Top Banner
ISSN 2287-5565 MUSIM GUGUR 2014 FITIR KHUSUS MUSIKAL KOREA "Mengapa Anda selalu mengunjungi Seoul?" ; Hong Kwang-ho Menjadi Tenar di West End, London Karena Suara Gilanya ; Semangat Tanpa Henti yang Mengguncang Pentas Budaya Musikal Korea: Tren Baru Industri Budaya SENI & BUDAYA KOREA VOL. 3 NO. 3
70
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Koreana Autumn 2014 (Indonesian)

ISSN 2287-5565

MU

SIM G

UG

UR 2014

FITIR KHU

SUSM

USIKAL KOREA

"Mengapa Anda selalu m

engunjungi Seoul?" ; Hong Kw

ang-ho Menjadi Tenar di W

est End, London Karena Suara Gilanya ; Sem

angat Tanpa Henti yang M

engguncang Pentas Budaya

Musikal Korea: Tren Baru Industri Budaya

SENI & BUDAYA KOREA

ww

w.koreana.or.kr

VOL. 3 NO. 3

Page 2: Koreana Autumn 2014 (Indonesian)
Page 3: Koreana Autumn 2014 (Indonesian)

SENI & BUDAYA KOREA 1

Mereka Tenggelam dengan Kepala Tertunduk

“Cakrawala begitu tinggi dan kuda-kuda sangatlah gemuknya; Kita dapat mendekatkan dengan melukisnya.”

Tatkala musim gugur tiba, orang Korea sering memikirkan kata-kata yang telah ditulis, dalam puisi beberapa waktu yang lama berlalu. Pesan dari puisi ini adalah bahwa di musim gugur, langit dari bumi ini benar-benar tinggi dan bersih. Panen yang diharap-kan rakyat dan bahkan sukacita pun dikumpulkan pada bulan yang singkat, dan malam secara bertahap bertambah panjang. Akhinya orang-orang pun bisa menerangi malam dengan lentera, memba-ca buku, dan akan lenyap dalam pikiran sampai larut. Dengan cara seperti itu, orang Korea belajar bahwa musim gugur adalah musim membaca, dan mereka telah lama mengulangi kata-kata itu.

Namun, sekarang perkataan itu menjadi masa lalu. Orang Korea sudah tidak lagi lapar lagi.

Sekarang mereka justru khawatir tentang kelebihan berat badan karena terlalu banyak melahap nutrisi, dan jumlah orang yang ter-tarik pada diet tumbuh dari waktu ke waktu.

Sungguh, orang Korea tidak lagi merasa lapar mental. Buku

murah, perpustakaan berlimpah, dan internet tumpah-ruah dengan informasi. Sayang, tidak banyak orang Korea yang berpikir bahwa sekarang adalah saatnya untuk membaca, sekarang musim gugur telah datang lagi.

Dalam rentang waktu hanya empat tahun sejak smartphone tersedia di Korea pada tahun 2010, jumlah pengguna smartphone mencapai 36 juta. Bahkan, generasi keempat pengguna smartphone LTE mencapai jumlah 33.260.000 orang.

Ketika di cakrawala, langit biru musim gugur tiba, semua orang yang tahu bagaimana membaca di negeri ini, justru menggenggam erat smartphone di tangan mereka, bukan buku. Alih-alih melihat horizon biru yang membentang di atas mereka, mereka justru menundukkan kepala dan menenggelamkan diri ke smartphone miliknya. Daripada mengepakkan sayap dan terbang ke dunia pe-renungan yang luas, mereka justru tenggelam ke dalam banjir infor-masi yang hadir di hadapan mata.

Langit biru musim gugur telah tiba ketika tak seorang pun lapar duduk di ketinggian cakrawala dan sendiri di atas kepala yang ter-tunduk sebagai pengguna smartphone.

CITRA KOREA

Kim Hwa-young Kritikus Sastra, Anggota Akademi Kesenian NasionalKim Jung-hyo Fotografer

“Smart R

elationship-Asynchronous #

01” (2012) 53 x 80 cm

Page 4: Koreana Autumn 2014 (Indonesian)

Memang setiap musim memiliki keindahan masing-masing. Namun, musim gugur terasa sangat istimewa. Suhu mulai dingin, meninggalkan cuaca panas yang kuat. Pohon-pohon mulai berubah warna. Daun-daun pohon sansuyu, maple, ginko dan berbagai pohon lainnya yang semula berwarna hijau perlahan menjadi kuning kemerahan sebelum akhirnya gugur, menciptakan hamparan daun yang amat indah. Hutan pohon di Namsan Seoul Tower Park, Istana Deoksugung, dan tempat lain men-jadi beraneka warna seperti lukisan cat air di atas kanvas yang besar dan luas.

Aneka warna hijau, kuning, oranye, biru, coklat, merah, maupun coklat tua bisa kita nikmati di seluruh pepohonan di sepanjang jalan di Seoul yang bersih ini. Menghayati aneka warna seperti menikmati irama atau melodi sebuah Musikal. Musikal pun menyajikan aneka nada dan aneka aliran. Produksi dan industri Musikal di Korea berjalan begitu semar-ak, sebab Musikal adalah kebutuhan bagi masyarakat di sini. Mungkin kita hanya mengenal K-Pop, padahal Korea amat kaya berbagai genre Musikal, dari yang tradisional, populer, bahkan hingga yang Indie. Menik-mati Musikal di musim gugur? Tentu merupakan sensasi yang luar biasa.

Korea juga dikenal memiliki agenda pertunjukan drama musikal yang tertata secara berkala dan baik. Banyak penyanyi Korea yang menguji nyali bernyanyinya di panggung-panggung seperti itu. Koreana pada ter-bitan kali ini akan menyajikan fitur khusus mengenai Musikal di Korea, baik sebagai ekspresi diri maupun sebagai industri.

Dengan membaca halaman demi halaman Koreana kali ini semoga pembaca menemukan keajaiban dan keunikan Musikal di Korea serta spirit untuk selalu memperbaharui diri di musim gugur yang indah ini.

Koh Young Hun Pemimpin Redaksi Koreana Edisi Indonesia

Dari Redaksi

Menikmati Musikal di Musim Gugur

Diterbitkan empat kali setahun oleh The Korea Foundation

2558 Nambusunhwan-ro, Seocho-guSeoul 137-863, Korea

http://www.koreana.or.kr

“Pelajaran Tango” (2007) Kim Byung-jongTinta dan warna akrilik di atas kertas bebesaran275 x 265 mm

SENI & BUDAYA KOREA Musim Gugur 2014

Pemimpin Umum Yu Hyun-seok

Direktur Editorial Yoon Keum-jin

Pemimpin Redaksi Koh Young Hun

Dewan Redaksi Bae Bien-u

Choi Young-in

Emmanuel Pastreich

Han Kyung-koo

Kim Hwa-young

Kim Young-na

Koh Mi-seok

Song Hye-jin

Song Young-man

Werner Sasse

Penata Letak Dan Desain

Ahn Graphics Ltd.

2 Pyeongchang 44-gil, Jongno-gu, Seoul 110-848, Korea

Tel: 82-2-763-2303 / Fax: 82-2-743-8065

www.ag.co.kr

Berlangganan

Harga majalah Koreana

per-eksemplar di Korea W6.000.

Di negara lain US$9.

Silakan lihat Koreana

halaman 80 untuk berlangganan.

INFORMASI BERLANGGANAN:

The Korea Foundation

19F, West Tower, Mirae Asset

Center1

Building 67 Suha-dong, Jung-gu,

Seoul 100-210, Korea

Tel: 82-2-2151-6546

Fax: 82-2-2151-6592

Percetakan Edisi Musim Gugur 2014

Joongang Moonwha Printing Co.

27 Shinchon 1-ro, Paju-si, Gyeonggi-do 413-170, Korea

Tel: 82-31-906-9996

© The Korea Foundation 2014

Pendapat penulis atau pengarang dalam majalah ini

tidak haurs selalu mencerminkan pendapat editor atau

pihak Korea Foundation.

Majalah Koreana ini sudah terdaftar di Kementerian

Budaya, Olahraga, dan Pariwisata(No. Pendaftaran

Ba 1033, 8 Agustus 1987), Korea sebagai majalah

triwulanan, dan diterbitkan juga dalam bahasa Inggris,

Cina, Prancis, Spanyol, Arab, Rusia, Jepang, dan

Jerman.

Page 5: Koreana Autumn 2014 (Indonesian)

FITUR KHUSUS

MusikalKorea: TrenBaruIndustriBudaya

FITURKHUSUS1

04 “Mengapa Anda selalu mengunjungi Seoul?” Aya Hasegawa

FITURKHUSUS2

06 Hong Kwang-ho Menjadi Tenar di West End London Karena Suara Gilanya

Cho Yong-shin

FITURKHUSUS3

10 Semangat Tanpa Henti yang Mengguncang Pentas Budaya Park Byung-sung

FITURKHUSUS4

16 DIMF: Membuat Daegu Bermakna Musikal Won Jong-won

FOKUS

20 Surga Jazz di Pulau Tandus Festival Jazz Internasional Jarasum ke-11 Kim Gwang-hyun

WAWANCARA

26 Park Chan-kyong: Menyusuri Jejak Sejarah Modern

Darcy Paquet

TINJAUANSENI

32 Bunga Sutera Istana Joseon Bersemi Kembali

Choi Sung-ja

JATUHCINTAPADAKOREA

38 Dana Ramon Kapelian Mengajak Wanita Korea untuk Membuka Hati

Ben Jackson

DIATASJALAN

42 Gochang: Hidup Datang dan Pergi di Antara Dolmen

Gwak Jae-gu

HIBURAN

50 Film ‘Han Gong-ju’: Antara Keputusasaan dan Penghiburan

Kim Young-jin

42 54

ESAI

52 Belajar Kerja Keras dari Gelombang Korea

Devie Rahmawati

KENIKMATANGOURMET

54 Ganjang Gejang: Si Pencuri Nasi Jeong Eun-suk

GAYAHIDUP

58 Lautan Spanduk: Menjajakan Mimpi, Berbagi Kepedulian

Kim Sang-kyu

PERJALANANKESUSASTRAANKOREA

62 Membaca: Membebaskan Kita Chang Du-yeong

Bacaan Berbahaya Kim Kyung-uk

04

3220

Page 6: Koreana Autumn 2014 (Indonesian)

4 KOREANAMusimGugur2014

Saya melakukan perjalanan ke Seoul sekitar empat atau lima kali setahun khusus untuk menonton musikal Korea. Saya biasanya meninggalkan Tokyo pada hari Jumat dan kembali pada hari Senin. Selama perjalanan empat hari tiga malam biasanya saya menonton rata-rata lima pertunjukan. Dengan kenaikan nilai tukar won Korea, saya sudah memikirkan untuk mengurangi jumlah perjalanan. Tapi setiap kali ada saja pertunjukan baru menarik membujuk saya untuk naik ke pesawat. Mungkin ini yang disebut orang sebagai pilihan sulit yang membahagiakan

Saya mulai menyukai musikal sejak zaman kuliah. Di Jepang saya menonton musikal sekitar 10 buah per bulan, dan setiap tahun sekali saya mengadakan perjalanan ke Broadway New

York atau West End London, pusat industri musikal, untuk menik-mati pertunjukan musikal. Saat ini saya bekerja sebagai repor-ter freelance untuk sebuah majalah Jepang meliput berita tentang berbagai pertunjukan. Baru beberapa tahun ini saya tertarik pada musikal Korea. Saya sudah lama mendengar bagaimana luar biasa musikal Korea itu, tapi saya kurang berminat pada awalnya. Karena musikal Korea juga adalah musikal produksi Asia, apalagi karena saya sama sekali tidak mengerti bahasanya jadi saya tidak dapat menemukan sisi yang menarik dari musikal Korea.

Aktor, Energi Musikal KoreaPersepsi saya berubah setelah menonton musikal Korea berjudul

“Jekyll & Hyde” untuk pertama kalinya di Tokyo pada Maret 2006. Saya menonton dengan ringan hati terdorong rasa ingin tahu akan kemampuan dan kualitas musikal produk Korea. Saya tidak men-duga akan sangat terpesona. Aktor Jo Seung-woo dan Jung Ryu-han, pemain ganda di peran utama, jauh lebih muda dari yang saya duga. Di Jepang “Jekyll & Hyde” dimainkan oleh seorang aktor yang usianya sudah mendekati 60 tahun. Dia memang adalah seorang aktor besar dengan pengalaman karir yang sangat matang, namun kemampuan vokalnya sudah mulai memudar. Melihat aktor Korea di atas panggung, yang tidak hanya memiliki kemampuan vokal yang luar biasa, tapi juga sangat berbakat dalam mengekspresikan karak-

ter mereka, membuat saya menyadari betapa musikal yang sama dapat disuguhkan sama sekali berbeda tergantung pada bakat para aktor yang melakoninya.

Musikal pertama yang saya saksikan di Korea adalah “Spring Awakening” pada tahun 2009 ketika saya mengunjungi Seoul dengan seorang teman. Saya sudah pernah menontonnya di Broadway dan di Jepang, tapi saya penasaran ingin melihat bagaimana aktor Korea menyajikannya. Saya benar-benar menyukainya. Saya sampai-sampai kewalahan menyaksikan energi dari dua aktor muda, Kim Moo-yeol dan Kim Yoo-young. Musikal itulah membuat saya mulai mengadakan kunjungan untuk menonton musikal di Korea. Seorang teman yang tidak tertarik pada musikal suatu hari bertanya pada saya sambil menelengkan kepalanya, “Mengapa kamu begitu sering pergi ke Seoul untuk menonton musikal?”. Dengan pandangan tidak mengerti dia menambahkan “Memangnya musikal Korea sebegitu menariknya?”. Saya menjawab “Musikal adalah bentuk hiburan yang menampilkan drama Korea dan K-pop secara bersamaan yang bisa ditonton secara langsung. Jadi bagaimana mungkin tidak menarik?”.

Daya tarik terbesar dari musikal Korea bagi saya, seperti yang sudah saya sebut sebelumnya, adalah kemampuan menyanyi para aktor. Saya rasa sebagian besar penggemar musikal Korea dari Jepang setuju dengan saya dalam hal ini. Kematangan vokal bukan hanya dimiliki oleh pelakon utama tetapi juga ansambelnya, sehing-ga perpaduan suara musikal mempunyai kedalaman vokal. Tentang hal ini, teman-teman di Korea mengatakan “Ya namanya musikal, jelas saja suaranya dalam”. Tetapi sayangnya, hal tersebut bukanlah

FITUR KHUSUS 1 Musikal Korea: Tren Baru Industri Budaya

“Mengapa Anda selalu Aya HasegawaWartawan Lepas Bidang Teater

Page 7: Koreana Autumn 2014 (Indonesian)

SENI & BUDAYA KOREA 5

mengunjungi Seoul?”

Aya Hasegawa pertama kali jatuh cinta pada musikal Korea setelah menonton “Jekyll & Hyde” di Tokyo 2006, saat ia terkesan oleh suara Jo Seung-woo sebagai pemeran utama.

hal yang mutlak di Jepang. Meskipun tidak selalu terjadi, produksi musikal di Jepang cende-

rung melontarkan nama selebriti besar untuk meningkatkan pen-jualan tiket. Dalam beberapa kasus, peran utama dilakoni oleh aktor yang begitu buruk, membuat saya berpikir bahwa bahkan seorang amatir akan terdengar lebih baik. Hal ini sulit terelakkan karena jika peran utama dilakoni oleh seorang yang berpotensi namun kurang terkenal, maka akan mempengaruhi penjualan tiket. Terkadang saya merasa kesal sebagai penonton karena harus membayar untuk mendengar nyanyian dengan kualitas rendah. Kecenderungan se-perti ini kelihatan terjadi juga di Korea dalam beberapa tahun tera-khir. Tapi menurut saya, penyanyi K-pop yang membintangi musikal Korea setidaknya memiliki bakat dengan tingkat tertentu.

Vokal yang Mempesona, dan Semangat yang Menggelora Semangat yang dimiliki oleh aktor musikal Korea juga mempesona.

Saya pikir ini ada hubungannya dengan sifat yang dimiliki oleh bangsa Korea. Sering saya amati dalam suatu adegan, yang saya yakin aktor Jepang tidak akan sampai meneteskan air mata, aktor musikal Korea mencurahkan ekspresinya sambil menumpahkan air matanya. Saya bukannya mau menilai mana yang baik atau buruk, hanya saja per-bedaan nilai ekspresi yang saya dapatkan sangatlah menarik. Dalam hal itu, saya pikir musikal yang cocok untuk aktor Korea adalah hasil karya komposer Amerika Frank Wildhorn, seperti “Jekyll & Hyde,” “Monte Cristo,” dan “Bonnie dan Clyde”. Musikal-musikal itu mena-warkan visual yang unik dan spektakuler, ada bagian musikal yang

dramatis yang menuntut nada tinggi, penuh, dan panjang, sangat ideal untuk vokal aktor Korea dan sesuai dengan sifat bangsa Korea, yang akan membuat musikal itu terasa lebih hidup.

Setelah beberapa kali saya mengadakan perjalanan untuk menonton musikal ke Korea, ada satu lagi keunikan musikal Korea yang saya temukan. Yaitu musikal produk asli Korea. Musikal “Wash-ing (Mencuci)” yang secara kebetulan saya saksikan di Daehang-no, sebuah distrik teater di Seoul, cukup membuat saya terkejut. Saya hampir tidak percaya bahwa musikal berstandar tinggi seperti musikal tersebut dipentaskan di teater kecil. Musikal ini menggam-barkan kehidupan sehari-hari masyarakat yang tinggal di daerah perbukitan kumuh di Seoul. Lagu yang lembut dan sendu nan ha-ngat menyelimuti teater. Saya juga terkejut mengetahui bahwa ker-tas musik dan skrip untuk produksi asli Korea ini sebagian besar ditulis oleh penulis muda di usia tiga puluhan.

Baru-baru ini, karya musikal Korea yang menyentuh hati saya adalah “Seopyonje”. Melalui perpaduan musik elektrik dan pansori (narasi musik tradisional Korea), musikal tersebut menggambarkan ‘han’ rakyat Korea. [‘Han’ adalah perasaan sentimen khas Korea, yakni perasaan batin yang menahan kepedihan dan kesedihan]. Sebagai orang asing, sulit bagi saya untuk sepenuhnya memahami konsep ‘han’ apalagi karena kemampuan berbahasa Korea saya ter-batas, saya kurang bisa memahami perkataan musikal itu. Walau demikian, karya tersebut cukup membuat saya untuk memahami ‘karma’ yang ingin disampaikan. Karena sampai sekarang, hati saya masih trenyuh jika mengingat saat menonton musikal tersebut.

“Mengapa Anda selalu

Page 8: Koreana Autumn 2014 (Indonesian)

6 KOREANAMusimGugur2014

Tahun ini merupakan tahun kesepuluh drama musikal Jekyll dan Hyde versi Korea. “Acara ini hampir tidak dikenal di Korea pada saat itu dan tidak pernah sukses besar di Broadway.

Namun berkat Jo Seung-woo dan Jung Ryu-han, yang memainkan peran ganda di lakon utama, menjadi pusat perhatian. Jo Seung-woo baru-baru ini membintangi film “Marathon” dan dikenal oleh penon-ton asing. Pada hari-hari saat ia dijadwalkan untuk tampil, para peng-gemar lokal dan luar negeri membentuk antrian panjang di depan teater, sebuah pemandangan yang agak tidak biasa pada masa itu. Dari produksi ini hingga seterusnya, keberhasilan atau kegagalan dari suatu drama musikal Korea sebagian besar telah ditentukan oleh penampilan pemeran utama pria.

Sebagai drama musikal yang menampilkan tidak hanya aktor drama musikal papan atas, tetapi juga bintang K-pop dan bin-tang TV di peran utama juga, bahkan diproduksi dan berangkat tur ke luar negeri, ketergantungan pada daya tarik pemeran bintang tumbuh bahkan lebih kuat. Namun, terdapat kekhawatiran ten-tang bintang papan atas yang tidak memiliki kemampuan akting yang diperlukan dan juga aktor yang tidak memiliki kemampuan menyanyi. Hal itu merupakan faktor yang pasti akan menurunkan kualitas keseluruhan produksi. Secara alamiah, bintang musik yang mampu baik sebagai penyanyi dan aktor dan juga diakui di luar negeri masih menjadi pilihan pertama ketika memutuskan mengenai pemilihan pemeran.

Terlepas dari teknik dan kegairahan, kemampuan aktor musikal Korea merupakan wujud kesungguhan dan daya ekspresi khas mereka di atas panggung. Kualitas ini mungkin berakar pada situasi tertentu dari adegan dalam musik Korea. Sejumlah besar

drama musikal dalam beragam bentuk, seperti komedi musikal Amerika, operet Inggris, dan drama sejarah Eropa; dipentaskan pada saat yang sama. Karena sebagian besar pertunjukan memi-liki jangka waktu relatif singkat, para aktor harus belajar sejum-lah besar karya dalam waktu singkat. Keadaan ini mengharuskan mereka untuk beradaptasi dan merespon secara cepat. (Terkadang waktu gladi bersih dan kinerja untuk produksi bisa jadi tumpang tindih). Oleh karenanya, aktor drama musikal Korea telah diuntung-kan oleh kekayaan pengalaman dengan karya-karya yang bera-gam, yang telah memperlihatkan kemajuan pesat.

Dalam hal ini, Hong Kwang-ho, yang saat ini aktif di West End London, adalah contoh kemajuan cemerlang ini. Lahir dan dididik di Korea, ia telah menjadi salah satu aktor tersibuk dalam adegan musikal Korea selama lima tahun terakhir. Diberkati dengan apa yang sesama aktor Jo Seung-woo sebut sebagai sebuah “suara gila” drama musikal Hong diakui termasuk ke dalam nama-nama besar drama musikal seperti “Phantom of the Opera,” “Jekyll dan Hyde,” “Man of La Mancha,” “Doctor Zhivago”, dan “Notre Dame de Paris”. Ia juga seorang artis solo yang telah mengadakan konser yang laris di arena besar.

Pada awal Agustus saya mengunjungi Teater Prince Edward di mana Hong telah tampil dalam “Miss Saigon” sejak bulan Mei dalam peran Perwira Viet Cong yang bernama Thuy. Saat penam-pilan perdana di West End pada tahun 1989, “Miss Saigon” sekarang salah satu dari karya-karya klasik. Berlatarkan Perang Vietnam, drama ini telah dibintangi banyak aktor keturunan Asia. Namun Hong adalah aktor Korea pertama yang memainkan peran utama di kedua pentas, Broadway ataupun West End.

Di sinilah saya di Teater Prince Edward di West End, London. Aktor musikal Korea Hong Kwang-ho tampil dengan begitu halus dalam “Miss Saigon”. Ia memerankan Thuy, seorang perwira di pemerintah Komunis Vietnam, peran yang membutuhkan kemampuan untuk menjangkau tiga oktaf nada dengan mudah. Dengan reputasi sebagai pemilik “suara gila” saat di tanah air Korea, Hong menunjukkan bakatnya di sini dengan sepenuh isi hatinya. Meskipun awalnya ia sedikit khawatir untuk bernyanyi dalam bahasa Inggris, ia mengatasi masalahnya dengan kerja keras dan bakat alami. Hal ini membuatnya mendapatkan pujian dari produser legendaris Cameron Mackintosh, yang menyebut Hong sebagai “Thuy terbaik yang pernah ada”.

FITUR KHUSUS 2 Musikal Korea: Tren Baru Industri Budaya

Hong Kwang-ho Menjadi Tenar di West End London Karena Suara Gilanya

Cho Yong-shin Sutradara dan Kritikus Musikal

Page 9: Koreana Autumn 2014 (Indonesian)

SENI & BUDAYA KOREA 7

Hong Kwang-ho merupakan aktor laki-laki teater musikal Korea pertama yang tampil di West End London. Dia muncul sebagai Thuy dalam “Miss Saigon” di Prince Edward Theatre.

Page 10: Koreana Autumn 2014 (Indonesian)

8 KOREANAMusimGugur2014

Hong Kwang-ho merupakan contoh aktor brilian hasil produksi teater musikal Korea. Lahir dan dididik di Korea, Hong telah menjadi salah satu laki-laki tersibuk pada blantika musikal dalam negeri selama lima tahun terakhir.

Page 11: Koreana Autumn 2014 (Indonesian)

SENI & BUDAYA KOREA 9

Cho Yong-shin Nah, apa rasanya menjadi aktor Korea di West End? Bagaimana perbedaannya dengan di Korea?

Hong Kwang-ho Setiap malam kami tampil di hadapan audiens yang penuh dengan orang-orang dari berbagai ras dan kebangsaan serta dari generasi yang berbeda. Lebih dari apa pun, saya bersyu-kur atas kenyataan ini. Tidak seperti Korea, kecuali dalam keadaan khusus, lakon utama harus menangani delapan pertunjukan dalam seminggu. Yang paling penting adalah untuk tetap dalam kondisi prima.

CY Semua orang tahu cerita tentang bagaimana Cameron Mack-intosh melihat Anda tampil dalam versi Korea dari “The Phantom of the Opera” dan sangat terkesan saat ia mempercayakan peran pada Anda langsung untuk “Miss Saigon.” Apa pendapat Anda ten-tang sistem pemilihan peran West End?

