Top Banner
ISSN 1829-8001 Terakreditasi No. 726/Akred/P2MI-LIPI/04/2016 Pilkada, Peran Partai Politik, dan Konstelasi Pragmatis: LIPI Vol.15, No.2, Desember 2018 Modal, Strategi dan Jaringan Perempuan Politisi dalam Kandidasi Pilkada Langsung Personalisasi Partai Politik di Indonesia Era Reformasi RESUME PENELITIAN Jurnal Penelitian Politik Vol. 15 No. 2 Hlm. 129-320 Jakarta, Desember 2018 ISSN 1829-8001 Militer dan Pemilu-Pemilu di Indonesia Konstituensi dalam Persepsi Wakil di Tingkat Lokal Era Reformasi terhadap Preferensi Politik Warga Banten pada Pilgub 2017 REVIEW BUKU Mitos dan Realita Perempuan dalam Pemilu: Pelajaran dari Situasi Politik Amerika di Era Polarisasi Politik Kemunculan dan Tantangan Partai Politik Baru pada Pemilu 2019 KONSTELASI POLITIK DI TAHUN ELEKTORAL Marketing Isu Agama dalam Pemilihan Kepala Daerah di Indonesia 2015-2018 Kajian atas Pilgub Banten, DKI Jakarta, Jateng dan Jatim (2017-2018) Dampak Elektoral Kasus Dugaan Penistaan Agama Pilkada Langsung, Calon Tunggal, dan Masa Depan Demokrasi Lokal Koalisi “Nano-Nano” Pilkada Serentak 2018
214

KONSTELASI POLITIK DI TAHUN ELEKTORAL

Feb 26, 2023

Download

Documents

Khang Minh
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: KONSTELASI POLITIK DI TAHUN ELEKTORAL

ISSN 1829-8001Terakreditasi No. 726/Akred/P2MI-LIPI/04/2016

Pilkada, Peran Partai Politik, dan Konstelasi Pragmatis:

LIPI

Vol.15, No.2, Desember 2018

Modal, Strategi dan Jaringan Perempuan Politisi dalam Kandidasi Pilkada Langsung

Personalisasi Partai Politik di Indonesia Era Reformasi

RESUME PENELITIAN

Jurnal Penelitian Politik

Vol. 15 No. 2 Hlm. 129-320Jakarta,

Desember 2018

ISSN1829-8001

Militer dan Pemilu-Pemilu di Indonesia

Konstituensi dalam Persepsi Wakil di Tingkat Lokal Era Reformasi

terhadap Preferensi Politik Warga Banten pada Pilgub 2017

REVIEW BUKU

Mitos dan Realita Perempuan dalam Pemilu: Pelajaran dari Situasi Politik Amerika di Era Polarisasi Politik

Kemunculan dan Tantangan Partai Politik Baru pada Pemilu 2019

KONSTELASI POLITIKDI TAHUN ELEKTORAL

Marketing Isu Agama dalam Pemilihan Kepala Daerah di Indonesia 2015-2018

Kajian atas Pilgub Banten, DKI Jakarta, Jateng dan Jatim (2017-2018)

Dampak Elektoral Kasus Dugaan Penistaan Agama

Pilkada Langsung, Calon Tunggal, dan Masa Depan Demokrasi Lokal

Koalisi “Nano-Nano” Pilkada Serentak 2018

Page 2: KONSTELASI POLITIK DI TAHUN ELEKTORAL

Jurnal Pusat Penelitian Politik-Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2Politik-LIPI) merupakan media pertukaran pemikiran mengenai masalah-masalah strategis yang terkait dengan bidang-bidang politik nasional, lokal, dan internasional; khususnya mencakup berbagai tema seperti demokratisasi, pemilihan umum, konflik, otonomi daerah, pertahanan dan keamanan, politik luar negeri dan diplomasi, dunia Islam serta isu-isu lain yang memiliki arti strategis bagi bangsa dan negara Indonesia.

P2Politik-LIPI sebagai pusat penelitian milik pemerintah, dewasa ini dihadapkan pada tuntutan dan tantangan baru, baik yang bersifat akademik maupun praktis kebijakan, khususnya yang berkaitan dengan persoalan dengan otonomi daerah, demokrasi, HAM dan posisi Indonesia dalam percaturan regional dan internasional. Secara akademik, P2Politik-LIPI dituntut menghasilkan kajian-kajian unggulan yang bisa bersaing dan menjadi rujukan ilmiah, baik pada tingkat nasional maupun internasional. Sementara secara moral, P2Politik-LIPI dituntut untuk memberikan arah dan pencerahan bagi masyarakat dalam rangka membangun Indonesia baru yang rasional, adil, dan demokratis. Karena itu, kajian-kajian yang dilakukan tidak semata-mata berorientasi praksis kebijakan, tetapi juga pengembangan ilmu-ilmu pengetahuan sosial, khususnya perambahan konsep dan teori-teori baru ilmu politik, perbandingan politik, studi kawasan dan ilmu hubungan internasional yang memiliki kemampuan menjelaskan berbagai fenomena sosial- politik, baik lokal, nasional, regional, maupun internasional.

Prof. Dr. Syamsuddin Haris (Ahli Kajian Kepartaian, Pemilu, dan Demokrasi)Prof. Dr. Indria Samego (Ahli Kajian Ekonomi Politik dan Keamanan)Dr. C.P.F Luhulima (Ahli Kajian Ekonomi Politik Internasional, ASEAN dan Eropa)Prof. Dr. R. Siti Zuhro, MA (Ahli Kajian Otonomi Daerah dan Politik Lokal)Dr. Lili Romli (Ahli Kajian Pemilu dan Kepartaian)Drs. Hamdan Basyar, M.Si (Ahli Kajian Timur Tengah dan Politik Islam)Dr. Sri Nuryanti, MA (Ahli Kepartaian dan Pemilu)Dr. Ganewati Wuryandari, MA (Ahli Kajian Hubungan Internasional)DR. Yon Machmudi, M.A (Ahli Studi Islam dan Timur Tengah) Dr. Sri Budi Eko Wardani, M.Si (Ahli kepemiluan dan kepartaian)Ratna Shofi Inayati, MBA (ASEAN dan politik luar negeri)

Kepala Pusat Penelitian Politik LIPI

Esty Ekawati, S.IP., M.IP

Firman Noor, Ph.D (Ahli Kajian Pemikiran Politik, Pemilu dan Kepartaian)Dr. Adriana Elisabeth, M.Soc.Sc (Ahli Kajian Hubungan Internasional)Moch. Nurhasim, S.IP., M.Si (Ahli Kajian Pemilu dan Kepartaian)Dra. Sri Yanuarti (Ahli Kajian Konflik dan Keamanan)Drs. Heru Cahyono (Ahli Kajian Politik Lokal)

Dra. Awani Irewati, MA (Ahli Kajian ASEAN dan Perbatasan)Indriana Kartini, MA (Ahli Kajian Dunia Islam dan Perbandingan Politik)

Dini Rahmiati, S.Sos., M.Si Yusuf Maulana, SAP

Adiyatnika, A.MdPrayogo, S.KomAnggih Tangkas Wibowo, ST., MMSi

Pusat Penelitian Politik-LIPI, Widya Graha LIPI, Lantai III & XIJl. Jend. Gatot Subroto No. 10 Jakarta Selatan 12710Telp/Faks. (021) 520 7118, E-mail: [email protected]: www.politik.lipi.go.id | http://ejournal.politik.lipi.go.id/index.php/jpp

p-: 1829-8001, e: 2502-7476

Terakreditasi No. 726/Akred/P2MI-LIPI/04/2016

Jurnal Penelitian Politik

Mitra Bestari

Penanggung JawabPemimpin Redaksi

Dewan Redaksi

Redaksi Pelaksana

Sekretaris Redaksi

Produksi dan Sirkulasi

Alamat Redaksi

ISSN

Page 3: KONSTELASI POLITIK DI TAHUN ELEKTORAL

| i

DAFTAR ISI

Jurnal Penelitian

Vol. 15, No. 2, Desember 2018

Daftar Isi iCatatan Redaksi iii

Artikel• Koalisi “Nano-Nano” Pilkada Serentak 2018

Moch. Nurhasim 129–142• Pilkada Langsung, Calon Tunggal, dan Masa Depan

Demokrasi Lokal Lili Romli 143–160

• Dampak Elektoral Kasus Dugaan Penistaan Agama terhadap Preferensi Politik Warga Banten pada Pilgub 2017

Agus Sutisna dan Idil Akbar 161–178• Pilkada, Peran Partai Politik, dan Konstelasi Pragmatis:

Kajian atas Pilgub Banten, DKI Jakarta, Jateng dan Jatim (2017-2018)Firman Noor 179–196

• Kemunculan dan Tantangan Partai Politik Baru pada Pemilu 2019

Ridho Imawan Hanafi 197–213• Konstituensi dalam Persepsi Wakil di Tingkat Lokal Era Reformasi

Sri Budi Eko Wardani 215–231• Militer dan Pemilu-Pemilu di Indonesia

Sri Yanuarti 233–248• MarketingIsu Agama dalam Pemilihan Kepala Daerah

di Indonesia 2015-2018 M. Fajar Shodiq Ramadlan dan Romel Masykuri 249–265

Resume Penelitian• Modal, Strategi dan Jaringan Perempuan Politisi

dalam Kandidasi Pilkada LangsungKurniawati Hastuti Dewi, dkk 267–288

• Personalisasi Partai Politik di Indonesia Era Reformasi Aisah Putri Budiatri, dkk 289–306

Review Buku•Mitos dan Realita Perempuan dalam Pemilu:

Pelajaran dari Situasi Politik Amerika di Era Polarisasi Politik Mouliza K.D Sweinstani 307–317

Tentang Penulis 319–320Pedoman Penulisan 321–325

Page 4: KONSTELASI POLITIK DI TAHUN ELEKTORAL

ii | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10 No. 1 Juni 2013

Page 5: KONSTELASI POLITIK DI TAHUN ELEKTORAL

Catatan Redaksi | iii

CATATAN REDAKSI

Konstelasi politik menjelang tahun elektoral menjadikan dinamika politik baik di tingkat nasional maupun lokal menarik untuk dikaji.

Jurnal Penelitian Politik nomor ini menyajikan 8 artikel yang membahas topik-topik yang terkait dengan isu elektoral. Artikel pertama berjudul “Koalisi Nano-Nano Pilkada Serentak 2018” yang ditulis oleh Moch. Nurhasim. Artikel ini membahas tentang Pilkada serentak 2018 yang menghasilkan pola koalisi yang tidak berubah dari pilkada-pilkada sebelumnya dan bahkan menjadi pola yang berulang. Koalisi nano-nano adalah sebuah koalisi yang variatif, campuran koalisi ideologis antara partai yang berideologi nasionalis-religus dengan berbagai pola pertarungan yang bisa berbeda-beda. campuran koalisi seperti itu pun tidak sama atau linear antara pada Pilkada Gubernur/Wakil Gubernur dengan pola koalisi pada Pilkada Bupati/Wakil Bupat--Walikota/Wakil Walikota. Akibatnya, intra-koalisi sendiri terjadi kompetisi yang tidak sehat. Pola koalisi yang muncul cenderung lebih pada ukuran jumlah partai dan kursi partai sebagai konsekuensi syarat mengusung calon yang telah ditetapkan oleh Undang-Undang No. 10 Tahun 2016.

Artikel kedua ditulis oleh Lili Romli,” Pilkada Langsung, Calon Tunggal, dan Masa Depan Demokrasi Lokal”, memperlihatkan tentang fenomena munculnya calon tunggal dalam pemilihan kepala daerah. Para calon tunggal tersebut sebagian besar menang dalam pemilihan kepala daerah, hanya calon tunggal di Kota Makassar yang mengalami kekalahan. Ada beberapa faktor yang menyebabkan munculnya calon tunggal, yaitu pragmatisme partai politik; kegagalan kaderisasi, persyaratan sebagai calon yang semakin berat, dan “mahar politik” yang semakin mahal. Kemenangan para calon tunggal dalam pilkada tersebut bisa menghambat proses demokrasi lokal karena mekanisme check and balances tidak berjalan.

Artikel berikutnya ditulis oleh Agus Sutisna dan Idil Akbar berjudul “Dampak Elektoral Kasus Dugaan Penistaan Agama Terhadap Preferensi Politik Warga Banten Pada Pilgub 2017” membahas mengenai kasus penistaan agama oleh Ahok sebagai kandidat Gubernur DKI Jakarta telah melahirkan dampak elektoral terhadap Pilgub Banten 2017 berupa terjadinya perubahan preferensi politik warga Banten. Pasangan Rano Karno-Embay Mulya Syarief yang diusung oleh koalisi PDIP, Nasdem dan PPP, yang semula mendapat dukungan luas dari masyarakat karena dianggap merepresentasikan semangat perubahan untuk keluar dari jeratan dinasti politik keluarga Ratu Atut Chosiyah yang korup, secara perlahan mengalami degradasi dukungan seiring dengan pemberitaan negatif seputar kasus dugaan penistaan agama oleh Ahok yang secara terus menerus mengalami perluasan dan penajaman hingga memasuki masa tenang Pilkada.

Artikel keempat yakni “Pilkada, Peran Partai dan Konstelasi Pragmatis: Kajian Atas Pilgub Banten, DKI Jakarta, Jateng dan Jatim Tahun 2017-2018” ditulis oleh Firman Noor. Artikel ini membahas beberapa fenomena yang mengindikasikan adanya kondisi negatif dari eksistensi partai politik terkait dengan pilkada. Fenomena ini adalah tidak hadirnya sosok kepala daerah yang merupakan pimpinan partai di daerah itu, masih kuatnya peran jaringan non-partai dalam kontestasi politik, hingga dominasi pragmatisme dalam menentukan koalisi yang kerap menyingkirkan idealisme atau ideologi partai yang secara keseluruhannya memperlihatkan kerentanan partai di Indonesia. Tulisan ini menunjukkan hal-hal yang menyebabkan itu semua. Selain itu tulisan ini menawarakan beberapa solusi agar berbagai kelemahan itu dapat teratasi dan sekaligus diharapkan dapat meningkatkan kualitas pilkada di kemudian hari.

Page 6: KONSTELASI POLITIK DI TAHUN ELEKTORAL

iv | Jurnal Penelitian Politik | Volume 15 No. 2 Desember 2018

Artikel selanjutnya membahas tentang “Kemunculan Dan Tantangan Partai Politik Baru Pada Pemilu 2019” yang ditulis oleh Ridho Imawan Hanafi. Artikel ini membahas mengenai kemunculan dan tantangan partai politik baru pada Pemilu 2019 dengan menelaah ideologi-program, basis dukungan, dan kepemimpinan. Partai baru muncul sebagai alternatif pilihan politik yang berbeda dari partai lama yang sudah ada. Partai politik baru ini bisa mendapatkan simpati dari pemilih yang menginginkan kebaruan dalam kepartaian. Partai-partai baru membawa corak nasionalis dengan kecenderungan program yang tidak jauh berbeda dari partai baru lain. Antara satu partai dan lainnya basis dukungan masih cair dan bisa saling memperebutkan pasar pemilih.

Sementara itu, artikel “Konstituensi dalam Persepsi Wakil di Tingkat Lokal Era Reformasi” yang ditulis oleh Sri Budi Eko Wardani yang membahas mengenai Sistem pemilu proporsional terbuka yang diterapkan sejak Pemilu 2009 membawa perubahan dramatis pada hubungan representasi politik pasca-Orde Baru. Terjadi perubahan dalam persepsi wakil terhadap konstituen dari sekadar formalitas menjadi politis untuk kepentingan pemilu berikutnya. Persepsi terhadap konstituen memengaruhi tindakan wakil di daerah pemilihan. Tulisan ini fokus pada persepsi wakil terhadap konstituen di tingkat lokal era reformasi, dengan studi kasus Anggota DPRD Banten 2014-2019, serta menggunakan teori lingkaran konsentrik konstituensi dari Richard Fenno, dan teori representasi yang merujuk pada Hanna Pitkin.

Artikel yang ditulis oleh Sri Yanuarti berjudul “Militer dan Pemilu-pemilu di Indonesia” membahas mengenai keterlibatan sejumlah perwira aktif maupun purnawirawan menjadi kandidat kepala daerah baik di tingkat kabupaten/kota, provinsi maupun dalam pemilihan presiden atau sekedar menjadi tim pemenangan para kasus kandidat presiden. Jumlah mereka yang mencoba keberuntungannya berkarier di bidang politik dari pemilu ke pemilu semakin banyak meskipun untuk itu terkadang mereka harus mengorbankan profesinya. Tulisan ini mencoba menganalisa, bagaimana TNI menerjemahkan posisi mereka

dalam politik pada masa demokrasi, khusus pada pemilu-pemilu di Indonesia, strategi apa yang dimainkan oleh militer untuk menopang kepentingan politiknya, bagaimana dampak peran tersebut terhadap konsolidasi dan profesionalisme politik.

Artikel terkahir yakni ditulis oleh Fajar Shodiq Ramadlan dan Romel Masykuri berjudul “Marketing Isu Agama dalam Pemilihan Kepala Daerah di Indonesia 2015-2018” membahas mengenai isu agama yang menjadi salah satu instrumen strategis dalam kontestasi pemilu di Indonesia, khususnya dalam pemilihan kepala daerah (pilkada). Sebagai bagian dalam pembentukan perilaku memilih, sentimen dan isu agama muncul dan digunakan di 7 pilkada sepanjang 2015-2018.

Selain delapan artikel, nomor ini juga menghadirkan dua ringkasan hasil penelitian yang telah dilakukan peneliti Pusat Penelitian Politik LIPI tahun 2017. Naskah pertama ditulis oleh Kurniawati Hastuti Dewi, “Modal, Strategi Dan Jaringan Perempuan Politisi Dalam Kandidasi Pilkada Langsung”. Tulisan ini menyoroti bagaimana pentingnya tahap kandidasi melalui jalur partai politik, sebagai pintu masuk yang harus dapat ditembus oleh politisi perempuan untuk maju dalam Pilkada langsung. Melalui analisis mendalam terhadap dua perempuan politisi di Grobogan dan Lampung Timur, buku ini menggarisbawahi pentingnya tiga hal yaitu modal berupa modal individu dan modal sosial, strategi, dan jaringan yang harus dimiliki dan mampu dimainkan oleh perempuan politisi untuk dapat dicalonkan dalam Pilkada langsung.

Naskah kedua, “Personalisasi Partai Politik Di Indonesia Era Reformasi”, ditulis oleh Aisah Putri Budiatri. Tulisan ini membahas mayoritas partai politik di Indonesia pada era reformasi yang telah terjebak pada persoalan personalisasi politik. Individu elite partai menjadi image partai sekaligus orang yang sangat berpengaruh dalam pembuatan kebijakan partai dalam jangka waktu yang lama. Padahal, partai politik telah memiliki mekanisme suksesi, namun satu sosok elite tetap mampu mempersonalkan partainya. Penelitian ini melihat ada beberapa aspek yang menjadi

Page 7: KONSTELASI POLITIK DI TAHUN ELEKTORAL

Catatan Redaksi | v

penyebabnya, termasuk sejarah pendirian partai, kepemimpinan karismatik dan pendanaan partai. Di luar itu, presidensialisme, sistem kepartaian dan sistem pemilu menjadi faktor yang turut memfasilitasi munculnya personalisasi partai. Personalisasi partai ini harus dihindari karena dalam jangka panjang akan berdampak negatif tidak hanya kepada partai politik, tetapi juga pada upaya penegakan demokrasi di Indonesia.

Pada penerbitan kali ini kami juga menghadirkan review buku karya Danny Hayes & Jennifer L. Lawless, “Mitos Dan Realita Perempuan Dalam Pemilu: Pelajaran Dari Situasi Politik Amerika Di Era Polarisasi Politik”. Review yang ditulis Mouliza K.D Sweinstani menelaah respon dari situasi politik Amerika yang berkaitan dengan eksistensi perempuan dalam kehidupan politik Amerika Serikat khususnya dalam dua pemilu sela pada tahun 2010 dan 2014. Buku ini juga memberikan cara pandang baru terhadap area politik di era terpolarisasi di Amerika Serikat dengan berusaha membongkar pemahaman konvensional mengenai bias yang harus dihadapi oleh perempuan dalam dunia politik. Selain itu buku ini juga berusaha mencari tahu apa sebetulnya yang menjadi penyebab masih adanya pemahaman bias gender dalam area politik di Amerika Serikat. Hanya saja, simpulan dari buku ini perlu digunakan secara hati-hati agar pembaca tidak melakukan generalisasi atas kondisi politik yang telah dianggap netral gender dan tidak diskriminatif seperti yang terjadi di Amerika. Pembaca

sebaiknya mengontekskan kondisi lanskap politik masing-masing agar dapat menghasilkan temuan yang mengelaborasi temuan Hayes dan Lawless. Dengan demikian, hal ini dapat memperkaya studi-studi tentang kampanye politik, media dan kandidat perempuan dalam kajian ilmu politik.

Ucapan terima kasih secara khusus kami sampaikan kepada para mitra bestari dan dewan redaksi yang telah memberikan komentar atas semua naskah artikel yang masuk untuk penerbitan nomor ini. Redaksi berharap hadirnya Jurnal Penelitian Politik nomor ini dapat memberikan manfaat baik bagi diskusi maupun kajian mengenai isu politik di tahun elektoral. Selamat membaca.

Redaksi

Page 8: KONSTELASI POLITIK DI TAHUN ELEKTORAL
Page 9: KONSTELASI POLITIK DI TAHUN ELEKTORAL

Abstrak | vii

Jurnal Penelitian

DDC: 324.6Moch. Nurhasim

KOALISI “NANO-NANO” PILKADA SERENTAK 2018

Jurnal Penelitian PolitikVol.15, No.2, Desember 2018, Hal. 129-142

Pilkada serentak 2018 menghasilkan pola koalisi yang tidak berubah dari pilkada-pilkada sebelumnya. Ada gejala koalisi nano-nano akan menjadi pola yang berulang. Koalisi nano-nano adalah sebuah koalisi yang variatif, campuran koalisi ideologis antara partai yang berideologi nasionalis-religus dengan berbagai pola pertarungan yang bisa berbeda-beda. Campuran koalisi seperti itu pun tidak sama atau linear antara pada Pilkada Gubernur/Wakil Gubernur dengan pola koalisi pada Pilkada Bupati/Wakil Bupati, Walikota/Wakil Walikota. Akibatnya, intra-koalisi sendiri terjadi kompetisi yang tidak sehat. Pola koalisi yang muncul cenderung lebih pada ukuran jumlah partai dan kursi partai sebagai konsekuensi syarat mengusung calon yang telah ditetapkan oleh Undang-Undang No. 10 Tahun 2016. Aturan itu menyebabkan bukan saja koalisi nano-nano, tetapi juga koalisi mayoritas mutlak manakala ada kombinasi unsur dinasti politik dan ancaman elektabilitas calon yang tinggi sehingga tidak ada calon alternatif lain untuk maju. Model koalisi pada Pilkada Serentak 2018 yang lalu, nyaris sulit dianalisis dengan teori-teori koalisi yang dibangun atas pengalaman demokrasi parlementer, sebab kasus dan tipe koalisi dalam pilkada di Indonesia dapat memberi alternatif model koalisi baru yang tidak hanya didasarkan pada pertarungan pendekatan lama, pendekatan office-seeking dan pendekatan policy-seeking. Dalam kasus pilkada serentak 2018

Vol. 15, No. 2, Desember 2018

di Indoensia, justru ada pola atau pendekatan baru yang bisa disebut sebagai pendekatan cartel-seeking.

Kata Kunci: Koalisi, Pilkada Serentak, Pendekatan Kartel__________________________________________

DDC: 324.6Lili Romli

PILKADA LANGSUNG, CALON TUNGGAL, DAN MASA DEPAN DEMOKRASI LOKAL

Jurnal Penelitian PolitikVol.15, No.2, Desember 2018, Hal. 143-160

Artikel ini bertujuan untuk menjelaskan tentang pemilihan kepala daerah yang dimulai sejak tahun 2005 yang terus mengalami perubahan aturan mainnya. Artikel ini juga ingin menjelaskan tentang fenomena munculnya calon tunggal dalam pemilihan kepala daerah. Para calon tunggal tersebut sebagian besar menang dalam pemilihan kepala daerah, hanya calon tunggal di Kota Makassar yang mengalami kekalahan. Ada beberapa faktor yang menyebabkan munculnya calon tunggal, yaitu pragmatisme partai politik; kegagalan kaderisasi, persyaratan sebagai calon yang semakin berat, dan “mahar politik” yang semakin mahal. Kemenangan para calon tunggal dalam pilkada tersebut bisa menghambat proses demokrasi lokal karena mekanisme check and balances tidak berjalan.

Kata Kunci: Pemilihan Kepala Daerah, Calon Tunggal, Partai Politik, dan Demokrasi Lokal.

Page 10: KONSTELASI POLITIK DI TAHUN ELEKTORAL

viii | Jurnal Penelitian Politik | Volume 15 No. 2 Desember 2018

__________________________________________

DDC: 324.6Agus Sutisna dan Idil Akbar

DAMPAK ELEKTORAL KASUS DUGAAN PENISTAAN AGAMA TERHADAP PREFERENSI POLITIK WARGA BANTEN PADA PILGUB 2017

Jurnal Penelitian PolitikVol.15, No.2, Desember 2018, Hal. 161-178

Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh gambaran bagaimana pengaruh sosio-politik kasus penistaan agama terhadap dinamika preferensi politik warga Banten yang dikenal sangat relijius dan mayoritas kaum santri. Penelitian menggunakan pendekatan kualitatif, dengan penerapan secara kombinatif metode pengumpulan data berupa wawancara, telaah fenomenologis terhadap fakta-fakta yang berkembang di arena publik serta kajian terhadap sumber-sumber informasi/pemberitaan di media massa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kasus penistaan agama oleh Ahok sebagai kandidat Gubernur DKI Jakarta telah melahirkan dampak elektoral terhadap Pilgub Banten 2017 berupa terjadinya perubahan preferensi politik warga Banten. Pasangan Rano Karno-Embay Mulya Syarief yang diusung oleh koalisi PDIP, Nasdem dan PPP, yang semula mendapat dukungan luas dari masyarakat karena dianggap merepresentasikan semangat perubahan untuk keluar dari jeratan dinasti politik keluarga Ratu Atut Chosiyah yang korup, secara perlahan mengalami degradasi dukungan seiring dengan pemberitaan negatif seputar kasus dugaan penistaan agama oleh Ahok yang secara terus menerus mengalami perluasan dan penajaman hingga memasuki masa tenang Pilkada.

Kata Kunci: dampak elektoral, penistaan agama, pemilihan Gubernur Banten, preferensi politik__________________________________________

DDC: 324.6Firman Noor

PILKADA, PERAN PARTAI POLITIK, DAN KONSTELASI PRAGMATIS: KAJIAN ATAS PILGUB BANTEN, DKI JAKARTA, JATENG DAN JATIM (2017-2018)

Jurnal Penelitian PolitikVol.15, No.2, Desember 2018, Hal. 179-196

Partai politik telah menemukan kembali momentum untuk dapat lebih berperan dalam proses politik termasuk dalam kontestasi pengisian jabatan publik. Tulisan ini membahas beberapa fenomena yang mengindikasikan adanya kondisi negatif dari eksistensi partai politik terkait dengan pilkada. Fenomena ini adalah tidak hadirnya sosok kepala daerah yang merupakan pimpinan partai di daerah itu, masih kuatnya peran jaringan non-partai dalam kontestasi politik, hingga dominasi pragmatisme dalam menentukan koalisi yang kerap menyingkirkan idealisme atau ideologi partai yang secara keseluruhannya memperlihatkan kerentanan partai di Indonesia. Tulisan ini menunjukkan hal-hal yang menyebabkan itu semua. Selain itu tulisan ini menawarakan beberapa solusi agar berbagai kelemahan itu dapat teratasi dan sekaligus diharapkan dapat meningkatkan kualitas pilkada di kemudian hari.

Kata Kunci: partai politik, pilkada, pragmatisme__________________________________________

DDC: 324.2598RidhoImawanHanafi

KEMUNCULAN DAN TANTANGAN PARTAI POLITIK BARU PADA PEMILU 2019

Jurnal Penelitian PolitikVol.15, No.2, Desember 2018, Hal. 197-213

Artikel ini membahas mengenai kemunculan dan tantangan partai politik baru pada Pemilu 2019 dengan menelaah ideologi-program, basis dukungan, dan kepemimpinan. Partai baru muncul sebagai alternatif pilihan politik yang berbeda dari partai lama yang sudah ada. Partai politik baru ini bisa mendapatkan simpati dari pemilih yang menginginkan kebaruan dalam kepartaian. Partai-partai baru membawa corak nasionalis dengan kecenderungan program yang tidak jauh berbeda dari partai baru lain. Antara satu partai dan lainnya basis dukungan masih cair dan bisa saling memperebutkan pasar pemilih. Sebagian partai baru mengusung kekuatan milenial sebagai segmentasi pemilihnya. Tantangan partai baru salah satunya adalah kepemimpinan, yakni tidak adanya

Page 11: KONSTELASI POLITIK DI TAHUN ELEKTORAL

Abstrak | ix

figur kuat yang populer dan memiliki basis di akar rumput, sehingga harus mengandalkan kekuatan seperti program partai.

Kata Kunci: partai politik baru, pemilu serentak, ideologi, program, basis dukungan, kepemimpinan partai.__________________________________________

DDC: 324.9598Sri Budi Eko Wardani

KONSTITUENSI DALAM PERSEPSI WAKIL DI TINGKAT LOKAL ERA REFORMASI

Jurnal Penelitian PolitikVol.15, No.2, Desember 2018, Hal. 215-231

Sistem pemilu proporsional terbuka yang diterapkan sejak Pemilu 2009 membawa perubahan dramatis pada hubungan representasi politik pasca-Orde Baru. Terjadi perubahan dalam persepsi wakil terhadap konstituen dari sekadar formalitas menjadi politis untuk kepentingan pemilu berikutnya. Persepsi terhadap konstituen memengaruhi tindakan wakil di daerah pemilihan. Tulisan ini fokus pada persepsi wakil terhadap konstituen di tingkat lokal era reformasi, dengan studi kasus Anggota DPRD Banten 2014-2019, serta menggunakan teori lingkaran konsentrik konstituensi dari Richard Fenno, dan teori representasi yang merujuk pada Hanna Pitkin.

Kata Kunci: representasi, wakil, konstituen__________________________________________

DDC: 324:355Sri Yanuarti

MILITER DAN PEMILU-PEMILU DI INDONESIA

Jurnal Penelitian PolitikVol.15, No.2, Desember 2018, Hal. 233-248

Dalam sepuluh tahun terakhir terjadi antusiasme di kalangan militer terlibat dalam politik kontestasi politik. Hal ini terlihat dari keterlibatan sejumlah perwira aktif maupun purnawirawan menjadi kandidat kepala daerah baik di tingkat kabupaten/kota, provinsi maupun dalam pemilihan presiden

atau sekedar menjadi tim pemenangan para kandidat presiden. Jumlah mereka yang mencoba keberuntungannya berkarier di bidang politik dari pemilu ke pemilu semakin banyak meskipun untuk itu terkadang mereka harus mengorbankan profesinya. Tulisan ini mencoba menganalisis, bagaimana TNI menerjemahkan posisi mereka dalam politik pada masa demokrasi, khusus pada pemilu-pemilu di Indonesia, strategi apa yang dimainkan oleh militer untuk menopang kepentingan politiknya, bagaimana dampak peran tersebut terhadap konsolidasi dan profesionalisme politik.

Kata Kunci: pemilu, militer, Orde Baru, pascaSoeharto__________________________________________

DDC: 324.6 :303.6:297M. Fajar Shodiq Ramadlan dan Romel Masykuri

MARKETING ISU AGAMA DALAM PEMILIHAN KEPALA DAERAH DI INDONESIA 2015-2018

Jurnal Penelitian PolitikVol.15, No.2, Desember 2018, Hal. 249-265

Isu agama menjadi salah satu instrumen strategis dalam kontestasi pemilu di Indonesia, khususnya dalam pemilihan kepala daerah (pilkada). Sebagai bagian dalam pembentukan perilaku memilih, sentimen dan isu agama muncul dan digunakan di 7 pilkada sepanjang 2015-2018. Dalam strategi marketing politik, terdapat dua jenis konten, yakni ajakan untuk memilih pemimpin seagama, atau larangan untuk memilih pemimpin yang berbeda agama; dan black campaign. Produksi isu agama (konten) tidak lepas dari dua konteks: sosial-politik di level lokal/daerah dan konteks kompetitor dalam pilkada. Konteks sosial-politik lokal, berkaitan dengan konteks historis, seperti sentimen dan pengalaman konflik agama di masa lalu. Konteks ini dihubungkan dengan isu-isu (konten) untuk mendiskreditkan lawan politik dan digunakan melalui black campaign. Sedangkan dalam konteks kompetitor, isu agama muncul jika terdapat salah satu kandidat berlatarbelakang minoritas. Identitas minoritas kandidat menjadi sumber untuk memproduksi isu agama. Isu agama digunakan melalui larangan memilih pemimpin dari latar belakang agama berbeda (konten). Isu agama yang muncul di sepanjang penyelenggaraan pilkada 2015-

Page 12: KONSTELASI POLITIK DI TAHUN ELEKTORAL

x | Jurnal Penelitian Politik | Volume 15 No. 2 Desember 2018

2018 memiliki cara, bentuk dan pola dimana konten dan konteks saling berkaitan.

Kata Kunci: isu agama, marketing politik, pemilihan kepala daerah__________________________________________

DDC: 324.6:305Kurniawati Hastuti Dewi, dkk

RESUME PENELITIAN MODAL, STRATEGI DAN JARINGAN PEREMPUAN POLITISI DALAM KANDIDASI PILKADA LANGSUNG

Jurnal Penelitian PolitikVol.15, No.2, Desember 2018, Hal. 267-288

Kajian ini secara khusus menyoroti bagaimana pentingnya tahap kandidasi melalui jalur partai politik, sebagai pintu masuk yang harus dapat ditembus oleh politisi perempuan untuk maju dalam Pilkada langsung. Melalui analisis mendalam terhadap dua perempuan politisi di Grobogan dan Lampung Timur, buku ini menggarisbawahi pentingnya tiga hal yaitu modal berupa modal individu dan modal sosial, strategi, dan jaringan yang harus dimiliki dan mampu dimainkan oleh perempuan politisi untuk dapat dicalonkan dalam Pilkada langsung.

Kata Kunci: modal, jaringan, kandidasi, pilkada langsung__________________________________________

DDC: 324.2598Aisah Putri Budiatri, dkk

RESUME PENELITIAN PERSONALISASI PARTAI POLITIK DI INDONESIA ERA REFORMASI

Jurnal Penelitian PolitikVol.15, No.2, Desember 2018, Hal. 289-306

Mayoritas partai politik di Indonesia pada era reformasi telah terjebak pada persoalan personalisasi politik. Individu elite partai menjadi image partai sekaligus orang yang sangat berpengaruh dalam pembuatan kebijakan partai dalam jangka waktu yang lama. Padahal, partai politik telah memiliki mekanisme suksesi, namun satu sosok elite tetap mampu mempersonalkan partainya. Penelitian ini melihat ada beberapa aspek yang menjadi penyebabnya, termasuk sejarah pendirian partai,

kepemimpinan karismatik dan pendanaan partai. Di luar itu, presidensialisme, sistem kepartaian dan sistem pemilu menjadi faktor yang turut memfasilitasi munculnya personalisasi partai. Personalisasi partai ini harus dihindari karena dalam jangka panjang akan berdampak negatif tidak hanya kepada partai politik, tetapi juga pada upaya penegakan demokrasi di Indonesia.

Kata kunci: personalisasi partai, pemimpin karismatik, era reformasi__________________________________________

DDC: 324:305Mouliza K.D Sweinstani

REVIEW BUKUMITOS DAN REALITA PEREMPUAN DALAM PEMILU: PELAJARAN DARI SITUASI POLITIK AMERIKA DI ERA POLARISASI POLITIK

Jurnal Penelitian PolitikVol.15, No.2, Desember 2018, Hal. 307-317

Tujuan dari penulisan tinjauan buku ini adalah untuk membedah buku yang ditulis oleh Danny Hayes dan Jennifer Lawless yang berjudul Women on the Run: Gender, Media, and Political Campaigns in Polarized Era. Buku ini ditulis oleh mereka sebagai respon dari situasi politik Amerika yang berkaitan dengan eksistensi perempuan dalam kehidupan politik Amerika Serikat khususnya dalam dua pemilu sela pada tahun 2010 dan 2014. Buku ini juga memberikan cara pandang baru terhadap area politik di era terpolarisasi di Amerika Serikat dengan berusaha membongkar pemahaman konvensional mengenai bias yang harus dihadapi oleh perempuan dalam dunia politik. Selain itu buku ini juga berusaha mencari tahu apa sebetulnya yang menjadi penyebab masih adanya pemahaman bias gender dalam area politik di Amerika Serikat. Hanya saja, simpulan dari buku ini perlu digunakan secara hati-hati agar pembaca tidak melakukan generalisasi atas kondisi politik yang telah dianggap netral gender dan tidak diskriminatif seperti yang terjadi di Amerika. Pembaca sebaiknya mengontekskan kondisi lanskap politik masing-masing agar dapat menghasilkan temuan yang mengelaborasi temuan Hayes dan Lawless. Dengan demikian, hal ini dapat memperkaya studi-studi tentang kampanye politik, media dan kandidat perempuan dalam kajian ilmu politik.

Kata kunci: era terpolarisasi, kampanye politik, netral gender, perilaku pemilih

Page 13: KONSTELASI POLITIK DI TAHUN ELEKTORAL

Abstract | xi

Jurnal Penelitian

Vol. 15, No. 2, December 2018

DDC: 324.6 Moch. Nurhasim

“THE NANO-NANO” COALITION IN THE 2018 SIMULTANEOUS ELECTION

Journal of Political ResearchVol.15,No.2,December2018,Page129-142

The 2018 simultaneous election resulted coalition pattern that had not changed from the previous elections. There is a symptom of the nano-nano coalition will be a repetitive pattern. The nano-nano coalition is a diverse coalition, a mixture of ideological coalitions between parties with nationalist-religious ideology and various battle patterns that can vary. Such a coalition mix is not the same or linear between the Governor/Deputy Governor Election with a coalition pattern in the Regent/Deputy Election - Mayor/Deputy Mayor. As a result, intra-coalition itself is an unhealthy competition. The coalition pattern just consider about number of parties and party seats as a consequence of the requirement to carry the candidates stipulated by Law No. 10 of 2016. The rule causes not only the nano-nano coalition, but also an absolute majority coalition when there is a combination of elements of political dynasty and the threat of high electability of candidates so that there are no other alternative candidates to advance. The coalition model in the 2018 simultaneous locall election was almost difficult to analyze with coalition theories that based on experience of parliamentary democracy, because the cases and types of coalitions in the Indonesian elections can provide an alternative to a new coalition model that is not only based on the old approach, office approach -seeking and policy-seeking approach. In the case of 2018 simultaneous

local elections in Indonesia, there is a new pattern or approach that can be called a cartel-seeking approach.

Keywords:Coalition, Simultaneous Local Election, Cartel-seeking Approach___________________________________

DDC: 324.6Lili Romli

DIRECT LOCAL ELECTION, SINGLE CANDIDATE AND THE FUTURE OF LOCAL DEMOCRACY

Journal of Political ResearchVol.15,No.2,December2018,Page143-160

This article aims to explain about direct local election which based on uncertain regulation. Since 2005 the regulation of local election has changed continuously. This article also would like to explain the phenomenon of the emergence of single candidates in local election. Most of the single candidates in direct local election to be a winner, except of local election in Makassar. There are several factors that encourage a single candidate in local election, namely pragmatism of political parties; regeneration failure, requirements as candidates are getting heavier, and “political dowry” is more expensive recently. The victory of the single candidates in the local election to be obstacle in democratization process because no checks and balances.

Keywords: Election of Regional Heads, Single Candidates, Political Parties, and Local Democracy.

Page 14: KONSTELASI POLITIK DI TAHUN ELEKTORAL

xii | Jurnal Penelitian Politik | Volume 15 No. 2 Desember 2018

__________________________________________

DDC: 324.6Agus Sutisna dan Idil Akbar

THE ELECTORAL IMPACT OF BLASPHEMY ALLEGATION ON BANTEN POLITICAL PREFERENCE IN 2017 GUBERNATORIAL ELECTION

Journal of Political ResearchVol.15,No.2,December2018,Page161-178

The study is conducted to illustrate the socio-political influence of the blasphemy case upon the dynamics of political preference of Banten citizens who are acknowledged as highly religious and mostly santri (students of religion). The paper incorporates qualitative approach, applying combinative data collection methods, such as interview, phenomenological analysis against the facts flowing around in public arena and the analysis of news articles in mass media. The result shows that blasphemy case done by Ahok as a candidate of DKI Jakarta Governor affects Banten Gubernatorial Election in 2017.It happened in the form of political preference shift in Banten. Rano-Embay who were proposed by the coalition of PDIP; Nasdem; and PPP, who were initially gained wide support from the society as they were assumed to represent the spirit to end the corrupt political dynasty of Ratu Atut Chosiyah’s family, had a perpetual support degradation as the negative news about the blasphemy case by Ahok widened and sharpened continuously until the pre-election silence.

Keywords: electoral impact, blasphemy, Banten gubernatorial election, political preference__________________________________________

DDC: 324.6 Firman Noor

LOCAL ELECTION, POLITICAL PARTIES’ ROLES AND PRAGMATIC CONSTELATION: THE STUDY ON BANTEN, DKI JAKARTA, CENTRAL JAVA, AND EAST JAVA GOVERNOR ELECTION (2017-2018)

Journal of Political ResearchVol.15,No.2,December2018,Page179-196

Political parties have found the momentum to involve

in the political process including in the contestation in public positions. This paper discusses several phenomena which indicate the existence of negative conditions from the existence of political parties related to the local elections. This phenomenon is the absence of regional leaders who are party leaders in the area, strong role of non-party networks in political contestation, the dominance of pragmatism in determining coalitions that often exclude party idealism or ideology which shows the party’s vulnerability in Indonesia. This paper shows the things that cause it. In addition, this paper offers several solutions so that various weaknesses can be overcome and at the same time it is expected to improve the quality of the elections in the future.

Keyword:political party, local election, pragmatism__________________________________________

DDC: 324.2598RidhoImawanHanafi

THE EMERGENCE AND CHALLENGES OF NEW POLITICAL PARTIES IN 2019 ELECTION

Journal of Political ResearchVol.15,No.2,December2018,Page197-213

This paper discusses the emergence and challenges of new political parties in the 2019 Election by examining ideologies, programs, support bases, and leadership. The emergence of new political parties as an alternative political choice that is different from the old party. They have the opportunity to gain sympathy from voters who want to party change. These new nationalist parties have yet to portray a strong support base. Between one party and another, the support base is still liquid and can compete with each other for the voter market. Some new parties carry millennials generation a segment of their constituents. There are no strong figures who are popular and have a grassroots base, so they have to depend on the program in their campaign.

Keywords:new political parties, concurrent election, ideologies, programs, support base, leadership.__________________________________________

DDC: 324.9598Sri Budi Eko Wardani

CONSTITUENCY IN THE PERCEPTION OF REPRESENTATIVES AT THE LOCAL LEVEL DURING INDONESIA’ REFORM ERA

Page 15: KONSTELASI POLITIK DI TAHUN ELEKTORAL

Abstract | xiii

Journal of Political ResearchVol.15,No.2,December2018,Page215-231

The implementation of an open proportional election system since the 2009 election has brought changes to the relationship in political representation after the New Order. A shift in the representatives’ perception towards the constituent occurred. Constituency which was once only a formality became political due to the representative’s interest in the upcoming election. On the basis of assumption, this interest would later on influence the actions of the representative. Therefore, this article is centered on the constituent-representative relationship during the reformation era and uses case study representatives of the Banten Province House of Representative (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah or DPRD) 2014-2019 period. This study uses Richard Fenno’s Concentric Circles of Constituency Theory, as well as Hanna Pitkin’s Representation Theory.

Keywords: representation, representative, constituent__________________________________________

DDC: 324:355Sri Yanuarti

MILITARY AND ELECTIONS IN INDONESIA

Journal of Political ResearchVol.15,No.2,December2018,Page233-248

In the past ten years there has been enthusiasm among the military involved in political contestation. This can be seen from the involvement of a number of active and retired officers becoming candidates for regional heads both at the district / city, provincial and presidential elections or simply becoming supporting team to win the presidential candidates. The number of those who try their luck in political career. This paper tries to analyze how the Indonesia military shifting their career to political sphere during the democratic period, especially in Indonesian elections, what strategy is played by the military to support its political interests, how the role will affect the consolidation and political professionalism.

Keywords: elections, military, new order, post Suharto__________________________________________

DDC: 324.6 :303.6:297M. Fajar Shodiq Ramadlan dan Romel Masykuri

RELIGIOUS ISSUES MARKETING IN INDONESIA LOCAL ELECTION 2015-2018

Journal of Political ResearchVol.15,No.2,December2018,Page249-265

Religious issues become one of the strategic instruments in election contestation in Indonesia, especially in local elections. As part of the formation of voting behavior, religious sentiment and issues emerged in 7 local elections in 2015-2018. In political marketing strategies, there are two types of content: first, the invitation to choose leaders with the same religion, or the prohibition to choose leaders from different religions; and second, black campaign. The production of religious issues (content) is inseparable from two contexts: the local socio-political context and the context of competitors in the elections. The local socio-political context is related to historical contexts, such as sentiments and experiences of religious conflict in the past. This context is linked to religious issues (content) to discredit political opponents and used through black campaigns. In the context of competitors, religious issues appear if there is a candidate with a minority background. The minority candidate’s identity is a source for producing the issues. Religious issues are used through the prohibition of choosing leaders from different religious backgrounds (content). The religious issues that emerged in the 2015-2018 local election in Indonesia have ways, forms and patterns in which content and context are interrelated.

Keywords:religious issues, political marketing, local election__________________________________________

DDC: 324.6:305Kurniawati Hastuti Dewi, dkk

CAPITAL, STRATEGY AND WOMEN POLITICAL NETWORK IN DIRECT ELECTION CANDIDATION

Journal of Political ResearchVol.15,No.2,December2018,Page267-288

This research specifically highlights importancy of the candidation stage especially through political party channels, as strategic entry point that must be passed by female politician to compete in direct local elections. Through an in-depth analysis of the two female politicians in Grobogan and East Lampung, this research underlines the importance of three things: capital in the form of individual and social

Page 16: KONSTELASI POLITIK DI TAHUN ELEKTORAL

xiv | Jurnal Penelitian Politik | Volume 15 No. 2 Desember 2018

capital, strategies, and networks that politicians must have and be able to play to be nominated in direct local elections.

Keywords:capital, network, candidacy, direct local election__________________________________________

DDC: 324.2598Aisah Putri Budiatri, dkk

PARTY PERSONALIZATION IN INDONESIA’ REFORM ERA

Journal of Political ResearchVol.15,No.2,December2018,Page289-306

The majority of political parties in Indonesia in the reform era have been trapped in the issue of political personalization. Party elites become the image of the party and become a very influential person in party policy making for a long period of time. In fact, political parties already have a mechanism of succession, but one elite figure is still able to personalize his party. This research sees that there are causes of party personalization, including the history of party establishment, charismatic leadership and party funding. Moreover, presidentialism, party systems, and the electoral system are factors that also facilitate the emergence of party personalization. The party personalization must be avoided because in the long run it will have a negative impact not only on political parties, but also on efforts to uphold democracy in Indonesia.

Keyword: party personalization, charismatic leadership, reform era__________________________________________

DDC: 324:305Mouliza K.D Sweinstani

BOOK REVIEWMYTH AND REALITY OF WOMEN RUNNING FOR ELECTION: LEASON LEARNED FROM THE U.S. POLARIZED POLITICAL ERA

Journal of Political ResearchVol.15,No.2,December2018,Page307-317

The purpose of this book review is to dissect a book written by Danny Hayes and Jennifer Lawless entitled Women on the Run: Gender, Media, and Political Campaigns in Polarized Era. This book was

written by them in response to the American political situation relating to the existence of women in US political life, especially in two in-between elections in 2010 and 2014. This book also provides a new perspective on the political area in the polarized era in the United States by uncovering the conventional understanding of the bias that must be faced by women in politic. Besides, this study tries to find out what actually causes the still-biased understanding of gender in US political area. However, the conclusions of this book need to be used carefully so that readers do not generalize on political conditions that have been considered gender neutral and non-discriminatory as happened in the American political landscape. Readers should contextualize the political landscape in their respective regions in order to produce findings that can confirm or even correct Hayes and Lawless’s findings by adding several other variables. Thus, this can enrich studies of political campaigns, media and women candidates in the study of political science.

Keywords: the polarized era, political campaign, gender neutral, voter behavior

Page 17: KONSTELASI POLITIK DI TAHUN ELEKTORAL

Koalisi “Nano-Nano” Pilkada Serentak 2018 | Moch. Nurhasim | 129

KOALISI “NANO-NANO” PILKADA SERENTAK 2018

“THE NANO-NANO” COALITION IN THE 2018 SIMULTANEOUS ELECTION

Moch. Nurhasim

Pusat Penelitian Politik-Lembaga Ilmu Pengetahuan IndonesiaEmail: [email protected]

Diterima: 11 September 2018; Direvisi: 30 September 2018; Disetujui: 30 Desember 2018

Abstract

The 2018 simultaneous election resulted coalition pattern that had not changed from the previous elections. There is a symptom of the nano-nano coalition will be a repetitive pattern. The nano-nano coalition is a diverse coalition, a mixture of ideological coalitions between parties with nationalist-religious ideology and various battle patterns that can vary. Such a coalition mix is not the same or linear between the Governor/Deputy Governor Election with a coalition pattern in the Regent/Deputy Election - Mayor/Deputy Mayor. As a result, intra-coalition itself is an unhealthy competition. The coalition pattern just consider about number of parties and party seats as a consequence of the requirement to carry the candidates stipulated by Law No. 10 of 2016. The rule causes not only the nano-nano coalition, but also an absolute majority coalition when there is a combination of elements of political dynasty and the threat of high electability of candidates so that there are no other alternative candidates to advance. The coalition model in the 2018 simultaneous locall election was almost difficult to analyze with coalition theories that based on experience of parliamentary democracy, because the cases and types of coalitions in the Indonesian elections can provide an alternative to a new coalition model that is not only based on the old approach, office approach -seeking and policy-seeking approach. In the case of 2018 simultaneous local elections in Indonesia, there is a new pattern or approach that can be called a cartel-seeking approach.

Keywords: Coalition, Simultaneous Local Election, Cartel-seeking Approach

Abstrak

Pilkada serentak 2018 menghasilkan pola koalisi yang tidak berubah dari pilkada-pilkada sebelumnya. Ada gejala koalisi nano-nano akan menjadi pola yang berulang. Koalisi nano-nano adalah sebuah koalisi yang variatif, campuran koalisi ideologis antara partai yang berideologi nasionalis-religus dengan berbagai pola pertarungan yang bisa berbeda-beda. Campuran koalisi seperti itu pun tidak sama atau linear antara pada Pilkada Gubernur/Wakil Gubernur dengan pola koalisi pada Pilkada Bupati/Wakil Bupati, Walikota/Wakil Walikota. Akibatnya, intra-koalisi sendiri terjadi kompetisi yang tidak sehat. Pola koalisi yang muncul cenderung lebih pada ukuran jumlah partai dan kursi partai sebagai konsekuensi syarat mengusung calon yang telah ditetapkan oleh Undang-Undang No. 10 Tahun 2016. Aturan itu menyebabkan bukan saja koalisi nano-nano, tetapi juga koalisi mayoritas mutlak manakala ada kombinasi unsur dinasti politik dan ancaman elektabilitas calon yang tinggi sehingga tidak ada calon alternatif lain untuk maju. Model koalisi pada Pilkada Serentak 2018 yang lalu, nyaris sulit dianalisis dengan teori-teori koalisi yang dibangun atas pengalaman demokrasi parlementer, sebab kasus dan tipe koalisi dalam pilkada di Indonesia dapat memberi alternatif model koalisi baru yang tidak hanya didasarkan pada pertarungan pendekatan lama, pendekatan office-seeking dan pendekatan policy-seeking. Dalam kasus pilkada serentak 2018 di Indoensia, justru ada pola atau pendekatan baru yang bisa disebut sebagai pendekatan cartel-seeking.

Kata Kunci: Koalisi, Pilkada Serentak, Pendekatan Kartel

Page 18: KONSTELASI POLITIK DI TAHUN ELEKTORAL

130 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 15 No. 2 Desember 2018 | 129–142

PendahuluanPemilihan kepala daerah (pilkada) serentak selanjutnya disebut Pilkada 2018 telah sukses dilaksanakan di Indonesia pada 27 Juni 2018 untuk memilih 17 gubernur/wakil gubernur, 115 bupati/wakil bupati dan 39 walikota/wakil walikota. Dari 171 pemilihan tersebut, terdapat 568 calon yang telah ditetapkan oleh KPU, yang terdiri dari 57 calon gubernur, 374 calon bupati, 137 calon walikota. Dari 568 calon tersebut, 14,9 persen adalah calon perseorangan.1 Masih minimnya jumlah calon perseorangan disebabkan karena persyarataan yang harus dipenuhi berbeda-beda tergantung jumlah penduduk.2

Hampir dapat dipastikan bahwa partai-partai politik harus berkoalisi dalam mengusung pasangan calon, baik calon gubernur/wakil gubernur maupun bupati/wakil bupati serta walikota/wakil walikota. Hal itu sebagai dampak dari syarat pencalonan menurut UU No. 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota. Pasal 40 ayat (1) menyebut bahwa Partai Politik atau gabungan Partai Politik dapat mendaftarkan pasangan calon jika telah memenuhi persyaratan perolehan paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atau 25% (dua puluh lima persen) dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilihan umum anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah di daerah yang bersangkutan. Akibat ketentuan Pasal 40 mulai dari ayat 1 hingga ayat 5 tersebut mewajibkan partai-partai politik untuk bergabung atau berkoalisi dalam mengusung calon.

1 Mengenai hal ini dapat dilihat dari data https://infopemilu.kpu.go.id/pilkada2018/paslon/tahapPenetapan.

2 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 Pasal 41 menyebut bahwa provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap sampai dengan 2.000.000 (dua juta) jiwa harus didukung paling sedikit 10% (sepuluh persen); provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 2.000.000 (dua juta) jiwa sampai dengan 6.000.000 (enam juta) jiwa harus didukung paling sedikit 8,5% (delapan setengah persen); provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 6.000.000 (enam juta) jiwa sampai dengan 12.000.000 (dua belas juta) jiwa harus didukung paling sedikit 7,5% (tujuh setengah persen); provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 12.000.000 (dua belas juta) jiwa harus didukung paling sedikit 6,5% (enam setengah persen); dan jumlah dukungan sebagaimana dimaksud tersebar di lebih dari 50% (lima puluh persen) jumlah kabupaten/kota di provinsi dimaksud.

Koalisi dalam Pilkada 2018 pada khususnya dan pilkada serentak pada umumnya—seperti pelaksanaan pilkada serentak 2015 dan 2017—menarik untuk dikaji. Studi yang dilakukan oleh Sri Budi Eko Wardani tentang koalisi partai politik dalam pemilihan kepala daerah secara langsung: Kasus Pilkada Provinsi Banten tahun 2006 menilai bahwa “dari 211 Pilkada pada 2005, ada 126 Pilkada yang dimenangkan oleh pasangan yang diusung koalisi partai. Sedang 85 lainnya dimenangkan oleh pasangan calon yang didukung partai tanpa koalisi. Bagi partai, koalisi dalam Pilkada memiliki kekhasan yang patut dicatat, yaitu: (1) secara kuantitas formasi koalisi bisa sangat banyak yang disebabkan oleh banyaknya pemilihan; (2) adanya kebutuhan pemetaan yang memungkinkan pengurus pusat partai memberikan kebebasan relatif pada pengurus daerahnya untuk memutuskan koalisi; dan (3) kecenderungan pola koalisi dalam Pilkada yang sangat menyebar dan nyaris sulit untuk diramalkan. Salah satu kasus yang diamati untuk menunjukkan kecenderungan tersebut adalah Pilkada Provinsi Banten pada 26 Juni 2005”.3

Studi yang lain juga hampir menyebut hal yang sama bahwa formasi koalisi begitu beragam, tidak tunggal dan begitu variatif. Kajian ini pernah dilakukan oleh Luthfi Makhasin, yang menulis mengenai “Orientasi Ideologi dan Pragmatisme Politik Model Pembentukan Koalisi dalam Pilkada Serentak di Jawa Tengah 2015”. Dalam abstraksinya disebut bahwa modifikasi dari literatur yang ada tentang pembentukan koalisi dan orientasi partai politik di Indonesia, tulisan ini menawarkan empat tipologi koalisi yaitu Koalisi Kecil-Ideologis (KKI), Koalisi Kecil-Pragmatis (KKP), Koalisi Besar-Ideologis (KBI) dan Koalisi Besar-Pragmatis (KBP). Pilkada serentak di Jawa Tengah menunjukkan bahwa partai politik tetap tidak tergantikan sebagai lembaga demokrasi untuk mengusung dan mendorong pencalonan seseorang menduduki jabatan politik sebagai kepala daerah.4

3 Mengenai studi ini dapat dilihat dari tesis Sri Budi Eko Wardani pada http://lib.ui.ac.id/file?file=pdf/abstrak-110905.pdf.

4 Lihat Luthfi Makhasin, “Orientasi Ideologi dan Pragmatisme Politik Model Pembentukan Koalisi dalam Pilkada Serentak di Jawa Tengah 2015”, Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Volume 19, Nomor 3 (Maret 2016).

Page 19: KONSTELASI POLITIK DI TAHUN ELEKTORAL

Koalisi “Nano-Nano” Pilkada Serentak 2018 | Moch. Nurhasim | 131

Sementara itu beberapa kajian lain yang menganalisis Pilkada seperti tampak pada Tabel 1 menggambarkan bahwa kajian-kajian sebelumnya lebih menitik beratkan pada isu kemenangan calon dan peran partai dalam pemenangan calon.

Dari pemetaan kajian-kajian tersebut, koalisi dalam Pilkada 2018 relatif dapat dianggap sebagai isu baru, walau sudah pernah ada kajian yang mengulas mengenai hal itu. Sementara kalau ditilik pada studi terkakhir hingga artikel ini ditulis, studi yang mengkaji soal pilkada yang terbaru di Jawa Timur 2018,5 misalnya

5 Yusuf Adam Hilman, “Analisis Peta Politik Kandidat Calon Gubernur dan Arah Koalisi pada Kontestasi Pemilihan Gubernur

fokusnya tidak mengenai koalisi, tetapi lebih pada pemetaan kemungkinan kemenangan dan koalisi yang dibentuk. Studi ini belum sepenuhnya melihat dinamika koalisi hingga mengapa Khofifah bisa menjadi calon gubernur dari Partai Demokrat, Partai Nasdem, Partai Persatuan Pembanguan, Partai Hanura, Partai Golkar, PAN, dan Gerindra. Tidak ada penjelasan mengapa mereka berkoalisi dalam Pilgub Jawa Timur, sementara dalam koalisi nasional mereka berbeda perahu politik. Studi lain yang dilakukan oleh Ferry, mengenai Koalisi Partai Politik pada Pemilukada menunjukkan hal lain bahwa dalam

Jawa TImur 2018,” Jurnal Wacana Politik Vol. 3, No. 1 (Maret 2018): 29-39.

Sumber: Masdiyan Putri dan Zuly Qodir, “Faktor Kemenangan Koalisi Suharsono-Halim dalam Pemenangan Pemilu Kepala Daerah Kabupaten Bantul Tahun 2015”, Journal of Governance And Public Policy, Vol. 4 No. 1 (February 2017).

Tabel 1. Fokus Penelitian mengenai Pilkada sejak 2006-2013.

Penelitian Hasil Fitriyah, Hermini Susiatianingsih dan Supratiwi tentang Faktor Determinan Kemenangan Kandidat Pada Pemilukada Kabupaten Batang 2011

Faktor determinan kemenangan kandidat antara lain : (1) Tingkat partisipasi pemilih yang menggunakan hak pilihnya tinggi, (2) Keputusan memilih pemilih di Kabupaten Batang di dasari oleh pilihan pribadi, (3) Faktor figur dan ketokohan memainkan peran penting dalam membuat keputusan memilih, (4) Figur calon pasangan sangat signifikan berpengaruh terhadap hasil suara, dan (5) Faktor sosiologis dan psikologis juga berperan namun tidak secara signifikan

Sofyan A Jusuf, Mashuri Maschab (2007) tentang Studi tentang strategi politik pasangan Bandjela Paliudju dan Achmad yahya dalam Pemilihan Kepala Daerah Langsung Gubernur Sulawesi tengah tahun 2006

Hasil kemenangan pemilukada di Sulawesi tengah tahun 2006 tersebut sepenuhnya disebabkan karena adanya strategi politik yang dirancang dan diterapkan oleh pasangan calon yakni strategi memperluas dukungan partai politik dan konsitutuennya, strategi pencitraan figur politik, serta strategi kampanye

Susilo Utomo (2013) tentang Peran Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dalam Memenangkan Pasangan Ganjar Pranowo – Heru Sudjatmoko Pada Pilgub Jateng 2013

Peran PDIP dalam pemenangan pasangan Ganjar Pranowo – Heru Sudjatmoko memiliki tingkatan yang kuat yakni sebagai perekrut politik, mesin pengumpul suara dan sebagai penggerak basis massa atau mobilisasi massa

Muchammad Ichsan Saputra, Bambang Santoso Haryono, Mochammad Rozikin (2013) tentang Marketing Politik Pasangan Kepala Daerah dalam Pemkilukada (Studi Kasus Tim Sukses Pemenangan Pasangan Abah Anton dan Sutiaji dalam Pemilukada Kota Malang 2013)

Marketing politik yang telah dilaksanakan oleh tim sukses dalam pemenangan pasngan Abah Anton dan Sutiaji, yaitu pembentukan figur dan program-program kampanye yang kompleks mencakup dari penentuan produk politik, promotion, place, price, dan segmentasi pemilih.

Nehemia Syalom Ginting (2013) tentang Marketing Politik dalam Pemilukada Kabupaten Karo tahun 2010

Keberhasilan strategi politik yang diterapkan oleh tim pemenangan pasangan Kena Ukur Surbakti – Terkelin Brahmana antara lain : (1) Tim pemenangan pasangan ini memperkuat basis marketing politik kedaerah mayoritas adalah pemilih tradisional yakni daerah pedesaan. (2) Tim pemenangan pasangan ini menonjolkan etnititas sebagai isu utama untuk menarik dukungan dari masyarakat

Page 20: KONSTELASI POLITIK DI TAHUN ELEKTORAL

132 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 15 No. 2 Desember 2018 | 129–142

interaksi sosial elit partai politik dalam proses penjaringan dan penentuan calon serta proses pembentukan koalisi partai politik menunjukkan keadaan yang berbeda. Pada sebagian koalisi, interaksi sosial elit lebih didominasi salah satu partai politik. Ini dibuktikan pada pasangan calon bupati dan wakil bupati yang diusung koalisi partai politik merupakan hasil penjaringan sebuah partai politik yang kemudian diterima partai politik lain setelah berkoalisi6.

Kalau dilihat dari berbagai kajian terdahulu menunjukkan bahwa fokus pembahasan mengenai koalisi tidak dihubungkan dengan pola koalisi di tingkat nasional, dan kemungkinan tipe koalisi yang semata-mata atas dasar jumlah formasi. Atas dasar itu, untuk melengkapi kajian yang sudah ada, makalah ini mencoba mencari jawaban mengapa kecenderungan koalisi pada Pilkada 2018 tidak identik dengan pola kaolisi politik di tingkat nasional. Walau terdapat kritik bahwa pilkada nasional tidak bisa menjadi ukuran atau dasar dalam melihat koalisi di tingkat lokal, sebenarnya kritik itu lemah. Mengapa lemah? Karena ada rentetan waktu yang berhimpitan antara Pilkada 2018 dengan tahapan Pemilu Serentak 2019 yang secara emosional memiliki pengaruh atau pengaruh tidak langsung antara hasil Pilkada 2018 dengan konstelasi politik menjelang pendaftaran calon presiden/wakil presiden yang jatuh pada 4-10 Agustus 2018.

Bagaimanapun koalisi politik di tingkat nasional yang terbelah antara—Koalisi Merah Putih (KMP) dan Koalisi Indonesia Hebat (KIH) perlu dianalisis sebagai salah satu faktor yang bisa saling mempengaruhi. Memang tidak secara otomatis dapat digeneralisasi, tetapi bagaimanapun format koalisi di tingkat nasional yang telah berubah, secara politis idealnya memengaruhi pilihan dalam membangun koalisi di tingkat lokal dalam pemilihan gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati dan walikota/wakil walikota. Selain itu, dua tipe koalisi yang dibangun--nasional dan lokal--selain tidak mengikuti pola koalisi politik nasional, koalisi pilkada cenderung mengabaikan platform dan ideologi partai politik. Atas dasar itu, tulisan ini

6 Mengenai hal ini dapat dilihat dari abstrak disertasi Ferry mengenai Koalisi Partai Politik pada Pemilukada. Lihat http://pustaka.unpad.ac.id/wp content/uploads/2012/05/disertasi_ferry_koalisi_partai_politik_pada_pemilukada.pdf

akan menganalisis pola koalisi pada Pilkada 2018, apa pertimbangan-pertimbangan yang menonjol dalam melakukan koalisi, bagaimana peta kemenangan pilkada 2018 serta pelajaran politik apa yang dapat dikonstruksikan sebagai salah satu sumbangan konseptual dalam memahami teori-teori koalisi yang sudah ada. Sumber analisis tidak dibangun atas dasar riset empiris, tetapi lebih bersifat analisis dari sumber-sumber sekunder yang dimiliki oleh penulis.

Koalisi dan Pilkada: Perspektif KonseptualTeori mengenai koalisi secara umum memang tumbuh dalam tradisi demokrasi parlementer dan sifatnya sangat kental dengan koalisi level tinggi atau di tingkat nasional. Tetapi secara umum, bangunan teori koalisi sifatnya genaral, bukan berarti teori koalisi hanya dapat digunakan untuk menjadi alat bantu dalam menganalisis koalisi nasional semata dan tidak bisa digunakan untuk menganalisis koalisi di tingkat lokal.7

Teori koalisi lahir dari kasus-kasus besar koalisi dalam membangun pemerintahan di tingkat pusat. Dari jalur teoretiknya, pembentukan koalisi adalah salah satu kajian yang telah menarik minat para ilmuwan sosial sejak lama (Neumann and Morgenstern, 1953; Riker, 1962; Axelrod, 1970). Koalisi menjadi subjek kajian yang menarik karena dalam sistem multi partai, tidak ada satupun partai politik yang mampu berkuasa tanpa membangun kerjasama dengan partai politik lainnya. Dalam literatur kesarjanaan, terdapat dua model/pendekatan/kerangka teoretik utama yang biasanya digunakan untuk menjelaskan pembentukan koalisi, yaitu pendekatan office-seeking dan policy-seeking (Laver, 1998). Masing-masing pendekatan ini memiliki variasinya dengan berbagai kelebihan dan kelemahannya masing-masing.8 Pendekatan

7 Lihat: Michael Laver, Colin Rallings and Michael Thrasher, “Coalition Theory and Local Government: Coalition Payoffs in Britain” British Journal of Political Science, Vol. 17, No. 4 (Oct., 1987):501-509. Dalam tulisan ini teori koalisi office-seeking dan policy seeking digunakan sebagai pisau analisis walau kasusnya adalah membahas koalisi pemerintahan daerah.

8 Lihat: Luthfi Makhasin, “Orientasi Ideologi dan Pragmatisme Politik Model Pembentukan Koalisi dalam Pilkada Serentak di Jawa Tengah 2015”, Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Volume 19, Nomor 3 (Maret 2016).

Page 21: KONSTELASI POLITIK DI TAHUN ELEKTORAL

Koalisi “Nano-Nano” Pilkada Serentak 2018 | Moch. Nurhasim | 133

office-seeking menggunakan jumlah kursi dan/atau jumlah partner kerjasama sebagai pertimbangan utama dalam pembentukan koalisi. Sedangkan policy-seeking melihat aspek posisi kebijakan dan ideologi dan/atau plaform partai.

Salah satu teori dari pendekatan office-seeking yang amat terkenal adalah karya William Riker “The Theory of Political Coalitions”. Riker mempostulatkan bahwa para politisi membentuk koalisi minimal untuk menang (minimal winning coalition).9 Riker mengasumsikan: (a) Koalisi yang menang adalah yang keanggotaannya terdiri dari setidaknya satu setengah ditambah satu anggota legislatif; (b) politisi murni mencari keuntungan maksimal untuk berkuasa-‘office-seeking’; (c) koalisi dikontrol oleh para anggota; (d) setiap contoh koalisi pemerintah adalah contoh yang terisolasi; dan (d) ada informasi yang sempurna mengenai aturan dan biaya ketenaran.10 Riker berasumsi bahwa koalisi partai politik didorong oleh hasrat untuk mendapat kekuasaan, baik di ranah eksekutif maupun legislatif (office seeking). Partai-partai politik kemudian merumuskan strategi pencapaian kekuasaan tersebut melalui formulasi minimalis yang biasa disebut sebagai Minimal Winning Coalition (WMC). Untuk mencapai posisi mayoritas cukup menguasai 50%+1 kursi.

Teori Riker ini kemudian dikritik oleh beberapa orang seperti Browne (1970) yang melahirkan teori koalisi atas dasar kebijakan partai, bahwa posisi kebijakan lebih penting daripada ukuran dalam menentukan formasi koalisi dalam demokrasi parlementer.11 Sementara itu, teori formasi Alexandro (1970) dalam teorinya “Minimum Connected Coalition” menekankan pada asumsi yang tidak lazim. Ada tiga asumsi yang dikemukakan yaitu (1) partai akan menggunakan posisinya untuk mencari tujuan kebijakan; (2) preferensi dapat diwakili satu dimensi; dan (3) preferensi kebijakan adalah puncaknya. Teori ini menekankan pentingnya

9 Craig Volden dan Clifford J. Carrubba, “The Formation of Oversized Coalitions in Parliamentary Democracies”, American Journal of Political Science, Vol. 48, No. 3 (July 2004): 522-524.

10 Craig Volden dan Clifford J. Carrubba, “The Formation of Oversized..,.

11 Craig Volden dan Clifford J. Carrubba, “The Formation of Oversized.., hlm. 522.

kedekatan ideologis dalam membangun koalisi.12 Koalisi minum terkoneksi ini menekankan adanya kesamaan tujuan atau preferensi sebagai pengikat atau koneksi di antara pihak yang membangun koalisi. Umumnya yang biasa adalah ideologi atau kebijakan partai dan preferensi-preferensi politik lainnya.

Ahli lain yani Crombe menawarkan “Proposal Power Theory.” Crombez mengasumsikan: (1) ruang kebijakan bersifat multidimensional; (2) ada tiga pihak di parlemen; (3) partai memperoleh manfaat sampingan dari berada di pemerintahan; dan (4) manfaat itu bisa dibagi di antara mitra koalisi. Crombez secara eksplisit memodelkan proses pembentukan pemerintah, berfokus pada kasus di mana tidak ada satupun dari ketiga pihak mengontrol sebagian besar kursi yang lainnya.13 Asumsi Brombez ini menekankan adanya tiga kekuatan partai politik yang sama-sama besar atau mirip perolehan kursinya.

Pendekatan policy-seeking berangkat dari pandangan bahwa partai politik bukan entitas yang semata peduli dengan pencarian kekuasaan. Sebaliknya, partai politik adalah juga institusi yang setia pada agenda ideologi tertentu dan berusaha untuk mempengaruhi dan atau mewujudkannya dalam kebijakan konkret. Di antara yang menganut pendekatan itu adalah Laver dan Shepsle yang menekankan pentingnya portofolio allocation dalam menentukan keberhasilan/kegagalan koalisi (Laver and Shepsle, 1990).14 Ahli yang senada yakni Baron dan Diermeier (2001) yang memulai dari gagasan bahwa pihak-pihak yang melakukan tawar-menawar kebijakan bersifat multidimensional dan mereka dapat berbagi keuntungan dari kekuasaan. Teori Baron ini juga tergolong koalisi sebagai sebuah proses pembentukan pemerintahan. Keduanya, baik Crombez maupun Baron menilai sisi keunikan kebijakan multidimiensional secara ideologis dan kekuasaan dapat dibagi-bagi. Carrubba and Volden’s (2000) membuat model examines coalition formation dengan perspektif

12 Craig Volden dan Clifford J. Carrubba, “The Formation of Oversized.., hlm. 522.

13 Craig Volden dan Clifford J. Carrubba, “The Formation of Oversized.., hlm. 522.

14 Makhasin, “Orientasi Ideologi..” hlm.236-237.

Page 22: KONSTELASI POLITIK DI TAHUN ELEKTORAL

134 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 15 No. 2 Desember 2018 | 129–142

“logrolling”. Umumnya koalisi ini terjadi akibat tidak ada kelompok mayoritas.

Dari sejumlah pembahasan tentang koalisi tersebut secara ringkas dapat dibuat peta teoretik yang umum berlaku dalam menjelaskan mengenai koalisi sebagai berikut:

Sumber: diolah oleh penulis dari berbagai sumber

Hampir sebagian besar teori koalisi di atas lahir dari demokrasi parlementer, karena presiden terpilih--atau kepala pemerintahan harus didukung oleh mayoritas parlemen sehingga pemerintahannya stabil. Problematik teori koalisi di atas, baik dari teori-teori koalisi di era 1960an, 70-an, hingga 90an, nyaris tidak ada yang berbasis pada sistem presidensiil, apalagi didasarkan pada formula pemilihan kepala daerah langsung yang dikombinasikan dengan multipartai dan pemilu serentak. Kelemahan teori-teori koalisi di atas paling tidak menunjukkan skema politik parlementer dengan negara bagian (federal state), bukan skema presidensiil dengan negara kesatuan (union state), apalagi untuk melihat formula koalisi dalam pemerintahan daerah seperti Indonesia.

Meskipun teori-teori itu berangkat dari pengalaman demokrasi parlementer, bukan berarti sebagian tidak bisa digunakan untuk menganalisis pengalaman demokrasi presidensiil-atau demokrasi pemilihan kepala daerah. Salah satu alasannya, mengapa teori-teori tersebut

masih bisa digunakan, karena artikel ini mencoba mengkaitkan antara koalisi nasional dan koalisi lokal yang justru jarang dilihat dan dianalisis. Walaupun demikian, penulis menyadari bahwa teori-teori tersebut tidak bisa sepenuhnya untuk menjelaskan mengapa pilihan koalisi pada satu

daerah pada suatu pilkada tidak sama dengan pola atau format koalisi pada pilkada di daerah yang lain, walaupun pelaksanaannya dilakukan secara serentak, namun pada dasarnya partai memiliki formasi yang berbeda-beda. Kelemahan itu bisa ditafsirkan dengan teori kepentingan politik dan aktor yang menentukan dalam proses kandidasi politik dalam partai politik. Dalam konteks kandidasi tersebut, Norris misalnya menjelaskan dari sisi siapa yang memenuhi syarat, siapa yang mencalonkan dan siapa yang dicalonkan.15 Dalam proses itu, kandidasi--bukanlah sesuatu yang berjalan sendiri, tetapi bergantung pada laku atau tidaknya kandidiat untuk dijual pada koalisi. Dalam beberapa kasus studi di Indonesia, proses kandidasi tidak mungkin tidak melibatkan pengurus partai politik di tingkat nasional, karena pengurus partai daerah “hanya” menyodorkan nama, tetapi Ketua Umum Partai dan Dewan

15 Pippa Norris, “Recruitment”, dalam Richard S Katz dan William Crotty (Eds.), Handbook of Party Politics, (London: Sage Publications, 2006), hlm, 89.

Perspektif konseptual Uraian Tipe Pendekatan Minimal winning coalition

Memaksimalkan kekuasaan sebanyak mungkin (office seeking) tanpa mengabaikan posisi partai dan spektrum ideologi

Tergolong dalam pendekatan office-seeking.

Minimal size coalition Partai dengan suara terbanyak cenderung akanmencari partai kecil untuk mencapai suara mayoritas

Bergaining potition Koalisi dibentuk atas dasar jumlah partai yang sedikit untuk memudahkan negosiasi atau tawar menawar

Minimal Range Coalition Kedekatan ideologis atau platform partai sehingga memudahkan membangun koalisi

Tergolong pendekatan policy-seeking.

Minimal Connected Winning Coalition

Kedekatan orentasi kebijakan baik secara ideologis atau posisi partai. Koalisi tidak semata-mata untuk memperoleh kekuasaan tetapi ada pertimbangan ideologis dan kebijakan

Tabel 2. Perbandingan Perspektif Konseptual tentang Koalisi

Page 23: KONSTELASI POLITIK DI TAHUN ELEKTORAL

Koalisi “Nano-Nano” Pilkada Serentak 2018 | Moch. Nurhasim | 135

Pengurus Pusat yang menentukan proses koalisi, apakah sebuah partai akan berkoalisi dengan partai A atau partai B.

Pippa Norris juga mengembangkan skema model yang menggambarkan faktor-faktor utama yang mempengaruhi proses rekrutmen partai politik untuk pencalonan dalam pemilu. Skema Norris terbagi atas tiga tahap yakni: sertifikasi, nominasi, dan pemilu. Sertifikasi ini termasuk di antaranya aturan hukum pemilu, aturan partai, dan norma sosial yang bersifat informal yang mendefinisikan kriteria kandidat yang dapat dicalonkan dalam pemilu. Nominasi adalah ketersediaan calon untuk dinominasikan dan proses di mana penyeleksi calon menentukan siapa yang akan dicalonkan dalam pemilu. Pemilu adalah langkah terakhir dimana kandidat memenangkan jabatan publik.16 Dalam proses itu, ada dua cara penentuan kandidasi yaitu secara terbuka dan tertutup. Proses kandidasi yang bersifat terbuka dan tertutup juga memiliki hubungan dengan kohesi partai politik. Kandidasi yang bersifat terbuka memang di satu sisi bisa menurunkan kohesi partai, sementara kandidasi yang bersifat tertutup dapat meningkatkan kohesi partai.

Dalam kasus tertentu, kandidasi yang bersifat tertutup seperti yang terjadi pada partai-partai politik di Indonesia justru meningkatkan oligarki partai, namun pada sisi yang lain juga menumbuhkan fenomena personifikasi terhadap partai politik, akibat besarnya kekuasaan pimpinan partai dalam menentukan proses kandidasi. Kandidasi yang bersifat tertutup erat kaitannya dengan model penunjukan (bukan pemilihan), dan itu berarti elit partai politik diberi hak penuh untuk menentukan siapa yang akan dicalonkan sebagai calon anggota legislatif dan eksekutif. Model penunjukan ini mengabaikan perlunya demokrasi internal partai dalam proses kandidasi. Padahal, partai adalah sebuah orgnisasi yang penting sekaligus dapat menjadi contoh dalam menerapkan prinsip-prinsip demokrasi agar dipraktikkan dalam kehidupan nyata.

Masalahnya, bagaimana dengan kandidasi dalam sebuah koalisi ditentukan? Ini persoalan yang menarik, karena ternyata format koalisi yang elitis--yang cenderung lebih bersifat

16 Pippa Norris, “Recruitment.., hlm 95.

office-seeking dan pragmatis serta elitis--lebih ditentukan oleh DPP Partai ketimbang mengikutsertakan anggota-anggota yang lain. Oleh karena itu kepentingan elit politik bisa menjadi salah satu aspek yang dapat digunakan untuk menjadi pisau analisis.

Koalisi Nano-Nano: Kasus Koalisi Pemilihan Gubernur Pilkada Serentak 2018Tipologi yang terdapat pada kajian tentang koalisi pilkada sebelumnya, seperti yang dibuat oleh Makhasin yang didasarkan atas dua aspek yaitu ukuran atau keanggotaan dan orientasinya atas kekuasaan menunjukkan tipe koalisi pragmatis dan ideologi17 secara sekilas masih terjadi pada proses koalisi pilkada serentak. Dilihat dari sisi ukuran atau keanggotaan, koalisi terdiri dari koalisi kecil dan besar, sedangkan dilihat dari sisi orientasi atas kekuasaan, partai politik di Indonesia terbagi dalam kategori partai ideologis dan pragmatis. Dari skema ini kita memiliki empat tipe pembentukan koalisi yaitu koalisi kecil-ideologis, koalisi kecil pragmatis, koalisi besar-ideologis dan koalisi besar-pragmatis.

Namun, apabila dilihat lebih jauh, sejumlah tipe koalisi yang disebut Makhasin di atas, agak sulit digunakan untuk memetakan pola koalisi pilkada serentak 2018 yang memang unik dan tidak lazim. Gagasan agar ada pola koalisi pemerintahan dalam sistem presidensiil relatif “sama” dan sebagun dengan koalisi di tingkat pusat, tampaknya tidak terjadi. Polanya berserakan, tidak linear, dan sangat variatif serta bercampur aduk. Pola koalisi demikian ini “nyaris” sulit diterka seperti yang disebut oleh Wardani. Tetapi disitulah menunjukkan pertimbangan koalisi bukan pada ideologi atau platform partai, tetapi pilihan koalisi lebih karena kepentingan elit partai yang menentukan. Elit partai itu, bukan elit partai daerah--karena pengurus partai di daerah tidak memiliki desentralisasi kewenangan, atau daerah diberi otonomi untuk membangun koalisi, tetapi ditentukan secara terpusat oleh elit DPP Partai di satu sisi, dan Ketua Umum Partai Politik.

17 Makhasin, “Orientasi Ideologi.., hlm.239.

Page 24: KONSTELASI POLITIK DI TAHUN ELEKTORAL

136 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 15 No. 2 Desember 2018 | 129–142

Dalam konteks pemilihan gubernur dan wakil gubernur pada Pilkada 2018 yang lalu, dari sisi jumlah, partai koalisi yang menang paling banyak berjumlah 9 partai dan paling sedikit 2 partai. Rata-rata jumlah koalisi yang menang dalam Pilkada Serentak Gubernur 2018 adalah koalisi dua, empat dan tiga partai. Khusus untuk koalisi yang berjumlah tiga partai, yang paling banyak memenangkan Pilkada Serentak Gubernur 2018 terjadi di Riau--PKS, PAN, Nasdem; Sumsel--PAN, Nasdem, Hanura; Lampung--Golkar, PKB, PAN; Kaltim--PAN, Gerindra, PKS; Sulsel--PDI, PAN, PKS; dan NTT--Hanura, Golkar, Nasdem. Diagram di bawah menggambarkan jumlah partai yang menang dalam koalisi Pilkada Serentak Gubernur/Wakil Gubernur 2018 yang lalu.

Gambar 1. Diagram Koalisi

Sumber: diolah oleh penulis dari data KPU, hasil Pilkada Gub/Wagub 2018

Data di atas menunjukkan bahwa tidak ada hubungan kemenangan dari sisi jumlah partai yang terlibat dalam koalisi. Bahkan 9 partai yang terhimpun dalam koalisi misalnya, hanya menang pada satu daerah yaitu di Papua, itu pun yang diusung adalah petahana. Demikian pula dengan 8 partai yang berhimpun dalam koalisi hanya menang di satu daerah yaitu Maluku, yang merupakan koalisi dari Gerindra, PPP, PDIP, PAN, Hanura, PKB, PKPI, Nasdem.

Yang cukup menarik justru dari 17 posisi gubernur/wakil Gubernur yang diperebutkan, PAN menperoleh manfaat tertinggi, karena calon yang diusung dalam koalisi menang di 11 wilayah atau 65 persen. Meskipun perlu dicatat PAN bukan pengusung utamanya--jadi kemungkinan

angka 65 persen itu pun manfaatnya bisa semu bagi PAN. Mengapa bisa seperti itu? Karena bisa saja gubernur terpilih akan lebih loyal kepada partai pengusung utama ketimbang hanya partai “penyokong” atau pelengkap koalisi. Berikutnya manfaat diperoleh oleh NasDem dan Hanura, masing-masing 59 persen dan 53 persen. Nasib Golkar lebih beruntung dari PDIP, karena Golkar memperoleh 47 persen, sementara PDIP sendiri hanya menang di 4 daerah atau 24 persen.

Namun jika dilihat dari sisi jumlah keikutsertaan partai dan persentase kemenangan, justru PDIP sebagai partai pemenang Pemilu 2014, jumlahnya sangat kecil hanya sekitar 24 persen, dan menang di empat provinsi.

Tabel 3. Perbandingan Kemenangan Partai dalam Koalisi pada Pilkada Serentak Gubernur 2018

Sumber: diolah oleh penulis dari calon yang menang di 17 Provinsi pada Pilkada Serentak 2018.

Padahal rata-rata partai yang bertarung dari data Komisi Pemilihan Umum (KPU) menunjukkan jumlah perbandingan calon yang diusung oleh masing-masing partai. Partai-partai besar--seperti PDIP, Golkar, Gerindra dan Demokrat misalnya mengusung rata-rata antara 16 hingga 17 calon, atau hampir 100 persen. Dari diagram yang disandingkan menunjukkan bahwa perolehan kemanangan dalam koalisi atas calon yang diusung menunjukkan bahwa PDIP, Gerindra, dan Demokrat yang justru yang relatif paling kecil tingkat kemenangannya.

No

Kemenangan Partai dalam Koalisi

Jumlah (Menang dari 17 Pilkada

Gub/Wagub 2018

Persen

1 NasDem 10 59 2 Gerindra 2 12 3 PKB 5 29 4 PPP 6 35 5 Demokrat 4 24 6 Golkar 8 47 7 PAN 11 65 8 PDIP 4 24 9 PKS 7 41 10 Hanura 9 53 11 PKPI 3 18

Page 25: KONSTELASI POLITIK DI TAHUN ELEKTORAL

Koalisi “Nano-Nano” Pilkada Serentak 2018 | Moch. Nurhasim | 137

Gambar 2. Partai Pendukung Pilkada

Sumber: diolah oleh penulis dari data KPU: Rekapitulasi Berdasarkan Partai Pendukung dan tingkat kemenangan partai dalam koalisi dari 17 calon gubernur/wakil gubernur yang diusung.

Gambar di atas menunjukkan bahwa calon yang diusung oleh partai besar belum tentu menang. Tergantung dari formasi koalisi yang dibangun dan calon yang diusung. Kejelian dalam mengusung calon akan sangat menentukan kemenangan dalam berkoalisi. Situasi harus menang menyebabkan partai politik lebih cenderung mempertimbangkan faktor elektabilitas, ketimbang faktor ideologis dalam menentukan calon dalam berkoalisi. Situasi seperti inilah yang disebut sebagai office-seeking, meski ada pula keinginan untuk memberikan calon alternatif agar dipilih seperi pada kasus Pilkada Gubernur Jawa Barat sehingga muncul 4 pasangan calon.

Dari sisi formasi koalisinya pun berbeda-beda, lintas ideologi dan tidak mencerminkan head-to-head sebagaimana terjadi pada koalisi politik di tingkat nasional. Sebagai contoh, pada Pilkada Serentak 2018, Partai Indonesia Perjuangan (PDIP) bergandengan tangan dengan Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) di 48 daerah yang menyelenggarakan pilkada 2018. Sementara dalam waktu yang hampir “bersamaan” mereka sendang merancang koalisi di tingkat nasional untuk Pemilu Serentak 2019. PDIP juga membangun koalisi dengan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) di 33 daerah yang menyelenggarakan pilkada 2018. Ketiganya juga membangun koalisi di 21 daerah yang menyelenggarakan pilkada 2018.18 Padahal PDIP berseberangan dan head to head dengan

18 Redaksi, “PDIP-Gerindra Koalisi di 48 Daerah, PDIP-PKS di 33 Daerah”, 26 Juni 2018, www.detik.com, diakses pada 3 Juli 2018.

Gerindra dan PKS pada politik nasional. Mereka bahkan ibaratnya musuh bebuyutan yang antagonis. Tetapi di daerah dalam pilkada 2018 mereka bergandengan tangan, baik pada Pilkada Gubernur/Wakil Gubernur maupun Bupati/Wakil Bupati--Walikota/Wakil Walikota. Formasi koalisi menunjukkan gambaran “nano-nano”, sebuah campuran dari sekian variasi kepentingan dan ideologi partai yang tidak menjadi pertimbangan dalam membangun koalisi. Artinya ada refleksi yang berbeda secara politik antara konstelasi suhu politik di tingkat nasional dengan usaha membangun koalisi di tingkat lokal. Pola semacam ini sudah hampir terjadi dalam politik dalam jangka waktu yang sangat lama sejak era reformasi bergulir dari pilkada ke pilkada.

Dari variasi jumlah partai yang berkoalisi seperti tergambar di atas dari pola 2 sampai dengan 9 partai yang berhimpun, menunjukkan bahwa koalisi yang dibangun tidak lagi didasari oleh platform partai apalagi oleh ideologi partai. Koalisi nano-nano juga tergambar dari campuran koalisi ideologis antara partai yang berideologi nasionalis-religus, bercampur dalam berbagai pola pertarungan yang bisa berbeda-beda. Anehnya campuran koalisi pada Pilkada Gubernur/Wakil Gubernur tidak pula linear dan identik dengan pola koalisi pada Pilkada Bupati/Wakil Bupati--Walikota/Wakil Walikota. Padahal, pilkada dikerangkakan dalam skema keserentakan dari sisi waktu penyelenggaraan yang diharapkan ada pola dukungan yang ikut memengaruhi pada pola koalisi antara koalisi pada Pilkada Gubernur/Wakil Gubernur maupun Bupati/Wakil Bupati--Walikota/Wakil Walikota.

Tetapi yang terjadi justru sebaliknya, perbedaan dalam koalisi pada Pilkada Gubernur/Wakil Gubernur dengan Pilkada Bupati/Wakil Bupati--Walikota/Wakil Walikota menyebabkan terjadinya kompetisi liar dalam elektoral, sehingga asumsi keserentakan pilkada akan memberi dampak simultan pada jenis pilkada di tingkat provinsi dengan kabupaten/kota tidak terjadi. Format koalisi membuyarkan asumsi akademik, bahwa dalam pemilu serentak di tingkat loka seperti Pilkada Serentak 2018 diharapkan ada semacam efek ekor jas (coattail effect) sehingga tercipta dampak dari keserentakan

Page 26: KONSTELASI POLITIK DI TAHUN ELEKTORAL

138 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 15 No. 2 Desember 2018 | 129–142

yang dimaksudnya. Dalam praktiknya, justru berjalan sendiri-sendiri, tidak terkoordinasi dan saling bersaing satu dengan lainnya, meskipun sama-sama diusung oleh satu partai akibat format koalisi yang berbeda-beda. Akibat pola koalisi yang berbeda, bercampur baru--dalam satu provinsi--antara koalisi dalam mengusung calon gubernur/wakil gubernur dengan koalisi dalam mengusung calon bupati/wakil bupati dan/atau calon walikota/wakil walikota, terjadi kompetisi intra-koalisi dan antar-koalisi. Apa makna yang dapat kita pahami bahwa keseratakan pemilu yang tidak dikombinasikan dengan pola koalisi yang “sebangun” justru menciptakan pola kompetisi “liar” dan tidak saling mendukung. Padahal argumentasi keserentakan dalam pilkada mengidealkan ada semacam kerja sama antara calon gubenur/wakil gubernur dengan calon bupati/wakil bupati dan/atau calon walikota/wakil walikota untuk mendulang perolehan suara yang saling mengutungkan.

Oleh karena itu, secara garis besar dapat dibuat pola koalisi pada Pilkada Serentak 2018 yang lalu, antara partai berkoalisi pada Pilkada Gubernur/Wakil Gubernur maupun Bupati/Wakil Bupati--Walikota/Wakil Walikota sebagai berikut:

Dari tabel perbandingan di atas tampak ada sejumlah kemiripan, misalnya dalam formasi koalisi--ukuran berapa partai yang berkoalisi juga hampir mirip, dalam Pilkada Serentak Gubernur/Wakil Gubernur kombinasi koalisi dari 2 parpol hingga yang tertinggi adalah 9 parpol. Sedangkan pada Pilkada Serentak Bupati/Wakil Bupati--Walikota/Wakil Walikota yang tertinggi adalah koalisi 12 parpol di Kota Tanggerang. Umumnya tipe pengusung koalisi tersebut menyebabkan munculnya variasi jumlah calon. Koalisi partai yang berjulah 2 hingga 5 menyebabkan variasi calon antara 3-4, sedangkan apabila ada partai yang berhimpun hingga 12 partai misalnya seperti yang terjadi di Kota Tengerang, calon yang bertarung hanya 2 pasang. Tipe koalisi semacam ini tidak pernah ada dalam kasus teori koalisi, baik dari pendekatan office seeking maupun pendekatan policy seeking. Sebab model koalisi yang dibangun secara teoretik dipengaruhi oleh praktik demokrasi parlementer ketimbang demokrasi presidensiil yang multipartai.

Tabel 4. Perbandingan Tipe Koalisi Pilkada Gubernur/Wakil Gubernur maupun Bupati/Wakil Bupati--Walikota/Wakil Walikota

Sumber: tabel ini merupakan hasil analisis penulis dari berbagai data

Variabel Pilkada Serentak Gubernur/ Wakil Gubernur

Pilkada Serentak Bupati/Wakil Bupat--Walikota/Wakil Walikota

Formasi Koalisi (Ukuran Anggota)

2 sampai 9 2 sampai 12

Orientasi Koalisi Pragmatis, tidak ideologis, lebih condong kontekstual

Pragmatis, tidak ideologis, lebih condong kontekstual

Ideologi koalisi Lintas ideologi Lintas ideologi Keterhubungan 1. Tidak linear

2. Tidak saling terkoneksi 3. Saling kompetisi dan berhadap-hadapan (head to head)

Keterhubungan dengan pola koalisi nasinal

1. Tidak linear 2. Tidak saling terkoneksi 3. Saling kompetisi dan berhadap-hadapan (head to head)

Coattail effect Tidak terjadi efek ekor jas, justru sebaliknya masing-masing berjalan sendiri. Coattail effect tidak terjadi karena konteks atau arena yang berbeda dan masing-masing calon saling berkompetisi untuk memperoleh kemenangan

Page 27: KONSTELASI POLITIK DI TAHUN ELEKTORAL

Koalisi “Nano-Nano” Pilkada Serentak 2018 | Moch. Nurhasim | 139

Tabel 5. Ukuran Koalisi dan Jumlah Pasangan yang Dihasilkan

Sumber: dianalisis oleh penulis dari tipe partai yang mengusung pada Pilkada Gubernur/Wakil Gubernur maupun Bupati/Wakil Bupati--Walikota/Wakil Walikota 2018.

Ukuran koalisi yang besar, umumnya terjadi manakala ada satu figur yang memiliki elektabilitas sangat tinggi. Biasanya terjadi ketika ada petahana yang maju sebagai calon, atau apabila ada calon kuat yang dari sisi elektabilitasnya tidak bisa tertandingi. Dalam kasus tertentu, calon kuat yang elektabilitasnya sangat tinggi akan memicu pola koalisi mayoritas partai sehingga kemungkinan munculnya calon tunggal tidak bisa dicegah. Kasus seperti itu misalnya terjadi pada Pilkada Serentak 2017 Walikota/Wakil Walikota Surabaya yang lalu, sehingga sebelum ada aturan diperbolehkannya calon tunggal, pilkada sempat ditunda.

Pada Pilkada Serentak 2018, fenomena itu tampak misalnya terjadi di 13 daerah yaitu: Kota Prabumulih, Sumsel; Kabupaten Lebak, Banten; Kabupaten Tangerang, Banten; Kota Tangerang, Banten; Kabupaten Pasuruan, Jatim; Kabupaten Karanganyar, Jateng; Kabupaten Enrekang, Sulsel; Kabupaten Minahasa Tenggara, Sulut; Kabupaten Tapin, Kalsel; Kabupaten Puncak, Papua; Kabuaten Mamasa, Sulbar; Kabupaten Jayawijaya, Papua; dan Kabupaten Padang Lawas Utara, Sumut.19 Dalam kasus Kota Tangerang misalnya, 10 partai politik mengelompok jadi satu koalisi yaitu Golkar, Nasdem, PKB, Hanura, PAN, PPP, PKS, Gerindra, PDIP, dan Demokrat, sehingga koalisi yang terjadi adalah koalisi mayoritas. Dampaknya tidak ada peluang munculnya calon lain, baik dari jalur perseorangan atau jalur partai, karena tidak ada partai yang bisa memenuhi syarat minimal pencalonan sebagaimana disyaratkan oleh UU No. 10 Tahun 2016. Demikian pula pada kasus Lebak, di mana 10 partai berhimpun dalam satu

19 Sumber ini dapat dilihat pada www.kpu.go.id

koalisi mayoritas mutlak yakni PAN, Golkar, PDIP, PPP, Demokrat, Nasdem, Gerindra, PKS, PKB, Hanura. Dampaknya pasti akan muncul calon tunggal.

Kemunculan koalisi mayoritas partai hampir tidak bisa dijelaskan secara teoretik, karena model koalisi tipe ini hampir tidak ada. Inilah yang saya sebut sebagai koalisi kartel (cartel coalition) karena kuatnya keinginan untuk menang dan takut kalah, sehingga tidak ada calon lain yang berani maju--atau partai yang ada berhitung ulang untuk mengusung calon. Apabila ada partai yang ingin maju, mereka terganjal oleh aturan hukum syarat pencalonan yang telah ditetapkan oleh Undang-Undang, sehingga muncullah koalisi kartel sebuah koalisi yang terjadi akibat partai secara mayoritas mengelompok dalam satu rumpun koalisi.

Umumnya dari munculnya koalisi mayoritas mutlak ini terjadi karena beberapa faktor, pertama, kuatnya faktor dinasti politik--yang menyebabkan ruang kompetisi dalam elektoral menjadi “tertutup” bagi calon lain. 13 daerah yang terjadi calon tunggal, sebagaimana disebut di atas sekurang-kurangnya ditandai oleh munculnya dinasti politik yang kuat. Kedua, kombinasi dinasti politik dengan politik elektabilitas menyebabkan tidak adanya calon yang “berani” maju untuk memberi alternatif pilihan. Pola koalisi elektoral semacam ini merugikan publik dan menurunkan sifat kompetisi dalam demokrasi. Sebab, dampak dari koalisi mayoritas adalah adanya “ketiadaan” pengawasan dalam menjalankan roda pemerintahan di daerah.

Model Kartel Koalisi Pilkada Serentak 2018: Sebuah HipotesisSeperti telah disinggung oleh Riker yang mengusung teori Minning-Winning-Coalition (MWC) bahwa office-seeking menjadi salah satu pertimbangan dalam berkoalisi untuk menghimpun kekuasaan dan kemenangan. Tetapi dalam kasus Pilkada Serentak 2018 di Indonesia sebagaimana telah diurai di atas, ada kecenderungan bahwa koalisi yang dibangun bukan hanya atas dasar MWC--dan orientasi office seeking-nya yang kental. Tetapi ada satu kecenderungan bahwa koalisi yang

Ukuran koalisi Jumlah Pasangan Calon Kecil (2-3) 5-6 pasangan calon Sedang (4-6) 3-4 pasangan calon Besar ( >6) 2 pasangan calon Mayoritas partai Calon tunggal

Page 28: KONSTELASI POLITIK DI TAHUN ELEKTORAL

140 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 15 No. 2 Desember 2018 | 129–142

muncul adalah koalisi mayoritas mutlak--dalam demokrasi lokal. Tipe atau model koalisi demikian mungkin tidak pernah terjadi pada demokrasi parlementer, karena selain ada pola MWC, juga ada pola koalisi lain yang didasarkan oleh policy-seeking, posisi kebijakan sebuah partai. Tetapi dalam kasus di Indonesia, khususnya pada Pilkada Serentak 2018 yang lalu kecenderungan koalisi kartel (cartel caoalition) begitu sering terjadi, bahkan kecenderungan itu pun hampir terjadi pada pola koalisi Pilpres 2019, dengan berhimpunnya partai-partai tanpa mempedulikan idelogi, platform partai, kebijakan partai, dan alasan-alasan rasional lainnya.

Fenomena koalisi kartel ini mirip dengan lahirnya sebuah industri holding dalam politik, ketika mekanisme pasar--elektabilitas dan faktor keterpilihan--menjadi ukuran utama dalam pertimbangan berkoalisi. Koalisi kartel adalah sebuah koalisi untuk mempertahankan kekuasaan dengan menghimpun sebanyak-banyaknya partai pendukung. Ciri utamanya adalah office-seeking, keuntungan sebesar-besarnya untuk memperoleh kekuasaan.

Menurut Ambardi, konsep kartel pertama kali dikenalkan oleh Daniel Katz dan Peter Mair tahun 1995 di mana pada masa tersebut mulai bermunculan partai-partai baru yang bercorak lain yang kemudian disebut partai kartel. Partai sebelumnya lebih bertipe partai kader, partai massa dan partai lintas kelompok. Dua partai yang paling mencolok perbedaannya adalah partai massa dan partai kartel. Partai massa muncul untuk mewadahi kepentingan kelompok yang tak terakomodir dalam politik elektoral seperti kelas buruh. Eva Kusuma Sundari juga menyebutkan hal yang hampir sama mengenai ciri-ciri kartel politik yaitu: pertama, menghilangnya peran ideologi partai sebagai faktor penentu koalisi antar partai. Kedua, sikap permisif dalam pembentukan koalisi. Ketiga, tiadanya oposisi yang benar-benar melakukan kritik terhadap pemerintah. Keempat, pemilu tidak berpengaruh dalam menentukan perilaku partai. Kelima, kuatnya kecenderungan partai untuk bertindak secara kolektif sebagai satu kelompok. Di Indonesia menguatnya politik kartel terjadi pada pasca reformasi. Dalam hal ini, penulis menyebut koalisi kartel sebagai

koalisi yang dibangun oleh partai-partai secara berkelompok bukan atas dasar ideologi dan kesamaan tetapi lebih merupakan usaha untuk mempertahankan kekuasaan atau dalam arti yang lain takut kehilangan kekuasaan, dan nyaris situasi politik tidak memberikan alternatif bagi munculnya calon lain. Dengan membatasi pada itu, beberapa fenomena mengelompoknya partai dalam koalisi Pilkada Serentak 2018 yang lalu bisa dimaknai dan diberi tekanan, khususnya lahirnya calon tunggal akibat koalisi mayoritas mutlak.

Dalam konteks itu, sebenarnya sudah ada alternatif lain dengan lahirnya pendekatan spasial, berdasarkan posisi kebijakan partai, yang memberi kerangka koheren untuk menganalisis pembentukan koalisi menggantikan model awal ‘kebijakan-buta’ (Laver dan Schofield, 1998), di mana kebijakan dan ideologi partai bisa dijadikan sebagai alat ukur. Namun, dalam konteks pilkada serentak 2018 yang lalu tipe seperti itu hampir tidak muncul dan tidak ada pelajarannya sama sekali.

Sejumlah partai yang berkoalisi, baik pada koalisi Pilkada Serentak Gubernur/Wakil Gubernurdan Pilkada Serentak Bupati/Wakil Bupati--Walikota/Wakil Walikota “terkungkung” oleh orientasi pragmatisme yang tidak linear dalam dua proses pilkada dalam pilkada serentak. Orientasi kaolisinya lebih cenderung konstekstual, mengadaptasi perkembangan dan dinamika politik elektoral yang terjadi, di mana elektabilitas menjadi faktornya yang paling dominan. Pilihan-pilihan rasional yang dikedepankan adalah pilihan situasional dengan merangkai kemungkinan menang lebih besar ketimbang membawa posisi kebijakan yang akan ditawarkan kepada pemilih. Oleh karena itu, salah satu sumbangan dalam melengkapi teori koalisi sebagaimana telah disebut di atas ialah bahwa koalisi akibat elektabilitas calon. Tipe koalisi ini bisa memunculkan koalisi kartel, tetapi juga bisa memunculkan model baru yaitu koalisi mayoritas yang melahirkan calon tunggal. Fenomena seperti itu tidak pernah terjadi pada pengalaman koalisi demokrasi parlementer di beberapa negara yang menganutnya.

Page 29: KONSTELASI POLITIK DI TAHUN ELEKTORAL

Koalisi “Nano-Nano” Pilkada Serentak 2018 | Moch. Nurhasim | 141

Lalu bagaimana dampaknya? Pertama, koalisi semata-mata dibangun untuk mencapai kemenangan. Kedua, koalisi yang dibangun minim visi dan misi atau ide dan gagasan. Ketiga, siapapun calon yang menang yang diusung oleh koalisi, nyaris tidak ada perbedaan yang signifikan. Sebagai contoh, sulit membedakan ciri koalisi yang diusung oleh partai pemenang pemilu--PDIP dengan partai-partai pendukung pemerintah pusat dalam Koalisi Indonesia Hebat (KIH) dengan koalisi yang dicampur dengan partai-partai oposisi dengan Gerindra, PKS, PAN, dan Demokrat.

PenutupPilkada serentak sebagai satu konsep elektoral yang diharapkan dapat membawa perubahan yang signifikan dan perbedaan yang menonjol dalam bangunan koalisi pemerintahan di tingkat lokal tidak terjadi dan tidak ada cirinya. Semuanya hampir sama, koalisi “nano-nano”, koalisi yang dicampur dan koalisi mayoritas untuk memperoleh kedudukan sebagai kepala daerah. Dalam praktik seperti itu, konsep elektoral mengalami deviasi karena unsur kepentingan publik yang perlu terlindungi dalam proses elektoral diabaikan.

Perkembangan demokrasi di tingkat lokal seperti itu, sebenarnya memunculkan perdebatan konseptual sebagai upaya untuk mengembangkan demokrasi pemerintahan daerah yang lebih baik. Munculnya koalisi kartel, koalisi campur aduk, atau pun koalisi mayoritas-tunggal menyebabkann terjadinya politik kolektif dalam penyelenggaraan pemerintahan yang berkonotasi negatif, karena tidak adanya oposisi dan pengawasan. Kasus korupsi berjamaah di Malang dan beberapa tempat lainnya antara eksekutif dan legislatif merupakan bagian dari maraknya tipe koalisi kartel dalam berpolitik, di mana politik dijalankan secara kolektif sehingga pengawasan menjadi lemah. Hal itu sejalan dengan konsepsi politik kartel yang pernah dikembangkan oleh Kriskrido Ambardi. Ambardi berpendapat bahwa sejak era reformasi partai-partai di Indonesia telah membentuk sistem kepartaian yang mirip kartel. Ia juga menunjukkan bukti-bukti yang menguatkan ciri kartel dalam sistem kepartaian di Indonesia,

yakni (1) hilangnya peran ideologi partai sebagai sebagai faktor penentu perilaku koalisi partai; (2) sikap permisif dalam pembentukan koalisi; (3) tiadanya oposisi; (4) hasil-hasil Pemilu hampir-hampir tidak berpengaruh dalam menentukan perilaku partai politik; dan (5) kuatnya kecenderungan partai untuk bertindak secara kolektif sebagai satu kelompok. Kelima ini, khususnya yang kelima, berlawanan dengan sifat umum sistem kepartaian yang kompetitif.20 Dampak dari sistem kepartaian yang mirip kartel itu telah meluas dalam formasi koalisi politik yang dibangun oleh partai politik, karena proses kandidasi cenderung ditentukan oleh elit dan person-person elit partai yang kuat. Pengaruhnya tidak hanya dalam menentukan calon gubernur/wakil gubernur, bupatai/wakil bupati, walikota/wakil walikota, tetapi juga formasi koalisi dengan pihak mana dan partai mana. Model koalisi antar-oposan yang dikembangkan oleh Richard Jensen,21 mungkin bisa menjadi salah satu penjelas, selain koalisi kartel.

Jansen menyebut bahwa koalisi antar-oposan bisa terjadi ketika ada ancaman umum, ancaman bersama dan motivasi utilitarian, sebagai dampak dari delegitimasi kekuasan dan ketidakpercayaan masyarakat pada partai politik. Dalam suasana itu, antar-partai oposan membangun koalisi untuk menciptakan nilai baru dan harapan baru. Sayangnya, pola koalisi ini pada Pilkada Serentak 2018 juga tidak terjadi, meski di beberapa tempat saja muncul, dan sebagian ada yang menjadi pemenangnya.

Proses partai menuju sifat-sifat politik kartel tersebut secara berangsur-angsur juga memengaruhi proses penentuan koalisi dalam pilkada serentak 2018. Hasilnya, koalisi yang dibentuk tidak membedakan apa-apa kecuali mereka terhindar dari kewajiban koalisi yang menjadi salah satu ketentuan yang wajib dipenuhi oleh partai pada UU No. 10 Tahun 2016.

20 Dictio, “Apa itu politik kartel”, https://www.dictio.id/t/apa-itu-politik-kartel/12433/2, diakses pada 5 Juli 2018.

21 Lihat: Richard J. Jansen, “Party Coalition and the Search for Modern Values: 1820-1970”, dalam Seymour Martin Lipset (ed), In Emerging Coalition in American Politics, (San Fransisco: Institute for Contemporary Studies, 1978).

Page 30: KONSTELASI POLITIK DI TAHUN ELEKTORAL

142 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 15 No. 2 Desember 2018 | 129–142

Daftar PustakaBuku dan Jurnal Ambardi, Kuskrido. Mengungkap Politik Kartel. Ja-

karta: Gramedia Pustaka Utama, 2009.Firmanzah. Marketing Politik. Jakarta: Yayasan Obor

Indonesia, 2007.Hidayat, Syarif. “Pilkada, Money Politics and the

Dangers of “Informal Governance” Practices.” dalam Priyambudi Sulistiyanto and Maribeth Erb (eds). Deepening Democracy in Indonesia: Direct Elections for Local Leaders (Pilkada). Singapore: ISEAS, 2009.

Hilman, Yusuf Adam. “Analisis Peta Politik Kan-didat Calon Gubernur dan Arah Koalisi pada Kontestasi Pemilihan Gubernur Jawa TImur 2018,” Jurnal Wacana Politik, Vol. 3, No. 1 (2018): 2549-2969.

Katz, Richard S dan Crotty, William (Eds.). Hand-book of Party Politics. London: Sage Publica-tions, 2006.

Laver, Michael, dkk., “Coalition Theory and Lo-cal Government: Coalition Payoffs in Britain” British Journal of Political Science, Vol. 17, No. 4 (1987).

Laver, M. and Schofield, N., Multiparty Government. The Politics of Coalition in Europe. Michigan University Press, 1998.

Laver, M. and Shepsle, K. “Coalitions and Cabinet Government”. The American Political Science Review, 84, 3 (1990).

Lipset, Seymour Martin (ed). In Emerging Coalition in American Politics. San Fransisco: Institute for Contemporary Studies, 1978.

Makhasin, Luthfi. “Orientasi Ideologi dan Pragma-tisme Politik Model Pembentukan Koalisi dalam Pilkada Serentak di Jawa Tengah 2015”, Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Volume 19, Nomor 3 (2016).

Martin, L. and Stevenson, R., “Government Forma-tion in Parliamentary Democracies”. Ameri-can Journal of Political Science, 45, 1 (2001).

Mietzner, Marcus. “Political Opinion Polling in Post-Authoritarian Indonesia: Catalyst or Obstacle to Democratic Consolidation?,” Bij dragen tot de Taal, Land en Volkenkunde, Vol. 165 No. 1 (2008).

Riker, W. The Theory of Political Coalitions. New Ha-ven, CT: Yale University Press, 1962.

Volden, Craig and Carrubba, Clifford J. “The Forma-tion of Oversized Coalitions in Parliamentary Democracies”, American Journal of Political Science, Vol. 48, No. 3 (2004).

Von Neumann, J. and Morgenstern, O. Theory of Games and Economic Behavior. Princeton Uni-versity Press, 1953.

Yuda, Hanta. Presidensialisme Setengah Hati. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2010.

Sumber OnlineDictio, “Apa itu politik kartel”, https://www.dictio.

id/t/apa-itu-politik-kartel/12433/2. Redaksi, “PDIP-Gerindra Koalisi di 48 Daerah, PDIP-

PKS di 33 Daerah”, 26 Juni 2018, dalam www.detik.com.

www.kpu.go.id.

Page 31: KONSTELASI POLITIK DI TAHUN ELEKTORAL

Pilkada Langsung, Calon Tunggal, dan Masa Depan Demokrasi Lokal | Lili Romli | 143

PILKADA LANGSUNG, CALON TUNGGAL, DAN MASA DEPAN DEMOKRASI LOKAL

DIRECT LOCAL ELECTION, SINGLE CANDIDATE AND THE FUTURE OF LOCAL DEMOCRACY

Lili Romli

Pusat Penelitian Politik – Lembaga Ilmu Pengetahuan IndonesiaEmail: [email protected]

Diterima: 13 September 2018; Direvisi: 27 September 2018; Disetujui: 30 Desember 2018

Abstract

This article aims to explain about direct local election which based on uncertain regulation. Since 2005 the regulation of local election has changed continuously. This article also would like to explain the phenomenon of the emergence of single candidates in local election. Most of the single candidates in direct local election to be a winner, except of local election in Makassar. There are several factors that encourage a single candidate in local election, namely pragmatism of political parties; regeneration failure, requirements as candidates are getting heavier, and “political dowry” is more expensive recently. The victory of the single candidates in the local election to be obstacle in democratization process because no checks and balances.

Keywords : Election of Regional Heads, Single Candidates, Political Parties, and Local Democracy.

Abstrak

Artikel ini bertujuan untuk menjelaskan tentang pemilihan kepala daerah yang dimulai sejak tahun 2005 yang terus mengalami perubahan aturan mainnya. Artikel ini juga ingin menjelaskan tentang fenomena munculnya calon tunggal dalam pemilihan kepala daerah. Para calon tunggal tersebut sebagian besar menang dalam pemilihan kepala daerah, hanya calon tunggal di Kota Makassar yang mengalami kekalahan. Ada beberapa faktor yang menyebabkan munculnya calon tunggal, yaitu pragmatisme partai politik; kegagalan kaderisasi, persyaratan sebagai calon yang semakin berat, dan “mahar politik” yang semakin mahal. Kemenangan para calon tunggal dalam pilkada tersebut bisa menghambat proses demokrasi lokal karena mekanisme check and balances tidak berjalan.

Kata Kunci: Pemilihan Kepala Daerah, Calon Tunggal, Partai Politik, dan Demokrasi Lokal.

