KRITIK NURUDDIN AL-RANIRI TERHADAP HAMZAH FANSURI DALAM KITAB “HUJJAH AL-SHIDDIQ LIDHAF’I AL-ZINDIQ” Skripsi Diajukan ke Fakultas Ushuluddin untuk Memenuhi Persyaratan Mendapatkan Gelar Sarjana Agama (S.Ag) Oleh: Muhammad Zainurrafiq NIM: 1110033100039 PROGRAM STUDI AQIDAH FILSAFAT ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDYATULLAH JAKARTA 1439 H./2017 M
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
KRITIK NURUDDIN AL-RANIRI TERHADAP HAMZAH FANSURI
DALAM KITAB “HUJJAH AL-SHIDDIQ LIDHAF’I AL-ZINDIQ”
Skripsi
Diajukan ke Fakultas Ushuluddin untuk Memenuhi Persyaratan Mendapatkan
Gelar Sarjana Agama (S.Ag)
Oleh:
Muhammad Zainurrafiq
NIM: 1110033100039
PROGRAM STUDI AQIDAH FILSAFAT ISLAM
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDYATULLAH
JAKARTA
1439 H./2017 M
ABSTRAK
Nuruddin ar-Raniri terkenal sebagai sosok pembaharu tradisi pemikiran
tasawuf di Aceh pada pertengahan abad ke-17. Nuruddin ar-Raniri berhasil
memberantas ajaran falsafi yang sebelumnya dikembangkan oleh Hamzah Fansuri
dan Syamsuddin as-Sumatrani. Banyak karya Nuruddin ar-Raniri yang ditujukan
untuk mengkritik ajaran wahdatul wujud Hamzah Fansuri tentang. Tulisan ini
berupaya menjawab konsep tasawuf Nuruddin ar-Raniri, serta menelusuri landasan
pemikiran yang digunakan dalam kitab Hujjah al-Shiddiq li daf’i al-Zindiq untuk
mengkritik ajaran falsafi Hamzah Fansuri.
Dengan menggunakan metode studi pustaka (library research) terhadap
kitab Hujjah al-Shiddiq li daf’i al-Zindiq dan berbagai karya ilmiah tentang
pemikiran Nuruddin ar-Raniri, penelitian ini menyimpulkan bahwa kitab Hujjah al-
Shiddiq li daf’i al-Zindiq merupakan karya Nuruddin ar-Raniri yang mampu
memberikan kerangka pemahaman yang melatari pertentangan ajaran tasawuf
antara Hamzah Fansuri dan Nuruddin ar-Raniri. Ajaran wahdatul wujud Hamzah
Fansuri banyak dipengaruhi oleh teori emanasi (al-faidh) Al-Farabi, bahwa Tuhan
berada dalam kandungan (imanen) alam ini. Ar-Raniri menolak ajaran wahdat al-
wujud itu karena dapat membawa kepada kekafiran, terutama ketika menggiring
pada pemikiran tentang manusia yang mampu memiliki sifat-sifat Tuhan. Selain
itu, teori emanasi dapat memunculkan pengakuan bahwa alam yang memiliki wujud
ketuhanan dipandang kekal seperti halnya hakikat Tuhan. Oleh karena itu, ar-Raniri
meneguhkan bahwa ajaran wahdat al-wujud dapat menjerumuskan umat Islam
kepada kemusyrikan.
KATA PENGANTAR
Segala puji dengan penuh rasa syukur yang dalam, penulis memanjatkan
doa yang tiada hentinya kepada Allah SWT, pencipta langit dan bumi serta apa yang
ada di antara keduanya, pemilik kesempurnaan, meliputi segala ilmu pengetahuan,
kesabaran, keimanan dan taqwa kepada penulis, serta sholawat dan salam selalu
senantiasa tercurahkan dari hati yang paling dalam kepada Nabi Muhammad SAW
sebagai pembawa cahaya serta petunjuk kepada seluruh umat manusia hingga akhir
zaman.
Sehubungan dengan selesainya penulisan skripsi ini, penulis menyadari
tanpa bimbingan, arahan serta dukungan yang sangat berharga dari berbagai pihak,
sulit rasanya untuk dapat menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu, melalui
penulisan skripsi ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada:
1. Bapak Dr. Edwin Syarif, MA selaku pembimbing skripsi yang telah banyak
memberikan saran dan sumbangan pemikiran kepada penulis sehingga dapat
menyelesaikan skripsi ini
2. Dr. M Masri Mansoer M.Ag. Selaku Dekan Fakultas Ushuluddin UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Ibu Dra. Tien Rohmatin, MA sebagai Ketua Jurusan Aqidah dan Filsafat Islam
dan Dr. Abdul Hakim Wahid, MA selaku Sekertaris Jurusan Aqidah dan Filsafat
Islam yang telah memberikan kesediaan waktu dalam penyelesaian skripsi ini.
4. Para Dosen Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta telah
membimbing penulis selama menimba ilmu di Fakultas Ushuluddin.
5. Kedua orang tua penulis yang selalu memberikan dukungan serta iringan doa
siang dan malam yang tiada hentinya selalu terucap, terima kasih atas didikannya
selama ini, kasih sayang, menyalurkan semangat yang tiada hentinya sehingga
kalianlah yang menjadi satu-satunya alasan utama skripsi ini bisa dan harus
diselesaikan.
6. Teman-teman se-angkatan
7. Segenap karyawan Fakultas Ushuluddin yang telah memberikan pelayanan yang
baik dengan penulis.
