BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Proses menua adalah suatu proses menghilangnya secara perlahan-lahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri, mengganti dan mempertahankan fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap infeksi dan memperbaiki kerusakan yang diderita (Nugroho, 2003). Menurut UU No. 4 tahun 1965 pasal 1 dinyatakan sebagai berikut : Seorang dapat dinyatakan sebagai seorang jompo atau lanjut usia setelah yang bersangkutan mencapai umur 55 tahun, tidak mempunyai atau tidak berdaya mencari nafkah sendiri untuk keperluan hidupnya sehari-hari dan menerima nafkah dari orang lain. Menurut UU No. 13 tahun 1998 tentang kesejahteraan lansia, dikatakan bahwa lansia adalah seseorang yang mencapai usia 60 tahun keatas. Jumlah lansia di dunia mencapai lebih dari 629 juta jiwa (satu dari 10 orang berusia lebih dari 60
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Proses menua adalah suatu proses menghilangnya secara perlahan-lahan
kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri, mengganti dan mempertahankan
fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap infeksi dan memperbaiki
kerusakan yang diderita (Nugroho, 2003). Menurut UU No. 4 tahun 1965 pasal 1
dinyatakan sebagai berikut : Seorang dapat dinyatakan sebagai seorang jompo
atau lanjut usia setelah yang bersangkutan mencapai umur 55 tahun, tidak
mempunyai atau tidak berdaya mencari nafkah sendiri untuk keperluan hidupnya
sehari-hari dan menerima nafkah dari orang lain. Menurut UU No. 13 tahun 1998
tentang kesejahteraan lansia, dikatakan bahwa lansia adalah seseorang yang
mencapai usia 60 tahun keatas.
Jumlah lansia di dunia mencapai lebih dari 629 juta jiwa (satu dari 10
orang berusia lebih dari 60 tahun) dan pada tahun 2025 lanjut usia diperkirakan
akan mencapai 1,2 milyar. Banyaknya jumlah lansia ini akan berdampak pada
meningkatnya angka morbiditas atau kesakitan pada lansia karena dengan
pertambahan usia atau proses menua akan menimbulkan perubahan – perubahan
pada struktur dan fisiologis dari berbagai sistem organ. Salah satu masalah utama
yang terjadi pada lanjut usia adalah nyeri punggung bawah (Nugroho, 2008).
Nyeri punggung bawah di dunia sering dialami oleh lansia dengan angka
yang cukup tinggi (Wikipedia, 2011). Angka kejadian nyeri punggung bawah di
beberapa negara berkembang seperti di Indonesia berkisar antara 15-20% dari
total populasi, yang sebagian besar merupakan nyeri punggung bawah akut
maupun kronik. Penelitian kelompok studi nyeri PERDOSSI (Perhimpunan
Dokter Spesialis Saraf Indonesia) pada bulan Mei 2002 menunjukkan jumlah
penderita nyeri pinggang sebesar 18,37% dari seluruh pasien nyeri. Di daerah
pantai utara Jawa ditemukan keadaan nyeri punggung bawah sebesar 8,2% pada
pria dan 13,6% pada wanita. Di Rumah Sakit Jakarta, Yogyakarta dan Semarang
kejadiannya sekitar 5,4-5,8% dengan umur terbanyak 45-65 tahun. Rata-rata
angka kejadian nyeri punggung bawah terjadi pada umur 55-64 tahun (Meliala,
2003).
Nyeri punggung bawah merupakan keluhan yang sangat umum dan sering
terjadi. Nyeri punggung bawah adalah rasa nyeri yang dirasakan di daerah
punggung bawah dapat merupakan nyeri lokal maupun nyeri radikuler atau
keduanya. Nyeri ini terasa diantara sudut iga terbawah sampai lipat bokong bawah
yaitu di daerah lumbal atau lumbosakral dan sering disertai dengan penjalaran
nyeri ke arah tungkai dan kaki (Meliala, 2003).
Nyeri punggung bawah sebenarnya dapat diatasi bukan hanya dengan
pengobatan saja melainkan dapat diatasi dengan terapi konservatif lainnya seperti
dengan terapi modalitas yaitu terapi non farmakologis (Haryanto, 2003). Terapi
non farmakologis sebagai bagian dari rehabilitasi medik telah ribuan tahun
digunakan sebagai sarana terapi. Terapi non farmakologis banyak membantu
mengatasi nyeri akut maupun kronik, dari sekian banyak terapi modalitas yang
paling sering dipergunakan, bahkan dikerjakan oleh masyarakat sendiri di rumah.
Pemanasan superfisial lokal merupakan modalitas yang efektif dan telah umum
2
digunakan untuk menghilangkan nyeri pada berbagai kondisi muskuluskeletal.
Salah satu modalitas terapi panas adalah inframerah yang sering digunakan karena
harganya tidak terlalu mahal dan praktis (Haryanto, 2003).
Ketika suatu jaringan mengalami cedera, atau kerusakan mengakibatkan
dilepasnya bahan-bahan yang dapat menstimulus reseptor nyeri seperti serotonin,
histamin, ion kalium, bradikinin, prostaglandin, dan substansi P yang akan
mengakibatkan respons nyeri. Rasa nyeri tersebut ditimbulkan oleh adanya
akumulasi sisa-sisa hasil metabolisme yang menumpuk di jaringan. Penumpukan
zat sisa hasil metabolisme tersebut dihilangkan dengan pemasan yang cukup
untuk mendilatasikan pembuluh darah agar zat-zat tersebut ikut keluar. Salah satu
metode yang digunakan untuk memperoleh panas adalah dengan radiasi
khususnya inframerah. Penyinaran inframerah merupakan salah satu cara yang
efektif untuk mengurangi atau menghilangkan rasa nyeri. Pengaruh inframerah
pada pengurangan rasa nyeri adalah panas yang dihasilkan akan menyebabkan
terjadinya peningkatan temperatur pada area yang diterapi, dengan demikian
terjadi dilatasi pembuluh darah yang diikuti peningkatan aliran darah kapiler
sehingga pembuangan hasil-hasil metabolisme semakin baik (Potter dan Perry,
2006). Lancarnya sirkulasi darah maka zat-zat yang tidak berguna bagi tubuh ikut
juga terbuang, nyeri akan berkurang diikuti dengan spasme otot berkurang
sehingga akan merilesasikan otot (Haryanto, 2003).
Selain penggunaan inframerah, dilakukan terapi stimulasi kutaneus untuk
nyeri punggung bawah. Stimulasi kutaneus adalah masase yang diberikan tidak
secara spesifik menstimulasi reseptor tidak nyeri pada bagian reseptor yang sama
3
seperti reseptor nyeri tetapi dapat mempunyai dampak melalui system control
dessenden. Masase tersebut dapat membuat pasien merasa lebih nyaman karena
masase dapat membuat relaksasi otot dan dapat menghambat pembentukan
substansi P sebagai media untuk menghambat terjadinya respons nyeri melalui
penutupan gerbang respons nyeri (menurut teori gate control). Dengan terjadinya
penutupan gerbang tersebut, secara teori nyeri pasien akan mengalami penurunan.
Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang dilakukan di Banjar
Tebongkang, Desa Singakerta, Kecamatan Ubud diperoleh bahwa pada tahun
2011 terdapat 97 orang Lansia yang terdiri dari 53 orang (54,6%) perempuan dan
44 orang (45,4%) laki-laki, 49 orang (52,1%) diantaranya mengalami nyeri
punggung bawah. Dari hasil wawancara yang peneliti lakukan terhadap 10 orang
lansia, dikatakan bahwa lansia dalam mengatasi nyeri punggung bawah 2 orang
(20%) dengan senam lansia setiap sore, 2 orang (20%) menggosok punggung
dengan balsem dan 6 orang (60%) mengkonsumsi obat natrium diklofenak tablet,
paracetamol dan vitamin B1 yang diperoleh saat datang ke Posyandu Lansia yang
rutin dilakukan setiap bulan di Banjar Tebongkang. Pada lansia telah terjadi
proses penurunnan daya tahan tubuh dalam menghadapi rangsangan dari dalam
dan dari luar tubuh, sehigga pemberian obat-obatan yang secara terus menerus
dapat merugikan bagi tubuh mereka sendiri.
Berdasarkan uraian diatas, maka peneliti tertarik untuk meneliti tentang
perbedaan pengaruh stimulasi kutaneus dan inframerah terhadap nyeri pada lansia
yang mengalami nyeri punggung bawah di Banjar Tebongkang, Desa Singakerta,
Kecamatan Ubud Tahun 2011.
4
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut di atas, maka akan timbul
pertanyaan “Apakah ada perbedaan pengaruh stimulasi kutaneus dan inframerah
terhadap nyeri punggung bawah pada Lansia di Banjar Tebongkang, Desa
Singakerta, Kecamatan Ubud Tahun 2011?
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Tujuan Umum
Mengetahui perbedaan pengaruh stimulasi kutaneus dan inframerah
terhadap tingkat nyeri punggung bawah pada Lansia di Banjar Tebongkang, Desa
Singakerta, Kecamatan Ubud Tahun 2011.
2. Tujuan Khusus
a. Mengidentifikasi skala nyeri punggung bawah pada
Lansia sebelum diberikan stimulasi kutaneus
b. Mengidentifikasi skala nyeri punggung bawah pada
Lansia sebelum diberikan terapi inframerah
c. Mengidentifikasi skala nyeri punggung bawah pada
Lansia setelah diberikan stimulasi kutaneus
d. Mengidentifikasi skala nyeri punggung bawah pada
Lansia setelah diberikan terapi inframerah
5
e. Menganalisa perbedaan pengaruh antara pemberian
stimulasi kutaneus dan terapi inframerah terhadap nyeri punggung bawah
pada Lansia
D. Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini dapat ditinjau dari dua aspek yaitu segi teoritis
dan praktis sebagai berikut :
1. Teoritis
a. Manfaat yang diperoleh untuk memperdalam ilmu
pengetahuan dan menambah wawasan tentang kondisi nyeri punggung bawah
b. Memberikan informasi tentang kondisi nyeri punggung
bawah yang sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari di dalam masyarakat
2. Praktis
a. Hasil penelitian ini dapat dijadikan pedoman bagi staf
Puskesmas atau penyelenggaran Posyandu Lansia atau keluarga dalam
memberikan terapi modalitas yang berguna untuk perawatan nyeri punggung
bawah
b. Hasil penelitian ini dapat digunakan oleh perawat dalam
melaksanakan asuhan keperawatan, khususnya dalam hal nyeri punggung
bawah
E. Keaslian Penelitian
1. Dina (2003) dalam penelitiannya yang berjudul “Perbedaan
Penurunan Skala Nyeri antara Bekam Kering, Kompres Panas Kering dan
6
Inframerah Radiasi pada Penderita Nyeri Punggung Bawah”, penelitian ini
menggunakan penelitian quasi eksperimen dengan teknik purposive sampling.
Uji yang digunakan adalah Anova dan diperoleh hasil bahwa terapi radiasi
memberikan pengaruh yang paling baik dalam menurunkan nyeri punggung
(p=0,00). Penelitian ini berbeda dengan penelitian yang akan dilakukan, yaitu
terletak pada variabel yang diteliti dan uji statistik yang digunakan.
2. Menurut Sumartini (2008) dalam penelitian tentang “Pengaruh
Stimulasi Kutaneus: Slow-Stroke Back Massage Terhadap Intensitas Nyeri
Osteoartritis Pada Lansia Di Panti Werdha Griya Asih Lawang”. Desain yang
digunakan adalah pra eksperimental dengan pendekatan one group pre test-
post test. Subyek penelitian adalah lansia yang berusia 55 tahun ke atas di
Penghangatan yang diberikan pada punggung bawah responden dengan menggunakan alat inframerah selama 10 menit dengan jarak 30 cm dari punggung bawah responden selama 9 hari dengan pencahayaan lampu infra merah 150 watt
Lampu IR sejajar pada punggung bawah, lansia diberikan dengan waktu 10 menit.
Observasi Pemberian inframerah selama 10 menit dengan jarak 30 cm pada daerah yang nyeri dengan pencahayaan lampu 150 watt
Nominal
-Terapi stimulasi kutaneus
Usapan pada punggung bawah responden dengan menggerakkan jari-jari tangan dan telapak tangan yang dilumuri lotion selama 10 menit selama 9 hari dengan frekuensi 3 hari sekali
Punggung diusap dengan gerakan memutar dan mengusap punggung dengan jari dan telapak tangan
Observasi Pemberian usapan telapak tangan dan jari selam sepuluh menit dengan tangan yang diberi losion
Nominal
2 Dependent Variable :Nyeri Punggung
Rasa nyeri yang dirasakan di daerah punggung bawah yang diukur dengan skala nyeri verbal deskriptive scale (VDS)
Lansia akan ditanya skala nyeri sebelum diberikan terapi
Wawancara Terdapat perbedaan hasil terapi yaitu nyeri
Interval
46
Bawah sebelum dan 9 hari setelah perlakuan
sedangkan setelah terapi dilakukan 30 menit setelah pemberian terapi pada hari ke-9
dan tidak nyeri.
C. Hipotesis
Hipotesa adalah jawaban sementara dari rumusan masalah atau pertanyaan
penelitian (Nursalam, 2008). Hipotesis dalam penelitian ini adalah ada perbedaan
pengaruh inframerah dan stimulasi kutaneus terhadap nyeri punggung bawah pada
lansia.
BAB IV
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Jenis penelitian dalam penelitian ini adalah termasuk penelitian quasi
eksperimen dengan menggunakan rancangan pre test post test with control group
design. Pre test post test with control group design adalah eksperimen yang
dilaksanakan pada dua kelompok yaitu perlakuan dan kontrol. Observasi sebelum
perlakuan pada kelompok I disebut (O1) dan observasi setelah perlakuan pada
kelompok I disebut O2, sedangkan observasi sebelum diberikan perlakuan pada
kelompok II disebut O3 dan setelah perlakuan pada kelompok II disebut O4.
