GLOBALIZATION AND POPULAR CULTURE “KONSUMERISME SEBAGAI DAMPAK DARI GLOBALISASI DAN BUDAYA POP” DISUSUN OLEH : IRA RAMBU TEBA HIKA 2012160953 IR 16 – 2C
GLOBALIZATION AND POPULAR CULTURE
“KONSUMERISME SEBAGAI DAMPAK DARI GLOBALISASI DAN
BUDAYA POP”
DISUSUN OLEH :
IRA RAMBU TEBA HIKA
2012160953
IR 16 – 2C
2015
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang
Maha Esa, karena berkat rahmat dan karunia-Nya, makalah ini
dapat terselesaikan dengan baik dan tepat pada waktunya.
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi
tugas Mata Kuliah Globalization and Pop Culture, pada semseter
VI di tahun ajaran 2015/2016, dengan judul : “Konsumerisme
Sebagai Dampak Dari Globalisasi dan Budaya Pop” .
Dengan membuat makalah ini penulis diharapkan dapat mampu
menganalisa dampak dari globalisasi dan budaya popular yang
merajalela di Indonesia serta mencari tahu bagaimana
seharusnya peran masyarakat dan pemerintah terkait
konsumerisme yang merajalela.
Penulis sadar, sebagai seorang pelajar yang masih dalam
proses pembelajaran, penulisan makalah ini masih banyak
kekurangannya. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan
2
adanya kritik dan saran yang bersifat positif, guna penulisan
karya ilmiah yang lebih baik lagi di masa yang akan datang.
Harapan penulis, semoga makalah yang sederhana ini, dapat
memberikan informasi yang bermanfaat bagi pembaca serta
membuat pembaca dapat lebih selektif lagi dalam menerima
informasi yang masuk.
Jakarta
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG MASALAH
Masyarakat modern adalah masyarakat konsumtif.
Masyarakat yang terus menerus berkonsumsi. Konsumsi telah
menjadi budaya, yaitu budaya konsumsi.
Dewasa kini budaya konsumerisme bukanlah hal yang
baru di era globalisasi. Dengan arus globalisasi yang begitu
3
cepat memberikan dampak pada budaya dan gaya hidup
masyarakat dunia. Tidak jarang masyarakat maupun kita
sendiri kerap membeli barang yang sebenarnya tidak kita
butuhkan. Akar dari konsumerisme adalah agar ekonomi bisa
terus berjalan dengan baik. Anggota masyarakat harus terus
membeli. “Membeli”, dalam konteks ini, merupakan suatu
kewajiban dan suatu tindakan individual dan berangkat dari
sebuah kebutuhan. Maka, orang membeli meskipun tiddak
membutuhkan barang yang dibeli. Konsumerisme kemudian tidak
menjadi sesuatu yang negative, melainkan menjadi sesuatu
yang positif dan dipandang sebagai sesuatu yang bernilai
sosial.
Konsumerisme memiliki dua nilai, yang pertama adalah
sebagai wujud pemuasan kebutuhan identitas dan makna Kedua,
sebagai fungsi sosial dan ekonomis. Seseorang tidak melihat
alasan untuk tidak mengonsumsi sebanyak mungkin yang ia
bisa. Semula, kemampuan konsumsi dibatasi oleh penghasilan.
Namun, melalui layanan kredit, kemampuan konsumsi terus
meningkat dan selanjutnya menjerumuskan si konsumen
tersebut. Inilah yang tidak disadari oleh masyarakat.
Malahan, yang muncul adalah angggapan bahwa “selama saya
mampu membeli, maka yang saya butuhkan itu bisa saya
dapatkan”.
1.2 RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah
dijelaskan, maka dapat dibuat perumusan masalah sebagai
berikut :
4
1. Dampak globalisasi dan pop culture apa yang
perkembangannya merajalela di Indonesia?
2. Apa dampak negatif dari konsumerisme?
3. Bagaimana peran masyarakat dan pemerintah dalam terkait
dengan budaya konsumerisme?
