-
1
Kontrak Karya PT. Freeport Indonesia Ditinjau
Dari Pasal 33 UUD Tahun 1945 dan Implikasinya
Terhadap Iklim Investasi di Indonesia1
Oleh:
Syahrul Fitra, Antonius Kanaris, Triani2
Abstrak
The land, the water, and the natural resources within shall be
under the powers of
the State and shall be used to the greatest benefit of the
people. (The 1945
Constitution of the Republic of Indonesia, Article 33 (3)). To
regulate the
management of natural resources, especially coal and mineral
resources, in 1967,
The Government established the Law of The Republic Indonesia
Number 1 of
1967 Concerning Foreign Capital Investment and Law of Republic
Indonesia
Number 11 of 1967 Concerning Mining as the legal basis
regulating about
investment and mining issues in Indonesia, especially for
foreign investors. The
first collaboration engaged in mining was collaboration between
The Government
of Republic of Indonesia and PT. Freeport Indonesia. This
collaboration was
established to perform the processing of copper mining in Papua.
Cooperation as
outlined in the contract of work (CoW) in 1967 was renewed in
1991 with the
expansion of the area from Ertsberg to Grasberg in Papua. Since
it was first
established, the contract of work has spawned many disputes as
well as revenue to
the state.
Key Words: Kontrak Karya (Contract of Work(COW)), PT. Freeport
Indonesia,
Sengketa
Abstrak
Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya
dikuasai oleh
Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat
(Pasal 33
ayat 3 UUD 1945). Untuk mengatur pengelolaan sumber daya alam
tersebut
terutama sumber daya mineral dan batu bara maka pada tahun 1967
dibentuk
Undang-Undang Penanaman Modal Asing dan Undang-Undang
Pertambangan
sebagai dasar hukum untuk melakukan penanaman modal dan
pertambangan di
Indonesia terutama oleh pemodal asing. Kerjasama pertama setelah
lahirnya
kedua undang-undang tersebut adalah kerjasama pemerintah dengan
PT.
1 Tulisan ini merupakan tugas Ujian Akhir Semester pada kuliah
Hukum Investasi, yang dibina oleh
Arman Nevi, S.H.,M.M. Dan telah dipresentasikan di depan
mahasiswa Paskasarjana Fakultas Hukum UI, program studi Hukum
Ekonomi. 2 Penulis merupakan Mahasiswa Paskasarjana Fakultas Hukum
UI, angkatan 2013.
-
2
Freeport Indonesia untuk melakukan pengolahan pertambangan
tembaga di
cdangan Ertsberg Papua. Kerjasama yang dituangkan dalam kontrak
karya
(Contract of Work) tahun 1967 telah diperbaharui pada tahun 1991
dengan
perluasan wilayah ke Grasberg Papua. Sejak kontrak karya ini
dibentuk telah
melahirkan banyak sengketa disamping pemasukan terhadap
negara.
Kata Kunci: Kontrak Karya, PT. Freepor Indonesia, Sengketa
A. Latar Belakang
Mineral dan batu bara merupakan salah satu dari hasil kekayaan
bumi yang tak
terbarukan atau tidak dapat diperbaharui selain minyak bumi dan
gas. Oleh sebab
itu, Pasal 33 ayat (2) UUD Tahun 1945 mengamanatkan
Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai
hajat hidup orang banyak
dikuasai oleh negara dan selanjutnya pada ayat (3) Bumi dan air
dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara
dan dipergunakan untuk
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Indonesia merupakan negara
yang sangat luas, yaitu 1,904,569 Km
2.3
Dengan bentangan wilayah yang sangat luas tersebut, Indonesia
memiliki potensi
SDA yang sangat besar baik SDA hayati maupun non-hayati. Apabila
potensi
kekayaan alam tersebut dapat dimanfaatkan dengan maksimal,
Indonesia dapat
menjadi negara yang makmur, bahkan dapat mengalahkan
negara-negara Eropa
dan Amerika. Akan tetapi hal tersebut masih menjadi angan-angan
(utopis) untuk
saat ini. Hal tersebut disebabkan sistem pengelolaan yang tidak
tepat atau faktor-
faktor lain yang tidak lepas dari kondisi transisi politik
Indonesia tahun 1965 dari
Orde Lama ke Orde Baru. Orde Baru yang dipimpin oleh Presiden
Soeharto
ketika itu membuka pasar yang seluas-luasnya bagi investor
terutama investor
asing untuk menanamkan modalnya di Indonesia setelah sebelumnya
pada masa
Orde Lama yang dipimpin Presiden Soekarno melakukan
nasionalisasi aset
terhadap perusahaan asing yang ada di Indonesia.
Kebijakan liberalisasi ekonomi Orde Baru mulai terlihat
sejak
pembentukan UU No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing
yang
diikuti dengan keluarnya UU No. 11 Tahun 1967 tentang
Pertambangan, dan satu
tahun setelah itu disusul dengan pengesahaan UU No. 6 Tahun 1968
tentang
Penanaman Modal Dalam Negeri. Lahirnya paket regulasi tersebut
telah menarik
minat investor pertambangan asal Amerika Freeport Mining Inc.,
untuk
menanamkan modalnya di daerah dataran tinggi di Kabupaten Mimika
Provinsi
Papua untuk melakukan eksploitasi tembaga. Karena kondisi
Indonesia dalam
masa transisi yang katanya membutuhkan dukungan ekonomi dan juga
dengan
dalih promosi investasi Indonesia ke luar negeri, maka
Pemerintah Indonesia
akhirnya menerima tawaran investasi dari Freeport Mining Inc.
untuk melakukan
kegiatan usahanya di Indonesia dengan mendirikan PT. Freeport
Indonesia
(PTFI). Kerjasama Pemerintah dan PTFI pun dituangkan dalam
kontrak karya
(KK) pertamanya pada tahun 1967 dengan lama operasi 30 tahun,
dan pada tahun
1988 ditemukan cadangan Grasberg akhirnya pada tahun 1991
dilakukan KK
3http://id.wikipedia.org/wiki/Indonesia, diakses pada tanggal 21
September 2013.
-
3
kedua dengan durasi 30 tahun hingga tahun 2021 dengan alasan
investasi besar
dan risiko tinggi.4 KK memuat beberapa poin kesepakatan seperti
wilayah
pertambangan, royalti, hak-hak khusus pemerintah dan beberapa
kesepakatan
lainnya. Keberadaan KK inilah yang akhirnya membawa permasalahan
di
Indonesia terutama pasca Reformasi 1998. Terakhir KK PTFI tahun
1991 digugat
oleh IHCS yang merupakan salah satu organisasi non pemerintahan
yang bergerak
dalam bidang advokasi hak asasi manusia. Alasan IHCS memasukkan
gugatan
terhadap PTFI di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan karena
menganggap KK PTFI
tahun 1991 yang memuat pembagian royalti kepada pemerintah
sebesar 1% sudah
tidak sesuai dengan PP 9 Tahun 2012 Jo PP No. 45 Tahun 2003
tentang
Penerimaan Negara Bukan Pajak, yang mengharuskan tarif royalti
emas sebesar
3,75%. Di samping itu IHCS juga menyatakan penguasaan tambang
oleh PTFI
terbukti tidak untuk sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat
sebagaimana
amanat UUD Tahun 1945. Terhadap Gugatan IHCS ini pada mulanya
dalam
putusan sela Majelis Hakim menolak Eksepsi PTFI, yang dalam
eksepsinya
menyatakan IHCS tidak berhak untuk melakukan gugatan terhadap
PTFI, akan
tetapi dalam putusan akhirnya Majelis Hakim mengabulkan Eksepsi
PTFI dan
menolak gugatan IHCS.5
Di balik kejanggalan putusan Majelis Hakim tersebut, ada hal
yang
menarik untuk diteliti lebih lanjut terutama dilihat dari
sejarah munculnya kontrak
karya PTFI ini, apalagi kalau diamati dalam KK PTFI tersebut
tercantum klausula
yang mengatakan PTFI berhak untuk mengekspor seluruh hasil
produksi mereka
tanpa pembatasan apapun atau pembebanan pajak.6 Lantas di mana
peran negara
dalam hal ini, jika perusahaan seperti PTFI bisa begitu saja
melakukan ekspor atas
hasil bumi Indonesia tanpa dibebani pajak atau pembatasan
ekspor. Sementara
Pasal 33 Konstitusi sudah jelas dan tegas mengatakan semua hasil
bumi dan
kekayaan alam itu dikuasai negara untuk kesejahteraan rakyat.
Hal tersebut jelas
merugikan Indonesia, tapi karena Pemerintah sudah terikat dengan
kontrak yang
menganut pada dasarnya asas pacta sunt servanda mau tidak mau,
suka tidak suka
kontrak tersebut tetap harus dijalankan.
Di samping persoalan di atas, perlu juga dilihat apakah
persoalan pada
KK PTFI tersebut akan berdampak terhadap iklim investasi di
Indonesia sebab
bagaimanapun juga investasi merupakan salah satu income yang
sangat berperan
dalam pembangunan Indonesia, tentunya investasi yang menjunjung
semangat
Pasal 33 Konstitusi.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan hal tersebut di atas, masalah penting yang menjadi
fokus kajian
dalam makalah ini adalah mengenai perspektif Kontrak Karya PT.
Freeport
Indonesia dilihat dari perspektif Pasal 33 UUD Tahun 1945 dan
dampaknya
4http://ptfi.co.id/id/media/facts-about-feeport-indonesia/facts-about-kontrak-karya,
diakses pada
tanggal 25 September 2013.
5http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt50489b86bbae3/ihcs-minta-hakim-batalkan-kontrak-
karya-freeport, diakses pada tanggal 25 September 2013.
6http://ptfi.co.id/, op.cit.
-
4
terhadap iklim investasi di Indonesia, terutama pasca lahirnya
UU No. 25 Tahun
2007 tentang Penenaman Modal dan UU No. 4 Tahun 2009 tentang
Pertambangan
Mineral dan Batu Bara yang menuntut penyesuaian semua kontrak
karya yang
sudah ada sebelum UU tersebut lahir minimal 1 (satu) tahun pasca
diundangkan.
C. Kebijakan Investasi di Indonesia
Pembukaan UUD 1945 alinea keempat menyatakan bahwa tujuan
pembentukan
negara Indonesia adalah untuk: melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh
tumpah darah Indonesia; memajukan kesejahteraan umum;
mencerdaskan
kehidupan bangsa; dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan pada
keadilan dan perdamaian abadi.7 Untuk mengupayakan masyarakat
adil dan
makmur seperti yang dicita-citakan dalam UUD 1945, maka salah
satu upaya
yang ditempuh oleh pemerintah adalah dengan mengundang masuk
modal asing
ke Indonesia. Dalam mengupayakan cita-cita masyarakat adil dan
makmur yang
memenuhi rasa keadilan sosial, harusnya bangsa Indonesia dan
masyarakat
Indonesia termasuk pemerintah harus mengindahkan
ketentuan-ketentuan Pasal
33 UUD 1945.8 Todung Mulya Lubis menyatakan bahwa keadilan
sosial tidak
semata-mata diartikan sebagai masyarakat yang cukup sandang,
pangan, dan
papan; tetapi justru harus diartikan sebagai cara bersama untuk
turut memutuskan
masa depan yang dicita-citakan dan turut secara bersama
mewujudkan masa
depan itu. 9
Terkait penjelasan Pasal 33 UUD 1945 ini Prof. DR. Mr.