PendahuluanPasca reformasi, perjalanan demokrasi baik di tingkat pusat maupun daerah, terus bergerak mencari bentuk dan format yang sesuai dengan tuntutan dan perkembangan masyarakat Indonesia. Di tingkat pusat, misalnya, pemilihan presiden dan wakil presiden yang semula di pilih oleh MPR RI, melali amandamen ketiga, menjadi

dipilih langsung oleh rakyat. UUD 1945 Pasal 6A menyatakan,

“Presiden dan wakil presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat. Pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum. Pasangan calon presiden dan wakil presiden yang mendapatkan

Page 32: KONSTELASI POLITIK DI TAHUN ELEKTORAL

144 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 15 No. 2 Desember 2018 | 143–160

suara lebih dari lima puluh persen dari jumlah suara dalam pemilihan umum dengan sedikitnya dua puluh persen suara disetiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsidi Indonesia, dilantik menjadi presiden dan wakil presiden”.

Pemilihan presiden yang semula dimonopoli oleh MPR, sebagai pemegang kedaulatan rakyat, namum kedaulatan rakyat tersebut disalahgunakan dan “dikebiri” menjadi kepentingan segelintir elit atau oligarki. Dengan pemilihan presiden langsung tersebut, maka akan memperkuat legitimasi seorang presiden karena ia dipilih langsung oleh rakyat atau yang dikenal dengan suara rakyat adalah suara tuhan (vox populi vox dey). Oleh karena itu, seorang presiden yang dipilih secara langsung memiliki ligitimasi yang tinggi. Pemilihan presiden langsung berarti juga memberikan kepercayaan kepada rakyat selaku pemegang kedaulatan tertinggi untuk turut serta berpartisipasi dalam memilih dan menentukan pemimpinnya (presiden dan wakil presiden).

Tak hanya pusat, di tingkat daerah-pun terjadi gelombang demokratisasi melalui terbitnya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah. Perkembangan demokratisasi lokal berubah secara siginifikan dengan terbitnya UU No. 32 tahun 2004, yang menggantikan UU No. 22 Tahun 1999. Dalam UU No. 32 Tahun 2004 ini ada perubahan mendasar di mana pemilihan kepala daerah (Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, dan Walikota/Wakil Walikota) yang semula dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), menjadi dipilih langsung oleh rakyat, yang kerap disebut sebagai pemilihan kepala daerah secara langsung (pilkada langsung).

Dalam perkembangannya, peserta pemilihan kepala daerah tidak hanya diikuti oleh calon yang berasal dari partai politik atau gabungan partai politik, namun juga berasal dari calon independen atau perseorangan. Adalah Lalu Ranggalawe, Anggota DPRD Kabupaten Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat, yang melakukan judicial review kepada Mahkamah Konstitusi (MK) atas pasal 59 UU No. 32 Tahun 2004. Melalui Putusan MK Nomor 5/PUU-V/2007, gugatan tersebut dikabulkan. Akhirnya melalui UU No. 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah (UU

Pilkada), pasal 9 ayat (1) menyebutkan perubahan peserta pemilihan kepala daerah;

“Peserta pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah adalah: a. pasangan calon yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik. b. pasangan calon perseorangan yang didukung oleh sejumlah orang”.

Berdasarkan UU tersebut, pelaksanaan pilkada dilakukan secara serentak mulai tahun 2015 dan berlanjut tahun 2017 dan 2018. Akan tetapi, dinamika yang mewarnai kontestasi politik dalam pilkada langsung justru nampak bergerak mundur dengan munculnya fenomena calon tunggal di beberapa daerah. bahkan, calon tunggal dalam pilkada diatur secara formal dalam UU No.10 tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah..

Jika dalam pilkada serentak 2015, ada tiga daerah yang memiliki pasangan calon tunggal, maka pada pilkada serentak 2017 jumlah pasangan calon tunggal bertambah menjadi 9 daerah. Bahkan, pada pilkada serentak tahun 2018 jumlahnya meningkat menjadi 16 daerah. Dengan demikian, terjadi peningkatan kehadiran pasangan calon tunggal secara signifikan dari tiga kali pilkada serentak.

Munculnya pasangan calon tunggal tersebut tentu menjadi pertanyaan terkait dengan peran partai politik di satu sisi dan perkembangan demokrasi tingkat lokal di sisi lain. Melalui pendekatan kualitatif dengan didukung oleh data sekunder, ulisan ini akan menguraikan dan menganalisis tentang fenomena munculnya pasangan calon tunggal dan faktor-faktor penyebabnya serta bagaimana dampaknya bagi masa depan demokrasi di tingkat lokal.

Format Pilkada LangsungKebijakan desentralisasi dan otonomi daerah dengan format pemilihan kepala daerah yang semula tidak langsung (dipilih oleh DPRD) menjadi pilkada langsung seperti sekarang, tampaknya tidak sekali jadi, penuh rintangan dan tantangan. Apalagi hingga saat ini ada tuntutan dan dorongan agar mengembalikan proses pilkada langsung menjadi tidak langsung, yakni menjadi kewenangan DPRD, seperti yang diatur dalam

Page 33: KONSTELASI POLITIK DI TAHUN ELEKTORAL

Pilkada Langsung, Calon Tunggal, dan Masa Depan Demokrasi Lokal | Lili Romli | 145

UU No. 22 Tahun 1999. Tuntutan itu cukup intens dan tinggi, terutama dari kalangan anggota DPRD dan/atau partai politik. Kelemahan-kelemahan yang muncul dalam pilkada langsung, seperti maraknya money politics, konflik horizontal, pelaksanaan pilkada berbiaya mahal, sampai dengan banyaknya kepala daerah yang menjadi tersangka dan terjaring OTT (operasi tangkap tangan) KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), menjadi alasan utama agar pilkada dikembalikan ke DPRD lagi. Padahal proses pengembalian pilkada ke DPRD tersebut sudah pernah ditolak oleh masyarakat luas saat terbitnya UU No. 1 Tahun 2014. Pemerintah kemudian membatalkan UU tersebut dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perppu) No. 1 Tahun 2015. Perppu ini kemudian disetujui oleh DPR yang kemudian menjadi UU No. 8 Tahun 2015 jo. UU No. 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah.

Seperti diketahui, ada raison d’etre dan urgensi mengapa pilkada harus langsung dipilih oleh rakyat tidak melalui DPRD. Hal ini diakarenakan pilkada via DPRD mengidap sejumlah kelemahan-kelemahan, yaitu: (1) pemilihan kepala daerah melalui DPRD bersifat oligarkhis dan elitis, di mana hanya pimpinan elit partai dan angota DPRD yang berhak menentukan seseorang terpilih menjadi kepala daerah; (2) kepala daerah terpilih belum tentu sesuai dengan aspirasi dan keinginan masyarakat luas atau rakyat sebagai pemilik kedaulatan tertinggi; (3) pemilihan kepala daerah melalui DPRD menyebabkan kepala daerah terpilih sangat tergantung pada DPRD sehingga kurang aspiratif terhadap aspirasi dan kepentingan daerah.1

Sementara itu, pilkada langsung yang dipilih oleh rakyat memberikan beberapa keuntungan atau kelebihan. Pertama, memutus oligarki dan peran DPRD yang elitis dalam menentukan kepala daerah. Kedua, kepala daerah terpilih mendapatkan mandat langsung dari rakyat dan memiliki legitimasi yang kuat. Ketiga, memperkuat akuntabilitas dan responsibilitas kepala daerah terpilih kepada rakyat. Keempat, pilkada langsung akan meningkatkan partisipasi

1 Lihat: Lili Romli, Otonomi Daerah dan Wakil Rakyat di Tingkat Lokal, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006).

masyarakat secara luas yang pada gilirannya memperkuat demokratisasi di tingkat lokal. 2

Dengan beberapa pertimbangan keuntungan dan kelebihan pilkada langsung tersebut, bukan berarti format pilkada langsung menjadi sesuatu yang sudah final. Ada beberapa distorsi tentang proses pilkada langsung bila dilihat dari sisi regulasinya. Pada awalnya, dalam UU No. 32 tahun 2004, pilkada langsung tidak masuk dalam rezim pemilu. Hal ini terlihat dari penyelenggara pilkada, yakni Komisi Penyelengggara Pemilu Daerah (KPUD) yang secara kirarkis bukan bertanggung jawab kepada KPU Pusat tetapi kepada DPRD.3 Begitu juga dengan Panitia Pengawas Pemilu (Panwas) dipilih oleh DPRD sehingga dapat mengurangi independensi sebagai lembaga pengawas yang harusnya bersifat independen.

Adapun, regulasi tentang pemilihan kepala daerah juga tidak dibuat oleh KPUD tetapi oleh Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) melalui PP No. 6 tahun 2005 jo. PP No. 17 tahun 2005. Selainitu, sengketa pilkada juga bukan ditangani oleh Mahkamah Konstitusi (MK) tetapi oleh Mahkamah Agung (MA).4 Namun dalam perkembangannya, melalui UU No. 12 Tahun 2008, penanganan tentang sengketa hasil penghitungan suara akhirnya dialihkan kepada MK.5 Dalam revisi UU yang baru, UU No. 10 Tahun 2016, sengketa hasil pilkada tidak lagi ditangani oleh MK tetapi oleh peradilan khusus. Pasal 159 menyatakan, “perkara perselisihan

2 Lihat: Sri Nuryanti (ed.), Analisis Proses dan Hasil Pemilihan Kepala Daerah Langsung di Indonesia, (Jakarta: LIPI Press, 2006).

3 Tentang pertanggungjawaban KPUD kepada DPRD ini dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi. Lihat: Putusaan MK N0.072-073/PUUU-II/2004. Lihat: Edison Muchlis M., “Telaah Sistem dan Proses Pilkada Langsung 2005”, dalam Sri Nuryanti (ed.), Analisis Proses dan Hasil Pilkada Langsung 2005 di Indonesia, (Jakarta: LIPI Press, 2006), hlm.39.

4 UU No. 32 Tahun 2004, Pasal 106 menyatakan, “Keberatan terhadap penetapan hasil pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah hanya dapat diajukan oleh pasangan calon kepada Mahkamah Agung dalam waktu paling lambat 3 (tiga) hari setelah penetapan hasil pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah”.

5 UU No. 12 Tahun 2008 Pasal 239C menyatakan, “Penanganan sengketa hasil penghitungan suara pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah oleh Mahkamah Agung dialihkan kepada Mahkamah Konstitusi paling lama 18 (delapan belas) bulan sejak Undang-Undang ini diundangkan”.

Page 34: KONSTELASI POLITIK DI TAHUN ELEKTORAL

146 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 15 No. 2 Desember 2018 | 143–160

hasil pemilihan diperiksa dan diadili oleh badan peradilan khusus. Badan peradilan khusus dibentuk sebelum pelaksanaan pilkada serentak nasional”.

Meski pilkada langsung dipandang memiliki berbagai kelebihan namun ternyata regulasi yang mengaturnya justru mengalami bongkar pasang. Ini terlihat dari beberapa kali revisi terhadap aturan UU tentang pilkada langsung. Semula regulasi pilkada langsung melalui UU No. 32 Tahun 2004, kemudian dirubah menjadi UU No. 12 Tahun 2008. Kedua UU ini Pilkada masih menjadi bagian dari regulasi tentang pemerintahan daerah. Dalam perkembangannya, kedua UU ini direvisi dan diatur dalam regulasi tersendiri dengan terbitnya UU No. 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota. Namun, UU ini ditolak oleh masyarakat luas karena pilkada dikembalikan kepada DPRD sehingga pemerintah menerbitkan Perppu No. 1 Tahun 2014 yang membatalkan UU No. 1 Tahun 2014. Perppu tersebut kemudian disetujui oleh DPR dengan menerbitkan UU No. 8 Tahun 2015. Pada tahun 2016 regulasi tentang Pilkada langsung mengalami revisi lagi dengan terbitnya UU No. 10 Tahun 2016.

Dalam beberapa regulasi tersebut, ada beberapa hal yang menjadi perhatian terutama terkait dengan aturan main dalam pilkada. Pertama, tentang ambang batas partai politik atau gabungan partai politik dalam pencalonan. Semula regulasi yang ada mengatur bahwa partai politik harus memenuhipersyaratan memperoleh minimal 15% dari jumlah kursi DPRD atau 15% dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilu anggota DPRD di daerah bersangkutan. Persyaratan ini kemudian dirubah menjadi minimal 20% dari jumlah kursi DPRD atau 25% dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilihan umum anggota DPRD di daerah yang bersangkutan.

Kedua, persyaratan calon independen atau calon perseorangan. Dalam UU No. 12 Tahun 2008 disebutkan bahwa pasangan calon perseorangan dapat mendaftarkan diri sebagai pasangan apabila memenuhi syarat dukungan 3% sampai dengan 6,5% dari jumlah penduduk di daerah yang bersangkutan. Jika jumlah penduduknya sedikit maka syarat

dukungannya maksimal 6,5%, sedangkan jika jumlah penduduknya banyak maksimal syarat dukungannya 3%. Namun, dalam UU No. 10 Tahun 2016 syarat dukungan pasangan calon perseorangan tersebut berubah menjadi lebih berat, yaitu antara 6,5% sampai dengan 10%, baik untuk tingkat kabupetan/kota maupun untuk tingkat provinsi.

Ketiga, ambang batas penentuan pemenang pilkada langsung. Dalam UU No. 32 disebutkan bahwa pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang memperoleh suara lebih dari 50 % jumlah suara sah ditetapkan sebagai pemenang. Apabila ketentuan ini tidak terpenuhi, pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang memperoleh suara lebih dari 25% dari jumlah suara sah, dinyatakan sebagai pemenang. Jika ketentuan ini tidak terpenuhi (tidak ada yang mencapai 25 %) maka dilakukan pemilihan putaran kedua yang diikuti oleh pemenang pertama dan pemenang kedua.6 Ketentuan tersebut kemudian diubah pada UU No. 12 Tahun 2008, yang menyatakan bahwa pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang memperoleh suara lebih dari 30% dari jumlah suara sah, pasangan calon tersebut dinyatakan sebagai pemenang, namun bila tidak tercapai, pemenang pertama dan kedua mengikuti putaran kedua.7 Ketentuan tersebut berubah dalam UU No. 8 Tahun 2015 jo UU No. 10 Tahun 2016, yang menyatakan bahwa pasangan calon kepala daerah yang memperoleh suara terbanyak dinyatakan sebagai pemenang pilkada.8

Keempat, jika dalam UU pilkada sebelumnya tidak diatur tentang batas suara yang dapat disengketakan dalam perkara di MK, dalam UU No. 8 Tahun 2015 Jo UU No. 10 Tahun 2016 mengatur tentang hal tersebut. Dalam Pasal

6 Lihat Pasal 107 UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

7 Lihat Pasal 107 UU No. 12 Tahun 2008 Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah

8 Lihat Pasal 107 dan Pasal 109 UU No. 8 Tahun 2015 Jo. UU No. 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang.

Page 35: KONSTELASI POLITIK DI TAHUN ELEKTORAL

Pilkada Langsung, Calon Tunggal, dan Masa Depan Demokrasi Lokal | Lili Romli | 147

158 ayat (1) menyatakan, peserta pemilihan gubernur dan wakil gubernur dapat mengajukan permohonan pembatalan penetapan hasil penghitungan suara dengan ketentuan,

a. Provinsi dengan jumlah penduduk sampai dengan 2.000.000 (dua juta) jiwa, pengajuan perselisihan perolehan suara dilakukan jika terdapat perbedaan paling banyak sebesar 2% (dua persen) dari penetapan hasil penghitungan perolehan suara oleh KPU Provinsi;

b. Provinsi dengan jumlah penduduk lebih dari 2.000.000 (dua juta) sampai dengan 6.000.000 (enamjuta), pengajuan perselisihan perolehan suara dilakukan jika terdapat perbedaan paling banyaksebesar 1,5% (satu koma lima persen) dari penetapan hasil penghitungan perolehan suara oleh KPU Provinsi;

c. Provinsi dengan jumlah penduduk lebih dari 6.000.000 (enam juta) sampai dengan 12.000.000 (duabelas juta) jiwa, pengajuan perselisihan perolehan suara dilakukan jika terdapat perbedaan paling banyak sebesar 1% (satu persen) dari penetapan hasil penghitungan perolehan suara oleh KPU Provinsi; dan

d. Provinsi dengan jumlah penduduk lebih dari 12.000.000 (dua belas juta) jiwa, pengajuan perselisihan perolehan suara dilakukan jika terdapat perbedaan paling banyak sebesar 0,5% (nol koma lima persen) dari penetapan hasil penghitungan perolehan suara oleh KPU Provinsi.

Sedangkan aturan untuk pilkada Kabupaten dan Kota, pada ayat (2) menyatakan bahwa peserta pemilihan bupati dan wakil bupati serta walikota dan wakil walikota dapat mengajukan permohonan pembatalan penetapan hasil penghitungan perolehan suara dengan ketentuan;

a. Kabupaten/Kota dengan jumlah penduduk sampai dengan 250.000 (dua ratus lima puluh ribu) jiwa,pengajuan perselisihan perolehan suara dilakukan jika terdapat perbedaan paling banyak sebesar 2% (dua persen) dari penetapan hasil penghitungan perolehan suara oleh KPU Kabupaten/Kota;

b. Kabupaten/Kota dengan jumlah penduduk sampai dengan 250.000 (dua ratus lima puluh ribu) jiwa sampai dengan 500.000 (lima ratus ribu) jiwa, pengajuan perselisihan perolehan suara dilakukan apabila terdapat perbedaan paling banyak sebesar 1,5% (satu koma lima persen) dari penetapan hasil penghitungan perolehan suara oleh KPU Kabupaten/Kota;

c. Kabupaten/Kota dengan jumlah penduduk sampai dengan 500.000 (lima ratus ribu) jiwa sampai dengan 1.000.000 (satu juta) jiwa, pengajuan perselisihan perolehan suara dilakukan jika terdapat perbedaan paling banyak sebesar 1% (satu persen) dari penetapan hasil penghitungan perolehan suara oleh KPU Kabupaten/Kota; dan

d. Kabupaten/Kota dengan jumlah penduduk lebih dari 1.000.000 (satu juta) jiwa, pengajuan perselisihan perolehan suara dilakukan jika terdapat perbedaan paling banyak sebesar 0,5% (nol koma lima persen) dari penetapan hasil penghitungan perolehan suara oleh KPU Kabupaten/Kota.

Kelima, dalam UU sebelumnya bila kepala daerah atau wakil kepala daerah tidak dapat menjalankan tugas secara tetap (meninggal atau mengundurkan diri) maka partai pengusung mengajukan satu calon kepada DPRD untuk dipilih dan ditetapkan sebagai kepala daerah atau wakil kepala daerah. Namun dalam UU yang baru, UU No. 8 Tahun 2015 Jo UU No. 10 Tahun 2016 berubah. Pada Pasal 174 disebutkan,

“Dalam hal Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati danWakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota tidakdapat menjalankan tugas, dilakukan pengisian jabatan melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Partai politik atau gabungan partai politik pengusung mengusulkan 2 (dua) pasangan calon kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah untuk dipilih. Dalam hal Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati danWakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota berasal dari perseorangan tidak dapat menjalankan tugas, dilakukan pengisian jabatan melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang calonnya berasal daripartai politik atau gabungan partai politik yang memiliki kursi di Dewan

Page 36: KONSTELASI POLITIK DI TAHUN ELEKTORAL

148 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 15 No. 2 Desember 2018 | 143–160

Perwakilan Rakyat Daerah paling sedikit 20% dari jumlah kursi atau memiliki paling sedikit 25% dari perolehan suara dapat mengajukan pasangan calon.9

Keenam, pilkada serentak nasional. Tidak seperti dalam UU Pilkada sebelumnya, yang tiap tahun dilaksanakan pilkada, maka mulai tahun 2015, pilkada dilaksanakan secara serentak, meski belum bersifat nasional. Oleh karena itu, keserentakannya dibagi empat tahap, pertama, pilkada serentak pada 9 Desember 2015 yang diikuti oleh 271 daerah yang terdiri 8 provinsi, 170 kabupaten dan 26 kota. Kedua, pilkada serentak pada Februari 2017 yang dilaksanakan di 99 daerah, terdiri dari 8 provinsi dan 91 kabupaten/kota. Ketiga, pilkada serentak yang dilaksanakan pada Juni 2018 diikuti 171 daerah, terdiri dari 17 provinsi dan 154 kabupaten/kota, dan keempat pilkada serentak yang akan dilaksanakan pada 2020. Sedangkan, pada tahun 2024 nanti akan dilaksanakan pilkada serentak secara nasional.

Putusan MK tentang Calon TunggalAdalah Effendi Gazali yang mengajukan judicial review ke MK terhadap pasal-pasal dalam UU No. 8 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentanng Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota menjadi Undang-Undang. Adapun pasal-pasal yang dimohonkan ke MK yaitu: Pasal 49 ayat (8) dan ayat (9), Pasal 50 ayat (8) dan ayat (9), Pasal 51 ayat (2), Pasal 52 ayat (2), dan Pasal 54 ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) UU No. 8 Tahun 2015. Adanya pasal-pasal tersebut, Pemohon merasa dirugikan hak konstitusionalnya, karena:

“... ketentuan yang mengharuskan adanya paling sedikit dua pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah untuk dapat diselenggararakan pemilihan kepala daerah, telah merugikan hak konstititusional Pemohon; menimbulkan diskriminasi, sebab pemilih yang tinggal di daerah yang hanya memiliki satu pasangan calon kepala daerah tidak

9 Lihat Pasal 173 dan 174 UU No. 8 Tahun 2015 Jo UU No. 10 Tahun 2016.

dapat memilih sebagaimana halnya pemilih di daerah yang memiliki lebih pasangan calon; menimbulkan kerugian bagi pemilih yang hanya memiliki satu pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah oleh kemungkinan adanya penundaan berkali-kali sampai terpenuhi syarat paling sedikit adanya dua pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah; dan potensial menyebabkan terjadinya perlamabtan dan adanya ketidaksinambungan pembangunan...”.10

Atas dasar itu MK memberikan pertimbangan bahwa:

“Setelah memperhatikan secara saksama rumusan norma UU 8/2015 yang dimohonkan pengujian, maka tampak nyata kalau pembentuk Undang-Undang, di satu pihak, menginginkan kontestasi Pemilihan Kepala Daerah diikuti setidak-tidaknya oleh dua pasangan calon, tetapi di lain pihak, sama sekali tidak memberikan jalan keluar seandainya syarat paling kurang dua pasangan calon tersebut tidak terpenuhi. Dengan demikian, akan ada kekosongan hukum manakala syarat paling kurang dua pasangan calon tersebut tidak terpenuhi dimana kekosongan hukum demikian akan berakibat pada tidak dapat diselenggarakannya Pemilihan Kepala Daerah”.

Selanjutnya menurut MK meskipun KPU telah menerbitkan Peraturan PKU No 12/2015, namun peraturan tersebut tidak menyelesaikan persoalan terkait hak rakyat untuk dipilih dan memilih. Alasannya, pertama, penundaan ke pemilihan serentak berikutnya sesungguhnya telah menghilangkan hak rakyat untuk dipilih dan memilih pada pemilihan serentak saat itu. Kedua, andaikatapun penundaan demikian dapat dibenarkan, quod non, tetap tidak ada jaminan bahwa pada pemilihan serentak berikutnya itu, hak rakyat untuk dipilih dan memilih akan dapat dipenuhi karena pasal yang memsyaratkan sekurang-kuranya dua pasangan calon itu sendiri masih berlaku. Oleh karena itu, menurut Mahkamah Konstitusi (MK),11

10 Lihat Salinan Putusan MK No. 100/PUU-XIII/2015.

11 Lihat Salinan Putusan MK No. 100/PUU-XIII/2015.l.

Page 37: KONSTELASI POLITIK DI TAHUN ELEKTORAL

Pilkada Langsung, Calon Tunggal, dan Masa Depan Demokrasi Lokal | Lili Romli | 149

“Adalah bertentangan dengan semangat UUD 1945 jika pemilihan kepala daerah tidak dilaksanakan dan ditunda sampai pemilihan berikutnya sebab hal itu merugikan hak konstitusional warga negara, dalam hal ini hak untuk dipilih dan memilih, hanya karena tak terpenuhinya syarat paling sedikit adanya dua pasangan calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah meskipun sudah diusahakan dengan sungguh-sungguh. Demi menjamin terpenuhinya hak konstitusional warga negara, pemilihan kepala daerah harus tetap dilaksanakan meskipun hanya terdapat satu pasangan calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah walaupun sebelumnya telah diusahakan dengan sungguh-sungguh untuk mendapatkan paling sedikit dua pasangan calon.

Sehubungan dengan itu ada dua catatan yang diajukan oleh MK terkait dengan keberadaan calon tunggal. Pertama, pemilihan kepala daerah yang hanya diikuti oleh satu pasangan calon haruslah ditempatkan sebagai upaya terakhir, semata-mata demi memenuhi hak konstitusional earga negara, setelah seblumnya diusahakan dengan sungguh-sungguh untuk emenmukan paling sedikit dua pasangan calon. Kedua, pemilihan kepala daerah yang hanya diikuti oleh satu pasangan calon, manifestasi kontestasinya lebih tepat apabila dipadankan dengan plebisit yang meminta rakyat (pemilih) untuk menentukan pilihannya apakah “Setuju” atau “Tidak Setuju” dengan pasangan calon tersebut, bukan dengan Pasangan Calon Kotak Kosong, sebagaimana dikonstruksikan oleh Pemohon. Apabila ternyata suara rakyat lebih banyak (hurup tebal oleh penulis) memilih “Setuju” maka pasangan calon dimaksud ditetapkan sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah terpilih. Sebaliknya, apabila ternyata suara rakyat lebih banyak memilih “Tidak Setuju” maka dalam keadaan demikian pemilihan ditunda sampai Pemilihan Kepala Daerah serentak berikutnya. Penundaan demikian tidaklah bertentangan dengan konstitusi sebab pada dasarnya rakyatlah yang telah memutuskan penundaan itu melalui pemberian suara “Tidak Setuju” tersebut.12

12 Lihat Salinan Putusan MK No. 100/PUU-XIII/2015.

Payung hukum tentang keberadaan calon tunggal secara resmi diataur dalam UU No. 10 Tahun 2016. Dalam Pasal 54C menyebutkan bahwa,

“....pemilihan satu pasangan calon dilaksanakan dalam hal memenuhi kondisi: Setelah dilakukan penundaan dan sampai dengan berakhirnya masa perpanjangan pendaftaran, hanya terdapat 1 (satu) pasangan calon yang mendaftar dan berdasarkan hasil penelitian pasangan calon tersebut dinyatakan memenuhi syarat; Terdapat lebih dari 1 (satu) pasangan calon yang mendaftar dan berdasarkan hasil penelitian hanya terdapat 1 (satu) pasangan calon yang dinyatakan memenuhi syarat dan setelah dilakukan penundaan sampai dengan berakhirnya masa pembukaan kembali pendaftaran tidak terdapat pasangan calon yang mendaftar atau pasangan calon yang mendaftar berdasarkan hasil penelitian dinyatakan tidak memenuhi syarat yang mengakibatkan hanya terdapat 1 (satu) pasangan calon”.13

Mekanisme penentuan kemenangan untuk calon tunggalpun sudah diatur dalam UU No 10/2016, yakni calon tunggal dinyatakan menang jika mendapatkan suara lebih dari 50 persen dari suara sah. Namun, apabila kurang dari 50 persen dari suara yang sah, maka yang menang adalah kolom kosong. Undang-undang mengatakan calon yang kalah bisa maju dalam pemilihan berikutnya, yang bisa digelar satu tahun kemudian. Pasal 54D menyatakan,

“KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota menetapkan pasangan calon terpilih pada Pemilihan 1 (satu) pasangan calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54C, jika mendapatkan suara lebih dari 50% (lima puluh persen) dari suara sah. Jika perolehan suara pasangan calon kurang dari sebagaimana dimaksud, pasangan calon yang kalah dalam Pemilihan boleh mencalonkan lagi dalam Pemilihan berikutnya. Pemilihan berikutnya, diulang kembali pada tahun berikutnya atau dilaksanakan sesuai dengan jadwal yang dimuat dalam peraturan perundang-undangan. Pemilihan satu pasangan calon dilaksanakan dengan menggunakan surat suara yang memuat 2 (dua) kolom yang terdiri atas 1 (satu) kolom yang memuat foto pasangan calon dan 1 (satu) kolom kosong yang tidak bergambar.

13 Pasal 54C UU No. 10 Tahun 2016.

Page 38: KONSTELASI POLITIK DI TAHUN ELEKTORAL

150 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 15 No. 2 Desember 2018 | 143–160

Regulasi tentang calon tunggal tersebut ternyata berbeda dengan pertimbangan dan pendapat MK. Pertama, terkait dengan desain suarat suara. Dalam pertimbangan dan pendapat MK, desain surat suara berbentuk kata “Setuju” dan “Tidak Setuju” terhadap pasangan calon yang akan dipilih oleh pemilih. Desain surat suara ini diberlakukan ketika pilkada calon tunggal tahun 2015 di tiga kabupaten, yaitu Kabupaten Tasikmalaya, Kabupaten Blitar, dan Kabupaten Timor Tengah Utara. Akan tetapi daalam UU No. 10 tahun 2016, desain surat suara memuat 2 kolom yang terdiri atas 1 kolom yang memuat foto pasangan calon dan 1 kolom kosong yang tidak bergambar.

Kedua, penentuan pemenang dalam pilkada calon tunggal. Dalam pertimbangan dan pendapat MK atas dasar suara terbanyak. MK mengatakan,

“Apabila ternyata suara rakyat lebih banyak memilih “Setuju” maka pasangan calon dimaksud ditetapkan sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah terpilih. Sebaliknya, apabila ternyata suara rakyat lebih banyak memilih “Tidak Setuju” maka dalam keadaan demikian pemilihan ditunda sampai Pemilihan Kepala Daerah serentak berikutnya”.14

14 Lihat Salinan Putusan MK No. 100/PUU-XIII/2015, hal

Sumber:https://biz.kompas.com/read/2015/12/08/090005428/Cermati.Tata.Cara.Pencoblosan.

Pastikan.Suara.Anda.Sah. Diakses pada10 Agustus 2018.

Gambar 1. Contoh: Surat Suara “Setuju” dan “Tidak Setuju” sesuai dengan Pertimbangan MK Pada Pilkada 2015.

Page 39: KONSTELASI POLITIK DI TAHUN ELEKTORAL

Pilkada Langsung, Calon Tunggal, dan Masa Depan Demokrasi Lokal | Lili Romli | 151

Kemenangan Calon Tunggal Jika kita melihat regulasi tentang pasangan calon tunggal dalam UU No. 10 Tahun 2016, tidak jauh berbeda dengan bukan pasangan calon tunggal (lebih dari satu pasangan calon). Yang membedakan hanya ambang batas kemenangan, yaitu harus lebih dari 50% dari suara sah, sedangkan tentang hal-hal lain, seperti kampanye dan pemasangan alat peraga kampanye, sama seperti pada pasangan calon lebih dari satu pasang. Sementara itu, untuk Kolom Kosong, yang merupakan “kompetitor” dari pasangan calon tunggal tidak diatur atau lebih tepatnya tidak ada regulasi bagaimana “hak dan kewajiban” untuk Kolom Kosong.

Terkait dengan mekanisme kampanye dalam Pasal 65 UU No. 10 Tahun 2016 diatur tentang bentuk-bentuk kampanye, seperti: pertemuan terbatas, pertemuan tatap muka dan dialog,

debat publik atau debat terbuka, pemasangan alat peraga, serta iklan di media massa dan elektronik. Bentuk-bentuk tersebut semuanya dibiayai oleh negara. Pertanyaan kemudian adalah bagaimana “hak dan kewajiban” bagi Kolom Kosong? Jika kita memperhatikan dan mencermati terhadap pilkada dengan calon tunggal, bentuk-bentuk kampanye tersebut hanya menjadi milik calon tunggal. Dengan kata lain, KPU hanya memfasilitasi bentuk kampanye tersebut, sementara untuk Kolom Kosong tidak mendapatkannya. Dengan demikian, prinsip equel playing battle field atau arena persaingan yang setara tidak terjadi.15 Sehubungan dengan itu, agar pilkada berjalan fair, mestinya juga

15 Lihat: Maharddhika dan Heroik M. Pratama, “Perbaikan Bercalon Tunggal: Desain Surat Suara, Metode Pemberian Suara, dan Metode Kampanye, Jurnal Pemilu & Demokrasi, Vol. 8(April 2016).

Gambar 2. Surat Suara “Foto Pasangan Calon” dan “Kolom Kososng” berdasarakan UU No. 10 tahun 2016.

Sumber: https://fajar.co.id/2018/06/28/kotak-kosong-menang-di-pilkada-serentak-ini-kata-ketua-mpr/. Diakses pada 10 Agustus 2018.

Page 40: KONSTELASI POLITIK DI TAHUN ELEKTORAL

152 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 15 No. 2 Desember 2018 | 143–160

disediakan waktu dan tempat kampanye bagi pendukung Kolom Kosong, disediakan lawan debat bagi calon tunggal dari kelompok Kolom Kosong, termasuk juga ada hak pendukung Kolom Kosong untuk mengampanyekan agar memilih kolom kosong.

Dengan kondisi yang tidak ada payung hukum yang equal antara calon tunggal dengan Kolom Kosong, tidak heran bila hampir semua calon tunggal, kecuali di Kota Makassar, keluar sebagai pemenang dengan meraih lebih dari 60% suara, bahkan ada yang sampai 90% suara. Pada Pilkada serentak tahun 2015, tiga daerah yang menyelenggarakan calon tunggal semuanya menang. Pada Pilkada di Kabupaten Blitar (Jawa Timur), pasangan calon tunggal Rijanto-Marheinis Urip Widodo (RIDO), mendapat dukungan Setuju sebanyak 428.075 (74 %) dan Tidak Setuju hanya 76.121 suara (6%).16 Begitu juga Pilkada calon tunggal di Kabupaten Tasikmalaya (Jawa Barat), pasangan Uu Ruzhanul Ulum dan Ade Sugianto mendulang suara Setuju sebanyak 500.908 suara (67,35%), dan yang Tidak Setuju meraih 242.865 suara (32,65%).17 Sedangkan, di Kabupaten Timur Tengah Utara (Nusa Tenggara Timur), calon tunggal petahana yakni Raymundus Sau Fernandes dan Aloysius Kobes meraih suara yang Setuju mencapai 44.353 suara (77,75%) dan Tidak Setuju 12.696 suara (22,25%).18

Begitu juga pada Pilkada Serentak 2017,19 yang dilakukan di sembilan daerah di mana

16 Redaksi, “Hasil rekapitulasi KPU Kabupaten Blitar, Rido Raih Suara Setuju 74%”, 16 Desember 2015, https://www.jatimtimes.com/baca/130859/20151216/174146/hasil-rekapitulasi-kpu-kabupaten-blitar-rido-raih-suara-setuju-74/, diakses pada 13 Agustus 2018.

17 Irwan Nugraha, “Calon Tunggal Pilkada Tasikmalaya Dapat Suara”, 9 Desember 2015, https://regional.kompas.com/read/2015/12/09/19212671/Calon.Tunggal.Pilkada.Tasikmalaya.Dapat.67.Persen.Suara, diakses pada 13 Agustus 2018.

18 Sigiranus, “Lima Calon Petahana Sementara Unggul di Pilkada Serentak di NTT”, 11 Desember 2015, https://regional.kompas.com/read/2015/12/11/10182721/Lima.Calon.Petahana.Sementara.Unggul.di.Pilkada.Serentak.di.NTT, diakses pada 13 Agustus 2018.

19 Wahid Nurdin, “Melawan Kotak Kosong Berapa Perolehan Suara Para Calon Tunggal ini”, 16 Februari 2017, http://www.tribunnews.com/nasional/2017/02/16/melawan-kotak-kosong-berapa-perolehan-suara-para-calon-tunggal-ini, diakses pada 13 Agustus 2018.

semua pasangan calon tunggal menang mutlak. Pilkada di Kota Tebing Tinggi, pasangan calon tunggal, Umar Zunaidi Hasibuan dan Oki Doni Siregar, yang diusung oleh partai NasDem, Demokrat, Hanura, Gerindra, PKB, Golkar, PDIP, dan PPP meraih suara 71.39% dan Kolom Kosong 28,61%. Pilkada di Kabupaten Tulang Bawang, pasangan calon tunggal Umar Ahmad dan Fauzi Hasan, yang diusung PKS, Demokrat, PPP, PDIP, Gerindra, Golkar, PAN, PKB, Hanura, dan NasDem meraih suara 96.69% dan Kolom Kosong 3.31%. Pilkada di Kabupaten Pati, pasangan calon Haryanto dan Saiful Arifin, diusung oleh PDIP, Gerindra, PKS, PKB, Demokrat, Golkar, Hanura, dan PPP mendapat suara 74.55% dan Kolom Kosong 25.45%.

Pilkada di Kabupaten Landak, pasangan calon tunggal Karolin Margret Natasa dan Herculanus Heriadi, yang didukung oleh PDIP, Demokrat, PKB, Golkar, Hanura, NasDem, Gerindra, dan PAN, meraih suara 96.14 persen dan Kolom Kosong 3.86%. Pilkada di Kabupaten Buton, pasangan calon tunggal Samsu Umar Abdul Samiun dan La Bakry, yang diusung oleh PKB, PKS, NasDem, PAN, Demokrat, Golkar, dan PBB, memeperoleh suara 55.08% dan Kolom Kosong 44.92%. Pilkada di Kabupaten Maluku Tengah, pasangan calon tunggal Tuasikal Abua dan Marlatu Leleury, yang didukung oleh Partai Gerindra, Golkar, Hanura, Demokrat, Nasdem, PAN, PBB, dan PDIP, meraih suara 71.14% dan Kolom Kosong 28.86%.

Pilkada di Kota Jayapura, pasangan calon tunggal Tomi Mano dan Rustan Saru, dengan partai pengusung: PKB, Hanura, PAN, NasDem, Golkar, PDIP, dan Gerindra, meraih Perolehan suara 85.08% dan Kolom Kosong 14.92 %. Pilkada di Kabupaten Tambrauw, pasangan calon tunggal Gabriel Asem dan Mesak Metusala Yekwam, yang diusung oleh Partai NasDem, PDIP, Golkar, Demokrat, Gerindra, PKS, PKB, dan Hanura, meraih 85,98% dan Kolom Kosong 14,02%. Sedangkan Pilkada di Kota Sorong, pasangan calon tunggal Lamberthus Jitmau dan Pahima Iskandar, dengan partai pengusung: Golkar, Demokrat, PDIP, PAN, NasDem, Gerindra, Hanura, dan PKB. Perolehan untuk pasangan calon tunggal Wali Kota Sorong Lambertus Tjitmau dan calon wakil Wali Kota

Page 41: KONSTELASI POLITIK DI TAHUN ELEKTORAL

Pilkada Langsung, Calon Tunggal, dan Masa Depan Demokrasi Lokal | Lili Romli | 153

Hajjah Pahima Iskandar meraih suara 79,37% dan Kolom Kosong 20,63%.20

Pada Pilkada serentak tahun 2018, ada 16 daerah dengan calon tunggal, 15 daerah dimenangkan oleh calon tunggal dengan suara mutlak dan satu daerah oleh Kolom Kosong, yaitu di Kota Makassar. Pada pilkada serentak di Kabuapeten Padang Lawas Utara, SumateraUtara, pasangan calon tunggal Andar Amin Harahap-Hariro Harahap, dengan partai pengusung PAN, PKB, Demokrat, PKPI, PBB, PPP, Hanura, PDIP, NasDem, Gerindra, Golkar), berhasil meraih suara sebanyak 86.915 suara. Sedangkan Kolom Kosong meraih sebanyak 21.559 suara dari total suara sah sebanyak 108.474 dan untuk suara tidak sah sebanyak 4.931 suara.21

Pilkada serentak di Prabumulih, Sumatera Selatan, pasangan calon tunggal Ridho Yahya-Andriansyah Fikri, yang didukukung oleh PKPI, PBB, PPP, PAN, Demokrat, Hanura, PKB, NasDem, PDIP, Golkar, memperoleh suara 79,27%, sedangkan Kolom Kosong mendapkan suara 20,73%.22 Pilkada serentak di Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara, dengan pasangan calon tunggal Ashari Tambunan-Ali Yusuf Siregar yang diusung Partai Golkar, PDIP, PAN, PKS, PKB, PKPI, Hanura, Demokrat, PPP, Gerindra dan Nasdem, meraih suara 82,24%, Kolom Kosong mendapatkan suara 17,75%.23

Pilkada serentak di Pasuruan, Jawa Timur, pasangan calon tunggal Mohammad Irsyad Yusuf-Mujib Imron, yang diusung oleh Partai Hanura, Demokrat, PPP, PKS, PDIP, Nasdem, Gerindra, PKB, Golkar, meraih suara 72%,

20 Redaksi, “Kemenangan Calon Tunggal di Pilkada Serentak 2017”, 16 Februari 2017, https://www.rayapos.com/kemenangan-calon-tunggal-pilkada-serentak-2017/, diakses pada 15 Agustus 2018.

21 Redaksi, “Hasil Pleno KPU Paluta An-Har Menang”, 8 Juli 2018, https://www.metrotabagsel.com/news/padang-lawas-utara/2018/07/08/24148/hasil-pleno-kpu-paluta-an-har-menang/, diakses pada 15 Agustus 2018.

22 Redaksi, “Lawan Kotak Kosong, Ridho Yahya Andriansyah Unggul di Pilwalkot Prabumulih”, https://www.merdeka.com/politik/lawan-kotak-kosong-ridho-yahya-andriansyah-unggul-di-pilwalkot-prabumulih.html, diakses pada 15 Agustus 2018.

23 Indra Gunawan, “Ini Hasil Lengkap Perolehan Suara Pilgub Sumut dan Pilbup di Deliserdang”, 6 Juli 2018, http://medan.tribunnews.com/2018/07/06/ini-hasil-lengkap-perolehan-suara-pilgub-sumut-dan-pilbup-di-deliserdang.diakses pada 15 Agustus 2018.

Kolom Kosong mendapat suara 28 %.24 Pilkada serentak di Kabupaten Tapin, Kalimantan Selatan, pasangan calon tunggal Muhammad Arifin Arpan-Syafrudin Noor dengan dukungan PAN, PKS, PPP, Gerindra, Demokrat, PDIP, PKB, Golkar, memperoleh suara 80.87%, sedangkan Kolom Kosong memperoleh 19,13%.25

Pilkada serentak di Kabupaten Lebak, Banten, pasangan calon tunggal Iti Octavia Jayabaya-Ade Sumardi, dengan partai pengusung (PKB, PKS, Hanura, PDIP, Golkar, PAN, PPP, Demokrat, Nasdem, Gerindra, meraih suara 76,99%, sedangkan Kolom Kosong meraup 23,01%.26 Pilkada serentak di Kabupaten Tangerang, Banten, pasangan calon tunggal Ahmed Zaki Iskandar-Mad Romli dengan partai pengusung Gerindra, PKPI, PBB, Hanura, PPP, PAN, Golkar, PDIP, PKS, PKB, Nasdem, Demokrat, memeroleh suara 83,72%, Kolom Kosong meraih 16,28%.27 Pilkada serentak di Kota Tangerang, Banten, pasangan calon tunggal Arief Wismansyah-Sachrudin dengan partai pengusung PDIP, NasDem, PKB, Hanura, PAN, PPP, PKS, Gerindra, Demokrat, dan Golkar, meraih suara 81,53% dan Kolom Kosong 18,47%.28

24 Defri Werdiono, “Calon Tunggal Pasuruan Sementara Ungguli Kotak Kosong”, 29 Juni 2018, https://kompas.id/baca/utama/2018/06/29/calon-tunggal-pasuruan-sementara-ungguli-kotak-kosong/, diakses pada 10 Agustus 2018.

25 Redaksi, “Hitungan KPU Tapin Tuntas Paslon Tunggal HM. Arifin Arpan Meraih 80,87 persen”, http://banjarmasin.tribunnews.com/2018/06/28/hitungan-kpu-tapin-tuntas-paslon-tunggal-hm-arifin-arpan-meraih-8087-persen, dikases pada 15 Agustus 201.

26 Redaksi, “Rekapitulasi KPU Lebak: Iti-Ade Unggul telak Lawan Kotak Kosong”, https://news.detik.com/berita/4100492/rekapitulasi-kpu-lebak-iti-ade-unggul-telak-lawan-kotak-kosong, diakses pada 15 Agustus 2015.

27 Rima Wahyuningrum, “Hasil Rekapitulasi KPU Kabupaten Tangerang, Ahmed Zaki Romli”, 5 Juli 2018, https://megapolitan.kompas.com/read/2018/07/05/07182611/hasil-rekapitulasi-kpu-kabupaten-tangerang-ahmed-zaki-romli-menang-8372, diakses pada 15 Agustus 2018.

28 Danang Triatmodjo, “Pasangan Calon Tunggal Pilkada Kota Tangerang Peroleh 85,95 Persen Suara Dalam Hitung Cepat KPUD”, 28 Juni 2018, http://www.tribunnews.com/nasional/2018/06/28/pasangan-calon-tunggal-pilkada-kota-tangerang-peroleh-8595-persen-suara-dalam-hitung-cepat-kpud. diakses pada 19 Agustus 2018.

Page 42: KONSTELASI POLITIK DI TAHUN ELEKTORAL

154 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 15 No. 2 Desember 2018 | 143–160

Pilkada serentak di Kabupaten Puncak, Papua, pasangan calon tunggal Willem Wandik-Alus UK Murib yang didukung oleh PKPI, PAN, Demokrat, Golkar, PKS, PKB, Gerindra, Nasdem, Hanura, dan PDIP meraih suara 90,1%, sementara Kolom Kosong hanya meraih suara 9,99%.29 Pilkada serentak di Kabupaten Jayawijaya, Papua, pasangan calon tunggal Jhon Richard Banua-Marthin Yogobi yang diusung PBB, PKS, PAN, Hanura, PDI-P, PKB, Golkar, Demokrat, Nasdem, dan PKPI, memperoleh suara 260.012, sedangkan Kolom Kosong mendapat suara 2.271.30 Pilkada serentak di Kabupaten Mamberamo Tengah, Papua, pasangan calon tunggal Ricky Ham Pagawak-Yonas Kenelak dengan partai pengusung Demokrat, PKS, PDIP, Gerindra, PAN, dan PBB) calon bupati Ricky Ham Pagawak dan calon wakil bupati Yonas Kenelak meraih suaa 86,70%, sedangkan Kolom Kosong memperoleh 13,30 %.31

Pilkada serentak di Kabupaten Minahasa Tenggara, Sulawesi Utara dengan pasangan calon tunggal James Sumendap-Jesaja Jocke Oscar Legi, yang diusung oleh Partai Demokrat, Hanura, PAN, PPP, Golkar, Gerindra, PKPI, dan PDIP meraih 67,28%, sedangkan Kolom Kosong mendapat 32,71 persen.32 Pilkada serentak di Kabupaten Mamasa, Sulawesi Barat, pasangan calon tunggal Ramlan Badawi-Marthinus Tiranda dengan partai pengsusung PBB, PAN, PPP, PKPI, PKS, Nasdem, Golkar, PDI-P, PKB, dan Demokrat merebut suara 61,22% dan Kolom Kosong 38,78% suara.33

29 Redaksi, “Rekap Suara di Puncak Papua Rampung,Kotak Kosong Kalah”, https://news.detik.com/berita/4101127/rekap-suara-di-puncak-papua-rampung-kotak-kosong-kalah, diakses pada 19 Agustus 2018.

30 Redaksi, “Pilkada Jayawijaya 218: Kotak Kosong Terkulai, John-Marthin Melenggang”, 5 Juli 2018, http://kabar24.bisnis.com/read/20180705/356/813501/pilkada-jayawijaya-218-kotak-kosong-terkulai-john-marthin-m, dikases pada 19 Agustus 2018.

31 Admin, “KPU Mamteng Tetapkan Ham Pagawak-Yonas Kenelak Pemenang Pilkada’, 9 Juli 2018, https://www.ceposonline.com/2018/07/09/kpu-mamteng-tetapkan-ham-pagawak-yonas-kenelak-pemenang-pilkada/, diakses pada 19 Agustus 2018.

32 Christian Wayongkere, “JS - Oke Raih 67,28 Persen Suara”, 8 Juli 2018, http://manado.tribunnews.com/2018/07/08/js-oke-raih-6728-persen-suara., diakses pada 10 Agustus 2018.

33 Syamsuddin Yako, “KPUD Gelar Rekapitulasi dan Penetapan

Selanjutnya, Pilkada serentak di Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan, pasangan calon tunggal Muslimin Bando-Asman dengan partai pengusung Hanura, PDIP, Nasdem, Gerindra, Demokrat, PAN, Golkar) berhasil meraih perolehan 67,15 %, sedangkan Kolom Kosong memperoleh suara 31,03 %.34 Pilkada serentak di Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan, pasangan calon tunggal Andi Fahsar Mahdin Padjalangi-Ambo Dalle dengan partai pengsung Partai Golkar, PAN, Demokrat, PKS, PDIP, PPP, PBB, Gerindra, PKB, Hanura, dan Nasdem, mendapatkan suara sebanyak 63,05% sedangkan suara Kolom Kosong 36,05 %.35

Berbeda dengan calon-calon tunggal di atas, calon tunggal di Kota Makassar, Sulawesi Selatan, yaitu pasangan calon tunggal Munafri Arifuddin-Andi Rachmatika Dewi yang diusung oleh Partai Golkar, Partai Nasdem, PKS, PAN, PPP, PDI-P, Partai Hanura, PBB, Partai Gerindra, dan PKPI dikalahkan Kolom Kosong yang memperoleh 53% suara.36Akibat kekalahan ini, pasangan calon tunggal tersebut melakukan gugatan sengketa hasil pilkada ke MK. Namun, Putusan MK menolak gugatan tersebut dan tetap memenangkan Kolom Kosong. Ditolaknya gugatan oleh MK dikarenakan tidak memenuhi syarat untuk mengajukan gugatan sengketa hasil pilkada yakni 0,5%, seperti yang diajukan oleh UU No. 10 tahun 2016. Diketahui perolehan suara Munafri Arifuddin-Andi Rachmatika Dewi 264.245 suara, sedangkan perolehan suara Kolom kosong 300.795 suara. Dengan demikian ada

Penghitungan Suara Pilkada Mamasa”, 5 Juli 2018, http://upeks.fajar.co.id/2018/07/05/kpud-gelar-rekapitulasi-dan-penetapan-penghitungan-suara-pilkada-mamasa/, diakses pada 19 Agustus 2018.

34 Azis Albar, “Enrekang: MB-Asman 67,15%, Kolom Kosong 31,03%”, 4 Juli 2018, http://makassar.tribunnews.com/2018/07/04/hasil-rekapitulasi-suara-kpu-enrekang-mb-asman-6715-kolom-kosong-3103.diakses pada 19 Agustus 2018.

35 Herman, “Hasil Rekapitulasi KPU: Tafaddal Menang Telak di Pilkada Bone”, 6 Juli 2018, http://pilkada.rakyatku.com/read/108650/2018/07/06/hasil-rekapitulasi-kpu-tafaddal-menang-telak-di-pilkada-bonediakses pada 22 Agustus 2018.

36 Hendra Cipto, “KPU Tetapkan Kotak Kosong Sebagai Pemenang Pilkada Makassar 2018”, 7 Juli 2018, https://regional.kompas.com/read/2018/07/07/06225871/kpu-tetapkan-kotak-kosong-sebagai-pemenang-pilkada-makassar-2018, diakses pada 22 Agustus 2018.

Page 43: KONSTELASI POLITIK DI TAHUN ELEKTORAL

Pilkada Langsung, Calon Tunggal, dan Masa Depan Demokrasi Lokal | Lili Romli | 155

perbedaan suara 36.550. Jika merujuk kepada UU No. 10 Tahun 2016, yang bisa diajukan gugatan ke MK adalah 0,5% x 565.040 suara (total suara sah) = 2.825 suara.37

Ada beberapa faktor terkait dengan kemenangan Kolom Kosong di Kota Makassar. Pertama, perlawanan terhadap partai politik. Pemilih Kota Makassar menolak pasangan calon tungal yang diusung oleh partai politik sebagai protes keras atas dominasi dan hegemoni partai dalam pencalonan pasangan calon tunggal. Mereka (partai-partai politik) tidak mengusung Danny Pomanto. Meski statusnya adalah petahana dengan survei elektabilitas yang tinggi, namun tak ada partai politik yang mendekat. Jadilah Danny maju melalui jalur independen. Ia mengumpulkan lebih dari seratus ribu kartu tanda penduduk (KTP).

Kedua, sebagai bentuk protes atas gagalnya Danny Pomanto maju sebagai calon walikota yang didiskualifikasi oleh Mahkamah Agung akibat laporan pasangan Munafri Arifuddin –Rachmatika, dikenal dengan sebutan pasangan Appi-Cicu. Mahkamah Agung mendiskualifikasi Danny terkait pembagian telepon selular kepada ketua RT/RW yang dianggap sebagai money politics.38

Ketiga, massa pemilih Kolom Kosong adalah basis massa Danny Pomanto. Banyak pengamat politik menyimpulkan, kotak kosong ini adalah perwakilan Danny Pomanto. Beberapa diantaranya adalah Djayadi Hanan, peneliti SMRC dan Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu & Demokrasi (Perludem) Titi Anggraeni. Ada keresahan di tengah warga Makassar yang menyebabkan Kolom Kkosong tak menjadi pilihan kosong. Danny seolah sebagai simbol perlawanan terhadap proses Pilkada di Kota Makassar, Sulawesi Selatan.39

37 Redaksi, “Hasil Putusan MK Nyatakan Kolom Kosong Menang di Makassar”, https://kumparan.com/makassar-indeks/hasil-putusan-mk-nyatakan-kolom-kosong-menang-di-makassar-1533814983435185482, diakses pada 22 Agustus 2018.

38 Aiman Witjaksana, “Di Balik Kemenangan Kotak Kosong di Makassar yang Jadi Sejarah”, 9 Juli 2018, https://regional.kompas.com/read/2018/07/09/09271671/di-balik-kemenangan-kotak-kosong-di-makassar-yang-jadi-sejarah, diakses pada 22 Agustus 2018.

39 Aiman Witjaksana, “Di Balik Kemenangan..,.

Keempat, bentuk perlawaan dan resisten terhadap hegemoni dan dominasi kekuasaan. Sebagiamana dikatakan oleh Wakil Ketua Umum DPP Gerindra, Ferry Juliantono, kemenangan Kolom kosong sebagai bentuk gambaran tentang perlawanan rakyat. Karena yang dilawan ialah calon yang punya kedekatan dengan Jusuf Kalla dan juga menantunya Aksa Mahmud.40

Calon Tunggal dan Masa Depan Demokrasi LokalAda beberapa faktor terkait dengan fenomena pasangan calon tunggal pada pilkada serentak. Pertama, keberadaan calon tunggal sebagai akibat dua pihak yang saling berkepentingan, yaitu petahana dan partai politik. Petahana berkepentingan untuk menjaga status quo, tetap berkuasa, dengan cara menjegal saingan lewat “borong partai”. Sementara itu, partai-partai berkepentingan untuk menang dan atau mendompleng petahana karena memiliki elektabilitas yang tinggi.

Kedua, partai gagal melakukan kaderisasi di satu pihak, dan di lain pihak telah terjadi krisis kepemimpinan di daerah. Alih-alih sebagai bagian dari institusi sosial untuk menyiapkan calon-calon pemimpin, partai terkesan hanya digunakan untuk kepentingan hal-hal yang sifatnya pragmatis oleh para elitenya. Partai politik mestinya malu dengan pilkada yang hanya menampilkan calon tunggal. Tetapi rupanya rasa malu itu dengan mudah bisa disingkirkan, karena ada kepentingan pragmatis tadi.

Ketiga, keberadaan calon tunggal tidak terlepas dari beratnya persyaratan untuk menjadi kandidat, baik melalui jalur partai politik maunpun jalur perseorangan (independen). Ujung-ujungnya bagi yang ingin maju menjadi calon kepala daerah, mereka harus mengeluarkan biaya yang besar. Dengan kata lain, pilkada hanya disediakan bagi mereka yang punya dukungan dana besar. Hal inilah antara lain yang menyebabkan orang-orang yang memiliki kredibilitas dan kapasitas sebagai calon pemimpin

40 Moh Nadlir, “Gerindra Sebut Kemenangan Kotak Kosong Bentuk Perlawanan dan Hukuman Rakyat”, 30 Juni 2018, https://nasional.kompas.com/read/2018/06/30/13043381/gerindra-sebut-kemenangan-kotak-kosong-bentuk-perlawanan-dan-hukuman-rakyat, diakses pada 22 Agustus 2018.

Page 44: KONSTELASI POLITIK DI TAHUN ELEKTORAL

156 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 15 No. 2 Desember 2018 | 143–160

kepala dearah tidak memiliki kesempatan untuk ikut dalam kontestasi tersebut.

Keempat, pragmatisme partai politik. Partai politik melalui jalan pintas tidak mau mengusung calon lain karena takut kalah. Sebagai wujud pragmatisme mereka lalu bersama-sama mengusung calon tunggal yang sudah pasti menang. Padahal hal tersebut mestinya tidak dilakukan karena sebagimana dikatakan oleh Syamsuddin Haris, “parpol memiliki waktu cukup luang untuk menyeleksi pasangan calon jauh-jauh hari sebelum batas waktu pendaftaran berakhir, hal itu tampaknya tidak dimanfaatkan oleh parpol”.41 Tetapi sebaliknya parpol memilih jalan pintas, yakni mengusung kandidat yang memiliki elektabilitas tinggi sebagai calon kepala daerah.

Kelima, terlalu besarnya nilai “mahar” yang diminta oleh para pengurus parpol kepada para kandidat yang berminat maju dalam pilkada. Sehubungan dengan makin mahalnya “mahar politik” tersebut, Syamsuddin Haris mengatakan dengan memberikan sejumlah contoh:42

“Mantan Ketua Umum PSSI La Nyala Mattalitti pernah mengeluh di depan publik karena dimintai mahar puluhan miliar rupiah agar bisa diusung oleh Partai Gerindra dalam Pilgub Jawa Timur. Salah seorang kandidat dalam Pilgub Sulawesi Selatan 2018, pernah diminta menyetor Rp 45 miliar oleh seorang menteri agar bisa diusung oleh suatu parpol. Dedi Mulyadi, Bupati Purwakarta yang maju dalam Pilgub Jawa Barat mengaku diminta mahar Rp 10 miliar oleh oknum partainya sendiri, padahal Dedi yang akhirnya berpasangan dengan Deddy Mizwar bukan hanya kader ”Partai Beringin”, tetapi juga menjabat sebagai Ketua DPD Golkar Jawa Barat”

Terlepas dari itu, untuk negara kita sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia, yang memiliki jumlah partai relatif banyak, keberadaan calon tunggal pada pemilihan kepala daerah tentu menjadi hal yang ironis. Demokrasi terasa hambar dan semu belaka, karena pemilihan

41 Syansuddin Haris, “Urgensi Reformasi Partat Politik”, Kompas, 8 Agustus 2015.

42 Syamsuddin Haris, “Demokrasi Kotak Kosong”, Kompas, 3 Juli 2018.

tidak kompetitif. Sebab, hampir bisa dipastikan calon tunggal bakal keluar sebagai pemenang, tanpa harus “jerih-payah” dan “mengeluarkan keringat” dalam kampanye mati-matian. Jika pun ada, boleh jadi itu hanya untuk memenuhi persyaratan formalitas yang sudah dianggarkan oleh Komisi Pemilihan Umum.

Namun demikian, lebih dari sekadar demokrasi yang menjadi hambar dan semu, keberadaan calon tunggal merupakan sebuah “tamparan” bagi partai politik yang tidak mampu menghadirkan kadernya dalam kontestasi seleksi kepemimpinan melalui pilkada. Regulasi dan anggaran pun sepertinya menjadi “sia-sia” karena partai tidak mampu menjalankan salah satu fungsinya yang pokok ini. Pendanaan yang tidak sedikit yang digunakan untuk membiayai pilkada menjadi mubazir karena tidak adanya kompetisi. Akibatnya, demokrasi tercederai dan legitimasi pilkada mejadi minus.

Hal lain yang harus menjadi perhitungan semua pihak adalah dampak elektoral dari keberadaan calon tunggal itu sendiri. Hampir dipastikan, partisipasi masyarakat menjadi berkurang. Mereka malas datang ke tempat pemungutan suara karena petahana pasti menang. Dan ongkos penyelenggaraan demokrasi yang tinggi itu, terasa akan lebih mahal dan cenderung mubazir karena minimnya partisipasi. Calon tunggal tidak hanya membuat demokrasi terasa hambar tetapi juga mengalami defisit.

Hal ini mengapa karena tujuan dari pemilu sebagai perwujudan demokrasi, yaitu sebagai bentuk pendidikan politik, rekrutmen kepemimpinan politik dan sirkulasi elit atau pemipim. Dengan hanya ada calon tunggal, maka terkait dengan sirkulasi elit atau pemimpin politik melalui mekanisme pilkada menjadi gagal berjalan

Dampak lain terkait dengan munculnya calon tunggal tersebut menunjukkan bahwa, bukan saja ini “tamparan” bagi partai politik dan bagi perkembangan demokrasi di tingkat lokal, tetapi juga mengindikasikan perjalan desentralisasi dan otonomi daerah mengalami stagnasi. Prinsip dasar dari desentralisasi, yaitu

Page 45: KONSTELASI POLITIK DI TAHUN ELEKTORAL

Pilkada Langsung, Calon Tunggal, dan Masa Depan Demokrasi Lokal | Lili Romli | 157

adanya political equality dan akuntabilitas politik di tingkat lokal tidak memiliki korelasi positif dengan penguatan demokrasi di tingkat lokal.43 Dampaknya adalah, seperti yang dikemukan oleh Vedi R. Hadiz:

“....Munculnya jaringan-jaringan patronase yang desentralistik, tumpang tindih, dan tersebar yang didasarkan atas persaingan memperebutkan akses dan kontrol terhadap lembaga-lembaga dan sumber daya negara di tingkat lokal....; Munculnya bandar-bandar, pialang dan kriminal politik yang sebelumnya berada pada lapisan-lapisan terbawah dalam sistem patronase Orde Baru; dan kontrol-kontrol yang terlalu otoriterian digantikan oleh penggunaan politik uang dan politik kekerasan.....44

Mereka itu, menurut Hadiz, adalah pemain-pemain penting dalam perpolitikan lokal yang di masa sebelumnya menduduki posisi lapis terbawah dalam jaringan patronase Orde Baru. Kini dalam sistem yang demokratis, mereka menata kembali diri di dalam jaringan patronase baru yang bersifat desentralistik, lebih cair dan saling bersaing satu sama lain. Bahkan kepentingan yang mereka perebutkan di tingkat lokal tampak lebih bervariasi. Mereka adalah para pialang dan bandar politik yang ambisius, birokrat negara yang lihai dan masih bersifat predatoris, kelompok-kelompok bisnis baru yang berambisi tinggi, serta beranekaragam gengster politik, kaum kriminal, dan barisan keamanan sipil.45

Sementara kajian yang dilakukan oleh John T. Sidel bahwa tiadanya keniscayaan hubungan yang berbanding lurus antara desentralisasi dan demokrasi di tingkat lokal tersebut ditandai oleh berkembangnya orang-orang kuat di tingkat lokal (Local Bossisme). Penelitian John T. Sidel mengungkapkan bahwa kecenderungan tersebut terkait dengan perkembangan politik saat mulai

43 Lihat: Richard C. Crook and James Manor, Democracy and Decentralisation in South Asia and West Africa: Participation, Accountability and Perfomance, (Cambridge: Cambridge University Press, 1998).

44 Vedi R Hadiz, Dinamika Kekuasaan: Ekonomi Politik Indonesia Pasca Soeharto, (Jakarta: LP3ES, 2005), hlm.262.

45 Vedi R Hadiz, Dinamika Kekuasaan..,hlm. 244.

diterapkannya pemilihan kepala daerah.46 Sidel melihat bosisme menunjukkan peran elit lokal sebagai predatory broker politik yang memiliki kontrol monopoli.47 Ironisnya, akumulasi kekuasaan oleh orang-orang kuat lokal tersebut dilakukan tidak hanya melalui cara-cara ilegal. Seiring dengan demokratisasi, mereka pun ikut menggunakan mekanisme demokrasi yang ada. Orang kuat lokal ‘membajak’ institusi-institusi demokrasi serta membangun aliansi dengan pejabat publik yang baru.48

Kondisi seperti itu pada gilirannya melahirkan raja-raja kecil, yang menguasai wilayah mereka masing-masing, baik dalam hal penguasaan politik melalui parlemen di tingkat lokal, partai politik, maupun kekuasan eksekutif dan yudikatif lokal, akses sumber ekonomi melalui aparat militer dan kepolisian maupun organisasi para militer. Fenomena orang kuat lokal ini makin berkembang dan menguat akibat dari proses demokratisasi melalui desentralisasi dan otonomi daerah serta politik elektoral. Dalam konteks ini Subono mengatakan bahwa fenomena orang kuat lokal itu lahir tidak hanya dari kekuasaan masyarakat (society power) seperti selama ini, tetapi juga dari struktur kekuasaan negara (power state) yang lagi berkembang di tingkat daerah.49

Dengan kondisi kemenangan para pasangan calon tunggal tersebut bisa jadi nanti makin merebaknya local bossim dan para predataris dalam memimpin pemerintahan daerah. Jika ini yang terjadi maka masa depan demokrasi lokal semakin jauh dari substansi. Demokrasi lokal lewat pilkada hanya bersifat prosedural, yang dalam prakteknya juga cacat dan mengalami

46 Lihat: John T. Sidel, “Philippine Politics in Town, District, and Province: Bossism in Cavite and Cebu”, The Journal of Asian Studies, 56, (Nov. 1997).

47 John T. Sidel, “Bosisme dan Demokrasi di Filipina, Thailand, dan Indonesia” dalam Harriss, John, Kriantian Stokke, dan Olle Tornquist, Politisasi Demokrasi Politik Lokal Baru, (Jakarta, Demos, 2005).

48 Vedi R. Hadiz, “Power and Politics in North Sumatra: The Uncompleted Reformasi”, Edward Aspinall and Greg Fealy (eds.), Local Power and Politics in Indonesia: Decentralisation and Democratisation, (Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, 2003), hlm. 127-129.

49 Nur Iman Subono, “Raja Lokal, Bos Lokal, dan Chao Pho”, Suplemen Demos, Tempo, 3 April 2005.

Page 46: KONSTELASI POLITIK DI TAHUN ELEKTORAL

158 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 15 No. 2 Desember 2018 | 143–160

distorsi dengan semakin maraknya pasangan calon tunggal dalam perhelatan pilkada. Para partai politik dan/atau kaum oligark memnfaatkan demokrasi sebagai kendaraan untuk berkuasa, yang pada gilirannya daalm rangka untuk menguasai resources, baik sumber daya politik maupun sumbedaya ekonomi dan sumberdaya alam.

PenutupPerkembangan demokrasi di tingkat lokal melalui pemilihan kepala daerah secara langsung (pilkada langsung) akan meningkatkan kualitas dan partisipasi masyarakat. Masyarakat atau rakyat sebagai pemilik kedaulatan dapat menentukan secara langsung, tanpa lagi melalui lembaga perwakilan, dalam memilih pemimpin daerahnya. Calon-calon pemimpin daerah atau yang disebut sebagai kepala daerah (gubernur, bupati, dan walikota) dipilih langsung oleh rakyat tersebut pencalonannya bisa berasal dari partai politik atau gabungan partai politik dan berasal dari calon perseorangan.

Dalam mencari format sistem pilkada langsung tampaknya tidak sekali jadi. UU tentang pemilihan kepala daerah kerap mengalami bongkar pasang dengan melakukan beberapa kali revisi. Bahkan, karena pilkada secara langsung dianggap telah terjadi money politics dan banyak kepala daerah yang menjadi tersangka, ada keinginan kuat agar pemilihan kepala daerah dikembalikan kepada DPRD. Tentu saja rakyat menolak keinginan mengembalikan pemilihan kepala daerah kepada DPRD tersebut.

Dalam berbagai revisi tentang UU Pilkada, satu sisi untuk meningkatkan kualitas pilkada tetapi di sisi lain menghambat proses demokratisasi pilkada. Dalam konteks meningkatkan kualitas pilkada, misalnya, dengan menjadikan pilkada serentak secara nasional akan efesien dan efektif. Sedangkan yang terkait menghambat proses demokrasi terlihat dari semakin beratnya persyaratan bagi calon perseorangan. Akibatnya, calon-calon dari jalur perseorangan ini semakin sedikit daam kompetisi pilkada langsung.

Suatu hal yang membuat perjalan demokrasi di tingkat lokal akan menjadi stagnan dan memgalami defisit demokrasi adalah makin

banyaknya pasangan calon tunggal. Partai-partai politik beramai-ramai, berkumpul dalam satu blok, mencalonkan satu pasangan dalam kontestasi pilkada. Kehadiran calon tunggal tersebut memang bersifat konstitusional karena ada payung hukumnya, yakni Putusan MK dan UU No. 10 Tahun 2016. Namun sangat disayangkan, tampaknya partai-partai politik mengambil jalan pintas dan instan, dengan memanfaatkan paying hukum tersebut sehingga fenomena munculnya calon tunggal menjadi marak di beberapa daerah.

Fenomena munculnya calon tunggal tersebut tentu saja menunjukkan sikap pragmatisme partai-partai politik. Demi meraih kemenangan, mereka tidak mau kandidat mengusung kandidat yang elektabilitasnya kecil meski ia memiliki integritas dan kapasitas, melainkan mereka bersama-sama mengusung pasangan calon tunggal, meski cacat integritas dan kurang memiliki kapasitas. Lebih dari itu, dengan mengajukan pasangan calon tunggal sesungguhnya menunjukkan bahwa partai-partai politik telah gagal melakukan kaderisasi dalam mencetak pemimpin-pemimpin di daerah.

Jika kita kaitkan dengan prinsip dasar demokrasi dan pemilihan umum itu sendiri, fenomena munculnya calon tunggal dalam pilkada langsung tentu sangat mencederai dan kontradiktif. Hakekat dari demokrasi dan pemilihan umum adalah partisipasi dan kontestasi. Namun dengan adanya calon tunggal maka dua prinsip dasar tersebut tidak berjalan. Partisipasi hanya berjalan searah, hanya diarahkan untuk memilih calon tunggal. Regulasi yang ada hanya mengatur bagi calon tunggal dan tidak ada regulasi untuk Kolom Kosong sehigga tidak sederajat. Begitu juga dengan kontestasi, tidak ada persaingan, tidak ada pertarungan gagasan, visi, misi, dan program. Kampanye dan debat publik bersifat monoton karena hanya calon tungal saja yang melaksanakannya, begitu juga dengan bentuk-bentuk kampanye lainya hanya untuk pasangan calon tungal. KPU juga hanya memfasilitasi pasangan calon tunggal.

Akibatnya pasangan calon tunggal dalam kontestasi pilkada sebagian besar keluar sebagai pemenang. Apalagi para pasangan calon tunggal tersebut umumnya adalah para petahana. Meski

Page 47: KONSTELASI POLITIK DI TAHUN ELEKTORAL

Pilkada Langsung, Calon Tunggal, dan Masa Depan Demokrasi Lokal | Lili Romli | 159

demikian, di Kota Makassar Kolom Kosong menang melawan pasangan calon tunggal. Kasus ini mesti menjadi catatan penting dan pembelajaran bagi partai-partai politik. Rakyat sebagai pemilik kedaulatan dapat melakukan resistensi dan perlawanan dengan menolak pasangan calon tunggal dan memilih Kolom Kosong. Dengan kasus kemenangan Kolom Kosong tersebut, memberikan isyarat dan pesan yang signifikan bagi partai politik dan kaum oligark bahwa rakyat tidak mau calon pemimpin yang tidak seaspirasi dengan rakyat. Untuk itu, ke depan kita berharap partai-partai politik melakukan intropeksi dan pembelajaran dalam mengusung kandidat jagan sampai mengabaikan aspirasi rakyat.

Hal lain yang menjadi perhatian bagi proses demokratisasi di tingkat lokal dengan kemenangan calon tunggal, yakni mekanisme check anda balances antara eksekutif (kepala daerah) dengan legislatif (DPRD) akan kah berjalan dengan baik dan optimal? Apakah proses pengawasan dan kontrol DPRD terhadap eksekutif akan berjalan maksimal karena partai-partai politik sudah menjadi satu kekuatan dan satu blok menjadi pendukung kepala daerah terpilih. Bisa jadi nanti mekanisme check anda balances tidak berjalan denagn optimal. Yang muncul justru pola hubungan legislatif dan eksekutif yang bersifat kolutif.

Jika hubungan kolutif tersebut yang muncul, maka apa yang digambarkan oleh Sidel dan Hadiz di atas, yakni berkembanngnya para local bossism dan para predator dengan membajak demokrasi melalui proses pilkada, akan semakin marak. Jika demikian yang terjadi, bukan saja demokrasi mengalami defisit tetapi lebih jauh dari itu adalah kegagalan proses demokrasi pilkada dalam melahirkan kepala-kepala daerah yang berintegritas dan demokratis.

Daftar Pustaka

Buku dan JurnalCrook, Richard C. and James Manor. Democracy and

Decentralisation in South Asia and West Africa: Participation, Accountability and Perfomance. Cambridge: Cambridge University Press, 1998.

Hadiz, Vedi R. “Power and Politics in North Sumatra: The Uncompleted Reformasi”, Edward Aspinall and Greg Fealy (eds.). Local Power and Politics in Indonesia: Decentralisation and Democratisation, Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, 2003.

Hadiz, Vedi R. Dinamika Kekuasaan: Ekonomi Politik Indonesia Pasca Soeharto. Jakarta: LP3ES, 2005.

Maharddhika dan Heroik M. Pratama. “Perbaikan Bercalon Tunggal: Desain Surat Suara, Metode Pemberian Suara, dan Metode Kampanye. Jurnal Pemilu & Demokrasi, Vol. 8, (April 2016).

Nuryanti, Sri (ed.). Analisis Proses dan Hasil Pemilihan Kepala Daerah Langsung di Indonesia. Jakarta: LIPI Pres, 2006.

Romli, Lili. Otonomi Daerah da Wakil Rakyat di Tingkat Lokal. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006.

Sidel, John T. “Philippine Politics in Town, District, and Province: Bossism in Cavite and Cebu”, The Journal of Asian Studies, 56, 4 (Nov. 1997).

Harriss, John, Kriantian Stokke, dan Olle Tornquist. Politisasi Demokrasi Politik Lokal Baru. Jakarta: Demos, 2005.

Subono, Nur Iman. “Raja Lokal, Bos Lokal, dan Chao Pho”, Suplemen Demos. Tempo, 3 April 2005.

DokumenUU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan

Daerah.UU No. 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua

Atas UU Nomor 32 Tahun 2004 Tetang Pemerintahan Daerah.

UU No. 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang.

UU No. 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No. 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang.

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota.

Putusan MK N0.072-073/PUUU-II/2004.Putusan MK No. 100/PUU-XIII/2015.

Page 48: KONSTELASI POLITIK DI TAHUN ELEKTORAL

160 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 15 No. 2 Desember 2018 | 143–160

Surat Kabar CetakHaris, Syamsuddin. “Urgensi Reformasi Partat

Politik”, Kompas, 8 Agustus 2015.Haris, Syamsuddin. “Demokrasi Kotak Kosong”,

Kompas, 3 Juli 2018.

Sumber OnlineAdmin, “KPU Mamteng Tetapkan Ham Pagawak-

Yonas Kenelak Pemenang Pilkada’, 9 Juli 2018, https://www.ceposonline.com/2018/07/09/kpu-mamteng-tetapkan-ham-pagawak-yonas-kenelak-pemenang-pilkada/.

Aiman Witjaksana, “Di Balik Kemenangan Kotak Kosong di Makassar yang Jadi Sejarah”, 9 Juli 2018,

h t t p s : / / r e g i o n a l . k o m p a s . c o m /read /2018 /07 /09 /09271671 /d i -ba l ik -kemenangan-kotak-kosong-di-makassar-yang-jadi-sejarah.

Christian Wayongkere, “JS - Oke Raih 67,28 Persen Suara”, 8 Juli 2018, http://manado.tribunnews.com/2018/07/08/js-oke-raih-6728-persen-suara.

Danang Triatmodjo, “Pasangan Calon Tunggal Pilkada Kota Tangerang Peroleh 85,95 Persen Suara Dalam Hitung Cepat KPUD”, 28 Juni 2018, http://www.tribunnews.com/nasional/2018/06/28/pasangan-calon-tunggal-pilkada-kota-tangerang-peroleh-8595-persen-suara-dalam-hitung-cepat-kpud.

Defri Werdiono, “Calon Tunggal Pasuruan Sementara Ungguli Kotak Kosong”, 29 Juni 2018, https://kompas.id/baca/utama/2018/06/29/calon-tunggal-pasuruan-sementara-ungguli-kotak-kosong/.

Indra Gunawan, “Ini Hasil Lengkap Perolehan Suara Pilgub Sumut dan Pilbup di Deliserdang”, 6 Juli 2018,

http://medan.tribunnews.com/2018/07/06/ini-hasil-lengkap-perolehan-suara-pilgub-sumut-dan-pilbup-di-deliserdang.

Irwan Nugraha, “Calon Tunggal Pilkada Tasikmalaya Dapat Suara”, 9 Desember 2015, https://regional.kompas.com/read/2015/12/09/19212671/Calon.Tunggal.Pilkada.Tasikmalaya.Dapat.67.Persen.Suara .

Moh Nadlir, “Gerindra Sebut Kemenangan Kotak Kosong Bentuk Perlawanan dan Hukuman Rakyat”, 30 Juni 2018, https://nasional.kompas.com/read/2018/06/30/13043381/gerindra-sebut-kemenangan-kotak-kosong-bentuk-perlawanan-dan-hukuman-rakyat

Redaksi, “Kemenangan Calon Tunggal di Pilkada Serentak 2017”, 16 Februari 2017, https://

www.rayapos.com/kemenangan-calon-tunggal-pilkada-serentak-2017/

Redaksi, “Hasil rekapitulasi KPU Kabupaten Blitar, Rido Raih Suara Setuju 74%”, 16 Desember 2015, https://www.jatimtimes.com/baca/130859/20151216/174146/hasil-rekapitulasi-kpu-kabupaten-blitar-rido-raih-suara-setuju-74/.

Redaksi, “Hasil Pleno KPU Paluta An-Har Menang”, 8 Juli 2018, https://www.metrotabagsel.com/news/padang-lawas-utara/2018/07/08/24148/hasil-pleno-kpu-paluta-an-har-menang/.

Redaksi, “Lawan Kotak Kosong, Ridho Yahya Andriansyah Unggul di Pilwalkot Prabumulih”, https://www.merdeka.com/politik/lawan-kotak-kosong-ridho-yahya-andriansyah-unggul-di-pilwalkot-prabumulih.html.

Redaksi, “Hitungan KPU Tapin Tuntas Paslon Tunggal HM. Arifin Arpan Meraih 80,87 persen”, http://banjarmasin.tribunnews.com/2018/06/28/hitungan-kpu-tapin-tuntas-paslon-tunggal-hm-arifin-arpan-meraih-8087-persen.

Redaksi, “Rekapitulasi KPU Lebak: Iti-Ade Unggul telak Lawan Kotak Kosong”, https://news.detik.com/berita/4100492/rekapitulasi-kpu-lebak-iti-ade-unggul-telak-lawan-kotak-kosong.

Redaksi , “Rekap Suara d i Puncak Papua Rampung,Kotak Kosong Kalah”, https://news.detik.com/berita/4101127/rekap-suara-di-puncak-papua-rampung-kotak-kosong-kalah.

Redaksi, “Pilkada Jayawijaya 218: Kotak Kosong Terkulai, John-Marthin Melenggang”, 5 Jul i 2018, ht tp: / /kabar24.bisnis .com/read /20180705 /356 /813501 /p i lkada -jayawijaya-218-kotak-kosong-terkulai-john-marthin-m.

Rima Wahyuningrum, “Hasil Rekapitulasi KPU Kabupaten Tangerang, Ahmed Zaki Romli”, 5 Juli 2018, https://megapolitan.kompas.com/read/2018/07/05/07182611/hasil-rekapitulasi-kpu-kabupaten-tangerang-ahmed-zaki-romli-menang-8372.

Sigiranus, “Lima Calon Petahana Sementara Unggul di Pilkada Serentak di NTT”, 11 Desember 2015, https://regional.kompas.com/read/2015/12/11/10182721/Lima.Calon.Petahana.Sementara.Unggul.di.Pilkada.Serentak.di.NTT.

Wahid Nurdin, “Melawan Kotak Kosong Berapa Perolehan Suara Para Calon Tunggal ini”, 16 Februari 2017, http://www.tribunnews.com/nasional/2017/02/16/melawan-kotak-kosong-berapa-perolehan-suara-para-calon-tunggal-ini.

Page 49: KONSTELASI POLITIK DI TAHUN ELEKTORAL

Dampak Elektoral Kasus Dugaan Penistaan Agama ... | Agus Sutisna & Idil Akbar | 161

DAMPAK ELEKTORAL KASUS DUGAAN PENISTAAN AGAMA TERHADAP PREFERENSI POLITIK WARGA BANTEN

PADA PILGUB 2017

THE ELECTORAL IMPACT OF BLASPHEMY ALLEGATION ON BANTEN POLITICAL PREFERENCE IN 2017

GUBERNATORIAL ELECTION

Agus Sutisna

FISIP Universitas Muhamamdiyah TangerangEmail: [email protected]

Idil Akbar

FISIP Universitas Padjadjaran BandungEmail: [email protected]

Diterima: 5 September 2018; Direvisi: 25 September 2018; Disetujui: 30 Desember 2018

Abstract

The study is conducted to illustrate the socio-political influence of the blasphemy case upon the dynamics of political preference of Banten citizens who are acknowledged as highly religious and mostly santri (students of religion). The paper incorporates qualitative approach, applying combinative data collection methods, such as interview, phenomenological analysis against the facts flowing around in public arena and the analysis of news articles in mass media. The result shows that blasphemy case done by Ahok as a candidate of DKI Jakarta Governor affects Banten Gubernatorial Election in 2017.It happened in the form of political preference shift in Banten. Rano-Embay who were proposed by the coalition of PDIP; Nasdem; and PPP, who were initially gained wide support from the society as they were assumed to represent the spirit to end the corrupt political dynasty of Ratu Atut Chosiyah’s family, had a perpetual support degradation as the negative news about the blasphemy case by Ahok widened and sharpened continuously until the pre-election silence.

Keywords: electoral impact, blasphemy, Banten gubernatorial election, political preference

Abstrak

Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh gambaran bagaimana pengaruh sosio-politik kasus penistaan agama terhadap dinamika preferensi politik warga Banten yang dikenal sangat relijius dan mayoritas kaum santri. Penelitian menggunakan pendekatan kualitatif, dengan penerapan secara kombinatif metode pengumpulan data berupa wawancara, telaah fenomenologis terhadap fakta-fakta yang berkembang di arena publik serta kajian terhadap sumber-sumber informasi/pemberitaan di media massa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kasus penistaan agama oleh Ahok sebagai kandidat Gubernur DKI Jakarta telah melahirkan dampak elektoral terhadap Pilgub Banten 2017 berupa terjadinya perubahan preferensi politik warga Banten. Pasangan Rano Karno-Embay Mulya Syarief yang diusung oleh koalisi PDIP, Nasdem dan PPP, yang semula mendapat dukungan luas dari masyarakat

Page 50: KONSTELASI POLITIK DI TAHUN ELEKTORAL

162 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 15 No. 2 Desember 2018 | 161–178

karena dianggap merepresentasikan semangat perubahan untuk keluar dari jeratan dinasti politik keluarga Ratu Atut Chosiyah yang korup, secara perlahan mengalami degradasi dukungan seiring dengan pemberitaan negatif seputar kasus dugaan penistaan agama oleh Ahok yang secara terus menerus mengalami perluasan dan penajaman hingga memasuki masa tenang Pilkada.

Kata Kunci: dampak elektoral, penistaan agama, pemilihan Gubernur Banten, preferensi politik

PendahuluanTahun 2017, tepatnya tanggal 15 Februari 2017, pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak gelombang kedua digelar secara nasional. Terdapat 101 daerah yang melaksanakan pilkada; terdiri dari 7 provinsi, 18 kota dan 76 kabupaten1. Dua dari 7 provinsi itu adalah Banten dan DKI Jakarta, yang secara geografis bertetangga, namun secara kultur dan politik relatif berbeda cukup jauh.

Banten dikenal sebagai daerah agamis dengan mayoritas penduduk pemeluk agama Islam sebesar 92.85%. Sisanya secara berturut-turut: Budha 3.21%, Kristen 1.94%, Katolik 1.22%, Hindu 0.78%, dan Kong Hu Cu 0.01%2. Budaya paternalistik dan penghormatan terhadap simbol-simbol keislaman relatif sangat kuat. Bahkan dalam pandangan van Bruinessen dikemukakan, bahwa umat Islam di Banten lebih taat dalam menjalankan ajaran agamanya dibandingkan umat Islam lain di Jawa sebagaimana diungkapkannya dalam tulisan berikut :

“The populations of Banten were more faithful than other Javanese in the observance of such religious obligations as the fast during Ramadhan and the payment of Zakat. Moreover, unlike elsewhere the payment of zakat in Banten served to strengthen independent ulama the Kiai or guru as against the official religious functionaries who usually administered (and enforced) zakat3.

Sementara itu, lanskap dinamis kepolitikan Banten, baik pada level provinsi maupun

1 Lihat: www.kpu.go.id.

2 Lihat: BPS Provinsi Banten, www.banten.bps.go.id, 2015, hlm.132.

3 Von Bruinessen, Martin, “Shari’a Court, Tarekat and Pesantren: Religious Institutions in the Sultanante of Banten,” Archipelago Journal, (1995), hlm. 165-200.

kabupaten dan kota, secara umum didominasi oleh aktor-aktor kuat lokal (local strongmen) yang berhasil “memanfaatkan” arus demokratisasi dan penerapan prinsip desentralisasi dan otonomi daerah melalui perhelatan pilkada langsung, baik dengan cara mempromosikan diri atau anggota keluarganya pada kontestasi-kontestasi pilkada, maupun dengan cara mengendors (sekaligus menunggangi) tokoh-tokoh lokal populer dan kompeten yang maju sebagai calon kepala daerah.

Jakarta juga termasuk daerah dengan penduduk mayoritas adalah pemeluk agama Islam, yakni sebesar 83,4%, dan berturut-turut pemeluk agama lainnya adalah Kristen 8,62%, Katolik 3,99%, Budha 3,75% dan lain-lain kurang dari 2%4. Meski mayoritas warganya beragama Islam, namun secara kultur sudah menjadi masyarakat yang relatif terbuka; budaya paternalistik relatif lemah; dan suasana multikulturalis yang merepresentasikan kawasan urban tumbuh subur. Kemudian secara politik, warga Jakarta relatif otonom dan mandiri. Tidak seperti di Banten, lanskap kepolitikan Jakarta juga relatif terbuka dan tidak ada dominasi dari kelompok-kelompok tertentu.

Dalam disertasinya yang mengkomparasi perbedaan Banten dan Jakarta dalam konteks penerapan desentralisasi dan dampak politiknya, Hamid (2015) menyimpulkan bahwa di Banten penerapan desentralisasi dan demokratisasi telah melahirkan gejala dinasti politik. Sementara dalam kurun waktu yang sama, desentralisasi dan demokratisasi di Jakarta melahirkan gejala populisme. Implikasi yang berbeda secara diametral ini dimungkinkan antara lain oleh karakteristik kultural dan sosio-politik yang berbeda antara Banten dan Jakarta sebagaimana

4 Lihat: www.data.jakarta.go.id, 2016. Diakses pada 10 November 2018.

Page 51: KONSTELASI POLITIK DI TAHUN ELEKTORAL

Dampak Elektoral Kasus Dugaan Penistaan Agama ... | Agus Sutisna & Idil Akbar | 163

diuraikan di atas. Berlatar kondisi yang demikian itulah kedua provinsi ini menggelar perhelatan pilkada dalam waktu yang bersamaan (serentak), mulai dari tahapan pemutakhiran data pemilih, kampanye terbatas dan terbuka, hingga ke hari pemungutan suara pada tanggal 15 Pebruari 2017 silam.

Kedua pilkada serentak 2017, Banten dan DKI Jakarta ini, menarik dicermati selain karena daya tarik (attractiveness) peta dinamis kepolitikan menjelang pilkada masing-masing dari kedua daerah ini; pun karena secara sosio-politik keduanya memiliki hubungan kalkulatif yang dapat saling mempengaruhi. Tentu saja dalam konteks studi ini, hubungan kalkulatif itu memposisikan pilkada Banten berada dalam situasi dipengaruhi oleh dinamika yang berlangsung pada pilkada DKI Jakarta.

Paling tidak ada dua argumentasi yang dapat menjelaskan isu hubungan kalkulatif itu. Pertama, posisi geopolitik DKI Jakarta dan Banten yang bersinggungan. Dalam posisi seperti ini interaksi dan pertukaran informasi dan komunikasi politik secara langsung antar warga (konstituen) di kedua provinsi berlangsung lebih intens. Suatu persentuhan yang dapat mempengaruhi pandangan dan sikap pemilih terhadap figur-figur calon kepala daerah, serta preferensi orang Banten dalam pemilukada di daerahnya. Kedua, posisi kandidasi Basuki Tjahya Purnama (Ahok) dalam Pilgub DKI Jakarta yang setara dengan posisi kandidasi Rano Karno dalam Pilgub Banten. Setara dalam pengertian bahwa keduanya dicalonkan oleh PDIP sebagai pengusung utama dalam partai-partai koalisi mereka. Posisi ini, meski mungkin tidak pada semua lapis dan segmen pemilih, sedikit-banyak akan menularkan pengetahuan, kesadaran dan tindakan kolektif (collective political literacy) pemilih di Banten serta mempengaruhi pereferensi mereka berdasarkan “penyandingan atau penyetaraan” kandidasi Rano dengan Ahok5.

Sementara itu daya tarik kepolitikan menjelang pilkada di kedua daerah terkait dengan beberapa fakta berikut ini. Pertama, di

5 Agus Sutisna, Memilih Gubernur, Bukan Bandit; Demokrasi Elektoral dan Pilgub 2017 di Tanah Jawara, (Yogyakarta: Penerbit Deepublish, 2017), hlm. 130.

Banten dominasi keluarga Ratu Atut Chosiyah sedang mengalami kemerosotan menyusul dipenjarakannya sang gubernur dan adiknya Tubagus Chaeri Wardana karena kasus suap Pilkada Lebak 2013. Pada saat yang sama, Rano yang menggantikan Ratu Atut Chosiyah bukanlah sosok petahana yang kuat6, terutama jika dibandingkan dengan Ahok yang sama-sama meneruskan sisa waktu kepemimpinan gubernurnya. Situasi ini membuka peluang persaingan proses kandidasi pilkada menjadi lebih setara dan kompetitif diantara tokoh-tokoh yang berminat dan/atau didorong oleh masyarakat untuk maju. Mengorbitnya tokoh-tokoh Banten, baik lokal seperti Mulyadi Jayabaya (mantan Bupati Lebak), Wahidin Halim (mantan Walikota Tangerang), A. Taufik Nuriman (mantan Bupati Serang) dan Khaerul Jaman (Walikota Serang) misalnya, maupun tokoh-tokoh kaliber nasional seperti Anton Apriyantono (mantan Menteri Pertanian) dan Taufiequrrahman Ruki (mantan Ketua KPK) pada tahapan-tahapan pra-kandidasi tampaknya terdorong oleh situasi ini.

Kedua, masih menyangkut situasi politik di Banten. Pasca guncangan terhadap dinasti Ratu Atut Chosiyah sebagai dampak kasus Pilkada Lebak 2013 dan kemudian disusul pula oleh kasus dugaan korupsi alat kesehatan di Tangerang Selatan yang juga melibatkan Ratu Atut Chosiyah dan Tubagus Chaeri Wardana, semangat perubahan atau “move on” (meminjam istilah kalangan aktifis muda di Banten) untuk menyudahi dominasi politik kekerabatan keluarga Ratu Atut meningkat, terutama pada kalangan masyarakat sipil.7Semangat ini yang kemudian direspon terutama oleh Rano sebagai calon tunggal PDIP dengan antara lain menolak dipasangkan dengan Khaerul Jaman (Walikota

6 Wawancara dengan AN, Dosen FISIP Universitas Mathalul Anwar Pandeglang, 27 September 2016 di Serang dan wawancara dengan BP, Dosen Universitas Tirtayasa Serang, 12 Oktober 2016 di Serang.

7 Beberapa komunitas masyarakat sipil yang sangat vokal menyuarakan penolakan terhadap dinasti antara lain : Rumah Dunia yang dipimpin oleh sastrawan Gola Gong, Gerakan Masyarakat (Gemas) Tolak Dinasti yang dimotori oleh Khoerul Umam Kf, Madrasah Anti Korupsi (MAK) Universitas Muhammadiyah Tangerang yang dikepalai Gufron Khan, dan Aliansi Independen Peduli Publik (Alipp) yang diketuai Uday Suhada.

Page 52: KONSTELASI POLITIK DI TAHUN ELEKTORAL

164 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 15 No. 2 Desember 2018 | 161–178

Serang, adik tiri Ratu Atut)8; dan lebih memilih Embay Mulya Syarief, tokoh masyarakat yang dikenal bersih dan memiliki integritas.

Ketiga, berbeda dengan di Banten, di DKI Jakarta meski peluang ke arah kontestasi yang terbuka dan kompetitif juga tersedia, tetapi posisi Ahok sebagai petahana relatif sangat kuat. Fakta ini paling tidak ditunjukkan oleh hasil-hasil survei yang selalu memposisikan Ahok pada urutan pertama baik popularitas maupun elektabilitas9 Keempat, pilkada DKI, jauh sebelum terjadi peristiwa Pulau Seribu pun sudah menarik perhatian dan memiliki daya magnit luar biasa selain karena merupakan barometer kepolitikan nasional, terutama juga karena dipercaya banyak orang dapat menjadi “batu loncatan” untuk meraih kekuasaan di tingkat nasional sebagaimana sudah dibuktikan oleh Joko Widodo, Presiden RI yang sebelumnya merupakan Gubernur DKI Jakarta.

Akan tetapi, di atas kedua fakta itu, pilkada Banten dan DKI menjadi lebih berdaya-tarik lagi ketika muncul kasus dugaan penistaan agama (basphemy) yang dilakukan oleh Ahok melalui pidatonya di Pulau Seribu pada tanggal 27 September 2016. Meski tidak serta-merta, secara hipotesis kasus ini perlahan kemudian memicu terbentuknya hubungan elektoral berupa pengaruh terhadap preferensi politik warga Banten dalam pilkada di daerahnya. Secara lebih spesifik hubungan elektoral itu tidak lain adalah berupa pengaruh negatif terhadap posisi popularitas dan elektabilitas Rano Karno. Hal ini dimungkinkan paling tidak oleh karena tiga alasan. Pertama, kasus dugaan penistaan agama oleh Ahok yang diekspose secara masif oleh media massa sejak peristiwanya terjadi itu membuat sebagian besar warga Banten terpicu sentimen keagamaannya dan kemudian terlibat dalam arus besar kemarahan umat Islam. Kedua,

8 Wawancara dengan AH, Dosen Untirta Serang, 28 September 2016 di Serang dan YJ, jurnalis senior harian lokal Kabar Banten, 2 Oktober 2016 di Banten.

9 Secara umum rilis dari beberapa lembaga survei menunjukkan bahwa hingga Januari 2017, Ahok-Djarot masih unggul dibanding dua paslon kompetitornya, meski trendnya menurun jika dibandingkan dengan hasil survei pada rentang waktu pertengahan hingga akhir tahun 2016. Lihat: news.detik.com, 22 Januari 2017; tempo.co, 29 Januari 2017; news.detik.com, 9 Februari 2017.

warga Banten memahami (suatu pemahaman yang tidak sepenuhnya tepat sebetulnya) bahwaAhok adalah kolega politik Rano, sama-sama petahana yang dicalonkan kembali oleh koalisi partai politik yang juga sama-sama dimotori oleh PDIP.Ketiga, bersitemali dengan kasus dugaan penistaan agama itu, dua isu sensitif bagi warga Banten juga mengemuka di orbit perbincangan dan kontestasi pilkada, yakni isu kebangkitan PKI dan faham komunismenya serta dominasi etnis Tionghoa. Dua isu yang dalam pemahaman umum sebagian warga Banten dipercaya terkait dengan PDIP dan Ahok. Berlatar paparan di atas, fokus kajian ini adalah mengeksplorasi dan mendiskusikan bagaimana dampak elektoral kasus dugaan penistaan agama yang dilakukan oleh Ahok, gubernur petahana DKI Jakarta terhadap preferensi warga Banten yang dikenal relijius dalam Pilgub 2017 yang dilaksanakan secara bersamaan dengan Pilkada DKI Jakarta dalam kerangka agenda nasional Pilkada serentak gelombang kedua tahun 2017.

Penelitian dilakukan dengan pendekatan kualitatif. Data dieksplorasi dan dihimpun (data collection) dengan berbagai teknik yang lazim digunakan dalam penelitian kualitatif, tetapi disesuaikan penggunaannya dengan jenis dan ruang lingkup data yang dibutuhkan. Untuk berbagai data sekunder seperti literatur-literatur kajian sejenis dan rujukan-rujukan yang bernilai akademik (buku, jurnal dan laporan-laporan karya ilmiah seperti tesis dan disertasi), dokumen-dokumen berbagai peraturan perundangan yang relevan, serta sumber-sumber tertulis lainnya seperti berita dan artikel opini di media massa, dan lain-lain dikumpulkan dengan menggunakan teknik studi dokumen. Sedangkan untuk berbagai data primer digunakan teknik wawancara semi-terstruktur (semistructure interview); dan dilakukan dengan tatap muka langsung dengan narasumber penelitian. Wawancara dalam penelitian dilakukan dengan teknik topic guides, dimana wawancara akan lebih fokus pada topik, bukan pada pertanyaan.

Narasumber atau informan serta besaran jumlahnya dalam penelitian ini dipilih berdasarkan karakteristik yang lazim digunakan dalam pendekatan kualitatif. Narasumber dalam penelitian ini adalah orang-orang yang memiliki

Page 53: KONSTELASI POLITIK DI TAHUN ELEKTORAL

Dampak Elektoral Kasus Dugaan Penistaan Agama ... | Agus Sutisna & Idil Akbar | 165

keterlibatan mendalam dan luas dengan isu dinamika kepolitikan lokal (Banten); memahami konteks dan substansi pokok permasalahan yang diteliti; serta dapat diperkirakan mampu bersikap obyektif dalam memberikan pandangan dan penyikapan terhadap setiap aspek dari isu penelitian yang ditanyakan.

Pilkada: Siasat Kelembagaan Mengonsolidasikan Demokrasi di Daerah Studi mengenai Pilkada langsung oleh para ahli kebanyakan didasarkan pada pendekatan kelembagaan baru (new institutionalism). Suatu mazhab pendekatan dalam analisis politik modern yang oleh Samuel Huntington disebut sebagai bersifat “empiris, deskriptif, institusional dan prosedural”10. Pendekatan ini berusaha menjelaskan sejarah, keberadaan dan fungsi-fungsi berbagai lembaga di daerah (lembaga pemerintahan, hukum, pasar dll) berdasarkan asumsi-asumsi dan teori ekonomi liberal11. Dalam uraian Mochtar Pabottingi, istilah “kelembagaan” sebagaimana dimaksud Huntington dalam konteks ini merujuk pada keharusan berfungsinya enam lembaga minimal yang niscaya dalam demokrasi, yaitu: partai politik, pemilihan umum, parlemen, eksekutif, peradilan, dan pers yang bebas. Sedangkan istilah “prosedur” merujuk pada berjalannya proses demokrasi dengan penekanan pada pemilihan umum menurut hak-hak konstitusional tiap warga negara12. Pendekatan ini menawarkan langkah-langkah pembaruan desain terhadap berbagai aspek kelembagaan politik sebagai strategi untuk mengkonsolidasikan demokrasi dan mengembangkannya.

10 Samuel Huntington, The Third Wave: Democratization in the Late Twentieth Century, (Oklahoma: University of Oklahoma Press, 1991), hlm 6.

11 Vedi R. Hadiz, Decentralisation and Democracy in Indonesia: A Critique of Neo-Institutionalist Perspectives, Search Working Paper, No.47, Hong Kong, 2003, hlm.1

12 Syamsuddin Haris (ed), Partai dan Parlemen Lokal : Era Transisi Demokrasi di Indonesia, (Jakarta: LIPI, 2007), hlm.xi-xii.

Dua ilmuwan dari mazhab pendekatan kelembagaan, James March dan Johan Olsen13 mendalilkan, bahwa “political democracy depends not only on economic and social conditions, but also on the design of political institutions”. Bahwa demokrasi bergantung bukan hanya pada kondisi sosial dan ekonomi semata, melainkan juga pada desain kelembagaan politik. Perspektif kelembagaan baru ini meyakini bahwa desain kelembagaan yang dianut oleh suatu negara memiliki pengaruh terhadap wajah demokrasi yang dimiliki14. Melalui pendekatan ini, Marijan menggarisbawahi tiga aspek kelembagaan penting yang dapat mendorong berjalannya proses demokratisasi di daerah. Ketiga aspek itu adalah budaya politik yang kompatibel dengan nilai-nilai demokrasi seperti moderation, cooperation, bargaining, dan accommodation;civil society yang kuat yang dapat mengontrol kekuasaan; dan lembaga perwakilan (DPRD) yang benar-benar menjalankan fungsi keterwakilan sekaligus dapat menciptakan mekanisme check and balances di daerah15.

Dalam kerangka demokratisasi berdasarkan pendekatan kelembagaan inilah, Pilkada secara langsung dianggap sama pentingnya dengan pemilu nasional, baik pemilu legislatif maupun pemilu presiden. Dengan mengikuti pemikiran Tip O’Neill seperti dikutip Agustino16, “all politics is local”, Pilkada bahkan menjadi sangat penting sebagai instrumen kelembagaan dan jalan untuk memperkuat demokrasi di aras nasional. Demokrasi akan berkembang subur dan terbangun kuat di aras nasioanal apabila pada tingkatan yang lebih rendah (lokal) nilai-nilai demokrasi berakar kuat.

13 James March dan Johan P. Olsen, Democratic Governance, (New York: The Free Press, 1995).

14 Kacung Marijan, Sistem Politik Indonesia: Konsolildasi Demokrasi Pasca-Orde Baru, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011), hlm.1.

15 Larry Diamond, Introduction : Political Culture and Democracy, dalam Political Culture and Democracy in Developing Contries, (London : Lynne Reinner Publisher, 1994), hlm.10.

16 Leo Agustino, Pilkada dan Dinamika Politik Lokal, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), hlm.17-18.

Page 54: KONSTELASI POLITIK DI TAHUN ELEKTORAL

166 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 15 No. 2 Desember 2018 | 161–178

Bahwa demokrasi di tingkat lokal merupakan prasyarat bagi terbangunnya demokrasi di tingkat nasional juga diyakini oleh Brian C. Smith17, yang mengajukan empat argumentasi untuk mendukung pandangannya, yaitu: (1) Demokrasi pemerintahan di daerah merupakan suatu ajang pendidikan politik yang relevan bagi warga negara didalam suatu masyarakat yang demokratis. Hal ini terutama karena tingkat proximity (kedekatan) antara pemerintah daerah dengan masyarakat, yakni lebih dekat; (2) Pemerintah daerah dipandang sebagai pengontrol perilaku pemerintah pusat yang berlebihan dan kecenderungan anti-demokrasi didalam suatu pemerintahan yang sentralistis. Kecenderungan seperti ini khususnya terjadi dalam masa transisi dari pemerintahan otoriter menuju pemerintahan demokratis. Di dalam masa transisi ini pemerintah daerah memiliki posisi tawar-menawar kekuasaan yang lebih tinggi atas kekuasaan dan otoritas dengan pemerintah pusat; (3) Demokrasi di daerah dianggap mampu menyuguhkan kualitas partisipasi yang lebih baik dibandingkan kalau terjadi di tingkat nasional. Fakta bahwa komunitas di daerah relatif terbatas dan masyarakatnya lebih mengenal diantara satu dengan lainnya dianggap sebagai dasar argumen bahwa partisipasi di daerah itu lebih bermakna dibandingkan dengan di tingkat nasional. Partisipasi di daerah lebih memungkinkan adanya deliberative democracy, yakni adanya komunikasi yang lebih langsung didalam berdemokrasi; (4) Kasus negara Kolumbia sebagai contoh kasus, menunjukkan bahwa legitimasi pemerintah pusat akan mengalami penguatan manakala pemerintah pusat itu melakukan reformasi di tingkat lokal. Penguatan legitimasi ini berkaitan dengan tingkat kepercayaan daerah kepada pemerintah pusat.

Pandangan yang tidak jauh berbeda juga dikemukakan oleh Larry Diamond18, yang menyatakan bahwa peran pemerintah daerah termasuk DPRD di dalamnya sangat penting dalam mempercepat vitalitas demokrasi. Alasannya: (1) Pemerintah daerah dapat membantu mengembangkan nilai-nilai dan keterampilan berdemokrasi kepada warganya; (2) Pemerintah daerah dapat meningkatkan

17 Kacung Marijan, Sistem Politik Indonesia.., hlm.170-171.

18 Kacung Marijan, Sistem Politik Indonesia.., hlm.170-171.

akuntabilitas dan pertanggungjawaban kepada berbagai kelompok kepentingan yang ada di daerah; (3) Pemerintah daerah dapat menyediakan saluran dan akses bagi kelompok-kelompok yang secara historis terpinggirkan; (4) Pemerintah daerah bisa mendorong terwujudnya check and balances dalam praktik kekuasaan; (5) Pemerintah daerah bisa memberikan kesempatan kepada partai-partai politik untuk melakukan oposisi terhadap kekuasaan di daerah, tentu melalui jaringan hierarkis kepartaian.

Namun demikian, sejak dihelat tahun 2005 silam, isu mengenai Pilkada juga banyak dikaji dan diperbincangkan dalam spektrum yang lain. Beberapa ahli mengkajinya dalam konteks pelaksanaan desentralisasi (khususnya devolution of power) sekaligus penguatan implementasi otonomi daerah19. Sebagian yang lain membahasnya dalam hubungannya dengan gejala kehadiran orang-orang kuat lokal (local strongmen) di panggung kekuasaan formal dan politik dinasti di daerah20, dan tidak sedikit yang mengkaji Pilkada sebagai entry point sekaligus arena kebangkitan politik identitas, etno-sentrisme dan primordialisme seperti artikel yang ditulis oleh Taufiq Tanasaldy, “Politik Identitas Etnis di Kalimantan Barat” dan tulisan Franz dan Keebet von Benda-Beckmann, “Identitas-identitas Ambivalen: Desentralisasi dan Komunitas-komunitas Politik Minangkabau”21.

19 Dapat dilihat dalam Leo Agustino, Pilkada dan Dinamika Politik.., ; Leo Agustino, Politik Lokal dan Otonomi Daerah, (Bandung: Alfabeta, 2014); dan Abdul Hamid, Observation of Democratic Decentralization in Indonesia during 2009–2014: Political Dynasty in Banten Province and Populism in Jakarta Province. (Kyoto: Graduate School of Global Studies, Doshisha University, 2016).

20 Dapat disimal dalam Maribeth Erb dan Priyambudi Sulistyanto (eds)., Deepening Democrcay in Indonesia: Direct Elections for Local Leaders (Pilkada), (Singapore : ISEAS, 2009); Wasisto Raharjo Djati, Revivalisme Kekuatan Familisme dalam Demokrasi : Dinasti Politik di Aras Lokal, Jurnal SosiologiMasyarakat, Vol. 18, No. 2, (Juli 2013) dan Agus Sutisna, “Gejala Proliferasi Dinasti Politik di Banten Era Kepemimpinan Gubernur Ratu Atut Chosiyah,” Jurnal Politik Indonesia: Indonesian Political Science Review, Vol. 2, No.2, (Juli 2017).

21 Henk Schulte Nordholt dan Gerry van Klinken, Politik Lokal di Indonesia, (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2014).

Page 55: KONSTELASI POLITIK DI TAHUN ELEKTORAL

Dampak Elektoral Kasus Dugaan Penistaan Agama ... | Agus Sutisna & Idil Akbar | 167

Pilkada, Politik Identitas, dan Sektarianisme PolitikDalam konteks demokrasi di Indonesia, pilkada bisa dikatakan belum menemukan bentuk yang ideal dan memenuhi ekspektasi rakyat. Di setiap perhelatannya berbagai eksponen acapkali berkelindan dan terus mereproduksi kepentingan. Harapan awal bahwa pilkada diniatkan untuk menjadi arena partisipasi masyarakat, tetapi di banyak situasi pilkada justru menjadi arena konflik. Kegusaran paling krusial yang mengemuka dalam pilkada menyentuh dua hal utama. Pertama, apakah pilkada memberi peluang nyata bagi intensitas partisipasi masyarakat, yang dalam fungsinya berperan memperluas kesadaran rakyat akan hak-hak konstitusionalnya? Kedua, apakah pilkada dimaksudkan untuk menjadi ruang dialog antar kepentingan, dan lebih dari itu menjadi bagian dari proses pelembagaan demokrasi elektoral?

Belakangan ini, rakyat disuguhkan dengan realitas politik yang tak lagi berbicara soal perebutan pengaruh dan perubahan perilaku memilih masyarakat. Tetapi yang saat ini muncul adalah hadirnya perebutan kekuasaan yang mengedepankan friksi-friksi kebangsaan. Pilkada Indonesia diwarnai dengan menguatnya politik identitas yang mempolarisasi publik dalam kutub-kutub yang saling bertentangan. Arus puncak dari dinamika politik identitas ini hadir dan sangat kuat dalam pemilihan gubernur DKI Jakarta. Posisi Ahok sebagai calon Gubernur DKI Jakarta menorehkan problematika kebangsaan yang cukup fundamental yakni kemunculan yang kentara akan sektarianisme politik di pilkada.

Kemunculan politik identitas di pilkada DKI merupakan bagian dari proses menstimulasi keadaan, dimana di satu sisi terdapat segolongan masyarakat yang merasa diberlakukan berbeda dari segolongan masyarakat lainnya yang lebih dominan. Setidaknya dalam perspektif politik identitas di pilkada DKI seperti itu yang terjadi. Kauffman menyebutkan bahwa politik identitas bermula dari adanya kepentingan anggota-anggota sebuah kelompok sosial yang merasa tersingkir oleh dominasi kelompok lainnya di dalam sebuah bangsa atau negara22.

22 Ahmad Syafii Maarif, Politik Identitas dan Masa Depan Pluralisme Kita, (Jakarta: Democracy Project, 2012), hlm.4.

Contoh yang terjadi di Amerika Serikat, di mana praktik pembedaan kelompok masyarakat telah membangun kesadaran golongan yang merasa terpinggirkan seperti masyarakat kulit hitam, dan etnis-etnis lainnya melawan golongan masyarakat kulit putih.

Dengan demikian, polit ik identitas didefinisikan sebagai politik yang digunakan dalam membedakan. Politik identitas menjadi sebuah penegasan terhadap batas untuk menentukan siapa yang disertakan dan siapa yang ditolak. Hal ini membuat status keanggotaan antara seorang anggota dan orang lain yang bukan anggota menjadi jelas dan bersifat permanen. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Agnes Heller23 yang menilai bahwa politik identitas adalah strategi politik yang memfokuskan pada pembedaan sebagai kategori utamanya.

Politik identitas sangat berkaitan erat dengan identitas etnis dan identitas agama. Identitas menurut Castells di dalam buku keduanya yang berjudul The Power of Identity24 bermakna: 1) sumber makna dan pengalaman orang; 2) proses kontruksi makna yang berdasar pada atribut kultural, atau seperangkat atribut kultural, yang diprioritaskan diatas sumber-sumber pemaknaan lain; 3) sebuah identitas yang bersifat jamak (plural) dan bukan tunggal (singular); 4) sebuah identitas yang berfungsi untuk menata dan mengelola makna (meanings); 5) gugus identitas yakni sumber-sumber makna bagi dan oleh aktor yang dikontruksi dengan proses individuasi; 6) sebuah identitas terkait dengan proses internalisasi nilai, norma, tujuan dan ideal; 7) sebuah identitas yang pada hakikatnya dibedakan menjadi identitas individu dan identitas kolektif. Individualisme dapat menjadi identitas kolektif sebagai identitas bersama dalam suatu kesamaan identitas individu yang dikumpulkan menjadi kesatuan identitas.

P o l i t i k i d e n t i t a s l a z i m n y a a k a n memunculkan sektarianisme politik. Pada dasarnya, sektarianisme politik, seperti dalam

23 Ubed Abdillah, Politik Identitas Etnis, Pergulatan Tanda Tanpa Identitas, (Magelang: IndonesiaTera, 2002), hlm.22.

24 Manuell Castells, The Power of Identity, Second Edition with a New Preface, (Oxford: Blackwell Publishing, 2010), hlm.6.

Page 56: KONSTELASI POLITIK DI TAHUN ELEKTORAL

168 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 15 No. 2 Desember 2018 | 161–178

pilkada DKI Jakarta, muncul bukan hanya faktor fragmentasi perbedaan ideologi yang menghasilkan perdebatan dan perseteruan. Sektarianisme politik muncul lebih karena lemahnya perdebatan programatik yang lebih fundamental yang seharusnya dihadirkan dalam perhelatan. Maka, yang kemudian mengemuka dan menguat adalah sikap fanatisme berlebihan. Alhasil, pilkada telah menyeret kalangan pro demokrasi pada perpecahan yang disebabkan oleh perbedaan melihat persoalan. Mereka terbelah dalam mendudukkan persoalan identitas dan keadilan sosial. Apakah memenangkan Ahok dengan dalih demi membela keragaman dan melawan sektarianisme atau menolak Ahok dengan dalih demi perjuangan keadilan sosial, atau posisi ketiga, tidak mendukung keduanya yang berarti golput, karena keduanya dianggap tidak merepresentasikan kepentingan politik rakyat25.

Jika ditelisik, maka apa yang menyebabkan menguatnya politik identitas dan sektarianisme politik di pilkada DKI? Pragmatisme politik dan marjinalisasi kelompok masyarakat lokallah yang telah mendorong menguatnya politik identitas. Simbol identitas (etnik dan agama) sering menjadi alat mobilisasi paling menonjol dalam pelaksanaan Pilkada. Hal ini nampak misalnya dalam riset Fox dan Menchik yang menunjukkan bahwa sebagian besar (65 persen) poster kampanye dalam Pilkada mengandung muatan yang menekankan pada dimensi identitas para kandidat dalam Pilkada26.