O1 : nilai pretest (sebelum diberikan terapi inframerah)
O2 : nilai posttest (setelah diberikan terapi inframerah)
O3 : nilai pretest (sebelum diberikan terapi stimulasi kutaneus)
O4 : nilai posttest (setelah diberikan terapi stimulasi kutaneus)
X1 : perlakuan terapi inframerah
X2 : terapi stimulasi kutaneus
B. Kerangka Kerja
48
PopulasiSemua Lansia yang tinggal di Banjar
tebongkang Desa Singa Kerta yang Mengalami Nyeri Punggung Bawah sebanyak 49 orang
SampelBerjumlah 44 orang dengan 22 diberi perlakuan
stimulasi kutaneus dan 22 orang diberi terapi infra merah
Kriteria Inklusi Kriteria Eksklusi
Pengukuran skala nyeri sebelum diberikan terapi terapi stimulasi kutaneus dan terapi infra merah
Kelompok yang diberi penghangatan infra adalah lansia dengan nomor ganjil diberikan
terapi selama 10 menit setiap hari dengan jarak 30 cm diberikan 9 hari dengan pencahayaan
lampu infra merah 150 watt
Kelompok yang diberi stimulasi Kutaneus adalah lansia dengan nomor genap dan diberikan terapi 10 menit selama 9 hari dengan frekuensi 3
hari sekali
C. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan di Banjar Tebongkang, Desa Singakerta mengingat
jumlah lansia yang mengalami nyeri punggung bawah cukup banyak.
D. Populasi dan Sampel Penelitian
1. Populasi
Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas objek/subjek yang
mempunyai kuantitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti
untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiyono, 2007).
Populasi dalam penelitian ini adalah semua lansia yang mengalami nyeri
punggung bawah di Banjar Tebongkeng Desa Singakerta tahun 2011.
2. Sampel penelitian
Sampel adalah bagian dari populasi yang dipilih dengan cara tertentu yang
dianggap mewakili populasinya (Sugiyono, 2007). Dalam penelitian ini sampel
yang digunakan adalah lansia yang mengalami nyeri punggung bawah di Desa
49
Pengukuran skala nyeri setelah diberikan terapi stimulasi kutaneus dan infra merah setelah pemberian terapi selama 10 menit setelah hari ke 9
Analisis Penelitian
Penyajian hasil penelitian
Tebongkeng, Desa Singakerta. Sampel yang dipilih sesuai dengan kriteria sebagai
berikut:
a. Kriteria inklusi
1) Umur >60 tahun
2) Mengalami nyeri punggung bawah
3) Kooperatif dan bersedia menjadi responden
b. Kriteria eksklusi
1) Lansia dengan penyakit penyerta seperti fraktur di daerah tulang belakang
2) Lansia yang mendapat terapi analgetik
3) Lansia dengan penyakit kulit di daerah punggung bawah
4) Lansia dengan luka lecet di daerah punggung bawah
3. Besar Sampel
Slovin dalam Prasetya (2005), menghitung jumlah sampel yang digunakan
dalam penelitian dengan rumus sebagai berikut.
Keterangan:
=Besar Sampel
N =Besar Populasi
e =Tingkat Kesalahan (0,05)
Jumlah populasi yaitu lansia yang mengalami nyeri punggung bawah di Banjar
Tebokang, Desa Singakerta adalah sebanyak 49 orang. Dari jumlah tersebut maka
50
dapat dihitung sampel yang akan dipakai dalam penelitian ini sebagai berikut
(Prasetya, 2005):
43,65
44 orang (dibulatkan)
Jadi sampel dalam penelitian adalah berjumlah 44 orang.
4. Teknik Sampling
Dalam menentukan jumlah sampel, teknik pengambilan sampel yang
digunakan adalah teknik probability sampling yaitu dengan sistematic random
sampling yaitu diambil 44 orang dari 49 orang lansia yang mengalami nyeri
punggung bawah dengan ketentuan kelompok yang diberi stimulasi kutaneus
adalah responden yang bernomor genap sedangkan yang diberikan terapi
inframerah yang bernomor ganjil.
E. Jenis dan cara pengumpulan data
1. Jenis data yang dikumpulkan
Berdasarkan cara memperolehnya, data yang dikumpulkan dalam
penelitian ini adalah data primer. Data primer dalam penelitian ini adalah data
51
yang secara langsung diperoleh dari obyek penelitian (Riwidikdo, 2007), yaitu
hasil wawancara terhadap skala nyeri lansia di Banjar Tebongkang, Desa
Singakerta. Jenis data yang dikumpulkan adalah data kuantitatif.
2. Cara pengumpulan data
Pengumpulan data merupakan kegiatan penelitian untuk mengumpulkan
data (Hidayat, 2009). Peneliti dalam penelitian ini melakukan langkah
pengumpulan data sebagai berikut :
a. Peneliti membawa surat ijin penelitian yang dipersiapkan oleh institusi kepada
Kepala Puskesmas II Ubud serta Kepala Desa Singakerta
b. Setelah surat ijin dikeluarkan oleh Kepala Puskesmas, selanjutnya peneliti
melakukan pendekatan kepada Kepala Puskesmas dan Kepala Desa atau
pemegang program Kesehatan Lansia di Puskesmas II Ubud
c. Sosialisasi dengan peneliti pendamping dan pengawas tentang teknik dan
pelaksanaan penelitian dan mempersiapkan tiga orang peneliti pendamping
dari mahasiswa keperawatan dan satu orang pengawas dari Puskesmas II
Ubud untuk pengumpulan data.
d. Melakukan pendekatan terhadap sampel penelitian sesuai kriteria inklusi
dengan daftar nama lansia serta menentukan sampel sesuai dengan ketentuan
yaitu stimulasi kutaneus diambil pada responden dengan nomor genap dan
terapi inframerah diambil pada responden dengan nomor ganjil. Setelah
sampel diperoleh, dilakukan penyampaian maksud dan tujuan peneliti kepada
para lansia di Banjar Tebongkang untuk kesediannya secara sukarela menjadi
responden dalam penelitian ini dengan menandatangani informed consent.
52
e. Mengukur skala nyeri pada sampel sebelum diberikan terapi stimulasi
kutaneus dan terapi inframerah
f. Melakukan terapi stimulasi kutaneus kepada sampel dengan nomor genap dan
memberikan terapi inframerah pada sampel dengan nomor ganjil sesuai
dengan prosedur dan dilakukan selama 9 hari
g. Melakukan pengukuran skala nyeri setelah pemberian terapi selama 10 menit
pada hari ke-9 diberikan stimulasi kutaneus dan terapi inframerah
h. Peneliti mengumpulkan data yang telah didapat
i. Melakukan tabulasi dan analisis data
3. Instrumen pengumpul data
a. Alat penelitian
Alat yang digunakan dalam penelitian yaitu lampu inframerah 150 watt,
alat untuk memeriksa sensibilitas kulit, meja khusus, kamera digital, dan checklist
stimulasi kutaneus dan inframerah.
b. Bahan penelitian
Bahan penelitian yang digunakan adalah alat tulis dan lembar pengkajian.
F. Pengolahan dan Analisa Data
1 Teknik pengolahan data
Langkah-langkah dalam pengolahan data:
a. Editing
Editing dilakukan dengan mengecek kelengkapan pedoman observasi yang
telah diisi. Jika terdapat data yang belum terisi akan dilakukan crosscheck
terhadap data tersebut melalui wawancara ulang terhadap responden ataupun
53
penelusuran catatan observasi pasien. Dalam penelitian ini editing dilakukan
sebanyak satu kali yaitu pada sampel nomor 8 pada responden dengan stimulasi
kutaneus dimana data skala nyeri setelah diberikan stimulasi kutaneus belum
lengkap, sehingga dilakukan crosscheck terhadap responden yang bersangkutan.
b. Scoring
Angket yang sudah terkumpul, dilakukan pengkodean untuk memudahkan
dalam memasukkan ke dalam program analisis. Dalam hal ini skoring dilakukan
dengan memberikan skor 1 kepada pada responden dengan skala nyeri tingkat
ringan, 2 untuk skala nyeri sedang dan 3 untuk skala nyeri tingkat berat.
c. Entry
Kegiatan memasukkan data ke dalam program komputer untuk mencegah
risiko kehilangan data. Entry ini dilakukan dengan melakukan penyimpanan data
ke dalam master tabel data dalam bentuk program sheet, yang kemudian di
transfer ke dalam matrik program SPSS 16.0 untuk selanjutnya dilakukan analisis.