1.3 MANFAAT PENELITIAN
Dengan penulisan makalah ini , penulis berharap agar
pembaca dapat mengerti dan memahami apa saja dampak yang
dibawa oleh globalisasi dan pop culture yang berkembang
dan merajalela di Indonesia.
1.4 TUJUAN PENELITIAN
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai
berikut :
1. Untuk mengetahui apa itu globalisasi dan budaya
pop
2. Untuk mengetahui salah satu dampak dari
globalisasi dan budaya pop
3. Untuk mengetahui perkembangan dari dampak yang
dihasilkan dari globalisasi dan budaya pop
4. Untuk mengetahui dampak negative dari konsumerisme
yang merupakan akibat dari globalisasi dan budaya
pop
5. Untuk mengetahui peran pemerintah dan masyarakat
dalam menanggulangi dampak dari globalisasi
5
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 GLOBALISASI
Globalisasi adalah serangkaian proses yang mengarah
kepada penyempitan atau tenggelamnya dunia, yaitu semakin
meningkatnya hubungan global dan pemahaman kita
diatasnya. Hal ini menjadikan interaksi masyarakat di
seluruh dunia menjadi semakin bebas dan terbuka, akibat
teramat mudah serta cepatnya masyarakat dalam mendapatkan
berbagai informasi. Tidak hanya informasi saja yang dapat
disebarkan dengan cepat namun budaya pun dapat dengan
mudahnya disebarkan melalui media massa.
Globalisasi budaya yang terus berkembang dalam
segala lingkup kehidupan masyarakat ini, kemudian
memunculkan suatu istilah baru yaitu budaya popular.
6
Budaya pop atau budaya popular berkaitan dengann nilai-
nilai dan budaya tertentu dari suatu negara ke negara-
negara lain di seluruh dunia.
2.2 BUDAYA
Dalam buku Teori Budaya dan Budaya Pop yang ditulis
oleh John Storey, Raymond Williams menyebut budaya bagai
“satu dari dua atau tiga kata yang paling rumit dalam
bahasa Inggris”. Williams menawarkan tiga definisi yang
sangat luas.
Pertama, budaya dapat digunakan untuk mengacu pada
“suatu proses umum perkembangan intelektual spiritual,
estetis, para filsuf agung, seniman, dan penyair-penyair
besarnya. Ini rumusan budaya yang paling mudah dipahami.
Kedua, budaya bisa berarti “pandangan hidup tertentu
dari masyarakat, periode, atau kelompok tertentu.” Ketiga,
Williams menyatakan bahwa budaya pun bisa merujuk pada
“karya dan praktik-praktik intelektual , terutama
aktivitas artistik.” Dengan kata lain, teks-teks dan
praktik-praktik itu diandaikan memiliki fungsi utama
untuk menunjukkan, menandakan, memproduksi, atau kadang
menjadi peristiwa yang menciptakan makna tertentu.
Maka, berbicara tentang budaya pop berarti
menggabungkan makna budaya yang kedua dengan makna ketiga
di atas. Makna kedua-pandangan hidup tertentu-
memungkinkan kita untuk berbicara tentang praktik-
praktik, seperti liburan ke pantai, perayaan Natal, dan
aktivitas pemuda subkultur sebagai contoh-contoh
7
budayanya. Semua hal ini biasanya disebut sebagai
praktik-praktik budaya. Makna ke tiga – praktik
kebermaknaan – memungkinkan pembahasan mengenai drama,
musik pop, komik, fashion dan sebagainya sebagai contoh
budaya pop.
2.3 BUDAYA POP
Menurut Raymond Williams dalam buku Teori Budaya dan
Pop Culture yang ditulis oleh John Storey, mendefinisikan
budaya pop (pop cultures) dengan dua kata terpisah. Yang
pertama adalah popular, terhadap istilah ini Williams
memberikan empat makna: “banyak disukai orang”, “jenis
kerja rendahan”, “karya yang dilakukan untuk menyenangkan
orang”, “budaya yang memang dibuat oleh orang untuk
dirinya sendiri.” Kemudian, untuk mendefinisikan budaya
pop kita perlu mengkombinasikan dua istilah, yakni
“budaya” dengan “popular” yang keduanya memiliki
formulasi definisinya sendiri-sendiri. Dari sisi sejarah,
perjalanan teori budaya dengan budaya pop adalah suatu
sejarah di mana dua istilah itu terhubung satu sama lain
oleh pemakaian teoretis dalam konteks historis dan sosial
tertentu.