Meski demikian, penelitian Fox dan Menchik mengatakan bahwa penggunaan simbol identitas dalam Pilkada tentu tidak serta-merta berbahaya. Penelitian Fox dan Menchik menunjukkan sebagian dari poster-poster dalam kampanye yang menonjolkan simbolisme identitas mempunyai karakter inklusif, misalnya dengan menampilkan secara bersamaan simbol-simbol yang merepresentasikan keragaman identitas di

25 Roy Murtadho, “Politik Sektarianisme: Benarkah Jakarta Telah Jatuh ke Tangan Kaum Intoleran,” 28 April 2017, https://indoprogress.com/2017/04/politik-sektarianisme-benarkah-jakarta-telah-jatuh-ke-tangan-kaum-intoleran/, diakses pada 20 September 2018.

26 Colm Fox dan Jeremy Menchik, The Politics of Identity in Indonesia: Results from Campaign Advertisements, (APSA 2011 Annual Meeting Paper, 2011)

daerah27. Namun dalam konteks yang berbeda, tidak jarang mobilisasi elektoral dilakukan dengan mengafirmasi kontestasi antarkelompok identitas.

Pilkada di DKI Jakarta memberi ilustrasi bagaimana momen politik ini telah menjadi arena bagi mobilisasi politik berdasarkan sentimen identitas etnik dan agama untuk mengkonfirmasi calon tertentu yang berbeda dari mayoritas. Ini bukan berarti terjadi pembelahan pola pemilih secara total berdasaran afiliasi agama. Ada keragaman etnik dan agama di kelompok pendukung masing-masing pasangan; tetapi secara umum nampak terjadi konsentrasi dukungan dari kelompok-kelompok garis keras terhadap pasangan tertentu dengan menggunakan sentimen SARA28.

Pengaruh politik identitas dan sektarianisme politik inilah yang diprediksi akan menjadi pengaruh besar di dalam perpolitikan secara nasional atau pada level nasional. Meski, banyak ahli politik mengatakan bahwa faktor etnisitas tidak lagi cukup berpengaruh dalam kontestasi politik pada level nasional. Para ahli seperti Mallarangeng (1997), William Liddle & Saiful Mudjani (2007) menyatakan bahwa faktor etnis dan agama tidak lagi merupakan isu utama yang berpengaruh dalam kontestasi politik nasional. Tetapi dalam penelitian lainnya yang dilakukan oleh Ananta et.al (2004) sebaliknya, bahwa faktor etnisitas masih merupakan jualan yang laku dalam politik Indonesia. Alasan utama yang diajukan adalah karena para pemilih di Indonesia sangat sedikit yang memilih berdasarkan pertimbangan rasional.

Fakta lain juga diungkapkan dalam penelitian Arfan Nusi29 yang menyatakan bahwa sejauh ini, kenyataan politik di Indonesia pasca reformasi masih didominasi oleh sektarianisme yang menihilkan perspektif kelas dalam gerak dan wacananya. Artikulasi Islam politik di Indonesia dewasa ini masih belum banyak menyentuh

27 Colm Fox dan Jeremy Menchik, The Politics of..,

28 A.E. Priyono, “Anti Kafir Politics in Local Election: Jakarta and Medan Case,” http://www.thejakartapost.com/news/2012/09/18/anti-kafir-politics-local-electin-jakarta-and-medan-case.html, diakses pada 5 September 2018.

29 Arfan Nusi, “Pemikiran Islam dalam Bingkai Pergolakan Politik Sektarian,” Jurnal Yaqzhan Vol.2, No.2, (2016):173-188.

Page 57: KONSTELASI POLITIK DI TAHUN ELEKTORAL

Dampak Elektoral Kasus Dugaan Penistaan Agama ... | Agus Sutisna & Idil Akbar | 169

persoalan yang menyangkut kehidupan dan penderitaan umat sehari-hari. Sebagai ilustrasi, politik di Indonesia belum banyak tampil di depan dalam berbagai permasalahan ummat seperti perampasan tanah, penggusuran, penolakan terhadap reklamasi pantai, perjuangan upah layak, dan sebagainya.

Pilgub Banten: Bayangan Dinasti dalam Proses Pra-kandidasi Pilgub Banten tahun 2017 dilaunching oleh KPU pada tanggal 3 Agustus 2016 di Alun-alun Kota Serang. Pilgub tahun 2017 merupakan pilgub keempat sejak Banten menjadi provinsi tahun 2000. Pilgub pertama (2001) yang masih dilakukan oleh DPRD menghasilkan pasangan calon terpilih Djoko Munandar dan Ratu Atut Chosiyah; Pilgub kedua (2006) Ratu Atut yang didampingi Masduki terpilih setelah sebelumnya mentake-over jabatan Gubernur setelah Djoko diberhentikan karena kasus korupsi tahun 2005; Pilgub ketiga (2011) Ratu Atut yang didampingi Rano Karno kembali terpilih. Akan tetapi pada periode kedua jabatannya ini Ratu Atut gagal menuntaskan kepemimpinannya setelah diberhentikan pada tahun 2013 karena kasus suap Pilkada Lebak 2013 yang juga menyeret adiknya, Tb. Chaeri Wardana dan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Akil Mochtar. Tanggal 12 Agustus 2015 Rano dilantik sebagai gubernur menggantikan Ratu Atut.

Pasca pemberhentian Ratu Atut banyak orang menduga --atau lebih tepatnya mungkin berharap-- bahwa dinasti politik keluarga Atut akan segera runtuh dan berakhir. Bahkan sejak penetapan status sebagai tersangka kasus suap Pilkada Lebak 2013, Gandung Ismanto, akademisi Untirta yang rajin mengkritisi kebijakan Pemprov Banten misalnya, meyakini bahwa penetapan tersangka Ratu Atut merupakan suatu guncangan dahsyat yang dampaknya lebih besar dibandingkan guncangan pertama ketika Wawan ditangkap. Gandung menganalogikannya dengan tsunami politik bagi keluarga besar Atut30.

Akan tetapi harapan atau prakiraan itu di kemudian hari ternyata meleset. Hanya berselang

30 Kompas, “Dinasti Ratu Atut Goyah”, 18 Desember 2013, www. kompas.com, diakses pada 25 Juni 2017.

sepuluh hari sejak penetapan status tersangka itu, tepatnya tanggal 27 Desember 2013, Tatu Chasanah, adiknya justru berhasil memenangi kontestasi di arena Musdalub DPD Partai Golkar Banten, mengalahkan rivalnya, Tb. Iman Ariyadi, Walikota Cilegon. Fakta ini menjelaskan dengan sangat lugas, bahwa kekuatan dinasti politik Ratu Atut masih solid dan tidak serta merta dapat digoyahkan dengan mudah.

Sekitar dua bulan kemudian, tepatnya 21 Pebruari 2014, Tanto Warsono Arban, menantu Ratu Atut juga dilantik menjadi Ketua DPD KNPI Provinsi Banten, meneruskan kepemimpinan Aden Abdul Kholiq yang tidak lain adalah suami Ratu Lilis Karyawati, adik tiri Ratu Atut. Ini adalah fakta kedua yang menjelaskan bahwa soliditas dinasti politik Ratu Atut masih terjaga dan tidak tergoyahkan. Perlu segera dikemukakan dalam kaitan ini, bahwa sejauh ini KNPI Banten juga merupakan salah satu ormas yang berhasil dikooptasi dan menjadi salah satu pilar kekuatan dinasti politik Ratu Atut.

Kemudian Pemilu legislatif 2014, event yang dapat menjadi parameter untuk mengukur soliditas dan kekuatan dinasti politik Ratu Atut juga berhasil dilewati dengan sukses. Beberapa anggota keluarga Ratu Atut, terpilih menjadi anggota legislatif baik di pusat maupun di Provinsi Banten. Andika Hazrumy dan Andiara Aprilia Hikmat (keduanya anak Ratu Atut), masing-masing terpilih menjadi anggota DPR RI dan DPD RI. Sementara kedua menantunya, Tanto Warsono Arban dan Ade Rossi Khaerunnisa, masing-masing terpilih menjadi anggota DPRD Banten. Kecuali posisi Ketua Kadin Provinsi Banten yang kini dijabat oleh Mulyadi Jayabaya, mantan Bupati Lebak, berbagai jabatan strategis baik di partai politik maupun ormas (kepemudaan, olahraga, sosial dan budaya) di Banten sejauh ini masih banyak yang diduduki oleh anggota keluarga Ratu Atut.

Fakta pal ing mutakhir yang dapat menjelaskan dengan lugas, betapa masih solid dan kuatnya dinasti politik Ratu Atut adalah keberhasilan tiga orang anggota keluarganya memenangi Pemilukada serantak 9 Desember 2015 lalu. Mereka adalah Tatu Chasanah (adik kandung) terpilih sebagai Bupati Serang, Airin

Page 58: KONSTELASI POLITIK DI TAHUN ELEKTORAL

170 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 15 No. 2 Desember 2018 | 161–178

Rachmy Diani (adik ipar) terpilih menjadi Walikota Tangerang Selatan, dan Tanto Warsono Arban (menantu) terpilih menjadi Walik Bupati Pandeglang (Sutisna, 2017: 53-55). Saat yang sama, salah seorang adik Ratu Atut, Khaerul Jaman, juga masih menduduki jabatan sebagai Wali Kota Serang.

Sementara itu Rano sebagai petahanabukanlah figur politik yang kuat. Secara sosio-historis Rano bukan tokoh yang berkontribusi dalam sejarah pembentukan provinsi ini. Meminjam ungkapan sinisme orang-orang Banten, Rano itu “teu mais teu meuleum” (tidak pernah terlibat sedikitpun) dalam arus besar sejarah pembentukan Provinsi Banten. Kemudian secara sosio-kultural Rano juga bukan “orang Banten asli”. Ia adalah outsider dalam lanskap sosio-kultural Banten; “tamu” yang tiba-tiba menjadi pemimpin tuan rumah31. Satu-satunya kelebihan Rano, setidaknya dalam pandangan para pendukungnya dan/atau dalam pikiran subyektif elemen-elemen masyarakat yang menghendaki perubahan di Banten adalah bahwa ia bukan bagian dari tentakel guritanya dinasti Ratu Atut yang diyakini memiliki komitmen kuat dalam melakukan pemberantasan praktik-praktik korupsi yang selama ini terjadi di Banten.32

Dalam situasi demikianlah proses pra-kandidasi Pilgub Banten berlangsung. Di satu sisi, kekuatan politik dinasti Ratu Atut masih cukup solid. Ini antara lain ditunjukkan oleh dominasi keluarga dan kerabat Atut di pentas kepemimpinan pemerintahan daerah, dimana 4 dari 8 kabupaten dan kota di Banten dikuasai oleh keluarga dan kerabatnya sebagaimana tampak pada tabel. Selain di arena negara (pemerintahan daerah), seperti dipetakan Sutisna (2017), dominasi keluarga Ratu Atut juga terjadi di arena non-negara seperti Tubagus Chasan Sochib sebagai Ketua KADIN Banten (2002-2012), Tubagus Khaerul Jaman sebagai anggota penasehat dewan KADIN Banten sekaligus juga sebagai Ketua IMI Banten, Ratu Tatu Chasanah sebagai Ketua PMI Banten dan Ketua Forum

31 Agus Sutisna, 2017, op.cit, hlm.93

32 Wawancara dengan Ranta Suharta, Sekda Provinsi Banten, 10 September 2016 di Banten dan diskusi-diskusi informal dengan Suhada, Yadi Jayasantikadan Abdul Hamid dalam berbagai kesempatan.

Paguyuban Banten Bersatu, Andika Hazrumy sebagai Ketua Karang Taruna Banten, Ketua Tagana Banten dan PW GP Anshor Banten, dan lain-lain yang sejauh ini dengan mudah dikooptasi untuk kepentingan pemenangan keluarga dan kerabatnya dalam kontestasi-kontestasi pilkada maupun pemilu di Banten.

Tabel 1. Keluarga Ratu Atut yang Menjadi Kepala/Wakil Kepala Daerah hingga Menjelang Pilgub 2017

Sumber: diolah penulis dari berbagai sumber

Sementara di sisi lain, Rano sebagai petahana secara politik tidaklah terlalu kuat posisinya untuk suatu kontestasi pilkada yang semakin kental nuansa subyektititas lokalnya terutama oleh sebab alasan yang bersifat sosio-kultural seperti diuraikan di depan. Dalam hampir semua pilkada, petahana biasanya relatif mudah menentukan siapa bakal calon pendampingnya. Karena petahana pada umumnya memiliki keunggulan atau kelebihan situasional dibandingkan para penantangnya. Keunggulan situasional yang dimaksud tentu berkaitan dengan jabatan yang sedang diembannya, misalnya popularitas, peluang mengendalikan birokrasi, peluang memanfaatkan berbagai fasilitas yang melekat dalam jabatannya; dan peluang mengkooptasi berbagai elemen masyarakat terutama melalui jalan memanfaatkan program dan kebijakan pemerintah. Keunggulan dan situasi-situasi yang potensial “menguntungkan” ini tentu juga dimiliki oleh Rano sebagai petahana. Akan tetapi dimensi sosio-kultural figuritasnya membuat insentif-insentif politik itu terdegradasi sedemikian rupa; dan ini kemudian semakin diperlemah oleh fakta bahwa keluarga dinasti Ratu Atut masih cukup solid secara politik.

Situasi itulah yang diduga kuat menjadi penyebab mengapa kemudian Rano sempat mengalami kesulitan menentukan figur bakal calon pendampingnya sebelum akhirnya, pada saat-saat akhir tahapan pencalonan, ia mendeklarasikan Embay Mulya Syarif sebagai pendampingnya pada tanggal 23 September 2016

No Kabupaten/Kota Kepala/Wakil Kepala Daerah Hubungan Keluarga

1 Kota Serang Tb. Khaerul Jaman (Walikota) Adik 2 Kota Tangerang Selatan Airin Rachmi Diani (Walikota) Adik ipar 3 Kabupaten Serang Tatu Chasanah (Bupati) Adik 4 Kabupaten Pandeglang Tanto W. Arban (Wakil Bupati) Menantu

Page 59: KONSTELASI POLITIK DI TAHUN ELEKTORAL

Dampak Elektoral Kasus Dugaan Penistaan Agama ... | Agus Sutisna & Idil Akbar | 171

sekaligus mendaftarkan diri ke KPU Provinsi Banten.

Berdasarkan wawancara dan diskusi-diskusi informal dengan para narasumber33 serta pengamatan atas fenomena dinamis yang terjadi dalam lanskap proses pra-kandidasi Pilgub, salah satu faktor penyebab tidak mudahnya Rano menentukan figur bakal calon pendampingnya memang karena adanya bayang-bayang kekuatan politik dinasti Ratu Atut. Jika disederhanakan situasi kalkulatifnya dapat dijelaskan sebagai berikut: (1) Rano menyadari bahwa sebagai petahana posisinya tidak cukup kuat jika harus bertarung head to head melawan dinasti Atut tanpa sokongan yang memadai dari publik dan/atau figur publik yang populer secara sosial sekaligus memiliki kemampuan yang kuat secara ekonomi; (2) Rano juga menyadari bahwa para penantangnya, selain merupakan tokoh-tokoh kuat di Banten (antara lain : Wahidin Halim, dua kali menjabat Walikota Tangerang; Mulyadi Jayabaya, dua kali menjabat Bupati Lebak; Taufik Nuriman, dua kali menjabat Bupati Serang), juga berasal dari keluarga Ratu Atut (Khaerul Jaman, adik Ratu Atut, Walikota Serang) dan Andika Hazrumy, anak Ratu Atut, anggota DPR RI); (3) Rano terlanjur “terbebani” secara politik oleh komitmennya sendiri untuk tidak berpasangan dengan keluarga Ratu Atut; dan “beban” ini justru semakin besar ketika komitmen anti-dinastinya mendapat dukungan publik yang meluas; dan akhirnya, (4) Rano mungkin juga menyadari bahwa siapapun figur yang bakal jadi kompetitornya, jika sang figur itu tandeman dengan keluarga Ratu Atut, pastilah akan menjadi lawan yang sangat kuat. Karena itu ia harus benar-benar menghitung dengan cermat siapa bakal calon pendampingnya.

Kandidasi: Semangat Perubahan di Tengah Arus Politik IdentitasMasa pendaftaran paslon Gubernur dan Wakil Gubernur Banten pada Pilkada serentak tahun 2017 berlangsung selama 3 (tiga) hari, yakni : 21-23 September 2016 (PKPU Nomor 4 Tahun

33 Wawancara dengan YJ (Wartawan), RS (Sekda Provinsi Banten), AN (Akademisi Unma), BP dan AH (Akademisi Untirta), ATN (Tokoh Masyarakat), MH (Wartawan), TDS (Pengusaha), SK (Sekretaris KPU Banten) dan OS (Tokoh Masyarakat) sepanjang bulan Agustus-September 2016.

2016). Paslon Wahidin Halim dan Andika Hazrumy mendaftar ke KPU Banten tanggal 22 September 2016, sementara paslon Rano Karno dan Embay Mulya Syarif mendaftar tanggal 23 September 201634. Paslon Wahidin-Andika dicalonkan oleh koalisi besar Partai Golkar, Gerindra, Demokrat, PKB, Hanura, PAN dan PKS. Sedangkan Rano-Embay dicalonkan oleh koalisi PDIP, PPP dan Partai Nasdem. Berikut perolehan kursi DPRD Banten dari tiap partai.

Tabel 2. Perolehan Kursi DPRD Banten Pemilu 2014

Sumber: www.dprd-bantenprov.go.id Setelah melewati tahapan verifikasi berkas

pendaftaran (termasuk pemeriksaan kesehatan) selama kurang lebih satu bulan, pada tanggal 24 Oktober 2016 kedua paslon ini ditetapkan oleh KPU Banten; dan sehari sesudahnya pada tanggal 25 Oktober 2016 KPU Banten melakukan Rapat Pleno Pengundian Nomor Urut Paslon. Hasil pengundian paslon Wahidin-Andika mendapatkan nomor urut 1 dan paslon Rano-Embay mendapatkan nomor urut 2.35

34 Selain kedua paslon yang diusung koalisi partai politik ini, ada beberapa paslon perseorangan yang sempat mendaftarkan diri dengan menyerahkan berkas dukungan calon perseorangan pada tanggal 6-10 Agustus 2016. Tetapi Tidak ada satupun yang memenuhi syarat dukungan. Keempat paslon perseorangan itu antara lain; Dimyati Natakusumah dan Yemmelia Wiryanto, Ampi Tanudjiwa dan Yeyen Maryani, Yayan Sofyan dan Ratu Enong, dan Tubagus Sangadiah dan Subari Martadinata.

35 Nomor urut Rano-Embay (2), meski tentu hanya sebuah kebetulan, pada masa kampanye oleh para relawan dan pendukung Wahidin-Andika dikapitalisasi sedemikian rupa sebagai alat kampanye untuk mendegradasi dukungan pemilih terhadap Rano-Embay dengan cara mengidentikkan nomor

Partai Perolehan Kursi DPRD Banten

Nasdem 5 kursi PKB 7 kursi PKS 8 kursi PDIP 15 kursi Golkar 15 kursi Gerindra 10 kursi Demokrat 8 kursi PAN 3 kursi PPP 8 kursi Hanura 6 kursi Jumlah 85 kursi

Page 60: KONSTELASI POLITIK DI TAHUN ELEKTORAL

172 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 15 No. 2 Desember 2018 | 161–178

Pendaftaran paslon Rano-Embay pada hari terakhir dari jadual pendaftaran bukan suatu kebetulan atau sebaliknya, sudah direncanakan sebelumnya. Melainkan lebih karena alotnya mencapai kesepakatan dan pengambilan keputusan di internal koalisi partai-partai pengusung dengan Rano sendiri tentang siapa figur yang akan mendampinginya. Ada 3 (tiga) nama yang diusulkan oleh DPD PDIP Banten ke DPP PDIP sebagai bakal calon pendamping Rano, yaitu : Khaerul Jaman (Walikota Serang, adiknya Ratu Atut), Ahmad Taufik Nuriman (Mantan Bupati Serang), dan Ranta Suharta (Sekda Provinsi Banten).Itulah sebabnya pada waktu DPP PDIP mengmumkan para paslon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang akan diusung oleh PDIP dan/atau partai-partai koalisinya beberapa hari menjelang penutupan masa pendaftaran, untuk Pilgub Banten, DPP PDIP hanya menghadirkan Rano Karno di panggung pengumuman yang disiarkan langsung oleh beberapa stasiun televisi nasional, minus bakal calon pendampingnya. Nama Embay Mulya Syarif sendiri baru dirilis ke publik sebagai bakal calon pendamping Rano satu atau dua hari setelah pengumuman resmi di televisi itu. Penulis sendiri menerima informasi akurat bahwa Embay akan mendampingi Rano pada hari Rabu (sore), 21 September 2016.36 Informasi ini lengkap dengan rencana deklarasi sekaligus pendaftaran ke KPU yang akan dilaksanakan pada luas, hari Jumat, 23 September 2016.

Alotnya pengambilan keputusan tentang siapa yang akan mendampingi Rano disebabkan oleh adanya tarik-menarik pertimbangan dan kepentingan, baik antara Rano dengan PDIP dan partai koalisinya maupun di antara partai-partai koalisi sendiri. Konstelasi tarik-menarik pertimbangan dan kepentingan itu dapat dijelaskan berikut ini. Pertama, sebagaimana telah disinggung di depan, Rano tidak menghendaki calon pendampingnya berasal dari keluarga/kerabat Ratu Atut. Tetapi ia juga tidak serta merta dapat menerima figur yang disediakan oleh DPP PDIP dan/atau partai koalisinya. Dalam hal ini

tersebut dengan nomor urut Ahok-Djarot yang secara kebetulan juga berangka 2 sebagai nomor urut paslon penista agama.

36 Informasi didapatkan penulis dari YJ, RS dan EMS sendiri melalui pesan whatsApp.

Rano memiliki preferensi sendiri tentang figur bakal pendampingnya. Dari ketiga nama yang diusulkan tadi, Rano cenderung memilih Ranta Suharta; sedangkan DPP PDIP condong kepada Khaerul Jaman yang juga lebih dikehendaki oleh DPD PDIP Banten. Sementara itu, baik PPP maupun Nasdem tidak menghendaki keduanya. Sebagian bagian dari koalisi, PPP dan Nasdem memiliki opsi sendiri. PPP cenderung ke Taufik Nuriman atau kadernya sendiri, Mardiono atau Embay Mulya Syarif, yang keduanya sama sekali tidak pernah terpublikasi di media manapun sebagai bakal calon, baik untuk gubernur maupun wakil gubernur. Sementara Nasdem (meski tidak bersikeras, cukup kompromistis) menghendaki kadernya sendiri, Wawan Iriawan (Ketua DPD Partai Nasdem Banten).

Kedua, alasan DPP PDIP lebih memilih Jaman selain karena secara finansial (kesiapan logistik) yang paling unggul dan mendapat dukungan solid dari DPD-DPD PDIP se-Banten, juga karena faktor lawan. Dengan memasang Jaman sebagai pendamping Rano, soliditas keluarga Ratu Atut dan Golkar Banten akan terpecah; dan dengan sendirinya akan menggerus suara Andika yang sudah lebih dulu dideklarasikan berpasangan dengan Wahidin. Pada saat yang sama, DPP PDIP juga menolak Ranta dan Nuriman, dengan alasannya sendiri-sendiri. Ranta, selain secara finansial tidak masuk dalam kategori “siap membiayai” Pilgub, ia juga dinilai bukan figur populer yang dapat mendulang suara signifikan. Sementara Nuriman dianggap memiliki “cacat politik” oleh beberapa fungsionaris DPP PDIP terkait pernyataannya di media massa yang menghubungkan gejala kebangkitan PKI/Komunisme dengan PDIP. Ribka Tjiptaning (penulis buku Aku Bangga Jadi Anak PKI) adalah fungsionaris DPP PDIP yang sangat vokal menyuarakan penolakan atas Nuriman.

Deadlock. Inilah yang terjadi dalam komunikasi dan negosiasi pertimbangan dan kepentingan terutama antara Rano dengan partai induknya, PDIP, pada hari-hari menjelang penutupan masa pendaftaran pasangan calon. Dan pada saat ini pula PPP kemudian hadir membawa dan mengusulkan figur alternatif yang selama masa pra-kandidasi sebelumnya tidak pernah

Page 61: KONSTELASI POLITIK DI TAHUN ELEKTORAL

Dampak Elektoral Kasus Dugaan Penistaan Agama ... | Agus Sutisna & Idil Akbar | 173

disebut-sebut, pun tidak pernah mendaftarkan diri ke partai manapun selama proses penjaringan oleh partai-partai politik. Figur itu adalah Embay Mulya Syarif, anggota Majlis Syariah DPW PPP Banten. Jatuhnya pilihan terakhir pada sosok Embay tampaknya didasarkan pada beberapa pertimbangan berikut; dengan pertimbangan mana, baik pihak Rano maupun DPP PDIP dan DPP Nasdem akhirnya menyetujui.

Pertama, Embay adalah salah seorang tokoh penting dalam sejarah pembentukan Provinsi Banten; ia juga putra asli Banten dan selama hidupnya praktis berkiprah di Banten, baik sebagai pengusaha maupun sebagai aktifis. Latar belakang ini penting untuk menutupi celah kelemahan aspek historis dan sosio-kultural yang dapat menjadi sasaran empuk dari serangan/propaganda bernuansa politik identitas pihak lawan yang melekat pada Rano. Kedua, Embay dikenal sebagai aktifis dan tokoh Islam; berasal dari kalangan santri sekaligus jawara. Posisi ini penting untuk mengurangi potensi resistensi masyarakat terhadap stigma PDIP sebagai partai sekuler dan kerap dianggap kurang ramah terhadap kepentingan umat Islam. Selain itu, sosok sebagai jawara juga penting untuk mengimbangi kelompok jawara yang berbaris di kubu Wahidin-Andika. Ketiga, Embay juga dikenal sebagai figur yang bersih, berintegritas, tidak pernah terlibat dalam kasus-kasus korupsi yang diduga atau sudah terbukti dilakukan oleh keluarga Ratu Atut, meskipun ia memiliki hubungan dekat dengan ayahanda Ratu Atut, Chasan Sochib. Pertimbangan ketiga inilah kemudian yang banyak dikampanyeukan kepada masyarakat oleh timses dan relawan-relawan pendukungnya. Embay diposisikan sebagai simbol perubahan sekaligus simbol dari semangat perlawanan untuk menyudahi era dinasti korup di Banten.

Keputusan Rano dan koalisi PDIP, PPP dan Nasdem mengambil Embay sebagai Cawagub mendampingi Rano mendapat sambutan sangat positif terutama dari elemen-elemen masyarakat sipil yang sudah muak dengan praktik-praktik dinasti dan korupsi di Banten. Sejumlah tokoh, termasuk mereka yang sempat mendaftarkan diri sebagai bakal calon gubernur atau wakil gubernur ke partai-partai koalisi, baik yang

kemudian menjadi pengusung paslon Wahidin-Andika maupun paslon Rano-Embay, secara terbuka memberikan dukungan dan bahkan bersedia menjadi bagian dari tim kampanye Rano-Embay. Beberapa tokoh (non-struktural partai) yang mendukung Rano-Embay antara lain : Taufiequrrahman Ruki (mantan Ketua KPK), Mochtar Mandala (tokoh pembentukan Provinsi Banten), Taufik Nuriman (mantan Bupati Serang), Mulyadi Jayabaya (mantan Bupati Lebak), Daenulhay (mantan Dirut PT. Krakatau Steel), Hasan Gaido (pengusaha travel),Gola Gong (founder dan pemilik komunitas Rumah Dunia), Ali Nurdin (akademisi), dan Uday Suhada (aktifis LSM).

Dengan kehadiran tokoh-tokoh asli Banten di barisan pendukungnya itu, Rano dan koalisi partai pengusung pencalonannya tentu berharap politik identitas yang mulai mengarus dan digunakan oleh tim Wahidin-Andika sebagai strategi kampanye untuk mendegradasi popularitas dan elektabilitas Rano-Embay dengan “menyerang” sosok Rano sebagai bukan “orang Banten” sekaligus tidak pernah punya jejak kontribusi terhadap perjuangan mewujudkan Provinsi Banten dapat diredam sedemikian rupa, atau setidaknya dapat diminimalisasi potensi pengaruh buruknya. Selain itu, kehadiran mereka juga diharapkan menjadi penegas atas komitmen dan visi kepemimpinan masa depan Rano-Embay yang anti-dinasti sekaligus anti-korupsi.

Kampanye : Isu Dinasti Meredup, Politik Identitas Menguat Sejak perhelatan Pilgub Banten 2017 dilaunching pada awal Agustus 2016, isu politik yang paling mendapat sorotan publik adalah praktik dinasti yang dilakukan oleh Ratu Atut Chosiyah selama memimpin provinsi ini antara tahun 2005-2013. Isu ini meluas bukan hanya pada kalangan masyarakat yang secara politik literate seperti mahasiswa, aktifis, pers, akademisi dan elemen-elemen civil society lainnya, tetapi juga pada kalangan masyarakat awam. Pada umumnya mereka menolak politik dinasti, terlebih yang sudah terbukti berdampak pada merebaknya praktik-praktik korupsi dan kolusi.

Page 62: KONSTELASI POLITIK DI TAHUN ELEKTORAL

174 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 15 No. 2 Desember 2018 | 161–178

Akan t e t ap i agak be rbeda pos i s i penyikapannya pada kalangan elit-elit partai politik dan tokoh-tokoh yang memiliki minat dan rencana untuk maju sebagai calon gubernur atau wakil gubernur. Kecuali hanya beberapa orang yang secara terbuka mengungkapkan penolakannya terhadap politik dinasti, sikap umum mereka cenderung wait and see, bahkan sebagian ada yang permisif, dan siap bernegosiasi jika situasi membutuhkan.37Sikap permisif ini semakin kentara dan meluas terutama setelah peta kandidasi mengerucut pada dua kubu : Rano sebagai petahana yang secara terbuka tidak akan berpasangan dengan keluarga/kerabat Ratu Atut meski Jaman (adik Atut) dan timnya terus berupaya agar Rano mengambil Jaman sebagai pendampingnya di satu sisi, dan kubu Wahidin sebagai penantang paling populer dan konsisten memperjuangkan pencalonannya (terutama melalui Partai Demokrat) yang kemudian mencapai titik temu komunikasi politik dengan Partai Golkaruntuk mengusulkan Andika sebagai calon pendamping Wahidin.

Dengan alasan fatsoen politik, semua elit dan tokoh partai koalisi pengusung Wahidin-Andika akhirnya berusaha keras meredam isu dinasti korup untuk mendongkrak popularitas dan elektabilitas paslonnya. Dengan cara demikian, perlahan isu dinasti meredup (setidaknya tidak lagi menjadi isu tunggal perhatian publik) di pentas sosialisasi dan kampanye pilgub. Pada saat yang sama koalisi pengusung Wahidin-Andika mulai mengedepankan isu-isu politik identitas untuk mendegradasi popularitas dan elektabilitas Rano-Embay. Dalam konteks ini isu-isu yang paling sering dibuka dan dikedepankan sebagaimana telah disinggung di depan adalah bahwa Rano “bukan orang Banten”; Rano “tidak memiliki jejak kontribusi” dalam sejarah pembentukan Provinsi Banten; Rano bahkan ber-KTP DKI Jakarta.38Dan keputusan Rano dan timnya mengambil Embay sebagai calon

37 Sikap yang cenderung ambigu ini tampak dari wawancara dan diskusi-diskusi informal penulis dengan beberapa tokoh yang dipublish media dan/atau menyatakan diri akan maju dalam proses pencalonan pilgub, dan beberapa aktifis yang memiliki hubungan dekat dengan tokoh-tokoh tersebut.

38 Sosialisai atau kampanye negatif ini secara masif dilakukan oleh para relawan Wahidin-Andika terutama melalui jejaring media sosial.

pendampingnya hanyalah akal-akalan politik untuk dijadikan bumper kompetisi saja; Embay hanya akan dimanfaatkan.

Kampanye yang sudah menyerupai propaganda dengan menggunakan isu politik identitas ini semakin kencang dan menemukan momentum pembenarannya setelah terjadi kasus blasphemy (penistaan agama) yang dilakukan oleh Basuki Tjahya Purnama (Ahok), Gubernur DKI Jakarta. Suatu kasus yang telah memicu kemarahan umat Islam dan berujung kemudian pada bangkitnya politik sektarian di Jakarta. Ahok yang berasal dari golongan minoritas, agama maupun etnik, dipandang tidak pantas memimpin Jakarta yang mayoritas muslim dan pribumi. Koneksitas isu blasphemy oleh Ahok ini dengan Pilgub Banten, sebagaimana telah dijelaskan di depan terletak pada partai pengusung utama pencalonan baik Ahok maupun Rano. Keduanya sama-sama dicalonkan oleh koalisi partai politik yang dipimpin PDI Perjuangan, partai yang dinilai oleh sebagian warga Banten kerap memusuhi umat Islam dan menjadi sarang berkiprahnya kader-kader PKI.39

Demikianlah, prosesi kampanye Pilgub Banten 2017 akhirnya lebih banyak dipenuhi dengan propaganda sal ing menyerang daripada mendiskusikan ide-ide program yang mencerdaskan. Kubu Rano-Embay mengandalkan isu dinasti yang sebetulnya sudah cukup lama menarik perhatian publik, tetapi kemudian meredup seiring dengan proses pemetaan koalisi partai dalam pencalonan. Sementara kubu Wahidin-Andika mengandalkan isu politik identitas yang kemudian disempurnakan oleh isu politik sektarian yang bangkit belakangan menyusul kasus penistaan agama oleh Ahok, yang tidak lain merupakan kolega politik Rano dalam perhelatan pilkada serentak 2017, dan cukup berhasil meredam isu dinasti.

Dampak Electoral Blasphemy Kasus penistaan agama (blasphemy) oleh Ahok bermula dari ceramahnya di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu pada tanggal 27 September

39 Koneksitas ini misalnya digambarkan melalui poto-poto yang menunjukkan kemesraan Rano-Embay dengan Ahok dan Megawati di pesawat dalam penerbangan ke Blitar untuk keperluan ziarah ke makam Bung Karno, yang diviralkan di media sosial.

Page 63: KONSTELASI POLITIK DI TAHUN ELEKTORAL

Dampak Elektoral Kasus Dugaan Penistaan Agama ... | Agus Sutisna & Idil Akbar | 175

2016. Dalam ceramhanya, Ahok menyinggung Al Quran Surat Al Maidah ayat 51, yang dalam pandangannya surat dan ayat ini kerap dipakai oleh para politisi (lawan-lawan politiiknya) untuk membohongi umat Islam agar tidak memilih pemimpin non-muslim. Kajian ini tentu tidak akan masuk ke dalam perdebatan substansi ayat 51 Al Maidah itu, melainkan lebih kepada dampak yang diakibatkan oleh ceramah tersebut dalam konteks perhelatan pilkada serentak tahun 2017, khususnya dampak elektoral yang mengarus deras bukan saja pada ruang perhelatan Pilkada DKI Jakarta, tetapi juga mengalir ke ruang perhelatan Pilkada Banten.

Isi ceramah itu kemudian diunggah di akun fesbuk Buni Yani pada tanggal 6 Oktober 2016 dan menjadi viral di berbagai media sosial. Di kemudian hari dampak pengunggahan ini luar biasa, telah memicu kemarahan besar umat Islam, bukan hanya di Jakarta, tetapi juga di berbagai daerah, khususnya Banten yang secara geografis bersentuhan dengan DKI Jakarta.Rangkaian aksi dengan tajuk “Bela Islam dan Bela Ulama” kemudian terjadi; dimulai pada tanggal 14 Oktober 2016 di halaman Balai Kota DKI, kemudian disusul oleh aksi yang lebih kolosal pada tanggal 4 November (dikenal dengan Aksi 411) dan aksi yang lebih dahsyat lagi pada tanggal 2 Desember 2016 (dikenal dengan Aksi 212). Setelah kedua aksi besar ini, beberapa rangkaian demonstrasi masih terus berlanjut hingga menjelang pemungutan dan penghitungan suara pilkada serentak pada tanggal 15 Pebruari 2017.Pasca desakan umat Islam yang luar biasa itu, setelah melalui proses gelar perkara oleh Mabes Polri, tanggal 16 November 2016 Ahok ditetapkan sebagai Tersangka kasus dugaan penistaan agama40.

Secara hukum kasus dugaan penistaan agama itu sudah selesai dan tuntas dengan divonisnya Ahok oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada tanggal 9 Mei 2017. Majelis Hakim yang diketuai oleh Dwiarso Budi Santiarto menyatakan bahwa, terdakwa Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) terbukti secara sah dan meyakinkan telah bersalah melakukan

40 Kompas, “Kaleidoskop 2016: Timeline” Penetapan Ahok sebagai Terdakwa Penodaan Agama,” 14 Desember 2016, www.kompas.com, diakses pada 25 Juni 2017.

tindak pidana melakukan penodaan agama; dan menghukumnya dengan 2 (dua) tahun penjara41.

Sebagaimana telah disinggung di depan, kasus penistaan agama oleh Ahok ini telah meluas sedemikian rupa, menjadi semacam “bola liar” politik pilkada yang mempengaruhi bukan saja dinamika pilkada di DKI Jakarta, melainkan juga pilkada di beberapa daerah, khususnya di Banten. Dalam konteks Banten, pengaruh negatif kasus ini berupa penurunan popularitas dan elektabilitas paslon Rano-Embay yang sama-sama dicalonkan oleh koalisi yang dipimpin PDIP.42

Situasi itu dimungkinkan oleh karena beberapa faktor berikut : (1) Kedekatan bahkan persentuhan geopolitik pilkada antara Banten dan DKI Jakarta; (2) Kesamaan posisi kandidasi Rano dengan Ahok sebagai kandidat yang dicalonkan oleh PDIP, partai yang dalam pandangan sebagian warga Banten dianggap kerap menyakiti umat Islam; (3) Kasus blasphemy yang terus membesar dan meluas simultan dengan tahapan kampanye pilgub itu terkapitalisasi secara alamiah menjadi isu strategis yang mengalahkan isu dinasti dan korupsi yang sebelumnya merebak di masyarakat yang dekat dengan paslon Wahidin-Andika.

Paslon Rano-Embay yang pada waktu dideklarasikan tanggal 23 September 2016, beberapa hari sebelum ceramah Ahok di Pulau Pramuka yang menuai protes dan amarah besar umat Islam itu, mendapat sambutan meriah dari berbagai kalangan. Ini misalnya dapat dilacak, baik pada timeline jejaring media sosial warga Banten (terutama facebook, dan komunitas grup-grup whatsApp yang penulis ikuti dan cermati), pemberitaan di media cetak lokal maupun dalam perbincangan dan diskusi-diskusi informal di berbagai ruang publik di Banten. Pasca kasus Pulau Pramuka itu, terutama setelah muncul Aksi 411 sambutan dan dukungan terhadap Rano-Embay mulai mengendur.

Terkait Aksi 411 itu ada sebuah “blunder politik” yang dilakukan oleh Embay Mulya Syarif. Calon Wagub pendamping Rano ini menghimbau agar warga Banten tidak perlu mengikuti seruan aksi dan datang ke Jakarta. Lebih baik, demikian 41 Lihat: news.detik.com, 9 Mei 2017

42 Wawancara dan diskusi-diskusi informal dengan para narasumber YJ, OS, MH, dan MM dalam beberapa kesempatan terpisah.

Page 64: KONSTELASI POLITIK DI TAHUN ELEKTORAL

176 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 15 No. 2 Desember 2018 | 161–178

ungkapnya sebagaimana dikutip oleh sejumlah media online di Banten, “kita doakan agar Ahok mendapatkan hidayah”.43 Berita ini dengan mudah kemudian dimaknai oleh publik, baik para pendukung dan simpatisan Wahidin-Andika maupun warga yang sebelumnya mendukung Rano-Embay sebagai “pembelaan”Paslon Rano-Embay terhadap Ahok, dan dengan cepat menjadi viral di media sosial.

Dukungan terhadap Rano-Embay semakin tergerus ketika aksi-aksi dan pemberitaan anti-Ahok terus berlanjut dan semakin masif di berbagai media dan ruang-ruang publik. Dalam rentang waktu antara Desember 2016 (setelah Aksi 212) hingga Januari 2017, beberapa narasumber riset, baik yang merupakan pendukung dan simpatisan Rano-Embay maupun pendukung dan simpatisan Wahidin-Andika mengkonfirmasi, bahwa telah terjadi pembalikan situasi sedemikian rupa sebagai dampak kasus Ahok. Isu anti-dinasti dan anti-korupsi yang menjadi alat bidik untuk membangun dan memobilisasi sikap antipati terhadap Wahidin-Andika serta mendegradasi popularitas dan elektabilitasnya semakin meredup digantikan oleh isu anti-Ahok, anti-PKI dan anti-China yang disematkan pada paslon Rano-Embay. Yang lebih menarik lagi, beberapa tokoh dan aktifis yang semula kencang mendukung Rano-Embay, bahkan banyak yang secara perlahan dan diam-diam menarik dukungannya. Meski disertai dengan pernyataan bahwa menarik dukungan terhadap Rano-Embay tidak berarti kemudian mengalihkannya kepada Wahidin-Andika,44 sedikit banyak sikap ini tetap berdampak pada semakin tergerusnya potensi suara untuk Rano-Embay.

I n d i k a t o r p e n t i n g l a i n n y a y a n g mengisyaratkan bahwa kasus Ahok berdampak negatif terhadap preferensi warga Banten, meski tidak sampai menggerus banyak suara Rano-Embay tampak pada kenyataan bahwa Wahidin-Andhika hanya menang di dua daerah, yakni Kota Tangerang (Kota yang pernah dipimpin Wahidin) dan Kabupaten Serang

43 Lihat: www.Banten Hits.com, 3 November 2016.

44 Wawancara dan diskusi-diskusi informal dengan SR, Kordinator Perguruan Tinggi La Tansa Mashiro Rangkasbitung; EJ, dosen STIE Bina Bangsa Serang dan redaktur majalah online biem.co; dan OS, tokoh masyarakat Serang.

(Kabupaten yang dipimpin tantenya Andhika). Di enam daerah lain, dimana Wahidin-Andhika sesungguhnya memiliki akses politik kuat terhadap kepala daerah karena koneksitas basis partai dan politik kekerabatan pasangan ini kalah.

Di Kota Cilegon, Walikotanya kader Golkar; di Kota Serang, Walikotanya paman Andhika; di Kota Tangsel, Walikotanya tantenya Andhika; di Kabupaten Pandeglang, Wabupnya adik ipar Andhika; di Kabupaten Tangerang, Bupatinya kader Golkar; dan di Kabupaten Lebak, Bupatinya kader Demokrat, Wahidin-Andhika gagal meraih kemenangan. Koneksitas dan afiliasitas politik dan kekerabatan yang tidak berbanding lurus dengan raihan suara mereka. Artinya, “di atas kertas” koneksitas dan afiliasitas politik dan kekerabatan ini tidak memberi kontribusi kemenangan bagi Wahidin-Andhika. Dengan demikian, kemenangan Wahidin-Andhika memang sangat “terbantu” oleh meluasnya kasus Ahok yang berkontribusi negatif bagi Rano-Embay.

Fakta-fakta dan sebagian asumsi itu sekaligus dapat dibaca dalam logika sebaliknya, bahwa andai saja, sebutlah“Ahok Effect” ini tidak bekerja secara efektif-negatif bagi Rano-Embay, peluang pasangan ini untukmemenangi kontestasi cukup besar. Ini terbukti dengan keberhasilan mereka menguasai enam daerah yang justru dipimpin oleh Bupati dan Walikota yang berada di kubu politik elektoral Wahidin-Andika seperti dipetakan di atas, yakni : Kota Cilegon, Kota Serang, Kota Tangerang Selatan, Kabupaten Pandeglang, Kabupaten Lebak, dan Kabupaten Lebak.

Rapat Pleno KPU Banten, Minggu 26 Februari 2017, menetapkan paslon Wahidin Halim-Andika Hazrumy sebagai pemenang kontestasi Pilgub Banten 2017, dengan perolehan suara 2.411.213 (50,95%), 89.890 (1.90%) lebih banyak dari perolehan suara paslon Rano Karno-Embay Mulya Syarifsebesar 2.321.323 (49,05%).

PenutupBerdasa rkan pembahasan yang t e l ah dikemukakan, penulis dapat menarik kesimpulan sebagai berikut: Pertama, selain berakar budaya Islam yang kokoh, masyarakat Banten juga memiliki karakteristik primordialis (keterikatan

Page 65: KONSTELASI POLITIK DI TAHUN ELEKTORAL

Dampak Elektoral Kasus Dugaan Penistaan Agama ... | Agus Sutisna & Idil Akbar | 177

pada etnik, budaya dan daerah) yang relatif kuat. Faktor inilah, selain kesejarahan, yang pada akhir dekade 1990-an bangkit kembali (melanjutkan perjuangan membentuk provinsi di tahun 60-an dan awal 70-an) menjadi pemicu semangat membentuk provinsi sendiri yang terpisah dari Jawa Barat. Dalam konteks ini pula, sejak awal (terutama sejak menggantikan posisi Ratu Atut sebagai gubernur), secara sosio-kultural dan sosio-politik sosok Rano Karno kurang dapat diterima sebagai pemimpin Banten.

Kedua, kecenderungan primordialistik (yang mewujud dalam bentuk politik identitas) ini pula yang mengemuka sebagai isu penting (selain isu tolak dinasti) ketika proses pra-kandidasi dan proses kandidasi berlangsung pada perhelatan Pilgub 2017 dengan sasaran bidik Rano Karno yang secara de facto memang “bukan orang Banten” dan tidak memiliki kontribusi sejarah terutama dalam pembentukan Provinsi Banten.

Ketiga, dalam suasana etnosentristikwarga Banten itu pilihan Rano dan koalisi pengusungnya yang dipimpin PDIP mengambil Embay Mulya Syarif sebagai calon Wakil Gubernur merupakan langkah yang tepat untuk meminimalisasi pengaruh buruh politik identitas terhadap popularitas dan elektabilitasnya; dan terbukti sempat mendapatkan simpati terutama dari elemen-elemen masyarakat sipil yang sudah muak dengan politik dinasti dan kasus-kasus korupsi yang ditimbulkannya di Banten, termasuk sejumlah tokoh nasional asal Banten.

Keempat, akan tetapi, strategi dan ikhtiar sebagaimana tesis pada butir ketiga itu kemudian tidak efektif ketika muncul kasus dugaan penistaan agama (blasphemy) yang dilakukan oleh Basuki Tjahya Purnama (Ahok) sebagai Gubernur petahana DKI Jakarta. Kasus yang memicu kemarahan besar umat Islam hingga melahirkan rangkaian aksi bela Islam dan bela Ulama itu berpengaruh negatif terhadap popularitas dan elektabilitas Rano-Embay di Banten. Hal ini dimungkinkan oleh beberapa faktor penyebab, yakni : (a) kedekatan, bahkan persentuhan geopolitik pilkada antara Banten dan DKI Jakarta; (b) kesamaan posisi kandidasi Rano dengan Ahok sebagai kandidat yang dicalonkan oleh PDIP, partai yang dalam pandangan sebagian warga Banten dianggap kerap menyakiti umat

Islam; (c) kasus blasphemy yang terus membesar dan meluas simultan dengan tahapan kampanye pilgub itu terkapitalisasi secara alamiah menjadi isu strategis yang mengalahkan isu dinasti dan korupsi yang sebelumnya merebak dalam masyarakat yang dekat dengan paslon Wahidin-Andika

Kelima, kasus blasphemy itu semakin “sempurna” dan determinatif sebagai isu politik pilkada yang berhasil mendegradasi sedemikian rupa popularirtas dan elektabilitas Rano-Embay dengan disertakannya isu-isu kebangkitan PKI/Komunisme dan anti-China, yang keduanya (dalam persepsi sebagian warga Banten) dianggap melekat pada PDIP dan Ahok.Berbagai upaya telah dilakukan oleh Rano-Embay dan timnya untuk mengcounter isu-isu panas yang sebagiannya lebih merupakan asumsi-asumsi politik daripada fakta itu. Namun aura politik identitas yang bertemu dengan fakta kasus blasphemy telah berkembang, meluas dan tumbuh sedemikian rupa di pentas perhelatan pilgub, sehingga upaya-upaya Rano-Embay dan timnya gagal membendung pengaruhnya terhadap preferensi politik warga Banten. Akibatnya, Rano-Embay, meski terpaut di belakang hanya 1.9% suara, gagal memenangi Pilgub Banten 2017.

Daftar Pustaka BukuAbdillah, Ubed, Politik Identitas Etnis, Pergulatan

Ta n d a Ta n p a I d e n t i t a s . M a g e l a n g : IndonesiaTera, 2002.

Abdul, Hamid, Observation of Democratic Decentralization in Indonesia during 2009–2014: Political Dynasty in Banten Province and Populism in Jakarta Province. Kyoto: Graduate School of Global Studies, Doshisha University, 2016.

Agustino, Leo, Pilkada dan Dinamika Politik Lokal. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009.

Agustino, Leo, Politik Lokal dan Otonomi Daerah. Bandung: Alfabeta, 201).

Castells, Manuell, The Power of Identity, Second Edition with a New Preface. Oxford: Blackwell Publishing, 2010.Diamond, Larry, Introduction : Political Culture and Democracy, dalam Political Culture and Democracy in Developing

Page 66: KONSTELASI POLITIK DI TAHUN ELEKTORAL

178 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 15 No. 2 Desember 2018 | 161–178

Contries. London : Lynne Reinner Publisher, 1994.

Erb, Maribeth dan Priyambudi Sulistyanto (eds)., Deepening Democrcay in Indonesia: Direct Elections for Local Leaders (Pilkada). Singapore : ISEAS, 2009.

Haris, Syamsuddin (ed), Partai dan Parlemen Lokal : Era Transisi Demokrasi di Indonesia, Jakarta: LIPI, 2007.

Huntington, Samuel, The Third Wave: Democratization in the Late Twentieth Century. Oklahoma: University of Oklahoma Press, 1991.

March, James dan Johan P. Olsen, Democratic Governance. New York: The Free Press, 1995.

Marijan, Kacung, Sistem Politik Indonesia: Konsolildasi Demokrasi Pasca-Orde Baru, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011.

Maarif, Ahmad Syafii, Politik Identitas dan Masa Depan Pluralisme Kita. Jakarta: Democracy Project, 2012.

Sutisna, Agus, Memilih Gubernur, Bukan Bandit; Demokrasi Elektoral dan Pilgub 2017 di Tanah Jawara. Yogyakarta: Penerbit Deepublish, 2017.

Schulte Nordholt, Henk dan Gerry van Klinken, Politik Lokal di Indonesia. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2014.

JurnalDjati, Raharjo Wasisto, “Revivalisme Kekuatan

Familisme dalam Demokrasi : Dinasti Politik di Aras Lokal,” Jurnal Sosiologi Masyarakat. Vol. 18, No. 2 (Juli 2013).

Fox, Colm dan Jeremy Menchik, “The Politics of Identity in Indonesia: Results from Campaign Advertisements,”. APSA Annual Meeting Paper, 2011.

Hadiz, Vedi R., Decentralisation and Democracy in Indonesia: A Critique of Neo-Institutionalist Perspectives, Search Working Paper, No.47, Hong Kong, (2003).

Nusi, Arfan, “Pemikiran Islam dalam Bingkai Pergolakan Politik Sektarian,” Jurnal Yaqzhan, Vol.2, No.2 (2016).

Sutisna, Agus, “Gejala Proliferasi Dinasti Politik di Banten Era Kepemimpinan Gubernur Ratu Atut Chosiyah,” Jurnal Politik Indonesia: Indonesian Political Science Review. Vol. 2, No.2, (Juli 2017).

Von Bruinessen, Martin, “Shari’a Court, Tarekat and Pesantren: Religious Institutions in the Sultanante of Banten,” Archipelago Journal, (1995): 165-200.

Sumber OnlineBPS Provinsi Banten, www.banten.bps.go.id, 2015.Kompas, “Dinasti Ratu Atut Goyah”, 18 Desember

2013 dalam www. kompas.com.Kompas, “Kaleidoskop 2016: Timeline” Penetapan

Ahok sebagai Terdakwa Penodaan Agama”, 14 Desember 2016 dalam www.kompas.com.

Murtadho, Roy, “Politik Sektarianisme: Benarkah Jakarta Telah Jatuh ke Tangan Kaum Intoleran”, 28 April 2017, dalam https://indoprogress.com/2017/04/politik-sektarianisme-benarkah-jakarta-telah-jatuh-ke-tangan-kaum-intoleran/.

Priyono, A.E.., “Anti Kafir Politics in Local Election: Jakarta and Medan Case,” dalam http://www.thejakartapost.com/news/2012/09/18/anti-kafir-politics-local-electin-jakarta-and-medan-case.html.

www.kpu.go.idwww.data.jakarta.go.id.

WawancaraWawancara dengan AN dan BP, 12 Oktober 2016 di

Serang.Wawancara dengan AH dan YJ, akademisi, 2 Oktober

2016 di Serang.Wawancara dengan RS, 10 September 2016 di Serang.Wawancara dengan ATN, MH, TDS, SK, dan OS,

Agustus-September 2016 di Provinsi Banten.Wawancara dengan SR dan EJ, 12 September 2016

di Serang.

Page 67: KONSTELASI POLITIK DI TAHUN ELEKTORAL

Pilkada, Peran Partai Politik, dan Konstelasi Pragmatis ... | Firman Noor | 179

PILKADA, PERAN PARTAI POLITIK, DAN KONSTELASI PRAGMATIS: KAJIAN ATAS PILGUB BANTEN, DKI JAKARTA,

JATENG DAN JATIM (2017-2018)

LOCAL ELECTION, POLITICAL PARTIES’ ROLES AND PRAGMATIC CONSTELATION: THE STUDY ON BANTEN, DKI

JAKARTA, CENTRAL JAVA, AND EAST JAVA GOVERNOR ELECTION (2017-2018)

Firman Noor

Pusat Penelitian Politik – Lembaga Ilmu Pengetahuan IndonesiaEmail: [email protected]

Diterima: 24 September 2018; Direvisi: 8 Oktober 2018; Disetujui: 30 Desember 2018

Abstract

Political parties have found the momentum to involve in the political process including in the contestation in public positions. This paper discusses several phenomena which indicate the existence of negative conditions from the existence of political parties related to the local elections. This phenomenon is the absence of regional leaders who are party leaders in the area, strong role of non-party networks in political contestation, the dominance of pragmatism in determining coalitions that often exclude party idealism or ideology which shows the party’s vulnerability in Indonesia. This paper shows the things that cause it. In addition, this paper offers several solutions so that various weaknesses can be overcome and at the same time it is expected to improve the quality of the elections in the future.

Keyword: political party, local election, pragmatism

Abstrak

Partai politik telah menemukan kembali momentum untuk dapat lebih berperan dalam proses politik termasuk dalam kontestasi pengisian jabatan publik. Tulisan ini membahas beberapa fenomena yang mengindikasikan adanya kondisi negatif dari eksistensi partai politik terkait dengan pilkada. Fenomena ini adalah tidak hadirnya sosok kepala daerah yang merupakan pimpinan partai di daerah itu, masih kuatnya peran jaringan non-partai dalam kontestasi politik, hingga dominasi pragmatisme dalam menentukan koalisi yang kerap menyingkirkan idealisme atau ideologi partai yang secara keseluruhannya memperlihatkan kerentanan partai di Indonesia. Tulisan ini menunjukkan hal-hal yang menyebabkan itu semua. Selain itu tulisan ini menawarakan beberapa solusi agar berbagai kelemahan itu dapat teratasi dan sekaligus diharapkan dapat meningkatkan kualitas pilkada di kemudian hari.

Kata Kunci: partai politik, pilkada, pragmatisme

Page 68: KONSTELASI POLITIK DI TAHUN ELEKTORAL

180 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 15 No. 2 Desember 2018 | 179–196

PendahuluanSesuai dengan amanat konstitusi, partai politik kembali memainkan peran yang signifikan dalam rekrutmen politik. Undang Undang Pemilihan Kepala Daerah (UU Pilkada) sebagai tafsiran dari konstitusi juga menempatkan partai politik sebagai lembaga formal yang sah dan berhak untuk mengajukan kandidat kepala daerah dan wakilnya. Di masa Orde Baru sifat partai politik hanya berperan tambahan, bahkan pinggiran, mengingat keputusan siapa kandidat yang akan menduduki jabatan kepala daerah sepenuhnya berada di tangan eksekutif. Secara umum partai-partai di masa itu tidak lain hanya menjadi “aksesoris” atas praktik penentuan kepala daerah yang bersifat top down. Format politik Orde Baru itu menyebabkan tidak hanya partai politik namun juga lembaga perwakilan daerah (DPRD) menjadi tidak berarti banyak dalam prosesi pilkada. Lembaga ini hanya menjadi sekadar pengesah atas apa yang telah dikehendaki oleh Soeharto, tidak terkecuali dalam soal pemilihan kepala daerah. Dalam sejarahnya, terdapat beberapa upaya perlawanan atas kehendak itu, sebagaimana yang terjadi misalnya di DPRD Provinsi Riau pada tahun 1985. Saat itu mayoritas anggota DPRD Provinsi Riau lebih memilih Ismail Suko, seorang putra daerah yang dianggap akan lebih aspiratif, ketimbang, Imam Munandar, yang dikehendaki pemerintah pusat. Namun upaya itu akhirnya sia-sia belaka. Imam Munandar akhirnya tetap ditetapkan sebagai Gubernur Riau sebagaimana instruksi Presiden Soeharto.

Di masa-masa Reformasi, format politik itu sudah berubah. Dalam hal konstelasi hubungan eksekutif-legislatif, misalnya, makin terlihat adanya keseimbangan di antara kedua lembaga itu. Presiden tidak dapat lagi berperan tunggal tanpa adanya political bargaining dari pihak legislatif. Bahkan di awal reformasi sempat muncul wacana “legislative heavy” yang mengindikasikan demikian meningkatnya kekuasaan legislatif. Dalam kaitannya dengan pemilihan kepala daerah, peran pemerintah pusat pun semakin dibatasi atau bahkan dapat dikatakan telah dihilangkan. Saat ini semakin terlihat upaya untuk mewujudkan pola pemilihan bottom up, dimana kehendak rakyat banyak

menjadi penentu keterpilihan seorang kandidat kepala daerah.

Sebagai konsekuensinya partai politik yang secara normatif sebagai media artikulasi kepentingan masyarakat dan secara konstitusional juga telah diberikan mandat sebagai lembaga politik yang berperan penuh dalam proses kandidasi memainkan peran yang dulu didominasi oleh kepentingan pemerintah pusat. Saat ini pula keberadaan partai politikmengalami revitalisasi dari sebuah institusi pelengkap menjadi institusi penentu dalam prosesi pilkada. Meski demikian, apakah partai telah benar-benar mampu menunjukkan dirinya sebagai satu-satunya institusi yang berperan dalam persoalan terkait dengan pilkada. Secara normatif legal-formalistik hal itu tidak dapat diragukan lagi. Namun bagaimana dengan kenyataan empiris di lapangan.

Dengan mengangkat kasus pilkada di Pulau Jawa dalam kurun waktu 2017 sampai 2018 artikel ini akan mengetengahkan persoalan dengan pokok permasalahan bagaimanakah peran partai politik sesungguhnya dalam pilkada? Secara spesifik beberapa pertanyaan akan dijawab dalam artikel ini, yakni apakah partai politik telah benar-benar sebuah institusi yang dapat menerbitkan calon-calon kepala daerah yang mumpuni dan terpercaya? Apakah partai telah mampu bekerja tanpa adanya keterlibatan elemen lain di luar partai dalam prosesi pilkada? Apakah partai telah mampu menegakkan idealisme atau ideologi yang dimiliki pada ajang pilkada? Apa pula sebenarnya yang menjadi persoalan sehingga kebanyakan masalah krusial yang terkait dengan partai tidak terpecahkan oleh partai itu sendiri hingga memunculkan beberapa problem mendasar dalam pilkada? Artikel ini juga akan menjawab hal-hal dibalik itu semua sembari memberikan skema solusi atasnya.

Diangkatnya kasus kandidasi dalam beberapa pilkada di Jawa menjadi menarik karena Jawa kerap dianggap barometer politik nasional. Artinya, apa yang terjadi di Jawa (Banten, DKI Jakarta, Jawa Tengah dan Jawa Timur) dalam beberapa aspek merupakan cerminan kondisi politik secara umum di level nasional dan sesungguhnya dapat pula dijadikan pelajaran

Page 69: KONSTELASI POLITIK DI TAHUN ELEKTORAL

Pilkada, Peran Partai Politik, dan Konstelasi Pragmatis ... | Firman Noor | 181

berharga untuk mengtisipasi persoalan-persoalan sejenis di wilayah-wilayah lainnya.

Dalam beberapa aspek para sarjana politik cenderung menempatkan fungsi-fungsi partai sebagai bagian penting dari keberadaan partai politik itu sendiri. Fungsi-fungsi yang ada dalam partai demikian kompleks namun secara umum menyiratkan hal-hal yang terkait dengan persoalan internal dan eksternal partai serta yang terkait diantara keduanya. Secara internal fungsi partai politik itu meliputi pembinaan atau pengkaderan anggota-anggotanya, melakukan sosialisasi politik internal terkait dengan ideologisasi dan manajamen konflik1. Sementara dalam konteks eksternal hal ini termasuk misalnya sosialisasi kebijakan publik, artikulasi pemandu kepentingan publik, melakukan agregasi kepentingan dalam ranah pembuatan kebijakan, pendidikan politik kepada masyarakat dan komunikasi politik di dalam konteks menjadi perantara antara pemerintah dan masyarakat.

Selain ini sebagai lembaga yang diciptakan untuk memenangkan kontestasi politik, khususnya dalam hal pengisian jabatan-jabatan publik. Secara umum hal itu adalah dalam rangka mengekalkan peran partai politik yang sesungguhnya sebagai sebuah mesin pemenangan dalam kontestasi politik yang membawa idealisme tertentu yang disepakati sekelompok orang. Namun demikian terdapat fungsi yang saling terkait antara fungsi internal dan eksternal. Dalam konteks internal ini fungsi partai sebagai lembaga pencetak pejabat publik haruslah dilakukan. Kegagalan dalam upaya ini menjadi indikasi kuat bahwa partai belum dapat seutuhnya memainkan fungsi yang harusnya dilakukan. Sayangnya tidak semua partai dapat mewujudkan hal ini. Artikel ini akan memanfaatkan tiga konsep utama sebagai landasan dan kerangka pemikiran, yakni konsep pelembagaan, post-democracy party dan pragmatisme politik.

Salah satu penyebab dari berbagai persoalan kerentanan dalam partai dewasa ini – termasuk di dalamnya lemahnya pelaksanaan fungsi-fungsi partai, kandidasi dan terjadinya oligarki – adalah karena masih lemahnya pelembagaan.

1 Lihat: Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia, 1978); Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, (Jakarta: Grasindo, 1992).

Dalam spektrum teoritis konsep pelembagaan partai merupakan bagian dari pendekatan neo-institusional yang menempatkan institusi sebagai suatu hal pokok atau fundamental karena diyakini menjadi penentu bagi performa partai dan kadernya. Pelembagaan yang dimaksud terkait dengan empat persoalan mendasar yakni (1) terciptanya derajat kesisteman yang tinggi, (2) memiliki kemapanan nilai-nilai karena berjalannya transmisi nilai dalam partai atau value infusion, (3) memiliki derajat otonomi yang tinggi dan (4) terekam baik dalam benak publik (reifikasi)2.

Dengan empat indikator di atas maka partai yang tidak atau belum terlembaga ditandai dengan pertama, belum mampu membangun mekanisme aturan main atau sistem internal yang serba mencakup dan dilaksanakan oleh seluruh kader. Penghargaan pada sistem belum tumbuh dengan sebaik-baiknya, mengingat kadang kepentingan elite atau “orang kuat” dapat melampaui sistem. Kedua, lemahnya value infusion yang mengakibatkan partai tidak memiliki nilai-nilai yang kokoh untuk dijadikan penjuru bagi cara pandang, sikap dan kebijakan partai. Akibatnya kepentingan yang eksklusif dan temporal yang tidak terkekang oleh idealisme partai menjadi acuan dalam menuntun cara berpikir dan bertindak. Kondisi ini mengarah pada menguatnya pragmatism, baik internal maupun aktifitas partai pada umumnya.

Ketiga, pelembagaan yang buruk membuka peluang menguatnya campur tangan pihak-pihak di luar partai dalam turut mengendalikan keputusan partai. Hal ini menyebabkan otonomi partai menjadi terganggu yang kemudian kerap berujung pada “terbelinya aspirasi”. Pihak-pihak luar itu sendiri dapat berupa kelompok atau organisasi tertentu atau tokoh-tokoh yang memiliki kekuatan finansial. Keempat, selain itu, kegagalan atau kelambanan pelembagaan juga melemahkan upaya partai untuk dapat benar-benar eksis di tengah-tengah masyarakat.

2 Lihat: Vicky Randall dan Lars Svasand, “Party Instutitionalization in New Democracies”, Party Politics, Vol. 8, 1(Januari 2002). Dirk Tomsa, Party Politics and Democratization in Indonesia: Golkar in The Post Soeharto Era. (New York: Routledge, 2008). Andreas Ufen, “Political Party and Party System Indstitutionalization in South East Asia: A Comparison of Indonesia, The Philippines and Thailand”. GIGA Working Papers 44/2007, March

Page 70: KONSTELASI POLITIK DI TAHUN ELEKTORAL

182 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 15 No. 2 Desember 2018 | 179–196

Partai menjadi sesuatu yang asing yang pada gilirannya menyebabkan rendahnya daya ingat akan hal-hal positif masyarakat terhadap partai politik. Tidak mengherankan jika muncul kemudian ketidaksingkronan antara aspirasi atau kepentingan masyarakat dengan partai

Sementara itu terkait dengan pengokohan oligarki saat ini kajian politik di Indonesia cenderung mengarah pada pembahasan tentang masih kuatnya oligarki atau elitisme dalam kehidupan demokrasi kita3. Kondisi ini berimbas dalam kehidupan partai politik di Indonesia. Muncul kemudian berbagai fenomena seperti apa yang disebut sebagai cartel party4, personalization of political party5, party presidentialization6 atau partai yang mengalami personalisasi. Fenomena ini mengisyaratkan bahwa partai politik berada dalam bayang-bayang pucuk pimpinan dan kroninya. Sehubungan dengan itu ada sebuah konsep yang cukup menarik yang secara fundamental menghinggapi partai-partai saat ini yakni post-democracy party.

Artikel ini memanfaatkan konseptualisasi Crouch7 mengenai post-democracy dan menafsirkannya sebagai partai memiliki lima karakter yakni, 1) eksklusif dalam menyusun

3 Lihat: Syamsuddin Haris, Pemilu Langsung di Tengah Oligarki Partai. Proses Nominasi dan Seleksi Calon Legislatif Pemilu 2004, (Jakarta: Gramedia, LIPI and IMD, 2004); Michele Ford dan Thomas B. Pepinsky, eds., Beyond Oligarchy. Wealth, Power and Contemporary Indonesian Politics, (Cornell: Cornell Southeast Asia Program Publications, 2014); Richard Robison dan Vedi R. Hadiz, Reorganising Power in Indonesia: The Politics of Oligarchy in an Age of Markets, (London: Rouledge Curzon, 2004); Jeffery A. Winters, “Oligarchy and Democracy in Indonesia” in Ford, Michele and Pepinsky, Thomas B. Beyond Oligarchy. Wealth, Power and Contemporary Indonesian Politics, (Cornell: Cornell Southeast Asia Program Publications, 2014).

4 Richard Katz dan Peter Mair, How Party Organize: Change and Adaptation in Party Organizations in Western Democracies, (London: Sage Publication, 1994); Kuskridho Ambardi, Mengungkap Politik Kartel. Studi tentang Sistem Kepartaian di Indonesia Era Reformasi, (Jakarta: Kepustaan Populer Gramedia, 2009).

5 Jorgen Hermansson, The Personalization of Party Politics: The Voters Perspectives. Unpublished manuscript. (Uppsala: Dept. of Government, Uppsala University, 2011).

6 Andreas Ufen, “Party presidentialization in post-Suahrto Indonesia”, Contemporary Politics, Volume 24, Issue 3 (2018):306-324.

7 Colin Crouch, Post-Democracy, (Cambridge: Polity Press, 2004).

inner circle kekuasaan yang bergantung pada pendiri partai ketimbang proses kaderisasi pada umumnya, 2) mengandalkan peran pendiri dan korporat yang mereka miliki dalam memenuhi kebutuhan finansial, ketimbang iuran anggota atau sumbangan lainnya, 3) mengutamakan soal electoral enabling ketimbang democracy empowerment, terutama melalui pendekatan populis, 4) dalam menyusun kebijakan dan agenda partai bersifat elitis dan top-down, dan 5) sulit memelihara loyalitas ideologis dan menghadirkan partisipasi yang artifisial8. Artikel ini melihat relevansi karakteristik partai di atas yang dapat dimanfaatkan dalam memahami persoalan peran elite/oligarkh dan punahnya ideologi dalam percaturan politik lokal.

Terkait dengan pragmatisme, hal itu dapat dipahami sebagai sebuah perilaku politik yang disesuaikan dengan tujuan praktis ketimbang ideologis9. Dewasa ini pragmatisme dalam politik bergerak dalam dua domain utama yakni pada level masyarakat atau akar rumput dan di level elite. Beberapa pengalaman aktivis politik atau kader partai mengkonfirmasi situasi bahwa dalam dua domain itulah pragmatisme telah berkembang dengan suburnya. Pada level masyarakat, pragmatisme muncul sebagai bentuk ”pemanfaatan situasi” atau momen politik untuk perbaikan kondisi kehidupan mereka dalam pengertian yang kompleks secara instan. Setidaknya dua faktor yang melandasi sikap pragmatis masyarakat.

Pertama, pilihan politik yang didasarkan pada skeptisisme terhadap kondisi politik yang dihadapinya. Dalam hitungan mereka berbagai persoalan yang mereka hadapi harus mendapatkan jawaban secara ”konkret” ketimbang normatif-idelogis semata. Kedua, masalah kesejahteraan yang masih belum meluas atau merata. Persoalan keterbatasan ekonomi ini kerap berujung pada pragmatisme yang kerap berlebihan dimana akhirnya penerimaan atau penolakan mereka atas sebuah kebijakan atau keberadaan kelompok

8 Lihat: Firman Noor, “The Phenomenon of Post-Democracy Party”, Jurnal Penelitian Politik, Vol.14, No.2 (2017).

9 Andrew Heywood, Political Ideologies: An Introduction. (Hampshire and London: the Macmillan Press Ltd), 1992, hlm. 317

Page 71: KONSTELASI POLITIK DI TAHUN ELEKTORAL

Pilkada, Peran Partai Politik, dan Konstelasi Pragmatis ... | Firman Noor | 183

politik lain lebih disebabkan oleh seberapa besar manfaat material sesaat yang akan mereka terima.

Sementara pada level elit atau parpol, keinginan untuk tetap berada dalam domain atau pusaran kekuasaan merupakan faktor penyebab utama dari tumbuh dan menguatnya sikap pragmatis. Terdapat beberapa motif berkoalisi dari masing-masing partai yang dapat dibagi menjadi beberapa hal. Pertama, adalah motif ideologis yang terutama adalah untuk mewujudkan keyakinan ideologi. Kedua, pada level yang lebih rendah adalah kepentingan untuk mewujudkan agenda. Motif kedua ini dapat dikatakan merupakan turunan dari ideologi yang lebih adaptif, kontekstual dan kompromistis.

Ketiga, adanya kesamaan pandangan mengenai sosok ideal seorang pemimpinan. Motif ini tidak sepenuhnya didasari oleh hal-hal ideologis atau strategis, namun semata karena sosok tersebut dianggap mampun menjawab persoalan yang dihadapi. Keempat, opportunis-praktis. Alasaan ini jelas tidak didasari kepentingan ideologis, agenda atau kualitas kandidat. Pilihan pragmatis ini semata didasarkan pada kepentingan untuk meraih kemenangan agar dapat turut mempengaruhi jalannya pemerintahan. Pada kepentingan ini dukungan akan diberikan kepada pihak yang memiliki potensi untuk memang lebih besar.

Dalam konteks pilkada dampak yang diberikan terhadap kondisi-kondisi di atas –yakni lemahnya pelembagaan, kecenderungan oligarki, dan pragmatisme– dapat menjadi demikian kompleksnya, meliputi dampak bagi kondisi di dalam maupun di luar partai. Dalam konteks internal hal ini termasuk dalam persoalan kandidasi yang dilakukan oleh partai politik. Kandidasi secara konseptual terbuka peluang terjadinya praktik oligarki dan pragmatisme politik. Fenomena kandidasi dan juga koalisi pada akhirnya dapat menjadi indikasi seberapa besar sebenarnya praktik oligarki dalam sebuah partai.

Selain itu secara internal hal ini memunculkan hadirnya kandidat-kandidat yang bukan seorang kader, yang memperlihatkan lemahnya sistem dan mekanisme pembinaan kader (kaderisasi) dan faktor kompromi elitis. Sementara dalam konteks eksternal atau di luar partai kondisi-kondisi ini

cenderung menguatkan peran jaringan non-partai dalam tarik menarik kepentingan dalam pilkada. Selain itu hal ini juga menumbuhkan potensi tergerusnya idealisme saat membangun koalisi, dimana koalisi oportunis-pragmatis menjadi semakin berpeluang untuk terbentuk.

Pragmatisme Partai dalam Pemilihan Kepala DaerahWalaupun partai telah diberikan amanat untuk berperan besar dalam kehidupan politik termasuk menentukan masa depan daerah melalui proses pemilihan kepala daerah, dalam prakteknya partai terdapat dua persoalan besar yakni pertama, kuatnya nuansa pragmatism dan kedua, peran kalangan non-partai dalam prosesi pilkada terutama pada saat kampanye hingga menjelang pencoblosan. Kedua hal utama itu tercermin dari setidaknya empat realitas yakni 1) kandidat kepala daerah yang bukan pimpinan partai di wilayah tempat kontestasi politik terjadi, 2) peran yang signifikan dari jaringan non-partai atau relawan, 3) proses kandidasi atau seleksi yang elitis, 4) terbentuknya koalisi pelangi nir-ideologi.

a. Kandidat yang Bukan Pimpinan Partai atau KaderBeberapa kandidat yang terjun dalam ajang pilkada bukanlah kader partai sama sekali. Dalam kasus kekinian beberapa kandidat murni orang luar partai yang karena kapasitasnya dianggap jauh lebih mumpuni dari kader partai menjadi kandidat. Dapat kita lihat misalnya di Pilkada Gubernur di seluruh Pulau Jawa dalam kurun waktu 2017-2018. Pada pertarungan Pilkada Banten terdapat dua kandidat yakni Wahidin Halim-Andika Hazrumy dan Rano Karno-Embay Mulya Syarif. Embay Mulya Syarif bukanlah kader partai saat bertarung dalam Pilgub Banten.

Begitu juga yang terjadi di Provinsi DKI. Dalam dua pasang kandidat Basuki T. Purnama (Ahok) -Djarot Saiful Hidayat dan Anies-Sandi, baik Ahok dan Anies tidak dalam statusnya sebagai anggota partai. Ahok dapat dikatakan telah bebas dari keanggotaan partai sejak 2014. Bahkan meski pernah menjadi anggota

Page 72: KONSTELASI POLITIK DI TAHUN ELEKTORAL

184 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 15 No. 2 Desember 2018 | 179–196

Gerindra dan dicalonkan sebagai kandidat wagub mendampingi Jokowi oleh partai tersebut, hubungan Ahok dengan Gerindra layaknya minyak dengan air. Gerindra, terutama yang tergabung dalam Fraksi Gerindra DPRD DKI diberitakan sebagai elemen anti-Ahok yang kuat10.

10 Alsadada Rudi, “Mengapa Fraksi Gerindra sangat Benci Ahok”, https://megapolitan.kompas.com, diakses pada 20

Situasi yang tidak jauh berbeda muncul pula di Jawa Barat. Kandidat-kandidat kuat seperti Ridwan Kamil dan Deddy Mizwar bukanlah kader ataupun kader lawas partai. Ridwan Kamil yang akhirnya terpilih menjadi Gubernur Jawa Barat hingga kini tetaplah tokoh non-partai. Adapun Deddy belum lama bergabung dengan

Agustus 2018.

Tabel 1. Kandidat Gubernur dan Wakil Gubernur di Lima Provinsi Pulau Jawa dalam Pilkada (2017-2018)

Sumber: Diolah dari berbagai sumber

*Catatan: Latar belakang politik adalah status politik kandidat terkait dengan partai saat dicalonkan.

No

Provinsi

Partai Pendukung

Kandidat Gubernur

Latar Belakang

Politik

Kandidat Wakil

Gubernur

Latar Belakang Politik

1 Banten Golkar, Gerindra, Demokrat,

PKS, Hanura, & PAN

Wahidin Halim Kader Demokrat

Andika Hazrumy

Kader Golkar

PDIP, PPP, & Nasdem

Rano Karno Kader PDIP Embay M Syarif Non-Partai

2 DKI Demokrat, PPP & PKB

Agus H. Yudhoyono

Kader Demokrat

Sylviana Murni Non-Partai

Gerindra, PKS & PAN

Anis Baswedan Non-Partai Sandiaga Uno Kader Gerindra

PDIP, Golkar, Nasdem &

Hanura

Basuki T. Purnama

Non-Partai Djarot S. Hidayat

Kader PDIP

3 Jawa Barat

PPP, Nasdem, & PKB

Ridwan Kamil Non-Partai Uu R Ulum Kader PPP

Demokrat & Golkar

Dedy Mizwar Kader (Baru) Demokrat

Dedi Mulyadi Kader Golkar

Gerindra, PKS & PAN

Sudrajat Kader Gerindra Ahmad Syaikhu Kader PKS

PDIP & Hanura

TB Hasanudin Kader PDIP Anton Charliyan Non-Partai

4 Jawa Tengah

PDIP, Golkar, Demokrat,

PPP & Nasdem

Ganjar Pranowo

Kader PDIP Taj Yasin Kader PPP

Gerindra, PKS, PKB, &

PAN

Soedirman Said Non-Partai Ida Fauziah Kader PKB

5 Jawa Timur

Golkar, Demokrat,

Nasdem, PPP, PAN, Hanura

Khofifah I. Parawansa

Non-Partai Emil Dardak Non-Partai

PKB, PDIP, Gerindra &

PKS

Syaifullah Yusuf

Non-Partai Putri Guntur Soekarno

Kader PDIP

Page 73: KONSTELASI POLITIK DI TAHUN ELEKTORAL

Pilkada, Peran Partai Politik, dan Konstelasi Pragmatis ... | Firman Noor | 185

partai berlambang mercy itu, yang dengan demikian belum sepenuhnya mengikuti prosesi pengkaderan partai11. Sementara itu di Jawa Tengah Cagub Sudirman Said adalah sosok profesional yang independen saat dicalonkan. Adapun di Jawa Timur baik Syaifullah Yusuf atapun Khofifah dan Emil, ketiganya bukan kader partai manapun saat dicalonkan. Syaifullah Yusuf terakhir tercatat adalah kader PKNU yang kemudian tidak pernah aktif di partai yang juga akhirnya gagal ikut dalam pemilu 2014 itu. Sedangkan Khofifah sudah sekitar satu dekade meninggalkan PKB. Sementara Emil Dardak bukan lagi menjadi kader PDIP sejak 2015.

Meski pencalonan orang-orang independen itu diperbolehkan, baik dalam aturan main pilkada maupun sebagai hasil aturan internal partai, namun secara mendasar fenomena ini merupakan cermin kegagalan fungsi partai dalam mencetak atau membina kadernya untuk menjadi pemimpin, bahkan dalam level lokal sekali pun. Di awal reformasi kondisi ini mungkin masih dapat dipahami, mengingat bahwa situasi yang masih bersifat transisional, atau partai memang belum benar-benar siap. Namun saat ini, setelah partai-partai telah eksis hampir 20 tahun lamanya, jelas kondisi sedemikian sesungguhnya tidak lagi dapat dibenarkan.

Tabel di atas memperlihatkan bahwa dari 13 kandidat calon gubernur hanya 7 kandidat yang kader partai. Dari ketujuhnya itupun ada kandidat yang berstatus masih kader baru yakni, Deddy Mizwar dan seorang kader yang pernah dipecat dari pengurus partai karena masalah disiplin dan loyalitas yakni Wahidin Halim. Artinya sebetulnya hanya ada lima orang yang benar-benar kader yang telah lama malang melintang dan berkecimpung dalam partai dengan track record yang relatif baik. Ketujuh kader partai itu berasal dari tiga partai saja yakni, PDIP, Gerindra dan Demokrat.

11 Beberapa waktu kemudian Deddy Mizwar bersedia untuk menjadi salah satu jubir Jokowi-Maruf dalam ajang Pilpres 2019. Sebuah sikap yang tentu saja bertentangan dengan kebijakan partainya. Sikap semacam ini dapat dipahami karena loyalitas yang dapat sesungguhnya dapat terbangun dalam proses kaderisasi yang diterima secara berkala belum terbangun. Ini memperlihatkan pula bahwa kebaruan dirinya dalam Partai Demokrat saat dicalonkan menjadi gubernur.

Sementara partai-partai yang lain merasa nyaman untuk mendukung bukan kadernya. Beberapa partai bahkan berkomitmen menjadi inisiator pencalonan kandidat yang jelas-jelas merupakan kader dari partai lain atau kandidat dari non-partai. Di antaranya Golkar untuk Wahidin Halim, Nasdem untuk Ridwan Kamil, Gerindra untuk Anies Baswedan dan Sudirman Said, serta seluruh partai untuk pasangan Khofifah dan Emil.

Selain itu keseluruhan kandidat Gubernur dan sebagian besar kandidat Wakil Gubernur adalah bukan pimpinan partai di wilayahnya. Baik Wahidin Halim maupun Rano Karno bukanlah pucuk pimpinan partai di wilayah Banten. Wahidin Halim bahkan adalah mantan Ketua DPD Demokrat yang dipecat dari jabatannya, karena dianggap tidak loyal pada partai. Ketua DPD PDIP Banten adalah HM Sukira. Begitu pula dengan Anies Baswedan ataupun Ahok.

Anies adalah sosok independen yang selama ini justru berseberangan secara politik dengan Gerindra dan PKS, dua partai yang belakangan justru mengusungnya di Pilkada DKI. Sementara Ahok adalah anggota biasa di kepengurusan Gerindra DKI Jakarta yang belakangan justu tidak aktif lagi di partai itu. Sedangkan Agus H. Yudhoyono adalah orang pusat yang tidak terkait dengan struktur kepengurusan partai di DKI Jakarta.

Sementara itu di Pilkada Jabar, hanya Dedi Mulyadi yang notabene adalah pimpinan wilayah saat dicalonkan. Namun Dedi pun tidak dicalonkan untuk posisi gubernur. Sedangkan untuk posisi cagub keseluruhannya adalah bukan pimpinan parpol di wilayah atau daerah Jawa Barat. Sudrajad bahkan orang yang relatif asing di Jawa Barat. Sementara pasangan kandidat T.B Hasanudin dan Anton Charliyan bahkan adalah murni pasangan “orang pusat”. Situasi yang hampir sama terjadi Jateng dan Jatim. Kesemua kandidat cagub dan cawagub di Jateng adalah bukan pimpinan partai di wilayahnya.

Meski pasangan Ganjar-Yasin adalah “produk lokal” namun keduanya bukanlah sosok-sosok pucuk pimpian pengurus partai di Jateng. Sedangkan Sudirman Said dan Ida Fauziah adalah figur-figur yang telah lama malang melintang di kehidupan politik nasional, sehingga lebih terasa

Page 74: KONSTELASI POLITIK DI TAHUN ELEKTORAL

186 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 15 No. 2 Desember 2018 | 179–196

sebagai “orang pusat”. Sementara untuk Jatim, situasi tidak jauh berbeda. Walaupun kombinasi tokoh nasional dan lokal terjadi, namun keempat tokoh yang dicalonkan, baik untuk posisi cagub (Syaifullah dan Khofifah) maupun cawagub (Puti dan Emil) bukanlah para pimpinan pengurus partai di Jawa Timur.

Ada beberapa pelajaran lain dari situasi ini. Hal yang pertama adalah kegagalan kaderisasi dan rekrutmen yang dilakukan. Terlihat bahwa posisi dewan pimpinan daerah atau wilayah tidak berarti banyak. Siapapun yang duduk dalam posisi itu dapat mudah saja di by pass oleh siapapun karena kepentingan politik praktis. Sejauh hal itu mendapat restu dari DPP maka apapun dapat terjadi. Situasi ini menunjukkan bahwa bargaining position DPW sangat lemah sekaligus menunjukkan terutama sekali bahwa pengkaderan tidak menentukan karir seseorang untuk menduduki jabatan publik sesuai jenjang yang dimilikinya.

Selain itu situasi ini juga mencerminkan kegagalan partai untuk menciptakan kader-kader yang mumpuni baik, dari sisi tata kelola pemerintahan maupun politik. Akibatnya seorang pimpinan wilayah tetap pada akhirnya dirasa belum cukup matang dan tangguh untuk bertarung di wilayahnya sendiri. Situasi ini juga sejalan dengan lemahnya pendekatan partai kepada masyarakat yang menyebabkan rasa keterikatan dan kepopuleran (reifikasi) tokoh pimpinan di mata masyarakat di wilayahnya menjadi demikian lemah, hingga tak cukup “layak jual”.

Dengan situasi di atas terlihat jelas bahwa partai-partai belum benar-benar melakukan kaderisasi yang memadai. Ini terjadi baik dalam konteks pembinaan atau rekrutmen. Padahal rekrutmen merupakan hal penting dalam kehidupan partai dan aktifitas secara politik pada umumnya12. Lemahnya kaderisasi ini secara umum terjadi di seluruh Indonesia dan kebanyakan apa yang disebut sebagai “kaderisasi” merupakan kegiatan sporadis. Selain itu, partai kadang belum memiliki konsep atau tidak benar-benar mempraktekkan konsep pembinaan (dengan reward dan punishment yang

12 Miriam Budiardjo, Partisipasi dan Partai Politik, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1998).

memadai), yang pada akhirnya dapat mendorong dan menghasilkan kader memiliki karakter kuat dan terpercaya untuk menjadi seorang pemimpin daerah.

Akibatnya, kualitas kader akhirnya belum memenuhi standar yang diharapkan. Di samping itu, kegagalan kaderisasi ini juga berpotensi besar menyebabkan jarak antara kader partai dengan rakyat semakin besar, mengingat kader tidak terdorong dan termotivasi untuk lebih mendekatkan diri kepada masyarakat13. Komitmen yang tidak kuat ditambah dengan ketidakpastian sikap/loyalitas masyarakat memperburuk situasi ini. Tidak mengherankan jika kemudian partai terlihat menjadi seolah mati suri.

b. Menguatnya Peran Jaringan Non-Partai Dalam pagelaran pilkada dewasa ini jaringan non partai atau kerap disebut sebagai jaringan relawan memainkan peran yang tidak dapat diremehkan. Situasi ini menunjukkan bahwa partai dan jaringan non-partai saling berlomba untuk memberikan yang terbaik bagi kandidat yang didukung. Di sisi lain ini dapat menandingi atau melampaui peran mesin partai yang resmi secara fundamental.

Prototipe jaringan non-partai atau relawan sudah ada sejak 2005 dan terus bergulir pada kasus-kasus pilkada setelahnya, yang memuncak pada momen Pemilihan Presiden 2014 dimana masing-masing kandidat pasangan calon presiden-wakil presiden memiliki sejumlah kelompok relawan yang cukup dapat pula bermakna peyoratif, dimana dalam kenyataannya keberadaan jaringan non-partai efektif dalam menggalang opini publik dan turut mempengaruhi preferensi politik mereka14.

Fenomena kemunculan jaringan relawan adalah bagian dari upaya meluaskan dukungan, yang diharapkan dapat meningkatkan intensitas sosialisasi atau kampanye pencalonan dan

13 Firman Noor, “Partisipasi Publik”, dalam Ikrar N. Bhakti, ed, Evaluasi Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden 2014, (Jakarta: ERI, LIPI dan AEC, 2015).

14 Lihat: Firman Noor, Perpecahan dan Soliditas Partai Islam: Studi Kasus PKB dan PKS di Dekade Awal Reformasi, (Jakarta: LIPI Press, 2015).

Page 75: KONSTELASI POLITIK DI TAHUN ELEKTORAL

Pilkada, Peran Partai Politik, dan Konstelasi Pragmatis ... | Firman Noor | 187

program-program seorang kandidat. Eksistensi jaringan relawan ini cerminan adanya partisipasi politik langsung masyarakat secara sukarela, yang menunjukkan bahwa tidak semua masyarakat kita saat ini bersikap apatis terhadap politik. Selain itu keberadaan jaringan mencerminkan pula adanya ikatan emosional antara kandidat dengan kelompok masyarakat pendukung. Semakin meluas, beragam dan mendalam komitmen relawan itu, maka ini mengindikasikan semakin besarlah kedekatan diri, isu atau program yang dimiliki kandidat dengan masyarakat umum.

Ada dua domain yang menjadi fokus kerja jaringan relawan dalam pilkada. Pertama, dalam soal yang praktis yakni konsolidasi kekuatan jaringan pemenangan, mobilisasi dukungan, perluasan dukungan potensi pemilih dan sosialisasi program-program kandidat hingga persoalan logistik. Kedua, dalam penyusunan platform, visi dan misi kandidat hingga agenda-agenda atau program kandidat. Dalam dua soal itu, partai politik seharusnya memiliki otoritas dan porsi peran yang lebih besar dari jaringan relawan.

Namun kenyataannya, peran partai dalam domain-domain itu kerap bersaing oleh kelompok-kelompok relawan. Ini dapat terjadi terutama mengingat kualitas koordinasi dan efektiftas kerjanya yang kadang melampui jaringan ataupun onderbouw partai. Tidak jarang mesin beberapa partai, terutama partai-partai yang hanya “menggenapkan” syarat ambang batas, benar-benar tidak berperan secara maksimal.

Kemunculan jaringan relawan menjadi fenomena tersendiri di seluruh prosesi kampanye pilkada. Dalam kasus Pilkada Banten 2017 terdapat ratusan jaringan relawan yang berpartisipasi dan beroperasi di seluruh wilayah Banten hingga ke pelosok daerah. Pada pasangan Wahidin-Andika terdapat jajaran relawan seperti Wajib Bela Dulur, Balad Andika, dan Jaringkan Keluarga. Adapun Pasangan Rano-Embay disokong oleh banyak relawan, di antaranya adalah Relawan Merah Putih, Balad Bang Doel dan Rakyat Kampung (Erka). Sementara pada Pilkada DKI Jakarta, keberadaan simpul relawan juga nampak jelas terlihat dan memberikan warna tersendiri.

Puluhan jaringan relawan berkerumun dan berjuang di masing-masing pasangan, misalnya, Relawan Jakarta, Gerbang Jakarta, dan Forum Sandi Uno (FSU) untuk pasangan Anis-Sandi. Sementara Badja, Relawan Cinta Ahok dan Forum Rakyat Jakarta Bersatu untuk pasangan Ahok-Jarot. Dan relawan yang tergabung dalam Jaringan Nusantara, Masyarakat Indonesia dan Agus Fans Club (AFC) untuk pasangan AHY-Sylvi.Pada Pilkada Jabar, situasi yang sama juga terjadi. Seluruh pasangan kandidat dibantu oleh belasan bahkan puluhan relawan. Pasangan RK-Uu didukung kelompok relawan seperti Baraya Ridwan Kamil (Barka), Pesantren Dukung Ridwan Kamil, dan Masyarakat Dukung Ridwan Kamil (Madrid).

Sementara relawan yang menamakan diri sebagai Laskar Nagabonar, dan DM4Jabar, Barisan Kang Dedi Mulyadi (Barikade) mendukung pasangan Deddy-Dedi. Pasangan Sudrajat-Syaikhu didukung oleh relawan seperti Relawan Sudrajat Syaikhu (RSS), Relawan Matahari Asyik, dan Perempuan Indonesia Raya Adapun Hasanudin-Charliyan, mendapat dukungan dari relawan seperti Barisan Hasan Charliyah (Bahas), Gerakan Masyarakat Bersatu Indonesia dan Pagubyuban Pasundan.

Sementara itu Pilkada Jateng memunculkan relawan yang cukup beragam. Pasangan Ganjar-Yasin mendapat dukungan yang massif dan meluas, konon memiliki hingga lima puluh ribu relawan, tercermin dari banyaknya simpul relawan pendukung, di antaranya Dulur Ganjar, Santri Gayeng dan Forum Relawan Demokrasi (Foreder). Pasangan Sudirman-Ida banyak mengandalkan simpul-simpul NU, meski bukan satu-satunya. Barisan relawan pendukung pasangan ini di antaranya Tim Perjuangan Merah Putih, PADI dan Rencange Said-Ida. Sedangkan pada Pilkada Jatim muncil gugus-gugus relawan seperti Relawana Khofifah-Emil Dardak (ReKOD), Barisan Kawan Khififah-Mas Emil dan Pemuda Pemudi Khusus Era Mileial (PAKHEM) untuk pasangan Khofifah-Emil. Semantara Pasangan Syaifullah-Puti didukung oleh kelompok-kelompok relawan seperti Perjuangan Anak Bangsa (PAB), Masyarakat Peduli Pangan (MAPAN) dan Relawana Pro-Demokrasi (REPDEM)

Page 76: KONSTELASI POLITIK DI TAHUN ELEKTORAL

188 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 15 No. 2 Desember 2018 | 179–196

Secara umum relawan yang tergabung dalam masing-masing kandidat mewakili banyak segmen atau tidak hanya mewakili satu kelompok saja. Terdapat segmen atas dasar usia, profesi, ideologi dan kedekatan personal dengan kandidat. Hingga pada dasarnya relawan itu bersifat lintas ideologi dan kepentingan ata dapat disebut sebagai “relawan pelangi”. Beberapa kalangan termasuk para kandidat mengakui arti penting keberadaan para relawan. Simpul-simpul relawan itu berperan tidak sedikit dalam memberikan pemahaman atas latar belakang, isu-isu strategis dan agenda-agenda politik para kandidat. Para relawan juga berperan penting dalam menumbuhkan opini positif sekaligus menjawab berbagai opini negartif atau isu-isu negatif yang menyerang kandidat yang didukungnya.

Sudirman Said sebagai misal menyatakan dengan jujur bahwa peran para relawan itu luar biasa dalam menyukseskan kampanyenya yang memang tidak memiliki banyak uang15. Demikian pula dengan yang disampaikan oleh Sudrajat yang mengakui bahwa bentuk dukungan dari relawan itu mulai dari moril hingga logistik16. Komitmen mereka untuk bekerja sejak hari pertama kampanye hingga penghitungan suara, diakui misalnya oleh Rano Karno yang mengatakan bahwa peran relawan signifikan dan telah bekerja berbulan-bulan untuk “menjual” agenda dan kandidatnya17. Demikian pula yang dikatakan oleh Abu B. Alhabsyi yang mengakui bahwa peran relawan dalam mengawal DPT demikian baik18.

Situasi di atas memperlihatkan bahwa lemahnya partai dan juga memperlihatkan bahwa keberadaan partai dan onderbow partai 15 Redaksi, “Sudirman Said: Relawan Kami Kerja Luar Biasa”, 28 Juni 2018, https://regional.kompas.com/read/2018/06/28/08562251/sudirman-said-relawan-kami-kerja-luar-biasa, diakses pada 10 Agustus 2018.

16 Redaksi, “Politik Hasil Kukurusukan, Pasangan Asyik Klaim Relawan di Jabar Bertambah”, https://m.merdeka.com/politik/hasil-kukurusukan-pasangan-asyik-klaim-relawan-di-jabar-bertambah.html, diakses pada 10 Agustus 2018.

17 Redaksi, “Rano Karno Nilai Strategis Peran Relawan di Pilgub Banten 2017”, https://www.liputan 6.com/pilkada/read/rano-karno-nilai-strategis-peran-relawan-di-pilgub-banten-2017, diakses pada 12 Agustus 2018.

18 Rmol, “PKS: Relawan Anies-Sandi Luar Biasa”, 15 Februari 2017, https://rmol.co/amp/2017/02/15/280611/PKS:-Relawan-Anies-Sandi-Luar-Biasa, diakses pada 12 Agustus 2018.

belum cukup mampu bekerja sendirian dalam memenangkan seorang kandidat. Jaringan partai tidak memiliki efektiftas dalam meyakinkan akar rumput, juga tidak dapat masuk leluasa dalam wilayah-wilayah yang masyarakat cenderung a-politis atau tidak bersimpati kepada partai politik. Selain itu, partai dan perangkatnya terlihat kerap tidak cukup artikulatif bahkan tidak jarang terlihat amat pasif atau lepas tangan. Ini adaah cerminan keterasingan dan mesin partai yang tidak terlatih.

Ini menjadi salah satu penjelasan bahwa mengapa jumlah dukungan partai yang lebih banyak sama sekali tidak menjamin kemenangan. Malah kerap terjadi pasangan yang didukung oleh jumlah partai yang lebih sedikit justru dapat keluar sebagai pemenang karena ditopang oleh jaringan relawan yang memadai dapat menumbangkan kandidat dengan jumlah partai pendukung yang lebih besar. Lebih buruk dari itu, kerap terjadi perpecahan dukungan di antara sesama anggota partai yang menyebabkan peran partai menjadi semakin nyaris tidak terlihat. Dalam kepentingan semacam itu kepentingan dan marwah partai dapat dikorbankan demi popularitas kandidat semata. Secara umum ini membuktikan keringkihan partai.

c. Proses Seleksi Kandidat yang Elitis Seleksi kandidat di atas menunjukkan adanya sebuah situasi elitis dalam proses kandidasi. Ini disebabkan karena patokan utama seleksi itu bukanlah hal-hal yang bersifat ideologis ataupun hasil dari proses Panjang kaderisasi. Kebanyakan partai saat ini cenderung menafikan kondisi ideal itu dengan membela kebijakan pragmatisnya atas dasar berbagai pertimbangan politik praktis yang berorientasi kemenangan semata. Pada umumnya partai mengatakan perlunya partai melihat kenyataan internal dan membangun sebuah “koalisi strategis” agar dapat memenangkan kontestasi pemilihan. Hal yang dikorbankan dalam cara pandang itu adalah tentu saja pada akhirnya kaderisasi, perwujudan ideologi dan kepentingan mendahulukan kader partai. Kesemuanya dikorbankan demi kepentingan pragmatis yakni peluang kemenangan kontestasi, yang secara substansial lebih didasari oleh kalkulasi politik para elite.

Page 77: KONSTELASI POLITIK DI TAHUN ELEKTORAL

Pilkada, Peran Partai Politik, dan Konstelasi Pragmatis ... | Firman Noor | 189

Kenyataannya proses seleksi kandidat -- terutama sekali pada tahap penentuan akhir atau finalisasi nama kandidat -- kerap lebih ditentukan secara personal di level elite, baik elite di intra maupun antar partai. Kedudukan para elite sebagai sosok-sosok yang menentukan nasib kader secara umum menjadi sulit di tolak. Peluang terjadinya elitisme atau personalisasi dalam proses seleksi kandidat ini menjadi semakin besar karena memang aturan main internal partai cenderung memberikan peluang akan hal itu, dimana proses penentuan pada akhirnya ditentukan oleh elite partai semata.

Tidak ada satupun partai yang benar-benar memberikan peluang bagi kader untuk terlibat secara lebih intens dan menentukan. Di sisi lain situasi, ini ditopang oleh demikian mahalnya proses pilkada yang menyebabkan adanya ketergantungan kandidat pada jaringan finansial para elite dan tentu saja para oligark. Mereka berperan terutama sebagai “sponsor” yang akan membiayai keperluan kontestasi seorang kandidat. Keberadaan mereka lebih sebagai hasil kesepakatan politik yang eksklusif dengan para elite/oligark.

Nuansa elitis yang membatasi peran kader tidak dapat dihindari dalam pilkada kali ini. Dalam kasus yang terjadi di Provinsi Banten, manuver Partai Golkar berhasil menggalang dukungan partai-partai lain. Manuver yang meyakinkan dari Golkar mampu membawa gerbong partai untuk beramai-ramai mendukung Wahidin-Andika, meski Wahidin sendiri adalah sosok independen. Sementara pencalonan itu sendiri tidak banyak melibatkan kader partai. Hal yang sama juga terjadi di DKI Jakarta. Proses penentuan AHY, Anies Baswedan maupun Ahok merupakan hasil keputusan dan kesepakatan segelintir elite partai saja. SBY adalah sosok yang menentukan pencalonan AHY yang kemudian mampu mengajak elite partai dari PKB dan PPP untuk bergabung mendukung anaknya.

Peran Prabowo dan juga Jusuf Kalla sangat besar dalam memajukan Anies. Sementara keputusan mendukung Ahok-Jarot lebih merupakan hasil keputusan internal PDIP setelah mendapat lampu hijau dari Megawati. Pada kasus Jateng keputusan partai-partai untuk mendukung Ganjar Pranowo banyak dipengaruhi karena

peluang besar dirinya untuk menang. Alasan pragmatis ini terbukti dapat mempersatukan partai-partai yang secara chemistry tidak dekat, yakni PDIP dan Demokrat. Adapun keputusan PKB untuk mendukung Sudirman lebih sebagai bentuk kekecewaan partai ini, khususnya Muhaimin Iskandar, atas keputusan Ganjar yang lebih memilih Taj Yasin yang notabene adalah kader PPP19.

Di Jawa Timur keputusan untuk menentapkan Puti sebagai pendamping Saifullah juga lebih didasarkan pada keputusan elite PDIP20. Sekali lagi persetujuan Megawati menjadi Kartu As yang memungkinkan itu terjadi. Sementara nuansa elitisme di PKB yang kali ini memutuskan mendukung Saifullah, nampak terlihat dari hasil survei yang memperlihatkan pendukung partai ini justru cenderung memilih Khofifah21. Untuk kasus Khofifah-Emil nuansa kalkulasi elite terlihat dari adanya dukungan partai-partai yang pada pemilihan lima tahun sebelumnya bahu-membahu menolak dan mengalahkannya dalam pilkada, termasuk Demokrat, Golkar, PAN, PPP dan Hanura.

Perubahan sikap partai-partai ini nampak lebih didasarkan pada peluang yang terbuka bagi Khofifah setelah Demokrat, dengan pertimbangan kompensasi dukungan Gubernur Jatim terpilih pada AHY baik sebagai capres ataupun cawapres22, t idak memberikan dukungannya kepada Saifullah. Secara umum kalkulasi yang berorientasi pada pemenangan Pilpres 2019 memang tidak dapat dinafikan pada Pilgub Jatim mengingat provinsi ini memiliki jumlah suara terbesar kedua di Indonesia.

Kondisi elitis semacam ini memperlihatkan lemahnya keterikatan pimpinan partai pada

19 Lihat: “Alasan PKB Batal Usung Ganjar-Taj Yasin di Pilkada Jateng”, https://tirto.id/ alasan-pkb-batal-usung-ganjar-taj-yasin-di-pilkada-jateng, diakses pada 2 September 2018.

20 Redaksi, “Jalan Panjang PDIP Munculkan Puti Guntur Soekarno”, htpps://m.viva.co.id/amp/berita/politik/995398-jalan-panjang-pdip-munculkan-puti-guntur-soekarno, diakses pada 2 September 2018.

21 Tribunnews, “Survei Populi: Pemilih PKB Lebih Pilih Khofifah-Emil”, 4 Mei 2018, www.tribunnews.com, diakses pada 10 Agustus 2018.

22 Redaksi, “Pengamat: Dukung Khofifah Cagub Jati, Demokrat Untung di Pilpres 2019”, 21 Maret 2018, www.liputan6.com, diakses pada 10 Agustus 2018.

Page 78: KONSTELASI POLITIK DI TAHUN ELEKTORAL

190 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 15 No. 2 Desember 2018 | 179–196

aspirasi kader apalagi publik pada umumnya. Memang tidak selamanya hal ini langsung menyebabkan ada gap inspirasi antara akar rumput dan elite partai. Namun proses kandidasi yang bersifat eksklusif seperti itu sebagaimana telah dikaji banyak kalangan bukanlah sebuah mekanisme yang sehat karena pada akhirnya cenderung mematikan aspirasi kader23. Akibatnya secara prinsip, fenomena partai sebagai rubber stamp atau sekadar alat pengesah keputusan elite atau petinggi partai tetap terjadi. Hanya saja saat ini bergeser saja dari parlemen ke partai itu sendiri.

Dampaknya adalah kemudian suara elite menjadi suara partai. Tidak ada kontrol internal yang efektif untuk menghentikan kebijakan-kebijakan elitis yang kerap melawan idealisme partai maupun aspirasi kader hingga simpatisan di akar rumput. Partai akhirnya hanya sekadar pemberi legitimasi atas kepentingan elite. Situasi ini juga cenderung menimbulkan apatisme yang tentu saja tidak sehat bagi eksistensi dan perkembangan partai. Hal ini karena demokrasi internal menjadi terbengkalai yang menyebabkan suara kader menjadi terabaikan.

Tidak mengherankan jika di sebagian partai kader partai pada akhirnya memiliki keterikatan semu dengan kandidat yang berujung pada kerja-kerja yang tidak efektif atau sepenuh hati pada saat kampanye. Bahkan dalam kasus PPP dan PKB di Jakarta, para kader nyata-nyata melawan kebijakan partai dengan berkampanye untuk pasangan yang merupakan lawan Ahok-Gatot.

Selain itu kondisi ini menyebakan partai akhirnya tetap hanya menjadi alat kepentingan tawar menawar politik (political bargain) para elite partai yang kemudian diklaim seolah-olah sebagai kepentingan seluruh partai bahkan seluruh masyarakat pemilih. Termasuk misalnya kepentingan mereka untuk sukses pada Pilpres 2019 tidak dapat dipungkiri menjadi salah satu alasan penting, selain tentu saja alasan-alasan yang terkait dengan kepentingan lokal. Kondisi dimana partai sekadar menjadi alat elite ini amat mungkin terjadi karena hakekat partai yang

23 Smita Notosusanto, “Analisa AD/ART Partai Politik”, makalah seminar, tidak dipublikasikan dalam http://forum-politisi.org/downloads/Analisa_AD_ART_Parpol_-_Smita.pdf, 2005.

sesungguhnya belum mewujud atau setidaknya dalam posisi yang demikian ringkih.

Situasi di atas tentu saja disayangkan mengingat partai seharusnya dapat berperan maksimal dalam mencetak dan mengawal kadernya dalam proses pencalonan. Begitu pula dalam menetapkan agenda atau program masing-masing kandidat. Idealnya program partailah yang harus dijadikan haluan atau pondasi kerja utama dari kandidat yang diusung. Oligarki menjadi semakin menguat bahkan memperoleh pembenarannya dengan dua persoalan tambahan.

Pertama adalah aturan main partai yang cenderung memberikan porsi besar bagi elite untuk memutuskan kebijakan partai terkait dengan kandidasi kepala daerah setingkat gubernur. Kedua berkembangnya keyakinan atau pandangan bahwa pilkada di Jawa harus dikuasai, mengingat Jawa merupakan lumbung suara dimana hampir separuh suara pemilih ada di sana. Oleh karenanya partai-partai merasa harus sedapat mungkin proses pilkada termasuk kandidasi dan koalisi harus benar-benar dikendalikan atau diarahkan oleh pusat. Dengan berbagai kondisi itulah kemudian partai sejatinya hingga kini tetap berada di bawah bayang-bayang elite dan oligarkh pendukungnya.

d. Koalisi Pelangi: Fenomena Konstelasi Nir-IdeologiSebagai kelanjutan dari situasi di atas, ideologi menjadi tidak bermakna dalam proses pilkada terutama dalam pembentukan koalisi. Sisi ini memperlihatkan dengan gamblang bagaimana ringkihnya partai politik dalam persoalan pembangunan visi atau ideologi yang seharusnya menjadi platform perjuangan dan tolok ukur dalam mengambil kebijakan dan melakukan manuver politik. Koalisi yang saat ini terbentuk bukanlah sebuah koalisi yang dilandaskan pada hitung-hitungan ideologis. Melainkan sebuah koalisi dadakan yang kerap bertemu atau baru terwujud diujung penentuan proses kandidasi.

Koalisi ini bersifat pragmatis, kerap diperhalus dengan sebutan koalis strategis, yang terutama dibentuk sebagai “jalan tengah” untuk mengakomodasi kepentingan (atau idealisme) partai dan mitra koalisinya. Meski demikian

Page 79: KONSTELASI POLITIK DI TAHUN ELEKTORAL

Pilkada, Peran Partai Politik, dan Konstelasi Pragmatis ... | Firman Noor | 191

melihat gelagat pembentukan partai koalisi yang dibentuk pada umumnya bersifat pragmatis yakni untuk kepentingan jangka pendek memenangkan pilkada dan jangka panjang yakni menaruh bidak-bidak demi kemenangan Pilpres 2019. Dengan lenyapnya ideologi maka tidak mengherankan jika setiap partai menjadi bebas bermanuver dalam membentuk mitra koalisi yang bersifat sesaat itu.

Koalisi non-ideologi ini pada akhirnya berperan dalam melahirkan yang disebut sebagai “koalisi pelangi”. Koalisi pelangi ini pada dasarnya menunjukkan bahwa ideologi partai tidak memainkan peran yang signifikan dalam menentukan kandidasi. Dalam kacamata pelembagaan, dapat disebuatkan bahwa fungsi value infusion tidak berjalan dengan baik sehingga karakteristik partai-partai menjadi demikian sumir. Selain itu jika ditilik kaitannya dengan elitisme hal ini menunjukkan beroperasinya kepentingan segelintir orang dalam kehidupan partai yang perannya jauh melampaui kepentingan ideologi.

Koalisi semacam ini menjadi nyata dalam pertarungan pilkada di Jawa. Fenomena ini sesungguhnya hanya melanjutkan kondisi yang ada di level nasional. Dapat dilihat bahwa pola bahwa kepentingan yang utamanya menentukan hingga polarisasi partai-partai Islam dan partai kebangsaan semakin tidak relevan. Pada kasus Banten misalnya, seluruh kandidat yang berkontestasi memiliki dua unsur (Nasionalis-Islam dan Nasionalis-Sekular) itu. Begitupula para kandidat yang ada di Jakarta. Meski pada putaran pertama Ahok murni didukung oleh partai-partai sekular, namun pada putaran kedua PPP dan PKB menyatakan diri bergabung dalam koalisi pendukung Ahok-Djarot.

Sementara kondisi yang mirip terjadi di Jateng dan Jatim. Para pendukung kandidat yang berkontestasi nampak menggunakan paradigam atau formula yang sama bahwa kekuatan santri (religius) harus dipadupadankan dengan kekuatan abangan (sekular). Tidak mengherankan jika kemudian komposisi pendukung para kandidat itu terdiri dari kedua kelompok tersebut. Sudirman Said meski adalah sosok profesional, dia digolongkan sebagai tokoh non-santri yang

kemudian disandingkan dengan Ida Fauziyah yang notabene adalah kader NU.

Begitupula dengan pasangan lawannya, yang memang Nampak sangat kentara perpaduan antara Ganjar sebagai tokoh PDIP Jateng dengan pasangannya GusYasin yang adalah putra Kyai NU berpengaruh K.H Maimoen Zubair. Sementara itu di Jawa Timur situasi perpaduan ideologi ini juga terlihat nampak. Khofifah merupakan tokoh Muslimat NU yang dipasangkan dengan Emil yang pernah menjadi kader PDIP. Adapun Syaifullah Yusuf yang masih kerabat dekat Gus Dur disandingkan dengan Puti yang masih kerabat dekat Megawati.

Hanya di Jawa Barat saja yang relatif terjadi pengecualian. Di masa dua pasangan murni mewakili hanya kelompok nasionalis sekular yakni Deddy-Dedi yang didukung oleh Demokrat dan Golkar dan Hasabudin-Anton yang didukung oleh PDIP. Namun demikian, tidak berarti pilihan itu didasarkan pada kepentingan ideologis. Persoalan-persoalan seputar tidak terakmodirnya tokoh dari partai Islam pada posisi penting di kedua pasangan itu. Selain itu keyakinan bahwa kedua pasangan itu telah cukup popular tanpa memperoleh dukungan formal dari partai-partai Islam nampak menjadi alasan utama di balik itu semua.

Lepas dari pengecualian pada kasus di Jawa Barat fenomena yang nampak nyata dari pilkada di Jawa adalah bahwa pragmatisme telah demikian berdiri kokohnya dalam percaturan politik nasional. Pada negara-negara dengan demokrasi yang sudah mapan, partai-partai dengan perbedaan ideologi tidak dapat begitu saja menggabungkan diri. Namun dalam konteks Indonesia hal ini sepertinya mudah saja terjadi. Hal yang sejatinya menunjukkan bahwa kepentingan pragmatisme partai dapat mengesampingkan kepentingan ideologis, sejauh hal itu dirasa akan lebih memberikan banyak keuntungan praktis bagi partai, khususnya para elite.

Page 80: KONSTELASI POLITIK DI TAHUN ELEKTORAL

192 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 15 No. 2 Desember 2018 | 179–196

Solusi Multidimensi Persoalan yang muncul dalam pilkada seperti di atas jelas tidak dapat dianggap remeh, mengingat keberadaanya tidak lain merupakan puncak dari gunung es persoalan mendasar yang harus diselesaikan. Kegagalan dalam menyelesaikan persoalan itu, yang terutama berakar dari internal partai sendiri dapat mengakibatkan tidak saja kondisi yang semakin parah dalam persoalan-persoalan di atas, namun juga dapat merembet pada bidang-bidang lain yang tentu saja semakin meningkatkan kompleksitas persoalan politik bangsa.

Dari pembahasan di atas terlihat bahwa akar-akar persoalan terkait dengan (1) kaderisasi yang masih sporadis, (2) dalam bayang-bayang oligark, (3) pengaburan dan pelemahan peran ideologi. Melihat kompleksitas akar persoalan itu maka pembenahan yang harus dilakukan harus multidimensi meliputi persoalan yang terkait dengan kaderisasi, penguatan internal demokrasi, perluasan aktifitas partai hingga perbaikan regulasi.

