Top Banner
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Proses menua adalah suatu proses menghilangnya secara perlahan-lahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri, mengganti dan mempertahankan fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap infeksi dan memperbaiki kerusakan yang diderita (Nugroho, 2003). Menurut UU No. 4 tahun 1965 pasal 1 dinyatakan sebagai berikut : Seorang dapat dinyatakan sebagai seorang jompo atau lanjut usia setelah yang bersangkutan mencapai umur 55 tahun, tidak mempunyai atau tidak berdaya mencari nafkah sendiri untuk keperluan hidupnya sehari-hari dan menerima nafkah dari orang lain. Menurut UU No. 13 tahun 1998 tentang kesejahteraan lansia, dikatakan bahwa lansia adalah seseorang yang mencapai usia 60 tahun keatas. Jumlah lansia di dunia mencapai lebih dari 629 juta jiwa (satu dari 10 orang berusia lebih dari 60
124

Kti Akhir Revisi 3 Grafik Uji Beda

Feb 09, 2016

Download

Documents

Widanjaya Made
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Kti Akhir Revisi 3 Grafik Uji Beda

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Proses menua adalah suatu proses menghilangnya secara perlahan-lahan

kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri, mengganti dan mempertahankan

fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap infeksi dan memperbaiki

kerusakan yang diderita (Nugroho, 2003). Menurut UU No. 4 tahun 1965 pasal 1

dinyatakan sebagai berikut : Seorang dapat dinyatakan sebagai seorang jompo

atau lanjut usia setelah yang bersangkutan mencapai umur 55 tahun, tidak

mempunyai atau tidak berdaya mencari nafkah sendiri untuk keperluan hidupnya

sehari-hari dan menerima nafkah dari orang lain. Menurut UU No. 13 tahun 1998

tentang kesejahteraan lansia, dikatakan bahwa lansia adalah seseorang yang

mencapai usia 60 tahun keatas.

Jumlah lansia di dunia mencapai lebih dari 629 juta jiwa (satu dari 10

orang berusia lebih dari 60 tahun) dan pada tahun 2025 lanjut usia diperkirakan

akan mencapai 1,2 milyar. Banyaknya jumlah lansia ini akan berdampak pada

meningkatnya angka morbiditas atau kesakitan pada lansia karena dengan

pertambahan usia atau proses menua akan menimbulkan perubahan – perubahan

pada struktur dan fisiologis dari berbagai sistem organ. Salah satu masalah utama

yang terjadi pada lanjut usia adalah nyeri punggung bawah (Nugroho, 2008).

Nyeri punggung bawah di dunia sering dialami oleh lansia dengan angka

yang cukup tinggi (Wikipedia, 2011). Angka kejadian nyeri punggung bawah di

beberapa negara berkembang seperti di Indonesia berkisar antara 15-20% dari

Page 2: Kti Akhir Revisi 3 Grafik Uji Beda

total populasi, yang sebagian besar merupakan nyeri punggung bawah akut

maupun kronik. Penelitian kelompok studi nyeri PERDOSSI (Perhimpunan

Dokter Spesialis Saraf Indonesia) pada bulan Mei 2002 menunjukkan jumlah

penderita nyeri pinggang sebesar 18,37% dari seluruh pasien nyeri. Di daerah

pantai utara Jawa ditemukan keadaan nyeri punggung bawah sebesar 8,2% pada

pria dan 13,6% pada wanita. Di Rumah Sakit Jakarta, Yogyakarta dan Semarang

kejadiannya sekitar 5,4-5,8% dengan umur terbanyak 45-65 tahun. Rata-rata

angka kejadian nyeri punggung bawah terjadi pada umur 55-64 tahun (Meliala,

2003).

Nyeri punggung bawah merupakan keluhan yang sangat umum dan sering

terjadi. Nyeri punggung bawah adalah rasa nyeri yang dirasakan di daerah

punggung bawah dapat merupakan nyeri lokal maupun nyeri radikuler atau

keduanya. Nyeri ini terasa diantara sudut iga terbawah sampai lipat bokong bawah

yaitu di daerah lumbal atau lumbosakral dan sering disertai dengan penjalaran

nyeri ke arah tungkai dan kaki (Meliala, 2003).

Nyeri punggung bawah sebenarnya dapat diatasi bukan hanya dengan

pengobatan saja melainkan dapat diatasi dengan terapi konservatif lainnya seperti

dengan terapi modalitas yaitu terapi non farmakologis (Haryanto, 2003). Terapi

non farmakologis sebagai bagian dari rehabilitasi medik telah ribuan tahun

digunakan sebagai sarana terapi. Terapi non farmakologis banyak membantu

mengatasi nyeri akut maupun kronik, dari sekian banyak terapi modalitas yang

paling sering dipergunakan, bahkan dikerjakan oleh masyarakat sendiri di rumah.

Pemanasan superfisial lokal merupakan modalitas yang efektif dan telah umum

2

Page 3: Kti Akhir Revisi 3 Grafik Uji Beda

digunakan untuk menghilangkan nyeri pada berbagai kondisi muskuluskeletal.

Salah satu modalitas terapi panas adalah inframerah yang sering digunakan karena

harganya tidak terlalu mahal dan praktis (Haryanto, 2003).

Ketika suatu jaringan mengalami cedera, atau kerusakan mengakibatkan

dilepasnya bahan-bahan yang dapat menstimulus reseptor nyeri seperti serotonin,

histamin, ion kalium, bradikinin, prostaglandin, dan substansi P yang akan

mengakibatkan respons nyeri. Rasa nyeri tersebut ditimbulkan oleh adanya

akumulasi sisa-sisa hasil metabolisme yang menumpuk di jaringan. Penumpukan

zat sisa hasil metabolisme tersebut dihilangkan dengan pemasan yang cukup

untuk mendilatasikan pembuluh darah agar zat-zat tersebut ikut keluar. Salah satu

metode yang digunakan untuk memperoleh panas adalah dengan radiasi

khususnya inframerah. Penyinaran inframerah merupakan salah satu cara yang

efektif untuk mengurangi atau menghilangkan rasa nyeri. Pengaruh inframerah

pada pengurangan rasa nyeri adalah panas yang dihasilkan akan menyebabkan

terjadinya peningkatan temperatur pada area yang diterapi, dengan demikian

terjadi dilatasi pembuluh darah yang diikuti peningkatan aliran darah kapiler

sehingga pembuangan hasil-hasil metabolisme semakin baik (Potter dan Perry,

2006). Lancarnya sirkulasi darah maka zat-zat yang tidak berguna bagi tubuh ikut

juga terbuang, nyeri akan berkurang diikuti dengan spasme otot berkurang

sehingga akan merilesasikan otot (Haryanto, 2003).

Selain penggunaan inframerah, dilakukan terapi stimulasi kutaneus untuk

nyeri punggung bawah. Stimulasi kutaneus adalah masase yang diberikan tidak

secara spesifik menstimulasi reseptor tidak nyeri pada bagian reseptor yang sama

3

Page 4: Kti Akhir Revisi 3 Grafik Uji Beda

seperti reseptor nyeri tetapi dapat mempunyai dampak melalui system control

dessenden. Masase tersebut dapat membuat pasien merasa lebih nyaman karena

masase dapat membuat relaksasi otot dan dapat menghambat pembentukan

substansi P sebagai media untuk menghambat terjadinya respons nyeri melalui

penutupan gerbang respons nyeri (menurut teori gate control). Dengan terjadinya

penutupan gerbang tersebut, secara teori nyeri pasien akan mengalami penurunan.

Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang dilakukan di Banjar

Tebongkang, Desa Singakerta, Kecamatan Ubud diperoleh bahwa pada tahun

2011 terdapat 97 orang Lansia yang terdiri dari 53 orang (54,6%) perempuan dan

44 orang (45,4%) laki-laki, 49 orang (52,1%) diantaranya mengalami nyeri

punggung bawah. Dari hasil wawancara yang peneliti lakukan terhadap 10 orang

lansia, dikatakan bahwa lansia dalam mengatasi nyeri punggung bawah 2 orang

(20%) dengan senam lansia setiap sore, 2 orang (20%) menggosok punggung

dengan balsem dan 6 orang (60%) mengkonsumsi obat natrium diklofenak tablet,

paracetamol dan vitamin B1 yang diperoleh saat datang ke Posyandu Lansia yang

rutin dilakukan setiap bulan di Banjar Tebongkang. Pada lansia telah terjadi

proses penurunnan daya tahan tubuh dalam menghadapi rangsangan dari dalam

dan dari luar tubuh, sehigga pemberian obat-obatan yang secara terus menerus

dapat merugikan bagi tubuh mereka sendiri.

Berdasarkan uraian diatas, maka peneliti tertarik untuk meneliti tentang

perbedaan pengaruh stimulasi kutaneus dan inframerah terhadap nyeri pada lansia

yang mengalami nyeri punggung bawah di Banjar Tebongkang, Desa Singakerta,

Kecamatan Ubud Tahun 2011.

4

Page 5: Kti Akhir Revisi 3 Grafik Uji Beda

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut di atas, maka akan timbul

pertanyaan “Apakah ada perbedaan pengaruh stimulasi kutaneus dan inframerah

terhadap nyeri punggung bawah pada Lansia di Banjar Tebongkang, Desa

Singakerta, Kecamatan Ubud Tahun 2011?

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Tujuan Umum

Mengetahui perbedaan pengaruh stimulasi kutaneus dan inframerah

terhadap tingkat nyeri punggung bawah pada Lansia di Banjar Tebongkang, Desa

Singakerta, Kecamatan Ubud Tahun 2011.

2. Tujuan Khusus

a. Mengidentifikasi skala nyeri punggung bawah pada

Lansia sebelum diberikan stimulasi kutaneus

b. Mengidentifikasi skala nyeri punggung bawah pada

Lansia sebelum diberikan terapi inframerah

c. Mengidentifikasi skala nyeri punggung bawah pada

Lansia setelah diberikan stimulasi kutaneus

d. Mengidentifikasi skala nyeri punggung bawah pada

Lansia setelah diberikan terapi inframerah

5

Page 6: Kti Akhir Revisi 3 Grafik Uji Beda

e. Menganalisa perbedaan pengaruh antara pemberian

stimulasi kutaneus dan terapi inframerah terhadap nyeri punggung bawah

pada Lansia

D. Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini dapat ditinjau dari dua aspek yaitu segi teoritis

dan praktis sebagai berikut :

1. Teoritis

a. Manfaat yang diperoleh untuk memperdalam ilmu

pengetahuan dan menambah wawasan tentang kondisi nyeri punggung bawah

b. Memberikan informasi tentang kondisi nyeri punggung

bawah yang sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari di dalam masyarakat

2. Praktis

a. Hasil penelitian ini dapat dijadikan pedoman bagi staf

Puskesmas atau penyelenggaran Posyandu Lansia atau keluarga dalam

memberikan terapi modalitas yang berguna untuk perawatan nyeri punggung

bawah

b. Hasil penelitian ini dapat digunakan oleh perawat dalam

melaksanakan asuhan keperawatan, khususnya dalam hal nyeri punggung

bawah

E. Keaslian Penelitian

1. Dina (2003) dalam penelitiannya yang berjudul “Perbedaan

Penurunan Skala Nyeri antara Bekam Kering, Kompres Panas Kering dan

6

Page 7: Kti Akhir Revisi 3 Grafik Uji Beda

Inframerah Radiasi pada Penderita Nyeri Punggung Bawah”, penelitian ini

menggunakan penelitian quasi eksperimen dengan teknik purposive sampling.

Uji yang digunakan adalah Anova dan diperoleh hasil bahwa terapi radiasi

memberikan pengaruh yang paling baik dalam menurunkan nyeri punggung

(p=0,00). Penelitian ini berbeda dengan penelitian yang akan dilakukan, yaitu

terletak pada variabel yang diteliti dan uji statistik yang digunakan.

2. Menurut Sumartini (2008) dalam penelitian tentang “Pengaruh

Stimulasi Kutaneus: Slow-Stroke Back Massage Terhadap Intensitas Nyeri

Osteoartritis Pada Lansia Di Panti Werdha Griya Asih Lawang”. Desain yang

digunakan adalah pra eksperimental dengan pendekatan one group pre test-

post test. Subyek penelitian adalah lansia yang berusia 55 tahun ke atas di

Panti Werdha Griya Asih Lawang Malang, didapatkan subyek penelitian

sebanyak 10 orang yang ditentukan dengan tehnik purposive sampling.

Tehnik pengumpulan data menggunakan metode wawancara dan observasi.

Berdasarkan uji statistik Wilcoxon Signed Rank Test dengan α = 0,05

didapatkan p value < α (0,011 < 0,05), maka dapat disimpulkan bahwa

pemberian stimulasi kutaneus: slow-stroke back massage mempunyai

pengaruh terhadap intensitas nyeri osteoartritis pada lansia di Panti Werdha

Griya Asih Lawang Malang. Perbedaan dengan penelitian terletak pada

variabel yang diteliti, lokasi, jumlah sampel.

7

Page 8: Kti Akhir Revisi 3 Grafik Uji Beda

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Lanjut Usia

1. Pengertian

Terdapat beberapa pendapat yang dikemukakan oleh para ahli tentang

definisi lanjut usia , yaitu:

a. Lanjut usia merupakan kelanjutan dari usia dewasa, terdiri dari fase

prasenium yaitu lansia yang berusia antara 55–65 tahun, dan fase senium

yaitu lansia yang berusia lebih dari 65 tahun (Jos Masdami dalam Nugroho,

2008).

b. Lanjut usia adalah orang tua yang berusia lebih dari 60 tahun (UU No.13

tahun 1998).

Dilihat dari batasan lanjut usia di atas, dapat disimpulkan bahwa lanjut usia

adalah seseorang yang telah berumur lebih dari 55 tahun.

2. Teori Penuaan

Penuaan adalah suatu proses menghilangnya secara perlahan-lahan

kemampuan jaringan untuk memperbaiki/mengganti diri serta mempertahankan

struktur dan fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap jejas

8

Page 9: Kti Akhir Revisi 3 Grafik Uji Beda

(termasuk infeksi) dan memperbaiki kerusakan yang diderita (Constantinides,

1994 dalam Nugroho, 2008). Terjadinya proses penuaan dijelaskan dalam

beberapa teori penuaan antara lain :

a. Teori Biologi

Teori ini mengungkapkan adanya berbagai perubahan pada tingkat seluler

yang menyebabkan terjadinya penurunan fungsi biologis tubuh.

Teori penuaan secara biologis dijelaskan dalam teori-teori berikut:

1) Teori Genetic Clock

Menurut teori ini, penuaan telah terprogram secara genetik untuk spesies

tertentu. Di dalam nuklei (inti sel) tiap spesies memiliki suatu jam genetik yang

telah diputar menurut suatu replikasi tertentu dan jika habis putarannya maka

proses replikasi sel akan berhenti (Nugroho, 2008).

2) Teori Error Castastrophe (Mutasi Somatik)

Menurut hipotesis ini, penuaan disebabkan oleh kesalahan-kesalahan yang

beruntun dalam proses transkripsi maupun translasi sepanjang kehidupan dalam

waktu yang cukup lama. Kesalahan tersebut menyebabkan terjadinya reaksi

metabolisme yang salah, dengan demikian mengurangi fungsional sel (Nugroho,

2008). Kesalahan dalam proses translasi akan menyebabkan katastrop (Suhana,

1994; Constanstinides, 1994 dalam Nugroho, 2008).