Soepomo
sebagai arsitek UUD 1945 menulis dalam salah satu ukunya memberi
pengertian
"dikuasai" sebagai berikut: "... termasuk pengertian mengatur
dan/atau
menyelenggarakan terutama untuk memperbaiki dan mempertimbangkan
produksi
...".10
Sementara itu terkait frasa dikuasai oleh negara Mahkamah
Konstitusi mengartikan mencakup makna penguasaan oleh negara dalam
luas yang
bersumber dan diturunkan dari konsepsi kedaulatan rakyat
Indonesia atas segala
sumber kekayaan bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya, termasuk pula di dalamnya pengertian kepemilikan publik
oleh kolektivitas rakyat
atas sumber-sumber kekayaan dimaksud.11
Selanjutnya Mahkamah Konstitusi
mengartikan Rakyat secara kolektif itu dikonstruksikan oleh UUD
1945
memberikan mandat kepada negara untuk mengadakan kebijakan
(beleid) dan
7Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 alinea
4
8Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 1). Perekonomian
disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.;
2). Cabang-cabang produksi yang
penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak
dikuasai oleh negara.; 3). Bumi
dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai
oleh Negara dan dipergunakan
untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. 9Todung Mulya Lubis
(1992). Hukum dan Ekonomi. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta: Pustaka
Sinar
Harapan, 1992), hal. 27. 10
Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia No.
002/PUU-I/2003, hal. 35. 11
Ibid., hal. 208.
-
5
tindakan pengurusan (bestuursdaad), pengaturan (regelendaad),
pengelolaan
(beheersdaad), dan pengawasan (toezichthoudensdaad) untuktujuan
sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat.
Terkait pengelolaan (beheersdaad) Mahkamah Konstitusi lebih
lanjut
menjelaskan pengelolaan dapat dilakukan melalui mekanisme
kepemilikan saham
(share-holding) dan/atau melalui keterlibatan langsung dalam
manajemen Badan
Usaha Milik Negara atau Badan Hukum Milik Negara sebagai
instrumen
kelembagaan, yang melaluinya Negara, c.q. Pemerintah,
mendayagunakan
penguasaannya atas sumber-sumber kekayaan itu untuk digunakan
bagi sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat.12
Merujuk kepada tafsiran Mahkamah Konstitusi di atas, bisa
dikatakan
tidak ada larangan bagi pemodal asing untuk menanamkan modalnya
di Indonesia
khususnya dalam mengelola sektor-sektor penting tersebut. Akan
tetapi ada
batasan mengenai komposisi saham pemodal dari sektor swasta
untuk
menanamkan modalnya dalam bidang usaha yang menyangkut hajat
hidup orang
banyak tersebut. Untuk menentukan sektor usaha mana yang
menyangkut hajat
hidup orang banyak Mahkamah Konstitusi memberikan kriteria
sebagai berikut:
1) cabang-cabang produksi itu penting bagi negara dan menguasai
hajat hidup orang banyak; atau
2) penting bagi negara tetapi tidak menguasai hajat hidup orang
banyak; atau 3) tidak penting bagi negara tetapi menguasai hajat
hidup orang banyak.
Ketiganya harus dikuasai oleh negara dan digunakan untuk
sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat.
Untuk menentukan cabang-cabang produksi tersebut penting atau
tidak
merupakan kewenangan Pemerintah dan DPR. Sehingga untuk
pemanfaatan
modal untuk cabang produksi tersebut harus hati-hati jangan
sampai cabang
produksi penting dikelola secara berlebihan oleh swasta yang
terlalu
mementingkan prfit dirinya sendiri, terutama modal yang
bersumber dari asing.
Penggunaan modal asing ini pada dasarnya perlu dimanfaatkan
secara
maksimal untuk mempercepat pembangunan ekonomi Indonesia serta
digunakan
dalam bidang-bidang dan sektor-sektor yang dalam waktu dekat
belum atau tidak
dapat dilaksanakan oleh modal Indonesia sendiri. Akan tetapi,
harapan untuk
mendapatkan keuntungan besar dari pemodal asing justru yang
terjadi saat ini
banyak perusahaan-perusaan asing terlalu mendominasi bahkan di
dalam
kenyataannya perusahaan penanaman modal asing yang masuk di
Indonesia
kebanyakan sudah berbentuk Perusahaan Multi Nasional (PMN) atau
Multi
Nasional Corporation (MNC).
Mengenai kepemilikan saham dan struktur permodalan sendiri,
Sumantoro menyatakan dikenal adanya berbagai ketentuan yang
menetapkan
pemilikan saham asing minoritas, pemilikan saham asing
mayoritas, pemilikan
saham asing 50/50, pemilikan saham asing 49/51, dan pemilikan
saham asing
12
Ibid., hal. 209.
-
6
100%.13
Di dalam program Indonesiasi, pemerintah telah menetapkan
alternatif
49/51. Dalam konteks ini belum dipertimbangkan aspek-aspek jenis
saham,
pembagian laba dan penilaian atas asset serta hak menentukan
pengelolaan
perusahaan.
Sementara jika dilihat kebelakang ekonomi Indonesia pasca
transisi
politik tahun 1967 bergerak menuju ekonomi liberal. Hal tersebut
dipertegas
dengan beberapa paket kebijakan ekonomi, seperti UU No. 1 Tahun
1967 tentang
Penanaman Modal Asing, UU No. 11 Tahun 1967 tentang
Pertambangan, UU No.
6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri, dan beberapa
kebijakan
lainnya setelah itu. Di samping itu pada tahun 1968 pemerintah
mengeluarkan
kebijakan memberikan fasilitas tambahan masa pembebasan pajak
untuk
perusahaan asing yang berbentuk patungan. Mulai saat itu
penanaman modal
asing di Indonesia dapat berbentuk penanaman modal langsung yang
dimiliki
asing atau berbentuk usaha patungan.
Pada tahun 1974 sidang kabinet menetapkan kebijakan-kebijakan
dalam
upaya menarik investor dengan memberikan kemudahan
memperkenankan
pengelolaan perusahaan oleh personil asing, menjamin transfer
modal dan
keuntungan sesuai dengan mata uang yang dikehendaki, dan jaminan
untuk tidak
melakukan nasionalisasi.14
Sejak tahun 1974, pemerintah menerbitkan kebijakan
baru yang mensyaratkan semua penanaman modal asing berbentuk
usaha
patungan yang selanjutnya persyaratan tersebut lebih ditegaskan
lagi yaitu bahwa
pemilikan saham nasional menjadi mayoritas dalam waktu sepuluh
tahun. Namun
ada pengecualian untuk sektor pertambangan, minyak dan gas bumi
dari
ketentuan mayoritas kepemilikan saham tersebut. Akan tetapi
kebijakan tahun
1974 tersebut belum ditetapkan dalam bentuk peraturan
perundangan, dan
pelaksanaannya kurang efektif. Hal ini dipengaruhi oleh beberapa
hal, antara
lain:15
1) Dilihat dari segi kemampuan permodalan peserta nasional. 2)
Lembaga keuangan yang berfungsi sebagai perantara dalam
peningkatan
kepemilikan saham nasional belum bekerja seperti diharapkan.
3) Kebijakan tersebut belum dituangkan dalam bentuk peraturan
perundangan sehingga dalam penerapannya menimbulkan berbagai
penafsiran.
Kenyataan menunjukkan bahwa sampai tahun 1980 tidak ada
perusahaan modal
asing yang mengikuti kebijakan tersebut dengan menawarkan
sahamnya lebih dari
51% kepada pihak Indonesia. Bahkan Sumantoro mensinyalir bahwa
di Indonesia
telah timbul aneka ragam aturan yang mengatur sektor
perekonomian yang
acapkali ganti berganti dan adakalanya saling bertentangan atau
tidak mendukung
satu sama lain di antara berbagai subsektor, yang diakibatkan
karena tidak
13
Sumantoro, Bunga Rampai Permasalahan Penanaman Modal dan Pasar
Modal. (Bandung: Bina
Cipta, 1985), Hal. 95-100. 14
Dhaniswara K. Harjono, Hukum Penanaman Modal, Jakarta: PT. Raja
Grafindo, 2007, hlm. 46. 15
Anang Priyanto, Eni Kusdarini, Candra Dewi Puspitasari,
Kebijakan Pengaturan Divestasi
Penanaman Modal Asing Di Sektor Pertambangan. (Yogyakarta:
Universitas Negeri Yogyakarta,
2006), hal. 12-13.
-
7
metakhirnya hukum dasar yang mengatur sektor ekonomi.16
Kebijakan liberalisasi
ekonomi tersebut memuncak dikisaran tahun 1988 hingga tahun
1998, yang
mengakibatkan kebablasan kebijakan ekonomi yang berisiko
terhadap kondisi
ekonomi Indonesia, beberapa di antaranya Bank Indonesia
kehilangan kendali atas
sistem moneter di Indonesia, pihak swasta dan modalnya
menggantikan peran
negara sebagai pengatur ekonomi mikro, beban utang negara besar
sehingga
kejutan-kejutan sekecil apapun ataupun pelarian modal dapat
berakibat fatal, dan
terakhir liberalisasi yang dilakukan setengah-setengah hanya
menguntungkan
segelintir orang yang mengontrol modal.17
Paket kebijakan liberalisasi ekonomi tersebut, bisa dikatakan
tidak
merefleksikan semangat dari Pasal 33 UUD 1945 yang mengamanatkan
setiap
pengelolaan sektor usaha strategis dikelola oleh negara untuk
kepentingan rakyat
sebesar-besarnya. Justru dengan kebijakan tersebut hanya
menguntungkan
segelintir orang yang mengontrol modal. Jika belajar ke negara
tetangga seperti
Malaysia pengelolaan pertambangan seperti minyak bumi tidak ada
dikelola oleh
swasta, yang swasta adalah di Amerika Serikat, tetapi tidak
berarti itu benar, swasta di Amerika Serikat justru mereka
melakukan konservasi, tidak menyentuh
sumber minyaknya, tidak mengebor banyak-banyak, dia menggunakan
yang dari
luar.18
Pasca reformasi, liberalisasi ekonomi kembali menampakkan diri.
Hal itu
tercermin dari diundangkannya Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007
tentang
Penanaman Modal (UUPM) yang baru. Undang-Undang ini lebih buruk
dari
Undang-Undang sebelumnya dalam hal melindungi masyarakat lokal
atau
komunitas, bahkan parahnya lagi dalam UUPM ini mengatur sendiri
mengenai
masa pemberian hak guna usaha (HGU) bagi perusahaan selama 95
tahun dan
dapat diperpanjang di muka sekaligus selama 60 tahun dan dapat
diperbaharui
selama 35 tahun.19
Berdasarkan hal tersebut pemerintah dinilai memberi
privillege
kepada investor asing dan sudah jelas Pasal 22 tersebut tidak
berpihak kepada
masyarakat. Disamping itu Pasal 22 tersebut juga bertentangan
dengan semangat
UUD Tahun 1945 dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang
Pokok-
Pokok Agraria.
Pasal 22 UUPM tersebut, merupakan bencana legislasi di
Indonesia, yang
pada akhirnya dihapuskan berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi
RI.
Menurut keterangan ahli dari Universitas Gajah Mada, Revrisond
Baswir dalam
sidang judicial review perkara No. 21-22/PUU-V/2007 tentang UUPM
tersebut
menarik kesimpulan paradigma warisan kolonial masih
membayang-bayangi para
pengambil kebijakan hingga kini. Menurutnya, kebijakan ekonomi
dalam UUPM
tidak sejalan dengan landasan ideologis dan latar belakang
historis pembentukan
Pasal 33 UUD 1945. Pasal 33 UUD 1945 yang menjadi bagian dari
konsiderans
16
Sumantoro, Op. Cit.,hal. 201-215. 17
Ibid., hlm. 47. 18
Keterangan ahli Prof. Dr. Sri Edie Swasono, S.E. pada perkara di
Mahkamah Konstitusi RI No.
002/PUU-I/2003, hal. 84-85. 19
Pasal 22 Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal
(Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2007 No. 67, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia No.
4724) sebelum Judicial Review.