Penulis sadar dan mengakui bahwa penulisan skripsi ini jauh dari kata
sempurna, karena disebabkan keterbatasan kemampuan ilmu yang penulis kuasai.
Untuk itu, masukan dan saran yang dapat menyempurnakan karya ilmiah ini.
Penulis berharap mudah-mudahan skripsi ini dapat memberikan kontribusi positif
bagi perkembangan ilmu pengetahuan, dan peneliti akhiri dengan memanjatkan
do’a semoga segala amal baik kita diterima sebagai Ibadah dan senantiasa
A. Kebenaran Ajaran Ahli Kalam ....................................................41
B. Dua Aliran Tasawuf: Yang Benar dan Yang Sesat .....................42
C. Kesesatan Ajaran Falsafi .............................................................44
1. Wahdatul Wujud ....................................................................44
2. Kekekalan Alam semesta ......................................................45
3. Pengingkaran terhadap Keberadaan Surga dan Neraka .........47
BAB V : PENUTUP .......................................................................................49
A. Kesimpulan ..................................................................................49
B. Saran dan Masukan......................................................................50
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pada pertengahan abad ke-17, sejarah mencatat fakta adanya kontroversi
dalam tradisi pemikiran keagamaan di Aceh, yang berujung pada pembunuhan
pemikiran ajaran tertentu. Ajaran yang dikembangkan Hamzah Fansuri dan
Syamsuddin al-Sumatrani memperoleh permusuhan yang tragis dari Nuruddin ar-
Raniri. Perlawanan disulut oleh pertentangan ar-Raniri terhadap ajaran kedua
ulama penganut paham Ibnu Arabi tentang doktrin wujudiyyah. Seiring
perkembangan Islam di Indonesia, ajaran tasawuf tampaknya suatu hal yang tak
dapat dipisahkan dari misi Islam untuk membawa manusia menjadi umat yang
bertauhid. Hal itu bisa dilihat dari ajaran para sufi yang memberikan pemahaman
dan pengajaran mengenai hubungan dengan Allah dan syariat. Para sufi
memandang bahwa segenap hidupnya, dalam keadaan aktif maupun pasif, lahir
dan batin, seluruhnya bersumber dari cahaya kenabian.1
Al-Raniri oleh banyak kalangan serigkali diposisikan sebagai tokoh
“superior” yang diperlawankan dengan Hamzah Fansuri dan Syamsuddin al-
Sumatrani. Oleh karena itu, para ahli memberinya predikat sebagai seorang
pelopor pembaharu (mujaddid) Islam di Nusantara. Anti tasawuf wujudiyyah yang
dikampanyekan oleh al-Raniri cukup sukses untuk mengamputasi laju
perkembangan tasawuf falsafi yang dibawa oleh Hamzah Fansuri dan Syamsuddin
1 Abu Hamid Al-Ghazali, Al-Munqidz min Al-Dhalal, (Kairo: Dar Al-Ma’arif, 1316),
hlm. 49.
2
al-Sumatrani. Ia merupakan tokoh penting dalam penyebaran Islam di Nusantara,
lebih-lebih di kawasan Aceh. Banyak kalangan menganggap pemikiran-
pemikirannya berhasil memantapkan dominasi dan pengaruh paham ahlus-sunnah
wa al-jama’ah, 2 fiqh bermadzhab Syafi’i. Bahkan Azyumardi Azra menyebut
kiprah dan peran al-Raniri sebagai mujaddid (tokoh pembaharu) paling penting di
Nusantara abad ke-17.3
Al-Raniri sebagai seorang sufi, diangap sebagai pelopor yang
merepsentasikan paham neo-sufisme. Istilah neo-sufisme sendiri sebagaimana
dijelaskan oleh Fazlur Rahman adalah tasawuf yang diperbarui, melucuti ciri dan
kandungan estatik dan metafisiknya, dan digantikan dengan kandungan yang tidak
lain dari dalil-dalil ortodoksi Islam. 4 Tasawuf model ini menekankan dan
memperbarui faktor moral dan kontrol diri yang puritan dalam tasawuf yang
mengorbankan ciri-ciri berlebihan dari tasawuf yang menyimpang (unorthodox
sufism). Pusat perhatian neo-sufisme adalah rekonstruksi moral dari masyarakat
muslim. Ini berbeda dengan tasawuf sebelumnya, yang terutama menekankan
individu dan bukan masyarakat.5 Ia dikenal sebagai seorang ahli tasawuf atau
seorang sufi, politisi, ahli sejarah dan ilmu kalam, dan dianggap telah memenuhi
kriteria neo-sufisme. Ia pernah menjabat sebagai mufti (syekh al-islam) di
2 Alwi Syihab, Antara Tasawuf Sunni dan Tasawuf Falsafi: Akar Tasawuf di Indonesai
(Jakarta: Pustaka Iman, 2009), hlm.78. Lihat juga Sri Mulyati, Tasawuf Nusantara: Rangkaian
Mutiara Sufi Terkemuka (Jakarta: Kencana, 2006), hlm.95 3 Azyumardi Azra, Jaringan Ulama: Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII
dan XVIII (Bandung: Mizan, cet. V, 1999), hlm. 169. Lihat juga tulisan Azra dalam bahasa
Inggris, The Origins of Islamic Reformism in Southeast Asia ( Honolulu, Allen & Unwin and
University of Hawai’i Press, 2004), hlm. 52-86. 4 Lihat Fazlur Rahman, Islam (Chicago: University of Chicago Press, 1979), hlm. 205-
206. 5 Fazlur Rahman, “ Revival and Reform”, dalam P.M Holt (peny.), The Cambridge
History of Islam (Cambridge: Cambridge University Press, 1970), hlm. 637. Lihat juga Azyumardi
Azra, Jaringan Ulama....., hlm. 110.
