TESIS KORELASI KUALITAS TIDUR DENGAN NYERI KEPALA PRIMER PADA SISWA-SISWI SEKOLAH MENENGAH ATAS NEGERI 1 AMLAPURA KABUPATEN KARANGASEM AGUS ANTARA PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2015
TESIS
KORELASI KUALITAS TIDUR DENGAN NYERIKEPALA PRIMER PADA SISWA-SISWI SEKOLAH
MENENGAH ATAS NEGERI 1 AMLAPURAKABUPATEN KARANGASEM
AGUS ANTARA
PROGRAM PASCASARJANAUNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR2015
i
TESIS
KORELASI KUALITAS TIDUR DENGAN NYERIKEPALA PRIMER PADA SISWA-SISWI SEKOLAH
MENENGAH ATAS NEGERI 1 AMLAPURAKABUPATEN KARANGASEM
AGUS ANTARANIM : 1014068103
PROGRAM MAGISTERPROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK
PROGRAM PASCASARJANAUNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR2015
ii
KORELASI KUALITAS TIDUR DENGAN NYERIKEPALA PRIMER PADA SISWA-SISWI SEKOLAH
MENENGAH ATAS NEGERI 1 AMLAPURAKABUPATEN KARANGASEM
Tesis untuk Memperoleh Gelar Magisterpada Program Magister, Program Studi Ilmu Biomedik
Program Pascasarjana Universitas Udayana
AGUS ANTARANIM : 1014068103
PROGRAM MAGISTERPROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK
PROGRAM PASCASARJANAUNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR2015
iii
iii
Lembar Pengesahan
TESIS INI TELAH DISETUJUITANGGAL 3 MARET 2015
Pembimbing I,
dr. I Made Oka Adnyana, Sp. S (K)NIP 195610101983121001
Pembimbing II,
Dr. dr. D. P. G. Purwa Samatra, Sp. S (K)NIP 195503211983031004
Mengetahui
Ketua Program Magister Ilmu BiomedikProgram PascasarjanaUniversitas Udayana,
Prof. Dr. dr. Wimpie Pangkahila, Sp. And, FAACSNIP 194612131971071001
DirekturProgram PascasarjanaUniversitas Udayana,
Prof. Dr. dr. A. A. Raka Sudewi, Sp. S (K)NIP 195902151985102001
iv
Tesis Ini Telah Diuji pada
Tanggal 3 Maret 2015
Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Rektor
Universitas Udayana, No.: 402/UN 14.4/HK/2015, Tanggal 3 Februari 2015
Ketua : dr. I Made Oka Adnyana, Sp. S (K)
Anggota : 1. Dr. dr. D. P.G. Purwa Samatra, Sp. S (K)
2. Prof. Dr. dr. A. A. Raka Sudewi, Sp. S (K)
3. Dr. dr. A. A. A. Putri Laksmidewi, Sp. S (K)
4. dr. I Putu Eka Widyadharma, M. Sc, Sp. S (K)
v
vi
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji syukur penulis panjatkan ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan
Yang Maha Esa, karena hanya atas berkat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan karya akhir ini.
Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada semua pihak
yang telah berperan besar sehingga penulis dapat menyelesaikan Program Pendidikan
Dokter Spesialis (PPDS) I Neurologi dan Program Magister Program Studi Ilmu
Biomedik Program Pasca Sarjana Universitas Udayana.
Terima kasih yang tak terhingga penulis ucapkan kepada pembimbing karya akhir
ini, dr. I Made Oka Adnyana, Sp. S (K) dan Dr. dr. D. P. G. Purwa Samatra, Sp. S (K)
atas segala bimbingan, masukan dan sarannya khususnya terkait penyusunan karya
akhir ini. Kepada dr. I Putu Eka Widyadharma, M. Sc, Sp. S (K) penulis mengucapkan
terima kasih atas bantuan dan bimbingannya khususnya yang berkenaan dengan
statistik.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Rektor Universitas Udayana Prof. Dr. dr.
Ketut Suastika, Sp. PD-KEMD dan Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Udayana
Prof. Dr. dr. Putu Astawa, M. Kes, Sp. OT (K) atas izin dan fasilitas yang diberikan
kepada penulis untuk mengikuti Pendidikan Dokter Spesialis I Ilmu Penyakit Saraf FK
UNUD/RSUP Sanglah.
Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Prof. Dr. dr. A. A. Raka
Sudewi, Sp. S (K), selaku Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana dan
kepada Prof. Dr. dr. Wimpie Pangkahila, Sp. And, FAACS selaku Ketua Program
vii
Studi Magister Ilmu Biomedik Program Pascasarjana Universitas Udayana, atas izin
dan fasilitas yang diberikan kepada penulis saat mengikuti dan menyelesaikan PPDS I
Neurologi FK UNUD/RSUP Sanglah dan Program Magister Program Studi Ilmu
Biomedik Program Pascasarjana Universitas Udayana FK UNUD/RSUP Sanglah.
Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada Direktur Utama RSUP Sanglah
Denpasar dr. Anak Ayu Sri Saraswati, MARS dan mantan Direktur Utama RSUP
Sanglah Denpasar, dr.Wayan Sutarga, MPHM atas izin, tempat dan fasilitas yang
sudah diberikan. Terima kasih sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada Ketua TKP
PPDS I FK UNUD/ RSUP Sanglah, dr. Nyoman Semadi, Sp. BTKV dan mantan
Ketua TKP PPDS I FK UNUD/RSUP Sanglah, dr. I Wayan Kondra, Sp. S (K) atas
kesempatan mengikuti pendidikan ini.
Penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada para
penguji, dr. I Made Oka Adnyana, Sp. S (K), Dr. dr. D. P. G. Purwa Samatra, Sp. S
(K), Prof. Dr. dr. A. A. Raka Sudewi, Sp. S (K), dr. I. G. N. Purna Putra, Sp. S (K),
Dr. dr. A. A. A. Putri Laksmidewi, Sp. S (K) dan dr. I Putu Eka Widyadharma, M. Sc,
Sp. S(K) atas bimbingan, saran dan koreksi dari tahap praproposal, ujian proposal,
seminar hasil penelitian, ujian hasil penelitian dan ujian akhir tesis.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr. dr. D. P. G. Purwa Samatra, Sp. S (K)
selaku Kepala Bagian/SMF Neurologi FK UNUD/RSUP Sanglah pada periode 2006-
2014 dan dr. A. A. B. N. Nuartha Sp. S (K) selaku Kepala Bagian/SMF Neurologi FK
UNUD/RSUP Sanglah periode 2014-2019, yang telah memberikan kesempatan untuk
mengikuti dan menyelesaikan pendidikan ini. Kepada dr. I Made Oka Adnyana, Sp. S
viii
(K), selaku Ketua Program Studi Pendidikan Dokter Spesialis I Neurologi Fakultas
Kedokteran Universitas Udayana pada saat penulis diterima sebagai peserta PPDS I
Neurologi dan Dr. dr. A. A. A. Putri Laksmidewi, Sp. S (K) selaku Plt. Ketua Program
Studi Pendidikan Dokter Spesialis I Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas
Udayana, atas kesempatan, fasilitas yang diberikan serta dorongan yang tiada henti
kepada penulis untuk mengikuti dan segera menyelesaikan pendidikan ini. Kepada dr.
Desak Ketut Indrasari Utami, Sp. S sebagai pembimbing akademik, penulis ucapkan
terima kasih yang tak terhingga atas segala bimbingan, didikan, nasehat, motivasi dan
petunjuk yang diberikan selama proses pendidikan.
Kepada seluruh supervisor sekaligus guru penulis di Bagian/SMF Neurologi FK
UNUD/RSUP Sanglah, dr. I Wayan Kondra, Sp. S (K), dr. A. A. B. N. Nuartha, Sp. S
(K), Dr. dr. D. P. G. Purwa Samatra, Sp. S (K), dr. I. G. N. Budiarsa, Sp. S, dr. I Made
Oka Adnyana, Sp. S (K), Prof. Dr. dr. A. A. Raka Sudewi, Sp. S (K), Dr. dr. Thomas
Eko Purwata, Sp. S (K), dr. I. G. N. Purna Putra, Sp. S (K), Dr. dr. A. A. A. Putri
Laksmidewi, Sp. S (K), Dr. dr. Anna Marita G. Sinardja, Sp. S (K), dr. A. A. A.
Meidiary, Sp. S, dr. I Komang Arimbawa, Sp. S, dr. I. B. Kusuma Putra, Sp. S, dr.
Desak Ketut Indrasari Utami, Sp. S, dr. I Putu Eka Widyadharma, M. Sc, Sp. S (K),
dr. Kumara Tini, Sp. S, FINS, dr. Ketut Widyastuti, Sp. S, dr. Ni Made Susilawathi,
Sp. S, dr. I. A. Sri Indrayani, Sp. S, dr. Ni Putu Witari, Sp. S, dr. I. A. Sri Wijayanti,
M. Biomed, Sp. S dan dr. Sri Yenni Trisnawati, M. Biomed, Sp. S penulis ucapkan
terima kasih tak berhingga atas segala bimbingan dan saran selama penulis mengikuti
pendidikan.
ix
Terima kasih penulis ucapkan kepada dr. Luh Putu Lina Kamelia, Sp. S, dr. Yosi
P. Silalahi, Sp. S, dr. Ni Putu Witari, Sp. S, dr. I Dewa Ngurah Agung Satriawan, Sp.
S, dr. Desie Yuliani, Sp. S dan dr. I Gusti Martin Widanta, M. Biomed, Sp. S yang
selalu memberi bimbingan dan dorongan semangat kepada penulis untuk
menyelesaikan karya akhir ini. Terima kasih kepada semua teman sejawat PPDS I
Neurologi FK UNUD/RSUP Sanglah Denpasar atas kerjasama, dorongan semangat,
dan pengertian teman-teman selama penulis mengikuti pendidikan ini, khususnya
kepada dr. I Nyoman Darsana, M. Biomed, Sp. S, dr. Bhaskoro A. W. Nugroho, dr I.
A. Sri Wijayanti, M. Biomed, Sp. S, dr. Sri Yenni Trisnawari, M. Biomed, Sp. S dan
dr. I Wayan Widyantara, M. Biomed, Sp. S. Terima kasih kepada dr. Octavianus
Darmawan, dr. Ni Made Dwita Pratiwi, dr. Ni Putu Ayu Putri Mahadewi dan dr. Putri
Ayuna Sundari atas bantuannya dalam karya akhir ini. Terima kasih kepada tenaga
administrasi Bagian/SMF Ilmu Penyakit Saraf FK UNUD/RSUP Sanglah I Wayan
Sika Priantha, Ni Putu Oka Swardani, Ni Kadek Arie Ardhiani, Amd, Akun., Ni Made
Febriyanti, S. E. dan Ni Wayan Ayu Sukyartini, S. E. atas kerjasama dan bantuannya
selama penulis mengikuti pendidikan.
Pada kesempatan ini secara khusus penulis menyampaikan ucapan terima kasih
kepada seluruh siswa-siswi SMA Negeri 1 Amlapura dan Bapak Wakasek Drs. I
Nyoman Kanten atas bantuan dan kerjasamanya selama melaksanakan karya akhir ini.
Akhirnya penulis menyampaikan terima kasih yang tidak ternilai kepada kedua
orang tua tercinta I Wayan Sujana dan Ni Wayan Suasti yang selalu memberikan
x
kasih sayang, doa, nasihat, semangat dan dorongan. Terima kasih kepada saudara-
saudara tercinta dan seluruh keluarga besar atas doa dan bantuannya.
Penulis menyadari bahwa karya akhir ini jauh dari kata sempurna baik dari aspek
materi maupun penyajiannya, sehingga tetap mengharapkan kritik dan saran dalam
perbaikan karya akhir ini.
Terakhir penulis menyampaikan permohonan maaf kepada semua pihak, bila
dalam proses pendidikan maupun dalam pergaulan sehari-hari ada tutur kata dan sikap
yang kurang berkenan dihati. Semoga Tuhan Yang Maha Pengasih selalu
melimpahkan berkat dan karunia-Nya kepada semua pihak yang telah membantu
pelaksanaan dan penyelesaian karya akhir ini.
“Ilmu pengetahuan adalah antidot dari segala ketakutan”
Denpasar, Februari 2015
Agus Antara
xi
KORELASI KUALITAS TIDUR DENGAN NYERI KEPALA PRIMER PADASISWA-SISWI SMA NEGERI 1 AMLAPURA
KABUPATEN KARANGASEM
ABSTRAK
Nyeri kepala primer (NKP) dan gangguan tidur merupakan penyakit yang sering
dijumpai pada remaja. Keduanya berhubungan secara resiprokal. Prevalesi NKP pada
remaja cukup tinggi. Beberapa faktor yang berhubungan dengan timbulnya NKP
antara lain kualitas tidur yang buruk, obesitas, depresi, kecemasan, stres dan
kelelahan. Gangguan tidur pada remaja sering dikaitkan dengan penurunan prestasi
belajar di sekolah dan rendahnya angka kelulusan siswa. Kabupaten Karangasem
menempati peringkat kedua tertinggi angka ketidaklulusan siswa dari seluruh
kabupaten/kota di Bali. Masih sedikitnya data mengenai hubungan gangguan tidur
dengan NKP khususnya di Bali melatarbelakangi dilakukannya penelitian ini.
Penelitian ini merupakan analitik observasional potong lintang dengan pengambilan
sampel secara simple random sampling. Kualitas tidur dinilai dengan The Pitssburg
Sleep Qualiy Index (PSQI). Analisis deskriptif untuk menentukan karakteristik subyek
sedangkan korelasi antara kualitas tidur dengan NKP dilakukan dengan uji koefisien
kontingensi. Data dianalisis dengan program SPSS 16.0 for windows. Sampel
sebanyak 96 orang siswa ini diambil pada bulan September 2014 di SMA Negeri 1
Amlapura didapatkan proporsi kualitas tidur buruk dan NKP yang tinggi (71,87% dan
85,41%) sedangkan kualiatas tidur yang buruk dengan NKP berkorelasi sedang (p<
0,01 dan r = 0,421). Berdasarkan penelitian ini dapat disimpulkan bahwa kualitas tidur
buruk akan meningkatkan kemungkinan menderita NKP.
Kata kunci : kualitas tidur, nyeri kepala primer, remaja.
xii
CORRELATION BETWEEN SLEEP QUALITY AND PRIMARY HEADACHEIN AMLAPURA 1st PUBLIC SENIOR HIGH SCHOOL STUDENTS AT
KARANGASEM REGENCY
ABSTRACT
Primary headache and sleep disturbance are common in adolescent. This two
phenomenon has resiprocal relationship. Primary headache prevalence in adolescent is
high. There are several factor related to primary headache such as: poor sleep quality,
obesity, depression, anxiety, psychological stress and fatique. Sleep disturbance in
adolescent assosiated with their low achievement and take an efect to low passing
grade in school. The rate of high school unpassing grade students in Karangasem
Regency taking second place in Bali. There are lack of data about the correlation
between sleep disturbance and primary headache in adolescent especially in Bali. This
research background is to determine relationship between sleep quality and primary
headache. This is an observasional study with cross sectional design and use simple
random sampling. Sleep quality has been assessed by The Pitssburg Sleep Qualiy
Index (PSQI). Descriptive analysis was performed to determine the correlation
between sleep quality and primary headache. We collected data from 96 students in
Amlapura1st Public Senior High School during September 2014. The reseach found
that high proportion of poor sleep quality and primary headache (71,87% and
85,41%), showing significantly moderate positive correlation between poor sleep
quality and primary headache (p<0,01; r = 0,421). This study showed that subject with
poor sleep quality more likely suffering primary headache.
Keyword : sleep quality, primary headache, adolescent.
xiii
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN SAMPUL DALAM...................................................................... i
PRASYARAT GELAR.................................................................................. ii
LEMBAR PENGESAHAN............................................................................. iii
PENETAPAN PANITIA PENGUJI.............. ................................................ iv
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT............................................... v
UCAPAN TERIMA KASIH .......................................................................... vi
ABSTRAK ..................................................................................................... xi
ABTRACT ...................................................................................................... xii
DAFTAR ISI.................................................................................................... xiii
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... xvi
DAFTAR SINGKATAN.................................................................................. xvii
DAFTAR TABEL............................................................................................ xx
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................... xxi
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................. 1
1.1. Latar Belakang ......................................................................... 1
1.2. Rumusan Masalah ..................................................................... 7
1.3. Tujuan Penelitian ..................................................................... 7
1.3.1. Tujuan Umum ................................................................ 7
1.3.2. Tujuan Khusus ............................................................... 7
1.4. Manfaat Penelitian .................................................................... 7
1.4.1. Manfaat Akademis...................................................... .... 7
1.4.2. Manfaat Praktis............................................................... 8
BAB II KAJIAN PUSTAKA.. ........................................................................ 9
2.1. Kronobiologi dan Irama Sirkadian............................................. 9
2.2. Arsitektur, Anatomi dan Fisiologi Tidur................................... 12
2.2.1 Arsitektur tidur................................................................ 12
xiv
2.2.2 Substrat anatomi yang terlibat dalam fisiologi tidur........ 14
2.3 Gangguan Tidur pada Remaja………………………………… 20
2.3.1 Prevalensi dan insidensi gangguan tidur pada remaja...... 20
2.3.2 Pola dan kualitas tidur remaja………………………….. 22
2.4 Hubungan NKP dengan Gangguan Tidur……………………... 29
2.4.1 Faktor-faktor pencetus dan prevalensi NKP pada remaja 29
2.4.2 Prevalensi gangguan tidur pada remaja penderita NKP.. 34
2.4.3 Peranan SCN dan melatonin pada patofisiologi NKP…. 37
BAB III KERANGKA BERPIKIR, KERANGKA KONSEP, DAN
HIPOTESIS PENELITIAN ............................................................ 46
3.1. Kerangka Berpikir ................................................................... 46
3.2. Konsep Penelitian ................................................................... 48
3.3. Hipotesis Penelitian ................................................................. 48
BAB IV METODE PENELITIAN ………………………………………….. 49
4.1. Rancangan Penelitian ……………………………………….. 49
4.2. Tempat dan Waktu Penelitian ………………………………. 49
4.3. Ruang Lingkup Penelitian ………………………………….. 49
4.4. Penentuan Sumber Data .......................................................... 50
4.4.1. Populasi target ............................................................. 50
4.4.2. Populasi terjangkau ...................................................... 50
4.4.3. Kriteria inklusi .............................................................. 50
4.4.4. Kriteria eksklusi ........................................................ .... 50
4.5. Sampel .................................................................................. .... 51
4.5.1. Besar sampel ................................................................ 51
4.5.2. Teknik pengambilan sampel .................................... .... 51
4.6. Variabel Penelitian ............................................................... .... 51
4.6.1. Identifikasi variabel .................................................. .... 51
4.6.2. Definisi operasional variabel ....................................... 52
4.7. Instrumen Penelitian ................................................................. 57
4.8. Prosedur dan Alur Penelitian ................................................... 59
xv
4.9. Analisis Data ............................................................................. 60
BAB V HASIL PENELITIAN ....................................................................... 61
BAB VI PEMBAHASAN................................................................................. 67
6.1 Karakteristik Subyek Penelitian ................................................ 67
6.2 Prevalensi NKP dan Kualitas Tidur Remaja ............................ 69
6.3 Korelasi Kualitas Tidur dengan NKP ....................................... 74
6.4 Korelasi Faktor-Faktor Lain dengan NKP.................................. 78
6.5 Limitasi dan Kelebihan Penelitian ........................................... 80
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN .............................................................. 81
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................ 83
LAMPIRAN-LAMPIRAN ............................................................................... 92
xvi
DAFTAR GAMBAR
Halaman
2.1 Substrat anatomi pada fisiologi tidur …………....................... 15
2.2 Sirkuit bangun-tidur : (A) jalur dorsal dan ventral ARAS;
(B) jalur inhibisi ARAS………................................................ 17
2.3 Skema sirkadian manusia…………………………………….. 18
2.4 Jalur antara retina, SCN dan badan pineal…........................... 19
2.5 Patofisiologi sistem trigeminovaskular.................................... 34
3.1. Bagan kerangka berpikir.......................................................... 46
3.2. Bagan konsep penelitian........................................................... 48
4.1. Bagan rancangan penelitian...................................................... 49
4.2. Bagan alur penelitian................................................................ 59
xvii
DAFTAR SINGKATAN
ARAS : Ascending Reticular Activating System
ATP : Adenosin Triphosphat
cAMP : cyclic Adenosin Monophosphat
BPS : Badan Pusat Statistik
CDH : Chronic Daily Headache
CGRP : Calcitonin Gene Related Peptide
CSD : Cortical Spreading Depression
DASS : Depression Anxiety Stress Scale
Disdikpora : Dinas Pendidikan dan Olahraga
DMH : Dorsomedial Hypothalamic
DSM : Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder
DSP : Delayed Sleep Phase
DSPS : Delayed Sleep Phase Syndrome
EDS : Excessive Daytime Sleepiness
EEG : Elektroensefalografi
EOG : Elektrookulografi
EMG : Elektromiografi
ESS : Epworth Sleepness Scale
xviii
GABA : Gamma Aminobutyric Acid
HARS : Hamilton Anxiety Rating Scale
HPA : Hypothalamus Pituitary Adrenal
ICSD : International Classification of Sleep Disorder
IL : Interleukin
IMT : Indeks massa tubuh
LC : Locus Coeruleus
LDT : Lateral Dorsal Tegmental
MCH : Melanin Concentrating Hormone
MSLT : Multiple Sleep Latency Test
NKK : Nyeri kepala klaster
NKP : Nyeri kepala primer
NREM : Non Rapid Eye Movement
OSA : Obstructive Sleep Apnea
PAG : Periaquductal Greymatter
PP : Pedunculopontine Tegmental
PSQI : Pittsburg Sleep Quality Index
REM : Rapid Eye Movement
NPRS : Numeric Pain Rating Scale
NREM : Non Rapid Eye Movement
SCN : Suprachiasmatic Nucleus
SD : Sleep Deprivation
xix
SLD : Sub Lateral Dorsal
SMA : Sekolah Menengah Atas
SPDH : Skala Penilaian Pepresi Hamilton
SPZ : Subparaventrikular Zone
STIKES : Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan
SST : The Subjective Symptoms Test
SWA : Slow Wave Activity
SWS : Slow Wave Sleep
TMN : Tuberomamillary Nucleus
TNC : Trigeminal Nucleus Caudalis
TTH : Tension Type Headache
VBM : Voxel Based Morphometry
VIP : Vasoactive intestinal polypeptide
VLPAG : Ventrolateral Peri-aquaductal Graymatter
VLPO : Ventrolateral Preoptic
xx
DAFTAR TABEL
Halaman
2.1. Kriteria tingah laku dan fisiologi fase bangun dan tidur….. 14
2.2. Faktor-faktor yang mencetuskan NKP…………….. ……. 31
2.3. Struktur anatomi yang terlibat dalam nyeri kepala............... 32
2.4 Klasifikasi nyeri kepala terkait dengan komponen tidur ..... 36
2.5 Beberapa peranan melatonin dalam patofisiologi NKP....... 43
5.1 Karakteristik subyek penelitian ……………………………. 61
5.2 Kualitas tidur berdasarkan jenis kelamin …………………….62
5.3 Kualitas tidur berdasarkan IMT ……………………………. 63
5.4 Proporsi NKP berdasarkan jenis kelamin ………………….. 63
5.5 Korelasi kualitas tidur dengan NKP ……………………….. 64
5.6 Korelasi faktor-faktor lain dengan NKP.............................. 65
xxi
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1 Kelaikan Etik....................................................... 92
Lampiran 2 Surat Izin Penelitian............................................. 93
Lampiran 3 Amandemen Perubahan Judul............................. 94
Lampiran 4 Informasi Pasien.................................................. 95
Lampiran 5 Formulir Persetujuan Tertulis............................... 97
Lampiran 6 Lembar Pengumpulan Data.................................. 98
Lampiran 7 Hasil Penelitian..................................................... 107
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Nyeri kepala primer (NKP) dan gangguan tidur merupakan dua fenomena yang
sering dialami pada segala usia dalam praktik sehari-hari.
Gangguan tidur dan nyeri kronik, salah satunya nyeri kepala, telah lama
mendapatkan perhatian. Kedua hal tersebut berhubungan secara resiprokal. Nyeri
kepala dapat timbul karena pola tidur yang tidak sehat, sedangkan gangguan tidur bisa
terjadi karena nyeri kepala (Doufas dkk., 2012).
Data prevalensi NKP di Indonesia menunjukkan bahwa NKP merupakan salah
satu keluhan tersering yang dialami di praktik klinik. Adapun pengamatan terhadap
jenis penyakit pasien yang berobat jalan di praktik klinik selama tahun 2003, nyeri
kepala menempati peringkat teratas dengan proporsi sekitar 42% dari seluruh pasien
neurologi (Sjahrir, 2009).
Jumlah penduduk Indonesia tahun 2010 sebanyak 237,6 juta jiwa dengan 26,67%
di antaranya adalah remaja. Sedangkan berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS)
tahun 2010 di daerah Bali sendiri jumlah penduduk remaja adalah sekitar 611,03 ribu
dari 3.890.757 juta jiwa (atau sekitar 15,70%). Kabupaten Karangasem merupakan
wilayah dengan luas daerah nomor tiga di Bali dan memiliki penduduk 408,7 ribu
jiwa. Besarnya penduduk remaja akan berpengaruh pada pembanguan dari aspek
sosial, ekonomi maupun demografi pada saat ini dan yang akan mendatang. Remaja
perlu mendapat perhatian serius karena remaja termasuk dalam usia sekolah dan usia
2
kerja serta berisiko terhadap masalah-masalah kesehatan dan sosial (BPS, 2010;
Wahyuni dan Rahmadewi, 2011).
Masalah kesehatan yang sering dialami remaja adalah nyeri kepala. Pada
penelitian besar berbasis populasi anak dan remaja menunjukkan tingginya prevalensi
nyeri kepala pada golongan tersebut, yaitu sekitar 23-51%. Tingginya prevalensi nyeri
kepala pada remaja tentunya berdampak pada kehidupan remaja tersebut dan pada
akhirnya menurunkan kualitas hidup. Salah satu indikator yang dapat dinilai pada
remaja adalah dengan melihat prestasi belajar di sekolah (Falafigna dkk., 2010; King
dkk., 2011).
