Kurikulum Pendidikan Islam “Konsepsi Al-Ghazᾱlῑ Mengenai 'Ilm Farḍ 'Ain & 'Ilm Farḍ Kifᾱyah” Baharuddin AR Dosen STAI Indonesia Abstract: In modern time, secularism, with the help of his adopted sons, i.e., idealism, rationalism and empiricism, succeeded in secularizing the content of knowledge, the method of knowing and its purpose. It has thus brought about chaos in man's life. The present study is trying to elucidate al-Ghazālī's conception of 'ilm farḍ 'ain and 'ilm farḍ kifāyah curriculum. In doing so, the definition of 'ilm (knowledge), the nature of man and the objectives of education in Islam will be taken into consideration. This study found: (1) knowledge is so called only if it produces tranquility in man's life; (2) man needs farḍ 'ain and farḍ kifāyah knowledge to nurture his dual nature aspects, i.e., physical and spiritual. While the former is to confirm and nurture his spiritual aspect, the latter is to his physical aspect; (3) These ilm farḍ 'ain and 'ilm farḍ kifāyah are the means by which he pursues the life purpose as God's servant as well as khalifatullah. Saat ini, sekularisme, berkat bantuan para pembeonya, di antaranya idealisme, rasionalisme dan empirisme, telah sukses dalam membangun pilar-pilar disiplin ilmu, metodologi dan objektif atau tujuan ilmu menjadi sekular. Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplor konsep al-Ghazālī tentang kurikulum ilm farḍ 'ain dan 'ilm farḍ kifāyah. Akan tetapi, untuk mendapatkan pemahaman yang utuh mengenai konsep tersebut, maka konsep 'ilm, manusia serta tujuan pendidikan dalam Islam akan terlebih dahulu menjadi perhatian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) ilmu pengetahuan dapat dibuktikan 'kebenaran dan kesalahan –nya.' Benar jika melahirkan ketenangan dan ketenteraman hidup; sebaliknya, salah jika melahirkan kegalauan dan malapetaka bagi pemiliknya; (2) manusia memiliki dual aspek, yaitu jasmani dan ruhani. DIRASAT. Vol. 12, No. 01 TAHUN 2017
26
Embed
Kurikulum Pendidikan Islam - staiindo.ac.idstaiindo.ac.id/wp-content/uploads/2019/03/6.1...tujuan ilmu menjadi sekular. Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplor konsep al-Ghazālī
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Kurikulum Pendidikan Islam
“Konsepsi Al-Ghazᾱlῑ Mengenai 'Ilm Farḍ 'Ain & 'Ilm Farḍ Kifᾱyah”
Baharuddin AR
Dosen STAI Indonesia
Abstract: In modern time, secularism, with the help of his adopted
sons, i.e., idealism, rationalism and empiricism, succeeded in
secularizing the content of knowledge, the method of knowing and
its purpose. It has thus brought about chaos in man's life. The present
study is trying to elucidate al-Ghazālī's conception of 'ilm farḍ 'ain
and 'ilm farḍ kifāyah curriculum. In doing so, the definition of 'ilm
(knowledge), the nature of man and the objectives of education in
Islam will be taken into consideration. This study found: (1)
knowledge is so called only if it produces tranquility in man's life; (2)
man needs farḍ 'ain and farḍ kifāyah knowledge to nurture his dual
nature aspects, i.e., physical and spiritual. While the former is to
confirm and nurture his spiritual aspect, the latter is to his physical
aspect; (3) These ilm farḍ 'ain and 'ilm farḍ kifāyah are the means by
which he pursues the life purpose as God's servant as well as
khalifatullah.
Saat ini, sekularisme, berkat bantuan para pembeonya, di antaranya
idealisme, rasionalisme dan empirisme, telah sukses dalam
membangun pilar-pilar disiplin ilmu, metodologi dan objektif atau
tujuan ilmu menjadi sekular. Penelitian ini bertujuan untuk
mengeksplor konsep al-Ghazālī tentang kurikulum ilm farḍ 'ain dan
'ilm farḍ kifāyah. Akan tetapi, untuk mendapatkan pemahaman yang
utuh mengenai konsep tersebut, maka konsep 'ilm, manusia serta
tujuan pendidikan dalam Islam akan terlebih dahulu menjadi
perhatian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) ilmu
pengetahuan dapat dibuktikan 'kebenaran dan kesalahan –nya.'
Benar jika melahirkan ketenangan dan ketenteraman hidup;
sebaliknya, salah jika melahirkan kegalauan dan malapetaka bagi
pemiliknya; (2) manusia memiliki dual aspek, yaitu jasmani dan
ruhani.
DIRASAT. Vol. 12, No. 01 TAHUN 2017
108 Baharuddin AR
DIRASAT. Vol. 12, No. 01 TAHUN 2017
Oleh karenanya ia membutuhkan ilm farḍ 'ain dan 'ilm farḍ kifāyah
sebagai nutrisinya. Yang pertama adalah nutrisi bagi aspek
ruhaninya, sedangkan yang kedua adalah nutrisi bagi aspek
jasmaninya; dan (3) Ilm farḍ 'ain dan 'ilm farḍ kifāyah adalah bekal
untuk meraih tujuan hidupnya yang tidak lain adalah pengabdian
kepada Allah dan khalifatullah di muka bumi.
Keywords: Sekularisme, idealisme, rasionalisme, empirisme, ilm farḍ
'ain, 'ilm farḍ kifāyah, 'ilm, the nature of man, objectives of education,
khalīfatullāh.
A. Pendahuluan
Di antara problema besar yang dihadapi umat Islam di era modern
adalah redupnya etos keilmuan di kalangan umat Islam dan munculnya
dunia Barat sebagai penguasa ilmu pengetahuan dan teknologi. Problema
pertama, rendahnya etos keilmuan, menjadikan umat Islam “terisolir” dari
dunia keilmuan global. Kondisi ini sangat ironis karena di era klasik,
selama kurang lebih enam abad, umat Islam berada pada garda depan dan
menjadi kiblat dunia dalam pengembangan ilmu. Sementara itu, problema
kedua, munculnya dunia Barat sebagai penguasa ilmu pengetahuan dan
teknologi, membawa persoalan serius karena pengembangan ilmu dan
teknologi di Barat bercorak sekuler sehingga memunculkan ekses negatif
konsumerisme, rusaknya tatanan keluarga, pergaulan bebas, dan
penyalahgunaan obat terlarang. Al-Attas, lebih kurang 2 dekade yang lalu,
telah memperingatkan:
... the greatest challenge that has surreptitiously arisen in our age is the
challenge of knowledge, indeed, not as against ignorance; but knowledge as
conceived and disseminated throughout the world by Western civilization;
knowledge whose nature has become problematic because it has lost its true
purpose due to being unjustly conceived, and has thus brought about chaos
in man's life instead of, and rather than, peace and justice; knowledge which
pretends to be real but which is productive of confusion and scepticism,
which has elevated doubt and conjecture to the 'scientific' rank in
methodology and which regards doubt as an eminently valid epistemological
tool in the pursuit of truth;
Kurikulum Pendidikan Islam 109
DIRASAT. Vol. 12, No. 01 TAHUN 2017
1 Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam and Secularism (Malaysia: International Institute of
Islamic Thought and Civilization, 1983), 133; bandingkan Syed Muhammad Naquib al-Attas, Aims and Objectives of Islamic Education (Jeddah: King Abdul Aziz University, 1979), 19-20.
knowledge which has, for the firs time in history, brought chaos to the Three 1
Kingdoms of Nature; the animal, vegetal and mineral. (… tantangan
terbesar yang kita hadapi di zaman ini adalah tantangan kita
terhadap ilmu, bukan berhadapan dengan kebodohan, tetapi
berhadapan dengan perspektif ilmu yang dirajut oleh peradaban
Barat –perspektif mana yang menimbulkan kekacauan dan
kerancuan sebagai akibat dari terabaikannya arah dan tujuan ilmu
yang sesungguhnya. Ilmu yang seharusnya beranjak meninggalkan
syak dan skeptisisme menuju yakin yang membawa keadilan dan
ketentraman hidup, justeru sebaliknya menjadikan wasangka
sebagai metodologi yang valid dan ilmiah –hal mana berakibat pada
kehancuran alam: hewani, nabati dan mineral).
