KRISIS EKONOMI DAN PERUBAHAN SISTEM NILAI TUKAR, PENGARUHNYA TERHADAP VARIABEL MAKRO, PASS-THROUGH EFFECT DAN VOLATILITY, SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP EFEKTIVITAS KEBIJAKAN MONETER DI INDONESIA OLEH: NUNING TRIHADMINI ABSTRAKS Since mid 1997, Indonesia and some countries in the world experienced economic crisis, which is caused both internal and eksternal factors. Economic crisis was triggered by a crisis in exchange rate and it imposed unfavorable condition at many economics sectors. On the other side, economic crisis represent very rich economics phenomenon of aspect to be studied, because bringing big impact to monetary policy change either behavioral change of macro variable. This research aims to know the impact of exchange rates regime changes from Managed Floating to Free Floating Exchange Rates, toward pass-through effect and volatility. The research also investigates the differences of volatilities at different exchange rate system, the impact of volatilities to macro variables, and also monetary policy effectivity. The result of data analysis indicates that degree of pass-through in Indonesia tends to incomplete. It means that the changes of exchange rates is not responsed by one-for-one of price changes, which is indicated the happening of “pricing to market”. The degree of pass-through is bigger in free floating period compared to managed floating period, and this is confirmed by the degree of openness economics of Indonesia which is greater to global economics, so that the price change becomes more sensitive to exchange rates change . Furthermore, the impact of volatilities to macro variable is bigger at free floating period compared to managed period. Volatility of exchange rates has higher level coefficient at managed floating period, while monetary policy influences economic condition at free floating period more effectively.
39
Embed
KRISIS EKONOMI DAN PERUBAHAN SISTEM NILAI TUKAR.doc
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
KRISIS EKONOMI DAN PERUBAHAN SISTEM NILAI TUKAR, PENGARUHNYA TERHADAP VARIABEL MAKRO, PASS-THROUGH EFFECT
DAN VOLATILITY, SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP EFEKTIVITAS KEBIJAKAN MONETER DI INDONESIA
OLEH:
NUNING TRIHADMINI
ABSTRAKS
Since mid 1997, Indonesia and some countries in the world experienced economic crisis, which is caused both internal and eksternal factors. Economic crisis was triggered by a crisis in exchange rate and it imposed unfavorable condition at many economics sectors. On the other side, economic crisis represent very rich economics phenomenon of aspect to be studied, because bringing big impact to monetary policy change either behavioral change of macro variable.
This research aims to know the impact of exchange rates regime changes from Managed Floating to Free Floating Exchange Rates, toward pass-through effect and volatility. The research also investigates the differences of volatilities at different exchange rate system, the impact of volatilities to macro variables, and also monetary policy effectivity.
The result of data analysis indicates that degree of pass-through in Indonesia tends to incomplete. It means that the changes of exchange rates is not responsed by one-for-one of price changes, which is indicated the happening of “pricing to market”. The degree of pass-through is bigger in free floating period compared to managed floating period, and this is confirmed by the degree of openness economics of Indonesia which is greater to global economics, so that the price change becomes more sensitive to exchange rates change . Furthermore, the impact of volatilities to macro variable is bigger at free floating period compared to managed period. Volatility of exchange rates has higher level coefficient at managed floating period, while monetary policy influences economic condition at free floating period more effectively.
I. PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang Masalah
Sejak pertengahan 1997, Indonesia dan beberapa negara di dunia mengalami krisis ekonomi,
yang disebabkan oleh beberapa faktor baik yang bersifat eksternal maupun internal. Tekanan-
tekanan eksternal dapat mempengaruhi perekonomian suatu negara melalui dua jalur utama,
yaitu pasar barang internasional dan pasar keuangan internasional. Tekanan-tekanan yang
berasal dari pasar barang internasional dapat berbentuk penurunan permintaan ekspor atau
gangguan suplai barang impor . Sedangkan tekanan yang berasal dari pasar keuangan
internasional dapat berbentuk kenaikan suku bunga riil internasional, perubahan nilai mata
uang terhadap mata uang asing, dan terputusnya akses ke pasar keuangan internasional akibat
anjloknya kepercayaan investor.
Krisis ekonomi yang pernah melanda Indonesia khususnya, lebih banyak dipicu oleh
faktor eksternal yaitu krisis nilai tukar, yang kemudian menyebar pada berbagai aspek
perekonomian. Krisis itu sendiri merupakan fenomena perekonomian yang sangat kaya aspek
untuk dikaji, karena membawa dampak yang besar baik dari sisi perubahan kebijakan moneter
sampai perubahan perilaku variabel-variabel makro. Salah satu kebijakan yang berubah adalah
kebijakan tentang sistem nilai tukar, sehingga perubahan sistem tersebut akan mempengaruhi
pola perilaku variabel makro seperti diantaranya suku bunga, jumlah uang beredar, pendapatan
nasional dan inflasi.
