CLINICAL SCIENCE SESSION
KORTIKOSTEROID SISTEMIK
Oleh:
Valentine Natasya 1301-1211-0630
Rani Pitta Omas1301-1211-0655
Preseptor:
Reiva Farah Dwiyana, dr., SpKK., M. Kes
BAGIAN ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PADJADJARAN
RUMAH SAKIT DR. HASAN SADIKIN
BANDUNG
2012
Pendahuluan
Kortikosteroid dibedakan menjadi 2 golongan besar yaitu
glukokortikoid dan mineralokortikoid. Efek utama glukokortikoid
adalah penyimpanan glikogen hepar dan efek anti-inflamasinya,
sedangkan pengaruhnya pada keseimbangan air dan elektrolit kecil.
Efek utama golongan mineralokortikoid adalah terhadap keseimbangan
air dan elektrolit, sedangkan pengaruhnya pada penyimpanan glikogen
hepar kecil. Golongan mineralokortikoid tidak mempunyai efek
anti-inflamasi.
Sediaan kortikosteroid dapat dibedakan menjadi 3 golongan
berdasarkan masa kerjanya, yaitu kerja singkat, sedang, dan lama.
Sediaan kerja singkat mempunyai masa paruh biologis kurang dari 12
jam. Sediaan kerja sedang mempunyai masa paruh biologis 12-36 jam.
Sediaan kerja lama mempunyai masa paruh biologis lebih dari 36
jam.
Kortikosteroid alami yang paling banyak dihasilkan oleh tubuh
adalah kortisol. Kortisol disintesis dari kolesterol oleh kortex
adrenal. Sekresi kortisol per hari berkisar antara 10 sampai 20 mg,
dengan puncak diurnal sekitar pukul 8 pagi.
Cara pemberian dan dosis
Sediaan kortikosteroid dapat diberikan secara oral, parenteral
(IV, IM, intrasinovial, dan intra lesi), topikal pada kulit dan
mata (dalam bentuk salep, krim, losion), serta aerosol melalui
jalan nafas. Kortikosteroid sistemik banyak digunakan dalam bidang
dermatologi karena obat tersebut memiliki efek anti-inflamasi.
Jika glukokortikoid oral diresepkan, prednison merupakan sediaan
yang paling umum dipilih. Glukokortikoid biasanya diberikan harian,
meskipun untuk penyakit akut dosis terpisah harian dapat diberikan.
Dosis inisial sering diberikan harian untuk mengontrol proses
penyakit, dapat berkisar antara 2,5 mg sampai beberapa ratus
miligram per hari. Jika digunakan kurang dari 2 minggu, pengobatan
glukokortikoid dapat dihentikan tanpa tapering. Dosis minimal yang
memungkinkan dari agen short-acting untuk diberikan setiap pagi
akan meminimalisir efek samping. Karena kadar kortisol memuncak
pada sekitar jam 8 pagi, aksis HPA paling sedikit tersupresi bila
diberikan pada pagi hari tersebut. Ini disebabkan karena feedback
maksimal dari supresi sekresi ACTH oleh pituitari telah terjadi.
Glukokortikoid kadar rendah saat malam memberikan efek sekresi yang
normal dari ACTH.
Glukokortikoid intravena digunakan dalam dua situasi. Yang
pertama adalah untuk penanganan stress pada pasien yang sakit akut
atau yang menjalani operasi, dan untuk pasien yang memiliki adrenal
supresi dari terapi glukokortikoid harian. Yang kedua adalah untuk
pasien dengan penyakit tertentu, seperti resistent pyoderma
gangrenosum, pemfigus atau pemfigoid bulosa yang parah, SLE yang
serius, atau dermatomyositis, untuk mencapai pengendalian yang
cepat terhadap penyakit. Methylprednisolone digunakan dengan dosis
500 mg sampai 1 g perhari karena potensinya yang tinggi dan
aktivitas retensi sodium yang rendah. Efek samping serius yang
berhubungan dengan pemberian intravena adalah reaksi anafilaktik,
kejang, aritmia, dan sudden death. Efek samping lain adalah
hipotensi, hipertensi, hiperglikemi, pergeseran elektrolit, dan
psikosis akut. Pemberian yang lebih lambat, 2-3 jam, telah
meminimalisir banyak efek samping yang serius.