-
8
UUPM justru bersemangat anti kolonialisme, untuk bangkit sendiri
secara
ekonomi. Menurutnya, ketentuan mengenai dikuasai oleh negara
untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat dalam ketentuan itu berarti
negara wajib membuat regulasi yang memihak kepada kemakmuran rakyat
dan melindungi kepentingan
pemodal dalam negeri.20
Dalam konteks pengelolaan sumber daya alam terutama sektor
pertambangan seringkali sarat dengan intervensi asing, dan
tampaknya pemerintah
gagal mengintegrasikan fakta ekonomi itu ke dalam prinsip
keadilan, kepatutan
dan kemandirian yang dapat berdampak pada kegagalan pemerintah
dalam
memenuhi hak rakyatnya untuk mendapatkan kemakmuran. Berkaitan
dengan
masalah pertambangan, ketentuan Pasal 8 Undang-Undang Penanaman
Modal
Asing yang lama (Tahun 1967) menyatakan bahwa penanaman modal
asing di
bidang pertambangan didasarkan pada suatu kerjasama dengan
pemerintah
Indonesia atas dasar kontrak karya atau bentuk lain sesuai
dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.21
Perlu diketahui bahwa pengelolaan bidang pertambangan
seharusnya
melibatkan masyarakat setempat. Di samping itu, sudah semestinya
pengaturan
penanaman modal asing bidang pertambangan diatur berbeda dan
agak ketat
dengan pengaturan bidang-bidang usaha lain mengingat sifat-sifat
khusus dari
usaha pertambangan itu sendiri. Sifat-sifat khusus usaha
pertambangan
sebagaimana dikemukakan oleh G. kartasapoetra dkk yakni:22
1) Usaha pertambangan adalah suatu kegiatan yang menggali,
memanfaatkan dan mengurangi serta mengahbiskan sesuatu kekayaan
nasional berupa bahan
galian yang tidak dapat ditumbuhkan kembali;
2) Usaha pertambangan pada umumnya memerlukan skill khusus dan
permodalan yang tidak sedikit, sedangkan resikonya sangat
besar;
3) Usaha-usaha pertambangan pada umumnya di samping mempunyai
aspek-aspek nasional seringkali pula menyangkut aspek-aspek
internasional,
misalnya pengusahaan-pengusahaan bahan galian strategis maupun
vital
seperti monyak bumi, mineral radioaktif, nikel dan lain
sebagainya;
4) Eksploitasi bahan galian secara besar-besaran hanya dapat
dibenarkan apabila secara nasional telah dapat pula digariskan
policy pencadangan bahan galian
yang sehat dan seimbang.
Selanjutnya G. Kartasapoetra dkk melihat berdasarkan sifat-sifat
khusus tersebut,
maka pengikutsertaan modal asing di bidang usaha pertambangan di
Indonesia
harus mengikuti ketentuan-ketentuan yang khusus pula. Hal ini
tidak lain dengan
20
Revrisond Baswir, Kontrak Karya Pertambangan, Tersedia di
http://muhammadbarli.blogspot.com/2009/06/kontrak-karya-pertambangan.html,
24 September
2013, 20. 45 WIB. 21
Indonesia, Undang-undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman
Modal Asing (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1967 Nomor 1, Tambahan Lembaran
Negara Republik
Indonesia Nomor 2818), Pasal 8. 22
G. Kartasaputra, dkk. Manajemen Penanaman Modal Asing. (Jakarta:
Bina Aksara, 1983), hal.
278-279.
-
9
maksud dan tujuan pemanfaatan yang sebesar-besarnya dari
kekayaan mineral
kita, termasuk di dalamnya segi-segi pengamanan
kepentingan-kepentingan
nasional dalam arti luas.23
D. Perkembangan Kontrak Karya Di Indonesia.
Kontrak Karya (KK) merupakan terjemahan dari Contract of Work
(COW).
Kontrak Karya (Contract of Work) juga diartikan sebagai suatu
perjanjian
pengusahaan pertambangan antara pemerintah Republik Indonesia
dengan
perusahaan swasta asing, patungan perusahaan asing dengan
Indonesia dan
perusahaan swasta nasional untuk melaksanakan usaha pertambangan
di luar
minyak gas dan bumi. Ismail Sunny mengartikan kontrak karya
sebagai suatu kerja sama modal asing dalam bentuk kontrak karya
terjadi apabila penanaman
modal asing membentuk satu badan hukum Indonesia dan badan hukum
ini
mengadakan kerjasama dengan satu badan hukum yang menggunakan
modal
nasional.24 Merujuk kepada pendapat Ismail Sunny di atas, Made
Ester Ida Oka Patty menyebutkan kontrak karya tidak hanya mengatur
kerjasama antara badan
hukum asing dengan badan hukum Indonesia, tapi mencakup beberapa
aspek
seperti 1) adanya kontraktual; 2) adanya subjek hukum; 3) adanya
objek dan 4)
adanya jangka waktu kontrak.25
Masih dalam konteks definisi KK ini, pemerintah melalui
Keputusan
Direktur Jenderal Pertambangan Umum Nomor 150.K/20.01/DDJP/1998
tentang
Tata Cara dalam Pasal 1 huruf a memberikan definisi tentang
Kontrak Karya,
yaitu:
Perjanjian antara Pemerintah Republik Indonesia dengan
Perusahaan berbadan hukum Indonesia untuk melaksanakan usaha
pertambangan
bahan galian, tidak termasuk minyak bumi, gas alam, panas bumi,
radio
aktif dan batu bara.
Dilihat dari definisi KK di atas, dapat disimpulkan KK merupakan
kerjasama
antara modal asing dalam bentuk perusahaan berbadan hukum
Indonesia dengan
Pemerintah Indonesia untuk melakukan usaha pertambangan mineral.
Sehingga
KK tidak dapat atau tidak mencakup kepada wilayah pertambangan
minyak bumi,
gas alam, panas bumi, radio aktif dan batu bara.
Berbicara KK, tidak berbicara sesuatu yang sifatnya tetap, sebab
ada
kemungkinan dilakukan pembaharuan-pembaharuan terkait cakupan
kontrak
karya, terlebih setiap kontrak terikat dengan prinsip-prinsip
perjanjian
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1320 KUHPerdata tentang sahnya
perjanjian
23
Ibid., 24
Ismail Sunny dalam Salim H.S, Perkembangan Hukum Innominaat di
Indonesia, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2003), hal.63. 25
Made Ester Ida Oka Patty, Pelaksanaan Kontrak karya Antara
Pemerintah Republik Indonesia
Dengan PT. Avocet Bolang Mongondo, Universitas Diponegoro:
Tesis, 2008, hal. 69-70.
-
10
jo Pasal 1337 KUHPer yang memungkinkan para pihak menyesuaikan
isi kontrak
berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak, selama tidak
bertentangan dengan
ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Dalam usaha pertambangan sendiri, tidak hanya mengenal KK,
selain itu
juga ada Kuasa Pertambangan (KP), dan Perjanjian Karya
Pengusahaan
Pertambangan Batubara (PKP2B).26
KK sendiri sebagai salah satu bentuk
kerjasama dalam usaha pertambangan lebih menitik beratkan kepada
objek di luar
minyak bumi dan gas bumi seperti emas, tembaga, ataupun batu
bara, hal ini bisa
terlihat dari pengertian KK berdasarkan keputusan Dirjen
Pertambangan Tahun
1998 di atas.
Untuk melihat lebih jelas rezim KK, bisa kita kelompokkan
kedalam
beberapa periode pertama, periode tahun 1967 atau periode
lahirnya KK. Pada
periode ini ada beberapa prinsip yang terdapat dalam KK di
antaranya 1).
Perusahaan kontraktor sebagai pemegang kuasa pertambangan atas
dasar ijin
pemerintah; 2). Manajemen di tangan kontraktor dan operasional
di tanggung oleh
kontraktor; 3). Pembagian hasil dalam bentuk uang dalam jumlah
bebas (tidak
ditentukan besarnya) untuk tahun ke-1 sampai dengan ke-3, dengan
ketentuan
bahwa penghasil pemerintah untuk tahun ke-4 sampai dengan ke-10
sebesar 35%;
dan 4). Jangka waktu kontrak 30 (tigapuluh) tahun dan dapat
diperpanjang.
Kedua, periode 1968 1983, pada periode ini ada beberapa prinsip
pada KK yang diperbaharui dan masih ada beberapa hal yang sama di
antaranya 1).
Memungkinkan bekerja sama dengan pihak lain yang telah memegang
kuasa
pertambangan; 2). Manajemen di tangan kontraktor dan operasional
ditanggung
oleh kontraktor. 3). Pembagian hasil ditentukan berdasarkan
tarif yang ditetapkan
pada setiap kontrak karya. Sedangkan terkait jangka waktu KK
masih sama
dengan periode I.
Ketiga, periode 1983 1986, pada periode ini tidak terlalu banyak
perubahan di antaranya terkait perusahaan kontraktor sebagai
pemegang kuasa
pertambangan atas dasar ijin pemerintah, dan terkait pembagian
hasil selanjutnya
mengacu pada Peraturan Menteri Nomor 352 tahun 1971. Terkait
beberapa aspek
lainnya pada periode ini masih tetap sama dengan dua periode
sebelumnya.
Keempat, periode 1986 1994, pada periode ke empat ini perubahan
terjadi pada aspek pembagian hasil, pada tahapan ini pembagian
hasil sudah dibedakan antara
pembagian hasil emas dan perak, di mana pembagian hasil terhadap
emas sebesar
1% dari harga jika US$ 300/troi ons dan 2% dari harga jika
US$400/troi ons.
Sedangkan untuk perak sebesar 1% jika harga US$ 10/troi ons dan
2%/troi ons
jika harga US$15/troi ons.
Kelima, periode 1994 1996, pada tahapan ini KK masih menggunakan
beberapa prinsip pada periode pertama dan kedua, seperti manajemen
di tangan
26
Dahulu Undang-Undang Pertambangan Nomor 11 Tahun 1967 mengatur
bahwa Bentuk Izin
Usaha Pertambangan meliputi Kontrak Karya (Pasal 10), Kuasa
Pertambangan (Pasal 15) dan
terdapat juga Surat Izin Pertambangan Daerah dan Surat Izin
Usaha Pertambangan Rakyat
sedangkan Undang-Undang Pertambangan baru (Undang-Undang Nomor 4
Tahun 2009) mengatur
bahwa Bentuk Ijin Usaha Pertambangan hanya terdapat mengenai
Izin Usaha Pertambangan (IUP),
Izin Pertambangan Rakyat (IPR), Izin Usaha Pertambangan Khusus
(IUPK) (tidak lagi
memasukkan konsep kontrak karya).
-
11
kontraktor dan operasional ditanggung oleh kontraktor (sama
dengan generasi II),
tetapi ratio kewajaran utang (DER) 5: 1 untuk tidak kurang atau
sama dengan
$200 juta investasi dan 8 : 1 untuk lebih dari $200 juta.
Selanjutnya pembagian
hasil mengacu pada Peraturan Menteri Nomor 1166.K/844/MPE/1992
tanggal 12
September 1992. Pada tahapan periode keenam, yaitu 1996 1998
bisa dikatakan tidak ada suatu hal yang baru, KK yang ada pada masa
itu masih tetap mengacu
kepada periode-periode sebelumnya. Perubahan kembali terjadi
pada periode
ketujuh yaitu tahun 1998 2004. Pada periode ketujuh ini ada
perubahan atau penyesuaian dalam beberapa aspek seperti
dimungkinkan bekerjasama dengan
pihak lain yang telah memegang kuasa pertambangan. Di samping
itu manajemen
di tangan kontraktor dan operasional di tanggung oleh kontraktor
(sama dengan
generasi II ), tetapi ratio kewajaran utang (DER) 5 : 1 untuk
tidak kurang atau
sama dengan $200 juta investasi dan 8 : 1 untuk lebih dari $200
juta.
Terakhir yaitu KK generasi kedelapan atau generasi terakhir
hingga
lahirnya beberapa produk hukum dalam penanaman modal dan
pertambangan.
Periode ini mulai dari tahun 2004 sekarang. Pada periode ini ada
beberapa perubahan, hal tersebut sejalan dengan perubahan
perundang-undangan dalam
bidang penanaman modal dan pertambangan. Beberapa perubahan di
antaranya:
1). Perusahaan negara sebagai pemegang kuasa pertambangan
sedangkan
perusahaan swasta bertindak sebagai kontraktor; 2). Manajemen di
tangan
kontraktor dan resiko operasional di tanggung oleh kontraktor;
3). Pembagian
hasil dalam bentuk uang atas dasar perbandingan pemerintah
/perusahaan negara :
kontraktor = 60% : 40% dengan ketentuan bahwa penghasilan
pemerintah tiap
tahun tidak boleh kurang dari 20% hasil kotor; 4). Jangka waktu
kontrak 30 (tiga
puluh) tahun untuk daerah baru dan 20 tahun untuk daerah lama.
