KONSEP SUMBER KEWENANGAN PEJABAT TATA USAHA NEGARA SEBAGAI DASAR PEMBATALAN KEPUTUSAN TATA USAHA NEGARA (KTUN) (Studi Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Yogyakarta Nomor 06/G/2011/PTUN.YK) SKRIPSI Oleh: ERINA PERMATASARI E1A011279 KEMENTRIAN RISET TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS HUKUM PURWOKERTO 2015
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
KONSEP SUMBER KEWENANGAN PEJABAT TATA USAHA NEGARA
SEBAGAI DASAR PEMBATALAN KEPUTUSAN
TATA USAHA NEGARA (KTUN)
(Studi Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Yogyakarta Nomor 06/G/2011/PTUN.YK)
SKRIPSI
Oleh:
ERINA PERMATASARI
E1A011279
KEMENTRIAN RISET TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS HUKUM
PURWOKERTO
2015
i
KONSEP SUMBER KEWENANGAN PEJABAT TATA USAHA
NEGARA SEBAGAI DASAR PEMBATALAN KEPUTUSAN
TATA USAHA NEGARA (KTUN)
(Studi Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Yogyakarta Nomor 06/G/2011/PTUN.YK)
SKRIPSI
Disusun Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum
Universitas Jenderal Soedirman.
Oleh:
ERINA PERMATASARI
E1A011279
KEMENTRIAN RISET TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS HUKUM
PURWOKERTO
2015
iii
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya,
Nama : ERINA PERMATASARI
Kelas : E1A011279
Judul : KONSEP SUMBER KEWENANGAN PEJABAT TATA
USAHA NEGARA SEBAGAI DASAR PEMBATALAN
KEPUTUSAN TATA USAHA NEGARA (KTUN) (Studi
Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Yogyakarta Nomor
06/G/2011/PTUN.YK)
Menyatakan bahwa skripsi yang saya buat adalah benar merupakan hasil dari karya
saya sendiri dan tidak menjiplak hasil karya orang lain, serta bukan buatan dari orang
lain.
Apabila di kemudian hari terbukti bahwa saya melakukan pelanggaran sebagaimana
tersebut diatas, maka saya bersedia mempertanggungjawabkannya sesuai dengan
ketentuan yang berlaku.
Purwokerto, .... Februari 2015
ERINA PERMATASARI
E1A011279
iv
ABSTRAK
Skripsi ini berjudul : “Konsep Sumber Kewenangan Pejabat Tata Usaha
Negara Sebagai Dasar Pembatalan Keputusan Tata Usaha Negara” (Studi
Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Yogyakarta Nomor 06/G/2011/PTUN.YK).
Penelitian ini akan menguraikan keabsahan Keputusan Tata Usaha Negara ditinjau
dari sumber kewenangan yang dimiliki oleh Pejabat Tata Usaha Negara.
Sumber bahan hukum penelitian ini yaitu Putusan Pengadilan Tata Usaha
Negara Yogyakarta Nomor 06/G/2011/PTUN.YK. Tergugat dalam perkara a-quo
adalah Walikota Yogyakarta, dan objek gugatannya yakni Surat Keputusan Walikota
Yogyakarta Nomor 503/687 tentang Pemberitahuan Penutupan Usaha beralamat di
Jalan Mendung Warih Nomor 147 RT 32 RW II Kelurahan Giwangan, Kecamatan
Umbul Harjo, Kota Yogyakarta. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah
Yuridis Normatif dengan pendekatan yang digunakan adalah pendekatan perundang-
undangan, pendekatan kasus, dan pendekatan konseptual.
Hasil penelitian menunjukan bahwa Surat Keputusan Objek Sengketa yang
dikeluarkan oleh Walikota Yogyakarta, bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan ditinjau dari Aspek Substansi/Materiil sebagaimana diatur dalam
KeputusanWalikota Yogyakarta Nomor 232/KEP/2007 tentang Pelaksanaan Tugas
Khusus Wakil Walikota dan Keputusan Walikota Yogyakarta Nomor 50/KEP/2007
tentang Pendelegasian Wewenang Walikota kepada Wakil Walikota Untuk
Penandatanganan Naskah Dinas.
Majelis Hakim berpendapat bahwa Wakil Walikota telah keliru menafsirkan
sumber wewenang yang dimilikinya, seharusnya Wakil Walikota memperoleh
wewenang berdasarkan delegasi, akan tetapi Wakil Walikota menganggapnya sebagai
mandat. Majelis Hakim menyatakan bahwa Surat Keputusan objek sengketa batal,
sehingga gugatan Penggugat dinyatakan dikabulkan. Pertimbangan hukum Majelis
Hakim tersebut sudah sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan doktrin.
Akibat hukum dikabulkannya gugatan penggugat yakni Surat Keputusan objek
sengketa batal, Tergugat berkewajiban mencabut Surat Keputusan objek sengketa.
Kata Kunci :
Sumber Kewenangan, Pejabat Tata Usaha Negara, Dasar, Pembatalan, Keputusan
Tata Usaha Negara.
v
ABSTRACT
This thesis entitled: " The concept of authority source of administrative
officer as the basis of cancelation of administrative decision " (Study of State
Administrative Court Decision Yogyakarta No. 06 / G / 2011 / PTUN.YK). This
study will explain the validity of an administrative decision in terms of sources of
authority possessed by the Administrative Officer.
Material sourced from the State Administrative Court Decision Yogyakarta
No. 06 / G / 2011 / PTUN.YK. Defendants in the case a quo is the Mayor of
Yogyakarta, and the object of the lawsuit is the administrative decission No. 503/687
about business closure notification located in Mendung Warih street Number 147 RT.
32 RW. II Giwangan, sub-district Umbul Harjo, Yogyakarta. The method that used in
this research is normative juridical approach with the approach of legislation, case-
based approach, and the conceptual approach.
The results showed that the the administrative decision that released by the
mayor of Yogyakarta is contrary to the laws and regulations in terms of aspect
Substance / Material as set forth in Mayor Yogyakarta’s decision No. 232 / KEP /
2007 on the Implementation of the Special duties of Deputy Mayor and Mayor of
Yogyakarta Decree No. 50 / KEP / 2007 on the Delegation of Authority to the Deputy
Mayor To signing Official Papers.
The judges found the Deputy Mayor had wrongly interpreted the source of its
authority, the Deputy Mayor should obtain authority by delegation, but Deputy
Mayor has been considered it as a mandate. The judges stated that the object of
administrative decision void, so that Plaintiff stated granted. Consideration of the
judges of the law is in conformity with the laws and doctrines.
As a result of the law granting plaintiff object of the cancellation of
administrative decission, the Defendant is obliged to revoke the administration
decission that has been the object of the lawsuit.