Selain itu, untuk menjaga risiko kehilangan data, data yang telah ditabulasi
disimpan ke dalam bentuk CD sehingga jika terjadi kehilangan data pada
komputer dapat dilakukan backup dengan mudah.
2. Teknik analisa data
Analisa data dilakukan setelah semua data terkumpul. Proses analisa data
penelitian ini yaitu:
a. Analisis Univariat
Analisis univariat dilakukan melalui :
54
1) Deskripsi data skala nyeri pasien nyeri punggung bawah yang diberikan
terapi inframerah dideskripsikan dengan menghitung rata-rata nyeri, nilai
minimal dan maksimal dari seluruh responden dan disajikan dalam bentuk
tabel frekuensi
2) Deskripsi data skala nyeri pasien nyeri punggung bawah yang diberikan
stimulasi kutaneus dideskripsikan dengan menghitung rata-rata skala nyeri,
nilai minimal dan maksimal dari seluruh responden dan disajikan dalam
bentuk tabel frekuensi.
3) Deskripsi perubahan skala nyeri pada stimulasi kutaneus dan terapi infra
merah dideskripsikan dengan menghitung rata-rata, nilai minimal dan
maksimal dari perubahan atau perbedaan skala nyeri yang kemudian disajikan
dalam bentuk tabel distribusi frekuensi
b. Analisis Bivariat
Analisis bivariat dilakukan untuk mengetahui hubungan kedua variabel
baik penelitian komparatif maupun korelatif. Adapun analisis bivariat yang
digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
1) Analisis pengaruh pemberian stimulasi kutaneus terhadap perubahan skala
nyeri
Sebelum dilakukan pengujian statistik pengaruh pemberian stimulasi
kutaneus dengan perubahan skala nyeri, dilakukann uji normalitas data terhadap
data sebelum dan sesudah diberikan stimulasi kutaneus dengan menggunakan uji
Kolmogorov smirnov, jika data berdistribusi normal (p value>0,05), maka
dilakukan uji statistik parrametrik dengan uji t paired sample tes, namun jika data
55
tidak berdistribusi normal (p value<0,05) maka dilakukan uji non parametrik
dengan uji wilcoxon.
2) Analisis pengaruh pemberian terapi infra merah terhadap perubahan skala
nyeri
Sebelum dilakukan pengujian statistik pengaruh pemberian terapi infra
merah dengan perubahan skala nyeri, dilakukann uji normalitas data terhadap data
sebelum dan sesudah diberikan terapi infra merah dengan menggunakan uji
Kolmogorov smirnov, jika data berdistribusi normal (p value>0,05), maka
dilakukan uji statistik parrametrik dengan uji t paired sample tes, namun jika data
tidak berdistribusi normal (p value<0,05) maka dilakukan uji non parametrik
dengan uji wilcoxon.
3) Analisis perbedaan skala nyeri dengan pemberian stimulasi kutaneus dan
terapi infra merah
Analisis perbedaan antara intensitas nyeri pasien nyeri punggung bawah
yang diberi stimulasi kutaneus dengan terapi inframerah dilakukan dengan
membedakan selisih dari skala nyeri sebelum dan sesudah diberikan perlakuan.
Seslisih atau beda skala nyeri tersebut dilakukan uji normalitas data dengan
menggunakan uji statistik Kolomogorv Smirnov, jika data berdistribusi normal
(pvalue>0,05), maka dilakukan uji paramterik dengan menggunakan uji t
independent sample, namun jika data tidak berdistribusi normal (pvalue<0,05)
dilakukan dengan uji non parametrik dengan uji Mann Whitney.
56
Hasil analisi dari ketiga uji bivariat di atas yang diperoleh dari program
komputer dengan uji statistik (misalnya dengan penggunaan produk SPSS) dapat
disimpulkan dengan ketentuan sebagai berikut:
1. Jika nilai t hitung < t tabel, Z hitung < Z tabel, U hitung< U tabel
atau p<α (0,05), maka dapat disimpulkan Ho ditolak dan hal ini berati bahwa
terdapat perbedaan intensitas nyeri antara pemberian terapi inframerah dengan
terapi stimulasi kutaneus
2. Jika nilai t hitung > t tabel, Z hitung > Z tabel, U hitung >U tabel dan
p > α, maka dapat disimpulkan Ho diterima dan hal ini berati bahwa tidak
terdapat perbedaan intensitas nyeri antara pemberian terapi inframerah dengan
terapi stimulasi kutaneus.
57
BAB V
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A Hasil Penelitian
1. Kondisi lokasi penelitian
Desa Singakerta terdiri dari 13 Banjar dengan jumlah penduduk sebanyak
865 jiwa. Penelitian ini dilakukan di Banjar Tebongkang, Desa Singakerta,
Kecamatan Ubud yang merupakan wilayah kerja Puskesmas II Ubud. Pada tahun
2011 terdapat 97 orang Lansia yang terdiri dari 53 orang (54,6%) perempuan dan
44 orang (45,4%) laki-laki, 49 orang (52,1%) (Data Register Posyandu Lansia
Banjar Tebongkang, 2011).
2. Hasil pengamatan terhadap obyek penelitian
a. Gambaran skala nyeri pada lansia nyeri punggung bawah
sebelum diberi stimulasi kutaneus
58
Gambar 5.1Gambaran Nyeri Punggung Bawah pada Lanjut Usia sebelum Diberikan
Stimulasi Kutaneus di Banjar Tebongkang, Desa Singakerta Kecamatan Ubud
Dalam penelitian ini, skala nyeri pasien sebelum diberikan stimulasi
kutaneus yang terdiri dari 22 orang seluruhnya tergolong kategori sedang dengan
rentang skala nyeri berkisar 4-6 dan rata-rata 4,7.
b. Gambaran skala nyeri pada lansia nyeri punggung bawah
sebelum diberi terapi inframerah
59
Gambar 5.2Gambaran Nyeri Punggung Bawah pada Lanjut Usia sebelum Diberikan
Terapi Infra Merah di Banjar Tebongkang, Desa Singakerta Kecamatan Ubud
Berdasarkan gambar diatas, menunjukkan bahwa sebelum diberikan terapi
inframerah, dari 22 orang responden sebagian besar mengalami nyeri dengan
kategori nyeri tingkat sedang yaitu sebanyak 19 orang (86%) dan sebagian kecil
adalah berat yaitu sebanyak tiga orang (14%). Ditinjau dari nilai skala nyeri
diperoleh bahwa rata-rata nyeri lanjut usia sebelum diberikan terapi inframerah
adalah 5 dengan rentang skala nyeri berkisar 4-7.
c. Gambaran skala nyeri pada lansia nyeri punggung bawah
setelah diberi stimulasi kutaneus
60
Gambar 5.3Gambaran Nyeri Punggung Bawah pada Lanjut Usia setelah Diberikan
Stimulasi Kutaneus di Banjar Tebongkang, Desa SingakertaKecamatan Ubud
Berdasarkan diagram di atas, dari 22 orang responden yang diberikan
stimulasi kutaneus diperoleh bahwa sebagian besar responden berada dalam
kategori nyeri tingkat sedang yaitu sebanyak 15 orang (68%) dan terdapat tujuh
orang (32%) yang tergolong kategori nyeri tingkat ringan. Dilihat dari nilai skala
nyeri diperoleh rata-rata nyeri setelah diberikan stimulasi kutaneus adalah 3,5
dengan rentang nilai 2-5.
d. Skala nyeri setelah diberikan terapi infra merah
61
Gambar 5.4Gambaran Nyeri Punggung Bawah pada Lanjut Usia setelah Diberikan
Infra Merah di Banjar Tebongkang, Desa Singakerta Kecamatan Ubud
Berdasarkan gambar di atas, dari 22 orang responden yang diberikan
inframerah diperoleh bahwa skala responden sebagian besar tergolong kategori
ringan dan sebagian lagi adalah sedang yaitu masing - masing 11 orang (50%).