5). Penyisihan
wilayah dilakukan 2 (dua) atau 3 (tiga) setelah jangka waktu
tertentu.
Perubahan-perubahan dalam beberapa periode KK tersebut, tidak
lepas
dari kondisi politik Indonesia ketika itu. Perubahan yang sangat
siginifikan terjadi
pasca transisi era Orde Baru ke Reformasi yang melahirkan UU No.
22 Tahun
1999 tentang Pemerintahan Daerah, sebab pasca lahirnya UU
Pemerintahan
Daerah tersebut menuntut pembagian royalti yang awalnya terfokus
ke Pusat.
Tapi dengan lahirnya UU tersebut royalti juga harus diberikan
kepada pemerintah
daerah di mana lokasi pertambangan tersebut berada.
Pasca transisi politik dari era orde baru ke reformasi, telah
melahirkan
UU No. 27 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, di mana UU ini
merupakan
pengganti dari UU PMA dan UU PMDN. Sehingga mengenai permodalan
asing
dan dalam negeri yang sebelumnya dipisah dalam dua UU akhirnya
digabung
kedalam satu kesatuan yang selanjutnya menjadi landasan berpijak
dalam
melakukan penanaman modal di Indoenesia. Sedangkan mengenai
keberadaan KK
lebih khusus diatur dalam UU No. 4 Tahun 2009 tentang
Pertambangan Mineral
dan Batu-bara, yang tidak lagi memasukkan kontrak karya kedalam
bentuk
kerjasama pengelolaan pertambangan, namun dalam Peraturan Kepala
Badan
Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Nomor 12 Tahun 2009 Kontrak
Karya ini
kembali disebut sebagai dasar untuk memperoleh Rencana
Penggunaan Tenaga
Kerja Asing bagi perusahaan yang akan menggunakan Tenaga Kerja
Asing.
-
12
E. Tinjauan Umum Kontrak Karya
Kontrak karya merupakan perjanjian innominaat yaitu perjanjian
yang
pengaturannya tidak diatur dalam KUHPerdata. Karena kontrak
karya adalah
perjanjian khusus yang ketentuannya merujuk pada Pasal 1338
KUHPerdata, yang
terkenal dengan asas kebebasan berkontrak.27 Pasal 1338
KUHPerdata
menyatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku
sebagai
Undang-Undang bagi mereka yang membuatnya.28
Kontrak karya merupakan
perjanjian yang bersifat dinamis dimana terdapat butir-butir
yang dapat
dinegosiasi ulang seperti: luas wilayah, tenaga kerja, royalti,
masa kontrak, pajak,
pengembangan wilayah usaha setempat, domestic market obligation,
dan
kepemilikan saham.
Bentuk kontrak karya yang dibuat antara pemerintah Indonesia
dengan
perusahaan penanaman modal asing atau patungan (joint venture)
antara
perusahaan asing dengan perusahaan domestik adalah bersifat
tertulis. Substansi
kontrak disiapkan oleh Pemerintah Republik Indonesia melalui
Departemen
ESDM ( Energi dan sumber Daya Mineral ) dengan calon penanam
modal.
Substansi dari kontrak karya antara lain meliputi:
1) Tanggal persetujuan dan tempat dibuatnya kontrak karya. 2)
Subjek hukum yaitu Pemerintah dan penanam modal. 3) Definisi, yaitu
Pengertian perusahaan affiliasi, perusahaan subsidair,
pengusahaan, individu asing, mata uang asing, mineral-mineral,
penyelidikan
umum, eksplorasi, wilayah pertambangan, pemerintah, menteri,
rupiah, mineral
ikutan, penambangan, pemanfaatan lingkungan hidup, pencemaran,
kotoran,
dan wilayah proyek.
4) Penunjukan dan tanggung jawab perusahaan. 5) Modus Operandi,
yaitu memuat tentang kedudukan perusahaan, yurisdiksi
pengadilan, kewajiban perusahaan untuk menyusun program,
mengkontrakkan
pekerjaan jasa-jasa teknis, manejemen dan administrasi yang
dinggap perlu.
6) Wilayah kontrak. 7) Periode penyelidikan umum. 8) Periode
eksplorasi. 9) Laporan dan deposito jaminan. 10) Periode studi
kelayakan. 11) Periode konstruksi. 12) Periode operasi. 13)
Pemasaran. 14) Fasilitas umum dan re-ekspor. 15) Pajak-pajak dan
lain-lain kewajiban keuangan perusahaan. 16) Pelaporan,inspeksi dan
rencana kerja. 17) Hak-hak khusus pemerintah. 18)
Ketentuan-ketentuan kemudahan. 19) Keadaan memaksa (force
majure).
27
Salim H.S, Perkembangan Hukum Innominaat di Indonesia, Jakarta:
Sinar Grafika, 2003, hal.63. 28
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Burgerlijk Wetboek,
diterjemahkan oleh Subekti
Tjitrosudibio, Pasal 1338.
-
13
20) Kelalaian. 21) Penyelesaian sengketa. 22) Pengakhiran
kontrak. 23) Kerja sama para pihak. 24) Promosi kepentingan
nasional. 25) Kerja sama daerah dalam pengadaan prasarana tambahan.
26) Pengelolaan dan perlindungan lingkungan. 27) Pengembangan
kegiatan usaha setempat. 28) Ketentuan lain-lain. 29) Pengalihan
hak. 30) Pembiayaan. 31) Jangka waktu. 32) Pilihan hukum.
Akan tetapi aturan baru dalam pertambangan UU No. 4 Tahun
2009,
model Kontrak Karya tidak dikenal lagi. Mengacu pada aturan
peralihan UU No.
4 Tahun 2009, Kontrak Karya yang ditutup sebelum berlakunya
undang-undang
tersebut wajib mengikuti ketentuan mengenai Izin Usaha
Pertambangan (IUP)
sebagaimana diatur dalam Pasal 36 dan Pasal 39 UU No. 4 tahun
2009. Adapun
Izin Usaha Pertambangan (IUP) eksplorasi berdasar ketentuan
Pasal 39 UU No. 4
Tahun 2009 wajib memuat ketentuan sekurang-kurangnya:29
1) nama perusahaan; 2) lokasi dan luas wilayah; 3) rencana umum
tata ruang; 4) jaminan kesungguhan; 5) modal investasi; 6)
perpanjangan waktu tahap kegiatan; 7) hak dan kewajiban pemegang
IUP; 8) jangka waktu berlakunya tahap kegiatan; 9) jenis usaha yang
diberikan; 10) rencana pengembangan dan pemberdayaan masyarakat di
sekitar wilayah
pertambangan;
11) perpajakan; 12) penyelesaian perselisihan; 13) iuran tetap
dan iuran eksplorasi; dan 14) Amdal.
Sedangkan dalam IUP Operasi Produksi sebagaimana dimaksud
dalam
Pasal 36 ayat (1) huruf b wajib memuat kctentuan
sekurang-kurangnya:30
1) nama perusahaan; 2) luas wilayah;
29
Indonesia. Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan
Mineral dan Batu Bara
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 4, Tambahan
Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4959), Pasal 39. 30
Indonesia. Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan
Mineral dan Batu Bara
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 4, Tambahan
Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4959), Pasal 36 ayat (1)
-
14
3) lokasi penambangan; 4) lokasi pengolahan dan pemurnian, 5)
pengangkutan dan penjualan; 6) modal investasi; 7) jangka waktu
berlakunya IUP; 8) jangka waktu tahap kegiatan; 9) penyelesaian
masalah pertanahan; 10) lingkungan hidup termasuk reklamasi dan
pasca tambang; 11) dana jaminan reklamasi dan pasca tambang; 12)
perpanjangan IUP; 13) hak dan kewajiban pemegang IUP; 14) rencana
pengembangan dan pemberdayaan masyarakat di sekitar wilayah
pertambangan;
15) perpajakan; 16) penerimaan negara bukan pajak yang terdiri
atas iuran tetap dan iuran
produksi;
17) penyelesaian perselisihan; 18) keselamatan dan kesehatan
kerja; 19) konservasi mineral atau batubara; 20) pemanfaatan
barang, jasa, dan teknologi dalam negeri; 21) penerapan kaidah
keekonomian dan keteknikan pertambangan yang baik; 22) pengembangan
tenaga kerja Indonesia; 23) pengelolaan data mineral atau batu
bara; dan 24) penguasaan, pengembangan, dan penerapan teknologi
pertambangan mineral
atau batu bara
Berdasarkan perbandingan di atas, bahwa isi dari Izin Usaha
Pertambangan (IUP) tidak jauh berbeda dengan klausula minimal
yang harus ada
pada kontrak karya. Hal ini tentunya membawa problematika baru
di dalam upaya
penegakan hukum, misalnya jika terjadi penyelesaian sengketa
perizinan yang
memungkinkan dibawa ke ranah arbitrase.31
Hal ini merupakan kejanggalan atau
keanehan mengingat sengketa izin tidak masuk dalam sengketa
perdagangan.32
Kembali kepada persoalan kontrak karya, yang terikat dengan
hukum
kontrak di Indonesia, ada beberapa aspek yang perlu juga
diperhatikan selain
ketentuan-ketentuan khusus di atas, yaitu mengenai syarat sahnya
kontrak.
Merujuk kepada Pasal 1320 KUHPerdata ada beberapa hal untuk
melihat
perjanjian atau kontrak itu bisa dikatakan sah atau tidak,
antara lain pertama,
sepakat mereka yang telah mengikatkan dirinya, terkait sepakat
ini KUHPerdata
tidak ada menjelaskan apa yang dimaksud sepakat, akan tetapi
justru sebaliknya
menyebutkan kondisi atau situasi yang tidak sepakat tersebut
dalam beberapa
31
Pasal 154 Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan
Setiap sengketa yang muncul dalam pelaksanaan IUP, IPR, atau IUPK
diselesaikan melalui pengadilan dan arbitrase
dalam negeri sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan
32
Faizal Kurniawan, Aspek Kontraktual Pengelolaan Pertambangan
Mineral Dan Batu Bara,
Surabaya: Fakultas Hukum Universitas Airlangga, 2009, Hlm.
-
15
pasal-pasal dalam KUHPerdata. Pasal-pasal tersebut antara lain
1321, 1322, 1323,
1324, 1325, dan 1328.33
Kedua, kecakapan untuk membuat suatu perikatan. Terkait cakap
atau
tidak nya seseorang pada prinsipnya setiap orang cakap untuk
membuat perjanjian
yang melahirkan perikatan sebagaimana dimaksud Pasal 1329
KUHPerdata yang
menyatakan bahwa setiap orang adalah cakap untuk membuat
perikatan kecuali oleh Undang-Undang dinyatakan tidak cakap,
Undang-Undang yang dimaksud adalah Pasal 1330 KUHPerdata, sebab
Undang-Undang dalam hal ini diartikan
sempit.34
Ketiga, mengenai suatu hal tertentu. Dalam hal tertentu atau
objek
tertentu, KUHPerdata telah mengatur dalam Pasal 1332 yang
menyatakan bahwa
hanya barang-barang yang diperdagangkan saja yang dapat menjadi
pokok
kontrak. Pasal 1333 KUHPerdata (pokok barang tersebut dapat
ditentukan
jenisnya dalam hal bahan galian/tambang), sehingga dari uraian
tersebut jelas
bahwa suatu hal tertentu tersebut adalah bahan galian (tambang),
yang belum
tentu ada dan harus memerlukan penelitian lagi dengan melalui
penyelidikan
umum. Dan keempat, suatu sebab yang halal. Sebab yang halal
adalah
sebagaimana di atur dalam Pasal 1335 KUHPerdata, Pasal 1336 dan
Pasal 1337
KUHPerdata.
Keempat syarat di atas sebagaimana dimaksud Pasal 1320 dapat
digolongkan menjadi dua bagian, yaitu syarat subjektif dan
syarat objektif.
