Top Banner

of 50

Kumpulan Jurnal Farmakologi Dasar

Jul 06, 2015

Download

Documents

Ardi Darkheart
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript

Kumpulan Jurnal Farmakologi DasarCARA-CARA PENANGANAN/ PERLAKUAN, PENANDAAN HEWAN PERCOBAAN DAN RUTE PEMBERIAN OBAT I. Pendahuluan Peranan hewan percobaan dalam kegiatan penelitian ilmiah telah berjalan sejak puluhan tahun yang lalu. Sebagai pola kebijaksanaan pembangunan nasional bahkan internasional, dalam rangka keselamatan umat manusia di dunia adalah adanya Deklarasi Helsinki. Deklarasi ini berisi tentang segi etik percobaan yang menggunakan manusia (1964) antara lain dikatakan perlunya diakukan percobaan pada hewan, sebelum percobaan di bidang biomedis maupun riset lainnya dilakukan atau diperlakukan terhadap manusia, sehingga dengan demikian jelas hewan percobaan mempunyai mission di dalam keikutsertaannya menunjang program keselamatan umat manusia melalui suatu penelitian biomedis. Selain itu berdasarkan deklarasi tersebut, cukup beralasan pula bila penelitian lain misalnya tentang aspek fisiologis, patologis, dan penyakit pada manusia, nutrisi, virus, penelitian perilaku dan sebagainya, dapat dilakukan pada hewan percobaan sebagai modelnya dengan segala persyaratan tertentu. Berdasarkan referensi data yang diperoleh dari National Institute of Health Primate Research centers, 1978, syarat utama dalam pemilihan hewan percobaan yang sesuai dan dapat dipakai sebagai model adalah bahwa proses yang terjadi pada hewan percobaan tersebut mirip atau banyak kesamaannya dengan proses yang terjadi pada manusia. Di samping itu mudah didapat , mudah dikembang-biakkan dan relatip murah harganya. Secara terperinci peranan hewan percobaan berorientasi kepada kegiatan penelitian maupun pemeriksaan laboratorium. (Edhie sulaksono, 1992) Obat masuk ke dalam tubuh dengan cara intravaskular atau ekstravaskular. Cara intravaskular yaitu obat langsung masuk ke sirkulasi sistemik dan didistribusikan ke seluruh tubuh seperti pemberian intravena (suntikan atau infus). Berarti pemberian obat tidak perlu menglami fase pertama untuk memberikan efek, yaitu fase absorpsi. Konsentrasi obat dalam plasma atau darah selanjutnya ditentukan oleh kecepatan biotransformasi dan kecepatan ekskresi atau eliminasi obat dari tubuh. Sedangkan cara ekstravaskular yaitu obat harus diabsorpsi dahulu sebelum masuk ke peredaran sistemik seperti pemberian intramuskular, subkutan, intradermal, dan peritoneal. Syarat untuk absorpsi adalah obat harus terbebaskan terlebih dahulu dari bentuk sediannya dan bukan hanya tergantung pada faktor fisikokimia obat, tetapi juga pada faktor lingkungan bagian tubuh tempat obat diserap atau diabsorpsi. Kemudian, faktor-faktor teknik pembuatan (farmakoteknik) merupakan penentu untuk pembebasan obat dari bentuk sediaannya ke dalam cairan tubuh. (Stefanus Lukas, 2006) II. Tujuan Percobaan - Untuk mengetahui bagaimana cara-cara menangani/ memperlakukan hewan percobaan, - Untuk mengetahui bagaimana cara memberi penandaan pada hewan percobaan, - Untuk melihat berbagai pengaruh rute pemberian obat terhadap efek yang ditimbulkan, - Untuk menyatakan onset of action obat berdasarkan rute pemberian, - Untuk mengetahui efek dari Luminal Na terhadap hewan percobaan III. Prinsip Percobaan

- Cara memegang hewan percoabaan adalah berbeda-beda. Hal ini ditentukan oleh sifat hewan tersebut, keadaan fisiknya (besar atau kecil), serta tujuannya. Kesalahan dalam prosedurnya akan menyebabkan kecelakaan atau rasa sakit pada hewan, sehingga menyulitkan dalam penyuntikan. - Dengan membandingkan berbagai rute pemberian obat (oral dan intraperitoneal ), sehingga dapat diperoleh onset of action, intensitas, dan duration of action dari suatu obat. Onset of action pada pemberian intraperitonial akan lebih cepat dicapai dibandingkan dengan melalui oral. IV. Tinjauan Pustaka Keanekaragaman jenis hayati (hewan percobaan) yang dimiliki ataupun yang dipakai sebagai Animal model oleh suatu laboratorium medis baik itu dibidang farmasi, phisiologi, ekologi, mikrobiologi, virologi, radiobiologi, kanker, biologi dan sebagainya di negara manapun merupakan suatu "modal dasar" dan "model hidup" yang mutlak dalam berbagai kegiatan penelitian (riset). Secara definitip hewan percobaan adalah yang digunakan sebagai alat penilai atau merupakan "model hidup"dalam suatu kegiatan penelitian atau pemeriksaan laboratorium baik medis maupun non medis secara in vivo. Di dalam hal keikutsertaan dan pemanfaatannya bagi pengembangan sains dan teknologi, kebutuhan akan sumber hayati ini (hewan percobaan) makin hari makin meningkat terutama untuk kepentingan riset biomedis maupun pendidikan baik di dalam maupun di luar negeri. Bahkan secara nasional negara kita adalah salah satu negara pensuplai kebutuhan tersebut (misalnya kera). Dipihak lain belum banyak usaha yang terpadu & programatis dalam penanganan hewan percobaan baik dalam kwalitas maupun kwantitas, kecuali pada pihak yang benar-benar mengerti dan sadar akan kepentingan ini. Pengelolaan Hewan Percobaan Pada dasamya pengelolaan hewan percobaan dititikberatkan pada: 1.Kondisi bangunan Persyaratan ini sangat menentukan kondisi hewan percobaan, karena bentuk,ukuran serta bahan yang dipakai merupakan elemen dalam physical environment bagi hewan percobaan. Bangunan harus dirancang sedemikian rupa sehingga hewan dapat hidup dengan tenang, tidak terlalu lembab, dapat menghasilkan peredaran udara yang baik, suhu cocok, ventilasi lengkap dengan insect proof screen (kawat nyamuk). 2.Sanitasi Dari bangunan tersebut diambil manfaatnya dengan dapat terselenggaranya sistem sanitasi yang baik, sestim drainase yang baik, tersedianya fasilitas desinfektan, misalnya dengan jalan menempatkan tempat khusus yang berisi desinfektan (lysol 35%) atau disebut dengan Foot baths. Sanitasi kandang atau peralatan lainnya dilakukan dengan teratur. Di samping itu bagi tenaga pengelola perlu mengenakan lab jas (Protective clothing) atau peralatan proteksi lainnya seperti masker dan sebagainya. Peralatan sanitasi lainnya seperti halnya autoclave pembakar bangkai, fumigator bahkan fasilitas shower dan toilet bila perlu diusahakan ada. 3. Tersedianya makanan Tersedianya makanan hewan percobaan yang nitritiv dan dalam jumlah yang cukup. Penyimpanannya harus baik, terhindar dari lingkungan yang lembab, diusahakan bebas dari insekta atau hewan penggerek lainnya, karena dengan adanya ini dapat merupakan petunjuk adanya kerusakan bahan makanan hewan dan sebagai usaha pencegahannya adalah makanan ditempatkan dalam kantong-kantong plastik yang waterproof, bila perlu dalam kondisi anaerob (dengan menggunakan vaccum pump) dan tertutup rapat. Bentuk

makanan bila perlu diusahakan berbentuk pellet (cetakan seperti pil atau berbentuk silinder) dengan diameter tertentu tergantung macam hewannya. Keuntungannya adalah dapat disimpan lama (lebih-lebih bila anaerob), makanan bisa habis termakan (dibandingkan bila dalam bentuk mess atau powder) serta kontrol terhadap makanan yang dimakan lebih mudah. 4. Kebutuhan air Kebutuhan air dapat diperoleh dengan mudah dan lancar dan usahakan tidak terlalu tinggi kandungan mineralnya serta bersih. 5. Sirkulasi udara Dengan adanya sistim ventilasi yang baik, sirkulasi udara dapat diatur lebih-lebih bila dipasang exhaust fan. 6. Penerangan Penerangan diperlukan sekali terutama dalam pengaturan proses reproduksi hewan Haruster, karena siklus estrus (siklus reproduksinya) sangat tergantung oleh penerangan dan bila tidak terdapat penerangan akan menyebabkan terhambatnya proses reproduksi. 7. Kelembaban dan temperatur ruangan Adapun kelembaban dan temperatur ruangan yang direkomendasikan bagi masing-masing hewan percobaan adalah sebagai berikut: 8. Keamanan Maksud dari pada keamanan ini adalah menjaga jangan sampai terjadi infeksi penyakit baik yang berasal dari hewan maupun manusia. Sehingga sebagai usaha pencegahan tidak diperkenankan semua orang keluar masuk ruangan hewan (lebih-lebih bila hewannya adalah bebas kuman atau yang disebut dengan Germ Free Animals tanpa suatu keperluan apapun. 9. Training/kursus bagi personil Dalam program pemeliharaan hewan percobaan diperlukan tenaga yang terlatih dan berpengalaman yang cukup, karena ilmu yang menyangkut hewan percobaan dapat melibatkan banyak aspek ilmu, sehingga diperlukan sekali adanya kursus baik tenaga administrasi maupun tenaga teknis. (http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/16_PerkembangbiakanHewanPercobaan.pdf/16_Perk embangbiakanHewanPercobaan.html) Cara Pemberian Obat (Rote of Drug Administration) Cara pemberian obat adalah satu-satunya pengetahuan asli milik farmakologi. Perbedaan cara pemberian sangat penting dalam penentuan efek yang diharapkan. Ada obat yang hanya berkhasiat apabila disuntikkan dan tidak memberikan efek bila diminum. Karena itu cara pemberian obat ditentukan oleh : Jenis obat Kondisi penderita (sadar, tidak sadar, koperatif, dan sebagainya) kondisi penyakit (perlu efek segera atau tidak). Aplikasi Lokal Efek lokal diperoleh dengan membubuhkan obat pada kulit atau mukosa, dan dalam beberapa hal dengan penyuntikan di daerah atau rongga tertentu. Obat yang larut dalam air tidak diserap oleh kulit utuh. Obat yang dilarutkan dalam minyak dapat diserap oleh kulit, dan bila penyerapan cukup besar, akan terjadi efek sistemik bahkan keracunan. Kulit yang tidak utuh memperbesar penyerapan dan perlu mendapat perhatian. Pada umumnya, obat mudah diserap dari mukosa mata, hidung, tenggorokan, bawah lidah, rektum, saluran pernafasan dan saluran kemih kelamin. Karena itu perlu disadari, bahwa

pemberian lokal dapat menimbulkan efek sistemik sampai keracunan. Pemberian sistemik Pemberian obat melalui mulut disebut per oral atau per os merupakan cara pemberian yang paling banyak dilakukan. Keuntungan cara per os adalah murah, mudah, enak dan menyenangkan serta paling aman karena lebih mudah ditolong. Pertolongan yang diberikan ketika keracuanan akut timbul adalah dengan merangsang muntah, bilas lambung, pemberian penawar dan pemberian pencahar untuk mengurangi penyerapan. Pertolongan demikian dapat dilakuka, karenaa penyerapan obat per os memerlukan waktu yang relative lama. Kerugiannya adalah tidak mungkin diberikan jika penderita tidak sadar, muntahmuntah, sebagian obat memberikan rasa mual dan nyeri lambung atau dirusak oleh asam lambung. Selain itu, isi lambung juga mempengaruhi keteraturan atau kecepatan penyerapan obat. Adakalanya cara per oral juga digunakan pada obat yang berefek lokal pada saluran cerna seperti laksan (pencahar), digestan, antacid non-sistemik dan sebagainya. (Mulkam Y.L., Rizali H.N., 1993) Cara Pemberian Obat Parenteral Cara pemberian obat prenteral adalah sebagai berikut : 1. Subkutan atau di bawah kulit (s.c.), yaitu disuntikkan ke dalam tubuh melalui bagian yang sedikit lemaknya dan masuk ke dalam jaringan di bawah kulit; volume yang diberikan tidak lebih dari 1 ml. Sediaan harus memenuhi krtiteria tertentu, seperti berikut : Larutan sebaiknya isotonis dan iso hidris; Larutan yang sangat menyimpang isotonisnya dapat menimbulkan rasa nyeri atau nekrosis dan absorpsi zat aktif tidak optimal; Onset of action obat berupa larutan dalam air lebih cepat daripada sediaan suspensi; Determinan kecepatan absorbsi ialah total luas permukaan tempat terjadinya penyerapan; Absorpsi obat dapat diperlambat dengan menambahkan adrenalin ( cukup 1 :100.000-200.000) yang menyebabkan konstriksi pembuluh darah lokal, sehingga difusi obat tertahan diperlambat. Contoh injeksi Lidocaine Adrenalin untuk cabut gigi. Sebaliknya, absorpsi obat dapat dipercepat dengan penambahan hyluronidase, yaitu suatu enzim yang memecah mukopolisakarida dari matriks jaringan yang menyebabkan penyebaran dipecepat. Bila ada infeksi, maka bahaya lebih besar daripada penyuntikan ke dalam pembuluh darah karena pada pemberian subkutan mikroba menetap di jaringan dan membentuk abses. 2. intramuskular (i.m.), yaitu disuntikkan ke dalam jaringan otot, umumnya di otot pantat atau paha. Syarat-sayrat yang harus dipenuhi sediaan adalah sebagai berikut : Sediaan dalam bentuk larutan lebih cepat diabsorpsi daripada suspensi pembawa minyak atau air; Larutan sebaiknya isotonis; Onset bervariasi tergantung besar kecilnya partikel; Sediaan dapat berupa larutan, emulsi atau suspensi; Zat aktif bekerja lambat (preparat devo) serta mudah terakumulasi, sehingga dapat menimbulkan keracunan; Volume sediaan umumnya 2 ml sampai 20 ml dapat disuntikkan ke dalam otot dada, sedangkan volume yang lebih kecil disuntikkan ke dalam otot-otot lain. Contohnya adalah penicillin G 3.000.000 unit, injeksi antitetanus 10.000 atau 20.000 unit, injeksi vitamin B kompleks. 3. Intravena (i.v.), yaitu disuntikkan ke dalam pembuluh darah. Syaratnya adalah sebagai berikut : Larutan dalam volume kecil (dibawah 5 ml) sebaiknya isotonis dan isohidris, sedangkan volume besar (infuse) harus isotonis dan isohidris; Tidak ada fase absorpsi, Obat langsung masuk ke dalam vena; Onset of action segera; Obat bekerja paling efisien; Bioavaibilitas 100%; Obat harus dalam larutan air, bila emulsi lemak partikel minyak tidak boleh lebih besar dari ukuran partikel eritrosit; Sedian suspensi tidak dianjurkan; Larutan hipertonis disuntikkan secara lambat, sehingga sel-sel darah tidak banyak berpengaruh; Zat