HK Kriteria pemilihan pemeran di sini berbeda dengan apa yang mereka lakukan di Korea. Tidak begitu banyak perbedaan dalam standar sebagai sebuah perbedaan sikap. Karena ada begitu banyak aktor yang mampu bersaing di sini, sulit untuk mendapatkan peran bahkan sebuah peran kecil jika Anda tidak memiliki apa yang diper-lukan untuk bagian tersebut, tidak peduli apakah Anda seorang bin-tang besar. Daripada mencari bintang yang akan sesuai dengan peran tertentu, mereka mencari aktor yang paling menyerupai karak- ter dalam suatu acara dan kemudian memilih yang paling berbakat di antara mereka. Tentu saja, tidak ada yang bisa lebih baik jika orang yang dipilih juga menjadi bintang besar. Inilah produksi yang men-jadikan seseorang bintang [bukan sebaliknya]. Saya tidak bisa meng-atakan sistem mana yang lebih baik. Rumah produksi datang sen-dirinya ketika dilihat oleh penonton, dan pada akhirnya penontonlah yang membuat pilihan.

CY Bahasa Inggris bukanlah bahasa asli Anda, tapi saya sangat terkesan melihat Anda bernyanyi dan berperan dalam Bahasa Ing-gris. Bagaimana Anda berhadapan dengan masalah bahasa?

HK Ketika gladi bersih dimulai saya tidak bisa berkomunikasi sepenuhnya dalam bahasa Inggris. Rumah Produksi Mackintosh dengan ramah memungkinkan saya untuk bekerja sepanjang latihan bersama penerjemah yang telah membantu saya dalam berbagai produksi di Korea. Pada saat yang sama saya mendapat pelajaran dengan pelatih diksi sehingga saya bisa menyampaikan kalimat-kalimat dengan benar. Dengan cara ini, saya harus belajar arti dari kata-kata dan penekanan yang tepat untuk menempatkannya, serta bagaimana menanggapi lawan main saya di panggung, semuanya dalam bahasa Inggris.

CY Dalam penafsiran Anda sebagai Thuy, ia muncul menjadi

lebih manusiawi.HK Drama musikal ini adalah tentang kerusakan dan keja-

hatan perang. Untuk menyampaikan pesan ini, saya percaya bahwa penting untuk semua karakter menjadi korban dan pada saat yang sama memiliki tujuan yang sesuai dengan mereka sendiri. Cara saya melihatnya, agar dapat dipercaya, Thuy, orang jahat yang tidak be-nar-benar orang jahat, harus benar-benar jatuh cinta dengan Kim. Cinta ini untuk Kim dan keinginan untuk memenangkannya kembali, membuatnya menjadi lebih jelas mengapa Thuy mengambil sikap agak agresif dalam merebut pembebasan negaranya. Setelah meng-abdikan dirinya untuk tuntutan pembebasan selama tiga tahun, Thuy muncul kembali di hadapan Kim sebagai orang yang sama sekali berbeda, namun Kim tidak memiliki pilihan selain untuk berpaling darinya karena memiliki anak yang lahir dari hubungannya dengan Sersan Amerika, Chris. Untuk masa depan wanita yang dicintainya, Thuy yakin bahwa dia harus menyingkirkan Tam, sang anak haram yang berdarah campuran, tapi rasa kasih ibu dari Kim mendorong-nya untuk menembak Thuy. Pada akhirnya, cinta sejati yang buta dari Thuy yang membuat tindakannya serta situasi tragis Kim men-jadikan semuanya lebih masuk akal.

CY Cameron Mackintosh adalah tokoh legendaris dalam adegan musik. Apa yang Anda bicarakan saat bekerja bersama-sama?

HK Cameron Mackintosh adalah orang yang memiliki hasrat dan dorongan besar. Beliau menunjukkan apa artinya menjadi kapten sebuah kapal besar. Beliau secara terbuka memuji saya sebagai “Thuy terbaik yang pernah ada,” karena itu saya sangat berterima kasih padanya. Di samping produksi ini, saya telah menerima bebe-rapa tawaran yang tidak terbatas dan kemungkinannya saya akan terus bekerja dengan beliau. Jika ada kesempatan, saya ingin mem-perkenalkan beberapa aktor Korea berbakat di sini. Tidak dapat disangkal bahwa West End London lebih istimewa dan memiliki sistem yang lebih terorganisiasi dalam penataannya. Tapi saya per-caya bahwa bakat dan kepekaan para aktor musikal Korea tiada duanya.

CY Apa rencana Anda setelah “Miss Saigon”?HK Saya telah memutuskan untuk memperpanjang tinggal sam-

pai Mei mendatang ketika produksi saat ini akan berada di atas pentas selama setahun penuh. Pada akhirnya tempat bagi saya ialah di depan penonton Korea-yang tidak berubah sama sekali. Saya tidak pernah melupakan kenyataan bahwa pengalaman saya di sini adalah langkah di tengah jalan untuk mencanangkan sebuah kinerja yang baik di Korea. Setelah Mei mendatang, prioritas saya akan bekerja pada rumah produksi di Korea.

“Tidak dapat disangkal bahwa West End lebih istimewa dan memiliki sistem yang lebih terorganisasi dalam penataannya. Tapi saya percaya bahwa bakat dan kepekaan para aktor musikal Korea ialah tiada duanya.”

Page 12: Koreana Autumn 2014 (Indonesian)

10 KOREANAMusimGugur2014

FITUR KHUSUS 3 Musikal Korea: Tren Baru Industri Budaya

Semangat Tanpa Henti yang Mengguncang Pentas BudayaPasar Musikal Korea, yang telah menunjukkan pertumbuhan pesat sejak tahun 2000-an, kini mementaskan rata-rata 200 pertunjukan setiap tahunnya. Dalam hal jumlah pementasan, Korea bisa dikatakan adalah salah satu produsen utama musikal sejajar dengan Amerika Serikat (Broadway New York) dan Inggris (West End London), yang membanggakan sejarah panjang serta pasar terbesar di dunia. Jika dibandingkan dengan dengan Broadway atau West End yang memiliki sejarah panjang maka skala pementasan musikal di Korea bisa dikatakan relatif kecil, tapi antusiasme kreativitas tidak pernah ketinggalan. Ledakan antusiasme ini telah nyata dalam bentuk berbagai upaya untuk melebarkan sayap dari pasar domestik yang skalanya terbatas.

Park Byung-sung Pemimpin Redaksi, The Musical

Page 13: Koreana Autumn 2014 (Indonesian)

SENI & BUDAYA KOREA 11

2

Kemajuan musikal Korea ke pentas global dapat dilihat dari dua sudut pandang yakni pertukaran budaya dan bisnis budaya. Di sudut pertukaran budaya, musikal Korea mulai

menjajaki pentas dunia di akhir tahun 1980-an saat Korea menjadi tuan rumah penyelenggara Seoul Olympic Games 1988. Pertunju-kan yang dipentaskan pada saat itu bertujuan untuk memperke-nalkan budaya Korea kepada dunia dan ditujukan kepada warga Korea yang tinggal di luar negeri. Di sudut bisnis budaya, musikal Korea mulai memperluas jangkauannya di luar negeri di tahun 2000-an saat dunia musikal memasuki pertumbuhan yang pesat. Untuk dapat mengatasi pasar domestik yang relatif sempit, perusa-haan produksi Korea membuka mata mereka ke pentas global dan mencoba berbagai cara untuk membuka pintu dunia. Pada mulanya sasaran utama adalah pasar Amerika dan Inggris, tetapi belakang-an ini sasaran beralikh ke Jepang dan Cina.

Di Inggris dan Amerika Serikat: Pertempuran Daud Melawan GoliatMusikal asli Korea yang masuk pertama kali pasar Amerika

sebagai komoditas budaya negara adalah “The Last Empress (Permaisuri Terakhir).” Setelah pagelaran perdana di Lincoln Center New York pada tahun 1997, musikal ini digelar lagi di State Theater New York dan kemudian di Shubert Teater di LA pada tahun berikut-nya. “The Last Empress” adalah musikal yang menceritakan ten-tang tragedi yang dihadapi oleh seorang permaisuri bernama Myeo-ngSeong HwangHu dari Dinasti Joseon (1592 - 1910) yang dibunuh oleh penjajah Jepang pada akhir abad ke 19, ketika Jepang menye-rang Choson. Meskipun musikal ini gagal mencetak keuntungan yang besar dikarenakan periode pertunjukan yang singkat dan biaya produksi yang tinggi, tetapi sebagai karya musikal asli Korea per-tama yang diperkenalkan di New York, surganya musikal, karya ini memiliki arti yang cukup penting.

Memasuki tahun 2000-an, pertunjukan non-verbal seperti “Nanta” dan “Jump” mendapatkan popularitas di Inggris dan Amerika. Kesulitan utama yang menghambat pertumbuhan musikal Korea di luar negeri tak lain adalah bahasa. Dipengaruhi oleh “Stomp,” pertunjukan teater yang berasal dari Inggris, “Nanta” adalah musikal kombinasi dari komedi slapstick dan musik per-kusi tradisional Korea yang disebut samulnori. Bentuk unik dari musikal ini diciptakan untuk mengatasi kendala bahasa, salah satu dilema terbesar bagi musikal Korea untuk dipentaskan dilakukan di luar negeri. Setelah sukses besar di Korea, “Nanta” dipentas-kan di Festival Internasional Edinburgh pada tahun 1999 untuk per-tama kalinya. Kemudian pada tahun 2004, pertunjukan disajikan di Minetta Lane Theater, sebuah pentas dengan skala penonton 400 kursi, dengan judul baru “Cooking”. Dengan pesona ketukan menarik dari instrumen perkusi tradisional yang dikombinasikan dengan gerakan komik dan tarian, pertunjukan itu telah berulang sebanyak 632 kali selama satu setengah tahun. Sebaliknya, “Jump”, yang mengikuti pola “Nanta” yang digelar mulai tahun 2007 tidak begitu sukses dan berakhir dalam waktu satu tahun. “Jump” yang mene-rapkan seni bela diri Asia seperti Kungfu dan Taekowndo harus

1. “Nanta”, sebuah penampilan non-verbal yang menggabungkan musik perkusi tradisional Korea dan komedi lawakan, mencapai 632 pertunjukan selama satu setengah tahun sejak tahun 2004 di Minetta Lane Theater.

2. Sub-judul “penampilan seni bela diri” dengan penerapan seni bela diri Asia seperti taekwondo dan kung fu, “Jump” diakui sebagai akrobat spektakuler dan gerakan seni bela diri.

2

1

Page 14: Koreana Autumn 2014 (Indonesian)

12 KOREANAMusimGugur2014

1

puas dengan nilai tinggi yang diberikan di dalam negeri sebagai per-tunjukan yang menunjukkan seni akrobatik spektakuler dan seni bela diri yang tinggi.

Upaya untuk memecahkan hambatan bahasa terus dilakukan dengan mencoba pendekatan baru, yaitu dengan menulis nas-kah dalam bahasa Inggris dan kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Korea. Proses ini tidaklah asing karena sesuai pengalaman yang sudah–sudah, dalam pementasan sejumlah besar musikal berlisensi produser biasanya menerjemahkan naskah dari bahasa Inggris ke Korea. Tujuan dari pendekatan baru ini adalah untuk menarik penonton domestik dan internasional dengan membang-un kemitraan dengan seniman terkenal dari negara lain. Sebuah contoh yang baik mungkin “Dancing Shadows (Bayangan Tarian)” di tahun 2007. Diadaptasi dari karya “Kebakaran Hutan” oleh Cha Bum-suk, musikal ini bercerita tentang konflik ideologis yang ter-jadi di sebuah desa di mana hanya perempuan yang tersisa setelah semua laki-laki ditarik untuk bertempur dalam perang. Naskah musikal ini ditulis ulang oleh dramawan Chili Ariel Dorfman, penulis lakon “Widow (Janda)”. Hanya produser dan penulis aslinya saja yang berasal dari Korea, staf produksi musikal seluruhnya terdiri dari orang asing, termasuk direktur artistik, koreografer, sutradara, dan desainer kostum. “Dancing Shadows” yang menceritakan cerita alegoris diadaptasi dari sebuah drama realis dari Korea, diciptakan kembali menjadi sebuah karya kolaborasi internasional. Meskipun karya dengan tarian dan musik serta seni panggung ini berhasil memperoleh nilai yang tinggi, namun hasil penjualan tiket pertunjuk-an tidak berhasil menutupi biaya produksi yang sangat besar.

Walau ada kegagalan, upaya untuk membawa musikal Korea ke panggung Broadway tidaklah terhenti. Acom, perusahaan yang memproduksi “The Last Empress”, menyadur “Woyzeck”, naskah sandiwara yang ditulis oleh Georg Buchner, bekerjasama dengan Teater Greenwich di Inggris dengan rencana untuk mementas-kannya di Korea pada musim gugur 2014. Jika musikal tersebut diterima dengan baik di Korea, maka akan dipertimbangkan untuk dipentaskan teater Broadway atau West End. Sebuah karya lain yang disadur dari film Korea populer “Speed Scandal (Skandal Cepat)” ditulis ulang oleh penulis dan komposer dari Kanada dan

sejak awal telah dirancang untuk dipentaskan di panggung teater Broadway.

Di Jepang: Menyeberang Didorong Angin Segar Demam KoreaOrang Jepang hampir tidak pernah tertarik pada musikal Korea

sampai 2010, ketika Kim Jun-su, seorang anggota boy band populer JYJ, berlakon dalam pertunjukan “Mozart.” Setelah pembubaran DongbangShingi atau TVXQ, Kim yang adalah salah seorang mantan anggota grup pop ini memperlebar aktivitasnya mencoba musikal dan mulai menarik perhatian penggemarnya baik di dalam dan luar negeri. Karena TVXQ telah mendapat popularitas di Jepang, banyak penggemar Kim dari Jepang yang datang ke Korea untuk melihat-nya di musikal. Daya tarik Kim begitu besar kepada para penggemar dari Jepang sehingga hampir 40% dari penonton yang datang untuk menonton musikal yang dilakoninya berasal dari Jepang.

Karena semakin banyak turis Jepang datang ke Korea untuk menonton musikal, produser Jepang mulai berhati - hati untuk mengimpor musikal Korea. Pada tahun 2011, Shochiku-za, perusa-haan bersejarah yang hampir selalu mementaskan Kabuki, mengim-por dua musikal Korea “Princess Hours” dan “200 Pounds Beauty”. Meskipun pada setiap pertunjukan diusahakan agar bintang K-pop seperti Kim Sung - je dari grup pop pria Choshinsung dan Park Gyu-ri dari grup pop wanita Kara muncul, pada pertunjukan yang tidak menampilkan bintang K-pop jumlah penonton relatif sedikit.

Yokichi Osato, presiden Amuse. Inc, sebuah perusahaan hiburan besar Jepang, percaya pada potensi musikal Korea. Dia membuka Musical Theatre Amuse khusus untuk musikal Korea di jantung kota Tokyo dan menampilkan musikal Korea sepanjang tahun 2013. Per-tunjukan tidak menampilkan bintang terkenal Korea dan harga tiket dibuat menjadi lebih murah. Namun sayang, percobaannya tidak berhasil. Ini membuktikan bahwa di Jepang, tanpa keturutsertaan bintang K-pop, musikal Korea sulit untuk meraih sukses. Seben-arnya masalah yang dihadapi oleh musikal Korea untuk masuk ke Jepang ada pada struktur pasar musikal Jepang juga. Lebih dari 80% pasar musikal di Jepang dipegang oleh dua perusahaan musikal terbesar Jepang, Toho Co, Ltd dan Shiki Theatre Company. Sulit bagi perusahaan kecil untuk mendapatkan izin menampilkan musikal hit dari Broadway, sehingga beberapa dari mereka telah berpaling ke musikal Korea yang masih tergolong baru di Jepang.

Jumlah musikal Korea yang disajikan di Jepang adalah 2 di tahun 2011, 7 di tahun 2012 dan 18 pada tahun 2013, dan memasuki tahun 2014 jumlah pertunjukan berkurang lagi seperti di tahun 2012. Setelah terbukti bahwa menampilkan selebriti Korea tidak cukup, perusahaan teater Korea mencoba strategi baru berdasarkan pen-galaman masa lalu mereka. Musikal berjudul “Sherlock Holmes” yang pertunjukan perdananya digelar di Jepang pada awal 2014 ber-hasil mencatat kesuksesan dengan strategi pra-pemasaran yang efektif dan menampilkan aktor terkenal Jepang. Kasus ini menun-jukkan bahwa musikal Korea asli dapat menarik bagi pemirsa Jepang jika mereka menampilkan pemain berbakat dan didukung oleh publikasi yang memadai. Musikal lain yang berjudul “On Air”

Page 15: Koreana Autumn 2014 (Indonesian)

SENI & BUDAYA KOREA 13

2

3 4

Pertunjukan perdana di Jepang pada awal 2014 “Sherlock Holmes” meraih sukses besar di box office, terutama disebabkan oleh strategi prapemasaran yang efektif dan dengan menampilkan aktor-aktor musikal terkenal Jepang. Kasus ini menunjukkan bahwa musikal Korea dapat menarik bagi penggemar musikal di Jepang jika menampilkan aktor setempat dengan didukung oleh publikasi yang memadai.

1, 2. “The Last Empress” merupakan drama musikal Korea pertama yang disajikan di luar negeri. Musik tentang kisah pembunuhan Kaisar Myeongseong oleh pembunuh Jepang sangat penting karena merupakan drama musikal asli Korea pertama yang diperkenalkan di New York, kiblat musikal.

3. Perusahaan Jepang Shochiku-za mengimpor film drama komedi “200-Pounds Beauty” dan disajikan di Jepang pada tahun 2011. Seiring dengan semakin banyak turis Jepang datang ke Korea untuk menonton musikal, produsen Jepang mulai berhati-hati dalam mengimpor produksi Korea.

4. “Sherlock Holmes,” tampil perdana di Jepang pada awal 2014, sukses mencapai box office berkat strategi pra-pemasaran yang efektif dan pemilihan aktor-aktor terkenal Jepang.

© A

CO

M In

tern

atio

nal C

ompa

ny

© Show

note

© LEH

I

Page 16: Koreana Autumn 2014 (Indonesian)

14 KOREANAMusimGugur2014

21

3

yang menampilkan bintang K-pop dan aktor Jepang, menggunakan taktik baru untuk membantu para aktor Korea berbaur dengan baik dalam pertunjukan yang dilakukan di Jepang dengan menciptakan karakter yang tidak fasih berbahasa Jepang.

Di Cina: Sebuah Pasar dengan Kemungkinan Tak Terbatas Cina yang adalah negara berpaham sosialis, belum lama memb-

uka diri menerima musikal yang dianggap sebagai bunganya karya seni. Musikal Korea yang pertama kali diperkenalkan di Cina pada tahun 2001 adalah “Subway Line 1”. Dalam musikal yang dipenga-ruhi oleh musikal Jerman “Line 1” oleh Volker Ludwig digambarkan kota Seoul di mata seorang gadis Korea - Cina bernama Seonnyeo dari Yanbian. Pementasan karya ini di Cina terealisasi pada tahun 2001 atas rekomendasi dari novelis Cina, Yu Hua. Penulis ter-kenal dari “Chronicle of a Blood Merchant” menyaksikan musikal saat mengunjungi Korea, dan memuji musikal tersebut sebagai “sebuah karya yang menggambarkan sisi gelap yang tersembunyi dari mewahnya kehidupan metropolis di kota Seoul” dan menam-bahkan bahwa karya ini adalah “salah satu prestasi tertinggi dari seni pertunjukan Korea”. Musikal yang menampilkan kehidup-an masyarakat awam apa adanya ini memberikan kejutan baru bagi kalangan budaya Cina yang selama ini menganggap musikal adalah ‘penyakit’ dari masyarakat kapitalis.

Karya-karya berikutnya yang dipentaskan di Cina sebagian besar adalah pertunjukan non-verbal seperti “Nanta” dan “Jump”. Kerjasama penuh antara kedua negara dimulai pada tahun 2010-an. Dewan Negara Cina mengumumkan “Rencana Promosi Indus-tri Budaya” dengan tujuan untuk meningkatkan pasar hiburan di Cina agar setara dengan negara-negara maju. Cina memiliki pasar terbesar kedua di dunia untuk film, tetapi industri hiburan termasuk musikal belum bernasib baik di negeri ini. Oleh

karena itu, pemerintah Cina berusaha untuk memperluas pasar musikal melalui kolaborasi dengan teater Delfont Mackintosh di Inggris, produser “The Cats”, “The Phantom of the Opera”, dan sebagainya. Sayangnya, kolaborasi tersebut kurang berhasil karena Inggris hanya menganggap Cina sebagai pasar musikal belaka. Kemitraan untuk proyek Cina digantikan oleh Korea CJ E&M, yang membentuk perusahaan patungan bernama United Asia Live Enter-tainment Co., Ltd dengan beberapa perusahaan Cina untuk mem-perkenalkan musikal dari luar negeri bagi penonton Cina sejak tahun 2004.

Perusahaan patungan ini mementaskan musikal asli Korea ber-judul “Finding Kim Jong-wook (Mencari Kim Jong-wook)”. Alur ceritanya disesuaikan dengan budaya Cina dan juga judulnya pun disesuaikan menjadi “Finding Mr. Destiny (Mencari Jodoh)”. Con-toh lainnya tokoh ayah dalam musikal asli adalah mantan seor-ang anggota militer yang berwibawa dan keras. Namun dalam pertunjukan di Cina, tokoh ini berubah menjadi karakter seorang ayah yang kebapakan memakai celemek dengan sendok masak di

tangannya. Ini adalah untuk menyesuaikan isi musikal deng-an rasa sentimen rakyat Cina terhadap militer. Upaya lokali-sasi tersebut memberikan kontribusi untuk menarik respon positif dari penonton Cina terhadap musikal “Mencari Jodoh”.

Pemerintah Cina, di bawah pengawasan Departemen Kebudayaan, telah memberikan dukungan aktif terhadap produksi musikal dengan perencanaan pengembang-

an hiburan yang bersifat ‘live’. Sebagai respon atas dukungan ini, produser musikal Cina sangat antusias

dalam mempelajari pengalaman dan berbagi pengetahuan dari Korea dalam memproduksi musikal. Pada bulan September, Korea - China Art Fair akan dibuka di Korea yang diperkirakan akan dihadiri oleh 100 perusahaan teater dari

Cina.

1. “Finding Mr. Destinity” ditampilkan dengan beberapa perubahan cerita asli untuk disesuaikani dengan budaya Cina, menikmati popularitas hebat di negara ini. 2. “Line 1”, sebuah musikal asli Jerman yang diterjemahkan dan diadaptasi oleh Theater Company Hakjeon, merupakan musikal Korea pertama yang dipersembahkan di

Cina. Novelis terkenal Cina Yu Hua, yang menulis “Chronicle of Blood Merchant” mengamati karya ini di Seoul dan direkomendasi untuk dipentaskan di Cina. 3. CJ E&M memproduksi “A Feat untuk Princess” dengan pemilihan peran dari aktor Korea dan Cina. Memenuhi selera makan Cina, pertunjukan ini didasarkan

pada tema memasak.

© C

J E&

M ©

HA

KC

HO

N

© CJ E&M

Page 17: Koreana Autumn 2014 (Indonesian)

SENI & BUDAYA KOREA 15

“Hantu Opera”Ada yang mengatakan bahwa industri musikal di Korea dapat dibagi menjadi era sebelum dan sesudah “The

Phantom of the Opera”. Ini menunjukkan dari sisi komersial skala pemasaran musikal Korea sebelumnya sangatlah kecil. “The Phantom of the Opera” mencatat sukses besar dari biaya produksi, harga tiket, jangka waktu pertunjukan, keuntungan dan sebagainya dibanding dengan musikal yang sudah - sudah. Dengan kesuksesan ini, dunia musikal mulai mendapat perhatian dari perusahaan investor dan produser musikal menjadi lebih optimis berinvestasi untuk mengimpor musikal terkenal dari luar negeri. Keberhasilan dari “Phantom of the Opera” membuat garis pertumbuhan musikal yang selama ini datar meroket tajam. Selain itu opera ini telah membuka kesempatan bagi pasar musikal Korea untuk masuknya musikal dari luar negeri.

“Permaisuri Terakhir”Pada tahun 1995 musikal berjudul “The Last Empress” yang menceritakan kematian tragis Permaisuri

Myeongseong HwangHu pada akhir Dinasti Joseon, memperoleh popularitas yang tinggi. Mulai dari set era Joseon yang menggambarkan istana pada adegan pertama yang menampilkan seni desain panggung papan atas hingga desain panggung berputar dengan ketinggian panggung yang berbeda pada adegan terakhir di mana Permaisuri dibunuh oleh penjajah Jepang cukup untuk memberikan rasa tegang dramatis bagi penonton. Musikal ini merupakan rangkaian dari 54 nyanyian tanpa dialog, termasuk lagu terakhir berjudul “Bangkitlah bangsaku!” yang dinyanyikan oleh pemeran Permaisuri dalam adegan setelah permaisuri terbunuh memberikan keharuan yang mendalam. Karya ini dipentaskan pada tahun 1997 dan 1998 di New York, serta berhasil mencatat diri sebagai musikal kreatif favorit di Korea.

