TINJAUAN KEPUSTAKAAN A. Pendahuluan Istilah kor pulmonal telah diuraikan dalam berbagai macam batasan dan definisi, dan hal ini dipengaruhi oleh perkembangan diagnostik dalam ilmu kedokteran. Pada tahun 1963, dibuat definisi kor pulmonal berdasarkan pada penemuan gejala-gejala klinis, perubahan faal jantung, dan kelainan patologi- anatomis pada jantung dan paru. 1 World Health Organization (WHO) pada tahun1963 memberikan definisi sebagai berikut : kor pulmonal adalah suatu keadaan patologis dengan ditemukannya hipertrofi ventrikel kanan yang disebabkan oleh kelainan fungsional dan struktur paru. Dalam hal ini, tidak termasuk kelainan jantung kiri, dan kelainan yang disebabkan oleh penyakit jantung bawaan. 1 Sejak 1974, telah dilakukan kateterisasi jantung dan penentuan analisis gas O 2 dan CO 2 dalam darah, dan hal ini jadi kriteria baru bagi definisi kor pulmonal. 1 1
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
A. Pendahuluan
Istilah kor pulmonal telah diuraikan dalam berbagai macam batasan dan
definisi, dan hal ini dipengaruhi oleh perkembangan diagnostik dalam ilmu
kedokteran. Pada tahun 1963, dibuat definisi kor pulmonal berdasarkan pada
penemuan gejala-gejala klinis, perubahan faal jantung, dan kelainan patologi-
anatomis pada jantung dan paru.1
World Health Organization (WHO) pada tahun1963 memberikan definisi
sebagai berikut : kor pulmonal adalah suatu keadaan patologis dengan
ditemukannya hipertrofi ventrikel kanan yang disebabkan oleh kelainan
fungsional dan struktur paru. Dalam hal ini, tidak termasuk kelainan jantung kiri,
dan kelainan yang disebabkan oleh penyakit jantung bawaan.1
Sejak 1974, telah dilakukan kateterisasi jantung dan penentuan analisis gas
O2 dan CO2 dalam darah, dan hal ini jadi kriteria baru bagi definisi kor pulmonal.1
Braunwahl, 1980, memberikan definisi kor pulmonal sebagai berikut : kor
pulmonal merupakan suatu keadaan patologis akibat hipertrofi/dilatasi ventrikel
kanan yang disebabkan oleh hipertensi pulmonal, dengan penyebabnya adalah
kelainan penyakit parenkim paru, kelainan vaskular paru dan gangguan fungsi
paru oleh kelainan dada. Tidak termasuk di sini kelainan vaskular paru yang
disebabkan oleh kelainan ventrikel kiri, penyakit ampang jantung (vitium cordis),
kelainan penyakit jantung bawaan dan panyakit jantung iskemik serta infark
miokard akut.1
1
Kor pulmonal dapat terjadi secara akut maupun kronik. Penyebab kor
pulmonal akut tersering adalah emboli paru masif sedangkan kor pulmonal kronik
sering disebabkan oleh penyakit paru obstruktif kronik (PPOK). Pada kor
pulmonal kronik umumnya terjadi hipertorfi ventrikel kanan sedangkan pada kor
pulmonal akut terjadi dilatasi ventrikel kanan.2
Angka-angka insidensi dan prevalensi beraneka ragam serta tidak sama,
bergantung pada situasi dan kondisi yang disurvei. Di daerah Massachuset angka
insedensi kecil yaitu 0,9%. Sedangkan di arizona merupakan 59% dari angka
insidensi penyakit jantung seluruhnya. Di Belgia, New Delhi, Praha, Sheffield
(Inggris), angka insidensi berkisar antara 16-33%.1
Di Amerika Serikat, Kor pulmonal diperkirakan meliputi 6-7% dari semua
jenis orang dewasa yang dengan penyakit jantung, penyakit yang berkaitan
dengan penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) yang disebabkan bronkitis kronis
atau emfisema mencapai lebih dari 50% kasus. Meskipun prevalensi dari PPOK di
Amerika Serikat adalah sekitar 15 juta, angka kejadian yang tepat dari kor
pulmonal sulit ditentukan karena tidak terjadi pada semua kasus PPOK serta
pemeriksaan fisik dan tes rutin tidak dapat mendeteksi terjadinya hipertensi
pulmonal. Pada dasarnya, kor pulmonal akut biasanya menyebabkan penyumbatan
