1 | Page DUA PULUH DUA (22) KETENTUAN INKONSTITUSIONAL DALAM RUU PENYELENGGARAAN PEMILU Oleh: Adelline Syahda Veri Junaidi Adam Mulya B Mayang Konstitusi dan Demokrsi (KODE) Inisiatif Jakarta 2016 A. Ruang Lingkup Putusan MK tentang Pemilu KONSTITUSI DAN DEMOKRASI (KODE) INISIATIF
15
Embed
KONSTITUSI DAN DEMOKRASI (KODE) INISIATIF · A. Ruang Lingkup Putusan MK tentang Pemilu KONSTITUSI DAN DEMOKRASI (KODE) INISIATIF. 2 ... Pandangan potensial ini dilihat karena memang
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1 | P a g e
DUA PULUH DUA (22) KETENTUAN INKONSTITUSIONAL
DALAM RUU PENYELENGGARAAN PEMILU
Oleh:
Adelline Syahda
Veri Junaidi
Adam Mulya B Mayang
Konstitusi dan Demokrsi (KODE) Inisiatif
Jakarta
2016
A. Ruang Lingkup Putusan MK tentang Pemilu
KONSTITUSI DAN DEMOKRASI (KODE) INISIATIF
2 | P a g e
Pemerintah telah menyerahkan Draft RUU Penyelanggaraan Pemilu kepada DPR pada
21 Oktober lalu. Draft ini merupakan penggabungan dari 4 undang-undang sekaligus, yaitu
UU Pemda, UU Pileg, UU Pilpres dan UU Penyelenggara Pemilu yang kemudian disimplifikasi
ke dalam satu draft UU Penyelenggaraan Pemilu. Draft ini terdiri dari buku ke satu hingga
buku ke enam dengan 543 Pasal.
Penyerahan draft ini kemudian ditindaklanjuti dengan dibentuknya Pansus oleh fraksi
di DPR. Pembentukan didasarkan Pansus ini didasarkan atas asas proporsionalitas atau
perolehan kursi parpol, dimaksudkan untuk memfokuskan pembahasan dalam waktu yang
sangat terbatas ini. Dilihat dari jadwal sidang, saat ini DPR telah memasuki masa reses dan
akan kembali bersidang pada 16 November nanti.
Idealnya waktu panjang reses ini bisa dimanfaatkan untuk menyusun Daftar Inventaris
Masalah (DIM) sebagai lanjutan dari draft usulan Pemerintah. Setidaknya 22 pasal krusial
berpotensi melanggar konstitusi, yang ditemukan dari draft usulan Pemerintah ini.
Pandangan potensial ini dilihat karena memang bertentangan dengan konstitusi UUD 1945.
Sehingga nantinya apabila pasal ini dibiarkan keberadaannya, maka akan berakibat
inkonstitusional jika dilakukan judisial review. Atau karena sebelumnya MK juga telah
memberikan amar tidak memiliki kekuatan hukum mengikat yang sifatnya final and binding
dan mestinya diadopsi dalam penyusunan draft RUU ini.
Secara kuantitatif Kode Inisiatif telah menyisir ketentuan-ketentuan yang pernah
diujikan oleh Pemohon kepada MK terkait dengan ketentuan dalam 3 UU, yaitu Pileg, Pilpres
dan Penyelenggara. Hasilnya sangat menakjubkan, ketiga UU berkaitan dengan Pemilu ini
menjadi UU dengan jumlah terbanyak yang pernah diuji materi kan ke MK. Tercatat ada 111
permohonan, 24 diantaranya diputus dengan amar dikabulkan. Terhadap amar dikabulkan ini
kemudian akan berdampak pada penafsiran konstitusionalitas pasal yang diujikan. Apakah
kemudian ketentuan ini diakomodir atau justru luput dari perhatian Pemerintah? Hal ini
menjadi menarik untuk dilihat dalam draft RUU Penyelenggaraan Pemilu ini.