Gambar 1. Penguatan Partai terkait Pilkada

Sumber: diolah oleh penulis

Revitalisasi Kaderisasi Dengan adanya pengkaderan yang baik maka partai dapat menjadi media pencurahan idealisme kader. Pelaksanaan kaderisasi harus berangkat dari konsep yang dijabarkan ke dalam mekanisme tertulis yang detail namun mudah dipahami/tidak ambigu. Selain itu mekanisme kaderisasi ini harus disosialisasikan secara intens dan dilaksanakan secara konsisten dan berkala. Adanya kaderisasi yang baik akan memunculkan komitmen yang kuat kader untuk menjalankan

dan mentransformasi agenda perjuangan partai menjadi agenda perjuangan dirinya.

Kader akan benar-benar bekerja atas dasar idelisme ke tengah-tengah masyarakat. Dengan komitmen yang tinggi maka intentias kegiatan partai akan lebih terasakan dan berkualitas. Selain itu kader akan turun ke tengah masyarakat tidak semata berbekal hal-hal yang bersifat materialistik namun membawa pesan-pesan ideologis atau idealisme yang didapatkan selama pelaksanaan kaderisasi. Idealisme ini termasuk dalam melihat makna politik yang sesungguhnya bagi kepentingan bangsa dan negara. Ini akan mengurangi meluasnya pragmatisme yang saat ini semakin dirasakan di tengah masyarakat.

Dalam konteks pilkada kaderisasi yang memadai akan membuat partai merasa bebas dalam menentukan kandidat atau membangun koalisi dengan perhitungan-perhitungan taktis yang juga dipenuhi nuansa ideologis/idealisme. Dalam menetapkan dukungan, dengan demikian, parameter popularitas bukan menjadi posisi terbesar (apalagi menjadi satu-satunya alasan) ketimbang kepentingan ideologi. Hasil survei tidak begitu saja dapat “membatalkan” atau mengalahkan proses pembinaan dan pembangunan kader dan jaringan partai yang selama ini telah dilakukan. Dengan kata lain, kaderisasi akan menyebabkan pilkada akan lebih berorientasi pada idealisme/ideologi ketimbang sekadar kemenangan pragmatis.

Selain itu, jaringan non-partai (relawan) akan menjadi komplementer saja. Atau setidaknya menjadi kepanjangan tangan para kader. Sehingga dalam konteks pilkada tidak lagi kalah geraknya oleh para relawan. Hal ini terutama karena kader akan memainkan perannya sebagai alat partai yang mendukung keputusan partai dengan komitmen yang tinggi. Partai juga dapat menjadi mesin politik yang dapat berjalan secara baik dan efektif serta penuh idealisme. Kader pun akan termotivasi untuk melakukan transformasi diri menjadi pimpinan yang layak untuk berbicara dan terpilih dalam ajang pemilihan kepala daerah. Sehingga partai tidak perlu menjadi sekadar “perahu” bagi kader atau tokoh lain, dan menjadikan kader terbaiknya, yakni pimpinan DPD/DPW sebagai calon kepala daerah di wilayahnya.

Page 81: KONSTELASI POLITIK DI TAHUN ELEKTORAL

Pilkada, Peran Partai Politik, dan Konstelasi Pragmatis ... | Firman Noor | 193

Pelembagaan Aturan Main Internal PartaiUntuk mengurangi nuansa oligarkis atau elitisme yang berlebihan maka aturan main perlu dilembagakan. Penegakan aturan main yang dimaksud adalah menjadikan aturan main sebagai satu-satunya landasan atau penjuru aktifitas partai. Pelembagaan ini juga ditujukan untuk dapat menguatkan otonomi melalui pembebasan partai dari manuver individual orang kuat. Pelembagaan yang benar akan membuka pula peluang bagi kemandirian finansial partai yang pada akhirnya dapat membebaskan partai dari bayang-bayang oligarkh24. Keterkungkungan partai dalam genggaman oligarkh karena aturan main terkait finansial tidak dibuat dan dilaksanakan secara kondisisten, sehingga memunculkan kebangkrutan internal25.

Secara mendasar adanya pelembagaan aturan main ini akan membantu partai dalam meningkatkan legitimasi keputusan partai. Dengan terlaksanaan pelembagaan semacam ini keputusan-keputusan partai lebih terasakan sebagai keputusan kolektif dan secara mendasar dapat dipertanggungjawabkan sebagai murni suara atau kepentingan partai, bukan kepentingan para elite atau oligarkh semata26. Kondisi ini juga membuka peluang terciptanya kebijakan yang lebih aspiratif dan demokratis, mengingat aturan main partai pada umumnya memberikan peluang anggota atau kader untuk bersuara untuk didengar suaranya itu oleh partai. Dengan situasi ini tentu saja kedudukan orang kuat dan oligarkh juga dapat dikurangi secara sistematis.

Sehubungan dengan pelaksanaan pilkada, pelembagaan aturan main ini pada dasarnya akan menyebabkan proses kandidasi akan lebih terkontrol dan aspiratif. Dengan situasi ini berbagai kecurigaan dan kekecewaan dapat didialogkan dengan lebih luas sehingga pada akhirnya ada rasa memiliki dan daya juang yang

24 Lihat: Marcus Mietzner, Money, Power, and Ideology. Political Parties in Post-Authoritarian Indonesia. (Singapore: ASAA Southeast Asia Publication Series, 2013).

25 Lihat: Veri Junaidi, dkk, Anomali Keuangan Partai Politik. Pengaturan dan Praktek, (Jakarta: Kemitraan bagi Pembangunan Tata Pemerintahan di Indonesia, 2011); Didi Supriyanto dan Lia Wulandari, Bantuan Keuangan Partai Politik. (Jakarta: Yayasan Perludem, 2012).

26 Smita Notosusanto, “Analisa AD/ART Partai Politik..,

lebih tinggi dalam pilkada. Selain kandidasi, juga dengan berjalannya pelembagaan ini, partai dapat lebih mengontrol agenda dan program partai, tidak semata bergantung pada “tim asing” bentukan kandidat, yang tidak terkait apapun dengan kepentingan partai, selain semata mengejar kemenangan.

Kedua hal minimal inilah yang pada akhirnya dapat mendoring partai untuk lebih all out dan unggul dalam mengorganisir kemenangan termasuk dalam mulai dari menggalang massa, menciptakan simpul-simpul hingga mengamankan logistik pemenangan kandidat, tanpa harus bergantung pada pihak lain. Selain itu partai menjadi merasa lebih bertanggungjawab dalam mempertahankan posisi idealisme dan ideologisnya karena sudah merupakan sebuah keputusan kelembagaan yang tidak bisa dengan mudahnya diabaikan, meski dengan tawaran-tawaran pragmatism yang menggirukan sekalipun. Pada akhirnya “peran program” partai akan juga nampak jelas dan transparan manakala hal semua ini dapat terjadi.

Ekstensifikasi Aktifitas PartaiPerluasan aktifitas partai dan kader-kadernya di tengah-tengah masyarakat merupakan sebuah keharusan. Ini dapat dilakukan melalui berbagai kegiatan mulai dari pendidikan politik, advokasi, bantuan kesehatan dan kegiatan sosial lainnya. Dalam kegiatan itu dapat saja partai mempromosikan partai dan dirinya dalam rangka mengenalkan visi/misi berikut agenda/kegiatan partai. Namun pada dasarnya partai harus lebih “berinvestasi” di tengah publik melalui kegiatan-kegiatan yang terasakan, baik dalam makna pencerahan atau pendewasaan politik maupun peningkatan daya tahan dan daya saing masyarakat.

Hal ini di satu sisi perlu dilakukan agar dapat menyerap aspirasi dan memahami kebutuhan real yang dihadapi oleh masyarakat banyak di daerahnya. Ini terutama dimaksudkan untuk mereduksi keterasingan aspirasi dan kepentingan. Sejauh keterasingan itu nyata, secara politis kandidat-kandidat non-partai yang popular akan selalu menjadi “ancaman” bagi karir politik seorang kader partai. Di sisi lain, agar publik dapat mengidentifikasi kinerja partai atau kader,

Page 82: KONSTELASI POLITIK DI TAHUN ELEKTORAL

194 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 15 No. 2 Desember 2018 | 179–196

yang akhirnya dapat membantu membangun persepsi positif pada partai dan kader-kadernya. Persepsi ini diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan atau pengenalan masyarakat dan mempengaruhi tingkat penerimaan atas pencalonan seorang kader partai.

Dalam konteks pilkada perbaikan dalam soal ini akan menyebabkan partai dapat lebih menguatkan kemandirian dan daya tawar (bargaining position) karena dapat lebih percaya diri bahwa mereka eksis di tengah masyarakat. Dengan adanya kedekatan baik emosional maupun ideologis yang terbangun sepanjang beraktifitas itu, pilkada akan tidak didominasi oleh “serangan fajar” yang pada dasarnya merupakan bentuk pembelian suara secara kotor yang mencederai makna demokrasi. Karena demokrasi hanya sekadar menjadi alat mensukseskan keterpilihan seseorang tanpa para pemilih benar-benar menggunakan rasionalitasnya dalam menentukan pilihannya.

Selain itu tidak saja dengan kokohnya kedekatan dengan masyarakat itu menyebabkan langkah “membeli dukungan” partai lain tidak terlalu diperlukan, partai pun akan dapat menjadi motor gerakan pemenagan sementara relawan hanya benar-benar sebagai pelengkap saja. Karena pada akhirnya partai dapat dengan sendirinya melakukan mobilisasi yang cukup massif di tengah-tengah masyarakat.

Pembenahan Sistemik melalui RegulasiDimensi lain yang tidak dapat diabaikan dalam membenahi kualitas pilkada adalah pembenahan dari sisi regulasi. Regulasi memainkan peran signifikan dalam turut menguatkan peran partai dan mengikis pragmatisme. Saat ini regulasi yang ada belum memaksimalkan upaya mendukung dua persoalan di atas. Terkait dengan hal itu, setidaknya ada beberapa hal yang harus mendapat perhatian untuk diperbaiki di masa-masa yang akan datang. Pertama, adalah bahwa dalam pilkada itu ketentuan Presidential Treshold (PT) di level nasional sebaiknya tidak diberlakukan lagi. Aturan semacam ini telah membuka peluang terciptanya koalisi yang didasarkan pada tawar menawar pragmatis semata karena kepentingan mendapatkan dukungan.

Kedua, regulasi keharusan dilakukannya kaderisasi yang sesuai standar di masing-masing partai. Sampai sejauh ini partai tidak merasa terpicu untuk melakukan kaderisasi secara memadai karena tidak adanya “ancaman” dari regulasi yang ada. Ketiga, perlu diatur secara lebih komprehensif proses kandidasi yang berlandaskan spirit demokrasi internal dan keterlibatan masyarakat banyak dengan melalui uji publik. Selama ini kandidasi cenderung bersifat elitisme-oligarkis. Hal yang kemudian menumbuhsuburkan kesepakatan politik pragmatis yang mematikan semangat ideologis dan mengacaukan pembangunan internal partai.

Adanya dukungan regulasi ini secara umum akan membuat partai menjadi lebih mandiri dalam membuat keputusan tanpa harus bergantung pada partai lain. Selain itu partai-partai lebih teratata dalam membangun kaderisasinya hingga pada akhirnya membawa pada perbaikan kedudukan kaderisasi. Regulasi semacam itu juga akan menguatkan peran ideologi. Selain itu, partai juga akan terbiasa dengan proses yang melibatkan lebih banyak elemen sehingga nuansa demokrasi internal menjadi lebih terjaga dan partai bukan alat kepentingan segelintir orang. Pada akhirnya berbagai regulasi semacam itu mendukung upaya peningkatan kualitas kader, karena kaderisasi berjalan sebagaimana harusnya dan kader yang berniat menjadi kandidat kepala daerah akan dituntut memperhitungkan penilaian/evaluasi lebih banyak orang lagi.

Terkait dengan pilkada, pembenahan regulasi dalam setidaknya tiga hal tersebut berpotensi menyebabkan beberapa kebaikan. Dengan tidak adanya PT maka kemandirian partai dapat terjaga, misalnya, dengan diperbolehkan mencalonkan kandidatnya sendiri tanpa harus membangun koalisi dengan partai manapun. Situasi ini cenderung mengurangi politik dagang sapi yang biasanya muncul pra-kandidasi. Tidak itu saja, idealisme atau kepentingan ideologis partai juga akan lebih terjaga. Peluang kebebasan melakukan kandidasi ini juga akan memotivasi partai dan kadernya untuk mempersiapkan diri untuk menjadi kepala daerah dan bukan semata menjadi pendukung kader partai lain.

Page 83: KONSTELASI POLITIK DI TAHUN ELEKTORAL

Pilkada, Peran Partai Politik, dan Konstelasi Pragmatis ... | Firman Noor | 195

Selain itu berjalannya kaderisasi akan menyebabkan terutama proses kaderisasi internal sebagai patokan penentuan kandidasi. Kaderisasi akhirnya menjadi aktifitas yang menentukan bukan sekadar ada. Kondisi ini pada akhirnya akan membuka lebat peluang bagi ketua DPD/DPW (yang seharusnya adalah kader partai yang paling berkualitas) menjadi kandidat terkuat sebagai calon kepala daerah. Sehubungan dengan terbukanya masukan masyarakat melalui uji public, maka akan semakin terbukan peluang bagi banyak elemen dalam menentukan nasib seorang kandidat. Proses kandidasi yang transparan ini tentu saja akan lebih aspiratif dan menghasilkan kandidat yang dikenal baik kualitas dan komitmennya.

PenutupPelaksanaan pilkada serentak yang telah dilakukan sejak 2015 telah menghasilkan berbagai fenomena yang diantaranya berdampak positif, seperti keterlibatan masyarakat secara langsung dalam proses ini. Namun demikian pelaksanaan itu tidak seutuhnya berjalan sempurna. Dari hasil kajian atas pelaksanaan pilkada di empat wilayah di Pulau Jawa di atas terlihat bahwa di antara banyak kelemahan yang ada adalah pelaksanaan pilkada menunjukan masih lemahnya pelembagaan partai. Tidak itu saja pelaksanaan pilkada justru cenderung menguatkan pragmatisme ketimbang idealisme apalagi ideologis. Artikel ini menyarankan sebuah pembenahan yang mutlidimensi untuk mengatasai kelemahan-kelemahan itu. Tentu saja saran tersebut bersifat relatif. Namun dengan menjalankannya dapatlah diharapkan bahwa pada gilirannya bahwa kualitas pilkada akan membaik dan peran partai dalam ajang pilkada dapat lebih besar lagi.

Secara umum pada akhirnya perlu disadari bahwa pelaksanaan pilkada adalah dalam rangka mencari sosok kepala daerah yang bertugas membentuk pemerintahan. Sosok ini jelas harus seorang yang terbaik, yang memiliki ketajaman visi, memiliki sikap kepemimpinan dan membumi serta mendapat dukungan kuat di akar rumput. Seorang yang dapat mempersembahkan dampak-dampak besar sekaligus, sebagaimana dikatakan

Mughan dan Petterson27, mampu menggerakan masyarakat melalui persuasi yang menggugah guna meraih tujuan bersama. Itu semua pada dasarnya dapat saja terjadi jika memang kita semua mampu meningkatkan kualitas pilkada dan partai politik sebagai kontestan di dalamnya.

Daftar PustakaBuku/JurnalAmbardi, Kuskridho. Mengungkap Politik Kartel.

Studi tentang Sistem Kepartaian di Indonesia Era Reformasi. Jakarta: Kepustaan Populer Gramedia, 2009.

Budiardjo, Miriam. Partisipasi dan Partai Politik. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1998.

Budiardjo, Miriam. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia, 1978.

Crouch, Colin. Post-Democracy. Cambridge: Polity Press, 2004.

Ford, M dan Pepinsky, T B, (eds). Beyond Oligarchy. Wealth, Power and Contemporary Indonesian Politics. Cornell: Cornell Southeast Asia Program Publications, 2014.

Hermansson, Jorgen. The Personalization of Party Politics: The Voters Perspectives. Unpublished manuscript. Uppsala: Dept. of Government, Uppsala University, 2011.

Heywood, Andrew. Political Ideologies: An Introduction. Hampshire and London, the Macmillan Press Ltd, 1992.

Junaidi, Veri, dkk. Anomali Keuangan Partai Politik. Pengaturan dan Praktek. Jakarta: Kemitraan bagi Pembangunan Tata Pemerintahan di Indonesia, 2011.

Katz, Richard and Mair, Peter. How Party Organize: Change and Adaptation in Party Organizations in Western Democracies. London: Sage Publication, 1994.

Mietzner, M. Money, Power, and Ideology. Political Parties in Post-Authoritarian Indonesia. Singapore: ASAA Southeast Asia Publication Series, 2013.

Mughan, Anthony dan Petterson, Samue C. Political Leadership in Democratic Societies. Chicago: Nelson-Hall Publishers, 1992.

27 Anthony Mughan dan Samuel C. Petterson, Political Leadership in Democratic Societies, (Chicago: Nelson-Hall Publishers, 1992), hlm. 11.

Page 84: KONSTELASI POLITIK DI TAHUN ELEKTORAL

196 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 15 No. 2 Desember 2018 | 179–196

Noor, Firman. Perpecahan dan Soliditas Partai Islam: Studi Kasus PKB dan PKS di Dekade Awal Reformasi. Jakarta: LIPI Press, 2015.

Ikrar N. Bhakti, (ed), Evaluasi Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden 2014. Jakarta: ERI, LIPI dan AEC, 2015.

Noor, Firman. “The Phenomenon of Post-Democracy Party”, Jurnal Penelitian Politik, Vol.14, No.2 (2017).

Notosusanto, Smita, “Analisa AD/ART Partai Politik”, makalah seminar, tidak dipublikasikan dalam http://forum-politisi.org/downloads/Analisa_AD_ART_Parpol_-_Smita.pdf. (2005).

Haris, Syamsuddin, ed,. Pemilu Langsung di Tengah Oligarki Partai. Proses Nominasi dan Seleksi Calon Legislatif Pemilu 2004. Jakarta: Gramedia, LIPI and IMD, 2004.

Randall , Vicky dan Svasand, Lars. “Party Instutitionalization in New Democracies”, Party Politics, Vol. 8, 1 (Januari 2002) .

Robison, Richard dan Hadiz, Vedi .R. Reorganising Power in Indonesia: The Politics of Oligarchy in an Age of Markets. London: Rouledge Curzon 2004.

Surbakti, Ramlan. Memahami Ilmu Politik. Jakarta: Grasindo, 1992.

Supriyanto, D dan Wulandari, L. Bantuan Keuangan Partai Politik. Jakarta: Yayasan Perludem, 2012.

Tomsa, Dirk. Party Politics and Democratization in Indonesia: Golkar in The Post Soeharto Era. New York: Routledge, 2008.

Ufen, Andreas. “Political Party and Party System Institutionalization in South East Asia: A Comparison of Indonesia, The Philippines and Thailand”. GIGA Working Papers 44/2007, (March 2017).

Ufen, Andreas. “Party presidentialization in post-Suahrto Indonesia”, dalam Contemporary Politics, Volume 24, Issue 3 (2018).

Ford, Michele and Pepinsky, Thomas B. Beyond Oligarchy. Wealth, Power and Contemporary Indonesian Politics. Cornell: Cornell Southeast Asia Program Publications, 2014.

Sumber OnlineRedaksi. “Sudirman Said: Relawan Kami Kerja Luar

Biasa”, 28 Juni 2018, dalam https://regional.kompas.com/read/2018/06/28/08562251/sudirman-said-relawan-kami-kerja-luar-biasa.

Redaksi. “Politik Hasil Kukurusukan, Pasangan Asyik Klaim Relawan di Jabar Bertambah”, dalam https://m.merdeka.com/politik/hasil-kukurusukan-pasangan-asyik-klaim-relawan-di-jabar-bertambah.html.

Redaksi. “Rano Karno Nilai Strategis Peran Relawan di Pilgub Banten 2017”, dalam https://www.liputan 6.com/pilkada/read/rano-karno-nilai-strategis-peran-relawan-di-pilgub-banten-2017.

Rmol. “PKS: Relawan Anies-Sandi Luar Biasa”, 15 Februari 2017, dalam https://rmol.co/amp/2017/02/15/280611/PKS:-Relawan-Anies-Sandi-Luar-Biasa Rudi, Alsadada. “Mengapa Fraksi Gerindra sangat Benci Ahok”, dalam https://megapolitan.kompas.com.

Redaksi. “Alasan PKB Batal Usung Ganjar-Taj Yasin di Pilkada Jateng”, dalam https://tirto.id/ alasan-pkb-batal-usung-ganjar-taj-yasin-di-pilkada-jateng.

Redaksi. “Jalan Panjang PDIP Munculkan Puti Guntur Soekarno”, dalam htpps://m.viva.co.id/amp/berita/politik/995398-jalan-panjang-pdip-munculkan-puti-guntur-soekarno.

Redaksi, “Pengamat: Dukung Khofifah Cagub Jati, Demokrat Untung di Pilpres 2019”, 21 Maret 2018, dalam www.liputan6.com.

Tribunnews, “Survei Populi: Pemilih PKB Lebih Pilih Khofifah-Emil”, 4 Mei 2018, dalam www.tribunnews.com.

Page 85: KONSTELASI POLITIK DI TAHUN ELEKTORAL

Kemunculan dan Tantangan Partai Politik Baru Pemilu 2019 | Ridho Imawan Hanafi | 197

KEMUNCULAN DAN TANTANGAN PARTAI POLITIK BARU PADA PEMILU 2019

THE EMERGENCE AND CHALLENGES OF NEW POLITICAL PARTIES IN 2019 ELECTION

Ridho Imawan Hanafi

Pusat Penelitian Politik – Lembaga Ilmu Pengetahuan IndonesiaEmail: [email protected]

Diterima: 13 September 2018; Direvisi: 2 Oktober 2018; Disetujui: 30 Desember 2018

Abstract

This paper discusses the emergence and challenges of new political parties in the 2019 Election by examining ideologies, programs, support bases, and leadership. The emergence of new political parties as an alternative political choice that is different from the old party. They have the opportunity to gain sympathy from voters who want to party change. These new nationalist parties have yet to portray a strong support base. Between one party and another, the support base is still liquid and can compete with each other for the voter market. Some new parties carry millennials generation a segment of their constituents. There are no strong figures who are popular and have a grassroots base, so they have to depend on the program in their campaign.

Keywords: new political parties, concurrent election, ideologies, programs, support base, leadership.

Abstrak

Artikel ini membahas mengenai kemunculan dan tantangan partai politik baru pada Pemilu 2019 dengan menelaah ideologi-program, basis dukungan, dan kepemimpinan. Partai baru muncul sebagai alternatif pilihan politik yang berbeda dari partai lama yang sudah ada. Partai politik baru ini bisa mendapatkan simpati dari pemilih yang menginginkan kebaruan dalam kepartaian. Partai-partai baru membawa corak nasionalis dengan kecenderungan program yang tidak jauh berbeda dari partai baru lain. Antara satu partai dan lainnya basis dukungan masih cair dan bisa saling memperebutkan pasar pemilih. Sebagian partai baru mengusung kekuatan milenial sebagai segmentasi pemilihnya. Tantangan partai baru salah satunya adalah kepemimpinan, yakni tidak adanya figur kuat yang populer dan memiliki basis di akar rumput, sehingga harus mengandalkan kekuatan seperti program partai.

Kata Kunci: partai politik baru, pemilu serentak, ideologi, program, basis dukungan, kepemimpinan partai.

PendahuluanPemilu 2019 menjadi momentum politik baru bagi perjalanan demokrasi di Indonesia. Pada ajang demokrasi lima tahunan tersebut, gelaran Pemilu 2019 berbeda skema dari pemilu-pemilu sebelumnya. Untuk pertama kalinya pemilu digelar secara serentak (concurrent election), yakni pemilihan legislatif dan pemilihan presiden akan dilaksanakan pada waktu bersamaan pada

17 April 2019. Pemilu-pemilu sebelumnya di era reformasi dilaksanakan dengan format waktu yang berbeda, yakni pemilihan legislatif mendahului pelaksanaan pemilihan presiden.

Untuk Pemilu 2019, Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah menetapkan partai politik peserta pemilu yang berjumlah 20 partai, yakni 16 partai politik nasional dan 4 partai politik lokal di Aceh. Dari jumlah partai politik peserta

Page 86: KONSTELASI POLITIK DI TAHUN ELEKTORAL

198 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 15 No. 2 Desember 2018 | 197–213

tersebut terdapat empat wajah pendatang baru untuk Pemilu 2019, yakni Partai Persatuan Indonesia (Perindo), Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Partai Berkarya, dan Partai Gerakan Perubahan Indonesia (Garuda).

Kemunculan partai baru dalam Pemilu 2019 bukan merupakan fenomena pertama kali sejak era reformasi. Setelah keruntuhan rezim otoriter pada 1998 salah satu upaya menyambut perubahan rezim ke arah demokratis adalah dengan pendirian partai politik. Sejak itu sejumlah partai dibentuk dan bersaing memperebutkan suara di pemilu. Pendirian partai-partai di awal reformasi disebut karena political euphoria, lebih sebagai sebuah luapan emosi politik yang tersumbat selama rezim Orde Baru berkuasa.1

Tidak kurang pada masa itu tumbuh 181 partai yang kemudian hanya 141 partai yang bisa diterima oleh Departemen Kehakiman ketika itu, karena dinilai memenuhi persyaratan hukum. Dari jumlah itu, hanya 48 partai yang kemudian ditetapkan menjadi peserta Pemilu 1999.2 Jumlah peserta pemilu yang banyak tersebut tentu berbeda situasinya ketika membandingkan pemilu era sebelumnya yang hanya diikuti oleh tiga kontestan pemilu. Dalam perkembangannya, pemilu-pemilu era reformasi umumnya diwarnai kehadiran partai baru, baik itu yang sama sekali baru atau lahir karena berasal dari konflik atau perpecahan di partai.3

Masuknya partai baru dalam kompetisi pemilu membuat ruang persaingan menjadi ketat karena mereka akan saling berebut pasar pemilih. Partai baru pada pemilu akan berhadapan dengan partai lama yang cenderung sudah bisa mempertahankan eksistensinya di pemilu dengan dibuktikan melalui keberhasilan mereka meraih kursi di parlemen. Tulisan ini menganalisis kemunculan partai baru dan tantangannya dengan melihat program partai, basis dukungan,

1 Daniel Dhakidae, “Partai-Partai Politik di Indonesia: Kisah Pergerakan dan Organisasi dalam Patahan-Patahan Sejarah,” dalam Tim Penelitian dan Pengembangan (Tim Litbang) Kompas, Partai-Partai Politik Indonesia Ideologi, Strategi, dan Program, (Jakarta: Gramedia, 1999), hlm. 29.

2 Daniel Dhakidae, “Partai-Partai Politik..,.

3 Daniel Dhakidae dkk, Partai-partai Politik Indonesia: Ideologi dan Program 2004-2009, (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2004), hlm. 6-11.

dan kepemimpinan partai dalam menghadapi persaingan pemilu dan bagaimana partai-partai baru membedakan diri dengan partai lama. Dengan melihat pada beberapa aspek tersebut dimungkinkan bisa mendapatkan seperti apa gambaran kebaruan partai dalam kompetisi elektoral.

Kemunculan partai-partai berbanding lurus dengan tumbuhnya proses demokratisasi khususnya berkaitan dengan kesamaan hak warga negara.4 Demokrasi mensyaratkan adanya partai politik. Karena itu, kata Schattschneider, demokrasi modern tidak bisa dibayangkan tanpa partai politik.5 Partai politik memainkan peran penting dalam sistem pemerintahan demokrasi dalam mendorong warga berpartisipasi aktif dalam politik dan juga dalam sebuah pemilihan untuk jabatan publik.6 Tumbuhnya partai politik sendiri juga tidak bisa dilepaskan oleh akar sosial politik masyarakat. Lipset dan Rokkan, misalnya, mengelaborasi hubungan antara pembelahan sosial dan partai politik yang didasarkan studi komparatif atas negara-negara Eropa Barat. Proses pembangunan nasional awal dan revolusi industri memecah belah masyarakat dan bahwa pembelahan sosial yang dihasilkan mengalami politisasi dalam bentuk partai politik dengan munculnya demokrasi modern.7

Di Indonesia, kelahiran partai-partai politik jika ditarik ke belakang juga terkait dengan kebijakan politik etik yang diterapkan oleh pemerintah kolonial Belanda, yang salah satu implikasinya melahirkan kebebasan yang lebih luas di masyarakat yang kemudian mendorong warga membentuk partai dan pemerintah Belanda juga membentuk parlemen (volksraad). Kelahiran partai tersebut juga didorong untuk memperjuangkan kemerdekaan.8 Di samping

4 Kacung Marijan, Sistem Politik Indonesia: Konsolidasi Demokrasi Pasca-Orde Baru, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), hlm. 59.

5 John Kenneth White, “What is Political Party”, dalam Richard S Katz. dan William Crotty (Eds.), Handbook of Party Politics, (London: Sage Publications, 2006), hlm. 7.

6 John Kenneth White, “What is Political Party.., hlm. 8.

7 Peter M. Siavelis, “Party and Social Structure”, dalam Richard S Katz. dan William Crotty (Eds.), Handbook of Party Politics, (London: Sage Publications, 2006), hlm. 360.

8 Kacung Marijan, Sistem Politik Indonesia..,hlm. 8.

Page 87: KONSTELASI POLITIK DI TAHUN ELEKTORAL

Kemunculan dan Tantangan Partai Politik Baru Pemilu 2019 | Ridho Imawan Hanafi | 199

iklim kebebasan itu, munculnya partai di Indonesia juga tidak terlepas dari karakteristik masyarakat Indonesia yang plural dan kemudian melahirkan sistem multipartai. Era sebelum dan sesudah kemerdekaan pertumbuhan partai juga berkaitan dengan ikatan kelompok yang kuat, terlebih ikatan ideologi yang kemudian melahirkan apa yang disebut dengan politik aliran. Perkembangan ini kemudian termatikan ketika pemerintah Orde Baru melakukan upaya penyeragaman ideologi yang mengharuskan partai politik untuk berasaskan tunggal, asas Pancasila. Yang kemudian di era reformasi penyeragaman itu dihapuskan.9

Harmel (1985) melihat bahwa kemunculan partai baru di antaranya dibentuk untuk menjawab tantangan isu-isu baru. Partai baru ini terkait dengan pembelahan dalam sistem kepartaian. Kemunculan partai baru bagi Harmel juga terkait dengan peristiwa sejarah tertentu di masyarakat.10 Mair dan Erlingssson dalam Bolin (2007) melihat interpretasi yang serupa bahwa partai baru merupakan partai yang awalnya bukan sebagai anggota sistem partai yang pernah terkonsolidasi. Secara umum partai-partai baru ini muncul dalam tiga cara yang berbeda. Pertama, partai baru muncul sebagai konsekuensi penggabungan dua atu lebih partai yang didirikan. Kedua, partai-partai baru terbentuk sebagai akibat dari perpecahan internal. Ketiga, partai baru muncul sebagai partai yang benar-benar baru, tidak terkait dengan partai lain.11

Sementara Harmel dan Robertson (1985) mengidentifikasi tiga faktor kemunculan partai baru. Faktor sosial, melihat bahwa partai muncul karena representasi masyarakat atau pembelahan. Faktor politik, melihat jumlah partai dan dimensi pembelahan dalam sistem kepartaian, isu ideologi. Dan, faktor struktural, yang terkait dengan sistem pemilu. Keduanya melihat sistem pemilu proporsional lebih membuka peluang

9 Kacung Marijan, Sistem Politik Indonesia.. hlm. 60.

10 Robert Harmel, “On the Study of New Parties,” International Political Science Review, Vol 6, No. 4. (October 1985), 403-418.

11 Niklas Bolin, “New Party Entrance – Analyzing the Impact of Political Institutions”, Umeå Working Papers in Political Science, Department of Political Science, Umeå University, Umeå, Sweden, No. 2 (2007).

bagi kemunculan partai baru daripada sistem mayoritas atau pluralitas.12

Selain aspek-aspek tersebut, perhitungan strategic entry sebagaimana dikemukakan oleh Cox (1997) yang kemudian dirujuk Tavits (2006) menjelaskan bagaimana kemunculan partai baru. Teori ini mengungkapkan munculnya partai baru lebih karena hasil dari keputusan elite politik untuk memasuki arena pemilihan sebagai konstestan baru. Keputusan ini didasarkan biaya memasuki arena, keuntungan duduk di panggung kekuasaan, dan adanya kemungkinan untuk memperoleh dukungan pemilih.13

Tavits (2006) sendiri dengan melanjutkan pandangan Cox melalui risetnya di 22 negara yang relatif maju demokrasinya menjelaskan bahwa kemunculan partai-partai baru terkait dengan biaya pendaftaran partai (cost of registering a party), ketersediaan dana publik (public funding), permisifnya institusi pemilihan seperti biaya untuk masuk dalam pemilihan, level korporatisme (keuntungan yang didapat dari kekuasaan), durasi demokrasi (duration of democracy), dan jumlah tanda tangan yang diperlukan untuk petisi dukungan pembentukan partai semacam dukungan dari pemilih (the probability of electoral support).14

Dasar dari analisis model tersebut adalah bahwa pembentukan partai baru merupakan hasil perhitungan oleh aktor rasional yang menyeimbangkan biaya formasi di satu sisi dan di sisi lain manfaat duduk di kekuasaan serta probabilitas keterpilihannya. Untuk itu, mengikuti analisis tersebut program partai merupakan salah satu insentif munculnya partai baru. Dengan kata lain, keragaman program oleh partai politik merupakan salah satu hal yang penting dalam proses pembentukan partai baru.15

12 Robert Harmel and John D. Robertson, “Formation and Success of New Parties: A Cross-National Analysis”, International Political Science Review, Vol 6, No. 4 (1985): 501-523.

13 Margit Tavits, “Party System Change: Testing a Model of New Party Entry”, Party Politics, Vol.12, No. 1 (2006): 99-119.

14 Margit Tavits, “Party System Change..,

15 Ignacio Lago and Ferran Martínez, “Why New Parties?”, Party Politics, Vol. 17, No. 1 (2011): 3 -20.

Page 88: KONSTELASI POLITIK DI TAHUN ELEKTORAL

200 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 15 No. 2 Desember 2018 | 197–213

Poguntke memberikan beberapa gambaran tentang fitur-fitur partai baru di antaranya, ideologi politik yang baru; organisasi partai yang partisipatoris, ini terkait dengan dengan tingkat formalisasi dan birokratisasi yang rendah; gaya politik yang tidak konvensional, partai bertindak sebagai bagian integral gerakan sosial baru; dan fitur keanggotaan dan profil pemilihnya, ini terkait keanggotaan dan profil seperti muda, berpendidikan tinggi, bekerja dalam sektor jasa.16

Untuk membedakan kebaruan partai dengan partai lama, Barnea dan Rahat memberi kerangka perspektif. Pertama, dari aspek partai di kontes elektoral. Aspek ini meliputi label partai (party label), seperti apakah nama partai benar-benar baru; ideologi (ideology), yakni seberapa berbeda platform atau program partai baru dengan partai lama; dan pemilih (voters), yakni seberapa berbeda basis dukungan atau basis sosial pemilih berbeda dengan partai lama. Kedua, aspek partai sebagai organisasi, meliputi status legal-formal partai, institusi, dan aktivitas partai. Aktivitas partai merujuk pada apakah partai baru memiliki aktivis partai yang baru atau aktivis pindahan dari partai lama. Ketiga, aspek partai di pemerintahan. Aspek ini meliputi dua kriteria yakni, perwakilan, terkait tentang siapa kandidat perwakilan atau kandidat legislatifnya, apakah orang baru atau sebagian berasal dari partai lama; dan kriteria kebijakannya, terkait seberapa berbeda kebijakan partai baru dan partai lama.17

Kemunculan partai baru ini setidaknya bisa dilihat dari perspektif kelembagaan dan perspektif sosiologis. Dua perspektif ini berkontribusi pada pemahaman tentang apa yang menyebabkan partai-partai baru muncul dan masuk ke arena parlemen. Beberapa pandangan juga menggunakan konsep struktur peluang politik untuk melihat sulit atau mudahnya orang memasuki sistem politik. Konsep ini berasal dari gerakan sosial dan merupakan cara mengeskpresikan tingkat keterbukaan dan aksesibilitas dari sistem politik. Kemungkinan

16 Thomas Poguntke, “New Politics and Party Systems: The Emergence of a New Type of Party?”, West European Politics, 10, 1 (1987): 76-88.

17 Shlomit Barnea and Gideon Rahat, “Out With the Old, in With the New’: What Constitutes a New Party?”, Party Politics, 17, 3 (2010): 303–320.

yang menguntungkan untuk partai baru muncul ketika hambatan kelembagaan rendah, atau ketika ada pandangan yang tersebar luas bahwa partai-partai yang didirikan tidak lagi mewakili para pemilih. Oleh karena itu, struktur peluang politik yang tidak ketat dapat diasumsikan sebagai kondisi yang diperlukan bagi partai-partai baru untuk dipilih menjadi anggota parlemen nasional.18

Sementara untuk tantangan keberhasilan partai baru bisa bersaing dalam kompetisi di pemilu setidaknya dapat dikaitkan dengan pertama, bagaimana proyek politiknya, yakni upaya partai dalam menangani masalah-masalah yang mendesak sebagian besar pemilih. Kedua, sumber daya partainya, seperti halnya anggota partai, modal, manajemen, dan publikasi media massa. Ketiga, bagaimana struktur peluang politik. Ini terkait dengan kondisi kelembagaan, kondisi sosial, ekonomi dan budaya. Faktor-faktor ini mempengaruhi secara berbeda dan tergantung jenis partai baru.19

Selain itu, Bolin melihat bahwa sistem pemilu (electoral system) juga menjadi faktor signifikan untuk menjelaskan bisa tidaknya partai-partai baru masuk ke parlemen nasional.20 Hino (2006) dalam Lago dan Martinez (2011) menjelaskan kemunculan partai baru yang sukses dimungkinkan ketika terbuka struktur peluang politik yang dikondisikan melalui aspek institusional dan politik. Dalam risetnya, Hino menemukan bahwa sistem pemilu merupakan salah satu kunci keberhasilan partai baru.21

Selain sistem pemilu, Sikk (2011) menekankan pentingnya kebaruan dalam hal ini apakah partai benar-benar berbeda, dalam hal ini ideologi maupun program-programnya dengan partai-partai lama menjadi salah satu formula

18 Niklas Bolin, “New Party Parliamentary Entry in Western Europe 1960-2010”, European Journal of Government and Economics, Volume 3, Number 1 (June 2014).

19 Paul Lucardie, Prophets, “Purifiers and Prolocutors: Towards a Theory on the Emergence of New Parties”, Party Politics, Vol. 6. No.2 (2000):175-185.

20 Niklas Bolin, “New Party Parliamentary Entry..,.

21 Ignacio Lago and Ferran Martínez, “Why New Parties?..,.

Page 89: KONSTELASI POLITIK DI TAHUN ELEKTORAL

Kemunculan dan Tantangan Partai Politik Baru Pemilu 2019 | Ridho Imawan Hanafi | 201

keberhasilan partai baru.22 Zuborova (2015) menilai bahwa salah satu alasan kemunculan dan keberhasilan partai politik baru bergantung pada kemampuan untuk mempromosikan ide-ide, yang meskipun lama, namun dengan cara baru atau model baru.23 Ia juga melihat bahwa aspek pemimpin partai juga memiliki pengaruh dalam menentukan keberhasilan partai baru.24

Kepemimpinan dalam tahap-tahap awal pertumbuhan partai menjadi salah satu aspek yang menentukan keberhasilan dan kelangsungan partai. Kemampuan kepemimpinan yang dimaksud dalam tahap awal ini, sebagaimana Harmel dan Svasand (1993) jelaskan, adalah kepemimpinan dengan sosok yang berkarisma atau populer, yang mungkin bisa menarik pendengar atau khalayak ramai dan mengasosiasikannya tidak hanya dengan pemimpin, tetapi dengan partai.25 Kehadiran pemimpin partai dengan kelebihan seperti itu memiliki keuntungan ketika kesetiaan pemilih masih cair. Banyak pemilih yang cenderung menghubungkan ke partai baru hanya atau sebagian melalui kepribadian tertentu dari pemimpin partai. Pemimpin partai barangkali dianggap lebih penting untuk pengakuan publik daripada misalnya, program partai karena sebagian pemilih tidak memiliki pengetahuan atau informasi politik yang sama.26

Di Indonesia kemunculan partai-partai baru selain juga dilatari dengan pluralistik dan majemuk masyarakatnya, menurut Marijan, juga karena didorong pertama, demokrasi merupakan kondisi yang masih berproses. Sistem pemilu, sistem kepartaian di Indonesia masih belum sepenuhnya baku dan masih mencari bentuk ideal. Kedua, belum adanya aturan yang ketat dalam pemilu (electoral rules), mengenai masuknya

22 Allan Sikk, “Newness as a Winning Formula for New Political Parties”, Party Politics, 18, 4 (2011): 465–486.

23 Viera Zúborová, “Newcomers in Politics? the Success of New Political Parties in the Slovak and Czech Republic after 2010?”, Baltic Journal of Law and Politics, 8, 2 (2015): 91-111.

24 Viera Zúborová, “Newcomers in Politics..,

25 Robert Harmel and Lars Svasand, “Party Leadership and Party Institutionalisation: Three Phases of Development”, West European Politics, 16, 2 (2007): 67-88.

26 Nicole Bolleyer and Evelyn Bytzek, “New Party Performance after Breakthrough: Party Origin, Building and Leadership”, Party Politics, (2006): 1–11.

partai baru dalam pemilu, seperti aturan bagi partai-partai yang tidak lolos threshold atau ambang batas parlemen dan kemudian berubah wajah menjadi partai baru untuk bisa mengikuti pemilu berikutnya. Ketiga, suara pemilih belum terikat kuat dengan partai-partai yang sudah ada, sehingga masih memungkinkan pemilih untuk berpindah dan menemukan partai yang dianggap merepresentasi kepentingan pemilih.27

Partai Baru dan Skema PemiluPemilu 2019 menggunakan regulasi UU Nomor 7 Tahun 2017. Regulasi ini di dalamnya mengatur persyaratan partai politik menjadi peserta pemilu, seperti halnya telah lulus verifikasi dan memenuhi persyaratan badan hukum, memiliki kepengurusan dari level pusat sampai daerah, memiliki keanggotaan, dan lain sebagainya.28 Sebagai peserta pemilu yang baru juga akan berhadapan dengan skema pemilu yang baru, yakni pemilihan legislatif dan pemilihan presiden tidak digelar dalam waktu yang berbeda.

Selain skema serentaknya, terdapat sejumlah perubahan pada Pemilu 2019. Perubahan salah satunya adalah ambang batas parlemen (parliamentary threshold) sebesar 4 persen, sementara Pemilu 2014 ambang batasnya 3,5 persen. Angka ambang batas ini tentunya menjadi salah satu tantangan yang harus dilalui partai baru untuk bisa menempatkan wakilnya di parlemen. Untuk alokasi kursi per dapil tidak berubah, masih seperti pemilu sebelumnya yakni 3-10 kursi. Metode konversi suara yang diputuskan adalah sainte lague murni. Metode ini baru diterapkan untuk Pemilu 2019. Pemilu-pemilu sebelumnya menggunakan metode kuota (kuota hare). Metode kuota ini biasanya lebih dikenal dengan Bilangan Pembagi Pemilih (BPP).

Sedangkan untuk ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) bagi partai atau gabungan partai politik adalah 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara sah nasional.29 Jumlah kursi DPR juga mengalami penambahan. Kursi DPR pada Pemilu 2019 berjumlah 575

27 Kacung Marijan.., 2010, hlm. 65.

28 Lihat Pasal 173 UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.

29 UU Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum.

Page 90: KONSTELASI POLITIK DI TAHUN ELEKTORAL

202 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 15 No. 2 Desember 2018 | 197–213

kursi. Bertambah 15 kursi dari Pemilu 2014.30 Jumlah 15 kursi DPR ini diprioritaskan untuk daerah di luar Jawa dengan mempertimbangkan keseimbangan dan kesetaraan antar daerah.31 Meskipun jumlah kursi untuk daerah pemilihan anggota DPR alokasinya 3-10 kursi, namun UU Pemilu yang baru menyebut untuk jumlah kursi DPRD provinsi paling sedikit 35 dan paling banyak 120 kursi. Sementara pada Pemilu 2014 jumlah kursi DPRD provinsi ditetapkan paling sedikit 35 (tiga puluh lima) dan paling banyak 100 (seratus).32

Melihat aturan ambang batas parlemen sebesar 4 persen, menjadi tantangan tersendiri bagi partai politik baru. Ambang batas merupakan dukungan suara minimal yang harus dimiliki partai untuk memperoleh kursi di parlemen. Merujuk dua pemilu sebelumnya misalnya, pada Pemilu 2009 dan Pemilu 2014, ambang batas parlemen sudah diberlakukan dengan angka 3,5 persen. Pemilu 2009 diikuti 38 partai nasional dan enam partai lokal. Hasilnya hanya sembilan partai yang bisa memperoleh kursi di DPR. Dari sembilan ini ini tujuh partai sudah ada sebelumnya. Hanya dua partai baru yang masuk parlemen yakni Partai Gerindra dan Partai Hanura. Sebagian besar partai-partai baru lainnya tidak memperoleh suara yang bisa mengantar mereka ke parlemen.33 Sementara pada Pemilu 2014, diikuti oleh 12 partai politik nasional dan 3 partai politik lokal di Aceh. Hasilnya, 10 partai politik nasional yang dapat memperoleh kursi di DPR. Dari jumlah itu terdapat satu partai baru yang lolos parlemen, yakni Partai Nasdem.34

30 Jumlah kursi DPR pada Pemilu 2019 sebagaimana disebut dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, berjumlah 575. Jumlah ini bertambah dibandingkan dengan Pemilu 2014 yang berjumlah 560, sebagaimana disebut dalam UU Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

31 Kompas.id, “Kursi DPR menjadi 575”, 31 Mei 2017, https://kompas.id/baca/polhuk/politik/2017/05/31/kursi-dpr-menjadi-575/, diakses pada 1 Oktober 2018.

32 Perbandingan perubahan kursi DPRD bisa dilihat dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 dan UU Nomor 8 Tahun 2012.

33 Kacung Marijan ..., 2010, hlm. 70-72.

34 Bastian Nainggolan dan Yohan Wahyu, Partai Politik Indonesia 1999-2019: Konsentrasi dan Dekonsentrasi Kuasa, (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2016), hlm. 259.

Ideologi – Program Partai BaruSebagai pendatang baru, penggambaran wajah partai terkait dengan pemeriksaan akan kemunculan atau latar belakang mengapa partai dibentuk, hal ini diperlukan untuk mengetahui bagaimana kiprah mereka dalam persaingan merebut suara pemilih. Penggambaran ini terkait dengan bagaimana organisasi partai, apakah partai baru memiliki kaitan dengan kelompok-kelompok masyarakat, siapa yang berperan aktif dalam pendirian partai, insfrastruktur penopang serta sumber daya partai, program atau orientasi partai.35 Yang terkait itu juga adalah bagaimana wajah ideologi partai.

Ideologi menjadi penting bagi partai karena dipandang sebagai sebuah sistem keyakinan yang menjadi identitas partai. Ideologi politik merupakan hal fundamental partai dan menjadi alat yang dapat digunakan partai tidak hanya untuk menarik suara, namun juga untuk memotivasi aktivis dan menjadi jembatan dengan organisasi non partai. Ideologi bisa menjadi semacam peta konseptual bagi para pemimpin partai, aktivis, dan para pemilih untuk menafsirkan kampanye dan isu-isu.36

Empat partai baru hadir dengan menawarkan ideologi yang cenderung tidak berbeda. Baik Partai Perindo, PSI, Partai Garuda, dan Partai Berkarya menyatakan diri sebagai partai yang berasas Pancasila.37 Keempat partai berada dalam kelompok partai-partai nasionalis. Kecenderungan partai-partai di Indonesia meminjam Kevins Evans, dapat dibedakan dalam dua sumbu yang diametral, yakni ideologi Islam dan nasionalis. Meskipun demikian pada garis tengah menunjukkan terjadinya percampuran ideologi pada kadar yang berbeda-beda.

Semakin dekat ke kanan, partai tersebut akan semakin kental dengan ideologi Islam, demikian pula semakin dekat ke kiri semakin kental dengan nasionalis. Sementara jika semakin bergeser ke 35 Nicole Bolleyer, New Parties in Old Party Systems Persistence and Decline in Seventeen Democracies, (Oxford: Oxford University Press, 2013), hlm. 1-4

36 Francesca Vassallo and Clyde Wilcox, “Party as a Carrier of Ideas” dalam Richard S Katz. dan William Crotty (Eds.), Handbook of Party Politics, (London: Sage Publications, 2006), hlm. 413-414.

37 Lihat: Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga Partai Perindo, PSI, Partai Garuda, dan Partai Berkarya.

Page 91: KONSTELASI POLITIK DI TAHUN ELEKTORAL

Kemunculan dan Tantangan Partai Politik Baru Pemilu 2019 | Ridho Imawan Hanafi | 203

tengah apakah dari sisi kiri dan kanan, tingkat kekentalan ideologinya relatif “berkurang,” dalam arti ada kemungkinan percampuran dengan ideologi lain. Menurut Evans, ideologi pada partai-partai di Indonesia sifatnya dinamis dan tidak statis, karena ada gerak pendulum antara ideologi kiri-kanan tergantung pada konteks sosial-politik, dinamika politik dan kepentingan politik.38

Corak nasionalis tersebut tampak dari latar pendirian partai-partai baru. Partai Perindo dideklarasikan di Jakarta 7 Februari 2015. Didirikan oleh pengusaha nasional dari MNC Group Harry Tanoesoedibjo. Pada awalnya partai ini adalah sebuah organisasi kemasyarakatan yang didirikan pada 24 Februari 2013. Melacak jejak Harry, ia mengawali karir politiknya dengan bergabung bersama Partai Nasdem pada tahun 2011. Namun ia kemudian memutuskan mundur pada 21 Januari 2013. Keputusannya mundur dari Nasdem ini karena ada perbedaan pendapat dengan pimpinan Nasdem Surya Paloh yang ketika itu akan maju sebagai ketua umum.

Harry kemudian bergabung dengan Partai Hanura menjelang Pemilu 2014 dan bahkan bersama Wiranto, ketua umum Hanura, sempat mendeklarasikan diri sebagai pasangan capres dan cawapres Hanura. Hanya saja perolehan suara di pileg tidak cukup untuk maju pilpres. Keduanya kemudian berpisah jalan dalam mendukung pasangan capres. Wiranto mendukung pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla, dan Harry mendukung pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa.39

Dalam visinya, Perindo ingin mewujudkan Indonesia yang berkemajuan, bersatu, adil, makmur, sejahtera, berdaulat, bermartabat dan berbudaya.40 Platform perjuangan partai tertera dalam Garis Besar Perjuangan Partai (GBPP), yang memuat tata nilai dan konsepsi perjuangan. Platform partai ini terlihat fokus pada aspek

38 Lihat: Kevin Evans dalam Moch.Nurhasim, “Masa Depan Partai Islam Era Reformasi: Sebuah Perspektif Analisis dalam Moch. Nurhasim (ed), Masa Depan Partai Islam di Indonesia: Studi tentang Volatilitas Elektoral dan Faktor-Faktor Penyebabnya, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2016), hlm. 18-20.

39 Kompas.com, “Partai Perindo dan Penantiannya di Pemilu 2019”, 22 Februari 2018, https://nasional.kompas.com/read/2018/02/22/08292081/partai-perindo-dan-penantiannya-di-pemilu-2019, diakses pada 23 September 2018.

40 Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga Partai Perindo.

perbaikan kondisi ekonomi bangsa, seperti peningkatan income per kapita, mengurangi kesenjangan sosial, memperluas lapangan kerja, pelayanan pendidikan dan kesehatan, serta jaminan sosial.41

Garis perjuangan tersebut juga diungkapkan dalam misi partai yang di antaranya menekankan pada aspek-aspek penegakan hukum, keadilan, dan mendorong perekonomian nasional.42 Aspek-aspek tersebut tampaknya menjadi fokus perjuangan partai pada peningkatan kesejahteraan dan pembangunan ekonomi seperti pembukaan lapangan kerja yang tampaknya juga kerap dilontarkan dalam penyampaian-penyampaian elite partai di depan publik.43

Berangkat dari keinginan untuk berbeda dari partai-partai lama, PSI didirikan. Melalui inisiasi sejumlah figur muda, salah satunya Grace Natalie, yang kemudian menjadi ketua umum partai. Partai ini didirikan pada 16 November 2014. Dalam penyampaiannya, PSI mencoba membawa perubahan kondisi politik, khususnya bagi anak-anak muda yang sudah tidak percaya pada partai lama.44 Anak muda dan perempuan dianggap PSI selama ini kurang terwakili kepentingannya di dunia politik.45 Partai yang berasaskan Pancasila ini membawa visi Indonesia yang berkarakter kerakyatan, berkemanusiaan, berkeragaman, berkeadilan, berkemajuan dan bermartabat.46

Latar belakang PSI yang terekam dalam proses pendiriannya adalah ingin menawarkan

41 Abdul Khaliq Ahmad, “Mengenal Platform Partai Perindo”, 6 Februari 2015, https://nasional.sindonews.com/read/960819/18/mengenal-platform-partai-perindo-1423193546/, diakses pada 29 September 2018.

42 Abdul Khaliq Ahmad, “Mengenal Platform Partai Perindo”..,

43 Idntimes.com, “Mengenal Perindo Partai Baru Peserta Pemilu”, 3 Maret 2018, https://www.idntimes.com/news/indonesia/teatrika/mengenal-perindo-partai-baru-peserta-pemilu-1/full, diakses pada 29 September 2018.

44 Kompas.com, PSI, Grace Natalie dan Citra Partai Anak Muda”, 22 Februari 2018, https://nasional.kompas.com/read/2018/02/22/12132451/psi-grace-natalie-dan-citra-partai-anak-muda, diakses pada 30 September 2018.

45 Tempo.co.id, “Empat Partai Baru di Pemilu 2019”, 19 Februari 2018, https://nasional.tempo.co/read/1062006/empat-partai-baru-di-pemilu-2019-dan-kekuatan-pendirinya/full&view=ok, diakses pada 30 September 2018.

46 Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga PSI.

Page 92: KONSTELASI POLITIK DI TAHUN ELEKTORAL

204 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 15 No. 2 Desember 2018 | 197–213

kebaruan dari partai-partai yang sudah ada. PSI melihat bahwa era reformasi membuat sejumlah institusi negara telah melakukan reformasi ke dalam dan keluar lembaganya, namun tidak dengan partai yang dianggap PSI belum banyak melakukan perubahan, mulai dari pengkaderan sampai produk partai yang dihasilkan.47

Platform kebijakan publik yang digariskan PSI berangkat dari tantangan yang dihadapi Indonesia yang kompleks mulai dari aspek dasar pelembagaan institusi sosial, politik, ekonomi, sampai pada layanan publik dasar, seperti penyediaan lapangan kerja, sarana dan prasarana pendidikan, insfrastruktur, kesehatan dan juga tantangan kompetisi global. Dengan tantangan itu, PSI melihat perlunya melakukan transformasi yakni perubahan dan penyesuaian kerangka institusional pada lingkup negara. Dengan berpegang pada nilai-nilai partai seperti kebajikan, keragaman, keterbukaan dan meritokrasi, PSI ingin menjadi pelaku aktif transformasi itu. PSI merumuskan platform transformasi sesuai dengan cakupan dan kompleksitas agenda-agenda kebijakan publik nasional, mulai dari bidang politik, sosial, budaya, ekonomi, internasional, sampai kesejahteraan rakyat.48

Partai Gerakan Perubahan Indonesia atau yang akrab disebut dengan Partai Garuda berdiri 16 April 2015.49 Sebelum partai ini ditetapkan sebagai salah satu peserta pemilu, publik belum banyak mengenalnya.50 Partai ini dipimpin oleh Ahmad Ridha Sabana. Kemunculan partai ini sebagai peserta pemilu juga diiringi oleh isu yang mengaitkan dengan keluarga mantan

47 PSI.id, “Pembentukan Partai PSI Berawal dari Obrolan di Kafe”, 26 Februari 2018, https://psi.id/berita/2018/02/26/pembentukan-partai-psi-berawal-dari-obrolan-di-kafe/, diakses pada 30 September 2018.

48 Https://psi.id/berita/content/cita-cita-psi/, diakses pada 30 September 2018.

49 Kompas.com, Garuda Partai Baru yang Memulai Jejak Perdananya di Pemilu 2019”, 21 Februari 2018, https://nasional.kompas.com/read/2018/02/21/16125861/garuda-partai-baru-yang-memulai-jejak-perdananya-di-pemilu-2019, diakses pada 1 Oktober 2018.

50 Kumparan.com,”Partai Garuda Bergerak dalam Senyap”, 19 Februrai 2019, https://kumparan.com/@kumparannews/partai-garuda-bergerak-dalam-senyap-untuk-bersaing-di-2019, diakses pada 1 Oktober 2018.

presiden Soeharto atau yang dikenal dengan sebutan keluarga Cendana. Meskipun isu tersebut dibantah tegas oleh Sabana bahwa tidak ada kaitan antara partai dan keluarga Cendana.51

Partai Garuda juga dikaitkan jejaknya dengan Partai Kerakyatan Nasional (PKN) yang didirikan Harmoko pada 2007, tetapi gagal lolos verifikasi KPU untuk Pemilu 2009. Kemudian pada 2015 PKN menggelar kongres dan salah satu putusannya mengubah nama partai menjadi Partai Garuda.52 Namun, Sekjen Partai Garuda Abdullah Mansuri menyatakan nyaris tak ada pengurus PKN yang terlibat dalam Partai Garuda. Partai Garuda saat ini murni menggunakan jaringan baru dan orang baru.53

Partai Garuda dalam cikal bakal berdirinya berlatar karena munculnya keresahan masyarakat, termasuk dirinya dalam hal penyampaian aspirasi.54 Partai Garuda memiliki asas Pancasila dengan ciri partai menegakkan sendi pemahaman nasionalis, religius, kerakyatan. Visi Partai Garuda adalah terwujudnya cita-cita perubahan Indonesia.55 Salah satu misinya terwujudnya cita-cita nasional bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan UUD 1945. Dalam hal relasinya dengan organisasi masyarakat Partai Garuda menggunakan jaringan Ikatan Pedagang Pasar Indonesia (Ikappi) sebagai jaringan utama bergerak. Sehingga salah satu sumber dari basis partai adalah mereka yang tergabung dalam Ikappi.56 Partai Garuda juga menggunakan jaringan pengusaha para pengurusnya untuk menyerap dana. Misalnya, dari Koperasi Pedagang Pasar Indonesia milik

51 Kumparan.com,”Partai Garuda Bergerak dalam Senyap”..,

52 Tirto.id, “Metamorfosis Partai Garuda Dari Harmoko ke Big Data”, 20 Juni 2018, https://tirto.id/metamorfosis-partai-garuda-dari-harmoko-ke-big-data-cMzw, diakses pada 1 Oktober 2018.

53 Tirto.id, “Metamorfosis Partai Garuda..,

54 Idntimes.com, “Mengenal Partai Garuda Partai yang Digerakkan Millenials”, 6 Maret 2018, https://www.idntimes.com/news/indonesia/vanny-rahman/mengenal-partai-garuda-partai-yang-digerakkan-millennials-1/full, diakses pada 1 Oktober 2018.

55 Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga Partai Garuda.

56 Tirto.id, “Metamorfosis Partai Garuda..,

Page 93: KONSTELASI POLITIK DI TAHUN ELEKTORAL

Kemunculan dan Tantangan Partai Politik Baru Pemilu 2019 | Ridho Imawan Hanafi | 205

Ikappi.57 Selain itu juga jejaring pengusaha melalui ketua umum partai yang juga memiliki latar belakang sebagai pengusaha atau pedagang. Jejaring dana dari pengusaha ini salah satunya agar tidak membebani pengurus di daerah saat kunjungan partai.58

Didirikan pada 15 Juli 2016, Partai Berkarya adalah fusi dari dua partai politik yakni Partai Beringin Karya (BK) dan Partai Nasional Republik (Nasrep).59 Partai Berkarya berasaskan Pancasila dengan ciri religius, kebangsaan, kerakyatan dan bersifat terbuka bagi seluruh warga negara Republik Indonesia tanpa membedakan suku, agama, ras, golongan, status sosial, dan gender. Visi dari Partai Berkarya adalah terwujudnya kehidupan bangsa Indonesia yang bertaqwa, aman, sejahtera, adil, dan berdaulat berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia.60 Partai Berkarya didirikan oleh Hutomo Mandala Putra atau dikenal dengan Tommy Soeharto yang juga anak dari mantan presiden Soeharto. Partai ini menggunakan logo pohon Beringin dan warna kuning yang juga menjadi ciri khas Partai Golkar. Menurut Tommy, Golkar yang asli seperti era Soeharto telah lahir kembali di Partai Berkarya.61 Selain Tommy para anggota keluarga Cendana atau anak-anak Soeharto juga bergabung di partai ini yakni Sigit Harjojudanto, Siti Hardiyanti Indra Rukmana atau dikenal dengan Tutut, Bambang Trihatmodjo, Siti Hediati Harijadi (Titiek), dan Siti Hutami Endang Adiningsih (Mamiek).62

57 Tirto.id, “Saat Jaringan Pedagang Ingin Punya Partai Lahirlah Partai Garuda,” 20 Juni 2018, https://tirto.id/saat-jaringan-pedagang-ingin-punya-partai-lahirlah-partai-garuda-cMzx, diakses pada 1 Oktober 2018.

58 Tirto.id, “Saat Jaringan Pedagang..,

59 Https://www.berkarya.id/kepartaian.php#main, diakses pada 1 Oktober 2018.

60 Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga Partai Berkarya.

61 Liputan6.com, “Partai Berkarya Parpol Baru Rasa Era Soeharto”, 26 Agustus 2018, https://www.liputan6.com/pileg/read/3628248/partai-berkarya-parpol-baru-rasa-era-soeharto, diakses 1 Oktober 2018.

62 Detik.com, “Seluruh Keluarga Cendana Akhirnya Berlabuh di Partai Berkarya”, 21 Juli 2018, https://news.detik.com/berita/4125828/seluruh-keluarga-cendana-akhirnya-berlabuh-di-partai-berkarya, diakses pada 2 Oktober 2018.

Partai Berkarya menarik perhatian publik dengan membawa label “Orde Baru”. Partai ini membawa program partai yang popular di masa Orde Baru, yakni Trilogi Pembangunan dan Swasembada Pangan. Trilogi Pembangunan merupakan wacana pembangunan era Orde Baru yang terdiri atas stabilitas nasional yang dinamis, pertumbuhan ekonomi tinggi dan pemerataan pembangunan.63 Kentalnya nuansa Orde Baru ini memang diakui oleh salah seorang pengurus teras partai, Priyo Budi Santoso. Menurutnya, partainya mengidolakan sosok kepemimpinan Soeharto. Menurutnya, ajaran Soeharto bisa menjadi jalan keluar dari berbagai persoalan bangsa yang tak kunjung selesai.64 Menurut Badarudin Andi Picunang, salah seorang elite partai lain, bahwa Partai Berkarya bisa menjadi alternatif partai pilihan dari partai yang sudah ada terutama dari kelompok yang rindu terhadap Orde Baru.65 Untuk itu Partai Berkarya menawarkan sejumlah program yang pernah dikerjakan Soeharto untuk diadopsi agar menarik dukungan pemilih.66

Persamaan yang terlihat pada partai-partai baru dengan partai-partai lama dan juga antara partai-partai baru itu sendiri adalah hal asas dan ideologi. Keempat partai baru lebih mengarah pada corak nasionalis dan terbuka untuk menerima berbagai kalangan. Dengan itu partai-partai baru akan dihadapkan pada ceruk pemilih yang sama dengan ceruk partai-partai lama atau partai yang sudah mapan terutama yang bercorak nasionalis. Di satu sisi bisa menjadi tantangan, namun di sisi lain terbuka prospeknya untuk saling berebut suara. Hal ini juga terkait

63 Idntimes.com, “Semua Hal Tentang Berkarya Partai Baru Bagi Yang Rindu Orde Baru”, 3 Maret 2018, https://www.idntimes.com/news/indonesia/linda/semua-hal-tentang-berkarya-partai-baru-bagi-yang-rindu-orde-baru-1/full, diakses 2 Oktober 2018.

64 Kompas.com, “Berkarya Anggap Sistem Pemerintahan Soeharto dan Orde Baru Masih Relevan”, 15 Juli 2018, https://nasional.kompas.com/read/2018/07/15/15140461/berkarya-anggap-sistem-pemerintahan-soeharto-dan-orde-baru-masih-relevan, diakses 2 Oktober 2018.

65 Idntimes.com, op, cit., 3 Maret 2018.

66 Tempo.co, “Partai Berkarya Adopsi Program Soeharto Jaring Suara Pemilu 2019”, 16 Juni 2018, https://nasional.tempo.co/read/1098518/partai-berkarya-adopsi-program-soeharto-jaring-suara-pemilu-2019/full&view=ok, diakses pada 2 Oktober 2018.

Page 94: KONSTELASI POLITIK DI TAHUN ELEKTORAL

206 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 15 No. 2 Desember 2018 | 197–213

dengan lemahnya diferensiasi ideologi antar partai baru dan lama. Persoalan ideologi pada partai politik memang memudar atau mengalami erosi ketika Orde Baru melakukan upaya depolitisasi masyarakat, melakukan sentralisasi administrasi dan merampingkan sistem politik. Rezim berupaya untuk mempertegas menghapus politik aliran. Pada tahun 1973 dilakukan penyederhanaan sistem kepartaian.67 Saat ini, terlihat adalah bahwa partai tidak lagi merupakan gerakan sosial yang memiliki jejaring organisasi sendiri yang erat.68

Dengan sketsa kebaruan wajah yang mencoba ditawarkan pada pemilih, partai baru mencoba berdiri sebagai antitesis terhadap partai yang ada. Kehadiran ini bisa menutup kelemahan partai lama dengan memunculkan harapan baru.69 Salah satu kemungkinan yang terbuka adalah kelompok rasional yang lebih identik dengan kelas menengah kota, karena merekalah yang bisa diduga lebih mempertimbangkan hal-hal seperti kebijakan publik yang ditawar. Namun, keefektifan perbedaan kebijakan sosial dan ekonomis tidak pernah terbukti mampu menjadi andalan merebut konstituen suatu partai.70

Basis Dukungan PartaiBasis dukungan partai merupakan fitur partai dalam aspek kontes elektoral yang terkait dengan siapa pemilih partai (voters). Tantangan partai baru adalah bagaimana mereka menjaring segmen basis dukungan mereka dan berhadapan dengan segmen partai-partai lama. Kehadiran partai baru bisa didorong oleh ketidakpuasan terhadap mekanisme tradisional partai yang lama, birokratisasi mereka, ketidakpercayaan pada pemimpin, ini bisa mendorong sebagian warga yang aktif, muda, dan berpendidikan mencari lokus yang berbeda untuk mengekspresikan

67 Andreas Ufen, “Political Parties in Post-Suharto Indonesia: Between politik aliran and ’Philippinisation’”, GIGA Working Papers, No. 37, Desember 2006, GIGA German Institute of Global and Area Studies, hlm 1-35.

68 Andreas Ufen, “Political Parties..,

69 Alfan Alfian, Mengapa Parpol Baru?, Harian Kompas, 27 Agustus 2015.

70 Daniel Dhakidae.., 2004, hlm. 12.

partisipasi.71 Maka partai baru dalam hal ini bisa membangun interaksi dengan basis-basis pemilih.

Melihat latar belakang berdirinya partai-partai baru Pemilu 2019, orientasi pemilihan basis dukungan bisa menjadi gambaran ke mana partai baru menjaring pemilih. Untuk mengidentifikasi basis sosial partai bisa melihat pada kepemimpinan partai untuk menarik dukungan melalui simbol, pernyataan publik, kampanye yang ditargetkan, dan juga program partai.72

PSI, misalnya, mereka menginginkan sasaran kalangan muda. Hal ini salah satunya juga ditunjukkan dengan para pengurus partai dari kalangan muda. Pengurus mereka rata-rata pada usia 20 sampai 30 tahun. Selain itu, usia tidak boleh lebih dari 45 tahun, dan syaratnya tidak boleh berasal dari mantan pengurus partai lain.73 Segmen pemilih muda ini tidak bisa dilepaskan dari data Badan Pusat Statistik (BPS), bahwa hasil sensus 2010 diproyeksikan jumlah pemilih milenial tahun 2019 berkisar 55-58 persen. Milenial secara umum diartikan generasi yang mulai dewasa pada era millennium abad ke-21.

Mereka yang tergolong kelompok tersebut lahir sekitar awal 1980-an sampai awal 2000-an. Dalam Pemilu 2019, milenial adalah pemilih yang berusia 17- 38 tahun. Dengan proyeksi data BPS di atas, pemilih generasi ini akan berjumlah lebih dari 100 juta orang.74 Pilihan untuk menyasar kalangan muda juga dibuktikan PSI dengan melakukan seleksi calon anggota legislatif dari kalangan muda (sebagian besar usia di bawah 45 tahun).75 Dengan karakteristik

71 Piero Ignazi, “The Crisis of Parties and the Rise of New Political Parties”, Party Politics, Vol. 2. No. 4 (1996): 549-566.

72 Vicky Randall, “Political Parties and Social Structure in The Developing World”, dalam Richard S Katz. dan William Crotty (Eds.), Handbook of Party Politics, (London: Sage Publications, 2006), hlm. 391-392.

73 Kumparan.com, “Mengenal PSI Partai Milenial Peserta Baru di Pemilu 2019”, 19 Februari 2018, https://kumparan.com/@kumparannews/mengenal-psi-partai-milenial-peserta-baru-di-pemilu-2019, diakses pada 2 Oktober 2018.

74 Djayadi Hanan, Berebut Milenial, Harian Kompas, 28 Agustus 2018.

75 Katadata.co, “Lebih Dari Separuh Caleg PSI Dari Kalangan

Page 95: KONSTELASI POLITIK DI TAHUN ELEKTORAL

Kemunculan dan Tantangan Partai Politik Baru Pemilu 2019 | Ridho Imawan Hanafi | 207

yang milenial seperti itu, dalam strateginya PSI salah satunya memanfaatkan media sosial sebagai alat diseminasi program partai, program caleg, menjawab isu-isu strategis.76

Sasaran spesifik pada generasi pemilih tampaknya tidak menjadi fokus pada partai-partai baru yang lain. Partai Perindo dan Berkarya misalnya, memilih segmen pemilih yang tidak jauh berbeda. Keduanya cenderung pada janji-janji ekonomi kerakyatan. Kemiripan program mereka seperti memberikan bantuan kepada petani, nelayan, hingga usaha kecil dan menengah.77 Sejauh ini Perindo menjalankan program-program kerja seperti pemberdayaan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) dengan membagikan gerobak Perindo. Gerobak ini ditujukan untuk mendorong perbaikan ekonomi warga.78 Partai Berkarya terlihat lebih mengarah pada program-program ekonomi yang dinilai prorakyat dan ekonomi kreatif.79 Ragamnya segmentasi pemilih yang ingin disasar ini juga terlihat dari calon anggota legislatif Perindo dan Partai Berkarya mereka yang terbuka bagi semua kalangan.80

Muda Profesional”, 17 Juli 2018, https://katadata.co.id/berita/2018/07/17/lebih-dari-separuh-caleg-psi-dari-kalangan-muda-profesional, diakses pada 2 Oktober 2018.

76 Kumparan.com, “PSI Fokus Kampanye di Media Sosial Demi Dulang Suara di Pileg 2019”, 19 Februari 2018, https://kumparan.com/@kumparannews/psi-fokus-kampanye-di-media-sosial-demi-dulang-suara-di-pileg-2019, diakses pada 2 Oktober 2018.

77 Lihat: https://partaiperindo.com/?p=56358, diakses pada 2 Oktober 2018 dan juga Republika.co.id, Partai Berkarya Fokus Kembangkan Teknologi Pertanian”, 12 Maret 2018,. https://www.republika.co.id/berita/nasional/politik/18/03/12/p5g4ww328-partai-berkarya-fokus-kembangkan-teknologi-pertanian, diakses pada 2 Oktober 2018.

78 https://partaiperindo.com/?p=42320, diakses pada 2 Oktober 2018.

79 Tirto.id, “Strategi Partai-Partai Baru Lolos Ambang Batas Parlemen”, 25 Februari 2018, https://tirto.id/strategi-partai-partai-baru-lolos-ambang-batas-parlemen-cFjt, diakses pada 2 Oktober 2018.

80 Okezone.com, “Harry Tanoe Caleg Perindo Punya Latar Belakang yang Beragam”, 17 Juli 2018, https://news.okezone.com/read/2018/07/17/606/1923563/hary-tanoe-caleg-perindo-punya-latar-belakang-yang-beragam; diakses pada 3 Okotber 2018. Juga Kompas.com, “Deretan Caleg Partai Berkarya dari Keluarga Cendana Hingga Artis Lawas”, 18 Juli 2018, https://nasional.kompas.com/read/2018/07/18/05442281/deretan-caleg-partai-berkarya-dari-keluarga-cendana-hingga-artis-lawas, diakses pada 3 Oktober 2018.

Sementara mereka yang menggerakkan organisasi Partai Garuda sebagian pengurusnya berasal dari kalangan muda, atau berada sekitar usia 35 tahun.81 Partai ini segmen dukungannya banyak berasal dari kalangan pedagang pasar. Bahkan sebagian kepengurusan di daerah merupakan pedagang pasar tradisional.82 Pedagang pasar memang menjadi basis kader partai sehingga penjaringan kader banyak dilakukan partai ini dengan menjalin jejaring keluarga pedagang pasar.83 Namun, segmentasi ini tidak membatasi partai untuk melakukan penjarigan kader yang luas dan terbuka bagi semua kalangan. Untuk menjawab ini partai memanfaatkan teknologi informasi yang berkembang pesat dan Partai Garuda melakukan proses penjaringan kader secara online.84 Namun demikian kecenderungan menyasar pada kalangan pedagang pasar tradisional menjadi hal yang diprioritaskan. Ketika menyeleksi para caleg, Partai Garuda menekankan pentingnya memperjuangkan pedagang pasar tradisional.85

Hubungan antara partai dan struktur sosial pada partai-partai baru tidak cukup terlihat.86 Relasi historis antara partai dan struktur sosial yang berkembang dalam pembentukan partai kemudian tidak cukup menunjukkan bahwa partai-partai ini merupakan representasi dari kelompok sosial tertentu. Kenyataan ini memungkinkan analisis bahwa partai-partai baru tidak cukup memiliki basis sosial yang akan menjadi segmen pemilih loyal mereka. Dengan arti lain, partai-partai baru akan memperebutkan segmen pemilih yang bisa jadi sama antara satu dan lainnya. Ruang kompetisi dengan basis dukungan yang masih cair ini kemudian akan cenderung ditentukan seberapa jauh mesin partai bisa menarik simpati pemilih melalui program-program riil yang bisa dirasakan warga.

81 Idntimes.com..,6 Maret 2018.

82 Tribunnews.com, “Partai Garuda Terapkan Strategi Politik Gerilya Sunyi”, 20 Februari 2018, http://www.tribunnews.com/nasional/2018/02/20/partai-garuda-terapkan-strategi-politik-gerilya-sunyi?page=all, diakses pada 3 Oktober 2018.

83 Tirto.id, “Saat Jaringan Pedagang..,

84 Tirto.id, “Saat Jaringan Pedagang..,

85 Tirto.id, “Saat Jaringan Pedagang..,

86 Vicky Randall, 2006, hlm. 392.

Page 96: KONSTELASI POLITIK DI TAHUN ELEKTORAL

208 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 15 No. 2 Desember 2018 | 197–213

Perolehan suara partai di dua pemilu sebelumnya mengartikan bahwa tidak mudah bagi partai baru untuk merebut suara pemilih. Kenyataan tersebut memperlihatkan bahwa suara pemilih cenderung direbut oleh partai-partai politik yang sudah mapan atau memiliki pengalaman sebagai peserta pemilu sebelumnya. Meskipun demikian, sisi lain dari kecenderungan tersebut juga memperlihatkan semakin tidak terkonsentrasinya kekuatan-kekuatan partai atau sedikit kekuatan partai yang selama ini yang berhasil memperoleh suara. Sisi ini menawarkan cerminan semakin berkurangnya pula kemampuan retensi partai dalam menjaga loyalitas simpatisan pemilihnya.87 Dari sisi inilah peluang perolehan suara partai baru belum sepenuhnya tertutup.

Kepemimpinan Partai: Minus Figur “Kuat” Kehadiran partai politik erat kaitannya dengan organisasi dan kepemimpinan partai, terutama ketika partai pada tahap awal tumbuh, yakni tahap identifikasi. Tahap identifikasi bagi partai baru yang penting adalah mengembangkan dan mengkomunikasikan pesannya. Sebuah partai baru bisa menarik pengikut karena ide, pemimpinnya atau karena kebaruan yang ditawarkan dan gaya organisasinya.88 Di Indonesia, pertumbuhan partai era reformasi memperlihatkan institusionalisasi yang lemah, mekanisme internal partai yang tidak terlembaga, kerapnya perpecahan partai, dan partai-partai yang cenderung bersifat personalistik.89 Sebagian partai yang tumbuh dan berkembang kemudian mengandalkan kepemimpinan personal atau figur kuat dengan karismanya untuk memobilisasi konstituen.90 Para pendiri partai kemudian sebagian menjadi figur yang dominan dan diandalkan untuk menjadi penarik suara pemilih.

87 Bastian Nainggolan dan Yohan Wahyu, 2016.

88 Robert Harmel and Lars Svasand, 2007.

89 Lihat Paige Johnson Tan, Indonesia Seven Years after Soeharto: Party System Institutionalization in a New Democracy, Contemporary Southeast Asia, Vol. 28, No. 1 (April 2006): 88-114

90 Ulla Fionna, “The Trap of Pop-Charisma for the Institutionalization of Indonesia’s Post-Suharto Parties”, Asian Journal of Political Science, (2016).

Keempat partai baru mencoba hadir dengan tidak menawarkan ketergantungan pada figur tertentu yang populer di masyarakat sebagai daya penarik massa. Figur yang biasanya dilekatkan pada posisi ketua umum pada masing-masing partai baru terlihat tidak memiliki basis sosial yang kuat di masyarakat. PSI dari awal mencoba membangun partai dengan tidak mau bertumpu pada seorang tokoh untuk mengangkat nama partai.91 Partai Garuda baik pemimpin maupun pengurusnya juga belum banyak dikenal publik.92 Sementara Partai Perindo, pemimpinnya Harry Tanoesoedibjo selama ini dikenal sebagai pengusaha media. Popularitas partai dilakukan salah satunya melalui iklan di televisi di jaringan usahanya.93 Tanoe memang sudah berkecimpung dalam politik sebelum menjadi pemimpin Perindo. Sedangkan pemimpin Partai Berkarya Tommy Soeharto lebih diketahui publik sebagai anak mantan presiden kedua Indonesia.94

Kehadiran figur kuat dalam partai bisa memberikan kemungkinan implikasi. Di satu sisi, figur kuat yang berkarisma dan populer dalam jangka pendek bisa memberikan keuntungan partai salah satunya bisa menjadi daya tarik bagi preferensi pemilih.95 Karena salah satu alasan yang mempengaruhi orang memilih partai politik tertentu adalah orientasi pemilih terhadap figur-figur partai.96 Tidak hanya itu, figur kuat dalam partai politik bisa menjadikannya sebagai figur perekat (solidarity maker) bagi elemen-elemen partai yang ada. Dengan kata lain, figur kuat bisa menciptakan soliditas internal,

91 PSI.id, 26 Februari 2018.

92 Kumparan.com, “Strategi Partai Garuda Dongkrak Popularitas Siapkan Program Rakyat”, 19 Februari 2018, https://kumparan.com/@kumparannews/strategi-partai-garuda-dongkrak-popularitas-siapkan-program-rakyat, diakses pada 3 Oktober 2018.

93 Tempo.co, 19 Februari 2018..,

94 Tempo.co, 19 Februari 2018..,.

95 Gian Vittorio Caprara, “The Personalization of Modern Politics”, European Review, Vol. 15, No. 2 (2007): 151–164.

96 Hasil survei yang dilakukan oleh Charta Politika Indonesia pada periode 13-19 April 2018, memberi gambaran akan sejumlah alasan seseorang memilih partai politik pada Pemilu 2019 nanti, salah satunya karena alasan tokoh partai. Lihat dalam Era.id, “Beragam Alasan Orang Memilih Partai”, 21 Mei 2018, https://www.era.id/read/OYUVX3-beragam-alasan-orang-memilih-partai, diakses pada 3 Oktober 2018.

Page 97: KONSTELASI POLITIK DI TAHUN ELEKTORAL

Kemunculan dan Tantangan Partai Politik Baru Pemilu 2019 | Ridho Imawan Hanafi | 209

meminimalisir potensi perpecahan, dan hal ini sangat diperlukan bagi partai politik terutama dalam proses konsolidasi untuk persiapan menghadapi kompetisi elektoral. Namun, dalam jangka panjang partai akan berhadapan dengan proses institusionalisasi yang mengharuskan partai untuk membangun platform dan organisasi partai yang solid dan tidak menggantungkan pada figur tertentu.97

Dalam konteks itu, partai-partai baru yang di dalamnya tidak cukup menghadirkan figur-figur yang menonjol dalam pengertian salah satunya memiliki latar belakang basis massa dan pengaruh yang kuat di akar rumput berpeluang untuk menggunakan strategi yang mengedepankan program partai daripada harus mengandalkan figur tertentu untuk menarik simpati. Persoalannya kemudian adalah bagaimana upaya partai baru bisa membuat strategi tersebut bisa ditangkap pemilih karena partai-partai baru juga berhadapan dengan tidak cukup memiliki waktu yang panjang mulai dari pendirian sampai ditetapkan sebagai peserta pemilu untuk mengenalkan program-program yang direncanakan. Kemungkinan untuk alternatif solusi tersebut salah satunya bisa menggunakan cara promosi lewat media massa atau media sosial ke masyarakat seperti yang dilakukan Partai Perindo yang sejauh ini telah gencar bersosialisasi atau beriklan di televisi yang memiliki jangkauan luas.98 Serta PSI yang juga aktif melakukan kampanye melalui media sosial.99

Selain itu, pada Pemilu 2019 partai-partai baru akan menghadapi skema pemilu serentak di mana salah satu faktor yang bisa berpengaruh dalam perolehan elektoral adalah figur kandidat. Skema pemilihan legislatif dan pemilihan presiden yang serentak membuat partai politik mengusung pasangan calon presiden dan wakil presiden lebih awal. Tidak hanya itu, skema pemilu serentak juga dimungkinkan adanya asumsi munculnya efek ekor jas (coattail effect). Shugart misalnya

97 Ulla Fionna, “The Trap of Pop-Charisma..,

98 Tirto.id, “Menancapkan Mars Perindo Lewat Stasiun TV Miliki Pribadi”, 15 Februari 2006, https://tirto.id/menancapkan-mars-perindo-lewat-stasiun-tv-milik-pribadi-nn, diakses pada 3 Okotber 2018.

99 Kumparan.com, 19 Februari 2018..,

menerangkan, jika waktu penyelenggaraan pemilu presiden diserentakkan dengan pemilu legislatif akan menimbulkan efek ekor jas, yakni pemilihan presiden akan mempengaruhi hasil pemilihan anggota legislatif.100

Mark J Glantz sebagaimana dirujuk Kompas, mendefinisikan efek ekor jas sebagai kemampuan kandidat yang populer dalam menarik dukungan elektoral bagi kandidat lain dalam partai politik yang sama.101 Kajian ilmiah akan efek ekor jas dalam pemilihan presiden di Amerika Serikat, misalnya, memperlihatkan terdapat hubungan yang positif antara kekuatan elektoral seorang calon presiden dan partai yang mengusungnya.102 Meskipun untuk kasus Indonesia masih prediktif, namun pencalonan dan dukungan bagi calon presiden oleh partai-partai tampaknya mempertimbangkan calon yang popular dan berupaya membangun asosiasi dengan calon.

Regulasi pemilu menyatakan untuk mengusung pasangan calon presiden dan calon wakil presiden partai politik atau gabungan partai harus memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit dua puluh persen dari jumlah kursi DPR atau memperoleh dua puluh lima persen dari suara sah secara nasional pada pemilu anggota DPR sebelumnya.103 Dengan demikian partai-partai baru tidak bisa mengusung calon presiden dan wakil presiden, melainkan hanya sebatas mendukung pasangan calon. Kemungkinan munculnya insentif elektoral akan efek ekor jas dalam skema pemilu serentak membuat partai-partai peserta pemilu telah menyatakan sikap masing-masing.104 Hal yang juga dilakukan sejumlah partai baru.

100 Syamsuddin Haris, (Ed). Pemilu Serentak 2019, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2016), hlm. 32.

101 Kompas.id, “Menakar Dampak Ekor Jas Ke Elektabilitas”, 12 Agustus 2018, https://kompas.id/baca/polhuk/2018/08/12/menakar-dampak-ekor-jas-ke-elektabilitas/, diakses pada 22 September 2018.

102 Djayadi Hanan, Efek Ekor Jas, Harian Kompas, 8 Februari 2018.

103 Lihat Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.

104 Djayadi Hanan, Efek Ekor Jas, Harian Kompas, 8 Februari 2018.

Page 98: KONSTELASI POLITIK DI TAHUN ELEKTORAL

210 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 15 No. 2 Desember 2018 | 197–213

Dua pasangan calon presiden dan wakil presiden yang bakal bersaing adalah pasangan Joko Widodo-Ma’ruf Amien dan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno. Dua partai baru, Perindo dan PSI telah menyatakan sikap mendukung pasangan Jokowi-Ma’ruf.105 Partai Berkarya memilih mendukung pasangan Prabowo-Sandiaga.106 Sementara Partai Garuda menyatakan tidak mendukung pasangan capres.107 Dengan mendukung pasangan capres asumsinya partai-partai secara elektoral akan memperoleh insentif suara. Karena keterpilihan kandidat dimungkinkan membantu keterpilihan partai. Besar kecilnya pengaruh efek ekor jas terhadap partai akan tergantung pada seberapa kuat dan efektif upaya partai mengasosiasikan diri dengan calon presiden.108 Namun demikian, kemungkinan efek ekor jas masih menjadi teka-teki yang berkemungkinan muncul dan sebaliknya untuk konteks Indonesia yang baru pertama kali menyelenggarakan pemilu serentak.109

PenutupPartai-partai baru peserta Pemilu 2019 muncul dengan latar belakang, di antaranya ingin menghadirkan alternatif pilihan kepada warga untuk menyalurkan aspirasi politik. Alternatif pilihan ini muncul juga dilatari dengan kekecewaan terhadap partai politik yang ada.

105 Tirto.id, “PSI Ungkap Alasan Tetap Dukung Jokowi Meski Cawapres Bukan Mahfud”, 11 Agustus 2018, https://tirto.id/psi-ungkap-alasan-tetap-dukung-jokowi-meski-cawapres-bukan-mahfud-cRNg, diakses pada 4 Oktober 2018. Juga, Okezone.com, “Dukung Jokowi-Ma’ruf Perindo Terus Gaungkan Persatuan dan Kesatuan Indonesia”, 10 Agustus 2018, https://news.okezone.com/read/2018/08/10/605/1934595/dukung-jokowi-ma-ruf-perindo-terus-gaungkan-persatuan-dan-kesatuan-indonesia, diakses pada 4 Okober 2018.

106 Viva.co.id, “Alasan Partai Berkarya Dukung Prabowo Sandi”, 10 Agustus 2018, https://www.viva.co.id/berita/politik/1063643-alasan-partai-berkarya-dukung-prabowo-sandi, diakses pada 4 Oktober 2018.

107 Detik.com, “Tak Dukung Satupun Capres Partai Garuda: Kami Fokus di Pileg”, 11 Agustus 2018, https://news.detik.com/berita/4162036/tak-dukung-satu-pun-capres-partai-garuda-kami-fokus-di-pileg, diakses 4 Oktober 2018.

108 Djayadi Hanan, Efek Ekor Jas, Harian Kompas, 8 Februari 2018.

109 Kompas.id, “Menakar Dampak Ekor Jas..,

Dengan ambang batas parlemen yang ditetapkan sebesar 4 persen, keikutsertaan partai baru untuk bersaing dengan partai-partai yang sudah relatif mapan menjadi tidak mudah. Partai-partai baru muncul dengan kesamaan corak ideologi nasionalis dan terbuka bagi semua kalangan. Perbedaan di antara mereka dari sudut ini terlihat tidak terlalu mencolok. Hal yang membuat basis dukungan pemilih masing-masing partai juga cair. Kelenturan ini membuat prospek mereka untuk mendapatkan simpati elektoral dari pemilih cukup terbuka. Meskipun sebagian partai mencoba menempatkan segmen pemilih dengan melihat latar belakang seperti usia, pekerjaan, latar belakang sosial ekonomi dan sebagainya, namun partai baru terlihat kemudian membatasi diri untuk meraih pasar pemilih yang lebih luas.

Sebagai partai baru, tantangan yang dihadapi dalam pemilu adalah bagaimana dengan waktu yang ada untuk sosialisasi, kemudian partai-partai ini bisa menjadi rujukan alternatif bagi pemilih untuk menentukan pilihan di pemilu. Dengan insfrastuktur mesin partai yang ada untuk sosialisasi di lapangan, ditambah dengan peluang penggunaan media massa atau sosial, hal seperti itu bisa menjadi salah satu cara partai untuk mengenalkan diri. Hanya saja, keempat partai baru cenderung tidak memiliki figur kuat yang memiliki dukungan karisma pribadi yang bisa menjadi penarik massa. Kekurangan seperti ini bisa dimungkinkan menjadi suatu kelebihan jika partai kemudian menawarkan kepada pemilih yang berbasis gagasan atau program sehingga menjadi tidak tergantung pada figur tertentu untuk merebut simpati. Dengan demikian, pencapaian partai akan banyak ditentukan oleh mesin organisasi, kader partai, dan bagaimana strategi mereka menawwarkan program yang dapat dijadikan tawaran kepada pemilih mengapa harus menjatuhkan pilihan kepada partai baru.

Daftar PustakaBuku Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga Partai

Perindo. Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga PSI. Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga Partai

Garuda.

Page 99: KONSTELASI POLITIK DI TAHUN ELEKTORAL

Kemunculan dan Tantangan Partai Politik Baru Pemilu 2019 | Ridho Imawan Hanafi | 211

Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga Partai Berkarya.

Bolleyer, Nicole. New Parties in Old Party Systems Persistence and Decline in Seventeen Democracies, Oxford: Oxford University Press, 2013.

Dhakidae, Daniel. “Partai-Partai Politik di Indonesia: Kisah Pergerakan dan Organisasi dalam Patahan-Patahan Sejarah,” dalam Tim Penelitian dan Pengembangan (Tim Litbang) Kompas, Partai-Partai Politik Indonesia Ideologi, Strategi, dan Program, Jakarta: Gramedia, 1999.

Dhakidae, Daniel. Pengantar dalam Partai-partai Politik Indonesia: Ideologi dan Program 2004-2009, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2004.

Haris, Syamsuddin (Ed). Pemilu Serentak 2019, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2016.

Katz, Richard S. dan William Crotty (Eds.), Handbook of Party Politics, London: Sage Publications, 2006.

Marijan, Kacung. Sistem Politik Indonesia: Konsolidasi Demokrasi Pasca-Orde Baru, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010.

Nainggolan, Bastian dan Yohan Wahyu. Partai Politik Indonesia 1999-2019: Konsentrasi dan Dekonsentrasi Kuasa, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2016.

Nurhasim, Moch. “Masa Depan Partai Islam Era Reformasi: Sebuah Perspektif Analisis dalam Moch. Nurhasim (ed), Masa Depan Partai Islam di Indonesia: Studi tentang Volatilitas Elektoral dan Faktor-Faktor Penyebabnya, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2016.

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum.

Vassallo, Francesca and Clyde Wilcox. “Party as a Carrier of Ideas” dalam Richard S Katz. dan William Crotty (Eds.), Handbook of Party Politics, London: Sage Publications, 2006.

White, John Kenneth. “What is Political Party”, dalam Richard S Katz. and William Crotty (Eds.), Handbook of Party Politics, London: Sage Publications, 2006.

JurnalBarnea, Shlomit and Gideon Rahat. ‘Out With the

Old, in With the ‘‘New’: What Constitutes a New Party?, Party Politics, 17, 3 (2010). Bolin, Niklas. “New Party Entrance – Analyzing the Impact of Political Institutions”, Umeå Working Papers in Political Science, Department of Political Science, Umeå University, Umeå, Sweden, No. 2 (2007).

Bolin, Niklas. New Party Parliamentary Entry in Western Europe, 1960-2010, European Journal of Government and Economics, Volume 3, Number 1 (2014).

Bolleyer, Nicole and Evelyn Bytzek. New Party Performance after Breakthrough: Party Origin, Building and Leadership, Party Politics (2006). Fionna, Ulla. The Trap of Pop-Charisma for the Institutionalization of Indonesia’s Post-Suharto Parties, Asian Journal of Political Science (2016).

Haris, Syamsuddin, dkk. Pemilu Nasional Serentak 2019, Position Paper, Electoral Research Institute-Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. 2015.

Harmel, Robert and John D. Robertson. Formation and Success of New Parties : A Cross-National Analysis, International Political Science Review, Vol 6, No. 4 (1985). Harmel, Robert and Lars Svasand. Party Leadership and Party Institutionalisation: Three Phases of Development, West European Politics, 16, 2 (2007).

Harmel, Robert. On the Study of New Parties, International Political Science Review, Vol 6, No. 4 (1985).

Ignazi, Piero. The Crisis of Parties and the Rise of New Political Parties, Party Politics, Vol. 2. No. 4 (1996).

Johnson Tan, Paige. Indonesia Seven Years after Soeharto: Party System Institutionalization in a New Democracy, Contemporary Southeast Asia, Vol. 28, No. 1 (2006). Lago, Ignacio and Ferran Martínez, Why New Parties?, Party Politics, Vol. 17, No. 1 (2011).

Lucardie, Paul. Prophets, Purifiers and Prolocutors: Towards a Theory on the Emergence of New Parties, Party Politics, Vol. 6. No.2 (2000).

Poguntke, Thomas. New Politics and Party Systems: The Emergence of a New Type of Party?, West European Politics, 10, 1 (1987).

Sikk, Allan. Newness as a Winning Formula for New Political Parties, Party Politics, 18, 4 (2011). Tavits, Margit. Party System Change: Testing a Model of New Party Entry, Party Politics, Vol.12, No. 1 (2006)..

Ufen, Andreas. Political Parties in Post-Suharto Indonesia: Between politik aliran and ’Philippinisation’, GIGA Working Papers, No. 37, GIGA German Institute of Global and Area Studies, 2006.

Vittorio Caprara, Gian. “The Personalization of Modern Politics”, European Review, Vol. 15, No. 2 (2007).

Page 100: KONSTELASI POLITIK DI TAHUN ELEKTORAL

212 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 15 No. 2 Desember 2018 | 197–213

Zúborová, Viera. Newcomers in Politics? the Success of New Political Parties in the Slovak and Czech Republic after 2010?, Baltic Journal of Law and Politics, 8, 2 (2015).

Sumber Cetak dan Online Alfian, Alfan. Mengapa Parpol Baru?, Harian

Kompas, 27 Agustus 2015.Detik.com, “Seluruh Keluarga Cendana Akhirnya

Berlabuh di Partai Berkarya”, 21 Juli 2018, dalam https://news.detik.com/berita/4125828/seluruh-keluarga-cendana-akhirnya-berlabuh-di-partai-berkarya. Detik.com, “Tak Dukung Satupun Capres Partai Garuda: Kami Fokus di Pileg”, 11 Agustus 2018 dalam https://news.detik.com/berita/4162036/tak-dukung-satu-pun-capres-partai-garuda-kami-fokus-di-pileg. Era.id, “Beragam Alasan Orang Memilih Partai”, 21 Mei 2018 dalam https://www.era.id/read/OYUVX3-beragam-alasan-orang-memilih-partai.

Hanan, Djayadi. Efek Ekor Jas, Harian Kompas, 8 Februari 2018.

Hanan, Djayadi. Berebut Milenial, Harian Kompas, 28 Agustus 2018.

Https://psi.id/berita/content/cita-cita-psi/. Https://www.berkarya.id/kepartaian.php#main.Https://partaiperindo.com/?p=56358. Https://

partaiperindo.com/?p=42320.Idntimes.com, “Mengenal Perindo Partai Baru

Peserta Pemilu”, 3 Maret 2018 dalam https://www.idntimes.com/news/indonesia/teatrika/mengenal-perindo-partai-baru-peserta-pemilu-1/full.

Idntimes.com, “Mengenal Partai Garuda Partai yang Digerakkan Millenials”, 6 Maret 2018 dalam https://www.idntimes.com/news/indonesia/vanny-rahman/mengenal-partai-garuda-partai-yang-digerakkan-millennials-1/full.

Idntimes.com, “Semua Hal Tentang Berkarya Partai Baru Bagi Yang Rindu Orde Baru”, 3 Maret 2018 dalam https://www.idntimes.com/news/indonesia/linda/semua-hal-tentang-berkarya-partai-baru-bagi-yang-rindu-orde-baru-1/full.

Katadata.co, “Lebih Dari Separuh Caleg PSI Dari Kalangan Muda Profesional”, 17 Juli 2018 dalam https://katadata.co.id/berita/2018/07/17/lebih-dari-separuh-caleg-psi-dari-kalangan-muda-profesional.

Khaliq Ahmad, Abdul “Mengenal Platform Partai Perindo”, 6 Februari 2015, dalam https://nasional.sindonews.com/read/960819/18/mengenal-platform-partai-perindo-1423193546/.

Kompas.id, “Kursi DPR menjadi 575”, 31 Mei 2017, dalam https://kompas.id/baca/polhuk/politik/2017/05/31/kursi-dpr-menjadi-575/.

Kompas.com, “Partai Perindo dan Penantiannya d i Pemilu 2019”, 22 Februar i 2018 da lam h t tps : / /nas iona l .kompas .com/read/2018/02/22/08292081/partai-perindo-dan-penantiannya-di-pemilu-2019.

Kompas.com, PSI, Grace Natalie dan Citra Partai Anak Muda”, 22 Februari 2018 dalam https://nasional.kompas.com/read/2018/02/22/12132451/psi-grace-natalie-dan-citra-partai-anak-muda.

Kompas.com, “Berkarya Anggap Sistem Pemerintahan Soeharto dan Orde Baru Masih Relevan”, 15 Juli 2018 dalam https://nasional.kompas.com/read/2018/07/15/15140461/berkarya-anggap-sistem-pemerintahan-soeharto-dan-orde-baru-masih-relevan.

Kompas.com, Garuda Partai Baru yang Memulai Jejak Perdananya di Pemilu 2019”, 21 Februari 2018 dalam https://nasional.kompas.com/read/2018/02/21/16125861/garuda-partai-baru-yang-memulai-jejak-perdananya-di-pemilu-2019.

Kompas.com, “Deretan Caleg Partai Berkarya dari Keluarga Cendana Hingga Artis Lawas”, 18 Juli 2018 dalam https://nasional.kompas.com/read/2018/07/18/05442281/deretan-caleg-partai-berkarya-dari-keluarga-cendana-hingga-artis-lawas.

Kompas.id, “Menakar Dampak Ekor Jas Ke Elektabilitas”, 12 Agustus 2018 dalamhttps://kompas.id/baca/polhuk/2018/08/12/menakar-dampak-ekor-jas-ke-elektabilitas/.

Kumparan.com, “Mengenal PSI Partai Milenial Peserta Baru di Pemilu 2019”, 19 Februari 2018 dalam https://kumparan.com/@kumparannews/mengenal-psi-partai-milenial-peserta-baru-di-pemilu-2019.

Kumparan.com, “Partai Garuda Bergerak dalam Senyap”, 19 Februari 2019 dalam https://kumparan.com/@kumparannews/partai-garuda-bergerak-dalam-senyap-untuk-bersaing-di-2019.

Kumparan.com, “PSI Fokus Kampanye di Media Sosial Demi Dulang Suara di Pileg 2019”, 19 Februari 2018 dalam https://kumparan.com/@kumparannews/psi-fokus-kampanye-di-media-sosial-demi-dulang-suara-di-pileg-2019.

Kumparan.com, “Strategi Partai Garuda Dongkrak Popularitas Siapkan Program Rakyat”, 19 Februari 2018 dalam https://kumparan.com/@kumparannews/strategi-partai-garuda-dongkrak-popularitas-siapkan-program-rakyat.

Page 101: KONSTELASI POLITIK DI TAHUN ELEKTORAL

Kemunculan dan Tantangan Partai Politik Baru Pemilu 2019 | Ridho Imawan Hanafi | 213

Liputan6.com, “Partai Berkarya Parpol Baru Rasa Era Soeharto”, 26 Agustus 2018 dalam https://www.liputan6.com/pileg/read/3628248/partai-berkarya-parpol-baru-rasa-era-soeharto. Okezone.com, “Harry Tanoe Caleg Perindo Punya Latar Belakang yang Beragam”, 17 Juli 2018 dalam https://news.okezone.com/read/2018/07/17/606/1923563/hary-tanoe-caleg-perindo-punya-latar-belakang-yang-beragam.

Okezone.com, “Dukung Jokowi-Ma’ruf Perindo Terus Gaungkan Persatuan dan Kesatuan Indonesia”, 10 Agustus 2018 dalam https://news.okezone.com/read/2018/08/10/605/1934595/dukung-jokowi-ma-ruf-perindo-terus-gaungkan-persatuan-dan-kesatuan-indonesia.

PSI.id, “Pembentukan Partai PSI Berawal dari Obrolan di Kafe”, 26 Februari 2018 dalam https://psi.id/berita/2018/02/26/pembentukan-partai-psi-berawal-dari-obrolan-di-kafe/.

Republika.co.id, Partai Berkarya Fokus Kembangkan Teknologi Pertanian”, 12 Maret 2018 dalam https://www.republika.co.id/berita/nasional/politik/18/03/12/p5g4ww328-partai-berkarya-fokus-kembangkan-teknologi-pertanian.

Tempo.co.id, “Empat Partai Baru di Pemilu 2019”, 19 Februari 2018 dalam https://nasional.tempo.co/read/1062006/empat-partai-baru-di-pemilu-2019-dan-kekuatan-pendirinya/full&view=ok.

Tempo.co, ”, “Partai Berkarya Adopsi Program Soeharto Jaring Suara Pemilu 2019”, 16 Juni 2018 dalam https://nasional.tempo.co/read/1098518/partai-berkarya-adopsi-program-soeharto-jaring-suara-pemilu-2019/full&view=ok.

Tirto.id, “Menancapkan Mars Perindo Lewat Stasiun TV Miliki Pribadi”, 15 Februari 2006 dalam https://tirto.id/menancapkan-mars-perindo-lewat-stasiun-tv-milik-pribadi-nn.

Tirto.id, “Strategi Partai-Partai Baru Lolos Ambang Batas Parlemen”, 25 Februari 2018 dalam https://tirto.id/strategi-partai-partai-baru-lolos-ambang-batas-parlemen-cFjt.

Tirto.id, “Metamorfosis Partai Garuda Dari Harmoko ke Big Data”, 20 Juni 2018 dalam https://tirto.id/metamorfosis-partai-garuda-dari-harmoko-ke-big-data-cMzw.

Tirto.id, “Saat Jaringan Pedagang Ingin Punya Partai Lahirlah Partai Garuda,” 20 Juni 2018, dalam https://tirto.id/saat-jaringan-pedagang-ingin-punya-partai-lahirlah-partai-garuda-cMzx.

Tirto.id, “PSI Ungkap Alasan Tetap Dukung Jokowi Meski Cawapres Bukan Mahfud”, 11 Agustus 2018 dalam https://tirto.id/psi-ungkap-alasan-tetap-dukung-jokowi-meski-cawapres-bukan-mahfud-cRNg..

Tribunnews.com, “Partai Garuda Terapkan Strategi Politik Gerilya Sunyi”, 20 Februari 2018 dalam http://www.tribunnews.com/nasional/2018/02/20/partai-garuda-terapkan-strategi-politik-gerilya-sunyi?page=all.

Viva.co.id, “Alasan Partai Berkarya Dukung Prabowo Sandi”, 10 Agustus 2018 dalam https://www.viva.co.id/berita/politik/1063643-alasan-partai-berkarya-dukung-prabowo-sandi.

Page 102: KONSTELASI POLITIK DI TAHUN ELEKTORAL
Page 103: KONSTELASI POLITIK DI TAHUN ELEKTORAL

Konstituensi dalam Persepsi Wakil di tingkat Lokal ... | Sri Budi Eko Wardani | 215

KONSTITUENSI DALAM PERSEPSI WAKIL DI TINGKAT LOKAL ERA REFORMASI

CONSTITUENCY IN THE PERCEPTION OF REPRESENTATIVES AT THE LOCAL LEVEL DURING INDONESIA’ REFORM ERA

Sri Budi Eko Wardani

Departemen Ilmu Politik, FISIP Universitas IndonesiaEmail: [email protected]

Diterima: 18 September 2018; Direvisi: 6 Oktober 2018; Disetujui: 30 Desember

Abstract

The implementation of an open proportional election system since the 2009 election has brought changes to the relationship in political representation after the New Order. A shift in the representatives’ perception towards the constituent occurred. Constituency which was once only a formality became political due to the representative’s interest in the upcoming election. On the basis of assumption, this interest would later on influence the actions of the representative. Therefore, this article is centered on the constituent-representative relationship during the reformation era and uses case study representatives of the Banten Province House of Representative (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah or DPRD) 2014-2019 period. This study uses Richard Fenno’s Concentric Circles of Constituency Theory, as well as Hanna Pitkin’s Representation Theory.

Key words: representation, representative, constituent

Abstrak

Sistem pemilu proporsional terbuka yang diterapkan sejak Pemilu 2009 membawa perubahan dramatis pada hubungan representasi politik pasca-Orde Baru. Terjadi perubahan dalam persepsi wakil terhadap konstituen dari sekadar formalitas menjadi politis untuk kepentingan pemilu berikutnya. Persepsi terhadap konstituen memengaruhi tindakan wakil di daerah pemilihan. Tulisan ini fokus pada persepsi wakil terhadap konstituen di tingkat lokal era reformasi, dengan studi kasus Anggota DPRD Banten 2014-2019, serta menggunakan teori lingkaran konsentrik konstituensi dari Richard Fenno, dan teori representasi yang merujuk pada Hanna Pitkin.

Kata Kunci: representasi, wakil, konstituen

PendahuluanSistem pemilu proposional terbuka dengan suara terbanyak yang diterapkan pertama kali pada Pemilu 2009 membawa perubahan dramatis pada hubungan representasi politik di Indonesia pasca-Orde Baru. Ada sejumlah fenomena yang menandai perubahan tersebut. Penerapan sistem pemilu proporsional terbuka dalam pemilu-pemilu reformasi telah mendorong tingginya

persaingan antarcalon anggota legislatif (caleg) khususnya di internal partai politik untuk meraih suara terbanyak. Hal itu disebabkan keterpilihan caleg menduduki kursi legislatif yang dimenangkan partainya ditentukan oleh perolehan suara terbanyak. Undang-undang tentang pemilihan umum legislatif mengatur bahwa kursi yang diperoleh suatu partai politik di suatu daerah pemilihan (dapil) akan diisi oleh

Page 104: KONSTELASI POLITIK DI TAHUN ELEKTORAL

216 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 15 No. 2 Desember 2018 | 215–231

caleg peraih suara terbanyak dari daftar calon partai bersangkutan. Selain itu pemilih dapat mencoblos nama caleg di surat suara, sehingga terbuka kemungkinan pemilih untuk memberikan suaranya langsung pada caleg yang dipilihnya daripada mencoblos tanda gambar partai. Pengenalan dan kedekatan pemilih terhadap caleg di daerahnya mulai dibangun sejak masa pemilu, sehingga berpotensi mengubah relasi pascapemilu dengan caleg yang terpilih.

Pemilih yang dapat memilih langsung caleg pada surat suara merupakan terobosan besar bagi partisipasi pemilih setelah mengalami mobilisasi yang panjang selama era Orde Baru. Ungkapan “membeli kucing dalam karung” pada pemilu-pemilu Orba merupakan gambaran pemilih yang tidak mengenal caleg-caleg yang diajukan oleh partai politik yang mereka pilih. Pemilih mencoblos partai tanpa kenal latar belakang dan rekam jejak caleg yang ditawarkan oleh partai peserta pemilu. Hal itulah yang diubah pada pemilu era reformasi. Sebelum memberikan suara, pemilih memiliki akses seluas-luasnya untuk mengenal dan mengetahui rekam jejak para caleg yang dicalonkan untuk daerahnya.

Ternyata keinginan pemil ih untuk menggunakan hak pilihnya dan memilih langsung caleg yang diinginkannya relatif tinggi. Data KPU RI menunjukkan tingkat partisipasi pemilih relatif tinggi, walaupun tidak setinggi pemilu-pemilu Orde Baru yang mencapai 90%. Pada Pemilu 2014, dari total jumlah pemilih sebanyak 185.827.987 orang, yang menggunakan hak pilih atau memberikan suara di TPS sebanyak 124.885.737 pemilih atau 75,11%. Jumlah pemilih laki-laki dan perempuan berimbang (laki-laki: 93.060.494, perempuan: 92.767.493). Tingkat partisipasi pemilih yang rata-rata 75% tersebut dapat dikatakan cukup tinggi karena praktik mobilisasi politik oleh kekuatan rezim pemerintah dengan menggunakan birokrasi dan militer sangat jauh berkurang. Partisipasi pemilih juga ditunjukkan dengan relatif tingginya keinginan pemilih untuk langsung memilih caleg yang mereka inginkan. Data hasil Pemilu 2014 yang diolah Puskapol UI memperlihatkan fenomena bahwa pemilih yang memberikan suaranya dengan mencoblos nama caleg lebih banyak daripada yang memberikan suara untuk

partai politik. Perbandingannya 70% suara untuk caleg, dan 30% suara untuk partai politik.1

Persaingan antarcaleg sesama partai seperti itu tidak ditemukan pada pemilu-pemilu Orde Baru yang menggunakan sistem proporsional tertutup di mana pemilih mencoblos tanda gambar partai saja. Keterpilihan caleg ditentukan oleh nomor urut dalam daftar caleg. Caleg yang berada di urutan atas (dikenal dengan nomor jadi) dipastikan terpilih daripada yang berada di urutan bawah (istilahnya nomor sepatu). Oleh karenanya penempatan nomor urut caleg pada urutan atas menjadi hal yang sangat penting. Jadi persaingan antarcaleg justru terjadi pada saat penentuan nomor urut caleg oleh pimpinan partai politik, dan biasanya yang memiliki hubungan dekat dengan elite partai dan rezim akan lebih berpeluang ditempatkan pada urutan atas (nomor jadi). Maka keterpilihan caleg sebenarnya sudah dapat diprediksi sejak penetapan nomor urut caleg.

Masalah penempatan nomor urut caleg yang dikaitkan dengan peluang untuk terpilih pada sistem proporsional terbuka, relevan untuk dicermati. Idealnya, sistem pemilu proporsional terbuka memberikan peluang yang sama di antara caleg dalam bersaing meraih suara sebanyak-banyaknya. Sekalipun UU Pemilu mengatur penyusunan daftar calon berdasarkan nomor urut, yang berarti penentuan nomor urut masih merupakan kewenangan partai politik. Data KPU RI menunjukkan adanya dominasi nomor urut satu dalam keterpilihan caleg, walaupun tetap ada sejumlah caleg di urutan bawah yang berhasil terpilih dengan suara terbanyak. Hal ini mempertegas tingginya persaingan antarcaleg sesama partai untuk merebut suara terbanyak.

1 Puskapol UI mempublikasikan rilis media tentang “Analisis Perolehan Suara dalam Pemilu 2014: Oligarki Politik Dibalik Keterpilihan Caleg Perempuan”, di Jakarta pada 14 Mei 2014, yang salah satu hasilnya adalah suara pemilih untuk total caleg lebih banyak daripada suara pemilih yang mencoblos partai politik. Rilis dapat diunduh di www.puskapol.ui.ac.id.

Page 105: KONSTELASI POLITIK DI TAHUN ELEKTORAL

Konstituensi dalam Persepsi Wakil di tingkat Lokal ... | Sri Budi Eko Wardani | 217

Perubahan berikutnya adalah caleg harus turun langsung menemui calon pemilih di dapilnya untuk mengampanyekan diri dan program kerja mereka. Caleg yang tidak aktif turun ke dapilnya maka tidak akan dikenal dan peluang keterpilihannya dipastikan rendah. Untuk itu caleg tidak bisa hanya mengandalkan partai saja. Caleg harus merancang dan menyiapkan strategi kampanye agar dapat bersaing. Sebaliknya pada pemilu Orde Baru, peran partai lebih dominan untuk memenangkan kursi legislatif. Para caleg memang ikut berkampanye bersama partai tetapi bentuk kampanyenya bersifat massal dan terbuka (bukan individual). Kampanye pada pemilu Orde Baru lekat dengan pawai arak-arakan pengerahan massa. Maka wakil terpilih tidak merasa perlu untuk membangun hubungan politik dan emosional dengan konstituennya. Pengelolaan hubungan itu menjadi tanggung jawab partai. Ada keterputusan hubungan antara wakil dengan konstituen, bahkan bisa jadi wakil setelah terpilih tidak pernah turun ke dapilnya,

mereka lebih banyak mengalokasikan waktunya untuk aktivitas di gedung parlemen.

