Top Banner
302

kontekstualisasi hukum islam

May 12, 2023

Download

Documents

Khang Minh
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: kontekstualisasi hukum islam
Page 2: kontekstualisasi hukum islam

KONTEKSTUALISASI HUKUM ISLAM (Studi tentang Fatwa Khaled M Abou el Fadl

dan Yūsuf al-Qaraḍāwi)

Dr. APRIYANTI, M.Ag

Pustakapedia

Indonesia

Page 3: kontekstualisasi hukum islam

KONTEKSTUALISASI HUKUM ISLAM (Studi tentang Fatwa Khaled M Abou el Fadl

dan Yūsuf al-Qaraḍāwi)

©2020 APRIYANTI

Hak cipta dilindungi undang-undang

Penulis : Dr. APRIYANTI, M. Ag

Tata Letak : Tim Pustakapedia

Desain Sampul : Fadil Fadhilla

ISBN : 978-623-7641-47-6

Cetakan ke-I, Juni 2020

Diterbitkan oleh:

Pustakapedia

(CV Pustakapedia Indonesia)

Jl. Kertamukti No.80 Pisangan

Ciputat Timur, Tangerang Selatan 15419

Email: [email protected]

Website: http://pustakapedia.com

Dilarang memperbanyak karya tulis ini dalam bentuk dan dengan cara

apapun tanpa izin tertulis dari Penulis

Page 4: kontekstualisasi hukum islam

i

SEKAPUR SIRIH

Pentingnya aturan main bukan hanya diperlukan di lapangan bola,namun publikasi fatwa dari mufti juga perlu aturan yang baku sehinggadapat mengawal cara beragama para pencari petunjuk pengamalan ajaranIslam (mustafti), walau tetap berpotensi bervariasi. Untuk itulah padaNovember 2004 para tokoh, ulama dan pemimpin dunia Islam berkumpul diAmman, Yordania. Mereka memutuskan tentang pentingnya pembakuanpublikasi fatwa, yang kemudian dikenal dengan istilah Pesan Amman. Pesanini kemudian dikukuhkan lagi pada sidang The Third Extraordinary Sessionof the Organization of The Islamic Conference (Cooperation) tanggal 7-8Desember 2005 di Mekkah.

Penulisan buku tentang pemikiran Khaled M Abou el Fadl danYūsuf al-Qaraḍāwi dalam kerangka kontektualisasi hukum Islam yangtercermin dalam fatwa, merupakan upaya mendukung serta mengangkatkualitas dan relevansi fatwa sebagai sarana pengejawantahan hukum Islamsecara spesifik dan pamor Islam secara menyeluruh. Kepastian hukum yangdihadapkan pada permasalahan kehidupan yang terus bergulir dan kompleksmemerlukan metode, konsep dan strategi tepat untuk menghasilkan panduandan solusi. Dengan merujuk kepada fondasi dan tradisi berfatwa sertaperkembangan, pengalaman dan inovasi dalam menemukan jawaban yangrelevan dan berbobot dari sudut pandang hukum Islam, penulis membahaskonsep kontekstualisasi sebagai acuan dalam berfatwa. Lebih menarik lagipenulis mengukur sejauh mana fatwa dua tokoh pemikir dan ulama yangberdomisili di dua tempat berbeda, SyekhYūsuf al-Qaraḍāwi di Doha Qatardan Khaled M Abou el Fadl di New York, USA dengan menggunakankonsep kontekstualisasi hukum Islam.

Penulis menjabarkan konsep kontekstualisasi yang diterapkan untukmengukur setiap fatwa dengan memperhitungkan dan menimbang berbagaiprinsip hukum yang telah dikembangkan para ulama dan peneliti. Untukmeletakkan kontekstualisasi dalam kerangka yang sahih dan berstandar -tidak seperti apa yang tersirat dalam kolom editorial New YorkTimes, “When Donald Trump Is the Law” terbitan 19-02-2020 tentang‘intervensi hukum’ Presiden Trump - penulis menetapkan kontekstual atautidaknya suatu fatwa dilatari atas delapan indikator yang diusulkannya.

Fatwa-fatwa yang dibahas dan diteliti dalam buku ini terkaitpermasalahan hak hidup dan hak politik serta permasalahan perempuan dankeluarga. Diskursus hak hidup dan hak politik, menurut penulis, merupakanbagian dari hak yang melekat pada manusia sehingga menjadi bagian darihak asasi manusia. Di antara hak dasar manusia adalah hak untuk hidup danhak melakukan aktifitas politik. Pembahasan hak hidup difokuskan padafatwa aborsi. Sementara permasalahan hak politik difokuskan pada fatwa

Page 5: kontekstualisasi hukum islam

ii

memilih pemimpin non-muslim serta kepemimpinan perempuan dalam salat(imam) dan negara. Di samping itu isu gender dan keluarga modern jugamenjadi sorotan penulis. Kedua isu ini menjadi lebih aktual meski saat inisudah memasuki milenium ketiga dan dikembangkan menjadi beberapatopik yaitu hijab, pilihan terhadap calon suami, perkawinan bedaagama, nusyuz (pembangkangan dalam perkawinan), dan hak mewarisi.

Data yang diracik penulis berasal dari fatwa-fatwa kedua tokohsebagai sumber utama. Fatwa Khaled M Abou Fadl dipublikasikan dalambahasa Inggris, sedangkan fatwa Yūsuf al-Qaraḍāwi dipublikasikan dalambahasa Arab. Penelitian ini juga dilengkapi studi banding denganmenggunakan analisa yang mengacu pada metode penelitian baku dalampembacaan teks. Buku ini menyuguhkan analisa berbagai isu kehidupankontemporer dan hangat sehingga sangat mudah diikuti alur narasi danargumennya. Buku ini juga layak dibaca bukan hanya bagi para pakarhukum Islam namun juga publik umum yang ingin mendalami lika-likutercetusnya sebuah fatwa dan berbagai pertimbangan yangmelatarbelakanginya. Buku yang digarap berbasis studi hukum, fikih,yurisprudensi, sosiologi, dan kesejarahan ini sangat diperlukan untukdinikmati, disimak, dan atau dikaji lebih lanjut oleh para peminat studikontemporer, hukum Islam serta pusparagam dan pernak-pernik fenomenafatwa.

Ketegaran memahami, membongkar dan sekaligus menganalisisproduk fatwa yang popular telah memantapkan akar teori dan konseppemahaman masalah yang kompleks. Meski tidak membuat geger, karya inidapat membuat pembaca berfikir lebih serius, mendalam, dan jauh ke depan.Mendasarkan analisis kepada konsep kontekstualisasi, pembaca dapatdengan jelas mengikuti alur permasalahan dan pemecahan yang teranyamdalam sebuah fatwa. Memang tuntutan beragama di era digital dan arusinformasi yang deras, menuntut kaum beriman untuk meneguhkan fondasiagama dan sekaligus merajutkemas pemahaman dan sarananya sehinggamudah menentukan pilihan terhadap tawaran penyelesaian dan jawaban atasisu kontemporer dalam sudut pandang agama. Oleh karena itu, kehadiranbuku ini selain dapat memperkaya pemahaman juga menyediakan saranapemecahan masalah keagamaan kontemporer. Di sisi lain buku ini tidakhanya menyediakan analisis labyrinth penerbitan sebuah fatwa, namun yangtidak kalah penting adalah terobosan penggodokan fatwa berdasarkan resepkontekstualisasi disertai dengan peralatan ifta’ yang dipertanggungjawabkandan diterima oleh para ulama, fuqahā’ dan pakar hukum Islam.

Prof. Dr. Iik Arifin Mansurnoor, MAGuru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Page 6: kontekstualisasi hukum islam

iii

PENGANTAR PENULIS

ن بسم حم حیمٱلر ٱلر

Alḥamdulillāhi Rabb al-‘Ālamἷn, segala puji dan syukur penulishaturkan kepada Allah SWT, Tuhan penguasa semesta alam, yang dengankasih sayang-Nya telah memberikan penulis kesempatan di detik terakhiruntuk dapat merampungkan penelitian ini. Salawat beriring salam jugaditujukan kepada Rasulullah, Muhammad SAW, yang telah memberikantuntunan sehingga manusia mendapat kebaikan hidup dan mampumemaknainya sebagai bentuk ketaatan dan ibadah.

Buku yang berjudul Kontekstualisasi Hukum Islam (Studi tentangFatwa Khaled M Abou el Fadl dan Yusuf al-Qaraḍāwi) ini merupakan hasilpenelitian penulis berupa disertasi saat menyelesaikan pendidikan di UINSyarif Hidayatullah Jakarta. Kehadiran buku ini tidak terlepas dari supportdan bantuan banyak pihak. Oleh karena itu, sudah selayaknya ucapan terimakasih penulis haturkan kepada para pihak yang dimulai dari Prof. Dr. Hj.Amany Burhanuddin Umar Lubis, Lc, MA Rektor UIN Syarif HidayatullahJakarta beserta jajarannya. Prof. Dr. Phil. Asep Saepudin Jahar, MADirektur Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Dr. HamkaHasan, Lc. MA, Wakil Direktur, dan Prof. Dr. Didin Saefuddin, MA KetuaProdi S3.

Ucapan terima kasih dan rasa syukur juga penulis haturkan kepadadua promotor yang secara ikhlas membimbing dan memberi arahansehingga disertasi ini dapat diselesaikan dengan baik. Jazākumāllāhu khairal-jazā’ Prof Dr Said Agil Husin al Munawwar, MA dan Prof. Dr. Iik ArifinMansurnoor, MA. Terkhusus untuk Prof. Dr. M. Atho Mudzhar, MSPD,penulis juga menghaturkan terima kasih atas masukan dan saran yang sangatberharga dalam penyelesaian penelitian ini sehingga wawasan penulisterhadap penelitian hukum menjadi lebih terarah dan sistematis. Selanjutnyakepada Prof. Dr. Salman Maggalatung, MH dan Prof. Dr. Zaitunah Subhan,MA penulis juga mengucapkan terima kasih atas masukan yang berhargaterhadap penelitian ini. Tak lupa juga teruntuk para dosen yang telahmengisi dan mewarnai cakrawala berfikir penulis; Prof. Dr. AzyumardiAzra, MA, Prof. Dr Huzaemah TahidoYanggo, MA, Prof. Dr. ZainunKamal, MA, Dr Fuad Jabali MA, Prof. Dr. Phil. Asep Saepudin Jahar, MA,Dr Muqsith al Ghazali, MA, Prof. Dr. Amir Syarifuddin, MA dan Prof. Dr.Nasrun Haroen, MA (alm). Selain itu segenap civitas akademika SekolahPascasarjana baik yang bertugas di bagian sekretariat maupun perpustakaan,

Page 7: kontekstualisasi hukum islam

iv

terima kasih atas bantuan dan pelayanan yang diberikan selama penulismenyelesaikan perkuliahan dan penelitian.

Terima kasih juga penulis ucapkan kepada Rektor UIN Raden FatahPalembang, Prof. Dr. Sirozi, Ph.D dan Dekan Fakultas Ushuluddin danPemikiran Islam, Dr. Alfi Julizun Azwar, M.Ag yang telah memberikankesempatan dan bantuan pada penulis untuk meneruskan pendidikan S3 diSekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah. Selanjutnya teruntuk paradosen yang turut andil memberi masukan dan sumbangsih berharga dalampenelitian ini, Prof. Dr. Duski Ibrahim, MA, Hedhri Nadiran, M.Ag, DeddyIlyas, M.Us, Dr. Syefriyeni, M.Ag, Dr. Halimatussa’diyah, M.Ag, Thalhah,MA, Dr. Irmawati Sagala, dan rekan dosen lain yang tidak dapat disebutkansatu persatu.

Terima kasih dan ta’zim yang tiada terkira penulis haturkan kepadaAyahanda H Hasan Basri (alm) dan Ibunda Hj Anis (alm) yang telahmembimbing, mendidik, serta mendoakan dengan sepenuh hati dankeikhlasan sehingga penulis dapat menempuh pendidikan dan mencapai apayang telah diperoleh saat ini. Terkhusus kepada suami, Gafilaini, dan anak-anak, Aisyah Fatia al Qoyyimah dan Muhammad Idil Azka, yang sangatmendukung dan sudi merelakan kehilangan waktu kebersamaan selamapenulis menempuh perkuliahan dan menyelesaikan penelitian. Hanya Allahyang dapat membalas segala kebaikan mereka semua. Jazākumullāhu khairaal-jazā’.

Pepatah berkata tidak ada yang sempurna, sama halnya denganbuku ini yang masih memiliki kekurangan. Oleh karena itu, dengan penuhkesadaran, penulis berharap kepada para pembaca untuk sudi memberikanmasukan dan saran yang konstruktif sehingga berguna bagi pengembanganpenelitian Hukum Islam kelak. Mudah-mudahan buku ini dapat memberikanmanfaat terhadap perkembangan dunia akademik khususnya terhadap studikeislaman dan hukum Islam.

Palembang, 1 April 2020PenulisApriyanti

Page 8: kontekstualisasi hukum islam

v

PEDOMAN TRANSLITERASI

Pedoman transliterasi Arab-Latin yang digunakan dalam penelitianini adalah ALA-LC ROMANIZATION tables sebagai berikut:

A. KonsonanInitial Romanization Initial Romanization

ا A ض Ḍ

ب B ط Ṭ

ت T ظ Ẓ

ث Th ع ‘

ج J غ Gh

ح Ḥ ف F

خ Kh ق Q

د D ك K

ذ Dh ل L

ر R م M

ز Z ن N

س S ه،ة H

ش Sh و W

ص Ṣ ي Y

B. Vokal1. Vokal Tunggal

Tanda Nama Huruf Latin Nama ◌ Fatḥah A A

◌ Kasrah I I

◌ Ḑammah U U

Page 9: kontekstualisasi hukum islam

vi

2. Vokal RangkapTanda Nama Gabungan Huruf Nama

ي... ◌ Fatḥah dan ya Ai A dan I

و... ◌ Fatḥah dan wau Au A da UContoh::حسین Ḥusain :حول Ḥaul

C. Vokal PanjangTanda Nama Gabungan

HurufNama

ــا Fatḥah dan alif Ā a dan garis diatas

ــي Kasrah dan ya Ī I dan garis diatas

ــو Ḑamah dan wau Ū u dan garis diatas

D. Ta’ Marbūţah.Transliterasi ta’ marbūţah (ة) di akhir kata, bila dimatikan ditulis h.Contoh:

مرأة : Mar’ah Madrasah :مدرسة(ketentuan ini tidak digunakan terhadap kata-kata Arab yang sudahdiserap ke dalam bahasa Indonesia seperti shalat, zakat dan sebagainya,kecuali dikehendaki lafadz aslinya)

E. ShiddahShiddah/Tashdīd di transliterasi ini dilambangkan dengan huruf, yaituhuruf yang sama dengan huruf bershaddah itu.Contoh:

:ربنا Rabbanā Shawwāl :شوال

F. Kata Sandang Alif + Lam Apabila diikuti dengan huruf qamariyah, ditulis al.

Contoh: لقلما : al-Qalam

Page 10: kontekstualisasi hukum islam

vii

DAFTAR ISI

Sekapur Sirih iPengantar Penulis iiiPedoman Transliterasi vDaftar Isi viiDaftar Tabel ix

PENDAHULUANA Latar Belakang Masalah 1B Permasalahan 12

1. Identifikasi Masalah 122. Perumusan Masalah 123. Batasan Masalah 12

C Penelitian Terdahulu yang Relevan 13D Metode Penelitian 15

1. Jenis Penelitian dan Sumber Data 152. Teknik Pengumpulan dan Pengolahan Data 163. Teknik Analisis Data 17

KONTEKSTUALISASI DALAM HUKUM ISLAMA Hukum Islam dan Ijtihad 19B Paradigma Kontekstual dan MaŞlaḥah 27C Genealogi Kontekstualisasi Hukum Islam 39

BIOGRAFI KHALED M ABOU EL FADL DAN YUSUF AL-QARÃḌAWIA Khaled M Abou el Fadl 61

1. Latar Belakang Keluarga dan Pendidikan 612. Karya-karya 633. Aktifitas Intelektual 644. Kondisi Sosio-Kultural 66

B Yusuf al-Qarāḍawi 681. Latar Belakang Keluarga dan Pendidikan 682. Karya-karya 713. Aktifitas Intelektual 734. Kondisi Sosio-Kultural 75

FATWA-FATWA KHALED M ABOU EL FADL DAN YŪSUFAL-QARAḌÃWI TENTANG HAK HIDUP DAN HAK POLITIKA Fatwa Aborsi 80

Page 11: kontekstualisasi hukum islam

viii

B Fatwa Memilih Pemimpin Non-Muslim 108C Fatwa Kepemimpinan Perempuan dalam Salat (Imam) dan

Negara126

FATWA-FATWA KHALED M ABOU EL FADL DAN YŪSUFAL-QARAḌÃWI TENTANG PEREMPUAN DANPERSOALAN KELUARGAA Fatwa Hijab 148B Fatwa Memilih Suami 185C Fatwa Nikah Beda Agama 205D Fatwa Nusyuz 229E Fatwa Waris Anak 246

PENUTUPA Kesimpulan 259B Saran 261

Daftar PustakaGlosarium

263279

Indeks 283Biodata Penulis 289

Page 12: kontekstualisasi hukum islam

ix

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Perbandingan Pemenuhan Indikator Kontekstualdalam Fatwa Abou el Fadl dan al-Qaraḍāwi tentangAborsi

108

Tabel 2 Perbandingan Pemenuhan Indikator Kontekstual dalamFatwa Abou el Fadl dan al-Qaraḍāwi tentang MemilihPemimpin Non-Muslim

125

Tabel 3 Perbandingan Pemenuhan Indikator Kontekstual dalamFatwa Abou el Fadl dan al-Qaraḍāwi tentangKepemimpinan Perempuan dalam Salat dan Negara

145

Tabel 4 Perbandingan Pemenuhan Indikator Kontekstual dalamFatwa Abou el Fadl dan al-Qaraḍāwi tentang Hijab

184

Tabel 5 Perbandingan Pemenuhan Indikator Kontekstual dalamFatwa Abou el Fadl dan al-Qaraḍāwi tentang MemilihSuami

205

Tabel 6 Perbandingan Pemenuhan Indikator Kontekstual dalamFatwa Abou el Fadl dan al-Qaraḍāwi tentang NikahBeda Agama

229

Tabel 7 Perbandingan Pemenuhan Indikator Kontekstual dalamFatwa Abou el Fadl dan al-Qaraḍāwi tentang Nusyuz

245

Tabel 8 Perbandingan Pemenuhan Indikator Kontekstual dalamFatwa Abou el Fadl dan al-Qaraḍāwi tentang WarisAnak

258

Page 13: kontekstualisasi hukum islam
Page 14: kontekstualisasi hukum islam

Pendahuluan

1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang MasalahFatwa merupakan bagian dari hukum Islam yang dihasilkan melalui

proses iftā’.1Keberadaan fatwa sangat penting dalam perkembangan hukumkarena mempunyai peran yang cukup signifikan dalam merespon perubahanzaman dan memberi pertimbangan hukum kepada masyarakat sehinggamempunyai kekuatan yang dinamis dan kreatif. Selain itu fatwa jugamerupakan sarana yang berguna dalam memberi kepastian hukum terhadappermasalahan yang terjadi. Ketiadaan fatwa akan berdampak kepadakekakuan hukum lantaran banyak persoalan umat yang tidak dapatdiselesaikan.2Kondisi ini bertentangan dengan prinsip hukum Islam yangdinamis, responsif, serta senantiasa berkembang selaras perubahan waktu,tempat dan kondisi sosial3(Şāliḥ likulli zamān wa makān). Dengan demikian,fatwa menjadi instrumen dari otoritas keagamaan para mufti dalammengkompromikan cita-cita hukum dengan realitas sosial.4

Keberadaan fatwa sudah mulai dikenal dalam sejarah hukum Islamsejak abad pertama hijriyah. Orang yang pertama kali memberikan fatwamenurut sejarah adalah Ibrāhim al-Nakha’i (w. 96 H).5 Setelah para mufti6

1 Iftā’ merupakan proses atau upaya mufti untuk menerangkan hukumsyariat guna menjawab pertanyaan yang diajukan. Ãmir Sa’i@@d al Zibāry, Mabāḥith fiĀḥkām al-Fatwā, (Beirūt: Dār Ibn Ḥazm, 1995), h. 41. Lihat juga Ma’ruf Amin,Fatwa dalam Sistem Hukum Islam, (Jakarta: eLSAS, 2008), h. 21.

2Ma’ruf Amin, Fatwa dalam Sistem Hukum Islam, h. 8-9.3Muhammad Khalid Masud, Islamic Legal Philosophy, Penerjemah. Ahsin

Muhammad, (Bandung: Pustaka, 1996), h.2.4Nico J. G. Kaptein, “The Voice of the ˋUlamâ': Fatwas and Religious

Authority in Indonesia”, in Archives de sciences sociales des religions, 49e Année,No. 125, (2004), h. 115-116.

5Berbeda dengan Wael B Hallaq yang menyatakan bahwa secara resmifatwa baru muncul sejak kehadiran mazhab karena para imam mazhab gencarmelakukan iftā’. Term mas’alah yang ada dalam kajian fikih mengindikasikan tanyajawab yang mengacu kepada aktifitas fatwa. Hal ini berarti pendapat mazhab adalahfatwa.Wael B. Hallaq, “From Fatwas to Furuʿ: Growth and Change in IslamicSubstantive Law”, in Islamic Law and Society, Vol. 1, No. 1 (1994), h. 62.

6Secara bahasa mufti berarti orang yang berfatwa. Mufti dapat berbentukindividu atau lembaga yang disahkan negara. Dalam sejarah Islam, lembaga fatwanegara yang pertama berdiri adalah Dar al-Iftā’di Mesir pada tahun 1895 M.Lembaga ini dibentuk berdasarkan surat keputusan Abbas Hilmi, seorang KhediveMesir, kepada Nizārah Haqqaniyyah pada tanggal 21 November 1895. Dar al-Ifta’,accessed from http://www.dar-alifta. org/Foreign/Module.aspx?Name= aboutdar.

Page 15: kontekstualisasi hukum islam

Kontekstualisasi Hukum Islam

2

banyak mengeluarkan fatwa, akhirnya masing-masing mazhab mulaimengkompilasi fatwa mereka, baik yang terkait dengan kepentingan individumaupun kepentingan orang banyak. Aktifitas kompilasi ini sudah mulaidilakukan pada abad ke-12 M dan masih berlangsung sampai sekarang.7

Kompilasi fatwa ada yang disusun berdasarkan tema dalam kitab fikih danada juga yang disusun berdasarkan waktu atau kronologis saat dikeluarkanfatwa.8 Dar al-Iftā’ Mesir merupakan salah satu lembaga fatwa yang telahmengkompilasi lebih dari 80.000 fatwa dalam 184 arsip. Seluruh fatwatersebut dikumpulkan Dār al-Iftā’semenjak berdirinya pada tahun 1895 dandiunggah agar bisa diakses oleh siapapun yang membutuhkan, baik untukkepentingan pribadi maupun kebutuhan penelitian.9

Biasanya permasalahan yang dimintai fatwa terkait dengan dua halyaitu isu-isu terhangat dalam hukum Islam kontemporer seperti isu sosialdan penggunaan perangkat modern serta permasalahan yang terkait dengankehidupan sehari-hari seperti ibadah dan muamalah.10 Namun, permasalahanfatwa dimungkinkan juga mencakup persoalan yang lebih luas, sepertipenafsiran, doktrin-doktrin teologis, praktek sufi, eskatologi, heresiologi,sejarah, politik, moralitas publik, etika dan sopan santun. 11 Seluruhpermasalahan fatwa ini dikelompokkan para ulama kepada tiga kategori,yaitu nāzilah, fatāwa, dan waqā’i. Pengelompokkan ini dilatari olehaktualitas dan urgensitas persoalan fatwa. Jika permasalahan fatwa sangatmendesak untuk diselesaikan, maka disebut nāzilah. Jika permasalahantersebut sudah terjadi, masih baru atau sudah lama, atau diperkirakan akanterjadi, maka disebut fatāwa. Adapun waqā’i hanya diperuntukkan bagipermasalahan baru, baik mendesak untuk diselesaikan atau tidak.12

Eksistensi fatwa juga dapat menjadi solusi alternatif dalammengatasi kebuntuan hukum, karena tidak semua persoalan dapat ditemukan

Lihat juga Rohadi Abdul Fatah, Analisis Fatwa Keagamaan, (Jakarta: Bumi Aksara,2006), h. 140.

7 Mohammad Atho Mudzhar, Fatwa-fatwa Majelis Ulama Indonesia,(Jakarta: INIS, 1993), h. 2-3.

8Wael B. Hallaq, “From Fatwas to Furuʿ: Growth and Change in IslamicSubstantive Law”, h. 37.

9 Dar al-Ifta’, accessed from http://www.dar-alifta.org/Foreign/Module.aspx? Name= aboutdar.

10 Nico J. G. Kaptein and Michael Laffan, “Theme Issue: Fatwās inIndonesia”, In Islamic Law and Society, Vol. 12, No. 1, Fatwās in Indonesia (2005),h. 1.

11 Muhammad Khalid Masud, The Significance of Istifta’ in FatwaDiscourse, in Islamic Studies, Vol. 48, No. 3 (2009), h. 344.

12Dār al-Iftā’, Ḍawābiṭ al-Ikhtiyār al-Fiqh ‘inda al-Nawāzil, Penerjemah.Adhi Maftuhin, (Depok: Keira Publishing, 2017), h. 4.

Page 16: kontekstualisasi hukum islam

Pendahuluan

3

keterangan naŞŞ yang terkait dengannya.13Sehubungan dengan hal ini, adakalanya fatwa yang dikeluarkan mufti atau lembaga fatwa merujuk kepadapendapat mazhab atau kompilasi fatwa, seperti Bahtsul Masail NahdhatulUlama (NU). Fatwa Bahtsul Masail yang melarang berjabat tangan antaralaki-laki dan perempuan tanpa menggunakan lapisan ketika baiat, didasarikepada kitab I’ānah al-Ṭālibin. Begitu juga dengan bolehnya menjamaksalat di rumah jika terdapat keperluan namun tidak menjadi kebiasaan,disandarkan kepada kitab Manhaj al-Muḥaddithἷn Sharḥ Muslim.14Di sisilain ada mufti atau lembaga fatwa yang menjadikan pendapat mazhab hanyasebagai pertimbangan hukum, seperti yang dilakukan Komisi Fatwa MajelisUlama Indonesia(MUI). Fatwa haram mengkonsumsi alkohol pada tahun2009 yang dikeluarkan MUI, selain merujuk kepada beberapa naŞŞ Alqurandan hadis juga dilatari kepada pertimbangan pendapat beberapa sahabat danulama. Fatwa halalnya Kopi Luwak pada tahun 2010, juga dikeluarkan MUIdengan pertimbangan tiga pendapat ulama mazhab.15

Penjelasan di atas menunjukkan bahwa meski terdapat perbedaanantara NU dan MUI dalam menyikapi pendapat para ulama, namun fatwamereka tetaplah bersifat responsif. Kendati kedua fatwa NU dikeluarkanpada tahun 1960an, namun masalah berjabat tangan dan menjamak salatmerupakan persoalan yang sedang dihadapi saat itu. Begitu juga denganfatwa mengkonsumsi alkohol dan Kopi Luwak yang dikeluarkan MUI padatahun 2000an, merupakan persoalan penting yang sedang dihadapi umatIslam saat itu. Meski demikian, sifat responsif dari fatwa belum menjadijaminan atas responsifnya terhadap perubahan sosial. Artinya, fatwa-fatwayang telah ditetapkan pada suatu tempat dan pada waktu tertentu, belum

13Meski begitu para ulama tetap menempatkan Alquran dan hadis sebagaisumber rujukan hukum, karena selain mengandung hukum-hukum yang kulli danjuz’i, Alquran dan hadis juga mengandung kaedah-kaedah yang menjadi sandarandalam penetapan hukum. ‘Abd al-Karἷm Zaidān, al-Wajἷz fἷ UŞūl al-Fiqh, (T.tp:Muassasah al-Risālah, t.th), h. 149-150. Lihat juga David Bonderman,Modernization and Changing Perceptions of Islamic Law, in Harvard Law Review,Vol. 81, No. 6 (Apr., 1968), h. 1173.

14Dalam Prosedur Penjawaban Masalah, NU senantiasa mengacu kepadasalah satu dari empat mazhab yang disepakati dengan mengutamakan bermazhabsecara qauli. Hukum yang dihasilkan Bahtsul Masail senantiasa merujuk kepadakitab-kitab fikih yang muktamad. Lihat Nahdlatul Ulama, Ahkam al-Fuqahā’(Surabaya: Lajnah Ta’lif wan Nassyr NU Jawa Timur, 2007), h. 713.

15Menurut Asrorun Ni’am Sholeh, fatwa kolektif yang dilakukan KomisiFatwa MUI ditempuh dengan dua cara yaitu ijtihad intiqā’i dan inshā’i. Penerapankedua bentuk ijtihad ini dilakukan dengan menjadikan pendapat para ulama sebagaipertimbangan fatwa. Asrorun Ni’am Sholeh, Metodologi Penetapan Fatwa MajelisUlama Indonesia, (Jakarta: Erlangga, 2016), h. 135-136.

Page 17: kontekstualisasi hukum islam

Kontekstualisasi Hukum Islam

4

tentu dapat diterapkan pada tempat dan waktu yang berbeda. Namun dalamkenyataannya fatwa seperti ini masih ditemukan.

Terkait hal ini, Dār al-Iftā’ menyatakan bahwa realitas sosial yangdipengaruhi oleh ruang dan waktu merupakan aspek penting untukdipertimbangkan oleh mufti ketika berfatwa. Mufti tidak dapat merujuksepenuhnya kepada pendapat terkait persoalan furū’ yang ada dalam kitab-kitab fikih untuk dijadikan sebagai fatwa dalam menjawab pertanyaanmustafti tanpa mempertimbangkan aspek kontekstual. Hal ini dikarenakankebanyakan hukum yang ada dalam kitab-kitab fikih tersebut, ditetapkanberdasarkan kondisi sosial pada saat itu, sehingga berkemungkinan besarsangat berbeda dengan kondisi saat ini. Dalam konteks ini temakontekstualisasi hukum Islam menjadi penting, di mana ketika berfatwamufti juga dituntut untuk memahami realitas yang ada di masyarakat.16

Kendati para ulama mengakui bahwa perkembangan sosial sertaperubahan waktu dan tempat sangat berpengaruh terhadap perubahan fatwa,namun pada prakteknya mereka berbeda dalam menyikapinya. Hal inidisebabkan oleh berbedanya mereka dalam memahami aspek apa saja yangdapat berubah (ghair thābit) dan aspek apa saja yang tidak dapat berubah(thābit) dalam kaedah hukum Islam. Bagi mufti yang memahami bahwaaspek yang tidak dapat berubah (thābit) lebih luas dari pada yang dapatberubah (ghair thābit), biasanya akan mempertahankan tradisi dan norma-norma yang berlaku sehingga fatwa yang dihasilkannya akan terkesan kakudan konservatif. Adapun bagi mufti yang memahami bahwa aspek yangdapat berubah (ghair thābit) sebanding atau lebih luas dari pada yang tidakdapat berubah (thābit), maka fatwa yang dihasilkannya biasanya akanbersifat dinamis dan adaptif. Kelompok pertama biasanya memilikikecenderungan berfikir tekstual dan kelompok kedua biasanya memilikikecenderungan berfikir kontekstual.

Perbedaan kecenderungan berfikir tekstual dan kontekstual inisebenarnya telah muncul sejak masa awal pertumbuhan hukum Islam.Terbagi duanya kelompok sahabat dalam memahami perintah Rasulullahuntuk melaksanakan salat Asar saat sampai di Bani Quraiẓah pada peristiwaAḥzāb,17 merupakan contoh jelas yang mengambarkan kedua kecenderungan

16Dār al-Iftā’, Ḍawābiṭ al-Ikhtiyār al-Fiqh ‘inda al-Nawāzil, h. 21.17Perintah Rasulullah ini diriwayatkan al-Bukhāri dari Ibn ‘Umar.Terhadap

tindakan kedua kelompok sahabat dalam memahami perintah ini, Rasulullah tidakmengingkarinya. Hal ini berarti Rasulullah tidak menyalahkan tindakan keduakelompok sahabat tersebut. Abū al-Jalἷl ‘īsa Abū al-NaŞr, Ijtihād al-Rasūl, (al-Qāhirah: Dār Iḥyā’ al-Kutub al-‘Arabiyyah, 1950), h. 155-156. Lihat juga ‘Abd al-Wahāb ‘Abd al-Salām Ṭawἷlah, Athar al-Lughah fi Ikhtilāf al-Mujtahidin,(Damaskus: Dār al-Salām, 2000), h. 16.

Page 18: kontekstualisasi hukum islam

Pendahuluan

5

berfikir ini. Ada sahabat yang memahami perintah tersebut berdasarkanmakna literalnya dan ada juga yang memahami hakikat perintah tersebutsecara rasional. 18 Kedua kecenderungan berfikir ini nantinya akanmembentuk dua kelompok besar di kalangan ulama fikih yaitu ahl al-ḥadithdan ahl al-ra’yi. Ahl al-ḥadἷth yang kebanyakan dianut penduduk Hijāz danmenonjol dalam bidang hadis, dipelopori oleh Ibn ‘Umar (w. 693 M), Zaidibn Thā @bit (w. 665 M), dan fuqahā’ sab’ah. Sementara ahl al-ra’yi yangcenderung bersifat rasional kebanyakan dianut oleh penduduk Irak,dipelopori oleh Ibn Mas’ūd (w. 650 M), al-Nakha’i (w. 714 M), Ḥammādibn Abi Sulaimān (w.120 H), ‘Alqamah (w. 681 M), dan lain-lain.19

Sesuai dengan artinya berdasarkan kepada teks, kelompok tekstualmemiliki kecenderungan berfikir yang lebih mengedepankan makna literal.Mereka sangat konservatif karena mempunyai tujuan untuk membangkitkandan menyelamatkan norma Islam dari berbagai serangan. Oleh karena itu,mereka menampilkan Islam sebagai norma yang didasari kepada kesahihanmutlak.20 Menurut mereka naŞŞ, khususnya Alquran merupakan wahyu Allahyang bersifat mutlak dan mengandung kebenaran. Kemutlakan ini selalusesuai untuk semua situasi, kondisi dan waktu tanpa perlu didasarkan kepadakonteks apapun. Jadi pengkajian kembali naŞŞ sangat tidak diperlukan. 21

Kelompok ini hanya akan melakukan ijtihad jika terkait dengan kajian teksatau aspek kebahasaan dengan menjadikan sebab turunnya ayat atau hadissebagai pertimbangan penting.22

18Wahbah al-Zuh{ayli, UŞūl al-Fiqh al-Islāmy, Juz. II, (Beirūt: Da>r al-Fikr,1986), h.1068. Lihat juga Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid II, (Jakarta: Kencana,2011), h. 250.

19Said Agil Husin al Munawar, al-Qur’an Membangun Tradisi KesalehanHakiki, (Jakarta: Ciputat Pers, 2002), h. 233-234.

20Abdou Filali-Ansary, Pembaruan Islam; Dari Mana dan Hendak kemana, (Jakarta: Mizan, 2009), h. 300.

21Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an: Towards a ContemporaryApproach, (London: Routledge, 2006), h. 5. Lihat juga U Syafruddin, ParadigmaTafsir Tekstual dan Kontekstual, Usaha Memaknai Kembali Pesan al-Qur’an,(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), h. 38-39.

22Berbeda dengan kitab suci lain yang dikeragui kemurniannya, sumberhukum Islam masih terjamin keotentikannya. Faktor kemutawatiran yang dimilikiAlquran dan sebagian hadis menyebabkan para ulama, khususnya kelompok tekstuallebih terfokus pada makna literal naŞŞ. Menurut mereka menangkap makna yangterkandung dalam teks naŞŞ membutuhkan peran penting bahasa sebagai alat untukmengkomunikasikan makna yang hendak disampaikan Allah dan Rasulullahsehingga dapat dipahami ulama. Bernard G Weiss, Spirit of Islam (Georgia:University of Georgia Press, 1998), h. 65.

Page 19: kontekstualisasi hukum islam

Kontekstualisasi Hukum Islam

6

Beberapa contoh fatwa kelompok tekstual adalah haramnya suaraperempuan, karena khawatir akan menimbulkan fitnah.23 Fatwa ini merekalandasi dengan ayat ke 53 dari surat al-Aḥzāb yang artinya, “...Dan jikakalian mempunyai keperluan dengan mereka (perempuan), maka mintalahdari balik hijab. Hal yang demikian itu lebih mensucikan hatimu dan jugahati mereka…”. Dengan tetap berpegang kepada perintah teks naŞŞ danditambah dengan alasan kekhawatiran atas fitnah, ‘Abdullah ibn Bāzmelarang berjabat tangan antara laki-laki dan perempuan secara mutlak,tanpa memandang usia. Landasan larangan ini adalah hadis yangmenyatakan bahwa Rasulullah tidak pernah menjabat tangan perempuan danperkataan ‘Āishah yang menguatkannya. Begitu juga dengan fatwa Ṣāliḥ al-‘Uthaimin yang hanya membolehkan perempuan bekerja jika tidakbercampur dengan laki-laki. Fatwa ini dilandasi dengan hadis tentangpemisahan saf salat, di mana saf terbaik laki-laki adalah di depan dan safperempuan adalah di belakang. 24 Di sisi lain Mufti Kerajaan BruneiDarussalam berfatwa bahwa amalan janggut merupakan sunnah yangditetapkan para nabi. Fatwa ini dilandasi kepada surat Ṭāha ayat 94 tentangNabi Musa yang menarik janggut kakaknya (Nabi Harun), 25 beberapariwayat hadis, dan amalan sahabat. Selain itu fatwa ini juga ditujukan untukmembedakan antara muslim dengan Yahudi.26

Sementara itu, kelompok kontekstual yang secara bahasa berartiindikasi, suasana, keadaan sekitar, latar belakang faktual, dan keadaanyang relevan, menjadikan aspek realitas sosial sebagai bagian penting yangdiperhatikan dalam menyusun fatwa. Kelompok kontekstual senantiasamenyeimbangkan antara makna tekstual naŞŞ dengan aspek kontekstual teksdalam proses pengistinbāṭan hukum. Dengan menjadikan makna harfiyah(tekstual) sebagai pijakan awal, pemikiran kontekstual dapat menghindariberbagai fantasi makna sehingga akhirnya akan membatasi makna sesuaidengan ketentuan bahasa. 27 Beranjak dari hal ini, kontekstualisasi dapatdilakukan melalui penafsiran atau metode pendekatan yang selaras dengan

23 Fatwa ini dikeluarkan oleh lembaga fatwa Saudi Arabia, LajnahDā’imah. Lihat ‘Imād Zaki al-Ba@rudi, Fatāwa al-Balad al-Harām, (al-Qa@hirah: al-Maktabah al-Tawfiqiyyah, t.th), h. 1166-1167.

24Khālid ibn ‘Abd al-Raḥmān al-Jarisi, Fatāwa ‘Ulamā’ al-Balad al-Ḥarām, (Riyāḍ: al-Mamlakah al-‘Arabiyyah al-Su’ūdiyyah, 1999), h. 1070-1073.

25“(Harun) menjawab, Hai putera ibuku janganlah kamu pegang janggutdan kepalaku.Sungguh aku khawatir bahwa kamu akan berkata (kepadaku), ‘Kamutelah memecah antara Bani Israil, sedangkan kamu tidak memelihara perkataanku’”.(QS. Ţāha: 94)

26Jabatan Mufti Kerajaan, al-Hadaf, Tahun 11, Bilangan 1, (2007), h. 6-8.27Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an: Towards a Contemporary

Approach, h. 112-114.

Page 20: kontekstualisasi hukum islam

Pendahuluan

7

perkembangan pengetahuan. Melalui kontekstualisasi, hukum Islam menjadidinamis selaras perkembangan manusia. Oleh karena itu, bentukkontekstualisasi dapat berupa tambahan, modifikasi, atau perubahan.28

Beberapa fatwa yang dihasilkan kelompok kontekstual di antaranyaadalah fatwa MUI yang mewajibkan zakat pada setiap hasil usaha halalmanusia, seperti profesi dan saham jika telah memenuhi rukun dansyaratnya. Fatwa ini dilandasi atas tujuan syariat dalam mewujudkankeadilan dan beberapa perintah naŞŞ untuk berinfak dan bersedekah. Kadarnisab dan haulnya disamakan dengan zakat emas yaitu 85 gram dalam waktusatu tahun.29 Di antara naŞŞ yang dijadikan landasan fatwa adalah surat al-Baqarah ayat 267 yang artinya, “Hai orang-orang yang berimannafkahkanlah apa saja hasil usahamu yang baik-baik dan juga dari apa yangtelah Kami keluarkan dari bumi untukmu…”. MUI juga pernahmengeluarkan fatwa tentang kebolehan pemakaian vaksin Meningitis bagijamaah yang akan melaksanakan haji dan umrah wajib. Kebolehan initerbatas selama belum ditemukan vaksin baru yang halal, tanpa mengandungunsur babi, dan selama Pemerintah Saudi Arabia masih mewajibkan vaksinMeningitis. Meski landasan yang dipakai MUI adalah beberapa naŞŞ yangmelarang berobat dengan sesuatu yang haram, namun dilatari olehkebutuhan yang sangat mendesak (hajat) serta ditambah indikasi naŞŞ danpendapat beberapa ulama, MUI akhirnya membolehkan vaksin ini dengantiga persyaratan di atas. 30 Begitu juga dengan fatwa Dār al-Iftā’ yangmembolehkan perempuan haid atau nifas memasuki dan berdiam di dalammasjid untuk belajar agama. Ketiadaan larangan tegas dari naŞŞ dan besarnyakemaslahatan dalam menuntut pengetahuan agama, menjadi alasan kuat bagifatwa ini. Adapun naŞŞ yang menjadi dasar ulama dalam melarangperempuan haid masuk masjid, semuanya ḍa’if menurut Dār al-Iftā’ lantaranada perawi yang tidak diketahui. Kebolehan fatwa ini juga dikuatkan oleh

28M Syakur Chudlori, “Kontekstualisasi Hukum Islam di Indonesia”, dalamAl Mashlahah Jurnal Hukum dan Pranata Sosial Islam, Vol. 3, No. 06, (2015), h.209-210.

29Fatwa MUI Nomor 3 Tahun 2003 Tentang Zakat Penghasilan. Hasilpenelitian terhadap naŞŞ yang terkait zakat, infak, dan sedekah, menunjukkan bahwaobjek zakat yang diterangkan naŞŞ hanya merupakan contoh sehingga tidak menutupkemungkinan dapat diberlakukan juga terhadap jenis pekerjaan dan penghasilan lain.Lihat Sri Lum’atus Sa’adah, Peta Pemikiran Fiqh Progresif, (Yogyakarta: PustakaPelajar, 2012), h. 5-11.

30Fatwa MUI Tahun 2009 Tentang Vaksin Meningitis bagi Jamaah Hajiatau Umrah.

Page 21: kontekstualisasi hukum islam

Kontekstualisasi Hukum Islam

8

keberadaan pembalut, sehingga kekhawatiran akan tercecernya darah haid didalam masjid dapat dihindari.31

Sebagaimana terlihat dalam beberapa contoh di atas, kadang kalapermasalahan yang akan diselesaikan mufti membuatnya harusmeninggalkan dalil yang lebih kuat dengan mengutamakan dalil yang lemah.Oleh karena itu, mufti harus senantiasa berhati-hati dan mempertimbangkanbanyak aspek sebelum mengambil kesimpulan fatwa. Sikap ini selaludicontohkan para sahabat dan tokoh mazhab ketika dihadapkan pada suatumasalah atau ketika mendapat pertanyaan yang terkait dengan hukum.Dalam satu riwayat diceritakan bahwa ketika Ibn Abi Layla berjumpadengan 120 orang sahabat dari kalangan Ansar, ia bertanya kepada salahseorang dari mereka tentang hukum suatu permasalahan. Sahabat yangditanya itu menyarankan agar pertanyaan tersebut diajukan kepada sahabatlain. Ketika sahabat lain itu ditanya, ia juga mengalihkan pertanyaan tersebutkepada sahabat lainnya. Hal ini berlaku terus menerus sampai pertanyaan itukembali lagi kepada sahabat pertama yang ditanya.32 Kisah ini menunjukkantentang sikap kehati-hatian sahabat dan bukan menunjukkan tentangkelemahan atau ketidakmampuan mereka dalam menyelesaikanpermasalahan.

Fatwa dapat dihasilkan oleh mufti secara individual maupunkelompok mufti dalam bentuk lembaga. Meski saat ini keberadaan lembagafatwa semakin banyak karena sangat dibutuhkan dalam menyelesaikanpermasalahan kontemporer, namun keberadaan individual mufti juga masihbanyak. Mufti yang berfatwa secara individual di antaranya adalah MaḥmūdShaltūt, Mutawalli al-Sha’rawi, ‘Ali Gooma, ‘Abdullah ibn Bāz, Ṣāliḥ al-‘Uthaimin, Khaled M Abou el Fadl dan Yūsuf al-Qaraḍāwi. Sebagian darimufti yang berfatwa secara individual ada yang menggunakan media massasebagai sarana publikasi fatwa mereka, seperti yang dilakukan Yūsuf al-Qaraḍāwi dan Khaled M Abouel Fadl.Yūsuf al-Qaraḍāwi sering menjawabberbagai persoalan hukum. Ia juga dipercaya media massa untuk mengisiacara tanya jawab di radio dan televisi Qatar guna menjawab berbagai

31Fatwa Dār al-Iftā’, Entering the Mosque while in Menstruation or in aState of Major Ritual Impurity, accessed from, http://dar-alifta.org/Foreign/ViewFatwa.aspx? ID=10509

32Terkait dengan hal ini Ibn Mas’ūd pernah berkata, “Barang siapa yangsenantiasa berfatwa kepada manusia atas seluruh persoalan yang mereka tanyakankepadanya, maka berarti ia termasuk orang gila”. Lihat Aḥmad ibn Ḥamdān al-Harrani al-Ḥanbalἷ, Ṣifatu al-Fatwā wa al-Mufti wa al-Mustafti, (Damaskus: al-Maktabah al-Islāmiyyah, 1380 H), h.7.

Page 22: kontekstualisasi hukum islam

Pendahuluan

9

pertanyaan masyarakat mengenai masalah keagamaan.33 Sementara KhaledM Abou el Fadl mempublikasikan fatwa-fatwanya melaluiwebsitesearchforbeauty.org. Selain merupakan mufti yang moderat,beberapa fatwa dan pemikiran kedua ulama ini sempat menimbulkankontroversi. Hal inilah di antara faktor yang menyebabkan mereka akhirnyamemilih pindah dari Mesir dan menetap di negara lain.34

Abou el Fadl menaruh perhatian serius dalam hal derajat otoritasmufti. Menurutnya, kendati fatwa mempunyai peran penting dalamperkembangan hukum Islam, namun selama belum berubah menjadi hukumpositif fatwa tidak bersifat mengikat. Oleh karena itu, mufti tidak bolehmengatasnamakan otoritas Tuhan ketika berfatwa. Mufti harusmengendalikan dirinya saat berbicara atas nama Tuhan dan teks. Ijtihad yangdilakukan mufti merupakan upaya untuk mendekati Allah dengan menelitidan menganalisis naŞŞ. Ijtihad tersebut tidak ditujukan untuk mendapatkepuasan akal, tapi agar mufti dapat memahami bahwa di atas orang yangberilmu masih ada lagi Yang Maha Mengetahui yaitu Allah SWT.35

Terkait hal ini Abou el Fadl pernah mengkritik tindakan seorangatlet basket profesional Amerika yang menolak untuk berdiri saat lagukebangsaan dinyanyikan. Alasan yang dikemukakannya adalah bahwatindakan tersebut akan melukai perasaannnya sebagai seorang muslim.Tindakan atlet ini mendapat tanggapan yang beragam dari kalangan umatIslam, di antaranya sebuah lembaga keislaman yang secara tidak langsungmembenarkan tindakan atlet tersebut. Menurut mereka terdapat banyakriwayat hadis yang membenarkan tindakan atlet basket tersebut di antaranyaadalah larangan Rasulullah kepada umat Islam untuk membungkuk kepada

33Yusuf al-Qaraḍāwi juga dipercaya untuk mengisi acara Shariah and Livedi Al Jazeera TV. David L Johnston, “Yusuf al-Qaradawi’s Purposive Fiqh:Promoting or Demoting the Future Role of the Ulama?”, in Adis Duderija (ed),Maqasid al Shari’a and Contemporary Reformist Muslim Thought, 2014, h. 40.Diakses dari www.palgraveconnect.com (2015-07-07). Selanjutnya disebut al-Qaraḍāwi.

34Fatwa Khaled M Abou el Fadl yang agak kontroversial di antaranyaadalah tentang status anjing yang dianggap suci dan tidak wajibnya berhijab bagimuslimah. Begitu juga dengan fatwa Yūsuf al-Qaraḍāwi yang membolehkanmengkonsumsi minuman keras dengan kadar 0.05% alkohol cukup menghebohkan.Adapun penyebab migrasinya kedua ulama ini, sebenarnya terkait dengan kritik danketidaksejalanan pemikiran mereka dengan pemerintah Mesir. Penjelasan lebih jauhakan dibahas pada bab III.

35Khaled Abou el Fadl, Speaking in God’s Name, Islamic Law, Authorityand Women, (Oxford: Oneworld, 2003), h. 265. Selanjutnya disebut Abou el Fadl.

Page 23: kontekstualisasi hukum islam

Kontekstualisasi Hukum Islam

10

siapapun sebagai tanda hormat. 36 Sikap lembaga keislaman ini membuatAbou el Fadl terpanggil untuk menyoroti berbagai pendapat hukum yangdikeluarkan para mufti.

Beranjak dari hal di atas Abou el Fadl mengatakan bahwa kerelatifankekuatan fatwa selain membuka peluang bagi mufti lain untuk berfatwadalam kasus yang sama, juga memberi peluang mustafti untuk menerimaatau menolak suatu fatwa.37 Moderasi dalam menempatkan perbedaan fatwaini menjadi penting dalam kehidupan masyarakat muslim guna menghindariperpecahan dan perselisihan lantaran meyakini fatwa yang berbeda. Banyakterjadi permusuhan dan pertikaian antara umat Islam ketika muncul duafatwa dalam kasus yang sama. Polemik yang terjadi di Indonesia beberapatahun lalu saat Pemilukada Gubernur Jakarta, di mana terdapat dua calonyang berbeda keyakinan, merupakan bukti nyata atas hal ini.38 Berpegangpada fatwa yang diyakini, masing-masing kelompok menuduh kelompok lainsalah, bahkan ada kelompok yang mengkafirkan kelompok lain. Kenyataanironis ini harus selalu diperhatikan setiap mufti saat akan berfatwa. Kesatuandan persatuan umat Islam merupakan hal penting yang harus dijadikanpertimbangan dalam berfatwa karena merupakan salah satu dari tujuan yangdikehendaki syariat.

Masih terkait dengan moderasi masyarakat dalam menerima danmengamalkan fatwa, kualitas keilmuan dan kepribadian mufti juga menjadiaspek yang menentukan. Menurut al-Qaraḍāwi, saat ini banyak orang yangberani berfatwa meski tidak memenuhi syarat sebagai mufti, bahkan dalampersoalan yang rumit dan kompleks seperti dalam bidang akidah danmuamalah. Ironisnya mereka juga berani menghalalkan atau mengharamkansesuatu, mengkafirkan atau menganggap sesat orang lain, serta menyalahkanpara ulama terdahulu. Mereka tidak peduli dengan aturan-aturan dalamberfatwa termasuk dengan keilmuan yang harus dimiliki oleh seorang mufti.Mereka juga mengklaim bahwa fatwa merekalah yang benar dan fatwa muftilain salah.39 Oleh karena itu, al-Qaraḍāwi menyatakan bahwa untuk zamansekarang, fatwa harus tampil dengan bentuk yang baru, bukan berbentukhukum takhlifi (wajib, nadb, mubah, makruh, dan haram), seperti yang

36Khaled Abou el Fadl, And God Knows The Soldier, The Authoritative andAuthoritarian in Islamic Discours, (Oxford: University Press of America, 2001), h.43-46.

37Khaled M Abou el Fadl, The Great Theft Wrestling Islam from TheExtremists, (New York: HarperCollins Publishers, 2007), h. 29.

38Lihat Sidang Ahok, Ketua MUI Sebut Keluarkan Fatwa karena Desakan,edisi 31 -01-2017, diakses dari https://www.liputan6.com/news/read/2842030/sidang-ahok-ketua-mui-sebut-keluarkan-fatwa-karena-desakan

39Yūsuf al-Qaraḍāwi, al-Fatwā Bayna al-Inḍibāṭ wa al-Tasayyub, (al-Qāhirah: Dār al-Ṣaḥwah, 1988), h. 31-34.

Page 24: kontekstualisasi hukum islam

Pendahuluan

11

selama ini telah dilakukan para ulama. Fatwa yang baik menurut al-Qaraḍāwi harus memberi keterangan, berupa penjelasan, alasan, maupuntarjἷḥ (menjelaskan yang terkuat di antara beberapa keputusan yang sudahada).40

Selain memberi penjelasan pada fatwa, al-Qaraḍāwi juga senantiasamemperhatikan permasalahan fatwa secara seksama. Hal ini sebagaimanaterlihat pada persoalan eutanasia. 41 Meski pada dasarnya tindakanmewujudkan kematian adalah terlarang, namun tidak berlaku jika dilakukansecara fasif menurut al-Qaraḍāwi. Jika dokter menginjeksi pasien dengandosis yang sangat tinggi sehingga dapat menghilangkan nyawa, meskidilatari oleh permintaan pasien atau rasa iba, maka tindakan ini dinamakaneutanasia positif atau aktif yang terlarang karena sama dengan pembunuhan.Berbeda halnya dengan eutanasia negatif di mana tidak terdapat upaya aktif,namun hanya berupaya penghentian atau tidak memberikan pengobatan.Bentuk eutanasia ini diperbolehkan al-Qaraḍāwi dengan syarat terdapatdiagnosa para dokter mengenai kesembuhan pasien yang tidak mungkintercapai meski sudah diberi berbagai pengobatan dalam waktu lama sertaharus disetujui keluarga pasien.42

Beranjak dari hal di atas, penelitian yang terkait dengan temakontekstualisasi hukum Islam sangat dibutuhkan, khususnya terhadap fatwamufti-mufti kontemporer. Abou el Fadl dan al-Qaraḍāwi merupakan muftiyang fatwa-fatwanya menarik untuk dianalisis dalam konteks ini. Meskipunfatwa yang dibahas dan akan diuji berasal dari Abou el Fadl dan al-Qaraḍāwi, namun kriteria dan indikator kontekstual yang diterapkan dalampenelitian ini dapat dijadikan sebagai rujukan atau pertimbangan alternatifdalam menguji fatwa para mufti lainnya.

40Yūsuf al-Qaraḍāwi, Min Hady al-Islām Fatāwā Mu’āŞirah, Juz II, (Kairo:Dār al-Qalm, 2005), h. 21.

41Lafal eutanasia berasal dari bahasa Yunani kuno yang terdiri dari dua katayaitu eu yang berarti baik dan thanatos yang berarti kematian. Eutanasiadidefenisikan sebagai suatu tindakan berupa memberi kematian kepada seseorangyang kemungkinan nantinya akan menghadapi kematian yang lebih menyakitkan.Berdasarkan pengertian ini, ada yang menyebut tindakan eutanasia sebagaipembunuhan yang dirahmati. Mark Dimmock and Andrew Fisher, “Euthanasia”, inEthics for A-Level, Open Book Publishers. (2017), h. 123.

42Yūsuf al-Qaraḍāwi, Min Hady al-Islam Fatāwā al-Mu’āŞirah, Juz II, h.751-754.

Page 25: kontekstualisasi hukum islam

Kontekstualisasi Hukum Islam

12

B. Permasalahan1. Identifikasi Masalah

Tidak dapat dipungkiri kalau paradigma tekstual dan kontekstualsenantiasa mendominasi perjalanan hukum Islam. Meski awalnya tidakmenimbulkan permasalahan, diskursus antara tekstual dan kontekstualsedikit banyaknya menimbulkan konflik di kalangan umat Islam. Sejalandengan yang dikatakan Komaruddin Hidayat bahwa bahasa agama bukanhanya menimbulkan persoalan dalam kajian bahasa, namun jugamerambah ke bidang lain. Hal ini disebabkan kebanyakan bahasa agamadinyatakan dalam ungkapan simbolik dan metaforik sehingga dapatmenimbulkan kesalahan dalam memahami pesannya.43

Fenomena ini tentunya akan menimbulkan banyak permasalahan,diantaranya adalah a). Apakah paradigma tekstual yang lebih tepatdipergunakan dalam fatwa ataukah paradigma kontekstual. b). Apakahpenerapan paradigma tekstual semata akan menyebabkan pendapathukum bersifat rigid dan tidak dinamis. Atau apakah dengan penerapanparadigma kontekstual, pendapat hukum yang dihasilkan akan membawakepada kesimpulan yang mengarah kepada liberalisme. c) Jika paradigmakontekstual yang lebih banyak diminati di masa sekarang, maka metode-metode apa saja yang dapat diterapkan untuk itu. dan d). Bagaimanasuatu fatwa atau pendapat hukum dapat dinilai bersifat kontekstual.

2. Perumusan MasalahBerdasarkan identifikasi permasalahan di atas, penelitian ini akan

difokuskan untuk mengkaji pemikiran Abou el Fadl dan al-Qaraḍāwidalam kontekstualisasi hukum Islam melalui pengujian terhadap fatwa-fatwa mereka. Oleh karena itu, fokus permasalahan akan dirumuskankepada tiga pertanyaan berikut:1. Bagaimana pemikiran Abou el Fadl dan al-Qaraḍāwi terkait hak hidup

dan hak politik melalui fatwa mereka?2. Bagaimana pemikiran Abou el Fadl dan al-Qaraḍāwi terkait

perempuan dan persoalan keluarga melalui fatwa mereka?3. Bagaimana perbandingan pemikiran hukum Islam Abou el Fadl

dengan al-Qaraḍāwi sebagaimana tercermin dalam fatwa-fatwamereka?.

3. Pembatasan MasalahPermasalahan penelitian ini difokuskan pada pemikiran Abou el

Fadl dan al-Qaraḍāwi yang termanifestasi dalam fatwa mereka. Olehkarena itu, penelitian terhadap metode istinbāṭ hukum kedua tokoh, Abouel Fadl dan al-Qaraḍāwi, dalam fatwa-fatwa mereka sangat penting.

43 Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama Sebuah KajianHermeneutik, (Jakarta: Paramadina, 1996), h. 3-5.

Page 26: kontekstualisasi hukum islam

Pendahuluan

13

Fatwa-fatwa yang akan dibahas dalam penelitian ini ada delapan yangdibagi atas dua tema yaitu; hak hidup dan hak politik serta perempuandan persoalan keluarga. Adapun fatwa-fatwa pada tema pertama terkaitdengan aborsi, memilih pemimpin non-muslim, serta kepemimpinanperempuan dalam salat (imam) dan negara. Sementara fatwa-fatwa padatema kedua terkait dengan hijab, memilih suami, nikah beda agama,nusyuz, dan warisan anak. Kedelapan fatwa ini dipilih lantaranmerupakan persoalan yang senantiasa terjadi dan aktual di kalangan umatIslam, meskipun bukan merupakan persoalan baru.

C. Penelitian Terdahulu yang RelevanPenelitian ini didasari oleh hasil bacaan penulis terhadap berbagai

referensi yang terkait pemikiran Abou el Fadl dan al-Qaraḍāwi. Terdapatbeberapa penelitian yang telah dilakukan terkait pemikiran kedua tokoh ini.

Ishom Talimah dalam karyanya al-Qaraḍāwi Faqἷhan telahmenggambarkan sosok al-Qaraḍāwi sebagai seorang faqih. Berdasarkanbiografi, latar belakang pendidikan, aktifitas, wawasan keilmuan danspesialisasinya, menunjukkan kesungguhan dan keseriusan al-Qaraḍāwidalam bidang hukum Islam. Latar belakang pendidikan yang bukan berbasisshari’ah justru sangat membantunya dalam memahami dan merumuskanhukum Islam. Dalam rangka mengistinbāṭkan hukum, al-Qaraḍāwimempunyai tujuh karakteristik fikih yang berbeda dengan karakter yangdimiliki para ulama lain. Ketujuh karakteristik tersebut mengindikasikanbahwa al-Qaraḍāwi merupakan ulama moderat yang senantiasamenyeimbangkan berbagai aspek dalam setiap pendapat hukumnya.44

Abd Rahman Ghazaly dalam disertasinya mengemukakan bahwamenurut al-Qaraḍāwi keberadaan ijtihad kontemporer mutlak diperlukanmengingat kompleksitasnya persoalan umat Islam. Ijtihad tersebut harusdilakukan secara kolektif, baik dalam mengatasi persoalan baru maupunpersoalan lama. Produk hukum yang dihasilkan dari ijtihad dapat berbentukperundang-undangan, fatwa maupun penelitian. Dengan demikian ijtihadkontemporer mempunyai peran positif dalam pengembangan hukum Islam.45

Penelitian yang dilakukan Hujair Sanaky terkait pemikiran Abou elFadl, menyimpulkan bahwa dalam menangani persoalan otoritarianismeyang terkait dengan fatwa-fatwa keagamaan, Abou el Fadl menggunakanpendekatan hermeneutika. Menurutnya metode hermeneutika sangat

44Ishom Talimah, al-Qaradhawi Faqihan, Penerjemah. Samson Rahman,(Jakarta: Pustaka al Kautsar, 2001).

45Abd Rahman Ghazaly, “Pandangan Yūsuf al-Qaraḍāwi tentang IjtihadKontemporer dan Prospeknya dalam Menunjang Pengembangan Hukum Islam”,Disertasi, PPs UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, (2004).

Page 27: kontekstualisasi hukum islam

Kontekstualisasi Hukum Islam

14

dibutuhkan dalam menyelaraskan hubungan antara teks, pengarang, danpembaca sehingga kesewenangan yang telah dilakukan oleh sebagian umatIslam terhadap fatwa khususnya yang terkait dengan gender dapatdihilangkan. Oleh karena itu, pembacaan ulang terhadap teks-tekskeagamaan sangat mutlak diperlukan demi terwujudnya makna kebenaran.46

Tarmizi M Jakfar meneliti pemikiran al-Qaraḍāwi terhadap sunnahyang berasal dari Rasulullah yang terbagi kepada dua bentuk yaitu sunnahtashri’iyyah dan sunnah non-tashri’iyyah. Menurut al-Qaraḍāwi selama iniasumsi umat Islam yang menganggap bahwa setiap sunnah Rasulullahmerupakan suatu kewajiban, harus diperbaiki. Hanya sunnah tashri’iyyahyang terkait dengan agama dan berasal dari wahyu saja yang harus diikuti.Sementara sunnah non-tashri’iyyah yang terkait dengan masalah keduniaandan berasal dari pendapat pribadi, tidak wajib diikuti karena tidak mengikat.Oleh karena itu, dalam menyikapi perintah atau larangan Rasulullah yangterkait dengan sunnah non-tashri’iyyah, umat Islam diberikan kebebasanuntuk mengikutinya atau tidak mengikutinya.47

Penelitian Ihab Habudin menemukan bahwa eksistensi perempuanselama ini masih berada dalam posisi tertindas. Kehadiran Abou el Fadldalam upayanya merekonstruksi pemahaman umat Islam diharapkan dapatmerubah posisi dan kondisi perempuan melalui metode hermeneutika sensitifgender yang ditekankan pada aspek kesetaraan dan keadilan sosial.Feminisme dalam pandangan Abou el Fadl merupakan kesetaraan antaralaki-laki dan perempuan sehingga hubungan yang terjalin antara suami isterilebih cenderung kepada bentuk equal partner.48

Abid Rohmanu telah melakukan penelitian terkait pandangan Abouel Fadl tentang jihad dalam persfektif kontekstual. Menurut kontekskontemporer jihad lebih mengacu kepada prinsip yang bersifat damai dantidak terkait kepada aktifitas fisik sehingga dapat menambah semangat umatIslam dalam menjalani berbagai aktifitas. Selanjutnya Abou el Fadlmenambahkan bahwa sebenarnya jihad lebih mengarah kepada bentuk batin,di mana umat Islam berusaha melawan tendensi destruktif dalam dirimanusia untuk diorientasikan kepada perkembangan masyarakat muslim.49

46 Hujair Sanaky, “Gagasan Khaled Abou el Fadl tentang ProblemOtoritarianisme Tafsir Agama; Pendekatan Hermeneutika dalam Studi Fatwa-fatwaKeagamaan”, dalam Jurnal Al-Mawarid, Edisi. XIV, (2005).

47Tarmizi Jakfar, Otoritas Sunnah Non-Tasyri’iyyah Menurut Yusuf al-Qaradhawi, (Jogjakarta: Ar-Ruz Media, 2011).

48Ihab Habudin, “Konstruksi Gagasan Feminisme Islam Khaled M Abou elFadl; Relevansinya dengan Posisi Perempuan”, dalam Al Aḥwāl, Vol. 5, No. 2,(2012).

49 Abid Rohmanu, Jihad dan Benturan Peradaban, (Yogyakarta: Q-MEDIA, 2015).

Page 28: kontekstualisasi hukum islam

Pendahuluan

15

Disertasi yang ditulis oleh Muhammad Sholeh Hasan membahastentang konsep MaqāŞid al Qur’ān dalam pandangan al-Qaraḍāwi di antarabanyaknya jenis maqasid yang telah dikemukakan oleh banyak tokoh.Menurut al-Qaraḍāwi agar terhindar dari kesalahan dalam pemahaman, makaMaqāŞid al Qur’ān harus diselaraskan dengan pesan utama Alquran. Al-Qaraḍāwi membagi MaqāŞid al Qur’ān kepada maqāŞid kulliyyāt danmaqāŞid juz’iyyāt di mana keduanya ditujukan untuk kemaslahatanmanusia.50

Kendati seluruh referensi yang dikemukakan di atas memilikiketerkaitan dengan persoalan yang akan penulis teliti, namun fokus kajianpenelitian ini berbeda dengan semua penelitian dan referensi di atas. Fokuskajian penelitian ini akan meneliti dan menguji fatwa-fatwa Abou el Fadldan al-Qaraḍāwi khususnya yang terkait dengan hak hidup dan hak politik,serta persoalan perempuan dan keluarga. Fatwa kedua tokoh tersebut akandiuji dari sisi kontekstualisasinya berdasarkan indikator dan kriteria yangtelah ditetapkan. Sementara referensi-referensi di atas yang terkait denganpemikiran Abou el Fadl, kebanyakan hanya berfokus pada metodehermeneutika. Meski penelitian Ihab Habudin yang mengacu kepadafeminisme memiliki sedikit kesamaan dengan tema fatwa dalam penelitian,namun metode yang dipakai dalam penelitian tersebut berbeda. Begitu jugadengan fokus penelitian Hujair Sanaky dan Abid Rohmanu yangmenekankan pada problem otoritarianisme dalam memahami agama danjihad. Di sisi lain referensi-referensi terkait pemikiran al-Qaraḍāwi jugamemiliki fokus yang berbeda dari penelitian ini. Disertasi Abd RahmanGhazaly yang mengacu pada konsep ijtihad kontemporer dan Sholeh Hasanyang meneliti konsep MaqāŞid al Qur’ān al-Qaraḍāwi, berbeda denganfokus penelitian ini. Hal yang sama juga terlihat pada penelitian IshomTalimah dan Tarmizi M Jakfar di mana fokus penelitiannya juga berbedadengan penelitian ini.

D. Metode Penelitian1. Jenis Penelitian dan Sumber Data

Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif karena akanmenguji fatwa Abou el Fadl dan al-Qaraḍāwi dengan menggunakanpendekatan uŞūl al-fiqh.51 Bahan penelitian berasal dari fatwa-fatwa dan

50Muhammad Sholeh Hasan, “MaqāŞid al Qur’ān dalam Pemikiran Yūsufal-Qaraḍāwi”, Disertasi, SPs UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, (2018).

51 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Edisi Revisi, (Jakarta:Kencana, 2017), h. 56. Lihat juga Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, PenelitianHukum Normatif, (Depok: PT RajaGrafindo Persada, 2018), h. 13.

Page 29: kontekstualisasi hukum islam

Kontekstualisasi Hukum Islam

16

karya-karya kedua tokoh sehingga diharapkan dapat menggambarkanpemikiran mereka yang termanifestasi dalam fatwa apakah bersifatkontekstual atau tidak. Hubungan sebab akibat antara fatwa dengan faktoratau motif tertentu akan terlihat setelah penelitian ini dilakukan. Padapenelitian ini semua referensi yang terkait pemikiran kedua tokoh danfatwa mereka akan ditelaah demi menghasilkan informasi.

Data dalam penelitian ini terdiri atas dua jenis yaitu data primerdan data sekunder. Sumber data primer, yaitu berupa literatur yangberkaitan langsung dan relevan dengan pokok permasalahan penelitian,berasal dari fatwa kedua tokoh, Abou el Fadl dan al-Qaraḍāwi, sertakarya-karya mereka. Referensi Abou el Fadl yang dipakai sebagai sumberprimer dalam penelitian ini adalah fatwa-fatwa Abou el Fadl dalamwebsite resminya;https://www.searchforbeauty.org/, Speaking in God’sName; Islamic law, Authority and Woman, And God Knows the Soldiers;The Authoritative and Authoritanian in Islamic Discourse, The GreatTheft: Wrestling Islam from the Extremists,dan Conference of the Book;The Search for Beauty in Islam. Adapun referensi al-Qaraḍāwi yangdijadikan sebagai sumber primer adalah al-Ḥalāl wa al-Ḥarām fἷ al-Islām, Min Hady al-Islām Fatāwā Mu’āŞirah (3 jilid), Madkhal liDirāsah al-Sharἷ’ah al-Islāmiyyah, al-Fatāwā bayna al-Inḍibāṭ wa al-Tasayyub, ‘Awāmil al-Sa’ah wa al-Murūnah fἷ al-Sharἷ’ah al-Islāmiyyah,dan Fi Fiqh al-Aqalliyyāt al-Muslimah Ḥayāt al-Muslimin Wasṭ al-Mujtama’ al-Ukhrā. Untuk mendukung pembahasan maka sumber datasekunder berupa literatur yang tidak mengkaji inti permasalahan tapidianggap perlu dalam membantu penelitian, juga dihimpun gunamembantu dalam mengulas dan menganalisa pokok permasalahan.Sumber-sumber data sekunder dalam penelitian ini dapat berbentukapapun baik berupa buku, jurnal atau artikel yang terkait dengan temafatwa, uŞūl al-fiqh, tafsir, hadis, dan kontekstualisasi hukum Islam.

2. Teknik Pengumpulan dan Pengolahan DataPenelitian ini diawali dengan menginventarisasi fatwa-fatwa dan

referensi Abou el Fadl dan al-Qaraḍāwi yang merupakan sumber dataprimer serta referensi lainnya berupa sumber data sekunder yangdiperoleh dari berbagai sumber. Setelah itu penelusuran terhadap studikepustakaan mutlak dilakukan untuk mengetahui penelitian lain yangterkait dengan fokus penelitian. Melalui studi kepustakaan ini, posisipenelitian akan dapat diketahui. Semua data yang telah dikumpulkanakan dibaca untuk dipilah berdasarkan tema kontekstualisasi hukumIslam, ijtihad, fatwa, uŞūl al-fiqh, tafsir, dan hadis. Masing-masing dataakan diperiksa kesesuaiannya dengan penelitian (editing) dan ditandaiberdasarkan jenis dan sumbernya (coding). Setelah itu semua data akan

Page 30: kontekstualisasi hukum islam

Pendahuluan

17

dikelompokkan secara sistematis berdasarkan klasifikasi dan urutan data.Data-data yang terkait dengan hukum Islam, fatwa, dan kontekstualisasiakan ditempatkan sebagai landasan teori penelitian. Sementara data-databerupa fatwa, pemikiran kedua tokoh, dan uŞūl al-fiqh, akan ditempatkanpada posisi utama karena merupakan fokus penelitian.

3. Teknik Analisis DataSemua data penelitian akan dianalisis dengan menggunakan

metode kajian isi (content analysis). Dalam metode kajian isi inipenerapan teknik apapun sangat dibutuhkan guna menarik kesimpulanmelalui upaya penemuan karakteristik pesan. 52 Oleh karena itu,pendekatan uŞūl al-fiqh akan menjadi indikator dalam menilai danmenguji kontekstualisasi dalam fatwa-fatwa Abou el Fadl dan al-Qaraḍāwi.

Terdapat delapan indikator yang akan dipergunakan sebagaipenilaian kontekstual terhadap fatwa-fatwa Abou el Fadl dan al-Qaraḍāwi. Standar minimal indikator dalam penentuan kontekstual atautidaknya fatwa dalam penelitian ini adalah lima. Artinya jika terdapatlima atau lebih indikator dalam fatwa, berarti fatwa tersebut bersifatkontekstual. Sebaliknya, jika indikator yang ditemukan dalam fatwakurang dari lima, berarti fatwa tersebut tidak kontekstual. Semuaindikator ini akan diberi bobot yang sama. Tidak ada pembedaan terhadappenilaian masing-masing indikator karena semuanya mengacu kepadakriteria kontekstual. Adapun delapan indikator kontekstual dalampenelitian ini adalah,a. Al-NuŞūŞ al-shar’iyyah berupa Alquran dan hadis yang merupakan

sumber hukum, menjadi indikator penilaian pertama. Penilaian inididasari atas dua unsur yaitu rasionalitas penafsiran yang diterapkanmufti terhadap kedua naŞŞ dan kesesuaiannya dengan realitas sosialmasyarakat. Namun dalam penelitian ini unsur kedua yang akanmenjadi penentu atas indikator kontekstual fatwa karena lebihmendekati kriteria kontekstual itu sendiri.

b. Qiyās menjadi indikator kedua yang akan menilai dan menguji apakahtema fatwa memiliki kesamaan dengan persoalan yang sudah pernah

52Terdapat tiga persyaratan yang harus dipenuhi untuk menerapkan metodekajian isi yaitu: 1). Objektifitas, di mana peneliti harus berpedoman kepada aturanyang ada secara eksplisit. 2). Sistematis dengan cara menggunakan kriteria tertentu.dan 3). Generalisasi pada hasil. Jika hasil temuannya hanya bersifat deskriptif berartinilai penelitian akan menurun. Soejono dan Abdurrahman, Metode Penelitian SuatuPemikiran dan Penerapan, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2005), h. 15.

Page 31: kontekstualisasi hukum islam

Kontekstualisasi Hukum Islam

18

ditetapkan dalam naŞŞ. Dengan demikian pencarian ‘illat yangterkandung dalam naŞŞ Alquran dan hadis mutlak dilakukan.

c. Perwujudan maqāŞid al-sharἷ’ah ditujukan untuk mewujudkankemaslahatan terhadap lima unsur penting (ḍarūriyyah al-khamsah)yang tergambar dalam pendapat hukum atau fatwa. Memelihara salahsatu dari lima unsur penting berupa agama, jiwa, akal, nasl(kehormatan dan keturunan), serta harta merupakan indikator ketigadalam pengujian fatwa.

d. Penerapan dalil-dalil hukum yang diperselisihkan (adillah al-aḥkāmal-mukhtalaf fἷhā) berupa istiḥsān, sadd al-dharἷ’ah, dan ‘urf. Ketigadalil hukum ini dipakai karena menggambarkan unsur konteks yangsenantiasa menimbang kondisi sosial, kesulitan, dan darurat sertakemaslahatan dalam penetapan fatwa.

e. Penerapan kaidah-kaidah fikih (al-qawā’id al-fiqhiyyah) berupa al-mashaqqah tajlibu al-taysἷr, al-ḍararu yuzāl, al-ḥājah tanzilumanzilah al-ḍarūrah, dan kaidah-kaidah turunan yang terkait denganketiga kaidah ini.

f. Penerapan taḥqἷq al-manāṭ dalam mencari dan menetapkan ‘illat yangmenjadi motif hukum. ‘Illat atau motif hukum pada taḥqἷq al-manāṭini dapat diperoleh secara luas dari naŞŞAlquran dan hadis, ijmā’ atauproses istinbāṭ hukum.

g. Pertimbangan i’ādah al-naẓr terhadap pendapat-pendapat hukum yangtelah dikeluarkan para ulama terkait tema fatwa tanpa membatasimazhab atau kelompok tertentu. Hal ini berarti kontekstualisasihukum Islam telah mengakomodir pendapat-pendapat ulama terdahuluyang masih relevan untuk diterapkan saat ini.

h. Penerapan metode-metode yang sesuai dengan perkembangan ilmupengetahuan merupakan indikator terakhir dari kontekstualisasihukum Islam. Metode-metode ini terkait dengan perkembangan sertakemajuan pengetahuan dan teknologi dalam rangka mewujudkankemaslahatan manusia. Pengabaian terhadap perkembanganpengetahuan ini tentunya akan menimbulkan kesulitan dankemudaratan.

Page 32: kontekstualisasi hukum islam

Kontekstualisasi dalam Hukum Islam

19

KONTEKSTUALISASI DALAM HUKUM ISLAM

Bab ini akan membahas kontekstualisasi dalam hukum Islam danhal-hal yang terkait dengannya sebagai landasan teori. Pembahasan akandiawali dengan uraian tentang makna hukum Islam dan hubungannya denganijtihad. Selanjutnya akan dijelaskan pengertian kontekstual dengankarakteristik dan kriterianya serta hubungan kontekstual dengankemaslahatan dalam penetapan hukum demi mewujudkan tujuan-tujuansyariat (maqāŞid al-sharἷ’ah).Terakhir akan dijelaskan bagaimana akarkesejarahan dari keberadaan kontekstualisasi dalam hukum Islam sertakaitannya dengan indikator penilaian kontekstual yang dirumuskan dalampenelitian ini.

A. Hukum Islam dan IjtihadTerm hukum Islam1 tidak ditemukan dan tidak dipakai pada periode

awal Islam. Selain itu dalam Alquran maupun hadis tidak ditemukan pulasatupun istilah hukum Islam tersebut. Oleh karena itu, dalam kajiankeislaman, khususnya dalam berbagai literatur berbahasa Arab, istilahhukum Islam tidak akan ditemukan. Para ulama hanya memakai istilah-istilah sharἷ’ah2 atau ḥukm al-shara’, fiqh3 dan qānūn.4 di mana ketiganya

1Term hukum diserap dari bahasa Arab dengan arti tuntutan, hikmah(kebijakan), dan pencegahan (al-man’u). Lihat Wahbah al-Zuhayli, UŞūl al-Fiqh al-Islāmi, Juz I, (Damaskus: Dār al-Fikr, 1986), h. 37. Adapun dalam maknaterminologi Muhammad MuŞṭafa Shalabi membagi makna hukum atas duapengertian yaitu hukum takhlifi berupa khitab Allah yang berhubungan denganperbuatan orang-orang mukallaf baik berupa tuntutan, kebolehan, maupun waḍ’i,serta hukum waḍ’i berupa khitab Allah yang berhubungan dengan sebab, syarat, danpenghalang. Muhammad MuŞṭafa Shalabi, UŞūl al-Fiqh al-Islāmi, Juz I, (Beirūt: Dāral-Nahḍah al-’Arabiyyah, 1986), h. 52-53.

2Secara bahasa term shari’ah mempunyai banyak arti di antaranya jalanyang lurus dan tempat keluarnya air. Menurut terminologi shariah berarti apa sajayang disyariatkan Allah SWT dalam agama berupa hukum yang bermacam-macam.Dikategorikannya hukum ke dalam shari’ah karena ia mirip dengan mata air yangdapat menjadi pedoman bagi kehidupan manusia. Lihat ‘Abd al-Karἷm Zaidān,Madkhal Lidirāsah al-Sharἷ’ah al-Islāmiyyah, (Beirūt: Muassasah al-Risālah, 1982),h. 38-61.

3Secara bahasa term fiqh berarti pemahaman yang mendalam. Menurutistilah fiqh dimaknai dengan pengetahuan mengenai hukum-hukum shara’ yangbersifat amaliyah dan dihasilkan dari dalil-dalil yang terperinci. MuŞṭafa Sa’id al-

Page 33: kontekstualisasi hukum islam

Kontekstualisasi Hukum Islam

20

memiliki makna yang cukup berbeda. Meskipun mayoritas ulamamembedakan istilah-istilah tersebut, 5 namun ketiganya sama-sama terkaitdengan aturan yang mengatur aktifitas umat Islam (mukallaf).

Term hukum Islam umumnya ditemukan dalam berbagai literaturBarat yang lebih dikenal dengan istilah Islamic law6 dan juga telah diserapmenjadi istilah yang baku dalam bahasa Indonesia. Term Islamic lawpertama kali muncul dalam karya-karya para orientalis Eropa pada abadkesembilan belas Masehi. Setelah itu term ini diadopsi para ulama dan tokohMuslim.7 Term hukum Islam terdiri atas dua kata yaitu hukum dan Islam,

Khἷn, al-Kāfἷ al-Wāfἷ fἷ UŞūl al-Fiqh al-Islāmi, (Beirūt: Muassasah al-Risālah,2000), h. 15.

4Term qānūn berasal dari bahasa Yunani yang akhirnya diserap ke dalambahasa Arab dengan arti hukum, kaidah, dan konstitusi. Adapun secara terminologiqānūn dimaknai dengan undang-undang yang memuat hukum Islam, bersifatmengikat, seluruh atau sebagian saja dan dihasilkan melalui metode ijtihad denganpertimbangan maŞlaḥah, ‘urf, istiḥsān dan siyāsah shar’iyyah. Qānūn identikdengan undang-undang di negara Islam atau negara yang penduduknya mayoritasMuslim. Lihat Ahmad Sukardja dan Mujar Ibnu Syarif, Tiga Kategori HukumSyariat, Fikih, dan Kanun, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), cet.I, h. 123-125.

5Lafal shari’ah dalam Alquran disebut sebanyak lima kali di beberapa ayat,sedangkan lafal fiqh dan yang seakar dengannya telah disebutkan kira-kira sebanyak20 kali. Roibin, Sosiologi Hukum Islam Telaah Sosio-Historis Pemikiran ImamSyafi’i, (Yoyakarta: UIN Malang Press, 2008), h. 29. Bagi ulama yang membedakanmakna shari’ah dengan hukum Islam menyatakan bahwa cakupan shari’ah lebihluas dari pada hukum Islam karena merupakan sistem nilai dan etika yang sangatberguna dalam mengentaskan permasalahan manusia di setiap tempat dan waktu.Dengan membatasi shari’ah pada aspek hukum akan berdampak kepada kerusakankarakteristik dan tujuan etisnya. Ziauddin Sardar, Postmodernism and other Futures,Penerjemah. Cecep Lukman dan Helmi Mustofa, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta,2005), h. 98-100.

6Apabila term hukum Islam merupakan kata yang diserap dari Barat makapengertiannya akan sangat berbeda dengan shari’ah ataupun fiqh, karena hukumIslam, shari’ah dan fiqh termasuk ke dalam cakupan agama Islam. Tidak sepertiterm Islamic law yang menurut para ahli hukum Barat bukan merupakan bagian dariajaran Islam. Lihat Dedi Ismatullah, Sejarah Sosial Hukum Islam, (Bandung: CVPustaka Setia, 2011), h. 6.

7Ada sebagian ulama yang menyamakan term hukum Islam dengan fiqh.Akan tetapi sebenarnya penyamaan tersebut tidaklah tepat, karena fiqh lebih luascakupannya dari pada hukum Islam dari sisi konten, metode dan aplikasinya. LihatRecep Senturk, “Intellectual Dependency: Late Ottoman Intellectuals between Fiqhand Social Science”Die Welt des Islams, New Series, Vol. 47, Issue 3/4, in Islamand Societal Norms: Approaches to Modern Muslim Intellectual History, (2007), h.293.

Page 34: kontekstualisasi hukum islam

Kontekstualisasi dalam Hukum Islam

21

sehingga pengertiannya dapat dipahami dengan menggabungkan maknakedua kata tersebut. Beranjak dari hal ini maka Said Agil Husain alMunawar mendefenisikan hukum Islam dengan sekumpulan peraturanhukum yang telah ditetapkan untuk kepentingan umat Islam dan yangdirumuskan dari naŞŞ serta ijtihad para ulama terhadap naŞŞ.8 Pengertian inidijabarkan lagi oleh Amir Syarifuddin dengan menyatakan bahwa hukumIslam merupakan seluruh aturan hukum yang dipahami atas naŞŞ dandiberlakukan kepada setiap Muslim karena bersifat mengikat sehingga harusdipatuhi dan dilaksanakan tanpa kecuali.9.

Terlepas dari perbedaan rumusan dan pemahaman mengenaipengertian hukum Islam sebagaimana dikemukakan oleh para tokoh di atas,yang jelas dapat dipahami bahwa hukum Islam merupakan seperangkataturan hukum yang diperuntukkan bagi seluruh aktifitas umat Islamkhususnya, karena disandarkan kepada naŞŞ dan ijtihad para ulama.Berdasarkan penjelasan ini dapat dipahami bahwa term hukum Islam agakidentik dengan makna fiqh dan qānūn.

Hukum Islam merupakan produk dari aktifitas ijtihad. Sesuai denganmakna bahasanya yaitu kesulitan yang diiringi kemampuan, maka yangdimaksud dengan ijtihad menurut ulama uŞūl al-fiqh adalah mengerahkansegenap kemampuan akal untuk menetapkan hukum shara’dari dalil-dalilnyadi antara kelemahan dan kesulitan yang ada. 10 Pengertian inimenggambarkan bahwa upaya ijtihad tidaklah mudah, karena ulama harusberupaya maksimal di tengah kesulitan agar dapat menghasilkan hukum.Kesulitan dalam berijtihad tidaklah menandakan ketidakmampuan, karenayang melakukan ijtihad bukan sembarang ulama. Hanya mujtahid yangberhak dan memiliki otoritas untuk berijtihad karena kelayakan dankemampuan yang dimilikinya. 11 Di sisi lain pengertian ini juga

8 Said Agil Husain al Munawwar, Hukum Islam dan Pluralitas Sosial,(Jakarta: Penamadani, 2005), h. 7.

9Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid.I, (Jakarta: Kencana, 2011), Cet.V, h.6. Berbeda dengan dua pengertian di atas, Joseph Schacht (w. 1969 M) memahamihukum Islam sebagai sekumpulan peraturan agama yang berasal dari Allah danmengatur seluruh aspek kehidupan umat Islam. Dengan demikian hukum Islamdalam pengertian ini dipahami hanya berasal dari Alquran. Joseph Schacht, anIntroduction to Islamic Law, (London: Oxford University Press, 1971), h. 1.

10‘Ali Ḥasballah, UŞūl al-Tashrἷ’ al-Islāmi, (Mesir: Dār al-Ma’ārif, 1959),h. 65.

11Persyaratan yang harus dimiliki mujtahid adalah memiliki pengetahuanbahasa Arab, pengetahuan Alquran dan sunnah Nabi, ūŞūl al-fiqh, ijmak ulama,memahami tujuan-tujuan syariat, dan mempersiapkan mental untuk berijtihad.‘Abd

Page 35: kontekstualisasi hukum islam

Kontekstualisasi Hukum Islam

22

mengindikasikan bahwa sifat dan kekuatan hukum yang dihasilkan olehijtihad adalah relatif karena berasal dari olah pemikiran mujtahid.Kerelatifan ijtihad ini dapat membuka peluang bagi terjadinya perbedaanpendapat karena mujtahid lain juga memiliki otoritas berijtihad dalam kasusyang sama jika menurutnya pendapat itu tidak tepat.12

Wahbah al-Zuhayli (w. 2015 M) mendefenisikan ijtihad denganupaya mengistinbāṭkan hukum shara’ dari dalil-dalil yang terperinci terkaitpersoalan hukum syariat. 13 ‘Abd al-Wahāb ‘Abd al-Salām jugamengemukakan rumusan yang senada dengan menambahkan kata ahli fikihlantaran memiliki otoritas untuk berijtihad. 14 Rumusan ini menjelaskanbahwa hasil ijtihad dapat berbentuk aqliyah maupun naqliyah. Begitu jugadengan kekuatannya yang boleh jadi bersifat qaṭ’i atau ẓanni. Namun dalampandangan Wahbah al-Zuhayli kekuatan hukum produk ijtihad tidaksemuanya bersifat ẓanni, karena dalam beberapa kasus dan dengan metodetertentu hasil ijtihad dapat memiliki kekuatan yang qaṭ’i.

Ijtihad merupakan elemen penting dalam hukum Islam karenamemiliki wilayah kajian yang sangat luas. Oleh karena itu, ada yangmenempatkan ijtihad di posisi ketiga sumber hukum setelah Alquran danhadis. Ijtihad dapat dilakukan terhadap naŞŞ yang memiliki kandungan ẓannial-thubūt dan ẓanni al-dalālah. Zanni al-thubūt hanya terdapat pada selainhadis mutawatir sehingga ijtihad akan difokuskan untuk meneliti status paraperawi. Adapun ẓanni al-dalālah dapat ditemukan pada Alquran maupunhadis sehingga fokus ijtihad ditujukan pada bentuk tafsir, takwil, kekuatankandungan maknanya, terhindar dari pertentangan dan lainsebagainya.15Adapun terhadap naŞŞ yang qaṭ’i seperti kewajiban salat, puasadan haram makan bangkai merupakan wilayah terlarang ijtihad.16

Ijtihad memiliki landasan yang kuat dalam naŞŞ Alquran dan hadis.Meski tidak ditemukan lafal ijtihad dalam Alquran, namun ayat-ayat yangmemerintahkan manusia untuk menggunakan pikiran dan anjuran untukbertanya jika tidak tahu, menjadi dasar dari eksistensi ijtihad. Adapunlandasan hadis terdapat pada riwayat berikut,

al-Karἷm Zaidān, al-Wajἷz fἷ UŞūl al-Fiqh, (Beirūt: Muassasah al-Risālah, 1987), h.402-406.

12MuŞṭafa Sa’ἷd al-Khin, Athar al-Ikhtilāf fἷ al-Qawā’id al-UŞūliyyah fiIkhtilāf al-Fuqahā’, (Beirūt: Muassasah al-Risālah, 1982), h. 27.

13Wahbah al-Zuhayli, UŞūl al-Fiqh al-Islāmi, Juz II, h. 1039.14‘Abd al-Wahāb ‘Abd al-Salām Ṭawἷlah, Athar al-Lughah fi Ikhtilāf al-

Mujtahidin, (Damaskus: Dār al-Salām, 2000), h. 13.15‘Ali Ḥasballah, UŞūl al-Tashrἷ’ al-Islāmi, h.65.16‘Abd al-Karἷm Zaidān, al-Wajἷz fἷ UŞūl al-Fiqh, h. 406.

Page 36: kontekstualisasi hukum islam

Kontekstualisasi dalam Hukum Islam

23

د ھ ت اج ف م اك ح ال م ك ح ا ذ إ : ملسو هيلع هللا ىلص قالهللا ل و س ر ع م س ھ ن أ اص لع روبن ا م ع ن ع ط خ أ م ث د ھ ت اج ف م ك ح اذ إ و . ان ر ج أ ھ ل ف اب ص أ م ث 17)رواه مسلم(ر ج أ ھ ل ف أ

“Dari ‘Amr ibn al‘ĀŞ bahwa ia mendengar Rasulullah SAW bersabda,‘Jika seorang hakim (dalam) memutuskan (suatu perkara) berijtihaddan ternyata benar maka ia akan mendapat dua pahala. (Akan tetapi)jika (dalam) memutuskan (suatu perkara) ijtihadnya salah maka ia(tetap) mendapat satu pahala”. (H.R Muslim)

Produk hukum yang dihasilkan ijtihad adalah fikih, fatwa, danqaḍā’. Berbeda dengan fikih dan fatwa, qaḍā’ memiliki kekuatan hukummengikat karena merupakan keputusan hakim,18 sehingga wilayahnya beradadi lingkup pengadilan. Sementara fikih dan fatwa baru akan mempunyaikekuatan hukum mengikat jika diadopsi menjadi hukum positif. Jika tidakmaka kekuatan hukum fikih dan fatwa tetaplah relatif 19 sehingga setiap

17Abū al-Ḥusain Muslim ibn al-Ḥajjāj al-Qushairἷ al-Naysabūrἷ, ṢaḥἷḥMuslim,(Beirūt: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2003), h.681.

18Meskipun keputusan hakim bersifat mengikat, namun kedudukannyatidak selalu lebih tinggi dari pada fatwa. Dalam beberapa kasus kadangkalakeputusan yang ditetapkan hakim diambil dari fatwa-fatwa yang dihasilkan muftisetempat. Kadangkala hakim juga meminta nasihat kepada mufti dalam pengambilankeputusan hukum di pengadilan. Mohammad Atho Mudzhar, Fatwa-fatwa MajelisUlama Indonesia, (Jakarta: INIS, 1993), h. 2. Untuk lebih jelasnya perbedaan antarafatwa dan keputusan hakim dapat dilihat Ãmir Sa’i@@d al-Zibāry, Mabāḥith fi Aḥkāmal-Fatwā, (Beirūt: Dār Ibn Ḥazm, 1995), h. 33-34, ‘Ali Ḥasballah, UŞūl al-Tashrἷ’al-Islāmἷ, h. 106, dan Nādiyah Sharif al-‘Umar, al-Ijtihād fi al-IslāmUŞūluhu Aḥkāmuhu Afāquhu, (Beirūt:Muassasah al-Risālah, 2001), h. 48.

19 Ketetapan ini menyebabkan Wael B Hallaq menambahkan kalimat“mempunyai kekuatan hukum” dalam defenisi fatwa yang dirumuskannya.Menurutnya jika fatwa dibiarkan lepas begitu saja tanpa ada kekuatan mengikatmaka upaya yang dilakukan seorang mufti akan menjadi sia-sia dan tidak berguna.Padahal upaya yang dilakukan tersebut ditempuh dengan mengerahkan segenapkemampuan dan kesungguhan mufti. Lihat Wael B. Hallaq, “Juristic Authority vs.State Power: The Legal Crises of Modern Islam”, in Journal of Law and Religion.Vol. 19, No. 2 (2003 - 2004), h. 248-249. Pada dasarnya ketika berfatwa mufti tidakmerasa sia-sia, karena ia akan tetap mendapat satu pahala meskipun salah. HukumIslam yang dihasilkan melalui upaya ijtihad memberi peluang luas bagi mujtahiddan mufti untuk menggali sumber hukum dari Alquran dan hadis, sehingga maksuddan tujuan yang terkandung di dalamnya dapat terungkap. Jadi bagi orang yangtidak mempunyai kemampuan ijtihad dapat memilih mana di antara pendapat hukumtersebut yang lebih tepat baginya.

Page 37: kontekstualisasi hukum islam

Kontekstualisasi Hukum Islam

24

orang mempunyai hak untuk menerima atau tidak menerimanya.20 Wilayahfikih dan fatwa sangat luas karena mencakup seluruh permasalahan yangdihadapi umat Islam.21

Meski demikian di masa kontemporer keberadaan fatwa lebihbanyak dibutuhkan karena ketika seseorang menghadapi suatu persoalanbiasanya ia akan bertanya dan meminta solusi kepada mufti. Hal ini berartipendapat hukum yang dihasilkan mufti didasari oleh adanya kebutuhan.Oleh karena itu, fatwa diharapkan dapat menyelesaikan berbagai masalahdan menjadi solusi atas kemandegan hukum.22 Fatwa juga berguna sebagaisarana yang merespon perkembangan permasalahan di masa modern.Artinya keberadaan mufti sangat penting sebagai mediator pada sisteminstitusi kompleks dalam menafsirkan ilmu keagamaan.23 Ketiadaan fatwaakan menyebabkan banyak permasalahan tidak dapat diselesaikan bahkanmungkin akan bertambah rumit yang nantinya akan menimbulkan keresahandan kesulitan. Begitu pula sebaliknya, banyaknya aktifitas berfatwamengindikasikan hukum Islam hidup dan berkembang karena fatwamerupakan dinamisator terhadap eksistensi hukum Islam.24

Term fatwa berasal dari bahasa Arab yang secara bahasa berartipenjelasan dan pemuda yang kuat.25 Jika kedua arti ini dihubungkan makafatwa merupakan penjelasan yang berasal dari orang yang mempunyaikemampuan. Beranjak dari pemaknaan secara bahasa, fatwa didefenisikankepada beberapa rumusan berikut. Nādiyah Sharif al-‘Umar menyatakanbahwa fatwa merupakan jawaban atas pertanyaan yang diberikan mufti atauberupa penjelasan atas hukum meskipun tanpa didasari oleh pertanyaan yangkhusus.26 Rumusan yang senada dengan ini juga dikemukakan oleh ‘ÃmirSa’id al-Zibāry di mana menurutnya fatwa merupakan jawaban seorang

20Mohammad Hashim Kamali, Shari’ah Law, An Introduction, (England:Oneworld Publications, 2008), h. 175.

21Wael B. Hallaq, “From Fatwas to Furuʿ: Growth and Change in IslamicSubstantive Law”, in Islamic Law and Society, Vol. 1, No. 1 (1994), h. 62.

22‘Abd al-‘Azἷz ibn ‘Abd al-Raḥmān ibn ‘Ali al-Rabἷ’ah, al-Mufti, (Riyāḍ:al-Mamlakah al-’Arabiyyah al-Su’ūdiyyah, 1988), h. 8.

23 Brinkley Messick,“The Mufti, the Text and the World: LegalInterpretation in Yemen”, in Man, New Series, Vol. 21, No. 1 (1986), h. 103.

24Ma’ruf Amin, Fatwa dalam Sistem Hukum Islam, (Jakarta: eLSAS,2008), h. 8. Lihat juga Maḥmūd Shaltūt, al-Fatāwā, (Kairo: Dār al-Qalm, T.th), h.14.

25Ãmir Sa’i@@d al-Zibāry, Mabāḥith fi Aḥkām al-Fatwā, h. 31.26Nādiyah Sharif al-‘Umar, al-Ijtihād fi al-Islām Uşūluhu, Aḥkāmuhu,

Afāquhu,, h. 44.

Page 38: kontekstualisasi hukum islam

Kontekstualisasi dalam Hukum Islam

25

mufti berupa pemberian penjelasan yang terkait dengan kasus hukumsyariat.27.

Berbeda dengan Imam al-Shāṭibi (w. 1388 M) yang memandangfatwa sebagai penjelasan atas permasalahan hukum syariat yang didasarinaŞŞ terhadap perbuatan mukalaf menurut pandangan mufti (orang yangberfatwa). Menurut al-Shāṭibi mufti merupakan wakil atau penggantiRasulullah dalam menyampaikan hukum syariat baik secara langsung dariAlquran dan hadis maupun melalui proses penggalian terhadap kedua naŞŞtersebut. Oleh karena itu, selain berbentuk perkataan (bentuk ini lebihdikenal dan banyak ditemukan), fatwa juga dapat berbentuk perbuatanataupun ketetapan (taqrir). 28 Rumusan ini sangat umum dan luas karenafatwa dapat mencakup seluruh penjelasan yang terkait dengan hukum Islammeskipun tidak didahului oleh adanya pertanyaan.29 Selain itu rumusan inijuga menggambarkan bahwa keberadaan fatwa sudah ada semenjak masaRasulullah SAW dan terus dilanjutkan oleh generasi setelahnya.

Rumusan lainnya dikemukakan oleh Wael B Hallaq yangmengaitkan fatwa dengan kekuasaan pemerintah. Menurutnya fatwamerupakan pendapat hukum yang dihasilkan oleh dua pihak yaitu ulamasebagai mufti dan hakim sebagai wakil pemerintah yang mempunyailegitimasi hukum. Fatwa dirumuskan dalam bahasa yang umum danmencerminkan pemikiran mazhab fikih serta aturan hukum pemerintah.30

Dalam rumusan ini terdapat penggabungan dua unsur yaitu ulama danpemerintah sebagai subjek yang menghasilkan fatwa agar mempunyaikekuatan hukum yang mengikat. Beranjak dari beragamnya rumusan fatwadi atas, dapat disimpulkan bahwa fatwa merupakan tanggapan atas setiappermasalahan umat Islam yang terkait dengan persoalan hukum dan

27Ãmir Sa’i@@d al-Zibāry, Mabāḥith fi Ahkām al-Fatwā, h. 32.28 Abū Isḥāq Ibrāhἷm ibn Mūsa al-Shāṭibi, al-Muwāfaqāt fἷ UŞūl al-

Sharἷ’ah, Juz. IV, (Beirūt: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, T.Th), h. 140-142.29 Rumusan ini senada dengan Akademi Fiqh Islam Internasional OKI

dalam pertemuan ke-17 di Amman tahun 2006. Saat itu diputuskan bahwa kehadiranfatwa tidak hanya disebabkan oleh adanya pertanyaan, namun juga dapat dilataritanpa pertanyaan. Fatwa diperuntukkan terhadap persoalan baru berikut denganprinsip dan praktek hukum yang terkait dengannya. Declaration 153, The Issuanceof Fatwas: Rules and Conditions,https://ammanmessage.com/resolution-153-the-issuance-of-fatwas-rules-and-conditions/

30Wael B. Hallaq, “Juristic Authority vs. State Power: The Legal Crises ofModern Islam”, h. 248.

Page 39: kontekstualisasi hukum islam

Kontekstualisasi Hukum Islam

26

ditetapkan oleh mufti.31 Kehadiran fatwa harus dilatari oleh pertanyaan baiksipenanya diketahui identitasnya ataupun tidak.

Persoalan yang dibahas dalam fatwa biasanya menyangkutpermasalahan aktual yang menimpa umat Islam baik dalam aspek ekonomi,dan medis, maupun kebiasaan dan tradisi. Akan tetapi permasalahan klasikjuga dapat menjadi topik pembahasan fatwa jika ketetapan hukumsebelumnya sulit untuk diterapkan pada kondisi sekarang. Fatwa dapatdilakukan secara kelompok atau kolektif dalam lembaga dan dapat jugadilakukan oleh individual mufti.32 Pembagian ini dilatari oleh tingkat kasusyang akan diselesaikan. Biasanya persoalan sederhana dapat diselesaikanoleh individu mufti. Namun pada permasalahan rumit dan kompleks harusdiselesaikan lembaga fatwa karena dipenuhi oleh para ahli di berbagaibidang. 33 Lembaga fatwa ini sangat membantu umat Islam dalammenyelesaikan persoalan dan keberadaannya saat ini sudah banyak.34 Terkaitdengan hal ini Basheer M Nafi menyatakan bahwa ketetapan fatwa yangdihasilkan secara kolektif memiliki tingkat otoritas yang tinggi.35 Hal inilahyang menyebabkan beberapa lembaga fatwa diintervensi oleh penguasa.

Adapun di masa modern keberadaan media seperti radio,36 internet(media seluler),37 dan televise dijadikan sebagai sarana berfatwa.38 Melalui

31Keberadaan mufti menjadi wajib ‘aini jika dalam suatu daerah hanya adasatu orang yang memiliki kemampuan dan layak menjadi mufti. Namun kewajibanini dapat berubah menjadi kifāyah jika dalam satu daerah terdapat dua orang muftiatau lebih yang mampu menangani permasalahan hukum. Aḥmad ibn Ḥamdān al-Harrani al-Ḥanbalἷ, Ṣifatu al-Fatwā wa al-Mufti wa al-Mustafti, (Damaskus: al-Maktabah al-Islāmiyyah, 1380 H), h. 6.

32Di negara-negara despotik keberadaan individu mufti via online sangatdiminati dan lebih dipercaya masyarakat dari pada fatwa yang berasal dari muftiresmi negara. Hal ini dikarenakan para mufti resmi tersebut dikendalikan olehpenguasa dan kaum elite sehingga pendapat hukumnya sangat bias. NoureddineMiladi, Saleh Karim, and Mahroof Athambawa, “Fatwa on Satellite TV andTheDevelopment of Islamic Religious Discourse”, in Journal of Arab & MuslimMedia Research, Vol. 10, No. 2, (2017), h. 129-131.

33Muhammad Hashim Kamali, Shari’ah Law, An Introduction, h. 164.Lihat juga Declaration 153, The Issuance of Fatwas: Rules and Conditions.

34 Banyaknya lembaga fatwa saat ini mengindikasikan telah terjadiperalihan otoritas keagamaan dari individu mufti kepada kolektif lembaga. Nico J.G. Kaptein, “The Voice of the `Ulamâ': Fatwas and Religious Authority inIndonesia”, h. 124.

35Basheer M. Nafi, “Fatwa and War: On the Allegiance of the AmericanMuslim Soldiers in the Aftermath of September 11”, in Islamic Law and Society,Vol. 11, No. 1 (2004), h. 116.

36Sunarwoto, “Radio Fatwa; Islamic Tanya Jawab Programmes on RadioDakwah”, in Al Jāmi’ah, Vol. 50, No. 2, (2012), h. 251.

Page 40: kontekstualisasi hukum islam

Kontekstualisasi dalam Hukum Islam

27

media-media ini fatwa dapat melintasi batas wilayah regional. Artinyasebuah fatwa dapat dikonsumsi dan diakses secara online oleh seluruhMuslim di belahan dunia manapun (internasional). Pertanyaan yang diajukanmustafti kepada mufti, dapat disampaikan secara langsung melalui telepon,video call, dan media sosial lainnya atau secara tidak langsung melaluiemail, pesan, dan surat. Terkait interaksi langsung antara mufti dan mustafti,fatwa dapat diberikan mufti saat itu juga. Adapun dalam interaksi tidaklangsung, dibutuhkan waktu bagi mustafti untuk menunggu giliranpertanyaannya dijawab oleh mufti.

B. Paradigma Kontekstual dan MaŞlaḥahSesuai dengan namanya yaitu kontekstual yang secara bahasa berarti

indikasi, suasana, keadaan sekitar, latar belakang faktual, dan keadaanyang relevan 39 merupakan paradigma berfikir yang cenderung mengarahkepada dimensi konteks, yaitu situasi dan kondisi yang mengelilingipembaca. Konteks kesejarahan yang terkandung dalam naŞŞ Alquran danhadis serta yang terkait dengan kondisi sosial menjadi pertimbangan pentingbagi paradigma ini.40 Selain itu keikutsertaan beberapa disiplin keilmuandalam rangka memahami dan menyimpulkan suatu pendapat hukummerupakan suatu keniscayaan. Paradigma kontekstual tidak hanyamengedepankan makna literal yang dikandung naŞŞ Alquran maupun hadisnamun juga memperhatikan dimensi lain seperti sosio historis naŞŞ, pengaruhsubjektifitas ulama dalam proses pengistinbāṭan hukum, dan orientasikultural makna teks ke depan.41 Dengan demikian mungkin saja nantinya

37Mohd Alif Mohd Nawi and Mohd Isa Hamzah, “Mobile Fatwa (M-FATWA): The Integration of Islamic Fatwa Through Mobile Technology”, inTurkish Online Journal of Distance Education, Vol. 15, No. 2, (2014), h. 111.

38Rodolphe J.A de Seife, “Islamic Legal Interpretation. Muftis and TheirFatwas by Muhammad Khalid Masud; Brinkley Messick; David S. Powers(Review)”, in The American Journal of Legal History, Vol. 42, No. 1, (1998), h. 84.Lihat Reem A. Meshal "Fatwas" on The Mainframe”, in Traditional Dwellings andSettlements Review, Vol. 18, No. 1, (2006), h. 54. Lihat juga Syamsul Anwar,“Fatwa, Purification and Dynamization: A Study of Tarjiḥ in Muhammadiyah”, inIslamic Law and Society, Vol. 12, No. 1, Fatwas in Indonesia (2005), h. 28.

39Adam Kramer, “Common Sense Principles of Contract Interpretation(And How We've Been Using Them All along)”, in Oxford Journal of Legal Studies,Vol. 23, No. 2 (Summer, 2003), h. 178.

40Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an: Towards a ContemporaryApproach,(London: Routledge, 2006), h. 3.

41 U Syafruddin, Paradigma Tafsir Tekstual dan Kontekstual, UsahaMemaknai Kembali Pesan al-Qur’an, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), h. 48-49.

Page 41: kontekstualisasi hukum islam

Kontekstualisasi Hukum Islam

28

ketetapan hukum yang dihasilkan paradigma berfikir ini sangat berbeda ataubahkan seolah-olah bertentangan dengan teks naŞŞ.42 Kelompok kontekstualberasumsi bahwa setiap hukum yang ditetapkan selalu bermuara kepadakemaslahatan dan untuk mewujudkan hal itu kadang kala harusmengutamakan aspek tertentu sehingga seolah-olah mengabaikan maknaliteral yang dikandung naŞŞ.

Menurut kelompok kontekstual sebagian besar produk hukum yangdihasilkan para ulama di masa klasik tidak dapat diterapkan di masakontemporer karena sudah tidak mampu mengayomi kebutuhan umat Islam.Jika dipaksakan penerapannya mungkin akan membawa kesulitan dan hal inibertentangan dengan cita-cita hukum. Sementara itu sebagian produk hukumlainnya yang masih relevan dan masih dapat diaplikasikan di masa sekarangsangatlah sedikit, seperti terkait dengan masalah keyakinan, norma-normaetika, hal-hal yang halal, haram dan lain sebagainya.43

Kecenderungan berfikir paradigma kontekstual dilandaskan atas duakaedah berikut,

44د ائ و ع ال و ات ی الن و ال و ح األ و ة نك م األ و ة نم ز األ ر ی غ ت ب س ح ى ب و ت ف ال ر ی غ ت

“Perubahan fatwa (terjadi) karena berubahnya waktu, tempat,keadaan (sosial), niat, dan kebiasaan”

45ظ ف الل م و م ع ب ال ب ب الس ص و ص خ ب ة ر ب ع ال

“Ketetapan (suatu makna) didasari (kepada) sebab yang khusus,bukan (didasari) atas lafal yang umum”.Menurut Quraish Shihab kaedah kedua ini patut dijadikan

pertimbangan hukum sehingga ketiga aspek yang tercakup pada suatu lafalyaitu peristiwa, pelaku dan waktu kejadian dapat diterapkan secaraproporsional dan seimbang. Selama ini mayoritas ulama selalu

42Salah satu masalah penting yang diperdebatkan paradigma kontekstualadalah sebatas apa otoritas yang dimiliki ulama dalam menentukan hal-hal yangdapat berubah (relatif) dan yang tidak dapat berubah (absolut) dalam hukum. Hal inidisebabkan karena para ulama klasik telah menetapkan rumusan qaṭ’i dan ẓanni atauuŞūliyyah dan furū’iyyah dalam kajian hukum yang dianggap sebagai rumusan baku.Namun dalam pemetaan ruang lingkupnya tidak terdapat kesamaan dan kesepakatandi antara mereka.

43Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an: Towards a ContemporaryApproach, h. 2.

44Ibn al-Qayyim al-Jawziyyah, I’lām al-Muwāqi’ἷn ‘an Rabb al-‘Ãlamἷn,Juz. III, (Beirūt: Dār al-Fikr, 1977), h. 14

45Mannā’ al-Qaṭān, Mabāḥith fἷ ‘Ulūm al-Qur’ān, (Riyāḍ: Dār al-Rashἷd,T.th), h. 85.

Page 42: kontekstualisasi hukum islam

Kontekstualisasi dalam Hukum Islam

29

mengedepankan aspek peristiwa yang ditunjukkan oleh redaksi naŞŞsehingga mengabaikan aspek pelaku dan waktu kejadian. Oleh karena itu,agar suatu naŞŞ dapat dikembangkan maka diperlukan upaya qiyās untukmenarik makna dari lafal yang mempunyai sebab munculnya baik itu asbābal-nuzūl ayat maupun asbāb al-wurūd hadis.46

Metode yang diterapkan paradigma kontekstual adalah bagaimanamenyingkap sisi yang masih tersembunyi dalam teks naŞŞ sehingga dapatdiselaraskan dengan kondisi kekinian umat Islam. Kehidupan manusiasangat dinamis dan senantiasa bergerak. Jika hukum Islam tidak dapatmenyelaraskannya maka akan tercipta kekakuan hukum dan persoalan sosiallainnya. Jika hal ini dibiarkan akan muncul kebingungan di masyarakatsehingga hukum Islam akan ditinggalkan atau diganti dengan hukum lainkarena dianggap sudah tidak layak. Terkait hal ini Adam Kramermengatakan bahwa terdapat dua hal pokok yang dibutuhkan seseorang untukmemperoleh pemahaman yaitu teks dan tujuan pembuat teks. Makna teksdapat diperoleh secara luas jika aturan kebahasaan diterapkan dengan baik.Sementara itu tujuan dari pembuat teks dapat diketahui melalui penyimpulanasumsi rasional, norma, dan dalam konteks apa tujuan yang dikehendakipembuat teks tersebut. Jadi penilaian terhadap tujuan pembuat teks tersebutdapat diketahui dan dipahami.47.

Kelompok kontekstual juga berasumsi bahwa nilai-nilai universalyang terkandung dalam naŞŞ tidak semuanya dinyatakan secara jelas padateks, namun ada juga yang tersirat sehingga dibutuhkan pemahaman danpenelitian mendalam untuk mengetahuinya. 48 Urgensi kaedah kebahasaandalam memahami naŞŞ akan sangat membantu untuk menemukan nilai-nilaiuniversal tersebut. Di antara kaedah yang dapat dipakai dalam hal ini adalahteori linguistik Ibn al-Jinni dan teori Imam al-Jurjani. 49 Pemahaman dari

46Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 1992), h. 89.47Adam Kramer, “Common Sense Principles of Contract Interpretation

(And How We've Been Using Them All along)”, h. 181. Dalam memahami Alqurandan hadis dibutuhkan metode yang tidak mengikut atau sama persis seperti metodepara sahabat, tabiin, dan tābi’ al-tābi’ἷn. Para ulama harus mengerahkan segenapkemampuan berfikirnya untuk meneliti ayat dan hadis yang dibantu oleh kaedah-kaedah linguistik serta keilmuan penunjang lainnya. Lihat Ḥasan Ibn Farḥān al-Māliki, Qirā’ah fἷ al-Kutub al-‘Aqā’id al-Madhhab al-Ḥanābilah, Penerjemah.Ahmad Dzulfikar, (Jakarta: Noura Books 2012), h. 349.

48 U Syafruddin, Paradigma Tafsir Tekstual dan Kontekstual, UsahaMemaknai Kembali Pesan al-Qur’an, h. 49-52.

49Menurut al-Jinni secara evolutif bahasa akan senantiasa berkembang danini berarti ia tidak terbentuk pada satu masa tertentu. Selain itu bahasa juga selaluberjalan secara sistematis dalam koridor aturannya sehingga menciptakan hubungan

Page 43: kontekstualisasi hukum islam

Kontekstualisasi Hukum Islam

30

kedua teori ini adalah bahasa memiliki struktur tersendiri yang tidak samadengan unsur lain. Bahasa juga merupakan wujud nyata dari adanya realitassosial dan oleh karena itu wajar jika terdapat hubungan antara fikiran denganbahasa. 50 Teori hermeneutika mengandung tiga unsur dalam prosesmembaca yaitu teks, pembaca, dan pengarang. Ketiga unsur ini saling terkaitdan menjadi pertimbangan dalam pemahaman. Menafikan salah satunyaakan membuat pemahaman terhadap teks menjadi miskin makna. Ketikaseseorang memahami suatu teks berarti sedang terjadi dialog antara duniateks, dunia pembaca, dan dunia pengarang. Pada proses pemahaman, unsursubjektifitas penafsir tidak dapat dielakkan karena berapa kalipun suatu teksdibaca akan menciptakan pemahaman baru yang berbeda.