Mekanisme Kerja
Kortikosteroid bekerja dengan mempengaruhi kecepatan sintesis
protein. Molekul hormon memasuki sel jaringan melalui membran plama
secara difusi pasif di jaringan target, kemudian bereaksi dengan
reseptor protein yang spesifik dalam sitoplasma sel jaringan dan
membentuk kompleks reseptor-steroid. Kompleks ini mengalami
perubahan konfirmasi, lalu bergerak menuju nukleus dan berikatan
dengan kromatin. Ikatan ini menstimulasi transkripsi RNA dan
sintesis protein spesifik. Induksi sintesis protein ini merupakan
perantara efek fisiologis steroid.
Efek
Pengaruh kortikosteroid terhadap fungsi dan organ tubuh :
a. Glukokortikoid
Menimbulkan metabolisme perantara normal
Glukokortikoid membantu glukoneogenesis dengan jalan
meningkatkan ambilan asam amino oleh hati dan ginjal serta
meningkatkan aktivitas enzim glukoneogenik. Obat-obat ini
merangsang katabolisme protein dan lipolisis.
Meningkatkan retensi terhadap stress
Dengan meningkatkan kadar glukosa plasma, glukokortikoid
memberikan energi yang diperlukan tubuh untuk melawan stress yang
disebabkan oleh trauma, infeksi, perdarahan, dan ketakutan.
Glukokortikoid dapat menyebabkan peningkatan tekanan darah, dengan
jalan meningkatkan efek vasokonstriksi rangsangan adrenergik pada
pembuluh darah kecil.
Merubah kadar sel darah dalam plasma
Glukokortikoid menyebabkan penurunan eosinofil, basofil,
monosit, dan limfosit dengan jalan meredistribusinya ke dalam
jaringan limfoid dari sirkulasi. Sebaliknya, glukokortikoid
meningkatkan kadar haemoglobin trombosit, eritrosit, dan leukosit
polimorfonuklear dalam darah.
Efek anti-inflamasi
Glukokortikoid memiliki kemampuan untuk mengurangi respon
peradangan secara dramatis dan untuk menekan imunitas. Penggunaan
klinik kortikoteroid sebagai anti-inflamasi merupakan terapi
paliatif, yaitu gejalanya dihambat sedangkan penyebabnya masih
ada.
Mekanisme kerja anti-inflamasi glukokortikosteroid melalui
difusi pasif glukokortikosteroid melalui membran sel, diikuti
pengikatan ke protein reseptor di sitoplasma. Kompleks
hormon-reseptor ini kemudian bergerak menuju nukleus dan meregulasi
transkripsi beberapa gen target. Terdapat 3 mekanisme utama dari
glukokortikoid, sebagai berikut:
1. Efek langsung pada ekspresi gen dengan membentuk ikatan
antara reseptor glukokortikoid (GRs) dan elemen responsif
glukokortikoid (GREs). Hal ini menyebabkan induksi protein seperti
annexin I dan MAPK phosphatase (menurunkan produksi phospholipase
A2 mengurangi asam arakidonat berkurangnya formasi prostaglandin
dan leukotrien)
2. Efek tidak langsung melalui interaksi antara GRs dengan
faktor transkripsi lain. Hal ini menyebabkan efek inhibisi pada
sintesis mediator-mediator pro-inflamatori (sitokin, interleukin,
molekul adesi, dan protease)
3. Efek yang dimediasi oleh reseptor glukokortikoid melalui
second messenger cascades, pada non-genomic pathway.
Mempengaruhi komponen lain sistem endokrin
Penghambatan umpan balik produksi kortikotropin oleh peningkatan
glukokortikoid menyebabkan penghambatan sintesis glukokortikoid
lebih lanjut, sedangkan hormon pertumbuhan menurun.
