Page 1
KONSEP WALI MUJBIR DALAM PERKAWINAN MENURUT PANDANGAN KH. HUSEIN MUHAMMAD
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Guna Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (SH)
Oleh:
Miftakhul Khoiri
NIM 33010160016
PROGRAM STUDI AHWAL AL SYAKHSHIYYAH
FAKULTAS SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SALATIGA (IAIN)
SALATIGA 2020
Page 2
KONSEP WALI MUJBIR DALAM PERKAWINAN MENURUT
PANDANGAN KH. HUSEIN MUHAMMAD
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Guna Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (SH)
Oleh:
Miftakhul Khoiri
NIM 33010160016
PROGRAM STUDI AHWAL AL SYAKHSHIYYAH
FAKULTAS SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SALATIGA (IAIN)
SALATIGA 2020
ii
Page 4
KONSEP WALI MUJBIR DALAM PERKAWINAN MENURUT
PANDANGAN KH. HUSEIN MUHAMMAD
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Guna Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (SH)
Oleh:
Miftakhul Khoiri
NIM 33010160016
PROGRAM STUDI AHWAL AL SYAKHSHIYYAH
FAKULTAS SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SALATIGA (IAIN)
SALATIGA 2020
iv
Page 5
NOTA PEMBIMBING
Lamp : 4 (empat) eksemplar
Hal : Pengajuan Naskah Skripsi
Kepada Yth.,
Dekan Fakultas Syari’ah IAIN Salatiga
Di Salatiga
Assalamu'alaikum Wr. Wb.
Disampaikan dengan hormat, setelah dilaksanakan bimbingan, arahan dan koreksi,
maka naskah skripsi mahasiswa:
Nama
NIM
Program Studi
Fakultas
Judul Skripsi
: Miftakhul Khoiri
: 33010160016
: Hukum Keluarga Islam
: Syari’ah
: KONSEP WALI MUJBIR DALAM PERNIKAHAN MENURUT PEMIKIRAN KH.HUSEIN MUHAMMAD
Dapat diajukan kepada Fakultas Syari’ah IAIN Salatiga untuk diujikan dalam sidang
munaqasyah.
Demikian nota pembimbing ini dibuat, untuk menjadi perhatian dan digunakan
sebagimana mestinya.
Wassalamu'alaikum Wr. Wb.
Salatiga, 17 Desember 2019
Pembimbing,
Prof.Dr.H. Muh.Zuhri,MA
NIP. 19530326 197803 1001
v
Page 6
KEMENTERIAN AGAMA REPUBLIK INDONESIA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA
FAKULTAS SYARI’AH Jalan Nakula Sadewa V No.9 Telp.(0298)3419400 fax 323433 Salatiga 50722
Website:www.iainsalatiga.ac.id E-mail: [email protected]
PENGESAHAN
SKRIPSI
KONSEP WALI MUJBIR DALAM PERKAWINAN MENURUT
PANDANGAN KH. HUSEIN MUHAMMAD
Disusun oleh :
Miftakhul Khoiri
NIM 33010160016
Telah dipertahankan di depan Panitia Dewan Penguji Skripsi Fakultas Syari’ah Institut Agama
Islam Negeri (IAIN) Salatiga, pada hari Rabu,tanggal 18 Mei 2020, dan telah dinyatakan
memenuhi syarat guna memperoleh gelar Sarjana dalam hukum islam.
Dewan Sidang Munaqosyah
Ketua Sidang : Dr. Siti Zumrotun, M.Ag.
Skretaris Sidang : Prof. Dr. H. Muh. Zuhri, M.A.
Penguji I : Dr. Ilyya Muhsin, M.Si.
Penguji II : Dr. Ahmad Sultoni, M.Pd.
Page 7
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN
DAN
KESEDIAAN DI PUBLIKASIKAN
Saya yang bertanda-tangan di bawah ini:
Nama
: Miftakhul Khoiri
NIM
: 33010160016
Fakultas
: Syari’ah
Program
: Hukum Keluarga Islam
Judul
: KONSEP WALI MUJBIR DALAM PERNIKAHAN MENURUT
PEMIKIRAN KH.HUSEIN MUHAMMAD
Menyatakan bahwa skripsi yang saya tulis ini bener-benar merupakan hasil karya
saya sendiri bukan jiplakan karya tulis orang lain. Pendapat atau temuan orang lain
yang terdapat dalam skripsi ini dikutip atau dirujuk berdasarkan kode etik ilmiah.
Skripsi ini diperbolehkan untuk dipublikasikan oleh Perpustakaan IAIN Salatiga.
Salatiga, 19 Desember 2019
Yang Menyatakan,
M.Miftakhul Khoiri
NIM: 33010160016
v
Page 8
MOTTO
‘’ Sejarah hidup hanya terjadi sekali saja, maka tulislah dengan tinta emas!!’’
‘’ Jer Basuki Mawa Beya ( Setiap Usaha, Kebahagiaan dan Kesejahteraan
Memerlukan Pengorbanan ’’
vii
Page 9
PERSEMBAHAN
Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah menuntun
semua jalan hambaNya, yang telah melimpahkan keluargaNya dan memberikan
kemudahan untuk menyelesaikan Skripsi ini. Karya sederhana ini saya persembahkan
untuk:
1. Bapak dan ibuku tercinta, Bapak Mahsun Sodiq dan Ibu Gunarsih yang telah
mencurahkan segenap kasih sayangnya, do’anya, serta segala dukungannya
dalam setiap langkah-langkahku.
2. Keluarga besarku Bani Sulaiman, Kakak serta adikku tersayang serta
keponakan kecilku, mas fatkur, adik Alfan, adik Faishol, adik robi’atal, dan
adik azka yang dukungan serta do’anya tak pernah surut mengiringi
perjuanganku.
3. Dosen Pembimbing Skripsiku Bapak Prof.Dr Muh.Zuhri. MA yang tak pernah
lelah membimbingku untuk menyelesaikan skripsiku ini.
4. Bapak Khusen Muhammad yang telah memberikan inspirasi dalam penulisan
skripsi ini.
5. Segenap dosen Fakultas Syari,ah yang telah mengikhlaskan waktu dan
tenaganya untuk membagikan ilmunya kepadaku.
6. KH.Husein Muhammad beserta keluarga yang telah membagikan ilmunya
serta bimbingannya kepadaku selama aku berada di Cirebon.
viii
Page 10
7. Segenap Kyai-Kyaiku di pondok pesantren Al Falah yang tak pernah telah
membimbing jiwa dan ragaku untuk tetap berada di jalanNya
8. Keluarga besar Santri putra dan putri Al Falah, Dukuh, Sidomukti Salatiga,
yang tak pernah lelah menyemangati serta memberi warna dalam hidupku
9. Teman sekamarku dan seperjuanganku Aksara 2016 dari kuliah hingga
menyelesaikan S 1 ku, Kang Danang, Kang Akrom. Semoga persahabatan kita
tidak berhenti sampai disini
10. Dek Nida dan keluarga besar yang senantiasa memberikan support untuk
terselesaikannya skripsi ini
11. Keluarga besar pondok pesantren Darul Qur’an dan Darut Tauhid
Arjawinangun, Cirebon.
12. Gus Fawas dan Kang Johan yang telah mengantarkanku bertemu dengan Buya
Husein
13. Keluarga Besar PMII kota Salatiga
14. Pengurus HMJ IAIN Salatiga periode 2016-2017
15. Teman-teman seperjuanganku angkatan 2016, khususnya jurusan Ahwal al
Syakhsiyah.
ix
Page 11
KATA PENGANTAR
ميحرال نمحرال هللا مسب
Puji syukur penulis panjatkan kehadiran Allah SWT, yang telah melimpahkan
rahmat, taufiq, dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan
skripsi yang berjudul Skripsi ini merupaka salah satu syarat untuk mendapatkan gelar
Sarjana Hukum Keluarga Islam di Institut Agama Islam (IAIN) Salatiga.
Penulis menyadari bahwa kemampuan yang penulis miliki sangatlah terbatas
sehingga dalam penulisan skripsi ini masih terdapat banyak kekurangan. Arahan dan
bimbingan dari berbagai pihak sangatlah membantu terselesainya skripsi ini. Oleh
karena itu, pada kesempatan ini dengan segala kerendahan hati penulis mengucapkan
terimakasih kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Zakiyudin Baidhowi, M.Ag. selaku Rektor IAIN Salatiga
2. Ibu Dr. Siti Zumrotun, M.Ag. selaku Dekan Fakultas Syari’ah dan Dosen
Pembimbing Akademik.
3. Ibu Luthfiana Zahriani, S.H, M.H selaku Ketua Program Studi Hukum
Keluarga Islam
4. Prof. Dr.H.Muh Zuhri.MA selaku pembimbing Skripsi
5. Bapak dan Ibu Dosen serta karyawan IAIN Salatiga yang telah
memeberikan ilmu kepada penulis.
x
Page 12
6. Semua pihak yang telah memberikan bantuan moril maupun material
dalam penulisan skripsi ini.
7. Sahabat-sahabat seperjuangan di Hukum Keluarga Islam yang telah
memberikan motivasi dan semangat kepada penulis dalam menyelesaikan
skripsi ini.
8. Terimakasih kepada anak-anak TPA Masjid As-Syukur Dukuh yang
selalau memberi doa kepada saya
9. Terimakasih kepada Ibu Nyai Sekeluarga yang selalu memberikan nasehat
, arahan serta membimbing saya dalam setiap langkah dalam meraih
ridloNya
10. Seluruh teman-teman saya mendukung, mendo’akan dan membantu dalam
menyelesaikan skripsi ini.
11. Terimakasih untuk Nida Nasima Dusturiya yang selalu mensuport,
mendo’akan dan memberi nasehat. Semoga bisa menjadi partner seumur
hidup untukku
12. Kepada KH. Husein Muhammad yang telah memberikan ilmu-ilmunya
kepada penulis untuk menyelesaikan penelitian skripsi ini.
Demikian ucapan terimakasih ini penulis sampaikan semoga Allah SWT
senantiasa memberikan balasan yang berlipat ganda kepada semua pihak yang telah
membantu dalam penulisan skripsi.
xi
Page 13
Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi
pembaca pada umumnya. Dengan keterbatasan pengetahuan dan kemampuan penulis,
skripsi ini jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang sifatnya
membangun sangat penulis harapkan demi kesempurnaan skripsi ini.
Salatiga, 19 Desember 2019
Penulis,
Miftakhul Khoiri
NIM. 33010160016
xii
Page 14
ABSRTAK
Khoiri, Miftakhul. 2020. Konsep Wali Mujbir Dalam Perkawinan Menurut
Pandangan KH.Husein Muhammad Skripsi Fakultas Syari’ah.
Program Studi Hukum Keluarga Islam. Institut Agama Islam Negeri Salatiga. Pembimbing Prof.Dr.H.Muh. Zuhri.MA.
Kata Kunci: Husein Muhammad, Wali Mujbir, Hukum Islam
Penelitian dengan judul “Studi Analisis Terhadap Pendapat KH. Husein
Muhammad Tentang Wali Mujbir” ini merupakan hasil penelitian kepustakaan
untuk menjawab pertanyaan bagaimana pemikiran KH.Husein Muhammad
tentang wali mujbir? bagaimana metode Ijtihad KH. Husein Muhammad?
bagaimana analisis terhadap pendapat KH. Husein Muhammad tentang wali
mujbir?. Dalam penelitian ini penulis menggunakan gabungan antara penelitian
lapangan dengan pustaka. Data lapangan diperoleh dari wawancara dan data
pustaka diperoleh dari buku-buku yang ditulis oleh KH.Husein Muhammad.
Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa Menurut KH. Husein Muhammad
terkait dengan wali mujbir ini, bahwa anak berhak menolak dikawinkan dengan
laki-laki yang bukan setara tanpa persetujuannya serta orang tua juga berhak
menolak keinginan anak gadisnya untuk menikah dengan laki-laki yang tidak
setara. Metode ijtihad KH. Husein Muhammad adalah dengan menggunakan
metode tekstual (maz|hab qauly) dan kedua adalah metode
kontekstual/metodologis (manhajy) sekaligus. Sedangkan analisis data yang
diperoleh, KH. Husein Muhammad memandang aspek maslahah sebagai acuan
dalam beristinbat dengan tetap memperhatikan pendapat para ulama fuqaha’. Mengingat perkawinan ini merupakan suatu ibadah, maka hendaknya
setiap mengambil keputusan apapun jenisnya harus dipertimbangkan, tidak
terkecuali dalam masalah memilih pasangan hidup yang pada akhirnya bisa tercapai kebahagiaan lahir batin, pernikahan yang penuh mawaddah, mahabbah
wa rahmah.
xiii
Page 15
DAFTAR ISI
SAMPUL …………………………………………………………………………….… .. ii
LEMBAR BERLOGO………………………………………………………………… .. iii
JUDUL………………………………………………………………………………… .. iv
PERSETUJUAN PEMBIMBING…………………………………………………… ...... v
PENGESAHAN KELULUSAN……………………………….........................................vi
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN…………..................................................... .... vii
MOTTO……………………………………………………………………………… .... viii
PERSEMBAHAN……………………………………………………………………… ...ix
KATA PENGANTAR………………………………………………………………… .. …x
ABSTRAK…………………………………………………………………………… . ….xi
DAFTAR ISI………………………………………………………………………….…..xii
DAFTAR GAMBAR……………………………………………………………………. xvi
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................................. 2
A. Latar Belakang Masalah .............................................................................................. 2
B. Rumusan Masalah .......................................................................................................... 8
C. Tujuan Penelitian ........................................................................................................... 8
D. Manfaat Penelitian ......................................................................................................... 9
E. Penegasan Istilah ............................................................................................................ 9
F. Telaah Pustaka .............................................................................................................. 11
G. Metode Penelitian ........................................................................................................ 14
H. Sistematika Penulisan ................................................................................................. 19
BAB II Tinjauan Umum tentang Wali Mujbir dalam perspektif Fiqih ............... 21
xiv
Page 16
1. Definisi Wali Mujbir .............................................................................................. 21
2. Syarat-syarat Wali Mujbir ..................................................................................... 24
3. Macam-macam Wali Mujbir ................................................................................ 26
BAB III Biografi dan Pandangan Kyai Husein tentang Wali Mujbir .................. 30
1. Riwayat Hidup KH,Husein Muhammad ........................................................... 30
2. Pendidikan KH.Husein Muhammad .................................................................. 32
3. Karya-karya KH.Husei Muhammad .................................................................. 34
4. Pengalaman Organisasi .......................................................................................... 36
5. Status Wali Mujbir .................................................................................................. 39
6. Wali Mujbir menurut KH.Husein Muhammad ............................................. 42
7. Istinbath Hukum KH.Husein Muhammad ...................................................... 46
BAB IV Analisis Konsep Wali Mujbir dalam Pndangan Kyai Husein. ............ 54
A. Analisis terhadap Konsep Wali Mujbir menurut Kyai .................................... 54
B. Analisis terhadap Metode Istinbat Hukum KH.Husein Muhammad ............ 62
BAB V Penutup .................................................................................................................. 65
A. Kesimpulan .................................................................................................................... 65
B. Saran ................................................................................................................................ 68
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................ 75
LAMPIRAN-LAMPIRAN
xv
Page 17
KONSEP WALI MUJBIR DALAM PERKAWINAN MENURUT
PANDANGAN KH. HUSEIN MUHAMMAD
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Guna Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (SH)
Oleh:
Miftakhul Khoiri
NIM 33010160016
PROGRAM STUDI AHWAL AL SYAKHSHIYYAH
FAKULTAS SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SALATIGA (IAIN)
SALATIGA 2020
1
Page 18
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perkawinan sebagai ikatan lahir batin yang sifatnya sakral dan
nyata di dalam kehidupan manusia, sehingga sangat tabu kalau
dipermainkan atau dilaksanakan tanpa i’tikad yang baik, sesuai dengan
tujuan perkawinan itu sendiri. Dalam Islam juga dikatakan bahwa
perkawinan itu merupakan suatu ikatan atau perjanjian yang sangat kuat.