Sikap kelompok kontekstual dalam memahami naŞŞ yang terkaitwarisan ulama klasik, atau turas menurut istilah Hasan Hanafi, sangatberagam. 51 Ada yang menghormati warisan ulama klasik sehingga masihtetap menjadikannya sebagai pertimbangan dalam penetapan hukum. Adajuga yang menolaknya dengan anggapan sudah tidak relevan saat ini karenaada metode lain yang dianggap lebih layak.52 Persamaan yang mereka milikihanya pada pengambilan sumber rujukan yaitu naŞŞAlquran dan hadis.

Kelompok kontekstual memandang makna yang terkandung dalamsuatu teks bersifat dinamis dan senantiasa berubah selaras dengan

antara suara, bahasa, dan kondisi psikologis pemakainya. Imam al-Jurjani mengakuiadanya hubungan bahasa dengan pikiran serta mempunyai struktur dan fungsitertentu yang berbeda dengan unsur lain. Lihat Ahmad Saeful, “Teori Hudud dalamHukum Islam; Studi Pemikiran Muhammad Shahrur”, dalam Jaenal Aripin dan AnasShafwan Khalid (ed), Filsafat Hukum Islam dalam Dua Pertanyaan, (Jakarta:Lembaga Penelitian UIN Syahid, 2008), h. 73

50 Berdasarkan penelitian yang dilakukan Shahrur terhadap bahasa iamendapati bahwa sebenarnya teks merupakan alat yang berfungsi untukmenjelaskan makna. Oleh karena itu, memaknai suatu teks pada arti tertentusehingga menutup kemungkinan makna lain, tidak dapat dibenarkan. LihatMuhammad Shahrur, Metodologi Fiqih Islam Kontemporer, Penerjemah SahironSyamsuddin dan Burhanuddin, (Yogyakarta: eLSAQ, 2004), h. 61.

51Hasan Hanafi, al-Turāth wa al-Tajdid, Penerjemah. Yudian Wahyudi,(Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 2001), h. 9-12. Lihat juga Adis Duderija, “IslamicGroups and Their World-Views and Identities: Neo-Traditional Salafis andProgressive Muslims”, in Arab Law Quarterly, Vol. 21, No. 4 (2007), h. 358-359.

52 MenurutAbdou Filali-Ansary bagi paradigma kontekstual apapunpengetahuan, metode, maupun pendekatan modern yang dapat membantu dalammemahami ajaran Islam akan diterapkan. Oleh karena itu, untuk mencapai hakikatdan moral yang terkandung dalam naŞŞ, meninggalkan tradisi-tradisi klasik dapatdimungkinkan terjadi. Abdou Filali Ansary, Pembaruan Islam; Dari Mana danHendak ke Mana?,(Jakarta: Mizan, 2009). h. 300.

Page 44: kontekstualisasi hukum islam

Kontekstualisasi dalam Hukum Islam

31

perkembangan bahasa, sosial dan budaya masyarakat. Kedinamisan maknamembuat para ulama dapat memilih dan memilah satu dari beberapa maknayang lebih tepat dipergunakan pada suatu kasus dan berlaku untuk seluruhlingkungan, kondisi, dan masa. Jadi meski hadis bersifat sebagai penjelasAlquran, namun penjelasan itu bukanlah batas final. Di sisi lain jika Alqurandipandang sebagai suatu teks maka ia hanya akan dianggap sebagai bahasa.Namun tujuan utama naŞŞ bukanlah itu karena sebagai wahyu keberadaannaŞŞ senantiasa terkait dengan konteks sosio-historis tertentu. Hal inilah yangmembuat kedudukan Alquran menjadi paling tinggi dari pada teks lain.53

Makna yang terkandung dalam suatu kata tidak dapat dipisahkan dari aspekkonteksnya. Jika seseorang hanya memahami suatu kata secara literal makamakna yang akan diperolehnya sangat sedikit. Namun jika ia memahaminyasecara kontekstual maka ia akan mendapat makna dalam jangkauan yangsangat luas.54 Oleh karena itu, agar naŞŞ Alquran dan hadis selaras denganberbagai kondisi, waktu, dan tempat maka harus dipahami sebagai bahasasekaligus wacana.

Senada dengan hal di atas Komaruddin Hidayat menambahkanbahwa bahasa agama terdiri atas dua bentuk yaitu preskriptif dan deskriptif.Bahasa preskriptif mengandung makna yang bersifat persuasif sehinggamembuat para pembaca mengikuti semua pesan dan ajakan yang terkandungdalam teks. Adapun bahasa deskriptif bersifat sangat terbuka sehinggamembuat para pembaca turut andil dalam mendiskusikannya ataumengembangkannya lebih lanjut. Namun tidak semua bahasa yangdipergunakan naŞŞ bersifat preskriptif sehingga hanya berisi perintah danlarangan saja, karena dalam prakteknya sangatlah sulit menentukan manajenis bahasa perintah dan mana jenis bahasa larangan. Di sisi lain tidaksemua petunjuk naŞŞ diungkapkan dalam bentuk perintah dan larangan, tapibisa juga dengan bentuk lain. Bahasa deskriptif berperan dalam memahamibahasa agama sehingga pesan-pesan naŞŞ dapat dipahami dan diaplikasikanuntuk menyelesaikan semua persoalan umat manusia.55

53Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an: Towards a ContemporaryApproach, h. 106-109.

54Adam Kramer, “Common Sense Principles of Contract Interpretation(And How We've Been Using Them All along)”, h. 177.

55Bahasa agama terdiri atas tiga kajian yaitu; 1) Bahasa metafisik yangdipakai untuk menjelaskan suatu objek yang berbentuk metafisikal, seperti Tuhandan malaikat. 2) Bahasa kitab suci seperti yang dipakai dalam naŞŞ Alquran(preskriptif dan deskriptif). 3) Bahasa ritual keagamaan yang tidak hanya berupaucapan namun mungkin juga berupa gerakan tubuh, seperti gerakan-gerakan dalamibadah salat dan haji. Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama SebuahKajian Hermeneutik, (Jakarta: Paramadina, 1996), h. 77-78.

Page 45: kontekstualisasi hukum islam

Kontekstualisasi Hukum Islam

32

Pemahaman kontekstual yang seimbang terhadap naŞŞ Alquran danhadis harus mempertimbangkan makna tekstual, aspek historis (termasukperiode pra dan awal Islam dalam budaya Hijaz), dan aspek kontekstual teks.Menjadikan makna literal sebagai pijakan awal dalam pendekatankontekstual dapat menghindari berbagai fantasi makna sehingga akhirnyaakan membatasi makna sesuai dengan ketentuan linguistik.56 Meskipun nantiterjadi perubahan makna lantaran berubahnya konteks, namun perubahantersebut tidak sampai melanggar aturan umum. Beranjak dari hal ini makapemahaman kontekstual dapat diterapkan ke berbagai aspek termasukhukum Islam. Mengingat kompleksitasnya permasalahan hukum yangdialami umat Islam, khususnya sekarang, maka upaya mengkontekstualisasihukum Islam merupakan suatu kemestian. Kontekstualisasi hukum Islamyang dilakukan para ulama bertujuan untuk memahami naŞŞmenurut realitaaktual. Melalui beragam pendekatan dan metode yang sesuai denganperkembangan pengetahuan, seperti uŞūl al-fiqh, tafsir, etnografi, sosiologi,dan teknologi, kontekstualisasi hukum Islam dapat diterapkan kepada semuaproduk hukum, seperti fikih dan fatwa.57

Tujuan utama dari kontekstualisasi hukum Islam adalahmewujudkan kemaslahatan manusia, baik untuk kehidupan duniawi maupunukhrawi. Kemaslahatan merupakan prinsip dan esensi hakiki hukum Islamsehingga harus dilestarikan. Hal ini berarti seluruh perintah ataupun laranganyang telah ditetapkan Allah dan Rasulullah mengandung kemaslahatan gunamewujudkan tujuan-tujuan syariat’. 58 Secara bahasa maŞlaḥah berartimengambil manfaat dan menolak mudarat. 59 Jadi mewujudkan suatukemanfaatan seperti kenyamanan, kebahagiaan, dan kesenangan ataupunmenolak kerusakan, seperti menghindari kemudaratan, penderitaan, dankepedihan disebut dengan maŞlaḥah. Adapun secara istilah maŞlaḥahdidefenisikan para ulama dengan kebaikan atau manfaat yang dikehendakiShāri’ untuk hamba-hamba-Nya baik berupa memelihara agama, jiwa, akal,keturunan, dan harta mereka. Manfaat yang akan diwujudkan dalam suatu

56Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an: Towards a ContemporaryApproach, h. 112-114.

57M Syakur Chudlori, “Kontekstualisasi Hukum Islam di Indonesia”, dalamAl Mashlahah Jurnal Hukum dan Pranata Sosial Islam, Vol. 3, No. 06, (2015), h.209-210.

58Izzuddἷn ibn ‘Abd al-Salām, Qawā’id al-Aḥkām fἷ MaŞāliḥ al-Anām, Juz.I, (Beirūt: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.th), h. 3.

59‘Ali Ḥasballah, UŞūl al-Tashrἷ’ al-Islāmi, h. 161. Lihat juga Wahbah al-Zuhaily, UŞūl al-Fiqh al-Islāmi, Juz. II, h. 1017.

Page 46: kontekstualisasi hukum islam

Kontekstualisasi dalam Hukum Islam

33

kemaslahatan merupakan tujuan yang hakiki dan sejalan dengan fitrahmanusia.60

Kemaslahatan yang dikehendaki Islam adalah kemaslahatan hakikiyang telah ditetapkan naŞŞ Alquran dan hadis, bukan didasari kehendaknafsu. Oleh karena itu, kemaslahatan tersebut harus bersifat umum, bukandikhususkan bagi individu atau kelompok tertentu.61 Kemaslahatan individuharus dijadikan sebagai sarana demi mewujudkan kemaslahatan umum. 62

Tujuan-tujuan syariat yang terkandung dalam maŞlaḥah bersifat universaldan mutlak pada seluruh prinsip dasar hukum Islam. Hukum Islam pastinyaakan mengacu kepada upaya menghindari kemudaratan dan mengambilkemanfaatan (dar’u al-mafāsid wa jalb al-maŞāliḥ) sehingga tujuanpenerapan syariat dapat terwujud. Setiap sesuatu yang tidak mengandungkemaslahatan atau kerusakan, harus dikembalikan kepada hukum dasarsebelum datangnya syariat. Berdasarkan hal ini maka kemaslahatan dapatdikaitkan kepada beberapa aspek yaitu hati, indera, tubuh dan anggotanya,tempat, waktu, harta, serta benda.63

‘Izzuddin ibn ‘Abd al-Salām (w. 660 H) menambahkan dua jeniskemaslahatan yaitu kemaslahatan akhirat dan dunia. Kemaslahatan akhiratyang berupa pahala, keridaan Tuhan dan ketenangan di sisi-Nya hanya dapatdiketahui melalui syariat. Kemaslahatan akhirat merupakan hasil atau akibatdari kehidupan dunia sehingga hanya dapat dipastikan setelah kematian.Adapun kemaslahatan dunia yang mempunyai tiga sifat yaitu pasti, relatif,dan asumsi, dapat berbentuk kebahagiaan, kenikmatan makanan dan

60Muhammad Sa’ἷd Ramaḍān al-Būṭy, Ḍawābiṭ al-MaŞlaḥah fἷ al-Sharἷ’ahal-Islāmiyyah, (Beirūt: Muassasah al-Risālah, 2001), h. 27-28.Wahbah al-Zuhailymenambahkan bahwa terdapat tiga unsur penting yang terkandung di setiap hukumyaitu ‘illat, ḥikmah al-tashrἷ’, dan maqāŞid al-tashrἷ’. ‘Illat merupakan suatu sifatzahir dan terukur yang senantiasa melekat dalam setiap hukum. Ḥikmah al-tashrἷ’merupakan setiap perbuatan yang mengandung manfaat ataupun mudarat. SementaramaqāŞid al-tashrἷ’ merupakan sikap yang menarik kemanfaatan atau menolakkemudaratan.Wahbah al-Zuhaily, UŞūl al-Fiqh al-Islāmi, Juz. II, h.1018.

61Muhammad Abū Zahrah, Tārἷkh al-Madhāhib al-Islāmiyyah fi Tārἷkh al-Madhāhib al-Fiqhiyyah, Juz. II, (Beirūt: Dār al-Fikr al-‘Arabi, T.th), h. 85.

62‘Alāl al-Fāsy, MaqāŞἷd al-Sharἷ’ah al-Islāmiyyah wa Makārimuhā, (T.tp:

Maktabah al-Waḥdah al-’Arabiyyah, t.th), h. 177.63‘Izzuddin ibn ‘Abd al-Salām, al-Fawāid fἷ IkhtiŞār al-MaqāŞid aw al-

Qawā’id al-Ṣughrā, (Beirũt: Dār al-Fikr, 1996), h. 43. Kemaslahatan yang dimaksuddalam hal ini adalah kemaslahatan dunia baik dalam aspek muamalah, munakahat,maupun jinayah, bukan ibadah.

Page 47: kontekstualisasi hukum islam

Kontekstualisasi Hukum Islam

34

minuman, keuntungan, keamanan, serta kekayaan. Kemaslahatan duniadapat diketahui melalui penelitian dan kebiasaan, bukan melalui syariat.64

Pada proses pengambilan manfaat atau kebaikan serta penolakankerusakan, pertimbangan akal sehat juga dibutuhkan. Artinya melalui akal,manusia dapat memahami dengan baik alasan dibalik suatu pendapathukum.65 Oleh karena itu, kemaslahatan yang dimaksud dalam konteks iniharus dilandasi kepada naŞŞ Alquran dan hadis serta pertimbangan akal. Jikaperan akal lebih mendominasi, dikhawatirkan akan menjerumuskan kepadakehendak hawa nafsu. Hal ini dikarenakan kadang kala seseorang salahmengira atau salah mengartikan makna kemaslahatan. Sesuatu yang dalampandangan manusia baik, mungkin tidak baik menurut pandangan Allah.Begitu pula sebaliknya, sesuatu yang dalam pandangan manusia terlihattidak baik, mungkin sangat baik menurut Allah,66 seperti tidak diberinyawarisan kepada perempuan di masa pra-Islam dianggap sebagai suatumaŞlaḥah menurut adat istiadat mereka saat itu.

Berdasarkan penelitian terhadap Alquran dan hadis dapat dipahamibahwa seluruh perintah mengandung kebaikan dan seluruh laranganmengandung keburukan. Barometer yang menjadi dasar pijakan dalampenentuan baik atau buruknya sesuatu adalah kebutuhan pokok manusia.67

Oleh karena itu, inti dari setiap kemaslahatan adalah perlindungan danpertimbangan terhadap seluruh kebutuhan pokok manusia di dunia danakhirat. Dengan demikian sampai kapanpun tidak akan pernah terjadiperubahan syariat dalam naŞŞ. Melalui penerapan konsep maŞlaḥah,kehendak Shāri’ akan senantiasa berpadu dengan perubahan-perubahansosial yang terjadi di kalangan manusia.68

MaŞlaḥah bukan saja berisikan kebutuhan pokok(ḍarūriyyah) 69 semata, namun terdapat dua kebutuhan lainnya yaitu

64‘Izzuddin ibn Abd al-Salām, al-Fawāid fἷ IkhtiŞār al-MaqāŞid aw al-Qawā’id al-Ṣughrā, h. 40-41. Perbedaan dan perubahan yang terjadi pada hukum,disebabkan oleh berbedanya kemaslahatan yang melingkupinya karena Allah telahmenetapkan segala sesuatu sesuai dengan kemaslahatan dan tujuannya masing-masing. ‘Izzuddἷn ibn ‘Abd al-Salām, Qawā’id al-Aḥkām fἷ-MaŞāliḥ al-Anām, h. 11.

65Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, h. 207.66Nasrun Haroen, Ushul Fiqh I, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1996), h.

114.67Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, h. 208.68Nasaruddin Umar, Deradikalisasi Pemahaman al-Qur’an dan Hadis,

(Jakarta: PT Elex Media Komputindo, 2014), h. 51-52.69Secara bahasa term ḍarūriyyah berarti penting. Beranjak dari pengertian

bahasa ini maka yang dimaksud dengan maŞlaḥah ḍarūriyyah adalah suatukemaslahatan yang terkait langsung dengan kehidupan manusia di dunia dan akhirat.

Page 48: kontekstualisasi hukum islam

Kontekstualisasi dalam Hukum Islam

35

ḥājiyyah70dan taḥsἷniyyah.71 Ketiga maŞlaḥah ini disusun berdasarkan urutankepentingan sehingga posisi pertama ditempati maŞlaḥah ḍarūriyyah(pokok), yang diikuti oleh maŞlaḥah ḥājiyyah dan diakhiri oleh maŞlaḥahtaḥsἷniyyah. Kemaslahatan ḍarūriyyah harus lebih diutamakan jika bertemudengan kemaslahatan ḥājiyyah. Begitu juga jika kemaslahatan taḥsἷniyyahbertemu dengan ḥājiyyah, maka kemaslahatan ḥājiyyah harus diutamakan.72

Menurut para ulama kebutuhan pokok manusia tidak dapat dilepaskandari pemeliharaan lima unsur yaitu agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.73

Hal ini dikarenakan kelima unsur tersebut sangat terkait erat dengan

Jika kemaslahatan ini hilang maka akan merusak kehidupan dan kenikmatan didunia serta dapat membawa kepada siksaan di akhirat. Oleh karena itu,kemaslahatan ini dimaksudkan untuk memelihara kelima unsur pokok yaitu; agama,jiwa, akal, keturunan, dan harta. Lihat ‘Ali Ḥasballah, UŞūl al-Tashrἷ’al-Islāmi,h.117.

70MaŞlaḥah ḥājiyyah adalah suatu kemaslahatan yang dibutuhkan manusiadalam rangka menghilangkan kesulitan serta menghindari kesempitan dankesusahan. Hilangnya kemaslahatan ini tidak akan merusak kehidupan, namun hidupakan menjadi sulit dan berat. Dengan kata lain kemaslahatan ini sangat diperlukanuntuk menyempurnakan kebutuhan pokok dalam bentuk memberi keringanan danmemelihara kebutuhan dasar manusia. Seperti dibolehkannya transaksi jual belidalam rangka memenuhi kebutuhan hidup, dan menjamak salat dalam perjalananuntuk memberi keringanan dalam beribadah. ‘Ali Ḥasballah, UŞūl al-Tashrἷ’ al-Islāmi, h. 117. Lihat juga Nasrun Haroen, Ushul Fiqh I, h. 116.

71 MaŞlaḥah taḥsἷniyyah merupakan suatu kemaslahatan yang berupakeindahan dalam tradisi dan kehormatan. Ketiadaan kemaslahatan ini tidak akanmerusak tatanan hidup dan tidak juga menyebabkan kesulitan. MaŞlaḥah taḥsἷniyyahini bersifat melengkapi dua kemaslahatan sebelumnya berupa keleluasaan, sepertimemakai pakaian yang bagus ketika hari raya, dan melaksanakan ibadah sunnahsebagai amal tambahan. ‘Ali Ḥasballah, UŞūl al Tashrἷ’al-Islāmi, h.118. Lihat jugaNasrun Haroen, Ushul Fiqh I, h. 116.

72Nasrun Haroen, Ushul Fiqh I, h. 116.73Muhammad Abū Zahrah, UŞūl al-Fiqh, (Beirūt: Dār al-Fikr al-‘Arabi,

T.th), h. 278. Menurut sejarah, maŞlaḥah terkait dengan beberapa metode hukumabad pertengahan yaitu konsep kebaikan bersama yang diadopsi dan diterapkan al-Ghazali ke dalam kajian hukum Islam. Hal ini berarti lima prinsip dasar (ḍarūriyyahal-khamsah) yang ditetapkan al-Ghazali sebagai unsur penting maŞlaḥah tidakmemiliki landasan yuridis dalam teks naŞŞ Alquran dan hadis. Lihat David LJohnston, Yusuf al Qaradawi’s Purposive Fiqh: Promoting or Demoting the FutureRole of the Ulama, in Adis Duderija (ed), Maqasid al Shari’a and ContemporaryReformist Muslim Thought, 2014, h. 43. Diakses dari www.palgraveconnect. com(2015-07-07).

Page 49: kontekstualisasi hukum islam

Kontekstualisasi Hukum Islam

36

keberadaan manusia selama hidup di dunia. Kemuliaan derajat seorangmanusia juga tergantung kepada pemeliharaan kelima unsur ini.74 Perbuatanapapun yang dilakukan untuk memelihara kelima unsur ini, dianggapmaŞlaḥah. 75 Begitu juga semua usaha yang dilakukan untuk menolakkerusakan dan kemudaratan terkait kelima unsur ini dianggap sebagaimaŞlaḥah. Perintah untuk memakan makanan yang halal dan baikmerupakan suatu bentuk maŞlaḥah dalam rangka memelihara jiwa sertalarangan meminum khamar merupakan maŞlaḥah dalam rangka memeliharaakal.76 Terlepas dari semua hal di atas yang jelas seluruh tindakan yangdilakukan baik berupa menarik manfaat ataupun menolak kerusakanmempunyai kekuatan hukum yang relatif (ẓanni) bukan qaṭ’i.77 Hal inilahyang nantinya akan menjadi penyebab utama perbedaan dalam setiap hukumyang ditetapkan para ulama karena berbedanya mereka dalam menetapkanbentuk dan jenis dari suatu kemaslahatan.

Terkait peran akal sebagai salah satu barometer penentu suatukemaslahatan, mendapat tanggapan yang beragam di kalangan ulama.Kelompok Zāhiriyyah dan Mutakallimin menolak secara tegas penempatanakal sebagai penentu kemaslahatan. Menurut mereka sesuatu dapat dikatakanmaŞlaḥah jika sesuai dengan yang diperlihatkan literal teks naŞŞ semata.Penolakan ini dikarenakan mereka menganggap akal identik dengan nafsusehingga nantinya akan mengkontaminasi hukum Islam. Oleh karena itu,kelompok ini juga menolak kemaslahatan yang diperoleh dari hasilpengkajian teks atau melalui upaya qiyās. Di sisi lain ada juga kelompokyang tidak hanya menemukan kemaslahatan dari literal teks naŞŞ belaka,namun juga dapat diperoleh melalui penggalian teks, misalnya dengan caraqiyās.78 Meski kelompok ini tidak tegas menerima keberadaan akal, namun

74Muhammad Abū Zahrah, Tārἷkh al-Madhāhib al-Islāmiyyah, Juz. II, h.86.

75Keberadaan konsep kebaikan bersama pada abad pertengahan merupakandoktrin yang agak kontroversial sehingga membuat al-Ghazali berhati-hati untukmenerapkannya dalam maŞlaḥah. Kehati-hatian al-Ghazali ini ditunjukkan denganmenetapkan persyaratan bahwa maŞlaḥah hanya dapat diterima jika telah ditetapkanoleh teks naŞŞ. Jika ia berbentuk maŞlaḥah al-mursalah maka harus ditetapkanberdasarkan qiyās. Lihat David L Johnston, Yusuf al Qaradawi’s Purposive Fiqh:Promoting or Demoting the Future Role of the Ulama, h. 43.

76‘Ali Ḥasballah, UŞūl al-Tashrἷ’al-Islāmi, h. 161.77‘Izzuddἷn ibn ‘Abd al-Salām, Qawā’id al-Aḥkām fἷ MaŞāliḥ al-Anām, h.

3.78Muhammad Abū Zahrah, UŞūl al-Fiqh, h. 279. Lihat juga ‘Alāl al-Fāsy,

MaqāŞἷd al-Sharἷ’ah al-Islāmiyyah wa Makārimuhā, h. 140.

Page 50: kontekstualisasi hukum islam

Kontekstualisasi dalam Hukum Islam

37

upaya penggalian maŞlaḥah yang berada di dalam teks naŞŞ, secara tidaklangsung menunjukkan bahwa akal turut berperan dalam menentukan suatukemaslahatan. Kemaslahatan ini dikenal dengan nama maŞlaḥah al-mursalah. Oleh karena itu, menurut ulama penerimaan maŞlaḥah al-mursalah sebagai dalil hukum harus disertai dengan beberapa persyaratan.Al-Ghazali (w. 505 H) menetapkan tiga syarat dalam menerima keberadaanmaŞlaḥah al-mursalah yaitu bersifat ḍarūriyyah (penting), kulliyyah(universal), dan qaṭ’iyyah (pasti).79 Ulama Mālikiyyah yang dikenal seringmenggunakan maŞlaḥah al-mursalah juga memberikan tiga syarat yaitu; 1)Harus selaras dengan tujuan syariat (maqāŞἷd al-sharἷ’ah) sehingga tidakboleh bertentangan dengan dalil yang qaṭ’i. 2) Bersifat rasional sehinggadapat dipahami oleh siapapun yang berakal, dan 3) Ditujukan untukmemelihara persoalan penting (ḍarūriyyah) atau menghilangkan kesulitandalam agama.80

Terkait dengan hal ini pemikiran al-Ţūfi (w. 717 H), ulama Ḥanābilah,mengenai maŞlaḥah sempat mengguncang dunia Islam. Keberaniannyadalam mengutamakan maŞlaḥah dari pada naŞŞ dan ijmā’ telah mengusikpara ulama karena dianggap merusak tatanan hukum yang sudah baku.Ketika menjelaskan makna hadis ke-32 dari hadis Arba’in terkait laranganuntuk mencelakai atau memberi kemudaratan pada diri sendiri dan oranglain, al-Ţūfi menyadari bahwa dibalik kedua larangan tersebut tersiratperintah untuk mewujudkan kemaslahatan sebagai lawan dari kemudaratan.Artinya upaya menghilangkan kemudaratan hanya dapat dicapai dengan caramewujudkan kemaslahatan. Berdasarkan hal ini al-Ţūfi meyakini bahwamaŞlaḥah merupakan unsur yang sangat penting dan paling tinggi dari pada

79‘Alāl al-Fāsy, MaqāŞἷd al-Sharἷ’ah al-Islāmiyyah wa Makārimuhā, h.142-143. Terkait tiga persyaratan ini al-Ghazali membolehkan pasukan muslimuntuk membunuh tawanan muslim yang dijadikan tameng oleh pasukan kafir dalampeperangan. Meski terdapat naŞŞ yang melarang membunuh sesama muslim yangtidak berdosa, namun menurut al-Ghazali kebolehan tersebut ditujukan untukmenyelamatkan masyarakat muslim lain yang jumlahnya jauh lebih banyak. Jadikebolehan ini dilandasi oleh adanya kemaslahatan yang penting, pasti danmenyeluruh.

80MuŞṭafa Zaid, al-MaŞlaḥah fἷ al-Tashrἷ’al-Islāmἷ, (Qāhirah: Dār al-Yasr,T.th), h. 64-65. Mazhab Zaidiyyah juga menerima keberadaan maŞlaḥah al-mursalah dengan persyaratan yang sama dengan mazhab Mālikiyyah. Akan tetapimereka tidak menamainya dengan maŞlaḥah al-mursalah, namun dengan namaqiyās. Lihat ‘Alāl al-Fāsy, MaqāŞἷd al-Sharἷ’ah al-Islāmiyyah wa Makārimuhā, h.142.

Page 51: kontekstualisasi hukum islam

Kontekstualisasi Hukum Islam

38

dalil-dalil shara’ lainnya. MaŞlaḥah harus dipelihara dengan menghindariatau menghilangkan segala bentuk kemudaratan dan kerusakan. Oleh karenaitu, tidak mungkin berkumpul maŞlaḥah dan mudarat dalam suatu keadaan,karena keduanya saling bertentangan dan tidak ada cara yang dapatmengkompromikannya. Dengan demikian jika di antara ke-19 dalil shara’,versi al Ţūfi, selaras dengan maŞlaḥah, maka dapat diterima. Akan tetapi jikaterjadi pertentangan, dikarenakan ada kemudaratan, maka maŞlaḥah harusdiutamakan. Langkah ini tetap harus dilakukan meskipun pertentanganterjadi antara maŞlaḥah dengan naŞŞ Alquran, hadis, dan ijmā’ sebagai dalilterkuat. Maksud mengutamakan maŞlaḥah di sini bukan berarti menolak ataumembuang naŞŞ dan ijmā’, namun maŞlaḥah menjadi sarana takhŞἷŞ ataupenjelas atas kandungan makna naŞŞ dan ijmā’ tersebut.81

Diskursus maŞlaḥah masih menjadi persoalan hangat yang sampaisekarang diperdebatkan. MaŞlaḥah versus naŞŞmerupakan tampilan lain daridiskursus wahyu versus akal, karena maŞlaḥah diidentikkan dengan akal.Oleh karena itu, mengutamakan maŞlaḥah dari pada naŞŞ sangat tidak layakdalam pandangan mayoritas ulama. Di sisi lain sebagian ulama kontemporermenyatakan bahwa selama maŞlaḥah masih dipandang secara kaku makahukum yang dihasilkan akan kering dan tanpa jiwa.82 Jadi dalam persoalan

81Najm al-Dἷn Sulaymān ibn ‘Abd al-Qawy ibn ‘Abd al-Karἷm al-Ţūfi,Kitāb al-Ta’yἷn fi Sharḥ al-Arba’ἷn, (Beirũt: Muassasah al-Rayān, 1998), h. 237-241. Selanjutnya al-Ţūfi menyatakan bahwa kemaslahatan yang diutamakan dalampermasalahan di atas hanya terbatas pada aspek muamalah dan adat saja, bukanibadah. Hal ini dikarenakan menjaga kemaslahatan yang terkait muamalah dan adatmerupakan bagian dari tujuan syariat. Adapun aspek ibadah yang merupakan hakShāri’ hanya dapat diketahui caranya melalui petunjuk naŞŞ atau ijmā’. MenurutJamal al-Bana banyak tanggapan ulama terkait pemikiran al-Ţūfi, namun umumnyabersifat menghujat. Meskipun ada ulama yang mencoba memahami dan menafsirkanapa dan bagaimana konsep maŞlaḥah versi al-Ţūfi, namun hasil akhirnya tetaprelatif. Hal ini dikarenakan al-Ţūfi sendiri tidak mengemukakan contoh maŞlaḥahyang dimaksudnya tersebut. Jamal al-Banna, Nahw Fiqh Jadid, Jilid. III,Penerjemah. Hasibullah Satrawi dan Zuhairy Misrawi, (Jakarta: Erlangga, 2008), h.68-74.

82 Kondisi ini terlihat pada mayoritas produk fikih, di mana basisepistemologi dan metodologisnya senantiasa mengacu kepada analisis tekstual yangdilatari pada penggalian teks naŞŞ. Keberadaan aspek realitas sosial dalam prosespenetapan hukum tidak dijadikan sebagai bahan pertimbangan yang penting, karenamasih harus ditundukkan kepada teks naŞŞ. Lihat Rumadi Ahmad, Fatwa HubunganAntaragama di Indonesia, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2015), h. 60-61.

Page 52: kontekstualisasi hukum islam

Kontekstualisasi dalam Hukum Islam

39

selain ibadah, sangat diperlukan upaya harmonisasi antara naŞŞ sebagaisumber hukum dengan akal sebagai pertimbangan agar hukum yang terciptadapat mendatangkan kebaikan bagi manusia. Memang keberadaan akalsering dipandang dengan konotasi negatif, karena dapat dipengaruhi ataudikuasai nafsu. Akan tetapi di sisi lain keberadaan akal sehat sangatmembantu dalam menentukan baik dan buruknya sesuatu.

C. Genealogi Kontekstualisasi Hukum IslamParadigma kontekstual berperan penting dalam perkembangan

pemikiran hukum Islam. Meski istilah kontekstual baru muncul belakangan,namun pada hakikatnya cikal bakalnya sudah tumbuh semenjak awal Islamkhususnya pada masa sahabat. Berasal dari sahabat yang memilikikecenderungan memahami naŞŞ melalui tujuan dan ruh syariat yangterkandung di dalamnya, akhirnya terbentuk satu kelompok besar ulamayang dikenal dengan nama ahl al-ra'yi. Dalam menangani persoalan hukum,selain tetap merujuk kepada naŞŞ, ahl al-ra'yi juga senantiasa memperhatikankondisi sosio-kultural dan perubahan waktu. Menurut mereka hukum dapatdipahami melalui akal berikut dengan kemanfaatan yang ada di dalamnya.Alhasil permasalahan furū’iyyah juga menjadi perhatian mereka.

Pola fikir ahl al-ra'yi dilatari oleh tiga faktor berikut: 1) Tempattinggal yang sudah menjauh dari sumber Islam, seperti di Irak dan Kufah. 2)Keberadaan yang jauh ini menyebabkan hadis yang mereka miliki sangatsedikit. 3) Pada masa itu banyak tersebar hadis palsu sehingga membuat ahlal-ra'yi sangat selektif dalam menerima suatu riwayat hadis. Bahkan merekaakan menolak suatu hadis jika bertentangan dengan ‘illat yang dikandungsuatu hukum. 83 Ahl al-ra'yi juga sangat memperhatikan kondisi sosio-kultural. Akibatnya ketetapan hukum yang mereka ambil boleh jadi berbedadengan makna harfiah naŞŞ. Bahkan mereka juga melakukan pembacaanulang atas teks naŞŞ jika diperlukan. 84 Pemikiran kelompok ahl al-ra’yiditentang kelompok ahl al-ḥadἷth karena dianggap telah meninggalkansunnah dan lebih memprioritaskan akal.85 Tentu saja kecaman ini ditolakkelompok ahl al-ra’yi dengan menyatakan bahwa mereka sebenarnya juga

83 Wahbah al-Zuhayli dan Jamaludin Aṭiyyah, Tajdid al-Fiqh al-Islāmi,Penerjemah. Ahmad Mulyadi. (Jakarta: Erlangga, 2002), h. 136.

84Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an: Towards a ContemporaryApproach, h. 53. Abdullah Saeed menyebut kelompok ahl al-ra'yi dengan nama ahlal-qiyās.

85Peran akal (ra’yu) dalam pendekatan kontekstual cukup besar. Akalsangat berperan bukan hanya dalam menelusuri dan menyingkap berbagai aspektersembunyi pada naŞŞ Alquran dan hadis, namun juga berani dalam mengkaji ulangdoktrin yang dianggap baku oleh kelompok mayoritas.

Page 53: kontekstualisasi hukum islam

Kontekstualisasi Hukum Islam

40

menerima keberadaan sunnah dan menggunakannya dalam penetapanhukum. Perbedaannya hanya terletak pada persentase penerimaan saja, dimana sunnah yang diterima ahl al-ra’yi tidak sebanyak yang diterima ahl al-ḥadἷth. Ijtihad yang dilakukan kelompok ahl al-ra’yi sering menggunakanmetode qiyās.86

Terkait dengan ra’yu, Abū Zahrah (w. 1974 M) menyatakan bahwahakikat ra’yu yang dikenal di masa sahabat ada dua yaitu qiyās danmaŞlaḥah.87 Berdasarkan hal ini, ‘Umar ibn al-Khattab (w. 644 M) dianggapsebagai salah seorang sahabat yang terkenal dengan upaya kontekstualisasihukum Islam. Pada beberapa kasus ‘Umar menetapkan hukum yang sangatmemperhatikan unsur konteks sehingga terkadang seolah-olah bertentangandengan naŞŞ. ‘Umar Ibn al-Khattab tidak menerapkan hukum potong tangandalam beberapa kasus pencurian, karena kondisi paceklik dan gagal panen.Menurut Muhammad Baltaji (l. 1963 M), keputusan ‘Umar tersebut tidaklahmenyalahi naŞŞ Alquran, karena ternyata ada hadis sahih yang menyatakanbahwa hukum potong tangan tidak berlaku dalam kondisi terpaksa dankelaparan. Selain itu terdapat beberapa teks naŞŞ yang membolehkanseseorang untuk memakan sesuatu yang haram atau bahkan melakukansesuatu yang terlarang lantaran terpaksa. Kemaslahatan dalam memeliharajiwa harus lebih diprioritaskan dari pada memelihara harta. Jadi sebenarnyasemua keputusan ‘Umar sejalan dengan teks naŞŞ dan tujuan syariat.88 Begitujuga terkait sanksi rajam bagi pezina, ‘Umar pernah menggugurkannya padabeberapa kasus. Keputusan pengguguran sanksi rajam ini bukan disebabkanoleh tidak adanya ketetapan naŞŞ yang terkait, namun didasari oleh dua sebab

86Muhammad Abū Zahrah, Tārἷkh al-Madhāhib al-Islāmiyyah fi Tārἷkh al-Madhāhib al-Fiqhiyyah, Juz. II, h. 31-32.

87Menurut Abū Zahrah anggapan kebanyakan ulama yang menyatakanbahwa ‘Umar ibn al-Khattab adalah sahabat yang senantiasa mendasarikeputusannya dengan ra’yu sehingga meninggalkan atau menentang naŞŞ, tidaklahbenar. Keputusan yang dibuat ‘Umar dalam kasus tanah rampasan perang Badardidasari oleh kemaslahatan yang sejalan dengan penerapan naŞŞ dalam rangkamewujudkan tujuan-tujuan syariat. Selain itu ra’yu yang dipakai ‘Umar bukanlahdilandasi oleh akal semata, namun ra’yu yang sejalan dengan pemikiran Rasulullahyang ia peroleh selama pergaulannya dengan Beliau. Muhammad Abū Zahrah,Tārἷkh al-Madhāhib al-Islāmiyyah fἷ Tārἷkh al-Madhāhib al-Fiqhiyyah, Juz. II, h.14-20.

88Muhammad Baltaji, Manhaj ‘Umar ibn al-Khaṭāb fἷ al-Tashrἷ’, (al-Qāhirah: Dār al-Salām, 2003), h. 214-222.

Page 54: kontekstualisasi hukum islam

Kontekstualisasi dalam Hukum Islam

41

yaitu karena terpaksa (diperkosa) dan karena pelaku tidak tahu kalauperbuatan zina hukumnya haram.89

Keputusan Abu Bakr (w. 634 M) yang tidak memberi zakat kepadamualaf didasari atas usulan ‘Umar ibn al-Khattab dan keputusan itu terusdilanjutkan sampai masa pemerintahannya. Menurut ‘Umar saat itukelompok mualaf tidak layak menerima zakat karena mereka merupakanorang mulia atau pemimpin suatu kaum. Di sisi lain terdapat kaum fakir danmiskin yang lebih layak menerima bagian zakat dari pada mereka.Keputusan ini diperkuat dengan kondisi Islam saat itu yang sudah meluasdan kuat, sehingga alasan pemberian zakat kepada kelompok mualaf dengantujuan agar hati mereka tersentuh kepada Islam, tidak lagi tepat.90 Adapunterkait keputusan ‘Umar yang menetapkan talak tiga sekaligus dihitung tigadidasari pada kemaslahatan. Keputusan Rasulullah yang menetapkan talaktiga sekaligus hanya dihitung satu, dianggap ‘Umar sudah tidak lagi tepatkarena tidak memberi efek jera bagi si pelaku. Keputusan ‘Umar tersebutmerupakan sanksi hukum yang ditetapkannya atas orang-orang yangdianggap telah menyalahi perintah Allah.91

Kontekstualisasi hukum juga terlihat pada pemikiran tokoh mazhabSunni, Imam Abū Ḥanἷfah (w. 767 M), 92 pelopor Mazhab Ḥanāfiyyah.Selain mempelajari fikih dengan beberapa guru yang berbeda, Imam AbūḤanἷfah juga merupakan seorang pedagang sutra dan bermukim di Irak.Kegiatan hariannya diisi dengan tiga hal yaitu; berdagang, beribadah, danmempelajari fikih, namun waktu yang dihabiskan untuk mempelajari danmemahami fikih lebih banyak. Selain itu ia juga dikenal dengan sikapdemokratis dan menghormati kebebasan orang lain. Oleh karena itu,pemikiran fikihnya sangat dipengaruhi oleh dua hal yaitu semangat bisnisdan kebebasan individu. Dalam bidang muamalah, seperti jual beli dan

89Muhammad Baltaji, Manhaj ‘Umar ibn al-Khaṭāb fἷ al-Tashrἷ’, h. 226-230.

90Wahbah al-Zuhayli, UŞūl al-Fiqh al-Islāmi. Juz II, h. 764. Lihat jugaMuhammad Baltaji, Manhaj ‘Umar ibn al-Khaṭāb fἷ al-Tashrἷ’, h.149-153.

91Maḥmūd Ismāil Muhammad Mish’al, Athar al-Khilāf al-Fiqh fἷ al-Qawā’id al-Mukhtalaf fἷhā, (Qāhirah: Dār al-Salām, 2007), h. 59. Lihat MuhammadBaltaji, Manhaj ‘Umar ibn al-Khaṭāb fἷ al-Tashrἷ’, h. 264-265.

92Terlahir dari keluarga kaya yang soleh di Kufah pada tahun 80 H, AbūḤanἷfah mempunyai nama asli yaitu Nu’mān ibn Thābit ibn Marzaban al-Fārisy.Sejak kecil Abū Ḥanἷfah menimba berbagai ilmu sampai akhirnya ia menekunibidang fikih dan dikenal dengan gelar Imam Ahl al-Ra’yi. Lantaran tidak memenuhikehendak Khalifah al-ManŞūr untuk menjadi hakim, Abū Ḥanἷfah dipenjara sampaimenutup usia di umur 70 tahun. Muhammad Sa’id Mursi, ‘Uẓamā’ al-Islām,Penerjemah Khoirul Amru Harahap dan Achmad Faozan, (Jakarta: Pustaka alKautsar, 2007), h. 337-338.

Page 55: kontekstualisasi hukum islam

Kontekstualisasi Hukum Islam

42

shirkah, pemikiran Imam Abū Ḥanἷfah banyak didasari atas kemaslahatandan ‘urf. Menurutnya kebebasan individu harus dihormati dan tidak adaorang lain yang berhak membatasinya.93

Kebebasan individu juga terlihat dalam pendapat Imam Abū Ḥanἷfahyang melarang siapapun untuk membatasi tindakan hukum orang bodoh atauboros. Menurut Imam Abū Ḥanἷfah setiap orang yang sudah baligh danberakal, meskipun bodoh atau boros, mempunyai kebebasan untuk berbuatdan bertindak hukum termasuk terhadap hartanya karena ia memilikikecakapan hukum. Tindakan orang lain termasuk wali yang mencoba untukmembatasi perbuatan hukum dengan alasan bodoh atau boros, tidak dapatdibenarkan. Pembatasan atau pengekangan ini akan merusak danmelecehkan martabatnya sebagai manusia yang merdeka dan bebasbertindak hukum. Meskipun begitu upaya pembatasan ini diperbolehkan jikaakan memberi mudarat kepada orang tersebut.94

Orang bodoh dalam pandangan Imam Abū Ḥanἷfah terbagi pada duajenis yaitu orang yang memasuki usia baligh dengan kondisi akal yang tidaknormal dan orang yang memasuki usia baligh dengan kondisi akal yangnormal namun berubah menjadi tidak normal setelah itu. Laranganpenyerahan harta kepada orang bodoh jenis pertama sebagaimana ditegaskanpada surat al-Nisā ayat 5, hanya berlaku sampai ia berumur 25 tahun. Hal inidikarenakan larangan yang ditujukan sebelum usia 25 tahun dilatari olehalasan mendidik orang bodoh atau boros tersebut untuk mengelola hartanya.Adapun setelah usia 25 tahun, pendidikan yang diberikan dalam hal inisudah tidak berpengaruh lagi. Pada kebodohan jenis kedua, Imam AbūḤanἷfah sama sekali melarang siapapun untuk turut campur dalampengelolaan harta bendanya, karena ia sudah dianggap dewasa.95 Dua kasusini menunjukkan bahwa Imam Abū Ḥanἷfah sangat mengutamakan aspekmaŞlaḥah dalam memandang setiap persoalan hukum. Kemaslahatan ini jugayang nantinya akan mendasari Imam Abū Ḥanἷfah merumuskan metodeistiḥsān.96

93Muhammad Abū Zahrah, Tārἷkh al-Madhāhib al-Islāmiyyah fi Tārἷkh al-Madhāhib al-Fiqhiyyah, h. 163-164.

94Misalnya terhadap transaksi yang kemungkinan besar akan menyebabkankehilangan semua harta atau bahkan mengancam nyawa, maka wali bolehmembatalkan akad tersebut karena terdapat kemaslahatan yang besar. MuhammadAbū Zahrah, Tārἷkh al-Madhāhib al-Islāmiyyah fi Tārἷkh al-Madhāhib al-Fiqhiyyah, h. 168.

95 ‘Abd al-‘Azἷz al-Shinawi, al-Aimmah al-Arba’ah; Ḥayātuhum,Mawāqifuhum Arā’uhum al-Imām Abū Ḥanἷfah, Penerjemah. Abdul Majid, (Solo:Aqwam, 2013), h. 193-196.

96Secara bahasa istiḥsān berarti menganggap baik sesuatu. Dalam kajianuŞūl al-fiqh istiḥsān berarti beralih dari menggunakan qiyās jalli kepada qiyās khafi

Page 56: kontekstualisasi hukum islam

Kontekstualisasi dalam Hukum Islam

43

Meskipun Imam al-Shāfi’i 97 menolak istiḥsān, namun al-qaul al-qadἷm dan al-qaul al-jadἷd yang dikeluarkannya menunjukkan kalaupemikirannya juga memperhatikan unsur konteks. Berbeda halnya denganImam Abū Ḥanἷfah yang merupakan seorang pedagang, Imam al-Shāfi’imengisi perjalanan hidupnya dengan mencari dan menimba ilmu. Menurutcatatan sejarah sebelum Imam Mālik ibn Anas (w. 795 M) meninggal, Imamal-Shāfi’i sempat mendatanginya ke Mekah dan belajar fikih darinya (ahl al-hadἷth). Kitab al-muwaṭa’ menjadi kajian utama yang dibahas antara Imamal-Shāfi’i dan Imam Mālik ibn Anas. Setelah itu Imam al-Shāfi’i menambahpembelajaran fikih Irak (ahl al-ra’yi) dengan belajar langsung dariMuhammad ibn Ḥasan al-Shaybāni (w. 805 M), murid Imam Abū Ḥanἷfah.Kombinasi kedua jenis pemikiran ini (ahl al-hadἷth dan ahl al-ra’yi)membuat pemikiran Imam al-Shāfi’i menjadi lebih kaya dan berwarnakarena ia tidak condong kepada salah satu pemikiran tersebut.98 Kedua jenispemikiran tersebut telah mendorong Imam al-Shāfi’i untuk menyusunpemikirannya sendiri secara sistematis menjadi suatu metode yang nantinyadikenal dengan nama uŞūl al-fiqh. Kedua kitab karangan Imam al-Shāfi’i, al-Risālah dan al-Umm, dianggap sebagai pelopor atas kelahiran keilmuan uŞūlal-fiqh dan fiqh di masa itu.99

Perjalanan Imam al-Shāfi’i ke Baghdad (Irak) dan kunjungannya keMesir pada tahun 199 H turut menambah kekayaan kazanah pemikirannya.Di kedua daerah ini Imam al-Shāfi’i mengeluarkan dua pendapat hukumyang kadang berbeda meski kasusnya sama. Semua pendapat hukum yangpernah ia keluarkan di Baghdad ada yang masih dipakai, ada juga yangditinggalkan. Jika terdapat dua pendapat ulama maka akan ditarjἷḥ manayang lebih kuat atau keduanya ditinggalkan jika tidak ada yang lebih kuat.

karena lebih kuat. Istiḥsān juga dapat dipahami dengan memalingkan hukum yangditetapkan oleh suatu dalil syariat kepada hukum lain terkait suatu masalah karenaadanya dalil lain yang menghendaki peralihan tersebut. Lihat Quṭb MuŞṭafa Sanawi,Mu’jam MuŞṭalaḥāt UŞūl al-Fiqh, (Damaskus: Dār al-Fikr al-‘Arabi, 2000), h. 52.

97Dengan nama lengkap Muhammad ibn Idrἷs ibn ‘Abbās ibn ‘Uthmān ibnShāfi’i, Imam al-Shāfi’i lahir pada tahun 150 H di Sham sebagai anak yatim. Setelahitu ia menetap di tiga kota; Mekah, Bagdad, dan Mesir. Tahun 204 H beliaumeninggal di Mesir dalam usia 54 tahun. Muhammad Sa’id Mursi, ‘Uẓamā’ al-Islām, h. 340-341.

98Sha’bān Muhammad Ismā’il menyatakan bahwa qaul al-qadἷm yangdikeluarkan Imam al Shāfi’i saat berada di Irak mencerminkan pemikiran hukum ahlal-ra’yi. Sementara itu qaul al-jadἷd yang dikeluarkannya saat berada di Mesirmerupakan cerminan pemikiran dari ahl al-hadἷth. Pradana Boy ZTF, Fikih JalanTengah, (Jakarta: Hamdalah, 2008), h. 10.

99Muhammad Abū Zahrah, Tārἷkh al-Madhāhib al-Islāmiyyah fi Tārἷkh al-Madhāhib al-Fiqhiyyah, h. 236-237.

Page 57: kontekstualisasi hukum islam

Kontekstualisasi Hukum Islam

44

Dengan demikian pendapat hukum Imam al-Shāfi’i setelah menetap di Mesirmenjadi amandemen atas pendapat hukum sebelumnya saat di Baghdad.Pendapat hukum di Mesir (al-qaul al-jadἷd) ini dicatat oleh Rabi’ ibnSulaimān (w. 270 H) yang secara sengaja mengunjungi Mesir untuk mencarikitab-kitab Imam al-Shāfi’i.100

Al-Qaul al-jadἷd tidak jauh berbeda dengan al-qaul al-qadἷm yangberisi banyak pendapat, terlebih lagi dalam hal yang terkait dengan qiyās,seperti dalam kasus jual beli hasil pertanian yang belum dikeluarkanzakatnya. Ketika kondisi ini diterangkan kepada pembeli, maka apakah jualbeli tersebut menjadi rusak secara keseluruhan, atau kerusakan tersebuthanya terkena pada bagian yang belum dikeluarkan zakatnya saja (10 % atau5 %), atau jual beli tersebut ditangguhkan. Kesemua pendapat di atasmenunjukkan kalau al-qaul al-jadἷd mempunyai banyak kemungkinanpemahaman.101

Kontekstualisasi hukum Islam juga terlihat pada pemikiran Imam al-Shāṭibi (w.1388 M) yang termasuk dalam jajaran tokoh ulama mazhabMālikiyah. Meski bukan merupakan orang pertama yang mencetuskankonsep maqāŞἷd al-sharἷ’ah,102 namun pemikiran dan pengembangan secarasistematis terhadap konsep maqāŞἷd al-sharἷ’ah dalam kitab al-Muwāfaqātmembuat al-Shāṭibi cukup dikenal dan diperhitungkan di kalangan ulama.Sampai sekarang konsep tersebut masih dijadikan objek kajian para ulamadalam rangka mengembangkan studi hukum Islam. Dalam rangkamewujudkan maqāŞἷd al-sharἷ’ah (tujuan-tujuan syariat) perlu dilakukanberbagai upaya sehingga kemaslahatan manusia di dunia dan akhirat yangmenjadi tujuan utama hukum Islam dapat tercapai secara pasti.103

Berdasarkan pemahaman induktif terhadap Alquran dan Hadis,dihasilkan pemahaman bahwa seluruh perintah serta larangan Allah danRasulullah ditujukan untuk kemaslahatan manusia. Perintah wuduk

100Muhammad Abū Zahrah, Tārἷkh al-Madhāhib al-Islāmiyyah fi Tārἷkh al-Madhāhib al-Fiqhiyyah, h. 274.

101Muhammad Abū Zahrah, Tārἷkh al-Madhāhib al-Islāmiyyah fi Tārἷkh al-Madhāhib al-Fiqhiyyah, h. 275.

102Menurut Mohammad Hashim Kamali term maqāŞἷd al-sharἷ’ah pertamakali ditemukan dalam tulisan Abū ‘Abdillah al-Tirmidhi al-Ḥākim (w. 932 H). Akantetapi setelah itu al-Juwayni (w.1085 H) memperluas kajiannya sehingga menjaditerkenal. Oleh karena itu, Imam al-Juwayni dikenal sebagai orang pertama yangmempelopori kajian maqāŞἷd al-sharἷ’ah dan membaginya kepada tiga kategori;ḍarūriyyah, ḥājiyyah, dan taḥsἷniyyah. Mohammad Hashim Kamali, Shari’ah LawAn Introduction, (England: One World, 2008), h. 125.

103Abū Isḥāq Ibrāhἷm ibn Mūsa al-Shāṭibi, al-Muwāfaqāt fἷ UŞūl al-Sharἷ’ah, Juz. II, h. 4.

Page 58: kontekstualisasi hukum islam

Kontekstualisasi dalam Hukum Islam

45

bertujuan untuk membuat manusia menjadi bersih (QS al-Māidah: 6),perintah puasa ditujukan agar manusia menjadi bertaqwa (QS al-Baqarah:183), perintah salat ditujukan agar manusia terhindar dari perbuatan keji danmungkar (QS al-‘Ankabūt: 45), dan perintah kisas ditujukan agar nyawamenjadi terpelihara dan dihormati (QS al-Baqarah: 179). Terkait dengan halini maka al-Shāṭibi membagi maqāŞid secara umum kepada dua bentuk yaitumaqāŞid al-shari’ dan maqāŞid al-mukallaf.104

Al-Shāṭibi menambahkan bahwa prinsip umum dalam maqāŞid al-sharἷ’ah bersifat qaṭ’i. Oleh karena itu, metode atau pendekatan yang dapatdipakai untuk mencapai hal ini antara lain melalui metode istiqrā’(induktif). 105 Metode istiqrā’ dilakukan dengan mengumpulkan danmenggabungkan sejumlah dalil ẓanni yang berbeda, namun mempunyaitujuan yang sama. Penggabungan dalil ẓanni ini akan menghasilkankekuatan hukum yang pasti (qaṭ’i), sama halnya dengan prosedur perumusanhadis mutawātir ma’nawi.106 Aspek lain yang tidak kalah pentingnya dalammetode ini adalah senantiasa mempertimbangkan indikasi-indikasi keadaan(qarā’in al-aḥwāl) yang melingkupi dalil tersebut, baik yang ditegaskan naŞŞ(manŞūŞah) maupun yang tidak ditegaskan naŞŞ (qhairu manŞūŞah). Jikasemua aspek ini sudah terpenuhi dan dilaksanakan, diharapkan kesimpulanhukum yang akan dihasilkan memiliki kekuatan hukum pasti (qaṭ’i).

Metode istiqrā’dapat dilihat pada persoalan terkait hukum salat danzakat. Jika ditelusuri dalam Alquran dan hadis, tidak akan ditemukansatupun ayat atau hadis yang menyatakan kewajiban keduanya secara tegas.Landasan naŞŞ yang selama ini dipakai para ulama untuk menguatkanketetapan hukum wajib adalah ayat yang berbentuk lafal amr yaitu;

Jika satu dalil .واقیموالصالة واتوالذكاة naŞŞ ini saja yang dijadikan landasanhukum dari kewajiban salat dan zakat, maka kesimpulan hukum yang akandihasilkan berkekuatan relatif (ẓanni). Akibatnya hukum salat dan zakat

104Abū Isḥāq Ibrāhἷm ibn Mūsa al-Shāṭibi, al-Muwāfaqāt fἷ UŞūl al-Sharἷ’ah, Juz. II, h. 3-4.

105Al-Shāṭibi mengakui bahwa meskipun metode istiqrā’ sebenarnya sudahpernah dilakukan oleh para ulama terdahulu, namun mereka belum memetakan danmenyusunnya secara sistematis. Alhasil ketika para ulama mencoba menerapkanmetode tersebut, mereka menggunakan dalil naŞŞ secara terpisah dan parsial.Mekanisme yang mereka lakukan ini akan menghasilkan kesimpulan hukum yangberkekuatan relatif (ẓanni) sehingga tidak dapat dijadikan sebagai pedoman bagiumat Islam. Abū Isḥāq Ibrāhἷm ibn Mūsa al-Shāṭibi, al-Muwāfaqāt fἷ UŞūl al-Sharἷ’ah, Juz. I, h. 26.

106Abū Isḥāq Ibrāhἷm ibn Mūsa al-Shāṭibi, al-Muwāfaqāt fἷ UŞūl al-Sharἷ’ah, Juz. I, h. 24.

Page 59: kontekstualisasi hukum islam

Kontekstualisasi Hukum Islam

46

dapat dipahami dengan nadb atau mubāḥ. Ṣiqhat amr dalam ayat ini tidakdapat dijadikan landasan yang kuat (qaṭ’i) untuk menunjukkan hukum wajib,karena pada kenyataannya lafal amr tidak hanya merujuk pada satu maknawajib saja. Oleh karena itu, untuk mengatasi hal ini diperlukan dukungandari berbagai dalil baik berupa naŞŞ seperti pujian bagi yang melakukannya,ancaman dan hukuman bagi yang meninggalkannya, ataupun indikasi-indikasi keadaan (qarāin al-aḥwāl) sehingga mampu menguatkan perintahsalat dan zakat. Keberadaan dalil pendukung ini akan membuat status hukumsalat dan zakat menjadi lebih kuat dan mengarah kepada wajib secaraqaṭ’i.107.

Dalam kalangan mazhab Ḥanābilah muncul seorang ulama bernamaIbn al-Qayyim al-Jawziyyah (w.1350 M). 108 Menurut Ibn al-Qayyim al-Jawziyyah syariat Islam yang dilandasi kepada kemaslahatan manusia didunia dan akhirat mengandung asas keadilan, kemaslahatan, rahmat, danhikmah. Artinya permasalahan apapun yang akan membawa kepadakecurangan, kerusakan, dan kesia-siaan tidak dapat dikategorikan kepadasyariat Islam meskipun dipahami dengan cara takwil. Oleh karena itu, syariatIslam merupakan cahaya dan petunjuk Allah serta obat dan jalan yang lurusbagi orang-orang yang mengikutinya. Namun jika syariat ini diabaikan maka

107Abū Isḥāq Ibrāhἷm ibn Mūsa al-Shāṭibi, al-Muwāfaqāt fἷ UŞūl al-Sharἷ’ah, Juz. I, h. 26. Keberadaan metode istiqrā’ yang dikemukakan al-Shāṭibisangat membantu para mujtahid dalam mengentaskan persoalan hukum yang saat inisudah sangat komplek. Upaya mewujudkan kesatuan dasar-dasar syariat akan lebihmempunyai kekuatan hukum yang kuat dari pada hanya berlandaskan kepada dalil-dalil yang parsial. Dengan demikian dalam menerapkan metode istiqrā’, unsur-unsurkonteks sangat dibutuhkan demi mewujudkan kesatuan dasar syariat yang pasti.Terkait dengan hal ini Duski Ibrahim menyatakan bahwa metode istiqrā’ ini sedikitbanyaknya terinspirasi dari logika dalam mantiq, teori mauḍū’i dalam ilmu hadisdan juga ada kesamaan dengan metode induksi dalam keilmuan sains. DuskiIbrahim, Metode Penetapan Hukum Islam Membongkar Konsep Istiqra’ al Ma’nawial Shāṭibi,(Jogjakarta: Ar-Ruzzmedia, 2008), 172-174.

108 Ibn al-Qayyim al-Jawziyyah dilahirkan di Damaskus tahun 691 Hdengan nama lengkap Muhammad ibn Abi Bakr ibn Ayyūb ibn Sa’ad Zur’i al-Damshiq. Ia biasa dipanggil Abū‘Abdillah dengan gelar Shamsuddin. Ilmu yangditekuni Ibn al-Qayyim meliputi fiqh, ūŞūl al-fiqh,tafsir, hadis, nahwu, dan tasawuf.Ketika menjadi murid Ibn Taimiyyah, ia pernah dipenjara lantaran banyak fatwanyayang berbeda dengan mayoritas ulama, namun dibebaskan setelah gurunya wafat.Pada tahun 751 H tepatnya di usia 60 tahun Ibn al-Qayyimal-Jawziyyah meninggaldunia di Damaskus. Lihat Muhammad Sa’id Mursi, ‘Uẓamā’ al-Islām, h. 366.

Page 60: kontekstualisasi hukum islam

Kontekstualisasi dalam Hukum Islam

47

dunia akan hancur dan manusia akan hidup dalam kesulitan dankekurangan.109

Konsep perubahan hukum yang dikeluarkan Ibn al-Qayyim al-Jawziyyah membuat kajian hukum Islam menjadi lebih responsif dandinamis. ‘Illat yang terkandung dalam suatu hukum dapat berubah jikaterjadi perubahan pada aspek tempat, waktu, dan keadaan sehingga nantinyaakan berdampak kepada berubahnya hukum. Semua aspek yangmengakibatkan terjadinya perubahan tersebut merupakan bagian darikonteks yang senantiasa berkisar di sekeliling hukum. Konsep Ibn al-Qayyim al-Jawziyyah dinyatakan dalam sebuah kaedah berikut,

ات ی الن و ال و ح األ و ة نك م األ و ة ن م ز األ ر ی غ ت ب س ح ب اھ ف ال ت اخ و ىو ت ف ال ر ی غ ت 110د ائ و ع ال و

“Perubahan fatwa (terjadi) karena berubahnya waktu, tempat,keadaan (sosial), niat, dan kebiasaan”

Berdasarkan kaedah ini Ibn al-Qayyim al-Jawziyyah menegaskanbahwa terdapat lima unsur atau indikasi yang dapat menyebabkan hukumberubah. Kelima unsur ini harus diperhatikan ketika berijtihad, karena jikatidak, mungkin akan membuat hukum yang dihasilkan menjadi sulitditerapkan. Hal ini berarti bahwa Allah telah menetapkan keringanan atasmanusia dalam menjalankan syariat Islam sesuai kemampuannya, karenasyariat ditujukan untuk kemaslahatan manusia di kehidupan dunia danakhirat. 111 Dengan demikian demi mewujudkan tujuan syariat tersebutperhatian Ibn al-Qayyim terfokus pada aspek perubahan sosial yangsenantiasa berjalan seiring perkembangan dan kemaslahatan manusia.

Pendapat hukum Ibn al-Qayyim al-Jawziyyah yang agak berbedadengan mayoritas ulama terlihat pada persoalan tawaf ifāḍah yang dilakukanperempuan haid. Sebelum mengemukakan fatwanya Ibn al-Qayyim terlebihdahulu menjelaskan tujuh pendapat ulama lain yang terkait denganpermasalahan ini.112 Akhirnya pada pendapat yang kedelapan Ibn al-Qayyim

109Ibn al-Qayyim al-Jawziyyah, I’lām al-Muwāqi’ἷn ‘an Rabb al-‘Ãlamἷn,Juz. III, (Beirūt: Dār al-Fikr, 1977), h. 14-15.

110Ibn al-Qayyim al-Jawziyyah, I’lām al-Muwāqi’ἷn ‘an Rabb al-‘Ãlamἷn,Juz. III, h. 14

111Ibn al-Qayyim al-Jawziyyah, I’lām al-Muwāqi’ἷn ‘an Rabb al-‘Ãlamἷn,Juz. III, h. 48-49.

112 Di antara ketujuh pendapat tersebut ada yang menyatakan bahwakewajiban tawaf ifāḍah menjadi gugur karena adanya kelemahan yaitu haid. Adajuga yang menyatakan bahwa perempuan haid harus menetap di Mekah sampai sucidan baru diperbolehkan tawaf setelah itu. Dan ada juga yang menyatakan bahwatawaf ifāḍah harus didahulukan pelaksanaannya jika dikhawatirkan akan kedatangan

Page 61: kontekstualisasi hukum islam

Kontekstualisasi Hukum Islam

48

menyatakan bahwa perempuan haid boleh melaksanakan tawaf ifāḍah karenasaat itu ia berada dalam kondisi darurat sehingga tidak dianggap melanggarsyariat. Kondisi ini sama halnya dengan masuknya orang yang junub kedalam masjid saat dikejar musuh atau karena diancam untuk melakukanperbuatan maksiat atau lantaran takut kalau hartanya akan dirampas. Meskidemikian pelaksanaan tawaf bagi perempuan haid harus menghindari daritercecernya darah. Oleh karena itu, perempuan tersebut harus memakaipembalut yang kuat agar darahnya tidak mengotori masjid. Kebolehanperempuan haid untuk melaksanakan tawaf ifāḍah dilatari oleh adanyakebutuhan mendesak113 yang dibatasi waktu, dan hal ini lebih utama daripada kebolehannya berjalan di dalam masjid lantaran adanya suatukebutuhan saja.114

Berdasarkan uraian di atas Fazlur Rahman (w. 1988 M) menyatakanbahwa semua ketetapan hukum yang ditetapkan sahabat, tabiin dan generasisetelah itu menunjukkan bahwa mereka tidak memandang ajaran yangdibawa Alquran dan hadis bersifat statis. Menurut mereka tuntutan teks naŞŞtersebut bergerak secara dinamis selaras dengan kondisi sosial masyarakatyang bervariasi.115Terlepas dari hal ini jika diperhatikan akan terlihat bahwaupaya kontekstualisasi yang dilakukan para ulama di masa pra-modernterbilang mudah dan simpel lantaran peradaban dan kehidupan masyarakatsaat itu masih sederhana sehingga mudah diatasi. Adapun di masakontemporer di mana permasalahan hidup manusia sudah berubah menjadikompleks dan pelik, dibutuhkan penanganan yang lebih komprehensif.Dengan demikian penyelesaian setiap kasus yang terkait hukum selain tetapmenitikberatkan pada kajian ilmu-ilmu keislaman, juga harusdipadupadankan dengan unsur konteks lainnya seperti kajian yang terdapat

haid. Lihat Ibn al-Qayyim al-Jawziyyah, I’lām al-Muwāqi’ἷn ‘an Rabb al-‘Ãlamἷn,Juz. III, h. 27-30.

113Sesuai dengan sebuah kaedah fikih berikut “Suatu kebutuhan (dapat)menempati (kondisi) darurat (baik secara) umum maupun (secara) khusus”. Aḥmadibn al-Shaikh Muhammad al-Zarqā’, Sharḥ al-Qawā’id al-Fiqhiyyah, (Damaskus:Dār al-Qalm, 1996), h. 209.

114Ibn al-Qayyim al-Jawziyyah, I’lām al-Muwāqi’ἷn ‘an Rabb al-‘Ãlamἷn,Juz. III, h.31-32. Pada kasus ini Ibn al-Qayyim sependapat dengan Imam AbūḤanἷfah dan gurunya Imam Aḥmad ibn Ḥanbal. Namun Ibn al-Qayyimmembolehkan perempuan haid melaksanakan tawaf ifāḍah dalam kondisi daruratataupun adanya kebutuhan mendesak. Sementara gurunya dan Imam Abū Ḥanἷfahtidak menjadikan haid sebagai penghalang tawaf, karena mereka tidak menetapkankondisi suci sebagai syarat tawaf namun hanya sebagai bagian dari wajib haji yangjika dilanggar harus ditebus dengan membayar denda (dam).

115Fazlur Rahman, Membuka Pintu Ijtihad, Penerjemah. Anas Mahyudin,(Bandung: Pustaka, 1984), h. 285.

Page 62: kontekstualisasi hukum islam

Kontekstualisasi dalam Hukum Islam

49

pada berbagai disiplin keilmuan. Menurut Louay Safi (l. 1956 M)pendekatan ilmiah sosial perlu diterapkan pada kajian keislaman. Pendekatanini menjadi solusi alternatif karena di dalamnya akan memadukankeabsolutan wahyu dengan pengalaman sosial.116 Di sisi lain pengembangankonsep hermeneutika yang intinya akan mengacu kepada maqās}id al-sharἷ’ah juga diperlukan dalam mewujudkan kemaslahatan.117

Integrasi keilmuan telah membuka peluang bagi semua disiplin ilmuuntuk dijadikan sebagai perbandingan dalam hukum. Hasil kolaborasi duajenis atau lebih pengetahuan tersebut akan membentuk wacana atau nuansabaru dalam memahami studi keislaman. Dalam kajian hukum Islam, nuansakeilmuan ini merupakan bagian dari unsur konteks yang turut mewarnaiperkembangan hukum. Dari sini muncullah beberapa nama yang cukupdikenal dalam dunia Islam lantaran konsep yang mereka usung. Di antaratokoh tersebut adalah Ḥasan Turabi, Toha Husein, an-Na’im, MuhammadShahrur, Hazairin, Ibrahim Hosein, dan Munawir Sadzali. Berikut ini akandikemukakan pemikiran di antara beberapa tokoh tersebut.

Seorang tokoh Muslim yang berasal dari Damaskus Syiria bernamaMuhammad Shahrur (l.1938 M) mencoba mendekati kajian hukum Islamsecara matematis. Meskipun latar belakang pendidikan di bidang agamahanya diperolehnya secara otodidak,118 namun keahliannya di bidang teknikdan matematika tidak menghalanginya untuk mengkaji Islam. Melaluibantuan temannya, Ja’far Dikki al-Bāb yang mempunyai keahlian di bidangbahasa Arab, Muhammad Shahrur memberanikan diri memasuki ranahhukum Islam dan tafsir melalui beberapa pendekatan. Hasil pengkajiannyaterhadap hukum Islam yang dipadukan dengan berbagai teori menghasilkanteori ḥudūd (batas) yang sampai sekarang masih menjadi perdebatan.Lantaran keberanian ini, Muhammad Shahrur dijuluki sebagai ImmanuelKant di Dunia Arab atau sebagai Martin Luther dalam Islam.119

Bertitik tolak dari kajian tentang hubungan antara kondisi berada(al-kaynūnah atau being), kondisi berproses (al-sayrūrah atau process), dan

116Louay Safi, The Foundation of Knowledge, (Malaysia: InternationalIslamic University Malaysia Press, 1996), h. 178.

117David Johnston, ”A Turn a Epistemology and Hermeneutis of TwentiethCentury Usul al Fiqh”,in Islamic Law and Society, Vol. 11, No. 2, (2004), h. 281.

118Hal ini dikarenakan semenjak sekolah dasar sampai ke tingkat perguruantinggi pendidikan yang ditempuh Shahrur hanya pendidikan umum. Bahkanpendidikan magister dan doktoral yang ditempuhnya di Rusia dan Dublin di bidangteknik. Begitupun dengan gelar Guru Besar yang diterima Shahrur, juga dalambidang Teknik Sipil. Lihat Muhammad Shahrur, Metodologi Fiqih IslamKontemporer, Penerjemah Sahiron Syamsuddin dan Burhanuddin, (Yogyakarta:eLSAQ, 2004), h. 19.

119Muhammad Shahrur,Metodologi Fiqih Islam Kontemporer, h. 18-19.

Page 63: kontekstualisasi hukum islam

Kontekstualisasi Hukum Islam

50

kondisi menjadi (al-Şayrūrah atau becoming), Muhammad Shahrur mencobamemahami Alquran melalui sudut pandang filsafat. Al-Kaynunah merupakanawal dari sesuatu yang ada, al-sayrurah merupakan gerak perjalanan waktuyang di luar kuasa manusia, sedangkan al-Şayrurah merupakan sesuatu yangmenjadi tujuan atas keberadaan awal (al-kaynunah al-ula) sesudahmenempuh tahap berproses. 120 Ketiga kondisi ini akan senantiasaberhubungan satu sama lain dan akan dialami setiap makhluk baik yangberjiwa maupun yang tidak. Meskipun ternyata perkembangan ketiga kondisiini akan menjadi lebih cepat pada makhluk yang mempunyai jiwa yaitumanusia. Dengan kata lain keberadaan ketiga kondisi ini menunjukkanbahwa eksistensi tidak akan ada tanpa perkembangan dan begitu jugasebaliknya tidak akan ada perkembangan tanpa keberadaan eksistensi.Berdasarkan pemikiran ini Muhammad Shahrur menyatakan bahwa padadasarnya Alquran (al-Tanzἷl al-Ḥakἷm) bersifat suci ketika berada dalamkondisi berada karena merupakan wahyu dari Allah.Akan tetapi kondisi initidak statis selamanya, karena karakter kehidupan mengharuskannya untukbergerak secara dinamis. Artinya ketika Alquran (al-Tanzἷl al-Ḥakἷm) telahmemasuki kondisi berproses dan kondisi menjadi maka berarti pemahamanterhadapnya akan menjadi lebih berkembang secara berkesinambungan.121

Adapun teori batas (ḥudūd)yang dikemukakan Muhammad Shahrurterdiri atas enam bentuk yang dapat dijadikan sebagai panduan berupapembatasan ketika akan melakukan proses istinbāṭ hukum. Pertama adalahBatas Minimal yang dalam hal ini terlihat pada kasus perempuan yang haramdinikahi sebagaimana ditegaskan Allah dalam dua ayat Alquran surat alNisā’ ayat 22-23.122 Perempuan-perempuan yang ada dalam dua ayat inimerupakan keluarga dekat sehingga dijadikan sebagai batas minimal yangterlarang untuk dinikahi. Dalam kondisi bagaimanapun tidak ada alasan bagilaki-laki untuk menikahi mereka karena persoalan ini tidak termasuk ranah

120Muhammad Shahrur,Metodologi Fiqih Islam Kontemporer, h. 55.121Muhammad Shahrur,Metodologi Fiqih Islam Kontemporer, h. 60-64.122“Dan janganlah kamu nikahi perempuan yang telah dinikahi ayahmu

kecuali (sudah terjadi) pada masa lalu. Sesungguhnya perbuatan itu sangat keji dandibenci Allah serta merupakan tempat kembali yang buruk. Diharamkan atasmu(menikahi) ibu-ibumu, anak-anak perempuanmu, saudara-saudara perempuanmu,saudara perempuan ayahmu, saudara perempuan ibumu, anak perempuan darisaudara laki-lakimu, anak perempuan dari saudara perempuanmu, ibu-ibu susuanmu,saudara perempuan sepersusuanmu, ibu mertuamu, anak perempuan isterimu yangdalam pemeliharaanmu dari isteri yang sudah digauli. Tapi jika kamu belummenggaulinya (dan sudah ditalak) maka kamu tidak akan berdosa menikahinya.(Diharamkan juga menikahi) menantu perempuanmu dan menghimpun duaperempuan yang bersaudara kecuali yang sudah terjadi di masa lalu. Sungguh AllahMaha Pengampun dan Maha Penyayang”(QS al-Nisā’: 22-23).

Page 64: kontekstualisasi hukum islam

Kontekstualisasi dalam Hukum Islam

51

ijtihad. Kedua adalah Batas Maksimal yang terdapat pada sanksi mencuriberupa potong tangan sebagaimana ditegaskan dalam Alquran surat al-Māidah ayat 38.123 Pada ayat ini Allah telah menetapkan batas maksimal atassanksi hukum mencuri sehingga tidak boleh ditetapkan hukum yang lebihberat dari potong tangan. Meski demikian batasan ini tidak menutupkemungkinan sanksi hukum yang ringan. Oleh karena itu, lembaga yudikatifhendaklah merumuskan kriteria pencurian mana yang harus dihukum potongtangan dan pencurian mana yang tidak dapat diberlakukan sanksi hukumpotong tangan karena lebih ringan.124

Ketiga Batas minimal dan Maksimal Bersamaan yang dapat dilihatdalam kasus pembagian waris anak laki-laki dan perempuan. Pada surat al-Nisā’ ayat 11 125 ditegaskan bahwa anak perempuan mendapat warisanseparoh dari bagian anak laki-laki. Terlepas dari bertanggung jawab atautidaknya anak laki-laki terhadap keluarga, yang jelas bagian waris minimalanak perempuan tidak boleh kurang dari 33,3% dan bagian anak laki-lakitidak boleh melebihi dari 66,6%. Jika bagian waris anak perempuandiberikan sebanyak 40% dan anak laki-laki sebanyak 60%, maka tidakdianggap melanggar batasan hukum Allah. Keempat Batas Minimal danMaksimal Bersamaan pada Satu Titik atau Posisi Penetapan Hukum‘Ainiyyah. Bentuk ini terlihat dalam sanksi zina berupa seratus kali cambukdalam surat al-Nūr ayat 2.126 Sanksi hukum zina pada ayat ini merupakanbatas minimal dan maksimal sekaligus sehingga tidak boleh dikurangi atauditambah. Hal ini terlihat pada larangan tegas dalam ayat tersebut“…Janganlah belas kasihan pada keduanya mencegah kamu untuk(menjalankan) agama Allah”.127

Kelima Batas Maksimal dengan Satu Titik mendekati Garis Lurustanpa Persentuhan yang terlihat pada batas hubungan fisik antara laki-lakidan perempuan. Pada hubungan ini batas minimalnya berupa tanpa

123 “Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, (hendaklah)dipotong tangan keduanya (sebagai) pembalasan atas apa yang telah merekakerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi MahaBijaksana”(QS al-Māidah: 38).

124Muhammad Shahrur, Prinsip dan Dasar Hermeneutika Hukum IslamKontemporer, Penerjemah Sahiron Syamsuddin dan Burhanuddin Dzikri,(Yogyakarta: eLSAQ, 2012), h. 31-37.

125“Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian waris untuk) anak-anakmu, (yaitu) bagian seorang anak laki-laki sama dengan dua bagian anakperempuan…” (QS al-Nisā’: 11).

126“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka cambuklahmasing-masing dari keduanya (sebanyak) seratus kali cambukan…(QS al-Nūr: 2)

127Muhammad Shahrur, Prinsip dan Dasar Hermeneutika Hukum IslamKontemporer, h. 38-44.

Page 65: kontekstualisasi hukum islam

Kontekstualisasi Hukum Islam

52

persentuhan, sedangkan batas maksimalnya berupa hubungan badan atauzina. Jadi jika seorang laki-laki melakukan perbuatan yang menjurus padazina namun belum sampai ke batas itu maka ia tidak dikenai sanksi hukumzina. Keenam Batas Maksimal Positif tidak Boleh dilewati dan BatasMinimal Negatif Boleh dilewati yang terlihat pada kasus peralihankekayaan. Batas maksimal yang tidak boleh dilanggar dalam hal ini adalahriba, sedangkan batas minimal yang boleh dilampaui adalah zakat dansedekah. Pada penerapannya batas maksimal positif berupa riba, batasnetralnya berupa pinjaman tanpa bunga, dan batas minimal negatifnyaberupa sedekah dan zakat.128

Terakhir akan dikemukakan pemikiran seorang ulama Indonesiayaitu Hazairin yang mengajukan usul pembentukan Mazhab Nasionalminimal dalam konteks hukum keluarga. Menurut Hazairin meskipun Islamsudah dianut bangsa Indonesia selama lebih kurang 700 tahun, namunhukum Islam belum diberlakukan secara menyeluruh. Hal ini disebabkanoleh adanya konflik antara fikih dengan hukum adat. Produk hukum Islamberupa fikih yang masuk ke Indonesia sudah berupa barang jadi. Produkfikih tersebut berasal dari hasil ijtihad para ulama Arab Ahlussunnah yangdiselaraskan dengan situasi dan kondisi mereka saat itu dan mengacu kepadasistem kekeluargaan patrilineal. Pada saat itu, disiplin keilmuan belumberkembang sehingga wajar saja kalau para mujtahid kemungkinan belummengetahui budaya atau sistem kekerabatan lain yang dapat dijadikansebagai perbandingan. 129 Penerapan jenis fikih ini di Indonesia yangmemiliki perbedaan dalam sistem kekeluargaan, budaya dan kondisi sosial,sedikit banyaknya akan menyulitkan. Oleh karena itu, keberadaan mujtahidyang berijtihad dengan merujuk langsung kepada naŞŞ Alquran dan hadisserta mengenal budaya dan kondisi sosial Indonesia sangat diperlukan.130

Konflik antara fikih dengan hukum adat Indonesia terlihat dalampermasalahan kewarisan yang meskipun berlandaskan kepada ayat-ayat yangpasti, namun sampai sekarang masih belum diterima secara penuh olehmasyarakat muslim Indonesia. Di antaranya adalah kasus pembagian warisanak laki-laki yang mendapat dua kali lipat dari bagian anak perempuan.Pembagian seperti ini tidak dapat diterapkan di Indonesia secara utuh, karenamasyarakat Indonesia menganut beragam sistem kekerabatan. Dengandemikian pertentangan yang terjadi antara sistem kewarisan versi

128Muhammad Shahrur, Prinsip dan Dasar Hermeneutika Hukum IslamKontemporer, h. 44-45.

129Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Alquran dan Hadis,(Jakarta: Tintamas, 1982), h. 1-2.

130Hazairin, Hukum Islam dan Masyarakat, (Jakarta: Bulan Bintang, 1981),h. 16-17.

Page 66: kontekstualisasi hukum islam

Kontekstualisasi dalam Hukum Islam

53

Ahlussunnah dengan kewarisan adat masyarakat Indonesia disebabkan olehperbedaan pemahaman saja, bukan berasal dari Alquran sebagai sumberhukum.131

Hazairin menegaskan bahwa perbedaan waktu, tempat dan kondisisosio kultural masyarakat merupakan suatu keniscayaan. Faktor besarnyatanggung jawab yang akan diemban anak laki-laki dalam menafkahikeluarga tidak dapat diberlakukan di kebanyakan wilayah Indonesia. Kaumperempuan di beberapa daerah, baik yang berstatus sebagai anak ataupunisteri, memikul tanggung jawab yang lebih besar dari pada laki-laki.Kenyataan ini akhirnya menyebabkan kebanyakan umat Islam Indonesiaenggan menyelesaikan kasus waris di Pengadilan Agama dan berpaling kePengadilan Negeri.132 Keengganan ini didasari oleh anggapan mereka bahwapenyelesaian waris secara Islam (farāiḍ) tidak berlandaskan kepada asaskeadilan. Oleh karena itu, dengan berlandaskan kepada asas keadilan,Hazairin mencoba mengkaji ulang persoalan bagian waris anak laki-laki danperempuan. Secara kontekstual Hazairin menyatakan bahwa pembagianwaris dapat disamaratakan antara anak laki-laki dengan anak perempuan ataudengan kata lain satu banding satu. Selain didasari kepada asas keadilan,Hazairin juga menegaskan bahwa ‘illat hukum yang mendasari pembagianwaris dua berbanding satu berbeda dengan kondisi masyarakat Indonesia.Perubahan pada ‘illat hukum ini akhirnya akan mengakibatkan terjadinyaperubahan pada hukum waris di Indonesia.133

Beranjak dari uraian genealogi kontekstualisasi hukum Islam di atas,dapat dilihat bahwa bentuk dan corak kontekstual yang diterapkan paraulama sangat beragam. Banyak aspek yang dapat dijadikan pertimbangandalam pembentukan hukum Islam yang kontekstual. Pada penelitian iniaspek yang dapat mengindikasikan suatu hukum atau fatwa bersifatkontekstual ada delapan. Berikut ini uraian dari delapan indikator tersebut.

131Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Alquran dan Hadis,h. 15132 Menurut Munawir Sadzali keengganan Muslim Indonesia untuk

menyelesaikan sengketa waris di Pengadilan Agama dikarenakan mereka kecewaatas keputusan yang memberi bagian anak laki-laki dua kali lebih besar dari anakperempuan. Bahkan ada beberapa orang tua yang sudah lebih dahulu menetapkanbagian yang sama untuk anak-anaknya saat masih hidup agar terhindar daripertikaian kelak. Fenomena yang dilematis ini menurut Munawir Sadzali harusdiselesaikan. Jika tidak akan memunculkan image bahwa Alquran sudah tidakmampu memenuhi kebutuhan keadilan masyarakat. Di sisi lain image MuslimIndonesia juga akan menjadi negatif lantaran dianggap tidak patuh pada perintahagama. Lihat Munawir Sjadzali, Ijtihad Kemanusiaan, (Jakarta: Paramadina, 1997),h. 7-8.

133Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Alquran dan Hadis, h.16-17.

Page 67: kontekstualisasi hukum islam

Kontekstualisasi Hukum Islam

54

Pertama, penafsiran terhadap al-nuŞūŞ al-shar’iyyah. Seluruh ulamasepakat menyatakan bahwa Alquran dan hadis merupakan sumber rujukanutama dalam menyelesaikan persoalan hukum Islam.134 Banyak dalil yangmenegaskan tentang hal itu, di antaranya QS al-Isrā’ ayat 88, al-Ḥashr ayat7, al-Nisā’ ayat 65 dan 59 serta hadis tentang pembicaraan Rasulullahdengan Mu’āz ibn Jabal saat akan diutus ke Yaman. Meski demikian tidaksemua permasalahan telah dijelaskan secara zahir oleh kedua naŞŞ tersebut.Dibutuhkan upaya keras para mujtahid untuk menyingkap hal-hal yangmasih tersembunyi di dalamnya. Melalui penafsiran dan ijtihad akanterungkap banyak makna dan tujuan yang terkandung di dalam naŞŞ sehinggadapat dipakai dalam menyelesaikan permasalahan hukum. 135 Akan tetapidikarenakan kebanyakan hadis bersifat ẓanni al-thubūt maka pemahamanterhadapnya harus diawali dengan meneliti para perawi yang berada dijajaran sanad. Setelah itu penelitian dialihkan kepada matan hadis sebelumdijadikan sebagai landasan hukum atau sebagai penjelas Alquran. Dengandemikian penilaian terhadap kontekstual atau tidaknya sumber hukum naŞŞyang dipakai mujtahid dan mufti, dapat dinilai dari penafsiran rasional (bi al-ra’yi) dan kesesuaiannya dengan realitas sosial.

Kedua, penggunaan qiyās. Salah satu cara yang dapat dilakukanuntuk memahami atau menemukan pesan yang terkandung dalam naŞŞadalah melalui qiyās. Para ulama menempatkan qiyās sebagai dalil hukumyang disepakati 136 karena dalam qiyās, naŞŞ akan digali guna mencarikesamaan ‘illat dengan persoalan yang sedang dihadapi.137 Hal ini berartihukum yang ditetapkan melalui qiyās tidak terlepas dari naŞŞ dan masihberada di dalam koridor naŞŞ. Meski demikian, hukum yang dihasilkan dariqiyās biasanya bersifat ẓanni sehingga membuat ruang lingkupnya menjaditerbatas. Terdapat empat aspek yang tidak dapat dimasuki qiyās yaitu:ibadah, hukum pidana berupa ḥudūd, kafarah, dan muqaddarah, hukumwaḍ’iyyah berupa syarat, sebab, dan penghalang, serta pengecualian-pengecualian. Keempat aspek ini tidak dapat dimasuki qiyās karenamengandung makna yang irrasional sehingga akal tidak dapat menjelaskandan menjangkaunya. Dengan kata lain penetapan persoalan kriminalitas

134‘Ali Ḥasballah, UŞūl al-Tashrἷ’ al-Islāmi, h. 18.135‘Abd al-Wahāb ‘Abd al-Salām Ṭawἷlah, Athar al-Lughah fi Ikhtilāf al-

Mujtahidin, h. 37.136‘Ali Ḥasballah menempatkan qiyās kepada bagian dari maŞādir al-aḥkām

al-ijtihādiyyah. Lihat Ali Ḥasballah, UŞūl al-Tashrἷ’ al-Islāmi, h. 90.137Muhammad MuŞṭafa Shalaby, UŞūl al-Fiqh al-Islāmi, (Beirūt: Dār al-

Nahḍah al-‘Arabiyyah, 1986), h. 192.

Page 68: kontekstualisasi hukum islam

Kontekstualisasi dalam Hukum Islam

55

harus dilandaskan kepada naŞŞ, sedangkan penetapan sanksi hukum harusdilandasi kepada undang-undang.138

Ketiga, perwujudan maqāŞid al-sharἷ’ah. Hal penting yang harusdiperhatikan mujtahid adalah mengetahui tujuan yang dikehendaki Shari’terkait hukum yang ditetapkan (maqāŞid al-sharἷ’ah). Dengan menggalimaqāŞid al-sharἷ’ah dapat diketahui banyak hal seperti sifat syariat, tujuanumum syariat, memelihara aturan hidup, menarik kebaikan dan menolakkerusakan, menegakkan kesetaraan manusia, menjadikan syariat sebagaiaturan yang dipatuhi, serta mengungkap rahasia yang tersirat di balik hukumyang telah ditetapkan Shari’.139

Seluruh tujuan syariat (maqāŞid al-sharἷ’ah) tersebut dapat diketahuisetelah melakukan penggalian terhadap naŞŞ Alquran dan hadis. Penggalianini diawali dengan memahami makna literal naŞŞ yang kemudian dilanjutkandengan mencari tujuan umum dan rahasia pensyariatan hukum yangdikehendaki Shari’. Tujuan akhir dari penggalian maqāŞid al-sharἷ’ah adalahmewujudkan kemaslahatan manusia berupa menarik kebaikan dan manfaatserta menolak kerusakan dan kemudaratan menurut pandangan syariat,bukan nafsu. 140 Tujuan syariat berupa kemaslahatan ini ditujukan untukpersoalan pokok agama yang qaṭ’i dan memiliki kekuatan hukum.Berdasarkan penelusuran terhadap naŞŞ Alquran dan hadis, para ulamamenyatakan terdapat lima unsur pokok (ḍarūriyyāh al-khamsah) yang harusdipelihara dalam penetapan hukum yaitu agama, jiwa, keturunan, harta, danakal.141

Keempat, penerapan tiga adillah al-aḥkām al-mukhtalaf fἷhā yaituistiḥsān, sadd al-dhari’ah dan ‘urf. Istiḥsān merupakan dalil hukum yangdapat diterapkan dengan cara beralih dari qiyās jalli kepada qiyās khafikarena adanya kemaslahatan yang lebih kuat. Artinya dalam istiḥsān, qiyāskhafi lebih diutamakan dari pada qiyās jalli. Istiḥsān juga dapat dilakukandengan mengutamakan persoalan juz’i dari pada persoalan kulli.142 Dengankata lain dalam istiḥsān terdapat pertentangan antara dalil dengan qiyās yangjelas. Pertentangan ini dimenangkan oleh dalil, meskipun qiyās tersebut

138Muhammad MuŞṭafa Shalby, UŞūl al-Fiqh al-Islāmi, h. 204-205.139 Aḥmad Raysūni, Naẓariyyah al-MaqāŞid ‘inda al-Imām al-Shāṭibi,

(Beirūt: Muassasah al-Jāmi’ah liddirāsāt, 1992), h. 13-14.140‘Abd al-Karἷm Zaidān, al-Wajἷz fἷ UŞūl al-Fiqh, h. 378.141Wahbah al-Zuhaily, UŞūl al-Fiqh al-Islāmi, Juz. II, h.1017-1020. Aḥmad

Raysūni, Naẓariyyah al-MaqāŞid ‘inda al-Imām al-Shāṭibi, h. 139-140.142‘Ali Ḥasballah, UŞūl al-Tashrἷ’ al-Islāmi, h. 131.

Page 69: kontekstualisasi hukum islam

Kontekstualisasi Hukum Islam

56

didasari oleh naŞŞ, athar, ijmā’, atau kondisi darurat. 143 Meski terdapatperbedaan pendapat antara ulama Shāfi’iyyah dengan ulama Ḥanāfiyyah,Mālikiyyah dan Ḥanābilah dalam menerima istiḥsān, namun perbedaantersebut sebenarnya hanya berada dalam tataran penamaan atau maknaetimologi dan eksistensi dua jenis istiḥsān yaitu istiḥsān bi al-‘urf danistiḥsān bi al-maŞlaḥah.144

Sementara itu ketika suatu persoalan tidak ditemukan ketegasanhukumnya dalam naŞŞ, baik berupa perintah maupun larangan, makapersoalan tersebut harus dikembalikan kepada hukum dasar yaitu boleh.Akan tetapi kebolehan tersebut kadang kala tidak bersifat mutlak karenadalam perjalanannya dapat menimbulkan kesulitan atau bahkan kerusakandan kemudaratan. Melalui metode sadd al-dhari’ah,145 perbuatan yang padaawalnya diperbolehkan dapat berubah menjadi terlarang demi terwujudnyakemaslahatan. Prediksi terhadap kerusakan dan kemudaratan yang akantimbul, diperoleh melalui upaya istiqrā’ terhadap beberapa naŞŞ yang bersifattuntutan dan larangan.146 Kerusakan yang terkandung pada perbuatan yangdiperbolehkan mempunyai tiga bentuk yaitu: 1) Perbuatan yang jarangmengandung kerusakan, seperti melihat perempuan yang akan dilamar.Perbuatan dalam bentuk ini harus lebih mengutamakan kemaslahatan. 2)Perbuatan yang sering membawa kepada kerusakan, seperti menjual senjatapada saat kerusuhan. Lantaran kerusakan yang akan ditimbulkan cukupbesar, maka perbuatan ini harus dilarang. 3) Perbuatan boleh (mubāḥ) yangmembawa kepada kerusakan lantaran diselewengkan penggunaannya, sepertinikah muḥallil yang ditujukan untuk membuat seorang perempuan dapatkembali menikah dengan mantan suaminya pasca talak tiga. Meskipunperbuatan ini diperbolehkan, namun tetap dilarang lantaran terdapatkerusakan yang besar.147

Di sisi lain kontekstualisasi hukum Islam juga harusmempertimbangkan kenyataan dan tradisi yang berlaku di masyarakat (‘urf).Meski tidak semua tradisi dapat diterima, namun meniadakan tradisi yangsudah tertanam kuat di masyarakat secara total akan menyebabkan kesulitan

143Muhammad MuŞṭafa Shalaby, UŞūl al-Fiqh al-Islāmi, h. 264.144Wahbah al-Zuhaily, UŞūl al-Fiqh al-Islāmi, Juz. II, h.739. Lihat juga

Muhammad Abū Zahrah, UŞūl al-Fiqh, h. 272.145Secara bahasa sadd al-dhari’ah berarti menutup jalan. Adapun secara

istilah adalah menutup atau menghalangi suatu perbuatan baik yang akan membawakepada kerusakan. MuŞṭafa Sa’ἷd al-Khin, al-Kāfἷ al-Wāfἷ fἷ UŞūl al-Fiqh al-Islāmi,h. 227.

146Wahbah al-Zuhaily, UŞūl al-Fiqh al-Islāmi, Juz. II, h. 850.147‘Abd al Karἷm Zaidān, al-Wajἷz fi UŞūl al-Fiqh, h. 245-246.

Page 70: kontekstualisasi hukum islam

Kontekstualisasi dalam Hukum Islam

57

atau kemudaratan yang dialami masyarakat muslim. Hal ini tentunyabertentangan dengan prinsip dasar hukum Islam yang bersifat memudahkandan meringankan.148 Persoalan‘urf yang menjadi tema kajian hukum ada tigayaitu, 1) Kebiasaan yang membutuhkan hukum syariat namun tidakditemukan ketetapan naŞŞ atas hukumnya, seperti akad atau kontrak. 2)Persoalan yang mempunyai batas atau pemahaman pada tradisi atau daerahtertentu, seperti lafal daging. 3) Persoalan yang tergantung pada maksudpenutur ketika mengucapkannya, misalnya wuduk dan salat.149

Kelima penerapan tiga al-qawā’id al-fiqhiyyah beserta beberapakaidah turunannya. Eksistensi kaidah-kaidah fikih (qawā’id al-fiqhiyyah)dalam memperkuat ketiga dalil hukum dan metode ijtihad lainnya juga dapatmenjadi indikator kontekstualisasi hukum Islam. Al-Qawā’id al-fiqhiyyahmerupakan kaidah yang dirangkum secara umum dari berbagai materi fikihdan sangat berguna dalam menentukan serta menetapkan hukum daripersoalan baru yang tidak ada ketegasan hukumnya pada naŞŞ. Oleh karenaitu, al-qawā’id al-fiqhiyyah ini biasanya diterapkan secara langsung padakasus hukum yang dialami manusia.150 Keberadaan kaidah-kaidah fikih iniakan memperkuat alasan dalam penetapan suatu hukum. Adapun kaidahfikih yang mengindikasikan kontekstualisasi dalam penelitian ini ada tigayaitu al-mashaqqah tajlibu al-taysἷr, al-ḍararu yuzāl, al-hājah tanzilumanzilah al-ḍarūrah, dan kaidah-kaidah turunan yang terkait dengan ketigakaidah ini.151

Keenam penerapan taḥqiq al-manāṭ. Metode lain yang dapatditerapkan dalam berijtihad adalah kreatifitas mujtahid dalam mencari danmenemukan alasan hukum (‘illat) yang tepat dan sesuai denganpermasalahan yang dihadapi. Terkadang ‘illat yang tergambar dalam naŞŞatau yang selama ini ditetapkan oleh para ulama tidak relevan untukditerapkan saat ini. Oleh karena itu, penetapan ‘illat hukum dalam metodeini dapat didasari kepada keterangan naŞŞ (manŞūŞah) dan dapat juga didasarikepada hasil penggalian naŞŞ (istinbāṭ), seperti menetapkan laranganmendekati atau menggauli isteri yang sedang nifas. Larangan ini dilatari oleh‘illat adha (kotoran dan penyakit) yang diperoleh setelah menelitikesamaannya dengan haid.152 Dengan demikian upaya mujtahid dan mufti

148Wahbah al-Zuhaily, UŞūl al-Fiqh al-Islāmi, Juz. II, h. 830-831.149Muhammad Taqi al-Ḥakἷm, al-UŞūl al-‘Āmmah li al-Fiqh al-Muqāran,

(Qum: al-Majma’ al-‘Ālami li Ahl al-Bait, 1997), h. 408-409.150A Djazuli, Kaidah-kaidah Fikih, (Jakarta: Kencana, 2006), h. 4.151Jalāl al-Dἷn ‘Abd al-Raḥmān ibn Abi Bakr al-Suyūṭi, al-Ashbāh wa al-

Naẓāir fi al-Furū’, (T.tp: Dār al-Kutub al-Islāmiyyah, T.th), h. 55-62.152Muhammad MuŞṭafa Shalaby, UŞūl al-Fiqh al-Islāmi, h. 249.

Page 71: kontekstualisasi hukum islam

Kontekstualisasi Hukum Islam

58

untuk menemukan dan menyingkap ‘illat suatu hukum perlu dikembangkanlagi saat ini. Dalam kajian uŞūl al-fiqh upaya ini dinamakan dengan taḥqἷqal-manāṭ. Meskipun taḥqἷq al-manāṭ sudah dibicarakan sejak dahulu, namundalam pandangan Ma’ruf Amin upaya ini harus terus dibudayakanmengingat kompleksitasnya permasalahan yang dihadapi umat Islam.153

Ketujuh pertimbangan i’ādah al-naẓr. Peninjauan kembali terhadappendapat ulama terkait suatu hukum juga merupakan hal yang pentingdilakukan. Pendapat para ulama yang dahulunya terabaikan, masih dapatditerapkan saat ini selama membawa kepada kemaslahatan dan sesuaidengan kondisi. Upaya pengkajian ulang atas pendapat ulama disebutdengan i’ādah al-naẓr. 154 Kontekstualisasi hukum Islam bukan berartimenghilangkan atau mengabaikan khazanah ilmu pengetahuan klasiklantaran tidak relevan. Akan tetapi warisan pemikiran ulama klasik dapatdijadikan sebagai pertimbangan hukum selama masih relevan dan membawakemaslahatan. Dalam rangka meninjau kembali pendapat ulama klasik,dibutuhkan keberanian mufti untuk mengangkat pendapat tersebut kepermukaan. Pertentangan dengan arus utama tidak dapat dihindari, karenabiasanya pendapat yang diangkat tersebut tidak popular lantaran berbedadengan pendapat mayoritas atau saat itu tidak terlihat kemaslahatannya.

Kedelapan penerapan metode dan ilmu pengetahuan tertentu jugasangat diperlukan dalam membentuk hukum Islam yang dinamis. Metode inibisa berasal dari penggunaan teknologi canggih atau bisa juga berupapenemuan kaidah atau teori baru yang sejalan dengan perkembanganmanusia. Menafikan atau mengabaikan perkembangan ilmu pengetahuan danteknologi dapat mengakibatkan kepada kekakuan hukum. Hal ini berartimempertimbangkan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi akanmenghasilkan kemaslahatan yang sangat besar terhadap kontekstualisasihukum Islam. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran dapatdijadikan pertimbangan dalam menyelesaikan persoalan-persoalan terkaitmedis dan kesehatan. Begitu juga dengan konsep dan teori yang ditemukanatau dikembangkan para ulama dan ilmuan, seperti teori ḥudūd Shahrur danFikih Sosial Sahal Mahfudz, dapat dijadikan pertimbangan penting dalampenetapan hukum.

Delapan indikator di atas akan dijadikan acuan dalam penilaian danpengujian fatwa-fatwa Abou el Fadl dan al-Qaraḍāwi. Penetapan delapanindikator ini dilatari atas enam pertimbangan berikut:1. Dalil hukum yang telah baku dan disepakati para ulama sehingga harus

diikuti sebagai dasar penetapan hukum yaitu Alquran dan hadis yang

153Ma’ruf Amin, Fatwa dalam Sistem Hukum Islam, h. 253-254.154Ma’ruf Amin, Fatwa dalam Sistem Hukum Islam, h. 259-266.

Page 72: kontekstualisasi hukum islam

Kontekstualisasi dalam Hukum Islam

59

berupa teks, serta qiyās yang merupakan penjabaran hukum dari naŞŞ dantidak dapat berdiri sendiri.155

2. Dalil hukum yang tidak disepakati para ulama sebagai dasar penetapanhukum Islam, yaitu istiḥsān, sadd al-dharἷ’ah, dan ‘urf yang terkaitdengan konteks sosio-kultural.

3. Tujuan penetapan hukum Islam (maqāsid al-sharἷ’ah) dalam memeliharalima unsur pokok yang disepakati para ulama, yaitu agama, jiwa, akal,keturunan, dan harta.156

4. Penelitian Atho Mudzhar tentang Argumen Maqāsid al-Sharἷ’ah dalamFatwa-fatwa DSN-MUI (2000-2006). Penelitian ini ditujukan untukmenguji keberadaan kaidah-kaidah fikih yang merupakan salah satuelemen maqāsid al-sharἷ’ah.157

5. Revitalisasi konsep taḥqἷq al-manāṭ dan i’ādah al-naẓr yang dicetuskanMa’ruf Amin dalam menghubungkan petunjuk naŞŞ dengan realitasaktual.158

6. Konsep kontekstualisasi hukum Islam yang dikemukakan AbdullahSaeed dalam karyanya Interpreting the Qur’an dan M Syakur Chudloritentang Kontekstualisasi Hukum Islam di Indonesia.159

155Wahbah al-Zuhaily, UŞūl al-Fiqh al-Islāmi, Juz. I, h. 417-419. Lihat juga‘Ali Ḥasballah, UŞūl al-Tashrἷ’ al-Islāmi, h. 12.

156Wahbah al-Zuhaily, UŞūl al-Fiqh al-Islāmi, Juz. II, h. 1017-1020.Aḥmad Raysūni, Naẓariyyah al-MaqāŞid ‘inda al-Imām al-Shāṭibi, h. 139-140.

157Mohammad Atho Mudzhar, Esai-esai Sejarah Sosial Hukum Islam,(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2014), h. 136-155.

158Ma’ruf Amin, Fatwa dalam Sistem Hukum Islam, h. 251-265.159Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an: Towards a Contemporary

Approach. M Syakur Chudlori, “Kontekstualisasi Hukum Islam di Indonesia”,dalam Al Mashlahah, Vol. 3, No. 06, (2015).

Page 73: kontekstualisasi hukum islam

Kontekstualisasi Hukum Islam

60

Page 74: kontekstualisasi hukum islam

Biografi Abou el Fadl dan al-Qaradawi

61

BIOGRAFI KHALED M ABOU EL FADL DANYUSUF AL-QARÃḌAWI

Kedua ulama yang dijadikan tokoh dalam penelitian ini merupakanpakar hukum yang telah banyak memberi kontribusi dan dukungan terhadapperkembangan pemikiran hukum Islam. Bab ini akan membahas bagaimanariwayat hidup, latar belakang keluarga dan pendidikan, karya-karya, aktifitasintelektual, serta kondisi lingkungan tempat mereka tinggal.

A. Khaled M Abou el Fadl1. Latar Belakang Keluarga dan Pendidikan

Khaled M Abou el Fadl yang lebih dikenal dengan nama Abou elFadl, merupakan salah seorang tokoh Muslim terkemuka dunia dalambidang hukum Islam dan hak asasi manusia. Ketika lahir kedua orang tuamemberinya nama lengkap Khaled Medhat Abou el Fadl. Ia dilahirkan diKuwait pada tahun 1963 dari ayah yang bernama Medhat Abou el Fadldan ibu yang bernama Afaf el Nimr yang berkebangsaan Mesir. KeluargaAbou el Fadl merupakan keluarga akademisi yang progresif, di manaayah dan ibunya mengajarkannya bersikap kritis dalam berfikir. Sebelumlahir, tepatnya masa pemerintahan Gamal Abdel Naser, keluarga Abou elFadl pernah diusir dari Mesir sehingga terlunta-lunta antara Yordania,Lebanon, dan Kuwait. Bahkan mereka pernah tidak memiliki statuskewarganegaraan. Hal yang sama juga menimpa banyak warga negaraMesir saat itu dan bahkan banyak juga yang tidak selamat. Pengalamanhidup ini sangat membekas bagi Abou el Fadl sehingga wajar saja kalaugagasan dan pemikirannya banyak ditujukan untuk mengecam tindakanotoriter.1

Pendidikan dasar dan menengah yang ditempuh Abou el Fadldiselesaikan di Kuwait dan Madrasah al-Azhar di Mesir. Berkatpendidikan dasar ini Abou el Fadl menguasai berbagai bidang ilmukeislaman seperti tafsir, hadis, fikih, filsafat, tasawuf, dan pada usia 12

1 Faisal Ali, How MBS’s “Reforms” Are Impacting Saudi Scholars:Interview with Khaled Abou El Fadl, edisi17-04-2019, accessed from http://www.themaydan.com/2019/04/how-mbss-reforms-are-impacting-saudi-scholars-interview-with-khaled-abou-el-fadl/. Banyak spekulasi terkait penyebab pengusiran keluargaAbou el Fadl ini. Ada yang berpendapat kalau keluarganya ikut serta dalam gerakanIkhwān al-Muslimin. Ada juga yang berpendapat kalau keluarganya merupakan rivalpolitik pemerintah Gamal Abdel Naser dari kalangan akademisi. Namun jika dilihatdari sikap keluarganya yang progresif, maka asumsi kedua lebih tepat.

Page 75: kontekstualisasi hukum islam

Kontekstualisasi Hukum Islam

62

tahun ia juga telah hafal Alquran.2 Ayahnya yang merupakan seorangpengacara sangat ingin Abou el Fadl menguasai hukum Islam sehingga iasering ditanya dan diuji seputar permasalahan hukum. Demi menambahpengetahuan, sang ayah sering mengajak Abou el Fadl untuk menghadiripembelajaran yang diadakan di masjid al-Azhar Kairo saat libur musimpanas.3

Berbekal pendidikan dan aktifitas keilmuan serta dukungankeluarga yang demokrat dan sangat terbuka atas berbagai pemikiran,akhirnya membentuk jiwa Abou el Fadl menjadi pribadi yang kritis,moderat dan menghormati berbagai hal meskipun berbeda.4 Selain itudukungan guru saat ia belajar di al-Azhar Mesir, yang menganjurkannyamempelajari banyak hal dan bersikap moderat, turut mendukungpembentukan kepribadian Abou el Fadl tersebut.5

2 Keahlian dan kecintaan Abou el Fadl terhadap ilmu terlihat padaperpustakaan pribadinya yang dipenuhi dengan buku-buku klasik dan modern dalamberbagai subjek, seperti bidang hukum, sastra, filsafat, agama Yahudi, agamaKristen, dan lain sebagainya. Total keseluruhan koleksi buku yang dimiliki Abou elFadl lebih dari 40.000 buku. Lihat Khaled M Abou el Fadl, Musyawarah BukuMenyusuri Keindahan Islam dari Kitab ke Kitab, Penerjemah Abdullah Ali,(Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2002), h. 14.

3Nasrullah, “Kritik Khaled M Abou el Fadl Terhadap OtoritarianismePemikiran Hukum Islam”, dalam Jurnal Syariah, Vol. 1, No. II, (2013), h. 74.

4Saat remaja Abou el Fadl pernah menganut pemikiran Wahabi sehinggasangat membenci kelompok yang berbeda dengannya. Ketika saudaranya atauanggota keluarga lainnya melakukan suatu yang salah menurutnya, sepertimendengarkan lagu Barat atau memakai jas dan topi, Abou el Fadl berupayameluruskan kesalahan itu dengan cara keras yaitu menghancurkan kaset lagu ataumengecamnya lantaran dianggap telah meniru Barat. Konon hal ini menyebabkanadu mulut antara Abou el Fadl dengan keluarganya. Akhirnya dilakukan mediasi, dimana Abou el Fadl diminta ayahnya untuk membandingkan pemahamannya denganpemahaman lain. Abou el Fadl harus belajar ke seorang guru di masjid dekatrumahnya yang dikenal memiliki keluasan pemikiran dan toleransi selama lebihkurang enam bulan sampai setahun. Jika setelah itu tidak terjadi perubahan padapemikiran Abou el Fadl terkait hal yang benar atau salah, maka keluarganya akanmengikuti apapun yang disuruh Abou el Fadl tanpa menolak. Setelah belajar dariguru tersebut, selain merasakan nuansa baru, Abou el Fadl menyadari bahwapengetahuan yang dimilikinya selama ini sangatlah sedikit. Hal ini juga yangmembuat pemikiran dan sikap Abou el Fadl berubah, khususnya terhadap ajaranWahabiyah. Raisul, “Pemikiran Hukum Islam Khaled Abou el Fadl”, dalamMazahib, Vol. XIV, No.2, (2015), h. 147. Lihat juga “Kisah Profesor Agama Islamdi Amerika: Khaled Abou el Fadl”, 01-08-2002, accessed fromhttp://www.voaindonesia.com

5Di antara nasehat guru Abou el Fadl yang selalu diingatnya adalah CarilahTuhan dengan tekad, tapi keberhasilan dalam menemukan keagungan Tuhan jangan

Page 76: kontekstualisasi hukum islam

Biografi Abou el Fadl dan al-Qaradawi

63

Pada tahun 1982 Abou el Fadl melanjutkan pendidikan tingginyadi Yale University dalam bidang hukum selama empat tahun denganpredikat kelulusan cumlaude dan bergelar Bachelor of Art (BA).Pendidikan magister ia lanjutkan di Pennsylvania University juga dalambidang hukum dan mendapat gelar MA. Atas prestasinya ia diangkatsebagai pengacara magang di Pengadilan Tinggi Arizona di bidangHukum Dagang dan Imigrasi. Adapun pendidikan doktoralnya ialanjutkan di Princeton University dalam bidang Hukum Islam dan tamatpada tahun 1999. Setelah itu dan sampai sekarang Abou el Fadl diberiamanat jabatan sebagai professor hukum Islam di University of CaliforniaLos Angeles (UCLA).6

2. Karya-karyaPrestasi akademik yang dicapai Abou el Fadl didukung oleh

berbagai aktifitas ilmiah yang dijalaninya baik sebagai pembicara dalamberbagai seminar dan talk show di media-media massa, penghargaanyang diterimanya, maupun karya-karya ilmiah berupa buku-buku yangtelah dihasilkannya. Sebagai seorang penulis yang produktif dan cukupdiperhitungkan di kalangan intelektual Amerika dan dunia Islam, banyakdi antara karangan Abou el Fadl telah diterbitkan dalam bentuk buku danbahkan banyak juga yang telah diterjemahkan ke dalam beberapa bahasaseperti bahasa Arab, Persia, Rusia, Norwegia, Jepang, Belanda, Perancis,dan Indonesia. Buah pemikirannya yang tertuang dalam bentuk bukuberjumlah sebanyak 14 judul, sedangkan yang berbentuk artikel danmenjadi jurnal ilmiah berjumlah lebih kurang 100 judul yang kesemuanyaterkait dengan topik-topik keislaman dan hukum Islam. Di antara buku-bukunya antara lain; And God Knows the Soldiers; The Authoritative andAuthoritanian in Islamic Discourse (2001), Conference of the Book; TheSearch for Beauty in Islam (2001), Speaking in God’s Name; Islamic law,

sampai membuatmu bersikap arogan. Oleh karena itu, dengan kerendahan hatijanganlah kamu mengaku-ngaku telah mengetahui apa yang dikehendaki olehTuhan. Carilah ilmu dan berijtihadlah sembari ingat pernyataan Imam Abū Ḥanἷfahberikut, “Saya yakin dengan kebenaran pendapatku, tapi mungkin saja salah.Sementara itu pendapatmu itu salah menurut saya, tapi mungkin juga benar”. LihatZezen Zainal Muttaqin, “Khaled M Abou el Fadl dan Persoalan Otoritas dalamHukum Islam”, dalam Jaenal Aripin dan Anas Shafwan Khalid (ed), Filsafat HukumIslam dalam Dua Pertanyaan, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syahid, 2008), h.115.

6Nasrullah, “Kritik Khaled M Abou el Fadl Terhadap OtoritarianismePemikiran Hukum Islam”, h. 75-76.

Page 77: kontekstualisasi hukum islam

Kontekstualisasi Hukum Islam

64

Authority and Woman (2003), The Great Theft: Wrestling Islam from theExtremists (2007),7 dan The Place of Tolerance in Islam.8

Berbeda dengan kebanyakan mufti, fatwa-fatwa Abou el Fadldikemas secara online pada website resmi yaitu searchforbeauty.org.Jumlah total fatwa Abou el Fadl adalah 33 fatwa yang dibagi ke dalam 15tema dan disusun berdasarkan alfabet. Adapun rentang waktu fatwaberkisar dari tahun 2006 sampai tahun 2019, namun terdapat kekosonganfatwa antara tahun 2007 sampai 2014.9 Di antara tema-tema fatwa Abouel Fadl antara lain, aborsi, perceraian, hewan, hijab, ikhtilāṭ, warisan,nikah beda agama, dan politik.10

3. Aktifitas IntelektualAbou el Fadl merupakan seorang profesor hukum Islam di UCLA

School of Law yang mengajar berbagai mata kuliah seperti Hak AsasiManusia Internasional, Fikih Islam, Hukum Keamanan Nasional, Politikdan Sistem Hukum, serta Suaka Politik dan Kejahatan. 11 Ia seringdiundang sebagai pembicara publik dalam berbagai seminar yang terkaitdengan tema-tema keislaman dan hak asasi manusia serta mengisiperkuliahan akademik dan non akademik di negara-negara Eropa danAmerika Serikat selama lebih kurang dua puluh tahun.

Aktifitas lain yang juga sering dilakukan Abou el Fadl adalahmenjadi saksi ahli dan pengacara dalam berbagai kasus, baik yang terkaitdengan terorisme, keamanan nasional, suaka politik, hak asasi manusia,12

7Buku The Great Theft merupakan karya pertama yang mendeskripsikanperbedaan utama antara Muslim moderat dan ekstremis. Buku ini dinobatkansebagai salah satu dari 100 Buku Terbaik tahun 2013 oleh Globe and Mail Kanada(surat kabar nasional terkemuka Kanada). Adapun buku Conference of the Book;The Search for Beauty in Islam merupakan karya terpenting dalam literatur muslimmodern. Lihat Khaled M Abou el Fadl, accessed from http://escholarship.org

8 Biografi Khaled M Abou el Fadl, accessed from http://law.ucla.edu/faculty-profiles/khaled-m-abou-el-fadl/. Lihat juga Nasrullah, Kritik Khaled MAbou el Fadl Terhadap Otoritarianisme Pemikiran Hukum Islam, h. 76.

9Fatwa Abou el Fadl di tahun 2006 hanya ada satu yaitu terkait eksistensianjing. Namun sayangnya tidak diketahui apa yang menjadi penyebab kekosonganfatwa selama delapan tahun setelah itu. Dengan demikian dalam rentang waktu2015-2019, rata-rata dalam satu tahun Abou el Fadl mengeluarkan fatwa sebanyakenam buah.