Ada satu titik awal yang menyatakan bahwa budaya pop
memang budaya yang menyenangkan atau banyak disukai
orang. Kita bisa melihatnya dari lakunya penjualan
buku novel atau larisnya album single R&B. Kita juga
bisa meneliti konser, pesta olahraga, festival. Kita
bisa meneliti kesukaan audiens terhadap program TV
8
melalui riset pasar. Kita dapat menemukan budaya pop
pada apa yang banyak disukai orang-orang, namun kita
pun bisa menemukan pada banyak hal secara teoretis
tidak bisa digunakan sebagai definisi konseptual.
Definisi budaya pop dengan demikian harus pula
mencakup dimensi kuantitatif. Pop-nya budaya popular
menjadi sebuah prasyarat. Namun, ada hal lain yang di
dalam dirinya muatan jumlah tidak lagi cukup memadai
untuk mendefinisikan budaya pop. Pengakuan ini
mencakup juga pengakuan resmi akan istilah “budaya
tinggi” terutama pada penjualan buku, rekaman, dan
juga rating audiens TV yang dinyatakan sebagai budaya
“pop”.
Setelah memfokuskan perhatian pada budaya maju
(tinggi), cara kedua untuk mendefinisikan budaya pop
adalah dengan mempertimbangkan budaya tertinggal
(rendah). Budaya pop menurut definisi ini merupakan
kategori residual untuk mengakomodasi praktik budaya
yang tidak memenuhi persyaratan budaya tinggi. Dengan
kata lain, budaya pop didefinisikan sebagai budaya
“sub-standar”. Sosiolog Perancis, Pierre Bourdieau
pernah mengatakan bahwa perbedaan budaya seringkali
dimanfaatkan untuk memperlebar dan memelihara
perbedaan klas. “Selera” misalnya, bisa disebut
sebagai sebuah kategori ideologis yang difungsikan
sebagai ciri “klas”. Bourdieu menyebut satu contoh,
9
“konsumsi budaya”. Bagi Bourdieu, konsumsi budaya
“sudah ditentukan, sadar dan disengaja, atau tidak
untuk tujuan memenuhu fungsi sosial pengabsahan
perbedaan sosial”. Pembatasan ini didukung oleh
pernyataan bahwa budaya pop adalah budaya komersial
dampak dari produksi massal, sedangkan budaya tinggi
adalah kreasi hasil kreativitas individu. Karena itu
budaya tinggi adalah budaya yang mendapatkan
penerimaan moral dan estetis yang lebih, sementara
budaya pop malah mendapatkan pengawasan secara
sosiologis untuk mengendalikan sedikit yang bisa
diberikannya.
Cara ketiga mendefinisikan budaya pop adalah
menetapkannya sebagai “budaya massa”. Definisi ini
akan sangat tergantung pada definisi sebelumnya.
Persoalan pertama adalah mereka yang menyebut budaya
pop sebagai budaya massa dengan tujuan menegaskan
bahwa budaya massa secara komersial tidak bisa
diharapkan. Ia diproduksi massa untuk konsumsi massa.
Audiensnya adalah sosok-sosok konsumen yang tidak
memilih. Budaya itu sendiri dianggap hanya sekedar
rumusan, budaya ini dikonsumsi tanpa berpikir panjang
dan tanpa perhitungan.
Definisi keempat menyatakan bahwa budaya pop
adalah budaya yang berasal dari “rakyat”. Ia
mengangkat masalah ini melalui pendekatan yang
10
beranggapan bahwa budaya pop adalah sesuatu yang
diterapkan pada “rakyat”. Budaya pop adalah budaya
otentik “rakyat”. Budaya pop seperti halnya budaya
daerah merupakan budaya dari rakyat untuk rakyat.