Lewis (2002) melakukan penelitian epidemiologi terhadap 9000 orang anak-anak
dan remaja, mendapatkan prevalensi nyeri kepala anak usia 7 tahun sekitar 37%-51%
dan prevalensi pada remaja usia 15 tahun sekitar 57%-82%.
Suatu penelitian observasional mengenai chronic daily headache (CDH) di
Kanada terhadap 70 orang remaja laki-laki dan perempuan berusia kurang dari 18
tahun menunjukkan bahwa 77% mengalami rekurensi nyeri kepala sebelum
berkembang menjadi CDH. Migren dan tension tipe headache (TTH) kronik
merupakan 2 jenis NKP terbanyak dialami pada penelitian tersebut (Seshia dkk.,
2008).
Penelitian mengenai nyeri kepala pada usia remaja yang dilakukan di Medan oleh
Sjahrir dan Nasution (2003) terhadap mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas
Sumatera Utara menunjukkan perempuan lebih banyak dibandingkan laki-laki (88%
dan 78%).
3
Prevalensi migren mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKES) di Bali
adalah 23,7%, lebih tinggi daripada prevalensi nyeri kepala pada populasi umum
(Adnyana, 2012).
Nyeri kepala primer pada remaja dapat bersifat kronik dan berkaitan dengan luaran
yang tidak menguntungkan. Suatu studi kohort yang dilakukan terhadap 103 subjek
dengan waktu pengamatan selama 8 tahun menyimpulkan bahwa remaja yang
mengalami perubahan menjadi CDH memiliki angka disabilitas lebih tinggi (Wang
dkk., 2009).
Penelitian di Denmark memberikan data mengenai faktor-faktor yang
mencetuskan migren dan TTH diantaranya awitan umur, menstruasi, kehamilan,
penggunaan obat-obat kontrasepsi hormonal, gaya hidup yang meliputi aktivitas fisik,
merokok, konsumsi kopi, alkohol, stres mental dan pola tidur. Pada penelitian tersebut
stres mental, konsumsi alkohol dan pola tidur berkorelasi sangat signifikan dengan
timbulnya migren dan TTH. Sedangkan studi di Brazil pada 200 orang responden yang
mengalami kekambuhan migren, sekitar 81% memiliki masalah tidur (Rassmusen,
1993; Fukui dkk., 2008).
Tidur merupakan salah satu kebutuhan fisiologis manusia. Tidur yang tidak
adekuat dan berkualitas buruk dapat menyebabkan gangguan keseimbangan fisiologis
dan psikologis (Craven dan Hirnle, 2000).
Dampak fisiologis dan psikologis yang muncul akibat buruknya kualitas tidur
meliputi penurunan aktivitas sehari-hari, kelelahan, respon motorik terganggu,
penurunan daya tahan tubuh, stres, depresi dan kecemasan (Moldolfsky, 2001).
4
Gangguan tidur sudah lama dikaitkan dengan nyeri, termasuk nyeri kepala.
Namun demikian belum banyak penelitian yang memberikan informasi mengenai
prevalensi gangguan tidur pada penderita NKP (Houle dkk., 2012).
Sancisi dkk. (2010) melakukan penelitian kasus kontrol terhadap 105 orang
dengan NKP episodik. Prevalensi gangguan tidur terutama insomnia cukup tinggi pada
penderita nyeri kepala tersebut.
Beberapa penelitian menunjukkan hubungan antara gangguan tidur dan nyeri
kepala pada populasi umum. Namun penelitian yang memberikan informasi mengenai
hubungan gangguan tidur dengan NKP pada populasi remaja masih terbatas.
Tidur yang tidak adekuat merupakan masalah kompleks yang dialami oleh remaja.
Tidur yang tidak adekuat meliputi berkurangnya durasi tidur, kualitas dan konsistensi
tidur yang rendah. Berdasarkan penelitian mengenai kecukupan tidur pada anak dan
remaja, waktu tidur yang adekuat untuk usia remaja adalah sekitar 9-10 jam tiap
malamnya untuk mendapatkan fungsi optimal di sekolah, regulasi mood, proses
kognitif yang meliputi ketangkasan reaksi dan atensi serta kesehatan secara
menyeluruh (Moran dan Everhart, 2012).
Dampak dari tidur yang tidak adekuat apabila berlangsung terus menerus dapat
menurunkan prestasi belajar dan angka kelulusan remaja di sekolah.
Berdasarkan data ujian akhir nasional dari Disdikpora pada tahun 2014,
Kabupaten Karangasem menempati peringkat kedua setelah Kabupaten Buleleng
untuk angka ketidaklulusan siswa Sekolah Menengah Atas (SMA) di Bali, yaitu 16%.
5
Faktor psikososial pada pubertas merupakan stresor eksternal yang mempengaruhi
kehidupan usia remaja misalnya meningkatnya keinginan untuk mandiri, tanggung
jawab akademik dan meningkatnya aktivitas sosial pada remaja akan menyebabkan
pengurangan durasi tidur. Secara internal, terjadi pula perubahan biologis yang
mempengaruhi durasi tidur remaja. Keterlambatan fase sirkadian selama
perkembangan usia remaja menyebabkan memanjangnya latensi tidur remaja
(Carskadon dkk., 1998; Moran dan Everhart, 2012).
Inkonsistensi dan pengurangan durasi tidur pada remaja mengakibatkan gangguan
sosial, pekerjaan dan fungsi lain sehingga dapat digolongkan sebagai suatu Delayed
Sleep Phase Syndrome (DSPS) yang merupakan gangguan irama sirkadian menurut
International Classification of Sleep Disorder (ICSD-Revised). Akibat durasi tidur
tidak adekuat dan kualitas tidur buruk akan menyebabkan berbagai efek mulai dari
rasa kantuk, berkurangnya kewaspadaan dan kesulitan untuk mempertahankan
perhatian, kemampuan kognitif menurun khususnya untuk melakukan aktivitas yang
kompleks. Beberapa penelitian mengatakan menurunnya fungsi eksekutif terjadi pada
remaja yang lebih sering mengalami rasa kantuk. Pembatasan durasi tidur dan
buruknya kualitas tidur yang kronik dapat berpengaruh buruk pada kesehatan remaja
secara menyeluruh selain dampaknya pada fungsi kognitif (El Gendy dkk., 2009;
Moran dan Everhart, 2012).
Nyeri kepala dan gangguan tidur sering terjadi pada usia remaja dan bisa muncul
bersamaan pada satu individu. Nyeri kepala bisa timbul saat tidur maupun setelah tidur
dan diduga berhubungan dengan beragam fase tidur. Penelitian di Italia, seperti yang
6
dikutip oleh Linawaty dkk. (2013) menunjukkan anak-anak dan remaja dengan migren
diketahui memiliki kualitas tidur yang lebih buruk dibandingkan dengan anak-anak
dan remaja yang tidak menderita migren. Hubungan antara kedua fenomena ini
membuat beberapa peneliti mengajukan hipotesis peranan faktor kronobiologis pada
nyeri kepala khususnya migren. Keterlibatan hipotalamus diduga sangat berperan
dalam hubungan keduanya. Serangan migren dapat berpola sesuai dengan perubahan
waktu sirkadian. Hal tersebut yang melandasi kemungkinan keterlibatan mekanisme
kronobiologi pada migren.
Beberapa instrumen pengukuran telah digunakan untuk menilai kualitas tidur pada
berbagai kelompok populasi. Salah satu yang lazim digunakan adalah The Pittsburg
Sleep Quality Index (PSQI) dengan pemeriksaan 7 komponen tidur yaitu latensi,
durasi, kualitas, efisiensi kebiasaan tidur, gangguan tidur, penggunaan obat tidur, dan
gangguan fungsi tubuh di siang hari. Instrumen ini mengukur kualitas tidur secara
subjektif dan memberikan dua luaran yaitu kualitas tidur baik dan buruk (Buysse,
1989).
Berdasarkan data yang telah disebutkan sebelumnya, maka perlunya dilakukan
suatu penelitian untuk mencari masalah kesehatan yang mungkin menjadi salah satu
faktor yang berkaitan dengan menurunnya prestasi belajar remaja di Karangasem.
Terlebih lagi, daerah Bali, khususnya Karangasem, belum memiliki data mengenai
masalah kesehatan pada remaja. Tingginya prevalensi nyeri kepala dan gangguan tidur
pada remaja serta kurangnya penelitian yang memberikan informasi mengenai
7
hubungan tidur dengan nyeri kepala primer melatarbelakangi dilakukannya penelitian
ini.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, maka rumusan masalah pada penelitian ini adalah
sebagai berikut :
1.2.1 Apakah terdapat korelasi antara kualitas tidur dengan NKP pada remaja?
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan umum
Mengetahui adanya korelasi kualitas tidur dengan NKP pada remaja.
1.3.2 Tujuan khusus
1. Mengetahui proporsi NKP siswa-siswi SMA Negeri 1 Amlapura.
2. Mengetahui proporsi kualitas tidur siswa-siswi SMA Negeri1 Amlapura.
3. Mengetahui korelasi kualitas tidur dengan NKP siswa-siswi SMA Negeri 1
Amlapura.
4. Mengetahui korelasi faktor-faktor lain dengan NKP siswa-siswi SMA Negeri 1
Amlapura.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat akademis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan data dasar proporsi kualitas tidur dan
NKP pada remaja, korelasi antara keduanya serta faktor-faktor lain yang berhubungan
dengan NKP, sehingga dapat diketahui besarnya masalah untuk pengembangan
penelitian di masa yang akan datang.
8
1.4.2 Manfaat praktis
Dengan mengetahui adanya korelasi antara kualitas tidur dan faktor-faktor lain
dengan NKP pada remaja diharapkan dapat membantu tenaga kesehatan khususnya
dokter dalam menangani NKP yang berhubungan dengan masalah tidur dengan jalan
memberikan informasi kepada remaja mengenai pola tidur yang baik. Dalam bidang
pendidikan dapat dipakai sebagai data dasar untuk mengambil kebijakan dalam rangka
meningkatkan prestasi belajar siswa di sekolah.
9
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Kronobiologi dan Irama Sirkadian
Setiap makhluk hidup, termasuk manusia, memiliki mekanisme jam biologis.
Irama biologis tidak hanya meliputi waktu istirahat dan waktu beraktivitas makhluk
hidup tersebut, namun kehidupan itu sendiri merupakan proses fisiologi yang
memainkan peranan penting dalam proses tersebut (Bohm, 2012).
Kronobiologi menjelaskan mengenai ritme biologi dan meliputi irama atau siklus
tahunan, siklus lunar atau 29,5 hari, siklus harian atau pun siklus yang berulang di
bawah 24 jam. Tubuh manusia memiliki kemampuan internal mengukur waktu dalam
tubuh. Sistem sirkadian ini terorganisasi secara pola hirarki dan pacemaker sentral
yang mensinkronisasi osilator sirkadian seluler pada badan-badan sel paling perifer.
Jam biologis ini meliputi pengaturan irama fungsi-fungsi tubuh seperti tekanan darah,
kadar hormonal, temperatur tubuh, dan tentu saja siklus bangun tidur. Osilator
sirkadian terdiri dari kurang lebih 20.000 neuron-neuron jam biologis yang terletak di
daerah ventrolateral suprachiasmatic nucleus (SCN). Nukleus ini merupakan “master
clock” dalam tubuh manusia yang berlokasi secara bilateral di bagian anterior
hipotalamus, di atas kiasma optikum. Bila terjadi kerusakan pada SCN maka irama
sirkadian bangun tidur menjadi tidak teratur lagi (Mahdi dkk, 2011; Bohm, 2012).
Selain berfungsi sebagai pengatur fungsi-fungsi fisiologis, SCN juga berperanan
penting dalam mensinkronisasi tubuh dengan waktu eksternal, memberikan respon
terhadap “zeitgeber” utama, yaitu matahari, yang silih berganti dengan keadaan gelap.
10
Setiap manusia memiliki waktu tersendiri, yaitu waktu sirkadian endogen yang
mengalami sinkronisasi dengan waktu harian selama 24 jam. Hal ini disebut sebagai
kronotipe dan dipengaruhi oleh faktor genetik serta karakteristik individu, misalnya
umur dan jenis kelamin. Penting untuk diketahui bahwa kronotipe masing-masing
individu menentukan durasi tidur seseorang, sehingga sering didapati orang dengan
waktu tidur lama atau sebaliknya. Siklus gelap terang, irama biologis tubuh, dan
lingkungan sangat berpengaruh terhadap kronotipe seseorang (Bohm, 2012).
Fungsi sistem waktu sirkadian adalah untuk mengkoordinasikan mekanisme
humoral, fisiologis, dan tingkah laku tidur-bangun. Regulasi ini dimodulasi oleh 2
faktor yang saling bertolak belakang, yaitu : (1) drive homeostatik untuk tidur yang
meningkatkan kecenderungan untuk mengantuk dan (2) irama sirkadian yang
mempromosikan status terjaga (wakefulness). Faktor sirkadian berarti variasi fisiologis
dalam hal tidur-bangun (waktu, durasi, dan karakteristik lain) menurut siklus tertentu
seharian. Pada pagi hari setelah bangun pagi, drive homeostatik untuk tidur, secara
nyata menjadi sangat rendah bahkan nol, luaran SCN rendah seperti yang terlihat
dalam rekaman intracerebral firing rate. Drive homeostatik secara gradual meningkat
sepanjang hari dan perkembangannya dihambat oleh meningkatnya luaran SCN. Saat
pagi, drive homeostatik yang mulai menurun dibatasi oleh pengaruh circadian arousal
yang menyebabkan kita terbangun. Terdapat dua periode yang sangat rentan untuk
mengantuk yaitu pukul 2 dini hari sampai pukul 6 pagi dan pukul 2 siang sampai
pukul 6 sore. Periode yang pertama jauh lebih kuat daripada yang kedua (Chokroverty,
2010).
11
Cahaya mempengaruhi tubuh untuk memproduksi berbagai substansi yang erat
kaitannya dengan dengan pola sirkadian tubuh seperti misalnya kortisol, serotonin dan
terutama melatonin. Kortisol adalah hormon penanda stres yang produksinya
mengikuti irama sirkadian. Kortisol meningkat saat pagi hari dan menurun di malam
hari. Namun dengan adanya perubahan fungsi aksis hypothalamus-pituitary-adrenal
(HPA) berpengaruh terhadap produksi kortisol. Pada beberapa keadaan gangguan
aksis HPA, misalnya fibromyalgia, produksi kortisol diurnal cenderung tidak
mengalami peningkatan namun terjadi lonjakan kadar kortisol pada malam harinya.
Sedangkan pada sleep deprivation (SD) juga terjadi perubahan kadar kortisol. Kadar
kortisol meningkat secara perlahan sepanjang paruh kedua tidur dengan kenaikan
tajam sebelum waktu bangun fisiologis (Mahdi dkk, 2011, Bohm, 2012).
Beberapa sitokin dihasilkan secara konsisten mengikuti irama diurnal dengan
kadar puncak sepanjang malam terutama dini hari, kadar kortisol saat itu paling rendah
dan melatonin dalam kadar paling tinggi. Interleukin (IL)-6 merupakan sitokin
proinflamasi yang kadarnya meningkat pada orang dengan kualitas tidur yang buruk.
Kualitas tidur yang buruk dapat menyebabkan aktivitas inflamasi melalui reaktivasi
stres. Gangguan fungsi aksis HPA menyebabkan peningkatann kadar IL-6. Sleep
deprivation yang terjadi selama 36 jam meningkatkan kadar IL-6. Peningkatan kadar
sitokin ini diduga berhubungan dengan kondisi mengantuk dan kelelahan setelah SD
(Mahdi dkk, 2011; Prather dkk., 2014).
Produksi melatonin biasanya terjadi di malam hari. Produksi melatonin
mengaktivasi hipotalamus yang pada akhirnya menyebabkan penurunan histamin dan
12
oreksin, dua substansi yang meningkatkan kewaspadaan. Melatonin merupakan
mediator antara stimulus cahaya eksternal dengan adaptasi fisilogis tubuh sepanjang
siang dan malam serta memfasilitasi kecenderungan untuk tidur pada malam hari dan
terbangun pada siang hari (Mahdi dkk, 2011).
Kronotipe remaja cenderung terlambat untuk memulai tidur. Remaja yang
berumur 12 tahunan, yang memulai awitan akil balik, mulai mengalami keterlambatan
fase tidur dan akan mencapai puncak keterlambatan saat berumur 20 tahun.
Roennerberg dan Kuehnle (2004) memperkirakan perubahan irama internal ini sebagai
suatu “marker biologis pertama yang menunjukkan akhir fase remaja”. Remaja
perempuan cenderung mengalami puncak keterlambatan tidur saat berusia sekitar 19,
5 tahun, sedangkan remaja laki-laki saat umur 20, 9 tahun. Keterlambaan fase tidur
laki-laki dibandingkan perempuan akan terjadi sampai umur 50 tahunan.
2.2 Arsitektur, Anatomi dan Fisiologi Tidur
2.2.1 Arsitektur tidur
Tidur merupakan proses aktif, repetitif, dan reversibel yang dibutuhkan oleh
berbagai fungsi seperti misalnya untuk perbaikan dan pertumbuhan, konsolidasi
memori, dan proses restoratif. Proses tingkah laku (behavioral), fisiologi, dan
neurokognitif terlibat dalam tidur, seperti halnya fungsi imunologis (Curcio dkk, 2006;
Lange dan Born, 2011).
Pada saat tidur terdapat pergeseran antara keseimbangan sintesis dan degradasi
protein, yang lebih bergeser ke arah proses sintesis. Sintesis protein otak, asam nukleat
13
di seluruh tubuh, dan sintesis adenosin triphosphate (ATP) mencapai tingkat yang
lebih tinggi pada saat tidur (Lumbantobing, 2008).
Mitosis sel aktif, termasuk ginjal, usus, dan kulit terjadi secara aktif saat tidur.
Hormon anabolik (hormon pertumbuhan, kortikosteroid, gonadotropin) lebih banyak
dijumpai saat tidur (Lumbantobing, 2008).
Berdasarkan tiga rekaman fisiologis yang dilakukan sewaktu tidur, yaitu
elektroensefalografi (EEG), elektrookulografi (EOG), dan elektromiografi (EMG),
tidur dibagi menjadi 2 tahapan nyata yang berlangsung sesuai dengan pola siklus,
yaitu :
1. Tidur Non- Rapid Eye Movement (REM), dibagi menjadi 4 stadium, yaitu :
- Tingkat 1 (tidur ringan)
- Tingkat 2 (tidur terkonsolidasi)
- Tingkat 3 dan 4 (tidur dalam atau tidur gelombang lambat)
2. Tidur REM
Siklus akan berulang sebanyak 4-6 kali tiap tidur secara normal pada orang
dewasa, dan setiap siklus berlangsung sekitar 90-110 menit (Lumbantobing, 2008;
Chokroverty, 2010).
Pada manusia dewasa, sepertiga bagian awal tidur didominasi oleh tidur
gelombang lambat atau slow wave sleep (SWS) sedangkan sepertiga bagian akhir tidur
didominasi oleh tidur REM. Tidur NREM berlangsung sekitar 75%-80 % dari setiap
waktu tidur pada orang dewasa dan dibagi menjadi 4 stadium, stadium 1-4 sesuai
dengan kriteria manual skoring tradisional Rechtschaffen dan Kales (R-K). Sedangkan
14
berdasarkan rekaman EEG, stadium tidur dibagi menjadi 3, yaitu N1, N2 dan N3.
Waktu tidur REM berkisar antara 20%-25% dari total waktu tidur keseluruhan.
Petanda spesifik tidur REM adalah adanya gerakan mata cepat ke segala arah dan
ketiadaan aktivitas otot yang dapat direkam oleh EMG (Chokroverty, 2010).
Tabel 2.1 berikut ini menunjukkan kriteria spesifik tingkah laku dan fisiologi
yang terjadi sepanjang fase terjaga, tidur NREM, dan REM.
Tabel 2.1Kriteria Tingah Laku dan Fisiologi Fase Bangun Tidur (Chokroverty, 2010)
Kriteria Fase Bangun Tidur NREM Tidur REMPosturMobilitas
Respon terhadapstimulasiTingkatkewaspadaanKelopak mataGerakan mata
EEG
EMG (tonus otot)
EOG
Berdiri, dudukNormal
Normal
Waspada
TerbukaWaking eyemovementGelombang alfa,desinkronisasiNormal
Waking eyemovement
BerbaringPostural shift,immobileMenurun
Tidak sadar tapireversibelTertutupSlow rolling eyemovementSinkronisasi
Sedikit menurun
Slow rolling eyemovement
BerbaringImmobile,myoclonic jerksMenurun, bahkantidak beresponTidak sadar tapireversibelTertutupRapid eyemovementThetha, saw toothwaveDesinkronisasiMenurun bahkantidak ada,Rapid eyemovement
2.2.2 Substrat anatomi yang terlibat dalam fisiologi tidur
Temuan-temuan genetik terbaru mengindikasikan bahwa mekanisme
molekulerlah yang mengontrol irama sirkadian dan mengatur stadium tidur
terkonservasi secara filogenetik. Gangguan tidur dalam jangka lama mempengaruhi
pengaturan temperatur tubuh, metabolism dan fungsi imunologi. Pada susunan saraf
15
manusia, instruksi genetik diekspresikan secara progresif pada level transkripsi
genetik yang lebih tinggi, sintesis protein dan hubungan dinamis antar bagian neuronal
subkortikal yang terlibat dalam membentuk substrat anatomi tidur seperti yang
dijelaskan oleh gambar dibawah ini (Pace-Schott dan Hobson, 2002).
Gambar 2.1Substrat Anatomi pada Fisiologi Tidur (Pace-Schott dan Hobson, 2002)
Jam sirkadian molekuler secara genetik diekspresikan oleh 20.000 sel-sel SCN
yang berlokasi secara bilateral di hipotalamus, tepat di atas kiasma optikum. Sel-sel
tersebut mengandung mekanisme “master clock” yang mengatur ritme fisiologis tubuh
terhadap siklus siang malam selama 24 jam (Pace-Schott dan Hobson, 2002).
Setelah lama ditemukannya sirkadian spesifik dan mekanisme kontrol bangun-
tidur, ternyata mekanisme irama biologis juga melibatkan struktur selain SCN yang
16
berlokasi dekat dengan nukleus tersebut. Struktur tersebut antara lain nukleus
paraventrikular pada subparaventrikular zone (SPZ), daerah hipotalamus yang
menerima sebagian besar proyeksi dari SCN, dan nukleus dorsomedial hypothalamic
(DMH) yang menerima proyeksi dari SPZ (Pace-Schott dan Hobson, 2002).
Substrat neuroanatomi tidur dan fisiologi bangun tidur terdiri dari mekanisme
kompleks yaitu jalur aktivasi dan inhibisi yang bersifat umpan balik antara berbagai
pusat yang terletak di rostral batang otak dan korteks seperti yang dijelaskan pada
gambar 2.2 di bawah. Mekanisme bangun tidur dimediasi oleh ascending reticular
activating system (ARAS) dan jalur inhibisinya yang berproyeksi melalui nukleus-
nukleus formasio retikularis batang otak dan rostral batang otak ke talamus dan basal
forebrain (BF). Terdapat dua jalur proyeksi yang terlibat dalam mekanisme tersebut.
Jalur pertama melalui bagian dorsal, yaitu neuron-neuron kolinergik pedunculopontine
tegmental atau lateral dorsal tegmental (PPT/LDT) yang mengeksitasi neuron-neuron
retikular dan talamokortikal. Jalur kedua adalah melalui bagian ventral yang meliputi
hipotalamus dan BF. Proyeksi jalur tersebut bermula dari nukleus locus coeruleus
(LC) yang bersifat noradrenergik, nukleus rafe dorsalis yang bersifat serotonergik,
nucleus di daerah ventral periaquductal greymatter (PAG) yang bersifat
dopaminergik, tuberomamillary nucleus (TMN) yang bersifat histaminergik, serta
hipotalamus bagian lateral yang menghasilkan oreksin dan melanin-concentrating
hormone (MCH). Kelompok neuron-neuron tersebut lebih aktif saat fase bangun
dibandingkan tidur non-REM dan tidak menunjukkan aktivitas selama tidur REM
(gambar 2.2 A)
17
Ventrolateral preoptic nucleus (VLPO) diperkirakan berperanan dalam sirkuit
inhibisi ARAS. Mekanisme inhibisi oleh nukleus preoptik dan aktivasi oleh ARAS
disebut “flip-flop switch design”. Sistem ini secara indirek distabilisasi oleh neuron-
neuron oreksin dan neuron yang mengandung MCH di daerah lateral hipotalamus,
yang mencegah mekanisme aktivasi atau inhibisi secara spontan, seperti halnya pada
kondisi narkolepsi. Neuron-neuron VLPO yang aktif saat tidur menghasilkan
neurotransmiter gamma-aminobutyric acid (GABA) dan galanin (gambar 2.2 B)
(Saper dkk., 2005, Fuller dkk., 2006).
Gambar 2.2Sirkuit Bangun Tidur : (A) Jalur Dorsal dan Ventral ARAS, (B) Jalur Inhibisi
ARAS (Fuller dkk., 2006)
Lesi eksitotoksik pada SPZ menyebabkan gangguan irama sirkadian tidur,
aktivitas lokomotor dan temperatur tubuh. Proyeksi SPZ adalah pada VLPO yang
berperan dalam regulasi tidur NREM. Target proyeksi SPZ yang lain adalah DMH
yang mengandung banyak neuron oreksin, yang pada akhirnya berproyeksi menuju
18
VLPO. Lesi pada daerah DMH menyebabkan penurunan amplitudo sirkadian dan
temperatur tubuh pada binatang coba. Hal ini menimbulkan dugaan bahwa terdapat
hubungan daerah tersebut dengan SCN. Terdapat aliran impuls transinaptik retrograd
yang menunjukkan adanya proyeksi indirek dari SCN melalui DMH. Proyeksi ini
kemudian diteruskan ke nukleus VLPO di hipotalamus kemudian ke nukleus
noradrenergik di LC. Oreksin meningkat pada aktivitas LC (Pace-Schott dan Hobson,
2002).
