Top Banner
KUASA BUDAYA DALAM NOVEL TIBA-TIBA MALAM KARYA PUTU WIJAYA Power of Culture in Putu Wijaya’s Novel Tiba-Tiba Malam Diah Meutia Harum Kantor Bahasa Provinsi Lampung Jalan Beringin II No. 40 Kompleks Kantor Gubernur Telukbetung, Bandarlampung Pos-el: [email protected] Diajukan: 15 Maret 2017, direvisi: 20 April 2017 Abstract Putu Wijaya's novel Tiba-Tiba Malam is a literary work with cultural and community background. The cultural depictions that govern the lives of the people are clearly told through the power relations prevailing within the Tabanan people and the character of Sunatha in the Tiba-Tiba Malam novel. This study is conducted to see how power relations through cultural rules apply to someone as a part of indigenous peoples. To investigate the problem, theory of characterization and Foucault's power relation theory is used by using qualitative descriptive method by analyzing the words contained in it. From the research results it is found that the authorities oversee the rules that apply in the community and the social sanctions to the villagers who violate it and this sanction concerns the termination of communication and village facilities to the citizens. Keywords: Society, customs, culture, power relations Abstrak Novel Tiba-Tiba Malam karya Putu Wijaya adalah sebuah karya dengan latar belakang budaya dan masyarakat. Penggambaran budaya yang mengatur kehidupan masyarakat diceritakan dengan jelas melalui relasi kuasa yang berlaku dalam masyarakat adat Tabanan dan tokoh Sunatha dalam novel Tiba-Tiba Malam. Penelitian ini dilakukan untuk melihat bagaimana relasi kuasa melalui peraturan budaya tersebut berlaku atas diri seseorang sebagai bagian dari masyarakat adat. Untuk mengupas masalah tersebut digunakan teori penokohan dan teori relasi kuasa milik Foucault dengan menggunakan metode deskriptif kualitatif dengan menganalisis kata-kata yang terdapat di dalamnya. Dari hasil penelitian didapat bahwa penguasa mengawasi peraturan yang berlaku dalam masyarakat dan akan mengenai sanksi sosial warga desa yang melanggarnya dan sanksi ini menyangkut pemutusan komunikasi dan fasilitas desa terhadap warganya. Kata Kunci: Masyarakat, adat, budaya, relasi kuasa
14

KUASA BUDAYA DALAM NOVEL TIBA-TIBA MALAM KARYA PUTU WIJAYA

Oct 29, 2021

Download

Documents

dariahiddleston
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: KUASA BUDAYA DALAM NOVEL TIBA-TIBA MALAM KARYA PUTU WIJAYA

KUASA BUDAYA DALAM NOVEL TIBA-TIBA MALAM KARYA PUTU WIJAYA

Power of Culture in Putu Wijaya’s Novel Tiba-Tiba Malam

Diah Meutia Harum

Kantor Bahasa Provinsi Lampung Jalan Beringin II No. 40

Kompleks Kantor Gubernur Telukbetung, Bandarlampung Pos-el: [email protected]

Diajukan: 15 Maret 2017, direvisi: 20 April 2017

Abstract

Putu Wijaya's novel Tiba-Tiba Malam is a literary work with cultural and community background. The cultural depictions that govern the lives of the people are clearly told through the power relations prevailing within the Tabanan people and the character of Sunatha in the Tiba-Tiba Malam novel. This study is conducted to see how power relations through cultural rules apply to someone as a part of indigenous peoples. To investigate the problem, theory of characterization and Foucault's power relation theory is used by using qualitative descriptive method by analyzing the words contained in it. From the research results it is found that the authorities oversee the rules that apply in the community and the social sanctions to the villagers who violate it and this sanction concerns the termination of communication and village facilities to the citizens.

Keywords: Society, customs, culture, power relations

Abstrak

Novel Tiba-Tiba Malam karya Putu Wijaya adalah sebuah karya dengan latar belakang budaya dan masyarakat. Penggambaran budaya yang mengatur kehidupan masyarakat diceritakan dengan jelas melalui relasi kuasa yang berlaku dalam masyarakat adat Tabanan dan tokoh Sunatha dalam novel Tiba-Tiba Malam. Penelitian ini dilakukan untuk melihat bagaimana relasi kuasa melalui peraturan budaya tersebut berlaku atas diri seseorang sebagai bagian dari masyarakat adat. Untuk mengupas masalah tersebut digunakan teori penokohan dan teori relasi kuasa milik Foucault dengan menggunakan metode deskriptif kualitatif dengan menganalisis kata-kata yang terdapat di dalamnya. Dari hasil penelitian didapat bahwa penguasa mengawasi peraturan yang berlaku dalam masyarakat dan akan mengenai sanksi sosial warga desa yang melanggarnya dan sanksi ini menyangkut pemutusan komunikasi dan fasilitas desa terhadap warganya. Kata Kunci: Masyarakat, adat, budaya, relasi kuasa

Page 2: KUASA BUDAYA DALAM NOVEL TIBA-TIBA MALAM KARYA PUTU WIJAYA

Kelasa, Vol. 12, No. 1, Juni 2017: 25—38

26

1. Pendahuluan

Dalam sebuah komunitas yang terbentuk dalam masyarakat tentunya berlangsung interaksi sosial berupa hubungan orang-perorangan maupun dengan kelompok-kelompok sosial. Interaksi sosial adalah kunci dari kehidupan sosial. Tanpa adanya interaksi tidak akan mungkin ada kehidupan bersama. Tentu saja dalam kehidupan bersama terdiri dari sebuah masyarakat yang mempunyai struktur dan aturan bersama yang akan melegitimasi menjadi sebuah kekuasaan dalam mengatur anggota-anggotanya. Kekuasaan pada dasarnya bersifat represif dan harus ditaati. Apa yang membuat sebuah kekuasaan bertahan tidak lain karena kekuasaan itu sendiri memiliki kekuatan untuk membentuk kerangka berpikir masyarakat dan menghasilkan suatu wacana. (Foucault, 1980: 208) Seorang individu akan patuh pada kekuasaan, bahkan turut menjaga dan menekan dirinya untuk tunduk, karena itulah yang akan menjadi identifikasi dirinya dalam struktur masyarakat. Seorang individu sesungguhnya memiliki ruang untuk beresistensi terhadap kekuasaan namun hal itu akan membuat kekuasaan makin memperkuat dirinya. Dalam kaitan dengan kekuasaan itu terlihat pula dalam karya sastra. Karya sastra sebagai wadah ekspresi tentang manusia dan masyarakat. Sa-lah satu ekspresi diri itu dilakukan untuk perubahan. Perubahan yang terjadi dalam masyarakat itu berbentuk kekuasaan tertentu dan berstruktur dalam aturan adat istiadat. Perubahan itu kadangkala tidak disadari oleh anggota masyarakat pemakainya. Perilaku kekuasaan itu terlihat dalam Novel Tiba-Tiba Malam karya