pembuluh darah (emboli) pada paru-paru yang terjadi secara terus menerus
(masif). Tromboemboli pada paru-paru yang terjadi akut dan bersifat masif
merupakan penyebab utama dari kor pulmonal pada orang dewasa. Di Amerika
Serikat, diperkirakan sekitar 50.000 kematian terjadi setiap tahun karena emboli
2
paru-paru dan sekitar setengahnya terjadi pada jam pertama karena kegagalan
jantung kanan akut.3
Secara internasional, terjadinya kor pulmonal bervariasi antar negara-
negara, tergantung pada kebiasaan merokok, polusi udara, dan faktor resiko lain
dari berbagai penyakit paru.3
Kor pulmonal terjadi sebagai hasil dari suatu penyakit paru-paru primer
pada umumnya mempunyai prognosis yang buruk. Sebagai contoh, pasien dengan
PPOK yang berkembang menjadi kor pulmonal mempunyai kesempatan untuk
bertahan hidup selama 5 tahun adalah sekitar 30%.3
Tidak semua pasien denngan PPOK akan mengalami kor pulmonal, karena
banyak usaha pengobatan yang dilakukan untuk mempertahankan kadar oksigen
darah arteri mendekati normal sehingga dapat mencegah terjadinya hipertensi
pulmonal (tekanan di arteri pulmonalis meningkat). Pada umumnya makin berat
gangguan keseimbangan ventilasi-perfusi, akan semakin mudah terjadi ganggaun
analisis gas darah sehingga akan semakin besar terjadinya hipertensi pulmonal
dan kor pulmonal. Penyakit yang hanya mengenai sebagian kecil paru tidak akan
mempengaruhi pertukaran gas antara alveoli dan kapiler sehingga jarang
menyebabkan terjadinya hipertensi pulmonal dan kor pulmonal.2
Jenis kelamin yang sering terkena penyakit paru obstruktif kronik dan kor
pulmonal ialah laki-laki. Tetapi beberapa peneliti juga menemukan angka yang
lebih tinggi pada wanita.1
Untuk golongan umur, pada umumnya kor pulmonal terdapat pada pasien
yang sudah lama menderita penyakit paru obstruktif kronik serta berumur lebih
3
dari 50 tahun. Golongan umur tertinggi (peak incidence) umumnya dijumpai di
antara umur 50-60 tahun. Hampir semua peneliti menemukan peak incidence pada
umur 50-60 tahun.1
B. Jantung dan Sistem Sirkulasi
Seperti yang kita ketahui, jantung terdiri atas dua pompa yang terpisah,
yaitu jantung kanan yang memompakan darah ke paru-paru, dan jantung kiri yang
memompakan darah ke organ-organ perifer. Selanjutnya, setiap bagian jantung
yang terpisah ini merupakan dua ruang pompa yang dapat berdenyut, yang terdiri
atas satu atrium dan satu ventrikel. Atrium terutama berfungsi sebagai pompa
primer yang lemah bagi ventrikel yang membantu mengalirkan darah masuk ke
dalam ventrikel. Ventrikel selanjutnya menyediakan tenaga utama yang dapat
dipakai untuk mendorong darah ke sirkulasi pulmoner atau sirkulasi perifer.4
Sirkulasi, dibagi menjadi sirkulasi sistemik dan sirkulasi pulmoner. Karena
sirkulasi sistemik menyuplai seluruh jaringan tubuh kecuali paru-paru dengan
aliran darah, hal ini juga disebut sirkulasi besar atau sirkulasi perifer.4
Gambar 1. Anatomi Jantung
4
Ruangan jantung bagian atas, atrium, secara anatomis terpisah dari
ruangan jantung sebelah bawah, ventrikel, oleh suatu anulus fibrosus. Keempat
katup jantung terletak dalam cincin ini. Secara fungsional jantung dibagi menjadi
alat pompa kiri, yang memompa darah vena menuju sirkulasi paru-paru, dan darah
bersih ke peredaran darah sistemik. Pembagian fungsi ini mempermudah
konseptualisasi dari urutan aliran darah secara anatomi : vena kava, atrium kanan,
Fungsi sirkulasi adalah untuk melayani kebutuhan jaringan, untuk
mentransfer nutrien ke jaringan, untuk mentransfer produk-produk yang tidak
berguna, untuk menghantarkan hormon dari satu bagian tubuh ke bagian tubuh
yang lain, dan, secara umum, untuk memelihara lingkungan yang sesuai dalam