Keywords: Source of Authority, Administrative Officer, Basic, Cancellation, Administrative
Decision.
vi
PRAKATA
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan segala Rahmat dan
Hidayah-Nya kepada Penulis, serta memberikan kenikmatan lahir batin kepada saya,
sehingga saya masih ada tetap berada di Jalan-Nya dan dapat menyelesaikan skripsi
ini dengan baik dan tepat waktu, yaitu dengan judul : KONSEP SUMBER
KEWENANGAN PEJABAT TATA USAHA NEGARA SEBAGAI DASAR
PEMBATALAN KEPUTUSAN TATA USAHA NEGARA (KTUN) (Studi
Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Yogyakarta Nomor 06/G/2011/PTUN.YK)
Skripsi ini merupakan salah satu prasyarat dalam memperoleh gelar Sarjana
Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman. Dalam penulisan
skripsi ini tentu banyak halangan dan rintangan hingga kesulitan serta hambatan yang
penulis alami, namun berkat arahan, bimbingan, serta dukungan dorongan dari
berbagai pihak, Alhamdulillah Penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik
dan tepat waktu. Maka dari itu, penulis ingin menyampaikan terimakasih yang tulus
kepada :
1. Bapak Dr. Angkasa S.H.,M.Hum, selaku dekan Fakultas Hukum Universitas
Jenderal Soedirman.
2. Bapak Weda Kupita, S.H.,M.H selaku Pembimbing Akademik sekaligus
perundang-undangan yang berlaku yaitu Keputusan Walikota
Yogyakarta Nomor 232/KEP/2007 tentang Pelaksanaan Tugas
Khusus Wakil Walikota dan Keputusan Walikota Yogyakarta
Nomor 50/KEP/2007 tentang Pendelegasian Wewenang
Walikota kepada Wakil Walikota untuk Penandatanganan
Naskah Dinas, serta melanggar Asas-Asas Umum Pemerintahan
yang Baik yaitu Asas Kecermatan dan Asas Kepastian Hukum.
9.2.3 Menyatakan batal Surat Walikota Yogyakarta Nomor 503/687
tertanggal 22 Februari 2011 Hal: Pemberitahuan Penutupan
Usaha.
9.2.4 Memerintahkan kepada Tergugat untuk menerbitkan Surat
Keputusan tentang Pencabutan Surat Walikota Yogyakarta
Nomor: 503/687 tanggal 22 Februari 2011 Hal : Pemberitahuan
Penutupan Usaha.
105
9.2.5 Menghukum Tergugat untuk membayar biaya perkara yang
timbul dalam perkara ini sebesar Rp. 2.104.000,00 (Dua Juta
Seratus Empat Ribu Rupiah).
B. Pembahasan
1. Pertimbangan hukum hakim pada putusan Nomor
06/G/2011/PTUN.YK, dalam membatalkan Surat Keputusan Walikota
Yogyakarta Nomor 503/687 tanggal 22 Februari 2011 ditinjau dari
konsep perolehan sumber kewenangan, sudah sesuai dengan peraturan
perundang-undangan dan doktrin.
Negara Indonesia sebagai Negara Hukum (rechstaat) seperti yang
telah dinyatakan oleh Pasal 1 ayat (3) Undang-undang Dasar 1945, yaitu
setelah Amandemen ke IV. Dan merupakan Negara Hukum dengan konsep
Negara Hukum Pancasila. Dalam Negara Hukum Pancasila terdapat jaminan
kebebasan beragama, yang memiliki arti bahwa agama dan negara memiliki
hubungan yang harmonis, sehingga tidak boleh terjadi pemisahan antara
keduanya.1
Sebagai Negara Hukum, setiap penyelenggaraan urusan
pemerintahan haruslah berdasarkan pada hukum yang berlaku (wetmatigheid
1 M. Tahir Azhary, 1992, Negara Hukum Suatu Studi tentang Prinsip-prinsipnya dilihat dari segi
Hukum Islam, Implementasinya pada periode Negara Madinah dan Masa Kini . Bulan Bintang, Jakarta, Hlm 71-72
106
van bestuur). Hal ini bisa dilihat dari amanat Pasal 24 Undang-undang Dasar
(UUD) 1945 yang menyebutkan bahwa :
1) Kekuasaan Kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan;
2) Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan
badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan
umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer,
lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah
Konstitusi;
3) Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan
kehakiman diatur dalam undang-undang. 2
Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Ketentuan-
Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman juga menentukan bahwa susunan
kekuasaan serta hukum acara Mahkamah Agung dan badan peradilan yang
berada dibawahnya diatur dalam undang-undang. Berdasarkan ketentuan
tersebut, maka untuk badan peradilan yang ada di lingkungan Peradilan Tata
Usaha Negara telah diatur dengan Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986
tentang Peradilan Tata Usaha Negara, yang telah diubah menjadi Undang-
Undang Nomor 9 tahun 2004 tentang Perubahan Pertama Atas Undang-
Undang Nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara dan
diubah lagi menjadi Undang-Undang Nomor 51 tahun 2009 tentang
2 Perubahan ke empat Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945.
107
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 51 tahun 1986 Peradilan
Tata Usaha Negara.
Peradilan Tata Usaha Negara (PERATUN) merupakan salah satu
lingkup peradilan yang ada di dalam kekuasaan kehakiman di Indonesia dan
diciptakan untuk menyelesaikan sengketa antara pemerintah dan warga
negaranya, yakni sengkata yang timbul sebagai akibat dan adanya tindakan-
tindakan pemerintah yang dianggap melanggar hak-hak warga negaranya.
Wewenang Pengadilan Tata Usaha Negara terdapat pada pasal 47 Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1986 bahwa Pengadilan Tata Usaha Negara
bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa
Tata Usaha Negara.
Sedangkan yang disebut sebagai Sengketa Tata Usaha Negara adalah
sengketa yang timbul dalam bidang Tata Usaha Negara antara Orang atau
Badan Hukum Perdata dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara
(Pejabat TUN), baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat
dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN), termasuk sengketa
kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.(
Pasal 1 ayat (10) UU Nomor 51 Tahun 2009 tentang PTUN)
Berdasarkan pengertian sengketa tata usaha negara, berarti sebab dari
timbulnya sengketa tersebut disebabkan oleh adanya suatu Keputusan Tata
Usaha Negara, yang sudah diatur dalam Pasal 1 ayat (9) Undang-Undang
108
Nomor 51 Tahun 2009 menyebutkan bahwa Keputusan Tata Usaha Negara
(KTUN) adalah
“ suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang beris ikan tindakan hukum tata usaha negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang bersifat kongkret, individual, dan final yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata”.
Dalam hal ini dapat diketahui bahwa pihak yang terkait dalam timbulnya
Objek sengketa Tata Usaha Negara yaitu orang (individu) atau badan hukum
perdata sebagai penggugatnya dan badan atau pejabat tata usaha negara
sebagai tergugatnya.
Pengertian Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara (Pejabat TUN)
dapat dijumpai dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang tentang Peradilan
Tata Usaha Negara yaitu, badan atau pejabat yang melaksanakan urusan
pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Atau dengan kata lain, Badan atau Pejabat TUN adalah Badan atau pejabat
yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku mempunyai
wewenang untuk melaksanakan urusan pemerintahan.