10 Fatwas (Non-Binding Legal Opinions), accessed from http;//searchforbeauty.org

11 Biografi Khaled M Abou el Fadl, accessed from http://law.ucla.edu/faculty-profiles/khaled-m-abou-el-fadl/.

12Selama berkecimpung dalam HAM Abou el Fadl banyak menjumpaiterpidana yang dihukum cambuk atau penjara lantaran kesalahan sepele, sepertimengemudi. Hal inilah di antara sebab yang melatari Abou el Fadl membentuk

Page 78: kontekstualisasi hukum islam

Biografi Abou el Fadl dan al-Qaradawi

65

serta hukum internasional dan komersial.13Adapun di antara penghargaanyang telah diterimanya antara lain, Human Rights Award dari OsloUniversity, Leo and Lisl Eitinger Prize pada tahun 2007, dan pemberiangelar sebagai ahli hukum Islam Carnegie Scholar di tahun 2005. Selainitu Abou el Fadl juga pernah diberi amanah untuk menjadi KomisarisKomisi Kebebasan Beragama Internasional Amerika Serikat olehPresiden George W Bush.14 Pada tahun 2005 Abou el Fadl juga terdaftarsebagai salah satu Pengacara Teratas di Amerika (LawDragon’s500).15

Aktifitas lain Abou el Fadl dalam bidang akademik adalah menjadianggota Dewan Penasihat UCLA Journal of Islamic and Near EasternLaw (JINEL), dan Anggota Dewan Editorial untuk Teologi Politik,Jurnal Etika Agama, Jurnal Hukum dan Masyarakat Islam, JurnalHukum Islam dan Masyarakat, Jurnal Hukum dan Budaya Islam, danHawa: Jurnal Perempuan Timur Tengah dan Dunia Islam. Selain ituAbou el Fadl juga menjadi anggota Dewan Penasihat untuk UnitPenelitian Universitas Adelaide dalam Studi Masyarakat, Hukum danAgama (RUSSLR) di Australia; Korporasi Carnegie Corporation dariProyek Publikasi Inisiatif Islam New York; Seri Pers Harvard tentangHukum Islam; serta Jurnal Studi Islam (Islamabad).16

Sebagai guru besar Abou el Fadl masih aktif mengisi perkuliahandi berbagai universitas. Ia juga sering mengemukakan opini danpendapatnya terkait berbagai permasalahan kekinian, seperti terorisme,hak asasi manusia, toleransi antar umat beragama, hukum Islam, danpuritanisme dalam Islam di televisi serta radio nasional dan internasional(CNN, VOA dan NBC). Meski demikian tema yang sering diusung Abouel Fadl adalah permasalahan yang terkait dengan perempuan, karena iamerupakan pendukung dan pembela hak-hak perempuan khususnyadalam Islam.17

lembaga pemikiran Islam dengan nama Usuli Institute tahun 2017. Lembaga iniditujukan untuk membangun dasar hukum Islam yang kaya dan bernuansa denganmengaplikasikan kewajiban moral abadi Tuhan dalam kehidupan dunia. Faisal Ali,How MBS’s “Reforms” Are Impacting Saudi Scholars: Interview with Khaled AbouEl Fadl, (17-04-2019).

13 Biografi Khaled M Abou el Fadl, accessed from http://www.scholarofthehouse.org/abdrabelfad.html

14Biografi Khaled M Abou el Fadl, accessed from http://law.ucla.edu/faculty-profiles /khaled-m-abou-el-fadl/

15 Khaled M Abou el Fadl, accessed from http://law.ucla.edu/faculty-profiles/khaled-m-abou-el-fadl/.

16Khaled M Abou el Fadl, accessed from http://escholarship.org17 Biografi Khaled M Abou el Fadl, accessed from http://www.

scholarofthehouse.org/abdrabelfad.html

Page 79: kontekstualisasi hukum islam

Kontekstualisasi Hukum Islam

66

4. Kondisi Sosio-KulturalPenderitaan dan siksaan yang diterima sang ayah dan ditambah

dengan kondisi umat Islam khususnya bangsa Arab yang tertinggal dariBarat, membuat Abou el Fadl menyadari bahwa penyebab semua ituadalah lantaran umat Islam telah kehilangan budaya kritisnya.18 Selamaini umat Islam selalu dicekoki oleh paham dan doktrin yang membuatmereka tidak berani menyuarakan kebenaran terkait hukum. Padahal jikadilihat dalam sejarah Islam, kondisi ini tidak pernah terjadi. Meskipunterdapat perbedaan pendapat di antara para ulama bahkan terkadangterjadi pertentangan dengan penguasa, para ulama tetap toleran sehinggatidak menghilangkan sikap kritis mereka.

Kondisi sosial dan politik Mesir yang belum stabil saat itu,khususnya setelah Pan-Arabisme kalah perang di tahun 1967, telahmenyadarkan Abou el Fadl atas kelemahan spiritual, intelektual, dansikap kritis yang dimiliki umat Islam.19 Oleh karena itu, menurutnya perluada gerakan perubahan yang dapat memperbaiki keadaan tersebutsehingga umat Islam tidak selalu dipandang rendah oleh umat lain.Namun sayang, keadaan ini diperparah dengan munculnya penguasaotoriter yang berpaham Wahabi sehingga buku-buku warisan klasikbanyak yang disensor dan dilarang serta berujung pada pembelengguankebebasan berfikir. Pelarangan ini dikarenakan adanya kekhawatiranpenguasa akan masuknya paham-paham yang dianggap berseberangandengan paham yang mereka anut sehingga pertikaian dan perbedaandapat dihindari. Tindakan ini akhirnya mengakibatkan diabaikannyawarisan intelektual klasik sehingga ilmu-ilmu keislaman mereka dekatisecara ahistoris.20

Sepanjang hidupnya Abou el Fadl pernah mendiami tiga negarayaitu Kuwait sebagai tempat kelahiran, Mesir saat usia remaja, danAmerika saat dewasa sampai sekarang. Berbeda dengan Amerika, sosio-kultural Kuwait dan Mesir memiliki banyak kesamaan. Selainmenerapkan sistem kekerabatan patrilineal, budaya masyarakat Mesir danKuwait pun tidak jauh berbeda. Kepindahannya ke Amerika danpersentuhannya dengan kultur sosial budaya di sana serta dukungan daribeberapa studi, membuat pemikiran keislaman Abou el Fadl menjadi

18Zezen Zainal Muttaqin, “Khaled M Abou el Fadl dan Persoalan Otoritasdalam Hukum Islam”, h. 114-115.

19Khaled M Abou el Fadl, And God Knows The Soldier: The Authoritativeand Authoritarian in Islamic Discourse, (New York: University Press of America,2001), h. 18.

20Khaled M Abou el Fadl, Musyawarah Buku Menyusuri Keindahan Islamdari Kitab ke Kitab, h. 20.

Page 80: kontekstualisasi hukum islam

Biografi Abou el Fadl dan al-Qaradawi

67

lebih luas.21 Sangatlah wajar jika ada di antara pemikiran Abou el Fadlyang berbeda dengan pemahaman yang dianut mayoritas ulama sehinggatidak sedikit kecaman yang diterimanya lantaran hal tersebut.22

Kecaman dan teror tersebut menjadi semakin gencar setelahperistiwa pengeboman WTC (11-09-2001). Abou el Fadl sering mendapatancaman kematian dari orang tak dikenal baik melalui telepon, surat,maupun ancaman langsung.23 Selain itu selama lebih kurang 30 tahunAbou el Fadl dituduh kebarat-baratan sehingga sering mendapat tindakandiskriminasi seperti diusir, dilarang masuk suatu wilayah, diabaikan, dandimasukkan ke dalam daftar hitam.24 Meski begitu banyak juga orang-orang yang memuji pemikiran Abou el Fadl karena dipandang elastis,dinamis, tidak memberatkan, serta selaras dengan perkembangan dankehidupan manusia yang plural dan aktif. Oleh karena itu, ada yangmenjuluki Abou el Fadl sebagai tradisionalis pluralis dalam upayanyamelakukan reformasi Islam.25

Amerika yang menjadi tempat tinggal Abou el Fadl sekarangmerupakan negara yang dijadikan tujuan utama para imigran. Banyakimigran dari Afrika dan Eropa yang mendatangi Amerika untuk menetapdan menjadi warga negaranya. Keberagaman etnis itu tidak lantasmenyebabkan terjadinya pembauran budaya. Hal inilah yangmenyebabkan kehidupan masyarakat Amerika bersifat eksklusif dan

21Abou el Fadl pernah mengecam keputusan pemerintah Nigeria tahun2012 yang menjatuhkan hukuman mati pada perempuan pezina. Namun kecaman inidianggap Daniel Pipes bohong karena sebenarnya ditujukan untuk menutup imageburuk hukum Islam. Lihat Daniel Pipes, “Stealth Islamist: Khaled Abou el Fadl”, inThe Middle East Quarterly, Vol.11, No, 2, (Spring 2004).

22Kritik Abou el Fadl yang cukup keras dan kontinyu terhadap kelompokpuritan Wahabi dan penguasa Mesir membuat keberadaannya di Mesir dan bahkanAmerika terancam. Saat libur perkuliahan di musim panas tahun 1985, Abou el Fadlkembali ke Kairo dan melakukan aktifitas ilmiah seperti biasa. Suatu malam iadidatangi dua polisi yang membawanya dalam kondisi kedua mata ditutup ke ruangbawah tanah penjara Lazoughli. Di ruang itu Abou el Fadl diinterogasi dan dipukulsebelum akhirnya dipindahkan ke penjara gurun bernama Tora. Di penjara itu Abouel Fadl juga disiksa dan baru dibebaskan setelah tiga minggu. Lihat Franklin Foer,Moral Hazard, (18-11-2002), accessed from http://newrepublik.com/amp/article/136609/moral-hazard

23Helen Whitney, Interview with Khaled Abou El Fadl, (2002), accessedfrom http://www.pbs.org/wgbh/pages/frontline/shows/faith/interviews/elfadl.html

24 Faisal Ali, How MBS’s “Reforms” Are Impacting Saudi Scholars:Interview with Khaled Abou El Fadl, (17-04-2019).

25Andrew G Boston, Khaled Abou el Fadl; Reformer or Revisionist?,Institute for the Secularisation of Islamic Society (ISIS), 2003, accessed fromhttp://www.secularislam.org/articles/bostom.htm

Page 81: kontekstualisasi hukum islam

Kontekstualisasi Hukum Islam

68

individualis. Kehidupan mereka yang dinamis dan pragmatis senantiasaberorientasi kepada keberhasilan serta ketinggian nilai dan harkatindividu. Semua faktor ini mengakibatkan berubahnya gaya hidupmenjadi lebih progresif.26 Di sisi lain keberagaman etnis warga Amerikamenyebabkan aspek hukum lebih ditekankan pada hak individu dalamhubungannya dengan individu lain.27 Kondisi sosio-kultural Amerika inisangat berpengaruh besar terhadap pemikiran Abou el Fadl sehingga turutmewarnai fatwa-fatwanya. Sebagai wakil Tuhan, ketika seorang muftiberupaya menyelidiki maksud yang dikehendaki syariat dalam naŞŞ, iajuga harus memperhatikan berbagai aspek yang melingkupinya diantaranya kondisi sosial di mana ia berada. Dengan demikian selainterhindar dari sikap otoritarianisme, fatwa yang dihasilkan tersebut akanbersifat relatif dan lebih cenderung berbentuk nasihat keagamaan, bukanketetapan hukum yang mutlak.

B. Yusuf al-Qarāḍawi1. Latar Belakang Keluarga dan Pendidikan

Al-Qaraḍāwi juga merupakan salah seorang ulama dan pemikirMuslim yang ahli dalam bidang keislaman. Ia menguasai berbagai bidangilmu baik yang terkait dengan agama Islam maupun ilmu-ilmu umumberkat pendidikan dan pembelajaran yang ditempuhnya semenjak kecil.Dilahirkan dalam keluarga yang sederhana dan taat menjalankan ajaranagama, orang tuanya memberikan nama Yūsuf ibn ‘Abdullah ibn ‘Ali ibnYūsuf pada tanggal 9 September 1926 di Mesir. Adapun nama al-Qaraḍāwi yang dinisbahkan kepadanya merupakan nama sebuah daerahyang merupakan tempat tinggal nenek moyangnya sehingga akhirnya ialebih dikenal dengan nama tersebut.28

Ayahnya bernama Abdullah, namun al-Qaraḍāwi belum sempatmengenalnya karena telah meninggal sebelum kelahirannya.29 Pamannya,

26Hannas, Islam Raḥmatan li al ‘Ālamἷn, (Surabaya: SAF Press, 2017), h.108.

27Pemerintah Amerika Serikat mempunyai kewajiban untuk menjaga danmemelihara hak individual setiap warga negaranya agar tidak dilanggar olehsiapapun. Sikap dan kebijakan ini berasal dari imigran Eropa yang merupakanmayoritas warga negara Amerika di mana dahulunya mereka hidup dalam koloniterpisah sehingga menimbulkan persaingan keras terkait hak koloni dan hakindividu. Rifyal Ka’bah, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Universitas Yarsi,1999), h. 66-67.

28Tarmizi M Jakfar, Otoritas Sunnah Non-Tasyri’iyyah Menurut Yusuf al-Qaradhawi, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2011), h. 35-36.

29Dalam riwayat lain dikatakan bahwa ayah al-Qaraḍāwi, ‘Abdullah, barumeninggal setelah ia berumur dua tahun. Jadi meski hanya sebentar dan belum

Page 82: kontekstualisasi hukum islam

Biografi Abou el Fadl dan al-Qaradawi

69

Ahmad, yang berprofesi sebagai petani mengambil alih peran ayah yangbertanggung jawab atas segala biaya pendidikan dan kebutuhan hidupsehari-hari. Adapun keluarga ibu al-Qaraḍāwi, al Hajjar, merupakankeluarga pedagang yang terkenal saat itu lantaran mempunyai tingkatkecerdasan yang tinggi. Dalam bidang matematika, ibu dan para bibinyadapat menyelesaikan berbagai jenis penghitungan yang rumit dalamwaktu singkat tanpa bantuan alat apapun. Akan tetapi meski kehidupankeluarga ibunya serba berkecukupan, namun al-Qaraḍāwi dan ibunyalebih memilih tinggal bersama paman dan anak-anaknya dari pihakayahnya dengan kehidupan yang seadanya.30

Walaupun kehidupan yang dijalani al-Qaraḍāwi kecil dilaluidengan penuh kesederhanaan, akan tetapi pamannya sangatmemperhatikan pendidikannya. Dimulai dengan mengantar al-Qaraḍāwibelajar ngaji sampai ia berhasil menguasai ilmu tajwid dengan benar sertadapat menghapal Alquran saat berumur sepuluh tahun. Keberhasilan inidapat tercapai lantaran kecerdasan yang dimiliki al-Qaraḍāwi sertaketekunan dan kesungguhannya dalam menuntut ilmu. 31 Setelah itupendidikan dasar dan menengah ia selesaikan di Ma’had al-Din di kotaThanta (cabang madrasah al-Azhar) selama sembilan tahun, empat tahunpendidikan dasar dan lima tahun pendidikan menengah, dengan selalumemperoleh peringkat utama. Akan tetapi setahun setelah menempuhpendidikan dasar, ibu al-Qaraḍāwi meninggal dunia sehinggamembuatnya menjadi yatim piatu. Meski begitu nenek dan para bibinyaberupaya untuk menggantikan peran ibu sehingga kedukaan yangdirasakan al-Qaraḍāwi menjadi terobati lantaran kasih sayang mereka.

Usia al-Qaraḍāwi ketika memulai pendidikan menengah adalah 18tahun dan sejak itu ia sangat aktif dalam kegiatan dakwah. Dengandemikian kegiatan sehari-harinya saat itu bukan hanya belajar di sekolah,namun juga berdakwah di berbagai tempat. Aktifitas berdakwah inilantaran didorong oleh keikutsertaannya dalam keanggotaan organisasi

sempat mengenal ayahnya lebih jauh, al-Qaraḍāwi masih sempat bertemu dandiasuh oleh ayahnya.

30Tarmizi M Jakfar, Otoritas Sunnah Non-Tasyri’iyyah Menurut Yusuf al-Qaradhawi, h. 37.

31Kecerdasan dan ketekunannya dalam mempelajari ilmu-ilmu keagamaanmenjadikan al-Qaraḍāwi dikenal dan dihormati. Selain diberi gelar syeikh olehmasyarakat di desanya, ia juga sering didaulat untuk menjadi imam dalam salatberjamaah lantaran kefasihan bacaan Alqurannya. Adapun di sekolah ada di antaraguru al-Qaraḍāwi yang memberinya gelar ‘Allāmah. Yūsuf al-Qaraḍāwi, FatawaQardhawi, Penerjemah Abdurrachman Ali Bauzir, (Surabaya: Risalah Gusti, 1996),h. 455. Lihat juga Ishom Talimah, al-Qaraḍāwi Faqἷhan, Penerjemah SamsonRahman, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2001), h. 4.

Page 83: kontekstualisasi hukum islam

Kontekstualisasi Hukum Islam

70

Ikhwān al-Muslimin yang dipimpin Hasan al-Banna. Jadi sangat wajarjika al-Qaraḍāwi mengagumi pemikirannya dan menjadikannya sebagaiidola.32

Jenjang pendidikan tinggi strata satu (S1) al-Qaraḍāwi ditempuh diFakultas Ushuluddin Universitas al-Azhar Kairo dan lulus pada tahun1952 dengan peringkat pertama. Setelah itu ia menambah pengetahuanbahasa Arab dengan menempuh pendidikan lagi di tempat yang samaselama dua tahun. Berkat prestasi yang diperoleh, membuatnya didaulatuntuk mengajar di Fakultas Bahasa dan Sastra tahun 1954 sertamemperoleh ijazah diploma di bidang Bahasa dan Sastra dari Ma’hadDirāsāt al-‘Arabiyyah al-‘Āliyah. Pada tahun 1957 ia melanjutkanpendidikannya di Lembaga Tinggi Riset dan Penelitian Masalah-masalahIslam dan Perkembangannya selama tiga tahun. Adapun pendidikanmagister, ia lanjutkan di Pascasarjana Universitas al-Azhar FakultasUshuluddin bidang ‘Ulūm al-Qur’ān wa Sunnah tahun 1960. Studimagister ini berhasil diselesaikan al-Qaraḍāwi dengan predikat amatmemuaskan sebagaimana pendidikan-pendidikan yang telah ditempuhsebelumnya. Akan tetapi pendidikan doktoral berhasil diselesaikan al-Qaraḍāwi pada tahun 1973 dengan agak terlambat.33 Meskipun begitu iatetap memperoleh predikat summa cumlaude dan menghasilkan karyadisertasi yang sangat monumental berjudul al-Dhakāh wa Atharuhu fiḤill al-Mashākil al-Ijtimā’iyyah yang kemudian lebih dikenal dengan

32Tarmizi M Jakfar, Otoritas Sunnah Non-Tasyri’iyyah Menurut Yusuf alQaradhawi, h. 51-54. Keanggotaan al-Qaraḍāwi di gerakan Ikhwān al-Musliminterlihat ketika ia mengimami salat jumat dan berkutbah di Tahrir Square beberapahari setelah revolusi menurunkan Presiden Hosni Mubarak (18-02-2011). Saat itu iaberbicara tentang persaudaraan Mesir. Lihat David L Johnston, Yusuf al Qaradawi’sPurposive Fiqh: Promoting or Demoting the Future Role of the Ulama, in AdisDuderija (ed), Maqasid al Shari’a and Contemporary Reformist Muslim Thought,2014, h. 40. Diakses dari www.palgraveconnect.com (2015-07-07).

33 Keterlambatan al-Qaraḍāwi dalam menyelesaikan studi doktoralnyabukan tanpa sebab, namun dikarenakan oleh kondisi krisis politik Mesir saat ituyang sedang bergejolak. Dalam rencana awal jenjang doktoral akan diselesaikannyadalam waktu dua tahun, namun ternyata tidak berjalan sesuai rencana sebab selamadua tahun (1968-1970) pemerintahan militer telah menahan al-Qaraḍāwi lantarandianggap telah menjadi bagian dari kelompok Ikhwān al-Muslimin yang saat itumerupakan musuh penguasa militer. Ditambah lagi kondisi politik Mesir saat itusangat rawan lantaran sedang terjadi peperangan dengan Israel pada tahun 1973.Tarmizi M Jakfar, Otoritas Sunnah Non-Tasyri’iyyah Menurut Yusuf al Qaradhawi,h. 59-60. Lihat juga Biografi Dr. Yusuf Al-Qaradhawi, diakses darihttps://bio.or.id/biografi-dr-yusuf-al-qaradhawi/.

Page 84: kontekstualisasi hukum islam

Biografi Abou el Fadl dan al-Qaradawi

71

judul Fiqh al-Dhakāh. 34 Berkat disertasinya ini al-Qaraḍāwi menjadikonsultan ekonomi Islam yang banyak dicari dan aktif.35

Kecerdasan, kecintaan dan ketekunan dalam menuntut ilmu yangdimiliki al-Qaraḍāwi diwarisi oleh empat puteri dan tiga puteranya.Sebagai seorang ilmuan yang netral dan tidak membeda-bedakan jenisilmu pengetahuan, al-Qaraḍāwi membebaskan anak-anaknya dalammemilih disiplin ilmu yang mereka sukai. Hal ini dapat dilihat dariketujuh anaknya tersebut hanya satu orang yang mengikuti jejaknyadalam menguasai bidang keagamaan. Puteri pertamanya lulus dengannilai tertinggi dan merupakan doktor di bidang Fisika jurusan Nuklir darisebuah universitas di London. Puteri kedua juga mendapat nilai tertinggidi bidang Kimia dan meneruskan program doktoralnya di Inggris dalambidang Biologi jurusan Organ Tubuh. Puteri ketiga ahli di bidang Biologidan menempuh magister di Universitas Texas Amerika dalam bidangRekayasa Genetika. Puteri keempatnya merupakan doktor dariUniversitas Nottingham Inggris. Seterusnya putera kelima bernamaMuhammad yang ahli dalam bidang Teknik Mesin dan menempuhpendidikan doktoralnya di Universitas Orlando Florida. Adapun puterakeenam ahli di bidang Syariat dan Fikih mengikuti jejak ayahnya. Iamenempuh program magisternya di Universitas Dār al-‘Ulūm Kairodalam bidang uŞūl al-fiqh. Sementara putera terakhir al-Qaraḍāwi ahli dibidang Teknik Elektro dan telah bekerja di Kementerian PelistrikanQatar.36

2. Karya-karyaAl-Qaraḍāwi memandang semua ilmu adalah sama jika

dipergunakan untuk kebaikan atau bahkan akan menjadi sangat pentingdan wajib jika dibutuhkan untuk kemajuan agama Islam. MenurutTarmizi M Jakfar kemoderatan sikap dan pemikiran yang dimiliki al-Qaraḍāwi ini disebabkan beberapa faktor berikut; 1) Faktor agama dimana banyak sekali ayat dan hadis yang menyukai sikap pertengahan dantidak berlebihan. 2) Faktor pribadi yang diakuinya merupakan pemberiandari Allah sehingga ia cenderung bersikap seimbang. 3) Hasan al-Banna(w. 1949 M) dan Ikhwān al-Muslimin. Sebagaimana telah dijelaskansebelumnya bahwa salah satu tokoh idola al-Qaraḍāwi adalah Hasan al-Banna yang sangat berpengaruh pada pemikiran politik dan

34Ishom Talimah, al-Qaraḍāwi Faqἷhan, h. 3-4.35David L Johnston, Yusuf al Qaradawi’s Purposive Fiqh: Promoting or

Demoting the Future Role of the Ulama, h. 40.36Ishom Talimah, al-Qaraḍāwi Faqἷhan, h. 20-21.

Page 85: kontekstualisasi hukum islam

Kontekstualisasi Hukum Islam

72

keagamaannya khususnya dalam berdakwah. 37 4) Pengaruh Tafsir al-Manār dan Rashid Riḍa (w. 1935 M) sebagai pengarangnya. 5) Pengaruhpara ulama al-Azhar, tempat di mana ia menempuh pendidikan tinggi,seperti Maḥmūd Shaltūt (w. 1963 M), Muhammad Abū Zahrah (w. 1974M), dan ‘Abdul Ḥalἷm Maḥmūd (w. 1978 M).38 Terlepas dari kelimafaktor di atas, yang jelas ilmu pengetahuan merupakan unsur pentingdalam hal ini. Dengan semakin banyak dan luasnya pengetahuan yangdimiliki seseorang akan membuat pandangan dan cakrawala berfikirnyamenjadi terbuka tanpa dibatasi oleh sekat apapun. Hal ini akhirnya akanmembawa kepada sikap toleran dan seimbang terhadap segala bentukperbedaan selama masih berada dalam koridornya.

Selain mengajar al-Qaraḍāwi juga menuangkan pemikirannyadalam berbagai karya tulis, baik berupa buku, artikel, opini, jurnal ilmiahmaupun dialog atau talkshow yang diadakan media massa. Buku-bukukarangan al-Qaraḍāwi sangatlah banyak dan jika dihitung dapat mencapailebih kurang 125 judul dalam 13 kategori keilmuan,39 baik yang sudahdipublikasi maupun yang belum. Buku-buku karangan al-Qaraḍāwi initerdiri dari berbagai bidang ilmu keagamaan40 dan sudah diterjemahkanke dalam beberapa bahasa termasuk Indonesia. Berikut adalah beberapajudul buku al-Qaraḍāwi dalam beberapa bidang. Dalam disiplin ilmu fiqhdan uŞūl al-fiqh di antara buku karangannya adalah, al-Ḥalāl wa al-Harām fἷ al-Islām (1959),41 Fatāwā Mu’āŞirah (juz 1 & 2: 2005, cet-11

37Hasan al Banna dalam pandangan al-Qaraḍāwi merupakan tokoh yangkonsisten menjaga keaslian nilai dan etika Islam. Ia tidak dapat dipengaruhi olehpaham sekular dan nasionalisme Barat yang dibawa para penjajah Inggris. Tokohlain yang dikagumi al-Qaraḍāwi dalam bidang fikih adalah Ibn Taymiyyah (w. 1328M), Ibn al-Qayyim al-Jawziyyah (w. 1350 M), Muhammad Abduh (w. 1905 M),Sayyid Sabiq (w. 2000 M), dan para ulama al-Azhar. Kekaguman ini tidak membuatal-Qaraḍāwi bersikap taklid terhadap mereka atau pada mazhab tertentu, malah adabeberapa pendapatnya yang berbeda dengan mereka. Lihat Yūsuf al-Qaraḍāwi,Huda al-Islām, Fatāwā Mu’āŞirah, h. 456.

38Tarmizi M Jakfar, Otoritas Sunnah Non-Tasyri’iyyah Menurut Yusuf al-Qaradhawi, h. 105-106.

39Biografi Dr Yusuf al Qaradhawi, accessed from http;//www.bio.or.id40Semenjak tahun 1990an al-Qaraḍāwi mulai menulis buku terkait hukum

Islam, khususnya semenjak kunjungannya ke Universitas Zamalik Kairo. Al-Qaraḍāwi juga mulai menulis fatwa di majalah Islam seperti Mimbar al-Islām danNūr al-Islām. Kegiatan ini akhirnya melahirkan buku al-Ḥalāl wa al-Ḥarām fi al-Islām. Yūsuf al-Qaraḍāwi, Min Hady al-Islām Fatāwā Mu’āŞirah, Juz I, (Kairo: Dāral-Qalm, 2005), h. 15-16.

41Buku al-Ḥalāl wa al-Ḥarām fi al-Islām merupakan buku pertama yangditulis al-Qaraḍāwi dan diterbitkan pada tahun 1959. Kemunculan buku ini

Page 86: kontekstualisasi hukum islam

Biografi Abou el Fadl dan al-Qaradawi

73

dan juz 3: 2003, cet-3), 42 a- Fatwā bayna al-Inḍibāṭ wa al-Tasayyub(1988), Madkhal li Dirāsah al-Sharἷ’ah al-Islāmiyyah (1993), dan al-Ijtihād Mu’āŞir bayna al-Inḍibāṭ wa al-Infirāṭ (1994), Taysἷr al-Fiqh lial-Muslim al-Mu’āŞir fἷ Daw’i al-Qur’ān wa al-Sunnah, (1999), dan FiFiqh al-Aqalliyāt al-Muslimah Ḥayāt al-Muslimin Wasṭ al-Mujtama’ al-Ukhrā (2001). Di antara karya al-Qaraḍāwi dalam bidang ekonomiadalah, Fiqh al-Dhakāh, dan Mushkilāt al-Faqr wa kaifa ‘Alājahā al-Islām. Di bidang Ulum Alquran dan Sunnah antara lain, al-Ṣabr wa ‘Ilmfἷ al-Qur’ān al-Karἷm, Kaifa Nata’āmal ma’a al-Qur’ān al-‘Aẓἷm, danal-Madkhal li Dirāsah al-Sunnah al-Nabawiyyah. Bidang Dakwah danTarbiyah antara lain; Thaqāfah al-Dā’iyyah, al-Tarbiyah al-Islāmiyyahwa Madrasah Hasan al-Banna, dan Risālah al-Azhār baina al-Ams waal-Yaum wa al-Ghad. Sementara dalam bidang pergerakan antara lain, al-Ṣaḥwah al-Islāmiyyah baina al-Juhūd wa al-Taṭarruf, Aina al-Halāl, MinAjl al-Ṣaḥwah Rāshidah Tujaddid al-Din wa Tanhaj bi al-Dunya,Aulawiyyah al-Ḥarakah al-Islāmiyyah fἷ al-Marḥalah al-Qadἷmah, danGhair al-Muslimin fἷ al-Mujtama’ al-Islāmi.43

3. Aktifitas IntelektualSetelah menyelesaikan disertasinya al-Qaraḍāwi pindah ke kota

Daha Qatar karena kondisi Mesir sudah tidak kondusif lagi bagi karir dankehidupannya. 44 Meski pada awalnya ia ditugaskan sebagai tenaga

mendapat apresiasi yang sangat besar dari umat Islam di mana setelah penerbitanpertama, buku tersebut dicetak kembali sampai lebih dari lima belas kali pencetakan.Bukan hanya itu, buku ini juga telah diterjemahkan ke dalam banyak bahasatermasuk bahasa Indonesia. Bettina Gräf “Sheikh Yūsuf al-Qaraḍāwī in Cyberspace”In Die Welt des Islams, New Series, Vol. 47, Issue 3/4, Islam and Societal Norms:Approaches to Modern Muslim Intellectual History, (2007), h. 406.

42Total keseluruhan fatwa di buku ini adalah 441 dengan rincian, 184 fatwadi juz I, 85 fatwa di juz II, dan 172 fatwa di juz III. Fatwa di ketiga juz inimerupakan hasil dari aktifitas berfatwa al-Qaraḍāwi di radio dan televisi selama eratahun 1900an.Yūsuf al-Qaraḍāwi, Min Hady al-Islām Fatāwā Mu’āŞirah, Juz I, h.16.

43Tarmizi M Jakfar, Otoritas Sunnah Non-Tasyri’iyyah Menurut Yusuf al-Qaradhawi, h. 85-90.

44 Sebab utamanya adalah unsur politik, meskipun merupakan pribumiMesir namun keberadaan al-Qaraḍāwi dianggap sebagai ancaman bagi pemerintahMesir saat itu (mungkin juga sampai sekarang) lantaran keterkaitannya denganorganisasi Ikhwān al-Muslimin. Hal ini terbukti dengan sudah dua kali (ketika akanlulus pendidikan thanawiyah tahun 1948 dan saat akan menyelesaikan programdoktoralnya) al-Qaraḍāwi ditangkap dan dimasukkan ke dalam tahanan olehpenguasa militer saat menempuh pendidikan di Mesir. Sampai sekarang pemikiran

Page 87: kontekstualisasi hukum islam

Kontekstualisasi Hukum Islam

74

bantuan pada suatu sekolah menengah (ma’had al-din)--nantinya akanberevolusi menjadi Universitas Qatar yang terdiri atas beberapa fakultas--namun lantaran keberhasilannya dalam membentuk dasar pendidikanyang kuat di sana, al-Qaraḍāwi dipercaya untuk membuka jurusan StudiIslam dan didaulat sebagai ketuanya. Atas dasar jasanya juga akhirnya al-Qaraḍāwi diberi amanah sebagai pemimpin dan dekan pertama FakultasSyariah dan Studi Islam di Universitas Qatar sampai tahun 1990. Setelahitu al-Qaraḍāwi didaulat menjadi dosen tamu di Aljazair oleh pemerintahQatar dan sekaligus mengetuai majelis ilmiah di seluruh universitas danakademi pendidikan yang ada di sana. Di samping itu al-Qaraḍāwi jugamerupakan dewan pendiri Pusat Riset Sunnah dan Sirah Nabawi diUniversitas Qatar.45

Kendati prioritas utama dalam hidup al-Qaraḍāwi adalah dakwah,namun aktifitas keilmuan tetap menjadi aspek penting baginya sehinggasampai sekarang masih dilakoninya. Selain menebar pemikiran dan nilai-nilai keislaman dalam ceramah dan khutbah di masjid-masjid, al-Qaraḍāwi juga sering diundang ke berbagai muktamar yang terkaitdakwah dan juga menjadi nara sumber tetap dalam sebuah acara tanyajawab di Al Jazeera TV bernama Sharia and Life. Dikarenakanbanyaknya permintaan dan didukung oleh kemajuan teknologi, aktifitasdakwahnya juga disalurkan melalui internet dalam situsnya AlQaradhawi.com yang disponsori oleh Portal IslamOnline.net sehinggasetiap orang dapat bertanya atau mengakses pendapat keagamaannya.46

Keaktifannya dalam kegiatan dakwah membuat al-Qaraḍāwi lebihterkenal sebagai seorang fakih dan mufti. Meskipun ia tidak mendalamikajian syariat dan fikih pada pendidikan formal, namun tuntutan dalamberdakwah mengharuskannya untuk menguasai permasalahan yangterkait dengan hukum Islam. Dalam setiap kali khutbah dan ceramah iasering mendapat pertanyaan-pertanyaan yang terkait dengan hukum Islamdari masyarakat. Masyarakat menganggap al-Qaraḍāwi sebagai ulamayang menguasai syariat tanpa peduli dengan latar belakangpendidikannya. Jadi kegemarannya membaca berbagai buku sejak kecilsangat membantunya dalam menanggapi pertanyaan saat berdakwah.Tuntutan ini menjadi semakin kuat ketika ia banyak mendapat pertanyaanmelalui surat dan media massa. Latar belakang pendidikannya di bidang

al-Qaraḍāwi masih dianggap sebagai ancaman bagi Mesir sehingga buku-bukunyadilarang keras beredar di sana.

45Ishom Talimah, al-Qaraḍāwi Faqἷhan, h.5.46Bettina Gräf, “Sheikh Yūsuf al-Qaraḍāwī in Cyberspace”, h. 405-407.

Lihat juga.Tarmizi M Jakfar, Otoritas Sunnah Non-Tasyri’iyyah Menurut Yusuf al-Qaradhawi, h. 78-81.

Page 88: kontekstualisasi hukum islam

Biografi Abou el Fadl dan al-Qaradawi

75

tafsir hadis, filsafat dan bahasa Arab sangat membantunya dalammemahami hukum Islam. Hal ini terlihat pada setiap pendapat hukumatau fatwanya yang bersifat dinamis, moderat, tidak kaku, dan tidak jugamemberatkan. Semua ini merupakan ciri khas yang membuatnya lebihdisukai masyarakat.47

Keikutsertaan dan konstribusinya dalam berbagai kegiatankeagamaan dan dakwah membuat al-Qaraḍāwi menjadi sosok yangpantas dihargai. Atas dasar jasa dan aktifitasnya tersebut al-Qaraḍāwidipandang layak untuk menerima berbagai penghargaan, di antaranyaadalah dari Islamic Development Bank (IDB) dalam bidang Perbankanpada tahun 1411 H dan King Faisal Award dalam bidang keislaman ditahun 1413 H. Selain itu sebagai seorang ilmuan al-Qaraḍāwi jugadianugerahi beberapa penghargaan, di antaranya dari Universitas IslamAntar Bangsa Malaysia (1996) dan dari Sultan Brunai (1997) dalambidang fikih. Sampai saat ini al-Qaraḍāwi masih aktif di Pusat RisetSunnah dan Sirah Nabi di Universitas Qatar. 48 Pada tahun 2000 al-Qaraḍāwi diamanahi sebagai ketua dua organisasi Islam berpengaruhdunia yaitu; The European Council for Fatwa and Research (ECFR)49

dan The International Union of Muslim Scholars.50

4. Kondisi Sosio-KulturalDari sisi geografis, negara-negara di wilayah Timur Tengah yang

mayoritas Muslim terletak di kawasan stepa sehingga secara tidaklangsung membentuk kesamaan dalam pola hidup dan peradaban. 51

47Tarmizi M Jakfar, Otoritas Sunnah Non-Tasyri’iyyah Menurut Yusuf al-Qaradhawi, h. 60-61.

48Ishom Talimah, al-Qaraḍāwi Faqἷhan, h. 5.49Anggota ECFR banyak berdomisili di Eropa, tapi berpusat di Timur

Tengah. Fatwa-fatwa ECFR ditujukan untuk memenuhi kebutuhan Muslim Eropadalam memecahkan permasalahan mereka dan mengatur hubungan denganmasyarakat Eropa khususnya non-Muslim. Asas yang diterapkan ECFR dalamberfatwa adalah kemudahan (taysἷr) dan realitas (wāqi’). Alexandre Caeiro,“ThePower of European Fatwas: The Minority Fiqh Projectand The Making of an IslamicCounterpublic”, in Middle East Studies, Vol. 42, No. 3 (August 2010), h. 436-437.

50David L Johnston, “Yusuf al Qaradawi’s Purposive Fiqh: Promoting orDemoting the Future Role of the Ulama”, h. 40.

51Kesamaan yang dimiliki penduduk di wilayah ini di antaranya adalahbesarnya kekuasaan laki-laki dari pada perempuan dalam keluarga. Kekuasaan laki-laki ini didasari atas kekuatan fisik, kecerdasan dan kecakapan. Pada masa pramodern besarnya domain laki-laki dalam keluarga kadang bertentangan denganaturan hukum Islam seperti dalam kasus waris, di mana pihak keluarga melarangperempuan untuk mewarisi harta peninggalan dari suami atau dari kerabat lainnya.

Page 89: kontekstualisasi hukum islam

Kontekstualisasi Hukum Islam

76

Negara Qatar yang terletak di semenanjung kecil pantai barat Teluk Arabditempati oleh tiga kelompok penduduk yaitu Badui, Hadar dan Abd.Penduduk Badui merupakan pendatang dari Semenanjung Arab,sedangkan Abd merupakan keturunan budak Afrika Timur. Adapunsebagian Hadar merupakan penduduk asli di kota dan sebagian lainnyamerupakan keturunan Badui yang berasal dari Iran, Pakistan, danAfganistan. Qatar diperintah oleh Emir dari golongan al-Thani secaraturun temurun dan baru mencapai kemerdekaan pada tanggal 3September 1971 setelah lepas dari jajahan Inggris.52

Mayoritas penduduk Qatar yang merupakan keturunan Badui tetapmempertahankan tradisi dan sikap ramah tamah. Kuatnya ajaran dantradisi Islam membuat penduduk Qatar cenderung konservatif, baik darisisi pakaian maupun gaya hidup. Selain menghindari makanan danminuman yang haram, kaum lelaki Qatar biasanya memakai kemeja putihpanjang (thawb), jilbab (kaffiyeh) yang diikat tali. Pakaian kaumperempuan lebih beragam, berupa gamis panjang hitam (abaya), ataupakaian biasa yang ditambah kerudung.53

Masyarakat Qatar mengutamakan sikap ramah, menghormatiprivasi keluarga dan memisahkan gender di area publik. Aturan yangmemisahkan murid laki-laki dan perempuan di sekolah sedikit banyaknyamempengaruhi peran laki-laki dan perempuan di ranah publik. Meskitidak ada pemisahan gender dalam bekerja, umumnya perempuan Qatarcenderung memilih pekerjaan di bidang pendidikan, kesehatan, danbidang sosial.54 Selain itu keberadaan tradisi sosial Qatar, membuat kaum

Ira M Lapidus, Sejarah Sosial Ummat Islam, Bag. 3, Penerjemah. Ghufron AMas’adi, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1999), h. 529-530.

52Culture of Qatar, accessed from https://www.everyculture.com/No-Sa/Qatar.html.

53Qatar-Government and Society, accessed from https://www.britannica.com /place/Qatar/Government-and-society.

54Terdapat dua survey terkait hal ini, yaitu; Pertama penelitian yangdilakukan RAND tahun 2005-2007 menyatakan bahwa Pemerintah Qatar membukapeluang besar bagi kaum perempuan untuk berkarir demi membantu kemajuannegara. Oleh karena itu, semua hambatan baik dari sisi hukum atau tatanan sosialsudah dihilangkan pemerintah. Kedua survey yang dilakukan Universitas Qatarsampai tahun 2017 menunjukkan bahwa budaya patriarki yang masih kuatdipertahankan masyarakat Qatar menimbulkan dualisme sikap. Di satu sisi tuntutanmodernitas untuk melakukan perubahan telah memberi kaum perempuankesempatan untuk belajar dan bekerja. Akan tetapi di sisi lain peluang dankesempatan yang diberikan tersebut masih sangat terbatas khususnya dari ruangpublik. Dengan kata lain hak dan kebebasan kaum perempuan Qatar masih terbatasdi ranah domestik karena masih besarnya otoritas patriakri. Kaltham Al-Ghanim,

Page 90: kontekstualisasi hukum islam

Biografi Abou el Fadl dan al-Qaradawi

77

perempuan lebih nyaman beraktifitas di ruang pribadi. Ruang publikumumnya dikuasai oleh kaum lelaki, termasuk juga dalam mendudukijabatan dan posisi tertinggi.55

Terkait persoalan pernikahan, kendati peran ibu dan saudaraperempuan sangat besar dalam mengatur perjodohan, namun perempuanmempunyai hak untuk menerima atau menolak lamaran. Begitu jugadengan perceraian yang menjadi hak masing-masing suami isteri, di manamereka dapat mengajukan tuntutan ke pengadilan jika pernikahanmengalami masalah yang tidak dapat diselesaikan. Sistem kekerabatanpatrilineal yang dianut masyarakat Qatar mengharuskan isteri tinggalbersama keluarga besar suami. Namun nasab isteri tetap merujuk kepadaayahnya dengan menyisihkan sebagiannya kepada nasab suami dan anak-anak.

Penjelasan di atas menunjukkan bahwa meski di masa modern,setelah tahun 1950, telah terjadi perubahan yang cukup signifikanterhadap kondisi masyarakat Qatar, namun perubahan itu tidak berjalansecara maksimal. Hal ini sebagaimana yang ditegaskan oleh Le Playbahwa perubahan yang terjadi pada masyarakat yang hidup di daerahstepa seperti Timur Tengah, pada masa modern tidaklah signifikan.Meski saat itu sudah terdapat cikal bakal demokratis dan kebebasannamun sistem kekerabatan masyarakatnya masih berbentuk patrilinealyang bersifat otoriter, tidak demokratis, dan konservatif.56

“Transitional Society and Participation of Women in The Public Sphere: A Surveyof Qatar Society”, in International Journal of Humanities and Social ScienceResearch, Vol. 3, Issue 2, (February 2017), h. 59-60. Lihat juga Dell Felder andMirka Vuollo, Qatari Women in the Workforce, (RAND-Qatar Policy Institute,2008), h. 35.

55Culture of Qatar, accessed from https://www.everyculture.com/No-Sa/Qatar.html.

56Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: PT RajaGrafindoPersada, 1999), h. 38-39.

Page 91: kontekstualisasi hukum islam

Kontekstualisasi Hukum Islam

78

Page 92: kontekstualisasi hukum islam

Fatwa Hak Hidup dan Hak Politik

79

FATWA-FATWA KHALED M ABOU EL FADL DANYŪSUF AL-QARAḌĀWI TENTANG

HAK HIDUP DAN HAK POLITIK

Bab ini akan membahas fatwa-fatwa Abou el Fadl dan al-Qaraḍāwiterkait hak hidup dan hak politik. Diskursus hak hidup dan hak politikmerupakan bagian dari hak yang melekat pada manusia sehingga menjadibagian dari hak asasi manusia (HAM). Akan tetapi persepsi Barat terhadapHAM berbeda dengan persepsi Islam. Barat memandang HAM sebagai hakyang melekat pada diri setiap manusia berupa pemberian Tuhan sehinggaharus dijaga, dihormati dan dilindungi oleh setiap orang termasuk negara.1

Pengertian ini menggambarkan bahwa sebagai individu, manusiamempunyai hak-hak dasar secara penuh tanpa ada keterkaitan dengankewajiban. Dengan demikian negara wajib melindungi dan memenuhi hakindividu seluruh warga negaranya. Menurut pandangan Islam, hak dasarsetiap manusia yang patut dijaga, harus selaras dengan kewajiban asasi yangwajib dilaksanakannya sebagai khalifah di bumi sekaligus menjalankanperintah agama.2 Antara hak dan kewajiban harus seimbang, tidak bolehberat sebelah. Artinya selama tidak memenuhi kewajiban, seseorang tidakdapat menuntut haknya, seperti hak pelajar dalam mendapat pengetahuanyang harus dilindungi dan tidak boleh direbut oleh siapapun. Akan tetapi hakini dapat diperoleh setelah pelajar tersebut menunaikan kewajibannya baikdari sisi administrasi maupun keuangan. Oleh karena itu, penerimaan atashak harus berjalan seiring dengan ditunaikannya kewajiban.

Hak dasar yang dimiliki manusia di antaranya adalah hak untukhidup dan hak melakukan aktifitas politik. Selain menghormati kedua hakdasar ini, syariat Islam juga telah menetapkan beberapa aturan terkait yangharus dipatuhi dan tidak boleh dilanggar oleh siapapun. Berikut ini akandikemukakan diskursus hak hidup dan hak politik dalam Islam yangtergambar dalam fatwa Abou el Fadl dan al-Qaraḍāwi. Persoalan hak hidupakan difokuskan pada fatwa tentang tindakan aborsi, sedangkan persoalanhak politik akan difokuskan pada fatwa memilih pemimpin non-muslim sertakepemimpinan perempuan dalam salat (imam) dan negara.

1Mohamad Atho Mudzar dan Muhammad Maksum, Fikih Responsif,(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2017), h. 245.

2Mohamad Atho Mudzar dan Muhammad Maksum, Fikih Responsif, h.249-251.

Page 93: kontekstualisasi hukum islam

Kontekstualisasi Hukum Islam

80

A. Fatwa AborsiSebelum dilakukan penelitian atas fatwa kedua tokoh, Abou el Fadl

dan al-Qaraḍāwi, berikut ini akan dipaparkan deskripsi fatwa-fatwa merekatentang aborsi.1. Fatwa Abou el Fadl

Abou el Fadl telah mengeluarkan tujuh fatwa terkait aborsi antaratahun 2015-2017. Berikut ini deskripsi fatwa-fatwa tersebut,a. Fatwa tanggal 4 Januari 2015.

Fatwa ini dilatari oleh pertanyaan seorang perempuan di kota NewYork yang sedang hamil lebih kurang tiga minggu. Faktor ekonomi yangkurang, di mana gaji suami yang minim, membuatnya merasa sulit untukmemiliki anak di tengah standar biaya hidup yang mahal. Selain itukeberadaan anak akan menyulitkannya ketika nanti akan mencaripekerjaan demi menunjang ekonomi keluarga. Dalam kondisi ini apakahtindakan mengaborsi janin yang belum berusia 40 hari atau 120 haridibenarkan oleh Islam? Hal ini dikarenakan terdapat kebijakan yangberlaku di Amerika, bahwa klinik bersalin tidak boleh melakukantindakan aborsi terhadap pasien yang kehamilannya belum mencapai usiaenam minggu atau 42 hari.

Abou el Fadl mengawali fatwanya dengan firman Allah SWTdalam surat al-Baqarah ayat 228 berikut,

ب ن م ؤ ی ن ك ن إ ن ھ ام ح ر ى أ ف هللا ق ل اخ م ن م ت ك ی ن أ ن ھ ل ل ح ی ال و ...)228:البقرة...(ر خ األ م و ی ال و

“…Dan janganlah mereka menyembunyikan sesuatu yang sudahdiciptakan Allah dalam kandungan jika mereka beriman kepadaAllah dan Rasul-Nya…” (QS al-Baqarah: 228)Berdasarkan ayat di atas mayoritas ulama menyatakan bahwa

tindakan aborsi adalah melanggar hukum karena menghancurkankehidupan. Aborsi juga merupakan perbuatan terlarang sehinggapelakunya akan mendapat dosa besar. Meski para ulama melarangtindakan aborsi ini, namun larangan tersebut tidak bersifat total. Artinyaulama juga membolehkan tindakan aborsi yang dilakukan pada kondisidan dengan sebab tertentu. Sebagian ulama Shāfi’iyyah membolehkantindakan aborsi sebelum usia janin mencapai 40 atau 42 hari. Sebagianulama Shāfi’iyyah lainnya dan sebagian ulama Ḥanāfiyyah membolehkanaborsi sampai usia janin mencapai 120 hari. Namun kebanyakan ulamayang membolehkan aborsi sampai usia janin 120 hari menyatakan bahwameski aborsi tersebut dilatari oleh faktor tuntutan kesehatan namuntindakan tersebut tetap tercela dan tidak disukai (makruh).

Perbedaan pendapat ulama terkait waktu diperbolehkannya aborsi(40, 42, atau 120 hari) disebabkan oleh berbedanya pandangan mereka

Page 94: kontekstualisasi hukum islam

Fatwa Hak Hidup dan Hak Politik

81

dalam menentukan kapan kehidupan janin dimulai khususnya setelahditiupkannya ruh. Terlepas dari perbedaan pendapat ulama ini, dalampandangan Abou el Fadl baik embrio maupun janin yang ada di dalamkandungan sebenarnya telah memiliki hak untuk hidup atau kesempatanpotensial untuk hidup. Hak ini tidak boleh diganggu oleh siapapunkecuali ada kepentingan atau alasan yang kuat. Oleh karena itu, Abou elFadl melarang tindakan aborsi berapapun usia janin karena nyawa dankehidupan merupakan sesuatu yang sangat berharga. Fatwa Abou el Fadlini selaras dengan pendapat mayoritas ulama yang melarang tindakanaborsi karena sejalan dengan ketentuan Alquran, hadis dan etika Islam.

Selanjutnya Abou el Fadl menyatakan bahwa kebolehan aborsijuga ditemukan dalam beberapa ketentuan fikih jika terkait dengan alasankesehatan, seperti hamil akibat perkosaan dan kehamilan anak di bawahumur. Hal ini berarti alasan kemiskinan dan tekanan karir tidak termasukke dalam alasan yang dapat dibenarkan melakukan aborsi, karena Allahtelah melarang manusia membunuh anak lantaran takut miskin.3 Urusanrezeki harus diserahkan kepada Allah, sedangkan manusia hanya dapatberusaha dengan sebaik-baiknya dan berdoa. Anggapan dan rencanamanusia belum tentu sejalan dengan kehendak Allah. Sesuatu yang baikmenurut manusia boleh jadi buruk dalam pandangan Allah dansebaliknya apa yang dianggap buruk menurut manusia ternyata baikdalam pandangan Allah. 4 Pada kenyataannya banyak anak yangdiharapkan kelahirannya, ternyata kelak membawa bencana bagikeluarganya. Di sisi lain banyak juga anak yang tidak diharapkankehadirannya, justru membawa keberkahan yang besar bagi orang tua dankeluarganya.

Fatwa diakhiri Abou el Fadl dengan saran agar mustaftimerenungkan kembali penjelasan fatwa dan mengiringinya dengansenantiasa berdoa kepada Allah agar diberi bimbingan dalam menetapkankeputusan akhir. Kesulitan hidup dan kekurangan ekonomi merupakanpersoalan kehidupan yang harus dihadapi. Namun kesulitan itu sangattidak layak dijadikan sebagai alasan tindakan aborsi yang akan berakibatkepada menghilangkan kehidupan. Keimanan pada Allah merupakan

3 (31 : اإلسراء ...(كم خشیة إمالق وال تقتلوا أوالد “Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut miskin…” (QS al-Isrā’:31)

4 م ت ن أ و م ل ع ی هللا و م ك ل ر ش و ھ ا و ئ ی اش و ب ح ت ن ى أ س ع و م ك ل ر ی خ و ھ ا و ئ ی وا ش ھ ر ك ت ن ى أ س ع و ..) 216:ة ر ق لب ا (ن و م ل ع ت ال

“...Boleh jadi kamu membenci sesuatu padahal ia sangat baik bagimu. Dan bolehjadi kamu mencintai sesuatu padahal ia sangat buruk bagimu. Allah mengetahui,sedangkan kamu tidak mengetahui” (QS al-Baqarah: 216)

Page 95: kontekstualisasi hukum islam

Kontekstualisasi Hukum Islam

82

faktor penting untuk menghadapi semua persoalan hidup. Semogakeputusan akhir yang diambil mustafti dapat diberkahi dan diredoi Allah.5

b. Fatwa tanggal 1 Oktober 2016Seorang suami bertanya terkait keengganan isterinya untuk

melahirkan anak dalam kandungan yang sedang berumur 3 minggu.Keengganan isteri dilatari oleh kekhawatirannya akan pengalaman serupaseperti yang dialami anak terakhirnya. Anak tersebut lahir dalam kondisiprematur dengan berat badan 0.8 kg. Meski telah diopname selama 1,5bulan, namun anak itu tetap tidak berkembang dengan baik. Setelahberumur 4 bulan berat badannya hanya mencapai 3,25 kg. Apakahdibolehkan aborsi dalam kondisi ini?

Abou el Fadl mengawali fatwanya dengan mengulas fatwasebelumnya (tanggal 4-1-2015) di mana aborsi hanya diperbolehkan jikamengancam jiwa dan kesehatan ibu atau akan membawa kesulitan yangberat bagi keluarga. Di sisi lain aborsi menjadi terlarang jika takut miskin(al-Isrā’: 31) dan hanya Allah yang tahu kebaikan bagi manusia meskipundalam pandangannya tidak baik (al-Baqarah: 216). Terkait kekuranganberat badan bayi saat lahir, sebenarnya dapat diatasi dengan perawatanyang tepat dan pemeliharaan kesehatan yang baik. Meski demikian jikakekhawatiran kuat atas keterbelakangan bayi yang nantinya akanmenyulitkan atau memberatkan keluarga, maka kehamilan dapatdihentikan pada trimester pertama.

Akan tetapi sebelum keputusan ditetapkan hendaklah mustaftiberkonsultasi terlebih dahulu dengan dokter dan ahli medis yangkompeten. Setelah itu meminta bimbingan Allah melalui salat istikharahyang harus dilakukan beberapa kali sampai ditemukan keputusan akhirsecara meyakinkan. Jika aborsi yang lebih baik, maka upaya pencegahankehamilan di masa depan perlu direncanakan agar pengalaman yang samatidak terulang. Pencegahan kehamilan tersebut dapat dilakukan denganmengendalikan kelahiran melalui berbagai metode yang diperbolehkan.6

c. Fatwa tanggal 15 Januari 2017Fatwa ini berasal dari pertanyaan seorang perempuan yang sedang

mengandung usia 20 minggu tanpa perencanaan kehamilan. Kecemasandan ketakutan sedang menyelimuti dirinya sehingga membuatnyabingung antara menggugurkan kandungan atau tidak. Meski telah salat

5Khaled M Abou el Fadl, https://www.searchforbeauty.org/2015/01/04/fatwa-on-the-permissibility-of-abortion/

6 Khaled M Abou el Fadl, https://www.searchforbeauty.org/2016/10/01/fatwa-my-wife-is-3-weeks-pregnant-but-does-not-want-to-keep-this-baby-because-our-youngest-was-premature-and-still-not-well-grown-my-wife-is-worried-this-one-will-be-premature-can-we-abort/

Page 96: kontekstualisasi hukum islam

Fatwa Hak Hidup dan Hak Politik

83

(istikharah) dan berdoa namun Allah belum memberinya jawaban.Menurutnya kehamilan ini telah menghilangkan kebahagiaan hidupnya.Kendati hanya memiliki tiga anak perempuan kembar, namun dukunganpenuh suami dan karir yang lumayan bagus telah membuat hidupnyamenjadi nyaman meski tanpa kehadiran anak laki-laki. Dalam kondisi iniupaya apa yang harus ia lakukan?

Abou el Fadl mendeteksi adanya gejala depresi yang dideritamustafti lantaran kehamilan tidak terduga di tengah kebahagiaan dankesempurnaan hidupnya. Oleh karena itu, Abou el Fadl berdoa padaAllah agar depresi yang diderita mustafti dapat dengan segera diangkatsehingga membawa ketenangan. Setelah menjelaskan bahwa hanya Allahyang lebih mengetahui mana hal yang baik untuk manusia meskipuntidak disukainya, Abou el Fadl menyarankan mustafti untuk meyakinkandirinya kalau janin yang dikandung tersebut akan membawa keberkahanbaginya dan keluarga. Jika depresi itu belum hilang maka perlu dilakukanupaya pengobatan lebih lanjut baik secara medis maupun non-medis.Pengobatan apapun yang dilakukan, secara medis melalui terapi maupunnon-medis (gangguan setan) melalui pembersihan jiwa, hanya Allahlahobat terbaik dalam mengatasi gangguan depresi tersebut.7

d. Fatwa tanggal 15 Maret 2017Keengganan suami untuk memiliki anak akibat trauma atas

pengalaman sebelumnya membuat isteri ingin menuntut haknya untukmemiliki anak. Meski memiliki kondisi finansial yang lebih dari cukupdan didukung oleh riwayat kesehatan yang baik, kematian anak pertamaketika berusia lima bulan lantaran penyakit parah menyebabkan suamimemutuskan untuk tidak mempunyai anak lagi setelah berlalu dua tahun.Jika isteri tetap hamil di masa itu maka suami mengancam akanmenggugurkan kandungannya. Akan tetapi dua tahun merupakan waktuyang cukup panjang bagi istri untuk menanti kehadiran anak yang sangatdidambakan dan mengisi kekosongan hidupnya. Kondisi dilematis inimembuat isteri bingung untuk memilih antara mentaati suami denganperasaan keibuannya untuk memiliki anak. Meski begitu istri khawatirkalau ia tidak akan mampu mematuhi suami untuk menunda memilikianak selama dua tahun lantaran kuatnya tuntutan keibuan. Dengandemikian apakah isteri dapat menuntut haknya pada suami untukmemberinya anak? Dan bagaimana caranya agar dapat meyakinkan suamiuntuk merubah keputusannya?

7Khaled M Abou el Fadl, https://www.searchforbeauty.org/2017/01/15/fatwa-i-have-triplets-and-a-supportive-husband-i-am-pregnant-again-unplanned-and-i-am-depressed-and-considering-abortion-need-perspective/

Page 97: kontekstualisasi hukum islam

Kontekstualisasi Hukum Islam

84

Kedudukan seorang ibu yang sangat dihormati dalam Islammembuatnya mempunyai hak untuk memiliki anak dalam pandanganmazhab Ḥanāfiyyah. Selama aspek kesehatan dan ekonomi mendukung,isteri berhak mengandung dan melahirkan anak dari suami yang sah.Selain itu isteri juga dapat menuntut cerai pada suami yang menolak hakisteri sebagai seorang ibu untuk memiliki anak. Namun pendapat mazhabḤanāfiyyah ini tidak dianggap tepat oleh Abou el Fadl dalam kondisimustafti karena keengganan suami disebabkan oleh adanya trauma.Trauma yang masih membekas di hati suami hanya dapat diatasi dengankomunikasi terbuka antara suami isteri sehingga ia dapat menerima takdirAllah dengan lapang dada dan penuh keikhlasan.

Berdasarkan pertimbangan ini Abou el Fadl menyarankan mustaftiuntuk bermusyawarah secara baik-baik dengan suaminya, mengingattrauma yang dideritanya lantaran kehilangan anak pertama. Keputusanuntuk memiliki atau tidak memiliki anak merupakan keputusan bersamasuami isteri, bukan cuma keputusan sepihak. Denganmengkomunikasikan semua kekhawatiran dan kecemasan masing-masing, mudah-mudahan dapat berbuah ketenangan sehinggakesepakatan dapat terwujud. Melalui kesabaran semoga Allah memberipengganti yang lebih baik yaitu kehadiran anak yang akan membawakeberkahan dan kebaikan pada keluarga.8

e. Fatwa tanggal 15 Mei 2017Fatwa ini berasal dari pertanyaan seorang ibu yang hamil 23

minggu namun baru mengetahui kalau janinnya memiliki cacat jantungdan kemungkinan kelainan lainnya. Akan tetapi pemeriksaan lanjutan danmendalam untuk memastikan kelainan tersebut sangat beresiko terhadapjanin karena dapat mengakibatkan keguguran. Dalam kondisi seperti iniapakah ia dibenarkan untuk melakukan aborsi?

Sama seperti fatwa-fatwa sebelumnya Abou el Fadl mengawalifatwa ini dengan mengingatkan kembali tentang kemuliaan danberharganya kehidupan setiap makhluk, termasuk janin. Kehidupan dannyawa merupakan berkah terbesar yang diberikan Allah kepada manusia.Oleh karena itu, Allah melarang tindakan menggugurkan kandunganlantaran takut miskin. Sesuatu yang baik dalam pandangan manusia,belum tentu baik menurut Allah, dan begitu juga sebaliknya. Jaditindakan menghentikan kehamilan hanya dapat dilakukan ketika nyawaatau kesehatan ibu terancam atau akan menimbulkan kesulitan besarkepada keluarga.

8 Khaled M Abou el Fadl, https://www.searchforbeauty.org/2017/03/15/fatwa-my-first-child-died-at-5-months-i-would-like-another-baby-but-my-husband-does-not-want-a-baby-for-2-years-do-i-have-any-right-to-ask-for-baby/

Page 98: kontekstualisasi hukum islam

Fatwa Hak Hidup dan Hak Politik

85

Selanjutnya Abou el Fadl mengatakan bahwa melakukan aborsidan mengabaikan pemeriksaan mendalam bukanlah keputusan yang tepatbagi mustafti. Mengingat usia kandungan yang hampir menginjak 6bulan, tindakan aborsi tidak akan dibenarkan karena tidak mengancamjiwa atau kesehatan ibu. Oleh karena itu, rekomendasi dari dokter yangkompeten untuk melakukan pemeriksaan mendalam harus diikuti.Apapun hasil dari pemeriksaan tersebut harus diterima dengan tetapmelakukan upaya maksimal karena kehidupan merupakan berkah terbesaryang telah diberikan Allah kepada manusia. Pendapat Abou el Fadl inididasari kepada ketentuan fikih dan kesepakatan ulama secara umumyang bersumber kepada syariat Islam.9

f. Fatwa tanggal 1 Juni 2017Senada dengan permasalahan sebelumnya, fatwa ini dilatari oleh

pertanyaan seorang suami yang baru tahu kalau calon bayinya beradadalam kondisi mengkhawatirkan sehingga berkemungkinan akanberdampak pada cacat permanen pada fisik dan mentalnya. Kondisi inijuga mengharuskan bayi tersebut untuk menjalani beberapa kali operasipasca lahir. Pengalaman sebagai seorang pendidik membuatnya telahbanyak melihat efek negatif yang ditimbulkan oleh cacat bawaan baikkepada anak maupun kepada orang tuanya. Kekhawatiran atas kondisianak kelak, di mana hidupnya akan diisi dengan serangkaian pengobatandan ketergantungan perawatan, menimbulkan keinginan mustafti untukmelakukan aborsi. Apakah ada pendapat ulama atau keterangan Alqurandan hadis terkait hukum yang membolehkan aborsi terhadap janin yangsudah berumur 6 bulan?

Sama seperti fatwa-fatwa lainnya Abou el Fadl senantiasamendoakan dan turut prihatin atas permasalahan yang menimpa mustaftidi setiap awal fatwa. Setelah itu Abou el Fadl seperti biasamengkonfirmasi persoalan yang dipertanyakan mustafti dan dilanjutkandengan mengemukakan pendapat para ulama terkait permasalahantersebut. Meski para ulama berbeda pendapat tentang kebolehan aborsiterhadap janin yang berusia kurang dari 120 hari, namun jika telahmencapai usia 120 hari atau 6 bulan mereka sepakat melarang tindakanaborsi dilakukan. Larangan ini dilatari oleh kemuliaan dan nilai nyawayang sangat berharga. Tidak ada seorangpun yang diperbolehkan merusakkesakralan atau menghilangkannya kecuali jika terdapat alasan yangdibenarkan.

9 Khaled M Abou el Fadl, https://www.searchforbeauty.org/2017/05/15/fatwa-i-am-23-weeks-pregnant-discovered-my-baby-has-a-heart-defect-that-requires-surgery-there-may-be-other-defects-that-need-further-testing-this-may-lead-to-loss-of-pregnancy-can-i-terminate/

Page 99: kontekstualisasi hukum islam

Kontekstualisasi Hukum Islam

86

Setelah itu Abou el Fadl menyatakan bahwa dalam pandanganhukum Islam, permasalahan mustafti terkait dengan dua prinsip yaitumemelihara jiwa dan menghindari penderitaan atau kesulitan. Sebagianulama menyatakan bahwa meski janin tidak mengancam sang ibu, namunjika kelahirannya di dunia akan membuatnya menderita dengan menjalaniberbagai bentuk pengobatan dan perawatan atau bahkan kematian padaakhirnya, maka aborsi diperkenankan. Namun di sisi lain ada ulama yangmemiliki pandangan berbeda, yaitu Rektor al-Azhar yang pada tahun1980 berfatwa bahwa jika masih terdapat kemungkinan hidup bagi bayimaka aborsi tidak diperbolehkan. Fatwa larangan aborsi ini didukung al-Azhar dengan meningkatkan dan memajukan bidang pengujian genetikademi memelihara dan melestarikan kehidupan.

Beranjak dari dua pilihan di atas Abou el Fadl menyatakan bahwadalam pandangan ilmiah fatwa kedua lebih baik karena bertujuan untukmemelihara nyawa dan kehidupan (ḥifz al-nafs) yang merupakan bagiandari tujuan-tujuan syariat (maqāŞἷd al-sharἷ’ah). Artinya dalam rangkamemelihara jiwa, sekecil apapun peluang atau kemungkinan pengobatanyang dapat dilakukan harus ditempuh. Meski demikian keputusan akhirtetap berada di tangan mustafti. Jadi Abou el Fadl menyarankan agarmustafti mengadukan persoalannya kepada Allah melalui salat danberdoa secara terus menerus. Mudah-mudahan Allah akan memberinyaketenangan dan kedamaian serta jalan keluar yang terbaik.10

g. Fatwa tanggal 1 Juli 2017Fatwa ini diajukan oleh seorang ibu yang masih menyusui anaknya

namun ternyata hamil lebih kurang dua minggu. Apakah ia dapatdibenarkan melakukan aborsi mengingat kondisi tubuhnya yang masihsangat lemah pasca melahirkan sebelumnya?

Abou el Fadl menyatakan bahwa pada umumnya mayoritas ulamamembolehkan aborsi jika keberadaan janin akan berdampak negatif padakesehatan ibu atau bahkan dapat mengancam nyawanya. Termasuk jugapada kondisi ibu yang lemah untuk menerima kehamilan akibat kelahiransebelumnya. Kebolehan aborsi ini harus dilakukan sebelum usia janin120 hari. Akan tetapi sebelum itu, Abou el Fadl menyarankan mustaftiuntuk berkonsultasi terlebih dahulu dengan dokter yang kompeten agarmendapat informasi yang lebih baik dari pandangan medis tentang akibat

10Khaled M Abou el Fadl, https://www.searchforbeauty.org/2017/06/01/fatwa-my-wife-is-6-months-into-pregnancy-and-we-found-our-baby-has-a-serious-condition-that-will-lead-to-severe-physically-and-mentally-disability-having-passed-120-days-is-abortion-permissible/

Page 100: kontekstualisasi hukum islam

Fatwa Hak Hidup dan Hak Politik

87

dari melahirkan yang jaraknya dekat dari kelahiran anak sebelumnya.Allah maha mengetahui apa yang terbaik.11

2. Fatwa al-QaraḍāwiFatwa al-Qaraḍāwi yang terkait dengan tindakan aborsi ada dua

yaitu aborsi lantaran diagnosa penyakit janin dan aborsi akibat perkosaan.a. Fatwa aborsi atas dasar diagnosa penyakit yang diderita janin

Fatwa ini dikeluarkan al-Qaraḍāwi sebagai tanggapan ataspertanyaan dari Yayasan Islam Ilmu Kedokteran di Kuwait dalam suatupertemuan ilmiah antara para ahli hukum Islam dengan para dokter.

Al-Qaraḍāwi mengawali fatwanya dengan pandangan para ulamayang menyatakan bahwa meski masih berupa janin, namunkeberadaannya di dalam rahim harus dihormati setiap orang termasukorang tuanya karena ia telah memiliki kehidupan. Syariat telahmenegaskan bahwa saat Ramadan, ibu hamil diperkenankan untuk tidakberpuasa jika akan berdampak buruk bagi perkembangan janinnya.Pelaksanaan hukuman bagi perempuan hamil juga harus ditunda sampaiia melahirkan. Hal ini sebagaimana kisah seorang perempuan al-Ghamidiyyah yang mengaku telah berzina kepada Rasulullah. Olehkarena itu, seluruh tindakan yang akan mengancam keberadaan janinmenjadi terlarang, termasuk dalam kehamilan akibat perkosaan. Banyakpendapat ulama yang mengatakan bahwa jika perut seorang perempuanhamil dipukul sehingga melahirkan anak dalam kondisi hidup dankemudian tidak bernyawa maka sipemukul dikenai sanksi diat yangsempurna. Selain itu pelaku juga dikenai sanksi kafārah yaitumemerdekakan seorang budak yang beriman atau berpuasa dua bulanberturut-turut jika tidak mampu. Pendapat ini didasari pada sebuah ayatberikut,

ط خ ال ا إ ن م ؤ م ل ت ق ی ن أ ن م ؤ م ل ان ك ام و ا ئ ط ا خ ن م ؤ م ل ت ق ن م و أن م ان ك ن إ ف او ق د ص ی ن أ ال إ ھ ل ھ ى أ ل إ ة م ل س م ة ی د و ة ن م ؤ م ة ب ق ر ر ی ر ح ت ف م ك نی ب م و ق ن م ان ك ن إ و ة ن م ؤ م ة ب ق ر ر ی ر ح ت ف ن م ؤ م و ھ و م ك ل و د ع م و ق م ل ن م ف ة نم ؤ م ة ب ق ر ر ی ر ح ت و ھ ل ھ أ ى ل إ ة م ل س م ة ی د ف اق ث ی م م ھ نی ب و ا م ی ك ا ح م ی ل ع هللا ان ك و هللا ن م ة ب و ت ن ی ع اب ت ت م ن ی ر ھ ش ام ی ص ف د ج ی )92:النساء(

“…Dan barang siapa yang membunuh seorang mukmin secaratersalah maka hendaklah ia memerdekakan seorang budak berimandan membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya, kecuali

11 Khaled M Abou el Fadl, https://www.searchforbeauty.org/2017/07/01/fatwa-i-am-a-breastfeeding-mum-and-my-baby-is-still-small-i-just-discovered-that-i-am-pregnant-and-my-body-is-not-ready-is-abortion-permissible-at-this-stage/

Page 101: kontekstualisasi hukum islam

Kontekstualisasi Hukum Islam

88

jika mereka (keluarga korban) bersedekah. Jika ia (korban) darikaum yang memusuhimu, namun beriman, maka (pembunuhharus) memerdekakan budak beriman. Dan jika (korban berasal)dari kaum yang ada perjanjian (damai) antara mereka denganmu,maka (pembunuh harus) membayar diat yang diserahkan kepadakeluarganya serta memerdekakan budak beriman. Barang siapayang tidak mampu, maka hendaklah (pembunuh) berpuasa duabulan berturut-turut sebagai taubatnya kepada Allah. Allah MahaMengetahui dan Maha Bijaksana”. (QS. al-Nisa: 92)Berdasarkan hal ini maka perempuan hamil yang sengaja minum

obat untuk menggugurkan kandungannya wajib membayar denda, danmemerdekakan seorang budak serta tidak boleh saling mewarisi. Sanksiini juga akan dikenakan kepada ayah janin jika ia secara sengaja inginmenggugurkan kandungan isterinya. Bahkan Ibn Ḥazm dalam kitab al-Muḥallā menambahkan hukum kisas bagi orang yang membunuh janindalam kandungan dengan sengaja setelah ruh ditiupkan pada usia empatbulan karena dikiaskan dengan membunuh manusia dewasa secarasengaja. Namun jika janin belum mendapat ruh maka si pelaku wajibmembayar ghirrah.12

Menurut al-Qaraḍāwi pemberlakukan semua sanksi hukum di atasditujukan untuk menghormati keberadaan janin, terlebih lagi jika telahmemiliki ruh. Meski persoalan ruh merupakan hal gaib, namun dapatditerima jika didasari dengan riwayat sahih. Sebagaimana diterangkandalam hadis riwayat Muslim dalam kitab al-qadr nomor 2645 berikut,

ة ف ط الن ب ر ام ذ إ :یقولسمعت رسول هللا ملسو هيلع هللا ىلص:حدیث حذیفة بن أسید قالا ھ ع م س ق ل خ و اھ ر و ص ف ,اك ل ا م ھ ی ل إ هللا ث ع ب ة ل ی ل ن و ع ب ر أ و ان ت ن ث ى ؟ ث ن أ م أ ر ك ذ أ ب ار ی : ال ق م ا ث ھ ام ظ ع ا و ھ م ح ل ا و ھ د ل ج و ا ھ ر ص ب و ك ب ر ل و ق ی ف ؟ھ ل ج أ ب ار ی : ل و ق ی م ث ك ل م ال ب ت ك ی و ,اء اش م ك ب ى ر ض ق ی ف اء اش م ك ب ى ر ض ق ی ف ؟ ھ ق ز ر ب ار ی : ل و ق ی م ث .ك ل م ال ب ت ك ی و اء اش م ال و ر م اأ ى م ل ع د زی ی ال ف ة ف ی ح الص ب ك ل م ال ج ر خ ی م ث ,ك ل م ال ب ت ك ی و 13)رواه مسلم(ص ق ن ی

12Ghirrah atau ghurrah adalah budak laki-laki atau perempuan yang harusdibayar oleh orang yang melakukan aborsi. Ketiadaan budak saat ini dapat digantidengan separuh diat dalam pembunuhan yaitu sebanyak 50 ekor unta atau yangsenilai dengannya. Hal ini dikarenakan nilai budak setara dengan manusia merdeka.Huzaemah Tahido Yanggo, Fikih Perempuan Kontemporer, (Bogor: GhaliaIndonesia, 2010), h. 33.

13Abū al-Ḥusain Muslim ibn al-Ḥajjāj al-Qushairἷ al-Naysabūrἷ, ṢaḥἷḥMuslim, (Beirūt: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2003), h. 1019-1020.

Page 102: kontekstualisasi hukum islam

Fatwa Hak Hidup dan Hak Politik

89

“Hadis Ḥuzaifah ibn Usaid berkata: Aku mendengar RasulullahSAW bersabda: ‘Jika nuṭfah sudah berusia 42 malam, Allahmengutus malaikat padanya. Maka dibentuklah ia dan diciptakanpendengaran, penglihatan, kulit, daging, dan tulangnya. Lalu(malaikat) bertanya; Ya Tuhan, laki-laki atau perempuan(kelaminnya)? Lalu Tuhanmu menentukan apa yang dikehendaki-Nya dan ditulis malaikat. Malaikat bertanya (lagi); Ya Tuhan(bagaimana) ajalnya? Maka Tuhanmu menjawab apa yangdikehendaki-Nya dan ditulis oleh malaikat. Kemudian (malaikat)bertanya; Ya Tuhan (bagaimana) rizkinya? Maka Tuhanmumenentukan apa yang dikehendaki-Nya dan ditulis oleh malaikat.Kemudian malaikat keluar dengan (membawa) lembaran itu, makaia tidak menambah atau mengurangi atas apa yang telahdiperintahkan”. (HR Muslim)Sebenarnya terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama dan

ilmuan terkait usia janin yang dianggap memiliki kehidupan setelahditiupkan ruh.14 Selain berdasarkan riwayat hadis di atas, ada juga riwayatlain dari Ibn Mas’ūd (w. 650 M) yang menerangkan bahwa ruhdimasukkan ke dalam kandungan oleh malaikat setelah berusia 120 hari.Berdasarkan analisis dari ilmu kandungan dan anatomi yang menyatakanbahwa setelah berusia 42 hari janin memasuki tahap baru dan mengalamiperkembangan, membuat al-Qaraḍāwi lebih mendukung riwayat pertama(HR Muslim). Oleh karena itu, al-Qaraḍāwi menyatakan bahwa

14Ibn Ḥajr (w. 1449 M) membolehkan tindakan menggugurkan kandunganlantaran tidak kuatnya dalil yang dipakai untuk melarangnya. Ada juga ulama, diantaranya ulama Shāfi’iyyah, yang membolehkan aborsi jika janin belum berusia 40hari dan melarangnya jika sudah berusia lebih dari usia 40 hari. Dalam kitab fikihmazhab Ḥanāfiyyah dinyatakan bahwa menggugurkan kandungan diperbolehkanjika bentuk janin belum jelas. Janin baru terlihat bentuknya dengan jelas ketikasudah mencapai usia 120 hari. Kamāl ibn Hammām dari kalangan Ḥanāfiyyahmengatakan bahwa maksud dari pembentukan janin ini adalah ditiupkannya ruhkarena penciptaan dapat disaksikan sebelum waktu itu. Ada juga ulama yangmembolehkan aborsi secara mutlak sehingga tidak memerlukan izin suami. Tapipendapat ini ditolak ulama Ḥanāfiyyah karena dikiaskan dengan keharusanseseorang untuk mengganti telur yang dipecahkannya saat ihram. Ada juga ulamayang menghukumi makruh terhadap tindakan aborsi secara mutlak. Mayoritas ulamamelarang aborsi meskipun ruh belum ditiupkan, di antaranya al-Ghazali yangmenganggap aborsi merupakan kejahatan atas wujud yang sudah ada. Wujud inidiawali dengan pertemuan sperma dan ovum, segumpal darah dan daging, sertaberbentuk sempurna dengan ditiupkannya ruh. Puncak dari kejahatan ini adalahmembunuh wujud tersebut setelah lahir dalam kondisi hidup. Yūsuf al-Qaraḍāwi,Min Hady al-Islām Fatāwā Mu’āŞirah, Juz. II, (Kairo: Dār al-Qalm, 2005), h. 542-547.

Page 103: kontekstualisasi hukum islam

Kontekstualisasi Hukum Islam

90

kehidupan janin sudah dimulai sejak bertemunya sperma dan ovum didalam kandungan. Berdasarkan kenyataan ini al-Qaraḍāwi menyatakanbahwa hukum dasar aborsi adalah haram dengan keharaman yangbertingkat sesuai perkembangan kehidupan dan usia janin. Aborsi di usiajanin 40 hari dapat diperkenankan jika ada uzur yang muktabar dengansanksi hukum haram yang paling ringan. Keharaman ini akan bertambahkuat jika aborsi dilakukan pada janin usia di atas 40 hari. Setelah berusialebih dari 120 hari, akhirnya keharaman aborsi menjadi sangat kuat. Diusia ini aborsi hanya boleh dilakukan jika terdapat kondisi darurat yangpasti, bukan didasari oleh persangkaan, terutama jika mengancamkehidupan sang ibu. Namun kebolehan lantaran darurat ini harus diukursesuai dengan kadar kedaruratannya.15

Sebenarnya pada kondisi ini terjadi perbenturan antara duakemudaratan yaitu mengancam kehidupan atau nyawa ibu dan jiwa janin.Mayoritas ulama lebih memprioritaskan keutamaan nyawa ibu dalamkondisi ini lantaran pentingnya keberadaannya di keluarga sebagaipangkal kehidupan. Artinya sesuatu yang pokok tidak boleh dikorbankanuntuk kepentingan cabang. Dengan kata lain mengutamakan sesuatu yanglebih ringan kemudaratannya dan lebih kecil kerusakannya harusdiprioritaskan. Hal ini sesuai dengan bunyi sebuah kaedah berikut,

16ان ك م اإل ر د ق ب ع ف د ی ر ر الض

“Kemudaratan itu (hendaklah) ditolak sedapat mungkin”Peningkatan pengetahuan kedokteran khususnya kandungan dan

kemajuan teknologi dapat dimanfaatkan untuk memeriksa kondisi janindan menganalisis kemungkinan kehidupan janin ke depan. Namunkadang kala diagnosis dokter juga berkemungkinan tidak akurat. Banyakanak terlahir sehat di mana sebelumnya diprediksi dokter akan mengidappenyakit, cacat atau berusia pendek. Meski demikian kemajuan teknologidan pengetahuan sebenarnya dapat dimanfaatkan untuk membantuaktifitas anak-anak yang memiliki kebutuhan khusus sehingga merekadapat menjalani kehidupan seperti manusia lainnya.b. Fatwa aborsi akibat perkosaan

Fatwa ini berasal dari pertanyaan Dr Mustafa Siratishi, KetuaMuktamar Alami untuk Pemeliharaan HAM di Bosnia Herzegovina,September 1992. Masyarakat Bosnia meminta Dr Mustafa untuk bertanyakepada al-Qaraḍāwi saat berkunjung ke sana terkait kondisi paramuslimah yang hamil akibat diperkosa para tentara Serbia yang durhakadan bengis. Kehamilan tersebut membuat mereka merasa sangat sedih,

15Yūsuf al-Qaraḍāwi, Min Hady al-Islām Fatāwā Mu’āŞirah, Juz II, h. 547.16Aḥmad ibn Shaikh Muhammad al-Zarqā’, Sharḥ al-Qawā’id al-Fiqhiyyah

(Damaskus: Dār al-Qalm, 1996), h. 207.

Page 104: kontekstualisasi hukum islam

Fatwa Hak Hidup dan Hak Politik

91

malu, serta merasa rendah diri dan hina. Apakah syariat membolehkanmereka untuk menggugurkan kandungan yang terpaksa mereka alami?Jika dibiarkan janin tersebut lahir, maka bagaimanakah hukumnya?Sebatas apa tanggung jawab perempuan yang diperkosa tersebut terhadapjanin yang dilahirkannya?

Al-Qaraḍāwi menyatakan bahwa sebenarnya permasalahan hamilakibat perkosaan sudah banyak dipertanyakan kaum muslimah. Banyakmuslimah Eritrea diperkosa tentara Nasrani yang tergabung dalampasukan pembebasan Eritrea. Sekelompok muslimah yang dipenjarasecara zalim di beberapa negara Arab Asia juga menanyakan hal yangsama kepada para ulama di negara Arab. Intinya kaum muslimah menjadiobjek dan sasaran empuk bagi para binatang buas untuk menyalurkannafsunya tanpa merasa takut akan akibat dan pembalasannya kelak.

Berdasarkan hal ini al-Qaraḍāwi menegaskan bahwa kaummuslimah yang mengalami tindak kejahatan perkosaan, tidakmenanggung dosa sama sekali atas apa yang terjadi pada mereka selamasudah berusaha menolak namun tidak berdaya lantaran berada di bawahacungan senjata dan tekanan kekuatan besar. Allah telah menghapus dosadari orang yang terpaksa dalam masalah yang lebih besar daripada zina,yaitu kekafiran.17 Di sisi lain Allah juga mengampuni dosa orang yangberada dalam kondisi darurat, meski masih memiliki sisa kemampuanuntuk berusaha namun tekanan kedaruratannya lebih kuat.18 Terkait halini Rasulullah saw pernah bersabda dalam hadis berikut,

ط خ ال يت م أ ن ع ع ض و هللا ن إ 19ھ ی ل واع ھ ر ك ت اس ام و ان ی س الن و أ

“Sesungguhnya Allah menggugurkan (dosa) dari umatku lantarantersalah, lupa dan dipaksa (melakukannya)”.Selama tetap berpegang teguh kepada Islam, kaum muslimah yang

menderita akibat tindak perkosaan ini akan mendapat pahala atas musibahyang menimpa mereka. Hal ini selaras dengan sebuah riwayat (Ṣaḥἷḥ al-Bukhāri nomor 5641 dan 5642) berikut,

ال ى و ذ أ ال و ن ز ح ال و م ھ ال و ب ص و ال و ب ص نن م م ل س م ال ب ی ص ی ا م 20)ىار خ رواه الب (اه ای ط خ ن م اھ ب هللا ر ف ك ال إ اھ اك ش ی ة ك و الش ىت ح م غ

17QS al-Naḥl ayat 106.18QS al-Baqarah ayat 17319Sanad riwayat hadis ini sahih jika tidak munqaṭi’. Lihat Abi ‘Abdullah

Muhammad Ibn Yazἷd al-Qazwaini, Sunan Ibn Mājah, Juz. I, (Beirūt: Dār al-Kutubal-‘Ilmiyyah, T.th), h. 659. Lihat juga Muhammad NāŞir al-Dἷn al-Albāni, Irwā’ al-Ghalἷl fi Takhrἷj Aḥādith Manār al-Sabἷl. Juz. I, (Beirūt: Maktabah al-Islāmi, 1979),h. 123

Page 105: kontekstualisasi hukum islam

Kontekstualisasi Hukum Islam

92

“Tidak ada seorang muslim yang menderita kelelahan, penyakit,kesulitan, kesedihan, gangguan, kerisauan, dan gangguan berupaduri, melainkan Allah akan menghapus dosa-dosanya dengan(peristiwa) itu.” (HR al-Bukhāri)Pada hakikatnya tindakan aborsi memiliki hukum dasar terlarang

semenjak pertemuan sperma dan sel telur di dalam kandungan sampaimembentuk suatu wujud. Wujud baru ini harus dihormati, meskipunberasal dari hasil perbuatan yang haram seperti zina. Bahkan RasulullahSAW menunda pelaksanaan hukuman terhadap perempuan Ghamidiyyahyang mengaku berzina sampai anaknya lahir dan sudah disapih daripenyusuan saat berusia 2 tahun.

Pendapat ini dikemukakan al-Qaraḍāwi dalam keadaan normal,terlepas dari adanya perbedaan pendapat di kalangan ulama. Namunterkait kehamilan akibat perkosaan terdapat uzur yang kuat sehinggamembolehkan tindakan aborsi. Kebencian perempuan yang diperkosaterhadap pelaku dapat berakibat kepada janin yang dikandungnya,merupakan uzur yang akan menimbulkan keringanan atau rukhsah.Dengan demikian tindakan aborsi merupakan rukhsah karena darurat bagiperempuan yang hamil akibat perkosaan lantaran bertambah kuatnya uzurdi dalamnya.21

Al-Qaraḍāwi menambahkan bahwa rukhsah ini terikat dengankondisi uzur yang dibenarkan atas pertimbangan para ahli hukum, dokter,dan ilmuan. Artinya jika kondisinya belum sampai ke tahap itu, makaaborsi tetaplah terlarang. Oleh karena itu, bagi muslimah yangmendapatkan cobaan ini hendaklah memelihara janin yang ada di dalamkandungannya dan jangan paksa ia untuk menggugurkannya. Hal inidikarenakan janin atau anak yang ada di dalam kandungan tersebut suci,tidak berdosa dan merupakan anak muslim. Terakhir al-Qaraḍāwimenghimbau masyarakat muslim untuk membantu memelihara danmenafkahi anak tersebut lantaran tidak mempunyai ayah di mana ibunyajuga mengalami kesulitan finansial.22

3. Pendapat Para UlamaAborsi merupakan tindakan mengakhiri kehamilan dengan cara

mengeluarkan janin dari rahim sebelum waktunya, baik berat badannya

20Muhammad ibn Ismā’il al-Bukhāri, Ṣaḥἷḥ al-Bukhāri. Juz. IV, (Riyāḍ:Dār Iḥyā al-Kutub al-‘Arabiyyah, T.th), h. 2.

21Yūsuf al-Qaraḍāwi, Min Hady al-Islām Fatāwā Mu’āŞirah, Juz. II, h. 611.22Yūsuf al-Qaraḍāwi, Min Hady al-Islām Fatāwā Mu’āŞirah, Juz. II, h.

609-612.

Page 106: kontekstualisasi hukum islam

Fatwa Hak Hidup dan Hak Politik

93

seribu gram atau sudah mencapai usia 28 minggu. 23 Huzaemahmengatakan bahwa dalam aborsi tindakan menggugurkan kandungan ataumengeluarkan janin yang ada di dalam rahim tersebut dilakukan sebelumlahir secara alami, baik dilakukannya sendiri maupun dengan bantuanorang lain dengan tujuan untuk merusak rahim. 24 Umumnya aborsidilakukan akibat kehamilan yang tidak dikehendaki (KTD). Namunkehamilan ini belum tentu akibat perilaku perempuan yang nakal.Berdasarkan penelitian yang dilakukan Yayasan Kesehatan Perempuanpada tahun 2004 di sembilan kota besar Indonesia ditemukan bahwa 87 %perempuan yang mendatangi klinik untuk menghentikan kehamilanadalah isteri, baik yang bekerja maupun yang tidak bekerja.25

Menurut pandangan medis aborsi dipahami sebagai upayamenghentikan proses kehamilan setelah terjadinya pembuahan di dalamrahim sebelum janin berusia 20 minggu. 26 Data di atas menunjukkanbahwa pada kehamilan yang tidak diinginkan terbuka peluang terjadinyatindakan aborsi yang tidak aman (unsafe abortion) dan sangatmembahayakan keselamatan perempuan.27 Berdasarkan penelitian yangdilakukan Perkumpulan Keluarga Besar Indonesia di Yogyakarta tahun2005 ditemukan bahwa ada 53-55 perempuan Indonesia yang meninggaldikarenakan aborsi yang tidak aman. Jumlah ini turut menambah 11-14 %

23Saifuddin al-Sibā’i, al-Ijhāḍ bayna al-Fiqh wa al-Ţibb wa al-Qānūn,(Beirūt: Dār al-Kutub al-‘Arabiyyah, 1977), h. 11.

24Huzaemah Tahido Yanggo, Fikih Perempuan Kontemporer, h. 3225Maria Ulfah Anshor, Fikih Aborsi, Wacana Penguatan Hak Reproduksi

Perempuan, (Jakarta: Kompas, 2006), h. xvii-xviii.26Menurut Saifuddin al-Sibā’i, pada masa ini khususnya awal bulan kelima

kehamilan terjadi perkembangan yang signifikan pada organ-organ janin sehinggamembuatnya menjadi lebih aktif. Pada masa ini ruh sudah mulai ditiupkan padajanin tersebut. Lihat Saifuddin al-Sibā’i, al-Ijhāḍ bayna al-Fiqh wa al-Ţibb wa al-Qānūn,h. 44.

27Tindakan aborsi yang tidak aman, sampai sekarang masih terjadi karenadifasilitasi oleh oknum yang tidak bertanggung jawab. Para oknum tersebutmenyediakan layanan jasa aborsi baik secara tradisional maupun modern. Sepertilayanan jasa aborsi ilegal di Klaten yang dipromosikan melalui aplikasi Line denganmemakai akun Nindira Aborsi dengan tarif sepuluh juta rupiah. Lihat Polres KlatenBongkar Praktek Aborsi yang Ditawarkan Via Line, edisi 5 Maret 2019, diakses darihttp;/www.m.tribunsnews.com. Selain itu metode tradisional bermodus dukun pijatbayi juga masih diminati dalam praktek aborsi ilegal, seperti yang sudahdipraktekkan oleh nenek Yamini (70) di Magelang selama 25 tahun. Lihat PolisiBongkar Praktek Aborsi dengan Modus Pijat Bayi Tradisional, edisi 19 Juni 2018,diakses dari http: www.KOMPAS.com.

Page 107: kontekstualisasi hukum islam

Kontekstualisasi Hukum Islam

94

angka kematian ibu di Indonesia. 28 Kenyataan dan realitas di atasmengindikasikan bahwa sebab dan motif dari tindakan aborsi sangatberagam serta berakibat fatal. Dilatari kenyataan ini Turki, Tunisia, danIran telah mengizinkan aborsi dengan alasan social selama kehamilanberada pada trimester pertama. Bahkan di Barat terdapat konsep Hakuntuk tidak lahir dalam melegalkan aborsi pada janin yang mempunyaigangguan atau kehamilan akibat perkosaan. Konsep ini sangatbertentangan dengan Islam karena kehidupan merupakan sesuatu yangsangat berharga. Tidak ada yang berhak merampasnya karena setiap janinmempunyai hak untuk dilahirkan.29

Realita di atas ditanggapi secara serius oleh para ulama, karenapersoalan aborsi terkait dengan kehidupan manusia. Seluruh ulamasepakat melarang aborsi jika dilakukan terhadap janin yang sudahmemiliki kehidupan setelah ditiupkan ruh, karena disamakan denganmembunuh makhluk yang lemah. Namun larangan ini tidak berlaku jikakeberadaan janin akan mengancam nyawa sang ibu. Mengorbankannyawa ibu demi mempertahankan janin yang belum jelas kehidupannyatidak dibenarkan dalam pandangan Islam. 30 Adapun sebelum tahappeniupan ruh, terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama yangdisebabkan oleh berbedanya mereka dalam menetapkan kapan janindianggap memiliki kehidupan. Ulama Ḥanāfiyyah di antaranya Ibn‘Ābidin (w. 1836 M) membolehkan aborsi sebelum terbentuk janintepatnya sebelum berusia 40 sampai 45 hari. Tindakan aborsi ini akanmenjadi makruh jika janin sudah memiliki bentuk meski belum ditiupkanruh pada usia 120 hari. Jika janin sudah memiliki ruh maka aborsimenjadi haram dilakukan kecuali ada uzur demi memelihara kehidupan.Mereka beralasan bahwa sperma laki-laki yang masuk ke dalam rahimperempuan belum disebut manusia karena hanya berupa asal kehidupan.Hal ini disebabkan ia hanya berupa potongan daging yang nantinyaberpotensi menjadi manusia. Sama halnya dengan telur yang merupakancikal bakal burung atau unggas.31

Ulama Shāfi’iyyah di antaranya al-Ramli (w. 1004 H) menetapkanhukum makrūh tanzἷh jika tindakan aborsi dilakukan pada janin yangbelum memiliki bentuk. Akan tetapi jika sudah memiliki bentuk sampai

28Sali Susiana, “Aborsi dan Hak Kesehatan Reproduksi Perempuan”, dalamInfo Singkat Kesejahteraan Sosial, Vol. VIII, No. 06/II/P3DI/ Maret/2016, h. 10.

29Abul Fadl Mohsin Ebrahim,“Islamic Ethics of Life: Abortion, War andEuthanasia (Book Reviews)”, in Journal of Islamc Studies, Vol. 16, No. 3, (2005), h.376-377.

30Maḥmūd Shaltūt, al-Fatāwā, (al-Qāhirah: Dār al-Qalm, T.th), h. 289-290.31Saifuddin al-Sibā’i, al-Ijhāḍ bayna al-Fiqh wa al-Ţibb wa al-Qānūn, h.

47-49.

Page 108: kontekstualisasi hukum islam

Fatwa Hak Hidup dan Hak Politik

95

mendapat ruh, maka hukumnya berubah menjadi makrūh taḥrἷm. Setelahfase ini tindakan aborsi akan dihukum haram secara mutlak. Pendapatulama Ḥanābilah memiliki kesamaan dengan ulama Shāfi’iyyah dalamhal membedakan antara fase terjadinya konsepsi dengan fase sebelumpembentukan dan setelah pembetukan janin.

Berbeda halnya dengan pendapat terkuat di kalangan ulamaMālikiyyah yang melarang tindakan aborsi secara mutlak kendati janinbelum mencapai usia 40 hari. Sebagaimana yang dinyatakan pada Sharḥal-Dardiri berikut: “Tidak boleh mengeluarkan mani yang sudahterbentuk di dalam rahim meski belum berusia 40 hari. Jika janin itusudah memiliki ruh, maka hukumnya menjadi haram secara ijmak”.Argumen yang dipakai ulama Mālikiyyah adalah mereka meyakini bahwameski masih berada di fase pertama, embrio sudah memiliki hak hidup.Jadi tidak ada yang berhak mengeluarkannya dari rahim dalam kondisiapapun. 32 Pendapat senada juga dikemukakan Huzaemah denganmenyatakan bahwa pada fase pembuahan yang ditandai denganbertemunya sperma dan ovum menandakan telah terbentuknya kehidupanmeski belum memiliki nyawa. Pada kehidupan ini, janin mengalamipertumbuhan dan perkembangan yang nantinya akan menjadi makhlukbaru yang disebut manusia.33

Mutawalli al-Sha’rāwi menguatkan dua pendapat di atas denganmenekankan tindakan aborsi kepada pengharaman yang pasti, kecuali jikamembahayakan jiwa sang ibu. Pada kondisi ini, aborsi harus dilakukansebelum janin mencapai usia 120 hari dari kehamilan. Di sisi lain al-Sha’rāwi membolehkan perempuan menggunakan metode yang akanmenghalangi terjadinya kehamilan yaitu teknik ‘azl. Kebolehan ini harusditujukan untuk memelihara kesehatan sang ibu, bukan dilatari olehfaktor ekonomi. Adapun metode lain berupa memasukkan alat ke dalamtubuh perempuan adalah terlarang hukumnya. 34 Beranjak dariberagamnya pendapat di atas Maḥmūd Shaltūt memandang perbedaanpendapat yang terjadi di kalangan ulama khususnya terkait aborsi yangdilakukan di awal kehamilan dilatari oleh berbedanya mereka dalammemandang status embrio setelah terjadinya pembuahan sebagai makhlukhidup atau manusia. Dengan demikian meski sebagian ulama melarang

32Saifuddin al-Sibā’i, al-Ijhāḍ bayna al-Fiqh wa al-Ţibb wa al-Qānūn, h.50-52.

33Huzaemah Tahido Yanggo, Fikih Perempuan Kontemporer, h. 54.34Muhammad Mutawalli al-Sha’rāwi, al-Fatāwa, Juz. I & III, (al-Qāhirah:

Dār al-Qalm, T.th), h. 18-19 & 26.

Page 109: kontekstualisasi hukum islam

Kontekstualisasi Hukum Islam

96

atau mengharamkan aborsi pada fase ini, namun hukumnya tidak sekuatkeharaman aborsi yang dilakukan pada janin yang sudah sempurna.35

Lembaga-lembaga fatwa Indonesia juga telah menyatakan sikapdan pendapatnya terkait aborsi. Komisi Fatwa MUI, Majelis TarjihMuhammadiyah, dan Bahtsul Masail NU, mempunyai fatwa yang hampirsenada yaitu haram dilakukan semenjak terjadinya pembuahan kecualiada keadaan darurat. 36 Darurat yang dimaksud dalam hal ini adalahkeadaan yang mengkhawatirkan keberlangsungan kehidupan dankesehatan sang ibu lantaran hamil atau melahirkan. Dalam sebuah ayatAllah SWT melarang manusia mencelakai dirinya sendiri; “…Danjanganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan…”(QS al-Baqarah: 195).37 Jadi dalam rangka mewujudkan kemaslahatanibu dengan menyelamatkan jiwanya saat terancam, tindakan yang semulaterlarang yaitu menggugurkan kandungan dapat berubah menjadi boleh.38

Dengan kata lain keadaan darurat merupakan suatu batas di mana jikaseseorang tidak melakukan hal terlarang maka akan membuat hidupnyaterancam binasa. Oleh karena itu, kondisi darurat yang membolehkandilakukannya aborsi ini harus didasari atas pertimbangan dari para ahlimedis yang kompeten setelah menganalisis indikasi medis dan dilakukandi sarana kesehatan terkait.39

Komisi Fatwa MUI telah mengeluarkan tiga kali fatwa terkaitaborsi. Meski ketiga fatwa tersebut masih menetapkan hukum dasarharam, namun terdapat perubahan yang cukup signifikan di setiap fatwakhususnya pada fatwa ketiga tahun 2005. Pada fatwa ketiga MUImemutuskan bahwa aborsi dapat dilakukan jika ada uzur berupa kondisidarurat dan hajat. Penetapan kondisi darurat jika kehamilan akanmengancam nyawa ibu atau lantaran penyakit berat yang dideritanya.Adapun kondisi hajat dapat ditetapkan dalam kehamilan akibat perkosaandan prediksi kuat dokter tentang penyakit genetik yang diderita janinsehingga sulit untuk disembuhkan ketika lahir.40

35Maḥmūd Shaltūt, al-Fatāwā, h. 291-292.36Keputusan Munas VI MUI Tahun 2000 dan Fatwa MUI Nomor 4 Tahun

2005, Keputusan Muktamar Tarjih XXII Muhmmadiyah Tahun 2000 di Malang, danKeputusan Bahtsul Masail PWNU Jawa Timur Tahun 1978-2009.

37Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, Himpunan Putusan Tarjih3, (Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2018), h. 434.

38MB Hooker, Islam Mazhab Indonesia, Penerjemah. Iding RosyidinHasan, (Jakarta: Teraju, 2003), h. 238.

39Tim PW LBM NU Jawa Timur, NU Menjawab Problematika Umat, Jilid.I, (Surabaya: PW LBM NU Jawa Timur, 2015), h. 360-361.

40Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 4 Tahun 2005 Tentang Aborsi, h.455-456.

Page 110: kontekstualisasi hukum islam

Fatwa Hak Hidup dan Hak Politik

97

Pada fatwa aborsi yang ketiga,41 Komisi Fatwa MUI menambahkankondisi hajat sebagai uzur selain darurat yang membolehkandilakukannya aborsi. Kondisi hajat yang dimaksud dalam hal ini adalahsuatu kondisi yang jika seseorang tidak melakukan suatu larangan makahidupnya akan dipenuhi dengan kesulitan dan kesusahan yang sangatberat. 42 Adapun uzur darurat dapat disebabkan oleh bahaya yangmengancam jiwa ibu jika kehamilan diteruskan dan dapat juga berasaldari penyakit berat yang diderita ibu sehingga akan mengancam jiwa dananaknya seperti kanker stadium akhir. Sementara uzur hajat dapat berasaldari prediksi dokter bahwa janin yang dikandung akan menderita cacatgenetik sehingga sulit disembuhkan dan dapat juga disebabkan olehkehamilan akibat perkosaan. Akan tetapi kebolehan aborsi dalam kondisihajat hanya dapat dilakukan sebelum janin berusia 40 hari melaluifasilitas kesehatan yang sudah ditunjuk pemerintah. Meski demikianaborsi pada kehamilan akibat perzinaan tetap dihukum haram karenadikhawatirkan akan membuat tindakan perzinaan menjadi marak.43 Halini berarti kehamilan akibat zina tidak termasuk dalam uzur daruratataupun hajat. Adapun kebolehan aborsi akibat perkosaan disebabkanadanya kekhawatiran terhadap terganggunya kondisi psikis korbankhususnya pada mental dan jiwanya. Selain itu ada kemungkinan korbanakan sangat membenci anak yang dilahirkannya kelak sehingga anakyang tidak bersalah akan menjadi korban yang menderita. Keterangan di

41Menurut Atho Mudzhar sebenarnya MUI telah mengeluarkan tiga fatwaterkait aborsi yaitu tahun 1983 melalui MUNAS MUI, tahun 2000, dan tahun 2005.Pada fatwa pertama yang tidak penulis jelaskan, dinyatakan bahwa MUImengharamkan tindakan aborsi yang dilakukan dengan cara apapun tanpamembatasi usia kandungan. Selain itu tindakan menstrual regulation (MR) jugamenjadi terlarang karena termasuk bagian dari aborsi. Tindakan aborsi inidiharamkan karena disamakan dengan pembunuhan terselubung, namun tindakan inidapat berubah hukumnya menjadi boleh jika bertujuan untuk menyelamatkan nyawasang ibu. Dikarenakan fatwa ini dihasilkan dari MUNAS MUI, maka wajar sajakalau isinya masih bersifat umum dan tidak terperinci. Lihat Mohammad AthoMudzhar, “Dampak Fatwa MUI tentang Bioetika terhadap Peraturan PerundanganIndonesia”, dalam Esai-esai Sejarah Sosial Hukum Islam, (Yogyakarta: PustakaPelajar, 2014), h. 211-212.

42Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 4 Tahun 2005 Tentang Aborsi, h.455.

43Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 4 Tahun 2005 tentang Aborsi, h.455-456.

Page 111: kontekstualisasi hukum islam

Kontekstualisasi Hukum Islam

98

atas menunjukkan bahwa fatwa MUI ini berupaya merekonsiliasi antaramaraknya praktik aborsi yang tidak aman dengan aturan hukum negara.44

Terlepas dari pendapat-pendapat ulama di atas, persoalan aborsiterkait dengan tiga peraturan Indonesia yaitu Undang-undang Nomor 39Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Undang-undang Nomor 36Tahun 2009 tentang Kesehatan, dan Peraturan Pemerintah Nomor 61Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi. Pada Pasal 1 ayat 1 UUHAM dikatakan bahwa Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yangmelekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai mahluk TuhanYang Maha Esa dan merupakan anugerahNya yang wajib dihormati,dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dansetiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabatmanusia. Di antara hak asasi yang dimiliki manusia adalah hak untukhidup yang tidak dapat diganggu atau dikurangi oleh siapapun dankapanpun sebagaimana ditegaskan pada pasal 4. Artinya meski dalamkondisi perang atau darurat hak hidup tidak dapat diambil atau dirampasnegara, pemerintah, atau orang lain. Hak asasi lainnya adalah hak anakyang diakui dan dilindungi hukum semenjak dalam kandungan (pasal 52).Oleh karena itu, pada pasal 53 ayat 1 ditegaskan bahwa setiap anak sejakdalam kandungan, berhak untuk hidup, mempertahankan hidup, danmeningkatkan taraf kehidupannya.45

Terdapat beberapa aturan terkait aborsi yang ditetapkan dalamUndang-undang Kesehatan. Pada pasal 1 ayat 1 dikatakan bahwakesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spritualmaupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktifsecara sosial dan ekonomis. Kesehatan merupakan hak yang dimilikisemua orang. Terkait kebolehan aborsi akibat uzur, selain harusditetapkan oleh tenaga medis yang kompeten juga harus didukung olehalat atau teknologi yang akurat. Oleh karena itu, keberadaan teknologikesehatan berupa metode dan alat yang dipakai untuk mencegah ataumendeteksi adanya penyakit yang diderita sang ibu atau kelainan yangdiidap janin sangat dibutuhkan dalam mempertimbangkan aborsi.Teknologi ini juga berguna untuk memprediksi kemungkinanpenyembuhan atau memperkecil komplikasi penyakit yang diidap janin(pasal 42 ayat 2).46

44Mohammad Abdun Nasir and Asmawi, “The Majelis Ulama’s Fatwa onAbortion in Coontemporary Indonesia”, in The Muslim World Hartford Seminary,Vol. 101, No. 1, (2011), h. 33.

45Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia.46Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 Tentang

Kesehatan, h. 17.

Page 112: kontekstualisasi hukum islam

Fatwa Hak Hidup dan Hak Politik

99

Larangan tindakan aborsi dijelaskan secara tegas pada pasal 75ayat 1 dengan memberi dua peluang pengecualian pada ayat 2. Duapeluang aborsi tersebut adalah a). Jika terdapat indikasi kedaruratanmedis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan, baik yang mengancamnyawa ibu dan / atau janin, yang menderita penyakit genetik berat dan /atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki sehinggamenyulitkan bayi hidup di luar kandungan. b). Kehamilan akibatperkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korbanperkosaan. Dibutuhkan konselor dari pihak dokter, psikolog, ulama, dantokoh masyarakat yang kompeten dan otoritatif untuk menanganiperempuan hamil yang berada pada dua kondisi ini. Pasal 76 mengaturaborsi secara ketat dengan memberi 4 persyaratan yaitu dilakukansebelum janin berusia 6 minggu, atas persetujuan perempuan yang akandiaborsi dan mendapat izin suami, dilakukan oleh tenaga kesehatan yangberwenang dan bersertifikat, serta memakai layanan atau fasilitas yangtelah ditetapkan pemerintah. Hal penting lain terkait aborsi adalah peranpemerintah dalam melindungi dan mencegah perempuan dari aborsi yangtidak bermutu, tidak aman, dan tidak bertanggung jawab sertabertentangan dengan norma agama dan ketentuan peraturan perundang-undangan (pasal 77).47

Pasal 2 ayat 2 PP Nomor 61 Tahun 2014 tentang KesehatanReproduksi dikatakan bahwa aborsi yang legal merupakan bagian darikesehatan reproduksi yang menjadi tanggung jawab pemerintah pusat dandaerah. Terhadap perempuan korban perkosaan pemerintah harusmemberi pelayanan kesehatan berupa kontrasepsi darurat untukmencegah terjadinya kehamilan yang dilakukan tenaga kesehatan sesuaistandar (pasal 24 ayat 1 dan 2). Pasal 31 ayat 1 dan 2 menguatkanketentuan pasal 75 ayat 1 UU Kesehatan yang kemudian disambung olehpasal 32 ayat 1 tentang kondisi kedaruratan medis. Pasal ini menyatakanbahwa indikasi kedaruratan medis meliputi dua hal yaitu; a) Kehamilanyang mengancam nyawa dan kesehatan ibu. b) Kehamilan yangmengancam nyawa dan kesehatan janin, termasuk penyakit genetik berat,cacat bawaan yang tidak dapat diobati sehingga menyulitkan kehidupanjanin setelah lahir. Indikasi kedaruratan medis ini ditentukan oleh

47Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 TentangKesehatan, h. 29-30. Aborsi yang tidak bermutu, tidak aman, dan tidak bertanggungjawab adalah aborsi yang dilakukan dengan paksaan dan tanpa persetujuanperempuan yang bersangkutan, dilakukan oleh tenaga kesehatan yang tidakprofesional, tanpa mengikuti standar profesi dan pelayanan yang berlaku,diskriminatif, atau lebih mengutamakan imbalan materi dari pada indikasi medis.

Page 113: kontekstualisasi hukum islam

Kontekstualisasi Hukum Islam

100

minimal 2 orang dari tim kelayakan aborsi yang diketuai dokter yangkompeten (pasal 33 ayat 1 dan 2).48

Pasal 35 ayat 2 menjelaskan tentang maksud dari aborsi yangaman, bermutu, dan bertanggung jawab meliputi 6 hal yaitu: dilakukanoleh dokter sesuai standar, pada fasilitas pelayanan kesehatan yangditetapkan menteri, atas permintaan perempuan hamil, mendapat izinsuami (izin akibat perkosaan diberikan oleh keluarga), tidakdiskriminatif, dan tidak mengutamakan imbalan materi. Perempuan hamilberdasarkan indikasi kedaruratan medis harus menjalani konseling baiksebelum maupun setelah tindakan aborsi dilakukan. Konseling inibertujuan untuk menilai kelayakan aborsi atau membantu perempuanhamil dalam memutuskan jadi atau tidaknya dilakukan tindakan aborsi(pasal 37).49

4. Analisis FatwaDiskursus aborsi tidak dapat dihindari, karena akan senantiasa ada

selama masih ada kehidupan di muka bumi. Penanganan danpenyelesaian dari berbagai aspek sangat dibutuhkan demi menjagakemaslahatan manusia. Oleh karena itu, keberadaan fatwa yang selalumenimbang berbagai konteks yang mengitarinya sangat dibutuhkandalam hal ini. Sebagaimana dikemukakan pada pembahasan terdahulubahwa penelitian ini akan menguji kontekstual atau tidaknya fatwa duatokoh Abou el Fadl dan al-Qaraḍāwi berdasarkan delapan indikatorkontekstualisasi berikut ini.a. Penafsiran atas al-NuŞūŞ al-shar’iyyah

Al-NuŞūŞ al-shar’iyyah yang dipergunakan Abou el Fadl dalamfatwa-fatwa aborsi ada tiga ayat yaitu surat al-Baqarah ayat 216 dan 228serta al-Isrā’ ayat 31. Potongan ayat 216 surat al-Baqarah 50 inimenjelaskan tentang perintah perang yang dibenci banyak orang karenaakan membawa kemudaratan berupa menghabiskan harta, terpisahnya

48Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 61 tahun 2014 TentangKesehatan Reproduksi, h. 16 & 19. Maksud dari mengancam nyawa ibu atau janinadalah suatu penyakit atau kondisi yang jika diteruskan kehamilannya dapatmenghilangkan nyawa ibu atau janin setelah lahir. Adapun mengancam kesehatanibu atau janin adalah suatu kondisi fisik atau mental di mana jika kehamilanditeruskan maka akan membuat kesehatan ibu atau janin menurun, menimbulkangangguan mental berat pada ibu, atau cacat bawaan bayi yang tidak dapat diperbaiki.

49Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 61 tahun 2014 TentangKesehatan Reproduksi, h. 20-22.

50“...Boleh jadi kamu membenci sesuatu padahal ia sangat baik bagimu.Dan boleh jadi kamu mencintai sesuatu padahal ia sangat buruk bagimu. Allahmengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui” (QS al-Baqarah: 216)

Page 114: kontekstualisasi hukum islam

Fatwa Hak Hidup dan Hak Politik

101

keluarga, serta menyebabkan luka dan kehilangan anggota tubuh. Namunpersangkaan yang berasal dari naluri manusia ini tidaklah benar, karenadalam perang jihad terdapat kebaikan berupa kemungkinan kemenangan,mendapat ghanἷmah, dan ganjaran syahid jika gugur.51 Ibarat obat pahityang harus diminum agar mendapat kesembuhan, peperangan tetap harusdilakukan demi mewujudkan kebaikan agama. Meskipun ayat inimembahas tentang perang, namun kandungan umum maknanya dapatdipakai ke banyak persoalan termasuk aborsi. Prediksi orang tua terhadapanak kadang kala meleset sehingga anak yang dahulunya didambakan,namun karena sesuatu hal malah membuat kecewa. Begitu jugasebaliknya banyak anak yang lahir tanpa dikehendaki orang tua ataubahkan akan diaborsi, namun ternyata membawa kebahagiaan danmenjadi kebanggaan setelah lahir. Artinya hanya Allah yang mengetahuitakdir setiap manusia, terlepas dari baik atau buruk nantinya. Terkait halini Quraish Shihab mengatakan bahwa selain mengingatkan untuk selaluberserah diri pada Allah, ayat ini juga mendorong manusia agar hidupseimbang dengan tetap optimis dalam menghadapi segala musibah dankesulitan hidup. Ayat ini juga mengingatkan manusia untuk tidak larutpada kesenangan yang akan membuatnya lupa atas nikmat Allah.52

Adapun ayat 228 suratal-Baqarah 53 kurang tepat jika dijadikansebagai landasan aborsi. Ayat ini terkait dengan iddah yang harus dijalaniperempuan pasca talak. ‘Umar (w. 644 M), Ibn Abbās (w. 687 M), danMujāhid (w. 722 M) menafsirkan sesuatu yang terlarang disembunyikandalam ayat ini dengan kehamilan setelah terjadinya talak. Tujuandirahasiakannya kehamilan ini agar perempuan tersebut dapat menikahlebih cepat dengan laki-laki lain setelah iddah 3 kali qurū’ habis. Menurut‘Ali al-Ṣābuni (l. 1930 M) Allah mengharamkan perempuanmenyembuyikan kehamilannya karena akan menghilangkan hak rujuksuami dan menyebabkan percampuran keturunan jika ia menikah denganorang lain.54 Berbeda dengan Quraish Shihab yang memahami sesuatuyang disembunyikan dengan kehamilan atau haid dan suci sehinggatujuan disembunyikannya ketiga hal ini bukan saja agar mempercepatmasa iddah, namun juga memperlamanya sehingga mantan suami masih

51Al-Qurṭubi, al-Jāmi’ li Aḥkām al-Qur’ān, Juz. III, (Beirūt: Muassasah al-Risālah, 2006), h. 417.

52M Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, Jilid. I, (Jakarta: Lentera Hati,2000), h. 430.

53 “…Dan janganlah mereka menyembunyikan sesuatu yang sudahdiciptakan Allah dalam kandungan jika mereka beriman kepada Allah danRasulNya…”(QS al-Baqarah: 228)

54Muhammad ‘Ali al-Ṣābūni, Rawā’iu al-Bayān Tafsἷr Ayāt al-Aḥkām minal-Qur’ān, Juz.I, (Damaskus: Maktabah al-Ghazāli, 1980), h. 331.