Semenjak dilepaskannya band nilai tukar serta diterapkannya free floating exchange
rate, pergerakan nilai tukar secara murni ditentukan oleh keseimbangan permintaan dan
penawaran, walaupun masih dimungkinkan dilakukannya intervensi oleh bank sentral. Dalam
sistem ini, nilai tukar cenderung fluktuatif apabila dibandingkan pada saat diterapkannya
managed floating exchange rate, bahkan pada periode 1998 nilai tukar mengalami over
shooting sehingga dampaknya terhadap perekonomian sangat terasa, terutama terhadap
tingkat harga. Beberapa literatur ataupun penelitian empiris menunjukkan bahwa fluktuasi nilai
tukar atau secara khusus depresiasi nilai tukar disinyalir mempunyai pengaruh yang sangat
besar terhadap perekonomian khususnya inflasi di Indonesia, sehingga diperlukan pemahaman
seberapa besar pengaruh nilai tukar terhadap inflasi.
Berpijak dari permasalahan di atas, menjadi sesuatu yang penting untuk menganalisis
dampak krisis ekonomi dan fluktuasi nilai tukar (volatility) terhadap variabel makroekonomi
di Indonesia seperti suku bunga, uang beredar, tingkat inflasi dan output, karena variabel
tersebut merupakan bagian dari indikator tingkat kestabilan perekonomian suatu Negara.
1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk mengetahui:
a. Apakah krisis ekonomi menyebabkan terjadinya structural break terhadap pola perilaku
variabel makro,
2
b. dampak perubahan sistem nilai tukar dari Managed Floating ke Free Floating
Exchange Rate terhadap efek langsung (pass-through effect) terhadap inflasi impor
(Wholesale Price Index - WPI), inflasi produsen (Producer Price Index - PPI) serta
inflasi IHK (Consumer Price Index – CPI),
c. pengaruh volatilitas nilai tukar terhadap variabel makro seperti suku bunga, uang
beredar, tingkat harga, ekspor, impor, serta output, dalam dua sistem nilai tukar yang
berbeda,
d. dampak volatilitas tersebut berlaku dalam jangka panjang atau tidak,
e. dampak perubahan sistem nilai tukar terhadap efektivitas kebijakan moneter di
Indonesia.
1.3 Tujuan Penelitian
Tulisan ini diharapkan dapat menjelaskan dampak krisis ekonomi dan perubahan rezim nilai
tukar dari managed floating ke free floating terhadap pola perilaku variabel makro, pass-
through effect dan pengaruh volatilitasnya, serta untuk mengetahui pengaruh tersebut
cenderung persisten atau temporer.
1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan harapan dapat memberikan manfaat, sebagai berikut:
a. Bagi penulis, penelitian ini merupakan bagian dari tahap pembelajaran tentang dampak
dan peran kebijakan pemerintah dalam perekonomian, sehingga dapat membantu
pelaksanaan tugas sebagai akademisi, dalam menjelaskan perubahan kebijakan moneter
bank sentral kepada anak didik khususnya.
b. Bagi masyarakat, tulisan ini diharapkan memberikan penjelasan tentang dampak
perubahan kebijakan moneter, khususnya perubahan sistem nilai tukar, keterkaitan
antara variabel moneter dengan variabel ekonomi lainnya, sehingga dapat memberikan
masukan kepada masyarakat dalam menilai efektivitas kebijakan moneter setiap
tahunnya, yang akan mempengaruhi preferensi masyarakat dalam melakukan kegiatan
ekonomi.
c. Bagi Bank Sentral, berkaitan dengan penerapan inflation targeting frame work, dengan
diketahuinya derajad pass-through, akan memudahkan untuk mengkaji transmisi
3
kebijakan moneter terhadap harga, sehingga akan berguna dalam penentuan target dan
peramalan inflasi.
II. TINJAUAN TEORETIS DAN KAJIAN LITERATUR
2.1 TINJAUAN TEORETIS
2.1.1 Fungsi Nilai Tukar
Penentuan sistem nilai tukar merupakan hal yang penting bagi perekonomian suatu negara,
karena nilai tukar merupakan suatu alat yang digunakan untuk mendorong pertumbuhan
ekonomi, dan mengisolasi perekonomian suatu negara dari gejolak perekonomian global. Pada
dasarnya kebijakan nilai tukar yang ditetapkan suatu negara mempunyai beberapa fungsi utama
(Miranda S. Goeltom dan Doddy Zulverdi, 1998) yaitu:
a. Untuk mempertahankan keseimbangan neraca pembayaran, dengan sasaran akhir
menjaga kecukupan cadangan devisa. Oleh karena itu, dalam menetapkan arah kebijakan
nilai tukar tersebut diutamakan untuk mendorong dan menjaga daya saing ekspor dalam
upaya memperkecil defisit current account, atau memperbesar surplus current account.
b. Untuk menjaga kestabilan pasar domestik, agar nilai tukar tidak dijadikan sebagai alat
untuk spekulasi, dalam arti apabila nilai tukar suatu Negara mengalami overvalued maka
masyarakat akan terdorong untuk membeli valuta asing, dan sebaliknya apabila
undervalued masyarakat terdorong untuk menjual valuta asing. Ketidakstabilan pasar
yang demikian akan menimbulkan tindakan spekulatif, yang pada gilirannya akan
mengganggu kestabilan makro.
c. Sebagai instrument kebijakan moneter, khususnya bagi negara yang menerapkan suku
bunga dan nilai tukar sebagai sasaran operasional kebijakan moneter. Dalam fungsi ini
depresiasi dan apresiasi nilai tukar digunakan sebagai alat untuk sterilisasi dan ekspansi
jumlah uang beredar.
d. Sebagai nominal anchor dalam pengendalian inflasi. Nilai tukar banyak digunakan oleh
negara yang mengalami chronic inflation sebagai nominal anchor baik melalui
pengendalian depresiasi nilai tukar maupun dengan mem-peg-kan nilai tukar suatu negara
dengan mata uang asing.
