-
Wisnu Fajri PDTE SV UGM 2012 | 5
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Sistem Distribusi
Sistem distribusi merupakan bagian dari sistem tenaga listrik
yang paling
dekat dengan pelanggan. Sistem distribusi juga merupakan bagian
sistem tenaga
listrik yang paling banyak mengalami gangguan, sehingga masalah
utama dalam
operasi sistem distribusi adalah mengatasi gangguan. Sistem
distribusi tenaga
dalam hal ini berfungsi untuk menyalurkan atau mendistribusikan
tenaga listrik
dari gardu induk (GI) ke pusat-pusat beban berupa gardu
distribusi (trafo
distribusi) atau secara langsung mensuplai tenaga listrik ke
konsumen dengan
mutu yang memadai. Dengan demikian, sistem distribusi ini
menjadi suatu sistem
tersendiri, karena sistem distribusi ini memiliki
peralatan-peralatan yang saling
berkaitan dalam operasinya untuk menyalurkan tenaga listrik.
Ilustrasi instalasi
sistem distribusi tenaga listrik digambarkan oleh Gambar
2.1.
Gambar 2.1 Instalasi Sistem Distribusi
Berdasarkan Gambar 2.1 di atas, sistem distribusi tenaga listrik
dapat
diklasifikasikan sebagai berikut :
1. Berdasarkan Kelas Tegangan
Berdasarkan kelas tegangan sistem distribusi diklasifikasikan
menjadi 2
kelompok, yaitu :
Jaringan Tegangan Menengah (JTM)
Gar
du I
nduk
Sekering T.M.
Trafo Distribusi
Rel T.R.
Sekering T.R.Jaringan Tegangan Rendah (JTR)
Sambungan Rumah
Gardu Distribusi Tiang
Pelanggan
-
Wisnu Fajri PDTE SV UGM 2012 | 6
a. Distribusi Primer
Merupakan jaringan yang menyalurkan tenaga listrik dari gardu
distribusi
sampai dengan trafo distribusi, beroperasi dengan tegangan
nominal 20 kV/11,6
kV. Sering disebut jaringan tegangan menengah (JTM), jaringan
dapat berupa
saluran kabel tegangan menengah (SKTM) atau saluran udara
tegangan menengah
(SUTM).
b. Distribusi Sekunder
Merupakan jaringan yang menyalurkan tenaga listrik dari keluaran
trafo
distribusi sampai dengan alat penghitung dan pembatas (APP) di
instalasi
konsumen, beroperasi dengan tegangan nominal 380 V/220 V. Sering
disebut
jaringan tegangan rendah (JTR), jaringan dapat berupa saluran
kabel tegangan
rendah (SKTR) atau saluran udara tegangan rendah (SUTR).
2. Berdasarkan Konfigurasi Jaringan
Berdasarkan konfigurasi jaringan sistem distribusi
diklasifikasikan
menjadi 3 kelompok, yaitu :
a. Pola Radial
Jaringan pola radial adalah jaringan yang setiap salurannya
hanya mampu
menyalurkan daya dalam satu aliran daya. Jaringan ini merupakan
pola yang
paling sederhana dan ekonomis. Gambar 2.2 menggambarkan saluran
berupa
feeder-feeder radial yang keluar dari GI. Sepanjang feeder
terdapat gardu-gardu
distribusi yang diletakan sedekat mungkin dengan beban.
Keuntungan dari jaringan pola radial adalah tidak rumit dan
lebih murah
dibanding dengan pola yang lain. Namun keandalan pola ini lebih
rendah
dibanding dengan pola lainnya. Kurangnya keandalan disebabkan
karena hanya
terdapat satu jalur utama yang menyuplai gardu distribusi,
sehingga apabila jalur
utama tersebut mengalami gangguan, maka seluruh gardu distribusi
akan ikut
padam. Kerugian lain yaitu kualitas tegangan pada gardu
distribusi yang paling
ujung kurang baik, hal ini dikarenakan jatuh tegangan terbesar
ada di ujung
jaringan. Peralatan proteksi yang biasa dipasang pada jaringan
pola ini berupa
recloser sebagai pengaman saluran utama dan fuse cut out sebagai
pengaman
saluran percabangan. Fungsi peralatan proteksi tersebut adalah
untuk membatasi
-
Wisnu Fajri PDTE SV UGM 2012 | 7
GD3 GD2
GI
GD1
GD4 GD5 GD6
PMT
PMT
daerah yang mengalami pemadaman total, yaitu daerah saluran
sesudah atau
sebelum titik gangguan selama gangguan belum teratasi.
Gambar 2.2 Jaringan Sistem Distribusi Pola Radial
b. Pola Loop
Jaringan pola loop adalah jaringan yang dimulai dari satu titik
pada rel
daya yang berkeliling di daerah beban kemudian kembali ke titik
rel daya semula.
Pola ini ditandai dengan adanya dua sumber pengisian yaitu
sumber utama dan
sumber cadangan. Jika salah satu sumber pengisian (saluran
utama) mengalami
gangguan, akan dapat digantikan oleh sumber pengisian yang lain
(saluran
cadangan). Konfigurasi jaringan sistem distribusi pola loop ini
ada 2 macam yaitu:
i. Bentuk open loop, bila dilengkapi dengan normally open switch
yang
terletak pada salah satu bagian gardu distribusi, dalam keadaan
normal
rangkaian selalu terbuka,
ii. Bentuk close loop, bila dilengkapi dengan normally close
switch yang
terletak pada salah satu bagian diantara gardu distribusi, dalam
keadaan
normal rangkaian selalu tertutup,
Gambar 2.3 merupakan konfigurasi jaringan sistem ditribusi pola
loop
dalam kondisi normally open. Apabila pada salah satu feeder
mengalami
gangguan maka pelanggan pada feeder tersebut akan mendapat
pasokan listrik
dari feeder yang normal dengan merubah posisi LBS menjadi close.
Jaringan
sistem distribusi pola loop ini, biasanya digunakan pada sistem
distribusi yang
melayani beban dengan kebutuhan kontinuitas pelayanan yang baik.
Pola jaringan
ini mempunyai keandalan yang lebih baik daripada pola jaringan
primer radial.
-
Wisnu Fajri PDTE SV UGM 2012 | 8
Gambar 2.3 Jaringan Sistem Distribusi Pola Loop Normally
Open
c. Pola Spindle
Jaringan sistem distribusi dengan konfigurasi spindle
digambarkan oleh
Gambar 2.4 yang merupakan pengembangan dari jaringan radial dan
loop yang
terpisah. Beberapa saluran yang keluar dari gardu induk (GI)
diarahakan menuju
tempat yang disebut gardu hubung (GH), kemudian antara GI dan GH
tersebut
dihubungkan dengan satu slauran yang disebut feeder express.
Pada pola ini GD
terdapat disepanjang saluran dan terhubung seri.
Dalam keadaan normal, semua PMT dari setiap feeder yang keluar
dari GI
dalam keadaan masuk kecuali PMT dan PMS feeder yang ada di GH.
Hanya PMT
dan PMS dari feeder express di GH yang dalam keadaan masuk.
Dalam keadaan
gangguan, pola jaringan ini bekerja seolah-olah seperti pola
loop yang mendapat
pasokan melalui feeder express dengan cara memasukan PMT dan PMS
yang
berada di GH pada feeder yang mengalami gangguan, dengan catatan
daerah yang
terkena gangguan sudah dipisahkan terlebih dahulu dari sistem
yang sehat.
Konfigurasi jaringan sistem distribusi pola spindle mempunyai
keuntungan
sebagai berikut;
i. Sederhana dalam hal teknis pengoperasian seperti radial,
ii. Memberikan kontinuitas pelayanan lebih baik daripada pola
radial
maupun pola loop,
iii. Mudah dalam melakukan pengecekan beban masing-masing
saluran,
iv. Mudah dalam penentuan daerah atau bagian yang terganggu,
v. Cocok digunakan pada daerah perkotaan dengan kerapatan beban
yang
tinggi.