Page 115: kontekstualisasi hukum islam

Kontekstualisasi Hukum Islam

102

berkewajiban menafkahi mantan isterinya selama masa iddah.55 Dengandemikian mengaitkan aborsi yang berupa menggugurkan janin darikandungan dengan tindakan merahasiakan kehamilan setelah talaktidaklah tepat.

Pada surat al-Isrā’ ayat 3156 Allah secara tegas melarang orang tuamembunuh anaknya lantaran takut akan kemiskinan. 57 Masyarakatjahiliyah dikenal sering melakukan tindakan buruk seperti mengubur bayiperempuan hidup-hidup dan menggugurkan kandungan karenakemiskinan. Di satu sisi meski ketakutan orang tua pada kemiskinan akanmenelantarkan anaknya sehingga membuatnya kekurangan asupanmakanan merupakan suatu kewajaran, namun jika mereka berusaha kerashal itu tidak akan terjadi. Allah telah menjamin ketersediaan rezeki setiapmakhluk hidup asal mereka berusaha mendapatkannya. Di sisi lainlarangan membunuh anak pada ayat ini ditujukan secara umum yangmengindikasikan bahwa larangan tersebut bukan hanya ditujukan kepadaorang tua, namun juga ditujukan kepada orang banyak sehingga menjaditanggung jawab kolektif.58 Lafal khashyah pada ayat ini mengindikasikanbahwa kemiskinan yang menjadi penyebab pembunuhan anak belumterjadi, atau masih dalam prediksi. Artinya kekhawatiran atas kemiskinanini boleh jadi akan dialami anak meski belum pasti.59 Pada kasus aborsikekhawatiran ini mungkin disebabkan oleh penyakit berat anak atau cacatbawaan yang didasari atas diagnosa dokter dan mungkin juga berasal dariibu yang menderita penyakit fisik maupun psikis. Jadi mengaitkanpenafsiran ayat ini dengan persoalan aborsi dapat diterima akal karenasesuai dengan realitas sosial.

Al-Qaraḍāwi mendasari fatwanya dengan satu ayat dan 3 hadis.Lafal wa mā kāna diawal ayat 92 surat al-Nisā’ bukan ditujukan untukpeniadaan (nafï) namun menunjukkan larangan atau keharaman. Jika

55M Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, Jilid. I, h. 456.56“Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut miskin…”

(QS al-Isrā’: 31)57Lafal imlāq pada ayat ini merupakan bentuk mushtarak yang mempunyai

dua makna yaitu lapar dan infak. Jadi pemahamannya harus disesuaikan dengankonteks kalimat sebelumnya. Dalam ayat ini lafal imlāq lebih tepat bermakna miskinatau tidak memiliki apapun. Al-Qurṭubi, al-Jāmi’ li Aḥkām al-Qur’ān, Juz. IX, h.107 dan Juz. XIII, h. 69.

58Tanggung jawab kolektif ini meliputi masyarakat dan pemerintah. Jadisangatlah wajar jika banyak negara membentuk undang-undang atau peraturanterkait aborsi demi menjamin kelangsungan hidup anak. UU Nomor 36 tahun 2009tentang Kesehatan dan PP nomor 61 tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi diIndonesia, di antara contohnya.

59M Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, Jilid. VII, h. 456-457.

Page 116: kontekstualisasi hukum islam

Fatwa Hak Hidup dan Hak Politik

103

dimaknai dengan peniadaan berarti tidak akan pernah ditemukan seorangmukmin membunuh muslim lainnya. Jika Allah telah menafikan ataumeniadakan sesuatu dalam Alquran berarti hal itu memang tidak pernahterjadi.60 Namun pada kenyataannya pembunuhan antara sesama mukminmasih saja terjadi. Quraish Shihab menambahkan bahwa tidak adawujudnya seorang mukmin membunuh mukmin lainnya karena tidakakan mungkin bertemu keimanan dengan pembunuhan. Jika ternyatapembunuhan ini terjadi berarti saat itu keimanan pembunuh telah pergidari hatinya. Selain menjelaskan image buruk pembunuhan, ayat ini jugamerupakan pengantar topik pembunuhan sengaja yang akan dijelaskanayat berikutnya. Oleh karena itu, pengecualian yang terdapat pada ayatini dikaitkan dengan situasi khilaf dan tanpa sengaja. Adapun keumumanyang terdapat pada lafal mu’minan mencakup seluruh orang yangberiman, baik laki-laki, perempuan, tua, atau masih kecil.61

Meskipun ayat ini berbicara mengenai sanksi pembunuhan tersalahsecara umum, namun penerapannya kepada aborsi dapat diterima karenasama-sama berupaya menghilangkan kehidupan. Tidak dikategorikannyaaborsi kepada pembunuhan sengaja dilatari oleh belum jelasnya wujudmanusia yang diaborsi. Selain itu legalitas aborsi ditujukan untukmempertahankan jiwa ibu atau ada dugaan kuat atas penderitaan yangakan dialami janin setelah lahir. Dengan demikian siapapun yangberupaya menggugurkan janin dalam kandungan akan dikenakan sanksidiat dan memerdekakan seorang budak, termasuk orang tuanya.Pemberian sanksi hukum ini ditujukan untuk menghormati janin sebagaimakhluk serta sebagai tanda belasungkawa atas janin yang sudah tiada.

Hadis riwayat Muslim dalam fatwa al-Qaraḍāwi tentang penetapanusia janin yang dianggap hidup merupakan hadis sahih.62 Hadis sahih inijuga dapat ditemukan dalam Ṣaḥἷḥ Ibn Ḥibbān (hadis ke-6177) dan Ṣaḥἷḥal-Jāmi’ Albāni (hadis ke-797).63 Al-Qaraḍāwi memilih hadis ini sebagailandasan karena lebih kuat dan sejalan dengan analisis anatomi dan ilmukandungan. Hal ini berarti pada usia enam minggu janin sudah dianggapsebagai makhluk hidup sehingga upaya aborsi terhadapnya menjadi lebihterlarang. Dua hadis lainnya juga merupakan hadis sahih 64 yang

60Al-Qurṭubi, al-Jāmi’ li Aḥkām al-Qur’ān, Juz. VII, h. 5.61M Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, Jilid. II, h. 526.62 Abū al-Ḥusain Muslim ibn al-Ḥajjāj al-Qushairἷ al-Naysabūrἷ, Ṣaḥἷḥ

Muslim, h. 1019-1020.63Terdapat 5 jalur riwayat hadis ini yang berstatus sahih sanadnya menurut

Muslim atau atas syarat Muslim dan sahih Ibn Ḥibbān.64 “Sesungguhnya Allah menggugurkan (dosa) dari umatku lantaran

tersalah, lupa dan dipaksa (melakukannya)”. Hadis ini diriwayatkan oleh 23 jalursanad yang berasal dari Ibn ‘Abbās, dua di antaranya dari Ibn ‘Umar. Sebagian

Page 117: kontekstualisasi hukum islam

Kontekstualisasi Hukum Islam

104

menerangkan tentang kondisi keterpaksaan. Ibn Ḥajar mengatakan bahwadi antara sebagian orang bodoh mengira kalau suatu musibah akandiganjar pahala. Persangkaan ini jelas salah karena pahala dan dosatergantung kepada usaha dan perbuatan. Balasan atas suatu musibahhanya akan diterima lantaran kesabaran dan kerelaan dalammenerimanya. 65 Penjelasan ini menunjukkan bahwa selama muslimahhamil akibat perkosaan sabar dan ikhlas menerima musibah yangdihadapinya, maka ia akan mendapat pahala dari Allah. Dengan demikianpenafsiran al-Qaraḍāwi terhadap naŞŞ Alquran dan hadis di atas jugasesuai dengan realita sosial.b. Penerapan Qiyās

Pada fatwa pertama Abou el Fadl dengan tegas melarang aborsitanpa batas usia karena janin sudah memiliki hak untuk hidup ataupotensi hidup. Secara tidak langsung Abou el Fadl menyamakan janindengan manusia sehingga hak hidupnya tidak boleh dirampas. Hal iniberarti indikator qiyās diterapkan dalam fatwa Abou el Fadl. Jenis qiyāsyang dipakai Abou el Fadl dalam fatwa aborsi ini adalah qiyās adnakarena ‘illat yang menjadi motif hukum pada aborsi bersifat lemah ataukurang kuat dari pada ‘illat dalam pembunuhan.66

Sama halnya dengan Abou el Fadl, al-Qaraḍāwi juga menyamakantindakan aborsi dengan pembunuhan tersalah di mana pelakunyadikenakan sanksi diat dan memerdekakan budak. Namun bentuk qiyāsyang diterapkan al-Qaraḍāwi dalam fatwa ini adalah qiyās musāwi karena

ulama hadis memandangnya negatif dan sebagian lain memandang hadis ini secarapositif. Artinya riwayat ini dapat diterima karena banyak didukung oleh dalil lain.Sementara hadis kedua, “Tidak ada seorang muslim yang menderita kelelahan,penyakit, kesulitan, kesedihan, gangguan, kerisauan, dan gangguan berupa duri,melainkan Allah akan menghapus dosa-dosanya dengan (peristiwa) itu.” (HR al-Bukhāri). Hadis ini diriwayatkan oleh banyak jalur sanad melalui Ibn Mas’ūd danMu’āwiyah yang dinilai para ulama hadis sebagai hadis sahih.

65Ahmad ibn ‘Ali ibn Ḥajr, Fatḥ al-Bāri, Juz. X, (Kairo: Dār al-Maṭbah al-Salafiyyah, 1407 H), h. 109-110.

66Muhammad MuŞṭafa Shalbi mempertanyakan bentuk qiyās adna ini,karena pada dasarnya ‘illat yang terdapat pada qiyās adalah sama. Jika tidakditemukan ‘illat pada far’u berarti tidak ada kesamaan sehingga tidak dapatditerapkan qiyās. Adapun persoalan yang dijadikan contoh sebagai qiyās adna olehpara uŞūliyyūn tidaklah benar, karena sifat yang melekat pada aŞl berdiri sendiri,sedangkan sifat pada far’u diperoleh melalui penelitian. Lihat Muhammad MuŞṭafaShalaby, UŞūl al-Fiqh al-Islāmi, (Beirut: Dār al-Nahḍah al-‘Arabiyyah, 1986), h.208.

Page 118: kontekstualisasi hukum islam

Fatwa Hak Hidup dan Hak Politik

105

‘illat membunuh yang mendasari hukum aborsi sama kuat dengan‘illatmembunuh pada tindak pembunuhan tersalah.67

c. Perwujudan MaqāŞid al-sharἷ’ahLarangan tegas Abou el Fadl terhadap aborsi dalam usia berapapun

karena berharganya kehidupan menunjukkan fatwa ini mengacu kepadamaqāŞid al-sharἷ’ah. Memelihara jiwa dan kehidupan (ḥifẓ al-nafs)merupakan salah satu dari lima unsur penting yang harus dipelihara demiterwujudnya kemaslahatan. Dengan telah terpeliharanya jiwa berartimelindungi kemuliaan manusia. Oleh karena itu, kehidupan manusiayang mulia ini harus dijauhkan dari segala hal yang akan merusak ataumencelakakan. 68 Jadi memelihara nyawa dan kehidupan janin akanterwujud dengan larangan aborsi. Sebaliknya keberlangsungan hidupsang ibu juga dapat terjamin dengan kebolehan aborsi. Al-Qaraḍāwi jugamempunyai pendapat yang sama dengan menambahkan bahwa selamakedua kehidupan ibu dan janin dapat dijamin maka tindakan aborsimenjadi terlarang. Namun jika kehidupan keduanya tidak dapatdipertahankan secara bersamaan maka dipilih mana yang lebih utama.Dengan demikian syariat Islam telah mewajibkan manusia untukmemelihara kehidupan dengan cara memenuhi segala hal yangmendukung terwujudnya kehidupan serta menolak dan menghindarisegala hal yang akan membawa kepada kemudaratan.69

d. Penerapan Adillah al-aḥkām al-mukhtalaf fἷhāAdillah al-aḥkām al-mukhtalaf fἷhā yang dipakai dalam fatwa

aborsi baik oleh Abou el Fadl maupun al-Qaraḍāwi adalah istiḥsān bi al-naŞŞ.70 Artinya terjadi peralihan hukum aborsi dari yang semulanya haramlantaran membunuh jiwa atau anak (QS al-Isrā’: 31) berubah menjadiboleh karena ada faktor lain yang melarang manusia mencelakai dirinyasendiri (QS al-Baqarah: 195). Keberadaan faktor kedua ini lebih kuatdalam mewujudkan kemaslahatan khususnya terhadap kehidupanmanusia. Adapun dalil hukum lainnya yaitu sadd al-dharἷ’ah dan ‘urf

67Nasrun Haroen, Ushul Fiqh I, (Jakarta: Logos, 1996), h. 95-96.68Muhammad Abū Zahrah, UŞūl al-Fiqh, (Beirut: Da>r al-Fikr al-‘Arabi,

T.th), h. 367.69 ‘Abd al-Wahāb al-Khallāf, ‘Ilm UŞūl al-Fiqh, (Kuwait: al-Dār al-

Kuwaitiyyah, 1968), h. 201.70Dalam istiḥsān bi al-naŞŞ terdapat naŞŞ khusus dalam persoalan juz’i yang

bertentangan atau berbeda dengan hukum dasar yang tetap. Kaidah umum atauhukum dasar yang tetap ini dikecualikan oleh keberadaan naŞŞ khusus lantaranterdapat kemaslahatan yang lebih besar. ‘Abd al-Karἷm Zaidān, al-Wajἷz fi UŞūl al-Fiqh, (T.tp: Muassasah al-Risālah, t.th), h. 233.

Page 119: kontekstualisasi hukum islam

Kontekstualisasi Hukum Islam

106

tidak terlihat dipakai pada fatwa-fatwa aborsi Abou el Fadl dan al-Qaraḍāwi. Hal ini mungkin dikarenakan tidak tepatnya kedua dalilhukum ini diterapkan pada permasalahan aborsi.e. Penerapan al-Qawā’id al-fiqhiyyah

Secara eksplisit Abou el Fadl tidak menegaskan kaidah fikih dalamfatwanya. Namun pada fatwa keenam, di mana janin yang dikandungmustafti diprediksi dokter akan menderita penyakit berat, Abou el Fadlmenggambarkan adanya perbenturan dua prinsip yaitu memelihara jiwadan menghindari penderitaan. Jika jiwa janin dipertahankan, maka iaberkemungkinan akan mengalami penderitaan panjang setelah lahir.Sebaliknya jika menghindari kesulitan, maka kehidupan janin tidak dapatdipelihara. Meskipun mayoritas ulama lebih cenderung kepada opsikedua yang membolehkan aborsi lantaran terdapat uzur ḥājah yangmenempati posisi darurat, namun Abou el Fadl lebih memilih pendapatpertama yaitu memelihara kehidupan janin. Diagnosis dokter akanpenyakit atau cacat yang akan diderita janin ketika lahir hanyamerupakan prediksi yang belum tentu terjadi. Jika prediksi itu benar,dengan kemajuan ilmu kedokteran dan kecanggihan teknologi semua itudapat diatasi. Artinya dalam hal ini Abou el Fadl memandang tidak layakjika sesuatu yang pokok dikorbankan demi kepentingan suatu cabangyang belum pasti. Sebagaimana yang ditegaskan oleh sebuah kaedahberikut yang merupakan kaidah fikih turunan,

71ام ھ ف خ أ اب ك ت ار ب ا ر ر ا ض م ھ م ظ ع أ ي ع ر ان ت د س ف م ض ار ع ا ت ذ إ

“Jika (terdapat) dua kerusakan yang bertentangan, (maka yangmengandung) kemudaratan lebih besar diutamakan denganmeninggalkan yang mudaratnya lebih ringan”.Allah punya rahasia dan rencana yang besar di balik kesulitan

berupa penyakit atau cacat yang diderita janin. Meski kesulitan inidipandang buruk manusia, namun ternyata sangat baik dalam pandanganAllah (QS al-Baqarah ayat 216).

Menurut al-Qaraḍāwi menolak kemudaratan harus diutamakansebagaimana yang ditegaskan kaidah “Kemudaratan itu (hendaklah)ditolak semaksimal mungkin”. Jika bertemu kebaikan dan kerusakan,maka yang diutamakan adalah menolak kerusakan, meski kebaikanterabaikan. Terlihat adanya sedikit perbedaan pandangan antara al-Qaraḍāwi dan Abou el Fadl dalam hal ini. Adapun pada kasus hamilakibat perkosaan al-Qaraḍāwi membolehkan tindakan aborsi karenamerupakan bentuk rukhsah. Keringanan ini diberikan lantaran adanya

71 Aḥmad ibn Shaikh Muhammad al-Zarqā’, Sharḥ al-Qawā’id al-Fiqhiyyah, h. 201-202.

Page 120: kontekstualisasi hukum islam

Fatwa Hak Hidup dan Hak Politik

107

penderitaan yang ditimbulkan akibat perkosaan. Meski demikiankeringanan ini tidak dapat diterapkan untuk hal yang terlarang sepertihamil akibat zina, karena ada kaidah yang menyatakan, “Rukhsah tidakdiperkenankan pada perbuatan maksiat”.72

f. Penerapan Taḥqἷq al-manāṭ‘Illat yang mendasari larangan aborsi Abou el Fadl pada fatwa

pertama adalah kemiskinan dan masa depan karir. Kedua motif ini sangattidak dapat diterima sebagai alasan menggugurkan janin yang harusdilindungi. Terlepas dari itu, kehidupan dalam pandangan Abou el Fadlbernilai sangat tinggi sehingga menjadi pedoman penting dalammenentukan boleh atau tidaknya aborsi. Adapun ‘illat yang mendasari al-Qaraḍāwi dalam membolehkan aborsi pada kasus hamil akibat perkosaanadalah adanya kebencian dan keterpaksaan 73 serta kesulitan danpenderitaan pada kasus janin yang diprediksi buruk oleh dokter.Keberadaan motif hukum atau ‘illat sangat berpengaruh terhadapeksistensi dan perubahan hukum. Sebagaimana ditegaskan dalam sebuahkaidah, “Hukum itu tergantung pada ‘illat baik ada atau tidaknya”.g. Pertimbangan I’ādah al-naẓr

Pada fatwa keenam, di mana Abou el Fadl lebih memilih pendapatRektor al-Azhar yang menyatakan bahwa jika masih terdapatkemungkinan hidup bagi bayi maka aborsi tidak diperbolehkan,menunjukkan bahwa indikator i’ādah al-naẓr diterapkan dalam fatwanya.Pendapat hukum yang dipilih Abou el Fadl ini tidak tenar di kalanganulama, karena prinsip mayoritas ulama adalah lebih mengutamakansesuatu yang pokok dari pada persoalan cabang. Akan tetapi di dalamfatwa al-Qaraḍāwi tidak terlihat adanya indikasi i’ādah al-naẓr.h. Penerapan metode yang sesuai dengan perkembangan ilmu

pengetahuanBaik fatwa Abou el Fadl maupun al-Qaraḍāwi terkait aborsi

disandarkan kepada perkembangan ilmu pengetahuan. Hal ini terlihat dari

72Jalāl al-Dἷn ‘Abd al-Raḥmān ibn Abu Bakr al-Suyūṭi, al-Ashbāh wa al-Naẓā’ir fἷ al-Furū’, (Beirūt: Dār al-Fikr, 1995), h. 96. Lihat juga Abdul Haq dkk,Formulasi Nalar Fiqh Telaah Kaidah Fiqh Konseptual, Jilid. I, (Surabaya: Khalista,2006), h. 227-228.

73Terpaksa atau ikrāh merupakan salah satu dari bentuk penghalang hukumnon-alamiah (‘awāriḍ qhairu samāwiyyah). Terdapat unsur kesengajaan dalam halini sehingga membuat orang yang dipaksa tidak dapat menolak apa yangdiperintahkan. Keadaan terpaksa yang ditolerir Islam ada empat bentuk, di antaranyaadalah perbuatan yang dipaksa merupakan hal yang haram dan jika paksaan itu tidakdipatuhi oleh orang yang dipaksa maka ia akan disiksa. Lihat Muhammad AbūZahrah, UŞūl al-Fiqh, h. 355-356. Lihat juga ‘Abd al-Karἷm Zaidān, al-Wajἷz fi UŞūlal-Fiqh, h. 134-135.

Page 121: kontekstualisasi hukum islam

Kontekstualisasi Hukum Islam

108

beragamnya hukum aborsi lantaran perbedaan sebab, kondisi, dan bentuk.Dahulu para ulama hanya menetapkan hukum haram pada aborsi, namundengan kemajuan pengetahuan hukum aborsi menjadi beragam. Begitujuga dengan pendapat ulama yang membolehkan aborsi sebelum janinmendapat ruh di usia 120 hari, perlahan mulai berubah seiring penemuandan kemajuan ilmu medis. Perkembangan pengetahuan kedokteran danmedis serta ditunjang oleh kecanggihan teknologi sangat berperan dalammenentukan hukum aborsi yang lebih tepat sesuai kondisi masing-masingindividu.

Berdasarkan penjelasan di atas, analisis fatwa aborsi Abou el Fadldan al-Qaraḍāwi dapat dilihat pada tabel 1.

Tabel 1Perbandingan Pemenuhan Indikator Kontekstual dalam

Fatwa Abou el Fadl dan al-Qaraḍāwi tentang AborsiNo Indikator Fatwa Abou

el FadlFatwa

al-Qaraḍāwi1 Penafsiran atas al-NuŞūŞ al-

shar’iyyah

2 Penerapan Qiyās 3 Perwujudan MaqāŞid al-

sharἷ’ah

4 Penerapan Adillah al-aḥkāmal-mukhtalaf fἷha

5 Penerapan al-Qawāid al-fiqhiyyah

6 Penerapan Taḥqiq al-manāṭ

7 Pertimbangan I’ādah al-naẓr X8 Sesuai perkembangan ilmu

pengetahuan

9 Kesimpulan Kontekstual KontekstualKeterangan:

: Simbol yang menandakan indikator kontekstual ditemukan.X : Simbol yang menandakan indikator kontekstual tidak ditemukan.

B. Fatwa Memilih Pemimpin Non-MuslimPersoalan penting lain yang senantiasa hangat untuk

diperbincangkan adalah mengangkat non-muslim sebagai pemimpin ataskaum muslimin atau mayoritas muslim. Hal ini tidak akan menjadi masalahjika terjadi di negara-negara yang mayoritas non-muslim. Permasalahan iniakan menjadi sangat rumit jika banyak disisipi oleh berbagai kepentingan,

Page 122: kontekstualisasi hukum islam

Fatwa Hak Hidup dan Hak Politik

109

seperti kepentingan politik dan ekonomi. Meskipun terdapat ayat yangdianggap sebagai larangan tegas bagi muslim untuk memilih pemimpin non-muslim, namun ternyata kesepakatan bulat atas larangan tersebut belumdapat terwujud di kalangan ulama. Oleh karena itu, wajar saja jika persoalanini masih senantiasa hangat dan selalu dibahas. Berikut ini akan dilihatbagaimana persoalan hak berpolitik dalam pandangan kedua tokoh Abou elFadl dan al-Qaraḍāwi dalam fatwa mereka.1. Fatwa Abou el Fadl

Fatwa ini dilatari oleh adanya pertanyaan dari seorang muslimIndonesia, mahasiswa jurusan Hubungan Internasional, yang mengalamikrisis identitas antara statusnya sebagai muslim dan statusnya sebagaiseorang sarjana politik. Hal ini dikarenakan adanya calon gubernur non-muslim dalam pemilihan kepala daerah kota Jakarta. Calon gubernur non-muslim ini dianggap sebagai kandidat terbaik. Calon gubernur lainnyaadalah muslim yang belum mempunyai bukti memimpin namunmenunjukkan potensi besar sebagai pemimpin. Dalam catatan demokrasidi Indonesia situasi ini belum pernah terjadi sebelumnya, di mana adakandidat kuat yang memiliki keyakinan berbeda dengan mayoritasmasyarakat yang akan dipimpinnya dan menantang kandidat muslim.74

Masyarakat muslim Indonesia saat itu terbagi kepada tiga yaitupertama kelompok yang abstain karena menganggap demokrasi bukanbagian dari Islam sehingga mereka tidak akan memberi suara (golput).Kedua kelompok yang meyakini muslim tidak boleh memilih pemimpinnon-muslim jika ada kandidat muslim lain di wilayah mayoritas muslimberdasarkan QS al-Māidah ayat 51. Hal ini juga tidak pernah terjadi dimasa kekhalifahan. Ketiga kelompok yang selalu mengedepankankemaslahatan dalam membahas persoalan fikih. Menurut mereka QS al-Māidah ayat 51 hanya diterapkan saat negara berada dalam kondisiperang, bukan terkait proses demokrasi. Selain itu gubernur tidakmempunyai otoritas terhadap persoalan agama.

Berdasarkan kenyataan di atas mustafti menanyakan tentang posisidirinya dalam menghadapi persoalan ini. Sebagai sarjana Ilmu Politik,mustafti terpanggil untuk tergabung pada kelompok ketiga karenaamanah jabatan yang diberikan kepada orang yang tidak ahli merupakansebuah bentuk kezaliman. Namun sebagai muslim ia juga mempunyaitanggung jawab moral untuk mengikuti arahan Alquran dengan tidakmemilih pemimpin non-muslim dalam kondisi apapun (kelompok kedua).Di luar itu, persoalan ini menimbulkan konflik besar di mana banyakmuslim yang dituduh atau dicap musyrik dan munafik lantaran mereka

74Fatwa ini dikeluarkan Abou el Fadl tanggal 13 Maret 2017.

Page 123: kontekstualisasi hukum islam

Kontekstualisasi Hukum Islam

110

mendukung langsung atau hanya menunjukkan dukungan kepada calonpemimpin non-muslim.

Abou el Fadl mengawali fatwanya dengan menyatakan bahwadiskursus al-walā’ (kesetiaan) sampai saat ini masih menjadi perdebatanpanjang di kalangan para ulama. Terlepas dari perbedaan pendapat paraulama terkait hal ini, Abou el Fadl mendukung pendapat seorang ulamaḤanāfiyyah, Zainuddin al-Malibari, yang menyatakan bahwa umat Islamwajib mendukung keadilan dan kebenaran. Jika terdapat kandidat non-muslim yang baik dengan rivalnya seorang muslim yang tidak baik atautidak adil, maka memberi suara kepada kandidat muslim tersebutdipandang berdosa karena sudah berlaku tidak adil terhadap kandidatnon-muslim yang baik dan adil. Islam bukan agama yang didasari ataskesetiaan pada kesukuan. Islam adalah agama yang sangat menjunjungtinggi keadilan, kebaikan dan akhlak. Hal ini sebagaimana yangditegaskan oleh lafal Şirāṭ al-mustaqἷm dalam surat al-Fātiḥah.

Berdasarkan penjelasan di atas Abou el Fadl menambahkan jikaIndonesia menghendaki demokrasi maka prinsip keadilan dan kebaikanharus diutamakan demi mewujudkan kemaslahatan masyarakat.75 Hal iniberarti demokrasi dapat dilaksanakan dengan menyingkirkan nepotisme,tribalisme, dan politik identitas superfisial. Dengan demikian pengkajianulang terhadap konsep al-walā’ sangat dibutuhkan dalam hal ini. Al-Walā’ atau kesetiaan dalam Islam hanya ditujukan kepada Allah semata,bukan kepada manusia. Allah SWT sangat tidak menyukai semuatindakan dan sikap yang menentang keadilan dan kebaikan.76 Oleh karenaitu, bagi muslim yang mempercayai demokrasi hendaklah memilihkandidat pemimpin yang senantiasa menjunjung tinggi prinsip keadilandan kebenaran. Sikap kandidat ini (menjunjung keadilan dan kebenaran)

75Menurut Abou el Fadl nilai-nilai normatif sifat Tuhan, seperti kasihsayang, kebaikan, keadilan, dan seimbang (qisṭ) harus dijadikan pertimbangan dalampenetapan hukum Islam. Tuhan merupakan perwujudan atas semua nilai akhlak danmoral baik sebagaimana yang dijelaskan dalam Asmā al-ḥusna. Perwujudan sifatTuhan ini adalah objektif dan bukan realitas subjektif. Oleh karena itu, sifat dan nilainormatif Tuhan bersifat absolut, mutlak dan sempurna, berbeda dengan sifat yangdimiliki manusia. Lihat Khaled M Abou El Fadl, “Qurʾanic Ethics and IslamicLaw”, in Journal of Islamic Ethics, Vol. 1, No. 1-2, (2017), h. 10.

76Tindakan menentang keadilan dan kebaikan yang membuat manusiamenderita berarti telah menentang nilai ketuhanan. Nilai-nilai ketuhanan tidak lahirtanpa landasan atau karena pengaruh nilai-nilai Barat yang selama ini ditudingsebagian ulama, namun berasal dari penafsiran terhadap beberapa teks naŞŞ, seperti

perintah untuk menegakkan keadilan dan larangan berbuat kerusakan. Lihat KhaledM Abou el Fadl, “Conceptualizing Shari’a in The Modern State”, in Villanova LawReview, Vol. 56, No. 5, (2012), h. 814.

Page 124: kontekstualisasi hukum islam

Fatwa Hak Hidup dan Hak Politik

111

mengindikasikan bahwa ia benar-benar mewujudkan prinsip Islammeskipun mempunyai keyakinan yang berbeda atau non-muslim. Intinyakandidat pemimpin dipilih atas dasar prinsip-prinsip Islam yaitu keadilandan kebenaran demi terwujudnya kemaslahatan.77

2. Fatwa al-QaraḍāwiFatwa ini dilatari oleh sebuah pertanyaan yang menanyakan

tentang bolehkah seorang non-muslim mencalonkan dirinya sebagaidewan rakyat atau anggota parlemen di wilayah atau negara mayoritasmuslim?

Pertama-tama al-Qaraḍāwi sangat menyayangkan tindakan muftiatau ulama yang sangat mudah menetapkan hukum terhadappermasalahan besar. Ketetapan itu dibuat tanpa mempertimbangkanbanyak aspek dan tidak mendiskusikannya dengan para ulama yang lebihbanyak ilmu dan pengalaman. Alhasil banyak bermunculan fatwa yangmenghalalkan yang haram, mengharamkan yang halal, serta mempersulitatau memberatkan hal yang mudah. Tindakan ini sangat dibenciRasulullah sampai ia pernah berkata; “Kamu telah membunuhnya,niscaya Allah akan membunuh mereka. Kenapa kamu tidak bertanya jikatidak tahu? Padahal obat dari ketidaktahuan adalah bertanya…”.Kecamanini dilontarkan Rasulullah saat ada sahabat yang meninggal akibatmengikuti pendapat sahabat lain.

Tidak jauh berbeda dengan persoalan memilih pemimpin non-muslim. Memang ada pendapat yang mengharamkan muslim memilihcalon legislatif atau parlemen yang non-muslim. Alasan mereka adalahbahwa orang-orang yang mengajukan diri pada pemilu, berarti memintajabatan untuk dirinya. Perbuatan ini terlarang, sebagaimana ditegaskandalam dua riwayat berikut,

س أحدال م الع اذ ھ ىل ع يل و ن ال هللا و ا ن إ 78ھ ی ل ع ص ر ح اد ح أ ال و ھ ل أ

77Khaled M Abou el Fadl, https://www.searchforbeauty.org/2017/06/05/fatwa-on-muslims-voting-for-non-muslims-in-a-muslim-majority-country/. Saatmengunjungi Indonesia Abou el Fadl sudah menyadari adanya pengaruh kelompokWahabi dalam wacana pemikiran masyarakat muslim Indonesia. Menurutnyapermasalahan yang muncul dalam hal ini hanya berupa ketidakselarasan antarapaham Wahabi dengan prinsip demokrasi. Mereka menolak demokrasi sehinggakonsep al-walā’ dipahami sebagai kesetiaan dan persaudaraan kepada sesamamanusia atas dasar kesamaan keyakinan, bukan kesetiaan pada Allah.

78Abū al-Ḥusain Muslim ibn al-Ḥajjāj al-Qushairἷ al-Naysabūrἷ, ṢaḥἷḥMuslim, h. 731.

Page 125: kontekstualisasi hukum islam

Kontekstualisasi Hukum Islam

112

“Demi Allah sesungguhnya kami tidak akan menyerahkanpekerjaan ini kepada orang yang meminta dan tidak (juga kepada)orang yang menginginkannya”.Pada kesempatan lain Rasulullah SAW pernah berkata kepada

‘Abd al-Raḥmān ibn Samurah,

س ت ال ن إ و اھ ی ل ا ت ل ك و مسألة عن اھ ت ی عط أ ن إ ك ن إ ف ة ار م اإل ل أ79.اھ ی ل ع ت ن ع أ عن غیرمسألة أعطیتھا

"Janganlah kamu meminta kekuasaan. Jika kamu memintanyamaka akan diberikan (kekuasaan itu) kepadamu. Dan jika kamutidak memintanya, maka kamu akan dibantu."Menurut al-Qaraḍāwi larangan di kedua riwayat di atas ditujukan

kepada kepemimpinan tertinggi yang menguasai seluruh hajat hidupbangsa atau masyarakat luas. Artinya posisi anggota parlemen ataudewan rakyat tidak termasuk ke dalam maksud kedua hadis tersebutkarena bukan pimpinan tertinggi. Anggota parlemen merupakan wakilrakyat di mana tugasnya hanya mengawasi dan memantau jalannyapemerintahan, bukan memutuskan persoalan negara. Tugas mereka hanyamenyampaikan tuntutan dari rakyat yang diwakilinya. Tidak ditemukannaŞŞ yang tegas terkait keberadaan wakil rakyat atau anggota parlemenini. Hal ini berarti non-muslim yang tinggal di wilayah Islam ataumayoritas muslim tidak terlarang mencalonkan diri sebagai wakil rakyatatau anggota parlemen selama anggota majelis tersebut banyak diisikalangan muslim. Sebagaimana ditegaskan pada ayat berikut,

م ك ار ی د ن م م ك و ج ر خ ی م ل و ن ی د ى ال ف م ك و ل ات ق ی م ل ن ی ذ ال ن ع هللا م اك ھ ن ی ال )8: ة نح ت م لم ا (ن ی ط س ق لم ا ب ح ی هللا ن إ م ھ ی إل ا و ط س ق ت و م ھ و ر ب ت ن أ

“Allah tidak melarangmu untuk berbuat baik dan berlaku adilterhadap orang-orang yang tidak memerangi agamamu dan tidakmengusirmu dari wilayahmu. Sesungguhnya Allah menyukaiorang-orang yang berlaku adil” (QS al-Mumtaḥanah: 8)Salah satu bentuk berbuat baik dan berlaku adil yang dijelaskan

ayat ini adalah membiarkan non-muslim mewakili kelompoknya untukmenyampaikan tuntutan dan aspirasi sehingga mereka tidak merasatersisih. Jika hal ini dihalangi, dimungkinkan mereka akan membenciIslam dan memusuhi umat Islam sehingga nantinya akan menimbulkanmudarat yang lebih besar kepada umat Islam. Dalam sejarahpemerintahan Islam, tercatat ada beberapa non-muslim dari kalangan ahl

79Abū al-Ḥusain Muslim ibn al-Ḥajjāj al-Qushairἷ al-Naysabūrἷ, ṢaḥἷḥMuslim, h. 731.

Page 126: kontekstualisasi hukum islam

Fatwa Hak Hidup dan Hak Politik

113

al-dhimmah yang diberi jabatan kementerian. Selain itu tidak ditemukanjuga larangan ulama terkait pemberian jabatan ini kepada mereka lantaranalasan agama, karena kekuasaan mereka berada di bawah kekuasaanpimpinan tertinggi negara.

Terhadap orang-orang yang masih meyakini larangan memberisuara atau memilih non-muslim berdasarkan beberapa naŞŞ yang merekapedomani,80 perlu dilakukan pemetaan dan pembatasan dalam memahamikekuasaan dan maksud ayat tersebut. Hal ini dapat dilihat dari empataspek berikut;a. Larangan pada ayat-ayat tersebut ditujukan kepada non-musim yang

memiliki sifat Yahudi atau Nasrani dalam pemikiran dan keyakinan,bukan kepada non-muslim yang merupakan teman, tetangga, atau satubangsa.

b. Sifat atau sebab yang melatari larangan untuk memilih pemimpin non-muslim pada ayat-ayat tersebut dikarenakan kebencian mereka padaIslam, bukan lantaran perbedaan keyakinan semata. Kebencian iniditunjukkan dengan tindakan mereka yang memerangi atau menyiksaumat Islam.

c. Islam membolehkan laki-laki muslim menikahi perempuan ahl al-kitāb dan hidup bersama mereka dalam rumah tangga. Jika pernikahanini diperbolehkan, berarti memilih mereka sebagai pemimpin jugatidak terlarang.

d. Islam sangat menjunjung tinggi ikatan agama sehingga sesamamuslim adalah saudara meski tidak ada hubungan darah. Ikatan inilebih kuat dari pada ikatan seorang muslim dengan keluarganya yangnon-muslim. Jadi dipilihnya non-muslim bukan dilatari oleh ikatanagama, namun oleh ikatan sebangsa.81

3. Pendapat Para UlamaDiskursus kepemimpinan dalam kajian keislaman sudah lama

diperbincangkan para ulama. Pemimpin merupakan bagian penting dalamsuatu komunitas masyarakat. Melalui otoritas yang dimilikinya,pemimpin berkuasa untuk mengatur persoalan yang ada dalamwilayahnya. Dalam sebuah riwayat dikatakan bahwa jika tiga orangmelakukan perjalanan maka hendaklah mereka mengangkat salah seorang

80Di antaranya surat Ali ‘Imrān ayat 28, al-Nisā’ ayat 138, 139, dan 144, al-Māidah ayat 51, al-Tawbah ayat 23, al-Mujādalah ayat 22, serta al-Mumtaḥanahayat 1 dan 9.

81Yūsuf al-Qaraḍāwi, Min Hady al-Islām Fatāwā Mu’āŞirah, Juz III.(Kairo: Dār al-Qalm, 2003), h. 442-447.

Page 127: kontekstualisasi hukum islam

Kontekstualisasi Hukum Islam

114

di antara mereka menjadi pemimpin. 82 Akan tetapi dibalik urgensipemimpin terselip beragam persoalan, di antaranya terkait syarat ataukriteria yang harus dipenuhi seorang pemimpin. Mayoritas ulamamenyatakan bahwa syarat penting yang harus dipenuhi seorang pemimpinyang akan mengatur kepentingan kaum muslimin adalah beragamaIslam. 83 Hal ini dikarenakan pemimpin tersebut akan menjagakemaslahatan agama dan dunia. Selain itu persyaratan diterimanyakesaksian seorang muslim menunjukkan bahwa Islam merupakan syaratmutlak bagi seluruh jenis kekuasaan yang tinggi dan luas.84 Sebagaimanaditegaskan ayat berikut,

)141:اءس لن ا(ال ی ب س ن ی ن م ؤ م ال ى ل ع ن ی ر اف ك ل ل هللا ل ع ج ی ن ل و ...“...Dan Allah tidak akan memberi jalan bagi orang kafir untuk(memusnahkan) orang-orang beriman” (QS al-Nisā’: 141).Menurut al-Dahlawi syarat pemimpin yang diyakini sebagai

pengganti nabi lebih ditekankan kepada tiga aspek yaitu Islam, berilmu,dan adil. Ketiadaan tiga syarat ini akan menyebabkan kemaslahatanagama tidak sempurna. Hal ini merupakan suatu keharusan yangdisepakati umat Islam.85 Sebagaimana diterangkan dalam ayat berikut,

ض ر األ ى ف م ھ ن ف ل خ ت س ی ل ات ح ال الص وال م ع و م ك ن وام ن م أ ن ی ذ ال هللا د ع و ف ك ال ذ د ع ب ر ف ك ن م و ...م ھ ل ب ق ن م ن ی ذ ال ف ل خ ت ااس م ك ن و ق اس ف ال م ھ ك ئ ول أ)55: رو ن ال (

“Dan Allah telah menjanjikan (kepada) orang-orang yang berimandi antaramu dan beramal soleh bahwa Dia sungguh akanmenjadikan mereka berkuasa di bumi sebagaimana orang-orangyang telah berkuasa sebelum mereka...Dan barang siapa yang(tetap) kafir setelah (janji) itu maka mereka itulah orang-orangyang fasik” (QS al-Nūr: 55).Pada kenyataannya pemimpin suatu wilayah atau negara tidak

dapat mengatur sendiri seluruh permasalahan rakyatnya. Ia butuh bantuanpihak lain untuk mengejawantahkan seluruh kebijakannya dan

82Hadis dari Abu Hurairah yang diriwayatkan oleh Abu Daud, Sunan AbiDaud, nomor 2609.

83‘Abd al-Raḥmān al-Jazἷri, Kitāb al-Fiqh ‘alā al-Madhāhib al-Arba’ah,Juz. V, (Beirūt: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2008), h. 366.

84 Wahbah al-Zuhayli, al-Fiqh al-Islām wa Adillatuhu, Juz. VIII,(Damaskus: Dār al-Fikr, 1997), h. 6178.

85Al-Dahlawi, Ḥujjah Allāh al-Bālighah, Juz. II, (Beirūt: Dār al Jἷl, 2005),h. 230.

Page 128: kontekstualisasi hukum islam

Fatwa Hak Hidup dan Hak Politik

115

menjalankan tugas pemerintahan. Pihak tersebut adalah menteri yangmenurut al-Māwardi terbagi atas dua jenis yaitu menteri tafwἷḍ danmenteri tanfἷdh. Menteri tafwἷḍ atau perdana menteri adalah menteri yangdiangkat kepala negara dan diberi jabatan yang dapat ia atur sesuaikebijakannya serta dapat membuat keputusan melalui ijtihadnya sendiri.Perdana menteri ini harus memenuhi persyaratan yang sama dengankepala negara, kecuali syarat nasab yang berbeda. Hal ini berartikekuasaan yang dimilikinya juga hampir sama dengan kepalanegara.86Sementara menteri tanfἷdh memiliki kekuasaan yang terbataskarena hanya menjalankan kebijakan kepala negara. Oleh karena itu,posisi ini boleh dipegang oleh kalangan ahl al-dhimmah atau non-muslim.87

Selain mengangkat dua jenis pemimpin di atas, kepala negara jugadapat mengangkat pemimpin lain untuk tingkat daerah. Pemimpin daerahini bertugas menjalankan tugas-tugas yang telah ditentukan untuknyadalam wilayah yang menjadi wewenangnya. Di antara tugas danwewenang pemimpin daerah adalah menjaga dan memelihara agamaserta menjadi imam dalam salat jumat dan salat jamaah.88 Dua tugas inimenunjukkan bahwa pemimpin daerah juga harus dipegang oleh seorangmuslim. Berdasarkan hal ini terlihat bahwa persyaratan yang harusdipenuhi oleh seorang pemimpin daerah tidak jauh berbeda dari menteritafwἷḍ khususnya dalam hal agama. Perbedaannya hanya terletak padabatas teritorial wilayah di mana kekuasaan pemimpin daerah hanyaterbatas di daerah yang dikuasainya saja, sedangkan kekuasaan menteritafwἷḍ mencakup seluruh wilayah yang lebih luas. Di sisi lain jikapemimpin daerah diangkat oleh pemimpin negara, maka menteri tafwἷḍtidak mempunyai kekuasaan untuk memakzulkan atau menggantinya.89

Terkait hal ini Muhammad Salἷm al-Awwā’ mengatakan bahwamerupakan hak setiap manusia, baik muslim maupun non-muslim untuk

86Al-Māwardi, al-Aḥkām al-Sulṭāniyah wa al-Wilāyāt al-Diniyah, (Kairo:Dār al-Ḥadith, 2006), h. 50 dan 54. Ada tiga hal yang tidak dapat dilakukan perdanamenteri yaitu; memberi mandat kekuasaan, mencukupi kebutuhan umat terhadapinstitusi pemerintah, dan memberhentikan pejabat yang diangkat oleh kepala negara.

87Al-Māwardi, al-Aḥkām al-Sulṭāniyyah wa al-Wilāyāt al-Diniyyah, h. 58.Lihat juga Wahbah al-Zuhayli, al-Fiqh al-Islām wa Adillatuhu, Juz. VIII, h. 6223.

88Al-Māwardi, al-Aḥkām al-Sulṭāniyyah wa al-Wilāyāt al-Diniyyah, h. 62.Terkait tugas sebagai imam salat jumat, terjadi perbedaan pendapat di kalanganulama. Ulama Shāfi’iyyah menyatakan bahwa hakim lebih berhak menjadi imam,sedangkan bagi ulama Ḥanāfiyyah pemimpin daerahlah yang lebih berhak menjadiimam.

89Wahbah al-Zuhayli, al-Fiqh al-Islām wa Adillatuhu, Juz. VIII, h. 6226-6227.

Page 129: kontekstualisasi hukum islam

Kontekstualisasi Hukum Islam

116

berpartisipasi dalam mengurus pemerintahan, termasuk mengaturkepentingan umat Islam. Akan tetapi khusus bagi non-muslim,kewenangan dan hak ini terbatas pada hal-hal yang tidak terkait denganurusan keagamaan termasuk pemimpin negara dan panglima perang.Dengan demikian jabatan tertinggi negara atau jabatan yang terkaitdengan persoalan keagamaan hanya dapat dipegang oleh seorang muslim,sedangkan jabatan selain itu seperti anggota parlemen dan menteri dapatdipegang oleh non-muslim.90

Senada dengan pendapat-pendapat hukum di atas, Bahtsul MasailNU telah mengeluarkan dua fatwa yang dilatari oleh perbedaan jeniskekuasaan. Fatwa pertama yang dikeluarkan tahun 2014 Bahtsul MasailNU menyatakan bahwa dalam konteks Indonesia yang rakyatnyamayoritas muslim, pemimpin negara harus muslim. Namun jika beradadalam kondisi darurat di mana tidak ditemukan muslim yang mempunyaikemampuan dalam memimpin, tidak berlaku adil dan tidak amanah, makaboleh mengangkat kafir dhimmi sebagai pemimpin. Pengawasan terhadapkinerja pemimpin ini harus dilakukan secara ketat oleh rakyat yangmengangkatnya agar tidak terjadi penyimpangan, kesewenangan dangangguan terhadap umat Islam. Pengangkatan kafir dhimmi sebagaipemimpin hanya diperbolehkan dalam kondisi darurat, bukan padakondisi normal. 91 Fatwa kedua yang dikeluarkan Bahtsul Masail NUmerupakan penegasan atas fatwa pertama. Kebolehan memilih pemimpindan pejabat non-muslim (eksekutif) seperti gubernur, walikota, danbupati dikarenakan tugas mereka hanya menjalankan undang-undang danperaturan. Dalam konteks Indonesia lembaga eksekutif tidak mempunyaikekuasaan mutlak, karena kinerja mereka selalu diawasi agar tidakmenyeleweng dari konstitusi. Selain itu dalam proses pemilihan merekajuga telah melalui berbagai mekanisme dan verifikasi yang sangat ketat,sehingga kemampuan dan kapabilitas mereka memang sudah teruji.92

Fatwa Majelis Tarjih Muhammadiyah juga menyatakan bahwaberagama Islam merupakan syarat mutlak bagi seorang pemimpin agarlayak dipilih. Fatwa ini dilandasi pada ketetapan Allah dalam Alquransurat al-Māidah ayat 51.93 Persyaratan lain yang harus dipenuhi calon

90Muhammad Sālim al-‘Awwā,al-Fiqh al-Islāmi fἷ Ṭarἷq al-Tajdἷd, (Beirut:al-Maktabah al-Islāmi, 1998), h. 76.

91Fatwa NU Online, Tanggal 11-11-2014, diakses dari http://www.nu.or.id/post/read/55652/kebolehan-mengangkat-pemimpin-non-muslim.

92Fatwa NU Online, Tanggal 03-06-2017, diakses dari http://www.nu.or.id/post/read/81486/pemimpin-non-muslim-dalam-islam

93 “Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu menjadikan orangYahudi dan Nasrani sebagai pemimpinmu, sebagian mereka adalah pemimpin bagiyang lain. Barang siapa di antaramu yang menjadikan mereka sebagai pemimpin,

Page 130: kontekstualisasi hukum islam

Fatwa Hak Hidup dan Hak Politik

117

pemimpin adalah bersikap amanah, mempunyai kemampuan dalammemimpin dan senantiasa mengayomi aspirasi dan kepentingan umatIslam. Dengan demikian calon pemimpin yang berasal dari kalanganmanapun mempunyai hak untuk dipilih jika sudah memenuhi keempatsyarat di atas.94 Fatwa ini secara tidak langsung mengisyaratkan bahwaumat Islam tidak boleh memilih calon pemimpin non-muslim dalam skalaapapun.

MUI pernah mengeluarkan fatwa terkait memilih pemimpin padaIjtimak Ulama Komisi Fatwa tahun 2009 di Padang Panjang SumateraBarat. Meski dalam fatwa tersebut tidak ditegaskan secara langsunglarangan memilih pemimpin non-muslim, namun kriteria pemimpin yangharus dipilih di antaranya adalah beriman, mengindikasikan bahwa tidakboleh memilih pemimpin non-muslim. Merupakan hal yang wajar jikamayoritas muslim ingin dipimpin oleh orang yang memiliki kesamaandalam keyakinan.95 Fatwa ini kembali ditegaskan Ketua Umum MUI DinSyamsudin pada tahun 2014 yang mengharuskan umat Islam memilihpemimpin yang soleh. Meski merupakan sikap pribadi, namun pernyataanDin Syamsudin ini menjadi penguat terhadap fatwa MUI sebelumnya.96

Beranjak dari perbedaan pandangan para ulama di atas, Mujar IbnuSyarif menyatakan bahwa terdapat lima hal penting dan mendasar yangmelatari perbedaan pandangan ini. Kelima hal tersebut adalah:a. Berbedanya penafsiran para ulama dalam memahami ayat-ayat yang

melarang umat Islam memilih pemimpin non-muslim, seperti surat Ali‘Imrān: 28 dan ayat-ayat lain yang bernada membolehkan, sepertisurat al-Mumtaḥanah: 8.

b. Berbedanya persepsi para ulama terkait fungsi kepala negara. Bagiulama yang menganggap kepala negara berfungsi sebagai khalifahpengganti Nabi, mengharuskan syarat muslim sebagai pemimpin bagiumat Islam. Sementara bagi ulama yang tidak memandang pemimpinsebagai pengganti atau penerus kenabian, maka mereka tidakmenetapkan Islam sebagai syarat pemimpin.

maka sesungguhnya ia termasuk golongan mereka. Sesunguhnya Allah tidakmemberi petunjuk bagi orang-orang yang zalim”.(QS al-Māidah: 51).

94Fatwa Majelis Tarjih Muhammadiyah Tanggal 30-10-2009, diakses darihttp://www.fatwatarjih.com/2011/09/memilih-partai-politik.html

95Majelis Ulama Indonesia, Ijma’ Ulama: Keputusan Ijtimak Ulama KomisiFatwa se-Indonesia III Tahun 2009, h. 139.

96MUI: Muslim Jangan Memilih Pemimpin Non-muslim, edisi 21 Maret2014, diakses dari https://republika.co.id/berita/pemilu/hot-politic/n2siql/mui-Muslim-jangan-memilih-pemimpin-nonMuslim.

Page 131: kontekstualisasi hukum islam

Kontekstualisasi Hukum Islam

118

c. Keberagaman pendapat terkait dasar negara. Bagi ulama yangmemandang negara yang didirikan oleh umat Islam, maka harusmendasari ideologinya kepada Islam serta dipimpin oleh pemimpinmuslim. Sebaliknya bagi yang menyatakan Islam tidak harus menjadiideologi negara, juga tidak mensyaratkan muslim sebagai pemimpin.

d. Perbedaan dalam memandang kedudukan manusia sebagai khalifah dibumi. Ulama yang menganggap hak kekhalifahan berada di tanganmuslim meyakini bahwa hanya muslim saja yang berhak menjadipemimpin atas masyarakat muslim. Adapun bagi ulama yangmemandang bahwa hak tersebut bersifat terbuka, meyakini bahwapemimpin dapat berasal dari agama apapun asal ia mempunyaiprestasi dan kemampuan sebagai khalifah yang memimpin masyarakatmuslim.

e. Berbedanya dalam memandang warga non-muslim yang hidup dalamkomunitas muslim. Ulama yang memandang non-muslim sebagai ahlal-dhimmi memposisikan mereka sebagai warga kelas dua sehinggatidak dapat menjadi pemimpin masyarakat muslim. Sementara ulamayang memandang non-muslim sebagai warga negara yang dijaminhak-hak politiknya, memungkinkan non-muslim menjadi pemimpinbagi masyarakat muslim.97

Sebenarnya perbedaan mendasar dalam permasalahan ini terletakpada berbedanya ulama dalam memandang sistem demokrasi ataukedaulatan rakyat yang saat ini banyak diterapkan negara-negaramayoritas muslim. Wahbah al-Zuhaili mengatakan bahwa otoritaslegislatif (tashrἷ’) dalam Islam merupakan hak Allah. Manusia ataurakyat hanya memiliki kekuasaan dalam menjalankan dan menerapkansyariat tersebut. Adapun pemimpin (khalifah) dengan para pembantunyahanyalah wakil rakyat yang mengurus persoalan agama agar senantiasasesuai dengan syariat Islam. Oleh karena itu, rakyat dapat memberimasukan dan mengkritik atau bahkan dapat memakzulkan mereka darijabatannya jika menyimpang. Penobatan pemimpin atau khalifah inididasari atas akad perwakilan (wakālah) yang berarti kedaulatansebenarnya berada di tangan rakyat, bukan di tangan para wakil rakyat.Kedaulatan tersebut dibangun atas dasar hak kemanusiaan yang lahir dariketetapan syariat.98

Terlepas dari perdebatan di atas, diskursus kepemimpinan terkaitdengan aturan perundang-undangan Indonesia khususnya mengenai hakasasi manusia. Berdasarkan pasal 43 ayat 1 dalam UU Nomor 39 Tahun

97Mujar Ibnu Syarif, Presiden Non-Muslim di Negara Muslim, (Jakarta:Pustaka Sinar Harapan, 2006), h. 77-79.

98Wahbah al-Zuhayli, al-Fiqh al-Islām wa Adillatuhu, Juz. VIII, h. 6215.

Page 132: kontekstualisasi hukum islam

Fatwa Hak Hidup dan Hak Politik

119

1999 tentang HAM dinyatakan bahwa setiap warga negara berhak untukmemilih dan dipilih dalam pemilu berdasarkan persamaan hak melaluipemungutan suara. Oleh karena itu, setiap warga negara dapat diangkatmenjadi pejabat pemerintahan (ayat 3).99 Baik ayat 1 atau 3 pada pasal initidak menetapkan persyaratan yang mengaitkannya dengan agama.Keberagaman bangsa Indonesia dalam ras, suku, dan agamamenyebabkan Islam tidak dijadikan sebagai dasar negara Indonesia,meskipun mayoritas penduduknya beragama Islam. Oleh karena itu,wajar saja jika persyaratan yang harus dipenuhi oleh semua kandidatdalam keikutsertaannya pada pemilu adalah warga negara Indonesia(WNI) tanpa memandang kepada agama atau suku tertentu.

4. Analisis Fatwaa. Penafsiran atas al-NuŞūŞ al-shar’iyyah

Abou el Fadl mengutip lafal Şirāṭ al-mustaqἷm dalam surat al-Fātiḥah di dalam fatwanya. Lafal ini dimaksudkan Abou el Fadl sebagaiprinsip Islam dalam menjunjung tinggi keadilan, kebaikan dan akhlak.Lafal Şirāṭ al-mustaqἷm yang secara bahasa berarti jalan yang lurusditafsirkan secara beragam. Fuḍail ibn ‘Iyāḍ (w. 803 M) menafsirkannyadengan makna jalan haji dalam makna khusus. Muhammad ibnḤanāfiyyah (w. 700 M) menafsirkannya dengan agama Allah di manatiada yang disembah selain-Nya. ‘ĀŞim (w. 745 M) dan Abũ ‘Āliyah (w.93 H) menafsirkannya dengan Rasulullah dan para sahabat. Adapun lafalmustaqἷm yang merupakan sifat dari Şirāṭ`dipahami dengan makna sifatyang tidak bengkok dan tidak berpaling.100

Menurut Quraish Shihab lafal Şirāṭ merupakan jalan luas yangmenuju kebaikan. Lafal Şirāṭ al-mustaqἷm dapat dipahami dengan ibadahyang mencakup seluruh kegiatan manusia, baik aktif maupun pasif, yangditujukan agar dapat lebih dekat kepada Allah dan menggapai keridaan-Nya. Dengan demikian kekayaan, ilmu pengetahuan, kedudukan, danpangkat dapat dipakai sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepadaAllah. Di sisi lain lafal Şirāṭ al-mustaqἷm juga dapat dipahami denganjalan orang-orang sukses dalam kehidupannya di dunia dan akhirat, baikdari kalangan nabi dan rasul maupun kalangan lain.101 Beranjak dari duapenjelasan di atas, akan terlihat bahwa Abou el Fadl menerapkan tafsἷr bial-ra’yi ketika menafsirkan persoalan nilai keadilan dan kebaikan dalamkepemimpinan dengan Şirāṭ al-mustaqἷm. Artinya salah satu

99Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia.100Al-Qurṭubi, al-Jāmi’ li Aḥkām al-Qur’ān, Juz. I, h. 227-228.101M Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, Jilid. I, h. 65-67.

Page 133: kontekstualisasi hukum islam

Kontekstualisasi Hukum Islam

120

implementasi dari Şirāṭ al-mustaqἷm adalah menerapkan keadilan dankebaikan di berbagai aspek termasuk dalam memilih pemimpin. Jikadilihat kondisi saat ini, di mana mayoritas negara menerapkan sistemdemokrasi yang didasari atas kedaulatan rakyat yang tanpa membedakanagama dan ras, juga mengindikasikan kalau penafsiran Abou el Fadl inisesuai dengan realitas sosial.

Al-Qaraḍāwi mendasari fatwanya dengan dua riwayat hadis dansatu ayat. Meskipun kedua riwayat ini berstatus sahih namun laranganyang terdapat di dalamnya 102 ditujukan kepada siapapun tanpa terkaitdengan agama tertentu atau jenis jabatan yang diminta. Hadis pertamadilatari oleh kunjungan dua orang menemui Rasulullah yangkedatangannya berbarengan dengan Abu Musa al-Ash’ari (w. 50 H).Tujuan kedatangan kedua orang tersebut adalah agar Rasulullah memberimereka jabatan. Tidak diketahui jabatan apa yang diminta saat itu, namunyang jelas Rasul menolak permintaan mereka karena jabatan adalahamanah yang ditujukan untuk mewujudkan kemaslahatan orang banyak.Pada umumnya dibalik permintaan jabatan tersembunyi motif pribadi.Adapun hadis kedua mencela tindakan meminta jabatan. Meskipunjabatan itu diperoleh lantaran usaha dan kegigihannya, namun dalammenjalankannya ia tidak akan mendapat pertolongan Tuhan. Tidakdijelaskannya jenis jabatan yang terlarang diminta dan siapa yangmeminta dalam kedua hadis ini menunjukkan bahwa siapapun terlaranguntuk meminta suatu jabatan lantaran besarnya amanah yang terkandungdi dalamnya. Hal ini juga berarti bahwa larangan meminta atau memberijabatan dalam kedua hadis tersebut bukan dilatari oleh perbedaan agama.Memperluas larangan dalam kedua hadis ini kepada larangan memilihpemimpin non-muslim merupakan bentuk penafsiran rasional (bi al-ra’yi), namun tidak sesuai dengan realitas sosial sekarang. Hal inidikarenakan setidaknya ada tiga negara mayoritas muslim yang dipimpinoleh presiden non-muslim, yaitu Nigeria, Senegal, danLibanon. 103 Dengan demikian penafsiran al-Qaraḍāwi terhadap keduahadis ini tidak kontekstual.

102“Demi Allah sesungguhnya kami tidak akan menyerahkan urusan inikepada orang yang meminta atau menginginkannya”. Riwayat hadis ini berasal dariAbū Mūsa al-Ash’ari yang disahihkan oleh al-Bukhāri (7149), Muslim (1824), IbnḤibbān (4481), dan Albāni. Pada satu kesempatan Rasulullah SAW pernah berkatakepada Abd al-Raḥmān ibn Samurah, “Janganlah kamu meminta jabatan ataukekuasaan. Jika kamu memintanya maka akan diberikan (jabatan itu) kepadamu.Dan jika kamu tidak memintanya, maka kamu akan dibantu". Hadis ini jugaditetapkan sahih oleh al-Bukhāri (7146), Muslim (1652), dan Ibn Ḥibban (4348).

103Meski berpenduduk muslim 76 %, namun semenjak tahun 1976 sampai2010, Nigeria telah dipimpin oleh dua orang Presiden Kristen. Begitu juga dengan

Page 134: kontekstualisasi hukum islam

Fatwa Hak Hidup dan Hak Politik

121

Ayat Alquran 104 yang dipakai al-Qaraḍāwi sebagai landasanbolehnya memilih pemimpin non-muslim hanya dalam jabatan wakilrakyat dan bukan pemimpin negara juga tidak kontekstual, meski berupapenafsiran rasional (bi al-ra’yi). Artinya membatasi pemberian jabatanhanya sampai level wakil rakyat atau anggota parlemen sebagai wujuddari berbuat baik kepada non-muslim tidak sesuai dengan realitas sosial.Menurut Quraish Shihab ayat ini berupaya menghilangkan kesan jeleklantaran umat Islam diharuskan memusuhi atau memerangi non-muslim(kafir) sebagaimana yang ditegaskan pada ayat-ayat sebelumnya. Dalamkenyataannya masih terdapat non-muslim atau orang kafir yang baik dantidak memusuhi muslim. Oleh karena itu, ayat ini diturunkan untukmenegaskan prinsip dasar hubungan antara muslim dengan non-muslim.Perintah untuk berbuat baik dan berlaku adil pada ayat ini dapatdiwujudkan dengan cara membela atau memenangkan non-muslim yangbenar dari pada muslim yang salah dalam interaksi sosial. Ayat ini jugamengandung indikasi larangan bagi muslim untuk menjadikan non-muslim yang memusuhi dan mengusir umat Islam sebagai teman akrabdan tempat menyimpan rahasia. Perbuatan ini merupakan tindakan yangbejat. 105 Berdasarkan penjelasan di atas maka menafsirkan perintahmenebar kebaikan kepada non-muslim dengan cara memilih merekasebagai pemimpin dapat dipahami. Namun membatasinya hanya padajabatan tertentu, tidaklah sesuai dengan konteks sosial.b. Penerapan Qiyās

Tidak terlihat indikator qiyās pada kedua fatwa Abou el Fadlmaupun al-Qaraḍāwi dalam persoalan memilih pemimpin non-muslim.Hal ini dimungkinkan tidak didapati adanya kesamaan persoalan memilihpemimpin non-muslim dengan permasalahan pokok yang sudah adaketetapan hukumnya dalam naŞŞ (aŞl) guna menerapkan qiyās.c. Perwujudan MaqāŞid al-sharἷ’ah

Fatwa Abou el Fadl yang membolehkan umat Islam memilihkandidat pemimpin non-muslim ditujukan untuk kemaslahatan Islam dan

Senegal yang penduduk muslimnya mencapai 91 %, pernah dipimpin presidenKristen Katolik (1980-1988). Sementara Libanon telah dipimpin Presiden Kristensemenjak tahun 1943 sampai sekarang. Mary Silvita, “Presiden Non-Muslim dalamKomunitas Masyarakat Muslim”, dalam ISLAMICA, Vol. 7, No. 1, (2012), h. 45-46.Lihat juga Mujar Ibnu Syarif, Presiden Non-Muslim di Negara Muslim, h. 75-76.

104“Allah tidak melarangmu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadaporang-orang yang tidak memerangi agamamu dan tidak mengusirmu dariwilayahmu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil” (QS al-Mumtaḥanah: 8)

105M Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, Jilid. XIV, h. 168.

Page 135: kontekstualisasi hukum islam

Kontekstualisasi Hukum Islam

122

umatnya. Kesetiaan seorang Muslim hanya ditujukan kepada Allahsemata, bukan kepada manusia. Salah satu cara menunjukkan kesetiaanitu adalah dengan mengikuti seluruh ajaran-Nya yang terdapat padaAlquran. Di antara ajaran asasi dalam Islam adalah menegakkankebaikan, keadilan dan akhlak pada berbagai hal termasuk dalampersoalan kepemimpinan. Dengan telah ditegakkannya keadilan dankebenaran berarti telah memelihara agama (ḥifẓ al-din) yang merupakanperwujudan dari tujuan syariat.106

Meski sama-sama bertujuan untuk memelihara agama (ḥifẓ al-din),namun bentuk penerapan maqāŞid al-sharἷ’ah versi al-Qaraḍāwi berbedadengan Abou el Fadl. Menurut al-Qaraḍāwi memelihara agama dapatdiwujudkan dengan menyerahkan kepemimpinan tertinggi yang akanmengatur kepentingan mayoritas umat Islam kepada seorang muslim.Akan tetapi agama juga dapat dipelihara dengan cara memberikesempatan non-muslim untuk mengatur kepentingan orang banyak.Pemberian jabatan ini bertujuan untuk membuat hubungan antar umatberagama menjadi harmonis dan terhindar dari berbagai konflik danpermusuhan.d. Penerapan Adillah al-aḥkām al-mukhtalaf fἷhā

Pernyataan Abou el Fadl yang menyatakan bahwa kesetiaan(walā’) seorang muslim harus ditujukan kepada Allah bukan kepadamuslim, mengindikasikan diterapkannya dalil hukum istiḥsān bi al-naŞŞdalam fatwanya. Artinya terjadi peralihan dari kaedah umum berwalā’pada manusia kepada berwalā’ pada Allah. Peralihan ini dilatari olehbeberapa naŞŞ yang menegaskan tentang keharusan setia (walā’) kepadaAllah berikut dengan akibat bagi yang melanggarnya.107 Sementara padafatwa al-Qaraḍāwi terlihat penerapan kaidah istiḥsān saat membolehkannon-muslim diberi jabatan sebagai wakil rakyat. Pemberian jabatan iniselain ditujukan agar mereka tidak merasa tersisih, juga ditujukan agarmereka tidak membenci Islam. Jenis istiḥsān yang dipakai adalah istiḥsānbi al-maŞlaḥah karena kemaslahatan Islam dan umatnya merupakantujuan dari pemberian jabatan tersebut.108

106 Memelihara agama merupakan dasar atau bagian penting dalammewujudkan kemaslahatan akhirat. Demi memelihara agama, apapun yangbertentangan dengannya harus dikorbankan. Lihat Muhammad Sa’id Ramaḍān al-Būṭi, Ḍawābiṭ al-MaŞlaḥah fἷ al-Sharἷ’ah al-Islāmiyyah (Beirūt: Muassasah al-Risālah, 2001), h. 55.

107Di antaranya terdapat pada surat al-An’ām ayat 14, al-Tawbah ayat 23,dan al-Naḥl ayat 95.

108Menurut kaidah umum memilih atau mengangkat non-muslim sebagaipemimpin yang akan mengurus umat Islam pada dasarnya tidak diperbolehkan

Page 136: kontekstualisasi hukum islam

Fatwa Hak Hidup dan Hak Politik

123

e. Penerapan al-Qawā’id al-fiqhiyyahKaidah-kaidah fikih tidak terlihat pada fatwa Abou el Fadl baik

secara eksplisit maupun implisit. Namun fatwa al-Qaraḍāwi yangmembolehkan pemberian jabatan bagi non-muslim sebagai wakil rakyatmengindikasikan diterapkannya kaidah al-ḥājah tanzilu manzilah al-ḍarūrah. 109 Pada dasarnya memberikan jabatan kepada non-muslimmenyelisihi kaedah umum. Namun dilatari oleh suatu kebutuhan penting,maka mereka dapat diberi jabatan tertentu. Dengan kata lain melarangnon-muslim menjadi pemimpin atau menghambat hak politik merekauntuk ikut pemilu di wilayah mayoritas muslim tidak akan membuatmereka memerangi agama Islam. Namun umat Islam akan mengalamikesulitan dalam menjalankan interaksi sosial lantaran kebencian danpermusuhan dari kelompok non-muslim tersebut. Oleh karena itu,kebolehan memberi jabatan kepada non-muslim selain ditujukan agarmereka dapat menyampaikan aspirasi kelompoknya, juga demiterwujudnya kedamaian dan ketenangan dalam hidup bernegara.f. Penerapan Taḥqiq al-manāṭ

Tidak jauh berbeda dengan fatwa lainnya, Abou el Fadl senantiasamendasari pendapatnya dengan prinsip nilai sebagai motif hukum. Padafatwa ini nilai yang diterapkan Abou el Fadl adalah keadilan, kebaikan,dan akhlak.110 Ketiga nilai ini harus diutamakan penerapannya meskipundengan cara memberi suara atau memberi jabatan pimpinan kepada non-muslim yang memiliki kemampuan. Merupakan tindakan yang zalim jikamemprioritaskan kepemimpinan yang dilatari atas dasar suku atau agama

berdasarkan indikasi beberapa naŞŞ yang melarang berinteraksi secara intens denganmereka. Akan tetapi dalam kasus ini kemaslahatan Islam dan umat Islam berupakehidupan aman, damai serta terhindar dari rasa permusuhan dan kejahatan non-muslim lebih penting dari pada kaedah umum di atas. Oleh karena itu, memilih ataumengangkat non-muslim dalam jabatan tertentu diperbolehkan lantaran besarnyakemaslahatan yang akan terwujud. Lihat Wahbah al-Zuhaili, UŞūl al-Fiqh al-Islāmi,Juz II, (Beirūt: Da>r al-Fikr, 1986), h. 743 & 746.

109Jalāl al-Dἷn ‘Abd al-Raḥmān ibn Abu Bakr al-Suyūṭi, al-Ashbāh wa al-Naẓā’ir fἷ al-Furū’, h. 63

110 Pemahaman terhadap nilai-nilai dan dasar-dasar moral terkaitkarakteristik jalan Tuhan seperti kemuliaan, keindahan dan kasih sayang jugatermasuk bagian penting yang harus dipahami menurut Abou el Fadl. Artinyaperpaduan antara metode penelitian yang sistematis dengan pemahaman dasarakhlak harus diterapkan para ahli hukum dalam setiap penetapan hukum. LihatKhaled M Abou el Fadl, Speaking in God’s Name; Islamic Law, Authority, andWomen, (Oxford: Oneworld, 2003), h. 52.

Page 137: kontekstualisasi hukum islam

Kontekstualisasi Hukum Islam

124

dari pada kepemimpinan yang dilatari atas dasar keadilan dankebaikan.111

Adapun al-Qaraḍāwi melandasi fatwanya atas dasar berbuat baikdan berlaku adil kepada non-muslim sebagaimana yang ditegaskan dalamsurat al-Mumtaḥanah ayat 8. Artinya pemberian jabatan kepada non-muslim merupakan bentuk perwujudan dari kebaikan Islam. Kebaikantersebut hanya diberikan selama non-muslim tidak memerangi danmemusuhi umat Islam.g. Pertimbangan I’ādah al-naẓr

Dukungan Abou el Fadl terhadap pendapat Zainuddin al-Malibariterkait kewajiban mendukung keadilan dan kebenaran dalam memilihcalon pemimpin mengindikasikan diterapkannya i’ādah al-naẓr dalamfatwanya. Pendapat ini tidak sejalan dengan pendapat mayoritas ulamayang mengutamakan kriteria beragama Islam dalam pemilihan calonpemimpin. Di sisi lain fatwa al-Qaraḍāwi yang membolehkan memilihatau mengangkat non-muslim sebatas jabatan wakil rakyat atau anggotaparlemen juga dianut oleh kebanyakan ulama, di antaranya al-Māwardidan Muhammad Salἷm al-Awwā’.112 Hal ini berarti indikator i’ādah al-naẓr tidak diterapkan al-Qaraḍāwi dalam fatwanya.h. Penerapan metode yang sesuai dengan perkembangan ilmu

pengetahuanKehadiran sistem demokrasi dalam persoalan kepemimpinan dan

politik terlihat mewarnai fatwa Abou el Fadl. Pluralitas dan globalisasisudah merambah di seluruh dunia sehingga membuat kehidupan manusiatanpa batas dan sekat, termasuk agama. Kepentingan bangsa dan negaramenjadi prioritas utama dari sistem pemerintahan yang diterapkan saatini. Mendasari kepentingan agama tertentu dalam memilih pemimpin ataupejabat tentu akan menimbulkan konflik internal. Hal ini dikarenakanadanya keberagaman etnis dan keyakinan yang dianut setiap warganegara. Sistem demokrasi juga mewarnai fatwa al-Qaraḍāwi ketikamengakui keberadaan non-muslim dalam pemerintahan Islam danmemberikan mereka hak dalam politik, meski dengan otoritas yangterbatas. Kendati prinsip demokrasi, seperti persamaan dan keadilan,sesuai dengan ajaran Islam, namun pelaksanaannya diserahkan kepada

111Abou el Fadl konsern terhadap persoalan hak manusia yang merupakanhak dasar kepunyaan manusia. Ketertarikan ini dilatari oleh asumsinya bahwa semuamanusia mempunyai hak terhadap dirinya yaitu harga diri. Jadi jika seseorangmenindas orang lain berarti ia bukan hanya melecehkan manusia, namun juga sudahmelecehkan Tuhan. Khaled M Abou el Fadl, The Great Theft Wrestling IslamfromThe Extremists, (New York: HarperCollins Publishers, 2007), h. 181.

112Muhammad Sālim al-‘Awwā, al-Fiqh al-Islāmi fἷ Ṭarἷq al-Tajdἷd, h. 76.

Page 138: kontekstualisasi hukum islam

Fatwa Hak Hidup dan Hak Politik

125

ijtihad umat Islam yang sesuai dengan dasar agama mereka.113 Dengandemikian keinginan umat Islam untuk dipimpin oleh seorang kepalanegara muslim dalam mengurusi hajat hidup mereka juga merupakanbagian dari demokrasi.

Beranjak dari penjelasan dan uraian di atas, fatwa Abou el Fadl danal-Qaraḍāwi tentang kepemimpinan non-muslim dapat dilihat pada tabel2.

Tabel 2Perbandingan Pemenuhan Indikator Kontekstual dalam Fatwa

Abou el Fadl dan al-Qaraḍāwi tentang MemilihPemimpin Non-Muslim

No Indikator Fatwa Abouel Fadl

Fatwaal-Qaraḍāwi

1 Penafsiran atas al-NuŞūŞ al-shar’iyyah

X

2 Penerapan Qiyās X X3 Perwujudan MaqāŞid al-

sharἷ’ah

4 Penerapan Adillah al-aḥkāmal-mukhtalaf fἷha

5 Penerapan al-Qawāid al-fiqhiyyah

X

6 Penerapan Taḥqiq al-manāṭ 7 Pertimbangan I’ādah al-naẓr X8 Sesuai perkembangan ilmu

pengetahuan

9 Kesimpulan Kontekstual Kontekstual

Beranjak dari berbedanya sumber rujukan naŞŞ, fatwa Abou el Fadldan al-Qaraḍāwi terkait memilih pemimpin non-muslim menghasilkankesimpulan yang berbeda, meski hasil akhir pengujiannya sama yaitukontekstual. Ketiadaan naŞŞ yang tegas tentang persoalan keyakinanpemimpin, mengindikasikan bahwa hal ini diserahkan kepada kebijakanmanusia. Oleh karena itu, beranjak dari perintah menegakkan keadilandan kebaikan dalam Alquran, Abou el Fadl memandang tugas utamapemimpin adalah mengurus kepentingan orang banyak demi terwujudnyakebaikan. Kemaslahatan dan kebaikan ini dapat diwujudkan oleh

113 Kiki Muhammad Hakiki, “Islam dan Demokrasi”, dalam Wawasan:Jurnal Ilmiah Agama dan Sosial Budaya, Vol. 1, No.1 (2016), h. 6-7.

Page 139: kontekstualisasi hukum islam

Kontekstualisasi Hukum Islam

126

siapapun yang memiliki kemampuan. Tindakan membatasi jabatanpemimpin atas dasar agama atau suku tertentu, tanpa dilatari kemampuandan rasa keadilan berarti telah menentang prinsip Islam. Tidak jauhberbeda dengan al-Qaraḍāwi yang juga mendasari fatwanya demimewujudkan kemaslahatan agama. Kemaslahatan versi al-Qaraḍāwi,meski didasari atas nilai keadilan dan persamaan dalam demokrasi namunpenerapannya diserahkan kepada ijtihad umat Islam sehingga menjadiselaras dengan dasar dan prinsip agama. Meski tidak menampikkemampuan yang dimiliki non-muslim, namun dalam persoalan yangterkait hajat hidup umat Islam khususnya, posisi pimpinan tertinggiseharusnya diserahkan kepada muslim. Merupakan hal yang lumrah jikasuatu komunitas hanya ingin dipimpin oleh orang yang memilikikesamaan misi dalam mewujudkan kebaikan dan cita-cita bersama.

C. Fatwa Kepemimpinan Perempuan dalam Salat dan NegaraSelain persoalan keyakinan, perbedaan gender juga menimbulkan

polemik di kalangan ulama jika dikaitkan dengan kepemimpinan.Berdasarkan beberapa keterangan naŞŞ Alquran dan hadis, mayoritas ulamamenyatakan bahwa perempuan tidak boleh menjadi pemimpin, baik dalamskala besar maupun skala kecil. Berikut ini akan dibahas kembali persoalankepemimpinan perempuan baik sebagai imam salat maupun sebagaipemimpin suatu negara. Kepemimpinan dalam salat akan mengacu padafatwa Abou el Fadl, sedangkan kepemimpinan negara akan mengacu padafatwa al-Qaraḍāwi. Pembedaan tema ini dikarenakan tidak terdapatkesamaan fatwa antara Abou el Fadl dan al-Qaraḍāwi terkait duapermasalahan di atas.1. Fatwa Abou el Fadl

Fatwa ini dilatari oleh pertanyaan seorang muslim yang tinggal diwilayah mayoritas non-muslim. Selama dua tahun ini sekelompok pelajarmuslim senantiasa melaksanakan salat berjamaah dengan imam seorangpemuda Mesir yang dibesarkan di Arab Saudi. Akan tetapi tahun inipemuda tersebut akan lulus dan meninggalkan sekolah. Alternatifpengganti imam hanya tiga pelajar perempuan yang memilikipengetahuan Islam dan kemampuan menjadi imam salat. Adapunalternatif pelajar laki-laki yang ada, masih kecil karena baru memasukimasa pubertas. Melihat kondisi ini mustafti yakin bahwa pelajarperempuan tersebut mampu menjadi imam salat. Dengan meletakkanposisi imam di tengah, di mana posisi makmum perempuan berada padasatu sisi dan posisi makmum laki-laki di sisi lainnya, salat berjamaahdapat dilaksanakan. Gagasan ini diterima para pelajar perempuan, namunpelajar laki-laki khawatir karena menganggap hal ini merupakan sesuatuyang diharamkan. Apakah gagasan ini dapat dibenarkan dalam Islam?

Page 140: kontekstualisasi hukum islam

Fatwa Hak Hidup dan Hak Politik

127

Jika tidak, maka ada kemungkinan aktifitas salat Jumat tidak akanterlaksana lagi saat ini. Padahal sudah bertahun-tahun mustafti berupayamelatih para pelajar menjadi imam salat sebagai bekal mereka ketikamemasuki universitas kelak.114

Persoalan imam perempuan merupakan isu yang sangatkontroversial di kalangan ulama. Abou el Fadl mengawali fatwanyadengan uraian terkait dua orientasi utama imam, khususnya pada salatJumat. Pertama memiliki kemampuan seadanya dalam mengimami salatbaik pada bacaan maupun gerakan. Kedua menekankan pada prioritaskelayakan seorang imam karena dianggap sebagai guru yang memberipengajaran kepada masyarakat. Beranjak dari hal ini imam harusdiutamakan bagi orang yang memiliki hapalan Alquran lebih banyak,fasih dalam bacaan salat, dan memiliki pengetahuan agama. Imam jugadianggap mampu mendidik masyarakat melalui khutbahnya. Orientasikedua ini dilatari atas tindakan yang pernah diterapkan Rasulullah danKhulafā’ al-Rāshidἷn dalam menentukan imam. Selain mengajarkan salat,khutbah yang diberikan imam diharapkan dapat menginspirasimasyarakat akan permasalahan penting yang sedang terjadi. Melaluikhutbah juga imam harus mampu mendorong masyarakat untukmencintai ilmu dan mengajarkan kebaikan sehingga terciptalahmasyarakat yang berakhlak mulia.

Adapun terkait gender, mayoritas ulama membolehkan perempuanmenjadi imam salat dengan makmum perempuan jika tidak ada laki-lakiyang dapat menjadi imam. Bahkan sebagian ulama membolehkanperempuan menjadi imam meski saat itu ada laki-laki. Kendati tidak adaketerangan dari Alquran, namun dalam riwayat hadis ditemukan bahwaRasulullah beberapa kali pernah mengizinkan perempuan menjadi imamsalat di rumah mereka, meski ada laki-laki di dalamnya, karena iamemiliki kemampuan menjadi imam. Riwayat ini dipakai mazhab IbnJarἷr (w. 923 M) dan al-Thawri (w. 778 M) dalam melegalkan perempuanmenjadi imam jika memiliki kemampuan dengan memposisikanmakmum di samping imam sehingga tidak ada makmum yang berdiri dibelakangnya. Namun setelah kedua mazhab ini hilang pada abad ke-4Hijriyah, tidak ada satupun mazhab fikih yang membolehkan perempuanmenjadi imam jika ada makmum laki-laki di dalamnya.

Seluruh ulama membolehkan perempuan menjadi pengajar meskiada murid laki-laki. Namun kenapa dalam salat ia dilarang menjadi imammeskipun memiliki kemampuan? Padahal tidak ada naŞŞ yang secarategas melarang hal itu. Dalil yang dipedomani para ulama dalammelarang imam perempuan berasal dari tradisi dan konsensus laki-laki.

114Fatwa ini dikeluarkan Abou el Fadl pada tanggal 5 April 2010.

Page 141: kontekstualisasi hukum islam

Kontekstualisasi Hukum Islam

128

Berdasarkan hal ini Abou el Fadl menyatakan bahwa pemilihan imamsalat harus dilatari atas kemampuan dan pengetahuan demi kepentinganorang banyak. Artinya jika ada perempuan yang memiliki banyak hapalanAlquran, fasih pelafalannya, serta mampu memberi pengajaran tentangiman dan Islam kepada masyarakat, seharusnya tidak boleh dilarangmanjadi imam salat Jumat.

Meskipun Abou el Fadl setuju dengan apa yang dilakukan mustafti(melatih murid-muridnya salat Jumat dan salat jamaah denganmenjadikan imam perempuan berada di tengah makmum laki-laki danmakmum perempuan), namun di akhir fatwa ia menyarankan mustaftiuntuk memikirkan lagi permasalahan ini karena merupakan isu yangkontroversial. Hanya Allah yang tahu mana yang terbaik sehinggamustafti harus banyak salat dan berdoa kepada Allah. Apapun keputusanyang diambil harus berasal dari hati nurani sebagai bentukpertanggungjawaban kepada Allah kelak.115

2. Fatwa al-QaraḍāwiFatwa al-Qaraḍāwi terkait kepemimpinan perempuan dilatari oleh

pertanyaan yang menanyakan status kesahihan hadis "Tidak akanberbahagia suatu kaum yang menjadikan perempuan sebagai pemimpinmereka". Riwayat ini ditolak kaum feminis karena dianggap bertentangandengan riwayat lain yaitu "Ambillah sebagian agamamu dari al-Ḥumairah' (‘Āishah)."

Al-Qaraḍāwi mengawali fatwa dengan mengecam sikap bodohyang bercampur nafsu karena telah menolak hadis sahih tapi menerimahadis mardūd. Menurutnya kedua riwayat ini harus diteliti dari sisi sanaddan matan. Kritik sanad dimulai dari hadis pertama yang berstatus sahihdan berasal dari Abu Bakr al-Ṣiddἷq serta diriwayatkan oleh al-Bukhāri,Aḥmad, dan al-Tirmidhi. Mayoritas ulama menjadikan hadis ini sebagailandasan hukum yang melarang perempuan menjadi pemimpin dalamwilayah yang luas. Hadis ini dinyatakan Rasulullah ketika mendengarberita pengangkatan Putri Kisra sebagai Raja Persia. Adapun status hadiskedua dikeragui karena banyak ulama hadis yang tidak mengenalperawinya. Meski Ibn al-Athἷr (w. 1233 M) memasukkan riwayat inidalam kitabnya al-Nihāyah, namun ia tidak menyebutkan orang yangmeriwayatkannya.

Setelah penelitian terhadap matan hadis akan jelas terlihatkelemahan riwayat kedua karena dua alasan. Pertama tidak mungkinRasulullah menyuruh sahabat mengambil pengetahuan agama dari‘Āishah saja. Padahal banyak sahabat lain yang juga memiliki

115Khaled M Abou el Fadl, https://www.searchforbeauty.org/2010/04/05/fatwa-on-women-leading-prayer/

Page 142: kontekstualisasi hukum islam

Fatwa Hak Hidup dan Hak Politik

129

pengetahuan agama. Kedua gelar al-Ḥumairah merupakan panggilankhusus Rasulullah kepada istrinya, ‘Āishah, untuk memerintahkan suatupekerjaan tertentu. Jadi perintah yang disebutkan dalam hadits tersebuttidak berlaku umum. Hal ini terbukti dengan tindakan para ulama yangtidak mengambil pengajaran agama dari ‘Āishah saja, baik dari segiriwāyah maupun dari segi dirāyah (pengetahuan). Selain itu riwayatkedua bertentangan dengan sejarah Islam. Pengetahuan Islam yangdiperoleh ulama banyak berasal dari para sahabat, baik sahabat besarmaupun sahabat kecil. Oleh karena itu, pemahaman terhadap hadiskeutamaan (faḍāil) harus dilakukan secara kritis dan hati-hati karena ciri-ciri hadis palsu kebanyakan berbentuk keutamaan atas sosok individutertentu. Terkait hal ini Ibn al-Jawzi (w. 1200 M) mengatakan, "Alangkahbagusnya perkataan orang yang mengatakan, jika semua hadis yang Andalihat bertentangan dengan akal sehat, prinsip-prinsip agama, dan dalil-dalil naqli, maka ketahuilah bahwa hadis tersebut palsu”.116

Pada kesempatan lain al-Qaraḍāwi mengatakan bahwa banyakpihak yang salah memahami eksistensi perempuan. Dilatari oleh dalilyang tidak sahih dan pemahaman naŞŞ yang tidak tepat serta dukungantradisi dan kondisi sosial masyarakat saat itu, banyak fatwa ulama yangmembatasi aktifitas perempuan dengan keras bahkan sampai mengacukepada hukum haram. Ironisnya metode sadd al-dharἷ’ah seringdijadikan acuan untuk mendukung pemahaman mereka. Padahal merekatahu bahwa berlebih-lebihan dalam menutup jalan kerusakan sama sajadengan berlebih-lebihan dalam membukanya sehingga menghilangkankemaslahatan. Kondisi ini dijadikan objek dagang oleh kaum sekuleruntuk menjelekkan citra Islam sebagai agama yang kejam dandiskriminatif terhadap perempuan. Kesalapahaman ini harus diluruskandengan meninjau ulang posisi perempuan dalam Islam sesuai petunjukAlquran dan hadis.

Menurut al-Qaraḍāwi Islam memandang perempuan mempunyaiposisi yang sama dengan laki-laki kecuali dalam beberapa hal yangdijelaskan secara khusus oleh naŞŞ. Kekhususan tersebut dilatari olehperbedaan fitrah dan keadaan masing-masing. Hukum khusus terkaitperempuan di antaranya adalah haid, nifas, hamil dan menyusui. Adapunhukum khusus yang terkait dengan laki-laki adalah memikul tanggungjawab terhadap keluarga, memberi nafkah, dan memiliki hak talak.Perbedaan dalam pembagian warisan anak dilatari oleh berbedanya tugasdan beban kehartabendaan antara laki-laki dan perempuan. Persoalankesaksian yang menyamakan dua saksi perempuan dengan kesaksian satu

116 Yūsuf al-Qaraḍāwi, Min Hady al-Islām Fatāwā Mu’āŞirah, Juz I,(Beirut: Dār al-Qalm, 2005), h. 73-74.

Page 143: kontekstualisasi hukum islam

Kontekstualisasi Hukum Islam

130

orang laki-laki didasari oleh kenyataan untuk menjaga kekuatanpembuktian agar lebih hati-hati dalam menjaga kehormatan manusia.

Adapun tuntutan dalam hal ibadah serta larangan dan perintah yangdiberikan Allah kepada manusia secara umum mencakup laki-laki danperempuan. Sebagaimana yang ditegaskan dalam ayat berikut,

ىث ن أ و أ ر ك ذ ن م م ك ن م ل ام ع ل م ع ع ی ض أ ي ال ن أ م ھ ب ر م ھ ل اب ج ت اس ف )195: انر م ع ل ا ...(ض ع ب ن م م ك ض ع ب

“Maka Tuhan mereka menerima permohonannya (denganberfirman), ‘Sesungguhnya Aku tidak akan menyia-nyiakanamalan orang yang beramal di antaramu, baik laki-laki maupunperempuan (karena) sebagian kamu adalah turunan bagi sebagianyang lain’…” (QS Ali ‘Imrān: 195).

Partisipasi perempuan dalam parlemen misalnya, bukan menunjukkantingginya kekuasaan mereka dari pada laki-laki. Pada kenyataannyajumlah laki-laki di parlemen lebih banyak dari pada perempuan sehinggakeputusan yang dihasilkan sebenarnya berasal dari mayoritas laki-laki. Disisi lain tidak semua perempuan dapat bergabung dalam parlemen. Hanyaperempuan yang sudah tidak memiliki tanggung jawab penuh terhadapkeluarga, seperti tidak punya anak, yang dapat berpartisipasi aktif sebagaianggota parlemen. Adapun undang-undang yang ditetapkan oleh anggotaparlemen perempuan sehingga berpengaruh pada kebijakan negara,sebenarnya tidak bersifat mutlak. Apa yang mereka hasilkan itu hanyalahijtihad yang dilakukan dengan menggali hukum dari naŞŞ yang umum.Sementara undang-undang yang asasi hanyalah milik Allah.117

Berbeda halnya dengan partisipasi perempuan dalamkepemimpinan negara yang terlarang lantaran sebuah hadis riwayat AbiBakrah berikut ini,

118ة أ ر ام م ھ ر م ا أ و ل و م و ق ح ل ف ی ن ل

“Tidak akan beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusannyakepada perempuan”. (HR al-Bukhāri)

Hadis ini melarang perempuan memegang kekuasaan umum atas seluruhmanusia sebagaimana ditunjukkan oleh lafal amrahum yang meliputikekuasaan dan kepemimpinan umum. Hal ini berarti dalam urusantertentu atau yang mewilayahi daerah tertentu, tidak ada larangan bagiperempuan untuk menjadi pemimpin.

117Yūsuf al-Qaraḍāwi, Min Hady al-Islām Fatāwā Mu’āŞirah, Juz II, h.376.

118Muhammad ibn Ismā’il al-Bukhāri, Ṣaḥἷḥ al-Bukhār, Juz. IV, h. 228.

Page 144: kontekstualisasi hukum islam

Fatwa Hak Hidup dan Hak Politik

131

Terkait hadis di atas al-Qaraḍāwi memberi tiga catatan berikut;a. Apakah hadis ini dipandang dari sisi keumuman lafal atau kekhususan

sebab? Meskipun mayoritas ulama berpedoman kepada keumumanlafal, namun sebab khusus juga harus dijadikan sebagai acuan danrujukan untuk memahami naŞŞ. Mengabaikan sebab khusus boleh jadiakan membuat kerancuan pemahaman sehingga menghasilkanpenafsiran yang buruk. Dengan demikian jika hadis di atas hanyadipahami dengan keumuman lafal maka akan bertentangan denganzahir Alquran. Allah menceritakan kisah kepemimpinan Ratu Balqisyang telah berhasil membuat kehidupan bangsanya, kerajaan Saba’,menjadi sejahtera lantaran kebijaksanaan dan keadilannya dalammemimpin. 119 Saat ini juga banyak ditemukan perempuan yangberjasa terhadap negaranya melebihi laki-laki, seperti Perdana MenteriIndira Gandhi di India dan Perdana Menteri Inggris MargaretThatcher.

b. Berdasarkan lafal amrahum pada hadis di atas, para ulama sepakatmelarang perempuan memiliki kekuasaan tertinggi. Larangan inidikhususkan jika perempuan menjadi ratu atau kepala negara yangberkuasa mutlak terhadap bangsanya.

c. Posisi yang diberikan kepada perempuan dalam sistem demokrasi saatini, seperti dewan rakyat dan kementerian, tidak menandakan bahwasemua persoalan dapat diserahkan kepada mereka. Tugas danwewenang yang diemban para dewan rakyat perempuan bersifatkolektif dan berbatas waktu. Jika masa jabatan sudah habis makakekuasaan mereka juga berakhir.120

3. Pendapat Para Ulamaa. Kepemimpinan Perempuan dalam Salat

Persyaratan bagi seorang imam salat menurut al-Māwardi ada limayaitu adil, dapat membaca Alquran, mengetahui fikih, serta dapatmelafalkan ayat dengan benar dan tidak cadel. Kelima syarat ini hanyadiperuntukkan bagi laki-laki sehingga perempuan tidak boleh menjadiimam salat bagi makmun laki-laki. Jika ada makmun laki-laki dalam salatberjamaah yang diimami seorang perempuan, maka salat laki-lakitersebut tidak sah.121

Senada hal di atas, ulama Shāfi’iyyah menyatakan bahwa syaratpenting yang harus dipenuhi imam salat adalah laki-laki. Oleh karena itu,jika makmum mengetahui dengan jelas bahwa orang yang memimpin

119Lihat QS al-Naml ayat 44.120Yūsuf al-Qaraḍāwi, Min Hady al-Islām Fatāwā Mu’āŞirah, Juz II, h.

387-389.121Al-Māwardi, al-Aḥkām al-Sulṭāniyah wa al-Wilāyāt al-Diniyyah, h. 163.

Page 145: kontekstualisasi hukum islam

Kontekstualisasi Hukum Islam

132

salatnya (imam) adalah perempuan maka ia wajib mengulangi salatnya.Sama halnya jika imam tersebut waria atau orang murtad. Di sisi lainulama Shāfi’iyyah juga membolehkan perempuan menjadi imam darimakmum perempuan.122 Kebolehan ini didasari oleh beberapa hadis, diantaranya riwayat dari ummi Waraqah yang pernah diizinkan Rasulullahuntuk menjadi imam salat di keluarganya. Berbeda dengan sebagianulama Ḥanāfiyyah yang menetapkan makrūh taḥrim pada salat jamaahyang hanya diikuti oleh perempuan saja. Hal ini dikarenakan keberadaanimam di posisi tengah jamaah diibaratkan menyerupai salat dalamkeadaan telanjang.123

‘Abd al-Raḥmān al-Jaziri menyatakan bahwa ulama Ḥanāfiyyah,Shāfi’iyyah dan Ḥanābilah mensyaratkan seorang imam harus laki-lakisejati. Jadi salat jamaah akan menjadi batal jika diimami perempuan ataukhuntha. Akan tetapi jika makmumnya perempuan semua maka tidak adalarangan bagi siapapun untuk mengimaminya baik itu laki-laki,perempuan atau khuntha. Adapun ulama Mālikiyyah menyatakan bahwakriteria laki-laki merupakan persyaratan mutlak. Artinya salat jamaahyang diimami perempuan atau khuntha meskipun jamaahnya perempuansemua, tetap tidak sah.124

Komisi Fatwa MUI juga memberikan pendapat hukum yang samadengan mayoritas ulama. Berlandaskan kepada Alquran surat al-Nisā’ayat 34, 7 riwayat hadis, ijmak sahabat, dan 1 kaidah fikih, MUImemutuskan bahwa salat yang diimami perempuan di mana terdapat laki-laki di antara makmumnya, maka hukumnya adalah haram dan tidak sah.

122 Terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang hukumperempuan mengimami makmum perempuan.’Āishah (w. 678 M), Ummu Salamah(w. 680 M), Aṭā’ (w. 732 M), Awzā’i (w. 774 M), al-Thawri (w. 778 M), Isḥāq (w.852 M), dan Abū Thaur (w. 240 H) menyatakan hukumnya mustaḥāb. Berbedadengan Ahmad yang mengatakan tidak mustaḥāb, dan kelompok ahl al-ra’yi yangmenghukuminya dengan makruh sehingga jika tetap dilakukan akan dikenakansanksi. Qatādah (w. 23 H), al-Nakha’i (w. 714 M) dan Sha’bi (w. 722 M) hanyamembolehkan pada salat sunat saja, sedangkan Ḥasan dan Sulaimān Yasar (w. 725M) melarang sama sekali baik dalam salat wajib maupun salat sunat. Adapun ImamMālik (w. 795 M) menganggap bahwa perempuan tidak layak menjadi imam karenaterdapat azan yang dimakruhkan atasnya. Sementara azan itu sendiri merupakanpanggilan untuk salat. Ibn Qudāmah, al-Mughni, Juz. II, (Beirūt: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, T.th), h. 35.

123Wahbah al-Zuhayli, al-Fiqh al-Islām wa Adillatuhu, Juz. II, h. 1194-1195.

124‘Abd al-Raḥmān al-Jazἷri, Kitāb al-Fiqh ‘alā al-Madhāhib al-Arba’ah,Juz. I, h. 372.

Page 146: kontekstualisasi hukum islam

Fatwa Hak Hidup dan Hak Politik

133

Adapun jika jamaah yang menjadi makmum dari imam perempuan adalahperempuan semua, maka hukum salatnya adalah boleh.125

Senada dengan pendapat-pendapat di atas Ibn Qudāmahmengatakan bahwa salat bagi makmum laki-laki jika diimami perempuanbaik dalam salat wajib maupun salat sunah tidak sah. Jadi laki-lakidilarang menjadi makmum dari imam perempuan. 126 Hal ini dilataridengan sebuah hadis riwayat Ibn Mājah berikut,

ا ر اج ھ م ي اب ر ع أ ال و ال ج ر ة أ ر م ل ام ؤ ت ال :قالعن النبي ملسو هيلع هللا ىلصرعن جاب127ان م ؤ م ر اج ف م ؤ ی ال و

“Dari Jabir dari Nabi SAW yang bersabda; Perempuan tidak(boleh) mengimami laki-laki, orang Arab (badui) juga tidak (bolehmengimami) orang-orang muhajirin, (begitu juga) orang jahat tidak(boleh mengimami) orang mukmin”Lembaga fatwa Mesir, Dār al-Iftā’, juga telah mengeluarkan fatwa

terkait imam salat perempuan saat ditanya mustafti tentang alasandilarangnya perempuan mengimami salat jamaah. Menurut Dār al-Iftā’pada dasarnya Islam tidak membeda-bedakan jenis kelamin, karenaperbedaan manusia hanya dilatari oleh ketaqwaan. Akan tetapi perbedaanbiologis, fisiologis, dan psikologis akibat berbedanya gender, setidaknyaberdampak pada perlakukan Islam kepada perempuan. Artinya terdapattugas tertentu yang hanya dapat dibebankan kepada laki-laki karenamembutuhkan kekuatan fisik, seperti berperang dan memimpin salat.Meski pada dasarnya tidak ada larangan bagi perempuan untuk berijtihad,berfatwa, atau memberi pengajaran di depan masyarakat secara umum,namun dalam salat berjamaah perempuan tidak diperkenankan menjadiimam jika ada makmum laki-laki. Larangan ini dilatari oleh beberapariwayat, di antaranya sabda Rasulullah yang menyatakan bahwa safterbaik bagi perempuan adalah saf terakhir dan yang terburuk adalah safpertama. Sebaliknya saf terbaik laki-laki adalah di baris pertama dan yang

125Lihat Fatwa MUI Nomor: 9/MUNAS VII/MUI/13/2005 Tentang WanitaMenjadi Imam Shalat, tanggal 28-07-2005.

126Ibn Qudāmah, al-Mughni, Juz. II, h. 33.127Hadis ini diriwayatkan oleh Ibn Mājah (1081), Ibn ‘Adi (215-216), dan

al-Baihaqi (171) dari al-Walἷd ibn Bakἷr Abi Janāb. Al-Bukhāri dan Muhammad ibnIsmā’il menetapkan riwayat ini sebagai hadis munkar sehingga tidak boleh diikuti.Al-Baihaqi menyatakan terdapat cacat dalam riwayat ini dan al-Ḥāfiẓmenetapkannya sebagai riwayat matrūk. Lihat Muhammad NāŞir al-Dἷn al-Albāni,Irwā’ al-Ghalἷl fi Takhrἷj Aḥādἷth Manār al-Sabἷl, Juz. III, h. 6.

Page 147: kontekstualisasi hukum islam

Kontekstualisasi Hukum Islam

134

terburuk adalah di baris terakhir (HR Muslim).128 Jika perempuan dapatmenjadi imam berarti ia harus berdiri di baris pertama sehinggamenyebabkan saf laki-laki menjadi buruk dan menyalahi hadis. Hal inilahyang menyebabkan perempuan terlarang menjadi imam salat bagimakmum laki-laki.129

Pendapat yang dikemukakan para ulama di atas menggambarkansemacam adanya kesatuan pemahaman bahwa perempuan tidak bolehmengimami laki-laki. Selain melandasi kepada hadis di atas, mayoritasulama juga mengatakan bahwa persoalan imam salat merupakan bagiandari ibadah yang bersifat tawqifi.130 Selama tidak ditemukan dalil kuatyang melandasinya, maka permasalahan imam perempuan harusdilandaskan kepada apa yang diterangkan naŞŞ. Akan tetapi ternyata adadi antara ulama yang mempunyai pandangan berbeda denganmembolehkan imam perempuan memimpin jamaah laki-laki danperempuan. Di antara ulama tersebut adalah Abū Thaur, al-Ţabari(mufassir dan tokoh mazhab), dan al-Muzani (ulama Shāfi’iyyah).Argumen yang mereka jadikan dasar hukum adalah hadis riwayat AbūDāud dari Ummu Waraqah berikut,

: ھ ل ت ل ق : ت ال ا ق ر د ا ب ز ا غ م ل ملسو هيلع هللا ىلص ي ب الن ن أ ، ل ف و ن ت ن ب ة ق ر و م أ ن ع أنهللا ل ع ل م اك ض ر م ض ر م أ ك ع م و ز غ ى ال ي ف ل ن ذ ائ هللا ل و س ار ی وجل هللا ن إ ف ك ت ی ى ب ي ف ر ق : ال ق . ة اد ھ ش ين ق ز ر ی . ة اد ھ الش ك ق ز ر ی عزت ن ذ أ ت اس ف ن أ ر ق ال ت أ ر ق د ق ت انك و : ال ق . ة د ی ھ ى الش م س ت ت انك ف : ال ق

128Abū al-Ḥusain Muslim ibn al-Ḥajjāj al-Qushairἷ al-Naysabūrἷ, ṢaḥἷḥMuslim,h. h. 170, hadis ke-440.

129Fatwa Dār al-Iftā’, A Woman Leading Men in Congregational Prayers,accessed from http://dar-alifta.org/Foreign/ViewFatwa.aspx?ID=10803

130Diskursus imam salat merupakan bagian ibadah yang bersifat tawqifymenurut para ulama sehingga bersifat qaṭ’i. Namun persoalan qaṭ’i dan ẓannisampai saat ini masih diperselisihkan ulama khususnya dalam mengkategorikan hal-hal yang qaṭ’i dan ẓanni. Ada yang memperluas ranah qaṭ’i sehingga mencakupfikih, dan ada juga yang mempersempit kajian qaṭ’i sehingga memperluas ranahẓanni. Ada juga yang mengkompromikan qaṭ’i dan ẓanni dengan memahami bahwakeqaṭ’ian dalam persoalan ibadah misalnya, bersifat sebagian (qaṭ’i fἷ ba’ḍ al-aḥwāl) sehingga dapat diijtihadkan. Lihat Laode Ismail Ahmad dan Syamsidar,“Rekonstruksi Teks-teks Hukum Qath’i dan Teks-teks Hukum Zhanni”, dalam ASY-SYIR’AH, Vol. 49, No. 2, (2015), h. 237.

Page 148: kontekstualisasi hukum islam

Fatwa Hak Hidup dan Hak Politik

135

ا م ال غ ت ر ب د ت انك و : ال ق . اھ ل ان ذ ؤ ا م ھ ار ى د ف ذ خ ت ت ن أ ملسو هيلع هللا ىلصي ب الن 131.ة ی ار ج و

“Dari Ummu Waraqah binti Naufal, bahwa ketika Nabi SAWakan pergi perang Badar, ia berkata, ‘Ya Rasulullah izinkan akuberperang bersamamu, aku akan mengobati (pasukan) yang sakit.Mudah-mudahan Allah akan menganugerahiku syahid’. (Nabi)berkata, ‘(Sebaiknya) kamu tinggal saja di rumah, karena Allah‘azza wa jalla telah menganugerahimu mati syahid’. (Khalad)berkata, ‘(Sejak itu) ia dipanggil dengan shahidah’. Lalu iaberkata, ‘(Setelah Ummu Waraqah) membaca Alquran, iameminta izin Nabi SAW untuk mengambil seorang muazzin darirumahnya (yang akan mengumandangkan azan untuk salat UmmuWaraqah). Ia berkata, ‘Perempuan itu telah mengasuh seoranganak laki-laki dan budak perempuan’”.Mayoritas ulama juga menerima dan memakai hadis Ummu

Waraqah ini sebagai landasan dalam membolehkan perempuanmengimami jamaah perempuan saja. Menurut mereka sebenarnyaterdapat tambahan lafal al-nisā’ yang harus diterima pada hadis yangdiriwayatkan Dāru Quṭni. Keberadaan lafal ini mengindikasikan bahwaperempuan boleh menjadi makmum salat dari imam perempuan. Begitujuga sebaliknya keberadaan imam perempuan hanya diperbolehkanmemimpin jamaah perempuan.132 Pendapat ini mereka kuatkan denganbanyak riwayat di antaranya dari ‘Abd al- Razāq (w. 211 H) dari jalurDāru Quṭni (w. 955 M) dan Baihaqy (w. 1066 M), Ḥākim (w. 405 H)dari Ibn Abi Layla (w. 148 H), serta al-Shāfi’i. Semua riwayat tersebutmenjelaskan tentang ‘Āishah (w. 678 M) dan Ummu Salamah (w. 680M) yang pernah mengimami jamaah perempuan dalam salat wajib dantarawih. Posisi mereka sebagai imam saat itu berada di tengah jamaah.133

Terlepas dari argumen mayoritas ulama ini, setelah dilakukanpenelitian terhadap dua riwayat di atas diperoleh hasil bahwa hadiskedua 134 lebih kuat dari pada hadis pertama. 135 Pada hadis pertamaditemukan seorang perawi, Abdullah ibn Muhammad al-Adawi, yangmemiliki banyak kecacatan dalam pandangan para ulama hadis. Adapun

131Imām al-Ḥāfiẓ Abi Dāwud Sulaimān ibn al-Ash’ath al-Sijistānἷ, SunanAbἷ Dāud, Juz. I, (Beirūt: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah,1996), h. 202.

132Ibn Qudāmah, al-Mughni, Juz. II, h. 33.133Abu al-Ţayyib Muḥammad Shams al-Dἷn al-Ḥaq al-‘Aẓἷm Ābādy, ‘Aun

al-Ma’būd Sharḥ Sunan Abἷ Dāud, Juz. II, (Madἷnah: Maktabah al-Salafiyyah,1968), h. 301.

134Hadis yang diriwayatkan dari Ummu Waraqah135Hadis yang diriwayatkan Ibn Mājah dari Jābir.

Page 149: kontekstualisasi hukum islam

Kontekstualisasi Hukum Islam

136

penilaian yang diberikan para ulama hadis terhadap riwayat hadis keduakebanyakan bernada positif.136 Abū Ya’lā (w. 1066 M) dan al-Ţabrāni(w. 918 M) menilai sanad hadis ini berstatus ḥasan.137

Diskursus imam salat perempuan sampai sekarang tetap menjadipolemik. Tanggal 18 Maret 2005 telah dilaksanakan salat Jumat di NewYork dengan Aminah Wadud sebagai imam. Rencana salat jumat itusudah dipublikasi sebelumnya dan mendapat beragam tanggapan daridunia Islam internasional yang umumnya bernada negatif. Sebenarnyaperistiwa ini bukan yang pertama kali terjadi karena di beberapa tempatseperti Cina, meski terdapat masjid khusus perempuan namun kadangkalalaki-laki juga ikut dalam salat jamaah di dalamnya. Kelompok yangmembolehkan perempuan mengimami jamaah laki-laki mendasarkanargumennya kepada konsep keadilan. Sementara mayoritas ulama yangmelarang imam perempuan mendasarinya kepada asas kepatutan yangmerupakan nilai penting dalam masyarakat Islam.138

b. Kepemimpinan Perempuan dalam NegaraPemimpin harus mempunyai keahlian dan pengalaman sehingga ia

dapat memutuskan pendapat dan kebijakan yang tepat. Melaluipengalaman, seorang pemimpin dapat memprediksi akibat darikebijakannya. Mengingat tugas dan kewenangan seorang pemimpin yangbesar ini, al-Māwardi menyatakan bahwa jabatan pemimpin tidak bolehdiberikan kepada perempuan. Hal ini sebagaimana yang ditegaskanRasulullah dalam sebuah riwayat al-Bukhāri dari Abi Bakrah berikut,

139لن یفلح قوم ولوا أمرھم امرأة

“Tidak akan beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusannyakepada perempuan”.Larangan ini juga dilatari oleh ketidakmampuan perempuan dalam

menghasilkan kebijakan yang tepat dan tidak mempunyai sikap yangtangguh. Selain itu perempuan juga tidak boleh tampil di depan banyakorang. 140 Wahbah al-Zuhaili menambahkan bahwa perempuan tidakmampu menangani beban persoalan besar negara, baik dalam kondisi

136Husein Muhammad, Fiqh Perempuan, Refleksi Kiai atas Wacana Agamadan Gender, (Yogyakarta: LkiS, 2001), h. 32-34.

137Abu al-Ţayyib Muḥammad Shams al-Dἷn al-Ḥaq al-‘Aẓἷm Ābādy, ‘Aunal-Ma’būd Sharḥ Sunan Abἷ Dāud, Juz. II, h, 302.

138Ahmed Elewa and Laury Silvers, "I am Oneof The People": A Surveyand Analysis of Legal Arguments on Woman-Led Prayer in Islam”, in Journal ofLaw and Religion, Vol. 26, No. 1 (2010-2011), h.141-171.

139Muhammad ibn Ismā’il al-Bukhāri, Ṣaḥἷḥ al-Bukhāri, Juz. IV, h. 228.140Al-Māwardi, al-Aḥkām al-Sulṭāniyyah wa al-Wilāyāt al-Diniyyah, h. 58.

Page 150: kontekstualisasi hukum islam

Fatwa Hak Hidup dan Hak Politik

137

damai, konflik, genting, maupun perang. Hal ini sudah menjadikesepakatan di kalangan fuqahā’.141 Senada dengan ‘Abd al-Raḥmān al-Jaziri yang menyatakan bahwa alasan disyaratkan laki-laki sebagaipemimpin oleh mayoritas ulama adalah agar ia lebih leluasa dalammelaksanakan amanah kepemimpinannya karena ia akan seringberinteraksi dengan banyak laki-laki. Jadi selain berdasarkan kepadahadis di atas, pelarangan perempuan menjadi pemimpin juga dilatari olehkekhawatiran akan intensitas hubungannya dengan kaum laki-laki dalammenjalankan tugasnya.142

Menurut al-Dahlawi secara rasional seluruh manusia meskiberbeda bangsa dan agama, meyakini bahwa kemaslahatan suatu negaraakan dapat terwujud jika dipimpin oleh pemimpin yang memilikibeberapa kriteria, di antaranya dewasa, berani, dan laki-laki.Kemaslahatan tersebut kemungkinan tidak terwujud jika urusan negaradiserahkan kepada perempuan. Sebagaimana yang ditegaskan olehriwayat hadis terkait kasus yang menimpa kerajaan Persia.143 Asumsi inijuga yang menyebabkan dikeluarkannya fatwa Mekah terkait statusSultanah Aceh. Masyarakat Aceh diperintahkan untuk mengganti rajaperempuan (sultanah)144 mereka saat itu dengan raja dari Dinasti Jamalal-Layl yang berasal dari keluarga Syarif Mekah.145

Pada dasarnya Islam tidak membeda-bedakan jenis kelamin.Banyak ayat yang menegaskan hal itu, bahkan Rasulullah mengatakan

141Wahbah al-Zuhayli, al-Fiqh al-Islām wa Adillatuhu, Juz. VIII, h. 6179.142‘Abd al-Raḥmān al-Jazἷri, Kitāb al-Fiqh ‘alā al-Madhāhib al-Arba’ah,

Juz. V, h. 366.143Al-Dahlawi, Ḥujjah Allāh al-Bālighah, Juz. II, h. 230.144Sultanah ini bernama Putri Seri Alam (l. 1612 M), anak dari Sultan

Iskandar Muda yang dinikahkan dengan putra Raja Mughal bergelar Sultan IskandarTsani yang wafat setelah empat tahun memerintah Aceh. Masa pemerintahanSultanah (1644-1675 M) diisi dengan pengembangan pengetahuan sehingga banyakulama yang dikirim ke Timur Tengah untuk mendalami agama. Hendra Sugiantoro,Puteri Seri Alam yang Menjadi Sultanah, edisi 21 Juni 2010, diakses darihttp://kompasiana.com. Sultanah ditunjuk dan dipilih oleh para bangsawan-pedagang menggantikan suaminya yang wafat. Saat terjadi konflik antara duakelompok Muslim Aceh yang dipelopori oleh al-Raniri (w. 1658 M) di satu sisidengan Saiful Rijal di sisi lain, Sultanah tidak mau ikut campur dan menyerahkanpersoalan itu kepada para bangsawan-pedagang yang mendukung Saiful Rijal. Halini akhirnya membuat al-Raniri pergi meninggalkan Aceh. Anthony Reid,“ReligiousPluralism or Conformityin Southeast Asia’s Cultural Legacy”, in Studia Islamika,Vol. 22, No. 3, (2015), h. 393.

145Azyumardi Azra, Historiografi Islam Kontemporer, Wacana, Aktualitas,dan Aktor Sejarah, (Jakarta: PTGramedia Pustaka Utama, 2002), h. 62.

Page 151: kontekstualisasi hukum islam

Kontekstualisasi Hukum Islam

138

bahwa perempuan adalah saudara kandung laki-laki. Pada kehidupanbermasyarakat perempuan dan laki-laki dapat berperan aktif dalammelaksanakan hak dan kewajiban. Berdasarkan hasil penelitiannya,Pamela J. Prickett meragukan penilaian bahwa Islam adalah agamapatriarki. Upaya pemisahan laki-laki dan perempuan di masjid bukanberarti menghalangi perempuan untuk melaksanakan ajarankeagamaannya. Perempuan justru didorong mengembangkan aktifitas danekspresinya di luar masjid. Hal ini terbukti dengan semakinberkembangnya aktifitas perempuan dalam berbagai aspek dari padakelompok perempuan yang hanya menekankan perjuangan di dalammasjid saja.146

Hal ini berarti perempuan tidak terlarang untuk terjun ke duniapolitik dan pemerintahan sama seperti kaum lelaki. Tidak terjadipertentangan antara kewajiban politik dan kewajibannya yang lainsebagai perempuan. Adapun larangan yang ditegaskan hadis riwayat al-Bukhāri di atas hanya diperuntukkan dalam skala besar di mana tidak adalagi kekuasaan di atasnya, seperti khalifah dan presiden. Hal ini berartiperempuan diperkenankan untuk berkecimpung dalam pemerintahan danpolitik selama tidak berada dalam jabatan tertinggi yang menguasaiseluruh wilayah Islam di dunia. Namun bentuk pemerintahan ini sudahtidak ada lagi sekarang. Bahkan kemungkinan juga tidak akan terwujud dimasa mendatang. Oleh karena itu, menurut Muhammad Sālim al-‘Awwāselama memiliki kemampuan dan kecakapan, perempuan bolehmemegang kekuasaan termasuk pemimpin negara, karena skalanyaberbeda dengan kepemimpinan yang dimaksud dalam hadis riwayat al-Bukhāri di atas. Artinya tidak ada larangan syariat bagi perempuan yangmemiliki kemampuan dan dipercaya masyarakat untuk menjadipemimpin dalam mengurus kepentingan orang banyak.147

Jika diperhatikan secara mendalam penolakan para ulama terhadapkepemimpinan perempuan di ranah politik 148 terbagi kepada dua

146 Pamela J. Prickett, “Negotiating Gendered Religious Space: TheParticularities of Patriarchy in an African American Mosque”, in Gender andSociety, Vol. 29, No. 1 (February 2015), h. 51-72.