Definisi pop dalam hal ini sering kali dikait-kaitkan
dengan kosep romantisme budaya kelas buruh yang
kemudian ditafsirkan sebagai sumber utama protes
simbolik dalam kapitalisme kontemporer.
Definisi kelima budaya pop berasal dari analisis
politik tokoh Marxis Italia, Antonio Gramsci terutama
tentang pengembangan konsep hegemoninya, Gramsci
menggunakan istilah hegemoni untuk mengacu pada cara
di mana kelompok dominan dalam suatu masyarakat
mendapatkan dukungan dari kelompok-kelompok
subordinasi melalui proses “kepemimpinan” intelektual
dan moral. Teori hegemoni neo – Gramscian, menganggap
budaya sebagai tempat terjadinya pergulatan antara
usaha perlawanan kelompok subordinasi dan inkorporasi
kelompok dominan dalam masyarakat. Dalam penggunaan
ini, budaya pop bukan merupakan budaya yang
diberlakukan oleh teoritikus budaya massa ataupun
muncul secara spontan dari bawah sebagai budaya
oposisi seperti yang sudah ada dalam empat definisi
budaya pop diatas.
Definisi keenam budaya pop berasal dari pemikiran
postmodernisme yang menyatakan bahwa budaya
11
postmodern adalah budaya yang tidak lagi mengakui
adanya perbedaan antara budaya tinggi dan pop.
Akibatnya postmodernis menyatakan sekarang “semua
budaya adalah budaya postmodern”. Mereka juga
menentang pembatasan tegas budaya pop dengan budaya
massa.
2.4 KONSUMERISME
Budaya konsumen dilatarbelakangi oleh munculnya masa
kapitalisme yang diusung oleh Karl Marx yang kemudian
disusul dengan liberalisme. Budaya konsumen yang
merupakan jantung dari kapitalisme adalah sebuah budaya
yang di dalamnya terdapat bentuk halusinasi, mimpi,
artifilsialitas, kemasan wujud komoditi, yang kemudian
dikonstruksi sosial melalui komunikasi ekonomi (iklan,
show, media) sebagai kekuatan tanda (semiotic power)
kapitalisme.
Asal mula konsumerisme dikaitkan dengan proses
industrialisasi pada awal abad ke-19. Karl Marx
menganalisa buruh dan kondisi-kondisi material dari
proses produksi. Menurutnya, kesadaran manusia ditentukan
oleh kepemilikan alat-alat produksi. Prioritas ditentukan
oleh produksi sehingga aspek lain dalam hubungan
antarmanusia dengan kesadaran, kebudayaan, dan politik
dikatakan dikonstruksikan oleh relasi ekonomi.
Kapitalisme yang dikemukakan oleh Marx adalah suatu
cara produksi yang dipremiskan oleh kepemilikan pribadi
sarana produksi. Kapitalisme bertujuan untuk meraih
12
keuntungan sebesar-besarnya, terutama dengan
mengeksploitasi pekerja. Realisasi nilai surplus dalam
bentuk uang diperoleh dengan menjual produk sebagai
komoditas. Komoditas adalah sesuatu yang tersedia untuk
dijual di pasar. Sedangkan komodifikasi adalah proses
yang diasosiasikan dengan kapitalisme di mana objek,
kualitas, dan tanda berubah menjadi komoditas.
Seorang ilmuwan bernama Jean Baudrillard memandang
bahwa budaya posmodernisme sebagai budaya masyarakat
konsumen, tahapan kapitalis baru setelah Perang Dunia II.
Selain itu, ilmuwan lain, Peter N. Stearns mengungkapkan
bahwa kita hidup dalam dunia yang sangat diwarnai
konsumerisme. Istilah konsumerisme, menurut Stearns :
.. consumerism is best defined by seeing how it emerged.but obviously
we need some preliminary sense of what we are talking about. Consumerism
describes a society in which many people formulate their goals in life partly
through acquiring goods that they clearly do not need for subsistence or for
traditional display. They become enmeshed in the process of acquisition
shopping and take some of their identity from a posessionof new things that
they buy and exhibit. In this society , a host of institutions both encourage and
serve consumerism.. from eager shopkeepers trying to lure customers into
buying more than they need to produce designer employed toput new twists
on established models, to advertisers seeking ti create new needs..”