Sebagai Negara yang menganut desentralisasi mengandung arti
bahwa urusan pemerintahan pusat dan urusan pemerintahan daerah. Artinya
ada perangkat pemerintah pusat dan ada perangkat pemerintah daerah, yang
109
diberi otonomi yakni kebebasan dan kemandirian untuk mengatur dan
mengurus urusan rumah tangga daerah. 3
Pemerintah dalam bertindak melaksanakan tugas pokok, dan
fungsinya harus berdasar pada hukum yang berlaku, hal ini sesuai dengan
asas yang dianut pada negara hukum, yaitu asas legalitas, bahwa setiap
tindakan pemerintahan harus berdasarkan atas hukum. Asas ini menentukan
bahwa tanpa adanya dasar wewenang yang diberikan oleh suatu peraturan
perundang-undangan yang berlaku, maka segala macam aparat pemerintah
tidak akan memiliki wewenang yang dapat mempengaruhi atau mengubah
keadaan atau posisi hukum warga masyarakatnya.
Pemerintah dalam melakukan aktivitasnya, melakukan dua macam
tindakan, yaitu tindakan biasa (feitelijkehandelingen) dan tindakan hukum
(rechtshandelingen). Dengan kata lain bahwa, bentuk perbuatan
pemerintahan atau bentuk tindakan administrasi negara yang secara garis
besar dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu :
a. Perbuatan hukum/tindakan hukum (rechtshandelingen).
b. Bukan perbuatan hukum/tindakan biasa (feitelijkehandelingen).
Dalam hukum administrasi yang penting adalah tindakan pemerintah
yang tergolong tindakan hukum (rechtshandelingen). Pengertian Tindakan
Hukum pemerintah dalam bukunya Ridwan HR, bahwa tindakan hukum
pemerintah adalah tindakan-tindakan yang dilakukan oleh organ
pemerintahan atau administrasi negara yang dimaksudkan untuk
menimbulkan akibat-akibat hukum dalam bidang pemerintah atau
administrasi negara.4 Pada dasarnya perbuatan pemerintah (administrasi)
dapat dikategorikan menjadi tiga macam, yaitu:
a. Mengeluarkan peraturan perundang-undangan (regelling).
b. Mengeluarkan keputusan (beschikking).
c. Melakukan perbuatan material (materielle daad).5
Salah satu kategori perbuatan pemerintah yaitu pemerintah
mengeluarkan keputusan (beschikking). Dalam pengeluaran keputusan
tersebut, tidak selalunya benar dan berdasar pada peraturan perundang-
undangan yang ada, sehingga keputusan yang dikeluarkan oleh pemerintah
itu dianggap sewenang-wenang dan tidak berdasar dengan hukum. Sehingga
pihak yang diberi keputusan yang kepentingannya dirugikan oleh suatu
Keputusan Tata Usaha Negara, hal ini dapat mengajukan gugatan tertulis
kepada Pengadilan yang berwenang berisi tuntutan agar Keputusan Tata
Usaha Negara yang disengketakan itu dinyatakan batal atau tidak sah dengan
atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan/atau rehabilitasi. 6
4 Ibid, Hlm. 112 5 Titik Triwulan T dan Ismu Gunadi Widodo, Hukum Tata Usaha Negara dan Hukum Acara
Peradilan Tata Usaha Negara IndonesiaI, Kencana, Jakarta, 2014, Hlm. 311 6 R. Wiyono, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Sinar Grafika, Ed. Revisi, Cet. 1,
Jakarta, 2008, hlm. 117.
111
Apabila terjadi hal demikian maka penyelesaian sengketa ini dapat
dilakukan dengan upaya administratif dan melalui gugatan. Penyelesaian
sengketa Tata Usaha Negara melalui upaya administratif relatif lebih sedikit
jika dibandingkan dengan penyelesaian sengketa tata usaha negara melalui
gugatan, karena penyelesaian sengketa tata usaha negara me lalui upaya
administratif hanya terbatas pada beberapa “sengketa tata usaha negara
tertentu” saja. Sedangkan penyelesaian sengketa melalui gugatan, pihak
yang merasa dirugikan mengajukan gugatan secara tertulis yang didalam nya
memuat semua alasan-alasan mengapa KTUN tersebut mengandung
kerugian, dan berisi tuntutan agar Keputusan Tata Usaha Negara tersebut
dinyatakan batal atau tidak sah dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi
dan/atau rehabilitasi, setelah itu gugatan tersebut ditujukan kepada
pengadilan di Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara.
Diajukannya suatu gugatan ke Pengadilan TUN pada prinsipnya tidak
menunda atau menghalangi dilaksanakannya keputusan badan atau pejabat
tata usaha negara, serta tindakan badan atau pejabat tata usaha negara yang
digugat. Namun demikian, penggugat dapat mengajukan permohonan
kepada pengadilan agar surat keputusan yang digugat tersebut ditunda
pelaksanaannya selama proses berjalan, dan permohonan tersebut hanya
dapat dikabulkan oleh pengadilan apabila adanya alasan yang sangat
mendesak yang mengakibatkan kepentingan penggugat akan sangat
112
dirugikan jika keputusan TUN yang digugat itu tetap dilaksanakan (pasal 67
ayat 1 UU Nomor 9 tahun 2004).7
Alasan gugatan diatur dalam pasal 53 ayat (2) UU Nomor 5 Tahun
1986 Jo. Undang-undang Nomor 9 tahun 2004, yaitu :
a. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
b. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik.
Majelis Hakim dalam praktik pengujiannya terhadap Keputusan Tata
Usaha Negara harus sesuai dengan penjelasan ketentuan Pasal 53 di atas,
meliputi tiga aspek yaitu :
a. Aspek Kewenangan, yaitu meliputi hal berwenang, tidak berwenang atau
melanggar kewenangan.
b. Aspek Substansi/materil, yaitu meliputi pelaksanaan atau penggunaan
kewenangannya apakah secara materi/substansi telah sesuai dengan
ketentuan-ketentuan hukum atau peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
c. Aspek Prosedural, yaitu apakah prosedur pengambilan keputusan tata
usaha negara yang disyaratkan oleh peraturan perundang-undangan dalam
pelaksanaan kewenangan tersebut telah ditempuh atau tidak.8
Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) yang dikeluarkan oleh
pejabat tata usaha negara dengan tidak memperhatikan aspek kewenangan,
7 Ibid. Hlm 596 8 Ibid, Hlm 323-325
113
substansi/materiil dan prosedur , dapat dikategorikan sebagai KTUN yang
bertentangan dengan hukum, yaitu bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan dan bertentangan dengan asas-asas umum
pemerintahan yang baik. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Philipus
M.Hadjon mengenai kesimpulan dari penjelasan Pasal 53 ayat (2) huruf a
Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986 yang berkaitan dengan alasan
menggugat adalah :
1) bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang bersifat prosedural/formal;
2) bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang bersifat material/substansial;
3) dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang tidak berwenang; 9
Berkaitan dengan tiga hal tersebut, diukur dengan peraturan tertulis
dan atau asas-asas umum pemerintahan yang baik. Sehingga sebetulnya
alasan menggugat hanya menyangkut dua hal saja, secara alternative dan
komulatif, yaitu :
a. Keputusan Tata Usaha Negara tersebut bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan, dan atau
b. Keputusan Tata Usaha Negara tersebut bertentangan dengan asas-asas
umum pemerintahan yang baik.