3
Kerajaan Aceh pada era Sultan Iskandar Tsani dan Sultanah Shafiatu al-Din.6
Menurut riwayat, al-Raniri tinggal di Aceh selama tujuh tahun (1637-1644)
menjadi seorang alim, mufti, dan penulis produktif yang menentang doktrin
wujudiyyah yang diyakininya sebagai ajaran sesat.7 Al-Raniri mengeluarkan fatwa
untuk memburu orang-orang yang dianggap sesat, serta mebakar buku-buku yang
dipandang berisi ajaran sesat.8
B. Pembatasan Masalah
Pembatasan masalah pada suatu penelitian harus dilakukan supaya tidak
membahas semua kemungkinan yang bisa muncul. Al-Raniri dianggap telah
memenuhi kriteria neo-sufisme, dengan banyaknya bidang yang digeluti, seperti
tasawuf, filsafat, ilmu kalam, sejarah, politik, maupun yang menyangkut hakikat
dan syari‘at. Namun tulisan ini dibatasi hanya kepada pembahasan tentang
kritikan al-Raniri tehadap Hamzah Fansuri dalam kitab Hujjah al-Shiddiq li daf’i
al-Zindiq. Hamzah Fansuri dan muridnya, Syamsuddin al-Sumatrani, dianggap
sesat karena menyebarkan paham wujudiyyah.9
Penelitian ini difokuskan kepada bagaimana kritik-kritik yang
dikemukakan oleh Al-Raniri dalam upaya mempertajam penolakannya terhadap
6 Sri Mulyati, Tasawuf Nusantara...., hlm. 98. 7 Sri Mulyati, Tasawuf Nusantara...., hlm. 98. 8 Alwi Shihab, Antara Tasawuf Sunni dan Tasawuf Falsafi, hlm. 98-99. 9 Nama al-Raniri dan Fansuri serta muridnya (al-Sumatrani) merupakan nama yang saling
berkaitan dalam sejarah Tasawuf Nusantara. Ketiganya, dalam sejarah filsafat Islam, meminjam
istilah Alwi Shihab, seperti al-Ghazali dan Ibn Rusyd. Al-Raniri bersikap keras sangat menentang
pendapat-pendapat Fansuri maupun al-Sumatrani. Dia bangkit atas nama ahlu al-sunnah wa al-
jama’ah dan atas nama tasawuf yang murni ini ia menolak tasawuf Fansuri dan al-Sumatrani yang
dinilainya sebagai tasawuf menyimpang dan kafir. Lihat Alwi Shihab, Antara Tasawuf Sunni dan
Tasawuf Falsafi...., hlm. 148.
4
pemikiran Hamzah Fansuri yang ia cantumkan dalam kirab Hujjah al-Shiddiq li
dhaf’i al-Zindiq.
C. Rumusan Masalah
Berdasarkan pembatasan masalah di atas, dalam penelitian ini penulis
akan mengajukan rumusan permasalahan sebagai berikut:
1) Bagaimana konsep Nuruddin al-Raniri dalam tasawuf ?
2) Apa kritikan Nuruddin al-Raniri terhadap Aajaran Falsafi Hamzah Fansuri
dalam kitab Hujjah al-Shiddiq li dhaf’i al-Zindiq?
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk memberikan pemahaman kepada
masyarakat tentang pemikiran tasawuf Al-Raniri, terutama tentang kritikannya
terhadap Hamzah Fansuri yang ia cantumkan dalam kitab Hujjah al-Shiddiq li
dhaf’i al-Zindiq.
2. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan beberapa manfaat sebagai
berikut:
a. Dari segi teoritis, penelitian ini diharapkan dapat menambah khazanah
kepustakaan atau literatur di Indonesia khususnya tentang pemikiran
tasawuf Al-Raniri.
5
b. Dari segi praktis, penelitian ini diharapkan dapat berkontribusi terutama
sebagai masukan didalam menjadikan manusia semakin ber-taqwā kepada
yang Maha Kuasa, sehingga tidak mencederai antara satu kelompok dengan
kelompok lain yang mempunyai perbedaan pandangan.
E. Metode Penelitian
1. Sumber Data
Penelitian ini merupakan kajian pustaka (library research) yang
menggunakan referensi utama dari buku Nuruddin al-Raniri yang berjudul
Hujjah al-Shiddiq li Dhaf’i al-Zindiq, sebuah kitab berbahasa Melayu yang
membahas tentang pemikiran tasawufnya, terutama tentang kritikannya
terhadap pemikiran Hamzah Fansuri.
Adapun data sekunder yang digunakan adalah karya-karya para
pengamat Al-Raniri itu sendiri, terutama tentang gejolak pemikirannya
dengan Hamzah Fansuri.
2. Teknik Pengumpulan Data
Karena penelitian ini termasuk penelitian studi pustaka (library
research), maka teknik pengumpulan data dilakukan di sebagian besar
perpustakaan, baik Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
Perpustakaan Fakultas Ushuluddin, Perpustakaan Iman Jama‘, Perpustakaan
Nasional, Perpustakaan Daerah Jakarta, serta maupun perpustakaan pribadi
yang menyediakan literatur atau referensi yang berkaitan dengan tema yang
6
diangkat pada penelitian ini. Semua buku yang berkaitan dengan pembahasan
penelitian ini dikumpulkan dan diklasifikasi berdasarkan relevansi terhadap
pembahasan penelitian ini. Setelah semua buku telah diklasifikasikan maka
langkah selanjutnya adalah dibaca, dipahami dan diteliti, dan pada akhirnya
dimasukkan pada pembahasan penelitian yang diangkat.