Putu Wijaya. Novel Tiba-Tiba Malam adalah salah satu novel konvensional yang mengangkat tema seputar masyarakat dan adat istiadat Bali. Novel ini mendobrak tradisi dan adat istiadat di Bali dengan mengkritik dan memberikan masukan berharga bagi masyarakat adat sebagai salah satu tatanan yang sudah mengakar dalam masyarakat Bali. Selama ini Putu Wijaya dikenal dengan gaya kepengarangannya yang lugas dan banyak tulisannya yang bersifat simbolik. Novel Tiba-Tiba Malam menjadi semacam sebuah refleksi bagi masyarakat Bali dengan adat istiadatnya dan bentuk keprihatinan pengarangnya, yang juga bersuku Bali, atas kemiskinan yang mendera mereka sampai saat ini. Novel ini adalah novel karya Putu Wijaya yang diterbitkan pada tahun 2005 oleh Penerbit Buku Kompas. Novel Tiba-Tiba Malam berlatar belakang kehidupan masyarakat Bali beserta adat istiadatnya. Bali adalah salah satu provinsi khusus di Indonesia yang memiliki kekhasan dalam kebudayaan. Bali memiliki sistem adat istiadat yang mengikat bagi suku mereka. Sebagai sebuah komunitas, masyarakat Bali terikat pada segi-segi kehidupan sosial dan budaya yang oleh masyarakat. Hal ini tercermin dalam novel karya Putu Wijaya yang berjudul Tiba-Tiba Malam. Novel ini sangat kental penggambaran budayanya, sa-lah satunya terlihat dalam tradisi kelompok. Tradisi dalam masyarakat Bali bersifat turun temurun. Jika budaya dilanggar, maka seseorang, kelompok, atau warganya akan dikucilkan bahkan dianggap tidak ada oleh masyarakat. Novel ini merupakan salah satu penggambaran masyarakat Bali berdasarkan perspektif Putu yang berasal dari Bali.

Page 3: KUASA BUDAYA DALAM NOVEL TIBA-TIBA MALAM KARYA PUTU WIJAYA

Kuasa Budaya... (Diah Meutia Harum)

27

I Gusti Ngurah Putu Wijaya dilahirkan di Puri Anom, Tabanan, Bali pada tanggal 11 April 1944. Putu adalah seorang sastrawan serba bisa. Ia menulis drama, cerpen, esai, dan novel juga skenario film dan sinetron. Sepanjang kariernya, Putu Wijaya sudah menulis kurang lebih 30 novel, 40 naskah drama, sekitar seribu cerpen, ratusan esai, artikel lepas, dan kritik drama. Putu juga menulis skenario film dan sinetron. Putu memimpin Teater Mandiri sejak 1971, dan telah mementaskan puluhan lakon di dalam maupun di luar negeri. Selain itu, dia meraih puluhan penghargaan atas karya sastra dan skenario sinetron. Sebagai seorang penulis, sudah banyak buku yang dihasilkan dan diperbincangkan, di antaranya, Bila Malam Bertambah Malam, Telegram, Pabrik, Keok, Tiba-Tiba Malam, Sobat, dan Nyali. (http://id.wikipedia.org/wiki/Putu_Wijaya) Selama ini telah ada beberapa penelitian yang dilakukan terhadap novel Tiba-Tiba Malam, diantaranya tesis yang ditulis oleh Rif’atul Mutamimmah (2008) dengan judul Adat Bali dalam Novel Tiba-Tiba Malam Karya Putu Wijaya. Penelitian ini membahas aspek adat atau tradisi dan dampak pelanggaran adat bagi kehidupan warga masyarakat Bali dalam hal ini tentang (Krama desa dan Subak). Terdapat pula pembahasan mengenai organisasi pertanian (subak), leak, gosip atau isu dalam novel dan hubungannya dengan dunia nyata. Penelitian tersebut menggunakan pendekatan sosiologi sastra dan didukung oleh teori mimetik. Penelitian ini hanya mendeskripsikan latar sosial saja sehingga simpulan yang didapat hanya menyatakan bahwa pada dasarnya adat yang terefleksi dalam novel

tidaklah jauh berbeda dengan adat atau tradisi di kehidupan nyata warga masyarakat Bali. Selanjutnya, penelitian skripsi yang dilakukan oleh Sunarti (2008) yang berjudul Nilai-Nilai Budaya dalam Novel Tiba-Tiba Malam Karya Putu Wijaya: Tinjauan Semiotik. Penelitian ini hanya mendeskripsikan nilai-nilai budaya yang terdapat dalam novel. Penelitian dengan novel yang sama juga dilakukan oleh Yenny Noor Afifa (2009) berjudul Konflik Budaya Tokoh Lelaki Novel Tiba Tiba Malam Karya Putu Wijaya Universitas Negeri Semarang. Penelitian ini membahas konflik budaya yang dialami tokoh lelaki dan pengaruh konflik budaya terhadap tokoh lelaki. Analisis yang dilakukan juga hanya bersifat deskriptif saja. Wika Remince Sihombing (2010) juga meneliti novel yang sama. Penelitiannya berjudul Tiba-Tiba Malam Karya Putu Wijaya: Analisis Sosiologi Sastra. Pembahasan berfokus pada bentuk proses sosial yang meliputi kerjasama, pertikaian, dan pertentangan dan akomodasi. Penelitian tersebut mendeskripsikan proses sosial yang terdapat dalam teks. Berdasarkan fakta di atas , peneliti ingin melakukan penelitian dengan judul Kuasa Budaya dalam Novel Tiba-Tiba Malam karya Putu Wijaya. Dipilihnya Novel Tiba-Tiba Malam berdasarkan beberapa pertimbangan. Pertama, Novel Tiba-Tiba Malam merupakan karya yang kaya dan sarat makna yang bercerita tentang masyarakat Bali yang sangat terkenal dengan kebudayaannya; kedua Novel Tiba-Tiba Malam ini berbicara tentang relasi kuasa (budaya dan adat istiadat) yang menginternalisasi manusia dan masyarakat Bali, sejauh ini kajian semacam ini, sepanjang pengetahuan penulis, belum pernah dilakukan;