Gambar 2.3 dan 2.4 di bawah ini menunjukkan skema sirkadian manusia saat
siang dan malam serta jalur yang terlibat dalam pengontrolan bangun-tidur mulai dari
retina ke hipotalamus (traktus retinohipotalamus).
Gambar 2.3Skema Sirkadian Manusia (Culebras dkk., 2007)
Serat-serat saraf retinal postgalionik membentuk traktus retinohipotalamik menuju
ke SCN. Kemudian ke ganglion servikalis superior yang akhirnya mencapai badan
19
pineal. Sistem neuronal di retina distimulasi oleh situasi gelap dan dapat diinhibisi
oleh cahaya (Culebras dkk., 2007).
Gambar 2.4Jalur antara Retina, SCN dan Badan Pineal (Shneerson, 2005)
Impuls lainnya dari sel ganglion retina mencapai daerah pretektum, kolikulus
superior, dan SPZ. Nukleus kolinergik PPT atau LDT juga berproyeksi ke SCN. Jalur
ini dipengaruhi oleh melatonin yang menginhibisi aktivitas SCN dan menyebabkan
tidur (Shneerson, 2005).
Aktivasi reseptor α-1 dan β-1 adrenergik di badan pineal meningkatkan
konsentrasi cyclic adhenosin monophosphat (c-AMP) dan kalsium serta mengaktivasi
arylalkilamine N-acetyltransferase yang mengawali sintesis dan produksi melatonin.
Irama harian sekresi melatonin dikontrol oleh “master pacemaker” endogen yang
berlokasi di SCN. Gambar 2.3 juga menjelaskan hubungan temporal antara aktivitas
SCN dengan sekresi melatonin dalam periode 24 jam (Culebras dkk., 2007).
20
Substrat neuroanatomi tidur REM dan NREM berlokasi pada bagian susunan saraf
pusat yang berbeda. Tidak ada pemisahan antara keduanya dengan pusat pengaturan
bangun tidur, namun kedua fase tidur ini dihasilkan oleh perubahan pada sistem
interkoneksi neuronal yang dimodulasi oleh neurotransmiter dan neuromodulator.
Substrat neuroanatomi tidur REM diperkirakan adalah pada area kecil di tegmentum
pontin dorsolateral yaitu sublaterodorsal (SLD) yang berhubungan dengan dorsal
subcoeruleus atau perilocus coeruleus alpha. Selama tidur NREM dan fase terjaga,
neuron pada SLD akan diinhibisi (hiperpolarisasi) oleh input GABA-ergik dari neuron
REM-off GABA-ergik REM yang berlokasi di SLD, mesensefalon dan nukleus
retikularis pontin, serta ventrolateral periaquaductal graymatter (VLPAG) seperti
halnya dengan neuron REM-off monoaminergik. Neuron-neuron GABA-ergik dan
glutaminergik memainkan peranan penting dalam tidur REM. Neuron GABA-ergik
bertanggung jawab terhadap inaktivasi neuron monoaminergik selama tidur REM.
Neuron kolinergik tidak memainkan peranan dalam aktivasi REM (Chokroverty,
2010).
2.3 Gangguan Tidur pada Remaja
2.3.1 Prevalensi dan insidensi gangguan tidur pada remaja
Fase remaja adalah fase tumbuh kembang dengan karakteristik berupa perubahan
penting dalam fungsi kognitif, perilaku, sosial, emosional sesuai perkembangan
biologis serta adanya fungsi dan tuntutan baru dalam lingkungan keluarga maupun
sosial. Pada remaja terdapat perubahan besar dalam pola bangun-tidur meliputi durasi
tidur berkurang, waktu tidur tertunda serta perbedaan pola tidur pada hari kerja dan
21
akhir pekan sehingga kualitas tidur remaja cenderung berkurang (Mindell dan Owens,
2003).
Dalam beberapa dekade terakhir, penelitian epidemiologi menunjukkan bahwa
jumlah remaja yang mengalami gangguan tidur semakin meningkat. Ohida dkk.
(2004) menunjukkan prevalensi gangguan tidur pada siswa sekolah menengah
bervariasi yaitu 15,3%-39,2%. Sedangkan menurut hasil penelitian Bruni dkk. (1996),
prevalensi gangguan tidur pada remaja adalah 73,4%.
Uji tapis gangguan tidur pada anak dilakukan oleh Haryono dkk. (2009) pada
remaja usia 12-15 tahun di Jakarta Timur mendapatkan prevalensi gangguan tidur
sebesar 62,9% dengan jenis gangguan berupa gangguan transisi bangun-tidur.
Suatu analisis terhadap 28 studi epidemiologi menunjukkan bahwa insomnia
berhubungan dengan gangguan psikologis yang menjadi faktor risiko untuk terjadinya
depresi, gangguan cemas, alkohol, penyalahgunaan obat, penurunan imunitas tubuh
dan percobaan bunuh diri. Gangguan tidur bahkan disebutkan merupakan faktor risiko
penyakit kardiovaskuler (Leger dkk., 2008).
Gangguan tidur pada remaja dapat berupa kurangnya durasi, kualitas dan
kuantitas tidur. Terdapat kesepakatan antara peneliti mengenai kebutuhan tidur remaja
yaitu kurang lebih 9-10 jam setiap malam agar tercapai fungsi biologis tubuh yang
optimal seperti misalnya regulasi mood dan fungsi kognitif yang baik. Menurut suatu
survei nasional mengenai pola tidur remaja di Amerika Serikat, ternyata hanya 20%
remaja berumur 11-17 tahun yang memenuhi kebutuhan tidur malam selama 9 jam
sedangkan 45% tidur kurang dari 8 jam (Moran dan Everhart, 2012).
22
Suatu penelitian epidemiologi skala besar yang dilakukan di Eropa menunjukkan
bahwa 30% remaja berumur 15-18 tahun mengeluhkan setidaknya satu keluhan
gangguan tidur. Hampir 20% mengeluh mengantuk sepanjang siang hari (daytime
sleepiness), 13,8% mengalami tidur non restoratif, 12,4% mengeluh sulit untuk jatuh
tertidur, sedangkan 9,25% mengeluh kesulitan mempertahankan tidur (Moran dan
Everhart, 2012).
Studi epidemiologi memperkirakan bahwa 14%-33% remaja mengalami masalah
tidur, sedangkan 10%-40% siswa Sekolah Menengah Atas (SMA) mengalami SD
sesaat dan SD skala menengah (Liu dkk., 2008).
Kebiasaan tidur erat kaitannya dengan transmisi genetik. Penelitian mengenai
berbagai aspek tidur yang dilakukan pada populasi anak kembar, memberikan hasil
yang menarik. Heritabilitasnya diperkirakan 20%-57% dalam aspek waktu mulai tidur
malam, durasi tidur, kualitas tidur secara menyeluruh dan parameter polisomnografi.
Kontribusi genetik diperkirakan sekitar 40%-70% (Liu dkk., 2008).
2.3.2 Pola dan kualitas tidur remaja
Masa remaja ditandai dengan adanya perubahan biologis, kognitif dan emosional.
Perubahan waktu tidur yang nyata misalnya, tidur malam terlambat, bangun terlalu
cepat, pola tidur yang tidak teratur, insufisiensi tidur dan mengantuk di siang hari.
Remaja juga rentan terhadap gangguan tidur seperti insomnia, excessive daytime
sleepiness (EDS), dan gangguan irama sirkadian (Liu dkk., 2008).
Remaja (usia 12-17 tahun) sangat rentan mengalami gangguan tidur yang pada
akhirnya akan menyebabkan SD. Faktor intrinsik dan lingkungan memainkan peranan
23
dalam menentukan pola tidur remaja. Fase pubertas yang dialami remaja secara
biologis akan menyebabkan perubahan fase sirkadian yang cenderung akan terjadi
keterlambatan waktu tidur dan onset bangun. Secara fisiologis remaja memang
mengalami kesulitan untuk tidur lebih awal. Beberapa faktor ekternal seperti
kebiasaan minum kopi, penggunaan alat elektronik pada saat malam hari membuat
keterlambatan fase tidur lebih berat. Demikin pula dengan kegiatan sosial remaja di
sekolah yang membutuhkan waktu bangun lebih cepat menyebabkan kecenderungan
remaja untuk mengantuk pada siang harinya lebih besar (Lund dkk., 2010).
Perkembangan tidur pada remaja tidak terlalu pesat jika dibandingkan pada anak-
anak. Perubahan pola tidur pada remaja disebabkan oleh perubahan hormonal dan
pergeseran irama sirkadian. Rata-rata durasi tidur harian menurun dari 11 jam di usia 6
tahun menjadi 10 jam di usia 9 tahun dan sekitar 8-9 jam saat usia 16 tahun. Maturasi
arsitektur tidur ditandai dengan penurunan secara bertahap proporsi tidur dalam
NREM dan sebagai kompensasi adalah meningkatnya proporsi stadium tidur ringan
NREM. Kantuk di siang hari yang dialami remaja dapat diukur dengan multiple sleep
latency test (MSLT). Hasilnya adalah meningkatnya nilai MLST yang mencerminkan
adanya efek berkurangnya durasi tidur secara relatif terhadap kebutuhan tidur remaja.
Terlebih lagi, kebanyakan remaja sehat menunjukkan tendensi keterlambatan fase
sirkadian, yaitu waktu tidur malam mengalami keterlambatan secara progresif (Hoban,
2010).
Lingkungan sosial sangat berpengaruh terhadap perubahan pola tidur remaja. Para
remaja mulai bisa memutuskan sendiri mengenai jadwal tidurnya sendiri yang
24
menyebabkan terjadinya pola tidur yang tidak teratur dan insufisiensi tidur kronik.
Penggunaan komputer atau internet, game video dan telepon, lazim digunakan oleh
remaja, mengganggu waktu tidur dan meningkatkan risiko mengantuk pada saat siang
hari. Paparan media elektronik seperti televisi (3 jam per hari), penggunaan fasilitas
internet (2,5 jam per hari) akan meningkatkan latensi tidur dan mengurangi waktu
tidur anak dan remaja (Hoban, 2010; Schochat dkk., 2010).
Pola tidur remaja dipengaruhi juga dengan erat oleh keterlambatan fase tidur
sirkadian secara alami. Seseorang didiagnosis mengalami gangguan irama sirkadian
terutama tipe delayed sleep phase (DSP) apabila tendensi ini mengakibatkan gangguan
memulai tidur dan bangun pada saat yang tepat. Kebiasaan untuk tidur larut malam
dan bangun terlambat saat waktu libur sekolah menyebabkan kecenderungan
terjadinya DSP (Hoban, 2010).
Kualitas tidur merupakan gambaran secara subjektif yang menjelaskan tentang
kemampuan untuk mempertahankan waktu tidur serta tidak adanya gangguan yang
dialami selama periode tidur. Komponen-komponen kualitas tidur dapat diukur secara
objektif dengan polisomnografi, sedangkan pengukuran kualitas tidur secara subjektif
dapat dilakukan dengan beberapa kuesioner misalnya dengan menggunakan PSQI
(Pilcher dkk., 1997).
Kualitas tidur meliputi beberapa aspek kebiasaan tidur seseorang, termasuk
kuantitas tidur, latensi tidur, efisiensi tidur, dan gangguan tidur. Penurunan kualitas
tidur berkorelasi dengan perasaan cemas, depresi, marah, kelelahan, kebingungan,
mengantuk di siang hari dan kekecewaan menyeluruh terhadap kehidupan. Kualitas
25
tidur yang diukur melalui instrumen PSQI berkorelasi dengan kualitas hidup
dibandingkan dengan kuantitas tidur semata (Pilcher dkk., 1997).
Menurut Grose dan Engelke, seperti dikutip oleh Arifin (2011), SD merupakan
gangguan tidur atau keadaan tidur dengan jumlah waktu normal tapi kualitas tidur
tidak adekuat yang ditandai dengan tidur sering terbangun.
Gangguan ini dapat mempengaruhi aktivitas fungsi sistem saraf pusat yang selama
periode tidur. Dampak dari SD dapat bersifat individual. Gangguan yang berlangsung
dalam waktu lama dapat mempengaruhi respon emosional, kemampuan kognitif, daya
ingat, perhatian, pemecahan masalah dan proses pengambilan keputusan (Dinges dkk.,
2011).
Bila SD terjadi dalam 60-200 jam, manusia akan tambah mengantuk, lelah, lekas
marah, sulit berkonsentrasi dan berkurangnya kemampuan aktivitas motorik terutama
yang membutuhkan kecepatan. Ekskresi katekolamin sebagai hormon katabolik
meningkat karena SD. Keseimbangan nitrogen yang negatif berarti bahwa kekurangan
tidur menyebabkan hilangnya protein atau pergeseran ke arah katabolisme
(Lumbantobing, 2008).
Tanda dan gejala neurologi yang dapat tercapai bila SD terjadi secara persisten
adalah adanya nistagmus ringan, gangguan gerak bola mata sakadik, gangguan
akomodasi, tremor di tangan, ptosis, wajah tanpa ekspresi, bicara pelo, pengucapan
salah dan memilih kata yang salah (Lumbantobing, 2008).
Sleep deprivation memberikan konsekuensi berat terhadap perkembangan fisik
dan mental remaja. Suatu penelitian berbasis populasi dilakukan terhadap anak
26
sekolah yang tergolong remaja (usia 11-17) tahun menilai kualitas tidur dan faktor-
faktor prediktor gangguan tidur pada remaja menggunakan beberapa parameter yaitu
PSQI dan Epworth Sleepness Scale (ESS) dan lain-lain. Hasil penelitian tersebut
menunjukkan hubungan yang kuat antara restriksi tidur kronik dengan kecemasan,
depresi, kelelahan dan nyeri somatik. Penelitian tersebut menyebutkan bahwa rata-rata
waktu tidur anak sekolah adalah sekitar 7,02 jam. Hanya 29,4% dari responden
penelitian yang tidur lebih dari 8 jam dalam sehari. Kualitas tidur yang buruk (skor
PSQI ≥8) berhubungan signifikan dengan peningkatan mood negatif (kemarahan,
kecemasan, depresi, kelelahan dan ketegangan). Responden dengan kualitas tidur
buruk juga berkorelasi signifikan dengan penyakit fisik. Faktor-faktor predisposisi
kualitas tidur yang buruk pada remaja yang ditunjukkan oleh penelitian tersebut antara
lain mood (ketegangan dan stres), konsumsi alkohol dan kopi, keteraturan jadwal tidur
dan paparan alat-alat elektronik seperti telepon, televisi dan komputer atau internet
(Lund dkk., 2010; Dinges dkk., 2011; Moran dan Everhart, 2012).
Stres merupakan faktor predisposisi yang paling signifikan mempengaruhi
kualitas tidur remaja. Terdapat beberapa alasan mengenai hal tersebut. Pertama, gaya
hidup remaja merupakan faktor presipitasi yang meningkatkan tekanan pada mental
remaja. Kedua, adanya perubahan karena maturasi neuroendokrin. Perkembangan
aksis HPA saat remaja menyebabkan sekresi kortisol sepanjang waktu tidur
meningkat. Hiperaktivitas neuroendokrin berperan terhadap kondisi hyperarousal
seperti halnya peningkatan perasaan negatif seperti kecemasan dan depresi pada
27
remaja. Ketiga, remaja belum memiliki strategi “coping” untuk mengelola kejadian-
kejadian pemicu stres (Lund dkk., 2010; Moran dan Everhart, 2012).
Gangguan tidur irama sirkadian tipe DSP merupakan tipe gangguan tidur yang
paling sering dialami oleh remaja. Gejala sindrom DSP berupa adanya keterlambatan
waktu tidur sebanyak 2 jam atau lebih dari waktu tidur yang diinginkan dan adanya
pertentangan dengan aktivitas harian remaja (sekolah, pekerjaan dan jadwal aktivitas
lain). Gejala klinis sindrom DSP yang paling utama adalah adanya keluhan terbangun
terlalu dini yaitu sekitar pukul 3 atau 4 dini hari dan kemudian sangat sulit untuk
bangun saat pagi hari. Keluhan kesulitan tidur sebelum tengah malam dan sangat sulit
bangun sebelum pukul 10 di pagi hari juga sering dialami. Hal ini terjadi akibat waktu
tidur remaja yang tidak konsisten dengan waktu biologis internalnya. Sindrom DSP
merupakan gangguan multi komponen yang dipengaruhi oleh faktor genetik, biologis
dan psikososial (Mindell dan Meltzer, 2008).
Stadium tidur yang mengalami perubahan sesuai umur adalah stadium SWS.
Stadium tidur ini maksimal pada usia anak-anak dan menurun sekitar 40% saat dekade
kedua dalam kehidupan. Remaja umur 11-17 tahun mengalami penurunan gelombang
delta dan teta pada stadium tidurnya dan secara simultan tidur stadium 2 meningkat.
Penurunan gelombang EEG pada seluruh stadium tidur terjadi secara signifikan.
Perubahan pola ini diperkirakan disebabkan oleh reorganisasi atau maturasi otak
secara fundamental sepanjang masa remaja (Bohm, 2012).
28
Keterbatasan data dan penelitian mengenai DSP menyebabkan prevalensi
sindroma DSP tidak diketahui secara pasti namun diperkirakan antara 7%-16% pada
populasi remaja (Tikotzky dan Sadeh, 2012).
Remaja dengan sindrom DSP mengalami SD secara kronik dan akan
menimbulkan “mabuk tidur” pada pagi hari yang ditandai dengan kesulitan untuk
bangun secara cepat dan kebingungan. Sekresi melatonin yang terlambat pada fase ini
merupakan salah satu faktor yang diperkirakan mendasari sindrom ini, disamping
adanya disregulasi sistem waktu sirkadian endogen dengan lingkungan. Remaja
dengan DSP gagal mensinkronisasikan waktu sirkadian internal karena penurunan
sensitivitas terhadap siklus gelap terang (Tikotzky dan Sadeh, 2012).
Gangguan tidur yang dialami remaja selain DSP adalah insomnia. Menurut
Diagnostic and Statistical Manual (DSM)-V seperti yang dikutip oleh Tikotzky dan
Sadeh (2012), insomnia ditandai dengan adanya kesulitan memulai tidur,
mempertahankan tidur atau tidur nonrestoratif yang berlangsung minimal satu bulan
dan menyebabkan gangguan harian dan distres yang signifikan. Suatu penelitian
berbasis populasi menunjukkan bahwa sekitar 10,7% remaja usia 13-16 tahun pernah
mengalami insomnia sepanjang hidupnya dan 9,4% masih tetap mengalami insomnia.
Insomnia juga disebutkan sebagai faktor paling berpengaruh dari kualitas tidur yang
buruk. Selain faktor genetik, faktor psikososial remaja juga berperan menimbulkan
insomnia pada remaja.
29
Berbagai gangguan tidur pada remaja seperti sindrom DSP, insomnia dan sleep-
related breathing disorder berkorelasi kuat dengan timbulnya nyeri kepala saat pagi
hari (Calhoun dan Ford, 2007).
2.4 Hubungan NKP dengan Gangguan Tidur
2.4.1 Faktor-faktor pencetus dan prevalensi NKP pada remaja
Nyeri kepala adalah suatu rasa nyeri atau rasa tidak mengenakkan pada daerah
kepala termasuk meliputi daerah wajah, tengkuk dan leher (PERDOSSI, 2013).
Beberapa bentuk nyeri kepala yang digolongkan sebagai NKP adalah migren
(umum dan aura), TTH, nyeri kepala klaster (NKK), dan yang tergolong NKP lainnya
(PERDOSSI, 2013):
Beberapa mekanisme dikemukakan sebagai dasar patofisiologi migren kronik
meliputi inflamasi neurogenik kronik, sensitisasi sentral, defek pada modulasi nyeri
sentral, disfungsi hipotalamus dan kombinasi keempat mekanisme tersebut (Gilman
dkk., 2007).
Insiden NKP meningkat dan mencapai puncak di usia 13 tahun pada kedua jenis
kelamin. Pada penelitian berbasis populasi pada remaja umur 11-12 tahun, lebih dari
90% mengalami keluhan NKP jenis apapun dalam setahun (Gilman dkk., 2007).
Nyeri kepala merupakan keluhan yang paling sering dialami pada populasi umum,
demkian pula pada anak dan remaja. Prevalensi nyeri kepala pada populasi usia
sekolah berdasarkan 50 penelitian berbasis populasi di Amerika dan Eropa bahwa
sekitar 58,7% anak sekolah mengalami nyeri kepala dalam satu bulan. Terdapat
tendensi meningkatnya prevalensi NKP pada anak dan remaja umur 11 tahun sampai
30
17 tahun yaitu 45,2%-78,7%. Nyeri kepala primer yang dialami oleh remaja usia
sekolah menunjukkan prevalensi yang tinggi, yaitu sebanyak 66%-71% mengalami
NKP sebanyak satu kali dalam seminggu (Straube dkk., 2013).
Prevalensi migren pada mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKES)
Bali adalah 23,7%, lebih tinggi daripada prevalensi nyeri kepala yang didapatkan pada
populasi umum (Adnyana, 2012).
Berbagai laporan mengenai faktor predisposisi timbulnya NKP yaitu stres,
kecemasan, kelelahan, menstruasi, gangguan tidur, relaksasi setelah stres, melewatkan
waktu makan, perubahan cuaca, kelembaban yang tinggi, ketinggian, paparan sinar
yang berkedip atau cahaya yang benderang, suara yang keras, aroma minyak wangi
dan bahan kimia, perubahan postural, aktivitas fisik, batuk, faktor makanan (coklat,
keju, minuman beralkohol khususnya anggur merah, jeruk, makanan yang
mengandung monosodium glutamat, nitrat atau aspartat), pemakaian dan efek putus
obat kokain (Silberstein, 2002; Fragoso, 2003).
Menurut Kutlu dkk. (2010) yang meneliti faktor-faktor pencetus NKP terutama
migren di Turki, terdapat berbagai faktor lain sebagai pencetus. Faktor stres
psikologis, suara, gangguan tidur dan kelelahan merupakan faktor pencetus NKP yang
paling umum.
Tidur merupakan faktor pencetus yang unik karena di satu sisi kekurangan tidur
dapat memprovokasi nyeri kepala, di sisi lain tidur dapat meredakan nyeri kepala.
Kualitas tidur yang menurun berhubungan langsung dengan timbulnya serangan
migren dan seringkali tidak dapat dijelaskan secara terpisah dengan komorbiditasnya,
31
seperti depresi atau gangguan cemas pada individu yang sama. Terbangun saat malam
hari yang terjadi secara kronik dan pola timbulnya nyeri kepala saat pagi hari
merupakan hal yang mendasari pemikiran bahwa gangguan tidur memicu timbulnya
nyeri kepala. Hipotalamus sebagai pusat otonom mengatur homeostatik tubuh dan
mengontrol nyeri. Hipotalamus dan area pada batang otak yang terhubung secara
anatomi berperan terhadap gejala kronobiologi pada beberapa jenis nyeri kepala
primer. Pada penelitian di Turki ini, gangguan tidur merupakan faktor pemicu NKP
tersering setelah stres psikologis dan faktor lingkungan (Alstadhaug, 2006).
Tabel berikut ini mengklasifikasikan faktor-faktor pencetus timbulnya NKP.
Tabel 2.2Faktor-Faktor yang Mencetuskan NKP (Silberstein, 2002)
Faktor-Faktor Pencetus Nyeri Kepala Primer1. Faktor internal :
- Genetik- Hormonal- Stres- Kecemasan- Kelelahan- Gangguan tidur- Perubahan pola atau kebiasaan (misalnya pola makan,
kebiasaan kerja)- Perubahan postural- Aktivitas fisik- Batuk
2. Faktor eksternal :- Makanan (coklat, keju, jeruk, alkohol) dan rokok- Perubahan cuaca- Kelembaban yang tinggi- Ketinggian- Paparan cahaya yang berkedip dan benderang- Suara keras- Aroma tertentu atau bahan kimia
32
Beberapa teori telah dikemukakan para ahli untuk menjelaskan patofisiologi nyeri
kepala primer khususnya migren. Demkian pula perubahan NKP episodik yang
berkembang menjadi NKP kronik. Adapun mekanisme yang diperkirakan mendasari
proses ini yakni inflamasi neurogenik kronik, sensitisasi sentral, gangguan modulasi
nyeri sentral, disfungsi hipotalamus dan kombinasi seluruh mekanisme tersebut (Peres
dkk., 2001).
Keterlibatan hipotalamus dalam patofisiologi NKK telah diketahui sejak lama.
Hipotalamus diperkirakan pula memiliki peranan dalam terjadinya NKP lainnya
seperti migren terutama dalam bentuk migren kronik. Beberapa jalur dan sistem
seperti jalur hipotalamik-tuberoinfundibular (prolaktin dan hormon pertumbuhan),
aksis HPA yang memproduksi kortisol dan peranan badan pineal dalam patofisiologi
migren (Peres dkk., 2001).
Secara umum struktur neuroanatomi yang terlibat dalam patofisiologi NKP dapat
dilihat pada tabel berikut ini.
Tabel 2.3Struktur Anatomi yang Terlibat dalam Nyeri Kepala (Silberstein dkk., 2002)
Orde Struktur KeteranganPertama Ganglion trigeminalis Berlokasi di fossa cranii
mediaKedua Kompleks trigeminoservikal (melalui
traktus kuintotalamik)Trigeminal Nucleus Caudalis(TNC) dan kornu dorsal C1,C2 medula spinalis servikalis(lamina I/II)
Ketiga Talamus Kompleks ventrobasal dannukleus medialis
Final Korteks
33
Selama serangan migren, serabut saraf sensoris melepaskan peptida-peptida yang
menyebabkan vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas pembuluh darah. Serabut
saraf yang berasal dari ganglion trigeminovaskular mengandung substansi P,
calcitonin gene-related peptide (CGRP) dan neurokinin A yang diproduksi apabila
sistem trigeminovaskular distimulasi. (Silberstein dkk, 2002).
Peptida-peptida ini muncul sebagai respon inflamasi steril pada duramater dan
menyebabkan sensitisasi pada serabut saraf sensoris terhadap stimulus nonnoksius
terdahulu (misalnya pulsasi pembuluh darah atau perubahan tekanan vena). Sensitisasi
tersebut bermanifestasi sebagai peningkatan mekanosensitivitas intrakranial dan
hiperalgesia yang diperberat dengan batuk atau gerakan kepala yang mendadak. Kadar
CGRP ditemukan meningkat pada vena jugularis selama serangan migren berlangsung
dan normal kembali setelah pemberian sumatriptan yang kemudian meredakan nyeri
kepala. Vasoactive intestinal polypeptide (VIP) dan CGRP merupakan petanda
aktivasi saraf parasimpatis intrakranial yang banyak ditemukan pada penderita NKP
kronik (Silberstein dkk., 2002).