147Muhammad Sālim al-‘Awwā, al-Fiqh al-Islāmi fἷ Ṭarἷq al-Tajdἷd, h. 80-83.

148 Diskursus presiden perempuan senantiasa dipenuhi perdebatan antarakelompok ulama yang melarang dan tokoh kontemporer yang membolehkan. Akantetapi kenyataan yang berbeda terlihat di Indonesia saat Megawati didaulat menjadipresiden. Kelompok ulama yang biasanya melarang keras berbalik arah denganmendukung Megawati sehingga akhirnya terpilih dan dilantik. Lihat Nelly VanDoorn-Harder, “The Indonesian Islamic Debate on a Woman President”, in Sojourn:Journal of Social Issues in Southeast Asia, Vol. 17, No. 2, (2002), h. 166.

Page 152: kontekstualisasi hukum islam

Fatwa Hak Hidup dan Hak Politik

139

kelompok yaitu ulama yang melarang total perempuan menjadi pemimpindalam skala apapun dan ulama yang hanya melarang kepemimpinanperempuan dalam skala besar atau negara. Argumen yang dijadikanalasan pelarangan kedua kelompok ulama ini adalah Alquran surat al-Nisā’ ayat 34 dan hadis sahih yang diriwayatkan al-Bukhāri dari AbiBakrah, serta banyaknya kelebihan yang dianugerahkan Allah kepadakaum lelaki, baik dari ilmu pengetahuan, kekuatan, dan kebijaksanaan.Seiring perjalanan waktu, perubahan sosial, dan perkembanganpengetahuan, argumen dan pandangan tersebut mulai terbantah melaluifakta-fakta di lapangan. Banyak ditemukan perempuan yangmenunjukkan kemampuan berpolitik dan kepemimpinan, baik dalamskala kecil maupun skala besar. Mereka mampu menyelesaikan denganbaik tugas dan peran yang dahulu dianggap hanya dapat ditangani laki-laki. Kenyataan ini berhasil membantah anggapan bahwa perempuanhanya mampu menangani persoalan domestik belaka. Berdasarkankenyataan ini dapat dipahami bahwa laki-laki dan perempuan sebenarnyamemiliki peran yang sama dalam kehidupan sosial dan politik. Kehebatanintelektual dan profesional merupakan syarat mutlak kepemimpinan danterbuka bagi siapapun yang memiliki kemampuan. Artinya selamaperempuan dapat memenuhi syarat kepemimpinan yaitu intelektualitasdan kemampuan, maka ia layak dan dapat dipilih menjadi calonpemimpin.149

Terlepas dari pendapat-pendapat ulama di atas, Indonesia telahmemiliki aturan hukum positif yang bersifat mengikat. Selain ditegaskanpada pasal 43 UU Nomor 39 Tahun 1999 yang memberikan hak bagiseluruh WNI untuk berpartisipasi dalam pemilu baik dalam kapasitasnyasebagai pemilih maupun yang dipilih, perempuan juga mempunyai hakasasi yang dilindungi undang-undang untuk berpartisipasi dalam pemilu(pasal 45). Penjelasan lebih lanjut terdapat di pasal 46 yang secara tegasmenjamin adanya keterwakilan perempuan dalam pemilihan anggotalegislatif, yudikatif, dan sistem pengangkatan di lembaga eksekutif.150

Dengan adanya jaminan ini, kaum perempuan mempunyai peluang dan

149Terkait hadis Abi Bakrah yang melarang perempuan menjadi pemimpim,harus diperhatikan lagi sebab yang melatarinya. Hadis ini disampaikan Rasulullahhanya sebagai informasi saja sehingga tidak memiliki kekuatan hukum. Jika hadisini dianggap memiliki legitimasi hukum tentu akan terbantah dengan realitas sosialyang ada sekarang. Hal ini berarti keumuman lafal pada matan hadis tidak dapatdijadikan sebagai pertimbangan hukum. Lihat Husein Muhammad, FiqhPerempuan, Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender, h. 149-151.

150Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, h.11.

Page 153: kontekstualisasi hukum islam

Kontekstualisasi Hukum Islam

140

kedudukan yang setara dengan laki-laki dalam menjalankan perannya dilembaga eksekutif, legislatif, yudikatif, dan kepartaian di Indonesia.

4. Analisis Fatwaa. Penafsiran atas al-NuŞūŞ al-shar’iyyah

Fatwa Abou el Fadl didasari kepada riwayat hadis di manaRasulullah pernah mengizinkan perempuan menjadi imam salat jamaah dirumah mereka dengan makmum laki-laki dan perempuan. Kendati Abouel Fadl tidak menjelaskan matan hadis tersebut, namun besarkemungkinan kalau hadis yang dimaksudnya adalah riwayat dari UmmuWaraqah. Meski hadis ini juga dipakai oleh kelompok yang melarangperempuan menjadi imam salat dari makmum laki-laki, namun Abou elFadl tetap menjadikannya sebagai landasan fatwa yang membolehkan.Berikut ini riwayat hadis yang dimaksud,

اھ ار د ل ھ أ م ؤ ت ن أ ة ق ر و م أ ر م أ ملسو هيلع هللا ىلصھ ن أ “(Rasulullah) SAW memerintahkan Ummu Waraqah untukmengimami (salat) anggota keluarganya”.151

Secara singkat riwayat ini menceritakan tentang perintah ataukeizinan yang diberikan Rasulullah kepada Ummu Waraqah untukmenjadi imam salat bagi anggota keluarganya. Dalam riwayat ini tidakdikatakan siapa saja yang menjadi makmumnya. Namun yang jelas salatjamaah yang diimami Ummu Waraqah ini didahului oleh azan dan iqamatyang dikumandangkan oleh anggota keluarganya yang laki-lakisebagaimana yang dijelaskan pada riwayat lain. Meski tidak ditemukanriwayat yang menjelaskan apakah muazin tersebut ikut serta sebagaimakmum dari salat yang diimami Ummu Waraqah, namun padakebiasaannya orang yang mengumandangkan azan dan iqamat dalamsalat berjamaah merupakan bagian dari makmum salat tersebut. Asumsiini dikuatkan oleh pernyataan penulis kitab Subul al-Salām bahwa hadisdi atas menunjukkan sahnya perempuan menjadi imam dari keluarganya,meski terdapat laki-laki yang menjadi muazin. Artinya Ummu Waraqahmengimami salat berjamaah anggota keluarganya yang terdiri dari laki-

151Hadis ini diriwayatkan oleh Abū Dāud (w. 889 M) dan Dāru Quṭni (w.995 M) dari jalur al-Walἷd ibn Jamἷ’ yang dinyatakan ḥasan oleh Albāni (w. 1999M). Namun dari riwayat Ḥakim (w. 405 H), terdapat perawi yang tidak dikenal yaitu‘Abd al-Raḥmān ibn Khalād. Meski demikian keberadaan jalur lain yang kuat dapatmendukung riwayat Ḥākim ini. Imām al-Ḥāfiẓ Abi Dāwud Sulaimān ibn al-Ash’athal-Sijistānἷ, Sunan Abἷ Dāwud, Juz. I, h. 202. Lihat juga Muhammad NāŞir al-Dἷn al-Albāni, Irwā’ al-Ghalἷl fi Takhrἷj Aḥādith Manār al-Sabἷl, Juz. II, h. 255-256.

Page 154: kontekstualisasi hukum islam

Fatwa Hak Hidup dan Hak Politik

141

laki tua, budak, dan anak-anak. Abu Thaury (w. 240 H), al-Ţabary (w.923 M), dan al-Muzanni (w. 877 M) turut mendukung pendapat ini.152

Abou el Fadl menambahkan bahwa perizinan menjadi imam initelah diberikan Rasulullah beberapa kali sehingga mengindikasikanbahwa makmum yang ikut dalam salat berjamaah tersebut tidak hanyaberasal dari kalangan perempuan namun juga dimungkinkan darikalangan laki-laki. Berdasarkan riwayat hadis dan argumen di atas, dapatdisimpulkan bahwa penafsiran Abou el Fadl terhadap hadis di atasbersifat rasional (bi al-ra’yi) karena keumuman lafal anggotakeluarganya dalam hadis tersebut dapat meliputi seluruh kalangan baiklaki-laki, perempuan, tua, muda, maupun anak-anak.153

Fatwa al-Qaraḍāwi terkait kepemimpinan perempuan juga didasarikepada sebuah ayat154 dan hadis dari Abi Bakrah.155 Penggalan surat Ali‘Imran ayat 195 yang mengawali fatwa menjelaskan tentang janji Allahakan menerima doa yang diiringi amalan soleh dari setiap hamba-Nya.Artinya seluruh amalan yang dilakukan manusia tidak akan terbuang sia-sia. Setelah itu Allah juga menjelaskan tentang kemitraan yang terjalinantara laki-laki dan perempuan yang berasal dari satu nenek moyang.Hubungan ini mengindikasikan bahwa tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam segi kemanusiaan dan strata sosial. Jadi

152Abu al-Ţayyib Muḥammad Shams al-Dἷn al-Ḥaq al-‘Aẓἷm Ābādy, ‘Aunal-Ma’būd Sharḥ Sunan Abἷ Dāud, Juz. II, h, 302.

153Riwayat yang mendasari mayoritas ulama melarang imam perempuanadalah, “Dari al-Walἷd ibn Jamἷ’ dari ibunya dan dari Ummu Waraqah bahwa NabiSAW telah mengizinkan baginya (laki-laki) untuk (mengumandangkan) azan daniqamah serta (juga mengizinkan Ummu Waraqah) mengimami (anggotakeluarganya) yang perempuan”. Menurut mereka keberadaan laki-laki dalam hadisitu hanya untuk mengumandangkan azan dan iqamat saja, bukan menjadi makmumkarena mereka pergi setelah itu. Meski alasan ini dapat diterima namun sulitdipahami. Jika memang perempuan tidak diperbolehkan menjadi imam lantaran adalaki-laki, kenapa kepergian muazin setelah azan dibiarkan saja? Seharusnya ialangsung mengimami salat jamaah, terlepas dari adanya Ummu Waraqah yangdikenal fasih dan banyak hafalan saat itu. Terlepas dari pemahaman mayoritas ulamadi atas, al-Maqdisi tidak menjadikan riwayat ini sebagai hujjah karena Walἷd ibnJamἷ’ dan ibunya tidak dikenal. Lihat Abū ‘Abdullah Muhammad ibn Aḥmad ‘Abdal-Hādi al-Maqdisi, Tanqἷḥ al-Taḥqἷq Ahādἷth al-Ta’lἷq, Juz. II, (Riyāḍ: Dār AŞwā’al-Salaf, 2007), h. 82.

154“Maka Tuhan mereka menerima permohonannya (dengan berfirman),‘Sesungguhnya Aku tidak akan menyia-nyiakan amalan orang yang beramal diantaramu, baik laki-laki maupun perempuan (karena) sebagian kamu adalah turunanbagi sebagian yang lain’…” (QS Ali ‘Imrān: 195).

155“Tidak akan beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusannya kepadaperempuan”.(HR al-Bukhāri dari Abi Bakrah).

Page 155: kontekstualisasi hukum islam

Kontekstualisasi Hukum Islam

142

amalan yang sama dilakukan laki-laki dan perempuan tidak akandikurangi sedikitpun balasannya oleh Allah SWT.156 Mendasari laranganperempuan menjadi pemimpin tertinggi suatu negara dengan kemitraandan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan dalam potongan ayat diatas mengindikasikan bahwa penafsiran al-Qaraḍāwi ini bersifat rasional(bi al-ra’yi), namun tidak sesuai dengan kondisi sosial masyarakat.

Berbeda dengan hadis riwayat al-Bukhāri yang dijadikan hujjahdalam melarang perempuan menjadi pemimpin, baik dalam skala kecilmaupun skala besar, ditetapkan sahih oleh mayoritas ulama. Meski hadisini tidak memiliki masalah dalam jajaran perawinya, namun pemahamanatas matan hadis menyisakan persoalan, di antaranya bertentangandengan beberapa naŞŞ. Banyak ayat yang menyatakan persamaan peranserta kedudukan laki-laki dan perempuan. Pembeda manusia hanyadilatari oleh tingkat ketaqwaannya kepada Allah. Bahkan beberapa ayatmenceritakan kisah Ratu Balqis yang telah berhasil memimpin KerajaanSaba’ menjadi makmur dan sejahtera. Di sisi lain hadis Abi Bakrah inidilatari oleh peristiwa pengangkatan Putri Kisra menjadi Ratu Persia yangdikenal tidak memiliki kemampuan. Artinya ucapan Rasulullah dalamhadis ini dilatari oleh sebab khusus saat peristiwa itu terjadi sehinggatidak dapat digeneralisir ke seluruh perempuan. Dua fakta ini sebenarnyasudah diakui al-Qaraḍāwi dalam fatwanya, namun hasil akhirnyaperempuan hanya diberi peluang untuk menduduki jabatan tertentu,seperti anggota parlemen, wakil rakyat, dan menteri serta terlarangmenjadi pemimpin tertinggi seperti kepala negara atau perdanamenteri.157 Jadi penafsiran al-Qaraḍāwi terhadap hadis Abi Bakrah inibersifat tekstual dan bertentangan dengan relitas sosial.b. Penerapan Qiyās

Secara tersirat dalam fatwanya Abou el Fadl menyamakankebolehan perempuan menjadi pengajar bagi murid laki-laki dengantugas menjadi imam yang mendidik dan mengajar masyarakat luastentang Islam. Penyamaan ini dilatari oleh kemampuan yang dimilikiperempuan dalam mengajarkan ajaran Islam di mana keduanya tidakdilarang naŞŞ secara tegas.158 Akan tetapi dalam fatwa al-Qaraḍāwi, tidak

156M Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, Jilid. II, h. 300.157Yūsuf al-Qaraḍāwi, Min Hady al-Islām Fatāwā Mu’āŞirah, Juz II, h.

387-389.158Para ulama membagi ibadah kepada dua bentuk yaitu pertama hukum

yang berhubungan dengan dasar ibadah, cara melaksanakannya, jumlah rakaat danhari, seperti kewajiban salat lima waktu dan kadar nisab zakat. Kedua adalah hukumyang terkait dengan keabsahan ibadah, hukum takhlifi, dan berbagai persyaratanibadah lainnya. Beranjak dari dua bentuk ibadah ini maka para ulama sepakat atas

Page 156: kontekstualisasi hukum islam

Fatwa Hak Hidup dan Hak Politik

143

terlihat penerapan qiyās terkait permasalahan kepemimpinan perempuandalam skala negara. Hal ini dimungkinkan karena persoalankepemimpinan perempuan sudah dianggap selesai karena telah disepakatimayoritas ulama atas pelarangannya.c. Perwujudan MaqāŞid al-sharἷ’ah

Tujuan syariat yang hendak dicapai Abou el Fadl ketikamembolehkan imam perempuan dalam fatwanya adalah memeliharaagama (ḥifẓ al-din). Pemeliharaan agama dapat dicapai bukan hanyamelalui jihad, namun juga dapat diwujudkan melalui penyebaran Islamserta memperkuat akidah dan keimanan umat Islam melalui pengajaranatau khutbah. Dengan demikian kokoh dan kuatnya akidah umat Islammenjadi indikasi atas terpeliharanya agama. 159 Sementara fatwa al-Qaraḍāwi yang dilandasi hadis Abi Bakrah, secara implisit jugamengindikasi adanya indikator maqāŞid al-sharἷ’ah berupa memeliharaagama (ḥifẓ al-din). Menurutnya salah satu cara memelihara agamaadalah dengan melaksanakan apa yang diperintah dan menjauhi apa yangdilarang naŞŞ.d. Penerapan Adillah al-aḥkām al-mukhtalaf fἷhā

Ketiga adillah al-aḥkām al-mukhtalaf fἷhā tidak terlihat diterapkanpada fatwa Abou el Fadl. Akan tetapi dalam fatwanya, al-Qaraḍāwimenerapkan istiḥsān bi al-naŞŞ ketika membatasi kepemimpinanperempuan. Peralihan kaedah umum yang dilatari atas beberapa naŞŞyang mensejajarkan laki-laki dan perempuan kepada hadis Abi Bakrah,menyebabkan perempuan tidak dapat menduduki jabatan tertinggi negara.e. Penerapan al-Qawā’id al-fiqhiyyah

Kebutuhan mustafti akan keberadaan imam salat demi melanjutkanaktifitas salat Jumat di sekolahnya, dilatari oleh kekhawatiran akanhilangnya aktifitas itu jika tidak ada imam. Kondisi ini mengindikasikanadanya kebutuhan mendesak yang harus segera ditangani. Secara tidaklangsung kebutuhan yang sangat penting ini terkait dengan salah satukaidah-kaidah fikih yaitu al-ḥājah tanzilu manzilah al-ḍarūrah. 160

Artinya meski keberadaan imam salat tidaklah wajib jika tidak ada yangmemenuhi syarat, namun jika kondisi itu dibiarkan terus menerus akan

terlarangnya qiyās dilakukan dalam ibadah bentuk pertama karena ‘illat hukumnyatidak terjangkau akal. Adapun dalam bentuk kedua dapat dimasuki qiyās karena akaldapat menjangkau alasan hukumnya. Lihat MuŞtafa Sa’id al-Khin, al-Kāfi al-Wāfi,(Beirūt: Muassasah al-Risālah, 2000), h. 194.

159Lihat Wahbah al-Zuhaili, UŞūl al-Fiqh al-Islāmi, Juz II, h. 1021.160Jalāl al-Dἷn ‘Abd al-Raḥmān ibn Abu Bakr al-Suyūṭi, al-Ashbāh wa al-

Naẓā’ir fἷ al-Furū’, h. 63-64.

Page 157: kontekstualisasi hukum islam

Kontekstualisasi Hukum Islam

144

membuat aktifitas salat berjamaah menjadi hilang. Padahal keutamaanyang dapat dipetik dari salat berjamaah sangatlah banyak. Adapun ketigakaidah fikih beserta kaidah turunannya tidak nampak dipergunakan dalamfatwa al-Qaraḍāwi.f. Penerapan Taḥqiq al-manāṭ

Alasan yang melatari pendapat hukum Abou el Fadl dalammembolehkan perempuan mengimami makmum laki-laki adalahkemampuan dan pengetahuan yang merupakan tugas penting seorangimam. Meski sebenarnya mayoritas ulama juga menjadikan dua hal inisebagai syarat pemilihan imam salat, namun syarat tersebut hanyadiperuntukkan bagi laki-laki, bukan perempuan. Adapun alasan fatwa al-Qaraḍāwi yang melarang perempuan menjadi pemimpin tertinggi, dilatarioleh lafal amrahum pada riwayat hadis Abi Bakrah yang meliputikekuasaan dan kepemimpinan umum (tertinggi).g. Pertimbangan I’ādah al-naẓr

Secara jelas Abou el Fadl menyatakan bahwa sampai abad keempatHijriyah, Mazhab Ibn Jarἷr dan al-Thawri membolehkan perempuanmengimami salat jamaah dari makmum laki-laki. Setelah itu pendapat inimenghilang ditelan arus utama yang menganulirnya. Akan tetapi dalamfatwanya Abou el Fadl mengangkat kembali pendapat ini dengan dalihtidak ada naŞŞ yang tegas melarang imam perempuan. Pendapat inidiambil Abou el Fadl setelah melakukan penelitian mendalam terhadapbeberapa naŞŞ yang terkait khususnya terhadap hadis Ummu Waraqah.Adapun fatwa al-Qaraḍāwi yang selaras dengan mayoritas ulama dalammembolehkan perempuan menduduki jabatan selain pimpinan tertinggimenunjukkan tidak adanya indikator i’ādah al-naẓr.h. Penerapan metode yang sesuai dengan perkembangan ilmu

pengetahuanDiskursus kepemimpinan perempuan merupakan persoalan klasik

yang senantiasa terjadi di setiap waktu dan tempat, khususnya dalamperpolitikan. Realita atas kepiawaian, intelektual, dan kemampuan yangdimiliki kaum perempuan sebenarnya sudah ada dan diketahui semenjakdahulu. Kuatnya sistem patriarkhi dan dominasi kaum lelaki telahmengaburkan dan menutupi fakta tersebut. Berdasarkan hal ini makaindikator terakhir dari kontekstualisasi hukum Islam tidak diterapkanpada fatwa kedua ulama Abou el Fadl dan al-Qaraḍāwi.

Analisis fatwa kepemimpinan perempuan dalam salat (imam) dannegara di atas dapat dilihat pada tabel 3.

Page 158: kontekstualisasi hukum islam

Fatwa Hak Hidup dan Hak Politik

145

Tabel 3Perbandingan Pemenuhan Indikator Kontekstual dalam

Fatwa Abou el Fadl dan al-Qaraḍāwi tentang KepemimpinanPerempuan dalam Salat dan Negara

No Indikator Fatwa Abouel Fadl

Fatwaal-Qaraḍāwi

1 Penafsiran atas al-NuŞūŞ al-shar’iyyah

X

2 Penerapan Qiyās X3 Perwujudan MaqāŞid al-

sharἷ’ah

4 Penerapan Adillah al-aḥkāmal-mukhtalaf fἷha

X

5 Penerapan al-Qawāid al-fiqhiyyah

X

6 Penerapan Taḥqiq al-manāṭ 7 Pertimbangan I’ādah al-naẓr X8 Sesuai perkembangan ilmu

pengetahuanX X

9 Kesimpulan Kontekstual TidakKontekstual

Page 159: kontekstualisasi hukum islam

Kontekstualisasi Hukum Islam

146

Page 160: kontekstualisasi hukum islam

Fatwa tentang Perempuan dan Persoalan Keluarga

147

FATWA-FATWA KHALED M ABOU EL FADL DAN YŪSUFAL-QARAḌĀWI TENTANG PEREMPUAN DAN

PERSOALAN KELUARGA

Diskursus yang terkait kaum perempuan tidak akan pernah berhenti.Sejarah telah mencatat semenjak dahulu perempuan selalu menjadi korban dimana harkat dan martabatnya sering diabaikan dan dilecehkan. Perbedaanperlakuan juga seringkali diterima dalam berbagai hal yang dilatari olehperbedaan gender. Ironisnya ajaran Islam sering dijadikan tameng untukmembenarkan pandangan dan perlakuan tersebut. Padahal dalam pandanganIslam tidak ada perbedaan yang disebabkan oleh jenis kelamin. Bahkandalam sebuah riwayat dikatakan bahwa perempuan merupakan saudarakandung dari laki-laki. Hal ini berarti sebenarnya hak serta kedudukanperempuan dan laki-laki nyaris tidak ada perbedaan. Perbedaan baru terlihatsaat terkait dengan fungsi dan tugas yang dilimpahkan Allah kepada mereka.Hal terpenting dari perbedaan ini tidak menunjukkan bahwa jenis kelamintertentu mempunyai kelebihan atas yang lain.1

Sebenarnya perbedaan jenis kelamin merupakan fitrah yang telahditetapkan Allah. Menurut Zaitunah Subhan, laki-laki dan perempuandiciptakan dengan dua bentuk perbedaan yaitu bersifat mutlak atau kodratidan bersifat relatif atau non-kodrati. Perbedaan kodrati sudah ditentukanAllah dari semula dan tidak dapat diubah karena bersifat alami, sepertiperbedaan dari bentuk dan organ tubuh berikut dengan fungsinya. Perbedaannon-kodrati tidak bersifat kekal dan tidak berlaku umum sehingga dapatberubah seiring perubahan waktu dan tempat. Pembagian wilayah kerja dimana laki-laki dapat beraktifitas di ranah publik, sedangkan perempuanhanya dapat beraktifitas dalam ranah domestik, merupakan contoh dariperbedaan non-kodrati. Sementara perbedaan kodrati yang mutlak, absolut,dan bersifat tetap merupakan karunia Allah berupa fitrah karena bersifatbiologis dan mengacu kepada bentuk fisik. Oleh karena itu, manusia tidakdiperbolehkan merubahnya.2 Hal ini berarti perbedaan kodrati tidak akanberpengaruh terhadap harkat atau kemuliaan laki-laki dan perempuan.Adapun perbedaan non-kodrati berasal dan lahir dari masyarakat atau

1M Quraish Shihab, Membumikan Alquran, (Bandung: Mizan, 1999), h.270-279.

2“(Sebagai) sunnatullah yang sudah berlaku sejak dahulu. Kamu sekali-kalitidak akan menemukan perubahan bagi sunnatullah tersebut”. (QS. al-Fatḥ: 23)“…Maka sekali-kali kamu tidak akan mendapat penggantian bagi sunnah Allah, dansekali-kali (pula) kamu tidak akan menemukan penyimpangan pada sunnah Allahtersebut.” (QS. Fāṭir: 43).

Page 161: kontekstualisasi hukum islam

Kontekstualisasi Hukum Islam

148

pemahaman sosial sehingga dapat berubah lantaran perubahan waktu, tempatdan keadaan. Perbedaan non-kodrati ini kadang kala disandarkan kepadaagama dengan pemahaman yang tidak benar, seperti penempatan kaumperempuan ke ranah domestik lantaran kelemahan yang dimilikinya dari segiagama dan akal.3 Berikut ini akan dikemukakan pendapat hukum Abou elFadl dan al-Qaraḍāwi terkait diskursus perempuan dan persoalan keluargayang meliputi hijab, memilih suami, nikah beda agama, nusyuz, dankewarisan anak laki-laki dan perempuan.

A. Fatwa Hijab1. Fatwa Abou el Fadl

Abou el Fadl telah mengeluarkan enam fatwa terkait hijab. Darikeenam fatwa tersebut satu fatwa merupakan pembaharuan atas fatwasebelumnya. Deskripsi masing-masing fatwa akan dikemukakan di bawahini.a. Fatwa tanggal 2 Januari 2016

Fatwa ini dilatari oleh pertanyaan seorang muslimah Amerika yangbertanya tentang pendapat hukum Abou el Fadl terkait hijab. Pertanyaanini diajukan untuk mengkonfirmasi ceramah Abou el Fadl yang tidakmewajibkan hijab atau menutup bagian tubuh perempuan. Apakahpersoalan hijab merupakan bagian dari kewajiban atau hanya adabsehingga muslimah tidak akan berdosa jika tidak menutup rambutnya?

Pertanyaan ini dijawab Abou el Fadl dengan mengatakan bahwa diAmerika hijab tidak diwajibkan sehingga tiada dosa bagi orang yangtidak melaksanakannya. Ketidakwajiban ini dilatari oleh motif hukum(‘illat) yang melatari hijab adalah agar perempuan dapat terlindungi atautidak diganggu serta menghindari perhatian yang tidak sepatutnya.4 Duamotif hukum ini tidak terwujud di Amerika. Kenyataan yang ada malahsebaliknya, di Amerika hijab justru memberi resiko bahaya bagimuslimah yang memakainya. Hal ini berarti hijab tidak termasuk kedalam inti ajaran Islam, karena tidak layak menjadikan keselamatansebagai taruhannya. Oleh karena itu, Abou el Fadl tidak menyarankanmuslimah Amerika berhijab.

Jika ditelusuri perjalanan sejarah Islam awal akan ditemukanbahwa diskursus hijab tidak menjadi persoalan utama yang diajarkanRasulullah SAW. Selama 10 sampai 15 tahun fokus kajian kaummuslimah saat itu hanya berkutat seputar kajian keimanan dan ibadahsaja. Namun setahun menjelang wafat Rasululllah, barulah persoalan

3 Zaitunah Subhan, Tafsir Kebencian Studi Bias Gender dalam TafsirAlquran (Yogyakarta: LKiS, 1999), h. 171-172.

4QS al-Aḥzāb ayat 59

Page 162: kontekstualisasi hukum islam

Fatwa tentang Perempuan dan Persoalan Keluarga

149

hijab diberi perhatian. Kenyataan sejarah ini menggambarkan bahwa intiajaran Islam adalah akidah dan iman yang harus tertanam kuat terlebihdahulu di hati setiap muslim. Setelah keimanan melekat kuat, baru ajaranlain dapat dilaksanakan. Artinya bagi perempuan yang baru masuk Islamatau muslimah yang baru insyaf, di mana selama hidupnya tidak pernahberibadah, maka hal pertama yang harus ditanamkan adalah akidah dankeimanan, bukan hijab. Kedua hal ini sangat penting untuk menjagaketulusan mereka dalam menjalankan ajaran Allah.5

b. Fatwa tanggal 31 Desember 2016Fatwa ini memperbarui fatwa Abou el Fadl di atas setelah melihat

kenyataan yang ada di Amerika, dimana banyak muslimah yang gelisahdan khawatir atas sikap permusuhan atau kebencian yang diperlihatkanmasyarakat terhadap Islam. Salah satu faktor yang menambah kebencianmasyarakat Amerika terhadap Islam adalah penggunaan hijab yangmereka pandang aneh. Pada satu sisi kaum muslimah ingin meredakankebencian tersebut, namun di sisi lain mereka terbentur dengan kewajibanhijab. Pada kondisi ini apakah mereka dibenarkan menanggalkan hijab?

Abou el Fadl menyadari kenyataan yang dialami Islam danumatnya di Amerika karena ia merupakan bagian dari muslim yangmenetap di sana. Kebencian dan intimidasi sering diterima muslimAmerika baik dari individu, kelompok, secara langsung maupun tidaklangsung. Terpilihnya Donald Trump sebagai presiden yang dikenal tidakmenyukai Islam menambah kekhawatiran atas bertambah kuatnya sikapislamopobia atau kebencian non-muslim terhadap warga muslimAmerika. Kenyataan yang miris dan dilematis ini membuat Abou el Fadlmerasa perlu memperbarui fatwa sebelumnya terkait hijab.

Melihat kondisi seperti ini, Abou el Fadl mengatakan bahwamuslimah Amerika hendaklah menghindari perhatian yang tidak wajardari masyarakat agar terhindari dari bahaya yang mengintai. Pemakaianhijab diduga keras akan melahirkan perhatian yang tidak wajar tersebutsehingga berdampak kepada kemudaratan dan menghambat penyebaranajaran Islam. Menurut Abou el Fadl permasalahan pakaian dan kesopananperempuan dalam Alquran hanya ditemukan di dua ayat yaitu surat al-Nūr ayat 32 6 dan al-Aḥzāb ayat 59. 7 Lafal khimar yang ditafsirkan

5Khaled M Abou el Fadl, https://www.searchforbeauty.org/2016/01/02/fatwa-on-hijab-the-hair-covering-of-women/

6 "Dan katakanlah kepada perempuan mukminah hendaklah merekamenurunkan pandangan dan menjaga kerendahan hati mereka. Dan janganlahmereka menampilkan perhiasan (zīnah) kecuali apa yang [biasanya] nampak daripadanya. Hendaklah mereka menjulurkan kerudung (khumur) di atas dada mereka(juyūb). Dan janganlah mereka menampilkan kecantikan (zīnah), kecuali padasuami, ayah, ayah suami (mertua), anak laki-laki, anak-anak suami, saudara laki-laki

Page 163: kontekstualisasi hukum islam

Kontekstualisasi Hukum Islam

150

mayoritas ulama dengan sehelai kain yang menutupi seluruh tubuhtermasuk wajah atau selain wajah, dalam pandangan Abou el Fadl tidakmempunyai landasan sejarah. Menurut catatan sejarah keberadaan hijabpada masyarakat Hijaz pra-Islam tidak ditemukan. Oleh karena itu,sebenarnya ayat ini hanya memerintahkan kaum perempuan untukmenjulurkan kain di atas dadanya saja. Tidak ada keterangan bahwaapakah kain tersebut juga harus menutup rambut dan wajah atau tidak.Dibutuhkan penelitian mendalam terkait sejarah sosial umat Islam saatayat tersebut turun karena dalam kenyataannya bukti sejarahnya sangatberagam dan komplek.

Kaitan antara lafal zἷnah dan khimar dalam ayat inimengindikasikan bahwa Allah memerintahkan sikap rendah hatisebagaimana yang dinyatakan lafal menundukkan pandangan. Ayat inijuga menjelaskan bahwa sikap sopan tidak ditunjukkan denganmenampilkan zἷnah kecuali terhadap orang-orang yang mempunyaihubungan seperti suami, ayah dan mertua. Adapun maksud perempuanyang menghentakkan kakinya pada ayat ini disinyalir mengacu kepadapraktek masyarakat tertentu. Terdapat penelitian yang menyatakan bahwasaat ayat ini turun, terdapat tradisi di kalangan perempuan jahiliyah yangmemakai gelang kaki saat berjalan. Gelang kaki itu sengaja dipakaisebagai ajang pamer mereka melalui suara gemerincing yangditimbulkannya. Terlepas benar atau tidaknya bukti ini, yang jelaslarangan menghentakkan kaki dalam ayat ini menunjukkan bahwa salahsatu bentuk kesopanan adalah tidak menimbulkan perhatian yang tidakdiinginkan.

Abou el Fadl tidak menyukai tindakan mayoritas ulamakontemporer yang menyamakan lafal ‘awrah (bagian tubuh yang harusditutup) dengan zἷnah. Dalam Alquran lafal ‘awrah ditemukan dalam duaayat yaitu QS al-Nūr ayat 31 dan 58 yang berkonotasi pada sesuatu yangbersifat pribadi. Adapun dalam kajian hadis lafal ‘awrah mengacu kepadasesuatu yang harus dipisah atau tersembunyi dan bersifat pribadi. Bahkanada riwayat yang menyatakan kalau perempuan adalah ‘awrah. Adapundalam kajian fikih lafal ‘awrah mengacu kepada bagian tubuh yang harus

atau anak laki-laki dari saudara laki-laki, atau anak-anak perempuan, atauperempuan yang dimiliki (budak), atau pegawai laki-laki yang tidak memilikikeinginan fisik, atau anak-anak yang belum mengetahui 'awrāt perempuan. Danhendaklah mereka tidak menghentak kaki agar tidak mengungkapkan apa yangmereka sembunyikan dari ornamen mereka (min zīnatihinna)…"(QS al-Nūr: 31)

7 "Hai Nabi, beritahu istri dan anak perempuanmu serta perempuan-perempuan yang beriman untuk menurunkan pakaian mereka (jalābīb). Itu lebihsesuai sehingga mereka akan dikenal dan tidak diganggu (dilukai)..." (QS al-Aḥzāb:59)

Page 164: kontekstualisasi hukum islam

Fatwa tentang Perempuan dan Persoalan Keluarga

151

ditutupi. Terlepas dari beragamnya pandangan ulama ini, menyamakanmakna zīnah dengan ‘awrah tidaklah benar. Zἷnah merupakan hiasanyang dipamerkan seseorang untuk diperhatikan dan menarik perhatian.Dengan demikian zἷnah lebih terkait kepada penerapan etika yang akanberbeda di setiap tempat dan setiap waktu. Sesuatu yang dianggap cantikbagi masyarakat Afrika akan berbeda dalam pandangan masyarakatMongolia misalnya. Akan tetapi tidak ditemukan bukti terkait rambutsebagai bagian dari zἷnah perempuan. Oleh karena itu, berdasarkankonteks tempat, perempuan dapat menampilkan sikap sederhana meskitidak menutup rambutnya atau bisa juga menutup rambutnya tapibersikap tidak sopan dengan menampilkan zἷnah.

Pada ayat pertama (al-Nūr: 31) perintah Allah untuk menundukkanpandangan, bersikap sederhana dan menghindari munculnyakesombongan merupakan penegasan atas perintah sebelumnya. PerintahAllah pada ayat kedua (al-Aḥzāb: 59) untuk menurunkan jilbab agarbagian bawah tubuh tertutup tidak dimaksudkan untuk membungkustubuh sebagaimana yang selama ini diterjemahkan para penerjemah,namun dimaksudkan untuk mengatasi masalah sosial yang spesifik saatwahyu turun. Hal ini terlihat pada ayat setelahnya yang mengancam akanmengusir dari kota orang-orang yang sering menyebabkan masalah yaituorang munafik, orang sesat, dan penyebar gosip. Beberapa sumbersejarah menyebutkan bahwa pada masa Rasulullah, para bajingan akanberkumpul di jalan untuk melecehkan dan menganiaya budak perempuanyang lewat. Akan tetapi perbuatan tersebut tidak akan mereka lakukanterhadap perempuan merdeka.

Berdasarkan kenyataan ini, beberapa ulama klasik menyatakanbahwa ayat di atas ditujukan kepada perempuan merdeka untuk menutupitubuhnya dengan jilbab agar dapat dibedakan dengan budak perempuansehingga terhindar dari gangguan. Bahkan dalam sumber lain dinyatakansebaliknya di mana tujuan muslimah mengenakan jilbab agar parabajingan tidak dapat membedakan antara perempuan merdeka dan budaksehingga terhindar dari gangguan. Terlepas dari perbedaan pendapat diatas Abou el Fadl menyatakan bahwa ayat ini (al-Aḥzāb: 59) selainditujukan untuk melindungi perempuan dari bahaya juga mendukungkeadilan dalam memperlakukan seluruh perempuan meski berbeda statussosial. Dengan demikian kedua ayat di atas, khususnya lafal khimar danjalābib, lebih menekankan kepada kerendahan hati, bukan penutup kepalasebagaimana yang dikenal dengan nama jilbab saat ini.

Terkait makna ‘awrah sebagai bagian tubuh yang harus ditutup,mayoritas ulama melandasinya dengan beberapa riwayat hadis. Riwayatdari Asmā’ binti Abi Bakr (w. 692 M) terkait nasehat Rasulullah yangmenyuruh perempuan yang sudah memasuki pubertas untuk menutup

Page 165: kontekstualisasi hukum islam

Kontekstualisasi Hukum Islam

152

seluruh bagian tubuhnya kecuali tangan dan wajah. Setelah ditelititernyata ada perawi dari riwayat ini yang bermasalah. Riwayat laindikaitkan dengan ‘Āishah yang menyatakan bahwa ketika perintah jilbabditetapkan di tahun akhir kerasulan, kaum perempuan segera menutupkepala sehingga terlihat seperti gagak hitam. Setelah diteliti ternyatakeaslian riwayat ini memiliki masalah pada matan hadis yang melahirkanisu kontekstual dan historis. Bertitik tolak dari dua ayat dan riwayat hadisdi atas, akhirnya para ulama menyimpulkan bahwa aurat perempuanmerdeka adalah seluruh tubuhnya kecuali wajah dan tangan. Ada jugaulama yang menyatakan seluruh tubuh termasuk wajah dan suaraperempuan merdeka adalah aurat. Sementara aurat budak perempuanditetapkan mayoritas ulama antara pusar dan lutut. Penetapan batas auratini didasari atas status sosial perempuan, sehingga penampilanperempuan merdeka menjadi lebih elegan. Khusus bagi perempuan yangbekerja, para ulama membolehkan mereka tidak berhijab agar tidakmenghalangi pekerjaannya sebagai pencari nafkah. Menurut Abou el Fadlseluruh penjelasan ini menunjukkan bahwa penetapan aurat menurut paraulama didasari atas status sosial, bukan atas kekhawatiran akan fitnahatau pelecehan seksual. Ketetapan ini juga mengindikasikan terdapatpengaruh besar dari hukum adat dan kebiasaan sosial dalam membatasibagian aurat perempuan. Akan tetapi ketetapan ini bertentangan dengandefenisi aurat yang mereka tetapkan yang meliputi seluruh tubuhperempuan dengan atau tanpa pengecualian serta tidak membedakanstatus budak atau merdeka.

Berdasarkan dua fakta penetapan aurat di atas, (tidak adanya hadisyang kuat dan wacana hukum fikih klasik terkait status sosial), diskursusaurat hendaklah difokuskan kepada kajian Alquran. Dua ayat yang telahdibahas sebelumnya mengindikasikan bahwa dalam masalah ini Alquranlebih menekankan kepada kerendahan hati, tidak menampakkan zἷnahdan menundukkan pandangan. Kaum perempuan harus dilindungi daripelecehan dan penganiayaan. Akhirnya Abou el Fadl menyimpulkanbahwa praktek generasi Islam awal lebih beragam dan penuh nuansa daripada pemikiran ulama kontemporer. Salah satu temuan sejarahmenyatakan bahwa setelah Rasulullah SAW wafat, perempuan Hijaztidak menutup rambutnya di tempat umum. Bahkan keturunanRasulullah, Sakἷnah binti Ḥusain ibn ‘Ali, dilaporkan telah menciptakansatu model rambut dan dikenal dengan nama al-ṭurrah al-Sukayniyyah(gaya rambut ikal Sukaynah) yang dipamerkan di depan umum. Sakἷnahsendiri menolak menutup rambutnya dan gaya rambut tersebut jugaakhirnya ditiru oleh kaum perempuan bangsawan Hijaz.

Terlepas dari hal di atas jika ditelusuri pendapat para sahabat dantabiin terkait akhlak mulia dalam teks naŞŞ, termasuk aurat lebih

Page 166: kontekstualisasi hukum islam

Fatwa tentang Perempuan dan Persoalan Keluarga

153

menekankan kepada nilai moral, bukan kepada tubuh atau fisik. Diantaranya adalah ada anggapan bahwa mengabaikan atau membicarakankeburukan seseorang merupakan pelanggaran atas auratnya (kashf al-‘awrah). Perbuatan ini dianggap lebih buruk dari pada melihat bagiantubuh orang tersebut. Menurut Abou el Fadl semua fakta di atasmenunjukkan bahwa diskursus aurat dan zἷnah tidak dapat dipahamisecara formal. Pengkajian mendalam terhadap kualitas akhlak beruparendah hati dan harga diri jauh lebih utama dari pada persoalan pakaian.Hal ini berarti jika keberadaan jilbab atau hijab akan menyebabkanperempuan mendapat perhatian yang tidak dikehendaki sehinggamembawa kepada bahaya, seperti di Amerika Serikat, makadiperbolehkan untuk tidak menutup kepala (hijab). Tindakan membiarkandiri dianiaya karena mempertahankan hijab sangat bertentangan dengantujuan syariat.

Semenjak akhir tahun 1970-an umat Islam telah menetapkanpenutup kepala (hijab) sebagai salah satu komponen dari politik identitaskaum muslimah.Tindakan menjadikan jilbab sebagai simbol identitasIslam dalam pandangan Abou el Fadl sangat tidak tepat. Menurut catatansejarah, ditemukan ada ajaran sekte Yahudi dan Kristen yang mewajibkanperempuan menutup kepala. Ajaran ini bahkan jauh lebih tegas karenaditetapkan melalui perintah teks yang lebih jelas dan determinatif. Semuahal ini menunjukkan bahwa kesalehan diri dan sikap rendah hati seorangmuslimah jauh lebih berharga dalam pandangan Allah dari padaformalitas pakaian yang menutup tubuh belaka.8

c. Fatwa tanggal 30 Januari 2017Fatwa ini dilatari dari pertanyaan muslimah Mesir yang menetap di

Jerman dan Inggris. Meski berlatar belakang pendidikan umum, mustaftitelah memakai jilbab selama 24 tahun sejak berusia 16 tahun atasdorongan para syaikh sebagai suatu kewajiban. Ironisnya mustafti masihtidak paham kenapa ia harus menutup kepala, sedangkan laki-laki tidakwajib dan dapat menjalani kehidupan normal. Untuk membesarkan hati,mustafti beranggapan bahwa kewajiban memakai jilbab merupakanbentuk pengabdian kepada Tuhan dengan mengorbankan kehendakpribadi agar mendapat penghargaan dari-Nya. Namun jawaban ini jugabelum memuaskan mustafti sehingga ia terus mencari pendapat lain yangberbeda.

Kerja keras mustafti dalam mendapatkan pekerjaan di perusahaanJerman dan Inggris dilatari oleh perjuangan mempertahankan jilbab.

8Khaled M Abou el Fadl, On Hijab (The Hair-covering of Women)UPDATED, https://www.searchforbeauty.org/2016/01/02/fatwa-on-hijab-the-hair-covering-of-women/

Page 167: kontekstualisasi hukum islam

Kontekstualisasi Hukum Islam

154

Namun setelah pekerjaan diperoleh mustafti masih merasa berbeda ditempat kerja, meskipun teman kerjanya tidak mempersoalkan jilbab yangdikenakannya. Mustafti selalu berharap dapat hidup normal seperti oranglain tanpa label apapun. Kondisi ini menghadapkan mustafti pada duapilihan yaitu antara mentaati perintah Tuhan dengan memakai jilbab ataumengikuti harapan mustafti menjadi orang normal. Meski suami dankeluarga kecilnya mendukung, namun mustafti masih belum merasanyaman jika harus melepas jilbab. Terbukti setelah mustafti melepasjilbab beberapa hari sebelumnya, ia merasa sedih dan merasa berdosaserta tidak mengenali dirinya sendiri. Mustafti merasa sudah menjauh dariAllah karena berbuat dosa. Apakah yang dilakukannya ini salah?Akankah pengabdiannya selama 24 tahun dengan berjilbab akan hilangbegitu saja?

Dilema ini pada akhirnya memperkuat usaha mustafti dalammencari pendapat lain terkait jilbab. Di awal pencarian mustafti hanyamenemukan pendapat yang menguatkan kewajiban jilbab dari para ulama(ahl al-dhikr), di antaranya Ali Gomaa yang mengatakan bahwa hijabmerupakan suatu kewajiban dan orang yang mengingkarinya akan dicapkafir. Pernyataan ini semakin membuat hati mustafti menjadi gundahgulana antara keinginan hidup normal dengan kewajiban hijab. Namunsetelah menemukan fatwa Abou el Fadl tentang hijab, keinginan mustaftikembali menguat. Kepada Abou el Fadl mustafti meminta argumensyariat yang lebih kuat untuk memantapkan keputusannya bahwa melepashijab tidaklah salah. Keberadaan argumen ini sangat berguna dalammembebaskan hatinya dari rasa bersalah dan berdosa kepada Allah sertakeluarga besarnya.

Fatwa diawali Abou el Fadl dengan menjelaskan tentang tugas danotoritas ahl al-dhikr. Tugas mereka hanya memberi nasehat dan tidakpunya wewenang yang lebih untuk mewakili perintah Allah. Meskisemua ulama sepakat atas urgensi ijtihad, namun dalam kenyataannyabanyak ulama yang takut melakukannya jika hasil ijtihadnya menentangarus utama. Mereka takut akan dihujat dan dikucilkan karena ijtihad yangdilakukan. Akhirnya mereka membiarkan rasa tanggung jawabnyaterlepas sehingga diambil alih oleh orang-orang yang tidak memilikikapasitas berijtihad yang dengan mudahnya berfatwa tanpa menahan diri.Hal ini seperti yang dilakukan oleh Dr Sa’aduddin el Helaly dan DrAdnane Ibrahim yang berfatwa (tentang kewajiban hijab), namun tidakmenjelaskan pokok permasalahan secara eksplisit. Adapun Ali Gomaasaat ini, tidak seperti yang dikenal Abou el Fadl dahulu yang pernahmengatakan bahwa persoalan hijab merupakan bagian dari hukum adat.

Terlepas dari apapun pendapat yang telah dikeluarkan para ulamaterkait hijab, Abou el Fadl meminta mustafti agar jangan khawatir dan

Page 168: kontekstualisasi hukum islam

Fatwa tentang Perempuan dan Persoalan Keluarga

155

bingung. Mustafti harus merenungkan semua pendapat itu denganbertanya kepada hati nurani sebagaimana yang diperintahkan Rasulullahdalam sebuah riwayat hadis. Setelah mustafti meneliti semua pendapatdengan argumen masing-masingnya, mintalah petunjuk Allah. Apapunyang diputuskan oleh hati nurani harus mustafti ikuti, baik keputusan itutetap mempertahankan jilbab karena itulah yang benar ataumelepaskannya. Terakhir mustafti harus berdoa kepada Allah agarmemaafkan keputusan yang telah diambilnya jika ternyata salah, karenaAllah senantiasa menghargai semua upaya dan keputusan manusia (hasilijtihad).9

d. Fatwa tanggal 15 Mei 2017Pada kesempatan ini mustafti meminta konfirmasi terkait beberapa

pernyataan Abou el Fadl di buku And God Knows the Soldiers tentangketidakwajiban hijab. Permintaan konfirmasi ini dilatari karena mustaftitidak menemukan pendapat ulama manapun terkait permasalahantersebut. Mayoritas ulama menganggap diskursus hijab merupakanbagian dari permasalahan agama yang sudah pasti sehingga tidak bolehdidiskusikan lagi. Bahkan bagi orang yang berupaya mengubah hukumkewajiban hijab, akan dikategorikan sebagai orang murtad dan ahli bid’aholeh sebagian ulama.

Mustafti menanyakan sumber referensi yang dipakai Abou el Fadlketika menyatakan bahwa ada minoritas ulama yang mengatakan bahwarambut dan betis perempuan merdeka tidak termasuk aurat. Siapa sajaulama yang mengeluarkan pendapat tersebut? Siapa juga ahli fikih yangmenyatakan bahwa bagi perempuan pekerja diperbolehkan untukmembuka kerudung atau memakai pakaian yang tidak akan menghalangipekerjaannya?

Pertanyaan mustafti ini ditanggapi Abou el Fadl dalam tiga poinberikut;1. Saat mendiskusikan pertanyaan tentang perintah hukum positif, kita

tidak terlibat dalam proses pemotongan angka reduksionis melaluipenghitungan nama. Abou el Fadl menyarankan mustafti agarmembaca dan merenungkan dua karyanya, Speaking in God’s Namedan Reasoning with God, untuk memahami apa yang ia maksud.

2. Mustafti hendaklah mendengarkan lagi keseluruhan ḥalaqah terkaitjilbab yang telah dijelaskan Abou el Fadl dalam durasi 5 jam. Didalam ḥalaqah itu mustafti akan menemukan berbagai sumber dandalil hukum yang dipergunakan Abou el Fadl terkait hijab.

9 Khaled M Abou el Fadl, https://www.searchforbeauty.org/2017/01/30/fatwa-how-can-i-be-sure-that-taking-the-scarf-off-is-not-wrong/

Page 169: kontekstualisasi hukum islam

Kontekstualisasi Hukum Islam

156

3. Diskursus hijab hanya mengenai kaum perempuan sehingga mustaftitidak perlu risau sebagai laki-laki. Namun jika persoalan ini masihmengganggu fikiran, mustafti hendaklah bersikap tawaqquf danmendoakan kaum perempuan yang masih terbelenggu dalam budayadan penafsiran patriarkhi.10

e. Fatwa tanggal 22 Mei 2017Fatwa ini dikeluarkan Abou el Fadl saat bulan Ramadan untuk

menjawab beberapa persoalan yang diajukan mustafti dalam dua emailyang telah dikirimkannya. Mustafti adalah seorang muslimah yangberdomisili di Kanada dan telah berhijab selama 10 tahun. Pada awalberhijab dan menetap di Kanada mustafti tidak merasa terancam ataudilecehkan lantaran hijab yang dikenakannya sebagaimana yang dialamikaum perempuan di daerah minoritas muslim. Namun setelah memilikianak dan bekerja, ia baru merasakan adanya persoalan dan merasaterbebani dengan hijab khususnya saat berinteraksi dengan klien. Meskidemikian pertanyaan-pertanyaan yang akan diajukan mustafti hanyabertujuan untuk meningkatkan pengetahuannya tentang hijab, bukanuntuk alasan lain. Pada email pertama ini mustafti mengajukan limapertanyaan berikut;1. Apa benar kewajiban hijab merupakan hal yang sudah pasti

kebenarannya sehingga tidak pernah dan tidak perlu diperdebatkanlagi oleh para ulama?

2. Apakah dibenarkan menjadikan teks naŞŞ yang tidak jelas sebagaisumber rujukan suatu hukum, sebagaimana yang dilakukan ulamaklasik ketika menjadikan surat al-Nūr ayat 31 sebagai landasan hukumhijab? Jika Allah ingin perempuan menutupi kepala sampai kedadanya, kenapa Alquran memakai lafal perintah “walyaḍribna” yangberarti meninggalkan bagian leher terbuka karena hanya terfokusuntuk menutup dada? Adakah bukti sejarah, sebagaimana klaim paramufassir, yang menyatakan bahwa pada awalnya kedua ujung jilbabyang dikenakan perempuan di masa Rasulullah diletakkan kebelakang. Namun setelah ayat hijab turun, ujung jilbab itu merekapindahkan ke depan guna menutup leher dan dadanya. Di sisi lainbukankah penggunaan lafal “min”sebelum khimar lebih tepat daripada lafal “bi” jika ayat tersebut ditujukan Allah untuk membungkusdengan penutup kepala? Namun ternyata Allah mengunakan lafal bi,sehingga perintah tersebut lebih tepat dimaknai dengan menutup dada,bukan memperpanjang atau membungkusnya. Apakah penafsiranulama tentang lafal zἷnah (muka, dua telapak tangan, cincin, dan lain-

10Khaled M Abou el Fadl, https://www.searchforbeauty.org/2017/05/15/question-on-the-evidence-of-hijab-from-a-brother/

Page 170: kontekstualisasi hukum islam

Fatwa tentang Perempuan dan Persoalan Keluarga

157

lain) dapat dibenarkan mengingat mereka semua laki-laki yang tidakmengetahui tentang perhiasan perempuan? Menurut mustafti perintahayat untuk menutup dada agar perhiasannya tidak nampak, lebih tepatdipahami dengan makna kalung yang terletak di leher. Makna inididukung dengan argumen bahwa kalung merupakan jenis perhiasanyang menarik perhatian ke payudara sehingga sangat layak untukditutupi. Apa makna ini dibenarkan?

3. Jika bukti tentang khimar yang dipahami para ulama sebagai penutupkepala atau wajah tidak ada, dari mana kesimpulam tersebut merekaambil? Apakah ada bukti sejarah yang menjelaskan bahwa jilbabdimulai dari kepala dan merupakan jenis pakaian yang sama dipahamisemua orang?

4. Adakah hadis otentik yang menegaskan kalau perempuan wajibmenutup kepalanya di tempat umum, atau tentang tindakan kaumperempuan yang dengan segera menutup kepalanya setelah ayat hijabditurunkan? Mungkinkah hadis tentang perempuan berhijab sepertigagak hitam itu dikemukakan sahabat saat malam hari?

5. Dapatkah lafal zἷnah ditafsirkan secara umum, termasuk payudara danrambut?

Pada email kedua mustafti menyatakan hasil penelitiannyaterhadap pendapat Abou el Fadl terkait tidak kuatnya bukti hijab yangdikemukakan para ulama dalam mewajibkan hijab. Dan ternyata sebagianbesar argumen Abou el Fadl tentang hijab bersifat akurat danmencerahkan mustafti. Jadi apa alasan yang tepat ketika menyatakankalau argumen yang dipakai para ulama selama bertahun-tahun tentangkewajiban hijab adalah salah?

Kedua email ini dihimpun Abou el Fadl sekaligus dalam satutanggapan. Fatwa diawali dengan mengkonfirmasi pertanyaan yangdiajukan mustafti. Dikarenakan keterbatasan sarana, Abou el Fadl tidakdapat menjawab semua pertanyaan tersebut secara rinci. Jawaban rincidapat mustafti peroleh melalui edisi revisi buku And God Knows theSoldier yang akan dirilis tahun mendatang. Berikut ini lima tanggapanAbou el Fadl terkait pertanyaan mustafti di email pertama.1. Fatwa hijab Abou el Fadl yang diupdate tanggal 31-12-2016 ditujukan

untuk muslimah yang menetap di daerah mayoritas non-muslim.Fatwa ini tidak dapat diterapkan ke daerah lain di mana kondisi sosialkaum muslimin dan Islam berbeda, termasuk wilayah mayoritasmuslim.

2. Dalam kajian fikih terdapat urutan tugas yang harus dipahami ulamayaitu konflik dan prioritas. Terdapat kewajiban tegas dalam naŞŞ yang

Page 171: kontekstualisasi hukum islam

Kontekstualisasi Hukum Islam

158

melarang muslim untuk mencelakai dirinya sendiri.11 Di sisi lain adajuga kewajiban tegas di mana muslim harus menjadi perwakilan Islamyang baik di manapun ia berada khususnya di wilayah mayoritas non-muslim. Jika hijab dipahami sebagai kewajiban mutlak, makapertimbangan atas prioritas saat terjadi konflik harus diutamakan.Semua orang tidak akan menyukai peraturan ketat yang ditetapkansecara tergesa-gesa, tanpa pertimbangan apapun. Menetapkankewajiban hijab di wilayah mayoritas non-muslim harusdiseimbangkan dengan keselamatan muslimah yang akanmengenakannya dan perannya sebagai perwakilan Islam di wilayahtersebut. Hal ini tentu akan berbeda dengan muslimah pengungsi dariTimur Tengah yang aktifitas kesehariannya hanya berada di rumahatau daerah pinggiran tempat komunitasnya berada. Mereka tidakdapat berkomunikasi dan berinteraksi dengan penduduk setempatkarena keterbatasan bahasa sehingga tidak mampu mendapatpekerjaan. Kewajiban hijab yang dibebankan pada muslimah ini tidakakan atau jarang menimbulkan konflik dari pada muslimah yangmemiliki pekerjaan secara profesional. Dalam menjalanikehidupannya, baik di lingkungan rumah maupun kantor, muslimahtersebut akan selalu berinteraksi dengan non-muslim sehingga sedikitbanyaknya persoalan hijab akan membebani dirinya.

3. Tidaklah benar jika diskursus hijab merupakan persoalan penting yangtelah diperjuangkan ulama sejak awal Islam. Faktanya dapat dilihatpada literatur-literatur fikih di mana tidak ada satupun ulama yangmenempatkan pembahasan hijab di dalam karyanya. Tema hijab barudibahas para ulama belakangan dalam buku-buku adab yang mengkajikebiasaan sosial dan ditulis oleh orang-orang yang tidak memilikipengetahuan fikih secara mendalam. Mereka mengangkat isu auratperempuan dalam salat untuk kemudian dikembangkan dalam aktifitassosialnya. Padahal sebenarnya aturan aurat dalam salat yangmerupakan aktifitas ibadah kepada Allah sangat berbeda denganmuamalah yang berupa interaksi sosial dengan sesama manusia.Kewajiban ini dipertegas lagi oleh kitab-kitab tafsir saat membahasperintah hijab yang diwajibkan kepada para isteri Rasulullah di tahunterakhir kehidupannya. Padahal semua ulama sepakat menyatakanbahwa aturan yang dikhususkan bagi keluarga Rasulullah, tidak dapatdigeneralisasi kepada umat Islam lainnya. Artinya menutup auratdengan hijab pada ayat itu dikhususkan bagi para isteri Rasulullahkarena mereka merupakan panutan, sehingga tidak diwajibkan bagi

11“…Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu kepada kebinasaan…” QSal-Baqarah: 195)

Page 172: kontekstualisasi hukum islam

Fatwa tentang Perempuan dan Persoalan Keluarga

159

muslimah lainnya. Akhirnya Abou el Fadl menyatakan bahwa wacanaaurat dalam salat yang telah ditetapkan ulama klasik jauh lebihbernuansa dan beragam dari pada yang ditetapkan para ulama setelahmereka.

4. Kendatipun para ulama telah menetapkan kewajiban hijab di masalalu, namun penerapannya untuk saat ini harus dipertimbangkan lagi.Hal ini dikarenakan hukum Allah akan senantiasa hidup danberkembang sesuai kondisi dan zaman di mana manusia hidup.Merupakan kesalahan moral jika persoalan muamalah (hijab)dijadikan sebagai bagian penting dari agama dan bersifat mutlak.

5. Kewajiban normatif atas setiap muslim adalah keimanan yang harusdipatuhi sesuai tujuannya. Agar iman tersebut berkembang, hukumharus bersifat menenangkan dan menguatkan hati. Namun jika hukummenyebabkan konflik di dalam hati dan fikiran, maka keimanan akanmelemah sehingga membuat keberadaan muslim sebagai perwakilanIslam menjadi tidak efektif. Dengan demikian kewajiban hijab bagimuslimah yang ditetapkan para ulama, tidaklah mencerminkan ruhsyariat serta jalan menuju Tuhan dan keindahan. Fatwa ini diakhiriAbou el Fadl dengan perkataan bahwa hanya Allah yang lebih tahusemua persoalan.12

f. Fatwa tanggal 8 Juni 2017Masih di bulan Ramadan, fatwa ini dilatari oleh pertanyaan terkait

keberadaan hijab yang mengakibatkan depresi, gelisah dan perasaan tidakaman terhadap pemakainya. Mustafti menanyakan bagaimana tanggapanpara ulama tentang kondisi tersebut? Pertanyaan ini dilatari mustaftikarena aturan hijab senantiasa diiringi dengan aturan lainnya sehinggamembatasi gaya hidup perempuan dan dirasa akan memberatkannya.

Abou el Fadl mengatakan bahwa pada dasarnya terdapat tujuhprinsip yang akan memandu muslim menuju jalan syariat. Berikut iniketujuh prinsip tersebut:1. Seluruh amalan tergantung pada niat atau kesengajaan. Jika niat

seseorang dalam salat ditujukan kepada selain Allah maka salatnyatidak sah. Dalam banyak ayat dinyatakan bahwa Allah palingmengetahui apa yang ada di dalam hati manusia dan berhak memintapertanggungjawabannya. Oleh karena itu, hendaklah manusia berdoapada Allah agar senantiasa memurnikan dan menguatkan niatsehingga tumbuh menjadi kesadaran.

2. Banyak muslimah berhijab yang dilatari oleh kebiasaan atau prakteksosial dan banyak juga yang berhijab tapi tidak menjaga akhlaknya.

12Khaled M Abou el Fadl, https://www.searchforbeauty.org/2017/06/05/on-the-hijab-in-our-day-and-age-and-addressing-past-scholarly-opinions-on-the-hijab/

Page 173: kontekstualisasi hukum islam

Kontekstualisasi Hukum Islam

160

Apapun yang mereka niatkan dan amalkan selama hidup di duniatidak akan terlepas dari pertanggungjawaban terhadap Allah kelak.

3. Dalam menjalankan kewajiban berhijab dengan sungguh-sungguh,terkadang seorang muslimah harus berjuang dengan segenapkemampuannya. Dari sini muncul pertanyaan apakah dibenarkanmengorbankan tujuan yang lebih tinggi untuk mewujudkan tujuanyang lebih rendah? Artinya apakah pantas muslimah bersikap danberkata kasar demi memperjuangkan hijab yang dikenakannya? Sikapini sangat tidak baik karena akan melahirkan sifat munafik secarasistemik. Abou el Fadl menyarankan orang ini untuk merenungkanlagi niatnya dan melaksanakan hukum Tuhan yang diyakininya ataumengakui kealpaannya dalam mematuhi hukum Tuhan tersebutdengan berdoa dan minta pengampunan.

4. Terhadap muslimah yang berhijab dengan keyakinan namun masihmerasa tertekan, malu, dan cemas, hendaklah ia menanyai dirinyaapakah semua perasaan itu akan menghalanginya dalammengembangkan keimanan dan potensi diri, menghalangi beribadah,serta menyebabkan sikap minder? Jika jawabannya positif maka Abouel Fadl mengajak muslimah tersebut untuk menyadari bahwakewajiban dasar terhadap tubuh adalah sikap rendah hati. Selamasikap ini dipatuhi, tindakan pengorbanan sesuatu yang lebih tinggidemi hal yang lebih rendah dari adab tidak boleh dibiarkan. Artinyajika perempuan yakin atas wajibnya berhijab, namun ia merasa adaketidakadilan di dalamnya, maka lebih baik ia berfokus padamematuhi kewajiban yang lebih tinggi sambil berdoa kepada Allahagar diberi kekuatan dan ampunan karena tidak dapat berhijab.

5. Jika seorang perempuan yakin bahwa jilbab adalah wajib, namunniatnya bermasalah, atau mengganggu kesehatan mentalnya,kesejahteraannya dan menghalangi keadilan terhadap orang lain,berarti telah terjadi kesalahan dalam menerapkan tahapan hukum.Faktor inilah yang menyebabkan Islam tidak menetapkan kewajibanhukum dan akhlak pada satu waktu, namun diturunkan secarabertahap. Ketika satu kewajiban sudah dikuasai oleh para sahabatdengan baik, maka muncul kewajiban hukum lainnya sampaiseterusnya. Hal ini sangat efektif dalam mengajarkan kebaikan danmenghindari kemungkinan munculnya kemunafikan dalam hati.Terhadap perempuan dalam kategori ini, hendaklah berfokus dulumenjadi muslimah terbaik sesuai kemampuannya sambil berdoa atasampunan terhadap hal-hal yang tidak dapat dikerjakannya. Metode inisangat berguna dalam kebaikan, akhlak, serta kewajiban manusiakepada Allah.

Page 174: kontekstualisasi hukum islam

Fatwa tentang Perempuan dan Persoalan Keluarga

161

6. Terhadap perempuan yang tidak meyakini atau meragukan kewajibanhijab atau menolak kewajibannya, berarti ada ketidakseimbangan padajiwanya dalam melaksanakan suatu perbuatan yang tidak diyakininyaberasal dari Tuhan. Sikap ini sangat sembrono dan paradoks.

7. Abou el Fadl menambahkan bahwa sikap jujur dan tulus dalam setiapperbuatan menunjukkan kebaikan seseorang. Banyak muslim yangmengorbankan dua sikap ini lantaran takut bertentangan denganpendapat mayoritas atau komunitas tertentu. Ada juga yangmembiarkan dirinya terombang-ambing dalam persoalan akhlak,namun melupakan kewajiban utamanya sebagai muslim. Terhadapmuslimah yang berhijab dengan penuh keyakinan dan kesadaran danmuslimah yang tidak berhijab namun penuh integritas dan kejujuran,Abou el Fadl sangat menghormati keputusan mereka dan akanmembela atas apa yang mereka yakini sampai akhir. Niat merupakanpenentu segala sesuatu, meski dipandang tidak sempurna oleh oranglain. Hanya Allah yang mengetahui segala sesuatu yang terbaik danbenar. Semoga Allah mengampuni seluruh kesalahan manusia danmenerima manusia dengan segala anugerah-Nya.13

2. Fatwa al-QaraḍāwiAl-Qaraḍāwi telah mengeluarkan tiga fatwa terkait hijab. Berikut ini

akan dikemukakan ketiga fatwa tersebut.a. Fatwa Menutup Rambut Perempuan

Fatwa ini dilatari oleh pertanyaan terkait status rambut perempuanapakah termasuk bagian aurat yang harus ditutupi atau tidak? Mustaftimenanyakan ini karena telah terjadi perselisihan antara dirinya denganteman-temannya yang menyatakan bahwa menutup rambut tidaklah wajibkarena tidak ada dalil yang menegaskannya.

Al-Qaraḍāwi memulai fatwa dengan keprihatinannya atas upayaperang pemikiran (qhazw al-fikr) yang mengubah persoalan wajib atauijmā’ qaṭ’i menjadi perdebatan sehingga yang muḥkamāt menjadimutashābihāt. Padahal seluruh ulama dari berbagai kalangan semenjakdahulu sampai sekarang sepakat (ijmā’) menyatakan bahwa rambutperempuan merupakan perhiasan yang harus ditutup. Landasankesepakatan ini adalah ayat berikut,

ن ی د ب ی ال و ن ھ ج و ر ف ن ظ ف ح ی و ن ھ ر ا ص ب أ ن م ن ض ض غ ی ات نم ؤ م ل ل ل ق و ىل ع ن ھ ر م خ ب ن ب ر ض ی ل ا و ھ ن م ر ھ اظ م ال إ ن ھ ت ن ی ز )31:رو الن ...(ن ھ ب و ی ج

13Khaled M Abou el Fadl, https://www.searchforbeauty.org/2017/06/08/fatwa-on-addressing-hijab-causing-depression-or-serious-emotional-disturbance/

Page 175: kontekstualisasi hukum islam

Kontekstualisasi Hukum Islam

162

"Katakanlah kepada perempuan yang beriman, 'hendaklah merekamenahan pandangannya dan memelihara kemaluannya, danjanganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali yang biasatampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkankerudung ke dadanya…”.(QS al-Nūr: 31)Ayat ini ditafsirkan al-Qaraḍāwi melalui dua hal berikut;Pertama, tidak ada seorang ulamapun yang memasukkan rambut

sebagai perhiasan yang biasa tampak termasuk juga kaum rasionalis. Al-Qurṭubi (w. 1273 M) menyatakan bahwa larangan menampakkanperhiasan ini ditujukan agar tidak menimbulkan fitnah. Adapun terkaitperhiasan perempuan yang biasa nampak ditafsirkan para ulama denganberagam makna. Ibn Mas’ūd (w. 650 M) menafsirkannya denganpakaian. Ibn Jubair (w. 714 M) berpendapat pakaian dan wajah. Sa'ἷd binJubair (w. 714 M), Aṭā' (w. 732 M), dan al-Awzā'i (w. 774 M)menyebutkan wajah, kedua telapak tangan, dan pakaian. Ibnu Abbās (w.687 M), Qatādah (w. 54 H), dan al-Miswar bin Makramahmenafsirkannya dengan celak, gelang, inai kuku sampai separuh lengan,anting-anting, dan cincin. Di sisi lain Ibn ‘Aṭiyyah (w. 542 H)menafsirkan perhiasan yang biasa nampak dengan sesuatu yang sangatdibutuhkan perempuan dan sulit dihindari sehingga diperbolehkan untukdipelihatkan karena adanya kebutuhan untuk bergerak. Al-Qurṭubimenambahkan perhiasan yang dapat diperlihatkan menurutnya adalahwajah dan dua telapak tangan yang disamakan dengan bagian tubuhperempuan yang terlihat ketika salat dan haji. Pendapat ini diperkuatriwayat Abū Dāud dari ‘Āishah bahwa Asmā’ binti Abu Bakar pernahmenemui Rasulullah SAW dengan pakaian yang tipis. Rasulullahberpaling sambil berkata; "Hai Asma’, sesungguhnya perempuan jikatelah haid (dewasa), maka tidak boleh kelihatan darinya kecuali ini danini." Rasulullah menunjuk pada wajah dan telapak tangannya. Pendapatterakhir ini yang paling kuat dan lebih berhati-hati dalam pandangan al-Qaraḍāwi demi menjaga kebaikan manusia. Jadi rambut termasukketegori perhiasan yang harus ditutup dalam kondisi apapun.

Kedua, Allah memerintahkan para mukminat untuk menutupkankerudung sampai ke dada mereka. Lafal juyūb dipahami dengan belahandada yang biasanya tidak ditutupi oleh pakaian, sedangkan lafal khumurmerupakan bentuk jamak dari khimar yang diartikan dalam banyakreferensi dengan sesuatu yang dipakai perempuan untuk menutup kepala.Pemaknaan umum ini melahirkan bantahan tentang rambut. Padahalmakna umum tidak sama dengan makna khusus yang dimaksud ayat diatas. Jika ada lafal yang bermakna lebih dari satu, maka indikasi dankonteks kalimatlah yang membatasi makna yang dimaksud. Jadimengartikan khimar dengan penutup kepala sangat tepat karena didukung

Page 176: kontekstualisasi hukum islam

Fatwa tentang Perempuan dan Persoalan Keluarga

163

banyak riwayat sahih. Di antaranya tindakan perempuan Muhajirin danAnsar yang menutup kepala saat beribadah.14

b. Fatwa Seputar Cadar dan HijabFatwa ini juga dilatari oleh perdebatan mustafti terkait wajah

perempuan sebagai aurat. Dikarenakan tidak menemukan pendapat yangsesuai akhirnya persoalan ini ditanyakan kepada al-Qaraḍāwi.

Al-Qaraḍāwi mengatakan bahwa prinsip Islam terkait interaksilaki-laki dan perempuan didasari atas kaidah sadd al-dharἷ’ah berupatindakan yang mencegah kebebasan sahwat demi memelihara harga diri.Jadi tindakan mengumbar aurat dan berduaan di tempat sunyi tidakdibenarkan. Namun Islam juga memberi kemudahan untuk memenuhikebutuhan hidup dan pergaulan, seperti memperlihatkan perhiasan yangbiasa nampak. Kebolehan ini diiringi dengan perintah menundukkanpandangan demi menjaga kehormatan. Hal ini sebagaimana yangditegaskan Allah dalam surat al-Nūr ayat 30-31 di atas.

Terdapat beragam makna perhiasan yang biasa nampak darikalangan mufassir. Ibn‘Abbās (w. 687 M) menafsirkan dengan telapaktangan, cincin, dan wajah. Ibn‘Umar (w. 693 M) mengartikan denganwajah dan kedua telapak tangan. Anas ibn Mālik (w. 709 M) menafsirkandengan telapak tangan dan cincin. Ibn Ḥazm (w. 1064 M) mengatakanbahwa semua riwayat ini adalah sah dari mereka. Begitu juga riwayat dari‘Āishah (w. 678 M) dan dari para tabiin. 15 Perbedaan penafsiran inimengakibatkan berbedanya para imam mazhab dalam membatasi auratperempuan, sebagaimana yang dikemukakan Imam al-Shaukāni (w. 1834M) dalam kitab Nail al-Auṭār. Al-Hādi dan al-Qāsim (w. 725 M) dalam

14Riwayat lain berasal dari al-Bukhāri dari ‘Āishah yang berkata, ‘SemogaAllah merahmati perempuan Muhajirin yang telah merobek kain mereka untukdijadikan kerudung ketika ayat wal yaḍribna bikhumurihinna ‘ala juyūbihinnaturun. ‘Āishah pernah didatangi ḤafŞah binti ‘Abd al-Raḥmān yang memakaipenutup kepala tapi membuka bagian leher dan sekitarnya. ‘Aishah langsungmerobek penutup kepalanya dan berkata bahwa pundak juga harus ditutup. Beranjakdari dua riwayat ini al-Qurṭubi mengatakan bahwa sebab turun ayat ini dilatari olehperilaku kaum perempuan yang melabuhkan kerudung di punggung sehinggamemperlihatkan leher, telinga, dan tengkuk. Akhirnya Allah memerintahkan merekauntuk menutupi dada dengan kerudung. Lihat Yūsuf al-Qaraḍāwi, Min Hady al-Islām Fatāwā Mu’āŞirah, Juz I. (Kairo: Dār al-Qalm, 2005), h. 453-455.

15 ‘Āishah, Qatādah dan sahabat lain menafsirkan dua gelang sebagaiperhiasan yang biasa nampak sehingga sebagian lengan ada yang dikecualikan,meski batasannya masih diperdebatkan. Ibn Mas’ūd dan al-Nakha’i menafsirkannyadengan selendang dan pakaian yang biasa terlihat karena tidak mungkin dapatdisembunyikan. Lihat Yūsuf al-Qaraḍāwi, al-Ḥalāl wa al-Ḥarām fἷ al-Islām, (Kairo:Maktabah Wahbah, 1997), h. 140.

Page 177: kontekstualisasi hukum islam

Kontekstualisasi Hukum Islam

164

satu pendapatnya, Abū Ḥanἷfah (w. 767 M) pada satu dari dua riwayat,dan Imam Mālik (w. 795 M) mengatakan bahwa aurat perempuan adalahseluruh tubuh kecuali wajah dan dua telapak tangan. Al-Qāsim dalamsatu pendapat, Abū Ḥanἷfah dalam satu riwayat, Ath-Thauri (w. 778 M),dan Ibn Abbās menambahkan dua telapak kaki dan gelang kaki sebagaibagian tubuh non-aurat selain wajah dan telapak tangan. SementaraAḥmad ibn Ḥanbal (w. 855 M) dan Dāud al-Zāhiri (w. 270 H)mengatakan seluruh tubuh perempuan kecuali wajah adalah aurat.16

Adapun maksud menahan pandangan menurut al-Qaraḍāwi bukanberupa menundukkan kepala atau memejamkan mata, namunmenghindari memandang suatu fitnah yang merangsang. Jadi pandanganlaki-laki tidak ditujukan untuk melihat aurat perempuan dan tidakbersyahwat. Aturan yang sama juga diberlakukan terhadap perempuanketika melihat laki-laki. Hal ini didasari pada riwayat Aḥmad dari‘Āishah saat melihat orang-orang Ḥabshi pada hari raya yang bermainanggar di sebelah rumahnya. Saat itu Rasul menundukkan pundaknyaagar ‘Āishah dapat menonton pertandingan tersebut sampai puas.

Sebagian ulama Shāfi'iyyah berpendapat bahwa laki-laki tidakboleh melihat perempuan dan perempuan tidak boleh melihat laki-laki.Pendapat ini didasari pada riwayat al-Tirmidhi (w. 892 M) dari dua isteriRasul, Ummu Salamah (w. 680 M) dan Maimūnah (w.673 M), saatdisuruh Rasulullah saw untuk berhijab dari ‘Abdullah ibn Ummi Maktūm(l. 636 M). Lalu keduanya berkata kepada Rasul, ‘Bukankah dia tunanetra sehingga tidak dapat melihat kami?’ Rasul balik bertanya, ‘Apakah

16Hanya pendapat tidak dikenal yang menganggap wajah sebagai aurat. Ibn‘Abbās, Ibn ‘Umar, para sahabat, tabiin, dan para imam mengatakan bahwa petunjuknaŞŞ dan athar mengindikasikan kalau wajah dan kedua telapak tangan bukan aurat.Ibnu Ḥazm juga memiliki pemahaman yang sama dengan mayoritas ulama. Selainberdalih pada ayat “…dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung kedadanya ...”, Ibn Ḥazm mendasarinya dengan sebuah riwayat al-Bukhāri dari Ibn‘Abbās tentang Rasulullah yang menasehati kaum muslimah setelah melaksanakansalat ‘id. Ketika melemparkan uang, tangan para perempuan terlihat saat itusehingga dipahami tidak termasuk aurat. Sebagian ulama hadis dan fikih mendasaripendapat mereka dengan riwayat al-Bukhāri dan Muslim serta AŞḥāb al- Sunan dariIbn ‘Abbās tentang tindakan Rasul yang memalingkan wajah Faḍl ibn ‘Abbās saatmelihat perempuan cantik dari Khath’am yang minta fatwa Rasulullah di waktu hajiWadā'. Tindakan Rasul yang tidak menyuruh perempuan itu untuk menutupwajahnya mengindikasikan bahwa selama terhindar dari fitnah, perempuan bolehmenampakkan wajahnya. Peristiwa ini terjadi setelah turunnya ayat hijab karena hajiWadā' terjadi pada tahun kesepuluh hijriah, sedangkan ayat hijab turun pada tahunkelima hijriah. Lihat Yūsuf al-Qaraḍāwi, Min Hady al-Islām Fatāwā Mu’āŞirah, Juz.I, h. 430-431.

Page 178: kontekstualisasi hukum islam

Fatwa tentang Perempuan dan Persoalan Keluarga

165

kamu berdua juga tuna netra? Bukankah kamu berdua dapat melihat?"Riwayat ini memiliki kecacatan pada sanad dan dalālahnya sehinggatidak dapat dijadikan hujjah. Namun ada beberapa riwayat sahih lainnyayang membolehkan melihat lawan jenis. Di antaranya hadis dari Fāṭimahbinti Qais yang pernah diperintahkan Rasulullah untuk beriddah di rumah‘Abdullah ibn Ummi Maktūm seraya berkata, “Sesungguhnya dia (IbnUmmi Maktūm) tuna netra, kamu dapat menaruh bajumu di sisinya”. IbnḤajar (w. 1449 M) berkata, "Sesungguhnya perintah berhijab dari IbnUmmi Maktūm ini dilatari oleh kemungkinan ada bagian tubuhnya yangterlihat tanpa disadarinya karena kebutaannya. Selain itu kebanyakanorang Arab biasanya tidak memakai celana.

Terkait dua riwayat di atas, al-Qaraḍāwi mengambil pendapat AbuDāud (w.89 M) dengan menetapkan riwayat Ummu Salamah danMaimūnah sebagai pengkhususan kepada para isteri Rasulullah,sedangkan riwayat Fāṭimah binti Qais ditujukan kepada kaum perempuanlainnya. Pemilahan ini dianggap al-Qaraḍāwi lebih tepat karenakekhususan yang dimiliki para isteri Rasulullah. Jika mereka bertindakkeji maka akan diazab Allah dua kali lipat dan jika berbuat baik makamereka juga akan mendapat pahala dua kali lipat. Ibn Ḥajar juga setujudengan pendapat ini sebagaimana penegasan Allah dalam sebuah ayatberikut yang artinya, “Hai para isteri Nabi, kamu sekalian tidaklah (sama)seperti perempuan yang lain..." (al-Aḥzāb: 32).

Selanjutnya al-Qaraḍāwi menyinggung persoalan kebiasaanberhijab yang berlebihan (cadar). Menurutnya hal itu merupakan tindakpreventif yang tidak ada dasarnya dari Islam. Pada prinsipnya mayoritasumat Islam sepakat tentang bolehnya membuka wajah dan telapak tanganperempuan ketika melaksanakan salat, haji dan umrah, serta keikutsertaankaum perempuan saat perang di masa Rasulullah. Bahkan mayoritasulama mengharamkan perempuan menutup wajahnya saat ihram. Terkaithal ini terdapat fatwa Ibn Āqil al-Ḥanbali (w. 1119 M) yang menyatakanbahwa membuka wajah merupakan syiar ihram yang ditetapkan syariatsehingga tidak dapat dihapus dengan sesuatu yang baru. Tidak dianggapbidah jika syariat memerintahkan perempuan membuka wajahnya saatihram sembari menyuruh laki-laki menahan pandangan.17

Al-Qaraḍāwi menambahkan bahwa kebolehan perempuan untukmenampakkan perhiasannya pada surat al-Nūr ayat 31 terbatas pada duabelas laki-laki. Namun kebolehan ini hanya terbatas pada perhiasan yangtidak tersembuyi yaitu telinga, leher, rambut, dada, tangan, dan betis.Adapun bagian tubuh selain itu tetap terlarang diperlihatkan pada laki-

17Yūsuf al-Qaraḍāwi, Min Hady al-Islām Fatāwā Mu’āŞirah, Juz. I, h. 429-433.

Page 179: kontekstualisasi hukum islam

Kontekstualisasi Hukum Islam

166

laki dan perempuan kecuali suami. Pendapat ini lebih mendekatikebenaran dan disetujui mayoritas ulama. Oleh karena itu, Allahmemerintahkan muslimah untuk memakai jilbab saat keluar rumah agarterlihat berbeda dari perempuan kafir dan perempuan tuna susila.Sebagaimana ditegaskan dalam ayat berikut,

ی ن م ن ھ ی ل ع ن ی ن د ی ن ی ن م ؤ لم ا اء س ن و ك ات نب و ك اج و ز أل ل ق ى ب ا الن ھ ی أا م ی ح ا ر ر و ف غ هللا ان ك و ن ی ذ ؤ ی ال ف ن ف ر ع ی ن أ ىنأد ك ال ذ ن ھ ب ی ب ال ج )59: اب ز ح األ (

“Hai Nabi, katakanlah kepada para isteri, anak-anak perempuanmu,dan para isteri orang mukmin hendaklah mereka mengulurkanjilbabnya (ke seluruh tubuh). Hal itu agar mereka lebih mudahdikenal dan tidak diganggu. Dan Allah Maha Pengampun lagiMaha Penyayang”. (QS al-Ahzab: 59)Sebelum ayat ini turun, saat keluar rumah kaum perempuan

jahiliyah memperlihatkan sebagian kecantikan tubuh mereka seperti dada,rambut, dan leher. Hal ini bertujuan agar mereka digoda oleh para lelakifasik dan iseng. Perintah berjilbab pada ayat ini membuat muslimahberbeda dari perempuan jahiliyah. Hal ini dikarenakan jilbab merupakanpakaian lebar seperti baju kurung untuk menutup tubuh perempuan.Dengan jilbab muslimah lebih dikenal sebagai perempuan yangterpelihara (‘afifah) sehingga terhindar dari gangguan kaum lelakimunafik dan hidung belang.

Berdasarkan uraian di atas maka ‘illat yang mendasari kewajibanberhijab adalah agar muslimah tidak menjadi perhatian sehinggaterhindar dari gangguan orang-orang fasik. Namun kewajiban ini dapatdikecualikan pada perempuan tua yang sudah menopause, tidak adakeinginan untuk menikah lagi, dan tidak memiliki nafsu syahwat terhadaplaki-laki.18 Allah memberi kelonggaran dan kebolehan bagi perempuantua untuk menanggalkan sebagian pakaian luar yang biasa nampak sepertikerudung. Rukhsah ini diberikan Allah jika diperlukan saja. Artinyapakaian yang ditanggalkan perempuan tua itu tidak dimaksudkan untukpamer. Terlepas dari rukhsah ini sebenarnya perempuan tua lebih baiktetap menjaga diri dengan pakaian tertutup demi kesempurnaan diri danterhindar dari syubhat. Hal ini sebagaimana ditegaskan dengan lafal

18“Sedangkan (bagi) para perempuan tua yang sudah menopause dan tidakada keinginan menikah (lagi), maka mereka tidak berdosa (lantaran) menanggalkanpakaiannya tanpa bermaksud menampakkan perhiasannya. Berlaku sopan adalahlebih baik bagi mereka. Dan Allah Maha mendengar lagi Maha Bijaksana”. (QS al-Nūr: 60).

Page 180: kontekstualisasi hukum islam

Fatwa tentang Perempuan dan Persoalan Keluarga

167

“...Dan berlaku sopan adalah lebih baik bagi mereka” pada bagian akhirsurat al-Nūr ayat 60.19

c. Fatwa Busana Shar’i bagi MuslimahPermasalahan fatwa dilatari pertanyaan tentang hukum syariat

terkait memakai pakaian mini yang saat ini banyak dikenakan perempuantermasuk kalangan guru.

Menurut al-Qaraḍāwi seharusnya masalah ini tidak perludipertanyakan lagi karena sudah sangat jelas hukumnya. Meski banyakkaum perempuan yang mengenakan pakaian mini, bukan berarti membuathukumnya dapat berubah karena sampai kapanpun keharaman hukumnyaakan selalu berlaku. Kebolehan guru menampakkan perhiasannya dihadapan murid perempuan hanya sebatas kewajaran saja. Namun tetapterlarang pada murid laki-laki. Mode pakaian sekarang yang serba minimmerupakan upaya makar kaum zionis dalam merusak nilai-nilai luhur.Mode berpakaian ini tidak boleh ditiru muslimah yang berbudaya danberadab karena bertentangan dengan perintah Allah dalam surat al-Nūrayat 31.

Ketentuan syariat terkait pakaian muslimah sebenarnya sudahdijelaskan al-Qaraḍāwi di bukunya al-Ḥalāl wa al-Ḥarām fἷ al-Islām.Berikut ini sifat-sifat pakaian bagi kaum muslimah,1. Menutup seluruh tubuh selain wajah dan dua telapak tangan

sebagaimana yang dipahami dari perintah Alquran.2. Tidak tipis dan memperlihatkan bentuk tubuh. Sebagaimana yang

ditegaskan dalam riwayat berikut,

ن ل خ د ی ال ت ال ی م م ت ال ائ م ات ی ار ع ات ی اس ك اء س ن ار الن ل ھ أ ن م 20)رواه مسلم عن ابى ھریرة(ا ھ ح ی ر ن د ج ی ال و ة ن لج ا

“Di antara penduduk neraka adalah perempuan yang berpakaiantapi telanjang, yang jalannya lenggak lenggok, yang merayu,dan dikagumi. Mereka tidak akan masuk surga dan tidak jugadapat mencium baunya”. (HR Muslim dari Abū Hurairah)21

19Yūsuf al-Qaraḍāwi, al-Ḥalāl wa al-Ḥarām fἷ al-Islām,h. 144-145.20Abū al-Ḥusain Muslim ibn al-Ḥajjāj al-Qushairἷ al-Naysabūrἷ, Ṣaḥἷḥ

Muslim, (Beirūt: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2003), h. 846.21Menurut al-Nawawi, prediksi Rasulullah dalam hadis ini merupakan

bagian dari mukjizat kenabian yang telah terbukti saat ini. Dalam hadis iniRasulullah SAW mencela sekelompok perempuan yang dikenal masyarakat lantaranperilaku hina mereka. Ada yang mengatakan bahwa perempuan tersebut hanyamenutup sebagian tubuhnya namun membiarkan bagian tubuh lainnya terbuka. Adajuga yang mengatakan bahwa pakaian yang mereka kenakan sangat tipis sehingga

Page 181: kontekstualisasi hukum islam

Kontekstualisasi Hukum Islam

168

Maksud berpakaian tapi telanjang adalah pakaian yang tipisdan sempit. ‘Āishah pernah memarahi perempuan Bani Tamim saatmengunjungi rumahnya karena memakai pakaian yang sangat tipis.‘Āishah juga pernah memperingatkan seorang pengantin baru yangmemakai kerudung tipis.

3. Tidak membentuk batas tubuh dan tidak menampakkan bagian tubuhyang mengandung fitnah meski tidak tipis. Pakaian ini terlarangkarena dapat merangsang dan membangkitkan nafsu syahwat laki-lakiserta lebih berpotensi dalam menimbulkan fitnah dari pada pakaiantipis.

4. Tidak menyerupai pakaian khusus laki-laki karena perempuan punyajenis pakaian tersendiri. Rasulullah melaknat laki-laki yangmenyerupai perempuan dan begitu juga sebaliknya.22 Hal ini terlarangkarena bertentangan dengan fitrah yang telah ditetapkan Allah padasetiap makhluk dengan jenis kelamin yang berbeda. Perempuan yangmenyerupai laki-laki tidak akan pernah berubah menjadi laki-laki.Begitu juga dengan laki-laki tidak akan pernah menjadi perempuansecara wajar. Jadi hendaklah setiap orang bersikap dan bertindaksesuai gender dan fitrah yang telah ditentukan Allah termasuk dalamhal berpakaian.23

3. Pendapat Para UlamaTerm hijab berasal dari bahasa arab yang berarti dinding atau

penghalang baik yang berbentuk konkrit maupun abstrak. Pada kajiankeislaman term hijab dijadikan istilah yang dipakai dalam beberapabidang keilmuan, di antaranya waris dan tasawuf. Dalam kedua kajian inihijab dipahami sebagai suatu sebab yang menghalangi seseorang dalammendapatkan bagian harta warisan atau terhalangnya seseorangberhubungan langsung dengan Allah karena dosa. Seiring perjalananwaktu term hijab telah berkembang sehingga tidak hanya bermaknapenghalang semata, namun bermakna penutup rambut atau kepala yangdianggap sebagai bagian dari aurat perempuan. Oleh karena itu, diskursushijab tidak dapat dilepaskan dari pembahasan aurat perempuan.

membentuk dan menyerupai lekuk tubuhnya. Lihat Al-Nawawi, Ṣaḥἷḥ Muslim biSharḥ al-Nawawi, Juz. XIV, (Mesir: T.Tp, 1930), Cet. I, h. 110.

22Abū Dāud telah meriwayatkan tiga hadis terkait hal ini secara mawqūfdari ‘Āishah, Abū Hurairah, dan Ibn ‘Abbās. Ketiga riwayat ini menyatakan tentanglaknat Rasulullah terhadap laki-laki yang memakai atau menyerupai pakaianperempuan dan perempuan yang memakai atau menyerupai pakaian laki-laki. LihatImām al-Ḥāfiẓ Abi Dāud Sulaimān ibn al-Ash’ath al-Sijistānἷ, Sunan Abἷ Dāud, Juz.III, (Beirūt: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah,1996), h. 63.

23Yūsuf al-Qaraḍāwi, Min Hady al-Islām Fatāwā Mu’āŞirah, Juz. I, h. 436-440.

Page 182: kontekstualisasi hukum islam

Fatwa tentang Perempuan dan Persoalan Keluarga

169

Menurut para ulama tujuan disyariatkannya hijab adalah untukmenutup bagian tubuh perempuan yang merupakan aurat dari pandanganlaki-laki yang bukan mahram. Feminis Barat memahami hijab sebagaiupaya pengekangan perempuan dalam masyarakat patriarki. Bahkan padaawal abad ke-20, kelompok feminis di Arab pernah mengajukanpermohonan penghapusan kewajiban hijab.24 Selama ini mayoritas ulamamemahami term aurat sebagai bagian tubuh yang harus ditutupi karenadianggap menggairahkan. Akan tetapi jika ditelusuri dalam naŞŞ Alqurandan hadis, lafal aurat tidak ditujukan kepada makna tersebut secara tegas.Dalam Alquran lafal aurat disebut sebanyak empat kali; dua kali padasurat al-Aḥzāb ayat 1325 dan dua kali pada surat al-Nūr ayat 31 dan 58.26

Dari ketiga ayat ini, empat lafal aurat di dalamnya tidak mengarah secarajelas kepada bagian tubuh perempuan. Adapun dalam hadis, lafal auratjuga tidak tegas menunjukkan kepada makna bagian tubuh perempuan.Seperti sebuah riwayat yang dikemukakan al-Tirmidhi bahwa perempuanadalah aurat, jika ia keluar rumah maka setan akan mengawasinya.27 Olehkarena itu, Zaitunah Subhan menyatakan bahwa kajian tentang aurat danpakaian perempuan serta aturan dan norma yang terkait dengan tubuhperempuan jika ditujukan untuk membatasi atau melarang aktifitassosialnya, berarti telah menyalahi Alquran dan hadis serta sejarah Islam

24W. Shadi D, “Muslim Dress in Europe: Debates on The Headscrarf”, inJournal of Islamic Studies, Vol. 16, No.1, (2005), h. 36.

25 “Dan (ingatlah) ketika segolongan di antara mereka berkata, ‘Haipenduduk Yasrib tidak ada tempat bagimu, maka kembalilah’. Dan sebagian darimereka minta izin pada Nabi (untuk pulang) sambil berkata, ‘Sesungguhnya rumah-rumah kami terbuka (‘awrah)’. Padahal sekali-kali rumah itu tidak terbuka (‘awrah),mereka (melakukan itu) tidak lain hanyalah hendak melarikan diri”. (QS al-Aḥzāb:13).

26 “…Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali padasuami, atau ayah, atau mertua, atau anak laki-laki, atau putra dari suami, atausaudara laki-laki, atau putra saudara laki-laki, atau putra saudara perempuan, ataumuslimah, atau budak, atau pelayan laki-laki yang tidak punya keinginan (padaperempuan) atau anak-anak yang belum mengerti aurat perempuan…”. “Hai orang-orang yang beriman hendaklah budak-budak yang kamu miliki dan orang-orangyang belum baligh di antara kamu meminta izinmu (sebanyak) tiga kali yaitusebelum salat subuh, ketika kamu melepaskan pakaian di siang hari, dan setelahsalat Isya’. (Itulah) tiga ‘awrah bagimu…”. (QS al-Nũr: 31 dan 58)

27Terkait dengan riwayat al-Tirmidhi di atas, ada ulama yang menyatakanhadis ini berstatus ḥasan, ada juga yang menyatakan statusnya ḥasan gharἷb, danIbn Ḥibbān menyatakan statusnya Şaḥἷḥ. Namun yang jelas hadis ini bersifat mawqūfkarena berasal dari perkataan dua orang sahabat yaitu ‘Abdullah ibn Mas’ūd dan ibn‘Umar, bukan langsung dari Rasulullah.

Page 183: kontekstualisasi hukum islam

Kontekstualisasi Hukum Islam

170

masa Rasulullah di mana kaum perempuan memiliki peran yang samadengan laki-laki dalam kehidupan sosial.28

Kendatipun tidak ditemukan teks naŞŞ yang secara tegasmenyatakan bahwa bagian tubuh perempuan yang harus ditutup disebutdengan aurat, pada kenyataannya, mayoritas muslim meyakini haltersebut. Keyakinan ini diperkuat dengan banyaknya pendapat yangmenekankan pentingnya perempuan menutup bagian tubuh (aurat)dengan hijab. Mayoritas ulama menyatakan bahwa seseorang harusmenutup auratnya ketika salat jika ia mampu, meski salat itudilaksanakan di tempat gelap secara individu. Berbeda dengan pendapatterkuat ulama Ḥanāfiyyah yang tidak membedakan antara salat di tempatramai atau gelap dan berjamaah atau sendirian. Pada kondisi ini setiapmuslim wajib menutup auratnya saat salat dan tidak diperbolehkantelanjang padahal ada pakaian bersih dan layak saat itu. Berdasarkan halini para ulama sepakat menyatakan bahwa aurat harus ditutup dalamsetiap keadaan, khususnya bagi perempuan, baik di dalam rumah maupundi tempat umum kecuali saat mandi dan buang hajat.29 Dalil yang merekajadikan hujjah di antaranya,

بني ءادم )31:افر ع األ ...(د ج س م ل ك د ن ع م ك ت نی ا ز و ذ خ ی“Hai anak Adam pakailah pakaianmu yang indah ketika(memasuki) masjid...”. (QS. al-A’rāf: 31)Sebuah riwayat ketika Rasulullah didatangi Asmā’ binti Abu Bakr

yang saat itu mengenakan pakaian tipis. Melihat hal itu Rasulullahlangsung menegur Asmā’ dengan mengatakan,

ا ھ ن ى م ر ی ن ا أ ھ ل ح ل ص ت م ل ض ی ح م ال ت غ ل اب ذ إ ة أ ر م ال ن إ اء م س ا أ ی 30)ھ ی ف ك و ھ ھ ج ى و ل إ ار ش أ و (ا ذ ھ ا و ذ ھ ال إ

“Wahai Asma’ sesungguhnya perempuan yang sudah haid, tidakpantas terlihat darinya kecuali ini dan ini. (sambil menunjukkanwajah dan kedua telapak tangannya)”.Menurut ‘Abd al-Raḥmān al-Jaziri kewajiban menutup aurat

ditujukan kepada seluruh mukallaf, baik ketika salat atau di luar salatagar tidak terlihat orang lain yang terlarang melihat aurat termasuk

28Zaitunah Subhan, Menggagas Fiqh Pemberdayaan Perempuan, (Jakarta:el Kahfi, 2008), h. 143-149.

29Wahbah al-Zuhayli, al-Fiqh al-Islām wa Adillatuhu, Juz. I, (Damaskus:Dār al-Fikr, 1997), h. 738-739.

30Imām al-Ḥāfiẓ Abi Dāud Sulaimān ibn al-Ash’ath al-Sijistānἷ, Sunan AbἷDāud, Juz. III, h. 64.

Page 184: kontekstualisasi hukum islam

Fatwa tentang Perempuan dan Persoalan Keluarga

171

dirinya sendiri. Namun kewajiban ini menjadi hilang ketika berada dalamkondisi darurat, seperti ketika berobat yang mengharuskanmemperlihatkan bagian tubuh yang sakit kepada dokter. Termasuk ketikabuang hajat di tempat tertutup dan sendirian sehingga tidak ada orang lainyang melihat. Adapun batas aurat perempuan merdeka di luar salat adalahantara pusar dan lutut jika sedang sendirian, bersama mahram, ataumuslimah lainnya. Adapun selain itu maka batasan auratnya adalahseluruh badan selain wajah dan dua telapak tangan. Oleh karena itu, kaumlelaki haram melihat aurat perempuan baik secara langsung maupun tidaklangsung, termasuk menyentuhnya meski tanpa disertai syahwat.31

Pada umumnya kajian para ulama mazhab tentang aurat selaludikaitkan dengan syarat sah salat. Tidak ditemukan pembahasan atau babkhusus tentang hijab atau aurat dalam kitab-kitab fikih mereka. Beranjakdari pembahasan ulama mazhab ini akhirnya ulama belakanganmemperluas persoalan aurat ke dalam kajian tersendiri yang meliputihukumnya, landasannya, serta batasan dan kriteria penutup aurat. Berikutini akan dikemukakan pendapat para ulama mazhab terkait batasan auratperempuan dalam salat. Menurut pendapat yang muktamad di kalanganulama Ḥanāfiyyah aurat perempuan adalah seluruh tubuh selain wajah,dua telapak tangan, dan dua telapak kaki. Sementara itu ulama Mālikiyahmembagi dua aurat yaitu aurat berat (mughallaẓah) dan ringan(mukhaffafah). Selama aurat berat (selain tangan, kaki, dada, danpunggung yang searah dada) tidak terbuka maka salatnya tetap sahmeskipun makruh namun dianjurkan untuk diulang. Secara garis besaraurat perempuan menurut ulama Mālikiyah adalah seluruh bagian tubuhselain wajah dan dua telapak tangan. Namun jika muncul fitnah makawajah dan dua telapak tangan ini juga wajib ditutup. Aurat perempuandan khuntha menurut ulama Shāfi’iyyah adalah seluruh tubuh selainmuka dan dua telapak tangan karena merupakan bagian dari perhiasanyang biasa nampak. Pendapat ini didasari pada larangan Rasulullahterhadap perempuan yang sedang ihram memakai penutup muka dansarung tangan. Salah satu pendapat di kalangan ulama Ḥanābilahmengatakan bahwa aurat perempuan dewasa adalah seluruh tubuh selainwajah. Namun pendapat lain yang lebih kuat menambahkannya dengandua telapak tangan. Telapak kaki juga termasuk aurat karena harusditutup saat sedang melaksanakan ihram dan salat.32

Pada dua fatwanya, al-Sha’rāwi menyatakan bahwa selama inibanyak perempuan yang salah memahami kalau sudah memakai pakaian

31‘Abd al-Raḥmān al-Jazἷri, Kitāb al-Fiqh ‘alā al-Madhāhib al-Arba’ah,Juz. I, (Beirūt: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2008), h. 153-154.

32Wahbah al-Zuhayli, al-Fiqh al-Islām wa Adillatuhu, Juz. I, h. 745-753.

Page 185: kontekstualisasi hukum islam

Kontekstualisasi Hukum Islam

172

yang menutup tubuh dianggap sudah menutup aurat. Padahal terdapatkriteria khusus yang harus dipenuhi dalam berpakaian. Adapun kriteriapakaian perempuan menurut syariat adalah tidak terbuka, tidaktransparan, dan juga tidak membentuk tubuh. Artinya meski menutupbadan namun tipis sehingga memperlihatkan bentuk tubuh, berarti samasaja dengan tidak berpakaian. Terdapat ungkapan masyarakat tentang halini, ‘Banyak perempuan yang berhias secara berlebihan, seolah-olahmengundang mata kaum lelaki untuk melihatnya. Jika masih gadis dapatdimaklumi tujuannya boleh jadi untuk mencari pasangan. Namun jikasudah tua, apa sebenarnya tujuan mereka melakukan hal itu?’Berdasarkan kenyataan ini maka tujuan Allah ketika memerintahkanperempuan untuk menutup bagian tubuhnya adalah untuk keamananhidupnya. Hal ini sebagaimana yang ditegaskan di akhir ayat 59 surat al-Aḥzāb. 33 Pada kesempatan berbeda al-Sha’rāwi pernah menyatakanbahwa batas aurat perempuan adalah seluruh bagian tubuhnya menurutkesepakatan para ulama dan ada juga ulama yang mengecualikan wajahdan dua telapak tangan. Jadi jika ada perempuan yang menutup rambutdan kedua tangannya tapi membuka kedua kakinya, berarti ia telahmelakukan sesuatu yang terlarang dan menyalahi syariat Allah (meskikaki tidak termasuk aurat bagi Ḥanāfiyyah). Oleh karena itu, ia harusbersegera menutup kakinya agar terhindar dari perbuatan maksiat dansanksi Allah SWT.34

Sebuah lembaga fatwa Mesir, Dār al-Iftā’, telah mengeluarkan tigafatwa terkait hijab. Fatwa pertama terkait saran dokter agar mustaftimelepas jilbabnya akibat kerontokan pada rambutnya, dijawab Dār al-Iftā’ dengan tidak boleh. Hal ini dikarenakan jilbab merupakan kewajibanbagi setiap muslimah. Jadi melepas jilbab hanya diperbolehkan jikaterdapat gangguan kesehatan serius yang akan membahayakan ataumengancam kesehatannya. Kebolehan ini juga bersifat sementarasehingga jika bahaya itu sudah hilang maka jilbab harus dikenakankembali. 35 Fatwa kedua menanggapi pengaduan mustafti yang masihdilecehkan meski sudah berhijab. Dalam kondisi ini kesalahan bukanterletak pada mustafti atau hijab yang dikenakannya, namun pada orangyang melakukan pelecehan. Pada kenyataannya ada orang yang memilikikelainan seksual yang akan melakukan pelecehan pada siapapun tanpamemandang pakaian yang dikenakannya. Kehadiran hijab justru

33 Muhammad Mutawalli al-Sha’rāwi, Fatāwā al-Nisā’, (Beirūt: al-Maktabah al-‘AŞriyyah,2002), h. 45-46.

34Muhammad Mutawalli al-Sha’rāwi, Fatāwā al-Nisā’, h. 52.35Fatwa Dār al-Iftā, Taking off Hijab due to Hair Loss, accessed from

http://dar-alifta.org/Foreign/ViewFatwa.aspx?ID=10669

Page 186: kontekstualisasi hukum islam

Fatwa tentang Perempuan dan Persoalan Keluarga

173

melindungi perempuan dari tindak pelecehan seksual karena hijabmerupakan simbol kesopanan dan kesucian. Oleh karena itu, hijab harustetap dipertahankan karena bukan menjadi sumber masalah. 36 Fatwaterakhir menanggapi permasalahan ancaman seorang suami kepadaisterinya untuk berhenti dari pekerjaan atau tidak boleh keluar rumahkecuali jika ia mau mengenakan hijab. Menurut Dār al-Iftā’meskipunhijab merupakan kewajiban namun suami hanya boleh menasehati danmembimbing isterinya tentang kewajiban tersebut. Tidak ada hubunganantara hijab dengan pemutusan nafkah suami dan tidak ada hubunganjuga antara hijab dengan larangan keluar rumah. Kewenangan suamihanya berlaku untuk mencegah isteri dari kesesatan.37

Tiga lembaga fatwa Indonesia turut mewarnai diskursus hijab.Pada Muktamar Tarjih ke XX Tahun 1976 di Garut Jawa Baratdiputuskan bahwa selain berfungsi sebagai perhiasan dan menjagakesehatan, pakaian bagi seorang muslim haruslah menutup bagian tubuhyang tidak pantas dilihat atau aurat. Sebagaimana ditegaskan Allah padaayat berikut,

بني ءادم ى و ق الت اس ب ل ا و ش ی ر و م ك ت اء و ى س ر ا و ا ی اس ب ل م ك ی ل ا ع نل ز ن أ د ق ی)26:اف ر ع األ ...(ر ی خ ك ال ذ

“Hai anak Adam sesungguhnya Kami telah menurunkan padamupakaian untuk menutup bagian yang tidak patut dan (juga sebagai)perhiasan. Dan pakaian taqwa adalah yang terbaik...(QS. al-A’rāf:26)Lafal م ك ت اء و س pada ayat di atas dipahami sebagai bagian tubuh

yang tidak pantas terlihat sehingga dapat dikategorikan sebagai aurat.Aurat laki-laki dan perempuan sangat berbeda, di mana aurat perempuanadalah seluruh tubuhnya kecuali muka dan telapak tangan. Oleh karenaitu, perempuan harus menutup tubuhnya termasuk kepala denganmenggunakan kerudung atau hijab. 38 Tahun 2003 Majelis Tarjihmempertegas lagi fatwanya dengan memperjelas pemahaman terhadapmakna jilbab. Selama ini muslim Indonesia hanya memahami jilbabdengan penutup kepala, sehingga timbul anggapan kalau kepala sudahditutup maka bagian tubuh lain tidak perlu lagi ditutup. Oleh karena itu,berdasarkan analisis dari sisi bahasa dan tafsir maka jilbab dapat

36 Fatwa Dār al-Iftā,Harassed While Wearing the Hijab, accessed fromhttp://dar-alifta.org/Foreign/ViewFatwa.aspx?ID=10495

37 Fatwa Dār al-Iftā,Compelling Women to Wear Hijab, accessed fromhttp://dar-alifta.org/Foreign/ViewFatwa.aspx?ID=10643

38 Pimpinan Daerah Muhammadiyah, Himpunan Putusan TarjihMuhammadiyah, (T.Tt: Garut, 1976), h. 58-62.

Page 187: kontekstualisasi hukum islam

Kontekstualisasi Hukum Islam

174

dimaknai dengan pakaian perempuan yang menutup seluruh bagiantubuhnya selain muka dan telapak tangan berupa kerudung dan sejenisbaju kurung.39 Bahtsul Masail NU juga menguatkan fatwa ini denganmenambahkan sanksi hukum haram bagi perempuan yang keluar rumahtanpa menutup auratnya meskipun untuk keperluan pekerjaan. Fatwa iniberpedoman pada kitab Ḥāshiyah Fatḥ al-Qarἷb karya al-Bājūri (w. 1860M).40 Namun jika berada dalam kondisi darurat atau mendekati bahayayang dapat mengancam diri, maka perintah menutup aurat tersebut dapatberubah.41 Sementara kriteria yang harus dipenuhi oleh pakaian seorangmuslimah adalah pakaian yang tidak memperlihatkan aurat, tidak tembuspandang, tidak menarik perhatian dan tidak memperlihatkan bentuktubuh.42

Adapun fatwa MUI tentang hijab dikaitkan dengan persoalanpornografi. Pada fatwa Nomor 7 ditetapkan bahwa haram hukumnyaperempuan memperlihatkan aurat dari bagian tubuhnya kecuali muka,telapak tangan, dan telapak kaki. Namun keharaman ini dapat berubahjika ada alasan yang dibenarkan syariat.43 Kehadiran fatwa ini dilatarioleh kekhawatiran atas maraknya pornografi dan pornoaksi yang bukanhanya merusak moral, namun juga menimbulkan perilaku jahat lainnyaseperti pergaulan bebas, hamil di luar nikah, aborsi, penyakit kelamin,dan penyimpangan seksual 44 Oleh karena itu, salah satu upayapencegahan yang dapat dilakukan adalah memerintahkan muslim danmuslimah menutup bagian tubuh yang termasuk aurat agar dapatmenghindari dorongan syahwat untuk melakukan perbuatan asusila ataukejahatan seksual lainnya.

4. Analisis Fatwaa. Penafsiran atas al-NuŞūŞ al-shar’iyyah

Fatwa hijab ini didasari Abou el Fadl dengan dua ayat yaitu al-Nūrayat 31 45 dan al-Aḥzāb ayat 59. 46 Sebelum dilakukan penilaian atas

39Keputusan Muktamar Tarjih ke XXVI Nomor 13 Tahun 2003 di Padang.40Nahdlatul Ulama, Ahkam al Fuqaha’, (Surabaya: Lajnah Ta’lif wan

Nasyr NU Jawa Timur, 2007), h. 123-124.41Nahdlatul Ulama, Ahkam al Fuqaha’, h. 249.42Fatwa NU Online, tanggal 16-04-2014, diakses dari http://www.nu.or.id

/post /read/51440/cara-berhijab-yang-benar43Fatwa Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 287 Tahun 2001

Tentang Pornografi dan Pornoaksi, h. 401.44 Fatwa Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 287 Tahun

2001,Tentang Pornografi dan Pornoaksi, h. 392-393.45 "Dan katakanlah kepada perempuan mukminah hendaklah mereka

menurunkan pandangan dan menjaga kerendahan hati mereka. Dan janganlahmereka menampilkan perhiasan (zīnah) kecuali apa yang [biasanya] nampak

Page 188: kontekstualisasi hukum islam

Fatwa tentang Perempuan dan Persoalan Keluarga

175

pemahaman Abou el Fadl perlu dilihat penafsiran para mufassir terhadapkedua ayat ini. Larangan memperlihatkan zinah dalam surat al-Nūr ayat31 ditujukan kepada tempat-tempat diletakkannya perhiasan sepertilengan, kaki, leher, dada, kepala, dan telinga. Artinya bagian tubuh iniharam dilihat laki-laki non-mahram dan pendapat ini lebih kuat. Berbedadengan Ibn Baḥr yang memaknai lafal zīnah dengan akhlak yangmenghiasi pakaian karena perhiasan terbaik adalah akhlak.47 Menurut al-Qurṭubi pendapat yang mewajibkan perempuan untuk menutupperhiasannya, kecuali yang biasa nampak, adalah pendapat yang kuatkarena mengacu kepada kehati-hatian. Berdasarkan hal ini makaperhiasan yang dimaksud ayat di atas ada dua bentuk yaitu berbentukfisik berupa wajah dan non-fisik yang berbentuk materi seperti pakaiandan kosmetik yang menghiasi tubuh. Di sisi lain perhiasan jugamempunyai sifat zahir dan batin, di mana perhiasan zahir bolehdiperlihatkan kepada siapapun, mahram maupun non-mahram, sedangkanperhiasan batin hanya dapat diperlihatkan kepada para mahram.48 QuraishShihab juga memahami lafal zīnah sebagai sesuatu yang membuat indah,seperti perhiasan. Adapun lafal khimar pada ayat ini diperintahkan untukmenutup dada, karena lafal juyūb mengacu kepada bagian dada yangmeliputi leher. Berdasarkan pendapat yang logis, ayat ini memerintahkankaum perempuan untuk menutup perhiasannya yang dimulai dari kepalatermasuk rambut sampai dada.49

daripadanya. Hendaklah mereka menjulurkan kerudung (khumur) di atas dadamereka (juyūb). Dan janganlah mereka menampilkan kecantikan (zīnah), kecualipada suami, ayah, ayah suami (mertua), anak laki-laki, anak-anak suami, saudaralaki-laki atau anak laki-laki saudara laki-laki, atau anak-anak perempuan, atauperempuan yang dimiliki (budak), atau pegawai laki-laki yang tidak memilikikeinginan fisik, atau anak-anak yang belum mengetahui 'awrāh perempuan. Danhendaklah mereka tidak menghentak kaki agar tidak mengungkapkan apa yangmereka sembunyikan dari ornamen mereka (zīnatihinna)…".(QS. al-Nūr: 31)

46 "Hai Nabi, beritahu istri dan anak perempuanmu serta perempuan-perempuan yang beriman untuk menurunkan pakaian mereka (jalābīb). Itu lebihsesuai sehingga mereka akan dikenal dan tidak diganggu (dilukai)..." (QS. al-Aḥzāb:59)

47Shihāb al-Dἷn al-Sayyid Maḥmūd al-Alūshy, Rūḥ al-Ma’āni fἷ Tafsἷr al-Qur’ān al-‘Aẓἷm wa al-Sab’i al-Mathāni, Juz. IX, (Beirūt: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2001), h. 335-336.

48Al-Qurṭubi, al-Jāmi’ li Aḥkām al-Qur’ān, Juz. XV, (Beirūt: Muassasah al-Risālah, 2006), h. 213-214.

49M Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, Jilid. IX, (Jakarta: Lentera Hati,2000), h. 430. 327-328.