“Sang Dewi Menjaga”Setelah tahun 2010, ciri menyolok yang terlihat dalam industri musikal di Korea adalah pertumbuhan pesat dari

musikal kreatif asli Korea. Salah satu musikal yang menunjukkan perubahan besar itu adalah “The Goddess is Watching (Sang Dewi Menjaga)”, sebuah karya inkubasi oleh CJ E&M melalui Program CJ Creative Minds. Musikal yang berlatar belakang Perang Korea ini mengisahkan tentara dari Korea Selatan dan Utara yang terdampar di sebuah pulau tak berpenghuni setelah kapal mereka karam. Tentara dari kedua Korea ini akhirnya bersatu untuk dapat keluar dari pulau tersebut dan persatuan tersebut akhirnya membangkitkan rasa persaudaraan dan kemanusiaan. Penonton memberikan tanggapan antusias untuk musikal yang berhasil menampilkan nuansa damai dan hangat dengan latar belakang perang, tanpa mengurangi suasana ketegangan perang secara sangat harmonis.

“Manis, Marilah datang kepadaku dengan Lembut” Sejarah musikal Korea dimulai dengan Yegrin Musical Company, yang

didirikan pada tahun 1961. Musikal ini mengisahkan BaeBijang, pegawai rendahan yang dikirim ke pos di Pulau Jeju yang menyatakan bahwa setelah kematian istrinya ia tidak akan pergi pada perempuan lain. Tapi dia mempermalukan dirinya di depan umum dengan menyerahkan diri pada godaan Aerang, pelacur cantik yang mendekatinya dengan tujuan tidak baik. Musikal ini terkenal karena peran utama Aerang dimainkan oleh bintang penyanyi Patti Kim yang sedang naik daun pada saat itu dan peran komedi Bangja dimainkan oleh komedian GwakGyu - seok. Dengan drama kocak yang dikombinasikan dengan tarian dan nyanyian, musikal “Manis, Marilah Datanglah kepadaku dengan Lembut” dipentaskan sebanyak tujuh pertunjukan dari 26-29 Oktober 1966 dan popularitasnya begitu besar.

“Perawan dan Penyamun”Musikal “Guys and Dolls (Perawan dan Penyamun)” yang ditampilkan pertama kali di Amerika Serikat pada tahun 1950-

an pertama kali diperkenalkan di Korea dalam bentuk musikal universitas pada tahun 1981 dan mendapatkan popularitas karena alur ceritanya yang kocak serta lirik lagu dan melodi yang mudah ditiru. Pada 1980 -an tidak banyak aktor dan aktris memiliki kemampuan untuk menyanyi, berakting dan menari sekaligus, sehingga tiga perusahaan produser–Teater Minjung, Gwangjang, dan Daejung - bergabung untuk mementaskan musikal ini pada tahun 1983. Pertunjukan mendapat tanggapan antusias dari para penonton membuat musikal ini dipentaskan hampir setiap tahun sampai tahun 2000 dan menetapkan diri sebagai musikal paling digemari di Korea. Musikal ini juga merupakan karya yang berhasil menunjukkan penonton di Korea bahwa ada jenis musikal yang bernada ceria dan menyenangkan.

“Padum, Padum, Padum”Pada tahun 1977, Hyundai Theater menyajikan “Padum, Padum, Padum,” musikal yang menggambarkan

kehidupan penyanyi Perancis Edith Piaf dengan menampilkan musik - musik penyanyi tersebut. Peran utama Edith Piaf dimainkan oleh Yun Bok-hee, penyanyi Korea populer yang aktif di Amerika Serikat, dan sejumlah besar penyanyi terkenal ditampilkan dalam peran peran lainnya membuat musikal ini mendapat popularitas luar biasa di kalangan masyarakat umum. Namun musikal ini juga mendapat kecaman keras dari kritikus. Perdebatan atas “pertunjukan komersial” ini menunjukkan terjadinya kegemparan di kalangan teater seni Korea akan munculnya seni komersial yang dirasa terlalu mendadak. Walaupun perdebatan lebih memihak pada kritikus yang menilai seni komersial secara negatif, namun penonton secara nyata mendukung Hyundai Theater yang merintis produksi musikal.

Tahun 1960-an

Tahun 1990-an

Tahun 1970-an

Tahun 2000-an

Tahun 1980-an

Tahun 2010-an

Perjalanan Sejarah Musikal Korea melalui Beberapa Karya Musikal Terkemuka

Page 18: Koreana Autumn 2014 (Indonesian)

16 KOREANAMusimGugur2014

Ini adalah tahun kedelapan sejak Daegu meluncur-kan festival musikal internasionalnya. Tentu saja, ada banyak festival seni pertunjukan di seluruh dunia.

Dua contoh utama ialah Edinburgh Fringe Festival dan Festival Avignon. New York, kota drama musikal, juga menggelar Festival Drama Musikal New York New York setiap musim panas. Kebanyakan karya yang diperke-nalkan dalam acara ini adalah karya yang belum selesai dan masih dalam tahap pengembangan.

Berbeda dari film, dalam genre drama musikal, proses yang memberi bentuk pada produksi selama rentang waktu yang panjang menjadi sangat penting. Sebelum acara resmi dibuka, ide-ide dan revisi produk-si melalui berbagai jalur kerap dilakukan. Seperti yang terjadi, festival dianggap sebagai kesempatan yang baik untuk menguji karya yang sedang dalam pengembangan.

Sejumlah karya populer dunia telah diproduksi deng-an cara ini. Salah satu contoh adalah Jerry Springer: The Opera, yang memicu kontroversi dengan konten yang kurang sopan di dalamnya. Pertama kali ditam- pilkan di Edinburgh Fringe Festival, pergelaran musik

ini didasarkan pada acara bincang-bincang tab-loid Amerika yang kontroversial serta terkenal akan penampilan karakter yang mengherankan. Sosok-sosok yang muncul dalam acara ini adalah semua jenis yang eksentrik dan lain dari biasanya, dari semua lapisan masyarakat. Mereka menyanyikan lagu-lagu dalam gaya klasik, seolah-olah mereka penyanyi opera. Pada masa ketika tidak ada televisi atau radio, pang-gung adalah satu-satunya wadah bagi budaya populer. Bahkan, jika kita melihat opera, yang memiliki sejarah panjang dan tradisi di barat, alur cerita dapat dengan mudah dialihkan ke tayangan sinetron TV modern yang melodramatis. Drama musikal Jerry Springer adalah kolaborasi menarik dari eksperimen dan pemikiran radikal yang dimungkinkan oleh festival seni pertun-jukan. Ketika pertama kali dipentaskan di Edinburgh, drama itu diambil oleh Nicholas Hytner, sutradara “Miss Saigon” dan direktur artistik Teater Nasional Ing-gris pada waktu itu. Pementasan itu telah dipertun-jukkan selama bertahun-tahun hingga saat ini di West End London.

Membuat Daegu Bermakna Musikal Bintang film Cina Jin Yan; mata-mata perempuan legendaris zaman Perang Dunia II Mata Hari; Count of Monte Cristo, dan musisi jenius Wolfgang Amadeus Mozart-apa kesamaan yang dimiliki orang-orang ini? Mereka semua pemeran protagonis produksi drama musikal yang meramaikan Kota Daegu. Setiap tahun, Daegu diramaikan dengan energi kreatif pada awal musim panas yang juga menjadi musim the Daegu International Musical Festival (DIMF).

Won Jong-wonProfesor Departemen Komunikasi dan Jurnalisme, Universitas Soonchunhyang/Kritikus Teater

FITUR KHUSUS 4 Musikal Korea: Tren Baru Industri Budaya

Page 19: Koreana Autumn 2014 (Indonesian)

SENI & BUDAYA KOREA 17

Menanam Benih Drama Musikal Korea Hal yang sama terjadi di DIMF. Tentu saja, acara

ini penting untuk produksi yang beragam dari berba-gai negara, seperti selayaknya festival internasional. (Tahun ini festival juga menampilkan karya-karya dari Rusia, Slovakia, China dan Kazakhstan.) Tapi yang sama menariknya adalah karya dalam program yang berjudul “Benih Drama Musikal DIMF.” Seperti namanya, seperti menanam benih, program ini memupuk dan membantu mereka untuk tumbuh. Program ini dirancang untuk mengenali karya potensial yang masih dalam peng-embangan dan menyediakan dukungan yang diperlu-kan untuk tumbuh menjadi produksi yang sepenuhnya matang. Program ini telah diterapkan pada pertunjun-an-pertunjukan asli dari Korea.

Tahun ini program tersebut ditekankan di antara karya-karya berikut: “Sepatu Pernikahan,” yakni kisah perempuan Korea korban imperialisme Jepang yang dipaksa bekerja sebagai budak seks untuk ten-tara Jepang selama Perang Dunia II; “Bara Api Shang-hai,” kisah kehidupan pemain film China populer Jin

Yan, yang dikenal luas di negerinya sebagai keturunan Korea; “DEGAJEAN,” plesetan dari kata “degaja,” yang berarti “mari masuk ke dalam [hotel cinta]” dalam logat Gyeongsang Selatan, yang dibuat agar terdengar agak samar-samar seperti logat Perancis; dan “Fernando,” drama musikal anak-anak tentang dua anak laki-laki nakal yang melakukan perjalanan ke luar angkasa deng- an anjing peliharaan mereka untuk menyampaikan pada induk gajah tentang berita Fernando anaknya. Produksi yang terpilih yang paling luar biasa oleh juri, akan dianugerahi Penghargaan Drama Musikal Kreatif dan secara resmi diundang untuk berpartisipasi dalam festival tahun berikutnya. Dukungan juga disediakan untuk pementasan produksi di luar negeri.

Selama ini sejumlah pemenang penghargaan drama musikal DIMF telah mendapatkan popularitas yang pasti. Yang terbaik di antara judul ini adalah “Surat Spe-sial,” sebuah dokumentasi menyenangkan dari kehidu-pan sehari-hari anak muda yang melakukan tugas mil-iter; “Gadisku yang Menyeramkan,” adaptasi drama musikal dari film dengan judul yang sama yang men-

DIMF tahun ini bekerja bersama-sama dengan seniman dari berbagai negara, termasuk Rusia, Slovakia, Cina dan Kazakhstan. Foto ini menunjukkan sebuah adegan dari “ Mozart l’Opera Rock” oleh Akademi Seni Nasional Kazakhstan, yang memenangkan Penghargaan Khusus DIMF Organizing Committe 2014.

Page 20: Koreana Autumn 2014 (Indonesian)

18 KOREANAMusimGugur2014

32

1

Di antara festival seni pertunjukan dunia, DIMF terbilang pergelaran yang relatif baru. Mengingat sejarah singkatnya, bagaimanapun, berbagai negara telah berpartisipasi dalam festival ini. Ke depannya, festival ini akan mengundang lebih banyak karya dengan konten yang kaya dan alur cerita asli dari seluruh dunia. Hal ini berarti penonton dapat menyaksikan karya-karya rumah produksi pilihan yang sangat individualis.

1. Tampilnya “Matahari”dari Slovakia memenangkan Penghargaan Asing dari DIMF Musical 2014. Disajikan dalam acara pembukaan festival, karya ini mengeksplorasi kehidupan Matahari, seorang agen ganda untuk Perancis dan Jerman selama Perang Dunia Pertama.

2. “Monte Cristo,” pemenang Grand Prize tahun ini, telah diakui sebagai karya yang sempurna menyatukan musik unik Rusia, komposisi yang kuat, musik asli, akting, dan efek panggung yang mengembangkan imajinasi.

3. “Urine Town” oleh tim Universitas Myongji, yang memenangkan Grand Prize di bagian Festival Musikal Perguruan Tinggi dari DIMF, dipuji karena menunjukkan standar kemampuan bernyanyi, koreografi, dan akting yang memiliki kualitas setara dengan produksi profesional.

Page 21: Koreana Autumn 2014 (Indonesian)

SENI & BUDAYA KOREA 19

5

4

gikuti peristiwa-peristiwa dalam kehidupan seorang pria yang kebetulan jatuh cinta dengan gadis yang telah terbunuh dan mulai melindungi dan merawatnya; serta “Lompat Tebing Mereka Sendiri,” juga merupakan adaptasi drama musikal dari film terkenal.

DIMF dibagi menjadi divisi yang kompetitif dan non-kompetitif. Divisi kompetitif termasuk undangan secara resmi produksi dari seluruh dunia, Benih Drama Musikal, dan Festival Drama Musikal Kampus. (Tahun ini 20 uni-versitas berpartisipasi, dengan tiga universitas Korea dan satu universitas Kazakhstan lolos ke kompetisi utama). Divisi non-kompetitif mencakup berbagai acara sampingan di Festival Fringe, rumah produksi yang ber-partisipasi atas kemauannya sendiri, pertemuan dengan bintang pergelaran, dan pameran yang terkait drama musikal. Acara puncak festival ini adalah Penghargaan DIMF yang disiarkan di televisi lokal.

Menjangkau Pemirsa Global DIMF disiapkan untuk memiliki pengaruh yang signi-

fikan terhadap perekonomian lokal. Badan penyeleng-gara DIMF mencari cara untuk menghubungkan festi-val ini dengan masyarakat daerah, misalnya, program yang akan menghubungkan pengunjung festival dengan wisata lokal, penginapan, dan restoran. Untuk tujuan ini

paket wisata terus dikembangkan untuk menarik baik pengunjung festival dari Korea maupun internasion-al. Salah satu contoh adalah paket yang menyediakan diskon tarif kereta KTX antara Seoul dan Daegu, ako-modasi hotel, dan tiket drama musikal. Di bawah spon-sor dari sebuah perusahaan pembuatan bir, kaleng bir dan botolnya yang mengusung logo DIMF juga muncul di pasaran. Seiring dengan berlangsungnya festival, semakin banyak jenis produk bernilai-tambah diharap-kan dapat berkembang.

Untuk meningkatkan kualitas dan pengaruh DIMF, berbagai langkah dilakukan untuk bekerja dengan industri musik di negara lain. Melalui program per-tukaran dengan Festival Drama Musikal New York, produksi baru yang kreatif dikembangkan di negara baik yang sedang dipentaskan di Korea dan New York. Ditambah lagi dengan program pertukaran Musik Festival Dongguan di China yang telah berlangsung. Berkat usaha ini, pemenang penghargaan dalam pro-gram Benih Drama Musikal DIMF telah dipentaskan di New York untuk direspons dengan antusias oleh pemirsa local dan para aktor. Staf produksi pun ikut menikmati status pemenang penghargaan mereka. “Gadisku yang Menakutkan” adalah salah satu contoh dari drama musikal yang menang. Produksi skala besar “Turandot,” yang mengadopsi alur cerita dari sebuah opera terkenal, dipentaskan di Festival Drama Musikal Dongguan di China, juga memenangkan Hadiah Utama Khusus. Tahun ini karya DIMF telah diundang untuk berpartisipasi dalam Festival Musik Shanghai, yang semakin membuka lebar jalan bagi masuknya drama musikal Korea ke China.

Di antara pertunjukan festival seni dunia, DIMF ter-bilang pergelaran yang relatif baru. Mengingat sejarah singkatnya, bagaimanapun, berbagai Negara telah berpartisipasi dalam festival ini. Di masa depan, ren-cananya festival ini akan mengundang lebih banyak karya dengan konten yang kaya dan alur cerita asli dari seluruh dunia. Hal ini berarti penonton dapat menyak-sikan karya-karya rumah produksi pilihan yang sangat individualis.

Ada lelucon bahwa orang-orang bertanya sep-erti apa Edinburgh pada sebelas bulan yang tersisa saat festival itu tidak diadakan di sana. Kini DIMF terus mengangkat namanya sebagai festival drama musikal utama di Asia. Apakah keterlaluan untuk membayang-kan suatu hari ketika orang mengatakan, “Aku ingin tahu seperti apa Daegu pada sebelas bulan yang tersisa dalam satu tahun tanpa DIMF.” Untungnya, hari itu tam-paknya tidak terlalu jauh lagi.

4. Sebuah tim musikal dari Universitas Keimyung tampil di Musical Plaza di Dongseong-no. Pertunjukan musikal telah memiliki tempat di sana sini di sekitar kota Daegu.

5. Pengunjung DIMF 2014 menikmati pertunjukan di luar ruangan. Pengunjung DIMF 2014 menikmati pertunjukan di luar ruangan.

Page 22: Koreana Autumn 2014 (Indonesian)

20 KOREANAMusimGugur2014

Festival Jazz Internasional Jarasum menawarkan beragam musik yang dimainkan oleh seniman dari seluruh dunia dalam latar alam yang indah. Berkat festival yang kecil ini, pulau terpencil yang terendam ketika hujan, hanya selama 10 tahun yang lalu telah menjadi terkenal sebagai surga jazz dan daerah tujuan wisata.

FOKUS

Surga Jazz di Pulau TandusFestival Jazz Internasional Jarasum ke-11

Page 23: Koreana Autumn 2014 (Indonesian)

SENI & BUDAYA KOREA 21

Kim Gwang-hyunPemimpin Redaksi, Jazz People

Dua setengah jam perjalanan dari Seoul akan membawa Anda ke sebuah pulau kecil terpencil yang setiap kali musim gugur berubah menjadi kiblat bagi para penggemar musik jazz dari berbagai belahan dunia. Festival Jazz Internasional Jarasum ke-11, dijadwalkan pada tanggal 3-5 Oktober tahun ini, menyajikan semua hal tentang ameka macam gairah musik di tengah alam serta mampu meringankan stres karena rutinitas sehari-hari. Festival ini berkembang dari tahun ke tahun, yang semula merupakan acara eksklusif untuk para penggemar musik menjadi gaya hidup alternatif dan untuk mencapai kesejahteraan.

© Jarasum

International Jazz Festival

Page 24: Koreana Autumn 2014 (Indonesian)

22 KOREANAMusimGugur2014

Semuanya bermula tanpa diduga. Lee Mun-gyo, seorang pejabat dari daerah Gapyeong, Provinsi Gyeonggi mendengarkan presentasi tentang fes-

tival jazz oleh perencana budaya In Jae-jin. Saat itu In menyarankan Gapyeong sebagai tuan rumah festival. In, produser musik terkenal dan perancang hiburan yang telah lama bermimpi untuk mengadakan festival jazz di Korea, tidak membiarkan kesempatan ini berlalu dan akhirnya merancang festival jazz di tanah tandus Jara-sum. Sebagai direktur, ia telah mengabdikan 10 tahun terakhir hidupnya untuk mengembangkan festival jazz menjadi acara internasional.

Jarasum yang selalu terendam saat hujan deras, awalnya sebuah pulau terpencil tanpa nama. Pada tahun 1940-an, dinamakan ‘Pulau Cina’ karena orang-orang Cina datang untuk bertani di tempat yang tak bertuan. Nama tempat itu saat ini adalah ‘Jarasum’ atau ‘Pulau Jara’ karena terdapat sebuah bukit di pulau yang menyerupai jara atau kura-kura. Di seberang pulau sekitar 800 meter terdapat Pulau Nami, yang pada saat itu telah menjadi daya tarik wisata popul-er setelah ditampilkan dalam drama Korea “Winter Sonata”, tetapi hampir tidak ada orang yang tahu ten-tang Jarasum.

“Ketika kami mengunjungi Jarasum untuk pertama kalinya, kami terperangah. Semua orang hanya berdiri di sana bertanya-tanya apakah mungkin mengadakan festival pada tanah kosong tersebut. Tidak ada ruang yang sesuai untuk pertunjukan maupun tempat duduk. Tidak ada apapun selain rumput dan batu, dan juga begitu jauh dari Seoul,” kenang Lee Mun-gyo ketika menerima penghargaan atas kontribusinya untuk daerah Gapyeong saat pensiun pada tahun 2008. Fes-tival pertama digelar setelah kerja keras merombak tanah tandus itu, menampilkan lebih dari 30 tim dari 12 negara termasuk Amerika Serikat, Jepang, Swedia, dan Norwegia.

Jumat 12 September 2004, sekitar 20.000 orang ber-kumpul, jumlah yang tak terduga besarnya. Semakin meriahnya suasana terasa basah pada hari kedua karena hujan deras. Hujan tidak menggagalkan festival. Sebagaimana tanah yang kering dan mengeras setelah hujan, para musisi terus bermain dan penonton yang tinggal mendengarkan dibawa lebih dekat bersama-sama oleh musik. Potensi bencana hujan badai secara paradoks membuktikan ‘kekuatan musik’ dalam cara yang mungkin paling bergairah. Sejak acara pertama, Festival Jazz Internasional Jarasum telah mengobarkan ‘perang melawan hujan’ dan setelah bertahun-tahun mengetahui bagaimana mengatasinya. Dengan slogan “Alam, Keluarga, Istirahat, dan Jazz”, Festival ini sejalan

dengan pertumbuhan industri hiburan dan tren kemah-mobil (auto-camping) di Korea, dan festival jazz telah berhasil memikat tidak hanya pecinta musik tetapi juga penonton dan keluarganya.

Setiap tahun Jarasum dikunjungi oleh penyeleng-gara festival jazz dari berbagai negara. Mereka men-gakui festival Jarasum sebagai salah satu yang terbaik di Asia bersama dengan Festival Jazz tahunan di Tokyo Jepang, negara jazz yang kuat secara tradisional di Asia, dan Festival Jazz Pulau Penang, yang menarik pecinta jazz dari belahan bumi Utara setiap musim dingin. Setiap tahun, musisi yang dijadwalkan tampil di Jarasum mela-kukan perjalanan dari bandara Incheon ke Gapyeong, bertanya-tanya mungkinkah festival jazz di luar ibu kota Seoul dan kota terpencil memiliki infrastruktur yang diperlukan. Akan tetapi, tidak lama kemudian mereka menyadari bahwa dalam hal infrastruktur dan skala, Festival Jarasum tidak kalah dibandingkan dengan Fes-tival Jazz Tokyo, yang sekarang dalam tahun ke 13, atau Festival Jazz Kota Sapporo.

Festival Jazz yang Sukses, Pertama di Korea Saat ini, begitu banyak festival berlangsung hampir

di setiap daerah tiap tahunnya, sehingga festival musik dianggap membosankan. Beberapa di antaranya festi-val rock musim panas seperti Festival Rock Pentaport, Festival Rock Lembah Jisan, dan Festival Supersonic, serta Festival Jazz Seoul, yang merayakan hari jadi ke-8, dan Festival Musik Dunia Gwangju, yang dimulai pada tahun 2010 dan juga berfokus pada jazz. Festival Jazz Internasional Jarasum dipersembahkan untuk memainkan peran penting dalam menciptakan sebuah festival musik yang aktif di Korea.

Daerah Gapyeong, tuan rumah Festival Jarasum, adalah rumah bagi sekitar 62.000 warga (per Februari 2013); merupakan zona pelestarian alam yang industri utamanya adalah pariwisata dan pertanian. Jarasum tidak memiliki bangunan permanen. Pulau ini teren-dam air oleh sungai yang meluap setiap musim panas. Pulau ini tidak sering dikunjungi selain selama musim festival. Untuk alasan ini, pulau ini pun telah dilestarik-an dengan kondisi yang masih asli. Apa yang disukai orang tentang Jarasum adalah alam lingkungan indah yang menampilkan kedua gunung dan sungai.

Faktor-faktor lain yang memungkinkan pulau ini menjadi tuan rumah festival jazz utama Korea adalah dukungan warga setempat serta kerjasama pekerja dan relawan yang dikenal sebagai ‘wali Jara’. Festival ini sekarang menjadi kebanggaan pejabat daerah dan penduduk setempat, dan penggemar musik yang ter-diri dari kelompok relawan memberikan layanan yang

1. Selamabertahun-tahun,jumlahpengunjungdomestikdanasingkeFestivalJazzInternasionalJarasumterusmeningkat,mencapai270.000pengunjungdalamempathariselamafestival2013.

2. PersembahanAnnaMariaJopekdariPolandiapadafestival2013.

3. LagumanisKennyBarronTriomenandaiberakhirnyafestival2013.

Page 25: Koreana Autumn 2014 (Indonesian)

SENI & BUDAYA KOREA 23

Dengan slogan “Alam, Keluarga, Istirahat, dan Jazz”, festival ini sejalan dengan pertumbuhan industri hiburan dan tren kemah-mobil (auto-camping) di Korea. Festival ini berkembang dengan menawarkan relaksasi dan peristirahatan sesuai dengan kebudayaan. Festival Jazz Internasional Jarasum bukan hanya festival musik tapi juga sebagai ikon budaya.

1

2 3

Page 26: Koreana Autumn 2014 (Indonesian)

1 2

Festival Jazz Internasional Jarasum merupakan acara yang sangat ditunggu kalangan penggemar jazz. Acara itu telah menempatkan diri sebagai pilihan tujuan bagi mereka yang ingin beristirahat sambil menikmati musik dalam keindahan alam.

© M

anny Iriarte

Page 27: Koreana Autumn 2014 (Indonesian)

SENI & BUDAYA KOREA 25

terbaik bagi festival dengan menampung ketidaknya-manan dan keluhan dari penonton. Pada tahun 2008 ketika Pertandingan Karavan Dunia diadakan, kemah-mobil dibangun di Jarasum dengan fasilitas tambahan yang dibutuhkan. Berkat upaya ini, festival jazz terus menarik lebih banyak pengunjung dan pada tahun 2012, ketika edisi ke-9 diadakan, jumlah pengunjung yang tercatat lebih dari 234.000 orang selama 3 hari, naik 24,5% dari tahun sebelumnya 188.000 orang. Akumu-lasi angka penonton telah mencapai satu juta hanya dalam sembilan tahun. Ketika festival jazz merayakan ulang tahunnya yang ke-10 tahun 2013, jadwal diper-panjang satu hari. Selama empat hari, festival ini men-arik 270.000 orang pengunjung, empat kali jumlah pen-duduk daerah Gapyeong.