Nukleus batang otak termasuk di antaranya PAG, LC, dan nukleus rafe dorsalis
tidak aktif sebagai respon terhadap timbulnya nyeri kepala. Nukleus noradrenergik dan
serotonergik berpartisipasi dalam respon stres, kecemasan dan depresi. Pada penderita
migren menunjukkan terjadinya hipersensitivitas sentral terhadap stimulasi
dopaminergik yang berhubungan dengan tingkah laku yang terjadi selama serangan
migren (menguap, iritabilitas, hipereaktivitas, gastroparesis, mual dan muntah)
(Silberstein dkk., 2002).
34
Berikut ini adalah ilustrasi secara anatomi sistem trigeminovaskular yang terlibat
dalam patofisiologi nyeri kepala primer dalam hal ini migren.
Gambar 2.5Patofisiologi Sistem Trigeminovaskular Nyeri Kepala (Silberstein dkk., 2002)
Disamping teori vaskuler dan inflamasi steril tersebut, serotonin diduga
memainkan peranan penting pada patofisiologi migren. Metabolit utama serotonin, 5-
hydroxyindoleacetic ditemukan meningkat dalam urin penderita migren. Pada kondisi
lain, kadar serotonin platelet menurun dengan cepat pada serangan migren akut.
Penurunan kadar serotonin diduga justru dapat memicu serangan migren (Silberstein
dkk., 2002).
2.4.2 Prevalensi gangguan tidur pada remaja penderita NKP
Beberapa perbedaan jenis hubungan antara tidur dan nyeri kepala yang biasa
ditemukan dalam praktik sehari-hari, yaitu (Paiva dkk., 1997) :
35
1. Gangguan tidur bersifat primer sedangkan nyeri kepala adalah bagian dari
gejalanya.
2. Sindrom nyeri kepala bersifat primer yang menyebabkan terjadinya gangguan
tidur.
3. Gangguan tidur dan nyeri kepala merupakan gejala dari suatu entitas patologi yang
berbeda.
4. Gangguan tidur dan sindrom nyeri kepala terjadi pada satu individu, tanpa ada
interaksi antara kedua fenomena tersebut.
Prevalensi gangguan tidur pada penderita nyeri kepala cukup besar. Pada
penelitian Paiva dkk. (1997) menunjukkan bahwa 26 dari 49 sampel (53%) yang
teridentifikasi mengalami gangguan tidur merupakan penderita nyeri kepala primer.
Boardman dkk. (2005) menunjukkan data bahwa penderita dengan NKP kronik
memiliki kemungkinan 17 kali lebih besar mengalami gangguan tidur dibandingkan
dengan populasi normal. Meningkatnya kecenderungan gangguan tidur juga
berkorelasi dengan derajat keparahan NKP pada penelitian lainnya (Rain dkk., 2008).
Pada remaja penderita NKP, gangguan tidur merupakan fenomena klinis.
Beberapa penelitian yang memfokuskan pada hubungan antar kedua fenomena ini
melaporkan adanya variasi bentuk gangguan tidur seperti misalnya kesulitan untuk
jatuh tertidur, frekuensi terbangun malam hari yang sering, terbangun terlalu pagi dan
mengantuk hebat pada siang hari. Data mengenai hubungan antara tidur dan NKP,
karakteristik NKP yang timbul, intensitas, durasi dan frekuensi NKP yang
dihubungkan dengan kebiasaan tidur pada remaja sangat minimal. Beberapa penelitian
36
yang ada dengan metode yang beda-beda sehingga sulit untuk dibandingkan. National
Sleep Foundation di Amerika pada tahun 2006 memberikan data bahwa 45% remaja
tidak mencapai kebutuhan tidur dalam semalam. Suatu penelitian terhadap 69 remaja
berumur 13-17 tahun dengan NKP menunjukkan bahwa 65,7% peserta penelitian
tersebut mengalami masalah tidur dengan pemenuhan kebutuhan tidur yang tidak
mencukupi (Gilman dkk., 2007).
Sahota dan Dexter mengajukan klasifikasi kompleks mengenai NKP yang
berhubungan dengan gangguan tidur seperti yang dikutip oleh Dodick dkk. (2003)
pada Tabel 2.4 berikut ini.
Tabel 2.4Klasifikasi Nyeri Kepala Terkait dengan Komponen Tidur (Dodick dkk, 2003)
Hubungan antara Nyeri Kepala dan Tidur
Nyeri kepala yang berkaitan dengan tidur (selama atausetelah tidur)Nyeri kepala yang berkaitan dengan fase-fase tidur
Fase III, IV, fase REM : migrenFase REM: nyeri kepala klaster, hemikraniaparoksismal kronikDurasi tidur dan nyeri kepalaTidur dalam yang berlebihanKurangnya waktu tidurKekacauan pola tidur
Nyeri kepala yang diredakan dengan tidurMigren dan jenis nyeri kepala lainnya
Gangguan tidur dan nyeri kepalaSleep apnea dan nyeri kepalaSomnambulisme dan nyeri kepalaParasomnia lainnya dan nyeri kepala
Efek nyeri kepala pada tidurGangguan pola tidur yang ringan hingga berat
Mimpi dan nyeri kepala
37
Paiva dkk. (1997) mengajukan klasifikasi mengenai hubungan antara gangguan
tidur dan NKP sebagai berikut :
a. Gangguan tidur yang disebabkan oleh nyeri kepala.
b. Nyeri kepala yang diinduksi oleh gangguan tidur.
c. Nyeri kepala dan gangguan tidur timbul tumpang tindih misalnya TTH dan
insomnia yang diinduksi oleh gangguan mood.
d. Nyeri kepala dan gangguan tidur muncul pada satu individu namun tidak ada
interaksi antara keduanya.
2.4.3 Peranan SCN dan melatonin pada patofisiologi NKP
Hubungan antara gangguan tidur dan NKP secara umum memiliki dasar struktur
neuroanatomi dan mekanisme neurofisiologi yang sama, meliputi hipotalamus,
serotonin dan melatonin. Aktivasi ARAS di batang otak menyebabkan kondisi terjaga.
Pengaruh neurotransmiter kortikal seperti epinefrin, dopamine dan asetilkolin berperan
mempertahankan kewaspadaan selama terjaga. Tidur fase NREM dikontrol oleh
neuron-neuron GABA di basal otak depan (basal forebrain). Sedangkan generator fase
REM terletak di daerah dorsolateral tegmentum pontin. Fase REM diawali oleh
pelepasan asetilkolin yang diaktivasi oleh neuron pontin tersebut. Serotonin yang
berasal dari nukleus di daerah rafe dorsalis telah diketahui memegang peranan pada
migren (Alberti, 2003)
Kadar melatonin menurun pada beberapa jenis NKP terutama migren, NKK dan
nyeri kepala hipnik. Melatonin memiliki efek terapeutik terhadap nyeri kepala primer
melalui efek antioksidan, antiinflamasi dan antinosiseptik. Mekanisme yang mendasari
38
efek protektif melatonin terhadap nyeri kepala belum sepenuhnya jelas. Efek beta
endorfin yang mungkin dimiliki oleh melatonin diperkirakan berperanan penting
selain mekanisme oksida nitrit dan jalur GABA, glutamat dan opiat endogen. Efek
protektif tersebut memungkinkan melatonin digunakan sebagai terapi farmakologi
prevensi migren (Bhasyar dkk., 2009).
Melatonin berperanan dalam ritme sirkadian dan mungkin memiliki efek
terapeutik terutama pada NKK. Nukleus noradrenergik LC dan nukleus serotonergik
rafe dorsalis mengontrol siklus bangun tidur dan modulasi nyeri. Serotonin terlibat
dalam regulasi tidur dan memegang peranan penting dalam patofisiologi migren.
Namun demikian, belum ada penjelasan yang memuaskan mengenai bagaimana kedua
hal tersebut saling mempengaruhi (Alberti, 2006; Rain dkk., 2008).
Badan pineal adalah organ fotoneuroendokrin yang berbentuk cemara, berada
pada pusat otak di belakang ventrikel ketiga. Organ yang kaya vaskular ini
menghasilkan melatonin, peptida (seperti arginin vasotosin) dan sel neuroglial.
Stimulus eksternal dikonversi oleh badan pineal dengan jalan menghasilkan hormon
melatonin sebagai respon terhadap sinkronisasi homeostasis internal dan lingkungan
(Teron, 2002; Peres, 2005).
Lokasi SCN di bagian posterior hipotalamus berhubungan dengan aktivitas
korteks oksipital dan nukleus rafe di batang otak sebagai penghasil serotonin.
Aktivitas serotonin memiliki ritme sirkadian dan sirkanual dibawah kontrol SCN
sebagai pacemaker. Jalur serotonergik seperti traktus serotonergik basal forebrain
yang bersifat asenden bermula pada nukleus rafe dan berakhir pada area otak yang
39
berbeda termasuk pada SCN di hipotalamus. Stimulasi nukleus rafe akan menginduksi
pengeluaran serotonin pada SCN dan memulai ritme aktivitas sirkadian. Adanya
eksistensi komunikasi anatomi antara SCN dengan nukleus rafe melalui
neurotransmisi serotonin mungkin dapat menerangkan hubungan antara tidur dengan
NKP (Teron, 2002; Peres dkk., 2006).
Nyeri kepala primer yang seringkali dihubungkan dengan tidur pada berbagai
penelitian adalah migren. Serangan migren pada fase prodromal diawali oleh
gangguan fungsional neuronal pada hipotalamus. Gangguan periodisitas sentral di
hipotalamus ini dapat dilihat sesuai dengan periodisitas serangan migren dan adanya
perubahan emosional oleh mekanisme jalur sistem limbik yang berhubungan dengan
hipotalamus. Gangguan fisiologi bioritmik hipotalamus seperti perubahan hormonal,
gangguan tidur dan perubahan nafsu makan merupakan beberapa faktor yang sering
memicu serangan migren (Teron, 2002).
Migren dipicu oleh perubahan siklus internal atau eksternal, misalnya perubahan
bioritmik hormonal (menstruasi), siklus bangun tidur dan fase tidur, jet lag, giliran
kerja (shift), faktor geoklimatik (siklus musim, perubahan temperatur tekanan
barometri, perubahan siklus gelap terang), gangguan afektif atau emosional,
perubahan kebiasaan rutin (pola waktu makan, aktivitas istirahat dan akhir pekan). Hal
ini menyokong teori gangguan sirkuit serebral dengan mekanisme adaptasi
homeostatik (Dodick, 2003).
Trigeminal nucleus caudalis di pons dan mesensefalon yang diperkirakan sebagai
“generator migren” mengaktivasi struktur vaskuler yang memvaskularisasi nukleus ini
40
selama serangan migren. Gejala migren yang berhubungan dengan fase prodromal dan
aura kemungkinan disebabkan oleh aktivitas hipotalamus atau kortikal, misalnya
menguap, peningkatan rasa lapar, kelelahan, perubahan mood, distorsi visual dan
sensoris. Hipotalamus terhubung dengan sistem limbik, sel-sel melatonin neuronal di
badan pineal dan nukleus di batang otak yang mengatur control eferen otonom oleh
nukleus traktus solitarius, kontrol motorik dan fase tidur oleh LC dan modulasi nyeri
oleh PAG (Alberti, 2006).
Berdasarkan polisomnografi yang dilakukan pada penderita migren, terdapat
hubungan antara nyeri kepala di malam hari dengan fase REM. Migren yang terjadi
saat terjaga, disebabkan oleh pemanjangan fase 3, 4 dan REM. Suatu studi
observasional yang dilakukan oleh Kelman dan Rain (2005) menunjukkan adanya
keluhan gangguan tidur pada 1283 penderita migren.
Penderita TTH kronik mengalami pengurangan waktu tidur tapi tidak spesifik
pada fase tertentu, pemanjangan latensi tidur, seringkali terjaga, peningkatan aktivitas
motorik di malam hari dan penurunan tidur gelombang lambat. Kecemasan dan
depresi komorbid dengan TTH sehingga gangguan tidur khususnya insomnia yang
menjadi salah satu gejala depresi juga sering dialami terutama oleh penderita TTH
kronik. Hal ini menyokong hipotesis adanya hubungan antara NKP, gangguan tidur
dan gangguan psikiatri (Alberti, 2006; Rain dkk., 2008).
Bukti-bukti klinis dasar mendukung hubungan tidur, NKK dan jam biologis
tubuh. Penelitian lain menunjukkan bahwa pasien NKK dengan obstructive sleep
apnea (OSA) akan berisiko mengalami serangan nyeri kepala lebih sering. Perubahan
41
irama sirkadian dan pola sirkanual memicu serangan NKK tersebut. Polisomnogram
menunjukkan serangan klaster biasanya timbul antara pukul 9 malam hingga 10 pagi
pada sekitar 75% kasus (Dodick dkk., 2003; Rain, 2008; Alberti, 2006).
Gejala klinis paling khas dari NKK ini adalah adanya episode alami. Penderita
menggambarkan nyeri kepalanya bermula dan berhenti seperti jam, mengikuti irama
sikadian, muncul pada pukul tertentu tiap harinya (Rain dkk., 2008).
Nyeri kepala hipnik adalah NKP idiopatik dan sangat jarang, hanya sekitar 0,07%-
0,1% dari seluruh penderita NKP, wanita 1,2-1,7 kali lebih sering daripada laki-laki
dengan rata-rata umur dekade 60 tahunan. Serangan nyeri kepala terjadi pada waktu
yang sama tiap malam sehingga disebut sebagai “alarm clock headache”.
Karakteristik nyeri kepala hipnik adalah nyeri kepala tumpul, bilateral dan
intensitasnya sedang. Durasinya sekitar 15-80 menit dengan frekuensi serangan 1-2
kali tiap malam. Fenomena yang menarik terjadi pada penderita nyeri kepala hipnik.
Penderita akan menampakkan tingkah laku motorik saat nyeri kepala tersebut muncul,
misalnya membaca, menonton televisi, makan, minum, berjalan-jalan adn mandi
karena berusaha menghilangkan nyeri kepalanya. Akan tetapi, nyeri kepala tersebut
tidak sampai menyebabkan agitasi atau kegelisahan (Alberti, 2006; Diener, 2012).
Patofisiologi nyeri kepala hipnik belum jelas. Serangannya seringkali
dihubungkan dengan tidur fase REM dengan bukti-bukti polisomnogram. Beberapa
faktor yang berperanan dalam mekanisme terjadinya nyeri kepala hipnik, salah
satunya adalah OSA. Indeks apnea/hipopnea meningkat pada penderita nyeri kepala
hipnik berkorelasi dengan penurunan saturasi oksigen. Voxel Based Morphometry
42
(VBM) memberikan gambaran penurunan kuantitas substansia grisea hipotalamus
posterior. Hal ini mempengaruhi fungsi hipotalamus sebagai regulator bangun tidur
sekaligus pemroses nyeri sentral.
Gangguan kronobiologi pada manusia dibagi menjadi dua jenis, yaitu : (1)
gangguan eksternal karena gaya hidup misalnya pekerja bergilir (shift), sindroma jet
lag; (2) gangguan internal atau endogen seperti depresi, kelelahan kronik, fibromialgia
dan migren (Peres, 2005).
Tidur yang baik memainkan peranan penting dalam fungsi restoratif bagi tubuh.
Pada manusia, irama sirkadian secara normal muncul pada malam hari bersama-sama
dengan sekresi melatonin. Hal ini memunculkan teori bahwa melatonin merupakan
fasilitator tidur internal pada manusia yang menginhibisi drive terjaga/bangun dari
SCN. Melatonin meningkatkan kecenderungan untuk tidur. Berbagai gangguan
neurologi erat kaitannya dengan irama tubuh, harian atau siklus musiman.
Malaadaptasi terhadap irama tersebut dikaitkan dengan fungsi badan pineal dan
sekresi melatonin. Badan pineal adalah organ fotoendokrin yang merubah stimulus
luminasi eksternal menjadi pelepasan hormon yang bertanggung jawab terhadap
sinkronisasi antara homeostasis internal dengan lingkungan (Peres, 2005).
Gejala klinis nyeri kepala seringkali berfluktuasi. Beberapa penderita melaporkan
nyeri kepala yang dialami spesifik pada periode tertentu dalam sehari. Penderita
migren episodik (55%) maupun kronis (62,5%) melaporkan NKP yang dialami saat
bangun pagi atau terbangun oleh munculnya nyeri kepala di malam hari. Distribusi
43
serangan migren seringkali sesuai dengan siklus estrogen tiap bulannya. Migren yang
berhubungan dengan menstruasi mencapai sekitar 55% kasus (Peres, 2005).
Penelitian Brun dkk. (1995) menunjukkan penurunan kadar melatonin dalam urin
pada wanita penderita migren saat serangan bila dibandingkan pada wanita menstruasi
yang tidak mengidap migren. Hal inilah yang mendasari pemikiran bahwa melatonin
terlibat dalam patofisiologi migren, terutama migren kronis. Peranan melatonin dalam
patofisiologi NKP kronik dimungkinkan oleh adanya efek melatonin seperti yang
dipaparkan pada Tabel 2.5 berikut ini.
Tabel 2.5Beberapa Peranan Melatonin dalam Patofisiologi NKP (Peres, 2005)
Efek Melatonin
Efek anti inflamasiScavenging radikal bebas toksikInhibisi aktivitas oksida nitritsintaseInhibisi pelepasan dopaminStabilisasi membranPotensiasi GABA dan analgesikopoidProteksi neurotoksisitas glutamatRegulasi neurovaskularModulasi serotonin
Melatonin adalah molekul yang bertanggung jawab terhadap sinkronisasi internal
tubuh dengan lingkungan. Dalam hubungannya dengan NKP, dalam hal ini migren,
melatonin diperkirakan berperan dalam terjadinya cortical spreading depression
(CSD) melalui efeknya terhadap sistem oksida nitrit, GABA dan glutamatergik.
Mekanisme lain berupa keterlibatan melatonin dalam patofisiologi migren dan
44
gangguan psikiatri yang komorbid mungkin melalui sistem serotonergik dan
dopaminergik (Peres, 2005).
Migren kronik merupakan sindrom kompleks yang berhubungan dengan berbagai
kondisi termasuk gangguan cemas menyeluruh (70%), insomnia (71%), dan depresi
mayor (80%). Penyebab dan mekanisme migren kronik masih belum jelas. Sejumlah
mekanisme diduga bertanggung jawab terhadap timbulnya migren kronik, yaitu
sensitisasi sentral, adanya gangguan pada modulasi nyeri sentral, disfungsi
hipotalamus, serta kombinasi keempat mekanisme tersebut (Bruera dkk., 2008).
Sekresi melatonin oleh badan pineal secara substansial ditekan oleh paparan
cahaya. Penderita migren akan lebih rentan terhadap serangan sepanjang musim panas
saat siang hari dan berlangsung hampir sepanjang hari selama beberapa bulan.
Disfungsi hipotalamus juga diduga berperanan dalam timbulnya TTH kronik (Bruera
dkk., 2008).
Hampir 50% serangan migren timbul saat pukul 4 dan 9 pagi mengikuti irama
sirkadian. Namun serangan migren dikatakan tidak memiliki hubungan dengan
stadium tidur. Penderita mungkin saja terbangun karena serangan migren di luar tidur
fase REM atau serangan tersebut muncul pada stadium 3 dan 4 tidur NREM. Enam
puluh persen pasien dengan migren melaporkan adanya rasa gembira yang berlebihan
(euforia patologis), iritabilitas, depresi, lapar, haus dan mengantuk sepanjang 24 jam
mendahului munculnya serangan nyeri kepala. Gejala-gejala tersebut merupakan
gejala yang berasal dari disfungsi hipotalamus. Kemunculan migren yang dipicu oleh
siklus alami tubuh atau siklus lingkungan (perubahan hormonal saat menstruasi, siklus
45
bangun tidur) mengindikasikan mekanisme hipotalamus, sehingga migren diduga
merupakan gangguan sirkuit serebral dengan mekanisme homeostatik adaptif (Bruera
dkk., 2008).
Suatu penelitian yang dilakukan pada penderita NKK yang mengalami serangan
nyeri kepala melaporkan adanya penurunan konsentrasi melatonin secara bermakna.
Kadar melatonin nokturnal menurun pada saat serangan bila dibandingkan dengan
kadar melatonin saat remisi (Bruera dkk., 2008).
Penurunan kadar melatonin mencapai level terendah pada saat tidur REM pukul 2
dan pukul 3 dini hari dimana pada waktu-waktu tersebut terjadi serangan nyeri kepala.
Nyeri yang diinduksi oleh stres tidak dapat menjelaskan bagaimana kadar melatonin
menurun saat serangan karena di lain pihak stres memicu pengeluaran norepinefrin
endogen yang sebenarnya meningkatkan produksi melatonin. Dari sudut pandang
biokimia, kadar melatonin yang rendah mungkin disebabkan oleh penurunan kadar
serotonin yang diperlukan untuk sintesis hormon tersebut (Bruera dkk., 2008).
Serangan NKK timbul pada musim semi dan musim gugur saat siklus gelap dan
terang mengalami perubahan. Berbagai indikator yang memungkinkan sebagai
petunjuk keterlibatan hipotalamus pada NKP adalah dengan melihat efek terapi litium
pada pasien NKK, perubahan sekresi kortisol dan perubahan regulasi aksis HPA
(Bruera dkk., 2008).
46
BAB III
KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN
3.1 Kerangka Berpikir
Diagram di bawah ini menunjukkan landasan teori hubungan antara gangguan
tidur (gangguan kualitas, kuantitas, dan bentuk-bentuk gangguan tidur seperti
insomnia, dan lain-lain) dengan nyeri kepala primer (NKP).
Gambar 3.1Bagan Kerangka Berpikir
47
Kerangka teori di atas menberikan gambaran bagaimana tidur berpengaruh
terhadap NKP terutama pada remaja. Maturasi sel-sel yang berkembang pada remaja,
ketidakseimbangan hormonal, dan faktor eksternal/sosial sangat mempengaruhi pola
kronobologi remaja. Remaja cenderung mengalami disinkronisasi pola diurnal dan
nokturnal lingkungan dengan irama sirkadian tubuhnya sehingga terjadi perubahan
atau gangguan pola kronobiologi yang menyebabkan timbulnya sleep deprivation
(SD). Menurunnya kualitas dan kuantitas tidur serta beberapa jenis bentuk gangguan
tidur merupakan akibat dari adanya SD jangka panjang yang berdampak pada berbagai
sistem organ sehingga terjadi gangguan dalam tubuh. Hipotalamus, khususnya SCN
yang berfungsi sebagai pengatur siklus bangun-tidur diduga memiliki peranan penting
dalam mencetuskan berbagai NKP, terutama NKK, migren dan TTH kronik. Adanya
disfungsi hipotalamus, dan munculnya serangan migren yang berpola sesuai siklus
tertentu (misalnya serangan migren yang muncul saat siklus menstruasi) mendasari
teori bahwa SCN memliki peranan penting dalam menimbulkan NKP. Penurunan
plasma melatonin terjadi pada penderita NKP yang juga semakin menyebabkan
bertambah beratnya gangguan tidur. Hiperaktivitas aksis HPA sebagai penghasil
kortisol yang merupakan hormon stres diduga memiliki peranan pula dalam hal
memperberat terjadinya SD pada remaja. Sleep deprivation juga mempengaruhi fungsi
nukleus-nukleus serotonergik dan adrenergik pada midbrain dan batang otak, seperti
misalnya nukleus rafe dorsalis, LC, serta nukleus pada PAG yang juga diketahui
merupakan struktur anatomi yang berperanan dalam jalur nyeri kepala.
48
3.2 Konsep Penelitian
Diagram di bawah ini menunjukkan hubungan antar variabel yang tertuang dalam
konsep penelitian. Variabel terikat adalah nyeri kepala primer, sedangkan variabel
bebas adalah kualitas tidur, jenis kelamin, obesitas, kelelahan, stres, depresi dan
kecemasan. Variabel pengganggu terdapat dalam kotak dengan garis putus-putus.
Variabel pengganggu dieksklusi melalui rancangan penelitian. Variabel terkendali
dikendalikan melalui analisis penelitian.
Gambar 3.2Bagan Konsep Penelitian
3.3 Hipotesis Penelitian
Berdasarkan masalah penelitian dapat dibuat hipotesis sebagai berikut :
Terdapat korelasi antara kualitas tidur yang buruk dengan NKP pada siswa-siswi SMA
Negeri 1 Amlapura.
49
BAB IV
METODE PENELITIAN
4.1 Rancangan Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian analitik observasional dengan rancangan
potong lintang. Pengambilan subjek berdasarkan probability sampling yaitu simple
random sampling. Kerangka penelitian dapat digambarkan dalam diagram berikut :
Gambar 4.1Bagan Rancangan Penelitian
4.2 Tempat dan Waktu Penelitian
Pengambilan sampel dilakukan di SMA Negeri 1 Amlapura di Kabupaten
Karangasem pada minggu pertama bulan September 2014.
4.3 Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini termasuk dalam ruang lingkup penelitian di bidang neurologi
khususnya subdivisi nyeri kepala dan gangguan tidur.
Dinilai pada satuperiode waktu
50
4.4 Penentuan Sumber Data
Subjek penelitian diambil dari populasi target dan populasi terjangkau. Sumber
data dikumpulkan langsung dari subjek penelitian (sebagai data primer). Pengumpulan
data dilakukan dengan wawancara langsung dengan lembar pengumpulan data atau
kuesioner dan pemeriksaan klinis. Sampel terpilih (eligible sample) pada penelitian ini
adalah subjek yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi.
4.4.1 Populasi target
Siswa-siswi semua SMA di Kabupaten Karangasem.
4.4.2 Populasi terjangkau
Siswa-siswi SMA Negeri 1 Amlapura.
4.4.3 Kriteria inklusi
Subjek yang memenuhi kriteria eligibilitas kasus dari penelitian ini yaitu siswa-
siswi SMA Negeri 1 Amlapura kelas 1, 2 dan 3.