Kutipan di atas menunjukkan adanya kekeliruan epistemologi serta
kerancuan dalam tubuh ilmu pengetahuan, baik dalam memahami ilmu
pengetahuan serta tujuannya, metodologi, konten atau kurikulum,
maupun dalam 'menentukan' subjek-objek ilmu pengetahuan.
Dalam sistem pendidikan, kita mengenal adanya komponen-
komponen yang antara satu komponen dengan komponen yang lainnya
saling terkait dan terikat, seperti institusi pendidikan, kurikulum, guru-
murid, dan lain sebagainya. Fokus penelitian ini adalah Kurikulum Ilmu
Fard Ain dan Ilmu Fard Kifayah. Akan tetapi, sebelum kajian mengarah
kepada fokus tersebut, maka ada baiknya melengkapi pemahaman kita
mengenai ilmu, tujuan pendidikan, dan manusia & pendidikan.
B. Definisi Ilmu Pengetahuan
Dalam literatur Islam, terminologi yang sering digunakan untuk
proses “tercapainya” ilmu pengetahuan adalah al-fahm. Dengan kata lain,
al-fahm merupakan sebuah ungkapan ketika objek materia (al-ma'lūmāt)
telah “berhasil” dipahami dan menjadi ilmu pengetahuan.
135. Bandingkan Syed Muhammad Naquib al-Attas, The Positive Aspect of Tasawwuf: Preliminary Thoughts on an Islamic Philosophy of Science (Kuala Lumpur: Art Printing Works, 1981), 5.
3 Dikutip dalam Syed Muhammad Naquib al-Attas, The Nature of Man and the Psychology of the
Human Soul: A Brief Outline and a Framework for an Islamic Psychology and Epistemology, (Kuala Lumpur: ISTAC, 1990), 7-8.
Berdasarkan hal tersebut, maka pakar mendefinisikan ilmu pengetahuan
(al-'ilm) sebagai “ketibaan arti atau makna sesuatu pada jiwa” (حصول معىن الشـئ ىف
وصول النفـس اىل) atau “berhasilnya jiwa memperoleh arti atau makna sesuatu (النفس.(معىن الشئ 2
Dua hal yang menarik perhatian kita dalam definisi di atas, pertama
terma al-nafs dan yang kedua terma ma'na. Menurut al-Ghazālī, terma al-
nafs, yang literalnya diterjemahkan sebagai jiwa, merupakan padanan dari
kata al-'aql (rasio), al-qalb (hati), dan al-rūḥ (ruh). Dengan ungkapan lain, ke
empat terma tersebut pada hakikatnya memiliki entitas yang satu. Adapun
penyebutannya yang berbeda-beda, hal itu dikarenakan oleh keadaan
(aḥwāl) atau fungsinya, sehingga: (a) apabila entitas tersebut keadaanya
melakukan kegiatan intelektual (apprehension) maka ia disebut sebagai akal
atau rasio (al-'aql), (b) apabila entitas tersebut keadaannya “menaungi”
tubuh (governs the body), maka ia disebut sebagai jiwa atau soul (al-nafs), (c)
apabila entitas tersebut keadaannya menerima intuisi dan pencerahan
(receiving intuitive illumination), maka ia disebut sebagai hati atau heart (al-
qalb), dan (d) apabila entitas tersebut keadaannya “kembali” kepada
dunianya yang abstrak (the world of abstract entity), maka ia disebut ruh atau 3
spirit (al-rūḥ).
Kembali kepada definisi mengenai ilmu pengetahuan di atas.
Menurut al-Attas, al-nafs adalah merupakan substansi spiritual manusia di
mana ia berfungsi sebagai penerima sekaligus penterjemah objek materia
yang masuk melalui organ-organ iderawi atau panca indera bagian dalam
dan bagian luar, sehingga pada gilirannya terjadi suatu “pemahaman” (al-
fahm) atau ilmu mengenai sesuatu objek materia. Proses ini dikenal dengan
proses abstraksi.
Proses abstraksi, lebih rinci dijabarkan al-Attas, ada dua jenis:
abstraksi bentuk ataupun makna –tergantung kepada materia yang
menjadi objeknya. Artinya, jika proses abstraksi ini dilakukan dengan
“menggunakan” pendekatan indera (indera luar), maka yang terabstraksi
dari objek materia tersebut adalah form (ṣūrah atau bentuk) yang
direpresentasikannya, bukan benda atau objek itu sendiri, selanjutnya form
yang telah terabstraksi tersebut, oleh 'indera dalam' diolah sedemikian
rupa menjadi sebuah “ide.” Proses pembentukan atau pengolahan form
menjadi ide ini disebut sebagai proses “pemahaman” (لفهم yang pada (ا
gilirannya membuat objek materia dapat “dipahami” (مفهوم). Begitu pun
halnya jika proses abstraksi tersebut dilakukan dengan “menggunakan”
pendekatan rasio, maka yang terabstraksi dari objek materia tersebut
adalah arti (ma'na) yang direpresentasikan oleh sesuatu yang melekat
padanya, bukan benda atau objek itu sendiri, selanjutnya arti yang telah
terabstraksi tersebut, oleh jiwa melalui organnya (al-'aql, al-qalb, al-rūḥ dan
al-nafs) “diolah” sedemikian rupa menjadi sebuah “ide.” Proses
pembentukan atau pengolahan arti menjadi ide ini disebut sebagai proses
“pemahaman” (الفهم) yang pada gilirannya membuat objek pengetahuan atau 4
sesuatu dapat “dipahami” (مفهوم).
Al-Attas lebih lanjut menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan
ma'na sesuatu adalah hakikat sesungguhnya dari sesuatu atau realitasnya.
Realitas sesuatu ini memiliki kondisi eksistensi (maujūd) “ada” dan “tiada”
secara silih berganti tanpa ada dua durasi waktu yang mengantarainya,
serta memiliki posisi eksistensi sebagai manifestasi (tajallī) dari Allah atau
symbol (āyah) yang merepresentasikan Allah. Pada kenyataan inilah
realitas sesuatu dikatakan dalam teologi sebagai qiyāmuh li gairih dan dalam
tasawwuf sebagai fanā'. Hal ini, menurut para Sufi, dilakukan agar supaya
entitas atau sesuatu tersebut merasa fakir (al-faqr) –keadaan mana
membutuhkan sesuatu yang lain selain dari dirinya, yaitu Tuhan (al-Ganī)
setiap saat (sense of dependency).
4 Telusuri Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam and the Philosophy of Science (Kuala
Lumpur: International Institute of Islamic Thought and Civilization, ISTAC, 1989), 9-10.
Kurikulum Pendidikan Islam 111
DIRASAT. Vol. 12, No. 01 TAHUN 2017
DIRASAT. Vol. 12, No. 01 TAHUN 2017
112 Ahmad Mustaghfirin
5 Lihat Syafa'atun al-Mirzanah, When Mystic Masters Meet: Paradigma Baru dalam Relasi Umat
Kristiani-Muslim (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2009), 141-143.6 World-view Islam memberi gambaran yang sangat jelas antara Being (wujūd) dan Existent
(maujūd), antara Unity (waḥdah) dan Multiplicity (katsrah), antara Subsistence (baqā) dan Evanescene (fanā). Dalam diskursus wujūd, waḥdah, dan baqā, realitas wujūd hanya milik Allah satu-satunya (independent, subsistent, dan absolute), sedangkan maujūd adalah milik segala sesuatu selain dari pada Allah (dependent upon God, evanescene, dan relative). Lihat al-Attas, Aims and Objectives of Islamic Education, 34-35.
7 Wujūd dan maujūd adalah istilah yang biasa digunakan untuk membedakan antara Allah
dan ciptaan-Nya. Yang pertama mutlak digunakan untuk merefrensikan Allah, sedangkan yang kedua untuk merefrensikan segala sesuatu selain Allah (mā siwā Allāh).
Karena jika tetap atau pernah mengalami ketidak fanā-an atau ada dalam
eksistensinya untuk dua durasi masa atau lebih, maka entitas akan
mempunyai kualifikasi sebagai sesuatu yang independent (ginā) dari Tuhan 5
dalam durasi tersebut. Demikianlah realitas sesuatu atau ma'na sesuatu 6
itu.
