3. METODOLOGI 3.1. Kerangka Pemikiran Tumbuhan obat adalah salah satu kekayaan koleksi KRB dan merupakan kekayaan alam yang dibutuhkan oleh masyarakat dari masa ke masa. Pemenuhan kebutuhan tumbuhan obat yang hanya bersandarkan keberadaannya di alam tanpa budidaya akan semakin sulit dan alam pun akan kehabisan stoknya. Hal ini terjadi di beberapa kawasan hutan seperti di Taman Nasional Ujung Kulon untuk kasus pule dan di Taman Nasional Meru Betiri untuk kasus kedawung (Hidayat 2006). Kekayaan dan keanekaragaman spesies tumbuhan obat yang dimiliki bangsa Indonesia ini ternyata belum memberikan dampak positif terhadap kesejahteraan masyarakatnya (Waluyo 2009). Penanganan secara pasif (in situ) tumbuhan obat yang hidup di kawasan konservasi relatif memadai, akan tetapi bagi spesies tumbuhan obat liar yang hidup di luar wilayah sistem cagar alam secara teknis tidak terjamin keamanannya (Djumidi et al. 1999). Dalam hal ini Suhirman (1999) telah mengingatkan bahwa manusia tidak menyadari betapa pentingnya tumbuhan tidak hanya untuk kesejahteraan tetapi juga untuk kelangsungan hidup kita, mereka tidak peduli akan kepunahan spesies. Pelibatan berbagai pemangku kepentingan dalam mengkaji dan mengembangkan kebijakan, hukum, dan strategi akan mempengaruhi pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya tumbuhan obat (WHO-IUCN-WWF 2010). Dalam rangka menuju pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang tumbuhan obat, maka diperlukan suatu strategi pengembangannya. Pengembangan tumbuhan obat di Indonesia perlu adanya dukungan penuh kebijakan pemerintah terutama adanya jaminan terselenggaranya penelitian yang berkelanjutan. Langkah-langkah yang harus ditempuh antara lain: inventarisasi dan karakterisasi keanekaragaman spesies tumbuhan obat, kerjasama antar lembaga penelitian, LSM, dan perusahaan farmasi serta lembaga penelitian independen lainnya, serta penentuan skala prioritas arah penelitian tumbuhan obat (Purwanto 2002). Dalam hal ini penentuan prioritas konservasi tumbuhan obat merupakan salah satu prioritas penelitian yang dinyatakan dalam draft Guidelines on The Conservation of Medicinal Plants.
12
Embed
Konservasi Ex situ Tumbuhan Obat di Kebun Raya Bogor
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
19
3. METODOLOGI
3.1. Kerangka Pemikiran
Tumbuhan obat adalah salah satu kekayaan koleksi KRB dan merupakan
kekayaan alam yang dibutuhkan oleh masyarakat dari masa ke masa. Pemenuhan
kebutuhan tumbuhan obat yang hanya bersandarkan keberadaannya di alam tanpa
budidaya akan semakin sulit dan alam pun akan kehabisan stoknya. Hal ini terjadi
di beberapa kawasan hutan seperti di Taman Nasional Ujung Kulon untuk kasus
pule dan di Taman Nasional Meru Betiri untuk kasus kedawung (Hidayat 2006).
Kekayaan dan keanekaragaman spesies tumbuhan obat yang dimiliki bangsa
Indonesia ini ternyata belum memberikan dampak positif terhadap kesejahteraan
masyarakatnya (Waluyo 2009). Penanganan secara pasif (in situ) tumbuhan obat
yang hidup di kawasan konservasi relatif memadai, akan tetapi bagi spesies
tumbuhan obat liar yang hidup di luar wilayah sistem cagar alam secara teknis
tidak terjamin keamanannya (Djumidi et al. 1999). Dalam hal ini Suhirman
(1999) telah mengingatkan bahwa manusia tidak menyadari betapa pentingnya
tumbuhan tidak hanya untuk kesejahteraan tetapi juga untuk kelangsungan hidup
kita, mereka tidak peduli akan kepunahan spesies. Pelibatan berbagai pemangku
kepentingan dalam mengkaji dan mengembangkan kebijakan, hukum, dan strategi
akan mempengaruhi pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya tumbuhan obat
(WHO-IUCN-WWF 2010).
Dalam rangka menuju pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di
bidang tumbuhan obat, maka diperlukan suatu strategi pengembangannya.
Pengembangan tumbuhan obat di Indonesia perlu adanya dukungan penuh
kebijakan pemerintah terutama adanya jaminan terselenggaranya penelitian yang
berkelanjutan. Langkah-langkah yang harus ditempuh antara lain: inventarisasi
dan karakterisasi keanekaragaman spesies tumbuhan obat, kerjasama antar
lembaga penelitian, LSM, dan perusahaan farmasi serta lembaga penelitian
independen lainnya, serta penentuan skala prioritas arah penelitian tumbuhan obat
(Purwanto 2002). Dalam hal ini penentuan prioritas konservasi tumbuhan obat
merupakan salah satu prioritas penelitian yang dinyatakan dalam draft Guidelines
on The Conservation of Medicinal Plants.