Konsekuensi dari persaingan antarcaleg, dan caleg harus turun ke dapil untuk merebut simpati pemilih, adalah besarnya biaya politik yang dibutuhkan tiap caleg. Masalah biaya politik ini memang paling dirasakan sebagai dampak penerapan sistem proporsional terbuka. Biaya politik caleg menjadi beban yang ditanggung oleh caleg masing-masing, dan kebanyakan tanpa dukungan partai. Biaya politik yang lazim dikeluarkan seperti membiayai pertemuan-pertemuan tatap muka untuk sosialisasi diri dengan calon pemilih pada masa kampanye, semakin banyak pertemuan dengan masyarakat maka biaya yang dikeluarkan pun makin banyak. Disamping itu menjadi kelaziman di masyarakat bahwa mereka cenderung memberi dukungan pada caleg yang lebih “royal” dalam memberikan bantuan, baik uang maupun barang. Politik uang pun semakin marak pada masa kampanye pemilu, terutama yang paling dirasakan adalah

Tabel 1. Nomor Urut Caleg Terpilih Hasil Pemilu 2014

Sumber: Diolah dari KPU RI, Data and Infographics Book: 2014 Legislative and Presidential Election, 2017

Partai Politik Nomor Urut Caleg Terpilih DPR RI 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

1. NASDEM 35 kursi

28 4 - - - - 1 1 - 1

2. PKB 47 kursi

33 8 2 2 - - - 2 - -

3. PKS 40 kursi

32 4 1 2 1 - - - - -

4. PDI-P 109 kursi

59 18 8 10 5 3 4 1 1 -

5. GOLKAR 91 kursi

50 21 3 2 9 3 2 1 - -

6. GERINDRA 73 kursi

48 9 1 6 1 4 - - 2 2

7. DEMOKRAT 61 kursi

28 13 6 1 2 2 5 1 2 1

8. PAN 49 kursi

33 10 1 2 1 1 - 1 - -

9. PPP 39 kursi

30 4 2 1 - 2 - - - -

10. HANURA 16 kursi

7 4 1 1 1 - - - - 2

Page 106: KONSTELASI POLITIK DI TAHUN ELEKTORAL

218 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 15 No. 2 Desember 2018 | 215–231

bentuk-bentuk pembelian suara (vote buying) pada masa tenang sampai hari pemungutan suara. Hal inilah yang memicu persaingan antarcaleg menjadi berbiaya tinggi.

Kecenderungan praktik politik uang memang meningkat pada pemilu-pemilu reformasi. Indonesia Corruption Watch (ICW) yang melakukan pemantauan politik uang mencatat tren politik uang yang meningkat dari pemilu ke pemilu di era reformasi. Dari Pemilu 1999 sebanyak 62 kasus, lalu naik menjadi 113 kasus pada Pemilu 2004. Pada dua pemilu terakhir trennya semakin meningkat, yaitu 150 kasus pada Pemilu 2009 lalu naik dua kali lipat temuan kasus politik uang pada Pemilu 2014 yaitu 313 kasus.2 Pada pemilu legislatif 2014, ICW melakukan pemantauan di 15 provinsi dengan hasil pemantauan antara lain: (1) Banten merupakan daerah yang paling banyak temuan pelanggaran kecurangan politik uang di tingkat kabupaten/kota dengan kisaran Rp 5 ribu hingga Rp 50.000 dari 15 provinsi yang dipantau; (2) aktor pelaku politik uang lebih didominasi oleh caleg (170 kasus), tim sukses caleg (107 kasus), dan aparat pemerintah setempat (24 kasus).

Di sisi lain, pemilu-pemilu Orde Baru boleh jadi memang tidak berbiaya politik tinggi yang harus dipikul oleh caleg, tetapi biaya politik dalam bentuk lain yaitu mobilisasi politik rakyat melalui kebijakan-kebijakan pemerintah untuk memenangkan partai pemerintah (dalam hal ini adalah Golongan Karya sebagai mesin politik rezim Orde Baru). Misalnya kebijakan monoloyalitas pegawai negeri sipil (PNS) hanya pada pemerintah sehingga PNS harus memberikan suaranya pada Golkar sebagai partai pemerintah. Kebijakan massa mengambang yang melarang partai politik untuk beraktivitas di tingkat desa (akar rumput) dengan alasan menyebabkan ketidakstabilan politik di masyarakat. Partai politik hanya diperbolehkan membuka cabang hingga kabupaten/kota, tetapi Golkar diizinkan beraktivitas hingga ke desa-desa karena dianggap bukan partai politik melainkan organisasi sosial politik (orsospol). Kebijakan sistematis dan terstruktur seperti itulah yang mampu menopang

2 Redaksi, “Praktik Politik Uang dalam Pileg 2014 masif”, “: http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5354fb0073589/praktik-politik-uang-dalam-pileg-2014-masif, diakses pada 10 Oktober 2017.

rezim Orde Baru bertahan melalui kemenangan mutlak Golkar selama 6 kali pemilu berturut-turut (1971 hingga 1997).

Perubahan-perubahan dramatis dalam penataan sistem pemilu proporsional dari tertutup (Orde Baru) menjadi terbuka (Reformasi) membawa konsekuensi pada kondisi hubungan wakil rakyat yang terpilih dan konstituen di dapilnya. Fase setelah pemilu hingga pemilu berikutnya menjadi fase yang harus dikelola wakil di dapilnya. Wakil sangat berkepentingan untuk terus memelihara dukungan politik konstituennya agar dapat memenangkan pemilu kembali. Dengan demikian perjuangan di dapil tidak berhenti setelah wakil terpilih dalam pemilu kemudian beraktivitas di gedung parlemen. Penyerapan aspirasi dan perjuangan kepentingan konstituen menjadi hal yang harus dikelola secara berkesinambungan oleh wakil di dapil. Inilah realitas hubungan representasi politik era reformasi di mana wakil harus menunjukkan performanya dalam tiga ranah: partai politik untuk menjaga pencalonannya pada pemilu berikutnya; pelaksanaan fungsi legislasi, anggaran dan pengawasan di parlemen; dan memelihara dukungan konstituennya untuk kepentingan politik wakil ke depan.

Merujuk pada serangkaian perubahan dramatis pascapenerapan sistem proporsional terbuka dengan keterpilihan caleg berdasarkan suara terbanyak, menunjukkan posisi konstituen sangat krusial bagi wakil dalam pemenuhan kepentingan politiknya. Krusialnya posisi konstituen tersebut menjadi bagian integral dalam penataan sistem perwakilan politik pasca-Orde Baru untuk mengoreksi kesenjangan hubungan dalam representasi politik. Kegiatan wakil menyerap aspirasi konstituen, kemudian wakil bertanggung jawab secara moral dan politik terhadap konstituen di daerah pemilihannya, diformalkan dalam peraturan perundang-undangan.3 Maka hubungan wakil dan konstituen diharapkan tidak lagi sekadar formalitas. Wakil dan konstituen sama-sama berkepentingan terhadap terjaganya hubungan tersebut. Wakil demi menjaga kepentingan dan karier politiknya sebagai wakil terus berlanjut, sedangkan

3 Lihat UU Nomor 17 tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (biasa disingkat UU MD3).

Page 107: KONSTELASI POLITIK DI TAHUN ELEKTORAL

Konstituensi dalam Persepsi Wakil di tingkat Lokal ... | Sri Budi Eko Wardani | 219

konstituen berkepentingan terjaganya akses pada pemenuhan aspirasi yang dialokasikan melalui wakil. Relasi seperti inilah yang mengubah secara empirik hubungan wakil dan konstituen di era reformasi, termasuk di tingkat lokal.

Tulisan ini merupakan hasil penelitian untuk merekam perubahan empiris dalam hubungan wakil dan konstituen di tingkat lokal, khususnya apa yang dipersepsikan wakil ketika mereka melihat konstituensi, dengan studi kasus enam orang anggota DPRD Banten 2014-2019. Ada sejumlah alasan yang melatarbelakangi fokus studi pada tingkat lokal, dan khususnya Banten dipilih sebagai lokasi penelitian. Dalam konteks Indonesia era reformasi, membahas hubungan representasi politik di tataran lokal lebih strategis disebabkan adanya kedekatan jarak geografis, kultur, politik, dan emosional, serta ruang lingkup aspirasi yang dapat dibangun wakil di daerah pemilihannya. Aksesibilitas wakil untuk menjangkau konstituen lebih tinggi, demikian sebaliknya, sehingga frekuensi interaksi dengan konstituen dapat lebih intens. Sementara dari aspek ruang lingkup aspirasi, anggota DPRD membahas isu-isu kebijakan yang dekat dengan permasalahan keseharian masyarakat sehingga (seharusnya) dapat direspons secara cepat pula. Maka derajat keterwakilan politik di tingkat lokal (DPRD) dapat dikatakan lebih tinggi dibandingkan tingkat nasional (DPR).

Jejaring relasi politik di tingkat lokal juga berpotensi lebih kompleks karena menyangkut hal-hal seperti dinamika perpolitikan lokal, kekerabatan politik, hubungan kelembagaan DPRD dan pemerintah daerah, serta alokasi dan distribusi sumber daya yang umumnya dibebankan pada wakil di tingkat lokal untuk kelangsungan kepentingan kekuatan partai politik dari pemilu ke pemilu. Terlebih dalam sistem proporsional terbuka dan multipartai maka persaingan sesama caleg akan lebih ketat untuk memenangkan kursi yang diperebutkan di suatu dapil. Posisi wakil di tingkat lokal sangat strategis dalam menggalang dukungan politik di tingkat akar rumput yang selama puluhan tahun Orde Baru mengalami depolitisasi.

Isu kelembagaan DPRD dalam pemerintahan daerah juga memiliki pengaruh pada hubungan wakil dan konstituen, khususnya dalam hal

penyerapan dan perjuangan aspirasi konstituen. DPRD adalah badan perwakilan rakyat dengan fungsi-fungsi utama yaitu legislasi, anggaran, dan pengawasan, serta melekat pula sejumlah hak yang dijamin UU. DPRD tidak memiliki hubungan subordinasi dan koordinasi dengan DPR, tetapi justru dengan pemerintah pusat melalui Kementerian Dalam Negeri. DPRD harus bekerjasama dengan eksekutif daerah (kepala daerah dan birokrasinya) dalam rangka pembangunan daerah. Sementara itu, anggota DPRD adalah juga anggota partai politik yang memiliki kepentingan politik baik untuk dirinya sendiri (terpilih lagi) maupun untuk partainya (memenangkan pemilu). Jalinan relasi kuasa seperti ini menempatkan anggota DPRD pada segitiga kepentingan (pusat – daerah – partai), yang kemudian muaranya pada dukungan konstituen untuk menjamin semua kepentingan tersebut terpenuhi. Operasionalisasi bekerjanya semua kepentingan tersebut diduga akan tecermin pada relasi dan persepsi yang dibangun anggota DPRD terhadap konstituennya. Dengan demikian kepentingan konstituen juga harus diakomodasi oleh wakil agar relasi tersebut dapat berjalan.

Penelitian yang bertujuan untuk mengetahui persepsi wakil terhadap konstituennya ini dilakukan dengan metode kualitatif. Mengutip John Creswell bahwa riset kualitatif secara fundamental adalah interpretatif. Artinya peneliti dalam riset kualitatif membuat penafsiran atas data yang dikumpulkan, meliputi: membangun dan mengembangkan deskripsi atas individu atau lokasi yang ditetapkan, menganalisis data berdasarkan tema atau kategori, dan kemudian membuat interpretasi atau kesimpulan tentang pemahaman atas fenomena yang diteliti secara personal dan secara teori, menyatakan pembelajaran (lesson learned), serta bisa menawarkan pertanyaan-pertanyaan riset lanjutan.4

Pada dasarnya pengumpulan data untuk penelitian ini dibagi atas dua kategori yaitu studi dokumen dan wawancara mendalam. Studi dokumen dalam riset kualitatif bertujuan mengumpulkan data sekunder untuk membangun

4 John W. Creswell, Research Design: Qualitative, Quantitative, and Mixed Methods Approaches, Edisi Kedua, (Sage Publication, 2002), hlm. 20-21.

Page 108: KONSTELASI POLITIK DI TAHUN ELEKTORAL

220 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 15 No. 2 Desember 2018 | 215–231

penafsiran dan mendeskripsikan obyek yang diamati (individu, lokasi). Informan utama riset ini adalah anggota DPRD maka data pemilu seperti daerah pemilihan, perolehan suara caleg, perolehan suara partai politik, dan sebagainya dibutuhkan peneliti untuk mendeskripsikan performa informan dalam pemilu.

Persepsi Wakil Terhadap Konstituen dalam Perspektif Teori Isu utama dalam representasi politik adalah hubungan antara wakil dan yang diwakili. Teori-teori representasi politik pada dasarnya berusaha menjelaskan seluk beluk bagaimana kepentingan yang diwakili (principal) dapat dihadirkan dalam proses politik oleh wakil (agent). Secara sederhana representasi dikaitkan dengan kehadiran dan ketidakhadiran. Tugas wakil adalah menghadirkan kepentingan konstituennya dalam proses politik pengambilan kebijakan. Maka menjelaskan bentuk-bentuk hubungan wakil dan yang diwakili menjadi fokus utama dalam teori-teori representasi politik.

Model standar hubungan representasi politik yang sederhana adalah principal – agent yang mengambil analogi dari firma hukum yaitu hubungan antara pengacara dan klien. Monica Viera dan David Runciman dalam bukunya Representation (2008) menjelaskan tentang model-model representasi yang awalnya berkembang dari model sederhana tersebut. Menurut keduanya, representasi sangat kompleks karena representasi bisa dipahami sebagai kewenangan (authorization), kepercayaan (trusteeship), dan identitas (identity).5 Hubungan representasi – wakil dan yang diwakili -- tidak selalu dalam arah yang tunggal atau satu arah, yaitu kepentingan prinsipal pada tindakan wakil. Hubungan juga bisa dalam dua arah, yakni dari prinsipal kepada agen, membentuk dan menyepakati wewenang agen, dan dari agen kembali ke prinsipal membentuk tanggung jawab yang harus dipikul prinsipal atas tindakan agen. Representasi bisa dipahami dari aspek kepercayaan di mana wakil adalah orang yang dipercaya oleh yang diwakili sehingga mereka

5 Monica Viera & David Runciman, Representation, (Cambrige: Polity Press, 2008), hlm 37-38.

menyerahkan keputusan dan tindakan terbaik pada wakil. Wakil bebas menentukan yang terbaik bagi yang diwakilinya. Konstituen dianggap sebagai kelompok tidak terorganisasi sehingga wakil yang harus bisa menafsirkan dan memutuskan untuk kepentingan konstituennya. Representasi dari aspek otoritas dan kepercayaan cenderung berbasis pada wilayah/teritorial, yaitu wakil mewakili konstituen yang dibatasi secara kewilayahan. Hal berbeda jika dipahami dari perspektif identitas yang tidak dibatasi oleh ruang lingkup wilayah semata.

Berbagai kajian tentang representasi politik pada dasarnya membahas mengenai wakil (agent, representative, legislator). Dalam konteks demokrasi prosedural, representasi mengacu pada orang-orang yang dicalonkan partai politik, kemudian dipilih rakyat melalui pemilihan umum dan karenanya memiliki otoritas bertindak atas nama rakyat yang diwakili dalam pengambilan kebijakan di lembaga legislatif. Perdebatan tentang tindakan dan akuntabilitas wakil menghasilkan dua teori klasik dalam representasi yaitu teori mandat dan teori independen.

Wakil diibaratkan servant (pelayan) yang melayani kepentingan principal dalam pandangan teori mandat, sehingga wakil tidak boleh menyimpang dari instruksi principal dan harus berkonsultasi atas tindakan-tindakan yang diambilnya. Representasi dipahami sebagai wakil bertindak seolah-olah jika konstituen yang bertindak sendiri. Wakil kepanjangan tangan dari yang diwakili, tidak otonom dalam tindakannya. Sedang bagi teori independen, wakil merupakan representative yang memiliki kewenangan menafsirkan dan mencari cara terbaik bagi kesejahteraan konstituen sehingga wakil harus diberi keleluasaan dalam bertindak dan mengambil keputusan. Bukan representasi jika wakil bertindak ‘hanya’ berdasarkan instruksi yang dikehendaki konstituen karena representasi maknanya adalah seorang wakil yang bertindak, bukan konstituen yang bertindak. Pada praktik representasi, teori independen lebih dominan karena ruang lingkup perwakilan yang makin luas dan kompleks. Kontroversi teori mandat (delegasi) dan independen (trustee) dibahas khusus dalam buku Hanna Pitkin -- profesor ilmu politik dari University of California (AS)

Page 109: KONSTELASI POLITIK DI TAHUN ELEKTORAL

Konstituensi dalam Persepsi Wakil di tingkat Lokal ... | Sri Budi Eko Wardani | 221

-- yang merupakan rujukan penting dalam teori representasi politik yaitu The Concept of Representation.6

Hanna Pitkin menawarkan definisi r ep r e sen t a s i yang d ipahami s ebaga i ‘menghadirkan sesuatu yang tidak hadir secara harfiah’ (the making present of something which is nevertheles not literally present). Definisi tersebut memberikan otoritas bagi wakil untuk membawakan aspirasi konstituen yang tidak hadir secara fisik dalam pengambilan keputusan, namun terpengaruh oleh keputusan yang diambil tersebut. Wakil menafsirkan apa yang menjadi kepentingan atau aspirasi konstituennya untuk diperjuangkan dalam forum pengambilan keputusan di legislatif. Pitkin menyimpulkan bahwa representasi tidak memiliki pengertian yang tetap/baku (we might conclude that representation has no fixed meaning).7 Representasi bermakna ambigu karena dapat digunakan untuk berbagai hubungan. Representasi eksis jika dan hanya jika masyarakat percaya akan hal itu. Dengan demikian memahami representasi melalui hubungan wakil dan konstituen menjadi isu yang krusial.

Riset ilmu politik yang melihat hubungan wakil dan konstituen secara empirik melalui observasi terhadap sejumlah anggota Kongres Amerika Serikat (AS) dilakukan oleh Richard Fenno selama kurang lebih dua tahun (1977-1978). Hasil kajian Fenno menghasilkan teori mengenai persepsi wakil terhadap konstituen yang disebut dengan “Lingkaran konsentrik konstituensi”, dan aktivitas wakil di daerah pemilihannya yang disebut dengan “Home Style”. Penelitian dalam konteks Banten ini menggunakan teori Fenno untuk menganalisis fenomena empirik hubungan wakil dan konstituen di tingkat lokal.

Richard Fenno, ahli politik dari Universitas Rochester (AS), menawarkan perspektif teori untuk memahami representasi pada tataran praktik sebagai respons atas teori representasi

6 Pembahasan tentang kontroversi teori mandat dan independen dapat dibaca pada Bab 7 buku yang ditulis oleh Hanna Fenichel Pitkin, The Concept of Representation, (London: University of California Press, 1967).

7 Hanna Fenichel Pitkin, The Concept of..,, hlm 5.

Hanna Pitkin. Menurut Fenno, kita tidak dapat memahami hubungan wakil dan konstituen hingga kita melihat konstituensi melalui persepsi wakil. Fenno memotret aktivitas wakil di distrik melalui observasi terhadap sejumlah anggota Kongres AS selama kurang lebih dua tahun (1977-1978). Hasil kajian Fenno menghasilkan teori mengenai persepsi wakil terhadap konstituen yang disebut dengan “Lingkaran konsentrik konstituensi”.8

Fenno dalam risetnya mengajukan pertanyaan kunci: Apa yang dilihat oleh anggota Kongres ketika mereka melihat konstituensi? Jawaban pertanyaan tersebut adalah sebuah lingkaran konsentrik di mana wakil mempersepsikan konstituennya didasarkan atas jarak terhadap kelangsungan kepentingan politiknya pada pemilu berikutnya. Lingkaran paling terluar disebut Fenno dengan geographical constituency, yaitu mencerminkan pandangan paling luas wakil terhadap konstituensi, entitas atau lokasi yang akan dikunjungi wakil selama periodenya setelah terpilih. Itulah yang disebut distrik (konteks AS) atau daerah pemilihan (konteks Indonesia). Distrik/dapil merupakan entitas yang dibatasi secara formal oleh peraturan atau putusan pengadilan. Penentuan distrik/dapil sebagai basis teritorial representasi melalui elektoral ditetapkan oleh undang-undang dengan syarat-syarat pembentukan sebuah dapil. Lingkaran terluar konstituensi ini disebut dengan geographical constituency. Persepsi wakil terhadap konstituennya tidak berhenti pada batasan paling luar dan luas yaitu geografis dapil saja.

Lingkaran pertama yang dipersepsikan wakil di dalam geographical constituency adalah re-election constituency yaitu persepsi terhadap konstituen untuk kepentingan pemilu berikutnya. Pada lingkaran ini, wakil memilah kelompok masyarakat di dapil atas pendukungnya dan bukan pendukungnya, yang disebut dengan konstituensi pemilu berikutnya (reelection constituency).

Di dalam reelection constituency, wakil melakukan pemilahan lagi atas pendukung dan pendukung paling kuat. Lingkaran konstituensi yang lebih kecil ini disebut primary constituency,

8 Richard F. Fenno, Jr. Home Style: House Members in Their Districts, (New York: Addison-Welley Publisher, 2003), hlm. 1.

Page 110: KONSTELASI POLITIK DI TAHUN ELEKTORAL

222 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 15 No. 2 Desember 2018 | 215–231

yaitu pendukung terkuat wakil di antara konstituen yang memilihnya. Wakil membedakan antara konstituen pendukung rutin dan pendukung sangat kuat. Pendukung rutin hanya memberikan suara pada pemilu, sedang pendukung paling kuat melakukan aktivitas selain pemberian suara untuk mendukung wakil di dapil.

Selanjutnya ada lingkaran konstituensi lagi di dalam primary constituency, di mana wakil melihat masih ada kelompok konstituen dalam jumlah lebih kecil dan menjadi pendukungnya yang paling setia di antara pendukung paling kuatnya. Mereka adalah kelompok kecil orang-orang yang secara individual memiliki hubungan personal dan intim dengan wakil, yang akan mendukung wakil setiap saat tanpa mempedulikan siapa penantangnya di distrik tersebut. Konstituensi ini disebut personal constituency, yang dipersepsikan wakil sebagai the intimate atau very strongest supporters, tempat wakil melakukan konsultasi dan mempercayakan kelangsungan kepentingan politiknya pada kelompok konstituen ini.

Teori lingkaran konsentrik konstituensi ini digunakan untuk melihat persepsi wakil terhadap konstituen yang diasumsikan memengaruhi aktivitas dan tindakan wakil di dapilnya. Wakil

pada dasarnya selalu ingin mempertahankan kelangsungan karier politiknya di dapil. Perubahan sistem elektoral ke arah yang kompetitif dan demokratis, dan di sisi lain otoritas wakil bisa bertahan sepanjang ia bisa memenangkan tiap pemilu, memengaruhi cara pandang wakil yang makin politis terhadap konstituennya.

Penataan Regulasi Sistem Pemilu ProporsionalSistem pemilu proporsional telah diterapkan di Indonesia sejak pemilu pertama tahun 1955 hingga era reformasi untuk memilih anggota lembaga perwakilan rakyat di tingkat nasional dan daerah. Perkembangan sistem pemilu proporsional sejak Pemilu 1955, dilanjutkan pemilu-pemilu masa Orde Baru (1971 hingga 1997), dan pemilu-pemilu selama Reformasi (1999 hingga 2014) telah membawa perubahan pada representasi politik di Indonesia.

Pada Pemilu 1955 untuk pertama kalinya Indonesia mengadopsi sistem proporsional di mana jumlah kursi lembaga perwakilan di masing-masing daerah pemilihan ditentukan secara proporsional berdasarkan jumlah penduduknya (warga negara). UU No. 7 tahun

Tabel 2. Kategori Konstituen Menurut Richard Fenno

Sumber: Sri Budi Eko Wardani, Problematik Hubungan Wakil dan Konstituen di Tingkat Lokal Indonesia Era Reformasi (Studi Kasus Wakil di DPRD Banten 2014-2019, Disertasi, (Depok: Program Pascasarjana Ilmu Politik FISIP UI, 2017), hlm. 51.

Geographical Constituency: The District

Reelection Constituency: The Supporters

Primary Constituency: The Strongest Supporters

Personal Constituency: The Intimate

Kategori konstituen berdasarkan wilayah geografis yang batasannya ditentukan secara formal (UU). Disebut juga dengan legal constituency.

Merupakan basis representasi teritorial dan politik wakil, yang dalam terminologi sistem pemilu dikenal dengan distrik/dapil.

Kategori konstituen di dalam distrik (geographical constituency) yang merupakan pemilih atau pendukung wakil.

Dipersepsikan sebagai pendukung wakil untuk pemilu berikutnya.

Kategori konstituen di dalam reelection constituency yang merupakan pendukung wakil paling kuat.

Dalam konteks AS: konstituen pendukung paling kuat penting untuk bisa memenangkan pencalonan partai dalam pemilu pendahuluan (primary) di internal partai.

Kategori konstituen di dalam primary constituency yang merupakan pendukung loyal di mana wakil bisa berkonsultasi dan memercayakan kepentingan karier politiknya.

Page 111: KONSTELASI POLITIK DI TAHUN ELEKTORAL

Konstituensi dalam Persepsi Wakil di tingkat Lokal ... | Sri Budi Eko Wardani | 223

1953 tentang Pemilihan Anggota Konstituante dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat memang tidak menyebutkan secara eksplisit bahwa sistem pemilu yang berlaku adalah proporsional. Namun jika dicermati pasal 32 dan pasal 33 undang-undang tersebut, jelas bahwa pemilu pertama tersebut menganut sistem proporsional. UU No.7 tahun 1953 juga mengatur hal-hal yang mencirikan penerapan sistem pemilu proporsional terbuka pada Pemilu 1955 dan hubungan perwakilan politik yang mendekatkan pemilih dengan wakilnya sejak pencalonan.9 Ciri-cirinya adalah peserta pemilu terdiri dari perorangan dan kumpulan (organisasi atau partai politik) yang disebut sebagai Daftar Calon Perseorangan dan Daftar Calon Kumpulan. Pencalonan melibatkan dukungan sejumlah pemilih di setiap daerah pemilihan. Seorang calon perseorangan atau calon pertama dari suatu Daftar Calon Kumpulan harus didukung atau diajukan oleh sedikitnya 200 orang pemilih yang namanya terdaftar dalam daftar pemilh di daerah pemilihan bersangkutan. Calon-calon selanjutnya dari daftar diajukan oleh minimal 25 orang. Pencalonan harus disertai formulir pencalonan dan ditandatangani oleh semua pemilih yang mengajukan calon bersangkutan. Pemilih memberikan suaranya kepada seorang calon pada daftar calon perseorangan atau daftar calon kumpulan. Pemilih memberikan suara dengan cara menusuk tanda gambar di daftar calon yang dimaksud.

Dari tiga hal tersebut dapat dikatakan desain sistem pemilu yang diterapkan pada Pemilu 1955 adalah memberikan preferensi pilihan pada pemilih sejak pencalonan sehingga calon terpilih adalah yang dikehendaki mayoritas pemilih di daerah bersangkutan. Calon pada urutan pertama di daftar calon adalah calon unggulan yang diprediksi akan terpilih, ditunjukkan dengan besarnya jumlah dukungan pemilih (200 tanda tangan) dibandingkan calon-calon berikutnya di daftar calon tersebut (25 tanda tangan). Jelas bahwa desain sistem pemilu proporsional

9 Lihat UU No.7 Tahun 1953 tentang Pemilihan Anggota Konstituante dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, terutama Bab VI (pasal 36 sampai dengan pasal 55) tentang Pencalonan; Bab VII (pasal 56 – 63) tentang Daftar Calon; dan Bab VIII (pasal 64 – 80) tentang Pemungutan Suara dan Penghitungan Suara.

terbuka yang bertujuan mendekatkan jarak hubungan keterwakilan politik antara rakyat dengan wakilnya telah dipikirkan pemyusun undang-undang sejak pemilu pertama. Namun perkembangan politik setelah pemilu 1955 membawa arah pengaturan sistem pemilu proporsional yang jauh berbeda, dan berpengaruh terhadap representasi politik setelah era demokrasi parlementer.

Pengaturan sistem pemilu proporsional era Orde Baru dikombinasikan dengan sistem kepartaian yang tertutup dan tanpa kompetisi. Pada 17 Desember 1969, Presiden Soeharto mengesahkan UU No. 15 tahun 1969 tentang Pemilihan Umum Anggota Badan Permusyawaratan/Perwakilan Rakyat. Undang-undang ini cukup singkat, terdiri dari 37 pasal, tetapi secara substansi mengubah desain sistem pemilu proporsional jika dibandingkan UU No.7 tahun 1953. Perlu dicatat UU No. 15 tahun 1969 lahir dalam konteks situasi politik peralihan kekuasaan dari Orde Lama ke Orde Baru yang dilatarbelakangi peristiwa berdarah G 30 S/PKI. Sehingga prosedur elektoral pun dipengaruhi oleh kewaspadaan masuknya kelompok/orang yang dituduh telah merusak kehidupan politik dan demokrasi Indonesia selama era tersebut.

Sejarah kemudian mencatat bahwa pemilu-pemilu yang dilaksanakan pada 1971 hingga 1997 selalu dimenangkan Golkar dengan perolehan suara mayoritas, dan seiring itu lahir berbagai kebijakan yang bertujuan mengendalikan lembaga-lembaga politik – partai politik, lembaga legislatif – agar berada di bawah kekuasaan eksekutif (presiden). Salah satunya kebijakan menyederhanakan sistem kepartaian yang merupakan keinginan lama Soeharto, berhasil dilaksanakan pada Januari 1973. Sembilan partai peserta Pemilu 1971 didesak berfusi ke dalam dua partai yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Terkait pemaksaan fusi tersebut, William Liddle menulis bahwa tidak satupun dari keduanya merupakan fusi nyata di mana kursi-kursi badan pimpinan tingkat nasional dan daerah dibagi-bagi antara unsur-unsur utama bekas partai, dan rawan terjadinya

Page 112: KONSTELASI POLITIK DI TAHUN ELEKTORAL

224 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 15 No. 2 Desember 2018 | 215–231

konflik terbuka terutama di PDI.10 Undang-undang pemilu selanjutnya –UU No.4/1975 (pemilu 1977), UU No. 2/1980 (pemilu 1982) – dirancang untuk mempertahankan perolehan suara Golkar misalnya dengan tidak meliburkan hari pemungutan suara, menempatkan tempat pemungutan suara di kantor-kantor pemerintah, penyaringan calon, dan lainnya.11

Empat ka l i pemi lu e ra re formas i diselenggarakan berdasarkan perundang-undangan yang berbeda-beda. Pemilu pertama pasca-Orde Baru tahun 1999 diseleggarakan menurut UU No. 3 tahun 1999. Kemudian menjelang Pemilu 2004 dihasilkan UU pemilu yang baru yaitu UU No.12 Tahun 2003. UU ini mengalami perubahan substansi yang signifikan dibanding sebelumnya. Pada prinsipnya UU No.12 tahun 2003 mengalami perubahan pada aspek-aspek sistem pemilu proporsional seperti besaran daerah pemilihan, pencalonan anggota legislatif, cara memberikan suara, dan penetapan calon terpilih. Selain itu dalam UU ini, untuk pertama kalinya diatur tindakan afirmatif untuk pencalonan perempuan sekurang-kurangnya 30% sebagai anggota legislatif. Undang-undang pemilu berubah lagi menjelang Pemilu 2009, yaitu disahkannya UU No. 10 tahun 2008. Namun beberapa bulan sebelum hari pemungutan suara, pada 28 Desember 2008 gugatan judicial review (uji materil) pasal 214 UU No. 8 Tahun 2008 yang mengatur penetapan calon terpilih dimenangkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Keputusan MK membatalkan penetapan calon terpilih berdasarkan bilangan pembagi pemilih dan nomor urut sebagaimana diatur pasal 214 UU No. 10 tahun 2008, dan menetapkan dengan urutan suara terbanyak. Perubahan aturan hasil keputusan MK tersebut langsung diterapkan pada Pemilu 2009 sehingga KPU harus merevisi peraturannya agar sesuai dengan keputusan MK. UU No. 10 Tahun 2008 kemudian direvisi menjadi UU No.8 Tahun 2012 untuk penyelenggaraan Pemilu 2014. Jika dihitung sejak pemilu pertama tahun 1955 maka telah dihasilkan sembilan undang-undang yang mengatur pemilu anggota legislatif, terdiri dari satu undang-undang masa parlementer; empat

10 R. William Liddle, Pemilu-Pemilu Orde Baru: Pasang Surut Kekuasaan Politik, (Jakarta: LP3ES, 1992), hlm. 40.

11 R. William Liddle, Pemilu-Pemilu Orde Baru..,.

undang-undang masa OrdeBaru; dan empat undang-undang masa reformasi. Artinya setiap menjelang penyelenggaraan pemilu, dasar hukumnya (UU) mengalami perubahan.

Permasalahan penerapan sistem pemilu proporsional selama Orde Baru adalah keterputusan hubungan antara wakil dan konstituen. Sistem pemilu proporsional daftar tertutup (close list) yang diterapkan bersamaan dengan sistem kepartaian sentralistik dan hegemonik menghasilkan para wakil yang fokus pada kepentingan kekuasaan (baca: rezim). Keterpilihan wakil ditentukan oleh kedekatan hubungan dan persetujuan dari presiden yang sekaligus berperan sebagai pembina politik dalam negeri dan ketua dewan pembina Golkar. Keterputusan hubungan tersebut menghasilkan problem serius dalam perwakilan politik era Orde Baru terkait akuntabilitas dan representasi. Maka desain perbaikan sistem pemilu proporsional pasca amandemen UUD 1945 adalah mengatasi problem serius tersebut.

Pada prinsipnya reformasi sistem pemilu bertujuan dua hal, yaitu pemulihan hak politik warga negara dalam memilih dan dipilih; dan mewujudkan prinsip akuntabilitas, representasi, dan partisipasi dalam penyelenggaraan pemilu. Dua hal tersebut menjiwai perubahan undang-undang pemilu setelah tahun 1999, yang sejak 2004 hingga 2014 telah dihasilkan tiga undang-undang tentang pemilu untuk memilih anggota DPR dan DPRD.Dalam hal pemulihan hak politik warga negara sebagai pemilih dan dipilih, penataan diarahkan pada inklusivitas dan menghapuskan diskriminasi politik. Setiap warga negara yang telah memenuhi syarat sebagai pemilih harus dijamin dalam menggunakan hak pilihnya. Sementara prinsip-prinsip akuntabilitas, representasi, dan partisipasi dioperasionalkan dalam sejumlah aturan seperti cara memberikan suara, pencalonan, metode kampanye, pemantauan pemilu, dan sebagainya.

Page 113: KONSTELASI POLITIK DI TAHUN ELEKTORAL

Konstituensi dalam Persepsi Wakil di tingkat Lokal ... | Sri Budi Eko Wardani | 225

Konstituensi dalam Persepsi Wakil di BantenPerubahan sistem pemilu proporsional dari tertutup (Orde Baru) menjadi terbuka dengan suara terbanyak (Reformasi) memengaruhi apa yang dilihat wakil ketika melihat konstituensi di daerah pemilihannya (dapil). Hubungan wakil dan konstituen era reformasi menemui dinamika yang tinggi. Perubahan politik elektoral dalam pemilureformasi menghasilkan dinamika politik yang beragam termasuk di tingkat lokal. Wakil di tingkat lokal dihadapkan pada pusaran kepentingan berbagai pihak. Sistem pemilu yang berubah dari fokus pada partai politik (proporsional tertutup) lalu bergeser pada calon legislatif (proporsional terbuka) memengaruhi cara pandang wakil baik terhadap partai politik maupun konstituen. Kepentingan utama partai politik adalah memenangkan kursi parlemen. Kepentingan konstituen adalah wakil dapat merealisasikan aspirasi konstituen, baik secara langsung melalui wakil maupun tidak langsung melalui kebijakan dan anggaran. Sementara wakil berkepentingan untuk dicalonkan dan terpilih kembali.

Berdasarkan penelitian terhadap enam anggota DPRD Banten 2014-2016, terdapat sejumlah kecenderungan yang menandai perubahan penting dalam hubungan wakil dan konstituen pada tataran empirik. Perubahan itu terkait konstituensi dalam persepsi wakil yang memengaruhi perilaku dan tindakannya di dapil. Konstituensi di daerah pemilihan (konstituensi geografis) merupakan penempatan wakil berdasarkan batas geografis, yang di dalamnya wakil melakukan pemilahan untuk memetakan daerah-daerah basis dukungan. Dari situlah muncul tiga kategori konstituen menurut Fenno yaitu konstituensi untuk pemilu berikutnya (reelection), konstituensi pendukung paling kuat (primary), dan konstituensi personal (personal) yang paling dekat dengan wakil. Dapat dikatakan persepsi terhadap konstituen dibentuk oleh kepentingan wakil untuk bertahan dalam kompetisi elektoral berikutnya sehingga wakil merasa perlu memetakan basis dukungan politiknya di daerah pemilihan. Hal itu terekam dari pengalaman enam anggota DPRD Banten 2014-2019 yang diteliti.

Tabel 3. Prinsip Akuntabilitas, Representasi dan Partisipasi dalam Penataan Regulasi Sistem Pemilu Proporsional

Sri Budi Eko Wardani, Problematik Hubungan Wakil dan Konstituen di Tingkat Lokal Indonesia Era Reformasi (Studi Kasus Wakil di DPRD Banten 2014-2019, Disertasi, (Depok: Program Pascasarjana Ilmu Politik FISIP UI, 2017).

Akuntabilitas Representasi Partisipasi Cara pemberian suara.

Diberlakukan cara mencoblos yang memberikan akses pemilih untuk mencoblos nama caleg sehingga mengubah bentuk hubungan dengan wakil terpilih dan menguatkan akuntabilitas wakil pada pemilih/konstituennya.

Penetapan calon terpilih. Sejalan perubahan pada cara pemberian suara maka penetapan calon terpilih juga bergeser dari berdasarkan nomor urut calon ke arah suara terbanyak.

Kebijakan afirmatif untuk perempuan. Diberlakukan pertama kali dalam UU No. 12 tahun 2003 yang mengatur pencalonan anggota DPR dan DPRD untuk setiap daerah pemilihan memperhatikan keterwakilan perempuan (pasal 65). Aturan tersebut diperkuat menjadi wajib pada UU pemilu berikutnya.

Peluang partai politik memperoleh kursi dengan besaran daerah pemilihan antara 3-10 kursi dan 3-12 kursi.

Pemantauan pemilu. Dibuka kesempatan bagi organisasi atau kelompok masyarakat untuk mendaftar sebagai pemantau pemilu.

Metode kampanye. Memberikan ruang dan kesempatan agar pemilih aktif dalam kegiatan kampanye seperti akses informasi tentang calon, visi/misi peserta pemilu, dan kegiatan pertemuan terbatas yang bersifat dua arah.

Page 114: KONSTELASI POLITIK DI TAHUN ELEKTORAL

226 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 15 No. 2 Desember 2018 | 215–231

Konstituensi geografis dilihat sebagai keseluruhan populasi dalam suatu daerah pemilihan, di mana penempatan caleg (kandidat wakil) pada suatu dapil merupakan kewenangan partai politik. Sebagaimana diatur dalam undang-undang pemilu, tiap dapil DPRD mengalokasikan minimal 3 kursi dan maksimal 12 kursi, dan pembentukannya bisa terdiri dari satu daerah utuh atau gabungan beberapa daerah berdasarkan kriteria yang ditentukan.12

Pembentukan dapil bisa berdampak politis karena penggabungan atau pemecahan daerah-daerah sesuai UU dapat berpengaruh pada basis kekuatan partai politik. Berdasarkan PKPU No. 5 tahun 2013, KPU Provinsi Banten membentuk 10 dapil dengan total 85 kursi DPRD Banten 2014-2019. KPU Banten melakukan penambahan dapil, dari enam pada Pemilu 2009 menjadi sepuluh pada Pemilu 2014. Perubahan desain dan alokasi kursi dapil tampaknya berdampak pada kompetisi partai politik merebut kursi DPRD Banten. Pada Pemilu 2009, Partai Demokrat meraih kursi terbanyak di DPRD Banten, yaitu 18 kursi. Sebanyak 8 kursi diperoleh Demokrat dari dapil Banten 3 (kabupaten Tangerang) yang mengalokasikan 31 kursi. Dengan perolehan kursi di Banten 3 tersebut, Demokrat muncul sebagai pemenang pemilu di provinsi Banten dengan kenaikan lebih dari 100% (pemilu 2004 meraih 8 kursi). Empat urutan berikutnya adalah Golkar (13 kursi), PKS (11 kursi), PDIP (10 kursi), dan Hanura (6 kursi). Keadaan berubah pada Pemilu 2014, posisi Demokrat merosot ke urutan keempat dengan perolehan hanya 8 kursi (turun 10 kursi). Sementara Golkar dan PDIP berbagi kursi sama yaitu 15 kursi, dan Gerindra naik ke urutan 3 besar dengan 10 kursi. Dengan hasil tersebut dapat dikatakan perubahan pembentukan dapil dan alokasi kursinya berpengaruh pada peluang partai politik untuk memenangkan kursi.

Sistem multipartai menyebabkan peta persaingan antarpartai di satu dapil sangat cair, walaupun basis politik partai di dapil bisa dipetakan dengan melihat hasil dari pemilu ke pemilu. Seperti di Banten, hasil Pemilu 2014 untuk DPRD Banten menunjukkan

12 Pengaturan tentang alokasi kursi DPR/DPRD, dan daerah pemilihan untuk pemilu anggota DPR dan DPRD pada Pemilu 2014 diatur dalam UU No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilu untuk Anggota DPR, DPD, dan DPRD.

kekuatan partai politik amat cair, tidak ada yang dominan, bahkan tidak ada partai yang meraih lebih dari satu kursi di tiap dapil. Hanya Golkar dan PDIP saja yang meraih 2 kursi, itupun hanya di beberapa dapil saja (5 dari 10 dapil). Jumlah dapil yang bertambah dan alokasi kursi 3-12 kursi memengaruhi peluang kompetisi antarpartai peserta pemilu. Kondisi ini dapat berpengaruh pada peran wakil menjadi sangat strategis disebabkan sistem proporsional terbuka, dan lemahnya identifikasi pemilih pada partai politik sehingga peran wakil mengondisikan dapil sebagai arena pertarungan merebut dukungan menjadi relevan. Baik bagi kepentingan kemenangan partainya maupun pencapaian karier politik wakil.

Berdasarkan hal-hal di atas maka pandangan wakil terhadap keseluruhan konstituen di dapil menjadi cair, umum, dan tidak ideologis. Daerah pemilihan yang ditetapkan oleh UU Pemilu merupakan wilayah pertarungan politik bagi wakil, baik pencalonan di internal partai maupun di pemilihan. Pengalaman enam wakil DPRD Banten memperlihatkan persepsi terhadap dapil mencerminkan dua hal: pertarungan kekuatan antarpartai politik, dan pertarungan antarwakil merebut dukungan di dapilnya. Wakil pertama-tama berstrategi dalam pertarungan penempatan dapil di internal partainya, setelah itu berstrategi memperoleh dukungan suara di dapilnya. Pertarungan pada dua level inilah yang memengaruhi wakil dalam melihat konstituensi geografis ini.

Usaha mengenali konstituen tergambar dalam pernyataan enam informan anggota DPRD Banten 2014-2019. Secara umum keenam wakil memberikan petunjuk jelas bahwa konstituen adalah pemilih mereka di dapil sesuai penempatan partainya. Tetapi variasinya cukup menarik. Ada yang melihat dalam pandangan seluruh masyarakat di dapil, ada yang menarik garis antara pemilihnya dan bukan. Tetapi patut dicermati bahwa dapil merupakan daerah pertarungan partai politik juga. Jika dilihat kekuatan partai politik di Banten pada dua kali pemilu terakhir, ditandai penambahan jumlah dapil dan perubahan alokasi kursi, persepsi wakil terhadap konstituen sebagaimana pernyataan enam wakil tampaknya dapat dipahami.

Page 115: KONSTELASI POLITIK DI TAHUN ELEKTORAL

Konstituensi dalam Persepsi Wakil di tingkat Lokal ... | Sri Budi Eko Wardani | 227

Variabel dalam dapil seperti etnis, agama, sosio-ekonomi, dan perbedaan lainnya seperti dinyatakan Fenno dalam kasus Amerika Serikat, tampaknya tidak relevan dalam konteks di Banten. Wakil cenderung tidak melihat keberagaman variabel populasi di dapil, tetapi lebih fokus pada pembedaan berdasarkan potensi dukungan politik yang bisa mereka mobilisasi. Kondisi tersebut lebih relevan pada kategori konstituen berikutnya dalam lingkaran konsentrik.

Fenno menggambarkan kategori konstituen kedua ini dengan konstituensi politik yang berada di dalam konstituensi geografis, yaitu terdiri dari orang-orang di distrik yang dianggap oleh wakil memilihnya pada pemilu. Inilah yang disebut dengan reelection constituency atau konstituensi untuk pemilu berikutnya. Wakil membedakan konstituen di dapil atas mereka yang mendukung/memilih wakil, dan bukan pendukungnya untuk pemilu berikutnya. Dengan mengidentifikasi siapa pemilihnya maka wakil bisa memprirotaskan kunjungan dan tindakan di dapil. Teridentifikasinya orang-orang yang memilih/mendukung wakil akan memperjelas wakil untuk mewakili konstituen yang mana.

Pengalaman enam wakil di Banten menunjukkan di dalam konstituensi geografis terhadap kantong-kantong pendukung yang dipersepsikan secara politik. Terjadi perubahan penting dalam memandang konstituen yang bukan dilihat semata populasi di dapil tetapi lebih politis yaitu terkait karier politik wakil. Maka pernyataan yang disampaikan beberapa anggota DPRD Banten ini perlu digarisbawahi sebagai munculnya persepsi bahwa konstituen adalah orang-orang yang memilih mereka pada pemilu. “Konstituen adalah mereka yang memilih saya, dan saya hanya akan memikirkan orang-orang yang memilih saya saja, saya punya data nama-nama dan alamat mereka yang memilih saya”, demikian ungkap FNI yang mewakili dapil Banten 9.13 Pandangan serupa juga disampaikan TFM (Banten 9) yaitu: “Konstituen merupakan pendukung saya yang ikhlas menitipkan suaranya ke saya dengan mencoblos nama saya padahal barangkali

13 Wawancara dengan FNI, Anggota DPRD Banten 2014-2019 dari daerah pemilihan Banten 9 (Kabupaten Pandeglang) pada 15 Februari 2016.

tidak kenal saya pribadi”.14 Kedua wakil tersebut memiliki kantong-kantong konstituen yang dipersepsikan sebagai pemilih mereka sehingga dapat terbentuk sebuah ikatan politis untuk kepentingan pemilu berikutnya. AA yang berkompetisi di Banten 4 juga mempersepsikan konstituen sebagai segmen pemilih yang telah dipetakannya sebelum pemilihan, dengan menyatakan: “Konstituen adalah pemilih saya, pendukung saya, jaringan saya, dan saya punya data hasil suara saya di TPS, dengan data itu maka lebih teruji untuk memetakan daerah dan segmen pemilih saya”.15

Dari uraian di atas maka wakil memiliki pandangan politis mengenai konstituennya, yaitu semacam “sarang” politik wakil di dapil. Wakil berkepentingan untuk mengetahui siapa konstituennya, dengan demikian bisa membangun ikatan dengan daerah-daerah tertentu yang dianggap basis suaranya. Salah satu yang harus dicermati adalah penerapan sistem proporsional terbuka yang memberikan peluang pemilih memberikan suaranya langsung kepada caleg yang dikehendaki. Data hasil pemilu yang diolah Puskapol UI menunjukkan secara nasional tingginya persentase pemilih yang mencoblos nama caleg di surat suara dibandingkan mencoblos tanda gambar partai politik. Perubahan perilaku politik pemilih dalam pemberian suara – dominan coblos caleg – antara lain disebabkan perubahan perilaku politik wakil dalam memandang konstituensi di daerah pemilihan.

Konstituen tidak lagi dipandang hanya kumpulan orang tidak terorganisasi dan tidak dikenali, melainkan kumpulan orang yang strategis secara politik, bisa dikenali, bahkan diorganisasi untuk memberikan suaranya pada wakil. Perubahan pandangan terhadap konstituen ini diikuti kesadaran wakil melakukan pemetaan segmentasi potensial pemilih di dapil yang terkait jaringan personalnya. Dalam daerah pemilihan yang besar (konstituensi geografis), wakil

14 Wawancara dengan TFM, Anggota DPRD Banten 2014-2019 dari daerah pemilihan Banten 9 (Kabupaten Pandeglang) pada 16 Februari 2018.

15 Wawancara dengan AA, Anggota DPRD Banten 2014-2019 dari daerah pemilihan Banten 4 (Kab Tangerang B) pada 16 Maret 2016.

Page 116: KONSTELASI POLITIK DI TAHUN ELEKTORAL

228 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 15 No. 2 Desember 2018 | 215–231

membuat pemetaan daerah-daerah yang setelah terpilih bisa diklaimnya sebagai “daerah saya”, daerah yang akan dikunjungi dan difasilitasi selama periode kerja wakil di legislatif. Itulah yang ditemukan kasus wakil di Banten, mereka melakukan semacam pengaplingan daerah-daerah basis dukungan untuk kepentingan politik.

Jadi dapat disimpulkan bahwa reelection constituency yang merupakan pendukung wakil di dapil, dalam konteks Banten memiliki karakteristik tertentu yaitu pendukung yang dukungannya dikondisikan secara politik berdasarkan pemetaan domisili dan jaringan personal (ormas, partai, keluarga). Pengondisian dukungan pemilih tersebut dilakukan oleh orang-orang yang direkrut untuk membantu pemenangan wakil, biasa dikenal dengan istilah tim sukses atau relawan. Keberadaan mereka dapat diidentifikasi melalui kategori konstituen berikutnya yaitu pendukung wakil paling kuat di dapil.

Dalam reelection constituency, wakil mempersepsikan lagi adanya kelompok yang dukungannya tidak hanya berupa suara (mencoblos) saja. Konstituen kategori ini dukungannya dikondisikan oleh orang-orang yang disebut sebagai pendukung paling kuat, sehingga sangat tergantung pada bagaimana hubungan tersebut dipelihara selama periode jabatan wakil. Fenno menyebutnya dengan kategori primary constituency atau pendukung paling kuat di dapil, yaitu bentuk dukungan yang harus diimiliki setiap wakil untuk memelihara dan memperluas reelection constituency apabila pada pemilu berikutnya dinominasikan di dapil yang sama.

Wakil melakukan klaim atas daerah-daerah basis pemilihnya yang keberadaaannya dikondisikan secara politik oleh kerja tim pemenangan yang direkrut wakil. Hasil perolehan suara pada pemilu merupakan alat verifikasi yang obyektif untuk melihat hasil dukungan suara yang diperoleh, dan menjadi acuan dalam memetakan daerah-daerah basis pendukung. Berdasarkan informasi tersebut, wakil membentuk pengaplingan reelection constituency-nya kemudian bertindak mengalokasikan dan menyalurkan sumber daya pada daerah-daerah basis pemilihnya tersebut

untuk kepentingan politik wakil. Dengan ini maka terjawablah misteri siapa dan di mana keberadaan konstituen wakil dalam konstituensi geografis yang luas.

Kondisi yang ditemukan di Banten adalah reelection constituency termasuk di dalamnya keberadaan tim pemenangan wakil yang melakukan aktivitas dukungan politik dalam berbagai bentuk di antaranya memetakan segmen pemilih dan mengolahnya menjadi dukungan politik. Hasil wawancara dengan enam wakil di Banten menunjukkan mereka membentuk jaringan pendukung sebelum pemilu. Jaringan pendukung yang dibentuk ini memiliki struktur koordinasi yang berjenjang dari tingkat kab/kota, lalu ada koordinator di tiap kecamatan yang membawahi lagi para koordinator di semua desa/kelurahan dalam dapil tersebut. Koordinator di tiap desa/kelurahan inilah yang merekrut para koordinator TPS (tempat pemungutan suara) yang tugasnya melakukan pendekatan kepada pemilih yang terdaftar di TPS untuk mengenalkan sosok kandidat yang didukung (wakil).

Jika dicermati maka terdapat pergeseran peran tim pendukung wakil dalam sebuah siklus pemilu. Tim pendukung yang dibentuk wakil sebelum pemilu akan bertransformasi menjadi pemberi suara (pemilih) saat pemilu. Setelah terpilih, peran mereka bergeser menjadi konstituen pendukung paling kuat yang membantu wakil dalam melakukan kunjungan dan aktivitas mewakili lainnya. Pergeseran peran tersebut ditemukan dalam konteks representasi di Banten. Jadi ada koneksitas peran yang dimainkan pendukung paling kuat bagi keterpilihan wakil pada pemilu berikutnya. Sebelum pemilu mereka telah bekerja membantu wakil dalam memetakan segmen pemilih dan daerah-daerah potensial suara. Ini adalah ciri utama pendukung paling kuat yaitu mereka mendukung wakil sejak prapemilu – biasanya satu dua tahun sebelum pemilu --, yang membedakan dengan pendukung rutin. Pada masa pemilu, pendukung paling kuat inilah yang diidentifikasi wakil sebagai pemilih utamanya. Setelah pemilu, pendukung paling kuat inilah yang dipersepsikan wakil sebagai konstituen, sekaligus bisa berperan mengorganisasi kunjungan dan menyambungkan aspirasi masyarakat di dapil dengan wakil.

Page 117: KONSTELASI POLITIK DI TAHUN ELEKTORAL

Konstituensi dalam Persepsi Wakil di tingkat Lokal ... | Sri Budi Eko Wardani | 229

Dengan cara inilah wakil bisa mendistribusikan insentif kepada pendukung paling kuatnya sebagai balas jasa.

PenutupBerkaca pada pengalaman sejumlah wakil di Banten, konstituensi dibangun untuk kepentingan politik wakil, hal yang sesungguhnya juga diidentifikasi dalam riset dan teori yang dikembangkan oleh Richard Fenno. Namun, dalam temuan studi Fenno terhadap anggota Kongres AS, konstituensi yang direkamnya memiliki ketersambungan dengan wakil sejak masa pencalonan di partai politik sehingga persepsi terhadap konstituen juga bermakna ideologis bagi wakil. Hal itu tampak dari cara anggota Kongres AS dalam melakukan aktivitas mengelola dukungan politik konstituennya terkait juga dengan isu-isu yang diperjuangkan wakil di forum kongres. Pencalonan di AS yang menerapkan model pemilu internal partai (konvensi) dimana ada keterlibatan anggota partai politik dalam menentukan tiket pencalonan wakil pada pemilu berikutnya, berdampak pada strategi wakil dalam mengelola konstituen di distriknya. Selain itu, sistem mayoritas yang memperebutkan satu kursi di tiap distrik, dan sistem kepartaian dua partai yang kuat secara ideologis, merupakan faktor yang mendorong ketersambungan peran konstituensi wakil di AS sejak pencalonan, prapemilu (kampanye), pemilu (pencoblosan), pascapemilu (terpilih) hingga pemilu berikutnya.

Itulah sebabnya salah satu kategori konstituen yang ditemukan Fenno dalam reelection constituency adalah lingkaran lebih kecil yang disebut primary constituency atau pendukung paling kuat yang berperan dalam tahap pencalonan wakil (primary atau pemilu internal partai). Jadi wakil sebelum mengikuti pemilu untuk memenangkan kursi di distriknya, harus melewati fase primary atau pemilu internal di partainya untuk menentukan kandidat yang dicalonkan partai di suatu distrik. Dalam primary, yang memiliki suara adalah anggota partai politik. Di sinilah relevansinya pendukung paling kuat bagi wakil, yang memiliki afiliasi keanggotaan dengan partai politik, dalam memberikan suara bagi wakil agar memenangkan

pemilu internal. Maka konstituensi bagi wakil dalam teori Fenno merupakan ketersambungan dalam siklus pemilu yang diikat sejak pencalonan hingga pemilu berikutnya. Dengan demikian konstituensi yang terbangun dalam teori Fenno adalah bersifat jangka panjang yaitu ditandai kecenderungan dominasi wakil petahana, berorientasi isu, dan ideologis ditandai korelasi kekuatan partai dengan distrik tertentu.

Sementara konstituensi yang dibangun untuk kepentingan politik wakil di Banten bersifat jangka pendek untuk satu periode jabatan. Keputusan wakil dicalonkan atau tidak di dapil yang sama pada pemilu berikutnya, ditentukan oleh mekanisme internal partai politik dan tidak melibatkan anggota partai politik. Sementara keterpilihan wakil ditentukan oleh perolehan suara yang dikonversikan dengan kursi partai politik. Terdapat tiga ranah kompetisi yang harus dikelola wakil terkait kepentingan politiknya, dan hal itu berpengaruh pada konstituensi yang dibangunnya di dapil.

Ranah persaingan pertama yang harus dimenangkan wakil adalah tiket pencalonannya di partai politik. Untuk memperolehnya, wakil harus berjuang sendiri di dalam partai dimana faktor kedekatan dengan elite partai, intensitas aktivitas dalam partai, dan kemampuan lobi berperan penting untuk bisa memenangkan persaingan dalam pencalonan ini. Wakil petahana tentu berharap dapat dicalonkan pada dapil yang sama dan nomor urut yang peluang keterpilihan lebih besar (no urut 1). Kandidat wakil yang baru tentu berharap dicalonkan di dapil yang dekat dengan jaringan sosialnya dan nomor urut atas (1 sampai 3). Dalam kondisi demikian, posisi persaingan wakil petahana dan kandidat wakil baru dapat setara, karena keputusan berada pada kewenangan ketua partai. Jadi selalu ada potensi bagi wakil (petahana dan baru) untuk membangun konstituensi yang baru setiap kali pemilu karena keputusan pencalonan yang berubah.

Setelah mendapatkan pencalonan, ranah persaingan berikutnya adalah meraih suara terbanyak untuk memenangkan kursi dalam pemilu. Di sinilah wakil membutuhkan tim pendukung untuk kampanye dan mendekati pemilih. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, pada masa ini wakil telah memetakan potensi

Page 118: KONSTELASI POLITIK DI TAHUN ELEKTORAL

230 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 15 No. 2 Desember 2018 | 215–231

konstituensinya sehingga menghasilkan target perolehan suara yang harus dicapai. Ikatan wakil dengan tim pemenangan tergantung pada peran koordinatornya yang merekrut tim sampai tingkat TPS. Koordinator TPS, yang biasanya direkrut dari warga setempat, dengan berbekal informasi daftar pemilih (DPT) melakukan identifikasi pemilih di sekitarnya yang bisa didekati dan diberi tanda jika respons yang diberikan positif. Begitulah cara kerjanya sehingga wakil dapat membuat daftar pendukung yang diidentifikasi dari hasil perolehan suaranya pada setiap TPS. Jadi pendataan dan pemetaan calon pemilih wakil dapat dikatakan tidak ideologis dan berorientasi isu, melainkan berorientasi pragmatis. Wakil pun sebenarnya tidak bisa memastikan siapa dan dimana domisili pendukungnya sampai hasil pemilu diumumkan. Hal ini berbeda dengan konstituensi dalam teori Fenno, dimana hasil primary (pemilu internal partai) memberikan informasi pada wakil tentang peluangnya untuk terpilih atau tidak.

Setelah terpilih, wakil berkepentingan menjaga dukungan konstituennya di dapil. Konstituen utama terdiri dari masyarakat di daerah basis suara dan jaringan pendukung. Ranah persaingan yang ketiga ini terkait dengan persaingan wakil dalam merebut sumber daya (jatah program dan anggaran) untuk dialokasikan pada konstituennya. Tindakan mewakili dalam bentuk penyerapan aspirasi konstituen dan memperjuangkannya merupakan ranah persaingan bagi wakil dalam menghadapi mekanisme kelembagaan untuk penentuan program dan anggaran.

Jadi dapat dikatakan konstituensi dalam konteks Banten berbeda dengan teori Fenno karena tidak merupakan ketersambungan hubungan dalam siklus pemilu, cenderung cair, tidak ideologis, bahkan tidak terikat dengan afiliasi partai politik. Wakil membangun konstituensinya bertumpu pada kemampuan jaringannya, dengan peran partai politik yang sangat minim. Konstituensi dibangun setelah wakil terpilih dengan mengidentifikasi daerah-daerah basis suara, sehingga wakil dapat memperkirakan wilayah konstituensinya di daerah pemilihan.

Perbedaan konstituensi menurut Fenno dan temuan empirik di Banten terletak pada ketersambungan konstituensi dalam siklus pemilu. Dalam konteks Fenno yang meriset anggota Kongres Amerika Serikat, konstituensi memiliki ketersambungan antara mekanisme pencalonan oleh partai politik (prapemilu), keterpilihan dalam pemilu (pemilu), dan pengelolaan daerah pemilihan untuk pemilu berikutnya (pascapemilu) sehingga hubungan dengan konstituen bersifat jangka panjang (dari pemilu ke pemilu). Ketersambungan konstituensi tersebut tidak terjadi dalam konteks di Banten. Konstituen tidak berperan dalam pencalonan kembali wakil oleh partai politik karena keputusan pencalonan ditentukan oleh mekanisme internal partai yang tidak melibatkan konstituen dan juga anggota partai politik. Maka konstituensi di Banten yang ditemukan terdiri dari dua kategori, yaitu pendukung (mereka yang memilih wakil dan dipetakan lokasi/domisilinya berdasarkan hasil pemilu), dan pendukung paling kuat bagi wakil. Maka dapat dikatakan kepentingan kelangsungan karier politik wakil pada tiap pemilu dominan dalam membentuk persepsi wakil terhadap konstituen dan berimplikasi pada hubungan representasi politik yang dibangun di daerah pemilihan.

Daftar PustakaBuku/jurnal

Creswell. John W. Research Design: Qualitative, Quantitative, and Mixed Method

Approaches (second edition), Sage Publication, 2002.Fenno, Jr. Richard F. Home Style: House Members in

Their Districts. New York: Addison-Welley Publisher, 2003.KPU RI. Data and Infographics Book: 2014

Legislative and Presidential Election, Jakarta, 2017.Liddle. R. William. Pemilu-Pemilu Orde Baru:

Pasang Surut Kekuasaan Politik. Jakarta: LP3ES, 1992.Pitkin. Hanna Fenichel. The Concept of Representation.

London: University of California Press, 1967.Rehfeld. Andrew. The Concept of Constituency:

Political Representation,

Page 119: KONSTELASI POLITIK DI TAHUN ELEKTORAL

Konstituensi dalam Persepsi Wakil di tingkat Lokal ... | Sri Budi Eko Wardani | 231

Democratic Legitimacy and Institutional Design. Cambridge: Cambridge

University Press, 2005. Suseno. Nuri. Representasi Politik: Dari Ajektiva ke

Teori. Jakarta: Puskapol FISIP UI, 2013.Viera, Monica & David Runciman. Representation.

Cambrige: Polity Press, 2008.The American Political Science Review, Vol. 71. No.

3 (September 1977).The Journal of Politicis, Vol. 48, No. 4 (1986). DokumenUU Nomor 17 tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD,

dan DPRD (biasa disingkat UU MD3.

UU No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilu untuk Anggota DPR, DPD, dan DPRD.

UU No.7 Tahun 1953 tentang Pemilihan Anggota Konstituante dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat.

DisertasiWardani, Sri Budi Eko. Problematik Hubungan Wakil

dan Konstituen di Tingkat Lokal Indonesia Era Reformasi (Studi Kasus Wakil di DPRD Banten 2014-2019, Disertasi. Depok: Program Pascasarjana Ilmu Politik FISIP UI, 2017.

Sumber OnlineRedaksi, “Praktik Politik Uang dalam Pileg 2014

masif”, “: http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5354fb0073589/praktik-politik-uang-dalam-pileg-2014-masif, diakses pada 10 Oktober 2017. www.puskapol.ui.ac.id.

WawancaraWawancara dengan FNI, Anggota DPRD Banten

2014-2019 dari daerah pemilihan Banten 9 (Kabupaten Pandeglang) pada 15 Februari 2016.

Wawancara dengan TFM, Anggota DPRD Banten 2014-2019 dari daerah pemilihan Banten 9 (Kabupaten Pandeglang) pada 16 Februari 2018.

Wawancara dengan AA, Anggota DPRD Banten 2014-2019 dari daerah pemilihan Banten 4 (Kab Tangerang B) pada 16 Maret 2016.

Page 120: KONSTELASI POLITIK DI TAHUN ELEKTORAL
Page 121: KONSTELASI POLITIK DI TAHUN ELEKTORAL

Militer dan Pemilu-Pemilu di Indonesia | Sri Yanuarti | 233

MILITER DAN PEMILU-PEMILU DI INDONESIA

MILITARY AND ELECTIONS IN INDONESIA

Sri Yanuarti

Pusat Penelitian Politik-Lembaga Ilmu Pengetahuan IndonesiaEmail: [email protected]

Diterima: 2 Oktober 2018; Direvisi: 18 Oktober 2018; Disetujui: 30 Desember 2018

Abstract

In the past ten years there has been enthusiasm among the military involved in political contestation. This can be seen from the involvement of a number of active and retired officers becoming candidates for regional heads both at the district / city, provincial and presidential elections or simply becoming supporting team to win the presidential candidates. The number of those who try their luck in political career. This paper tries to analyze how the Indonesia military shifting their career to political sphere during the democratic period, especially in Indonesian elections, what strategy is played by the military to support its political interests, how the role will affect the consolidation and political professionalism.

Keywords: elections, military, new order, post Suharto

Abstrak

Dalam sepuluh tahun terakhir terjadi antusiasme di kalangan militer terlibat dalam politik kontestasi politik. Hal ini terlihat dari keterlibatan sejumlah perwira aktif maupun purnawirawan menjadi kandidat kepala daerah baik di tingkat kabupaten/kota, provinsi maupun dalam pemilihan presiden atau sekedar menjadi tim pemenangan para kandidat presiden. Jumlah mereka yang mencoba keberuntungannya berkarier di bidang politik dari pemilu ke pemilu semakin banyak meskipun untuk itu terkadang mereka harus mengorbankan profesinya. Tulisan ini mencoba menganalisis, bagaimana TNI menerjemahkan posisi mereka dalam politik pada masa demokrasi, khusus pada pemilu-pemilu di Indonesia, strategi apa yang dimainkan oleh militer untuk menopang kepentingan politiknya, bagaimana dampak peran tersebut terhadap konsolidasi dan profesionalisme politik.

Kata Kunci: pemilu, militer, Orde Baru, pascaSoeharto

PendahuluanPada lima tahun terkahir, kita disuguhi dengan fonemena maraknya kandidat yang berlatar belakang TNI terlibat dalam pemilihan bupati, gubernur maupun presiden. Pada tahun 2015 misalnya sekurang-kurangnya terdapat lima calon kepala daerah yang berasal dari kalangan TNI baik yang sudah purnawirawan maupun yang masih aktif. Sedangkan pada tahun 2018 jumlah tersebut bertambah menjadi sembilan orang.

Keriuhan keterlibatan “kembali’ dalam kandidat yang memiliki latar belakang militer mendapatkan penegasan manakala Agus Harimurti Yudhoyono, yang merupakan perwira muda dengan prestasi cemerlang memilih ikut dalam proses pemilihan gubernur DKI Jakarta. Meskipun hal tersebut menurut beberapa kalangan masyarakat sebagai hal yang tidak mengejutkan jika dikaitkan dengan posisi ayahnya—Susilo Bambang Yudhoyono, pendiri

Page 122: KONSTELASI POLITIK DI TAHUN ELEKTORAL

234 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 15 No. 2 Desember 2018 | 233–248

dan penasehat partai demokrat sekaligus mantan presiden Indonesia.

Keterlibatan militer dalam pemilu-pemilu di Indonesia bukanlah sesuatu yang baru. Pada masa Orba, militer bahkan menjadi salah satu pilar penopang kemenangan partai Golkar dalam pemilu-pemilu yang dilakukan pada masa itu. Sedangkan pada masa Orde Lama, militer justru membangun pengaruh politiknya dalam perlu untuk kepentingan kelompoknya dan seringkali pilihan politik yang dilakukan militer pada masa Orde Lama berseberangan dengan pilihan politik presiden maupun elite-elite politik lainnya.

Tindakan intervensi kelompok sipil pada persoalan-persoalan internal militer pada masa Kabinet Demokrasi Terpimpin, misalnya memunculkan peristiwa 17 Oktober 1952, di mana sejumlah elite TNI AD mengarahkan moncong meriam ke istana negara untuk memaksa presiden saat itu—Soekarno untuk membubarkan konstituante karena dipandang terlalu banyak mencampuri urusan internal militer. Tindakan militer tersebut oleh sebagian kalangan menunjukan bahwa bagaimanapun militer merupakan kelompok kepentingan institusional yang tidak bisa diabaikan dalam percaturan politik Indonesia.1

Saat Sukarno pelan-pelan “dipereteli” kekuasaannya pasca-1965, dan Soeharto naik sebagai presiden pada 1967, tren para perwira militer memegang jabatan kepala daerah berlanjut dan semakin meluas. Beberapa di antaranya ada yang jadi gubernur hingga 10 tahun, selain jadi wali kota, bupati, atau Ketua DPRD.

Sebelum Soeharto berkuasa, hanya ada satu bupati dari golongan militer di Ketapang, Kalimantan Barat, yakni Hercan Yamani. Pada 1968, lima dari tujuh bupati adalah mantan perwira militer. Masih di pulau yang sama, wali kota Balikpapan, bahkan dari 1963 hingga 2001, berasal dari kalangan militer/polisi.

Letjen Marinir Ali Sadikin yang menjadi gubernur Jakarta hingga tahun 1977 pun digantikan oleh orang-orang dari kalangan Angkatan darat. Ada Tjokropranolo, R. Soeprapto, Wiyogo Atmodarminto, Soerjadi Soedirdja,

1 Ikrar Nusa Bhakti, Tentara Mendamba Mitra, (Bandung: Penerbit Mizan, 1999), hlm. 31.

hingga Sutiyoso. DKI Jakarta baru dipimpin oleh sipil pada saat dipegang oleh Fauzi Bowo, yang berkarier sebagai birokrat, pada 2007. Tren warga sipil memimpin Jakarta berlanjut hingga gubernur sekarang yakni Anies Baswedan.

Contoh lainnya yakni Gubernur Sulawesi Selatan yang berkuasa dari tahun 1960 hingga 1966 adalah Kolonel Andi Ahmad Rivai. Setelahnya digantikan oleh Ahmad Lamo dari tahun 1966 hingga 1978. Pola pergantian kepala daerah selanjutnya, para gubernur setelah Ahmad Lamo kemudian diisi oleh kalangan berlatar belakang militer. Hanya satu orang sipil, yakni Ahmad Amirudin (mantan rektor Universitas Hasanuddin) yang pernah menjadi Gubernur Sulawesi Selatan. Begitupun Sumatera Utara, setelah seorang loyalis Soekarno, Brigadir Ulung Sitepu berhenti dari jabatannya, hanya P.R. Telaumbanua dari kalangan sipil yang berkantor di gubernuran dari 1965 hingga 1967. Selebihnya semasa Orde Baru, Sumatera Utara dipimpin oleh gubernur dari kalangan militer . Di Sumatera Selatan, setelah Ali Amin menjadi gubernur dari tahun 1966 hingga 1967, kepemimpinan berikutnya dipegang oleh deretan nama jenderal antara lain; Brigjen Asnawi Mangku Alam (1967-1978), Brigjen Sainan Sagiman (1978-1988), dan Brigjen Ramli Hasan Basri (1988-1998).

Sejak tahun 1966, Jawa Tengah dipimpin oleh gubernur militer, yakni Mayjen Moenadi, yang menjabat hingga tahun 1974. Estafet gubernur dari kalangan tentara pun berlanjut selepas itu tak terkecuali di Jawa Barat. Mashudi, Solihin Gautama Putra, Aang Kunaefi, Yogie Suardi Memet, dan Nana Nuriana merupakan jenderal-jenderal yang menjabat gubernur di Jawa Barat dan mayoritas mereka berasal dari Angkatan Darat. Biasanya jenderal-jenderal tersebut pernah menduduki Panglima Komando Daerah Militer di provinsi tersebut. Seperti Jawa Barat dan Jawa Tengah, dari tahun 1966 hingga 1998, Jawa Timur pun hanya memiliki satu gubernur dari kalangan sipil yakni Mohammad Noer yang memimpin sejak tahun 1967 hingga 1976. Noer berlatar belakang pegawai pangreh praja sejak era kolonial.

Pasca Orde Baru, pemilihan kepala daerah dilakukan secara langsung. Dalam momen kontestasi tersebut, banyak aktor-aktor yang

Page 123: KONSTELASI POLITIK DI TAHUN ELEKTORAL

Militer dan Pemilu-Pemilu di Indonesia | Sri Yanuarti | 235

berasal dari kalangan militer mengambil peluang untuk menjadi kepala daerah. Tulisan ini mencoba menganalisis, bagaimana TNI menerjemahkan posisi mereka dalam politik pada masa demokrasi, khusus pada pemilu-pemiludi Indonesia? Dan strategi apa yang dimainkan oleh militer untuk menopang kepentingan politiknya? Serta bagaimana dampak peran tersebut terhadap konsolidasi dan profesionalisme politik?.

Militer dan Pemilu: Telaah TeoritikPartisipasi warga negara dalam pemilihan umum merupakan komponen fundamental dari masyarakat demokratis.2 Hal ini diakui oleh masyarakat internasional bahwa semua manusia harus memiliki hak untuk memilih dan untuk mencalonkan diri dalam pemilu.3Selain itu, setiap orang berhak atas akses yang sama ke layanan publik. Oleh karenanya, ketimpangan atau diskriminasi berdasarkan ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pendapat politik atau lainnya, asal kebangsaan atau sosial, properti, kelahiran atau status lainnya harus dilarang.4

Peran militer dalam masyarakat memiliki dampak langsung terhadap keterlibatan militer dalam pemilihan umum. Setidaknya ada dua pendekatan mengenai peran militer dalam pemilu. Pandangan pertama menyatakan bahwa militer adalah bagian integral dari masyarakat dan memiliki tanggung jawab politik dalam tatanan demokrasi dan supremasi hukum dalam negara. Dalam pandangan ini peran militer dalam politik dan pemilu dianggap tidak dapat menimbulkan ancaman terhadap demokrasi. Dalam kaitan ini, negara mendorong dan mendukung kegiatan politik militer baik di ranah legislatif maupun eksekutif. Namun demikian, beberapa tingkat netralitas politik prajurit harus dijamin.5 Hal ini ditunjukan dengan adanya efektiftivitas militer dalam menjalankan tugas pokok dan fungsinya. Di Denmark misalnya, sebagai aturan umum,

2 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, Pasal 21 danPasal 25 ICCPR

3 Komisi Venesia, Pedoman Pemilihan Umum, yang diadopsi oleh Komisi Venesia pada Sesi ke-51.(Venesia, 5-6 Juli 2002), http://www.venice.coe.int/docs/2002/CDL-AD

4 Pasal 26 ICCPR.

5 G. Nolte (ed.), Sistem Hukum Militer Eropa, 2003, hlm. 371.

personel militer dapat memilih dan mencalonkan diri dalam pemilu. Pembatasan tertentu dapat dikeluarkan hanya dalam situasi darurat oleh Kementerian Pertahanan.6 Militer tidak dilihat sebagai ancaman potensial terhadap tatanan demokrasi dan dapat secara aktif berpartisipasi dalam kegiatan politik. Sedangkan di Jerman untuk partisipasi prajurit dalam pemilihan sebagai pemilih dan kandidat didasarkan pada konsep “citizen in uniform” yang memungkinkan tentara untuk secara aktif terlibat dalam kehidupan politik negara. Keterlibatan tentara seperti itu telah didorong oleh konstitusi dan hukum perundang-undangan Jerman di mana hak prajurit untuk memilih tidak dibatasi dalam hal apapun.7 Selain itu, tentara dapat mencalonkan diri untuk pemilihan umum dan memegang jabatan publik pilihan di negara federal (regional), tingkat lokal dan Eropa. Tugas dinas mereka ditangguhkan selama masa keanggotaan tentara di badan masing-masing.

Situasinya serupa di Austria di mana tentara menikmati hak memilih yang aktif dan hak mencalonkan diri dalam pemilihan. Hal ini dikarenakan personil militer memiliki akses ke semua posisi publik. Para prajurit yang menjalankan mandat publik dapat diberikan bebas cuti atau dibebaskan dari tugas militer. Solusi ini memungkinkan untuk memisahkan tugas militer dari tugas yang terkait dengan mandat publik. Undang-Undang Pemilihan Parlemen Latvia menyediakan hak prajurit untuk mencalonkan diri dalam pemilihan, namun, dalam kasus di mana individu dikonfirmasi sebagai kandidat resmi selama pemilihan, mereka harus mendapatkan cuti dari jabatannya.

Pandangan kedua mengatakan bahwa militer perlu dikontrol secara ketat oleh otoritas pertahanan masing-masing dalam kegiatan politik termasuk pemilu. Pembatasan hak memilih dan dipilih militer dapat dibenarkan karena kegiatan politik militer tidak sesuai dengan prinsip akuntabilitas demokratis angkatan bersenjata. Hal ini dikemukakan oleh Robin Luckham yangmengindentifikasikan beberapa isu penting

6 Jensen, “Military Law in Denmark”, dalam Nolte (ed.), European Military Law Systems, hlm. 249.

7 Nolte dan Krieger, “Military Law in Germany”, dalam Nolte (ed.), European Military Law Systems, (Berlin, 2003), hlm. 371.

Page 124: KONSTELASI POLITIK DI TAHUN ELEKTORAL

236 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 15 No. 2 Desember 2018 | 233–248

terkait posisi militer.8 Pertama, mencegah terhadap intervensi militer ke dunia politik atau mencegah militer tidak membentuk tatanan politik baru yang sesuai dengan kepentingannya. Kedua, adanya kontrol terhadap hak-hak istimewa dan struktur birokrasi militer. Ketiga, kemapanan militer yang memperoleh hak-hak istimewa dalam rezim otoritarian, sehingga ketika demokratisasi dimulai, militer tetap enggan melepas hak-hak istimewanya. Keempat, perilaku dan komitmen pemerintah sipil yang baru terhadap demokrasi.

Kondisi di atas menurut Samuel P. Huntington hanya dapat dilakukan dengan cara meningkatkan profesionalisme angkatan bersenjata, mengorientasikan kembali militer dari misi keamanan dalam negeri ke misi keamanan luar negeri, mengurangi staf yang berlebihan, dan menghapuskan tanggung jawab non-militer.9 Tugas berat ini tentu saja membutuhkan konsolidasi dan menjadi tanggung jawab pemerintahan demokratis baru yang dipimpin oleh sipil.

Selain itu, harus ada upaya untuk mereduksi pengaruh militer secara gradual, dan sipil harus mampu mengontrol seluruh seluk beluk militer (strategi, struktur kekuatan, persenjataan, inteljen, anggaran, dan kebijakan yang berkaitan dengan sektor keamanan). Strategi ini, menurut Larry Diamond, membutuhkan perubahan secara inkremental, melalui proses tawar-menawar, dialog, serta membangun konsensus ketimbang membuka konfrontasi. Sementara itu rezim demokratis yang baru harus memastikan bahwa militer tidak akan mencoba untuk melakukan kudeta dan menggangu kekuasaan sipil. Kondisi ini hanya dapat dilakukan apabila ada kontrol sipil yang kuat.10 Oleh karena itu, negara harus mendorong sebuah lingkungan militer yang independen sehingga kelompok sipil yang beraneka ragam tidak memaksimalkan kekuasaan

8 Robin Luckhman, “Democracy and Military: An Epitaph for Frankenstein’s Monster?” Journal Democratization, Vol. 3, No.2, (Summer 1996).

9 Samuel P.Huntington, The Third Wave of Democratization in The Late Twentieth Century (Norman: University of Oklahoma Press, 1991), hlm. 58.

10 Larry Diamond and Marc Plattner (eds), Hubungan Sipil-Militer dan Konsolidasi Demokrasi, (Jakarta: Rajawali Press, 2000), hlm. 20-21.

mereka dalam urusan-urusan militer dengan melibatkan mereka dalam urusan-urusan politik.

Turki mewakili konsep netralitas politik tentara yang luas. Menurut pasal 67 Konstitusi dan pasal 7 Undang-undang tentang Ketentuan Utama tentang Pemilihan dan Daftar Pemilih, “para prajurit dan orang-orang yang terdaftar serta para taruna tidak dapat memilih”. Selain itu, kemampuan seseorang untuk menduduki jabatan publik tergantung pada apakah ia telah melakukan wajib militer. Pada saat yang sama, “mereka yang belum menyelesaikan dinas militer dan anggota angkatan bersenjata yang tidak melepaskan tugas mereka, tidak dapat menjadi kandidat dan anggota parlemen terpilih”.11 Mereka juga tidak dapat dipilih sebagai walikota atau sebagai anggota dari dewan provinsi dan kotamadya.

Sedangkan di Luksemburg, angkatan bersenjata dapat memilih dalam pemilihan, tetapi mereka tidak dapat mencalonkan diri untuk pemilihan atau memegang jabatan publik.12 Menurut Kode Administrasi Luksemburg (Pasal 54), mandat dari Anggota Parlemen tidak kompatibel dengan petugas servis sedang bertugas. Peraturan ini untuk mencegah penggabungan kekuatan legislatif dan publik. Pembatasan ini lebih luas jangkauannya di Rumania daripada di negara demokrasi lain yang sedang ditinjau karena membatasi kemampuan tentara untuk dipilih bahkan untuk posting di lembaga kota.

Namun jika pembatasan peran militer akan dilakukan maka setidaknya hal tersebut dilakukan mengikuti prinsip-prinsip sebagai berikut;

a) Prinsip LegalitasPrinsip pertama yang diterapkan dalam hal ini adalah prinsip legalitas. Pembatasan atas hak pemilihan prajurit harus diberikan oleh hukum, yang harus menjamin tingkat transparansi dan non-diskriminasi di dalam angkatan bersenjata selama pemilihan. Misalnya, di Polandia dan Spanyol, hak pemilihan prajurit, khususnya hak mereka untuk ikut pemilihan, dibatasi oleh

11 The Turkish Constitution, Pasal. 76

12 Military Law in Luxembourg, dalam Nolte (ed.), European Military Law Systems, hlm. 529.

Page 125: KONSTELASI POLITIK DI TAHUN ELEKTORAL

Militer dan Pemilu-Pemilu di Indonesia | Sri Yanuarti | 237

konstitusi negara masing-masing. Selain itu, konstitusi suatu negara dapat memuat ketentuan-ketentuan yang secara tidak langsung membatasi hak prajurit untuk ikut pemilihan.13

Peran militer selama pemilu juga dapat ditentukan oleh undang-undang. Tingkat transparansi yang signifikan dalam hal ini dapat dijamin oleh pertimbangan parlemen tentang masalah-masalah tersebut. Jika hak elektoral para prajurit sampai batas tertentu diatur oleh tindakan administratif lembaga eksekutif suatu negara, mereka harus didasarkan pada undang-undang yang berlaku.

b) Prinsip ProporsionalitasPrinsip lain yang harus diterapkan pada pembatasan hak pemilihan prajurit adalah asas proporsionalitas. Ini berarti bahwa hak-hak prajurit untuk berpartisipasi dalam pemilihan atau untuk menduduki jabatan-jabatan publik yang dipilih dapat dibatasi hanya sejauh yang dapat diterima dalam masyarakat demokratis - dan diperlukan untuk disesuaikan dengan tujuan pertahanan atau kebutuhan khusus angkatan bersenjata. Tujuan pertahanan dan kebutuhan khusus angkatan bersenjata, termasuk masalah disiplin dan keefektifan militer, ditetapkan dalam konstitusi dari masing-masing negara. Dengan demikian, negara tetap mempertahankan batas utama penghargaan untuk memutuskan apa yang dapat diterima dan pembatasan proporsional hak pemilihan prajurit dalam situasi tertentu.

Dinamika Peran TNI dalam Pemilu: Masa Orde LamaIntervensi militer dalam pemilu dimulai sejak tahun 1955 yakni pada pemilu pertama di Indonesia. Saat itu militer memiliki hak memilih dan hak dipilih. Hanya saja militer tidak mendapat jatah kursi di Parlemen.

Dua tahun setelah pemecatannya sebagai Kepala Staf Angkatan Darat menyusul unjuk kekuatan yang dikenal sebagai insiden 17 Oktober 1952, Jenderal Abdul Haris Nasution mendirikan IPKI sebagai “organisasi depan tentara” bersama dengan tokoh militer lainnya

13 Undang-undang Hungaria No. XCV tahun 2001.

seperti Gatot Soebroto dan Azis Saleh, dan dengan dukungan kesultanan Yogyakarta.14 Partai ini berisikan bekas-bekas pejuang di masa revolusi. Bekas pelarian Tentara Belanda yang belakangan jadi aktivis HAM, Poncke Pricen, juga pernah sebentar jadi wakil IPKI di Parlemen. Partai ini dikenal sebagai partainya Angkatan Darat. Orang kepercayaan Nasution di Angkatan Darat, Ahmad Sukendro bahkan pernah jadi ketuanya. Begitu juga istri dari Kolonel Hidayat, Ratu Aminah.15

Menurut seorang ahli sejarah, pendirian IPKI dilandasi atas ketidakmampuan Nasution untuk menentang Soekarno secara frontal. Oleh sebab itu, ia mengatur strategi sendiri. Setelah dicopot dari posisinya, Nasution berpidato bahwa revolusi belum selesai. Bahkan, dalam kampanye partai IPKI tahun 1955 ia juga berpidato tentang hal tersebut. Nasution mendirikan IPKI pada dasarnya bertujuan untuk memberi kesempatan kepada tentara (untuk) berpolitik

Partai IPKI menargetkan personil militer dan keluarga mereka, dan veteran, khususnya di Jawa Barat dan pulau-pulau luar (non-Jawa). Meskipun Nasution menyalahkan partai-partai politik untuk negara, ia mengatakan bahwa ia tidak ingin pengambilalihan militer. Dia juga mengklaim bahwa Konstitusi Indonesia yang berlaku pada saat itu “terlalu barat”. Namun, kabinet melihat IPKI sebagai ancaman dan mencoba untuk membelenggunya dengan menuntut bahwa perwira Angkatan Darat wajib mengundurkan diri jika mereka ingin maju dalam pemilihan 1955 sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat atau Majelis Konstitusi.

Pada pemilu 1955, partai itu mengajukan 167 calon di 11 dari 16 distrik pemilihan, tetapi hanya memenangkan 1,4% suara dan memberikannya empat dari 167 kursi di Dewan Perwakilan Rakyat. Sebagian besar suara, 81,7%, berasal dari Jawa Barat karena memperoleh dukungan dari Divisi Siliwangi.

14 Herbert Feith dan Lance Castles (editor), Indonesian Political Thinking 1945-1965, (Jakarta : Equinox Pub., 2007), hlm. 405.

15 Ulf Sundhaussen, The Road to Power: Indonesian Military Politics 1945–1967, (UK: Oxford University Press, 1982), hlm. 89.

Page 126: KONSTELASI POLITIK DI TAHUN ELEKTORAL

238 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 15 No. 2 Desember 2018 | 233–248

Intervensi militer terhadap pemilu 1955 tampak semakin jelas ketika dukungan penuh terhadap IPKI datang dari Divisi Siliwangi secara terang-terangan. Divisi Siliwangi Jawa Barat memberi dukungan berupa angkutan dan bahkan uang bagi orang-orang yang berkampanye untuk Partai Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI). Selain itu sejumlah perwira terkemuka dari Divisi Sriwijaya di Sumatera Selatan berkampanye untuk IPKI, demikian juga seorang panglima di Kalimantan.

Perwakilan IPKI-- Dahlan Ibrahim menjabat sebagai menteri untuk urusan veteran di Kabinet Ali Sastroamidjojo Kedua, tetapi pada bulan Desember 1956 partai menariknya sebagai protes atas ketidakmampuan pemerintah untuk menangani serangkaian pemberontakan daerah yang dipimpin oleh personil tentara yang tidak puas, yang pada akhirnya mengarah pada Pemberontakan PRRI.16 IPKI juga menyerukan agar kabinet mengundurkan diri dan digantikan oleh mantan wakil presiden Mohammad Hatta. Pemberontakan ini menyebabkan kabinet runtuh, dan digantikan oleh Kabinet Kerja, di mana Azis Saleh menjabat sebagai menteri kesehatan.17

Sementara itu, Mahkamah Agung (MA) yang dibentuk untuk menyusun konstitusi tidak berjalan karena adanya isu tentang peran Islam dalam berbagai pemberontakan di daerah.18 Pada tahun 1959, IPKI secara terbuka menyerukan untuk kembali ke UUD 1945 yang asli, dan pada konferensi tahun itu pula IPKI meminta Presiden Soekarno untuk menerapkannya, namun Mahkamah Agung tidak dapat melakukannya. Pada bulan Juni, IPKI membentuk “Front untuk Pertahanan Pancasila”. Mereka mengajak 17 partai kecil dan memulai boikot terhadap Mahkamah Agung. IPKI juga berhasil membujuk Partai Nasional Indonesia (PNI) dan Partai Komunis Indonesia (PKI) untuk bergabung dengan boikot MA, yang berarti Majelis tidak

16 Feith Herbert, The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia, (Jakarta: Equinox Publishing –Asia Pte Ltd, 2007), hlm. 533.

17 Daniel S Lev, The Transition to Guided Democracy: Indonesian Politics 1957-1959, (Jakarta: Equinox Publishing-Asia, 2009), hlm. 26-34.

18 M.C. Ricklefs, A History of Modern Indonesia Since c.1200, (Stanford: Stanford University Press, 1991), hlm. 252-254.

bisa lagi berfungsi. Pada 5 Juli 1959, Presiden Soekarno memberlakukan kembali UUD 1945 dengan dekrit, dan juga membubarkan MA.19

Pada 5 Maret 1960, Soekarno menangguhkan badan legislatif dan mengumumkan penunjukkan sebuah badan untuk menggantikannya, yakni Dewan Perwakilan Rakyat dari Bantuan Bersama (Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong, DPR – GR). Badan ini tidak akan mencakup partai-partai yang lebih kecil, dan dalam hal apapun, IPKI tidak lagi diperlukan karena Angkatan Darat akan diberikan kursi mereka sendiri. Namun, A.H Nasution berhasil membujuk Soekarno untuk tidak melarang IPKI dan kemudian IPKI diberi kursi.20

Ketika periode Demokrasi Terpimpin berlanjut, IPKI mulai menentang Soekarno, dan pada akhir tahun 1966 bergabung dengan sekelompok partai-partai yang menyerukan tatanan politik baru. Lima tahun setelah upaya kudeta Gerakan 30 September yang menyebabkan kejatuhan Soekarno dan dimulainya rezim Orde Baru, IPKI adalah salah satu dari sembilan partai yang bersama dengan kendaraan rezim Soeharto yakniGolkar bersaing dalam pemilihan umum tahun 1971. IPKI memenangkan kurang dari satu persen suara sehingga tidak memilikikursi di parlemen. Pada tahun 1973 IPKI bergabung dengan Partai Demokrasi Indonesia.

Dinamika Peran TNI dalam Pemilu: Masa Orde Baru Pasca tragedi 30 Oktober 1966, Soekarno yang menyadari kedudukannya kian terjepit, dalam pidato tahunan 17 Agustus 1966 “menantang” Soeharto untuk menguji kepopulerannya. Melalui pidato yang dikenal dengan nama “Jasmerah” (Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah) tersebut, Soekarno hendak mempertaruhkan popularitasnya melalui pemilihan umum.

Tuntutan untuk segera dilaksanakannya pemilihan umum sebenarnya telah dibicarakan di dalam Sidang Umum MPRS IV yang menghasilkan Tap MPRS No.IX/MPRS/1966.

19 Ulf Sundhaussen, The Road to Power: Indonesian Military Politics 1945–1967, (UK: Oxford University Press, 1982), hlm. 136.

20 Ulf Sundhaussen, The Road to Power.., hlm. 146-148.

Page 127: KONSTELASI POLITIK DI TAHUN ELEKTORAL

Militer dan Pemilu-Pemilu di Indonesia | Sri Yanuarti | 239

Para politisi partai termasuk yang paling bersemangat untuk segera melaksanakan pemilihan umum. Partai-partai politik, terutama PNI dan NU, menyadari bahwa mereka memiliki basis-basis pendukung massa di daerah. Mereka memperkirakan basis pendukung pada pemilihan umum 1955 masih berlaku dan bertahan.

Angkatan Darat mungkin tidak bersemangat menyelenggarakan pemilihan umum, namun di sisi lain tidak dapat mengelak dari tuntutan untuk diadakannya pemilihan umum. Hal ini terkait pula dengan retorika politik Orde Baru tentang pelaksanaan UUD 1945 secara murni dan konsekuen, di mana memandang pelaksanaan pemilu sebagai salah wujud aktualisasi demokrasi sebagaimana digariskan UUD 1945.21 Maka dalam Seminar Angkatan Darat di Bandung bulan Agustus 1966, Angkatan Darat menerima kenyataan bahwa pemilihan umum harus diadakan sesuai dengan keputusan MPRS dalam Sidang Umum MPRS IV, yang menetapkan penyelenggaraan pemilihan umum selambat-lambatnya 5 Juli 1968, namun dengan syarat bahwa kekuatan-kekuatan Pancasila harus menang dalam pemilihan umum.

Seminar yang bertujuan merumuskan program politik bagi Angkatan Darat itu diikuti oleh perwira-perwira senior Angkatan Darat dan para penasehat sipil yang terdiri dari sekelompok ekonom dari Universitas Indonesia yang mendapat didikan Barat. Seminar juga menerima usul untuk mencetuskan gagasan sistem pemilihan umum yang diperkirakan tidak akan menguntungkan partai-partai politik. Sebaliknya, dengan sistem pemilihan baru nantinya memungkinkan kekuatan-kekuatan politik baru menjadi tantangan bagi partai-partai politik.22

Terkait rencana tersebut, Angkatan Darat yang belum merasa siap, memandang perlu untuk mengulur-ulur jadwal pelaksanaan pemilihan umum. Bahkan militer justru mengangkat issu perlunya perombakan sistem struktur politik, yang tidak saja meremehkan arti pemilihan umum bahkan menuntut pembubaran partai-

21 Ali Moertopo, Strategi Politik Nasional, (Jakarta: CSIS, 1974), hlm. 62-63.

22 Harold Crouch, Militer dan Politik di Indonesia, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1986), hlm. 280.

partai politik. Militer menggunakan kalangan intelektual, mahasiswa, pemuda, dan anggota kesatuan aksi untuk mendorong tuntutan perombakan struktur politik. Hingga memasuki tahun 1968, ketika Soekarno benar-benar jatuh dari kedudukannya, tuntutan pembaruan struktur politik mengemuka kembali.. Mayjen H.R. Dharsono dan tokoh-tokoh AD lainnya, terutama kaum militan yang anti partai, mengemukakan bahwa rintangan-rintangan utama yang dihadapi pada masa itu adalah struktur politik yang masih menganut ideologi dan sistem banyak partai. Mayjen Kemal Idris, yang juga anti partai, pernah meminta agar Presiden Soeharto mengambil tindakan cepat untuk membersihkan semua sisa loyalis Orde Lama di lembaga-lembaga pemerintahan. Sikap militansi anti partai ini jelas terlihat pada perwira-perwira Divisi Siliwangi Jawa Barat. Beberapa jenderal penting seperti Nasution dan Panglima Siliwangi Dharsono, sangat mendukung dilaksanakannya sistem distrik bagi wakil-wakil daerah pemilihan. Sikap kompromi pemerintah dengan partai-partai amat mengecewakan kelompok Siliwangi.23

Pada tahun 1967, dengan dukungan penuh dari Panglima Siliwangi dan rekannya Panglima Kostrad, Kemal Idris, menyiarkan suatu rencana menjalankan sistem Dwi Partai di Jawa Barat. Rencana tersebut mempertimbangkan dibubarkannya partai-partai yang ada untuk diganti dengan dua partai baru yang keduanya merupakan pemerhati modernisasi dan pembangunan, akan tetapi berbeda dalam hal program yang ditawarkan.

Awal tahun 1969, dengan sedikit modifikasi gagasan itu tiba-tiba muncul dalam bentuk dewan-dewan perwakilan lokal di beberapa kabupaten di Jawa Barat, yang tak lain muncul akibat tekanan keras tentara terhadap partai-partai. Namun, segera diperintahkan kepada Dharsono untuk menghentikan pelaksanaan sitem Dwi Partai menyusul protes dari para pimpinan partai di Jakarta. Di antara kalangan pembaharu, semangat anti ideologi partai memang terasa kuat, agaknya sisa-sisa anti-PKI maupun politik Nasakom masa Demokrasi Terpimpin, yang memberi legitimasi bagi perkembangan orientasi ideologi. Orientasi ideologi tersebutlah yang

23 Harold Crouch, Militer dan Politik.., hlm. 283-384.

Page 128: KONSTELASI POLITIK DI TAHUN ELEKTORAL

240 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 15 No. 2 Desember 2018 | 233–248

pada akhirnya menimbulkan konflik dalam masyarakat.

Dengan a lasan te r tunda- tundanya pembahasan RUU Pemilihan Umum, Pejabat Presiden Soeharto berhasil “meyakinkan” pimpinan MPRS bahwa pemilihan umum tidak dapat diselenggarakan sesuai dengan ketetapan MPRS yaitu selambat-lambatnya 6 Juli 1968. Akhirnya melalui Sidang Umum V MPRS ditetapkan penundaan waktu penyelegaraan pemilihan umum, yakni selambat-lambatnya tanggal 5 Juli 1971. Alasnnya adalah, adanya rintangan-rintangan utama yang dihadapi pada masa terkait struktur politik yang masih menganut ideologi dan sistem banyak partai.

Tuntutan-tuntutan perombakan struktur politik semakin meluas, bahkan pada pertengahan 1969 muncul gagasan perombakan struktur melalui dekrit presiden. Namun, Soeharto memilih jalan yang nampak demokratis. Soeharto mengemukakan bahwa dia tidak akan mengubah struktur politik dengan paksaan, lebih-lebih dengan membubarkan partai-partai politik.

Peranan politik Ali Moertopo berkaitan dengan persoalan politik utama yang dihadapi Orde Baru pada saat kelahirannya, adalah bagaimana menata dan membangun kembali sistem politik Indonesia yang porak-poranda. Ali Moertopo menilai sistem politik sebelumnya terbukti rapuh akibat ketidak mampuan menjaga kestabilan sebagai akibat dari persaingan dan pertentangan politik yang semakin tidak sehat. Pemusatan berlebih pada politik dan kekuasaan mengakibatkan perhatian pada aspek-aspek lain dari kehidupan masyarakat menjadi merosot. Maka, permasalahan pokok yang dihadapai Orde Baru pada waktu kelahirannya adalah bagaimana membangun suatu sistem politik yang dapat diandalkan guna memungkinkan penataan pembangunan ekonomi dan bidang-bidang lainnya.24

Dalam upaya penataan struktur politik inilah, Ali Moertopo memainkan langkah-langkah penggalangan. Menghadapi pemilihan umum 1971, operasi penggalangan Ali Moertopo memainkan peranan menonjol. Ia mengorganisasi serangkaian operasi intelijen politik melalui

24 Brian May, The Indonesua Tragedy, (Singapore: Graham Brash, 1978), hlm. 234.

gerakan-gerakan bawah tanah yang bertujuan memperlemah partai-partai politik dan organisasi-organisasi profesi, dan di lain pihak untuk memperkuat Sekber Golkar.25

Untuk meyakinkan bahwa Sekber Golkar akan bertindak efektif dalam pemilihan umum nanti, dibentuklah Bapilu (Badan Pengendali Pemilihan Umum) di bawah pimpinan Ali Moertopo sendiri. Bapilu, sebagai perangkat operasionil Golkar, selanjutnya bertanggung jawab terhadap seluruh kegiatan dan usaha-usaha untuk memenangkan Golkar dalam pemilihan umum 1971. Dasar strategi Bapilu amat sekuler, dan sebagian besar di dalamnya terdiri dari bekas aktivis kesatuan-kesatuan aksi yang mendukung pemikiran pembaharuan. Bapilu yakin akan kebutuhan modernisasi politik di Indonesia.

Operasi-operasi Opsus memainkan peranan amat penting dalam memperkuat Sekber Golkar. Pelaksanaan Opsus biasanya dengan jalan melakukan intervensi pada rapat-rapat atau musyawarah partai dan kemudian memanipulasi konvensi-konvensi partai yang telah ada untuk menciptakan krisis kepemimpinan, yang pada gilirannya pemerintah berkesempatan mendorong kepemimpinan yang akomodatif dengan pemerintah. Pelaksanaan Opsus juga untuk menjamin bahwa kelompok-kelompok yang mungkin dapat mengobarkan permusuhan, tidak memegang kendali organisasi yang masih dapat menghimpun dukungan besar.26

Target utama adalah partai nasionalis terbesar, PNI. Operasi yang dikerjakan Opsus menghasilkan terpilihnya Hadisubeno, menyingkirkan Hardi yang dikenal sebagai pengecam peranan Dwi-Fungsi ABRI. Lalu, operasi terhadap partai kecil IPKI, dari kelompok nasionalis lainnya, sehingga kongres tahunan dalam bulan Mei 1970 menghasilkan pimpinan yang pro pemerintah.27

Perlakuan yang sama juga menimpa PWI, suatu organisasi wartawan Indonesia. Kongres PWI 22 Oktober 1970 berakhir dengan kekisruhan

25 Tempo, “Ali Moetopo Telah Pergi”, (28 Mei 1984.

26 Harold Crouch, Militer dan Politik di Indonesia, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1986), hlm. 297.

27 Masashi Nishihara, Golkar and the Indonesia Election of 1971, (New York: , Cornell University, 1972), hlm. 21.

Page 129: KONSTELASI POLITIK DI TAHUN ELEKTORAL

Militer dan Pemilu-Pemilu di Indonesia | Sri Yanuarti | 241

besar karena munculnya dua badan eksekutif sekaligus, yang salah satunya dilaporkan memperoleh dukungan dari Opsus. Kekisruhan makin menjengkelkan dengan pengakuan dari para pejabat pemerintah kepada badan eksekutif dukungan Opsus. Operasi-operasi yang sama pada kurun waktu yang hampir bersamaan ditujukan kepada IDI (Ikatan Dokter Indonesia) dan Persahi (Persatuan Sarjana Hukum Indonesia). Untuk mendukung pemilu masa Orde Baru, militer juga mendukung proses fusi partai politik yang ada. Bahkan salah satu partai yang pernah didirikan oleh militer yakni IPKI dalam proses fusi tersebut bergabung dalam PDI.

Dalam proses selanjutnya, keterlibatan militer Indonesia pada pemilu-pemilu di Indonesia sepanjang Orde Baru lebih berperan sebagai alat rezim Soeharto untuk memenangkan Golkar pada pemilu-pemilu yang berlangsung selama lebih dari 32 tahun. Melalui dwi fungsi ABRI, militer dengan leluasa melakukan berbagai intervensi dalam proses pemilu yang ada. Kegiatan yang sering dilakukan oleh militer dalam memenangkan Golkar pada masa Orde Baru adalah dengan melakukan, Pertama, intervensi terhadap partai politik selain Golkar untuk memenangkan Golkar dalam pemilu-pemilu Orde Baru; Kedua, intimidasi dan kekerasan pada individu atau kelompok masyarakat yang tidak memilih Golkar.

Intervensi militer kepada partai-partai politik guna memenangkan Golkar dalam pemilu-pemilu masa Orde Baru terlihat jauh sebelum dilakukannya pemilu pertama era Orde Baru. Tahun 1966 ketika PNI mengadakan kongres di Bandung, kepemimpinannya yang tadinya dipegang oleh Ali Sastroamidjojo-Surachman digantikan oleh Osa Maliki-Usep Ranawidjaja, karena campur tangan militer. Pertarungan antara kubu Ali-Sartono dan Osa-Usep pada Kongres PNI di Bandung 24-27 April 1966 berlangsung dalam suasana penuh kecurigaan. Aparat keamanan dari Kodam Siliwangi ikut mengamankan jalannya sidang. Keuntungan tampaknya berada pada kelompok Osa-Usep yang didukung oleh pihak militer dan KAMI Bandung.28

28 Paulus Widiyanto, “Osa Maliki dan Tragedi PNI Konflik Intern Pra dan Pasca 1965” Prisma Edisi Khusus, 20 Tahun

Intervensi militer pada partai politik dalam persiapan pemilu 1971 juga dilakukan kala militer membekukan PNI di seluruh Sumatera oleh Panglima Daerah Militer. Namun demikian, melalui instruksi Presiden No. 16/1967 kepada Gubernur/Kepala Daerah dan Panglima Komando Keamanan dan Ketertiban Daerah, PNI di seluruh Sumatera dikembalikan lagi guna memberi kesempatan kepada PNI melaksanakan kristalisasi dan kondolidasi, kecuali PNI di Aceh yang telah membubarkan diri. 29

Nasib serupa juga menimpa Parmusi tahun 1967 saat melakukan Muktamar I di Malang. Terpilihnya Mohammad Roem sebagai ketua, akhirnya dikudeta oleh seorang militer bernama Naro dan Imran Kadir. Kala itu sidang yang dipimpin oleh Djarnawi Hadikusumo/Lukman Harun yang dianggap melanggar komitmennya dengan pemerintah. Lalu pemerintah merestui Parmusi di bawah kepemimpinan H.M.S. Mintaredja yang dianggap lebih moderat.30

Hal sama dilakukan militer pada PSII setelah pemilu 1971. Pada Muktamar PSII di Majalaya-- Jawa Barat, terpilihnya H.M. Ch. Ibrahim, Presiden Lajnah Tanfidiah, dan H. Warton, yang dianggap berhaluan keras terhadap pemerintah, dan akhirnya dengan bantuan militer digantikan kelompok Anwar Tjokroaminoto, Syarifuddin Harahap, H. Th. M. Gobel, dan Dr. Farid Bakry Laksamana, yang “dianggap pro pemerintah”.31

Meskipun fusi partai-partai politik telah dilakukan sesuai dengan rancangan rezim Orde Baru, namun keterlibatan militer dalam pemilu-pemilu melaui intervensi partai politik tetap dilakukan oleh militer. Hal ini misalnya terlihat pada munculnya konflik di partai politik di mana penyelesaiannya melibatkan militer. Tahun 1974, konflik kembali muncul dalam tubuh PDI, antara unsur PNI, kelompok Isnaeni-Sunawar dengan kubu Sanusi Hardjadinata Usep Ranuwidjaya. Konflik dipicu oleh perbedaan antar kubu tentang

Prisma 1971 -1991, hlm. 30-31.

29 Paulus Widiyanto, “Osa Maliki dan.., hlm. 37

30 A. Gaffar Karim, Metamorfosis: NU dan Politisasi Islam, (Yogyakarta: Pusataka Pelajar, 1995), hlm. 62-69.

31 Valina Singka Subekti . Partai Syarikat Islam Indonesia: Konstestasi Politik hingga Konflik Kekuasaan Elite, (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 1994), hlm. 31-33.

Page 130: KONSTELASI POLITIK DI TAHUN ELEKTORAL

242 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 15 No. 2 Desember 2018 | 233–248

pelaksanaan Kongres I. Kubu Isnaeni-Sunawar tidak menghendaki kongres karena dianggap terlalu cepat. Di pihak lain disebutkan bahwa konflik bermula dari keinginan PNI mendominasi kepanitiaan kongres, sebagaimana disepakati dalam Munas PNI, 2-3 Pebruari 1974. Akibatnya Isnaeni dan Abdul Madjid ditarik dari jabatannya, masing-masing dari jabatan ketua I dan sekjen PNI, dan kongres I ditunda pelaksanaannya.32

Untuk menyelesaikan hal tersebut dilakukan konsultasi dengan Ka-Bakin, 15 Februari 1974, Kaskopkamtib Soedomo, 16 Februari 1974, Mendagri, 27 Februari 1974 dan terakhir dengan Presiden. Akhirnya kubu Isnaeni-Sunawar, digantikan oleh Sanusi Hardjadinata yang didampingi oleh Usep Ranawidjaja. Kubu terakhir ini dianggap lebih moderat dan dekat dengan pemerintah dan militer saat itu.

Konflik-konflik yang terjadi di partai politik pada masa Orde Baru biasanya terjadi menjelang pelaksanaan pemilu. Keterlibatan dalam militer pada pada konflik-konflik tersebut pada dasarnya untuk memecah belah partai politik dan juga memilih figur ketua partai yang dianggap dekat dengan rezim Orde Baru dan militer. Tujuannyab tentu saja sangat jelas, yakni melakukan kooptasi pada partai politik di satu sisi, dan memenangkan Golkar di sisi lain.

Menjelang runtuhnya Orde Baru, militer dan rezim Orde Baru juga melakukan intervensi pada Konggres Partai Demokrasi Indonesia yang menelan banyak korban jiwa. Peritiwa tersebut dikenal sebagai peristiwa kuda tuli (tragedi 27 Juli). Tragedi 27 Juli 1996, bermula saat terjadinya dualisme di tubuh Partai Demokrasi Indonesia (nama awal PDIP). Ketua Umum PDI hasil kongres Medan, Soerjadi, menyerbu dan menguasai Kantor DPP PDI di Jalan Diponegoro 58, Jakarta, yang dikuasai Ketua Umum PDI kongres Surabaya, yaitu Megawati Soekarnoputri. Penyerbuan ini diduga kuat melibatkan unsur militer, terutama dari Komando Daerah Militer Jaya. Karena saat itu, Pemerintah yang dipimpin Presiden Soeharto tidak menyukai dan memberi restu pada PDI pimpinan Megawati.

Dugaan keterlibatan tentara ini semakin menguat setelah adanya pengakuan dari Yorrys

32 Adriana Elisabeth, dkk, PDIP dan Prospek Pembangunan Politik, (Jakarta: Grassindo, 1991), hlm. 50-55.

Raweyai yang kala itu aktif fdi Pemuda Pancasila. Politikus Partai Golkar ini ditahan polisi setelah kejadian tersebut karena terbukti mengerahkan massa “untuk mengamankan lingkungan” kantor PDI pimpinan Megawati. Pengerahan itu, kata dia, dilakukannya atas perintah Asisten Intelijen Kodam Jaya, Kolonel Haryanto. Tak lama setelah Yorrys ditahan, salah seorang pengacaranya melemparkan bola panas. “Mustahil Kolonel Haryanto meminta Yorrys tanpa ada perintah atasan,” kata dia sebagaimana dikutip dari Majalah Tempo edisi 24 April 2000. Meski tidak menyebut nama, tudingan itu tepat mengarah kepada Sutiyoso, yang kala itu menjabat Panglima Kodam Jaya. Benar saja, akhir tahun 2004, Polisi menetapkan Sutiyoso sebagai tersangka.33

Dalam insiden yang menyebabkan lima orang meninggal dunia ini, Susilo Bambang Yudoyono (SBY), yang menjadi bawahan Sutiyoso tak luput dari pemeriksaan polisi walau hanya berstatus sebagai saksi. Namun, pemeriksaan terhadap SBY di tengah pertarungan pemilu presiden melahirkan tudingan bahwa ada nuansa politis dalam kasus ini. Sebab, SBY adalah pesaing Megawati dalam Pemilihan Presiden 2004.

Dinamika Peran TNI dalam Pemilu: Pasca Orde BaruPada era pasca Orde Baru, peran militer dalam pemilu di Indonesia mengalami pasang surut. Dalam reformasi militer sepuluh tahun pertama, militer mulai mengambil jarak secara tegas dengan politik termasuk dalam pemilu. Namun demikian, pada dekade kedua masa reformasi, seiring dengan menguatnya sistem desentralisasi, militer mulai tergoda kembali pada politik elektoral yang ada. Jika pada masa Orde Baru, militer dalam pemilu hanya sebagai sarana rezim untuk memenangkan pemilu dengan segala tindakan represinya tidak demikian pada dekade kedua reformasi. Mereka berusaha untuk mendudukibkembali kursi yang kosong

33 Fajar Pebrianto, Begini Cerita Tragedi 27 Juli 1996 di PDIP yang Menyeret SBY, 27 Juli 2018, https://nasional.tempo.co/read/1110993/begini-cerita-tragedi-27-juli-1996-di-pdip-yang-menyeret-sby/full&view=okFajar , diakses pada 6 Oktober 2018.

Page 131: KONSTELASI POLITIK DI TAHUN ELEKTORAL

Militer dan Pemilu-Pemilu di Indonesia | Sri Yanuarti | 243

dalam pemihan kepala daerah hingga pemilihan presiden.

Hal tersebut ter l iha t dengan kian bertambahnya calon bupati, gubernur dan presiden yang berasal dari militer meskipun untuk itu mereka harus mengundurkan diri dari profesinya. Pada tahun 2015 misalnya, terdapat empat orang yang berprofesi sebagai TNI aktif mencalonkan diri menjadi kepala daerah dan satu orang menjadi wakil kepala daerah. Sedangkan pada tahun 2018, terdapat satu orang untuk calon gubernur yang berasal dari TNI, dan 3 orang sebagai calon wakil gubernur. Mereka adalah Letjen Edy Rahmayadi dalam Pilkada Sumatra Utara. Edy Rahmayadi masih aktif saat mendaftarkan diri ke KPU. Sedangkan calon wakil gubernur yang maju adalah Brigjen Edy Nasution dalam Pilkada Riau. Di tingkat kabupaten, terdapat 3 calon wakil bupati dari kalangan TNI. dua wakil bupati dari TNI.

Dua calon bupati dari kalangan TNI adalah AD Almost Berd Maliogha di Pilkada Kabupaten Kepulauan Siau Tagulandang Biaro, Sulawesi Utara, dan Mayjen TNI (Purn) Salim S. Mengga di Pilkada Kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat.

Sementara dalam pemilihan wali kota terdapat satu orang dari kalangan TNI yaitu Mayor Inf. David Suardi yang maju melalui jalur independen dalam Pilkada Kota Bengkulu, Provinsi Bengkulu.34

Sedangkan pada pemilihan presiden lebih banyak didominasi oleh para purnawiran TNI sebagai bakal calon. Beberapa purnawiran TNI yang pernah mencalonkan diri menjadi presiden diantaranya adalah Jendral (Purn) Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Jendral (Purn) Wiranto, Jendral (Purn) Edy Sudrajat, Letjen (Purn) Sutiyoso, Jendral (Purn) Hartono dan Letjen (Purn) Prabowo yang maju untuk ketiga kalinya pada pemilu 2019. Untuk memenuhi ambisinya ketiga purnawirawan tersebut juga mendirikan partai politik. SBY mendirikan Partai Demokrat, Wiranto dengan Partai Hati Nurari Rakyat (Hanura). Sutiyoso bahkan mendorong

34 Islahudin, “Pilkada 2018: 569 Pasangan calon terdaftar, 16 orang dari TNI/Polri,”https://beritagar.id/artikel/berita/569-pasangan-calon-terdaftar-16-orang-dari-tnipolri, diakses pada 12 September 2018.

pembentukan beberapa partai kecil seperti Partai Republikan, Partai Bela Negara (PBN), serta Partai Nasional Banteng. Sedangkan (Mayjend Purn) Edy Sudrajat merupakan pendiri sekaligus inisiator terhadap berdirinya Partai Kedailan dan Persatuan Indonesia (PKPI), serta Hartono yang merupakan pendiri dari Partai Karya Peduli Bangsa (PKPB).