Efek pada sistem lain
Dosis tinggi glukokortikoid merangsang asam lambung dan produksi
pepsin yang dapat menyebabkan eksaserbasi ulkus. Efeknya pada
susunan saraf pusat mempengaruhi status mental. Terapi
glukokortikoid kronik dapat menyebabkan kehilangan massa tulang
berat. Miopati mnimbulkan keluhan lemah.
b. Mineralokortikoid
Mineralokortikoid membantu kontrol volume cairan tubuh dan
konsentrasi elektrolit, terutama Na, K.
Farmakokinetik
Lebih dari 90 % glukokortikoid yang diabsorbsi terikat dengan
protein plasma, kebanyakan terikat dengan globulin pengikat
kortikosteroid dan sisanya dengan albumin. Afinitas globulin tinggi
tetapi kapasitas ikatnya rendah, sebaliknya afinitas albumin rendah
tetapi kapasitas ikatnya tinggi. Pada kadar rendah atau normal,
sebagian besar kortikosteroid terikat globulin. Bila kadar
kortikosteroid meningkat, jumlah hormon yang terikat albumin dan
yang bebas juga meningkat, sedangkan yang terikat globulin sedikit
mengalami perubahan. Kortikosteroid berkompetisi sesamanya untuk
berikatan dengan globulin. (3)
Kortikosteroid dimetabolisme dalam hati oleh enzim mikrosom
pengoksidasi. Metrabolitnya dikonjugasi menjadi asam glukoronat dan
sulfat. Produknya diekskesikan melalui ginjal. (1)
Indikasi
Penggunaan kortikosteroid lebih banyak bersifat empiris, kecuali
untuk terapi substitusi pada defisiensi. Enam prinsip terapi yang
perlu diperhatikan sebelum menggunakan obat kortikosteroid, yaitu
:
untuk tiap penyakit pada tiap pasien, dosis efektif harus
ditetapkan dengan trial and error, serta harus di re-evaluasi dari
waktu ke waktu sesuai dengan perubahan penyakit,
suatu dosis tunggal besar kortikosteroid umumnya tidak
berbahaya,
penggunaan kortikosteroid untuk beberapa hari tanpa adanya
kontraindikasi spesifik, tidak membahayakan kecuali dengan dosis
yang sangat besar,
bila pengobatan diperpanjang sampai beberapa minggu atau bulan
hingga dosis melebihi dosis substitusi, insiden efek samping dan
efek letal potensial akan bertambah,
penggunaan kortikosteroid bukan merupakan terapi kausal atau
kuratif tetapi hanya bersifat paliatif karena efek
anti-inflamasinya, kecuali untuk insufisiensi adrenal,
penghentiaan pengobatan tiba-tiba pada terapi jangka panjang
dengan dosis besar mempunyai resiko insufisiensi adrenal hebat dan
dapat mengancam jiwa.
Ada beberapa pertimbangan dalam pemilihan glukokortikoid :
sediaan dengan efek mineralokortikoid minimal biasanya dipilih
untuk menurunkan efek retensi sodium.
penggunaan prednisone atau obat sejenisnya dalam jangka panjang
dengan afinitas steroid-receptor yang lemah dapat menurunkan efek
samping. Penggunaan jangka panjang dari obat seperti dexametason
yang memiliki waktu paruh yang lebih panjang dan afinitas
steroid-receptor yang tinggi dapat menghasilkan efek samping yang
lebih banyak tanpa efek terapeutik yang lebih baik.
Jika pasien tidak merespon pada kortison atau prednison,
penggantian dengan bentuk aktifnya, kortisol dan prednisolon, harus
dipertimbangkan.
Indikasi penggunan kortikosteroid, yaitu :
1. Penyakit bula serius (pemfigus, pemfigoid bulosa, pemfigoid
sikatrik, erythema multiforme, toxic epidermal necrolysis)
2. Penyakit jaringan ikat (dermatomyositis, systemic lupus
erythematosus, mixed-connective tissue disorder, fasciitis
eosinophilic, relapsing polychondritis)
3. Vasculitis
4. Dermatosa neutrofilik (pioderma gangrenosum, acut febrile
neutrophilic dermatosis)
5. Sarcoidosis
6. Reaksi lepra tipe I
7. Hemangioma yang bermasalah pada bayi
8. Panniculitis
9. Urtikaria/angioedema.
Penggunakan glukokortikoid singkat, dapat dilakukan pada
dermatitis yang berat (dermatitik kontak, dermatitik atopik,
fotodermatitis, dermatitis exfoliatif, dan erythroderma).