GD3 GD2
GI
GD1
GD4 GD5 GD6
PMT
PMT LBS
-
Wisnu Fajri PDTE SV UGM 2012 | 9
Gambar 2.4 Jaringan Distribusi Pola Spindle
3. Berdasarkan Konfigurasi Saluran
Secara umum berdasarkan konfigurasi saluran sistem
distribusi
diklasifikasikan menjadi 3 kelompok, yaitu :
a. Konfigurasi Horizontal
b. Konfigurasi Vertikal
c. Konfigurasi Delta
4. Kontinuitas Pelayanan
Kontinuitas pelayanan merupakan salah satu unsur dari mutu
pelayanan
yang nilainya akan tergantung kepada jenis sarana penyalurannya
dan sarana
peralatan pengaman yang dipilihnya. Tingkat kontinuitas
pelayanan dari peralatan
penyalur tenaga listrik disusun berdasarkan lamanya upaya untuk
pemulihan
suplai tenaga listrik ke konsumen setelah mengalami pemutusan.
Pada SPLN 52-
3: 1983 tentang Pola Pengamanan Sistem, tingkat kontinuitas
pelayanan tenaga
listrik tersusun seperti berikut:
a. Kontinuitas tingkat 1
Pada tingkat ini memungkinkan jaringan berada pada kondisi
padam
dalam waktu berjam-jam dalam rangka mencari dan memperbaiki
bagian-bagian
yang mengalami kerusakan karena gangguan.
b. Kontinuitas tingkat 2
Kondisi jaringan padam dimungkinkan dalam waktu beberapa jam
untuk
keperluan mengirim petugas kelapangan, melokalisir kerusakan dan
melakukan
pengaturan switching untuk menghidupkan suplai beban pada
kondisi sementara
dari arah atau saluran lain.
GD5
GD4
Feeder E xpress
GI
GH
GD1 GD2
GD3
GD6
-
Wisnu Fajri PDTE SV UGM 2012 | 10
c. Kontinuitas tingkat 3.
Dimungkinkan padam dalam waktu beberapa menit untuk kegiatan
pengaturan switching dan pelaksanaan switching oleh petugas yang
berada di
gardu induk atau pelaksanaan deteksi dengan bantuan Distribution
Control
Centre ( DCC ).
d. Kontinuitas tingkat 4
Dimungkinkan padam dalam beberapa detik, pengaturan switching
dan
pengamanan dilaksanakan secara otomatis.
e. Kontinuitas tingkat 5
Dimungkinkan tanpa adanya pemadaman dengan melengkapi
instalasi
cadangan terpisah dan otomatisasi penuh.
Jaringan distribusi untuk luar kota (pedesaan) terdiri dari
saluran udara
dengan susunan jaringan menggunakan konfigurasi radial yang
memenuhi
kontinuitas tingkat 1 sedangkan untuk daerah dalam kota terdiri
dari saluran udara
dengan susunan jaringan menggunakan konfigurasi loop atau yang
lebih baik
yaitu konfigurasi spindle dengan bantuan DCC dimana tingkat
kontinuitas sistem
ini akan menjadi lebih baik lagi. Tingkat keandalan suatu sistem
merupakan
kebalikan dari besarnya jam pemadaman atau pemutusan pelayanan.
Jadi tingkat
keandalan yang tinggi dapat diperoleh dengan memilih jaringan
dengan tingkat
kontinuitas pelayanan yang tinggi dan frekuensi pemadaman karena
gangguan
yang rendah.
5. Sistem Distribusi Jawa Tengah dan D.I Yogyakarta
Gambar 2.5 Pola Pentanahan Langsung
70 atau 150 kV 20 kV
-
Wisnu Fajri PDTE SV UGM 2012 | 11
Pola sistem distribusi di wilayah Jawa Tengah dan D.I
Yogyakarta
digambarkan oleh Gambar 2.5 yakni dengan menggunakan sistem 4
kawat ( 3 fase
dan 1 netral) dengan pentanahan netral secara langsung. Sistem
ini melayani
beban fase tiga 4 kawat dengan tegangan nominal 20/11,6 kVdan
fase tunggal 2
kawat dengan tegangan nominal 11,6 kV. Di sepanjang jaringan,
kawat netral
ditanahkan dan dipakai bersama untuk saluran tegangan menengah
dan saluran
tegangan rendah dibawahnya. Sistem pelayanan ini menggunakan
pola radial
dengan kemungkinan saluran utama antara jaringan yang berdekatan
dapat saling
berhubungan dalam keadaan darurat. Pada sistem distribusi pola
ini memiliki
sistem proteksi sebagai berikut;
a. Penutup Balik Otomatis
Sebagai pengaman utama pada jaringan ini dengan menggunakan
PMT
yang dipasang di gardu induk. Pada jaringan dengan panjang
>20 km pengaman
yang dipasang pada sisi hulu tidak lagi peka untuk
mengidentifikasi gangguan
yang berada jauh pada ujung hilir, sehingga untuk pengaman
terhadap gangguan
temporer maupun untuk membagi jaringan dalam beberapa seksi guna
melokalisir
daerah yang terganggu sekecil mungkin maka dipasang PBO pada
jarak tertentu
sepanjang saluran utama.
b. Saklar Seksi Otomatis
Model saklar ini dipergunakan sebagai alat pemutus rangkaian
untuk
memisahkan saluran utama dalam beberapa seksi agar pada saat
gangguan
permanen luas daerah yang terganggu diusahakan sekecil mungkin.
Saklar seksi
otomatis pada sistem distribusi pola ini akan membuka pada saat
rangkaian tidak
ada arus yang mengalir dan PBO tidak menutup kembali. Sakalar
ini bekerja
berdasarkan penginderaan arus hubung singkat dan hitungan trip
PBO, dengan
demikian saklar ini dipasang apabila dibagian hulu terpasang
PBO.
c. Fuse Cut Out
Fuse Cut Out dipasang pada titik percabangan antara saluran
utama dan
saluran cabang, juga dipasang pada sisi primer trafo distribusi
sebagai pengaman
saluran terhadap gangguan-gangguan yang bersifat permanen antara
fase dengan
tanah yang harus dikoordinasikan dengan PBO.
-
Wisnu Fajri PDTE SV UGM 2012 | 12
B. Proteksi Sistem Distribusi
Proteksi sistem distribusi merupakan seperangkat peralatan
yang
dipergunakan untuk mengamankan sistem dari gangguan listrik atau
beban lebih,
yaitu dengan cara memisahkan bagian sistem yang terganggu dengan
sistem yang
tidak terganggu, sehingga sistem kelistrikan yang tidak
terganggu dapat terus
mengalirkan arus ke beban.Pada dasarnya sistem proteksi dalam
sistem distribusi
mempunyai peranan sebagai berikut :
1. Mencegah atau membatasi kerusakan pada jaringan beserta
peralatannya dari
akibat adanya gangguan listrik,
2. Menjaga keselamatan umum dari akibat gangguan listrik,
3. Meningkatkan kelangsungan pelayanan tenaga listrik kepada
konsumen.
1. Persyaratan Sistem Proteksi
a. Harus mampu melakukan koordinasi dengan sistem tegangan
tinggi (gardu
induk, transmisi dan pembangkit),
b. Harus mampu mengamankan dari kerusakan,
c. Harus mampu membatasi kemungkinan terjadinya kecelakaan,
d. Harus dapat secepatnya membebaskan pemadaman karena
gangguan
temporer,
e. Harus dapat membatasi daerah pemadaman akibat gangguan,
f. Harus dapat mengurangi frekuensi pemutusan tetap karena
gangguan.