aktif tidak boleh merangsang pembuluh darah, sehingga menyebabkan hemolisa seperti saponin, nitrit, dan nitrobenzol; Sediaan yang diberikan umumnya sediaan sejati; Adanya partikel dapat menyebabkan emboli; Pada pemberian dengan volume 10 ml atau lebih, sekali suntik harus bebas pirogen. Contohnya, injeksi ampicilin 500 mg, 1 gram, infuse Sodium chloride 0,9 % 25 ml, 50 ml, 500 ml.

4. Cara pemberian Parenteral lainnya : a. Intraspinal, yaitu disntukkan ke dalam sumsum tulang belakang. Syaratnya : larutan harus isotonis dan isohidris, bila digunakan sebagai anestesi larutan harus hipertonis. Contoh sediaannya yaitu injeksi Xylocain heavy 0,5% 2 ml (Buvicaine HCl). b. Peritonial, yaitu kateter dimasukkan ke dalm rongga perut dengan operasi untuk tempat memasukkan cairan steril CAPD (Continuous Ambulatory Peritoneal Dialisis). Syaratnya yaitu : larutan harus hipertonis; zat aktif harus diabsorpsi dengan cepat; volume diberikan dalam jumlah besar (1 atau 2 liter); Infeksi mudah terjadi karena pemakaian yang terus menerus dan penanganan yang tidak steril; Biasa sebagai cuci darah dengan cara CAPD. Contohh sediaannya infuse dianeal 1,5% atau 2,5% 2 liter. c. Intraartikular, yaitu disuntikkan ke dalam sendi. Syaratnya yaitu larutan harus isotonis dan isohidris. Contoh sediaan injeksi Kenacort A 10 mg/ml amp 5 ml. d. Intradermal, yaitu disuntikkan ke dalam kulit. Syarat-syarat sediaan ini yaitu : Larutan sebaiknya isotonis dan isohidris; Volume yang disuntikkan kecil, antara 0,1 hingga 0,2 ml; Biasa sebagai diagnostik Mantoux tes atau tes alergi. Contohnya yaitu tes alergi antibiotik 1 ml, injeksi Kenacort A 10 mg/ml amp 5 ml. (Stefanus Lukas, 2006) Hubungan Struktur, Sifat Kimia Fisika dengan Proses Penyerapan Obat Cara pemberian obat melalui oral (mulut), sublingual (bawah lidah), rektal (dubur) dan parenteral terteral tertentu, seperti melalui intradermal, intramuskular, subkutan dan intraperitonial, melibatkan proses penyerapan obat yang berbeda-beda. Pemberian secara parenteral yang lain, seperti melalui intravena, intraarteri, intraspinal dan intraserebral, tidak melibatkan proses penyerapan, obat langsung masuk ke peredaran darah dan kemudian menuju sisi reseptor (receptor cite). Cara pemberian yang lain adalah secara inhalasi melalui hidung dan secara setempat melalui kulit atau mata. Proses penyerapan merupakan dasar penting dalam menentukan aktivitas farmakologis obat. Kegagalan atau kehilangan obat selama proses penyerapan akan mempengaruhi aktivitas obat dan menyebabkan kegagalan pengobatan. 1. Penyerapan Obat Melalui Saluran Cerna Pada pemberian secara oral, sebelum obat masuk ke peredaran darah dan didistribusikan ke seluruh tubuh, terlebih dahulu mengalami proses penyerapan pada saluran cerna. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap proses penyerapan obat pada saluran cerna antara lain adalah bentuk sediaan, sifat kimia fisika, cara pemberian, faktor biologis dan faktor lain-lain. a. Bentuk sediaan Bentuk sediaan terutama berpengaruh terhadap kecepatan penyerapan obat, yang secara tidak langsung dapat mempengaruhi intensitas respon biologis obat. Bentuk sediaan pil, tablet, kapsul, emulsi, serbuk, dan larutan, proses penyerapannya memerlukan waktu yang berbeda-beda dan jumlah ketersediaan hayatinya mungkin juga belainan. Ukuran partikel

bentuk sediaan juga mempengaruhi penyerapan obat. Makin kecil ukuran partikel, luas permukaan yang bersinggungan dengan pelarut makin besar, sehingga kecepatan melarut obat makin besar. Adanya bahan-bahan tambahan atau bahan pembantu, seperti bahan pengisi, pelican, penghancur, pembasah dan emulgator, dapat mempengaruhi waktu hancur dan melarut obat, yang akhirnya berpengaruh terhadap kecepatan penyerapan obat. b. Sifat Kimia Fisika Obat Bentuk asam, basa, ester, garam, kompleks atau hidrat dari bahan obat dapat mempengaruhi kelarutan dan proses penyerapan obat. Selain itu bentuk kristal atau polimorf, kelarutan dalam lemak/ air dan derajad ionisasi juga mempengaruhi proses penyerapan obat. Contoh : Penisilin V dalam bentuk garam K lebih mudah melarut dibanding penisilin V bentuk basa, Novobiosin bentuk amorf lebih cepat melarut disbanding bentuk kristal. c. Faktor Biologis Faktor-faktor biologis yang berpengaruh terhadap proses penyerapan obat antara lain adalah variasi keasaman (pH) saluran cerna, sekresi cairan lambung, gerakan saluran cerna, luas permukaan saluran cerna, waktu pengosongan lambung dan waktu transit dalam usus, serta banyaknya buluh darah pada tempat penyerapan. d. Faktor Lain-Lain Faktor lain-lain yang berpengaruh terhadap proses penyerapan obat antara lain adalah umur, diet (makanan), adanya interaksi obat dengan senyawa lain dan adanya penyakit tertentu. (Siswandono, 1995) Absorosi, Distribusi dan Ekskresi Obat Kebanyakan obat diberikan secara oral, sehingga obat harus lewat melalui dinding usus untuk dapat memasuki aliran darah. Proses absorpsi ini dipengaruhi oleh banyak faktor, tetapi biasanya sebanding dengan kelarutan obat di dalam lemak. Sehingga, absorpsi obat yang tak terionkan adalah disangga karena obat adalah jauh lebih mudah larut dalam lipid daripada yang terionkan (BH+) dan dikelilingi oleh kulit molekul air. Obat yang diabsorpsi sebagian besar pada usus halus karena permukaannya luas. Ini terjadi untuk obat yang bersifat asam lemah (misalnya aspirin), yang tidak terionkan dalam HCl pada lambung. Obat diabsorpsi dari saluran pencernaan memasuki gerbang sirkulasi dan secara ekstensif ada yang dimetabolisme karena melewati hati (melewati metabolisme pertama). Obat-obat yang cukup larut di dalam lemak siap diabsorpsi secara oral dan dengan cepat didistribusikan seluruhnya oleh air kompartmen badan. Banyak obat yang bebas berikatan dengan albumin plasma, dan bentuk kesetimbangan diantara ikatan protein dan obat bebas dalam plasma. Obat yang berikatan dengan protein plasma yang terkurung dalam system vaskular dan tidak dapat menimbulkan efek farmakologi. Distribusi didalam tubuh terjadi ketika jangkauan obat di dalam tubuh. Kemudian menembus jaringan untuk memberkan aksi. Waktu paruh (t1/2), adalah waktu yang dibutuhkan obat untuk mencapai konsentrasi separuh dari konsentrasi awalnya. Ekskresi renal akhirnya bertanggung jawab untuk eliminasi obat paling banyak. Obat ada yang terdapat dalam filtrate glumerulus, namun obat yang larut dalm lipid akan dibsorpsi kembali pada tubulus renal secara difusi pasif. (Michael J. Neal, 2002) Penggolongan Obat Berdasarkan Khasiat dan Penggunaanya dapat dibagi :

Adstringen, Adsorben, Analeptik, Analgetik-antipiretik, analgetik-narkotik, Anestetik, Hipnotif-sedatif dan lain-lain. Sedative hipnotif merupakan Obat yang digunakan agar dapat tidur. Bila diberikan dalam dosis yang lebih rendah pada siang hari untuk menenangkan, maka dinamakan sedativ (pereda). a. Tidur tenang (slow-wave, NREM), cirinya denyut jantung, tekanan darah dan pernafasan teratur, otot kendor tanpa gerakan otot muka atau mata. b. Tidur REM atau paradoksal (Rapid-eye-movement), disini otak memperlihatkan aktivitas listrik sama dalam keadaan bangun dan aktif disertai gerakan mata yang cepat. Jantung, tekanan darah dan pernafasan turun naik, aliran darah keotak bertambah, penis mengeras, terjadi mimpi. Tidur normal adalah : 6-8 jam dimulai tidur tenang selama 1 jam. Contoh obat-obatnya yaitu barbitalum, Methaqualonum, pentobarbitalum, phenobarbitalum, dan nitrazepamum. Turunan barbiturat merupakan sedative yang banyak digunakan secara luas sebelum ditemukannya turuna Benzodiazepim. Turunan barbiturat bekerja sebagai penekan pada aksis serebrospinal dan menekan aktifitas saraf, otot rangka, otot polos dan otot jantung. Turunan barbiturat dapat menghasilkan derajat depresi yang berbeda yaitu sedasi, hipnotik atau anastesi, tergantung pada struktur senyawa/ dosis dan cara pemberian. Turunan barbiturat bekerja menekan transmisi sinoptik pada sistem pengaktivan retikula diotak dengan cara mengubah permeabilitas membrane sel sehingga mengurangi rangsang sel postsinapsis dan menyebabkan deaktivasi kortex cerebial. Berdasarkan masa kerjanya turunan barbiturat dibagi dalam 4 kelompok : a. Turunan barbiturat dengan kerja panjang (6 jam atau lebih) Contoh : Barbital, mefobarbital, metabarbital b. Turunan barbiturat dengan masa kerja sedang (3-6 jam) Contoh : Siklobarbital, heptabarbital, heksetal, Phenobarbital dan sekobarbital (sekonal). c. Turunan barbiturat dengan masa kerja sangat pendek (kurang dari 0,5 jam). Contoh : Tiopental, tiamital. Fenobarbital Na (Nembutal) Fenobarbital Na adalah turunan barbiturate dengan masa kerja pendek, digunakan sebgai hipnotik dan sedative diberikan secara oral atau intravena. Kadar dalam darah tertinggi obat dicapai dalam satu jam setelah pemberian obat dengan waktu paruh plasma 15-48 jam. (Widodo, 1993) Pemberian obat secara oral dapat dilakukan melalui mulut dan langsung ditelan oleh klien, obat diletakkan dibawah lidah (sublingual) atau diletakkan dipipi bagian dalam (buccal) serta ditunggu sampai obat tersebut larut. Pemberian obat secara oral juga dapat dilakukan melalui selang nasogastrik (NGT). Pemberian obat melalui oral atau mulut memang merupakan cara termudah dan paling sederhana. Cara tersebut meminimalkan ketidaknyamanan pada klien dan dengan efek samping yang paling kecil, serta paling murah dibandingkan dengan cara pemberian yang lain. Bila klien dilakukan gastricsuction atau terpasang NGT dengan tujuan bilas lambung, pemberian obat per oral dihentikan dan diberikan dengan cara yang lain. Namun, beberapa dokter kadang tetap menginstruksikan pemberian obat melalui NGT dengan menghentikan sementara proses bilas lambung, caranya adalah dengan menutup selang NGT minimal selama 30 menit setelah diberikan obat melalui NGT. Pemberian obat melalui parenteral berarti pemberian obat melalui injeksi atau infuse. Dapat diberikan secara intradermal (ID), subkutaneus (SC), intramuscular (IM) / jaringan