Page 4: KUASA BUDAYA DALAM NOVEL TIBA-TIBA MALAM KARYA PUTU WIJAYA

Kelasa, Vol. 12, No. 1, Juni 2017: 25—38

28

ketiga Novel Tiba-Tiba Malam sarat akan nilai-nilai budaya yang sangat berguna untuk pembentukan karakter diri (daerah) dan bangsa. 1.1 Masalah Bagaimanakah sebuah kekuasaan (budaya dan adat istiadat) beroperasi dalam hidup manusia serta implikasinya dalam masyarakat Bali pada Novel Tiba-Tiba Malam karya Putu Wijaya? 1.2 Tujuan Penelitian Berdasarkan permasalahan di atas penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kuasa budaya dan adat istiadat yang mengatur hidup individu dan masyarakat dalam masyarakat Bali pada Novel Tiba-Tiba Malam dan untuk melihat implikasinya dalam masyarakat Bali dalam Novel Tiba-Tiba Malam karya Putu Wijaya. 2. Metode

Penelitian terhadap relasi kuasa dalam budaya dan adat istiadat masyarakat Bali pada Novel Tiba-Tiba Malam ini adalah penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif ini dilakukan dengan pendeskripsian fenomena, peristiwa, aktivitas sosial, sikap, kepercayaan, persepsi, pemikiran orang secara individu maupun kelompok.

Dalam penelitian kualitatif, data formal menurut Ratna (2004: 24) adalah kata-kata, kalimat, dan wacana. Untuk itulah, wujud data dalam penelitian ini berupa kata-kata, frasa, kalimat, dan wacana yang terdapat dalam Novel Tiba-Tiba Malam karya Putu Wijaya. Dengan kata lain, metode ini berupaya mendeskripsikan fakta secara logis. Unsur-unsur pembentuk

struktur dianalisis dan dimaknai untuk mengungkap relasi kuasa (budaya dan adat istiadat) dalam masyarakat Bali pada Novel Tiba-Tiba Malam. Langkah awal dalam analisis novel TTM dalam penelitian ini dengan pembacaan awal novel TTM untuk menganalisis struktur unsur-unsurnya. Unsur yang dianalisis di dalam novel TTM ini adalah penokohan. 2.1 Kerangka Teori

Novel Tiba-Tiba Malam akan diungkap fakta ceritanya dari sudut penokohannya. Tokoh adalah individu rekaan yang mengalami peristiwa atau perlakukan dalam berbagai peristiwa dalam cerita. Tokoh protagonis dan antagonis adalah tokoh yang memegang peran sentral di dalam cerita. Teknik penokohan dalam cerita dibagi menjadi tiga, meliputi penokohan analitik, penokohan dramatik, dan penokohan analitik-dramatik. Penokohan analitik adalah penokohan yang secara langsung dilukiskan oleh penulisnya, bisa berupa deskripsi fisik dan analisis watak secara langsung sedangkan penokohan dramatik adalah teknik penokohan tidak langsung, dalam arti pengarang membiarkan pembaca menyimpulkan sendiri watak tokoh berdasarkan tingkah laku para tokoh dan peristiwa yang terjadi. Cara penokohan ini, cerita akan menjadi efektif dan berfungsi untuk menunjukkan keterlibatannya dengan unsur-unsur yang lain. Penokohan analitik-dramatik adalah penggabungan teknik analitik dan dramatik, perwatakan tokoh digambarkan secara jelas dan dikembangkan juga dalam perilaku dan peristiwa dalam cerita(Stanton, 1965: 35)

Page 5: KUASA BUDAYA DALAM NOVEL TIBA-TIBA MALAM KARYA PUTU WIJAYA

Kuasa Budaya... (Diah Meutia Harum)

29

Di Bali, hukum adat mutlak mengatur hidup warga dari lahir hingga kematiannya. Novel ini menguraikan kekuasaan yang mengatur masyarakat dan bagaimana kekuasaan tersebut digerakkan. Foucault menyatakan “Bagaimana sebuah kekuasaan beroperasi bukan hanya berkaitan dalam hal hubungan antarmanusia, tetapi bagaimana sebuah aksi membentuk aksi lainnya”. Ekistensi sebuah kekuasaan hanya terjadi apabila ia direalisasikan dalam sebuah perbuatan. Kekuasaan bukanlah bagaimana ia berfokus. Akan tetapi, lebih menyerupai bentuk sebuah perbuatan yang tidak mengarah secara langsung pada hal yang lain ( Foucault, 1975:210) Lebih lanjut Foucault menyatakan, konsep negara adalah serba menguasai dan serba mengetahui. Negara memiliki kekuasaan yang menindas, dan mampu memasuki suatu wilayah paling intim dari kehidupan personal. Foucault mengemukakan konsep panoptikon, bahwa kekuasaan dengan konsep ini melestarikan pengawasannya bukan dengan kekuatan fisik dan intimidasi, melainkan dengan praktik-praktik wacana yang menyebarkan ideologinya melalui politik tubuh. 3. Hasil dan Pembahasan Banyak konflik dimuat dalam novel karya Putu Wijaya ini. Penceritaan tokoh pada awal cerita dalam Tiba-Tiba Malam tercermin pada pernikahan tokoh utama, Sunatha dengan Utari, namun pada pertengahan cerita terjadi beberapa konflik-konflik dan pergolakan-pergolakan yang berpusat pada keluarga Sunatha. Konflik inilah yang membangun cerita hingga akhir.

3.1 Penokohan Sunatha

Ada beberapa tokoh yang cukup berperan dalam novel TTM, namun penelitian ini hanya akan berfokus pada tokoh utama yang menjadi sentral penceritaan. Tokoh utama dalam novel TTM ini adalah Sunatha. Sunatha adalah seorang guru SMP yang pandai menyanyi. Dia menikahi kembang desa yang bernama Utari. Pernikahan mereka berdua menimbulkan kehebohan di antara warga desa. Selama ini mereka menyangka Sunatha adalah seorang pria impoten, atau dalam sebutan mereka, wangdu.