9 Philiphus M.Hadjon, dkk, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Gajah Mada University
Press, Yogyakarta, 1993, Hlm. 324
114
Berdasarkan hasil penelitian nomor 1 mengenai para pihak, dalam
hubungannya dengan Pasal 53 ayat (1) Undang-Undang Nomor 9 tahun
2004, CV. Sarijaya (Penggugat) telah memenuhi persyaratan sebagai subjek
hukum Penggugat yaitu berupa “Badan Tata Usaha Negara” yang berkaitan
dengan perusahaan dibidang penepungan batu yang berada di jalan Mendung
Warih Nomor 147 RT 32 RW II Kelurahan Giwangan, Kecamatan
Umbulharjo, Kota Yogyakarta. Sedangkan Walikota Yogyakarta juga telah
memenuhi persyaratan sebagai subjek hukum Tergugat, karena
dikategorikan sebagai Pejabat Tata Usaha Negara sesuai dengan ketentuan
Pasal 1 angka 8 Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009.
Berdasarkan hasil penelitian nomor 4.3 yaitu mengenai Petitum atau
tuntutan pokok yang diajukan oleh Penggugat telah sesuai dengan Pasal 53
ayat (1) Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 yang menyatakan bahwa apa
yang dapat dituntut di muka Pengadilan Tata Usaha Negara terbatas pada
satu macam tuntutan pokok yang berupa tuntutan agar KTUN yang telah
merugikan kepentingan penggugat itu dinyatakan batal atau tidak sah. Hal
ini juga sesuai dengan isi petitum/tuntutan yang diajukan penggugat, yang
menghendaki bahwa Majelis Hakim menyatakan batal atau tidak sah Surat
Keputusan Walikota Yogyakarta Nomor 50/687 tanggal 22 Februari 2011
tentang pemberitahuan penutupan usaha. Selain itu, mengenai hasil
penelitian nomor 4.4 telah sesuai dengan pasal 97 ayat (9) huruf a UU No 5
Tahun 1986, dimana dalam petitumnya penggugat menghendaki agar
115
tergugat mencabut surat yang menjadi objek sengketa tersebut, hal ini
merupakan salah satu konsekuensi yuridis mengenai kewajiban tergugat
sebagai badan atau pejabat tata usaha negara apabila nantinya tergugat
dinyatakan kalah dalam amar putusan majelis hakim. Sedangkan hasil
penelitian nomor 4.5 juga telah sesuai dengan pasal 97 ayat (10) yang
menyatakan dalam petitum, kewajiban yang harus dilakukan oleh tergugat
juga disertai pembebanan ganti rugi, dalam hal ini penggugat menghendaki
agar tergugat untuk membayar biaya perkara yang timbul.
Sebelum menelaah lebih lanjut, penulis akan menguraikan kasus
posisi perkara ini secara singkat sebagai berikut :
1. Penggugat (CV.SariJaya) sejak berdiri pada tahun 1987 hingga sekarang
telah mengantongi segala perizinan sebagaimana ketentuan peraturan
yang berlaku, termasuk izin gangguan dan telah diperpanjang ketika
habis masa berlakunya dan pada saat Penggugat mengajukan
perpanjangan izin gangguan ke Tergugat, hingga sekarang permohonan
perpanjangan izin tersebut yang persyaratannya sudah lengkap tidak ada
kejelasan dari Tergugat, apakah ditolak atau bagaimana, padahal sudah
lebih dari 15 hari. Dan selama ini CV.SariJaya tidak pernah ada
masalah baik terhadap lingkungan masyarakat maupun terhadap instansi
terkait.
2. Ternyata dalil tergugat tidak mengeluarkan izin perpanjangan yang
dimaksud tersebut, dikarenakan adanya keberatan dari warga dan
116
sekitarnya. Dan telah melakukan peninjauan lokasi, serta berkoordinasi
dengan instansi terkait dan memperhatikan masukan-masukan dari
warga masyarakat yang keberatan atas keberadaan kegiatan usaha
tersebut.
3. Selain itu Menurut Tergugat bahwa berdirinya CV.SariJaya tersebut
tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku, yaitu dengan tidak mentaati
ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 15 ayat (1) Peraturan Daerah
Kotamadya Daerah Kotamadya Daerah Tingkat II Yogyakarta Nomor
6 Tahun 1999 Tentang Izin Gangguan, dan telah dicabut dan diganti
dengan Pasal 17 ayat (1) Peraturan Daerah Kota Yogyakarta Nomor 2
Tahun 2005 Tentang Izin Gangguan. Dan Pasal 10 Peraturan Daerah
Kotamadya Daerah Tingkat I Yogyakarta Nomor 6 Tahun 1999 Tentang
Izin Gangguan, dan telah dicabut dan diganti dengan pasal 3 ayat (3)
Peraturan Daerah Kota Yogyakarta Nomor 2 Tahun 2005 Tentang
Tentang Izin Gangguan.
4. Hal ini disangkal oleh Penggugat, bahwa Penggugat tidak melanggar
Perda Kota Yogyakarta No 2 tahun 2005 tentang izin gangguan dan
Penggugat merasa tidak pernah ada urusan dengan PN Yogyakarta,
yaitu dengan adanya putusan Nomor 1267/Pid.C/2010/PN.Yk, bukan
atas nama penggugat yang artinya telah terjadi salah orang.
117
5. Namun Tergugat tetap berkeyakinan dan berpendapat bahwa dalam
Penerbitan objek sengketa telah sesuai dengan peraturan perundang-
undangan dan azas-azas umum pemerintahan dan yang baik.
6. Penggugat berpendapat bahwa tindakan tergugat ini telah menyalahi
prosedur yang telah ada pada pasal 8 ayat (1) dan (2) Perda kota
Yogyakarta Nomor 2 tahun 2005 Tentang Izin Gangguan dan Pasal 18
serta Lampiran IV Peraturan Walikota No 41 tahun 2006 tentang
Mekanisme Penutupan Usaha, yang berarti telah bertentangan dengan
peraturan perundangan dan asas-asas umum pemerintahan yang baik.
Sehingga Penggugat mohon kepada majelis hakim untuk menyatakan
batal atau tidak sah terhadap objek sengketa tersebut.
Pertimbangan Hukum Hakim dalam sengketa a quo, sebagai berikut :
1. Pokok permasalahan dalam Gugatan yang diajukan oleh Penggugat
adalah apakah ada cacat yuridis di dalam surat keputusan yang
diterbitkan oleh tergugat baik dari segi kewenangan, formal procedural,
maupun dari segi substansi materiil sebagaimana dimaksud dalam Pasal
53 ayat (2) (huruf a dan b ) Undang-Undang Nomor : 9 Tahun 2004
Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor : 5 Tahun 1986
Tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang mengakibatkan objek
sengketa in litis dapat dinyatakan batal atau tidak sah.
2. Menurut Keputusan Walikota Yogyakarta Nomor 232/KEP/2007
tentang Pelaksanaan Tugas Khusus Wakil Walikota (vide Bukti T-27)
118
dan Keputusan Walikota Yogyakarta Nomor 50/KEP/2007 tentang
Pendelegasian Wewenang Walikota kepada Wakil Walikota Untuk
Penandatanganan Naskah Dinas (vide Bukti T-28) bahwa wewenang
penerbitan KTUN tersebut seharusnya tidak dilaksanakan oleh Wakil
Walikota Yogyakarta dengan atas nama Walikota Yogyakarta, yang
mana “atas nama” adalah merupakan ciri bentuk mandat, padahal dalam
bukti T-28 Telah disebutkan secara jelas, terang dan pasti, bahwa
kewenangan yang diatur merupakan bentuk pendelegasian/delegasi
bukan mandat.