seluruh cairan jaringan agar bisa bertahan hidup secara optimal dan untuk fungsi
sel-sel.4
5
C. Fungsi Normal dari Sirkulasi Paru-Paru
Terdapat perbedaan-perbedaan yang penting antara sirkulasi sistemik dan
sirkulasi pulmonar. Pembuluh pulmonar mempunyai dinding-dinding yang lebih
tipis dan sedikit otot polos. Karena itu, sirkulasi pulmonar lebih mudah teregang
dan resistensinya terhadap aliran darah lebih kecil. Besarnya tekanan dalam
sirkulasi pulmonar kira-kira seperlima tekanan dalam sirkulasi sistemik. Dinding-
dinding pembuluh darah pulmonar jauh lebih kecil reaksinya terhadap pengaruh
otonom dan humoral, namun perubahan kadar oksigen dan karbondioksida dalam
darah dan alveoli mampu mengubah aliran darah yang melalui pembuluh
pulmonar. Perbedaan-perbedaan ini membuat sirkulasi pulmonar benar-benar pas
untuk memenuhi fungsi fisiologisnya yaitu untuk mengambil oksigen dan
melepaskan karbondioksida.5
Sirkulasi paru-paru terletak diantara ventrikel kanan dan kiri untuk tujuan
pertukaran gas. Dalam keadaan normal, aliran darah dalam anyaman vaskular
paru-paru tidak hanya tergantung dari ventrikel kanan tetapi juga dari kerja pompa
pada pergerakan pernafasan. Karena sirkulasi paru-paru normal merupakan
sirkulasi yang bertekanan dan resistensi rendah, maka curah jantung dapat
meningkat sampai beberapa kali (seperti yang terjadi pada waktu latihan fisik)
tanpa peningkatan bermakna dari tekanan arteria pulmonalis. Keadaan ini dapat
terjadi karena besarnya kapasitas anyaman vaskular paru-paru, di mana perfusi
normal hanya 25% dalam keadaan istirahat, serta kemampuan untuk
menggunakan lebih banyak pembuluh sewaktu latihan fisik.6
6
Suplai darah paru-paru bersifat unik dalam beberapa hal. Pertama, paru-
paru mempunyai dua sumber suplai darah, dari arteri bronkialis dan arteri
pulmonalis. Sirkulasi bronkial menyediakan darah teroksigenasi dari sirkulasi
sistemik dan berfungsi memenuhi kebutuhan metabolisme jaringan paru-paru.
Arteria bronkialis berasal dari aorta torakalis dan berjalan sepanjang dinding
posterior bronkus. Vena bronkialis yang besar mengalirkan darahnya ke dalam
sistem azygos, yang kemudian bermuara pada vena kava superior dan
mengembalikan darah ke atrium kanan. Vena bronkialis yang lebih kecil akan
mengalirkan darah vena pulmonalis. Karena sirkulasi bronkial tidak berperanan
pada pertukaran gas, darah yang tidak teroksigenasi mengalami pirau sekitar 2
sampai 3% curah jantung.6
Arteria pulmonalis yang berasal dari ventrikel kanan mengalirkan darah
vena campuran ke paru-paru dimana darah tersebut mengambil bagian dalam
pertukaran gas. Jalinan kapiler paru-paru yang halus mengitari dan menutupi
alveolus, merupakan kontak erat yang diperlukan dalam proses pertukaran gas
antara alveolus dan darah. Darah yang teroksigenasi kemudian dikembalikan
melalui vena pulmonalis ke ventrikel kiri, yang selanjutnya membagikannya
kepada sel-sel melalui sirkulasi sistemik.6
Suatu sifat lain dari sirkulasi paru-paru adalah bahwa sirkulasi paru-paru
ini adalah suatu sistem tekanan rendah dan resistensi rendah dibandingkan dengan
sirkulasi sistemik. Tekanan darah sistemik sekitar 120/80 mmHg, sedangkan
tekanan darah pulmonar (PAP) sekitar 25/10 mmHg dengan tekanan rata-rata
sekitar 15 mmHg. Sifat ini mempunyai beberapa konsekuensi penting. Jalinan
7
vaskular pulmonar dengan resistensi dan distensibilitas yang rendah
memungkinkan beban kerja ventrikel kanan yang lebih kecil dibandingkan dengan
beban kerja ventrikel kiri. Selain itu aliran darah pulmonar pada waktu melakukan
kegiatan fisik dapat ditingkatkan tanpa adanya kenaikan tekanan darah pulmonal
yang berarti.6
Jika besar tekanan hidrostatik (HP) paru-paru orang normal yang