3. Jenis Penelitian
Penelitian ini bersifat deskriptif-analitis yaitu dengan mendeskripsikan
secara terperinci terkait dengan masalah yang hendak diteliti kemudian
menganalisis setiap masalah untuk memeroleh pemahaman secara
komprehensif dalam penelitian ini, sehingga penelitian ini berhasil maksimal
dan tercapai.
4. Teknik Penulisan
Teknik penulisan pada penelitian ini mengacu pada buku Pedoman
Penulisan Karya Ilmiyah tahun 2007 yang diterbitkan oleh penerbit CeQda.
Adapun transliterasi menggunakan Jurnal Ilmu Ushuluddin yang diterbitkan
oleh HIPIUS (Himpunan Peminat Ilmu-Ilmu Ushuluddin) tahun 2013.
5. Tinjauan Kepustakaan
Penelitian seputar pemikiran Al-Raniri banyak ditemukan dan tidak asing
lagi, penelitian tersebut menyangkut persoalan falsafah, tasawuf, fiqh, dan
7
lain sebagainya. Berikut ada beberapa tulisan yang membahas pemikiran Al-
Raniri.
Pertama, artikel ilmiah yang ditulis Syaifan Nur yang berjudul “Kritikan
Terhadap Pemikiran Tasawuf Al-Raniri”. Artikel ini menjelaskan tentang
bagaimana kritikan Al-Raniri terhadap Hamzah Fansuri dan pengikutnya,
serta kondisi di Aceh yang amat memprihatinkan pada masa itu, karena
gejolak pemikiran antara Al-Raniri dan Hamzah Fansuri serta pengikutnya
tidak lepas dengan adanya unsur politik. Al-Raniri sendiri mengaggap paham
wujudiyyah yang di usung oleh Hamzah Fansuri adalah sesat dan
menyesatkan serta dapat membawa terhadap kekafiran. Ia berpandangan
bahwa jika benar Tuhan dan makhluk hakikatnya satu, maka dapat dikatakan
bahwa manusia adalah Tuhan dan Tuhan adalah manusia dan jadilah seluruh
makhluk sebagai Tuhan. Semua yang dilakukan manusia, baik atau buruk,
Tuhan turut serta melakukannya. Jika demikian halnya, maka manusia
mempunyai sifat-sifat Tuhan, dan al-Raniri sangat menentang pandangan ini.
F. Sistematika Pembahasan
Pembahasan penelitian ini disusun dalam lima bab: Bab I adalah
pendahuluan. Di dalamnya menjelaskan tentang latar belakang masalah dan
rumusan masalah yang diangkat dalam penelitian ini.
Pada Bab II, akan diuraikan tentang biografi Al-Raniri mulai dari
perjalanan intelektualnya yang mengalami beberapa macam orientasi pemikiran
dari pemikiran syari‘at, kalam, filsafat, sampai tasawuf, serta pandangan para
8
Ulama terhadap Al-Raniri. Tidak lupa pula pada bab ini akan membahas tentang
karya-karya Al-Raniri di mana dari uraian karya tersebut dapat diketahui secara
general pemikiran Al-Raniri khusnya tentang kritikannya terhadap Hamzah
Fansuri dalam kitab Hujjah al-Shiddiq li Dhaf’i al-Zindiq.
Pada Bab III, akan diuraikan tentang konsep dan pemikirannya tentang
tasawuf. Pada bab ini juga akan menjelas-kan tentang status al-Raniri itu sendiri,
apakah ia adalah seorang pembaharu, filosof, atau seorang sufi?.
Pada Bab IV, akan menjelaskan tentang poin-poin yang menjadi bahan
kritikan al-Raniri terhadap Hamzah Fansuri dalam kitab Hujjah al-Shiddiq li
Dhaf’i al-Zindiq.
Kesimpulan pada penelitian ini akan dibahas pada bab V. Bab ini akan
memberikan kesimpulan dari seluruh pembahasan yang dijelaskan oleh penulis
dari bab-bab sebelumnya. Dalam bab ini pula akan memberikan jawaban terhadap
masalah yang menjadi fokus penelitian dalam skripsi ini, yaitu “ Kritik Al-Raniri
terhadap Hamzah Fansuri dalam Kitab Hujjah Al-Shiddiq Li Dha’i Al-Zindiq”.
9
BAB II
NURUDDIN AL-RANIRI: BIOGRAFI DAN KARYA-KARYANYA
A. Biografi Nurrudin Al-Raniri
Nama lengkap Nuruddin Al-Raniri adalah Nuruddin Muhammad ibn Ali
ibn Hasanjii al-Hamid atau al-Humayd al-Syafi’ai al-Asya’ari al-Aydarusi al-
Raniri. Ia lahir di Kota Ranir (Rander), sebuah kota pelabuhan tua di Pantai
Gujarat India, dan mengaku memiliki darah suku Quraisy, suku yang juga
menurunkan Nabi Muhammad SAW. Tahun kelahiran Nuruddin tidak diketahui
pasti, hanya saja ada beberapa ahli yang menyebut tahun kelahiran Nuruddin Al-
Raniri pada 1600 M atau pada abad 10 Hijriah.
