23

    A. Imam Syafi‟i .................................................................................... 23

    1. Biografi Imam Syafi‟i ............................................................... 23

    2. Latar Belakang Sosial Dan Politik ............................................ 26

    3. Guru-Guru Imam Syafi‟i .......................................................... 28

    4. Dasar-Dasar Imam Syafi‟i ........................................................ 29

    5. Karya-Karya Imam Syafi‟i ....................................................... 29

    B. Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah .................................................................. 32

    1. Biografi Ibnu Qayyim ............................................................... 32

    2. Perjalanan Keilmuan ................................................................. 34

    3. Mazhab Ibnu Qayyim ............................................................... 35

    4. Guru-Guru Ibnu Qayyim .......................................................... 36

  • xii

    5. Murid-murid Ibnu Qayyim ....................................................... 37

    6. Karya-karya Ibnu Qayyim ........................................................... 38

    BAB III GAMBARAN UMUM TENTANG KEDUDUKAN NASAB ANAK DI LUAR NIKAH ............................................................. 40

    A. Pengertian Nasab ............................................................................. 40

    B. Pengertian Anak di Luar Nikah ....................................................... 44

    C. Kedudukan Anak di Luar Nikah ...................................................... 47

    BAB IV PEMBAHASAN DAN ANLISIS PENELITIAN ................... 51

    A. Pandangan dan Argumentasi Imam Syafi‟i tentang Nasab Anak di luar Nikah ........................................................................................ 51

    1. Al-Qur‟an .................................................................................. 54

    2. Hadis ......................................................................................... 55

    B. Pandangan dan Argumentasi Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah tentang Nasab Anak di luar Nikah ................................................................ 58

    BAB V PENUTUP ................................................................................... 70

    A. Kesimpulan ..................................................................................... 70

    B. Saran ............................................................................................... 71

    C. Kata Penutup .................................................................................. 71

    DAFTAR PUSTAKA .............................................................................. 73

    CURRICULUM VITAE ......................................................................... 77

  • 1

    BAB I

    PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang

    Kehadiran seorang anak di dalam rumah tangga adalah hal yang sangat

    diinginkan. Anak merupakan penyambung keturunan, di mana keturunan yang sah

    yang diakui oleh dirinya sendiri, masyarakat, negara, dan sah menurut agama

    tentunya yang diharapkan. Anak sebagai keturunan bukan saja menjadi buah hati,

    tetapi juga akan memberi tambahan amal kebajikan di akhirat nanti, manakala

    orang tuanya mendidiknya menjadi anak yang saleh.

    Status anak dalam hukum keluarga dapat dikelompokkan menjadi dua

    macam,1 yaitu anak yang sah dan anak luar kawin. Adapun anak yang sah itu

    diatur dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 42 yang berbunyi “Anak

    yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan

    yang sah.”2 Sedangkan anak luar kawin diatur dalam Undang- undang Nomor 1

    Tahun 1974 Pasal 43 (1) “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya

    mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.”3

    Anak yang lahir di luar nikah selain diperlakukan secara tidak adil dan

    mendapat stigma negative dari masyarakat, anak tersebut tidak memperoleh hak

    apapun dari pihak bapak biologisnya, sehingga membuat posisinya sebagai anak

    yang lahir di luar nikah harus menanggung akibat hukum dari perbuatan orang

    tuanya yang berdampak terhadap kesejahteraan hidupnya.

    1 . Ali Afandi, Hukum Waris, Hukum Keluarga, Hukum Pembuktian, (Jakarta: Rineka

    Cipta, 1982), hlm. 145. 2 Pasal 42 UU N0.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. 3 Pasal 43 Ayat (1) UU No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.

  • 2

    Adapun kasus yang paling fenomenal di Indonesia yaitu kasus yang

    dialami oleh Machicha Muchtar, bahwasanya pihaknya mengajukan permohonan

    kepada Mahkamah Konstitusi agar nasab anak atau status keperdataan anaknya

    dapat dinasabkan kepada ayahnya. Setelah uji materi tentang permohonan yang

    diajukan oleh pihak Machicha Muchtar ke Mahkamah Konstitusi. Diputuskan

    dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No.46/PUU-VIII/2010 tentang pengujian

    pasal 43 ayat (1) UU No.1 Tahun 1974 menghadirkan keputusan baru, bahwa

    status anak luar nikah nasabnya mengikuti ayah biologis, hal ini disebutkan dalam

    putusannya yang mengubah isi dari pasal 43 Ayat (1) Undang-Undang

    Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 nomor 1, yang menyatakan Anak yang

    dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan

    ibunya dan keluarga ibunya, tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang

    dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat

    dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/alat bukti

    lainmenurut hukum ternyata mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya,

    sehingga ayat tersebut harus dibaca, anak yang dilahirkan di luar nikah

    perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya

    serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu

    pengetahuan dan teknologi dan/atau alak bukti lain menurut hukum mempunyai

    hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya.4 Putusan

    Mahkamah Konstitusi ini didasarkan atas keadilan, bahwa manusia di hadapan

    4 Putusan Mahkamah Konstitusi No.46/PUU-VIII/2010, hlm. 37

  • 3

    hukum mempunyai hak dan kewajiban yang sama. Jadi anak yang dihasilkan di

    luar perkawinan dan anak sah mempunyai porsi yang sama di dalam hukum.5

    Putusan Mahkamah Konstitusi di atas berbeda dalam pandangan hukum

    Islam, ulama sepakat bahwa anak luar nikah tidak memiliki hubungan nasab atau

    keperdataan antara dirinya dengan ayahnya, yang ada ialah hubungan nasab antara

    anak dengan ibunya. Karena, syara‟ menetapkan anak dari hasil hubungan yang

    tidak sah dibangsakan kepada ibunya. Untuk itu, dapat dipahami bahwa ulama

    telah sepakat anak di luar nikah tidak memiliki keterikatan nasab dengan laki-laki

    yang menyebabkan kelahirannya. Konsekuensi dari terputusnya nasab tersebut

    berimplikasi pula pada terputusnya keperdataan anak dengan laki-laki tersebut

    (ayah biologis).

    Sama halnya dengan jumhur ulama, imam Syafi‟i juga berpandangan

    bahwa anak luar merupakan ajnabiyyah (orang asing) yang sama sekali tidak

    dinasabkan kepada bapak biologisnya, bahkan dihalalkan bagi bapak biologisnya

    untuk menikahi anak yang lahir apabila perempuan, dengan dalil bahwa tercabut

    seluruh hukum yang berkenaan dengan adanya nasab bagi anak yang lahir di luar

    nikah, seperti kewarisan dan sebagainya.6

    Sedangkan pendapat Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, di mana beliau

    menyatakan bahwa status anak di luar memiliki hubungan Nasab. Namun, dalam

    kondisi lain bahwa anak tidak ditetapkan hubungannya dengan laki-laki pezina

    terkait dengan warisan dan nafkah. Dalam arti bahwa anak zina adalah mahram

    dan memiliki hubungan nasab bagi ayahnya karena sebagai anak, namun bukanlah

    5 Putusan Mahkamah Konstitusi No.46/PUU-VIII/2010, hlm. 4. 6 Muhammad bin Al-Khatib Asy-Syarbini, Mugniy al-Muhtaj, (Beirut: Dar al-Ma‟rifah,

    1997), juz 3, hlm. 233.

  • 4

    anak dalam artian sebagai seorang ahli waris layaknya anak kandung (anak yang

    sah menurut hukum).7

    Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis tertarik melakukan

    penelitian lebih lanjut terkait persoalan tersebut dalam bentuk karya ilmiah

    (skripsi) dengan judul “KEDUDUKAN NASAB ANAK DI LUAR NIKAH

    (Studi Komparasi antara Imam Syafi’i dan Ibnu Qayyim Al-Jauzziyah)”.

    B. Rumusaan Masalah

    Berdasarkan dari latar belakang masalah yang telah diuraikan sebelumnya,

    maka penulis merumuskan masalah sebagai berikut:

    1. Bagaimana Pandangan dan argumentasi Imam Syafi‟i tentang kedudukan

    Nasab anak di luar nikah?

    2. Bagaimana Pandangan dan argumentasi Ibnu Qayyim tentang kedudukan

    Nasab anak di luar nikah?

    C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

    1. Tujuan Penelitian

    Tujuan penelitian pada hakikatnya mengungkapkan apa yang dicapai oleh

    peneliti. Tujuan penelitian ini penulis klasifikasikan kedalam

    7 Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, I‟lam al-Muwaqi‟in „an Rabb al-„Alamin, ed. In, Panduan

    Hukum Islam, (terj: Asep Saefullah FM & Kamaluddi Sa‟diyatulharamain), (Jakarta: Pustaka Azzam, 2000), hlm. 856.

  • 5

    1. Untuk mengetahui apa pandangan dan argumentasi Imam Syafi‟i tentang

    kedudukan anak di luar nikah.

    2. Untuk mengetahui apa Pandangan dan argumentasi Ibnu Qayyim tentang

    kedudukan nasab anak di luar nikah.

    Dan sifat kedua yaitu khusus, dari penelitian yang penulis lakukan ini

    merupakan syarat untuk menyelesaikan studi strata satu (S.1) pada Program Studi

    Perbandingan Mazhab Fakultas Syariah UIN STS Jambi.

    2. Kegunaan penelitian

    Adapun kegunaan penelitian ini adalah:

    a. Secara akademisi dapat menambah wawasan bagi penulis khususnya dan

    kepada pembaca umumnya dalam hal ini berkenaan dengan pandangan

    Mazhab Syafi‟i tentang kedudukan nasab anak di luar nikah dan putusan

    Mahkamah Konstitusi mengenai kedudukan nasab anak di luar nikah.

    b. Bagi penulis, hasil penelitian ini dapat melengkapi salah satu syarat guna

    memperoleh gelar sarjana strata satu (S.1) pada Program Studi

    Perbandingan Mazhab Fakultas Syariah UIN STS Jambi dan tulisan dapat

    diharapkan bisa menambah perbendaharaan referensi kepustakaan di

    Fakultas Syariah dan bagi mahasiswa yang mengkaji permasalahan tentang

    kedudukan nasab anak di luar nikah.

    c. Bagi instansi terkait, diharapkan hasil penelitian ini dapat berguna sebagai

    bahan pertimbangan dalam mengambil putusan terkait topik penelitian

    penulis.

  • 6

    D. Kerangka Teori

    1. Cara Memahami Nash-Nash Hukum

    Dalam pandangan ulama Syafi‟iyah, cara memahami nash atau dilalah di

    bagi menjadi dua macam, yaitu: dilalah manthuq dan dilalah mafhum:

    a. Manthuq

    Dilalah manthuq dalam pandangan ulama Syafi‟iyah adalah:

    ٕر ًذك ٗ حكى ان النة انهفظ في يحم انُطق عه

    “Penunjukan lafaz menurut apa yang diucapkan atas hukum menurut yang disebut dalam lafaz itu”

    Definisi ini mengandung pengertian bahwa bila kita memahami “sesuatu

    hukum” dari apa yang langsung tersurat dalam lafaz itu, maka disebut pemahaman

    secara “mantuq”.8

    Secara garis besar dilalah manthuq dibagi menjadi dua yaitu:9

    1) Manthuq Syarikh (Jelas)

    Adalah Manthuq yang penunjukannya itu timbul dari wadh‟iyah

    muthabiqiyah dan wadh‟iyah tadhamminiyah. Menurut syafiiyah yang dimaksud

    dengan Manthuq sharikh ini adalah apa yang dimaksud dengan dilalah ibarah.