3. Majelis Hakim berpendapat dan berkeyakinan bahwa oleh karena
bentuk formil objek sengketa tidak sesuai dengan bentuk yang
dikehendaki oleh peraturan perundang-undangan in casu, maka telah
terjadi kekacauan pemahaman atau bahkan justru ketidakpahaman atas
teori sumber kewenangan antara delegasi dan mandat yang mendasari
tindakan Tergugat di dalam menerbitkan objek sengketa a quo.
4. Menurut Majelis Hakim, Tindakan Tergugat adalah merupakan
pelanggaran atas Keputusan Walikota Yogyakarta Nomor
232/KEP/2007 tentang Pelaksanaan Tugas Khusus Wakil Walikota
(vide Butki T-27) dan Keputusan Walikota Yogyakarta Nomor
50/KEP/2007 tentang Pendelegasian Wewenang Walikota kepada Wakil
Walikota Untuk Penandatanganan Naskah Dinas (vide Bukti T-28) dan
juga merupakan bentuk ketidak cermatan Tergugat di dalam memahami
119
dan melaksanakan peraturan perundang-undangan di dalam menerbitkan
objek sengketa, yang mengakibatkan ketidakpastian hukum, sehingga
merupakan pelanggaran atas atas Azas-Azas Umum Pemerintahan Yang
Baik yaitu azas kecermatan dan azas kepastian hukum.
Berdasarkan kronologis kasus posisi dan pertimbangan hukum
majelis hakim diatas, dapat diketahui adanya penerapan peraturan
perundang-undangan yang menjadi dasar pertimbangan hukum hakim dalam
menguji keabsahan Surat Keputusan Objek Sengketa, yaitu Keputusan
Walikota Yogyakarta Nomor 232/KEP/2007 tentang Pelaksanaan Tugas
Khusus Wakil Walikota (vide Butki T-27) dan Keputusan Walikota
Yogyakarta Nomor 50/KEP/2007 tentang Pendelegasian Wewenang
Walikota kepada Wakil Walikota Untuk Penandatanganan Naskah Dinas
(vide Bukti T-28).
Menurut Van Der Pot, doktrin tentang Keputusan Tata Usaha
Negara yang sah adalah keputusan yang memenuhi syarat-syarat materiil dan
syarat-syarat formil, yaitu sebagai berikut:
Syarat-syarat materiil :
1. Keputusan harus dibuat oleh alat Negara yang berwenang;
2. Dalam kehendak alat Negara yang membuat keputusan tidak boleh ada
kekurangan yuridis;
3. Keputusan harus berdasarkan suatu keadaan (situasi) tertentu;
120
4. Keputusan harus dapat dilakukan dan tanpa melanggaar peraturan-
peraturan lain, menurut isi dan tujuan sesua i dengan peraturan yang
menjadi dasar keputusan itu.
Syarat-syarat formil :
1. Syarat-syarat yang ditentukan berhubung dengan persiapan dibuatnya
keputusan dan berhubung dengan cara dibuatnya keputusan harus
dipenuhi;
2. Keputusan harus diberi bentuk yang ditentukan;
3. Syarat-syarat yang ditentukan berhubung dengan dilakukannya keputusan
harus dipenuhi;
4. Jangka waktu yang ditentukan : antara timbulnya hak-hak yang
menyebabkan dibuatnya keputusan dan diumumkannya keputsan itu,
tidak boleh dilewati.
Syarat tersebut mengandung arti, bahwa apabila dalam pembuatan
KTUN, syarat materil dan formil tersebut diatas terpenuhi maka KTUN
dapat diterima sebagai suatu bagian dari tertib hukum atau sejalan dengan
ketentuan hukum yang ada. Sebaliknya apabila kedua syarat itu tidak
terpenuhi dalam pembuatan KTUN, maka keputusan itu akan mengandung
cacat yuridis yang mempunyai akibat hukum, salah satunya KTUN tersebut
dapat dibatalkan atau tidak sah. Sebagaimana yang diatur dalam pasal 53
ayat (2) UU Nomor 9 tahun 2004.
121
Sesuai dengan Penjelasan pasal 53 ayat (2) UU Nomor 5 Tahun
1986, suatu Keputusan Tata Usaha Negara bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan (bertentangan dengan hukum), apabila dalam
pembuatannya KTUN tersebut melanggar dan mengesampingkan aspek
kewenangan, substansi/materil dan prosedural.
Berdasarkan uraian pembahasan diatas, Keputusan Tata Usaha
Negara (KTUN) dalam perkara ini, tidak memenuhi persyaratan untuk
dikatakan sebagai keputusan tata usaha negara yang sah, karena
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, yang ditinjau dari segi
substansi materiil. Pengertian Aspek substansi/materil, yaitu meliputi
pelaksanaan atau penggunaan kewenangannya apakah secara
materi/substansi telah sesuai dengan ketentuan-ketentuan hukum atau
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Majelis Hakim dalam pertimbangan hukumnya (hasil penelitian
nomor 8.9 dan 8.10) menggunakan beberapa peraturan perundang-
undangan sebagai dasar pertimbangannya, yaitu ketentuan Diktum Pertama
angka 3 Keputusan Walikota Yogyakarta Nomor 232/KEP/2007 tentang
Pelaksanaan Tugas Khusus Wakil Walikota dan Keputusan Walikota
Yogyakarta Nomor 50/KEP/2007 tentang Pendelegasian Wewenang
Walikota kepada Wakil Walikota untuk Penandatanganan Naskah Dinas.
Serta yang menjadi dasar hukum pertimbangan (hasil penelitian nomor 8.9)
sumber kewenangan materiil dan formil terbitnya objek sengketa a quo
122
adalah pasal 3 huruf e Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor 2 Tahun 2007
tentang Tugas dan Penjabaran Fungsi Walikota dan Wakil Walikota dalam
Penyelenggaraan Pemerintahan di Pemerintah Kota Yogyakarta.
Pasal 3 huruf e Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor 2 Tahun 2007
tentang Tugas dan Penjabaran Fungsi Walikota dan Wakil Walikota dalam
Penyelenggaraan Pemerintahan di Pemerintah Kota Yogyakarta, merupakan
dasar dikeluarkannya objek sengketa a quo, yang bunyinya sebagai berikut :
Sesuai dengan ketentuan Pasal 26 ayat (1) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Wakil Kepala daerah mempunyai tugas : a. membantu kepala daerah dalam menyelengggarakan pemerintahan
daerah; b. membantu kepala daerah dalam mengordinasikan kegiatan instansi
vertikal di daerah, menindaklanjuti laporan dan atau temuan hasil pengawasan aparat pengawasan, melaksanakan pemberdayaan perempuan dan pemuda, serta mengupayakan pengembangan dan pelestarian sosial budaya dan lingkungan hidup;
c. memantau dan mengevaluasi penyelenggaraan pemerintahan di wilayah kecamatan, kelurahan;
d. memberikan saran dan pertimbangan kepada kepala daerah dalam penyelenggaraan pemerintah daerah;
e. melaksanakan tugas dan kewajiban pemerintahan lainnya yang diberikan oleh kepala daerah;
f. melaksanakan tugas dan wewenang kepala daerah apabila kepala daerah berhalangan.