Dalam hal ini sebagaimana firman Allah dalam surat An-Nisa': 211
اظيلغ اقاثيم مكنم نذخأو
عبىضفأ دقو هنوذخأت فيكو ضعبىإلمكض
"Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu
telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami istri. dan
mereka (istri-istrimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat."
(Q.S. An-Nisa': 21).
Perintah menikah bukanlah perintah main-main. Di balik perintah
terdapat kesenangan yang boleh dirasakan bersama namun juga tidak luput
1 Departemen Agama RI, Al Qu,an dan Terjemahannya, (Surabaya: Jaya Sakti, 1989),
hlm. 120.
2
Page 19
bahwa dalam perintah tersebut terdapat amanah dan tanggung jawab yang
besar.2
Di balik tiap perintah yang Allah berikan kepada makhluk-Nya
tidak pernah terlepas dari tujuan dan pastilah memiliki hikmah. Begitu
pula dengan anjuran menikah terdapat hikmah yang sangat agung. Di
antara hikmah itu antara lain :
Pertama, untuk menjaga dan memelihara kedua suami-istri dari
perbuatan yang tercela (haram).3 Kedua, menjaga masyarakat dari
kerusakan dan dekadensi moral. Seandainya tidak ada perintah dan aturan
dalam menikah niscaya tersebar perbuatan mesum dan amoral antara kaum
laki-laki dan perempuan. Ketiga, memberikan kesenangan (istimta’) bagi
kedua belah pihak dengan berbagi hak dan kewajiban masing-masing. Sang
suami menanggung dan mencukupi nafkah, makan, minum, sandang dan
papan secara wajar (bi al-ma’ruf). Keempat, memperkokoh hubungan antar
keluarga dan golongan. Banyak di antara keluarga yang pada mulanya saling
berjauhan dan tidak saling mengenal satu sama lain, lalu dengan pernikahan
terjadi pendekatan hubungan di antara keduanya. Itulah sebabnya mengapa
Allah menjadikan hubungan pernikahan bagian dari
2 Mohammad Fauzil Adhim, Mencapai Pernikahan Barakah, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1998), hlm. 26.
3 M. Shaleh al-Ustaimin, Pernikahan Islami, (Surabaya: Risalah Gusti, 1992), hlm. 14.
3
Page 20
nasab, sebagaimana firman Allah dalam Surat al-Furqan ayat 54. Kelima,
menjaga kelestarian keturunan umat manusia secara bersih dan sehat,
karena pernikahan merupakan faktor perkembang-biakan keturunan demi
kelestarian umat manusia.4
Pernikahan itu terjadi melalui sebuah proses yaitu kedua belah
pihak saling menyukai dan merasa akan mampu hidup bersama dalam
menempuh bahtera rumah tangga. Namun demikian, pernikahan itu
sendiri mempunyai syarat dan rukun yang sudah ditetapkan baik dalam
al-Qur’an maupun dalam Hadits. Dalam akad nikah terdapat orang tua
(wali, asil) dan seorang wakil . Salah satu kebudayaan Arab yang telah
berubah menjadi Sunnah Nabi adalah adanya seorang wali bagi
perempuan. Adapun dalam al-mithaq, maka tidaklah terdapat orang tua
(asil) atau seorang wakil, dan seorang perempuan dan laki-laki
mengambil al-mithaq dengan diri mereka masing-masing. Hal ini
menggugurkan pemahaman perwakilan dan perwalian yang merupakan
kebudayaan historis yang bisa diabaikan. 5
Yang dimaksud dengan wali dalam perkawinan adalah seseorang
yang bertindak atas nama mempelai perempuan dalam suatu akad nikah.
4 Ibid , hlm. 14.
5 Muhammad Shahrur, Metodologi Fiqih Islam Kontomporer, (Yogyakarta: Elsaq Press,
cet. 5, 2008), hlm.440.
4
Page 21
Akad nikah dilakukan oleh dua pihak yaitu pihak laki-laki yang dilakukan
oleh mempelai laki-laki itu sendiri dan pihak perempuan yang dilakukan
walinya. Menurut jumhur ulama keberadaan seorang wali dalam akad nikah
suatu yang mesti dan tidak sah akad perkawinan yang tidak dilakukan oleh
wali. Hal ini berlaku untuk semua perempuan yang dewasa atau masih kecil,
masih perawan atau masih janda. Namun di samping itu terdapat pula Hadis
Nabi SAW yang memberikan pengertian perempuan
itu kawin sendiri tanpa memakai wali.6 yang berbunyi :
ر س كن ال : هللا ل و ع يلوب الإ حا ىسوم يبأ ن رعشألا الق : الق ي
“Tidak sah nikah, kecuali oleh wali”. (H.R.Abu Dawud)7 Sabda
Rasulullah Saw.
Istilah wali mujbir sudah dikenal dalam perkawinan, yaitu Wali
nikah yang mempunyai hak terhadap anak gadisnya untuk menikah
dengan laki-laki dalam batas batas yang wajar. Wali mujbir ini adalah
mereka yang mempunyai garis keturunan ke atas dengan perempuan
yang akan menikah. Mereka yang termasuk dalam wali mujbir ialah sah
dan seterusnya ke atas menurut garis patrilineal. Wali mujbir dapat
6 Amir Syarifuddin, Garis-garis Besar Fiqih, (Jakarta: Kencana, 2007), hlm. 90-91.
7 Muhammad Abdul Aziz al-Khalidi, Sunan Abu Dawud Juz III, (Beirut;Dar al-Kutub
‘Ilmiah, 1997), hlm.95.
5
Page 22
mengawinkan anak gadisnya tanpa persetujuan putrinya jika penting
untuk kebaikan putrinya. Kebolehan wali mijbir ini dengan syarat
sebagai berikut :8
1. Jika putrinya dinikahkan dengan laki-laki yang sekufu.
2. Jika mahar yang diberikan calon suaminya sebanding dengan
kedudukan putinya.
3. Jika tidak dinikahkan dengan laki-laki yang mengecewakan
4. Jika tidak ada konflik kepentingan antara wali mujbir dengan putrinya
dengan laki-laki tersebut.
5. Jika putrinya tidak mengikrarkan dia tidak perawan lagi.
Menurut beberapa Ulama mazhab, wali mujbir dalam daerah
perwalian (wilayah) terhadap anak gadis, khususnya adalah Ayah maka
baginya boleh memaksa anak gadisnya untuk menikah dengan pilihan
sang Ayah.
Pendapat ini merupakan pendapat dari Ulama Syafi’iyah dan
Malikiyah. Berbeda dengan pendapat di atas, Abu Hanifah menyatakan
bahwa anak gadis yang telah dewasa tidak boleh dipaksa untuk menikah.
Pendapat ini juga senada dengan pendapat al-sauri.9
8 Sudarsono Pokok-Pokok Hukum Islam,(Jakarta: Rineka Cipta, 1992), hlm.202.
9 Ibn Rusyd, Bidayah al Mujtahid wa Nihyah al-Muqtasid Juz II , (Beirut;Dar al-Kutub
‘Ilmiah, 1989), hlm.75.
6
Page 23
Masalah wali mujbir, KH. Husein Muhammad, salah seorang tokoh
Ulama Indonesia, berpendapat bahwa, si anak berhak menolak dikawinkan
dengan laki-laki yang bukan setara tanpa persetujuannya, orang tua juga
berhak menolak keinginan anaknya untuk menikah dengan laki-laki yang
tidak setara. Jika seorang perempuan mempunyai hasrat menikah dengan
laki-laki yang setara, maka orang tua tidak boleh menolak.
Yang dimaksud setara atau dalam bahasa arabnya al-kufu ialah
sederajat atau setingkat dalam aspek, nasab status (kemerdekaan, profesi,
dan agama).10
Beliau juga berpendapat hak ijbar yang telah memenuhi syarat
tersebut, menurut Muktamar Nahdlatul Ulama, dengan merujuk pada kitab
Al-Bujairami ’ala Al-Iqna’, hanya diperkenankan jika tidak dikhawatirkan
membawa akibat yang fatal. Lebih jauh disinggung bahwa yang dimaksud
“diperkenankan” pada kasus ijbar di sini bukan berarti mubah, melainkan
makruh, yang berarti perkawinan semacam itu sebaiknya tetap dihindari.11
10
Husein Muhammad Islam Agama Ramah Perempuan : Pembelaan Kiai Pesantren,
(Yogyakarta: LKiS, 2004), hlm.12-13.
11 Ibid hlm. 21.
7
Page 24
Berangkat dari latar belakang diatas penulis tertarik untuk meneliti
lebih lanjut mengenai Pemikiran KH.Husein Muhammad dan Metode
Ijtihadnya tentang Wali Mujbir. Disamping itu peneliti dapat
memberikan inspirasi bagi lembaga pendidikan formal maupun non-
formal, untuk dapat mengembangkan pembelajaran Fiqih dengan rujukan
karya KH.Husein Muhammad.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Pemikiran KH. Husein Muhammad tentang wali mujbir?
2. Bagaimanakah Metode Ijtihad KH. Husein Muhammad tentang wali
mujbir?
3. Bagaimana Analisis Pemikiran KH. Husein Muhammad tentang wali
mujbir?
C. Tujuan Penelitian
Setiap penulisan karya ilmiah, tidak terlepas dari tujuan dari
penulisan tersebut, maka tujuan yang akan diteliti oleh penulis adalah
sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui pemikiran KH. Husein Muhammad tentang wali
mujbir.
2. Untuk mengetahui metode ijtihad KH. Husein Muhammad tentang wali
mujbir.
8
Page 25
3. Untuk mengetahui Analisis Pemikiran KH. Husein Muhammad tentang
wali mujbir.
D. Kegunaan Penelitian
Adapun dalam kegunaan yang diharapkan daripada penelitian ini
diantaranya adalah :
1. Untuk menjelaskan konsep wali mujbir dalam Islam, kajian ini
diharapkan dapat memberikan kontribusi pemikiran dan wacana ilmu
pengetahuan dalam hukum Islam, khususnya masalah wali mujbir.
2. Untuk mengetahui tentang kaitannya wali mujbir dalam pandangan
pemikiran KH. Husein Muhammad, semoga dapat menjadi pijakan dan
kontribusi yang bermanfaat dalam pemikiran yang berkembang dalam
masyarakat.
E. Penegasan Istilah
1. Wali Mujbir
Kata “wali” menurut bahasa berasal dari bahasa Arab, yaitu alwali
dengan bentuk jamak awliya yang berarti pecinta, saudara, atau penolong,
dalam istilah lain, kata “wali” mengandung pengertian orang yang menurut
hukum (agama, adat) diserahi untuk mengurus kewajiban anak yatim,
sebelum anak itu dewasa. Pihak yang mewakilkan pengantin perempuan pada
waktu menikah (yaitu yang melakukan janji nikah dengan pengantin
9
Page 26
pria).12
“wali mujbir” ialah wali yang mempunyai bidang kuasa
mengkawinkan anak atau cucu perempuan yang masih perawan atau dara
tanpa meminta izin gadis itu terlebih dahulu. Jadi yang dimaksud dengan
wali mujbir adalah seorang wali yang berhak meng’aqad-nikahkan orang
yang diwalikan di antara golongan tersebut tanpa menanyakan pendapat
mereka lebih dahulu. Dan aqadnya berlaku juga bagi orang diwalikan
tanpa melihat ridha atau tidaknya.
2. Perkawinan
Perkawinan adalah menurut bahasa Arab berarti adh-dhamm
(menghimpun). Kata ini dimutlakan untuk akad dan atau persetubuhan. Ada
beberapa definisi pernikahan yang dikemukakan oleh para ahli fikih, tetapi
pada prinsipnya tidak ada perbedaan yang berarti, kecuali pada redaksinya.
(1). Menurut Imam Hanafi, nikah adalah akad yang disengaja dengan tujuan
mendapatkan kesenangan. (2). Menurut Imam Syafi’i, nikah adalah akad
yang mengandung makna wathi’ (untuk memiliki kesenangan) disertai lafaz
nikah, kawin, atau yang semakna. (3). Menurut Imam Maliki, nikah adalah
akad yang semata-mata untuk mendapatkan kesenangan dengan sesama
manusia. (4). Menurut Imam Hambali, nikah adalah akad dengan lafaz nikah
atau kawin untuk mendapatkan manfaat
12 Abdurrahman Al Jaziri, Al-Fiqh ‘ala Mazhahib Al-Arba’ah, (Beirut: Dar Al-Fikr, t.th), Juz
4, hlm.29.
10
Page 27
bersenang-senang. Begitu juga perkawinan menurut syariat adalah akad
perkawinan, ketika kata nikah diucapkan secara mutlak maka kata tersebut
bermakna demikian selagi tidak ada satupun dalil yang memalingkan
darinya.13
Jadi Perkawinan adalah ikatan sosial atau ikatan perjanjian
hukum antar pribadi yang membentuk hubungan kekerabatan dan yang
merupakan suatu pranata dalam budaya setempat yang meresmikan
hubungan antar pribadi yang biasanya intim dan seksual. Perkawinan
umumnya dimulai dan diresmikan dengan upacara pernikahan. Umumnya
perkawinan dijalani dengan maksud untuk membentuk keluarga.