Anggapan wangdu terhadap Sunathapun pelan-pelan menghilang setelah pernikahannya dengan Utari. Akan tetapi, pada saat Sunatha pergi menunaikan tugasnya sebagai guru di Kupang, ia kembali menjadi perbincangan karena Utari ternyata masih perawan.

Pada malam pertama mereka, Sunatha tidak menggauli Utari sebagaimana suami istri. Keesokan harinya setelah pernikahan mereka, Sunatha malah berangkat ke Kupang untuk bertugas di sana. Ketika keluarga melepas Sunatha di pelabuhan, Utari menangis menjerit-jerit menyesali pernikahan mereka dan menuduh Sunatha telah mengguna-gunainya. Oleh karena itu, ibu Utari membawanya pulang. Dia juga percaya bahwa Sunatha telah mengguna-gunai putrinya.

Udara sangat cerah. Kemudian

peluit kapal berbunyi untuk yang terakhir kalinya semua orang saling melambai. Sunatha akan sulit untuk menghargai kebijaksanaan waktu melihat ke pantai. Di sana Utari menangis kelabakan. Wanita itu memang masih terlalu muda untuk menerima perpisahan semacam itu. Ia

Page 6: KUASA BUDAYA DALAM NOVEL TIBA-TIBA MALAM KARYA PUTU WIJAYA

Kelasa, Vol. 12, No. 1, Juni 2017: 25—38

30

mulai ragu-ragu adakah semuanya akan bisa berlangsung sebagaimana yang dia rencanakan. (hlm. 24)

Setelah ditinggalkan oleh

Sunatha untuk bertugas di Kupang, Utari tidak mau tinggal di rumah mertuanya, ia menyesali pilihannya untuk menikah dengan Sunatha dan memilih untuk tetap tinggal dengan kedua orang tuanya. Hal ini menimbulkan keributan dalam keluarga besar Sunatha, penolakan Utari untuk tinggal di rumah suaminya menjadi sebuah penghinaan terhadap keluarga besar mereka. Ayah Sunatha mendatangi keluarga Utari untuk meminta Utari kembali pulang bersama keluarga suaminya, namun ditolak oleh keluarga Utari dan menyebut Sunatha telah mengguna-gunai Utari sehingga ia mau dinikahi.

Makanya lihat-lihat dulu. Masak

Sunatha yang dikasih. Apa coba kelebihan guru itu. Mau berangkat ke Kupang lagi besok. Ini apa tidak kelewatan? Kena guna guna barangkali ya!” “Kalau sudah tua memang tahunya bengong-bengong tok. Jadi kacau sekarang Lihat nanti kalau guna-gunanya sudah luntur!” Orang tua itu tiba tiba jadi sedih. Kini ia baru berpikir mungkin sekali Utari sudah kena guna-guna. Ia sudah beberapa kali menyarankan Utari untuk memperhatikan Ngurah. Ya, dia bukan tidak ingin punya menantu kaya. Tapi hati utari rupanya sudah begitu terjerat Sunatha. (hlm.12—13)

Adat menetap dalam masyarakat Bali sesudah menikah mempengaruhi pergaulan kekerabatan dalam suatu masyarakat. Ada macam dua adat menetap yang selama ini berlaku di masyarakat Bali, yaitu adat virilokal yang membenarkan pengantin baru menetap di sekitar pusat

kediaman kaum kerabat suami, dan adat neolokal adalah adat yang menentukan pengantin baru tinggal sendiri di tempat kediaman yang baru (Swarsi, 1986:28). Penolakan keluarga Utari mengakibatkan kemarahan Subali ayah Sunatha. Apalagi keluarga Utari juga menuduh Sunatha telah mengguna-gunai Utari sehingga ia mau dinikahi Sunatha.

“Baik!” teriak Subali.” Sejak dulu

orang selalu menyebarkan fitnah atas keluargaku. Kamu mau kawin dengan Sunatha secara baik-baik, sekarang kamu tuduh anak saya mengguna-guna kamu, setelah ia tidak ada disini untuk membela dirinya. Ini pasti ada orang yang campur tangan. Baik! Sekarang pilih saja, kamu mau pulang atau tinggal dirumah suamimu. Kalau kamu mau pulang, tak usah lagi kamu balik kerumah kami. Kamu dengar?”(hlm. 33)

Kepergian Sunatha untuk mengajar sehari setelah pernikahan menimbulkan kemarahan pada warga desa. Sunatha dianggap menyalahi aturan adat dan akan ada bencana bagi desa akibat kepergian Sunatha. Wargapun lantas mengambil keputusan agar keluarga Sunatha dikarma atau dikucilkan oleh adat desa. Ini berarti keluarga Sunatha tidak boleh melewati jalan desa, tidak berhak mendapatkan subak, tak boleh mengikuti pertemuan, datang ke pura, bahkan mayat keluarganya tak boleh dikuburkan di desa itu. Ini diperkeruh oleh Subali, ayah Sunatha, yang beberapa kali tidak datang memenuhi pertemuan warga di desa. 3.2 Kuasa Budaya dalam

Novel Tiba-Tiba Malam Bali adalah salah satu daerah yang memiliki akar tradisi budaya

Page 7: KUASA BUDAYA DALAM NOVEL TIBA-TIBA MALAM KARYA PUTU WIJAYA

Kuasa Budaya... (Diah Meutia Harum)

31

yang kuat. Dalam hal ini, kebudayaan mempunyai fungsi yang sangat besar bagi manusia dan masyarakat di Bali. Bermacam kekuatan yang harus dihadapi masyarakat dan anggota-anggotanya, seperti kekuatan alam maupun kekuatan-kekuatan lainnya di dalam masyarakat itu sendiri yang tidak selalu baik. Untuk itu, dibentuklah adat istiadat yang mengatur agar warga dapat mengerti bagaimana seharusnya bertindak, berbuat, dan menentukan sikapnya ketika berhubungan dengan orang lain. Novel TTM menjelaskan aturan-aturan yang terdapat dalam masyarakat Bali melalui konflik yang dimulai dari keluarga Sunatha melalui konflik inilah adat istiadat Bali diceritakan melalui pemaparan-pemaparan tokoh-tokoh yang ada di dalamnya maupun lewat penceritaan pengarang melalui teknik fokalisasi. Penolakan Utari untuk tinggal bersama dengan keluarga suaminya menjadi pangkal permasalahan keluarga Sunatha. Keluarga Sunatha mendapat sanksi dari masyarakat adat yang membatasi ruang gerak mereka akibat Sunatha yang harus pergi bertugas ke Kupang sehari setelah pernikahannya Ngurah putra kepala desa ternyata telah lama menaruh hati kepada Utari, setelah kepergian Sunatha ia mulai melancarkan pendekatan kepada Utari dan keluarganya. Utari terus saja berteriak-teriak sejak mengantar Sunatha. Dengan alasan berobat, Utari diajak ke Tabanan. Orang tua Utari merelakan karena merekapun menyesal telah menikahkan anak mereka dengan Sunatha. “Sekarang. Sekarang baru begitu. Coba dulu. Dulu siapa yang mengusulkan guru itu dijadikan menantu. Aku kan bilang, sudah aku