4.4.4 Kriteria eksklusi
1. Menderita demam karena infeksi sistemik maupun intrakranial.
3. Riwayat trauma kepala ringan hingga berat setidaknya 3 bulan sebelumnya.
4. Menderita masalah atau gangguan sekitar kepala (gigi geligi, sendi temporo-
mandibular, leher, telinga hidung tenggorokan, mata).
5. Telah didiagnosis menderita tumor otak, penyakit autoimun, gangguan vaskular.
6. Mengkonsumsi alkohol, kopi dan/atau minuman yang mengandung kafein,
maupun obat-obatan yang dapat menginduksi nyeri kepala
51
4.5 Sampel
4.5.1 Besar sampel
Penghitungan besar sampel pada penelitian ini memakai rumus besar sampel untuk
penelitian analitik korelatif sebagai berikut (Dahlan, 2009) :
n = (Zα)2 P Q = (1,96)2X 0,45 X (1-0,45)d2 0,12
Keterangan :
Zα = Kesalahan tipe I ditetapkan 5 % = 1,96
d = Tingkat ketepatan absolut yang dikehendaki ditetapkan sebesar 10%
Q = 1-P
P = Proporsi gangguan tidur pada remaja dengan NKP yaitu 65,7% (Gilman dkk,
2007).
Berdasarkan penghitungan dengan menggunakan rumus di atas ditetapkan jumlah
sampel minimal sebesar 96 orang.
4.5.2 Teknik pengambilan sampel
Pengambilan sampel pada penelitian ini adalah dengan probability sampling yaitu
simple random sampling.
4.6 Variabel Penelitian
4.6.1 Identifkasi variabel
1. Variabel tergantung : NKP.
2. Variabel bebas : kualitas tidur, jenis kelamin, obesitas, kelelahan, stres, depresi dan
kecemasan.
52
3. Variabel penganggu : konsumsi alkohol, konsumsi kopi dan/atau minuman
berkafein, tumor otak, demam, trauma kapitis, gangguan vaskularisasi otak dan
penyakit otoimun.
4.6.2 Definisi operasional variabel
1. Jenis kelamin adalah jenis kelamin penderita berdasarkan yang tercatat pada kartu
pelajar, yaitu laki- laki dan perempuan. Data berskala kategorikal nominal.
2. Usia remaja adalah usia peralihan antara kanak-kanak ke masa dewasa yang
meliputi perubahan biologik, psikologik, dan sosial, yang dimulai saat terjadinya
kematangan seksual yaitu antara usia 11 atau 12 tahun sampai dengan 20 tahun
(Soetjiningsih, 2004; Notoatmodjo, 2007).
Data disajikan dalam skala non kategorikal.
3. Kualitas tidur merupakan gambaran subjektif tentang kemampuan untuk
mempertahankan waktu tidur serta tidak adanya gangguan yang dialami sepanjang
waktu tidur yang diukur dengan menggunakan kuesioner standar (Van Cauter dkk,
2007; Agustin, 2012). Kualitas tidur diukur secara subjektif diukur dengan PSQI
dengan pemeriksaan 7 komponen yaitu latensi, durasi, kualitas, efisiensi kebiasaan
tidur, gangguan tidur, penggunaan obat tidur, dan gangguan fungsi tubuh di siang
hari (Buysse, 1989). Validitas instrumen PSQI pada penelitian yang dilakukan
oleh Cunha dkk. (2008) adalah 0,89, sedangkan reliabilitas 0,88 (Cueller dkk.,
2008). Data disajikan dalam skala kategorikal nominal.
- Kualitas tidur baik bila skor PSQI < 5
- Kualitas tidur buruk bila skor PSQI > 5
53
4. Nyeri kepala primer adalah nyeri kepala tanpa disertai adanya penyebab struktural
organik, yang dapat digolongkan menjadi migren, TTH, NKK, dan NKP lainnya
(PERDOSSI, 2013).
Migren adalah nyeri kepala berulang dengan manifestasi serangan selama 4-72
jam. Karakteristik nyeri kepala unilateral, berdenyut, intensitas sedang-berat,
bertambah berat dengan aktivitas fisik yang rutin dan diikuti oleh nausea dan/atau
fotofobia dan fonofobia (PERDOSSI, 2013).
Tension type headache adalah nyeri kepala episodik yang infrequen berlangsung
beberapa menit sampai beberapa hari. Nyeri bilateral, rasa menekan atau mengikat
dengan intensitas ringan sampai sedang. Nyeri tidak bertambah pada aktivitas fisik
rutin, tidak didapatkan mual tapi bisa ada fotofobia atau fonofobia (PERDOSSI,
2013).
Nyeri kepala klaster (NKK) adalah nyeri kepala yang hebat, unilateral di orbita,
supraorbita, temporal atau kombinasi dari tempat-tempat tersebut, berlangsung 1-
180 menit dan terjadi dengan frekuensi sekali sehari tiap 2 hari sampai 8 kali
dalam sehari. Serangannya disertai satu atau lebih sebagai berikut : semuanya
ipsilateral: injeksi konjungtival, lakrimasi, kongesti nasal, rinoroea, berkeringat di
kening dan wajah, miosis, ptosis, udem palpebra. Selama serangan sebagian besar
pasien gelisah atau agitasi (PERDOSSI, 2013).
Nyeri kepala primer tipe lainnya adalah NKP selain golongan migren, TTH dan
klaster, misalnya nyeri kepala yang digolongkan pada diagnosis sebagai berikut :
primary stabbing headache, primary cough headache, primary exertional
54
headache, NKP sehubungan dengan aktivitas seksual, HH, primary thunderclap
headache, hemikrania kontinua, new daily persistent headache (PERDOSSI,
2013).
Data disajikan dalam bentuk skala kategorikal nominal.
5. Obesitas adalah suatu kondisi abnormal atau penumpukan lemak berlebihan dari
yang diperlukan untuk fungsi tubuh yang normal. Obesitas ditentukan dengan
menghitung nilai indeks massa tubuh (IMT) (WHO, 1998). Rumus IMT adalah
sebagai berikut :
IMT = Berat Badan (BB) dalam (kg)Tinggi Badan (TB)2 dalam (m2)
- Iya : bila IMT ≥ 30,0 kg/m2
- Tidak : bila IMT < 30,0 kg/m2
Data disajikan dalam skala kategorikal nominal.
6. Kelelahan adalah suatu perasaan yang menyebar yang disertai dengan adanya
penurunan kesiagaan dan kelambanan pada setiap aktivitas yang ditandai dengan
berkurangnya kemauan untuk bekerja yang disebabkan oleh monotoni, intensitas
dan lamanya kerja fisik, keadaan lingkungan, sebab-sebab mental, status
kesehatan, dan keadaan gizi. Kelelahan secara subjektif diukur dengan kuesioner
The Subjective Symptoms Test (SST). Jawaban untuk kuesioner SST dibagi
menjadi empat kategori dengan nilai yaitu sangat sering (3), sering (2), kadang-
kadang (1), tidak pernah (0)
55
Interpretasi tingkat kelelahan menurut kuesioner :
- Nilai ≤ 30 : tidak ada kelelahan
- Nilai 31-60 : kelelahan ringan
- Nilai 61-90 : kelelahan sedang
- Nilai 91-120 : kelelahan berat (Tarwaka, 2009).
Data disajikan dalam bentuk skala kategorikal nominal ya (ada kelelahan dengan
nilai SST ≤ 30, dan bila ada kelelahan dengan nilai SST >30).
7. Stres adalah tekanan psikis akibat adanya tuntutan dalam diri dan lingkungan,
misalnya tuntutan belajar menjelang ujian, menghadapi masalah keluarga atau
hubungan antar teman (Rathus dan Nevid, 2002).
Depresi adalah suasana hati (afek) atau hilang minat atau kesenangan dalam semua
aktivitas selama sekurang-kurangnya 2 minggu, disertai beberapa gejala
berhubungan (Maslim, 2004).
Kecemasan adalah suatu keadaan patologis yang ditandai oleh perasaan ketakutan
disertai tanda somatik pertanda sistem saraf otonom yang hiperaktif (Kaplan dan
Saddock, 1997).
Depresi, kecemasan dan stres diukur dengan Depression Anxiety Stress Scale
(DASS) 42 (Lovibond, 1995; Crowford dan Henry, 2003; Kholifah, 2013).
Data disajikan dalam bentuk skala kategorikal nominal.
- Depresi (ada) : bila skor DASS 42 untuk depresi >9
Tidak ada : bila skor DASS untuk depresi 0-9
- Kecemasan (ada) : bila skor DASS 42 untuk kecemasan >7
56
Tidak ada : bila skor DASS 42 untuk kecemasan 0-7
- Stres (ada) : bila skor DASS 42 untuk stress >14
Tidak ada : bila skor DASS 42 untuk stres 0-14
8. Konsumsi kopi dan/atau minuman mengandung kafein lainnya adalah kebiasaan
mengkonsumsi kopi dan/atau minuman yang mengandung kafein sejumlah 3-4
cangkir selama tiga bulan terakhir (Shirlow dan Mathers, 1984; Hagen, 2009).
Data disajikan dalam bentuk data berskala kategorikal nominal.
- Iya : bila mengkonsumsi kopi dan/atau minuman yang mengandung kafein
sejumlah 3-4 cangkir sehari, selama 3 bulan terakhir.
-Tidak : bila tidak mengkonsumsi kopi dan/atau minuman yang mengandung
kafein sejumlah 3-4 cangkir dalam sehari, selama 3 bulan terakhir.
9. Konsumsi alkohol yaitu konsumsi minuman yang mengandung alkohol dalam
waktu paling lama 24 jam sebelum timbulnya serangan nyeri kepala.
Data disajikan dalam bentuk skala kategorikal nominal ya dan tidak.
10. Tumor otak merupakan lesi ekspansif yang bersifat jinak atau ganas yang
membentuk massa dalam ruang tengkorak otak (intra kranial) dan menyebabkan
meningkatnya tekanan intra kranial. Manifestasi klinik tumor otak adalah nyeri
kepala yang disertai dengan perubahan status mental, kejang atau bangkitan,
muntah, vertigo, kelemahan separuh tubuh, pandangan kabur atau ganda (Price dan
Wilson, 2006).
11. Demam adalah kenaikan suhu tubuh di atas normal, diukur secara aksila >37,5oC
(High dkk., 2009).
57
12. Trauma kapitis adalah cedera mekanik terhadap kepala baik secara langsung
ataupun tidak langsung yang menyebabkan gangguan fungsi neurologis yaitu
gangguan fisik, kognitif, fungsi psikososial baik temporer maupun permanen
(PERDOSSI, 2006).
13. Gangguan vaskularisasi otak merupakan gangguan fungsional otak akibat adanya
gangguan pada aliran darah atau pembuluh darah intrakranial yang disebabkan
oleh stroke, trombosis vena serebral, artery-venous malformation, vaskulitis
dengan manifestasi klinis berupa defisit neurologis fokal ataupun global.
14. Penyakit otoimun adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh adanya respon imun
terhadap antigen spesifik yang dihasilkan oleh tubuh sendiri yang menyebabkan
berlangsungnya kerusakan jaringan. Manifestasi klinis penyakit otoimun dalam hal
ini Lupus serebri adalah adanya gangguan neuropsikiatri berupa nyeri kepala,
kejang, kelemahan separuh tubuh, gangguan gerak, gangguan visual dan
sebagainya (Wallace, 2008).
4.7 Instrumen Penelitian
Data primer diperoleh dari penderita melalui wawancara aktif menggunakan
lembar pengumpulan data atau kuesioner.
Instrumen penelitian yang digunakan untuk mengukur kualitas tidur subjek
penelitian adalah PSQI. Instrumen ini merupakan suatu kuesioner yang mengukur
kualitas tidur yang telah banyak digunakan pada penelitian-penelitian yang menilai
kualitas tidur di luar maupun dalam negeri. Kuesioner PSQI terdiri dari 7 kelompok
dengan total 19 buah pertanyaan tentang kebiasaan-kebiasaan tidur seseorang dalam
58
sebulan terakhir. Untuk menilai efisiensi tidur pada komponen nomor 4 berdasarkan
hasil penjumlahan dan pembagian nilai yang diperoleh dari skor item pertanyaan
nomor 1, 3, 4. Penghitungannya adalah dengan menjumlahkan lamanya waktu tidur
(dalam jam) dibagi waktu lamanya di atas tempat tidur kemudian dikalikan 100%. Jika
hasilnya >85% diberi skor 0, 75-84% diberi skor 1, 65-74% diberi skor 2, dan <65%
diberi skor 3. Total skor kuesioner PSQI diperoleh dengan menjumlahkan skor 1-7
dengan rentang 0-21. Skor tinggi menunjukkan kualitas tidur yang buruk (Buysse,
1989). Pertanyaan-pertanyaan tersebut dikelompokkan ke dalam 7 sub bagian yaitu :
1. Kualitas tidur subjektif
2. Latensi tidur
3. Durasi tidur
4. Efisiensi kebiasaan tidur
5. Gangguan tidur
6. Penggunaan obat-obat tidur
7. Gangguan fungsi harian
Berdasarkan respon terhadap pertanyaan tersebut, masing-masing sub bagian akan
dikalkulasi dalam skala Likert 0 sampai 3. Angka 0 menunjukkan tidak adanya
kebiasaan tersebut, sedangkan angka 3 menunjukkan presentasi yang tinggi dari
kebiasaan tersebut. Semua subbagian dijumlahkan untuk mendapatkan nilai total
dengan rentang nilai 0-21. Instrumen ini telah mengalami uji reliabilitas, dengan
koefisien korelasi interclass (r)=0,87. Uji validitas PSQI yang dilakukan pada
59
penelitian kualitas tidur di Indonesia pada 30 orang responden mendapatkan hasil nilai
Cronbach alpha 0,766 ( Buysse dkk, 1989; Backhaus dkk, 2002, Agustin, 2012).
Instrumen lain yang digunakan dalam penelitian ini adalah DASS 42 menilai ada
tidaknya depresi, kecemasan, dan stres sedangkan untuk mengukur ada tidaknya
kelelahan menggunakan instrumen SST. Instrumen DASS 42 terdiri dari 42 item
pertanyaan yang terdiri dari 3 subvariabel yaitu fisik, psikologi dan perilaku. Nilai
depresi, kecemasan, dan stres ditentukan oleh nilai dari komponen DASS yang relevan
untuk masing-masing kriteria. Komponen DASS untuk depresi adalah
3,5,10,13,16,17,21,24,26,31,34,37,38,42. Kecemasan diukur oleh komponen nomor
2,4,7,9,15,19,20,23,25,28,30,36,40,41. Sedangkan stres ditunjukkan oleh komponen
1,6,8,11,12,14,18,22,27,29,32,33,35,39 Instrumen ini telah melalui uji reliabilitas dan
validitas berdasarkan penilaian Cronbach’s alpha sebesar 0,91 (Lovibond, 1995;
Crawford dan Henry, 2003; Kholifah, 2013).
4.8 Prosedur dan Alur Penelitian
Gambar 4.2Bagan Alur Penelitian
60
4.9 Analisis Penelitian
Analisis hasil penelitian akan dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut
di bawah ini :
1. Analisis deskriptif digunakan untuk menentukan karakteristik subjek penelitian
berdasarkan umur, jenis kelamin, ,obesitas, kelelahan, kecemasan, stres dan
depresi.
2. Korelasi antara kualitas tidur dengan NKP dianalisis dengan uji korelasi koefisien
kontingensi karena kedua variabel berskala nominal setara. Uji korelasi akan
menunjukkan hasil kekuatan korelasi (r) dengan interpretasi sangat lemah (r=0,00-
0,199), lemah (r=0,20-0,399), sedang (r=0,40-0,599), kuat (r=0,60-0,799), dan
sangat kuat (r=0,80-1,00). Korelasi dikatakan bermakna antara kedua variabel
yang diuji apabila nilai p<0,05. Arah korelasi searah apabila nilai r positif (Dahlan,
2009).
3. Seluruh data yang diperoleh dari hasil penelitian ini dianalisis dengan program
SPSS 16.0 for windows.
61
BAB V
HASIL PENELITIAN
Dari 150 siswa kelas 2 SMA Negeri 1 Amlapura, 96 subjek memenuhi kriteria
inklusi dan eksklusi. Sedangkan siswa kelas 1 dan 3 tidak terlibat karena mengikuti
ujian semester. Berikut merupakan tabel karakteristik subjek penelitian.
Tabel 5.1Karakteristik Subjek Penelitian
Karakteristik JumlahN %
Umur- 15 tahun- 16 tahun- 17 tahun
58011
5,2083,3011,50
Jenis kelamin- Laki-laki- Perempuan
5145
53,1046,90
IMT- Tidak obesitas- Obesitas
897
92,707,30
Kelelahan- Tidak ada- Ada
195
1,0598,95
Depresi- Tidak ada- Ada
5640
58,3441,66
Kecemasan- Tidak ada- Ada
4452
45,8454,16
Stres- Tidak ada- Ada
4947
51,0548,95
Jumlah total subjek 96 100
62
Berdasarkan Tabel 5.1 di atas maka dapat diketahui bahwa subjek penelitian
merupakan remaja dengan rentang umur 15 tahun sampai 17 tahun. Kelompok
terbesar adalah subjek dengan umur 16 tahun yaitu 83,30%. Subjek penelitian adalah
remaja siswa-siswa SMA Negeri 1 Amlapura yang diambil dari kelas 1, 2, maupun
kelas 3. Perbandingan persentase subjek laki-laki dan perempuan pada penelitian ini
adalah 53,10% : 46,90%. Jumlah subjek laki-laki dan perempuan pada penelitian ini
tidak jauh berbeda.
Penelitian ini juga menggolongkan subjek berdasarkan IMT. Sebagian besar
peserta tidak tergolong obesitas, hanya sekitar 7,30% subjek penelitian dengan IMT
sesuai obesitas.
Hampir seluruh subjek penelitian mengalami kelelahan (98,95%), demikian pula
sebanyak 54,16% subjek penelitian mengalami kecemasan. Subjek penelitian sebagian
besar tidak mengalami depresi (58,34%) dan stres ( 51,05%).
Tabel 5.2 berikut ini menunjukkan gambaran kualitas tidur subjek penelitian
sesuai dengan jenis kelamin.
Tabel 5.2Kualitas Tidur Berdasarkan Jenis Kelamin
Kualitas Tidur Jenis kelamin Totaln (%)Laki-laki Perempuan
n % N %Baik 17 33,33 10 22,22 27 (28,13)Buruk 34 66,67 35 77,78 69 (71,87)Total 51 100,00 45 100,00 96 (100,00)
63
Tabel 5.2 di atas menunjukkan kualitas tidur subjek penelitian berdasarkan jenis
kelamin. Persentase subjek penelitian dengan kualitas tidur buruk hampir sama antara
laki-laki dan perempuan yaitu 66,67% dan 77,78%. Sedangkan perbandingan
persentase subjek penelitian laki-laki dan perempuan dengan kualitas tidur baik adalah
33,34% dan 22,24%.
Tabel 5.3Kualitas Tidur Berdasarkan IMT
KualitasTidur
IMT Totaln (%)Obesitas Tidak Obesitas
n % n %Baik 1 14,28 26 29,21 27 (28,13)Buruk 6 85,72 63 70,79 69 (71,87)Total 7 100,00 89 100,00 96 (100,00)
Tabel 5.3 diatas menunjukkan bahwa hampir seluruh subjek penelitian dengan
obesitas mengalami tidur kualitas buruk (85,72%), sedangkan 70,79% subjek
penelitian dengan IMT normal juga mengalami kualitas tidur yang buruk.
Tabel 5.4 berikut memberikan gambaran mengenai proporsi NKP yang dialami
oleh remaja subjek penelitian ini.
Tabel 5.4Proporsi NKP Berdasarkan Jenis Kelamin
Nyeri kepala Jenis kelamin Totaln (%)Laki-laki Perempuan
n % n %Tidak ada 9 17,64 5 11,11 14 (14,58)Ada 42 82,35 40 88,89 82 (85,42)Total 51 100,00 45 100,00 96 (100,00)
64
Sejumlah 82 orang (85,42%) subjek penelitian mengalami NKP. Empat puluh dua
orang diantaranya (82,35%%) adalah subjek laki-laki, sedangkan sisanya adalah
perempuan (88,89%).
Korelasi antara kualitas tidur dengan NKP dapat dilihat pada Tabel 5.5 berikut
ini. Sedangkan nilai korelasi faktor-faktor lain dengan NKP dapat dilihat pada Tabel
5.6 berikutnya.
Tabel 5.5Korelasi Kualitas Tidur dengan NKP
KualitasTidur
NKP Totaln (%) r pTidak Ada Ada
n % N %Baik 11 40,74 16 59,26 27 (100,00)
0,421 <0,001Buruk 3 4,35 66 95,65 69 (100,00)
Total 14 14,58 82 85,42 96 (100,00)
Tabel 5.5 di atas memberikan informasi mengenai jumlah subjek penelitian
dengan kualitas tidur baik ataupun buruk yang mengalami NKP. Enambelas orang
subjek penelitian dengan kualitas tidur baik mengalami NKP (59,26%) demikian pula
66 orang subjek penelitian dengan kualitas tidur yang buruk mengalami NKP
(95,65%). Sebelas orang subjek penelitian dengan kualitas tidur baik (40,74%) tidak
mengalami NKP, sedangkan sisanya sebanyak 3 orang subjek penelitian (4,35%)
dengan kualitas tidur yang buruk tidak mengalami NKP.
Berdasarkan uji korelasi koefisien kontingensi antar dua variabel nominal yang
setara maka terdapat korelasi yang signifikan antar kedua variabel tersebut (p<0,05)
dengan besaran nilai korelasi antar keduanya adalah 0,421 (r=0,400-0,599) yang
65
menunjukkan kekuatan korelasi sedang (Dahlan, 2004). Kesimpulan data di atas
adalah kualitas tidur yang buruk berkorelasi cukup erat dengan adanya NKP pada
remaja pada subjek peserta penelitian ini.
Tabel berikut menunjukkan korelasi jenis kelamin, obesitas, depresi, kecemasan,
stres dan kelelahan dengan NKP.
Tabel 5.6Korelasi Faktor-Faktor Lain dengan NKP
Faktor-faktor lainNKP
Totaln (%)
r pTidak Ada Adan % N %
Jenis kelamin- Laki-laki- PerempuanTotal
IMT- Tidak obesitas- ObesitasTotal
Depresi- Tidak ada- AdaTotal
Kecemasan- Tidak ada- AdaTotal
Stres- Tidak ada- AdaTotal
Kelelahan- Tidak ada- AdaTotal
95
14
140
14
86
14
86
14
95
14
01414
64,2835,72100
1000100
57,1542,85100
57,1442,86100
64,2835,72100
0,00100100
424082
757
82
483482
364682
404282
18182
51,2148,79100
91,468,54100
58,5441,46100
43,9056,10100
48,7851,22100
1,2298,78100
51 (53,12)45 (46,88)96 (100)
89 (92,70)7 (7,70)96 (100)
56 (58,33)40 (41,67)96 (100)
44 (45,83)52 (54,17)96 (100)
49 (51,04)47 (48,96)96 (100)
1 (1,05)95 (98,95)96 (100)
0,365
0,115
0,010
0,358
0,109
0,402
0,092
0,256
0,922
0,093
0,283
0,678
66
Tabel 5.6 di atas menunjukkan nilai korelasi (p) dan besarnya korelasi (r) antara
beberapa faktor lain dengan NKP. Masing-masing faktor tersebut menunjukkan
korelasi yang tidak bermakna dengan NKP.
67
BAB VI
PEMBAHASAN
6.1 Karakteristik Subjek Penelitian
Nyeri kepala merupakan masalah kesehatan yang sering timbul pada remaja.
Nyeri kepala primer (NKP) yang berulang merupakan faktor risiko terjadi nyeri kepala
kronik di kemudian hari. Berbagai jenis NKP menurunkan kualitas hidup remaja dan
merupakan penyebab utama ketidakhadiran siswa di sekolah. Namun demikian
penelitian berbasis populasi yang menilai prevalensi NKP pada remaja masih terbatas.
Prevalensi NKP memiliki rentang yang sangat luas yaitu sekitar 0,9% sampai 72,3%
(Fendrich dkk., 2007).
Penelitian ini mengambil sampel subjek remaja usia sekolah menengah atas
(SMA) dengan rentang umur 15-17 tahun. Kelompok terbesar adalah subjek dengan
umur 16 tahun yaitu 83,30%. Perbandingan persentase laki-laki dan perempuan pada
penelitian ini tidak terpaut jauh yaitu 53,10% : 46,90%.
Suatu penelitian berbasis populasi di Swedia dengan 237 sampel remaja sekolah
menengah pertama dan lanjut dengan rentang usia 12-18 tahun. Jumlah sampel dengan
usia 15-16 tahun sekitar 26,6%, dengan jumlah subjek perempuan lebih banyak
daripada laki-laki dengan perbandingan 57% : 43% (Larsson dan Fichtel, 2014).
Penelitian ini mengambil data karakteristik subjek sesuai dengan IMT. Sebagian
besar subjek penelitian (92,70%) tidak mengalami obesitas, sedangkan subjek
penelitian yang mengalami obesitas hanya 7,30%.
68
Seperti halnya nyeri kepala dan masalah tidur, obesitas juga merupakan masalah
yang sering dialami oleh remaja. Data yang diambil dari tahun 2003-2006
menunjukkan bahwa sekitar 16,3% remaja memiliki IMT sesuai dengan kriteria
obesitas. Angka tersebut diperkirakan akan terus bertambah. Obesitas dihubungkan
dengan berbagai kondisi medis pada anak dan remaja diantaranya masalah psikologis,
hipertensi pada anak dan remaja, diabetes melitus, gangguan tidur dan meningkatnya
risiko gangguan serebrovaskular dan kardiovaskular (Palkanis dan Kring, 2012).
Data mengenai efek obesitas terhadap kejadian nyeri kepala masih terbatas. Suatu
penelitian yang berfokus pada IMT dan nyeri kepala pada anak dan remaja
menunjukkan bahwa prevalensi obesitas pada remaja sebanyak 17,1%. Semakin
meningkat IMT semakin meningkat pula frekuensi nyeri kepala dan disabilitas yang
disebabkan oleh nyeri kepala. Risiko terjadinya nyeri kepala meningkat empat kali
lipat pada remaja perempuan dengan obesitas (Palkanis dan Kring, 2012).