Dikatakan sebagai syarat subjektif dikarenakan berkenaan dengan
dingan person
atau subjek yang melakukan perikatan, yang termasuk syarat
subjektif adalah
kesepakatan dan kecakapan. Untuk syarat objektif sendiri,
merupakan syarat yang
berkenaan dengan objek dari perjanjian itu, yang termasuk syarat
objektif adalah
mengenai suatu hal tertentu dan sebab yang halal. Perikatan yang
tidak memenuhi
syarat sah kontrak sebagaimana dimaksud Pasal 1320 KUHPerdata di
atas akan
memiliki akibat hukum sebagai berikut:35
1) non-eksistensi, apabila tidak ada kesepakatan maka tidak
timbul kontrak. 2) vernietigbaar atau dapat dibatalkan, apabila
kontrak tersebut lahir karena
adanya cacat kehendak (wilsgebreke) atau karena
ketidakcakapan
(onbekwaamheid) - (syarat Pasal 1320 BW angka 1 dan 2), berarti
hal ini
terkait dengan unsur subyektif, sehingga berakibat kontrak
tersebut dapat
dibatalkan, dan
3) nietig atau batal demi hukum, apabila terdapat kontrak yang
tidak memenuhi syarat obyek tertentu atau tidak mempunyai causa
atau causanya tidak
diperbolehkan (syarat Pasal 1320 BW angka 3 dan 4), berarti hal
ini terkait
dengan unsur subyektif, sehingga berakibat kontrak tersebut
batal demi
hukum.
33
Elly Erawati, Herlien Budiono, Penjelasan Hukum tentang
Kebatalan Perjanjian, Jakarta:
NLRP, 2010, hlm. 55. 34
Pasal 1330 KUHPerdata menyatakan tidak cakap untuk membuat
persetujuan-persetujuan adalah
1)Orang yang belum dewasa, 2)Mereka yang ditaruh di bawah
pengampuan. 35
J.H. Niewenhuis, 1985, Hoofdstukken Verbintenissenrecht,
terjemahan D. Saragih, Surabaya,
hal. 6 dalam Faizal Kurniawan, Op. Cit.
-
16
Sedang dalam kepustakaan common law keabsahan kontrak
diklasifikasikan ke dalam beberapa hal, meliputi:36
1) A valid contract, di mana seluruh elemen terpenuhi dalam
kontrak tersebut. 2) A voidable contract, apabila salah satu pihak
memberikan sepakat karena
adanya cacat kehendak (misrepresentation, duress or undue
influence).
3) An unenforceable contract, kontrak tersebut sah, namun tidak
dapat dilaksanakan karena ada hal-hal tertentu yang tidak atau
belum dipenuhi,
umumnya terkait dengan formalitas kontrak, misal tidak adanya
perijinan.
4) An illegal contract, merupakan kontrak dengan tujuan atau
obyeknya dilarang menurut hukum dilarang (illegal).
Berkaitan dengan tidak dipenuhinya persyaratan formal yang
meliputi
persyaratan administratif dan teknis di dalam kontrak karya,
maka akibat hukum
terhadap kontrak karya tersebut adalah tidak dapat dilaksanakan
(unenforceable).
Oleh karenanya kontrak tersebut tidak mempunyai daya berlaku
sebelum
terpenuhinya persyaratan administrasi.37
Bentuk kontrak yang biasa digunakan dalam kontrak karya
adalah
kontrak baku (standart contract). Kontrak baku menurut Sutan
Remy Sjahdeini,38
menerangkan bahwa kontrak yang hampir seluruh klausulanya sudah
dibakukan
oleh pemakainya dan pihak yang lain pada dasarnya tidak punya
peluang untuk
merundingkan atau meminta perubahan.
Lahirnya kontrak baku dilatarbelakangi karena keadaan sosial
ekonomi
perusahaan besar dan lebih besar dalam melakukan atau mengadakan
kerja sama
dengan yang lebih lemah untuk kepentingan mereka tersebut
ditentukan syarat-
syarat secara sepihak. Pihak lawannya yang pada umumnya
mempunyai
kedudukan (segi ekonomi) lemah, baik karena posisinya maupun
karena hanya
menerima apa yang diberikan, dengan penggunaan kontrak baku
tersebut. 39
Sehubungan dengan kontrak baku tersebut, maka perusahaan
pertambangan dianggap menyetujui syarat-syarat yang ditentukan
dan hanya
menerima kemudian kemungkinan untuk mengadakan perubahan itu
sama sekali
tidak ada. Sedangkan klausula dalam kontrak baku menurut
Prof.Dr. Mariam
Daru Badrulzaman, telah membedakan dalam 3 (tiga) jenis, yaitu
sebagai
berikut:40
1) kontrak baku sepihak adalah kontrak yang isinya ditentukan
oleh pihak yang kuat kedudukannya di dalam kontrak tersebut, pihak
yang kuat di sini ialah
pihak kreditur yang lazimnya mempunyai posisi (ekonomi) kuat
dibandingkan pihak debitur, kedua pihak lazimnya terikat dalam
organisasi.
36
M.L. Barron, 1998, Fundamentals of Business Law, McGraw Hill
Book Co. Sydney, hal. 144-
145 dalam Faizal Kurniawan, Ibid., 37
Ibid 38
Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang
Seimbang Bagi Para
Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, Institut Bankir
Indonesia, Jakarta, 1993. 39
Edo Chermando, Ery Agus Priyono, F.X. Joko Priyono, Kontrak
Karya Pertambangan PT.
Freeport Dengan Pemerintah Indonesia, Semarang: Diponegoro Law
Review, Volume 1, Nomor
4, Tahun 2012, hlm. 7. 40
Mariam Darus Badrulzaman, et.al., Kompilasi Hukum Perikatan.
(Bandung: Citra Aditya Bakti.
2001).
-
17
2) kontrak baku yang ditetapkan pemerintah, ialah kontrak baku
yang mempunyai objek-objek hak-hak atas tanah
3) kontrak baku yang ditentukan di lingkungan Notaris atau
Advokat, terdapat kontrak-kontrak yang konsepnya sejak semula sudah
disediakan untuk
memenuhi permintaan dari anggota masyarakat yang minta bantuan
Notaris
atau Advokat yang bersangkutan.
Sehubungan dengan berakhirnya kontrak baku, tidak jauh
berbeda
dengan berakhirnya kontrak pada umumnya. Kontrak berakhir dapat
terjadi
bilamana karena disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut:
1) Masa kontrak telah berakhir dan tidak diperpanjang lagi. 2)
Jika pada akhir tiap-tiap pelaksanaan kontrak dari pada sejak
efektif periode
penyelidikan umum, eksplorasi, konstruksi, dan eksploitasi
tetapi tidak
diajukan perpanjangan dan tindakan lain berikut dari kegiatan
penambangan,
maka kontrak karya akan batal dengan sendirinya demi hukum.
Hal tersebut sesuai dengan Pasal 1266 KUHPerdata, bahwa syarat
batal
dicantumkan dalam persetujuan timbal balik manakala salah satu
pihak tidak
memenuhi kewajibannya. Jadi apabila syarat batal tersebut telah
diperjanjikan
antara para pihak, maka kontrak tersebut adalah sah adanya.
Pelaksanaan kontrak karya di Indonesia pada dasarnya mengacu
pada dua
hal yaitu: 1). Aturan hukum Indonesia yang dikorelasikan dengan
aturan hukum
asing di mana perusahaan tambang asing tersebut mendasarkan
hukumnya sebagai
pedoman dalam hal terjadi sengketa perdata antara pihak
Indonesia dengan
perusahaan tambang asing tersebut. 2). Model kontrak karya, di
mana kontrak
karya tersebut memuat berbagai hal yang diperjanjikan antara
Pemerintah
Indonesia dengan perusahaan tambang asing.41
F. Kebijakan Pemerintah Dalam Pengaturan Divestasi Penanaman
Modal Asing
Divestasi saham adalah pelepasan, pembebasan, pengurangan modal.
Disebut juga
divestment yaitu kebijakan terhadap perusahaan yang seluruh
sahamnya dimiliki
investor asing untuk secara bertahap tetapi pasti mengalihkan
saham-sahamnya itu
kepada mitra bisnis lokal atau proses yang mengakibatkan
pengalihan saham dari
peserta asing ke peserta nasional Istilah lain untuk kebijakan
di Indonesia disebut
Indonesiasi saham. Perlunya menempuh langkah divestasi adalah
terkait karena
alasan-alasan antara lain: (1) Aset yang dijual lebih tinggi
nilainya bagi pembeli,
dalam arti pembeli bisa menggunakan secara lebih efisien. (2)
Divestasi bukan
didorong nilai asset, tetapi lebih ditekankan pada kemunculan
kebutuhan
mendesak atas dana tunai oleh perusahaan yang melakukan
divestasi. Hasil
divestasi biasanya digunakan untuk melunasi kewajibannya. (3)
Alasan bahwa
aset-aset yang dijual tidak ada hubungannya dengan bisnis utama
perusahaan yang
bersangkutan.
41
Edo Chermando, Ery Agus Priyono, F.X. Joko Priyono, Loc. Cit.,
hal.8.
-
18
Kebijakan Pemerintah yang terkait dengan divestasi dalam
rangka
penanaman modal dahulu telah diuraikan secara rinci dalam
Peraturan Pemerintah
Nomor 20 Tahun 1994 tentang Pemilikan Saham Dalam Perusahaan
yang
didirikan dalam rangka Penanaman Modal Asing, yang secara garis
besar
mengatur hal-hal sebagai berikut:42
1) Penanaman modal asing dapat dilakukan dalam bentuk: a.
patungan antara modal asing dengan modal yang dimiliki warga
Negara
Indonesia dan atau badan hukum Indonesia, atau
b. langsung, dalam arti seluruh modalnya dimiliki oleh warga
Negara dan/atau badan hukum asing;
2) Jumlah modal yang ditanamkan dalam rangka penanaman modal
asing ditetapkan sesuai dengan kelayakan ekonomi kegiatan
usahanya.
Saham peserta Indonesia dalam perusahaan yang didirikan dalam
bentuk
patungan antara modal asing dengan modal yang dimiliki Warga
Negara
Indonesia dan atau badan hukum Indonesia, sekurang-kurangnya 5%
(lima
perseratus) dari seluruh modal disetor perusahaan pada waktu
pendirian.
Penjualan lebih lanjut saham perusahaan, jumlah
sekurang-kurangnya 5% dapat
dilakukan kepada warga Negara Indonesia atau badan hukum
Indonesia yang
modal sahamnya dimiliki warga Negara Indonesia melalui pemilikan
langsung
sesuai kesepakatan para pihak dan/atau pasar modal dalam
negeri.
Perusahaan yang didirikan atas penanaman modal asing dalam
bentuk
langsung, dalam jangka waktu paling lama lima belas tahun sejak
berproduksi
komersial menjual sebagian sahamnya kepada warga Negara
Indonesia dan/atau
badan hukum Indonesia melalui pemilikan langsung atau melalui
pasar modal
dalam negeri.
Pengalihan saham tersebut tidak mengubah status perusahaan.
Di
samping melakukan penambahan modal saham dalam perusahaan
sendiri,
perusahaan yang didirikan dalam rangka penanaman modal asing
yang telah
berproduksi komersial dapat pula:43
1) mendirikan perusahaan baru, dan/atau 2) membeli saham modal
dalam negeri dan/atau perusahaan yang didirikan bukan
dalam rangka berdiri, baik yang telah atau belum berproduksi
komersial
melalui pasar modal dalam negeri.
Saham tersebut dapat juga dibeli oleh perusahaan yang didirikian
dalam
bentuk patungan, melalui pemilikan langsung sesuai kesepakatan
para pihak.
Pembelian saham tersebut tidak mengubah status perusahaan.
Pembelian saham
sebagaimana dimaksud dalam a dan b di atas dapat dilakukan
sepanjang bidang
usaha perusahaan tersebut tetap terbuka bagi penanaman modal
asing.