3) Rusaknya Sistem Imun Tubuh

Menurut teori ini, mutasi yang berulang atau perubahan protein pasca

translasi, dapat menyebabkan berkurangnya kemampuan sistem imun tubuh

9

Page 10: Kti Akhir Revisi 3 Grafik Uji Beda

mengenali dirinya sendiri (self recognition). Jika mutasi somatik menyebabkan

terjadinya kelainan pada antigen permukaan sel, maka hal ini dapat menyebabkan

sistem imun tubuh menganggap sel yang mengalami perubahan tersebut sebagai

sel asing dan menghancurkannya (Nugroho, 2008).

b. Teori Penuaan akibat Metabolisme

Menurut teori ini perpanjangan umur berhubungan dengan tertundanya

proses degenerasi. Perpanjangan umur antara lain disebabkan karena menurunnya

salah satu atau beberapa proses metabolisme. Terjadi penurunan pengeluaran

hormon yang merangsang proliferasi sel (Nugroho, 2008).

c. Kerusakan akibat Radikal Bebas

Radikal bebas dapat merusak karena sangat reaktif serta dapat bereaksi

dengan DNA, protein, dan asam lemak tak jenuh. Walaupun tubuh memiliki

penangkal, sebagian radikal bebas tetap lolos, bahkan makin lanjut usia, makin

banyak radikal bebas terbentuk sehingga proses perusakan terus terjadi, kerusakan

organel sel semakin banyak dan akhirnya sel akan mati (Nugroho, 2008).

d. Teori Psikologi

Keadaan psikologi sangat mempengaruhi fungsi dan aktivitas

neurohormonal dan seluler. Teori tersebut antara lain:

1) Teori Kebutuhan Maslow

Tidak semua orang bisa mencapai kebutuhan yang tertinggi. Kondisi ini

sekaligus menyebabkan adanya perbedaan tingkat stress pada manusia yang

selanjutnya berakibat pada perbedaan proses penuaannya (Lueckkeenotte, 1996).

2) Course of Human Life

10

Page 11: Kti Akhir Revisi 3 Grafik Uji Beda

Seseorang dalam berhubungan dengan lingkungan ada tingkat

maksimumnya sehingga pengalaman yang diperoleh dalam hidup sangat berbeda

dan selanjutnya berpengaruh terhadap kemampuan antisipasinya menghadapi

stresor hidup.

3. Perubahan-Perubahan Pada Lansia

Menurut Nugroho (2008), perubahan yang terjadi pada lansia ;

a. Perubahan atau kemunduran biologis

Adapun beberapa perubahan yang secara biologis terjadi pada usia lanjut,

yaitu kulit menjadi tipis, kering, keriput dan tidak elastis lagi. Fungsi kulit sebagai

penjaga suhu tubuh lingkungan dan mencegah kuman-kuman penyakit masuk,

rambut mulai rontok, putih, kering, dan tidak mengkilap, gigi mulai habis,

penglihatan dan pendengaran kurang, mulai lelah, gerakan menjadi lamban dan

kurang lincah, keterampilan tubuh menghilang, disana sini terjadi timbunan lemak

terutama bagian perut dan panggul, jumlah sel otot berkurang, jumlah jaringan

ikat bertambah, fungsinya menurun, dan kekuatannya berkurang, pembuluh darah

khusus di bagian jantung dan otak mengalami kekakuan, lapisan intim menjadi

kasar akibat merokok, hipertensi, diabetes mellitus, kadar kolesterol tinggi, dan

lain-lain yang memudahkan timbulnya pengumpulan darah dan trombosis, tulang

pada proses menua, kadar kapur atau kalsium menurun akibatnya tulang menjadi

keropos dan mudah patah, dan seks menurun dengan bertambahnya umur.

b. Perubahan atau kemunduran kemampuan kognitif

Selain perubahan-perubahan yang terjadi secara biologi, pada lansia juga

terjadi kemunduran kemampuan secara kognitif, antara lain mudah lupa karena

11

Page 12: Kti Akhir Revisi 3 Grafik Uji Beda

ingatan tidak berfungsi dengan baik, ingatan kepada hal-hal di masa muda lebih

baik daripada yang terjadi pada tuanya yang pertama dilupakan adalah nama-

nama, orientasi umum dan persepsi terhadap waktu dan ruang atau tempat juga

mundur, erat hubungannya dengan daya ingatan yang sudah mundur dan juga

karena pandangan yang sudah menyempit, meskipun telah banyak memiliki

pengalaman skor yang dicapai dalam tes-tes intelegensia menjadi lebih rendah

sehingga lansia tidak mudah untuk menerima hal-hal yang baru.

c. Perubahan psikososial

Secara psikososial lansia juga mengalami beberapa perubahan yang cukup

berarti, yaitu akibat ketidaksiapan lansia yang menghadapi masa pensiun, nilai

seseorang sering diukur dari produktivitasnya selain itu identitas pensiun

dikaitkan dengan peranan dalam pekerjaan, selain itu lansia akan mulai merasakan

atau sadar akan kematian yang nantinya akan mempengaruhi perubahan dalam

cara hidup, kesepian akibat pengasingan dari lingkungan sosial, rangakaian dari

kehilangan yaitu kehilangan hubungan dengan teman, keluarga, serta hilangnya

kemampuan atau ketegapan fisik, perubahan terhadap gambaran diri, dan

perubahan konsep diri.

4. Faktor Kesehatan Lanjut Usia

Faktor kesehatan meliputi kesehatan fisik dan keadaan psikis lanjut usia.

Faktor kesehatan fisik meliputi kondisi fisik lanjut usia dan daya tahan fisik

terhadap serangan penyakit. Faktor kesehatan psikis meliputi penyesuaian

terhadap kondisi usia lanjut.

12

Page 13: Kti Akhir Revisi 3 Grafik Uji Beda

a. Kesehatan fisik

Keadaan fisik merupakanfaktor utama dari kegelisahan manusia. Kekuatan

fisik, panca indera, potensi dan kapasitas intelektual mulai menurun pada tahap-

tahap tertentu (Nugroho, 2008). Kemunduran fisik ditandai dengan beberapa

serangan penyakit seperti gangguan pada sirkulasi darah, persendian, sistem

pernafasan, neurologik, metabolik, neoplasma dan mental. Sehingga keluhan yang

sering terjadi adalah mudah letih, mudah lupa, gangguan saluran pencernaan,

saluran kencing, fungsi indera, dan menurunnya konsentrasi.

b. Kesehatan psikis

Dengan menurunnya berbagai kondisi dalam diri orang lanjut usia secara

otomatis akan timbul kemunduran psikis. Salah satu penyebab menurunnya

kesehatan psikis adalah menurunnya pendengaran. Dengan menurunnya fungsi

dan kemampuan pendengaran bagi orang lanjut usia maka banyak dari mereka

yang gagal dalam menangkap isi pembicaraan orang lain sehingga mudah

menimbulkan perasaan tersinggung, tidak dihargai dan kurang percaya diri.

5. Pelayanan Kesehatan Lanjut Usia

Mengingat berbagai kekhususan perjalanan dan penampilan penyakit pada

usia lanjut seperti dikemukan di atas, terdapat dua prinsip utama yang harus

dipenuhi guna melaksanakan pelayanan kesehatan pada lansia, yaitu pendekatan

holistik serta tata kerja dan tatalaksana secara tim (Nugroho, 2008).

a. Pendekatan holistik

Prinsip holistik pada pelayanan kesehatan usia lanjut sangat unik karena

menyangkut berbagai aspek yaitu ; seorang penderita lanjut usia harus dipandang

13

Page 14: Kti Akhir Revisi 3 Grafik Uji Beda

sebagai manusia seutuhnya meliputi juga lingkungan kejiwaan, dan sosial

ekonomi. Hal ini ditunjukkan antara lain bahwa aspek diagnostik penyakit pada

penderita lansia, menggunakan tata cara khusus yang disebut sebagai assesment

geriatri, yang bukan saja meliputi seluruh sistem tapi akan tetapi menyangkut

aspek kejiwaan dan status sosial ekonomi (Nugroho, 2008).

b. Pendekatan kerja dan tatalaksana tim

Tata kerja dan tata laksana secara tim merupakan bentuk kerjasama multi-

disipliner yang bekerja secara interdisipliner dalam mencapai tujuan pelayanan

geriatri yang dilaksanakan.

B. Konsep Nyeri Punggung Bawah

1. Pengertian Nyeri Punggung Bawah

Bagian punggung berupa sebuah struktur kompleks terdiri daripada tulang,

otot, dan jaringan-jaringan lain yang membentuk bahagian posterior tubuh, dari

leher sehingga ke tulang pelvis. Bagian tengah berupa kolumna spinal, yang tidak

hanya menyokong bagian atas tubuh tetapi berupa tempat letaknya dan

perlindungan saraf tunjang (spinal cord), jaringan saraf-saraf sensitif yang

membawa sinyal - sinyal yang mengatur pergerakkan tubuh dan membawa impuls

– impuls sensasi. Tulang-tulang vertebra, terdiri daripada 30 tulang, tersusun satu

di atas satu laginya, membentuk kolumna spinalis. Setiap tulang tersebut

mempunyai suatu lubang yang agak bulat, yang apabila tersusun mengikut aturan

yang benar membentuk suatu saluran yang mengelilingi saraf spinalis.

Saraf spinalis menurun dari tapak otak dan mengekstensi sehingga sedikit

di bawah tulang - tulang interkostal. Nervus-nervus kecil (akar) masuk dan keluar

14

Page 15: Kti Akhir Revisi 3 Grafik Uji Beda

dari saraf spinalis melalui ruang-ruang di antara vertebra. Disebabkan tulang-

tulang spinal terus berkembang lama selepas saraf spinalis mencapai panjang

maksimalnya semasa awal pertumbuhan kanak-kanak, akar saraf spinalis (nerve

roots) untuk punggung bawah dan ektremitas bawah memanjang beberapa inci

menuruni kolumna spinalis sebelum keluar. Gumpalan saraf-saraf akar ini digelar

pada awalnya oleh pakar-pakar anatomi sebagai cauda equine, atau ekor kuda

(horse’s tail). Ruangan di antara vertebra dilindungi oleh tulang rawan yang bulat

dan lembut yang disebut cakram intervetebral (intervertebral disk) yang

meningkatkan fleksibilitas pada punggung bawah dan berfungsi sebagai

pemampat tekanan sepanjang kolumna spinalis untuk melindungi tulang-tulang

vertebra semasa pergerakkan tubuh.

Jaringan-jaringan ligamen dan tendon memegang tulang-tulang vertebra di

tempatnya dan melekatkan otot-otot kepada kolumna spinalis. Punggung bawah

mempunyai fungsi yang penting pada tubuh manusia, antaranya memberi

sokongan struktur, pergerakkan, dan proteksi untuk jaringan-jaringan tubuh.

Semasa berdiri, punggung bawah berperan menyokong berat tubuh bagian

atasnya. Semasa seseorang bongkok, ektensi, atau rotasi pada bagian pinggang,

punggung bawah membantu melaksanakan gerakan. Oleh karena itu, apabila

terdapat kelainan pada struktur-struktur yang berperan menahan berat tubuh, dapat

terdeteksi semasa berdiri tegak atau melakukan pergerakkan. Selain itu, punggung

bawah berperan melindungi jaringan lunak sistem saraf pusat yang mempersarafi

bahagian lumbar serta ekstremitas bawah, serta organ - organ daerah pelvis dan

abdomen.

15

Page 16: Kti Akhir Revisi 3 Grafik Uji Beda

Nyeri punggung bawah, atau lumbago, berupa kelainan muskuloskeletal

yang sering ditemukan, yang mempengaruhi hampir setiap orang pada suatu

waktu dalam kehidupan. Nyeri punggung bawah berupa penyebab paling utama

tenaga kerja mengambil cuti sakit atau mempunyai disabilitas berbanding

penyakitpenyakit lain. Nyeri punggung bawah ini bisa akut, subakut, atau kronis

berdasarkan durasi (Mahadewa dan Maliawan, 2009).

Nyeri merupakan suatu kondisi yang lebih dari sekedar sensasi tunggal

yang disebabkan oleh stimulus tertentu, nyeri bersifat subyektif dan sangat

bersifat individual. Stimulus nyeri dapat bersifat fisik dan atau mental (Potter dan

Perry, 2006). Setiap orang memiliki cara yang berbeda – beda dalam menangani

nyeri. Pada Lansia cenderung memendam nyeri yang diallami, karena mereka

menganggap nyeri adalah hal yang alamiah yang harus dijalani dan mereka takut

kalau mengalami penyakit berat atau meninggal jika nyeri diperiksakan (Potter

dan Perry, 2006).

2. Penyebab Nyeri Punggung Bawah

Punggung adalah bagian kompleks yang tersusun dari 33 tulang belakang,

lebih dari 30 otot, ligamen (penguat sendi) yang terdiri atas bermacam-macam

sendi dan terdapat diskus (bantalan sendi) di tiap ruas tulangnya.

Terdapat beberapa penyebab medikal dari nyeri punggung bawah antara

lain : obesitas, stress, depresi, ketergantungan alkohol dan analgetik, kelainan

muskuloskeletal, sistem saraf, sistem vaskuler dan psikogenik, dan beban kerja

yang berat (Smeltzer dan Bare, 2002).

16

Page 17: Kti Akhir Revisi 3 Grafik Uji Beda

Selain itu terdapat beberapa penyebab yang menyebabkan timbulnya nyeri

punggung bawah antara lain.

a. Umur

Dalam suatu penelitian diperoleh data yang menunjukkan bahwa

kelompok yang rentan terkena nyeri punggung yaitu pada umur diatas 80 tahun.

b. Jenis kelamin

Masalah punggung bawah dilaporkan mengenai jenis kelamin wanita dan

laki-laki dengan perbandingan hampir sama. Secara keseluruhan wanita lebih

banyak mengalami nyeri punggung bawah dibandingkan pria karena kepadatan

tulang yang kurang dan beberapa faktor luar yang mempengaruhinya. Wanita

cenderung memiliki peluang yang bertambah untuk mengajukan keluhan dan

menjadi kompensasi untuk pengobatan nyeri punggung bawah yang mahal.

c. Kebugaran jasmani

Pekerja dengan kebugaran jasmani yang lemah akan berisiko mengalami

cedera punggung. Dalam penelitian prospektif terhadap 1.652 pemadam

kebakaran melaporkan frekuensi cedera yang dialami kelompok pekerja yang

kurang bugar sebanyak sepuluh kali lipat lebih tinggi dibandingkan dengan

kelompok pekerja yang sebagian masih bugar. Mereka menyimpulkan bahwa

kebugaran jasmani dan penyesuaian berperan dalam mencegah terjadinya cedera

punggung.

d. Faktor psikososial

17

Page 18: Kti Akhir Revisi 3 Grafik Uji Beda

Berbagai penelitian menunjukkan pentingnya tingkat pendidikan sebagai

faktor prognostik nyeri punggung dan penyakit muskuluskeletal lain. Penjelasan

yang diberikan hal ini adalah pria yang memiliki pendidikan yang terbatas dan

pekerjaan dengan bayaran yang rendah lebih mungkin melakukan pekerjaan barat

atau pekerjaan yang menimbulkan getaran atau beban lain terhadap tulang

belakang. Faktor sosial lain yang ditemukan pada pasien dengan nyeri punggung

adalah depresi, alkoholism, bekerja terlalu keras, ketidakmampuan membangun

kontak emosi, dan riwayat operasi punggung.

e. Perubahan radiografis

Pada pasien yang lebih tua, bukti radiologis berupa degenerasi diskus

dapat ditemukan dan penting secara klinis.