    2) Manthuq ghairu syarikh (Tidak Jelas)

    Adalah manthuq yang penunjukannya timbul dari wadh‟iyah iltizhamiyah,

    Manthuq ghairu sharikh terbagi kedalam dua macam yaitu:

    (a) Penunjukannya itu dimaksud oleh pembicara

    8 Syarifuddin, Amir. Ushul Fiqh, Jilid II. (Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu, 2001), hlm.

    144. 9 Ibid. Hlm. 147.

  • 7

    Dilalah manthuq ghairu syarikh yang penunjukannya dimaksud

    oleh pembicara ada dua macam yaitu:

    a. Dilalah itidha‟ adalah dilalah yang dalam suatu ucapan ada suatu

    makna yan sengaja tidak disebutkan karena adanya anggapan

    bahwa orasng akan mudah mengetahuinya, namun dari susuna

    ucapan itu terasa ada yang kurang sehingga ucapan iotu dirasa

    tidak benar kecuali yang tidak disebutkan itu dinyatakan.

    Misalnya dalam suratv yusuf ayat 82:

    ٌَ َ ٴَس ٕ ذِبُ َِٰ ِتف نَ َ ٴَنِ ََٓفو ََز ۡنِتيِيأ قَب لَه َُف فِ ٴَۡن ِي ََٓف ِتف فِ ُ ةَ ۡنِتيِي ُك ةَ ِم ۡن رَز

    “Dan tanyalah (penduduk) negeri yang kami berada disitu, dan kafilah yang kami datang bersamanya, dan sesungguhnya kami adalah orang-orang yang benar"

    Secara nyata ungkapan tersebut terasa ada yang kurang , karena

    mana mungkin kita bertanya pada kampung, yang bukan mahluk

    hidup maka perlu dihadirkan suatu kata yaitu penduduk, yang

    sebelumnya kampung menjadi penduduk kampung yang dapat

    ditanya dan memberi jawaban.

    b. Dilalah ima‟ adalah penyertaan sifat dengan hukum dalam bentuk

    seandainya sifat itu bukan yang menjadi ‟illat untuk hukuman

    tersebut, maka pernyataan itu tidak ada artinya. Jadi dilalah ima‟

    secara sederhana dapat diartikan sebagai petunjuk yang

    mengisyaratkan sesuatu. Misalnya sabda Rasulullah kepada seorang

    arab pedesaan yang melaporkan pada beliau bahwa ia telah bergaul;

  • 8

    dengan istrinya pada siang Bulan Rhamadan, maka nabi berkata

    ”maka merdekakanlah hamba sahaya”

    Disebutkan suatu kejadian yaitu ”mencampuri istri pada siang bulan

    rhamadan” dihubungkan pada ucapan nabi “memerdekakan hamba

    sahaya” memberi syarata bahwa kejadian itulah yang menjadi illat

    untuk hukum yang disebutkan.

    (b) Penunjukannya itu tidak dimaksud oleh pembicara

    Dilalah manthuq ghairu sharikh yang penunjukannya tidak

    ditunjukkan oleh pembicara hanya terbatas pada suatu bentuk “dilalah

    isyarah” yang dalam pandangan hanafiah juga disebut dengan dilalah

    isyarah atau isyarah nashm

    b. Mafhum

    Dilalah mafhum adalah: Penunjukan lafaz yang tidak dibicarakan atas

    berlakunya hukum yang sisebutkan atau tidak berlakunya hukum yang disebutkan.

    Atau dalam definisi yang lebih sederhana: Apa yang dapat dipahami dari lafaz

    bukan menurut yang dibicarakan.10

    Contohnya, firman Allah dalam surat al-Isra‟ 23:

    اًل ْٕ ًَُٓف بَ م نِت ٴَبُ ًَُْف َْٓز ُْ َٴاَل تَ ًَُٓف قُفٍّ م نِت َكزِةًًف فَََل تَرُJangan kamu mengucapkan kepada kedua ibu bapakmu ucapan “uf” dan janganlah kamu membentak keduanya dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.

    10 Hartomo .Ushul Al-Fiqh Al-Islami.(Surabaya: Bumi Aksara, 1965), hlm.150.

  • 9

    Hukum yang tersurat dalam ayat tersebut adalah larangan mengucapkan

    kata-kata kasar atau ”uf” dan menghardik orang tua. Dari ayat yang disebutkan

    itu, juga dapat dipahami adanya ketentuan hukum yang tidak disebutkan (tersirat)

    dalam ayat tersebut, yaitu haramnya memukul orang tua dan perbuatan lain yang

    menyakiti orang tua.

    Dari pengertian di atas maka Mafhum dapat dibagi dua yaitu:

    a. Mafhum Muwafaqah

    Mafhum Muwafaqah adalah mafhum yang lafadznya bahwa hukum yang

    tidak disebutkan sama dengan hukum yang disebutka dalam lafadz. Dari segi

    kekuatan berlakunya pada apa yang tidak disebutkan maka mafhum muwafaqah

    terbagi dua yaitu:

    (1) Mafhum Aulawi

    Mafhum aulawi. Yaitu berlakuynya hukum pada suatu peristiwa yang tidak

    disebutkan itu lebih kuat atau lebih pantas dibandingkan dengan berlakunya

    hukum yang diberlakukan pada lafadz. Kekuatan itu ditinjau dari segi alasan

    berlakunya hukum pada manthuqnya.

    (2) Mafhum Musawi

    Mafhum musawi, yaitu berlakunya hukum pada suatu peristiwa yang tidak

    disebutkan dalam manthuq.

    b. Mafhum Mukhalafah

  • 10

    Yaitu mafhum yang lafazdnya menunjukan bahwa hukum yang tidak

    disebutkan berbeda dengan hukum yang disebutkan. Mafhum mukhalafah

    terbagi menjadi beberapa bentuk, yaitu:11

    (1)Mafhum sifat (pemahaman dengan sifat)

    (2)Mafhum Ghayah (pemahaman dengan batas akhir)

    (3)Mafhum syarat (pemahaman dengan syarat)

    (4)Mafhum „Adad (pemahaman dengan bilangan)

    (5)Mafhum Al-laqab (pemahaman dengan julukan)

    2. Cara memahami Illat Hukum

    1. Defenisi Illat

    Illat dalam bahasa arab berarti penyakit. Disebut demikian karena ia dapat

    merubah kondisi sesuatu dari keadaan asalnya,misalnya dari keadaan kuat

    menjadi lemah. Di dalam bahasa arab, kata illat sepadan dengan kata sebab.

    Dalam istilah ushul fikih, kata illat berarti sifat yang menandakan suatu hukum

    bukan dengannya, atau sifat yang jelas tetap dan mendapatkan keterangan dari

    dalil sebagai kaitan suatu hukum. Illat juga terkadang disebut sebagai makna

    hukum.

    Al- Illat ( yaitu sebab atau sifat yang sama antara asal dan far‟un) yaitu

    keadaan yang dijadikan dasar dari ketentuan hukum asal. Berdasarkan wujudnya

    keadaan itu pada cabang, maka disamakanlah cabang itu kepada asal mengenai

    hukumnya.12

    11 Ibid. hlm. 156. 12 Abdul Wahhab Khallaf, Masadir al-Tasyri al-Islami,(Kuwait: Matba‟ al-Nasir,1972),

    Cet. III; hlm. 25.

  • 11

    2. Syarat-Syarat Illat

    Untuk illat hukum dapat berlaku dapat diperlukan beberapa syarat yang

    harus dipenuhi, di antaranya yaitu:13

    a. Illat suatu hukum haruslah jelas dan tidak samar-samar, seperti

    misalnya sifat memabukkan pada pengharaman arak, sifat tersebut

    adalah nyata sehingga segala minuman yang memabukkan

    dikategorikan sebagai arak.

    b. Illat suatu hukum haruslah tetap, yaitu tidak berubah oleh kondisi

    pelaku, waktu atau tempat.

    c. Illat suatu hukum tidak berlaku terbatas pada tempat hukum itu

    sendiri.

    d. Illat suatu hukum haruslah pasti, baik ditunjukkan dalil secara qhat‟I

    maupun zanni.

    e. Illat suatu hukum haruslah bersifat konstan, yaitu menunjukkan

    keberadaan hukum yang dikandungannya di saat ia juga berada.

    3. Metode Menetapkan Illat

    Tidak semua hukum syar‟i memiliki illat dalam penetapannya, demikian

    pula tidak semua hukum syar‟i yang memiliki illat dapat diketahui secara mudah

    dan langsung, sehingga dibutuhkan metode yang tepat untuk menetapkan illat

    suatu hukum syar‟i.

    Para ulama ushil fiqh menjelaskan metode –metode penetapan Illat

    hukum, yaitu:

    13 Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Gazali, al-Mustasfa min „Ilmil Usul, (Medina: Islamic University), hlm. 703-705.

  • 12

    a) Penetapan secara nash atau tekstual

    Jadi apabila nash dalam Al-Qur‟an dan sunnah telah menunjukkan

    bahwa illat hukum adalah sifat ini (misalnya) maka sifat itu adalah illat

    berdasarkan nash dan disebut illat menunjukkan bahwa sifat itu sebagai illat

    terkandung yang telah di nash. Dan qiyas atas dasar itu, pada hakikatnya

    adalah menerapkan nash. Nash yang menunjukkan bahwa sifat itu sebagai

    illat terkandung secara isyarat dan tidak jelas.

    Jadi secara jelas yaitu adalah lafal nash kepada keillatan menurut

    susunan bahasa. seperti yang terdapat dalam nash illat begini, atau sebab

    begini, atau karena begini. Apabila lafal yang menunujukkan atas keillatan

    dalam nash itu tidak mencakup selain yang jelas dan pasti.

    b) Ijma‟

    Ijma‟ adalah, Apabila suatu masalah disepakati hukumnya oleh para

    ulama dimasa itu.

    c) Isyarat dalil

    Salah satu firman Allah dalam Al-Qur‟an surah Albaqarah ayat 233

    Sebagai berikut:

    ِّفِۚ ُِيَّ ثِٱۡلوَعُۡس َّكِۡسَْتُ ُِيَّ ُۥ زِشۡقُ َ ِْد لَ ْۡلُ عَلَى ٱۡلَو َّ “dan kewajiban ayah memberikan makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma‟ruf”14

    Dipahami melalui dalil di atas bahwa nafkah dan pakaian ibu

    merupakan tanggung jawab suami. Namun dipahami dari isyarat dalil,

    bahwa ayah saja yang berkewajiban memberikan nafkah kepada anaknya

    14 Departemen Agama RI. Al-Qur‟an dan Terjemahannya, (Semarang: PT. Karya Toha

    Putra, 2002), hlm.