umumnya sekitar 15 mmHg melampaui tekanan osmotik koloid (COP) darah yang
besarnya sekitar 25 mmHg, maka cairan akan meninggalkan kapiler paru-paru dan
masuk ke dalam interstisial atau alveolus, sehingga mengakibatkan edema paru-
paru. Edema paru-paru akan mengganggu pertukaran gas karena memperpanjang
jalur difusi antara alveolus dan kapiler. Edema paru-paru merupakan komplikasi
yang sering terjadi akibat gagal jantung kongestif, pneumonia dan gangguan paru-
paru lainnya.6
D. Etiologi
Secara normal, sisi sebelah kiri jantung menghasilkan suatu tekanan darah
yang lebih tinggi dalam rangka memompa darah ke seluruh tubuh, bagian
kanannya memompa darah sampai ke paru-paru dengan tekanan yang lebih
rendah. Beberapa kondisi yang menuju ke arah tekanan darah yang tinggi
diperpanjang di dalam arteri atau vena di paru-paru (disebut hipertensi pulmonal)
yang akan berakibat buruk pada ventrikel kanan jantung. Ketika ventrikel kanan
jantung gagal atau tidak mampu memompa dengan baik, akibatnya tekanan darah
menjadi tinggi dan abnormal, ini disebut kor pulmonal.7
8
Gambar 2. Kor Pulmonal
Sebagian besar angka insidensi kor pulmonal disebabkan oleh penyakit
parenkim paru menahun yang bersifat obstruktif, atau PPOK Dalam hubungannya
dengan penyakit paru menahun dan obstruktif, termasuk diantaranya adalah akibat
kronik, asma bronkial yang sudah diderita lama, dam emfisema paru.1
Berbagai faktor penyebab kor pulmonal adalah sebagai berikut:1,2,7,8
1. Rangsangan kimia
a. Merokok
Merokok merupakan faktor risiko utama. Perokok sigaret
mempunyai prevalensi yang tinggi kelainan faal paru, keluhan
respirasi dan penyakit paru obstruktif kronik. Pada perokok pipa dan
cerutu dijumpai mortalitas dan morbiditas PPOK yang lebih besar
dari yang bukan perokok, tetapi lebih kecil dari perokok sigaret.
Tidak semua perokok timbul PPOK secara klinis.
9
Kor pulmonal, atau gagal jantung kanan adalah pembesaran ventrikel kanan karena peningkatan tekanan darah pada paru yang biasanya disebabkan oleh penyakit paru
b. Polusi udara
Pengobatan udara oleh asap dari cerobong-cerobong pabrik di daerah
industri (seperti misalnya Sheffield, Blackpool, Inggris, dan daerah
industri di amerika). Smog (smoke and fog), kabut dan kotoran asap
yang terdapat di Inggris (London, Sheffield). Karbonmonoksida
berasal dari asap mobil, mesin lainnya, serta SO2, SO3, NO2 yang
merupakan asap dan debu industri.
2. Faktor host
a. Genetik
Sebanyak 35% kasus kor pulmonal ditemukan pada anggota keluarga
tertentu yang ternyata kekurangan alfa 1-antitripsin (suatu kelainan
herediter yang jarang ditemukan) yang memegang peranan dalam
penentuan predisposisi terjadinya penyakit paru obstruktif kronik.
b. Hiperaktivitas bronkus
Asma dan aktivitas bronkus saluran nafas merupakan faktor risiko
yang memberi andil timbulnya PPOK. Bagaimana pengaruh kedua
kelainan tersebut mempengaruhi timbulnya PPOK tidak diketahui.
3. Faktor infeksi
Berbagai kuman yang dapat menyebabkan penyakit paru obstruktif
kronik (bronkitis kronik dan emfisema paru), diantaranya disebut
menonjol. Pasien sudah masuk ke dalam fase kor pulmonal dekompansata.
Pada pemeriksaan EKG ditemukan hipertrofi ventrikel kanan,
hipertrofi atrium kanan (tampak P pulmonal yang runcing tinggi) pemutaran
menurut arah jarum jam (clockwise rotation) dan tampak gelombang S yang
dalam sampai V5-V6. Bila proses berlangsung lama, tampak pula depresi
segmen ST dan timbul kelainan irama jantung (gallop S3 dan S4), fibrilasi
atrial, ekstrasistol, blokade bundel His kanan, dan sebagainya.
Keadaan hipoksia menyebabkan tekanan O2 dalam darah arteri
berkurang dan tekanan CO2 bertambah menyebabkan timbulnya gejala klinis
seperti pada tabel 3 dan 4.