Belakangan ini, beberapa penggemar musik jazz sangat mengeluh karena mereka tidak dapat benar-benar menikmati musik akibat terlalu banyak orang. Ini menunjukkan, festival tidak lagi bagi penggemar jazz saja, tetapi untuk siapa saja yang tertarik dalam jazz dan bahkan mereka yang tidak tahu apa-apa tentang hal itu tetapi ingin menjadi bagian dari festival musik di udara terbuka.

Momen-momen yang Didedikasikan untuk Jazz Selama 10 tahun terakhir, total 535 grup telah ber-

partisipasi dalam festival tersebut. Para seniman ini menyuguhkan pertunjukan luar biasa, memberikan penonton sejumlah momen tak terlupakan. Babak ter-akhir festival pertama tahun 2004 tidak memainkan seniman asing terkenal tapi generasi pertama musisi jazz Korea, yaitu pemain drum Choi Se-jin, pemain

1960-an bersama dengan Miles Davis dan menjadi guru dari jazz fusion pada 1970-an ketika ia mendirikan band Weather Report. Di Jarasum, ia bermain dengan per-paduan dunia musik berorientasi Zawinul Syndicate. Itulah kesempatan yang berharga pertama dan tera-khir kalinya bagi fansnya di Korea untuk melihat dia tampil sebagai musisi yang kini dalam usia 74 tahun sedang berjuang melawan penyakit.

Festival Jazz Internasional Jarasum merasa terhor-mat dengan kehadiran musisi legendaris dari seluruh dunia. Seniman jazz Amerika muda dan tua, termasuk Joshua Redman, Joe Zawinul dan Charles Lloyd, seni-man Eropa seperti Esbjorn Svensson Trio, Trio Toykeat, dan Giovanni Mirabassi, serta duo Portugal Maria Joao dan Mario Laginha dan bassist Israel Avishai Cohen menyuguhkan berbagai pertunjukan di Jarasum. Youn Sun-nah, istri In Jae-jin yang juga vokalis jazz terkenal di Eropa, juga tampil pada tahun 2008 dan 2013. Spek-trum jazz mulai dari bibop, swing, dan Latin hingga fusi dan gipsi, tidak menciptakan jarak antar genre.

Setelah tahun-tahun berlalu, jazz sebagai sebuah genre meluas, banyak program yang ditambahkan ke festival tersebut, misalnya, satu negara yang ditunjuk menjadi fokus setiap tahunnya: tahun lalu Swedia dan tahun ini Norwegia. Pada edisi keempat festival (2007) Jarasum International Jazz Concours dimulai, dan tahun lalu Creative Music Camp diadakan untuk calon musisi jazz muda Korea. Dua kegiatan ini sekarang akan diadakan setiap dua tahun.

Festival Musik, Alam, dan PeristirahatanPanggung utama festival mencakup ‘pulau Jazz’

dan ‘panggung Pesta’ serta ‘Festival Lounge’ dan ‘Jazz Palette’, yang diadakan di siang hari. Tahun ini, dua panggung ‘Jazz Cube’ ditambahkan, menampilkan jazz kontemporer oleh musisi Korea. Selama festival jazz dapat didengar tidak hanya di sekitar Jarasum tapi juga di seluruh Gapyeong: di ‘Desa Gapyeong’, di Sta-siun Gapyeong plaza lama, ‘JJ Spot’ yang terletak di pusat kota Gapyeong, ‘Welcome Post’ di pintu masuk perkemahan Jarasum, dan ‘JJ Garden’ taman bertema Ewhawon sebelah Jarasum.

Daya tarik terbesar festival Jarasum adalah ke-sempatan untuk menikmati berbagai penampilan yang ada pada sembilan panggung berbeda selama tiga hari. Meskipun Anda bukan penggemar berat jazz, Anda dapat beristirahat dan bersantai dalam pelukan alam. Pemandangan indah di sepanjang Sungai Bukhan dan udara yang segar akan menggerakkan Anda sama se-perti musik.

1. Tahun ini, Arturo Sandoval yang kisah hidupnya diangkat menjadi film “For Love or Country: The Arturo Sandoval Story” merupakan salah seorang seniman yang akan tampil di Jarasum.

2. Tord Gustavsen merupakan seorang pianis jazz terkenal dari Norwegia, yang dipilih sebagai negara fokus dalam festival 2014.

3. Direktur In Jae-jin menabur benih-benih festival jazz di Korea dan mengubahnya menjadi sebuah acara internasional selama sepuluh tahun terakhir.

3

terompet Kang Dae-gwan, pemain klarinet Lee Dong-gi, dan pemain saksofon Kim Soo- yeol, yang telah bermain jazz dalam lingkungan yang menantang. Meskipun hujan deras mengancam batalnya acara, musisi berpengala-man tersebut tetap tampil. Usia rata-rata mereka yang 68 tahun sirna tergantikan la-yaknya anak muda.

Pertunjukan Joe Zawinul, yang mengunjungi Korea per-tama kalinya pada tahun 2006 untuk Festival Jarasum ke-3, adalah saat bersejarah bagi fans lokal. Zawinul menuntun musik jazz Amerika pada tahun

Page 28: Koreana Autumn 2014 (Indonesian)

26 KOREANAMusimGugur2014

Seniman media dan pembuat film Park Chan-kyong, dengan kreativitas yang mengalir antara kategori dan genre yang ber-beda, mendapat tempat khusus dalam percaturan budaya

Korea. Dalam satu setengah dekade terakhir karya seni berbasis media yang dibuatnya, termask “Sets” (2000), “Power Passage” (2004), “Flying” (2005), “Sindoan” (2008), “Radiance” (2010), “Anyang Paradise City” (2011), dan “K.W. Complex” (2012), telah dipamer-kan di ajang internasional seperti Bienniale Gwangju, De Appel di Amsterdam, REDCAT Gallery di Los Angeles, dan Kunstverein di Frankfurt.

Kini ia makin berkibar di dunia sinematografi, berkat film doku-menternya “Manshin (2013),” yang berkisah tentang kehidu-pan cenayang Kim Keum-hwa, dan berbagai kolaborasi dengan kakaknya Park Chan-wook, sutradara “Oldboy” (2003). Dalam tahun 2011, film pendek “Night Fishing,” yang dikerjakannya bersama sang kakak di bawah bendera “PARKingCHANce,” memenangkan pen-ghargaan Golden Bear untuk kategori film pendek terbaik dalam Festival Film Internasional di Berlin.

Potret Seoul dalam FilmDarcy Paquet Saya sangat terkesan dengan film dokumenter

Anda yang terbaru “Bitter, Sweet, Seoul” (tersedia di YouTube). Film itu menampilkan potret kota Seoul dengan sangat menarik. Apa yang membuat Anda mengerjakan proyek film ini?

Park Chan-kyong Ini sebuah film yang tidak dibuat oleh sutradara, tapi dirangkai dari potongan video yang dibuat oleh warga dan pendatang di Seoul. Format seperti ini masih baru dan sepertinya belum pernah dilakukan sebelumnya. Memang pernah ada film “Life in a Day” (2011) yang dibuat oleh Scott Free Produc-tions, yang mencerminkan kehidupan masyarakat dari seluruh dunia, tapi film itu tidak secara khusus mengenai satu tempat. Kota Seoul perlu dilihat dari banyak perspektif yang berbeda jika Anda ingin benar-benar mengenalnya. Dalam hal ini, isi sebuah karya dan alat produksi saling melengkapi.

DP Bagaimana Anda menggambarkan perasaan pribadi Anda terhadap Seoul?

PCK Cinta dan benci. Ketika saya berada di sini, banyak hal ter-jadi dan hal itu sangat menyita perhatian saya, tapi ketika saya pergi, saya sangat rindu dan ingin kembali. Seoul adalah kota yang kaya. Kota ini sibuk, sangat beragam, dengan begitu banyak masalah dan diwarnai begitu banyak peristiwa. Sangat sulit menjelaskannya.

DP Sebagian orang mengatakan Seoul mulai melupakan sejarahnya.

PCK Kami menyisipkan banyak adegan perang dalam film. Selama Perang Korea, Seoul dan kota-kota besar lain dibumiha-nguskan, dan banyak bukti sejarah yang hilang sehingga mengin-gatnya kembali tidaklah mudah. Kita masih memiliki Istana Deoksu, Istana Gyeongbok, dan beberapa bangunan tradisional, namun itu

WAWANCARA

Park Chan-kyong

MenyusuriJejakSejarahModernSaya bertemu Park Chan-kyong di kantornya di Museum Seni Seoul, ia menem-pati posisi direktur seni untuk pameran Seoul Mediacity 2014. Seperti biasa, ia bicara dengan nada lembut dan reflektif, tapi gagasan dan pandangannya sangat tajam.

Darcy Paquet Kolumnis Film, Koresponden Variety and Screen InternationalPark Jung-hoon Fotografer

Page 29: Koreana Autumn 2014 (Indonesian)

SENI & BUDAYA KOREA 27

Artis media, fotografer, pembuat film, dan kritikus film, Park Chan-kyong telah bekerja keras dan kreatif di genre yang berbeda. “Sindoan” (2008), “Night Fishing” (2010), dan “Manshin” (2013) adalah beberapa karya yang mewakilinya. Dia bekerja sebagai direktur artistik pada pameran Mediacity Seoul 2014, sebuah biennale seni media yang akan dilaksanakan pada 2 September-23 November.

Page 30: Koreana Autumn 2014 (Indonesian)

28 KOREANAMusimGugur2014

sangat terbatas. Setelah perang usai, pembangunan dilakukan di wlayah yang rusak tersebut dan banyak barang peninggalan yang hilang. Seoul merupakan kota penuh kenangan, namun hanya ada beberapa tempat yang bisa Anda kunjungi untuk mengenangnya kembali. Mungkin inilah sisi menyedihkan dari kota ini.

Tema yang Diangkat Kembali: Cenayang dan Perang DinginDP Anda adalah seorang seniman yang sangat dikenal sebe-

lum terjun dalam pembuatan film. Dapatkah Anda jelaskan tentang karya Anda seblumnya?

PCK Satu hal yang menjadi ketertarikan saya adalah Perang Dingin dan pemisahan Korea. Saya tidak menggambarkannya secara langsung, namun menggali bagaimana masyarakat men-gingatnya, dan mengkaji bagaimana media mengulasnya dan menumbuhkan kesadaran masyarakat mengenai Perang Dingin dan pemisahan itu. Misalnya, War Memorial of Korea, artikel surat kabar, dan Perang Dingin ditampilkan dalam film kriminal, dan fenomena budaya lain. Generasi saya menerima pendidikan anti-komunis sejak dini, sehingga kami merasa ada mata-mata di setiap sudut. Tapi ketika di perguruan tinggi, kakak kelas kami menyaran-kan kami membaca karya Marx dan Lenin, dan pandangan saya seketika berubah. Pengalaman itu meninggalkan kesan mendalam buat saya, dan saya mulai membuat karya video, fotografi, dan menulis mengenai hal itu. Kemudian pada tahun 2007 hingga 2008, saya mulai berminat pada cerita rakyat dan kepercayaan komu-nal. “Sindoan” adalah pemujaan, yang dilakukan di sebuah tem-pat di mana pengikut-pengikutnya berkumpul untuk menciptakan utopia Korea. Utopia adalah konsep Barat, sehingga saya tertarik juga pada apa yang dipahami oleh mereka di Asia dan Korea. Hal ini membuat saya mendalami dunia cenayang.

DP Karya Anda sering kali mengangkat tema cenayang dan Perang Dingin secara bersamaan.

PCK Jika Anda tertarik pada sejarah, Anda pasti bida melihat hubungan keduanya. Perang akan membawa Anda kepada dunia cenayang. Perang menyisakan luka batin yang mendalam.

Manshin: Sepuluh Ribu JiwaDP Saya dengar Anda akan membuat film dokumenter “Man-

shin” setelah membaca autobiografi Kim Keum-hwa. Apa yang menginspirasi Anda?

PCK Saya tertarik dengan bagaimana seorang gadis kecil pemalu yang sangat miskin dan sakit-sakitan, yang merupakan cucu seo-rang cenayang, dan direndahkan oleh masyarakat namun ketika ia sendiri menjadi cenayang semua orang hormat kepadanya. Itu ter-jadi karena seorang cenayang bisa membaca nasib seseorang, dan mereka percaya pada ramalan. Kisahnya menunjukkan bagaimana kaum minoritas dapat juga dihargai dan menjadi pusat masyarakat komunal. Inilah yang menggerakkan saya. Ia orang yang sangat menderita, dan pada saat yang bersamaan mengembangkan ima-ginasi yang bertentangan dengan aturan umum bahwa ia seorang perempuan. Kita menganggap perempuan, pekerja, petani, dan masyarakat miskin di kota sebagai kaum minoritas dalam sistem kelas sosial, namun kita tidak menganggapnya sebagai korban spiritual. Tidak ada penderitaan yang dapat dibandingkan dengan penderitaan spiritual. Masalah dalam masyarakat selalu mencipta-kan penderitaannya sendiri. Dalam hal ini, Kim Keum-hwa adalah tokoh yang mampu menggambarkan budaya dan sejarah Korea.

DP Anda memakai tiga aktris untuk memainkan peran perem-puan yang sama, yang masing-masing memiliki keunikan; dan ini sangat menarik. Menurut saya, hal itu lebih dari sekadar menampil-kan tahap kehidupan Kim Keum-hwa.

PCK Dari awal saya menghindari membuat film yang tipikal atau biografis. Banyak cerita yang bisa ditampilkan. Sangat tidak mungkin menampilkannya dalam waktu dua jam. Tidak penting lagi menampilkan pandangan tokoh secara realistik karena meskipun kita mengangkat kisah pribadi namun kita ingin juga menampilkan potret sejarah. Jadi, saya tidak memperlihatkan hubungan keti-ganya namun menampilkan keunikan masing-masing. Saya ingin film ini seperti seorang cenayang yang mengambil jiwa orang lain.

DP “Manshin” tidak sepenuhnya dokumenter, karena di dalamnya terdapat juga peran-peran yang dimainkan oleh para aktor dan adegan-adegan panggung. Penonton biasanya menyak-sikan film dokumenter dengan harapan melihat bagaimana realitas ditampilkan. Bagaimana Anda menyiasatinya dalam film ini?

PCK Banyak jurnalis dan kritikus menyebut film ini “melanggar dan membongkar batas antara dokumenter dan fiksi.” Bahkan jika

1

Page 31: Koreana Autumn 2014 (Indonesian)

1. Sebuah adegan dari film pertama Park, “Anyang Paradise City” (2011), sebuah film kumpulan yang menggambarkan sejarah dan perkembangan kota Anyang.

2. Kim Keum-hwa melakukan ritual sesungguhnya untuk menangkap ikan besar dalam sebuah adegan yang difilmkan oleh Park dalam “Manshin”.

3. Dalam film dokumenter “Manshin”, tiga fase kehidupan Kim Keum-hwa dimainkan oleh tiga aktris yang berbeda, termasuk Kim Sae-ron mengambil peran anak.

4. Sebuah adegan dalam “Manshin”, menggambarkan saat Kim Keum-hwa menerima roh.5. Sebuah adegan dalam “Sindoan”, film seni media yang mengangkat perihal keyakinan

perdukunan yang berhubungan dengan Gunung Gyeryong.

2

3

4

5

SENI & BUDAYA KOREA 29

Page 32: Koreana Autumn 2014 (Indonesian)

1. Dalam pameran Mediacity Seoul 2014 dengan Park Chan-kyong sebagai direktur artistik, 42 tim seniman dari 17 negara berpartisipasi di bawah tema “Asia.” Foto ini memperlihatkan “Sea Women” (2012), karya Mikhail Karikis, sebuah video yang merekam suara siulan dari perempuan penyelam Korea ketika menghembuskan napas saat mereka muncul dari dalam laut.

2. “Hiroshima Peace Day” (2011) 65 x 83 cm, cetak kromogenik, dari seri “Cumulus”, karya Yoneda Tomoko.

3. “Sonic Dances” (2013) dan “Sonic Rotating oval” (2013), karya Yang Hae-gue, terutama terbuat dari lonceng dan dipasang pada lantai pertama dan ketiga Museum Seni Seoul.

4. Trailer animasi teks oleh Young-hae Chang Heavy Industries, sebuah kelompok seni media.

5. “Mansudae Master Class” (2014), sebuah HD video 3-channel, instalasi arsip oleh Che One-joon.

6. “From Moon to Moon” (2014) 300 x 200 cm, cetak inkjet, karya Chung Seo-young.

1

2

3

4

5

630 KOREANAMusimGugur2014

© Tom

oko Yoneda

© Mikhail Karikis

© Installation view of Ovals and Circles, Galerie Chantal Crousel, 2013

© S

eMA

Bie

nnal

e M

edia

city

Seo

ul 2

014

Page 33: Koreana Autumn 2014 (Indonesian)

SENI & BUDAYA KOREA 31

elemen dokumenter dan fiksi tampil berselang-seling sekalipun, elemen tersebut tetap saja terpisah. Saya tidak pernah mengang-gap fiksi sebagai dokumenter, atau mencoba membuat karya fiksi nampak seperti kisah nyata. Memang benar bahwa dalam menyam-paikan pesan sebuah film saya menggabungkan keduanya, namun saya mencoba membuat batasan yang jelas demi alasan etika.

DP Saya suka cara Anda memperlihatkan bagaimana dunia cenayang dipengaruhi oleh perubahan dalam masyarakat Korea lebih sari satu dekade terakhir ini. Apa pendapat Anda mengenai cenayang di Korea di masa depan?

PCK Sayang sekali budaya tradisional bahwa seorang cenayang harus menciptakan sesuatu — peribahasa, lagu, musik, tari-an, aturan, altar, dan sebagainya — tidak diketahui oleh banyak cenayang jaman sekarang. Suatu hal yang biasa bagi sebagian besar cenayang untuk menerima wahyu dan mulai bekerja. Gam-baran tradisional mengenai cenayang mulai menghilang. Ini tidak bisa dihindari dan tidak ada yang bisa dilakukan mengenainya. Feno-mena ini sangat mengkhawatirkan sampai saya berpikir mengenai dunia cenayang yang sesungguhnya. Sangat mungkin masyarakat mulai menganggapnya hanya sekadar takhayul. Di sisi lain, kekuatan cenayang sangat besar. Kim Keum-hwa memiliki banyak pengikut, di antaranya orang-orang yang sangat terlatih dan terpelajar. Dengan adanya pengikut seperti ini, tradisi cenayang seharusnya dipertahan-kan. Tapi sepertinya tidak demikian. Menurut saya, budaya cenayang bisa dipertahankan, tidak dilakukan langsung oleh para cenayang namun ditampilkan dalam karya sastra, film dan seni.

Mediacity Seoul: “Hantu, Mata-mata, Nenek”DP Tahun ini Anda diminta menjadi direktur seni Mediacity Seoul,

yang dibuka di musim gugur. Apa tujuan Anda terkait dengan peris-tiwa itu?

PCK Ada sekitar 15 acara biennial seni di Asia, tapi tidak ada yang benar-benar ditujukan untuk menampilkan karakter regional Asia. Sudah saatnya acara biennial internasional merangkul juga isu-isu regional. Bukan isu mengenai identitas budaya, tapi yang terkait dengan memori kolektif atau sejarah. Di Asia khususnya, memori sejarah kolonial dan Perang Dingin sangat kuat. Film doku-menter “The Act of Killing” mirip dengan insiden tanggal 3 April di Pulau Jeju [di tahun 1948]. Saya ingin membuat sebuag pameran kolektif yang serius. Hal lain yang saya lakukan adalah mencari seniman yang membuat karyanya dengan bahasa artistik yang ber-beda dari karya yang banyak dihasilkan dunia Barat. Misalnya, saya ingin bertemu dan mengundang seniman yang mengintegrasikan ajaran Buddha, pemikiran Timur, Taoisme, dan sebagainya ke dalam

karya mereka. Saya tidak tertarik mengejar identitas budaya. Saya ingin cara pandang lain. Bukan gambaran Asia yang kita kenal. Asia ini adalah internalisasi pandangan Barat.

DP Tagline pameran ini adalah “Hantu, Mata-mata, Nenek.”PCK Kesamaan ketiganya adalah tidak terlihat, seakan-

akan tidak ada. Kita tahu mata-mata itu ada, tapi kita tidak tahu keberadaan mereka. “Nenek” berbeda, namun mirip. Ia adalah figur yang tidak benar-benar disadari keberadaannya. Di satu sisi masyarakat melupakannya, meski di sisi lain masyarakat sangat menghormatinya. Mereka adalah orang-orang yang sulit dijelaskan, yang menembus batas. Hantu berhubungan dengan sejarah. Jiwa yang mendendam menyuarakan hal-hal yang tidak disebut dalam sejarah. Mata-mata berhubungan dengan Perang Dingin dan koloni-alisasi. Nenek adalah saksi dari periode waktu dengan cerita hantu dan mata-mata itu. Dalam hal ini, nenek memiliki dua sifat. Mereka adalah figur yang mencerminkan daya tahan dan keteguhan hati, namun jika kita lihat penduduk desa Miryang yang berjuang ketika diusir dari rumah mereka karena pembangunan tower atau kam-panye yang dilakukan oleh para “wanita penghibur,” nenek-nenek itu bisa juga berjuang dengan gigih. Para seniman itu melakukan pendekatannya masing-masing, dengan mengkombinasikan set-idaknya dua kategori: nenek dan hantu, atau mata-mata dan hantu, dan sebagainya. Secara keseluruhan, hal itu akan menyuarakan sejarah Asia, dan segala yang belum pernah diungkap. Ketika seni-man kontemporer mengangkat tema tradisional atau menampilkan Asia, segera menjadi game identitas budaya, dan ketika itu terjadi sulit sekali melarikan diri dari Orientalisme. Bahkan kaun intelek-tual menganggapnya sulit membedakan antara apa yang termasuk dalam Orientalisme dan apa yang bukan. Sangat berbahaya, tapi jika kita tidak merangkul bahaya itu dan mencari cara mengatasinya, kita tidak akan maju.

DP Sebagai seorang seniman dan juga sutradara, apakah Anda merasakan tempat Anda dalam masyarakat Korea?

PCK Harus dikatakan bahwa seniman adalah sosok yang tidak terlihat dalam masyarakat Korea, seperti hantu, mata-mata dan nenek. Jika Anda bertanya seseorang di jalan apakah mereka meng-enal nama seniman Korea, jawabannya pasti tidak, atau mung-kin mereka hanya mengenal Nam June Paik. Identitas seniman-seniman itu tidak tercatat, hanya berupa cerita dari mulut ke mulut. Sutradara film bisa sangat dikenal. Film memiliki potensi untuk menjangkau publik secara luas, dan menggunakan pengaruhnya dalam hal budaya atau pendidikan. Tapi ketenaran juga tersebar dari mulut ke mulut. Padaa kenyataannya, belum tentu demikian. Itulah yang dirasakan oleh sutradara film dan seniman.

“Saya ingin bertemu dan mengundang seniman yang mengintegrasikan ajaran Buddha, pemikiran Timur, Taoisme, dan sebagainya ke dalam karya mereka. Saya tidak tertarik mengejar identitas budaya. Saya ingin cara pandang lain. Bukan gambaran Asia yang kita kenal. Asia ini adalah internalisasi pandangan Barat.”

Page 34: Koreana Autumn 2014 (Indonesian)

32 KOREANAMusimGugur2014

TINJAUAN SENI

Bunga Sutera Istana Joseon Bersemi Kembali

Choi Sung-jaAnggota Komite Warisan Budaya, Kantor Warisan Budaya

Musim semi yang lalu, Hwang Su-ro, seorang maestro bunga sutera kerajaan menjadi sorotan media. Setelah serangkaian wawancara dan foto bunga suteranya yang elegan di dalam vas besar muncul di surat kabar, mulailah terlihat minat masyarakat terhadap seni yang tak banyak dikenal yaitu pembuatan bunga sutera dari jaman Dinasti Joseon (1392-1910). Seni yang hampir terlupakan ini menyita perhatian publik, dan banyak masyarakat untuk pertama kalinya memberikan apresiasi terhadap kecantikan budaya kerajaan Korea.

Bunga sutera kerajaan, atau gungjung chaehwa, dipamerkan di acara jamuan makan malam dan upacara-upacara kalangan atas pada masa

dinasti Joseon. Sutera yang digunakan untuk mem-buat bunga artifisial ini dikanji dan diwarnai dengan ekstrak bunga, buah dan rumput segar. Kelopak, ben-ang sari dan putik sutera dilapisi dengan serbuk biji pinus dan lilin, dan kemudian dengan hati-hati dirangkai. Karena hanya menggunakan bahan alami, bunga artifi-sial ini sering kali menarik lebah dan kupu-kupu ketika dipamerkan di luar ruangan.