  • 13

    karena anaknya itu adalah anaknya sendiri. Kalau ayah mengambil

    mengambil atau membinasakan harta anaknya, maka si ayah todak dituntut

    mengganti, karena harta tersebut adalah harta anaknya sendiri.

    d) Al-munasabah

    Kata al-Munasabah berarti kesesuaian. Yang dimaksud dengan

    metode ini adalah penetapan illat hukum berdasar pada kesesuaiannya

    dengan akal pikiran sejauh terbebas dari penghalang.15 Namun

    dimaksudkan dalam pembahasan disini yakni sifat nyata yang terdapat

    pada suatu hukum, dapat diukur dan dapat dinalar, merupakan tujuan yang

    dikandung hukum itu, yaitu berupa pencapaian terhadap suatu

    kemaslahatan atau penolakan terhadap kemudharatan.

    e) Al-dawran

    Secara bahasa al-Dawran adalah berarti perputaran. Sedangkan

    sebagian ulama menamakannya al-Tardu wal „aksu atau kepastian dan

    kebalikan.Yang dimaksud dengan metode al-Dawran dalam penetapan

    illat hukum adalah penunujukan illat berdasarkan pada perputaran hukum

    dengan sifat yang dikandungnya bahkan menjadi sebabnya. Sifat yang

    selalu ada secara pasti bersama dengan suatu hukum syar‟i sehingga jika ia

    tidak ada maka hukum pun tidak berlaku. Menurut Jumhur ulama usul

    fiqh, kepastian illat hukum yang ditetapkan menurut metode ini adalah

    15 Muhammad bin Ali al-Syaukani, Irsyad Al Fuhul ila Tahqiqil Haqqi min „Imil Ushul,

    jilid 2 (Kairo: Maktaba‟atul Madani, 1992), Cet. I, hlm. 182.

  • 14

    bersifat zanni, sedangkan menurut sebagian kelompok sebagian

    Mu‟tazilah, kepastiannya adalah bersifat qat‟i atau pasti.16

    f) Al-sabru Wa al Taqsin

    Al-Sabru dalam bahasa arab berarti pengujian, sedangkan al Taqsin

    berarti pembagian. Pengujian seluruh sifat yang ada dapat memakai

    metode mulazamah „aqliyah, yaitu pemustahilan akal pikiran terhadap

    sesuatu yang bertentangan dengan perkara yang seharusnya, atau metode

    tanqihul manath menurut Imam al-Razi, yaitu menegaskan perbedaan-

    perbedaan antara hukum asal dan hukum cabang kecuali sifat yang

    dimiliki bersama oleh keduanya dan memiliki pengaruh yang sesuai

    dengan penetapan hukum.

    4. Pemahaman terhadap Maslahat

    Secara terminologi, terdapat bebarapa definisi maslahat yang

    dikemukakan ulama ushul fiqh, tetapi seluruhnya mengandung esensi yang sama.

    Menurut Imam al-Ghazali pada prinsipnya maslahat adalah mengambil manfaat

    dan menolak kemadharatan dalam rangka memelihara tujuan syara‟.

    Maslahat menurut para ahli ushul fiqh dapat dibagai menurut sudut

    pandang tertentu. Dilihat dari segi kualitas dan kepentingan kemaslahatan itu, para

    ahli ushul fiqh membaginya kepada tiga macam, yaitu:

    (a) Maslahat al-Dharuriyah, yaitu kemaslahatan yang berhubungan dengan

    kebutuhan pokok umat manusia di dunia dan di akhirat. Kemaslahatan

    tersebut adalah memelihara agama, memelihara jiwa, memelihara akal,

    16 Ali bin Muhammad al-Amidi, al-Ihkam fi Usulil Ahkam, Juz 3 (Beirut: al- Maktabah

    al-Islami, 1402H), Cet. 2, hlm. 299.

  • 15

    memelihara keturunan dan memelihara harta. Kelima kemaslahatan ini

    disebut dengan al-mashalih al-khamsah.

    (b) Maslahah al-Jajiyah, yaitu kemaslahatan yang dibutuhkan dalam

    menyempurnakan kemaslahatan pokok (mendasar) yang berbentuk

    keringanan untuk mempertaruhkan dan memelihara kebutuhan mendasar

    manusia. Kemaslahatan ini dapat menghindarkan manusia dari kesulitan

    dalam hidupnya, misalnya adanya rukhsah dalam shalat dan jual beli pesanan

    (bay al-salam). Tidak terpeliharanya kelompok ini tidak mengancam

    eksistensi kelima pokok, tetapi hanya akan menimbulkan kesulitan bagi

    mukallaf.

    (c) Maslahah al-Tahsiniyyah, yaitu kemaslahatan yang sifatnya pelengkap

    berupa keleluasaan yang dapat melengkapi kemaslahatan sebelumnya.

    Kemaslahatan dalam kelompok ini menunjang peningkatan martabat

    seseorang dalam masyarakat dan di hadapan Tuhannya, sesuai dengan

    kepatutan, misalnya dianjurkan untuk melakukan ibadah-ibadah sunat.

    Pembedaan ketiga kemaslahatan ini untuk menentukan prioritas dalam

    mengambil suatu kemaslahatan. Kemaslahatan dalam peringkat dharuriyyat harus

    lebih didahulukan daripada kemaslahatan dalam peringkat hajiyyah dan peringkat

    tahsiniyah. Kemaslahatan dalam peringkat hajiyyat harus lebih didahulukan

    daripada kemaslahatan dalam peringkat tahsiniyyat. Dilihat dari segi keberadaan

    maslahat menurut syara‟ terbagai kepada:

    (a) Maslahah al-Mu‟tabarah, yaitu kemaslahatan yang didukung oleh syara‟.

    Maksudnya, adanya dalil khusus yang menjadi dasar bentuk dan jenis

  • 16

    kemaslahatan tersebut. Misalnya tentang hukuman qishash yang tercantum di

    dalam al-Qur‟an surat al-Baqarah ayat 178 dan pembebasan hukuman

    terhadap pencuri yang terdapat dalam al-Qur‟an surat al-Ma‟idah ayat 38.

    Kemaslahatan mu‟tabarah dapat dijadikan landasan hukum.

    (b) Maslahah al-Mulghah, yaitu kemaslahatan yang keberadaannya ditolak oleh

    syara‟, karena bertentangan dengan ketentuan syara‟. Misalnya fatwa al-Laits

    ibn Sa‟ad yang menetapkan hukuman puasa dua bulan berturut-turut bagi

    seorang raja (penguasa Spanyol) yang melakukan persetubuhan dengan

    istrinya di siang hari bulan Ramadhan. Menurut al-Laits ibn Sa‟ad, bagi

    seorang raja, keharusan memerdekakan budak sebagai sanksi hukum tidak

    akan mampu memberikan dampak positif sehingga ia tidak menghormati

    bulan Ramadhan dan menjalankan ibadah puasa. Hal ini karena mudahnya

    seorang raja memerdekakan budak karena kondisi kehidupannya yang serba

    mewah. Karena itu keharusan berpuasa sebagai sanksi pada urutan kedua

    sebagaimana yang ditegaskan oleh nash harus dilakukan pelaksanaannya

    karena dapat mewujudkan kemaslahatan sebagai tujuan hukum. Hal ini

    menjadi sebab berkembangnya pendapat tentang penerapan hukum secara

    berurutan (tertib) atau takhyir (memilih) dari ketetapan hukuman tersebut

    (c) Maslahah al-Mursalah, yaitu kemaslahatan yang keberadaannya tidak

    didukung syara‟ dan tidak pula dibatalkan atau ditolak oleh syara‟ secara

    rinci. Maslahat ini dibutuhkan oleh situasi akibat ada hal-hal yang mendatang

    sesudah putus wahyu dan syara‟ tidak menetapkan hukumnya dan tidak pula

    membatalkannya, ini dinamakan maslahat umum yang tidak diatur dalam

  • 17

    nash. Misalnya membuat penjara, peraturan lalu lintas, pencatatan

    perkawinan sehingga apabila perkawinan tidak dicatatkan maka tidak

    diterima gugatan perkawinan tersebut.

    E. Tinjauan Pustaka

    Setelah peneliti mengadakan suatu kajian kepustakaan peneliti akhirnya

    menemukan beberapa karya tulis hasil penelitian yang memiliki bahasan yang

    hampir sama dengan yang akan peneliti teliti. Penelitian-penelitian tersebut antara

    lain adalah:

    Pertama, penelitian yang disusun oleh Rini Wulandari (Mahasiswa di

    Jurusan Al-Ahwal al-Syaksiyyah Fakultas Syariah UIN Raden Intan Lampung)

    mengatakan dalam skripsinya yang berjudul “Status Nasab Anak Di Luar Nikah

    menurut Mazhab Hanafi dan implikasinya terhadap anak-anak”, hasil penelitian

    adalah menurut Mazhab Hanafi bahwa anak di luar nikah adalah anak yang lahir

    dari kurang enam bulan setelah adanya akad nikah. Adapun status anak di luar

    nikah adalah sama dengan anak yang lahir di dalam perkawinan yang sah, karena

    Mazhab Hanafi menganggap adanya nasab secara hakiki, maka nasab hakiki

    kepada bapak biologisnya adalah tsabit, sehingga anak tersebut diharamkan untuk

    dinikahi bapak biologisnya.17

    Kedua, penelitian yang disusun oleh Ahmad Nur Khozin (Mahasiswa di

    Jurusan Hukum Keluarga Islam Fakultas Syariah IAIN Purwokerto) mengatakan

    dalam skripsinya yang berjudul “Kedudukan Anak di Luar Nikah Menurut MUI

    (Majelis Ulama Indonesia) Nomor 11 Tahun 2012”, hasil penelitiannya adalah

    17 Rini Wulandari, Status Nasab Anak di Luar Nikah Menurut Mazhab Hanafi dan Dampak Implikasinya terhadap Anak, (Lampung: Skripsi, 2018).

  • 18

    hanya menjelaskan status anak di luar nikah menurut Fatwa MUI nomor 11 Tahun

    2012 dan Dari penelitian ini juga disimpulkan bahwasanya pencatatan perkawinan

    adalah merupakan kewajiban administrasi, anak yang dilahirkan dari perkawinan

    sirri disebut anak luar kawin, Anak yang lahir harus dilindungi, karena dalam

    hukum Islam anak lahir dalam keadaan bersih dan tidak menanggung beban dosa

    orang tuanya, sekalipun ia dilahirkan sebagai akibat perbuatan zina, bagi pezina

    atau ayah biologisnya berkewajiban mengayomi, memberikan pendidikan,

    memberi nafkah, menjamin kesehatan, dan menjamin kelangsungan hidup anak.,

    namun tidak menjelaskan kedudukan anak di luar nikah menurut Mazhab Syafi‟i

    dan Keputusan Mahkamah Konstitusi.18

    Ketiga, penelitian yang disusun oleh M. Anshari mengatakan dalam

    jurnalnya yang berjudul “Kedudukan Anak dalam Persepektif Hukum Islam dan

    Hukum Nasional”, hasil penelitianya menjelaskan tentang kedudukan anak dalam

    persepektif hukum Islam dan hukum nasional namun tidak menjelaskan

    kedudukan anak di luar nikah menurut mazhab Syafi‟i dan keputusan Mahkamah

    Konstitusi.19

    F. Metode Penelitian

    1. Pendekatan Penelitian

    Berdasarkan judul yang ingin diteliti maka jenis penelitian adalah

    penelitian kualitatif dengan teknik analisis yuridis normatif.