intralesional, intravena (IV) / sirkulasi intra-arterial, intraspinal atau melalui ruang intraartikular.(www.unsoed.ac.id) Obat merupakan kumpulan zat kimia yang dapat mempengaruhi proses hidup setiap manusia yang mengkonsumsinya dan akan melewati mekanisme kerja dari mulai bagaimana obat itu diabsorpsi, didistribusikan, mengalami biotransformasi dan akhirnya harus ada yang diekskresikan. Absorpsi Obat Dalam Tubuh Absorpsi merupakan proses penyerapan obat dari tempat pemberian, menyangkut kelengkapan dan kecepatan proses. Pada klinik pemberian obat yang terpenting harus mencapai bioavaibilitas yang menggambarkan kecepatan dan kelengkapan absorpsi sekaligus metabolisme obat sebelum mencapai sirkulasi sistemik. Hal ini penting, karena terdapat beberapa jenis obat tidak semua yang diabsorpsi dari tempat pemberian akan mencapai sirkulasi sistemik, namun akan dimetabolisme oleh enzim didinding usus pada pemberian oral atau dihati pada lintasan pertamanya melalui organ- organ tersebut. Adapun faktor- faktor yang dapat mempengaruhi bioavaibilitas obat pada pemberian oral, antara lain : Faktor Obat Sifat- sifat fisikokimia seperti stabilitas pH lambung, stabilitas terhadap enzim pencernaan serta stabilitas terhadap flora usus, dan bagaimana formulasi obat seperti keadaan fisik obat baik ukuran partikel maupun bentuk kristsl/ bubuk dll. Faktor Penderita Bagaimana pH saluran cerna, fungsi empedu, kecepatan pengosongan lambung dari mulai motilitas usus, adanya sisa makanan, bentuk tubuh, aktivitas fisik sampai dengan stress yang dialami pasien. Interaksi dalam absorpsi di saluran cerna Adanya makanan, perubahan pH saluran cerna, perubahan motilitas saluran cerna, perubahan perfusi saluran cerna atau adanya gangguan pada fungsi normal mukosa usus. (nardinurses.files.wordpress.com) V. Metode Percobaan 5.1. Alat dan Bahan 5.1.1. Alat - oral sonde mencit - spidol permanent - spuit 1 ml - stopwatch - alat suntik 1 ml - beaker glass 25 ml - erlenmeyer 10 ml 5.1.2. Bahan - mencit 5 ekor - aquadest

- luminal Na 0,7% 5.2. Prosedur Percobaan Penandaan Hewan - dipegang ujung ekor mencit dengan tangan kanan dan dibiarkan kaki depan berpaut pada kawat kasa kandang - ditandai ekor mencit dengan spidol permanent - diletakkan di atas timbangan elektrik, kemudian catat beratnya Persiapan Hewan - dipegang ujung ekor dengan tangan kanan dan dibiarkan kaki depan terpaut pada kawat kasa kandang - dipegang kulit kepala sejajar dengan telinga mencit dengan menggunakan jari telunjuk dan ibu jari tangan kiri - ditukarkan pegangan ekor dari tangan ke jari kelingking kiri supaya mencit itu dapat dipegang dengan sempurna - mencit siap untuk disuntik Cara Pemberian Obat Intraperitoneal Percobaan kontrol (dengan pemberian aquadest) - dipegang tengkuk mencit sedemikian rupa dengan tangan kiri sehingga ibu jari melingkar di bawah rahang sehingga posisi abdomen lebih tinggi dari kepala - disuntikkan aquadest pada bagian bawah tengah abdomen dengan cepat - diamati efek yang terjadi Pemberian Luminal Na 0,7% - dipegang tengkuk mencit sedemikian rupa dengan tangan kiri sehingga ibu jari melingkar di bawah rahang sehingga posisi abdomen lebih tinggi dari kepala - disuntikkan Luminal Na 0,7% pada bagian bawah tengah abdomen perlahan-lahan - diamati efek obat yang terjadi Peroral Pemberian Luminal Na 0,7% - dipegang tengkuk mencit - diselipkan jarum oral yang telah berisi Luminal Na 0,7% berdekatan dengan langit-langit dan didorong hingga masuk ke esofagus - Larutan didesak keluar dari alat suntik

5.3 . Flow Sheet Mencit 1. Penandaan Hewan Dipegang ujung ekor dengan tangan kanan dan dibiarkan kaki depan berpaut pada kawat kasa dari kandang

Ditandai ekornya dengan spidol permanent Diangkat ke atas timbangan elektrik Dicatat beratnya Hasil 2. Persiapan Hewan Mencit Dipegang ujung ekor dengan tangan kanan dan dibiarkan kaki depan berpaut pada kawat kasa di kandang Dipegang kulit kepala sejajar dengan telinga mencit dengan menggunakan jari telunjuk dan ibu jari tangan kiri Ditukarkan pegangan ekor dari tangan kanan ke jari kelingkng kiri supaya mencit dapat dipegang dengan sempurna Hasil

3. Cara Pemberian Obat a. Per Oral Mencit Ditandai dan ditimbang mencit Dihitung dosis, dimasukkan obat ke oral sonde Dipegang tengkuk mencit Diselipkan jarum oral yang telah berisi obat berdekatan dengan langit-langit dan dorong hingga masuk ke esofagus Didesak larutan obat keluar dari alat suntik Diamati respon selama 90 menit dengan selang waktu 10 menit Dibuat grafik respon vs waktu Hasil b. Intra Peritoneal Mencit Ditandai dan ditimbang mencit Dihitung dosis, dimasukkan obat ke spuit Dipegang tengkuk mencit sedemikian rupa dengan tangan kiri sehingga ibu jari melingkar di bawah rahang (bukan tenggorokan) sehingga posisi abdomen lebih tinggi dari kepala Disuntikkan larutan obat pada bagian bawah tengah abdomen dengan cepat Diamati respon selama 90 menit dengan selang waktu 10 menit Dibuat grafik respon vs waktu Hasil VI. Perhitungan, Data, Grafik Percobaan dan Pembhasan 6.1. Perhitungan Dosis Mencit I berat badan = 22,7 g Mencit II (intraperitonial)

berat badan = 20,7 g dosis Luminal Na = 80 mg/kgBB konsentrasi = 0,7% Mencit III (intraperitonial) berat badan = 19,0 g dosis Luminal Na = 90 mg/kgBB konsentrasi = 0,7% Mencit IV berat badan = 20,6 g dosis Luminal Na = 80 mg/kgBB (Intraperitoneal) konsentrasi = 0,7% Mencit V (oral) berat badan = 20,8 g dosis Luminal Na = 90 mg/kgBB konsentrasi = 0,7%

6.2. Data Percobaan No. PERLAKUAN WAKTU (MENIT) 10 20 30 40 50 60 70 80 90 1. Kontrol aquadest 1%, intraperitonial 1.1 1.1 1.1 1.1 1.1 1.1 1.1 1.1 1.1

2. Luminal Na [] 0,7%, dosis 80 mg/kgBB, Intraperitonial 1.2 1.3 1.3 1.3 1.3 1.3 1.3 1.3 1.3 3. Luminal Na [] 0,7%, dosis 90 mg/kgBB, Intraperitonial 1.1 1.1 1.1 1.1 1.1 1.1 1.3 1.2 1.2 4. Luminal Na [] 0,7%, dosis 80 mg/kgBB, oral 1.2 1.1 1.1 1.1 1.1 1.2 1.2 1.3 1.4 5. Luminal Na [] 0,7%, dosis 90 mg/kgBB, oral 1.1 1.1 1.1 1.1 1.1 1.2 1.3 1.3 1.3 Keterangan : - 1.1 : Normal - 1.2 : Reaktif

- 1.3 : Gerak Lambat - 1.4 : Tidur

6.3. Grafik Percobaan

6.4. Pembahasan Pada hasil percobaan, yaitu pada mencit II dengan dosis 80 mg/kgBB dan mencit III dengan dosis 90 mg/kgBB, didapatkan bahwa efek yang lebih dahulu timbul terdapat pada mencit yang diberi dosis lebih kecil. Hal ini mungkin terdapatnya variasi biologis pada tiap individu. Akibat faktor individual itu, efek obat dapat sangat berbeda. Setiap orang dapat memberikan respons yang berlainan terhadap suatu obat sesuai kepekaannya masingmasing. Perbedaan respons ini bisa besar sekali, karena untuk setiap obat selalu ada orang yang rentan dan dengan dosis rendah sekali sudah dapat memberikan efek terapeutis. Sebaliknya, ada pula orang yang hanya memberikan efek dalam dosis yang amat tinggi. Inilah sebabnya mengapa dosis obat yang diberikan pada suatu pasien dengan hasil baik, adakalanya tidak ampuh pada pasien lain, yang mungkin dosisnya harus dinaikkan untuk

memberikan efek yang sama. Dalam keadaan penting hendaknya pasien diukur kadar obat dalam darahnya untuk mendapatkan kepastian mengenai takaran yang optimal. ( Tjay, 2003)

VII. Kesimpulan dan Saran 7.1. Kesimpulan - Cara-cara penanganan hewan percobaan meliputi penandaan, persiapan dan penyuntikan hewan percobaan tersebut. - Dalam praktikum ini penandaan hewan percobaan dilakukan dengan menandai ekor mencit dengan spidol permanent. - Pada umumnya pemberian Phenobarbital secara intraperitonial pada mencit memberikan efek yang lebih cepat dibandingkan dengan pemberaian oral. - Onset of action lebih cepat dicapai pada pemberian intraperitonial dibandingkan dengan pemberian oral. - Phenobarbital memberikan efek yang bervariasi pada mencit mulai dari normal, reaktif, gerak lambat dan bahkan tidur. 7.2. Saran - Hendaknya dilakukan percobaan pada rute pemberian yang lain, misalnya intravena. - Hendaknya praktikan hati-hati dalam menjaga mencit percobaan karena harganya mahal.

Daftar Pustaka Lukas, Stefanus, (2006), FORMULASI STERIL, Penerbit Andi: Yogyakarta, Hal :11-14

Neal, Michael J., (2002), MEDICAL PHARMACOLOGY AT A GLANCE, Fourth Edition, Blackwell Science Ltd: Malden USA, Hal : 12, 13. Siswandono, (1995), KIMIA MEDISINAL, Air Langga University Press: Surabaya, Hal :1011. Widodo, V. B & Lotterer E., (1993), KUMPULAN DATA KLINIK FARMAKOLOGI. Cetakan I. UGM Press: Jogjakarta, Hal 10 Yahya L, Mulkan & Rizali H., (1993), PENGANTAR FARMAKOLOGI, Pustaka Widyasarana: Medan Hal 6 nardinurses.files.wordpress.com http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/16_PerkembangbiakanHewanPercobaan.pdf/16_ PerkembangbiakanHewanPercobaan.html www.unsoed.ac.id PENGARUH VARIASI BIOLOGI TERHADAP DOSIS OBAT DAN PENGARUH JENIS KELAMIN TERHADAP DOSIS OBAT I. Pendahuluan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Metabolisme Obat Metabolisme obat secara normal melibatkan lebih dari satu proses kimiawi dan enzimatik sehingga menghasilkan lebih dari satu metabolit. Jumlah metabolit ditentukan oleh kadar dan aktivitas enzim yang berperan pada proses metabolisme. Kecepatan metabolisme dapat menentukan intensitas dan memperpanjang kerja obat. Kecepatan metabolisme ini kemungkinan berbeda-beda pada masing-masing individu. Penurunan kecepatan metabolisme akan meningkatkan intensitas dan memperpanjang masa kerja obat, dan kemungkinan meningkatkan toksisitas obat. Kenaikan kecepatan metabolisme akan menurunkan intensitas dan memperpendek masa kerja obat sehingga obat menjadi tidak efektif pada dosis normal. Faktor-faktor yang mempengaruhi metabolisme obat antara lain faktor genetik atau keturunan, perbedaan spesies dan galur, pebedaan jenis kelamin, perbedaan umur, penghambatan enzim metabolisme, induksi enzim metabolisme dan faktor-faktor lain. (Siswandono, 1995) II. Tujuan Percobaan 1. Untuk mengetahui pengaruh variasi biologi terhadap dosis obat yang diberikan kepada hewan percobaan . 2. Untuk mengetahui pengaruh variasi jenis kelamin terhadap dosis obat yang diberikan kepada hewan percobaan. III. Prinsip Percobaan Dosis yang diperlukan untuk mencapai kadar terapeutik efektif berbeda-beda pada tiap-tiap individu disebabkan karena adanya variasi biologi dan variasi jenis kelamin yang mempengaruhi respons tubuh terhadap obat. IV. Tinjauan Pustaka Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Metabolisme Obat Metabolisme obat secara normal melibatkan lebih dari satu proses kimiawi dan enzimatik sehingga menghasilkan lebih dari satu metabolit. Jumlah metaboloit ditentukan oleh kadar