4
2.1.2 Pemilihan Sistem Nilai Tukar
Berbagai kajian tentang pemilihan sistem nilai tukar, secara garis besar dapat ditinjau dari tiga
sudut pandang (Jeffrey A. Frankel, 1999, dalam BEMP vol.2 no.4, Maret 2000), yaitu
karakteristik struktur perekonomian, sumber gejolak / source of shock, serta kredibilitas
pengambil kebijakan / policy maker credibility.
Secara garis besar pendekatan karakteristik struktur perekonomian merupakan
pendekatan yang berupaya mencari titik optimal melalui suatu sistem nilai tukar (sistem nilai
tukar tetap atau mengambang bebas) untuk menyeimbangkan sisi eksternal maupun internal.
Karakteristik struktur perekonomian meliputi ukuran perekonomian, keterbukaan
perekonomian, konsentrasi perdagangan internasional, diversifikasi produk ekspor, perbedaan
inflasi domestik dengan inflasi dunia, perkembangan sistem keuangan, mobilitas modal serta
daya dukung devisa.
Sementara identifikasi sumber gangguan dapat berasal dari sektor riil, ataupun sektor
moneter. Sistem nilai tukar yang dianggap optimal adalah yang mampu menstabilkan kinerja
ekonomi makro, dalam arti mampu meminimalisir fluktuasi output, konsumsi masyarakat,
harga domestik, serta variabel ekonomi makro lainnya. Dari berbagai kajian dalam pendekatan
ini diperoleh kesimpulan umum bahwa sistem nilai tukar tetap, atau sistem yang memiliki
tingkat kekakuan / fixity yang lebih besar, pada umumnya akan lebih relevan diterapkan
apabila sumber gangguan yang mempengaruhi nilai tukar dominan berasal dari gangguan
domestik / domestic nominal shock misalnya yang berasal dari uang beredar / supply shock.
Sementara sistem nilai tukar fleksibel, atau sistem yang memiliki fleksibilitas yang lebih besar,
secara umum akan lebih baik diterapkan apabila foreign shock atau domestic real shock seperti
pergeseran permintaan barang-barang domestik terasa lebih dominan.
Di sisi lain, pendekatan kredibilitas menjelaskan bahwa penjangkaran nilai tukar
tergantung dari kepercayaan pelaku ekonomi atas kemampuan otoritas untuk mempertahankan
nilai mata uang. Secara implisit hal ini menyatakan bahwa kredibilitas yang tinggi terkait tidak
hanya dengan fundamental ekonomi saja, namun juga berbagai faktor non ekonomi lainnya
yang secara signifikan ikut mempengaruhi otoritas untuk mempertahankan nilai tukar.
5
2.1.3 Kebijakan Moneter Dalam Sistem Nilai Tukar Tetap
Dalam sistem nilai tukar tetap, kebijakan moneter kurang efektif, karena neraca transaksi
berjalan tidak dapat berfungsi sebagai mekanisme penyesuaian, karena ekspor dianggap
sebagai variabel eksogen sehingga tidak dipengaruhi oleh fluktuasi nilai tukar, sedangkan
impor sebagai fungsi dari pendapatan. Peranan neraca transaksi berjalan digantikan oleh
cadangan devisa yang berfungsi sebagai mekanisme penyesuaian untuk mencapai ekuilibrium
overall BOP. Sampai seberapa jauh cadangan devisa dapat melaksanakan fungsinya,
tergantung pada besar kecilnya cadangan devisa.
Menurunnya cadangan devisa inilah yang menyebabkan kebijakan moneter tidak
efektif, karena penurunan suku bunga sebagai akibat ekspansi kebijakan moneter pada
akhirnya tidak dapat meningkatkan pendapatan riil masyarakat. Selain itu, elastisitas suku
bunga dalam negeri yang cukup tinggi terhadap aliran modal internasional yang seharusnya
dapat mempengaruhi efektivitas kebijakan moneter, juga tidak efektif karena berkurangnya
cadangan devisa. Dalam sistem nilai tukar tetap, kebijakan moneter tidak efektif baik dalam
situasi perfect capital mobility maupun perfect capital immobility.
2.1.4 Kebijakan Moneter dalam Sistem Nilai Tukar Fleksibel
Model Mundell-Fleming dapat dipakai untuk memberikan landasan teori pengendalian moneter
dalam sistem nilai tukar fleksibel. Teori pengendalian moneter dapat menggunakan price
targeting ataupun quantity targeting. Sasaran akhir dari kebijakan moneter dalam sistem ini
biasanya merupakan sasaran tunggal, yaitu inflasi. Cara pencapaian sasaran inflasi tersebut
dapat melalui pendekatan inflation targeting atau bukan. Dalam sistem nilai tukar yang
fleksibel, overall BOP selalu berada dalam posisi ekuilibrium, artinya neraca transaksi
berjalan (CA) akan selalu sama besarnya dengan neraca transaksi modal (KA). Hal ini dapat
dijelaskan melaluimekanisme sederhana sebagai berikut:
a. Apabila overall BOP mengalami surplus, nilai tukar rupiah akan mengalami apresiasi
sehingga mendorong impor sementara ekspor menurun. Akibatnya neraca transaksi
berjalan akan memburuk sampai overall BOP mencapai ekuilibrium kembali.
b. Sebaliknya defisit overall BOP cenderung mendorong nilai tukar mengalami depresiasi,
sehingga impor turun dan sebaliknya ekspor meningkat. Hasilnya neraca transaksi
berjalan akan membaik sehingga overall BOP akan kembali ke ekuilibrium.