Menurut Bellini dkk. (2013) melaporkan berbagai gangguan psikiatri yang
merupakan komorbidi dari suatu NKP kronik pada remaja dan diperkirakan dapat
menjelaskan bagaimana hubungan antara status psikiatri penderita dengan
memberatnya gejala NKP. Hasil penelitiannya menunjukkan 29,6% subjek dengan
NKP memenuhi kriteria paling tidak mengalami satu diagnosis gangguan psikiatri.
Gangguan cemas merupakan gangguan psikiatri tersering yaitu sekitar 16,6%.
Sedangkan hanya sekitar 9,46% penderita NKP kronis yang memenuhi kriteria
diagnosis gangguan depresi. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian ini yang
menunjukkan angka kecemasan, stres dan depresi cukup tinggi.
69
Kelelahan merupakan suatu kondisi yang komorbid pula pada penderita NKP.
Pada penelitian ini didapatkan bahwa hampir seluruh subjek mengalami kelelahan.
Tingginya angka kelelahan pada penelitian ini kemungkinan disebabkan oleh aktivitas
di sekolah yang cukup padat dan sebagian siswa di luar waktu sekolah ikut membantu
orang tuanya bekerja. Hal ini didukung oleh penelitian kasus kontrol oleh Spierings
dan van Hoof (1997), setelah melakukan penyesuaian terhadap umur dan jenis
kelamin, kelelahan ditemukan sekitar 70,3% pada kelompok kasus remaja dengan
NKP dan sekitar 60% pada kelompok kontrol.
6.2 Prevalensi NKP dan Kualitas Tidur Remaja
Prevalensi NKP pada penelitian ini adalah 85,41% atau sekitar 82 orang dari 96
subjek penelitian.
Suatu penelitian tinjauan sistematik yang dilakukan di Kanada terhadap 185
penelitian di beberapa negara Amerika, Asia dan Eropa yang menilai nyeri pada
remaja menunjukkan bahwa NKP merupakan keluhan yang tersering dialami oleh
remaja dengan prevalensi bervariasi mulai dari 8% sampai 82,9% (King dkk., 2011).
Larsson dan Fichtel (2014) memperoleh prevalensi yang cukup tinggi pula pada
penelitiannya yaitu 58,4%. Hasil penelitian tersebut juga didukung oleh beberapa
penelitian yang dilakukan di Skandinavia, Belanda dan Taiwan yang menunjukkan
peningkatan prevalensi nyeri kepala pada remaja usia sekolah sepanjang dekade
terakhir. Nyeri kepala primer yang terjadi secara frekuen berdampak pada kualitas
hidup anak dan remaja dan menyebabkan peningkatan masalah emosional terutama
kecemasan dan depresi serta beberapa keluhan somatik (Larsson dan Fichtel, 2014).
70
Dua penelitian berbasis populasi remaja yang dilakukan di Jerman Barat
memperoleh angka prevalensi NKP sangat tinggi yaitu 90,0% dan 75,4% (Fendrich
dkk., 2007).
Suatu studi tinjauan sistematik lain yang dilakukan di Glasgow, Inggris terhadap
50 penelitian berbasis populasi anak dan remaja yang mengalami NKP dengan metode
pengambilan sampel secara acak. Penelitian-penelitian yang dianalisis tersebut
dilakukan di negara-negara Eropa dan Asia sepanjang rentang waktu 1 Januari 1990
hingga 31 Desember 2007. Prevalensi NKP yang didapatkan adalah 58,4% (Abu-
Arafeh dkk., 2010).
Penelitan lain yang memberikan data prevalensi NKP pada remaja adalah Lima
dkk. (2014) di Brazil dengan angka yang cukup tinggi, yaitu 87,8%.
Rentang angka prevalensi NKP yang berbeda antara penelitian ini dengan
penelitian sebelumnya kemungkinan disebabkan karena perbedaan karakteristik
populasi, instrumen atau kuesioner yang digunakan berbeda dan kondisi
sosiogeografis yang berbeda pula (Lima dkk., 2014).
Prevalensi NKP remaja perempuan pada penelitian ini adalah 88,89%. Angka ini
lebih besar dibanding dengan prevalensi NKP pada remaja laki-laki yang hanya sekitar
82,35%. Hal ini didukung oleh beberapa penelitian mengenai NKP yang mengambil
populasi remaja melaporkan bahwa prevalensi NKP pada remaja perempuan memang
lebih tinggi dibandingkan remaja laki-laki (Fendrich dkk., 2007).
Abu-Arafeh dkk. (2010) menunjukkan bahwa prevalensi NKP pada remaja
perempuan lebih tinggi dibanding remaja pria dengan rasio odds 1,53, 95% CI.
71
Pada beberapa penelitian menunjukkan faktor-faktor yang mempengaruhi
tingginya prevalensi NKP pada remaja perempuan berkaitan dengan faktor psikososial
yaitu adanya kecemasan dan depresi dan rendahnya kepercayaan diri yang sering
menjadi masalah psikologis remaja perempuan (King dkk., 2011).
Prevalensi NKP pada remaja perempuan dilaporkan secara bermakna lebih tinggi
daripada remaja laki-laki. Perubahan hormonal diperkirakan menjadi salah satu faktor
penyebabnya. Adanya perubahan kadar estradiol pada saat fase menstruasi dari siklus
ovarium berhubungan dengan munculnya beberapa gangguan neurologi misalnya pada
penderita migren (Fendrich dkk., 2007; Lima dkk., 2014).
Tidur memainkan peranan penting dalam perkembangan remaja. Selama masa
remaja pola tidur secara umum mengalami keterlambatan waktu memulai tidur tetapi
remaja dituntut harus bangun lebih cepat untuk berangkat ke sekolah. Keterlambatan
fase tidur merupakan akibat dari keterlambatan jam biologis irama sirkadian pada
remaja dan adanya faktor-faktor lain yang mempengaruhi misalnya pola tidur orang
tua atau aktivitas di sekitar lingkungannya (Sivertsent dkk., 2013).
Masalah tidur pada remaja sangat sering terjadi dan dilaporkan memiliki
prevalensi yang bervariasi mulai 5% sampai dengan 43% (Reigstad dkk., 2009).
Penelitian ini mendapatkan data bahwa 69 dari 96 orang (71,87%) subjek
penelitian memiliki kualitas tidur buruk. Remaja perempuan dengan kualitas tidur
buruk mencapai 36,45% sedangkan remaja laki-laki 35,42% dari keseluruhan jumlah
sampel penelitian. Kualitas tidur yang buruk pada penelitian ini sebagian besar terkait
dengan pemanjangan latensi tidur subjek sehingga berdampak pada kualitas tidur
72
secara umum. Pemanjangan latensi tidur ini kemungkinan disebabkan oleh beberapa
faktor, diantaranya adalah aktivitas subjek sebelum tidur seperti bemain dengan
telepon seluler dan berkomunikasi dengan teman baik verbal maupun tulisan (media
sosial) sampai larut malam. Kemungkinan lain, seperti kecemasan yang dialami subjek
menjelang tidur malam akibat beban atau tugas di sekolah yang akan dihadapi
keesokan harinya, dapat juga menjadi faktor yang menyebabkan latensi tidur
memanjang pada penelitian ini.
Guo dkk. (2014) mempublikasikan hasil penelitian tentang gangguan tidur pada
remaja di China yang memperoleh angka prevalensi 39,6%. Penelitian lain yang
serupa mendukung penelitian tersebut dengan prevalensi 66%-90%. Hasil penelitian
tersebut mendukung data-data yang diperoleh dari berbagai penelitian yang dilakukan
negara-negara Barat dengan angka prevalensi sekitar 43%. Adanya variasi angka
prevalensi mungkin disebabkan oleh perbedaan metode penelitian, populasi, besar
sampel, intsrumen penelitian serta lokasi geografi tempat dilakukannya penelitian.
Terdapat 2 faktor yang berperan terhadap kebiasaan yang mempengaruhi pola
tidur yang baik pada remaja, yaitu ketidakadekuatan pengaturan waktu tidur meliputi
waktu bangun tidur yang tidak teratur, terlambat tidur siang dan waktu tidur malam
yang kurang sesuai. Faktor yang lain adalah meningkatnya waktu terjaga yang
disebabkan oleh penggunaan media elektronik seperti televisi, game di dalam kamar
tidur dan kebiasaan mengkonsumsi minuman berkafein. Efisiensi tidur malam yang
tidak adekuat karena berbagai faktor tersebut dapat diperbaiki dengan mengambil
waktu tidur siang 30-45 menit. Namun demikian perbedaan jadwal waktu tidur harian
73
tidak boleh melebihi 1-2 jam untuk mendapatkan pola tidur yang baik (Mindell dan
Meltzer, 2008).
Selama masa remaja, terjadi interaksi faktor biologis, psikologis dan sosial yang
menyebabkan pemendekan durasi tidur. Hal ini pada akhirnya memberikan dampak
terhadap kualitas hidup remaja yang dianalogikan sebagai “the perfect storm”. Durasi
tidur yang pendek ini tidak disertai oleh kecukupan kebutuhan tidur sehingga terjadi
insufisiensi tidur pada remaja. Masalah tidur yang berkepanjangan menyebabkan
penurunan kemampuan remaja di sekolah, meningkatkan kecenderungan munculnya
masalah-masalah mental dan berkaitan dengan terjadinya peningkatan insiden
kecelakaan lalu lintas pada remaja (Carskadon, 2011; Hysing dkk., 2013).
Karakteristik tidur remaja ditandai dengan ketidaksesuaian antara jadwal tidur
harian dan pola tidur mingguan serta pergeseran waktu tidur menjadi lebih larut
sekitar 1-2 jam pada saat akhir pekan. Sekitar 20%-26% remaja mengalami
pergeseran latensi tidur melebihi 30 menit. Suatu penelitian gangguan tidur pada
remaja di Islandia menunjukkan pergeseran rerata latensi tidur sekitar 16,8 menit.
Adanya pemanjangan latensi tidur menunjukkan adanya karakteristik suatu gangguan
tidur insomnia yang sering dialami remaja sesuai dengan DSM-IV (Hysing dkk.,
2013).
Beberapa penelitian mengenai pola tidur remaja menunjukkan karakteristik
tertentu, yaitu adanya keterlambatan waktu tidur, pemanjangan latensi tidur dan
pemendekan durasi tidur, yang menyebabkan insufisiensi tidur sekitar 2 jam setiap
harinya dari kebutuhan tidur normal remaja. Remaja wanita memiliki prevalensi lebih
74
tinggi terhadap kecenderungan gangguan tidur ini dibanding remaja laki-laki (Hysing
dkk., 2013).
6.3 Korelasi Kualitas Tidur dengan NKP
Prevalensi gangguan kualitas tidur dan NKP yang tinggi pada penelitian ini
menunjukkan pentingnya diketahui hubungan antara kedua hal tersebut. Penelitian ini
menunjukkan sebanyak 95,65% subjek penelitian dengan kualitas tidur buruk
mengalami NKP. Jumlah yang tinggi tersebut memperlihatkan kemungkinan bahwa
kualitas tidur yang buruk berhubungan dengan timbulnya NKP pada remaja. Uji
statistik menunjukkan adanya korelasi yang bermakna antara kualitas tidur dengan
NKP.
Nyeri kepala merupakan salah satu keluhan yang paling sering dialami oleh
remaja. Menurut data National Health Interview Survey, lebih dari 90% remaja usia
11-21 tahun di Amerika Serikat sering mengeluh nyeri kepala dalam jangka waktu 12
bulan.
Gangguan tidur merupakan keluhan yang sering pula dialami oleh remaja dan
biasanya menyertai NKP. Nyeri kepala dapat timbul saat tidur maupun saat bangun
tidur dan kemungkinan berhubungan dengan stadium tidur. Kualitas tidur buruk dan
durasi tidur yang tidak adekuat seringkali mencetuskan nyeri kepala. Meskipun
gangguan tidur sering terjadi pada remaja yang mengalami NKP, sangat sedikit
penelitian terutama yang berbasis populasi yang memperlihatkan hubungan antara
keduanya. Data-data mengenai karakteristik NKP meliputi intensitas, durasi dan
75
frekuensi yang berhubungan dengan kebiasaan tidur masih kurang (Gilman dkk.,
2007).
Suatu penelitian yang menilai hubungan antara insufisiensi tidur dengan NKP
pada remaja melaporkan 65,7% remaja dengan NKP tidak tidur sesuai dengan
kebutuhan tidur yang seharusnya. Hal ini didukung oleh laporan dari National Sleep
Foundation tahun 2006 yang menunjukkan 45% remaja tidak berhasil mendapatkan
tidur optimal tiap malam. Penelitian lain melaporkan bahwa 85% penderita NKP
memilih tidur untuk meredakan nyeri kepalanya (Gilman dkk., 2007; Yagihara dkk,
2012).
The Third Nord-Trøndelag Health Study yang merupakan penelitian berbasis
populasi di Norwegia melaporkan adanya hubungan antara gangguan tidur dengan
NKP. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa subjek dengan NKP kronik (terutama
migren kronik) berisiko mengalami gangguan tidur 17 kali lebih besar daripada subjek
tanpa NKP. Tetapi penelitian tersebut tidak dapat memberikan penjelasan hubungan
sebab akibat antara gangguan tidur dengan NKP karena keterbatasan metode
penelitian yang digunakan (Odegard dkk., 2012).
Salah satu penjelasan yang dapat diterima mengenai hubungan antara gangguan
tidur dengan NKP, yaitu nyeri (dalam hal ini NKP) menyebabkan tetap terjaga dan
mencegah tidur serta mengubah arsitektur tidur menjadi lebih terfragmentasi sehingga
durasi tidur menjadi lebih singkat dan timbul rasa kantuk yang berlebihan pada siang
hari.
76
Teori yang lain mengatakan bahwa kualitas tidur yang buruk dapat mengubah
proses modulasi nyeri sehingga menjadi lebih peka terhadap nyeri. Beberapa
penelitian lain menunjukkan bahwa sleep deprivation (SD) menyebabkan perubahan
sesaat pada sistem kontrol inhibisi nyeri. Konsep hubungan antara gangguan tidur dan
NKP tidak meniadakan satu sama lain tetapi menjadi hubungan yang saling
mempengaruhi (resiprokal). Suatu penelitian mengenai NKP kronik mengemukakan
suatu teori mengenai hubungan NKP dengan gangguan tidur merupakan suatu
lingkaran yang tidak terputus. Hal ini dapat menjelaskan suatu NKP episodik dapat
berkembang menjadi NKP kronik pada beberapa individu (Odegard dkk., 2012).
Pendapat lain menyebutkan bahwa bukan gangguan tidur yang menyebabkan
nyeri ataupun sebaliknya tetapi keduanya merupakan fenomena sekunder yang
disebabkan oleh disfungsi neurobiologi secara umum. Hipotalamus diperkirakan
sebagai tempat utama dimulainya disfungsi neurobiologi. Hipotalamus berhubungan
dengan batang otak dalam proses regulasi nyeri dan tidur. Teori ini diperkuat oleh
beberapa penelitian lain yang melaporkan adanya aktivasi batang otak serta
hipotalamus yang dapat dinilai melalui MRI pada saat terjadi serangan nyeri kepala.
Walaupun peranan hipotalamus selama serangan nyeri kepala belum terlalu jelas,
beberapa hasil penelitian terakhir menunjukkan adanya hubungan yang kuat terhadap
hipotalamus pada penderita NKP khususnya migren dibandingkan dengan penderita
TTH. Hal ini diperkirakan karena adanya gangguan tidur dan kantuk yang berlebihan
saat siang hari hamper di setiap penderita migren (Montagna, 2006; Alstadhaug, 2008;
Odegard dkk., 2012).
77
Hipotalamus posterior mewakili pusat pengaturan utama fungsi otonom sentral,
sehingga jika terjadi perubahan pada fungsi homeostatik akan menyebabkan
perubahan pada kontrol nyeri. Hipotalamus posterior juga memiliki koneksi yang
penting dengan sistem modulasi nyeri, menerima input dari korteks singulatus
anterior, nuklues septal lateral, nukleus preoptik, nuklues ventromedial dan lateral
talamus serta PAG. Hipotalamus posterior kemudian memproyeksikan serabutnya ke
subtalamus, amigdala, dasar dari otak depan, regio limbik dan nukleus trigeminal
kaudalis. Hipotalamus dapat menjelaskan hubungan neuroanatomi antara timbulnya
NKP dengan gangguan tidur (Alstadhaug, 2008).
Selain secara neuroanatomi, teori melatonin juga dapat menjelaskan hubungan
antara keduanya. Kadar melatonin yang rendah terdapat pada subjek penderita NKP
kronik. Melatonin itu sendiri merupakan hormon dengan efek hipnosis.
Ketidakteraturan secara sirkadian badan pineal yang menghasilkan kadar melatonin
khususnya dalam jumlah rendah mendasari teori bahwa melatonin memainkan peranan
penting terhadap cetusan NKP. Secara biokimia, rendahnya kadar melatonin
disebabkan pula karena penurunan ketersediaan serotonin yang diperlukan untuk
menghasilkan hormon tersebut (Bruera dkk., 2008).
Faktor-faktor psikis dapat menjadi pemicu NKP kronik dan gangguan tidur karena
berbagai penelitian yang dilakukan telah membuktikan adanya hubungan kedua
kondisi tersebut dengan kecemasan dan depresi. Kecemasan, depresi dan faktor
psikososial telah lama diketahui sebagai faktor-faktor pencetus TTH (Grieser, 2010;
Odegard dkk., 2012).
78
Penelitian ini juga menunjukkan bahwa terdapat korelasi yang bermakna antara
kualitas tidur dengan NKP. Hal ini didukung oleh penelitian Odegard dkk.(2012),
setelah melakukan penyesuaian terhadap faktor-faktor demografi (umur, jenis
kelamin), latihan, penggunaan obat-obat tidur, status pekerjaan dan kelelahan.
Kemudian melakukan analisis multivariat terhadap pengaruh kecemasan dan depresi.
6.4 Korelasi Faktor-Faktor Lain dengan NKP
Pada penelitian ini dilakukan uji korelasi beberapa faktor-faktor lain dengan NKP.
Tidak seperti kualitas tidur, tidak terdapat korelasi yang bermakna antara jenis
kelamin, obesitas, depresi, kecemasan, stress dan kelelahan dengan NKP.
Kemungkinan adanya perbedaan letak geografis, besar sampel, populasi, metode serta
instrumen penelitian yang digunakan menyebabkan hasil penelitian ini berbeda dengan
penelitian-penelitian sebelumnya.
Beberapa penelitian sebelumnya lebih banyak menggunakan metode kasus kontrol
dan kohort untuk mencari hubungan antara nyeri kepala dengan kecemasan, depresi,
stres dan kelelahan. Demikian pula kuesioner yang digunakan untuk menjaring subjek
penelitian yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi pun berbeda dengan penelitian
sebelumnya.
Suatu penelitian dengan hasil tidak bermakna secara statistik memang merupakan
hasil perhitungan yang menunjukkan nilai secara obyektif, namun dari sisi praktis
(practical significance) tidak selalu memiliki makna yang sejalan. Suatu penelitian
dapat memiliki nilai kemaknaan praktis yang dilandasi oleh pertimbangan akal. Hal ini
disebabkan karena bermakna atau tidaknya suatu hasil uji statistik tergantung antara
79
lain jumlah sampel (n) dan variabilitas data. Kemaknaan secara statistik merupakan
pernyataan mengenai probabilitas keluaran spesifik (likehood) penelitian tersebut,
bukan yang lain (Hays, 1973).
Faktor-faktor komorbiditas NKP terutama migren, diantaranya depresi,
gangguan cemas dan epilepsi. Suatu penelitian yang menilai hubungan antara depresi
dengan meningkatnya insiden disabilitas termasuk diantaranya migren menunjukkan
disabilitas yang sedang sampai berat terjadi pada depresi yang komorbid dengan
migren (Brandes dan Roberson, 2002).
Penelitian lain melaporkan adanya prevalensi gangguan mood dan cemas yaitu 2
samapi 10 kali lebih tinggi pada penderita NKP dibanding populasi normal. Penelitian
berbasis populasi lainnya menunjukkan prevalensi depresi pada penderita migren
mencapai 17%-42% sedangkan 16% penderita NKP kronik mengalami gangguan
cemas. Kecemasan mempengaruhi frekuensi NKP dan kualitas hidup tetapi tidak
mempengaruhi intensitas dan durasi NKP. Sedangkan depresi ikut berperan dalam
menurunkan kualitas hidup penderita NKP (Penacoba-Puente dkk., 2008; Yavuz dkk.,
2013).
Stres psikologis yang berkepanjangan tidak hanya berperan sebagai pencetus NKP
melainkan juga merupakan faktor penting dalam perkembangan suatu NKP episodik
dapat menjadi kronik (Yavuz dkk., 2013).
Suatu penelitian berbasis populasi skala besar dengan 798 subjek NKP episodik
memperlihatkan subjek obesitas cenderung mengalami perubahan bentuk menjadi
chronic daily headache (CDH) 5 kali lebih sering daripada subjek yang tidak obesitas.
80
Namun demikian penelitian tersebut tidak dapat menunjukkan hubungan yang
bermakna antara NKP dengan obesitas (Evans dkk., 2012).
Spierings dan van Hoof (1997) melakukan penelitian kasus kontrol terhadap 113
subjek dengan NKP kronik melaporkan sebanyak 70,3% subjek tersebut mengalami
kelelahan. Penelitian lain yang mendukung adalah penelitian terhadap 68 siswa SMA
yang melaporkan bahwa kelelahan merupakan penyebab timbulnya nyeri kepala pada
67,7% peserta penelitian.
6.5 Limitasi dan Kelebihan Penelitian
6.5.1 Limitasi
Penelitian memakai subjek pada populasi tertentu dan dilakukan tempat tertentu
pula sehingga hasil penelitian ini belum tentu menggambarkan kondisi yang sama
pada populasi dan tempat yang berbeda. Subjek penelitian tidak melibatkan semua
siswa kelas 1, 2 dan 3 karena masalah teknis di lapangan sehingga mungkin tidak bisa
mewakili seluruh siswa yang ada di SMA Negeri 1 Amlapura.
6.5.2 Kelebihan
Belum banyak penelitian yang mencari korelasi antara kualitas tidur dan faktor-
faktor lain dengan nyeri kepala primer khususnya pada remaja sehingga dapat
dijadikan salah satu acuan untuk penelitian lebih lanjut. Subjek penelitian sudah
diberikan penjelasan tentang cara pengisian kuesioner sebelumnya sehingga pengisian
kuesioner lebih akurat. Selain itu, pada penelitian ini memakai instrumen yang sudah
dilakukan uji reabilitas dan validitas dengan hasil yang cukup baik.
81
BAB VII
SIMPULAN DAN SARAN
7.1 Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan di atas dapat dibuat simpulan
sebagai berikut:
1. Proporsi gangguan tidur dan nyeri kepala primer (NKP) pada remaja cukup
tinggi, yaitu 71,87% dan 85,42%.
2. Terdapat korelasi yang bermakna antara kualitas tidur yang buruk dengan NKP
dengan kekuatan korelasi sedang.
3. Tidak terdapat korelasi yang bermakna antara faktor-faktor lain seperti jenis
kelamin, obesitas, depresi, kecemasan, stres dan kelelahan dengan NKP.
7.2 Saran
1. Melakukan penelitian pada populasi yang lebih besar dengan lokasi yang
berbeda pada sekolah-sekolah lain di seluruh wilayah Provinsi Bali untuk
mendapatkan data yang lebih banyak mengenai proporsi gangguan tidur dan
NKP pada remaja.
2. Melakukan penelitian lanjutan dengan metode yang berbeda sehingga
menjelaskan hubungan sebab akibat antara kualitas tidur yang buruk dan
faktor-farktor lain dengan timbulnya NKP pada remaja.
82
3. Melakukan penilaian kualitas tidur untuk mencari salah satu faktor pencetus
timbulnya NKP pada siswa .
4. Memberikan informasi megenai pola tidur yang baik (sleep hygiene) untuk
mencegah timbulnya nyeri NKP dan meningkatkan kemampuan belajar
siswa di antaranya dengan tidur dan bangun teratur pada jam yang sama tiap
hari, tidur dengan waktu yang cukup, berolahraga setiap hari tetapi jangan
sebelum tidur atau larut di malam hari, makan teratur, hindari gangguan fisik
(suara berisik, cahaya terang, panas dan dingin) dan apabila biasa tidur siang
lakukan pada waktu yang sama tiap hari (sebaiknya sesudah makan siang dan
jangan melebihi 45 menit).
83
DAFTAR PUSTAKA
Abu-Arafeh, I., Razak, S., Sivaraman, B., Graham, C. 2010. Prevalence ofHeadache and Migraine in Children and Adolescents: a Systematic Review ofPopulation-Based Studies. Developmental Medicine and Child Neurology;52:1088-1097.
Adnyana, O. 2012. Prevalensi, Karakteristik, dan Beberapa Faktor yang Berkaitandengan Nyeri Kepala Migren pada Mahasiswa STIKES Bali. Neurona; 29(3):14-19.
Agustin, D. 2012. “Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kualitas Tidur padaPekerja Shift di PT. Krakatau Tirta Industri Cilegon” (Skripsi). Jakarta: UniversitasIndonesia.
Alberti A. 2006. Headache and Sleep. Sleep Medicine Review;10(6):431-437.
Alstadhaug, K. 2009. Migraine and Hypothalamus. Cephalalgia;29(8):809-817.
Arifin, Z. 2011. “Analisis Hubungan Kualitas Tidur dengan Kadar Glukosa DarahPasien Diabetes Mellitus Tipe 2 di Rumah Sakit Umum Propinsi Nusa TenggaraBarat”(tesis). Jakarta: Universitas Indonesia.
Backhaus, J., Junghanns, K., Broock, A., Riemann, D., Hohagen, F. 2002. TestRe-Test Reliability and Validity of The Pittsburgh Sleep Quality Index In PrimaryInsomnia. J Psychosom Res;53(3):734-740.