dan aktivutas enzim yang berperan pada proses metabolisme. Kecepatan metabolisme dapat menentukan intensitas dan memeperpanjang kerja obat. Kecepatan metabolisme ini kemungkinan berbeda-beda pada masing-masing individu. Penurunan kecepatan metabolisme akan meningkatkan intensitas dan memperpanjang masa kerja obat, dan kemungkinan meningkatkan toksisitas obat. Kenaikan kecepatan metabolisme akan menurunkan intensitas dan memperpendek masa kerja obat sehingga obat menjadi tidak efektif pada dosis normal. Faktor-faktor yang mempengaruhi metabolisme obat antara lain faktor genetik atau keturunan, perbedaan spesies dan galur, pebedaan jenis kelamin, perbedaan umur, penghambatan enzim metabolisme, induksi enzim metabolisme dan faktor-faktor lain. Faktor Genetik atau Keturunan Perbedaan individu pada proses metabolisme sejumlah obat kadang-kadang terjadi dalam kehidupan. Hal ini menunjukkan bahwa faktor genetik atau keturunan ikut berperan terhadap adanya perbedaan kecepatan metabolisme obat. Contoh : Metabolisme isoniazid, suatu bentuk antituberkulosis, terutama melalui n-asetilasi. Studi terhadap kecepatan asetilasi isoniazid menunjukkan bahwa ada perbedaan kemampuan asetilasi dari individu-individu. Orang Jepang dan Eskimo merupakan asetilator cepat, sedang orang Eropa Timur dan Mesir adalah asetilator lambat. Waktu paruh isoniazid pada asetilator cepat bervariasi antara 45-80 menit, dan pada asetilator lambat antara 140-200 menit. Reaksi asetilasi melibatkan perpindahan gugus asetil dan dikatalisis oleh enzim N-asetil transferase. Asetilator cepat mempunyai enzim N-asetil transferase yang jauh lebih besar dibanding asetilator lambat. Aktifitas antituberkulosis isoniazid sangat tergantung pada kecepatan asetilasinya. Pada asetilator cepat, isoniazid cepat diekskresikan dalam bentuk asetilisoniazid yang tidak aktif, sehingga obat mempunyai masa kerja pendek dan memerlukan dosis pengobatan yang lebih besar. Pada asetilator lambat, kemungkinan terjadinya efek samping yang tidak dikehendaki lebih besar, misalnya neuritis perifer. Hidralazin, Prokainamid dan Dapson juga menunjukkan asetilasi yang berbeda secara genetik. Factor genetik juga berpengaruh ternadap kecepatan oksidasi dari fenitoin, fenilbutazon, dan nortriptilin. Perbedaan Spesies dan Galur Pada proses metabolisme obat, perubahan kimia yang terjadi pada spesies dan galur kemungkinan sama atau sedikit berbeda, tetapi kadang-kadang perbedaan yang cukup besar pada reaksi metabolismenya. Pengamatan pengaruh perbedaan spesies dan galur terhadap metabolisme obat sudah banyak dilakukan, yaitu pada tipe reaksi metabolik atau pebedaan kualitatif dan pada kecepatan metabolisme atau perbedaan kuantitatif. Contoh : Fenilasetat, pada manusia terkonjugasi dengan glisin dan glutamine, sedang pada kelinci dan tikus terkonjugasi pada glisin saja. Asam benzoate, pada bebek diekskresikan sebagai asam orniturat, sedangkan pada anjing diekskresikan sebagai asam hipurat. Amfetamin, pada manusia, kelinci dan marmot mengalami deaminasi oksidatif, sedangkan pada tikus mengalami hidroksilasi aromatik. Fenol, pada kucing terkonjugasi dengan sulfat, sedangkan pada babi terkonjugasi dengan asam glukuronat, karena kucing mengandung lebih sedikit enzim glukuronil transferase. Fenitoin, pada manusia mengalami oksidasi aromatik menghasilkan S(-)-orto-hidroksifenitoin. Perbedaan Jenis Kelamin Pada beberapa spesies binatang menunjukkan ada pengaruh jenis kelamin terhadap kecepatan metabolisme obat. Banyak obat dimetabolisis dengan kecepatan yang sama

baik pada tikus betina maupun tikus jantan. Tikus betina dewasa ternyata memetabolisis beberapa obat dengan kecepatan yang lebih rendah dibanding tikus jantan. Contoh : Ndemetilasi aminopirin, oksidasi heksobarbital, dan glukuronidasi O-aminofenol. Hal ini menunjukkan bahwa selain perbedaan jenis kelamin, metabolisme juga tergantung pada macam substrat. Studi efek hormon androgen, seperti testosteron, pada sistem mikrosom hati menunjukkan bahwa rangsangan enzim oksidasi pada tikus jantan ternyata berhubungan dengan aktivitas anabolik dan tidak berhubungan dengan efek androgenik. Pada manusia baru sedikit yang diketehui tentang adanya pengaruh perbedaan jenis kelamin terhadap proses metabolisme obat. Contoh : nikotin dan asetosal dimetabolisis secara berbeda pada pria dan wanita. Perbedaan Umur Bayi dalam kandungan dan bayi baru lahir jumlah enzim-enzim mikrosom hati yang diperlukan untuk memetabolisis obat relatif masih sedikit sehingga peka terhadap obat. Contoh pengaruh umur terhadap metabolisme obat : Heksobarbital, bila diberikan pada tikus yang baru lahir dengan dosis 10 mg/kg berat badan, menyebabkan tikus tertidur selama 6 jam, sedang pada pemberian dengan dosis yang sama pada tikus dewasa hanya menyebabkan tertidur kurang dari lima menit. Tolbutamid, pada bayi yang baru lahir mempunyai waktu paruh enam jam, sedang pada orang dewasa delapan jam. Hal ini disebabkan kemampuan bayi untuk metabolisme oksidatif masih rendah. Kloramfenikol, pemberian pada bayi yang baru lahir dapat menimbulkan sindrom bayi kelabu. Hal ini disebabkan bayi mengandung enzim glukuronil transferase dalam jumlah yang relatif sedikit, sehingga kemampuan memetabolisis kloramfenikol rendah, akibatnya terjadi penumpukan obat pada jaringan dan menimbulkan efek yang tidak diinginkan. Bayi yang baru lahir mengandung enzim glukuronil transferase dalam jumlah yang relative sedikit. Pemberian turunan salisilat, kloramfenikol, dan klorpromazin dapat menimbulkan neonatal hyperbilirubinemia (kern ichterus). Hal ini disebabkan terjadi kompetisi pada proses konjugasi antara bilirubin, suatu senyawa endogen hasil pemecahan hemoglobin dengan obat-obat di atas, sehingga bilirubin yang tak termetabolisis terkumpul pada jaringan dan menimbulkan efek yang tidak diinginkan. Penghambatan enzim Metabolisme Kadang-kadang, pemberian terlebih dahulu atau secara bersam-sama suatu senyawa yang menghambat kerja enzim-enzim metabolisme dapat meningkatkan intensitas efek obat, memperpanjang masa kerja obat dan kemungkinan juga meningkatkan efek samping dan toksisitas. Contoh : Dikumarol, kloramfenikol, sulfonamida,dan fenilbutazon, dapat menghambat enzim-enzim yang memetabolisis tolbutamid dan klorpropamid, sehingga menyebabkan kenaikan respon glikemi. Dikumarol, kloramfenikol, dan isonizid, dapat menghambat enzim metabolisme dari fenitoin, sulfonamida, sikloserin, dan para-amino salisilat, sehingga kadar obat dalam serum darah meningkat dan meningkat pula toksisitasnya. Fenilbutazon, secara stereoselektif dapat menghambat metabolisme (S)warfarin, sehingga meningkatkan aktivitas antikoagulannya (hipoprotrombonemi). Bila luka, terjadi perdarahan yang hebat. Induksi enzim metabolisme Kadang-kadang pemberian terlebih dahulu atau secara bersama-sama suatu senyawa obat dapat meningkatkan aktivitas atau jumlah enzim metabolisme dan bukan karena perubahan permeabilitas mikrosom atau oleh adanya reaksi penghambatan. Peningkatan aktivitas enzim metabolisme obat-obat tertentu atau prases induksi enzim mempercepat proses metabolisme dan menurunkan kadar obat bebas dalam plasma, sehingga efek farmakologis

obat menurun dan masa kerjanya menjadi lebih singkat. Contoh : Fenobarbital, dapat menginduksi enzim mikrosom sehingga meningkatkan metabolisme warfarin dan menurunkan efek antikoagulannya. Oleh karena itu, penderita yang diobati dengan warfarin dan akan diberi fenobarbital, maka dosis warfarin harus disesuaikan (diperbesar). Rokok mengandung polisiklik aromatik hidrokarbon, seperti benzo(a)piren, yang dapat menginduksi enzim mikrosom, yaitu sitokrom P-450, sehingga meningkatkan oksidasi dari beberapa obat seperti teofilin, fenasetin, pentazosin, dan profoksifen. Contoh : waktu paruh teofilin pada perokok = 4,1 jam, sedang pada orang yang tidak merokok = 7,2 jam. Fenobarbital, dapat meningkatkan metabolisme griseofulvin, kumarin, fenitoin, hidrokortison, testosteron, bilirubin, asetaminofen, dan obat kontrasepsi oral. Fenitoin, dapat meningkatkan kecepatan metabolisme kortisol, nortriptilin, dan obat kontrasepsi oral. Fenilbutazon, dapat meningkatkan metabolisme aminopirin dan kortisol. Induksi enzim juga mempengaruhi toksisitas beberapa obat karena dapat meningkatkan metabolisme dan pembentukan metabolit reaktif. Contoh induksi enzim sitokrom P-450 oleh fenobarbital akan meningkatkan oksidasi asetaminofen, sehingga pembentukan metabolit reaktif imidokuinon meningkat dan efek hepatotoksisitasnya menjadi lebih besar. Faktor Lain-Lain Faktor lain-lain yang dapat mempengaruhi metabolisme obat adalah diet makanan, keadaan kekurangan gizi, gangguan keseimbangan hormon, kehamilan, pengikatan obat oleh protein plasma, distribusi obat dalam jaringan, dan keadaan patologis hati, misal kanker hati. (Siswandono, 1995) Variasi dalam Kemampuan Merespons Obat Individu-individu mungkin sangat berbeda dalam kemampuan mereka merespons suatu obat. Sesungguhnya, respons seorang individu mungkin bebeda untuk suatu obat. Sesungguhnya, respon seorang individu mungkin bebeda untuk suatu obat yang sama diberikan pada saat yang berbeda selama masa pengobatan. Kadang-kadang, individu menunjukkan respons obat yang tidak umum atau respons idiosinkratik obat, suatu hal yang jarang tampak dari sebagian besar pasien. Respon-respon idiosinkratik biasanya disebabkan oleh perbedaan genetik dalam metabolisme obat atau oleh mekanisme imunologik, termasuk reaksi-reaksi alergik. Variasi kuantitatif dalam respons obat biasanya lebih umum dan lebih penting secara klinik: seorang pasien secara individual adalah hiporeaktif atau hiperaktif terhadap suatu obat dalam hal intensitas efek dari dosis obat yang diberikan akan menurun atau meningkat bila dibandingkan dengan efek yang tampak pada mayoritas individu-individu. Kemampuan merespons biasanya menurun sebagai akibat dari pemberian obat yang terus menerus, sehingga menmbulkan suatu keadaan toleran yang relative pada efek-efek obat. Ada empat mekanisme umum yang mungkin menyokong terjadinya perbedaan terhadap kemampuan merespons obat diantara pasien-pasien atau dalam ondividu seorang pasien pada waktu yang berbeda. A. Perubahan dalam Konsentrasi Obat yang Mencapai Reseptor Dengan mengubah konsentrasi obat yang mencapai reseptor-reseptor yang relevan, perbedaan-perbedaan farmakokinetika yang demikian kemungkinan mengubah respons klinik. Perbedaan-perbedaan tertentu dapat diprediksi berdasrkan umur, berat badan, jenis kelamin, keadaan penyakit, fungsi hati dan ginjal, dan dengan melakukan pemeriksaan khusus untuk mencari perbedaan-perbedaan genetik yang mungkin berasal dari perwarisan komplemen tersendiri yang fungsional dari enzim yang memetabolisme obat.