3. Reaksi terhadap nyeri

a. Respons Fisiologis Terhadap Nyeri

1) Stimulasi Simpatik : (nyeri ringan, moderat, dan superficial)

a) Dilatasi saluran bronkhial dan peningkatan respirasi rate

b) Peningkatan heart rate

c) Vasokonstriksi perifer, peningkatan BP

d) Peningkatan nilai gula darah

e) Diaphoresis

f) Peningkatan kekuatan otot

g) Dilatasi pupil

h) Penurunan motilitas GI

2) Stimulus Parasimpatik (nyeri berat dan dalam);

18

Page 19: Kti Akhir Revisi 3 Grafik Uji Beda

a) Muka pucat

b) Otot mengeras

c) Penurunan HR dan BP

d) Nafas cepat dan irreguler

e) Nausea dan vomitus

f) Kelelahan dan keletihan.

b. Respons Tingkah Laku Terhadap Nyeri

Respon perilaku terhadap nyeri dapat mencakup:

1) Pernyataan verbal (mengaduh, menangis, sesak nafas,

mendengkur)

2) Ekspresi wajah (meringis, menggeletukkan gigi, menggigit bibir)

3) Gerakan tubuh (gelisah, imobilisasi, ketegangan otot, peningkatan

gerakan jari & tangan)

4) Kontak dengan orang lain/interaksi sosial (menghindari

percakapan, menghindari kontak sosial, penurunan rentang perhatian, fokus

pada aktivitas menghilangkan nyeri)

Meinhart & McCaffery dalam Purwandari (2008) mendeskripsikan tiga

fase pengalaman nyeri:

a) Fase antisipasi (fase yang terjadi sebelum nyeri diterima).

Fase ini mungkin bukan merupakan fase yg paling penting, karena fase ini

bisa mempengaruhi dua fase lain. Pada fase ini memungkinkan seseorang belajar

tentang nyeri dan upaya untuk menghilangkan nyeri tersebut. Peran perawat

dalam fase ini sangat penting, terutama dalam memberikan informasi pada klien.

19

Page 20: Kti Akhir Revisi 3 Grafik Uji Beda

Contohnya adalah: sebelum dilakukan tindakan bedah, perawat

menjelaskan tentang nyeri yang nantinya akan dialami oleh klien pasca

pembedahan, dengan begitu klien akan menjadi lebih siap dengan nyeri yang nanti

akan dihadapi.

b) Fase sensasi

Fase ini terjadi ketika klien merasakan nyeri. karena nyeri itu bersifat

subyektif, maka tiap orang dalam menyikapi nyeri juga berbeda-beda. Toleransi

terhadap nyeri juga akan berbeda antara satu orang dengan orang lain. orang yang

mempunyai tingkat toleransi tinggi terhadap nyeri tidak akan mengeluh nyeri

dengan stimulus kecil, sebaliknya orang yang toleransi terhadap nyerinya rendah

akan mudah merasa nyeri dengan stimulus nyeri kecil. Klien dengan tingkat

toleransi tinggi terhadap nyeri mampu menahan nyeri tanpa bantuan, sebaliknya

orang yang toleransi terhadap nyerinya rendah sudah mencari upaya pencegah

nyeri, sebelum nyeri datang.

Keberadaan enkefalin dan endorfin membantu menjelaskan bagaimana

orang yang berbeda merasakan tingkat nyeri dari stimulus yang sama. Kadar

endorfin berbeda tiap individu, individu dengan endorfin tinggi sedikit merasakan

nyeri dan individu dengan sedikit endorfin merasakan nyeri lebih besar.

Klien bisa mengungkapkan nyerinya dengan berbagai jalan, mulai dari

ekspresi wajah, vokalisasi dan gerakan tubuh. Ekspresi yang ditunjukan klien

itulah yang digunakan perawat untuk mengenali pola perilaku yang menunjukkan

nyeri. Perawat harus melakukan pengkajian secara teliti apabila klien sedikit

20

Page 21: Kti Akhir Revisi 3 Grafik Uji Beda

mengekspresikan nyerinya, karena belum tentu orang yang tidak mengekspresikan

nyeri itu tidak mengalami nyeri. Kasus-kasus seperti itu tentunya membutuhkan

bantuan perawat untuk membantu klien mengkomunikasikan nyeri secara efektif.

c) Fase akibat (aftermath)

Fase ini terjadi saat nyeri sudah berkurang atau hilang. Pada fase ini klien

masih membutuhkan kontrol dari perawat, karena nyeri bersifat krisis, sehingga

dimungkinkan klien mengalami gejala sisa pasca nyeri. Apabila klien mengalami

episode nyeri berulang, maka respon akibat (aftermath) dapat menjadi masalah

kesehatan yang berat. Perawat berperan dalam membantu memperoleh kontrol diri

untuk meminimalkan rasa takut akan kemungkinan nyeri berulang.

4. Skala Nyeri

Menurut Smeltzer dan Bare (2002), skala nyeri dapat diterangkan pada

bagan dibawah ini:

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Gambar 2.1. Skala Intensitas Nyeri Numerik (Smeltzer dan Bare, 2002)

21

Skala Intensitas Nyeri Numerik 0-10

Tidak Ada Nyeri

Nyeri Sedang

Nyeri Paling Hebat

Page 22: Kti Akhir Revisi 3 Grafik Uji Beda

Berdasarkan skala nyeri di atas dapat diterangkan deskripsi nyeri sebagai

berikut (Augustinus, 2003):

a. Skor 10 jika nyeri dirasakan sangat dan tidak dapat dikontrol oleh klien

b. Skor 9, 8, 7 Sangat nyeri tetapi masih dapat dikontrol oleh klien dengan

aktifitas yang bisa dilakukan.

c. Skor 6 jika nyeri seperti terbakar atau ditusuk-tusuk

d. Skor 5 jika nyeri seperti tertekan atau bergerak.

e. Skor 4 jika nyeri seperti kram atau kaku.

f. Skor 3 jika nyeri seperti perih atau mules.

g. Skor 2 jika nyeri seperti melilit atau terpukul.

h. Skor 1 jika nyeri seperti gatal, tersetrum atau nyut-nyutan

i. Skor 0 jika tidak ada nyeri.

5. Klasifikasi Nyeri Punggung Bawah

Nyeri punggung bawah dapat diklasifikasikan berdasarkan sifat gangguan

atau penyebabnya. Sering terdapat lebih dari satu penyebab, seperti misalnya

trauma yang mencetuskan nyeri pada penderita sebelumnya sudah mempunyai

kelainan kongenital pada vertebrae, fraktur kompresi pada seseorang yang

sebelumnya sudah menderita osteoporosis, degenerasi atau metastasis ke tulang

dari suatu tumor ganas (Long, 1996).

Berdasarkan etiologinya nyeri punggung bawah dapat dibedakan menjadi

a. Kongenital

Kelainan kongenital bukan penyebab nyeri punggung yang penting. Spina

bifida jarang menimbulkan keluhan nyeri punggung bawah. Pada faset tripismus,

22

Page 23: Kti Akhir Revisi 3 Grafik Uji Beda

arah sendi faset yang berlawanan akan membatasi gerakan dan dapat

mengakibatkan subluksasi karena degenerasi sendi faset, serta dapat menimbulkan

nyeri punggung bawah terutama pada gerakan mendadak. Pada lumbalisasi

(terdapat lebih dari lima vertebrae lumbal), kolumna vertebralis lumbal menjadi

lebih panjang, sehingga tekanan dan tarikan pada otot dan ligamen menjadi lebih

besar. Pada sakralis/hemisakralisasi, vertebrae L5 seluruhnya atau sebagian

menjadi satu dengan os sakrum sehingga pergerakan menjadi terbatas (sindrom

bertolotti), akibatnya setiap pergerakan yang berlebihan atau melampaui batas

akan menimbulkan nyeri punggung bawah.

b. Tumor

Menyebabkan nyeri punggung bawah yang lebih dirasakan pada waktu

berbaring atau pada waktu malam. Dapat disebabkan oleh tumor jinak seperti

osteoma, penyakit paget, osteoblastoma, hemangioma, neurioma, meningioma,

atau tumor ganas, baik primer (mieloma multiple) maupun sekunder (metastasis

karsinoma payudara, prostat, paru, tiroid, ginjal dan lain-lain). Metastasis tumor

ganas sangat sering ke corpus vertebrae karena banyak mengandung pembuluh

darah vena. Tumor-tumor ini merangsang ujung-ujung saraf sensibel dalam tulang

dan menimbulkan rasa nyeri lokal atau menjalar ke sekitarnya, dapat terjadi

fraktur patologi.

c. Trauma

Trauma dan gangguan mekanik merupakan penyebab utama nyeri

punggung bawah. Orang yang tidak terbiasa melakukan pekerjaan otot atau sudah

lama tidak melakukannya dapat menderita nyeri punggung bawah akut (lumbar

23

Page 24: Kti Akhir Revisi 3 Grafik Uji Beda

strain acute), atau melakukan pekerjaan dengan sikap yang salah dalam waktu

lama akan menimbulkan nyeri punggung bawah kronik (lumbar strain chronic).

Hal yang sama juga bisa didapatkan pada wanita hamil, orang gemuk, memakai

sepatu dengan tumit terlalu tinggi.

d. Toksik

Keracunan logam berat, misalnya radium. Pengobatan dengan penggunaan

radium secara berlebihan akan membawa dampak bagi tubuh, salah satunya juga

bisa membawa dampak pada nyeri tulang.

e. Gangguan metabolik

Osteoporosis dapat disebabkan oleh kurangnya aktivitas atau imobilisasi

lama, pasca menopause, malabsopsi atau intake rendah kalsium yang lama,

hipopituitarisme, akromegali, penyakit cushing, hipertiroidisme/ tirotoksikosis,

osteogenesis imperfekta, gangguan nutrisi misalnya kekurangan protein, defisiensi

asam askorbat, idiopatik, dan lain-lain.

f. Radang (inflamasi)

Radang inflamasi yang sering terjadi sebagai penyebab nyeri punggung

bawah adalah artritis reumatoid, spondilitis ankilopoetika. Kelainan pada artikulus

sakroiliaka merupakan bagian dari poliartritis reumatoid yang juga didapatkan di

tempat lain. Kelainan tersebut menimbulkan nyeri setempat dan nyeri alih.

Tertuama ditemukan pada laki-laki usia 20-30 tahun, berlangsung secara kronik

progresifsampai terjadi ankilosis, etiologinya tidak diketahui. Rasa nyeri pada

24

Page 25: Kti Akhir Revisi 3 Grafik Uji Beda

spondilitis ankilopoetika timbul akibat terbatasnya gerakan pada kolumna

vertebralis, artikulus sakroiliaka, artikulus kostovertebralis dan penyempitan

foramen intervetebralis. Proses nyeri di daerah pungung bawah biasanya lambat

laun akan menjalar ke atas. Foto polos tulang belakang dari penderita spondilitis

ankilopoetika akan memperlihatkan “bamboo spine”.

g. Degenerasi

Beberapa penyebab nyeri punggung bawah akibat proses penuaan yaitu

spondilitis (spondilartosis deformans), osteoartritis, hernia nukleus pulposus,

stenosis spinal, nerve of entrapment syndrome.

h. Infeksi

Akut kuman piogenik (stafilokokus, strepto kokus, salmonella). Kronik

spondilitis TB (penyakit Pott), jamur, osteomielitis kronik.

i. Gangguan sirkulasi

Aneurisma aorta abdominal terjadi pada bagian aorta yang melewati perut.

Salah satu penyebab aneurisma aorta abdominal adalah adanya infeksi yang

disebabkan oleh jamur dan bakteri. Infeksi tersebut akan menyebar sampai ke

punggung bawah dan nantinya akan menimbulkan nyeri.

6. Gejala Nyeri Punggung Bawah

Manifestasi klinis dari nyeri punggung bawah adalah :

a. Pasien mngeluh baik nyeri punggung bawah akut atau nyeri

punggung bawah kronis (berlangsung lebih dari dua bulan atau tanpa

perbaikan) dan keletihan

25

Page 26: Kti Akhir Revisi 3 Grafik Uji Beda

b. Nyeri menjalar sepanjang radiks saraf (skiatika) : meningkat

dengan gerakan

c. Nyeri berkaitan dengan meluruskan tungkai (iritasi radiks spinal)

d. Spasme otot paravertebral (sangat meningkatkan tonus otot

punggung postural) dengan kehilangan sejumlah kurva lordosis lumbar dan

kemungkinan deformitas spinal

e. Radikulopati (masalah radiks saraf) atau nyeri punggung kronis

(Smeltzer dan Bare, 2002).

7. Pencegahan

Penderita nyeri punggung bawah dengan nyeri sedang sampai berat,

subakut maupun kronik pada umumnya berkonsultasi dengan dokter. Penderita

sebaiknya diterapi secara optimal untuk menghilangkan nyeri dan memfasilitasi

aktivitas fisik dan peningkatan kualitas hidup.

Pencegahan nyeri punggung bawah merupakan tindakan terpenting dalam

usaha menanggulangi penyakit. Motonya ialah mencegah lebih baik dari

mengobati. Hal pertama yang bisa dilakukan untuk mencegah nyeri punggung

bawah pada lansia adalah dengan membimbing lansia melakukan kegiatan sehari-

hari dengan baik dan benar, karena nyeri punggung bawah sering akibat postur

yang salah serta akibat beban di tulang belakang, selain itu pencegahan juga bisa

dengan melatih lansia untuk hidup rileks dengan olahraga secara teratur,

mendengarkan musik santai, menjalankan agamanya, membaca, berekreasi, dan

menekuni hobi.

26

Page 27: Kti Akhir Revisi 3 Grafik Uji Beda

Selain itu bagi lansia yang sudah mengalami nyeri punggung bawah,

pencegahan tetap bisa dilakukan dengan beberapa cara, seperti jangan

mengangkat, mendorong atau menarik sesuatu yang memiliki beban yang berat,

jangan membungkuk atau berjongkok saat beraktivitas, usahakan supaya tidak

bersin, batuk ataupun mengedan secara berlebihan, hindari lansia naik turun

tangga ataupun pekerjaan fisik yang mengeluarkan tenaga yang ekstra, jangan

menggunakan sepatu bertumit tinggi pada lansia dianjurkan agar menggunakan

korset pinggang jika rasa sakit bertambah pada sikap duduk, berdiri dan berjalan

untuk mempercepat kesembuhan, anjurkan lansia untuk duduk dengan sikap yang

benar, berusaha berdiri dengan sikap yang baik, berusaha melakukan latihan

secara teratur, tidur yang cukup, berusaha mengurangi berat badan jika

kegemukan, dan jangan biarkan lansia melakukan aktivitas yang mengganggu

punggung.

Selain pencegahan di atas, nyeri punggung bawah pada lansia dapat

ditangani dengan terapi farmakologis dan non farmakologis. Dalam penelitian ini,

peneliti menggunakan terapi non farmakologis sebagai modalitas dalam

menangani nyeri. Mennurut Potter dan Perry (2006), terapi non farmakologis

meliputi relaksasi, teknik distraksi, massage, kompres hangat, stimulasi listrik,

sampai radiasi. Dari beberapa terapi di atas peneliti membandingkan dua terapi

modalitas yang sering dipakai untuk nyeri punggung bawah yaitu terapi stimulasi

kutaneus dan terapi inframerah.

C. Terapi Penghangat Inframerah

1. Pengertian Terapi Penghangat Inframerah

27

Page 28: Kti Akhir Revisi 3 Grafik Uji Beda

Inframerah merupakan salah satu alat yang sudah lazim sekali digunakan

oleh para pelayanan kesehatan, salah satunya perawat. Inframerah adalah radiasi

elektromagnetik dari panjang gelombang lebih panjang dari cahaya tampak, tetapi

lebih pendek dari gelombang radio.

Sinar Inframerah adalah radiasi elektromagnetik dari panjang gelombang

lebih panjang dari cahaya tampak, tetapi lebih pendek dari radiasi gelombang

radio. Namanya berarti "bawah merah" (dari bahasa Latin infra, "bawah"), merah

merupakan warna dari cahaya tampak dengan gelombang terpanjang. Radiasi

inframerah memiliki jangkauan tiga "order" dan memiliki panjang gelombang

antara 700 nm dan 1 mm (Wikipedia, 2011).