20
Penyusunan strategi pengelolaan konservasi tumbuhan didorong oleh
adanya masalah-masalah terkait dengan lingkungan hidup. Untuk dapat mengatasi
masalah-masalah tersebut diperlukan sumberdaya manusia yang mampu
mengelola sumberdaya alam secara bijaksana (Rideng 1999). Sumberdaya
manusia secara mikro mencakup dua aspek yaitu aspek fisik (postur tubuh,
kesehatan, daya tahan, dan sebagainya) dan aspek non fisik (kognitif, afektif dan
psikomotor). Kedua aspek tersebut saling melengkapi sehingga merupakan
kesatuan yang utuh. Kualitas kedua aspek tersebut perlu terus ditingkatkan
melalui pendidikan.
Salah satu bentuk pengelolaan tumbuhan adalah koleksi secara ex situ.
Koleksi ex situ menurut Lascurain et al. (2008) menyediakan bahan untuk
penelitian, reintroduksi, pendidikan, dan peningkatan kepedulian masyarakat.
Pelestarian ex situ tumbuhan obat sebenarnya secara langsung dapat bermanfaat
bagi kehidupan manusia (Diwyanto 2002) dan dapat dilakukan dengan berbagai
cara, antara lain:
1. Penyimpanan dalam kamar-kamar bersuhu dingin.
2. Kebun koleksi.
3. Kebun plasma nutfah.
4. Kebun botani/kebun raya.
KRB sudah lama memiliki koleksi tumbuhan obat baik secara khusus
maupun yang tersebar di pelosok kebun. Saat ini tumbuhan obat koleksi KRB
baru berperan sebagai penghias dan pelengkap taman. Beberapa koleksi
mengalami kematian dan kehilangan baik akibat alami, ulah manusia, maupun
bencana alam (Hidayat et al. 2007). Sesuai kaidah konservasi terutama mengenai
pemanfaatan yang berkelanjutan seharusnya koleksi tumbuhan obat KRB dapat
dirasakan keberadaan dan manfaatnya oleh masyarakat umum. Di sisi lain sebagai
lembaga konservasi flora ex situ skala nasional dan internasional, KRB sangat
diharapkan kiprahnya untuk memenuhi Target 8 dan 9 GSPC (CBD 2002) dimana
60% spesies terancam dapat dikoleksi secara ex situ dan 70% dari keragaman
tumbuhan pangan dan bernilai ekonomi dapat dikonservasi serta yang
berhubungan dengan pengetahuan lokal dapat dipertahankan.
21
Secara historis tumbuhan obat adalah bagian penting dari kebun raya (Shan-
an and Zhong-ming 1991), Kebun raya memerankan secara penuh dalam berbagai
kegiatan mulai dari seleksi, analisis, pendugaan, budidaya, konservasi, dan
perlindungan tumbuhan obat (Akerele 1991). Keberadaan kebun raya sebagai
lembaga konservasi ex situ berperan sangat penting dalam perlindungan,
pengawetan, dan pemanfaatan sumber daya alam seperti tumbuhan obat.
Suhirman (2001) menyatakan ada empat strategi yang perlu dikerjakan
dalam bidang konservasi keanekaragaman tumbuhan:
1. Penggemblengan ahli konservasi menjadi kader konservasi.
2. Penentuan prioritas taksa yang akan dikonservasi.
3. Pendidikan konservasi bagi seluruh lapisan masyarakat.
4. Penegakan hukum.
Selain itu Suhirman (2001) juga menyatakan pentingnya penentuan
ancaman terhadap tumbuhan tertentu, karena tanpa pengetahuan yang benar
tentang faktor-faktor yang mengancam suatu spesies maka tidak mungkin kita
dapat melaksanakan konservasinya secara seksama.
Pada dasarnya konservasi berkaitan erat dengan kebutuhan masyarakat.
Konservasi sering dianggap hanya merupakan beban saja karena menghabiskan
pikiran, dana yang besar, tenaga yang melelahkan dan berkepanjangan.
Pandangan tersebut diduga bahwa upaya konservasi dilihat sebagai suatu
kewajiban dimana tidak tampak adanya kegiatan yang diiringi oleh proses
pemanfaatannya (Diwyanto 2002). Masyarakat di sekitar kebun botani melihat
kebun dari kepentingan masing-masing, sehingga kalau kebun botani tidak
memberi manfaat apapun kepada dirinya mereka tidak akan termotivasi untuk
tidak merusak apalagi memeliharanya. (Ruslan & Sastrapradja 2008).
Di Indonesia pemanfaatan tumbuhan untuk memenuhi kebutuhan
masyarakat terus dikembangkan, namun rendahnya pengetahuan dasar
pemanfaatan sumberdaya genetika dari tumbuhan menyebabkan ketidakpedulian
masyarakat dalam kegiatan konservasi tumbuhan (Basuki et al. 1999). Penyebab
lain yang lebih mendasar adalah kurangnya informasi tentang konservasi
tumbuhan kepada masyarakat. Tingkat mengetahui, memahami, dan mampu
mengelola sesuai dengan etika konservasi hanya akan terlaksana melalui proses
22
pendidikan baik pendidikan formal maupun pendidikan non formal atau
penyuluhan (Bari dan Supriatna 1999).