B. Variasi dalam Konsentrasi suatu Ligan Reseptor Endogen Mekanisme ini sangat menyokong variabilitas terhadap respons-respons terhadap antagonis-antagonis farmakologik. C. Perubahan dalam Jumlah Atau Fungsi Reseptor-Reseptor Kajian-kajian eksperimental telah mendokumentasikan perubahan-perubahan dalam kemampuan memberi respons obat yang disebabkan oleh peningkatan atau penurunan jumlah situs reseptor atau oleh perubahan-perubahan efisiensi mekanisme hubungan reseptor-reseptor dengan efektor distal. Dalam beberapa hal, perubahan jumlah reseptor disebabkan oleh hormon-hormon lain. Suatu antagonis mungkin meningkatkan jumlah reseptor-reseptor di dalam suatu sel atau jaringan yang kritis dengan mencegah down regulation yang disebabkan oleh agonis endogen. Ketika antagonis tersebut ditarik, jumlah reseptor yang meningkat dapat menimbulkan respon yang berlebih-lebihan pada konsentrasi-konsentrasi agonis yang fisiologis. Dalam situasi ini jumlah reseptor yang diturunkan oleh drug-induced down regulation, adalah terlalu rendah bagi agonis endogen untuk menimbulkan stimulasi efek. D. Perubahan-Perubahn dalam Komponen-Komponen Respons Distal dari Reseptor Meskipun suatu obat memulai kerjanya dengan terikat pada reseptor-reseptor, respon yang tampak pada seorang pasien bergantung pada integritas fungsional proses-proses biokimia di dalam sel yang merespons dan meregulasi secara fisiologis dengan berinteraksi dengan sistem-sistem organ. (Bertram G. Katzung,2001) Faktor-faktor lain Interaksi obat Perubahan respons penderita akibat interaksi obat. Toleransi Toleransi adalah penurunan efek farmakologik akibat pemberian berulang. Berdasarkna mekanismenya ada 2 jenis toleransi, yakni toleransi farmakokinetik dan toleransi farmakodinamik. Toleransi farmakokinetik biasanya terjadi karena obat meningkatkan metabolismenya sendiri (obat merupakan self inducer), misalnya barbiturat dan ripamfisin. Toleransi farmakodinamik atau toleransi selular terjadi karena proses adaptasi sel atau reseptor terhadap obat yang terus menerus berada di lingkungannya. Dalam hal ini jumlah obat yang mencapai reseptor tidak berkurang tetapi karena sensitivitas reseptornya berkurang maka responsnya berkurang. Toleransi ini dapat terjadi terhadap barbiturat, opiat, benzodiazepin, amfetamin dan nitrat organik. Takifilaksis adalah toleransi farmakodinamik yang terjadi secara akut. Ini terjadi pada pemberian amin simpatomimetik yang kerjanya tidak langsung (misalnya efedrin) akibat deplesi neurotransmitor dari gelembung sinaps. Bioavailabilitas Perbedaan bioavailabilitas antar preparat dari obat yang sama (bioinekivalensi) yang cukup besar dapat menimbulkan respons terapi yang berbeda (inekivalensi terapi). Untuk obat dengan batas-batas keamanan yang sempit, dan obat untuk penyakit yang berbahaya (lifesaving drugs), perbedaan bioavalabilitas antara 10-20% sudah cukup untuk menimbulkan inekivalensi terapi. Contoh obat yang seringkali menimbulkan masalah dalam bioavailabilitasnya adalah : digoksin, fenitoin, dikumarol, tolbutamid, eritromisin, amfoterisin B, dan nitrofurantoin. Pengaruh lingkungan Faktor-faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi respons penderita terhadap obat antara lain kebiasaan (merokok, minum alkohol) dan keadaan sosial budaya (makanan,

pekerjaan, tempat tinggal). Hidrokarbon polisiklik yang terdapat dalam asap rokok meninduksi sintesis enzim metabolisme obat-obat tertentu (misalnya teofilin) sehingga mempercepat biotransformasi obat-obat tersebut dan dengan demikian mengurangi respons penderita. ( Tanu, 2007;hal 828-829 ) Plasebo Plasebo adalah sebuah bentuk dosis tanpa sesuatu tanpa bahan aktif, yaitu sebuah pengobatan tiruan. Administrasi dari plasebo mungkin menimbulkan efek yang diinginkan (gambaran gejala suatu penyakit) atau efek yang tidak diinginkan yang mencerminkan perubahan pada situasi psikologis pasien karena pengaturan terapi. Dokter harus secara sadar maupun tidak sadar berkomunikasi kepada pasien apakah itu terkait atau tidak dengan masalah pasien tersebut, atau hal tertentu tentang diagnosis dan tentang nilai terapi yang ditentukan. Dalam penyembuhan seorang dokter yang merawat haruslah seorang yang ramah, kompeten, dapat dan dipercaya sehingga pasien merasa nyaman dan lebih semangat sehingga mengoptimalkan proses penyembuhan. Kondisi fisik menentukan disposisi fisik dan demikian sebaliknya. Kondisi genting seperti pejuang perang yang terluka, terlupa pada luka-luka mereka ketika berlangsungnya pertempuran, hanya untuk penglaman sakit parah pada keselamatan di rumah sakit, atau pasien dengan borok, yang disebabkan oleh tekanan emosi (stress) (Hinz Lullmann, 2000). Kadar terapeutik obat dapat dicapai lebih cepat dengan memberikan dosis muatan yang diikuti dengan dosis rumatan. Dosis muatan adalah dosis awal oabat yang lebih tinggi dari dosis-dosis selanjutnya dengan tujuan mencapai kadar oabat terapeutik dalam serum dengan cepat. Dosis muatan diikuti dengan dosis rumatan, yang merupakan dosis obat yang mempertahankan konsentrasi plasma dalam keadaan stabil pada rentang terapeutik. Regimen dosis adalah cara, jumlah, dan frekuensi pemberian obat yang mempengaruhi onset of action dan duration of action kerja obat. Onset of action adalah jumlah waktu yang diperlukan oleh suatu obat untuk mulai bekerja. Obat-obatan yang diberikan secara intravena secara umum mempunyai onset of action yang lebih cepat dibanding obat-obat yang diberikan per oral karena obat-obatan harus diabsorpsi dan melalui usus sebelum masuk ke aliran darah. Durasi adalah lamanya waktu suatu obat bersifat terapeutik (James Olson, M.D., 1993) Pemberian obat untuk mengobati flu dan batuk pada anak-anak di bawah umur 2 tahun sebaiknya dihindari karena berisiko. INI merupakan peringatan terkini yang dikeluarkan Badan Pengawas Obat dan Makanan (Food and Drug Administration/FDA) Amerika Serikat.FDA mengingatkan agar menghindari pemberian obat antibatuk dan flu pada anakanak yang usianya di bawah dua tahun. Pasalnya, pemberian obat tersebut terhadap anakanak di bawah dua tahun dinilai sangat berisiko. FDA mengindikasikan pemberian obat bisa mengakibatkan risiko fatal,mulai jantung berdebar-debar, kejang-kejang, hingga pada risiko kematian. ''Kami mengeluarkan peringatan keras agar menghindari pemberian obat antibatuk dan flu terhadap anak-anak di bawah dua tahun. Sebab, pemberian obat mengakibatkan risiko serius dan berpotensi mengancam keselamatan anak-anak serta menimbulkan efek yang tak disangkasangka," jelas Ketua FDA Dr Charles Ganley kepada Reuters. Ganley menegaskan bahwa obat-obat tersebut ''tidak aman dan tidak efektif bagi anak-anak di bawah dua tahun". Sebab, obat-obatan tersebut hanya menghilangkan gejalagejala batuk dan flu pada anak, tapi tidak menyembuhkan penyakitnya. Obat antibatuk dan flu selama beberapa dekade ini sudah banyak dijual bebas di pasar.Namun,FDA tak

merekomendasikan perusahaan obat-obatan untuk mencegah pemberian terhadap anakanak. Sejauh ini, belum diperoleh data konkret soal penggunaan obat-obatan itu kepada anak-anak. ''Metabolisme dan reaksi tubuh anak-anak terhadap obat-obatan berbeda dengan orang dewasa. Jadi, sebaiknya kita mengantisipasinya sebelum menimbulkan hal-hal yang tak diinginkan," demikian keterangan resmi American Academy of Pediatrics, untuk mendukung peringatan FDA. Sejauh ini, FDA tak pernah menyarankan untuk memberikan berbagai obat-obatan pada anakanak di bawah dua tahun.Tahun lalu, FDA melarang pemberian berbagai jenis obat-obatan kepada anak-anak di bawah dua tahun jika tak ada rekomendasi secara detail dari dokter. Peringatan keras FDA ini menimbulkan kontroversi yang hebat di masyarakat AS. Perusahaan obat-obatan di negeri Paman Sam pun memprotes larangan tersebut. Apalagi FDA pada Oktober 2007 sempat menarik 14 jenis obat bagi anak-anak dari pasaran. Perusahaan obat-obatan menyatakan produk yang dijual ke masyarakat aman bagi anak-anak di bawah dua tahun. Asalkan penggunaannya sesuai petunjuk yang disarankan, misalnya takaran dosis yang tepat, dengan menggunakan ukuran sendok makan. Selain itu, orangtua disarankan memeriksa daftar zat yang terkandung dalam obat tersebut agar tak memberikan lebih dari satu jenis obat kepada anaknya. Sebab, dalam beberapa kasus sering ditemukan anak-anak mengalami overdosis atau salah obat karena orangtuanya tak mengetahui jenis zat yang terkandung di dalam obat tersebut. Meski sudah memberikan peringatan keras terhadap pemberian dua jenis obat tersebut pada anak di bawah dua tahun,FDA masih mengevaluasi rencana penetapan pelarangan pemberian obat antibatuk dan flu terhadap anak-anak berusia dua hingga 11 tahun. Jika sama-sama menimbulkan efek negatif, pelarangan itu akan disahkan pada musim panas tahun ini. ''Sebab,berdasarkan hasil penelitian lanjutan, obat antibatuk dan flu juga tak efektif pada anak-anak di bawah enam tahun. Bahkan, berisiko menimbulkan risiko yang serius bagi kesehatan mereka," tutur American Academy of Pediatrics dalam pernyataan tertulisnya. Namun, sikap FDA yang masih memberikan toleransi pemberian obat antibatuk dan flu terhadap anak-anak yang berusia di bawah enam tahun ini dikritik Presiden National Research Center for Women & Families Diana Zuckerman. Padahal, berdasarkan penelitian,para ilmuwan sudah jelas mengatakan bahwa efek negatif yang ditimbulkan sama berbahaya. (http://www.lautanindonesia.com/forum/index.php?topic=4915.0) Banyak obat-obatan ternyata tidak direkomendasikan bagi anak-anak. Kini Uni Eropa menetapkan kewajiban ujicoba susulan terhadap obat-obatan yang juga dapat dikonsumsi anak-anak. Anak-anak sangat rentan terhadap serangan penyakit. Di Eropa yang tergolong ketat aturan kesehatan dan pengawasan obat-obatannya, banyak yang terkejut ketika membaca petunjuk di kemasan obat. Sebagian besar obat-obatan yang dijual bebas maupun yang harus dengan resep dokter, ternyata mencantumkan peringatan yang dicetak dengan huruf kecil : "tidak disarankan penggunaannya bagi anak-anak, karena belum dilakukan penelitian". Banyak obat-obatan yang bahkan tidak diizinkan untuk anak-anak. Karena itulah, mulai Januari tahun 2007 ini Uni Eropa menetapkan peraturan obat-obatan yang lebih ketat lagi. Semua perusahaan farmasi diwajibkan mengujicoba obat yang dipasarkannya juga menyangkut dampaknya untuk anak-anak. Berdasarkan aturan baru Uni Eropa, semua vaksin untuk imunisasi, harus diujicoba pada anak-anak, sebelum diizinkan dipasarkan. Tapi, jika berbicara mengenai obat-obatan untuk bayi yang dilahirkan prematur, atau yang harus dirawat secara intensiv dan anak-anak penderita kanker, situasinya amat jauh berbeda. Lebih dari 90 persen obat-obatan yang digunakan, sebetulnya tidak boleh diberikan kepada anak-anak. Masalahnya, mengujicoba