6
Dalam model ini, neraca transaksi berjalan memegang peranan penting sebagai mekanisme
penyesuai, sehingga cadangan devisa diasumsikan konstan. Posisi neraca transaksi berjalan,
baik surplus ataupun defisit, dianggap akan bertahan dalam jangka panjang. Selain itu,
Mundell-Flemming model menganggap bahwa aliran kapital hanya merupakan fungsi dari
perbedaan suku bunga dalam dan luar negeri. Perbedaan suku bunga ini dapat dihitung melalui
pendekatan uncovered interest parity maupun covered interest parity yang sudah
memperhitungkan ekspektasi depresiasi dan premi risiko.
II.2 Tinjauan Literatur
2.2.1 Exchange Rate Pass-Through
Sato et al (2005) mengkaji pass-through effect, apakah perubahan nilai tukar mempunyai
dampak yang signifikan terhadap perubahan harga domestik yang tercermin dalam inflasi
impor (WPI), inflasi produsen (PPI), serta inflasi IHK, serta implikasinya terhadap peran nilai
tukar terhadap adjustment variabel makro lainnya. Tulisan tersebut juga mengeksplorasi
hubungan antara pass-through effect selama krisis nilai tukar dan proses pemulihan ekonomi,
dengan sampel lima negara di Asia Timur, dengan menggunakan model SVAR.
Sato menyebutkan apabila derajad pass-through tinggi, perubahan nilai tukar akan
mempengaruhi harga relative dari komoditi yang tradable dan non tradable, sehingga
dampaknya terekam dalam neraca perdagangan secara cepat. Sebagai ilustrasi: apabila derajad
pass-through tinggi harga barang impor akan menjadi mahal, sehingga permintaan impor
menurun. Preferensi konsumen akan bergeser dari komoditi impor ke komoditi domestik. Di
sisi lain, apabila derajad pass-through rendah perubahan nilai tukar tidak begitu berdampak
terhadap neraca perdagangan, sehingga dampak perubahan nilai tukar terhadap makroekonomi
juga relatif kecil. Apabila harga domestik tidak mengalami perubahan walaupun terjadi
perubahan nilai tukar, akselerasi inflasi yang terjadi kemungkinan bukan disebabkan oleh
perubahan nilai tukar.
Derajad pass-through dipengaruhi oleh beberapa faktor. Dalam jangka pendek pass-
through dipengaruhi oleh ekspektasi pelaku bisnis terhadap persisten tidaknya perubahan nilai
tukar, kekakuan harga secara umum, kemudian kekuatan monopolistik dari produk-produk di
7
retail market. Selain itu derajad pass-through juga dipengaruhi kondisi makroekonomi secara
umum khususnya output gap serta expected inflation.
Di dalam konteks krisis nilai tukar, derajad pass-through mempunyai pengaruh
terhadap proses pemulihan dari krisis. Sebagai misal terdapat dua negara yang mengalami
depresiasi nilai tukar secara tajam, negara A dan B. Negara A tidak mengalami inflasi yang
tajam setelah depresiasi, sementara negara B mengalami inflasi yang tinggi, sehingga
dikatakan bahwa negara A mempunyai derajad pass-through yang rendah sedangkan negara B
derajad pass-through-nya tinggi. Dalam kasus ini Negara A mendapatkan manfaat depresiasi
melalui ekspornya, sehingga pemulihan ekonomi dapat dicapai dalam waktu yang relatif lebih
singkat. Dampak berikutnya penambahan cadangan devisa akan membawa nilai tukar
mengalami apresiasi sehingga pemulihan ekonomi terjadi lebih cepat.
Sementara negara B mengalami kehilangan daya saing produk ekspornya karena inflasi
yang tinggi, dan di sisi lain depresiasi nilai tukar terus berkelanjutan. Dalam waktu satu atau
dua tahun, real exchange rate negara A dan B akan kembali pada tingkat yang merefleksikan
competitiveness yang sebenarnya, tetapi perbedaannya, negara A mencapainya melalui nominal
appreciation, sementara negara B mencapainya melalui inflasi domestik.
Dari sisi daya saing eksport, kondisi kedua negara tersebut mempunyai kemungkinan
sebanding, tetapi apabila dilihat dari sisi sistem keuangan, kedua negara tersebut menunjukkan
perbedaan yang nyata. Negara kedua, dengan kondisi depresiasi nilai tukar serta domestic
inflation akan mengalami kondisi makro yang cenderung instabil, ataupun krisis sistem
keuangan. Sementara negara pertama, sampai medium term cenderung tidak mengalami
instabilitas.