Konsumerisme, pada masa sekarang telah menjadi
ideologi baru kita. Ideologi tersebut secara aktif
memberi makna tentang hidup melalui mengkonsumsi
material. Bahkan ideologi tersebut mendasari rasionalitas
13
masyarakat kita sekarang, sehingga segala sesuatu yang
dipikirkan atau dilakukan diukur dengan perhitungan
material. Ideologi tersebut jugalah yang membuat orang
tiada lelah bekerja keras mangumpulkan modal untuk bisa
melakukan konsumsi.
Budaya konsumen diciptakan dan ditujukan kepada
negara-negara berkembang guna menciptakan sebuah pola
hidup masyarakat yang menuju hedonisme. Budaya konsumen
merupakan istilah yang menyangkut tidak hanya perilaku
konsumsi, tetapi adanya suatu proses reorganisasi bentuk
dan isi produksi simbolik di dalamnya.
14
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 GAYA HIDUP KONSUMERISME SEBAGAI DAMPAK DARI
GLOBALISASI DAN BUDAYA POP
Gaya hidup merupakan cara hidup seseorang yang dapat
diidentifikasikan dengan menilai bagaimana seseorang
mengabiskan waktu mereka, apa yang mereka anggap penting
bagi mereka (ketertarikan), dan apa yang mereka pikirkan
tentang diri mereka sendiri dan juga tentang lingkungan
sekitar. Gaya hidup setiap masyarakat tentu saja berbeda-
beda dan tentu saja memiliki perubahan yang dinamis dari
masa ke masa.
Masyarakat modern adalah masyarakat konsumtif.
Masyarakat yang terus menerus berkonsumsi. Namun konsumsi
yang dilakukan bukan lagi hanya sekedar kegiatan yang
berasal dari produksi. Konsumsi tidak lagi sekedar
kegiatan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan dasar dan
fungsional manusia. Konsumsi telah menjadi budaya, budaya
konsumsi.
Perkembangan budaya konsumen telah mempengaruhi
cara-cara masyarakat mengekspresikan estetika dan gaya
hidup. Dalam masyarakat konsumen, terjadi perubahan
mendasar berkaitan dengan cara-cara mengekspresikan diri
dalam gaya hidupnya.
Gaya hidup telah menjadi ciri dalam dunia modern,
sehingga masyarakat modern akan menggunakan gaya hidup
15
untuk menggambarkan tindakannya sendiri dan orang lain.
Dalam kaitannya dengan budaya konsumen, gaya hidup
dikonotasikan dengan individualitas, ekspresi diri serta
kesadaran diri yang stylistic. Tubuh, busana, gaya
pembicaraan, aktivitas rekreasi, dsb adalah beberapa
indikator dari individualisme selera konsumen. Gaya hidup
adalah juga salah satu bentuk budaya konsumen. Karena
gaya hidup seseorang dilihat dari apa yang dikonsumsinya,
baik barang ataupun jasa. Konsumsi tidak hanya mencakup
kegiatan membeli sejumlah barang atau materi, seperti
televisi dan handphone. Akan tetapi, juga mengkonsumsi
jasa, seperti rekreasi. Beberapa contoh dari gaya hidup
yang nampak menonjol saat ini adalah nge-mall, hang out, fitness,
dll.
3.2 PERKEMBANGAN MALL SEBAGAI PENUNJANG BERKEMBANGNYA
KONSUMERISME
Perubahan gaya hidup masyarakat tidak bisa
dilepaskan dari kehadiran pusat-pusat perbelanjaan
modern. Era baru budaya konsumen ditandai dan
dilembagakan dengan lahirnya pusat-pusat perbelanjaan.