Dalam menunjang mesin politiknya, para mantan jenderal tersebut tidak sedikit yang melibatkan koleganya sebagai tim kampaye untuk meraih suara pada pemilihan presiden yang diikutinya. Wiranto misalnya menjadi calon wakil presiden pada pemilu tahun 2009. Ia menyertakan sejumlah koleganya yang berasal dari TNI seperti Letjen. (purn) Arie Mardjono dan Laksamana Muda (purn) Abu Hartono yang keduanya merupakan wakil ketua dalam dewan pertimbangan. Tujuh wakil ketua Hanura adalah Majen. (purn) Aqlani Maza dan Laksamana (purn) Bernard Kent Sondakh, Letjen. (purn) Fachrul Razi, Letjen. (purn) Suaidi Marassabessy dan Jenderal (purn) Soebagyo serta Marsekal Muda (purn) Budhy Santoso. Sedangkan di kubu Prabowo terdapat Mayjen. (purn) Muchdi Purwopranyoto yang merupakan wakil ketua, dan pensiunan perwira intel Mayjen. (purn) Gleny Kairupan. Di Kubu Demokrat, nama Letjen. (purn) Muhammad Yasin adalah figur purnawirawan yang dikenal loyal dengan SBY.

Pada Pilpres 2019, meskipun Joko Widodo (Jokowi) berasal dari kalangan sipil, namun dalam kontestasi pilpres yang diikuti tidak terlepas dari keterlibatan militer di dalamnya. Pada pemilu sebelumnya yakni tahun 2014 misalnya, kubu Jokowi membentuk Tim Bravo 5. Tim Bravo-5 ini terdiri dari para purnawirawan TNI yang sebagian besar merupakan lulusan Akademi Militer angkatan 1970-an, seangkatan dengan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan. Tim ini terbentuk sejak 2013. Tujuannya untuk memenangkan Jokowi-JK di pemilu 2014.35 Tim Bravo 5 sempat dibekukan setelah Jokowi terpilih menjadi presiden ini, namun, diaktifkan kembali dengan misi yang

35 Tim Redaksi Kumparan, “Bravo-5 dan Cakra 19, Pasukan Jenderal Purn TNI di Belakang Jokowi”, 23 Agustus 2018, “ https://kumparan.com/@kumparannews/bravo-5-dan-cakra-19-pasukan-jenderal-purn-tni-di-belakang-jokowi-1534995728310430493, Diakses 12 November 2018.

Page 132: KONSTELASI POLITIK DI TAHUN ELEKTORAL

244 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 15 No. 2 Desember 2018 | 233–248

sama, yakni untuk memenangkan Jokowi dan Ma’ruf Amin di pemilihan presiden 2019.36

Selain Tim Bravo 5, Jokwo juga diperkuat dengan Tim Cakra 9 yang dibentuk pada bulan Agustus 2018. Tim yang juga diinisiasi oleh Luhut Binsar Pandjaitan ini bermarkas di Jalan Malabar Nomor 75, Setia Budi, Jakarta Selatan. Cakra 19 berisi purnawirawan TNI yang baru satu-dua tahun pensiun. Sebagian besar memiliki latar belakang personel baret merah alias Kopassus.37

Kelompok relawan Cakra 19 ini memiliki tugas: Pertama, memastikan Jokowi hanya memiliki satu lawan dalam kontestasi pilpres 2019. Kedua, memastikan pasangan capres nomor urut 01 (Jokowi-Ma’ruf) memenangi pilpres 2019 dengan persentase minimal 55 persen. Berbeda dengan divisi pemenangan lainnya, baik Bravo 5 maupun Cakra 9 memiliki tugas khusus yakni memenangkan Jokowi dalam pilpres 2019 di wilayah Jawa Barat.

Sedangkan di Kubu Prabowo dalam pemilihan presiden 2019 diperkuat oleh sederet purnawirawan jenderal TNI dari beragam matra. Para purnawirawan yang memiliki beragam latar belakang, dari Kepala Badan Intelijen Strategis sampai mantan menteri. Fungsi para purnawirawan TNI adalah menyukseskan kemenangan Prabowo di daerah-daerah melalui apa yang disebut dengan “perang teritori”.

Berikut beberapa purnawirawan jenderal di Badan Pemenangan Nasional Prabowo - Sandiaga.38

1. Laksamana TNI (purn) Tedjo Edhy Purdijanto (Wakil Ketua Dewan Penasihat).

Tedjo Edhy adalah Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan

36 Tim Redaksi Kumparan, “Bravo-5..,

37 Dewi Nurita, “Beda Tim Purnawirawan TNI, Bravo 5 dan Cakra 19 di Tim Jokowi, 20 Oktober 2018,,”https://nasional.tempo.co/read/1138098/beda-tim-purnawirawan-tni-bravo-5-dan-cakra-19-di-kubu-jokowi/full&view=ok, Diakses pada pada 29 Oktober 2018.

38 Budiarti Utami Putri, “Daftar Purnawirawan Jenderal TNI di Kubu Prabowo – Sandiaga,” 19 Oktober 2018, https://nasional.tempo.co/read/1138033/daftar-purnawirawan-jenderal-tni-di-kubu-prabowo-sandiaga?page_num=3 -, diakses pada 19 November 2018.

di era awal pemerintahan Jokowi dan Jusuf Kalla. Namun Tedjo terkena reshuffle kabinet hanya setelah sepuluh bulan menjabat menteri. Sebagai penggantinya, Jokowi menunjuk Luhut Binsar Pandjaitan. Tedjo bergabung dengan Partai Berkarya yang didirikan oleh Hutomo Mandala Putra alias Tommy Soeharto pada 2016. Sebelumnya, dia bergabung dengan Partai NasDem. Tedjo semula menjabat posisi Ketua Dewan Pertimbangan Partai Berkarya sebelum posisi itu akhirnya ditempati Siti Hediati Hariyadi atau Titiek Soeharto yang hijrah dari Partai Golkar. Karena itu, kini Tedjo menjadi Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Partai Berkarya.

2. Letnan Jenderal TNI (purn) Yunus Yosfiah (Wakil Ketua Dewan Penasihat) Yunus Yosfiah adalah mantan Menteri Penerangan era Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie. Lulusan Akademi Militer Nasional angkatan 1965 ini sempat menjabat sebagai Menteri Penerangan, sebelum jabatan itu dihapuskan pada masa Presiden Abdurrahman Wahid alias Gus Dur.

3. Mayjen (Purn) Glenny Kairupan (Direktur Penggalangan)

Glenny merupakan teman seangkatan Prabowo dan Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono di Akademi Militer angkatan 1970. Pada 2012, Glenny resmi bergabung dengan Partai Gerindra.

Glenny anggota Dewan Pembina Partai Gerindra. Almarhum Suhardi, Ketua Umum Partai Gerindra sebelum Prabowo, menyebut Glenny-lah yang menggalang dukungan dari bekas koleganya di Angkatan Darat, Laut, Udara, dan Kepolisian RI untuk berbondong-bondong masuk Gerindra.

Karir militer Glenny melesat saat konflik di Timor Timur hingga menjadi Komandan Komando Resor Militer (Danrem). Dia pernah diperiksa oleh Komisi Penyelidik Pelanggaran HAM Timor Timur.

Page 133: KONSTELASI POLITIK DI TAHUN ELEKTORAL

Militer dan Pemilu-Pemilu di Indonesia | Sri Yanuarti | 245

4. Letnan Jenderal TNI (purn) Yayat Sudrajat (Direktur Pengamanan dan Pengawasan)

Yayat yang merupakan lulusan Akademi Militer 1982, kini menjabat sebagai Wakil Ketua Umum Partai Berkarya. Yayat pernah menjadi Direktur Kontraterorisme Deputi Bidang Kontra Intelijen Badan Intelijen Negara, Kepala Badan Intelijen Strategis TNI. Jabatan terakhirnya di pemerintahan adalah Sekretaris Menteri Politik, Hukum, dan Keamanan.

Pada Juli 2018, Yayat bergabung dalam deklarasi purnawirawan Komando Pasukan Khusus mendukung Prabowo. Dia menghadiri deklarasi itu meski Partai Berkarya belum memutuskan mendukung Prabowo di pilpres 2019

5. Laksamana Madya TNI (purn) Moekhlas Sidik (anggota Dewan Pengarah)

Moekhlas Sidik merupakan purnawirawan Angkatan Laut yang bergabung dengan Partai Gerindra sejak 2012. Setelah Ketua Umum Partai Gerindra Suhardi meninggal, Moekhlas menjadi Ketua Harian untuk membantu Prabowo yang merangkap jabatan sebagai Ketua Umum dan Ketua Dewan Pembina. Moekhlas kini menjadi anggota Dewan Pengarah di Badan Pemenangan Nasional Prabowo-Sandiaga.

6. Mayor Jenderal TNI (purn) Judi Magio Yusuf (Wakil Ketua)

Judi Margio Yusuf saat ini menjadi anggota Dewan Pembina Partai Gerindra. Setelah purnatugas di TNI, Judi lebih banyak berbisnis. Saat ini, dia Wakil Komisaris Utama/Komisaris Independen PT Ancora Indonesia Resource Tbk (AIR). Dia menjadi wakil komisaris utama di perseroan yang bergerak di bidang pertambangan itu sejak 2012. Pada periode 2008-2012, Judi adalah komisaris utama. Judi juga merangkap sebagai komisaris PT Inti Karya Persada Teknik sejak 2007.

7. Brigadir Jenderal TNI (purn) Anwar Ende (Wakil Sekretaris)

Anwar Ende pernah menjadi Komandan Pusat Intelijen Angkatan Darat (Pusintelad) pada 2004-2008. Di Partai Gerindra, Anwar anggota Dewan Pembina.

8. Mayor Jenderal TNI (purn) Musa Bangun (Sekretaris Eksekutif)

Mantan Koordinator Staf Ahli Kepala Staf Angkatan Darat ini merupakan Ketua Umum Purnawirawan Pejuang Indonesia Raya (PPIR), organisasi sayap Gerindra. Organisasi ini merupakan wadah berkumpulnya para purnawirawan.

9. Mayor Jenderal TNI (purn) Arifin Seman (Direktur Monitoring, Analisa, dan Advokasi Tim Pemenangan Prabowo- Sandiaga) Arifin adalah anggota Dewan Pembina Partai Gerindra.

Karir militer mengantarnya menjadi Komandan Pusat Penerbangan Angkatan Darat (Puspenerbad) pada 2009-2010. Dia juga pernah menjadi Tenaga Pengajar Bidang Kewaspadaan Nasional Lemhanas. Sejak tahun ini, Arifin menjadi Direktur Utama PT Trimuda Nuansa Citra, perusahaan jasa pengiriman udara

Disamping nama-nama tersebut di atas, mantan Panglima TNI Jenderal (Purn) Djoko Santosa ditunjuk oleh kubu Prabowo sebagai Ketua Timses pasangan Prabowo-Sandiaga Uno pada pemilu 2019.

Maraknya keterlibatan militer aktif dan purnawirawan militer dalam pemilu sempat memunculkan adanya gagasan untuk memberikan hak politik (memilih dan dipilih) pada TNI dan Polri saat pemilihan umum. Pada tahun 2010, mantan Panglima TNI Jendral (Purn) Endriartono Sutarto mengatakan prajurit TNI harus bisa menggunakan hak pilihnya pada pemilu 2014 nanti. Hal tersebut berdasarkan pertimbangan bahwa sejak pemilu 2004 dan pemilu 2009, TNI telah membuktikan mampu keluar dari wilayah politik dan politik praktis. Namun demikian, untuk hak dipilih, Endiartono Sutarto menyatakan bahwa hal tersebut belum diperlukan. 39

39 Munawaroh, “Endriartono Sepakat Prajurit TNI Punya Hak Pilih Pada 2014,” 4 Juli 2010, https://nasional.te,mpo.co/

Page 134: KONSTELASI POLITIK DI TAHUN ELEKTORAL

246 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 15 No. 2 Desember 2018 | 233–248

Pernyataan Endriantono sendiri mendapat berbagai tanggapan. Menteri Pertahanan RI saat ini Purnomo Yusgiantoro menyatakan bahwa wacana pemberian hak pilih bagi TNI tidak perlu diperdebatkan lagi. Menurut dia, ada tiga unsur yang harus dipenuhi untuk memberikan hak pilih dalam Pemilu pada aparat TNI. “Pertama, TNI itu sendiri, kedua rakyat, apakah rakyat mau TNI memilih kembali. Ketiga, Presiden, lalu kembalikan pada Undang-Undangnya. Purnomo juga menyatakan bahwa Undang-Undang Pemilu saat itu, tidak memungkinkan TNI ikut memilih dalam Pemilu karena TNI harus netral.40

Ide kembalinya hak pilih anggota TNI dilontarkan oleh Panglima TNI Gatot Nurmantyo. Dalam salah satu acara di televisi swasta tahun 2016, ia berharap suatu saat nanti TNI memiliki hak politik yang sama dengan warga sipil. Meski tidak dalam waktu dekat, Gatot memperkirakan kesamaan hak itu akan terjadi dalam sepuluh tahun mendatang. Ide dari Gator Nurmantyo ditepis oleh Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu tidak setuju jika Tentara Nasional Indonesia diberikan hak politik. Menurut Ryamizard, kondisi saat ini tidak pas bagi TNI untuk memiliki hak politik. “Kalau sekarang enggak pas ya, saya tidak mau TNI berpolitik karena kondisi kita kan belum matang berpolitik,” kata Ryamizard.Ryamizard mengatakan kondisi saat ini tidak memungkinkan bagi TNI untuk memiliki hak politik. Bahkan 5-10 tahun ke depan pun, menurut dia, TNI belum bisa serta-merta berpolitik. Alasannya, dia khawatir akan terjadi perselisihan jika tentara diberikan hak politik. 41

Pandangan senada dikemukakan oleh anggota Komisi Pertahanan Dewan Perwakilan Rakyat Supiadin Aries Saputra menolak anggota Tentara Nasional Indonesia kembali diberikan hak pilih dalam pemilihan umum. Menurut dia,

read/260862/endriartono-sepakat-prajurit-tni-punya-hak-pilih-pada-2014, diakses pada 29 September 2018.

40 Pingit Aria,“Hak Pilih TNI Dinilai Tak Perlu Dibahas Lagi,” 10 Juli 2010, https://nasional.tempo.co/read/260164/hak-pilih-tni-dinilai-tak-perlu-dibahas-lagi, diakses pada 29 September 2018.

41 Redaksi, “Tak Setuju TNI Diberi Hak Politik, Ini Alasan Ryamizard,” https://nasional.tempo.co/read/811144/tak-setuju-tni-diberi-hak-politik-ini-alasan-ryamizard/full&view=ok, diakses pada 29 September 2018.

hal itu berpotensi memecah belah soliditas TNI.42 Supiadin menjelaskan, kalaupun ada rencana untuk memberikan kembali hak pilih bagi anggota TNI, maka perlu kajian yang mendalam dan komprehensif. Menurut Supiadin, anggota TNI sebagai kekuatan bersenjata akan berbahaya bila diberi hak pilih dalam pemilu. hak pilih TNI dapat diberikan bila demokrasi Indonesia sudah matang. Sedangkan saat ini dia merasa TNI masih rentan ditarik-tarik demi kepentingan politik. Hal ini berpotensi membuat anggota TNI tidak lagi solid. PenutupKeterlibatan militer dalam pemilu-pemilu di Indonesia sudah ada sejak masa Orde Lama meskipun dalam bentuk dan derajat yang berbeda-beda. Pada masa Orde Lama keinginan militer dalam pemilu lebih sebagai upaya untuk mengontrol partai-partai politik yang ada secara politis. Pada masa ini, militer sempat membentuk IPKI meskipun hanya memperoleh suara kurang dari lima persen. Pendirian IPKI oleh militer pada dasarnya merupakan upaya militer untuk memberikan posisi tawarnya pada Presiden Soekarno saat itu hingga akhirnya militer diberikan kursi di parlemen.

Pada masa Orde Baru keterlibatan militer dalam pemilu-pemilu di Indonesia sesunggunya hanya alat rezim untuk melindungi kekuasaannya lewat politik elektoral. Berbagai cara dilakukan militer untuk mengamankan kemenangan Golkar dalam pemilu selama masa kekuasaan Orde Baru, baik dari upaya melakukan intervensi terhadap partai politik hingga melakukan intimidasi dan kekerasan politik.

Pada pasca Orde Baru, keterlibatan militer dalam pemilu diperlihatkan dengan ketertarikan mereka terlibat dalam proses pemilihan kepala daerah baik di tingkat kabupaten/kota, gubernur hingga presiden. Pada tingkat bupati/walikota atau gubernur biasanya yang terlibat dalam pemilihan kepala daerah tersebut didominasi oleh perwira yang masih aktif yang lantas mengundurkan diri sebagai konsekusi atas UU Pemilu yang ada.

42 Redaksi, “Panglima Usul Tentara Bisa Nyoblos, DPR: TNI Harus Netral”, 4 Oktober 2016, https://nasional.tempo.co/read/809444/panglima-usul-tentara-bisa-nyoblos-dpr-tni-harus-netral/full&view=ok, diakses pada 9 Oktober 2018.

Page 135: KONSTELASI POLITIK DI TAHUN ELEKTORAL

Militer dan Pemilu-Pemilu di Indonesia | Sri Yanuarti | 247

Sedangkan untuk pemilihan presiden, didominasi oleh kalangan purnawirawan.

Selain keterlibatan mereka dalam pemilihan bupati, gubernur dan presiden, kebanyakan pensiunan militer juga terlibat dalam berbagai tim sukses calon presiden. Pengalaman mereka di bidang intelijen dan jaringan yang dimiliki para purnawirawan saat menjabat sebagai perwira aktif diharapkan dapat membantu kandidat yang menjadi unggulannya memenangkan kontestasi pilpres.

Keterl ibatan mil i ter dalam pemilu apapun bentuknya, terutama bagi perwira aktif dikhawatirkan juga akan mereduksi reformasi internal yang saat ini sedang berjalan di lingkungan TNI. Pasca soeharto, TNI telah berupaya merumuskan paradigma baru. Salah satu substansi reformasi di tubuh TNI adalah fungsi sosial politik yang di zaman Orde Baru populer dengan sebutan dwi fungsi dan berkonsentrasi penuh pada fungsi pertahanan. Dengan demikian, konsekuensinya seluruh jajaran TNI baik institusi, satuan, maupun perorangan tak lagi melakukan kegiatan politik praktis ataupun menjadi partisan salah satu parpol. Sebagai rujukan, berdasarkan TAP MPR Nomor: VII/MPR/2000 ditetapkan, peran TNI sebagai alat pertahanan NKRI. Untuk mewujudukan perannya sebagai alat negara, kebijakan TNI dalam Pemilu seyogianya mendukung agar penyelenggaraan Pemilu dapat terlaksana secara lancar dan konstitusional

Sangat bisa dimaklumi, untuk mencapai tujuan politik, kontestan Pemilu baik untuk DPR, DPRD, DPD maupun calon presiden dan wapres akan sarat dengan persaingan. Terutama, dalam memperoleh dukungan sebanyak-banyaknya dari masyarakat. TNI sebagai salah satu komponen bangsa yang masih mempunyai pengaruh cukup besar di kalangan masyarakat sangat mungkin dijadikan sasaran tarik-menarik kekuatan politik peserta Pemilu. Hal tersebut cukup beralasan mengingat TNI mempunyai organisasi yang terstruktur di seluruh penjuru tanah air.

Paling tidak ada dua hal yang rentan jika TNI kembali terlibat politik praktis. Pertama, karakteristik yang kental di tubuh TNI adalah satu komando (unity of command). Organisasi hirarkis yang sangat mengedepankan ketaatan pada atasan. Terbayang betapa bahayanya jika TNI

harus mendukung parpol yang jumlahnya puluhan atau kandidat capres dalam Pemilu. Fragmentasi kekuatan politik akan berpotensi menyeret mereka pada situasi ketidakpastian, terlebih di saat yang bersamaan tingkat kesejahteraan dan penguatan kelembagaan masih belum baik. Kedua, saat ini reformasi internal di tubuh TNI belum tuntas. Pusaran konflik politik dalam Pemilu akan mengancam proses yang sedang berjalan, sehingga dikhawatirkan semuanya akan kembali ke titik nol.

Demikian juga di kalangan purnawirawan TNI, keterlibatan mereka dalam pemilu entah sebagai calon kepala daerah, presiden maupun hanya sekedar tim pemenangan capres dan cawapres tanpa jeda waktu yang cukup panjang dikhawatirkan secara tidak langsung dalam menimbulkan friksi di kalangan internal militer.

Posisi yang berseberangan antar mantan komandan di kalangan militer akan menjadikan para prajurit dapat berdiri pada kegamangan dalam kegiatan dan proses pemilu yang sedang berlangsung mengingat dalam struktur organisasi mereka kendali komando, memegang peranan penting. Kendali komando ini secara psikologis seringkali tidak bisa hilang dalam jangka waktu yang pendek. Oleh karenanya ke depan, purnawirawan yang akan terlibat dalam pemilu maupun politik praktis lainnya paling sedikit ia telah melalui satu periode masa pemilu. Hal ini selain untuk memberikan jeda pada para purnawirawan tersebut terlibat politik praktis serta mengurangi keuntungan mereka penggunakan struktur komando yang pernah dimilikinya untuk memenangkan kontetasi politik, sekaligus juga memberikan kesempatan dan ruang kompetisi yang sama antara calon yang berasal dan militer dengan yang non militer.

Daftar PusakaBuku dan JurnalBhakti, Ikrar Nusa. Tentara Mendamba Mitra.

Bandung: Penerbit Mizan, 1999.Crouch, Harold. Militer dan Politik di Indonesia.

Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1986.Diamond, Larry and Marc Plattner, eds., Hubungan

Sipil-Militer dan Konsolidasi Demokrasi. Jakarta: Rajawali Press, 2000.

Page 136: KONSTELASI POLITIK DI TAHUN ELEKTORAL

248 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 15 No. 2 Desember 2018 | 233–248

Elisabeth, Adriana et al. PDIP dan Prospek Pembangunan Politik. Jakarta: Grassindo, 1991.

Feith, Herbert and Lance Castles (editor), Indonesian Political Thinking 1945-1965, Jakarta: Equinox Pub., 2007.

Feith, Herbert, The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia, Equinox Publishing –Asia Pte Ltd, 2007.

Huntington, Samuel P. The Third Wave of Democratization in The Late Twentieth Century. University of Oklahoma Press, 1991.

Karim, A. Gaffar. Metamorfosis: NU dan Politisasi Islam. Yogyakarta: Pusataka Pelajar, 1995.

Lev, Daniel S. The Transition to Guided Democracy: Indonesian Politics 1957-1959, Jakarta: Equinox Publishing-Asia, 2009.

Luckhman, Robin. “Democracy and Military: An Epitaph for Frankenstein’s Monster?” Journal Democratization, Vol. 3, No.2, (Summer 1996).

Moertopo, Ali. Strategi Politik Nasional. Jakarta: CSIS, 1974.

May, Brian. The Indonesua Tragedy, Singapore: Graham Brash, 1978.

Nishihara, Masashi. Golkar and the Indonesia Election of 1971. New York: Modern Indonesia Project, Cornell University, 1972.

Nolte (ed.), European Military Law Systems. Berlin, 2003.

Ricklefs, M.C. A History of Modern Indonesia Since c.1200. Stanford: Stanford University Press, 1991.

Sundhaussen, Ulf. The Road to Power: Indonesian Military Politics 1945–1967. Oxford University Press. 1982.

Subekti, Valina Singka. Partai Syarikat Islam Indonesia: Konstestasi Politik hingga Konflik Kekuasaan Elite. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 1994.

DokumenThe Turkish Constitution, Art. 76Undang-undang Hungaria No. XCV tahun 2001.Tempo, “Ali Moertopo Telah Pergi”, Tempo, 28 Mei

1984.

Sumber OnlineFajar Pebrianto, “Begini Cerita Tragedi 27 Juli 1996

di PDIP yang Menyeret SBY,” 27 Juli 2018, dalam https://nasional.tempo.co/read/1110993/begini-cerita-tragedi-27-juli-1996-di-pdip-yang-menyeret-sby/full&view=okFajar , diunduh pada 12 September 2018.

Islahudin, “Pilkada 2018: 569 Pasangan calon terdaftar, 16 orang dari TNI/Polri,” dalam https://beritagar.id/artikel/berita/569-pasangan-calon-terdaftar-16-orang-dari-tnipolri, diunduh 12 September 2018.

Dewi Nurita, “Beda Tim Purnawirawan TNI, Bravo 5 dan Cakra 19 di Tim Jokowi,” 20 Oktober 2018, dalam https://nasional.tempo.co/read/1138098/beda-tim-purnawirawan-tni-bravo-5-dan-cakra-19-di-kubu-jokowi/full&view=ok, diunduh pada 29 Oktober 2018.

Budiarti Utami Putri, “Daftar Purnawirawan Jenderal TNI di Kubu Prabowo – Sandiaga,” 19 Oktober 2018, dalam https://nasional.tempo.co/read/1138033/daftar-purnawirawan-jenderal-tni-di-kubu-prabowo-sandiaga?page_num=3, diunduh pada 19 November 2018.

Munawaroh, “Endriartono Sepakat Prajurit TNI Punya Hak Pilih Pada 2014,” 4 Juli 2010, dalam https://nasional.te,mpo.co/read/260862/endriartono-sepakat-prajurit-tni-punya-hak-pilih-pada-2014, diunduh pada 29 Septmber 2018.

Pingit Aria, ”Hak Pilih TNI Dinilai Tak Perlu Dibahas Lagi”, 10 Juli 2010, dalam https://nasional.tempo.co/read/260164/hak-pilih-tni-dinilai-tak-perlu-dibahas-lagi, diunduh pada 29 September 2018.

Page 137: KONSTELASI POLITIK DI TAHUN ELEKTORAL

Marketing Isu Agama ... | M. Fajar Shodiq Ramadlan & Romel Masykuri | 249

MARKETING ISU AGAMA DALAM PEMILIHAN KEPALA DAERAH DI INDONESIA 2015-2018

RELIGIOUS ISSUES MARKETING IN INDONESIA LOCAL ELECTION 2015-2018

M. Fajar Shodiq Ramadlan

Program Studi Ilmu Politik, FISIP, Universitas BrawijayaEmail: [email protected]

Romel Masykuri

Ilmu Politik, FISIP, Universitas Airlangga Email: [email protected]

Diterima: 2 September 2018; Direvisi: 28 September 2018; Disetujui: 30 Desember 2018

Abstract

Religious issues become one of the strategic instruments in election contestation in Indonesia, especially in local elections. As part of the formation of voting behavior, religious sentiment and issues emerged in 7 local elections in 2015-2018. In political marketing strategies, there are two types of content: first, the invitation to choose leaders with the same religion, or the prohibition to choose leaders from different religions; and second, black campaign. The production of religious issues (content) is inseparable from two contexts: the local socio-political context and the context of competitors in the elections. The local socio-political context is related to historical contexts, such as sentiments and experiences of religious conflict in the past. This context is linked to religious issues (content) to discredit political opponents and used through black campaigns. In the context of competitors, religious issues appear if there is a candidate with a minority background. The minority candidate’s identity is a source for producing the issues. Religious issues are used through the prohibition of choosing leaders from different religious backgrounds (content). The religious issues that emerged in the 2015-2018 local election in Indonesia have ways, forms and patterns in which content and context are interrelated.

Keywords: religious issues, political marketing, local election

Abstrak

Isu agama menjadi salah satu instrumen strategis dalam kontestasi pemilu di Indonesia, khususnya dalam pemilihan kepala daerah (pilkada). Sebagai bagian dalam pembentukan perilaku memilih, sentimen dan isu agama muncul dan digunakan di 7 pilkada sepanjang 2015-2018. Dalam strategi marketing politik, terdapat dua jenis konten, yakni ajakan untuk memilih pemimpin seagama, atau larangan untuk memilih pemimpin yang berbeda agama; dan black campaign. Produksi isu agama (konten) tidak lepas dari dua konteks: sosial-politik di level lokal/daerah dan konteks kompetitor dalam pilkada. Konteks sosial-politik lokal, berkaitan dengan konteks historis, seperti sentimen dan pengalaman konflik agama di masa lalu. Konteks ini dihubungkan dengan isu-isu (konten) untuk mendiskreditkan lawan politik dan digunakan melalui black campaign. Sedangkan dalam konteks kompetitor, isu agama muncul jika terdapat salah satu kandidat berlatarbelakang minoritas. Identitas minoritas kandidat menjadi sumber

Page 138: KONSTELASI POLITIK DI TAHUN ELEKTORAL

250 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 15 No. 2 Desember 2018 | 249–265

untuk memproduksi isu agama. Isu agama digunakan melalui larangan memilih pemimpin dari latar belakang agama berbeda (konten). Isu agama yang muncul di sepanjang penyelenggaraan pilkada 2015-2018 memiliki cara, bentuk dan pola dimana konten dan konteks saling berkaitan.

Kata Kunci: isu agama, marketing politik, pemilihan kepala daerah

PendahuluanIsu agama menjadi salah satu instrumen strategis dalam kontestasi pemilu di Indonesia, khususnya dalam pemilihan kepala daerah (pilkada). Keterkaitan agama dan politik menjadi problematik manakala berkaitan dengan partikularitas politik lokal, misalnya munculnya isu identitas, seperti sentimen agama, etnisitas, putra daerah dan mayoritas-minoritas.

Sebagai bagian dari perkembangan demokrasi pasca reformasi di Indonesia, pilkada merefleksikan perubahan paradigmatik dan kemajuan besar. Partisipasi politik terbuka luas untuk menentukan kepala daerah. Semenjak diselenggarakan pertama pada 2005, mulai 2015 pilkada dilakukan secara serentak di beberapa daerah.

Tabel 1. Pelaksanaan Pilkada Serentak 2015, 2017 dan 2018

Sumber: Diolah penulis dari berbagai sumber

Tabel 1 di atas menunjukkan jumlah penyelenggaraan pilkada serentak pada tahun 2015, 2017 dan 2018. Tahun 2015, terdapat 269 daerah yang menyelenggarakan pilkada serentak, terdiri dari 9 provinsi, 224 kabupaten dan 36 di tingkat kota. Tahun 2017, jumlah daerah yang

menyelenggarakan pilkada lebih sedikit, yakni 101 daerah, terdiri dari 7 provinsi, 76 kabupatan dan 101 kota.1 Sedangkan di tahun 2018, terdapat 171 daerah yang menyelenggarakan pilkada, yang terdiri dari 17 provinsi, 115 kabupaten, dan 39 kota.2 Total pilkada yang diselenggarakan selama tiga tahun tersebut berjumlah 541 pilkada.

Jika dilihat berdasarkan latar belakang k e a g a m a a n k a n d i d a t , d a l a m s e j a r a h penyelenggaraan pilkada di Indonesia, terdapat beberapa kandidat yang berlatar belakang agama minoritas. Beberapa diantaranya bahkan memenangkan pilkada, seperti Zulkarnaen Damanik (Islam-Batak) di Pilkada Simalungun tahun 2005, dimana penduduk mayoritas berasal dari agama Kristen dan Batak; Basuki Tjahaja Purnama (Protestan-Tionghoa) yang menang di Pilkada Kabupaten Belitung Timur tahun 2005 dimana mayoritas penduduknya adalah Islam dan Melayu.

Berkaitan dengan senitmen keagamaan, Pilkada DKI Jakarta tahun 2017 menjadi salah satu pilkada yang menarik perhatian beberapa sarjana politik.3 Bukan saja karena Jakarta adalah ibukota dan memiliki persentase kelas menengah dan atas tertinggi di Indonesia, tetapi Pilkada DKI Jakarta juga diwarnai dengan sentimen dan isu identitas: soal pemimpin muslim–non-muslim,

1 Kompas, “Pilkada Serentak Pembelajaran Demokrasi.” 13 Februari 2017.

2 Kompas.com. “Infografis: Fakta Seputar Pilkada Serentak,” 23 Juni 2018, https://nasional.kompas.com/read/2018/06/23/21473321/infografik-fakta-seputar-pilkada-serentak-2018, diakses pada 07 Juli 2018.

3 Lihat: Marcus Mietzner, dan Burhanuddin Muhtadi, “Explaining the 2016 Islamist Mobilisation in Indonesia: Religious Intolerance, Militant Groups and the Politics of Accommodation”, Asian Studies Review, vol. 42, issue 3, (2018); Okamoto Masaaki dan Jun Honna, “Intorudction: “Local” Politics in jakarta: Anomaly from Indonesia’s Local Politics?”, Journal of Current Sutheast Asian Affairs, 33, 1, (2014).

No Level Pelaksanaan Pilkada Jumlah Tahun 2015

1 Provinsi 9 2 Kabupaten 224 3 Kota 36

Total 269 Tahun 2017

1 Provinsi 7 2 Kabupaten 76 3 Kota 18

Total 101 Tahun 2018

1 Provinsi 17 2 Kabupaten 115 3 Kota 39

Total 171

Page 139: KONSTELASI POLITIK DI TAHUN ELEKTORAL

Marketing Isu Agama ... | M. Fajar Shodiq Ramadlan & Romel Masykuri | 251

etnisitas, pribumi–non-pribumi dan gerakan-gerakan yang digagas oleh ormas-ormas Islam.

Hal ini yang kemudian memberi perhatian terhadap sentimen identitias (terutama agama) dan penggunaan isu agama dalam pilkada. Artikel ini berfokus pada bagaimana isu-isu agama digunakan dalam kontestasi pilkada serentak (2015-2018). Di bagian pertama, artikel ini terlebih dahulu menjelaskan soal keterkaitan antara dengan perilaku memilih dalam pemilu di Indonesia. Bagian kedua menjelaskan tentang marketing politik dalam konteks pilkada. Bagian selanjutnya menjelaskan analisis tentang konten dan konteks penggunaan isu-isu agama sebagai bagian dari strategi marketing politik pada pilkada serentak.

Dalam upaya untuk melihat apakah terdapat isu agama yang berlangsung selama pilkada, dilakukan penelusuran dan pengumpulan pemberitaan di media massa dan literatur terkait pilkada di 541 daerah sepanjang 2015 hingga 2018. Melalui berita dan literatur tersebut, dilakukan pemilahan proses pilkada yang terdapat isu agama di dalamnya. Selanjutnya dilakukan pengidentifikasian isu (konten) dan konteks penggunaan isu agama.

Agama, Aktivitas Politik dan Perilaku MemilihSarjana politik meyakini bahwa pasca Perang Dunia Kedua terjadi peningkatan sekularisasi dan masyarakat yang progresif, terutama di negara-negara Barat dimana industrialisasi dan demokrasi telah berjalan cukup mapan. Kehidupan modern dinilai akan mengikis intensitas dan otoritas agama.4 Namun, dalam beberapa dasawarsa terakhir, keterkaitan antara agama, organisasi keagamaan dengan politik elekotral justru menjadi perhatian penting baik di negara-negara demokrasi maju maupun negara-negara demokrasi baru. 5

4 Lihat Ronald Inglehart, Culture Shift in Advanced Industrial Society, (Princeton: Princeton University Press, 1990); Russell J. Dalton, Citizen Politics: Public Opinion and Political Parties in Advanced Western Democracies. 2nd edition, (London: Chatham House, 1996)

5 Pippa Norris dan Ronald Inglehart, “Islamic Culture and Democracy: Testing the ‘Clash of Civilizations’ Thesis”, dalam Comparative Sociology, vol.1, issue 3-4, (2002).

Lipset,6 menjelaskan bahwa semakin besar keterlibatan individu dalam agama, semakin besar peran yang dimainkan oleh organisasi keagamaan dalam sosialisasi politiknya. Status sosio-ekonomi rata-rata anggota gereja di negara-negara Barat mempengaruhi cara individu dalam memilih dan berafiliasi dengan partai politik serta gerakan sosial tertentu. Anggota kelas pekerja dalam kelompok agama yang relatif kaya, cenderung memilih secara konservatif. Sementara anggota kelas menengah dari gereja-gereja yang kurang berpendidikan, lebih memiih untuk ke “kiri”. Lipset menemukan bahwa anggota agama mayoritas cenderung memilih partai-partai “kanan”, sementara anggota kelompok agama minoritas cenderung lebih memilih partai-partai “kiri”. Meskipun Lipset tidak berfkous pada institusi, melainkan pada aspek perilaku individu, Lipset menunjukkan bahwa kondisi institusi/organisasi mempengaruhi kompetisi antar kelompok/status yang membentuk preferensi politik.

Begitu pula dalam konteks Indonesia. Karakter religius masyarakat Indonesia memiliki konsekuensi penting secara politis. Bagi sebagian besar masyarakat Indonesia, agama juga bagian dari sosialisasi dan mendorong partisipasi sosial-politik. Kegiatan sosial di Indonesia sering bertepatan dengan kegiatan sosial keagamaan yang dimotivasi oleh keyakinan agama. Dalam interaksi kegiatan keagamaan tersebut, masyarakat bukan saja mendengarkan nasihat keagamaan, tetapi juga belajar dan memperoleh informasi tentang politik. Mereka juga terinspirasi dan termotivasi untuk memperoleh informasi tentang urusan-urusan publik, salah satunya pemilu.7

Dalam tradisi komunitas agama dan kesukarelaan sipil tersebut, masyarakat juga menjadi tertarik mengikuti isu-isu politik, lebih banyak membahas politik, tertarik pada partai atau figur politik. Dalam konteks tersebut, warga akhirnya terdorong berpartisipasi aktif

6 Seymour Martin Lipset, Political Man: The Social Bases of Politics, (New York: Feffer and Simon Inc, 1960).

7 Saiful Mujani, R. William Liddle, dan Kuskridho Ambardi, “Voting Behavior in Indonesia since Democratization”, dalam Voting Behavior in Indonesia since Democratization: Critical Democrats, (Cambridge: Cambridge University Press, 2018).

Page 140: KONSTELASI POLITIK DI TAHUN ELEKTORAL

252 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 15 No. 2 Desember 2018 | 249–265

dalam kegiatan politik, termasuk pemilu dan partai politik. Lebih jauh, hal tersebut kemudian membentuk cara pandang, berfikir dan bertindak secara sosial dan politik, yang menjadikan agama sebagai salah satu cara menilai bagaimana politik secara ideal. Proses internalisasi nilai-nilai tersebut juga mengarahkan pada keberpihakan politik.

Hal tersebut dapat diamati pada keterlibatan masyarakat dalam organisasi seperti Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, Tarbiyah, organisasi gereja, dan sebagainya. Baik dalam komunitas maupun dalam kelompok yang lebih terlembaga tersebut, masyarakat lebih memungkinkan dan siap untuk dimobilisasi berdasarkan ikatan dalam kelompok tersebut.8 Dengan demikian, tidak mengherankan jika agama terus memainkan peran penting dalam politik di Indonesia.

Soal bagaimana keterkaitan antara keyakninan beragama dan preferensi politik elektoral, setidaknya dapat dilihat pada Survei Centre for Strategic and International Studies (CSIS) tahun 2017 tentang 3 Tahun Jokowi:Kenaikan Elektoral dan Kepuasan Publik. Pada survei itu, ketika responden ditanya perihal penerimaan terhadap pemimpin yang berbeda agama, sebanyak 58.4% responden menyatakan tidak bisa menerima dan 39,1% menyatakan bisa menerima.9

Hal sama juga dapat diamati pada survei yang dilakukan lebih dari satu dekade ke belakang. Survei LSI tahun 2006 di pilkada Kota Manado dan Kabupaten Bolaang Mongondow menunjukkan bahwa latarbelakang agama kandidat menjadi bagian penting dari preferensi pemilih. Di Manado, dengan mayoritas penduduk beragama Kristen Protestan, ketika ditanya seberapa penting Walikota Manado sebaiknya orang yang beragama Kristen Protestan, sebanyak 45,5% responden menjawab sangat

8 Saiful Mujani, R. William Liddle, dan Kuskridho Ambardi. “Voting Behavior in Indonesia since Democratization”, dalam Voting Behavior in Indonesia since Democratization: Critical Democrats. (Cambridge: Cambridge University Press, 2018).

9 Centre for Strategic and International Studies (CSIS), “3 Tahun Jokowi: Kenaikan Elektoral & Kepuasan Publik”, September 2017. https://www.csis.or.id/uploaded_file/event/pemaparan_hasil_survei_opini_publik_tiga_tahun_pemerintahan_joko_widodo___jusuf_kalla__kinerja_pemerintahan_dan_peta_politik_nasional__notulen.pdf, diakses pada 09 Agustus 2018.

penting dan hanya 4.1% yang menyatakan tidak penting. Demikian pula di Kabupaten Bolaang Mongondow yang mayoritas penduduknya adalah muslim, sebanyak 62.0% responden menyatakan sangat penting bupati beragama Islam dan hanya 10,5% responden yang menyatakan tidak penting.10 Data ini menunjukkan bahwa agama diyakini menjadi faktor sosiologis penting dalam pilihan politik. Mayoritas pemilih di Indonesia masih menganggap penting latar belakang agama kandidat kepala daerah dan menolak jika dipimpin oleh orang yang berbeda agama.

Agama dalam hal ini dipahami bukan sekedar soal identitas, religiusitas dan intensitas keyakinan, tetapi juga berperan dalam sosialisasi politik. Terutama ketika individu terlibat dalam kelompok berbasis agama. Pada masyarakat yang religius, aktivitas politik masyarakat salah satunya dapat diamati pada konektivitasnya dengan aktivitas sosial keagamaan. Aktivitas ini menjadikan agama sebagai salah satu faktor penting dalam membentuk perilaku memilih dan pilihan politik.

Faktor Agama dalam Perilaku Pemilih Lijphart menemukan bahwa faktor agama, dibandingkan dengan faktor bahasa atau kelas, lebih memainkan peran yang lebih penting dalam membentuk pilihan suara partai di Belgia, Kanada, Afrika Selatan, dan Swiss.11 Di Amerika Serikat, misalnya, tradisionalisme agama di kalangan pemilih juga menjadi penting.12 Bahkan dalam pemilihan presiden 2016, sentimen keagamaan juga diyakini membentuk sikap dan orientasi pilihan terhadap presiden di Amerika.13

10 Lingkaran Survei Indonesia, “Faktor Agama Dalam Pilkada”, Kajian Bulanan LSI, Edisi 10, Februari 2008.

11 Arend Lijphart Arend. “Religious vs. Linguistic vs. Class Voting: The “Crucial Experiment” of Comparing Belgium, Canada, South Africa, and Switzerland”, dalam The American Political Science Review, vol.73, no.2, (1979).

12 Geoffrey C. Layman. “Religion and political behavior in the United States: The impact of beliefs, affiliations, and commitment from 1980 to 1994”, The Public Opinion Quarterly, vol. 61, no.2, (Summer 1997).

13 Corwin E. Smidt, Kevin den Dulk, Brian Froehle, James Penning, Stephen Monsma, dan Douglas Koopman. The Disappearing God Gap?: Religion in the 2008 Presidential Election. (New York: Oxford University Press. 2010); Corwin E. Smidt. “The Role of Religion in the 2016 American Presidential Election”, Journal for Religion, Society and

Page 141: KONSTELASI POLITIK DI TAHUN ELEKTORAL

Marketing Isu Agama ... | M. Fajar Shodiq Ramadlan & Romel Masykuri | 253

Di Indonesia, terjadi perdebatan soal keterkaitan orientasi keagamaan dengan preferensi politik. Sebagian sarjana politik meyakini bahwa orientasi keagamaan merupakan basis analisa untuk memahami politik Indonesia. Namun sebagian sarjana politik yang lain menolak hal tersebut.

Beberapa sarjana yang meyakini peran agama dalam perilaku memilih adalah Anies Baswedan dan Dwight Y. King.14 Konsep yang digunakan sebagai dasar analisis tersebut adalah politik aliran, yang dikembangkan oleh Greetz.15 Sejak pemilu 1955, sebagian besar sarjana politik berpendapat bahwa orientasi keagamaan atau politik aliran menjadi penentu utama perilaku memilih dan pilihan partai di Indonesia.16 Cara pandang pada pemilu 1955 juga digunakan dalam melihat kuatnya partai-partai besar pada pemilu 1999 dan 2004. Selain itu, politik aliran dianggap mempunyai pengaruh dalam pilihan partai.17

Politics, vol. 1, issue 1, (2017); Andrew L. Whitehead, Samuel L. Perry, dan Joseph O. Baker. “Make America Christian Again: Christian Nationalism and Voting for Donald Trump in the 2016 Presidential Election”, Sociology of Religion, vol.79, issue 2, (2018).

14 Lihat Dwight Y. King, Half-Hearted Reform: Electoral Institutions and the Struggle for Democracy in Indonesia, (Westport, CT: Praeger, 2003); Anies Rasyid Baswedan, “Political Islam in Indonesia: Present and Future Trajectory”, dalam Asian Survey, vol. 44, no. 4, (2004); Andreas Ufen, “From Aliran to Dealignment: Political Parties in Post-Suharto Indonesia”, South East Asia Research, vol. 16, issue 1, (2008).

15 Geertz melakukan diferensiasi antara abangan (kelompok sinkretis yang menekankan kepercayaan animistis), santri (kelompok yang merupakan pengikut Islam) dan priyayi (kelompok yang sebagian besar dipengaruhi oleh budaya aristokrat). Pada 1950-an di Jawa, keempat varian ini menemukan ekspresi politik dalam aliran. Lihat Clifford Geertz, The Religion of Java, (Chicago: University of Chicago Press, 1960).

16 Lihat misalnya Harold A. Crouch, The Army and Politics in Indonesia, (New York: Cornell University Press, 1978); Daniel S. Lev, “Political Parties in Indonesia”, Journal of Southeast Asian History, vol. 8, no. 1, (1967); Herbert Feith, Pemilihan Umum 1955 di Indonesia. (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 1999); R. William Liddle, Ethnicity, Party and Natinal Integration: An Indonesian Case Study, (New Haven dan London: Yale University Press, 1970); Bactiar Effendy, Islam and State in Indonesia, (Singapore: ISEAS, 2003); Donald K. Emmerson, Indonesia’s Elite: Political Culture and Cultural Politics, (Ithaca, NY: Cornell University Press, 1976).

17 Anies Rasyid Baswedan, “Political Islam in Indonesia: Present and Future Trajectory”, Asian Survey, vol. 44, no. 4, (2004); Dwight Y. King, Half-Hearted Reform: Electoral Institutions and the Struggle for Democracy in Indonesia, (Westport, CT: Praeger, 2003).

Argumentasi ini didukung dengan kondisi partai politik di Indonesia, sebagai negara demokrasi baru, yang saat itu belum terinstitusionalisasi dan memainkan peran penting dalam membentuk kesetiaan pemilih dan identifikasi kepartaian. Orientasi dan pilihan politik diyakini dibentuk oleh orientasi religius.

Meski studi Geertz memiliki dampak yang kuat dalam memahai perilaku memilih di Indonesia – khususnya di Jawa, diferensiasi aliran ini juga memperoleh beragam kritik. Suparlan misalnya, mengkritik konsep santri, priyayi dan abangan tidak mendeskripsikan fenomena yang sama, seperti orientasi keagamaan. Santri dan abangan dapat dibandingkan sebagai kategori keagamaan. Tetapi priyayi, lebih tepat disebut dengan kategori kelas atau status sosial, aristokrasi khas masyarakat Jawa tradisional.18

Beberapa sarjana politik menolak asumsi bahwa preferensi politik berkaitan erat dengan orientasi keagamaan. Pendekatan politik aliran juga dianggap tak relevan. Sarjana politik yang meyakini hal ini misalnya Saiful Mujani dan William Lidde.19 Sejak pemilu 1999 terdapat bukti kuat bahwa faktor penentu paling penting dari perilaku memilih di Indonesia adalah pada faktor-faktor psikologis dan ekonomi politik (pilihan rasional).20 Pemilih Indonesia dinilai sudah mulai rasional. Pemilih cenderung memilih kandidat yang dianggap mempunyai kapasitas dalam aspek pertumbuhan ekonomi, kemakmuran, mempertahankan persatuan nasional, memerangi korupsi, dan meningkatkan kualitas pendidikan dan persatuan nasional.

Bukti lain yang sama juga dapat dilihat pada survei yang dilakukan oleh Sharma dkk, dimana terdapat penurunan pengaruh agama terhadap pilihan politik pemilih di Indonesia. Pada 2010, lebih dari setengah orang Indonesia (62%) mengatakan bahwa agama memiliiki pengaruh penting dalam pilihan politik. Angka tersebut

18 Parsudi Suparlan, Pengantar dalam Clifford Geertz, (ed.) Abangan, Santri, dan Priyayi dalam Masyarakat Jawa, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1982).

19 Saiful Mujani dan R. William Liddle, “Indonesia: Personalities, Parties, and Voters”, Journal of Democracy, vol. 21, no. 2, (April 2010).

20 Saiful Mujani, R. William Liddle dan Kuskridho Ambardi, Kuasa Rakyat, (Jakarta: Mizan, 2012).

Page 142: KONSTELASI POLITIK DI TAHUN ELEKTORAL

254 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 15 No. 2 Desember 2018 | 249–265

turun dibanding tahun 2008 yang mencapai angka 79%.21

Liddle menjelaskan bahwa kelompok abangan dan priyayi telah mengalami stagnasisasi yang disebabkan oleh mengerucutnya ideologi nasionalis dan sekuler.22 Banyak pihak yang menyadari kekurangan politik aliran sebagai basis analisis, terutama disebabkan oleh kaburnya batasan antara manifestasi politik Islam yang tidak begitu saja bisa direduksi menjadi pembilahan abangan, santri dan priyayi.23

Meski demikian, Liddle sebenarnya juga tidak menolak sepenuhnya anggapan bahwa orientasi keagamaan relevan dengan preferensi pilihan politik. Lebih lanjut, Liddle juga menilai bahwa politik aliran – dan orientasi keagamaan – barangkali lebih cocok dikaji pada ranah politik lokal.24 Konservatisme dan fragmentasi berdasarkan keagamaan juga dianggap masih tampak di level lokal.25 Argumentasi ini menguatkan cara pandang terhadap partikularitas politik lokal, termasuk soal identitas, agama, politik aliran dan perilaku memilih di level lokal.26 Hal ini dapat diamati ketika agama juga

21 Rakesh Sharma, Lauren Serpe, dan Astri Suryandari, Indonesia Electoral Survey 2010 November 2010, (Washington, D.C.: IFES for the Australian Agency for International Development (USAID), 2010).

22 R. William Liddle, “New Patterns of Islamic Politics in Democratic Indonesia”, Asia Program, no. 110, Washington, D.C: Woodrow Wilson International Center for Scholars, 2003.

23 M. Faishal Aminuddin, dan Moh. Fajar Shodiq Ramadlan, “Match-All Party: Pragmatisme Politik dan Munculnya Spesies Baru Partai Politik di Indonesia Pasca Pemilu 2009”, Jurnal Politik, vol. 1, no. 1, (2015).

24 R. William Liddle, “Memperbaiki Mutu Demokrasi: Sumbangan Ilmu Politik” dalam Ihsan Ali-Fauzi dan Samsu Rizal Panggabean (eds.), Memperbaiki Mutu Demokrasi di Indonesia: Sebuah Perdebatan, (Jakarta: PUSAD Paramadina, 2012).

25 Najib Burhani, “Aksi Bela Islam: Konservatisme dan Fragmentasi Otoritas Keagamaan”, Jurnal Maarif, vol. 11, no. 2, (Desember 2016).

26 Lihat H. S. Nordholt, “Desentralisasi di Indonesia: Peran Negara Kurang Lebih Demokratis?” dalam John Harris, Kristian Stokke dan Olle Tornquist (eds.), Politisasi Demokrasi: Politik Lokal Baru, (Jakarta: Demos, 2005); E. Erman, “Indikasi Patrimonialisme dan Klientalisme dalam Proses Pilkada”, dalam Syarif Hidayat dan Hari Susanto (eds.), Bisnis dan Politik di Tingkat Lokal: Pengusaha, Penguasa, dan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah pasca Pilkada. (Jakarta: LIPI Press, 2007); Edward Aspinall dan Greg Fealy (eds), Local Power and Politics in Indonesia: Decentralisation & Democratisation,

menjadi bagian dari strategi pemenangan pemilu (marketing politik) di level lokal.

Marketing Politik dan Pilkada: Konten dan KonteksMarketing sebagai sebuah terminologi dalam ilmu politik meminjam teori dari displin ilmu lain, khususnya ilmu ekonomi.27 American Marketing Association mendefiniskan marketing sebagai “kegiatan, serangkaian lembaga, dan proses untuk menciptakan, mengkomunikasikan, menyampaikan, dan bertukar penawaran yang memiliki nilai (keuntungan) bagi pelanggan, klien, mitra, dan masyarakat pada umumnya”.28 Sedangkan marketing politik dapat didefinisikan sebagai proses analisis, perencanaan, implementasi, dan pemilihan, yang dirancang untuk menciptakan, membangun, dan memelihara hubungan pertukaran yang saling menguntungkan antara para kontestan pemilu dengan pemilih, untuk mencapai tujuan politik tertentu.29

Marketing politik mengadopsi teknik-teknik yang digunakan dalam marketing komersial seperti intelijen pasar (survei, focus group, konsultasi warga, dan lain-lain), positioning atau penentuan target pasar, serta komunikasi pemasaran (advertising, strategi penginformasian untuk mengajak, membujuk dan mengingatkan konsumen/pemilih). Penggunaan teknik ini membantu para kontestan menentukan preferensi pemilih, dan membantu dalam membuat strategi marketing untuk tujuan politik tertentu.30 Jika

(Singapura: Institute of Southeast Asian Studies, 2003).

27 Stephan C. Henneberg dan Nicholas J. O’shaughnessy, “Theory and Concept Development in Political Marketing” dalam Journal of Political Marketing, vol. 6, issue 2-3, (2007).

28 The American Marketing Association. The American Marketing Association Releases New Definition for Marketing. 2008. https://archive.ama.org/archive/aboutama/documents/american%20marketing%20association%20releases%20new%20definition%20for%20marketing.pdf, diakses pada 09 September 2018.

29 Aron O’Cass, “The External-Internal Orientation of Political Party: Social Implications Of Political Party Marketing Orientation, Journal of Public Affair, vol. 1, no. 2, (2001): 136-152.

30 Jennifer Lees-Marshment, Introduction. In Political Marketing:Principles and Applications, (London and New York: Routledge. 2009).

Page 143: KONSTELASI POLITIK DI TAHUN ELEKTORAL

Marketing Isu Agama ... | M. Fajar Shodiq Ramadlan & Romel Masykuri | 255

teknik dalam marketing komersial digunakan untuk pangsa pasar ekonomi, maka pangsa pasar dalam marketing politik adalah pemilih yang memberi suara kepada partai politik atau kandidat melalui pemilu.

Teknik menentukan pangsa pasar inilah yang kemudian berkenaan dengan identifikasi perilaku pemilih. Pemetaan perilaku memilih menyediakan pengetahuan dan informasi yang memungkinkan kontestan (baik kandidat, partai maupun tim sukses) menggunakan alat dan strategi marketing untuk memperoleh dukungan.31 Pemetaan terhadap perilaku memilih kemudian menjadi salah satu input dalam menentukan strategi dalam marketing politik. Perilaku pemilih yang diharapkan adalah dukungan elektoral, khususnya adalah pada pemberian suara dalam pemilu.

Dalam konteks pilkada, marketing politik disesuaikan dengan konteks lokal. Marketing politik lokal dapat didefinisikan sebagai strategi yang terkait dengan pemasaran, kegiatan, dan taktik yang dilaksanakan oleh partai politik atau kontestan dalam lingkup geografis lokal, untuk memaksimalkan dukungan elektoral di daerah pemilihan tertentu. Dalam hal ini, marketing politik lokal juga berkenaan dengan hal-hal yang sifatnya partikular atau spesifik, seperti identitas, bahasa/pesan, nilai, gambar, simbol, alat atau media komunikasi, manajemen marketing dan penentuan target.32

Strategi yang spesifik dalam konteks lokal ini yang dapat disebut sebagai micro-targeting, yakni strategi yang menyasar pada kelompok tertentu. Dalam marketing politik, teknik ini berupaya memobilisasi pemilih dengan pertimbangan dan basis data demografis, geografis, aspek sosial-ekonomi dan informasi lain terkait pemilih.33 Teknik ini kemudian digunakan untuk mengidentifikasi aspek-aspek

31 Aron O’Cass dan Anthony Pecotich, “The Dynamics of Voter Behavior and Influence Processes in Electoral Markets: A Consumer Behavior Perspective, Journal of Business Research, vol. 58, ), (April 2005).

32 Peeter Reeves. “Local Political Marketing in the Context of the Conservative Party”, Journal of Nonprofit & Public Sector Marketing, vol. 25, 2, (2003): 127–163.

33 Costas Panagopoulos dan Peter L. Francia, “Grassroots Mobilization in the 2008 Presidential Election’, Journal of Political Marketing, vol. 8, 4, (2009): 315–333.

spesifik, seperti pangsa pasar atau segmen pemilih yang menjadi target. Lokalitas menjadi penting karena satu daerah dengan daerah lain dapat memiliki konteks sosial, politik, ekonomi dan sejarah yang berbeda. Perbedaan ini menjadi pertimbangan dalam merumuskan strategi pemilu yang lebih spesifik, khususnya dalam merumuskan isu-isu dan program-program yang bersifat spesifik dan khas daerah.

Baines dan Lynch menguraikan aspek-aspek spesifik tersebut dalam tiga hal yang saling berkait, yakni: konteks, konten dan proses.34 Pertama, adalah konteks, berkenaan dengan keadaan. Kondisi atau siatuasi di sekitar aktivitas perumusan strategi. Konteks marketing politik bersifat khusus karena secara substansial berbeda di setiap negara, atau daerah (provinsi, kabupaten/kota). Konteks juga berkenaan dengan latar belakang lingkungan, yang kemudian juga menjadi kerangka dalam menyusun strategi marketing. Latar belakang ini terbentuk dari sejarah, budaya, sistem pemerintahan, birokrasi, sistem dan regulasi pemilu, derajat kompetisi, dan konteks umum lain yang berkaitan dengan kegiatan politik. Hal ini menjadi penting karena mempengaruhi pilihan strategi dalam marketing politik.

Kedua adalah konten. Konten berkenaan dengan pesan dan isu dalam strategi kampanye. Menurut Baines dan Lynch, konten politik berbeda di masing-masing negara atau daerah. Masing-masing kontestan melihat persoalan di sekitar pemilu di tempat yang berbeda dengan cara yang juga berbeda. Karena itu konten dalam strategi marketing politik dapat berbeda-beda. Baines dan Lynch juga memberi catatan bahwa konten dalam strategi kampanye juga dapat menggunakan unsur-unsur negatif dalam kampanye, misalnya kampanye hitam/black campaign yang secara sederhana merupakan bagian dari kampanye negatif untuk menyerang lawan, tetapi tidak berdasarkan fakta sehingga dapat menjurus pada fitnah atu hujatan.

Ketiga adalah proses, yakni serangkaian strategi yang dikembangkan selama masa kampanye dan proses manajerial yang melibatkan

34 Paul Baines dan Richard Lynch, “The Context, Content and Process of Political Marketing Strategy”, Journal of Political Marketing, vol. 4, 2-3, (Oktober 2005): 1-18.

Page 144: KONSTELASI POLITIK DI TAHUN ELEKTORAL

256 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 15 No. 2 Desember 2018 | 249–265

konteks dan konten. Berbeda halnya degnan kampanye peluncuran produk (berupa barang dan jasa), kampanye politik memiliki tingkat fleksibilitas yang lebih besar daripada kampanye peluncuran produk. Fleksibilitas ini berkaitan dengan kondisi-kondisi yang dinamis di sekitar kegiatan marketing atau kampanye politik. Soal isu atau konten kampanye misalnya, bisa berubah disesuaikan dengan tempat, waktu dan audiens. Atau, konten dalam marketing politik juga berubah guna merespon persitiwa atau isu tertentu dalam kontestasi pemilu.

Berkenaan dengan marketing politik di level lokal, salah satu hal yang dapat diamati dalam penyelenggaraan pilkada di Indonesia adalah berkenaan dengan konteks dan konten yang spesifik, misalnya identitas, seperti etnisitas, agama dan isu putra asli daerah. Dalam pendekatan sosiologis, salah satu dimensi dalam membentuk perilaku memilih atau preferensi politik adalah soal identitas. Dalam konteks inilah agama menjadi dimensi dan instrumen yang dapat digunakan dalam memperoleh dukungan.

Alasan paling utama bagi politisi atau kontestan politik memanfaatkan agama sebagai instrumen politik, adalah karena agama menyajikan platform strategis untuk membangun kesan dan citra positif. Instrumentasi agama menciptakan kesan religius, citra yang bermoral, dan dapat dipercaya. Dengan memanfaatkan jargon agama dan menghadiri pertemuan-pertemuan agama, kontestan pemilu meminta kepada kelompok-kelompok agama untuk memberi dukungan, berdasarkan asumsi bahwa kontestan tersebut adalah bagian dari kelompok agama tersebut.35

Dalam konteks tersebut, isu agama merupakan produk yang ditawarkan dalam kampanye atau marketing politik. Selain sebagai alat memperoleh dukungan, isu agama juga dapat menjadi alat untuk melemahkan dukungan bagi lawan. Dalam penjelasan Baines dan Lynch, hal itu memungkinkan dilakukan dengan memproduksi isu-isu identitas dan kampanye hitam. Isu agama, sebagai konten, berkelindan dengan konteks tempat dan waktu dimana

35 Jaco Beyers, “Religion as Political Instrument: The case of Japan and South Africa”, Journal for the Study of Religion, vol. 28, no. 1, (2015): 142-164.

pilkada dan proses kegiatan marketing politik berlangsung.

Konten: Isu Agama pada Pilkada 2015, 2017 dan 2018Sepanjang penyelenggaraan pilkada serentak 2015-2018 di 541 daerah, baik di level provinsi maupun kabupaten/kota, isu agama ditemukan di 7 pilkada. Berikut ini penjelasan soal isu agama atau pesan (konten) apa saja yang muncul selama penyelenggara pilkada 2015-2018.

Pilkada 2015Berdasarkan penelurusan yang dilakukan di 269 daerah yang menyelenggarakan pilkada, terdapat tiga daerah dimana isu agama mengemuka pada penyelenggaraan pilkada serantak 2015, yakni Pilgub Sulawesi Utara (Sulut), Pilwali Kota Depok dan Pilwali Kota Surakarta.

Pada Pilgub Sulawewi Utara (Sulut) terdapat kejadian dimana sekelompok orang berjubah putih menyebarkan selebaran berisi himbauan kepada warga muslim untuk tidak memilih kandidat yang berbeda agama. Kandidat yang menjadi sasaran adalah pasangan Olly Dondokambey-Steven Kandouw yang merupakan pemeluk agama Kristen Protestan dan diusung oleh PDIP.36 Isi himbauan menyebutkan agar tidak memilih pasangan calon Olly-Kandouw karena akan mendiskreditkan kelompok minoritas muslim di Sulut apabila menang. Pilgub Sulut dimenangkan oleh pasangan Olly-Kandow dengan perolehan 674.252 suara atau 51,41 persen. 37

Sedangkan pada pilwali Kota Depok tahun 2015, isu agama yang muncul berkenaan dengan sentimen Islam dan Kristen, terutama terkait dengan pembangunan gereja. Isu ini disematkan kepada pasangan Dimas Oky-Babai Suhaimini yang diusung oleh PDIP, PAN, PKB dan Nasdem. Terdapat spanduk-spanduk yang memuat pernyataan bahwa Dimas-Babai akan

36 Beritasatu.com. “Isu SARA Diduga Kotori Pilgub Sulawesi Utara,” http://www.beritasatu.com/nasional/326205-isu-sara-diduga-kotori-pilgub-sulawesi-utara.html, diakses pada 07 Agustus 2018.

37 KPU Sulawesi Utara,. Penetapan Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara dan Hasil Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Sulawesi Utara Tahun 2015.

Page 145: KONSTELASI POLITIK DI TAHUN ELEKTORAL

Marketing Isu Agama ... | M. Fajar Shodiq Ramadlan & Romel Masykuri | 257

mewujudkan program “satu kelurahan satu gereja”.38 Tidak jelas spanduk ini dipasang oleh kelompok siapa. Pilwali Depok dimenangkan oleh pasangan Idrus-Pradi dengan perolehan suara sebanyak 411.367 atau 61,91 persen dari total suara sah.39 Pada Pilwali Kota Surakarta, isu agama cukup kencang dikarenakan salah satu calon petahana FX Hadi Rudyatmo beragama Katolik dan mayoritas warga Solo memeluk agama Islam. Isu agama dimunculkan dalam bentuk spanduk dan selebaran yang berisi ajakan untuk tidak memilih pemimpin non-muslim atau ajakan memilih pemimpin yang seagama. Spanduk yang tersebar diantaranya “Merindukan Wali Kota Muslim”, “Jangan Sampai Solo Dipimpin Orang Kafir”.40 Pasangan FX Hady-

38 Kompas.com. “Pilkada Depok, Dimas-Babai Diserang Isu SARA Lewat Spanduk,” 10 September 2015, https://megapolitan.kompas.com/read/2015/11/10/12373471/Pilkada.Depok.Dimas-Babai.Diserang.Isu.SARA.lewat.Spanduk, diakses pada 07 Agustus 2018.

39 KPU Kota Depok, Penetapan Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara dan Hasil Pemilihan Wali Kota dan Wakil Wali Kota Depok Tahun 2015.

40 Kompas.com. “Akhirnya, FX Rudy Komentari Isu SARA yang Sempat Menerpanya,” 10 Desember 2015, https://regional.kompas.com/read/2015/12/10/12421661/Akhirnya.FX.Rudy.Komentari.Isu.SARA.yang.Sempat.Menerpanya,

Purnomo memenangkan Pilwali Surakarta dengan perolehan 169.902 suara atau 60,39%.41

Pilkada 2017Pada pilkada Serentak 2017, di 101 daerah yang menyelenggarakan Pilkada, terdapat satu pilkada dimana isu agama mengemuka, yakni Pilgub DKI Jakarta. Pilgub DKI Jakarta merupakan pilkada yang diwarnai isu agama dan menciptakan fragmentasi yang cukup jelas antar pendukung. Isu agama di Pilgub DKI Jakarta terjadi dipicu dugaan penistaan agama oleh petahana Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Bermula saat Ahok melakukan kunjungan kerja ke Kepulauan Seribu pada 27 September 2016. Saat berpidato di hadapan warga, Ahok menyatakan tidak memaksa warga untuk memilih dirinya pada Pilkada 2017. Pernyataan itu disertai kutipan surah Al Maidah ayat 51 yang menuai reaksi dari kelompok Islam. Pernyataan yang beredar melalui tayangan video pidato Ahok kemudian

diakses pada 07 Agustus 2018.

41 KPU Kota Surakarta, Penetapan Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara dan Hasil Pemilihan Wali Kota dan Wakil Wali Kota Surakarta Tahun 2015.

No Provinsi/Kabupaten/Kota Isu Agama yang muncul Kandidat dan Partai Pengusung

1. Pilgub Sulawesi Utara

Ajakan kepada umat agama tertentu untuk tidak memilih kandidat yang berbeda agama.

1. Olly Dondokambey-Steven Kandouw (PDIP)

2. Maya Rumantir-Glenny Kairupan (Partai Gerindra dan Partai Demokrat);

3. Benny Mamoto dan David Bobihoe (Partai Golkar, PKS dan PKPI)

2. Pilwali Kota Depok

Isu agama lewat spanduk-spanduk yang memuat pernyataan bahwa Dimas-Babai akan mewujudkan program "satu kelurahan satu gereja".

1. Dimas Oky-Babai Suhaimini, diusung oleh PDI-P, PAN, PKB, dan Nasdem

2. Idris Abdul Shomad dan Pradi Supriatna, diusung oleh PKS, Gerindra.

3. Pilwali Kota Surakarta (Solo)

Adanya spanduk dan selebaran yang berisi ajakan untuk tidak memilih pemimpin non-muslim atau ajakan memilih pemimpin yang seagama.

1. Anung Indro Susanto-Muhammad Fajri. Diusung oleh PKS, PAN, Gerindra, dan Demokrat

2. F.X. Hadi Rudyatmo-Achmad Purnomo, diusung oleh PDI-P

Tabel 2. Pilkada Serentak Tahun 2015 yang Diwarnai Isu Agama

Sumber: diolah oleh penulis dari berbagai sumber

Page 146: KONSTELASI POLITIK DI TAHUN ELEKTORAL

258 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 15 No. 2 Desember 2018 | 249–265

menjadi viral di media sosial. Kasus ini berlanjut ketika Ahok mencalonkan diri sebagai gubernur DKI bersama Djarot Saiful Hidayat dan diusung oleh PDIP, Golkar, Nasdem dan Hanura.

Isu agama dalam Pilgub DKI Jakarta berlangsung seperti larangan memilih pemimpin kafir, larangan memilih pemimpin penista agama, dan ancaman bagi warga muslim yang mendukung dan memilih Ahok tidak akan dishalat jenazahnya.42 Sentimen dan isu agama juga menguat dengan disampaikan dalam bentuk aksi “bela Islam” di Jakarta, yang dilakukan sebanyak tiga kali, yaitu pada 17 Oktober 2016, 4 November 2016, dan 2 Desember 2016. Aksi tersebut tidak lepas dari konteks Pilgub DKI Jakarta 2017.

Dampak dari adanya isu agama pada pilkada DKI Jakarta ini diyakini menjadi salah satu penyebab kekalahan petahana. Sebab, meski survei kepuasan terhadap kinerja Ahok-Djarot cukup tinggi, di mana 67% mengaku puas, dan 29% yang mengaku tidak puas43, namun tidak berkolerasi lurus dengan tingkat elektabilitas Ahok-Djarot. Pilkada dimenangkan oleh pasangan Anies-Sandi

42 Cnnindonesia.com. “Perang Spanduk SARA Jelang Pemungutan Suara,” 6 April 2017, https://www.cnnindonesia.com/kursipanasdki1/20170406081402-516-205324/perang-spanduk-sara-jelang-pemungutan-suara/, diakses pada 09 Agustus 2018.

43 Kompas.com. “Survei CSIS: Waga DKI Menyukai Kepribadian Ahok, Setelah Itu Prestasinya,” 25 Januari 2016, https://megapolitan.kompas.com/read/2016/01/25/13105041/Survei.CSIS.Warga.DKI.Menyukai.Kepribadian.Ahok.Setelah.Itu.Prestasinya, diakses pada 09 Agustus 2018.

melalui dua putaran dengan perolehan akhir Ahok-Djarot memperoleh 2.351.242 suara atau 42.05%, sedangkan Anies-Sandiaga memperoleh 3.240.332 suara atau 57.95%.44

Pilkada 2018Pasca pilkada 2017, kekhawatiran menguatnya isu-isu agama dan memunculkan polarisasi di masyarakat menguat – antara kelompok Islam di satu sisi dan nasionalis di sisi yang lain – yang dinilai sebagai akibat dinamika pemilihan gubernur DKI Jakarta pada 2017. Meski pun, kekhawatiran tersebut ternyata tidak banyak terbukti mengingat hanya beberapa daerah saja dimana isu-isu agama dalam pilkda mengemuka. Selain itu, pilkada juga tidak mencerminkan aliansi politik di level nasional. Sebagian besar koalisi yang terbangun dalam mendukung kandidat tidak mewakili aliansi politik yang sama. Aliansi politik di level lokal sangat fleksibel dan memperlihatkan bahwa tidak ada musuh politik yang pasti. Di tingkat nasional, Gerindra dan PKS adalah partai oposisi, tetapi di Jawa Timur, mereka justru berada dalam satu koalisi dengan PDIP.

44 KPU RI. Lihat di https://pilkada2017.kpu.go.id/hasil/2/t1/dki_jakarta, diakses pada 08 Agustus 2018.

Tabel 3. Pilkada Serentak Tahun 2017 yang Diwarnai Isu Agama

Sumber: Diolah dari berbagai sumber

No Provinsi/Kabupaten/Kota Isu agama yang muncul Kandidat dan Partai Pengusung 1. Pilgub DKI Jakarta Muncul larangan dengan

berbagai media untuk memilih pemimpin kafir, larangan memilih pemimpin penista agama, dan disertai kecaman, seperti tidak akan dishalat jenazahnya. Mobilisasi sentiment agama juga disampaikan dalam bentuk aksi “bela Islam” di Jakarta.

1. Agus Harimurti Yudhoyono-Sylvia Murni, didukung oleh Demokrat, PAN, PKB, dan PPP

2. Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Saiful Hidayat, diusung oleh PDI-P, Golkar, Nasdem, dan Hanura;

3. Anies Basewan-Sandiaga Uno, diusung oleh PKS, dan Gerindra

Page 147: KONSTELASI POLITIK DI TAHUN ELEKTORAL

Marketing Isu Agama ... | M. Fajar Shodiq Ramadlan & Romel Masykuri | 259

Pada Pilgub Sumut, terdapat beberapa aktivitas yang menggunakan isu agama. Pertama, diselenggarakannya Kongres Umat Islam (KUI) di Medan pada 31 Maret hingga April 2018. Hasil kongres tersebut termaktub dalam Piagam Umat Islam Sumatera Utara yang salah satu hasilnya meminta kepada warga Sumut agar memilih pasangan muslim-muslim.45 Meskipun dukungan tersebut tidak ditujukan langsung terhadap pasangan Edy Rahmayadi-Musa Rajekshah (diusung oleh Gerindra, PKS, PAN, Nasdem, Golkar, Hanura, Demokrat dan PKB), namun ini pasangan muslim-muslim berada pada pasangan ini. Kedua, diselenggarakannya Gerakan Shalat Subuh Berjamaah pada 27 Juni

45 Tirto.id. “Faktor yang Membuat Djarot Kalah dari Edy di Pilgub Sumut 2018,” https://tirto.id/faktor-yang-membuat-djarot-kalah-dari-edy-di-pilgub-sumut-2018-cM7n, diakses pada 09 Agustus 2018.

2018, sehari sebelum pemungutan suara. Acara tersebut dihadiri oleh Edy Sudrajat.46 Pilgub Sumut dimenangkan oleh pasangan Edy-Musa dengan 3.291.137 suara atau 57,58%.47

Pada Pilgub Jabar, isu agama mengarah pada pasangan Ridwan Kamil-UU Ruzhanul Ulum (Diusung Nasdem, PPP, PKB, dan Hanura) dan Dedy Mizwar-Dedi Mulyadi (diusung oleh Demokrat dan Golkar). Ridwan Kamil dianggap tidak merepresentasikan sebagai pemimpin yang berasal dari muslim karena pro LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender), meski pada

46 Detik.com. “Gerakan Subuh Berjamaah: Strategi Menangkan Cagub Edy Rahmayadi,” https://news.detik.com/berita/d-4062265/gerakan-subuh-berjamaah-strategi-menangkan-cagub-edy-rahmayadi pada 09 Agustus 2018.

47 KPU Sumatera Utara, Penetapan Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara dan Hasil Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Sumatera Utara Tahun 2018.

Tabel 6. Pilkada Serentak Tahun 2018 yang Diwarnai Isu Agama

Sumber: Diolah dari berbagai sumber

No Provinsi/Kabupaten/Kota Isu agama yang muncul Kandidat dan Partai Pengusung 1. Pilgub Sumatera Utara Muncul himbauan yang

dikeluarkan oleh KUI yang meminta kepada warga Sumut agar memilih pasangan muslim-muslim.

1. Edy Rahmayadi-Musa Rajekshah, (Gerindra, PKS, PAN, Nasdem, Golkar, Hanura, dan Demokrat);

2. Djarot-Sihar Sitorus (PDI-P dan PPP).

2. Pilgub Jawa Barat 1. Ridwan Kamil dianggap tidak merepresentasika`n sebagai pemimpin yang berasal dari muslim karena pro LGBT;

2. Dedy Mulyadi dianggap bertentangan dengan Islam karena selama menjadi bupati Purwakarta banyak membangun patung. Muncul anjuran tidak memilih duet dua Dedy.

1. Ridwan Kamil – UU Ruzhanul Ulum (Nasdem, PPP, PKB, dan Hanura);

2. Tubagus Hasanuddin- Anton Charliyan (PDI-P)

3. Sudrajat-Ahmad Syaikhu (PKS, Gerindra, dan PAN);

4. Dedy Mizwar – Dedi Mulyadi (Demokrat dan Golkar).

3. Pilwali Kota Bekasi Beredar surat perjanjian antara Rahmad Effendi (Calon Incumbent) dengan pastor-pastor bahwa menjanjikan pendirian 500 gereja, asalkan dia didukung dalam ajang pilkada oleh kalangan Nasrani.

1. Rahmad Effendi – Tri Adhianto, (Golkar, PAN, Demokrat, PPP, Hanura, PKB, PDI-P);

2. Nur Supriyanto-Adhy Firdaus Saady (PKS dan Gerindra)

Page 148: KONSTELASI POLITIK DI TAHUN ELEKTORAL

260 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 15 No. 2 Desember 2018 | 249–265

akhirnya oleh Ridwan Kamil diklarifikasi kembali. Dari sini muncul kampanye jangan memilih Ridwan Kamil.48 Isu agama juga disematkan kepada pasangan Dedy Mizwar-Dedi Mulyadi. Muncul anjuran tidak memilih duet dua Dedy di Pilgub Jabar karena Dedi Mulyadi dinilai penganut penghayat kepercayaan lokal.49 Pilgub Jabar dimenangkan oleh pasangan Ridwan-Ruzhanul dengan 7.226.254 suara atau 32,88% suara sah. 50

Isu agama dalam Pilwali Kota Bekasi diwarnai dengan beredarnya surat perjanjian antara Rahmad Effendi (calon petahana) dengan beberapa pastor tentang pendirian 500 gereja, asal didukung dalam pilkada. Surat perjanjian palsu ini beredar di media sosial dan tidak jelas siapa yang membuat.51 Rahmad Effendi berpasangan dengan Tri Adhianto dan diusung oleh Golkar, PAN, Demokrat, PPP, Hanura, PKB, PDI-P. Sedangkan lawannya adalah Nur Supriyanto-Adhy Firdaus Saady yang diusung oleh PKS dan Gerindra. Pilwali Kota Bekasi dimenangkan oleh Rahmad-Adhianto dengan 697.634 suara. 52

Jika dilihat pada pilkada 2015-2018, konten isu agama dapat diklaksifikasikan dalam dua jenis konten: Pertama, ajakan untuk tidak memilih kepala daerah yang beda agama (atau ajakan untuk memilih kepala daerah yang seagama). Hal ini dapat dilihat di pilkada Sulawesi Utara, Sumatera Utara, Kota Surakarta dan DKI Jakarta.

Kedua, kampanye hitam (black campaign) berupa rekayasa fakta dan pemberian informasi

48 Liputan.6.com. “Ridwan Kamil: Isu Dukungan Kaum LGBT Bentuk Kampanye Hitam,” https://www.liputan6.com/pilkada/read/3299863/ridwan-kamil-isu-dukungan-kaum-lgbt-bentuk-kampanye-hitam, diakses pada 07 Agustus 2018.

49 Jppn.com. “Sosok Dedy Mulyadi dan Isu Agama di Pilgub Jabar,” https://www.jpnn.com/news/sosok-dedy-mulyadi-dan-isu-agama-di-pilgub-jabar, diakses pada 07 Agustus 2018.

50 KPU RI, https://infopemilu.kpu.go.id/pilkada2018/hasil/report/penetapan/list/nasional, diakses pada 09 Agustus 2018.

51 Cnnindonesia.com. “PGI: Surat Perjanjian Wali Kota Bekasi Dengan Gereja Palsu,” 25 Juni 2015, https://www.cnnindonesia.com/pilkadaserentak/nasional/20180625121702-32-308811/pgi-surat-perjanjian-wali-kota-bekasi-dengan-gereja-palsu?, diakses pada 07 Agutus 2018.

52 Kompas.com. “Hasil Rekapitulasi KPU Bekasi: Pepen-Tri Menang dari Nur-Adhy,” 6 Juli 2018, https://megapolitan.kompas.com/read/2018/07/06/18525211/hasil-rekapitulasi-kpu-bekasi-pepen-tri-menang-dari-nur-adhy, diakses pada 07 Agustus 2018.

yang belum jelas kebenarannya. Bentuknya beragam, seperti hubungan terhadap kelompok LGBT, dukungan pembangunan gereja (Dimas Oky dalam Pilkada Kota Depok), dan Dedy Muluadi (Pilkada Jawa Barat) yang dianggap bertentangan dengan Islam karena selama menjadi bupati Purwakarta banyak membangun patung.

Konteks: Isu Agama dalam Pilkada Penjelasan soal bagaimana isu agama (konten) muncul tidaklah berdiri sendiri, melainkan berkenaan dengan konteks yang berkembang di daerah penyelenggara pilkada. Setidaknya ada dua konteks, yakni konteks sosial-politik di level lokal dan kompetitor dalam pilkada.

Konteks Sosial-Politik di Level Lokal: Sentimen Agama dan Pengalaman Konflik Agama Konteks pertama adalah konteks sosial-politik di level lokal. Konteks ini salah satunya dapat berkaitan dengan pengalaman atau sejarah konflik keagamaan di masa lalu. Konteks ini menjadi salah satu sumber produksi isu agama dalam pilkada.53 Sebagaimana terjadi pada Pilgub Sulut. Jika dilihat dari konteks historis, Sulut pernah mengalami konflik berbau agama, yakni penyerangan oleh sekelompok massa terhadap pembangunan masjid di Kota Bitung, Sulawesi Utara pada November 2015. Penyerangan terjadi karena pembangunan masjid dianggap belum mendapatkan IMB.54 Meski tidak berkaitan langsung, tetapi isu ini menjadi perhatian bagi warga muslim di Sulut. Situasi tersebut digunakan untuk membentuk isu agama dalam pilgub. Dari identifikasi yang dilakukan, isu agama digunakan untuk menciptakan kekhawatiran kelompok minoritas muslim jika dipimpin oleh kepala daerah berlatarbelakang Kristen.

53 Meskipun dalam beberapa kasus ada daerah yang mengalamki konflik kegamaan masa lalu namun tidak terdapat isu agama dalam pelaksanaan pilkada, seperti di Kota Ambon Provinsi Maluku.

54 Republika.co.id. “Penolakan Masjid di Bitung Perkeruh Konflik Rumah Ibadah,” 11 November 2015, https://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/15/11/11/nxmrie365-penolakan-masjid-di-bitung-perkeruh-konflik-rumah-ibadah, diakses pada 09 Agustus 2018.

Page 149: KONSTELASI POLITIK DI TAHUN ELEKTORAL

Marketing Isu Agama ... | M. Fajar Shodiq Ramadlan & Romel Masykuri | 261

Pada Pilkada Depok, konflik pendirian gereja menjadi konteks yang dikaitkan dalam menciptakan isu agama. Kota Depok mimiliki pengalaman konflik pendirian gereja yang melibatkan pemerintah kota dan warga. Konflik yang masih berjalan hingga tahun 2017 ini, berawal pada penolakan terhadap pendirian tempat ibadah dan gedung serbaguna atas nama Jemaat Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) pada tahun 2008.55 Penolakan terhadap pendirian gereja ini berawal dari dicabutnya IMB oleh Walikota Depok pada tahun 2009. Namun pada 2010, IMB didapat kembali setelah pihak Gereja memangkan gugatan di MA. Namun ketika pembangunan hendak dilanjutkan ratusan warga yang mengatasnamakan sebagian umat muslim menolak pembangunan gereja tersebut.56 Konteks ini menjadi sumber dalam menciptakan black campaign kepada Dimas-Babai.

Pilgub Jawa Barat dinilai rentan dengan isu agama karena Jabar merupakan salah satu provinsi dengan tingkat toleransi paling rendah dibanding povinsi lainnya (pada tahun 2016 dan 2017).57 Jabar juga tidak lepas dari sentimen Islam-Kristen yang terefleksi pada masalah pembangunan gereja di beberapa kabupate/kota di Jabar. Hal ini juga dapat diamati pada situasi Pilwali Bekasi tahun 2018. Pada maret 2017, sekelompok massa yang mengatasnamakan kelompok ummat Islam menolak adanya pembangunan Gereja Santa Clara yang terletak

55 Kompas.com. “IMB Gereja HKBP Depok Dicabut,”29 April 2009, https://regional.kompas.com/read/2009/04/29/1227410/IMB.Gereja.HKBP.Depok.Dicabut, diakses pada 09 Agustus 2018.

56 Okezone.com. “Penolakan Gereja HKBP Cinere Bukan dari FPI,” 19 September 2010, https://news.okezone.com/read/2010/09/19/338/373619/penolakan-gereja-hkbp-cinere-bukan-dari-fpi, diakses pada 09 Agustus 2018.

57 Dalam Laporan Wahid Foundation tahun 2016 menyebutkan Jawa Barat sebagai daerah yang paling tinggi kasus pelanggaran kebebasan beragama dengan 28 Peristiwa. Sedangkan Setara Institute pada tahun 2017 juga menempatkan Jawa Barat sebagai daerah yang tingkat pelanggaran kebebasan beragama tinggi, dengan 29 kasus. Lihat: Ringkasan Eksekutif Laporan Tahunan, Kemerdekaan Beragama Berkeyakinan (KBB) di Indonesia Tahun 2016. (Jakarta: Wahid Foundation, 2016); Ringkasan Eksekutif, Kondisi Kebebasan Beragama/Berkeyakinan dan Minoritas Keagamaan di Indonesia Tahun 2017. (Jakarta: SETARA Institute, 2017).

di Bekasi Utara.58 Hal ini juga menjadikan Pilwali Bekasi juga diwarnai dengan isu agama.

Konteks Kompetitor (Latar Belakang Agama Kandidat) Identitas keagamaan kandidat menjadi bagian yang tidak bisa dipisahkan dalam memunculkan isu agama, apalagi jika kandidat berasal dari agama minoritas. Hal ini dapat dilihat pada pilwali Kota Surakarta, Pilkada DKI Jakarta, Pilgub Sumut, dan Pilgub Jabar. Salah satu calon petahana FX Hady Rudyatmo beragama Katolik, sedangkan mayoritas warga Solo memeluk agama Islam. Kemudian di Pilkada DKI Jakarta, Ahok adalah calon petahana dengan latar belakang Tionghoa-Protestastan. Penolakan dengan isu agama terhadap Ahok juga disuarakan dalam beberapa media kampanye, seperti spanduk, selebaran, dan media sosial. Selanjutnya adalah pada Pilgub Sumut dimana isu agama digunakan untuk menyerang pasangan Djarot-Sahar Sitorus karena cawagub Sihar Sitorus beragama Kristen. Sedangkan pada pilgub Jabar, isu agama menyerang Pasangan Dedy Mizwar-Dedi Mulyadi, dimana Dedi Mulyadi dinilai bertentangan dengan Islam karena dianggap sebagai penghayat kepercayaan lokal dan selama menjadi bupati Purwakarta banyak membangun patung (dinilai bertentangan dengan ajaran Islam).

Penjelasan soal konten dan konteks menunjukkan bahwa isu agama (konten) diproduksi dalam kaitannya dengan dua konteks yang berkembang. Konteks yang paling memungkinkan untuk memproduksi isu agama adalah adanya kandidat yang berasal dari latar belakang agama minoritas. Konteks ini berkaitan dengan konten untuk mengajak pemilih memilih pemimpin yang seagama, atau melarang pemilih untuk memilih pemimpin yang berbeda agama. Hal tersebut dapat dilihat sebagaimana yang terjada pada kasus FX Hady Rudyatmo, Ahok, maupun Sihar Sitorus. Hal lain yang juga dapat dicermati adalah, upaya mengasosiasikan latar

58 Kompas.com. “Keteguhan Wali Kota Bekasi Pertahankan Gereja Santa Clara,” 25 Maret 2017, https://megapolitan.kompas.com/read/2017/03/25/08254701/keteguhan.wali.kota.bekasi.pertahankan.gereja.santa.clara, diakses pada 09 Agustus 2018.

Page 150: KONSTELASI POLITIK DI TAHUN ELEKTORAL

262 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 15 No. 2 Desember 2018 | 249–265

kepemiminan atau personalitas kandidat dengan kesan negatif dan bertentangan dengan moralitas public. Contohnya seperti tuduhan Ridwan Kamil yang pro LGBT, atau Dedi Mulyadi yang dianggap kebijakannya yang bertentangan dengan Islam karena banyak membangun patung.

Sedangkan konteks sosial-politik di level lokal, menjadi pra-kondisi, sumber atau “bahan baku” dalam memproduksi isu-isu agama. Kecenderungan pada konteks sosial politik adalah pada konten jenis black campaign. Persoalan atau konflik agama yang berkembang sebelum penyelenggaraan pilkada (konteks), dihubungkan dengan isu-isu (konten) untuk mendiskreditkan lawan politik.

PenutupSepanjang penyelenggaraan pilkada serentak paa tahun 2015 hingga 2017, dari 901 pilkada yang diselenggarakan, terdapat 7 pilkada yang diwarnai isu agama. Dalam strategi marketing politik, ada dua jenis isu agama (konten) yang muncul, yakni: pertama, ajakan untuk memilih kandidat yang seagama, atau tidak memilih kandidat yang tidak seagama; kedua, adalah black campaign (hujatan, fitnah atau informasi yang belum jelas kebenarannya).

Produksi isu agama (konten) tidak lepas dari dua konteks: sosial-politik di level lokal/daerah dan konteks kompetitor dalam pilkada. Konteks sosial politik di level lokal, berkaitan dengan konteks historis atau pengalaman konflik terkait agama di masa lalu. Persoalan atau konflik agama yang pernah berkembang sebelum penyelenggaraan pilkada (konteks), dihubungkan dengan isu-isu (konten) untuk mendiskreditkan lawan politik. Dalam konteks ini, konten isu agama digunakan melalui black campaign. Bentuknya bisa sangat beragam, ada yang menggunakan spanduk, selebaran, maupun kampanye negatif melalui media sosial. Konteks ini dapat dilihat misalnya pada pilkada Jabar dan Depok.

Sedangkan konteks kompetitor, muncul biasanya jika terdapat salah satu calon kepala daerah yang mempunyai latara belakang minoritas. Identitas minoritas kandidat menjadi sumber untuk memproduksi isu agama. Dalam konteks ini, isu agama yang muncul misalnya

berupa larangan memilih pemimpin dari latar belakang minoritas. Konteks ini misalnya muncul di Pilgub DKI Jakarta dan Pilwali Surakarta. Penjelasan ini menunjukkan bahwa isu agama muncul di sepanjang penyelenggaraan pilkada 2015-2018 dengan cara, bentuk dan pola dimana konten dan konteks saling berkaitan.

Daftar PustakaBukuAspinall, E. dan Greg Fealy (eds). Local Power

and Politics in Indonesia: Decentralisation & Democratisation. Singapura: Institute of Southeast Asian Studies, 2003.

Crouch, Harold. The Army and Politics in Indonesia. New York: Cornell Univ Press, 1978.

Dalton, Russell J. Citizen Politics: Public Opinion and Political Parties in Advanced Western Democracies. 2nd ed. London: Chatham House, 1996.

Effendy, Bactiar. Islam and State in Indonesia: Singapore: ISEAS, 2003.

Emmerson, Donald K. Indonesia’s Elite: Political Culture and Cultural Politics. Ithaca, NY: Cornell University Press, 1976.

Erman, E. “Indikasi Patrimonialisme dan Klientalisme dalam Proses Pilkada”, dalam Syarif Hidayat dan Hari Susanto (eds.), Bisnis dan Politik di Tingkat Lokal: Pengusaha, Penguasa, dan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah pasca Pilkada. Jakarta: LIPI Press, 2007.

Feith, Herbert. Pemilihan Umum 1955 di Indonesia. Jakarta: Kepustakaan Popuuler Gramedia, 1999.

Geertz, Clifford. The Religion of Java. Chicago: University of Chicago Press, 1960.

Inglehart, Ronald. Culture Shift in Advanced Industrial Society. Princeton: Princeton University Press. 1990.

King, Dwight Y. Half-Hearted Reform: Electoral Institutions and the Struggle for Democracy in Indonesia. Westport, CT: Praeger, 2003.

Lees-Marshment, Jennifer. Introduction in Political Marketing: Principles and Applications. London and New York: Routledge, 2009.

Liddle, R. William. Ethnicity, Party and Natinal Integration: An Indonesian Case Study. New Haven dan London: Yale University Press, 1970.

Liddle, R.W. “Memperbaiki Mutu Demokrasi: Sumbangan Ilmu Politik” dalam Ihsan Ali-Fauzi dan Samsu Rizal Panggabean

Page 151: KONSTELASI POLITIK DI TAHUN ELEKTORAL

Marketing Isu Agama ... | M. Fajar Shodiq Ramadlan & Romel Masykuri | 263

(eds.). Memperbaiki Mutu Demokrasi di Indonesia:Sebuah Perdebatan. Jakarta: PUSAD Paramadina, 2012.

Lipset, Seymour Martin. Political Man: The Social Bases of Politics. New York: Feffer and Simon Inc, 1960.

Mujani, S., R. W. Liddle dan K. Ambardi. Kuasa Rakyat. Jakarta: Mizan, 2012.

Mujani, S., R. William Liddle, dan Kuskridho Ambardi. “Voting Behavior in Indonesia since Democratization”, dalam Voting Behavior in Indonesia since Democratization: Critical Democrats. Cambridge: Cambridge University Press, 2018.

Nordholt, H. S. “Desentralisasi di Indonesia: Peran Negara Kurang Lebih Demokratis?” dalam John Harris, Kristian Stokke dan Olle Tornquist (eds.). Politisasi Demokrasi: Politik Lokal Baru. Jakarta: Demos, 2005.

Smidt, Corwin E, Kevin den Dulk, Brian Froehle, James Penning, Stephen Monsma, dan Douglas Koopman. The Disappearing God Gap?: Religion in the 2008 Presidential Election. New York: Oxford University Press. 2010.

Suparlan, Parsudi. Pengantar dalam Clifford Geertz, ed. Abangan, Santri, dan Priyayi dalam Masyarakat Jawa. Jakarta: Pustaka Jaya, 1982.

JurnalAminuddin, M. Faishal dan Moh. Fajar Shodiq

Ramadlan. “Match-All Party: Pragmatisme Politik dan Munculnya Spesies Baru Partai Politik di Indonesia Pasca Pemilu 2009”, Jurnal Politik, vol. 1, no. 1, (2015).

Baines, Paul dan Richard Lynch, “The Context, Content and Process of Political Marketing Strategy”, Journal of Political Marketing, vol. 4, 2-3, (Oktober 2005).

Baswedan, Anies Rasyid. “Political Islam in Indonesia: Present and Future Trajectory”, Asian Survey, vol. 44, no. 4, (2004).

Beyers, Jaco, “Religion as Political Instrument: The case of Japan and South Africa”, Journal for the Study of Religion, vol. 28, no. 1, (2015).

Burhani, M. Najib. “Aksi Bela Islam: Konservatisme dan Fragmentasi Otoritas Keagamaan”, Jurnal Maarif, vol. 11, no. 2, (Desember 2016).

Layman, Geoffrey C. “Religion and Political Behavior in the United States: The Impact of Beliefs, Affiliations, and Commitment From 1980 to 1994”, The Public Opinion Quarterly, vol. 61, no.2 (Summer 1997).

Lev, Daniel S. “Political Parties in Indonesia”, Journal of Southeast Asian History, vol. 8, no. 1, (1967).

Liddle, R.W. “New Patterns of Islamic Politics in Democratic Indonesia”, dalam Asia Program, no. 110, Washington, D.C: Woodrow Wilson International Center for Scholars, 2003.

Lijphart, Arend. “Religious vs. Linguistic vs. Class Voting: The “Crucial Experiment” of Comparing Belgium, Canada, South Africa, and Switzerland”, The American Political Science Review, vol.73, no.2, (1979).

Masaaki, Okamoto dan Jun Honna. “Intorudction: “Local” Politics in Jakarta: Anomaly from Indonesia’s Local Politics?”, Journal of Current Sutheast Asian Affairs, 33, 1, (2014).

Mietzner, Marcus dan Burhanuddin Muhtadi. “Explaining the 2016 Islamist Mobilisation in Indonesia: Religious Intolerance, Militant Groups and the Politics of Accommodation”, Asian Studies Review, vol. 42, issue 3, (2018).

Mujani, S dan R. W. Liddle. “Indonesia: Personalities, Parties, and Voters”, Journal of Democracy, vol. 21, no. 2, (April 2010).

Norris, Pippa dan Ronald Inglehart. “Islamic Culture and Democracy: Testing the ‘Clash of Civilizations’ Thesis”, Comparative Sociology, vol.1, issue 3-4, (2002).

O’Cass, Aron dan Anthony Pecotich, “The Dynamics of Voter Behavior and Influence Processes in Electoral Markets: A Consumer Behavior Perspective”, Journal of Business Research, vol. 58, 4, (April 2005).

O’Cass, Aron. “The External-Internal Orientation of Political Party: Social Implications Of Political Party Marketing Orientation”, Journal of Public Affair, vol. 1, no. 2, (2001).

Panagopoulos, Costas dan Peter L. Francia, “Grassroots Mobilization in the 2008 Presidential Election”, Journal of Political Marketing, vol. 8, 4, (2009).

Reeves, Peeter. “Local Political Marketing in the Context of the Conservative Party”, Journal of Nonprofit & Public Sector Marketing, vol. 25, 2, (2013).

Sharma, Rakesh, Lauren Serpe, dan Astri Suryandari. Indonesia Electoral Survey 2010 November 2010. Washington, D.C.: IFES for the Australian Agency for International Development (USAID), 2010.

Smidt, Corwin E. “The Role of Religion in the 2016 American Presidential Election”, Journal for Religion, Society and Politics, vol. 1, issue 1, (2017).

Page 152: KONSTELASI POLITIK DI TAHUN ELEKTORAL

264 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 15 No. 2 Desember 2018 | 249–265

Whitehead, Andrew L., Samuel L. Perry, dan Joseph O. Baker. “Make America Christian Again: Christian Nationalism and Voting for Donald Trump in the 2016 Presidential Election”, Sociology of Religion, vol.79, issue 2, (2018).

Dokumen dan Laporan PenelitianRingkasan Eksekutif: Indeks Kota Toleran

(IKT) Tahun 2017. Jakarta: SETARA Insitute dan Unit Kerja Presiden-Pembinaan Ideologi Pancasila, 2017.

The American Marketing Association. “The American Marketing Association Releases New Definition for Marketing,” 2008. dalam https://archive.ama.org/archive/aboutama/documents/american%20marketing%20association%20releases%20new%20definition%20for%20marketing.pdf.

Ringkasan Eksekutif Laporan Tahunan. Kemerdekaan Beragama Berkeyakinan (KBB) di Indonesia Tahun 2016. Jakarta: Wahid Foundation, 2016.

Ringkasan Eksekutif. Penelitian Pelaksanaan Kewajiban Pemerintah Daerah Dalam Perlindungan Hak Atas Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan Di Jawa Barat Dan Aceh Singkil. Jakarta: Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, 2017.

Ringkasan Eksekutif. Kondisi Kebebasan Beragama/Berkeyakinan dan Minoritas Keagamaan di Indonesia Tahun 2017. Jakarta: SETARA Institute, 2017.

Laporan Survei Centre for Strategic and International Studies (CSIS), “3 Tahun Jokowi: Kenaikan Elektoral & Kepuasan Publik”, September 2017 dalam https://www.csis.or.id/uploaded_file/event/pemaparan_hasil_survei_opini_publik_tiga_tahun_pemerintahan_joko_widodo___jusuf_kalla__kinerja_pemerintahan_dan_peta_politik_nasional__notulen.pdf.

Lingkaran Survei Indonesia, “Faktor Agama Dalam Pilkada”, Kajian Bulanan LSI, Edisi 10, Februari 2008

Surat Keputusan KPU Sulawesi Utara, Penetapan Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara dan Hasil Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Sulawesi Utara Tahun 2015.

Surat Keputusan KPU Kota Depok, Penetapan Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara dan Hasil Pemilihan Wali Kota dan Wakil Wali Kota Depok Tahun 2015.

Surat Keputusan KPU Kota Surakarta, Penetapan Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara dan Hasil Pemilihan Wali Kota dan Wakil Wali Kota Surakarta Tahun 2015

Sumber OnlineBeritasatu.com. “Isu SARA Diduga Kotori Pilgub

Sulawesi Utara” dalamhttp://www.beritasatu.com/nasional/326205-isu-sara-diduga-kotori-pilgub-sulawesi-utara.html.

Cnnindonesia.com. “Perang Spanduk SARA Jelang Pemungutan Suara” 6 April 2017, dalam https://www.cnnindonesia.com/kursipanasdki1/20170406081402-516-205324/perang-spanduk-sara-jelang-pemungutan-suara/.

Cnnindonesia.com. “PGI: Surat Perjanjian Wa l i K o t a B e k a s i D e n g a n G e re j a Palsu ,” 25 Juni 2018 dalam ht tps: / /www.cnnindonesia.com/pilkadaserentak/nasional/20180625121702-32-308811/pgi-surat-perjanjian-wali-kota-bekasi-dengan-gereja-palsu?.

Detik.com. “Gerakan Subuh Berjamaah: Strategi Menangkan Cagub Edy Rahmayadi” dalam https://news.detik.com/berita/d-4062265/gerakan-subuh-berjamaah-strategi-menangkan-cagub-edy-rahmayadi.

Jppn.com. “Sosok Dedy Mulyadi dan Isu Agama di Pilgub Jabar,” dalam https://www.jpnn.com/news/sosok-dedy-mulyadi-dan-isu-agama-di-pilgub-jabar.

KPU RI, 2018. https://infopemilu.kpu.go.id/pilkada2018/hasil/report/penetapan/list/nasional diakses pada 09 Agustus 2018.

Kompas, “Pilkada Serentak Pembelajaran Demokrasi.” 13 Februari 2017.

Kompas.com. “IMB Gereja HKBP Depok Dicabut,” 29 April 2009 dalam https://regional.kompas.com/read/2009/04/29/1227410/IMB.Gereja.HKBP.Depok.Dicabut.

Kompas.com. “Akhirnya, FX Rudy Komentari Isu SARA yang Sempat Menerpanya.” 10 Desember 2015 dalam https://regional.kompas.com/read/2015/12/10/12421661/Akhirnya.FX.Rudy.Komentari.Isu.SARA.yang.Sempat.Menerpanya.

Page 153: KONSTELASI POLITIK DI TAHUN ELEKTORAL

Marketing Isu Agama ... | M. Fajar Shodiq Ramadlan & Romel Masykuri | 265

Kompas.com. “Pilkada Depok, Dimas-Babai Diserang Isu SARA Lewat Spanduk” 10 November 2015 dalam https://megapolitan.kompas.com/read/2015/11/10/12373471/Pilkada.Depok.Dimas-Babai.Diserang.Isu.SARA.lewat.Spanduk.

Kompas.com. “Survei CSIS: Waga DKI Menyukai Kepribadian Ahok, Setelah Itu Prestasinya.” 25 Januari 2016 dalam https://megapolitan.kompas.com/read/2016/01/25/13105041/Survei.CSIS.Warga.DKI.Menyukai.Kepribadian.Ahok.Setelah.Itu.Prestasinya.

Kompas.com. “Keteguhan Wali Kota Bekasi Pertahankan Gereja Santa Clara.” 25 Maret 2017 dalam https://megapolitan.kompas.com/read/2017/03/25/08254701/keteguhan.wali.kota.bekasi.pertahankan.gereja.santa.clara.

Kompas.com. “Infografis: Fakta Seputar Pilkada Serentak.” 23 Juni 2018 dalam https://nasional.kompas.com/read/2018/06/23/21473321/i n f o g r a f i k - f a k t a - s e p u t a r - p i l k a d a -serentak-2018.

Kompas.com. “Hasil Rekapitulasi KPU Bekasi: Pepen-Tri Menang dari Nur-Adhy.” 6 Juli 2018 dalam https://megapolitan.kompas.com/read/2018/07/06/18525211/hasil-rekapitulasi-kpu-bekasi-pepen-tri-menang-dari-nur-adhy.

Liputan.6.com. “Ridwan Kamil: Isu Dukungan Kaum LGBT Bentuk Kampanye Hitam.” dalam https://www.liputan6.com/pilkada/read/3299863/ridwan-kamil-isu-dukungan-kaum-lgbt-bentuk-kampanye-hitam.

Okezone.com. “Penolakan Gereja HKBP Cinere Bukan dari FPI.” 19 September 2010 dalam https://news.okezone.com/read/2010/09/19/338/373619/penolakan-gereja-hkbp-cinere-bukan-dari-fpi.

Republika.co.id. “Penolakan Masjid di Bitung Perkeruh Konflik Rumah Ibadah.” 11 November 2015 dalam https://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/15/11/11/nxmrie365-penolakan-masjid-di-bitung-perkeruh-konflik-rumah-ibadah.

Tirto.id. “Faktor yang Membuat Djarot Kalah dari Edy di Pilgub Sumut 2018.” dalam https://tirto.id/faktor-yang-membuat-djarot-kalah-dari-edy-di-pilgub-sumut-2018-cM7n.

Page 154: KONSTELASI POLITIK DI TAHUN ELEKTORAL
Page 155: KONSTELASI POLITIK DI TAHUN ELEKTORAL

Modal, Strategi dan Jaringan Perempuan ... | Kurniawati Hastuti Dewi, dkk | 267

RESUME PENELITIAN

MODAL, STRATEGI DAN JARINGAN PEREMPUAN POLITISI DALAM KANDIDASI PILKADA LANGSUNG1

CAPITAL, STRATEGY AND WOMEN POLITICAL NETWORK IN DIRECT ELECTION CANDIDATION

Kurniawati Hastuti Dewi, Atika Nur Kusumaningtyas, Esty Ekawati, Syafuan Rozi Soebhan

Pusat Penelitian Politik-Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesiaemail: [email protected]

Diterima: 3 Oktober 2018; Direvisi: 21 Oktober 2018; Disetujui: 30 Desember 2018

Abstract

This research specifically highlights importancy of the candidation stage especially through political party channels, as strategic entry point that must be passed by female politician to compete in direct local elections. Through an in-depth analysis of the two female politicians in Grobogan and East Lampung, this research underlines the importance of three things: capital in the form of individual and social capital, strategies, and networks that politicians must have and be able to play to be nominated in direct local elections.

Keywords: capital, network, candidacy, direct local election

Abstrak

Kajian ini secara khusus menyoroti bagaimana pentingnya tahap kandidasi melalui jalur partai politik, sebagai pintu masuk yang harus dapat ditembus oleh politisi perempuan untuk maju dalam Pilkada langsung. Melalui analisis mendalam terhadap dua perempuan politisi di Grobogan dan Lampung Timur, buku ini menggarisbawahi pentingnya tiga hal yaitu modal berupa modal individu dan modal sosial, strategi, dan jaringan yang harus dimiliki dan mampu dimainkan oleh perempuan politisi untuk dapat dicalonkan dalam Pilkada langsung.

Kata Kunci: modal, jaringan, kandidasi, pilkada langsung

1 Substansi pokok di dalam tulisan ini sudah diterbitkan dalam Kurniawati Hastuti Dewi (ed), Modal, Strategi dan Jaringan Perempuan Politisi dalam Kandidasi Pilkada Langsung, (Jakarta: Yayasan Obor, 2018)

Page 156: KONSTELASI POLITIK DI TAHUN ELEKTORAL

268 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 15 No. 2 Desember 2018 | 267–288

Pendahuluan Kandidasi merupakan salah satu proses kunci bagi politisi, termasuk perempuan untuk masuk sebagai calon legislatif atau sebagai calon kepala daerah. Apalagi mengingat kecenderungan tidak transparannya proses seleksi dan kandidasi para politisi perempuan. Sebagai contoh, kajian tim peneliti Departemen Ilmu Politik FISIP Universitas Airlangga (2011) meneliti 22 perempuan yang diusung parpol atau perseorangan sebagai kandidat bupati/walikota maupun wakil bupati dalam Pilkada langsung di Jawa Timur dan Sulawesi Utara. Beberapa kesimpulan kajian tersebut antara lain bahwa sebagian besar perempuan maju dalam proses kandidasi melalui kendaraan partai atau gabungan partai, dan tidak ada prosedur yang transparan, predictable, dan membuka ruang afirmasi untuk peran serta perempuan.2 Selain itu, hasil kajian Pusat Kajian Politik LIPI dan IMD menunjukkan bahwa pola rekrutmen masih cenderung mengikuti atau ditentukan faktor-faktor primordial seperti agama, kesamaan daerah, kedekatan dan kesetiaan dengan pimpinan teras partai.3 Melalui beberapa kajian tersebut, dapat ditarik dua poin penting: pertama, kandidasi adalah titik pertarungan krusial bagi seorang perempuan politisi, termasuk kader partai politik; mengingat pencalonan melalui partai politik merupakan salah satu jalur penting kandidasi selain dari jalur perseorangan. Kedua, signifikansi jaringan aktor-aktor yang digunakan oleh perempuan politisi dalam menembus tahap kandidasi tersebut.

Sudah banyak kajian yang menyorot mengenai pentingnya jaringan aktor-aktor khususnya dalam struktur partai politik yang dibutuhkan untuk kemenangan seorang perempuan calon anggota legislatif. Sebagai contoh, Binny Buchori, calon legislatif perempuan partai Golkar yang gagal pada Pemilu tahun 2009 mengatakan bahwa salah satu kunci kegagalannya adalah tidak memiliki jaringan aktor-aktor yang berada di dalam

2 Tim Peneliti Departemen Ilmu Politik FISIP Universitas Airlangga (UNAIR), “Perempuan dalam Pemilukada: Kajian tentang Kandidasi Perempuan di Jawa Timur dan Sulawesi Utara”, (Jakarta: Kemitraan bagi Pembaruan Tata Pemerintahan di Indonesia, 2011), hlm. 348.

3 Syamsuddin Haris, ed), Pemilu Langsung di Tengah Oligarki Partai: Proses Nominasi dan Seleksi Legislatif Pemilu 2004, (Jakarta: Gramedia, 2005), hlm. xvii.

struktur partai politik Golkar, yang berdampak pada sulitnya menggunakan seluruh mesin partai politik.4 Hal ini dikonfirmasi oleh Nurul Arifin caleg partai Golkar yang juga pengurus pusat partai Golkar yang sukses memenangkan Pemilu legislatif tahun 2009. Nurul mengatakan bahwa salah satu kunci suksesnya adalah mampu masuk ke dalam kepengurusan partai politik dan jaringan perempuan pengurus partai sehingga memungkinkannya untuk menggunakan infrastruktur partai hingga ke tingkat dusun.5 Pentingnya menjalin jaringan dengan para aktor di dalam partai politik juga dikemukakan oleh Lilis Caleg Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang gagal pada Pemilu 2009. Lilis mengatakan salah satu kunci kegagalannya adalah dia berangkat menjadi caleg bukan dari struktur atau kader partai PKS sehingga struktur partai tidak berpihak kepadanya.6 Kasus-kasus pada ranah Pemilu legislatif tersebut dapat memberikan gambaran pentingnya seorang politisi perempuan memiliki jaringan aktor-aktor dalam struktur partai politik, tidak terkecuali dalam kandidasi seorang kepala daerah.

Mengingat krusialnya persoalan kandidasi perempuan politisi dan jaringan yang mereka gunakan, maka tim Gender dan Politik Pusat Kajian Politik LIPI melakukan kajian mengenai modal, strategi dan jaringan perempuan politisi dalam kandidasi di Pilkada langsung. Meskipun sangat penting, namun ternyata hal ini belum banyak dikaji. Sebagian besar kajian mengenai kandidasi sudah dilakukan pada pemilihan perempuan anggota legislatif seperti; Puskapol (2013),7 rumahpemilu.org (2013),8 Perludem

4 Laporan Utama, “Transkrip Diskusi Representasi Politik Perempuan: Sekadar Warna atau Turut Mewarnai”, Jurnal Sosial Demokrasi, Edisi 6, Nomor 2 (Juni - Agustus 2009), hlm. 23.

5 Laporan Utama, “Transkrip Diskusi Representasi.., hlm. 21.

6 Laporan Utama, “Transkrip Diskusi Representasi.., hlm. 27.

7 Sri Budi Eko Wardani, Yolanda Panjaitan, Wawan Ichwanuddin, et.al, Potret Keterpilihan Perempuan di Legislatif pada Pemilu 2009 (Jakarta: Puskapol Fisip UI, 2013).

8 rumahpemilu.org, Peta Politik Perempuan Menjelang Pemilu 2014: Perempuan dalam Partai Politik, Pemilu, Legislatif, Eksekutif, dan Yudikatif (Jakarta: rumahpemilu.org atas dukungan Perludem, 2013).

Page 157: KONSTELASI POLITIK DI TAHUN ELEKTORAL

Modal, Strategi dan Jaringan Perempuan ... | Kurniawati Hastuti Dewi, dkk | 269

(2014), 9 Pusat Kajian Politik LIPI (2012),10 Ekawati (2012).11 Telah ada kajian terdahulu mengenai jaringan yang dipakai perempuan politisi mulai dari kandidasi sampai dengan pemenangan pada Pilkada langsung seperti dilakukan (Dewi, 2015).12 Namun studi lanjutan setelah itu, dengan menggunakan metodogi kajian baru, belum ada. Maka diperlukan kajian lanjutan untuk semakin memahami mengenai model jaringan perempuan politisi dalam kandidasi di Pilkada langsung.

Kajian ini diarahkan untuk menjawab pertanyaan: pertama, modal (individu dan sosial) seperti apa yang dimiliki politisi perempuan, khususunya yang berasal dari kader parpol, sehingga membuatnya dipilih oleh parpol menjadi bakal calon kepala daerah?. Kedua, strategi seperti apa yang dimainkan oleh perempuan politisi kader parpol tersebut untuk menembus elit partai politik dalam kandidasi sehingga dirinya berhasil menjadi calon kepala daerah? Ketiga, jaringan seperti apa yang berhasil digunakan perempuan dalam kandidasi?.

Jika dilihat dari latar belakang, dari 24 perempuan kepala daerah yang menangkan Pilkada langsung tahun 2015 dapat dikategorikan menjadi tiga. Pertama, perempuan kader partai politik (parpol). Terdapat 12 dari 24 (50 %) perempuan kepala daerah terpilih pada Pilkada langsung 2015 adalah kader parpol. 13 Kedua, perempuan dengan latar belakang

9 Lia Wulandari, Khoirunnisa Agustyati, et.al, Pencomotan Perempuan Untuk Daftar Calon: Rekrutmen Calon Anggota DPRD Kabupaten/Kota untuk Memenuhi Kuota 30% Perempuan Dalam Pemilu 2014 (Jakarta: Perludem dan The Asia Foundation, 2014).

10 Pusat Penelitian Politik, Perempuan, Partai Politik dan Parlemen: Studi Kinerja Anggota Legislatif Perempuan di Tingkat Loka. (Jakarta: Pusat Penelitian Politik LIPI & Konrad Adenauer Stiftung, 2012).