Hal yang menjadi alasan terjadinya ketidakstabilan institusi keuangan pada negara
kedua adalah memburuknya kondisi neraca keuangan, yang disebabkan oleh; pertama, neraca
keuangan cenderung mengalami currency mismatch, depresiasi cenderung lebih memberikan
tekanan pada sisi liabilities dibandingkan sisi assets. Hal ini terjadi ketika bank melakukan
peminjaman dari institusi di luar negeri dalam mata uang asing, sementara menyalurkan kredit
pada perusahaan domestik dengan mata uang lokal. Kedua, pada saat krisis keuangan,
perusahaan domestik menjadi lesu, karena dari sisi permintaan, konsumen akan mengurangi
pengeluaran belanja mereka, sehingga dampaknya perusahaan mengalami kesulitan dalam
pengembalian kreditnya. Dampak berikutnya di sisi perbankan kolektibilitas kredit menjadi
8
nonperforming. Ketiga, perbankan akan mengalami kesulitan likuiditas, ditambah depresiasi
mata uang yang berlangsung cepat, nasabah mengalihkan dananya ke luar negeri (capital
flight), sehingga imbasnya tingkat kesehatan institusi keuangan dipertanyakan.
Selanjutnya, apakah terjadi quick pass-through atau tidak, akan berpengaruh
signifikan terhadap proses pemulihan ekonomi. Sato (2005) menyimpulkan bahwa domestic
inflation dapat dijaga seminimal mungkin, yaitu ketika depresiasi tajam terjadi, dampaknya
tidak pada domestic inflation, tetapi pada international capital flows, atau sentimen investor
yang berubah secara tiba-tiba.
Krisis nilai tukar yang terjadi, terutama pada negara berkembang yang mengadobsi
currency peg system, dimana mata uang dijangkarkan dengan mata uang kuat misalnya dolar,
konsekuensinya negara tersebut harus mengadobsi kebijakan moneter yang konsisten dengan
rezim nilai tukarnya. Dollar peg mensyaratkan besarnya suku bunga negara yang mengadobsi
sistem tersebut sama dengan suku bunga yang berlaku di Amerika, dengan tujuan untuk
menghindari terjadinya capital inflow ataupun outflow, dan menjaga agar tingkat inflasi sama
dengan inflasi di Amerika, serta untuk menjaga daya saing expor. Apabila negara tersebut
gagal menjaga inflasi dalam rentang moderat dibandingkan dengan inflasi Amerika, maka
negara tersebut beresiko terhadap daya saing ekspornya sampai medium term.
Dalam upaya membuat nilai tukar lebih fleksibel mengantisipasi hal ini, dollar peg
system sebaiknya tidak diterapkan 100%, tetapi dapat disesuaikan menjadi Crawling Peg
System, yaitu depresiasi nilai tukar diupayakan setara dengan perbedaan tingkat inflasi di kedua
negara. Semakin fleksibel rezim nilai tukar yang dianut, diperlukan kebijakan moneter yang
independen, karena shock yang terjadi pada kebijakan moneter akan menyebabkan terjadinya
inflasi, sebagai hasinya nilai tukar akan terdepresiasi. Satu hal yang terjadi pada managed
exchange rate rezim, selama periode normal kemungkinan akan menimbulkan kausalitas dari
inflasi ke nilai tukar, yang bertolak belakang dengan pass-through literatur.
Sementara McCarthy (1999) juga meneliti derajad pass-through nilai tukar serta harga
impor terhadap inflasi domestik, dengan sampel beberapa negara industri. Tulisannya juga
mengulas keterkaitan pass-through terhadap daya saing suatu negara. Dalam tulisannya,
McCarthy menyebutkan bahwa derajad pass-through dipengaruhi oleh beberapa faktor,
diantaranya adalah volatilitas nilai tukar. Semakin tinggi tingkat volatilitas maka derajad pass-
through akan semakin kecil, karena importir cenderung merespon dengan menyesuaikan
9
margin keuntungannya dibandingkan dengan penyesuaian harga. Faktor lainnya adalah
ketidakpastian permintaan masyarakat, dimana derajad pass-through lebih kecil apabila
aggregate demand lebih volatile.
Menurut Sahminan (2005) exchange rate pass-through (ERPT) didefinisikan sebagai
perubahan harga (harga ekspor, harga impor, maupun harga domestik) sebagai akibat
perubahan satu persen dalam kurs domestik terhadap kurs asing
2.2.2 Exchange Rate Volatility
Magda Kandil (2004) dalam penelitiannya tentang keterkaitan antara fluktuasi nilai tukar
terhadap aktivitas ekonomi menyatakan bahwa tinggi rendahnya derajad volatilitas ataupun
fluktuasi nilai tukar dipengaruhi oleh internal ataupun external shock. Sementara dampaknya
terhadap perekonomian dapat dilihat dari pertumbuhan output dan tingkat harga melalui
demand dan supply channel. Dalam traditional view dinyatakan bahwa depresiasi nilai tukar
akan meningkatkan trade balance, sehingga dampaknya ke perekonomian adalah
expansionary. Sementara apabila Marshal-Lerner Condition tidak terpenuhi, depresiasi nilai
tukar cenderung menyebabkan produce contraction.
III. METODE PENELITIAN
3.1 Data dan Sumber Data
Data yang dipakai merupakan data time series bulanan, untuk analisis krisis ekonomi periode
data adalah 1990:1- 2005:03, sedangkan untuk analisis dampak perubahan sistem nilai tukar
periode data adalah 1990:01 sampai dengan 2006:12.