Atas dasar peraturan Walikota Yogyakarta tersebut maka
ditetapkanlah Keputusan Walikota Yogyakarta Nomor 232/KEP/2007
tentang Pelaksanaan Tugas Khusus Wakil Walikota, yang dalam putusan ini,
majelis hakim menggunakan Diktum Pertama Angka 3 sebagai
pertimbangan hukumnya, yang berbunyi sebagai berikut :
123
“Menetapkan tugas dan kewajiban pemerintahan kepada Wakil Walikota selain yang tertuang dalam Peraturan Walikota Nomor 2 tahun 2007 tentang Tugas dan Penjabaran Fungsi Walikota dan Wakil Walikota, dalam penyelenggaraan pemerintahan di Pemerintah Kota Yogyakarta, adalah sebagai berikut: .....3. Mengkoordinasikan sepenuhnya penegakan Peraturan Daerah – Peraturan Daerah”
Selanjutnya pada hasil penelitian nomor 8.10 Majelis Hakim juga
mendasarkan pada Keputusan Walikota Yogyakarta Nomor 50/KEP/2007
Tentang Pendelegasian Wewenang Walikota kepada Wakil Walikota Untuk
Penandatanganan Naskah Dinas (Vide Bukti T-28), Diktum Diktum
Pertama, menyebutkan;
“ Mendelegasikan wewenang Walikota kepada Wakil Walikota untuk penandatanganan naskah dinas di lingkungan Pemerintah Kota Yogyakarta…”
Berdasarkan peraturan perundang-undangan tersebut diatas, Majelis
Hakim berpendapat, bahwa penggunaan teori sumber wewenang yang
digunakan adalah Delegasi atau Pendelegasian, karena telah jelas dan
terang disebutkan didalam Diktum Pertama Keputusan Walikota Nomor
50/KEP/2007 tersebut, tertulis kata “Mendelegasikan...”.
Berdasarkan pembahasan pertimbangan hukum Hakim diatas,
mengenai peraturan perundang-undangan yang dijadikan dasar pertimbangan
hakim dalam menguji keabsahan KTUN objek sengketa, telah sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.
Hasil penelitian nomor 8.11 Majelis Hakim dalam Pertimbangan
Hukumnya tidak hanya menguji berdasarkan Peraturan Perundang-
124
undangan, tetapi hakim juga menggunakan doktrin para sarjana. Dan dalam
khasanah Hukum Administrasi Negara tentang Teori Sumber Kewenangan,
dikenal 3 Teori sumber Kewenangan Pemerintah, yaitu : Atribusi, Delegasi,
dan Mandat. Masing-masing akan dijabarkan menurut pendapat/doktrin para
sarjana oleh Penulis, sebagai berikut :
Mengenai atribusi, delegasi, dan mandat ini H.D. van Wijk/Willem
Konijnenbelt mendefinisikan sebagai berikut:
1. Atribusi
Atribusi adalah pemberian wewenang pemerintahan oleh pembuat
undang-undang kepada organ pemerintahan.
2. Delegasi
Delegasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan dari suatu organ
pemerintahan kepada organ pemerintahan lainnya.
3. Mandat
Mandat terjadi ketika organ pemerintahan mengizinkan kewenangannya
dijalankan oleh organ lain atas namanya.10
Sedangkan pengertian Mandat menurut H.D. Van Wijk, yang artinya
bila orang yang secara resmi memiliki wewenang pemerintahan tertentu
(karena atribusi atau delegasi) tidak dapat menangani sendiri wewenang
tersebut, maka para pegawai bawahan dapat diperintahakan untuk
menjalankan wewenang tersebut atas nama orang yang sesungguhnya diberi
10 Ridwan HR, Op.Cit. Hlm. 102
125
wewenang. Berbeda dengan delegasi, pada mandat, mandans atau pemberi
mandat tetap berwenang untuk melakukan sendiri wewenangnya apabila ia
menginginkan, dan memberikan petunjuk kepada mandataris mengenai apa
yang diinginkannya. Mandans tetap bertanggung jawab atas tindakan yang
dilakukan mandataris. Artinya pada mandat tidak bisa berbicara tentang
pemindahan kekuasaan/ wewenang di dalam arti yuridis; sekarang setelah
ditanda tangani atas nama lembaga pemerintahan yang bersangkutan,
penanganannya juga diserahkan kepada lembaga tersebut ; berbicara secara
yuridis, ini tetap keputusan lembaga itu sendiri.
Stroink dan Steenbeek menjelaskan lebih lanjut bahwa delegasi
hanya dapat dilakukan apabila badan yang melimpahkan wewenang sudah
mempunyai wewenang melalui atribusi. Delegasi menyangkut pelimpahan
wewenang dari wewenang yang sudah ada oleh organ yang telah mempunyai
wewenang secara atributif kepada orang lain. Delegasi dituangkan dalam
bentuk peraturan sebelum wewenang dilaksanakan.
Sedangkan Indroharto mengemukakan bahwa atribusi adalah
pemberian wewenang pemerintah yang baru oleh suatu ketentuan dalam
perundang-undangan baik yang diadakan oleh original legislator maupun
delegated legislator. Sedangkan pada mandat tidak terjadi perubahan
wewenang yang sudah ada dan merupakan hubungan internal pada suatu
badan, atas penugasan bawahan melakukan suatu tindakan atas nama dan
tanggung jawab mandans.
126
Berdasarkan pendapat/doktrin para sarjana diatas, Majelis Hakim
berpendapat dan berkeyakian, bahwa kewenangan yang digunakan dalam
Surat Keputusan yang menjadi objek sengketa a quo ini merupakan Mandat.
Karena dalam Surat Keputusan Nomor 503/687 tersebut telah jelas tertera
didalamnya bahwa yang mengeluarkan adalah atas nama Walikota
Yogyakarta, yang mana merupakan ciri dari Mandat. Dan Majelis
berpendapat bentuk formil objek sengketa a quo yang dikehendaki oleh
peraturan perundang-undangan adalah bentuk keputusan tata usaha negara
yang lahir dari sumber kewenangan yang berupa delegasi wewenang, dan
bukan mandat.