F. Telaah Pustaka
Wali mujbir merupakan masalah yang menarik untuk dibahas,
karena wali mujbir merupakan prinsip yang dianggap menutup ruang
gerak perempuan dalam memilih pasangan. Setelah penulis melakukan
penelusuran tema yang terkait dengan judul skripsi ini, ditemukan
beberapa karya diantaranya:
Pertama, Hak Ijbar dalam Perkawinan Perspektif Hukum Islam
(Fikih) dan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974. Skripsi ini berbicara
tentang Hak Ijbar dalam Islam kemudian dikomparasikan dengan Undang-
Undang No.1 Tahun 1974. Kesimpulan dari karya ini adalah bahwa hak
13 Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah Juz 7, (Bandung:PT Alma’arif, 1981), hlm. 19.
11
Page 28
ijbar yang diakui dalam Islam, ternyata tidak diadopsi oleh Undang-
Undang No. 1 Tahun 1974 terbukti didalamnya perkawinan harus melalui
persetujuan calon mempelai.14
Perbedaan penelitian ini dengan skripsi M.
Rizki Hidayat terletak pada fokus penelitian dan metode penelitian.
Penelitian ini fokus pada metode dalam hal cara ijtihad KH.Husein
Muhammad tentang wali mujbir menggunakan metode penelitian
lapangan, sedangkan M. Rizki Hidayat Fokus pada Hak Ijbar dalam Islam
kemudian dikomparasikan dengan Undang-Undang No.1 Tahun 1974.
Kedua, Hak Ijbar dalam Perkawinan (Studi Komparatif Pandangan
Masdar Farid Mas’udi dan Yusuf Al-Qardlawi). Dalam skripsi ini berbicara
hak ijbar dengan pola mengkomparasikan kedua tokoh tersebut yakni
dijelaskan bahwa pola pemikiran Masdar tergolong elektik yaitu pemikiran
yang berusaha memilih satu ajaran yang lebih baik memperdulikan dari
aliran, filsafat, maupun teori apapun. Sedangkan Yusuf Al-Qardlawi
dilatarbelakangi oleh pemikiran moderat sehingga metodenya memakai
ijtihad Intiqa,i. Pandangan keduanya tentang hak ijbar masih relevan bagi
perempuan dewasa dengan UU No. 1 Tahun 1974. Namun yang berbeda
hanya pada perempuan gadis yakni pendapat yusuf qardlawi yang dianggap
14 M. Rizki Hidayat, “Hak Ijbar dalam Perkawinan Perspektif Hukum Islam (Fikih) dan
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974,”Skripsi Fakultas Syari‟ah Universitas Islam Negeri Sunan
Kalijaga Yogyakarta (2010), hlm. 6.
12
Page 29
tidak relevan oleh penulis dengan UU No. 1 Tahun 1974.15
Perbedaan
penelitian yang penulis teliti dengan skripsi Syamsul Dukha terletak pada
subyek yang diteliti. Penulis mengambil tokoh KH. Husein Muhammad
sedangkan skripsi Syamsul Dukha ini mengambil 2 tokoh, yaitu Masdar
Farid Mas’udi dan Yusuf Al-Qardlawi.
Ketiga, Hak Ijbar Wali Nikah (Studi Perbandingan Antara Pendapat
Ibnu Taimiyah dan Ahmad Azhar Baasyir), skripsi ini berbicara tentang hak
ijbar dalam perspektif kedua tokoh tersebut serta dibandingkan antara
pendapat keduanya. Dalam pemikiran Ibnu Taimiyah membahas hak ijbar
wali tertentu dan dijelaskan juga latar belakang dan pola pemikirannya
sedangkan dalam pemikiran Ahmad Azhar Baasyir membahas wali secara
umum16
Sama halnya dengan skripsi Anisatun Muawaroh letak
perbedaannya juga pada subyek yang diteliti. Peneliti mengambil tokoh KH.
Husein Muhammad sedangkan skripsi Anisatun Muawaroh ini
15 Syamsul Dukha, “Hak Ijbar dalam Perkawinan(Studi Komparatif Pandangan Masdar
Farid Mas’udi dan Yusuf Al-Qardlawi),”Skripsi Fakultas Syari‟ah Universitas Islam Negeri Sunan
Kalijaga Yogyakarta (2008), hlm.9.
16 Anisatun Mu‟awaroh, “Hak Ijbar Wali Nikah (Studi Perbandingan Antara Pendapat
Ibnu Taimiyah dan Ahmad Azhar Baasyir),” Skripsi Fakultas Syari‟ah Universitas Islam Negeri
Sunan Kalijaga Yogyakarta (2005), hlm. 12.
13
Page 30
mengambil 2 tokoh Ibnu Taimiyah dan Ahmad Azhar Baasyir untuk
dibandingkan.
Dari hasil telaah pustaka oleh penulis tersebut, kajian pemikiran tokoh
yang diteliti belum ada yang menyinggung pemikiran KH.Husein
Muhammad tentang wali mujbir. Ketiga karya tulis tersebut menggunakan
tema yang sama dengan peneliti yaitu Wali Mujbir, namun yang menjadi
perbedaanya antara satu sama lain yaitu terletak pada fokus penelitian serta
subyek yang digunakan oleh masing-masing penulis. Oleh karena itu,
penelitian ini dengan judul konsep wali mujbir dalam perkawinan menurut
pandangan KH.Husein Muhammad merupakan sesuatu yang baru.
G. Metode Penelitian
. 1. Jenis Penelitian
Metodologi berasal dari kata metode secara harfiah bermakna
cara. Istilah metodologi penelitian adalah cara kerja yang digunakan
dalam melakukan suatu penelitian. Metodologi penelitian sangat
menentukan dan menggambarkan jalannya sebuah penelitian dengan
baik, terorganisir dan terarah. Dalam penelitian ini penulis
menggunakan gabungan antara penelitian lapangan dan pustaka. Data-
14
Page 31
data lapangan diperoleh dari wawancara dengan K.H Husein
Muhammad dan data-data pustaka diperoleh dari buku-buku yang
ditulis oleh K.H Husein Muhammad.17
2. Jenis dan Sumber Data
Ada dua bentuk data dalam penelitian ini yang dijadikan peneliti
sebagai pusat informasi pendukung yang di gunakan sebagai sumber data
yaitu :
a. Sumber data primer ( data utama atau pokok )
Sumber data merupakan data yang otentik untuk dijadikan sebagai data
langsung atau sumber pokok rujukan pertama dari permasalahan yang akan
dikaji dalam penelitian oleh penulis yakni, Fiqih perempuan : Refleksi Kyai
atas wacana dan Gender karya KH.Husein Muhammad seorang feminis
Indonesia dan wawancara langsung dengan KH.Husein Muhammad. Selain
itu juga merujuk buku-buku karya beliau yang ditulis lainnya.
b. Sumber data sekunder ( pendukung atau penunjang )
Jenis data sekuder adalah jenis data yang di jadikan sebagai pendukung
data pokok ataupun dapat didefinisikan sebagai sebagai sumber data yang
mambantu dapat memberikan informasi atau data tambahan yang dapat
17 Sutrisno Hadi, Metodologi Research, ( Yogyakarta: Andi Offset, 2009), hlm. 4
15
Page 32
memperkuat data pokok.18
Dalam penelitian ini yang menjadi sumber
data sekunder adalah kitab, buku, karya-karya ilmiah seperti jurnal,
artikel-artikel yang sesuai dengan pembahasan yang dikaji yang
menunjang penelitian ini.
3. Metode Pengumpulan Data :
a. Penelitian kepustakaan ( library research ). Dalam penelitian skripsi
ini peneliti menggunakan metode penelitian kepustakaan, yaitu suatu
teknik penelitian untuk memperoh data dari buku, jurnal, artikel
maupun majalah yang berhubungan permasalahan di atas.
a. Penelitian lapangan (field research) penelitian di lapangan dimaksudkan
untuk mendapatkan data primer, yaitu dengan cara: 1.Wawancara
Wawancara atau interview adalah sebuah dialog yang dilakukan
oleh pewawancara untuk memperoleh informasi dari terwawancara dan
jawaban-jawabannya dicatat atau direkam.19
Dalam penelitian ini subjek
penelitian merupakan informan terpilih karena seorang informan haruslah
memiliki pengetahuan dan sikap yang relevan dengan tujuan penelitian.
Bentuk wawancara yang dilakukan dalam peneliti ini meliputi wawancara
bebas terpimpin, yaitu penulis mengadakan tanya jawab dengan bebas
18 Joko P. Subahyo, Metode Penelitian DalamTteori dan Praktek, (Jakarta: Rineka Cipta,
1991), hlm. 87-88
19 Sugiyono, Metode Penelitian Administrasi (Bandung: Alfabesta, 2004), hlm. 166.
16
Page 33
berdasarkan interview guide ( pedoman wawancara ). Pertanyaan-
pertanyaan yang ada ditujukan kepada informan penelitian, yaitu
KH.Husein Muhammad yang dengan karya-karya nya mengetahui dengan
jelas permasalahan wali mujbir terutama dalam pengetahuannya pada
berbagai pandangan madzhab fiqih.
2. Dokumentasi
Dokumentasi adalah suatu metode untuk mendapatkan data
melalui pencatatan terhadap dokumen-dokumen yang sesuai dengan
subyek yang diteliti.20
Metode dokumentasi ini dimaksudkan untuk
mendapatkan data melalui pencatatan-pencatatan dokumen yang ada,
antara lain untuk menguji dan menafsirkan. Sehingga dalam penelitian ini
dokumen digunakan sebagai teknik pengumpulan data dengan
menghimpun dan menganalisis dokumen berupa buku-buku, jurnal, dan
artikel yang ditulis oleh KH.Husein Muhammad. Penelitian ini juga
menekankan terhadap buku Islam Agama Ramah Perempuan: Fiqih
Perempuan: Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender, dan karya
lain dari Husein Muhammad yang tertebar diberbagai media
20 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian: Suatu pendekatan Praktek, ( Jakarta: Rineka Cipta, 2002 ), hlm. 188
17
Page 34
4. Metode Analisis Data
Tahap-tahap yang peneliti data untuk menganalisis keakuratan data
setelah data diperoleh yaitu:
1. Editing
Tahap pertama dilakukan untuk meneliti kembali data-data yang telah
diperoleh terutama dari kelengkapannya, kejelasan makna, kesesuaian
serta relevansinya dengan kelompok data yang lain dengan tujuan apakah
data-data tersebut sudah mencukupi untuk memecahkan permasalahan
yang diteliti dan untuk mengurangi kesalahan dan kekurangan data dalam
penelitian serta untuk meningkatkan kualitas data.
2. Classifaying
Mereduksi data yang ada dengan cara menyusun dan mengklasifikasikan
datayang diperoleh ke dalam pola tertentu atau permasalahan tertentu
uuntuk mempermudah pembacaan dan pembahasan sesuai
dengankebutuhan penelitian.
3. Verifying
Verifikasi data adalahpembuktian kebenaran data untuk menjamin
validitas data yang telah terkumpul. Verifikasi ini dilakukan dengan cara
menemui sumber data (informan) dan memberikan hasil wawancara
18
Page 35
dengannya untuk ditanggapi apakah data tersebut ssesuai engan yang
diinformasikan olehnya atau tidak.21
4. Kesimpulan
Setelah melalui proses editing, classifaying, verifying, kemudian menarik
kesimpulan dari apa yang telah dianalisis.
I. Sistematika Pembahasan
Untuk memberikan kesan runtutnya pembahasan danmemberikan
kemudahan bagi pembaca nantinya serta untuk menelusuri alur
pemikiran yang peneliti jabarkan dalam skripsi ini, maka disusunlah
pembahasan dalam suatu sistematika sebagai berikut:
Bab pertama adalah pendahuluan yang berisi latar belakang
masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian,
kerangka teori, metode penelitian, dan sistematika pembahasan.
Bab kedua mengemukakan tentang biografi KH.Husein Muhammad
yang terdiri dari empat sub bab yaitu: pertama, riwayat hidup KH.Husein
Muhammad. Kedua, Latar belakang pendidikan KH.Husein Muhammad.
Ketiga, karya-karya KH.Husein Muhammad. Keempat, pengalaman
21 Nana Sudjana, Awal Kusuma, Proposal Penlitian Di Perguruan Tinggi (Bandung: Sinar Baru
Algnesindo, 2008) hlm.84.
19
Page 36
organisasi KH.Husein Muhammad. Kelima istinbat yang digunakan serta
konsep wali menurut KH.Husein Muhammad.
Bab ketiga berisi tinjauan umum tentang wali nikah. Pada bab ini,
peneliti membagi dalam lima sub bab, yaitu: pertama, pengertian wali.
Kedua, syarat wali. Ketiga, macam-macam wali. Keempat, wali mujbir.
Kelima, juga status wali nikah pada pemikiran KH. Husein muhammad.
Bab keempat berisi mengenai analisis terhadap pemikiran KH.
Husein Muhammad tentang konsep wali mujbir. Meliputi telaah terhadap
pemikiran KH. Husein muhammad tentang wali mujbir,.
Bab kelima Bab ini merupakan kajian paling akhir dari skripsi ini,
yang mana pada bagian ini berisi kesimpulan peneliti dari seluruh
pembahasan yang telah dikemukan dalam skripsi dan saran peneliti.
20
Page 37
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG WALI MUJBIR DALAM
PERSPEKTIF FIKIH
A. Definisi Wali Mujbir
Kata Wali dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai
pengasuh, orang tua atau pembimbing terhadap orang atau barang.22
Selanjutnya perwalian dari Bahasa Arab yaitu walayah atau wilayah yaitu
hak yang diberikan oleh syariat yang membuat si wali mengambil dan
melakukan sesuatu kalau perlu secara paksa diluar kerelaan dan
persetujuan dari orang yang diperwalikan.23
Perwalian dalam istilah Fiqh
disebut wilayah yang berarti penguasaan dan perlindungan. Yang
dimaksud perwalian adalah penguasaan penuh yang diberikan oleh agama
kepada seseorang untuk menguasai dan melindungi orang atau barang.24
Dalam Fiqh Sunnah dijelaskan bahwa wali adalah suatu ketentuan hukum
yang dapat dipaksakan kepada orang lain sesuai dengan bidang hukumnya.
22 Porwadarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia, ( Jakarta: Balai Pustaka, 1995), hlm.
92.
23 Muhammad Bagir al-Habsy, Fiqh Perwalian: (Bandung: mizan, 2002), hlm. 56.
24 Kamal Muchtar, Asas-asas Hukum Tentang Perkawinan, (Jakarta: Bulan Bintang,
1974), hlm. 89.