Berkaitan dengan analisis perubahan sistem nilai tukar, data akan dibagi dalam dua
periode observasi, pertama pada saat masih diterapkannya sistem managed floating exchange
rate system, kedua, periode diterapkannya free floating exchange rate system yang dimulai
pada tanggal 14 Agustus 1997. Untuk itu data dibagi dalam dua periode, pertama 1990.01 –
1997.07, dan kedua 1997.08 – 2006.12. Adapun data-data yang digunakan meliputi:
Variabel Sumber data Variabel Sumber data
Harga minyak dunia Depkeu Nilai ekspor Bank IndonesiaSBI 1 bulan Bank Indonesia Nilai Impor Bank IndonesiaUang beredar M2 Bank Indonesia Cadangan Devisa Bank IndonesiaNilai Tukar Bank Indonesia Neraca Perdagangan Bank Indonesia
10
WPI Bank Indonesia Uang beredar di US IFSPPI IFS GDP US IFSCPI Bank Indonesia US Prime rate IFSVolatilitas nilai tukar Data diolah CPI US IFSGDP riel Bank Indonesia Current Account Bank IndonesiaPengeluaran Konsumsi Bank Indonesia Current Account US IFSPengeluaran Investasi Bank Indonesia
3.2 Analisis Data
3.2.1 Pengujian Pra-Estimasi
Pengujian pra-estimasi merupakan pengujian pendahuluan yang diperlukan sebelum pengujian
inti pada masing-masing model, meliputi unit root test dengan menggunakan Aughmented
Dicky-Fuller (ADF) test, pengujian untuk menentukan lag optimum dalam model VAR.
3.2.1.1 Aughmented Dicky-Fuller (ADF Test)
Pengujian ini diperlukan untuk mengetahui sifat dan kecenderungan data yang digunakan,
apakah mempunyai pola yang stabil, normal, stasioner atau tidak. Suatu series dikatakan
stasioner apabila series tersebut mempunyai konstan mean, konstan varian dan konstan
kovarian untuk masing-masing lag yang berbeda. Shock yang terjadi pada suatu series yang
stasioner dampaknya lambat laun akan hilang, sehingga efek shock pada periode t dampaknya
akan lebih kecil pada periode t +1, t + 2, dst. Sementara pada series yang tidak stasioner, efek
suatu shock cenderung akan persisten sehingga dampak shock yang terjadi pada periode t,
tidak akan lebih kecil pada periode t + 1, t + 2, dst.
3.2.1.2 Penentuan Lag Optimum
Untuk memperoleh panjang selang yang tepat, dilakukan 3 bentuk pengujian secara bertahap.
Pertama, akan dilihat panjang selang maksimum sistem VAR yang stabil. Stabilitas sistem
VAR dilihat dari nilai inverse roots karakteristik AR polinomialnya. Suatu sistem VAR
dikatakan stabil jika seluruh roots-nya memiliki modulus yang lebih kecil dari satu.
Tahap kedua, panjang selang optimal dicari dengan menggunakan kriteria informasi
yang tersedia. Kandidat selang yang terpilih adalah panjang selang menurut kriteria Likelihood
Ratio (LR), Final Prediction Error (FPE), Akaike Information Criterion (AIC), Schwarz
Information Criterion (SIC), dan Hannan-quin Criterion (HQ). Jika kriteria informasi hanya
merujuk pada sebuah kandidat selang, maka kandidat tersebut yang optimal. Tetapi apabila
diperoleh lebih dari satu kandidat, maka pemilihan dilanjutkan pada tahap ketiga.
11
Pada tahap ketiga, nilai Adjusted R2 variabel VAR dari masing-masing kandidat
selang diperbandingkan, dengan penekanan variabel-variabel terpenting dari sistem VAR
tersebut. Selang optimal akan dipilih dari sistem VAR yang menghasilkan nilai Adjusted R2
terbesar pada variabel-variabel terpenting.
3.2.2 Pengujian Stabilitas
Setelah data diketahui stasioner atau tidak, dengan mempertimbangkan rentang data yang
cukup panjang, dimana pada periode tersebut melewati masa krisis ekonomi, perlu dilakukan
pengujian stabilitas untuk mengetahui apakah terdapat structural break pada rentang periode
observasi. Untuk itu dilakukan pengujian stabilitas dengan menggunakan Cumulative Sum of
the Recursive Residuals / CUSUM.
Pada dasarnya pengujian CUSUM dimaksudkan untuk melihat stabilitas dari residual
yang dihasilkan oleh model. Dengan metode ini, recursive residual dihasilkan secara recursive
dengan melakukan estimasi secara berulang-ulang. Selanjutnya hasil residual tersebut akan
diplot dengan menggunakan batas atas dan batas bawah sebesar 5 % critical values. Apabila
plot residual tersebut bergerak dalam kisaran (range) batas atas dan batas bawah,
interpretasinya adalah model tersebut stabil. Tetapi apabila plot residual berada diluar range,
maka model tersebut tidak stabil ( Doddy Zulverdi, at all. Desember 2000). Berdasarkan
output dari CUSUM test maka diketahui pola residual dari model, apakah terdapat structural
break atau tidak.