Dengan demikian, terdapat perbedaan konsep teori antara delegasi
dan mandat yaitu ditinjau dari segi prosedur pelimpahannya, tanggung jawab
dan tanggung gugatnya, serta kemungkinan dipergunakannya kembali
wewenang-wewenang tersebut, yang selanjutnya penulis akan membedakan
ke dua sumber kewenangan tersebut dalam bentuk tabel, yaitu :
No Segi Delegasi Mandat 1 Prosedur
Pelimpahannya Pelimpahan wewenang terjadi dari suatu organ pemerintah kepada organ pemerintah lainnya yang dilakukan dengan peraturan perundang-
Pelimpahan wewenang terjadi umumnya dalam hubungan rutin antara bawahan dengan atasan, kecuali dilarang secara tegas didalam peraturan
127
Penulis dalam hal ini sependapat dengan pendapat Majelis Hakim
pada hasil penelitian nomor 8.21 bahwa telah terjadi kekacauan pemahaman
atau bahkan justru ketidakpahaman atas teori sumber kewenangan antara
delegasi dan mandat yang mendasari tindakan Tergugat di dalam
menerbitkan objek sengketa a quo. Dan tindakan Tergugat adalah
merupakan pelanggaran atas Keputusan Wakil Walikota Yogyakarta Nomor
232/KEP/2007 tentang Pelaksanaan Tugas Khusus Wakil Walikota (vide
Bukti T-27) dan Keputusan Walikota Yogyakarta Nomor 50/KEP/2007
tentang Pendelegasian Wewenang Walikota kepada Wakil Walikota Untuk
Penandatanganan Naskah Dinas (vide Bukti T-28), berdasarkan hal tersebut
juga merupakan bentuk ketidak cermatan Tergugat di dalam memahami dan
melaksanakan peraturan perundang-undangan di dalam menerbitkan objek
sengketa, yang mengakibatkan ketidakpastian hukum, sehingga dengan
undangan. perundangan. 2 Tanggung jawab
& Tanggung gugat
Beralih pada delegatoris atau yang diberi wewenang
Tetap pada pemberi mandat (mandans)
3 Kemungkinan dipergunakan kembali
Pemberi delegasi (delegans) tidak dapat menggunakan wewenang itu lagi kecuali setelah ada pencabutan dengan berpegang pada asas contrarius actus.
Pemberi mandat (mandans) setiap saat dapat mempergunakan sendiri wewenang yang dilimpahkan itu.
128
demikian Majelis Hakim berpendapat tindakan Tergugat tersebut adalah
merupakan pelanggaran atas azas kecermatan dan azas kepastian hukum,
yang berarti Tergugat telah melakukan pelanggaran atas Azas-Azas Umum
Pemerintahan Yang Baik.
Berdasarkan uraian pembahasan hasil penelitian di atas, maka
Penulis berpendapat bahwa Surat Keputusan Walikota Yogyakarta Nomor
503/687 tertanggal 22 februari 2011 yang menjadi objek sengketa
mengandung cacat yuridis apabila dilihat dari segi substansi/materiilnya,
karena didalamnya telah terjadi kekacauan pemahaman dan bahkan justru
ketidakpahaman atas teori sumber kewenangan antara delegasi dan mandat
yang mendasari tindakan Tergugat di dalam menerbitkan objek sengketa a
quo. Selain karena telah jelas disebutkan dalam Keputusan Walikota
Yogyakarta Nomor 50/KEP/2007 bahwa wewenang yang dimaksud adalah
Pendelegasian, dengan demikian sumber kewenangan yang dimaksud
Tergugat adalah delegasi, maka tanggung jawab seharusnya beralih pada
wakil walikota, namun dalam hal ini pada Diktum kedua Keputusan
Walikota Yogyakarta Nomor 232/KEP/2007 disebutkan bahwa “dalam
melaksanakan tugasnya, Wakil Walikota sebagaimana dimaksud dalam
Diktum Pertama wajib melaporkan dan bertanggung jawab kepada
walikota” yang artinya tanggung jawab masih ada pada walikota.
Selain itu Pelimpahan wewenang pemerintahan melalui delegasi ini
terdapat syarat-syarat sebagai berikut :
129
a. Delegasi harus definitif dan pemberi delegasi (delegans) tidak dapat lagi
menggunakan sendiri wewenang yang telah dilimpahkan itu;
b. Delegasi harus berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan,
artinya delegasi hanyya dimungkinkan kalau ada ketentuan untuk itu
dalam peraturan perundang-undangan;
c. Delegasi tidak kepada bawahan, artinya dalam hubungan hierarki
kepegawaian tidak diperkenankan adanya delegasi;
d. Kewajiban memberikan keterangan (penjelasan), artinya delegans berhak
untuk meminta penjelasan tentang pelaksanaan wewenang tersebut;
e. Peraturan kebijakan (beleidsregel), artinya delegans memberikan instruksi
(petunjuk) tentang penggunaan wewenang tersebut.11
Berdasarkan penjelasan diatas, jika dikaitkan dengan kasus ini maka
seharusnya pendelegasian wewenang dari Walikota kepada Wakil Walikota
ini tidak diperkenankan, karena menurut doktrin Ridwan HR tersebut
pelaksanaan delegasi tidak kepada bawahan, artinya dalam hubungan
hierarki kepegawaian tidak diperkenankan adanya delegasi.
11 Ibid, Hlm. 104
130
2. Akibat hukum dari dikabulkannya gugatan penggugat berdasarkan
amar putusan Majelis Hakim pada putusan Nomor
6/G/2011/PTUN.YK?
Berdasarkan putusan pengadilan yang ditentukan oleh Majelis
Hakim, ada beberapa macam putusan yang dikeluarkan, berdasarkan Pasal
97 ayat (7) UU Nomor 5 tahun 1986 menentukan bahwa putusan pengadilan
dapat barupa ;
a. Gugatan ditolak ;
b. Gugatan dikabulkan ;
c. Gugatan tidak diterima;
d. Gugatan Gugur.
Kaitannya dengan Amar Putusan Nomor 06/G/2011/PTUN.YK ini,
Majelis Hakim mengabulkan seluruh gugatan dari penggugat, yang berarti
tidak membenarkan keputusan yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat
TUN secara keseluruhan, sehingga dalam putusan tersebut sekaligus dapat
ditetapkan kewajiban yang harus dilakukan oleh Badan atau Pejabat TUN
yang mengeluarkan keputusan tersebut, Pasal 97 ayat (9) UU Nomor 9 tahun
2004, yang berupa ;
a. Pencabutan KTUN yang bersangkutan; atau b. Pencabutan KTUN yang bersangkutan dan menerbitkan KTUN yang
baru; atau c. Penerbitan KTUN apabila gugatan didasarkan pada sikap diam yang
disamakan dengan keputusan penolakan.
131
Selain kewajiban di atas, berdasarkan Pasal 97 ayat (10) UU Nomor
9 tahun 2004 badan atau pejabat TUN dapat diwajibkan pula untuk
membayar ganti rugi kerugian. 12 Hal ini sesuai dengan Amar Putusan
Majelis Hakim dalam putusan ini, yang secara lengkap telah tertulis sebagi
berikut, yaitu :
1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk seluruhnya;
a. Menyatakan tindakan Tergugat menerbitkan Surat Walikota
Yogyakarta Nomor 503 / 687 tertanggal 22 Februari 2011 Hal :
undangan yang berlaku yaitu Keputusan Walikota Yogyakarta
Nomor 232/KEP/2007 tentang Pelaksanaan Tugas Khusus Wakil
Walikota dan Keputusan Walikota Yogyakarta Nomor 50/KEP/2007
tentang Pendelegasian Wewenang Walikota kepada Wakil Walikota
Untuk Penandatanganan Yang Baik yaitu Azas Kecermatan dan
Azas Kepastian Hukum;
b. Menyatakan batal Surat Walikota Yogyakarta Nomor: 503 / 687
tertanggal 22 Februari 2011 Hal : Pemberitahuan Penutupan Usaha;
c. Memerintahkan kepada Tergugat untuk menerbitkan Surat
Keputusan tentang Pencabutan Surat Walikota Yogyakarta Nomor :
12 Wicipto Setiadi, “Hukum Acara Pengadilan Tata Usaha Negara” Suatu Perbandingan,
Rajawali Pers, Jakarta, 2001, Hlm. 140
132
503 / 687 tertanggal 22 Februari 2011 Hal : Pemberitahuan
Penutupan Usaha;
d. Menghukum Tergugat untuk membayar biaya perkara yang timbul
dalam perkara ini sebesar Rp. 2.104.000,00 (Dua Juta Seratus Empat
Ribu Rupiah).