bilang ada yang mengharapkan Nyoman. Orang yang baik-baik malah ditolak. Sekarang nasi sudah jadi bubur. Anak satu satunya lagi!”(hlm. 38). Akhirnya Utari malah menyukai Ngurah dan jatuh cinta. Mereka lantas sepakat untuk melarikan diri dan pergi ke Banyuwangi. Di sana, Utari yang masih perawan itu menyerahkan keperawanannya kepada Ngurah sehingga makin bertambahlah rasa malu dan derita keluarga Sunatha. Ibu Sunatha yang sejak dulu menderita penyakit paru makin bertambah sakitnya. Sementara itu, datanglah seorang asing yang bernama David ke desa Sunatha. Pada awalnya David tertarik untuk mengamati kehidupan masyarakat di desa Sunatha. David bertemu dengan Subali, mereka menjadi akrab pada akhirnya. Subali pun menunjukkan aspek-aspek adat istiadat yang berlaku di desanya. Pada awalnya David merasa tertarik dengan penjelasan Subali. Masyarakat di tempat Subali berada memiliki norma-norma dan nilai sosial yang mengatur pergaulan dalam masyarakat. Hal ini adalah upaya masyarakat untuk melindungi diri mereka dari kekuatan-kekuatan lain yang dapat memengaruhi mereka. Kekuatan yang memengaruhi ini tidak selamanya baik. Untuk menghadapi pengaruh-pengaruh yang buruk, mereka melindungi diri dengan cara menciptakan kaidah-kaidah yang pada hakikatnya merupakan petunjuk-petunjuk tentang bagaimana manusia harus bertindak dan berlaku di dalam pergaulan hidup. “Saudara-saudara mulai sekarang, kita harus memikirkan desa kita ini, kita jangan hanya menunggu-nunggu inisiatif dari pemerintah daerah, sebab yang mereka atur bukan

Page 8: KUASA BUDAYA DALAM NOVEL TIBA-TIBA MALAM KARYA PUTU WIJAYA

Kelasa, Vol. 12, No. 1, Juni 2017: 25—38

32

hanya desa kita. Di samping itu, kitalah yang paling tahu keadaan desa kita ini. Kita harus memikirkan pendidikan anak-anak, perbaikan jalan, perbaikan pura, penertiban Subak, dan kalau bisa membentuk sekehe drama gong untuk mencari dana. Jangan sama sekali hanya ingin untung sendiri. Saya dengar sudah ada orang asing masuk ke desa ini dan menganjurkan saudara-saudara untuk berhenti bergotong royong. Coba, siapa yang akan merawat pura, merawat sekolahan kalau bukan kita sendiri. (hlm. 65).

Masyarakat Bali memiliki ikatan kelompok yang kuat, salah satu perwujudannya adalah dengan tata cara gotong royong. Penduduk desa Tabanan tempat Sunatha berasal merisaukan adanya pengaruh buruk yang mulai merasuki masyarakat mereka akibat keberadaan David yang suka mencatat dan memotret kehidupan masyarakat. Kehidupan masyarakat Bali sesungguhnya sangat terstruktur. Dalam kehidupan bermasyarakat, masyarakat Bali memiliki sistem komunitas. Dalam hal ini desa sebagai suatu kesatuan hidup komunitas masyarakat Bali mencakup pada dua pengertian, yaitu desa adat dan desa dinas (administratif). Kedua hal itu merupakan suatu kesatuan wilayah dalam hubungannya dengan keagamaan atau pun adat istiadat, sedangkan desa dinas adalah kesatuan admistratif. Kegiatan desa adat terpusat pada bidang upacara adat dan keagamaan, sedangkan desa dinas terpusat pada bidang administrasi, pemerintahan dan pembangunan. Masyarakat Bali mempunyai norma adat yang berkaitan dengan pergaulan dalam komunitas, yaitu a. tata krama, kebiasaan sopan santun yang di sepakati dalam lingkungan pergaulan antar manusia didalam

kelompoknya; b. nguopin (gotong royong); c.ngayah atau ngayang, yaitu kerja bakti untuk keperluan agama; d). sopan santun, adat hubungan dalam sopan pergaulan terhadap orang-orang yang berbeda jenis kelamin Selain bermasyarakat dalam pelbagai kelompok-kelompok baru dalam ikatan profesi, sampai kini masyarakat Bali masih terikat kuat dengan tatanan tradisi budaya lokal. Krama adat, warna, wangsa, soroh, sekehe atau kelompok tradisi lain di Bali adalah wadah sekaligus wujud keterlibatan nyata manusia Bali dalam aktivitas agama dan budaya (Dhana, 1994:27). David yang dekat dengan Subali mulai memberikan pandangan-pandangannya. Banyak sistem masyarakat di desa Tabanan yang tidak sesuai dengan pandangannya dan menjadi sasaran kritik David. Baginya, sistem kerja gotong royong adalah sesuatu yang kurang praktis karena mengakibatkan kepentingan pribadi menjadi terbengkalai. “Bapak bisa lihat sendiri, bahwa negeri ini sebetulnya kaya raya tapi disiasiakan karena tidak ada sistem kerja yang praktis. Gotong Royong memang baik, tapi harus diberi arti lain sekarang. Bahwa dengan gotong royong kita berarti memikul bersama beban besar dalam negeri ini. Artinya kalau seorang kerja sawah, yang lain tidak usah ikut, tapi mengerjakan pekerjaan lainnya. Artinya juga, kalau salah satu mati, yang lainnya jangan ikut mati. Tapi terus hidup melanjutkan usaha usaha yang lain” (hlm. 27).

Subali mulai termakan dengan omongan David. Perkataan David membuatnya berpikir ulang tentang adat istiadat yang selama ini menjadi pedomannya. Perlahan Subali mulai mangkir dari kegiatan-kegiatan desa yang menjadi kewajibannya sebagai warga.