obat-obatan pada anak-anak, agar mendapat izin pemasaran, amatlah sulit dan mahal. Dr. Siegfried Throm dari perhimpunan peneliti dari produsen obat-obatan menjelaskan, obat-obatan untuk penyakit anak-anak yang umum, tidak menimbulkan masalah. Untuk itu relatif gampang membuat ujicobanya. Dalam arti, terdapat cukup banyak anak-anak yang menderita sakit, dan juga pasarnya terbuka luas. Akan tetapi, untuk obat-obatan yang hanya diperlukan secara insidental, masalahnya berbeda. Disini terdapat pertimbangan, biaya pengembangan yang cukup tinggi, biasanya tidak bisa tertutup kembali dengan penjualan obat-obatannya. Karena itu, dalam bidang ini hanya sedikit dilakukan penelitian. Dalam ujicoba terapi itu diteliti dengan kombinasi obat-obatan apa, kapan waktu pemberiannya dan dalam dosis seberapa besar, anak-anak dapat diobati secara lebih efektif. Dewasa ini sudah terdapat daftar dosis obat-obatan, yang sebetulnya tidak diperuntukkan bagi anak-anak. Akan tetapi hasil dari ujicoba terapi semacam itu belum mencukupi, bagi pemberian izin penggunaan obat bagi anak-anak secara umum. Penyebabnya, anak-anak tumbuh amat cepat, dan perubahan fungsi organ tubuhnya juga amat luar biasa, misalnya hati. Karena itu, obat-obatan harus diujicoba pada berbagai kelompok umur. Dr. Dorothee Kieninger dari pusat ujicoba klinik di Universitas Mainz menjelaskan ; "Pada bayi yang baru lahir, hati memiliki mekanisme dan fungsi amat berbeda dengan anak usia enam tahun. Dan sampai umur 13 tahun fungsinya terus berubah. Demikian juga fungsi ginjal terus berubah. Ginjal memiliki fungsi menyaring racun dan membuang cairan. Fungsi ginjal pada anak-anak, pada tiap kelompok umur perubahannya amat ekstrim. Demikian juga perubahan pada organ tubuh lainnya." Karenanya dosis obat-obatan harus akurat. Dan perubahan dosis tidak bisa gampangan dikaitkan hanya dengan perbedaan berat badan anak, melainkan tergantung dari bagaimana reaksi organ tubuh anak-anak terhadap obat, pengolahannya dalam tubuh dan pembuangannya kembali. Metabolisme pada bayi yang baru lahir, sangat berbeda dengan anak usia sekolah. Undang-undang baru Uni Eropa mengenai standar obat-obatan, bertujuan agar semakin banyak obat-obatan yang dapat diizinkan penggunaannya untuk anak-anak. Akan tetapi hal itu ada gunanya jika obat-obatan itu juga ampuh untuk anak-anak. Obat-obatan baru harus diuji coba pada berbagai kelompok umur, yang menjadi calon pengguna obat tsb. Tentu saja ujicoba akan dilakukan, jika obat baru tsb sudah diujicoba pada orang dewasa dan mendapat izin pemasaran. Demikian juga bagi obat-obatan yang sudah lama dipasarkan, hendak dilakukan ujicoba susulan menyanmgkut dampaknya bagi anak-anak. (http://groups.google.co.id/group/lowongan-kerjacpns/browse_thread/thread/a58903663e6f60d8?hl=id&ie=UTF-8 ) ESTIMASI KETERSEDIAAN HAYATI OBAT. Pada dasarnya, estimasi bioavailabilitas obat dapat dilakukan menurut metode-metode farmakokinetika dan klinik .Metode farmakokinetika mencoba memperkirakan availabilitas fisiologis obat melalui pengukuran obat unchanged di dalam darah/urin atau metabolitmetabolit yang terbentuk, sedangkan metode klinik didasarkan atas percobaan-percobaan klinik. Dalam hal ini diperlukan variabel klinik untuk mengukur efikasitas obat atau mengukur besarnya efek obat, seperti penurunan kadar gula darah, aktifitas komplek protrombin, dan sebagainya. Selain kedua metode tersebut di atas, bioavailabilitas obat dapat juga diperkirakan dari segi farmakologis seperti yang dilakukan oleh beberapa peneliti2,3. Data farmakologis yang diperlukan untuk mengevaluasi dan mengoptimasi bioavailabilitas produk obat adalah pengukuran intensitas respons farmakologis yang berupa signal-signal,

dipersyaratkan suatu respons bertingkat dalam fungsinya terhadap dosis. Respons ini tidak lain hasil interaksi antara zat aktif dan reseptor di tempat aksi, sehingga akan diperoleh availabilitas biofasik obat. Dalam hal ini, kemungkinan meLakukan sampling untuk menentukan kadar obat di tempat aksi, dari mana dapat dikorelasikan antara dosis dan respons farmakologisnya. Dengan uraian sederhana di atas, bioavailabilitas obat pada hakekatnya mempunyai arti luas dan terutama mempelajari efek-efek obat yang berasal dari suatu produk obat. Estimasi dan penilaian bioavailabilitas obat.Dari segi klinik meminta biaya yang tinggi dan membutuhkan banyak waktu, sedangkan secara farmakologis relatif juga mahal. Estimasi availabilitas fisiologis dengan mengukur plasma level obat atau ekskresi uriner zat aktifunchanged,atau kemungkinan lain yaitu saliva level obat merupakan cara yang cukup ekonomis dan relatif singkat. Asalkan cara ini dapat didesain, dikelola dan dievaluasi dengan baik, diharapkan hasil-hasilnya akan relatif dekat dengan potensi obat yang sebenarnya. Penilaian availabilitas fisiologis obat dapat ditarik dari beberapa variabel farmakokinetika, seperti luas area di bawah kurva, konsentrasi puncak. (www-portalkalbe-files-cdk-files-05_KetersediaanHayatiObat_pdf05_KetersediaanHayatiObat.htm) V. Metodologi Percobaan 5.1. Alat-alat dan Bahan 5.1.1. Alat - alat - Timbangan elektrik - Oral sonde mencit - Spuit 1 ml - Stopwatch - Alat suntik 1 ml - Beaker glass 25 ml 5.1.2. Bahan bahan - Mencit 6 ekor - Phenobarbital-Na (Luminal-Na) 5.2. Prosedur Percobaan 1. Hewan ditimbang, dan ditandai 2. Dihitung dosis dengan pemberian : - Mencit 1 : berat badan 38,5 g luminal 0,7 % dosis 50 mg/kg BB (i.p) - Mencit 2 : berat badan 18,4 g luminal 0,7 % dosis 50 mg/kg BB (i.p) - Mencit 3 : puasa berat badan 16,85 g, luminal 0,7 % dosis 50 mg/kg BB (oral) - Mencit 4 : tanpa puasa berat badan 18 g, luminal 0,7 % dosis 50 mg/kg BB (oral) - Mencit 5 : jantan berat badan 21,8 g, luminal 0,7 % dosis 50 mg/kg BB (i.p) - Mencit 6 : betina berat badan 21,3 g, luminal 0,7 % dosis 50 mg/kg BB (i.p) 3. Diamati dan dicatat respon yang terjadi selang waktu 10 menit selama 90 menit. 4. Dibuat grafik jumlah respon vs waktu.

5.3. Flow Sheet Untuk mencit III dan IV (per oral)

Mencit Ditandai dan ditimbang Dihitung dosis, dimasukkan obat ke oral sonde Dipegang tengkuk mencit Diselipkan jarum oral yang telah berisi obat berdekatan dengan langit-langit dan dorong hingga masuk ke esofagus Didesak larutan obat keluar alat suntik Diamati respon selama 90 menit dengan selang waktu 10 menit Dibuat grafik respon vs waktu Hasil Untuk mencit I,II,V dan VI (intra peritoneal) Mencit Ditandai dan ditimbang Dihitung dosis, dimasukkan obat ke spuit Dipegang tengkuk mencit sedemikian rupa dengan tangan kiri sehingga ibu jari melingkar di bawah rahang (bukan tenggorokkan) sehingga posisi abdomen lebih tinggi dari kepala Disuntikkan larutan obat pada bagian bawah tengah abdomen dengan cepat Diamati respon selama 90 menit dengan selang waktu 10 menit Dibuat grafik respon vs waktu Hasil VI. Perhitungan, Data, Grafik dan Pembahasan 6.1. Perhitungan Dosis Dosis mencit I Berat mencit : 38,5 gr Dosis : Luminal Na 50 mg/kg BB (i.p) [ ] obat : 0,7 % Jumlah obat yang diberikan : = - Konsentrasi obat 0,7 % = 0,7 gr/100 ml = 700 mg / ml = 7 mg / ml - Jumlah larutan obat Dosis mencit II Berat mencit : 18,4 gr Dosis : Luminal Na 50 mg / kg BB (oral) [ ] obat : 0,7 % Jumlah obat yang diberikan : = - Konsentrasi obat 0,7 % = 0,7 gr/100 ml = 700 mg / ml = 7 mg / ml - Jumlah larutan obat Dosis mencit III Berat mencit : 16,85 gr Dosis : Luminal Na 50 mg/ kg BB (i.p) [ ] obat : 0,7 % Jumlah obat yang diberikan : =

- Konsentrasi obat 0,7 % = 0,7 gr/100 ml = 700 mg / ml = 7 mg/ml - Jumlah larutan obat Dosis mencit IV Berat mencit : 18,0 gr Dosis : Luminal Na 50 mg / kg BB (oral) [ ] obat : 0,7 % Jumlah obat yang diberikan : = - Konsentrasi obat 0,7 % = 0,7 gr/100 ml = 700 mg / ml = 7 mg / ml - Jumlah larutan obat Dosis mencit V Berat mencit : 21,8 gr Dosis : Luminal Na 50 mg / kg BB (oral) [ ] obat : 0,7 % Syringe : 80 skala Jumlah obat yang diberikan : = - Konsentrasi obat 0,7 % = 0,7 gr/100 ml = 700 mg / ml = 7 mg / ml - Jumlah larutan obat Dosis mencit VI Berat mencit : 21,3 gr Dosis : Luminal Na 50 mg / kg BB (oral) [ ] obat : 0,7 % Syringe : 80 skala Jumlah obat yang diberikan : = - Konsentrasi obat 0,7 % = 0,7 gr/100 ml = 700 mg / ml = 7 mg / ml - Jumlah larutan obat 6.2. Data No Perlakuan Waktu pengamatan (menit) 10 20 30 40 50 60 70 80 90 1

BB =38,5 gr I.Luminal Na 0,7%;Dosis 50mg/Kg BB (i.p) 1.2 1.3 1.3 1.3 1.3 1.4 1.4 1.4 1.4 2 BB = 18,4 gr II. Luminal Na 0,7%; Dosis 50mg/kg BB (i.p) 1.2 1.2 1.2 1.2 1.3 1.3 1.3 1.4 1.4 3 Puasa III. Luminal Na 0,7%; Dosis 50mg/kg BB (oral) 1.1 1.1 1.2 1.2 1.3 1.4 1.4 1.4 1.4 4 Tidak Puasa IV. Luminal Na 0,7%; Dosis 50mg/kg BB (oral) 1.1 1.1 1.1 1.2 1.2 1.2 1.3 1.4

1.4 5 Jantan V. Luminal Na 0,7%; Dosis 50mg/kg BB (i.p) 1.2 1.3 1.3 1.3 1.3 1.4 1.4 1.3 1.3 6 Betina VI.Luminal Na 0,7%;Dosis 50mg/Kg BB(i.p) 1.2 1.2 1.1 1.1 1.1 1.2 1.3 1.3 1.4 Keterangan : 1.1 = Keadaan Normal 1.3 = Keadaan Gerak Lambat 1.2 = Keadaan Reaktif 1.4 = Keadaan Tidur 6.3. Grafik Percobaan ----6.4. Pembahasan Dalam percobaan didapatkan bahwa berat badan yang berbeda selain mempengaruhi dosis yang harus diberikan juga mempengaruhi respon dari obat tersebut. Mencit yang berat badannya lebih besar menimbulkan respon yang lebih cepat dibandingkan mencit yang berat badannya lebih kecil, dimana pada menit ke 20 mencit dengan berat badannya 38,5 g lebih dahulu memberikan respon garuk-garuk dibandingkan mencit dengan berat badan 18,4 g. Ini bertentangan dengan teori, yang mengatakan bahwa berat badan yang lebih kecil memberikan respon terlebih dahulu. Hal ini terjadi mungkin karena ada faktor lain yang mempengaruhinya, seperti genetis, dan kondisi mencit saat percobaan. Dalam percobaan didapatkan bahwa mencit yang tanpa puasa memberikan respon yang lebih lambat daripada mencit yang dipuasakan, dimana mencit yang dipuasakan lebih dulu memberikan respon garuk-garuk daripada mencit tanpa puasa yaitu pada menit ke 30 sedangkan yang tanpa puasa pada menit ke 40. Dari variasi jenis kelamin didapatkan hasil bahwa jantan terlebih dahulu yang memberikan respon yaitu pada menit ke 20 sudah mulai gerak lambat, sedangkan pada betina dalam waktu yang sama masih reaktif.

VII. Kesimpulan Saran 1.1. Kesimpulan - Variasi biologi akan mempengaruhi dosis obat yang harus diberikan Berat badan yang besar membutuhkan dosis yang tinggi, sebaliknya berat badan yang kecil membutuhkan dosis yang kecil pula. Selain itu juga berhubungan dengan waktu pengosongan lambung, dimana tanpa puasa peyerapan obat akan lebih cepat bila dibandingkan dengan yang tidak puasa - Variasi Jenis Kelamin Jenis kelamin akan mempengaruhi respon obat yang diberikan, di mana jantan lebih cepat memberikan respon dari pada betina karena pengaruh hormon androgen. 1.2. Saran - Dalam menghitung dosis hendaknya dihitung dengan benar karena dapat berpengaruh pada respon mencit. - Agar praktikan diberikan bimbingan tentang cara pelaksanaan percobaan, sehingga tidak terjadi kesalahan dalam percobaan.