.2. Karakteristik Inframerah

Inframerah memiliki beberapa karakteristik, seperti tidak dapat dilihat oleh

manusia, tidak dapat menembus materi yang tidak tembus pandang, dapat

ditimbulkan oleh komponen yang menghasilkan panas, dan panjang gelombang

pada inframerah memiliki hubungan yang berlawanan atau berbanding terbalik

dengan suhu. Ketika suhu mengalami kenaikan, maka panjang gelombang

penurunan (Wikipedia, 2011).

3. Efek Fisiologis Inframerah

Efek fisiologis yang ditimbulkan oleh inframerah adalah peningkatan

proses metabolisme, vasodilatasi pembuluh darah, pigmentasi, dan berpengaruh

terhadap saraf sensoris yang akan membentuk efek sedatif akibat pemanasan dari

28

Page 29: Kti Akhir Revisi 3 Grafik Uji Beda

inframerah tersebut, selain itu inframerah juga akan memberi pengaruh terhadap

jaringan otot yang berdampak pada relaksasi serta mengaktifkan kelenjar keringat.

4. Indikasi Inframerah

Beberapa indikasi yang diperbolehkan untuk diberikan terapi inframerah

adalah kondisi peradangan setelah subakut (combustio, muscle sprain, muscle

strain, trauma sinovitis), arthritis (reumathoid arthritis, osteoarthritis, mialgia,

lumbago, neuralgia, neuritis), gangguan sirkulasi darah (tromboangitisobliterans,

tromboplebitis, renal disease), penyakit kulit (foliculitis, furuncolosi, wound),

persiapan exercise, dan massage.

5. Kontra Indikasi Inframerah

Terdapat beberapa hal yang menjadi kontraindikasi dari terapi inframerah,

antara lain daerah yang insufisiensi pada darah, seperti hemofili, gangguan kulit

seperti tumor kulit, krusta, kanker kulit, cacar kulit, serta adanya penyakit

penyerta seperti kanker tulang, TBC tulang bahkan stroke.

6. Kegunaan Inframerah dalam Kesehatan

Inframerah memiliki beberapa peranan dalam bidang kesehatan

diantaranya :

a. Sebagai diatermi pada penderita arthritis

b. Emisi inframerah fotografi dimana radiasi yang dipancarkan oleh

tubuh kemudian ditangkap/dideteksi sebagai termogram

c. Reflective infra red phortography yaitu menggunakan panjang

gelombang 700-900 nm, untuk menunjukkan aliran vena pada kulit

29

Page 30: Kti Akhir Revisi 3 Grafik Uji Beda

d. Juga dipergunakan untuk fotografi terhadap pupil mata tanpa suatu

rangsangan

e. Mengaktifkan molekul air dalam tubuh

f. Meningkatkan metabolisme tubuh

7. Prinsip Pemberian Terapi Inframerah

a. Persiapan alat

Terapi mempersiapkan alat inframerah, mengecek kelengkapan alat-alat

dan terapis mengecek kabel agar tidak bersilangan.

b. Persiapan pasien

Sebelum dilakukan terapi dengan inframerah pasien diberi penjelasan

tujuan terapi dan kontraindikasinya. Dijelaskan pula bahwa panas yang dirasakan

walau hanya sedikit namun tetap menimbulkan reaksi di dalam jaringan. Lakukan

tes panas dan dingin pada daerah yang akan diterapi untuk memastikan ada

tidaknya gangguan sensibilitas kulit. Pakaian di daerah yang akan diterapi

(punggung bawah) harus dilepaskan. Posisi pasien tengkurap dengan kepala

ditopang oleh bantal juga dibawah kaki, selain itu bisa dengan posisi duduk

sehingga pasien merasa nyaman.

c. Pelaksanaan terapi

Setelah persiapan alat dan pasien selesai daerah yang akan diterapi bebas

dari kain dan posisikan lampu inframerah sejajar pada lumbal, alat dinyalakan

dengan waktu 10 menit disesuaikan dengan amabang toleransi dari pasien

terhadap panas, dan perhatikan jarak lampu dengan daerah yang diterapi sekitar

30

Page 31: Kti Akhir Revisi 3 Grafik Uji Beda

30 cm, kemudian dicek dengan menanyakan langsung kepada pasien apakah

sudah mulai hangat, posisi kabel tidak boleh bersilangan dan bersentuhan dengan

pasien.

d. Evaluasi sesaat

Setelah selesai terapi ditanyakan apakah nyeri menurun atau berkurang

dibanding sebelum terapi, apakah timbul rasa mual, pusing, keringat dingin, juga

mengamati apakah ada tanda kemerahan karena terlalu panas. Apabila terjadi hal-

hal seperti di atas agar terapi dihentikan sementara sampai lansia siap kembali

untuk diberikan terapi inframerah (Haryanto, 2003). Agar hasil yang dicapai lebih

optimal, pelaksanaan terapi ini dapat dilakukan setiap hari dan biasanya efek

terapis dapat dicapai setelah hari ke 6-9.

8. Hubungan antara Sinar Inframerah terhadap Penurunan Nyeri

Punggung Bawah

Ketika suatu jaringan mengalami cedera, atau kerusakan mengakibatkan

dilepasnya bahan-bahan yang dapat menstimulus reseptor nyeri seperti serotonin,

histamin, ion kalium, bradikinin, prostaglandin, dan substansi P yang akan

mengakibatkan respons nyeri. Rasa nyeri tersebut ditimbulkan oleh adanya

akumulasi sisa-sisa hasil metabolisme yang menumpuk di jaringan. Penumpukan

zat sisa hasil metabolisme tersebut dihilangkan dengan pemasan yang cukup

untuk mendilatasikan pembuluh darah agar zat-zat tersebut ikut keluar. Salah satu

metode yang digunakan untuk memperoleh panas adalah dengan radiasi

khususnya infra merah.

31

Page 32: Kti Akhir Revisi 3 Grafik Uji Beda

Penyinaran inframerah merupakan salah satu cara yang efektif untuk

mengurangi atau menghilangkan rasa nyeri. Pengaruh inframerah pada

pengurangan rasa nyeri adalah panas yang dihasilkan akan menyebabkan

terjadinya peningkatan temperatur pada area yang diterapi, dengan demikian akan

terjadi dilatasi pembuluh darah yang diikuti dengan peningkatan aliran darah

kapiler sehingga pembuangan hasil-hasil metabolisme semakin baik (Potter dan

Perry, 2006). Dengan lancarnya sirkulasi darah maka zat-zat yang tidak berguna

bagi tubuh ikut juga terbuang, sehingga nyeri akan berkurang diikuti dengan

spasme otot berkurang sehingga akan merelaksasikan otot (Haryanto, 2003).

D. Stimulasi Kutenaues

1. Pengertian

Stimulasi kutaneus adalah stimulasi kulit yang dilakukan untuk

menghilangkan nyeri, bekerja dengan cara mendorong pelepasan endorfin,

sehingga memblok transmisi stimulus nyeri. Cara lainnya adalah dengan

mengaktifkan transmisi serabut saraf sensori A-beta yang lebih besar dan lebih

cepat, sehingga menurunkan transmisi nyeri melalui serabut C dan A-delta

berdiameter kecil sekaligus menutup gerbang sinap untuk transmisi impuls nyeri

(Potter & Perry, 2006).

Slow-Stroke Back Massage adalah tindakan masase punggung dengan

usapan yang perlahan selama 3-10 menit (Potter & Perry, 2006).

2. Proses fisiologis stimulasi kutaneus sebagai pereda nyeri

32

Page 33: Kti Akhir Revisi 3 Grafik Uji Beda

Sumber : Serpell (2002) Pain.

Pemberian masase sebagai penghilang respons nyeri pada pasien fraktur

ekstremitas dapat dijelaskan dengan teori “Gate control” . Teori control gerbang

nyeri menjelaskan variasi persepsi nyeri terhadap stimulasi yang identik. Prinsip

dasar dari control gerbang nyeri ( Melzack, Wall, 1996 ) sebagai berikut:

a. Baik serabut sensorik bermielin besar (L) yang membawa

informasi mengenai rasa raba dan propriosepsi dari perifer (serat A delta dan

A beta maupun serat kecil ( S ) yang membawa informasi mengenai nyeri

[serat A-delta dan C ]) menyatu di kornu dorsalis medulla spinalis.

b. Transmisi impuls saraf dari serat-serat afferent ke sel – sel

transmisi (T) medulla spinalis di kornu dorsalis dimodifikasi oleh suatu

mekanisme gerbang di sel-sel substansia glatinosa. Apabila gerbang tertutup

impuls nyeri tidak dapat diteruskan. Sebaliknya bila gerbang terbuka impuls

33

Page 34: Kti Akhir Revisi 3 Grafik Uji Beda

nyeri merangsang sel T di kornu dorsalis dan kemudian naik ke medulla

spinalis menuju otak., tempat impuls tersebut dirasakan sebagai nyeri.

c. Mekanisme gerbang spinal dipengaruhi jumlah relatif aktifitas

dari serat afferent primer berdiameter besar (L) dan berdiameter kecil (S).

Aktifitas berserat besar cenderung menghambat transmisi nyeri (menutup

Gerbang), sedangkan serat kecil cenderung mempermudah transmisi nyeri

(membuka gerbang ). Aferent berdiameter besar merangsang neuron-neuron

substansia glatinosa inhibitorik sehingga input masuk ke sel T berkurang

sehingga nyeri dihambat. Sebaliknya aktifitas serat berdiameter kecil

menghambat sel – sel substansia gelatinosa inhibitorik yang mendorong

peningkatan transmisi aferen primer kesel T yang menyebabkan peningkatan

rangsangan nyeri.

d. Mekanisme gerbang spinal dipengaruhi oleh impuls saraf yang

turun dari otak. Aspek mekanisme didasarkan pada banyaknya faktor

psikologis yang diketahui mempengaruhi nyeri dan pada fakta bahwa kornu

dorsalis medulla dipengaruhi beberapa jalur yang turun dari otak. Berbagai

sistem modulasi nyeri dessendens yang melibatkan nucleus-nukleus batang

otak dan neuron serotogenik dan noradrenergic yang berproyeksi

kesubstansia gelatinosa.

e. Apabila keluaran dari sel–sel T medulla spinalis melebihi

suatu ambang kritis, terjadi pengaktifan “sistem aksi” untuk perasaan dan

respon nyeri. Bila pengaktifan ini terjadi input sensorik akan disaring ,

aktifitas sensorik dan afektif berkelanjutan hingga ke tingkat SSP.

34

Page 35: Kti Akhir Revisi 3 Grafik Uji Beda

Teori pengendalian gerbang ini, menjelaskan hubungan massage atau

stimulasi kutaneus bagian yang nyeri setelah suatu cedera dapat menurunkan

intensitas nyeri, karena aktifitas serat besar dirangsang dengan stimulasi

kutaneus, sedangkan aktifitas berdiameter kecil tertutup.

a) Pengaruh sistem limbik terhadap respons nyeri.

Bebeberapa struktur limbik terutama berhubungan dengan sifat-sifat

afektif dari sensasi sensorik yakni apakah sensasi yang menyenangkan atau yang

tak menyenangkan. Kualitas afektif ini juga disebut ganjaran atau hukuman, atau

kepuasan atau antipati.

Perangsangan listrik pada area limbik tertentu menimbulkan rasa senang

atau rasa puas pada binatang yang juga dapat terjadi pada manusia (Guyton,

1997), sedangkan perangsangan listrik pada regio lainnya malah menimbulkan

rasa panik, rasa nyeri, rasa takut, usaha mempertahankan diri, reaksi menghindar,

elemen-elemen hukuman lainnya. Derajat perangsangan kedua sistem yang saling

berlawanan ini sangat mempengaruhi pola perilaku binatang.

Sistem limbik sebagai pusat ganjaran menjelaskan cara yang telah dipakai

untuk menentukan tempat area ganjaran dan area hukuman yang spesifik di dalam

otak. Dengan memakai kera sebagai binatang percobaan, telah di temukan pusat-

pusat ganjaran utama yang ternyata terletak di sepanjang rangkaian berkas bagian

medial otak depan, khususnya pada nuclei lateral dan nuclei ventromedial

hipotalamus. Anehnya nuklei lateral ini juga terlibat dalam area ganjaran

malahan, merupakan yang paling poten dari seluruhnya karena bila area ini diberi

rangsangan yang lebih kuat maka timbul rasa marah. Namun keadaan ini memang

35

Page 36: Kti Akhir Revisi 3 Grafik Uji Beda

berlaku untuk sebagian besar area, yang bila di beri rangsangan lebih lemah dapat

menimbulkan rasa ganjaran dan bila diberi rangsangan lebih kuat akan timbul rasa

hukuman.

Pusat ganjaran yang kurang peka, yang mungkin merupakan pusat kedua

dalam hipotalamus, dapat di jumpai pada septum, amigdala, beberapa area tertentu

dalam thalamus dan ganglia basalis, dan meluas ke bawah kebagian tegmentum

basal dari mesensefalon..

Rasa terhukum ditemukan area yang paling poten bagi rasa terhukum dan

kecenderungan untuk menghindar, yaitu terdapat di area kelabu sentral di

sekeliling akuaduktus sylvius dalam mesensefalon dan yang menyebar ke atas ke

zone periventrikular dari hipotalamus dan thalamus. Area rasa terhukum yang tak

begitu kuat di temukan di beberapa lokasi amigdala dan hipokampus.

Sangatlah menarik terutama bahwa perangsangan pada pusat rasa

terhukum ini seringkali dapat menghambat pusat- pusat ganjaran dan pusat rasa

senang secara sempurna, di mana hal ini menunjukkan bahwa rasa terhukum dan

rasa takut dapat terjadi mendahului rasa senang dan rasa ganjaran.

Pola marah merupakan suatu pola emosi yang melibatkan pusat pusat rasa

terhukum pada hipothalamus dan struktur limbik lainya, pola ini juga mempunyai

ciri-ciri tersendiri.

Pada binatang normal, fenomena rasa marah ini terutama dicegah oleh

adanya keseimbangan aktivitas dari nuclei ventromedial hipotolamus .selain

itu ,hipokampus ,amigdala ,dan bagian anterior korteklimbik ,terutama girus

singulata anterior dan girus sub kalosal ,dapat membantu menekan fenomena rasa

36

Page 37: Kti Akhir Revisi 3 Grafik Uji Beda

marah ini. Sebaliknya ,bila bagian sistim limbik ini luka atau rusak ,maka

binatang (juga manusia) menjadi lebih peka terhadap serangan rasa marah.

Sebenarnya pola emosional yang berlawanan dapat juga terjadi bila pusat rasa

ganjaran dirangsang :yakni timbul ketenangan (placidity) dan kejinakan

(tameness).

Hampir segala sesuatu yang kita lakukan berkaitan dengan rasa ganjaran

dan rasa terhukum .bila kita melakukan tindakan yang ternyata mendapat

ganjaran, maka kita meneruskan tindakan tersebut, namum bila ternyata

menyebabkan kita terhukum, kita akan menghentikan tindakan tersebut.oleh

karma itu, tak pelak lagi pusat rasa ganjaran dan pusat rasa terhukum merupakan

salah satu hal terpenting dari seluruh alat rengatur aktivitas tubuh,h asrat ,rasa

enggan ,dan motivasi kita. Dalam hal ini pusat ganjaran dan hukuman dari system

limbic merupakan suatu respons emosional dari seseorang yang dapat meniadakan

efek yang diinginkan dari stimulasi kutaneus sebagai metode pengganti dalam

meredakan nyeri dengan memanfaatkan teori gate control.