Dilihat dari nilai skala nyeri, nilai rata-rata skala nyeri setelah diberikan infra
merah adalah 3 dengan rentang nilai berkisar antara 1-5.
62
e. Perbedaan skala nyeri sebelum dan sesudah diberikan
stimulasi kutaneus
Tabel 5.1Skala Nyeri Pada Lansia Sebelum dan Sesudah Stimulasi Kutaneus
Di Banjar Tebongkang, Kecamatan Ubud
IndikatorSebelum Stimulasi
Kutaneus
Setelah Stimulasi
KutaneusBeda
Rata-rata 4,7 3,5 1,1
Nilai Minimal 4 2 0
Nilai Maksimal 6 5 2
Berdasarkan tabel di atas, sebelum diberikan stimulasi kutaneus terlihat
bahwa rata-rata skala nyeri responden adalah 4,7 dengan rentang 4-6, setelah
diberikan stimulai kutaneus terlihat bahwa rata-rata nyeri menjadi 3,5 dengan
rentang nilai 2-5. Terlihat pula bahwa dengan pemberian stimulai kutaneus terjadi
penurunan skala nyeri dengan rata-rata sebesar 1,1 dengan rentang penurunan 0-2.
f. Perbedaan skala nyeri sebelum dan sesudah diberikan terapi
infra merah
Tabel 5.2Skala Nyeri pada Lansia Sebelum dan Sesudah Diberikan Terapi Infra
Merah di Banjar Tebongkang
IndikatorSebelum Terapi
Infra Merah
Setelah Terapi
Infra MerahBeda
Rata-rata 5 3 2
Nilai Minimal 4 1 0
Nilai Maksimal 7 5 3
63
Tabel di atas menunjukkan bahwa skala nyeri responden sebelum
diberikan terapi infra merah adalah 5 dengan rentang nilai 4-7, setelah diberikan
terapi infra merah nilai rata-rata nyeri menjadi 3 dengan rentang nilai berkisar
antara 1-5. Terlihat pula bahwa dengan pemberian infra merah terjadi penurunan
nyeri sebesar 2 dengan rentang penurunan nyeri berkisar antara 0-3.
4. Hasil analisis data
Hasil analisis uji bivariat terhadap data dalam penelitian ini yang terdiri
dari data skala nyeri sebelum dan sesudah diberikan stimulasi kutaneus dan
inframerah telah dilakukan uji normalitas data dengan Kolmogorov Smirnov
sehingga diperoleh hasil bahwa data tidak berdistribusi normal (p value = 0,000),
sehingga uji bivariat dilakukan dengan uji wilcoxon, sedangkan untuk mengetahui
perbedaan pengaruh pemberian stimulasi kutaneus dan inframerah terhadap nyeri
punggung bawah dilakukan dengan uji Mann Whitney. Untuk analisis pengaruh
dari variabel yang diteliti dapat dilihat pada bahasan berikut.
a. Analisis pengaruh stimulasi kutaneus pada perubahan
skala nyeri pada lansia dengan nyeri punggung bawah
Pada gambar 5.4 ditunjukkan bahwa pemberian stimulasi kutaneus dapat
menurunkan nyeri rata-rata sebesar 1,1 poin dengan rentang penurunan 0-2 poin.
Rata-rata skala nyeri menurun dari 4,7 menjadi 3,5, sedangkan rentang skala nyeri
berubah dari 4-6 menjadi 2-5. Terlihat bahwa secara deskriptif stimulasi kutaneus
sebagian besar menyebabkan penurunan nyeri pada lansia. Hal tersebut didukung
64
dengan hasil uji statistik non parametrik dengan Wilcoxon yang menunjukkan
nilai Z sebesar -3,729 dengan nilai p value sebesar 0,000 (<0,05) yang berarti
bahwa terdapat perbedaan nyeri sebelum dan sesudah diberikan stimulasi
kutaneus atau dengan kata lain stimulasi kutanues berpengaruh terhadap
perubahan skala nyeri pada lansia dengan nyeri punggung bawah. Nilai Z sebesar
-3,729 (nilai negatif) yang berarti bahwa pemberian stimulasi kutaneus
menyebabkan penurunan skala nyeri (tabel 5.3).
Gambar 5.4.Perbedaan Skala Nyeri sebelum dan Sesudah diberikan Terapi Stimulasi Kutaneus
pada Lansia dengan Nyeri Punggung Bawah di Banjar Tebongkang
65
Tabel 5.3 Nilai Uji Statistik Pengaruh Stimulasi Kutaneus Terhadap Skala Nyeri
Pada Lansia Dengan Nyeri Punggung Bawah Di Banjar Tebongkang
No. Indikator Nilai
1 Rata-rata perubahan skala nyeri 1,1
2 Nilai Z -3,729
3 Nilai p value 0,000
4 Nilai p signifikansi Kolmogorov Smirnov 0,000
b. Analisis pengaruh terapi infra merah pada perubahan
skala nyeri pada lansia dengan nyeri punggung bawah
66
Gambar 5.5Perbedaan Skala Nyeri sebelum dan Sesudah diberikan Terapi Inframerah pada
Lansia dengan Nyeri Punggung Bawah di Banjar Tebongkang
Gambar di atas menunjukkan bahwa pemberian terapi inframerah dapat
menurunkan nyeri sebesar 2 poin dengan rentang penurunan nyeri berkisar antara
0-3 poin. Rata-rata skala nyeri sebelum diberikan terapi inframerah menurun dari
5 menjadi 3, sedangkan rentang nilai setelah diberikan inframerah berubah dari 4-
7 menjadi 1-5. Secara deskriptif, dengan terapi inframerah dapat menyebabkan
penurunan nyeri pada responden dengan nyeri punggung bawah. Hal tersebut
didukung dengan analisis statistik dengan uji Wilcoxon diperoleh nilai Z=-3,993
dengan nilai p value sebesar 0,000 (<0,05) yang berarti bahwa ada perbedaan
skala nyeri sebelum dan sesudah diberikan infra merah atau dengan kata lain
pemberian infra merah berpengaruh terhadap perubahan skala nyeri pada
responden dengan nyeri punggung bawah. Nilai Z negatif menunjukkan bahwa
pemberian terapi infra merah memberikan efek yang negatif terhadap skala nyeri
yaitu menurunkan skala nyeri (hasil dapat dilihat pada tabel 5.4).