3.2.3 Spesifikasi Model
A. Spesifikasi Model Exchange Rate Pass-Through
Model yang digunakan untuk menganalisis pass-through effect mengacu model yang terdapat
dalam McCarthy (1999), Sato et al (2005), serta model Fickry Widya N. (2006), dengan
melakukan modifikasi model, dimana model aslinya menggunakan Recursive Vector
Autoregression / Recursive VAR, dimodifikasi menjadi unristricted VAR. Adapun spesifikasi
modelnya adalah sebagai berikut:
12
Dimana :Poil = harga minyak dunia, = suku bunga SBI, = uang beredar M2, = nilai
tukar, = inflasi wpi, = inflasi ppi, = inflasi cpi. (L) = lag operator, eit = error term.
Struktur model ini dimulai dari guncangan sisi penawaran / supply shock yang diidentifikasi
melalui inflasi harga minyak / oil price, kemudian respon kebijakan moneter dalam
mengantisipasi supply shock dengan melakukan intervensi terhadap suku bunga nominal,
suku bunga akan mempengaruhi jumlah uang beredar. Pada tahap selanjutnya, supply shock,
intervensi suku bunga serta jumlah uang beredar akan mempengaruhi nilai tukar.
Perilaku nilai tukar dalam rentang waktu yang panjang menunjukkan kecenderungan
yang berubah-ubah seiring dengan sistem nilai tukar yang diterapkan serta berkaitan dengan
keterbukaan perekonomian. Perubahan kurs sedikit banyak akan mempengaruhi variabel
makro lainnya seperti harga, sehingga efek ini diteruskan pada inflasi impor melalui variabel
Wholesale Price Index (WPI), kemudian inflasi impor berkaitan dengan bahan baku impor
yang digunakan dalam proses produksi, sehingga tahap berikutnya akan mempengaruhi cost of
production yang diukur dengan Producer Price Index (PPI), kemudian efek secara
keseluruhan terekam dalam inflasi IHK.
Derajad pass-through dihitung melalui efek kumulatif respon harga terhadap inovasi
kurs dibagi dengan kumulatif respon kurs terhadap inovasi kurs. Apabila derajat ERPT = 1
disebut Completely Pass-Through, derajat ERPT antara 0 – 1 adalah Incomplete Pass-Through,
dan apabila ERPT=0 disebut Zero Pass-Through. Complete pass-through mengindikasikan
respon perubahan harga terhadap perubahan nilai tukar adalah one-for-one, sementara
incomplete pass-throught tidak.
13
B. Spesifikasi Model Exchange Rate Volatility
Volatilitas nilai tukar dimodelkan dengan menggunakan ARCH/GARCH (Auto Regressive
Conditional Heteroscedasticity / General Auto Regressive Conditional Heteroscedasticity).
Implikasi dari data yang bervolatilitas adalah variance dari error tidak konstan sehingga
mengalami heteroskedastisitas. Model ini menganggap bahwa variance yang tidak konstan
bukan merupakan suatu masalah, tetapi justru dapat digunakan untuk modeling dan peramalan.
Estimator yang efisien dapat diperoleh bila heteroskedastisitas dalam error diperlakukan
dengan tepat.
Dalam analisis ini, penulis ingin mengetahui pengaruh volatilitas nilai tukar terhadap
perubahan variabel makro lainnya seperti suku bunga, uang beredar, output, impor, ekspor,
serta, cadangan devisa. Sehingga untuk mengetahui dampaknya terhadap variabel lain,
volatilitas nilai tukar yang sudah diperoleh dari model GARCH akan disusun lagi dalam
persamaan VAR, yang mengadobsi dan memodifikasi model dari Saktiandi Supaat et. All.
(MAS Staff Paper No.25, 2003), dengan ordering variabel sebagai berikut:
Dimana = volatilitas nilai tukar, = suku bunga SBI 1 bulan, = pengeluaran konsumsi,
Sumber: Data DiolahHasil estimasi data pada Tabel 4.1 menunjukkan bahwa hampir semua data stasioner pada
diferensi pertama, sehingga nantinya pemodelan dalam VAR menggunakan data dalam I(1).
4.1.2 Penentuan Lag Optimum
Lag optimum ditentukan berdasarkan AR Roots Table & Lag Length Criteria, dengan hasil
selengkapnya adalah sebagai berikut:
Model ERPT, Periode Managed Floating
Model ERPT, Periode Free Floating
15
Model Volatilitas, Periode Managed FloatingVAR Lag Order Selection Criteria Endogenous variables: D(VOLATILITAS) D(SBI) D(M2) D(CPI) D(INVEST) D(EXPOR) D(IMPOR) D(GDP) Sample: 1990:01 1997:07 Included observations: 82
Temuan empiris ini sesuai dengan Mundel Fleming Model, dimana untuk sistem nilai tukar
yang cenderung fixed exchange rate, penerapan kebijakan moneter cenderung kurang efektif,
karena neraca transaksi berjalan tidak dapat berfungsi sebagai mekanisme penyesuaian. Ekspor
merupakan variabel eksogen yang tidak dipengaruhi oleh fluktuasi nilai tukar, sedangkan
impor sebagai fungsi dari pendapatan. Cadangan devisa memegang peranan penting sebagai
mekanisme penyesuaian untuk mencapai ekuilibrium overall BOP, dimana seberapa jauh
cadangan devisa dapat melaksanakan fungsinya, tergantung pada besar kecilnya cadangan
devisa. Menurunnya cadangan devisa inilah yang menyebabkan kebijakan moneter tidak
efektif, karena penurunan suku bunga sebagai akibat ekspansi kebijakan moneter yang
diharapkan meningkatkan aggregate demand dan output, tidak tercapai.