Tabel 3. Korelasi Gejala Klinis dan PaO21
PaO2 (mmHg) Gejala klinis
95-10080-95
75-80
70
60 atau kurang
NormalMulai sesak nafas, jumlah pernafasan kurang lebih 25/menitSesak bertambah dan bicara terputus-putus, takikardiaKesadaran berkurang, nafas lebih cepat : 30-35 /menitPasien menjadi gelisah, tampak sianotik. Tekanan darah turun dan ada kemungkinan jantung berhenti (cardiac arrest)
23
Tabel 4. Korelasi Gejala klinis dan PaCO21
PaCO2 (mmHg) Gejala klinis
2035-455376
110200
Tetani, gangguan pusat sarafNormalSakit kepalaPusing, otot-otot berdenyut, mulai berkurangnya kesadaranKejang-kejang, komaKoma yang dalam
H. Diagnosis dan Pemeriksaan Penunjang9,12
a. Riwayat Penyakit
Perlu dilakukan anamnesis yang teliti ada tidaknya penyakit paru
yang mendasari dan jenis kelainan paru. Penyakit jantung ini yang pada
fase awal berupa pembesaran ventrikel kanan, tidak menimbulkan
keluhan, jadi lebih banyak keluhan akibat penyakit paru.
Keluhan akibat pembesaran ventrikel kanan baru timbul bila sudah
ada gagal jantung kanan. Jadi sebagai pegangan, gejala-gejala penyakit
paru seperti sesak nafas dan batuk sangat menonjol, sampai akhirnya
mulai ada gagal jantung kanan dengan tanda rasa penuh di abdomen atau
bengkak di ekstremitas. Infeksi paru seringkali mencetuskan gagal
jantung, timbul keadaan hipersekresi bronkus dan edema alveolar serta
bronkospasme yang menurunkan ventilasi paru lalu timbul gagal jantung
kanan.
b. Rontgen Thorax
Terlihat kelainan paru diserta pembesaran ventrikel kanan, dilatasi
arteri pulmonal dan atrium kanan yang menonjol. Kardiomegali sering
24
tertutup oleh hiperinflasi paru yang menekan diafragma sehingga jantung
tampaknya normal karena vertikal.
Pembesaran ventrikel kanan lebih jelas pada posisi oblik atau
lateral. Harus diteliti adanya kelainan parenkim paru, pleura atau dinding
dada dan rongga thorax.
c. Elektrokardiogram
Terdapat tanda-tanda hipertrofi ventrikel kanan dan pembesaran
atrium kanan, aksis QRS ke kanan, atau RBBB, voltase rendah karena
hiperinflasi, RS-T “sagging” II, III, aVF, tetapi kadang-kadang EKG
masih normal.
d. Laboratorium
Sering ditemukan kelainan tes faal paru (spirometri) dan analisa
gas darah. Ada respon pilisitemik terhadap hipoksia kronik. Tes faal paru
dapat menentukan penyebab dasar dari kelainan parunya. Pada analisa gas
darah bisa ditemukan saturasi O2 menurun, PCO2 rendah karena
hiperventilasi. Bila kor pulmonal akibat hipoventilasi alveolar (misalnya
karena penyakit paru obstruktif menahun dengan emfisema), PCO2
meningkat.
e. Ekokardiografi
Dimensi ruang ventrikel kanan membesar, tapi struktur dan
dimensi ventrikel kiri normal. Pada gambaran ekokardiografi katup
pulmonal, gelombang ‘a’ hilang, menunjukkan hipertensi pulmonal.
25
Kadang-kadang dengan pemeriksaan ekokardiografi susah terlihat katup
pulmonal karena “acoustic window” sempit akibat penyakit paru.
f. Kateterisasi jantung
Ditemukan peningkatan tekanan jantung kanan dan tahanan
pembuluh paru. Tekanan atrium kiri dan tekanan baji kapiler paru normal,
menandakan bahwa hipertensi pulmonal berasal dari jantung kiri. Pada
kasus yang ringan, kelainan ini belum nyata.
Penyakit jantung paru tak jarang disertai penyakit jantung koroner
terlebih pada penyakit paru obstruktif menahun karena perokok berat
(stenosis koroner pada angiografi).