2. Persyaratan Alat Proteksi
Sebagai pengaman jaringan distribusi tenaga listrik, semua
peralatan
proteksi yang terpasang pada sistem harus mampu bekerja secara
optimal,
sehingga sistem dapat dipastikan aman dari gangguan. Untuk dapat
bekerja secara
optimal, maka semua peralatan proteksi tersebut harus memenuhi
persyaratan
sebagai berikut :
a. Sensitivty (Kepekaan)
Suatu pengaman bertugas mengamankan suatu alat atau bagian
tertentu
dari sistem tenaga listrik termasuk dalam jangkauan
pengamanannnya.Tugas
suatu pengaman yaitu mendeteksi adanya gangguan yang terjadi
didaerah
pengamanannya dan harus cukup sensitif untuk mendeteksi dengan
nilai
minimum dan bila perlu mentripkan PMT atau pelebur untuk
memisahkan bagian
-
Wisnu Fajri PDTE SV UGM 2012 | 13
yang terganggu dengan bagian yang sehat. Pada prinsipnya relai
harus cukup peka
sehingga dapat mendeteksi gangguan di kawasan pengamanannya
meskipun
dalam kondisi yang memberikan rangsangan minimum.
b. Selectivity (Ketelitian)
Suatu pengaman harus dapat memisahkan bagian sistem yang
terganggu
sekecil mungkin yaitu hanya seksi yang terganggu saja yang
menjadi kawasan
pengamanan utamanya. Pengamanan yang demikian disebut pengaman
yang
selektif. Jadi relai harus dapat membedakan apakah gangguan
terletak di kawasan
pengamanan utamanya dimana ia harus bekerja cepat atau terletak
di seksi
berikutnya dimana ia harus bekerja dengan waktu tunda atau harus
tidak bekerja
sama sekali karena gangguannya di luar daerah pengamanannya atau
sama sekali
tidak ada gangguan.
c. Reliability (Keandalan)
Yaitu tingkat kepastian bekerjanya suatu alat pengaman. Dalam
keadaan
normal pengaman tidak boleh bekerja, tetapi harus pasti dapat
bekerja bila
diperlukan. Pengaman tidak boleh salah bekerja, jadi susunan
alat-alat pengaman
harus dapat diandalkan. Keandalan keamanan akan tergantung
kepada desain,
pengerjaan dan perawatannya.
d. Speed (Kecepatan)
Semakin cepat pengaman bekerja tidak hanya dapat memperkecil
kerusakan tetapi juga dapat memperkecil kemungkinan meluasnya
akibat-akibat
yang ditimbulkan oleh gangguan. Untuk menciptakan selektifitas
yang baik
mungkin saja suatu pengaman terpaksa diberi waktu tunda (time
delay) antara
pengaman yang terpasang. Namun waktu tunda itu harus secepat
mungkin, setelah
waktu minimum yang disetkan ke relay untuk menghindari thermal
stress.
e. Ekonomis
Dengan biaya yang sekecil-kecilnya diharapkan peralatan proteksi
mampu
memberikan pengamanan yang sebesar-besarnya.
3. Peralatan Proteksi Sistem Distribusi
Peralatan proteksi yang terpasang pada sistem distribusi
bermacam-macam
yang ditempatkan menurut fungsinya masing-masing. Adapun
macam-macam
peralatan proteksi sistem distribusi adalah sebagai berikut
:
-
Wisnu Fajri PDTE SV UGM 2012 | 14
a. Saklar Pemutus Tenaga (PMT)
PMT merupakan peralatan proteksi utama sistem distribusi
yang
ditempatkan disisi hulu (gardu induk) jaringan yang beroperasi
dengan cara
menutup dan membuka rangkaian listrik dalam keadaan tanpa beban,
beban penuh
dan gangguan arus hubung singkat sesuai dengan ratingnya. Pada
PMT ini
terdapat media isolasi yang berfungsi untuk mengisolasi dan
memadamkan busur
api saat terjadi pemutusan rangkaian. Media isolasi pada PMT ada
yang
menggunakan minyak, hampa udara (vakum) dan gas SF6. Namun
kebanyakan
yang digunakan PLN masa kini adalah dengan menggunakan media
isolasi hampa
udara dengan alasan ekonomis juga memberikan unjuk kerja yang
optimal.
Gambar 2.6 Pemutus Tenaga 20 KV
b. Penutup Balik Otomatis (PBO) /Recloser
Recloser merupakan peralatan proteksi sejenis PMT yang
dilengkapi
dengan peralatan kontrol dipasang pada tiang SUTM yang
difungsikan sebagai
peralatan hubung untuk manuver jaringan dan dapat membuka secara
otomatis
apabila saluran yang dilayaninya ada gangguan arus lebih dan
menutup kembali
secara otomatis beberapa saat setelah membuka. Jumlah buka
tutupnya
dikoordinasikan dengan PMT utama yang ada di gardu induk. Untuk
mendeteksi
adanya indikasi gangguan maka recloser ini dilengkapi dengan
reclosing relay
(relai penutup balik). Pemasangan recloser pada SUTM dimaksudkan
agar ketika
terjadi gangguan temporer, jaringan dapat normal kembali dengan
sendirinya dan
ketika terjadi gangguan yang bersifat permananen akan mengurangi
daerah
padam. Recloser ditempatkan pada SUTM saluran utama dengan
panjang 25 km.
-
Wisnu Fajri PDTE SV UGM 2012 | 15
Gambar 2.7 Penutup Balik otomatis / Recloser
c. Saklar Seksi Otomatis (SSO) /Sectionalizer
Sectionalizer merupakan peralatan proteksi yang dilengkapi
kontrol
elektronik yang digunakan untuk mengisolir seksi SUTM yang
terganggu secara
otomatis, agar daerah yang terganggu sekecil mungkin. Pengaman
ini bekerja
berdasarkan pengindra tegangan, maka dari itu SSO akan selalu
berkaitan dengan
pengaman di sisi hulunya (seperti recloser). Pengaman ini
menghitung jumlah
operasi pemutusan yang dilakukan oleh pelindung backupnya secara
otomatis di
sisi hulunya (biasanya 2 atau 3 kali trip) dan akan membuka pada
saat peralatan
pengaman di sisi hulunya dalam posisi terbuka. SSO biasanya
ditempatkan pada
SUTM dipasang seri dengan recloser (setelah recloser) bukan
diantara 2 recloser
(ditengah-tengah). Namun pengaman ini akan sulit bila
dikoordinasikan dengan
fuse cut out, karena saat terjadi gangguan fuse cut out akan
langsung putus
sehingga tegangan hilang dan SSO akan terbuka.
Gambar 2.8 Sectionalizer
d. Pengaman Lebur (PL) /Fuse Cut Out (FCO)
Fuse Cut Out seperti yang terlihat pada Gambar 2.9 merupakan
alat
proteksi sistem distribusi yang bekerja dengan cara meleburkan
bagian dari
komponennya (fuse link) apabila jaringan yang dilayaninya
mengalami arus
gangguan hubung singkat atau beban lebih. Prinsip kerja dari
fuse ini adalah jika
-
Wisnu Fajri PDTE SV UGM 2012 | 16
arus yang melewati fuse melebihi nilai arus rating nominal dari
fuse maka elemen
lebur (fuse link) akan panas dan terus meningkat jika telah
mencapai titik leburnya
maka elemen akan melebur (putus). Pada SUTM, FCO biasanya
ditempatkan pada
saluran percabangan dan sebagai alat pengaman peralatan seperti
trafo distribusi.
Gambar 2.9 Fuse Cut Out
e. Lightning Arrester (LA)
Lightning Arrester adalah alat proteksi bagi peralatan listrik
terhadap
tegangan lebih, yang disebabkan oleh petir atau surja hubung
(switching surge).