Sementara pada periode free floating, peran instrumen kebijakan moneter suku bunga
SBI dan uang beredar M2 terhadap pembentukan harga meningkat. Meningkatnya peranan
suku bunga berkaitan dengan penerapan inflation targeting framework, dimana dalam kerangka
kerja tersebut suku bunga berperan sebagai nominal anchor kebijakan moneter, sehingga
peranannya menjadi meningkat.
4.4 Pengaruh Volatilitas Nilai Tukar (Vector Autoregressions (VAR) Model)
Pemodelan dengan VAR dimaksudkan untuk mengetahui pengaruh volatilitas nilai tukar pada
periode managed floating dibandingkan periode free floating terhadap variabel makro lainnya,
19
dengan menggunakan ordering sebagai berikut:
yang artinya volatilitas nilai tukar akan mempengaruhi penentuan suku bunga kebijakan bank
sentral, kemudian suku bunga tersebut akan mempengaruhi uang beredar, tingkat harga,
kemudian tingkat harga mempengaruhi investasi, ekspor, impor, dan dampak akhirnya pada
output nasional. Yang akan dianalisis dalam model VAR ini adalah Variance Decomposition.
Adapun hasil selengkapnya adalah sebagai berikut :
4.4.1 Variance Decomposition
Berdasarkan Variance Decomposition, dapat disarikan dalam Tabel 4.4 pengaruh volatilitas
nilai tukar terhadap variabel makro lainnya, serta variabel yang paling berpengaruh terhadap
masing-masing variabel, untuk kedua rezim nilai tukar.
Tabel 4.4. Pengaruh Volatilitas Nilai Tukar terhadap Variabel Makro, Dibandingkan Pengaruh Variabel Lainnya Periode Managed Floating, Horison 6 Bulan. (dalam %)
Var. Dependent Variabel IndependentVol. NT SBI M2 CPI Invest. Eks. Imp. GDP
Dari Tabel 4.4 dapat dicermati bahwa pada periode Managed Floating, variabel yang
mempunyai pengaruh paling besar terhadap variabel makro lainnya adalah uang beredar (M2).
Besarnya peranan uang beredar dalam perekonomian dapat dijelaskan bahwa pada periode
tersebut, kebijakan moneter bank sentral adalah Base Money Targeting, sehingga secara
sengaja perubahan jumlah uang beredar diarahkan untuk mempengaruhi variabel lainnya.
Sementara pengaruh volatilitas nilai tukar terhadap variabel makro lebih rendah dibandingkan
pengaruh tingkat harga dan output terhadap perekonomian.
Volatilitas nilai tukar mempunyai pengaruh paling besar terhadap ekspor yaitu sekitar
34,14%. Impor relatif sedikit terpengaruh oleh volatilitas nilai tukar, yaitu hanya sebesar 3.86
20
%. Dalam nilai tukar yang cenderung tetap, secara teoretis impor merupakan fungsi dari
pendapatan nasional. Tetapi dalam analisis ini pengaruh pendapatan nasional terhadap impor
sangat kecil, yaitu sekitar 1,22%, dan impor lebih banyak dipengaruhi oleh tingkat harga.
Pengaruh volatilitas nilai tukar terhadap penentuan suku bunga SBI cukup besar, yaitu 17.37%,
sementara pengaruhnya terhadap uang beredar sangat kecil (nyaris tidak ada) begitu juga
terhadap CPI dan GDP.
Tabel 4.5 Pengaruh Volatilitas Nilai Tukar terhadap Variabel Makro, Dibandingkan Pengaruh Variabel Lainnya Periode Free Floating, pada Horison 6 Bulan. (dalam %)
Var. Dependent Variabel IndependentVol. NT SBI M2 CPI Invest. Eks. Imp. GDP
Giancarlo Gandolfo and Giuliu Nicoletti, 2002,” Exchange Rate Volatility and Economic Openness: A Causal Relations? CIDEI Working Paper no. 68.
Jeffrey A. Frankel , dalam Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan vol.2 no.4, Maret 2000
Jonathan McCarthy, November 1999, “ Pass-Through of Exchange Rate and Import Prices to Domestic Inflation in Some Industrialised Economies”, Bank For International Settlements Monetary & Economic Department, Basel, Switzerland.
Marc Klau, 1998,”Exchange Rate Regimes and Inflation and Output In Sub-Saharan Countries,” BIS Working Paper, No.53.
Michael B Devereux, University of British Columbia & CEPR, Charles Engel, University of Wisconsins, NBER, Maret 2002, “Exchange Rate Pass-Through, Exchange Rate Volatility, Exchange Rate Disconnect.”
Michael B Devereux and James Yetman, “Price-Setting and Exchange Rate Pass-Through: Theory and Evidence”.
Saktiandi Supaat et. Al . 2003, “Investigating Relationship Between Exchange Rate Volatility and Macroeconomic Volatility in Singapore,” Monetary Authority of Singapore, Staff Paper No.25.
24
Takatoshi Ito, Yuri N. Sasaki, & Kiyotaka Sato, April 2005, “ Pass-Through of Exchange Rate Change & Macroeconomic Shocks to Domestic Inflation in East Asian Countries,” RIETI Discussion Paper Series.