I. Komplikasi
Hipertensi pulmonar yang progresif dan kor pulmonal dapat mendorong
kearah retensi cairan secara umum, dalam waktu dekat dapat terjadi pemendekan
nafas, syok, sampai terjadi kematian.7
J. Penatalaksanaan
Sasaran pengobatan kor pulmonal adalah mengurangi beban ventrikel
kanan dengan menurunkan tekanan arteri pulmonalis. Dua pendekatan utama yang
dilakukan yaitu memperbaiki kelainan paru dan pemberian oksigen yang
memadai. Dalam usaha memperbaiki kelainan paru, perlu diidentifikasi faktor-
faktor yang masih reversibel. Salah satu faktor penting yang masih dapat
dimanipulasi adalah ketidakseimbangan ventilasi-perfusi yang disebabkan oleh
infeksi saluran nafas terutama pada pasien dengan PPOK. Pemberian antibiotika
yang tepat dan adekuat seringkali menghasilkan perbaikan yang nyata. Bahkan
26
pada kelainan paru yang tidak diharapkan dapat terjadi perbaikan, yaitu bila
penyebab hipertensi pulmonal adalah oklusi anatomis pada cabang-cabang arteri
pulmonalis (misalnya hipertensi pulmonal primer dan emboli paru multipel),
masih ada komponen-komponen yang reversibel.2,13
1. Pemberian oksigen
Pemberian oksigen terus menerus dengan aliran lambat yaitu 1 – 3 liter
per menit seringkali cukup berhasil mempertahankan oksigen darah arteri.
Perbaikan hipoksemia ini dengan cepat akan menurunkan tekanan arteri
pulmonalis, dan bila oksigen diberikan secara terus menerus selama beberapa
minggu sampai beberapa bulan mungkin akan mengurangi hipertrofi otot-otot
pembuluh darah pulmoner, sehingga secara berangsur-angsur akan lebih
menurunkan lagi tekanan arteri pulmonalis. Penurunan tekanan arteri
pulmonalis ini tidak akan bertahan terus bila pemberian oksigen dihentikan.
Idealnya tekanan oksigen darah arteri dipertahankan diatas 50 mmHg.
Pemberian oksigen harus hati-hati terutama bila terdapat tanda-tanda
hiperkapnia kronik, karena koreksi hipoksia akan menghilangkan
perangsangan pusat pernafasan di batang akibat dengan akibat menurunnya
ventilasi dan bahkan bisa sampai apnea. Bahaya lain yang mungkin adalah
keracunan oksigen. Bila fasilitas memungkinkan, pemberian oksigen dimulai
dengan kadar rendah (30% O2) dengan pemantauan ventilasi dan analisis gas
darah untuk mendeteksi kenaikan PCO2. Pemberian oksigen terus menerus
selama 12 – 16 jam perhari dalam jangka panjang, terutama waktu tidur dan
selama melakukan aktivitas fisik terbukti meningkatkan fungsi otak,
27
memberikan kesegaran jasmani, memperlambat aktivitas eritropoesis dan
mencegah berulang-ulang gagal jantung kanan.
2. Tirah baring dan pembatasan garam
Kor pulmonal tanpa gagal jantung tidak memerlukan program
kardiotonika. Bila didapatkan gagal jantung kanan, tata laksana kardiotonik
harus diberikan. Pertama-tama tirah baring sangat penting untuk mencegah
memburuknya hipoksemia yang akan lebih menaikkan lagi tekanan arteri
pulmonalis. Garam perlu dibatasi tetapi tidak secara berlebihan karena klorida
serum yang rendah akan menghalangi usaha untuk menurunkan hiperkapnia.
3. Diuretika
Diuretika memegang peranan penting dalam pengobatan kor pulmonal
dan gagal jantung kanan. Cairan yang berlebihan dalam jaringan paru akan
mengganggu pertukaran gas dan meningkatkan resistensi vaskular. Pemberian
diuretika terbukti dapat memperbaiki ventilasi alveoli dan oksigenasi darah
arteri pada kor pulmonal. Tetapi pemberian diuretika harus hati-hati, karena
dapat terjadi deplesi volume, sangat berkurangnya curah balik ke jantung
kanan, dan menurunnya curah jantung. Komplikasi lain pemberian diuretika
kuat adalah terjadinya alkalosis metabolik yang menyertai hipokalemia, yang
akan menghilangkan daya rangsang CO2 pada pusat pernafasan. Dengan
menurunnya kalium dan klorida, ekskresi bikarbonat oleh ginjal akan
berkurang juga. Dengan demikian pada program pembatasan garam dan
pemberian diuretika perlu pemantauan elektrolit serum, terutama ion-ion
bikarbonat, klorida dan kalium.