21
Page 38
Menurut Amir Syarifuddin yang dimaksud dengan wali dalam
perkawinan adalah seseorang yang bertindak atas nama mempelai
perempuan dalam suatu akad nikah.25
Wali yaitu pengasuh pengantin perempuan pada waktu menikah
yaitu yang melakukan janji nikah dengan pengantin laki-laki.26
Perwalian
dalam perkawinan adalah suatu kekuasaan atau wewenang Syar’I atas
segolongan manusia yang dilimpahkan kepada orang yang sempurna,
karena kekurangan tertentu pada orang yang dikuasai itu demi
kemaslahatannya sendiri.27
Dari uraian diatas dapat difahami bahwa yang
dimaksud dengan wali nikah adalah orang yang mewakili perempuan
dalam hal melakukan akad pernikahan, karena ada anggapan bahwa
perempuan tersebut tidak mampu melaksanakan akadnya sendiri karena
dipandang kurang cakap dalam mengungkapkan keinginannya sehingga
dibutuhkan seorang wali untuk melakukan akad nikah dalam pernikahan.
25 Amir Syarifuddin, Garis-garis Besar Fiqih, (Jakarta: Kencana, 2003), hlm. 90.
26 Abdur Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2003), hlm. 165. 27
Ibid hlm.180
22
Page 39
1. Pengertian Wali Mujbir
Wali al-mujbir adalah wali yang mempunyai wewenang langsung
untuk menikahkan orang yang berada di bawah perwaliannya meskipun
tanpa izin orang itu. Wali mujbir hanya terdiri dari ayah dan kakek
(bapak dan seterusnya ke atas) yang dipandang lebih besar kasih
sayangnya kepada perempuan yang di bawah perwaliannya. Selain
mereka tidak berhak ijbar. Adapun wali al mukhtar adalah wali yang
tidak memiliki kekuasaan memaksa orang yang di bawah perwaliannya
untuk menikah.28
Tihami dan Sohari Sahrani berpendapat bahwa wali mujbir adalah
seorang wali yang berhak menikahkan perempuan yang diwalikan di antara
golongan tersebut tanpa menanyakan pendapat mereka lebih dahulu, dan
berlaku juga bagi orang yang diwalikan tanpa melihat tidaknya ada pihak
yang berada di bawah perwaliannya.29
Agama mengakui wali mujbir itu
karena memperhatikan kepentingan orang yang diwalikan. Sebab, orang
tersebut kehilangan kemampuan sehingga ia tidak
28 Husein Muhammad, Islam Agama Ramah Perempuan; Pembelaan Kiai Pesantren,
(Yogyakarta; LkiS, 2004), hlm. 353.
29 Tihami dan Sohari Sahrani., Fikih Munakahat : Kajian Fikih Nikah Lengkap,Cet. Ke-
II (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), hlm.101.
23
Page 40
memikirkan kemaslahatan sekalipun untuk dirinya sendiri. Di samping
itu, ia belum dapat menggunakan akalnya untuk mengetahui
kemaslahatan akad yang dihadapinya.30
B. Syarat-Syarat Wali Mujbir
Wali bertanggung jawab atas sah suatu akad pernikahan. Perwalian
itu ditetapkan untuk membantu ketidakmampuan orang yang menjadi
objek perwalian dalam mengekspresikan dirinya. Oleh karena itu, tidak
semua orang dapat diterima menjadi wali atau saksi, tetapi hendaklah
orang-orang yang memenuhi persyaratan. Adapun syarat-syarat menjadi
wali sebagai berikut:
1. Islam yaitu orang yang tidak beragama Islam tidak sah menjadi wali
atau saksi.31
2. Baligh yaitu orang tersebut sudah pernah bermimpi junub / ihtilam
(keluar air mani), atau ia sudah berumur sekurang-kurangnya 15 tahun
219 (KHI).32
30 Ibid., hlm. 101.
31 Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, ( Bandung: Sinar Baru Algesindo.2001), hlm. 384
32 Pustaka Widyatama, Loc-Cit, hlm. 57
24
Page 41
3. Berakal yaitu orang gila dan anak-anak tidak sah menjadi wali, karena
orang yang tidak berakal pasti tidak akan mampu melakukannya dan
tidak dapat mewakili orang lain, sehingga orang lain lebih berhak
menerima perwalian tersebut baik orang yang tidak berakal itu karena
keberadaannya yang masih kanak-kanak atau karena hilang ingatan
atau karena faktor lanjut usia.
4. Merdeka, ulama berbeda pendapat dalam menetapkan perwalian
budak. Sebagian ulama mengatakan bahwa seorang budak tidak
mempunyai hak perwalian baik atas dirinya sendiri atau orang lain.
Sedangkan ulama Hanafiah mengemukakan bahwa seorang wanita
boleh dinikahkan oleh seorang budak atas izinnya. Dengan alasan
bahwa wanita itu dapat menikahkan dirinya sendiri
5. Laki-laki yaitu seorang perempuan tidak boleh menjadi wali dalam
pernikahan.33
6. Adil artinya tidak fasiq, namun demikian, Sayyid Sabiq berpendapat
bahwa seorang wali tidak dinyatakan adil. Jadi seorang durhaka tidak
kehilangan hak wali dalam perkawinan, kecuali kalau kedurhakaannya
melampaui batas-batas kesopanan yang berat, karena wali tersebut jelas
33 Dzakiah Darajat, Ilmu Fiqh, (Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995), hlm. 77.
25
Page 42
tidak menenteramkan jiwa orang yang diutusnya. Karena itu hak
menjadi wali hilang.34
c. Macam-macam Wali Mujbir
Wali nikah itu ada dua macam, yaitu wali nasab dan wali sabab.
Adapun pengertian dari masing-masing adalah sebagai berikut:
1. Wali nasab adalah wali yang hak perwaliannya karena adanya
hubungan darah (asabah) dengan seorang wanita, ini bisa orang tua
kandungnya, bisa juga saudara yang dekat (aqrab) dan saudara yang jauh
(ab’ad).35
Kompilasi Hukum Islam (KHI) memerinci tentang wali nasab dalam
Pasal 21, 22 dan 23, selengkapnya akan dikutip di bawah ini:
a. Wali nasab ini terdiri dari empat kelompok dalam urutan kedudukan
,kelompok yang satu didahulukan dari kelompok yang lain sesuai erat
tidaknya susunan kekerabatan dengan calon mempelai wanita.
34 Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah 7, (Bandung: Al-ma’arif, 1997), hlm. 7
35 Ibid, hlm. 59
26
Page 43
1. Golongan pertama adalah kelompok kerabat laki-laki garis lurus ke atas
yakni ayah, kakek dari pihak ayah dan seterusnya.
2. Golongan kedua adalah kelompok kerabat saudara laki-laki kandung
atau saudara laki-laki seayah dari keturunan laki-laki mereka.
3. Golongan ketiga adalah kelompok kerabat paman, yakni saudara laki-
laki ayah, saudara laki-laki seayah dan keturunan laki-laki mereka.
4. Golongan keempat adalah kelompok saudara laki-laki kandung kakek,
saudara laki-laki seayah kakek dan keturunan laki-laki mereka.36
a. Apabila dalam suatu kelompok wali nikah mereka, terdapat beberapa
orang yang sama-sama berhak menjadi wali nikah, maka yang paling
berhak menjadi wali adalah yang lebih dekat derajat
kekerabatannyadengan calon mempelai wanita.
b. Apabila dalam suatu kelompok sama derajat kekerabatannya, maka
yang berhak menjadi wali nikah adalah kerabat kandung dari kerabat
yang hanya seayah.
36 Pustaka Widyatama, Kompilasi Hukum Islam, hlm. 21
27
Page 44
c. Apabila dalam suatu kelompok derajat kekerabatannya sama, yaitu
sama-sama berhak menjadi wali nikah, maka lebih mengutamakan yang
lebih tua dan memenuhi syarat-syarat menjadi wali.37
2. Wali sabab yaitu wali yang bisa timbul karena adanya sebab-sebab
tertentu yang datang sebelumya atau kemudian, wali sebab ini antara lain:
wali hakim,wali washi dan sebab memerdekakan budak (maula al-mu’tiq).
Wali hakim yaitu wali yang hak perwaliannya karena orang tua
mempelai wanita menolak (‘adhol) atau tidak ada, atau sebab-sebab
yanglain dan dia menjadi wali karena dalam kedudukannya sebagai
penguasaatau hakim.38
Menurut Ahmad Rofiq, jauh sebelum Kompilasi
tersusun seperti sekarang ini, masalah wali hakim pernah menjadi bahan
perdebatan. Halini bermula dari sebuah hadist Aisyah ra. sulthan ialah
wali bagi wanita yang tidak memiliki wali. Secara bahasa sulthan artinya
raja atau penguasa atau pemerintah. Pemahaman yang lazim kata sulthan
tersebut diartikanhakim. Namun dalam pelaksanaanya, Kepala Kantor
Urusan Agama (KUA) Kecamatan atau Pegawai Pencatat Nikah (PPN)
yang bertindakmenjadi wali hakim dalam pelaksanaan akad nikah bagi
37 Ahmad Rafiq, op. cit., hlm. 86.
28
Page 45
mereka yang tidakmemiliki wali atau walinya (enggan) menikahkan atau
‘adlol. 38
Sedangkan wali washi adalah wali yang timbul karena seseorangmenerima
wasiat dari ayah perempuan untuk menikahkan seseorangperempuan
sebelum ayahnya itu meninggal dunia baik wasiat itu kepadakeluarga
(nasab) atau kepada orang yang bukan kaluarga (ghairu nasab). Wali
washi di sini timbul karena sebab perwasiatan dari bapak si perempuan
kepada seseorang untuk menikahkan perempuan itu denganbeberapa
syarat, antara lain:
a. Orang yang diberi wasiat harus orang yang cakap hukum dan
memenuhi syarat-syarat perwalian.
b. Adanya ikrar dari orang yang berwasiat kepada orang yang
diberi wasiat dengan bahasa yang jelas.
c. Adanya saksi ketika terjadi ikrar antara orang yang
berwasiat dengan orang yang diberi wasiat.39
38 Amir Syarifuddin, loc. cit. hlm 42.
39 Muhammad Asmawi, op. cit., hlm. 80
29
Page 46
BAB III
BIOGRAFI DAN PANDANGAN KH. HUSEIN MUHAMMAD TENTANG
WALI MUJBIR
A. RIWAYAT HIDUP KH. HUSEIN MUHAMMAD
Kyai Husein lahir pada tanggal 9 Mei 1953 di Cirebon dari pasangan
Ummu Salamah dan Muhammad Asyrofuddin. Ibunya adalah seorang guru
ngaji disebuah pesanteren yang didirikan oleh kakeknya, sedangkan ayahnya
merupakan seorang pegawai pemerintah didaerahnya. Kyai Husein terlahir
disebuah lingkungan yang kental nilai-nilai ke-Islaman-nya. Kyai Husein
dilahirkan disalah satu sudut komplek pesantren yang didirikan oleh
kakeknya sendiri dari garis keturunan ibunya yang bernama K.H. Sanawi bin
Abdullah bin Muhammad Salabi pada tahun 1932. Kyai Husein mempunyai
8 saudara yang semuanya menjadi kyai yang berpengaruh didaerahnya.40
Saudara-saudara Kyai Husein yaitu Hasan Thuba Muhammad yang menjadi
pengasuh di pondok pesantren Raudlah at Thalibin di Bojonegoro, Jawa
Timur. Husein Muhammad menjadi salah
40 M. Nuruzzaman, Kiai Husein Membela Perempuan (Yogyakarta: Pustaka Pesantren,
2005), hlm.110.
30
Page 47
seorang pengasuh pondok pesantren Dar at Tauhid di Arjawinangun,
Cirebon. Ahsin Sakho Muhammad pengasuh pondok pesantren Darul
Qur‟an di Arjawinangun Cirebon. Ubaidah Muhammad pengasuh
pondok pesantren Lasem, Jawa Tengah. Mahsun Muhammad pengasuh
pondok pesantren Dar at Tauhid di Arjawinangun, Cirebon. Azzah Nur
Laila pengasuh pondok pesantren HMQ Lirboyo, Kediri, Jawa Timur.
Salman Muhammad pengasuh pondok pesantren tambak Beras,
Jombang, Jawa Timur. Faiqoh pengasuh pondok pesantren Langitan,
Tuban, Jawa Timur.41
Kita kenal dengan nama pesantren Dar At Tauhid. Pada mulanya
pesantren ini bernama al-Ma‟had al-Islami, kemudian setelah putranya yang
bernama K.H. Ibnu Ubaidillah pulang dari Makah al-Mukarromah setelah
menyelesaikan studinya, pesantren ini namanya diubah menjadi Ma‟had Dar
At-Tauhid al-„Alawa al-Islami, yang kemudian disederhakan menjadi
Ma‟had Dar At-Tauhid al-Islami. Pesantren ini pada awal kemunculannya
sudah dikenal sebagai pesantren yang berbeda dari pesantren lainnya. Jauh
sebelum di Indonesia ada pesantren yang menggunakan sistem madrasi,
pesantren ini telah mengamalkannya dan sudah menggunakan kapur tulis
sebagai medianya untuk menulis ayat-ayat
41 Noviyati Widiyani, “Peran KH. Husein Muhammad dalam Gerakan Kesetaraan Gender di
Indonesia”, (Skripsi, UIN Syarif Hidayatullah, 2010), hlm.38-39.
31
Page 48
Al Qur‟an dan kemudian dihapus yang mana debunya berceceran dan
oleh sebagian ulama ini dianggap sebagai bentuk penghinaan terhadap
ayat-ayat al-Qur‟an. Format pendidikan seperti ini menuai banyak
kecaman dari berbagai pihak, namun berkat kekuatan argumentasi yang
disampaikan oleh Kyai Syathori akhirnya mereka menerima cara
pendidikan seperti itu.42
Dengan Kalangan Keluarga yang religius itulah
Husein ditempa dalam didikan yang sangat baik untuk mengembangkan
keilmuannya yang tidak cukup hanya di pondok pesantren semata akan
tetapi lebih daripada itu. Ia juga seorang yang pandai menulis syair dan
puisi. KH.Husei Muhammad aktif juga sebagai narasumber dalam
berbagai pelatihan, lokakarya dan seminar, baik nasional maupun
internasional. Sehari hari beliau aktif diberbagai kegiatan dan organisasi
sosial, pondok pesantren, masjid, ormas NU, persaudaraan haji, partai
politik (PKB), yayasan pendidikan dan sosial dan sejumlah NGO,
terutama Rahima, Puan Amal Hayati dan Fahmina. Beliau juga aktif
menulis di media lokal dan nasional dan di forum-forum Internasional.
B. PENDIDIKAN KH. HUSEIN MUHAMMAD
Kyai Husein mengenyam pendidikan agama sejak kecil, selain
pendidikan formal beliau juga mengenyam pendidikan sekolah di
42 Husein Muhammad, Islam Agama Ramah Perempuan; Pembelaan Kiai Pesantren,
(Yogyakarta; LkiS, 2004), hlm. 343.