Menurut Bari dan Supriatna (1999) upaya pelestarian sumberdaya hayati
tumbuhan harus ditingkatkan melalui pendidikan. Pendidikan konservasi
seharusnya tidak hanya untuk masyarakat umum tetapi juga untuk para politikus
dan pembuat kebijakan (Suhirman 1999). Etika pemanfaatan tumbuhan harus
menjadi kesadaran dan langkah utama umat manusia dalam mengelola
sumberdaya alam hayati. Konservasi adalah salah satu etika pilihan yang disadari
dan akan menjamin kesejahteraan manusia dan makhluk hidup lain. (Bari dan
Supriatna 1999).
Hal yang penting menurut Amzu (2007) untuk dapat terwujudnya
konservasi seperti apa yang diharapkan adalah prasyarat adanya kerelaan
berkorban untuk konservasi. Kerelaan berkorban sebenarnya adalah suatu sikap
yang timbul dikarenakan adanya nilai obyek yang memenuhi harapan. Nilai dapat
memotivasi individu untuk melakukan suatu tindakan tertentu (Sumitomo 2004).
Azwar (2010) menjelaskan bahwa pengetahuan mengenai proses
terbentuknya sikap individu dan kelompok akan sangat bermanfaat dalam
penanganan masalah-masalah sosial. Penanganan itu antara lain dalam bentuk
pemberian stimulus-stimulus tertentu untuk memperoleh efek perilaku yang
diinginkan. Dalam kaitan konservasi tumbuhan obat Amzu (2007) mengajukan
konsep tri-stimulus amar konservasi sebagai alat untuk mengimplementasikan
pengelolaan kawasan konservasi (Gambar 1). Sukarnya tujuan konservasi
terwujud memuaskan tidak lain penyebabnya adalah terjadi bias pemahaman dan
pengalaman dalam masyarakat antar konteks nilai-nilai alamiah (Bio-ekologi dan
kelangkaan) nilai-nilai manfaat (ekonomi) dan nilai-nilai rela-religius (agama,
keikhlasan, moral dan sosial budidaya).
Nilai alamiah adalah nilai-nilai kebenaran di alam. Tumbuhan obat KRB
memiliki catatan di Bagian Registrasi sehingga nilai kebenaran secara ilmiah dan
historis adalah stimulus utama dalam pelestariannya. Sebagai tumbuhan yang
ditanam di luar habitatnya tumbuhan obat koleksi KRB banyak mengalami
kematian dan gangguan dalam pertumbuhannya. Beberapa spesies langka menjadi
koleksi yang kritis bagi KRB sehingga memerlukan perhatian khusus.
23
Gambar 1 Diagram alir “tri-stimulus amar konservasi”: stimulus, sikap dan perilaku aksi konservasi (Amzu 2007).
Nilai manfaat berkaitan erat dengan pandangan praktis atau pragmatis, yang
bahkan menjadi pegangan banyak orang, terutama apabila dikaitkan dengan
kenyataan dan tujuan yang ingin dicapai baik pada tingkat individu, kelompok
maupun masyarakat (Amzu 2007). Beragam bakteri, kapang, serta makhluk mikro
lainya telah diketahui sebagai kekayaan tersembunyi di antara spesies koleksi
tumbuhan obat. Beragam penyakit dapat diatasi tumbuhan obat mulai dari
gangguan kulit hingga gangguan organ dalam manusia, ini merupakan nilai yang
belum termanfaatkan dari koleksi tumbuhan obat KRB (Hidayat et al. 2006).
Nilai rela, moral dan spiritual bangsa Indonesia yang berkaitan dengan
konservasi tumbuhan sebagai kearifan berbagai suku dan agama yang dianut
bangsa Indonesia dapat disampaikan, yang secara umum ditekankan kepada sikap
harmonis dengan Tuhan, terhadap sesama makhluk dan terhadap alam lingkungan
(Bari dan Supriatna 1999). Kecintaan terhadap alam dan tumbuhan, kesenangan
akan keindahan taman/tumbuhan, kesejukan, ketenangan, kenyamanan dan
keamanan adalah beberapa contoh nilai yang dapat mendorong kerelaan
masyarakat untuk konservasi. Menurut Amzu (2007) stimulus rela-religius sangat
berpengaruh dan efektif mendorong terwujudnya sikap dan perilaku untuk aksi
konservasi.
Tri-Stimulus Amar Konservasi • Stimulus Alamiah Nilai-nilai kebenaran dari alam, kebutuhan keberlanjutan sumberdaya alam hayati sesuai dengan karakter bioekologinya • Stimulus Manfaat Nilai-nilai kepentingan untuk manusia: manfaat ekonomi, manfaat obat, manfaat biologis/ekologis dan lainnya • Stimulus Rela Nilai-nilai kebaikan, terutama ganjaran dari Sang Pencipta Alam, nilai spritual, nilai agama yang universal, pahala, kebahagiaan, kearifan budaya/ tradisional, kepuasan batin dan lainnya