Page 189: kontekstualisasi hukum islam

Kontekstualisasi Hukum Islam

176

Adapun perintah menurunkan pakaian (jalābib)50 pada surat al-Aḥzāb ayat 59 ditujukan ke seluruh tubuh (semenjak kepala sampai kaki)dengan maksud agar dapat dibedakan dari para budak yang seringmenjadi objek penganiayaan dan pelecehan. Semua ulama sepakatdengan tujuan ini, karena pada kenyataannya pada masa sebelum ayat initurun, terdapat kebiasaan pada masyarakat jahiliyah yang suka merisakperempuan di jalan. Dengan jilbab kaum perempuan akan lebih terjagadan terhindar dari hal-hal yang tidak diinginkan.51

Pemahaman Abou el Fadl terhadap lafal zīnah lebih mengacukepada sikap rendah hati, bukan kepada bentuk fisik tubuh. Makna iniselaras dengan perintah menundukkan pandangan di awal ayat yang tidakdimaknai secara literal. Artinya Allah memerintahkan perempuanberiman untuk menundukkan pandangan agar memiliki sikap rendah hatiyang merupakan akhlak terpuji. Dengan kata lain tidak memperlihatkanperhiasan kepada sembarang orang dan tidak menghentakkan kakimerupakan akhlak yang terpuji. 52 Pemaknaan yang berbeda denganmayoritas ulama ini dapat diterima, karena upaya memahami Alqurandapat dilakukan dengan dua cara yaitu melalui riwayat (bi al-ma’thūr)dan melalui ra’yi (dirāyah). Abou el Fadl memahami kandungan surat al-Nūr ayat 31 menggunakan cara kedua atau yang disebut dengan tafsἷr bial-ra’yi.53 Rasionalitas yang dipakai dalam penafsiran ini bukan berasaldari akal semata, namun berasal dari penelitian, ijtihad, dan penggaliansecara mendalam. Hal ini terlihat pada argumen yang dikemukakan Abouel Fadl saat membantah pemahaman para ulama terkait pakaian yang

50Para ulama berbeda pendapat dalam memahami lafal Jalābib. Ada yangmemahaminya dengan baju longgar, kerudung penutup kepala, atau pakaian yangmenutupi seluruh tubuh perempuan. Ṭaba’ṭabā’i (w. 1981 M) memahaminya denganpakaian yang menutup seluruh tubuh perempuan termasuk kepala dan wajah,sedangkan Ibn Āshur (w. 1973 M) mamahaminya dengan pakaian yang lebih kecildari pada jubah tapi lebih besar dari pada kerudung. Model jilbab ini dapat beragamtergantung kepada gaya yang ada di masing-masing tradisi dan daerah. M QuraishShihab, Tafsir al-Mishbah, Jilid. XI, h. 320.

51Shihāb al-Dἷn al-Sayyid Maḥmūd al-Alūshy, Rūḥ al-Ma’āni fἷ Tafsἷr al-Qur’ān al-‘Aẓἷm wa al-Sab’i al-Mathāni, Juz. XII, 264-265.

52Fatwa Abou el Fadl tanggal 31 Desember 2016.53 Tafsir bi al-ra’yi adalah penafsiran yang dilandasi atas penelitian,

kesimpulan akal, serta penggalian makna yang dilatari atas ijtihad dan rasio sesuaisyarat yang harus dipenuhi mufassir. Para ulama berbeda pendapat terkait bentukpenafsiran ini, sehingga ada yang membolehkan dan ada juga yang melarangnya.Terlepas dari perbedaan ini yang jelas, melalui tafsir bi al-ra’yi potensi akal dapatdiberdayakan sehingga tidak membuat Alquran menjadi sia-sia lantaran banyakhukumnya yang terabaikan. Muhammad Zaghlūl, al-Tafsἷr bi al-Ra’yi Qawā’iduhuwa Ḍawābiṭuhu wa A’lāmuhu, (Damaskus: Maktabah al-Fārabi, 1999), h. 107-109.

Page 190: kontekstualisasi hukum islam

Fatwa tentang Perempuan dan Persoalan Keluarga

177

wajib dikenakan kaum perempuan. Menurutnya tidak ditemukan buktisejarah secara akurat yang menyatakan bahwa kaum perempuan menutupseluruh tubuhnya sesaat setelah ayat tersebut turun. 54 Terkait hal iniFedwa el Guindi (l. 1941 M) menyatakan bahwa berdasarkan penelitianetnografi terhadap sejarah jilbab, ditemukan kalau praktek berjilbabsebenarnya sudah ada semenjak dahulu, dari Yunani sampai Persia.Praktek berjilbab ini mempunyai berbagai variabel yang melekat kuatpada tradisi dan kebudayaan masing-masing daerah.55

Kelemahan kualitas hadis-hadis yang dipakai mayoritas ulamaturut memperkuat argumen fatwa Abou el Fadl.56 Pemahaman sunnahharus dilakukan melalui analisis dan kritik sejarah sehingga diketahuiapakah suatu riwayat sunnah benar-benar berasal dari Rasul untuk dapatditerima atau ditolak. Keterpercayaan suatu sunnah sebagai landasanhukum merupakan persyaratan proporsionalitas yang harus dipenuhi. Jaditidak semua perkataan atau perbuatan Rasulullah berimplikasi hukum danharus diikuti, karena tidak semua sunnah menggambarkan kehendakTuhan.57

Pada kajian hukum, penentuan terhadap banyak atau sedikitnyaperawi hadis (mutawātir dan aḥād) merupakan langkah awal daripenelitian. Namun kuantitas para perawi hadis tersebut belum tentumenjamin kekuatan hujjah suatu hadis. Di sisi lain, menurut Abou el Fadlmeskipun kritik matan sudah dilakukan-- yang di antaranya jika hadis

54Menurut Amina Wadud di Jazirah Arab pra-Islam perempuan bangsawandilindungi dengan cara berkerudung dan dipingit. Perlindungan dengan dua cara inimenunjukkan kesopanan yang akhirnya diakui dan diterima ajaran Islam. Dengankata lain hijab merupakan bentuk kesopanan yang dipengaruhi oleh budaya danekonomi sehingga menjadi kebiasaan. Akan tetapi kebiasaan yang didukungAlquran hanya terbatas bagi masyarakat yang melaksanakannya saja, tidak berlakuuntuk semua orang. Amina Wadud, Qur’an Menurut Perempuan, Penerjemah.Abdullah Ali, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2006), h. 29-30.

55Fedwa el Guindi, Veil, Modesty, Privacy, and Resistance, PenerjemahMujiburohman, (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2005), h. 39.

56 Sunnah memiliki keunikan dalam gaya bahasa yang berbeda dariAlquran. Penjelasan sunnah lebih detail karena menyangkut berbagai tema sepertiprinsip moral, etika individu dan sosial, serta kisah-kisah. Sunnah juga dapatdipahami dengan analisis komprehensif melalui pengetahuan yang mendalam danluas. Abou el Fadl memandang sebagian sunnah sebagai hasil dari perkembangankumulatif dalam jangka waktu panjang sehingga mencerminkan dinamika sosialpolitik setelah Rasulullah wafat. Khaled M Abou el Fadl, The Great Theft WrestlingIslam from The Extremists, (New York: HarperCollins Publishers, 2007), h. 145-146.

57 Khaled M Abou el Fadl, Speaking in God’s Name; Islamic Law,Authority, and Women, (Oxford: Oneworld, 2003), h. 88.

Page 191: kontekstualisasi hukum islam

Kontekstualisasi Hukum Islam

178

bertentangan dengan Alquran, hukum alam, atau menyalahi sejarah harusditolak-- namun ternyata metodenya belum disusun secara sistematissehingga melahirkan penilaian yang subjektif. Oleh karena itu, penelitianterhadap hadis harus diarahkan untuk membuktikan keotentikannyabenar-benar berasal dari Rasul. Bukti-bukti otentitas ini meliputi tingkatkethiqahan perawi, jumlah perawi dari generasi sahabat dan seterusnya,jumlah versi hadis, kontradiksi faktual antara versi hadis yang berbeda,materi hadis, hubungannya dengan riwayat lain yang lebih kuat ataulemah, konteks sejarah hadis, keterangan Alquran, serta pengamalan yangpernah dilakukan Rasulullah dan para sahabat.58

Beranjak dari status hadis yang tidak sahih dan lemah ini, wajarsaja jika para ulama berbeda dalam menetapkan hukum berhijab danbatas-batas bagian tubuh perempuan yang terlarang diperlihatkan. Hal inijuga mengindikasikan bahwa diskursus hijab merupakan bagian daripersoalan yang ẓanni, bukan qaṭ’i yang selama ini didengungkanmayoritas ulama. Intinya persoalan hijab merupakan masalah khilafiyahyang tidak layak dijadikan sebagai sumber pertikaian atau permusuhanantara umat Islam.59 Demi memperkuat argumennya, akhir surat al-Aḥzābayat 59 juga dijadikan Abou el Fadl sebagai dalih atas ketidakwajibanberhijab. Kenyataan yang terbalik dihadapi muslimah Amerika danmuslimah lainnya di wilayah minoritas muslim,60 di mana keberadaanhijab justru membuat pemakainya akan dirisak atau dianiaya. Penjelasandi atas menunjukkan bahwa Abou el Fadl menafsirkan kedua ayat inisecara rasional (bi al-ra’yi) yang didukung bukti ilmiah dan sesuaidengan realitas sosial masyarakat, khususnya di wilayah minoritasmuslim.

Al-Qaraḍāwi juga menjadikan dua ayat di atas sebagai landasanfatwa atas kewajiban berhijab. Pemahaman yang dihasilkan al-Qaraḍāwisama seperti pemahaman yang dianut mayoritas ulama dengan

58Khaled M Abou el Fadl, And God Knows The Soldier: The Authoritativeand Authoritarian in Islamic Discourse, (Oxford: University Press of America,2001), h. 69-70.

59M Quraish Shihab, Jilbab, Pakaian Wanita Muslimah, (Jakarta: LenteraHati, 2004), h. 165-166.

60 Di beberapa negara Eropa, diskursus hijab masih menjadi polemik.Banyak gugatan yang diajukan ke pengadilan lantaran adanya larangan penggunaanhijab baik di sekolah maupun perkantoran. Di antara pertimbangan negara yangmelarang penggunaan hijab adalah adanya ketidaksatuan pandangan negara dantokoh muslim terkait status kewajiban hijab. Pendapat para tokoh yang menyatakanbahwa hijab bukan kewajiban agama Islam, akhirnya dijadikan alasan negara-negaraEropa untuk melarang warga negaranya beraktifitas dengan hijab. W. Shadi D,“Muslim Dressin Europe: Debates on The Headscarf”, h. 60.

Page 192: kontekstualisasi hukum islam

Fatwa tentang Perempuan dan Persoalan Keluarga

179

menerapkan tafsir bi al-riwāyah61 terhadap beberapa naŞŞ sebagai acuanutamanya. Selain menjadikan naŞŞ Alquran dan hadis sebagai penjelassurat al-Nūr ayat 31 dan al-Aḥzāb ayat 59, pendapat para sahabat dantokoh tabiin juga dipakai al-Qaraḍāwi untuk memperkuat argumennya.Menurutnya perintah hijab atau berjilbab ditujukan Allah demimelindungi dan menjaga perempuan dari hal-hal yang tidak diinginkan.Hal ini dapat diketahui dari asbāb al-nuzūl surat al-Aḥzāb ayat 59 yangmenceritakan kondisi sosial masyarakat Arab sesaat sebelum ayat initurun. Kebrutalan dan kebejatan akhlak kaum lelaki fasik yang sukamenganggu di jalanan saat itu dapat dihindari muslimah denganberhijab.62 Pemahaman al-Qaraḍāwi terkait dua ayat di atas juga sesuaidengan kondisi muslimah di wilayah mayoritas muslim.

Adapun terhadap dua hadis yang dijadikan acuan al-Qaraḍāwidalam fatwa hijab memiliki status berbeda. Hadis pertama dari ‘Āishahterkait nasehat Rasulullah kepada Asmā’ binti Abu Bakar saatmendatangi rumahnya berstatus ḍa’if.63 Tidak ada ulama yang menerimahadis ini lantaran kelemahannya. Ada ulama yang menyatakan statusnyamursal bahkan ada yang menetapkannya sebagai hadis munkar lantaranberat keḍa’ifannya.64Adapun hadis kedua65 yang menceritakan tentang

61Tafsἷr bi al-riwāyah atau bi al-ma’thūr adalah penafsiran yang dilakukandalam memahami naŞŞ dengan naŞŞ, seperti tafsir Alquran dengan Alquran ataudengan hadis. Perkataan para sahabat dan tokoh tabiin juga dapat dipakai untukmenafsirkan naŞŞ, karena mereka merupakan generasi yang lebih memahami naŞŞAlquran. Para ulama menerima keberadaan tafsir ini karena kekuatan bahan yangdipakai untuk melakukan penafsiran. Lihat Mannā’ al-Qaṭān, Mabāḥith fἷ ‘Ulūm al-Qur’ān, (Riyāḍ: Dār al-Rashἷd, T.th), h. 347-348.

62 Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa salah satu penyebabmunculnya kejahatan seksual yang saat ini marak di Indonesia berasal dari korbanitu sendiri. Artinya perempuan yang menjadi korban kejahatan seksual dapatdisebabkan oleh perilaku dan gaya berpakaiannya yang memprovokasi kaum lelaki.Lihat Lia Zainatul Khusna, Dilema Kasus Pelecehan Seksual yang Semakin MarakTerjadi, edisi 25 Desember 2018, diakses dari http: //geotimes.co.id.

63“Wahai Asma’ sesungguhnya perempuan yang sudah haid, tidak pantasterlihat darinya kecuali ini dan ini. (sambil menunjukkan wajah dan kedua telapaktangannya)”.

64Hadis ini diriwayatkan Abū Dāud yang ditetapkannya sebagai hadismursal, karena perawi Khālid ibn Duraik tidak menerima hadis ini secara langsungdari ‘Āishah. Hadis ini menegaskan bahwa kebolehan memperlihatkan wajah dandua telapak tangan perempuan dikaitkan dengan syarat tidak menimbulkan fitnah.Artinya jika menyebabkan fitnah, maka kedua bagian tubuh tersebut harus ditutup.Termasuk juga terlarangnya perempuan melakukan perjalanan sendirian, khususnyasaat kefasikan marak terjadi. Abu al-Ţayyib Muḥammad Shams al-Dἷn al-Ḥaq al-

Page 193: kontekstualisasi hukum islam

Kontekstualisasi Hukum Islam

180

jenis perempuan penghuni neraka lantaran berpakaian tapi telanjangberstatus Şaḥἷḥ. Al-Qaraḍāwi memahami hadis tersebut secara literalketika menetapkan salah satu syarat berpakaian bagi muslimah yangdituntut syariat (hijab) adalah tidak transparan. Meski demikianpemahaman ini sesuai dengan kondisi sosial masyarakat khususnya diwilayah mayoritas muslim.66

b. Penerapan QiyāsTidak terlihat penerapan qiyās pada kedua fatwa Abou el Fadl dan

al-Qaraḍāwi dalam persoalan ini. Hal ini dimungkinkan diskursus hijabmemiliki keterkaitan dengan beberapa persoalan yang telah diterangkannaŞŞ khususnya terkait perintah menundukkan pandangan danmengenakan khimar.c. Perwujudan MaqāŞid al-sharἷ’ah

Pada negara minoritas muslim, keberadaan hijab dapatmenghambat penyebaran ajaran Islam. Hal ini dikarenakan adanyaketidaktahuan dan sikap kebencian non-muslim terhadap Islam sertamuslimah yang dipandang aneh lantaran berhijab. Menurut Abou el Fadlkondisi ini pada akhirnya dapat merugikan umat Islam karenamenghambat penyebaran ajaran Islam ke seluruh dunia. Di sisi laintindakan menutup tubuh dengan hijab di Amerika justru akan mencelakaimuslimah yang memakainya. Pelecehan, perisakan, dan persekusikemungkinan akan dialami kaum muslimah. Berdasarkan dua kenyataan

‘Aẓἷm Ābādy, ‘Aun al-Ma’būd Sharḥ Sunan Abἷ Dāud, Juz. XI, (Madἷnah:Maktabah al-Salafiyyah, 1968), h. 162. Al-Shaukāni menambahkan bahwa dalamhadis ini terdapat Sa’ἷd ibn Bashἷr Abū ‘Abd al-Raḥmān dalam jajaran sanadnya.Lihat al-Shaukāni, Nail al-Awṭār Sharḥ Muntaqā al-Akhbār min Aḥādith Sayyid al-Akhyār, Juz VI, (Beirūt: Dār al-Jἷl, T.th), h. 114.

65“Di antara penduduk neraka adalah perempuan yang berpakaian tapitelanjang, yang jalannya lenggak lenggok, yang merayu, dan dikagumi. Merekatidak akan masuk surga dan tidak juga dapat mencium baunya”. Muslimmeriwayatkan hadis ini (2128) dari jalur Abū Hurairah dengan versi yang lebihpanjang. Albāni juga mensahihkan hadis ini dan begitu juga dengan Ibn Taymiyahdalam kitab Majmū’ Fatāwa.

66Meski terlihat ada keterkaitan antara maksud hadis ini dengan hijab,namun menjadikannya sebagai salah satu alasan dalam mendukung kewajibanberhijab kurang tepat. Penyebab perempuan menjadi penghuni neraka sebagaimanayang digambarkan dalam hadis tersebut bukan semata-mata dikarenakan pakaianyang dikenakannya, namun lantaran sikapnya yang selalu menggoda laki-laki danmengumbar syahwat. Pada kenyataannya tidak semua perempuan yang tidakberhijab berperilaku seperti itu.

Page 194: kontekstualisasi hukum islam

Fatwa tentang Perempuan dan Persoalan Keluarga

181

ini maka fatwa Abou el Fadl yang melarang hijab ditujukan untukmemelihara agama dan jiwa (ḥifẓ al-dἷn wa al-nafs).67

Di sisi lain perintah menutup aurat dengan jilbab menurut al-Qaraḍāwi ditujukan untuk mewujudkan kemaslahatan terutama bagikehormatan perempuan. Hijab menjadi pembeda antara muslimah denganperempuan lainnya dan dengan hijab muslimah menjadi lebih dihormatisehingga akan terhindar dari gangguan dan hal-hal yang tidak diinginkan.Jadi kewajiban berhijab bagi muslimah secara tidak langsung akanmemelihara kehidupannya (ḥifẓ al-nafs).68

d. Penerapan Adillah al-aḥkām al-mukhtalaf fἷhāAbou el Fadl terlihat menggunakan sadd al-dhari’ah dalam fatwa

hijab,69 karena adanya dugaan kuat tindakan jahat non-muslim, termasukpemerintah, kepada muslimah yang berhijab di amerika, sehingga hijabmenjadi terlarang. Berdasarkan skala prioritas, menghindari keburukanatau kerusakan harus lebih diutamakan dari pada menjalankankebaikan. 70 Berbeda dengan al-Qaraḍāwi yang terlihat menerapkanmetode istiḥsān dalam salah satu fatwanya. Menurutnya memahamiperintah menundukkan pandangan secara apa adanya, akan membawakesulitan. Tidak dapat dipungkiri bahwa setiap manusia akan melakukan

67Di antara ketentuan memelihara agama adalah melakukan penyebaranajaran Islam (berdakwah) dan berjihad dengan menghadapi serangan musuh,sedangkan memelihara jiwa dapat dicapai dengan menghindari bahaya dankemudaratan. ‘Abd al-Karἷm Zaidān, al-Wajἷz fi UŞūl al-Fiqh, (T.tp: Muassasah al-Risālah, t.th), h. 379-380.

68Di sisi lain persoalan menutup aurat dimasukkan ulama ke dalam kategoritaḥsiniyah karena terkait dengan adab dan akhlak yang lurus. Ketiadaan taḥsiniyahtidak akan menyebabkan kerusakan tatanan hidup serta tidak juga membawakesulitan.‘Abd al Karἷm Zaidān, al-Wajἷz fi UŞūl al-Fiqh, h. 381.

69Penggunaan metode ini mengindikasikan bahwa dalam pandangan Abouel Fadl hukum dasar berhijab adalah boleh. Namun kebolehan ini berubah menjaditerlarang lantaran muncul mudarat atau mafsadah setelah itu. Meski belummencapai tahap yakin dan hanya dilatari prediksi kuat, namun tingkatkerusakanyang muncul pada persoalan hijab dalam fatwa Abou el Fadl ini lebihbesar dari pada kemaslahatan yang akan dicapai. Lihat Muhammad Taqi al-Ḥakἷm,al-UŞūl al-‘Āmmah li al-Fiqh al-Muqāran, (Qum: al-Majma’ al-‘Ālami li Ahl al-Bait, 1997), h. 394. MuŞtafa Sa’id al-Khin, al-Kāfi al-Wāfi, (Beirut: Muassasah al-Risalah, 2000), h. 227.

70Dugaan kuat akan suatu kerusakan yang akan terjadi menjadi alasan kuatdilarangnya sesuatu yang pada dasarnya boleh. Pelarangan ini disebut dengan saddal-dhari’ah yang merupakan seperempat bagian agama dalam pandangan Ibn al-Qayyim. Lihat Wahbah al-Zuhayli, UŞūl al-Fiqh al-Islāmi, Juz II. (Beirut: Da>r al-Fikr, 1986), h. 888.

Page 195: kontekstualisasi hukum islam

Kontekstualisasi Hukum Islam

182

interaksi sosial dengan orang lain dalam menjalani kehidupan sehari-hari.Interaksi ini akan tersendat dan dapat terancam gagal jika setiap orangselalu menunduk ketika berkomunikasi dengan lawan jenisnya. Olehkarena itu, dilatari atas kemaslahatan maka laki-laki boleh memandangperempuan saat berinteraksi dan begitu juga sebaliknya.71

e. Penerapan al-Qawāid al-fiqhiyyahSejalan dengan metode sadd al-dhari’ah, muslimah Amerika atau

yang tinggal di wilayah mayoritas non-muslim mendapat kemudahandalam menjalani kehidupan sehari-hari, termasuk dalam berhijab. BanyaknaŞŞ yang menerangkan bahwa Allah tidak akan memberi hamba-Nyakesulitan. Secara implisit kaedah fikih yang diterapkan dalam fatwa Abouel Fadl adalah al-mashaqqah tajlibu al-taysἷr.72 Berada di tengah-tengahkehidupan sosial masyarakat non-muslim, setidaknya akan memberibeberapa kemudahan terhadap muslim dan muslimah dalammelaksanakan ajaran Islam.

Pada fatwa al-Qaraḍāwi tergambar adanya kaidah al-hājah tanzilumanzilah al-ḍarūrah 73 terkait interaksi sosial antara laki-laki danperempuan. Kebolehan memandang lawan jenis saat berkomunikasi padafatwa ini berada pada tataran kebutuhan (hājiyyah), tidak sampai ketingkat ḍarūriyyah. Namun disebabkan kebutuhan ini sangat pentingkarena terkait kemaslahatan orang banyak, maka tingkatannya naiksehingga hampir menyamai derajat ḍarūriyyah.f. Penerapan Taḥqiq al-manāṭ

Alasan hukum yang menjadi motif tidak wajibnya hijab dalamfatwa Abou el Fadl adalah menjauhkan diri dari perhatian berlebihsehingga akan terhindar dari gangguan. Motif ini nyata terjadi di Amerikadi mana keberadaan muslimah berhijab akan menarik perhatian sehinggaakhirnya akan sangat beresiko dan berbahaya. Intinya mereka dapatdijadikan objek persekusi atau pelecehan. Terkait hal ini Terance DMiethe mengatakan bahwa persoalan besar yang dihadapi masyarakatAmerika khususnya di perkotaan adalah kejahatan dan ketakutan akanmenjadi korban dari tindak kriminal. Para calon korban kriminal biasanyamenjadi pusat perhatian lantaran perbuatan atau perilaku kehidupannya,

71Abu Zahrah memasukkan persoalan ini ke dalam bentuk istiḥsān bi al-qiyās al-khafi, karena terdapat perbenturan dua qiyās dalam persoalan ini. LihatMuhammad Abū Zahrah, UŞūl al-Fiqh, (Beirut: Da>r al-Fikr al-‘Arabi, T.th), h. 265.

72Jalāl al-Dἷn ‘Abd al-Raḥmān ibn Abu Bakr al-Suyūṭi, al-Ashbāh wa al-Naẓā’ir fἷ al-Furū’, (Beirūt: Dār al-Fikr, 1995), h. 56.

73Jalāl al-Dἷn ‘Abd al-Raḥmān ibn Abu Bakr al-Suyūṭi, al-Ashbāh wa al-Naẓā’ir fἷ al-Furū’, h. 63-64.

Page 196: kontekstualisasi hukum islam

Fatwa tentang Perempuan dan Persoalan Keluarga

183

seperti cara berpakaian, yang memiliki perbedaan mencolok dari orangbanyak.74

‘Illat yang sama yaitu menghindari gangguan dan pelecehan jugaditerapkan al-Qaraḍāwi dalam menetapkan fatwa wajibnya berhijab.Selaras dengan petunjuk Alquran pada surat al-Aḥzāb ayat 59 maka motifdiharuskannya muslimah, termasuk para isteri Rasul, memanjangkanjilbab adalah untuk menutup kemungkinan gangguan dari kaum lelakihidung belang di jalanan. Kondisi ini umumnya sering terjadi di kalanganmasyarakat mayoritas muslim.g. Pertimbangan I’ādah al-naẓr

Meski tidak disebutkan secara eksplisit, fatwa Abou el Fadl inisetidaknya selaras dengan beberapa ulama yang berpendapat atasketidakwajiban berhijab atau ulama yang berbeda dalam menetapkanbatas aurat perempuan yang boleh diperlihatkan. Di sisi lain al-Qaraḍāwimemandang persoalan hijab merupakan hal yang sudah disepakatiseluruh ulama sehingga pendapat hukumnya berbeda dengan pendapatsebagian ulama yang menafikan kewajiban berhijab. 75 Hal ini berartiindikator i’ādah al-naẓr ditemukan dalam fatwa Abou el Fadl, dan tidakpada fatwa al-Qaraḍāwi.h. Penerapan metode yang sesuai dengan perkembangan ilmu

pengetahuanPerkembangan dan penemuan ilmiah dalam bidang etnografi dan

antropologi setidaknya telah memperkuat argument kelompok ulamayang tidak menganggap hijab sebagai suatu kewajiban termasuk Abou elFadl. Menurut Fedwa el Guindi persoalan jilbab tidak pernah disinggungdalam kajian-kajian tentang perempuan di Timur Tengah. Bahkan temapakaian atau jilbab tidak dijadikan topik utama dalam kajian-kajiantersebut. 76 Adapun fatwa hijab al-Qaraḍāwi yang didasari atas

74Terance D Miethe,”Fear and Withdrawal”, The Annals of AmericanAcademy of Political and Social Science, Vol. 539, No. 1 (1995).

75Al-Qaraḍāwi memandang keberadaan ijmā’ sangat penting karena dapatmenjadi pemersatu dalam memahami naŞŞ dengan memindahkannya dari ranahẓanni kepada wilayah qaṭ’i sehingga menjadi wilayah tertutup bagi ijtihad. Ijmā’dapat menghilangkan keraguan dan kebingungan serta membentuk kesatuanperasaan dan pemikiran umat Islam. Akan tetapi pengambilan ijmā’ ulama sebagaibahan pertimbangan harus dilakukan secara selektif karena boleh jadi kemaslahatanatau tradisi yang menjadi landasan ijmā’ tersebut sudah berubah. Lihat Yūsuf al-Qaraḍāwi, Taysἷr al-Fiqh li al-Muslim al-Mu’āŞir fἷ Daw’i al-Qur’ān wa al-Sunnah,(al-Qāhirah: Maktabah Wahbah, 1999), h. 73.

76Fedwa el Guindi, Veil, Modesty, Privacy, and Resistance, h. 27-28.

Page 197: kontekstualisasi hukum islam

Kontekstualisasi Hukum Islam

184

kesepakatan mayoritas ulama, tidak mengindikasikan adanya keterkaitandengan perkembangan ilmu pengetahuan.

Tabel 4Perbandingan Pemenuhan Indikator Kontekstual dalam

Fatwa Abou el Fadl dan al-Qaraḍāwi tentang HijabNo Indikator Fatwa Abou

el FadlFatwa

al-Qaraḍāwi1 Penafsiran atas al-NuŞūŞ al-

shar’iyyah

2 Penerapan Qiyās X X3 Perwujudan MaqāŞid al-

sharἷ’ah

4 Penerapan Adillah al-aḥkāmal-mukhtalaf fἷhā

5 Penerapan al-Qawāid al-fiqhiyyah

6 Penerapan Taḥqiq al-manāṭ 7 Pertimbangan I’ādah al-naẓr X8 Sesuai perkembangan ilmu

pengetahuan X

9 Kesimpulan Kontekstual KontekstualTabel di atas menunjukkan bahwa fatwa kedua tokoh, Abou el Fadl

dan al-Qaraḍāwi, bersifat kontekstual lantaran telah memenuhi batasminimal (lima) standar indikator kontekstual. Meskipun berlandaskankepada naŞŞ yang sama dan juga sama-sama bertujuan memelihara jiwa(ḥifẓ al-nafs), namun hasil akhir fatwa kedua tokoh ini berbeda. Selainperbedaan pemahaman naŞŞ (bi al-ra’yi dan bi al-ma’thur), kondisi sosialmasyarakat terutama mayoritas muslim dan minoritas muslimmempunyai pengaruh yang cukup signifikan terhadap perbedaan keduafatwa hijab ini. Perbedaan kondisi masyarakat akan berdampak kepadatujuan berhijab yaitu menghindari gangguan dan kemudaratan. Kondisisosial Amerika atau negara-negara Barat berkemungkinan besar akanberbahaya bagi muslimah yang berhijab sehingga keberadaan hijab lebihbaik dihindari atau bahkan terlarang. Sementara kondisi sosial di wilayahTimur atau mayoritas muslim biasanya tidak menjadi ancaman bagikeberadaan muslimah yang berhijab. Bahkan dengan berhijab muslimahakan menjadi lebih terpelihara dari berbagai gangguan. Hal ini berartifatwa Abou el Fadl menjadi kontekstual jika diterapkan di wilayahminoritas muslim, sedangkan fatwa al-Qaraḍāwi menjadi kontekstual jikaditerapkan di wilayah mayoritas muslim.

Page 198: kontekstualisasi hukum islam

Fatwa tentang Perempuan dan Persoalan Keluarga

185

B. Fatwa Memilih Suami1. Fatwa Abou el Fadl

Fatwa abou el Fadl terkait keinginan perempuan untuk menikahdengan calon pasangan hidup pilihannya dan hubungannya dengankeberwenangan orang tua sebagai wali ada dua. Berikut ini deskripsikedua fatwanya.a. Fatwa tanggal 1 Juli 2016

Seorang mahasiswa tingkat doktoral merekomendasikan Abou elFadl kepada mustafti dalam membantu menyelesaikan persoalan yangdihadapinya. Mustafti merupakan seorang muslimah Pakistan yang jatuhcinta pada seorang muslim Ahmadiyah. Meski tidak dianggap sebagaibagian dari Islam oleh mayoritas ulama, laki-laki ini sangat baik, punyareputasi yang amat baik dan sering melakukan pelayanan kepadamasyarakat. Mustafti meminta pendapat Abou el Fadl dalam memilihkeputusan yang terbaik baginya, karena ia khawatir atas dua hal yaituakibat di akhirat lantaran kesalahannya telah menganggap Ahmadiyahsebagai bagian dari Islam dan hujatan masyarakat terhadapnya kelak.Terakhir mustafti minta pendapat hukum Abou el Fadl tentang aliranAhmadiyah.

Abou el Fadl turut berempati dengan persoalan mustafti, namun iatidak dapat membantu dalam hal terkait permasalahan tekanan sosial darimasyarakat terhadap mustafti. Berdasarkan pengetahuan Abou el Fadl,jamaah Ahmadiyah menyakini Ghulam Ahmad sebagai al-Mahdi.Mereka juga bersyahadat, meyakini Alquran, dan melaksanakan limarukun Islam. Namun dalam pandangan mayoritas umat Islam keyakinanAhmadiyah terhadap al-Mahdi membuat keberadaan merekadipertanyakan sebagai muslim. Hal yang sama juga menimpa kelompoklain yang meyakini keberadaan al-Mahdi. Adapun tindak penganiayaanyang dilakukan kelompok muslim terhadap Ahmadiyah dan aliran lainyang meyakini al-Mahdi merupakan sesuatu yang salah serta tidakdibenarkan. Tidak ada bukti kuat yang menyatakan bahwa pembedamuslim dengan lainnya adalah ketidakpercayaan terhadap al-Mahdi.

Dengan berat hati akhirnya Abou el Fadl mengemukakanpandangannya dari sisi teologis bahwa selama Ahmadiyah masihbersyahadat, melaksanakan kelima rukun Islam, dan percaya bahwaMuhammad merupakan Rasul terakhir, berarti mereka masih menjadibagian dari muslim. Jika terjadi pernikahan, berarti mustafti telahmenikahi laki-laki yang merupakan bagian dari umat Islam. Jikakomitmen dan cinta mustafti cukup kuat, maka apapun tekanan danhujatan akan mampu dihadapi dengan baik. Mudah-mudahan Allah

Page 199: kontekstualisasi hukum islam

Kontekstualisasi Hukum Islam

186

mengampuni semua kealpaan dan kesalahan manusia, karena hanya Diayang tahu kebenaran dan kebaikan segala sesuatu.77

b. Fatwa tanggal 1 Februari 2017Pertanyaan fatwa berasal dari seorang mahasiswa Magister di

Inggris yang berasal dari India. Ia baru dua bulan lebih mengkonversikeyakinannya dari Kristen kepada Islam. Perpindahan keyakinan inidilatari oleh keraguannya saat mengamalkan ajaran Kristen yangmenurutnya memiliki banyak kepercayaan (Trinitas). Salah seorangteman perempuan yang sangat membantunya dalam mempelajari Islamtelah melamar mustafti dan mengajaknya menikah. Teman mustafti ituberasal dari keturunan Inggris-Pakistan yang terkesan dengan caramustafti mempelajari Islam dan mengamalkannya dalam waktu singkat.Mustafti sudah dua kali diajak makan malam dengan keluarganya dansetelah empat bulan, teman perempuan mustafti baru mengatakan kepadakeluarganya tentang keinginannya untuk menikah dengan mustafti.Mustafti membenarkan keinginan tersebut saat keluarga temanperempuannya bertanya. Setelah mendengar jawaban mustafti keluargatersebut menolak sambil berkata bahwa mereka sudah memiliki keluargadi sini, sedangkan mustafti berasal dari India. Setelah penolakan itumereka mengurung anak perempuannya di rumah, memarahi danmembentaknya, serta menekan emosinya sambil berkata bahwa merekaakan dipermalukan para kerabat jika pernikahan itu terjadi. Bahkan temanperempuan itu pernah ditampar ayahnya saat tetap bersikukuh dengankeinginannya untuk menikah dengan mustafti. Kondisi ini sampai-sampaimembuat teman perempuannya ingin mati lantaran tidak tahan denganpenderitaan yang dialaminya. Akhirnya mustafti bertanya kepada Abou elFadl kenapa orang tua menolak keinginan anaknya meski tahu kalaumustafti telah menjadi muslim? Apakah Islam membenarkan orang tuabertindak sewenang pada anak yang tidak patuh padanya? Dan apakahkebahagiaan anak atau kebahagiaan keluarga yang harus diutamakanorang tua? Agar terhindar dari perbuatan dosa, mustafti mengatakankeinginannya menikah kepada keluarga teman perempuannya, namuntanggapan dan sikap mereka berbeda dan di luar dugaan. Meski demikianmustafti telah berupaya menghormati keluarga tersebut kendati mendapatperlakuan yang tidak baik. Terakhir mustafti minta solusi dari Abou elFadl untuk meyakinkan keluarga temannya tersebut.

77Khaled M Abou el Fadl, https://www.searchforbeauty.org/2016/07/01/fatwa-i-am-in-love-with-an-ahmadi-muslim-i-want-to-go-forward-but-many-in-the-muslim-world-do-not-consider-them-muslim-and-i-am-worried-about-community-backla/

Page 200: kontekstualisasi hukum islam

Fatwa tentang Perempuan dan Persoalan Keluarga

187

Setelah membaca surat mustafti Abou el Fadl merasa sedih danberdoa yang tanpa disadari air matanya ikut mengalir. Menurutnya ketikaseseorang memeluk Islam, maka ia berhak diperlakukan sebagai seorangmuslim. Abou el Fadl tidak membenarkan tindakan yang dilakukankeluarga teman perempuan mustafti, karena menurutnya Islam memberihak kepada seorang perempuan untuk memilih suaminya yang muslim.Orang tua harus menghormati keinginan anak perempuannya, meskimereka tahu kalau pilihan tersebut salah. Syariat Islam tidakmembenarkan tindakan orang tua yang menghina atau menyiksa anaklantaran ketidakpatuhannya.

Abou el Fadl memohon pada Allah agar menunjuki orang tuatersebut sehingga dapat menghargai dan menghormati keinginan anakperempuannya untuk menikah dengan laki-laki muslim yang dicintainya.Perasaan cinta merupakan karunia terbesar yang diberikan Allah padamanusia. Mewakili orang tua, Abou el Fadl meminta maaf kepadamustafti atas perlakuan buruk yang telah diterimanya. Meskipun begitumustafti harus selalu bersabar dan meminta pertolongan Allah agar dapatmenghadapi permasalahan tersebut serta diberi solusi yang terbaik.78

2. Fatwa al-QaraḍāwiFatwa ini membahas hukum orang tua menikahkan putrinya yang

dewasa tanpa persetujuannya. Fatwa ini berupa konfirmasi dan sekaliguspertanyaan mustafti terkait tulisan di satu majalah yang menyatakanbahwa menurut mazhab Shāfi’iyyah bapak berhak menikahkan putrinyayang baligh tanpa meminta persetujuannya terlebih dahulu. Apakahpernyataan ini benar? Jika benar apakah sesuai dengan manhaj Islamyang mensyaratkan adanya persetujuan perempuan? Apakah kehadiranwali dalam akad nikah merupakan kewajiban?

Sebelum menjawab tiga pertanyaan ini al-Qaraḍāwi menyatakanbeberapa masalah penting berikut;

Pertama, seluruh ulama sepakat menyatakan bahwa pendapatmujtahid mungkin benar dan mungkin salah sehingga setiap orang bebasmemilih mana pendapat yang menurutnya dapat diambil dan manapendapat yang dapat diabaikan. Namun hal ini tidak berlaku padaperkataan dan pendapat Rasulullah. Meskipun Imam al-Shāfi’i termasukulama besar, namun ia tetaplah manusia yang tidak luput dari kesalahan.

Kedua, pendapat para mujtahid harus diposisikan sesuai kerangkahistoris, karena mereka hidup di masa tertentu yang memiliki kondisilingkungannya tersendiri. Kebiasaan yang berlaku saat Imam al-Shāfi’i

78Khaled M Abou el Fadl, https://www.searchforbeauty.org/2017/02/01/fatwa-i-am-from-a-hindu-family-and-converted-from-christianity-to-islam-and-want-to-marry-a-muslim-woman-but-her-parents-refuse-and-forbid-her-is-this-allowed/

Page 201: kontekstualisasi hukum islam

Kontekstualisasi Hukum Islam

188

hidup adalah pihak laki-laki mengajukan lamaran kepada pihakperempuan melalui keluarganya atau bapaknya sehingga jarangperempuan yang mengenal atau mengetahui laki-laki yang telahmelamarnya. Jadi bapak mempunyai otoritas khusus untuk menikahkanputrinya meski tanpa izinnya. Otoritas ini diberikan kepada bapak atasdasar kasih sayangnya, alasan baiknya dalam menimbang kesepadanan(sekufu), kematangan pertimbangannya, dan ketidakmungkinannya untukbertindak otoriter pada putrinya. Jika saja Imam al-Shāfi’i hidup di masasekarang dan melihat kondisi yang ada, sangat dimungkinkan ia akanmengubah pendapatnya seperti yang ia lakukan pada al-qaul al-jadἷd saatdi Mesir.

Ketiga, Mazhab Shāfi’iyyah telah menetapkan lima persyaratanyang harus dipenuhi seorang bapak untuk mendapat kewenangan dalammenikahkan anak perempuannya. Kelima syarat tersebut adalah,a. Tidak terdapat permusuhan yang nyata antara bapak dan anak

perempuannya.b. Calon suami yang akan dinikahkan sepadan dengan anak

perempuannya.c. Mahar yang diberikan harus sesuai.d. Tidak ada kesulitan bagi calon suami dalam memberikan mahar.e. Calon suami yang akan dinikahkan tersebut tidak akan membuat anak

perempuannya menderita, seperti buta atau sudah lanjut usia.Berdasarkan penjelasan di atas, al-Qaraḍāwi mengatakan bahwa

seorang bapak tidak boleh menikahkan anak perempuannya tanpakeridaannya. Hal ini dikarenakan banyak hadis yang menegaskan tentangkewajiban bapak untuk bermusyawarah dan meminta izin anakperempuannya saat akan dinikahkan. Di antara hadis-hadis tersebutterdapat pada Ṣaḥἷḥ al-Bukhāri berikut,

79ت ك س ت ن أ : ال ق ا؟ھ ن ذ إ ف ی ك :وقال. ن ذ أ ت س ى ت ت ح ر ك ب ال ح ك ن ت ال ...

“…Seorang perawan tidak boleh dinikahkan sampai dimintaiizinnya. Para sahabat bertanya, ‘Bagaimana keizinannya itu?(Rasulullah) menjawab, ‘Diamnya’.

80...نفسھايف اوھ ب ا أ ھ ن ذ أ ت س ی ر ك ب ال و اھ ی ل و ن م اھ س ف ن ب ق ح أ ب ی الث

“Janda itu lebih berhak atas dirinya dari pada walinya, sedangkananak perawan (harus) dimintai persetujuannya oleh bapaknya”.

79Muhammad ibn Ismail al-Bukhari, al-Jāmi’ al-Ṣaḥἷḥ. Juz. IX, (Riyāḍ: DārŢawq al-Najāh, T.th), h. 25.

80Abū al-Ḥusain Muslim ibn al-Ḥajjāj al-Qushairἷ al-Naysabūrἷ, ṢaḥἷḥMuslim. h. 528.

Page 202: kontekstualisasi hukum islam

Fatwa tentang Perempuan dan Persoalan Keluarga

189

Hadis Ibn Abbas yang diriwayatkan Abū Dāud, Ibn Mājah, danAḥmad ibn Ḥanbal berikut,

. ة رھ ا ك ي ھ ا و ھ ج و ا ز اھ ب أ ن أ ت ر ك ذ ف ملسو هيلع هللا ىلص ي ب النت ت ا أ ر ك ب ة ری ا ج ن أ 81ملسو هيلع هللا ىلص ي ب االن ھ ر ی خ ف

“Seorang anak perempuan perawan mendatangi Rasulullah SAWuntuk mengadukan bapaknya yang telah menikahkannya,sedangkan ia tidak suka. Maka Nabi SAW memberinya hak untukmemilih”.Ada lagi sebuah riwayat dari ‘Āishah ra yang didatangi seorang

perempuan sembari berkata, ‘Bapakku telah menikahkanku dengan anaksaudaranya demi mengangkat statusnya yang rendah, padahal aku tidaksuka’. ‘Āishah menyuruhnya duduk sampai Rasulullah datang. Setelahkedatangan Rasul, ia menyampaikan keluhan tersebut sehingga Beliaumenyuruh orang untuk memanggil bapaknya dan menyerahkan persoalantersebut kepada anak perempuannya. Akhirnya perempuan itu berkata,‘Ya Rasulullah aku perkenankan apa yang telah diperbuat bapakku. Akuhanya ingin agar kaum perempuan tahu bahwa para bapak tidakmempunyai (kekuasaan) dalam persoalan ini’.

Lafal perempuan dalam riwayat di atas dapat meliputi perawanatau gadis dan janda. Jika perawan berarti ia telah dinikahkan denganlaki-laki yang menurutnya tidak sekufu, sebagaimana yang dijelaskanpada riwayat Ibn Abbās di atas. Namun jika janda berarti ia telahmenjelaskan bahwa pengaduannya itu ditujukan agar kaum perempuantahu bahwa bapak tidak memiliki sedikitpun kekuasaan dalam persoalanjodoh anaknya. Imam al-Shaukāni (w. 1834 M) menambahkan bahwaseluruh riwayat ini menunjukkan kalau akad nikah yang dilakukan waliuntuk menikahkan anak perempuannya yang dewasa tanpa izinnyadihukum batal dan tidak sah. Pendapat ini memiliki kesamaan denganpendapatImam al-Awzā’i (w. 774 M), al-Thauri (w. 778 M), al-Itrah,ulama Ḥanāfiyyah, dan Imam al-Tirmidhi (w. 892 M).

Pada salah satu tulisannya, Ibn Taimiyyah mewajibkan bapakuntuk meminta izin anak gadisnya yang dewasa dan tidak bolehmemaksanya untuk menikah. Pendapat inilah yang benar dan dipilihImam Ahmad serta ulama Ḥanāfiyyah. Tindakan menjadikan perawansebagai alasan untuk membatasi hak perempuan sangat bertentangandengan prinsip Islam. Oleh karena itu, pemahaman yang benar adalahmenjadikan faktor masih kecil sebagai ‘illat ijbār sehingga kekuasaanwali terbatas pada putrinya yang masih kecil saja. Adapun pada anak

81Imām al-Ḥāfiẓ Abi Dāud Sulaimān ibn al-Ash’ath al-Sijistānἷ, Sunan AbἷDāud, Juz. III, h. 26

Page 203: kontekstualisasi hukum islam

Kontekstualisasi Hukum Islam

190

perempuan dewasa, wali tidak memiliki otoritas untuk memaksanyamenikah. Hal ini sebagaimana yang ditegaskan dalam riwayat berikut,

هللایارسول:ل ی ق ف . ر م أ ت س ى ت ت ح ب ی الث ال و ن ذ أ ت س ى ت ت ح ر ك ب ال ح ك ن ت ال 82اھ ات م ا ص ھ ن ذ إ : ال ق ف . ي ح ت س ت ر ك ب ال ن إ

“Tidak boleh seorang perawan dinikahkan sampai dimintaipersetujuannya. Dan tidak boleh juga seorang janda dinikahkansampai ia diajak musyawarah. Lalu ada yang bertanya,’sesungguhnya perawan itu pemalu’. (Rasulullah) menjawab,‘Persetujuannya adalah melalui diamnya’”.Beberapa riwayat hadis di atas menunjukkan bahwa Rasulullah

melarang wali, baik bapak atau wali lainnya, untuk menikahkan anakperempuan tanpa persetujuannya. Bahkan dalam satu riwayat dikatakanbahwa bapak harus meminta persetujuan anak perempuannya secaralangsung. Sama halnya dengan harta anak yang sudah dewasa danberakal, di mana bapak tidak dibenarkan menggunakannya. Bagaimanamungkin bapak dapat semena-mena melangkahi harga diri dankehormatan anak yang sudah dewasa, serta mempunyai sikap danperasaan yang posisinya jauh lebih tinggi dari pada harta benda?Membatasi kebebasan anak perempuan dengan alasan masih kecil harusdidasari pada naŞŞ dan ijmā’. Sementara menjadikan perawan sebagai‘illat untuk membatasi anak perempuan dewasa adalah menentang prinsipIslam karena sifatnya yang tidak berpengaruh kepada syariat.

Hadis yang menyatakan bahwa janda lebih berhak memutuskanpernikahan untuk dirinya dijadikan sebagai alasan para ulama dalammembolehkan wali memaksa perawan untuk menikah. Kebolehan inidilatari alasan bahwa yang lebih berhak atas diri perawan adalah walinya,bukan dirinya sendiri. Menurut al-Qaraḍāwi para ulama ini tidakberpegang pada zahir hadis dan tidak mengamalkan naŞŞ.Mereka hanyaberpegang pada pemahaman hadis sehingga riwayat yang menyatakanbahwa perawan harus dimintai izinnya tidak mereka pahami sebagaisuatu kewajiban. Mereka hanya memahaminya sebagai anjuran sehinggadapat dikiaskan. Pendapat ini dipegang oleh sebagian ulama Shāfi’iyyahdan Ḥanābilah yang dianggap al-Qaraḍāwi menentang naŞŞ hadis danijmā’ para ulama.

Al-Qaraḍāwi menambahkan bahwa perbedaan lafal al-amr yangdipakai untuk janda dengan lafal al-idhn untuk perawan dalam hadis-hadis di atas bukan menunjukkan kebolehan memaksa atau tidak, namunmerupakan cara Rasulullah dalam membedakan antara janda dan

82Muhammad ibn Ismail al-Bukhari, al-Jāmi’ al-Ṣaḥἷḥ. Juz. IX, h. 26

Page 204: kontekstualisasi hukum islam

Fatwa tentang Perempuan dan Persoalan Keluarga

191

perawan. Karakter perawan yang biasanya pemalu menyebabkan lamaranuntuknya diajukan kepada wali agar disampaikan kepadanya dan dimintaipersetujuannya. Hal ini berarti perawan tidak menyuruh wali untukmenikahkannya, namun ia hanya memberi izin jika diminta wali. Adapunjanda yang biasanya sudah tidak malu membahas pernikahan, makabiasanya lamaran ditujukan langsung kepadanya. Jika lamaran diterima,ia akan menyuruh wali untuk menikahkannya dan wali tidak dapatmenolak permintaan itu jika calon suaminya sekufu.

Pensyariatan nikah dalam Islam ditujukan untuk membentuk rasakasih sayang bagi suami isteri. Jika di awal pernikahan sudah terdapatkebencian atau ketidaksukaan antara suami isteri, maka bagaimanakahakan tercipta rasa kasih sayang tersebut? Bagaimana juga isteri akanmelakukan jimā’ dengan suami yang tidak disukainya? Berdasarkankenyataan ini dan prinsip Islam, al-Qaraḍāwi menyatakan bahwa walitidak boleh memaksa anak perempuan yang sudah dewasa untuk menikahtanpa disetujuinya. Adapun perempuan yang menikahkan dirinya sendiritanpa izin walinya dalam pandangan mazhab Ḥanāfiyyah diperbolehkandengan syarat sepadan (sekufu). Menurut mereka hadis-hadis terkait walidalam pernikahan tidak ada yang kuat. Sementara itu dalam pandanganmayoritas ulama, keberadaan wali merupakan syarat sah pernikahan.Pendapat ini selain dilatari oleh riwayat berikut, “Tidak sah nikah tanpawali”, juga dimaksudkan agar setelah menikah isteri tidak hanyamendapat kasih sayang dari suami saja, namun juga dari keluarganya.Tujuan ini tidak akan terwujud jika pernikahan yang dilakukan tanpadirestui wali. Oleh karena itu, dalam pandangan al-Qaraḍāwi seluruhpernikahan yang telah terjadi, ditetapkan sah di mata hukum selamasudah dilegalisasi hakim, baik diizinkan wali atau tidak dan adapemaksaan wali atau tidak. Tidak ada siapapun yang berhak menggugatatau membatalkannya.83

Meski demikian jika anak perempuan dilamar seorang laki-lakiyang sepadan, serta memiliki akhlak dan pengamalan agama yang baik,maka orang tua atau wali tidak boleh menghambat atau menundapernikahan tersebut. 84 Hal ini sesuai dengan sebuah hadis yangdiriwayatkan al-Tirmidhi berikut,

83Yūsuf al-Qaraḍāwi, Min Hady al-Islām Fatāwā Mu’āŞirah, Juz. II,

(Kairo: Dār al-Qalm, 2005), h. 337-341.84Yūsuf al-Qaraḍāwi, al-Ḥalāl wa al-Ḥarām fἷ al-Islām, h. 158. Pada

riwayat lain dari al-Tirmidhi, Rasululah SAW pernah bersabda, “Ada tiga hal yangtidak dapat ditunda yaitu salat jika waktunya telah datang, jenazah jika sudah tiba,dan (menikahkan) perempuan jika jodoh yang sepadan sudah diperoleh”.

Page 205: kontekstualisasi hukum islam

Kontekstualisasi Hukum Islam

192

ن و ض ر ت ن م م ك ی ل إ ب ط ا خ ذ إ : ملسو هيلع هللا ىلصهللا ل و س ر ال ق : ال ق ة ر ی ر ي ھ ب أ ن ع 85ض ی ر ع اد س ف و ض ر األ يف ة نت ف ن ك ا ت و ل ع ف ت ال إ , ه و ج و ز ف ھ ق ل خ و ھ نی د

“Dari Abu Hurairah berkata: Rasulullah SAW bersabda; Jikaseorang yang agama dan akhlaknya kamu sukai (datang)meminang, maka nikahkanlah (anakmu) dengannya. Jika tidakkamu lakukan maka (anakmu) akan menjadi fitnah di muka bumidan kerusakan yang besar”.

3. Pendapat Para UlamaDiskursus memilih suami atau pasangan hidup dalam Islam tidak

dapat dilepaskan kaitannya dengan pembahasan wali. Hal ini dikarenakanmayoritas ulama menyatakan bahwa keberadaan wali dalam pernikahanmerupakan suatu keniscayaan, baik ia hadir saat akad nikah atau tidak.Jadi meskipun perempuan merdeka dan sudah dewasa, kekuasaan walimasih berlaku atas dirinya sehingga tidak sah akad nikah tanpa kehadiranataupun perizinan wali. Mayoritas sahabat menyetujui pendapat ini diantaranya ‘Āishah (w. 678 M), Ibn Abbās (w. 687 M), Ibn ‘Umar (w. 693M), Ibn Mas’ūd (w. 650 M), dan Abū Hurairah (w. 681 M). Selain dianutulama mazhab Mālikiyyah, Shāfi’iyyah, dan Ḥanābilah, pendapat ini jugadidukung oleh Sa’ἷd ibn al-Musayyab (w. 715 M), Ḥasan, ‘Umar ibn‘Abd al-‘Azἷz (w. 720 M), Jābir ibn Zaid (w. 711 M), al-Thauri (w. 778M), Ibn Abi Laila (w. 702 M), Ibn Shubrumah, Ibn al-Mubārak (w. 1818H), dan ‘Ubaydillah al-Anbāri (w. 168 H). Mereka mendasari pendapatdengan beberapa riwayat, di antaranya adalah,

86)رواه ابوداود(لي و ب إال اح ك ن ال

“Tidak (sah) pernikahan tanpa adanya wali”

ن إ ف . اتر م ثالث ل اط ا ب ھ اح ك ن ف لیھاو م ن ذ إ ر ی غ ب ت ح ك ن أة ر م ا إم ی أ ن م ي ل و ان ط ل الس ف ،او ر ج اش ت ن إ ف . اھ ن م ب ا أصام ا ب ھ ل المھر ف ا ھ ب ل خ د 87ھ ل ي ل و ال

85Muhammad ibn ‘Isa ibn Thawrah al-Tirmidhi, Sunan al-Tirmidhi, Juz. II,(Beirūt: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2000), h. 172.

86Imām al-Ḥāfiẓ Abi Dāud Sulaimān ibn al-Ash’ath al-Sijistānἷ, Sunan AbἷDāud, Juz. III, h. 21. Hadis ini juga diriwayatkan Ibn Ḥibbān dan Ḥākim denganmenetapkan status Şaḥἷḥ. Al-Shaukāni mengatakan bahwa riwayat ini Şaḥἷḥ karenadi dalamnya terdapat beberapa isteri Rasulullah yaitu, ‘Āishah, Ummu Salamah, danZainab binti Jaḥshi. Lihat al-Shaukāni, Nail al-Awṭār Sharḥ Muntaqā al-Akhbār minAḥādith Sayyid al-Akhyār, Juz. VI, h. 118.

87Imām al-Ḥāfiẓ Abi Dāud Sulaimān ibn al-Ash’ath al-Sijistānἷ, Sunan AbἷDāud, Juz. III, h. 20. Al-Shaukāni (w. 1834 M) mengatakan bahwa hadis ini

Page 206: kontekstualisasi hukum islam

Fatwa tentang Perempuan dan Persoalan Keluarga

193

“Perempuan mana saja yang menikah tanpa izin walinya makapernikahannya batil, (diucapkan sebanyak) tiga kali. Jika suamitelah melakukan jimā’ maka (isteri) akan mendapat mahar lantaran(persetubuhan itu). Jika mereka berselisih, maka pemimpin akanmenjadi wali bagi orang yang tidak mempunyai wali”.Di sisi lain ulama Ḥanāfiyyah tidak menetapkan wali sebagai

bagian penting dalam pernikahan (rukun). Menurut Abū Ḥanἷfah (w. 767M) dan Abū Yūsuf (w. 798 M) perempuan dewasa dapat menikahkandirinya sendiri atau menikahkan perempuan lainnya. Namun keberadaanwali ‘aŞābah dapat mengajukan penolakan terhadap pernikahan tersebutsehingga hakim dapat membatalkannya jika ternyata calon suami tidaksepadan (sekufu) dengan calon isterinya atau mahar yang dibayarkannyakurang dari standar mahar mithil.88

Selain berbeda tentang keberadaan wali dalam pernikahan duakelompok ulama di atas juga berbeda terhadap keridaan kedua calonsuami isteri. Menurut mayoritas ulama rida dari kedua pihak merupakansyarat sah akad nikah. Artinya jika terdapat unsur pemaksaan baikterhadap keduanya maupun pada salah satu pihak, maka akad nikahnyadianggap rusak. Hal ini dikarenakan keridaan kedua pihak merupakan intidari semua akad, termasuk jual beli dan shirkah. Ulama Ḥanābilahmenambahkan syarat baligh dan berakal sekalipun budak sebagai faktoryang menyebabkan terlarangnya seseorang dinikahkan secara paksa olehwalinya. 89 Sementara ulama Ḥanāfiyyah tidak menjadikan keridaansebagai syarat sah pernikahan. Menurut mereka sebenarnya orang yangdipaksa itu memang ingin menikah, namun tidak suka dengan akibathukum dari pernikahan tersebut. Dengan demikian pernikahan yangdilakukan dengan pemaksaan dipandang sah oleh ulama Ḥanāfiyyah,sama seperti dengan gurauan.90

Beranjak dari dua permasalahan di atas, pembicaraan para ulamaberlanjut kepada persoalan bentuk izin dari perempuan yang akan

diriwayatkan juga oleh Abu ‘Awānah (w. 316 H), Ibn Ḥibbān (w. 965 M) danḤākim (w. 1012 M) serta ditetapkan ḥasan oleh al-Tirmidhi (w. 892 M). Ada yangmenetapkannya sebagai hadis mursal karena perkataan Ibn Juraiḥ tentangpertemuannya dengan al-Zuhra yang membantah telah menyampaikan hadistersebut. al-Shaukāni, Nail al-Awṭār Sharḥ Muntaqā al-Akhbār min Aḥādith Sayyidal-Akhyār, Juz. VI, h. 119.

88Wahbah al-Zuhayli, al-Fiqh al-Islām wa Adillatuhu, Juz. IX, h. 6698-6699.

89‘Abd al-Raḥmān al-Jazἷri, Kitāb al-Fiqh ‘alā al-Madhāhib al-Arba’ah,Juz. IV, h. 22.

90Wahbah al-Zuhayli, al-Fiqh al-Islām wa Adillatuhu, Juz. IX, h. 6567-6568.

Page 207: kontekstualisasi hukum islam

Kontekstualisasi Hukum Islam

194

dinikahkan. Hal ini dikarenakan terdapat beberapa riwayat yangmengindikasikan adanya bentuk persetujuan perempuan untukdinikahkan oleh wali, di antaranya adalah,

ن ذ أ ت س ی ر ك ب ال ا و ھ ی ل و ن ا م ھ س ف نب ق ح أ ب ی الث ا ھ ن ذ إ و ا ھ س ف نيف اأبوھ ھا91اھ ات م ص

“Janda itu lebih berhak atas dirinya dari pada walinya, sedangkananak perawan (harus) dimintai persetujuannya oleh ayahnya. Danpersetujuannya itu (ditunjukkan dengan) diam”.Berdasarkan riwayat di atas para ulama sepakat tentang tidak boleh

memaksa janda untuk menikah karena ia punya kuasa atas dirinya untukmenetapkan pernikahan. Hal yang sama juga diberlakukan terhadapperawan yang sudah dewasa menurut ulama Ḥanāfiyyah. Jika wali maumenikahkannya harus minta izin terlebih dahulu dengan ucapan yangjelas. Jika tidak, berarti pernikahan itu telah menentang naŞŞ dan legalitasakadnya tergantung kepada keridaan perempuan tersebut. 92 Pendapatsenada dikemukakan ulama Mālikiyyah dengan menyatakan bahwameskipun diamnya perawan ini dapat dipahami sebagai tandakerelaannya untuk dinikahkan, namun hendaklah dipertegas denganucapan. Artinya wali disunnahkan untuk memberitahu perawan tentanglamaran tersebut dan apapun keputusannya harus diungkap melalui kata-kata sehingga wali tidak akan menikahkannya secara sembarangan.Ucapan perawan tersebut sangat dibutuhkan terlebih lagi jika ia akandinikahkan dengan calon suami yang cacat atau budak, atau jika iamerupakan perempuan dewasa yang dapat mengelola keuangan sendiri.93

Terkait hal ini jika wali menikahkan perempuan dengan laki-laki yangtidak sepadan maka perempuan itu punya hak untuk membatalkanpernikahan. Hal ini pernah terjadi di masa Rasul, saat ada perempuan

91Abū al-Ḥusain Muslim ibn al-Ḥajjāj al-Qushairἷ al-Naysabūrἷ, ṢaḥἷḥMuslim, h. 528. (hadis ke-1421) Lihat juga ‘Alāu al-Din ‘Ali ibn Balbān al-Fārisy,al-Iḥsān bi Tartἷb Ṣaḥἷḥ Ibn Ḥibbān, Juz. VII, (Beirūt: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah,1996), h. 155.

92‘Abd al-Raḥmān al-Jazἷri, Kitāb al-Fiqh ‘alā al-Madhāhib al-Arba’ah,Juz. IV, h. 33-34.

93Wahbah al-Zuhayli, al-Fiqh al-Islām wa Adillatuhu, Juz. IX, h. 6718.Penetapan dewasa harus dinyatakan wali melalui pengumuman yang menjelaskanbahwa perempuan itu memang sudah dewasa sehingga layak mengurus urusannyasendiri termasuk menikah. Kehadiran bukti sangat dibutuhkan untuk memperkuatpengakuan wali. Setelah pengakuan ini, perempuan tersebut dianggap sebagai jandayang tidak boleh dinikahkan tanpa persetujuannya. Lihat ‘Abd al-Raḥmān al-Jazἷri,Kitāb al-Fiqh ‘alā al-Madhāhib al-Arba’ah, Juz. IV, h. 28.

Page 208: kontekstualisasi hukum islam

Fatwa tentang Perempuan dan Persoalan Keluarga

195

yang mengadukan bapak yang telah menikahkannya dengan laki-lakiyang tidak sepadan dan tidak disukainya. Lantas Rasul memberinya hakmemilih saat itu. Begitu juga sebaliknya wali dapat membatalkanpernikahan jika suami yang menikahi perempuan yang diampunya tidaksepadan (kafā’ah).94

Kesepadanan (kafā’ah) merupakan kesamaan antara laki-lakidengan perempuan yang akan dinikahinya terkait hal-hal yang khusus.Rasulullah pernah menjelaskan tentang hal ini dalam sebuah riwayat yangartinya, “Seorang perempuan dinikahi berdasarkan empat hal yaitukekayaan, keturunan (ḥasab), kecantikan, dan agamanya. Namun pilihlahaspek agama, niscaya kamu akan beruntung”.95Hadis ini menjelaskantentang empat alasan dalam memilih pasangan yaitu kekayaan,keturunan, kecantikan dan agama. Meski demikian para ulama mazhabmensyaratkan kesepadanan pernikahan (kafā’ah) ini hanya diperuntukkanbagi laki-laki yang akan dinikahkan wali dengan perempuan.Kesepadanan ini tidak diberlakukan untuk perempuan karena laki-lakidapat menikahi perempuan manapun dalam status apapun termasukbudak. Jika seorang perempuan dinikahkan wali dengan laki-laki yangtidak sepadan dengannya, maka ia dapat menuntut pembatalanpernikahan. Begitu juga sebaliknya jika seorang perempuan menikahdengan laki-laki yang tidak sepadan, maka wali juga dapat menuntutpembatalan atas pernikahannya.96

Menurut para ulama kesepadanan diukur berdasarkan penilaianmasyarakat. Artinya tradisi dan adat kebiasaan menjadi acuan dalammengukur kelayakan seorang laki-laki menikahi seorang perempuan.Oleh karena itu, para ulama mazhab berbeda-beda dalam menetapkankriteria kesepadanan pernikahan. Ulama Ḥanāfiyyah menetapkan enamkriteria sepadan yaitu: keturunan, Islam, pekerjaan atau keahlian, statusmerdeka, pengamalan agama, 97 dan harta. Kriteria sepadan yang

94Wahbah al-Zuhayli, al-Fiqh al-Islām wa Adillatuhu, Juz. IX, h. 6744.95Abi ‘Abdullah Muhammad Ibn Yazid al-Qazwaini, Sunan Ibn Mājah, Juz.

I, (Beirūt: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, T.th), h. 597. Hadis ini diriwayatkan olehbanyak perawi kecuali al-Tirmidhi. Ada ulama yang memahami lafal ḥasab denganmakna harta dan ada juga yang memahaminya dengan makna perbuatan baik.Namun kedua makna ini ditolak karena aspek yang tepat dijadikan acuan dalammemilih pasangan adalah kehormatan dan kemuliaan keluarga. Al-Shaukāni, Nailal-Awṭār Sharḥ Muntaqā al-Akhbār min Aḥādith Sayyid al-Akhyār, Juz VI, h. 105.

96‘Abd al-Raḥmān al-Jazἷri, Kitāb al-Fiqh ‘alā al-Madhāhib al-Arba’ah,Juz. IV, h. 50.

97Pengamalan agama didasari atas keyakinan yaitu sama-sama muslim danini merupakan hak wali. Jadi wali berhak menuntut pembatalan jika perempuan yangdiampunya menikah dengan laki-laki yang berbeda keyakinan. Adapun hak

Page 209: kontekstualisasi hukum islam

Kontekstualisasi Hukum Islam

196

ditetapkan ulama Mālikiyyah ada empat yaitu; harta, status merdeka,keturunan, dan pekerjaan. Kesepadanan menurut ulama Shāfi’iyyah adaempat juga yaitu; keturunan, agama, status merdeka, dan pekerjaan.98

Adapun ulama Ḥanābilah menetapkan kesepadanan dengan lima kriteriayaitu pengamalan agama, pekerjaan, kecukupan harta, status merdeka,dan keturunan.99

Senada dengan pendapat ulama di atas Majelis TarjihMuhammadiyah mengharuskan adanya persetujuan dan kerelaan antarapihak laki-laki dan perempuan dalam memilih pasangan. Artinyakebahagiaan dan kelanggengan suatu rumah tangga tidak ditentukan olehkuasa wali, namun oleh kedua suami isteri. Dalam berbagai riwayatRasulullah sering menyelesaikan sengketa anak perempuan yangmengadukan ayahnya lantaran memaksanya menikah dengan laki-lakipilihan ayahnya. Semua aduan tersebut diselesaikan Rasulullah denganmenolak tindakan wali dan mengalihkan kuasa memilih jodoh kepadaanak perempuan.100 Akan tetapi kebebasan perempuan dalam memilihsuami harus memperhatikan dua hal yaitu sekufu serta kematangan fisikdan psikis. Sekufu yang berarti sepadan terdiri atas empat aspek yaitukeimanan, kekayaan, keturunan, dan kerupawanan. Meskipun keempataspek ini dapat menciptakan ketentraman dan kebahagiaan keluarga,namun mewujudkan semuanya sangat sulit. Oleh karena itu, minimalaspek pertama yaitu sepadan dalam hal keimanan yang dijadikan acuanutama dalam memilih pasangan.101 Jika suami isteri sudah sepadan dalamkeyakinan berarti mereka memiliki visi dan misi yang sama sehinggadiharapkan dapat menjembatani berbagai perbedaan budaya dan bahasa.Adapun kematangan fisik sangat dibutuhkan lantaran terkait dengan

perempuan dalam hal ini adalah bebas dari cacat. Jika ia dinikahkan dengan suamiyang punya cacat fisik, maka ia juga berhak menuntut pembatalan pernikahan.

98Ulama Shāfi’iyyah memandang sepadan sebagai sesuatu yang denganketiadaannya akan menyebabkan malu. Sepadan ini mengacu kepada kesamaandengan isteri dalam kesempurnaan dan kekurangan selain keterbebasan dari cacatdalam pernikahan. Maksud bebas dari cacat bukan berarti keduanya harus sepadan.Jika laki-laki buta dinikahkan dengan perempuan buta, maka mereka berdua dapatmenuntut pembatalan pernikahannya. Kondisi ini tidak dapat disebut sepadan karenaseseorang mungkin membenci sesuatu yang ada pada diri orang lain, namun tidakdibencinya jika ada pada dirinya.

99‘Abd al-Raḥmān al-Jazἷri, Kitāb al-Fiqh ‘alā al-Madhāhib al-Arba’ah,Juz. IV, h. 47-52.

100Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, HimpunanPutusan Tarjih 3, (Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2018), h. 377

101Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, HimpunanPutusan Tarjih 3, h. 375-376.

Page 210: kontekstualisasi hukum islam

Fatwa tentang Perempuan dan Persoalan Keluarga

197

proses reproduksi, sedangkan kematangan psikis dibutuhkan dalammenghadapi berbagai polemik dan konflik yang terjadi selamapernikahan. Setelah menikah kedua suami isteri pasti akan menghadapiberbagai persoalan baik yang berasal dari diri mereka sendiri maupunberasal dari pihak luar. Banyak pasangan muda yang bercerai akibat tidakmampu menyelesaikan konflik yang terjadi di rumah tangganya.102

Berbeda dengan Majelis Tarjih, pendapat hukum Bahtsul MasailNU dalam hal ini mengalami fluktuasi. Fatwa tahun 1930 menetapkanbahwa wali boleh memaksa anak perempuannya yang dewasa untukdinikahkan dengan calon suami pilihannya. Namun di akhir fatwa,kebolehan ini dikaitkan dengan hukum makruh asal tidak akanmenimbulkan bahaya.103 Tahun 2013 dikeluarkan lagi fatwa yang secarategas melarang wali memaksa anak perempuannya untuk dinikahkandengan laki-laki pilihannya. Jika anak dan orang tua punya pilihanmasing-masing, maka anak hendaklah menolaknya dengan santun danorang tua tidak boleh bersikukuh memaksakan pilihannya. Harus adakompromi dan musyawah antara keduanya.104 Akan tetapi tahun 2014NU kembali mengeluarkan fatwa yang sama seperti fatwa pertama yaitumakruh bagi orang tua untuk memaksa anaknya menikah dengan calonpilihannya. Kemakruhan ini dilatari atas kekhawatiran akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. 105 Pada fatwa terbaru NU tahun 2018ditambahkan persyaratan sekufu yang harus dipenuhi ketika akanmemilih pasangan. Selain sepadan dalam hal keyakinan, sekufu jugaharus dinilai dari akhlak dan perilaku. Artinya meskipun muslim, namun

102 Demi mencegah maraknya perceraian, beberapa negara muslim telahmenetapkan batas minimal usia pernikahan. Sudan menetapkan 10 tahun bagimuslim dan 15 tahun bagi non-muslim. Semenjak dilahirkan, orang tua di pakistandapat menikahkan anaknya, meski ketika baligh dapat dibatalkan atas kehendakanak tersebut. Sementara Iran menetapkan 15 tahun bagi laki-laki dan 13 tahun bagiperempuan. Di sisi lain peraturan pernikahan di Saudi ditujukan untuk memastikankebahagiaan suami isteri dan mencegah efek negatif dari penundaan menikah.Tujuan ini diwujudkan dengan tidak dibatasinya usia menikah bagi warga Saudi.Lihat Kamran Hashemi, “Religious Legal Traditions, Muslim States and theConvention on the Rights of the Child: An Essay on the Relevant UNDocumentation”, in Human Rights Quarterly, Vol. 29, No. 1 (2007), h. 202.

103Nahdlatul Ulama, Ahkam al Fuqaha’, h. 78.104Tim PW LBM NU Jawa Timur, NU Menjawab Problematika Umat,

Jilid. 2, (Surabaya: PW LBM NU Jawa Timur, 2015), h. 445-449.105Fatwa NU Online tanggal 12-06-2014, diakses dari http://www.nu.or.id

/post/read/52626/bolehkah-ayah-memaksa-anak-gadisnya-menikah

Page 211: kontekstualisasi hukum islam

Kontekstualisasi Hukum Islam

198

jika ia seorang pezina maka tidak pantas menikahi muslimah baik-baik.106

Begitu juga orang keji, tidak layak dinikahkan dengan perempuan baik-baik.107

Diskursus pernikahan yang dipaksa sebenarnya sudah dibicarakanulama klasik dan mereka membolehkan wali melakukan hal itu, karenabesarnya kekuasaan yang dimilikinya. Pada umumnya muslimah dinegara-negara Arab menerima hal ini, karena dianggap sebagai perintahAlquran. Akan tetapi dalam beberapa tahun belakangan, beberapa negaramuslim seperti Maroko telah merevisi peraturan tersebut denganmelarang wali menikahkan perawan secara paksa atau tanpa izinnya.Revisi ini penting dilakukan karena selain tidak sesuai dengan kondisisosial masyarakat, pernikahan paksa juga bertentangan dengan beberapariwayat hadis.108

Terlepas dari semua pendapat ulama di atas, kalau dilihat dari sisihukum positif Indonesia diskursus memilih pasangan hidup terkaitdengan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan danperubahannya pada Undang-undang RI Nomor 16 Tahun 2019, sertaKompilasi Hukum Islam. Pasal 1 UU Perkawinan menyatakan bahwaperkawinan merupakan ikatan lahir batin antara laki-laki dan perempuandan bertujuan membentuk keluarga yang kekal,serta bahagia berdasarkanKetuhanan Yang Maha Esa. Agar tujuan ini dapat terwujud maka pasal 6ayat 1 menyatakan bahwa perkawinan harus dilandasi atas persetujuankedua calon suami isteri. Artinya pernikahan yang dilakukan tersebuttidak boleh dilatari oleh unsur pemaksaan terhadap kedua pihak.Ketidaksetujuan akibat pemaksaan pernikahan akan membuat keduasuami isteri tidak bahagia sehingga keluarga yang kekal tidak dapatterwujud. Di sisi lain salah satu faktor penting dalam mencapai tujuanperkawinan adalah kematangan suami isteri baik secara fisik maupunpsikis. Undang-undang Perkawinan telah mengatur batas usia calonsuami dan isteri yang dianggap matang melakukan pernikahan dalampasal 7 ayat 1 namun telah diubah oleh Undang-undang Nomor 16 Tahun2019. Pada perubahan ini ditegaskan bahwa pernikahan hanya akandiizinkan jika laki-laki dan perempuan sudah sama-sama mencapai usia

106“Laki-laki pezina tidak (pantas) kecuali menikahi perempuan pezina atauperempuan musyrik. Dan perempuan pezina tidak (pantas juga) kecuali dinikahioleh laki-laki pezina atau musyrik. Dan hal yang demikian itu diharamkan atasorang-orang yang beriman”.(QS. al-Nūr: 3)

107Fatwa NU Online tanggal 02-07-2018, diakses dari http://www.nu.or.id/post /read/92393/petunjuk-al-quran-dalam-memilih-suami-dan-istri

108Azizah Yahia al-Hibri, “Muslim Women's Rights in the Global Village:Challenges and Opportunities”, in Journal of Law and Religion, Vol. 15, No. 1/2(2000 - 2001), h. 42-43.

Page 212: kontekstualisasi hukum islam

Fatwa tentang Perempuan dan Persoalan Keluarga

199

19 tahun. 109 Jika ternyata suatu pernikahan dianggap tidak memenuhisemua persyaratan, maka pernikahan tersebut dapat dicegah (pasal 13).Pihak yang dapat mencegah terjadinya pernikahan ini adalah keluarga,saudara, wali nikah, wali, dan pengampu dari kedua calon suami isteri(pasal 14 ayat 1). Berdasarkan pasal ini dapat dipahami bahwa wali ataukeluarga masing-masing pihak punya otoritas terhadap keberlangsunganakad nikah. Artinya jika calon pasangan yang akan menikah itu dianggaptidak sepadan atau ada hal lain yang dirasa tidak benar, maka keluargadan wali punya kuasa untuk mencegah terjadinya pernikahan. Otoritasterhadap pernikahan juga dimiliki pasangan suami isteri, di mana merekajuga dapat mengajukan pembatalan pernikahan jika terdapat unsurancaman yang melanggar hukum saat akad nikah berlangsung (pasal 27ayat 1).110 Kedua pasal di atas mengindikasikan bahwa masing-masingpihak (calon suami isteri dan keluarga atau wali) mempunyai otoritas danbatasan terhadap legalitas suatu pernikahan.

Aturan senada juga ditetapkan Kompilasi Hukum Islam yangmenegaskan persetujuan kedua calon mempelai sebagai landasandiberlangsungkannya pernikahan (pasal 16 ayat 1). Persetujuan tersebutdapat diberikan calon isteri dalam pernyataan tegas baik berbentukucapan, tulisan, isyarat, ataupun diamnya yang mengindikasikan kepadatidak adanya penolakan (pasal 16 ayat 2). Pasal ini berupaya mencegahtindakan pemaksaan yang biasanya dilakukan wali kepada perempuanyang diampunya untuk menikah. Tanpa memperdulikan setuju atautidaknya, wali bersikukuh dengan calon suami yang telah dipilihnyauntuk menikah dengan perempuan yang diampunya dengan beragamalasan. Negara juga melindungi suatu pernikahan dari upaya pencegahanyang diajukan wali atau keluarga dengan alasan tidak sepadan.Alasanketidaksepadanan yang dapat diterima untuk mencegah terjadinyapernikahan adalah perbedaan agama (pasal 61). Artinya perbedaan suku,keturunan, atau status sosial tidak dapat menjadi acuan dicegahnya suatupernikahan. Di sisi lain dalam pasal 71 KHI juga menetapkan bahwasuatu pernikahan dapat dibatalkan jika suami isteri belum mencapai usia

109 Undang-undangNomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan UUPernikahan menambah batas usia perempuan untuk menikah yang sebelumnyaditetapkan minimal 16 tahun menjadi 19 tahun. Penambahan ini dilatari olehbanyaknya efek negatif terhadap tumbuh kembangnya perempuan akibat pernikahandi usia ini. Perubahan UU Perkawinan ini juga ditujukan untuk memenuhi hak dasaranak yaitu hak perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, hak sipil anak, hakpendidikan, hak kesehatan, serta hak sosial anak.

110Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas UUNomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Page 213: kontekstualisasi hukum islam

Kontekstualisasi Hukum Islam

200

minimal menikah (poin d) dan terdapat unsur pemaksaan saat pernikahandilakukan (poin f). Selain itu suami isteri juga punya hak untukmengajukan pembatalan pernikahan jika saat menikah mereka berada dibawah ancaman yang melanggar hukum (pasal 72 ayat1).111

4. Analisis Fatwaa. Penafsiran atas al-NuŞūŞ al-shar’iyyah

Abou el Fadl tidak mendasari fatwa memilih pasangan hidup atausuami dengan naŞŞ secara jelas. Namun melalui penyataannya terkait hakyang diberikan Islam kepada perempuan untuk memilih suami yangmuslim, mengindikasikan secara tersirat kepada beberapa naŞŞ. Hadisterkait kriteria sepadan dalam agama, 112 dan wali harus meminta izinperempuan untuk dinikahkan, serta terlarangnya wali menikahkan tanpapersetujuannya 113 menunjukkan adanya hak yang dimiliki perempuandalam memilih suami. Hak yang sama juga dimiliki laki-laki dalammemilih isteri. Menurut Abou el Fadl syariat Islam memandanghubungan antara laki-laki dan perempuan berlandaskan kepada asaskeadilan yang menuntut adanya kesetaraan pada aspek kesempatan, nilaidan kepatutan. 114 Adapun terkait sikap terhadap hadis, Abou el Fadlmenyatakan bahwa pengambilan hadis sebagai sumber hukum harusdisesuaikan dengan permasalahannya dan tidak boleh dicampur. Artinyahadis yang terkait dengan ibadah harus dipakai untuk kasus ibadah, bukanadab dan bukan pula sebaliknya. Senyum dan jabat tangan tidak termasukbagian dari ibadah, namun termasuk kategori adab karena merupakanbagian dari etika bisnis. Akan tetapi urusan bisnis tidak akan batal meskitanpa adanya senyum dan jabat tangan. 115 Hal ini berarti diskursusmemilih suami menurut Abou el Fadl termasuk ke dalam persoalanmuamalah yang penentuannya berada di tangan perempuan, bukan wali.

111Kompilasi Hukum Islam Buku I Hukum Perkawinan.112“Seorang perempuan dinikahi berdasarkan empat hal yaitu kekayaan,

keturunan (ḥasab), kecantikan, dan agamanya. Namun pilihlah aspek agama, niscayakamu akan beruntung”.

113Janda itu lebih berhak atas dirinya dari pada walinya, sedangkan anakperawan (harus) dimintai persetujuannya oleh bapaknya”.

114Khaled M Abou el Fadl, The Great Theft Wrestling Islam from TheExtremists, h. 261.

115Prinsip Abou el Fadl terhadap hadis adalah dalam hal-hal yang terkaitdengan pengetahuan khusus atau teknis seperti kesehatan, muamalah, dankekhususan Rasul, hadis tidak dapat dijadikan sebagai hujjah hukum. Sementaradalam hal yang terkait dengan peran Rasul sebagai hakim atau pemimpin, hadisdapat dijadikan sebagai hujjah hukum. Khaled M Abou el Fadl, And God Knows TheSoldier: The Authoritative and Authoritarian in Islamic Discourse, h. 50.

Page 214: kontekstualisasi hukum islam

Fatwa tentang Perempuan dan Persoalan Keluarga

201

Pemahaman ini sesuai dengan realitas sosial masyarakat, terlebih lagi dimasa sekarang.

Berbeda dengan al-Qaraḍāwi yang mendasari fatwa memilih suamidengan lima hadis secara jelas. Meski pendapat ulama berbeda-bedaterhadap empat hadis pertama,116 namun maksud yang mereka kehendakisama yaitu sama-sama memberi kebebasan perempuan, baik perawanmaupun janda, untuk memilih calon suami. 117 Menurut al-Qaraḍāwipengambilan hadis sebagai dasar hukum harus diawali dengan penelitianterhadap otentitasnya agar layak dijadikan sebagai landasan hukum.Setelah itu barulah pengkajian hadis dialihkan kepada aspekkandungannya.118 Pemahaman terhadap matan hadis harus diselaraskandengan konteks Alquran dan pemahaman riwayat hadis lainnya. Tindakanmengembalikan pemahaman suatu riwayat hadis kepada Alquran danriwayat hadis lainnya adalah agar hadis tersebut dapat dipahami selarasdengan konteks, realita, dan tujuannya. Dengan demikian akan dapatdibedakan antara tujuan yang tetap dengan perantara yang senantiasaberubah.119

Berdasarkan prinsip ini al-Qaraḍāwi menjadikan keempat hadis diatas sebagai landasan fatwa yang dilatari atas dasar kesesuaian maknanyadengan Alquran dan riwayat-riwayat lain. Adapun terhadap hadis

116 Hadis pertama, “Seorang perawan tidak boleh dinikahkan sampaidimintai izinnya. Para sahabat bertanya, ‘Bagaimana keizinannya itu? (Rasulullah)menjawab, ‘Diamnya’. Hadis kedua, “Janda itu lebih berhak atas dirinya, sedangkananak perawan (harus) dimintai persetujuannya oleh bapaknya”. Hadis ketiga,“Seorang anak perempuan perawan mendatangi Rasulullah SAW untuk mengadukanbapaknya yang telah menikahkannya, sedangkan ia tidak suka. Lantas Nabi SAWmemberinya hak untuk memilih”. Hadis keempat, “Tidak boleh seorang perawandinikahkan sampai dimintai persetujuannya. Dan tidak boleh juga seorang jandadinikahkan sampai ia diajak musyawarah. Lalu ada yang bertanya, ’sesungguhnyaperawan itu pemalu’. (Rasulullah) menjawab, ‘Persetujuannya adalah melaluidiamnya’”.

117Mayoritas ulama di antaranya al-Bukhāri (6970), Muslim (1419), danAlbāni menetapkan sahih pada hadis pertama. Begitu juga dengan riwayat yangsenada dengan hadis kedua dipandang sahih oleh Muslim (1421), Ibn Ḥibbān(4088), dan Abū Dāud (2099). Adapun riwayat ketiga ditetapkan sebagai hadismursal ma’rūf oleh Abū Dāud dan sahih dalam pandangan Ibn Ḥazm. Al-Bukhārimemposisikan hadis keempat dalam jajaran hadis sahih (6968).

118Yūsuf al-Qaraḍāwi, Sharἷ’ah al-Islām Ṣāliḥah li Taṭbἷq fἷ Kulli Zamānwa Makān, (al-Qāhirah: Maktabah Wahbah, 1997), h. 82-83.

119Yūsuf al-Qaraḍāwi, Fi Fiqh al-Aqalliyāt al-Muslimah Ḥayāt al-MusliminWasṭ al-Mujtama’ al-Ukhrā, (al-Qāhirah: Dār al-Shurūq, 2001), h. 37-39.

Page 215: kontekstualisasi hukum islam

Kontekstualisasi Hukum Islam

202

kelima, 120 meski memiliki makna yang berbeda dengan empat hadislainnya namun mempunyai tujuan yang sama. Hadis ini melarang walimenunda atau menolak lamaran dari laki-laki yang baik agama danakhlaknya. Artinya jika sudah ada persetujuan dari perempuan yangdilamar, maka wali tidak boleh menolak lamaran tersebut. Terlepas dariberagamnya pendapat ulama terhadap status kelima hadis ini, yang jelaspemahaman al-Qaraḍāwi terhadap semua hadis tersebut sebagai landasanfatwa yang melarang wali menikahkan anak perempuan tanpakeridaannya bersifat riwāyah. Meski demikian pemahaman ini sangatsesuai dengan kondisi masyarakat muslim sekarang, karena tradisi, sikapdan perlakuan masyarakat terhadap kaum perempuan sudah berubah.Perbedaan status sosial juga tidak menghalangi hak kaum perempuanuntuk menentukan dan memilih pasangan hidup. Sikap diam yangdiperlihatkannya tidak dapat dijadikan standar baku untuk menunjukkanpersetujuannya, karena banyak perempuan saat ini yang sudah beranimengemukakan pendapat atau menolak lamaran secara tegas.b. Penerapan Qiyās

Pada fatwa pertama terlihat Abou el Fadl menerapkan qiyās ketikamenyamakan pengikut Ahmadiyah dengan muslim. Alasan yang dipakaidalam penyamaan ini adalah pengamalan Ahmadiyah terhadap rukunIslam, khususnya dalam menyakini kerasulan Muhammad. Artinya statuspengikut Ahmadiyah tidak berbeda dengan muslim lainnya selamamereka mengamalkan rukun Islam. Qiyāsyang diterapkan dalam fatwa iniadalah qiyās musāwi karena sifat yang menjadi ‘illat pada aŞl setaradengan sifat yang dimiliki furū’.121

Pada fatwa al-Qaraḍāwi juga terlihat diterapkannya qiyās saatmenyamakan antara tindakan orang tua menikahkan anak perempuantanpa persetujuannya dengan larangan orang tua menggunakan hartaanaknya yang sudah dewasa. Kehormatan dan harga diri anak perempuandewasa lebih tinggi dari pada harta sehingga pelanggaran atas haknyamenjadi lebih besar dari pada pelanggaran atas harta. Hal ini berarti qiyās

120“Dari Abu Hurairah berkata: Rasulullah SAW bersabda; Jika seorangyang agama dan akhlaknya kamu sukai (datang) meminang, maka nikahkanlah(anakmu) dengannya. Jika tidak kamu lakukan maka (anakmu) akan menjadi fitnahdi muka bumi dan kerusakan yang besar”. Muhammad ibn ‘Isa ibn Thawrah al-Tirmidhi, Sunan al-Tirmidhi, Juz. II, h. 172. Lihat juga Abi ‘Abdullah MuhammadIbn Yazid al-Qazwaini, Sunan Ibn Mājah, Juz. I, h. 632. Berbeda dengan empathadis sebelumnya, pandangan ulama terhadap hadis ini lebih beragam. HanyaAlbāni dan Ibn Bāz yang menetapkan statusnya dengan ḥasan Şaḥἷḥ, sedangkan al-Tirmidhi (1084) memandangnya ḥasan gharib.

121Muhammad Abū Zahrah, UŞūl al-Fiqh, h. 247.

Page 216: kontekstualisasi hukum islam

Fatwa tentang Perempuan dan Persoalan Keluarga

203

yang diterapkan dalam fatwa ini adalah qiyās awlawi karena ‘illatterlarangnya wali menikahkan perempuan tanpa izinnya lebih kuat daripada ‘illat pelarangan wali mengambil atau menggunakan harta anaknyatanpa izin.122

c. Perwujudan MaqāŞid al-sharἷ’ahBaik dalam fatwa Abou el Fadl maupun al-Qaraḍāwi, indikasi

maqāŞid al-sharἷ’ah terlihat jelas ketika melarang wali menikahkanperempuan tanpa persetujuannya. Tujuan yang hendak dicapai dari keduafatwa larangan ini adalah memelihara keturunan (nasl) yang terwujudmelalui pernikahan. Meski secara langsung tidak mengancam keturunan,namun tindakan wali yang memaksa atau menikahkan perempuan tanpapersetujuannya akan membuat kehidupan pernikahan khususnya suamiisteri menjadi tidak bahagia. Kondisi ini akhirnya akan berpengaruh padaproses tumbuh kembangnya anak-anak lantaran kurangnya perhatianorang tua kepada mereka.123

d. Penerapan Adillah al-aḥkām al-mukhtalaf fἷhāPenerapan tiga Adillah al-aḥkām al-mukhtalaf fἷhā dalam fatwa

Abou el Fadl dan al-Qaraḍāwi tidak terlihat. Meski para ulama mendasarikriteria kesepadanan kepada tradisi masing-masing daerah, namun semuakriteria tersebut masih tergantung pada persetujuan perempuan yang akandilamar atau dinikahkan. Jadi kaidah‘urf juga tidak terlihat diterapkandalam fatwa-fatwa Abou el Fadl dan al-Qaraḍāwi.e. Penerapan al-Qawā’id al-fiqhiyyah

Kaidah-kaidah fikih juga tidak terlihat dipakai dalam fatwa Abouel Fadl. Namun dalam fatwa al-Qaraḍāwi tersirat diterapkannya kaidahal-ḍararu yuzāl124 ketika menjelaskan efek negatif dari pernikahan yangdipaksakan atau tanpa persetujuan perempuan. Ketidakbahagiaan danketidakharmonisan suami isteri akibat dipaksa menikah dapat dihindarimelalui tindakan wali yang meminta persetujuan laki-laki dan perempuansebelum pernikahan ditetapkan. Melarang wali memaksa anak perempuanuntuk menikah atau membiarkannya memilih sendiri calon suami sama-sama mengandung kemudaratan. Namun dikarenakan hal ini merupakanhak perempuan, maka hendaklah masing-masing pihak salingmenghargai.

122Abd al-Karἷm Zaidān, al-Wajἷz fi UŞūl al-Fiqh, h. 219. Lihat juga

Muhammad Abū Zahrah, UŞūl al-Fiqh, h. 247123Wahbah al-Zuhayli, UŞūl al-Fiqh al-Islāmi, Juz. II, h. 1022. Lihat juga

Muhammad Abū Zahrah, UŞūl al-Fiqh, h. 368.124 Aḥmad ibn al-Saikh Muhammad al-Zarqā’, Sharḥ al-Qawā’id al-

Fiqhiyyah, (Damaskus: Dār al-Qalm, 1996), h. 179

Page 217: kontekstualisasi hukum islam

Kontekstualisasi Hukum Islam

204

f. Penerapan Taḥqiq al-manāṭAlasan hukum yang ditetapkan Abou el Fadl dalam fatwa pertama

adalah syahadat yang meyakini keesaan Allah dan kerasulan Muhammadsehingga penganut Ahmadiyah dianggap sebagai muslim yang berhakuntuk menikahi muslimah. Sementara pada fatwa kedua, Abou el Fadlmenekankan hak atau kehendak perempuan dalam memilih suami. Orangtua harus menghormati keinginan anak perempuannya dalam memilihpasangan hidup karena merupakan hak dasarnya sebagai manusia.

Adapun fatwa al-Qaraḍāwi dilandasi atas tujuan pernikahan yangtidak akan tercapai jika pernikahan dilakukan secara terpaksa. Kehidupanpernikahan tersebut akan dipenuhi dengan kebencian sehingga akan sulitmewujudkan rasa cinta kasih antar suami isteri. Padahal secara tegasAllah menyatakan bahwa disyariatkannya pernikahan adalah untukmembentuk keluarga yang dipenuhi rasa cinta, kasih, dan sayang yangnantinya akan berakhir pada kedamaian dan kebahagiaan.g. Pertimbangan I’ādah al-naẓr

Meski tidak secara jelas, fatwa Abou el Fadl mengusung pendapatkalangan ulama Ḥanāfiyyah yang memberi kebebasan kepada perawandewasa untuk menentukan sendiri suaminya.125 Namun, meski memilikikebebasan, Abou el Fadl tetap menyarankan agar anak perempuansenantiasa bersabar dan berdiskusi dengan orang tuanya dalammenyelesaikan konflik di antara mereka. Al-Qaraḍāwi juga menguatkanpendapat Ibn Taimiyyah (w. 1328 M) yang melarang wali memaksaperempuan dewasa untuk menikah dan bahkan mengharuskan wali untukmeminta izinnya. Menurutnya alasan perawan tidak dapat dijadikan ‘illatdalam memaksa seorang perempuan untuk menikah karena menentangprinsip Islam.126 Baik pendapat Abū Ḥanἷfah maupun Ibn Taimiyyah ini

125Kebebasan memilih pasangan hidup juga diberlakukan pada laki-laki.Artinya wali juga tidak dapat memaksa atau menikahkan anak laki-lakinya denganperempuan lain tanpa persetujuannya. Lihat Muhammad Abū Zahrah, Abū ḤanἷfahḤayātuhu wa ‘ĀŞruhu wa Arā’uhu wa Fiqhuhu, (Kairo: Dār al-Fikr al-‘Arabi, 1997),h. 346.

126Menurut al-Qaraḍāwi mufti harus menyelami seluruh pendapat yang adatanpa terikat pada pendapat mayoritas yang sudah dikenal. Boleh jadi di antarapendapat yang selama ini diabaikan karena dianggap lemah atau sulitmenerapkannya saat itu, ternyata sangat efektif dan relevan diterapkan saat ini.Perubahan yang terjadi pada kondisi, waktu, dan tradisi sangat menentukan dalamhal ini. Sebenarnya banyak sekali pendapat bijaksana yang selama ini tersembunyiatau tidak terdeteksi karena tertimbun oleh arus utama sehingga hanya diketahuioleh orang-orang yang menelitinya. Yūsuf al-Qaraḍāwi, Taysἷr al-Fiqh li al-Muslimal-Mu’āŞir fἷ Daw’i al-Qur’ān wa al-Sunnah, (al-Qāhirah: Maktabah Wahbah,

Page 218: kontekstualisasi hukum islam

Fatwa tentang Perempuan dan Persoalan Keluarga

205

merupakan pendapat yang tidak populer di kalangan mayoritas ulamamazhab. Namun ternyata kedua pendapat tersebut selaras dengan realitassosial umat Islam sekarang, sehingga menerapkan pendapat mereka akanmembawa kemaslahatan dan mengabaikannya akan membawa kesulitan.h. Penerapan metode yang sesuai dengan perkembangan ilmu

pengetahuanDiskursus memilih pasangan hidup atau suami tidak terkait dengan

perkembangan ilmu pengetahuan. Hal ini berarti indikator terakhir tidakakan terlihat pada fatwa Abou el Fadl dan al-Qaraḍāwi.

Beranjak dari uraian analisis fatwa di atas, maka pendapat hukumAbou el Fadl dan al-Qaraḍāwi dapat disimpulkan pada tabel 5.

Tabel 5Perbandingan Pemenuhan Indikator Kontekstual dalam

Fatwa Abou el Fadl dan al-Qaraḍāwi tentang Memilih SuamiNo Indikator Fatwa Abou

el FadlFatwa

al-Qaraḍāwi1 Penafsiran atas al-NuŞūŞ al-

shar’iyyah

2 Penerapan qiyās 3 Perwujudan MaqāŞid al-

sharἷ’ah

4 Penerapan Adillah al-aḥkāmal-mukhtalaf fἷha

X X

5 Penerapan al-Qawāid al-fiqhiyyah

X

6 Penerapan Taḥqiq al-manāṭ 7 Pertimbangan I’ādah al-naẓr 8 Sesuai perkembangan ilmu

pengetahuanX X

9 Kesimpulan Kontekstual Kontekstual

C. Fatwa Nikah Beda Agama1. Fatwa Abou el Fadl

Abou el Fadl telah mengeluarkan tiga pendapat hukumnya terkaitpernikahan beda agama, baik antara muslim dengan non-muslimahmaupun antara muslimah dengan non-muslim.

1999), h. 108. Lihat juga Yūsuf al-Qaraḍāwi, Fi Fiqh al-Aqalliyāt al-MuslimahḤayāt al-Muslimin Wasṭ al-Mujtama’ al-Ukhrā, h. 57-58.

Page 219: kontekstualisasi hukum islam

Kontekstualisasi Hukum Islam

206

a. Fatwa tanggal 1 Mei 2016 (Surat I)Pertanyaan fatwa berasal dari seorang muslimah Amerika tentang

pernikahan beda agama, khususnya muslimah yang dilarang menikahdengan laki-laki ahl al-kitāb. Persoalan berawal dari pengakuanmuslimah berumur 20 tahunan tentang suaminya yang Kristen di acaraFashion Show Muslim. Pengakuan itu mengejutkan pengunjung lainnyasehingga banyak yang menghujatnya bahkan ada yang menyuruhnyabercerai. Dengan dalih bahwa suaminya tidak melarangnya beribadah danmenyerahkan keyakinan anak-anak kepadanya, muslimah tersebutmembela diri. Mustafti tidak tahu apakah saat menikah ia sudah menjadimuslimah atau keislamannya baru terjadi setelah pernikahan.

Mustafti berupaya menolong muslimah itu, namun pengetahuannyaterbatas. Dengan banyaknya tekanan, mustafti khawatir kalau muslimahtersebut akan keluar dari Islam atau minimal mengakhiri rumahtangganya. Selain itu mustafti masih tidak mengerti alasan dilarangnyamuslimah menikah dengan laki-laki ahl al-kitāb yang biasanyadikelompokkan sebagai kafir. Sebaliknya ia hanya tahu alasan muslimyang diperbolehkan menikahi perempuan ahl al-kitāb adalah karenaotoritas yang dimilikinya sebagai kepala keluarga (meski dalamkenyataannya otoritas ini juga tidak terlihat dan berfungsi).

Diskursus nikah beda agama merupakan masalah penting yangbanyak dialami muslim Amerika dan Afrika, namun sangat rumit danpelik. Bagi muslimah yang hanya diperbolehkan menikah denganmuslim, mencari muslim yang memahami agama, dapat menjalankanperan dan tanggung jawab sebagai muslim, setia dan tidak berpoligami,serta tidak menuntut isterinya untuk memenuhi kebutuhan ekonomikeluarga, sangatlah sulit ditemukan saat ini. Jadi apakah benar muslimahdilarang menikah dengan laki-laki ahl al-kitāb karena tidak ditemukanketerangan naŞŞAlquran dan hadis yang menegaskannya?

Abou el Fadl meminta maaf atas keterlambatannya menanggapipermasalahan mustafti. Selain dikarenakan sakit, persoalan ini dianggapsangat berat oleh Abou el Fadl sehingga ia harus memikirkannya denganserius. Menurut Abou el Fadl biasanya di antara kesepakatan para ulamamasih terdapat celah perbedaan. Namun terkait pernikahan muslimahdengan laki-laki ahl al-kitāb semua ulama mazhab sepakat melarangnya.Berbeda dengan kesepakatan para ulama ketika melarang pernikahanmuslim dengan musyrikah atau muslimah dengan musyrik lantaranditegaskan langsung oleh Alquran, larangan pernikahan muslimah denganlaki-laki ahl al-kitāb juga didasari pada surat al-Māidah ayat 5. Menurutpara ulama legalitas muslim menikahi perempuan ahl al-kitāb pada ayatini mengindikasikan sebaliknya bagi muslimah. Artinya pernikahan

Page 220: kontekstualisasi hukum islam

Fatwa tentang Perempuan dan Persoalan Keluarga

207

tersebut hanya diizinkan bagi muslim, bukan muslimah. Jika muslimahjuga diizinkan, pasti akan ada keterangan naŞŞ yang menegaskannya.

Para ulama menyatakan dua alasan yang membolehkan muslimmenikahi perempuan ahl al-kitāb yaitu:1. Secara hukum, anak-anak yang terlahir dari pernikahan itu akan

mengikuti keyakinan bapaknya yang muslim.2. Islam melarang suami muslim memaksa isterinya yang ahl al-kitāb

untuk masuk Islam. Berbeda halnya dengan ajaran Kristen dan Yahudiyang membenarkan adanya tindak pemaksaan suami terhadap isteriuntuk mengikuti keyakinannya.

Berdasarkan penjelasan di atas, para ulama Ḥanāfiyyah,Mālikiyyah dan Shāfi’iyyah sepakat menyatakan makruh hukumnyapernikahan muslim dengan perempuan ahl al-kitāb di wilayah non-muslim. Menurut mereka kekuasaan ibu terhadap anak-anaknya diwilayah ini sangat besar sehingga kecil kemungkinan kalau anak-anaktersebut akan menjadi muslim yang baik nantinya. Bahkan adakemungkinan anak-anak tersebut akan mengikuti agama ibunya. Ada jugaulama yang melarang dengan tegas atau mengharamkan pernikahan ini.

Beranjak dari beberapa penjelasan ulama mazhab di atas, secarajujur Abou el Fadl mengaku masih belum yakin atas kekuatan bukti yangmelarang muslimah menikah dengan laki-laki ahl al-kitāb. Bahkanterhadap pendapat yang menetapkan status kafir bagi muslimah yangmelakukan pernikahan ini, dalam pandangan Abou el Fadl sangat tidakwajar karena ketiadaan bukti naŞŞ. Meski demikian Abou el Fadl setujudengan pendapat ulama yang memakruhkan pernikahan ini jika dilakukandi negara non-muslim setelah melihat kenyataan di lapangan. Di negara-negara minoritas muslim seperti Amerika, anak-anak yang lahir darikeluarga beda agama tidak memiliki identitas muslim yang kuat. Merekamudah terombang ambing dan galau karena keyakinan mereka sangatrapuh. Idealnya, anak-anak yang hidup di wilayah ini memiliki orang tuayang satu visi dan misi yaitu sama-sama muslim. Meski begitu, Abou elFadl tidak berani menetapkan dosa besar bagi muslimah yang menikahilaki-laki ahl al-kitāb, termasuk memutuskan pernikahan mereka. Abou elFadl hanya akan memberi tahu muslimah itu bahwa tindakannya telahmelanggar ijmā’ ulama dengan menjelaskan bukti-bukti terkait. Abou elFadl juga menyatakan bahwa pendapat hukumnya tentang pernikahanyang dilakukan muslim atau muslimah dengan pasangan yang berbedakeyakinan di wilayah minoritas muslim adalah makruh. Mustafti dimintauntuk memikirkan kembali permasalahan ini sambil berdoa dan mintapetunjuk Allah sebelum melaksanakan apa yang diputuskan hatinya.Terakhir, Abou el Fadl akan berdoa semoga Allah selalu membimbing

Page 221: kontekstualisasi hukum islam

Kontekstualisasi Hukum Islam

208

mustafti dan muslimah tersebut agar menemukan ketenangan dalamkeputusannya.127

b. Fatwa tanggal 1 Mei 2016 (Surat II)Fatwa ini dikeluarkan Abou el Fadl pada tanggal yang sama

dengan fatwa sebelumnya namun merespon pertanyaan yang berbeda.Mustafti adalah muslimah berusia 23 tahun yang tinggal di Amerika.Rencananya ia akan menikah dengan laki-laki keturunan Yahudi Muslim.Sang ayah yang muslim telah meninggalkannya saat berusia 1 tahunsehingga ia dibesarkan ibunya dengan ajaran Yahudi. Rencanapernikahan itu kurang disetujui ayah mustafti lantaran adanya perbedaankeyakinan sehingga tidak akan ada syeikh yang mau menikahkannya.Jawaban yang selalu diterima mustafti dari para ulama terkait rencanapernikahannya adalah agar ia melupakan rencana tersebut. Mustafti tidakdapat begitu saja melupakan dan mengorbankan cintanya hanya lantarantindakan tidak bertanggung jawabnya sang ayah yang telah meninggalkananaknya pada keluarga Yahudi. Mustafti tidak mau meminta calonnyapindah keyakinan, karena Islam melarang tindak pemaksaan agama.Namun mustafti juga tidak mau calonnya kehilangan ibu yang sudahmembesarkannya sendirian. Jadi bagaimanakah caranya agar merekadapat menikah secara halal dan legal?

Abou el Fadl mengawali fatwa dengan saran agar mustaftimembaca penjelasan yang telah diberikannya pada http://www.scholarofthehouse. org/oninma.html. Hukum pernikahan beda keyakinanyang dilakukan muslim atau muslimah adalah makruh dalam pandanganAbou el Fadl. Makruh ini dilatari oleh realitas sosiologis di mana anak-anak yang hidup di keluarga yang beda keyakinan akan memilikikebingungan identitas sebagai muslim. Keimanan yang mereka milikisangat labil dan rapuh. Pengalaman hidup selama 30 tahun di Baratmembuat Abou el Fadl telah melihat banyak pernikahan yang berakhirlantaran perbedaan agama. Meski pernikahan tersebut diawali dengancinta, harapan, dan komitmen, namun setelah puluhan tahun tetapberakhir tragis.128

127Khaled M Abou el Fadl, https://www.searchforbeauty.org/2016/05/01/on-christian-men-marrying-muslim-women-updated/

128Penelitian yang dilakukan American Religious Identity Survey (ARIS)pada tahun 2001 menunjukkan bahwa penganut Yahudi, Episkopal dan Budhapaling banyak melakukan pernikahan beda agama, sedangkan penganut Mormontidak memiliki kecenderungan untuk melakukan pernikahan tersebut. Penelitian inijuga menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara nikah beda agama dengan rasakeagamaan yang lebih rendah. Hal ini berarti nikah beda agama dianggap sebagaiancaman terhadap institusi keagamaan. Kesimpulan ini dikuatkan dengan tingginyajumlah perceraian yang dilakukan pasangan beda agama dari pada pasangan yang

Page 222: kontekstualisasi hukum islam

Fatwa tentang Perempuan dan Persoalan Keluarga

209

Selanjutnya Abou el Fadl menambahkan bahwa sebelumpernikahan terjadi, hendaklah muslim dan muslimah bertanya padadirinya sendiri apakah ia dapat menjalani hidup dengan pasangan yangtidak dapat diajak melakukan ibadah bersama-sama. Selayaknya setelahmenikah suami isteri berbagi dalam segala hal, baik uang, perasaan, jiwa,dan tubuh. Pertanyaan urgen yang harus dijawab dengan jujur adalahapakah agama merupakan hal yang sangat penting atau kurang penting?Bagi Abou el Fadl, Islam dan amal merupakan hal dasar yang sangatpenting dari apapun yang nantinya dapat dibagi dengan pasangan. Jikahal itu tidak dapat dibagi, berarti telah terjadi penipuan melalui hubunganyang tidak tulus. Oleh karena itu, Abou el Fadl juga menyarankanmustafti melakukan hal yang sama yaitu menanyai dirinya sendiri terkaitperan iman yang ada di dalam hidupnya. Apakah mustafti suka jika tidakdapat beribadah bersama pasangannya? Apakah ia merasa senang kalauanak-anaknya kelak memiliki keyakinan kuat dalam beribadah? Jawabandari kedua pertanyaan ini hanya diketahui mustafti sehingga apapunkeputusannya, Abou el Fadl akan mendoakan mustafti agar Allahmembimbing dan membantunya serta memaafkan atas keputusan keliruyang telah diambilnya.129

c. Fatwa tanggal 15 November 2016Mustafti adalah seorang bapak yang menanyakan tentang

keinginan putrinya menikah dengan laki-laki yang berlatar belakangKristen, tapi tidak mengikuti iman Kristen. Selain percaya pada satuTuhan, ia juga tidak keberatan dengan keyakinan Islam yang dianut calonisteri dan anak-anaknya kelak. Mustafti telah menanyakan hal ini kebanyak ulama, namun jawaban tersebut belum membuatnya mampumenentukan sikap. Oleh karena itu, ia ingin Abou el Fadl maumenanggapi persoalan ini, khususnya terkait status pernikahan anaknyamenurut Islam.

Abou el Fadl mengatakan bahwa ulasan fatwanya secara lengkapdapat diakses di web ScholaroftheHouse. Namun secara ringkas dapatdipahami bahwa hukum pernikahan muslimah dengan laki-laki Kristenadalah batal dan tidak sah. Selain keempat mazhab fikih, pendapat inijuga dianut oleh dua mazhab Shi’ah terkemuka. Akan tetapi Abou el Fadl

memiliki keyakinan yang sama. Adapun pihak laki-laki lebih bebas melakukanpernikahan ini, karena perempuan lebih rentan terhadap konsekuensi agama berupahukuman dan penolakan dari pihak keluarga. Kate McCarthy, “Pluralist FamilyValues: Domestic Strategies for Living with Religious Difference”, in The Annals ofthe American Academy of Political and Social Science, Vol. 612, ReligiousPluralism and Civil Society (2007), h. 189.

129Khaled M Abou el Fadl, https://www.searchforbeauty.org/2016/05/01/on-christian-men-marrying-muslim-women-updated/

Page 223: kontekstualisasi hukum islam

Kontekstualisasi Hukum Islam

210

punya pendapat hukum tersendiri, di mana menurutnya pernikahan yangterjadi antara muslim atau muslimah dengan pasangan yang non-muslimdi Barat saat ini hukumnya makruh. Alasan dimakruhkannya pernikahantersebut dikarenakan delusi identitas muslim yang diidap oleh anak-anakhasil pernikahan beda agama. Mereka menjadi korban dari persainganperspektif komitmen keagamaan dari orang tuanya yang berbedakeyakinan.

Hal penting yang harus ditanyakan mustafti pada dirinya adalahseberapa penting baginya nilai pasangan yang memiliki kesamaan visidalam beribadah? Jika berbagi makan malam merupakan sesuatu yangpenting, berarti permasalahan agama bagi pasangan tersebut tidakmenjadi penting. Oleh karena itu, Abou el Fadl menyarankan mustaftiuntuk menasehati anaknya agar ia tahu betapa bapaknya sangatmencintainya dan akan selalu ada untuknya terlepas dari apapunkeputusan yang akan diambil anaknya. Tindakan melarang, mengurung,atau berkata kasar pada anak akan membuatnya menjadi lebih melawandan menentang. Sebagai muslim, hanya cinta tulus yang dapat diberikanorang tua kepada anak-anaknya, terlepas dari jalan mana yang merekatempuh.130

2. Fatwa al-QaraḍāwiFatwa ini diajukan mustafti untuk mempertanyakan kembali

hukum pernikahan yang terjadi antara laki-laki muslim denganperempuan ahl al-kitāb dari Yahudi atau Kristen karena terdapat hukumkhusus bagi mereka dalam naŞŞ. Kenyataan yang terlihat di masyarakat,pernikahan ini banyak mendatangkan kerusakan, khususnya terhadappendidikan anak. Banyak anak yang dibiarkan jalan sendirian, tanpa adaarahan dan bimbingan orang tua terutama dari bapak yang muslim namunkurang memiliki wewenang. Saat permasalahan ini ditanyakan kepadapara ulama, banyak di antara mereka yang menanggapinya dengan sikappasrah lantaran pernikahan itu dilegalkan Alquran sehingga manusiatidak berhak melarangnya. Jawaban ini tidak diterima mustafti, karenamenurutnya bertentangan dengan prinsip Islam yang melarang adanyakerusakan dan kemudaratan. Beranjak dari hal ini mustafti memintatanggapan al-Qaraḍāwi yang dilandasi pada beberapa naŞŞ serta prinsipdan tujuan dari pensyariatan hukum dalam Islam.

Fatwa diawali al-Qaraḍāwi dengan pengalamannya saatberkunjung ke beberapa negara Eropa dan Amerika Utara. Di sana al-

130Khaled M Abou el Fadl, https://www.searchforbeauty.org/2016/11/15/fatwa-my-muslim-daughter-wants-to-marry-a-man-from-a-christian-background-but-not-a-christian-he-believes-in-one-god-and-has-no-objection-to-future-children-practicing-islam-is-nikah-permissible/

Page 224: kontekstualisasi hukum islam

Fatwa tentang Perempuan dan Persoalan Keluarga

211

Qaraḍāwi menemui banyak anak muslim yang sedang belajar ataumengajar, baik yang menetap sementara waktu maupun yang menetapsecara permanen. Persoalan yang banyak mereka ajukan kepada al-Qaraḍāwi saat itu adalah terkait hukum pernikahan laki-laki muslimdengan perempuan non-muslim, khususnya Kristen atau Yahudi yangdisebut sebagai ahl al-kitāb, lantaran mereka mendapat hak dankehormatan yang tidak diberikan Islam kepada kelompok lain. Beranjakdari permasalahan ini, al-Qaraḍāwi merasa perlu untuk membedakanbeberapa golongan perempuan non-muslim dalam pandangan Islam.a. Keharaman menikah dengan perempuan musyrikah.

Pernikahan ini dihukum haram sebagaimana yang ditegaskan pada duaayat berikut,

ة ك ر ش م ن م ر ی خ ة نم ؤ م ة م أل و ن م ؤ ى ی ت ح ات ك ر ش م ا ال و ح ك ن ت ال و )221:ة ر ق ب ال ...(م ك ت ب ج ع أ و ل و

"Dan janganlah kamu menikahi perempuan-perempuanmusyrikah, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budakperempuan yang beriman lebih baik dari pada perempuanmusyrikah, meski dia menarik hatimu…” (QS al-Baqarah: 221)

)10: ة نح ت م م ال ...(ر اف و ك ال م ص ع ا ب و ك س م ت ال و ...“…Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan)dengan perempuan-perempuan kafir...". (QS. al-Mumtaḥanah:10)Lafal al-kawāfir dalam ayat di atas dimaknai dengan

perempuan-perempuan musyrikah yang menyembah berhala(wathaniyyah) karena mustahil Islam akan berkompromi dengankeberhalaan. Ajaran tauhid yang murni secara diametral bertolakbelakang dengan akidah syirik. Selain itu keberhalaan tidakmempunyai kitab suci dan nabi yang diakui. Al-Wathaniyyah danIslam berdiri pada dua kutub yang bertentangan dan bertolak belakangsehingga pernikahan yang terjadi di antara penganutnya menjaditerlarang. 'Illat atau alasan pelaranganan ini adalah karena orangmusyrik akan membawa pasangannya ke neraka. Sebagaimanaditegaskan pada ayat berikut,

ة ر ف غ م ال و ة ن ج ى ال ل وا إ ع د ی هللا و ار ى الن ل إ ن و ع د ی ك ئ ل و أ ...)221:ةر ق ب ال (...ھ ن ذ إ ب

“…Mereka mengajak ke neraka, sedangkan Allah mengajak kesurga dan ampunan dengan izin-Nya…” (QS. al-Baqarah: 221)

Page 225: kontekstualisasi hukum islam

Kontekstualisasi Hukum Islam

212

Pelarangan menikahi perempuan musyrikah penyembah berhaladidasari pada naŞŞ dan ijmā’ ulama, sebagaimana yang telahdikemukakan Ibn Rushd (w. 1198 M) dan ulama lainnya.

b. Batalnya pernikahan dengan perempuan atheis atau komunis.Atheis merupakan paham yang tidak mempercayai agama, tidakmengakui Tuhan dan Nabi, tidak mengakui kitab suci dan tidakmengakui adanya akhirat. Keharaman menikahi penganut atheis lebihkuat dari pada larangan menikahi orang musyrik karena ia masihmempercayai adanya Tuhan, meski disekutukan dengan sembahan dantuhan lain.131 Secara logika menikahi musyrikah penyembah berhalayang sedikitnya masih mengakui Allah saja terlarang, apalagimenikahi perempuan materialis dan kafir yang mengingkari segalasesuatu yang immateril, tidak percaya perkara gaib, tidak berimanpada Allah, hari kiamat, malaikat, kitab suci, dan para nabi.Pernikahan jenis ini bukan hanya haram, namun batal secara pasti.

c. Batalnya pernikahan dengan perempuan murtad.Murtad merupakan tindakan keluarnya seseorang dari Islam untukmenganut agama lain, baik mempunyai kitab suci atau tidak, atautidak menganut agama manapun. Murtad ini dihukum sama denganatheis. Tindakan meninggalkan Islam guna beralih kepadakomunisme, eksistensialisme, dan paham filsafat lainnya jugatermasuk murtad. Meski Alquran menegaskan tidak ada paksaan bagiseseorang untuk masuk Islam, namun jika ia masuk Islam ataskemauan sendiri maka ia tidak boleh keluar dari Islam.