Mestinya RUU ini mengacu pada apa yang sudah diputuskan oleh Mahkamah
Konstitusi, mengingat putusan MK harus dimaknai sebagai suatu perubahan konstitusi
melalui jalur putusan pengadilan. Artinya jika Mahkamah telah memberikan putusan
terhadap suatu pasal, maka hal ini harus dimaknai sebagai suatu perubahan terhadap pasal
dalam konstitusi. Karena memang posisi MK sebagai lembaga penafsir konstitusi.
B. Dua Puluh Dua (22) Pasal Inkonstitusional
Pasal-pasal inkonstitusional yang dihidupkan kembali dalam RUU ini, telah menarik
perhatian meskipun norma tersebut secara nyata tidak memiliki kekuatan hukum mengikat
dan dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 oleh MK. Pasal-pasal bermasalah itu
kemudian dapat dikelompokkan ke dalam 9 kualifikasi yaitu :
1. penyelenggara,
2. syarat calon
3. sistem pemilu
4. keterwakilan perempuan
5. syarat parpol dalam pengajuan Calon Presiden/ Wapres
Jika diuraikan lebih lanjut dari 9 kelompok diatas, akan ditemukan 22 pasal
inkonstitusional dalam RUU Penyelenggaraan pemilu. Pasal-pasal tersebut kemudian akan
dijabarkan dalam tabel dibawah ini. Ketentuan-ketentuan bermasalah ini kembali menjadi
pasal berulang yang selalu muncul dalam pembentukan dasar penyelenggaraan pemilu.
Ketidaktertiban pembentuk UU ini pun patut menjadi sorotan bersama agar produk yang
dihasilkan tidak selalu berpihak pada penguasa dan pemangku kepentingan semata. Namun
lebih dari itu mengakomodir kepentingan masyarakat sebagai salah satu elemen penting
dalam penyelenggaraan pemilu yang demokratis.
Berdasarkan hal itu, maka Kode Inisiatif memberikan rekomendasi terkait 22 Pasal
Inkonstitusional dalam Draft RUU Penyelenggara pemilu sebagai berikut :
1. Terhadap seluruh pasal yang bertentangan dengan Putusan MK, maka harus disesuaikan
bunyi ketentuannya sesuai dengan yang telah diputuskaan oleh Mahkamah Konstitusi.
2. Terhadap ketentuan/ Pasal dalam draft RUU Penyelenggara yang berpotensi melanggar
UUD 1945, maka harus disesuaikan dengan pasal-pasal dalam UUD 1945 sebelum
nantinya diuji di Mahkamah Konstitusi ketika UU ini nanti disahkan.
Berikut adalah uraian pasal potensial langgar Konstitusi dalam Draft RUU Penyelenggara
Pemilu :
No Tema Ketentuan RUU
Penyelenggaraan Pemilu
Tentang Konstitusi/ Putusan MK yang Dilanggar
Argumentasi
1 Penyelenggara Pasal 89 ayat (1) huruf (b)
Syarat usia paling rendah 45 tahun. Usia anggota KPU dan Bawaslu dinaikan, dimana sebelumnya berumur 35 Tahun (UU15/2011).
Pasal 27, 28D (1,3) , 28I (2)
Pasal ini potensial di JR di MK. Pasal ini menimbulkan perlakuan yang tidak sama antar warga negara, dan menghambat kesempatan bagi setiap warga negara yang ingin berpartisipasi dalam pemerintahan, serta menimbulkan diskriminasi terhadap generasi muda. Logika bangunan pasal ini menghambat kaum muda untuk ikut serta dalam pemerintahan dalam hal ini menjadi penyelenggara pemilu. Dan segala warga negara berhak mendapat perlindungan atas perlakuan yang diskriminatif atas dasar apapun.
4 | P a g e
Pasal 58 ayat (4)
Peraturan KPU sebagaimana yang dimaksud pada ayat (2) ditetapkan setelah berkonsultasi dengan DPR dan Pemerintah dalam rapat dengar pendapat
Pasal 22E ayat (5)
independensi kemandirian KPU yang akan tergerus dengan adanya ketentuan konsultasi dengan DPR dan pemerintah dalam pembentukan Peraturan KPU. Ketentuan ini juga muncul sama dengan UU Pilkada (10/16 Pasal 9 huruf a). Jika ketentuan ini tetap dibiarkan maka dari sisi efektifitas waktu akan ada perlambatan karena membutuhkan waktu ekstra untuk menyelesaikan konsultasi bersama DPR dan Pemerintah dalam pembentukan Peraturan KPU.