11 Tentang proses rekrutmen calon anggota legislatif Partai Kebangkitan Bangsa pada Pemilu 2009. Lihat: Esty Ekawati, Penerapan Affirmative Action dan Proses Rekrutmen Calon Anggota Legislatif Partai Kebangkitan Bangsa pada Pemilu 2009. Tesis Master, (Depok: Universitas Indonesia, 2012).

12 Kurniawati Hastuti Dewi, Indonesian Women and Local Politics: Islam, Gender and Networks in Post-Suharto Indonesia (Singapore: NUS Press and Kyoto University Press, 2015).

13 Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), “Jalan Terjal Perempuan Kepala Daerah Terpilih: Potret Keterpilihan Perempuan dan Tantangan Lahirkan Kebijakan Properempuan”,

kekerabatan saja. Terdapat 11 dari 24 (45.83%) perempuan yang merupakan bagian dari jaringan kekerabatan (suami atau ayahnya adalah politisi berpengaruh).14 Tim Gender dan Politik Pusat Kajian Politik LIPI, pada tahun 2016 telah menganalisi kasus-kasus perempuan kepala daerah dengan ikatan keluarga (familial ties) (ada juga yang menggunakan istilah kekerabatan) dan kontribusinya terhadap demokratisasi lokal. Ketiga, perempuan kader partai dan memiliki hubungan kekerabatan.

Pada kajian ini, tim mengambil dua kasus perempuan politisi kader parpol yang kemudian berhasil menembus kandidasi dan dicalonkan sebagai calon kepala daerah oleh partainya masing-masing, dan menang dalam Pilkada langsung tahun 2015. Keduanya adalah Sri Sumarni di Kabupaten Grobogan dan Chusnunia Chalim di Kabupaten Lampung Timur. Sri Sumarni adalah kader Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang berkarir dari bawah, menjadi anggota DPRD Grobogan, kemudian menjadi ketua Dewan Pimpinan Cabang (DPC) PDIP Grobogan, dan akhirnya berhasil menjadi Bupati Grobogan (2015-2020). Sementara itu, Chusnunia Chalim adalah kader Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang merintis karir dari bawah, menjadi Staf Wakil Ketua DPRD Provinsi Jawa Tengah, kemudian terpilih sebagai anggota DPR RI dari PKB, dan akhirnya berhasil menjadi Bupati Lampung Timur (2015-2020). Kedua perempuan politisi yang dipilih adalah kader parpol, dengan maksud agar diperoleh analisis utuh mengenai perjalanan karir politisi perempuan selama bertahun-tahun di dalam PDIP dan PKB, apa saja modal individu dan sosial yang dimilikinya, bagaimana proses memperoleh kepercayaan dari elit-elit parpol, dan yang paling penting adalah memperoleh gambaran mengenai jaringan yang dipakai dalam kandidasi pada Pilkada langsung di Grobogan dan Lampung Timur tahun 2015.

Untuk menganalisis modal, strategi serta jaringan perempuan politisi dalam kandidasi Pilkada langsung, kajian ini akan mempergunakan (Social Networks Analysis, SNA; selanjutnya

Jakarta, 20 Desember 2015.

14 Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), “Jalan Terjal Perempuan..,

Page 158: KONSTELASI POLITIK DI TAHUN ELEKTORAL

270 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 15 No. 2 Desember 2018 | 267–288

pemakaian kata “analisis jaringan sosial” atau “SNA” akan dipakai dalam kajian ini yang merujuk pada hal yang sama). Penggunaan SNA untuk memotret dan menganalisis jaringan perempuan dalam kandisi Pilkada langsung ini adalah yang pertama. Jadi, dari segi metodologi kajian ini menawarkan sebuah kebaruan. Analisis dengan SNA dibingkai dalam perspektif gender yang didalamnya akan menguraikan relasi kuasa antara perempuan dan laki-laki dalam sebuah struktur sosial, kultural, politik.15 Adapun kerangka pikir kajian adalah sebagai berikut.

Kerangka Pikir Kajian

Kandidasi Calon Kepala DaerahPartai politik (parpol) adalah dalah satu pilar penting demokrasi. Salah satu fungsi klasik parpol adalah melakukan rekrutmen. Rekrutmen politik secara khusus merujuk pada seleksi kandidat (kandidasi), rekrutmen legislatif dan

15 Jika dilihat lebih mendalam, upaya ilmuwan feminis dalam bidang ilmu politik (feminist politics) untuk melakukan dekonstruksi terhadap dinamika rekrutmen politik dalam hal ini seleksi kandidat yang lazimnya menggunakan kerangka ‘Supply and Demand’ model telah terdokumentasikan dengan baik. Sebagai contoh: Pertama, feminist political science (FPS) yang pada dasarnya menggarisbawahi tiga hal penting yaitu upaya memperluas definisi politik, tidak hanya menyangkut proses formal berkaitan dengan pemerintahan dan Pemilu tetapi juga tindakan informal seperti gerakan sosial; memasukkan gender sebagai konsep (relasi gender) dan sebagai kategori analisis, dan mengupayakan pemahaman-pemahaman terdalam untuk mendorong perubahan. Lihat Mona Lena Krook and Fiona Mackay, “Introduction: Gender, Politics, and Institutions” dalam Gender, Politics and Institutions: Towards a Feminist Institutionalism, ed. Mona Lena Krook and Fiona Mackay (New York: Palgrave Macmillan, 2011). Kedua, pendekatan “feminist institutionalist” (feminist institutionalist approach) yang berupaya mengekplorasi dinamika gender dari lembaga rekrutment politik. Kritik mereka intinya adalah bahwa analisis politik rekrutment dengan “Supply and Demand” model saja tidak cukup mampu menjelaskan mengapa masih ada persoalan rendahnya keterwakilan perempuan di setiap negara. Oleh karena itu, feminist institutionalist theory menggariskan setidaknya tiga kategori gender kelembagaan (three categories of gendered institutions) yang harus diperhatikan dalam analisis seleksi kandidat yaitu, systemic institutions, practical (formal and informal practice of elites, procedures and criteria to select candidates), dan normative (formal and informal principles). Lihat lebih detail di Meryl Kenny, “Gender and Institutions of Political Recruitment: Candidate Selection in Post-Devolution Scotland”, dalam Gender, Politics and Institutions: Towards a Feminist Institutionalism, ed. Mona Lena Krook and Fiona Mackay (New York: Palgrave Macmillan, 2011); dan Mona Lena Krook, “Beyond Suplly and Demand: A Feminist-institutionalist Theory of Candidate Selection”, Political Research Quarterly, vol. 63, no. 4 (2010): 707-720.

eksekutif.16 Pippa Norris (2006) mengidentifikasi tahapan-tahapan dalam proses rekrutmen politik (khususnya legislatif) yaitu: (i) “certification” (sertifikasi), merupakan proses yang menetapkan siapa yang memenuhi syarat untuk dijadikan calon; (ii) “nomination” (nominasi), yang melibatkan pasokan orang-orang yang memenuhi syarat dan permintaan dari penyeleksi ketika memutuskan siapa yang dicalonkan, (iii) “election” (pemilihan) or “election stage” (tahap pemilihan) merupakan langkah terakhir yang menentukan yakni siapa yang akan memenangkan pemilihan legislaitf.17 Menurut Hazan & Rahat (2002), nominasi merupakan tahap seleksi kandidat yang paling penting dalam proses rekrutmen politik. Yakni proses di mana partai politik memutuskan satu diantara orang-orang yang memenuhi syarat untuk direkomendasikan/didukung menjadi kandidat.18 Tim menggunakan istilah kandidasi untuk menggambarkan proses nominasi dan menurunkankannya menjadi tiga tahapan yakni; penjaringan, penyaringan dan penetapan. Dalam kajian ini, kandidasi dalam kerangka jaringan, didefinisikan sebagai: proses pencalonan secara resmi calon kepala daerah sesuai ketentuan UU No. 8/2015 pasal 39, di mana analisis tim akan difokuskan pada bagaimana jaringan elit parpol yang berpengaruh dan menentukan dalam kandidasi (meliputi tahap penjaringan, penyaringan, dan penetapan) bakal calon kepala daerah, untuk menjadi calon kepala daerah yang diusulkan oleh PKB dan PDIP dalam Pilkada langsung, khusunya di Kabupaten Lampung Timur dan Grobogan pada Pilkada langsung tahun 2015.

16 Sigit Pamungkas, Partai Politik: teori dan Praktik di Indonesia (Yogyakarta: Institute for Democracy and Welfarims, 2011), hlm. 91, sebagaimana dikutip dari Tim Pusat Penelitian Politik LIPI, Panduan Rekrutmen & Kaderisasi Partai Politik Ideal di Indonesia (Jakarta: KPK RI bekerjasama dengan P2Politik LIPI, 2016), hlm 9.

17 Pippa Norris, “Recruitment”, dalam Handbook Partai Politik, ed. Richard S. Katz dan William Crotty, (edisi terjemahan) (Bandung: Penerbit Nusa Media, 2014), hlm. 148-149.

18 Lihat: Reuven Y. Hazan, “Candidate Selection” dalam Comparing Democracies 2, ed. Lawrence LeDuc, Richard G. Niemi dan Pippa Norris (London, Thousand Oaks, New Delhi: Sage Publications Ltd, 2002), hlm.109

Page 159: KONSTELASI POLITIK DI TAHUN ELEKTORAL

Modal, Strategi dan Jaringan Perempuan ... | Kurniawati Hastuti Dewi, dkk | 271

Strategi Perempuan Politisi Menembus Elit Parpol dalam Kandidasi Beberapa ciri penting kajian dengan perspektif gender adalah: (i) menjelaskan adanya relasi gender/relasi kuasa antara perempuan dan laki-laki (individu maupun kelompok) dalam sebuah konteks atau struktur sosial, (ii) menjadikan pengalaman perempuan sebagai sumber pengetahuan untuk membangun analisis dan narasi. “The personal is political” menjadi salah satu pegangan kajian ini untuk mengoreksi kecenderungan kajian politik klasik yang melihat relasi kuasa hanya terjadi dalam ranah publik, antara negara dan rakyatnya, berorientasi pada kekuasaan, yang terwujud dalam struktur parlemen, kabinet, partai politik, dan lain-lain.19 Namun, dalam kacamata para feminist politics atau kajian berperspektif gender, politik dilihat sebagai relasi laki-laki dan perempuan. Dalam kajian ini yang dimaksud personal is political adalah bagaimana kedua perempuan politiis tersebut menggunakan modal individu dan sosial dalam menembus kandidasi.

Da lam konteks in i l ah , ka j i an in i mengasumsikan: pertama, terjadi dominasi dalam struktur jaringan elit partai politik (PDIP dan PKB) dalam kandidasi kedua perempuan politisi; kedua, dominasi laki-laki dalam struktur jaringan elit partai politik itu juga menyiratkan relasi gender yang tidak seimbang di mana para elit parpol laki-laki yang mendominasi dan berpengaruh dalam kandidasi, akan cenderung mengganjal dan mempersulit politisi perempuan untuk dicalonkan sebagai kepala daerah. Pentingnya aspek gender, dalam hal ini preferensi laki-laki sebagai mayoritas elit partai politik yang menguasai proses seleksi, juga terjadi di luar negeri. Kajian Christine Cheng and Margit Tavits, mengenai adanya pengaruh informal dalam seleksi perempuan kandidat anggota legislatif dalam Pemilu nasional Kanada tahun 2004 dan 2006 memperlihatkan bahwa perempuan kandidat anggota legislatif cenderung akan dinominasikan, ketika elit paprol yang melakukan seleksi (gatekeeper) dalam hal ini pemimpin parpol lokal, adalah seorang

19 Lihat Misiyah, “Pengalaman Perempuan: Sumber Pengetahuan yang Membebaskan”, Jurnal Perempuan, No. 48 (2006), hlm. 46.

perempuan daripada laki-laki.20 Kajian ini akan menganalisis sejauhmana kedua asumsi itu bekerja dalam kasus kedua perempuan politisi yang diteliti. Melihat kenyataan bahwa kedua perempuan politisi yang diteliti dalam kajian ini berhasil menembus kandidasi, maka justru akan sangat menarik melihat bagaimana strategi kedua perempuan politisi tersebut mampu menembus jaringan elit parpol dalam kandidasi pada Pilkada langsung pada tahun 2015.

Dalam kajian ini, “strategi” dimaknai sebagai kapasitas perempuan politisi sebagai subyek untuk menggunakan modal sosial (“social capital”) yang dimilikinya untuk menembus elit partai politik (PDIP dan PKB) dalam proses kandidasi (melalui tiga tahap penjaringan, penyaringan, penetapan, akan dijelaskan dalam bagian berikutnya) pada Pilkada langsung tahun 2015. Mengapa modal sosial ini menjadi titik perhatian penting?.

Untuk memahami mengapa modal sosial ini menjadi titik analisis penting untuk melihat strategi kedua perempuan politisi, maka perlua dijelaskan konsep “capital” atau modal yang lazimnya dimiliki seseorang dalam sebuah kompetisi, termasuk kompetisi politik. Secara teori, menurut Lin (2004) yang didasari teori klasik Marx, kapital adalah investasi sumber daya dengan mengharapkan suatu hasil yang dapat dipergunakan di dalam pasar (“investment of resources with expected returns in the marketplace”).21 Lin (2004) menjelaskan evolusi dari teori kapital klasik tersebut menjadi apa yang yang disebut “neo-capital theory” yang mengategorikan berbagai komponen-komponen seperti kapital manusia (“human capital”), kapital budaya (“cultural capital”), dan kapital sosial (“social capital”).22 Lin (2001) mendefisinikan “social capital” atau modal sosial sebagai investasi dalam hubungan sosial dengan mengharapkan keuntungan di

20 Cheng dan Tavits, menyimpulkan pentingnya memperhatikan faktor informal untuk memahami persoalan rendahnya partisipasi politik perempuan. Lihat: Christine Cheng and Margit Tavits, “Informal Influences in Selecting Female Political Candidates”, Political Research Quarterly, vol. 64, no. 2 (2011): 460-471.

21 Nan Lin, Social Capital: A Theory of Social Structure and Action (Cambridge: Cambridge University Press, 2004), hlm 3.

22 Nan Lin, Social Capital.., hlm. 8.

Page 160: KONSTELASI POLITIK DI TAHUN ELEKTORAL

272 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 15 No. 2 Desember 2018 | 267–288

dalam pasar (“investment in social relations with expected returns in the marketplace”)23. Modal sosial, masih menurut Lin (2004) menekankan hubungan sosial (“social relations”) berupa akses ke dan penggunaan sumber daya yang melekat dalam jaringan sosial (“social networks”).24 Tidak jauh berbeda dengan Lin, Ronald S. Burt (1995) memberikan catatan bahwa dalam arena atau iklim kompetisi (baik kompetisi ekonomi ataupun politik), seorang pemain (“player”)--dalam kajian ini adalah politisi--setidaknya harus memiliki tiga modal atau “capital” yaitu pertama, modal finansial (“financial capital”) berupa uang atau modal material lainnya; kedua, modal manusia (“human capital”) berupa kualitas seseorang seperti kecerdasan, ketrampilan, penampilan, kharisma; ketiga, modal sosial (“social capital”) berupa hubungan dengan teman, kolega atau orang tertentu di mana hubungan itu memberikan kesempatan kepada pemain (politisi) untuk menggunakan atau mengubah modal finansial dan modal manusia yang dimilikinya menjadi sesuatu yang lebih menguntungkan.25 Jadi, apabila modal finansial dan modal manusia lebih bersifat individu, maka modal sosial ini tidak mungkin terbentuk jika tidak ada relasi atau kerja sama dengan orang lain. Begitu krusialnya modal sosial ini, Burt (1995) sampai mengatakan bahwa modal sosial adalah penentu akhir kesuksesan sebuah kompetisi (“social capital is the final arbiter of competitive success”).26

Melalui elaborasi Lin dan Burt mengenail “capital” atau modal, maka kajian ini akan memahami strategi para perempuan politisi dalam menembus elit parpol dalam kandidasi pada Pilkada langsung 2015 dengan memfoksukan pada: pertama, akan difahami dulu “modal individu” yang merujuk pada modal apa saja yang dimiliki secara personal oleh masing-maisng perempuan politisi tersebut (latar belakang keluarga, pendidikan, kemampuan

23 Nan Lin, Social Capital.., hlm. 19.

24 Nan Lin, “Building a Network Theory of Social Capital” dalam Social Capital: Theory and Research, ed. Nan Lin, Karen Cook, Ronald S. Burt (New York: Aldine De Gruyter, 2001), hlm. 5.

25 Ronald S. Burt, Structural Holes: The Social Structure of Competition (USA: Harvard University Press, 1995), hlm. 8-9.

26 Ronald S. Burt, Structural Holes.., hlm. 9.

ekonomi, riwayat karir politik, motivasi) yang kemudian membuat mereka dicalonkan, ataupun sebaliknya membuat mereka percaya diri untuk mencalonkan diri. Jika memakai istilah Lin dan Burt, maka “modal individu” ini mencakup modal finansial dan modal manusia. Kedua, setelah faham mengenai “modal individu” masing-masing perempuan politisi, maka hal yang paling penting adalah melihat strategi mereka dalam menggunakan modal sosial yaitu bagaimana mereka menggunakan hubungan dengan teman, kolega, dan kontak-kontak lainnya di sekitarnya yang memiliki akses ke sumber daya strategis, di mana dalam hubungan tersebut, kedua perempuan politisi mampu mengambil keuntungan.

Dalam konteks strategi dalam menggunakan modal sosial, kajian ini mengategorikan strategi menjadi tiga. Pertama, strategi menggunakan modal sosial dengan berperan sebagai apa yang disebut oleh Burt (1995) “tertius gaudens” atau “‘the third who benefits’ (Burt),27 atas dasar karya George Simmel (1992), merujuk pada keadaan di mana seseorang mengambil keuntungan dari konflik yang terjadi di antara dua orang atau lebih dalam sebuah relasi.28 Orientasi seorang “tertius gaudens” adalah berperan selayaknya broker atau perantara di antara dua aktor (pihak) atau lebih, di mana yang bersangkutan dapat memainkan peran menjadi semacam penghubung dari aktor yang saling berseteru itu, demi keuntungan pribadinya.

Kedua, strategi sebagai “tertius iungens” diperkenalkan oleh Obstfeld (2005) dan mengatakan bahwa pihak ketiga tidak hanya memisahkan aktor sebagaimana “tertius gaudens” tetapi bisa juga menyatukan atau menghubungan individu atau aktor yang semula terpisah atau tidak saling berhubungan dalam sebuah jaringan sosial, atau memfasilitasi koordinasi atau kerja sama baru diantara individu yang sudah saling kenal.29 Ketiga, strategi yang menempatkan

27 Ronald S. Burt, Brokerage & Closure: An Introduction to Social Capital (New York, USA: Oxford University Press, 2005), hlm.. 17.

28 Ronald S. Burt, Structural Holes: The Social Structure of Competition.., hlm. 31.

29 David Obstfeld, “Social Networks, The Tertius Iungens Orientation, and Involvement in Innovation”, Administrative Science Quarterly 50, (2005), 3.

Page 161: KONSTELASI POLITIK DI TAHUN ELEKTORAL

Modal, Strategi dan Jaringan Perempuan ... | Kurniawati Hastuti Dewi, dkk | 273

“tertius gaudens” maupun “tertius iungens” bukan sebagai pilihan tunggal, tetapi aktor secara fleksibel dapat melakukan “tertius gaudens” ataupun “tertius iungens” sesuai kebutuhan sebagaimana dikemukakan Lingo and O’Mahony (2010).30

Teori Elit untuk Menjelaskan Aktor-Aktor dalam Struktur Partai PolitikHarold D. Lasswell berkontribusi besar dalam perkembangan analisis elit yang menyatakan bahwa elit adalah kelompok/golongan kecil yang terdiri atas orang-orang (mereka) yang berhasil, yang mencapai kedudukan dominan dalam masyarakat karena nilai yang dibentuk sehingga dihargai tinggi oleh masyarakat. Secara sederhana elit adalah yang berpengaruh.31 Kajian mengenai elit juga dibahas oleh Gaetano Mosca (1939) yang membagi masyarakat dalam dua kelas yakni: pertama, kelas yang berkuasa atau “kelas penguasa”, dan kedua, kelas yang dikuasai berjumlah banyak, diperintah dan dikendalikan oleh penguasa dengan cara-cara yang kurang lebih legal.32 Vilfredo Paretto (1935) kemudian menyebutkan istilah “kelas penguasa’ Mosca menjadi istilah elit, dengan membedakan elit yang memerintah (governing elite) dan elit non-memerintah (non-governing elite); Pareto percaya bahwa dalam masyarakat ada sekelompok kecil orang yang mempunyai kualitas-kualitas dan diperlukan kehadirannya dalam kekuasaan sosial politik yang disebut dengan “elit”.33 Suzzane Keller (1995) kemudian memperkenalkan istilah elit penentu, yakni mereka yang pertimbangan, keputusan-keputusannya dan tindakan-tindakannya mempunyai akibat-akibat

30 Elizabeth Long Lingo and Siobhan O’Mahony, “Nexus Work: Brokerage on Creative Projects”, Administrative Science Quarterly 55, (2010): 47-81.

31 Lihat: Muslim Mufti, Teori-Teori Politik, (Bandung: Pustaka Setia, 2012), hlm.72-73 dan Ichlasul Amal dan Budi Winarno, Metodologi Ilmu Politik, (Yogyakarta: PAU Studi Sosial UGM), hlm.203.

32 Gaetano Mosca, “The Rulling Class” dalam Elite dan Masyarakat, ed. T.B Bottomore (Jakarta: Akbar Tanjung Institute, 2006), hlm.4

33 Vilfredo Pareto, “The Main and Society” dalam Elite dan Masyarakat, ed. T.B Bottomore (Jakarta: Akbar Tanjung Institute, 2006), hlm.2

penting dan menentukan untuk kebanyakan anggota masyarakat. 34 Elit penentu tersebut meliputi pemimpin politik, ekonomi, militer, moral, budaya dan ilmu pengetahuan.35

Dalam konteks kajian ini, teori elit membantu untuk menganalisis mengenai aktor-aktor mana saja yang akan dianalisis dalam struktur jaringan perempuan politisi yang terbentuk dalam kansidasi. Yang disebut dengan aktor formal adalah elit partai politik yang berperan dalam proses kandidasi baik aktor yang tercatat sebagai tim seleksi maupun tidak, namun memiliki pengaruh yang signifikan dalam kandidasi. Sedangkan aktor informal adalah elit diluar partai politik yang memiliki peran dan pengaruh dalam kandidasi, misalnya Kyai, Nyai, tokoh perempuan, dan tokoh masyarakat.

Kajian ini merupakan kombinasi antara studi kualitatif dan kuantitatif (dengan SNA). Pengambilan data dan wawancara lapangan telah dilakukan di Kabupaten Grobogan pada 12-24 April 2017, dan di Lampung Timur pada 4-16 April 2017. Pengumpulan data secara kualitatif dilakukan dengan observasi dan wawancara mendalam (indepth interview) yang dipandu oleh sebuah pedoman wawancara terstruktur, terhadap tim kedua perempuan kepala daerah. Tim peneliti berhasil menemui dan mewawancarai Bupati Grobogan Sri Sumarni di rumah dinasnya pendopo Kabupaten Grobogan pada Kamis, 20 April 2017, dan wawancara Chusnunia Chalim di di Sukadana, 22 September 2017. Total, tim berhasil mewawancarai 29 orang elit parpol PDIP (DPC PDIP Grobogan, Jawa Tengah, dan nasional) dan 19 orang elit PKB di semua tingkatan. Selain itu, untuk memperoleh masukan dari kalangan akademisi dan praktisi, tim

34 Suzanne Keller, Penguasa dan Kekompok Elite: Peranan Elite Penentu Dalam Masyarakat Modern (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), hlm. 28

35 Lihat: Muslim Mufti, Teori-Teori Politik, (Bandung: Pustaka Setia), hlm.75

Page 162: KONSTELASI POLITIK DI TAHUN ELEKTORAL

274 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 15 No. 2 Desember 2018 | 267–288

menyelenggarakan dua kali diskusi terfokus pada Maret,36 Juli37, dan Agustus38 2017 di Jakarta.

Sementara itu, metode kuantitatif dengan SNA digunakan dengan cara mengolah semua data yang telah masuk dalam kuesioner yang dibuat oleh tim peneliti dengan software UCINET yang meghasilkan info grafis struktur jaringan aktor (formal dan informal) yang terbentuk dalam kandidasi Sri Sumarni di Grobogan melalui PDIP Grobogan, PDIP Jawa Tengah, dan Pusat. Demikian halnya dengan Chusnunia Chalism di PKB Lampung Timur, Provinsi Lampung dan Pusat. Keterbatasan kajian menggunakan SNA adalah peneliti tidak berhasil mewawancarai semua nama aktor yang tersebut dalam jaringan. Nama-nama aktor yang terdapat dalam jaringan adalah nama-nama yang disebutkan oleh para narasumber yang diwawancarai. Idealnya, tim peneliti dapat mewawancarai semua aktor yang disebut namun karena keterbatasan waktu dan jarak maka tidak semua aktor yang disebut dalam jaringan tidak dapat diwawancarai (sejauh ini verifikasi hanya dilakukan dua lapis, idealnya bisa tiga lapis).

Temuan dan Analisis Kedua perempuan kepala daerah, yaitu Sri Sumarni di Grobogan dan Chusnunia Chalim

36 Narasumber diskusi terfokus pada bulan Maret 2017 di P2P LIPI Jakarta, adalah SBEW, akademisi ahli perempuan dan politik dari Universitas Indonesia (UI).

37 Narasumber diskusi terfokus pada bulan Juli 2017 di P2P LIPI Jakarta adalah ER, akademisi ahli analisis jaringan sosial dari UI.

38 Narasumber diskusi terfokus pada bulan Agustus 2017 di P2P LIPI Jakarta adalah SBEW dan ER keduanya dosen dari UI.

di Lampung Timur, muncul dari daerah dengan kondisi sosio-politik dan ekonomi lokal yang spesifik, seperti yang terangkum dalam tabel 1 di atas.

Pertama, kedua perempuan kepala daerah diusung oleh partai dengan kekuatan politik besar di daerahnya. Sri Sumarni diusung oleh PDIP yang merupakan partai dengan perolehan suara terbanyak di Grobogan bahkan sejak tahun 1999 hingga saat ini. Sementara, Chusnunia Chalim diusung oleh PKB yang merupakan partai peraih suara terbanyak kedua hasil Pemilu Legislatif 2014. Hal ini juga menunjukkan pola bahwa kedua perempuan kepala daerah ini muncul dengan basis politik yang kuat.

Kedua, sebagian besar penduduk Grobogan dan Lampung Timur adalah bagian dari warga Nahdlatul Ulama (NU). Grobogan merupakan basis santri, khususnya NU, mengingat lokasi Grobogan yang berada dekat dengan daerah pantai utara Jawa sebagai tempat awal mula penyebaran Islam di Jawa. Sri Sumarni meskipun berasal dari PDIP, namun dalam interaksi keseharian dan politik dekat dengan warga NU yang secara politis berafiliasi dengan PKB. Sementara itu, Chusnunia Chalim yang memang berasal dari PKB sangat diuntungkan dengan kondisi sosiolgis bahwa mayoritas penduduk adalah warga Nahdliyin.

Ketiga, mayoritas penduduk di kedua daerah bermata pencaharian di sektor pertanian. Sebanyak 56% penduduk Grobogan bekerja di bidang pertanian. Mereka tergabung dalam kelompok-kelompok tani yang ada di Grobogan. Kondisi ini nantinya juga menguntungkan bagi Sri Sumarni karena perjalanan karir politiknya

Tabel 1. Kondisi Sosio-Politik dan Ekonomi di Kabupaten Grobogan dan Kabupaten Lampung Timur

Sumber: dibuat oleh penulis

Sri Sumarni di Grobogan Chusnunia Chalim di Lampung Timur (i) Konfigurasi Politik

Diusung oleh PDIP sebagai partai peraih suara terbanyak pada Pemilu 2014

Diusung oleh PKB sebagai partai peraih suara terbanyak kedua pada Pemilu 2014

(ii) Sosiologis Basis santri, khususnya NU Mayoritas penduduk merupakan warga NU

(iii) Ekonomi Sebagian besar penduduk bekerja di sektor pertanian (56%)

Sebagian besar penduduk bekerja di sektor pertanian

Page 163: KONSTELASI POLITIK DI TAHUN ELEKTORAL

Modal, Strategi dan Jaringan Perempuan ... | Kurniawati Hastuti Dewi, dkk | 275

dipengaruhi latar belakang keluarganya, terutama ayahnya yang membela kehidupan para petani. Sementara itu, Kabupaten Lampung Timur adalah daerah penghasil padi terbesar kedua di provinsi Lampung, setelah kabupaten Lampung Tengah. Modal Individu Perempuan PolitisiUntuk dapat menembus kandidasi parpol dan menjadi calon kepala daerah, perempuan politisi harus memiliki sejumlah modal individu yang menunjangnya. Tabel 2 di atas menyajikan modal-modal yang dimiliki oleh Sri Sumarni dan Chusnunia Chalim.

Sebelum maju mencalonkan diri sebagai calon bupati, kedua perempuan politisi telah memiliki sejumlah modal individu yang membuat mereka mempunyai nilai plus untuk muncul dan dipertimbangkan dalam kandidasi dalam Pilkada langsung 2015. Paling tidak terdapat tiga kesamaan dari keduanya. Pertama, karir politik. Kedua perempuan politisi dalam kajian ini sama-sama mengawali karir politiknya melalui jalur legislatif lokal maupun nasional. Sri Sumarni terpilih menjadi anggota DPRD Grobogan dari PDIP selama tiga periode (2004-2019), bahkan kemudian menjadi wakil ketua DPC PDIP Grobogan, dan menjadi ketua DPC PDIP Grobogan. Tidak jauh beda, Chusnunia

Tabel 2. Modal Individu Sri Sumarni dan Chununia Chalim

Sumber: dibuat oleh penulis

Sri Sumarni di Grobogan Chusnunia Chalim di Lampung Timur

(i) Karir Politik Anggota DPRD Grobogan tiga periode (2004-2009) (2009-2014) (2014-2019); ketua DPRD Grobogan (2012-2019). 4), saat ini sebagai ketua DPC PDIP Grobogan tahun 2015.

Korwil PKB Lampung, anggota DPR RI dari PKB untuk Dapil Lampung II (2009-2014) (2014-2019), saat ini sebagai wakil sekjen DPP PKB.

(ii) Pendidikan Menyelesaikan S2 di Universitas Slamet Riyadi

Menyelesaikan S3 di Malaysia

(iii) Modal Individu (keluarga, keunggulan personal, kekuatan jaringan) Asli Grobogan Asli Lampung Timur Keuarga: berasal dari kelas keluarga yang termasuk disegani. Ayah Sri Sumarni adalah kepala desa Karangsari, dekat dengan para petani sebelum akhirnya tahun 1965. Ibunya mengelola sawah yang luas, memiliki jiwa social tinggi, mengajarkan Sri ketrampilan sosial berinteraksi dengan para petani, dan masyarakat bawah.

Keluarga: berasal dari keluarga “darah biru”, keturunan kyai. Ayah Chusnunia Chalim adalah Kyai Chalim (ulama terkemuka di Lampung) dan cicit Kyai Ma’Sum dari Lasem (salah satu pendiri NU). Faktor “darah biru” ini sangat penting bagi seseorang yang ingin memperoleh dukungan politi luas dalam masyarakat mayoritas NU.

Keunggulan personal: memiliki ketrampilan sosial ekonomi di atas rata-rata: Manager KUD Pakis Aji, berhasil mendirikan CV Tani Jaya yaitu distributor pupuk yang sukses mendapat kepercayaan dari para petani di Grobogan.

Keunggulan personal: memiliki keterampilan sosial organisasi yang bagus: sebelum terjun ke politik, aktif berorganisasi di sayap organisasi NU dan PKB sejak masa kuliah di Perguruan Tinggi.

Kekuatan jaringan: memiliki kedekatan dengan para petani, kelompok tani yang telah dibina sejak sebelum terjun ke politik; hal ini menguntungkanny karena kemudian dia bergabung dengan PDIP yang sudah lazim dekat dengan masyarakat bawah “wong cilik” di mana memang secara riil Sri Sumarni memiliki jaringan kuat dengan masyarakat bawah termasuk para petani; memiliki banyak teman pengusaha lintas partai politik.

Kekuatan jaringan: kuat berjejaring dengan NU dan badan-badan otonomnya, termasuk salah satunya Fatayat NU.

Page 164: KONSTELASI POLITIK DI TAHUN ELEKTORAL

276 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 15 No. 2 Desember 2018 | 267–288

Chalim mengawali karir politik dengan menjadi anggota DPR RI dari PKB dua periode (2009 dan 2014) untuk Dapil Lampung II. Jadi, dengan menjadi anggota DPRD terlebuh dahulu baik di DPRD lokal maupun nasional (namun tetap di Dapil Lampung), maka kedua perempuan politisi memiliki peluang untuk dikenal lebih luas oleh publik di daerahnya. Nama mereka perlahan dikenal dan diingat oleh publik, dan perlahan mereka memperoleh kepercayaan publik. Jadi, modal popularitas dan akseptabilitas mereka sudah konfirmasikan dalam keberhasilan menjabat anggota DPRD Grobogan lebih dari satu kali pada kasus Sri Surmarni, dan anggota DPRD RI dua kali pada kasus Chusnunia Chalim.

Kedua, pendidikan. Salah satu modal yang dimiliki oleh kedua perempuan politisi pada saat mencalonkan diri sebagai bupati adalah pendidikannya yang tinggi. Meskipun di awal terjunnya Sri Sumarni dalam politik pada tahun 2004 pendidikannya hanya lulusan SMA, namun ia kemudian terus belajar meningkatkan potensi dirinya dengan melanjutkan pendidikan ke jenjang S1 pada tahun 2004-2008 di Universitas Muria Kudus. Tidak hanya berhenti disitu, setahun kemudian Sri kembali meneruskan pendidikan dengan menempuh jenjang S2 di Universitas Slamet Riyadi pada tahun 2009-2011.39 Sementara itu, Chusnunia juga memiliki pendidikan yang tinggi. Ia merupakan master Ilmu Politik dari Universitas Nasional dan kemudian melanjutkan pendidikan S3 di Fakultas Sastra dan Sains Sosial, Universitas Malaya, Malaysia. Elemen pendidikan ini bagaimanapun juga memberikan kepercayaan diri pada keduanya.

Kesamaan ketiga, adalah individu khususnya keluarga, keunggulan personal dan kekuatan jaringan. Keduanya sama sama berasal dari latar belakang keluarga yang tidak biasa. Sri Sumarni memiliki ayah seorang aktifits pembela petani dan kepala desa sehingg sejak kecil Sri telah terbiasa dengan berbagai aktifitas politik. Sementara itu, Chusnunia Chalim berasal dari keluarga “darah biru” keturunan kyai; ayahnya adalah Kyai

39 KPUD Grobogan, “Daftar Riwayat Hidup Calon Bupati Grobogan atas Nama Sri Sumarni”, Agustus 2015, http://kpud-grobogankab.go.id/2015/08/daftar-riwayat-hidup-pasangan-calon-bupati-dan-wakil-bupati-grobogan/,diakses pada 9 Oktober 2017.

Chalim yang merupakan ulama terkemuka di Lampung. Chusnunia juga merupakan cicit Kyai Ma’Sum dari Lasem yang tak lain adalah salah satu pendiri NU. “Darah biru” ini menjadi faktor penting untuk memperoleh dukungan publik dari daerah dengan basis massa NU.

Keduanya juga memiliki kesamaan keunggulan personal meskipun fokusnya berbeda. Sri Sumarni unggul dengan ketrampilan sosial berinteraksi dengan masyarakat petani. Sri juga memiliki keunggulan dalam bidang ekonomi karena berhasil mendirikan CV Tani Jaya yang menyediakan kebutuhan pupuk bagi para petani. Sekian lama berkecimpung dengan hal-hal terkait kebutuhan petani, khususnya pupuk, membuat Sri dengan sendirinya memiliki kedekatan yang erat dengan para petani dan kelompok tani. Jaringan tani itulah yang menjadi salah satu modal kuat yang digunakan oleh Sri dalam perjalanan karir politiknya, termasuk saat ia mencalonkan diri sebagai bupati Grobogan. Tidak ada perempuan politisi lainnya di Grobogan yang memiliki ketrampilan sosial dan ekonomi lengkap seperti Sri. Tidak berbeda jauh, Chusnunia Chalim juga memiliki keunggulan personal berupa kemampuan sosial dan organisatoris yang bagus. Chusnunia yang memang sejak kecil berada di lingkungan NU, membuatnya familiar, mempunyai dasar kepercayaan, dan berjejaring dengan NU beserta badan otonominya, seperti misalnya dengan Fatayat NU. Jaringan ini yang kemudian dipakai oleh Chusnunia saat pencalonan dirinya sebagai bupati Lampung Timur. Terlebih lagi, mayoritas penduduk Lampung Timur yang merupakan warga Nahdliyin menjadikan jaringan ini memiliki peran yang signifikan dalam kandidasi Chusnunia pada Pilkada langsung 2015.

Jaringan Perempuan Politisi dalam Kandidasi Calon Kepala Daerah Kunci utama dalam studi jaringan adalah aktor dan relasi.40 Aktor disini tidak selalu individu tapi juga bisa organisasi, instansi, perusahaan, negara dan sebagainya. Sementara

40 Eriyanto, Analisis Jaringan Komunikasi: Strategi Baru dalam Penelitian Ilmu Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya (Jakarta: Prenamedia Group, 2014), hlm. 5.

Page 165: KONSTELASI POLITIK DI TAHUN ELEKTORAL

Modal, Strategi dan Jaringan Perempuan ... | Kurniawati Hastuti Dewi, dkk | 277

relasi antar aktor disebut dengan link (edge). Jika aktor digambarkan dengan titik (node) maka link digambarkan dalam satu garis yang menghubungkan antar aktor.41 Karakteristik studi jaringan adalah: pertama, fokus pada relasi yakni hubungan antara satu aktor dengan aktor lainnya (bukan atribut dari aktor);42 kedua, menekankan pada data individu masing-masing aktor daripada agregat (seperti pada survei); ketiga, posisi aktor tidaklah independen tetapi ditentukan oleh relasi dengan aktor-aktor lain dalam jaringan sosial; keempat, aktor dan relasi antar aktor pada analisis jaringan dilihat dalam perspektif struktural, dimana posisi aktor ditentukan oleh posisi aktor lain dalam struktur, bisa aktor dengan aktor lain, aktor dengan kelompok dan juga aktor dengan sistem secara keseluruhan.43 Melalui SNA ini akan diketahui siapa yang menjadi aktor sentral, yang dalam SNA terdiri dari empat kategori yaitu: degree centrality (sentralitas tingkatan),44 closeness centrality (sentralitas kedekatan),45 betweenness centrality (sentralitas keperantaraan),46 eigenvector centrality (sentralitas eigenvektor),47 dalam 41 Eriyanto, Analisis Jaringan Komunikasi.., hlm.37

42 Yang membedakan antara analisis jaringan dengan survei adalah tipe data dimana jaringan menakankan pada “relational data” sedangkan survey menekankan pada “attribute data” seperti pengetahuan, pendidikan, status sosial ekonomi dan lain-lain. Lihat : John Scott, Social Network Analysis a Handbook (London: Sage Publication, 1987), hlm. 3. http://soc.sagepub.com/content/22/1/09.short, diakses pada 25 November 2016.

43 Barry Wellman, “Network Analysis : Some Basic Principles” dalam Eriyanto, Analisis Jaringan Komunikasi, hlm.10-12

44 Degree atau tingkatan memperlihatkan popularitas aktor dalam jaringan sosial di mana degree atau tingkatan adalah jumlah link dari dan ke aktor. Lihat Eriyanto, Analisis Jaringan Komunikasi.., hlm. 170.

45 Closeness centrality atau sentralitas kedekatan menggambarkan seberapa dekat aktir (node) dengan semua aktor lain di dalam jaringan di mana kedekatan ini diukur dari berapa langkah (jalur/path) seorang aktor bisa menghubungi atau dihubungi oleh aktor lain dalam jaringan. Lihat Eriyanto, Analisis Jaringan Komunikasi, hlm. 175.

46 Betweeness centrality atau sentralitas keperantaraan memperlihatkan posisi seorang aktor sebagai perantara dari hubungan aktir satu dengan aktor lain dalam suatu jaringan; apakah aktor (node) untuk menghubungi aktor lain bisa langsung ataukah harus melewati aktor tertantu. Lihat Eriyanto, Analisis Jaringan Komunikasi, hlm. 180.

47 Eigenvector centrality sentralitas Eigenvektor adalah seberapa penting orang yang mempunyai jaringan dengan aktor atau seberapa banyak jarigan yang dipunyai oleh orang/

proses kandidasi perempuan kepala daerah untuk memperoleh sebuah jaringan utuh (complete networks).48 Dalam operasionaliasinya, tim mengidentifikasi terlebih dahulu siapa saja aktor-aktor (formal dan informal) di kedua kasus yang diketahui dan muncul (disebutkan) oleh para narasumber dalam wawancara dan ditulis dalam kuesioner. Masing-masing politisi perempuan disajikan dalam tabel 3.

organisasi/institusi yang mempunyai relasi dengan aktor; jadi ini mengenai seberapa penting atau seberapa popular node yang berjaringan dengan aktor. Lihat Eriyanto, Analisis Jaringan Komunikasi.., hlm.182-183.

48 Stanley Wasserman, “Introduction to Social Network Analysis”. https://localgov.fsu.edu/readings_papers/syllabi/wasserman_Social%20Network%20Analysis.pdf. Dan lihat juga: Katherine Faust and Sean Fitzhugh, “Social Network Analysis: An Introduction”, 2012 ICPSR Summer Program in Quantitative Methods of Social Research.

Page 166: KONSTELASI POLITIK DI TAHUN ELEKTORAL

278 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 15 No. 2 Desember 2018 | 267–288

Tabel 3. Profil Aktor dalam Kandidasi Sri Sumarni pada Pilkada Langsung 2015 di Grobogan

Sumber: dibuat oleh penulis

Penjaringan Nama Inisial Aktor

Formal Aktor

Informal Keterangan

Laki-laki AS Sekretaris DPC PDIP Grobogan, Ketua Desk Pilkada

DPC PDIP Grobogan YO Sekretaris Desk Pilkada DPC PDIP Grobogan SUN Wakil Ketua Desk Pilkada DPC PDIP Grobogan NWB Ketua DPC PKB Grobogan, serta penghubung ke Kyai

MZ EM Sekretaris DPC PKB Grobogan SUK Wakil Ketua DPC PKB Grobogan, serta penghubung ke

Kyai FTH SJ Ketua DPC Hanura Grobogan SAR Ketua DPC PAN Grobogan WID Ketua PAC PDIP Kec.Kedung Jati, Grobogan SAN Ketua PAC PDIP Kec. Tanggung Harjo, Grobogan AD Ketua PAC PDIP Kec. Gubug, Grobogan MAR Ketua PAC PDIP Kec.Tego Wangu, Grobogan WD Kepala Desa Kandangrejo, Grobogan KSR Kepala Desa Taruman, Grobogan JND Kepala Desa Penganten, Grobogan SFL Penghubung ke Ustad Y. SKR Ketua PAC PKB Kec. Tawangharjo, Grobogan, serta

penghubung ke Kyai UA. Kyai FTH Kyai di Ponpes MBL Tanggungharjo, Grobogan. Kyai UA Tokoh agama di Grobogan Ust. Y Tokoh agama di Grobogan Kyai MZ Tokoh agama di Grobogan Kyai MNR Tokoh agama di Grobogan Kyai MTZ Guru Kyai FTH MWD Ketua KTNA (Kontak Tani Nelayan Andalan) Perempuan Sri Sumarni Ketua DPC PDIP Grobogan LY Nyai di Ponpes Al-MR Kec.Ngaringan,Grobogan, serta

Ketua Cabang Muslimat NU Grobogan Nyai FTH Istri Kyai FTH

Penyaringan Laki-laki AS Sekretaris DPC PDIP Grobogan YO Tim Desk Pilkada DPC PDIP Grobogan BGD Tim Desk Pilkada DPD PDIP Jateng BW Ketua DPD PDIP Jateng AB Pengurus DPD PDIP Jateng GYF Pengurus DPW PKB Jateng GJP Pengurus DPP PDIP Jateng Perempuan Sri Sumarni Ketua DPC PDIP Grobogan AW Ketua Desk Pilkada DPD PDIP Jateng NNK Tim Desk Pilkada DPD PDIP Jateng

Penetapan Laki-laki TJK Fungsionaris PDIP IMS Fungsionaris PDIP, Anggota DPR RI Perempuan Sri Sumarni Ketua DPC PDIP Grobogan ENS Fungsionaris PDIP, Anggota DPR RI

Page 167: KONSTELASI POLITIK DI TAHUN ELEKTORAL

Modal, Strategi dan Jaringan Perempuan ... | Kurniawati Hastuti Dewi, dkk | 279

Gambar 1. Visualisasi Jaringan Sri Sumarni dalam Penjaringan Calon Bupati Grobogan pada Pilkada Langsung 2015

Sumber : diolah oleh penulis.

Gambar 2. Visualisasi Jaringan Chusnunia dalam Penjaringan Calon Bupati

Lampung Timur pada Pilkada Langsung 2015

Sumber: diolah oleh penulis.

Page 168: KONSTELASI POLITIK DI TAHUN ELEKTORAL

280 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 15 No. 2 Desember 2018 | 267–288

Tabel 4. Profil Aktor dalam Kandidasi Chusnunia Chalim pada Pilkada Langsung 2015 di Lampung Timur

Sumber: Dibuat oleh penulis.

Penjaringan

Nama Inisial Aktor Formal

Aktor Informal

Keterangan

Laki-Laki AF Ketua Desk Pilkada DPC PKB Lampung Timur /Wakil Ketua

DPC PKB Lampung Timur/Anggota DPRD Kab. Lampung Timur

AB Desk Pilkada DPC PKB Lampung Timur/Bendahara DPC PKB Lampung Timur/Anggota DPRD Kab. Lampung Timur

SHM Sekretaris DPC PKB Lampung Timur/Desk Pilkada DPC PKB Lampung Timur

NJ Desk Pilkada DPC PKB Lampung Timur/Wakil Sekretaris DPC PKB Lampung Timur

Kyai IZ Ketua Tanfidziah NU Lampung Timur Kyai CJ Khatib Syuriah NU Lampung Timur Kyai NW Wakil Rois Syuriyah NU Lampung Timur Kyai MS Rois NU Lampung Timur HIS Muhtasyar NU Lampung Timur KSH MWC NU Probolinggo OR Sekretaris DPW PKB Prov. Lampung/Desk Pilkada DPW

PKB Prov. Lampung TR Desk Pilakda DPW PKB Prov. Lampung/Anggota DPRD

Prov. Lampung KB Desk Pilkada DPW PKB Prov. Lampung/Anggota DPRD

Prov. Lampung MZ Ketua DPW PKB Prov. Lampung/Anggota DPR RI MB Desk Pilkada DPP PKB ZB Anggota DPRD Lampung Timur/Ketua DPC Partai Demokrat

Lampung Timur/Calon Wakil Bupati Lampung Timur Perempuan Chusnunia Wakil Sekjen DPP PKB/Calon Bupati Lampung Timur ESN Ketua DPC PKB Lampung Timur/Desk Pilkada DPC PKB

Lampung Timur/Anggota DPRD Kab. Lampung Timur RRA Wakil Ketua DPC PKB Lampung Timur/Fatayat NU

Lampung Timur

Penetapan

Laki-Laki BS Ketua Desk Pilkada DPP PKB MB Desk Pilkada DPP PKB HW Desk Pilakda DPP PKB Korwil Sumatera KB Desk Pilkada DPW PKB Prov. Lampung/Anggota DPRD

Prov. Lampung MZ Ketua DPW PKB Prov. Lampung/Anggota DPR RI ZB Calon Wakil Bupati Lampung Timur/anggota DPRD

Lampung Timur/Ketua DPC Demokrat Lampung Timur MI Ketua Umum DPP PKB AKK Sekjen DPP PKB Perempuan Chusnunia Wakil Sekjen DPP PKB/Calon Bupati Lampung Timur

Page 169: KONSTELASI POLITIK DI TAHUN ELEKTORAL

Modal, Strategi dan Jaringan Perempuan ... | Kurniawati Hastuti Dewi, dkk | 281

Tabel 5. Strategi dan Jaringan Sri Sumarni dan Chusnunia Chalim dalam Kandidasi di Pilkada Langsung 2015

Sri Sumarni di Grobogan Chusnunia Chalim di Lampung Timur STRATEGI

Strategi Sri Sumari: “tertius iungens” Karena Sri mampu menghubungan individu

yang sudah saling kenal ke dalam sebuah jaringan sosial dan kerjasama politik baru yang menguntungkan dirinya. Misalnya Sri Sumarni datang ke rumah NWB meminta agar kader PKB EM (sekretaris DPC PKB Grobogan, anggota DPRD Grobogan) diperbolehkan mendampinginya sebagai calon wakil bupati. Komunikasi pro-aktif Sri dilakukan tidak hanya dengan NWB tetapi juga dengan EM. NWB mengendalikan NU kultural untuk keuntungan Sri.

Selain dengan PKB sebagai koalisi utama, Sri terus menjalankan strategi sebagai “tertius iungens” untuk membangun koalisi elit parpol lain pendukungnya (Hanura, PAN)

Strategi Chusnunia Chalim “tertius iungens” Sebagai bakal calon yang memang diminta untuk

mencalonkan maka Chusnunia tidak memiliki strategi khusus untuk menembus elit partai. Yang ia lakukan pada tahap penjaringan adalah berkomunikasi dengan pengurus pusat yakni Muhaimin Iskandar, Ketua Umum DPP PKB dan Abdul Kadir Karding, Sekjen DPP PKB untuk meminta pertimbangan.

Sosok Chusnunia mampu menyatukan atau menghubungkan aktor-aktor PKB dan NU yang pada pilkada-pilkada sebelumnya terpecah-pecah dukungannya. Berdasarkan keterangan IZ, pada Pilkada sebelumnya suara PKB dan NU tidak satu.

JARINGAN

Inisiatif: Sri Sumarni aktif mencalonkan diri. Inisiatif: Chusnunia Chalim cenderung pasif, dicalonkan oleh aktor-aktor lain.

Sentralitas Sri Sumarni dan aktor lain dalam penjaringan:

(1) Sentralitas tingkatan: degree centrality (siapa aktor yang paling banyak dihubungi (indegree) dan siapa aktor yang paling banyak menghubungi (outdegree). Dalam penjaringan calon bupati Grobogan di Pilkada langsung 2015, Sri merupakan aktor dengan nilai indegree (10) dan outdegree (17) yang tertinggi. Nilai tersebut berarti bahwa pada jaringan tersebut, Sri merupakan aktor yang paling banyak dihubungi, sekaligus yang paling banyak menghubungi aktor lain.

Posisi Sri pada struktural kepengurusan partai, yaitu sebagai ketua DPC PDIP Grobogan pada saat menjelang Pilkada langsung 2015. Sri sebagai ketua DPC PDIP, dirinya aktif menghubungi 19 PAC dan DPC untuk memastikan dukungan yang solid dari internal partai. Ia juga banyak dihubungi oleh berbagai pihak, baik internal maupun eksternal PDIP, dalam rangka pencalonan bupati Grobogan periode 2015-2020.

Sri mengomunikasikan rencana pencalonannya kepada jaringan kepala desa dan jaringan petani. Misalnya para pemilik kios pupuk yang tersebar di Grobogan (280 Gapoktan) dan 19 KPL di Grobogan.

Sri menjadi satu-satunya politisi perempuan yang mendaftar dalam proses penjaringan PDIP sebagai bakal calon bupati Grobogan pada Pilkada langsung 2015. Tidak ada calon lain yang berani mendaftar sebagai bakal calon bupati melaui PDIP, di mana tiga politisi lainnya mendaftar dalam penjaringan sebagai bakal calon wakil bupati.

Sentralitas Chusnunia Chalim dan aktor lain dalam penjaringan:

(1)Sentralitas tingkatan: pada tahap penjaringan aktor dengan tingkatan (degree) tertinggi adalah Chusnunia dengan nilai in degree adalah 9. Angka ini menunjukkan bahwa ia dihubungi oleh 9 aktor dalam jaringan. Relasi yang terbentuk antara Chusnunia dengan aktor-aktor di PKB dan PCNU dikarenakan keduanya sudah satu suara untuk mengusungnya, sehingga kontak yang dilakukan adalah untuk meminta kesediaan Chusnunia dicalonkan menjadi calon bupati Lampung Timur. Adapun nilai outdegree Chusnunia hanya 3. Ini menunjukkan bahwa Chusnunia tidak begitu aktif menghubungi banyak aktor pada tahap penjaringan. Berdasarkan keterangan Chusnunia, ia hanya menghubungi aktor di tingkat pusat saja dan calon wakil bupatinya.

Selain Chusnunia, posisi aktor yang juga penting

adalah ESN yang saat itu merupakan Ketua DPC PKB Lampung Timur. Dalam proses kandidasi Chusnunia justru ESN-lah aktor yang paling aktif menjalin komunikasi dan konsolidasi di internal partai. Posisinya yang sentral dalam struktur kepengurusan partai, aktif dalam menjalin relasi dengan aktor-aktor lain baik di DPC, DPW maupun NU. Pada saat penjaringan calon kepala daerah yang dilakukan oleh tim desk pilkada DPC PKB, ESN dihubungi oleh 8 aktor (in degree) dan menghubungi 10 aktor (out degree) yang ada dalam jaringan. Aktor-aktor tersebut merupakan elit PKB dan elit informal yang dalam hal ini adalah kyai-kyai NU yang memang memiliki peran penting dalam proses pengusungan Chusnunia

Page 170: KONSTELASI POLITIK DI TAHUN ELEKTORAL

282 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 15 No. 2 Desember 2018 | 267–288

(2) sentralitas kedekatan, terdiri dari keluar (outcloseness) yang menghitung kedekatan dari aktor yang menghubungi aktor lain, serta kedekatan ke dalam (incloseness) yang menghitung kedekatan dari aktor aktor-aktor yang dihubungi aktor lain. Semakin rendah nilai kedekatan, maka semakin kecil jarak aktor untuk menghubungi aktor lain, yang berarti bahwa semakin dekat jarak antara aktor dengan aktor lain dalam jaringan. Sri adalah aktor yang memiliki nilai sentralitas kedekatan terendah dengan nilai outcloseness sebesar 39 dan nilai incloseness sebesar 100. Sri adalah aktor yang paling memiliki kedekatan dengan aktor-aktor lain dalam jaringan. Ia dapat diterima dan mampu untuk menjalin relasi langsung dengan aktor-aktor lain dari berbagai kalangan tanpa perlu banyak perantara.

(3) Sentralitas keperantaraan (betweenness centrality). Aktor dengan nilai sentralitas keperantaraan yang paling tinggi dianggap sebagai aktor terpenting dalam suatu jaringan. Sri memiliki nilai betweenness tertinggi yaitu sebesar 239.833. Nilai tersebut menjelaskan bahwa Sri adalah aktor yang dapat memperantarai sejumlah aktor di tingkat lokal yang terlibat pada saat tahap penjaringan calon bupati Grobogan di Pilkada langsung 2015. NWB (Ketua DPC PKB Grobogan) adalah aktor selain Sri yang juga mempunyai nilai betweenness tinggi dalam jaringan, yaitu sebesar 116.833 karena dia berperan menghubungkan dengan kyai-kyai NU kultural.

(4) Sentralitas eigenvektor (eigenvector centrality): seberapa penting aktor lain yang berjejaring dengan seorang aktor. Nilai sentralitas eigenvektor ini berkisar antara 0 – 1. Semakin tinggi nilai eigenvektor seorang aktor, semakin penting atau populer aktor-aktor lain yang berjejaring atau berelasi dengan aktor tersebut. Sri adalah aktor dengan nilai eigenvektor yang paling tinggi, yaitu sebesar 0.578. Dengan demikian dapat dikatakan ia merupakan aktor yang paling banyak memiliki relasi dengan aktor-aktor penting lain dalam jaringan.

(2) Sentralitas kedekatan (closeness), terbagi menjadi kedekatan keluar (outcloseness) yang menghitung kedekatan dari aktor yang menghubungi aktor lain, serta kedekatan ke dalam (incloseness) yang menghitung kedekatan dari aktor aktor-aktor yang dihubungi aktor lain. ESN adalah aktor yang memiliki nilai kedekatan terbaik, kedekatan keluarnya (outcloseness) adalah 31. Nilai ini menunjukkan bahwa ESN adalah aktor yang paling memiliki kedekatan dengan aktor-aktor lain dalam jaringan. Ia dapat diterima dan mampu untuk menjalin relasi langsung dengan aktor-aktor lain tanpa melalui banyak perantara.

(3) Sentralitas keperantaraan. Aktor yang

menempati posisi sentralitas keperantaraan adalah Kyai IZ dengan nilai 49.500. Mengapa posisi Kyai IZ menjadi penting? Karena tanpa kehadirannya, maka relasi antara antar aktor menjadi terhambat. Perannya sebagai Ketua Tanfidziyah NU Lampung Timur menjadikannya sebagai perantara dalam jaringan yang menghubungkan elit DPC PKB dan NU.

(4) Sentralitas eigenvektor memiliki nilai normal 0 sampai 1. Aktor yang memiliki nilai tertinggi, berarti memiliki eigenvector yang tinggi juga. Dalam konteks jaringan tersebut, aktor yang menjadi sentralitas eigenvektor adalah Chusnunia dengan nilai 0.390. Hal ini menunjukkan bahwa ia merupakan aktor yang paling banyak memiliki relasi dengan aktor-aktor penting lain dalam jaringan. Posisinya sebagai pengurus partai di tingkat pusat memberikan kemudahan akses untuk menjalin relasi dengan Ketua Umum maupun Sekjen DPP PKB sehigga pada akhirnya mendapatkan rekomendasi. Sebagai Koordinator PKB wilayah Lampung sekaligus anggota legislatif, Chusnunia telah membangun jejaring politik sejak tahun 2007 di daerah.

Page 171: KONSTELASI POLITIK DI TAHUN ELEKTORAL

Modal, Strategi dan Jaringan Perempuan ... | Kurniawati Hastuti Dewi, dkk | 283

Penggunaan Jaringan perempuan dalam tiga tahap kandidasi:

Penjaringan: Nyai LY untuk memastikan mendapat dukungan dari para tokoh NU mengingat Grobogan adalah basis kuat NU. Sri melakukannya melalui jaringan suaminya yang masih memiliki hubungan keluarga dengan almarhum pemilik pondok pesantren Al-MR Kecamatan Ngaringan Grobogan. Nyai LY (istri dari almarhum kyai pemilik pondok pesantren Al-MR) berperan sentral dalam memobilisir dukungan Muslimat NU untuk kemunculan Sri.

Penyaringan: melalui AW sebagai ketua tim

Desk Pilkada DPD PDIP Jawa Tengah, sehingga menjadi hal yang wajar jika ia menjadi aktor penting dalam jaringan yang banyak dihubungi pada tahap penyaringan calon bupati Grobogan di Pilkada langsung 2015. Sri memiliki strategi tersendiri mengamankan proses verifikasi tersebut, dengan bantuan YO yang berasal dari pengurus PDIP Grobogan dalam memastikan berkas-berkasnya lengkap di tahap penyaringan.

Penetapan: melalui ENS, fungsionaris PDIP yang menjadi anggota DPR RI dari dapil 3 dimana salah satu wilayahnya mencakup Kabupaten Grobogan. Sehingga saat Pilkada 2015, ENS membantu menyampaikan informasi situasi di lapangan yang kuat mendukung Sri supaya rekomendasi DPP PDIP jatuh pada Sri. Hubungan yang saling menguntungkan ini kemudian berubah menjadi dukungan ENS bagi Sri.

Sentralitas Sri dalam empat ukuran sentralitas jaringan sebagaimana disebut di atas, juga terjadi pada tahap penyaringan dan penetapan.

Penggunaan Jaringan perempuan dalam dua tahap kandidasi:

Penjaringan: nyatanya ada dua perempuan yang menduduki posisi aktor sentral. Chusnunia sebagai bakal calon kepala daerah menempati posisi sentralitas tingkatan dan eigenvector. Sedangkan ESN menjadi aktor yang menempati posisi sentralitas kedekatan. Selain menempati posisi sentralitas kedekatan, ESN juga menjadi sosok yang memiliki nilai sentralitas tingkatan tinggi setelah Chusnunia.

Penetapan: tidak ada peran perempuan dalam tahap penetapan Chusnunia. Dua aktor laki-laki yang berparan adalah BS dan MB dengan nilai outclosnes 12. Keduanya merupakan tim desk pilkada DPP PKB yang berperan penting dalam proses pengurusan administrasi maupun fit and proper test di DPP. MB juga menjadi aktor sentralitas keperantaraan dengan nilai 9.000 karena selain berinteraksi dengan aktor-aktor di DPP, ia juga memperantarai relasi aktor DPW PKB Provinsi Lampung yakni KB.

Aktor sentral dalam Struktur Jaringan: Sri sebagai aktor sentral dalam jaringan. Sri merupakan aktor yang paling banyak

mempunyai relasi dengan aktor-aktor penting dalam proses kandidasi, serta menjadi aktor perantara yang menghubungkan satu aktor dengan aktor lain dalam jaringan.

Aktor sentral dalam Struktur Jaringan: Tidak hanya berpusat pada Chusnunia saja. Terdapat setidaknya 2 orang aktor penting

selain Chusnunia yaitu ESN dan Kyai IZ.

Page 172: KONSTELASI POLITIK DI TAHUN ELEKTORAL

284 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 15 No. 2 Desember 2018 | 267–288

Dari tabel di atas, nampak bahwa terdapat perbedaan dan kesamaan dalam strategi dan jaringan perempuan dalam kandisasi yang dipakai oleh Sri Sumarni di Grobogan dan Chusnunia Chalim di Lampung Timur. Terdapat tiga persamaan strategi dan jaringan kedua perempuan politisi dalam kandidasi yaitu:

P e r t a m a , k e d u a n y a s a m a - s a m a menggunakan strategi “tertius iungens” untuk menghubungan aktor-aktor formal maupun informal untuk menjalin kerjasama politik baru yang menguntungkan dirinya.

Kedua, adalah pada penggunaan perempuan dalam posisi kunci dalam model jaringan yang dibentuknya. Keduanya sama-sama menggunakan perempuan dalam tiga tahap kandidasi (penjaringan, penyaringan, penetapan) atau salah satu tahapnya. Hal ini karena Sri Sumarni memiliki kedekatan dengan ENS karena ENS adalah anggota DPR RI dapil Grobogan sehingga pada saat Pilkada 2015, ENS menjadi pihak yang menginformasikan ke DPP terkait situasi di lapangan yang kuat mendukung Sri. Lalu mereka bersama-sama menduduki posisi

struktural partai politik PDIP (Sri Sumarni sebagai Ketua DPC PDIP Grobogan dan ENS adalah anggota DPR RI). Sehingga kedekatan emosional sudah terbina sejak lama. Sementara itu AW karena posisinya adalah ketua desk Pilkada DPD PDIP Jawa Tengah maka dia membantu mengkomunikasikan Sri kepada elit parpol di tingkat DPD. Sementara itu, ESN dalam kasus Chusnunia Chalim berinteraksi karena posisi mereka sebagai perempuan politisi sama-sama berkarir di PKB. Jika Chusnunia adalah anggota DPR RI dari PKB dari Dapil Lamtim dan fungsionaris DPP PKB Pusa. Maka ESN adalah Ketua DPC PKB Lampung Timur maupun wakil ketua DPRD Kab.Lampung Timur. Sehingga kedekatan mereka adalah sosiologis dan mutualisme.

Ketiga, adalah relasi gender yang sama. Meskipun laki-laki mendominasi struktur jaringan, namun tidak berarti adanya relasi gender yang tidak seimbang. Modal individu dan modal sosial Sri Sumarni tak tertandingi yang dimiliki oleh Sri Sumarni, maka dirinya justru mampu menjadi pemain sentral yang mempengaruhi dan

Struktur Jaringan: Kepadatan jaringan: struktur jaringan yang

terbentuk cenderung bersifat tidak rapat dimana ada banyak aktor yang satu sama lain tidak saling berinteraksi, melainkan terhubung karena adanya perantara oleh aktor lain. Sri merupakan aktor yang begitu aktif menjalin interaksi dengan aktor-aktor dari banyak kalangan dan memperantarai aktor-aktor yang tidak saling terhubung dalam jaringan pada tahap penjaringan tersebut.

Tidak terdapat fragmentasi pada jaringan yang terbentuk. Model jaringan Sri Sumarni dalan kandidasi memperlihatkan posisi sentral Sri di mana semua aktor formal maupun informal terhubung dan berpusat pada Sri.

Struktur Jaringan: Kepadatan jaringan: struktur jaringan yang

terbentuk cenderung mengambarkan bahwa interaksi antar aktor pada saat penjaringan tidaklah terlalu rapat, namun lebih rapat dibandingkan dengan kepadatan jaringan Sri. Karena aktor tidak berinteraksi dengan semua aktor yang ada dalam jaringan. Interaksi yang intensif antar aktor hanya dilakukan oleh beberapa orang.

Terdapat fragmentasi pada jaringan yang

terbentuk. Model jaringan Chusnunia Chalim menggambarkan bahwa aktor penting dalam jaringan tidak menumpuk di satu aktor saja tapi tersebar di beberapa aktor.

Relasi Gender: Struktur jaringan didominasi laki-laki baik

dalam struktur (aktor formal) internal PDIP maupun dalam koalisi partai yang mendukung kandidasi Sri (PKB, PAN, Hanura), dan aktor informal.

Meski didominasi oleh laki-laki namun Sri memiliki peran sentral dalam kandidasi. Sri mampu menggerakkan aktor-aktor di sekelilingnya untuk keuntungannya.

Relasi Gender: Jika melihat komposisi aktor-aktor yang terlibat

dalam proses penjaringan tampak didominasi oleh laki-laki. Hanya ada 3 perempuan dalam jaringan tersebut (Chusnunia, ESN, RRA).

Meski didominasi oleh laki-laki namun kedua perempuan (Chusnunia dan ESN) mampu menggerakkan aktor-aktor di sekelilingnya untuk kandidasi Chusnunia.

Sumber: dibuat oleh penulis

Page 173: KONSTELASI POLITIK DI TAHUN ELEKTORAL

Modal, Strategi dan Jaringan Perempuan ... | Kurniawati Hastuti Dewi, dkk | 285

menggerakan pilihan-pilihan politik mereka bagi keuntungan politik Sri. Begitupun dengan sosok Chusnunia yang menjadi magnet (karena modal individu dan modal sosial yang kuat) dan dengan dukungan sosial dan politik ESN maka kandidasi Chusnunia berjalan lancar.

Namun demikian, terdapat empat perbedaan dari jaringan kedua perempuan tersebut yaitu:

Pertama, dari segi inisiatif di mana dalam kasus Sri Sumarni memang memiliki inisitaif dan aktif untuk menjadi bakal calon kepala daerah dari PDIP. Sementara itu, Chusnuni Chalim memang semula tidak mencalonkan diri, tetapi diminta atau dicalonkan oleh para aktor PKB.Kedua dari segi sentralitas perempuan politisi tersebut dan aktor dalam penjaringan (tahap awal paling krusial dalam kandidasi). Pada kasus Sri Sumarni di Grobogan, ia merupakan aktor sentral yang berperan aktif menghubungi banyak aktor dan sekaligus juga dihubungi oleh banyak aktor dalam tahap penjaringan. Sri Sumarni memegang kendali penuh dalam tahap penjaringan dengan aktif megonsolidasi dukungan internal PDIP, menghubungi jaringan para kepala desa dan jaringan petani. Hal ini terkonfirmasi dari nilai empat sentralitas Sri dengan peran dominan dalam sentralitas tingkatan, sentralitas kedekatan, sentralitas keperantaraan, serta sentralitas eigenvektor. Sementara itu, pada kasus Chusnunia Chalim di Lampung Timur, ia tidak menjadi aktor sentral dalam penjaringan. Perannya cenderung pasif, dan terdapat dua aktor lainnya yaitu ESN dan Kyai IZ yang juga punya peran sentral mengonsolidasikan pencalonan Chusnunia di PKB dan NU.

Ketiga, adalah pada aktor sentral dalam struktur jaringan. Pada kasus Sri Sumarni, ia menjadi aktor sentral dalam struktur jaringan. Sementara itu pada kasus Chusnunia, terdapat dua aktor sentral dalam struktur jaringan selain Chusnunia, yaitu ESN dan Kyai IZ.

Keempat, adalah pada struktur jaringan. Dalam kasus Sri Sumarni, kepadatan jaringan atau struktur jaringan yang terbentuk cenderung bersifat tidak rapat dimana ada banyak aktor yang satu sama lain tidak saling berinteraksi, melainkan terhubung karena adanya perantara oleh aktor lain. Sri merupakan aktor yang begitu aktif menjalin interaksi dengan aktor-

aktor dari banyak kalangan dan memperantarai aktor-aktor yang tidak saling terhubung dalam jaringan pada tahap penjaringan tersebut. Selain itu tidak terdapat fragmentasi pada jaringan yang terbentuk. Jaringan Sri Sumarni dalam kandidasi memperlihatkan posisi sentral Sri di mana semua aktor formal maupun informal terhubung dan berpusat pada Sri. Sementara itu pada kasus Chusnunia Chalim, struktur jaringan yang terbentuk cenderung mengambarkan bahwa interaksi antar aktor pada saat penjaringan tidaklah terlalu rapat. Karena aktor tidak berinteraksi dengan semua aktor yang ada dalam jaringan. Interaksi yang intensif antar aktor hanya dilakukan oleh beberapa orang. Selain itu, terdapat fragmentasi pada jaringan yang terbentuk. Fragmentasi tersebut menggambarkan bahwa aktor penting dalam jaringan tidak menumpuk di satu aktor saja tapi tersebar di beberapa aktor.

Penutup Pertama, modal individu (finansial, ketrampilan sosial, latar belakang keluarga) dan modal sosial yang kuat menjadi dasar bagi kedua perempuan politisi untuk menembus kandidasi. Keduanya mampu membentuk jaringan kuat melalui berbagai lapisan aktor (formal dan informal) sehingga dapat dicalonkan pada Pilkada langsung yaitu Sri Sumarni via PDIP di Grobogan, dan Chusnunia Chalim via PKB di Lampung Timur.

Kedua, kajian ini menunjukkan bahwa kandidasi sangat penting dipahami dalam konteks jaringan yaitu kemampuan perempuan politisi memahami aktor-aktor kunci yang harus dijalin, diajak berkomunikasi dan menjaga hubungan bertahun-tahun untuk mendukungnya dalam kandidasi. Seorang politisi perempuan dengan modal individu dan modal sosial yang hebat, tetapi tidak memiliki kemampuan masuk dan “ber-strategi” ke dalam jaringan aktor-aktor, maka tidak akan dapat menembus kandidasi.

Ketiga, jaringan perempuan politisi yang ditemukan dan dianalisis dalam kajian ini memiliki pola yang sama yakni kedua perempuan politisi merupakan kader partai dan membangun karir di parlemen. Keduanya mengawali karir politika sebagai anggota legislatif lokal (DPRD

Page 174: KONSTELASI POLITIK DI TAHUN ELEKTORAL

286 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 15 No. 2 Desember 2018 | 267–288

Grobogan untuk Sri Sumarni) maupun nasional (anggota DPR RI dari PKB untuk Chusnunia Chalim). Terpilih sebagai anggota legislatif terlebih dahulu mengkonfirmasi popularitas dan akseptabilitas keduanya, sehingga menjadikan posisi tawar mereka tinggi di internal partai politik maupun luar partai politik, untuk kemudian berkompetisi dalam Pilkada langsung.

Keempat, jaringan Sri Sumarni dalam kandidasi adalah: Sri memegang peran sentral yang aktif berkomunikasi dengan berbagai aktor sejak tahap penjaringan, menggunakan strategi “tertius iungens” untuk menjalin kerja sama antar aktor, menggunakan perempuan dalam posisi kunci dalam jaringan yang dibentuk, struktur jaringan tidak terfragmentasi, dan Sri yang mengendalikan jaringan meskipun struktur jaringan didominasi laki-laki.

Kelima, jaringan Chusnunia Chalim dalam kandidasi adalah: Chununia pasif dalam tahap penjaringan, menggunakan strategi “tertius iungens” untuk menjalin kerja sama antar aktor, menggunakan perempuan dalam posisi kunci, tidak hanya Chusnunia yang menjadi aktor sentral yang mempengaruhi dan menggerakan pilihan-pilihan politik aktor karena terdapat peran perempuan lainnya (ESN), struktur jaringan terfragmentasi, dua perempuan (Chusnunia dan ESN) mampu memainkan jaringan meskipun struktur jaringan didominasi laki-laki.

Keenam, kajian ini menggarisbawahi sulitnya perempuan untuk dicalonkan dalam Pilkada langsung karena membutuhkan effort yang luar biasa dan butuh puluhan tahun (minimal 10 tahun) untuk mengkonsolidasikan modal individu dan modal sosial untuk memperoleh dukungan. Hal ini sejalan dengan gagasan agar para politisi perempuan yang muncul dalam Pilkada langsung bukan politisi instan, namun mereka yang memiliki rekam jejak sosial dan pengkaderan dalam partai politik yang sudah teruji. Artinya temuan kajian ini semakin memperkuat pentingnya mendorong banyak perempuan politisi yang muncul dalam Pilkada langsung karena kredibilitas, modal individu dan modal sosial yang kuat, dan bukan hanya karena “ikatan keluarga” atau “faktor kekerabatan” semata sebagaimana yang selama ini banyak muncul.

Daftar PustakaBukuAdams, Ian. Ideologi Politik Mutakhir: Konsep,

Ragam, Kritik dan Masa Depannya. Yogyakarta: Qalam, 1993.

Alfian. Ideologi, Idealisme dan Integrasi Nasional, dalam Yahya Muhaimin, Masalah- masalah Pembangunan Politik. Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1976.

Amal, Ichlasul, dan Budi Winarno. Metodologi Ilmu Politik. Yogyakarta: PAU Studi Sosial UGM.

Ballington, Julie, and Richard E. Matland, Political Parties and Special Measures: Enhancing Women’s Participation in Electoral Processes. New York, 2004.

Blackburn, Susan, Bianca J Smith and Siti Syamsiyatun. “Introduction”, dalam Indonesian Islam in A New Era: How Women Negotiate Their Muslim Identities, ed. Susan Blackburn, Bianca J. Smith, Siti Syamsiyatun. Clayton: Monash University Press, 2008.

Bottomore, T.B,. Elite dan Masyarakat. Jakarta: Akbar Tanjung Institute. 2006.

Budiardjo, Miriam. Aneka Pemikiran tentang Kuasa dan Wibawa. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. 1986

Burt, Ronald S. Structural Holes: The Social Structure of Competition. USA: Harvard University Press, 1995.

Burt, Ronald S. Brokerage & Closure: An Introduction to Social Capital. New York, USA: Oxford University Press, 2005.

Dewi, Kurniawati Hastuti, ed. Kebangkitan Perempuan Tabanan Dalam Politik Lokal. Jakarta: Mahara Publishingm 2016.

Dewi, Kurniawati Hastuti, ed. Perempuan Pemimpin Politik Lokal: Faktor Kekerabatan dan Demokratisasi Lokal (Studi Kasus di Tangerang Selatan dan Indramayu). Dalam proses penerbitan.

Dewi, Kurniawati Hastuti. Indonesian Women and Local Politics: Islam, Gender and Nteworks in Post-Suharto Indonesia. Singapore: NUS Press and Kyoto University Press, 2015.

Eriyanto, Analisis Jaringan Komunikasi: Strategi Baru dalam Kajian Ilmu Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya. Jakarta: Prenamedia Group, 2014.

Haris, Syamsuddin. ed. Pemilu Langsung di Tengah Oligarki Partai: Proses Nominasi dan Seleksi Legislatif Pemilu 2004. Jakarta: Gramedia, 2005.

Page 175: KONSTELASI POLITIK DI TAHUN ELEKTORAL

Modal, Strategi dan Jaringan Perempuan ... | Kurniawati Hastuti Dewi, dkk | 287

Hazan, Reuven Y. “Candidate Selection” dalam Comparing Democracies 2, ed. Lawrence LeDuc, Richard G. Niemi dan Pippa Norris,. London, Thousand Oaks, New Delhi: Sage Publications Ltd, 2002.

Katz, Richard S. dan William Crotty. Handbook of Party Politics. London: Sage Publications. 2006.

Keller, Franziska Barbara. “Networks of Power: Using Social Network Analysis to Understand Who Will Rule and Who is Really in Charge in the Chinese Communist party”, laporan kajian , draft Juli 2015.

Keller, Suzanne. Penguasa dan Kekompok Elite: Peranan Elite Penentu Dalam Masyarakat Modern. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995.

Knoke, David and Song Yang. Social Network Analysis (2nd edition). LA, London, New Delhi, Singapore: Sage Publication. 2008

Krook, Mona Lena, and Fiona Mackay. “Introduction: Gender, Politics, and Institutions” dalam Gender, Politics and Institutions: Towards a Feminist Institutionalism, ed. Mona Lena Krook and Fiona Mackay. New York: Palgrave Macmillan, 2011.

Lin, Nan. “Building a Network Theory of Social Capital” dalam Social Capital: Theory and Research, ed. Nan Lin, Karen Cook, Ronald S. Burt. New York: Aldine De Gruyter, 2001.

Lin, Nan. Social Capital: A Theory of Social Structureand Action. Cambridge: Cambridge University Press, 2004.

Maharddhika. Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), “Perempuan Calon Kepala Daerah di Pilkada 2017”. Jakarta, 28 November 2016.

Matland, Richard E., and Kathleen A.Montgomery. Women’s Access to Political Power in Post Communist Europe. New York: Oxford University Press, 2003.

Mosca, Gaetano. “The Rulling Class” dalam Elite dan Masyarakat, ed. T.B Bottomore. Jakarta: Akbar Tanjung Institute, 2006.

Norris, Pippa and Joni Lovenduski. Political Representation and Recruitment: Gender, Race and Class in The British Parliament. Cambridge & New York: Cambridge University Press. 1995.

Olivier Serrat, Social Network Analysis (Manila: Asian Development Bank, 2009), https://www.adb.org/sites/default/files/publication/27633/social-network-analysis.pdf

Pareto, Vilfredo. “The Main and Society” dalam Elite dan Masyarakat, ed. T.B Bottomore. Jakarta: Akbar Tanjung Institute, 2006.

Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem). “Jalan Terjal Perempuan Kepala Daerah Terpilih: Potret Keterpilihan Perempuan dan Tantangan Lahirkan Kebijakan Properempuan”. Jakarta, 20 Desember 2015.

Pusat Kajian Politik. Perempuan, Partai Politik dan Parlemen: Studi Kinerja Anggota Legislatif Perempuan di Tingkat Loka. Jakarta: Pusat Kajian Politik LIPI & Konrad Adenauer Stiftung, 2012.

Ranney, Austin. Governing: An Introduction to Political Science. New Jersey: Prentice Hall, 1996.

rumahpemilu.org. Peta Politik Perempuan Menjelang Pemilu 2014: Perempuan dalam Partai Politik, Pemilu, Legislatif, Eksekutif, dan Yudikatif. Jakarta: rumahpemilu.org atas dukungan Perludem, 2013.

Rush, Michael dan Phillip Althoff; alih bahasa Kartini Kartono, Pengantar Sosiologi Politik. Jakarta: Rajawali, 1983.

Serrat, Olivier. Social Network Analysis. Manila: Asian Development Bank, 2009.

Sargent, Lyman Tower. Ideologi –Ideologi Politik Kontemporer. Alih Bahasa AR Henry Sitanggang. Jakarta: Erlangga, 1984.

Scott, John. Social Network Analysis a Handbook. London: Sage Publication, 1987. http://soc.sagepub.com/content/22/1/09.short, (diakses pada 25 November 2016)

Tim Peneliti Departemen Ilmu Politik FISIP Universitas Airlangga (UNAIR). “Perempuan dalam Pemilukada: Kajian tentang Kandidasi Perempuan di Jawa Timur dan Sulawesi Utara”, Jakarta: Kemitraan bagi Pembaruan Tata Pemerintahan di Indonesia, 2011.

Tim Pusat Kajian Politik LIPI.Panduan Rekrutmen & Kaderisasi Partai Politik Ideal di Indonesia Jakarta: KPK RI bekerjasama dengan P2Politik LIPI, 2016.

Wardani, Sri Budi Eko, dan Yolanda Panjaitan, Wawan Ichwanuddin, et.al, Potret Keterpilihan Perempuan di Legislatif pada Pemilu 2009. Jakarta: Puskapol Fisip UI, 2013.

Wulandari, Lia, Khoirunnisa Agustyati, et.al. Pencomotan Perempuan Untuk Daftar Calon: Rekrutmen Calon Anggota DPRD Kabupaten/Kota untuk Memenuhi Kuota 30% Perempuan Dalam Pemilu 2014 Jakarta: Perludem dan The Asia Foundation, 2014.

Page 176: KONSTELASI POLITIK DI TAHUN ELEKTORAL

288 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 15 No. 2 Desember 2018 | 267–288

JurnalAbrams, Kathryn. “From Autonomy to Agency:

Feminist Perspectives on Self-Direction,” William & Mary Law Review Vol. 40, no. 3 (1999).

Cheng, Christine., and Margit Tavits, “Informal Influences in Selecting Female Political Candidates”, Political Research Quarterly, vol. 64, no. 2 (2011): 460-471.

Dewi, Kurniawati Hastuti. “Profiles, Statuses and Performance of Female Local Leaders: Impact Study of Direct Local Elections,” Indonesian Feminist Journal, vol.3, no. 1 (August 2015): 47-52.

Emirbayer, Mustafa,m and Jeff Godwin, Network Analysis, Culture and the Problem of Agency. American Journal of Sociology, vol.99, no.6 (1994).

Harding, Sandra. “The Method Question”. Hypatia vol. 2, no. 3, (Autumn 1987).

Hussain, Basharat., & Amir Zada Asad. “A Critique on Feminist Research Methodology.” Journal of Politics and Law, vol. 5, no. 4.

Krook, Mona Lena. “Beyond Suplay and Demand: A Feminist-institutionalist Theory of Candidate Selection”, Political Research Quarterly, vol. 63, no. 4 (2010): 707-720.

Laporan Utama, “Transkrip Diskusi Representasi Politik Perempuan: Sekadar Warna atau Turut Mewarnai”, Jurnal Sosial Demokrasi, Edisi 6, tahun 2, (Juni - Agustus 2009).

Lingo, Elizabeth Long., and Siobhan O’Mahony, “Nexus Work: Brokerage on Creative Projects”, Administrative Science Quarterly 55, (2010): 47-81.

Misiyah, “Pengalaman Perempuan: Sumber Pengetahuan yang Membebaskan”, Jurnal Perempuan, no. 48 (2006).

Obstfeld, David, “Social Networks, The Tertius Iungens Orientation, and Involvement in Innovation”, Administrative Science Quarterly 50, (2005).

Thesis/Disertasi Ekawati, Esty. Penerapan Affirmative Action dan

Proses Rekrutmen Calon Anggota Legislatif Partai Kebangkitan Bangsa pada Pemilu 2009. Tesis Master. Depok: Universitas Indonesia, 2012.

El Qudsi, Mohammad Ichlas., Celah Struktur dan Tertius Gaudens dalam Jaringan Komunikasi Politik: Studi Analisis Struktur Jaringan Komunikasi Politik dalam Pembentukan Koalisi Indonesia Hebat pada Pilpres 2014. Disertasi. Depok: FISIP UI, 2016

S, Gregory, Leo S. “A Social Network Analysis of the Chinese Communist Party’s Politburo”. Thesis. Monterey: California Naval Postgraduate School, 2013.

Paper Dewi, Kurniawati Hastuti. “The Effect of Concurrent

Direct Local Elections on the Political Opportunity of Female Leaders and Prospect of Political Dynasty”, paper presented in presented in Biannual International Conference on Indonesian Politics and Government 2015, University of Indonesia, Depok, 2 November 2015.

Sumber OnlineKomisi Pemilihan Umum. “337 Jumlah Pendaftar

Pilkada 2017, 10 daerah Paslon Tunggal”, dalam https://pilkada2017.kpu.go.id/berita/detail/24.

Page 177: KONSTELASI POLITIK DI TAHUN ELEKTORAL

Personalisasi Partai Politik di Indonesia Era Reformasi | Aisah Putri Budiatri, dkk | 289

RESUME PENELITIAN

PERSONALISASI PARTAI POLITIK DI INDONESIA ERA REFORMASI1

PARTY PERSONALIZATION IN INDONESIA’ REFORM ERA

Aisah Putri Budiatri, Syamsuddin Haris, Lili Romli, Sri Nuryanti, Moch. Nurhasim, Luky Sandra Amalia, Devi Darmawan, Ridho Imawan Hanafi

Pusat Penelitian Politik – Lembaga Ilmu Pengetahuan IndonesiaEmail: [email protected]

Diterima: 3 Oktober 2018; Direvisi: 20 Oktober 2018; Disetujui: 30 Desember 2018

Abstract

The majority of political parties in Indonesia in the reform era have been trapped in the issue of political personalization. Party elites become the image of the party and become a very influential person in party policy making for a long period of time. In fact, political parties already have a mechanism of succession, but one elite figure is still able to personalize his party. This research sees that there are causes of party personalization, including the history of party establishment, charismatic leadership and party funding. Moreover, presidentialism, party systems, and the electoral system are factors that also facilitate the emergence of party personalization. The party personalization must be avoided because in the long run it will have a negative impact not only on political parties, but also on efforts to uphold democracy in Indonesia.

Keyword: party personalization, charismatic leadership, reform era

Abstrak

Mayoritas partai politik di Indonesia pada era reformasi telah terjebak pada persoalan personalisasi politik. Individu elite partai menjadi image partai sekaligus orang yang sangat berpengaruh dalam pembuatan kebijakan partai dalam jangka waktu yang lama. Padahal, partai politik telah memiliki mekanisme suksesi, namun satu sosok elite tetap mampu mempersonalkan partainya. Penelitian ini melihat ada beberapa aspek yang menjadi penyebabnya, termasuk sejarah pendirian partai, kepemimpinan karismatik dan pendanaan partai. Di luar itu, presidensialisme, sistem kepartaian dan sistem pemilu menjadi faktor yang turut memfasilitasi munculnya personalisasi partai. Personalisasi partai ini harus dihindari karena dalam jangka panjang akan berdampak negatif tidak hanya kepada partai politik, tetapi juga pada upaya penegakan demokrasi di Indonesia.

Kata kunci: personalisasi partai, pemimpin karismatik, era reformasi

1 Resume riset ini berdasarkan pada laporan penelitian Tim Sistem Kepartaian, Pemilu dan Perwakilan, Pusat Penelitian Politik, LIPI, yang diselenggarakan pada tahun 2017 berjudul “Personalisasi Partai Politik di Indonesia Era Reformasi.” Substansi pokok di dalam tulisan ini sudah diterbitkan dalam Aisah Putri Budiatri (ed), Personalisasi Partai Politik di Indonesia Era Reformasi (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2018).

Page 178: KONSTELASI POLITIK DI TAHUN ELEKTORAL

290 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 15 No. 2 Desember 2018 | 289–306

PendahuluanMembicarakan tentang kepemimpinan partai, personalisasi politik menjadi salah satu isu utama yang saat ini seringkali dikaji. Personalisasi politik pada partai atau diistilahkan juga menjadi personalisasi partai politik (parpol) dapat didefinisikan sebagai kondisi dimana individu elite memiliki posisi lebih penting dibandingkan organisasi partainya atau identitas kolektif lainnya.2 Elite menjadi sangat berpengaruh dalam segala proses pembuatan kebijakan partai, bahkan ia juga menjadi image dan/atau identitas partai.3 Hal ini menjadikan elite tersebut mampu menjadi penguasa partai dalam periode waktu yang lama.4

Pada era reformasi, personalisasi partai politik menjadi hal yang kerap muncul dalam dinamika perpolitikan di Indonesia. Mayoritas partai politik besar yang memiliki kursi di parlemen saat ini memiliki seorang elite yang menduduki posisi-posisi penting dalam struktur partai, serta menjadi sosok yang dicalonkan dalam pemilihan presiden berulang kali. Tabel 1 memberikan gambaran yang lebih jelas mengenai partai-partai politik di era reformasi yang paling memperlihatkan gejala personalisasi politik.5

2 Lauri Karvonen, The Personalization of Politics: A Study of Parliamentary Democracies (Colchester, UK: ECPR Press, 2010), hlm 4.

3 Diadaptasi ulang dari berbagai definisi yang disampaikan oleh Karvonen (2010), Balmas (2014), Langer (2007), Mughan (2000), Aarts (2011), Blais (2011), dan lainnya. Penjelasan lebih lengkap dari definisi ‘personalisasi partai politik’ akan dipaparkan lebih dalam pada bagian kerangka pemikiran. William Cross dan Jean-Benoit Pilet, “Uncovering the Politics of Party Leadership” dalam The Politics of Party Leadership: A Cross National Perspective, ed. William Cross dan Jean-Benoit Pilet (Oxford, UK: Oxford University Press, 2015), hlm. 23-24.

4 Giulia Sandri, Antonella Seddone, dan Fulvio Venturino, “Understanding Leadership Profile Renewal,” dalam The Politics of Party Leadership: A Cross National Perspective, ed. William Cross dan Jean-Benoit Pilet (Oxford, UK: Oxford University Press, 2015), hlm. 146.

5 Partai-partai politik yang dicantumkan di dalam Tabel 1 adalah partai-partai besar di Indonesia yang sampai saat ini memiliki kursi di parlemen (DPR RI Periode 2014-2019). Partai-partai ini memiliki seorang tokoh sentral yang menjadi identitas melekat pada partai, serta berpengaruh dan menempati posisi tertinggi (kuat) di dalam partai selama lebih dari lima tahun berturut-turut. Namun demikian, tidak tertutup kemungkinan ada partai politik lain yang tidak tercantum di dalam tabel 1 juga pernah dan/atau sedang menghadapi persoalan personalisasi politik.

Pada tabel 1 di bawah, tergambarkan bagaimana setidaknya ada tujuh partai yang dinilai menggejala personalisasi politik. Setiap partai tersebut memiliki seorang individu yang identik dan berpengaruh kuat terhadap partai, misalnya sosok Megawati di PDIP dan SBY dalam Partai Demokrat. Umumnya, selain menjadi pemimpin partai, sosok elite tersebut adalah para pendiri partai politik.6 Tokoh sentral menduduki posisi-posisi puncak kepengurusan, termasuk ketua umum, ketua dewan kehormatan atau jabatan lain yang setara/lebih tinggi, selama lebih dari lima tahun. Megawati, bahkan, telah menjadi Ketua Umum PDIP sejak berdiri hingga hari ini, atau sekitar dua dekade lamanya.

Adanya tujuh partai yang menghadapi personalisasi politik merupakan hal yang signifikan, mengingat saat ini hanya ada sepuluh partai politik yang memiliki kursi di parlemen nasional dan mampu berkompetisi dalam perpolitikan nasional di Indonesia. Sepuluh nama partai itu diantaranya adalah PDIP, Partai Golkar, Partai Demokrat, PKB, PAN, PKS, Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Gerindra, Partai Hanura, dan Partai Nasdem.7 Dalam hal ini, artinya personalisasi politik adalah hal yang menjadi fenomena umum dan menggejala pada mayoritas parpol di Indonesia. Walaupun begitu, perlu dipahami bahwa derajat personalisasi ini berbeda-beda antar partai dan antar masa.

6 Semua individu elite yang disebutkan di dalam tabel 1 adalah pendiri partai, kecuali Susilo Bambang Yudhoyono yang bukan merupakan pendiri melainkan penggagas Partai Demokrat. SBY yang memiliki inisiatif untuk mendirikan Partai Demokrat setelah kekalahannya dalam pemilihan Calon Wakil Presiden Republik Indonesia oleh Sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat Tahun 2001. Namun, SBY tidak termasuk ke dalam Tim Pendiri Partai Demokrat yang disebut Tim 9. Lihat: “Sejarah Pembentukan dan Berdirinya Partai Demokrat,” 15 Februari 2017, http://www.demokrat.or.id/sejarah/, diakses pada 15 Februari 2017.

7 Dari sepuluh partai, hanya satu partai yang sempat berganti nama dan berdiri menjadi partai baru, yakni Partai Keadilan (PK) -peserta Pemilu 1999- yang berubah menjadi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) –peserta Pemilu 2004, 2009 dan 2014-. Partai Keadilan harus mengubah namanya menjadi Parti Keadilan Sejahtera agar dapat mengikuti kembali Pemilu pada tahun 2004, karena sesuai dengan UU Pemilu No. 3 Tahun 1999 tentang Pemilu, maka hanya partai yang memenuhi minimum 2% dari jumlah kursi di DPR yang dapat mengikuti kembali pemilu selanjutnya. Saat itu PK hanya memiliki 1,51% dari total kursi di DPR. Dalam Ganjar Razuni, Sebuah Koreksi Konstruksi Reformasi Hasil Pemilu 1999 (Jakarta: Labsospol FISIP UNAS, 2001), hlm 123.

Page 179: KONSTELASI POLITIK DI TAHUN ELEKTORAL

Personalisasi Partai Politik di Indonesia Era Reformasi | Aisah Putri Budiatri, dkk | 291

Misalnya, PKB di bawah kepemimpinan Gus Dur lebih kuat kadar personalisasinya dibandingkan saat ini. Sementara itu, tingkat personalisasi PKB saat ini pun dapat dikatakan lebih rendah dibandingkan dengan PDIP yang terpersonalisasikan oleh Megawati sejak partai didirikan hingga saat ini.

Personalisasi partai tidak seharusnya terjadi pada era reformasi ini mengingat upaya reinstitusionalisasi partai, salah satunya melalui pergantian kepengurusan partai, menjadi salah satu agenda penting reformasi. UU Partai Politik, sejak diterbitkannya UU Partai No. 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik, bahkan sudah mengatur

secara khusus tentang pergantian kepengurusan partai, walaupun mekanisme lebih detailnya diserahkan secara internal kepada masing-masing partai.8 Lebih dari itu, secara umum, Anggaran Dasar/ Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) dari tujuh partai yang menggejala personalisasi juga telah mengatur perihal pergantian kepemimpinan partai.

8 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik, Pasal 23.

Tabel 1. Peta Personalisasi Partai Politik di Indonesia Era Reformasi

Sumber: diolah dari berbagai sumber.

No. Partai Politik Tokoh Partai Politik

Posisi di dalam Partai Posisi Pencalonan Pilpres

1. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP)

Megawati Sukarnoputri

Pendiri PDIP Ketua Umum Partai (1999-

sekarang)

Capres Pilpres 1999, 2004, 2009

Cawapres 1999 (terpilih)

2. Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)

Penggagas Partai Ketua Umum Partai (30

Maret 2013-12 Mei 2015) Ketua Umum Partai (12 Mei

2015-12 Mei 2020)

Capres Pilpres 2004 dan 2009 (terpilih dua periode)

3. Partai Amanat Nasional (PAN)

Amien Rais Pendiri PAN (1998) Ketua Umum Partai (1998-

2005) Ketua Majelis Pertimbangan

Pusat (2005-2015) Ketua Dewan Kehormatan

Partai (2015-2020)

Capres Pilpres 2004

4. Partai Kebangkitan Bangsa (PKB)

Abdurrahman Wahid (Gus Dur)

Pendiri PKB(1998) Ketua Dewan Syuro (2000-

2009)

Capres Pilpres 1999 (terpilih)

5. Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra)

Prabowo Subianto

Pendiri Partai Gerindra (2008)

Ketua Dewan Pembina (2008-sekarang)

Cawapres Pilpres 2009 Capres Pilpres 2014

6. Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura)

Wiranto Pendiri Partai Hanura (2006) Ketua Umum (2006-2016)

Cawapres Pilpres 2009 Bakal Capres 2013

(tidak mengikuti Pilpres 2014)

7. Partai Nasional Demokrat (Nasdem)

Surya Paloh Pendiri Partai Nasdem (2011) Ketua Majelis Tinggi Partai

(2011-2013) Ketua Umum Partai (2013-

sekarang)

-

Page 180: KONSTELASI POLITIK DI TAHUN ELEKTORAL

292 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 15 No. 2 Desember 2018 | 289–306

Pada tabel 2 terlihat bahwa partai telah memiliki mekanisme pergantian kepemimpinan partai yang dibuat secara reguler setiap lima tahun sekali. Dengan demikian, partai sesungguhnya memiliki kesempatan untuk mengubah pimpinan partai dan mampu mencegah partainya terpersonalkan oleh satu individu elite saja. Namun, mengapa mereka tetap terjebak pada persoalan personalisasi partai? Pertanyaan ini penting dan menarik untuk dikaji karena belum ada kajian akademik sebelumnya yang mampu menjawabnya secara komprehensif. Kalaupun ada, maka kajiannya hanya berupa tulisan pendek atau bagian kecil dari sebuah tulisan utuh.9

Melihat adanya kekosongan kajian tersebut, maka Tim Pemilu P2P LIPI mengkaji persoalan personalisasi partai politik secara komprehensif dengan membandingkan beberapa partai

9 Syamsuddin Haris, “Partai dan Personalisasi Kekuasaan,” Harian Kompas, (Jakarta), 31 Maret, 2005; A. Rahman Tolleng, “Selamat Datang Personalisasi Politik,” Harian Tempo, (Jakarta), 24 November 2003; Donny Gahral Adian, “Personalisasi Politik,” Harian Kompas, (Jakarta), 27 September 2012; Halili Hasan, “Partai Politik, Ornamen Demokrasi,” Jawa Pos, (Jakarta), 19 April 2016; Eko Prasojo, “Pemilihan Presiden, Personalisasi Politik?” Harian Kompas, (Jakarta), 20 April 2004; Eko Prasojo, Demokrasi di Negeri Mimpi (Depok: FISIP UI, 2005); Ikhsan Ahmad, Pilar Demokrasi Kelima: Politik Uang: Realitas Konstruksi Politik Uang di Kota Serang, Banten (Yogyakarta: Deepublish, 2015); Eep Saefulloh Fatah, Mencintai Indonesia dengan Amal, (Jakarta: Penerbit Republika, 2004); M. Nurhasim, “Kegagalan Modernisasi Partai Politik di Era Reformasi,” Jurnal Penelitian Politik, 10, no. 1 (2013): 17-28; Hanta Yudha, Presidensialisme Setengah Hati: Dari Dilema ke Kompromi (Jakarta: PT Gramedia Pustaka, 2010).

sekaligus mulai sejak tahun 1999 hingga saat ini. Adapun kajian ini berfokus pada dua pertanyaan penelitian, yakni: (1) Mengapa kepemimpinan partai politik di Indonesia cenderung terperangkap kedalam fenomena personalisasi politik? Apa saja faktor yang menyebabkan munculnya fenomena personalisasi politik? serta (2) Bagaimana dampak personalisasi politik terhadap pelembagaan partai politik dan sistem kepartaian di Indonesia?

Personalisasi Politik pada Partai, Partai Personal dan Partai PersonalistikPersonalisasi politik diartikan oleh Karvonen sebagai sebuah situasi dimana aktor individu politik menjadi lebih utama dan penting perannya dibandingkan partai politik atau identitas kolektif lainnya. Aktor politik ini dapat dimaknai secara spesifik sebagai pemimpin politik/partai atau politisi pada umumnya. Dalam konteks personalisasi partai, Renwick dan Pilet menyatakan bahwa aktor dalam personalisasi adalah pimpinan parpol.10

Untuk menyatakan apakah sebuah partai mengalami personalisasi politik atau tidak, maka dapat dilihat tanda-tandanya dari beberapa karakteristik personalisasi partai. Karakteristik pertama adalah lekatnya identitas

10 Untuk mengklarifikasi ini, Renwick dan Pilet mengacu pada berbagai kajian akademik yang ditulis oleh Karvonen, Clarke, Kornberg, Scotto, Aarts, Bittner, Costa Lobo dan Curtice. Lihat: Alan Renwick dan Jean-Benoit Pilet, Faces on the Ballot: The Personalization of Electoral Systems in Europe (Oxford, UK: Oxford University Press, 2016), hlm. 4-5.

Tabel 2. Mekanisme Suksesi Kepemimpinan 7 Partai Politik di Indonesia

Sumber: diolah dari AD/ART PDIP, Partai Demokrat, PAN, PKB, Partai Hanura, Partai Gerindra, dan Partai Nasdem.

Partai Bentuk Pertemuan Periode Suksesi Mekanisme Suksesi Ketentuan lain PDIP Kongres Setiap 5 tahun Mufakat, aklamasi,

& voting Kuorum 2/3 peserta

Demokrat Kongres Setiap 5 tahun Mufakat & voting Kuorum 50%+1 PAN Kongres Setiap 5 tahun Mufakat, aklamasi,

& voting Kuorum 50%+1

PKB Muktamar Setiap 5 tahun Mufakat & voting Kuorum 50%+1 Hanura Munas Setiap 5 tahun Mufakat, aklamasi,

& voting Kuorum 50%+1

Gerindra Kongres Setiap 5 tahun Mufakat & voting Kuorum 50%+1 Nasdem Rapat Terbatas dalam

kongres Setiap 5 tahun Keputusan oleh Majelis

Nasional -

Page 181: KONSTELASI POLITIK DI TAHUN ELEKTORAL

Personalisasi Partai Politik di Indonesia Era Reformasi | Aisah Putri Budiatri, dkk | 293

atau image partai politik pada pemimpin partai.11 Karakteristik kedua yakni ditempatkannya individu elite sebagai penarik dukungan dan suara bagi partai, khususnya ketika pemilu. Tokoh sentral dalam hal ini menggantikan pengaruh ideologi dan identifikasi partai lain yang berfungsi untuk menarik dukungan konstituen partai.12 Karakteristik yang ketiga adalah kuatnya pengaruh tokoh sentral terhadap partai dalam jangka waktu yang lama, bahkan selama individu tersebut itu hidup.13

Oleh Mauro Calise, personalisasi ini menjadikan partai kemudian berwujud sebagai partai personal, dimana struktur dasar partai yang seharusnya bersifat legal rasional dan kolektif berubah menjadi suatu hal terkait kepemimpinan individu yang karismatik dan hubungan patrimonial.14 Selain partai personal, Gunther dan Diamond menggunakan istilah lain yang menunjukan kondisi partai yang terpersonalisasi, yakni partai personalistik. Partai personalistik ini menempatkan partai sebagai kendaraan politik bagi kepentingan individu pemimpinnya untuk mendapatkan kekuasaan dan memenangkan pemilu.15

Faktor Penyebab Personalisasi Politik pada Partai Menurut Rhodes dan Hart, personalisasi partai bukan disebabkan oleh hanya satu hal tetapi sebagai bentuk dari akumulasi beberapa faktor. Hal pertama adalah tingginya loyalitas konstituen kepada individu pemimpin partai politik. Yang kedua adalah meningkatnya peran dan pengaruh individu pemimpin tersebut terhadap partai akibat aktivitasnya yang tinggi dalam melakukan

11 Jean-Benoit Pilet dan William Cross, “Uncovering The Politics of Party Leadership.” Dalam The Politics of Party Leadership: A Cross National Perspective, ed. oleh William Cross dan Jean-Benoit Pilet (Oxford, UK: Oxford University Press, 2015), hlm. 20-34.

12 Sandri, Seddone, dan Venturino, “Understanding Leadership,” hlm. 149.

13 Sandri, Seddone, dan Venturino, “Understanding Leadership,” hlm. 146.

14 Mauro Calise, “The Personal Party: An Analytical Framework,” dalam Scienze Politica, 45, no.3, (2015): 303-306.

15 Richard Gunther dan Larry Diamond, “Species of Political Parties,” dalam Party Politics, 9, no. 2 (2003): 187-188.

mediasi dan lobi atas nama partainya.16 Selain itu, Blondel juga menyatakan bahwa kharisma yang kuat dari seorang tokoh adalah salah satu alasan mengapa personalisasi partai dapat terjadi.17 Tak hanya itu, kultur patronase, yaitu relasi dua pihak dimana patron, yang berstatus sosial-ekonomi lebih tinggi, mampu mempengaruhi klien, yang berstatus lebih rendah dengan timbal balik sumber daya tertentu, merupakan hal yang dapat memunculkan kondisi personalisasi partai.18

Sistem politik, kepartaian dan pemilu juga menjadi faktor lain yang dapat memfasilitasi terjadinya personalisasi politik pada partai. Samuels menyatakan bahwa presidensialisme adalah sistem politik yang mendorong terjadinya personalisasi partai, karena menjadikan individu elite sebagai tumpuan harapan publik dan bukan pada institusi partai. Situasi ini berbeda dengan sistem parlementer yang menekankan pada pentingnya peran partai dalam berbagai aspek kehidupan politik.19 Firman Noor menambahkan bahwa presidensialisme ini semakin buruk bagi personalisasi partai ketika dikombinasikan dengan sistem pemilu langsung.20 Dalam mekanisme pemilu langsung, individu capres dipilih langsung oleh publik sehingga tidak semata-mata bergantung terhadap partai politik. Karenanya, posisi individu capres menjadi lebih sentral dibandingkan partai dalam pemilu presiden langsung.

Sistem kepartaian menjadi faktor lain yang juga berpengaruh. Berdasar pada apa yang berlangsung di Indonesia pada era reformasi,

16 R. A. W. Rhodes dan Paul T Hart, The Oxford Handbook of Political Leadership (Oxford, UK: Oxford University Press, 2014), hlm. 369-340.

17 Jean Blondel dan Jean-Louis Thiebault, Political Leadership, Parties and Citizens: The Personalisation of Leadership (New York: Routledge, 2010), hlm. 30.

18 James Scott, “Patron-Client Politics and Political Change in Southeast Asia,” The American Political Science Review 66, no. 1, (1972), hlm.92.

19 David J. Samuels, “Presidentialized Parties: The Separation of Powers and Party Organization and Behavior,” Comparative Political Studies 35, no. 4, (2002), hlm. 462-463, 471, 480-481.

20 Firman Noor, “Menimbang Masa Depan Sistem Presidensial di Indonesia Problematika Demokrasi dan Kebutuhan Perbaikan Sistemik,” dalam Sistem Presidensial dan Sosok Presiden Ideal, ed. Moch. Nurhasim dan Ikrar Nusa Bhakti (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), hlm. 56.

Page 182: KONSTELASI POLITIK DI TAHUN ELEKTORAL

294 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 15 No. 2 Desember 2018 | 289–306

Hanta Yudha melihat sistem multipartai berkontribusi dalam melahirkan banyak figur yang kemudian berpengaruh kuat pada partai. Situasi ini berlangsung karena konvergensi politik akibat masifnya perpecahan partai dan kelahiran partai baru. Secara sederhana, sistem multipartai dianggap memberikan peluang yang besar bagi individu elite untuk mendirikan partai baru dan menguasainya.21 Pendirian partai kemudian menjadi bersifat top-down, karena didasarkan pada kehendak elite partai bukan karena gagasan kelompok di dalam masyarakat.22

Peluang pendirian partai baru yang terbuka dalam sistem multi partai membuat personalisasi partai semakin menjadi-jadi diakibatkan juga oleh biaya pembentukan partai saat ini yang sangat mahal, dimana partai harus memiliki kepengurusan dari tingkat nasional sampai daerah. Pihak yang sangat mungkin mendirikan partai adalah individu-individu elite yang memiliki sumber daya material dan finansial. Faktor sumber pendanaan ekonomi menjadi hal yang akan memengaruhi terbentuknya personalisasi politik pada partai karena si pemilik modal lah yang kemudian menjadi tokoh sentral partai dan menjadi sangat berpengaruh terhadap partai. Mauro Calise juga menjelaskan bahwa aspek finansial ini menjadi salah satu sumber terbentuknya kultur patronase di dalam partai, yang lambat laun mendorong terbentuknya partai personal. 23

Dampak Personalisasi Partai PolitikBerangkat dari teori pendahulu, personalisasi partai dapat berdampak pada partai politik, sistem kepartaian dan politik kenegaraan. Menurut Zheng Yongnian, ada dua dampak yang dapat ditimbulkan oleh personalisasi partai. Pertama,

21 Sejak reformasi berlangsung tahun 1999, Indonesia menerapkan sistem multipartai ekstrim, atau secara teori disebut oleh Sartori sebagai sistem pluralisme ekstrim, dimana sistem partai memiliki lebih dari lima partai politik. Tidak ada pembatasan jumlah pendirian partai politik di Indonesia pada era. Hal ini berbeda dengan Orde Baru yang membatasi jumlah sistem multipartainya hanya tiga partai. Lihat: Giovanni Sartori, Parties and Party Systems (Colchester, UK: The European Consortium for Political Research (ECPR), 2005), hlm. 111.

22 Chris Manning dan Peter Van Diermen, Indonesia di Tengah Transisi (Yogyakarta: LkiS, 2000), hlm. 314.

23 Mauro Calise, (2015), hlm.305.

kepemimpinan partai yang kuat akan berdampak pada kondisi partai politik yang lemah karena segala kegiatan partai ditujukan bukan untuk kepentingan publik, melainkan kepentingan elite pimpinannya. Kedua, besarnya kekuasaan elite atas partai akan berdampak pada lemahnya peran dan posisi negara. Hal ini karena partai politik memiliki peran penting dalam proses pembuatan kebijakan negara, sehingga personalisasi partai pada akhirnya akan berakibat pada melemahnya fungsi negara untuk melindungi rakyatnya. Sebaliknya, negara justru akan dimanfaatkan untuk mengelola kekuasaan satu orang elite saja.24

Berkaca dari pengalaman di tiga Negara Skandinavia, termasuk Denmark, Norwegia, dan Swedia di akhir abad XX., Blondel menilai bahwa personalisasi partai akan berakibat pada melemahnya sistem partai politik. Hal ini karena partai kemudian akan menghadapi persoalan persoalan patronase dan klientelistik.25 Personalisasi parpol ini juga bertolak belakang dengan upaya melembagakan sistem kepartaian karena manajemen partai cenderung dijalankan secara tidak demokratis dan independen terhadap individu elite. Padahal, sesuai teori sistem kepartaian Mainwaring dan Scully, sistem kepartaian yang terlembaga mensyaratkan partai terkelola secara profesional, bergantung pada sistem demokratis yang ajeg dan tidak dikuasai oleh hanya elitenya.26

Dinamika Kepemimpinan Partai Politik di Indonesia: Perspektif SejarahMembicarakan persoalan kepemimpinan partai politik di Indonesia sebelum era reformasi dapat ditelaah dari dua periode waktu berbeda, yakni Orde Lama dan Baru. Ada perbedaan pola yang mencolok dari dua kurun waktu tersebut. Pada masa Orde Lama, ideologi memegang peranan yang penting di dalam

24 Zheng Yongnian, The Chinese Communist Party as Organizational Emperor (Oxon OX: Routledge, 2010), hlm. 89-90.

25 Blondel dan Thiebault, Political Leadership, hlm. 33.

26 S. Mainwaring & T. R. Scully, Building Democratic Institutions: Party Systems in Latin America (Stanford, CA: Stanford University Press, 1995), hlm. 4.

Page 183: KONSTELASI POLITIK DI TAHUN ELEKTORAL

Personalisasi Partai Politik di Indonesia Era Reformasi | Aisah Putri Budiatri, dkk | 295

masyarakat dan partai politik. Partai politik saat itu menggunakan ideologi sebagai daya tarik untuk mendapatkan dukungan konstituen. Karenanya, mereka mengimplementasikan ideologi ke dalam kebijakan pemerintahannya. Sementara di era pemerintahan Orde Baru, penguasa memberlakukan sistem kepartaian hegemoni. Artinya, pemerintah yang berkuasa menggunakan kekuatan politiknya untuk melemahkan partai melalui berbagai kebijakan. Misalnya, rezim menggunakan mesin birokrasi untuk memenangkan partai tertentu dan mengatur perolehan suara dalam pemilu. Akibatnya, bisa dipastikan bahwa Golkar, sebagai sumber kekuatan politik Suharto saat itu, selalu mampu mengungguli PPP dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI).

Jika dirunut lebih jauh sebelum masa orde lama, personal pemimpin partai sangat menonjol hingga menjadikan partai bergantung pada pemimpinnya. Namun, hal ini tidak menjadikan partai sampai terpersonalkan karena besarnya tekanan kolonial kepada pemimpin partai menjadikan mereka fokus pada perjuangannya pada cita-cita membebaskan Indonesia dari penjajahan. Setelah merdeka, pemimpin partai masih berperan sangat kuat terhadap partai, namun di sisi lain, ideologi juga memegang posisi yang kuat di dalam partai. Ideologi yang menguat setelah sempat dihambat perkembangannya oleh pemerintah kolonial menjadi kunci bagi partai untuk menarik dukungan konstituen. Karenanya, partai pada era ini (hingga tahun 1965) terbelah dalam garis ideologi yang jelas. Misalnya, Partai Sosialis Indonesia (PSI) yang berbasis sosialisme, Partai Komunis Indonesia (PKI) dengan komunisme, dan Partai Nasional Indonesia (PNI) yang berpijak pada nasionalisme merupakan partai yang berada dalam kubu partai-partai nasionalis. Sementara itu, di kubu partai berbasis agama ada Partai Masyumi dan Nahdlatul Ulama (NU).

Meskipun berbasis ideologi yang kuat, partai politik era Orde Lama terjangkit kultur patronase, dimana pimpinan partai menjadi patron atas anggota dan simpatisan partai. Pimpinan partai tidak hanya sebagai pendiri partai, tapi juga sebagai pengembang ideologi dan penentu arah kebijakan partai. Hal ini hampir

terjadi di semua partai. Meskipun demikian, pada PSII dan Perti ada kekhasan lain dalam dinamika kepemimpinannya. Kedua partai ini lebih paternalistik karena posisi strategis partai tak hanya dikuasai satu elite pimpinan saja tetapi oleh anggota partai yang memiliki hubungan keluarga dengan pimpinan partai. Dalam kasus PSII, kepemimpinan partai juga dipengaruhi oleh wibawa tradisional. Wibawa tradisional ini, jika dikaitkan dengan konsep Ansell dan Fish27, dapat dikategorikan ke dalam tipe pemimpin karismatik. Pemimpin karismatik juga mewarnai kepemimpinan Sukarno di PNI.