Syariat Islam telah menetapkan dua hukum terkait status murtadyaitu yang terkait dengan akhirat dan yang terkait dengan dunia. Diantara yang terkait akhirat adalah bahwa orang yang meninggal duniadalam kondisi murtad, maka seluruh amalan baiknya akan hilangsehingga membuatnya kekal di neraka. Allah telah menegaskan dalamayat Alquran berikut,

ف ر اف ك و ھ و ت م ی ف ھ ن ی د ن ع م ك ن م د د ت ر ی ن م و ... ت ط ب ح ك ئ ول أ ا و ی ن ى الد ف م ھ ال م ع أ ن و د ال ا خ ھ ی ف م ھ ار الن اب ح ص أ ك ئ ل وأ و ة ر خ األ)217:ةر ق ب ال (

131Pada dua ayat berikut dijelaskan, "Dan sungguh jika kamu tanya merekatentang siapa yang menciptakan langit dan bumi? Tentu mereka akan menjawab,'Allah...". (QS. Luqmān: 25). “…Dan orang-orang yang berlindung kepada selainAllah (berkata), 'Kami tidak menyembah mereka melainkan agar mereka dapatmendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya ...."(QS. al-Zumar: 3)

Page 226: kontekstualisasi hukum islam

Fatwa tentang Perempuan dan Persoalan Keluarga

213

“…Barang siapa di antaramu yang murtad dari agamanya, lalumati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-siaamalannya di dunia dan di akhirat. Mereka itu penghuni nerakayang akan kekal di dalamnya." (QS. al-Baqarah: 217)

Adapun hukum yang terkait dengan dunia, antara lain bahwa orangmurtad tidak berhak mendapat pertolongan dalam bentuk apa pun dariumat Islam, dan dilarang menikah dengannya. Seluruh ulama telahsepakat atas batalnya pernikahan yang terjadi antara orang murtaddengan muslim atau muslimah.132

d. Batalnya pernikahan dengan perempuan Bahā’iyyah.Penganut Bahā’iyyah dianggap telah keluar dari Islam karenamemeluk agama buatan manusia. Begitu juga pernikahan denganpenganutnya, baik laki-laki atau perempuan, dihukumi batal karenadisamakan dengan murtad. Jika telah terjadi pernikahan denganpenganut Bahā’iyyah, maka menurut al-Mustashar ‘Ali Mansur ikatansuami isteri itu harus diceraikan.

e. Pendapat mayoritas ulama terkait bolehnya menikahi perempuan AhliKitab.Menurut mayoritas ulama hukum asal menikahi perempuan ahl al-kitāb adalah boleh. Sebagaimana ditegaskan dalam ayat berikut,

م ھ ل ل ح م ك ام ع ط و م ك ل ل ح اب ت ك ال او وت أ ن ی ذ ال ام ع ط و ...اب ت ك ا ال و وت أ ن ی ذ ال ن م ات نص ح م ال و ات ن ؤم م ال ن م ات نص ح م ال و ن ی ح اف س م ر ی غ ن ی ن ص ح م ن ھ ر و ج أ ن ھ و م ت ی ت اء اذ إ م ك ل ب ق ن م )5: ةد ائ م ال ...(ان د خ ى أ ذ خ ت م ال و

“.. Makanan (sembelihan) orang-orang ahl al-kitāb itu halalbagimu, dan makanan kamu juga halal untuk mereka. (Dandihalalkan juga menikahi) perempuan-perempuan yang menjagakehormatan di antara perempuan yang beriman dan perempuanyang menjaga kehormatan di antara orang-orang ahl al-kitābsebelummu, jika kamu telah membayar mahar mereka denganmaksud menikahinya, bukan bertujuan untuk zina dan tidakpula menjadikannya sebagai gundik…”. (QS al-Māidah: 5)

132Terkait tindakan sebagian ulama yang menghukumi seorang muslimdengan kafir atau murtad atas tingkah dan perbuatan mereka, harus diputuskandengan hati-hati. Selama belum ditemukan bukti yang pasti atas kekafiran dankemurtadannya, sikap berbaik sangka atas status awalnya sebagai muslim harusdiutamakan demi terwujudnya kemaslahatan. Yūsuf al-Qaraḍāwi, Min Hady al-Islām Fatāwā Mu’āŞirah, Juz I, h. 465.

Page 227: kontekstualisasi hukum islam

Kontekstualisasi Hukum Islam

214

Di sisi lain Ibn ‘Umar merupakan sahabat yang melarang pernikahanini, karena menurutnya ahl al-kitāb sama saja dengan musyriklantaran meyakini Isa sebagai Tuhan, bukan utusan Allah. Shi’ahImāmiyyah juga berpendapat yang sama dengan Ibn ‘Umar karenamenganggapnya sebagai musyrik.

Terlepas dari perbedaan pendapat ini, al-Qaraḍāwi menyatakanbahwa pendapat mayoritas ulama yang membolehkan muslimmenikahi perempuan ahl al-kitāb lebih tepat. Ayat kelima dari suratal-Māidah diturunkan belakangan sekaligus sebagai takhŞἷŞ terhadapkeumuman lafal ‘ām pada surat al-Baqarah: 221 dan al-Mumtaḥanah:10. Hal ini berarti keumuman lafal mushrikāt tidak mencakup ahl al-kitāb menurut bahasa Alquran. Selain itu dalam dua ayat 133 Allahmenempatkan musyrik sebagai golongan tersendiri yang berbedadengan golongan lainnya.

Selanjutnya al-Qaraḍāwi menambahkan bahwa tujuandiperbolehkannya muslim menikahi perempuan ahl al-kitāb adalahagar dapat mempererat hubungan masyarakat muslim dengankelompok ahl al-kitāb sehingga membentuk sikap toleransi antaramereka. Namun al-Qaraḍāwi membatasi kebolehan pernikahan inidengan empat syarat berikut;1. Perempuan itu harus benar-benar beriman kepada agama samawi

yang asli, seperti Yahudi dan Nasrani yang juga berarti ia percayakepada Allah, rasul, dan hari kiamat. Tidak semua perempuanBarat dilahirkan dari orang tua Nasrani asli, karena mungkin sajamereka menganut komunis, Bahā’iyyah, atau paham lainnya.

2. Perempuan itu senantiasa menjaga kehormatannya, karena Allahmelarang muslim menikahi perempuan ahl al-kitāb secarasembarangan. Hal ini sebagaimana yang ditunjukkan lafal al-muḥŞanāt pada surat al-Māidah ayat 5 yang oleh Ibn Kathir (w.1372 M) ditafsirkan sebagai perempuan yang menjaga diri dariperbuatan zina. Pendapat ini juga senada dengan mayoritas ulamatermasuk Ḥasan al-BaŞri (w. 728 M). Perempuan yang menjaga diridari zina sangat langka dijumpai di Barat saat ini lantaranpergaulan mereka yang sudah sangat bebas. Selain itu mereka jugaakan mencela perempuan yang belum pernah berkencan.

133"Orang-orang kafir yaitu ahl al-kitab dan orang musyrik (berkata bahwamereka) tidak akan meninggalkan (agamanya) sebelum datang bukti yang nyatapada mereka."(QS al-Bayyinah: 1). "Sesungguhnya orang-orang beriman, orang-orang Yahudi, orang-orang Ṣābi’in, orang-orang Nasrani, orang-orang Majusi, danorang-orang musyrik, akan Allah beri mereka keputusan pada hari kiamat…”. (QSal-Ḥajj: 17)

Page 228: kontekstualisasi hukum islam

Fatwa tentang Perempuan dan Persoalan Keluarga

215

3. Perempuan ahl al-kitāb itu bukan bagian kelompok yangmemusuhi dan memerangi umat Islam. Sebagian ahli fikihmembedakan perempuan dhimmi dan ḥarbi, di mana menikahiperempuan ahl al-kitāb al-dhimmiyyah diperbolehkan, sedangkanmenikahi perempuan ahl al-kitāb al-ḥarbiyyah terlarang. Pendapatini dikemukakan Ibn‘Abbās (w. 687 M) dan didukung oleh al-Nakha’i (w. 714 M), ‘Abd al-Razzāq, al-Rāzi (w. 981 M), danbanyak ulama lainnya termasuk al-Qaraḍāwi. ‘Illat kebolehanmenikahi perempuan ahl al-kitāb al-dhimmiyyah adalah lantaranpembayaran jizyah. Artinya jika seorang ahl al-kitāb engganmembayar jizyah berarti ia termasuk ke dalam kelompok ḥarbiyyahsehingga terlarang menikahi perempuannya. Akhirnya al-Qaraḍāwimengatakan bahwa untuk masa sekarang muslim terlarangmenikahi perempuan Yahudi selama perang antara umat Islamdengan Israel belum usai. Baik Yahudi maupun Zionis sama-samabersumber kepada Taurat yang sudah banyak diubah, sehinggasetiap perempuan Yahudi merupakan tentara bagi pasukan Israel.

4. Tidak ada fitnah dan mudarat yang muncul setelah pernikahanmuslim dengan perempuan ahl al-kitāb terjadi, baik secara pastimaupun berdasarkan dugaan kuat. Pada dasarnya hukum boleh(mubāḥ) selalu terikat dengan persyaratan yaitu selama tidakmembawa mudarat. Akan tetapi pada pernikahan ini jikakemudaratan muncul dan menjadi semakin besar, maka semakinkuat juga larangan dan keharaman pernikahan tersebut.134 Sesuai

134 Al-Qaraḍāwi menyatakan tiga mudarat yang mungkin muncul daripernikahan ini yaitu; a) Berkembangnya tradisi laki-laki muslim menikahiperempuan ahl al-kitāb sehingga banyak muslimah yang tidak dapat menikah. Halini diperparah dengan poligami yang dianggap tabu sehingga muslimah akanmenghadapi tiga kemungkinan kondisi: menikah dengan laki-laki non-muslim,melakukan prostitusi, atau hidup lajang selamanya. b) Lantaran kecantikannya, laki-laki muslim berkemungkinan akan menikahi perempuan non-muslim yang tidakmenjaga kehormatannya (tuna susila) atau dari kalangan di luar ahl al-kitāb sepertiMajusi. Hal ini terlihat pada beberapa riwayat di mana ‘Umar memerintahkanḤudhaifah al-Yamāni (w. 656 M) dan Ṭalḥah ibn ‘Ubaydillah (w. 656 M) untukmenceraikan isteri mereka yang ahl al-kitāb atau Majusi lantaran khawatir akanditiru atau disalahpahami oleh generasi muslim setelahnya. c) Jika perempuan ahlal-kitāb itu tidak senegara, berbeda bahasa, kebudayaan dan tradisi makakemungkinan besar akan mempengaruhi sikap, perilaku, dan identitas suaminyayang muslim. Banyak orang tua yang merasa anak laki-lakinya telah hilang, meskisebenarnya masih hidup. Kekuasaan isteri dalam keluarga tersebut biasanya lebihbesar dari pada suami. Kondisi ini akan menjadi lebih parah jika ada anak-anak, dimana biasanya mereka akan lebih dekat dengan ibunya termasuk dalam hal tradisidan keyakinan. Jikapun tetap muslim karena mengikuti agama bapaknya, identitas

Page 229: kontekstualisasi hukum islam

Kontekstualisasi Hukum Islam

216

dengan sabda Rasulullah berikut,"Tidak boleh merugikan kepadaorang lain dan tidak boleh merugikan diri sendiri." (HR Aḥmaddan Ibn Mājah dari Ibn ‘Abbās dan ‘Ubādah).Sebelum mengakhiri fatwa al-Qaraḍāwi mengemukakan dua hal

penting berikut; 1) Dibolehkannya muslim menikahi perempuan ahl al-kitāb karena ajarannya yang samawi sehingga secara umum masihmemiliki kesamaan keimanan kepada Allah, risalah-Nya, hari kiamat, dannilai-nilai akhlak yang diwarisi dari kenabian. 2) Isteri ahl al-kitābtersebut berada di bawah kekuasaan suami muslim dan menetap dilingkungan muslim sehingga diharapkan ia akan terpengaruh dan masukIslam. Kekuasaan dan kekuatan masyarakat muslim di sekitarnya dapatmencegah kekhawatiran pengaruh isteri ahl al-kitāb terhadap suami dananak-anaknya. Namun kenyataan saat ini, khususnya di Barat, sangatironis di mana banyak suami muslim yang kehilangan otoritas danpengaruh lantaran kepribadian isterinya lebih kuat. Hal ini diperparahdengan lingkungan masyarakat yang non-muslim atau meskipun muslimmasyarakat tersebut sudah kehilangan ghirah Islam dan kepedulian.

Bertitik tolak dari kenyataan di atas, al-Qaraḍāwi menyatakanbahwa kemaslahatan yang terkandung pada legalitas muslim menikahiperempuan ahl al-kitāb sangat sedikit dari pada kerusakan yangditimbulkannya. Tidak terciptanya kebahagiaan dan kasih sayang antarasuami isteri lantaran perbedaan misi serta lahirnya generasi muslim yanglemah iman merupakan kerusakan besar yang terlihat jelas padapernikahan beda agama saat ini. Sesuai dengan prinsip Islam di manamenolak kerusakan lebih diutamakan daripada menarik kemaslahatan,maka menurut al-Qaraḍāwi pernikahan antara muslim dengan perempuanahl al-kitāb harus dicegah atau bahkan haram dilakukan khususnya dinegara-negara minoritas muslim. Dengan demikian pasangan yang lebihtepat dan lebih utama bagi seorang muslim adalah muslimah, khususnyayang mempunyai komitmen pada Islam dalam mencari rido Allah.135

Terkait penikahan muslimah dengan laki-laki non-muslim atau ahlal-kitāb menurut al-Qaraḍāwi tetap terlarang, karena tidak ada naŞŞ yangmengizinkannya. Selain itu dalam ajaran agama lain seperti Yahudi danNasrani, isteri tidak memiliki kebebasan dalam menjalankan agamanyadan tidak ada perlindungan terhadap hak-haknya. Kenyataan inimenimbulkan kekhawatiran akan terjadinya pemaksaan suami kepadaisteri untuk mengikuti keyakinannya. Melegalkan pernikahan muslimah

keislaman anak-anak tersebut hanya sebatas formalitas belaka. Yūsuf al-Qaraḍāwi,Min Hady al-Islām Fatāwā Mu’āŞirah, Juz. I, h. 472-474.

135Yūsuf al-Qaraḍāwi, Min Hady al-Islām Fatāwā Mu’āŞirah, Juz. I, h. 462-476.

Page 230: kontekstualisasi hukum islam

Fatwa tentang Perempuan dan Persoalan Keluarga

217

dengan laki-laki ahl al-kitāb berarti menghancurkan masa depanmuslimah dengan menjerumuskannya ke dalam otoritas orang yang tidakmau menjaga diri dan agamanya.136

3. Pendapat Para UlamaDiskursus nikah beda agama atau keyakinan bukan merupakan hal

baru karena sudah terjadi semenjak awal Islam. Interaksi sosial dalamkehidupan sehari-hari setidaknya turut mempengaruhi terwujudnyapernikahan ini. Rasulullah dan beberapa sahabat pernah melakukanpernikahan ini lantaran terdapat naŞŞ Alquran (al-Māidah: 5) yangmembolehkannya. Legalitas itu hanya diperuntukkan bagi laki-lakimuslim jika perempuan yang akan dinikahinya merupakan kelompok ahlal-kitāb dari keturunan Yahudi dan Nasrani. Dikarenakan merupakanagama samawi yang masih memegang kitab suci, perempuan ahl al-kitābdiperkenankan menjalin hubungan pernikahan dengan laki-laki muslim,meski mereka memiliki keyakinan trinitas.137 Terhadap kelompok non ahlal-kitāb, baik laki-laki maupun perempuan, disepakati para ulamaterlarang untuk dinikahi. Mereka digolongkan kepada kelompok yangmenyekutukan Allah (musyrik atau kafir) sehingga haram dinikahilantaran memiliki perbedaan visi dan misi. Di sisi lain para ulama jugasepakat atas terlarangnya pernikahan muslimah dengan non-muslim, baikahl al-kitāb atau bukan, lantaran tidak ada naŞŞ yang membolehkannya.Larangan ini juga ditujukan demi mencegah jalan suami yang kafirmengajak isterinya yang muslimah untuk mengikuti agamanya setelahmenikah sebagaimana yang ditegaskan pada surat al-Nisā’ ayat 141.138

Terlepas dari legalitas yang diberikan naŞŞ untuk menikahiperempuan ahl al-kitāb, ternyata para ulama masih memperdebatkanstatus kebolehan tersebut. 139 Ulama Ḥanāfiyyah memakruhkanpernikahan yang dilakukan seorang muslim dengan perempuan ahl al-

136Yūsuf al-Qaraḍāwi, al-Ḥalāl wa al -Ḥarām fἷ al Islām, h. 165.137‘Abd al-Raḥmān al-Jazἷri, Kitāb al-Fiqh ‘alā al-Madhāhib al-Arba’ah,

Juz. IV, h. 64.138Wahbah al-Zuhayli, al-Fiqh al-Islām wa Adillatuhu, Juz. IX, h. 6652-

6653.139Di antara faktor yang melatari polemik ini adalah adanya larangan dan

ketidaksukaan beberapa sahabat terhadap muslim yang melakukannya. Sebuah atharmengkhabarkan bahwa ‘Umar ibn al-Khattab pernah memerintahkan Ḥudhaifah al-Yamāni untuk menceraikan isterinya yang ahl al-kitāb. Perintah ini dilatari olehkekhawatirannya akan muncul fitnah bagi kaum muslimah karena para lelakimuslim lebih memilih perempuan ahl al-kitāb yang cantik sebagai isteri dari padamereka. Akibat buruk lainnya adalah banyak muslimah yang akan menjadi perawantua. Wahbah al-Zuhayli, al-Fiqh al-Islām wa Adillatuhu, Juz. IX, h. 6654-6655.

Page 231: kontekstualisasi hukum islam

Kontekstualisasi Hukum Islam

218

kitāb meskipun akad nikahnya sah. Pernikahan ini sebaiknya dihindari(makrūh tanzἷh) jika mereka nantinya menetap di wilayah muslim.Namun jika mereka menetap di wilayah non-muslim atau dār al-ḥarbi,maka kemakruhannya bertambah berat (makrūh taḥrἷm). Perubahan inidilatari oleh adanya kekhawatiran atas kuatnya pengaruh isteri terhadapsuami sehingga ada kemungkinan akan mengubah perilaku serta sikapsuami terhadap Islam dan umat Islam. Selain itu kedekatan pada ibu danpengaruh lingkungan, akan membuat keyakinan anak-anak mengikutisang ibu. Adapun ulama Mālikiyyah terbagi atas dua pengelompokanyaitu kelompok yang memakruhkan menikahi perempuan ahl al-kitābsecara mutlak dan kelompok yang tidak memakruhkannya sama sekali.Kelompok kedua menjadikan surat al-Māidah ayat 5 yang membolehkanmenikahi perempuan ahl al-kitāb secara mutlak, meski tahu bahwaperempuan ahl al-kitāb suka pergi ke gereja, suka mabuk, dan makanbabi. Masakan perempuan ahl al-kitāb tentunya juga pernah diberikankepada keluarganya. Hampir sama dengan pendapat ulama Ḥanāfiyyahdan sebagian Mālikiyyah, ulama Mazhab Shāfi’iyyah memakruhkanpernikahan ini jika terjadi di wilayah Islam dan akan bertambah makruhjika menetap di wilayah non-Islam. Hukum makruh ini hanya berlakudengan tiga syarat berikut; a) Laki-laki muslim tidak mengharapkankeislaman isterinya yang ahl al-kitāb, b) Sebenarnya laki-laki muslimtersebut mampu mencari isteri yang muslimah, dan c) Jika laki-lakimuslim tidak menikah dengan perempuan ahl al-kitāb, ada kemungkinania akan berzina. Hukum pernikahan ini dapat berubah menjadi mandūbjika ketiga syarat tersebut tidak terpenuhi. Sementara itu ulama Ḥanābilahtidak memakruhkan pernikahan ini berdasarkan keumuman ayat. 140

Berbeda dengan pendapat al-Sha’rawi saat ditanya alasanterlarangnya muslim dan muslimah menikahi musyrik dan musyrikahadalah untuk menjaga lingkungan keluarga dan anak-anaknya daripengaruh pasangan yang musyrik tersebut. Pemeliharaan anak khususnyaterhadap pendidikan akidah sangat membutuhkan kesatuan visi orang tua.Perbedaan keyakinan orang tua akan membuat bingung akidah anak yangberakibat pada kelemahan dan krisis keimanan. Oleh karena itu, laranganAllah pada surat al-Baqarah ayat 221 ditujukan agar umat Islam terhindardari kerusakan iman dalam menjalani kehidupan.141 Akan tetapi hal initidak terjadi jika isteri berasal dari kelompok ahl al-kitāb. Meski isteriyang ahl al-kitāb tidak mengakui kerasulan Muhammad, namun

140‘Abd al-Raḥmān al-Jazἷri, Kitāb al-Fiqh ‘alā al-Madhāhib al-Arba’ah,Juz. IV, h. 63-65. Terkait sebab lain atas legalitas penikahan ini sebagiannya telahdikemukakan pada fatwa al-Qaradawi sebelumnya.

141Muhammad Mutawalli al-Sha’rāwi, Fatāwā al-Nisā’, h. 104-107.

Page 232: kontekstualisasi hukum islam

Fatwa tentang Perempuan dan Persoalan Keluarga

219

kekuasaan suami muslim sebagai kepala keluarga mampu memberijaminan dan kenyamanan isteri dalam menjalankan keyakinannya.Jaminan ini tidak akan diterima muslimah yang menjadi isteri dari suamiyang ahl al-kitāb karena ajaran mereka tidak mentolerir kebebasan isteriuntuk menjalankan keyakinannya. Terakhir al-Sha’rawi menambahkanbahwa legalitas menikahi perempuan ahl al-kitāb ini hendaklah dibarengidengan lingkungan yang Islami. Artinya pasangan beda agama harustinggal di komunitas muslim demi menjaga keimanan dan akidah anak-anak dari kuatnya pengaruh sang ibu. Kekuasaan suami muslim dalamrumah tangga yang diperkuat dengan lingkungan islami, diharapkan dapatmendidik dan membentuk akidah serta keimanan yang kuat bagi anak-anak muslim.142

Pendapat hukum Shaltut terkait persoalan nikah beda agama agakberbeda dengan al-Sha’rawi di atas. Meskipun mayoritas ulama mengakuilegalitas pernikahan muslim dengan perempuan ahl al-kitāb lantaranadanya sedikit kesamaan keyakinan, namun hendaklah dilarang jikakeimanan calon suaminya lemah. Alasan diperbolehkannya pernikahanini adalah lantaran kekuatan dan kekuasaan yang dimiliki suami sebagaikepala keluarga dalam membimbing anak dan isterinya. Kenyataan yangada saat ini malah sebaliknya, di mana isteri yang ahl al-kitāb lebihmemiliki kekuasaan dari pada suaminya yang muslim. Bahkanpendidikan dan pembinaan anak-anakpun diserahkan secara mutlakkepada isteri sehingga wajar saja jika anak-anak tersebut akan mengikutkeyakinan ibunya. Dengan demikian membiarkan laki-laki muslim yanglemah menikah dengan perempuan ahl al-kitāb, sama saja denganmelakukan tindakan merusak agama. Padahal memelihara agamamerupakan hal pokok dan utama dalam mewujudkan tujuan-tujuansyariat. Kondisi ini juga jelas menunjukkan bahwa tujuan pernikahansebagaimana yang dikehendaki Islam tidak tercapai.143

Terkait dengan fatwa di atas pada umumnya anak-anak yangterlahir dalam pernikahan ini selain mempunyai keimanan yang labil jugabiasanya kehilangan identitas diri sebagai muslim. Hal ini seperti yangdialami Rukea M. Azougaye, muslimah blasteran Maroko-Jerman, yangmenetap di Jerman. Selain keyakinan, perbedaan budaya orang tuanyacukup membuat Rukea mengalami krisis identitas di tengah interaksinyadengan lingkungan masyarakat Jerman. Meskipun orang tua sudahberupaya memberikan pengetahuan tentang budaya dan agama, namun

142Muhammad Mutawalli al-Sha’rāwi, Fatāwā al-Nisā’, h. 108-110.143Maḥmūd Shaltūt, al-Fatāwā, (al-Qāhirah: Dār al-Qalm, T.th), h. 276-

281.

Page 233: kontekstualisasi hukum islam

Kontekstualisasi Hukum Islam

220

kondisi dan pergaulan di lingkungan sekitar yang multi kulturalsetidaknya membuat dia bingung ketika berada di rumah.144

Lembaga fatwa Indonesia juga telah mengambil sikap terkaitpersoalan nikah beda agama, mengingat beragamnya suku, bahasa, dankeyakinan yang dimiliki bangsa Indonesia. Sebenarnya istilah nikah bedaagama secara resmi belum dikenal dalam peraturan perundang-undanganIndonesia. Dalam peraturan Indonesia hanya dikenal istilah nikahcampuran yang sangat berbeda maknanya dengan nikah beda agama ataunikah lintas agama.145

Pada Muktamar Tarjih XXII di Malang Tahun 1989 diputuskanbahwa seorang laki-laki muslim atau perempuan muslimah diharamkanmenikahi laki-laki atau perempuan non-muslim. Kriteria non-muslim disini ada dua yaitu orang-orang musyrik dan ahl al-kitāb.146 Keputusan inikembali dikuatkan di tahun 2018 dengan menambahkan faktor agamasebagai salah satu dari bagian kafā’ah. Jadi pernikahan yang dilakukanseorang muslim atau muslimah dengan non-muslim dianggap tidaksekufu. Kafā’ah dalam hal agama sangat penting pada pernikahan karenatujuan rumah tangga selain mencapai kesenangan dunia juga untukmembina kehidupan yang sejahtera lahir batin terlebih lagi terhadapperkembangan anak.147 Hukum menikah antara muslim atau muslimahdengan non-muslim adalah haram dan tidak sah sehingga hubunganseksual yang terjadi termasuk zina. 148 Alasan lain yang dijadikanpertimbangan pelarangan pernikahan ini adalah menjaga keimanan anak-anak yang akan lahir serta menghindari kaum muslimah dari keadaanmembujang karena banyak yang belum menikah.149

144Rukea M. Azougaye, “Young, Gifted And Religious: What do WeExpect from Our Tradition And Our Society?”, in European Judaism: A Journal forthe New Europe, Vol. 46, No. 1, (Spring 2013), h. 117.

145Pernikahan campuran adalah pernikahan antara dua orang yang berbedakewarganegaraan dan tunduk pada hukum negara masing-masing, di mana salahseorangnya merupakan warga negara Indonesia. Lihat Muhammad Amin Suma,Kawin Beda Agama Di Indonesia, Telaah Syariah dan Qanuniah, (Tanggerang:Lentera Hati, 2015), h. 120-122.

146 Pimpinan Daerah Muhammadiyah, Himpunan Putusan TarjihMuhammadiyah, h. 272-278.

147Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, Himpunan Putusan Tarjih3, h. 375-375.

148Fatwa Majelis Tarjih Muhammadiyah Online, diakses dari http://www.fatwatarjih.com/2014/08/shalat-arbain-dan-kawin-beda-agama.html

149 Fatwa Majelis Tarjih Muhammadiyah Online Tanggal 22-07-2011Tentang Hukum Pernikahan Beda Agama, diakses dari http://www.fatwatarjih.com/2014/08/shalat-arbain-dan-kawin-beda-agama.html

Page 234: kontekstualisasi hukum islam

Fatwa tentang Perempuan dan Persoalan Keluarga

221

Berbeda dengan Muhammadiyah, NU telah mengeluarkan duapendapat hukum atau fatwa terkait pernikahan muslim dengan non-muslim. Fatwa pertama dikeluarkan pada tahun 1960 yang membolehkanlaki-laki muslim menikahi perempuan ahl al-kitāb. Fatwa ini dikutip daripendapat al-Sharkawi (w. 1812 M).150 Akan tetapi di tahun 1989, NUmengeluarkan fatwa yang berbeda di mana pernikahan antara muslimatau muslimah dengan non-nuslim menjadi terlarang. Fatwa ini jugamengutip sumber yang sama dan dikuatkan dengan sumber lain.151

Komisi Fatwa MUI juga telah mengeluarkan dua fatwa terkaitpernikahan beda agama dengan pendapat hukum yang sama yaitu haram.Pada fatwa pertama yang dikeluarkan tahun 1980, MUI hanya mendasarikepada sumber hukum Alquran dan hadis yang terkait dengan laranganmenikahi musyrik, musyrikah, dan kafir serta perintah untuk menjagakeluarga dari neraka dan kesucian anak-anak. 152 Fatwa pertama inidihasilkan dari keputusan Konferensi Tahunan MUI dan diketahui olehMenteri Agama. Namun landasan pertimbangan dalam fatwa ini samasekali tidak mengutip pendapat ulama mazhab terkait yang biasanyaselalu diterapkan MUI. 153 Akan tetapi pada fatwa kedua tahun 2005landasan hukum pelarangan ini diperkuat MUI dengan mengutip ayat danhadis terkait dengan tujuan pernikahan yaitu agar dapat menciptakanketenangan dan kedamaian. Selain itu MUI menambahkan sebuah kaedah“Menolak kerusakan lebih diutamakan dari pada mengambil kebaikan”.Hal ini menunjukkan bahwa meskipun sebenarnya pernikahan antaramuslim dengan perempuan ahl al-kitāb dibolehkan dan ada kebaikan,namun bahaya yang akan muncul kelak lebih besar, khususnya terhadapanak, perempuan muslimah dan keluarga.154

Meski Alquran tidak melarang laki-laki Muslim menikahiperempuan ahl al-kitāb, namun untuk kondisi Indonesia tidak dapatdilakukan. Penyebab diperbolehkan pernikahan ini di masa Rasul didasariatas harapan bahwa istri yang ahl al-kitāb akan masuk Islam karenakekuasaan mutlak yang dimiliki suami. Kondisi ini sangat berbedadengan Indonesia khususnya saat ini karena kekuasaan isteri sudahsebanding atau bahkan ada yang melebihi suami. Selain itu

150Nahdlatul Ulama, Ahkam al Fuqaha’, h. 289-290.151Nahdlatul Ulama, Ahkam al Fuqaha’, h. 413-416.152Fatwa Majelis Ulama Indonesia dalam MUNAS II Tahun 1980 Tentang

Perkawinan Campuran.153Mohammad Atho Mudzhar, Fatwa-fatwa Majelis Ulama Indonesia,

(Jakarta: INIS, 1993), h. 99-100.154Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor: 4 / MUNAS VII / MUI / 8 /

2005 Tentang Perkawinan Beda Agama.

Page 235: kontekstualisasi hukum islam

Kontekstualisasi Hukum Islam

222

kecenderungan anak-anak yang biasanya lebih dekat kepada ibu akanmembuat mereka mengikuti agama ibunya. Berdasarkan kaedah sadd al-dharἷ’ah pernikahan ini dilarang karena kerusakan yang dapatmengancam pemeliharaan atas agama dan keturunan (ḥifẓ al-dἷn wa al-nasab) lebih besar dari pada kebaikan yang bersifat individual.155 Sesuaidengan prinsip Komisi Fatwa, MUI senantiasa menerapkan upayapreventif (sadd al-dharἷ’ah) dan menjadikannya sebagai pedoman dalamrangka penetapan fatwa hukum. Asas kehati-hatian (iḥtiyāṭ) biasanyaditerapkan MUI secara ketat dalam pernikahan, ibadah, kosmetik, produkmakanan dan minuman, serta obat-obatan.156

Permasalahan lain juga muncul terkait status pernikahan yang telahterjadi antara muslim atau muslimah dengan non-muslim. Lembaga fatwaMesir, Dār al-Iftā’, pernah mengeluarkan fatwa terkait hal ini. Jikapernikahan telah terjadi namun muslim atau muslimah tersebut tidakmengetahui hukumnya maka ia tidak berdosa meskipun sudah memilikianak. Islam tidak membebankan dosa dan kesalahan atas sesuatu yangtidak diketahui. Namun meski demikian status pernikahan itu harusdiperjelas dengan tetap dipertahankan atau dihentikan. Artinya pihaksuami atau isteri yang non-muslim harus diajak secara baik-baik untukmengkonversi keyakinannya menjadi muslim. Jika ajakan itu diterimamaka hendaklah pernikahan tersebut diperbaharui lantaran adanyaperubahan status keyakinan. Akan tetapi jika ajakan itu ditolak makahendaklah pernikahan tersebut dihentikan, karena tidak dianggap sah olehajaran Islam.157

Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 juga telahmengatur pernikahan beda agama ini. Pasal 2 ayat 1 ditegaskan bahwapernikahan akan dianggap sah jika dilaksanakan menurut hukum agamadan kepercayaan kedua pengantin. Pasal ini diperkuat lagi oleh pasal 8 fyang secara tegas melarang pernikahan yang terjadi antara laki-laki danperempuan yang menurut agama atau kepercayaannya terlarangdilakukan. Pasal ini mengisyaratkan batalnya pernikahan yang dilakukanmuslim dengan non-muslim. Selain itu pelaksanaan pernikahan jugadapat dicegah jika terdapat persyaratan yang tidak terpenuhi (pasal 13).Adapun pihak yang berhak mencegah pernikahan itu adalah keluarga,

155MB Hooker, Islam Mazhab Indonesia, Penerjemah Iding RosyidinHasan. (Jakarta: Teraju, 2003), h. 110

156Asrorun Ni’am Sholeh, Metodologi Penetapan Fatwa Majelis UlamaIndonesia, (Jakarta: Erlangga, 2016), h. xxx.

157Fatwa Dār al-Iftā’, A Non-Practicing Muslim Woman Marrying a Non-Muslim Man, accessed from http://dar-alifta.org/Foreign/ViewFatwa. aspx?ID=10645

Page 236: kontekstualisasi hukum islam

Fatwa tentang Perempuan dan Persoalan Keluarga

223

saudara, wali nikah, wali, dan pengampu kedua pihak (pasal 14 ayat 1).Kedua pasal ini menjelaskan bahwa jika pernikahan yang akan dilakukantidak memenuhi persyaratan agama, maka keluarga atau wali memilikihak untuk mencegah agar pernikahan tersebut tidak terjadi.158

Pernikahan beda keyakinan juga menjadi bagian dari KompilasiHukum Islam. Terdapat lima pasal yang terkait dengan permasalahan ini.Pasal 18 menyatakan bahwa calon suami dan isteri yang akan menikahtidak mempunyai halangan pernikahan. Di antara halangan tersebutadalah adanya perbedaan keyakinan. Dengan demikian laki-laki muslimdilarang melakukan pernikahan dengan perempuan non-muslim (pasal 40c). Begitu juga sebaliknya, perempuan muslimah dilarang menikahdengan laki-laki non-muslim (pasal 44). Jika pasangan yang berbedakeyakinan masih ingin melangsungkan pernikahan, maka upayapencegahan dari keluarga dapat dibenarkan dengan alasan tidak sekufudalam keyakinan (pasal 61). Begitu juga jika ternyata salah seorangsuami isteri telah merubah keyakinan dengan cara keluar dari Islam,maka pernikahannya dapat diputuskan (pasal 116 k).159

4. Analisis Fatwaa. Penafsiran atas al-NuŞūŞ al-shar’iyyah

Abou el Fadl mendasari fatwa yang memakruhkan pernikahan bedaagama dengan surat al-Māidah ayat 5.160 Meski ayat ini membolehkanmuslim menikahi perempuan ahl al-kitāb, namun Abou el Fadl melarangpernikahan tersebut lantaran efek negatif yang ditimbulkannya. Paraulama berbeda dalam menentukan makna lafal muḥŞanāt pada ayat ini.Ibn Abbās (w. 687 M) memaknainya dengan perempuan yang suci danberakal. Al-Sha’bi (w. 723 M) mengartikannya dengan perempuan yangmemelihara kehormatannya, menjauhi zina, dan senantiasa bersuci darijunub. Ada juga ulama yang menyebutnya dengan muḥŞināt yang berartiperempuan merdeka. Pendapat ini dianut oleh Mujāhid (w. 722 M) danAbū ‘Ubaid (w. 838 M). Ibn Abbās menambahkan bahwa yang dimaksuddengan perempuan yang suci dalam ayat ini adalah perempuan yangberasal dari ahl al-dhimmah, bukan ahl al-ḥarbiyyah.161

158Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.159Kompilasi Hukum Islam Buku I Hukum Perkawinan.160 “…(Dan dihalalkan menikahi) perempuan-perempuan yang menjaga

kehormatan di antara perempuan yang beriman dan perempuan yang menjagakehormatan di antara orang-orang yang diberi kitab sebelummu, jika kamu telahmembayar mahar mereka dengan maksud menikahinya, bukan bertujuan untuk zinadan tidak pula menjadikannya sebagai gundik…”. (QS. al-Māidah: 5)

161Al-Qurṭubi, al-Jāmi’ li Aḥkām al-Qur’ān, Juz. VII, h. 320.

Page 237: kontekstualisasi hukum islam

Kontekstualisasi Hukum Islam

224

Wahbah al-Zuhaili menyatakan bahwa ayat ini menegaskankehalalan laki-laki muslim menikahi perempuan beriman yang merdekadan perempuan ahl al-kitāb dari kalangan Yahudi dan Nasrani, baikdhimmi maupun ḥarbi dengan syarat mereka diberi mahar. Penekananmahar dalam ayat ini hanya untuk menguatkan kewajiban mahar itusendiri, bukan sebagai syarat pembolehan pernikahan. Pengkaitanpernikahan dengan perempuan merdeka tidak dapat dipahami sebaliknya.Artinya menikahi perempuan budak yang beriman tetap diperbolehkandan dianggap sah oleh para ulama. Persyaratan merdeka ditujukan agarlaki-laki muslim terhindar dari menikahi perempuan pezina atauperempuan yang biasa menerima bayaran untuk melakukan pekerjaankeji.162

Menurut al-Alūshy lafal muḥŞanāt dari kalangan ahl al-kitāb dalamayat ini ditujukan untuk perempuan ahl al-kitāb yang telah masuk Islam.Sementara lafal muḥŞanāt dari kalangan kaum mukmin ditujukan untukperempuan yang sudah beriman semenjak kecil. Ayat ini diperuntukkanbagi kaum yang menghindar melakukan ikatan atau kontrak denganperempuan yang masuk Islam dari kekufuran yang dianut sebelumnya.Artinya melalui ayat ini Allah menegaskan bahwa ikatan apapun yangdilakukan seorang muslim dengan perempuan muḥŞanāt dari kalanganahl al-kitāb dapat dilakukan dan tidak terlarang. Terkait dengan hal inikelompok Shἷ’ah Imāmiyyah melarang pernikahan laki-laki muslimdengan perempuan ahl al-kitāb untuk selamanya. Menurut merekakelompok ahl al-kitāb memiliki kesamaan dengan kaum musyrik dankafir.163

Beranjak dari keberagaman penafsiran di atas akan terlihat bahwameski para ulama berbeda dalam menetapkan kriteria ahl al-kitāb,dhimmi dan ḥarbi, namun kebanyakan di antara mereka sepakat ataskebolehan menikahi perempuan Yahudi dan Nasrani dari kalangan ahl al-kitāb. Berbeda dengan Abou el Fadl yang melarang pernikahan tersebutterjadi, khususnya jika dilakukan oleh muslim dan muslimah yangmenetap di negara-negara minoritas muslim. Larangan ini ditujukanAbou el Fadl secara umum tanpa memandang status ahl al-kitāb, musyrikatau kafir dan tidak membedakan jenis kelamin laki-laki atau perempuanseperti yang dilakukan mayoritas ulama. Hal ini berarti penafsiran Abouel Fadl terhadap surat al-Māidah ayat 5 dilandasi atas rasio (bi al-ra’yi)dan sangat sesuai dengan realitas sosial umat Islam sekarang.

162Wahbah al-Zuhaili, al-Tafsἷr al-Munἷr fi al-‘Aqἷdah wa al-Sharἷ’ah waal-Manhaj, Juz. VI, (Damaskus: Dār al-Fikr, 2003), h. 444-445.

163Shihāb al-Dἷn al-Sayyid Maḥmūd al-Alūshy, Rūḥ al-Ma’āni fἷ Tafsἷr al-Qur’ān al-‘Aẓἷm wa al-Sab’i al-Mathāni, Juz. III, h. 238.

Page 238: kontekstualisasi hukum islam

Fatwa tentang Perempuan dan Persoalan Keluarga

225

Adapun al-Qaraḍāwi yang dalam fatwanya banyak mengutiplandasan Alquran,164 namun pada akhirnya hanya terfokus pada satu ayatyaitu surat al-Māidah ayat 5. Tidak jauh berbeda dengan mayoritasulama, pada mulanya al-Qaraḍāwi juga memisahkan antara kelompok ahlal-kitāb, musyrik dengan kafir sehingga menghasilkan kesimpulan berupakebolehan laki-laki muslim menikahi perempuan ahl al-kitāb. Akan tetapikesimpulan atau pendapat hukum tersebut akhirnya berubah setelahmelihat kondisi muslim saat ini, khususnya yang menetap di wilayahmayoritas non-muslim. Kenyataan ini akhirnya membuat al-Qaraḍāwimenetapkan larangan atau bahkan keharaman pernikahan antara laki-lakimuslim dengan perempuan ahl al-kitāb. Perubahan pendapat hukum al-Qaraḍāwi ini menunjukkan bahwa fatwa pertama dilandasi kepadariwāyah (bi al-ma’thūr), sedangkan fatwa kedua dilandasi kepada rasio(bi al-ra’yi). Perubahan pendapat hukum ini disebabkan oleh terjadinyaperubahan kondisi sosial masyarakat yang menjadi motif hukum (‘illat).Dengan demikian fatwa kedua akan senantiasa berlaku selama realitassosial masyarakat tidak berubah.b. Penerapan Qiyās

Abou el Fadl hanya menetapkan satu hukum yaitu makruhterhadap penikahan beda agama, tanpa memandang status Yahudi atauNasrani. Berbeda dengan mayoritas ulama yang membedakan antara ahlal-kitāb dengan musyrik, Bahā’iyyah, dan murtad. Pensejajaran objekfatwa ini mengindikasikan adanya penerapan qiyās musāwi.165 Artinyasemua orang yang memiliki keyakinan berbeda atau non-muslimdisamakan dengan kelompok musyrik lantaran memiliki visi yangberbeda.166 Pensejajaran ini juga diberlakukan Abou el Fadl secara samaterhadap laki-laki dan perempuan muslim, sehingga larangan menikahinon-muslim diberlakukan kepada muslim dan muslimah. Berbeda halnyadengan al-Qaraḍāwi yang tetap membedakan antara ahl al-kitāb denganpenganut keyakinan lainnya, meskipada akhirnya melarang pernikahanantara muslim dengan perempuan ahl al-kitāb. Hal ini berarti al-Qaraḍāwi tidak menerapkan qiyās dalam fatwanya.

164 QS al-Baqarah ayat 217 & 221, al-Māidah ayat 5, dan al-Mumtaḥanahayat 10.

165Wahbah al-Zuhayli, UŞūl al-Fiqh al-Isla>mi. Juz I, h. 702.166 "Dan janganlah kamu menikahi perempuan-perempuan musyrikah,

sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak perempuan yang beriman lebih baikdari pada perempuan musyrikah, meski dia menarik hatimu. Dan janganlah kamumenikahkan laki-laki musyrik (dengan perempuan mukminat) sebelum merekaberiman. Sesungguhnya budak mukmin lebih baik dari pada laki-laki musyrik walauia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedangkan Allah mengajak ke surgadan ampunan dengan izin-Nya…” (QS. al-Baqarah: 221)”

Page 239: kontekstualisasi hukum islam

Kontekstualisasi Hukum Islam

226

c. Perwujudan MaqāŞid al-sharἷ’ahLarangan atau hukum makruh yang ditetapkan Abou el Fadl

terhadap pernikahan muslim atau muslimah dengan non-muslimditujukan untuk kebaikan umat Islam itu sendiri. Artinya dilarangnyamuslim atau muslimah menikah dengan non-muslim agar terhindar darikehidupan keluarga yang tidak bahagia dan damai. Keluarga yangbahagia dapat dicapai kalau suami isteri memiliki keyakinan yang samasehingga dapat menjalankan ibadah secara bersama-sama. Keluarga yangbahagia dengan satu visi keyakinan, nantinya juga akan melahirkan anak-anak yang memiliki identitas muslim dan akidah yang kuat. Kedua hal initidak akan dapat terwujud jika suami isteri memiliki keyakinan yangberbeda. Dengan demikian tujuan syariat yang hendak diwujudkan darifatwa Abou el Fadl ini adalah terpeliharanya agama dan keturunan (ḥifẓal-dἷn wa al-nasl).167

Adapun tujuan syariat yang hendak dicapai al-Qaraḍāwi ketikamembolehkan muslim menikahi perempuan ahl al-kitāb adalah untukmemelihara agama (ḥifẓ al-dἷn). Salah satu cara yang dapat ditempuhuntuk memelihara agama adalah melalui hubungan erat dan salingtoleransi dengan kelompok ahl al-kitāb. Selain memperkuatpersahabatan, hubungan ini juga dapat menghindari umat Islam darikebencian atau gangguan ahl al-kitāb. Akan tetapi memelihara agamajuga ditujukan al-Qaraḍāwi ketika melarang pernikahan muslim denganperempuan ahl al-kitāb. Perubahan tersebut dilatari oleh berubahnyasituasi dan kondisi yang dihadapi muslim saat ini, khususnya di Barat.Memelihara agama dan keturunan (ḥifẓ al-dἷn wa al-nasl) dalam fatwamelarang pernikahan muslim dengan perempuan ahl al-kitāb ditujukanal-Qaraḍāwi agar akidah dan keimanan suami muslim beserta anak-anaknya tetap kokoh dan tidak rapuh. Selain itu kehidupan rumah tanggayang tidak bahagia antara suami isteri juga dapat terhindar melalui fatwalarangan pernikahan ini.168

d. Penerapan Adillah al-aḥkām al-mukhtalaf fἷhāFatwa Abou el Fadl yang melarang pernikahan beda agama dan

fatwa kedua al-Qaraḍāwi yang juga melarang pernikahan muslim denganperempuan ahl al-kitāb dilatari oleh kekhawatiran atas kerusakan dankemudaratan yang akan muncul, meski pada dasarnya diperbolehkan.

167Muhammad Abū Zahrah, UŞūl al-Fiqh, h. 367-368.168‘Abd al-Karἷm Zaidān, al-Wajἷz fi UŞūl al-Fiqh, h. 379-380.

Page 240: kontekstualisasi hukum islam

Fatwa tentang Perempuan dan Persoalan Keluarga

227

Upaya melarang terjadinya pernikahan ini mengindikasikanditerapkannya metode sadd al-dharἷ’ah169 pada kedua fatwa ulama ini.e. Penerapan al-Qawā’id al-fiqhiyyah

Pernikahan beda agama di satu sisi mengandung kebaikan, yaituakan melahirkan toleransi dan sikap saling menghargai antara suami isterisehingga berdampak kepada kerukunan umat beragama. Namun di sisilain pernikahan ini juga mengandung keburukan, yaitu ketidakbahagiaansuami isteri lantaran berbedanya visi dan misi dalam beribadah danberkeyakinan.170 Efek negatif lainnya adalah hilangnya jati diri muslimpada anak-anak yang lahir dari pernikahan tersebut. Bahkan jikakeyakinan pasangan non-muslim lebih kuat, boleh jadi suami atau isteriyang muslim akan mengkonversi keyakinannya demi mengikutikeyakinan pasangan yang dicintainya. Menimbang atas kebaikan dankerusakan ini, Abou el Fadl melarang muslim dan muslimah menikahdengan non-muslim dan al-Qaraḍāwi (dalam fatwa kedua) melarangmuslim menikahi perempuan ahl al-kitāb. Hal ini juga mengindikasikanbahwa kedua fatwa ulama ini menerapkan kaidah fikih turunan yaitudar’u al-mafāsid awlā min jalb al-maŞāliḥ (menolak kerusakan lebihdiutamakan dari pada mengambil kemaslahatan).171

f. Penerapan Taḥqiq al-manāṭKondisi muslim yang menetap di wilayah mayoritas non-muslim

sangat rentan terhadap godaan dan pengaruh sosio-kultural masyarakatnon-muslim. Jika tidak memiliki keimanan yang kuat, kebanyakanmuslim akan mengikuti gaya hidup dan kebiasaan non-muslim. Kondisimemprihatinkan inilah yang melatari fatwa Abou el Fadl dan al-Qaraḍāwidalam melarang muslim menikahi non-muslim dan perempuan ahl al-kitāb. Pengalaman hidup di negara minoritas muslim membuat Abou elFadl menyadari kalau perbedaan keyakinan antara suami isteri tidak akan

169 Mayoritas ulama selain Zāhiriyyah menerima keberadaan sadd al-dharἷ’ah sebagai dalil hukum. Ulama Mālikiyyah menetapkan sifat sia-sia sebagaialasan untuk melarang suatu perbuatan (sadd al-dharἷ’ah). Sementara itu ulamaḤanāfiyyah dan Shāfi’iyyah hanya menerapkan sadd al-dharἷ’ah dalam hal-haltertentu saja dan bukan untuk menjadikan sesuatu yang halal menjadi haram. UlamaShἷ’ah juga menerima keberadaan sadd al-dharἷ’ah. Lihat Wahbah al-Zuhayli, UŞūlal-Fiqh al-Islāmi, Juz. II, h. 888-889.

170Realita masyarakat Amerika telah membuat Abou el Fadl sadar bahwakendati didasari pada komitmen cinta dan harapan, namun pernikahan bedakeyakinan akan kandas meski telah berjalan selama puluhan tahun. Fatwa tanggal 1Mei 2016.

171 Aḥmad ibn al-Saikh Muhammad al-Zarqā’, Sharḥ al-Qawā’id al-Fiqhiyyah, h. 205.

Page 241: kontekstualisasi hukum islam

Kontekstualisasi Hukum Islam

228

menjamin kelanggengan dan keharmonisan pernikahan. Begitu jugadengan pendidikan dan keyakinan anak-anak yang akan menjadi rumitlantaran berbedanya visi orang tua mereka. Bahkan boleh jadi lantarandekat dengan sang ibu, anak akan mengikuti keyakinan ibunya.172 Jadiperbedaan keyakinan akan menghilangkan kesatuan dan kasih sayangsuami isteri karena berbedanya mereka dalam menjalankan ibadah danorientasi masa depan.

Alasan yang sama juga melatari al-Qaraḍāwi ketika melarang danmengharamkan pernikahan muslim dengan perempuan ahl al-kitāb.Melemahnya kekuasaan suami dalam keluarga akan menyebabkandominasi isteri menjadi lebih kuat dalam mengatur urusan rumah tangga,termasuk pendidikan dan keyakinan anak-anak yang kebanyakan akanmengikuti ibunya lantaran memiliki kedekatan emosional.g. Pertimbangan I’ādah al-naẓr

Pada fatwanya Abou el Fadl menyatakan dukungan terhadappendapat sebagian ulama Ḥanāfiyyah, Mālikiyyah dan Shāfi’iyyah yangmemakruhkan pernikahan laki-laki muslim dengan perempuan ahl al-kitāb di wilayah non-muslim. Pendapat ini kurang popular saat itu karenaberbeda dengan pendapat mayoritas ulama yang membolehkan menikahiperempuan ahl al-kitāb. Akan tetapi meski memiliki alasan yang samayaitu kekhawatiran atas dominasi pasangan non-muslim terhadap anak,Abou el Fadl menyamakan isteri ahl al-kitāb dengan pasangan suami atauisteri dari agama manapun. Adapun dalam fatwa al-Qaraḍāwi, secaratersirat juga mendukung pendapat sebagian ulama Ḥanāfiyyah,Mālikiyyah dan Shāfi’iyyah di atas ketika melarang atau mengharamkanmuslim menikahi perempuan ahl al-kitāb di wilayah minoritas muslim.h. Penerapan metode yang sesuai dengan perkembangan ilmu

pengetahuanSama seperti fatwa lainnya, indikator ini tidak terlihat diterapkan

dalam fatwa Abou el Fadl dan al-Qaraḍāwi. Hal ini dimungkinkan karenapernikahan beda agama atau dengan kelompok ahl al-kitāb merupakanpersoalan sosial yang akan senantiasa dialami dan ditemui umat Islam dimanapun dan kapanpun.

Analisis fatwa Abou el Fadl dan al-Qaraḍāwi tentang pernikahanbeda agama di atas dapat dilihat pada tabel 6.

172Khaled Abou El Fadl, “Islamic Law and Muslim Minorities: The JuristicDiscourse on Muslim Minorities from the Second/Eighth to theEleventh/Seventeenth Centuries”, in Islamic Law and Society, Vol. 1, No. 2 (1994),h. 178.

Page 242: kontekstualisasi hukum islam

Fatwa tentang Perempuan dan Persoalan Keluarga

229

Tabel 6Perbandingan Pemenuhan Indikator Kontekstual dalam

Fatwa Abou el Fadl dan al-Qaraḍāwi tentang Nikah Beda AgamaNo Indikator Fatwa Abou

el FadlFatwa

al-Qaraḍāwi1 Penafsiran atas al-NuŞūŞ al-

shar’iyyah

2 Penerapan Qiyās X3 Perwujudan MaqāŞid al-

sharἷ’ah

4 Penerapan Adillah al-aḥkāmal-mukhtalaf fἷha

5 Penerapan al-Qawāid al-fiqhiyyah

6 Penerapan Taḥqiq al-manāṭ 7 Pertimbangan I’ādah al-naẓr 8 Sesuai perkembangan ilmu

pengetahuanX X

9 Kesimpulan Kontekstual Kontekstual

D. Fatwa Nusyuz1. Fatwa Abou el Fadl

Mustafti merupakan seorang isteri yang dengan emosinya mengadukepada Abou el Fadl tentang tindak pemukulan suami kepadanya. Bukandilatari oleh rasa sakit, namun ia tidak dapat menerima kenyataanpemukulan itu karena merasa dikhianati sehingga menjatuhkanmartabatnya. Imam masjid yang ditemuinya menyarankan agar iamenerima hal itu karena suami punya wewenang dan pemukulan itubukanlah suatu pelanggaran. Selain itu menjadikan tindak pemukulansebagai alasan tuntutan cerai juga tidak tepat. Selanjutnya Imam masjidmenambahkan jika mustafti menolak hal ini, berarti ia telah berlakunusyuz karena tidak menganggap suami sebagai pemimpinnya.

Abou el Fadl mengawali dengan sebuah riwayat dari ‘Ali ra yangmenyatakan bahwa sebelum Islam datang, laki-laki yang suka memukulisterinya akan dikenang masyarakat sebagai pemukul isteri sehinggamembuat keluarga dan keturunannya merasa malu selama beberapatahun. Sebagai ajaran yang menghormati perempuan sangat tidakmungkin Islam akan mentolerir tindakan pemukulan tersebut. Terdapatbeberapa keterangan naŞŞ terkait hal ini. Pada surat al-A’rāf ayat 189 danal-Rūm ayat 21 dijelaskan bahwa tujuan pernikahan adalah untukmenciptakan rasa cinta, kasih sayang dan ketenangan antara suami isteri

Page 243: kontekstualisasi hukum islam

Kontekstualisasi Hukum Islam

230

sehingga hubungan suami isteri menjadi kokoh. Di sisi lain tidakditemukan satupun sejarah yang menyatakan Rasulullah pernah memukulisteri, anak, atau budaknya. Bahkan beliau pernah berkata bahwa suamiterburuk adalah yang suka memukul isterinya dan berarti suami itubukanlah orang yang terbaik. Semua naŞŞ ini mengindikasikan bahwatindakan suami yang suka memukul isterinya tidak mengikuti sunahRasul sehingga tidak layak mendapat otoritas untuk memutuskan danmelaksanakan sanksi hukum. Selain itu tindak pemukulan sangatbertentangan dengan tujuan pernikahan.

Mengizinkan tindak pemukulan suami dengan dalih melaksanakansanksi nusyuz isteri sebagaimana yang ditegaskan dalam surat al-Nisā’ayat 34, tidak dapat dibenarkan menurut Abou el Fadl. Menurutmayoritas ulama sebab turun (asbāb al-nuzūl) ayat ini berasal daririwayat Ummu Salamah terkait pengaduan seorang isteri pasca dipukulsuami. Awalnya Rasul memerintahkan sang isteri untuk melakukanpembalasan, namun setelah ayat ini turun perintah tersebut dibatalkanseraya menyatakan bahwa tidak ada kisas dalam hubungan suamiisteri. 173 Riwayat ini tidak diterima Abou el Fadl karena dianggapbertentangan dengan sikap dan perlakuan Rasulullah yang membencisuami lantaran suka memukul isterinya. Oleh karena itu, diperlukan

173Riwayat ini menceritakan kasus Ḥabἷbah binti Zaid yang ditamparsuaminya, Qays ibn Rabἷ’. Meski tidak ditemukan dalam kitab-kitab hadis utama,namun riwayat ini sering dijadikan dalih para mufassir ketika menafsirkan surat al-Nisā’ ayat 34. Terdapat riwayat lain yang juga sering dikemukakan para mufassirketika membahas ayat ini. Di antaranya riwayat tentang isteri Wālid ibn ‘Uqbahyang sering dipukul suaminya, khususnya setelah ia mengadukan tindakanpemukulan suaminya kepada Rasulullah. Selain itu ada juga riwayat yangmenjelaskan tentang keluhan ‘Umar ibn al-Khaṭāb atas tingkah para isteri yangdianggap kelewatan lantaran ucapan Rasulullah yang melarang para suami memukulisteri. Keluhan ‘Umar ini ditanggapi Rasulullah dengan pemberian izin bagi suamiuntuk memukul para isteri yang dianggap sudah kelewatan. Akibat dari perizinantersebut, rumah Rasulullah dikelilingi oleh sekitar 70 perempuan yang mengadukarena telah dipukul suami. Ayesha S Chaudhry, "I Wanted One Thing and GodWanted Another...": The Dilemma of the Prophetic Example and the Qur'anicInjunction on Wife-Beating”, in The Journal of Religious Ethics, Vol. 39, No. 3(2011), 422-432. Berdasarkan ketiga riwayat ini para ulama selalu mengaitkantindak pemukulan suami dengan nusyuz dan sekaligus membenarkan tindakantersebut. Namun amat disayangkan mereka tidak membahas secara mendalamkeotentikan riwayat hadis, bagaimana pemahamannya, serta faktor apa saja yangmenyebabkan tindak pemukulan sebagaimana diterangkan oleh riwayat hadis. Selainitu ketiadaan ketentuan dan standar baku atas legalitas pemukulan suami terhadapisteri yang dianggap nusyuz memberikan kesan atas kuatnya bias gender.

Page 244: kontekstualisasi hukum islam

Fatwa tentang Perempuan dan Persoalan Keluarga

231

pengkajian secara mendalam terhadap surat al-Nisā’ ayat 34 dan 35terkait persoalan ini.

ع اج ض لم ى ا ف ن وھ ر ج ھ او ن وھ ظ ع ف ن ھ ز و ش ن ن و اف خ ى ت ت ال و ...-ار ی ب ا ك ل ع ان ك هللا ن إ ال ی ب س ن ھ ی ل اع و غ ب ت ال ف م ك نع ط أ ن إ ف ن وھ ب ر اض و ن إ اھ ل ھ أ ن ا م م ك ح و ھ ل ھ أ ن ا م م ك وا ح ث ع ب اا ف م ھ ن ی ب اق ق ش م ت ف خ ن إ و -34: اءس الن (ا ر ی ب ا خ م ی ل ع ان ك هللا ن إ , ام ھ نب ی هللا ق ف و ی اح ال ص ا إ د ی ر ی

35(“…Dan perempuan-perempuan yang kamu khawatirkannusyuznya, maka nasehatilah mereka, dan pisahkanlah dari tempattidur, dan pukullah mereka. Jika mereka mematuhimu makajanganlah kamu mencari-cari jalan (untuk menyusahkan mereka).Sungguh Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar. Dan jika kamukhawatir atas persengketaan antara keduanya, maka utuslahseorang hakam dari pihak (suami) dan hakam dari pihak (isteri).Jika kedua (hakam itu) menginginkan perdamaian, niscaya Allahakan memberi taufik antara kedua (suami isteri). SesungguhnyaAllah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal” (QS. al-Nisā’: 34-35)Jika dibaca secara runut, maka ayat pertama membicarakan tentang

sanksi hukum tindakan nusyuz isteri yaitu dinasehati, dijauhkan tempattidur, dan dipukul. Sanksi ini diberikan akibat pelanggaran yang telahdilakukannya. Ayat selanjutnya membicarakan pengutusan hakam ataujuru damai guna menyelesaikan sengketa yang terjadi antara suami isteri.Pengutusan hakam ini dilatari oleh adanya rasa khawatir akan terjadinyasengketa sebagaimana ditegaskan pada awal ayat ke 35. Menurut Abou elFadl beranjak dari alur berfikir ini akan muncul pertanyaan, ‘apa gunanyamengutus hakam yang ditugaskan untuk mendamaikan sengketa suamiisteri jika pelaksanaan hukuman atas pelanggaran isteri sudah dilakukanterlebih dahulu’? Tindakan ini sama saja dengan mengajukan tuntutanpersidangan setelah eksekusi hukum dilaksanakan.

Persoalan selanjutnya terkait dengan pemaknaan nusyuz yangselama ini dipahami mayoritas ulama sebagai sikap angkuh, sombong,pembangkangan dan ketidakpatuhan isteri kepada suami. Bahkan IbnRushd memaknai nusyuz dengan perempuan yang banyak melakukankejahatan, tidak mau diajak beribadah dan bertobat. Pemaknaan inisepertinya hanya ditujukan para ulama kepada isteri sehingga menafikansuami yang sebenarnya juga berpotensi berbuat nusyuz (al-Nisā’: 128).Sangat disayangkan tidak ada satupun ulama yang memaknai nusyuzsuami dengan ketidakpatuhan pada isteri atau pembangkangan suamikepada isteri. Mereka membedakan makna nusyuz yang dilakukan isteri

Page 245: kontekstualisasi hukum islam

Kontekstualisasi Hukum Islam

232

dengan ketidakpatuhan, sedangkan nusyuz suami dimaknai denganperbuatan dosa yang diketahui (fāḥishah mubayyinah). Pembedaanmakna ini tidaklah benar menurut Abou el Fadl karena bertentangandengan rasa keadilan. Rasulullah SAW pernah bersabda,

اع د لو ا ة ج ى ح ملسو هيلع هللا ىلص ف ي ب الن ع م س ھ ن أ ,يش م ج ال ص و ح األ ن و ب ر م ع ن ع ال أ :ال ق م ث ؛ظ ع و و ر ك ذ و ھ ی ل ى ع ن ث أ ى و ال ع ت هللا د م ح ن أ د ع ب ل و ق ی ن ھ ن م ن و ك ل م ت س ی ل م ك د ن ع ان و ع ن ا ھ م ن إ ف ؛ار ی خ اء س الن اب و ص و ت اس و ى ف ن ھ ور ج اھ ف ن ل ع ف ن إ ف , ة نی ب م ة ش اح ف ب ن ی ت أ ی ن أ آل إ ك ال ذ ر ی ا غ ئ ی ش ال ف م ك نع ط أ ن إ ف , ح ر ب م ر ی ا غ ب ر ض ن ھ وب ر اض و ع اج ض م ال 174)رواه الترمذي...(ال ی ب س ن ھ ی ل واع غ ب ت

“Dari ‘Amr ibn al-AḥwaŞi al-Jumashi, bahwa ia mendengarRasulullah SAW saat haji Wada’ telah bersabda, setelah memujiAllah, mengagungkan dan mengingat-Nya, ‘Tidakkah kamumenginginkan perempuan menjadi baik? Mereka adalahpenolongmu, dan kamu tidak memiliki (keperluan) apa pun darimereka selain itu, kecuali mereka melakukan perbuatan dosa yangdiketahui (fāḥishah mubayyinah). Jika mereka melakukannya,maka tinggalkan mereka di tempat tidur, dan pukullah merekadengan pukulan yang tidak menyakiti. Jika mereka mematuhimu,maka janganlah kamu mencari-cari jalan (untuk menyusahkanmereka)...”. (HR al-Tirmidhi)Abou el Fadl menjadikan lafal fāḥishah mubayyinah dalam riwayat

hadis ini sebagai landasan pemaknaan nusyuz.175 Selain memiliki redaksiyang kurang lebih sama dengan surat al-Nisā’ ayat 34, perbuatan dosayang diketahui (fāḥishah mubayyinah) dapat diberlakukan kepada suamidan isteri secara adil. Jika dirujuk kepada Alquran, pemaknaan nusyuz

174Muhammad ibn ‘Isa ibn Thawrah al-Tirmidhi, Sunan al-Tirmidhi, Juz. II,h. 224, hadis ke-1163. Lihat Abi ‘Abdullah Muhammad Ibn Yazid al-Qazwaini,Sunan Ibn Mājah, Juz. I, h. 594, hadis ke-1851. Lihat juga al-Nawawi, Riyāḍ al-Ṣāliḥἷn, (Beirūt: Dār Ibn Kathἷr, 2007), h. 110.

175Pendapat senada juga dikemukakan Azizah Yahia. Menurutnya maknanusyuz yang selama ini dikemukakan para ulama sangat kontra dengan penjelasanRasulullah ketika berkutbah pada Haji Wadā’. Ibn Athἷr (w. 1233 M) dan al-Jawhari(w. 1002 M) juga menafsirkan lafal nusyuz dengan fāḥishah mubayyinah yangidentik dengan perbuatan zina. Azizah Yahia al-Hibri, “Muslim Women's Rights inthe Global Village: Challenges and Opportunities”, h. 62-63.

Page 246: kontekstualisasi hukum islam

Fatwa tentang Perempuan dan Persoalan Keluarga

233

dengan fāḥishah mubayyinah mengacu kepada perbuatan seksual176 yangmemiliki tiga bentuk kemungkinan yaitu; aktifitas seksual yang tidakberbentuk hubungan badan, hubungan badan yang tidak dapat dibuktikanoleh empat orang saksi, dan meskipun terdapat empat orang saksi namunmereka tidak melihat langsung masuknya zakar ke dalam vagina.177

Berdasarkan penjelasan di atas, Abou el Fadl menyatakan bahwamakna nusyuz dalam surat al-Nisā’ ayat 34 diperuntukkan bagi isteriyang melakukan tindakan fāḥishah mubayyinah atau perbuatan seksualdengan tiga kemungkinan di atas. Jika hal ini terjadi maka suamidianggap layak melaksanakan salah satu dari tiga bentuk sanksi hukumanberikut; menasehati, menjauhi tempat tidurnya, atau memukulnya.Pemaknaan yang sama diberlakukan juga pada nusyuz suami. Artinyajika suami melakukan salah satu dari tiga bentuk perbuatan fāḥishahmubayyinah, maka upaya damai dapat dilakukan antara suami isteritersebut (QS. al-Nisā’: 128).

Terakhir Abou el Fadl mengatakan bahwa otoritas menetapkan danmelaksanakan sanksi atas nusyuznya isteri bukan berada di tangan suami,tapi merupakan wewenang pengadilan dan pemerintah. Hal inidikarenakan dalam ayat 34 surat al-Nisa’ tidak ditemukan adanya indikasiyang menyatakan kalau otoritas atau hak mengeksekusi nusyuz isteridiberikan kepada individu. Terlepas dari permasalahan nusyuz,keberadaan ayat 35 hanya menjelaskan tentang perselisihan yang terjadiantara suami isteri, namun bukan dilatari oleh dugaan fāḥishahmubayyinah. Oleh karena itu, solusi yang dapat ditempuh adalah melalui

176Sebagaimana yang ditegaskan dalam ayat berikut; “Dan janganlah kamumendekati zina, karena (zina) merupakan perbuatan fāḥishah dan seburuk-buruktempat kembali” (QS al-Isrā’: 32).

177Lafal fāḥishah juga ditemukan pada ayat ke-15 dari surat al-Nisā’ yangselama ini dipahami sebagian ulama telah dinasakh hukumnya. Akan tetapi menurutAbou el Fadl memaknai lafal nusyuz pada ayat ke 34 dan 128 dengan fāḥishahmubayyinah berimplikasi kepada ayat ke-15 ini. Hal ini berarti lafal nusyuz denganmakna fāḥishah mubayyinah yang terdapat pada ayat 34 ditujukan untuk perempuandengan status isteri, sedangkan lafal fāḥishah mubayyinah pada ayat 15 ditujukankepada perempuan yang belum menikah. Dengan demikian jika ada seorangperawan yang melakukan salah satu dari tiga bentuk fāḥishah mubayyinah dan dapatdibuktikan oleh empat orang saksi, maka sanksi hukumnya adalah dikurung sampaimeninggal atau menempuh cara lain yang telah ditetapkan Allah yaitu menikah.Khaled M Abou el Fadl, On The Beating of Wifes. accessed fromhttp://www.scholarofthehouse.org/exbykhabelfa.html

Page 247: kontekstualisasi hukum islam

Kontekstualisasi Hukum Islam

234

bantuan perantara ḥakam atau juru damai dari masing-masing pihak,sebagaimana yang ditegaskan pada ayat tersebut.178

2. Fatwa al-QaraḍāwiPendapat hukum ini dikemukakan al-Qaraḍāwi guna menjelaskan

bagaimana penyelesaian yang diberikan Islam terhadap sengketa yangterjadi antara suami isteri dalam rumah tangga. Jika permasalahan berasaldari satu pihak maka disebut nusyuz, sedangkan jika berasal dari keduapihak maka disebut dengan shiqāq.

Sebagai kepala keluarga suami memiliki otoritas yang besar karenatugasnya membina dan melindungi keluarga, serta membayar mahar danmemberi nafkah pada isteri. Oleh karena itu, isteri dilarang menentangsuami atau lari dari otoritasnya karena akan merusak hubungan suamiisteri dan menghancurkan ikatan rumah tangga. Jika suami sudahmengendus adanya tanda-tanda nusyuz dan kedurhakaan isteri padanya,maka ia harus memperbaikinya (islah) semaksimal mungkin dengan tigacara secara bertahap. Menasehati dengan bahasa dan cara yang santunmerupakan langkah awal suami memperbaiki kedurhakaan isterinya. Jikacara ini tidak manjur, dilanjutkan tahap kedua yaitu meninggalkan tempattidurnya. Cara ini ditujukan agar insting keperempuannya membuat isterisadar atas kedurhakaan yang telah dilakukannya pada suami. Jika cara inijuga tidak ampuh, maka ditempuh cara ketiga berupa pemukulan denganmenghindari daerah vital tubuh. Pemukulan ini merupakan cara terakhiryang ditujukan untuk menyadarkan isteri. Rasulullah pernah berkatakepada pembantunya ketika tidak puas dengan pekerjaannya, “Jika tidakada kisas di hari kiamat, sungguh aku akan menyakitimu dengan kayusiwak ini”.

Meskipun demikian berdasarkan pengakuan ‘Āishah, diketahuibahwa Rasulullah tidak pernah sekalipun memukul para isteri danpembantunya, baik dengan tangan maupun alat lain. Oleh karena itu,sangatlah wajar jika Beliau tidak menyukai laki-laki yang suka memukulisterinya. Terdapat banyak riwayat yang menunjukkan hal ini, diantaranya,

ن م اھ ع اج ض ی أن ھ ل ع ل و ة م أل ا د ل ج ھ ت أ ر م إ م ك د ح أ د ل ج ی م ال إ 179ھم و ی ر خ أ

178Khaled M Abou el Fadl, On The Beating of Wifes, accessed fromhttp://www.scholarofthehouse.org/exbykhabelfa.html

179Abi ‘Abdullah Muhammad Ibn Yazid al-Qazwaini, Sunan Ibn Mājah,Juz. I, h. 638, hadis ke-1983. Lihat juga Muhammad NāŞir al-Dἷn al-Albāni, Ghāyahal-Marām, (Beirūt: al-Maktab al-Islāmἷ, 1980), h. 155-156. Hadis ini berstatus Şaḥἷḥmenurut Albāni.

Page 248: kontekstualisasi hukum islam

Fatwa tentang Perempuan dan Persoalan Keluarga

235

“Kenapa salah seorang di antaramu suka memukul isteri sepertimemukul seorang budak? Padahal boleh jadi ia akan menggauli(isterinya) itu di (malam) hari”.

180م ك ار ی خ ك ئ ول أ ن و د ج ت ال ف ...

“...Maka kamu tidak (akan) mendapati mereka (sebagai) orangyang baik di antaramu”Ibn Ḥajr menambahkan ucapan Rasulullah dalam riwayat lain,

“Orang yang baik di antaramu tidak akan memukul”, mengindikasikanbahwa pada dasarnya memukul isteri diperbolehkan dengan tujuanmendidik jika suami melihat adanya kedurhakaan. Meski demikianselama tujuan islah telah terpenuhi melalui ucapan, maka upayapemukulan harus dihindari. Biasanya sanksi fisik berupa pemukulan akanmelahirkan kebencian dan dendam yang akhirnya akan berdampakkepada keretakan hubungan rumah tangga.

Jika ketiga cara di atas tetap tidak ampuh sehingga dikhawatirkanakan membuat persengketaan suami isteri menjadi meluas, maka andilkeluarga dan masyarakat muslim di sekitarnya dibutuhkan untukmendamaikan persengketaan tersebut dengan mengutus ḥakam yangmewakili kedua pihak. Kondisi ini dinamakan dengan shiqāq.181

3. Pendapat Para UlamaHubungan suami isteri tidaklah selalu berjalan mulus dan

harmonis. Permasalahan demi permasalahan pasti akan datang sehinggaharus dihadapi dan diselesaikan. Semakin banyak masalah yang dapatdiselesaikan dengan baik, akan membuat hubungan suami isteri menjadisemakin kokoh dan kuat. Oleh karena itu, dalam ajaran Islam pernikahandisebut sebagai ikatan yang kuat (mἷthāqan qhalἷzan) sebagaimanadijelaskan dalam Alquran.182 Dengan ikatan yang kokoh, hubungan suamiisteri semakin diliputi oleh rasa cinta, kasih dan sayang. Namun kadangkala tidak semua pasangan dapat menghadapi permasalahan yangmenimpa rumah tangganya. Hal ini dapat berakibat kepada munculnyakedurhakaan dari salah satu pihak, baik suami atau isteri. Dalam kajianfikih jika salah seorang dari suami atau isteri telah berbuat durhakakepada pasangannya, maka berarti telah terjadi tindakan nusyuz.

Meski nusyuz sebagaimana yang digambarkan dalam Alqurandapat berasal dari pihak suami atau isteri, namun tindakan yang

180Abi ‘Abdullah Muhammad Ibn Yazid al-Qazwaini, Sunan Ibn Mājah,Juz. I, h. 638, hadis ke-1985. Lihat juga ‘Alāu al-Din ‘Ali ibn Balbān al-Fārisy, al-Iḥsān bi Tartἷb Ṣaḥἷḥ Ibn Ḥibbān, Juz. VI, h. 196.

181Yūsuf al-Qaraḍāwi, al-Ḥalāl wa al-Ḥarām fἷ al-Islām, h.181-183.182QS. al-Nisā’ ayat 21

Page 249: kontekstualisasi hukum islam

Kontekstualisasi Hukum Islam

236

diberlakukan pada nusyuz isteri (QS al-Nisā’: 34) 183 sangat berbedadengan perlakukan pada nusyuz suami (QS al-Nisā’: 128).184 Terlepasdari adanya perbedaan perlakukan ini, terkesan adanya bias gender dalamfikih terhadap kajian nusyuz. Hal ini terlihat dari pemahaman maknanusyuz itu sendiri. Mayoritas ulama menyatakan bahwa jika seorangisteri nusyuz maka berarti ia telah melakukan tindakan durhaka yang bisaberupa membantah atau membangkang suami selaku pemimpin rumahtangga atau melakukan sesuatu yang tidak diizinkan suami seperti keluarrumah. Namun hal serupa tidak diberlakukan pada nusyuz suami yanghanya dianggap sebagai sikap ketidaksukaaan. Tidak ditemukan kajianyang menyatakan bahwa sikap nusyuz suami merupakan tindakkedurhakaan atau pembangkangan terhadap isteri.

Persoalan nusyuz dikaitkan Wahbah al-Zuhaili dengan hak dankewajiban yang berjalan secara seimbang. Hak baru dapat diperolehsetelah kewajiban ditunaikan. Dengan demikian hak isteri berupa mahardan nafkah berlaku seimbang dengan kewajibannya yang harusdilakukannya yaitu mematuhi dan menjaga kehormatan suami. Hal iniberarti isteri tidak dapat menuntut hak jika tidak menjalankankewajibannya. Ketika kewajiban tidak dijalankan isteri, berarti iadianggap telah melakukan tindakan nusyuz oleh para ulama. Darikesimpulan ini makna nusyuz meluas kepada makna lainnya, sepertipergi keluar rumah tanpa izin suami, tidak membukakan pintu ketikasuami pulang, berkhianat pada suami dan hartanya, serta meninggalkanhak-hak Allah berupa ibadah. Jika isteri melakukan hal-hal demikian,berarti ia telah dianggap nusyuz sehingga harus dihukum dengan tigabentuk hukuman sebagaimana yang dijelaskan dalam surat al-Nisā’ ayat34. Ketiga hukuman tersebut dilakukan secara berurutan yang diawalidengan menasehati secara baik-baik, disusul dengan menjauhinya saattidur dan baru hukuman pemukulan. Disyaratkan pemukulan ini tidakboleh menyakiti dan membuatnya malu. Adapun jika ketiga sanksi ini

183 “…Dan perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan nusyuznya,maka nasehatilah mereka, dan pisahkanlah dari tempat tidur, dan pukullah mereka.Jika mereka mematuhimu maka janganlah kamu mencari-cari jalan untukmenyusahkan mereka. Sungguh Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar” (QS. al-Nisā’:34).

184 “Dan jika seorang perempuan khawatir terhadap nusyuz atau sikap tidakacuh suaminya, maka tidak masalah keduanya mengadakan perdamaian dengansebenarnya. Dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) meskipun secara tabiatnyamanusia itu kikir. Jika kamu bergaul (dengan isterimu) secara baik dan menjagadirimu (dari nusyuz dan sikap tidak acuh) maka sesungguhnya Allah MahaMengetahui apa yang kamu kerjakan”. (QS. al-Nisā’: 128)

Page 250: kontekstualisasi hukum islam

Fatwa tentang Perempuan dan Persoalan Keluarga

237

tidak ampuh, maka nusyuz isteri dapat diajukan kepada hakim agardilakukan upaya perdamaian.185

Berbeda dengan ulama lainnya, al-Sha’rāwi menjelaskan persoalannusyuz suami dalam fatwanya. Tindakan nusyuz yang dilakukan seorangsuami dapat menjadi alasan isteri untuk menuntut perceraian. Nusyuzyang secara bahasa berarti tinggi atau terangkat dari bumi didefenisikanal-Sha’rāwi dengan tindakan suami yang menghentikan nafkah isteri ataumengambil alih pengaturannya atau sudah tidak mencintai isterinya lagi.Sesuai dengan penegasan dalam surat al-Nisā’ ayat 128, jika sikap iniakan timbul atau telah muncul maka solusi yang dapat ditempuh adalahdengan melakukan perdamaian antara suami isteri. Bentuk perdamaianterakhir yang dapat dilakukan dalam kasus ini adalah tuntutan cerai isterikepada suami lantaran sikap nusyuznya tersebut.186

Tidak jauh berbeda dengan Lajnah Bahtsul Masail NU yangmenyatakan bahwa nusyuz isteri dapat diartikan dengan tindakpembangkangan yang ditunjukkan dengan cara melawan suami danmenolak hubungan suami isteri. Selain itu nusyuz juga dapat diketahuimelalui sikap isteri yang merasa lebih tinggi dari suami serta keburukanperilakunya. Adapun makian atau kata-kata kasar yang dilontarkan isteripada suami tidak termasuk ke dalam kategori nusyuz. Oleh karena itu,suami harus mengingatkan dan menasehatinya secara baik-baik. Dengandemikian komunikasi yang baik antara suami dan isteri sangatdibutuhkan agar seluruh persoalan yang ada dapat diselesaikan denganbaik.

Namun sangat disayangkan fatwa ini juga tidak menjelaskanbagaimana kriteria nusyuz yang dilakukan suami. Jika nusyuz suamidiartikan sama-sama membangkang, maka apakah pembangkangan yangdilakukan suami tersebut sama dengan empat bentuk pembangkanganyang dilakukan isteri saat nusyuz? Tidak ditemukan jawaban tegas dalamfatwa ini. Terlepas dari permasalahan ini, dalam mengatasi nusyuz danketidakacuhan suami dibutuhkan peran pemerintah untuk mencegah ataumenetapkan hukuman jika dianggap perlu dan baik.187 Pada fatwa keduayang berselang lima tahun, pendapat hukum NU masih sama denganfatwa sebelumnya. Malah dalam fatwa ini nusyuz suami tidak disinggungsama sekali. Berdasarkan beberapa pendapat ulama yang dianggap kuatseperti MuŞṭafa al-Khin (w. 2008 M), Bahtsul Masail NU menetapkanhukuman haram pada nusyuz isteri karena merupakan salah satu bagian

185Wahbah al-Zuhayli, al-Fiqh al-Islām wa Adillatuhu, Juz. IX, h.7364.186Muhammad Mutawalli al-Sha’rāwi, Fatāwā al-Nisā’, h. 158-164.187Fatwa NU Online Tanggal 17-12-2015, diakses dari http://www.nu.or.id

/post /read/64339/apakah-suara-tinggi-istri-kepada-suami-termasuk-bentuk-durhaka

Page 251: kontekstualisasi hukum islam

Kontekstualisasi Hukum Islam

238

di antara dosa besar. Selain itu isteri yang nusyuz juga terancam akandihentikan nafkahnya jika masih melakukan pembangkangan padasuami.188

Menurut Zaitunah Subhan selama ini pemahaman masyarakatmuslim terhadap nusyuz tidak tepat sehingga terkesan mendiskriminasiisteri karena dianggap membangkang. Oleh karena itu, perlu adanyaupaya untuk mengetahui alasan di balik sikap isteri tersebut, karena tidakmungkin isteri melakukan suatu tindakan buruk tanpa ada alasan.Mungkin saja tindakan tersebut dilakukan isteri sebagai upaya proteslantaran haknya diabaikan suami.189

Terlepas dari apa sebenarnya motif isteri melakukanpembangkangan tersebut, yang jelas mispersepsi masyarakat terhadapnusyuz salah satunya dilatari oleh fatwa. Pada kenyataannya banyaksuami yang melakukan pemukulan dan kekerasan pada isterinya dengandalih nusyuz. Padahal setelah diselidiki ternyata persoalannya sepele,seperti cemburu dengan teman kerja isteri atau masakan isteri yang tidakenak atau tidak sesuai dengan keinginan suami. Mispersepsi maknanusyuz ini banyak ditemui pada masyarakat patriarkhi. Hasil survey yangdilakukan pada mayarakat Arab, seperti Mesir, Jordania, dan Palestinamenunjukkan bahwa pemukulan dan tindak kekerasan suami terhadapisteri merupakan suatu hal yang wajar. Pemukulan itu merupakanpelajaran bagi isteri lantaran dianggap bersalah karena tidak mematuhisuami. Bahkan kaum muslimah Yordania meyakini bahwa suami tidakboleh dihukum atas tindak kekerasannya itu. Adapun penyebabpemukulan dan kekerasan tersebut juga beragam, seperti menolakberhubungan seks dengan suami, tidak mematuhi suami, menantangkejantanan suami, membantah suami, dan berbicara dengan laki-lakiasing.190 Fenomena ini menunjukkan bahwa tidak ada standar baku atasbentuk kedurhakaan isteri pada suami, sehingga wajar kalau banyakterjadi kekerasan dalam rumah tangga dengan dalih agama.

Pemaknaan nusyuz dengan membangkang tidak diberlakukansebaliknya oleh para ulama, karena tidak ada doktrin yang menyatakanbahwa suami harus patuh kepada isteri sehingga tidak boleh melawanisteri atau menolak hubungan seksual dengannya. Terkait hal ini Asrorun

188Fatwa NU Online Tanggal 10-01-2018, diakses dari http://www.nu.or.id/post /read/85097/istri-dianggap-nusyuz-bila-melakukan-hal-ini

189Zaitunah Subhan, Menggagas Fiqh Pemberdayaan Perempuan, h. 250.190Bagi masyarakat Arab, isteri yang babak belur akibat kekerasan suami

dan meminta bantuan kepada layanan kesejahteraan dan hukum (LBH) dianggapsebagai pemberontak karena telah menentang superioritas suami. Lihat MuhammadM. Haj-Yahia, “Beliefs of Jordanian Women About Wife-Beating”, in Psychologyof Women Quarterly, Vol. 26, (2002), h. 288.

Page 252: kontekstualisasi hukum islam

Fatwa tentang Perempuan dan Persoalan Keluarga

239

Ni’am Sholeh menyatakan bahwa meskipun isteri tidak boleh menolak,namun suami tetap terlarang memaksa isterinya berhubungan seksual jikaterdapat alasan yang tepat. Jikapun terjadi hubungan tersebut secarapaksa, maka tidaklah dinamakan perkosaan, sebagaimana yang ditetapkanoleh Peraturan Perundang-undangan.191 Intinya permasalahan kekerasandalam rumah tangga yang selama ini menimpa keluarga muslimkebanyakan dilatari oleh kesalahpahaman atas makna nusyuz. Dengankata lain pembedaan makna nusyuz isteri dan suami memberi kesanmasih kuatnya bias gender.

Hukum positif Indonesia telah mengatur persoalan nusyuz dalambeberapa pasal. Dalam pasal 80 ayat 1 Kompilasi Hukum Islam dikatakanbahwa meski suami merupakan pembimbing isteri dan keluarga, namunkeberadaan isteri juga dibutuhkan dalam memutuskan persoalan atauurusan penting keluarga. Di sisi lain kewajiban utama isteri adalahberbakti lahir dan batin kepada suami dalam hal-hal yang masihdibenarkan syariat Islam (pasal 83 ayat 1). Jika kewajiban utama tersebutdilalaikan isteri berarti ia telah dianggap nusyuz kepada suaminya (pasal84 ayat 1) sehingga suami dapat terhindar dari kewajibannya dalammemberi nafkah kepadanya, kecuali nafkah anak (ayat 2). Untukmenghindari hal yang tidak diinginkan, seperti muslihat suami yangmengklaim isteri nusyuz agar terhindar dari kewajiban memberi nafkah,maka tuduhan atas nusyuznya isteri harus dapat dibuktikan secara sah(ayat 4).192

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 juga memberi perhatiandalam masalah ini. Pernikahan yang merupakan ikatan suami isteri dalammembentuk keluarga yang bahagia dan damai, memberi hak sertakedudukan isteri secara seimbang dengan suami baik di rumah tanggamaupun pada pergaulan masyarakat (pasal 31 ayat 1). Oleh karena itu,kedua suami isteri diwajibkan untuk saling menghormati, mencintai, danmembantu satu sama lain secara lahir dan batin (pasal 33). Kewajibansuami lainnya adalah melindungi dan memenuhi kebutuhan rumahtangga, sementara isteri punya kewajiban dalam mengatur urusan rumahtangga (pasal 34 ayat 1 dan 2). Dengan demikian tindakan pemukulan,kekerasan, atau penganiayaan suami yang dilatari dalih nusyuz dapatmenjadi alasan kuat pengajuan tuntutan perceraian isteri kepadapengadilan.193

191MUI Keluarkan Fatwa tentang Kriminalisasi Hubungan Suami Istri,edisi 26 Agustus 2015, diakses dari http://news.detik.com/berita/3002378/mui-keluarkan-fatwa-tentang-kriminalisasi-hubungan-suami-istri.

192Kompilasi Hukum Islam Buku I Hukum Perkawinan.193Pasal 116 d Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Page 253: kontekstualisasi hukum islam

Kontekstualisasi Hukum Islam

240

4. Analisis Fatwaa. Penafsiran atas al-NuŞūŞ al-shar’iyyah

Fatwa ini dimaksudkan Abou el Fadl untuk mengkaji ulangpemaknaan nusyuz yang selama ini telah disalahpahami.Kesalahpahaman ini dapat menimbulkan hal yang tidak diinginkanseperti kekerasan berupa pemukulan atau kekerasan fisik lainnya yangdilakukan suami terhadap isteri. Selain itu doktrin atas kekuasaan mutlaksuami turut memperumit permasalahan ini. Beranjak dari kondisi iniAbouel Fadl mendasari fatwa nusyuz dengan beberapa naŞŞ yaitu tiga ayat dansatu riwayat hadis.

Umumnya para ulama mengartikan nusyuz dengan kedurhakaanatau sikap merasa tinggi. Jadi maksud penggalan ayat ke 34 surat al-Nisā’194 adalah kekhawatiran atas kedurhakaan isteri atau tinggi hatinyauntuk mematuhi perintah Allah dalam mentaati suami. Abū ManŞūr al-Lughawi memaknai nusyuz dengan kebencian suami atau isteri terhadappasangannya, sedangkan Ibn Fāris memahami ayat ini dengan tindakanisteri yang mempersulit suaminya. 195 Wahbah al-Zuhaili menafsirkanbentuk nusyuz pada ayat ini dengan tindakan isteri yang melanggaraturan pernikahan, berupa hak dan kewajiban. Jika hal ini terjadisehingga mengakibatkan pertikaian di antara suami isteri, makahendaklah dilakukan empat cara berikut yaitu menasehati, menjauhitempat tidurnya, memukul yang tidak menyakitkan dan mengutus jurudamai dari masing-masing pihak suami isteri.196 Terkait dengan hal ini al-Qurṭubi menyatakan bahwa diperbolehkannya suami memukul isteridalam ayat ini lantaran ia telah melanggar peraturan berupa durhakakepada suami yang merupakan dosa besar. Oleh karena itu, Allahmempercayakan suami untuk menjadi hakim dan melaksanakan hukumanmeskipun tanpa ada bukti dan saksi.197 Quraish Shihab juga memaknai

194 “…Dan perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan nusyuznya,maka nasehatilah mereka, dan pisahkanlah dari tempat tidur, dan pukullah mereka.Jika mereka mematuhimu maka janganlah kamu mencari-cari jalan untukmenyusahkan mereka. Sungguh Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar”. (QS. al-Nisā’: 34)

195Al-Qurṭubi, al-Jāmi’ li Aḥkām al-Qur’ān, Juz. VI, h. 282-283.196Wahbah al-Zuhaili, al-Tafsἷr al-Munἷr fi al-‘Aqἷdah wa al-Sharἷ’ah wa

al-Manhaj, Juz. V, h. 64.197Dalam kitab al-Muhadhdhab dinyatakan bahwa tujuan memukul isteri

adalah untuk mencegahnya dari sikap merasa tinggi dari pada suami. Lihat Al-Qurṭubi, al-Jāmi’ li Aḥkām al-Qur’ān, Juz. VI, h. 288.

Page 254: kontekstualisasi hukum islam

Fatwa tentang Perempuan dan Persoalan Keluarga

241

nusyuz isteri dengan sikap angkuh, pembangkangan, dan ketidaktaatanisteri atas kepemimpinan suami.198

Nusyuz suami yang terdapat di ayat ke 128 dari surat al-Nisā’,199

diartikan para ulama dengan makna yang berbeda dengan nusyuz isteri.Al-Nuḥās memaknainya dengan tindakan suami yang menjauhi isteri.200

Quraish Shihab mengartikannya dengan sikap angkuh suami terhadapisterinya sehingga meremehkan dan menghalangi hak-haknya.201 AdapunWahbah al-Zuhaili memaknainya dengan kebencian suami terhadap isterisehingga ia menghindari tidur dengannya, mengurangi nafkahnya, dansuka memandang (perempuan) cantik untuk memuaskan nafsunya. 202

Semua makna nusyuz suami ini disandarkan para ulama kepada beberapariwayat, di antaranya riwayat dari ‘Āishah yang dianggap sebagai sebabturunnya ayat ini. Diberitakan bahwa Saudah binti Zam’ah (w. 674 M),telah merelakan jadwal harinya bersama Rasulullah untuk diberikankepada ‘Āishah lantaran khawatir akan dicerai.203

Terlepas dari bagaimana sebenarnya riwayat di atas, yang jelasAbou el Fadl tidak menerima pembedaan makna nusyuz karenabertentangan dengan rasa keadilan. Kedurhakaan isteri lantaranketidakpatuhan pada suami akan dikenai sanksi hukum. Sementara itusikap angkuh suami dan meremehkan isterinya atau bahkan menguranginafkahnya hanya diselesaikan dengan perdamaian. Oleh karena itu, solusiyang diberikan Abou el Fadl adalah mengartikan nusyuz dengan maknayang tepat dan adil. Lafal fāḥishah mubayyinah yang terdapat padasebuah hadis riwayat al-Tirmidhi204 dianggap tepat oleh Abou el Fadl

198M Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, Jilid. II, h. 409.199“Dan jika seorang perempuan khawatir terhadap nusyuz atau sikap tidak

acuh suaminya, maka tidak masalah keduanya mengadakan perdamaian dengansebenarnya. Dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) meskipun secara tabiatnyamanusia itu kikir. Jika kamu bergaul (dengan isterimu) secara baik dan menjagadirimu (dari nusyuz dan sikap tidak acuh) maka sesungguhnya Allah MahaMengetahui apa yang kamu kerjakan”. (QS. al-Nisā’: 128).

200Al-Qurṭubi, al-Jāmi’ li Aḥkām al-Qur’ān, Juz. VII, h. 161.201M Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, Jilid. II, h. 579.202Wahbah al-Zuhaili, al-Tafsἷr al-Munἷr fi al-‘Aqἷdah wa al-Sharἷ’ah wa

al-Manhaj, Juz. V, h. 301.203Hadis ini diriwayatkan Abū Dāud dan Ḥākim. Al-Tirmidhi menetapkan

status ḥasan gharἷb pada riwayat ini. Lihat Wahbah al-Zuhaili, al-Tafsἷr al-Munἷr fial-‘Aqἷdah wa al-Sharἷ’ah wa al-Manhaj, Juz. III, h. 303. Lihat juga Al-Shaukāni,Nail al-Awṭār Sharḥ Muntaqā al-Akhbār min Aḥādἷth Sayyid al-Akhyār, Juz VI, h.218-219.

204“Dari ‘Amr ibn al-AḥwaŞi al-Jumashi, bahwa ia mendengar RasulullahSAW pada haji Wada’ telah bersabda, setelah memuji Allah, mengagungkan dan

Page 255: kontekstualisasi hukum islam

Kontekstualisasi Hukum Islam

242

untuk diberlakukan pada makna nusyuz suami dan isteri. Selaras denganyang ditegaskan dalam surat al-Isrā’ ayat 32, 205 Abou el Fadlmenyimpulkan bahwa suami atau isteri baru dianggap nusyuz jikamelakukan perbuatan fāḥishah mubayyinah berupa perbuatan seksualdengan tiga kemungkinan yaitu; perbuatan seksual selain hubunganbadan, hubungan seksual yang tidak dapat dibuktikan empat orang saksi,dan keempat saksi tidak melihat langsung proses zina.206 Beranjak dariuraian ini dapat dilihat bahwa Abou el Fadl menerapkan dua penafsiranyaitu; tafsir bi al-ma’thūr ketika menafsirkan nusyuz dengan fāḥishahmubayyinah dan tafsir bi al-ra’yi ketika menjabarkan tiga kemungkinanmakna fāḥishah mubayyinah. Meskipun berbeda dengan penafsiran paraulama, namun penafsiran Abou el Fadl ini bersifat rasional dan sesuaidengan realitas sosial masyarakat.207

Berbeda dengan fatwa al-Qaraḍāwi yang memiliki kesamaanpendapat dengan mayoritas ulama dalam mengartikan nusyuz isteridengan durhaka dan tidak patuh sehingga dapat menghancurkanhubungan rumah tangga. Namun amat disayangkan, fatwa ini tidakmenyinggung sama sekali tentang nusyuz suami sehingga sulit menilaipenafsiran al-Qaraḍāwi secara utuh. Hal ini berarti penafsiran al-

mengingat-Nya, ‘Tidakkah kamu menginginkan perempuan menjadi baik? Merekaadalah penolongmu, dan kamu tidak memiliki (keperluan) apa pun dari merekaselain itu, kecuali mereka melakukan perbuatan dosa yang diketahui (fāḥishahmubayyinah). Jika mereka melakukannya, maka tinggalkan mereka di tempat tidur,dan pukullah mereka dengan pukulan yang tidak menyakiti. Jika merekamematuhimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan (untuk menyusahkanmereka)...”. (HR al-Tirmidhi) Hadis ini ditetapkan ḥasan oleh Albāni dan ḥasanŞaḥἷḥ oleh al-Tirmidhi dan Ibn al-‘Arabi.

205“Dan janganlah kamu mendekati zina, karena ia merupakan perbuatanfāḥishah dan seburuk-buruktempat kembali” (QS al-Isrā’: 32).

206Khaled M Abou el Fadl, On The Beating of Wifes, accessed fromhttp://www.scholarofthehouse.org/exbykhabelfa.html

207 Penafsiran ini bersifat dinamis (interpretasi dinamis) karena dapatmembantu mengungkap kondisi sosial melalui teks naŞŞ. Tujuan utama hukumterletak pada nilai moral dan etika dengan menegakkan nilai ketuhanan pada umatIslam. Mewujudkan kemaslahatan manusia dan keadilan merupakan bagian pentingdari menegakkan nilai ketuhanan. Lihat Khaled M Abou el Fadl, Speaking in God’sName; Islamic Law, Authority, and Women, h. 118. Lihat juga Khaled M Abou elFadl, The Great Theft Wrestling Islam from The Extremists, h. 156. Interpretasidinamis ini ditujukan untuk mencari kehendak Tuhan melalui penyelidikan secaraintens dan kumulatif terhadap teks naŞŞ. Lihat Muzayyin, “Hermeneutika HukumIslam Khaled Abou el Fadl: Sebuah Tawaran dalam Membendung OtoritarianismeFatwa MUI”, dalam Potret Pemikiran, Vol. 20, No. 1, (2016), h. 61.

Page 256: kontekstualisasi hukum islam

Fatwa tentang Perempuan dan Persoalan Keluarga

243

Qaraḍāwi terhadap makna nusyuz bersifat literal. Selain itu pengkaitannusyuz isteri dengan shiqāq (al-Nisā’: 34-35) mengindikasikanditerapkannya penafsiran bi al-ma’thūr. Akan tetapi penafsiran ini tidaksesuai dengan realitas sosial, karena perdamaian yang dilakukan olehpara ḥakam setelah tiga sanksi hukum dilaksanakan suami kepada isteri,akan menjadi percuma. Hal ini dikarenakan sanksi psikis dan fisik yangditerima isteri lantaran dianggap nusyuz, akan sulit diobati melaluiperdamaian (islah).b. Penerapan Qiyās

Tidak ditemukan indikasi qiyās pada fatwa Abou el Fadl dan al-Qaraḍāwi terkait nusyuz. Kemungkinannya adalah tidak terpenuhinyakeempat rukun qiyās dalam persoalan nusyuz sehingga tidak dapatditerapkan.c. Perwujudan MaqāŞid al-sharἷ’ah

Menafsirkan kembali makna nusyuz yang dilakukan Abou el Fadldengan fāḥishah mubayyinah dimaksudkan untuk menjaga kehormatanyang berujung kepada memelihara jiwa (ḥifẓ al-nafs). Melalui pemaknaanbaru ini diharapkan kehormatan suami isteri dapat terpelihara, khususnyajiwa isteri dari segala hal yang akan menyakiti atau membahayakandirinya. 208 Adapun tujuan yang dikehendaki al-Qaraḍāwi dalammemaknai nusyuz isteri dengan kedurhakaan atau ketidakpatuhan kepadasuami adalah untuk memelihara akal. Menurutnya ketiga sanksi hukumyang diberikan kepada isteri nusyuz sebenarnya ditujukan untukmendidik atau menyadarkannya dari kesalahan yang dilakukan. Tujuanmendidik ini nantinya akan bermuara kepada memelihara akal (ḥifẓ al-‘aql).209

d. Penerapan Adillah al-aḥkām al-mukhtalaf fἷhāUpaya menafsirkan makna nusyuz dengan fāḥishah mubayyinah

dalam fatwa Abou el Fadl yang didasari pada sebuah riwayat hadis,mengindikasikan diterapkannya dalil hukum istiḥsān bi al-naŞŞ. 210 Padafatwa ini telah terjadi peralihan kaedah umum yang memaknai nusyuzdengan tindakan durhaka kepada makna fāḥishah mubayyinah yangditegaskan oleh sebuah riwayat hadis. Peralihan ini dilatari oleh adanyakemaslahatan dalam mewujudkan keadilan. Sementara pada fatwa al-Qaraḍāwi tidak ditemukan ketiga dalil hukum ini diterapkan.

208Wahbah al-Zuhayli, UŞūl al-Fiqh al-Islāmi. Juz II, h. 1021. Lihat juga‘Ali Ḥasballah, UŞūl al-Tashrἷ’ al-Islām, (Mesir: Dār al-Ma’ārif, 1959), h. 249.

209Muhammad Abū Zahrah, UŞūl al-Fiqh, h. 367-368.210 ‘Ali Ḥasballah, UŞūl al-Tashrἷ’ al-Islām, h. 132. Lihat juga Ma’ruf

Amin, Fatwa dalam Sistem Hukum Islam, (Jakarta: eLSAS, 2008), h. 173-174.

Page 257: kontekstualisasi hukum islam

Kontekstualisasi Hukum Islam

244

e. Penerapan al-Qawā’id al-fiqhiyyahRasa keadilan yang hendak diwujudkan Abou el Fadl dalam fatwa

nusyuz akan berakibat kepada terhindarnya kemudaratan. Menafsirkannusyuz dengan makna fāḥishah mubayyinah setidaknya akan mengurangitindak kekerasan yang dilakukan suami terhadap isteri dengan dalihdurhaka. Hal ini berarti secara tersirat fatwa Abou el Fadl telahmenerapkan kaidah al-ḍararu yuzāl.211 Adapun dalam fatwa al-Qaraḍāwiterlihat adanya penerapan kaidah fikih yaitu mā ubἷḥa li al-ḍarūrahbiqadari ta’adhurihā.212 Artinya jika tidak diperlukan atau jika isteri telahmenyadari kedurhakaannya, maka pemberian sanksi fisik berupapemukulan hendaklah dihindari, mengingat efek negatif yang akanditimbulkannya setelah itu.f. Penerapan Taḥqiq al-manāṭ

Rasa keadilan dan kasih sayang menjadi alasan kuat Abou el Fadluntuk mengkaji kembali makna nusyuz. Memaknai nusyuz denganfāḥishah mubayyinah dilatari oleh rasa kasih sayang dalam hubungansuami isteri. Hubungan ini tidak dapat dirusak hanya karena pelanggarankecil yang dilakukan isteri seperti membantah atau keluar rumah tanpaizin suami. Memaknai nusyuz suami dan isteri dengan perbuatan seksualsehingga layak diberi sanksi hukum, akan mewujudkan rasa keadilan diantara keduanya. Sementara alasan al-Qaraḍāwi mengartikan nusyuzdengan kedurhakaan dilatari oleh perbuatan isteri yang telah menentangotoritas suami. Sebagai kepala keluarga suami memiliki kewajibanmelindungi dan mengayomi seluruh anggota keluarganya termasuk isteri.Oleh karena itu, otoritasnya harus dihormati, dipatuhi dan tidak bolehdilanggar. Pelanggaran yang dilakukan isteri dapat berakibat kepadasanksi yang akan diberikan kepadanya.g. Pertimbangan I’ādah al-naẓr

Pengalihan makna nusyuz dari durhaka kepada fāḥishahmubayyinah yang dilakukan Abou el Fadl sebenarnya tidak populerkarena menentang arus utama. Meski dalam fatwanya Abou el Fadl tidakmenyinggung ulama manapun terkait pemaknaan tersebut, namun dalamsuatu penelitian diketahui bahwa Ibn Athἷr dan al-Jawhari telahmelakukan penafsiran nusyuz dengan fāḥishah mubayyinah lantaranselaras dengan isi khutbah Wadā’ Rasulullah.213 Hal ini berarti Abou el

211Jalāl al-Dἷn ‘Abd al-Raḥmān ibn Abū Bakr al-Suyūṭi, al-Ashbāh wa al-Naẓā’ir fἷ al-Furū’, h. 60-61.

212Jalāl al-Dἷn ‘Abd al-Raḥmān ibn Abū Bakr al-Suyūṭi, al-Ashbāh wa al-Naẓā’ir fἷ al-Furū’, h. 61.

213Azizah Yahia al-Hibri, “Muslim Women's Rights in the Global Village:Challenges and Opportunities”, h. 62-63.

Page 258: kontekstualisasi hukum islam

Fatwa tentang Perempuan dan Persoalan Keluarga

245

Fadl telah menerapkan indikator i’ādah al-naẓr pada fatwanya. 214

Berbeda dengan al-Qaraḍāwi yang tidak terlihat menerapkan indikator inilantaran pendapat hukumnya tidak bertentangan dengan pendapatmayoritas ulama.h. Penerapan metode yang sesuai dengan perkembangan ilmu

pengetahuanPenerapan tafsἷr bi al-ma’thūr dan tafsir bi al-ra’yi pada fatwa

Abou el Fadl ketika memahami naŞŞ, bukanlah pengetahuan baru. Artinyamenafsirkan suatu ayat dengan ayat lainnya atau dengan hadis dan akal,sudah dilakukan para ulama semenjak dahulu. Begitu juga dengan al-Qaraḍāwi yang kebanyakan pendapatnya memiliki kesamaan denganpendapat mayoritas ulama, sehingga kecil kemungkinan untuk dapatsejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan.

Beranjak dari uraian dan penjelasan terdahulu, analisis fatwanusyuz Abou el Fadl dan al-Qaraḍāwi dapat dilihat dalam tabel 7.

Tabel 7Perbandingan Pemenuhan Indikator Kontekstual dalam

Fatwa Abou el Fadl dan al-Qaraḍāwi tentang NusyuzNo Indikator Fatwa Abou

el FadlFatwa

al-Qaraḍāwi1 Penafsiran atas al-NuŞūŞ al-

shar’iyyah X

2 Penerapan Qiyās X X3 Perwujudan MaqāŞid al-

sharἷ’ah

4 Penerapan Adillah al-aḥkām al-mukhtalaf fἷha

X

5 Penerapan al-Qawāid al-fiqhiyyah

6 Penerapan Taḥqiq al-manāṭ 7 Pertimbangan I’ādah al-naẓr X8 Sesuai perkembangan ilmu

pengetahuanX X

9 Kesimpulan Kontekstual TidakKontekstual

214Selain mengangkat pendapat yang dahulunya dipandang lemah menjadilandasan suatu hukum, upaya i’ādah al-naẓr juga harus memperhatikan seluruhkaidah yang terkait dengannya. Lihat Ma’ruf Amin, Fatwa dalam Sistem HukumIslam, h. 264.

Page 259: kontekstualisasi hukum islam

Kontekstualisasi Hukum Islam

246

E. Fatwa Waris Anak1. Fatwa Abou el Fadl

Fatwa ini ditujukan untuk menjawab sebuah pertanyaan seorangisteri terkait alasan bagian warisan yang diterima anak laki-laki yanglebih banyak dari pada bagian anak perempuan. Mustafti tidak mengertialasan Allah yang Maha Adil menetapkan bagian seperti itu karena dalampandangan manusia terlihat tidak adil. Pertanyaan ini diajukan mustaftisetelah melihat pembagian waris keluarga suaminya, di mana bagiansuami dan saudara laki-lakinya lebih besar dari pada bagian waris yangditerima saudara perempuannya.215

Secara singkat Abou el Fadl mengatakan bahwa pada mulanyaalasan pemberian bagian waris anak laki-laki lebih besar ditujukan agar iadapat bertanggung jawab terhadap keluarganya dalam memenuhikebutuhan hidup mereka. Adapun anak perempuan tidak dituntut untuktanggung jawab itu, malah kebutuhan hidupnya juga ditanggung olehsaudara laki-laki, bapak, dan pamannya. Akan tetapi pembagian ini tidakdapat diberlakukan lagi di masa sekarang, mengingat telah berubahnyakondisi sosial masyarakat muslim sehingga boleh jadi bagian anakperempuan sama besar atau bahkan lebih besar dari pada bagian anaklaki-laki. Hukum akan berubah seiring terjadinya perubahan waktu,tempat, dan kondisi sosial. Jika pembagian waris 2:1 tetap dipertahankan,berarti terjadi ketidakadilan terhadap perempuan. Akhirnya Abou el Fadlmengatakan bahwa memahami sejarah atau kronologi suatu peristiwasangatlah penting, termasuk juga ketika memahami suatu ayat dan hadis.Jika suatu kesimpulan hukum hanya dilandaskan kepada aspek aturanliteral saja dengan mengabaikan aspek lain maka besar kemungkinanakan menimbulkan banyak ketidakadilan.216

2. Fatwa al-QaraḍāwiBerbeda dengan pendapat hukum Abou el Fadl di atas, fatwa al-

Qaraḍāwi yang akan dibahas di sini tidak difokuskan kepada pembagianmasing-masing ahli waris. Hal ini dikarenakan al-Qaraḍāwi telahmenempatkan persoalan waris, termasuk ahli waris dan bagian-bagiannya, ke dalam salah satu dari lima hukum-hukum yang tetap(thābit) sehingga tidak dapat diijtihadkan. 217 Artinya siapapun tidak

215Fatwa Khaled M Abou el Fadl tanggal 1 Desember 2016216Khaled M Abou el Fadl, https://www.searchforbeauty.org/2016/ 12/01/

upon-marriage-my-husband-promised-to-make-monthly-payments-to-me-but-he-has-not-can-this-be-part-of-my-will-as-a-debt-upon-inheritance/

217 Yūsuf al-Qaraḍāwi, Madkhal li Dirāsah al-Sharἷ’ah al-Islāmiyyah(Beirūt: Muassasah al-Risālah, 1993), h. 218-219. Hukum-hukum yang bersifat tetapini tidak dapat diubah karena selain merupakan dasar dan kaedah umum agama, juga

Page 260: kontekstualisasi hukum islam

Fatwa tentang Perempuan dan Persoalan Keluarga

247

berhak menghalangi, mengurangi, atau melebihkan bagian ahli waristertentu karena bagian mereka telah ditetapkan oleh naŞŞ, yang qaṭ’i.Allah telah menetapkan permasalahan waris dengan pengetahuan,kebijaksanaan, dan keadilan-Nya. Manusia harus melaksanakanpembagian tersebut menurut ketentuan yang sudah ditetapkan-Nya. 218

Berikut ini tiga fatwa al-Qaraḍāwi terkait kewarisan anak.a. Fatwa Apakah Anak Durhaka Terhalang Mendapat Warisan

Permasalahan fatwa diajukan oleh dua orang perempuan terkaitbagian waris dan wasiat yang diberikan ibu mereka sehinggaberkemungkinan akan menghalangi bagian saudara laki-lakinya.Pemberian sepertiga wasiat ini dilatari oleh putusnya hubungan sang ibudengan anak laki-lakinya lantaran kedurhakaan yang dilakukannyadahulu. Mustafti menanyakan status wasiat tersebut serta apakah wasiatitu akan membuat ibunya berdosa dan mendapat siksa di akhirat?

Menurut al-Qaraḍāwi meski durhaka kepada ibu merupakan dosabesar setelah syirik, namun ibu tidak boleh menghalangi hak waris anakyang durhaka kepadanya. Durhaka dan waris merupakan dua aspek yangberbeda dan tidak dapat dicampur. Allah sendiri telah menetapkanpembagian waris dalam Alquran dan wajib dilaksanakan manusia.Sebagaimana ditegaskan dalam ayat berikut,

م ك ؤ ان ب أ و م ك اؤ اب ء ...ن ی ی ث ن أل ا ظ ح ل ث م ر ك لذ ل م ك د وال ى أ ف هللا م ك ی وص ی ا م ی ك اح م ی ل ع ن كا هللا ن إ هللا ن م ة ض ی ر ا ف ع ف نم ك ل ب ر ق أ م ھ ی أ ن و ر د ت ال )11:اءس الن (

“Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian waris) anak-anakmu. Bagian anak laki-laki sama dengan dua bagian anakperempuan...” (Terkait) orang tua dan anak-anakmu, kamu tidakakan tahu siapa saja di antara mereka yang lebih dekat (danmemberi banyak) kemanfaatan padamu. Ini merupakan ketetapandari Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi MahaBijaksana”. (QS al-Nisā’ :11)Menurut keterangan hadis, seorang ahli waris terhalang mendapat

bagiannya jika ia membunuh pewaris, namun tidak ditemukan naŞŞ lainterkait durhaka yang dapat menghalangi kewarisan. Tindakan ibu yangmemberi sepertiga harta sebagai wasiat kepada dua anak perempuannyadengan tujuan menghalangi bagian anak laki-laki yang durhaka

ditegaskan dengan naŞŞ secara terperinci. Oleh karena itu, tidak ada seorangpun yangberhak merubahnya. Yūsuf al-Qaraḍāwi, ‘Awāmil al-Sa’ah wa al-Murūnah fἷ al-Sharἷ’ah al-Islāmiyyah (al-Qāhirah: Dār al-Ṣaḥwah, 1985), h. 77.

218Yūsuf al-Qaraḍāwi, al-Ḥalāl wa al-Ḥarām fἷ al-Islām, h. 203.

Page 261: kontekstualisasi hukum islam

Kontekstualisasi Hukum Islam

248

merupakan kezaliman yang dilarang syariat. Aturan wasiat menurutsyariat ada dua yaitu; 1) Maksimal jumlahnya adalah sepertiga harta,boleh kurang namun tidak boleh lebih. 2) Wasiat tidak boleh ditujukankepada ahli waris. Dalam sebuah riwayat Rasulullah SAW bersabda,

219ثار و ل ة ی ص و ال و ...

“...Dan tidak (boleh) berwasiat kepada ahli waris”Akhirnya al-Qaraḍāwi menyatakan bahwa berdasarkan ijmā’ ulama

hukum wasiat yang dilakukan ibu mustafti ini haram, kecuali jika paraahli waris lain menyetujuinya. Jika ahli waris tidak menyetujuinya makawasiat itu tidak boleh dilaksanakan karena bertentangan dengan naŞŞ.Terkait dosa ibu akibat wasiat ini, mungkin sudah terhapus melaluiamalan-amalan baiknya selama di dunia. Jadi belum tentu ibu tersebutakan disiksa lantaran wasiatnya. Terdapat dua cara jika mustafti maumemperbaiki permasalahan ini. Mustafti harus mengurangi bagian wasiatmasing-masing sehingga harta waris dibagi sesuai aturan yang ditetapkanAllah. Mereka juga harus berdoa pada Allah agar mengampuni kesalahansang ibu. Atau anak laki-laki mengurangi bagian warisnya guna diberikankepada dua saudara perempuannya sambil meminta pengampunan Allahuntuk ibunya.220

b. Apakah Komunis Mendapat Waris dari AyahMustafti merupakan seorang bapak yang diuji Allah melalui

anaknya yang beralih menjadi penganut paham komunis sehingga tidakpercaya Tuhan dan mengingkari kewajiban agama. Paham ini dianutanaknya setelah menyelesaikan pendidikan tinggi di Arab. Dikarenakansering berdebat dengan keluarga, anak tersebut berani mencela akidahdan syariat Islam dan bahkan berani menentang Allah. Oleh karena itu,mustafti dan anak lainnya berupaya menjauhinya dan memutuskanhubungan keluarga dengannya. Apakah anak tersebut masih diberi bagianwaris jika mustafti meninggal nanti?