Ma'na juga sering dikaitkan dengan pemahaman mengenai porsi dan
kedudukan sesuatu. Hal ini tak lain karena dalam diskursus ilmu
pengetahuan, di sana terdapat kriteria-kriteria yang mengikat dan yang
tanpa kehadirannya, ilmu pengetahuan tidak dapat disebut sebagai ilmu
pengetahuan yang sesungguhnya.
Kriteria-kriteria yang dimaksud adalah: (1) al-'Adl, (2) al-Ḥikmah, dan
(3) al-Adab. Al-'Adl dipahami sebagai kondisi dan situasi dimana segala sesuatu
berada pada porsi dan kedudukannya masing-masing; al-Ḥikmah adalah
pengetahuan yang Allah berikan kepada seorang hamba mengenai porsi dan
kedudukan segala sesuatu; sedangkan al-Adab adalah pengenalan dan
pengakuan bahwa dalam tatanan eksistensi (being & existent), yang meliputi
Tuhan, manusia dan semesta, terpaut sebuah hukum yang disebut dengan hukum
hirarki (hirarcical order) –hukum mana yang mendudukkan Tuhan, manusia serta
alam semesta pada porsi dan kedudukannya masing-masing yang sesuai dan laik.
7 Prasa di atas berindikasi bahwa dalam tatanan maujūd (eksistensi),
dalam hal ini dan sebagai contoh kasus, manusia, khsusnya dalam struktur
sosial, terpaut sebuah hukum hirarki berdasarkan kapasitas intelektual,
dan potensi spiritual yang dimilikinya. Hukum tersebut meniscayakan
“pendudukan” seseorang pada porsi dan kedudukan sesuai dengan
hirarkinya berdasarkan kapasitas dan potensinya masing-masing.
Kulmisnasi tertinggi dalam hirarki tatanan eksistensi adalah rasulullah 8
saw. menyusul para sahabat dan seterusnya.
Dengan kriteria-kriteria ilmu tersebut, dapat dipahami bahwa ilmu
pengetahuan adalah pengenalan dan pengakuan akan porsi dan kedudukan
segala sesuatu dalam tatanan eksistensi, hal mana akan membawa kepada
pengenalan dan pengakuan porsi dan kedudukan Tuhan dalam tatanan wujūd-
maujūd (being and existent).
C. Tujuan Pendidikan
Istilah tujuan atau sasaran atau maksud, dalam bahasa Arab
dinyatakan dengan ghāyah atau ahdāf atau maqāsid. Sedangkan dalam
bahasa Inggris dinyatakan dengan goal atau purpose atau objective atau aim.
Namun, secara umum, istilah-istilah tersebut mengandung pengertian
yang sama, yaitu perbuatan yang diarahkan kepada suatu tujuan tertentu
yang hendak dicapai melalui upaya atau aktivitas.
Dalam konteks pendidikan, tujuan merupakan masalah yang
sentral, oleh karena, tanpa perumusan tujuan yang jelas, matang, dan tepat,
maka ibarat mengharap perahu dapat berjalan di daratan. Namun demikian,
berbicara mengenai tujuan pendidikan, tak dapat tidak, mengajak kita
berbicara mengenai tujuan hidup. Hal ini karena pendidikan,
sesungguhnya merupakan suatu alat yang dengannya manusia dapat
memelihara kelanjutan hidupnya, baik sebagai individu, maupun sebagai
anggota dalam masyarakat. Dan demi kelangsungan hidupnya, manusia
mewariskan berbagai nilai budaya dari satu generasi ke generasi
berikutnya. Disamping berfungsi sebagai alat, pendidikan juga berfungsi
sebagai medium dalam mengembangkan potensi-potensi yang ada pada
diri individu yang pada nantinya berguna dalam menghadapi mileu yang
penuh panca robah. Penemuan teknologi modern yang berfungsi untuk
mengatasi, misalnya, banjir, puting-beliung, gempa bumi, gunung berapi
dan lain sebagainya adalah bukti nyata dari fungsi pendidikan sebagai alat
yang berguna demi kelangsungan hidup manusia.
8 Lihat al-Attas, Aims and Objectives of Islamic Education, 35-37.
Kurikulum Pendidikan Islam 113
DIRASAT. Vol. 12, No. 01 TAHUN 2017
DIRASAT. Vol. 12, No. 01 TAHUN 2017
114 Ahmad Mustaghfirin
Berdasar pada penjelasan singkat di atas, maka disimpulkan bahwa
tujuan pendidikan haruslah berpangkal pada tujuan hidup. Lalu apakah
tujuan hidup itu?
Bangsa Sparta yang merupakan salah satu kerajaan Yunani kuno,
memiliki tujuan hidup sebagai pengabdi dengan maksud untuk
memperkuat kerajaan. Mereka memahami arti kuat tersebut dalam
pengertian kekuatan fisik. Dengan pemahaman tersebut mereka
mendesain sebuah konsep pendidikan (kurikulum) yang dengannya
tujuan pengabdian kepada kerajaan yang dimaksud dapat tercapai, seperti
menciptakan berbagai macam bentuk olah raga, misalnya renang, lari,
loncat dan lain sebagainya yang tiada lain dimaksudkan untuk kebugaran
dan kesehatan jasmani di mana pada gilirannya mereka dapat
mempertahankan dan menjaga kedaulatan kerajaan dari berbagai bentuk
teror, baik dari luar ataupun dari dalam kerajaan itu sendiri.
Contoh berbeda dari tujuan hidup di atas adalah bangsa Athena
yang juga merupakan salah satu dari kerajaan Yunani kuno. Mereka
berpendapat bahwa tujuan hidup adalah untuk mencari kebenaran (truth).
Bagi mereka, sebagaimana yang mereka anut dari pemikir dan filosof,
seperti Plato, kebenaran adalah kebenaran utopia. Ilustrasinya: segala
sesuatu yang kita saksikan merupakan bayangan dari sesuatu yang berada
di alam utopia. Dengan demikian, sesuatu yang disaksikan tersebut
merupakan materi (matter) sedangkan yang di alam utopia adalah
bentuknya (form). Yang pertama disebut memiliki karakter yang selalu
berubah, tidak tetap dan berbilang (many), sedangkan yang kedua
berkarakter tetap, tidak berubah dan hanya satu. Dengan pemahaman
tersebut, mereka beranggapan bahwa kebenaran sesuatu adalah
bentuknya, bukan materinya, dan kebenaran tersebut itulah hakikatnya.
Kedua falsafah hidup yang tersebut di atas, menurut Hasan
Langgulung, merupakan embrio dan dasar dari aliran-aliran pemikiran
pendidikan Eropa Barat dan Amerika pasca Descartes (1596-1650 M).
Aliran-aliran tersebut, tanpa terkecuali, beranggapan bahwa dunia adalah 9
tujuan hidup.
9 Hasan Langgulung, Asas-Asas Pendidikan Islam (Jakarta: Pustaka Al Husna Baru, 2003), 297-
pelajari yang berguna dan buang yang tidak berguna. Berguna di sini memiliki
equivalensi yang bersifat kebendaan. Jadi segala yang berguna dari perspektif
kebendaan merupakan priortias yang harus diraih, sedangkan sebaliknya harus
dibuang. Dengan demikian, pendidikan yang dengannya membawa
perbendaharaan, seperti banyak uang, banyak mobil dan lain-lain, harus dipelajari
dan menjadi keniscayaan, sebaliknya harus ditinggalkan.
Islam memiliki jawaban khusus atas tantangan tujuan pendidikan
sebagaimana yang dinyatakan dengan tegas oleh Allah swt. di dalam QS:
51:56 sebagai berikut:
Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya
mereka mengabdi kepada-Ku.
Dari penegasan Allah swt. yang terdapat pada ayat di atas, para
pakar merumuskan kesepakatan mengenai tujuan pendidikan dalam Islam
yang tidak berbeda dengan tujuan hidup yang teaklamasi di dalam ayat
tersebut. Dengan ungkapan berbeda, tujuah pendidikan dalam Islam
adalah tujuan hidup itu sendiri, yang tiada lain adalah pengabdian kepada
Allah swt. Hal ini, tercermin dari hakikat manusia sebagai makhluk Allah
yang berfitrah religius ('abd Allāh) dengan amanah dipundaknya untuk
memakmurkan bumi (khalīfat Allāh).