3. Pengaruh Stimulasi Kutaneus terhadap Nyeri

Pengaruh stimulasi kutaneus: slow-stroke back massage meliputi (Kusyati,

2006) :

a. Pelebaran pembuluh darah dan memperbaiki peredaran darah di dalam

jaringan tersebut. Dengan cara ini penyaluran zat asam dan bahan makanan ke

sel-sel diperbesar dan pembuangan dari zat-zat yang tidak terpakai akan

diperbaiki. Jadi akan timbul proses pertukaran zat yang lebih baik. Aktifitas

sel yang meningkat akan mengurangi rasa sakit dan akan menunjang proses

37

Page 38: Kti Akhir Revisi 3 Grafik Uji Beda

penyembuhan luka, radang setempat seperti abses, bisul-bisul yang besar dan

bernanah, radang empedu, dan juga beberapa radang persendian.

b. Pada otot-otot, memiliki efek mengurangi ketegangan.

c. Meningkatkan relaksasi fisik dan psikologis.

d. Penggunaan stimulus kutaneus yang benar dapat mengurangi persepsi

nyeri dan membantu mengurangi ketegangan otot yang dapat meningkatkan

nyeri.

e. Penurunan intensitas nyeri, kecemasan, tekanan darah, dan denyut jantung

secara bermakna

4. Petunjuk (Priharjo, 1993; Potter & Perry, 2006)

a. Perawat harus bertanya pertama kali apakah klien menyukai usapan punggung

karena beberapa klien tidak menyukai kontak secara fisik.

b. Perlu diperhatikan kemungkinan adanya alergi atau kulit mudah terangsang,

sebelum memberikan lotion.

c. Hindari untuk melakukan masase pada area kemerah-merahan, kecuali bila

kemerahan tersebut hilang sewaktu dimasase.

d. Masase punggung dapat merupakan kontraindikasi pada pasien imobilitas

tertentu yang dicurigai mempunyai gangguan penggumpalan darah.

Identifikasi juga faktor-faktor atau kondisi seperti fraktur tulang rusuk atau

vertebra, luka bakar, daerah kemerahan pada kulit, atau luka terbuka yang

menjadi kontraindikasi untuk masase punggung. Pada klien yang mempunyai

riwayat hipertensi atau disritmia, kaji denyut nadi dan tekanan darah.

38

Page 39: Kti Akhir Revisi 3 Grafik Uji Beda

5. Metode (Potter & Perry, 2006)

Tehnik untuk stimulasi kutaneus: slow-stroke back massage dilakukan

dengan beberapa pendekatan, tetapi salah satu metode yang dilakukan ialah

dengan mengusap kulit klien secara perlahan dan berirama dengan tangan dengan

kecepatan 60 kali usapan per menit. Kedua tangan menutup suatu area yang

lebarnya 5 cm pada kedua sisi tonjolan tulang belakang, dari ujung kepala sampai

area sakrum. Tehnik ini berlangsung selama 3-10 menit. Untuk meningkatkan

efek yang lebih optimal metode ini dapat dilakukan setiap 2-3 hari sekali.

6. Prosedur Pelaksanaan (Potter & Perry, 2006)

a. Subyek penelitian dipersilahkan untuk memilih posisi yang diinginkan selama

intervensi, bisa tidur miring, telungkup, atau duduk.

b. Buka punggung klien, bahu, dan lengan atas. Tutup sisanya dengan selimut.

c. Peneliti mencuci tangan dalam air hangat. Hangatkan losion di telapak tangan

atau tempatkan botol losion ke dalam air hangat. Tuang sedikit losion di

tangan. Jelaskan pada responden bahwa losion akan terasa dingin dan basah.

Gunakan losion sesuai kebutuhan.

d. Lakukan usapan pada punggung dengan menggunakan jari-jari dan telapak

tangan sesuai dengan metode di atas. Jika responden mengeluh tidak nyaman,

prosedur langsung dihentikan.

e. Akhiri usapan dengan gerakan memanjang dan beritahu klien bahwa perawat

mengakhiri usapan.

39

Page 40: Kti Akhir Revisi 3 Grafik Uji Beda

i. Bersihkan kelebihan dari lubrikan dari punggung klien dengan handuk mandi.

Ikat kembali gaun atau bantu memakai baju/piyama. Bantu klien posisi yang

nyaman.

j. Letakkan handuk yang kotor pada tempatnya dan cuci tangan.

7. Stimulasi Kutaneus dalam Menurunkan Nyeri Punggung Bawah

Degenerasi pada kartilago artikuler dan hipertrofi tulang atau pertumbuhan

tulang berlebih dalam bentuk taji/tonjolan tulang yang terjadi pada penyakit

osteoartritis atau nyeri punggung bawah akan menimbulkan pergesekan yang

merangsang nyeri. Sendi adalah salah satu organ yang banyak memiliki reseptor

nyeri (Guyton & Hall, 1997). Stimulus nyeri yang mencapai ambang nyeri akan

menyebabkan aktivasi reseptor dan terjadi penjalaran impuls nyeri oleh serabut

saraf A delta dan C. Adanya impuls ini akan menyebabkan gerbang nyeri di

substansia gelatinosa terbuka. Namun dengan pemberian stimulasi kutan berupa

usapan punggung, dimana stimulus ini direspons oleh serabut A beta yang lebih

besar, maka stimulus ini akan mencapai otak lebih dahulu, dengan demikian akan

menutup gerbang nyeri sehingga persepsi nyeri tidak timbul. Di samping itu,

sistem kontrol desenden juga akan bereaksi dengan melepaskan endorphin yang

merupakan morfin alami tubuh sehingga persepsi nyeri tidak terjadi.

E. Mekanisme Penurunan Nyeri

1. Teori Pengendalian Gerbang (Gate Control Theory)

Teori pengendalian gerbang (Melzack & Wall, 1982 dalam Potter & Perry,

2006) menjelaskan mengapa terkadang sistem saraf pusat menerima stimulus

40

Page 41: Kti Akhir Revisi 3 Grafik Uji Beda

berbahaya dan terkadang, meskipun pada kerusakan jaringan hebat,

mengabaikannya. Teori ini mengusulkan bahwa impuls nyeri dapat diatur atau

bahkan dihambat oleh mekanisme pertahanan di sepanjang sistem saraf pusat.

Mekanisme pertahanan/gerbang ini dapat ditemukan di sel-sel gelatinosa

substansia di dalam kornu dorsalis pada medula spinalis, talamus dan sistem

limbik (Clancy & Mc Vicar, 1992 dalam Potter & Perry, 2006). Teori ini

mengatakan bahwa impuls nyeri dihantarkan saat sebuah pertahanan dibuka dan

impuls dihambat saat sebuah pertahanan tertutup. Upaya menutup pertahanan

tersebut merupakan dasar terapi menghilangkan nyeri.

Gambar 2.2 Ilustrasi skematik Teori Pengendalian Gerbang(Sumber: Kozier, 2004)

41

Page 42: Kti Akhir Revisi 3 Grafik Uji Beda

Transmisi impuls nyeri melalui pintu gerbang sumsum tulang belakang

dipengaruhi oleh:

a. Aktifitas serabut sensori.

Gerbang akan terbuka dengan adanya perangsangan serabut A delta dan C

yang melepaskan substansi P untuk mentransmisi impuls melalui mekanisme

gerbang. Sinyal nyeri ini bisa diblok dengan stimulasi serabut A beta. Serabut

saraf A beta adalah serat saraf bermielin yang besar sehingga mengantarkan

impuls ke sistem saraf pusat jauh lebih cepat daripada serabut A delta atau serabut

C. Serabut ini berespon terhadap masase ringan pada kulit, pergerakan dan

stimulasi listrik (Kenworthy et al, 2002). Ketiga hal ini, dalam bahasa non

fisiologi, membuat otak tetap “sibuk” sehingga mencegahnya untuk terlalu

terganggu dengan impuls yang datang dari sumber nyeri. Serabut ini banyak

terdapat di kulit sehingga stimulasi kulit dapat menurunkan persepsi nyeri

(Guyton & Hall, 1997). Apabila masukan yang dominan berasal dari serabut A

beta, maka gerbang akan menutup. Diyakini mekanisme penutupan ini dapat

terlihat saat seorang perawat menggosok punggung klien dengan lembut (Potter &

Perry, 2006).

b. Neuroregulator: endorphin

Neuroregulator atau substansi yang mempengaruhi transmisi stimulus saraf

memegang peranan yang penting dalam suatu pengalaman nyeri. Substansi ini

ditemukan di lokasi nosiseptor, di terminal saraf dalam kornu dorsalis pada

medula spinalis. Neuroregulator dibagi menjadi 2 kelompok, yakni

neurotransmiter dan neuromodulator. Neurotransmiter seperti substansi P

42

Page 43: Kti Akhir Revisi 3 Grafik Uji Beda

mengirim impuls listrik melewati celah sinaps di antara 2 serabut saraf. Serabut

saraf tersebut adalah eksitator dan inhibitor. Neuromodulator memodifikasi

aktivitas neuron dan menyesuaikan atau memvariasikan transmisi stimulus nyeri

tanpa secara langsung mentransfer tanda saraf melalui sebuah sinap (Potter &

Perry, 2006).

Neuromodulator diyakini tidak bekerja secara langsung, yakni dengan

meningkatkan dan menurunkan efek neurotransmiter tertentu. Endorphin (berasal

dari kata endogenous morphin) dan juga enkefalin, serotonin, noradrenalin dan

gamma-aminobutyric acid (GABA) adalah contoh neuromodulator. Enkefalin dan

endorphin diduga dapat menghambat impuls nyeri dengan memblok transmisi

impuls ini di dalam otak dan medula spinalis. Kadarnya yang berbeda diantara

individu menjelaskan mengapa stimuli nyeri yang sama dirasakan berbeda oleh

orang yang berbeda. Kadar ini dikendalikan oleh gen (Guyton & Hall, 1997;

Potter & Perry, 2006). Tehnik distraksi, konseling dan pemberian plasebo

merupakan upaya untuk melepaskan endorfin (Potter & Perry, 2006).

2. Agen Anastetik dan Analgesik Spesifik

Terdapat 3 kelompok obat analgesik (pereda nyeri) yang tersedia untuk

menangani nyeri, kelompok pertama adalah non-opioid termasuk paracetamol dan

Obat Anti Inflamasi Non Steroid (OANS), yang dipertimbangkan untuk diberikan

sebelum beralih ke kelompok kedua yaitu opioid, dan kelompok ketiga adalah

adjuvan. Analgesik adjuvan adalah obat-obat yang tidak diklasifikasikan sebagai

analgesik, tetapi dapat digunakan untuk menangani nyeri pada situasi tertentu,

misalnya antidepresan dan antikonvulsan yang biasanya digunakan untuk

43

Page 44: Kti Akhir Revisi 3 Grafik Uji Beda

penanganan nyeri neuropatik. Agens analgesik dapat diberikan dalam berbagai

jalan seperti parenteral, oral, rektal, transdermal, dan intraspinal.

BAB III

KERANGKA KONSEP

A. Kerangka Konsep

Adapun kerangka konsep dari penelitian ini diterangkan dengan skema

yang tertera dibawah ini:

44

Stimulasi Kutaneusb. Penatalaksanaan Non Farmakologis :

TENSUltrasound terapiMWD (Microwave diathermy)

Terapi Infra Merah

Panas – peningkatan temperatur daerah lokal tempat terapi

Dilatasi arteriol dan peningkatan aliran darah ke kapiler

Usapan punggung meningkatkan aliran darah ke kapiler

Mengaktivasi pelepasan sistem endorphin dalam darah

Penatalaksanaan Nyeri :a. Penatalaksanaan farmakologis ; analgetik,

antiinflamasi, relaksan otot, salf, minyak hangat

Page 45: Kti Akhir Revisi 3 Grafik Uji Beda

Keterangan: Diteliti : Alur

: Tidak diteliti

Gambar 3.1 Kerangka Konsep PenelitianB. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional Variabel.

1. Variabel penelitian

Variabel penelitian adalah suatu ukuran atau ciri yang dimiliki oleh

kelompok tersebut (Rafii dalam Nursalam, 2008). Menurut Sugiyono (2007),

variabel penelitian adalah segala sesuatu yang berbentuk apa saja yang ditetapkan

oleh peneliti untuk dipelajari sehingga diperoleh informasi tentang hal tersebut,

kemudian ditarik kesimpulannya.

a. Variabel bebas (independent variable)

Variabel bebas adalah variabel yang nilainya menentukan variabel lain

(Nursalam, 2008). Variabel bebas adalah menjadi sebab timbulnya atau

berubahnya variabel terikat (dependent variabel) sehingga variabel independent

adalah variabel yang mempengaruhi (Sugiyono, 2007). Dalam penelitian ini yang

menjadi variabel bebas adalah stimulasi kutaneus dan terapi inframerah.

45

Pembuangan sisa hasil metabolisme

Spasme otot berkurang, relaksasi

Nyeri Punggung Bawah

Nyeri

Endorphin sebagai analgetik dalam darah relaksasi

Menurunkan ambang nyeri dan meningkatkan relaksasi otot

Tidak Nyeri

Page 46: Kti Akhir Revisi 3 Grafik Uji Beda

b. Variabel terikat (dependent variable)

Variabel terikat adalah variabel yang nilainya ditentukan oleh variabel lain

(Nursalam, 2008). Variabel ini disebut variabel respons, output, kriteria dan

konsekuen. Variabel ini merupakan akibat adanya variabel bebas (dependent

variable) (Sugiyono, 2007). Dalam penelitian ini variabel yang berubah karena

perlakuan terapi non farmakologis adalah nyeri punggung bawah pada lansia.

2. Definisi Operasional

Definisi operasional adalah definisi berdasarkan karakteristik yang diamati

dari sesuatu yang didefinisikan tersebut (Nursalam, 2008). Definisi operasional

variabel penelitian ini dapat dilihat pada tabel sebagai berikut:

Tabel 3.1Definisi Operasional Variabel Penelitian

No. Variabel Definisi Operasional Parameter Alat Ukur Indikator Skala Pengukuran

1 Independen Variable :-Terapi Penghangat Inframerah

Penghangatan yang diberikan pada punggung bawah responden dengan menggunakan alat inframerah selama 10 menit dengan jarak 30 cm dari punggung bawah responden selama 9 hari dengan pencahayaan lampu infra merah 150 watt

Lampu IR sejajar pada punggung bawah, lansia diberikan dengan waktu 10 menit.

Observasi Pemberian inframerah selama 10 menit dengan jarak 30 cm pada daerah yang nyeri dengan pencahayaan lampu 150 watt

Nominal

-Terapi stimulasi kutaneus

Usapan pada punggung bawah responden dengan menggerakkan jari-jari tangan dan telapak tangan yang dilumuri lotion selama 10 menit selama 9 hari dengan frekuensi 3 hari sekali

Punggung diusap dengan gerakan memutar dan mengusap punggung dengan jari dan telapak tangan

Observasi Pemberian usapan telapak tangan dan jari selam sepuluh menit dengan tangan yang diberi losion

Nominal

2 Dependent Variable :Nyeri Punggung

Rasa nyeri yang dirasakan di daerah punggung bawah yang diukur dengan skala nyeri verbal deskriptive scale (VDS)

Lansia akan ditanya skala nyeri sebelum diberikan terapi

Wawancara Terdapat perbedaan hasil terapi yaitu nyeri

Interval

46

Page 47: Kti Akhir Revisi 3 Grafik Uji Beda

Bawah sebelum dan 9 hari setelah perlakuan

sedangkan setelah terapi dilakukan 30 menit setelah pemberian terapi pada hari ke-9

dan tidak nyeri.

C. Hipotesis

Hipotesa adalah jawaban sementara dari rumusan masalah atau pertanyaan

penelitian (Nursalam, 2008). Hipotesis dalam penelitian ini adalah ada perbedaan

pengaruh inframerah dan stimulasi kutaneus terhadap nyeri punggung bawah pada

lansia.