Pertanyaan ini mengingatkan al-Qaraḍāwi tentang fatwanya dahuluterkait batalnya pernikahan muslimah dengan laki-laki komunis.Mengingat komunisme merupakan paham yang menentang akidah,syariat, dan nilai-nilai Islam, berarti tidak termasuk ke dalam bagianIslam sehingga dapat memutuskan hubungan kewarisan. Artinya hakwaris bagi penganut paham komunisme ini secara otomatis hilang

219Imām al-Nasā’i, Sunan al-Nasā’i, Juz. VI, (Beirūt: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, T.th), h. 247. Lihat juga Imām al-Ḥafiẓ Abi Dāwud Sulaymān ibn al-Aṭ’ath al-Sijistani, al-Marāsἷl, (Beirūt: Muassasah al-Risālah, 1988), h. 256.

220Yūsuf al-Qaraḍāwi, Min Hady al-Islām Fatāwā Mu’āŞirah, Juz. II, h.390-391.

Page 262: kontekstualisasi hukum islam

Fatwa tentang Perempuan dan Persoalan Keluarga

249

lantaran paham tersebut. Syarat terjadinya kewarisan adalah adanyahubungan sesama Islam antara pewaris dan ahli waris. Dengan demikiankomunis dianggap sudah keluar dari Islam sehingga tidak berhakmewarisi dari ayah atau keluarganya yang muslim. Rasulullah SAWpernah bersabda,

221م ل س لم ا ر اف لك ا یرث ال و ر اف لك ا م ل س م ال ث ر ی ال

“Seorang muslim tidak mewarisi orang kafir dan orang kafir (juga)tidak mewarisi seorang muslim”Adapun terkait muslim yang menjadi ahli waris dari pewaris yang

kafir, terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama. Sebagian ulamamembolehkan muslim mendapat warisan dari saudara dan keluarganyayang kafir. Mereka berdalih dengan tindakan ‘Ali ra yang pernahmembagikan warisan Miswar al-Ajli yang dibunuh lantaran murtadkepada para ahli warisnya yang muslim. Tindakan ‘Ali ini juga dijadikandalih sebagian ulama lain ketika membolehkan muslim mendapat warisandari pewaris yang kafir jika bentuk kekafirannya adalah murtad. Pendapatini dianut Abū Yūsuf (w. 798 M), Muhammad (Ḥanāfiyyah), dansebagian Shἷ’ah Zaidiyyah. Sementara Abū Ḥanifah memilah warisanpewaris murtad, sehingga ahli waris muslim hanya mendapat harta yangdimiliki sebelum murtad. Adapun harta yang diperoleh setelah murtad,harus diserahkan kepada baitul mal. Para ulama juga sepakat tentanghilangnya hak waris seseorang jika murtad, karena sudah dianggap matidan darahnya sia-sia.

Al-Qaraḍāwi menyamakan komunis dengan murtad sehinggasiapapun yang menganut paham ini akan berakibat pada hilangnya hakwaris. Kemurtadan paham komunis ini merupakan bentuk kekafiran yangpaling buruk lantaran tidak meyakini Allah, Rasul, akhirat, dan kitab suci.Akan tetapi jika penganut komunis bertaubat dan kembali kepada Islammaka seluruh hak yang terkait dengan status muslim kembalidimilikinya.222

c. Fatwa Masalah WarisanFatwa ini diajukan mustafti untuk meminta penyelesaian

pembagian waris dari seorang isteri yang meninggal. Ahli waris yangtinggalkan adalah suami, seorang anak laki-laki dan seorang anak

221Abū al-Ḥusyain Muslim ibn al-Ḥajjāj al-Qushairy, Ṣaḥἷh Muslim, h. 627.Hadis ke-1614. Hadis ini berstatus sahih dan diriwayatkan oleh banyak perawi, diantaranya Ibn Mājah (2223), al-Bukhāri (1588), Abū Dāud (2909), al-Tirmidhi(2108), dan Aḥmad (21752).

222Yūsuf al-Qaraḍāwi, Min Hady al-Islām Fatāwā Mu’āŞirah, Juz. I, h. 512-515.

Page 263: kontekstualisasi hukum islam

Kontekstualisasi Hukum Islam

250

perempuan. Sebelum meninggal, isteri telah mewasiatkan sepertigahartanya untuk suami. Namun sebelum harta waris dibagi, anakperempuan meninggal juga. Bagaimana cara membagi waris dalam kasusini?

Menurut al-Qaraḍāwi pemberian wasiat kepada suami tidakdibenarkan karena ia termasuk ahli waris, kecuali jika semua ahli warismenyetujuinya. Adapun pembagian warisnya adalah seperempat bagianuntuk suami dan sisanya dibagi untuk anak laki-laki dan anak perempuandengan rasio dua banding satu. Kenyataan meninggalnya anak perempuansetelah itu menyebabkan statusnya berubah menjadi pewaris sehinggahartanya juga dibagi kepada ahli warisnya yaitu ayah kandung dan anak-anaknya (kalau ada). Saudara laki-laki tidak mendapat waris dari saudaraperempuannya karena terhalang oleh ayah kandung yang hubungannyalebih kuat. Namun jika ternyata status ayahnya bukan kandung (ayah tiri),sedangkan pewaris belum menikah, berarti kasus waris ini disebutkalālah sehingga seluruh harta warisnya diberikan kepada saudara laki-lakinya.223

3. Pendapat Para UlamaWaris merupakan salah satu persoalan rumah tangga yang terjadi

setelah meninggalnya salah seorang anggota keluarga. Diskursus warissudah ada semenjak manusia ada, dan telah dipraktekkan sesuai tradisi,keyakinan dan aturan yang berlaku di setiap masyarakat. Pada umumnyasistem kewarisan yang diterapkan masyarakat pra-Islam dilatari oleh duahal yaitu hubungan keluarga dan janji setia. Anggota keluarga yang akanmendapat warisan disyaratkan mampu mempertahankan kehormatansukunya dalam peperangan. Syarat ini menunjukkan bahwa hanyaketurunan laki-laki dewasa yang dapat diberi warisan. Sementaraketurunan laki-laki yang masih kecil, atau sudah tua renta sertaperempuan tidak berhak atas harta waris lantaran ketidakmampuanmereka berpartisipasi dalam perang. Kedatangan Islam di Arabiamemperbaiki sistem ini dengan cara menjadikan seluruh keluarga yangmemiliki kedekatan hubungan darah dengan pewaris menjadi ahli waris.Termasuk dalam hal ini perempuan dengan berbagai status (anak, isteri,ibu, dan saudara). Selain itu hubungan pernikahan antara suami isteri danpemerdekaaan budak (walā’) juga menjadi sebab diperolehnya warisan.Bagian warisan para ahli waris ini telah ditetapkan secara tegas dalambeberapa naŞŞ Alquran. Hal inilah yang membuat mayoritas ulama

223Yūsuf al-Qaraḍāwi, Min Hady al-Islām Fatāwā Mu’āŞirah, Juz. II, h.392.

Page 264: kontekstualisasi hukum islam

Fatwa tentang Perempuan dan Persoalan Keluarga

251

menetapkan waris ke dalam persoalan tetap agama (qaṭ’i) yang tidakboleh dimasuki ijtihad.224

Harta warisan baru boleh dibagi setelah dikeluarkan semua biayapenyelenggaraan jenazah serta dibayarkan hutang dan wasiat. Menurutpara ulama kelompok ahli waris yang akan mendapat warisan adalahaŞḥāb al-furūḍ, aŞābah, radd (harta berlebih), dhawi al-arḥām, mawlā al-muwālah (perjanjian mewarisi), dan orang yang diakui punya nasabdengan orang lain (pewaris). Kelompok ini disusun berdasarkan urutandan biasanya harta warisan sudah habis dibagi pada urutan kelompokkedua atau ketiga. 225 Adapun warisan anak-anak mempunyai duakemungkinan bagian yaitu bagian yang telah ditentukan naŞŞ (aŞḥāb al-furūḍ) jika hanya ada anak perempuan, dan bagian ‘aŞābah jika anakperempuan bersama anak laki-laki. Pada bagian pertama, anakperempuan akan mendapat setengah harta jika sendirian atau dua pertigaharta jika lebih dari satu orang. Pada bagian kedua, anak perempuan danlaki-laki berserikat dalam satu kelompok ‘aŞābah di mana bagian anaklaki-laki dua kali lebih besar dari pada bagian anak perempuan (2:1).Pembagian ini dilandasi pada surat al-Nisā ayat 11 226 dan dianggapsebagai ketetapan baku oleh mayoritas ulama sehingga tidak dapat diubahatau diganti. Undang-undang Mesir dan Syiria juga telah memasukkanpembagian ini ke dalam aturan waris mereka.227

Al-Sha’rawi menjelaskan alasan diberinya anak laki-laki bagianyang lebih besar dari pada anak perempuan dilatari oleh besarnyatanggung jawab finansial yang diembannya. Ketika anak laki-laki diberibagian dua kali lebih besar dari pada anak perempuan, ia harus memenuhikebutuhan ibu dan saudara-saudaranya. Selain itu jika sudah menikah, iajuga harus memenuhi kebutuhan hidup isteri dan anak-anaknya.Sementara anak perempuan yang semenjak kecil, dewasa, dan menikahtidak memiliki tanggung jawab finansial apapun terhadap keluarganya.Malah kebutuhan hidupnya akan dipenuhi oleh laki-laki yang berkuasaatasnya seperti bapak, saudara laki-laki, paman, dan suami. Dengandemikian ‘illat pemberian bagian waris anak laki-laki yang lebih banyak

224Wahbah al-Zuhayli, al-Fiqh al-Islām wa Adillatuhu, Juz. X, h. 7704-7706.

225Wahbah al-Zuhayli, al-Fiqh al-Islām wa Adillatuhu, Juz. X, h.7739-7744.

226“Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian waris) anak-anakmuyaitu bagian seorang anak laki-laki sama dengan dua kali bagian anakperempuan…”

227Wahbah al-Zuhayli, al-Fiqh al-Islām wa Adillatuhu, Juz. X, h. 7775.

Page 265: kontekstualisasi hukum islam

Kontekstualisasi Hukum Islam

252

dilatari oleh tanggung jawab besarnya kepada keluarga, bukan karenakeistimewaannya sebagai laki-laki.228

Berdasarkan wawancara Azizah Yahia dengan beberapa muslimahdi sembilan negara muslim diketahui bahwa mereka sangat menghendakiditerapkannya prinsip keadilan dalam pembagian waris. Menurut merekapraktek hukum Islam, di antaranya waris, saat ini tidak kondusif dalammembentuk kehidupan keluarga yang bahagia. Budaya patriarkhi yangditerapkan di negara-negara muslim diyakini telah merusak sistempembagian waris. Banyak perempuan yang tidak mendapat warisan ataudipaksa keluarganya untuk menyerahkan bagiannya kepada saudara laki-laki dengan beragam dalih. Bahkan banyak juga perempuan yangditinggal pergi saudara laki-lakinya setelah mengambil seluruh hartawarisan sehingga ia tidak memiliki kerabat yang dapat menopangkebutuhan hidupnya. Tindakan ketidakadilan ini sebenarnya sudahbanyak terjadi dan berlangsung sejak lama, namun luput dari kontrolpemerintah.229

Terkait dengan hal ini Masdar Mas’udi mengatakan, sebagaimanayang dikutip oleh Zaitunah Subhan, bahwa besaran pembagian warisananak laki-laki sebanyak dua kali bagian anak perempuan seperti yangdinyatakan dalam surat al-Nisā’ayat 11 merupakan batas maksimal,bukan minimal. Dengan demikian pada kasus tertentu yang didasaridengan asas keadilan, boleh jadi bagian anak perempuan setara ataubahkan lebih banyak dari pada bagian anak laki-laki. Hal ini didasaripada dua pertimbangan berikut; 1) Ketika ayat ini diturunkan kondisisosial masyarakat Arab menganggap perempuan tidak berhak mendapatwarisan bahkan mereka juga dianggap sebagai harta warisan. KeberanianIslam yang memberi perempuan warisan separuh dari bagian laki-lakimerupakan kemajuan besar pada saat itu. 2) Bagian waris anakperempuan yang mendapat separuh dari anak laki-laki dilatari oleh aspeksosial ekonomi, di mana tanggung jawab dalam menafkahi keluargasetelah suami meninggal adalah anak laki-laki. Tanggung jawab inimenjadi semakin besar jika ia menikah. Di sisi lain anak perempuan tidakdibebani tanggung jawab itu sehingga bagian waris yang diterimanyahanya untuk dinikmatinya sendiri. Jadi dengan dalih keadilan, pembagianwaris ini dapat berubah jika terjadi perubahan pada kedua aspek sosialdan ekonomi masyarakat muslim.230

228Muhammad Mutawalli al-Sha’rāwi, Fatāwā al-Nisā’, h. 277-278.229Azizah Yahia al-Hibri, “Muslim Women's Rights in the Global Village:

Challenges and Opportunities”, h. 50.230Zaitunah Subhan, Menggagas Fiqh Pemberdayaan Perempuan, h. 219-

221.

Page 266: kontekstualisasi hukum islam

Fatwa tentang Perempuan dan Persoalan Keluarga

253

Ketetapan fatwa di Indonesia yang khusus membahas tentangbagian waris anak laki-laki dan perempuan belum ditemukan, karenapersoalan ini dianggap sudah mengandung kekuatan hukum yang pasti.Namun fatwa-fatwa yang terkait dengan tata cara pembagian hartawarisan kepada para ahli waris termasuk anak, banyak ditemukan. BaikMajelis Tarjih Muhammadiyah maupun Bahtsul Masail NU sama-samamenetapkan bagian waris anak laki-laki sebanyak dua kali bagian warisanak perempuan tanpa dikaitkan dengan syarat.231 Kesamaan ini mungkindilatari oleh asumsi bahwa pembagian waris merupakan hal yang sudahbaku dalam hukum Islam sehingga tidak membuka peluang untukdimasuki oleh pemahaman lain. Meskipun ada beberapa tokoh yangberupaya memberi pemahaman berbeda, namun pemahaman tersebutmungkin hanya dianggap sebagai asumsi individu yang tidak memilikikekuatan dasar hukum. Saat ini di Indonesia pembagian waris anak laki-laki sebesar dua kali bagian anak perempuan sudah menjadi hukumpositif dan diberlakukan di Pengadilan Agama. Hal ini jugalah yangmenyebabkan banyak muslim Indonesia yang lebih cenderung membawasengketa perkara warisnya ke Pengadilan Negeri dari pada PengadilanAgama, karena dirasa tidak memberi rasa keadilan kepada para ahliwaris.232

Kompilasi Hukum Islam juga telah mengatur persoalan warisdalam bagian tersendiri. Pada Buku II KHI terdapat beberapa pasal yangmengatur bagian waris anak. Pasal 174 ayat 1 a menjelaskan tentangkelompok ahli waris berdasarkan hubungan darah yang terdiri atas pihaklaki-laki dan perempuan. Baik anak laki-laki maupun anak perempuanmenjadi bagian dari kedua pihak tersebut. Pasal 176 menetapkan tigabagian waris anak perempuan yaitu; seperdua jika sendirian, dua pertigajika jumlah anak perempuan lebih dari satu orang, dan mengambil sisaharta jika bersama anak laki-laki dengan pembagian dua banding satu.Akan tetapi jika terdapat sengketa dalam pembagian waris maka upayaperdamaian dapat dilakukan jika seluruh ahli waris sepakatmenyetujuinya setelah menyadari bagiannya masing-masing (pasal 183).Pasal ini mengindikasikan bahwa ketetapan bagian-bagian waris tersebutmasih membuka kemungkinan berubah jika dikehendaki para ahli waris.Perdamaian dalam hubungan kekeluargaan para ahli waris merupakantujuan utama dilakukannya hal ini. Termasuk persoalan yang disetujui

231Fatwa NU Online Tanggal 15-03-2018, diakses dari http://www.nu.or.id/post/read/87201/tata-cara-pembagian-harta-warisan-dalam-islam. Lihat juga FatwaTarjih Muhammadiyah Tanggal 23-10-2013, diakses dari http://www.fatwatarjih.com /2013/10/pembagian-warisan.html

232Munawir Sadzali, Ijtihad Kemanusiaan, (Jakarta: Paramadina, 1997), h.7-8.

Page 267: kontekstualisasi hukum islam

Kontekstualisasi Hukum Islam

254

para ahli waris dalam hal ini adalah wasiat yang diterima ahli waris yangpada dasarnya tidak diperbolehkan. Akan tetapi jika para ahli waris lainsetuju maka pemberian wasiat tersebut dapat dilakukan (pasal 195 ayat3). Agar di kemudian hari tidak timbul masalah, maka persetujuan ituharus memiliki kekuatan hukum, baik secara lisan di hadapan dua saksimaupun berbentuk tulisan yang disahkan notaris (pasal 195 ayat 4).233

4. Analisis Fatwaa. Penafsiran atas al-NuŞūŞ al-shar’iyyah

Secara jelas Abou el Fadl tidak mengutip ayat terkait bagian warisdalam fatwanya. Namun ketika menyinggung persoalan pembagian duabanding satu menyiratkan bahwa fatwanya didasari pada surat al-Nisā’ayat 11. Sebelum menganalisis pemahaman Abou el Fadl, berikut iniakan dikemukakan penafsiran para ulama terkait ayat ini. Menurut IbnMundhir (w. 318 H) ketika ayat ini turun, umat Islam memahami bahwaanak yang akan mendapat warisan adalah seluruh anak, baik laki-laki,perempuan, muslim, atau kafir. Akan tetapi setelah diketahui bahwaRasulullah telah melarang kewarisan beda agama dalam sabdanya,“Seorang muslim tidak boleh mewarisi seorang kafir”, makaditetapkanlah bahwa tidak ada hubungan kewarisan antara muslimdengan non-muslim meski antara ayah dan anak. Berdasarkan hal initerjadilah kesepakatan para ulama bahwa anak yang dimaksud dalamsurat al-Nisā’ ayat 11 ini adalah anak-anak yang tidak membunuhpewaris, tidak beda keyakinan dengan pewaris, dan diketahui kondisinyamasih hidup meski ditawan musuh. Pembagian waris anak ditentukansetelah bagian ahli waris lainnya (asḥāb al-furūḍ) ditetapkan. Artinyaanak-anak akan mendapat sisa harta yang akan dibagi dengan skala 2banding 1.234

Quraish Shihab juga mengemukakan pendapat yang sama dalamhal ini, di mana bagian anak perempuan adalah separoh dari bagian warisyang diterima anak lak-laki. 235 Wahbah al-Zuhaili menambahkanpembagian ini dengan alasan bahwa diberikannya bagian anak laki-lakisebanyak dua kali lipat dari pada bagian anak perempuan dilatari olehtanggung jawab besarnya dalam menafkahi seluruh kebutuhan keluarga.Tanggung jawab ini tidak dibebankan kepada anak perempuan, karenakebutuhan mereka juga akan dipenuhi oleh saudara laki-lakinya yangmendapat bagian lebih banyak.236

233Kompilasi Hukum Islam, Buku II Hukum Kewarisan.234Al-Qurṭubi, al-Jāmi’ li Aḥkām al-Qur’ān, Juz. VI, h. 99-101.235M Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, Jilid. II, h. 343.236Wahbah al-Zuhaili, al-Tafsἷr al-Munἷr fi al-‘Aqἷdah wa al-Sharἷ’ah wa

al-Manhaj, Juz. IV, h. 208.

Page 268: kontekstualisasi hukum islam

Fatwa tentang Perempuan dan Persoalan Keluarga

255

Penafsiran para ulama di atas mengindikasikan bahwa persoalanwaris merupakan bagian dari wilayah hukum qaṭ’i sehingga harusdijalankan sesuai petunjuk naŞŞ dan tidak dapat dilakukan ijtihad.Berbeda dengan Abou el Fadl yang tidak memasukkan persoalan waris kedalam ranah hukum yang pasti atau tetap (thābit) sehingga bagian warisanak menjadi fleksibel sesuai perubahan ‘íllat. Artinya besaran bagianwaris anak laki-laki dan perempuan, apakah 2:1, 1:1, atau 1:2, ditentukanberdasarkan besarnya tanggung jawab dan kewajiban yang telahdilakukan. Hal ini sebagaimana yang dikemukakan Abou el Fadl di akhirfatwa. Berdasarkan uraian ini, dapat disimpulkan bahwa penafsiran Abouel Fadl terhadap surat al-Nisā’ ayat 11 bersifat rasional atau bi al-ra’yidan sesuai dengan realitas sosial. Kenyataan di masyarakat banyakditemui anak laki-laki yang tidak bertanggung jawab kepada keluarganyameski telah diberi bagian warisan yang lebih. Perubahan bagian warisanak yang dilatari atas pertimbangan hak dan kewajiban akanmewujudkan keadilan kepada para ahli waris.

Berbeda dengan al-Qaraḍāwi yang memasukkan persoalan wariske dalam ranah hukum yang tetap (thābit) sehingga harus dipahamisesuai dengan apa yang diterangkan naŞŞ karena berkekuatan qaṭ’i. Olehkarena itu, dalam kondisi apapun persoalan bagian waris tidak dapatdipahami berbeda dari petunjuk naŞŞ.237 Artinya bagian waris anak laki-laki harus tetap diberikan dua kali lebih besar dari pada bagian anakperempuan karena besarnya tanggung jawab yang dipikulnya.Berdasarkan hal ini dapat dipahami bahwa penafsiran al-Qaraḍāwiterhadap surat al-Nisā’ ayat 11 bersifat tekstual dan tidak sesuai dengankondisi sosio-kultural karena dirasa menyulitkan. Kenyataan yangditemukan di lapangan, banyak muslim yang tidak menerapkanpembagian ini karena dianggap tidak mewujudkan rasa keadilan. Bahkanjika terjadi sengketa, mereka lebih suka menyelesaikannya di pengadilanumum yang dianggap lebih netral.b. Penerapan Qiyās

Pada fatwa waris anak ini Abou el Fadl tidak menerapkan indicatorqiyās, karena tidak memiliki kesesuaian dengan persoalan lain.Sementara itu pada fatwa kedua al-Qaraḍāwi terlihat adanya qiyās ketikadisamakannya penganut paham komunis dengan orang kafir karenamenentang syariat dan akidah Islam sehingga dianggap telah keluar dariIslam. Qiyās yang diterapkan dalam kasus ini adalah qiyās musāwi karena

237Pemikiran al-Qaraḍāwi ini di satu sisi bertentangan dengan pendapatnyasendiri terkait bolehnya pemberian wasiat kepada ahli waris atau wasiat yangmelebihi sepertiga bagian harta. Hal ini sebagaimana yang dikemukakannya padafatwa kedua dan ketiga.

Page 269: kontekstualisasi hukum islam

Kontekstualisasi Hukum Islam

256

terdapat kesetaraan antara komunis sebagai furū’ dengan kafir sebagaiaŞl.238

c. Perwujudan MaqāŞid al-sharἷ’ahTujuan syariat yang hendak dicapai Abou el Fadl dalam fatwanya

adalah memelihara agama dengan menerapkan prinsip keadilan. Allahsangat menyukai keadilan dan memerintahkan manusia untuk selaluberlaku adil. Pembagian waris yang didasari pada ketentuan naŞŞ dengansenantiasa mempertimbangkan hak dan kewajiban, secara tidak langsungmerupakan bentuk pemeliharaan ajaran agama (ḥifẓ al-dἷn). Adapunfatwa al-Qaraḍāwi yang menetapkan bagian waris anak dan ahli warisyang lain termasuk juga wasiat, ditujukan untuk memelihara agama danharta (ḥifẓ al-dἷn wa al-māl).239 Salah satu cara memelihara agama adalahdengan melaksanakan perintah Allah dan Rasulullah sesuai petunjuk naŞŞkhususnya terhadap persoalan yang sudah tetap atau qaṭ’i. Melaluipembagian waris yang disesuaikan dengan petunjuk naŞŞ akan berakibatkepada terpeliharanya harta warisan dari sengketa atau perebutan diantara ahli waris.240

d. Penerapan Adillah al-aḥkām al-mukhtalaf fἷhāTerlihat adanya penerapan dalil hukum istiḥsān bi al-maŞlaḥah

dalam fatwa Abou el Fadl saat menyatakan bahwa bagian waris anakperempuan dimungkinkan setara dengan anak laki-laki atau bahkan bisalebih.241 Berdasarkan kemaslahatan dalam mewujudkan keadilan, makaketetapan naŞŞ terkait pembagian 2 banding 1 pada surat al-Nisā’ ayat 11dapat dialihkan lantaran terjadinya perubahan kondisi sosial masyarakatmuslim yaitu hilangnya rasa tanggung jawab anak laki-laki terhadapkeluarga. Adapun dalam fatwa al-Qaraḍāwi tidak ditemukan indikasiketiga adillah al-aḥkām al-mukhtalaf fἷhā. Hal ini dimungkinkan al-Qaraḍāwi menganggap persoalan waris sudah menjadi kesepakatanmayoritas ulama (ijmā’) dan termasuk ke dalam persoalan yang tetap(thābit) sehingga tidak perlu dikaji ulang.

238‘Abd al-Karἷm Zaidān, al-Wajἷz fi UŞūl al-Fiqh, h. 219.239‘Ali Ḥasballah, UŞūl al-Tashrἷ’ al-Islām, h. 249. Lihat juga Muhammad

Abū Zahrah, UŞūl al-Fiqh, h. 367.240Muhammad Abū Zahrah, UŞūl al-Fiqh, h. 367-369.241 Muhammad Kamāl al-Dἷn Imām, Us}u>l al-Fiqh al-Islāmi, (Beirūt:

Muassasah al-Jāmi’ah li Dirāsah wa al-Nashr wa al-Tawzἷ’, 1996), h. 211-212.

Page 270: kontekstualisasi hukum islam

Fatwa tentang Perempuan dan Persoalan Keluarga

257

e. Penerapan al-Qawā’id al-fiqhiyyahPada fatwa Abou el Fadl terindikasi diterapkannya kaidah al-

ḍararu yuzāl.242 Melalui pembagian waris yang dilandasi kepada keadilandan pertimbangan terhadap hak dan kewajiban, maka sengketa yangberujung kepada pertikaian antara ahli waris akan dapat dicegah. Adapundalam fatwa al-Qaraḍāwi tidak ditemukan indikasi ketiga kaidah fikihataupun kaidah turunannya di dalamnya. Ketidaksesuaian persoalanpembagian waris dengan kaidah fikih yang ada menjadi penyebab tidakditerapkannya indikator al-qawā’id al-fiqhiyyah dalam fatwa al-Qaraḍāwiini.f. Penerapan Taḥqiq al-manāṭ

Perubahan bagian waris anak laki-laki dan perempuan yangbersifat dinamis pada fatwa Abou el Fadl dilatari oleh nilai keadilan.Merupakan suatu keadilan jika pemberian hak diselaraskan dengankewajiban yang ditunaikan. Artinya diberinya anak laki-laki bagian yanglebih besar lantaran telah melaksanakan tanggung jawabnya berupanafkah kepada keluarga, berarti telah memenuhi rasa keadilan. Akantetapi jika pemberian bagian yang besar tersebut tidak diiringi denganpelaksanaan kewajiban dalam menafkahi keluarga, berarti rasa keadilantidak terpenuhi. Perlakuan serupa juga harus diberlakukan kepada anakperempuan demi menerapkan rasa keadilan. Di sisi lain alasan al-Qaraḍāwi yang tetap memberi anak laki-laki bagian yang lebih besar daripada bagian anak perempuan, dilatari oleh rasa tanggung jawab kepadakeluarga. Namun sayangnya al-Qaraḍāwi tidak membahas lebih lanjutbagaimana jika tanggung jawab tersebut tidak dilaksanakan anak laki-lakimeski telah menerima bagian waris yang lebih besar.g. Pertimbangan I’ādah al-naẓr

Kendati Abou el Fadl tidak menyebutkan telah mendukungpendapat tertentu ketika menetapkan bagian waris yang setara antara anaklaki-laki dan perempuan, namun sebenarnya terdapat beberapa ulamayang telah mengemukakan pendapat senada. Para ulama tersebutumumnya merupakan tokoh kontemporer, seperti Muhammad Shahrur243

dan Munawir Sadzali. Adapun fatwa al-Qaraḍāwi yang memilikikesamaan dengan pendapat mayoritas ulama karena dipandang sebagaiijmā’, mengindikasikan tidak diterapkannya indikator i’ādah al-naẓr.

242 Aḥmad ibn al-Saikh Muhammad al-Zarqā’, Sharḥ al-Qawā’id al-Fiqhiyyah, h. 179.

243Muhammad Shahrur, Prinsip dan Dasar Hermeneutika Hukum IslamKontemporer, Penerjemah Sahiron Syamsuddin dan Burhanuddin Dzikri,(Yogyakarta: eLSAQ, 2012), h. 38-40

Page 271: kontekstualisasi hukum islam

Kontekstualisasi Hukum Islam

258

h. Penerapan metode yang sesuai dengan perkembangan ilmupengetahuan

Sama seperti fatwa-fatwa sebelumnya, pembagian waris anakbukanlah persoalan baru. Persoalan ini telah ada semenjak dahulu,termasuk juga dengan polemik dan sengketa yang terjadi antara ahliwaris. Tidak ada inovasi baru yang selaras dengan perkembangan ilmupengetahuan dalam fatwa yang dikemukakan Abou el Fadl dan al-Qaraḍāwi terkait bagian waris anak ini.

Analisis fatwa Abou el Fadl dan al-Qaraḍāwi terkait warisan anakdi atas dapat disimpulkan dalam tabel 8.

Tabel 8Perbandingan Pemenuhan Indikator Kontekstual dalam

Fatwa Abou el Fadl dan al-Qaraḍāwi tentang Waris AnakNo Indikator Fatwa Abou

el FadlFatwa al-Qaraḍāwi

1 Penafsiran atas al-NuŞūŞ al-shar’iyyah

X

2 Penerapan Qiyās X 3 Perwujudan MaqāŞid al-

sharἷ’ah

4 Penerapan Adillah al-aḥkāmal-mukhtalaf fἷhā

X

5 Penerapan al-Qawāid al-fiqhiyyah

X

6 Penerapan Taḥqiq al-manāṭ 7 Pertimbangan I’ādah al-naẓr X8 Sesuai perkembangan ilmu

pengetahuanX X

9 Kesimpulan Kontekstual TidakKontekstual

Page 272: kontekstualisasi hukum islam

Penutup

259

PENUTUP

A. KesimpulanBerdasarkan pengujian delapan tema fatwa Abou el Fadl dan al-

Qaraḍāwi melalui delapan indikator yang telah ditetapkan, dapat ditarikkesimpulan bahwa pemikiran Abou el Fadl bersifat kontekstual, sedangkanpemikiran al-Qaraḍāwi cenderung kontekstual. Kesimpulan ini dilatari olehkuantitas hasil, di mana fatwa Abou el Fadl semuanya kontekstual,sedangkan fatwa al-Qaraḍāwi yang kontekstual hanya ada lima. Berikut iniakan diuraikan hasil pengujian dari masing-masing fatwa.1. Persoalan yang terkait dengan hak hidup dan hak politik diarahkan

kepada tiga fatwa yaitu aborsi, memilih pemimpin non-muslim dankepemimpinan perempuan dalam salat atau negara. Berikut ini adalahkesimpulan terkait ketiga fatwa tersebut;a. Abou el Fadl melarang dilakukannya aborsi tanpa memandang usia

janin karena kehidupan dan nyawa adalah sesuatu yang sangatberharga. Namun jika mengancam nyawa ibu maka aborsidiperbolehkan. Fatwa ini bersifat kontekstual karena semua indikatorpenilaian kontekstual terpenuhi dalam fatwa. Al-Qaraḍāwimengharamkan aborsi dengan keharaman bertingkat sesuai usia janinyang dimulai semenjak janin berumur 40 sampai 120 hari. Namunaborsi tetap diperbolehkan jika berada dalam kondisi darurat secarapasti, seperti mengancam jiwa ibu. Fatwa ini bersifat kontekstualkarena telah memenuhi tujuh indikator.

b. Memilih atau mengangkat calon pemimpin non-muslim yangmemiliki kemampuan pada jabatan apapun boleh menurut Abou elFadl atas dasar nilai keadilan dan kebenaran. Terpenuhinya enamindikator menjadikan fatwa ini bersifat kontekstual. Menurut al-Qaraḍāwi non-muslim tidak boleh diberikan jabatan tertinggi sepertipresiden, namun hanya dapat diberikan jabatan selain itu sebagaiperwujudan dari bentuk berbuat baik kepada mereka. Fatwa ini telahmemenuhi lima indikator sehingga membuatnya menjadi kontekstual.

c. Perempuan boleh menjadi imam salat baik jamaahnya perempuansemua atau bercampur dengan laki-laki menurut Abou el Fadl,lantaran ketiadaan naŞŞ yang tegas terkait hal ini. Fatwa ini jugabersifat kontekstual karena telah memenuhi enam indikator didalamnya. Adapun terkait kepemimpinan politik, al-Qaraḍāwi hanyamembolehkan perempuan untuk menduduki jabatan selain pimpinantertinggi, seperti wakil rakyat dan anggota parlemen. Fatwa ini tidakkontekstual, karena hanya memenuhi tiga indikator saja.

Page 273: kontekstualisasi hukum islam

KontekstualisasiHukum Islam

260

2. Diskursus terkait perempuan dan persoalan keluarga akan diwakili olehlima fatwa yaitu hijab, memilih pasangan hidup (suami), nikah bedaagama, nusyuz dan bagian waris anak. Berikut ini kesimpulan tentangkelima fatwa tersebut;a. Hijab dengan menutup seluruh tubuh bagi muslimah menurut Abou el

Fadl tidak wajib, terlebih lagi di wilayah non-muslim karenaketerangan naŞŞ tentang hal itu tidak tegas. Fatwa ini dapat dinilaikontekstual karena memenuhi tujuh indikator di dalamnya. Dalampandangan al-Qaraḍāwi hijab merupakan kewajiban mutlak muslimahkarena telah disepakati mayoritas ulama. Fatwa ini telah memenuhilima indikator sehingga dapat dikategorikan kontekstual.

b. Menurut Abou el Fadl memilih suami merupakan hak yang diberikanIslam kepada perempuan dengan syarat sesama muslim. Orang tuatidak boleh memaksa pilihannya kepada anak perempuannya danharus menghormati pilihan tersebut. Fatwa ini juga kontekstual karenatelah memenuhi lima indikator di dalamnya. Pendapat senada jugadikemukakan al-Qaraḍāwi, di mana wali tidak boleh menikahkanputrinya tanpa persetujuannya terlebih lagi jika ia sudah dewasa.Fatwa ini bersifat kontekstual karena telah memenuhi enam indikator.

c. Abou el Fadl melarang (makruh) pernikahan beda agama antaramuslim atau muslimah dengan non-muslim yang beragama apapun,khususnya di wilayah mayoritas non-muslim. Terpenuhinya tujuhindikator dalam fatwa ini membuatnya layak ditetapkan kontekstual.Pada dasarnya al-Qaraḍāwi membolehkan pernikahan antara muslimdengan perempuan ahl al-kitāb dengan syarat yang ketat. Namunsetelah melihat kenyataan di masyarakat, al-Qaraḍāwi melarangpernikahan tersebut dan bahkan mengharamkannya terkhusus dinegara-negara minoritas muslim. Fatwa ini termasuk kontekstualkarena telah memenuhi enam indikator di dalamnya.

d. Abou el Fadl mengartikan nusyuz yang terdapat pada surat al-Nisā’ayat 34 dan 128 dengan perbuatan seksual selain zina (fāḥishahmubayyinah). Fatwa ini telah memenuhi enam indikator sehinggalayak disebut kontekstual. Adapun makna nusyuz isteri menurut al-Qaraḍāwi adalah kedurhakaan isteri karena menentang otoritas suami.Namun sayang al-Qaraḍāwi tidak menjelaskan bagaimana maknanusyuz suami dalam fatwanya. Hanya ditemukan tiga indikator dalamfatwa ini sehingga dapat dinilai tidak kontekstual.

e. Berdasarkan konsep keadilan Abou el Fadl menyatakan bahwapembagian warisan anak laki-laki dan perempuan dapat disetarakanatau dilebihkan bagi anak yang bertanggung jawab kepada keluarga.Fatwa ini bersifat kontekstual karena memenuhi enam indikator.Berbeda dengan al-Qaraḍāwi yang meyakini diskursus waris termasuk

Page 274: kontekstualisasi hukum islam

Penutup

261

persoalan yang qaṭ’i sehingga diberinya anak laki-laki bagian yanglebih banyak dari pada anak perempuan dilatari oleh petunjuk naŞŞ.Fatwa ini tidak kontekstual karena hanya mengandung tiga indikatordi dalamnya.

3. Berdasarkan pengujian terhadap delapan tema fatwa di atas dapatdipahami bahwa pemikiran kedua tokoh, Abou el Fadl dan al-Qaraḍāwi,bersifat kontekstual dan cenderung kontekstual. Pemikiran kontekstualAbou el Fadl lebih banyak mengacu kepada nilai-nilai universal yangterkandung dalam naŞŞ sehingga dapat disebut kontekstual berbasis nilai.Adapun corak pemikiran al-Qaraḍāwi lebih menekankan kepada normadan aturan yang diberlakukan para ulama sehingga dengan demikianpemikirannya dapat disebut dengan kontekstual normatif.

B. SaranDiskursus kontekstual sangatlah luas meliputi beragam aspek, tidak

hanya terbatas pada hukum Islam. Studi ilmu keislaman yang lahir danberkembang di masa kekhalifahan kurang mendapat perhatian dari kalanganakademisi karena dianggap tidak menarik. Ketidaktertarikan ini semakinbertambah dengan kehadiran doktrin-doktrin yang membatasi peran akal dancenderung mengarah kepada paradigma tekstual. Semua ini akan berdampakkepada pemahaman ajaran Islam yang rigid dan kaku yang akhirnyaberimbas kepada perkembangan Islam. Pendekatan kontekstual akansenantiasa dibutuhkan untuk menyelesaikan permasalahan ini melalui teori,dan konsep kontekstual, serta beragam metode yang senantiasa berkembangseiring kemajuan pengetahuan. Melalui pendekatan kontekstual, ajaran Islamyang notabenenya bersumber dari teks naŞŞ Alquran dan hadis dapatdipahami dan diamalkan secara proporsional dan berimbang.

Kajian kontekstualisasi fatwa dengan delapan indikator dalampenelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi cendikiawan muslimIndonesia, sekaligus sebagai masukan atau pertimbangan mufti dan lembagafatwa ketika melakukan proses iftā’. Mendasari fatwa hanya sebataspemaknaan literal yang terdapat pada teks naŞŞ Alquran dan hadis akanmenghasilkan hukum yang kaku. Begitu juga sebaliknya mendasari fatwadengan semata-mata akal akan menghasilkan hukum yang liar. Perpaduanpemaknaan teks, akal, tujuan-tujuan syariat, metode uŞūl al-fiqh dan metodeilmiah, realita sosial, serta iman akan menghasilkan pendapat hukum yangbermaslahat dan kontekstual

Penelitian ini hanyalah bagian kecil dari kajian hukum Islam. Masihbanyak persoalan lain yang perlu diteliti lebih lanjut terkait fatwa dan hukumIslam. Persoalan yang dirasa penting untuk dikaji adalah bagaimanamenanamkan sikap moderasi pada masyarakat ketika menghadapi suatu

Page 275: kontekstualisasi hukum islam

KontekstualisasiHukum Islam

262

fatwa. Pada umumnya masyarakat muslim masih menganggap fatwa sebagaikeputusan hukum yang hitam dan putih sehingga harus diterima dandiamalkan. Sikap ini setidaknya akan berdampak negatif, khususnya ketikamuncul fatwa lain yang berbeda dalam kasus yang sama. Pertikaian danpermusuhan akan terjadi jika setiap muslim bersikukuh atas kebenaran fatwayang diyakininya. Sebenarnya polemik ini dapat dihindari, jika masing-masing pihak memahami relativitas fatwa yang merupakan hasil olahpemikiran mufti. Oleh karena itu, sikap toleransi dan saling menghormatisangat dibutuhkan demi mewujudkan kesatuan dan persatuan umat Islam.

Page 276: kontekstualisasi hukum islam

263

DAFTAR PUSTAKA

A. Sumber BukuĀbādy, Abu al-Ţayyib Muḥammad Shams al-Dἷn al-Ḥaq al-‘Aẓἷm.‘Aun al-

Ma’būd Sharḥ Sunan Abἷ Dāud. Juz. II & XI. (Madἷnah: Maktabah al-Salafiyyah, 1968).

Abou el Fadl, Khaled M. And God Knows The Soldier; The Authoritativeand Authoritarian in Islamic Discourse. (Oxford: University Press ofAmerica, 2001).

-------. Musyawarah Buku Menyusuri Keindahan Islam dari Kitab ke Kitab.Penerjemah Abdullah Ali. (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2002).

-------. Speaking in God’s Name, Islamic Law, Authority and Women.(Oxford: Oneworld, 2003).

-------. The Great Theft, Wrestling Islam from The Extremists. (New York:HarperCollins Publishers, 2007).

Abū al-NaŞr, Abū al-Jalἷl ‘ἷsa. Ijtihād al-Rasūl. (al-Qāhirah: Dār Iḥyā’ al-Kutub al-‘Arabiyyah, 1950).

Abū Zahrah, Muhammad. Tārἷkh al-Madhāhib al-Islāmiyyah fi Tārἷkh al-Madhāhib al-Fiqhiyyah. Juz. II. (Beirūt: Dār al-Fikr al-‘Arabi, T.th).

--------. UŞūl al-Fiqh. (Beirūt: Da>r al-Fikr al-‘Arabi, T.th).-------. Abū Ḥanἷfah Ḥayātuhu wa ‘ĀŞruhu wa Arā’uhu wa Fiqhuhu. (Kairo:

Dār al-Fikr al-‘Arabi, 1997).Ahmad, Rumadi. Fatwa Hubungan Antaragama di Indonesia. (Jakarta:

Gramedia, 2016).Al-Albāni, Muhammad NāŞir al-Dἷn. Irwā’ al-Ghalἷl fi Takhrἷj Aḥādἷth

Manār al-Sabἷl. Juz. I, II & III. (Beirūt: Maktabah al-Islāmi, 1979).-------.Ghāyah al-Marām. (Beirūt: al-Maktab al-Islāmἷ, 1980).al-Alūshy, Shihāb al-Dἷn al-Sayyid Maḥmūd. Rūḥ al-Ma’āni fἷ Tafsἷr al-

Qur’ān al-‘Aẓἷm wa al-Sab’i al-Mathāni. Juz. IX & XII. (Beirūt: Dāral-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2001).

Amin, Ma’ruf. Fatwa Dalam Sistem Hukum Islam. (Jakarta: eLSAS, 2008).Ansary, Abdou Filali. Pembaruan Islam; Dari Mana dan Hendak ke mana?.

(Jakarta: Mizan, 2009).Anshor, Maria Ulfah. Fikih Aborsi, Wacana Penguatan Hak Reproduksi

Perempuan. (Jakarta: Kompas, 2006).Aripin, Jaenal dan Anas Shafwan Khalid (ed). Filsafat Hukum Islam dalam

Dua Pertanyaan. (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syahid, 2008).Al-‘Awwā, Muhammad Sālim. al-Fiqh al-Islāmi fἷ Ṭarἷq al-Tajdἷd. (Beirūt:

al-Maktabah al-Islāmi, 1998).

Page 277: kontekstualisasi hukum islam

264

Azra, Azyumardi. Historiografi Islam Kontemporer, Wacana, Aktualitas,dan Aktor Sejarah. (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2002).

Bahar, Muchlis. Pemikiran Hukum Islam Moderat, Studi terhadap MetodeIjtihad Yusuf al-Qaradhawi dalam Masalah-masalah Kontemporer.(Jakarta: Pustaka Ikadi, 2009).

Baltaji, Muhammad. Manhaj ‘Umar ibn al Khattāb fἷ al-Tashrἷ’. (al-Qāhirah: Dār al-Salām, 2003).

Al-Banna, Jamal. Nahw Fiqh Jadid. Jilid. III. Penerjemah. HasibullahSatrawi dan Zuhairy Misrawi. (Jakarta: Erlangga, 2008).

Al-Barudi, ‘Ima@d Zaki. Fatāwā al-Balad al-Ḥarām. (al-Qa@hirah: al-Maktabah al-Tawfiqiyyah, t.th).

Boy ZTF, Pradana. Fikih Jalan Tengah. (Jakarta: Hamdalah, 2008).Al-Bukhāri, Muhammad ibn Ismāil.Ṣaḥἷḥ al-Bukhāri. Juz. I & IV. (Riyāḍ:

Dār Iḥyā’ al-Kutub al-‘Arabiyyah, T.th).-------. al-Jāmi’ al-Ṣaḥἷḥ. Juz.IX. (Riyāḍ: Dār Ţawq al-Najāḥ, T.th).Al-Būṭi, Muhammad Sa’ἷd Ramaḍān. Ḍawābiṭ al-MaŞlaḥah fἷ al-Sharἷ’ah

al-Islāmiyyah. (Beirūt: Muassasah al-Risālah, 2001).Al-Dahlawi. Ḥujjah Allāh al-Bālighah. Juz. II. (Beirūt: Dār al-Jἷl, 2005).Dār al-Iftā’, Ḍawābiṭ al-Ikhtiyār al-Fiqh ‘inda al-Nawāzil, Penerjemah.

Adhi Maftuhin, (Depok: Keira Publishing, 2017).Djazuli, A. Kaidah-kaidah Fikih. (Jakarta: Kencana, 2006).Fatah, Rohadi Abdul. Analisis Fatwa Keagamaan. (Jakarta: Bumi Aksara,

2006).Al-Fārisy, ‘Alāu al-Dἷn ‘Ali ibn Balbān. al-Iḥsān bi Tartἷb Ṣaḥἷḥ Ibn

Ḥibbān. Juz. VI &VII. (Beirūt: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1996).Al-Fāsy, ‘Alāl. MaqāŞἷd al-Sharἷ’ah al-Islāmiyyah wa Makārimuhā. (T.tp:

Maktabah al-Waḥdah al-‘Arabiyyah, t.th).Felder, Dell and Mirka Vuollo.Qatari Women in the Workforce. (RAND-

Qatar Policy Institute, 2008).Ghazali, Abd Rahman. “Pandangan Yūsuf al Qaraḍāwi tentang Ijtihad

Kontemporer dan Prospeknya dalam Menunjang PengembanganHukum Islam”, Disertasi, PPs UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,(2004).

El Guindi, Fedwa. Veil, Modesty, Privacy, and Resistance. PenerjemahMujiburohman. (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2005).

Al-Ḥakἷm, Muhammad Taqi. al-UŞūl al-‘Āmmah li al-Fiqh al-Muqāran.(Qum: al-Majma’ al-‘Ālami li Ahl al-Bait, 1997).

Hanafi, Hasan. Al-Turāth wa al-Tajdid. Penerjemah. Yudian Wahyudi.(Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 2001).

Al-Ḥanbalἷ, Aḥmad ibn Ḥamdān al-Harrani. Ṣifatu al-Fatwā wa al-Mufti waal-Mustafti. (Damaskus: al-Maktabah al-Islāmiyyah, 1380 H).

Page 278: kontekstualisasi hukum islam

265

Hannas. Islam Raḥmatan li al ‘Ālamἷn. (Surabaya: SAF Press, 2017).Haq, Abdul dkk. Formulasi Nalar Fiqh Telaah Kaidah Fiqh Konseptual.

Jilid. I. (Surabaya: Khalista, 2006).Haroen, Nasrun. Ushul Fiqh I. (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1996).Hasan, Muhammad Sholeh. “MaqāŞid al-Qur’ān dalam Pemikiran Yūsuf al-

Qaraḍāwi”. Disertasi, SPs UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, (2018).Ḥasballah, ‘Ali. UŞūl al-Tashrἷ’ al-Islāmi. (Mesir: Dār al-Ma’ārif, 1959).Hazairin. Hukum Islam dan Masyarakat. (Jakarta: Bulan Bintang, 1981).--------. Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Alquran dan Hadis. (Jakarta:

Tintamas, 1982).Hidayat, Komaruddin. Memahami Bahasa Agama; Sebuah Kajian

Hermeneutik. (Jakarta: Paramadina, 1996).Hooker, MB. Islam Mazhab Indonesia. Penerjemah Iding Rosyidin Hasan.

(Jakarta: Teraju, 2003).Ibn Anas, Mālik. Al-Muwaṭā’. Juz. II. (T.tp: al-Maktabah al-Tawfiqiyah,

t.th).Ibn Ḥajr, Aḥmad ibn ‘Ali. Fatḥ al-Bāri. Juz. X. (Kairo: Dār al-Maṭbah al-

Salafiyyah, 1407 H).Ibn Qudāmah. al-Mughni. Juz. II. (Beirūt: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, T.th).Ibrahim, Duski. Metode Penetapan Hukum Islam; Membongkar Konsep al-

Istiqra’ al-Ma’nawi asy-Syatibi. (Jogjakarta: AR-RUZZ MEDIA,2008).

Imām, Muhammad Kamāl al-Dἷn. UŞūl al-Fiqh al-Islāmi, (Beirūt:Muassasah al-Jāmi’ah li Dirāsah wa al-Nashr wa al-Tawzἷ’, 1996).

Ismatullah, Dedi. Sejarah Sosial Hukum Islam. (Bandung: CV Pustaka Setia,2011).

Jakfar, Tarmizi M. Otoritas Sunnah Non-Tasyri’iyyah Menurut Yusuf al-Qaradhawi. (Jogjakarta: Ar-Ruz Media, 2011).

Al-Jarisi, Khālid ibn ‘Abd al-Raḥmān. Fatāwa ‘Ulamā’ al-Balad al-Ḥarām.(Riyāḍ: al-Mamlakah al-‘Arabiyyah al-Su’ūdiyyah, 1999).

Al-Jazἷri, ‘Abd al-Raḥmān. Kitāb al-Fiqh ‘alā al-Madhāhib al-Arba’ah. Juz.I, IV, & V. (Beirūt: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2008).

Al-Jawziyyah, Ibn Qayyim. I’lām al-Muwāqqi’ἷn ‘an Rabb al-‘Ālamἷn. Juz.III. (Beirūt: Dār al-Fikr, 1977).

Ka’bah, Rifyal. Hukum Islam di Indonesia. (Jakarta: Universitas Yarsi,1999).

Kamali, Mohammad Hashim. Shari’ah Law An Introduction. (England: OneWorld, 2008).

Kaukashali, Ismāil. Taqhyἷr al-Aḥkām fἷ al-Sharἷ’ah al-Islāmiyyah. (Beirūt:Risālah, 2000).

Keputusan Bahtsul Masail PWNU Jawa Timur Tahun 1978-2009.

Page 279: kontekstualisasi hukum islam

266

Keputusan Muktamar Tarjih XXII Muhammadiyah Tahun 2000 di Malang.Keputusan Muktamar Tarjih ke XXVI Muhammadiyah Nomor 13 Tahun

2003 di Padang.Al-Khallāf, ‘Abd al-Wahāb. KhulāŞah Tārἷkh al-Tashrἷ’ al-Islāmi. (al-

Qāhirah: Dār al-Qalm, t.th).-------. ‘Ilm UŞūl al-Fiqh. (Kuwait: al-Dār al-Kuwaitiyyah, 1968).Al-Khἷn, MuŞṭafa Sa’ἷd. Athar al-Ikhtilāf fἷ al-Qawā’id al-UŞūliyyah fi

Ikhtilāf al-Fuqahā’, (Beirūt: Muassasah al-Risālah, 1982).-------. al-Kāfi al-Wāfi fἷ UŞūl al-Fiqh al-Islāmi. (Beirūt: Muassasah al-

Risālah, 2000).Lapidus, Ira M. Sejarah Sosial Ummat Islam 3. Penerjemah. Ghufron A

Mas’adi, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1999).Mahfuzh, Sahal. Nuansa Fiqh Sosial. (Yogyakarta: LKis Group, 2012).Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah. Himpunan Putusan Tarjih 3.

(Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2018).Majelis Ulama Indonesia, Ijma’ Ulama: Keputusan Ijtimak Ulama Komisi

Fatwa se-Indonesia III tahun 2009.Al-Māliki, Ḥasan Ibn Farḥān. Qirā’ah fἷ al-Kutub al-‘Aqā’id al-Madhhab al-

Ḥanābilah. Penerjemah. Ahmad Dzulfikar. (Jakarta: Noura Books2012).

Al-Maqdisi, Abū ‘Abdillah Muhammad ibn Aḥmad ‘Abd al-Hādi. Tanqἷḥal-Taḥqἷq Ahādἷth al-Ta’lἷq. Juz. II. (Riyāḍ: Dār AŞwā’ al-Salaf,2007).

Marzuki, Peter Mahmud. Penelitian Hukum. Edisi Revisi. (Jakarta: Kencana,2017).

Masud, Muhammad Khalid. Islamic Legal Philosophy.Penerjemah. AhsinMuhammad. (Bandung: Pustaka, 1996).

Al-Māwardi. al-Aḥkām al-Sulṭāniyyah wa al-Wilāyāt al-Dἷniyyah. (Kairo:Dār al-Ḥadἷth, 2006).

Mish’al, Maḥmūd Ismāil Muhammad. Athar al-Khilāf al-Fiqh fἷ al-Qawā’idal-Mukhtalaf fἷhā. (Qāhirah: Dār al-Salām, 2007).

Mudzhar, Mohammad Atho. Fatwa-fatwa Majelis Ulama Indonesia.(Jakarta: INIS, 1993).

-------. Esai-esai Sejarah Sosial Hukum Islam. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2014).

Mudzhar, Mohamad Atho dan Muhammad Maksum. Fikih Responsif.(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2017).

Muhammad, Husein. Fiqh Perempuan, Refleksi Kiai atas Wacana Agamadan Gender. (Yogyakarta: LkiS, 2001).

Al Munawar, Said Agil Husin. al-Qur’an Membangun Tradisi KesalehanHakiki. (Jakarta: Ciputat Pers, 2002).

Page 280: kontekstualisasi hukum islam

267

--------. Hukum Islam dan Pluralitas Sosial. (Jakarta: Penamadani, 2005).Mursi, Muhammad Sa’id.‘Uzama’ al Islam. Penerjemah Khoirul Amru

Harahap dan Achmad Faozan. (Jakarta: Pustaka al Kautsar, 2007).Nahdlatul Ulama. Ahkam al Fuqaha’.(Surabaya: Lajnah Ta’lif wan Nasyr

NU Jawa Timur, 2007).-------. Keputusan Komisi Bahtsul Masail Ad Diniyah. (Cirebon: Lembaga

Lajnah Ta’lif Wan Nasyr PBNU, 2012).Al-Nasā’i, Imām. Sunan al-Nasā’i. Juz. VI. (Beirūt: Dār al-Kutub al-

‘Ilmiyyah, T.th).Al-Nawawi. Ṣaḥἷḥ Muslim bi Sharḥ al-Nawawi. Juz. XIV. (Mesir: T.Tp,

1930). Cet.I.-------. Riyāḍ al-Ṣāliḥἷn. (Beirūt: Dār Ibn Kathἷr, 2007).Al-Naysabūrἷ, Abū al-Ḥusain Muslim ibn al-Ḥajjāj al-Qushairἷ. Ṣaḥἷḥ

Muslim. (Beirūt: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2003).Pengurus Besar Nahdlatul Ulama. Hasil-hasil Muktamar ke 33 Nahdlatul

Ulama. (Jakarta: Lembaga Ta’lif wan Nasyr PBNU, 2016).Pimpinan Daerah Muhammadiyah. Himpunan Putusan Tarjih

Muhammadiyah. (T.Tt: Garut, 1976).Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Himpunan Putusan Majelis Tarjih

Muhammadiyah. (Yogyakarta: PP Muhammadiyah, Tth).Qal’ahji, Muhammad Rawwās dan Ḥāmid Ṣādiq Qunaybi. Mu’jam Lughah

al-Fuqahā’. (Beirūt: Dār al-Nafāis, 1985).Al-Qaraḍāwi, Yūsuf. ‘Awāmil al-Sa’ah wa al-Murūnah fἷ al-Sharἷ’ah al-

Islāmiyyah. (al-Qāhirah: Dār al-Ṣaḥwah, 1985).-------. al-Fatwā bayna al-Inḍibāṭ wa al-Tasayyub. (al-Qāhirah: Dār al-

Ṣaḥwah, 1988).-------. Madkhal li Dirāsah al-Sharἷ’ah al-Islāmiyyah. (Beirūt: Muassasah al-

Risālah, 1993).-------. al-Ijtihād al-Mu’āŞir bayna al-Inḍibāṭ wa al-Infirāṭ. (T.tp: Dār al-

Tawzἷ’ wa al-Nashr al-Islāmiyyah, 1994).-------. Fatawa Qardhawi. Penerjemah Abdurrachman Ali Bauzir.

(Surabaya: Risalah Gusti, 1996).-------. al-Ḥalāl wa al-Ḥarām fἷ al-Islām. (Kairo: Maktabah Wahbah, 1997).-------. Sharἷ’ah al-Islām Ṣāliḥah li Taṭbἷq fἷ Kulli Zamān wa Makān. (al-

Qāhirah: Maktabah Wahbah, 1997).-------. Taysἷr al-Fiqh li al-Muslim al-Mu’āŞir fἷ Daw’i al-Qur’ān wa al-

Sunnah. (al-Qāhirah: Maktabah Wahbah, 1999).-------. Fi Fiqh al-Aqalliyāt al-Muslimah Ḥayāt al-Muslimin Wasṭ al-

Mujtama’ al-Ukhrā. (Qāhirah: Dār al-Shurūq, 2001).-------. Min Hady al-Islām Fatāwā Mu’āŞirah. Juz I, II & III. (Kairo: Dār al-

Qalm, 2005).

Page 281: kontekstualisasi hukum islam

268

Al-Qaṭān, Mannā’. Mabāḥith fἷ ‘Ulūm al-Qur’ān, (Riyāḍ: Dār al-Rashἷd,T.th).

Al-Qazwayni, Abi ‘Abdullah Muhammad Ibn Yazἷd. Sunan Ibn Mājah. Juz.I. (Beirūt: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, T.th).

Al-Qurṭubi. al-Jāmi’ li Aḥkām al-Qur’ān. Juz. I, III, VI, VII, IX, XIII, &XV. (Beirūt: Muassasah al-Risālah, 2006).

Al-Rabἷ’ah, ‘Abd al-‘Azἷz ibn ‘Abd al-Raḥmān ibn ‘Ali. al-Mufti. (Riyāḍ:al-Mamlakah al-‘Arabiyyah al-Su’ūdiyyah, 1988).

Rahman, Fazlur. Membuka Pintu Ijtihad. Penerjemah. Anas Mahyudin,(Bandung: Pustaka, 1984).

Raysūni, Ahmad. Naẓariyyah al-MaqāŞid ‘inda al-Imām al-Shāṭibi. (Beirūt:Muassasah al-Jāmi’ah lidirāsāt, 1992).

Rohmanu, Abid. Jihad dan Benturan Peradaban. (Yogyakarta: Q-MEDIA,2015).

Roibin. Sosiologi Hukum Islam Telaah Sosio-Historis Pemikiran ImamSyafi’i. (Yoyakarta: UIN Malang Press, 2008).

al-Ṣābūni, Muhammad ‘Ali. Rawā’iu al-Bayān Tafsἷr Ayāt al-Aḥkām min al-Qur’ān. Juz. I. (Damaskus: Maktabah al-Ghazāli, 1980).

Saeed, Abdullah. Interpreting the Qur’an: Towards a ContemporaryApproach. (London: Routledge, 2006).

Saeful, Ahmad. “Teori Hudud dalam Hukum Islam”.dalam Jaenal Aripindan Anas Shafwan Khalid (ed). Filsafat Hukum Islam dalam DuaPertanyaan. (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syahid, 2008).

Safi, Louay. The Foundation of Knowledge. (Malaysia: InternationalIslamic University Malaysia Press, 1996).

Sa’adah, Sri Lum’atus. Peta Pemikiran Fiqh Progresif. (Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2012).

Al-Salām, ‘Izzuddin ibn Abd. Qawā’id al-Aḥkām fἷ MaŞāliḥ al-Anām. Juz. I.(Beirūt: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.th).

-------. al-Fawā’id fἷ IkhtiŞār al-MaqāŞid aw al-Qawā’id al-Ṣughrā. (Beirūt:Dār al-Fikr, 1996).

Sanawi, Quṭb MuŞṭafa. Mu’jam MuŞṭalaḥāt UŞūl al-Fiqh. (Damaskus: Dāral-Fikr al-‘Arabi, 2000).

Sardar, Ziauddin. Postmodernism and Other Futures. Penerjemah. CecepLukman dan Helmi Mustofa. (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2005).

Schacht, Joseph. An Introduction to Islamic Law. (London: OxfordUniversity Press, 1971).

Al-Sha’rāwi, Muhammad Mutawalli. al-Fatāwa. Juz. I & III. (al-Qāhirah:Dār al-Qalm, T.th).

-------. Fatāwā al-Nisā’. (Beirūt: al-Maktabah al-‘AŞriyyah, 2002).

Page 282: kontekstualisasi hukum islam

269

Shahrur, Muhammad. Metodologi Fiqih Islam Kontemporer. PenerjemahSahiron Syamsuddin dan Burhanuddin. (Yogyakarta: eLSAQ, 2004).

--------. Prinsip dan Dasar Hermeneutika Hukum Islam Kontemporer.Penerjemah Sahiron Syamsuddin dan Burhanuddin Dzikri.(Yogyakarta: eLSAQ, 2012).

Shalabi, Muhammad MuŞṭafa. UŞūl al-Fiqh al-Islāmi. Juz I. (Beirūt: Da>r al-Nahḍah al-‘Arabiyyah, 1986).

Shaltūt, Maḥmūd. al-Fatāwā. (Kairo: Dār al-Qalm, T.th).Sharἷf al-‘Umar, Nādiyah. al-Ijtihād fἷ al-Islām; Uşūluhu, Aḥkāmuhu,

Afāquhu. (Beirūt: Muassasah al-Risālah, 2001).Al-Sha@ṭ}ibi, Abū Isḥāq Ibrāhἷm ibn Mūsa. al-Muwāfaqāt fἷ UŞūl al-Sharἷ’ah.

Juz. I. II, dan IV. (Beirūt: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah. T.th).Al-Shaukāni, Nail al-Awṭār Sharḥ Muntaqā al-Akhbār min Aḥādἷth Sayyid

al-Akhyār. Juz VI. (Beirūt: Dār al-Jἷl, T.th).Shihab, M Quraish. Membumikan Alquran.(Bandung: Mizan, 1999).-------. Tafsir al-Mishbah. Jilid. I, II, VII, IX, XI, & XIV. (Jakarta: Lentera

Hati, 2000).-------. Jilbab, Pakaian Wanita Muslimah. (Jakarta: Lentera Hati, 2004).Al-Shinawi, ‘Abd al-‘Azἷz. al-Aimmah al-Arba’ah; Ḥayātuhum,

Mawāqifuhum Arā’uhum, al-Imām Abū Ḥanἷfah. Penerjemah. AbdulMajid. (Solo: Aqwam, 2013).

Sholeh, Asrorun Ni’am. Metodologi Penetapan Fatwa Majelis UlamaIndonesia. (Jakarta: Erlangga, 2016).

Al-Sibā’i, Saifuddἷn. al-Ijhāḍ bayna al-Fiqh wa al-Ţibb wa al-Qānūn,(Beirūt: Dār al-Kutub al-‘Arabiyyah, 1977).

Al-Sijistānἷ, Imām al-Ḥāfiẓ Abi Dāud Sulaymān ibn al-Ash’ath. Sunan AbἷDāud. Juz. I & III. (Beirūt: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah,1996).

-------.al-Marāsἷl. (Beirūt: Muassasah al-Risālah, 1988).Sjadzali, Munawir. Ijtihad Kemanusiaan. (Jakarta:Paramadina, 1997).Soejono dan Abdurrahman. Metode Penelitian; Suatu Pemikiran dan

Penerapan. (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2005).Soekanto, Soerjono. Sosiologi Suatu Pengantar. (Jakarta: PT RajaGrafindo

Persada, 1999).Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif. (Depok:

PT RajaGrafindo Persada, 2018).Subhan, Zaitunah. Tafsir Kebencian Studi Bias Gender dalam Tafsir

Alquran. (Yogyakarta: LKiS, 1999).-------. Menggagas Fiqh Pemberdayaan Perempuan. (Jakarta: el Kahfi,

2008).Sukardja, Ahmad dan Mujar Ibnu Syarif. Tiga Kategori Hukum Syariat,

Fikih, dan Kanun. (Jakarta: Sinar Grafika, 2012).

Page 283: kontekstualisasi hukum islam

270

Suma, Muhammad Amin. Kawin Beda Agama Di Indonesia, Telaah Syariahdan Qanuniah. (Tanggerang: Lentera Hati, 2015).

Al-Suyūṭi, Jalāl al-Dἷn ‘Abd al-Raḥmān ibn Abi Bakr. al-Ashbāh wa al-Naẓā’ir fi al-Furū’. (T.tp: Dār al-Kutub al-Islāmiyyah, T.th).

Syarif, Mujar Ibnu. Presiden Non-Muslim di Negara Muslim. (Jakarta:Pustaka Sinar Harapan, 2006).

Syarifuddin, Amir.Ushul Fiqh. Jilid 1 dan 2. (Jakarta: PT Logos WacanaIlmu, 1999).

Talimah, Ishom. Manhaj Fikih Yusuf al Qaradhawi. Penerjemah. SamsonRahman. (Jakarta: Pustaka al Kautsar, 2001).

Ṭawἷlah, ‘Abd al-Wahāb ‘Abd al-Salām. Athar al-Lughah fi Ikhtilāf al-Mujtahidin. (Damaskus: Dār al-Salām, 2000).

Tim PW LBM NU Jawa Timur. NU Menjawab Problematika Umat. Jilid. I& II. (Surabaya: PW LBM NU Jawa Timur, 2015).

Al-Tirmidhi, Muhammad ibn ‘Isa ibn Thawrah. Sunan al-Tirmidhi. Juz. II.(Beirūt: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2000).

Al-Ţūfi, Najm al-Dἷn Sulaymān ibn ‘Abd al-Qawy ibn ‘Abd al-Karἷm. Kitābal-Ta’yἷn fi Sharḥ al-Arba’ἷn. (Beirūt: Muassasah al-Rayān, 1998).

U Syafruddin. Paradigma Tafsir Tekstual dan Kontekstual, UsahaMemaknai Kembali Pesan al-Qur’an. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2009).

Umar, Nasaruddin. Deradikalisasi Pemahaman al-Qur’an dan Hadis.(Jakarta: PT.Elex Media Komputindo, 2014).

Wadud, Amina. Qur’an Menurut Perempuan.Penerjemah. Abdullah Ali.(Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2006).

Weiss, Bernard G. Spirit of Islam. (Georgia: University of Georgia Press,1998).

Yanggo, Huzaemah Tahido. Fikih Perempuan Kontemporer. (Bogor: GhaliaIndonesia, 2010).

Zaid, MuŞṭafa. al-MaŞlaḥah fἷ al-Tashrἷ’ al-Islāmἷ. (Qāhirah: Dār al-Yasr,T.th).

Zaidān, ‘Abd al-Karἷm. al-Wajἷz fἷ UŞūl al-Fiqh. (T.tp: Muassasah al-Risālah, t.th).

--------. Madkhal li Dirāsah al-Sharἷ’ah al-Islāmiyyah. (Beirūt: Muassasahal-Risālah, 1982).

Zaghlūl, Muhammad. al-Tafsἷr bi al-Ra’yi; Qawā’iduhu wa Ḍawābiṭuhu waA’lāmuhu. (Damaskus: Maktabah al-Fārabi, 1999).

Al-Zarqā’, MuŞṭafa Aḥmad. al-Fiqh al-Islāmy fi Thaubihi al-Jadἷd, al-Madkhal al-Fiqh al-‘Ām. Juz. I. (Damaskus: Dār al-Fikr, 1967).

Al-Zarqā’, Aḥmad ibn al-Saikh Muhammad. Sharḥ al-Qawā’id al-Fiqhiyyah. (Damaskus: Dār al-Qalm, 1996).

Page 284: kontekstualisasi hukum islam

271

Al-Zibāry, Āmir Sa’ἷd. Mabāḥith fἷ Aḥkām al-Fatwā. (Beirūt: Dār IbnḤazm, 1995).

Al-Zuhayli, Wahbah. UŞūl al-Fiqh al-Isla>mi. Juz I dan II. (Beirūt: Da>r al-Fikr, 1986).

--------. al-Fiqh al-Islām wa Adillatuhū. Juz. I, II, VIII, IX & X. (Damaskus:Dār al-Fikr, 1997).

-------- dan Jamaludin Aṭiyyah. Tajdἷd al-Fiqh al-Islāmi. Penerjemah.Ahmad Mulyadi. (Jakarta: Erlangga, 2002).

-------. al-Tafsἷr al-Munἷr fi al-‘Aqἷdah wa al-Sharἷ’ah wa al-Manhaj. Juz.VI. (Damaskus: Dār al-Fikr, 2003).

B. Sumber JurnalAbou el Fadl, Khaled M.Islamic Law and Muslim Minorities: The Juristic

Discourse on Muslim Minorities from the Second/Eighth to theEleventh/ Seventeenth Centuries”. in Islamic Law and Society. Vol. 1,No. 2 (1994).

-------. “Conceptualizing Shari’a in The Modern State”.in Villanova LawReview.Vol. 56 No. 5. (2012).

--------. “Qurʾanic Ethics and Islamic Law”. in Journal of Islamic Ethics.Vol.1. No. 1-2. (2017).

Ahmad, Laode Ismail dan Syamsidar. “Rekonstruksi Teks-teks HukumQath’i dan Teks-teks Hukum Zhanni”. dalam ASY-SYIR’AH. Vol. 49.No. 2. (2015).

Anwar, Syamsul.“Fatwa, Purification and Dynamization: A Study of Tarjiḥin Muhammadiyah”. inIslamic Law and Society. Vol. 12. No. 1.Fatwas in Indonesia (2005).

Azougaye, Rukea M. “Young, Gifted And Religious: What do We Expectfrom Our Tradition And Our Society?”. In European Judaism: AJournal for the New Europe. Vol. 46. No. 1 (Spring 2013).

Bonderman, David. “Modernization and Changing Perceptions of IslamicLaw”. In Harvard Law Review. Vol. 81. No. 6 (Apr., 1968).

Caeiro, Alexandre.“The Power of European Fatwas: The Minority FiqhProject and The Making of an Islamic Counterpublic”. in Middle EastStudies. Vol. 42. No. 3. (August 2010).

Chaudhry, Ayesha S. "I Wanted One Thing and God Wanted Another...":The Dilemma of the Prophetic Example and the Qur'anic Injunctionon Wife-Beating”. in The Journal of Religious Ethics. Vol. 39. No. 3.(2011).

Chudlori, M Syakur. “Kontekstualisasi Hukum Islam di Indonesia”. dalamAl Mashlahah Jurnal Hukum dan Pranata Sosial Islam.Vol. 3. No. 06.(2015).

Page 285: kontekstualisasi hukum islam

272

Dimmock, Mark and Andrew Fisher. “Euthanasia”. in Ethics for A-Level.Open Book Publishers. (2017).

Drury, Abdullah. “Mirror on the Veil”. in The Muslim World BookReview.Vol. 38. No. 4. (2018).

Duderija, Adis. “Islamic Groups and Their World-Views and Identities:Neo-Traditional Salafis and Progressive Muslims”. in Arab LawQuarterly. Vol. 21. No. 4. (2007).

Ebrahim, Abul Fadl Mohsin. “Islamic Ethics of Life: Abortion, War andEuthanasia(Book Reviews)”. in Journal of Islamc Studies.Vol. 16. No.3. (2005).

Elewa, Ahmed and Laury Silvers. "I am One of The People: A Survey andAnalysis of Legal Arguments on Woman-Led Prayer in Islam”. inJournal of Law and Religion. Vol. 26. No. 1. (2010-2011).

Emon, Anver M. “Natural Law and Natural Right in Islamic Law”. inJournal of Law and Religion. Vol. 20. No 2. (2004-2005).

Al Ghanim, Kaltham. “Transitional Society and Participation of Women inThe Public Sphere: A Survey of Qatar Society”. In InternationalJournal of Humanities and Social Science Research. Vol. 3. Issue 2.(February 2017).

Ghazzal, Zouhair. “Islamic Law in Contemporary Scholarship”.in MiddleEast Studies Association Bulletin. Vol. 34. No. 2. (2001).

Gräf, Bettina. “Sheikh Yūsuf al-Qaraḍāwī in Cyberspace”. in Die Welt desIslams New Series. Vol. 47. Issue. 3/4. Islam and Societal Norms:Approaches to Modern Muslim Intellectual History. (2007).

Habudin, Ihab. “Konstruksi Gagasan Feminisme Islam Khaled M Abou elFadl; Relevansinya dengan Posisi Perempuan”. dalam Al Aḥwāl. Vol.5. No. 2. (2012).

Haj-Yahia, Muhammad M. “Beliefs of Jordanian Women About Wife-Beating”. in Psychology of Women Quarterly. Vol. 26. (2002).

Hakiki, Kiki Muhammad. “Islam dan demokrasi”. dalam Wawasan: JurnalIlmiah Agama dan Sosial Budaya.Vol. 1. No.1. (2016).

Hallaq, Wael B. “From Fatwas to Furuʿ: Growth and Change in IslamicSubstantive Law”. in Islamic Law and Society. Vol. 1. No. 1 (1994).

-------. “Juristic Authority vs. State Power: The Legal Crises of ModernIslam”. in Journal of Law and Religion. Vol. 19. No. 2. (2003 - 2004).

Harder, Nelly Van Doorn. “The Indonesian Islamic Debate on a WomanPresident”. in Sojourn: Journal of Social Issues in Southeast Asia.Vol. 17. No. 2. (October 2002).

Hashemi, Kamran. “Religious Legal Traditions, Muslim States and theConvention on the Rights of the Child: An Essay on the Relevant UNDocumentation”. in Human Rights Quarterly. Vol. 29. No. 1 (2007).

Page 286: kontekstualisasi hukum islam

273

Al-Hibri, Azizah Yahia. “Muslim Women's Rights in the Global Village:Challenges and Opportunities”. in Journal of Law and Religion. Vol.15. No. 1/2. (2000 - 2001).

Johnston, David. “A Turn in The Epistemology and Hermeneutics ofTwentieth Century Usul al Fiqh”. in Islamic Law and Society. Vol 11.No 2. (2004).

-------. “Yusuf al Qaradawi’s Purposive Fiqh: Promoting or Demoting theFuture Role of the Ulama?”, in Adis Duderija (ed), Maqasid alShari’a and Contemporary Reformist Muslim Thought. (2014).diakses dari www. palgraveconnect.com.

Kamali, Mohammad Hasyim. “Shari’ah and Civil Law: Toward aMethodology of Harmonization”. In Islamic Law and Society. Vol. 14.No 3. (2007).

Kaptein, Nico J.G and Michael Laffan. Theme Issue: Fatwās in Indonesia. inIslamic Law and Society. Vol. 12. No. 1. Fatwās in Indonesia, (2005).

Kaptein, Nico J.G. “The Voice of the ˋUlamâ': Fatwas and ReligiousAuthority in Indonesia”. In Archives de sciences sociales des religions.(2004).

Karcic, Fikret. “Textual Analysis in Islamic Studies: A Short Historical andComparative Survey”. in Islamic Studies. Vol 45. No 2. (2006).

Kramer, Adam. “Common Sense Principles of Contract Interpretation (AndHow We've Been Using Them All along)”. In Oxford Journal of LegalStudies. Vol. 23. No. 2. (Summer, 2003).

Layish, Aharon. “The Contribution of the Modernists to the Secularizationof Islamic Law”. In Middle Eastern Studies. Vol. 14. No. 3. (Oct.,1978).

Mahanani, Prima Ayu Rizki and Risky Chairani Putri. “Representation andNegotiation of Women Syar’i Hijab Shaff Hijrah Community ThroughInstagram”. in KnE Social Sciences. Vol. 2019. DOI10.18502/kss.v3i20.4943.

Masud, Muhammad Khalid. “The Significance of Istifta’ in FatwaDiscourse”. in Islamic Studies.Vol. 48. No. 3. (2009).

Matswah, Akrimi. “Hermeneutika Negosiatif Khaled M. Abou el FadlTerhadap Hadis Nabi”. dalam ADDIN. Vol. 7. No. 2. (2013).

McCarthy, Kate. “Pluralist Family Values: Domestic Strategies for Livingwith Religious Difference”. in The Annals of the American Academyof Political and Social Science. Vol. 612. Religious Pluralism andCivil Society. (2007).

Meshal, Reem A. "Fatwas" on The Mainframe”. in Traditional Dwellingsand Settlements Review. Vol. 18. No. 1. (2006).

Messick, Brinkley. “The Mufti, the Text and the World: Legal Interpretationin Yemen”. in Man, New Series. Vol. 21. No. 1. (1986).

Page 287: kontekstualisasi hukum islam

274

Miethe, Terance D. ”Fear and Withdrawal”. in The Annals of AmericanAcademy of Political and Social Science. Vol. 539. No. 1. (1995).

Miladi, Noureddine, Saleh Karim, and Mahroof Athambawa. “Fatwa onSatellite TV and The Development of Islamic Religious Discourse”. inJournal of Arab & Muslim Media Research.Vol. 10. No. 2. (2017)

Moh Najib, Agus. “Nalar Burhani dalam Hukum Islam”. dalam HermeneiaJurnal Kajian Islam Interdisipliner. Vol. 2. No. 2. (2003).

Mohd Nawi, Mohd Aliff and Mohd Isa Hamzah. “Mobile Fatwa (M-FATWA): The Integration of Islamic Fatwa Through MobileTechnology”. in Turkish Online Journal of Distance Education. Vol.15. No. 2. (2014).

Muzayyin. “Hermeneutika Hukum Islam Khaled Abou el Fadl: SebuahTawaran dalam Membendung Otoritarianisme Fatwa MUI”. dalamPotret Pemikiran. Vol. 20. No. 1 (2016).

Nafi, Basheer M. “Fatwa and War: On the Allegiance of the AmericanMuslim Soldiers in the Aftermath of September 11”. in Islamic Lawand Society. Vol. 11. No. 1. (2004).

Nasir, Mohammad Abdun and Asmawi. “The Majelis Ulama’s Fatwa onAbortion in Coontemporary Indonesia”. in The Muslim WorldHartford Seminary. Vol. 101. No. 1. (2011).

Nasrullah.“Kritik Khaled M Abou el Fadl Terhadap OtoritarianismePemikiran Hukum Islam”. dalam Jurnal Syariah. Vol.1. No.II. (2013).

Pipes, Daniel. “Stealth Islamist: Khaled Abou el Fadl”. in The Middle EastQuarterly. Vol.11. No, 2. (Spring 2004).

Prickett, Pamela J. “Negotiating Gendered Religious Space: TheParticularities of Patriarchy in an African American Mosque”. InGender and Society.Vol. 29. No. 1. (February 2015).

Raisul. “Pemikiran Hukum Islam Khaled Abou el Fadl”. dalam Mazahib.Vol. XIV. No.2. (2015).

Reid, Anthony. “Religious Pluralism or Conformity in Southeast Asia’sCultural Legacy”. in Studia Islamika. Vol. 22. No. 3. (2015).

Shadi D, W.“Muslim Dress in Europe: Debates on The Headscarf”. inJournal of Islamic Studies. Vol. 16. No.1. (2005).

Sanaky, Hujair.“Gagasan Khaled Abou el Fadl tentang ProblemOtoritarianisme Tafsir Agama; Pendekatan Hermeneutika dalam StudiFatwa-fatwa Keagamaan”. dalam Jurnal Al-Mawarid. Edisi XIV.2005.

Seife, Rodolphe J.A de. “Islamic Legal Interpretation. Muftis and TheirFatwas by Muhammad Khalid Masud; Brinkley Messick; David S.Powers (Review)”, in The American Journal of Legal History. Vol.42. No. 1. (1998).

Page 288: kontekstualisasi hukum islam

275

Senturk, Recep. “Intellectual Dependency: Late Ottoman IntellectualsBetween Fiqh and Social Science”. in Die Welt des Islams, NewSeries. Vol. 47. Issue 3/4, Islam and Societal Norms: Approaches toModern Muslim Intellectual History. (2007).

Silvita, Mary. “Presiden Non-Muslim dalam Komunitas MasyarakatMuslim”. dalam ISLAMICA. Vol. 7. No. 1. (2012).

Slater, Angus M. “Khaled Abou El Fadl’s Methodology of Reform; Law,Tradition, and Resisting the State”.in Journal of Law, Religion andState. Vol. 4. (2016).

Sunarwoto, “Radio Fatwa; Islamic Tanya Jawab Programmes on RadioDakwah”. dalam Al Jāmi’ah. Vol. 50. No. 2. (2012).

Younes, Soualhi. “Islamic Legal Hermeneutics: The Context and Adequacyof Interpretation in Modern Islamic Discourse”. in IslamicStudies.Vol. 41. No. 4. (2002).

Zahra, Mahdi. “Characteristic Features of Islamic Law: Perceptions andMisconceptions”. in Arab Law Quarterly. Vol. 15. No. 2 (2000).

Zaman, Muhammad Qasim. Evolving Conceptions of Ijtihād in ModernSouth Asia. in Islamic Studies. Vol. 49. No. 1 (Spring 2010).

C. Sumber InternetAbou el Fadl, Khaled M. On The Beating of Wifes. accessed from

http://www.scholarofthehouse.org/exbykhabelfa.html.-------. Fatwas (non-binding legal opinions). accessed from

https://www.searchforbeauty.org/fatwa-s-non-binding-legal-opinions/.-------. Biografi. accessed from http://law.ucla.edu/faculty-profiles/khaled-m-

abou-el-fadl/.-------. Biografi. accessed from http://www.scholarofthehouse.org/

abdrabelfad.html.-------. Biografi Khaled M Abou el Fadl. accessed from

http://escholarship.org.Ali, Faisal. How MBS’s “Reforms” Are Impacting Saudi Scholars: Interview

with Khaled Abou El Fadl. Edisi 17-04-2019. accessed fromhttp://www.themaydan.com/2019/04/how-mbss-reforms-are-impacting-saudi-scholars-interview-with-khaled-abou-el-fadl/.

Biografi Dr. Yusuf Al-Qaradhawi. diakses dari https://bio.or.id/biografi-dr-yusuf-al-qaradhawi/.

Boston, Andrew G. Khaled Abou el Fadl; Reformer or Revisionist?.Institutefor the Secularisation of Islamic Society (ISIS), 2003. accessed fromhttp://www.secularislam.org/articles/boston.htm.

Culture of Qatar. accessed from https://www.everyculture.com/No-Sa/Qatar.html.

Page 289: kontekstualisasi hukum islam

276

Dar al-Ifta’. accessed from http://www.dar-alifta. org/Foreign/Module.aspx?Name= aboutdar.

Declaration 153.The Issuance of Fatwas: Rules and Conditions.Fatwa Dār al-Iftā’.A Woman Leading Men in Congregational Prayers.

accessed from http://dar-alifta.org/Foreign/ViewFatwa.aspx?ID=10803.

-------. Taking off Hijab due to Hair Loss. accessed from http://dar-alifta.org/Foreign/ViewFatwa.aspx?ID=10669.

-------. Compelling Women to Wear Hijab. accessed from http://dar-alifta.org/Foreign/ViewFatwa.aspx?ID=10643.

-------. Harassed while Wearing the Hijab. accessed from http://dar-alifta.org/Foreign/ViewFatwa.aspx?ID=10495.

-------. A Non-Practicing Muslim Woman Marrying a Non-Muslim Man.accessed from http://dar-alifta.org/Foreign/ViewFatwa.aspx?ID=10645.

-------. Entering the Mosque while in Menstruation or in a State of MajorRitual Impurity. accessed from, http://daralifta.org/Foreign/ViewFatwa. aspx? ID=10509.

Fatwa Majelis Tarjih Online. diakses dari http://www.fatwatarjih.com.Fatwa Majelis Ulama Indonesia dalam MUNAS II Tahun 1980 Tentang

Perkawinan Campuran.Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 287 Tahun 2001 Tentang Pornografi

dan Pornoaksi.Fatwa MUI Nomor 3 Tahun 2003 Tentang Zakat Penghasilan.Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor: 9/MUNAS VII/MUI/13/2005

TentangWanita Menjadi Imam Shalat.Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 4 Tahun 2005 Tentang Aborsi.Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor: 4 / MUNAS VII / MUI / 8 / 2005

Tentang Perkawinan Beda Agama.Fatwa MUI Tahun 2009 Tentang Vaksin Meningitis bagi Jamaah Haji atau

Umrah.Fatwa NU Online.diakses dari http://www.nu.or.id.Foer, Franklin. Moral Hazard. (18-11-2002). accessed from

http://newrepublik. com/amp/article/136609/moral-hazard.Jabatan Mufti Kerajaan. al-Hadaf. Tahun 11. Bilangan 1. (2007).Keputusan Munas VI MUI Tahun 2000.Kisah Profesor Agama Islam di Amerika: Khaled Abou el Fadl. 01-08-2002.

accessed from http://www.voaindonesia.com.Kompilasi Hukum Islam Buku I Hukum Perkawinan dan Buku II Hukum

Kewarisan.Lia Zainatul Khusna. Dilema Kasus Pelecehan Seksual yang Semakin Marak

Terjadi. edisi 25 Desember 2018. diakses dari http: //geotimes.co.id.

Page 290: kontekstualisasi hukum islam

277

Majelis Ulama Indonesia. Ijma’ Ulama: Keputusan Ijtimak Ulama KomisiFatwa se-Indonesia III.Tahun 2009.

MUI Keluarkan Fatwa tentang Kriminalisasi Hubungan Suami Istri. edisi 26Agustus 2015. diakses dari http://news.detik.com/berita/3002378/mui-keluarkan-fatwa-tentang-kriminalisasi-hubungan-suami-istri.

MUI: Muslim Jangan Memilih Pemimpin Non-Muslim. edisi 21 Maret 2014.diakses dari https://republika.co.id/berita/pemilu/hot-politic/n2siql/mui-muslim-jgn- memilih-pemimpin-nonmuslim.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 61 tahun 2014 TentangKesehatan Reproduksi.

Polisi Bongkar Praktek Aborsi dengan Modus Pijat Bayi Tradisional.edisi19 Juni 2018. diakses dari http: www.kompas.com.

Polres Klaten Bongkar Praktek Aborsi yang Ditawarkan Via Line. Edisi. 5Maret 2019. diakses dari http;/www.m.tribunsnews.com.

Qatar-Government and Society.accessed from https://www.britannica.com/place/Qatar/Government-and-society.

Sidang Ahok, Ketua MUI Sebut Keluarkan Fatwa karena Desakan. Edisi 31-01-2017. diakses dari https://www.liputan6.com/news/read/2842030/sidang-ahok-ketua-mui-sebut-keluarkan-fatwa-karena-desakan.

Sugiantoro, Hendra. Puteri Seri Alam yang Menjadi Sultanah. edisi 21 Juni2010. diakses dari http://www.kompasiana.com.

Susiana, Sali. “Aborsi dan Hak Kesehatan Reproduksi Perempuan”. dalamInfo Singkat Kesejahteraan Sosial. Vol. VIII. No. 06/II/P3DI/Maret/2016.

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak

Asasi Manusia.Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 Tentang

Kesehatan.Undang-undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2019 tentang

Perubahan atas UU nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.Whitney, Helen. Interview with Khaled Abou El Fadl. (2002). accessed from

http://www.pbs.org/wgbh/pages/frontline/shows/faith/interviews/elfadl.html.

Page 291: kontekstualisasi hukum islam

278

Page 292: kontekstualisasi hukum islam

Glosarium

279

GLOSARIUM

Aborsi : Mengeluarkan janin dalam kandungan sebelummasa kelahirannya, baik dengan disengaja atautidak sengaja.

Adillah al-aḥkāmal-mukhtalaf fἷhā

: Dalil atau metode penetapan hukum yang tidakdisepakati seluruh ulama.

Ahl al-hadἷth : Kelompok ulama yang mempunyai kecenderunganberfikir literal.

Ahl al-ra’yi : Kelompok ulama yang corak berfikirnyacenderung dilandasi akal.

Ahl al-kitāb : Bangsa yang diberi Allah kitab suci melaluiperantara nabi, yaitu Yahudi dengan Taurat danNasrani dengan Injil.

Ahl al-dhimmah : Kelompok non-muslim yang membuat perjanjiandengan pemerintahan Islam dan menetap diwilayah Islam.

AŞābah : Ahli waris yang tidak ditentukan bagiannya olehnaŞŞ sehingga dapat menghabiskan sisa harta.

AŞḥāb al-furūḍ : Ahli waris yang sudah ditetapkan bagiannya olehnaŞŞ.

Athar : Segala bentuk ucapan dan perbuatan yang berasaldari sahabat dan disandarkan kepada Rasulullah

Al-Ḍararu yuzāl : Sebuah kaidah fikih yang menyatakan bahwaapapun yang akan merusak atau membawamudarat harus dihilangkan.

Fāhishahmubayyinah

: Tindak kejahatan seksual selain zina.

Fatwa : Pendapat hukum yang dihasilkan mufti gunamenjawab pertanyaan yang diajukan kepadanya.

Fiqh : Ketetapan hukum dari mujtahid yang tidak dilatarioleh pertanyaan dan tidak mempunyai kekuatanmengikat.

Ghair al-thābit : Persoalan agama yang hukumnya tidak dijelaskansecara tegas oleh Alquran dan hadis sehinggamembuka celah bagi perubahan, seperti dalampersoalan muamalah.

Ḥadith Şaḥiḥ : Hadis yang diriwayatkan oleh para perawi yangbersambungan sanadnya, perawinya adil, kuathapalan, serta terhindar dari cacat dan ‘illat.

Page 293: kontekstualisasi hukum islam

Kontekstualisasi Hukum Islam

280

Ḥadith ḥasan : Hadis yang hampir memenuhi syarat Şaḥiḥ, namunterdapat perawi yang daya ingatnya agak lemahdari pada perawi dalam hadis Şaḥiḥ

Ḥadith ḍa’if : Hadis yang tidak memenuhi persyaratan hadisŞaḥiḥ dan hadis ḥasan, baik karena gugurnyaperawi atau ada cacat pada perawi dan matan.

Al-Ḥājah tanzilumanzilah al-ḍarūrah

: Suatu kaidah fikih yang menyatakan bahwakadang kala ada kondisi kebutuhan (ḥājah) yangmendesak sehingga dapat menempati posisiḍarūrah.

Hak untuk tidaklahir

: HAM Barat yang menyimpang dalam melegalkanaborsi sehingga sangat bertentangan dengan Islam.

Ḥudūd : Ketentuan pidana yang sudah diterangkanhukumnya dalam Alquran dan hadis.

I’ādah al-naẓr : Mengambil pendapat hukum ulama terdahulu yangtidak popular di masanya untuk diterapkan saat inilantaran lebih tepat dan bermaslahat.

Iftā’ : Proses menghasilkan fatwa lantaran adanyapertanyaan.

Ijtihad : Proses menghasilkan hukum untuk menyelesaikanpersoalan yang sedang dihadapi.

‘Illat : Suatu alasan atau sifat yang menjadi motif ataspemberlakuan suatu hukum

Istinbāṭ : Menggali atau mengeluarkan hukum darisumbernya, Alquran dan hadis.

Istiḥsān : Metode penetapan hukum dengan caramengalihkan hukum dari kaidah umum kepadaaspek lain karena pertimbangan kemaslahatan.

Kafā’ah : Kesepadanan antara laki-laki dan perempuan agarlayak dinikahkan.

Kompilasi : Himpunan berbagai hal, seperti hadis, hukum, danfatwa.

Mafsadah : Kerusakan yang harus dihindari atau dihilangkandalam hukum.

MaŞlaḥah : Kebaikan atau manfaat yang menjadi muara daripenetapan hukum.

MaŞlaḥah al-ḍarūriyah

: Kemaslahatan yang terkait langsung dengankehidupan manusia.

MaŞlaḥah al-ḥajiyah

: Kemaslahatan yang ditujukan untukmenghilangkan kesulitan pada manusia.

MaŞlaḥah al- : Kemaslahatan yang melengkapi maŞlaḥah al-

Page 294: kontekstualisasi hukum islam

Glosarium

281

taḥsiniyah ḍarūriyah dan al-ḥajiyah berupa keleluasan.MaŞlaḥah al-mursalah

: Sesuatu yang tidak diperintahkan atau dilarangnaŞŞ secara tegas, namun terdapat indikasikemaslahatan di dalamnya.

MaqāŞid al-shari’ah

: Tujuan-tujuan syariat berupa kemaslahatan yangharus dipertimbangan dalam setiap penetapanhukum.

Mufti : Ulama yang mempunyai kewenangan untukberfatwa karena telah memenuhi persyaratan yangditentukan.

Mustafti : Orang yang bertanya tentang hukum kepada muftilantaran tidak memiliki kemampuan.

Mashaqqah tajlibal- taysir

: Sebuah kaidah fikih yang menyatakan bahwakesulitan akan mendatangkan kemudahan.

NuŞūŞ al-shar’iyyah

: Alquran dan hadis yang menjadi sumber hukum,bentuk jamak dari naŞŞ.

Nusyuz : Kedurhakaan yang dilakukan suami atau isterikepada pasangannya.

Qaḍā’ : Keputusan hakim di pengadilan yang bersifatmengikat terhadap orang-orang yang berperkara.

Qānūn : Undang-undang, hukum dan peraturan yangditetapkan pemerintah dan mempunyai kekuatanmengikat.

Qaṭ’i : Suatu ketetapan hukum yang sudah pasti.Qiyās : Menyamakan hukum atas persoalan yang belum

ada ketetapannya dari naŞŞ kepada persoalan yangsudah ditetapkan hukumnya dalam naŞŞ lantaranadanya kesamaan motif (‘illat).

Qiyās awlawi : Motif hukum (‘illat) yang dimiliki oleh persoalanyang akan dikiaskan (far’u) lebih kuat dari padayang dimiliki oleh persoalan yang sudahditetapkan oleh naŞŞ (aŞl).

Qiyās musāwi : : Motif hukum (‘illat) yang dimiliki oleh persoalanyang akan dikiaskan (far’u) sama kuat denganyang dimiliki oleh persoalan yang sudahditetapkan oleh naŞŞ (aŞl).

Qiyās adnā : Motif hukum (‘illat) yang dimiliki oleh persoalanyang akan dikiaskan (far’u) lebih lemah dari padayang dimiliki oleh persoalan yang sudahditetapkan oleh naŞŞ (aŞl).

Sadd al-dhari’ah : Menghalangi atau melarang suatu persoalan yang

Page 295: kontekstualisasi hukum islam

Kontekstualisasi Hukum Islam

282

pada dasarnya boleh demi mencegah terjadinyakerusakan dan kemudaratan.

Ṣāliḥ likullizamān wa makān

: Suatu istilah yang menyatakan bahwa hukumIslam selalu sesuai dengan kondisi apapun, dimanapun, dan kapanpun.

Thābit : Persoalan agama yang memiliki hukum tetap ataubaku, seperti kewajiban salat dan puasa.

Unsafe abortion : Menggugurkan kandungan dengan cara yang tidakaman dan mengancam nyawa, sepertimengkonsumsi ramuan atau menggunakan saranaaborsi illegal.

‘Urf : Tradisi masyarakat yang turut dijadikan sebagaipertimbangan hukum.

UŞūl al-fiqh : Ilmu yang membahas tentang metodologi hukumIslam.

Wasiat : Pesan seseorang untuk memberikan sejumlahhartanya kepada orang tertentu setelah iameninggal.

Zanni : Suatu lafal yang mengandung beberapa makna danpemahaman (relatif).

Zanni al-thubūt : Kerelatifan kekuatan yang dikandung naŞŞ dariaspek sumbernya. Biasanya terdapat pada hadisaḥād karena jumlah perawi yang sedikit.

Zanni al-dalālah : Kerelatifan makna yang dikandung naŞŞ Alqurandan hadis.

Page 296: kontekstualisasi hukum islam

Indeks

283

INDEKS

A

Abdullah ibn Bāz · 6, 8Abdullah ibn Ummi Maktūm · 164Abd al-Raḥmān al-Jaziri · 132, 136, 170Abdullah Saeed · 5, 6, 27, 28, 31, 32, 39,

59Abi Bakrah · 130, 136, 138, 141, 142, 143aborsi · 13, 64, 79, 80, 81, 82, 84, 85, 86,

88, 89, 90, 91, 92, 93, 94, 95, 96, 97,98, 99, 100, 101, 102, 103, 104, 105,106, 107, 174, 259

Abou el Fadl · 8, 9, 10, 11, 12, 13, 14, 15,16, 17, 58, 61, 62, 63, 64, 65, 66, 67,79, 80, 81, 82, 83, 84, 85, 86, 100,104, 105, 106, 107, 108, 109, 110,118, 119, 121, 122, 123, 124, 125,126, 127, 139, 140, 142, 143, 144,148, 149, 150, 151, 152, 153, 154,155, 156, 157, 158, 159, 160, 161,174, 176, 177, 178, 180, 181, 182,183, 184, 185, 186, 187, 200, 202,203, 204, 205, 206, 207, 208, 209,210, 223, 224, 225, 226, 227, 228,229, 230, 231, 232, 233, 239, 241,242, 243, 244, 245, 246, 254, 255,256, 257, 258, 259, 260, 261

Abū Ḥanἷfah · 41, 42, 43, 48, 63, 163,193, 204

Abu Hurairah · 113, 192, 202Abu Thawry · 140Abū Thawry · 134Abū Zahrah · 33, 35, 36, 40, 42, 43, 44,

56, 72, 104, 107, 182, 202, 203, 204,226, 243, 256

adillah al-aḥkām al-mukhtalaf fἷhā · 18,55, 143, 256

ahl al-dhimmah · 112, 114, 223ahl al-ḥadἷth · 39

ahl al-ḥarbiyyah · 223ahl al-kitāb · 113, 206, 207, 210, 211,

213, 214, 215, 216, 217, 218, 219,220, 221, 223, 224, 225, 226, 227,228, 260

ahl al-ra’yi · 5, 39, 43, 131ahl al-ra'yi · 39Āishah · 6, 128, 135, 152, 162, 163, 164,

167, 168, 179, 189, 192, 234, 241Ahmadiyah · 185, 202, 204Al Jazeera TV · 9, 74al Ţūfi · 38al-Dahlawi · 114, 136al-ḍararu yuzāl · 18, 57, 203, 243, 256al-Ghazali · 35, 36, 37, 89al-hājah tanzilu manzilah al-ḍarūrah · 57,

182Ali Gooma · 8al-Jawhari · 232, 244al-mashaqqah tajlibu al-taysἷr · 18, 57,

182al-Māwardi · 114, 123, 131, 136al-Muzanni · 140al-Nakha’i · 1, 131, 163, 214al-NuŞūŞ al-shar’iyyah · 118, 139, 174,

200, 239, 253al-Qaraḍāwi · 8, 9, 10, 11, 12, 13, 14, 15,

16, 17, 58, 68, 69, 70, 71, 72, 73, 74,75, 79, 80, 86, 88, 89, 90, 91, 92, 100,103, 104, 105, 106, 107, 108, 110,111, 113, 120, 121, 122, 123, 124,125, 127, 128, 129, 130, 131, 141,142, 143, 144, 148, 161, 162, 163,164, 165, 166, 167, 168, 178, 179,180, 181, 182, 183, 184, 187, 188,190, 191, 201, 202, 203, 204, 205,210, 213, 214, 215, 216, 224, 225,226, 227, 228, 229, 233, 235, 242,243, 244, 245, 246, 247, 248, 249,250, 255, 256, 257, 258, 259, 260, 261

Page 297: kontekstualisasi hukum islam

Kontekstualisasi Hukum Islam

284

al-qaul al-jadἷd · 43, 44, 188al-qaul al-qadἷm · 43, 44al-qawā’id al-fiqhiyyah · 18, 57, 256al-Qurṭubi · 163, 175, 240al-Sha’rawi · 8, 218, 219Al-Sha’rawi · 251al-Sha’rāwi · 95, 171, 172, 218, 219, 236,

237, 251al-Shāfi’i · 43, 135, 187al-Shāṭibi · 25, 44, 45, 46, 55, 59al-Thawri · 127, 131, 143al-ṭurrah al-Sukayniyyah · 152Amerika · 9, 62, 63, 64, 65, 66, 67, 68, 71,

80, 148, 149, 153, 178, 180, 182, 184,206, 207, 208, 210, 227

Aminah Wadud · 135Amir Syarifuddin · 5, 21, 34amrahum · 130, 143aŞābah · 193, 250asḥāb al-furūḍ · 254aŞḥāb al-furūḍ · 250Asmā’ binti Abu Bakr · 170Atho Mudzhar · 2, 23, 59, 96, 221aurat · 152, 155, 158, 161, 163, 164, 168,

169, 170, 171, 173, 174, 181, 183awrah · 150, 151, 153, 169

B

Bahtsul Masail NU · 95, 115, 174, 197,237, 252

bi al-ra’yi · 54, 119, 120, 140, 141, 176,178, 184, 224, 225, 242, 245, 255

D

ḍa’if · 7, 179Dār al-Iftā’ · 2, 4, 7, 8, 133, 172, 222ḍarūriyyah · 18, 34, 35, 37, 44, 182ḍarūriyyāh al-khamsah · 55

deskriptif · 17, 31dhimmi · 115, 117, 214, 223, 224

E

eutanasia · 11

F

fāḥishah mubayyinah · 232, 233, 241,243, 244, 260

fatāwa · 2fatwa · 1, 2, 3, 4, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 13,

14, 15, 16, 17, 18, 23, 24, 25, 26, 27,28, 32, 47, 53, 58, 59, 64, 68, 72, 73,75, 79, 80, 81, 82, 84, 85, 86, 95, 96,100, 103, 104, 105, 106, 107, 108,111, 115, 116, 121, 122, 123, 124,125, 127, 128, 133, 136, 139, 141,142, 143, 144, 148, 149, 154, 159,161, 164, 165, 166, 172, 173, 174,177, 178, 179, 180, 181, 182, 183,184, 186, 197, 200, 201, 202, 203,204, 205, 206, 208, 215, 218, 219,220, 221, 222, 223, 225, 226, 227,228, 237, 238, 239, 240, 242, 243,245, 246, 247, 252, 254, 255, 256,257, 259, 260, 261

fikih · 1, 2, 3, 4, 5, 13, 18, 22, 23, 25, 32,38, 41, 43, 48, 52, 57, 59, 61, 72, 74,75, 81, 85, 89, 105, 109, 122, 127,131, 132, 133, 143, 150, 152, 155,157, 158, 164, 171, 182, 203, 209,214, 227, 235, 236, 244, 256

furū’ · 4, 202, 255

G

ghair thābit · 4

Page 298: kontekstualisasi hukum islam

Indeks

285

ghairu manŞūŞah · 45

H

hājiyyah · 182Hak Asasi Manusia · 64, 97, 98, 118, 139hak hidup · 12, 13, 15, 79, 94, 98, 259hak politik · 12, 13, 15, 79, 122, 259Hak untuk tidak lahir · 93ḥakam · 233, 235, 242Ḥanābilah · 29, 37, 46, 56, 94, 132, 171,

190, 192, 193, 196, 218Ḥanāfiyyah · 41, 56, 80, 83, 89, 94, 109,

115, 118, 131, 132, 170, 171, 172,189, 191, 193, 194, 195, 204, 207,217, 226, 228, 249

ḥarbi · 214, 217, 223, 224ḥasan · 135, 139, 169, 193, 202, 241Hazairin · 49, 52, 53hijab · 6, 13, 64, 148, 149, 153, 154, 155,

156, 157, 158, 159, 160, 161, 164,168, 170, 171, 172, 173, 174, 177,178, 179, 180, 181, 182, 183, 184, 260

ḥudūd · 49, 50, 54, 58

I

i’ādah al-naẓr · 18, 58, 59, 107, 123, 144,183, 244, 257

Ibn al-Athἷr · 128Ibn al-Qayyim al-Jawziyyah · 28, 46, 47,

48, 72Ibn Athἷr · 232, 244Ibn Baḥr · 175Ibn Ḥazm · 1, 23, 87, 163, 164, 201Ibn Jarἷr · 127, 143Ibn Qudāmah · 131, 132, 134Ibn Taimiyyah · 46, 189, 204iftā’ · 1, 261

ijmā’ · 18, 37, 38, 56, 161, 183, 190, 207,211, 248, 256, 257

Ikhwān al-Muslimin · 61, 70, 71, 73íllat · 254islah · 234, 235, 242istiḥsān · 18, 20, 42, 43, 55, 59, 105, 122,

143, 181, 182, 243, 256istiqrā’ · 45, 46, 56Izzuddin ibn ‘Abd al-Salām · 33

J

jilbab · 76, 151, 152, 153, 154, 155, 156,157, 160, 165, 166, 172, 173, 176,177, 181, 183

juyūb · 149, 162, 174, 175

K

kafā’ah · 195, 220keadilan · 7, 14, 46, 53, 109, 110, 118,

119, 121, 123, 124, 125, 135, 151,160, 200, 232, 241, 242, 243, 244,246, 251, 252, 253, 255, 256, 257,259, 260

kehamilan yang tidak dikehendaki · 92Kesehatan Reproduksi · 93, 97, 99, 100,

102Khaled M Abou el Fadl · 9, 62, 63, 64,

123, 177, 200, 233, 242khimar · 149, 150, 151, 156, 157, 162,

175, 180khuntha · 132, 171Komaruddin Hidayat · 12, 31Komisi Fatwa MUI · 3, 95, 96, 132, 221Kompilasi Hukum Islam · 198, 199, 200,

222, 223, 239, 253komunisme · 212, 248

Page 299: kontekstualisasi hukum islam

Kontekstualisasi Hukum Islam

286

kontekstual · 4, 6, 7, 11, 12, 14, 16, 17,19, 27, 28, 29, 30, 31, 39, 53, 54, 100,108, 120, 125, 152, 184, 259, 260, 261

Kontekstualisasi hukum Islam · 32, 44, 58Kopi Luwak · 3

L

literal · 5, 27, 31, 32, 36, 55, 176, 180,242, 246, 261

M

mā ubἷḥa li al-ḍarūrah biqadarita’adhurihā · 244

Ma’ruf Amin · 1, 24, 58, 59, 243, 244Majelis Tarjih Muhammadiyah · 95, 116,

196, 220, 252makrūh taḥrim · 131makrūh taḥrἷm · 94, 217makrūh tanzἷh · 94, 217Mālikiyyah · 37, 56, 94, 132, 192, 194,

196, 207, 218, 226, 228manfaat · 32, 33, 34, 36, 55maqāŞid al-sharἷ’ah · 18, 19, 45, 55, 104,

121, 142, 203MaqāŞid al-sharἷ’ah · 104, 108, 121, 124,

142, 144, 180, 184, 203, 205, 225,229, 243, 245, 255, 258

maqāŞἷd al-sharἷ’ah · 37, 44, 86maŞlaḥah · 20, 32, 33, 34, 35, 36, 37, 38,

40, 42, 56, 122, 256maŞlaḥah al-mursalah · 36, 37maŞlaḥah ḍarūriyyah · 35maŞlaḥah ḥājiyyah · 35maŞlaḥah taḥsἷniyyah · 35Meningitis · 7

Mesir · 1, 2, 9, 21, 43, 61, 62, 66, 67, 68,70, 73, 126, 133, 153, 167, 172, 188,222, 238, 243, 251

mubāḥ · 46, 56, 215mufti · 1, 3, 4, 8, 9, 10, 11, 17, 23, 24, 25,

26, 27, 54, 57, 58, 64, 68, 74, 111,204, 261, 262

Muhammad Salἷm al-Awwā’ · 115, 124Muhammad Shahrur · 30, 49, 50, 51, 52,

257Munawir Sadzali · 49, 53, 253, 257MuŞṭafa al-Khin · 237mustafti · 4, 10, 27, 81, 82, 83, 84, 85, 86,

105, 109, 126, 127, 133, 143, 153,154, 155, 156, 157, 159, 163, 172,185, 186, 187, 206, 208, 209, 210,229, 245, 248, 249

N

nadb · 10, 46Nasrani · 90, 112, 116, 214, 216, 217,

223, 224, 225naŞŞ · 3, 5, 6, 7, 9, 17, 18, 21, 22, 25, 27,

28, 29, 30, 31, 33, 34, 35, 36, 37, 38,39, 40, 45, 48, 52, 54, 55, 56, 57, 59,68, 104, 105, 110, 112, 121, 122, 125,127, 128, 129, 130, 134, 141, 142,143, 152, 156, 157, 164, 169, 170,179, 180, 182, 183, 184, 190, 194,200, 206, 207, 210, 211, 216, 217,229, 240, 242, 243, 245, 246, 247,248, 250, 251, 254, 255, 256, 259,260, 261

nāzilah · 2non-muslim · 13, 79, 108, 109, 110, 111,

112, 113, 114, 115, 116, 117, 120,121, 122, 123, 124, 125, 126, 149,157, 158, 180, 181, 182, 197, 205,207, 209, 210, 215, 216, 217, 220,222, 223, 225, 227, 228, 254, 259, 260

Page 300: kontekstualisasi hukum islam

Indeks

287

nusyuz · 13, 148, 229, 230, 231, 232, 233,234, 235, 236, 237, 238, 239, 240,241, 242, 243, 244, 245, 260

P

patriarkhi · 144, 156, 238, 251patrilineal · 52, 66, 77preskriptif · 31

Q

qaḍā’ · 23qarāin al-aḥwāl · 46qaṭ’i · 22, 28, 36, 37, 45, 46, 55, 133, 161,

178, 183, 246, 250, 254, 255, 256, 261Qatar · 8, 71, 73, 75, 76, 77qiyās · 29, 36, 37, 39, 40, 42, 44, 54, 55,

59, 104, 121, 142, 180, 182, 202, 205,225, 243, 255

Quraish Shihab · 28, 29, 100, 101, 102,119, 120, 121, 141, 147, 175, 176,178, 240, 241, 254

S

sadd al-dharἷ’ah · 18, 59, 105, 129, 163,221, 226

Ṣāliḥ al-‘Uthaimin · 6, 8Saudah binti Zam’ah · 241searchforbeauty.org · 16, 64, 82, 83, 84,

85, 86, 110, 127, 149, 153, 155, 156,159, 161, 186, 187, 208, 209, 210, 246

Shāfi’iyyah · 56, 80, 89, 94, 115, 131,132, 134, 171, 187, 188, 190, 192,196, 207, 218, 226, 228

Shaltut · 219shiqāq · 234, 235, 242Shἷ’ah · 224, 226, 249

Şirāṭ al-mustaqἷm · 109, 118, 119

T

tafsir bi al-ra’yi · 176tafsir bi al-riwāyah · 179tafsἷr bi al-ma’thūr · 245tafwἷḍ · 114, 115Taḥqiq al-manāṭ · 108, 123, 125, 143,

144, 182, 184, 204, 205, 227, 229,244, 245, 256, 258

takhŞἷŞ · 38, 214tanfἷdh · 114tawaf ifāḍah · 47, 48tekstual · 4, 5, 6, 12, 31, 38, 142, 255, 261thābit · 4, 246, 254, 255

U

Umar ibn al-Khattab · 40, 41, 217Ummu Waraqah · 134, 135, 139, 140, 143unsafe abortion · 93urf · 18, 20, 42, 55, 56, 59, 105, 203uŞūl al-fiqh · 15, 16, 17, 21, 32, 42, 43,

58, 71, 72, 261

W

Wael B Hallaq · 1, 23, 25Wahabi · 62, 66, 67, 110Wahbah al-Zuhaili · 118, 122, 136, 142,

223, 224, 236, 240, 241, 254waqā’i · 2wasiat · 247, 248, 249, 250, 253, 255, 256

Page 301: kontekstualisasi hukum islam

Kontekstualisasi Hukum Islam

288

Y

Yahudi · 6, 62, 112, 116, 153, 207, 208,210, 214, 215, 216, 217, 223, 224, 225

Yūsuf al-Qaraḍāwi · 8, 69, 72, 73, 204,246

Z

Zāhiriyyah · 36, 226Zainuddin al-Malibari · 109, 123Zaitunah Subhan · 147, 148, 169, 237,

238, 252ẓanni · 22, 28, 36, 45, 54, 133, 178, 183ẓanni al-dalālah · 22zina · 41, 51, 52, 91, 97, 106, 213, 214,

220, 223, 232, 242, 260zīnah · 149, 151, 174, 175, 176

Page 302: kontekstualisasi hukum islam

289

BIODATA PENULIS

Apriyanti merupakan perempuan berdarah Minangkabau kelahiran 1April 1978 di Palembang Sumatera Selatan. Mengawali pendidikandasarnya di Sekolah Dasar Negeri 1 Palembang tahun 1984-1990.Pendidikan menengah dan atas dilanjutkan dengan nyantri di PondokPesantren Thawalib bagian Puteri Padang Panjang Sumatera Barat selamaenam tahun (1990-1996). Sementara pendidikan tinggi strata satu (S1)ditempuh di Fakultas Syariah Program Studi Perbandingan Mazhab danHukum (PMH) IAIN Imam Bonjol Padang tahun 1996-2000. Pada tahunyang sama (200), pendidikan lanjutan strata dua (S2) diteruskan di tempatyang sama yaitu PPs IAIN Imam Bonjol Padang dengan konsentrasi Syariahdan dapat diselesaikan tahun 2003. Atas izin Allah SWT pada akhir tahun2003, penulis diterima menjadi bagian dari civitas akademika IAIN RadenFatah Palembang dengan tugas utama sebagai dosen tetap PNS. Setelahpengabdian selama lebih kurang sepuluh tahun, penulis melanjutkanpendidikan strata tiga (S3) di Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullahdengan konsentrasi Syariah dan Hukum Islam dan selesai tahun 2020.

Penelitian dan karya ilmiah terpublikasi yang pernah dihasilkanpenulis di antaranya adalah Persepsi Civitas Akademika Fak UshuluddinIAIN Raden Fatah Tentang Fatwa Haram Merokok MUI (Penelitianindividu, 2009), Pembaharuan Pemikiran Hukum Islam (Penelitian Individu,2015), Pemikiran Hukum Islam Abdul Hamid Hakim (Penelitian Individu,2016), dan Sosio-Kultural Tafsir Al-Qur’an Melayu Nusantara: Kajian atasTafsir Al-Azhar Karya Hamka (Penelitian Kelompok, 2018). ModalVentura; Solusi Alternatif Pengembangan Usaha (Mimbar Akademik,2006), Adat dan ‘Urf (Istinbath Kopertais, 2006), Metode Istinbath Majma’al Buhuts al Islamiyah (Istinbath Kopertais, 2008), Penyelesaian SecaraTakhsis (Akademika, 2009), Nusyuz dalam Pernikahan (Istinbath Kopertais,2010), Hadis Sebagai Sumber Tasyri’ (Medina-Te, 2011), Kewarisan OrangHilang (Ijtihad, 2011), dan Historiografi Mahar (An Nisa’, 2017).