Dengan demikian segala kebijakan Pemerintah dalam pengaturan
divestasi penanaman modal asing dalam sektor pertambangan secara
yuridis
tidaklah bertentangan dengan aturan dasarnya yaitu Undang-Undang
Nomor 1
Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing dan Undang-Undang Nomor
11
42
Anang Priyanto, Eni Kusdarini, Candra Dewi Puspitasari, Loc
Cit., hal. 20-21. 43
Ibid, hal. 25.
-
19
Tahun 1967 tentang Ketentuan Pokok Pertambangan. Kedua aturan
dasar tersebut
memang dibuat hanyalah berisi ketentuan pokok yang dalam
pelaksanaannya di
atur lebih lanjut dengan peraturan-peraturan pelaksanaan,
seperti Peraturan
Pemerintah, Keputusan Presiden dan Keputusan Menteri. Namun
demikian masih
perlu dipertanyakan apakah kepemilikan saham PMA dalam sektor
pertambangan
khususnya pertambangan umum sudah sesuai dengan rasa keadilan
masyarakat?44
Dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 hanya ada satu pasal
yang mengatur tentang divestasi saham yaitu Pasal 7. Ketentuan
ini berkaitan
dengan kewenangan pemerintah untuk tidak akan melakukan
tindakan
nasionalisasi atau pengambilalihan hak kepemilikan penanam modal
kecuali
dengan Undang-Undang. Nasionalisasi adalah pemindahan (cabang
industri atau
perdagangan yang penting) dari private menjadi milik atau di
bawah pengawasan
negara. Pengambilalihan hak kepemilikan penanam modal atau lazim
disebut
divestasi modal adalah upaya untuk membeli modal yang dimiliki
investor
khususnya investor asing.45
Pengaturan mengenai divestasi ini diatur kembali pada PP No. 24
tahun
2012 yang menyebutkan antara lain:46
1) Perusahaan asing yang menjadi pemegang izin pertambangan
setelah 5 (lima)
tahun produksi wajib mendivestasi sahamnya secara bertahap,
sehingga pada
tahun kesepuluh sahamnya paling sedikit 51% dimiliki peserta
Indonesia.
2) Tahapan divestasinya adalah 20% dari seluruh saham pada tahun
keenam
produksi, kemudian 30% pada tahun ketujuh, 37% pada tahun
kedelapan, 44%
pada tahun kesembilan, dan 51% pada tahun ke-10.
3) Peserta Indonesia yang dimaksud terdiri dari pemerintah,
pemerintah provinsi
atau pemerintah daerah kabupaten/kota, BUMN, BUMD, atau badan
usaha
swasta nasional.
4) Ketentuan itu juga menyebutkan bahwa bila proses divestasi
tersebut tidak
tercapai, maka penawaran saham dilakukan pada tahun
berikutnya.
5) Selain itu, Pasal 98 di dalam peraturan itu menyebutkan,
dalam hal terjadi
peningkatan jumlah modal perseroan, maka peserta Indonesia
sahamnya tidak
boleh terdilusi menjadi lebih kecil dari jumlah saham sesuai
tahapan kewajiban
divestasinya.
6) Tambang asing yang melanggar ketentuan divestasi akan
dikenakan sanksi
administratif mulai dari peringatan tertulis, penghentian
sementara, hingga
pencabutan izin.
7) Peraturan itu berlaku sejak diundangkan tanggal 21 Februari
2012 dan tidak
berlaku surut. Aturan itu juga berlaku pada seluruh kontrak yang
mendapatkan
perpanjangan.
Pada praktiknya, kewajiban divestasi Freeport Indonesia baru
diatur di
dalam Pasal 24 Kontrak Karya perpanjangan 1991. Di dalam pasal
tersebut
disebutkan kewajiban divestasi Freeport Indonesia terdiri dari
dua tahap. Tahap
44
Ibid 45
H. Salim HS. Hukum Divestasi di indonesia. (Jakarta: PT.
Rajagrafindo Persada, 2013), hal. 124. 46
Lihat Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 2012 tentang Perubahan
Atas Peraturan Pemerintah
Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha
Pertambangan Mineral Dan Batubara
-
20
pertama adalah melepas saham ke pihak nasional sebesar 9,36
persen dalam 10
tahun pertama sejak 1991. Kemudian kewajiban divestasi tahap
kedua mulai
2001, perusahaan harus melego sahamnya sebesar 2 persen per
tahun sampai
kepemilikan nasional menjadi 51 persen.47
Untuk kewajiban divestasi tahap pertama, PTFI sudah
dilaksanakan.
Pada tahun 1991, perusahaan emas dan tembaga asing itu melepas
9,36 persen ke
pihak nasional lewat PT Indocopper Investama. Sayangnya, untuk
kewajiban
divestasi tahap kedua gugur setelah terbitnya Peraturan
Pemerintah (PP) Nomor
20 Tahun 1994. Di dalam PP tersebut, kepemilikan saham asing
pada anak
perusahaannya di Indonesia boleh sampai 100 persen. Dengan
demikian, sampai
sekarang kepemilikan saham nasional di Freeport Indonesia masih
kecil. 48
Pada dasarnya divestasi merupakan upaya pemerintah dan DPR
agar
perusahaan pertambangan asing seperti halnya PT. Freeport
Indonesia mampu
membawa manfaat besar baik bagi pemeritah maupun masyarakat
Indonesia.
Tetapi divestasi saham Freeport bukanlah perkara mudah karena
akan timbul
masalah-masalah seperti perebutan masalah pembelian saham yang
didivestasi
antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah ataupun adanya
kemungkinan
pemerintah daerah hanya dijadikan boneka atau jalan masuk
perusahaan swasta
untuk melakukan pembelian saham yang akan menghasilkan
keuntungan yang
besar, selain itu kesulitan yang mungkin dihadapi oleh
pemerintah karena harus
melakukan renegosiasi kontrak karya pertambangan dengan PT.
Freeport
Indonesia.49
Ada dua alasan yuridis dan non yuridis yang mengemukakan
keharusan
badan hukum asing melakukan divestasi saham. Alasan yuridisnya
yakni karena
tuntutan Undang-Undang yang berimplikasi kepada pengakhiran
kontrak/
didefault apabila tidak melaksanakan. Sedangkan alasan non
yuridis antara lain
karena: 1). Meningkatnya pendapatan negara dan daerah. 2)
meningkatnya
kesejahteraan masyarakat, dan 3). Mengurangi peran asing dalam
pengelolaan dan
pemanfaatan sumber daya alam tambang di Indonesia.50
G. Sinkronisasi Pelaksanaan Pengaturan Divestasi Dalam Sektor
Pertambangan Dengan Tujuan Dikeluarkannya Undang-Undang PMA
Dan Tujuan Dikeluarkannya Undang-Undang Pokok Pertambangan
Pada dasarnya divestasi saham asing tidak hanya memberikan
dampak positif bagi
pemerintah, tetapi juga memberikan dampak positif bagi
masyarakat. Dari dividen
yang didapat pemerintah, dividen tersebut dapat digunakan untuk
pengembangan
masyarakat seperti kesehatan, pendidikan, pertanian dan
sebagainya. Melalui
47
Tri Wahono, Hatta Puji Renegosiasi Kontrak Karya Freeport,
Tersedia di
http://bola.kompas.com/read/2012/07/23/17563876/Hatta.Puji.Renegosiasi.Kontrak.Karya.Freepor
t, 27 September 2013, 10.30 WIB. 48
Josie Susilo Hardianto, Freeport Menolak Divestasi, Tersedia
di
http://entertainment.kompas.com/read/2012/04/20/11462219/Freeport.Menolak.Divestasi,
27
September 2013, 10.35 WIB. 49
http://nugroho-sbm.blogspot.com/2011/11/berbagai-masalah-dalam-divestasi.html
50
H. Salim HS, Op. Cit., hal. 136.
-
21
pengurangan peran badan hukum asing, maka pengelolaan sumber
daya alam
tersebut dapat dinikmati bangsa Indonesia sebagai pemilik sumber
daya alam
tambang.51
Bila mengkaitkan pelaksanaan pengaturan divestasi dalam
sektor
pertambangan dengan tujuan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 1
Tahun
1967 Jo Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 dan Undang- Undang
nomor 11
Tahun 1967 Jo Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009, maka yang paling
utama
pengkajian mendalam dapat dicermati dari bagian Penjelasan Umum
masing-
masing kedua undang-undang tersebut. Dengan mencermati bagian
Penjelasan
Umum dari kedua undang-undang tersebut akan dapat disimpulkan
adanya
sinkronisasi atau kesejalanan antara pelaksanaan divestasi dalam
sektor
pertambangan dengan tujuan dikeluarkannya kedua Undang-Undang
tersebut.
Segala kebijakan pengaturan divestasi sektor pertambangan
selalu
mendasarkan pada kedua undang-undang tersebut, hal ini
sebagaimana
dicantumkan dalam bagian mengingat dari setiap kebijakan yang
dikeluarkan
Pemerintah. Secara garis besar tujuan dikeluarkannya kedua
Undang-Undang
tersebut antara lain:
1) Maksud dikeluarkannya UU 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan
Mineral dan Batu Bara Jo UU No. 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan
Pokok Pertambangan
adalah untuk keselarasan dengan cita-cita dasar Negara Republik
Indonesia
serta kepentingan nasional khususnya di bidang pertambangan,
serta adanya
tuntutan masyarakat yang menghendaki agar kepada pihak swasta
lebih
diberikan kesempatan melakukan penambangan, sedangkan tugas
Pemerintah
ditekankan kepada usaha pengaturan, bimbingan dan pengawasan
pertambangan, ditambah lagi dengan perkembangan politik dan
pembaharuan
kebijaksanaan landasan ekonomi, keuangan dan pembangunan.
Terkait hal
tersebut, maka dipandang perlu diatur beberapa pokok persoalan
mengenai:
a. penguasaan bahan-bahan galian yang berada di dalam, di bawah
dan di atas wilayah hukum pertambangan Indonesia. Dalam hal ini
Negara
menguasai semua bahan-bahan galian dengan sepenuh- penuhnya
untuk
kepentingan Negara serta kemakmuran rakyat, karena bahan- bahan
galian
tersebut adalah merupakan kekayaan nasional.
b. pembagian bahan-bahan galian dalam beberapa golongan yang
didasarkan atas pentingnya bahan galian itu; Untuk bahan galian
yang strategis seperti
minyak bumi, aspal, lilin bumi dan sejenisnya serta semua jenis
gas mudah
terbakar dan bahan galian yang radio aktif yang oleh karena
sifatnya yang
sangat khusus perlu dibuat undang-undang tersendiri, sedangkan
Undang-
Undang Pertambangan ini dianggap sebagai peraturan pokok,
sehingga
pembuatan peraturan lanjutan harus memperhatikan dasar-dasar
yang
termaksud dalam Undang-undang pertambangan ini.
c. sifat dari perusahaan pertambangan, yang pada dasarnya harus
dapat diusahakan oleh semua pihak yang berminat dan sanggup dengan
tetap
51
Ibid., hal. 138-139.
-
22
memperhatikan segi keamanan Negara dan tetap berdasarkan
asas-asas
kekeluargaan;52
Dalam hal ini dapat diambil cara-cara penguasaannya sebagai
berikut: 53
a. dikerjakan oleh suatu instansi Pemerintah b. diusahakan oleh
Perusahaan Negara; c. diusahakan dengan perusahaan atas dasar modal
bersama oleh pihak
Negara dan daerah;
d. diusahakan oleh Perusahaan Daerah; e. diusahakan oleh
perusahaan yang modalnya adalah campuran oleh Negara
dan pihak swasta, boleh pula modal campuran dengan perseorangan,
asal
berkewarganegaraan Indonesia dan boleh pula dengan badan swasta
yang
pengurusnya seluruhnya adalah warganegara Indonesia;
f. diusahakan oleh pihak swasta boleh oleh perseorangan asal
berkewarganegaraan Indonesia, atau boleh badan swasta yang
seluruhnya
berkewarganegaraan Indonesia terutama yang mempunyai bentuk
koperasi. d. peranan Pemerintah Daerah lebih diperkuat;
Pemerintah
Daerah lebih diperkuat kedudukannya, terutama dalam pengaturan
bahan
galian golongan c serta pembagian atas keuntungan perusahaan
pertambangan yang berusaha dalam sesuatu daerah, dan dalam hal
ini
perlu kerjasama yang erat dengan pihak Pemerintah Pusat. e.
pengertian
kuasa pertambangan tetap dipertahankan; f. adanya peraturan
peralihan
untuk mencegah kekosongan dalam menghadapi pelaksanaan
undang-
undang pertambangan.