Berdasarkan Amar Putusan Majelis Hakim tersebut, maka akan
timbul akibat hukumnya. Akibat hukum ialah segala akibat yang terjadi dari
segala perbuatan hukum yang dilakukan subjek hukum terhadap objek
hukum ataupun akibat-akibat lain yang disebabkan karena kejadian-kejadian
tertentu yang oleh hukum yang bersangkutan sendiri telah ditentukan atau
dianggap sebagai akibat hukum. Akibat hukum inilah yang kemudian
menjadi sumber lahirnya kewajiban bagi subjek hukum yang bersangkutan.
Oleh karena itu, akibat hukum dikabulkannya gugatan penggugat
berdasarkan Amar Putusan Majelis Hakim pada Putusan Nomor
06/G/2011/PTUN.YK adalah Surat Walikota Yogyakarta Nomor: 503 / 687
tertanggal 22 Februari 2011 Hal : Pemberitahuan Penutupan Usaha,
dinyatakan Batal atau tidak sah, yang berarti bagi hukum perbuatan yang
dilakukan dianggap tidak ada13. Serta timbulnya kewajiban bagi Tergugat
untuk mencabut Surat Keputusan Objek Sengketa, dan apabila Tergugat
tidak bersedia mencabut, berdasarkan pasal 116 ayat (2) Undang-Undang
13 Andy Lesmana, 2013, Batal Demi Hukum, http://edukasi.kompasiana.com/2013/10/19/batal-
demi-hukum-602043.html diakses pada tanggal 27 Desember 2014 pukul 17.18 WIB
133
Nomor 51 tahun 2009, setelah jangka waktu 60 hari Surat Keputusan Objek
Sengketa tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, yang
bunyinya:
“ apabila setelah 60 hari kerja putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterima tergugat tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana yang diatur dalam pasal 97 ayat (9) huruf a, KTUN yang disengketakan itu tidak mempunyai kekuatan hukum tetap”.
Artinya, dalam hal ini CV.SariJaya dapat melakukan kegiatan
usahanya seperti biasa dan seperti keadaan semula sebelum Objek Sengketa
itu di keluarkan.
Akibat Hukum selanjutnya yaitu muncul Hak Tergugat untuk
mengajukan Upaya Hukum Banding, ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha
Negara Surabaya, dalam tenggang waktu 14 hari setelah putusan Pengadilan
Tata Usaha Negara Yogyakarta itu diberitahukan kepadanya secara sah.
Serta apabila putusan a quo telah inkrah, Tergugat sebagai pihak yang kalah
diwajibkan membayar biaya perkara sebesar Rp. 2.104.000,00 (Dua Juta
Seratus Empat Ribu Rupiah).
134
BAB V
PENUTUP
A. KESIMPULAN
1. Pertimbangan hukum hakim pada putusan Nomor 06/G/2011/PTUN.YK,
dalam membatalkan Surat Keputusan Walikota Yogyakarta Nomor 503/687
tanggal 22 Februari 2011 ditinjau dari konsep perolehan sumber kewenangan,
sudah sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan doktrin sumber
kewenangan. Adapun alasannya yaitu:
a. Wakil walikota Yogyakarta telah keliru menafsirkan bahwa kewenangan
yang dimilikinya dalam menerbitkan Surat Keputusan Objek Sengketa
diperoleh dari sumber kewenangan Mandat Walikota Yogyakarta, padahal
berdasarkan Keputusan Walikota Yogyakarta Nomor 232/KEP/2007
tentang Pelaksanaan Tugas Khusus Wakil Walikota dan Keputusan
Walikota Yogyakarta Nomor 50/KEP/2007 tentang Pendelegasian
Wewenang Walikota kepada Wakil Walikota Untuk Penandatanganan
Naskah Dinas, seharusnya kewenangan yang dimiliki oleh wakil walikota
adalah berdasarkan konsep sumber kewenangan delegasi.
b. Sesuai dengan Doktrin sumber kewenangan, pelimpahan wewenang dari
walikota kepada wakil walikota untuk menerbitkan surat keputusan objek
sengketa adalah berdasarkan konsep sumber kewenangan dalam pengertian
Delegasi.
135
2. Akibat hukum dikabulkannya gugatan penggugat berdasarkan Amar Putusan
Majelis Hakim pada Putusan Nomor 06/G/2011/PTUN.YK.
a. Surat Keputusan Objek Sengketa dinyatakan Batal atau tidak sah.
b. Walikota Yogyakarta sebagai Tergugat dibebani kewajiban, untuk
mencabut Surat Keputusan Objek Sengketa, apabila Tergugat tidak bisa
mencabut, maka dalam jangka waktu 60 hari Surat Keputusan Objek
Sengketa tersebut, tidak lagi mempunyai kekuatan hukum mengikat.
c. Sebagai pihak yang kalah, Tergugat diwajibkan membayar biaya perkara
sebesar Rp. 2.104.000,00 (Dua Juta Seratus Empat Ribu Rupiah).
d. Munculnya hak Tergugat untuk mengajukan Upaya Hukum Banding
kepada Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Surabaya.
B. SARAN
1. Disarankan kepada Pejabat Tata Usaha Negara untuk lebih bertindak cermat
dan berhati-hati dalam penerbitan Keputusan Tata Usaha Negara, karena hal
ini dapat merugikan terhadap orang atau badan hukum perdata yang
bersangkutan, sehingga keputusan yang dikeluarkannya tidak berakibat
dibatalkan karena bersifat melanggar ketentuan hukum.
2. Disarankan kepada pemerintah daerah dalam pembuatan peraturan perundang-
undangan agarr benar-benar memperhatikan ketentuan mengenai norma
pembentukan peraturan perundang-undangan, dan khususnya dalam
penyusunan keputusan tentang pelimpahan wewenang harus memperhatikan
dengan seksama konsep sumber kewenangan.
DAFTAR PUSTAKA
Literatur :
Azhary, M. Tahir,. 1992. Negara Hukum Suatu Studi tentang Prinsip-prinsipnya
dilihat dari segi Hukum Islam, Implementasinya pada periode Negara
Madinah dan Masa Kini. Jakarta : Bulan Bintang.
Fahmi, A. Muin,. 2006. Peran Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Layak dalam
Mewujudkan Pemerintahan yang Bersih. Yogyakarta : UII Press.
Fauzan, Muhammad. 2010. “Hukum Pemerintahan Daerah” Edisi revisi.
Purwokerto: STAIN Press.
Gunadi Widodo, Ismu dan Triwulan T , Titik,. 2014. Hukum Tata Usaha Negara dan
Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara Indonesia I. Jakarta: Kencana.