12 Lihat Muzayyin Arifin, Filsafat Pendidikan Islam (Bandung: Bumi Aksaria, 2009), 63.
$tB ur àM ø)n= yz £ Åg ø: $# }§RM} $#ur žwÎ) Èbr߉ç7 ÷è u‹Ï9 ÇÎÏÈ
Gambaran singkat mengenai tujuan pendidikan yang dijelaskan di
atas, dapat kita lihat dari hasil konfrensi dunia Islam I mengenai
pendidikan yang diadakan di Mekkah pada 31 Maret hingga 8 April 1977
(World Confrence on Muslim Education):
Education should aim at balanced growth of the total personality of man through
the training of Man's spirit, intellect, the rational self, feelings and bodily sense.
Education should therefore cater for the growth of man in all its aspects, spiritual,
intellectual, imaginative, physical, scientific, linguistic, both individually and
collectively and motivate all these aspects toward goodness and the attainment of
perfection. The ultimate aim of Muslim education lies in the realization of complete
submission to Allah on the level of individual, the community and humanity at 13
large. (Pendidikan harus ditujukan pada pertumbuhan yang seimbang
dari seluruh kepribadian manusia melalui latihan atas jiwa, akal, diri
rasional, perasaan dan indera-indera jasmaniahnya. Oleh karena itu,
pendidikan harus mendukung pertumbuhan manusia dalam semua
aspeknya, spiritual, intellectual, imajinatif, fisik, ilmiah, linguistik, baik
secara individual maupun kolektif dan mendorong semua aspek ini
menuju kepada kebaikan dan pencapaian kesempurnaan. Tujuan akhir
dari pendidikan Islam adalah merealisasikan kepasrahan penuh pada
Allah, baik pada tingkat individual, komunitas, maupun pada tingkat
umat.
Kutipan mengenai tujuan pendidikan dalam Islam di atas,
merupakan atau dapat dikategorikan sebagai tujuan pendidikan puncak dan
tertinggi di mana pendidikan diharapkan dapat membawa manusia untuk
merealisasikan kedudukannya sebagai hamba Allah serta menjalankan 14
amanahnya sebagai khalifah Allah di muka bumi. Dan realisasi dari
kedudukan serta fungsi manusia tersebut adalah ceriminan dari manusia
yang diistilahkan dengan al-insān al-kāmil yang tiada lain adalah insan adabī, 15
atau dalam bahasa al-Attas a good man.
13 Dikutip dalam Hasan Langgulung, Asas-Asas Pendidikan Islam, 301.
14 Lihat Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Kalam Mulia, 2006.), 134.
15 Lihat al-Attas, Aims and Objectives of Islamic Education, 1.
Kurikulum Pendidikan Islam 117
DIRASAT. Vol. 12, No. 01 TAHUN 2017
DIRASAT. Vol. 12, No. 01 TAHUN 2017
118 Ahmad Mustaghfirin
Dikatakan sebagai tujuan puncak dan tertinggi, oleh karena
sebahagaian pakar dan pemikir pendidikan mengkategorikan tujuan
pendidikan dalam Islam dengan perspektif hirarki. Jadi, menurut mereka,
tujuan pendidikan dalam Islam dapat dilihat secara hirarki yang meliputi:
(1) tujuan puncak dan tertinggi, (2) tujuan umum, (3) tujuan khusus, dan,
(4) tujuan sementara.
1. Tujuan Puncak dan Tertinggi
Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa tujuan
puncak dan tertinggi dari tujuan pendidikan dalam Islam adalah
perwujudan dari esensi dan hakikat manusia sebagai makhluk yang
religius, yaitu penghambaan kepada Allah swt. serta perealisasian amanah
yang diembannya sebagai khalifah Allah. Hal ini merupakan sebuah
kemutlakan yang bersifat umum dan universal, oleh karena sesuai dengan
fitrah manusia serta konsep ketuhanan yang mengandung kebenaran
mutlak dan universal.
2. Tujuan Umum
Abu Achmadi mendefinisikan pendidikan sebagai:
… upaya pengembangan potensi atau sumber daya insani dalam
rangka merealisasikan (self-realization), menampilkan diri sebagai
pribadi yang utuh (pribadi Muslim). Proses pencapaian realisasi diri
tersebut dalam istilah psikologi disebut becoming, yakni proses
menjadikan diri dengan keutuhan pribadinya. Sedangkan untuk
sampai pada keutuhan pribadi diperlukan proses perkembangan 16
tahap demi tahap yang disebut proses development…
Tercapainya self realization yang utuh tersebut merupakan tujuan
umum pendidikan Islam yang proses pencapaiannya melalui berbagai
lingkungan atau lembaga pendidikan, baik pendidikan keluarga, sekolah
atau masyarakat secara formal atau informal.
16 Abu Achmadi, Islam sebagai Paradigma Ilmu Pendidikan (Yogyakarta: Aditya Media, 1992), 66.
Sementara al-Abrasyi merumuskan tujuan umum pendidikan Islam 17
sebagai berikut:
1) Untuk mengadakan akhlak yang mulia. Kaum Muslimin dari
dahulu kala sampai sekarang setuju bahwa pendidikan akhlak
adalah inti pendidikan Islam, dan bahwa mencapai akhlak yang
sempurna adalah tujuan pendidikan yang sebenarnya;
2) Persiapan untuk kehidupan dunia dan kehidupan akhirat.
Pendidikan Islam bukan hanya menitik beratkan pada
keagamaan saja, atau pada keduniaan saja, tetapi pada kedua-
duanya;
3) Persiapan untuk mencari rezeki dan pemeliharaan segi manfaat,
atau yang lebih terkenal sekarang ini dengan nama tujuan-tujuan
vakasional dan professional;
4) Menumbuhkan semangat ilmiah pada pelajar dan memuaskan
keinginan tahu (curiosity) dan memungkinkan ia mengkaji ilmu
demi ilmu itu sendiri; dan
5) Menyiapkan pelajar dari segi professional, teknikal dan
pertukangan supaya dapat menguasai profesi tertentu, dan
keterampilan pekerjaan tertentu agar ia dapat mencari rezeki
dalam hidup di samping memelihara segi kerohanian dan
keagamaan.
Tokoh lain yang juga menyinggung masalah tujuan umum dalam
pendidikan Islam adalah al-Nahlawi. Beliau menunjukkan empat tujuan
umum dalam pendidikan Islam yaitu:
1) Pendidikan akal dan persiapan pikiran. Allah menyuruh
manusia merenungkan kejadian langit dan bumi agar dapat
beriman kepada Allah;
2) Menumbuhkan potensi-potensi dan bakat-bakat asal pada anak-
anak. Islam adalah agama fitrah, sebab ajarannya tidak asing bagi
tabiat asal manusia, bahkan ia adalah fitrah yang manusia
diciptikan sesuai dengannya, tidak ada kesukaran dan perkara
luar biasa;
17 Dikutip dalam Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, 137-138.
Kurikulum Pendidikan Islam 119
DIRASAT. Vol. 12, No. 01 TAHUN 2017
DIRASAT. Vol. 12, No. 01 TAHUN 2017
120 Ahmad Mustaghfirin
3) Menaruh perhatian pada kekuatan dan potensi generasi muda
dan mendidik mereka sebaik-baiknya, baik laki-laki maupun
perempuan; dan,
4) Berusaha untuk menyumbangkan segala potensi-potensi dan
bakat-bakat manusia.
3. Tujuan khusus
Tujuan khusus adalah pengkhususan atau operasional tujuan
puncak dan tertinggi serta tujuan umum. Tujuan khusus bersifat realtif
sehingga dimungkinkan untuk diadakan perubahan di mana perlu sesuai
dengan tuntutan dan kebutuhan, selama tetap berpijak pada kerangka
tujuan puncak dan tertinggi serta tujuan umum. Pengkhususan tujuan
tersebut dapat didasarkan pada beberapa hal yaitu: (1) kultur dan cita-cita
suatu bangsa; (2) minat, bakat dan kesanggupan; dan, (3) tuntutan situasi.