2) Maksud dikeluarkannya UU No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman
Modal Asing jo Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman
Modal
dengan melihat masalah ekonomi yang diartikan sebagai suatu
masalah untuk
meningkatkan kemakmuran rakyat dengan menambah produksi barang
dan
jasa, serta mengusahakan pembagian yang adil dari barang dan
jasa hasil
produksi, serta peningkatan produksi akan dapat tercapai melalui
penanaman
modal, penggunaan teknologi, penambahan pengetahuan,
peningkatan
keterampilan, penambahan kemampuan berorganisasi management, dan
dalam
hal ini penanaman modal memegang peranan yang sangat
penting.
Disamping itu dalam rangka menghentikan kemerosotan ekonomi
dan
melaksanakan pembangunan ekonomi, maka asas penting yang harus
dipegang
teguh ialah bahwa segala usaha harus didasarkan kepada kemampuan
serta
kesanggupan rakyat Indonesia sendiri. Namun begitu asas ini
tidak boleh
menimbulkan keseganan untuk memanfaatkan potensi- potensi modal
teknologi
dan skill yang tersedia dari luar negeri selama segala sesuatu
benar-benar
diabdikan kepada kepentingan ekonomi rakyat tanpa
mengakibatkan
ketergantungan terhadap luar negeri. 54
Dominasi modal asing harus dicegah, dan perusahaan-perusahaan
vital
yang menguasai hajat hidup orang banyak tetap tertutup bagi
modal asing. Dalam
52
Anang Priyanto, Eni Kusdarini, Candra Dewi Puspitasari, Loc
Cit., hal. 27-28. 53
Ibid ., hal. 28. 54
Ibid
-
23
tiap izin penanaman modal asing ditentukan jangka waktu
berlakunya yang tidak
lebih dari 30 tahun, kecuali itu di dalam menentukan bidang-
bidang usaha mana
modal asing diperbolehkan, Pemerintah sepenuhnya mengatur
rencana-rencana
pembangunan yang akan disusun oleh Pemerintah, dan dalam hal ini
tidak boleh
dilupakan bahwa tanah, kekayaan alam dan itikad baik negara dan
bangsa
Indonesia juga dapat diperhitungkan sebagai modal berharga.
Dengan demikian antara Undang-undang Penanaman Modal dengan
Undang-Undang Pertambangan pada kenyataan sudah sejalan satu
sama lain. Hal
ini dapat dicermati dari Penjelasan Umum masing-masing
undang-undang
tersebut yang lebih mengutamakan kepentingan nasional dan
kemakmuran rakyat.
Secara yuridis normatif apa yang menjadi tujuan dikeluarkannya
Undang-Undang
Penanaman Modal dan Undang-Undang Pertambangan tidak ada
pertentangan
atau sudah sejalan sesuai dengan kehendak tujuan nasional negara
Republik
Indonesia.
Adapun dalam kenyataan muncul kasus-kasus yang kurang
memberikan
keuntungan bagi bangsa Indonesia terutama kasus PT Freeport
Indonesia
berdasarkan temuan Badan Pemeriksa Keuangan tahun 2004 dan 2005
bahwa dari
hasil pemeriksaan dapat dikemukakan bahwa unsur Sistem
Pengendalian Intern
atas pengelolaan PNBP telah dibuat, melalui susunan organisasi
yang telah
memisahkan fungsi pencatatan, penghitungan dan verifikasi;
penerapan kebijakan
mengenai penetapan royalti dan iuran tetap serta pengenaan denda
keterlambatan
pemenuhan kewajiban keuangan perusahaan; perencanaan penetapan
anggaran
PNBP yang dilakukan berdasarkan pembahasan RKAB; pelaksanaan
prosedur
pelaporan dan rekonsiliasi dengan instansi terkait;
penatausahaan dokumen dan
bukti-bukti setoran PNBP; serta adanya kegiatan pengawasan baik
yang
dilaksanakan oleh Direktorat Pengusahaan Mineral dan Batubara
(DPMB)
maupun oleh Tim Optimalisasi Penerimaan Negara (OPN), terdapat
ketidak
sesuaian terhadap peraturan, prinsip akuntansi yang berlaku umum
dan ketentuan
kontrak pada TA 2004 dan TA 2005 sebesar USD17,040.72 ribu
(20.19%) dan
Rp192.228,10 juta (52,69%) dari realisasi anggaran yang
diperiksa, sehingga
menghilangkan potensi penerimaan Negara pada tahun 2004 dan 2005
(Semester
I) sebesar USD2,228.98 ribu, potensi penerimaan barang tambang
ikutan berupa
belerang minimal sebesar USD14,442.25 ribu tidak dapat
direalisasikan,
Penerimaan iuran royalti dan iuran tetap dari PTFI untuk bagian
Pemerintah Pusat
pada tahun 2004 sebesar Rp75.347,12 juta dan tahun 2005
(Semester I) sebesar
Rp116.880,98 juta atau total sebesar Rp192.228,10 juta belum
dibukukan sebagai
PNBP Dep. ESDM sehingga Laporan Realisasi Anggaran Departemen
belum
menunjukkan realisasi penerimaan yang sebenarnya, PT Freeport
Indonesia
kurang membayar royalti tahun 2003 dan 2004 sebesar USD369.49
ribu, sehingga
royalti tersebut belum dapat digunakan untuk kepentingan Negara,
Penjualan
konsentrat dari PTFI ke Perusahaan Glencore AG pada tahun 2004
di bawah
harga pasar sehingga menghilangkan potensi penerimaan pajak
penghasilan
sebesar USD5,914,42 ribu. 55
Belum lagi berdasarkan hasil penelitian ICW bahwa
ada dugaan PT. Freeport Indonesia yang tidak melakukan
pembayaran royalty
55
Ibid., hal. 29.
-
24
sesuai kesepakatan dengan Negara sehingga merugikan Negara
senilai Rp. 1.519
Triliun56
Semua itu tidaklah terkait dengan isi normatif peraturan
perundang-
undangan yang berlaku (UU Penanaman Modal dan Undang-Undang
Pertambangan). Namun demikian jika mengkaji isi Undang-Undang
Penanaman
Modal dan Undang-Undang Pertambangan dari sisi maksud dan
tujuannya
semestinya Undang-Undang ini juga harus disesuaikan dengan
kondisi ekonomi
dan kondisi masyarakat saat ini yang sesuai dengan era reformasi
dan era
globalisasi yang menghendaki kejelasan dan kerincian sebuah
peraturan
perundangan. Apalagi dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 10
Tahun 2004
tentang Pembentukan Peraturan Perundangan-undangan, yang dalam
Pasal 6 ayat
(1) nya dinyatakan bahwa materi peraturan perundang-undangan
harus
mengandung beberapa asas, yang beberapa diantaranya adalah
asas
keseimbangan, keserasian dan keselarasan, yaitu asas bahwa
setiap materi muatan
peraturan perundang-undangan harus mencerminkan keseimbangan,
keserasian,
dan keselarasan, antara kepentingan individu dan masyarakat
dengan kepentingan
bangsa dan negara. 57
Demikian juga asas keadilan yaitu asas bahwa setiap materi
peraturan
perundang-undangan harus mencerminkan keadilan secara
proporsional bagi
setiap warga negara tanpa kecuali. Asas-asas ini pada era Orde
Baru tidak pernah
dimunculkan dan yang lebih ditekankan pada saat itu adalah
kepentingan umum
yang diutamakan dari pada kepentingan pribadi atau
golongan.58
Anggota Komisi VII DPR, Satya Yudha menuturkan, PP No. 24
Tahun
2012 harus diartikan sebagai kebangkitan industri pertambangan
nasional.
Penanaman modal asing memberikan investasi besar dan divestasi
diberlakukan
secara bertahap, karena selama ini perusahaan tambang nasional
tidak pernah
mendapat kesempatan investasi di pertambangan besar. Menurutnya,
tidak pernah
ada kesempatan apabila harus dimulai sejak eksplorasi, karena
biaya cukup tinggi.
Divestasi ini dapat berjalan, bila pemerintah menyiapkan
strategi portofolio
BUMN telah siap. Ia berpendapat PT Freeport Indonesia saat ini
belum dapat
dimasukkan dalam aturan ini. Tapi, jika proses renegosiasi
dimasukkan aturan
divestasi, Freeport wajib mendivestasi sahamnya kepada mitra
Indonesia
tergantung tipe kontrak masing-masing.59
Namun, menurut Hikmahanto Juwana, meskipun kewajiban
divestasi
51% pada Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2012 hanya
ditujukan bagi
pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP), Pasal 169 ayat b
Undang-undang No
4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara sebagai
dasar PP
tersebut menyatakan bahwa ketentuan yang tercantum dalam pasal
kontrak karya
56Indonesian Corruption Watch, Menimbang Manfaat Freeport Bagi
Indonesia, Terdapat di
http://antikorupsi.org/antikorupsi/q=content/20936/pemerintah-harus-renegosiasi-kontrak-freeport,
tanggal 26 September 2013, 20.45 WIB. 57
Anang Priyanto, Eni Kusdarini, Candra Dewi Puspitasari, Loc
Cit., hal. 29 58
Ibid., 59
Satya Yudha, Pro Kontra Kewajiban Divestasi Perusahaan Tambang
Dengan Terbitnya PP
No.24/2012, Tersedia di
http://irmadevita.com/2013/pro-kontra-kewajiban-divestasi-perusahaan-
tambang-dengan-terbitnya-pp-no-242012, 22 September 2013, 21.15
WIB.
-
25
dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan batu bara (PKP2B)
harus
disesuaikan dengan UU Minerba selambat-lambatnya setahun sejak
UU Minerba
diterbitkan. Pemegang kontrak karya pertambangan mineral yang
belum memiliki
kewajiban divestasi ke nasional, seperti PT Freeport Indonesia,
anak usaha
Freeport-McMoRan Copper & Gold Inc, dinilai harus mengikuti
kewajiban
divestasi berdasarkan Peraturan Pemerintah No 24 tahun 2012
tentang
Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu
Bara.60
Selain itu
Hikmahanto Juwana juga menyebutkan bahwa penerapan Pasal 169
huruf (b)
bukan merupakan hal aneh karena berdasarkan Pasal 1338 KUHPer
ditentukan
bahwa Perjanjian tidak boleh bertentangan dengan hukum,
kesusilaan, dan
kepatutan. Bila dilanggar akan menyebabkan batalnya perjanjian
tersebut. Oleh
karenanya sangat perlu dilakukan negosiasi ulang terhadap
ketentuan Kontrak
Karya yang bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009
tentang
Pertambangan Mineral dan Batu Bara.61
Lebih jauhnya, Hikmahanto Juwana menegaskan, dalam kaitannya
dengan
proses renegosiasi kontrak, pemerintah harus tegas menolak
perpanjangan kontrak
karya Freeport dengan alasan-alasan sebagai berikut:62
1) Pasal 169 ayat (B) UU Mineral dan Batubara mengamanatkan,
kontrak karya akan tetap dihormati hingga masa berakhirnya. Amanah
itu harus dihormati
karena UU Minerba merupakan pengejawantahan kehendak dari
masyarakat
Indonesia. Yaitu, agar presiden mempunyai kewajiban memegang
teguh
sesuai sumpahnya ketika dilantik.
2) Freeport sudah terlalu banyak menikmati kekayaan yang
seharusnya digunakan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat Indonesia.
Apalagi, Freeport
hingga saat ini enggan untuk transparan berapa keuntungan yang
diperoleh.
3) Bila perpanjangan diluluskan oleh pemerintah atas desakan
pemerintah AS berarti negara Paman Sam tersebut telah menerapkan
politik adu domba.