Alat ini bersifat sebagai jalan pintas (by-pass) di sekitar
isolasi. Arrester akan
membentuk jalan yang mudah dilalui oleh arus kilat ke sistem
pentanahan
sehingga tidak menimbulkan tegangan lebih yang tinggi dan tidak
merusak isolasi
peralatan listrik. Jadi dalam keadaan normal, arrester berlaku
sebagai isolator dan
apabila timbul tegangan surja alat ini bersifat sebagai
konduktor yang tahanannya
relatif rendah, sehingga dapat meneruskan arus yang tinggi ke
tanah. Setelah surja
hilang, arrester harus dapat dengan cepat kembali menjadi
isolasi. Pada sistem
distribusi pemasangan arrester antara lain diletakan pada kabel
keluaran gardu
induk dengan saluran listrik udara, trafo tenaga yang terpasang
di tiang dan di
ujung jaringan atau ujung percabangan SUTM.
Gambar 2.10 Lightning Arrester
-
Wisnu Fajri PDTE SV UGM 2012 | 17
C. Penutup Balik Otomatis (PBO) / Recloser
Penutup Balik Otomatis atau Recloser merupakan pemutus tenaga
yang
dilengkapi kotak kontrol elektonik (Electronic Control Box),
yaitu suatu peralatan
elektronik sebagai kelengkapan recloser dimana peralatan ini
tidak berhubungan
dengan tegangan menengah dan pada peralatan ini recloser dapat
dikendalikan
cara pelepasannya. Dari dalam kotak kontrol inilah pengaturan
(setting) recloser
dapat ditentukan.
1. Kegunaan PBO / Recloser
Pada saat terjadi gangguan permanen, recloser dapat memisahkan
secara
cepat daerah atau jaringan yang terganggu sistemnya sehingga
dapat
memeperkecil daerah yang terganggu. Pada saat terjadi gangguan
sesaat, recloser
akan memisahkan daerah gangguan sesaat sampai gangguan tersebut
dianggap
hilang, dengan demikian recloser akan masuk kembali sesuai
settingnya sehingga
jaringan akan normal kembali secara otomatis.
2. Klasifikasi PBO / Recloser
PBO atau Recloser dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
a. Menurut Jumlah Fase
i. PBO 1 fase, digunakan untuk proteksi jaringan 1 fase seperti
pada saluran
percabangan. Tiga buah PBO 1 fase dapat juga digunakan pada
sistem 1
fase. Bila terjadi gangguan permanen 1 fase, maka hanya 1 fase
yang
terganggu yang akan dikunci, sedangkan pelayanan untuk 2 fase
lainnya
yang sehat yang akan terus berjalan.
ii. PBO 3 fase, digunakan bila dibutuhkan untuk penguncian
ketiga fase
secara bersamaan sehingga jika terjadi gangguan permanen 1 fase,
beban 3
fase tidak akan bekerja dengan 2 fase.
b. Menurut Media Pemadam Busur Api
i. PBO dengan pemadam busur api minyak. Dalam hal ini minyak
digunakan
sebagai isolasi dan pemadam busur api. Pada saat kontak
dipisahkan, busur
api akan terjadi di dalam minyak, sehingga minyak menguap
dan
menimbulkan gelembung gas yang menyelubungi busur api. Minyak
yang
berada diantara kontak sangat efektif untuk memutuskan arus.
Kelemahan
-
Wisnu Fajri PDTE SV UGM 2012 | 18
pemadam busur api dengan minyak yaitu minyak mudah terbakar
dan
kekentalan minyak memperlambat pemisahan kontak, sehingga
tidak
cocok untuk sistem yang membutuhkan pemutusan arus cepat.
ii. PBO dengan pemadam busur api hampa udara (vakum). Dalam hal
ini
vakum digunakan sebagai isolasi dan pemadam busur api. Pada PBO
jenis
ini, kontak ditempatkan pada suatu bilik vakum. Untuk mencegah
udara
masuk ke dalam bilik, maka bilik ini harus ditutup rapat dan
kontak
bergeraknya diikat ketat dengan perapat logam.
iii. PBO dengan pemadam busur api gas SF6. Media gas yang
digunakan pada
tipe ini adalah gas SF6 (sulphur hexafluoride). Sifat gas SF6
murni adalah
tidak berwarna, tidak berbau, tidak beracun dan tidak mudah
terbakar.
Sifat lain dari gas SF6 ialah mampu mengembalikan kekuatan
dielektrik
dengan cepat, tidak terjadi karbon selama terjadi busur api dan
tidak
menimbulkan bunyi pada saat pemutus tenaga menutup atau membuka
.
c. Menurut Peralatan Kontrol
i. PBO dengan kontrol hidrolik. Digunakan dalam semua PBO 3 fase
dan
sebagian PBO 1 fase. Tipe ini dapat merasakan arus lebih melalui
trip coil
yang dihubung seri dengan jaringan.
ii. PBO dengan kontrol elektornis. Pada PBO jenis ini akan
memudahkan
dalam mengubah karakteristik arus waktu, tingkat arus trip dan
urutan
operasi PBO tanpa harus menurunkan atau melepas PBO dari
jaringan,
merupakan kelebihan karena tidak mengganggu sistem.
3. Operasi Kerja PBO
Operasi kerja PBO dapat disetel cepat atau lambar seperti yang
terlihat
pada Gambar 2.11. Penyetelan operasi cepat dimaksudkan agar
ketika
gangguan temporer jaringan bisa pulih kembali dalam waktu yang
cepat.
Sedangkan operasi lambat dimaksudkan untuk memberikan
kesempatan
bekerja pada pengaman yang berada di sisi hilir pada saat
terjadi gangguan
yang bersifat permanen. Apabila recloser merasakan gangguan yang
bersifat
permanen, maka recloser akan trip sesuai settingnya sehingga
mencapai
kondisi lockout.
-
Wisnu Fajri PDTE SV UGM 2012 | 19
Gambar 2.11 Operasi Kerja PBO
D. Pengaman Lebur (PL) / Fuse Cut Out (FCO)
Pengaman Lebur atau FCO merupakan sebuah alat pemutus
rangkaian
listrik yang berbeban pada jaringan distribusi yang bekerja
dengan cara
meleburkan bagian dari komponennya (fuse link) yang telah
dirancang khusus dan
disesuaikan ukurannya. FCO berfungsi untuk melindungi jaringan
terhadap arus
beban lebih (over load current) yang mengalir melebihi dari
batas maksimum,
yang disebabkan karena hubung singkat (short circuit) atau beban
lebih (over
load). Konstruksi dari FCO ini jauh lebih sederhana bila
dibandingkan dengan
pemutus beban yang terdapat di Gardu Induk. Akan tetapi FCO ini
mempunyai
kemampuan yang sama dengan pemutus beban. FCO ini hanya dapat
memutuskan
satu saluran kawat jaringan di dalam satu alat. Apabila
diperlukan pemutus
saluran tiga fasa maka dibutuhkan FCO sebanyak tiga buah.
1. Klasifikasi Fuse cut out
Fuse Cut Out dapat diklasifikasi dalam 2 macam fuse yaitu :
a. Fuse letupan (Expulsion Fuse)
Pengaman lebur atau FCO yang digunakan pada jaringan distribusi
adalah
jenis letupan. Kontruksi pengaman lebur letupan dapat dilihat
pada Gambar 2.12.
Fuse ini tidak dilengkapi dengan alat peredam busur api,
sehingga bila digunakan
untuk daya besar maka fuse tidak mampu meredam busur api yang
timbul pada
saat terjadi gangguan, akibatnya akan timbul ledakan. Karena itu
fuse ini
dikategorikan sebagai pengaman letupan.