32
Page 49
madrasah diniyah. Kyai Husein pertama kali belajar membaca Al-Quran
dengan Kyai Mahmud Toha dan kepada kakeknya sendiri. Kyai Husein
menyelesaikan pendidikan formal di sekolah dasar pada tahun 1966.
Kemudian beliau melanjutkan ke SMPN 1 Arjawinangun, kemudian
setelah lulus Kyai Husein melanjutkan pendidikannya di pesantren Lirboyo
di daerah Kediri Jawa Timur selama tiga tahun. Kemudian beliau
melanjutkan pendidikannya ke perguruan tinggi Perguruan Tinggi Ilmu Al-
Qur‟an (PTIQ) Jakarta selama lima tahun. Selama Kyai Husein kuliah
beliau terlibat aktif diberbagai organisasi, bahkan beliau pernah menjabat
sebagai ketua 1 Dewan Mahasiswa pada tahun 1979. Kyai Husein juga
menjadi salah satu pelopor berdirinya PMII Rayon Kebyoran Lama.
Tahun 1980 Kyai Husein melanjutkan pendidikan ke Universitas Al
Azhar Mesir, dikarenakan ijazah sarjanannya belum bisa digunakan untuk
melanjutkan S2nya dengan alasan ijazahnya belum disamakan, maka Kyai
Husein belajar dengan sejumlah syaikh di Majma‟ al-Buhutsal-Islamiyah
milik Universitas Al-Azhar.Secara formal di institusi iniKyai Husein belajar
di Dirasat Khashshah (Arabic Special Studies). Melalui institusi inilah Kyai
Husein berkenalan dengan pemikiran-pemikiran Islam modern yang
dikembangkan oleh Muhammad Abduh, Ali Abdur Raziq, Muhammad Iqbal
dan lainnya. Kyai Husein juga berkenalan dengan pemikiran-pemikiran
Barat seperti Sratre, Goethe dan lainnya. Selama
33
Page 50
menimba ilmu itulah Husein tidak menyia-nyiakan kesempatan
belajarnya. Pengalamannya bertemu dan belajar dengan para Kiai dan
guru-gurunya selama menimba ilmu itulah yang menjadi hal yang tak
terlupakan karena melalui mereka ia mulai berkenalan dengan beragam
ilmu yang belum pernah dikenal sebelumnya. Kajian terhadap berbagai
ilmu yang dipelajarinya menjadikan Husein terbuka terhadap berbagai
pendapat.
C. KARYA-KARYA KYAI HUSEIN
Kyai Husein tercatat sebagai penulis yang handal terbukti dari
beberapa karya beliau yang sudah lebih dari 10 buku yang telah beredar
dimasyarakat. Maka dari itu Kyai Husein tdak pernah berhenti untuk
terus berkarya. Salah satu karya Kyai Huseinyang digunakan sebagai
bahan rujukan para aktivis perempuan yaitu “Fiqh Perempuan, Refleksi
Kiyai atas Wacana Gender”, karyanya yang lain yaitu “Islam Agama
Ramah Perempuan”, “Ijtihad Kyai Husein, Upaya Membangun Keadilan
Gender”, “Dawrah Fiqh Perempuan” (modul pelatihan), “Fiqh
Seksualitas”, “Fiqh HIV/AIDS”, “Mengaji Pluralisme Kepada Maha
Guru Pencerahan”, “Sang Zahid, Mengarungi Sufisme Gus Dur”,
“Menyusuri Jalan Cahaya”, dan buku terbaru beliau yaitu yang berjudul
“Perempuan, Islam & Negara” yang baru diterbitkat pada tahun 2016 ini.
34
Page 51
Pada tahun 2003, Kyai Husein mendapatkan penghargaan dari
Bupati Kabupaten Cirebon sebagai tokoh Penggerak, Pembina, dan
pelaku Pembangunan Pemberdayaan Perempuan. Pada tahun 2006 Kyai
Husein juga menenerima penghargaan dari pemerintah Amerika Serikat
sebagai “Heroes To End Modern-Day Slavery”. Nama Kyai Husein
jugatercatat dalam “The 500 Moslem Influential Muslims” yang
diterbitkan oleh Royal Islamic Strategic Center sejak tahun 2010.43
Dengan berbagai pengetahuan dan pengalaman yang diperoleh
selama menuntut ilmu itulah, Husein mulai menuangkan gagasan-
gagasannya ke dalam bentuk tulisan. Dengan Pengetahuan Bahasa Arab
yang diperoleh dari pesantren, ia mulai aktif menulis dan menerjemahkan
beberapa buku berbahasa Arab ke dalam Bahasa Indonesia. Mulai dari
buku buku yang membahas tentang persoalan hukum Islam, Akidah
sampai buku-buku sosial-budaya. Kebanyakan dari karya itu terfokus
pada persoalan fiqih yang terlibat di dalamnya tergabung dalam Forum
Kajian Kitab Kuning (FK3) yang bertempat di Jakarta.
D. PENGALAMAN ORGANISASI
43
Nuruzzaman, Kiai Husein Membela Perempuan, (Yogyakarta: Pustaka Pesantren,
2005), hlm.151-153.
35
Page 52
Berikut ini kumpulan beberapa aktivitas organisasi Kyai husein:
1. Ketua I Dewan Mahasiswa PTIQ tahun 1978-1979.
2. Ketua I Keluarga Mahasiswa Nahdlatul Ulama Kairo Mesir 1982-1983
3. Sekretaris Perhimpunan Pelajar dan Mahasiswa Kairo-Mesir 1982-
1983.
4. Pendiri Fahmina Institute, Cirebon.
5. Pelopor PMII Rayon Kebayoran Lama.
6. Pengasuh Pondok Pesantren Dar At-Tauhid.
7. Anggota Dewan Syuro DPP PKB 2001-2005.
8. Ketua Dewan Tahfidz PKB Kabupaten Cirebon tahun 1999-2002.
9. Wakil Ketua DPRD Kabupaten Cirebon tahun 1999-2005.
10. Ketua umum Yayasan Wali Songo tahun 1996-2005.
11. Ketua 1 Yayasan Peasantern Dar At-Tauhid tahun 1984-sekarang.
12. Wakil Rois Syuriyah NU Cabang Kab. Cirebon 1989-2001.
13. Sekjend RMI (Rabithoh Ma‟had Islamiyah) Jawa Barat tahun
1994-1999.
14. Pengurus PP RMI tahun 1989-1999.
15. Wakil Ketua Pengurus Yayasan Puan Amal Hayati, Jakarta tahun
2000-sekarang.
16. Direktur Pengembangan Wacana LSM RAHIMA, Jakarta tahun
2000-sekarang.
36
Page 53
17. Ketua Umum DKM Masjid Jami‟ Fadhlulloh, Arjawinangun tahun
1998-sekarang
18. Kepala Madrasah Aliyah Nusantara berlokasi di Arjawinangun tahun
1989-sekarang.
19. Kepala SMU Ma‟arif Arjawinangun 2001.
20. Ketua Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia Arjawinangun 1996.
21. Ketua Kopontren Dar At-Tauhid 1994-sekarang.
22. Ketua Departemen Kajian Filsafat dan Pemikiran ICMI Orsat
Kabupaten Cirebon tahun 1994-2000.
23. Ketua I Badan Koordinator TKA-TPA Wilayah III Cirebon tahun
1992-sekarang.
24. Pemimpin Umum/Penanggung Jawab Dwibulanan “Swara Rahima”,
Jakarta tahun 2001.
25. Dewan Redaksi Jurnal Dwi Bulanan “Puan Amal Hayati”, Jakarta
tahun 2001.
26. Konsultan Yayasan Balqis untuk Hak-hak Perempuan, Cirebon
tahun 2002.
27. Konsultan /Staf ahli Kajian Fiqh Siyasah dan Perempuan.
28. Anggota National Broad of Internasioanal Center for Islam and
Pluralism, Jakarta tahun 2003.
29. Dewan Penasehat dan Pendiri KPPI (Koalisi Perempuan Partai
37
Page 54
Politik Indonesia) di Kabupaten Cirebon, tahun 2004.
30. Tim Pakar Indonesian Forum of Parliamentarian on Populationand
Development, 2003.
31. Komisioner Komnas Perempuan 2007-2009 dan 2010-2014.
32. Pendiri Lintas Iman (forum Sabtuan), Cirebon tahun 2000-sekarang.44
Di tempat inilah Husein bersama teman-temannya terlibat aktif dalam
berbagai kegiaatan diskusi, seminaar dan kajian seputar masalah sosial,
politik maupun masalah pendidikaan. Ia banyak belajar dari pengalaman
para seniornya.
Dalam waktu yang tidak terlalu lama, nama Husein banyak dikenal para
Mahasiswa Indonesia dan Pada tahun 1982, Ia dipercaya oleh teman-
temannya untuk memimpin Keluarga Mahasiswa Nahdlatul Ulama
Cabang Kairo-Mesir untuk periode 1982-983. Organisasi ini merupakan
perkumpulan mahasiswa Indonesia di Mesir yang menampung mereka
yang berasal dari organisasi keagamaan Nahdlatul Ulama, meskipun
elemen yang terlibat dalam organisasi ini tidak hanya diisi oleh anak-
anak muda NU
Pada saat yang sama (periode 1982-1983) Husein juga dipercaya oleh
teman-temannya untuk menjadi sekretaris Perhimpunan Pelajar dan
44 Nuruzzaman, Kiai Husein Membela Perempuan, (Yogyakarta: Pustaka Pesantren,2005),
hlm.124.
38
Page 55
Mahasiswa Indonesia (PPMI). Organisasi ini merupakan perkumpulan
para pelajar dan mahasiswa Indonesia dari berbagai latar belakang
organisasi yang belajar di Kairo-Mesir. Tahun 1983 Husein berhasil
menyelesaikan studinya di Kairo-Mesir. Selesai belajar di Kairo-Mesir
selama dua tahun, Ia pulang ke Indonesia dan bergabung dengan
pamannya memimpin pendidikan di Pondok Pesantren Darut Tauhid
Arjawinangun Cirebon Jawa Barat. Sampai sekarang Husein tinggal di
Arjawinangun Cirebon Jawa Barat bersama saudara-saudaranya
memimpin dan mengembangkan Pondok Pesantren Darut Tauhid.
E. Status Wali Nikah KH.Husein Muhammad
a. Pengertian Wali Mujbir
Wali mujbir adalah mempunyai pandangan umum yang menyatakan
bahwa perempuan menurut fiqh Islam tidak berhak menentukan pilihan atas
pasangan hidupnya. Yang berhak menentukan adalah ayah atau kakeknya.
Hal ini menimbulkam asumsi bahwa islam membenarkan nikah paksa.
Pandangan ini dilatarbelakangi oleh suatu pemahaman terhadap apa yang
dikenal dengan hak. Hak dipahami orang sebagai hak memaksakan suatu
perkawinan oleh orang lain dalam hal ini adalah ayah. 45
45 Husein Muhammad, Fiqh Perempuan, (Yogyakarta :Lkis, 2001), hlm. 104.
39
Page 56
KH. Husein muhammad berpendapat bahwa wali mujbir adalah
orang yang mempunyai kekuasaan atau hak untuk mengawinkan anak
perempuannya, meskipun tanpa persetujuan dari pihak yang
bersangkutan, dan perkawinan ini dipandang sah secara hukum. Hak
ijbar dimaksudkan sebagai bentuk perlindungan atau tanggungjawab
ayah terhadap anaknya karena keadaan dirinya yang dianggap
belum/tidak memiliki kemampuan atau lemah untuk bertindak.46
Orang yang berhak menjadi wali mujbir dalam permasalahan ini
adalah dapat dilakukan siapa saja, baik seorang ayah, ibu ataupun orang
lain. Mereka dapat memilih laki-laki untuk anaknya atau orang lain.47
b.Obyek Wali Mujbir
Dalam hal ini yang dimaksud menikahkan anaknya yang masih gadis atau
perawan. Istilah ini sendiri apabila dipahami secara mendalam karena
memiliki konotasi ikrah dan taklif. Ikrah yaitu suatu paksaan terhadap
seseorang untuk melakukan suatu pekerjaan dengan suatu ancaman yang
membahayakan terhadapi dan tubuhnya, tanpa ia sendiri mampu untuk
melawannya. Taklif adalah suatu paksaan terhadap sesuatu. Akan tetapi,
pekerjaan ini sebenarnya merupakan konsekuensi logis belaka dari
46 Ibid hlm.107
47 Husein Muhammad., Fiqh Perempuan‛Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender‛., (Yogyakarta: LKIS, 2007) hlm. 111.
40
Page 57
penerimanya atas suatu keyakinan. Sehingga pilihan atau jodoh itu
menjadi ‚tradisi‛ dalam pernikahan anak perempuannya.48
Dari segi akibat hukum, ikrah atau taklif memiliki perbedaan yang
tajam. Memaksa orang lain untuk melakukan secara ikrah dapat
dipandang sebagai suatu pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Jika
perbuatan yang dipaksakan tersebut dilaksanakan maka ia dinyatakan
batal demi hukum. Sebaliknya, memaksa orang lain untuk mengerjakan
sesuatu secara taklif, justru merupakan pahala karena termasuk dalam
kategori amar ma’ruf nahi munkar, atau bahasa yang lebih umum adalah
pemaksaan tersebut dipandang dalam kerangka penegakan hukum.
Penolakan atas paksaan ini merupakan pelanggaran hukum, pelakunya
berdosa atau harus dihukum.
c. Syarat-syarat Wali Mujbir
Pandangan Husein Muhammad tentang kriteria dengan persyaratan
tertentu. Syarat wali mujbir menurut Husein Muhammad adalah
mengikuti mazdhab Syafi’i dikaitkan dengan beberapa syarat-syarat yaitu
1. Tidak ada permusuhan (kebencian) perempuan itu dengan laki-laki
calon suaminya;
2. Tidak ada permusuhan(kebencian) perempuan itu dengan ayahnya;
48 Husein Muhammad., Fiqh Perempuan‛Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender‛,.. hlm.
79-80.