Yaitu, antara pemerintah RI dengan rakyatnya sendiri.
karena menurutnya saat ini masyarakat Indonesia tidak bisa
menerima
keberadaan Freeport yang terus menguras kekayaan sumber saya
mineral
Indonesia.
Pada akhirnya Kontrak Karya yang digagas pada tahun 1967 itu
sebenarnya ikut memupuk kecemburuan sosial yang terjadi karena
proses-proses
pemberian sumber daya alam Papua kepada PT. Freeport Indonesia.
Hal yang
alih-alih memberdayakan masyarakat Papua, tetapi makin
meramaikan peta
konflik dengan hadirnya wajah baru63
60Hikmahanto Juwana, Kepastian Hukum di Sektor Pertambangan
Pasca disahkannya UU Minerba, Seminar Hukum Online. Jakarta, 21
Januari 2009. 61
Ibid. 62
Hikmahanto Juwana, Pengamat: Tolak Perpanjangan Kontrak Karya
Freeport dalam
http://www.republika.co.id/berita/nasional/politik/12/09/03/m9s3oc-pengamat-tolak-perpanjangan-
kontrak-karya-freeport, 25 September 2013, 21.55 WIB. 63
Dalam catatan Ir. Alibasjah Inggriantara, SE, MMBAT ia mengutip
beberapa persoalan
mendasar yang ia nilai amat mengecewakan penduduk asli Papua
mengenai keberadaan PT.
Freeport Indonesia, yaitu: Pertama, Tidak legalnya penyerahan
kepada Freeport, karena
-
26
Di sisi lain, perlu diketahui bahwa Kontrak Karya Pertambangan
yang
memberikan hak kepada kontraktor untuk melaksanakan usahanya
sejak tahap
survei, eksplorasi, eksplorasi, sampai dengan tahap eksploitasi,
pengolahan,
sampai ke penjualan hasil usahanya dan mengakibatkan tidak ada
pemisahan
antara tahap praproduksi dan tahap operasi produksi, juga memuat
ketentuan
mengenai keuangan dan perpajakan selama jangka waktu berlakunya
kontrak.
Pemerintah juga memberikan lex spesialis pada Kontrak Karya
Pertambangan
yang sebenarnya merupakan langkah untuk menciptakan iklim
investasi baik di
Indonesia. Ketentuan ataupun kesepakatan yang telah tercantum
dalam kontrak
tidak akan berubah karena berganti-gantinya peraturan
perundang-undangan yang
berlaku umum. Hal ini menyebabkan Investor merasa ada kepastian
hukum bagi
usahanya. Jaminan kepastian hukum ini sebenarnya penting karena
usaha
pertambangan memerlukan modal besar dan beresiko tinggi.
H. Kontrak Karya PT. Freeport Indonesia dari Ertsberg ke
Grasberg
Lahirnya kontrak karya PT. Freeport Indonesia tidak lepas dari
peran Jacques
Dozy yang menemukan cadangan Ertsberg pada tahun 1936, yang
dilanjutkan
dengan ekspedisi Forbes Eilson pada tahun 1960 untuk menemukan
kembali
Ertsberg.64
Hasil ekspedisi Forbes Eilson tersebut baru ditindak lanjuti
pasca lahir
UU No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing dan UU No. 11
Tahun
1967 tentang Pertambangan. Masih pada tahun 1967 tersebut
selanjutnya
Pemerintah dengan PT. Freeport Indonesia (PTFI) sepakat untuk
melakukan
kerjasama pengelolaan cadangan Ertsberg yang dituangkan dalam
kontrak karya
seharusnya menunggu pelaksanaan pleebisit 1969, karena pada saat
itu Papua belum diputuskan
untuk menjadi wilayah integral dari Indonesia. Hal ini diduga
sebagai hadiah kepada Amerika Serikat yang punya peran besar
melengserkan orde lama di Indonesia. Kedua, dari segi kultural,
penandatanganan itu sama sekali tidak melibatkan penduduk asli
Papua. Oleh karenanya, banyak
adat-adat penduduk setempat yang dilanggar melalui pengerukan
isi perut bumi Papua, misalnya
bagi Suku Amungme yang percaya bahwa di beberapa gunung di
wilayah Papua merupakan
tempat bersemayam arwah Jomun-Nerek, nenek moyang bagi orang
Amungme. Ketiga, dari aspek
ekonomi, kontrak itu dinilai sangat merugikan penduduk Papua.
Melalui pola penguasaan saham,
hasil yang didapatkan oleh Penduduk asli maupun Pemerintah
Indonesia sangatlah minim.
Keempat, secara geologis areal kontrak karya itu terlalu besar
sehingga untuk harga yang
diberikan kepada PT Freeport, sangatlah murah, padahal PT.
Freeport menjadi perusahaan
tambang terbesar ketiga di seluruh dunia melalui penambangan di
Papua tersebut. Kelima, aspek
kesejahteraan yang diberikan oleh PT. Freeport, terlalu kecil.
Dengan penghasilan yang luar biasa
besarnya, selama 21 tahun produksi (1973-1994), PT. Freeport
hanya menyisihkan anggaran
sebesar 5,56% saja untuk program sosial. Walau setelah tahun
1994 meningkat, namun jumlahnya
tetap saja tidak lebih dari 10%. Keenam, PT. Freeport masih
kurang menunjukkan perhatian yang
baik terhadap lingkungan hidup, sehingga sampah (tailings) yang
ia buang menyebabkan
musnahnya 3.300 vegetasi hutan tropis, terjadinya penyumbatan
mulut sungai dan endapat mulut
sungai yang meyebabkan musnahnya banyak spesies ikan. Selain
itu, terdapat juga aliran air asam
tambang akibat proses oksidasi tailings dan batuan limbah.
Lihat: Papua Dalam Konflik
Berkepanjangan: Mencari Akar Penyelesaian Masalah Konflik Papua,
Pusat Studi Jepang
Universitas Indonesia, Januari 2004, hal: 15-16.
Dalam
(http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/File%20Publikasi/KI_Papua.pdf),
25 September
2013, 21.50 WIB. 64
http://www.ptfi.co.id/id/media/facts-about-feeport-indonesia/facts-about-kontrak-karya
-
27
pertama pada tahun 1967 dengan masa berlaku 30 tahun terhitung
sejak 1973.
Setelah beroperasi beberapa tahun, pada tahun 1988 PTFI
menemukan cadangan
Grasberg, dengan investasi yang berisiko tinggi dan jaminan
investasi jangka
panjang, maka pihak PTFI mencoba menegosiasikan ulang kontrak
karya yang
sudah ada untuk diperbarui, sehingga pada tahun 1991 lahirlah
kontrak karya
kedua dengan jangka waktu investasi 30 tahun yang berakhir tahun
2021, dan
dapat diperpanjang 2 x 10 tahun (sampai tahun 2041).65
Bentuk kontrak karya yang dibuat antara Pemerintah Indonesia
dengan
perusahaan penanaman modal asing atau patungan antara perusahaan
asing
dengan perusahaan domestik adalah bersifat tertulis begitu juga
dengan kontrak
antara Pemerintah Indonesia dengan PT. Freeport Indonesia
sehingga dapat
ditinjau menurut aturan hukum mengenai perjanjian yang berlaku
di Indonesia.
Tujuan dari kontrak antara perusahaan pertambangan PT. Freeport
Indonesia
dengan Pemerintah pada dasarnya adalah untuk menambang bahan
galian
(tambang) dan kesediaan Pemerintah untuk memberikan ijin dengan
imbalan uang
atau pajak atau pendapatan guna menambah devisa negara.
Mengacu kepada pembahasan sebelumnya, bahwa kontrak karya
menggunakan kontrak baku (standart contract). Walau menggunakan
kontrak
baku, terkait syarat sahnya kontrak tetap mengacuk kepada
ketentuan perikatan
yaitu Pasal 1320 KUHPerdata. Dalam hal ini mengenai syarat
subjektif seperti
kesepakatan, dalam kontrak baku sepakat dilihat ketika pihak
kedua menerima apa
yang ditentukan oleh pihak pertama, pihak pertama merupakan
pihak yang
memiliki dominasi atau kekuatan yang lebih, sehingga dia mampu
untuk
menentukan isi perikatan. Dominasi pihak pertama dalam kontrak
baku tidak
berarti ada unsur paksaan dalam melakukan perikatan, sebab dalam
pelaksaan
kontrak baku apabila pihak kedua tidak setuju dengan isi
perikatan ia tidak harus
menandatangi isi dari perikatan atau kontrak itu sendiri. Dalam
hal ini para
pihaknya adalah PTFI sebagai pihak yang memiliki modal dan
Pemerintah
Indonesia sebagai pihak pemegang wilayah.
Syarat subjektif selanjutnya adalah cakap, yang dikatakan cakap
adalah
mereka yang sudah dewasa dan tidak berada dibawah pengampuan.
Dalam
konteks ini PTFI sebagai subjek hukum recht person tidak sedang
berada di
bawah pengampuan sehingga ia bisa dikatakan cakap untuk
melakukan perikatan,
dan negara sebagai subjek hukum memiliki hak juga untuk
melakukan perikatan.
Dalam melakukan perikatan, negara sebagai subjek hukum diwakili
oleh organ
dari negara tersebut. Perikatan atau kontrak karya yang
dilakukan antara PTFI
dengan Pemerintah Indonesia, pemerintah diwakili oleh Menteri
Pertambangan
dan Perminyakan ketika itu.
Terkait syarat objektif dari kontrak karya antara PTFI dengan
Pemerintah
Indonesia, pertama suatu pokok hal tertentu. Hal tertentu dalam
hal ini adalah
adanya objek yang diperjanjikan. Objek yang diperjanjikan dalam
kontrak karya
tersebut adalah kawasan atau cadangan Ertsberg di Papua seluas
10.000 HA, yang
pada tahun 1991 diperbaharui dengan perluasan wilayah di
cadangan Grasberg
seluas 202.950 HA. Sedangkan syarat objektif kedua adalah sebab
yang halal,
65
Ibid.
-
28
sebab yang halal dalam hal ini tidak hanya diartikan halal dalam
artian fisik, tapi
lebih mengacu apakah objek yang diperjanjikan tersebut termasuk
yang dilarang
oleh undang-undang atau tidak, seperti bahan-bahan narkotika
yang dilarang oleh
undang-undang sudah tentu tidak memenuhi ketentuan sebab yang
halal sehingga
perjanjian tersebut akan batal demi hukum atau dengan batal
dengan sendirinya.
Terkait kontrak karya PTFI dengan Pemerintah Indonesia, ketika
kontrak pertama
dan kedua secara umum bisa dikatakan sudah sesuai dengan
peraturan perundang-
undangan yang ada ketika itu. Akan tetapi syarat objektif yang
kedua ini lah yang
saat ini menjadi permasalahan kontrak karya PTFI terutama pasca
reformasi, lebih
tepatnya lagi pasca lahirnya UU No. 25 tahun 2007 dan UU No. 4
Tahun 2009.
Kontrak karya kedua atau hasil negosiasi pada tahun 1991,
mengenai
royalti disepakati sebesar 1%, akan tetapi saat ini UU No. 4
Tahun 2009 mengatur
sebaliknya minimal 3,75 % dan mengharuskan dilakukannya
penyesuaian kontrak
karya yang sudah ada sebelumnya dengan UU No. 4 Tahun 2009,
dalam hal ini
termasuk kontrak karya PTFI.
Pada awalnya, terkait kontrak karya PTFI juga sudah memicu
konflik,
pertama PTFI sempat menjadi konflik di Papua karena lokasi
penambangan
tersebut berada di atas tanah ulayat dan perjanjian tersebut
tidak melibatkan
unsur-unsur masyarakat adat di Papua. Jika merujuk kepada
Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1960 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Agraria
(UUPA), yang
mengakui dan menjamin hak-hak ulayat, sudah sepantasnya ketika
pembentukan
kontrak karya itu mempertimbangkan aspirasi masyarakat adat
setempat. Bahkan
dalam salah satu klausul kontraknya disebutkan bahwa PTFI
berhak