Terdapat beberapa jenis bunya sutera yang dibuat di kerajaan. Bunga yang diberikan oleh Raja kepada mereka yang sudah menyelesaikan ujian pelayanan sipil disebut eosahwa; bunga yang dipakai di rambut dalam acara seremonial dikenal dengan nama jamhwa; bunga yang ditempatkan di atas meja hidangan disebut sanghwa; dan bunga yang digunakan dalam pertunjuk-an musik dan tari disebut uijanghwa. Kecuali eosahwa, yang sering terlihat dalam acara sejarah di televisi ketika raja memberikan hadiah kepada mereka yang meraih nilai ujian tertinggi dengan rangkaian bunga sutera anggun pada topinya, bunga-bunga itu hampir tak dikenal dewasa ini. Kurangnya kesadaran ini ter-jadi karena terbatasnya informasi yang relevan. Bunga-bunga ini tercatat di uigwe, catatan resmi peristiwa dan upacara kerajaan, dan kebanyakan ditampilkan dalam gambar sederhana.

Maestro Bunga Sutera KerajaanTradisi unik pembuatan bunga sutera kerajaan dari

jaman dinasti Joseon menghilang setelah pendudukan Jepang atas Korea pada awal abad 20. Karena tak lagi memiliki status sebagai kalangan kerajaan, mereka hanya mengadakan beberapa upacara resmi, semen-tara budayanya termasuk seni pertunjukan, tak lagi dila-kukan. Bunga sutera yang menghiasi meja jamuan pada acara-acara perayaan tidak ada lagi, sementara rangka-ian bunga segar, yang pertama kali diperkenalkan oleh Jepang, kian digemari.

Pada suaatu ketika, Hwang Su-ro melihat bunga sutera di rumah neneknya. Kakeknya, Yi Su-chang (1885-1942), telah mengabdi pada Kantor Rumah Tangga Istana selama Kekaisaran Korea (1897-1910) dan mendapatkan pengeta-huan mengenai budaya istana secara langsung. Hwang, yang dibesarkan di rumah neneknya, belajar bagaimana penataan meja pada masa itu berbeda dari lainnya. Di meja makan selalu diletakkan bunga artifisial yang dibuat oleh nenek, ibu dan bibinya

Setelah menyelesaikan kuliah, Hwang pergi ke Jepang untuk bertemu suaminya yang sedang belajar di sana. Selama tinggal di Tokyo, dia belajar merangkai bunga dan upacara minum teh. Gurunya memberitahu bahwa dekorasi bunga adalah tradisi unik yang dimi-liki Jepang, sebuah pernyataan yang sulit diterima oleh Hwang. Sekembalinya ke Korea, dia ingin menghadirkan kembali bunga sutera yang biasa dibuat oleh ibu dan

© S

uro

Cut

ural

Fou

ndat

ion

Page 35: Koreana Autumn 2014 (Indonesian)

SENI & BUDAYA KOREA 33

Karena menghormati semua makhluk hidup, raja-raja dan priayi Dinasti Joseon tidak memetik bunga untuk menghias rumah mereka. Sebaliknya mereka menggunakan chaewha, atau bunga berwarna yang terbuat dari sutra kaku dan dicelup dengan bunga, rumput, dan sari buah.

Page 36: Koreana Autumn 2014 (Indonesian)

34 KOREANAMusimGugur2014

Ini adalah bagian dari jidangpan, penuh keindahan dihiasi dengan bunga teratai besar di kedua sisi panggung yang rendah dan tujuh vas penuh dengan bunga peony. Jidangpan adalah peranti hiasan sekeliling penari yang tampil selama perjamuan makan istana dan upacara.

neneknya dan menjadi awal sejarah dekorasi bunga di Korea.

Untuk mencapai tujuannya itu, dia mengumpulkan dokumen sejarah dan belajar ketrampilan membuat bunga dari para cenayang, biara dan siapapun yang memiliki pengetahuan mengenai bunga artifisial. Meski seni pembuatan bunga sutera timbul dan tenggelam selama masa penjajahan Jepang, jejaknya tetap ada dalam seni pembuatan bunga kertas di candi-candi Bud-dha dan upacara yang dilakukan oleh para cenayang. Hwang menerbitkan temuan penelitiannya dengan judul “Sejarah Budaya Seni Bunga Korea 1, 2” (Samsung Books, 1990) dan “Langkah Awal dalam Seni Bunga

Suro” (Yeungnam Inse, 1980). Dia mendirikan Institut Seni Bunga Suro dan Institut Bunga Sutera Kerajaan Korea untuk melatih mereka yang berminat dalam bi-dang ini, sambil meneruskan penelitian dan pembuatan bunga.

Kebangkitan Kembali yang Ditandai dengan Pameran Hwang menjadi terkenal ketika Kantor Warisan

Budaya menobatkannya sebagai pemegang Kekayaan Budaya yang Tidak Dapat Diraba (Important Intangible Cultural Property) No. 124 pada bulan Januari 2013, yang diikuti oleh pameran untuk memperingati penganugra-hannya itu. Pameran bertajuk “Bunga Sutera Kerajaan

Page 37: Koreana Autumn 2014 (Indonesian)

SENI & BUDAYA KOREA 35

yang Cantik,” diadakan pada tanggal 8 April sampai deng-an 25 Mei 2014 di Museum Nasional Istana Korea, dan merupakan kegiatan yang sangat mengesankan, deng-an bunga sutera cantik dari berbagai ragam dan ukuran menghiasi ruang pamer khusus di museum itu.

Salah satunya menampilkan kreasi ulang meja utama dalam acara jamuan untuk merayakan 30 tahun penobatan Raja Sunjo. Pada saat memasuki ruang pameran, pengunjung disambut oleh dua vas bunga yang besar, satu berisi bunga peach merah dan lainnya berisi bunga peach putih. Vas-vas besar yang disebut hwajun ini diisi dengan ranting berbunga, yang biasanya ditempatkan di kanan kiri singgasana raja selama peray-aan di istana. Vas bunga itu berwarna biru dan putih terbuat dari porselen dengan hiasan berupa gambar naga di bagian luarnya. Vas itu diisi dengan beras seh-ingga mampu menahan pohon peach yang setidaknya setinggi tiga meter. Cabang-cabangnya dihiasi dengan bunga sutera dan lebih dari 40 burung, kupu-kupu, dan serangga yang dibuat dari madu mentah dan dirang-kai demikian cantiknya di sela bunga-bunga. Setiap vas biasanya memiliki 2.000 kuntum bunga. Hwang men-jelaskan bahwa bunga sutera kerajaan lebih dari seka-

dar hiasan; tapi merupakan simbol kekuasaan dan pen-capaian sang raja.

Hwang juga membuat replika jidangpan, sebuah panggung berhias yang dikelilingi para penari istana dalam perayaan-perayaan, dan di belakangnya ditem-patkan meja jamuan kerajaan sama seperti 185 tahun yang lalu. Dua meja jamuan dipasang untuk mem-peringati 30 tahun bertahtanya Sunjo; satu meja deng- an raja dan putra mahkota dan diperuntukkan bagi para pejabat pemerintah yang hadir, dan meja lainnya diper-untukkan bagi para wanita di keluarga kerajaan deng-an janda permaisuri dan ratu. Meja untuk tiap jamuan dibuat ulang berdasarkan Sunjo gichungnyeon jinchan uigwe (Prokoler Jamuan Kerajaan Sunjo pada Masa Gi-chuk”). Meja-meja itu ditempatkan dalam ruang istana Meongjeongjeon dan Jagyeongjeon, yang dirancang dan dibuat kembali oleh Kim Bong-ryol, seorang ahli dalam arsitektur tradisional Korea dan presiden Korean National University of Arts. Secara keseluruhan, 5.289 kuntum bunga sutera digunakan dalam meja jamuan untuk laki-laki dan 6.557 kuntum untuk meja jamuan bagi para wanita. Pada meja jamuan untuk para wanita, yang biasanya diadakan pada malam hari, bunga

Kelopak, benang sari dan putik sutera dilapisi dengan serbuk biji pinus dan lilin, dan kemudian dengan hati-hati dirangkai. Karena hanya menggunakan bahan alami, bunga artifisial ini sering kali menarik lebah dan kupu-kupu ketika dipamerkan di luar ruangan.

Page 38: Koreana Autumn 2014 (Indonesian)

36 KOREANAMusimGugur2014

tanaman berbiji banyak seperti delima, anggur dan sitrun, ikut menghiasi meja itu untuk melambangkan kesejahteraan negara dan generasi masa depan.

Jika dilihat dari dekat, kuntum bunga itu menun-jukkan pekerjaan tangan yang cermat. Karya seni ini sangat indah. Dari semua jamuan kerajaan Dinasti Jos-eon, Hwang memilih acara ini karena memberinya ke-sempatan membuat foto-foto bunga sutera yang bagus dan tahan lama. “Saya ingin mereka-ulang seni dekora-tif rumah tangga kerajaan Joseon berdasarkan doku-mentasi terbaik yang ada,” jelasnya.

Karya yang juga diunggulkan dalam pameran ini adalah hasil karya Bruno Légeron, seorang maes-tro seni pembuatan bunga sutera Perancis. Karyanya ditempatkan bersebelahan dengan karya Hwang, dan memungkinkan pengunjung membuat perbandingan. Di pintu masuk terdapat replika ruang kerja Hwang di salah satu sisi, dan replika ruang kerja Légeron di Paris di sisi lainnya. Pertama kali muncul pada tahun 1880, karya Atelier Boutique Légeron menghiasi rambut dan gaun para wanita dari kelas atas sementara korsase yang digunakan di antaranya rancangan Chanel, Chris-tian Dior, dan Ungaro.

Ruang kerja Légeron, sebagaimana ditampilkan dalam pameran itu, memiliki dinding yang dilapisi deng-an sangat cantik oleh hiasan bunga, dan sebuah meja dengan manual yang sudah diturunkan selama empat generasi pembuat bunga dan beragam peralatan yang digunakan dalam pekerjaan itu. Ukuran dan bentuk per-alatan itu berbeda dari alat yang digunakan oleh Hwang Su-ro, tapi keduanya memiliki fungsi yang sama.

Hwang telah mencari-cari pembuat bunga di negara lain untuk mencari cara untuk melestarikan tradisi ini. Dia meminta anak laki-lakinya, Choi Sung-woo, presiden Yayasan Kebudayaan Ilmac, mengunjungi Paris tiga tahun lalu untuk bertemu dengan Bruno Légeron. Kedu-anya kemudian menjalin hubungan dan menyelengg-arakan pameran bersama.

Chaewha mengungkapkan keindahan yang ideal dengan menampilkan perbedaan bunga yang tumbuh dari batang yang sama atau menambahkan burung, lebah dan kupu-kupu sesuai dengan peristiwa tertentu. Banyak langkah yang diperlukan untuk membuat bunga, walau itu bunga kecil, sehingga membutuhkan kesabaran yang besar dan kecermatan pada tiap bagian dari para pengrajin.

Page 39: Koreana Autumn 2014 (Indonesian)

SENI & BUDAYA KOREA 37

Dua vas biru-dan-putih yang berisi bunga sutra, masing-masing ditempatkan di kedua sisi dari tahta kerajaan selama upacara istana. Guci ini berisi pohon persik yang dihiasi dengan 2.000 bunga sutra merah dan biru.

Bunga yang Bersemi SelamanyaRaja dan kaum terpelajar Dinasti Joseon tidak me-

metik bunga segar karena mereka sangat menghar-gai semua makhluk hidup. Oleh karena itu mereka memilih bunga yang dibuat oleh para seniman dalam perayaan kerajaan. Tradisi ini sudah dilakukan turun temurun sejak Dinasti Goryeo. Dalam periode dinasti ini, bunga sutera digunakan dalam jamuan kenegaraan dan upacara Buddha. Sayangnya, tak banyak yang diketahui mengenai pembuatan bunga pada masa itu.

Dinasti Joseon meninggalkan keterangan dan lukisan jamuan kerajaan dalam bentuk dokumen resmi kenega-raan yang disebut uigwe. Catatan terbaru mengenai bunga sutera yang digunakan dalam jamuan kerajaan pada masa Joseon ditemukan oleh Hwang Su-ro dalam “Protokol Jamuan Kenegaraan Gojong tahun 1902.

Pembuatan bunga sutera memerlukan kesa-baran luar biasa dan merupakan pekerjaan manual yang san-gat rapi. Untuk satu kuntum bunga, seorang seniman

harus memotong setiap kelopak dari sutera dan me-rangkaianya. Sutera itu harus diperhalus dengan alat dari kayu untuk memberi kesan alami pada bunga itu. Secara keseluruhan, diperlukan sekitar satu setengah bulan untuk menyelesaikan satu bunga.

Cara dan bahan pembuatan bunga juga bervariasi tergantung acaranya. Jenis bunga yang berbeda digu-nakan dalam tiap musim dan diwarnai dengan kelima warna utama yaitu kuning, biru, putih, merah dan hitam. Dalam pandangan Hwang, aspek paling penting dalam pembuatan bunga sutera adalah pelapisan dengan kanji. “Jika proses ini tidak dilakukan dengan sempurna, bunga akan cepat ditumbuhi jamur dan hama. Kanji yang dipakai harus berusia lebih dari tiga tahun untuk me-lindungi bunga secara efektif dan memberi kesan kemi-lau yang cantik,” jelasnya, seraya menambahkan, “Saya memerlukan sekitar 20 tahun untuk mempelajarinya.” Bunga sutera, yang sudah ditekuni Hwang selama lebih dari 50 tahun hidupnya, kini bersemi kembali.

Page 40: Koreana Autumn 2014 (Indonesian)

38 KOREANAMusimGugur2014

JATUH CINTA PADA KOREA

DanaRamonKapelianMengajakWanitaKoreauntukMembukaHatiBagaimana cara terbaik untuk masuk ke tengah masyarakat yang asing? Dana Ramon Kapelian, seorang seniman, terjun langsung ke dalam kehidupan Korea dengan memotret sekaligus mewawancarai sejumlah wanita Korea yang bekerja di berbagai bidang. Hasilnya luar biasa. Belakangan ini terdapat banyak orang asing yang baru datang di Korea menerbitkan buku atau memiliki blog yang memperlihatkan pandangan yang sangat mendalam terhadap masyarakat Korea setelah menyesuaikan diri dengan mereka. Kapelian merupakan salah seorang dari mereka. Dia menerbitkan buku berjudul Wanita Korea Saya (My Korean Women) pada musim semi tahun ini. Buku tersebut berisi wawancara dengan 60 wanita Korea berikut foto mereka; dari wanita yang paling tua (lahir pada 1927) sampai yang paling muda (lahir pada 1997). Buku itu dituliskan dalam dua bahasa yaitu bahasa Korea dan bahasa Inggris.

Ben Jackson Jurnalis / Cho Ji-young Fotografer

Page 41: Koreana Autumn 2014 (Indonesian)

SENI & BUDAYA KOREA 39

Dana Ramon Kapelian yang lahir di Haifa, Israel, pada 1963 meninggalkan tanah airnya ketika berumur 19 tahun. Dia pergi ke Eropa dan tinggal di London dan Amsterdam.

Kemudia tinggal di Amerika selama enam tahun. Selama tinggal di sana, dia banyak jalan-jalan dan belajar di San Francisco Art Insti-tute. Setelah itu dia pindah ke Perancis dan tinggal di sana selama dua puluh tahun. Selama tinggal di Perancis, dia bekerja sebagai pelukis dan seniman instalasi. Pada tahun 2010 dia merasa kakinya mulai ‘gatal’ lagi. Dia dan suaminya menyadari bahwa sudah saatnya bagi mereka dan dua anak mereka untuk memperluas kaki langit. “Kami berpikir bahwa yang kami mau adalah pindah ke suatu tempat dan jalan-jalan bersama anak-anak. Kami berbincang-bincang ten-tang hal itu lalu memutuskan bahwa anak-anak sedang berhadapan dengan masa yang sangat berarti dan penting dalam kehidupan mereka. Kami ingin memperlihatkan dunia yang baru kepada anak-anak kami. Yang lebih penting untuk mereka bukan hal mengum-pulkan harta supaya mewariskan banyak uang kepada mereka, mel-ainkan bagaimana memakai uang bersama mereka selama kami hidup dengan mereka. Oleh karena itu, kami menjual rumah. Tentu alangkah senangnya jika kami bisa mendapat pekerjaan baru di tem-pat yang kami tinggali. Namun jika tidak pun tidak apa-apa, yang penting adalah kami sekeluarga jalan-jalan di seluruh dunia selama setahun. ”

Ketika ada pengumuman bahwa Institut Français Séoul sedang mencari ‘audiovisual attaché’, suaminya mendaftar dan terpilih untuk posisi tersebut. Keluarganya datang ke Korea untuk tinggal di sana selama lima tahun. Tinggal di negara asing memang tidak mudah bagi semua anggota keluarga, tetapi hal itu malah memberi energi

kepada keluarga Kapelian. “Saya sangat suka mempelajari budaya asing,” katanya. “Saya

senang posisi saya sebagai orang asing di suatu tempat, karena saya merasa bebas dan dapat menikmati perbedaan budaya. Hal itu bagi saya ibarat mendapat gizi dari makanan. Ada orang yang merasa bahwa dia adalah anggota satu tempat. Namun saya merasa, saya sendiri anggota Bumi: dunia adalah rumah saya. Saya menganggap bahwa garis perbatasan antarnegara hanya ciptaan orang saja.”

Perjalanan Budaya Setelah perjalanan jauh menyeberangi Bumi, Kapelian sam-

pai di Korea dan memulai perjalanan baru. Dia menjelajahi budaya Korea secara mendalam melalui perjalanan itu. Perjalanan itu begitu penting adalah karena waktu itu informasi mengenai Korea masih sangat kurang. Dia juga perlu menyesuaikan diri dengan lingkungan budaya baru, khususnya di bidang kesenian.

“Sebelum saya datang di Korea empat tahun yang lalu, saya pergi ke biro perjalanan. Namun brosur tentang Korea tidak ada,” Kapel-ian menjelaskan. “Ada brosur tentang China, Jepang, Asia Timur, dan negara lain-lain tetapi sama sekali tidak ada tentang Korea. Maka, saya berusaha mencari buku sastra dan sejarah untuk mendapat informasi. Itulah sebab mengapa saya menerbitkan buku. Saya ingin mengetahui tentang orang Korea. Saya sering mengemukakan isu yang berkaitan dengan wanita melalui hasil karya seni saya dan ingin melakukan sesuatu yang berhubungan dengan wanita di Korea juga. Dalam hal ini saya ingin suatu bentuk yang terlepas dari pemasang-an hasil seni di dinding. Saya tidak lagi ingin memasang hasil seni pada dinding tetapi bekerja dengan masyarakat. Saya memerlu-

1. Soh Jeong-soon, lahir pada tahun 1927, dinikahkan oleh orang tuanya. Ketika ditanya apakah dia menyesal, dia berkata, “Aku tidak pernah tahu apa itu cinta. Saya tidak pernah menikmati hak-hak yang perempuan lain memilikinya.”

2. Olivia Ih-Prost, lahir pada tahun 1985, adalah cucu Soh Jeong-Soon. Ketika ditanya tentang perceraian, dia berkata, “Perceraian? Ini adalah hal terburuk yang dapat terjadi pada pasangan, [tetapi] jika tidak ada cinta, mungkin diperlukan.”

1 2

Page 42: Koreana Autumn 2014 (Indonesian)

40 KOREANAMusimGugur2014

kan interaksi dan ingin belajar dari pertemuan dengan masyarakat supaya tahu lebih baik tentang negara ini. Akhirnya saya menemu-kan bahwa menegur wanita adalah suatu hal yang sagat menarik, khususnya di Korea karena wanita Korea menempuh perjalanan yang sulit.”

Wanita Korea Milik Siapa? Kapelian mulai mengumpulkan data mengenai orang-orang yang

akan diwawancarai untuk bukunya. Dia menemukan data di surat kabar atau majalah, dan kenalannya merekomendasikan beberapa orang. Kadang-kadang narasumber pun merekomendasikan orang lain kepadanya. Kapelian mengatakan bahwa pembaca mungkin akan kaget karena beberapa narasumber di dalam buku itu bukan wanita Korea.

“Apa yang pertama dikatakan orang kepada saya adalah ‘Anda mewawancarai wanita Perancis, biarawati Amerika, dan wanita Korea yang tinggal di Kanada. … Bukankah mereka semua orang asing?’ Saya menjawab, “Mereka semua orang Korea bagi saya. Bagaimana Anda bisa menganggap seorang biarawati asing yang datang ke Korea pada 1953 (baru selesai perang Korea) dan mengab-dikan semua kehidupannya untuk Korea bukan sebagai orang Korea. Itu tidak masuk akal. Apakah Anda bisa mengatakan seorang wanita yang berasal dari Perancis dan menikah dengan laki-laki Korea lan-tas melahirkan anaknya lalu tinggal di Korea selama lebih 30 tahun itu bukan sebagai orang Korea. Memang saya tidak berpikir bahwa judul buku saya ini adalah judul yang paling bagus dan layak, tetapi setidaknya judul itu sangat memperlihatkan apa yang ingin saya sampaikan melalui buku itu. Bagi saya mereka semua orang Korea.”

Soal ‘Ajumma’ Setiap isi wawancara dalam buku ini berbentuk sama: mulai cerita

kehidupan narasumber yang singkat sampai pandangnya menge-nai beberapa isu. Banyak dari isu yang ditanyakan adalah yang ber-hubungan dengan cinta, pernikahan, perceraian, dan aborsi. Bagian yang terakhir berisi pesan yang ingin disampaikannya.

Salah satu isu yang dipaparkan oleh Kapelian kepada para wanita yang diwawancarainya adalah soal ‘ajumma.’ Istilah tersebut secara harfiah berarti sebagai wanita yang sudah menikah, tetapi istilah itu mengandung konotasi yang berkaitan dengan konsep wanita di masyarakat dan kebudayaan Korea. Kadang-kadang istilah itu diu-raikan sebagai “third sex”. Istilah ajumma juga mengarah pada sifat yang galak, keras hati, unglamorous, atau lembut dan keibuan.

“Sebetulnya buku saya dimulai dari ide mengenai ajumma, kemudian dikembangkan sebagai konsep yang umum mengenai wanita. Pada mulanya saya sangat tertarik pada kata ajumma. Kata itu sesungguhnya mengandung definisi yang beragam: kata itu bisa dipahami sebagai makna yang negatif dan bisa dipahami positif. Kata itu mempunyai makna yang sangat kaya. Saya berpikir, pada satu sisi pemakaian kata itu dapat dianggap sebagai yang berbatasan di dalam buku saya, karena saya ingin menceritakan wanita dalam arti yang lebih luas. Bagaimana pun saya tetap memakai kata itu dalam buku ini. Saya berdiskusi banyak mengenai istilah itu dengan wanita-wanita Korea yang saya wawancarai karena saya ingin memperlihat-kan berbagai anggapan, pandangan dan pendekatan terhadap isti-lah tersebut. Beberapa wanita yang bisa dianggap sebagai ajumma berkata, ‘Saya? Oh, saya bukan ajumma.’ Mereka menolak panggilan itu. Ada yang mengatakan, ‘Keluarga saya tidak ada ajumma.’ Bagi

1. Im Young-me, lahir pada tahun 1972, adalah musisi klasik Korea yang memainkan alat musik perkusi tradisional Janggu dalam tempo cepat.

2. Jean Maloney, lahir pada tahun 1932, adalah seorang biarawati yang meraih gelar keperawatannya di New York dan kemudian ditugaskan ke Korea ketika negara gawat membutuhkan bantuan medis pada akhir Perang Korea.

3. Martine Prost, lahir pada tahun 1951, adalah ahli bahasa yang lahir di Aljazair. Terpesona oleh orang Korea yang penuh semangat dan ekspresif, ia menetap di Korea.

1

2

3

Page 43: Koreana Autumn 2014 (Indonesian)

SENI & BUDAYA KOREA 41

beberapa wanita panggilan ajumma dianggap sebagai penghinaan. Namun bagi beberapa orang kata itu adalah lambang kecintaan, ke-nyamanan, dan keibuan.”

Cerita Seluk-Beluk Proses penerbitan Wanita Korea Saya (My Korean Women) tidak-

lah sederhana. Pekerjaan yang mempertalikan cerita dari 60 orang wanita dan foto mereka yang beranekaragam merupakan peker-jaan yang penuh tantangan. Proses penerjemahan buku yang ditu-lis dalam dua bahasa, yaitu bahasa Korea dan bahasa Inggris, juga mengalami banyak kesulitan. Kapelian mahir berbahasa Inggris dan Perancis sehingga tidak ada masalah jika si narasumber bisa bica-ra dalam dua bahasa tersebut. Namun jika ia tidak bisa, Kapelian memerlukan seorang interpreter dan hal itu membawa banyak keru-mitan dalam hal penerjemahan.

Sementara itu, dalam proses penulisan buku ini Kapelian merasa senang karena para wanita yang diwawancarainya memperlihat-kan sikap toleransi. Posisinya sebagai orang asing sangat membantu dalam hal tersebut. “Yang membuat saya kaget adalah mereka tidak segan membuka diri. Banyak orang berpikir bahwa wanita Korea tidak sudi bercerita dengan terbuka. Saya yakin bahwa buku saya akan menjadi sangat berbeda dari sekarang, seandainya saya adalah orang Korea asli. Karena saya orang asing, kami bisa berbincang-bincang mengenai berbagai isu yang sebetulnya sulit dibicarakan. Mungkin beberapa pertanyaan saya bisa dianggap kurang sopan atau tidak akan ditanyakan oleh orang Korea. Namun mereka semua sang-at bersikap toleran. Saya kira, mereka bisa bercerita banyak hal, jika Anda memperlihatkan perhatian yang sungguh-sungguh. Anda bisa menangkap sesuatu dalam cerita mereka.”