Istilah letupan (expulsi) merupakan suatu tanda yang
dipergunakan fuse
sebagai tanda adanya busur listrik yang melintas didalam tabung
fuse yang
Close
Trip
Operasi Cepat Operasi Lambat
Interval Reclosing
Lockout
-
Wisnu Fajri PDTE SV UGM 2012 | 20
kemudian dipadamkannya. Peristiwa yang terjadi pada bagian dalam
tabung fuse
ini adalah peristiwa penguraian panas secara partial akibat
busur dan timbulnya
gas yang di deionisasi pada celah busurnya sehingga busur api
segera menjadi
padam pada saat arus menjadi nol. Tekanan gas yang timbul pada
tabung akibat
naiknya temperatur dan pembentukan gas menimbulkan terjadinya
pusaran gas
didalam tabung dan ini membantu deionisasi lintasan busur api.
Tekanan yang
semakin besar pada tabung membantu proses pembukaan rangkaian,
setelah busur
api padam, partikel-partikel yang diionisasi akan tertekan
keluar dari ujung
tabung yang terbuka.
Gambar 2.12 Bagian-bagian Pengaman Lebur Letupan
-
Wisnu Fajri PDTE SV UGM 2012 | 21
Keterangan :
1. Isolator Porselen 6. Mata kait dari brons
2. Kontak dari tembaga disepuh perak 7. Tabung pelebur dari
resin
3. Klem terminal dari kuningan 8. Penggantung dari baja tahan
karat
4. Tutup yang dapat dilepas(kuningan) 9. Klem pemegang dari
baja
5. Batang pemegang atas dari baja 10. Lengan pemutus hubungan
dari
baja
b. Fuse Liquid (Liquid Filled Fuse)
Fuse Liquid, fuse jenis ini tidak dikenal diwilayah PT PLN
(Persero).
Namun menurut referensi, FCO semacam ini dapat digunakan untuk
jaringan
distribusi dengan saluran kabel udara.
2. Fuse link
Perlengkapan Fuse Cut Out terdiri dari sebuah rumah fuse (fuse
support),
pemegang fuse (fuse holder) dan fuse link sebagai pisau
pemisahnya. Fuse link
merupakan pembatas arus yang dipasang pada FCO. Ukuran fuse link
ditentukan
oleh panjang fuse link dan besarnya penampang elemen lebur.
Panjang fuse link
menentukan jumlah yang dapat ditampung dan dihantarkan dari
pengikat ketika
elemen lebur.
3. Standar Fuse link
Ada sejumlah standar yang dianut fuse link, salah satu standar
pengenal
fuse link dikenal dengan sebutan pengenal H. Pengenal H
dispesifikasi fuse link
tersebut mampu untuk disalurkan arus listrik sebesar 100 %
secara kontinue dan
akan melebur pada nilai tidak lebih dari 230 % dari angka
pengenalnya dalam
waktu 5 menit.
Pada praktek dilapangan ketentuan tersebut kurang memuaskan
penggunaanya karena hanya satu titik yang dispesifikasi pada
karakteristik arus
waktu sehingga fuse link yang dibuat oleh sejumlah pabrik yang
berbeda
mempunyai keterbatasan dalam memberikan jaminan koordinasi antar
fuse link.
Setelah fuse link dengan pengenal H kemudian muncul standar
industri fuse link
dengan pengenal K dan pengenal T pada tahun 1951.
-
Wisnu Fajri PDTE SV UGM 2012 | 22
Pengenal K untuk menyatakan fuse link dapat bekerja memutus
jaringan
listrik yang berbeban dengan waktu kerja lebih cepat dan
pengenal T untuk
menyatakan fuse link bekerja memutus jaringan listrik yang
berbeban dengan
waktu kerja lebih lambat. Fuse link tipe T dan tipe K ini
merupakan rancangan
yang universal karena fuse link ini bisa ditukar tukar
(interchangeability)
kemampuan elektris dan mekanisnya yang dispesifikasi dalam
standar.
Karakteristik fuse link tipe K dan tipe T sudah distandarisasi
dan sebagai titik
temu nilai arus maksimum dan minimum yang diperlukan untuk
melelehkan fuse
link ditetapkan pada 3 titik waktu dalam kurva karakteristik.
Kondisi ini lebih
menjamin koordinasi antara fuse link yang dibuat oleh beberapa
pabrik menjadi
lebih baik dari pada yang dimiliki fuse link H.
Tabel 2.1 Arus Pengenal Fuse Link Tipe K
Tabel 2.2 Arus Pengenal Fuse Link Tipe T
-
Wisnu Fajri PDTE SV UGM 2012 | 23
Kurva karakteristik kerja fuse link tipe K dan T masing-masing
dapat
dilihat pada Gambar 2.13 dan Gambar 2.14 sebagai berikut :
Gambar 2.13 Kurva Karakteristik ArusWaktu Fuse Link Tipe K
-
Wisnu Fajri PDTE SV UGM 2012 | 24
Gambar 2.14 Kurva Karakteristik ArusWaktu Fuse Link Tipe T
-
Wisnu Fajri PDTE SV UGM 2012 | 25
Dari kedua kurva karakteristik kerja fuse ini masing-masing
memiliki hal
sebagai berikut :
a. Kurva waktu leleh minimum (minimum melting time). Yaitu kurva
yang
menunjukkan waktu yang dibutuhkan mulai dari saat terjadinya
arus lebih
sampai dengan mulai meleburnya pelebur untuk harga arus
tertentu.
b. Waktu busur. Yaitu waktu antara saat timbulnya busur
permulaam sampai saat
pemadaman.
c. Kurva waktu pembebasan maksimum (maximum clearing time).
Yaitu kurva
yang menunjukkan waktu yang dibutuhkan dari saat terjadinya arus
lebih
sampai dengan padamnya bunga api untuk harga arus tertentu.
4. Pemilihan Rating Arus Fuse Link FCO untuk Proteksi
Percabangan
Salah satu hal yang menjadi pertimbangkan dalam pemilihan
arus
pengenal FCO untuk proteksi saluran cabang atau saluran anak
cabang adalah
besarnya nilai arus beban maksimum yang akan atau dapat mengalir
pada saluran
cabang atau anak cabang tersebut. Untuk menentukan rating arus
fuse link FCO
yang dipilih dapat dilakukan sebagai berikut :
1. Pilih fuse link yang sesuai dengan standar dalam hal ini PLN
dalam SPLN 64
:1985 menentukan pilihan tipe K atau T.
2. Bagilah arus beban maksimum yang sudah ditentukan dengan
kemampuan arus
kontinyu fuse link.
3. Koordinasi yang sebaik baiknya dengan alat proteksi yang lain
seperti recloser
dan FCO lainnya baik yang berada di sisi hulu ataupun sisi
hilirnya.
4. Perhatikan batas ketahanan penghantar terhadap arus hubung
singkat.
5. Perhatikan pula kemampuan pemutusan dari FCO, khususnya bagi
FCO yang
terpasang dekat dengan sumber tenaga
Pemilihan rating arus fuse link FCO yang benar adalah tidak
akan
melebur atau terjadi kerusakan oleh gangguan sesaat yang terjadi
disebelah
hilirnya, karena recloserlah yang seharusnya membuka rangkaian
tanpa
memutuskan fuse link. Pada saat gangguan tetap fuse link pertama
pada sisi hulu
dari gangguan akan melebur dan membuka rangkaian setelah operasi
recloser.
-
Wisnu Fajri PDTE SV UGM 2012 | 26
E. Koordinasi Antara Recloser dan Fuse Cut Out
Dalam jaringan distribusi, khususnya saluran udara sering
digunakan
recloser dan fuse cut out bersama-sama untuk keperluan
pengamanan. Recloser
digerakan oleh relai dengan karakteristik tertentu, sedangkan
fuse mempunyai
karakteristik sendiri. Oleh karenanya perlu koordinasi antara
kedua alat ini.
Gambar 2.15 Feeder Dengan Pengaman Recloser dan FCO
Gambar 2.15 menggambarkan SUTM 20 kV yang dilengkapi dengan
recloser pada saluran utama dan fuse pada saluran cabang.