Nama Ayah Nuruddin Al-Raniri adalah Ali Al-Raniri. Dia adalah seorang
pedagang Arab yang bergiat dalam pendidikan agama. Sedangkan ibunya
keturunan Melayu. 1 Daerah asal Al-Raniri, yaitu Kota Ranir, sangat ramai
dikunjungi para pendatang atau imigran dari berbagai penjuru dunia,
sebagaimana layaknya kota-kota pelabuhan yang lain. Ada yang berasal dari
Timur-Tengah, Asia Selatan, Asia Tenggara, Afrika, dan Eropa. Tujuan utama
para pendatang tersebut adalah untuk melakukan aktivitas bisnis dan mencari
sumber-sumber ekonomi baru.
Di samping itu, banyak pendatang dari luar kota juga berdakwah dan
menyebarluaskan ilmu-ilmu agama, sehingga menghabiskan waktu berbulan-
bulan, bahkan bertahun-tahun. Dari Ranir pula, mereka kemudian berlayar
1 Harun Mat Piah, dkk., Traditional Malay Literature (Kuala Lumpur : Dewan Bahasa
dan Pustaka, 2002), hal. 59-60
10
kembali menuju pelabuhan-pelabuhan lain di Semenanjung Melayu dan Hindia
untuk keperluan yang sama. Sehingga penduduk Kota Ranir dikenal sebagai
masyarakat yang gemar merantau dari satu tempat ke tempat yang lain. Pola hidup
yang berpindah-pindah seperti ini juga terjadi pada keluarga besar Al-Raniri
sendiri, yaitu ketika pamannya, Muhammad Al-jilani bin Hasan Muhammad Al-
Humaydi, datang ke Aceh (1580-1583 M) untuk berdagang sekaligus mengajar
ilmu-ilmu agama, seperti fiqh, ushul fiqh, etika, manthiq (logika), dan retorika
(balaghah). Kebanyakan dari perantau biasanya menetap di kota-kota pelabuhan
di pantai samudera Hindia dan wilayah-wilayah kepulauan Melayu-Indonesia
lainnya.2
Kendati tanah kelahirannya di India, nama Nuruddin ar-Raniri lebih
dikenal pada masa kini sebagai seorang ulama Nusantara. Selanjutnya, ia dikenal
sebagai sosok negarawan, ahli fikih, teolog, sufi, sejarawan dan sastrawan penting
dalam sejarah Melayu pada abad ke-17.3
B. Perjalanan Intelektual Nuruddin Al-Raniri
Pendidikan Nurrudin Al-Raniri mengikuti pola ulama Hadhrami. Dia
mendapatkan pendidikan awalnya di kota kelahirannya, Ranir. Kemudian ia
melanjutkan pelajarannya di wilayah Hadhramaut. Kemudian dia melanjutkan
perjalanannya ke Haramayn karena pada 1030 H/1620 M atau 1031 H/1621 M.
Nuruddin melaksanakan ibadah haji di Haramayn, yang kemungkinan besar ia
2 Dr Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad
XVII dan XVIII, Kencana: Jakarta, 2007, Hal. 203 3 Ahmad Taufiq, Sastra Kitab, UNS, Surakarta: 2007, hal. 35
11
menjalin hubungan dengan murid-murid jamaah haji dari Jawa yang berada di
sana sebelum kembali ke Gujarat.
Guru Nuruddin yang paling terkenal dari India adalah Abu Hafs Umar ibn
Abdullah Ba Syaiban at-Tamiri, yang juga dikenal di Gujarat sebagai Sayyid
Umar al-Aydarus. Melalui guru ini Nuruddin masuk ke dalam tarekat Rif˜iyah.
Tarekat ini didirikan oleh Ahmad Rifa’i. Ba Syaiban menunjuk Nuruddin sebagai
Khalifah-nya dalam tarekat itu dan karenanya Nuruddin bertanggung jawab untuk
menyebarkan tarekat Rifa˜iyah di wilayah Nusantara. Walaupun demikian
Nuruddin tidak hanya masuk dalam tarekat Rifa˜iyah saja, melainkan ia juga
mempunyai silsilah dari tarekat Aydarusiyah dan Qadiriyah.
Setelah membekali dirinya dengan pengalaman dan pengetahuan dari para
ulama sebelumnya, Nuruddin datang ke Aceh untuk mengikuti jejak pamannya.
Dalam perjalanannya menuju Aceh, ia singgah di Semenanjung Tanah Melayu.
Nuruddin berada di Semenanjung Tanah Melayu terutama di Malaka dan Pahang
pada 1618. Pada 1630 Nuruddin meneruskan perjalanan ke Aceh. Saat itu Aceh
dipimpin oleh Sultan Iskandar Meukuta Alam. Perjalanan Nuruddin ke Aceh
dianggap perjalanan yang pertama. Di Semenanjung Tanah Melayu Nuruddin
belajar bahasa dan sastra Melayu.
Nuruddin juga dikenal sebagai seorang polymath, yaitu orang yang
pengetahuannya tak terbatas dalam satu cabang pengetahuan saja.
Pengetahuannya sangat luas, meliputi bidang sejarah, politik, sastra, filsafat, fikih,
dan mistisisme. Nuruddin mula-mula mempelajari bahasa Melayu di Aceh, lalu
memperdalam pengetahuan agama ketika melakukan ibadah haji ke Mekah.