Pasal 30 ayat (3)
Anggota KPU/D, Prov/Kota yang mengundurkan diri dengan alasan yang tidak dapat diterima dan diberhentikan tidak hormat diwajibkan mengembalikan uang kehormatan sebanyak 2x lipat dari yang diterimanya.
Putusan MK No 80/PUU-IX/2011
MK telah menyatakan ketentuan ini inkonstitusional dan tidak memiliki kekuatan hukum tetap sepanjang frasa"...dengan alasan yang tidak dapat diterima" pada pasal 27 (3) pada UU Penyelenggara pemilu dan ketentuan pasal 27 (3) secara konstitusional tidak mengikat. Kemunculan ketentuan ini bukti bahwa Pemerintah tidak secara cermat memperhatikan putusan MK yang telah mencabut pemberlakuan pasal ini.
Pasal 14 ayat (1) huruf (i)
Mengundurkan diri dari keanggotaan parpol, jabatan politik, jabatan di pemerintahan, BUMN/BUMD pada saat mendaftar sebagai calon.
Putusan MK No 81/PUU-IX-2011
putusan MK telah menyatakan bahwa frasa ".....mengundurkan diri dari keanggotaan parpol...pada saat mendaftar" inkonstitusional dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai "sekurang-kurangnya dalam jangka waktu 5 tahun telah mengundurkan diri dari keanggotaan parpol pada saat mendaftar sebagai calon”
2 Syarat calon Pasal 209 ayat (1) huruf (k)
mengundurkan diri sebagai kepala daerah, wakil kepala daerah, ASN, anggota TNI, Anggota Polri, Direksi, komisaris, Dewan pengawas dan karyawan pada BUMN/BUMD, atau badan lain yang anggarannya bersumber dari keuangan negara yang dinyatakan dengan surat pengunduran diri yang tidak dapat ditarik kembali.
28D (1) Pasal ini potensial di Uji kan di MK. ini merupakan syarat untuk mencalonkan sebagai anggota Legislatif. Disatu sisi syarat ini sesuai dengan ketentuan yang ada di dalam UU Pilkada (10/160 untuk mencalonkan diri menjadi kepala daerah. Namun disisi lain ketentuan ini kontradiktif dengan pengaturan dalam RUU Penyelenggaraan Pemilu ini tentang syarat mencalonkan diri menjadi Calon Presiden/ Wapres. Pada ketentuan ini dikecualikan untuk mundur. sehingga tidak akan ada kepastian hukum dan perlakuan yang sama.
5 | P a g e
Pasal 140 ayat (1)
pejabat negara yang dicalonkan oleh parpol atau gabungan parpol sebagai calon Pres atau calon wapres harus mengundurkan diri dari jabatannya kecuali, Presiden/Wapres, Gubernur, wakil gubernur, Bupati, wakil Bupati , Walikota, wakil walikota
28D (1) Pasal ini Potensial di JR ke MK. ini merupakan syarat untuk mencalonkan sebagai caPres dan caWapres. Ketentuan ini memberikan perlakuan khusus bagi Presiden, Wapres dan Kepala daerah untuk tidak mundur dari jabatan nya jika ingin maju dalam bursa pencalonan. Hal ini bertentangan dengan ketentuan UU Pilkada yang mengharuskan Kada mundur pada saat ingin mencalonkan di daerah lain dengan cuti kampanye. dan ini juga kontradiktif dengan ketentuan dalam UU yang sama tentang pencalonan Caleg yang harus mundur. Kenapa untuk Capres Cawapres jabatan ini dieksklusifkan tidak harus mundur, sementara menjadi caleg harus mundur? terdapat ketidakkonsistenan berfikir dalam penyusunan norma tersebut. Bagaiman jika posisi Presiden disini adalah Incumbent/Petahana yang kemudian dicalonkan lagi? ini tentu akan sarat dengan politisasi dan pemanfaatan jabatan. Pasal ini akan menimbulkan perlakuan yang berbeda karena terjadi kontradiksi antar pasal dan akan menimbulkan ketidakpastian hukum.