Apabila terjadi
gangguan pada saluran cabang, recloser pada saluran utama harus
segera trip dan
jangan sampai di dahului oleh putusnya fuse yang ada di saluran
cabang. Setelah
recloser trip, kemudian ada dead time dengan harapan agar selama
waktu mati ini
penyebab gangguan sudah hilang dan recloser masuk kembali
sehingga keadaan
menjadi normal kembali. Hal ini terasa sebagai gangguan
temporer.
Tetapi apabila gangguan yang terjadi adalah gangguan permanen
dan
terjadi di saluran cabang di belakang fuse, maka setelah dead
time diatas habis dan
recloser masuk kembali, diharapkan kali ini fuse bekerja
terlebih dahulu
mendahului recloser trip kembali. Agar hal ini dapat terlaksana
maka relai harus
berubah karakteristiknya seperti terlihat pada Gambar 2.16.
Gambar 2.16 Kurva Waktu Arus Relai Recloser dan Fuse Cut Out
SUTM 20 KV
Saluran Utama
Saluran Cabang
Fuse Cut Out
Waktu(detik)
Arus (Amp) 0 100 1000 10000
R1
R2 S1
S2
0,1
0,5
1
-
Wisnu Fajri PDTE SV UGM 2012 | 27
Keterangan :
R1= Kurva relai arus lebih sewaktu recloser trip pertama
kali.
R2= Kurva relai arus lebih sewaktu recloser trip kedua kali.
S1= Kurva waktu minimum dari fuse.
S2= Kurva waktu maksimum dari fuse.
Dengan kurva arus seperti yang ditunjukan oleh Gambar 2.16 maka
pada
waktu recloser menutup kembali setelah trip yang pertama kali,
fuse telah
melebur terlebih dahulu sehingga gangguan permanen yang terjadi
di saluran
cabang tidak menyebabkan recloser trip kembali. Dengan demikian
yang padam
hanya saluran cabang yang mengalami gangguan permanen.
F. Relai Proteksi
Relai merupakan alat yang bekerja secara otomatis untuk
mempengaruhi
bekerjanya alat lain akibar adanya perubahan pada rangkaian.
Adapun relai yang
terpasang pada sistem proteksi distribusi terdiri dari :
1. Relai proteksi Over Current Relay (OCR), dipergunakan untuk
mengamankan
sistem ditribusi jika ada gangguan hubung singkat 3 fase atau 2
fase.
2. Relai proteksi Ground Fault Relay (GFR), dipergunakan untuk
mengamankan
sistem ditribusi jika ada gangguan hubung singkat satu fase ke
tanah.
1. Relai Arus Lebih / Over Current Relay (OCR)
Relai arus lebih adalah suatu relai yang bekerja berdasarkan
adanya
kenaikan arus yang melebihi nilai arus dan waktu settingnya.
Relai arus lebih ini
berfungsi sebagai proteksi terhadap gangguan hubung singkat
antar fasa.
Berdasarkan karakteristik hubungan kerja antara besar arus dan
waktu kerja relai
arus lebih dibagi menjadi 3 yaitu :
a. Relai arus lebih seketika (instanstaneous over current
relay).
Relai yang bekerja seketika (tanpa waktu tunda) ketika arus yang
mengalir
melebihi nilai settingnya, tapi masih bekerja dengan waktu cepat
sebesar 50-100
mili detik dengan karakteristik seperti terlihat pada Gambar
2.17. Pada sistem
distribusi tegangan menengah disebut setelan
instant/moment/cepat. Setelan relai
dengan karakteristik instant dapat di setkan pada OCR atau
GFR.
-
Wisnu Fajri PDTE SV UGM 2012 | 28
Gambar 2.17 Karakteristik Relai Arus Lebih Instant
Setelan instant :
i. Setelan arus, untuk relai outgoing diambil dari arus gangguan
3 fase atau 2
fase di lokasi gangguan 50% - 60% panjang penyulang 20 kV.
Sedangkan
untuk setelan relai incoming 40% dari panjang penyulang 20
kV.
ii. Setelan waktu, untuk relai outgoing setelan waktunya 50 100
mili detik
sedangkan untuk relai incoming setelan waktunya lebih besar dari
setelan
waktu di outgoing.
b. Relai arus lebih dengan waktu tertentu (definite time over
current relay).
Relai ini akan memberikan perintah pada PMT pada saat terjadi
gangguan
hubung singkat dan besarnya arus gangguan melampaui settingnya
dan jangka
waktu kerja relai mulai pick up sampai kerja relai diperpanjang
dengan waktu
tertentu, tidak tergantung besarnya arus yang mengerjakan relai.
Kurva time
definite over current relay dapat dilihat pada Gambar 2.18,
dimana waktu
kerjanya lebih lama dari waktu setelan instant dan setelan
relainya didasarkan
pada arus beban sesuai BS 142 1996. Setelan relainya sebagai
berikut :
i. Setelan arus : 1,2-1,3 . Ibeban
ii. Setelan waktu : 0,3 detik (minimum)
Apabila terdapat recloser, maka terdapat tunda waktu antar relai
senilai
0,3-0,4 detik.
Gambar 2.18 Karakteristik Relai Arus Lebih Definite
Waktu (detik)
Arus (Amp) If
besar
t=50-100 mdetik
Waktu (detik)
Arus (Amp) If(sesuai setelan)
t(sesuai setelan)
-
Wisnu Fajri PDTE SV UGM 2012 | 29
c. Relai arus lebih dengan waktu terbalik (inverse time over
current relay).
Setelan relai proteksi dengan karakteristik inverse time over
current relay
adalah karakteristik yang grafiknya terbalik antara arus dan
waktu, dimana
semakin besar arus gangguan maka semakin kecil waktu yang
dibutuhkan untuk
membuka pemutus (PMT). Karakteristik inverse sesuai IEC 60255-3
dan BS. 142
1996 sebagai berikut :
t =
((If Iset )1) x Tms (2.1)
Tms =((If Iset )1)
x t (2.2)
Keterangan :
t = Waktu trip relai (detik)
If = Arus gangguan (Amp)
Iset = Arus setelan relai (Amp)
Tms = Time Multiplier Setting. Nilai yang disetkan ke relai
sebagai konstanta
, = Faktor konstanta.
Tabel 2.3 Faktor dan
Nama Kurva
Standard Inverse 0,02 0,14
Very Inverse 1 13,2
Extremely Inverse 2 80
Long Inverse 1 120
Gambar 2.19 Karakteristik Relai Arus Lebih Inverse
Arus (Amp)
Waktu
(detik)
Iset1
tset1
Iset2
tset2
-
Wisnu Fajri PDTE SV UGM 2012 | 30
2. Relai Gangguan Tanah / Ground Fault Relay (GFR)
Relai gangguan tanah yang lebih dikenal dengan GFR (ground fault
relay)
pada dasarnya mempunyai prinsip kerja sama dengan relai arus
lebih, namun
memiliki perbedaan dalam kegunaanya. Bila relai OCR mendeteksi
adanya
hubung singkat antara fase, maka GFR mendeteksi adanya hubung
singkat ke
tanah. Relai ini akan efektif apabila digunakan pada sistem
tenaga listrik dengan
pentanahan netral dengan tahanan rendah. Cara penyambungan relai
gangguan
tanah dapat dilihat pada Gambar 2.120 sebagai berikut :
Gambar 2.20 Penyambungan Relai Gangguan Tanah
3. Relai Penutup Balik (Reclosing Relay)
Reclosing relay merupakan relai yang berfungsi untuk memberi
perintah
close setelah proteksi utama memberi perintah trip. Apabila
gangguan bersifat
temporer maka posisi terakhir PMT setelah ada perintah close
adalah dalam
kondisi tertutup dan sistem normal kembali. Apabila gangguan
bersifat permanen
maka relai akan memberi perintah close setelah PMT trip, namun
PMT akan
kembali ditripkan oleh proteksi utama. Reclosing relay memiliki
diagram waktu
kerja sebagai berikut :
a. Dead Time
Dead time merupakan selang waktu dari PMT trip sampai masuk
kembali
dan berfungsi untuk memadamkan busur api atau menghilangkan
gangguan
temporer. Sehingga penentuan dead time dipengaruhi oleh lama
waktu padam
busur api (deionisasi udara), karakteristik PMT dan stabilitas
sistem. Setelan dead
-
Wisnu Fajri PDTE SV UGM 2012 | 31
time harus lebih besar dari waktu deionisasi udara. Hal ini
untuk mengindari
terjadinya gangguan yang berulang karena busur api masih ada.