Bali Dalam Angka 2013. 2014. Penduduk Provinsi Bali Menurut Kelompok UsiaHasil Sensus Penduduk 2010. Badan Pusat Statistik Provinsi Bali;[cited 2015 Peb 24].Available from: www.bali.bps.go.id
Bellini, B., Arruda, M., Cescut, A., Saulle, C., Persico, A., Carutenuto, M., Gatta,M., Nacinovich, R., Piazza, F., Termine, C., Tozzi, E., Lucchese, F., Guidetti, V.2013. Headache and Comorbidity in Children and Adolescents.J HeadachePain;14(1):79-83.
Bhavsar, B., Farooq, M., Bhatt, A. 2009. The Therapeutic Potential Of MelatoninIn Neurological Disorders. Recent Patents on Endocrine, Metabolic & Immune DrugDiscovery; 3: 60-64.
Boardman, H., Thomas, E., Millson, D., Croft, P. 2005. Psychological, Sleep,Lifestyle, and Morbid Associations with Headache. Headache;45:657–69.
Böhm, S. 2012. “Sleep and Chronotype in Adolescents” (Dissertation). Munich:Universität zu Mϋnchen.
84
Brandes, J., Roberson, S. 2002. The Relationship Between Comorbid DepressionAnd Migraine Disability: Preliminary Insights From A Specialist Headache Clinic.Advanced Studies in Medicine;2(16):578-581.
Bruera, O., Sances, G., Levin, G., Cristina, S., Medina, C., Nappi, G., Figuerola,ML. 2008. Plasma Melatonin Pattern in Chronic and Episodic Headaches: Evaluationduring Sleep and Waking. Functional Neurology; 23(2):77-81.
Brun, J., Claustrat, B., Saddier, P., Chazot, G. 1995. Nocturnal MelatoninExcretion is Decreased in Patient with Migraine without Aura Attacks associated withMenses. Cephalalgia;15:136-139.
Bruni, O., Ottaviano, S., Guidetti, V., 1996. The Sleep Disturbances Scale forChildren (SDCS) Construction and Validation of an Instrument to Evaluate SleepDisturbances in Childhood and Adolescence. J Sleep Rrs;5:251-261.
Buysse, D., Reynold, C., Monk, T., Berman, S., Kupfer, D.1989. The PittsburghSleep Quality Index : A New Instrument for Psychiatric Practice and Research.Psychiatry Res; 28(2):193-213.
Calhoun, A., Ford, S. 2007. Behavioral Sleep Modification may RevertTransformed Migraine to Episodic Migraine. Headache;47:1178-1183.
Carskadon, M., Wolfson, A., Acebo, C., Tzischinsky, O., Seifer, R. 1998.Adolescent Sleep Patterns, Circadian Timing, and Sleepiness at A Transition to EarlySchool Days. Sleep;21(8):871-881.
Carskadon, M. 2011. Sleep in Adolescents: The Perfect Storm. Pediatr Clin NorthAm.;58: 637–647.
Chokroverty, S. 2010. Overview of Sleep and Sleep Disorder. Indian J MedRes;131:126-140.
Craven, R., Hirnle, C. 2000. Fundamental of Nursing : Human Health andFunction. 3rdEd. Philadelphia : Lippincott William&Wilkins.
Crawford, J., Henry, J. 2003. The Depresson Anxiety Stress Scale (DASS):Normative Data and Latent Structure in A Large Non-Clinical Sample. Br J ClinPsychol;42(Pt 2):111-31.
Cunha, da B., Zanetti, L., Hass, J. 2008. Sleep Quality in Type 2 Diabetics. RevLatino-am Enfermagem;16(5):850-855.
Cueller, G., Ratcliffe, J. 2008. A Comparison Of Glycemic Control , Sleep,Fatique, and Depression, in Type 2 Diabetes with and without Restless Leg Syndrome.J clin sleep med;4(1):50-56.
85
Culebras, A., Ivanenko, A., Kushida, C., Watson, N. 2007. Insomnia andCircadian Dysrhythmias. In : Culebras, A., editor. Sleep Disorders and NeurologicDiseases. 2nd. Ed. New York: Informa Healthcare USA, Inc.p.39-53.
Curcio, G., Ferrera, dkk. 2006. Sleep Loss, Learning Capacity and AcademicPerformance. Sleep Med Rev;10(5):323-337.
Dahlan, M. 2009. Besar Sampel dan Cara Pengambilan Sampel dalam PenelitianKedokteran dan Kesehatan. Ed II. Jakarta : Salemba medika.
Dosi, C., Riccioni, A., dell Corte, M., Novelli, L., Ferri, R., Bruni, O. 2013.Comorbidities of Sleep Disorders in Childhood and Adolescence: focus on migraine.Nature and Science Sleep;5:77-85.
Doufas, A., Panagiotou, O., Ioannidis, J. 2012. Concordance of Sleep and PainOutcomes of Diverse Interventions: An Umbrella Review. PLoS One on line journal;7(7), [cited 2013 Des. 22]. Available from:URL:http:/www.europepmc.org/article/PMC3398909.
Dinges, D., Rogers, N., Baynard, M. 2011. Chronic Sleep Deprivation. In :Kryger, M., Roth, T., Dement, W, editors. Principles and Practice of Sleep Medicine.5th.Ed. Missouri: Elsevier-Saunder.p.67-77.
Diener H, Obermann M, Holle D. 2012. Hypnic Headache: Clinical Course andTreatment. Current Treatment Options in Neurology;14(1):15-26.
Dodick D, Eross E, Parish J. 2003. Clinical, Anatomical, and PhysiologicRelationship between Sleep and Headache. Headache;43:282-292.
El-Gendy, A., El-Gendy, A., Colyar, M. 2009. Pediatric and Adolescent SleepDisorders. Egyptian Journal of bronchology;3(2):157-164.
Evans, R., Williams, M., Rapaport, A., Peterlin, B. 2012. The Association ofObesity With Episodic and Chronic Migraine.. .Headache;;52:663-671.
Falafigna, A., Telles, A., Velho, M., Vedana, V., da Silva R., Mazzocchin, T.,Basso, M., de Braga, G. 2010. Prevalence and Impact Headache in UndergraduateStudents in Southern Brazil. Arq neuropsiquiatr;68(6):873-877.
Fendrich, K., Vennemann, M., Pfaffenrath, M., Evers,S., May, A., Berger, K.,Hoffmann, W. 2007. Headache Prevalence Among Adolescents -- The GermanDMKG Headache Study. Cephalalgia;27:347-354.
86
Fukui, P., Goncalves, T., Strabelli, C., Lucchino, N., Matos, F., dos Santos, J.,Zukerman, E., Zukerman-Guendler, V., Mercante, J., Masruha, M., Viera, D., Peres,M. 2008. Trigger factors in migraine patients. Arq neuropsiquiatr;66(3-A):494-99.
Fuller,P., Gooley, J., dkk. 2006. Neurobiology of Sleep-Wake Cycle: SleepArchitecture, Circadian Regulation, and Regulatory Feedback. J BiolRhythms;21(6):482-493.
Gilman, D., Palermo, T., Kabbouche, M., Hershey, A., Powers, SC. 2007.Primary Headache and Sleep Disturbance in Adolescent. Headache;47:1189-1194.
Guo, L., Deng, J.,He, Y., Deng, X., Huang, J., Huang, G., Gao, X., Lu, C. 2014.Prevalence and Correlates of Sleep Disturbance and Depressive Symptoms amongChinese Adolescents: A Cross-Sectional Survey Study. Bmj Open;4.
Hagen, K., Thoresen, K., Stovner, L., Zwart, J-A. 2009. High Dietary CaffeineConsumption is Associated with a Modest Increase in Headache Prevalence : Resultfrom The Head-HUNT Study. J Headache Pain;10:153-159.
Haryono, A., Rindiarti, A., Arianti, A., Pawitri, A., Ushuluddin, A., Setiawati, A.,Reza, A., Wawolumaja, CW. 2009. Prevalensi Gangguan Tidur pada Remaja Usia 12-15 Tahun di Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama. Sari Pediatri;11(3):149-154.
Hays, W. 1973. Statistics for The Behavioral Sciences. 2ed. New York:HoltRinehart and Winston Inc.
High, K., Bradley, S., Gravenstein, S., Mehr, D., Quagliarello, V., Richard,C.,Yoshikawa, T. 2009. Clinical Practice Guideline for the Evaluation of Fever andInfection in Older Adult Residents of Long-Term Care Facilities: 2008 Update by theInfectious Disease Society of America. Clinical Infectious Diseases;48:149-71.
Hoban, T. 2010. Sleep Disorder in Children. Ann N Y Acad Sci;1184:1-14.
Houle, T., Butschek, R., Turner, D., Smitherman, T., Rains, J., Penzien, D. 2012.Stress and Sleep Duration Predict Headache Severity in Chronic Headache Sufferers.Pain;153(12): 2432-2440.
Hysing, M., Pallesen, S., Stormark, K., Lundervold, A., Si Vertsen. B. 2013.Sleep Patterns And Insomnia Among Adolescents: A Population-Based Study. JSleep Res; 22: 549–556.
Kelman, L., Rain, J. 2005. Headache and Sleep : Examination of Sleep Patternand Complaint in A Large Clinical Sample of Migraineurs. Headache;45:904-910.
87
Kholifah, A. 2013. “Gambaran Tingkat Stres pada Anak Usia SekolahMenghadapi Menstruasi Pertama (Menarche) di Sekolah Dasar Negeri GegerkalongGirang 2” (Skripsi). Jakarta: Universitas Pendidikan Indonesia.
King, S., Chambers, C., Huquet, A., MacNevin, R., McGrath., Parker, L.,MacDonald, A. 2011. The Epidemiology of Chronic Pain in Children and AdolescentsRevisited: A Systematic Review. Pain;152:2729–2738.
Kutlu, A., Yalug, I., muyalim, S., Obuz, O., Selekler, M. 2010. Triggers Factorsof Migraine. Noropsikiyatri Arsivi;47(1):58-63.
Larsson, B., Fichtel, A. 2014. Headache prevalence and characteristics amongadolescents in the general population: a comparison between retrospect questionnaireand prospective paper diary data. The Journal of Headache and Pain;15(8).
Lange, T., Born, J. 2011. The Immune Recovery Function of Sleep-Tracked byNeutrophil Counts. Brain Behave Immune;25(1):14-15.
Leger, D., Porsain, B., Neubauer, D., Uchiyama, M. 2008. An InternationalSurvey of Sleeping Problems in The General Population. Current Medical researchand Opinion; 24(1): 307-317.
Lewis, D. 2002. Headaches in Children and Adolescents. Am Fam Physician,15;65(4): 625-633.
Lima, A., de Araujo., Gomes, M., de Almeida, L., de Souza, Gabriely., Cunha, S.,Pitangu, A. 2014. Prevalence Of Headache and its Interference in The Activities OfDaily Living in Female Adolescent Students. Rev Paul Pediatr ;32(2):256-61.
Lina Waty, Supriatmo, Saing, B. 2013. Relationship between Migraine and SleepDisorders in Adolescents. Paediatrica Indonesiana;53(4):214-17.
Liu, X., Zhao, Z., Jia, C., Buysse, D. 2008. Sleep Pattern and Problems amongChinese Adolescent. Pediatrics;121(6):1165-1173.
Lovibond, S., Lovibond, P. 1995. Manual for the Depression Anxiety Stress Scale2ndEd. Sydney: Psychology Foundation.
Lumbantobing. 2008. Gangguan Tidur. Jakarta: Fakultas Kedokteran UniversitasIndonesia.
Lund, H., Reider, B., Whiting, R., Prichard, J. 2010. Sleep Patterns andPredictors of Disturbed Sleep in A Large Population of College Students. Journal ofAdolescent Health.
88
Mahdi, A., Fatima, G., Kumar Das, S., Verma, N. 2011. Abnormality ofCircadian Rhythm of Serum Melatonin and Other Biochemical Parameters inFibromyalia Syndrome. Indian Journal of Biochemistry & Biophysics;48:82-87.
Mindell, J., Owens, J., 2003. A Sleep in The Pediatric Practice. In: Mindell J,editor. A Clinical Guide to Pediatric Sleep: Diagnosis and Management of SleepProblems. Lippincott: Williams&Wilkins;1-10.
Mindell, J., Meltzer, L. 2008. Behavioral Sleep Disorders in Children andAdolescents. Ann Acad med Singapore;37:722-728.
Moldofsky, H. 2001. Sleep and Pain. Sleep Medicine Reviews;5(5):387–398.
Moran, A., Everhart, D. 2012. Adolescent Sleep: Review of Characteristics,Consequences, and Intervention. Journal of sleep disorders: treatment&care;1(2).
Notoatmodjo, S. 2007. Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku. Jakarta: PT.Rhineka Cipta.
Ohida, T., Osaki, Y., Doi, Y., Tanihata, T., Minowa, M., Suzuki, K, dkk. 2004.An Epidemiologic Study of Self Reported Sleep Problems among JapaneseAdolescent. Sleep.27;978-985.
Pace-Schott, E., Hobson, J. 2002. The Neurobiology of Sleep: Genetics, CellularPhysiology and Subcortical Networks. Nature Review;(3):501-605.
Palkanis, A., Kring, D. 2012. Chronic Daily Headache, Medication Overuse, andObesity in Children and Adolescents. J Child Neurol; 27(5): 577–580.
Paiva T, Farinha A, Martins A, Batista A, Guilleminault C. Chronic Headachesand Sleep Disorders. 1997. Arch Intern Med;157:1701-1705.
Penacoba-Puente, C., Fernandez de las Penas, C., Gonzalles-Gutierrez, J.,Miangolarra-Page, J., Pareja, J.2008. Interaction Between Anxiety, Depression,Quality Of Life And Clinical Parameters In Chronic Tension-Type Headache.European Journal of Pain;12(7):886-894.
PERDOSSI, 2006. Konsensus Nasional : Penanganan Trauma Kapitis danTrauma Spinal. Dalam: Soertidewi L., Misbach J., Sjahrir H., Hamid A., Jannis J.,Bustami M.. Editor. Kelompok Studi Traumatologi. Jakarta. Perdossi.
89
PERDOSSI. 2013. Konsensus Nasional IV: Diagnostik dan PenatalaksanaanNyeri Kepala. Dalam: Sjahrir, H., Machfoed, H., Suharjanti, I., Basir, H., Surbakti,KP., Mutiawati, E., Basjiruddin, H., Gunawan, BI., Yuanita, A., Aninditha, T., dkk.Editor. Kelompok Studi Nyeri Kepala. Surabaya. Airlangga University Press.
Peres, M. 2005. Melatonin, The Pineal Gland and Their Implications forHeadache Disorders. Cephalalgia;25: 403-411.
Peres M, Marusha M, Zulkerman E, Moreira-Filho J, Cavalheiro E. 2006.Potensial Therapeutics Use of Melatonin in Migraine and Other Headache Disorder.Exper OpinInvest Drugs; 15(4): 367-375.
Pilcher, J., Ginter, D., Sadowsky, B. 1997. Sleep Quality Versus Sleep Quantity:Relationship Between Sleep and Measure of Health, Well-Being, and Sleepiness inCollege Students. J Psychosom Res;42(6):583-596.
Prather, A., Puterman, E., Epel, E., Dhabar, F. 2014. Poor Sleep QualityPotentiates Stress-Indusced Cytokine Reactivity in Postmenopausal Women with HighVisceral Abdominal Adiposity. Brain, Behavior, and Immunity;35:155-162.
Price, A., Wilson, L. 2006. Pathophysiology : Clinical Concepts of DiseaseProcesses. New York:Mosby.
Rains J, Poceta J, Penzien D. Sleep and Headaches. 2008. Current Neurology andNeuroscience Reports;8:167–175.
Rasmussen, B. 1993. Migrain and Tension Type Headache in a GeneralPopulation : Precipitating Factors, Female Hormones, Sleep Pattern and Relation ToLifestyle (abstr). Pain; 53(1):65-72.
Rathus, S., Nevid, J. 2002. Psychology and The Challenge of Life : Adjustment inThe New Millennium. Eight edition. Danver; John Wiley&Sons, Inc.
Reigstad, B., Jørgensen, K., Sund, A., Wichstrøm, L. 2009. Prevalences andcorrelates of sleep problems among adolescents in specialty mental health services andin the community: What differs? Nord J Psychiatry;00:1–9.
Roennerberg, T., Kuehnle, T. 2004. A Marker for The End of Adolescence. CurrBiol; 14(24):1038-1039.
Sancisi, E., Coveli, S., Vignatelli, L., Mariana, N., Pierangeli, G., Zanigni, S.,Grimaldi, D., Cortelli, P., Montagna, P. 2010. Increase Prevalence of Sleep Disordersin Chronic Headache: A Case Control Study. Headache; 50(9):1464-1472.
90
Saper,C., Scammell, T. 2005. Hyphotalamic Regulation of sSeep and CircadianRhythms. Nature;437(7063):1257-1263.
Schochat, T., Bretler, O., Tzizchinsky, O. Sleep Pattern, Media Exposure, andDaytime Sleep-Related Behaviors among Israeli Adolescents. ActaPaediatrica;99:1396-13400.
Seshia, S., Phillips, D., von Baeyer, C. 2008. Childhood Chronic Daily Headache :A Biopsychosocial Perspective. Dev med Child Neurol;50(7):541-545.
Shirlow, M., Mathers, C. 1985. A Study of Coffee Consumption and Symptoms :Indigestion, Palpitations, Tremor, Headache and Insomnia. Int J Epidemiol;14(2):239-249.
Shneerson, J. 2005. Physiological Basis of Sleep and Wakefulness. SleepMedicine : A Guide to Sleep and Its Disorder. Massachusetts. Blackwell PublishingLtd:22-53.
Silberstein, S., Lipton, R., Goadsby, P. 2002. Headache in Clinical Practice. 2nd
edition. Martin Dunitz Ltd. United kingdom:16-17.
Sivertsen, B., Pallesen, S., Stormark, K., Bøe T., Lundervold, A., Hysing, M.2013. Delayed Phase Syndrome in Adolescents: Prevalence and Correlates in a LargePopulation Based Study. BMC Public Health;13:1163
Sjahrir, H., Nasution, D. 2003.Prevalensi nyeri kepala paroksismal padamahasiswa FK USU Medan. Naskah lengkap Bienial Meeting PNPNCh. Surabaya.
Sjahrir, H. 2009. Insiden Jenis Penyakit Pasien yang Berobat Jalan di Klinik SarafKlinik Spesialis Bunda. Cermin Dunia Kedokteran;36(6):399-402.
Soetjiningsih. 2004. Tumbuh Kembang Remaja dan Permasalahannya. Jakarta:PT. Rhineka Cipta.
Spierings, E., van Hoof, M. 1992. Fatique and Sleep in Chronic HeadacheSufferers: An Age-and Sex-Controlled Questionnaire Study. Headache;37:549-552.
Straube, A., Heinen, F., Ebinger, F., Kries, R. 2013. Headache in School Children: Prevalence and Risk Factors. Dtsch Arztebl Int;110(48):811-818.
Tarwaka. 2004. Ergonomi untuk Keselamatan, Kesehatan Kerja, danProduktivitas. UNIBA press. Surakarta.
91
Teron J. 2002. Is The 5-HT7 Receptor Involved in The Pathogenesis andProphylactic Treatment of Migraine? European Journal of Pharmacology;439:1-11.
Tikotzsky, L., Sadeh, A. 2012. Sleep Problems during Adolescence: Links withDaytime Functioning. In: Latzer, Y and Tzischinsky, O., editor. The Dance OfSleeping And Eating Among Adolescents. Israel. Nova Science Publishers, Inc:109-127.
Van Cauter, E., Holmback, U., Knutson, K.,Leproult, R., Miller, A., Nedeltcheva,A., Pannain, s., Penev, P., Tasali, E., Spiegel, K. 2007. Impact of Sleep and Sleep Losson Neuroendocrine and Metabolic Function. Horm Res;67[Suppl 1]2-9.
Wang, S., Fuh, J., Lu, S. 2009. Chronic Daily Headache in Adolescent : an 8-yearfollow-up study. Neurology;73:416-422.
Wallace, D. 2008. The Lupus Book: a Guide for Patients and Their Family.4ed .New York: Oxford University Press.
Wahyuni, D.,Rahmadewi. 2011. Kajian Profil Penduduk Remaja (10-24 Tahun):Ada Apa dengan Remaja? Policy Brieft Pusat Penelitian dan PengembanganKependudukan BKKBN;1(6):1-4.
WHO. 1998. Obesity: Preventing and Managing the Global Epidemic. Report ofA WHO Consultation on Obesity. Geneva: World Health Organisation.
Yagihara, F, Lucchesi, L, Smith, A, Speciali, J. 2012. Primary Headaches andTheir Relationship with Sleep. Sleep Sci;5(1):28-32.
Yavus, B., Aydinlar, E., Dikmen, P., Incesu, C. 2013. Association BetweenSomatic Amplification, Anxiety, Depression, Stress And Migraine. The Journal ofHeadache and Pain;14:53:
Lampiran 1
92
Lampiran 2
93
Lampiran 3
94
Lampiran 4
95
INFORMASI PASIEN
Kami mengharapkan partisipasi anak Bapak/Ibu/Saudara dalam penelitian ilmiahyang dilaksanakan oleh dr. Agus Antara.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui adanya korelasi kualitas tidur
dengan nyeri kepala primer (NKP) pada siswa-siswi Sekolah Menengah Atas
(SMA) Negeri 1 Amlapura Kabupaten Karangasem.
Gangguan tidur dan nyeri kepala merupakan 2 hal yang sering dialami oleh
remaja. Penatalaksanaan kedua hal tersebut seringkali tidak memuaskan. Nyeri kepala
yang timbul dengan frekuensi yang sering dapat menyebabkan penurunan konsentrasi
dan kemampuan remaja beraktivitas dan tentu saja menurunkan prestasi remaja di
sekolah.
Bacalah/dengarkan dengan saksama informasi ini sebelum Bapak/Ibu/Saudara
memutuskan apakah anak Bapak/Ibu/Saudara akan turut berpartisipasi atau tidak dan
jangan ragu-ragu untuk bertanya jika ada hal-hal yang belum dimengerti. Bila anak
Bapak/Ibu/Saudara memutuskan berpartisipasi, kami harapkan Bapak/Ibu/Saudara
bersedia memberikan izin kepada kami untuk mewawancarai dan melakukan
pemeriksaan fisik kepada anak Bapak/Ibu/Saudara.
Dalam penelitian ini, peneliti atau petugas yang telah dilatih akan mewawancarai
dan melakukan pememeriksaan fisik terhadap anak Bapak/Ibu/Saudara terutama
menanyakan tentang masalah tidur dan nyeri kepala yang dialami oleh anak
Bapak/Ibu/Saudara. Tidak ada efek samping pada penelitian ini karena hanya berupa
wawancara dan pemeriksaan fisik luar saja. Selama penelitian ini, Bapak/Ibu/Saudara
tidak dikenakan biaya.
96
Data-data yang dikumpulkan dalam penelitian ini akan disimpan dalam data
komputer tanpa mencantumkan nama anak Bapak/Ibu/Saudara. Hanya peneliti yang
mengetahui data-data anak Bapak/Ibu/Saudara. Hasil penelitian ini mungkin akan
dipublikasikan di forum ilmiah terbatas tanpa menampilkan identitas anak
Bapak/Ibu/Saudara.
Sehubungan dengan penelitian ini, bila terdapat pertanyaan mengenai penelitian
ini harap menghubungi : dr. Agus Antara, nomor telepon : 081316632400.
Lampiran 5
97
FORMULIR PERSETUJUAN TERTULIS
Saya yang bertanda tangan di bawah ini selaku orang tua/wali dari :
Nama :
Umur :
Jenis kelamin :
Pekerjaan :
Telah membaca dengan saksama keterangan/informasi yang berkenaan dengan
penelitian ini dan setelah mendapat penjelasan saya mengerti dan mengizinkan
anak kami untuk ikut serta dalam penelitian ini.
Menyetujui Dokter/Petugas
Peserta Yang memberikan penjelasan
( ) ( )
Orang tua/wali peserta
(……………………..)