Page 9: KUASA BUDAYA DALAM NOVEL TIBA-TIBA MALAM KARYA PUTU WIJAYA

Kuasa Budaya... (Diah Meutia Harum)

33

“Waktu istri saya mati dulu, dia

tidak kelihatan, padahal dia ada di rumah mengakunya sakit. Ya, sudah sering ia tidak keluar, waktu ada kerja bakti di Pura.”

“Sejak orang asing itu datang, dia selalu mengaku sakit kalau ada kebutuhan sama-sama. Nanti kalau bininya mati, saya dengar ia sakit keras, aku tidak mau datang.”

“Ya, kita jangan datang kesana. Waktu saya bikin rumah dia tidak mau menolong. Ngakunya sakit.”“Saya kira orang asing itu yang menyuruhnya sakit. Saya dengar mereka mau berangkat ke Denpasar besok.”

“Ke Denpasar? Tapi semua orang besok harus kerja di Pura?

“Memang. Tapi David bilang tidak usah, dia memberi Subali uang supaya membayar Desa karena tidak bisa datang (hlm 66—68). Masyarakat pun mulai mencium ketidakberesan atas kehadiran orang asing yang datang ke desa mereka. Sikap David dianggap mencurigakan karena berkeliaran di desa dengan kegiatannya mencatat dan memotret. Apalagi David dianggap telah menghasut Subali untuk mangkir dalam kegiatan-kegiatan di desa mereka. Masyarakat mencurigai David akan menghancurkan sistem masyarakat desa mereka yang telah diwarisi turun temurun. “Kita harus memikirkan pendidikan anak-anak, perbaikan jalan, perbaikan pura, penertiban subak, dan kalau bisa membentuk sekehe drama Gong untuk mencari dana. Jangan hanya untuk sendiri. Saya dengar sudah ada orang asing masuk desa ini dan mengahasut saudara untuk berhenti bergotong royong. Siapa yang akan merawat

pura, membuat sekolah kalau bukan kita. (hlm. 65).

Dalam kehidupan bersosial, masyarakat Bali dikatakan sebagai tri hita karana, yaitu kewajiban menjalankan kehidupan spiritual (parhyangan), sebagai jiwa (atma); kewajiban memelihara wilayah pemukiman dan lahan (palemahan), sebagai raga (angga); dan kewajiban melakoni hidup bermasyarakat dalam satu ikatan aturan (pawongan), sebagai tenaga (khaya). Selain bermasyarakat dalam pelbagai kelompok-kelompok baru dalam ikatan profesi, sampai kini masyarakat Bali masih terikat kuat dengan tatanan tradisi budaya lokal. Krama adat, warna, wangsa, soroh, sekehe atau kelompok tradisi lain di Bali adalah wadah sekaligus wujud keterlibatan nyata manusia Bali dalam aktivitas agama dan budaya (Dhana, 1994:27). Tradisi masyarakat Bali yang sudah mendarah daging bagi masyarakatnya ini bukan hanya sekadar adat belaka, namun memang diciptakan pada mulanya berkaitan dengan hal yang sifatnya spiritual sehingga tidak dapat ditinggalkan. Ketika Subali mulai meninggalkan kegiatan-kegiatan masyarakat, warga desapun terpicu kemarahannya oleh sikap Subali yang dianggap melanggar peraturan adat. Ini menimbulkan gangguan terhadap keluarga Subali. Beberapa warga seringkali melempari rumah Subali. Hal ini menimbulkan ketakutan bagi adik Sunatha, Sunithi yang harus tinggal di rumah dan merawat ibu mereka yang sedang sakit, apalagi Sunatha sedang tak ada di rumah. “Orang asing itu ada di dalam ya. Kamu mulai main sama dia! Awas kalau dia berani pegang kamu lagi, aku

Page 10: KUASA BUDAYA DALAM NOVEL TIBA-TIBA MALAM KARYA PUTU WIJAYA

Kelasa, Vol. 12, No. 1, Juni 2017: 25—38

34

lempar dia!” Sunithi terkejut . “Semalam ada orang yeng melempari rumah.” “Itulah, Nyoman, Bilang sama bapak. Kalau dia tidak kerja sekarang, desa akan mengeluarkan dia dari karma desa!”(hlm. 73).

Warga desa mendengar isu

bahwa Subali akan pergi ke kota bersama David. Hal ini menimbulkan pergunjingan di antara warga desa. Mereka menganggap Subali telah dipengaruhi oleh orang asing tersebut begitu rupa sehingga meninggalkan kewajibannya sebagai bagian warga desa.

“Saya kira orang asing itu yang

menyuruhnya sakit. Saya dengar mereka mau berangkat ke Denpasar besok.” “Ke Denpasar? Tapi besok semua orang harus bekerja di Pura?” “Memang. Tapi David bilang tidak usah. Dia member Pak Subali uang untuk membayar desa karena tidak bisa datang.” (hlm. 68).

Subali makin sering

berhubungan dengan David. Cerita-cerita David mengenai dunia luar membuatnya kagum dan mulai memandang rendah adat istiadat yang ada di desanya. David menghasut Subali dengan alasan Subali harus memikirkan masa depannya sendiri. Menurut David bekerja hanya untuk kepentingan masyarakat akan mengorbankan diri sendiri.

“Saya ada rencana, ini malam

membawa bapak ke Denpasar. Kita menginap di hotel kelas satu Bali beach. Kita ke Tuban melihat kapal terbang. Sesudah itu kita bicarakan tentang rencana kita. Bapak harus bikin pembaruan di desa ini. Kalau tidak siapa lagi? Harus ada sekolah, listrik dan hidup lebih praktis.” Ah buat apa! Kan ada orang lain. Masa kalau satu

tidak datang kerja itu tida bisa diteruskan. Omong kosong. Apa arti satu orang kasih saja uang ganti untuk kerugian. Besok kita harus sudah di Denpasar. Jadilah orang yang praktis, jangan tenggelam dalam sistem yang bobrok ini…jauhilah hidup berkelompok yang saling menggerogoti. Gotong royong sebagai pangkal kemiskinan. Subali mendengar dengan sungguh-sungguh. Dan kelihatannya sangat percaya” (hal. 51—52).

David mulai memperkenalkan

Subali dengan dunia luar, ia mengajak Subali pergi ke Denpasar untuk melihat-lihat kota. Subali diperkenalkan dengan gemerlap dunia malam dan mengajaknya ke rumah bordil.