Transformasi dan Tradisi Wawancara dengan sejumlah wanita dari berbagai generasi mem-

perlihatkan kontras yang sangat jelas. Hal itu menunjukkan bahwa Korea sedang berubah cepat serta menciptakan dirinya kembali.

“Ketika kami datang ke Korea empat tahun yang lalu, orang-orang mengatakan, tidak ada kopi yang enak di Korea. Namun sekarang tidak ada jalan yang tidak punya kafe atau coffee shop. Kopi yang dijual di semua tempat terasa enak. Transformasi itu mengaget-kan. Demikian juga soal wanita. Meskipun kaum wanita Korea masih harus berjuang, prestasi yang diperoleh mereka melalui perubah-an begitu luar biasa. Di dalam buku saya narasumber yang paling

tua berusia 97 tahun sedangkan yang paling muda berusia 14 tahun. Wanita yang paling tua menceritakan bahwa dia dijodohkan oleh orang tua maka dia tidak tahu apa itu cinta. Suaminya tidak pernah memberi teh hangat kepadanya ketika dia sedang sakit parah. Ketika saya bertanya kepada narasumber yang berusia 14 tahun tentang diskriminasi gender-meskipun hal itu berhubungan dengan peng-alaman pribadi dan masalah generasi-, dia melongo dan berkata, “Diskriminasi gender? Jika guru melakukan diskriminasi gender di sekolah, dia akan dipecat.” Dunia bagi wanita yang berusia 14 tahun berbeda jauh dengan dunia bagi yang berusia 97 tahun, tetapi kedua-duanya tinggal setempat dan semasa. Hal tersebut sangat menarik bagi saya.”

Seperti banyak orang asing, Kapelian juga menyaksikan perubahan yang cepat terjadi di masyarakat Korea dan melontarkan pertanyaan yang berkaitan dengan nilai tradisi, reformasi, dan kontinuitas.

Kapelian berpikir, mungkin para wanita Korea sedang berada di posisi antara ketatnya tradisi dan new role models, dan mereka adalah yang paling banyak dipengaruhi oleh pertanyaan tersebut. “Wanita Korea yang merasa keberatan paling banyak adalah yang berusia 30-an, karena pada satu sisi mereka masih dikekang oleh tradisi dan pada sisi lain sebagai wanita modern dapat menikmati kebebasan yang dapat dilihat kasatmata.”

Pesan Pribadi Dengan bukunya, Kapelian memberi sumbangan besar pada refe-

rensi bahan yang berkaitan dengan masyarakat dan kebudayaan Korea, yang ditulis dalam bahasa Inggris. Ketika ditanya rencana keluarganya yang berhubungan dengan migrasi global, dia menjawab bahwa keluarganya ingin pergi ke beberapa negara asing, antara lain Vietnam, Mongolia, Cambodia, Jepang, dan Brazil (mungkin para wanita di negara-negara itu harus bersiap-siap untuk sejumlah pertanyaan yang dilontarkannya). Terakhir, Kapelian, sebagaimana halnya dengan para wanita Korea dalam bukunya, menyampaikan pesan pribadi, “Bersikaplah untuk selalu mendengar dengan sung-guh-sungguh. Bersikaplah toleran dan mendengarkan orang-orang yang ada di sekitar Anda: siapa mereka dan apa yang diinginkan. Kita selalu berkonsentrasi pada sendiri sehingga sering lupa memper-hatikan orang-orang lain dan kehidupan. Kita semua manusia dan kita semua sama. Memang, masing-masing ada perbedaan dan per-bedaan itu justru menarik. Perbedaan itu tidak boleh menghalangi interaksi kita dan harus memperkaya kita.

“Mereka adalah harimau. Mereka adalah pejuang. Mereka harus berjuang baik di dalam maupun luar rumah. Mereka harus menjadi ‘superwomen’, seperti banyak wanita di dunia. Sampai zaman penjajahan Jepang, masyarakat Korea masih feodal, seperti ‘masyarakat abad pertengahan.’ Transformasi yang dilakukan selama beratus tahun di dunia Barat disingkat menjadi seratus tahun di Korea. Ketika melihat wanita Korea yang berjuang, saya hanya bisa terkejut.”

Page 44: Koreana Autumn 2014 (Indonesian)

42 KOREANAMusimGugur2014

DI ATAS JALAN

HidupDatangdanPergidiAntaraDolmenSaya naik di atas Benteng Gochang dan menyaksikan pemandangan kota. Ada rasa nyaman melihat atap-atap rendah yang saling bertemu pada ujungnya. Rasanya tidak ada saat yang lebih membuat hati terasa hangat saat seorang pengelana naik ke atas benteng dan menebarkan pandangannya ke atas kota. Setiap rumah menyimpan kenangan-kenangan dari impian dan kehidupan, air mata penyesalan dan kerinduan, serta merupakan secercah harapan yang rasanya tidak kunjung datang. Jika ada karya manusia yang paling menunjukkan sisi kemanusiaan, itu adalah desa, tempat di mana rumah-rumah manusia berkumpul.

Gochang Gwak Jae-gu PenyairLee Han-koo Fotografer

Page 45: Koreana Autumn 2014 (Indonesian)

SENI & BUDAYA KOREA 43

Pyeongsa-ri, famous as the setting of the epic novel “Land” (Toji) by Korea’s literary titan Park Kyung-ni, is a land favored by nature. This area is well-known as a literary village and for many scenic spots of great natural beauty. The House of Choe Champan, a re-creation of the eponymous house in the novel; and grains and fermented bean cakes drying outside the kitchen.

Situs dolmen Gochang sangatlah unik sebagai wujud keragaman yang besar bentuk dolmen yang ditemukan dalam konsentrasi tinggi.

Page 46: Koreana Autumn 2014 (Indonesian)

44 KOREANAMusimGugur2014

Dalam catatan dinasti Korea tua, ketika seorang pengelana datang ke sebuah desa baru, ia akan mendaki ke puncak benteng dan memandang ke desa dari atap benteng untuk

menimbang apakah desa tersebut cukup baik untuk bermalam. Jika ujung atap rumah-rumah saling bertemu secara harmonis dan di sela atap rumah yang satu dengan yang lain mencuat bunga labu, mawar, dan bunga-bunga persik berlumut yang dita-nam di kebun kecil di antara rumah–rumah itu, sang kelana akan tersenyum dan berkata “Ah, ini adalah desa yang baik”. Jika senja turun dan asap dari api kukusan nasi menebar dari cerobong asap dapur dari rumah di sana-sini, ia akan lebih merasakan kerinduan pada rumahnya tempat ia akan kembali suatu hari.

Berdirinya benteng di daerah Gochang yang damai ini sebe-narnya adalah bukti bahwa sejarah kota ini tidaklah begitu ten-ang. Dibangun pada tahun 1453 untuk bertahan terhadap serangan Jepang, benteng yang berlokasi dekat Benteng Gunung Ibam ini berfungsi sebagai benteng pelindung desa subur wilayah Honam. Pada hari perayaan tradisional Jungyangjeol, yang jatuh pada hari ke sembilan bulan ke sembilan setiap tahun menurut penanggalan Imlek, adalah kebiasaan bagi warga Gochang untuk berjalan mena-paki dinding benteng. Dengan meletakkan sebuah batu di kepala mereka, mereka mengelilingi benteng dengan kepercayaan bahwa putaran pertama akan menangkal segala penyakit kaki, putaran kedua akan menangkal segala penyakit, putaran ketiga adalah putaran sakral yang akan membawa mereka pada surga abadi. Semua ini adalah permainan bijak agar semua yang melakukan ritu-al dapat menjalani putaran demi putaran yang tidak mudah itu.

Dolmen, Simbol dari Kehidupan di Alam BakaDolmen adalah bukti jelas bahwa dari zaman kuno daerah

Gochang telah menjadi tempat yang baik untuk hidup. Dolmen, makam dari era prasejarah, yang didirikan sekitar abad ke 4 - 5 SM ini tersebar sepanjang daerah Jungnim-ri dan Sanggap-ri, mem-bentuk kelompok dolmen terbesar di Asia yang pada bulan Desem-ber 2000 tercatat dalam Daftar Warisan Dunia UNESCO. Dalam fil-safat Asia, adanya banyak makam di daerah Gochang adalah meta-fora historis sekaligus bukti yang menunjukkan secara tidak lang-sung bahwa di masa lalupun daerah ini merupakan tempat yang ideal untuk hidup. Kelompok dolmen yang ditemukan di daerah Gochang merupakan bukti bahwa tempat itu merupakan tempat ideal pula untuk kehidupan di akhirat.

Pada hari di musim gugur, capung merah yang beterbangan dan krisan liar yang mekar malu-malu menyambut pengunjung. Hanya dengan berjalan perlahan di antara peninggalan orang-orang di masa lalu cukup untuk merasakan energi kehidupan mereka. Di mana mereka lahir, apa mimpi yang mereka impikan, rahasia apa yang mereka pegang untuk diri mereka sendiri, dan ke mana mereka kembali. Saya berangkat dari Museum Dolmen Gochang, melayangkan pandangan ke dolmen-dolmen yang tersebar di sepanjang bukit, melewati Kuil Seonun, mengikuti jalan Jilmajae ke pantai barat, dan tiba-tiba saja senja menjelang dan dengan

cepatnya cahaya bulan menerpa bumi.

Angin berhembus dua puluh empat kaliMusim semi datang membawa napas hidupBunga-bunga persik memerah manisDan bunga plum begitu putih. Mari kita melihat mereka, Mari kita melihat mereka Mari kita melihat persik dan bunga plum — Syair Shin Jae-hyo dari “Dorihwa-ga (Lagu Bunga Persik dan Plum)”

Di Gochang terdapat sejumlah cerita asmara yang dalam dan manis seperti corak warna yang terbentuk pada dolmen. Salah satu-

1

Page 47: Koreana Autumn 2014 (Indonesian)

SENI & BUDAYA KOREA 45

1, 2. Tembok Benteng Gochang dibangun dengan batu alam apa adanya, sehingga melahirkan struktur yang berpadu dengan pemandangan alam secara organik. 3. Di rumah jerami tua Shin Jae-hyo, diorama yang seukuran Shin sedang mengajar murid-muridnya ditampilkan di ruang tuan rumah.

2 3

Page 48: Koreana Autumn 2014 (Indonesian)

46 KOREANAMusimGugur2014

nya adalah kisah cinta yang tersembunyi dalam “Dorihwa-ga” yang dikutip di atas. Pada akhir abad ke-19, pada masa pemerintah-an Gojong dari Dinasti Joseon, di Gochang hiduplah seorang pe-nyanyi hebat dengan nama Shin Jae-hyo (1812 - 1884). Ia mewarisi kekayaan besar, dan sangat mencintai pansori (musik tradisional Korea) yakni gaya lagu yang populer di kalangan rakyat miskin saat itu. Pansori adalah bentuk unik dari lagu narasi yang dilaku-kan oleh dua orang: satu penyanyi, yang disebut sorikkun, dan satu penabuh beduk, yang disebut gosu, yang bertanggung jawab pada irama dan seruan berselang. Seni musik ini juga sangat digemari oleh yangban, kaum penguasa elit Joseon sehingga seniman pan-sori sering disewa untuk tampil di acara-acara dan perjamuan bagi pejabat tinggi pemerintah.

Lagu Sendu dari Seorang yang Kehilangan KekasihShin Jae - hyo membuka rumahnya tidak hanya untuk kerabat

tetapi juga bagi Gisaeng, penyanyi, dan penghibur untuk tinggal bersama. Pada puncaknya sekitar 50 dari mereka tinggal di ling-kungan rumahnya, dan saat itulah Shin mulai merekam di atas kertas lima buah pansori utama yang dinyanyikan pada saat itu: “Jeokbyeok-ga (Kidung Jeokbyeok), “Chunhyang-ga (Kidung Chun-hyang)”, “Sugung-ga (Kidung Sugung)”, “Heungbu-ga (Kidung Heungbu)”, dan “Simcheong-ga (Kidung Simcheong)”. Lagu-lagu ini yang sebelumnya hanya disampaikan turun temurun secara lisan dan sulit untuk dijabarkan akhirnya berhasil dituliskan di atas kertas. Tanpa adanya usaha Shin, entah apalah yang dapat ter-jadi pada Pansori, warisan budaya tak benda utama Korea. Lagu-lagu pansori merangkum kehidupan orang Joseon orang, ter-masuk kisah cinta kegemaran mereka, kisah kehidupan dengan dengan permusuhan dan penderitaan, pakaian yang mereka kena-kan, makanan yang mereka makan, minuman keras yang mereka minum, dan bunga-bunga dan musik yang mereka sukai. Pansori bisa disebut sebuah karya gabungan yang mencerminkan kehidup-an dan seni rakyat asli Korea.

Suatu hari, Shin, pendukung penyanyi pansori, bertemu dengan kekasih hatinya Jin Chae-seon (1842 - ?). Jin, putri seorang dukun wanita di desa pesisir Gochang, memiliki suara yang sangat merdu dengan bakat menyanyi yang tinggi. Ia mendapat dukungan penuh

dari Shin dan menjadi murid Kim Se-jong, penyanyi terkenal pada zaman itu. Pada zaman itu, pansori secara eksklusif dinyanyikan oleh penyanyi pria saja. Tetapi penampilan Jin merebak tembok pansori bagi kaum wanita. Secara khusus, gadis ini sangat teram-pil menyanyikan “Bangataryeong (Lagu Penumbuk Padi)”. Menurut kabar turun temurun, saat ia bernyanyi, air muka seniman pansori yang terkemuka sekalipun sampai berubah.

Tragedi terjadi ketika Shin Jae-hyo berusia 59 tahun. Ia menya-markan Jin sebagai seorang pemuda dan mengirimnya ke istana raja, Gyeongbokgung, untuk bernyanyi pada perayaan untuk penye-lesaian gedung baru. Jin akhirnya mendapat perhatian Daewon-gun, yang terdiri dari bupati dan kaum terkemuka di Joseon pada zaman itu. Daewongun adalah penggemar besar dari pansori dan selera mereka begitu tinggi sehingga muncul istilah “Gwi Myeo-ng Chang (Telinga Mahal)” yang menunjukkan bahwa Daewongun adalah penilai seni pansori yang tiada duanya di zaman itu. Dae-wongun akhirnya menempatkan Jin di istana sebagai penyanyi

1. Dosolam, salah satu dari empat pertapaan di Kuil Seonun, merupakan tempat pengasingan diri para pendoa yang dibangun di sebuah gua di atas tebing berbatu.

2. Papan nama di Gerbang Empat Raja Langit sangatlah berbeda dalam bentuk kaligrafi putih dengan latar belakang biru. Tanda tangannya menunjukkan dikerjakan oleh generasi terakhir kaligrafi Joseon yaitu Yi Gwang-sa.

3. Batu-berukir sebagai tempat duduk patung Buddha di bawah Dosolam di Kuil Seonun merupakan gambaran terbesar dari hal sejenis di Korea. Itu diukir langsung pada tebing di Gunung Seonun.

21

3

Page 49: Koreana Autumn 2014 (Indonesian)

SENI & BUDAYA KOREA 47

tetap, memisahkan Jin dan mentornya, Shin. Pada saat itu, Jin ber-usia 24 tahun.

“Angin berhembus dua puluh empat kali” baris pertama dari “Dor-ihwa-ga” adalah kiasan untuk usia Jin Chae-seon. Shin menuliskan lagu ini untuk melipur lara setelah terpisah sama sekali dari anak didik tercintanya, didasarkan pada kerinduan dan kesedihan tiada tara. “Orang besar dan kuat berbicara saat mereka datang dan pergi / Wajah pemuda itu ganteng dan suaranya benar–benar merdu / Ter-baik dari yang pernah mereka dengar, kalau belum pernah mendeng-arnya pastilah akan menyesal sampai ke akhirat”. Shin yang semula berpikir untuk memamerkan kebolehan Jin pada para pejabat ter-tinggi di istana malah harus kehilangan Jin karena murid kesayang-annya itu ‘tertangkap’ dalam jala istana. Sebuah kisah yang membuat siapapun pendengarnya merasa iba bahkan sampai pada hari ini. Kejadian itu membuat Shin mulai sakit-sakitan. Mendengar bahwa gurunya sakit, Jin meminta izin kepada Daewongun untuk menjenguk gurunya dan ia diizinkan untuk pulang ke kampung halamannya. Jin

berada di sisi Shin pada saat-saat terakhirnya dan setelah kematian gurunya ia menghilang dan menurut kabar sejak saat itu tidak ada lagi orang yang melihatnya.

Nama kuil Seon-un berarti “bermeditasi di antara awan”. Menu-rut catatan sejarah, Kuil Seon - un didirikan pada tahun ke-24 dalam pemerintahan Raja Wideok dari Kerajaan Baekje. Dibangun oleh biksu Geondam atas perintah Raja Jinheung dari Kerajaan Silla. Di kuil inipun ada kisah asmara yang indah. Di jalan menuju Dosolam, tempat pertapaan, terdapat sebuah gua kecil bernama Gua Jinheung. Raja Jinheung, penguasa ke-24 Silla, adalah seo-rang pemeluk agama Budha yang taat dan menurut cerita, ia turun dari tahtanya dan hidup membiara di kuil Seon-un bersama istri tercintanya, Dosol, dan putrinya, Jungae.

Manusia selalu haus akan kekuasaan, entahkah itu pada zaman dahulu ataupun pada masa kini. Raja Jinheung yang memerintahkan pembangunan kuil untuk menghabiskan kehidupannya bersama istri dan putrinya lepas dari kekuasaan, dan kehidupannya yang tenang

Page 50: Koreana Autumn 2014 (Indonesian)

48 KOREANAMusimGugur2014

Benteng Gochang Benteng batu ini dibangun pada Dinasti Joseon (1392 - 1910) untuk bertahan dalam masa penjajahan Jepang dan dibuat mengelilingi Gunung Bangjan di Gochang. Tidak diketahui dengan pasti kapan didirikan. Dengan pohon-pohon pinus dan bambu yang rimbun, benteng ini tercatat sebagai salah satu situs sejarah besar di Gochang. Pada zaman kerajaan Baekjae, wilayah Gochang disebut dengan nama Moryangburi, dan karena itulah benteng ini sering disebut Moyang-seong atau Benteng Moyang. Benteng ini dilindungi oleh negara dengan ditetapkan sebagai Situs Sejarah 145.

Kuil Seonun Dengan hutan dan lembah yang subur dan hijau serta kuil-kuil, tanah seluas 43,7km2 di Gunung Seonun ditetapkan sebagai taman nasional. Sejarah Kuil yang berlokasi di sebelah timur Gunung Seonun berawal dari abad ke-6 di Periode Tiga Kerajaan dengan empat kuil pertapaan di dekatnya. Sebagian besar kuil Budha Korea terletak di daerah pegunungan yang indah di mana perubahan nyata dalam empat musim terlihat dengan nyata. Di Kuil Seonun, pemandangan pada musim gugur adalah pemandangan yang terindah di sepanjang tahun.

Rumah Shin Jae-hyoRumah ini tempat tinggal Shin Jae-hyo, seorang peneliti pansori besar yang hidup di akhir abad 19. Rumah beratap jerami yang sederhana tertutup oleh dinding dan memiliki halaman persegi di sisi selatan, dan sebuah sumur di sebelah barat daya. Di rumah ini Shin mempelajari prosedur untuk enam karya pansori utama, merumuskan lirik, dan mengatur teori dasar serta memberikan dukungan dan perlindungan untuk banyak penyanyi pansori. Hasil kerjanya masih digunakan sampai sekarang sebagai untuk pertunjukan panosori, musik petani, dan berbagai seni pertunjukan tradisional lainnya.

Jilmajae merupakan bukit yang harus dilalui oleh penduduk desa dari Gochang ketika bepergian menuju dan dari kabupaten lain. Nama itu berasal dari kemiripan bukit dengan pelana yang disebut “jilma” yang ditempatkan di bagian belakang kuda atau sapi sebagai pembawa barang. Jilmajae juga terkenal sebagai latar dalam puisi-puisi Seo Jung-ju, yang berasal dari Gochang.

Page 51: Koreana Autumn 2014 (Indonesian)

SENI & BUDAYA KOREA 49

di kuil ini bisa diumpamakan sebagai bunga teratai yang mekar di rawa-rawa. Setiap kali saya datang ke gua Jin-heung, saya membayangkan raja Silla yang menggali gua kecil ini di pegunungan dan tinggal di pengasingan di wilayah musuh. Ini adalah cerita yang baik untuk diden-gar oleh politisi masa kini yang terjebak dalam segala macam kepentingan dan keinginan pribadi.

Jilmajae, Sebuah Jalan Menapaki Kesepian Seorang Penyair

Kecuali satu hal, Jilmajae yang terletak di Seonun-ri, Buan-myeon, Gochang-gun dapat disebut seba-gai situs suci puisi modern Korea. Penyair Korea Seo Jung - ju (1915 - 2000), juga dikenal dengan julukan Midang, lahir di desa Jilmajae pada tahun 1915. Dalam kumpulan puisi di masa penjajahan Jepang berjudul “Hwasajip (Kumpulan Puisi Ular Bunga)”, ia menggam-barkan dalam bahasa indah realitas tragis seorang penyair dalam suatu bangsa yang bernasib tragis. Setelah kemerdekaan ia menerbitkan sejumlah kum-pulan puisi termasuk termasuk Dongcheon, Sillacho dan Jilmajaesinhwa (Mitos Jilmajae). Mitos Jilmajae adalah karya cemerlang dari puisi Korea modern yang menampilkan kehidupan dan semangat rakyat Korea.

Jika dilihat dari karya-karyanya saja, Seo Jung-ju berhak disebut sebagai salah seorang penyair paling baik di Korea. Namun sayangnya, ia dicerca karena satu alasan, yakni karena paham politik yang dianut-nya. Pada masa pendudukan Jepang, ia mengganti namanya dengan nama Jepang Datsusiro Sijuo dan menulis karya-karya yang membenarkan imperialisme Jepang. Untuk alasan ini karya-karyanya tidak diteri-ma secara penuh sebagai karya yang menggambarkan semangat Korea. Pandangan politik Seo berlanjut sampai memuji pemimpin diktaktor mantan presiden Korea Chun Doo-hwan 1980-an. Seo menjadi suatu kasus yang mempertanyakan sampai di mana seorang penyair atau seniman harus dinilai berhubungan den-gan hasil karyanya. Di Jilmajae ada sebuah museum

penyair Midang Literary House (Rumah Sastra Midang).Penyair Seo Jung-tae (1923 - ), dengan julukan U-ha,

adalah adik Seo Jung-ju. Ketika saya pertama kali berte-mu dengannya pada tahun 1989, ia tinggal di sebuah pondok jerami yang sangat sederhana di Jilmajae. Ada keindahan dalam cara orang tua yang pernah menjabat sebagai redaktur surat kabar ini tinggal di rumah ber-kamar dua yang kecil dan sederhana tersebut. Sambil membuatkan kopi dengan kedua tangannya, ia berk-ata, “Orang boleh saja mengecam penyair Seo Jung-ju, tapi bagi saya dia adalah kakak dan kumpulan puisinya bagi saya indah”. Dia melanjutkan dengan mengata-kan, “Rumah ini adalah di mana dia dan saya lahir, dan di mana napas orang tua kami berada. Saya harus men-jaga semua jejak ini selama saya hidup”. Dua puluh lima tahun telah berlalu sejak saat itu, dan sekarang setiap kali dia bangun dia harus berpegang pada tali yang menggantung dari langit-langit kamarnya. Dia menarik diri dengan cara ini, dan seperti yang ia lakukan dulu, ia membuatkan saya secangkir kopi. Tahun lalu di usianya 90 tahun, ia menerbitkan sebuah kumpulan puisi ber-judul “Biarkan Sendiri.”

Ujung langit tanpa batasAdakah jarak yang lebih jauh dari ituMalam semakin larutSunyi, terlalu senyapHaruslah bertahanLembut, lambai, perlahanAnggrek menari sendirian — Seo Jeong-tae, dari “Tarian Anggrek”.

Rasanya puisi “The Dance of the Orchids (Tar-ian Anggrek)” mencerminkan kehidupan penyair Seo Jung-tae. Saya bersantap malam dengannya sambil berharap pertemuan itu tidak akan menjadi pertemuan terakhir bagi kami di kehidupan ini. Di jalan dari Jil-majae menuju ke pantai Hajeon, terlihat kosmos mekar yang bergerak tertiup angin dan juga tarian rumput eulalia putih yang sangat sedap dipandang mata.

JilmajaeJilmajae adalah nama bukit yang terletak di jalan dari Seonun-ri Gochang ke desa berikutnya yang bernama Osan-ri. Nama bukit ini berasal dari pelana yang ditempatkan di punggung kuda atau sapi sebagai pembawa barang. Tempat ini terkenal sebagai tempat kelahiran Seo Jeong-ju, salah seor-ang penyair modern Korea utama dari abad ke-20, yang dalam kumpulan puisinya berjudul “Mitos Jilmajae” menuliskan ritual dan tradisi kampung halamannya di masa kecilnya. Di dekatnya terdapat Rumah Sastra Midang, yang mengundang banyak penggemar sastra datang ke Jilmajae.