4. Tujuan Sementara
Tujuan-tujuan sementara pada umumnya merupakan tujuan-tujuan
yang dikembangkan dalam rangka menjawab segala tuntutan kehidupan.
Karena itu tujuan sementara itu kondisional, tergantung faktor di mana
peserta didik itu tinggal atau hidup. Berangkat dari pertimbangan kondisi
itulah pendidikan Islam bisa menyesuaikan diri untuk memenuhi prinsip
dinamis dalam pendidikan dengan lingkungan yang bercorak apapun,
yang membedakan antara satu wilayah dengan wilayah yang lain, yang
penting orientasi dari pendidikan itu tidak keluar dari nilai-nilai ideal
Islam.
Melihat tujuan-tujuan pendidikan yang telah dikemukakan di atas,
disimpulkan, bahwa tujuan umum, tujuan khusus, dan tujuan sementara
dapat dikatakan sebagai sarana menuju tercapainya tujuan puncak dan
tertinggi, bahkan menurut hemat penulis, tujuan-tujuan tersebut dapat
diasumsikan sebagai fungsi-fungsi sekaligus materi-materi pendidikan
yang dengannya tujuan puncak dan tertinggi dalam pendidikan Islam
dapat tercapai. Hal ini terlihat dengan jelas baik dari point-point yang
dikemukakan oleh al-Abrasyi dan al-Nahlawi di atas, maupun dari point-
point tujuan khusus pendikan yang dituangkan oleh Hasan Langgulung 18 seperti berikut:
18 Lihat Hasan Langgulung, Manusia dan Pendidikan (Jakarta: Pustaka Al Husna, 1986) 64.
1) Memperkenalkan kepada generasi muda akan akidah Islam,
d a s a r - d a s a r n y a , a s a l u s u l i b a d a h d a n c a r a - c a r a
melaksanakannya dengan betul, dengan membiasakan mereka
berhati-hati mematuhi akidah-akidah agama serta menjalankan
dan menghormati syiar-syiar agama;
2) Menumbuhkan kesadaran yang betul pada diri pelajar terhadap
agama termasuk prinsip-prinsip dan dasar-dasar akhlak yang
mulia;
3) Menanamkan keimanan kepada Allah pencipta alam, kepada
Malaikat, Rasul-rasul, Kitab-kitab dan hari kiamat berdasarkan
pada paham kesadaran dan perasaan;
4) Menumbuhkan minat generasi muda untuk menambah
pengetahuan dalam adab dan pengetahuan keagamaan dan
untuk mengikuti hukum-hukum agama dengan kecintaan dan
kerelaan;
5) Menanamkan rasa cinta dan penghargaan kepada al-Qur'an,
membacanya dengan baik, memahaminya dan mengamalkan
ajaran-ajaranya.
6) Menumbuhkan rasa bangga terhadap sejarah dan kebudayaan
Islam dan pahlawan-pahlawannya serta mengikuti jejak mereka;
7) Menumbuhkan rasa rela, optimism, percaya diri, tanggung
jawab, menghargai kewajiban, tolong menolong atas kebaikan
dan takwa, kasih saying, cinta kebaikan, sabar, berjuang untuk
kebaikan, memegang teguh pada prinsip, berkorban untuk
agama dan tanah air dan bersiap untuk membelanya;
8) Mendidik naluri, motivasi, dan keinginan generasi muda dan
menguatkannya dengan akidah dan nilai-nilai, dan
membiasakan mereka menahan motivasinya, mengatur emosi
dan membimbingnya dengan baik, begitu juga mengajar mereka
berpegang dengan adab sopan santun pada hubungan dan
pergaulan mereka baik di rumah, di sekolah atau di mana pun ia
berada;
9) Menanmkan iman yang kuat kepada Allah pada diri mereka,
perasaan keagamaan, semangat keagamaan dan akhlak pada diri
mereka dan menyuburkan hati mereka dengan rasa cinta, zikir,
takwa dan takut kepada Allah; dan,
Kurikulum Pendidikan Islam 121
DIRASAT. Vol. 12, No. 01 TAHUN 2017
10) Membersihkan hati mereka dari rasa dengki, hasad, iri hati, benci,
kekasaran, egoism, tipuan, khianat, nifak, raga, serta perpecahan
dan perselisihan.
Dengan demikian, tujuan hidup seorang Muslim sebagai individu
yang memiliki fitrah pengabdian kepada Allah swt. serta fungsi
pemakmuran bumi, itu pulalah yang menjadi tujuan pendidikannya.
Materi-materi pendidikan yang menghantarkannya ke arah tujuan
tersebut, yang populer dikenal di dunia akademik sebagai kurikulum
pendidikan, secara detail akan diterangkan pada bagian kurikulum 'Ilm Farḍ
'Ain dan 'Ilm Farḍ Kifāyah.
D. Manusia dan Pendidikan
Sub pembahasan Manusia dan Pendidikan mendahului Kurikulum 19
Pendidikan. Hal ini penting, mengingat bahwa manusia adalah objek
dimana kurikulum pendidikan didesain dan dituangkan. Artinya,
perencanaan kurikulum pendidikan hanya dapat dilakukan jika objek
pendidikan dipahami dengan komprehensif.
19 Di dalam Uyoh Sadulloh, Pengantar Filsafat Pendidikan (Bandung: Alfabeta, 2006), 69-70, Sadulloh
menegaskan bahwa yang dapat menjadi objek pendidikan dan terlibat dalam proses pendidikan
adalah manusia. Dan hewan, oleh karena tidak memiliki ciri-ciri yang dimiliki oleh manusia, tidak
dapat dididik, dan tidak memungkinkan untuk menerima pendidikan. Ciri-ciri yang dimaksud
adalah:
1) Manusia memiliki kemauan untuk menguasai hawa nafsunya;
2) Manusia memiliki kesadaran intelektual dan seni. Manusia dapat mengembangkan pengetahuan
dan teknologi, sehingga menjadikannya sebagai makhluk berbudaya;
3) Manusia memiliki kesadaran diri. Manusia dapat menyadari sifat-sifat yang ada pada dirinya.
Manusia dapat mengadakan introspeksi diri;
4) Manusia adalah makhluk sosial. Manusia membutuhkan orang lain untuk hidup bersama-sama,
berorganisasi dan bernegara;
5) Manusia memiliki bahasa simbolis, baik secara tertulis maupun secara lisan;
6) Manusia dapat menyadari nilai-nilai (etika maupun estetika). Manusia dapat berbuat sesuai
dengan nilai-nilai tersebut. Manusia memiliki kata hati atau hati nurani; dan,
7) Manusia dapat berkomunikasi dengan Tuhan yang Mahakuasa sebagai pencipta alam semesta.
Manusia dapat menghayati kehidupan beragama, yang merupakan nilai yang paling tinggi dalam
kehidupan manusia.
Hal senada dikemukakan oleh al-Attas dalam pembahasannya mengenai terminologi pendidikan
Islam, sebagaimana yang dikutip oleh Wan Daud: … sementara pelatihan dapat dilakukan bagi
manusia dan binatang, pendidikan sejatinya hanya dapat dilakukan untuk manusia… lihat Wan
Mohd. Nor Wan Daud, “Konsep al-Attas tentang Ta'dib: Gagasan Pendidikan yang Tepat dan
Komprehensif dalam Islam.” Islamia: Majalah Pemikiran dan Peradaban Islam, Thn I, No. 6 September
2005, 81.
122 Baharuddin AR
DIRASAT. Vol. 12, No. 01 TAHUN 2017
Dikatakan manusia sebagai objek pendidikan, oleh karena, di antara
makhluk ciptaan Tuhan, hanya manusia yang memiliki keunikan serta
kekhususan yang tidak dimiliki oleh makhluk Tuhan lainnya. Dan dengan
keunikan dan kekhususan tersebut, manusia dapat menerima pelatihan,
pengajaran, dan pendidikan. Keunikan dan kekhususan yang dimaksud
adalah bahwasanya manusia diletakkan dalam posisi dua titik lingkaran,
yaitu sebagai makhluk pribadi yang selalu mempererat hubungan dengan
Tuhan (ḥabl min Allāh) dan sekaligus menjalin hubungan dengan
masyarakatnya (ḥabl min al-Nās). Dengan ikatan dalam dua lingkaran
hubungan inilah, manusia menempuh rangkaian proses perkembangan
yang menuju ke arah martabat hidup manusiawi sesuai dengan kehendak
Tuhannya. Hubungan dua arah yang sekaligus harus dibentuk itulah yang
mampu menjadikan dirinya hamba Tuhan yang paling mulia di antara
makhluk Tuhan lainnya, karena mampu berkeimanan yang tangguh ('ibād
al-Raḥmān) dan mampu beramal shaleh untuk masyarakatnya (khalīfat
Allāh).