12
Sepulang dari Mekah, ia menemukan besarnya pengaruh Syamsuddin as-
Sumatrani di Aceh. Karena tidak cocok dengan aliran wujudiyah yang disebarkan
oleh Syamsuddin, Nuruddin pindah ke Semenanjung Melaka dan memperdalam
ilmu agama dan bahasa Melayu di sana. Dalam ilmu fikih, Nuruddin Al-Raniri
adalah penganut Mazhab Syafi’i, walaupun beliau juga ahli dalam ajaran mazhab-
mazhab yang lainnya. Dari segi akidah, Nuruddin Al-Raniri adalah pengikut
mazhab ahlus sunnah wal jama’ah yang berasal dari Syeikh Abul Hasan al-
Asy’ari dan Syeikh Abu Manshur al-Maturidi.
Sedangkan dalam tasawuf, Nuruddin Al-Raniri adalah pengikut tasawuf
yang mu’tabarah dan pengamal berbagai-bagai thariqah sufiyah. Berbeda dengan
Hamzah Fansuri yang mengikuti paham Wahdatul Wujud, Ar-Raniri mengikuti
paham Wahdat al-Syuhud, yaitu menunggalnya makhluk dengan al-khalik bukan
dalam wujud, tetapi hanya dalam kesaksian. Paham ini sama dengan pandangan
kalangan sufi sunni pada umumnya. 4 Kerumitan pandangan yang berseteru
tersebut dari upaya sederhana untuk memahami keterjalinan Tuhan, alam dan
manusia.5
Wahdat al-syuhud dapat dikatakan sebagai argumentasi yang kontras
sekaligus muncul sebagai reaksi atas konsep wahdatul wujud. Jika dalam
wahdatul wujud dinyatakan bahwa Tuhan dan alam semesta itu satu, maka
4 H.M Bibit Suprapto, Ensiklopedi Ulama Nusantara, Riwayat Hidup, Karya, dan Sejarah
Perjuangan 157 Ulama Nusantara, Gelegar Media Indonesia, Jakarta: 2009, hal. 665. 5 Oliver Leaman, Pengantar Filsafat Islam; Sebuah Pendekatan Tematis, Jakarta: Mizan
2002, hal. 57.
13
sebaliknya wahdat al-syuhud mengatakan bahwa Tuhan dan alam semesta
berbeda. Keberadaan alam semesta semata-mata hanya refleksi dari Tuhan.6
Secara bahasa wahdat al-syuhud dapat diartikan sebagai kesaktuan
penyaksian. Pandangan ini menyatakan, satu-satunya yang benar-benar ada
hanyalah Wujud yang satu, yakni Tuhan, sedangkan kesan kita mengenai ragam
wujud hanyalah artifak dari cara pandang kita terhadap realitas yang satu. 7
Sekilas, pandangan tersebut mirip dengan wahdatul wujud. Namun jika dipelajari
lebih mendalam, kita akan menemukan perbedaan mendasar, di mana dalam
wahdat al-syuhud dinyatakan bahwa ciptaan tidak identik dengan Tuhan atau
Penciptanya. Ciptaan, baik itu berupa manusia maupun alam semesta beserta
isinya hanya pantulan dari Pencipta sehingga tidak identik dengan-Nya. Yang
Ilahi bersifat abadi, sedangkan alam semesta dan isinya bersifat sementara.8
Jika wahdatul wujud lebih dekat dan identik dengan tasawuf falsafi,
konsep wahdat al-syuhud lebih dekat dengan tasawuf sunni serta lebih banyak
diterima oleh kalangan ulama di dunia Islam. Sebagaimana diketahui, tasawuf
akhlaqi adalah suatu ajaran yang menerangkan sisi moral dari seorang hamba
dalam rangka melakukan taqorrub kepada tuhannya, dengan cara
mengadakan riyyadhah.9
Pengaruh Ar-Raniry dalam bidang sejarah tidak kalah besarnnya. Selama
tinggal di Semenanjung, Nuruddin menulis beberapa buah kitab. Ia juga membaca
6 Oliver Leaman, Pengantar Filsafat Islam; Sebuah Pendekatan Tematis, Jakarta: Mizan
2002, hal. 11. 7 Oliver Leaman, Pengantar Filsafat Islam, hal. 56. 8 Oliver Leaman, Pengantar Filsafat Islam, hal.57. 9Mukhtar Hadi, Memahami Ilmu Tasawuf “Sebuah Pengantar Ilmu Tasawuf, Yogyakarta:
Aura Media, 2009 hal 65.
14
Hikayat Sri Rama dan Hikayat Inderaputera, yang kemudian dikritiknya dengan
tajam, serta Hikayat Iskandar Zulkarnain. Ia juga membaca Taj as-Salatin karya
Bukhari al-Jauhari dan Sulalat as-Salatin yang populer pada masa itu. Kedua
karya ini memberi pengaruh yang besar pada karya utamanya sendiri, yaitu
Bustan as-Salatin.10 Dialah penulis pertama di tanah Melayu yang menyajikan
sejarah dalam konteks universal, yang memprakarsai suatu bentuk baru penulisan
sejarah Melayu. Bustan al-Salathin merupakan salah satu buku terpenting tentang
sejarah awal Melayu-Indonesia. Ia merupakan sumber yang tak tergantikan untuk
rekontruksi sejarah awal Islam di wilayah Melayu-Indonesia. Makna pentingnya
semakin jelas mengingat kenyataan, bahwa sejarah Islam di wilayah ini
kebanyakan ditulis berdasarkan sumber-sumber Barat.