Dolmen di GochangTerdapat sekitar 500 dolmen yang tersebar di seluruh wilayah Jungnim-ri dari Gochang, yang merupakan tempat terkumpulkan dolmen terbanyak di dunia. Pada tahun 2000, bersama dengan situs dolmen di Ganghwado dan Hwasun, situs Gochang itu tercatat di sebagai Warisan Budaya Dunia. Sejak saat itu taman dolmen serta dan museum dibuka, membuatnya menjadi sumber wisata penting di daerah Gochang. Dolmen, berjumlah sekitar 50.000 di seluruh dunia. Dari jumlah ini sekitar 30.000 buah atau 60 persen, ditemukan di Korea, termasuk sekitar 2.000 di Gochang.

Rawa-rawa UngokRawa-rawa Ungok adalah hutan purba yang memiliki energi hidup dan berfungsi sebagai habitat utama bagi spesies tanaman dan hewan liar terancam punah. Meliputi wilayah seluas 8,54 km2, rawa-rawa ini bebas dari polusi lingkungan dan memiliki sumber air yang jernih. Tahan yang sempat digunakan untuk pertanian telah dibiarkan untuk waktu yang lama sehingga terjadi restorasi alam secara alami membuat rawa-rawa ini berada dalam ekologi hutan purba. Rawa-rawa yang terdaftar pada Konvensi Ramsar tahun 2011 ini telah menjadi perhatian dari peneliti ekologi dunia.

Page 52: Koreana Autumn 2014 (Indonesian)

50 KOREANAMusimGugur2014

Han Gong-ju (diperankan oleh Chun Woo-hee) adalah seorang gadis yang terjebak dalam penderitaan setelah terjadi pem-bunuhan seorang temannya sesama korban pelecehan sek-

sual. Ia pindah ke sekolah lain, dan untuk sementara tinggal dengan ibu seorang gurunya yang membantu proses perpindahan itu. Deng-an keengganan menyesuaikan diri dengan sekolah baru, Gong-ju hampir tidak memperlihatkan emosi apapun dalam segala situasi. Perlu waktu lama sebelum penonton menyadari mengapa ia ber-sikap demikian.

Sutradara Lee Su-jin sangat hati-hati dan halus membuka keseluruhan cerita, sedikit demi sedikit, agar tidak menyajikan gambaran kasar mengenai amarah Gong-ju. Dengan pendekat-an unik yang menciptakan sensasi klaustrofobia, penonton tidak memahami penderitaan gadis kecil itu. Wajah Gong-ju memper-lihatkan emosi hanya jika ia bersama ibu atau ayahnya, atau ketika ia bereaksi dengan canggung terhadap niat baik teman baru.

Observasi Senyap KameraFilm ini menghindari jenis tipikal penceritaan berdasarkan

sebuah dikotomi penyerang versus korban, baik versus jahat. Film ini menuturkan reaksi Han Gong-ju setelah penyerangan, bukan menggambarkan insiden yang terjadi. Seperti seorang teman yang diam-diam berada dekat dengan korban dan tak tahu apa yang harus dilakukannya, kamera menampilkan Han Gong-ju dari jarak dekat.

Sedikit demi sedikit, dengan alur mundur, film ini memperlihat-kan apa yang ia alami. Adegan ditampilkan secara acak dan sing-kat, namun pada pertengahan film, alur mundur ini menampilkan adegan kasar yang tak mudah dinikmati. Gong-ju menunjukkan sim-pati kepada seorang siswa laki-laki yang dirisak, dan karena alasan

inilah sekelompok siswa laki-laki menyerang Gong-ju dan teman-nya ini secara seksual. Yang mengejutkan adalah orang-orang di sekitarnya tak begitu peduli dengan penderitaannya. Guru di seko-lah lamanya, polisi yang menyidiknya, atau orangtua para pelaku tak peduli terhadap trauma kejiwaan yang dialaminya. Guru-guru lebih khawatir mengenai publikasi peristiwa itu, sementara polisi meng-gertaknya karena curiga ia sengaja memikat para penyerangnya. Orangtua para pelaku memperlakukannya sebagai penjahat yang merusak anak-anak mereka. Bahkan, orangtuanya sendiri yang sudah bercerai hanya menunjukkan sedikit simpati.

Secara perlahan dan hati-hati, sutradara menampilkan bagai-mana ekspresi wajah Gong-ju yang tenang dan menyembunyikan ketakutannya. Film ini memperlihatkan dunia yang menakutkan yang dihadapi oleh seorang remaja yang tidak mampu melindungi dirinya sendiri dan tidak mendapatkan perlindungan dari orang dewasa di sekitarnya. Di mata gadis yang ketakutan ini, dunia kese-harian yang damai secara bertahap berubah menjadi dunia yang keras dan kejam yang sangat individualis. Ia tidak berdaya. Dari awal cerita, kamera fokus pada reaksi Gong-ju ketika ia mencoba meng-hadapi dunia dengan caranya. Ia berpura-pura tak berbeda dengan dunia di sekelilingnya dan berusaha menjalin pertemanan di sekolah baru. Tapi ketika ia merespon sebuah sapaan ramah, kenangan akan kejadian yang menakutkan itu kembali tergambar jelas, seolah men-ghancurkan harapannya menikmati persahabatan baru.

Seorang Diri Menghadapi Dunia yang MenakutkanKemudian sampailah pada titik yang tidak tertahankan dalam film

dan penonton bertanya-tanya berapa lama ia harus berjuang sendi-ri, setelah melihat orang-orang di sekeliling Gong-ju kurang peduli

Film‘HanGong-ju’Antara Keputusasaan dan Penghiburan

HIBURAN

Kim Young-jin Kritikus Film

“Han Gong-ju,” karya besar sutradara Lee Su-jin, adalah salah satu dari beberapa film Korea yang baru-baru ini menyita perhatian dunia. Setelah tayang perdana dalam Festival Film Internasional Busan ke 18 tahun lalu, dan sebelum tayang di Korea bulan April tahun ini, film ini sudah menjadi berita besar dengan diterimanya beberapa penghargaan pada Festival Film Internasional Rotterdam ke 43, Festival Film Internasional Marrakech ke 13, dan Festival Film Asia Deauville ke 16. Kritikus dari dalam dan luar negeri menyatakan bahwa film itu menggambarkan serangkaian depresi yang dialami masyarakat Korea dewasa ini.

Page 53: Koreana Autumn 2014 (Indonesian)

SENI & BUDAYA KOREA 51

pada kesedihannya dan tetap dengan suka cita menjalankan bisnis-nya. Para penonton ingin menolongnya, namun tidak bisa. Nona Jo, wanita setengah baya yang ditinggali sementara oleh Gong-ju, mem-perlihatkan sebaliknya. Jo tinggal sendiri dan menjalankan usaha supermarket. Ia adalah pribadi yang mandiri yang berusaha memenu-hi keinginannya dengan caranya sendiri. Ia menjalin hubungan deng-an kepala polisi di wilayah itu, dan meskipun ia dipukuli oleh istri pasangannya itu ketika perselingkuhan terbongkar, ia tidak malu. Ketika Gong-ju membantu merawat lukanya, Jo mengatakan, “Cinta lebih memikat jika tumbuh dalam bahaya,” seolah untuk memben-arkan perbuatannya.

Keadaan yang sangat berlawanan antara penyerangan seksual yang dialami Gong-ju dengan dan kisah cinta Jo yang tak kenal malu memperlihatkan bagaimana film ini berusaha mengaburkan batasan moral dan etika. Hal ini menunjukkan bahwa moral dan etika adalah konsep yang sangat relatif, sementara poin pentingnya adalah apakah seseorang memiliki kemampuan membela dirinya sendiri. Ketika ayah Gong-ju meracau pada saat mabuk dan setelah meneri-ma uang dari orangtua penyerangnya karena tidak menuntut, satu-satunya hal penting dalam masyarakat adalah siapa yang lebih ber-kuasa. Berbeda dari tokoh lain dalam film, Jo adalah seseorang yang sedikit disukai, yang justru mengejutkan penonton. Ia jujur sekalipun berbuat salah, dan berbeda dari orang-orang dewasa yang hipokrit. Kejujuran mampu menyelamatkannya dari antipati dan hal ini men-cerminkan distorsi pola pikir masyarakat kita dewasa ini.

Musim semi yang lalu, masyarakat Korea mengalami depresi kolektif setelah ferry Sewol tenggelam dengan menelan korban beberapa ratus siswa sekolah menengah, yang ternyata telah mela-laikan ketentuan mengenai keamanan berlayar. Melalui siaran lang-

sung, publik melihat dengan rasa ngeri ketika siswa-siswa yang masih belia tak dapat diselamatkan karena usaha penyelamatan yang kurang. Sebab terjadinya kecelakaan yang mengerikan masih belum diidentifikasi dengan jelas, petugas yang berwenang yang hanya saling tunjuk, suara-suara yang mencerca moral korupsi dalam masyarakat kita membanjiri media dan kanal SNS. Dalam situasi ini, sorotan kamera dalam “Han Gong-ju” mengajak intro-speksi dan konsolasi lebih dalam daripada sekadar pernyataan penyesalan.

Dalam film itu, orang dewasa tidak peka dan meninggalkan korban yang masih belia gemetar karena takut. Adegan-adegan yang secara konsisten memperlihatkan bahwa kita tidak dapat dan sebaik-nya tidak berusaha mengukur keputusasaan dalam diri anak gadis itu. Adegan-adegan yang dipenuhi dengan keraguan, kemarahan, simpati, dan kejadian memalukan menimbulkan kesedihan yang sangat emosional. Sang sutradara, yang putus asa mengenai keada-an masyarakat Korea saat ini, memilih film sebagai sarana penghi-buran kepada mereka yang menjadi korban.

Film debut Lee Su-jin “Han Gong-ju,” melukiskan dan menampilkan melalui ketenangan kamera bagaimana tatapan seorang gadis korban kekerasan seksual dalam bertahan dan mengatasi rasa sakit.

Page 54: Koreana Autumn 2014 (Indonesian)

Belajar Kerja Keras dari

Gelombang KoreaDevie Rahmawati

Dosen Universitas Indonesia

Saya adalah satu dari sedikit orang yang keberatan menyebut videoklip Gangnam Style lucu. Saya lebih sepakat untuk menyebutnya jenius. Perpaduan kecakapan dan kerja keras yang

langka. Dan, saya iri.Videoklip dibuka dengan Psy berjemur di atas pasir. Dikira pantai,

ternyata ia hanya berada di tengah-tengah taman bermain. Psy kemu-dian berdansa-dansa dengan gaya menunggangi kudanya mengitari berbagai lanskap Distrik Gangnam. Ia berdisko di antara para ibu dalam bus darmawisata. Bersauna bersama mafia Korea. Bernyanyi-nyanyi tak jelas di antara dua pria tua yang bermain catur sebelum mereka jungkir balik karena ledakan entah dari mana.

Sekadar adegan-adegan jenaka acak yang dicampur aduk tanpa pe-rencanaan? Tidak. Semua detail, saya merasakan, diatur dengan begitu baik. Dansa Gangnam sendiri, misal. Dansa menunggang kuda itu punya goyangan dan hentakan yang amat padan dengan musik elektrik yang dibawakan Psy. Setiap gerak tubuh para penampil merespons dengan sangat tepat tiap alunan dari musiknya.

Saya pernah tak sengaja menyapa videoklipnya tanpa mendengarkan musiknya. Aneh. Gerakan dansa kocak yang mendunia itu terasa garing tanpa musik yang menyertainya. Dalam pengertian tertentu, demikian juga sebaliknya. Tanpa videoklipnya, lagu Gangnam Style tak akan per-nah merambat sangat kencang seperti saat di puncak ketenarannya. Banyak yang terdorong mendengarkan lagu ini awalnya karena banyak

ESAI

52 KOREANAMusimGugur2014

Page 55: Koreana Autumn 2014 (Indonesian)

yang memperbincangkan atau bahkan memeragakan gaya berkuda Gangnam Style.

Artinya, apa? Artinya, setiap elemen dirancang dengan perhitungan mendalam agar lagu ini menjadi hits. Setiap kelakuan absurd Psy yang ditampilkan bukanlah aksi kocak acak namun dibuat agar kita terus ter-hisap di dalamnya. Memang, ia membutuhkan keberuntungan untuk mencetak viralitas. Tapi saya suka mengatakannya begini; keberuntung-an adalah tiupan angin yang dibutuhkan untuk berlayar saat kapal layar itu sendiri telah dipersiapkan dengan kerja keras.

Saya sama sekali tak hapal satu pun boyband atau girlband K-Pop. Sekali melihat Justin Timberlake, saya akan mengenalinya. Tapi sekali melihat seorang mahabintang K-Pop, saya tak akan bisa membedakan-nya dengan bintang K-Pop lainnya. Namun seketika saya melintas di depan pusat perbelanjaan elektronik, saya tercengang dengan video-klip yang menampilkan satu boyband Korea. Bagaikan sungai, gerakan mereka begitu mengalir. Namun bagaikan mesin kendaraan, masing-masing bergerak begitu serempak dan padan. Sungguh menyihir.

Dengan kerja kerasnya, industri hiburan Korea tampaknya ingin memastikan bahkan orang yang sekadar menonton selintas pandang dapat mereka pikat dan renggut menjadi konsumennya. Mereka meng-inventarisir setiap item yang dapat menjadi peluang untuk memperluas basis penikmat mereka dan menggarapnya sebaik-baiknya.

Apakah merebaknya Gelombang korea atau Hallyu saat ini merupakan sebuah kebetulan?

Kalau ada seseorang yang bertanya demikian, hanya ada satu jawaban. Tidak. Tidak sama sekali. Ada alasan mengapa satu negara--Korsel--begitu merambah pikiran warga dunia saat ini dan yang lainnya tidak. Dari pengalaman-pengalaman pribadi menikmati--atau, tepatnya, kebetulan menjumpai--produk kebudayaan Korea ini, saya tahu alasan-nya. Siapa pun tahu alasannya. Semua tertata dengan demikian apik. Setiap kemungkinan diantisipasi dengan cakap.

Saya kira, iri adalah hal yang wajar dialami siapa pun dari negeri saya. Banyak artis yang melejit pamornya semata karena suratan takdir: karena beruntung. Sama banyaknya dengan acara televisi yang marak ditonton padahal tak digarap dengan baik--bahkan tak punya skrip! Keberuntungan, yang kontribusinya bagi kesuksesan pekerja dunia hiburan Korsel lima puluh persen, mungkin menjadi sembilan puluh persen kontribusinya bagi sebagian segmen ranah entertainmen negeri saya.

Sementara di sisi lain, banyak pekerja hiburan luar biasa di Tanah Air yang justru tak memperoleh tempat selayaknya. Sekelompok pelawak saling mencemooh satu sama lain tak karuan di televisi besar dalam satu malam dapat puluhan juta Rupiah. Seorang maestro tari Saman, misal, di sisi lain, harus bekerja berbulan-bulan untuk memperoleh nominal yang sama.

Invasi hiburan Korea penting untuk dimaknai bukan sekadar sebagai hiburan. Ia adalah kesempatan yang baik untuk belajar. Tak ada urusan seseorang diangkat televisi besar. Tak ada urusan seseorang terlahir rupawan atau memiliki segala keberuntungan di dunia ini. Hanya ada satu bahasa yang berlaku untuk semua yang ingin memasuki gerbang-nya. Kita tahu: kerja keras.

SENI & BUDAYA KOREA 53

Page 56: Koreana Autumn 2014 (Indonesian)

54 KOREANAMusimGugur2014

SiPencuriNasi

Kepiting yang ditangkap dari sungai dan laut menjadi bahan masakan Korea sejak zaman dahulu. Berbagai jenis kepi-ting dengan bentuk serta beranekaragam rasa disajikan di

meja makan: ggotge (kepiting biru atau blue crab), dolge atau ming-gotge (kepiting dayung Asia atau Asian paddle crab), chamge (kepi-ting sarung tangan China atau Chinese mitten crab), teolge (kepi-ting berambut), bange, nongge, dan chilge. Kepiting dimasak dengan berbagai cara, terutama direbus atau dibuat sup. Namun masakan kepiting yang paling enak sebagai lauk-pauk adalah gejang. Pada zaman dulu, orang menyebut gejang sebagai gejeot. Pada sebuah kapal yang tenggelam di bawah Laut Barat, kapal perdagangan zaman kerajaan Goryeo (918-1392), ditemukan wadah untuk gejeot dan potongan bambu yang berisi catatan tentang gejeot. Dari temuan tersebut dapat disimpulkan bahwa gejang telah berperan sebagai pembangkit selera orang Korea sejak 300 tahun yang lalu.

Inti Rasa Gejang Ada di Kecap AsinDi antara berbagai teks yang berkenaan dengan makanan pada

zaman Kerajaan Joseon (1392-1910), ditemukan banyak catatan mengenai kepiting fermentasi dengan kecap asin. Terdapat berba-gai cara dan bahan untuk membuat kepiting fermentasi, misalnya dengan menggunakan sisa alkohol (alcohol dregs), anggur beras (clear rice wine), air garam, cuka, dan kecap asin. Di antara sejum-lah cara dan bahan tersebut, yang paling tua adalah cara memfer-mentasi kepiting dengan kecap asin yang telah dididihkan dengan berbagai bahan kemudian didinginkan. Sebetulnya, inti rasa gejang bukan terletak pada daging manis yang ada di dalam kepiting. Jika difermentasi dengan kecap asin selama dua minggu, daging kepiting menjadi lembut dan rasanya bertambah sedap. Oleh karena itu, inti dari gejang ada pada kecap asin yang merendam daging kepiting di

dalamnya. Kecap asin yang mengandung rasa kepiting ini juga dapat digunakan sebagai bumbu untuk berbagai lauk-pauk.

Pada zaman dulu gejang dibuat dengan kepiting sarung tangan China (Chinese mitten crab) yang mudah didapati dari sungai atau sawah. Kepiting yang ditangkap dari hilir Sungai Imjin pada akhir bulan November ini dianggap sebagai nomor satu karena penuh telur dan isi di dalamnya. Sebenarnya kepiting sarung tangan China tidak mem-punyai daging yang banyak dibandingkan dengan kepiting biru, tetapi daging kuning tua atau yang disebut crab mustard di dalam kepi-ting sarung tangan China mempunyai aroma yang luar biasa. Oleh karena kulitnya keras, proses fermentasi kepiting sarung tangan China memerlukan waktu yang cukup lama, kurang lebih tiga bulan. Namun gejang yang dibuat dengan kepiting sarung tangan China ini menjadi lauk-pauk yang tak ada bandingannya. Orang dapat menikmati gejang selama berhari-hari dengan cita rasa yang sangat kaya.

“Aroma gejang kuning di dalam kulit/lezatnya daging yang ada di dalam kaki/bangsawan yang hidup dengan mewah di istana/tidak pernah tahu rasa selezatnya itu.” Di dalam sajak yang ditulis Yi Eung-hi (1579-1651), seorang sarjana pada zaman Kerajaan Jos-eon, penyair yang sengaja memilih kehidupan sederhana di desa menyebut “gejang kuning” sebagai “geumjang” (yang berarti gold-en crab in soy sauce). Sangat mungkin gejang dalam sajak tersebut dibuat dengan kepiting sarung tangan China. Dalam sajak itu dia menggambarkan betapa sedapnya gejang, lauk-pauk sederhana untuk rakyat jelata. Sang penyair juga ingin menekankan bahwa gejang tidak kalah jika dibandingkan dengan makanan bangsawan yang mewah di istana. Di Jeokseong-myeon di Kota Paju City dan Baekhwa-myeon di Yeoncheon tempat Sungai Imjin mengalir ke Laut Kuning, masih dapat ditemukan beberapa restoran yang sangat ter-kenal dengan hidangan gejang-nya.

KENIKMATAN GOURMET

Bapdoduk si pencuri nasi. Ungkapan Korea tersebut adalah julukan untuk sejenis lauk yang membuat kita menghabiskan semangkuk nasi dengan cepat. Makanan Korea tradisional biasanya disajikan dengan nasi (atau biji padi yang telah ditanak) dan beberapa banchan atau lauk pauk. Nasi merupakan makanan utama sedangkan banchan berfungsi membantu kita menghabiskan nasi. Banchan dapat membuat kita menjadi sangat menikmati nasi dan makan banyak sehingga dianggap sebagai bapdoduk yang berarti ‘pencuri nasi.’ Dia memang pencuri tetapi pencuri yang disambut hangat di atas meja makan.

Ganjang GejangJeong Eun-suk Kolumnis MakananLim Hark-hyoun, Cho Ji-young Fotografer

Page 57: Koreana Autumn 2014 (Indonesian)

SENI & BUDAYA KOREA 55

Gejang adalah hidangan dari kepiting utuh yang difermentasi dalam kecap rebus. Dengan daging kepiting yang lembut serta diresapi dengan rasa kecap yang lezat merupakan salah satu lauk yang paling disenangi oleh masyarakat Korea.

Jeong Eun-suk Kolumnis MakananLim Hark-hyoun, Cho Ji-young Fotografer

Page 58: Koreana Autumn 2014 (Indonesian)

56 KOREANAMusimGugur2014

Dari Rasa Kental sampai Kesegaran Mentah yang Lezat

Di masa sekarang gejang dibuat dengan kepiting biru (blue crab), kepiting air asin. Sekitar tahun 1960-an dan 1970-an terjadi perubahan bahan untuk membuat gejang yaitu dari kepiting air tawar ke kepiting air asin. Hal itu disebabkan karena hasil penangkapan kepiting air tawar semakin berkurang sedangkan hasil penangkapan kepiting air asin semakin tinggi dengan kemajuan teknologi, proses distribusi yang bertam-bah cepat, dan cara penyimpanan yang semakin baik. Selain itu, waktu yang diperlukan untuk memfermentasikan kepiting biru di dalam kecap asin relatif pendek mengingat daging kepiting yang tersedia banyak dan segar. Tambahan lagi, orang-orang cenderung lebih menyukai rasa yang kurang asin, manis dan hidangan yang lebih banyak berisi daging daripada gejang yang dibuat dengan cara tradisional.

Pada bulan April dan Mei, di saat musim bunga adalah musim kepiting biru betina. Pada musim tersebut kepiting biru betina yang banyak daging dan telurnya memunculkan diri di air laut dangkal. Maka para ibu rumah tangga pun sibuk membuat gejang. Setiap rumah penuh dengan aroma kecap asin yang dididihkan dengan bawang putih, jahe, dan bawang bombay. Kepiting betina yang telah dibersihkan dengan baik ditumpukkan berlapis-lapis di dalam wadah kemudian kecap asin yang telah dingin dituangkan di atas-nya. Setelah itu, kecap asin dikeluarkan dari wadah lalu dididihkan kembali untuk kemudian dituangkan lagi. Proses tersebut dilaku-kan berulang kali, kira-kira 3-4 kali. Untuk memperolah gejang yang enak orang harus menunggu selama kurang-lebih dua ming-gu. Jika proses fermentasi telah selesai, semua anggota keluarga duduk di meja makan dan pesta ‘Bapdoduk (Pencuri Nasi)’ pun dimulai di rumah. Kaki kepiting yang telah dipotong, agar mudah dimakan, diambil lalu diisap dagingnya. Nasi dicampurkan den-gan isi kepiting yang ada di dalam kulit belakangnya. Selama bebe-

rapa hari gejang tetap disajikan di meja makan setiap hari. Jika daging kepiting telah habis, orang

masih tetap makan gejang dengan mencampurkan nasi dan kecap asin yang beraroma kepiting.

Menikmati Gejang di Luar RumahSebetulnya belum begitu lama orang-orang menikmati gejang

di restoran. Kurang-lebih 30 tahun yang lalu, muncul bebe-rapa restoran yang menyajikan gejang sebagai makanan spesial restoran mereka. Dari gejang yang dimasak dengan kepiting sa-rung tangan China dari Sungai Imjin di Provinsi Gyeonggi dan Sung-ai Seomjin di Provinsi Gyeongsang, sampai gejang yang dimasak dengan kepiting dayung atau paddle crab dari Yeosu, provinsi Sela-tan Jeolla. Setiap gejang memiliki rasa tersendiri yang unik dan menarik para ahli pencicip makanan atau gourmets. Restoran yang terkenal sebagai restoran gejang ada di daerah pesisir Laut Barat seperti Gunsan. Gejang kepiting biru atau blue crab di Gunsan paling terkenal sampai menjadi masakan yang mewakili daerah Gunsan. Ada juga daerah yang terkenal dengan gejang di Kota Seoul yang disebut lorong gejang (gejang alley). Kira-kira 30 tahun yang lalu sebuah restoran di daerah tersebut menyajikan gejang sebagai salah satu lauk-pauk di meja makan untuk tim pemain baseball. Tim tersebut sangat menggemarinya sehingga gejang di restoran itu menjadi sangat terkenal sampai kemudian sejumlah restoran ikut menyajikan gejang sebagai menu utama. Di daerah yang terkenal dengan gejang-nya banyak terlihat orang asing yang menikmati gejang dengan nasi. Orang Jepang sangat menggemari gejang karena budaya kuliner Korea dan Jepang sangat menyukai kecap asin dan makanan mentah.

Bagi orang asing yang datang ke Joseon pada 300 tahun yang lalu gejang hanyalah sekadar makanan asin yang disajikan dengan piring kecil. Namun di masa sekarang, kedudukan gejang dalam budaya kuliner Korea telah berubah.

Gejang bukan sekadar daging manis yang ada di dalam kepiting. Setelah difermentasi dengan kecap asin selama dua minggu, daging kepiting itu menjadi lembut dan rasanya bertambah sedap. Oleh karena itu inti dari gejang ada pada kecap asin yang merendam daging kepiting di dalamnya.