Tabel 5.4Nilai Uji Statistik Pengaruh Terapi Infra Merah Terhadap Skala Nyeri Pada
Lansia Dengan Nyeri Punggung Bawah Di Banjar Tebongkang
No. Indikator Nilai
1 Rata-rata perubahan skala nyeri 2,0
2 Nilai Z -3,993
3 Nilai p value 0,000
4 Nilai p signifikansi Kolmogorov Smirnov 0,000
67
c. Analisis perbedaan perubahan skala nyeri pada lansia
dengan nyeri punggung bawah yang diberikan stimulasi kutaneus maupun
terapi infra merah
Gambar 5.6Perbedaan Penurunan Nilai Skala Nyeri pada Lansia dengan Nyeri Punggung Bawah yang Diberikan Stimulasi Kutaneus dan Terapi Inframerah di Banjar
Tebongkang
Berdasarkan gambar di atas, terlihat bahwa dari 44 responden yang
dibandingkan, dimana 22 orang diberi stimulasi kutaneus dan 22 orang diberi
inframerah. Dari gambar tersebut terlihat bahwa terapi inframerah memiliki
efektivitas yang lebih besar daripada stimulasi kutaneus. Hal tersebut terlihat dari
lebih besarnya perbedaan nyeri yang dialami oleh responden yang dilakukan
terapi inframerah. Untuk mengetahui perbedaan skala nyeri pada pemberian terapi
inframerah dan stimulasi kutaneus maka dilakukan uji statistik dengan
menggunakan Mann Whitney. Hasil uji statistik dengan Mann Whitney
68
menunjukkan nilai U sebesar 112,5 dan nilai signifikansi sebesar 0,001 (Tabel
5.5). Nilai tersebut menunjukkan bahwa terdapat perbedaan perubahan skala nyeri
pada pemberian stimulasi kutaneus dengan terapi infra merah. Nilai rata-rata
perubahan skala nyeri pada stimulasi kutaneus adalah 1,1 sedangkan pada terapi
infra merah sebesar 2,0 yang ditunjukkan pada tabel sebelumnya.Sehingg dapat
disimpulkan bahwa pemberian sinar infra merah lebih efektif dalam menurunkan
skala nyeri pada lansia dengan nyeri punggung bawah (Hasil dapat dilihat pada
tabel 5.5).
Tabel 5.5Nilai Uji Statistik Perbedaan Perubahan Skala Nyeri Pada Lansia
Dengan Nyeri Punggung Bawah Yang Diberikan Stimulasi Kutaneus Maupun Terapi Infra Merah Di Banjar Tebongkang
No. Indikator Nilai
1 Nilai U Mann Whitney 112,5
2 Nilai p value 0,001
3 Nilai p signifikansi Kolmogorov Smirnov 0,000
B. Pembahasan
1. Skala Nyeri Sebelum
diberikan Stimulasi Kutaneus dan Inframerah
Dari 22 orang responden yang merupakan lansia dengan nyeri punggung
bawah sebelum diberikan stimulasi kutaneus seluruhnya (100%) tergolong
kategori sedang dengan rata-rata 4,7 dan rentang skala nyeri 4-6, demikian pula
pada responden sebelum diberikan inframerah yang berjumlah sebanyak 22 orang
responden sebagian besar mengalami nyeri tingkat sedang yaitu sebanyak 19
69
orang (86%) dan sebagian kecil adalah berat yaitu sebanyak 3 orang (14%).
Dilihat dari skala nyeri diperoleh rata-rata skala nyeri sebesar 5 dengan rentang
nilai 4-7. Hal ini sesuai dengan pendapat dari Potter dan Perry (2006) yang
menyatakan bahwa ketika suatu jaringan mengalami cedera atau kerusakan
mengakibatkan dilepaskannya bahan-bahan yang dapat menstimulus reseptor
nyeri seperti serotonin, histamin, ion kalium, bradikinin, prostaglandin dan
substansi P yang akan mengakibatkan respons nyeri. Selain hal tersebut, adanya
sifat lansia yang cenderung tertutup sehingga tidak mau mengungkapkan nyeri
yang dirasakan dan tidak mendapat pengobatan akan membawa dampak pada
peningkatan skala nyeri yang dirasakan. Hal tersebut sesuai dengan pendpat Potter
dan Perry (2006), yang menyatakan bahwa lansia cenderung memendam nyeri
yang dialami karena mereka menganggap nyeri adalah hal alamiah yang harus
dijalani dan mereka takut kalau mengalami penyakit berat atau meninggal jika
nyeri diperiksakan, selain itu akan berdampak buruk bagi kesehatan lansia
tersebut.
.2. Skala Nyeri Setelah
diberikan Stimulasi Kutaneus
Dari 22 responden yang telah diberikan stimulai kutaneus diperoleh bahwa
ssebagian besar responden berada dalam kategori tingkat sedang sebanyak 15
oang 968%) dan terdapat 7 orang (32%) yang tergolong kategori nyeri tingkat
ringan. Dilihat dari skala nyeri diperoleh rata-rata nyeri setelah diberikan stimulasi
kutaneus adalah 3,5 dengan rentang 2-5. Berdasarkan hasil analisis dengan uji non
parametrik test, dengan uji Wilcoxon diperoleh nilai Z sebesar -3,729 dengan nilai
70
p value sebesar 0,000 (<0,05) yang berarti bahwa terdapat perbedaan nyeri
sebelum dan sesudah diberikan stimulasi kutaneus atau dengan kata lain stimulasi
kutanues berpengaruh terhadap perubahan skala nyeri pada lansia dengan nyeri
punggung bawah. Nilai Z sebesar -3,729 (nilai negatif) yang berarti bahwa
pemberian stimulasi kutaneus menyebabkan penurunan skala nyeri.
Hal tersbut sesuai dengan teori Melzack dan Wall (1996), melalui teori
“Gate control”. Teori control gerbang nyeri menjelaskan variasi persepsi nyeri
terhadap stimulasi yang identik. Prinsip dasar dari control gerbang nyeri sebagai
berikut: baik serabut sensorik bermielin besar (L) yang membawa informasi
mengenai rasa raba dan propriosepsi dari perifer (serat A delta dan A beta maupun
serat kecil ( S ) yang membawa informasi mengenai nyeri [serat A-delta dan C )
menyatu di kornu dorsalis medulla spinalis, transmisi impuls saraf dari serat-serat
afferent ke sel – sel transmisi (T) medulla spinalis di kornu dorsalis dimodifikasi
oleh suatu mekanisme gerbang di sel-sel substansia glatinosa. Apabila gerbang
tertutup impuls nyeri tidak dapat diteruskan.
Sebaliknya bila gerbang terbuka impuls nyeri merangsang sel T di kornu
dorsalis dan kemudian naik ke medulla spinalis menuju otak., tempat impuls
tersebut dirasakan sebagai nyeri. Mekanisme gerbang spinal dipengaruhi jumlah
relatif aktifitas dari serat afferent primer berdiameter besar (L) dan berdiameter
kecil (S). Aktifitas berserat besar cenderung menghambat transmisi nyeri
(menutup Gerbang), sedangkan serat kecil cenderung mempermudah transmisi
nyeri (membuka gerbang ). Aferent berdiameter besar merangsang neuron-neuron
substansia glatinosa inhibitorik sehingga input masuk ke sel T berkurang sehingga
71
nyeri dihambat. Sebaliknya aktifitas serat berdiameter kecil menghambat sel – sel
substansia gelatinosa inhibitorik yang mendorong peningkatan transmisi aferen
primer ke sel T yang menyebabkan peningkatan rangsangan nyeri. Mekanisme
gerbang spinal dipengaruhi oleh impuls saraf yang turun dari otak. Aspek
mekanisme didasarkan pada banyaknya faktor psikologis yang diketahui
mempengaruhi nyeri dan pada fakta bahwa kornu dorsalis medulla dipengaruhi
beberapa jalur yang turun dari otak.