Pada tahun 1637, ia kembali ke Aceh dan tinggal di sana selama tujuh
tahun. Saat itu Syeh Syamsuddin as-Sumatrani telah meninggal. Berkat keluasan
pengetahuannya, Sultan Iskandar Tani (1636-1641) mempercayainya untuk
mengisi jabatan yang ditinggalkan oleh Syamsuddin. Nuruddin menjabat sebagai
Kadi Malik al-Adil, Mufti Besar, dan Syeikh di Masjid Bait al-Rahman. Pada saat
ia berjaya sebagai pejabat kesultanan inilah, dengan dibantu oleh Abdul Rauf
Singkel, ia melakukan gerakan pemberantasan aliran wujudiyah yang diajarkan
oleh Hamzah Fansuri dan Syamsudin as-Sumatrani. Karya-karya kedua ulama sufi
itu dibakar dan para penganut aliran wujudiyah diapandang sebagai kelompok
yang murtad.
10 Harun Mat Piah, dkk., 2002, hal. 60
15
C. Peran Nuruddin Al-Raniri pada Masyarakat Aceh
1. Pergulatan Aliran Tasawuf di Aceh
Penyebaran dan perkembangan Islam di Nusantara, termasuk Aceh,
tidak bisa dilepaskan dari perkembangan ajaran tasawuf. Tasawuf menjadi
bagian tak terpisahkan dari misi Islam dalam rangka membimbing manusia
menjadi umat yang bertauhid. Ajaran tasawuf memperdalam syariat dalam
rangka hubungan antara manusia dengan Tuhan. Hal itu erat dengan ajaran
para sufi yang memberikan pemahaman dan pengajaran mengenai hubungan
dengan Allah dan syariat-syariatnya. Para sufi memandang bahwa segenap
hidupnya, dalam keadaan aktif maupun pasif, lahir dan batin seluruhnya
bersumber dari cahaya kenabian.11
Pada perkembangannya, tasawuf terbagi dalam dua aliran besar, yakni
tasawuf sunni dan tasawuf falsafi. Tasawuf sunni dikembangkan pada abad
ke-3 dan ke-4 H yang disusul Al-Ghazali dan para pengikutnya dari syaikh-
syaikh tarekat. Salah satu tokoh tasawuf sunni terkenal di Aceh yakni Nur Al-
Din Al-Raniri. Dalam perjalanannya, antara kedua aliran ini kerap dijumpai
adanya pertentangan dan perbedaan pendapat maupun pandangan.
Pertentangan dari dua aliran ini meluas dan terjadi pula di nusantara, seperti
di Aceh sebagaimana terjadi antara Nuruddin Al-Raniri dengan Hamzah
Fansuri. Perbedaan pandangan ini kian memanas karena sering melibatkan
pihak-pihak yang memangku kekuasaan.
11 Abu Hamid Al-Ghazali, Al-Munqidz min Al-Dhalal, Dar Al-Ma’arif, Kairo: 1316, hal.
49.
16
Di antara tokoh terkemuka yang mengajarkan konsep wahdatul wujud
adalah Mansur Al-Hallaj dan Ibnu ‘Arabi. Paham Wahdat al-Wujūd adalah
paham yang menyatakan bahwa tiada wujud selain Tuhan, hanya ada satu
wujud hakiki yaitu Tuhan. Segala sesuatu selain Tuhan tidak ada pada dirinya
sendiri, ia hanya ada sejauh menampakkan wujud Tuhan. Alam adalah lokus
penampakan diri Tuhan dan manusia sempurna adalah penampakan diri
Tuhan yang paling sempurna. Dalam menjelaskan konsep wahdatul wujud
Ibn Arabi mengungkapkan bahwa wujud ini satu, namun dia memiliki
penampakan yang disebut dengan alam dan ketersembunyiannya yang
dikenal dengan asma yang memiliki pemisah yang disebut dengan barzah
atau menghimpun dan memisahkan antara batin dan lahir itulah yang di sebut
dengan insan kâmil.12
Konsep Wahdatul Wujud identik dengan tasawuf falsafi, yakni
tasawuf yang banyak terpengaruh pemikiran-pemikiran filsafat. Tasawuf
falsafi memadukan antara visi mistis dan visi rasional pengasasnya serta
menggunakan terminologi filosofis dalam pengungkapannya. Terminologi
falsafi tersebut berasal dari bermacam-macam ajaran filsafat yang telah
mempengaruhi para tokohnya. Dengan demikian dapat dikatakan pula bahwa
tasawuf falsafi merupakan tasawuf yang kaya dengan pemikiran-pemikiran
filsafat.
Tasawuf falsafi muncul pada sekitar adad ke 6 dan 7 H, ditandai
dengan diperkenalkannya tokoh-tokoh pemikiran sufi yang filsuf dan filsuf
12 Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman, Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam,
Jakarta: Mizan, 2003, hal 97.
17
yang sufi ketika tasawuf bercampur dengan filsafat menyerap beragam
pemikiran filsafat asing di luar Islam dari Yunani, Persia, India, Mesir,
Yahudi, dan Kristen tanpa kehilangan keautentikan Islam sebagai agama.
Salah satu kerangka umum tasawuf falsafi adalah bahwa tasawufnya tidak
jelas, mempunyai bahasa-bahasa tersendiri dan memahaminya memerlukan
daya rasa yang tidak biasa, dan sebab itu tasawuf falsafi tidak dianggap
filsafat karena dilandaskan pada intuisi, juga bukan tasawuf murni karena
diungkapkan dengan bahasa-bahasa filsafat yang mengarah pada
pembentukan aliran pemikiran dalam pembahasan ‘wujud’.13
Pergulatan antara aliran tasawuf falsafi dan sunni terlihat jelas di
lingkungan Kerajaan Aceh pada Abad 17, yang mana ada empat ulama besar
silih berganti, yaitu Hamzah Fansuri dan muridnya Syamsuddin As-
Sumatrani keduanya merupakan tokoh ahli Tasawuf yang beraliran Wihdatul
Wujud (Aliran Wujudiyah). Mereka mengajarkan semacam sinkretisme antara
Allah (Khalik) dengan manusia (Makhluk). Ulama ketiga di Aceh Syekh
Nuruddin Al-Raniri sangat menentang ajaran Hamzah dan muridnya.