41
Page 58
3. Calon suami haruslah orang yang kufu’(setara atau sebanding);
4. Maskawin (mahar) harus tidak kurang dari mahar mitsil, yakni
maskawin perempuan lain yang setara dan,
5. Calon suami diduga tidak akan melakukan perbuatan atau tindakan
yang menyakiti hati perempuan itu.49
Menentukan pilihannya jelas menafikan unsur kerelaan yang
menjadi asas/dasar dalam setiap akad (termasuk akad nikah). Sekaligus
menunjukkan bahwa dalam masalah perkawinan unsur kerelaan
merupakan salah satu syarat bagi keabsahannya.50
E. Wali Mujbir menurut KH. Husein Muhammad
Wali diartikan oleh Husein sebagai orang yang melindungi,
bertanggung jawab, mengawasi dan mengurus urusan orang lain. Adapun
kaitannya dengan status kewenangannya maka dibagi menjadi dua, yakni
wali mujbir dan ghoiru mujbir. Berikut adalah orang-orang yang
menduduki posisi itu.51
a. Wali Mujbir, dalam hal ini adalah bapak, jika tidak ada bapak maka
49 Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-undang Perkawinan (UU No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan), (Yogyakarta : Liberty, 1999), hlm.46-47.
50 Wahbah az-Zuhaili, Al-Fiqih al-Islami wa Adillatuhu..., hlm.65.
51 Husein Muhammad Wawancara, Sabtu 21 Maret 2020 pada waktu 20.00 WIB
42
Page 59
kakek
b. Wali ghairu mujbir, yang termasuk dalam wali ini adalah dari
kerabat dekat, yakni sesuai dengan urutan yang menjadi ahli waris
dalam hukum kewarisan islam
Menurut Husein, selama ini terdapat pandangan umum yang
menyatakan bahwa perempuan menurut fiqh islam tidak berhak
menentukan pilihan atas pasangan hidupnya. Dalam hal ini yang berhak
adalah ayah atau kakeknya. Hal ini lalu menimbulkan asumsi bahwa
Islam membenaran nikah paksa. Pandangan ini dilatarbelakangi oleh
suatu pemahaman terhadap apa yang dikenal dengan hak ijbar. Hak ijbar
dipahami oleh banyak orang sebagai hak memaksakan suatu perkawinan
oleh orang lain dalam hal ini adalah ayah.52
Dalam hal ini Husein membedakan antara makna ikrah, taklif dan
ijbar seringkali dikonotasikan dengan makna paksaan. Ikrah berarti suatu
paksaan terhadap seseorang untuk melakukan sesuatu pekerjaan tertentu
dengan suatu ancaman yang membahayakan jiwa atau tubuhnya, tanpa
dia sendiri mampu melawannya. Sementara bagi orang tersebut perbuatan
perbuatan seperti itu bertentangan dengan hati nurani. Adapun taklif
adalah suatu paksaan terhadap seseorang untuk mengerjakan tersebut
merupakan konskuensi logis belaka dari penerimaannya atas suatu
52 Husein Muhammad, Fiqh Perempuan, hlm. 104
43
Page 60
keyakinan. Jadi, pekerjan tersebut adalah suatu kewajiban bagi orang
tersebut. Ini karena ia telah dengan sadar menjatuhkan pilihannya untuk
mengikuti atau mengakui suatu keyakinan. Sedangkan ijbar adalah suatu
tindakan untuk melakukan sesuatu atas dasar tanggung jawab.53
Dari segi akibat hukum, ikrah dan taklif memiliki perbedaan yang
tajam. Memaksa orang lain untuk melakukan sesuatu secara ikrah dapat
dipandang sebagai suatu pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Jika
perbuatan tersebut dilaksanakan maka ia dinyatakan batal demi hukum.
Sebaliknya, memaksa orang lain untuk melakukan sesuatu secara taklif
justru merupakan pahala karena termasuk kategori amar makruf nahi
munkar, atau dalam bahasa yang lebih umum. Apenolakan atas paksaan
ini merupakan pelanggaran hukum, pelakunya berdosa atau harus
dihukum.54
Kembali ke persoalan wali mujbir, Husein menjelaskan lebih rinci
bahwa hak wali mujbir adalah mengarahkan dan memilihkan bukan
menentukan dan memutuskan atas pilihan tersebut. Dalam hal ini seorang
wali mujbir berhak memilihkan calon bagi anak perempuannya namun tidak
berhak untuk memaksa anak tersebut menerima pilihan ayahnya atau
kakeknya. Hak menentukan jodoh itu bukan berada ditangan ayah atau
53 Ibid, hlm. 106
54 Ibid, hlm. 107
44
Page 61
Argumen 55
ditangan anak perempuan tersebut.kakek, melainkan berada
ini disandarkan pada hadits nabi:
أن فتاة دخلت عليها فقالت: ع بي خسيسته وأنا إن أبي زوجني ابن أخيه ليرف »وعن عائشة
هلال عليهاجلسي حتى يأتي النبي صلى هلال عليه وسلم، فجاء رسول هلال صلى »، قالت: «كارهة
عل األمر إليها، فقالت: وسلم فأ زت ما يا رسول هلال! قد»خبرته، فأرسل إلى أبيها فدعاه، فج أج
الن أبي، ولكن أردت صنع مر شي أنليس ساء أن تعلم باء من األ ء إلى ال »
Apabila terjadi pemaksaan kehendak orang tua dalam menentukan
jodoh bagi anak gadisnya sedangkan anak tersebut jelas -jelas tidak mau
memperlihatkan bahwa dirinya tidak suka terhadap pilihan ayahnya tersebut
maka perkawinan yang semacam ini dianggap tidak sah. Hal yang demikian
ini lantaran dinilai sebagai perbuatan yang menafikan unsur kerelaan dalam
pernikahan padahal itu merupakan asas dalam membangun sebuah mahligai
bahtera rumah tangga melalui perkawinan. Berbeda lagi bilamana sang ayah
memilihkan jodoh bagi putrinya dan anak tersebut diam serta tidak terlihat
tanda-tanda bahwa ia tidak menghendaki pilihan
56
tersebut maka pernikahan semacam hal ini dianggap sah.
Berbicara masalah kerelaan seorang anak perempuan, dalam hal ini
Husein berpendapat bahwa bilamana Ayah atau Kakek menentukan
jodoh bagi anak gadisnya kemudian anak tersebut diam untuk tidak
Ibid., Fiqh,hlm 111.55
56 Husein Muhammad, Wawancara, Sabtu: 21
Maret 2020, pukul 20.00 WIB
45
Page 62
menunjukkan tanda-tanda penolakan maka kepada yang dilksanakan
adalah sah. Sedangkan sebaliknya bila anak gadis tersebut telah
menunjukkan sikap penolakan namun tetap dipaksakan menikah maka
akad tersebut dinilai tidak sah. Ini jugaa disndrkn pada hadits :57
يقهيبالو هجام نبا هاور ،نسح ثيدح هيلع اوهركتسا امو ،نايسنالو أطخال يتمأ نع يل زواجت هللا ن ا
Artinya:
‘’Tuhan membebaskan dosa umatku karena keliru,lupa,dan
dipaksa.’’(HR. Ibn Majah dan Baihaqi)
F. Istinbat Hukum KH. Husein Muhammad
1. Sumber Hukum Islam
Dalam mengemukakan sebuah pendapat, Husein melandaskan
pendapatnya pada sumber hukum Islam. Adapun sumber hukum Islam
yang digunakan oleh Husein Muhammad adalah Al-qur’an, Hadits,
Ijma’, Qiyas dan juga pendapat para Ulma’.58
a. Alqur’an
Alqur’an bagi kaum muslimin adalah refrensi kehidupan yang paling
utama dan paling otoritatif. Tidak ada refrensi kaum muslimin yang
57 Ibn Majah, As-Sunan Juz 1, (Beirut; Dar al-Fikr, tt), hlm 88
58 Husein Muhammad, Wawancara, Sabtu: 21 Maret 2020, pukul 20.00 WIB
46
Page 63
dihormati sedemikian rupa tingginya selain Alqur’an. Seluruh siklus
tradisi dan budaya masyarakat Islam dibangun di atas landasan kitab ini.
Secara teologis mereka sepenuhnya percaya bahwa al-Qur’an adalah
kitab suci, karena al-Qur’an merupakan kalamullah yanag disampaikan
kepada Nabi Muhammad melalui malaikat Jibril.
Proses tranmisi al-Qur,an dari Allah kemudian dibawa malaikat
Jibril lalu disampaikan kepada Muhmmad berlangsung melalui sebuah
mekanisme komunikasi yang unik dn penuh misteri yng disebut whyu.
Wahyu adalh pemberian informasi yang samar dan misterius, bisa dalam
bentuk suara, bisikan maupun hembusan. Proses tranmisi dari Tuhan
kepada kedua subjek penerima tersebut merupakan problem yang amat
rumit dan kompleks. Rasionlisme sering kandas di hadapan persoalan ini.
Kerumitan ini terjadi karena kata-kata Tuhan bersifat trans-historis dan
meta-historis.59
Dengan meninggalkan perdebatan mengenai teori diatas dan
mekanisme pewahyuan diatas, secara faktual umat Islam meyakini bahwa
seluruh kata-kata Tuhan yang terhimpun dalam mushaf adalah otentik,
akurat, dan utuh. Tidak ada yang berubah sejak diturunkan kepada Nabi
hingga generasi berikutnya. Hal ini telah diterangkan dalam Al-Qur’an
59 Husein Muhammad, Ijtihad kyai Husein (Jakarta: Rahima, 2011), hlm.xiv.
47
Page 64
surat al-fushilat ayat 41.60
Menurut Husein petunjuk-petunjuk Alqur’an secara sederhana
diungkapkan dalam 2 bentuk narasi (khitab) yaitu narasi berita
(khabari,deskriptif) dan narasi perintah atau larangan (thalabi,preskriptif).
Narasi deskriptif adalah uraian informasi tentang fakta-fakta atau realitas.
Sementara narasi preskriptif tidaklah selalu berarti kewajiban (lil wujub)
atau keharaman (li at-tahrim). Perintah bisa berarti anjuran, saran atau
himbauan, bahkan ancaman. Larangan juga bisa berarti peringatan
(warning), tidak dianjurkan dan lain sebagainya.61
Pada sisi lain Al-Qur’an juga mengenal teori Nasikh Mansukh. Teori
ini menjelaskan bahwa terdapat ayat-ayat yang membatalkan (nasikh)
dan ayat-ayat yang dibatalkan (mansukh). Teori ini muncul akibat dari
adanya ayat-ayat yang dianggap saling bertentangan berdasarkan
pemahaman literalnya dan seakan-akan tidak mungkin lagi dapat
dikompromikan. Jika ini yang terjadi maka menurut teori ini ayat-ayat
yang diturunkan belakangan membatalkan ayat-ayat sebelumnya.62
Dalam memahami teks al-Qur’an, Husein menggunakan pendekatan
ta’wil. Dengan demikian, metode ini banyak menggunakan analisis
60 Ibid., hlm. xv
61 Ibid, hlm. xvii
62 Ibid, hlm. xxiii
48
Page 65
rasional, terbuka (inklusif), berinteraksi atau berdialog dengan realitas-
realitas yang berkembang, dan mengeksplorasi kemungkinan-
kemungkinan arti teks. Jadi, disamping menggunakan pemahaman
intertekstualitas dan logika teks, ta’wil juga memperhatikan fakta-fakta
diluar teks.63
Pendekatan semacam ini ingin membaca sebuah teks pada makna
esensial tujuan moralnya, bukan semata-mata makna literalnya. Teks
dengan demikian perlu dipahami aspek rasiologisnya di satu sisi serta
kemaslahatan dan aspek keadilannya sebagai tujuan akhir dengan mana
hukum ditegakkan. Dan pada akhirnya akan ditemuan kaitan erat dengan
dinamika dan dialektika sosial.64
b. Hadits
Sumber penetapan hukum setelah al-Qur’an adalah hadits Rasul
SAW. Hadits adalah segla sesuatu yang datang dari nabi Muhammad
selain Al-Qur’an baik berupa perkataan, perbuatan maupun ketetapan
yang berkenaan dengan hukum syara’.65
Dilihat dari segi periwayatannya, jumhur ulama’ushul fiqh
membagi hadits menjadi mutawattir dan abad. Apabila hadits itu
diriwayatkan secara bersambung oleh banyak orang yang menurut logika
63 Ibid, hlm. xxxiii
64 Ibid, hlm. xivii
65 Syamsul Bahri, Metodologi Hukum Islam, (Yogyakarta: Teras, 2008) hlm.49
49
Page 66
tidak mungkin mereka akan sepakat berdusta, maka hadits seperti ini
disebut hadits mutawattir dan kekuatan hukumnya adalah qath’i.
Sedangkan hadits yang diriwayatkan oleh beberapa orang saja yang tidak
sampai kepada tingkat mutawattir, maka hadits itu disebut ahad. Dan
kekuatan hukum hadits ini bila berstatus shahih maka bersifat zanni.
Untuk mengetahui kualitas sebuah hadits,hadits dapat ditinjau dari
dua sisi yakni sisi sanad (transmisi) dan matan (teks, bunyi). Tinjauan
sanad hadits dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui sejauh mana
sumber hadits tersebut dapat dipertanggung jawabkan, apakah ia benar-
benar berasal dari nabi tau bukan. Para ahli hadits membagi kualitas
hadits dari sisi ini dalam tiga kategori: shahih (valid), hasan (baik) dan
dhaif (lemah).66
c. Ijma’
Dari segi bahasa ijma’ berarti kesepakatan,maksud, ketetapan hati,
ketetapan untuk melaksanakan sesuatu dengan memerlukan tekad
kelompok. Sedangkan ijma’ menurut ulama usul fiqh (terminologi)
berarti kesepakatan semua mujtahid diantara ulama Islam pada suatu
massa tertentu setelah wafatnya Rasulullah SAW terhadap hukum syara,
yang bersifat praktis (‘amaly).67
66 Husein Muhammad, Fiqh, hlm 244
67 Syamsul Bahri hlm 50
50
Page 67
Dilihat dari segi terjadinya kesepakatan terhadap hukum syara’,
maka para ulama usul fiqh membagi ijma’menjadi dua, yaitu ijma’ sharih
/ lafadz dan ijma’ sukuty. Ijma’ sharih adalah perkataan para mujtahid, baik
melalui pendapat maupun perbuatan terhadap hukum suatu masalah tertentu.
Sedangkan ijma’ sukuty adalah pendapat sebagian ulama pada satu masa
tentang hukum suatu masalah dan tersebar luas, sedangkan para mujtahid
lainnya hanya diam saja setelah meneliti pendapat mujtahid yang
dikemukakan di atas tanpa ada yang menolak pendapat tersebut.
d. Qiyas
Secara terminologi terdapat beberapa definisi tentang qiyas yang
dikemukakan oleh para ulama’ usul fiqh. Diantara pengertian itu yakni
qiyas diartikan dengan menghubungkan suatu kejadian yang tidak ada
nas, kepada kejadian yang telah ada nasnya oleh karena ada kesamaan
dalam’illat hukumnya. Qiyas dapat dibagi menjadi beberapa segi, yaitu:
1. Dilihat dari segi kekuatan ‘illat yang terdapat pada furu’ dibandingkan
dengan yang terdapat pada ashl, terbagi menjadi tiga bagian: (a.) Qiyas al-
aulawi, yaitu qiyas yang hukumnya pada furu’ lebih kuat daripada hukum
ashl: (b) Qiyas al-Musawi, yaitu hukum pada furu’ sama kualitasnya dengan
hukum yang ada pada ashl, (c) Qiyas Al- Adna yaitu ‘Illat yang ada apada
furu’lebih lemah dibandingkan dengan ‘Illat yang ada pada ashl.