3 Sistem pemilu Pasal 138 ayat (2)
Pemilihan anggota DPRD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten Kota dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka terbatas
hal ini bertentangan dengan putusan MK yang telah menyatakan bahwa dasar penetapan calon terpilih adalah berdasarkan calon yang mendapatkan suara terbanyak secara berurutan bukan atas dasar nomor urut terkecil yang telah ditetapkan oleh partai. karena hal ini akan memasung hak suara rakyat untuk memilih sesuai dengan pilihannya dan mengabaikan tingkat legitimasi politik calon terpilih berdasarkan jumlah suara terbanyak.
Pasal 318 ayat (2)
Surat suara dimaksud pada pasal 317 ayat (1) huruf (b) untuk calon anggota DPR,DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten Kota memuat tanda gambar partai politik, nomor urut partai politik dan nomor urut dan nama calon anggota DPR,DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten Kota untuk setiap pemilihan
Putusan MK 22/PUU-VI/2008
ketentuan ini sangat kontradiktif. Disatu sisi dijelaskan bahwa surat suara memuat tanda gambar dan nomor urut parpol serta nama dan nomor urut caleg, namun pada saat pencoblosan diarahkan untuk mencoblos satu kali pada tanda gambar atau nomor urut. suara sah pun dinilai dari pencoblosan pada tanda gambar atau nomor urut partai. Akibatnya apabila ada pemilih yang kemudian memilih satu kali tidak pada tanda gambar atau nomor urut partai atau pemilih mencoblos pada nomor urut atau nama caleg, maka suara ini dianggap tidak sah, suara masyarakat menjadi terbuang. secara konstitusional ini pun telah melanggar
6 | P a g e
pasal 329 ayat 1 (b)
mencoblos satu kali pada nomor atau tanda gambar partai politik untuk pemilu anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten Kota
hak suara atau daulat rakyat. dan telah juga diputus oleh MK. pada putusan ini, MK menyatakan harus didasarkan pada suara terbanyak sesuai dengan pilihan masyarakat .
pasal 362 ayat (2)
suara untuk pemilu anggota DPR, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten Kota dinyatakan sah apabila : (b). Tanda coblos pada nomor atau tanda gambar partai politik berada pada kolom yang disediakan
pasal 390 ayat (2)
hasil pemilu anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota terdiri atas perolehan suara partai politik serta perolehan suara calon anggota DPD
Pasal 401 Penetapan calon terpilih anggota legislatif berdasarkan perolehan kursi parpol berdasarkan nomor urut calon sesuai urutan yang tercantum pada surat suara.
4 Keterwakilan Perempuan
Penjelasan Pasal 214 ayat (2)
didalam setiap balon sebagaimana pada ayat (1), setiap 3 orang balon terdapat sekurang-kurangnya (1) orang perempuan balon. Penjelasan : dalam setiap 3 balon, balon perempuan dapat ditempatkan pada urutan 1 atau 2 atau 3 dan demikian seterusnya, tidak hanya pada nomor urut 3,6 dan seterusnya.
Putusan MK 20/PUU-XI-2013, Pasal 28H ayat (2)
bahwa untuk menjamin keterwakilan perempuan dilembaga perwakilan sebagai implemetasi dari kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan yang sama guna mencapai keadilan dan persamaan. Maka frasa " atau " dalam penjelasan harus dimaknai kumulatif alternatif menjadi "dan/atau" dan mengahpaus keberlakuan" tidak hanya pada nomor urut 3,6 dan seterusnya". Putusan ini telah secara otomatis merubah bunyi ketentuan Penjelasan Pasal 56 ayat (2) UU 8/12 menjadi "dalam setiap 3 balon, balon perempuan dapat ditempatkan pada urutan 1, dan/atau 2, dan/atau 3 dan demikian seterusnya". Artinya bakal calon perempuan tidak hanya terbatas hanya 1 calon pada setiap 3 bakal calon, minimal adalah 1 calon, ini artinya bisa lebih dari 1.