Kemudian ulama keempat, yaitu Abdur Rouf Al-Sinkili, berusaha mengambil
jalan tengah dalam pertentangan antara pengikut Nuruddin dengan kedua
pengikut ulama terdahulu. Hamzah Fansuri dan Symsuddin Ass-Sumaterani
juga guru Syekh Abdur Rouf, walau pendapat dalam bidang tasawufnya
berbeda.
13 Abu Al-wafa’ Al-ghanimi At-Taftazani, Sufi dari Zaman ke Zaman, Terj. Ahmad far’i
ustmani, Bandung: Pustaka, 1985, hal.187.
18
a. Hamzah Fansuri
Dalam sejarah perkembangan tasawuf Indonesia, Fansuri
dipandang sebagai ahli sufi pertama di Indonesia yang menuliskan buku-
buku tentang tasawuf Islam. Dia juga pemimpin yang mengenalkan
tasawuf falsafi di Indonesia.14 Hamzah Fansuri sangat giat mengajarkan
ilmu tasawuf menurut keyakinannya. Ada riwayat yang mengatakan
bahwa ia pernah sampai ke seluruh semenanjung dan mengembangkan
tasawuf di Perlak, Perlis, Kelantan, dan sebagainya.15
Di antara ajaran-ajaran tasawuf falsafi Hamzah Fansuri adalah
sebagai berikut:
1) Tentang wujudiyyah. Menurut Fansuri, wujud itu hanyalah satu
walaupun kelihatan banyak. Dari wujud yang satu itu, ada yang
merupakan kulit (kenyataan lahir) ada yang berupa isi (kenyataan
batin). Wujud yang hakiki itulah yang disebut Allah.
2) Allah adalah dzat yang mutlak dan qodim, sebab Allah yang pertama
dan yang menciptakan alam semesta.
3) Tentang Penciptaan. Menurut Fansuri, hakikat dari dzat Allah itu
adalah mutlak dan la ta’ayyun. Dzat yang mutlak itu mencipta dengan
cara menyatakan diri-Nya dalam suatu proses penjelmaan (emanasi).
4) Tentang manusia. Walaupun manusia sebagai tingkat terakhir dari
penjelmaan, akan tetapi manusia adalah tingkat yang paling penting
dan merupakan penjelmaan yang paling sempurna. Manusia adalah
14 Alwi Shihab, Akar Tasawuf di Indonesia, hlm. 143 15 Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia, cet. II, 2010) hlm. 342.
19
pancaran langsung dari dzat yang mutlak, sehingga menunjukkan
adanya semacam kesatuan antara Allah dan manusia.
5) Tentang kelepasan. Manusia sebagai makhluk penjelmaan yang
sempurna dan berpotensi untuk menjadi insan kamil, namun karena
lalainya maka pandangannya kabur dan tidak sadar bahwa seluruh
alam semesta ini adalah palsu dan bayangan.16
Adapun karya-karya Hamzah Fansuri yang dapat kita temui
diantaranya: kitab Asrarul ‘Arifin, Syarabul ‘Asyiqin, dan Al-Muntaha.
Semua bukunya berbicara tentang tauhid, ma’rifat, dan suluk. Unsur-unsur
penting dalam buku Fansuri adalah pendapatnya yang diambil dari
perkataan kaum sufi klasik. Karya-karya Hamzah Fansuri ada yang
berbentuk syair dan ada yang berbentuk prosa. Syair-syair Hamzah bersifat
mistik dan melambangkan perhubungan Tuhan dan manusia. Syair-
syairnya penuh dengan kata-kata Arab dan menunjukkan pengaruh syair
Persia.17 Karya yang berbentuk syair di antaranya adalah Syair Perahu,
Syair Dagang, dan Syair Burung Pingai.18 Karya-karya Hamzah Fansuri
yang berbentuk prosa di antaranya Syarab al Asyiqin (minuman segala
orang birahi), Asrar al `Arifin fi Bayan llm al Suluk wa`l Tauhid
(keterangan mengenai pelajaran ilmu suluk dan kesatuan Tuhan), serta Al
Muntahi.
16 Sri Mulyati, Tasawuf Nusantara, hlm. 74-75 17 Wnstedt, R.O, Some Malay Mystics, Heretical and Ortodox, JMBRAS. Vol. 1. April.
Singapore, 1923. hal. 313. 18 Yock Fang, Liaw, Sejarah Kesusesteraan Melayu Klassik, Singapura: Pustaka
Nasional, 1982, hal. 189.
20
b. Syamsuddin al-Sumatrani
Syamsuddin al-Sumatrani adalah seorang sufi yang pernah
mendapat gelar tetinggi untuk ulama, Qadli, imam atau syekh, penasehat
raja, imam kepala, anggota tim perunding dan juru bicara kerajaan Aceh
Darussalam, dan cukup lama berperan sebagai orang penting dalam
lingkungan istana, lebih dari dasawarsa dan boleh jadi penuh atau bahkan
lebih dari empat dasawarsa. Dia sudah mulai berperan dalam Istana pada
awal dasawarsa terakhir abad ke-16 dan wafat pada akhir abad ke-17.