1. Hakikat Manusia
Pengetahuan tentang hakikat manusia merupakan bagian yang
sangat esensial, karena dengan pengetahuan tersebut dapat diketahui
tentang kedudukan dan fungsinya, baik hubungannya dengan Tuhan
maupun hubungannya dengan makhluk di sekelilingnya. Dan dengan
pengetahuan akan kedudukan dan fungsi manusia tersebut, maka proses
pendidikan dapat dilakukan dengan terencana dan tersistematis, sehingga
pada gilirannya tujuan pendidikan dapat tercapai secara maksimal.
Di dalam al-Qur'an, ada 3 terma yang sering digunakan untuk
menunjuk pengertian manusia. Ketiga terma tersebut adalah: al-basyar, al-
nās dan al-insān. Meskipun secara umum menunjukkan arti pada manusia,
akan tetapi, secara khusus memiliki pengertian yang berbeda.
1) Al-Basyar
Kata al-basyar dinyatakan di dalam al-Qur'an sebanyak 36 kali yang
tersebar ke dalam 26 sūrah untuk menunjuk manusia. Secara etimologi, al-
basyar merupakan bentuk jamak dari kata al-basyarat yang literal
diterjemahkan sebagai kulit kepala, wajah dan tubuh menjadi tempat
tumbuhnya rambut. Pemaknaan manusia dengan al-basyar memberi
pengertian bahwa manusia adalah makhluk biologis serta memiliki sifat-
sifat yang ada di dalamnya, seperti makan, minum, kebutuhan akan
hiburan, seks dan lain sebagainya.
Kurikulum Pendidikan Islam 123
DIRASAT. Vol. 12, No. 01 TAHUN 2017
Kata al-basyar ditujukan kepada manusia secara keseluruhan tanpa terkecuali, termasuk Nabi Muhammad, sebagaimana yang diungkapkan oleh al-Qur'an (QS. 18:10: “Sesungguhnya aku (Muhammad) adalah seorang manusia (basyar) seperti kalian”).
Ayat tersebut mengisyaratkan kepada kita, bahwa Nabi Muhammad saw. pun memiliki sifat basyariyah. Penggunaan kata al-basyar mempunyai makna bahwa manusia secara umum memiliki persamaan dengan ciri pokok dari makhluk Allah lainnya, seperti hewan dan tumbuhan. Ciri pokok yang umum tersebut di antaranya adalah persamaan mereka dalam hal kebutuhan akan ruang dan waktu, serta tunduk kepada sunnatullah. Secara biologis manusia memiliki ketergantungan yang sama dengan hewan dan tumbuhan terhadap alam, seperti makan, minum dan lain sebagainya. Dengan demikian, penggunaan kata al-basyar pada manusia hanya menunjukkan persamaan dengan makhluk lainnya pada aspek material atau dimensi alamiahnya saja.
2) Al-Nās
Kata al-nās dinyatakan di dalam al-Qur'an sebanyak 240 kali yang tersebar ke dalam 53 sūrah. Kata al-nās menunjuk kepada hakikat manusia sebagai makhluk sosial dan menunjuk kepada manusia secara keseluruhan tanpa melihat statusnya apakah ia beriman atau kafir.
Selain pengertian tersebut, kata al-nās juga dipakai untuk menunjukkan sifat atau kondiri manusia yang labil. Meskipun Allah telah menganugerahkan kepada manusia berupa potensi akal yang dapat digunakan untuk mengenal Tuhan, namun hanya sebahagian manusia yang mau mempergunakannya dalam bentuk yang positif, bahkan sebahagian manusia mempergunakannya dalam bentuk negatif, yaitu melakukan penentangan dengan Tuhan. Dengan demikian, penyebutan manusia dengan menggunakan terma al-nās mengindikasikan bahwa manusia memiliki dua dimensi, yaitu sebagai makhluk yang mulia sekaligus tercela.
3) Al-Insān
Jika dipahami bahwa hakikat sesuatu itu adalah merupakan definisinya, sedangkan definisi dipahami sebagai pemberian batasan atau membuat sesuatu yang didefinisikan itu tidak tak terbatas (ad-infinitum) –batasan mana berarti memberi sesuatu yang didefinisikan sebuah kekhususan yang tidak dimiliki oleh sesuatu yang lain, maka disimpulkan bahwa kedua terma yang telah disebutkan di atas (i.e., al-basyar dan al-nās) belum dapat dikatakan telah cukup berbicara mengenai hakikat dan definisi manusia, melainkan hanya pada batas berbicara mengenai gambaran manusia.
124 Baharuddin AR
DIRASAT. Vol. 12, No. 01 TAHUN 2017
øŒÎ) ur x‹s{r& y7 •/u‘ .` ÏB ûÓÍ_t/ tP yŠ# uä ` ÏB óO Ïd Í‘qßgàß öN åktJ ƒ Íh‘èŒ öN èd y‰pk ôr& ur #’n?tã öN ÍkŦ àÿRr& àM ó¡s9r& öN ä3În/t� Î/ ( (#qä9$s% 4’n? t/¡
Lalu apa hakikat manusia? Apakah penyebutan al-Qur'an dengan
menggunakan terma al-insān dapat dikatakan sebagai definisi manusia?
Kata al-insān dinyatakan dalam al-Qur'an sebanyak 73 kali yang
disebut ke dalam 43 sūrah. Kata ini terbentuk dari akar kata nasiya yang
secara literal bermakna lupa. Ibn Abbas, seperti yang dikutip oleh al-Attas,
menyebutkan bahwa sesungguhnya manusia itu disebut sebagai manusia
oleh karena manusia telah melakukan perjanjian kontrak dengan Allah,
tetapi kemudian mereka lupa (innamā summiya al-insān insānan li annahū 20
'uhida ilayh fa nasiya).
Nampaknya Ibn Abbas merujuk pernyataannya dengan sebuah ayat di
dalam al-Qur'an (QS: 7:172):
Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-
anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian
terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah aku ini
Tuhanmu?" mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), kami
menjadi saksi." (kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat
kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (banī '�dam) adalah
orang-orang yang lengah lupa terhadap kesaksian ini.
Kutipan ayat di atas, secara indikatif menunjukkan bahwa manusia, 21
di samping memiliki unsur yang disebut dengan unsur jasmani, ia juga
memiliki unsur ruhani.
20 Lihat al-Attas, Aims and Objectives of Islamic Education, 37.
21 Bandingkan dengan ayat berikut (QS: 23:12-14):
Dan Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah. Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. kemudian Kami jadikan Dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha sucilah Allah, Pencipta yang paling baik.
Sebagaimana yang juga ditegaskan oleh Allah swt. melalui firman-Nya 22 (QS: 15:29) yang berbunyi:
Maka apabila aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah
meniup kan kedalamnya ruh (ciptaan)-Ku, Maka tunduklah kamu
kepadanya dengan bersujud.
Selanjutnya, Allah mengajari manusia nama-nama (al-asmā') segala 23
sesuatu. Mengomentari ayat tersebut, al-Atas menyebutkan bahwa
“Allah telah memberi ilmu (al-'ilm) kepada manusia mengenai segala
sesuatu. Dan ilmu di sini, maksudnya bukan ilmu mengenai esensi (zat)
sesuatu, seperti ruh (al-rūḥ), oleh karena hanya sedikit saja ilmu
mengenainya yang telah disingkap (QS: 17:8: wa mā ūtītum min al-'ilm illā
qalīlā), melainkan ilmu yang berkenaan dengan hal-hal aksiden ('arad) dan
sifat (ṣifah) dari sesuatu yang dapat dicerna oleh indera dan aqal (maḥsūsāt 24
dan ma'qūlāt).