Lampiran 6
98
LEMBAR PENGUMPULAN DATA
KORELASI KUALITAS TIDUR DENGAN NYERI KEPALA PRIMERPADA SISWA-SISWI SEKOLAH MENENGAH ATAS NEGERI 1
AMLAPURA DI KABUPATEN KARANGASEM
1. Nomor urut
2. Tanggal Pemeriksaan
3. Pemeriksa
4. Nama
5. Alamat
6. Nomor telepon
7. Tanggal lahir
8. Umur
9. Jenis kelamin (1) Laki-laki
(2) Perempuan
10. SMA (kelas)
11. Tinggi/BB .........cm ...........kg
12. IMT (1) Obesitas
(2) Tidak obesitas
13. Riwayat cedera kepala (1) Ya
(2) Tidak
14. Riwayat kejang (1) Ya
(2) Tidak
15. Sinusitis (1) Ya
(2) Tidak
16. Sakit gigi dan tempromandibula (1) Ya
(2) Tidak
17. Pemeriksaan fisik
- Tekanan darah (1) Normal
(2) Hipertensi
- Nadi (1) < 60 kali/menit
(2) 61-100 kali/menit
99
(3) > 100 kali/menit
- Respirasi (1) <12 kali/menit
(2) 12-20 kali/menit
(3) > 20 kali/menit
- Temperatur (1) Normal
(2) Di atas normal
18. Tanda perangsangan meningeal (1) Ada
(2) Tidak
19. Nervus kranialis (1) Normal
(2) Terganggu
20. Sistem motorik (1) Normal
(2) Tidak normal
21. Refleks fisiologis (APR) (1) Normal
(2) Menurun
(3) Meningkat
22. Refleks patologis (1) Ada
(2) Tidak
23. Sistem sensorik
- Raba/tekan (1) Normal
(2) Menurun
(3) Meningkat
- Nyeri, suhu (1) Normal
(2) Menurun
(3) Meningkat
- Proprioseptif (1) Normal
(2) Menurun
- Vibrasi (1) Normal
(2) Menurun
100
Kuesioner Nyeri Kepala
1. Apakah anda menderita nyeri kepala dalam tiga bulan terakhir?(1) Ya(2) Tidak
2. Jika ya, berapa lama nyeri kepala tersebut berlangsung setiap serangan ?(1) <30 menit(2) 30 menit – 7 hari(3) > 7 hari(4) Beberapa jam atau terus menerus
3. Frekuensi nyeri kepala dalam sebulan :(1) Sepuluh episode serangan dengan rerata < 1 hari/bulan (infrekuen)(2) Sepuluh episode serangan dalam 1-15 hari/bulan selama minimal 3 bulan
(frekuen)(3) > 15 hari/bulan selama > 3 bulan (kronis)
4. Tipe nyeri kepala :(1) Berdenyut(2) Tidak berdenyut (menekan/mengikat)
5. Lokasi nyeri kepala(1) Bilateral (2 sisi)(2) Unilateral (satu sisi)
6. Gejala prodromal (muncul 2 jam – 2 hari sebelum sakit kepala perubahan suasanahati, mudah tersinggung, depresi, euforia, lemas, sangat ingin makanan tertentu,konstipasi/diare, makin sensitif bau/suara) :(1) Ada(2) Tidak ada
7. Aura (visual, sensoris, disfasia) :(1) Ada(2) Tidak
8. Gejala penyerta (mual, muntah, fotofobia, fonofobia, rinore, lakrimasi, edemapalpebra, dahi/wajah berkeringat ipsilateral, ptosis ipsilateral) :(1) Ada(2) Tidak ada
9. Intensitas nyeri kepala yang paling sering dirasakan setiap kali serangan(1) Ringan : Numeric Pain Rating Scale (NPRS) 1-4(2) Sedang : Numeric Pain Rating Scale (NPRS) 5-7(3) Berat : Numeric Pain Rating Scale (NPRS) 8-10
10. Bertambah berat dengan aktivitas(1) Ya(2) Tidak
11. Ada faktor pencetus :(1) Ya(2) Tidak
12. Jika ada, berupa apa : makanan, cuaca, stres fisik, stres psikis, kurang tidur/tidurterganggu, perubahan pola/kebiasaan, menstruasi (sebutkan) :
13. Awitan pertama kali nyeri kepala yersebut muncul saat berumur (sebutkan) :14. Tipe nyeri kepala primer yang diderita :
101
KUESIONER GANGGUAN TIDURThe Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI)Petunjuk :Petanyaan berikut berhubungan dengan kebiasaan tidur Anda selama satu bulan/satu minggu terakhir. Jawaban anda harus menunjukkan jawaban yang palingakurat untuk menggambarkan sebagian besar malam dan hari selamaseminggu/sebulan yang lalu. Kami berharap Anda menjawab semua pertanyaandimana untuk pertanyaan nomor 1-4, jawablah dengan angka, sedangkanjawaban untuk pertanyaan nomor 5-9 cukup dengan memberi tanda (√) padasalah satu kolom pilihan jawaban yang ada.1. Selama satu bulan terakhir, sekitar pukul berapa biasanya anda tidur di malam hari?
(pukul …..)2. Selama satu bulan terakhir, berapa lama (dalam menit) waktu untuk tertidur di malam
hari? (…… menit)3. Selama satu bulan terakhir, sekitar pukul berapa anda biasanya bangun di pagi hari ?
(pukul ….. )4. Selama satu bulan terakhir, berapa jam anda dapat tidur nyenyak di malam hari? ( ini
mungkin berbeda dengan jumlah waktu yang dihabiskan saat tidur ) (…. jam)
5. Selama sebulanterakhir ,seberapa seringandamengalamikesulitan tidur,yangdisebabkankarena :
Tidak pernah(0)
1x seminggu(1)
2x seminggu(2)
≥ 3xseminggu (3)
A. Tidak dapattertdur dalamwaktu 30 menit
B. Terbangun ditengah malamatau pagi-pagisekali
C. Terbangunkarena ingin ketoilet
D. Tidak dapatbernapasdengan nyaman
E. Batuk ataumendengkurdengan keras
F. Merasa sangatkedinginan
G. Merasa sangatkepanasan
H. Mimpi buruk
102
I. Merasa nyeriJ. Alasan lain:…6. Selama satu
bulan terakhir,seberapa seringandamengkonsumsiobat untukmembantu andaagar dapattertidur (resepataupun daritoko obat)?
7. Selama satubulan terakhir,seberapa seringandamengantuk saatberkendaraan,makan, atauketikamelakukanaktivitas sosial?
Tidakmenjadi
masalah (0)
Hanyamasalah kecil
(1)
Agak menjadimasalah
(2)
Masalahbesar (3)
8. Selama satubulan terakhir,seberapa beratanda untukdapat tetapbersemangatdalammengerjakansesuatu?
Sangat baik(0)
Baik(1)
Buruk(2)
Sangat buruk(3)
9. Selama satubulan terakhir,bagaimanaanda menilaikualitas tiduranda secarakeseluruhan?
103
KUESIONER TENTANG DEPRESI, KECEMASAN DAN STRES (DASS42)
Kuesoner ini terdiri dari berbagai pertanyaan yang mungkin sesuai dengan
pengalaman anda dalam menghadapi situasi sehari-hari. Terdapat empat pilihan
jawaban yang disediakan untuk setiap pertanyaan yaitu :
0 : Tidak pernah/tidak sesuai dengan saya sama sekali
1 : Kadang-kadang/sesuai dengan saya sampai tingkat tertentu
2 : Cukup sering/sesuai dengan saya sampai batas yang dapat dipertimbangkan
3 : Sering sekali/sangat sesuai dengan saya
No Pertanyaan
Nilai
0 1 2 3
1 Saya merasa diri saya menjadi marah karena hal-hal
sepele.
2 Saya merasa bibir saya sering kering.
3 Saya sama sekali tidak dapat merasakan perasaan
positif
4 Saya mengalami kesulitan bernapas (misalnya
seringkali terengah-engah atau tidak dapat bernapas
padahal tidak melakukan aktivitas fisik sebelumnya).
5 Saya sepertinya sudah tidak kuat lagi untuk melakukan
suatu kegiatan.
6 Saya cenderung bereaksi berlebihan terhadap suatu
situasi.
7 Saya merasa goyah (misalnya, kaki terasa terlepas)
8 Saya merasa sulit untuk bersantai.
9 Saya merasa diri saya berada dalam situasi yang
membuat saya merasa sangat cemas dan saya akan
merasa sangat lega jika semua ini berakhir.
10 Saya merasa tidak ada yang bisa diharapkan di masa
depan.
11 Saya mudah merasa kesal.
12 Saya menghabiskan banyak energi karena cemas.
104
13 Saya merasa sedih dan tertekan.
14 Saya merasa tidak sabar saat mengalami penundaan
(misalnya saat kemacetan lalu lintas, menunggu
sesuatu).
15 Saya merasa lemas seperti mau pingsan.
16 Saya merasa kehilangan minat akan segala hal.
17 Saya merasa tidak berharga sebagai seorang manusia.
18 Saya merasa mudah tersinggung.
19 Saya berkeringat berlebihan (misalnya tangan
berkeringat padahal temperatur tidak panas dan tidak
melakukan aktivitas sebelumnya).
20 Saya merasa takut tanpa alasan yang jelas.
21 Saya merasa bahwa hidup tidak bermanfaat.
22 Saya merasa sulit untuk beristirahat.
23 Saya merasa sulit menelan.
24 Saya merasa tidak bisa mendapatkan kesenangan dari
aktivitas apapun yang saya lakukan.
25 Saya menyadari aktivitas jantung saya walaupun saya
tidak sehabis melakukan aktivitas fisik (misalnya
merasakan detak jantung meningkat).
26 Saya merasa putus asa dan sedih.
27 Saya merasa sangat mudah marah.
28 Saya merasa hampir panik.
29 Saya merasa sulit untuk tenang setelah sesuatu
membuat saya kesal.
30 Saya takut akan ’terhambat’ oleh tugas-tugas sepele
yang tidak biasa saya lakukan.
31 Saya tidak merasa antusias akan apapun.
32 Saya sulit untuk bersabar dalam menghadapi gangguan
terhadap hal yang sedang saya lakukan.
33 Saya sedang merasa gelisah.
34 Saya merasa bahwa saya tidak berharga.
35 Saya tidak dapat memaklumi hal apapun yang
105
menghalangi saya untuk menyelesaikan hal yang
sedang saya lakukan.
36 Saya merasa sangat ketakutan.
37 Saya melihat tidak ada harapan untuk masa depan.
38 Saya merasa hidup tidak berarti.
39 Saya merasa mudah gelisah.
40 Saya merasa khawatir dengan situasi dimana saya
mungkin menjadi panik dan mempermalukan diri
sendiri.
41 Saya merasa gemetar (misalnya pada tangan).
42 Saya merasa sulit untuk meningkatkan inisiatif dalam
melakukan sesuatu.
106
KUESIONER TENTANG KELELAHAN
No PertanyaanSangat
Sering (SS)3
Sering(S)2
Kadang-kadang
(K)1
TidakPernah
(TP)0
1 Perasaan berat di kepala2 Lelah di seluruh tubuh3 Kaki terasa berat4 Menguap5 Merasa pikiran kacau6 Merasa kacau7 Merasa ada beban di kepala8 Kaku dan canggung dalam
bergerak9 Tidak seimbang dalam
berdiri10 Merasa ingin berbaring11 Merasa sulit untuk berpikir12 Lelah berbicara13 Menjadi gugup14 Tidak dapat berkonsentrasi15 Tidak dapat memusatkan
perhatian16 Cenderung untuk lupa17 Kurang kepercayaan18 Cemas terhadap sesuatu19 Tidak dapat mengontrol
sikap20 Tidak tekun bekerja21 Sakit kepala22 Merasa kaku di bagian
bahu23 Merasa nyeri di pinggang24 Merasa pernapasan tertekan25 Haus26 Suara serak27 Merasa pusing28 Kelopak mata terasa berat29 Gemetar pada bagian tubuh
tertentu30 Merasa kurang sehat
Nilai 1-30 = tidak lelahNilai >30 = lelah
Lampiran 7
107
HASIL PENELITIAN
Data Subjek Penelitian
No Umur(tahun)
Jeniskelamin IMT PSQI SST Depresi Cemas Stres NKP
1 16.0 laki-laki obesitas buruk adakelelahan
Tidak tidak tidak ya
2 16.0 laki-laki tidak baik adakelelahan
Tidak tidak tidak ya
3 17.0 laki-laki tidak buruk adakelelahan
Tidak tidak tidak ya
4 16.0 laki-laki tidak baik adakelelahan
Tidak ada ada ya
5 16.0 laki-laki tidak buruk adakelelahan
Tidak tidak tidak ya
6 16.0 perempuan tidak buruk adakelelahan
ada ada ada ya
7 17.0 perempuan tidak buruk adakelelahan
ada ada ada ya
8 16.0 perempuan tidak buruk adakelelahan
Tidak ada tidak ya
9 16.0 perempuan obesitas buruk adakelelahan
Tidak tidak tidak ya
10 16.0 laki-laki tidak buruk adakelelahan
Tidak ada ada ya
11 17.0 laki-laki tidak buruk adakelelahan
tidak tidak tidak tidak
12 16.0 laki-laki tidak baik adakelelahan
tidak tidak tidak ya
13 16.0 laki-laki tidak baik adakelelahan
tidak tidak tidak ya
14 16.0 perempuan tidak baik adakelelahan
tidak ada ada ya
15 16.0 perempuan tidak buruk adakelelahan
tidak tidak tidak ya
16 17.0 perempuan tidak buruk adakelelahan
ada ada ada ya
17 17.0 perempuan tidak buruk adakelelahan
tidak tidak tidak ya
18 16.0 perempuan tidak buruk adakelelahan
tidak ada ada ya
19 15.0 perempuan tidak buruk ada ada ada ada ya
Lampiran 7
108
kelelahan20 16.0 laki-laki tidak baik ada
kelelahanada ada tidak tidak
21 16.0 perempuan tidak buruk adakelelahan
tidak ada ada ya
22 16.0 laki-laki obesitas buruk adakelelahan
tidak ada tidak ya
23 16.0 perempuan obesitas buruk adakelelahan
ada ada ada ya
24 16.0 perempuan tidak buruk adakelelahan
tidak ada ada ya
25 16.0 laki-laki tidak buruk adakelelahan
ada ada tidak ya
26 16.0 laki-laki tidak buruk adakelelahan
tidak tidak tidak ya
27 16.0 perempuan tidak buruk adakelelahan
tidak ada ada ya
28 16.0 perempuan tidak baik adakelelahan
ada ada ada ya
29 16.0 perempuan tidak buruk adakelelahan
ada ada ada ya
30 16.0 laki-laki obesitas buruk tidak adakelelahan
tidak tidak tidak ya
31 16.0 laki-laki tidak buruk adakelelahan
tidak tidak tidak ya
32 16.0 laki-laki tidak buruk adakelelahan
tidak tidak tidak ya
33 16.0 laki-laki tidak buruk adakelelahan
tidak tidak tidak ya
34 16.0 perempuan tidak buruk adakelelahan
ada ada ada ya
35 16.0 laki-laki tidak buruk adakelelahan
ada ada ada ya
36 16.0 perempuan tidak buruk adakelelahan
ada ada ada ya
37 16.0 laki-laki tidak buruk adakelelahan
ada ada ada ya
38 16.0 laki-laki tidak buruk adakelelahan
ada ada ada ya
39 16.0 laki-laki tidak buruk adakelelahan
tidak tidak tidak ya
40 17.0 laki-laki tidak buruk adakelelahan
tidak tidak tidak ya
41 16.0 perempuan tidak buruk adakelelahan
ada ada ada tidak
42 16.0 perempuan tidak baik ada tidak tidak tidak ya
Lampiran 7
109
kelelahan43 16.0 laki-laki tidak buruk ada
kelelahanada tidak tidak ya
44 16.0 laki-laki tidak baik adakelelahan
ada tidak tidak ya
45 16.0 perempuan tidak baik adakelelahan
tidak tidak tidak tidak
46 16.0 perempuan tidak buruk adakelelahan
tidak ada ada ya
47 16.0 laki-laki tidak baik adakelelahan
tidak tidak tidak ya
48 16.0 laki-laki tidak buruk adakelelahan
ada ada ada ya
49 16.0 perempuan tidak buruk adakelelahan
tidak tidak tidak ya
50 16.0 laki-laki tidak baik adakelelahan
ada ada ada tidak
51 17.0 laki-laki tidak buruk adakelelahan
tidak tidak tidak ya
52 16.0 perempuan tidak baik adakelelahan
ada ada ada tidak
53 16.0 perempuan tidak buruk adakelelahan
tidak tidak tidak ya
54 16.0 perempuan tidak buruk adakelelahan
tidak tidak tidak ya
55 16.0 perempuan tidak buruk adakelelahan
ada ada ada ya
56 16.0 laki-laki tidak buruk adakelelahan
tidak tidak tidak ya
57 16.0 perempuan tidak buruk adakelelahan
ada ada ada ya
58 16.0 perempuan tidak buruk adakelelahan
ada ada ada ya
59 16.0 laki-laki tidak baik adakelelahan
tidak tidak tidak ya
60 16.0 laki-laki tidak baik adakelelahan
tidak tidak tidak tidak
61 16.0 perempuan tidak buruk adakelelahan
ada ada ada ya
62 16.0 laki-laki tidak buruk adakelelahan
tidak tidak tidak ya
63 16.0 laki-laki tidak buruk adakelelahan
ada ada ada ya
64 16.0 laki-laki tidak baik adakelelahan
tidak tidak tidak tidak
65 17.0 laki-laki tidak baik ada tidak tidak tidak ya
Lampiran 7
110
kelelahan66 16.0 laki-laki tidak buruk ada
kelelahanada ada ada ya
67 16.0 perempuan tidak baik adakelelahan
ada ada ada tidak
68 16.0 perempuan tidak baik adakelelahan
ada ada ada ya
69 15.0 perempuan obesitas baik adakelelahan
tidak tidak tidak ya
70 16.0 perempuan tidak buruk adakelelahan
ada ada ada ya
71 16.0 laki-laki tidak baik adakelelahan
ada ada ada ya
72 16.0 laki-laki tidak buruk adakelelahan
tidak tidak tidak ya
73 17.0 laki-laki tidak buruk adakelelahan
tidak tidak tidak ya
74 16.0 perempuan tidak baik adakelelahan
tidak ada ada ya
75 16.0 laki-laki tidak buruk adakelelahan
ada ada ada ya
76 16.0 perempuan tidak buruk adakelelahan
ada ada ada ya
77 16.0 laki-laki tidak baik adakelelahan
tidak tidak tidak tidak
78 16.0 perempuan tidak buruk adakelelahan
ada ada ada ya
79 16.0 perempuan tidak buruk adakelelahan
ada ada ada ya
80 15.0 perempuan tidak buruk adakelelahan
ada ada ada ya
81 16.0 perempuan tidak buruk adakelelahan
ada ada ada ya
82 16.0 perempuan tidak buruk adakelelahan
tidak tidak tidak ya
83 16.0 laki-laki tidak buruk adakelelahan
ada ada ada ya
84 16.0 laki-laki tidak baik adakelelahan
ada ada ada tidak
85 17.0 laki-laki tidak buruk adakelelahan
ada ada ada ya
86 15.0 perempuan tidak buruk adakelelahan
tidak tidak tidak ya
87 16.0 laki-laki tidak buruk adakelelahan
tidak tidak tidak ya
88 16.0 laki-laki tidak baik ada tidak tidak tidak tidak
Lampiran 7
111
kelelahan89 16.0 laki-laki tidak baik ada
kelelahantidak tidak tidak ya
90 17.0 perempuan obesitas buruk adakelelahan
ada ada ada ya
91 16.0 laki-laki tidak buruk adakelelahan
tidak tidak tidak ya
92 15.0 perempuan tidak baik adakelelahan
tidak tidak tidak tidak
93 16.0 laki-laki tidak buruk adakelelahan
tidak ada tidak ya
94 16.0 laki-laki tidak buruk adakelelahan
tidak tidak tidak tidak
95 16.0 perempuan tidak buruk adakelelahan
tidak ada ada ya
96 16.0 laki-laki tidak buruk adakelelahan
tidak ada ada ya
112
Data Analisis SPSS
Jenis Kelamin
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid 1 51 53.1 53.1 53.1
2 45 46.9 46.9 100.0
Total 96 100.0 100.0
Data Frekuensi Umur
Statistics
Umur
N Valid 96
Missing 0
Minimum 15
Maximum 17
Umur
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid 15 5 5.2 5.2 5.2
16 80 83.3 83.3 88.5
17 11 11.5 11.5 100.0
Total 96 100.0 100.0
113
Data Frekuensi BB, TB, IMT
Tinggi_Badan Berat_Badan
N Valid 96 96
Missing 0 0
Mean 164.0417 54.1771
Median 163.0000 51.0000
Minimum 145.00 40.00
Maximum 180.00 86.00
IMT
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid 1 7 7.3 7.3 7.3
2 89 92.7 92.7 100.0
Total 96 100.0 100.0
114
115
SST
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid 1 95 99.0 99.0 99.0
2 1 1.0 1.0 100.0
Total 96 100.0 100.0
DAS Depresi
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid 1 40 41.7 41.7 41.7
2 56 58.3 58.3 100.0
Total 96 100.0 100.0
DAS Cemas
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid 1 52 54.2 54.2 54.2
2 44 45.8 45.8 100.0
Total 96 100.0 100.0
DAS Stres
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid 1 47 49.0 49.0 49.0
2 49 51.0 51.0 100.0
Total 96 100.0 100.0
116
Symmetric Measuresa
Value Approx. Sig.
Nominal byNominal
ContingencyCoefficient
.148 .144
N of Valid Cases 96
a. Correlation statistics are available for numeric data only.
Directional Measures
Value
Asymp.Std.
Errora
Approx.Tb
Approx.Sig.
Nominal byNominal
Lambda Symmetric .068 .108 .603 .546
PSQIDependent
.000 .000 .c .c
DAS StresDependent
.106 .167 .603 .546
Goodman and Kruskaltau
PSQIDependent
.022 .030 .146d
DAS StresDependent
.022 .030 .146d
a. Not assuming the null hypothesis.
b. Using the asymptotic standard error assumingthe null hypothesis.
c. Cannot be computed because the asymptotic standarderror equals zero.
d. Based on chi-square approximation
117
PSQI * DAS Stres Crosstabulation
DAS Stres
Total1 2
PSQI 1 10 17 27
2 37 32 69
Total 47 49 96
PSQI * DAS Cemas Crosstabulation
DAS Cemas
Total1 2
PSQI 1 11 16 27
2 41 28 69
Total 52 44 96
Directional Measures
Value
Asymp.Std.
Errora
Approx.Tb
Approx.Sig.
Nominal byNominal
Lambda Symmetric .070 .070 .967 .334
PSQIDependent
.000 .000 .c .c
DAS cemasDependent
.114 .111 .967 .334
GoodmanandKruskaltau
PSQIDependent
.028 .034 .100d
DAS cemasDependent
.028 .034 .100d
118
Symmetric Measuresa
Value Approx. Sig.
Nominal byNominal
Contingency Coefficient.166 .099
N of Valid Cases 96
a. Correlation statistics are available for numeric data only.
PSQI * DAS Depresi Crosstabulation
DAS Depresi
Total1 2
PSQ 1 9 18 27
2 31 38 69
Total 40 56 96
a. Not assuming the nullhypothesis.
b. Using the asymptotic standard errorassuming the null hypothesis.
c. Cannot be computed because the asymptoticstandard error equals zero.
d .Based on chi-squareapproximation
119
Symmetric Measuresa
Value Approx. Sig.
Nominal byNominal
Contingency Coefficient.105 .300
N of Valid Cases 96
a. Correlation statistics are available for numeric data only.
Directional Measures
Value
Asymp.Std.
Errora
Approx.T
Approx.Sig.
Nominal byNominal
Lambda Symmetric .000 .000 .b .b
PSQIDependent
.000 .000 .b .b
DAS depresiDependent
.000 .000 .b .b
Goodman andKruskal tau
PSQIDependent
.011 .021 .303c
DAS depresiDependent
.011 .021 .303c
a. Not assuming the null hypothesis.
b.Cannot be computed because the asymptotic standarderror equals zero.
c. Based on chi-square approximation
120
PSQI, DAS dan SST dengan Nyei Kepala
Nyeri_Kepala * PSQI Crosstabulation
PSQI
Total1 2
Nyeri Kepala 2 11 3 14
1 16 66 82
Total 27 69 96
Symmetric Measuresa
Value Approx. Sig.
Nominal byNominal
Contingency Coefficient.421 .000
N of Valid Cases 96
Correlation statistics are available for numeric data only.
Directional Measures
ValueAsymp.
Std. Errora
Approx.Tb
Approx.Sig.
Nominal byNominal
Lambda Symmetric .195 .073 2.191 .028
Nyeri kepalaDependent
.000 .000 .c .c
PSQIDependent
.296 .116 2.191 .028
Goodman andKruskal tau
Nyeri kepalaDependent
.215 .094 .000d
PSQIDependent
.215 .088 .000d
121
Nyeri Kepala * Jenis_Kelamin Crosstabulation
Jenis_Kelamin
Total1 2
Nyeri Kepala 2 9 5 14
1 42 40 82
Total 51 45 96
Directional Measures
Value
Asymp.Std.
Errora
Approx.T
Approx.Sig.
Nominal byNominal
Lambda Symmetric .000 .000 .b .b
Nyeri kepalaDependent
.000 .000 .b .b
JeniskelaminDependent
.000 .000 .b .b
Goodman andKruskal tau
Nyeri kepalaDependent
.009 .018 .368c
JeniskelaminDependent
.009 .018 .368c
a.Not assuming the null hypothesis.
b.Cannot be computed because the asymptotic standarderror equals zero.
c.Based on chi-squareapproximation
122
Symmetric Measuresa
Value Approx. Sig.
Nominal byNominal
Contingency Coefficient.092 .365
N of Valid Cases 96
a. Correlation statistics are available for numeric data only.
Nyeri Kepala dan Depresi
Nyeri Kepala * DAS Depresi Crosstabulation
DAS_Depresi
Total1 2
NyeriKepala
2 6 8 14
1 34 48 82
Total 40 56 96
Symmetric Measuresa
Value Approx. Sig.
Nominal byNominal
Contingency Coefficient.010 .922
N of Valid Cases 96
a. Correlation statistics are available for numeric data only.
123
Nyeri Kepala dan Kecemasan
Nyeri Kepala * DAS_Cemas Crosstabulation
DAS_Cemas
Total1 2
Nyeri Kepala 2 6 8 14
1 46 36 82
Total 52 44 96
Symmetric Measuresa
Value Approx. Sig.
Nominal byNominal
Contingency Coefficient.093 .358
N of Valid Cases 96
a. Correlation statistics are available for numeric data only.
Nyeri Kepala dan Stres
Nyeri_kepala * DAS_Stres Crosstabulation
DAS_Stres
Total1 2
Nyeri Kepala 2 5 9 14
1 42 40 82
Total 47 49 96
Symmetric Measuresa
Value Approx. Sig.
Nominal byNominal
Contingency Coefficient.109 .283
N of Valid Cases 96
a. Correlation statistics are available for numeric data only.
124
Nyeri kepala dengan Stres
Nyeri Kepala * DAS_Stres Crosstabulation
DAS_Stres
Total1 2
Nyeri Kepala 2 5 9 14
1 42 40 82
Total 47 49 96
Nyeri Kepala dengan Kelelahan
Nyeri Kepala * SST Crosstabulation
SST
Total1 2
Nyeri Kepala 2 14 0 14
1 81 1 82
Total 95 1 96
Symmetric Measuresa
Value Approx. Sig.
Nominal byNominal
Contingency Coefficient.042 .678
N of Valid Cases 96
a. Correlation statistics are available for numeric data only.
125
Nyeri Kepala dengan Jenis Kelamin
Nyeri Kepala * Jenis_Kelamin Crosstabulation
Jenis Kelamin
Total1 2
Nyeri Kepala 2 9 5 14
1 42 40 82
Total 51 45 96
Symmetric Measuresa
Value Approx. Sig.
Nominal byNominal
Contingency Coefficient.092 .365
N of Valid Cases 96
a. Correlation statistics are available for numeric data only.
Nyeri Kepala dengan IMT
Nyeri Kepala * IMT Crosstabulation
IMT
Total1 2
Nyeri Kepala 2 0 14 14
1 7 75 82
Total 7 89 96
126
Symmetric Measuresa
Value Approx. Sig.
Nominal byNominal
Contingency Coefficient.115 .256
N of Valid Cases 96
a. Correlation statistics are available for numeric data only.