Semakin besar
level tegangan maka akan semakin lama waktu deionisasi udaranya.
Penyetelan
dead time juga memperhatikan karakteristik PMT, karena PMT
mempunyai batas
waktu minimum agar dapat menerima perintah close dengan baik
setelah
mendapat perintah trip. Karakteristik ini disebut trip close
operation time yang
bervariasi tergantung jenis penggerak PMT dan media pemadam
busur apinya.
b. Blocking/Reclaim Time
Blocking time merupakan waktu yang digunakan untuk memblok
dead
time beberapa saat setelah PMT masuk dan berfungsi memberi
kesempatan untuk
memulihkan tenaganya setelah melakukan siklus reclosing.
Blocking time
ditetapkan dengan mempertimbangkan kemampuan PMT untuk siap
melakukan
operasi trip-close-trip kembali. Ketika PMT trip, PMT akan
melakukan charging
ke mekanik penggerak PMT. Sehingga selama proses charging ini
PMT tidak
boleh close. Maka dari itu, untuk mengakomodasi hal ini setelan
blocking time
pada reclosing relay harus lebih besar dari waktu yang
diperlukan PMT untuk
siap melakukan operasi trip-close-trip. Prinsip kerja dari
reclosing relay
diilustrasikan oleh Gambar 2.21.
Gambar 2.21 Rangkaian Reclosing Relay
-
Wisnu Fajri PDTE SV UGM 2012 | 32
G. Gangguan Pada Sistem Distribusi
Gangguan yang terjadi pada sistem distribusi lebih sering
jika
dibandingkan dengan bagian sistem tenaga listrik lainnya. Maka
dari itu masalah
utama dalam operasi distribusi adalah mengatasi gangguan
tersebut. Memang
gangguan yang terjadi tidak bisa dihilangkan sepenuhnya akan
tetapi pihak
perusahaan berusaha untuk meminimalisir gangguan tersebut.
1. Berdasarkan Penyebab Gangguan
a. Gangguan Berasal dari Dalam
Gangguan yang disebabkan oleh sistem itu sendiri berupa tegangan
lebih,
arus lebih dan pemasangan material yang tidak baik pada sistem.
Misalnya
pemasangan sambungan konduktor yang tidak sempurna atau
pemasangan
peralatan yang tidak sesuai dengan SPLN.
b. Gangguan Berasal dari Luar
Gangguan yang disebabkan oleh kondisi geografis dan faktor alam
suatu
wilayah yang dilewati oleh jaringan distribusi tenaga listrik.
Misalnya pohon
tumbang mengenai SUTM, surja petir dan gempa bumi.
2. Berdasarkan Lama Gangguan
a. Gangguan Temporer
Merupakan gangguan yang dapat hilang dengan sendirinya (dalam
waktu
singkat) atau memutuskan sesaat bagian yang terganggu dari
sumber tegangannya
kemudian akan menutup kembali. Gangguan seperti ini biasanya
terjadi pada
SUTM dimana pernghantarnya tidak mempunyai isolasi. Gangguan ini
antara lain
disebabkan oleh :
i. Disebabkan karena adanya sambaran petir pada penghantar
listrik yang
tergelar di udara sehingga menyebabkan flashover antara
penghantar dengan
traves melalui isolator.
ii. Penghantar tertiup angin yang dapat menimbulkan gangguan
antar fase atau
penghantar fase menyentuh pohon sehingga menimbulkan gangguan
fase ke
tanah.
b. Gangguan Permanen
Merupakan gangguan dimana untuk pembebasannya perlu
dilakukan
tindakan perbaikan atau menyingkirkan material penyebab gangguan
dalam waktu
-
Wisnu Fajri PDTE SV UGM 2012 | 33
yang lebih lama daripada gangguan yang bersifat temporer,
sehingga gangguan ini
menyebabkan pemutusan tetap.
3. Gangguan Hubung Singkat
Pada sistem tenaga listrik, gangguan hubung singkat
diklasifikasikan ke
dalam 2 jenis yaitu :
a. Gangguan Simetris
Merupakan gangguan yang terjadi pada semua fasenya sehingga
arus
maupun tegangan setiap fasenya tetap seimbang setelah gangguan
terjadi.
Misalnya gangguan hubung singkat 3 fase.
b. Gangguan Tak Simetris
Merupakan gangguan yang mengakibatkan arus dan tegangan pada
setiap
fasenya menjadi tak seimbang. Misalnya gangguan hubung singkat 1
fase ke
tanah (single line to ground fault), gangguan hubung singkat 2
fase (line to line
fault) dan gangguan hubung singkat 2 fase ke tanah (double line
to ground
fault).
4. Upaya-Upaya Mengurangi Jumlah Gangguan
Upaya untuk mengurangi jumlah gangguan pada sistem dapat
dilakukan
dengan hal-hal sebagai berikut :
a. Memasang peralatan yang dapat diandalkan dalam hal ini harus
sesuai dengan
standar PLN.
b. Penentuan spesifikasi dan desain yang baik sehingga tahan
terhadap kondisi
kerja normal ataupun pada saat gangguan.
c. Merencanakan dan melaksanakan pemeliharaan peralatan secara
periodik
sehingga kemungkinan terjadinya gangguan dari dalam sistem dapat
dicegah.
d. Memeriksa peralatan pengaman seperti relai-relai untuk
memastikan unjuk
kerja relai yang baik.
e. Melakukan pemangkasan ranting-ranting pohon yang sudah dekat
dengan
saluran.
-
Wisnu Fajri PDTE SV UGM 2012 | 34
H. Komponen Simetris
Menurut teori Fortescue dalam sistem tak seimbang yang terdiri
dari n
buah fasor yang saling berhubungan dapat diuraikan menjadi n
buah sistem
dengan pasor seimbang. Jadi tiga pasor tidak seimbang dari suatu
sistem tiga fase
dapat diuraikan menjadi tiga sistem pasor seimbang, dimana
komponennya
sebagai berikut :
a. Komponen urutan positif, terdiri dari tiga pasor yang sama
besarnya dalam
magnitude dimana masing-masing terpisah satu dengan lainnya
dalam sudut
fase 1200 dan mempunyai urutan fase sama seperti pasor
aslinya.
Gambar 2.22 Komponen Urutan Positif
b. Komponen urutan negatif, terdiri dari tiga pasor yang sama
besarnya dalam
magnitude, dimana masing-masing terpisah satu dengan yang
lainnya dalam
sudut fase 1200 dan mempunyai urutan fase yang berlawanan dengan
pasor
aslinya.
Gambar 2.23 Komponen Urutan Negatif
c. Komponen urutan nol, terdiri dari tiga pasor yang sama
besarnya dalam
magnitude, dengan pergeseran fase nol antara fase yang satu
dengan yang lain.