Allah juga telah memberi manusia ilmu pengetahuan mengenai Diri-
Nya (ma'rifah), ke-Esaan-Nya, bahwa Dialah Tuhan yang sesungguhnya,
sehingga dengan demikian, menjadi tujuan dari segala persembahan 25
(ilāh).
22 Menurut Ramayulis, jika proses penciptaan manusia sebagaimana yang dimaksud pada
ayat tersebut dianalisa lebih seksama, maka penggunaan kata al-insān di sini mengandung dua dimensi: pertama, dimensi tubuh (dengan berbagai unsurnya); kedua, dimensi spiritual (ditiupkannya roh Allah kepada manusia).
Dengan demikian, kedua dimensi tersebut, memberikan suatu penegasan, bahwa kata al-insān mengandung makna akan ke unikan manusia. Sebab, disamping memiliki kelebihan dan keistimewaan, ia juga memilki sifat-sifat keterbatasan, seperti tergesa-gesa, kikir, suka membantah, resah dan gelisah dan lain sebagainya. Untuk itu, agar manusia hidup sesuai dengan nilai-nilai ilahiyah, maka hendaklah manusia senantiasa tetap menggunakan akal dan seluruh potensi yang dimilikinya secara optimal, dengan tetap berpedoman kepada ajaran ilahi. Dengan tetap mengacu pada nilali-nilai inilah manusia dapat mewujudkan dirinya sebagai makhluk Allah yang mulia. Jika tidak, manusia akan tergelincir dan terjerumus pada kehinaan, bahkan lebih hina dari binatang. Lihat Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, 3-5.
23 Lihat QS: 2:31: wa 'allama Ᾱdam al-asmā.
24 Lihat al-Attas, Aims and Objectives of Islamic Education, 24.
25 QS: 7:172 dan 3:18.
126 Baharuddin AR
DIRASAT. Vol. 12, No. 01 TAHUN 2017
Akan tetapi, bukan hanya ilmu dan ma'rifah yang melekat dalam diri
manusia, melainkan sifat lupa (nisyān), sebagaimana yang dinyatakan oleh
Ibn Abbas di atas. Sifat nisyān ini lah, yang menurut al-Attas, menjadi
penyebab terjadinya penyelewengan dan 'kedurhakaan' (disobidience) 26
kepada Allah swt. –hal mana kemudian melahirkan 'kezaliman' (al-ẓulm)
dan 'kebodohan' (al-jahl).
Dari penjelasan singkat tersebut, dapat disimpulkan bahwa manusia
memiliki kelebihan berupa unsur ruhani yang Allah anugerahkan
kepadanya –hal mana menunjukkan perbedaannya dengan makhluk
Tuhan lainnya. Kelebihan yang berupa unsur ruhani ini, tak lain dan tak 27 bukan, adalah rasio (al-'aql), hati (al-qalb), spirit (al-rūḥ) dan jiwa (al-nafs).
Itulah sebabnya, sebahagian pakar mendefinisikan manusa sebagai al-
ḥayawān al-nāṭiq (hewan yang rasional).
Lalu apa pengertian rasio yang mendefinisikan dan yang menjadi
pembeda antara manusia dengan makhluk atau lebih presisinya hewan 28
yang lainnya?
26 Lihat al-Attas, Aims and Objectives of Islamic Education, 24
27 Menurut al-Ghazālī, terma al-nafs, yang literalnya diterjemahkan sebagai jiwa, merupakan
equivalensi dari kata al-'aql (rasio), al-qalb (hati), dan al-rūḥ (ruh). Dengan ungkapan lain, ke empat terma tersebut pada hakikatnya memiliki entitas yang satu. Adapun penyebutannya yang berbeda-beda, hal tersebut dikarenakan oleh keadaan (aḥwāl) atau fungsinya, sehingga: (a) apabila entitas tersebut keadaanya melakukan kegiatan intelektual (apprehension) maka ia disebut sebagai akal atau rasio (al-'aql), (b) apabila entitas tersebut keadaannya “menaungi” tubuh (governs the body), maka ia disebut sebagai jiwa atau soul (al-nafs), (c) apabila entitas tersebut keadaannya menerima intuisi dan pencerahan (receiving intuitive illumination), maka ia disebut sebagai hati atau heart (al-qalb), dan (d) apabila entitas tersebut keadaannya “kembali” kepada dunianya yang abstrak (the world of abstract entity), maka ia disebut ruh atau spirit (al-rūḥ). Dikutip dalam al-Attas, The Nature, 7-8.
28 Di dalam logika dikenal istilah kullī (general) dan juz'ī (parsial). Kullī terdiri dari 5 bagian,
yaitu: jins (jenus = jenis), naw' (spesis), faṣl (differentia), khaṣṣah (properti), dan 'araḍ 'āmm (aksiden umum). Mendefinisikan manusia sebagai hewan yang berasio berarti memberi kekhasan kepada manusia di mana kekhasan tersebut tidak dimiliki oleh hewan lainnya. Hewan adalah jenus, manusia adalah spesis, dan rasion adalah differentia. Lihat Mulla Khalil al-Sa'radi, Isagogi fi al-Manṭiq (Turkey: Teblig Yayinlari, tt.) 8.
Kurikulum Pendidikan Islam 127
DIRASAT. Vol. 12, No. 01 TAHUN 2017
Rasio merupakan terjemahan literal dari al-nuṭq. Rasio didefinisikan
sebagai kapasitas (capacity) untuk mengungkap dan memahami ucapan,
sekaligus kemampuan (power) untuk memformulasi makna (meaning). Jadi,
rasio merupakan sebuah fakultas dalam diri manusia yang dengannya ia
(manusia) dapat mengungkap ucapan ataupun memahami ucapan 29
ataupun memformulasi kalimat yang bermakna dan dapat dipahami.
Definisi mengenai rasio tersebut sesungguhnya merupakan
implikasi (by implication) pemahaman yang terindikasi dari kejadian yang
dikenal dengan 'pengambilan sumpah' (primordial covenant = 'ahd atau
mītsāq), dimana Allah bertanya kepada manusia: bukankah Aku (Allah)
Tuhan kalian? Yang serentak mereka jawab dalam bentuk affirmasi: ya, Kami
bersaksi akan hal itu! Oleh karena, tanpa adanya kapasitas serta kemampuan
(rasio) yang Allah anugerahkan kepada manusia tersebut, manusia tidak
akan dapat memahami pertanyaan serta mengartikulasi jawaban yang
dapat dipahami.
2. Kedudukan dan Fungsi Manusia
Dengan unsur manusia yang terdiri atas jasmani dan rohani, di mana
unsur yang kedua disebut menjadi unsur utama dan yang
mendefinisikannya, serta dengan kapasitas dan potensi yang
dianugerahkan kepadanya oleh Allah, maka, dengan demikian, ia
memiliki kedudukan yang strategis sebagai pengemban amanah Allah
(kahlīfat Allah).
Sebagai khalīfat Allah (lit. wakil Allah), manusia diberi 'kewenangan'
untuk memakmurkan bumi (QS: 2:30). Kewenangan di sini tidak dalam
pengertian kewenangan yang tanpa batas, melainkan kewenangan dengan
batas yang sesuai dengan yang dikehendaki oleh Allah, yaitu berlaku 'adil'
(justice).
29 Lihat Syed Muhammad Naquib al-Attas, The Positive Aspects of Tasawwuf (Kuala Lumpur:
Art Printing Works, 1981), 4.
128 Baharuddin AR
DIRASAT. Vol. 12, No. 01 TAHUN 2017
Hal ini tentu hanya dapat dilakukan jika dipahami bahwa semesta atau
bumi yang diamanati merupakan ayat (simbol) yang tidak
'merepresentasikan' dirinya, melainkan 'sesuatu' di balik dirinya, yaitu, 30
Allah.