28
4. Digitalisasi
Digitalis digunakan oleh beberapa ahli untuk membantu mengatasi
gagal jantung kanan. Tetapi banyak ahli keberatan memakai digitalis bahkan
pada keadaan gagal jantung kanan yang mencolok sekalipun karena beberapa
alasan yaitu karena efek digitalis pada ventrikel kanan kurang kuat,
peningkatan volume sekuncup ventrikel kanan ke dalam vaskular paru yang
terbatas akan semakin meningkatkan tekanan arteri pulmonalis serta karena
adanya kecenderungan pasien kor pulmonal mengalami intoksikasi digitalis.
Kesulitan lain pemberian digitalis adalah dalam menilai frekuensi denyut
jantung sebagai parameter dosis digitalis, karena selain menyebabkan gagal
jantung hipoksia juga menyebabkan takikardia. Bahaya utama pada
pemakainan digitalis adalah aritmia. Hipoksia, hipokalemia, perubahan pH
(asidosis respiratorik maupun alkalosis metabolik) serta bronkodilator dapat
bekerja secara sinergis dengan digitalis sehingga menimbulkan aritmia.
5. Vasodilator arteri pulmonalis
Bermacam-macam obat telah dicoba baik untuk hipertensi pulmonal
primer maupun sekunder. Sejauh ini pengalaman yang didapatkan sebagian
besar yang didapatkan sebagian besar berasal dari hipertensi pulmonal primer.
Pada hipertensi pulmonal sekunder walaupun keberhasilan terapi secara
keseluruhan tidak begitu besar, tetapi pada beberapa kasus telah dilaporkan
adanya perbaikan yang dramatis. Sebagian besar kegagalan pada hipertensi
pulmonal sekunder didapatkan pada pasien PPOK berat yang tidak
29
menunjukkan perbaikan hemodinamik dan harapan hidup dengan pemberian
nifedipin 3 x 10 mg/hari.
Antagonis kalsium telah digunakan secara luas dengan hasil yang
efektif pada pasien dengan hipertensi pulmonal primer dengan pemberian
nifedipin atau diltiazem. Pada pasien dengan respon yang baik didapatkan
perbaikan kualitas hidup dan harapan hidup. Tetapi sayangnya hanya 25%
pasien yang menunjukkan hasil yang memuaskan yang ditandai dengan
penurunan tekanan arteri pulmonalis yang bermakna. Pada pasien lain yang
tidak menunjukkan respon, selain tidak ada respos perbaikan, didapatkan juga
kecenderungan untuk mengalami efek samping yaitu hipotensi, penurunan
curah jantung, aritmia dan edema perifer.
Prostasiklin merupakan vasodilator kuat yang bekerja baik pada
pembuluh darah pulmonal maupun pembuluh darah sistemik lainnya. Karena
mempunyai masa paruh yang singkat, prostasiklin diberikan secara kontinu
melalui infus intravena. Dosis diberikan secara titrasi dan sebagai pedoman
untuk mengetahui dosis yang dapat ditoleransi dilakukan pemantauan terhadap
efek hipotensi sistemik.
Oksida nitrik akhir-akhir ini banyak diteliti untuk pengobatan
hipertensi pulmonal karena mempunyai beberapa kelebihan dibandingkan
obat-obat vasodilator lainnya. Oksida nitrik bekerja pada pembuluh darah paru
yang mengalami hipertensi pulmonal dan tidak pada pembuluh darah paru
yang normal. Oksida nitrik juga berkerja secara selektif pada pembuluh darah
paru tanpa disertai efek penurunan tekanan darah sistemik yang bermakna.
30
6. Pengobatan lain
Inhibitor karbonik anhidrase (asetasolamid) suatu waktu banyak
dipakai pada pasien hiperkapnia kronik. Tetapi efek sampingnya yang
membahayakan adalah terjadinya asidosis metabolik pada asidosis respiratorik
yang telah ada.
Flebotomi menjadi panatalaksanaan standar pada polisitemia yang
disebabkan hipoksia kronik. Saat ini belum berhasil dibuktikan adanya
perbaikan obyektif pada pertukaran gas maupun tekanan arteri pulmonalis
akibat flebotomi. Beberapa ahli mengeluarkan darah vena sebanyak + 250 ml,
untuk mencegah tromboemboli bila hematokrit atau hipertensi pulmonal
sangat tinggi.