    Pendekatan yuridis normatif adalah pendekatan yang dilakukan

    berdasarkan bahan hukum utama dengan cara menelaah teori-teori, konsep-

    18 Ahmad Nur Khozin, Kedudukan Anak di Luar Nikah menurut Fatwa MUI Nomor 11 Tahun 2012, (Purwokerto: Skripsi, 2016).

    19 M. Anshari, Kedudukan Anak dalam Persepektif Hukum Islam dan Nasional, (2014).

  • 19

    konsep, asas-asas hukum serta peraturan perundang-undangan yang berhubungan

    dengan penelitian ini. Pendekatan ini dikenal pula dengan pendekatan

    kepustakaan, yakni dengan mempelajari buku-buku, peraturan perundang-

    undangan dan dokumen lain yang berhubungan dengan penelitian ini.20

    Penelitian deskriptif bertujuan menggambarkan secara sistematik dan

    akurat fakta dan karakteristik mengenai populasi atau mengenai bidang tertentu.

    Penelitian deskriptif melakukan analisis hanya sampai pada taraf deskripsi, yaitu

    menganalisis dan menyajikan fakta secara sistematik sehingga dapat lebih mudah

    untuk dipahami dan disimpulkan.21

    2. Jenis dan Sifat Penelitian

    Jenis Penelitian

    Dilihat dari jenisnya, penelitian ini termasuk dalam penelitian

    kepustakaan (library research). Penelitian kepustakaan (library reserch)

    adalah pengumpulan data dan informasi dengan bantuan bermacam-macam

    materi yang terdapat di ruang perpustakaan, yaitu tentang data-data tertulis

    seperti buku, Al-qur‟an, hadis, dll.

    Sifat Penelitian

    Penelitian ini bersifat dekriptif analitis yaitu suatu penelitian yang meliputi

    proses pengumpulan data, penyusunan, dan penjelasan atas data. Dalam penelitian

    ini akan dijelaskan tentang konsep status nasab anak di luar nikah perspektif

    20 Husaini Usman, Metodologi Penelitian Sosial, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2008), hlm.

    129. 21 Ibid, hlm. 5.

  • 20

    Mazhab Syafi‟i dan putusan Mahkamah Konstitusi untuk kemudian

    membandingkan pemikiran keduanya.

    3. Jenis dan Sumber Data

    Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data kualitatif, yaitu

    jenis data yang menguraikan beberapa pendapat, konsep, atau teori yang

    menggambarkan atau menyajikan masalah yang berkaitan dengan Kedudukan

    Nasab Anak Di luar Nikah menurut pandangan Mazhab Syafi‟i dengan Putusan

    Mahkamah Konstitusi.

    sumber data adalah tempat sumber dari mana data itu diperoleh. Adapun

    sumber dalam penelitian ini terdiri dari bahan hukum primer dan bahan hukum

    sekunder, yaitu sebagai berikut:

    1. Bahan hukum primer adalah data pokok penulisan yang diambil dari

    kitab-kitab Mazhab Syafi‟i, Putusan Mahkamah konstitusi.

    2. Bahan hukum skunder adalah data yang tidak berkaitan langsung dengan

    sumbernya yang asli. Dengan demikian data sekunder adalah sebagai

    pelengkap. Pada data ini penulis berusaha mencari sumber lain atau karya-

    karya dan buku-buku lainnya yang berhubungan dan yang ada kaitannya

    dengan masalah yang diteliti.

    4. Metode Pengumpulan Data

    Metode pengumpulan data dalam penulisan proposal skripsi ini dilakukan

    dengan cara riset perpustakaan (library research) yaitu riset yang digunakan

    dengan membaca buku, dan sumber data lainnya yang berhubungan dengan

    penelitian ini. Dalam riset perpustakaan ini pengumpulan data yang ditemukan

  • 21

    dari berbagai macam buku yang ada hubungannya dengan hukum islam sesuai

    dengan judul penelitian.

    5. Metode Analisis Data

    Di dalam melakukan penelitian, penulis menggunakan metode komparasi

    (perbandingan). Data-data yang terkumpul di analisis dengan cara

    membandingkan di antara keduanya. Metode komparatif adalah metode

    membandingkan satu pendapat dengan pendapat lain, atau penelitian yang

    dilakukan dengan mengkaji beberapa fenomena-fenomena sosial, sehingga

    ditemukan beberapa persamaan dan perbedaan pendapat.22

    6. Sistematika Penulisan

    Untuk lebih mudah dalam memahami isi skripsi ini agar tidak memperluas

    objek kajian dalam penelitian, maka perlu adanya sistematika penulisan. Skripsi

    ini merujuk pada teknik penulisan yang disepakati pada Fakultas Syariah UIN

    STS Jambi. Penelitian ini terbagi kepda lima bab, di setiap babnya terdiri dari sub-

    sub bab. Masing-masing bab membahas permasalahan-permasalahan tersendiri,

    tetapi tetap saling berkaitan antara sub bab dengan bab yang berikutnya. Adapun

    sistematika penulisannya sebagai berikut:

    Bab I, merupakan bab pendahuluan yang mana dalam bab ini

    memaparkan, latar belakang masalah, rumusan masalah. Batasan masalah, tujuan

    dan kegunaan penelitian, kerangka teori, tinjauan pustaka, dan metode penelitian.

    Bab II, berisikan tentang biografi Imam Syafi‟i dan sejarah terbentuknya

    Mahkamah Konstitusi.

    22 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian (Jakarta: Rineka Cipta, 2010), hlm. 6.

  • 22

    Bab III, gambaran umum tentang, pengertian anak di luar nikah,

    kedudukan anak di luar nikah, dan hak anak di luar nikah.

    Bab IV, pembahasan dan hasil penelitian yaitu memaparkan bagaimana

    pandangan dan argumentasi mazhab Syafi‟i tentang nasab anak di luar nikah, dan

    bagaimana argumentasi mahkamah konstitusi tentang nasab anak di luar nikah.

    Bab V, merupakan penutup, berisikan tentang kesimpulan akhir dari

    penelitian dan saran penulis.

  • 23

    BAB II

    BIOGRAFI IMAM SYAFI’I DAN IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH

    A. Imam Syafi’i

    1. Biografi Imam Syafi’i

    Nama lengkap Imam Syafi‟i adalah Muhammad ibn Idris ibn al-„abbas ibn

    Utsman ibn Syafi‟ ibn al-Sa‟ib ibn Ubaid ibn Abd Yazid ibn Hasyim ibn Abdal-

    Muthalib ibn Abd Manaf.23 Lahir di Ghazzah , Syam (masuk wilayah Palestina)

    pada Tahun 150 H/767 M. kemudian dibawa ibunya ke Makkah, yang tidak lain

    merupakan tanah leluhurnya. Syafi‟i keciltumbuh berkembang di kota itu sebagai

    seorang yatim dalam pangkuan ibunya. Semasa hidupnya, ibu Imam Syafi‟i

    adalah seorang ahli ibadah, sangat cerdas, dan dikenal sebagai seorang yang

    berbudi luhur.24

    Imam Syafi‟i dengan usaha ibunya telah dapat menghafal Al-Qur‟an

    dalam umur yang masih sangat muda (9 Tahun) dan umur 10 tahun sudah hafal

    kitab Al-muwattha‟ karya Imam Malik. Kemudian ia memusatkan untuk

    menghafal Hadist. Imam Syafi‟idengan jalan mendengarkan para gurunya,

    kemudian mencatatnya. Di samping itu ia juga mendalami bahasa Arab untuk

    menghindari pengaruh bahasa „Ajamiyah yang sedang melanda bahasa Arab pada

    saat itu, untuk pergi ke daerah Huzail untuk belajar bahasa selama sepuluh tahun.

    23 Syaikh Ahmad Farid, Min A;lam As-Salaf, Terjemahan. Masturi Irhamdan Asmu‟I

    Taman, “60 Biografi Ulama Salaf”, (Jakarta: Pustaka Al-kausar, 2006) hlm. 355. 24

    Wahbah Zuhaili, Fiqih Imam Syafi‟i 1, terj. Muhammad Afifi, Abdul Hafiz, (Jakarta: Almahira, 2010), hlm. 6

  • 24

    Di samping itu ia mendalami bahasa Arab untuk menjauhkan diri dari

    pengaruh „Ajamiyah yang sedang melanda bahasa Arab pada masa itu. Ia pergi ke

    Kabilah Huzail yang tinggal di pedusunan untuk mempelajari bahasa Arab yang

    fasih. Sepuluh Tahun lamanya Imam Syafi‟i tinggal di Badiyah itu, mempelajari

    Syair, sastra dan sejarah. Ia terkenal ahli di bidang syair yang digubah golongan

    Huzail itu, amat indah susunan bahasanya. Di sana pula ia belajar memanah dan

    mahir dalam bermain panah. Dalam masa itu Imam Syafi‟i menghafal Al-Qur‟an,

    menghafal hadist, mempelajari sastra Arab dan memahirkan diri dalam

    mengendarai kuda dan meneliti penduduk-penduduk Badiyah dan penduduk-

    penduduk kota.25

    Imam Syafi‟i belajar pada ulama fiqh dan ulama hadist yang ada di

    Makkah, sehingga ia terkenal dalam bidang fiqih dan memperoleh kedudukan

    yang tinggi dalam bidang itu. Gurunya Muslim Khalid Al-Zanji, menganjurkan

    supaya Imam Syafi‟i bertindak sebagai mufti. Sungguh pun ia telah memperoleh

    kedudukan yang tinggi itu namun ia terus juga mencari ilmu. Karena baginya ilmu

    bagaikan lautan yang tiada bertepi.26

    Sampai padanya kabar bahwa di Madinah ada seorang ulama besar yaitu

    Malik bin Anas, yang memang pada masa itu terkenal dimana-mana dan

    mempunyai kedudukan tinggi dalam bidang ilmu hadist. Imam Syafi‟i ingin pergi

    belajar kepadanya, akan tetapi sebelum berangkat ke Madinah ia lebih dahulu

    menghafal Al-muwattha‟ karya Imam Malik yang Sudah berkembang pada masa

    25 Syaikh Ahmad Farid, Min A;lam As-Salaf, Terjemahan. Masturi Irhamdan Asmu‟I

    Taman, “60 Biografi Ulama Salaf”, (Jakarta: Pustaka Al-kausar, 2006) hlm.357-360 26

    Jaih Mubarok, Modifikasi Hukum Islam Studi tentang Qaul Qadim dan Qaul Jadid, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 28.