Berbagai sistem modulasi nyeri dessendens yang melibatkan nucleus-
nukleus batang otak dan neuron serotogenik dan noradrenergic yang berproyeksi
kesubstansia gelatinosa. Apabila keluaran dari sel–sel T medulla spinalis
melebihi suatu ambang kritis, terjadi pengaktifan “sistem aksi” untuk perasaan
dan respon nyeri. Bila pengaktifan ini terjadi input sensorik akan disaring ,
aktifitas sensorik dan afektif berkelanjutan hingga ke tingkat SSP.
Teori pengendalian gerbang ini, menjelaskan hubungan massage atau
stimulasi kutaneus bagian yang nyeri setelah suatu cedera dapat menurunkan
intensitas nyeri, karena aktifitas serat besar dirangsang dengan stimulasi
kutaneus, sedangkan aktifitas berdiameter kecil tertutup. Jadi berdasarkan
penjelasan tersebut jelaslah terbukti dari hasil penelitian ini yang dilakukan
dengan uji wilcoxon bahwa stimulasi kutaneus yang dilakukan pada lansia dengan
nyeri punggung bawah akan dapat menurunkan skala nyeri.
Hasil tersebut sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Adhyati
(2011) yang berjudul “Pengaruh stimulus kutaneus slow stroke back massage
terhadap intensitas nyeri pada penderita low back pain di kelurahan Aek Gerger
72
Sidodadi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa yang menunjukan adanya
perbedaan signifikan antara sebelum dan sesudah intervensi, dengan tingkat
kepercayaan 95% didapatkan nilai t=7,071 (t>1,96) yang berarti bahwa perbedaan
tersebut dapat diterima dengan nilai perbedaan rata-rata (mean) sebesar 1,43
(SD=0,53), dimana wilayah perbedaan tersebut berada pada rentang 0,93-1,92.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa stimulus kutaneus slow stroke back massage
mempengaruhi intensitas nyeri penderita low back pain (LBP).
Ditambahkan pula oleh Sumartini (2008) dalam penelitiannya yang
berjudul “Pengaruh Stimulasi Kutaneus: Slow-Stroke Back Massage Terhadap
Intensitas Nyeri Osteoartritis Pada Lansia Di Panti Werdha Griya Asih Lawang”,
menyebutkan bahwa pemberian stimulasi kutaneus: slow-stroke back massage
mempunyai pengaruh terhadap intensitas nyeri osteoartritis pada lansia di Panti
Werdha Griya Asih Lawang Malang (Uji statistik Wilcoxon Signed Rank Test
dengan α = 0,05 didapatkan p value < α (0,011 < 0,05). Berdasarkan kedua
penelitian di atas, maka jelas bahwa stimulasi kutaneus berpengaruh terhadap
perubahan skala nyeri pada lansia dengan nyeri punggung bawah.
3. Skala Nyeri Setelah
diberikan Inframerah
Dari 22 orang responden yang diberikan inframerah diperoleh bahwa
sebagian tergolong kategori ringan yaitu sebanyak 11 orang (50%) dan sebagian
lagi tergolong kategori sedang (50%). Dilihat dari skala nyeri, diperoleh nilai rata-
rata skala nyeri setelah diberikan stimulai kutaneus adalah 3 dengan rentang skala
73
nyeri 1-5. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa nilai Z=-3,993 dengan nilai p
value sebesar 0,000 (<0,05) yang berarti bahwa ada perbedaan skala nyeri
sebelum dan sesudah diberikan infra merah atau dengan kata lain pemberian infra
merah berpengaruh terhadap perubahan skala nyeri. Nilai Z negatif menunjukkan
bahwa pemberian terapi infra merah memberikan efek yang negatif terhadap skala
nyeri yaitu menurunkan skala nyeri.
Hasil penelitian tersebut sesuai dengan pendapat Potter dan Perry (2006),
yang menjelaskan bahwa penyinaran inframerah merupakan salah satu cara yang
efektif untuk mengurangi atau menghilangkan rasa nyeri. Pengaruh inframerah
pada pengurangan rasa nyeri adalah panas yang dihasilkan akan menyebabkan
terjadinya peningkatan temperatur pada area yang diterapi, dengan demikian akan
terjadi dilatasi pembuluh darah yang diikuti dengan peningkatan aliran darah
kapiler sehingga pembuangan hasil-hasil metabolisme semakin baik (Potter dan
Perry, 2006). Dengan lancarnya sirkulasi darah maka zat-zat yang tidak berguna
bagi tubuh ikut juga terbuang, sehingga nyeri akan berkurang diikuti dengan
spasme otot berkurang sehingga akan merelaksasikan otot (Haryanto, 2003). Jadi
jelaslah bahwa terapi infra merah dapat menurunkan nyeri pada lansia dengan
nyeri punggung bawah.
Menurut Haryanto (2003), dalam penelitiannya menyebutkan bahwa
terdapat peningkatan ambang nyeri setelah pemberian ifnra merah pada tempat
pemberian infra merah dan sisi kontra lateral serta dapat bertahan 15 menit
setelah penghentian sinar infra merah (0=0,014). Jadi jelas bahwa dengan
74
pemberian terapi infra merah dapat menurunkan skala nyeri pada lansia dengan
nyeri punggung bawah.
4. Perbedaan skala nyeri
dengan stimulasi kutaneus dan infra merah
Dilihat dari perbedaan perubahan nyeri yang terjadi pada lansia yang
diberikan terapi stimulasi kutaneus dan terapi infra merah yang berasal dari 22
orang responden diberi stimulasi kutanues dan 22 orang diberikan inframerah
menunjukkan nilai U dari uji Mann Whhitney sebesar 112,5 dan nilai signifikansi
sebesar 0,001. Nilai tersebut menunjukkan bahwa terdapat perbedaan perubahan
skala nyeri pada pemberian stimulasi kutaneus dengan terapi infra merah. Nilai
rata-rata perubahan skala nyeri pada stimulasi kutaneus adalah 1,1 sedangkan
pada terapi infra merah sebesar 2,0, maka dapat disimpulkan bahwa pemberian
sinar infra merah lebih efektif dalam menurunkan skala nyeri pada lansia dengan
nyeri punggung bawah.
Menurut Dewi, Hanny, dan Adi (2006) dalam penelitiannya yang
berjudul “Perbedaan Penurunan Skala Nyeri Antara Bekam Kering, Kompres
Panas Kering dan Infrared Radiasi Pada Penderita Nyeri Punggung Bawah”
menyebutkan bahwa setelah dilakukan uji Tukey didapatkan informasi bahwa
terapi radiasi infra merah memberikan pengaruh paling baik dalam menurunkan
nyeri punggung bawah dengan p =0,00 dan alpha 0,05. Berdasarkan penelitian
tersebut jelas disebutkan bahwa infra merah dipandang memiliki efektivitas yang
lebih baik untuk menurunkan skala nyeri pada lansia dengan nyeri punggung
bawah. Namun, penggunaan stimulasi kutaneus juga tidak boleh ditinggalkan
75
karena dilihat dari segi ekonomis sertak kemudahan dalam pelaksanaannya
stimulasi kutaneus jauh lebih murah dibandingkan dengan infra merah.