BAB IV

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian dalam penelitian ini adalah termasuk penelitian quasi

eksperimen dengan menggunakan rancangan pre test post test with control group

design. Pre test post test with control group design adalah eksperimen yang

dilaksanakan pada dua kelompok yaitu perlakuan dan kontrol. Observasi sebelum

perlakuan pada kelompok I disebut (O1) dan observasi setelah perlakuan pada

kelompok I disebut O2, sedangkan observasi sebelum diberikan perlakuan pada

kelompok II disebut O3 dan setelah perlakuan pada kelompok II disebut O4.

Pretest Perlakuan Posttest

O1 -------------------------------------------X1--------------------------------O2

47

Page 48: Kti Akhir Revisi 3 Grafik Uji Beda

O3 -------------------------------------------X2--------------------------------O4

Gambar 4.1 Desain Penelitian

Keterangan :

O1 : nilai pretest (sebelum diberikan terapi inframerah)

O2 : nilai posttest (setelah diberikan terapi inframerah)

O3 : nilai pretest (sebelum diberikan terapi stimulasi kutaneus)

O4 : nilai posttest (setelah diberikan terapi stimulasi kutaneus)

X1 : perlakuan terapi inframerah

X2 : terapi stimulasi kutaneus

B. Kerangka Kerja

48

PopulasiSemua Lansia yang tinggal di Banjar

tebongkang Desa Singa Kerta yang Mengalami Nyeri Punggung Bawah sebanyak 49 orang

SampelBerjumlah 44 orang dengan 22 diberi perlakuan

stimulasi kutaneus dan 22 orang diberi terapi infra merah

Kriteria Inklusi Kriteria Eksklusi

Pengukuran skala nyeri sebelum diberikan terapi terapi stimulasi kutaneus dan terapi infra merah

Kelompok yang diberi penghangatan infra adalah lansia dengan nomor ganjil diberikan

terapi selama 10 menit setiap hari dengan jarak 30 cm diberikan 9 hari dengan pencahayaan

lampu infra merah 150 watt

Kelompok yang diberi stimulasi Kutaneus adalah lansia dengan nomor genap dan diberikan terapi 10 menit selama 9 hari dengan frekuensi 3

hari sekali

Page 49: Kti Akhir Revisi 3 Grafik Uji Beda

C. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Banjar Tebongkang, Desa Singakerta mengingat

jumlah lansia yang mengalami nyeri punggung bawah cukup banyak.

D. Populasi dan Sampel Penelitian

1. Populasi

Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas objek/subjek yang

mempunyai kuantitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti

untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiyono, 2007).

Populasi dalam penelitian ini adalah semua lansia yang mengalami nyeri

punggung bawah di Banjar Tebongkeng Desa Singakerta tahun 2011.

2. Sampel penelitian

Sampel adalah bagian dari populasi yang dipilih dengan cara tertentu yang

dianggap mewakili populasinya (Sugiyono, 2007). Dalam penelitian ini sampel

yang digunakan adalah lansia yang mengalami nyeri punggung bawah di Desa

49

Pengukuran skala nyeri setelah diberikan terapi stimulasi kutaneus dan infra merah setelah pemberian terapi selama 10 menit setelah hari ke 9

Analisis Penelitian

Penyajian hasil penelitian

Page 50: Kti Akhir Revisi 3 Grafik Uji Beda

Tebongkeng, Desa Singakerta. Sampel yang dipilih sesuai dengan kriteria sebagai

berikut:

a. Kriteria inklusi

1) Umur >60 tahun

2) Mengalami nyeri punggung bawah

3) Kooperatif dan bersedia menjadi responden

b. Kriteria eksklusi

1) Lansia dengan penyakit penyerta seperti fraktur di daerah tulang belakang

2) Lansia yang mendapat terapi analgetik

3) Lansia dengan penyakit kulit di daerah punggung bawah

4) Lansia dengan luka lecet di daerah punggung bawah

3. Besar Sampel

Slovin dalam Prasetya (2005), menghitung jumlah sampel yang digunakan

dalam penelitian dengan rumus sebagai berikut.

Keterangan:

=Besar Sampel

N =Besar Populasi

e =Tingkat Kesalahan (0,05)

Jumlah populasi yaitu lansia yang mengalami nyeri punggung bawah di Banjar

Tebokang, Desa Singakerta adalah sebanyak 49 orang. Dari jumlah tersebut maka

50

Page 51: Kti Akhir Revisi 3 Grafik Uji Beda

dapat dihitung sampel yang akan dipakai dalam penelitian ini sebagai berikut

(Prasetya, 2005):

43,65

44 orang (dibulatkan)

Jadi sampel dalam penelitian adalah berjumlah 44 orang.

4. Teknik Sampling

Dalam menentukan jumlah sampel, teknik pengambilan sampel yang

digunakan adalah teknik probability sampling yaitu dengan sistematic random

sampling yaitu diambil 44 orang dari 49 orang lansia yang mengalami nyeri

punggung bawah dengan ketentuan kelompok yang diberi stimulasi kutaneus

adalah responden yang bernomor genap sedangkan yang diberikan terapi

inframerah yang bernomor ganjil.

E. Jenis dan cara pengumpulan data

1. Jenis data yang dikumpulkan

Berdasarkan cara memperolehnya, data yang dikumpulkan dalam

penelitian ini adalah data primer. Data primer dalam penelitian ini adalah data

51

Page 52: Kti Akhir Revisi 3 Grafik Uji Beda

yang secara langsung diperoleh dari obyek penelitian (Riwidikdo, 2007), yaitu

hasil wawancara terhadap skala nyeri lansia di Banjar Tebongkang, Desa

Singakerta. Jenis data yang dikumpulkan adalah data kuantitatif.

2. Cara pengumpulan data

Pengumpulan data merupakan kegiatan penelitian untuk mengumpulkan

data (Hidayat, 2009). Peneliti dalam penelitian ini melakukan langkah

pengumpulan data sebagai berikut :

a. Peneliti membawa surat ijin penelitian yang dipersiapkan oleh institusi kepada

Kepala Puskesmas II Ubud serta Kepala Desa Singakerta

b. Setelah surat ijin dikeluarkan oleh Kepala Puskesmas, selanjutnya peneliti

melakukan pendekatan kepada Kepala Puskesmas dan Kepala Desa atau

pemegang program Kesehatan Lansia di Puskesmas II Ubud

c. Sosialisasi dengan peneliti pendamping dan pengawas tentang teknik dan

pelaksanaan penelitian dan mempersiapkan tiga orang peneliti pendamping

dari mahasiswa keperawatan dan satu orang pengawas dari Puskesmas II

Ubud untuk pengumpulan data.

d. Melakukan pendekatan terhadap sampel penelitian sesuai kriteria inklusi

dengan daftar nama lansia serta menentukan sampel sesuai dengan ketentuan

yaitu stimulasi kutaneus diambil pada responden dengan nomor genap dan

terapi inframerah diambil pada responden dengan nomor ganjil. Setelah

sampel diperoleh, dilakukan penyampaian maksud dan tujuan peneliti kepada

para lansia di Banjar Tebongkang untuk kesediannya secara sukarela menjadi

responden dalam penelitian ini dengan menandatangani informed consent.

52

Page 53: Kti Akhir Revisi 3 Grafik Uji Beda

e. Mengukur skala nyeri pada sampel sebelum diberikan terapi stimulasi

kutaneus dan terapi inframerah

f. Melakukan terapi stimulasi kutaneus kepada sampel dengan nomor genap dan

memberikan terapi inframerah pada sampel dengan nomor ganjil sesuai

dengan prosedur dan dilakukan selama 9 hari

g. Melakukan pengukuran skala nyeri setelah pemberian terapi selama 10 menit

pada hari ke-9 diberikan stimulasi kutaneus dan terapi inframerah

h. Peneliti mengumpulkan data yang telah didapat

i. Melakukan tabulasi dan analisis data

3. Instrumen pengumpul data

a. Alat penelitian

Alat yang digunakan dalam penelitian yaitu lampu inframerah 150 watt,

alat untuk memeriksa sensibilitas kulit, meja khusus, kamera digital, dan checklist

stimulasi kutaneus dan inframerah.

b. Bahan penelitian

Bahan penelitian yang digunakan adalah alat tulis dan lembar pengkajian.

F. Pengolahan dan Analisa Data

1 Teknik pengolahan data

Langkah-langkah dalam pengolahan data:

a. Editing

Editing dilakukan dengan mengecek kelengkapan pedoman observasi yang

telah diisi. Jika terdapat data yang belum terisi akan dilakukan crosscheck

terhadap data tersebut melalui wawancara ulang terhadap responden ataupun

53

Page 54: Kti Akhir Revisi 3 Grafik Uji Beda

penelusuran catatan observasi pasien. Dalam penelitian ini editing dilakukan

sebanyak satu kali yaitu pada sampel nomor 8 pada responden dengan stimulasi

kutaneus dimana data skala nyeri setelah diberikan stimulasi kutaneus belum

lengkap, sehingga dilakukan crosscheck terhadap responden yang bersangkutan.

b. Scoring

Angket yang sudah terkumpul, dilakukan pengkodean untuk memudahkan

dalam memasukkan ke dalam program analisis. Dalam hal ini skoring dilakukan

dengan memberikan skor 1 kepada pada responden dengan skala nyeri tingkat

ringan, 2 untuk skala nyeri sedang dan 3 untuk skala nyeri tingkat berat.

c. Entry

Kegiatan memasukkan data ke dalam program komputer untuk mencegah

risiko kehilangan data. Entry ini dilakukan dengan melakukan penyimpanan data

ke dalam master tabel data dalam bentuk program sheet, yang kemudian di

transfer ke dalam matrik program SPSS 16.0 untuk selanjutnya dilakukan analisis.

Selain itu, untuk menjaga risiko kehilangan data, data yang telah ditabulasi

disimpan ke dalam bentuk CD sehingga jika terjadi kehilangan data pada

komputer dapat dilakukan backup dengan mudah.

2. Teknik analisa data

Analisa data dilakukan setelah semua data terkumpul. Proses analisa data

penelitian ini yaitu:

a. Analisis Univariat

Analisis univariat dilakukan melalui :

54

Page 55: Kti Akhir Revisi 3 Grafik Uji Beda

1) Deskripsi data skala nyeri pasien nyeri punggung bawah yang diberikan

terapi inframerah dideskripsikan dengan menghitung rata-rata nyeri, nilai

minimal dan maksimal dari seluruh responden dan disajikan dalam bentuk

tabel frekuensi

2) Deskripsi data skala nyeri pasien nyeri punggung bawah yang diberikan

stimulasi kutaneus dideskripsikan dengan menghitung rata-rata skala nyeri,

nilai minimal dan maksimal dari seluruh responden dan disajikan dalam

bentuk tabel frekuensi.

3) Deskripsi perubahan skala nyeri pada stimulasi kutaneus dan terapi infra

merah dideskripsikan dengan menghitung rata-rata, nilai minimal dan

maksimal dari perubahan atau perbedaan skala nyeri yang kemudian disajikan

dalam bentuk tabel distribusi frekuensi

b. Analisis Bivariat

Analisis bivariat dilakukan untuk mengetahui hubungan kedua variabel

baik penelitian komparatif maupun korelatif. Adapun analisis bivariat yang

digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.

1) Analisis pengaruh pemberian stimulasi kutaneus terhadap perubahan skala

nyeri

Sebelum dilakukan pengujian statistik pengaruh pemberian stimulasi

kutaneus dengan perubahan skala nyeri, dilakukann uji normalitas data terhadap

data sebelum dan sesudah diberikan stimulasi kutaneus dengan menggunakan uji

Kolmogorov smirnov, jika data berdistribusi normal (p value>0,05), maka

dilakukan uji statistik parrametrik dengan uji t paired sample tes, namun jika data

55

Page 56: Kti Akhir Revisi 3 Grafik Uji Beda

tidak berdistribusi normal (p value<0,05) maka dilakukan uji non parametrik

dengan uji wilcoxon.

2) Analisis pengaruh pemberian terapi infra merah terhadap perubahan skala

nyeri

Sebelum dilakukan pengujian statistik pengaruh pemberian terapi infra

merah dengan perubahan skala nyeri, dilakukann uji normalitas data terhadap data

sebelum dan sesudah diberikan terapi infra merah dengan menggunakan uji

Kolmogorov smirnov, jika data berdistribusi normal (p value>0,05), maka

dilakukan uji statistik parrametrik dengan uji t paired sample tes, namun jika data

tidak berdistribusi normal (p value<0,05) maka dilakukan uji non parametrik

dengan uji wilcoxon.

3) Analisis perbedaan skala nyeri dengan pemberian stimulasi kutaneus dan

terapi infra merah

Analisis perbedaan antara intensitas nyeri pasien nyeri punggung bawah

yang diberi stimulasi kutaneus dengan terapi inframerah dilakukan dengan

membedakan selisih dari skala nyeri sebelum dan sesudah diberikan perlakuan.

Seslisih atau beda skala nyeri tersebut dilakukan uji normalitas data dengan

menggunakan uji statistik Kolomogorv Smirnov, jika data berdistribusi normal

(pvalue>0,05), maka dilakukan uji paramterik dengan menggunakan uji t

independent sample, namun jika data tidak berdistribusi normal (pvalue<0,05)

dilakukan dengan uji non parametrik dengan uji Mann Whitney.

56

Page 57: Kti Akhir Revisi 3 Grafik Uji Beda

Hasil analisi dari ketiga uji bivariat di atas yang diperoleh dari program

komputer dengan uji statistik (misalnya dengan penggunaan produk SPSS) dapat

disimpulkan dengan ketentuan sebagai berikut:

1. Jika nilai t hitung < t tabel, Z hitung < Z tabel, U hitung< U tabel

atau p<α (0,05), maka dapat disimpulkan Ho ditolak dan hal ini berati bahwa

terdapat perbedaan intensitas nyeri antara pemberian terapi inframerah dengan

terapi stimulasi kutaneus

2. Jika nilai t hitung > t tabel, Z hitung > Z tabel, U hitung >U tabel dan

p > α, maka dapat disimpulkan Ho diterima dan hal ini berati bahwa tidak

terdapat perbedaan intensitas nyeri antara pemberian terapi inframerah dengan

terapi stimulasi kutaneus.

57

Page 58: Kti Akhir Revisi 3 Grafik Uji Beda

BAB V

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A Hasil Penelitian

1. Kondisi lokasi penelitian

Desa Singakerta terdiri dari 13 Banjar dengan jumlah penduduk sebanyak

865 jiwa. Penelitian ini dilakukan di Banjar Tebongkang, Desa Singakerta,

Kecamatan Ubud yang merupakan wilayah kerja Puskesmas II Ubud. Pada tahun

2011 terdapat 97 orang Lansia yang terdiri dari 53 orang (54,6%) perempuan dan

44 orang (45,4%) laki-laki, 49 orang (52,1%) (Data Register Posyandu Lansia

Banjar Tebongkang, 2011).