  • 25

    itu. Ia berangkat ke Madinah untuk belajar kepada Imam Malik dengan membawa

    surat dari gubernur Makkah. Mulai ketika itu ia memusatkan perhatian untuk

    mendalami fiqih di samping mempelajari Al-muwattha‟. Imam Syafi‟i

    mengadakah mudarasah dengan Malik dalam masalah-masalah yang difatwakan

    Malik. Di waktu Imam Malik meninggal tahun 179 H, Imam Syafi‟i telah

    mencapai usian dewasa dan matang.27

    Di antara hal-hal yang secara serius diperhatikan imam Syafi‟i adalah

    tentang metode pemahaman Al-Qur‟an dan sunnah atau metode istinbath (Ushul

    Fikih). Meskipun para imam mujtahid sebelumnya dalam berijtihad terikat dengan

    kaidah-kaidahnya, namum belum ada kaidah-kaidah yamh tersusum dalam sebuah

    buku sebagai suatu disiplin ilmu yang dapat dipedomani oleh para peminat hukum

    Islam. Dalam kondisi demikianlah Imam Syafi‟i tampil berperan menyusun

    sebuah buku ushul Fiqih. Idenya didukung pula dengan adanya permintaan dari

    seorang ahli hadist bernama Abdurrahman bin Mahdi (w. 198 H) di Baghdad agar

    Imam Syafi‟i menyusun metodelogi istinbath.28

    Imam Syafi‟i di sampimg mengusai bidang al-Kitab, ilmu balaghah, ilmu

    fiqih, ilmu berdebat juga dikenal sebagai muhaddist. Orang-orang memberikan

    gelar kepadanya Nahir al-Hadist. Imam Sufyan ibn „Uyainah bila didatangi

    seseorang yang meminta fatwa, beliau terus memerintahkannya agar meminta

    fatwa kepada Imam Syafi‟i. ujarnyabertanyalah kepda pemuda itu.29

    27 Hasbi Ash Shiddieqy, Pokok-Pokok pegangan Imam Madzhab, (Semarang: PT Pustaka

    Rizki Putra, 1997), hlm. 480-481. 28 Jaih Mubarok, Modifikasi Hukum Islam Studi tentang Qaul Qadim dan Qaul Jadid,

    (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), hlm 29. 29

    Munzier Suparta, Ilmu Hadis, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, Cet 4, 2003), hlm. 233.

  • 26

    Pada tahun 195 H. beliau pergi ke Baghdad selama dua tahun, untuk

    mengambil ilmu dan pendapat dari murid-murid Imam Abu Hanifah,

    bermunadadharah dan berdebat dengan mereka, kemudian kembali ke Makkah.

    Pada tahun 198 H, beliau pergi lagi ke Baghdad hanya sebulan lamanya, dan

    akhirnya pada tahun 199 H, beliau pergi ke Mesir dan memilih sebagai kota

    terakhir sebagai tempat tinggalnya untuk mengajarkan Al-Qur‟an dan Sunnah

    kepada khalayak ramai. Jika kumpulam Fatwa fatwa beliau di Baghdad disebut

    dengan qaul qadim, maka kumpulan fatwa beliau selama di Mesir disebut dengan

    qaul jadid.30

    Imam Ahmad bin Hanbal berkata: “Semua masalah kami tidak pernah

    pernah terselesaikan oleh pengikut Abu Hanifah, sampai akhirnya kami bertemu

    dengan Imam Syafi‟i sungguh, dia orang yang paling paham dengan kitabullah

    dan As-sunnah.” Maksud dari kata-kata itu ialah bahwa para ahli hadist dan para

    ahli fiqih seakan menjadi murid Imam Syafi‟i, sebab keagungan Mazhabnya,

    kefasihan penjelasannya, kekuatan hujjahnya, dan keseganan yang ditunjukan

    baik oleh mereka yang sependapat maupun orang yang berbeda pendapatnya.

    Imam Ahmad bin Hanbal juga berkata: “Imam Syafi‟i bagai mentari bagi dunia,

    dan kekuatan bagi manusia. Lihatlah, apakah ada orang yang mampu

    menggantikan posisinya.31

    2. Latar Belakang Sosial Dan Politik

    Imam Syafi‟i pada msiyah. Seluruh kehidupannya berlangsung pada masa

    dinasti Abbasiyah. Seluruh kehidupannya berlangsung pada saat para penguasa

    30 Ibid, hlm. 232.

    31 Wahbah Zuhaili, Fiqih Imam Syafi‟i 1, terj. Muhammad Afifi, Abdul Hafiz, (Jakarta:

    Almahira, 2010), hlm. 10.

  • 27

    Abbas memerintah wilayah-wilayah negeri Islam. Saat itu adalah saat di mana

    masyarakat Islam sedang berada di puncak keemasannya. Kekuasaan bani Abbas

    semakin terbentang luas dan kehidupan umat Islam semakin maju dan jaya. Masa

    itu memiliki berbagai macam keistimewaan yang memiliki pengaruh besar bagi

    perkembangan ilmu pengetahuan dan kebangkitan pemikiran Islam. Transformasi

    ilmu dari filsafat yunani dan sastra Persia serta ilmu bangsa India ke masyarakat

    muslim juga sedang semarak.32

    Kota-kota Islam di masa itu sedikit demi sedikit mulai di masuki unsur-

    unsur yang beraneka ragam, mulai dari Persia, Romawi, India dan Nabath.

    Dahulu, kota Baghdad adalah pusat pemerintahan sekaligus pusat peradaban

    Islam. Kota tersebut di penuhi oleh masyarakat yang terdiri dari berbagai jenis

    bangsa. Kaum muslim dari berbagai penjuru dunia berduyun-duyun berdatangan

    ke Baghdad dari berbagai pelosok negeri Islam. Tentunya, kedatangan mereka

    sekaligus membawa kebudayaan bangsanya dalam jiwa dan perasaannya yang

    dalam.33

    Dengan kondisi masyarakat yang beragam ini tentunya akan banyak

    timbul aneka problema social. Oleh karena itu, di masyarakat Baghdad banyak

    muncul fenomena-fenomena yang beraneka ragam yang di sebabkan oleh

    interaksi social antara sesame masyarakatnya di mana masing-masing ras

    mempunyai kekhususan ras-ras tersebut. Setiap permasalahan yang timbul dari

    32 Muhammad Abu Zahrah, Asy-Syafi‟i Hayatuhu wa Ashuru wa Fikruhu Arauhu wa

    Fiqhuhu, Terj. Abdul Syukur dan Ahmad rivai Utsman, “Imam al-Syafi‟i Biografi dan Pemikirannya dalam Masalah Akidah, Politik, dan Fiqih”, (Jakarta: PT Lentera Basritama, 2005), hlm. 84.

    33 Ibid., hlm. 84

  • 28

    interaksi antar masyarakat tersebut tentunya akan diambil ketentuan hukumnya

    dari syariat. Sebab, syariat Islam adalah syariat yang bersifat umum.34

    Syariat tersebut akan memberikan muatan hukum bagi setiap

    permasalahan yang terjadi, baik permasalahan itu masuk dalam kategori

    permasalahan ringan maupun berat. Pengamatan terhadap permasalahan yang

    terjadi akan memperluas cakrawala pemikiran orang faqih sehingga ia dapat

    menemukan penyelesaian (solusi hukum) bagi masalah-masalah yang terjadi.

    Selain itu, sang faqih akan dapat memperluas medan pembahasan dengan

    menghadirkan permasalahan yang mungkin terjadi, kemudian membrikan kaidah-

    kaidah umum untuk masalah-masalah furu‟ yang berbeda.35

    3. Guru-Guru Imam Syafi’i

    Imam Syafi‟i menerima ilmu fiqih dan hadist dari banyak guru yang

    masing-masing mempunyai manhaj serta tinggal di tempat berjauhan antara satu

    dan lainnya. Imam Syafi‟i menerima ilmu dari ulama Makkah, ulama Madinah,

    ulama Irak dan ulama Yaman.

    Ulama Makkah yang menjadi guru Imam Syafi‟i antara lain: Sufyan ibnu

    Uyainah, Muslim ibn khalid Az-zamzi, Said ibn Salim al-Kaddah, Dawud ibn

    abd-Rahman al-Atthar, dan Abdul Hamid ibn Abdul Aziz ibn Abi Dawud.36

    Ulama Madinah yang menjadi gurunya, ialah: Malik ibn Annas, Ibrahim

    ibn Saad al-Anshari, Abdul Aziz ibn Muhammad ad-Darawardi, Ibrahim ibn Abi

    34 Ibid., hlm. 85 35

    Ibid., hlm. 86 36

    Ali Jum‟ah Muhammad, Al-Madkhol Ila Mazahib al-Arba‟ah, (Kairo: Dar As-Salam, Cet. II, 1428 H- 2008 M.), hlm. 21

  • 29

    Yahya al-Aslami, Muhammad ibn Said Ibn Abi Fuadik, Abdullah ibn Nafi‟ teman

    Ibnu Abi Za‟ab.37

    Ulama Baghdad yang menjadi gurunya, ialah: Waki‟ ibn Jarrah, Abdul

    Wahab ibn Abdul Majid Ats-Tsaqafi, Abu Usamah Hammad ibn Usamah al-Kufi,

    Ismail ibn Ulayah. Dia juga menerima ilmu dari Muhammad ibn Al-Hasan yaitu

    dengan mempelajari kitab-kitabnya yang didengar langsung daripadanya.38

    4. Dasar-Dasar Imam Syafi’i

    Dasar mazhabnya: Al-Qur‟an, Sunnah, Ijma‟, dan Qiyas. Beliau tidak

    mengambil istihsan sebagai dasar mazhabnya, menolak maslahah mursalah dan

    perbuatan penduduk Madinah. Imam Syafi‟i mengatakan, “Barangsiapa yang

    telah melakukan istihsan maka ia telah menciptakan syariat”. Penduduk Baghdad

    mengatakan, “Imam Syafi‟i adalah nashirusunnah, Kitab Al-hujjah yang

    merupakan mazhab lama diriwayatkan oleh empat imam Irak: Ahmad bin

    Hambal, Abu tsaur, Za‟farani, Al-Karabisyi dari Imam Syafi‟i. Sementara Kitab

    Al-umm sebagai mazhab yang baru diriwayatkan oleh pengikutnya di Mesir: Al-

    Muzani, Al-Buwaithi, Ar-Rabi‟ Jizii bin Sulaiman. Imam Syafi‟i mengatakan

    tentang mazhabnya, “Jika sebuah hadist shahih bertentangan dengan perkataanku,

    maka ia adalah mazhabku, dan buanglah perkataanku di belakang tembok”.

    5. Karya-Karya Imam Syafi’i

    Imam Syafi‟i banyak menulis kitab-kitab. Sebagiannya ditulis sendiri lalu

    dibacakannya kepada orang-orang, atau mereka yang membacakan kepadanya.

    37 Hasbi Ash Shiddieqy, Pokok-Pokok pegangan Imam Madzhab, (Semarang: PT Pustaka

    Rizki Putra, 1997), hlm.480-481 38

    Ali Jum‟ah Muhammad, Al-Madkhol Ila Mazahib al-Arba‟ah, (Kairo: Dar As-Salam, Cet. II, 1428 H- 2008 M.), hlm. 21

  • 30

    Sebagian didektekannya. Sangat sulit untuk menghitung kitab-kitabnya, karena

    banyak yang sudah hilang. Ia menulis di Makkah, Baghdad, dan Mesir.39 Buku-

    bukunya yang ada di tangan para ulama saat ini adalah yang ditulisnya di Mesir.