Va1 Vc1
Vb1
Va2
Vb2
Vc2
-
Wisnu Fajri PDTE SV UGM 2012 | 35
Gambar 2.24 Komponen Urutan Nol
Jumlah tegangan dan arus pada sistem merupakan penjumlahan
masing-
masing komponen simetris masing-masing urutan, sebagaimana
dijelaskan oleh
persamaan berikut :
Va = Va1 + Va2 + Va0 (2.3)
Vb = Vb1 + Vb2 + Vb0 (2.4)
Vc = Vc1 + Vc2 + Vc0 (2.5)
Ia = Ia1 + Ia2 + Ia0 (2.6)
Ib = Ib1 + Ib2 + Ib0 (2.7)
Ic = Ic1 + Ic2 + Ic0 (2.8)
Dengan bantuan operator a = 1120o dan a2 = 1 2402 maka
persamaan
diatas menjadi sebagai berikut :
Va = Va1 + Va2 + Va0 (2.9)
Vb = a2Va1 + a Va2 + Va0 (2.10)
Vc = a Va1 + a2Va2 + Va0 (2.11)
Ia = Ia1 + Ia2 + Ia0 (2.12)
Ib = a2Ia1 + a Ia2 + Ia0 (2.13)
Ic = a Ia1 + a2Ia2 + Ia0 (2.14)
Kemudian untuk menghitung tegangan dan arus komponen
masing-masing
urutan dapat menggunakan persamaan berikut :
Va0 = 1
3 Va + Vb + Vc (2.15)
Va1 = 1
3 Va + a Vb + a
2 Vc (2.16)
Va2 = 1
3 Va + a
2 Vb + a Vc (2.17)
Va0 Vb0
Vc0
-
Wisnu Fajri PDTE SV UGM 2012 | 36
Ia0 = 1
3 ( Ia + Ib + Ic ) (2.18)
Ia1 = 1
3 ( Ia + a Ib + a
2 Ic ) (2.19)
Ia2 = 1
3 ( Ia + a
2 Ib + a Ic ) (2.20)
I. Perhitungan Impedansi
1. Impedansi Sumber
Impedansi sumber merupakan nilai impedansi pada sisi 150 kV
yang
mencakup impedansi sumber pembangkit, impedansi trafo tenaga di
pusat listrik
dan impedansi transmisi. Untuk mengetahui impedansi sumber pada
sisi 20 kV,
maka harus menghitung terlebih dahulu impedansi sumber pada
sisi150 kV yang
kemudian dikonversikan ke impedansi sumber sisi 20 kV dengan
menggunakan
rumus sebagai berikut :
Xsc1 =kV 1
2
MVA sc (2.21)
Keterangan :
Xsc1 = Impedansi sumber 150 kV (ohm).
kV1 = Tegangan sisi primer trafo tenaga (kV)
MVAsc = Data daya hubung singkat sisi 150 kV (MVA)
Untuk mengkonversi impedansi yang terletak di sisi 150 kV ke
sisi 20 kV
dengan cara menggunakan rumus sebagai berikut :
Xsc 2 =kV 2
2
kV 12 x Xsc 1 (2.22)
Keterangan :
Xsc2 = Impedansi sumber 20 kV (ohm)
kV2 = Tegangan sisi sekunder trafo tenaga (kV)
kV1 = Tegangan sisi primer trafo tenaga (kV)
2. Impedansi Trafo Tenaga
Impedansi urutan positif dan negatif di dapat dari rumus sebagai
berikut :
XT1 = XT2 =kV 2
MVA x % (2.23)
Keterangan :
XT1 = Impedansi trafo urutan positif (ohm)
XT2 = Impedansi trafo urutan negatif (ohm)
-
Wisnu Fajri PDTE SV UGM 2012 | 37
kV = Tegangan operasi (kV)
MVA = Kapasitas daya trafo (MVA)
% = Persentase impedansi tercantum pada name plate
Sedangkan untuk nilai impedansi urutan nol (XT0) trafo tenaga
dengan
hubungan belitan Dyn adalah :
XT0 = XT1 (2.24)
3. Impedansi Penyulang
Nilai impedansi penyulang di dapat dari rumus sebagai berikut
:
ZPenyulang = R + jXL L (2.25)
Keterangan :
R = Resistansi kawat saluran (ohm/km)
jXL = Reaktansi kawat saluran (ohm/km)
L = Panjang saluran (km)
Untuk nilai resistansi dan reaktansi masing-masing urutan
positif, negatif
dan nol ditentukan berdasarkan diameter dan jenis kawat yang
digunakan pada
saluran. Standar nilai resistansi dan reaktansi untuk jenis
kawat A2C dan A3C
ditunjukan pada Tabel 2.4.
Tabel 2.4 Nilai Impedansi Kawat
4. Impedansi Ekuivalen
a. Nilai impedansi ekuivalen urutan positif (Z1eq) dan negatif
(Z2eq) adalah
sebagai berikut :
Z1eq = Z2eq = Xsc 2 + XT1 + Z1Penyulang (2.26)
b. Nilai impedansi ekuivalen urutan nol (Z0eq) adalah sebagai
berikut :
Z0eq = XT0 + 3Rn + Z0Penyulang (2.27)
-
Wisnu Fajri PDTE SV UGM 2012 | 38
Rn = Resistansi pentanahan netral (pentanahan langsung = 0)
J. Perhitungan Arus Hubung Singkat
Perhitungan arus gangguan hubung singkat pada saluran diperlukan
untuk
mengetahui besarnya arus setiap titik tertentu pada saluran
untuk dijadikan bahan
pertimbangan pemasangan peralatan pada jaringan dan keperluan
setting peralatan
proteksi. Pada perhitungan arus hubung singkat digunakan rumus
dasar hukum
ohm sebagai berikut :
I = V
Z (2.28)
Keterangan :
I = Arus hubung singkat (ampere)
V = Tegangan sumber (volt)
Z = Impedansi ekuivalen dari titik gangguan sampai ke sumber
(ohm)
Perhitungan arus hubung singkat dalam hal ini dibatasi hanya
pada
perhitungan arus hubung singkat 1 fase ke tanah (Single Line to
Ground Fault /
SLG). Dimana arus hubung singkat 1 fase ke tanah ini termasuk ke
dalam kategori
gangguan hubung singkat tak simetri seperti telah di sampaikan
pada pembahasan
gangguan hubung singkat terdahulu.
Gangguan 1 fase ke tanah terjadi misalnya salah satu penghantar
tersentuh
pohon atau kawat yang terhubung dengan tanah. Dengan adanya
gangguan pada
salah satu fase ini maka akan muncul diagram pasor tak seimbang.
Pada Gambar
2.25 dimisalkan pada sistem terjaadi gangguan hubung singkat
pada fase a.
Gambar 2.25 Hubung Singkat 1 Fase ke Tanah
Dengan terjadinya gangguan hubung singkat 1 fase ke tanah
seperti yang
terlihat pada Gambar 2.25 dapat dinyatakan bahwa :
Ec Eb
Ea
Zb
Zc
Zn
Za Ia
Ib
Ic
-
Wisnu Fajri PDTE SV UGM 2012 | 39
a. Dalam kondisi normal maka Va=Vb=Vc dan Ia=Ib=Ic=0,
b. Dalam kondisi gangguan maka Ib=Ic=0, Ia0 dan Va=0.
Sehingga pada kondisi SLG, persamaan arus komponen
simetrisnya
menjadi :
Ia0 = Ia1 = Ia2 = 1
3Ia (2.29)
Dan persamaan tegangan komponen simetrisnya yang dinyatakan
dalam
bentuk matrik menjadi :
Va0 Va1 Va2
= 0
Ea0
Z0eq 0 0
0 Z1eq 0
0 0 Z2eq
Ia1Ia1Ia1
(2.30)
Apabila kedua suku matrik diatas dikalikan dengan matrik [ 1 1
1] maka
akan di dapatkan persamaan sebagai berikut :
Va0 + Va1 + Va2 = Ea Z0eq Ia1 Z1eq Ia1 Z2eq Ia1
0 = Ea Z0eq + Z1eq + Z2eq Ia1
Ia1 = If1 =Ea
Z0eq + Z1eq + Z2eq (2.31)