Pascaberakhirnya Orde Lama, pengaruh ideologi terhadap partai semakin melemah akibat adanya kebijakan fusi dan implementasi undang-undang yang bertujuan untuk memperkuat mesin politik penguasa, Golkar, pada era Orde Baru. Partai politik juga dipaksa mengganti ideologinya dengan ideologi Pancasila. Sementara itu, Golkar yang dinyatakan oleh Pemerintah Soeharto sebagai bukan partai politik, kemudian dijadikan sebagai mesin politik yang selalu mengalahkan dua partai lainnya dalam pemilu. Golkar bersama-sama dengan militer dan birokrasi menjadi sumber kekuasaan Soeharto. Sistem partai hegemoni ini tidak mendukung terjadinya personalisasi partai politik, kecuali partai politik penguasa.

Presidensialisme, Sistem Pemilu, Sistem Kepartaian dan Personalisasi Partai Secara teoretis, pilihan sistem politik akan menentukan berlangsung tidaknya personalisasi politik. Dalam konteks relasi antara sistem presidensial dengan personalisasi partai, ada tiga karakteristik pada presidensialisme yang dinilai mampu mendorong terbentuknya personalisasi. Pertama, presidensialisme menitikberatkan kekuatan politik pada individu bukan institusi politik, termasuk partai.28 Kedua, sistem

27 Christopher K. Ansell dan M. Steven Fish, “The Art of Being Indispensable Noncharismatic Personalism in Contemporary Political Parties,” Comparative Political Studies, vol. 32, no. 3, (1999): 287-289.

28 Juan J. Linz, Democracy: Presidential or Parliamentary: Does it Make a Difference, makalah tidak dipublikasikan, 1985, hlm. 4; Croissant dan Merkel, “Political Party Formation,” 6; Juan J. Linz, “The Perils of Presidentialism,” Journal of Democracy, 1, no. 1, (1990), hlm. 69.

Page 184: KONSTELASI POLITIK DI TAHUN ELEKTORAL

296 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 15 No. 2 Desember 2018 | 289–306

presidensial menekankan pada pentinya proses pemilihan presiden, bukan pemilihan anggota legislatif; sehingga, partai pada akhirnya berfokus pada memenangkan calon presidennya agar mendapatkan sumber daya dan dukungan politik yang kuat.29 Ketiga, presidensialisme, terutama yang dikombinasikan dengan pemilihan langsung, mendorong munculnya sosok populer dan kharismatik yang menarik perhatian publik untuk memenangkan kekuasaan politik dalam pemilu.30 Ketiga hal ini menjadikan peluang partai menjadi personal begitu kuat akibat difasilitasi oleh penerapan sistem presidensial.

Tiga karakteristik presidensialisme yang mendorong personalisasi terjadi secara nyata di Indonesia. Pada masa sebelum era reformasi, presidensialisme menjadi faktor kuat mengapa Soekarno dan Soeharto mampu mempersonalisasikan dunia politik Indonesia di masa lalu. Presiden dapat bekerja secara otonom dan independen tanpa harus bergantung dengan partai atau parlemen dalam membuat kebijakan dan keputusan politiknya. Kasus penyederhanaan partai oleh Soekarno, yakni melalui Penetapan Presiden No. 7 Tahun 1959 tentang Syarat-Syarat dan Penyederhanaan Kepartaian, dan oleh Soeharto melalui kebijakan fusi partainya pada tahun 1975, memperlihatkan bagaimana personalisasi dunia politik di Indonesia pada saat itu.

Personalisasi yang berlangsung pada masa sebelum era reformasi menjangkit kehidupan politik dalam kerangka yang luas, sementara pada masa kini, personalisasi secara khusus menghinggapi partai-partai politik. Artinya, saat ini personalisasi berlangsung di dalam tubuh partai. Hal ini karena pascareformasi, peran partai politik menguat dan dikombinasikan dengan sistem presidensial yang juga diperkuat. Partai politik menjadi satu-satunya kendaraan politik yang terlegitimasi, dimana semua calon presiden wajib diusung oleh partai. Akibatnya, personalisasi kemudian tidak hanya dapat dilakukan oleh presiden yang berkuasa, tetapi oleh banyak individu elite yang mau menjadi presiden. Personalisasi partai kerap dilakukan

29 Croissant dan Merkel, “Political Party Formation..,,” hlm. 6; Kitschelt, “Formation of Party..,,” hlm. 452.

30 Croissant dan Merkel, “Political Party Formation..,,” hlm. 10.

oleh individu elite agar mereka kemudian dicalonkan oleh partai sebagai kandidat presiden.

Pada era reformasi ini, ada dua bentuk pola personalisasi partai yang terbentuk akibat adanya dua bentuk pemilihan presiden yang berlaku, yakni pemilihan tidak langsung dan langsung. Pola ini terbagi karena model pemilihan presiden mau tak mau akan berpengaruh pada strategi partai memenangkan kandidatnya dalam pemilu. Pada Pilpres 1999, proses pemilihan secara tidak langsung mendorong partai membuat koalisi partai anggota parlemen untuk mampu memenangkan pilpres. Dampaknya, tokoh kuat yang muncul dalam politik Indonesia saat itu tidak hanya calon presiden saja tetapi juga aktor yang terlibat di balik pembuatan koalisi partai, yakni Megawati, Gus Dur dan Amien Rais.

P e r s o n a l i s a s i m e n j a d i s e m a k i n menguat, khususnya personalisasi partai, pascaditerapkannya pilpres langsung. Karena pemilihan ditentukan oleh rakyat, maka setiap elite politik merasa memiliki peluang menjadi presiden. Akibatnya, setiap partai terdorong untuk mencalonkan tokoh sentralnya yang populer dan berkarisma dalam pemilu (lihat tabel 1). Mereka tidak lagi melakukan rekrutmen dan seleksi kandidat karena berasumsi dengan popularitas tokoh sentralnya dan kerja keras partai akan dapat memenangkan pemilu.31Pemberlakuan pilpres langsung juga berdampak pada munculnya fenomena pembentukan partai baru oleh elite partai yang populer dan berfinansial kuat dengan tujuan agar partainya kemudian menjadikan ia sebagai kandidat presiden. Hal ini dicontohkan pada kasus digagasnya Partai Demokrat oleh SBY yang kemudian sukses menjadikannya presiden dua periode berturut-turut. Selain SBY dan demokrat, ada juga Partai Gerindra yang didirikan oleh Prabowo, Partai Hanura oleh Wiranto, dan Partai Nasdem oleh Surya Paloh. Semua tokoh sentral tersebut digadang-gadang menjadi capres, meskipun pada akhirnya hanya SBYdan Prabowo yang sungguh-sungguh pernah berkompetisi di dalam Pilpres (lihat tabel 1).

Selain terkait dengan sistem pemilu langsung atau tidak langsung, beberapa aturan terkait

31 Hanya pencalonan Jokowi pada Pilpres 2014 yang dapat dikatan sebagai pengecualian, karena ia bukan tokoh sentral PDIP, partai yang mencalonkannya.

Page 185: KONSTELASI POLITIK DI TAHUN ELEKTORAL

Personalisasi Partai Politik di Indonesia Era Reformasi | Aisah Putri Budiatri, dkk | 297

dengan sistem pemilu juga mempengaruhi kemunculan personalisasi partai. Persoalan luasnya daerah pemilihan, model pencalonan, model pemungutan suara dan ketentuan mengenai calon terpilih telah membuat partai mempertimbangkan hal-hal yang sifatnya pragmatis. Partai menjadi pragmatis karena seperangkat mekanisme di dalam sistem pemilu mendorong partai untuk melihat kapasitas modal, popularitas atau kharisma dalam penentuan calon di dalam pemilu, baik itu pemilu legislatif maupun untuk pemilihan presiden dan kepala daerah. Hal ini secara langsung maupun tidak akan mendorong partai terjebak dalam personalisasi politik. Misalnya, penerapan formula daerah berwakil banyak (multi member constituency) yang dikombinasikan dengan penetapan daerah pemilihan (dapil) yang luas menjadikan perebutan kursi di DPR RI menjadi sulit dan mahal. Para caleg partai harus mampu menjangkau wilayah luas, sampai beberapa kabupaten/kota, bahkan bisa saja satu wilayah provinsi. Padahal, semakin luas dapil berarti semakin mahalnya biaya kampanye. Pada akhirnya, situasi ini menjadikan partai semakin bergantung pada individu elite yang secara finansial mampu membiayai partai.

Selain sistem pemilu, sistem kepartaian menjadi faktor lain yang turut berkontribusi mendorong kecenderungan partai politik pada era reformasi menjadi partai personal. Pemberlakuan sistem multipartai yang membuka peluang pendirian partai secara bebas turut memfasilitasi terbentuknya personalisasi partai. Hal ini karena semakin banyaknya partai yang berkuasa akan mendorong semakin sulitnya kompetisi antarpartai. Agar menang dalam kontestasi pemilu, maka partai membutuhkan vote getter dan kemampuan finansial yang kuat. Karenanya, partai mengambil jalan pintas dengan mengandalkan elite yang berkharisma sekaligus mampu membiayai partai. Individu elite tersebut sangat mungkin kemudian membentuk dirinya menjadi patron di dalam partai, sehingga anggota-anggota partai pun menjadi bergantung padanya. Akibatnya, partai pada akhirnya menjadi lebih berbasis pada individu elite dibandingkan ideologi ataupun program partai. Dengan situasi ini, personalisasi partai menjadi tak terhindarkan.

Sistem multipartai juga mengandung persoalan lain bagi personalisasi partai yakni pemberian peluang bagi elite beruang untuk mendirikan partai baru. Dalam hal ini, partai tidak lagi didirikan berdasarkan aspek ideologis dan untuk menyarlukan aspirasi kelompok masyarakat luas, tetapi untuk kepentingan sempit elite politik. Partai, misalnya, didirikan hanya sebagai kendaraan politik bagi individu elite untuk mencalonkan diri di dalam pilpres. Di satu sisi, hal ini bisa memunculkan tokoh-tokoh alternatif baru dalam politik Indonesia, tetapi di sisi lain akan berpotensi memperkuat personalisasi partai.

Sistem kepartaian yang belum terlembaga di Indonesia saat ini juga mendorong lahirnya personalisasi. Tidak terlembagannya sistem kepartaian akibat sistem manajemen partai yang tidak bersifat ajeg dan segala keputusan masih bersifat sentralistis berkontribusi pada lahirnya personalisasi partai politik. Sistem kepartaian yang belum terlembaga ini juga memberikan peluang bagi individu elite untuk memainkan pengaruhnya secara luas terhadap partai dan mampu membuat kebijakan partai atas dasar kepentingan pribadinya. Partai akhirnya tidak lagi berbasis pada program, tetapi bersandar pada faktor ketokohan.

Partai Islam dan Personalisasi di Era ReformasiPartai Islam tak luput dari persoalan personalisasi partai politik. Beberapa figur populer dan berpengaruh muncul dalam narasi kepemimpinan partai. Figur ini, di satu sisi membantu partai mendapatkan dukungan suara, namun di sisi lain menjadikan partai mengalami ketergantungan pada ketokohan mereka. Ada dua partai Islam yang memperlihat atau setidaknya pernah memperlihatkan adanya fenomena personalisasi partai, yakni PKB yang lekat identitasnya dengan Gus Dur dan PAN yang melekat dengan Amien Rais. Personalisasi pada kedua partai ini dipengaruhi oleh beberapa faktor di antaranya: relasi historis pendirian partai, karisma, patronase, serta institusionalisasi yang rapuh.

Page 186: KONSTELASI POLITIK DI TAHUN ELEKTORAL

298 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 15 No. 2 Desember 2018 | 289–306

Faktor sejarah pendirian partai oleh pemimpin yang berkarisma menjadi hal penting yang menyebabkan personalisasi politik berlangsung di dalam partai.32 Pemimpin yang berkarisma selain mampu menjaga kontinuitas sejarah partai juga mampu memobilisasi suara bagi partai dalam pemilihan umum.33 Dalam definisi Weber, karisma merujuk pada karunia seseorang yang terkait dengan pengabdian kepada kesucian, kepahlawanan, atau karakter teladan seseorang yang luar biasa, dan pola normatif atau perintah yang diturunkan atau ditahbiskan olehnya.34 Seorang tokoh berkarisma akan mampu menarik perhatian publik, sekaligus menjadi tokoh yang didengar partai. Lambat laun tokoh karismatik ini akan menjadi identitas partai, seperti halnya yang terjadi di PAN dan PKB.35

Gus Dur sebagai pendiri PKB dan Amien Rais sebagai pendiri PAN merupakan tokoh berkarisma yang kemudian menjadi tokoh sentral dan mampu mempersonalisasikan partainya. Gus Dur selain menjadi pendiri partai juga berkedudukan sebagai penarik massa setia bagi PKB. Gus Dur, sebagai keturunan Kiai NU, memiliki banyak pengikut dari kalangan Nahdliyin, sehingga ia menjadi penarik dukungan bagi PKB saat pemilu. Ia kemudian menjabat sebagai Ketua Umum Dewan Syuro PKB yang dapat mempengaruhi seluruh kebijakan partai.36 Ia, misalnya, menjadi penentu siapa yang menjadi ketua umum partai (Dewan Tanfidz). Penentuan posisi ketua umum pada akhirnya

32 Menurut Panebianco dalam Biezen (2003), struktur genetik partai dinilai paling menentukan dalam perkembangan organisasi partai politik. Selanjutnya lihat: Inggrid van Biezen, Political Parties in New Democracies Party Organization in Southern and East-Central Europe (Hampshire and New York: Palgrave Macmillan, 2003), hlm. 16; Calise, “The Personal Party.., hlm. 301–315

33 Olli Hellmann, Political Parties and Electoral Strategy The Development of Party Organization in East Asia (Hampshire and New York: Palgrave Macmillan, 2011), hlm. 126.

34 Ulla Fionna, “The Trap of Pop-Charisma for the Institutionalization of Indonesia’s Post-Suharto Parties,” Asian Journal of Political Science, 2016.

35 Robert Harmel and Lars Svasand, “Party Leadership and Party Institutionalisation: Three Phases of Development,” West European Politics, 16, no. 2, (2007): 67-88.

36 Firman Noor, Perpecahan dan Soliditas Partai Islam di Indonesia: Kasus PKB dan PKS di Awal Reformasi, (Jakarta: LIPI Press, 2015).

lebih bergantung pada pertimbangan personal dan koneksi askriptif dan loyalitas pada patron daripada pertimbangan merit. Orang-orang yang loyal pada Gus Dur dapat mencapai posisi puncak dalam kepemimpinan partai dengan mudah dan cepat, seperti halnya yang terjadi pada Matori Abdul Djalil dan keponakannya Muhaimin Iskandar. 37

Situasi serupa PKB juga terjadi di PAN, dimana Amien Rais yang merupakan deklarator partai dan ketua umum pertama menjadi sangat berpengaruh bagi partai.38 Amien Rais sebagai tokoh Muhammadiyah sekaligus pendiri partai secara tidak langsung telah merekatkan organisasi Islam ini dengan PAN. Karenanya, Amien menjadi penarik dukungan kuat bagi partai khususnya dari kalangan kader Muhammadiyah.39 Amien menjadi tokoh yang sangat kuat di PAN, tak hanya saat ia menjadi ketua partai namun juga setelah ia melepaskan jabatan itu. Ia sangat berpengaruh dalam segala pembuatan kebijakan partai, termasuk ketika penentuan pemimpin PAN. Restu Amien menjadi yang menentukan dalam keterpilihan Ketua Umum PAN, baik itu pada keterpilihan Soetrisno Bachir untuk periode 2005-2010, Hatta Rajasa pada tahun 2010, maupun Zulkifli Hasan pada tahun 2015. 40

Personalisasi politik yang kuat pada PKB dan PAN cenderung tidak cukup terlihat pada PKS dan PPP. PKS tidak dibangun dengan figur elite yang personal dan berkharisma tetapi oleh basis kedisiplinan maupun ideologi 37 Kikue Hamayotsu, The End of Political Islam? A Comparative Analysis of Religious Parties in the Muslim Democracy of Indonesia, Journal of Current Southeast Asian Affairs, 3 (2011): 133-159.

38 “Menjaga Sinar Politik Sang Matahari,” Harian Kompas, (Jakarta), 2 Maret 2015.

39 Eunsook Jung, “Islamic Organizations and Electoral Politics in Indonesia: the Case of Muhammadiyah,” South East Asia Research, 22, no. 1: 73–86.

40 Bastian Nainggolan dan Yohan Wahyu, Partai Politik Indonesia 1999-2019: Konsentrasi dan Dekonsentrasi Kuasa (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2016), hlm. 171; “Menjaga Sinar Politik Sang Matahari,” Harian Kompas, (Jakarta), 2 Maret 2015. Lihat juga Sandra Amalia dan Ridho Imawan Hanafi, “Masa Depan PAN: Merawat Stabilitas Dukungan di Pemilu,” dalam Masa Depan Partai Islam di Indonesia: Studi tentang Volatilitas Elektoral dan Faktor-Faktor Penyebabnya, ed. Moch. Nurhasim (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2016), hlm. 129-131.

Page 187: KONSTELASI POLITIK DI TAHUN ELEKTORAL

Personalisasi Partai Politik di Indonesia Era Reformasi | Aisah Putri Budiatri, dkk | 299

organisasi.41 Terdapat struktur organisasi yang bisa menahan lebih jauh individu-individu elite partai agar tak mampu mempersonalkan partai. Meskipun ada juga spekulasi bahwa Hilmi Aminuddin berhasil menjadi tokoh yang sangat pengaruh bagi PKS pasca-Pemilu 2004.42 Di kalangan internal, Hilmi dinilai sebagai sosok yang powerful, tetapi dinamika organisasi pada akhirnya tetap berlangsung dinamis.43 Absennya personalisasi partai juga berlangsung di PPP. Pada era reformasi ini, tak ada satu orang figur kuat yang mampu mendominasi partai dalam jangka waktu yang lama, apalagi menjadi patron atau image bagi PPP.44 Ada banyak figur yang berpengaruh dalam partai namun tak cukup kuat untuk mampu mempersonalkan partai. Beragamnya elite internal itu ditambah dengan situasi partai yang belum sepenuhnya terlembaga justru memicu konflik internal antartokoh elite itu rentan terjadi.45 Beberapa konflik internal PPP yang pernah terjadi di antaranya: konflik antara kubu Hamzah Haz dengan kubu Zainuddin MZ; konflik antara kubu Suryadharma Ali dan Romahurmuziy; serta konflik antara Romahurmuziy dengan Djan Faridz.

Berangkat dari pengalaman PKB, PAN, PKS dan PPP, terlihat bagaimana derajat pelembagaan partai menentukan terbentuk dan tidaknya personalisasi partai. Lemahnya pelembagaan partai membuka peluang besar bagi terbentuknya 41 Hamayotsu, “The End of Political.., hlm. 133-159.

42 Hamayotsu, “The End of Political.., hlm.133-159.

43 Hamayotsu, “The End of Political.., hlm. 235.

44 Firman Noor, “Leadership and Ideological Bond: PPP and Internal Fragmentation in Indonesia,” Studia Islamika, 23, no. 1, (2016): 61-103.

45 Firman Noor, “Leadership and Ideological Bond.., hlm. 61-103.

partai personal yang menjalankan agenda dan kebijakan partai dengan berpusat pada figur karismatik. Dalam hal ini juga diperlihatkan dengan lemahnya manajemen organisasi seperti peraturan internal yang bisa dijadikan pijakan dalam beberapa keputusan penting partai, maupun dalam menangani perpecahan internal.46 Perbedaan level pelembagaan partai ini yang menjadikan level personalisasi kemudian berbeda antarpartai politik Islam. PKS yang mencoba disiplin dengan aturan dan ideologi partai, misalnya, cenderung terhindar pada personalisasi partai.

Terkait dengan personalisasi partai Islam di Indonesia era reformasi, maka penting dicatat bahwa level personalisasi partai Islam sejak 1999 hingga hari ini tidak bersifat stagnan dan mengalami pasang surut, khususnya pada PKB dan PAN. Tabel 3 menggambarkan kondisi personalisasi pada partai Islam saat ini. Informasi pada tabel tersebut memperlihatkan bahwa PKB dan PAN hari ini tak lagi melekat secara sangat kuat atau kuat pada ketokohan individu. Perubahan ini terjadi setelah partai tak lagi dipimpin oleh Gus Dur (pada PKB) dan Amien Rais (pada PAN).

Sejak mundurnya Gus Dur dari tampuk kepemimpinan partai, personalisasi PKB cenderung melemah. Namun, personalisasi partai cenderung menguat kembali saat Muhaimin memegang kepemimpinan PKB. Hal ini ditandai oleh tersingkirnya kelompok atau faksi yang berseberangan dengan Muhaimin pada saat Muhaimin menjadi ketua partai. Artinya, Muhaimin berhasil membentuk faksi dominan di dalam tubuh PKB dan tampil sebagai orang yang cukup kuat di PKB, terutama setelah dirinya

46 Tan, “Indonesia Seven Years.., hlm. 88-114.

Tabel 3. Indikator Level Personalisasi Partai Politik di Era Reformasi

Keterangan: ++ : Sangat kuat + - : Sedang + : Kuat - : Lemah

Indikator PKB PAN PKS PPP Image tokoh + - + - + - - Dominasi terhadap kebijakan partai + + - - - Vote getter dalam pemilu + - + - - - Ketergantungan pembiayaan partai - - - -

Page 188: KONSTELASI POLITIK DI TAHUN ELEKTORAL

300 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 15 No. 2 Desember 2018 | 289–306

terpilih dalam Muktamar PKB di Surabaya, Jawa Timur, tahun 2014.47

Pada PAN saat ini, pengaruh Amien Rais tidak lah sekuat dahulu seperti saat ia masih menjabat ketua umum. Restunya masih berpengaruh terhadap penentuan siapa calon ketua umum partai, namun ia tidak lagi bersifat sangat menentukan bagi seluruh kebijakan partai seperti dahulu.48 Melemahnya personalisasi partai ini dipengaruhi oleh ketegasan partai untuk menerapkan pembatasan periode kepemimpinan.49 Di tubuh PAN, adanya kesepakatan tak tertulis di internal partai bahwa jabatan ketua umum hanya untuk satu periode cukup mampu meredam munculnya tokoh elite yang dominan dalam periode lama di dalam partai.

Kondisi partai Islam yang saat ini cenderung minimal terpersonalisasi dipengaruhi juga oleh tidak bergantungnya pendanaan partai pada tokoh sentral partai. PKS misalnya, lebih mengandalkan sumbangan dari para anggota atau internal kader mereka dan elite mereka yang duduk dalam eksekutif atau legislatif.50 Hal ini juga terjadi dengan partai-partai Islam lain. Mereka lebih mengandalkan penerimaan dana partai dari iuran anggota mereka (termasuk oleh anggota partai yang menjadi bagian dari lembaga eksekutif dan menjadi anggota parlemen), sumbangan yang dipersyaratkan sesuai regulasi, serta bantuan dari negara.

Partai Nasionalis dan Personalisasi PolitikPada era reformasi, berbagai partai nasionalis muncul lekat dengan image para elite yang mendirikan atau menggagasnya. Hal ini seperti terlihat pada Megawati di PDIP, Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) di Partai Demokrat, Prabowo Subianto di Gerindra, Wiranto di Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura), Surya Paloh di Partai

47 “Muhaimin Terpilih Aklamasi Pimpin PKB,” Harian Kompas (Jakarta), 2 September 2014.

48 Hellmann, Political Parties and Electoral, hlm.127-128.

49 Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga PAN.

50 Burhanuddin Muhtadi, Dilema PKS: Suara dan Syariah (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2012), hlm. 152-153.

Nasional Demokrat (Nasdem). Mereka tidak hanya menjadi pendiri partai, tetapi juga menjadi sosok yang memimpin partai, pengumpul suara dalam pemilu, calon presiden partai, hingga aktor di balik semua kebijakan penting partai. Personalisasi partai jelas nampak menjadi fenomena yang menggejala di tubuh partai nasionalis.

Dibandingkan dengan partai Islam, personalisasi partai nasionalis dapat dikategorikan memiliki kecenderungan personalisasi partai yang lebih kuat pada beberapa partainya. Hal ini diukur dari empat indikator yakni bagaimana tokoh menjadi image partai, dominasi tokoh sentral, individu elite sebagai vote getter partai dan ketergantungan pada tokoh dalam pendanaan partai. Seperti terurai di dalam tabel 4, partai nasionalis menunjukan beberapa indikator di antaranya dalam level kuat dan sangat kuat. Dari tabel tersebut dapat disimpulkan bahwa partai PDIP, Partai Demokrat, dan Partai Gerindra dapat dikategorikan partai dengan personalisasi kuat. Sementara, Partai Nasdem memiliki kecenderungan personalisasi kuat tetapi belum dapat disimpulkan secara utuh karena usia partai yang masih sangat muda. Sementara, Partai Hanura terkategori sedang, meski pada perkembangan terakhirnya belum bisa diprediksikan karena ada suksesi kepemimpinan dari Wiranto ke Oesman Sapta Odang (OSO). Partai Golkar terkategori personalisasi lemah karena kecenderungan yang terjadi pada partai Golkar bukanlah personalisasi melainkan oligarki. Hal yang menjadi catatan penting dalam kasus personalisasi partai nasionalis adalah pola personalisasi yang cenderung bersifat stagnan, atau tidak terlihat dinamika perubahan yang signifikan selama era reformasi seperti berlangsung pada PKB dan PAN yang personalisasinya cenderung melemah.

Page 189: KONSTELASI POLITIK DI TAHUN ELEKTORAL

Personalisasi Partai Politik di Indonesia Era Reformasi | Aisah Putri Budiatri, dkk | 301

Ada beberapa faktor yang menjadi pemicu berlangsungnya personalisasi partai nasionalis, di antaranya sejarah pendirian partai, karisma tokoh, hubungan patronase, dan sumber pendanaan partai. Tokoh sentral yang mempersonalisasikan partai nasionalis umumnya adalah pendiri partai yang kemudian ditetapkan sebagai ketua umum atau menempati jabatan struktural strategis lainnya (lihat tabel 1). Misalnya, Megawati yang mendirikan PDIP, SBY yang menggagas PD, Prabowo yang mendirikan Partai Gerindra, Wiranto yang membentuk Partai Hanura dan Surya Paloh sebagai pendiri Partai Nasdem. Hampir dari semua nama-nama pendiri-pendiri partai tersebut adalah juga ketua umum partai. Yang menarik, selain menjadi pendiri partai, mereka juga merupakan kandidat presiden dalam pemilu yang biasanya terpilih secara aklamasi oleh partai. Hal ini karena partai didirikan oleh para elite politik untuk dijadikan sebagai media kandidasi mereka dalam pemilu. PD, Partai Gerindra, Hanura dan Nasdem adalah partai-partai dengan motif pendiriannya untuk mengusung para tokoh sentral dalam pilpres.

Selain itu, karisma yang dimiliki oleh para tokoh sentral menjadi salah satu latar belakang mengapa personalisasi politik pada partai terjadi. Kepemimpinan karismatik diklaim dimiliki oleh masing-masing ketua umum partai politik, diantaranya termasuk Megawati, SBY, dan Prabowo. Bagi para kader, para pemimpin partai tersebut memiliki karisma yang kuat sehingga akhirnya terbentuk fanatisme atas kepemimpinan mereka. Sebagai contoh, bagi kader Partai Demokrat, SBY adalah pimpinan berkarisma yang menjadi teladan dalam berdemokrasi.

SBY juga dianggap sebagai tokoh yang dapat memimpin dan menyatukan Partai Demokrat. Hal ini terlihat saat Anas Urbaningrum menjadi Ketua Umum Partai Demokrat hingga akhirnya menjadi tersangka korupsi, Partai Demokrat terancam perpecahan internal. Namun, SBY berhasil mengambil alih kepemimpinan dan menjadikan partai tetap utuh dan berfungsi. Hal yang sama terjadi juga di PDIP, dimana Megawati diyakini kuat oleh kadernya sebagai pemimpin partai yang berkarisma dan merupakan penyebab partai tetap solid. Hal ini irasional, namun terjadi.

Aspek penting lainnya yang melatarbelakangi personalisasi partai adalah sumber pendanaan partai . Besarnya kebutuhan dan biaya yang dibutuhkan untuk menjalankan partai menyebabkan partai harus mencari berbagai sumber pendanaan. Pada partai nasionalis, tokoh sentral partai memegang pengaruh penting posisi penting sebagai sumber pendanaan partai. Hal ini pulalah yang menyebabkan partai menjadi sangat bergantung pada individu elite tersebut. Kultur patronase pun menjadi penjelas lain mengapa tokoh sentral dapat menguasai partai, yakni karena ia memainkan peran sebagai patron dari para anggota partainya. Hal ini memberi ruang bagi tokoh partai untuk melanggengkan kekuasaannya atas partai, dan pada akhirnya menguatkan personalisasi partai.

Kasus bagaimana pengaruh sumber pendanaan oleh tokoh sentral terhadap personalisasi terlihat cukup kentara pada Partai Gerindra dan Nasdem. Prabowo pada Gerindra dan Surya Paloh pada Nasdem merupakan sumber finansial terbesar bagi partai, walau tak dipungkiri ada sumber lain seperti sumbangan

Tabel 4. Indikator Level Personalisasi Partai Politik di Era Reformasi

Keterangan: ++ : Sangat kuat + - : Sedang + : Kuat - : Lemah

Indikator PDIP Golkar Demokrat Gerindra Nasdem Hanura Image tokoh + + - - + + + + + + + - Dominasi terhadap kebijakan partai

+ + + - + + + + + + + -

Vote getter dalam pemilu + + - + + + + - - Ketergantungan pembiayaan partai

+ - + - + - + - + - + -

Page 190: KONSTELASI POLITIK DI TAHUN ELEKTORAL

302 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 15 No. 2 Desember 2018 | 289–306

dan iuran anggota partai. Berbeda dengan Partai Gerindra dan Nasdem, pendanaan Partai Hanura tidak sepenuhnya bersumber dari Wiranto. Namun, pendaan partai dipikul oleh Wiranto dengan memanfaatkan jaringan sosialnya; baru setelah, OSO menjadi pemimpin baru Partai Hanura, maka banyak alokasi finansial untuk kebutuhan partai bersumber dari ketua partai. Pada Partai Golkar, seorang figur dapat menjadi yang paling berpengaruh di dalam partai tidak hanya karena ia mendanai segala kebutuhan partai, tetapi juga karena mampu memenangkan “munas” atau suksesi kepemimpinan di internal partai golkar berkat seluruh modal kapital (termasuk finansial) yang ia miliki.51 Berbeda dengan partai nasionalis lainnya, Partai Demokrat dan PDIP cenderung tidak bergantung secara penuh pada tokoh sentral, melainkan secara bersama dibebankan pada pengurus dan anggota partai, yang terutama telah memegang tampuk kekuasaan di pemerintahan atau di lembaga legislatif.

Dampak Personalisasi Partai Terhadap Pelembagaan Partai Politik dan DemokrasiPersonalisasi politik pada partai, sebagai sebuah proses individualisasi yang memengaruhi seluruh proses kerja di dalam partai politik,52 akan berdampak kepada internal sekaligus eksternal partai. Adapun dampak internal yang disebabkannya dapat menguntungkan di satu sisi dan merugikan di sisi lainnya. Dampak menguntungkan tersebut di antaranya adalah: (1) menghindari konflik internal partai; (2) stabilitas internal partai; (3) memperpendek rentang kendali partai; (4) memperpanjang usia partai--dengan adanya tokoh yang kuat, partai bisa lolos pemilu dan memperoleh dukungan politik; dan (5) pada tahap akhirnya akan tercipta kohesi

51 Meutya Hafid dalam FGD “Personalisasi Partai Politik Era Reformasi, yang diadakan oleh P2P-LIPI di Jakarta, 28 Agustus 2017.

52 Pengertian ini diadopsi dari pengertian personalisasi politik yang dikemukakan oleh Bauman, 2001 di mana personalisasi politik diartikan sebagai bagian dari proses secara menyeluruh dari proses individualisasi kehidupan sosial. Dalam konteks ini personalisasi partai dapat dimaknai sebagai gejala adanya proses individualisasi di dalam partai politik.

partai. Sayangnya, dampak-dampak positif ini hanya bersifat semu atau sementara.

Jika dikaitkan dengan perkembangkan partai politik yang disebut oleh Harmel dan Svåsand, maka pada tahap awal perkembangan partai, figur yang kuat dan kokoh memang diperlukan untuk membangun partai. Apalagi bagi pola kepartaian di Indonesia yang bersifat catch all parties, dan bukan partai kader. Oleh karena hadirnya tokoh sentral membawa dampak positif sebagai pembeda antar partai dan penting bagi perkembangan partai. Namun, hal ini hanya bersifat semu dan sementara saja. Dalam jangka panjang, kehadiran figur itu dapat menimbulkan ketergantungan partai yang sangat kuat terhadap tokoh sentral tersebut.

Pada partai yang proses pendiriannya bergantung pada sesosok tokoh/individu dan keluarga, disertai juga dengan adanya ketergantungan pendaanan partai, maka kepemilikan partai menjadi mengarah pada individu, keluarga atau korporasi. Ketergantungan ini menyebabkan dampak negatif, karena partai bukan saja “dikooptasi,” tetapi bekerja atau tidaknya organisasi partai juga bergantung dari kekuatan ekonomi dan finansial yang memimpinnya. Pola kepempinan partai yang menonjolkan pada ketokohan satu individu elite ini akan merugikan partai karena menyebabkan de-institusionalisasi partai politik. Kelembagaan partai politik tergerus karena hampir pasti organisasi dan manajemen partai tak berjalan baik.

Selain itu, partai juga rentan mengalami pembelokan ideologis. Pembelokan ideologis ini terjadi karena yang kemudian berhak menafsirkan ideologi partai adalah hanya tokoh sentral dan lingkarannya, sementara kader-kader partai yang mungkin potensial—tidak dapat berkontribusi bagi perkembangan ideologi partai. Akibatnya, monopoli identitas partai pun terjadi karena ideologi partai dianggap sebagai “warisan” para tokoh sentral, hingga hanya mereka yang berhak menafsirkan dan meneruskannya. Dampak lebih buruknya adalah adanya kematian ideologi partai karena partai digerakan oleh kekuatan figur/orang dan bukan oleh kekuatan ide atau gagasan.

Tidak hanya berdampak pada internal partai politik, personalisasi partai juga dapat

Page 191: KONSTELASI POLITIK DI TAHUN ELEKTORAL

Personalisasi Partai Politik di Indonesia Era Reformasi | Aisah Putri Budiatri, dkk | 303

menimbulkan efek pada politisasi sistem politik dan memengaruhi kualitas jalannya pemerintahan. Politisasi sistem politik, dalam hal ini, diartikan sebagai suatu kondisi ketika kepentingan individu, pemimpin, keluarga, kerabat, dan korporasi mendominasi dan menguasai proses-proses kandidasi jabatan-jabatan publik secara luas dalam tubuh eksekutif dan legislatif, serta jabatan-jabatan strategis lainnya. Salah satu bentuk dari politisasi politik ini adalah dinasti politik. Dinasti politik di Indonesia saat ini menguat tak hanya di partai tetapi juga di jabatan-jabatan publik yang dipilih melalui pemilu maupun tidak. Yang masuk di dalam dinasti politik ini umumnya mereka yang menjadi elite partai, khususnya yang ada dalam lingkaran tokoh sentral partai. Tak dimungkiri, hal ini kemudian memengaruhi kualitas pemerintahan yang cenderung berbasis pada kepentingan elite, bukan lagi publik.

Salah satu aspek terdampak dari personalisasi partai adalam konsolidasi demokrasi di Indonesia. Sebelum lebih jauh membahas demokrasi Indonesia, personalisasi partai jelas akan menjadi pembahambat terwujudnya demokrasis internal partai. Pembuatan kebijakan partai yang condong diputuskan atau dipengaruhi secara kuat oleh kehendak dan kepentingan elite partai menandakan mekanisme demokrasi tidak dijalankan partai. Yang menarik, hal ini justru diperkuat dengan Undang-Undang, dimana pengaturan tentang pengajuan kandidasi politik, terutama legislatif, mengharuskan keputusan partai ditandatangani oleh ketua umum dan sekretaris jenderal (sekjen) partai. Jika demokrasi internal partai saja telah dirusak oleh kehadiran personalisasi partai, maka tentunya demokrasi dalam konteks luas pun terhambat oleh adanya jeratan personalisasi ini.

PenutupPartai politik sudah seharusnya menjadi insitusi demokratis yang mampu bersifat akuntabel, terutama mengingat perannya yang penting sebagai satu-satunya wadah resmi rekrutmen politik dan seleksi pejabat publik. Namun yang amat disayangkan, partai secara internal justru mengalami kesulitan dalam menjalankan sirkulasi

kepemimpinan partai mereka sendiri. Hal ini menjadikan banyak partai politik kemudian terjebak dalam personalisasi politik. Hampir seluruh partai di Indonesia yang berkedudukan di parlemen selama era reformasi ini dipengaruhi secara kuat oleh figur atau sosok tokoh sentral. Tokoh sentral telah menjadi identitas partai, sekaligus menjadi yang paling menentukan bagi partai dalam waktu yang cukup lama.

Faktor penyebab dan yang memfasilitasi terbentuknya personalisasi partai ini tidaklah tunggal, melainkan banyak faktor yang saling berkelit dan kelindan. Secara umum, ada dua bentuk faktor yang menjadi pendorong terjadinya personalisasi politik pada partai: faktor eksternal-institusional dan internal-noninstitusional. Faktor-faktor institusional itu di antaranya adalah pilihan terhadap sistem demokrasi presidensial berikut konsekuensi dan implikasi kelembagaannya, dan pilihan terhadap sistem pemilu, baik sistem pemilu legislatif dan sistem pemilu presiden maupun sistem pemilihan kepala daerah (pilkada), serta sistem kepartaian yang berlaku di Indonesia.

Tidak hanya faktor eksternal-institusional yang memfasilitasi terciptanya personalisasi, faktor internal-noninstitusional yang berhubungan dengan kultur dan tradisi berpartai juga turut mempengaruhi personalisasi partai. Sejarah pendirian partai, kepemimpinan karismatik, kultur patronase, serta kebergantungan pada sumber pendanaan partai saling tumpang tindih membentuk kultur dan tradisi politik yang menciptakan personalisasi partai. Dari beragam hal itu, faktor ketokohan di dalam partai menjadi kunci persoalan personalisasi politik pada partai. Partai yang pembentukannya dipengaruhi secara kuat oleh sosok tokoh menjadi partai ditempakan sebagai kendaraan politik untuk kepentingan individu, bukan publik. Partai ditempatkan sebagai media untuk meraih kekuasaan politik, maupun dalam memperoleh kompensasi ekonomi dari dukungan politik yang diberikan terhadap mereka yang memiliki otoritas politik. Akibat logisnya, konstruksi relasi internal partai menjadi tidak setara karena pemimpin cenderung menjadi patron dan anggota partai sebagai pengikutnya. Pemimpin dalam hal ini diposisikan sebagai pihak

Page 192: KONSTELASI POLITIK DI TAHUN ELEKTORAL

304 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 15 No. 2 Desember 2018 | 289–306

yang berkuasa dan yang “tak pernah salah.” Hal ini menjadi semakin buruk ketika proses sukses kepemimpinan tidak berjalan atau pola seleksinya didominasi oleh otoritas elite atau pimpinan partai. Berbagai hal ini kemudian membentuk simpul yang memfasilitasi terlembaganya personalisasi politik di dalam parpol.

Pe r sona l i sa s i po l i t i k pada pa r t a i sesungguhnya tidak dapat dipandang hanya sebagai problem yang berdampak negatif, namun juga dapat berdampak positif. Dampak positif tersebut diantaranya adalah mampu menghindarkan partai dari konflik internal partai, memberikan stabilitas partai, memperpendek rentang kendali partai, memperpanjang usia partai, serta menciptakan kohesi partai. Namun demikian, dampak positif itu hanya bersifat semu dan sementara. Dampak negatif dirasa masih menjadi ancaman yang lebih besar bagi berlangsungnya personalisasi politik pada partai. Ketergantungan partai terhadap tokoh sentral mampu berakibat pada terkooptasinya partai oleh kepentingan individu, bukan kepentingan publik yang seharusnya diutamakan partai. Hal ini menandakan juga semakin terkikisnya partai secara kelembagaan dan memperlihatkan tidak berfungsinya institusi partai. Tidak hanya itu, personalisasi partai juga berdampak buruk terhadap upaya penegakan demokrasi, baik itu untuk internal partai maupun untuk kehidupan politik yang lebih luas.

Daftar PustakaBuku Adian, Donny Gahral. “Personalisasi Politik.” Harian

Kompas. (Jakarta), 27 September 2012.Ahmad, Ikhsan. Pilar Demokrasi Kelima: Politik

Uang: Realitas Konstruksi Politik Uang di Kota Serang, Banten. Yogyakarta: Deepublish, 2015.

Amalia, Luky Sandra dan Ridho Imawan Hanafi. “Masa Depan PAN: Merawat Stabilitas Dukungan di Pemilu,” dalam Moch. Nurhasim, Masa Depan Partai Islam di Indonesia: Studi tentang Volatilitas Elektoral dan Faktor-Faktor Penyebabnya, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2016.

Amir, Zainal Abidin. Peta Islam Politik Pasca-Soeharto. Jakarta: LP3ES, 2003.

Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga PANAnggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga PPP.Azra, Azyumardi. Indonesia, Islam, and Democracy:

Dynamic in a Global Context. Jakarta: Soltice Publishing, 2006.

Van Biezen, Inggrid. Political Parties in New Democracies Party Organization in Southern and East-Central Europe. Hampshire and New York: Palgrave Macmillan, 2003.

Blondel, Jean, Jean-Louis Thiebault, et.al. Political Leadership, Parties and Citizens: The Personalisation of Leadership. Oxon, UK: Routledge, 2010.

Cross, William dan Jean-Benoit Pilet. The Politics of Party Leadership: A Cross National Perspective, Oxford, UK: Oxford University Press, 2015.

Fatah, Eep Saefulloh. Mencintai Indonesia dengan Amal. Jakarta: Penerbit Republika, 2004.

Firmanzah. Mengelola Partai Politik. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008.

Hellmann, Olli. Political Parties and Electoral Strategy The Development of Party Organization in East Asia. Hampshire and New York: Palgrave Macmillan, 2011.

Karvonen, Lauri. The Personalization of Politics: A Study of Parliamentary Democracies. Colchester, UK: ECPR Press, 2010.

Mainwaring, S. & T. R. Scully. Building Democratic Institutions: Party Systems in Latin America. Stanford, CA: Stanford University Press, 1995.

Manning, Chris, dan Peter Van Diermen (eds.). Indonesia di Tengah Transisi: Aspek-Aspek Sosial dari Reformasi dan Krisis. Yogyakarta: LKiS Yogyakarta, 2000.

Muhtadi, Burhanuddin. Dilema PKS: Suara dan Syariah. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2012.

Nainggolan, Bastian dan Yohan Wahyu. Partai Politik Indonesia 1999-2019: Konsentrasi dan Dekonsentrasi Kuasa. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2016.

Noor, Firman. “Menimbang Masa Depan Sistem Presidensial di Indonesia Problematika Demokrasi dan Kebutuhan Perbaikan Sistemik.” Dalam Moch. Nurhasim dan Ikrar Nusa Bhakti (ed). Sistem Presidensial dan Sosok Presiden Ideal, . Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009.

Noor, Firman. Perpecahan dan Soliditas Partai Islam di Indonesia: Kasus PKB dan PKS di Awal Reformasi. Jakarta: LIPI Press, 2015.

Page 193: KONSTELASI POLITIK DI TAHUN ELEKTORAL

Personalisasi Partai Politik di Indonesia Era Reformasi | Aisah Putri Budiatri, dkk | 305

Pilet, Jean-Benoit dan William Cross. “Uncovering The Politics of Party Leadership.” Dalam The Politics of Party Leadership: A Cross National Perspective, ed. oleh William Cross dan Jean-Benoit Pilet. Oxford, UK: Oxford University Press, 2015.

Poguntke, T. dan P. P. Webb. The Presidentialization of Politics: A Comparative Study of Modern Democracies. Oxford: Oxford University Press, 2005.

Prasojo, Eko. “Pemilihan Presiden, Personalisasi Politik?” Harian Kompas. (Jakarta). 20 April 2004.

Prasojo, Eko. Demokrasi di Negeri Mimpi. Depok: FISIP UI, 2005.

Razuni, Ganjar. Sebuah Koreksi Konstruksi Reformasi Hasil Pemilu 1999. Jakarta: Labsospol FISIP UNAS, 2001.

Renwick, Alan, dan Jean-Benoit Pilet. Faces on the Ballot: The Personalization of Electoral Systems in Europe. Oxford, UK: Oxford University Press, 2016.

Rhodes, R. A. W., dan Paul T Hart. The Oxford Handbook of Political Leadership. Oxford, UK: Oxford University Press, 2014.

Sandri, Giulia, Antonella Seddone, dan Fulvio Venturino, “Understanding Leadership Profile Renewal.” Dalam The Politics of Party Leadership: A Cross National Perspective, diedit oleh William Cross dan Jean-Benoit Pilet, 144-171. Oxford, UK: Oxford University Press, 2015.

Sartori, Giovanni. Parties and Party Systems. Colchester, UK: The European Consortium for Political Research (ECPR), 2005.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik.

Yongnian, Zheng. The Chinese Communist Party as Organizational Emperor. Oxon OX: Routledge, 2010.

Yudha, Hanta. Presidensialisme Setengah Hati: Dari Dilema ke Kompromi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka, 2010.

JurnalAnsell, Christopher K dan M. Steven Fish. 1999. “The

Art of Being Indispensable Noncharismatic Personalism in Contemporary Political Parties”, dalam Comparative Political Studies Vol. 32, No. 3.

Calise, Mauro “The Personal Party: An Analytical Framework.” Scienze Politica, 45, no.3, (2015).

Fionna, Ulla. “The Trap of Pop-Charisma for the Institutionalization of Indonesia’s Post-Suharto Parties.” Asian Journal of Political Science, (2016).

Gunther, Richard dan Larry Diamond. “Species of Political Parties,” dalam Party Politics, 9, no. 2 (2003): 167-199.

Hamayotsu, Kikue. “The End of Political Islam? A Comparative Analysis of Religious Parties in the Muslim Democracy of Indonesia.” Journal of Current Southeast Asian Affairs, no. 3, (2011).

Harmel, Robert and Lars Svasand. “Party Leadership and Party Institutionalisation: Three Phases of Development.” West European Politics, vo. 16, no. 2, (2007): 67-88.

Johnson Tan, Paige. “Indonesia Seven Years after Soeharto: Party System Institutionalization in a New Democracy.” Contemporary Southeast Asia, vol. 28, no. 1, (2006): 88-114.

Jung, Eunsook. “Islamic Organizations and Electoral Politics in Indonesia: the Case of Muhammadiyah.” South East Asia Research, vol. 22, no. 1, 73–86.

Kitschelt, Herbert. “Formation of Party Cleavages in Post-Communist Democracies: Theoretical Propositions.” Party Politics, vol. 1, (1995).

Linz, Juan J. Democracy: Presidential or Parliamentary: Does it Make a Difference. makalah tidak dipublikasikan, 1985.

Linz, Juan J. “The Perils of Presidentialism” Journal of Democracy, vol. 1, no. 1 (1990).

Noor, Firman. “Leadership and Ideological Bond: PPP and Internal Fragmentation in Indonesia.” Studia Islamika, vol. 23, no. 1, (2016.)

Nurhasim, M. “Kegagalan Modernisasi Partai Politik di Era Reformasi.” Jurnal Penelitian Politik 10, no. 1 (2013): 17-28.

Samuels, David J. “Presidentialized Parties: The Separation of Powers and Party Organization and Behavior.” Comparative Political Studies 35, no. 4, (2002): 461-483.

Scott, James. “Patron-Client Politics and Political Change in Southeast Asia.” The American Political Science Review 66, no. 1, (1972): 91-113.

Sumber Cetak dan OnlineAsril, Sabrina. “Demokrat: SBY Ditonjolkan karena

Paling Aman.” Kompas Online. 21 Maret 2014 dalam http://nasional.kompas.com/read/2014/03/21/0710042/index.

Page 194: KONSTELASI POLITIK DI TAHUN ELEKTORAL

306 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 15 No. 2 Desember 2018 | 289–306

Croissant, Aurel, dan Wolfgang Merkel. “Political Party Formation in Presidential and Parliamentary System” dalam http://library.fes.de/pdf-files/bueros/philippinen/50072.pdf.

Haris, Syamsuddin. “Partai dan Personalisasi Kekuasaan.” Harian Kompas. 31 Maret, 2005.

Hasan, Halili. “Partai Politik, Ornamen Demokrasi.” Jawa Pos. 19 April 2016.

Hayati, Istiqomatul. “Sihir Amien Rais Bikin PAN Hitam Putih.” Tempo Online. 3 Maret 2015. dalam https://nasional.tempo.co/read/646568/sihir-amien-rais-bikin-pan-hitam-putih.

CNN. “Ketua Umum Tetap Mega, PDIP: Kepemimpinan Dibawa Sejak Lahir.” 4 April 2017 dalam http://m.cnnindonesia.com/politik/2015043025358-32-43988/ketua-umum-tetap-mega-pdip-kepemimpinan-dibawa-sejak-lahir/.

Kompas. “Masuknya Agus Harimurti Yudhoyono D i n i l a i P e r s i a p a n S B Y R e g e n e r a s i d i Demokra t . ” 23 Sep tember 2016 dalam http://nasional.kompas.com/amp/read/2016/09/23/09252571/masuknya.agus.harimurti.yudhoyono.dinilai.persiapan.sby.regenerasi.di.demokrat.?client=safari.

Redaksi. “Menjaga Sinar Politik Sang Matahari.” Harian Kompas. 2 Maret 2015.

Redaksi. “Muhaimin Terpilih Aklamasi Pimpin PKB.” Harian Kompas. 2 September 2014.

Redaksi. “Pengaruh Amien Rais di PAN Masih Sangat Besar.” 19 Desember 2014 dalam http://m.detik.com/news/berita/2782283/pengaruh-amien-rais-di-pan-masih-sangat-besar.

Tolleng, A. Rahman. “Selamat Datang Personalisasi Politik.” Harian Tempo. 24 November 2003.

Tribun Pontianak. “Amien Rais: Voting Lebih Bagus Daripada Aklamasi.” dalam https://amp/pontianak.tribunnews.com/amp/2015/03/01/amien-rais-voting-lebih-bagus-daripada-aklamasi?client=safari.

“Makna Angka 6 bagi Gerindra.” dalam http://partaigerindra.or.id/2013/01/14/makna-angka-6-bagi-gerindra.html.

“Sejarah Pembentukan dan Berdirinya Partai Demokrat.” dalam http://www.demokrat.or.id/sejarah/.

Wawancara dan FGDFGD “Personalisasi Partai Politik Pasca Reformasi”

yang diselenggarakan oleh P2P-LIPI, 28 Agustus 2017.

Wawancara dengan kader PDIP Jawa Timur (tidak dapat disebutkan namanya) pada Juni 2016 di Surabaya.

Wawancara dengan Prof. Purwo Santoso, di UGM, Yogyakarta, Hari Rabu, 17 Mei 2017.

Page 195: KONSTELASI POLITIK DI TAHUN ELEKTORAL

Mitos dan Realita Perempuan dalam Pemilu ... | Mouliza K.D Sweinstani | 307

REVIEW BUKU

MITOS DAN REALITA PEREMPUAN DALAM PEMILU: PELAJARAN DARI SITUASI POLITIK AMERIKA DI ERA POLARISASI POLITIK

MYTH AND REALITY OF WOMEN RUNNING FOR ELECTION: LEASON LEARNED FROM THE U.S. POLARIZED POLITICAL ERA

Mouliza K.D Sweinstani

Pusat Penelitian Politik-Lembaga Ilmu Pengetahuan IndonesiaEmail: [email protected]

Diterima: 13 September 2018; Direvisi: 2 Oktober 2018; Disetujui: 30 Desember 2018

Judul Buku : Women On The Run: Gender, Media, and Political Campaigns in Polarized EraPengarang : Danny Hayes & Jennifer L. LawlessPenerbit : Cambridge University PressTahun Terbit : 2016Tebal : 185 + xiii

Abstract

The purpose of this book review is to dissect a book written by Danny Hayes and Jennifer Lawless entitled Women on the Run: Gender, Media, and Political Campaigns in Polarized Era. This book was written by them in response to the American political situation relating to the existence of women in US political life, especially in two in-between elections in 2010 and 2014. This book also provides a new perspective on the political area in the polarized era in the United States by uncovering the conventional understanding of the bias that must be faced by women in politic. Besides, this study tries to find out what actually causes the still-biased understanding of gender in US political area. However, the conclusions of this book need to be used carefully so that readers do not generalize on political conditions that have been considered gender neutral and non-discriminatory as happened in the American political landscape. Readers should contextualize the political landscape in their respective regions in order to produce findings that can confirm or even correct Hayes and Lawless’s findings by adding several other variables. Thus, this can enrich studies of political campaigns, media and women candidates in the study of political science.

Keywords: the polarized era, political campaign, gender neutral, voter behavior

Abstrak

Tujuan dari penulisan tinjauan buku ini adalah untuk membedah buku yang ditulis oleh Danny Hayes dan Jennifer Lawless yang berjudul Women on the Run: Gender, Media, and Political Campaigns in Polarized Era. Buku ini ditulis oleh mereka sebagai respon dari situasi politik Amerika yang berkaitan dengan eksistensi perempuan dalam kehidupan politik Amerika Serikat khususnya dalam dua pemilu sela pada tahun 2010 dan 2014. Buku ini juga memberikan cara pandang baru terhadap area politik di era terpolarisasi di Amerika Serikat dengan berusaha membongkar pemahaman konvensional mengenai bias yang harus dihadapi oleh perempuan dalam dunia politik. Selain itu buku ini juga berusaha mencari tahu apa sebetulnya yang menjadi penyebab masih adanya pemahaman

Page 196: KONSTELASI POLITIK DI TAHUN ELEKTORAL

308 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 15 No. 2 Desember 2018 | 307–317

bias gender dalam area politik di Amerika Serikat. Hanya saja, simpulan dari buku ini perlu digunakan secara hati-hati agar pembaca tidak melakukan generalisasi atas kondisi politik yang telah dianggap netral gender dan tidak diskriminatif seperti yang terjadi di Amerika. Pembaca sebaiknya mengontekskan kondisi lanskap politik masing-masing agar dapat menghasilkan temuan yang mengelaborasi temuan Hayes dan Lawless. Dengan demikian, hal ini dapat memperkaya studi-studi tentang kampanye politik, media dan kandidat perempuan dalam kajian ilmu politik.

Kata kunci: era terpolarisasi, kampanye politik, netral gender, perilaku pemilih

PendahuluanMengupayakan kesetaraan akses bagi perempuan dan laki-laki untuk dapat terlibat aktif dalam politik dan proses pengambilan keputusan politik merupakan hal yang masih memerlukan perhatian khusus oleh para pemangku kepentingan di berbagai negara di dunia. Salah satu masalah krusial yang berkaitan dengan hal tersebut adalah masih terdapatnya ketimpangan komposisi antara laki-laki dan perempuan dalam lembaga perwakilan. Menurut Shvedova1, perempuan di seluruh dunia pada setiap tingkatan sosio-politik masih merasa bahwa dirinya kurang terwakili dalam parlemen. Inter-Parliamentary Union (IPU) menambahkan, selain perempuan masih kurang terwakili dalam politik, perempuan juga mengalami diskriminasi dan kekerasan di ruang publik. Jikalau ada perempuan yang berhasil duduk dalam parlemen, makahal tersebut tidak serta merta membuat perempuan dapat terlibat dalam proses pengambilan keputusan. Menurut Shvedova, mereka pun masih jauh dari keterlibatan dalam pengambilan keputusan.

Berdasarkan pada data IPU pada 1 Januari 2018, rata-rata jumlah keterwakilan perempuan di parlemen di dunia adalah sebesar 23.4%. Angka tersebut tentunya masing berada di bawah standar minimal critical mass yang telah disepakati oleh negara-negara di dunia dalam Beijing Platform For Action, yaitu minimal 30%. Masih rendahnya kehadiran perempuan dalam parlemen di berbagai negara antara lain disebabkan oleh adanya stereotipe yang menyatakan bahwa politik bukanlah dunia perempuan. Pandangan tersebut praktis telah meminggirkan peran perempuan dalam bidang ini. Lebih lanjut, anggapan bahwa politik dan

1 Nadezhda Shvedova, “Obstacles to Women’s Participation in Parliament.” dalam Julie Ballington dan Azza Karam (eds), Women in Parliament: Beyond Numbers, (Stockholm, Sweden: International Institute for Democracy and Electoral Assistance, 2005), hlm. 33-50.

perilaku politik adalah aktivitas yang bersifat maskulin, semakin mengeksklusikan perempuan dalam dunia ini karena maskulinitastidak pernah dianggap sebagai bagian dari dari karakteristik ideal seorang perempuan.2Asumsi inilah yang sering digunakan untuk membatasi peran perempuan di berbagai sektor publik termasuk menganggap perempuan sebagai liyan3 dalam politik. Perempuan selanjutnya hanya diidentikkan dengan urusan domestik yang menganggap hanya hal-hal yang berkaitan dengan ruang domestiklah yang merupakan tugas utama dan satu-satunya yang dapat dilakukan oleh perempuan.4

Di samping disebabkan oleh adanya asumsi tentang dunia politik yang malestream dan male-centered, perihal bagaimana media memotret perempuan yang berkompetisi dalam politik juga seringkali tidak berimbang dan bias. Pemberitaan yang demikian tentunya dapat memberikan pengaruh pada kepercayaan diri kandidat perempuan dan memengaruhi pilihan pemilih. Akhirnya dikarenakan efek domino yang demikian, perempuan pun kembali merasa terdiskriminasi dalam pencalonannya dalam politik dan menyebabkan perempuan tetap menjadi pihak yang kurang terwakili dalam politik.

2 Partini, “Partisipasi Politik Perempuan dalam Praktik Kewarganegaraan” Jurnal Perempuan Vol 19 No. 2, (Mei 2014), hlm. 41.

3 Istilah liyan berasal dari Bahasa Jawa yang oleh Aschroft, Griffith, dan Tiffin (1999) diartikan sebagai pembakuan dari kata dalam bahasa Inggris “the other”. Liyan dalam teori pasca kolonial merupakan istilah yang sangat penting dalam melakukan definisi terhadap identitas subjek. Liyan mengacu pada subjek kolonial yang posisinya diletakkan sebagai manusia marjinal dalam dskursus imperial.

4 Juliana Cleves Mosse, Half the World, Half A Change. An Introduction to Gender and Development, (Oxford: Oxfarm, 1993), hlm. 199.

Page 197: KONSTELASI POLITIK DI TAHUN ELEKTORAL

Mitos dan Realita Perempuan dalam Pemilu ... | Mouliza K.D Sweinstani | 309

Berbagai pemahaman dan asumsi umum mengenai potret bias dan diskriminasi terhadap perempuan dalam pencalonan politik khususnya pencalonan sebagai anggota parlemen tersebut adalah hal yang dikaji oleh Danny Hayes dan Jennifer Lawless dalam buku mereka yang berjudul Women On The Run: Gender, Media, And Political Campaigns in Polarized Era. Buku ini merupakan buku yang ditulis berdasarkan pada studi mereka tentang bagaimana dinamika kandidat perempuan dalam pencalonan parlemen Amerika dengan studi kasus pemilu antara pada tahun 2010 dan 2014. Studi tentang pencalonan perempuan dalam parlemen ini mereka lakukan dengan melihat pada tiga variabel utama yang dianggap memiliki pengaruh pada keterwakilan perempuan dalam parlemen. Tiga variabel yang dimaksud adalah konten atau isu kandidat dalam kampanye, pemberitaan media, dan perilaku pemilih. Dengan melakukan studi pada ketiga variabel di atas, mereka hendak membuktikan apakah benar bahwa beberapa hal yang menghambat karir politik perempuan adalah pemberitaan media yang bias, arena politik diskriminatif, dan pilihan pemilih yang berdasarkan pada orientasi jenis kelamin kandidat. Di sisi lain, studi ini juga hendak mengidentifikasi apakah jika ketiga hal diatas tidak benar terbukti, justru terdapat faktor lain yang menyebabkan munculnya bias dalam masyarakat terutama yang berhubungan dengan karir politik perempuan.

Dalam buku tersebut, keseluruhan analisis Hayes dan Lawless dibagi dalam enam bab yang saling berkaitan satu sama lain dimana mereka mengawali kajian mereka dengan membahas tentang Gender, Mitos, dan Realita dalam Kampanye Politik yang berusaha untuk mengungkapkan mitos dan realita tentang gender dalam masa kampanye. Bab kedua mereka mencoba menjelaskan mengenai pemikiran kembali tentang penilaian perbedaan gender dalam kampanye. Selanjutnya pada bab tiga hingga bab lima, mereka menjelaskan mengenai hasil pengujian argumen mereka melalui studi mendalam yang dilakukan selama pemilu antara tahun 2010 dan 2014 terhadap 1.500 kandidat, 400.000 iklan kampanye, dan 50.000 cuitan Twitter kandidat peserta pemilu antara tahun 2010

dan 2014. Terkahir pada bab keenam, keduanya menjelaskan mengenai asal mula dan implikasi dari persepsi bias gender dalam pemilu. Bab ini mereka kemukakan karena hasil studi tersebut menunjukkan bahwa di era kepolitikan Amerika yang sudah terpolarisasi menjadi dua kutub kekuatan politik utama, kandidat perempuan ternyata tidak mengalami diskriminasi dan bias selama masa kampanye baik dilihat dari pemberitaan media, konten/isu yang mereka usung, dan perilaku pemilih. Oleh karena itu, pada bab ini mereka mencoba mengemukakan faktor apa yang sebetulnya menjadi penghambat perempuan untuk berkarir di dunia politik jika secara sistematis, tahapan pemilu justru tidak bias. Pembahasan lebih lanjut serta tinjauan penulis atas buku Hayes dan Lawless yang penulis kaitakan dengan kondisi terkini di Indonesia akan penulis elaborasi lebih mendalam pada bagian pembahasan.

Bias dan Seksisme terhadap Politisi Perempuan di Amerika SerikatDalam bagian awal buku yang ditulis Hayes dan Lawless, keduanya memberikan gambaran mengenai bagaimana pandangan umum yang terbangun tetang perempuan Amerika Serikat yang turut serta dalam pencalonan politik, baik di tingkat pencalonan presiden maupun parlemen. Menurut Hayes dan Lewless, asumsi publik Amerika Serikat yang terbangun sejauh ini masih mempercayai bahwa perempuan yang mencalonkan diri sebagai kandidat dalam pemilu di Amerika Serikat masih menghadapi bias, seksisme, dan diskriminasi di hampir seluruh tahapan pemilu. Ironisnuya, pandangan yang demikian tidak hanya diyakini oleh publik Amerika Serikat, namun juga oleh para politisi, termasuk politisi perempuan, aktivis perempuan, dan kaum cendekiawan ilmu politik.

Hayes dan Lawless memaparkan beberapa contoh pendapat dari politisi perempuan Amerika Serikat, seperti Michele Bachman, Nancy Pelosi, Allyson Schwarzt, Hillary Clinton, dan aktivis perempuan, Jamia Wilson. Berdasarkan pada pendapat masing-masing tokoh tersebut yang didasarkan pada pengalaman politik masing-masing, dapat ditarik kesimpulan bahwa politisi

Page 198: KONSTELASI POLITIK DI TAHUN ELEKTORAL

310 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 15 No. 2 Desember 2018 | 307–317

perempuan di Amerika Serikat merasa dipaksa harus menghadapi bias dan seksisme, terutama oleh media, selama pencalonannya. Mereka menganggap bahwa media di Amerika sejauh ini masih sangat seksis dan misoginis yang mana mereka akui bahwa hal tersebut adalah sebuah kenyataan yang menyedihkan di era Amerika saat ini.5 Mereka bahkan menyimpulkan bahwa kekalahan beberapa politisi perempuan dalam pencalonan politik disebabkan oleh identitas “perempuan” yang melekat pada dirinya. Isu “dia adalah perempuan” inilah yang terus digulirkan oleh media ke hadapan publik yang berakibat pada ketidaksiapan masyarakat Amerika untuk mendapatkan pemimpin perempuan.

Bagi mereka yang berpandangan demikian, akar permasalahan dari berbagai pendapat tentang diskriminasi terhadap perempuan dalam politik disebabkan oleh pemberitaan media sangat tidak berimbang dan merugikan perempuan di masa pencalonan politiknya. Mereka menilai bahwa media lebih sering memberitakan hal-hal yang bersifat pribadi dan cenderung mengarah pada penampilan fisik seorang kandidat perempuan dari pada substansi dari isu yang diusung oleh kandidat perempuan. Media yang seharusnya menjadi sarana pendidikan politik masyarakat justru menggiring cara pandang masyarakat menjadi bias dan seksis karena pemberitaan terhadap politisi perempuan yang hanya menitik beratkan pada penampilan perempuan dan identitas dia sebagai perempuan. Hal inilah yang mereka percayai telah memengaruhi pilihan politik pemilih sehingga pemilih tidak memilih dan tidak siap memilih pemimpin perempuan.

Asumsi yang demikian secara nyata berimplikasi pada persepsi publik Amerika Serikat yang menilai bahwa dunia politik merupakan dunia yang lebih sulit bagi perempuan untuk berkarir dibandingkan dengan bidang lainnya. Hal ini dapat dilihat dari hasil survey YouGov6 yang menyatakan bahwa 58%-60%

5 Danny Hayes & Jennifer J Lawless, Women on The Run. Gender, Media, and Political Campaigns in Polarizes Era, (Cambridge: Cambridge University Press, 2016), hlm. 1-2.

6 Berdasarkan pada survey publik yang dilakukan oleh YouGov 43% publik Amerika Serikat menyatakan bahwa perempuan di politik lebih sulit untuk berkarir dibandingkan dengan perempuan dalam jurnalisme. Sementatra itu antara 35%-42% menyatakan hal yang sama pada dunia medis, bisnis dan hukum.

publik Amerika Serikat menilai bahwa perempuan yang terjun ke dunia politik akan menghadapi pemberitaan media yang bersifat seksis dan hanya berfokus pada penampilan kandidat perempuan saja. Bahkan hampir setengah dari responden mempercayai bahwa kandidat perempuan harus memiliki kapasitas yang lebih baik dari pada laki-laki. Karenanya, tidak mengherankan jika hampir 1/3 publik akhirnya menyimpulkan bahwa kandidat perempuan tidak akan memenangkan pemilu sesering kandidat laki-laki dan dianggap akan mendapatkan keuntungan finansial yang lebih sedikit dari pada laki-laki dalam pencalonan politiknya. Dengan kata lain, survei tersebut menunjukkan bahwa dalam anggapan publik Amerika Serikat, dunia politik sampai dengan saat ini merupakan dunia yang tidak ramah perempuan.

Isu Politik, Media, dan Pilihan Pemilih: Sebuah RealitaBerbeda dengan pandangan umum tentang wajah politik Amerika Serikat yang dinilai bias, diskriminatif, dan tidak ramah perempuan, hasil studi Hayes dan Lawless justru menunjukkan hal yang sangat berbeda. Menurut mereka berbicara mengenai pencalonan perempuan dalam politik memaksa kita untuk melihat pada dua sisi yang berbeda. Di satu sisi, secara kuantitas perempuan memang masih tergolong kelompok yang kurang terwakili dalam seluruh tingkatan jabatan politik. Peningkatan jumlah keterwakilan perempuan dalam politikpun tidak terlalu signifikan. Di sisi lain, jika kita melihat pada analisis proses bagaimana mereka mencalonkan diri, dapat diketahui bahwa kandidat perempuan melakukan hal-hal yang juga dilakukan oleh kandidat laki-laki. Mereka juga pada kenyataannya mendapatkan keuntungan finansial, suara, dan kesempatan memenangkan pemilu yang sama dengan laki-laki.

Melihat fakta yang demikian, Hayes dan Lawless menyimpulkan bahwa asumsi tentang dunia politik yang mengeksklusikan perempuan merupakan cara pandang konvensional yang berakar dari pemahaman atas konsep lingkungan politik yang tidak mengikuti perkembangan zaman. Memang benar bahwa pada masa awal

Lihat: Hayes dan Lawless, Women on the Run..,

Page 199: KONSTELASI POLITIK DI TAHUN ELEKTORAL

Mitos dan Realita Perempuan dalam Pemilu ... | Mouliza K.D Sweinstani | 311

perempuan Amerika terjun di dunia politik, yaitu sekitar tahun 1970an, perempuan harus menghadapi stereotype, skeptisme dan bias yang menghalangi mereka untuk terpilih. Namun menurut Hayes dan Lawless, situasi politik Amerika Serikat saat ini jauh lebih adil dan ramah terhadap kandidat perempuan, sekalipun hal ini tidak serta merta menunjukkan bahwa perempuan tidak menghadapi bias, seksisme, dan diskriminasi sama sekali pada masa kampanye. Hanya saja, Hayes dan Lawless menekankan bahwa adanya pandangan bahwa kehadiran perempuan dalam politik bukan merupakan hal baru, atau yang dalam Bahasa Hayes dan Lawless disebut dengan “the declining novelty of female politician”, telah secara signifikan membuat arena politik Amerika menjadi lebih baik dan lebih ramah terhadap perempuan. Hal lain yang juga mendukung situasi arena politik yang demikian adalah anggapan bahwa perempuan memiliki kompetensi dan memiliki kesempatan yang sama dengan laki-laki untuk memenangkan pemilu. Terlebih, polarisasi partai politik Amerika Serikat yang semakin mengarah pada dua kutub kekuatan politik utama, yaitu Demokrat dan Republikan juga mendukung terciptanya arena politik yang lebih baik bagi perempuan.

Hasil studi Hayes dan Lawless dalam buku tersebut secara ringkas dapat dibagi menjadi tiga analisis variabel utama. Pertama berkaitan dengan analisis pada kandidat itu sendiri. Hasil studi mereka menunjukkan bahwa dalam masa kampanye dewasa ini, baik kandidat laki-laki maupun perempuan mengusung isu politik yang sama yang mereka gunakan sebagai strategi pemenangan pemilu masing-masing. Kandidat tidak lagi menawarkan agenda politik yang spesifik yang disesuaikan dengan gender masing-masing seperti pada masa 40 tahun silam. Di era yang lebih terpolarisasi ini, kandidat lebih mengusung isu yang sesuai dengan ideologi partai pengusung, apakah Republikan ataukah Demokrat. Kandidat juga lebih menitikberatkan pada hal-hal yang memang menjadi kebutuhan utama konstituennya bukan pada isu gender tertentu, kecuali pada hal-hal yang sangat luar biasa spesifik gender seperti isu cuti melahirkan. Studi mereka juga menunjukkan

bahwa dalam gaya komunikasi politik kandidat, tidak ada perbedaan antara kandidat laki-laki dan perempuan. Hal yang justru membedakan gaya komunikasi politik dan strategi politik mereka untuk menarik dukungan pemilih adalah latar belakang ideologi partai yang memang mengharuskan mereka berperilaku sebagai layaknya wakil dari ideologi partai itu.

Kondisi di atas tentunya berbeda dengan kondisi karir politik perempuan Amerika Serikat beberapa puluh tahun silam. Pada masa awal partisipasi perempuan sebagai kandidat, perempuan cenderung mengusung isu-isu yang lebih spesifik yang berkaitan dengan perempuan. Hal ini dilakukan untuk membedakan dirinya sebagai “perempuan” dalam pencalonan politik. Identitas sebagai “perempuan” juga pada saat itu sangat memengaruhi bagaimana gaya komunikasi politik perempuan yang cenderung lebih feminin atau justru sangat maskulin agar dapat mengimbangi lawan politik laki-lakinya. Keseluruhan upaya yang lebih menonjolkan identitas diri sebagai “perempuan” tersebut dilakukan sebagai strategi untuk mendapatkan dukungan dari pemilih perempuan. Namun, di era dimana kehadiran perempuan dianggap sebagai kondisi normal dalam kehidupan politik Amerika, publik Amerika melihat kandidat perempuan untuk pertama kali sebagai seorang politisi. Baru kemudian publik melihat dia sebagai seorang perempuan. Karenanya, saat ini identitas perempuan tidak lagi menjadi unsur utama yang memengaruhi penilai publik terhadap seorang kandidat. Pemilih lebih cenderung melihat bagaimana karakter dia sebagai wakil dari penduduk Amerika. Oleh karena itu, hal ini pun memengaruhi bagaimana perempuan mengusung ageda politik, berkomunikasi dan berstrategi politik. Mereka tidak lagi mendemonstrasikan sisi femininitas (atau maskulinitas), namun lebih kepada kompetensi, kepemimpinan, integritas, empati, dan peka terhadap kebutuhan konstituen secara umum.

Demikian juga dengan pemberitaan media terhadap kandidat laki-laki dan perempuan, studi Hayes dan Lawless menunjukkan bahwa konten berita media saat ini lebih berimbang dibandingkan dengan masa sebelumnya. Media lebih menekankan pada pesan yang dibawa oleh

Page 200: KONSTELASI POLITIK DI TAHUN ELEKTORAL

312 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 15 No. 2 Desember 2018 | 307–317

kandidat dari pada jenis kelamin kandidat. Hal ini antara lain disebabkan oleh isu dan perlakuan terhadap kandidat laki-laki dan perempuan tidak lagi berbeda. Dengan demikian, tidak ada alasan pula bagi media untuk membedakan pemberitaan antara kandidat laki-laki dan perempuan yang didasarkan pada perbedaan gender mereka. Sikap professional media ini juga tidak lepas dari norma jurnalistik Amerika Serikat yang mendorong jurnalis untuk meliput berita yang berkualitas dan bernilai jual tinggi.

Dengan berorientasi pada norma jurnalistik tersebut, setidaknya terdapat tiga alasan mengapa media membuat pemberitaan yang berimbang antara laki-laki dan perempuan. Pertama, tuntutan media untuk menyajikan berita yang adil. Jika pada kenyataannya tidak ada perbedaan sikap antara kandidat laki-laki dan perempuan, maka hal tersebut juga berarti media tidak berhak untuk membuat berita yang membedakan kandidat laki-laki dan perempuan.

Kedua, dalam era “declining novelty of women politicians” dan publik sudah menganggap politisi perempuan sebagai hal yang normal, maka isu mengusung identitas “perempuan” sebagai pembeda satu kandidat dengan kandidat lain menjadi hal yang dianggap tidak memiliki nilai jual pemberitaan yang signifikan. Hal ini tentunya berbeda dengan kondisi beberapa puluh tahun lalu ketika perempuan menjadi aktor baru dalam politik, pemberitaan tentang “perempuan” menjadi hal yang bernilai jual tinggi. Sebaliknya, saat ini hal yang dianggap memiliki nilai jual pemberitaan tinggi menurut media antara lain pencalonan petahana, iklim kompetisi, dan dinasti politik.7

Ketiga, polarisasi kekuatan politik yang semakin mengerucut kepada dua aras kekuatan politik di Amerika Serikat menjadi hal yang lebih menarik perhatian media daripada identitas gender kandidat. Hal ini dikarenakan polarisasi tersebut lebih sering memicu munculnya konflik partisan yang jauh lebih menarik perhatian para jurnalis.

Variabel ketiga yang dikemukakan oleh Hayes dan Lawless adalah pilihan pemilih. Menurut Hayes dan Lawless, pemberitaan media

7 Danny Hayes & Lawless, Women on the.., hlm. 72-73.

terhadap seorang kandidat merupakan salah satu hal yang dapat sangat memengaruhi pilihan politik publik. Apa yang dipotret oleh media tentang seorang kandidat sangat memengaruhi bagaimana kandidat menilai kandidat tersebut. Dengan demikian, ketika media memberikan gambaran yang bias kepada kandidat perempuan maka hal tersebut juga dapat memengaruhi sikap pemilih untuk memandang sebelah mata dan menilai kandidat perempuan kurang memiliki kompetensi yang baik sebagai seorang anggota parlemen.

Namun, seiring dengan sikap media yang semakin netral dan professional serta anggapan normal hadirnya perempuan dalam politik, membuat penilaian publik atas kapasitas kandidat yang hanya didasarkan pada perbedaan gender tertentu menjadi tidak relevan. Terlebih era polarisasi politik yang mengarah pada dua kutub kekuatan utama saat ini, membuat publik lebih menilai kandidat berdasarkan keterkaitan dirinya dengan ideologi dan agenda politik yang diusung oleh kandidat tersebut, bukan pada pertimbangan jenis kelamin kandidat. Era menguatnya identifikasi ideologis pemilih dengan partai di Amerika Serikat bahkan telah mematahkan argumen Bachman yang menilai bahwa publik Amerika tidak siap untuk memiliki presiden perempuan. Dengan identifikasi ideology yang demikian, publik Amerika menyatakan bahwa mereka akan tetap memilih calon presiden perempuan sejauh calon presiden tersebut diusung oleh partai yang mewakili ideologi mereka. Publik juga membantah bahwa mereka menilai kandidat laki-laki jauh lebih memiliki kompetensi dari pada kandidat perempuan.8 Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa di era kepolitikan Amerika Serikat yang semakin terpolarisasi saat ini, pemilih tidak menjatuhkan pilihannya pada jenis kelamin kandidat melainkan pada isu dan kesamaan ideologi yang diusung oleh kandidat.

Fakta dari ketiga variabel yang diujikan oleh Hayes dan Lawless di atas menunjukkan bahwa lanskap politik Amerika Serikat saat ini telah berubah menjadi lebih ramah gender dan netral gender dibandingkan dengan beberapa dekade lalu. Hayes dan Lawless bahkan menilai bahwa

8 Hayes dan Lawless, Women on the.., hlm. 21.

Page 201: KONSTELASI POLITIK DI TAHUN ELEKTORAL

Mitos dan Realita Perempuan dalam Pemilu ... | Mouliza K.D Sweinstani | 313

sikap publik Amerika yang telah menganggap kehadiran perempuan sebagai hal yang normal dan wajar dalam dunia politik merupakan wujud modernisasi politik Amerika Serikat. Demikian juga dengan perilaku pemilih yang tidak lagi mendasarkan pilihan politiknya pada gender kandidat, dapat disimpulkan sebagai era menguatnya polarisasi ideologi politik masyarakat Amerika.

Mengapa terjadi Bias?Setelah mengetahui ketimpangan antara asumsi publik dengan fakta di lapangan tentang pencalonan perempuan dalam pemilu lagislatif Amerika Serikat, dalam bab terakhir buku Hayes dan Lawless dijelaskan mengapa muncul asumsi yang diskriminatif tentang arena politik bagi perempuan sementara proses politik yang dilihat dari agenda politik kandidat, pemberitaan media, dan perilaku pemilih sudah tidak lagi bias dan diskriminatif. Menurut hasil studi Hayes dan Lawless, pandangan masyarakat tentang pengalaman perempuan dalam pencalonan politik ternyata tidak berasal dari kampanye yang mereka observasi di daerah mereka sendiri. Hal ini dikarenakan di daerah pemilihan di mana masyarakat itu tinggal, mereka melihat fakta bahwa perempuan dan laki-laki mengusung agenda politik yang sama. Demikian juga dengan konten media lokal setempat yang ternyata tidak bias dan diskriminatif terhadap kandidat perempuan di daerah tersebut.

Pandangan yang menggiring pada stereotype bias dan diskriminatif tersebut justru muncul karena ada berbagai faktor yang bersifat lebih makro yang berasal dari luar tahapan pemilu yang tidak berkaitan langsung dengan pencalonan perempuan pada pemilu tersebut. Faktor-faktor yang menurut Hayes dan Lawless memengaruhi penilaian publik terhadap arena poltik adalah identitas sosial, terutama yang berkaitan dengan identitas gender dan keterkaitan ideologis pemilih dengan partai, potret pemberitaan dan perbincangan nasional tentang perempuan dalam politik, dan pandangan tentang bias dalam aspek-aspek lain dari masyarakat, seperti bias dalam lingkungan kerja dan pembagian beban reproduktif dalam keluarga.9

9 Hayes dan Lawless, Women on the.., hlm. 117-125.

Oleh karena itu, berdasarkan pada temuan tersebut, dibagian ini Hayes dan Lawless juga memberikan rekomendasi pada gatekeeper untuk tidak lagi ragu merekrut kandidat perempuan karena arena politik yang tahapan pemilu yang sesungguhnya tidaklah bias dan diskriminatif seperti asumsi yang selama ini terbangun. Hasil temuan ini juga mereka gunakan untuk meyakinkan kandidat perempuan untuk tidak lagi merasa ragu untuk mencalonkan diri karena arena politik Amerika tidak lagi diskriminatif seperti yang dibayangkan.

Tinjauan Kritis Pemikiran Hayes dan Lawless dalam Praktik Studi Gender dan Politik di IndonesiaSetelah mengetahui hasil studi Hayes dan Lawless dalam buku tersebut, penulis menilai bahwa studi ini telah berhasil memberikan fakta baru yang membongkar asumsi publik mengenai arena politik yang diskriminatif terhadap perempuan. Di sadari maupun tidak, asumsi bias yang demikian sering kali membuat perempuan merasa tidak percaya diri bahkan takut untuk terjun ke dunia politik. Tentunya hal ini dapat menghambat upaya peningkatan keterwakilan perempuan dalam poltik, baik di lembaga legislatif maupun eksekutif. Namun, sebagai upaya untuk menambah diskursus tentang pencalonan perempuan dalam politik, penulis perlu untuk memberikan tinjauan kritis atas hasil studi yang dilakukan oleh mereka.

Pertama, studi Hayes menyatakan bahwa di era politik yang telah terpolarisasi, agenda politik yang diusung oleh kandidat perempuan tidak lagi merupakan isu-isu yang spesifik terhadap perempuan namun lebih menekankan pada cerminan ideologi partai pengusung. Jika dilihat dari kacamata studi kepartaian, hal ini menunjukkan bahwa institusionalisasi partai dan internalisasi ideologi partai di Amerika Serikat menunjukkan kondisi yang sudah sangat matang dan sangat baik. Studi ini sekaligus menunjukkan bahwa fungsi partai berjalan dengan baik karena partai berhasil menciptakan kader-kadernya yang patuh pada ideologi partai pengusungnya. Namun, sikap netral gender yang dilakukan oleh kandidat perempuan di Amerika Serikat ini justru bertolak belakang dengan studi-studi

Page 202: KONSTELASI POLITIK DI TAHUN ELEKTORAL

314 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 15 No. 2 Desember 2018 | 307–317

tentang politisi perempuan di negara lain, seperti di negara skandinavia.

Studi-studi tentang pentingnya perempuan dalam perwakilan politik di Skandinavia justru menunjukkan bahwa kebutuhan perempuan untuk hadir dalam parlemen adalah agar perempuan dapat mengartikulasikan isu-isu spesifik yang berkaitan dengan perempuan. Lebih lanjut, studi tersebut menyatakan bahwa semakin banyak perempuan memimpin atau hadir dalam lembaga perwakilan, maka semakin baik pula kesejahteraan masyarakat setempat10. Hal ini dikarenakan ketika duduk di jabatan publik, perempuan cenderung lebih menekankan pada isu-isu kesejahteraan sosial yang di dalamnya meliputi isu-isu spesifik perempuan. Dengan demikian, ketika agenda politik politisi perempuan di Amerika Serikat cenderung lebih netral gender dengan alasan lebih menitik beratkan pada upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat secara umum, bisa jadi hal tersebut mengindikasikan bahwa politisi perempuan di Amerika justru tidak berperspektif gender dan mungkin akan sulit untuk mencapai kesejahteraan yang diinginkan. Hal ini dapat dilihat lebih mendalam dari data perbandingan persentase keterwakilan perempuan dalam parlemen dan alokasi anggaran pemerintah untuk kebijakan sosial antara negara-negara skandinavia dan Amerika yang terdapat dalam tabel 1. 10 Helena Svaleryd, Women’s Representation and Public Spending, IFN Working Paper No.701, (Stochholm: IFN, 2007), hlm. 2-5.

Tabel 2. Persentase Keterwakilan Perempuan dalam Parlemen

Sumber : IPU 2018, diakses dari http://archive.ipu.org/wmn-e/classif.htm

Di samping melakukan tinjauan kritis terhadap hasil temuan Hayes dan Lawless khsusunya tentang sikap netral perempuan dalam pengusungan agenda politik pada masa kampanyenya, penulis juga menilai bahwa simpulan yang menyatakan bahwa arena politik saat ini lebih adil bahkan cenderung netral gender perlu untuk dikaji lebih mendalam lagi. Jika hal tersebut dikontekskan pada negara-negara yang baru memulai kebijakan afirmasi politik bagi perempuan seperti Indonesia, maka hal tersebut dapat menjadi boomerang (tricky) bagi kepolitikan Indonesia. Hal ini dikarenakan anggapan politik yang netral gender justru seringkali mengagalkan upaya implementasi kebijakan afirmasi karena kondisi netral ini menganggap bahwa tidak ada masalah dalam

Tabel 1. Persentase Pengeluaran Pemerintah untuk Kebijakan Kesejahteraan Sosial

Sumber: OECD.Stat

11 Berdasarkan pada data IPU Januari 2018, Peringkat Amerika bahkan lebih rendah satu tingkat dibandingkan dengan Indonesia

Peringkat Negara % 5 Swedia 43.6 8 Finlandia 42.00

10 Norwegia 41.4 22 Denmark 37.4

100 Amerika Serikat11 19.8

1Berdasarkan pada data IPU Januari 2018, Peringkat Amerika bahkan lebih rendah satu tingkat dibandingkan dengan Indonesia

Page 203: KONSTELASI POLITIK DI TAHUN ELEKTORAL

Mitos dan Realita Perempuan dalam Pemilu ... | Mouliza K.D Sweinstani | 315

akses bagi perempuan pada sumber-sumber kekuasaan. Padahal jika melihat pada makna dari kebijakan afirmasi itu sendiri, kebijakan ini disusun dengan tujuan untuk memperbaiki kondisi diskriminatif yang disebabkan oleh pengalaman historis suatu kelompok. Oleh karena itu, simpulan studi ini perlu untuk dikontekstualkan dengan kondisi nyata di masing-masing daerah/negara. Apalagi jika berbicara pada konteks Indonesia, penggunaan simpulan ini perlu lebih hati-hati untuk digunakan.

Sikap kritis penulis di atas didasarkan pada hasil studi terdahulu yang penulis lakukan pada tahun 2016 tentang rekrutmen caleg perempuan oleh partai Islam dengan studi kasus PPP 11 dan studi tentang rekrutmen perempuan Tionghoa dengan studi kasus PDI-Perjuangan pada tahun 201712. Berdasarkan studi penulis sebelumnya, diketahui bahwa anggapan kondisi netral gender dalam politik di Indonesia justru dimaknai sebagai celah untuk mengabaikan kewajiban partai untuk mendorong keterwakilan perempuan secara substantif. Secara umum, partai memang membuka diri menerima kandidat perempuan, namun penerimaan dan sikap terbuka tersebut hanya dimaknai sebagai upaya partai untuk memenuhi persyaratan administrasi sebagai peserta pemilu. Padahal, partai seharusnya mampu dan mau memaknai kebijakan afirmasi sebagai upaya partai untuk memberikan perlakuan khusus untuk membina kapasitas perempuan untuk dapat menjadi kader partai yang baik. Sayangnya, berdasarkan kedua studi penulis tersebut, partai tidak memberikan perlakuan khusus bagi perempuan untuk meningkatkan kapasitas kepemimpinannya maupun memperbesar potensinya untuk terpilih. Oleh karena itu, simpulan Hayes dan Lawless yang menyatakan bahwa kondisi netral gender

11 Mouliza K.D Sweinstani, Peran Partai Islam dalam Meningkatkan Keterwakilan Perempuan di Tingkat Nasional: Studi Tentang Partai Persatuan Pembangunan dalam Memenuhi Kuota Minimal Perempuan Sebagai Calon Anggota DPR Tahun 2014, dalam Prosiding International Conference for Democracy 2016.

12 Mouliza K.D Sweinstani dan C. Mariyah, “Political Recruitment Of Chinese-Indonesian Women Candidate: Study On PDI Perjuangan Recruitment In Nominating Chinese-Indonesian Woman Candidate In Semarang City Legislative Election 2014,” People: International Journal Of Social Science, vol. 3, no. 2, (2017): 1156-1174.

menguntungkan keterwakilan perempuan tidak dapat digeneralisasikan untuk kondisi politik di negara lain. Simpulan ini juga perlu untuk hati-hati digunakan oleh publik Amerika karena hal ini dapat melenakan mereka dan justru mengesampingkan perjuangan keterwakilan perempuan. Terlebih, kondisi keterwakilan perempuan Amerika dalam Politik masih cukup jauh dari angka minimal critical mass (lihat tabel 2).

Sekalipun penulis memberikan beberapa tinjauan kritis tentang hasil studi Hayes dan Lawless, namun penulis juga memotret adanya pelajaran berharga yang dapat dipetik dari kondisi kepolitikan Amerika Serikat saat ini yang Hayes dan Lawless simpulkan lebih ramah terhadap perempuan. Hal tersebut berkaitan dengan profesionalitas media yang memberikan pemberitaan yang berimbang bagi kandidat laki-laki dan perempuan serta perilaku pemilih yang mendasarkan pilihannya pada identifikasi ideologi terhadap partai.

Berkaitan dengan profesionalitas media, norma yang dipatuhi oleh media, khususnya media lokal Amerika, dapat dicontoh oleh media di Indonesia. Berdasarkan pada data yang ditemukan oleh penulis dari berbagai lembaga swadaya masyarakat, dapat disimpulkan bahwa media di Indonesia masih memberikan kesempatan peliputan yang tidak berimbang untuk laki-laki dan perempuan di mana frekuensi pemberitaan kandidat laki-laki lebih sering daripada kandidat perempuan.13 Di samping itu, berdasarkan pada studi terbaru tentang citra media terhadap kandidat perempuan, diketahui bahwa media lebih sering mengerangkakan pemberitaan tentang kandidat perempuan pada citra fisik, citra popularitas, dan citra kontras (konflik yang dilakukan oleh perempuan) dari pada substansi agenda politik yang diusung.14

Sementara itu berkaitan dengan perilaku pemilih, era polarisasi kekuatan politik di Amerika Serikat dapat disimpulkan sebagai

13 The Indonesian Institute, Menilik Pemberitaan Kampanye, https://www.theindonesianinstitute.com/menilik-pemberitaan-kampanye/, diakses pada 21 Maret 2018.

14 Yeni Yuniarti dan Dedeh Fadilah, “Citra Caleg Perempuan dalam Framming Media Online”, MediaTor, Vol 10, No. 01 (Juni 2017), hlm. 75-86.

Page 204: KONSTELASI POLITIK DI TAHUN ELEKTORAL

316 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 15 No. 2 Desember 2018 | 307–317

wujud terlembaganya partai politik dengan baik. Hal ini dikarenakan partai mampu membentuk kadernya sebagai representasi sesungguhnya dari partai tersebut yang secara tidak langsung hal ini memengaruhi orientasi pemilih menjadi tidak lagi berorientasi pada kandidat namun berorientasi pada partai. Hal ini bertolak belakang dengan kondisi pemilih di Indonesia yang menurut Jae Hyeok Shin, dengan sistem pemilu proporsional terbuka, pemilih cenderung berorientasi pada kandidat (candidate centered) bukan kepada partai (partycentered).15 Hal tersebut menunjukkan bahwa internalisasi ideologi partai dalam diri kandidat belum sebaik apa yang terjadi di Amerika Serikat. Akibatnya, pemilih di Indonesia seringkali masih menilai bahwa gender seorang kandidat menentukan kualitas kepemimpinannya di mana yang lebih baik biasanya diidentikkan dengan kandidat laki-laki.

PenutupSecara keseluruhan buku yang ditulis oleh Hayes dan Lawless yang didasarkan pada studi mereka di Amerika pada dua kali pemilu antara yaitu pada tahun 2010 dan 2014, merupakan sebuah studi yang berhasil membongkar asumsi publik yang selama ini menyatakan bahwa arena politik adalah arena yang bias dan diskriminatif terhadap perempuan. Studi Hayes dan Lawless berhasil membuktikan bahwa asumsi tersebut ternyata tidak sepenuhnya mencerminkan kondisi arena politik yang sesungguhnya, karena dalam tahapan pemilu khususnya dalam masa kampanye yang dapat dilihat dari agenda politik kandidat, pemberitaan oleh berita, dan perilaku memilih pemilih, tidak menunjukkan bias yang dimaksud. Implikasi lebih dari studi ini juga perlu untuk diapresiasi karena studi ini dapat memberikan pemahaman kepada gate keeper partai politik untuk tidak lagi ragu merekrut kandidat perempuan karena arena politik pada kenyataannya tidak bias seperti yang digambarkan oleh pandangan umum tersebut. Hanya saja, dalam memahami studi ini, pembaca perlu berhati-hati dan tidak mudah menarik

15 Jae Hyeok Shin, “The choice of candidate-centered electoral systems in new democracies” Sage Journal Vol.2 Issue 2 (2017). doi.org/10.1177/1354068815581539

generalisasi bahwa arena politik di seluruh dunia sudah lebih ramah kepada perempuan seperti yang digambar Hayes dan Lawless. Studi ini sangat konstekstual dengan kondisi lanskap politik Amerika Serikat yang sudah matang. Bagi para pembaca, penulis sarankan harus dapat mengontekskan pula dengan perkembangan politik di negara atau daerah masing-masing.

Te rah i r, buku in i s anga t penu l i s rekomendasikan bagi siapa saja yang tertarik dengan studi-studi tentang perempuan dan politik khusunya perempuan dalam pemilu. Dengan hasil temuan yang menegasikan pandangan umum tentang wajah politik bagi perempuan, studi ini justru dapat menjadi referensi bagi peneliti, akademisi, maupun mahasiswa untuk mengembangkan studi lebih lanjut yang berkaitan dengan apa yang sebetulnya menjadi akar permasalahan rendahnya keterwakilan perempuan di daerah masing-masing. Apakah dari pandangan umum dan penerimaan publik atas identitas perempuan di ruang publik, sistem pemilu dan tahapan pemilu, atau justru faktor-faktor lainnya.

Daftar PustakaBukuAschroft, Bill. Gareth Griffith, dan HelenTiffin. The

Post-colonial Studies. Reader: Routledge, 1995.Ballington, Julie dan Azza Karam (eds). Women

in Parliament: Beyond Numbers. Stockholm, Sweden: International Institute for Democracy and Electoral Assistance. 2005.

Hayes, Danny & Lawless, Jennifer J. Women on the Run. Gender, Media, and Political Campaigns in Polarizes Era. Cambridge: Cambridge University Press. 2016.

Mosse, Juliana Cleves. Half the World, Half A Change. An Introduction to Gender and Development. Oxford: Oxfarm. 1993.

Jurnal dan ProsidingPartini. “Partisipasi Politik Perempuan dalam Praktik

Kewarganegaraan” Jurnal Perempuan Vol 19, No. 2 (Mei 2014).

Shin, Jae Hyeok. “The choice of candidate-centered electoral systems in new democracies” dalam Sage Journal Vol.2, Issue 2 (2017). doi.org/10.1177/1354068815581539.

Page 205: KONSTELASI POLITIK DI TAHUN ELEKTORAL

Mitos dan Realita Perempuan dalam Pemilu ... | Mouliza K.D Sweinstani | 317

Svaleryd, Helena. Women’s Representation and Public Spending, IFN Working Paper No.701. Stochholm: IFN, 2007.

Sweinstani, Mouliza K.D. Peran Partai Islam Dalam Meningkatkan Keterwakilan Perempuan Di Tingkat Nasional: Studi Tentang Partai Persatuan Pembangunan Dalam Memenuhi Kuota Minimal Perempuan Sebagai Calon Anggota DPR Tahun 2014, dalam Prosiding International Conference for Democracy 2016.

Sweinstani, Mouliza K.D dan Mariyah, C. “Political Recruitment Of Chinese-Indonesian Women Candidate: Study On PDI Perjuangan Recruitment In Nominating Chinese-Indonesian Woman Candidate In Semarang City Legislative Election 2014,” People:International Journal Of Social Science, Vol. 3, No. 2 (2017).

Yuniarti, Yeni dan Fadilah Dedeh. Citra Caleg Perempuan dalam Framming Media Online, MediaTor, Vol. 10, No. 01 (Juni 2017).

Sumber OnlineIPU, Women in National Parliament; World

Classification, dalam http://archive.ipu.org/wmn-e/classif.htm.

The Indonesian Institute, Menilik Pemberitaan K a m p a n y e , d a l a m h t t p s : / / w w w.the indones ian ins t i tu t e . com/meni l ik -pemberitaan-kampanye/, diakses pada 21 Maret 2018.

Page 206: KONSTELASI POLITIK DI TAHUN ELEKTORAL
Page 207: KONSTELASI POLITIK DI TAHUN ELEKTORAL

Tentang Penulis | 319

TENTANG PENULIS

Aisah Putri BudiatriPenulis adalah peneliti di bidang Perkembangan Politik Nasional, Pusat Penelitian Politik, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Ia mengenyam pendidikan ilmu politik program sarjana di Universitas Indonesia dan program pasca-sarjana di Rockefeller College, State University of New York at Albany (SUNY at Albany). Beberapa tulisan akademik mengenai partai politik, parlemen, pemilu, konflik Papua, dan perempuan politik telah diterbitkan di dalam jurnal dan buku. Penulis dapat dihubungi melalui [email protected].

Agus SutisnaPenulis merupakan dosen di FISIP Universitas Muhamamdiyah Tangerang. Menyelesaikan pendidikan doktoral di Universitas Nasional, Jakarta. Saat ini penulis menjadi anggota KPU Provinsi Banten periode 2018-2023. Aktif menulis tentang kepemiluan dan demokrasi di berbagai jurnal dan buku. Penulis dapat dihubungi melalui email: [email protected].

Firman NoorPenulis merupakan peneliti senior sekaligus professor riset pada Pusat Penelitian Politik – Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Menyelesaikan pendidikan S1 di Universitas Indonesia, S2 di Australian National University dan S3 di Universitas Exeter, Inggris. Karya-karya akademisnya banyak diterbitkan dalam jurnal nasional dan internasional maupun buku terkait kepemiluan dan partai politik. Penulis dapat dihubungi melalui Email: [email protected].

Idil AkbarPenulis merupakan dosen di FISIP Universitas Padjajaran, Bandung. Menyelesaikan pendidikan master Ilmu Politik di FISIP Universitas

Indonesia. Penulis dapat dihubungi melalui email: [email protected]

Kurniawati Hastuti DewiPenulis adalah peneliti senior pada Pusat Penelitian Politik-LIPI. Pada tahun 2007 menyelesaikan program master dari Faculty of Asian Studies Australian National University dan mendapat gelar doktor dari Kyoto University Jepang tahun 2012. Memiliki passion dalam bidang gender dan politik, kepemimpinan perempuan, gender dan desentralisasi, hak-hak asasi perempuan dan anak serta gender, Islam dan demokrasi di Indonesia. Berbagai tulisan akademis telah diterbitkan dalam jurnal nasional, internasional dan buku. Penulis dapat dihubungi melalui email: [email protected].

Lili RomliPenulis merupakan peneliti senior dan professor riset di Pusat Penelitian Politik – Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Menyelesaikan pendidikan doctoral ilmu politik di FISIP Universitas Indonesia. Kajan yang diminati penulis adalah tentang kepemiluan dan partai politik. Penulis dapat dihubungi melalui: email: [email protected]

M. Fajar Shodiq RamadlanPenulis merupakan pengajar pada Program Studi Ilmu Politik, FISIP, Universitas Brawijaya. Menyelesaiakn pendidikan S1 dan S2 di Universitas Airlangga, Surabaya. Beberapa karya tulisnya tentang kepemiluan telah dimuat dalam berbagai jurnal. Penulis dapat dihubungi melalui email: [email protected].

Moch NurhasimAdalah peneliti senior di Pusat Penelitian Politik-Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Pendidikan S2 diselesaikan di Universitas

Page 208: KONSTELASI POLITIK DI TAHUN ELEKTORAL

320 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 15 No. 2 Desember 2018

Indonesia. Berbagai kajian seputar kepemiluan, partai poitik, parlemen dan pilkada telah dihasilkan dalam bentuk jurnal dan buku. Penulis dapat dihubungi melalui email: [email protected].

Mouliza K.D SweinstaniPenulis merupakan peneliti di Pusat Penelitian Politik-Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia sejak 2018. Menyelesaikan pendidikan S1 di Universitas Diponegoro dan S2 di Universitas Indonesia. Sebelumnya bekerja di Bawaslu RI. Kajian yang diminati penulis antara lain: gender dan politik dan kepemiluan. Penulis dapat dihubungi melalui email: [email protected].

Romel MasykuriPenulis merupakan mahasiswaprogram magister Ilmu Politik, FISIP, Universitas Airlangga. Dapat dihubungi melalui email: [email protected]

RidhoImawanHanafiPenelit i Pusat Penelit ian Polit ik LIPI. Menyelesaikan S1 Jurusan Jurnalistik, Fakultas Ilmu Komunikasi, Universitas Dr. Soetomo, Surabaya. Melanjutkan S2 di Departemen Ilmu Politik, FISIP, Universitas Indonesia. Sebelum di LIPI, penulis bekerja sebagai peneliti di Soegeng Sarjadi Syndicate, Jakarta (2008-2014). Kajian yang diminati adalah demokrasi, partai politik, dan pemilu. Penulis dapat dihubungi melalui surel [email protected].

Sri Budi Eko WardaniPenulis adalah pengajar di departemen Ilmu Politik, FISIP Universitas Indonesia. Penulis menyelesaikan pendidikan S1, S2 dan S3 di Universitas Indonesia. Pernah menjadi Direktur Eksekutif Puskapol UI. Kajian peminatan penulis adalah tentang kepemiluan, perempuan dan perwakilan politik. Penulis dapat dihubungi melalui email: [email protected].

Sri Yanuarti Peneliti pada Pusat Penelitian Politik - LIPI. Gelar sarjana Ilmu Politik diperolehnya dari Universitas Diponegoro Semarang. Beberapa kontribusi tulisannya telah Intelijen dalam Pusaran Demokrasi di Indonesia Pasca Orde Baru diterbitkan antara lain: Military Politics, Ethnicity and Conflict in Indonesia, Tentara yang Gelisah, Tentara Mendamba Mitra, Militer dan Kekerasan Politik di Masa Orde Baru, Beranda Perdamaian, Problematika Pengelolaan Keamanan dan Pertahanan di Wilayah Konflik (Aceh dan Papua), Model Kaji Ulang Pertahanan Indonesia: Supremasi Sipil dan Transformasi Pertahanan, Evaluasi Penerapan Darurat Militer di Aceh 2003- 2004, dan Hubungan Sipil Militer Era Megawati. Kajian kepolisian di antaranya: Polri di Era Demokrasi: Dinamika Pemikiran Internal; Evaluasi Reformasi Polri dan lain- lain. Selain kajian tentang pertahanan dan keamanan, Sri Yanuarti juga aktif menulis kajian tentang konflik antara lain: Konflik di Maluku & Maluku Utara: Strategi Penyelesaian Konflik Jangka Panjang, Capacity Building: Kelembagaan Pemerintah dan Masyarakat di Tingkat Lokal dalam Pengelolaan Konflik di Maluku; Kerusuhan Sosial di Indonesia: Studi Kasus Kupang, Mataram, dan Sambas; Kerangka Pencegahan Konflik Komunal di Indonesia, dan lain-lain. Ia dapat dihubungi melalui surel [email protected].

Page 209: KONSTELASI POLITIK DI TAHUN ELEKTORAL

Pedoman Penulisan | 321 Pedoman Penulisan | 145

PEDOMAN PENULISAN

1. Tulisan yang dimuat harus merupakan kajian ilmiah atas isu dan peristiwa yang berkaitan dengan politik dalam negeri dan internasional, baik dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris.

2. Tulisan merupakan karya sendiri, bukan saduran atau terjemahan dan belum pernah dipublikasikan dalam bentuk dan bahasa apa pun.

3. Tulisan mengandung data atau pemikiran yang baru dan orisinal.

4. Tulisan yang dimuat sepenuhnya menjadi tanggung jawab pribadi penulis yang bersangkutan.

5. Panjang naskah untuk artikel, 20-25 halaman A4, spasi 1,5; book review, 10-15 halaman A4, spasi 1,5.

6. Sistematika artikel hasil pemikiran/telaahan adalah: judul; nama penulis (tanpa gelar akademik); nama dan alamat institusi; alamat e-mail penulis; riwayat naskah; abstrak (maksimum 150 kata dalam bahasa Inggris dan 25 kata dalam bahasa Indonesia); kata kunci (4-5 kata kunci); pendahuluan; pembahasan (terbagi dalam beberapa sub-judul); penutup; daftar pustaka.

JUDUL

Penulis

Nama Instansi

Alamat lengkap instansi penulis

Email penulis

Riwayat naskah

Abstract: Abstract in English (max. 150 words)

Keywords: 4 – 5 words/ phrase

Abstrak: Abstrak dalam bahasan Indonesia (maks. 250 kata)

Kata Kunci: 4 – 5 kata/ frasa

Pendahuluan

Pembahasan

Penutup

Daftar Pustaka

Page 210: KONSTELASI POLITIK DI TAHUN ELEKTORAL

322 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 15 No. 2 Desember 2018 146 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 13, No.2 Desember 2016

7. Sistematika artikel review buku (book review) adalah: judul; nama penulis (tanpa gelar akademik); nama dan alamat institusi; alamat e-mail penulis; riwayat naskah; judul buku; pengarang; penerbit; cetakan; tebal; abstrak (maksimum 150 kata dalam bahasa Inggris dan 25 kata dalam bahasa Indonesia); kata kunci (4-5 kata kunci); pendahuluan; pembahasan (terbagi dalam beberapa sub-judul); penutup; daftar pustaka.

JUDUL

PenulisNama Instansi

Alamat lengkap instansi penulis

Email penulis

Riwayat naskah

Judul buku

Pengarang

Penerbit

Tebal

Abstract: Abstract in English (max. 150 words)

Keywords: 4 – 5 words/ phrase

Abstrak: Abstrak dalam bahasan Indonesia (maks. 250 kata)

Kata Kunci: 4 – 5 kata/ frasa

PendahuluanPembahasanPenutupDaftar Pustaka

8. Tabeldangambar,untuktabeldangambar(grafik)didalamnaskahharusdiberinomorurut.

a. Tabel atau gambar harus disertai judul. Judul tabel diletakkan di atas tabel sedangkan judul gambar diletakkan di bawah gambar.

b. Sumber acuan tabel atau gambar dicantumkan di bawah tabel atau gambar.c. Garis tabel yang dimunculkan hanya pada bagian header dan garis paling bawah tabel.

Sedangkan untuk garis vertikal pemisah kolom tidak dimunculkan.

Page 211: KONSTELASI POLITIK DI TAHUN ELEKTORAL

Pedoman Penulisan | 323 Pedoman Penulisan | 147

Contoh penyajian Tabel:

Tabel 1. Agenda-agenda Besar Konsolidasi

ContohpenyajianGambar/Grafik:

Sumber: Komisi Pemilihan Umum (KPU)

Grafik2. Tren Partisipasi dalam Pemilu

9. Perujukan sumber acuan menggunakan footnotes, dengan ketentuan sebagai berikut:

a. Format rujukan dari buku: nama penulis, judul buku (italic), kurung buka, kota penerbitan, titik dua, nama penerbit, tahun terbit, kurung tutup, nomor halaman, titik. Contoh:

Denny J.A., Partai Politik Pun Berguguran, (Yogyakarta: LKIS, 2006), hlm. v.

b. Format rujukan dari buku (bunga rampai): nama penulis artikel, “judul artikel ditulis tegak dalam dua tanda petik”, dalam, nama editor buku, judul buku (italic), kurung buka, kota penerbitan, titik dua, nama penerbit, tahun terbit, kurung tutup, h., nomor halaman, titik. Contoh:

Leonardo Morlino, “Political Parties and Democratic Consolidation in Southern Europe,” dalam Richard Gunther, P. Nikiforos Diamandouros dan Hans Jurgen Puhle (eds.), The Politics of Democratic Consolidation: Southern Europe in Comparative Perspective, (BaltimoreMD:JohnsHopkinsUniversityPress,1995),h.315−388.

c. Format rujukan dari jurnal: nama penulis, “judul artikel ditulis tegak dalam dua tanda petik,” sumber artikel (italic), nomor atau edisi, tahun, h., nomor halaman, titik. Contoh:

Lili Romli, “Peta Kekuatan Politik Setelah Reformasi dan Kecenderungan Koalisi Parpol,” Jurnal Demokrasi dan HAM, 2000, h. 124-125.

Page 212: KONSTELASI POLITIK DI TAHUN ELEKTORAL

324 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 15 No. 2 Desember 2018 148 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 13, No.2 Desember 2016

d. Format rujukan dari makalah seminar/konferensi: nama penulis, “judul makalah ditulis tegak dalam dua tanda petik,” makalah, nama/tema seminar, tempat pelaksanaan seminar, waktu, h., nonor halaman, titik. Contoh:

Andrea Ceron dan Alessandra Caterina Cremonesi, “Politicians Go Social: Estimating Intra-Party Heterogeneity (and its Effect) through the Analysis of Social Media,” makalah disampaikan pada NYU La Pietra Dialogues on Social Media and Political Participation, Florence, 10-11 Mei 2013, h 3.

e. Format rujukan dari media online: nama penulis, “judul artikel ditulis tegak dalam dua tanda petik,” nama situs, tanggal akses situs. Contoh:

Berita8, “Media Sosial bisa Perkuat Fungsi Partai Politik”, 18 April 2013, http://www.berita8.com/berita/2013/04/MediaSosial-bisa-perkuat-fungsi-partai-politik, diakses pada tanggal 18 Juni 2013.

f. Format rujukan dari media massa: nama penulis, “judul artikel ditulis tegak dalam dua tanda petik,” sumber media (italic), tanggal terbit, nomor halaman, titik. Contoh:

Degung Santikarma, “Monumen, Dokumen dan Kekerasan Massal,” Kompas, 1 Agustus 2003, h. 12.

10. Penulisan sumber Daftar Pustaka dibedakan menjadi: buku; jurnal; laporan dan makalah; surat kabar dan website. Daftar Pustaka dituliskan dengan urutan abjad nama belakang (family name). Format penulisan sebagai berikut:

a. Format rujukan dari buku:

Buku dengan satu pengarang: nama penulis; tahun terbit; judul buku; tempat terbit; nama penerbit. Contoh:

Caplan, Bryan.2007. The Myth of the Rational Voter: Why Democracies Choose Bad Policies. New Jersey: Princeton University Press.

Buku dengan dua pengarang: nama penulis (dua orang); tahun terbit; judul buku; tempat terbit; nama penerbit. Contoh:

Aspinall, E. dan M.Mietzner. 2010. Problems of Democratisation in Indonesia: Elections, Institutions and Society. Singapore: ISEAS Publishing.

Buku dengan lebih dari dua pengarang: nama penulis (et al); tahun terbit; judul buku; tempat terbit; nama penerbit. Contoh:

Ananta, Aris, et al., 2004. Indonesian Electoral Behaviour: A Statistical Perspective. Singapore: ISEAS Publishing.

Artikel/tulisan dalam buku: nama penulis; tahun terbit; judul tulisan; dalam nama editor; judul buku; tahun terbit; tempat penerbit; nama penerbit. Contoh:

Qodari, M. 2010. “The Professionalisation of Politics: The Growing Role of Polling Organisation and Political Consultants”, dalam Aspinall, E. dan M. Mietzner (eds.). Problems of Democratisation in Indonesia: Elections, Institutions and Society. Singapore: ISEAS Publishing.

b. Format rujukan dari jurnal: nama penulis; tahun; judul artikel; nama jurnal; volume jurnal; nomor jurnal; nomor halaman. Contoh:

Page 213: KONSTELASI POLITIK DI TAHUN ELEKTORAL

Pedoman Penulisan | 325 Pedoman Penulisan | 149

Ufen, A. 2008. “From Aliran to Dealignment: Political Parties in post-Suharto Indonesia”. South East Asia Research, 16 (1): 5-41.

c. Format rujukan dari laporan dan makalah:

Laporan penelitian: nama penulis; tahun terbit; judul laporan; tempat penerbit; nama penerbit. Contoh:

Mainwaring, Scott, 1998. “Rethinking Party Systems Theory In The Third Wave Of Democratization: The Importance of Party System Institutionalization.” Working Paper #260 - October 1998, Kellogg Institue.

Makalah seminar: nama penulis; tahun terbit; judul makalah; nama kegiatan seminar; waktu pelaksanaan kegiatan seminar; tempat penerbit; nama penerbit. Contoh:

Ceron, Andrea dan Alessandra Caterina Cremonesi. 2013. “Politicians Go Social: Estimating Intra-Party Heterogeneity (and its Effect) through the Analysis of Social Media”. Paper disampaikan pada NYU La Pietra Dialogues on Social Media and Political Participation, Florence, 10-11 Mei 2013.

d. Format rujukan dari surat kabar dan website

Artikel media massa: nama penulis; tahun terbit; judul artikel; nama media massa; tanggal terbit; nomor halaman. Contoh:

Wahid, Sholahuddin. 1998. “Di Balik Berdirinya Partai-Partai di Kalangan NU,” Republika, 3 Oktober.

Artikel online: nama penulis/institusi; tahun terbit; judul artikel, alamat websites; waktu unduh. Contoh:

Aspinall, Edward, “The Taming of Ethnic Conflict in Indonesia”, dalam http://www.eastasiaforum.org/2010/08/05/the-taming-of-ethnic-conflict, diunduh pada 28 November 2013.

11. Pengiriman Artikel:

Naskah dikirim dalam bentuk printout sebanyak 2 eksemplar beserta softcopy ke alamat redaksi atau dapat dikirimkan melalui email redaksi ([email protected]).

Redaksi memberikan honorarium untuk setiap artikel yang dimuat.

Artikel yang diterima setelah deadline akan dipertimbangkan untuk dimuat pada edisi berikutnya.

Artikel dapat dikirimkan melalui website e-journal dengan alamat http://ejournal.lipi.go.id/index.php/jpp dengan cara mendaftar secara online.

12. Alamat Jurnal Penelitian Politik:

P2P-LIPI, Widya Graha LIPI, Lantai III dan XIJl. Jend. Gatot Subroto No. 10 Jakarta Selatan 12710Telp/Fax. (021) 520 7118

13. Langganan:

Harga Pengganti ongkos cetak Rp.75.000,- per eksemplar sudah termasuk ongkos kirim biasa. Untuk berlangganan dan surat menyurat langsung hubungi bagian sirkulasi Redaksi Jurnal Penelitian Politik.

Page 214: KONSTELASI POLITIK DI TAHUN ELEKTORAL

InformasiHasil Penelitian Terpilih