    Diantara kitabnya yang paling terkenal dan banyak memuat pemikiran-pemikiran

    beliau adalah:

    1) Kitab al-Umm

    Dalam format kitab al-Umm yang dapat ditemui pada masa sekarang

    terdapat kitab-kitab lain yang dibukukan dalam satu kitabal-Umm diantaranya

    adalah: Al-Musnad, berisi sad Imam Syafi‟i dalam hadist-hadist Nabi dan juga

    untuk mengetahui ulama-ulama yang menjadi guru Imam Syafi‟i, Khilafu Malik,

    berisi bantahan-bantahanya terhadap Imam Malik gurunya, Al-Radd „Ala

    Muhammad Ibn Hasan, berisi pembelaanya terhadap madzhab ulama Madinah

    dari serangan Imam Muhammad Ibn Hasan, murid Abu Hanifah, al-khilafu Ali wa

    Ibn mas‟ud, yaitu kitab yang memuat pendapat yang berbeda antara pendapat Abu

    Hanifah dan ulama Irak dengan Ali bin Abi Thalib dan Abdullah Bin Mas‟ud,

    Sair al-Auza‟i, berisi pembelaanya atas Imam al-Auza‟i dari serangan abu Yusuf,

    Ikhtilaf al-Hadits, berisi keterangan dan penjelasan Imam Syafi‟i atas hadis-hadis

    yang tampak bertentangan, namun kitab ini juga ada yang tercetak sendiri, Jima‟

    al-„Ilmi, berisi pembelaan Imam Syafi‟i terhadap Sunnah Nabi SAW.

    2) Kita ar-Risalah

    Kitab Ar-Risalah adalah karya monumental Imam Syafi‟i yang dikenal

    sebagai kitab pertama dalam Ushul fiqih, didalamnya banyak membahas rumusan-

    39 Ar-Risalah Imam Syafi‟i, Terj. Misbah, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008), hlm. 8

  • 31

    rumusan yang berkaitan dengan ilmu hadis. Kitab ini merupakan karya Imam

    Syafi‟i atas permintaan Abdurrahman Bin Mahdi yang berkaitan dengan

    penjelasan makna-makna Al-Qur‟an, dan menghimpun beberapa khabar, ijma‟

    dan penjelasan tentang nasikh dan mansukh dalam Al-Qur‟an dan sunnah. Dan

    juga atas dorongan Ali bin Maldini agar Imam Syafi‟i memenuhi permintaan

    Abdurrahman bin Al-Mahdi.40 Atas permintaan dan dorongan itulah Imam Syafi‟i

    menulis Kitab Ar-Risalah ini.

    Menurut pendapat yang unggul dan dipilih oleh Ahmad Muhammad

    Syakir, kitab Ar-Risalah ini ditulis oleh Imam Syafi‟i pada saat beliau berada di

    Makkah. Menurut Fakhurrazi dalam manaqib Asy-Syafi‟i, kitab Ar-Risalah ini

    ditulis pada saat Imam Syafi‟i berada di Baghdad. Meskipun belum dapat

    dipastikan dimanakah Imam Syafi‟i menulis kitab ini, keduanya sama-sama

    memuat pengetahuan yang luas.41

    Imam Muhammad Abu Zahrah (w. 1394 H/ 1974 M) ahli hukum islam

    berkembangsaan Mesir, menyatakan buku iyu (Ar-Risalah) disusun ketika Imam

    Syafi‟i berada di Baghdad, sedangkan Abdurrahman bin Mahdi ketika itu berada

    di Makkah. Imam Syafi‟i menyebut bukunya dengan al-Kitab (Kitab atau Buku)

    atau Kitabi (kitabku), yang kemudian lebih dikenal dengan Ar-Risalah yang

    berarti “sepuncuk surat” karena buku itu merupakan surat Imam Syafi‟i kepada

    Abdurrahman Bin Mahdi. Kitab Ar-Risalah yang pertama ia susun dikenal dengan

    Ar-risalah al-Qadimah (Risalah Lama).42

    40 Ar-Risalah Imam Syafi‟i, terj. Misbah, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008), hlm. 13 41

    Ar-Risalah Imam Syafi‟i, terj. Misbah, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008), hlm. 14 42

    Syaikh Ahmad Farid, Min A;lam As-Salaf, Terjemahan. Masturi Irhamdan Asmu‟I Taman, “60 Biografi Ulama Salaf”, (Jakarta: Pustaka Al-kausar, 2006) hlm. 361.

  • 32

    Dinamakan demikian, karena didalamnya termuat pikiran Imam Syafi‟i

    sebelum pindah ke Mesir . Setelah sampai di Mesir, isinya disusun kembali dalam

    rangka penyempurnaan bahkan ada yang diubahnya, sehingga kemudian dikenal

    dengan istilah Ar-risalah al-Jadidah (Risalah Baru). Jumhur ulama ushul fiqih

    sepakat menyatakan bahwa kitab Ar-Risalah karya Imam Syafi‟i merupakan kitab

    pertama yang memuat masalah-masalah Ushul fiqih secara lebih sempurna dan

    sistematis. Oleh sebab itu, ia dikenal sebagai penyusun pertama ushul fiqih

    sebagai disiplin ilmu.43 Imam Syafi‟i wafat pada malam jum‟at dan dikebumikan

    setelah shalat Ashar hari itu, pada bulan Rajab 204 H. yang bertepatan pada

    tanggal 29 Rajab 204 H. atau 19 Januari 820 M.44

    B. Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah

    1. Biografi Ibnu Qayyim

    Nama lengkap Ibnu Qayyim al-Jauziyyah adalah Abu Abdillah

    Syamsuddin, Muhammad bin Abi Bakar bin Ayyub bin Sa‟ad bin Huraiz bin

    Makiy Zainudin az-Zar‟i ad-Dimasyqi al-Hambali. Adapun sebutan populer beliau

    adalah Ibnu Qayyim al-Jauziyyah. Ia lahir tepat pada tanggal 7 Shafar tahun 691

    H, atau pada tanggal 4 Februari 1292 M yaitu di Damaskus, Suriah.45 Beliau wafat

    pada malam Kamis, 13 Rajab ketika adzan Isya tahun 751 H. Dengan demikian,

    usianya genap 60 tahun. Ia dishalatkan di Masjid Jami‟ Umawi, selepas shalat

    Dzuhur, kemudian di Masjid Jami‟ Jarah. Ibnu Katsir berkata, “Penguburan

    43 Jaih Mubarok, Modifikasi Hukum Islam Studi tentang Qaul Qadim dan Qaul Jadid,

    (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 30. 44 Munzier Suparta, Ilmu Hadis, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, Cet 4, 2003), hlm.

    234. 45

    M. Ali Hasan, Perbandingan Mazhab, cet. 4, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 291.

  • 33

    jenazahnya sangat ramai, disaksikan oleh para qadhi‟, tokoh dan orang-orang

    shalih baik dari kalangan elit maupun awwam. Orang-orang berdesakan untuk

    memikul kerandanya”. Ia dimakamkan di Damaskus di Pemakaman Bab Shagir,

    berdampingan dengan ibunya.

    Beliau merupakan anak dari Abi Bakar bin Ayyub bin Sa‟ad. Buku-buku

    biografi sepakat bahwa ia lahir 691 H. Shafadi, muridnya menyebutkan secara

    rinci tentang hari dan bulan kelahirannya. Ia lahir pada 7 Shafar tahun 691 H.

    Keterangan yang sama disampaikan pula oleh Ibnu Taghri Bardi, Dawudi dan

    Suyuthi. Di kalangan para ulama dahulu maupun kontemporer, Imam besar ini

    populer dengan sebutan Ibnu Qayyim Al-Jauziyah. Sebagian ulama

    menyingkatnya dengan hanya menyebut Ibnu Qayyim. Sebutan terakhir lebih

    populer di kalangan ulama kontemporer. Sebab populernya nama ini adalah

    karena ayahanda beliau, Imam Syaikh Abu Bakar bin Ayyub Az-Zar`i, beberapa

    lama menjabat sebagai qayyim (kepala) Madrasah Al-Jauziyah di Damaskus.

    Ayahnya dikenal dengan sebutan “Qayyim Al-Jauziyah” (Kepala Madrasah Al-

    Jauziyah). Anak-anak dan keturunannya pun dikenal dengan sebutan tersebut.

    Salah seorang dari mereka dipanggil dengan sebutan “Ibnu Qayyim Al-Jauziyah”.

    Maka dari itu, ia bukan satu-satunya yang mendapat sebutan ini. Hanya saja,

    ketika sebutan ini disampaikan secara mutlak, maka beliaulah rahimahullah yang

    dimaksud, karena sebutan ini nyaris telah menyatu dengan namanya.46

    Ia tumbuh di sebuah keluarga yang kental dengan keilmuan, keagamaan,

    wira‟i, dan keshalihan. Ayahnya Abu Bakar bin Ayyub Az-Zar`i adalah Qayyim

    46

    Abdillah F. Hasan, Tokoh-tokoh Mashur Dunia Islam (Surabaya: Jawara, 2004), hlm. 290.

  • 34

    (kepala) Madrasah Al-Jauziyah. Beliau seorang syaikh terpandang, wira‟i, dan

    ahli ibadah. Seorang yang ahli di bidang ilmu faraid, dari beliau sang putra,

    Syamsudin Ibnu Qayyim rahimahullah menimba ilmu faraid ini. Adiknya,

    Zainudin Abu Faraj Abdurrahman bin Abi Bakar, berusia dua tahun lebih muda.

    Kebanyakan guru adiknya sama dengan gurunya, adiknya ini seorang imam yang

    diikuti. Kepadanya Ibnu Rajab dan beberapa ulama lain berguru, ia wafat pada

    tahun 769 H. Keponakannya Imadudin Abul Fida` Isma`il bin Zainudin

    Abdurrahman, salah seorang ulama yang terpandang, ia memiliki sebagian besar

    literatur pamannya, yaitu Syamsudin Ibnu Qayyim,wafat tahun 799 H.

    2. Perjalanan Keilmuan

    Ibnu Qayyim menuntut ilmu kepada Abul Abbas Ahmad Abdurrahman

    Al-Maqdisi sejak usia dini. Ibnu Qayyim telah meriwayatkan dari gurunya

    tersebut beberapa kisah tafsir mimpi dalam Zadul Ma`ad.47 Kemudian ia berkata;

    “Beginilah keadaan guru kami dan keahlian beliau dalam ilmu tafsir mimpi. Saya

    pernah medengar beberapa bagian tentang tafsir mimpi darinya, akan tetapi saya

    belum berkesempatan membaca di hadapan beliau tentang ilmu ini, dikarenakan

    ketika itu saya masih kanak-kanak dan beliau keburu wafat, semoga Allah

    melimpahkan rahmat kepada beliau”.

    Terkait dengan perjalanan Ibnu Qayyim dalam menuntut ilmu, Bakar Abu

    Zaid mengatakan: “Bagaimanapun, jika perjalanan menuntut Ilmu Ibnu Qayyim

    tidak dikenal luas, maka ia memiliki alasannya,Ibnu Qayyim hidup di suatu masa

    di mana ilmu-ilmu keislaman telah disusun dan disebarluaskan di berbagai

    47

    Departemen Agama RI, Ensiklopedi Islam di Indonesia (Jakarta: Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Depag RI, 1992 ), hlm. 199.