Penggunaan glukokortikoid dengan dosis rendah dapat diberikan
pada pasien pada saat tidur jika kondisinya tidak responsif hingga
memerlukan terapi konservatif contohnya acne dan hirsutism pada
pasien sindrome androgenital.
Table 391. Some Commonly Used Natural and Synthetic
Corticosteroids for General Use.
Agent
Anti-Inflammatory
Topical
Salt-Retaining
Equivalent Oral Dose (mg)
Forms Available
Short- to medium-acting glucocorticoids
Hydrocortisone (cortisol)
1
1
1
20
Oral, injectable, topical
Cortisone
0.8
0
0.8
25
Oral
Prednisone
4
0
0.3
5
Oral
Prednisolone
5
4
0.3
5
Oral, injectable
Methylprednisolone
5
5
0
4
Oral, injectable
Meprednisone2
5
0
4
Oral, injectable
Intermediate-acting glucocorticoids
Triamcinolone
5
53
0
4
Oral, injectable, topical
Paramethasone2
10
0
2
Oral, injectable
Fluprednisolone2
15
7
0
1.5
Oral
Long-acting glucocorticoids
Betamethasone
2540
10
0
0.6
Oral, injectable, topical
Dexamethasone
30
10
0
0.75
Oral, injectable, topical
Mineralocorticoids
Fludrocortisone
10
0
250
2
Oral
Desoxycorticosterone acetate2
0
0
20
Injectable, pellets
1Potency relative to hydrocortisone.
2Outside USA.
3Acetonide: Up to 100.
Tabel 1. Glukokortikoid
Equivalent Glucocorticoid Potency (MG)
Mineralcorticoid Potency
Plasma Half-Life (menit)
Duration of Action (jam)
Short-acting
Hidrocortisone (Cortisol)
20
0,8
90
8-12
Cortisone
25
1
30
8-12
Intermediate-acting
Prednisone
5
0,25
60
24-36
Prednisolone
5
0,25
200
24-36
Methylprednisolone
4
0
180
24-36
Triamcinolone
4
0
300
24-36
Long-acting
Dexamethasone
0,75
0
200
36-54
Tabel 2. Penggunaan Kortikosteroid dan Penyakitnya
Nama penyakit
Kortikosteroid dan dosis sehari
Dermatitis
Prednison 4 x 5 mg atau 3 x 10 mg
Erupsi alergi obat ringan
Prednison 3 x 10 mg atau 4 x 10 mg
Steven-Johnson Syndrome berat dan TEN
Deksametason 6 x 5 mg
Eritroderma
Prednison 3 x 10 mg atau 4 x 10 mg
Reaksi lepra
Prednison 3 x 10 mg
Lupus eritematous diskoid
Prednison 3 x 10 mg
Pemfigus bulosa
Prednison 40 - 80 mg
Pemfigus vulgaris
Prednison 60 - 150 mg
Pemfigus foliaselus
Prednison 3 x 20 mg
Pemfigus eritematous
Prednison 3 x 20 mg
Psoriasis pustulosa
Prednison 4 x 10 mg
Efek Samping
Efek samping terapi kortikosteroid tergantung pada dosis, lama
pengobatan, dan macam kotikosteroi. Pada pengobatan jangka pendek
(beberapa hari/minggu) umumnya tidak terjadi efek samping yang
gawat. Pada pengobatan jangka panjang (beberapa bulan/tahun) haru
diadakan tindakan untuk mencegah terjadinya efek tersebut, yaitu
:
diet tinggi protein dan rendah garam,
pemberian KCl (3 x 500 mg sehari) untuk orang dewasa jika
terjadi defisiensi kalium,
obat anabolik,
antibiotik perlu diberikan (jika dosis besar),
antasida.