2. Hasil pengamatan terhadap obyek penelitian

a. Gambaran skala nyeri pada lansia nyeri punggung bawah

sebelum diberi stimulasi kutaneus

58

Page 59: Kti Akhir Revisi 3 Grafik Uji Beda

Gambar 5.1Gambaran Nyeri Punggung Bawah pada Lanjut Usia sebelum Diberikan

Stimulasi Kutaneus di Banjar Tebongkang, Desa Singakerta Kecamatan Ubud

Dalam penelitian ini, skala nyeri pasien sebelum diberikan stimulasi

kutaneus yang terdiri dari 22 orang seluruhnya tergolong kategori sedang dengan

rentang skala nyeri berkisar 4-6 dan rata-rata 4,7.

b. Gambaran skala nyeri pada lansia nyeri punggung bawah

sebelum diberi terapi inframerah

59

Page 60: Kti Akhir Revisi 3 Grafik Uji Beda

Gambar 5.2Gambaran Nyeri Punggung Bawah pada Lanjut Usia sebelum Diberikan

Terapi Infra Merah di Banjar Tebongkang, Desa Singakerta Kecamatan Ubud

Berdasarkan gambar diatas, menunjukkan bahwa sebelum diberikan terapi

inframerah, dari 22 orang responden sebagian besar mengalami nyeri dengan

kategori nyeri tingkat sedang yaitu sebanyak 19 orang (86%) dan sebagian kecil

adalah berat yaitu sebanyak tiga orang (14%). Ditinjau dari nilai skala nyeri

diperoleh bahwa rata-rata nyeri lanjut usia sebelum diberikan terapi inframerah

adalah 5 dengan rentang skala nyeri berkisar 4-7.

c. Gambaran skala nyeri pada lansia nyeri punggung bawah

setelah diberi stimulasi kutaneus

60

Page 61: Kti Akhir Revisi 3 Grafik Uji Beda

Gambar 5.3Gambaran Nyeri Punggung Bawah pada Lanjut Usia setelah Diberikan

Stimulasi Kutaneus di Banjar Tebongkang, Desa SingakertaKecamatan Ubud

Berdasarkan diagram di atas, dari 22 orang responden yang diberikan

stimulasi kutaneus diperoleh bahwa sebagian besar responden berada dalam

kategori nyeri tingkat sedang yaitu sebanyak 15 orang (68%) dan terdapat tujuh

orang (32%) yang tergolong kategori nyeri tingkat ringan. Dilihat dari nilai skala

nyeri diperoleh rata-rata nyeri setelah diberikan stimulasi kutaneus adalah 3,5

dengan rentang nilai 2-5.

d. Skala nyeri setelah diberikan terapi infra merah

61

Page 62: Kti Akhir Revisi 3 Grafik Uji Beda

Gambar 5.4Gambaran Nyeri Punggung Bawah pada Lanjut Usia setelah Diberikan

Infra Merah di Banjar Tebongkang, Desa Singakerta Kecamatan Ubud

Berdasarkan gambar di atas, dari 22 orang responden yang diberikan

inframerah diperoleh bahwa skala responden sebagian besar tergolong kategori

ringan dan sebagian lagi adalah sedang yaitu masing - masing 11 orang (50%).

Dilihat dari nilai skala nyeri, nilai rata-rata skala nyeri setelah diberikan infra

merah adalah 3 dengan rentang nilai berkisar antara 1-5.

62

Page 63: Kti Akhir Revisi 3 Grafik Uji Beda

e. Perbedaan skala nyeri sebelum dan sesudah diberikan

stimulasi kutaneus

Tabel 5.1Skala Nyeri Pada Lansia Sebelum dan Sesudah Stimulasi Kutaneus

Di Banjar Tebongkang, Kecamatan Ubud

IndikatorSebelum Stimulasi

Kutaneus

Setelah Stimulasi

KutaneusBeda

Rata-rata 4,7 3,5 1,1

Nilai Minimal 4 2 0

Nilai Maksimal 6 5 2

Berdasarkan tabel di atas, sebelum diberikan stimulasi kutaneus terlihat

bahwa rata-rata skala nyeri responden adalah 4,7 dengan rentang 4-6, setelah

diberikan stimulai kutaneus terlihat bahwa rata-rata nyeri menjadi 3,5 dengan

rentang nilai 2-5. Terlihat pula bahwa dengan pemberian stimulai kutaneus terjadi

penurunan skala nyeri dengan rata-rata sebesar 1,1 dengan rentang penurunan 0-2.

f. Perbedaan skala nyeri sebelum dan sesudah diberikan terapi

infra merah

Tabel 5.2Skala Nyeri pada Lansia Sebelum dan Sesudah Diberikan Terapi Infra

Merah di Banjar Tebongkang

IndikatorSebelum Terapi

Infra Merah

Setelah Terapi

Infra MerahBeda

Rata-rata 5 3 2

Nilai Minimal 4 1 0

Nilai Maksimal 7 5 3

63

Page 64: Kti Akhir Revisi 3 Grafik Uji Beda

Tabel di atas menunjukkan bahwa skala nyeri responden sebelum

diberikan terapi infra merah adalah 5 dengan rentang nilai 4-7, setelah diberikan

terapi infra merah nilai rata-rata nyeri menjadi 3 dengan rentang nilai berkisar

antara 1-5. Terlihat pula bahwa dengan pemberian infra merah terjadi penurunan

nyeri sebesar 2 dengan rentang penurunan nyeri berkisar antara 0-3.

4. Hasil analisis data

Hasil analisis uji bivariat terhadap data dalam penelitian ini yang terdiri

dari data skala nyeri sebelum dan sesudah diberikan stimulasi kutaneus dan

inframerah telah dilakukan uji normalitas data dengan Kolmogorov Smirnov

sehingga diperoleh hasil bahwa data tidak berdistribusi normal (p value = 0,000),

sehingga uji bivariat dilakukan dengan uji wilcoxon, sedangkan untuk mengetahui

perbedaan pengaruh pemberian stimulasi kutaneus dan inframerah terhadap nyeri

punggung bawah dilakukan dengan uji Mann Whitney. Untuk analisis pengaruh

dari variabel yang diteliti dapat dilihat pada bahasan berikut.

a. Analisis pengaruh stimulasi kutaneus pada perubahan

skala nyeri pada lansia dengan nyeri punggung bawah

Pada gambar 5.4 ditunjukkan bahwa pemberian stimulasi kutaneus dapat

menurunkan nyeri rata-rata sebesar 1,1 poin dengan rentang penurunan 0-2 poin.

Rata-rata skala nyeri menurun dari 4,7 menjadi 3,5, sedangkan rentang skala nyeri

berubah dari 4-6 menjadi 2-5. Terlihat bahwa secara deskriptif stimulasi kutaneus

sebagian besar menyebabkan penurunan nyeri pada lansia. Hal tersebut didukung

64

Page 65: Kti Akhir Revisi 3 Grafik Uji Beda

dengan hasil uji statistik non parametrik dengan Wilcoxon yang menunjukkan

nilai Z sebesar -3,729 dengan nilai p value sebesar 0,000 (<0,05) yang berarti

bahwa terdapat perbedaan nyeri sebelum dan sesudah diberikan stimulasi

kutaneus atau dengan kata lain stimulasi kutanues berpengaruh terhadap

perubahan skala nyeri pada lansia dengan nyeri punggung bawah. Nilai Z sebesar

-3,729 (nilai negatif) yang berarti bahwa pemberian stimulasi kutaneus

menyebabkan penurunan skala nyeri (tabel 5.3).

Gambar 5.4.Perbedaan Skala Nyeri sebelum dan Sesudah diberikan Terapi Stimulasi Kutaneus

pada Lansia dengan Nyeri Punggung Bawah di Banjar Tebongkang

65

Page 66: Kti Akhir Revisi 3 Grafik Uji Beda

Tabel 5.3 Nilai Uji Statistik Pengaruh Stimulasi Kutaneus Terhadap Skala Nyeri

Pada Lansia Dengan Nyeri Punggung Bawah Di Banjar Tebongkang

No. Indikator Nilai

1 Rata-rata perubahan skala nyeri 1,1

2 Nilai Z -3,729

3 Nilai p value 0,000

4 Nilai p signifikansi Kolmogorov Smirnov 0,000

b. Analisis pengaruh terapi infra merah pada perubahan

skala nyeri pada lansia dengan nyeri punggung bawah

66

Page 67: Kti Akhir Revisi 3 Grafik Uji Beda

Gambar 5.5Perbedaan Skala Nyeri sebelum dan Sesudah diberikan Terapi Inframerah pada

Lansia dengan Nyeri Punggung Bawah di Banjar Tebongkang

Gambar di atas menunjukkan bahwa pemberian terapi inframerah dapat

menurunkan nyeri sebesar 2 poin dengan rentang penurunan nyeri berkisar antara

0-3 poin. Rata-rata skala nyeri sebelum diberikan terapi inframerah menurun dari

5 menjadi 3, sedangkan rentang nilai setelah diberikan inframerah berubah dari 4-

7 menjadi 1-5. Secara deskriptif, dengan terapi inframerah dapat menyebabkan

penurunan nyeri pada responden dengan nyeri punggung bawah. Hal tersebut

didukung dengan analisis statistik dengan uji Wilcoxon diperoleh nilai Z=-3,993

dengan nilai p value sebesar 0,000 (<0,05) yang berarti bahwa ada perbedaan

skala nyeri sebelum dan sesudah diberikan infra merah atau dengan kata lain

pemberian infra merah berpengaruh terhadap perubahan skala nyeri pada

responden dengan nyeri punggung bawah. Nilai Z negatif menunjukkan bahwa

pemberian terapi infra merah memberikan efek yang negatif terhadap skala nyeri

yaitu menurunkan skala nyeri (hasil dapat dilihat pada tabel 5.4).

Tabel 5.4Nilai Uji Statistik Pengaruh Terapi Infra Merah Terhadap Skala Nyeri Pada

Lansia Dengan Nyeri Punggung Bawah Di Banjar Tebongkang

No. Indikator Nilai

1 Rata-rata perubahan skala nyeri 2,0

2 Nilai Z -3,993

3 Nilai p value 0,000

4 Nilai p signifikansi Kolmogorov Smirnov 0,000

67

Page 68: Kti Akhir Revisi 3 Grafik Uji Beda

c. Analisis perbedaan perubahan skala nyeri pada lansia

dengan nyeri punggung bawah yang diberikan stimulasi kutaneus maupun

terapi infra merah

Gambar 5.6Perbedaan Penurunan Nilai Skala Nyeri pada Lansia dengan Nyeri Punggung Bawah yang Diberikan Stimulasi Kutaneus dan Terapi Inframerah di Banjar

Tebongkang

Berdasarkan gambar di atas, terlihat bahwa dari 44 responden yang

dibandingkan, dimana 22 orang diberi stimulasi kutaneus dan 22 orang diberi

inframerah. Dari gambar tersebut terlihat bahwa terapi inframerah memiliki

efektivitas yang lebih besar daripada stimulasi kutaneus. Hal tersebut terlihat dari

lebih besarnya perbedaan nyeri yang dialami oleh responden yang dilakukan

terapi inframerah. Untuk mengetahui perbedaan skala nyeri pada pemberian terapi

inframerah dan stimulasi kutaneus maka dilakukan uji statistik dengan

menggunakan Mann Whitney. Hasil uji statistik dengan Mann Whitney

68

Page 69: Kti Akhir Revisi 3 Grafik Uji Beda

menunjukkan nilai U sebesar 112,5 dan nilai signifikansi sebesar 0,001 (Tabel

5.5). Nilai tersebut menunjukkan bahwa terdapat perbedaan perubahan skala nyeri

pada pemberian stimulasi kutaneus dengan terapi infra merah. Nilai rata-rata

perubahan skala nyeri pada stimulasi kutaneus adalah 1,1 sedangkan pada terapi

infra merah sebesar 2,0 yang ditunjukkan pada tabel sebelumnya.Sehingg dapat

disimpulkan bahwa pemberian sinar infra merah lebih efektif dalam menurunkan

skala nyeri pada lansia dengan nyeri punggung bawah (Hasil dapat dilihat pada

tabel 5.5).

Tabel 5.5Nilai Uji Statistik Perbedaan Perubahan Skala Nyeri Pada Lansia

Dengan Nyeri Punggung Bawah Yang Diberikan Stimulasi Kutaneus Maupun Terapi Infra Merah Di Banjar Tebongkang

No. Indikator Nilai

1 Nilai U Mann Whitney 112,5

2 Nilai p value 0,001

3 Nilai p signifikansi Kolmogorov Smirnov 0,000

B. Pembahasan

1. Skala Nyeri Sebelum

diberikan Stimulasi Kutaneus dan Inframerah

Dari 22 orang responden yang merupakan lansia dengan nyeri punggung

bawah sebelum diberikan stimulasi kutaneus seluruhnya (100%) tergolong

kategori sedang dengan rata-rata 4,7 dan rentang skala nyeri 4-6, demikian pula

pada responden sebelum diberikan inframerah yang berjumlah sebanyak 22 orang

responden sebagian besar mengalami nyeri tingkat sedang yaitu sebanyak 19

69

Page 70: Kti Akhir Revisi 3 Grafik Uji Beda

orang (86%) dan sebagian kecil adalah berat yaitu sebanyak 3 orang (14%).

Dilihat dari skala nyeri diperoleh rata-rata skala nyeri sebesar 5 dengan rentang

nilai 4-7. Hal ini sesuai dengan pendapat dari Potter dan Perry (2006) yang

menyatakan bahwa ketika suatu jaringan mengalami cedera atau kerusakan

mengakibatkan dilepaskannya bahan-bahan yang dapat menstimulus reseptor

nyeri seperti serotonin, histamin, ion kalium, bradikinin, prostaglandin dan

substansi P yang akan mengakibatkan respons nyeri. Selain hal tersebut, adanya

sifat lansia yang cenderung tertutup sehingga tidak mau mengungkapkan nyeri

yang dirasakan dan tidak mendapat pengobatan akan membawa dampak pada

peningkatan skala nyeri yang dirasakan. Hal tersebut sesuai dengan pendpat Potter

dan Perry (2006), yang menyatakan bahwa lansia cenderung memendam nyeri

yang dialami karena mereka menganggap nyeri adalah hal alamiah yang harus

dijalani dan mereka takut kalau mengalami penyakit berat atau meninggal jika

nyeri diperiksakan, selain itu akan berdampak buruk bagi kesehatan lansia

tersebut.

.2. Skala Nyeri Setelah

diberikan Stimulasi Kutaneus

Dari 22 responden yang telah diberikan stimulai kutaneus diperoleh bahwa

ssebagian besar responden berada dalam kategori tingkat sedang sebanyak 15

oang 968%) dan terdapat 7 orang (32%) yang tergolong kategori nyeri tingkat

ringan. Dilihat dari skala nyeri diperoleh rata-rata nyeri setelah diberikan stimulasi

kutaneus adalah 3,5 dengan rentang 2-5. Berdasarkan hasil analisis dengan uji non

parametrik test, dengan uji Wilcoxon diperoleh nilai Z sebesar -3,729 dengan nilai

70

Page 71: Kti Akhir Revisi 3 Grafik Uji Beda

p value sebesar 0,000 (<0,05) yang berarti bahwa terdapat perbedaan nyeri

sebelum dan sesudah diberikan stimulasi kutaneus atau dengan kata lain stimulasi

kutanues berpengaruh terhadap perubahan skala nyeri pada lansia dengan nyeri

punggung bawah. Nilai Z sebesar -3,729 (nilai negatif) yang berarti bahwa

pemberian stimulasi kutaneus menyebabkan penurunan skala nyeri.

Hal tersbut sesuai dengan teori Melzack dan Wall (1996), melalui teori

“Gate control”. Teori control gerbang nyeri menjelaskan variasi persepsi nyeri

terhadap stimulasi yang identik. Prinsip dasar dari control gerbang nyeri sebagai

berikut: baik serabut sensorik bermielin besar (L) yang membawa informasi

mengenai rasa raba dan propriosepsi dari perifer (serat A delta dan A beta maupun

serat kecil ( S ) yang membawa informasi mengenai nyeri [serat A-delta dan C )

menyatu di kornu dorsalis medulla spinalis, transmisi impuls saraf dari serat-serat

afferent ke sel – sel transmisi (T) medulla spinalis di kornu dorsalis dimodifikasi

oleh suatu mekanisme gerbang di sel-sel substansia glatinosa. Apabila gerbang

tertutup impuls nyeri tidak dapat diteruskan.