  • 35

    penjuru dunia. Damaskus pada masa itu termasuk salah satu kawasan yang

    dikenal kaya dengan ilmu pengetahuan. Damaskus merupakan kiblat dan

    persinggahan perjalanan para ulama. Ia menjadi impian semua penuntut ilmu dan

    orang-orang yang ingin memuaskan dahaga ilmu. Maka tidak mengherankan jika

    perjalanan menuntut ilmu Ibnu Qayyim tidak populer. Bagaimana mungkin ia

    pergi menuntut ilmu sedangkan kondisi Damaskus di bidang ilmu pengetahuan

    seperti itu. Terlebih, Syaikhul Islam, yaitu Syaikh Abul Abbas Ahmad bin

    Taimiyah rahimahullah justru datang ke kota tersebut. Manusia yang paling

    beruntung adalah yang didatangi rizkinya di depan pintu rumahnya.

    3. Mazhab Ibnu Qayyim

    Ibnu Qayyim dalam berbagai biografi mengenainya, disebutkan bahwa ia

    bermazhab Hanbali, sebagaimana para guru dan muridnya. Namun yang ia

    lakukan adalah mengikuti pendapat yang didukung oleh dalil dan membuang

    fanatisme madzhab yang tercela. Bagaimana mungkin ia fanatik kepada suatu

    madzhab sedangkan ia membenci taqlid dan selalu mengingatkan dan

    menghimbau orang-orang yang bertaqlid untuk mempelajari ilmu. Ia berbicara

    panjang lebar tentang hukum ijtihad dan taqlid di dalam bukunya I`lamul

    Muwaqqi`in lebih dari seratus halaman.

    Sejauh ini, penulis tidak menemukan kedudukan Ibnu Qayyim dalam

    tingkatan para mujtahid, apakah ia masuk dalam tingkatan mujtahid atau tidak.

    Wahbah Zuhaili menyebutkan ada enam tingkatan mujtahid, yaitu mujtahid

    mutlak mustaqil, mujtahid mutlak ghairu mustaqil, mujatahid muqayyad,

  • 36

    mujtahid takhrij, mujtahid tarjih, mujtahid fatwa.48 Dalam enam tingkatan

    tersebut, tidak disebutkan posisi Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah. Namun, di sini

    Ibnu Qayyim adalah tokoh yang membela dan mengembangkan mazhab Hanbali.

    Meskipun Ibnu Qayyim adalah tokoh dalam mazhab Hanbali, penulis tidak

    menemukan referensi yang menjelaskan Ibnu Qayyiim masuk dalam salah satu

    tingkatan mujtahid tersebut.

    Corak pemikiran Ibnu Qayyim lebih cenderung ahlul hadis. Karena, dalam

    menetapkan hukum beliau lebih melihat dan merujuk kepada dalil naqli. Berbeda

    dengan ulama yang bercorak ahlul ra‟yi, yang lebih mementingkah rasio. Ibnu

    Qayyim bukanlah seorang ulama yang berfikiran ekstrim dalam menerima atau

    menolak pendapat maupun mazhab, beliau adalah pemikir moderat yang

    mengakui kebesaran imam-imam mazhab, namun selalu berusaha mencari

    kebenaran dari dalil-dalil yang mereka pakai.

    Ibnu Qayyim membedakan tentang pengetahuan disiplin suatu mazhab

    dengan taqlid. Beliau menghidupkan kembali al-sunah yang mulai ditinggalkan.

    Secara umum, antara Ibnu Qayyim al-Jauziyah dan gurunya Ibnu Taimiyah tidak

    terdapat perbedaan dalam kerangka berpikirnya, yaitu kerangka berfikir dalam

    Mazhab Hanbali yang ahlul hadis. Ibnu Qayyim lebih cenderung kepada performa

    yang moderat dalam pemikirannya.

    4. Guru-Guru Ibnu Qayyim

    Ibnu Qayyim memiliki banyak guru. Hal itu karena semangatnya yang

    tinggi dalam menuntut ilmu. Di antara guru-gurunya adalah Ayahnya, Abu Bakar

    48 Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh al-Islāmī wa Adillatuh, ed. In, Fiqih Islam; Pengantar Ilmu

    Fiqih, Tokoh-Tokoh Mazhab Fiqih, Niat, Thaharah, Shalat, (terj: Andul Hayyie a-Kattani, dkk), jilid 1, (Jakarta: Gema Insani, 2010), hlm. 44-46.

  • 37

    bin Ayyub Az-Zar`i, Abu Bakar Ahmad bin Abdudaim Al-Maqdisi, wafat pada

    tahun 718 H, Ahmad bin Abdul Halim bin Abdussalam, Syaikhul Islam Ibnu

    Taimiyah, wafat tahun 728 H, Abul Abbas Ahmad bin Abdurrahman Asy-Syihab

    Al-`Abir, wafat tahun 697 H, Ismail bin Muhammad Al-Fara` Al-Harrani,

    Syaikhul Hanabilah, wafat tahun 729 H, Ismail Yusuf bin Maktum Al-Qaisi Asy-

    Syafi`i, wafat tahun 716 H, Ayub bin Ni`mah Al-Kahal An-Nablusi Ad-Dimasyqi,

    wafat tahun 730 H, Sulaiman bin Hamzah bin Ahmad bin Qudamah Al-Maqdisi

    Al-Hanbali, Ahli Hadits dan Qadhi besar Syam, wafat tahun 715 H, Syarafuddin

    Abdullah bin Abdul Halim bin Taimiyah An-Numairi, saudara Syaikhul Islam,

    wafat tahun 727 H, Isa bin Abdurrahman Al-Mutha`im, Ahli Hadits di zamannya,

    wafat tahun 709 H, Fatimah binti Syaikh Ibrahim bin Mahmud Al-Bathaihi Al-

    Ba`li, seorang wanita ahli hadits, wafat tahun 711 H, Badr Ibnu Jama‟ah:

    Muhammad bin Ibrahim bin Jama‟ah Al-Kanani Asy-Syafi`i, seorang Imam yang

    termasyhur dan memiliki banyak karya tulis, wafat tahun 733 H, dan masih

    banyak lagi yang lainnya.

    5. Murid-murid Ibnu Qayyim

    Banyak orang yang berguru kepadanya karena keimaman, keutamaan serta

    keilmuannya yang kemudian menjadi ulama muktabar, di antaranya yaitu

    putranya Ibrahim, Burhanuddin bin Muhammad bin Abu Bakar Az-Zar`i, ia

    seorang yang sangat cerdas luar biasa, wafat tahun 756 H, Ibnu Katsir atau Ismail

    Imaduddin Abul Fida‟ bin Umar bin Katsir al-Quraisyi Asy-Syafi‟i, seorang imam

    dan hafizh yang termasyhur, wafat tahun 774 H. Ibnu Rajab atau Abdurrahman

    bin Ahmad Al-Hanbali, penulis banyak buku yang bermanfaat, wafat tahun 795

  • 38

    H, As-Subki, adz-Dzahabi, Ibnu Abdil Hadi, An-Nablusi, Al-Fairuz Abadi,

    Muhammad bin Muhammad bin Abu Bakar Al-Quraisyi Al-Muqari At-Tilmisani,

    wafat tahun 759 H, dan masik banyak lainnya.M. Ali Hasan menyebutkan murid-

    muridnya yang paling terkenal ada enam orang, yaitu:

    1) Ibnu Rajab (tokoh fikih dari mazhab Hanbali)

    2) Ibnu Katsir (Mufassir dan Muhaddis)

    3) Burhan bin Qayyiim dan Syarifuddin bin Qayyim (putra Ibnu Qayyim al-

    Jauziyah yang ahli dalam bidang fikih)

    4) Muhammad bin Ahmad bin Usman bin Qaimaz az-Zahabi at-Turkmani asy-

    Syafi‟i (muhaddis)

    5) Ibnu Abd. Hadi bin Qudamah al-Maqdisi as-Salihi al-Hanbali (tokoh Fikih

    Hanbali)

    6) Abu Thahir Muhammad bin Ya‟qub al-Fairuzzabadi (tokoh fikih).

    6. Karya-karya Ibnu Qayyim

    Terdapat banyak karya tulis yang dibuat oleh Ibnu Qayyim al-Jauziyah.

    Paling tidak, dalam dalam tulisan ini akan dijelaskan beberapa karnyanya, yaitu

    kitab Ijtimā‟ al-Juyūsy al-Islāmiyah, I‟lām al-Muwāqi„īn „an Rabb al-„Ālamīn,

    Ighāṡah al-Laḥfān min Masyāyidi asy-Syaiṭān, Amṡal al-Qur‟ān, At-Tibyān fī

    Aqsām al-Qur‟ān, Tuhfah al-Maudūd fī Aḥkām al-Maulūd, At-Tafsīr al-Qayyim,

    Tahdzīb Mukhtaṣar Sunan Abi Daud, Jalā‟u al-Afhām fī aṣ-Ṣalat wa as-Salām

    „alā Khair al-Anām, Hadi al-Arwah ilā Bilād al-Afrah, Ad-Da‟ wa ad-Dawā‟,

  • 39

    Rauḍah al-Muhibbin wa Naẓah al-Musytaqīn, Zād al-Ma‟ād fī Hadyi Khair al-

    ‟Ibād, dan kitab Nikāḥul Muhrim.49

    49 Ibid.,hlm.293.

  • 40

    BAB III

    GAMBARAN UMUM TENTANG KEDUDUKAN NASAB ANAK DI

    LUAR NIKAH

    A. Pengertian Nasab

    Kata nasab secara etimologi berasal dari bahasa Arab, yaitu –نَسْبا يَنِْسُب

    berarti memberikan ciri-ciri dan نََسَب الَر ُجلُ apabila terdapat kalimat -نََسبَ

    menyebutkan keterunannya. Di samping itu bentuk jamak nasab adalah ansab

    sebagaimana Allah (Q.S. Al. Mu‟minun(23):101) :

    َْى ََل ٌَتَسَبٓءَلُ َّ هَئِٖر ْۡ َ ٌ ُِۡن َ ٌ ٍۡ َة ثَ ِْز فَََلٓ أًَسَب ً ٱلصُّ فَإَِذا ًُفَِخ فِ

    Apabila sangkakala ditiup maka maka tidaklah lagi ada pertalian nasab

    di antara mereka pada hari itu, dan tidak ada pula mereka saling

    bertanya.50

    Kedua, kata nasab juga disebutkan dalam Surah Al-Furqan (25) ayat 54

    sebagai berikut.