Daftar Pustaka Katzung, Bertram G.,(2001), FARMAKOLOGI DASAR DAN KLINIK, Edisi ke-8, Penerbit Salemba Medika: Jakarta, halaman 53-56. Lullmann, Heinz, dkk., (2000), COLOR ATLAS OF PHARMACOLOGY , Second Edition,

Thieme Stuttgart: New York, Hal 76. Olson, James, M.D., (1993), BELAJAR MUDAH FARMAKOLOGI, EGC: Jakarta, Hal 2 4. Siswandono, (1995), KIMIA MEDISINAL, Air Langga University Press: Surabaya, Hal : 156159. Tanu, Ian. (2007), FARMAKOLOGI DAN TERAPI, Edisi 5.Gaya Baru; Jakarta. Hal 828-829. http://www.lautanindonesia.com/forum/index.php?topic=4915.0 http://groups.google.co.id/group/lowongan-kerjacpns/browse_thread/thread/a58903663e6f60d8?hl=id&ie=UTF-8 www-portalkalbe-files-cdk-files-05_KetersediaanHayatiObat_pdf05_KetersediaanHayatiObat.htm

DOSIS OBAT, RESPON DAN PENENTUAN INDEKS TERAPI I. Pendahuluan Dosis obat harus diberikan pada pasien untuk menghasilkan efek yang diharapkan tergantung dari banyak faktor, antara lain usia, bobot badan, kelamin, besarnya permukaan badan, beratnya penyakit dan keadaan daya tangkis penderita. Takaran pemakaian yang dibuat dalam Farmakope Indonesia dan farmakope negaranegara lain hanya dimaksudkan sebagai pedoman saja. Begitu pula dosis maksimal (MD), yang bila dilampaui dapat mengakibatkan efek toksis, bukan merupakan batas yang harus mutlak ditaati. Dosis maksimal dari banyak obat dimuat di semua farmakope, tetapi kebiasaan ini sudah ditinggalkan oleh Farmakope Eropa dan negara-negara Barat, karena kurang adanya kepastian mengenai ketepatannya, antar lain berhubung dengan variasi biologi dan faktor-faktor tersebut di atas. Sebagai gantinya, kini digunakan dosis lazim, yaitu dosis rata-rata yang biasanya lazim memberikan efek yang diinginkan (Tjay & Rahardja, 2002). Efek suatu senyawa obat tergantung pada jumlah pemberian dosisnya. Jika dosis yang diberi di bawah titik amabang (subliminsal dosis), maka tidak akan ada didapatkan efek. Respon tergantung pada efek alami yang dapat diukur. Kenaikan dosis mungkin akan meningkatkan efek pada intensitas tersebut. Seperti itu, efek obat antipiretik atau hipotensi dapat ditentukan tingkat penggunaannya, dalam arti bahwa luas (range) temperatur badan dan tekanan darah dapat diukur (Lullmann, 2000). Dosis yang menimbulkan efek terapi pada 50 % individu disebut dosis terapi median atau dosis efektif median ( ED50 ). Dosis letal median ( LD50 ) ialah dosis yang menimbulkan kematian pada 50 % individu, sedangkan TD50 ialah dosis toksik 50 %. Dalam studi farmakodinamik di laboratorium, indeks terapi suatu obat dinyatakan dalam rasio berikut : Indek terapi = TD50/ED50 atau LD50/ED50 Akan tetapi, nilai-nilai ekstrim tersebut tidak dapat ditentukan dengan teliti karena letaknya di bagian kurva yang melengkung dan bahkan hampir mendatar (Setiawati dkk, 2007) II. Tujuan Percobaan - Untuk mengetahui nilai LD50 yang diperoleh dari percobaan, - Untuk mengetahui nilai ED50 yang diperoleh dari percobaan, - Untuk mengetahui nilai indeks terapi yang diperoleh dari percobaan. III. Prinsip Percobaan Pemberian Luminal Natrium 0,7% dengan variasi dosis 40 mg/kgBB, 80 mg/kgBB, 160 mg/kgBB, 320 mg/kgBB dan pemberian Luminal Na 2% dengan dosis 640 mg/kgBB secara

intraperitonial berdasarkan berat badan hewan percobaan untuk mengetahui respon obat dengan pengamatan setiap interval waktu 10 menit selama 90 menit dan menentukan indeks terapi.

IV. Tinjauan Pustaka Hubungan antara Dosis Obat dan Respons Klinis Kita telah mengetahui reseptor sebagai molekul dan telah ditunjukkan bagaimana reseptor dapat dihitung secara kuantitatif hubungan antara dosis atau konsentrasi obat dan respon farmakologi, paling tidak pada system yang diidealkan. Ketika berhadapan dengan pasien yang membutuhkan perawatan, presciber harus membuat suatu pilihan karena adanya variasi kemungkinan obat dan memikirkan regimen pemberian yang disukai untuk mendapatkan keuntungan yang maksimal dan efek toksik yang minimal. Dalam rangka membuat keputusan terapeutik yang rasional, maka presciber harus memahami bagaimana obat-reseptor berinteraksi yang mendasari hubungan dosis dengan respons pada pasien, sifat alami dan penyebab variasi dalam kemampuan reaksi farmakologisnya, dan implikasi klinis pada obat yang bekerja slektif (Katzung, 9th Edition) Graded Dose-Response Relations Untuk memilih beberapa diantara obat dan untuk menentukan kesesuaian dosis obat, presciber harus mengetahui potensi farmakologi relatif dan efikasi maksimal obat-obat yang bersangkutan untuk medapatkan efek terapi yang diinginkan. Berikut ini ada dua istilah penting yang sering membingungkan siswa dan ahli medis dan dapat dijelaskan melalui gambar berikut. Potensi Obat A dan B dikatakan lebih poten daripada obat C dan D karena posisi yang relatif pada kurva dosis respon sepanjang sumbu konsentrasi. Potensi berhubungan dengan konsentrasi dosis (EC50) atau (ED50) obat yang dibutuhkan untuk mendapatkan 50% dari efek maksimal obat. Disini potensi farmakologi obat A lebih kecil daripada obat B, sebuah agonis parsial, karena EC50 Obat A adalah lebih besar daripada EC50 obat B. Potensi suatu obat tergantung pada afinitas (KD) pada reseptor untuk berikatan dengan obat pada bagian yang efisiensi dan yang membentuk reaksi obat-reseptor yang bergabung untuk memberikan respon. Sebagai catatan bahwa pada beberapa dosis A dapat menghasilkan efek yang lebih besar daripada obat B, walaupun pada kenyataannya kita gambarkan obat B secara farmakologi lebih poten. Alasan mengapa obat A mempunyai efikasi maksimal yang lebih besar, diterangkan sebagai berikut (Katzung, 9th Edition). Untuk penggunaan klinis, adalah hal yang penting membedakan antara potensi dan efikasi suatu obat. Keefektivan klinis suatu obat tidak tergantung pada potensinya(EC50), tetapi tergantung pada efikasi maksimal dan juga tergantung kemampuan suatu obat untuk mencari reseptor yang relevan. Kemampuan ini dapat tergantung pada rute pemberian, absorbsi, distribusi dalam tubuh dan kliren dari arah atau juga reseptor. Untuk memilih dua obat yang akan diberikan pada pasien, presciber harus lebih mempertimbangkan efektivitas relatif daripada potensi relatifnya. Potensi farmakologi secara umum dapat ditentukan dengan cara pengaturan dosis dan pemilihan obatnya (Katzung, 9th Edition). Efikasi Maksimal Parameter in mencerminkan batasan hubungan dosis-respon pada sumbu respon. Obat A,C, dan D pada gambar di atas tadi mempunyai efikasi maksimal yang sama, semuanya mempunyai efikasi yang lebih besar daripada obat B.

Shape of Dose-Response Curves Respon yang digambarkan pada kurva A, B, dan C mendekati bentuk persamaan Michaelis-Menten (ditrnsformasi menjadi bentuk plot logaritma), beberapa respon klinis tidak ada. Kurva dosis respon yang paling curam (missal kurva D)mungkin mempunyai konsekuensi klinis yang penting jika bagian atas mendatangkan suatu respon yang tidak diinginkan (koma, disebabkan oleh suatu sedative-hipnotip). Kurva dosis respon yang curam didapatkan dari kerjasama interaksi beberapa akasi yang berbeda dari suatu obat (missal, efek pada otak, jantung, perifer vessels, semua berkontribusi untuk menurunkan tekanan darah) (Katzung, 9th Edition). Quantal Dose-Effect Curves Graded dose-response curves pada gambaran kecil di atas tentu mempunyai batasan pada aplikasi klinisnya bagi yang mebuat keputusan. Sebagai contoh, beberapa kurva menjadi tidak mungkin untuk digambarkan jika respon farmakologi adalah lain, (quantal) terjadi, seperti pada pencegahan konvulsi, aritmia, atau kematian. Lagipula relevansi klinis hubungan kuantiatif dosis-respon pada seorang pasien. Gambar Quantal dose-effect plots Bentuk kotak (yang terdapat dalam kurva) menunjukkan frequensi distribusi obat yang dibutuhkan umtuk mengahasilkan efek spesifik (Katzung, 9th Edition). Kurva dosis-efek kuantal sering ditandai oleh pernyataan Median Efektif Dosis (ED50), dosis dimana 50% pada individu menunjukkan efek spesifik kuantal. Dengan cara yang sama, dosis yang dibutuhkan untuk menghasilkan efek toksik pada 50% binatang disebut dengan median toksik dosis (TD50), jika efek toksik mematikan binatang , maka median Letal dosis (LD50), akan didapatkan secara eksperimental (Katzung, 9th Edition). Kurva dosis-efek kuantal mungkin juga digunakan untuk memperbaharui keamanan marginal menjadi seperti yang diharapkan dari suatu bagian obat untuk menhasilkan sebuah efek yang spesifik. Suatu ukuran, yang menghubungkan dosis obat yang dibutuhkan untuk menghasilkan efek yang diinginkan untunk yang demikian menghasilkan efek yang tidak diinginkan, itu adalah indeks terapi (Katzung, 9th Edition). Hubungan Dosis Respon Efek suatu senyawa obat tergantung pada jumlah pemberian dosisnya. Jika dosis yang diberi di bawah titik amabang (subliminsal dosis), maka tidak akan ada didapatkan efek. Respon tergantung pada efek alami yang dapat diukur. Kenaikan dosis mungkin akan meningkatkan efek pada intensitas tersebut. Seperti itu, efek obat antipiretik atau hipotensi dapat ditentukan tingkat penggunaannya, dalam arti bahwa luas (range) temperatur badan dan tekanan darah dapat diukur (Lullmann, 2000). Hubungan dosis-efek mungkin berbeda-beda tergantung pada sensitvitas individu yang sedang menggunakan obat tersebut. Sebagai contoh untuk mendapatkan efek yang sama kemungkinan dibutuhkan dosis yang berbeda pada individu yang bebeda. Variasi individu dalam sensitivitas secara khusus mempunyai efek semua atau tak satupun sama (Lullmann, 2000). Hubungan frekuensi dosis dihasilkan dari perbedaan sensitivitas pada individu sebagai suatu rumusan yang ditunjukkan pada suatu log distribusi normal. Jika frekuensi kumulatif (total jumlah binatang yang memberikan respon pada dosis pemberian) diplotkan dalam logaritma maka akan menjadi bentuk kurva sigmoid. Pembengkokan titik pada kurva berada pada keadaan dosis satu-separuh kelompok dosis yang sudah memberikan respon. Range dosis meliputi hubungan dosis-frekuensi mencerminkan variasi sensitivitas pada individu terhadap suatu obat (Lullmann, 2000).

Evaluasi hubungan dosis efek di dalam sekelompok subjek manusia dapat ditemukan karena terdapat perbedaan sensitivitas pada individu-individu yang berbeda. Untuk menentukan variasi biologis, pengukuran telah membawa pada suatu sampel yang representatip dan didapatkan rata-ratanya. Ini akan memungkinkan dosis terapi akan menjadi seseuai pada kebanyakan pasien (Lullmann, 2000). Range Terapi (Therapetic Range) Dimanapun, pemonitoran terapi obat yang dilakukan, suatau range terapi biasanya digunakan untuk memandu mendapatkan konsentrasi optimum. Batasan range ini bukanlah suatu nilai yang mutlak. Beberapa pasien mungkin memberikan respon di atas atau di bawah range ini, sedangkan pada ynag lain mungkin akan mengalami efek toksik di dalam range terapi ini. Range ini hanyalah sebagai bantuan dalam penentuan dosis, yang selalu dipandang dari sudut tanggapan klinis (Roger Walker, 2003). Perhitungan Dosis Respon Reseptor Obat Suatu reseptor adalah suatu makromolekul target khusus, berada pada permukaan sel atau intraselular, yang mengikat suatu obat dan menimmbulkan kerja farmakologiknya. Obat-bat bisa berinteraksi dengan enzim-enzim (misalnya hamabatan enzim dihidrofolat reduktase oleh trimetoprim, hal 296), asam nukleat (misalnya, perubahan permeabilitas membrane asetilkolin). Dalam tiap kasus, pembaentukan kompleks obat reseptor menghasilkan suatu respon biologik dan besarnya respon adalah proporsional dengan jumlah kompleks obat reseptor : Obat + Reseptor Kompleks Obat-reseptor Efek Konsep ini sangat mirip dengan pembentukan kompleks antara enzim dan substrat atau antigen antibodi: interaksi ini mempunyai banyak persamaan, mungkin paling penting adalah spesifisitas. Tetapi, reseptor tersebut tidak mempunyai kemampuan untuk mengundang suatu ligand (obat) tetapi juga dapat merangkaikan atau mengubah ikatan ini menjadi suatu respons dengan cara menyebabkan suatu perubahan konformasional atau suatu efek biokimia (Mary J. Mycek, 2001). Kurva Respons-Dosis Bertingkat Suatu agonis didefisikan sebagai suatu obat yang dapat mengikat suatu reseptor dan menimbulkan respons. Besarnya efek obat tersebut tergantung pada konsentrasinya pada tempat reseptor yang ditentukan oleh dosis obat yang diberikan dan oleh factor-faktor khusus dari obat tersebut, seperti kecepatan absorbsi distribusi dan metabolisme. Efek dari suatu obat paling mudah dianalisis dengan membuat grafik besarnya respons versus log dosis obat tersebut, sehingga didapatkan suatu kurva respon dosis bertingkat. 1. Efikasi : Efikasi yaitu respon maksimal yang dihasilkan oleh suatu obat. Efikasi tergantung pada jumlah kompleks obat-reseptor yang terbentuk dan efisiensi reseptor yang diaktifkan dalam menghasilkan suatu kerja selular. 2. Potensi : Potensi, juga disebut konsentrasi dosis efektif yaitu suatu ukuran banyak obat dibutuhkan untuk menghasilakan suatu respons tertentu. Makin rendah dosis dibutuhkan untuk suatu respons yang diberikan, makin poten obat tersebut. 3. Slove kurva dosis-respons : slope daripada bagian tengah suatu kurva dosis-respons bervariasi dari satu obat dengan obat yang lainnya. Suatu slope yang curang menunjukkan bahwa suatu peningkatan dosis yang kecil menghasilkan suatu perubahan besar dalam respons (Mary J. Mycek, 2001). Antagonis yang Reversibel 1. Kompetitif : obat-obat ini berinteraksi dengan reseptor pada temapt yang sama dengan agonis. Suatu antgonis kompetitif menggeserkan kurva dosis-respons ke kanan yang