Pada pengobatan jangka panjang harus waspada terhadap efek
samping, hendaknya diperiksa tensi dan berat badan (seminggu
sekali), EKG (sebulan sekali)terutama pada usia 40 tahun, dan
pemeriksaan laboratorium (Hb, jumlah leukosit, hitung jenis, LED,
urin lengkap, kadar Na, K dalam darah, gula darah seminggu sekali),
foto thorax (3 bulan sekali untuk melihat TB paru).
Efek samping dapat timbul karena penghentian obat tiba-tiba atau
pemberian obat terus-menerus terutama dengan dosis besar. Efek
samping terapi kortikosteroid yaitu :
- Osteoporosis
Osteoporosis terjadi pada 40% dari pasien-pasien dengan terapi
kortikosteroid sistemik, terutama menonjol pada anak-anak, remaja,
dan wanita postmenopause. Kira-kira sepertiga pasien terbukti
memiliki fraktur vertebra setelah 5-10 tahun menggunakan steroid.
Bone loss terjadi paling cepat pada 6 bulan pertama penggunaan
glukokrtikoid, namun berlanjut lebih lambat setelah itu, dengan
kehilangan 3-10& tulang per tahun pada banyak pasien. Beberapa
bone loss dapat reversible setelah glukokortikoid dihentikan,
paling tidak pada pasien yang muda.
Glukokortikoid menginhibisi osteoblas, meningkatkan ekskresi
kalsium oleh ginjal, menurunkan absorbsi kalsium intestinal, dan
meningkatkan resorpsi tulang oleh osteoklas. Glukokortikoid juga
mengurangi kadar estrogen dan testosteron, yang mungkin manjadi
faktor yang penting dalam patogenesis osteoporosis.
- Avascular necrosis
Avascular necrosis (AVN) dimanifestasikan oleh nyeri dan
terbatasnya pergerakan satu atau lebih sendi. Ditemukan hipertensi
intraoseus, diikuti iskemik tulang dan nekrosis. Hipertrofi liposit
intraoseus mungkin menyebabkan hiupertensi intraoseus ini.
Glukokortikoid juga mendorong apoptosis dari osteoblas, yang juga
mendukung terjadinya AVN. Penyakit yang telah ada sebelumnya,
seperti SLE, meningkatkan kemungkinan adanya steroid-induced AVN.
Penelitian menunjukkan bahwa banyak pasien yang mengembangkan AVN
memiliki trombofilia atau hipofibrinolisis, yang membawa pada
oklusi trombotik dari aliran vena dari tulang, penurunan perfusi
arterial, dan infark tulang.
-Aterosklerosis
Glukokortikoid meningkatkan banyak faktor resiko yang berkaitan
dengan pembentukan aterosklerosis, diantaranya hipertensi arterial,
resistensi insulin, intoleransi glukosa, hiperlipidemia, dan
obesitas sentral. Karenanya adalah wajar bahwa pasien yang
mengkonsumsi glukokortikoid memiliki peningkatan resiko untuk
aterosklerosis. penderita dengan Cushings disease memiliki angka
kematian 4 kali lebih tinggi dari komplikasi kardiovaskular,
termasuk CAD, CHF, dan cardiac stroke. Resiko untuk aterosklerosis
bertahan untuk paling tidak 5 tahun setelah normalisasi kadar serum
kortisol pada Cushings disease, dan penemuan serupa dapat ditemukan
pada pasien-pasien dengan terapi glukokortikoid kronis.
-Suppresi aksis Hipotalamus-Pituitari-Adrenal
Aksis HPA dengan cepat disupresi setelah onset terapi
glukokortikoid. Jika terapi terbatas sampai 1-3 minggu, aksis HPA
dapat kembali dengan cepat. Sementara penggunaan lebih lama
berhubungan dengan supresi aksis HPA sampai satu tahun setelah
terapi dihentikan. Gejala-gejala supresi adrenal diantaranya
letargi, mual, anoreksia, demam, hipotensi ortostatik, hipoglikemi,
dan kehilangan berat badan.