Sebaliknya bila gerbang terbuka impuls nyeri merangsang sel T di kornu

dorsalis dan kemudian naik ke medulla spinalis menuju otak., tempat impuls

tersebut dirasakan sebagai nyeri. Mekanisme gerbang spinal dipengaruhi jumlah

relatif aktifitas dari serat afferent primer berdiameter besar (L) dan berdiameter

kecil (S). Aktifitas berserat besar cenderung menghambat transmisi nyeri

(menutup Gerbang), sedangkan serat kecil cenderung mempermudah transmisi

nyeri (membuka gerbang ). Aferent berdiameter besar merangsang neuron-neuron

substansia glatinosa inhibitorik sehingga input masuk ke sel T berkurang sehingga

71

Page 72: Kti Akhir Revisi 3 Grafik Uji Beda

nyeri dihambat. Sebaliknya aktifitas serat berdiameter kecil menghambat sel – sel

substansia gelatinosa inhibitorik yang mendorong peningkatan transmisi aferen

primer ke sel T yang menyebabkan peningkatan rangsangan nyeri. Mekanisme

gerbang spinal dipengaruhi oleh impuls saraf yang turun dari otak. Aspek

mekanisme didasarkan pada banyaknya faktor psikologis yang diketahui

mempengaruhi nyeri dan pada fakta bahwa kornu dorsalis medulla dipengaruhi

beberapa jalur yang turun dari otak.

Berbagai sistem modulasi nyeri dessendens yang melibatkan nucleus-

nukleus batang otak dan neuron serotogenik dan noradrenergic yang berproyeksi

kesubstansia gelatinosa. Apabila keluaran dari sel–sel T medulla spinalis

melebihi suatu ambang kritis, terjadi pengaktifan “sistem aksi” untuk perasaan

dan respon nyeri. Bila pengaktifan ini terjadi input sensorik akan disaring ,

aktifitas sensorik dan afektif berkelanjutan hingga ke tingkat SSP.

Teori pengendalian gerbang ini, menjelaskan hubungan massage atau

stimulasi kutaneus bagian yang nyeri setelah suatu cedera dapat menurunkan

intensitas nyeri, karena aktifitas serat besar dirangsang dengan stimulasi

kutaneus, sedangkan aktifitas berdiameter kecil tertutup. Jadi berdasarkan

penjelasan tersebut jelaslah terbukti dari hasil penelitian ini yang dilakukan

dengan uji wilcoxon bahwa stimulasi kutaneus yang dilakukan pada lansia dengan

nyeri punggung bawah akan dapat menurunkan skala nyeri.

Hasil tersebut sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Adhyati

(2011) yang berjudul “Pengaruh stimulus kutaneus slow stroke back massage

terhadap intensitas nyeri pada penderita low back pain di kelurahan Aek Gerger

72

Page 73: Kti Akhir Revisi 3 Grafik Uji Beda

Sidodadi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa yang menunjukan adanya

perbedaan signifikan antara sebelum dan sesudah intervensi, dengan tingkat

kepercayaan 95% didapatkan nilai t=7,071 (t>1,96) yang berarti bahwa perbedaan

tersebut dapat diterima dengan nilai perbedaan rata-rata (mean) sebesar 1,43

(SD=0,53), dimana wilayah perbedaan tersebut berada pada rentang 0,93-1,92.

Sehingga dapat disimpulkan bahwa stimulus kutaneus slow stroke back massage

mempengaruhi intensitas nyeri penderita low back pain (LBP).

Ditambahkan pula oleh Sumartini (2008) dalam penelitiannya yang

berjudul “Pengaruh Stimulasi Kutaneus: Slow-Stroke Back Massage Terhadap

Intensitas Nyeri Osteoartritis Pada Lansia Di Panti Werdha Griya Asih Lawang”,

menyebutkan bahwa pemberian stimulasi kutaneus: slow-stroke back massage

mempunyai pengaruh terhadap intensitas nyeri osteoartritis pada lansia di Panti

Werdha Griya Asih Lawang Malang (Uji statistik Wilcoxon Signed Rank Test

dengan α = 0,05 didapatkan p value < α (0,011 < 0,05). Berdasarkan kedua

penelitian di atas, maka jelas bahwa stimulasi kutaneus berpengaruh terhadap

perubahan skala nyeri pada lansia dengan nyeri punggung bawah.

3. Skala Nyeri Setelah

diberikan Inframerah

Dari 22 orang responden yang diberikan inframerah diperoleh bahwa

sebagian tergolong kategori ringan yaitu sebanyak 11 orang (50%) dan sebagian

lagi tergolong kategori sedang (50%). Dilihat dari skala nyeri, diperoleh nilai rata-

rata skala nyeri setelah diberikan stimulai kutaneus adalah 3 dengan rentang skala

73

Page 74: Kti Akhir Revisi 3 Grafik Uji Beda

nyeri 1-5. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa nilai Z=-3,993 dengan nilai p

value sebesar 0,000 (<0,05) yang berarti bahwa ada perbedaan skala nyeri

sebelum dan sesudah diberikan infra merah atau dengan kata lain pemberian infra

merah berpengaruh terhadap perubahan skala nyeri. Nilai Z negatif menunjukkan

bahwa pemberian terapi infra merah memberikan efek yang negatif terhadap skala

nyeri yaitu menurunkan skala nyeri.

Hasil penelitian tersebut sesuai dengan pendapat Potter dan Perry (2006),

yang menjelaskan bahwa penyinaran inframerah merupakan salah satu cara yang

efektif untuk mengurangi atau menghilangkan rasa nyeri. Pengaruh inframerah

pada pengurangan rasa nyeri adalah panas yang dihasilkan akan menyebabkan

terjadinya peningkatan temperatur pada area yang diterapi, dengan demikian akan

terjadi dilatasi pembuluh darah yang diikuti dengan peningkatan aliran darah

kapiler sehingga pembuangan hasil-hasil metabolisme semakin baik (Potter dan

Perry, 2006). Dengan lancarnya sirkulasi darah maka zat-zat yang tidak berguna

bagi tubuh ikut juga terbuang, sehingga nyeri akan berkurang diikuti dengan

spasme otot berkurang sehingga akan merelaksasikan otot (Haryanto, 2003). Jadi

jelaslah bahwa terapi infra merah dapat menurunkan nyeri pada lansia dengan

nyeri punggung bawah.

Menurut Haryanto (2003), dalam penelitiannya menyebutkan bahwa

terdapat peningkatan ambang nyeri setelah pemberian ifnra merah pada tempat

pemberian infra merah dan sisi kontra lateral serta dapat bertahan 15 menit

setelah penghentian sinar infra merah (0=0,014). Jadi jelas bahwa dengan

74

Page 75: Kti Akhir Revisi 3 Grafik Uji Beda

pemberian terapi infra merah dapat menurunkan skala nyeri pada lansia dengan

nyeri punggung bawah.

4. Perbedaan skala nyeri

dengan stimulasi kutaneus dan infra merah

Dilihat dari perbedaan perubahan nyeri yang terjadi pada lansia yang

diberikan terapi stimulasi kutaneus dan terapi infra merah yang berasal dari 22

orang responden diberi stimulasi kutanues dan 22 orang diberikan inframerah

menunjukkan nilai U dari uji Mann Whhitney sebesar 112,5 dan nilai signifikansi

sebesar 0,001. Nilai tersebut menunjukkan bahwa terdapat perbedaan perubahan

skala nyeri pada pemberian stimulasi kutaneus dengan terapi infra merah. Nilai

rata-rata perubahan skala nyeri pada stimulasi kutaneus adalah 1,1 sedangkan

pada terapi infra merah sebesar 2,0, maka dapat disimpulkan bahwa pemberian

sinar infra merah lebih efektif dalam menurunkan skala nyeri pada lansia dengan

nyeri punggung bawah.

Menurut Dewi, Hanny, dan Adi (2006) dalam penelitiannya yang

berjudul “Perbedaan Penurunan Skala Nyeri Antara Bekam Kering, Kompres

Panas Kering dan Infrared Radiasi Pada Penderita Nyeri Punggung Bawah”

menyebutkan bahwa setelah dilakukan uji Tukey didapatkan informasi bahwa

terapi radiasi infra merah memberikan pengaruh paling baik dalam menurunkan

nyeri punggung bawah dengan p =0,00 dan alpha 0,05. Berdasarkan penelitian

tersebut jelas disebutkan bahwa infra merah dipandang memiliki efektivitas yang

lebih baik untuk menurunkan skala nyeri pada lansia dengan nyeri punggung

bawah. Namun, penggunaan stimulasi kutaneus juga tidak boleh ditinggalkan

75

Page 76: Kti Akhir Revisi 3 Grafik Uji Beda

karena dilihat dari segi ekonomis sertak kemudahan dalam pelaksanaannya

stimulasi kutaneus jauh lebih murah dibandingkan dengan infra merah.

C. Keterbatasan Penelitian.

Dalam penelitian ini, terdapat beberapa keterbatasan baik peneliti maupun

desain yang digunakan. Dilihat dari sampel yang digunakan, dalam penelitian ini

sampel yang digunakan masih minimal serta homogenitas sampel tidak dapat

dilakukan. Hal tersebut dikarenakan masih adanya perbedaan jenis kelamin dalam

penelitian ini yang dapat mengurangi hasil dari pengukuran tingkat nyeri pada

lanjut usia. Pada kelompok populasi, perlakuan yang diberikan juga tidak mampu

dikontrol secara sama artinya suhu ruangan, tindakan sebelumnya (ada tidaknya

penggunaan terapi yang lain) yang diduga dapat mempengaruhi hasil penelitian

masih belum dilakukan kontrol oleh peneliti. Sehingga untuk penelitian

selanjutnya perlu dilakukan kontrol secara ketat terhadap berbagai faktor yang

mampu mempengaruhi ambang nyeri responden dan digunakan dengan sampel

yang homogen.

76

Page 77: Kti Akhir Revisi 3 Grafik Uji Beda

BAB VI

SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

1. Skala nyeri sebelum diberikan stimulasi kutaneus

Sebelum diberikan stimulasi kutaneus terlihat bahwa dari 22 orang lansia

yang diteliti menunjukkan rata-rata skala nyeri pada lansia dengan nyeri

punggung bawah adalah 4,7 dengan rentang skala nyeri 4-6 dan seluruh lansia

tergolong kategori nyeri tingkat sedang,

2. Skala nyeri sebelum diberikan inframerah

Skala nyeri lansia sebelum diberikan terapi infra merah pada 22 orang

lanjut usia dengan nyeri punggung bawah adalah 5 dengan rentang nilai 4-7 dan

sebagian besar tergolong kategori nyeri tingkat sedang yaitu sebanyak 19 orang

(86%) dan sebagian kecil adalah berat yaitu sebanyak tiga orang (14%).

77

Page 78: Kti Akhir Revisi 3 Grafik Uji Beda

3. Skala nyeri setelah diberikan stimulasi kutaneus

Setelah diberikan stimulai kutaneus terlihat bahwa rata-rata nyeri dari 22

orang lansia dengan nyeri punggung bawah menjadi 3,5 dengan rentang nilai 2-5

dan sebagian besar lanjut usia berada dalam kategori nyeri tingkat sedang yaitu

sebanyak 15 orang (68%) dan terdapat tujuh orang (32%) yang tergolong kategori

nyeri tingkat ringan.

4. Skala nyeri setelah diberikan inframerah

Setelah diberikan terapi infra merah pada 22 orang lansia dengan nyeri

punggung bawah menunjukkan nilai rata-rata nyeri menjadi 3 dengan rentang

nilai berkisar antara 1-5 dan sebagian terdiri dari ringan dan sebagian lagi adalah

sedang yaitu masing-masing 11 orang (50%).

5. Pengaruh pemberian stimulasi kutaneus terhadap nyeri punggung

bawah

Dengan pemberian stimulai kutaneus pada 22 orang lanjut usia dengan

nyeri punggung bawah terjadi penurunan skala nyeri dengan rata-rata sebesar 1,1

dengan rentang penurunan 0-2. Pemberian stimulasi kutaneus dapat menurunkan

nyeri sebanyak 17 orang (77%), sedangkan hanya 5 orang (23%) yang mengalami

nyeri yang menetap. Berdasarkan hasil analisis dengan uji non parametrik test,

dengan uji Wilcoxon diperoleh nilai Z sebesar -3,729 dengan nilai p value sebesar

0,000 (<0,05) yang berarti bahwa terdapat perbedaan nyeri sebelum dan sesudah

diberikan stimulasi kutaneus atau dengan kata lain stimulasi kutanues berpengaruh

78

Page 79: Kti Akhir Revisi 3 Grafik Uji Beda

terhadap perubahan skala nyeri pada lansia dengan nyeri punggung bawah. Nilai

Z sebesar -3,729 (nilai negatif) yang berarti bahwa pemberian stimulasi kutaneus

menyebabkan penurunan skala nyeri.

6. Pengaruh pemberian terapi inframerah terhadap nyeri punggung

bawah

Dengan pemberian infra merah pada 22 orang lansia dengan nyeri

punggung bawah terjadi penurunan nyeri sebesar 2 dengan rentang penurunan

nyeri berkisar antara 0-3. Pemberian terapi inframerah dapat menurunkan nyeri

sebanyak 20 orang (91%), sedangkan hanya dua orang (9%) yang mengalami

nyeri yang menetap. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa nilai Z=-3,993 dengan

nilai p value sebesar 0,000 (<0,05) yang berarti bahwa ada perbedaan skala nyeri

sebelum dan sesudah diberikan infra merah atau dengan kata lain pemberian infra

merah berpengaruh terhadap perubahan skala nyeri. Nilai Z negatif menunjukkan

bahwa pemberian terapi infra merah memberikan efek yang negatif terhadap skala

nyeri yaitu menurunkan skala nyeri.

7. Perbedaan pengaruh antara pemberian stimulasi kutaneus dan

terapi inframerah terhadap nyeri punggung bawah pada lansia

Dilihat dari perbedaan perubahan nyeri yang terjadi pada lansia yang

diberikan terapi stimulasi kutaneus dan terapi infra merah dari hasil statistik

menunjukkan nilai U sebesar 112,5 dan nilai signifikansi sebesar 0,001. Nilai

tersebut menunjukkan bahwa terdapat perbedaan perubahan skala nyeri pada

pemberian stimulasi kutaneus dengan terapi infra merah. Nilai rata-rata perubahan

79

Page 80: Kti Akhir Revisi 3 Grafik Uji Beda

skala nyeri pada stimulasi kutaneus adalah 1,1 sedangkan pada terapi infra merah

sebesar 2,0, maka dapat disimpulkan bahwa pemberian sinar infra merah lebih

efektif dalam menurunkan skala nyeri pada lansia dengan nyeri punggung bawah.

B. Saran

1. Puskesmas Ubud II

Pada penelitian ini ditemukan bahwa penggunaan infra merah lebih efektif

jika dibandingkan dengan penggunaan stimulasi kutaneus, namun dilihat dari

aspek ekonomis penggunaan stimulasi kutaneus dapat digunakan karena stimulasi

kutaneus juga efektif untuk menurunkan skala nyeri pada lansia dengan nyeri

punggung. Maka dari itu kepada pihak Puskesmas agar memberikan informasi

tentang teknik pereda nyeri pada lansia dengan nyeri punggung bawah yang tepat.

2. Penyelenggara Posyandu Lansia

Diharapkan kepada penyelenggara Posyandu Lansia agar menyediakan

terapi infra merah secara gratis untuk lansia dengan nyeri punggung bawah

sehingga nyeri punggung bawah pada lansia dapat diminimalisasi dengan cepat.

3. Peneliti selanjutnya

Dilihat dari sampel yang digunakan, dalam penelitian ini sampel yang

digunakan masih minimal serta homogenitas sampel tidak dapat dilakukan,

sehingga untuk penelitian selanjutnya perlu dilakukan kontrol secara ketat

terhadap berbagai faktor yang mampu mempengaruhi ambang nyeri responden

dan digunakan dengan sampel yang homogen. Selain itu, pengkajian nyeri

dilakukan secara obyektif dengan menggunakan indikator-indikator dari respons

80

Page 81: Kti Akhir Revisi 3 Grafik Uji Beda

nyeri yang dialami pasien seperti perubahan tekanan darah, denyut nadi dan lain-

lain.

81