7 | P a g e
5 Syarat parpol dalam pengajuan calon Presiden
Pasal 190 pasangan Calon yang diusulkan oleh Parpol atau gabungan parpol peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% dari jumlah kursi DPR/ memeperoleh 25% dari suara sah nasional pada pemilu Anggota DPR sebelumnya.
Putusan MK 14/PUU-XI-
2013
ketetuan ini bertentangan dengan semangat pelaksanaan pemilihan umum serentak antara Pileg dan Pilpres pada 2019 nanti sesuai dengan Putusan MK. Apabila suatu partai politik dinyatakan lolos verifikasi untuk menjadi peserta pemilihan umum, maka semestinya secara langsung juga berhak untuk menjadi peserta pada pengusulan calon Pres dan wapres. Angka 20% atau 25% inipun didasarkan pada pemilihan sebelumnya yaitu tahun 2014. sehingga menghilangkan kesempatan untuk partai politik tertentu yang tidak mencukupi ambang batas atau bagi partai politik baru yang tidak ikut pada pemilihan periode sebelumnya, jika ingin mengusulkan maka harus bergabung dnegan partai yang ikut periode sebelumnya untuk mencapai kuota tersebut.
Pasal 192 Parpol peserta pemilu yang tidak menjadi peserta pemilu sebelumnya dalam mengusung pasangan calon wajib bergabung dengan partai yang ikut pada pemilu sebelumnya
Pasal 395 ayat (1)
Pasangan calon presiden terpilih adalah pasangan calon yang memeperoleh suara 50% dari jumlah suara dalam pemilu Presiden dan Wapres dengan sedikitnya 20% suara disetiap provinsi yang tersebar di lebih dari ½ jumlah provinsi di Inodnesia
Putusan MK 50/PUU-XII/2014
Pasal ini inkonstitusional dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai tidak berlaku untuk Pasangan capres dan cawapres yang hanya terdiri dari 2 pasangan jika hanya ada 2 pasangan Capres dan Cawapres maka yang terpilih adalah yang pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak sebagaimana yang dimaksud pada 6A ayat (4) UUD 1945. Sehingga tidak perlu pemilihan langsung kedua oleh rakyat. Prinsipnya adalah bahwa presiden yang terpilih adalah yang memeperoleh suara terbanyak/legitimasi kuat dalam hal hanya ada 2 paslon.
Pasal 203 ayat (5)
dalam hal parpol atau gabungan parpol tidak mengajukan pasangan calon maka parpol bersangkutan dikenakan sanksi tidak mengikuti pemilu berikutnya
pasal 28D pasal ini sangat berpotensial akan di JR ke MK. Parpol yang tidak mengajukan calon akan di sanksi, mencalonkan atau tidak merupakan bagian dari hak politik dari partai politik . Sehingga tidak fair jika di sanksi. Dan ini juga kontraproduktif dengan pengaturan di UU Pilkada. Jika pengaturan di UU Pilkada (10/2016) tidak dilarang kenapa kemudian pengaturan di UU Penyelenggara Pemilu berbeda? Ini akan menimbulkan ketidakpastian hukum dan pengaturan berbeda yang saling kontradiktif.
8 | P a g e
6 larangan kampanye pada masa tenang
pasal 428 ayat (2) (6)
Pengumuman hasil survey atau jajak pendapat sebagaimana dimakksud pada ayat (1) dilarang dilakukan pada masa tenang. Pelanggaran terhadap ketentuan ayat (2),(4),(5) merupakan tindak pidana pemilu
Putusan MK 24/PUU-XII/2014
bahwa jajajk pendapat / survey maupun penghitungan cepat hasil pemungutan suara dengan menggunakan metode ilmiah adalah bentuk pendidikan, pengawasan dan penyeimbang dalam proses penyelenggaraan negara dalam hal pemilu. Sehingga pelanggaran terhadap hasil survey yang diumumkan pada masa tenang bukanlah termasuk pada karegori tindak pidana pemilu dan sanksi pidananya pun menjadi tidak relevan lagi diterapkan .putusan MK telah menyatakan bahwa larangan terhadap hasil survey yang diumumkan pada masa tenang bukanlah termasuk pada kategori tindak pidana pemilu.