Dengan persepsi tersebut, manusia tentunya senantiasa akan
menjaga keharmonisan hubungan dirinya dengan alam sebagai sesuatu
yang memiliki persamaan sebagai hamba kepada Allah. Manusia akan
senantiasa memiliki sifat hormat dan menjaga prilaku dan perbuatannya
agar tidak terjadi kerusakan (fasād) di bumi yang ia junjung, sebagaimana
pesan Allah di dalam QS: 2:11-12:
Dan bila dikatakan kepada mereka: “Janganlah kamu membuat
kerusakan di muka bumi.”. mereka menjawab: “Sesungguhnya
kami orang-orang yang mengadakan perbaikan.” Ingatlah,
Sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang membuat
30 Kata الشئ berarti sesuatu, atau segala yang ada selain dari Tuhan (ما سـوى هللا). Kata ini memiliki
padanan arti dalam bahasa Arab yaitu: املعلومات، العامل ،الكون (الاكئنات)، اخللق (ا�لوقات)، طبیعي :
artinya alam yang berasal dari atau �امل الكون والفســــاد dalam filsafat disebut sebagai )الكون (الاكئنات (1 muncul dan tercipta dari 'ālam al-'amr (alam perintah Allah) melalui kata atau kalimat )اكن – امنا امره اذا اراد ش��ا ان یقول � �ن ف�كون :sebagaimana firman Allah �كون – �ون / اك�ن - �ن) �ن
- �لق – خيلق – �لقـا) atau pencipta اخلالق artinya ciptaan, kata ini memberi indikasi adanya )اخللق (ا�لوقـات (2 .(�الق
”.yang berarti alam “terbit” atau alam ”stempel �امل طبـیعي dalam filsafat disebut sebagai طبیعي (3 Indikasinya adalah bila ada yang terbit sudah pasti ada penerbitnya atau pelaku yang melakukan stempel tersebut.
– �مل – یعمل – �لام yang berarti yang Maha Mengetahui العامل atau objek ilmu. Indikasinya adalah املعلومات (4 .()�امل – معلوم / معلومات
”,atau yang “menghendaki مشـ��ة yang berarti sesuatu. Ini mengindikasikan adanya الشئ (5 dalam teologi disebut sebagai (شاء – �شاء – شئ - مش��ة) مبش��ة هللا.
Terma-terma tersebut di atas, sebagaimana yang dapat dilihat, memunculkan indikasi adanya “sesuatu” yang lain selain dari dirinya (point to something other than itself). Sesuatu yang lain selain dari dirinya ini biasa diistilahkan dengan “tanda” (simbol = āyah) akan adanya Allah.
Kurikulum Pendidikan Islam 129
DIRASAT. Vol. 12, No. 01 TAHUN 2017
Hal senada dikatakan oleh Quraisy Syihab dalam menyikapi tugas
manusia sebagai khalīfat Allah di muka bumi:
… bahwa hubungan antara manusia dengan alam atau hubungan
manusia dengan sesamanya, bukan merupakan hubungan antara
penakluk dengan ditaklukkan, atau antara tuan dengan hamba,
tetapi hubungan kebersamaan dalam ketundukan kepada Allah swt.
karena walaupun manusia mampu mengelola dan menguasai,
namun hal tersebut bukan akibat kekuatan yang dimiliki oleh
manusia, melainkan karena Tuhan menundukkannya untuk 31
manusia.
Jadi, manusia dalam visi kekhalifahannya, bukan saja sekedar
'menggantikan' sebagaimana arti literal yang inheren dari kata khalīfah,
tetapi dengan arti yang luas yaitu senantiasa mengikuti perintah yang
digantikan (Allah). Dengan pengertian ini, dan sebagai konsekuwensi
logis, maka manusia memiliki tugas dan tanggung jawab atas amanah
kekhalifahan, yakni untuk memakmurkan bumi –hal mana berarti pula
bahwa telah menjadi keniscayaan baginya untuk memiliki ilmu atau
berada dalam lingkungan dan proses pendidikan yang membawanya
dapat merealisasikan tugas dan tanggung jawab yang diemban tersebut.
Oleh karena manusia sebagaimana yang telah dijelaskan di atas,
merupakan makhluk Allah yang berdual dimensi: fisik dan non-fisik atau
jasmani dan ruhani, maka ilmu yang menjadi keniscayaan baginya pun
dapat diklasifikasi menjadi dua: ilmu yang menjadi “makanan” bagi
dimensi fisik dan ilmu yang menjadi makanan bagi dimensi ruhani. Kedua
ilmu yang menjadi keniscayaan bagi manusia inilah yang disebut dengan
ilm far� 'ain dan 'ilm far� kifāyah sebagaimana yang akan dijabarkan pada
sub bagian selanjutnya.
31 Dikutip dalam Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, 10.
130 Baharuddin AR
DIRASAT. Vol. 12, No. 01 TAHUN 2017
DAFTAR PUSTAKA
Hal 'Abd al-Bāqi, Muḥammad Fu'ād. Mu'jam al-Mufahras li Alfāzh Al-Qur'ān al-Karīm. Beirut: Dār al-Fikr, 1987.
al-Abrasyi, Muhammad Athiyah. al-Tarbiyyah al-Islamiyyah wa Falasifatuha. Cario: Issa al-Baby al-Halaby & Co, 1969.
Achmadi, Abu. Islam sebagai Paradigma Ilmu Pendidikan. Yogyakarta: Aditya Media, 1992.
Acikgenc, Alparslan. Islamic Science: Toward a Definition. Kuala Lumpur: ISTAC, 1996.
Arifin, Muzayyin. Filsafat Pendidikan Islam. Bandung: Bumi Aksaria, 2009.
al-Attas, Syed Muhammad Naquib. “Latar Belakang Kristen-Barat Kontemporer.” Islamia: Majalah Pemikiran dan Peradaban Islam, Vol III, No. 2 Januari-Maret 2007.
---------. The Concept of Education in Islam: A Framework for an Islamic Philosophy of Education. Kuala Lumpur: ISTAC, 1991.
---------. Islam and Secularism. Malaysia: International Institute of Islamic Thought and Civilization, 1983.
---------. Prolegomena to the Metaphysics of Islam: An Exposition of the Fundamental Elements of the Worldview of Islam. Malaysia: University Teknologi Malaysia, 2014.
---------. The Positive Aspect of Tasawwuf: Preliminary Thoughts on an Islamic Philosophy of Science. Kuala Lumpur: Art Printing Works, 1981.
---------. The Nature of Man and the Psychology of the Human Soul: A Brief Outline and a Framework for an Islamic Psychology and Epistemology. Kuala Lumpur: ISTAC, 1990.
---------. Islam and the Philosophy of Science. Kuala Lumpur: International Institute of Islamic Thought and Civilization, ISTAC, 1989.
---------. Islam and Secularism. International Institute of Islamic Thought and Civilization: Malaysia, 1983.
Kurikulum Pendidikan Islam 131
DIRASAT. Vol. 12, No. 01 TAHUN 2017
---------. et.al., Aims and Objectives of Islamic Education. Jeddah: King Abdul Aziz University, 1979.
th---------. The Oldest Known Malay Manuscript: a 16 Century Malay Translation of the Aqa'id of al-Nasafi. Kuala Lumpur: Department of Publications University of Malaya, 1988.
---------. The Meaning of Happiness in Islam. Kuala Lumpur: ISTAC, 1993.
---------. The Concept of Education in Islam: A Framework for an Islamic Philosophy of Education, Kuala Lumpur: ISTAC, 1991.
---------. Konsep Pendidikan dalam Islam: Suatu Kerangka Pikir Pembinaan Filsafat Pendidikan Islam (terj). Bandung: Mizan, 1987.
Bakar, Osman. Classification of Knowledge in Islam. Kuala Lumpur: Institute for Policy Research, 1992.
Wan Daud, Wan Mohd. Nor. The Beacon on the Crest of a Hill: A Brief History and Philosophy of the International Institute of Islamic Thought and Civilization. Kuala Lumpur: ISTAC, 1991.
---------. The Educational Philosophy and Practice of Syed Muhammad Naquib al-Attas: An Exposition of the Original Concept of Islamization. Kuala Lumpur: ISTAC, 1998.
---------. “Konsep al-Attas tentang Ta'dib: Gagasan Pendidikan yang Tepat dan Komprehensif dalam Islam.” Islamia: Majalah Pemikiran dan Peradaban Islam, Thn I, No. 6 September 2005.