K. Pencegahan
Menghindarkan perilaku yang mendorong penyakit paru kronik (terutama
perokok) yang dapat mencegah terjadinya penyakit kor pulmonal. Dianjurkan juga
untuk menghindarkan diri dari berbagai macam polusi udara, terutama di daerah
pertambangan dan industri. Memperbaiki lingkungan dan daerah tempat tinggal,
serta bagi yang kurang mampu menghindarkan dan mengobati infeksi saluran
nafas secara dini. Mengevaluasi dengan baik anak-anak dengan murmur jantung
yang dapat mencegah kor pulmonal yang disebabkan oleh defek jantung.1,9,13
L. Prognosis
Prognosis penyakit kor pulmonal sangat bervariasi, tergantung perjalanan
alamiah penyakit paru yang mendasarinya dan ketaatan pasien berobat. Penyakit
31
bronkopulmoner simtomatis angka kematian rata-rata 5 tahun sekitar 40-50 %.
Juga obstruksi vaskuler paru kronis dengan hipertrofi ventrikel kanan mempunyai
prognosis yang b uruk. Biasanya penderita dengan hipertensi pulmonar obstruktif
vaskuler kronik hanya hidup 2-3 tahun sejak timbulnya gejala.9
Penyakit kor pulmonal kronik prognosisnya sangat buruk, karena yang
menjadi penyebab dasarnya adalah kerusakan parenkim paru yang sudah diderita
lama dan tidak dapat dipulihkan kembali, seperti misalnya emfisema paru
panlobularis. Luasnya pembuluh darah paru (vascular bed) menjadi sangat
berkurang dan tidak dapat disembuhkan kembali.1
Biasanya terapi hanya ditujukan secara simtomatis, dan penyakit dasarnya
yang sudah berada dalam keadaan fase lanjut tidak akan dapat diobati.1,12,13
Gagal jantung kanan timbul berulang-ulang dengan interval kekambuhan
yang semakin memendek. Kemungkinan hidup sejak serangan gagal jantung
pertama rata-rata 18 bulan (Flint).1,
Stuart Harris dan Ude mengemukakan bahwa kemungkinan masa hidup
dengan angka kematian sesudah lima tahun sebesar 68%.1
Dapat disimpulkan bahwa angka kematian kor pulmonal masih tinggi dan
usaha sebaiknya ditujukan pada penanggulangan penyakit-penyakit paru
obstruktif kronik yang menjadi faktor dasar etio-patogenesisnya.1,12,13
32
DAFTAR PUSTAKA
1. Moerdowo RM. Kor pulmonal kronik. Dalam: Noer Sjaifoellah. Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid I edisi 3. Balai Penerbit FK UI. Jakarta, 1998. h. 1119-1127
2. Bahar Asril. Kor pulmonal. Dalam: Suyono Slamet. Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid II edisi 3. Balai Penerbit FK UI. Jakarta, 2001. h. 882-889
3. Yunis Nidal A. Cor pulmonale. eMedicine 2004; (online), (http://www.emedicine.com, diakses 18 November 2004)
4. Guyton Arthur C. Buku ajar fisiologi kedokteran (textbook of medical physiology) edisi 9. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta, 1997. h. 133, 206
5. Carleton Penny F. Anatomi sistem kardiovaskular. Dalam: Price, Sylvia A. Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit edisi 4 buku I. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta, 1995. h. 468, 476
6. Wilson Lorraine M. Fungsi pernafasan normal. Dalam: Price, Sylvia A. Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit edisi 4 buku II. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta, 1995. h. 650-651, 723-725
7. Blaivas Allen J. Cor pulmonale. Division of Pulmonary and critical Care medicine 2004; (online), (http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/ 000129.htm, diakses 30 Oktober 2004)
8. Alsagaff Hood, Wibisono M jusuf, Winariani. Buku ajar ilmu penyakit paru 2004. Bagian Ilmu Penyakit Paru FK UNAIR – RSU Dr. Soetomo Surabaya. Surabaya, 2004. h. 28-39
9. Budiyatmoko Nani H. Penyakit jantung paru. Dalam: Rilantono, Lily Ismudiati. Buku ajar kardiologi. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta, 2004. h. 223-226
10. Norris Teresa JN. Cor pulmonale. Medical Network Inc 2005; (online), (http://www . healthatoz.com , diakses 4 Maret 2005)
11. Mubin A Halim. Kor pulmonal kronik. Dalam: panduan praktis ilmu penyakit dalam diagnosis & terapi. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta, 2001. h. 125-126
12. Anonymous. Cor pulmonale: care guide information cor pulmonale. The mended Hearths Inc 2005; (online), (http://www.aboutdrugs.com, diakses 6 Juni 2005)
13. F Joseph, Funt Smith Trust. Cor pulmonale. The Thomson Corporation 2005; (online), (http://www.nhlbi.nih.gov.com, diakses 15 Mei 2005)