menyebabkan obat tersebut berlaku seakan-akan kurang poten. 2. Non-Kompetitif : obat-obat in bisa mencegah pengikatan agonis mengaktifkan reseptor. Suatu antagonis non-kompetitif mengurangi respons maksimal dan analog dengan suatu inhibitor non-kompetitif untuk reaksi yang dikatalisis enzim. 3. Agonis Partial : Agonis-agonis partial memblokir tempat pengikatan agonis, tetapi menybabkan respons yang lebih kecil daripada suatu agonis penuh (full agonist). Suatu agonis parsial bisa mempunyai afinitas pada reseptor yang lebih besar, lebih kecil atau sama dengan afinitas agonis (Mary J. Mycek, 2001). Indeks Terapeutik Indeks terpeutik suatu obat adalah rasio dari dosis yang menghasilkan toksisitas dengan dosis yang menghasilkan suatu respons yang efektif dan diinginkan secara klinik dalam suatu populasi individu. Indeks Terapi = dosis toksik/ dosis efektif Jadi, indeks terapeutik merupakan suatu ukuran keamanan obat karena nilai yang besar menunjukkan bahwa terdapat suatu batas yang luas/ lebar diantara dosis-dosis yang efektif dan dosis-dosis yang toksisk (Mary J. Mycek, 2001). Penentuan Indeks Terapeutik Indeks terapeutik ditentukan dengan mengukur frkuensi respons yang diinginkan dan respons toksik pada berbagai dosis obat (Mary J. Mycek, 2001). Uji ketoksikan akut. Uji ini dirancang untuk menentukan efek toksik sesuatu senyawa (misal zat tambahan makanan) yang akan terjadi dalam waktu singkat setelah pemejanan atau pemberiannya dengan takaran tertentu. Satu uji ini dikerjakan dengan cara memberi dosis tunggal senyawa uji pada hewan uji (sekurang-kurangnya 2 jenis hewan uji roden dan nirroden, jantan maupun betina). Takaran dosis yang dianjurkan paling tidak empat peringkat dosis, berkisar dari dosis terendah yang tidak atau hampir tidak mematikan seluruh hewan uji sampai dengan dosis tertinggi yang dapat mematikan seluruh atau hampir seluruh hewan uji. Senyawa ini diberikan melalui jalur yang akan digunakan oleh manusia atau jalur yang memungkinkan manusia terpejani dengan senyawa itu. Biasanya pengamatan dilakukan selama 24jam, kecuali pada kasus tertentu selama 7-14 hari. Dan pengamatan tersebut meliputi : (1) gejala klinis, (2) jumlah hewan yang mati, dan (3) histopatologi organ (Imono, 2001). Data kuantitatif yang diperoleh dari uji ketoksikan akut ini ialah LD50 sedang data kualitatifnya berupa penampakan klinis dan morfologis efek toksik senyawa uji. Data LD50 yang diperoleh dapat digunakan untuk potensi ketoksikan akut senyawa relatif terhadap senyawa lain. Selain itu, juga dapat digunakan untuk memperkirakan takaran dosis uji toksikologi lainnya (Imono, 2001) Analisa tentang kaitan dosis dan efek antihipertensi dari 4 jenis ARB diperoleh dari evaluasi FDA terhadap losartan, valsartan, irbesartan, dan candesartan. Semuanya merupakan studi RCT. Semua studi memiliki populasi pasien yang mirip (pria maupun wanita dewasa dengan hipertensi diastolik primer skala ringansedang, dan DBP tipikal 95-114 mmHg) (http://www.majalah-farmacia.com). Semua studi memiliki desain awal single- blind placebo diikuti sedikitnya 4 minggu terapi double-blind. Studi yang terseleksi dimasukkan dalam metaanalisis untuk melihat kaitan antara respon dan dosis masing-masing obat. Hubungan antara respon-dosis dinilai dengan mencocokkan pengaturan plasebo, rata-rata penurunan DBP masing-masing obat hingga nilai Emax (http://www.majalah-farmacia.com). Masuk akal kenapa digunakan kurva Emax untuk menilai kaitan antara dosis dan respon obat yang sebenarnya. Model ini menganggap presisi lebih rendah daripada optimal dalam

menentukan efek masing-masing obat. Selain itu menerapkan berat untuk jumlah pasien yang diberi masing-masing dosis. Ada alternatif model selain Emax namun lebih kompleks dan memasukkan lebih banyak parameter. Model Emax yang digunakan dalam analisis ini adalah : Effect = E0 + Emax x Dosis/(ED50 + dosis). Di mana Emax secara teori adalah efek maksimal yang bisa didapat dengan dosis besar tak terbatas. ED50 adalah dosis yang dibutuhkan untuk mencapai setengah efek maksimal, E0 adalah kondisi yang merepresentaskan efek placebo (http://www.majalah-farmacia.com). Setelah dianalisis, Emax (efek maksimal pada dosis tertinggi) dalam penurunan DBP adalah 5,5 mmHg untuk losartan, 5,8 mmHg untuk valsartan, 6,9 mmHg untuk irbesartan, dan 7,5 mmHg untuk candesartan. Kesimpulannya, peneliti menunjukkan bahwa candesartan mengurangi tekanan darah sistolik lebih besar secara signifikan dibandingkan valsartan. Hasil ini sama dengan studi head-to-head sebelumnya yang membuktikan bahwa candesartan memiliki efek antihipertensi paling tinggi dibandingkan losartan pada dosis yang direkomendasikan. Perbedaan efikasi di antara ARB pada pasien hipertensi menunjukkan pentingnya tekanan darah terkontrol (http://www.majalah-farmacia.com). Analisa studi ini menunjukkan ada perbedaan penting pada efikasi antihipertensi pada dosis tertinggi yang direkomendasikan. Rata-rata perbedaan di antara obat antihipertensi paling efektif (candesartan) dan paling lemah (losartan) dari ARB yang diteliti adalah 2 mmHg untuk dosis 16 mg dan 100 mg. Selain itu, nilai Emax yang sangat signifikan dari candesartan dibandingkan valsartan mendukung kesimpulan bahwa ada perbedaan nyata dalam hal efek antihipertensi di antara semua jenis ARB(http://www.majalah-farmacia.com). Penurunan DBP sektar 5 mmHg dengan terapi antihipertensi menujukkan penurunan penanda mortalitas dan morbiditas kardiovaskular. Penurunan terkecil (misalnya 2 mmHg) juga akan memiliki dampak penting secara klinis dalam terapi jangka panjang. Jadi perbedaan tekanan darah yang tidak terlalu besar tetap berkaitan dengan perbedaan kejadian kardiovakular yang signifikan pada pasien risiko tinggi, seperti pasien diabetes dengan hipertensi (http://www.majalah-farmacia.com). Hasil analisis Emfelt berada dalam satu jalur dengan beberapa studi head-tohead yang membandingkan efek candesartan dan losartan terhadap tekanan darah, yang secara superioritas candesartan terlihat amat signifikan. Dibandingkan dengan studi silang yang lebih kecil, hasilnya juga sejalan, di mana candesartan mengurangi tekanan darah lebih efektif dibandingkan losartan maupun valsartan (http://www.majalah-farmacia.com). Hanya ada satu studi yang langsung membandingkan losartan dan candesartan yang tidak bisa menunjukkan perbedaan efek candesartan lebih signifikan dalam menekan tekanan darah. Bahkan, penelitian Colin dkk tidak menemukan perbedaan efek antara beberapa ARB. Ini juga harus diberi catatan bahwa metaanalisis mereka hanya berdasarkan studistudi yang dipublikasikan sebelum waktu yang seharusnya. Dan memang hanya sedikit studi head-to-head yang membandingkan beberapa jenis ARB. Termasuk belum pernah dilakukan studi head-to-head antara candesartan dan irbesartan. (http://www.majalahfarmacia.com). Berdasarkan hasil berbandingan headto- head antara candesartan dan losartan, maka dapat disimpulkan bahwa efek antihipertensi candesartan lebih superior daripada losartan, pada dosis yang direkomendasikan. Penjelasan yang paling sering dikemukakan terhadap perbedaan Emax dalam studi ini adalah secara statistk tidak signifikan serta jumlah studi dan pasien yang terbatas, termasuk dalam studi yang menilai kaitan antara dosis dan respon untuk losartan. Faktanya, perbedaan rata-rata Emax antara candesartan dan losartan adalah 2 mmHg, lebih baik pada candesartan. Artinya candesartan memiliki efek antihipertensi yang superior (http://www.majalah-farmacia.com).

Analisis ini akhirnya bisa menunjukkan kaitan antara dosis dan respon di antara beberapa jenis antihipertensi ARB. Sangat mungkin bahwa kaitan antara dosis dan efek lain juga berbeda. Misalnya, dosis yang lebih tinggi dibandingkan dosis optimal dilihat dari sudut pandang penurunan tekanan darah , mungkin akan lebib bermanfaat daripada sekadar menurunkan tekanan darah. Milsanya terhadap proteksi ginjal untuk menurunkan proteinuria (http://www.majalah-farmacia.com). Sebagai kesimpulan, penelitian Emfelt yang memsukkan nilai Emax menunjukkan candesartan bisa mengurangi tekanan darah diastolik secara signifikan dibandingkan valsartan. Beberapa perbandingan head-to-head membuktikan candesartan memiliki efek antihipertensi lebih superior dibandingkan losartan pada dosis yang direkomendasikan. Jadi benar bahwa perbedaan efikasi di antara semua jenis ARB memang ada. Observasi ini hendaknya diterapkan dalam pemilihan ARB ketika menangani pasien hipertensi, dengan menekankan pentingnya control tekanan darah dengan baik (http://www.majalahfarmacia.com). INDIVIDUALISASI DOSIS DALAM FARMAKOTERAPI Dalam praktek, pemberian obat pada umumnya didasarkan atas dosis rata-rata, yaitu dosis yang diperkirakan memberikan efek terapeutik dengan efek samping minimal. Bila dosis rata-rata itu tidak menimbulkan efek sama sekali atau sudah menimbulkan efek yang berlebihan, biasanya dokter dengan segera menghentikan pengobatan karena dianggap 'tidak cocok' bagi penderita, tanpa perlu mempertimbangkan apakah dosis yang diberikan itu memang sudah sesuai dengan kebutuhan penderita (http://www.kalbe.co.id). Pentingnya individualisasi dosis menjadi semakin beralasan ketika Brodie dkk. memperlihatkan bahwa ada perbedaan spesies, strain dan individual dalam kecepatan metabolisme obat.. Kemudian, Hammer dan Sjoqvist menemukan ada perbedaan individual sebesar 30 x lipat dari kadar "steady state" desmetil imipramin yang diresepkan pada suatu dosis tertentu. Perbedaan individuil kadar obat dalam keadaan "steady state" ini barangkali tidak menimbulkan masalah dalam penentuan besar dosis bila Therapeutic window dari obat yang bersangkutan cukup besar. Tetapi bila "therapeutic window" suatu obat sempit, individualisasi dosis menjadi penting, karena perbedaan dosis yang kecil saja (dalam mg/kgBB) sudah dapat menimbulkan perbedaan nyata dalam respons. Individualisasi dosis dengan mudah dapat dilakukan bila efek obat mudah diukur, sehingga besar dosis dapat dititrasi sesuai dengan intensitas respons yang sedang diamati. Bila respons penderita sukar diamati dengan segera, misalnya karena tujuan pengobatan bersifat profilaksis, atau sukar membedakan efek akibat dosis berlebihan dengan gejala penyakit, titrasi dosis hanya dapat dilakukan dengan baik berdasarkan panduan kadar obat dalam darah (http://www.kalbe.co.id). Dengan demikian dapat diringkaskan bahwa monitoring kadar terapeutik obat bermanfaat dilakukan guna menentukan dosis dari obat-obat yang kecepatan metabolismenya berbeda nyata secara individual, mempunyai "therapeutic window" yang sempit, efek terapeutiknya sukar atau tidak segera dapat diukur gejala penyakit sukar dibedakan dengan efek samping obat