“Dan nona, ini pak Subali,

pahlawan masa depan dari sebuah desa yang kecil. Silahkan kalian berdua memasuki hidup ini!” David meninggalkan mereka berdua. Subali tak tahu apa yang harus diperbuatnya. Wanita itu terpaksa memulainya. Ia membelai orang tua itu. Ia membangkitkan hasrat laki-lakinya dengan memuji-mujinya. Subali mulai ragu-ragu. Bahkan ia hampir saja menolaknya. Tetapi wanita itu tidak putus asa. Ia melakukan segala macam cara. Subali dimasukkannya ke dalam dunia baru yang mungkin asing bagi orang tua itu. Ia mempergunakan mulutnya. Barulah Subali mengerti bahwa ia hanya seorang manusia biasa. (hlm. 87—88).

Sementara itu, penyakit meme, ibu Sunatha bertambah lama bertambah parah, sehingga akhirnya meme pun menghembuskan nafasnya yang terakhir. Pada saat itu keluarga Sunatha telah dijauhi oleh masyarakat. Mendengar kabar bahwa istri Subali meninggal, hanya sedikit masyarakat

Page 11: KUASA BUDAYA DALAM NOVEL TIBA-TIBA MALAM KARYA PUTU WIJAYA

Kuasa Budaya... (Diah Meutia Harum)

35

yang peduli. Mereka geram dengan kelakuan Subali yang menjauh dari masyarakat adat di desa itu. Meme dikuburkan secara sederhana.

“Weda berusaha untuk menghubungi Kepala Desa. Tapi di depan rumah orang itu, ia mendadak takut dan segan. Bisa-bisa ia ikut dikucilkan oleh desa. Ia membuatnya surut. Ia kembali kerumah dengan tangan hampa. Sunithi jadi terperosok. Ia mulai kebingungan. Berkali-kali seakan-akan didengarnya ada suara kentongan. Berkali-kali ia menunggu kalau-kalau ada anggota banjar yang datang sebagaimana biasanya kalau ada kemtian. Akan tetapi semuanya hanya hanya harapan. (hlm. 196)

Sepulang dari Denpasar, Subali mulai meninggalkan peraturan-peraturan desa. Ini membuat masyarakat marah dan mereka pun melakukan pertemuan dengan tujuan untuk mengucilkan Subali. Mereka bertekad akan menghukum Subali dari semua kegiatan dan fasilitas desa.

“Kalau dia tidak mau lagi ikut kerepotan desa, dia juga tidak boleh mempergunakan jalan desa, pancuran desa, pura desa, dan kuburan desa, keluarkan saja dia seperti dulu I Madra kita keluarkan karena tidak mau ikut kerja. Kalau kita berani mengeluarkan Imadra kenapa Subali ,tidak? Sekarang mana dia? Kenapa dia tidak datang?!”

Ngurah angkat bicara “Coba Weda, kemari?” Weda mendekat.

“Kamu tahu di mana Pak Subali sekarang?” Weda tidak bisa menjawab. Renti membentak.

“Kalau bohong awas! Tadi dia baru datang dari sana!”

“Ya, jangan bohong Weda, Di mana Subali?”(hlm. 87)

Kemarahan warga desa juga dipengaruhi oleh Ngurah dan orang-orangnya yang diam-diam bermaksud memiliki Utari dan senang ketika keluarga Sunatha menjadi sasaran kemarahan warga. Pengaruh Ngurah cukup kuat terhadap warga dan menjadi berat sebelah karena tidak berbuat apapun ketika Ngurah melarikan istri Sunatha. “Di situ tampak Ngurah, kepala desa, Bagus Cupak, dan Renti serta orang orang lain yang semalam ikut rapat. Mereka diam-diam ikut memperhatikan beberapa diantaranya mulai marah dan bersungut-sungut. “ Lihat,”kata Bagus Cupak: dia kira dia sudah jadi tuan seperti bule!”banyak orang mulai tak dapat membendung mulutnya memaki-maki.”keluarkan saja dia dari karma desa! Kita tidak takut dengan satu orang kan. Mengapa kita malu-malu. Masak satu orang mengalahkan kita yang banyak ini. Jelas sekarang kesalahannya, kan. Jangan ditutupi lagi!” (hlm. 76). Sementara itu, Sunatha pulang setelah mendengar kabar bahwa meme meninggal dunia. Sesampainya di desa Sunatha kaget mendengar kenyataan bahwa istrinya telah lari dari rumah bersama dengan Ngurah anak kepala desa. Sunatha meradang ditambah lagi ia sedang ditimpa kesedihan atas kematian meme. Sunatha merasa marah kepada warga desa yang tidak berbuat apa-apa ketika istrinya dibawa lari. ia mendatangi rumah mertuanya hendak menjemput istrinya, namun diusir dari sana. “Mana istriku! Mana!” Mertuanya itu ketakutan. Mereka tidak bisa menjawab. “Mana?” “Orang tua itu bermaksud untuk menjawab. Tapi suaranya tidak keluar.

Page 12: KUASA BUDAYA DALAM NOVEL TIBA-TIBA MALAM KARYA PUTU WIJAYA

Kelasa, Vol. 12, No. 1, Juni 2017: 25—38

36

Sunatha makin jengkel. Ia masuk dalam rumah memeriksa. “Jangan sembunyikan istriku. mana istriku!” Ia keluar lagi. “Kalau tidak setuju, dari dulu bilang! Saya akan tuntut di pengadilan! melarikan istri orang bangsat!” Sunatha memaki-maki kesadarannya sudah mulai hilang. Warga yang sudah terlanjur berpihak kepada keluarga Utari merasa marah ketika Sunatha menggeruduk rumah Utari. Apalagi dengan kelakuan Subali yang membuatnya dikucilkan dari banjar. Mayat meme yang telah dikuburkan, digali kembali oleh warga dan diletakkan di depan rumah. Ini membuat Sunatha makin meradang, ia mengamuk di desa dan mengancam Ngurah yang telah melarikan istrinya.

Ia berteriak seperti anjing. “Ini perbuatan Ngurah bangsat!” Dengan galak kemudian ia menyambar kapak yang disampirkan di dapur. Ia berlari ke pintu hendak keluar pekarangan. Weda untung cepat menahannya. Sunatha meronta-ronta. Sunithi turut memeganginya. “Jangan! Jangan! Sunatha meronta. Ia menendang Weda. Tenaganya kuat sekali. Tapi Weda keras kepala memeganginya.“Lepas! Lepas! Aku bunuh dia!”