    َّكَبَى زَثَُّك قَدٌِٗس َِّصِٗۡسۗا ُۥ ًَسَجٗب َ هَِي ٱۡلوَبِٓء ثَشَٗسا فَجَعَلَ َْ ٱلَِّري خَلََق ُ ُ َّ

    Dan Dia (pula) yang menciptakan manusia dari air lalu dia jadikan

    manusia itu (punya) keturunan dan mushaharah dan adalah Tuhanmu

    Maha Kuasa.51

    al-Qurthubi, ketika menafsirkan ayat di atas, mengatakan bahwa kata

    ِْسُ الصِ dan الٌََستُ keduanya bersifat umum yang mencakup hubungan kerabat di

    50

    Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahannya, (Semarang: PT Karya Toha Putra, 2002), hlm. 346

    51 Ibid, hlm. 366

  • 41

    antara manusia. Dalam hal ini secara hal ini secara lebih jelas Ibnu-Arabi

    sebagaimana yang dikutip oleh Al-Qurthubi menjelaskan bahwa nasab sebuah

    istilah yang menggambarkan proses bercampurnya sperma laki-laki dan ovum

    seorang wanita atas dasar ketentuan syariat, jika melakukannya dengan cara

    maksiat, hal itu tidak lebih dari sekedar reproduksi biasa, nukan merupakan nasab

    yang benar, sehingga tidak bisa masuk dalam kandungan ayat tahrim, maksudnya

    tidak ada pengaruh dalam hubungan haram dan tidak haram untuk menikah, juga

    tidak adanya kewajiban „iddah, sehingga seorang wanita yang hamil bukan karena

    nikah, melainkan dalam kasus married by accident, maka untuk menikah tidak

    perlu menunggu anaknya.

    Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa kata nasab secara

    bahsa berarti keturunan atau kerabat. Bahkan secara tegas Su‟di Abu Habib

    mengatakan bahwa arti kata nasab sama dengan kerabat. Namun demikian baik

    kata keturunan, kerabat, maupun nasab sendiri pada kenyataanya telah menjadi

    bahasa Indonesia resmi dan telah diakui.52

    Nasab yang telah menjadi bahasa Indonesia dan telah masuk dalam Kamus

    Besar Bahasa Indonesia itu diartikan sebagai keturunan (terutama dari pihak

    bapak) atau pertalian keluarga.53Hampir sama dengan defenisi terakhir ini, dalam

    Ensiklopedia Islam, nasab di diartikan sebagai keturunan atau kerabat, yaitu

    pertalian keluarga melalui akad nikah perkawinan yang sah.54

    52 Nurul Irfan, Nasab dan Status Anak dalam Hukum Islam, edisi.2,cet.2, (Jakarta:

    Amzah, 2013), hlm, 22-25. 53 Kamus Besar Bahasa Indoneisa Digital 54 Ensiklopedia Islam, hlm.13.

  • 42

    Dengan adanya batasan bahwa nasab merupakan pertalian keluarga

    melalui perkawinan yang sah sebagaimana disebutkan dalam Ensiklopedia Islam

    di atas, tampaknya akan menimbulkan masalah tersendiri, sebab menurut konsep

    fiqih, anak yang lahir menurut pernikahan yang fasid dan melalui hubungan badan

    secara syubhat tetap menyebabkan timbulnya hubungan nasab anak kepada ayah

    kandungnya. Demikian juga rumusan defenisi menurut uraian yang terdapat

    dalam Ensiklopedia Hukum Islam. Di sana disebutkan bahwa nasab adalah

    pertalian kekeluargaan berdasarkan hubungan darah sebagai salah satu akibat dari

    suatu pernikahan yang sah. Tampaknya kedua defenisi ini harus diubah atau

    setidaknya diberikan penjelasan-penjelasan lebih lanjut sebab dalam hukum Islam,

    nasab dapat dibentuk melalui nikad fasid atau nikah yang syarat dan rukunnya

    kurang sempurna atau nikah yang status hukumnya status hukumnya

    diperselisihkan para ulama, seperti nikah kontrak atauy nikah mut‟ah.

    Adapun pengertian nasab secara terminologi tampaknya tidak dapat

    dipisahkan dengan pengertian secara etimologi di atas, yaitu keturunan atau

    kerabat. Dalam Ensiklopedia Indonesia, nasab didefenisikan sebagai keturunan

    ikatan keluarga sebagai hubungan darah, baik karena hubungan darah ke atas

    (bapak, kakek, ibu, nenek, dan seterusnya), ke bawah (anak, cucu, dan

    seterusnya), maupun kesamping (saudara, paman, bibi, dan lain-lain).55

    Adapun pengertian nasab secara syara‟ ialah sebagai berikut, keadaan

    hukum yang disandarkan antara seorang dengan orang lain yang mana orang

    tersebut terlepas dari seorang Rahim seorang wanita yang terikat dalam ikatan

    55 Ensiklopedia Indonesia, hlm. 2337.

  • 43

    suami istri maupun ikatan kepemilikan yang sah di mana, baik ikatan suami istri

    maupun akad kepemilikan itu diakui kebenarannya atau mirip dengan diakui

    kebenarannya. Ketetapan ini dihubungkan kepada seorang yang melalui

    spermanya itu terjadi. Pada dasarnya defenisi syara‟ ini sudah mencakup dan

    mewakili semua aspek yang ada di dalamnya.

    Lebih lanjut, nasab juga bisa didefenisikan sebagai pertalian kekeluargaan

    berdasarkan hubungan darah melalui akad perkawinan yang sah. Dalam kamus

    istilah fiqh, nasab adalah keturunan, ahli waris atau keluarga yang berhak

    menerima harta warisan karena pertalian darah atau keturunan. Dalam kamus

    istilah Agama, kata nasab dalam Al-Qur‟an sebagai keturunan dan kekeluargaan.56

    Dengan demikian dapat penulis simpulkan bahwa nasab secara terminologi

    adalah pertalian kekeluargaan berdasarkan hubungan darah, baik ke atas, ke

    bawah, maupun ke samping yang semuanya itu merupakan salah satu akibat dari

    perkawinan yang sah, perkawinan yang fasid dan hubungan badan secara syubhat.

    Namun demikian karena ternyata permasalahan nasab ini dapat ditetapkan bukan

    hanya melalui perkawinan dan hubungan badan secara syubhat, khususnya

    menyangkut nasab hamba sahaya seperti pada zaman dahulu, maka dalam

    pembahasannya membutuhkan berbagai macam aspek yang ada kaitannya dengan

    masalah ini termasuk dalam hal cara menetapkan nasab melalui pengakuan dan

    bahkan dengan cara-cara lain.

    56

    Dian Mustika, dkk, Nalar Fiqh (Forum Kajian Hukum Keluarga), (UIN STS Jambi, Volume. 17, No 1, Juni 2017), hlm.3-4.

  • 44

    B. Pengertian Anak di Luar Nikah

    Dalam kamus bahasa Indonesia dikemukakan bahwa anak luar nikah

    adalah anak yang dilahrikan oleh seorang perempuan dan perempuan itu tidak

    berada dalam ikatan perkawinan yang sah dengan pria yang menyetubuhinya

    menurut hukum positif dan agama yang dipeluknya.57

    Anak luar nikah adalah anak yang lahir dari hasil hubungan kelamin luar

    nikah. Dalam hukum islam anak tersebut dapat dianggap anak luar nikah adalah:58

    1. anak zina adalah anak yamh lahir dari hasil hubungan kelamin tanpa

    pernikahan, karena perbuatan yang dilakukan orang yang menyebabkan

    kelahiran anak tersebut.

    2. Anak mu‟anah adalah anak yang dilahirkan oleh seorang istri akan tetapi

    keberadaan anak itu dibantah oleh suami sebagai anaknya dan menuduh

    istrinya telah berbuat zina dengan pria lain dengan cara melakukan sumpah

    li‟an terhadap isterinya.

    3. Anak syubhat adalah anak yang dilahirkan dari seorang wanita yang

    digauli dengan cara syubhat. Syubhat dalam hal ini, menurut jawad

    Mughniyyah yaitu seorang laki-laki menggauli seorang wanita yang haram

    atasnya karena tidak tahu dengan keharaman itu.

    Istilah “anak zina” sebagai “anak yang lahir di luar perkawinan yang sah”,

    berbeda dengan pengertian anak zina yang dikenal dalam hukum perdata, sebab

    dalam hukum perdata, istilah anak zina adalah anak yang dilahirkan dari

    57 Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana,

    2008), hlm. 80. 58

    Dian Mustika, dkk, Nalar Fiqh (Forum Kajian Hukum Keluarga), (UIN STS Jambi, Volume. 17, No 1, Juni 2017), hlm. 10-11.

  • 45

    hubungan dua orang laki-laki dan perempuan yang bukan suami istri, dimana

    salah seorang atau kedua-duanya terikat suatu perkawinan dengan orang lain.

    Oleh karena itu, anak di luar nikah yang dimaksud dalam hukum perdata adalah

    anak yang dibenihkan dan dilahirkan di luar perkawinan dan istilah lain yang

    tidak diartikan sebagai anak zina.

    Berdasarkan definisi dan pendekatan makna “anak zina” di atas, maka

    yang dimaksudkan dengan “anak zina” dalam pembahasan ini adalah anak yang

    janin/pembuahannya merupakan akibat dari perbuatan zina, ataupun anak yang

    dilahirkan di luar perkawinan, sebagai dari perbuatan zina.

    Penetapan asal-usul anak dalam prespektif hukum Islam memiliki arti

    yang sangat penting, karena dengan penetapan itulah dapat diketahui hubungan

    mahram (nasab) antara anak dan ayahnya. Kendatipun pada hakikatnya setiap

    anak yang lahir berasal dari sperma seorang laki-laki dan sejatinya harus menjadi

    ayahnya, namun hukum Islam memberikan ketentuan lain.

    Seorang anak dapat dikatakan sah memiliki hubungan nasab dengan

    ayahnya jika terlahir dari perkawinan yang sah. Sebaliknya anak yang lahir di luar

    perkawinan yang sah, tidak dapat disebut dengan anak yang sah, biasa disebut

    dengan anak zina atau anak di luar perkawinan yang sah dan ia hanya dapat nasab

    dengan ibunya.59

    Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 102 tidak merinci batas minimal dan

    maksimal bayi dalam kandungan sebagai dasar suami untuk menyangkal sah

    59

    H. Amiur Nuruddin, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: prenada Media, 2004), hlm. 276.

  • 46

    tidaknya anak yang dilahirkan istrinya, akan tetapi Al-Qur‟an memberikan

    petunjuk jelas dalam masalah ini.

    Batas minimal bayi dalam kandungan adalah 6 bulan dihitung dari saat

    akad nikah dilangsungkan. Ketentuan ini diambil dari Firman Allah SWT (QS.

    Al-Aḥqāf :15) dan (QS. Luqmān : 14).:

    َْى َشًِۡساِۚ … ُۥ ثَلََٰثُ َ ُۥ َّفَِصَٰلُ َ َحوۡلُ َّ …Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan(dua

    setengah tahun)…60

    … َُ ُٖۡي َّفَِصَٰلُ َّ ًٌُۡب عَلَىَٰ َّ ُۥ َ هُّ َُ أُ ٍۡيِ َحوَلَۡت َه ً عَب ۥ فِ

    …ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang

    bertambahtambah, dan menyapihnya dalam dua tahun61

    kedua ayat tersebut, Oleh Ibn Abbas dan disetujui para ulama, ditafsirkan

    bahwa ayat pertama menunjukan bahwa tenggang waktu mengandung dan

    menyapih adalah 30 bulan. Ayat kedua menerangkan bahwa menyapihnya setelah

    bayi disusukan secara sempurna