Juga ada withdrawal syndrome steroid, dimana pasien mengalami
gejala-gejala insufisiensi adrenal meskipun memiliki respon
kortisol yang tampaknya normal terhadap ACTH. Gejala-gejala umumnya
termasuk anoreksia, letargi, malaise, mual, kehilangan berat badan,
deskuamasi, nyeri kepala, dan demam. Lebih jarang, terjadi muntah,
mialgia, dan athralgia. Pasien-pasien ini telah terbiasa pada kadar
glukokortikoid yang tinggi, dan gejala menghilang setelah
glukokortikoid dimulai lagi. Masalah ini dapat diatasi dengan
tapering glukokortikoid yang lebih lambat, biasanya 1 mg prednison
tiap minggu.
- Efek samping imunologis
Glukokortikoid mengganggu reaksi hipersensitivitas tipe lambat
karena inhibisinya terhadap limfosit dan monosit.
Berkaitan dengan kehamilan dan laktasi
Glukokortikoid melintasi plasenta, namun tidak teratogenik.
Infant yang terpapar, termasuk bayi yang diberi ASI dari ibu yang
menggunakan glukokortikoid harus dimonitor untuk supresi adrenal
dan supresi pertumbuhan.
Interaksi obat
Obat-obat seperti barbiturat, fenitoin, dan rifampin, yang
menginduksi enzim mikrosomal hepar, dapat mempercepat metabolisme
glukokortikoid Obat-obat seperti cholestyramine, colestipol, dan
antasid mengganggu absorbsi glukortikoid. Glukokortikoid mengurangi
kadar serum salisilat dan membuat kebutuhan dosis yang lebih tinggi
untuk warfarin sebagai antikoagulan.
Strategi untuk mengurangi efek samping glukokortikoid
1. Evaluasi sebelum pengobatan.
Untuk meminimalisir masalah, evaluasi awal harus memasukkan
riwayat pribadi dan keluarga, dengan perhatian lebih pada
predisposisi terhadap diabetes, hipertensi, hiperlipidemi, glukoma,
dan penyakit-penyakit lain yang berhubungan dengan terapi steroid.
Tekanan darah dan berat badan awal harus diukur. Jika pengobatan
diperkirakan diperpanjang, pemeriksaan mata dan tes PPD harus
dilakukan, Pemeriksaan untuk infeksi lain harus berhubungan denga
riwayat dan pemeriksaan fisik. Jika penggunaan jangka panjang
glukokortikoid direncanakan, pengukuran densitas tulang spinal awal
harus didapatkan.
2. Evaluasi selama pengobatan
Pada kunjungan follow-up, harus ditanyakan apakah ada keluhan
poliuri, polidipsi, sakit perut, demam, gangguan tidur, dan efek
psikologis pada pasien. Mungkin terdapat efek yang serius pada afek
dan bahkan psikosis pada pasien dengan dosis tinggi glukokortikoid.
Berat badan dan tekanan darah harus dimonitor. Elektrolit serum,
gula darah puasa, dan kadar kolesterol serta trigliserida harus
diukur. Pemeriksaan mata harus dilakukan dengan monitoring yang
hati-hati untuk perkembangan katarak dan glukoma.
3. Pengukuran-pengukuran preventif
- Diet
Diet harus dalam rendah kalori, lemak, sodium, dan tinggi
protein. Konsumsi alkohol, kopi, dan nikotin harus diminimalisir.
Olah raga harus dianjurkan.
- Infeksi
Pasien dengan tes PPD positif harus diberikan profilaksis dengan
isoniazid. Demam atau temuan fokus infeksi harus diperiksa dengan
pendekatan diagnosa yang tepat.
- Komplikasi gastrointestinal
Terdapat peningkatan hampir sembilan kali lipat insidensi ulkus
peptikum pada pasien dengan glukokortikoid dan NSAID. Pada pasien
dengan dua atau lebih faktor resiko (seperti pasien yang
mengkonsumsi NSAID, adanya riwayat ulkus peptikum, atau dosis total
glukokortikoid >1000 mg, profilaksis harus dipertimbangkan.
Profilaksis dapat berupa antasid, H2 receptor blocker, atau proton
pump inhibitor.