Warga semakin marah dan mengepung rumah Sunatha. Sementara itu, sepulang dari Denpasar, David meninggalkan Subali sehingga Subali seperti orang hilang ingatan akibat kehilangan istri dan kehilangan David yang sudah dianggapnya sebagai anaknya sendiri. Apalagi Subali pulang dengan membawa penyakit kotor. Sunatha jadi lemah mendengar suara bapaknya. Ia berhenti meronta. Lalu Subali mengambil kapak itu dari tangannya. Tubuh Sunatha masih

gemetar. Weda berbisik dengannya sambil menunjuk keluar. “Lihat!” Suntha tertegun. Kemudian ia melongok ke luar. Baru jelas apa yang ada di sana. Di sepanjang jalan di depan pintu rumahnya, telah penuh orang. Mereka semuanya membawa senjata. Senjata-senjata tajam, seakan-akan mereka telah menunggu musuh, seluruh tubuh Sunatha jadi lemas. Hilang seluruh kemarahannya. Ia menatap semua dengan sedih kini sudah datang kesadaran. (hlm. 223—224). Sunatha sampai kepada kesadaran bahwa ia tak dapat menentang warga desa. Masyarakat memiliki aturan sendiri yang dapat memberikan sanksi ketika terdapat pelanggaran. Akan tetapi, ia merasa tidak mendapatkan keadilan karena peraturan desa tidak menindak Ngurah. Di saat yang genting ketika mereka sedang terkepung, Ngurah datang memberikan pertolongan. Ia menjelaskan kepada warga bahwa Sunatha tidak mungkin mengguna-gunai Utari karena Sunatha adalah seorang terpelajar. Sunatha tak dapat berbuat apa-apa di hadapan masyarakat, apalagi ia ingin segera menguburkan jenazah ibunya. Warga desa menoleransi keadaan Sunatha dengan membiarkan keluarga Sunatha melakukan penguburan. “Penguburan itu akhirnya diteruskan. Sunatha memaklumi apa yang terjadi. Weda ikut membantu menerangkan kalau penguburan ditunda lagi, segalanya akan kacau. Sudah jelas penduduk desa tidak akan datang. Tidak seorangpun yang membantu. Jadi mau tak mau itu, harus diselesaikan seadanya. Sunatha terpaku kehilangan akal, di atas gundukan tanah, Sunithi memeganginya. (hlm. 213).

Page 13: KUASA BUDAYA DALAM NOVEL TIBA-TIBA MALAM KARYA PUTU WIJAYA

Kuasa Budaya... (Diah Meutia Harum)

37

4. Simpulan Dari pemaparan dalam pembahasan novel Tiba-Tiba Malam, terlihat bahwa relasi kuasa bekerja dalam bentuk budaya, yaitu adat istiadat yang dibuat secara turun temurun. Adat istiadat tersebut dibuat untuk menentukan norma sosial yang berlaku dalam masyarakat dan berlaku mengikat dan dapat menekan kepada warganya dengan adanya sanksi sosial apabila terdapat pelanggaran. Ini sesuai dengan teori yang dikemukakan Foucault mengenai relasi kuasa yang menyatakan bahwa konsep Negara (dalam hal ini desa dan aturan desa) adalah serba menguasai dan serba mengetahui. Ia mampu memasuki wilayah paling intim dari kehidupan personal dan hal ini terlihat dari pengucilan terhadap Subali dan penolakan warga untuk menguburkan Meme. Foucault mengemukakan konsep panoptikon, bahwa kekuasaan dengan konsep ini melestarikan pengawasannya bukan dengan kekuatan fisik dan intimidasi, melainkan dengan praktik-praktik wacana yang menyebarkan ideologinya. Akan tetapi terdapat anomali pula dalam cerita ini, bahwa hukum adat tak berfungsi dalam hal pelarian istri Sunatha oleh Ngurah. Ini karena Ngurah sebetulnya bagian dari kekuasaan sehingga ia bisa mengatur kekuasaan tersebut. Warga sebagai pelaksana dari hukum adat membiarkan Sunatha menguburkan ibunya walaupun tidak turut membantu, untuk menunjukkan bahwa hukum adat sesungguhnya masih berlaku namun tetap mengedepankan sisi kemanusiaan.

Daftar Acuan Afifa, Yeni Noor.2009. Konflik Budaya Tokoh

Lelaki Novel Tiba Tiba Malam Karya Putu Wijaya. Under Graduates thesis, Universitas Negeri Semarang.

Dhana, I Nyoman.1994. Pembinaan Budaya

Dalam Keluarga Daerah Bali. Bali: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Foucault, Michel. 1975. Power/Knowledge.

Selected Interviews and Other Writ-ings 1972-1977. New York: Pantheon Books

______________.1982. Subject and Power.

From "the Subject and Power" 1982, in: "Michel Foucault: Beyond Structuralism and Hermeneutics" University of Chicago.

Mutammimah, Rif’atul. Adat Bali Dalam

Novel Tiba-Tiba Malam Karya Putu Wijaya (Kajian Sosiologi Sastra).Semarang: JPUnesa

Putu Wijaya dalam

http://id.wikipedia.org/wiki/Putu_Wijaya diunduh pada tanggal 4 Novem-ber 2011 pukul 22.30.

Ratna, Nyoman Kutha. (2004). Teori,

Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta : Pustaka Pelajar

Sihombing, Wika Remince. 2010. Tiba-Tiba

Malam Karya Putu Wijaya: Analisis Sosiologi Sastra. Medan: USU

Stanton, Robert. 1965. An Introduction to

Fiction. New York: Holt, Rinehart and Winston

Sunarti. 2008. Nilai-Nilai Budaya dalam Nov-

el Tiba-Tiba Malam Karya Putu Wijaya: Tinjauan Semiotik.

Page 14: KUASA BUDAYA DALAM NOVEL TIBA-TIBA MALAM KARYA PUTU WIJAYA

Kelasa, Vol. 12, No. 1, Juni 2017: 25—38

38

Swarsi, Si Luh.1986. Kedudukan Dan Peranan Wanita Pedesaan Daerah Bali. Jakarta: Departeman Pendidikan dan Kebudayaan.

Wijaya, Putu. 2005. Tiba-Tiba Malam. Jakarta: Penerbit Buku Kompas