Page 59: Koreana Autumn 2014 (Indonesian)

SENI & BUDAYA KOREA 57

1. Kotge yang gemuk, daging manis, adalah varietas yang paling disukai sebagai bahan membuat Gejang.2. Aroma khas telur kepiting begitu istimewa, kepiting betina yang paling sering digunakan untuk Gejang.3. Bagian dalam kepiting dan telur, bersama dengan saus beras dan kedelai, diramu dan disajikan dalam cangkang untuk membuat hidangan yang sangat istimewa.

32

1

Page 60: Koreana Autumn 2014 (Indonesian)

58 KOREANAMusimGugur2014

Setiap pagi, sebagian besar dari kita melihat pemandangan yang tak jauh berbeda dari hari sebelumnya. Orang dewasa yang berjalan tergesa-gesa dan siswa sekolah berlari ke

sekolah. Namun apa yang terjadi jika suatu hari seseorang dengan pita merah atau biru di pundaknya menghalangi pandangan dan menyapa kita? Anda pasti akan menemukan spanduk besar yang tergantung di belakang orang tersebut, dengan motif yang senada entah itu merah atau biru, menggembar-gemborkan kandidat politik suatu partai. Ketika spanduk baru muncul di sepanjang jalan yang lalu-lintasnya padat, pasti ada sesuatu yang sedang terjadi dalam bisnis atau politik.

Pesan untuk Iklan DiriSelama musim pemilihan, pusat kota menjadi hutan spanduk

kampanye yang menyuarakan slogan aneh, yang menempati semua wilayah pandang mata Anda, dari bawah hingga tempat tertinggi. Masyarakat mengeluhkan spanduk raksasa yang menutup sisi gedung dan mengubah wajah kota; dan sebagian dari mereka men-gutuk “polusi spanduk” ini. Setelah pemilihan usai, hampir tak ada yang berubah kecuali pesan yang disampaikan menjadi: “Terima Kasih!” Pemenang pemilihan dan partainya menyapa para pemilih dengan spanduk yang juga merupakan pengingat mengenai pemi-lihan yang akan datang.

Pola yang sama terjadi dalam dunia akademik: ketika musim ujian masuk perguruan tinggi telah selesai, sekolah menengah dan lembaga kursus menggantung spanduk di gedung mereka yang bertuliskan: “Selamat!” Mereka dengan bangga mengumumkan nama-nama siswa yang berhasil, memberikan ucapan selamat kepada mereka atas kerja kerasnya berhasil masuk ke univer-sitas bergengsi. Sekolah menengah dan lembaga kursus ini memi-liki motif pribadi dalam memasang spanduk, yaitu menunjukkan bahwa: “Sekolah menengah kami berada di peringkat atas” atau “Lembaga kursus kami sangat baik, daftar sekarang.”

Kritikus mengatakan spanduk ini menunjukkan persaingan yang sangat sengit dalam ujian masuk perguruan tinggi. Sekolah meneng-ah memfokuskan pada ujian masuk universitas peringkat atas, dan mengklaim nilai ujian masuk para lulusannya sebagai pencapaian mereka. Mereka ingin meningkatkan kepedulian mengenai per-samaan kesempatan belajar. Banyak sekolah menengah sebenarnya telah dilarang memasang spanduk semacam itu selama beberapa tahun. Namun, para orangtua mengatakan bahwa mereka perlu informasi yang biasa didapatkan melalui spanduk ini ketika ingin mengetahui keadaan suatu sekolah.

Pesan sederhana “Terima Kasih!” atau “Selamat!” dimaksudkan sebagai iklan terselubung. Masyarakat sadar akan hal ini tapi nam-paknya mereka tidak keberatan.

MenjajakanMimpi,BerbagiKepedulian

GAYA HIDUP

Dijual: Apartemen. Pertunjukan Konser. Obral! Penutupan Usaha. Pembukaan Usaha Baru. Kursus Bahasa Inggris. Tersedia Pinjaman. Dunia kita kini penuh dengan spanduk yang jumlahnya tak terhitung dan terus menyampaikan pesan kepada pengguna jalan. Spanduk ini ada di mana-mana, sebuah pemandangan yang tak bisa dihindari oleh mereka yang hidup di kota metropolitan seperti Seoul. Karena kita tak bisa menghindari spanduk di sekitar kita, mari kita lihat pesan yang disampaikannya.

Lautan Spanduk

Kim Sang-kyuProfesor, Departmen Desain, Seoul National University of Science and TechnologyCho Ji-young Fotografer

Page 61: Koreana Autumn 2014 (Indonesian)

SENI & BUDAYA KOREA 59

Di banyak bagian pusat kota Seoul, kesem-rawutan spanduk yang bersaing untuk ruang visual sangat beran-takan, namun kritik akhirnya bangkit mela-wan “polusi spanduk”

Page 62: Koreana Autumn 2014 (Indonesian)

60 KOREANAMusimGugur2014

Berbagi Kepedulian, Menawarkan KenyamananJika sebuah spanduk tiba-tiba muncul di sisi jalan di dekat per-

simpangan, bisa ditebak bahwa ada yang sedang mencari saksi tabrak lari. Sangat tidak adil ketika pengemudi melarikan diri ketika korban yang terluka berjuang antara hidup dan mati! Spanduk itu harusnya dipasang dengan harapan menemukan pelaku dengan bantuan para saksi mata. Spanduk seperti ini merupakan preseden penggunaannya dalam seni. Pada acara Bienniale Gwangju tahun 2002, Yoon Dong-chun memasang beberapa spanduk di beberapa titik di sekitar kota, yang bertuliskan: “Mencari Saksi.” Hal ini men-gingatkan sebuah spanduk yang dipasang di bulan Mei 1980 untuk mencari orang-orang yang hilang dalam gerakan kekerasan militer pro-demokrasi di Gwangju. Spanduk Yoon mengingatkan kesedihan mengenai para korban yang dilupakan.

Persimpangan Gwanghwamun di kota Seoul sangat padat den-gan kendaraan dan pejalan kaki. Di sekitar wilayah tersibuk di pusat kota ini, setiap bangunan memasang layar elektronik raksasa dan menyampaikan pesan massing-masing, seperti sebuah kompetisi. Namun, beberapa tulisan di sudut sepi justru menyita perhatian.

Sejak 1991, spanduk dengan pesan sederhana sudah mulai dipas-sang, mengikuti apa yang dilakukan Kyobo Life Insurance. Awalnya, spanduk sebagian besar berisi kata-kata yang menginspirasi, tapi selama krisis keuangan Asia tahun 1997-1998, pesan berupa kata-kata penghiburan membuat banyak orang menjadi pengangguran dan terpuruk dalam keadaan ekonomi dan sosial yang membuat depresi. Selain spanduk Kyobo yang terkenal, spanduk-spanduk lain yang mengandung pesan mengenai isu publik dapat juga ditemu-kan dewasa ini. Kini, banyak spanduk menyelubungi bangunan-ban-gunan di kota untuk mengenang tragedi ferry Sewol. Di beberapa bangunan spanduk yang menyatakan ungkapan dukacita kepada korban lebih banyak dari pada spanduk bisnis.

Merefleksikan WaktuKampus di Korea adalah hutan spanduk sepanjang tahun. Ketika

masa istirahat usai dan semester baru sudah dimulai, spanduk ter-pampang menyebarkan semangat dan janji bagi siswa dan dipa-sang juga di sepanjang jalan menuju ke gedung utama. Terdapat juga papan informasi buletin, tapi spanduk lebih banyak digunakan

1

Page 63: Koreana Autumn 2014 (Indonesian)

SENI & BUDAYA KOREA 61

karena dianggap lebih efektif. Kelompok siswa yang merekrut ang-gota baru, informasi mengenai tes kemahiran berbahasa seperti TOEFL dan TOEIC, pengumuman senat mahasiswa tentang suatu acara atau pandangan politik tertentu. Terdapat banyak span-duk dengan banyak pesan yang akan disampaikan, yang ditujukan kepada siapapun yang berada dalam jangkauan pandangan. Ber-jalan di antara spanduk yang tergatung tinggi dan rendah sepanjang setiap sisi jalan, seakan kita sedang membuka situs internet dengan banyak iklan yang terus muncul dan menghilang.

Di kampus-kampus, belum lama berselang, gambar dan poster tulisan tangan adalah media utama yang digunakan untuk mening-katkan kepedulian dan mengumpulkan massa. Gambar yang ter-pasang memainkan peran penting selama gelombang gerakan demokrasi mahasiswa pada tahun 1980an. Di lingkungan kampus yang biasa dipergunakan sebagai tempat berkumpul, kain yang ditu-lis tangan dengan pesan dan gambar dipasang sebagai backdrop di mana-mana. Poster dengan tulisan tangan yang dipasang di din-ding berisi beragam pandangan mengenai sebuah isu. Mahasiswa memberi perhatian pada pesan yang disampaikan poster-poster

ini. Kaum muda dalam masa itu memakai pesan pendek, jadi span-duk yang ada saat ini dianggap sangat efektif dalam menyampaikan pesan dibanding menggantung gambar atau poster dengan tulisan tangan.

Banyak spanduk muncul di Korea, yang artinya terdapat banyak tempat yang memproduksinya. Di pusat bisnis, menemukan toko yang membuat dan mencetak spanduk tidaklah sulit. Kini, span-duk dapat juga dipesan melalui internet, seringkali dengan harga yang murah dan dengan produk akhir yang dikirimkan lebih cepat di Korea dibanding di negara lain. Seiring banyaknya spanduk yag dihasilkan, makin banyak juga limbahnya.

Dalam pemilihan umum terakhir bulan Juni, spanduk yang tak terhitung jumlahnya tergantung di mana-mana. Di manakah span-duk-spanduk itu sekarang? Spanduk yang ilegal dan sudah tidak berlaku diambil dan dibuang oleh pemerintah daerah. Beberapa bagian spanduk dapat didaur ulang untuk beragam penggunaan. Misalnya, salah satu proyek publik memakai spanduk bekas untuk membuat tote bag. Warga kota melihat usaha daur ulang ini sebagai upaya menyelamatkan sumber daya alam dan lingkungan.

1.“Looking for the Wit-ness” (2002) karya Yoon Dong-chun, dimensi variabel, dicetak pada kain, sebuah karya yang dikirimkan ke Biennale Gwangju tahun 2002. Spanduk didirikan di beberapa lokasi di kota sebagai motif karya seni.

2, 3, 4.Reblank dikenal me-manfaatkan kembali spanduk yang dibuang untuk dijadikan produk desain yang unik. Tas, pensil dan produk lainnya mendapatkan respon positif dari kon-sumen.

2

3

4

Page 64: Koreana Autumn 2014 (Indonesian)

62 KOREANAMusimGugur2014

Dalam cerita Kim Kyung-uk yang lain, “Millennial Queen,” kita menemukan seorang lelaki yang bekerja keras siang dan malam untuk menulis sebuah novel. Dalam rangka

mendapatkan pengakuan sebagai novelis, ia berhenti dari pekerjaan-nya, meninggalkan kota, dan mangkal di studio yang didirikannya di lembah pegunungan terpencil, tempat ia menderita “sakit pe-nulis.” Kadang-kadang, ia menunggu pujian kepadanya yang segera menumpuk dalam kaitannya dengan penciptaan sastra, dan seketika rasa sakitnya berubah jadi menyenangkan. Tetapi kemudian istrinya berkata, bahwa ia mungkin pernah melihat di suatu tempat sebelum alur cerita atau isi novel yang ditulis suaminya dengan begitu susah payah. Dan benar, untuk menyatakan frustrasinya, alur atau isi cerita itu ada, ia menemukan, dalam buku istrinya yang tadi dikatakannya. Mondar-mandir ia berjalan ke dinding frustrasi; merasakan “sakit penulis” dan terbukti ia menderita yang lalu menjadi penderitaan sia-sia. Lelaki itu merangkum dan menyimpan apa yang dia pelajari dari situasi seperti itu:

Ada dua cara yang dapat dilakukan dalam rangka membangun sebuah dunia yang orisinal. Entah Anda pernah membaca satu buku atau membaca semuanya.

Jika kita melihat karya ini sebagai metafiksi, “sakit penulis” yang dialami lelaki itu, karya fiksinya berdasarkan penderitaan dan suk-acita yang berulang yang dirasakan sastrawan Kim Kyung-uk. Tentu saja, dalam “Bacaan Berbahaya” ia memperingatkan pembaca ter-hadap kebiasaan bodoh mengidentifikasi tokoh fiksi dengan pen-

garangnya, jadi ini tidak lebih dari sebuah dugaan liar. Namun, jika kita ingat gagasan pengarang bahwa seseorang dapat didefinisikan sebagai “buku yang harus dibaca,” tampaknya tidak terlalu dibuat-buat untuk membaca seseorang yang berjuang begitu keras untuk menulis cerita sebagai potret pengarang. Perjalanan sastra Kim Kyung-uk selama lebih dari 20 tahun mungkin merupakan serang-kaian peristiwa konstan yang terjadi saat-saat sakit dan gembira. Ditegaskannya, bahwa proses membangun dunianya sendiri mem-butuhkan “ribuan pagi dan sore.”

Ketika Kim Kyung-uk memulai kariernya sebagai penulis di usia dua puluhan, dia, seperti yang dikatakannya sendiri, “seorang pe-nulis yang tidak membaca satu buku pun.” Inspirasi yang diberikan oleh kebaruan semata-mata dengan memanfaatkan bahan baku yang semua sudah tersedia, karena ia tidak membaca satu buku pun. Novelis yang baru lahir, menulis dengan memasukkan peng-alaman hidup, preferensi budaya, dan kepekaan sebagai generasi muda zamannya. Dia menyerap sepenuhnya bahan-bahan milik sas-tra sendiri sebagai semboyan utama tahun 1990-an - film, jazz, kafe, depresi, dan kebosanan. Bagi Kim saat itu, dalam rangka mencipta-kan dunia yang asli, cukup mengungkapkan seseorang yang berasal dari diri sendiri. Itulah yang menjadi ciri khas sebagian besar karya-nya yang diterbitkan sampai awal 2000-an.

Sejak pertengahan dekade selanjutnya, Kim Kyung-uk menjadi seorang penulis yang “membaca semuanya.” Perubahan ini jelas dalam sikapnya untuk menulis fiksi sejarah. Dalam novel Millennial Kingdom (2007), ia mengambil latar zaman Kerajaan Joseon, abad ke-17 yang menggambarkan kebiasaan periode saat ia menelusuri

PERJALANAN KESUSASTRAAN KOREA

KRITIK

Membaca:MembebaskanKita Chang Du-yeong Kritikus Sastra

Ketika Kim Kyung-uk (1971- ) memulai kariernya sebagai penulis, dia berusia dua puluh tahun—“yang tak membaca satu buku pun.” Kemudian titik balik terjadi. Ia dikejutkan hal-hal baru yang menyimpang dari bahan baku yang tersedia. Ia berubah menjadi penulis yang intens membaca “semua buku dunia.” Itu semacam obsesi kepenulisannya yang diwujudkan dalam cerita pendek “Bacaan Berbahaya.” Melalui pekerjaan tokoh utama sebagai ahli terapi membaca, cerpen itu membawa kita pada perjalanan penuh warna melalui dunia buku.

Page 65: Koreana Autumn 2014 (Indonesian)

SENI & BUDAYA KOREA 63

pengalaman dan perasaan batin para pelaut Belanda yang terdam-par di Weltevree. Dalam rangka menghadirkan masa lalu dan me-rangsang imajinasi, pengarang harus berkonsultasi dengan sejumlah sumber. Hanya setelah ia menerima dunia orang lain yang dibangun dan dicerna sendiri, dapatlah dia mulai merentangkan imajinasinya.

Dalam cerpen “Bacaan Berbahaya” yang kemudian menjadi judul antologi cerpennya yang terbit 2008, keinginan pengarang yang mulai menulis setelah “membaca segala sesuatu” tampak digam-barkan lebih jelas. Sebagaimana layaknya sebuah karya dengan tokoh utama yang pekerjaannya tidak lazim, yaitu sebagai “ahli terapi membaca,” ada beberapa referensi yang mengacu pada karya-karya sejumlah penulis. Preferensi itu tidak hanya pada karya besar para penulis seperti Friedrich Nietzsche, Albert Camus, Vladimir Nabo-kov, JD Salinger, Milan Kundera, dan Osamu Dazai, tetapi juga pada cerita detektif, bahkan “The Maltese Falcon” karya Dashiell Ham-mett disebutkan satu per satu dalam pesona merayakan buku.

Jika “Bacaan Berbahaya” memprovokasi kekaguman, itu di-sampaikan tidak sekadar pada catatan pelayaran intelektual tokoh utama yang berwarna-warni. Keangkuhan tokoh utama, yang pada awalnya memandang rendah wanita yang dia sapa sebagai “You,” sementara memperlakukan dan memamerkan pengetahuan sas-tranya sebagai perkembangan narasi, mulai retak yang dalam per-jalanan selanjutnya pada akhirnya runtuh. Sebagai ahli terapi dengan baju besi superioritas intelektual juga akhirnya ambruk dari pelana kudanya saat ia melakukan kontak dengan lawan jenis, efek dari bacaannya sebagai cendekiawan berbudaya yang seharusnya untuk menyembuhkan luka, malah lari menyemai benih ketika dihadapkan

uk menautkan keinginannya untuk menulis dengan keinginan-nya untuk membaca setiap buku yang ada. “Sejak beberapa waktu lalu, semuanya terlihat seperti sebuah buku ... Membaca itu ber-bahaya ... Karena itu membuat Anda memandang tajam pada diri sendiri.” Klaim pengarang yang menulis sebagai membaca, dan yang membaca buku dengan judul orang lain sebagai sama seperti membaca diri sendiri, adalah jelas bertentangan. Tetapi dia mem-buktikan dengan karya-karyanya sendiri yang tidak bertentangan. Semuanya yang terkait dalam “Bacaan Berbahaya” adalah tentang orang lain yang dibuat oleh pengarang pada saat yang sama, fik-sional dan berubah menjadi teks; itulah cerita tentang diri penga-rangnya sendiri.

Pengarang yang ingin membaca semua menganjurkan agar pem-baca melakukan permainan membaca, yang melibatkan pembacaan teks-teks yang kita sebut orang lain dan dunia. “Sekarang giliran Anda untuk membaca. Bacalah saya.” Usulan ini memang menarik. Sebagaimana dikatakan Roland Gérard Barthes, saya dan pembaca dapat memutuskan aturan permainan, pembaca, dengan mengi-kuti aturan-aturan yang dapat saya nikmati dengan membaca teks secara penuh, mereka benar-benar menguntungkan saya.

Meskipun demikian, pengarang mengatakan bahwa membaca itu berbahaya, dalam hal itu membuat kita memeriksa diri kita sen-diri tanpa ampun. Tetapi karena dengan membaca kita mendapat-kan kebebasan, maka jika kita kehilangan sesuatu, kita tidak akan kehilangan banyak. Kebebasan yang diawali dengan sukacita menemukan jatidirinya sendiri, sambil mengamati dan memahami orang lain dan dunia.

pada kesenangan sederhana menonton ser-ial drama televisi dan dekorasi home page internet. Daftar indah judul buku dan teori sastra mengerut sebagai kisah yang ber-jalan dalam proses mengejar makna mem-baca dengan wawasan sinis terjadinya pem-balikan cerita.

Penampilan metafiksi bahwa pengarang memanifestasikannya secara tidak terba-tas pada “Bacaan Berbahaya” dan “Millen-ial Queen,” tetapi dibagi oleh cerpen-cer-pen lain dalam antologi yang sama. Dalam karya-karya seperti “Gunner MacDonald in Operation,” “I Lend Loneliness,” dan “The Rules of the Game,” ia mengumpulkan kem-bali benda-benda biasa, fenomena, dan tempat-tempat, dan menawarkan wawasan yang lebih dalam kepada masyarakat masa kini. Dengan menggunakan bahan yang biasa dari lingkungan dunia kontemporer, seperti bisbol, surat cinta, dan pertunjukan kuis, ia menampilkan sarkasme dan kecer-dasan.

Dalam kata pengantarnya, Kim Kyung-

© Baik Da-huim

Page 66: Koreana Autumn 2014 (Indonesian)

The Korea FoundationSeocho P.O. Box 227 Diplomatic Center Building, 2558 Nambusunhwan-ro, Seocho-gu, Seoul 137-863, Koreawww.kf.or.kr

Korea FocusKOREA FOCUS adalah webzine bulanan(www.koreafocus.or.kr) yang menyajikan komentar dan

esei tentang politik, ekonomi, masyarakat, dan kebudayaan Korea, dan kaitannya dengan isu-

isu internasional. Korea Focus yang mulai diterbitkan sejak tahun 1993 memainkan peranan

sebagai jendela yang menyampaikan informasi tentang Korea yang objektif, dengan demikian

Korea Focus dapat memperluas pemahaman tentang masyarakat Korea di dunia internasional,

dan memberi sumbangan untuk mengembangkan studi Korea pada institusi ilmu pengatahuan

di luar negeri. Berita dipilih dari surat kabar, majalah, dan jurnal ilmiah.

KoreanaKoreana [www.koreana.or.kr], diterbitkan empat kali setahun dalam edisi berwarna sejak

tahun 1987, bertujuan meningkatkan kesadaran atas khazanah budaya Korea dan member

informasi tentang kegiatan seni budaya Korea mutakhir. Dalam setiap edisi Koreana mengang-

kat tema budaya tertentu dan membicarakannya dari berbagai aspek, dan memperkenalkan

seniman tradisi Korea, cara hidup, objek wisata alam, dan tema-tema yang lain.

* Pemesanan edisi lama ditambah ongkos kirim.1 Asia Timur(Jepang, Cina, Hong Kong, Makau, dan Taiwan)2 Mongolia dan Asia Tenggara(Kamboja, Laos, Myanmar,Thailand,Vietnam, Filipina,Malaysia, Timor

Leste,Indonesia,Brunei, dan Singapura)3 Eropa(termasuk Russia and CIS), Timur Tengah, Amerika Utara, Oseania, dan Asia Selatan (Afghanistan,

Bangladesh, Bhutan, India, Maldives, Nepal, Pakistan, dan Sri Lanka)4 Afrika, Amerika Selatan/Sentral (termasuk Indies Barat), dan Kepulauan Pasifik Selatan

Biaya Berlangganan

(Termasuk ongkos kirim melalui udara)

1 tahun

2 tahun

3 tahun

1 tahun

2 tahun

3 tahun

1 tahun

2 tahun

3 tahun

1 tahun

2 tahun

3 tahun

1 tahun

2 tahun

3 tahun

Daerah

Korea

Asia Timur 1

Asia Tenggara

dsb 2

Eropa dsb 3

Afrika dsb 4

Edisi lama per

eksemplar*

6,000 won

US$9

25,000 won

50,000 won

75,000 won

US$45

US$81

US$108

US$50

US$90

US$120

US$55

US$99

US$132

US$60

US$108

US$144

* Selain dari webzine, konten KOREANA dan KOREA FOCUS tersedia melalui layanan perangkat

mobile(Apple i-books, Google Books, Amazon, dan Readers Hub).

Majalah ini diterbitkan oleh Korea Foundation

Informasi Berlangganan

Page 67: Koreana Autumn 2014 (Indonesian)

TEMPEL PRANGKO

DI SINI

REPLY PAID / RÉPONSE PAYÉEKOREAN (SEOUL)

NO STAMP REQUIRED

NE PAS AFFRANCHIR

The Korea Foundation19F, West Tower, Mirae Asset Center1 Building67 Suha-dong, Jung-guSeoul 100-210Republic of Korea

Priority / PrioritaireBy airmail / Par avion

IBRS / CCRI N° : 10015-41325Termination Date : Dec. 31, 2014

The Korea Foundation19F, West Tower, Mirae Asset Center1 Building67 Suha-dong, Jung-guSeoul 100-210Republic of Korea

Nama Lengkap dan Alamat:

Page 68: Koreana Autumn 2014 (Indonesian)

Reader FeedbackPlease share your thoughts to help us improve the appeal of Koreana for our readers.

1. Do you believe that Koreana offers useful and insightful information about Korea’s culture and arts, and its contemporary society? Strongly agree Agree Not sure Disagree Strongly disagree

2. Which section/feature of Koreana do you find the most interesting/enjoyable? (Please select up to three items.) Special Feature Focus Interview Guardian of Heritage Modern Landmarks Art Review In Love with Korea On the Road Along Their Own Path Books & More Entertainment Gourmet’s Delight Lifestyle Journeys in Korean Literature

3. How would you assess the overall quality and style of Koreana (design, layout, photos, readability)? Very good Good Average Poor Very poor

4. Please feel free to provide us with suggestions, opinions, or ideas about Koreana :

5. Personal Information (optional) Name: E-mail: Age: 20s 30s 40s 50s 60+ Occupation: Country:

Autumn 2014 (Indonesian)

FORMULIR BERLANGGANAN

Mohon saya dapat dikirim faktur biaya berlangganan majalah Koreana untuk.

1 tahun 2 tahun 3 tahun

Lampirkan Daftar Biaya Berlangganan Kirim Faktur Biaya Berlangganan

NAMA:

PEKERJAAN:

INSTANSI:

Alamat:

No. Telp:Faks atau E-mail:

Page 69: Koreana Autumn 2014 (Indonesian)
Page 70: Koreana Autumn 2014 (Indonesian)