Gedung yang selalu berlimpah barang ini menawarkan
kebebasan baru dan kesempatan untuk masyarakat menjadi
gemar berbelanja. Belanja ditransformasikan dari
persediaan kebutuhan atau negosiasi terhadap kepemilikan
baru. Di pusat-pusat perbelanjaan, masyarakat akan
dibimbing oleh suatu pola konsumtif yang sistematis, dan
16
ini memang sudah dipelajari dari sikap dan gaya hidup
masyarakat melalui berbagai penelitian mendalam dan dan
waktu yang panjang. Oleh sebab itu masyarakat saat ini
bukan saja hanya menjadi pelaku ekonomi namun juga
sebagai produk budaya yang lahir dari suatu tatanan
sistematis sebagai dampak dari neoliberalisme.
Kecenderungan masyarakat saat ini berbelanja di mal,
hipermarket, dan supermarket sering kali melampaui
kebutuhan dan keperluan yang semestinya. Ciri dari
masyarakat konsumsi yang paling menonjol, yaitu bahwa
arena konsumsi adalah kehidupan sehari-hari dalam
kehidupan masyarakat, dalam hal ini mal, hipermarket, dan
supermarket sebagai sarana konsumsi memfasilitasi
berbagai aktivitas masyarakat ikut andil dalam membentuk
sikap dan perilaku konsumen.
Perkembangan mal yang pesat di Indonesia juga
dipengaruhi oleh berkembangnya aktivitas masyarakat di
dalam pusat perbelanjaan, yaitu rekreasi atau mencari
suasana lain, hal ini tentu saja merupakan penunjang
semakin terbukanya budaya konsumerisme di Indonesia.
3.3 DAMPAK NEGATIF DARI PERKEMBANGAN KONSUMERISME DAN
PEMBANGUNAN MALL YANG MERAJALELA DI INDONESIA
Dari penjelasan sebelumnya, konsumermisme memang
memiliki dampak yang baik bagi stabilitas perputaran
ekonomi Negara namun disisi lain tentu saja budaya
konsumerisme memiliki dampak negative seperti hilangnya
kesadaran masyarakat akan nilai guna barang yang ia beli
17
dan juga aktivitas konsumsi pada dasarnya bukan dilakukan
karena alasan kebutuhan, namun lebih kepada alasan
simbolis: kehormatan, status dan prestise. Maka jelas
bahwa realitas sosial dalam masyarakat konsumsi saat ini
cenderung memprioritaskan tanda dan nilai simbol sebagai
motif utama aktivitas konsumsi. Barang-barang dibeli
karena makna simbolik yang ada di dalamnya dan bukan
karena harga atau manfaatnya. Selain itu beberapa dampak
negatif dari konsumerisme diantaranya adalah :
Hidup boros dan enggan untuk berbagi
Bersikap pamer dan menimbulkan prilaku sombong
Bersikap individual.
Orang tsb akan selalu mencari kesenangan dan kepuasan
hidup
Uniformitas dan Alienasi
Uniformitas diambil dari kata uniform yang berarti
seragam, sedang uniformitas itu sendiri adalah membuat
suatu kelompok entah itu mayarakat lokal atau
komunitas internasional menjadi sama atau seragam.
Akibat adana uniformitas inilah mereka yang tidak sama
atau menolak untuk menjadi sama menjadi teralienasi
dan dianggap asing dari suatu kelompok. Konsumerisme
secara tidak langsung membuat pola yang kemudian akan
mendorong kita pada uniformitas. Contohnya penggunaan
Handphone dikalangan remaja kini sangat marak bahkan
jika tidak menggunakan atau tak memiliki Handphone
dinilai rendah oleh kawan di sekitarnya.
18
Selanjutnya, pembangunan mall sebagai penunjang
berkembangnya budaya konsumerisme juga tentu saja
memiliki beberapa dampak negatif, antara lain ialah :
Mall menjadi tempat untuk menghomogenisasikan budaya.
Mall membuat orang menjadi lupa waktu, karena
lengkapnya fasilitas yang disediakan oleh suatu mall
membuat orang rela menghabiskan waktunya berjam-jam
untuk berada disana entah hanya untuk jalan-jalan dan
melihat-lihat atau membeli perlengkapan yang
dibutuhkan.
Dengan tingginya pertumbuhan mall dapat menyebabkan
matinya usaha-usaha reatail kecil milik lokal.