pasal 483 setiap orang yang mengumukan hasil survey atau jajak pendapat tentang pemilu dalam masa tenang sebagaimana yang dimaksud pada paal 428 ayta (2) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 tahun dan denda paling banyak 12 juta .
ketentuan mengenai sanksi pidana atas pasal larangan publikasi pada masa tenang yang masuk kualifikasi tindak pidana pemilu ini tidak relevan dan dinyatakan inkonstitusional oleh Mahkamah.
pasal 254 ayat (5)
media cetak dan lembaga penyiaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) selama masa tenang dilarang menyiarkan berita , iklan, rekam jejak peserta pemilu atau bentuk lainnya yang mengarah pada kepentingan kampanye pemilu yang menguntungkan atau merugikan peserta pemilu
Putusan MK 99/PUU-VII-2009
frasa larangan menyiarkan berita telah diputuskan inkonstitusional oleh MK. Karena berita menjadi bagian dari setaip warga negara untuk mendapatkan informasi yang seluas-luasnya yang dijamin dalam pasal 28F UUD 1945 dan mengetahui kualitas calon yang akan dipilih dan akan berpengaruh pada peningkatan kualitas demokratis/pilihan rakyat..
7 ketentuan mengenai sanksi kampanye
pasal 264 KPU dalam merumuskan peraturan tentang pemberitaan penyiaran iklan kampanye pemilu dan pemeberian sanksi berkoordinasi dengan KPI dan Dewan Pers
Putusan MK 32/PUU-VI-2008
Putusan MK telah menyatakan bahwa dalam hal pemberian sanksi dengan pelibatan KPI dan Dewan Pers telah dinyatakan inkonstitusional karena mencampur adukkan kewenangan dalam penjatuhan sanksi kepada pelaksanan kampanye. Namun dalam pengaturan ini masih saja melibatkan usulan KPI dan Dewan Pers
9 | P a g e
8 waktu pemilu lanjutan/susulan
pasal 412 ayat (3)
dalam hal pemilu tidak dapat dilaksanakan di 40% jumlah provinsi atau 50% dari jumlah pemilih terdaftar secara nasional tidak dapat menggunakan hak untuk memilih, penetapan pemilu lanjutan atau pemilu susulan dilakukan oleh Presiden atas usulan KPU.
pasal 22E ayat (5)
Mengenai penetapan waktu pemilu lanjutan/susulan dilakukan oleh Presiden atas usul KPU. Hal ini bertentangan dengan Pasal 22E ayat (5) tentang sifat penyelenggraan pemilu yang salah satunya mandiri. Yang diantisipasi adalah ketika Presiden tersebut menjadi Incumbent/ Petahana.
9 Putusan DKPP pasal 437 ayat (12)
putusan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (10) bersifat final dan mengikat. (putusan DKPP berupa sanksi / rehabilitasi terkait pelanggraan etik oleh penyelenggra)
Putusan MK 31/PUU-XI-2013
sifat final dan mengikat putusan DKPP terhadap pelanggran etik penyelenggara Pemilu ini telah dinyatakan inkonstitusional sepanjang tidak dimaknai "putusan sebagaimana final dan mengikat bagi Presiden, KPU/KPU Provinsi, KPU Kabupaten Kota dan Bawaslu"
Melengkapi identifikasi di atas, berikut disajikan Putusan MK rentang 2003-2016 yang telah dikaji secara kuanititaif
dengan amar dikabulkan terkait pengujian UU Pemilu Legislatif, Pemilu Presiden dan UU Penyelenggara Pemilu. Dari
tabel dibawah ini dapat dilihat sejauh mana putusan MK kemudian diitindaklanjuti oleh Pemerintah dan DPR dalam
tahapan legislasi atau proses pembentukan peraturan perundang-undangan. Apakah kemudian Putusan MK dengan amar
dikabulkan seperti dibawah ini kemudian diadopsi dalam bentuk kebijakan baru yang setara UU atau dibawah UU, atau