2. Dari segi kejelasan ‘Illat yang terdapat pada hukum, qiyas terbagi
menjadi dua macam, yaitu: (a) Qiyas al-jaliy, yakni qiyas yang ‘illatnya
51
Page 68
ditetapkan oleh naskh bersamaan dengan hukum ashl atau nash tidak
menetapkan ‘illatnya tetapi dipastikan bahwa tidak ada pengaruh
perbedaan antara ashl dengan furu’ (b) Qiyas al-khafi, yaitu qiyas yang
‘illatnya tidak disebutkan dalam nash.
3. Dilihat dari keserasian ‘illat dengan hukum, qiyas terbagi menjadi dua
bentuk, yaitu: (a). Qiyas al-mu’attsir, yaitu qiyas yang menjadi
penghubug.
Husein Muhammad dalam menggunakan qiyas, tidak terpaku pada qiyas
jali, melainkan jugamenggunakan qiyas khafi. Yang menjadi ukuran
penetapan ’illat adalah seberapa besar mashlahah yang akan didapat dari
hukum itu sendiri. Husein juga menggunakan istihsan. Selain itu, ia juga
mengakui tentang pentingnya menggunakan maslahaah mursalah. Yang
dicari Husein adalah nilai-nilai keadilan dari sebuah dalil dan nash.
2. Metode Istinbat Hukum
Istinbat artinya mengeluarkan hukum dari dalil. Jalan istinbat ini
memberikan kaiah-kaidah yang bertalian dengan pengeluaran hukum dari
dalil. Cra penggalaian hukum dari nas itu bisa ditempuh dengan dua
macam pendekatan, yaitu pendekatan makna dan pendekatan lafadz.
Pendekatan makna adalah penarikan kesimpulan hukum bukan kepada
nas langsung.
Adapun metode istinbat hukum yang digunakan oleh Husein
Muhammad adalah melalui pendekatan makna. Ini sebagaimana
52
Page 69
diungkapkan oleh Husein Muhammad:
Pendekatan ta’wil ingin membaca sebuah teks pada ma’na esensial
tujuan moralnya,bukan semata-mata makna literalnya. Teks dengan
demikian perlu dipahami aspek rasiologisnya disatu sisi serta
kemaslahatan dan aspek keadilan sebagai tujuan akhir dengan hukum
ditegakan. Dan analisis kita pada aspek-aspek ini pada akhirnya akan
selalu ditemukan kaitan ayanag sangat erat dengan dinamika dan
dialektika sosial.68
Dengan kata lain jika rasiologis telah berubah dan
kemaslahatan telah berganti karena perubahan konteks sosialnya, maka
dengan sendirinya keputusan hukum juga harus berubah.
Ungkapan di atas menunjukan bahwa Husein lebih mengedepankan
konteks dalam memahami teks itu sendiri. Begitu pula dalam mengambil
hukum tentang hak ijbar. Apa yang menjadi konsep para Ulama’ madzhab,
khususnya Ulama, yang memaknai bahwa hak ijbar adalah kewenangan
seorang wali untuk menentukan jodoh dan juga mengawinkan anak gadisnya
tanpa seizin anak gadis tersebut dinilai tidak relevan lagi bila masih
dipegang teguh hingga saat ini dengan mengabaikan realitas sosial. Ini
disebabkan perbedaan setting sosial dan juga kultur baik tempat maupun
kurun waktu yang selalu mengalami perkembangan.
68 Husein Muhammad, Ijtihad ,hlm. xivii
53
Page 70
BAB IV
ANALISIS KONSEP WALI MUJBIR DALAM PANDANGAN
KH.HUSEIN MUHAMMAD
A. Analisis terhadap Konsep Wali Mujbir Menurut
KH.Husein Muhammad
Wali diartikan sebagai pelindung maupun penguasa. Pelindung
(wali) dari segi subjeknya dibagi menjadi dua, yaitu seseorang yang
memiliki kemampuan untuk bertindak sendiri karena ia telah cakap
hukum (wilayah ashliyah) dan juga seseorang yang memiliki wewenang
terhadap orang alain karena hubungannnya dengan orang lain tersebut
yang berada di bawah pengampuannya (wilayah niyabah).69
Wilayah Niyabah sendiri dibagi dalam dua wilayah yakni yang
bersifat umum dan khusus. Besifat umum contohnya kewenangan
pemerintah atas rakyatnya, sedangkan yang bersifat khusus adalah
kewenangan dalam diri pribadi orang lain begitu pula masalah harta
bendanya. Wilayah khusus dalam diri pribadi orang lain termasuk di
dalmnya hak untuk menikahkan orang yang berada di bawah
pengampuannya.70
Kriteria seseorang dikatakan sebagai orang yang belum cakap
hukum meliputi beberapa poin dibawah ini:
69 Abidin Slamet Fiqh munakahat hlm. 89-90
70 Ibid., hlm. 91
54
Page 71
1. Masih kecil, baik laki-laki maupun perempuan
2. Budak
3. Orang gila
4. Orang bodoh
Namun dalam penentuan kriteria ini Imam Syafi’i menambahkan
status perawan sebagai salah asatu unsur berlakunya pengampuan. Bila
dikaitkan dengan hak pemilihan jodoh maupun hak menikahkan maka
para Ulama; madzhab fiqh termasuk di dalamnya Imam Syafi’i
melegalkan adanya hak ijbar (penentuan jodoh, menikahkan) terhadap
anak perawan tersebut. Kewenangan ini khususnya bagi ayah maupun
kakek. Begitu pula pendapat Ja,fariyah, Malikiyah dan juga Hanbaliyah
meskipun golongan-golongan ini berbeda-beda dalam menentukan
siapakah yang berhak memaksa perawan untuk menikah.71
Para Ulama’ yang memperbolehkan wali mujbir menikahkan anak
perwannya tanpa meminta izinnya terlebih dahulu dengan syarat-syrat
sebagai berikut:
1. Antara wali mujbir dan gadis tidak ada permusuhan
2. Laki-laki pilihan harus sekufu dengan perempuan itu
3. Mahar tidak kurang dari mahar mitsil.
4. Laki-laki pilihan wali akan dapat memenuhi kewajibannya
71 Rasjid Sulaiman, Fiqih islam hlm.184
55
Page 72
terhadap isteri dengan baik dan tidak ada gambaran berbuat yang
menyengsarakan isteri.72
Menurut Husein Muhammad pendapat para ulama’seperti diatas
selama ini membawa kepada pandangan umum yang menyatakan bahwa
perempuan menurut fiqh Islam tidak berhak menentukan pilihan atau
pasangan hidupnya. Yang berhak menentukan adalah ayah atau
kakeknya. Hal ini menimbulkan asumsi bahwa Islam membenarkan
nikah paksa. Pandangan ini dilatar belakangi oleh suatu pemahaman
terhadap apa yang dikenal dengan hak ijbar. Hak ijbar dipahami oleh
banyak orang sebagai hak memaksakan suatu perkawinan oleh orang lain
dalam hal ini adalah ayah.73
Husein Muhammad membedakan pengertian antar makna ikrah, taklif
dan ijbar yang seringkali dikonotasikan dengan makna paksaan. Ikrah
berarti suatu paksaan terhadap seseorang untuk melakukan sesuatu
pekerjaan tertentu dengan suatu ancaman yang membahayakan jiwa atau
tubuhnya, tanpa dia sendiri mampu melawannya. Sementara bagi orang
tersebut perbuatan itu sebenarnya bertentangan dengan hati nurani. Adapun
taklif adalah suatu paksaan terhadap seseorang untuk mengerjakan sesuatu
dan pekerjaan tersebut merupakan konskuensi belaka dari
72 Wahbah az-Zuhaili, AL-Fiqh al-Islami wa Adillah Juz IX, (Damaskus: Dar el-Fikr, 1989), hlm. (6685-6686)
73 Husein Muhammad, Fiqh Perempuan hlm. 104
56
Page 73
penerimaannya atas suatu keyakinan. Jadi, pekerjaan tersebut adalah
suatu kewajiban bagi orang tersebut. Ini karena ia telah dengan sadar
menjatuhkan pilihannya untuk mengikuti atau mengakui suatu
keyakinan. Sedangkan ijbar adalah suatu tindakan untuk melakukan
sesuatu atas dasar tanggung jawab74
Dari pembedaan tiga kata di atas menggambarkan bahwa definisi
wali mujbir antara Husein dan juga Ulma Madzhab terdapat perbedaan.
Menurut Penulis, perbedaan ini dilatarbelakangi oleh hak yang dimiliki
wali mujbir itu sendiri. Bgi mayoritas Ulama’ madzhab seperti Syafi’i,
Hambali dan Maliki hak wali mujbir itu meliputi hak menentukan jodoh
dan juga menikahkan anak perempuannya tanpa seizinnya. Sedangkan
menurut Husein, wali mujbir itu berhak mengarahkan dann memberikan
pilihan jodoh bagi anak perawannya sedangkan keputusan berada pada
tangan anak perempuan itu sendiri.
Pandangan Husein tentang hak bagi wali mujbir dalam menentukan
jodoh bagi anak perawannya bukanlah suatu kewajiban yang harus dipatuhi
oleh anak tersebut karena memilih jodoh berada ditangan anak sendiri. Jika
wali memaksakan kehendaknya padahal sang anak jelas-jelas menolak
namun akad tetap dilakukan maka akad semacam ini dinilai tidak sah.
Sebab, pemaksaan tersebut berarti membelenggu kebebasan jiwa anak
74 Ibid hlm.106
57
Page 74
dan itu berarti masuk dalam kategori ikrah.
Pendapat ini selaras dengan hadits nabi yang menerangkan bahwa
niat dalm sebuah perbuatan sangatlah penting. Berikut hadits tersebut:
75 ألاامنإ بال مع
تاينال
Pemaknaan hadits ini memang tidak terlepas dri kontroversial.
Terdpat dua pendapat yang memberikan konskuensi hukum yng berbed
atas hadits ini. Pendapat pertama menyatakan bahwa sebuah pekerjaan
yang tidak diniati, maka pekerjaan itu tidak akan mendapat pengabsahan
(legalitas) dari syari’at. Sedangkan pendapat kedua menyatakan bahwa
suatu pekerjaan tidak sempurna bila tidak disertai dengan niat.76
Menyikapi perbedaan pendapat diatas, Ibnu Hjar al-Haytami lebih
memilih pendapat yang pertama karena lebih mendekati makna hakiki
dibandingkan makna majazi.
Hadits diatas juga merupakan pondasi terbangunnya kaidah ushul:
اهدصاقمب رومألا
‘’ Segala sesuatu tergantung pada tujuannya’’77
Penulis sependapat dengan pendapat Husein Muhammad bahwa
kewenangan wali mujbir terhadap pemilihan jodoh anak perawannya
75 Muhammad bin Isma’il, Shohih Al Bukhori (Dar Touq An-Najah, 1422 H) Juz.8
hlm.140
76 Komunitas Kajian Ilmiyah Lirboyo, Formulasi Nalar Fiqh (Surabaya; Khalista, 2009),
hlm. 92
77 Fathurrahman Azhari, 2015, Qawaid Fiqhiyah Muamalah, Cet.1 hlm 25
58
Page 75
bukan bersifat wajib untuk dipatuhi melainkan sebuah saran dan
jugaarahan untuk kebaikan anak tersebut. Jika anak tersebut lebih
memilih pilihannya sendiri dan menolak usulan sang ali itu bukanlah
suatu pelanggaran.
Wewenang wali terbatas kepada memberi usul karena yang
menjalani kehidupan rumah tangga bukanlah wali melainkan anak
perawan tersebut. Sehingga, kerelaanya harus lebih diutamakan daripada
wali namun bukan berarti pertimbangan wali tidak diperlukan.
Jika kita bertumpu pada pandangan mayoritas Ulama’ Madzhab
maka wali menempati ruang yang lebih besar daripada perawan itu
sendiri. Tetapi akan menjadi absurd ketika diarahkan pada tujuan
pernikahan sebagai media membangun hubungan yang sakinah,
mawaddah, wa rahmah sedangkan para pelakunya atau salah satu
pelakunya sama sekali tidak memiliki keinginan. Padahal, akad tersebut
adalah akad bagi pernikahan yang merupakan mitsaqan Ghalidzan.
Meskipun dalam pelaksanaan hak ijbar ini para Ulama menentukan
syarat-syarat tertentu, salah satunya adalah kafaah. Bisa saja ukuran kafaah
antara anak perawan dan sang wali terjadi perbedaan. Kriteria kafaah yang
telah diungkapkan oleh Rasulullah terletak pada ukuran agama. Ukuran
inilah yang dapat menjamin kebahagiaan rumah tangga. Sikap keberagaman
yang bagus akan melahirkan tanggung jawab danjuga kepedulian atas segala
tindakan baik yang menyangkut dirinya maupun
59
Page 76
Orang lain. Sedangkan bagi mereka yang menetapkan ukuran kafaah
berdasarkan nasab dan juga kekayaan serta ukuran fisik tertentu tidaklah
tepat.
Adapun hak anak perawan lebih kuat dibandingkan hak seseorang
wali terlihat dari adanya perpindahan hak perwalian dari wali nasab kepada
wali sulthan bilamana wali nasab ‘adhal. Begitu pula bila pernikahan yang
dilangsungkan atas dasar paksaan dan tidak adanya kesepakatan pasangan
maka pernikahan tersebut dapat dimintakan fasakh.78
Pendapat penulis membenarkan pendapat Husein Muhammad
bukan tanpa dasar. Dalam hal ini penulis mengacu pada hadits Rasul
yang menerangkan bahwa seseorang perawan dimintai izinnya dan
seseorang janda lebih berhak atas dirinya;
ب يثال
مأتست اهتوكس كبالو ،اهي اهنذإو ،ر لو نم اهسفنب ر أ قح
Artinya :
‘’Seseorang janda itu lebih berhak atas dirinya daripada walinya dan
seorang perawan itu dimintai persetujuannya, dan izinnya adalah
diamnya.’’
Hadits ini menerangkan bahwa seorang perawan dimintai izinnya
menandakan bahwa kerelaan seorang perempuan perawan merupakan hal
yang penting. Disebutkan pula indikasi kerelaan berupa sikap diamnya.