Kurangnya interaksi social
3.4 PERAN MASYARAKAT DAN PEMERINTAH TERKAIT KONSUMERISME
DAN MARAKNYA PEMBANGUNAN MALL
Dalam arus globalisasi yang begitu pesat ini
masyarakat harusnya mampu menyortir informasi yang layak
untuk diperoleh. Perkembangan budaya konsumerisme hanya
menguntukan para pemilik modal dan memanfaatkan
masyarakat yang menjadi obyek. Budaya konsumerisme telah
banyak merubah gaya hidup masyarakat saat ini. Masyarakat
perlu untuk lebih teliti dan selektif lagi dalam
menyaring informasi-informasi yang masuk.
Selain masyarakat yang selektif pemerintah pun perlu
untuk lebih selektif lagi dalam menyaring informasi,
budaya yang masuk, dan hal – hal barat yang masuk ke
19
Indonesia karena pemerintah disini berperan sebagai salah
satu juru kunci masuknya budaya popular dan konsumerisme.
Pemerintah perlu untuk membuat regulasi yang dapat
memperlambat perkembangan budaya konsumerisme yang begitu
pesa t. Apabila tidak ada kontrol yang kuat dari
pemerintah dalam pembangunan pusat perbelanjaan di
Indonesia, maka permasalahan konsumerisme masyarakat akan
semakin susah untuk dikurangi.
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
Seperti yang telah kita ketahui bahwa globalisasi
adalah hal yang tidak dapat dihindari, tentu saja hal
tersebut tidak menutup kemungkinan jika kita pun akan
20
terbawa dan mengikuti arus globalisasi tersebut.
Perubahan gaya hidup masyarakat perkotaan tidak bisa
dilepaskan dari kehadiran pusat-pusat perbelanjaan
modern. Era baru budaya konsumen ditandai dan
dilembagakan dengan lahirnya pusat-pusat perbelanjaan.
Dalam masyarakat modern saat ini konsumsi telah menjadi
suatu kebutuhan vital yang tidak hanya berguna secara
instrumental atau sekedar mengambil atau menghabiskan
nilai fungsional dari suatu komoditi. Saat ini pengertian
konsumsi sendiri telah mengalami perubahan.
Budaya konsumerisme mengakibatkan orang boros, tidak
produktif, dan hanya memberikan kesadaran palsu kepada
masyarakat. Budaya ini hanya menghargai orang dari
sebanyak apa dia mengeluarkan uang untuk mengonsumsi.
Semakin banyak dan prestisius barang yang dibeli
seseorang, semakin ia akan dihargai. Supaya mendapat
penghargaan, orang rela membeli barang-barang yang
sebetulnya tidak terlalu dia perlukan atau diluar
kemampuannya.
21
DAFTAR PUSTAKA
Baudrillard, Jean P. 2004. Masyarakat Konsumsi (diterjemahkan
oleh Wahyunto.) Yogyakarta : Kreasi Wacana.
Barker, Chris. 2004. Cultural Studies: Teori dan Praktik. Bantul :
Kreasi Wacana.
Chaney, David. 2004. Life Styles, Sebuah Pengantar Komprehensif.
Bandung : Jalasutra.
Featherstone, Mike. 2005. Posmodernisme dan Budaya Konsumen
(Penerjemah Misbah Zulfa Elizabeth). Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Gramsci, Antonio. 1971. Selections from Prison Notebooks (hlm 57).
London : Lawrence& Wishart.
Soedjatmiko, Haryanto. 2008. Saya Berbelanja Maka Saya Ada :
Ketika Konsumsi dan Desain Menjadi Gaya Hidup Konsumeris. Bandung :
Jalasutra.
22
Storey, John. 2003. “Teori Budaya dan Budaya Pop” (disunting
dan diterjemahkan oleh Dede Nurdin). Yogyakarta : CV
Qalam Yogyakarta.
Wolf, Martin. 2004. Globalisasi Jalan Menuju Kesejahteraan
(disunting oleh Freedom Institute bekerja sama dengan
Yayasan Obor Indonesia). Jakarta : Yayasan Obor
Indonesia.
23