- Supresi adrenal
Pasien yang menerima glukokortikoid lebih lama dari 3-4 minggu
harus dianggap memiliki supresi adrenal yang membutuhkan tapering
glukokortikoid untuk mengembalikan aksis HPA.Tapering paling baik
dilakukan dengan mengganti dari dosis harian ke dosis selang hari,
diikuti pengurangan dosis bertahap.
- Osteoporosis
Beberapa terapi dikembangkan untuk mencegah osteoporosis pada
pangguna glukokortikoid. Pencegahan dapat dengan suplemen kalsium
dan vitamin D. Pada wanita post menopause dan premenopause yang
menjadi amenorheic karena glukokortikoid, hasil yang baik
didapatkan dengan pemberian Hormon Replacement Therapy. Pria dengan
kadar testosteron serum yang rendah yang menerima pengobatan
glukokortikoid harus mendapatkan suplemen testosteron. Peningkatan
osteolisis karena steroid menyembangkan digunakannya beberapa agen
yang menghambat resorpsi tulang, seperti biphosphonate dan
calcitonin. Rekomendasi saat ini termasuk pengukuran densitas
tulang dan studi seerial untuk mengidentifikasi awal adanya
densitas tulang yang hilang. Densitas tulang terbaik diukur di
spina lumbal pada pasien kurang dari 60 tahun dan di leher femur
pada pasien lebih dari 60 tahun.
- Aterosklerosis
Tekanan darah, lipid serum, dan jadar glukosa harus diperiksa
secara serial. Abnormalitas harus diobati dengan manipulasi diet
dan pengobatan yang perlu.
- Avascular necrosis
Deteksi awal penting karena intervensi awal dapat mencegah
progressi pada penyakit degenerasi sendi. Pasien harus selalu
dipantau apakah ada keluhan nyeri dan keterbatasan gerakan sendi.
Pemeriksaan yang sensitif untuk deteksi AVN adalah bone scan dan
MRI.
Tabel 2. Efek Samping Kortikosteroid
Penghambat Kortikosteroid
Metirapon
Metirapon mempengaruhi sintesis kortikosteroid dengn jalan
menghambat langkah akhir (11-hidroksilasi) sintesis glukokortikoid
yang menyebabkan peningkatan 11-deoksikortisol sama seperti
androgen adrenal dan mineralokortikoid kuat,
11-deoksikortikosteron.
Aminoglutetimid
Aminoglutetimid bekerja dengan jalan menghambat konversi
kolesterol menjadi pregnenolon. Akibatnya, sintesis semua steroid
aktif berkurang. Aminoglutetimid diberikan bersama dengan
deksametason pada pengobatan kanker payudara untuk mengurangi
androgen dan produksi estrogen. Aminoglutetimid juga berguna pada
pengobatan keganasan korteks adrenal untuk mengurangi sekresi
steroid.
Ketokonazol
Ketokonazol menghambat dengn kuat sintesis hormon gonad dan
hormon steroid.
Mifepriston
Mifepriston merupakan suatu antagonis glukokortkoid kuat. Obat
ini membentuk kompleks dengan reseptor glukokortikoid, tetapi
disosiasi obat yang cepat dari reseptor menyebabkankesalahan
translokasi ke dalam nukleus.
Spironolakton
Spironolakton bersaing pada reseptor mineralokortikoid sehingga
menghambat reabsorbsi Na di ginjal. Obat ini dapat juga
mengantagonis sintesis aldosteron dan testosteron.
DAFTAR PUSTAKA
1. Chrousos,George. Adrenocorticosteroid and Adrenocortical
Antagonists. In: Katzung BG, editor. Basic and Clinical
Pharmacology. 9th ed.USA : The McGraw-Hill Companies, Inc., 2004 :
641-658
2. Valencia,Isabel,Kerdel,Fransisco. Topical
Glukocorticosteroids. In:Wolff, Klaus, Jhonson, Richard, editor.
Fitzpatricks Colour Atlas and Synopsis of Clinical Dermatology. 5th
edition. USA : The McGraw-Hill Companies, Inc., 2005 : 2324
2327.