C. Keterbatasan Penelitian.
Dalam penelitian ini, terdapat beberapa keterbatasan baik peneliti maupun
desain yang digunakan. Dilihat dari sampel yang digunakan, dalam penelitian ini
sampel yang digunakan masih minimal serta homogenitas sampel tidak dapat
dilakukan. Hal tersebut dikarenakan masih adanya perbedaan jenis kelamin dalam
penelitian ini yang dapat mengurangi hasil dari pengukuran tingkat nyeri pada
lanjut usia. Pada kelompok populasi, perlakuan yang diberikan juga tidak mampu
dikontrol secara sama artinya suhu ruangan, tindakan sebelumnya (ada tidaknya
penggunaan terapi yang lain) yang diduga dapat mempengaruhi hasil penelitian
masih belum dilakukan kontrol oleh peneliti. Sehingga untuk penelitian
selanjutnya perlu dilakukan kontrol secara ketat terhadap berbagai faktor yang
mampu mempengaruhi ambang nyeri responden dan digunakan dengan sampel
yang homogen.
76
BAB VI
SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
1. Skala nyeri sebelum diberikan stimulasi kutaneus
Sebelum diberikan stimulasi kutaneus terlihat bahwa dari 22 orang lansia
yang diteliti menunjukkan rata-rata skala nyeri pada lansia dengan nyeri
punggung bawah adalah 4,7 dengan rentang skala nyeri 4-6 dan seluruh lansia
tergolong kategori nyeri tingkat sedang,
2. Skala nyeri sebelum diberikan inframerah
Skala nyeri lansia sebelum diberikan terapi infra merah pada 22 orang
lanjut usia dengan nyeri punggung bawah adalah 5 dengan rentang nilai 4-7 dan
sebagian besar tergolong kategori nyeri tingkat sedang yaitu sebanyak 19 orang
(86%) dan sebagian kecil adalah berat yaitu sebanyak tiga orang (14%).
77
3. Skala nyeri setelah diberikan stimulasi kutaneus
Setelah diberikan stimulai kutaneus terlihat bahwa rata-rata nyeri dari 22
orang lansia dengan nyeri punggung bawah menjadi 3,5 dengan rentang nilai 2-5
dan sebagian besar lanjut usia berada dalam kategori nyeri tingkat sedang yaitu
sebanyak 15 orang (68%) dan terdapat tujuh orang (32%) yang tergolong kategori
nyeri tingkat ringan.
4. Skala nyeri setelah diberikan inframerah
Setelah diberikan terapi infra merah pada 22 orang lansia dengan nyeri
punggung bawah menunjukkan nilai rata-rata nyeri menjadi 3 dengan rentang
nilai berkisar antara 1-5 dan sebagian terdiri dari ringan dan sebagian lagi adalah
sedang yaitu masing-masing 11 orang (50%).
5. Pengaruh pemberian stimulasi kutaneus terhadap nyeri punggung
bawah
Dengan pemberian stimulai kutaneus pada 22 orang lanjut usia dengan
nyeri punggung bawah terjadi penurunan skala nyeri dengan rata-rata sebesar 1,1
dengan rentang penurunan 0-2. Pemberian stimulasi kutaneus dapat menurunkan
nyeri sebanyak 17 orang (77%), sedangkan hanya 5 orang (23%) yang mengalami
nyeri yang menetap. Berdasarkan hasil analisis dengan uji non parametrik test,
dengan uji Wilcoxon diperoleh nilai Z sebesar -3,729 dengan nilai p value sebesar
0,000 (<0,05) yang berarti bahwa terdapat perbedaan nyeri sebelum dan sesudah
diberikan stimulasi kutaneus atau dengan kata lain stimulasi kutanues berpengaruh
78
terhadap perubahan skala nyeri pada lansia dengan nyeri punggung bawah. Nilai
Z sebesar -3,729 (nilai negatif) yang berarti bahwa pemberian stimulasi kutaneus
menyebabkan penurunan skala nyeri.
6. Pengaruh pemberian terapi inframerah terhadap nyeri punggung
bawah
Dengan pemberian infra merah pada 22 orang lansia dengan nyeri
punggung bawah terjadi penurunan nyeri sebesar 2 dengan rentang penurunan
nyeri berkisar antara 0-3. Pemberian terapi inframerah dapat menurunkan nyeri
sebanyak 20 orang (91%), sedangkan hanya dua orang (9%) yang mengalami
nyeri yang menetap. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa nilai Z=-3,993 dengan
nilai p value sebesar 0,000 (<0,05) yang berarti bahwa ada perbedaan skala nyeri
sebelum dan sesudah diberikan infra merah atau dengan kata lain pemberian infra
merah berpengaruh terhadap perubahan skala nyeri. Nilai Z negatif menunjukkan
bahwa pemberian terapi infra merah memberikan efek yang negatif terhadap skala
nyeri yaitu menurunkan skala nyeri.
7. Perbedaan pengaruh antara pemberian stimulasi kutaneus dan
terapi inframerah terhadap nyeri punggung bawah pada lansia
Dilihat dari perbedaan perubahan nyeri yang terjadi pada lansia yang
diberikan terapi stimulasi kutaneus dan terapi infra merah dari hasil statistik
menunjukkan nilai U sebesar 112,5 dan nilai signifikansi sebesar 0,001. Nilai
tersebut menunjukkan bahwa terdapat perbedaan perubahan skala nyeri pada
pemberian stimulasi kutaneus dengan terapi infra merah. Nilai rata-rata perubahan
79
skala nyeri pada stimulasi kutaneus adalah 1,1 sedangkan pada terapi infra merah
sebesar 2,0, maka dapat disimpulkan bahwa pemberian sinar infra merah lebih
efektif dalam menurunkan skala nyeri pada lansia dengan nyeri punggung bawah.
B. Saran
1. Puskesmas Ubud II
Pada penelitian ini ditemukan bahwa penggunaan infra merah lebih efektif
jika dibandingkan dengan penggunaan stimulasi kutaneus, namun dilihat dari
aspek ekonomis penggunaan stimulasi kutaneus dapat digunakan karena stimulasi
kutaneus juga efektif untuk menurunkan skala nyeri pada lansia dengan nyeri
punggung. Maka dari itu kepada pihak Puskesmas agar memberikan informasi
tentang teknik pereda nyeri pada lansia dengan nyeri punggung bawah yang tepat.
2. Penyelenggara Posyandu Lansia
Diharapkan kepada penyelenggara Posyandu Lansia agar menyediakan
terapi infra merah secara gratis untuk lansia dengan nyeri punggung bawah
sehingga nyeri punggung bawah pada lansia dapat diminimalisasi dengan cepat.
3. Peneliti selanjutnya
Dilihat dari sampel yang digunakan, dalam penelitian ini sampel yang
digunakan masih minimal serta homogenitas sampel tidak dapat dilakukan,
sehingga untuk penelitian selanjutnya perlu dilakukan kontrol secara ketat
terhadap berbagai faktor yang mampu mempengaruhi ambang nyeri responden
dan digunakan dengan sampel yang homogen. Selain itu, pengkajian nyeri
dilakukan secara obyektif dengan menggunakan indikator-indikator dari respons
80
nyeri yang dialami pasien seperti perubahan tekanan darah, denyut nadi dan lain-