78 Husein Muhammad, Ijtihad kyai Husein (Jakarta: Rahima, 2011), hlm.xiv.
60
Page 77
Dalam konsep indikasi kerelaan yang ditawarkan Husein yakni
memaknai diam dengan tidak adanya tanda-tanda penolakan daripihak
perawan tersebut baik itu raut muka, maupun sikap yang ditunjukkan
sebagai bentuk ketidaksetujuannya. Kerelaan menjadi hal yang sangat
penting karena berfungsi sebagai asas dalam pernikahan.
‘’Diam’’ tidak dapat serta-merta menjadi ukuran persetujuan anak
gadis. Perlu memahami bagaiman kondisi psikologis dan juga
kepribadian anak tersebut dan bagaiman caranya mengutarakan ekspresi
kegusarannya, kesenangan, persetujuannya dalam kehidupan sehari-hari.
Bisa saja seorang perawan menjadikan diamnya sebagai aksi protes
terhadap pilihan walinya.
Husein juga memberikan konsep berlakunya wali mujbir dengan
batasan dewasa atau tidaknya seseorang. Bila anak perawan tersebut
telah dewasa maka ia memiliki hak layaknya seorang janda yakni
memilih calonnya berdasarkan nuraninya denagan pertimbangan baik
dan buruknya. Manakala calon yang dipilihnya tidak sesuai dengan
kehendak keluarga dan ia masih tetap bersikeras untuk memutuskan
menikah dengannya itu bertanda bahwa segala konskuensi setelah
pernikahan itu merupakan hal yang harus dihadapinya.
Pemikiran semacam ini lebih rasional karena kemampuan seseorang
untuk menentukan langkah bagi masa depannya tentu memerlukan
kedewasaan berpikir dan juga kesanggupan serta kemampuan untuk
61
Page 78
mandiri. Sedangkan batasan perawan atau janda sebagai sebab ada atau
tidaknya hak ijbar dirasa sudah tidak relevan bila dikaitan dengan konteks
sosial seperti sekarang ini. Mungkin pada masa itu (Imam Madzhab)
penentuan status inilah yang maslahah. Mengingat ondisi sosial pada saat
itu dan juga tempat yang memposisikan wanita sebagai makhluk yang
kurang cakap bertindak hukum dan tidak memiliki kedudukan yang berarti
didalam masyarakat. Sehingga mengharuskan wali untuk menentukan
bagaimana jodoh yang kelak akan mendampingi hidupnya.79
Penulis menempatkan unsur dewasa sebagai penggugur hak ijbar
dalam menentukan pasangan sebagaiman pendapat Husein. Adapun
seorang perawan tidak boleh diberi izin untuk menikah dengan
pilihannya manakala beda agama dan juga beberapa ketentuan tentang
keharaman lainnya.
B. Analisis terhadap Metode Istinbat Hukum KH. Husein Muhammad
Dalam proses penggalian hukum, Husein terlihat cenderung
menggunakan pendekatan kontekstual. Ini tercermin dari pendapat
Husein bahwa Al-Qur’an turun bukan tanpa sebab (Asbab an-Nuzul).
Sebab turunnya ini menandakan bahwa al-Qur’an merupakan solusi atas
permasalahan yang terjadi bumi. Selain itu, pembagian surat menjadi dua
79 Husein Muhammad, Wawancara, Sabtu: 21 Maret 2020, pukul 20.00 WIB
62
Page 79
bagian yakni Makiyyah dan Madaniyyah adalah penggambaran sejarah al-
Qur’an yang senantiasa melakukan dialog secara dinamis dan akomodatif,
bernegosiasi dan melakukan interaksi dengan akal dan psikososial.
Untuk memperkuat argumennya, Husein memaparkan tentang
naskh dan mansukh sebagai bukti adanya historisasi teks-teks alqur’an.
Sebagaiman ungkapannya berikut:
‘’ Terlepas dari kontroversi mengenai naskh dan mansukh diatas, dan
asaya tidak hendak mengurainay lebih pnjang, kenyataan itu
menunjukkan dengan jelas bahwa seluruh ulama’ mengakui adanya
dimensi historisasi teks-teks al-Qur’an. Dengan kata lain, teori ini
menunjukkan adanya kehendak perubahan hukum dari satu waktu
kewaktu yang alain dari satu ruang ke ruang yang lain’’.80
Husein juga melihat al-Qur’an sebagai pengusung ide reformasi,
universal, dan keadilan serta tidak lepas pula dari relasi gender. Selain itu
kehendak reformasi ini tercermin pada perilaku Nabi Muhammad sebagai
penerima wahyu tersebut dengan memperlakukan wanita dengan ramah.
Dalam konsep wali mujbir yang ditawarkannya, Husein juga
terlihat mengusung metode ta’wil dan kontekstual. Sebagai contoh
adalah dalam memahami hadits dibawah ini:
80 Husein Muhammad, Ijtihad Kyai Husein, (Jakarta; Rahima, 2011), hlm. xxvi
63
Page 80
ا ه ص ا ه ر
م يلوأق ح س فن ب نم اه كبالو نذأتست س فن يف اهنذإو اهتام يألا
Menurut Husein, indikasi kerelaan seorang gadis pada masa itu
(Imam Madzhab) adalah diam. Sedangkan masa sekarang menjadikan
diam sebagai indikasi persetujuan tidak bisa terlepas dari membaca
psikologi anak tentang bagaiman indikasi persetujuan yang dimaksud itu.
Ataukah diamnya tersebut justru sebagai bentuk ketidak setujuan akan
apa yang dilakukan oleh walinya.81
Begitu juga dalam menempatkan dewasa sebagai penghapus hak
ijbar. Janda dan perwan saat itu menjadi penentu berlaku tidaknya hak
ijbar, karena kondisi sosial saat itu memang menghendaki demikian,
Janda lebih mengetahui akan urusannya sedang gadis perawan tidak atau
kurang cakap dan malu-malu akan urusannya yang berkaitan dengan
pernikahan. Dan hal ini menandakan bahwa sesunggunya kedewasaanlah
yang menjadi ukurannya.
Kedewasaan menjadi penentu berlaku tidaknya hak ijbar dirasa
relevan dengan kondisi sosial seperti sekarang ini. Dimana, perempuan tidak
lagi memiliki kedudukan serendah masa itu. Peremiberi ruang dan juga
mendapatkan harga dirinya sebagai manusia yang bermartabat. Sosial
menempatkan ukuran kecakapan dan kecerdasan dalam memperlakukan
81 Ibid., hlm. 27
64
Page 81
laki-laki maupun perempuannya, bahkan tidak jarang yang melebihi laki-
laki.82
Meskipun demikian Husein menekankan bahwa tiap hukum itu
harus mengarah kepada aspek maslahahnya. Itulah yang diyakini Husein
bahwa hukum itu memiliki pembagian ruang dan juga waktu.
82 Husein Muhammad, Wawancara, Sabtu: 21 Maret 2020, pukul 20.00 WIB
65
Page 82
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pemaparan yang telah dijelaskan pada bab I sampai bab IV,
dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut:
1. Berbeda dengan mayoritas Ulama madzhab, Husein memaknai wali
mujbir sebagai seseorang yang melakukan tindakan atas dasar tanggung
jawab dan memiliki hak mengarahkan bukan memaksa menikah seseorang
di bawah pengampuannya (perawan, dewasa). Bila terjadi ikrah
maka akad tersebut batal demi hukum (fash). Adapun indikasi kerelaan
perawan adalah ‘’Diam’’ dengan tidak ada indikasi penolakan dan
tertekan jiwanya. Ini dilihat dari psikologi perawan tersebut.
Pemberlakuan hak ijbar tergantung pada kedewasaan yang dimiliki oleh
anak perawan tersebut.
2. Dalam metode pengambilan hukum (istinbat) KH. Husein Muhammad
menggunakan dua metode sekaligus. Pertama adalah menggunakan
metode tekstual (maz|hab qauly); dan kedua adalah metode
kontekstual/metodologis (manhajy) serta dengan acuan nilai maslahah.
Metode tekstual digunakan KH. Husein Muhammad ketika memberikan
“fatwa hukum”. Sedangkan metode kontekstual dilakukan KH. dalam
forum-forum ilmiah keagamaan seperti bahtsul masail NU, seminar atau
66
Page 83
ketika KH. Husein Muhammad berijtihad sendiri untuk memecahkan
persoalan yang pelik yang menjadi tuntutan umat.
3. Melalui analisis data yang diperoleh,maka dapat penulis simpulkan
bahwa sangat terlihat bagaimana KH. Husein Muhammad lebih
mengedepankan maslahah, artinya dengan jalan mengompromikan antara
pendapat yang menghendaki adanya hak ijbar oleh orang tua terhadap
anaknya dengan pendapat yang tidak mengakui adanya hak ijbar oleh
orang tua, diharapkan dapat memberikan maslahah dan kebahagiaan bagi
si anak maupun kepentingan orang tua. Dari sini dapat diketahui, KH.
Husein Muhammad memandang aspek maslahah sebagai acuan dalam
beristinbat dengan tetap memperhatikan pendapat para ulama fuqaha’.
B. Saran
1. Kepada para Wali:
Janganlah menikahhkan anak perawan dengan sekehendak hati tanpa
memperhatikan keinginan dan persetujuannya. Yang akan menjalani
kehidupan rumah tangga setelah akad adalah sang anak bukan wali,
Jadi musyawarah adalah jalan terbaik.
2. Kepada para anak Perawan
Saat walimu memberikan pilihan seorang laki-laki untuk menjadi
pendamping hidupmu maka janganlah terburu buru untuk menolak atau
67
Page 84
mengacuhkannya. Pertimbangan yang matang sangatlah penting
karena pernikahan adalah hal yang tidak kecil. Ada konsekuensi di
dalamnya. Berpikir jernih dan bila memang tidak sesuai keinginan
hendaklah dibicarakan baik-baik dengan wali. Karena pernikahan
adalah dua kepentingan, individu juga keluarga.
68
Page 85
RIWAYAT HIDUP PENULIS
A. Data Pribadi
Nama : Miftakhul Khoiri
Tempat/Tanggal lahir : Kab. Semarang, 24 April 1999
NIM : 33010160016
Fakultas : Syari’ah
Jurusan : Hukum Keluarga Islam
Alamat di Salatiga : PPTI Al Falah Dukuh, Sidomukti, Salatiga
Alamat Asal : Ketapang, kec.Susukan, Kab.Semarang
B. Motto
‘’ Sejarah hidup hanya terjadi sekali saja, maka tulislah dengan
tinta emas!!’’
‘’ Jer Basuki Mawa Beya ( Setiap Usaha, Kebahagiaan dan
Kesejahteraan Memerlukan Pengorbanan ’’
C. Riwayat Pendidikan
No. Instansi Pendidikan Masuk (Th) Keluar (Th)
1. RA Ketapang 1 2004 2005
2. MI Ketapang 1 2005 2011
69
Page 86
3. MtsN Susukan 2011 2013
4. MAN 1 Surakarta 2013 2016
5. S1 AS IAIN Salatiga 2016 2020
Peneliti Setelah Melakukan Wawancara
70
Page 87
Pondok Pesantren Dar At Tauhid Tampak dari depan
71
Page 88
Para Santri saat Upacara Bendera di Halaman Pondok
72
Page 89
Tampak Depan Koprasi Delta Pondok Pesantren Dar At Tauhid
73
Page 90
Senam Pagi Santri Putri
74
Page 91
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Agama RI, Al Qu,an dan Terjemahannya, Surabaya: Jaya Sakti,
1989,
Adhim Fauzil Mohammad, Mencapai Pernikahan Barakah, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 1998
Al-Ustaimin M. Shaleh, Pernikahan Islami, (Surabaya: Risalah Gusti, 1992
Shahrur Muhammad, Metodologi Fiqih Islam Kontomporer, Yogyakarta:
Elsaq Press, cet. 5, 2008
Syarifuddin Amir, Garis-garis Besar Fiqih, Jakarta: Kencana, 2007
Al-Khalidi Abdul Aziz Muhammad, Sunan Abu Dawud Juz III, Beirut;Dar
al-Kutub ‘Ilmiah, 1997
Sudarsono Pokok-Pokok Hukum Islam,(Jakarta: Rineka Cipta, 1992
Ibn Rusyd, Bidayah al Mujtahid wa Nihyah al-Muqtasid Juz II , Beirut;Dar
al-Kutub ‘Ilmiah, 1989
Muhammad Husein Islam Agama Ramah Perempuan : Pembelaan Kiai Pesantren, Yogyakarta: LKiS, 2004
Al Jaziri Abdurrahman, Al-Fiqh ‘ala Mazhahib Al-Arba’ah, Beirut: Dar Al-
Fikr, t.th, Juz 4,
Sabiq Sayyid, Fikih Sunnah Juz 7, Bandung:PT Alma’arif, 1981
Mukti Fajar ND dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum
Normatif dan Empiris
Subahyo, Joko P. Metode Penelitian DalamTteori dan Praktek, Jakarta: Rineka
Cipta, 1991
Sugiyono, Metode Penelitian Administrasi (Bandung: Alfabesta, 2004
Awal Kusuma Nana Sudjana, , Proposal Penlitian Di Perguruan Tinggi
Bandung: Sinar Baru Algnesindo, 2008
Nuruzzaman M, Kiai Husein Membela Perempuan Yogyakarta: Pustaka
Pesantren, 2005
75
Page 92
Widiyani, Noviyati “Peran KH. Husein Muhammad dalam Gerakan
Kesetaraan Gender di Indonesia”, Skripsi, UIN Syarif
Hidayatullah, 2010
Muhammad Husein ,Islam Agama Ramah Perempuan; Pembelaan Kiai
Pesantren, Yogyakarta; LkiS, 2004
Porwadarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka,
1995
al-Habsy Bagir Muhammad, Fiqh Perwalian: Bandung: mizan, 2002
Muchtar Kamal, Asas-asas Hukum Tentang Perkawinan, Jakarta: Bulan
Bintang, 1974
Syarifuddin, Amir ,Garis-garis Besar Fiqih, Jakarta: Kencana, 2003
Ghazaly Abdur Rahman, Fiqh Munakahat, Jakarta: Kencana, 2003
Rasjid Sulaiman, Fiqh Islam, Bandung: Sinar Baru Algesindo.2001
Muhammad, Husein ,Islam Agama Ramah Perempuan; Pembelaan Kiai
Pesantren, Yogyakarta; LkiS, 2004
Muhammad Husein , Fiqh Perempuan‛Refleksi Kiai atas Wacana Agama
dan Gender‛., Yogyakarta: LKIS, 2007
Pustaka Widyatama, Kompilasi Hukum Islam
Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-undang Perkawinan
(UU No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan), Yogyakarta :
Liberty, 1999
76