Page 1
KONSEP PENDIDIKAN
MENURUT MURTADHA MUTHAHHARI
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
untuk Memenuhi Syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan Islam (S.Pd.I)
Oleh:
IFAH NABILAH ZAHIDAH
109011000288
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2014 M
Page 5
iv
DAFTAR ISI
COVER
LEMBAR PENGESAHAN DOSEN PEMBIMBING
LEMBAR PENGESAHAN MUNAQASAH
SURAT PERNYATAAN KARYA SENDIRI
ABSTRAK.................................................................................................... i
KATA PENGANTAR.................................................................................... ii
DAFTAR ISI................................................................................................... iv
DAFTAR LAMPIRAN................................................................................. vi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar belakang masalah ............................................... 1
B. Identifikasi masalah………………………………….. 5
C. Pembatasan masalah dan rumusan masalah ................ 6
D. Tujuan penelitian ......................................................... 6
E. Manfaat penelitian ....................................................... 6
BAB II KAJIAN TEORI
A. Pengertian pendidikan ................................................ 7
B. Tujuan pendidikan ....................................................... 10
C. Dasar-dasar pendidikan ............................................... 16
D. Kajian terdahulu yang relevan………………............ 21
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
A. Tempat dan waktu penelitian ....................................... 23
B. Jenis dan pendekatan penelitian.................................... 23
C. Sumber data ................................................................. 24
D. Tekhnik pengumpulan data........................................... 25
E. Tekhnik pengolahan data.............................................. 26
Page 6
v
BAB IV PEMBAHASAN
A. Biografi Murtadha Muthahari ...................................... 28
1. Karya-karya Murthada Muthahari.......................... 35
B. Fitrah…………………………..................................... 38
1. Pengertian fitrah dari segi bahasa………………… 38
2. Fitrah sebagai dimensi asasi pendidikan Islam…... 40
C. Kewajiban mencari ilmu……………........................... 42
1. Mencari ilmu……………………………………... 47
2. Ilmu agama dan bukan ilmu agama……………… 51
D. Kaitan antara sains dan agama….................................. 53
E. Dunia pendidikan dan tantangan zaman……………… 56
1. Belajar tentang zaman…………………………….. 56
2. Dunia pendidikan dalam menyikapi perubahan zaman 61
F. Pendidikan dan Dekadansi Moral.................................. 62
BAB V Kesimpulan Dan Saran
A. Kesimpulan .................................................................. 67
B. Saran ............................................................................. 68
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................... 70
DAFTAR UJI REFERENSI
LAMPIRAN – LAMPIRAN
Page 7
vi
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran I : Surat Bimbingan Skripsi
Lampiran II : Daftar Uji Referensi
Page 9
i
ABSTRAK
Ifah Nabilah Zahidah (109011000288), Konsep Pendidikan Islam Menurut
Murtadha Muthahhari. Skripsi Jurusan Pendidikan Agama Islam, Fakultas
Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Penelitian ini dilatarbelakangi fenomena popularitas kebudayaan Barat
yang mempengaruhi generai muda. Idealnya pendidikan menurut Murtadha
Muthahhari secara teoritik, praksis, maupun filosofis mampu menjadi sebuah
instrument bagi upaya penegakan moralitas. Namun dalam kenyataannya, perilaku
yang tidak bermoral sering terjadi. Tentunya pendidikan yang Islami sebagaimana
yang diutarakan Murtadha Muthahhari harus mempunyai peran dalam membentuk
peserta didik yang berakhlak mulia. Yang menjadi permasalahan dalam penelitian
ini adalah bagaimana konsep pendidikan Murtadha Muthahhari.
Penelitian ini ingin mendeskripsikan serta mendapatkan data dan fakta
mengenai pokok-pokok pemikiran pendidikan menurut Murtadha Muthahhari.
Hasil penelitian ini diharapkan memberikan sumbangsih dalam pengembangan
khazanah ilmu pengetahuan, khususnya dalam pendidikan Islam. Metode yang
digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif dan teknik penelitian
yang digunakan adalah penelitian perpustakaan (library research). Dalam
penelitian ini data diolah dari pelbagai buku, surat kabar, majalah dan beberapa
tulisan yang memiliki keterkaitan dengan penelitian ini.
Hasil penulisan skripsi ini mengenai konsep pendidikan Murtadha
Muthahhari menunjukkan bahwa pendidikan terkait erat dengan fitrah, kewajiban
mencari ilmu adalah kunci dari semua kewajiban, sains (ilmu pengetahuan) dan
agama (keimanan) adalah dua hal yang saling melengkapi satu sama lain, dan
sikap dunia pendidikan dalam menghadapi perubahan zaman adalah tidak secara
buta menerima seluruh perkembangan zaman dan tidak seluruhnya menolak
perkembangan zaman.
Page 10
i
ABSTRAK
Ifah Nabilah Zahidah (109011000288), Konsep Pendidikan Islam Menurut
Murtadha Muthahhari. Skripsi Jurusan Pendidikan Agama Islam, Fakultas
Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Penelitian ini dilatarbelakangi fenomena popularitas kebudayaan Barat
yang mempengaruhi generai muda. Idealnya pendidikan menurut Murtadha
Muthahhari secara teoritik, praksis, maupun filosofis mampu menjadi sebuah
instrument bagi upaya penegakan moralitas. Namun dalam kenyataannya, perilaku
yang tidak bermoral sering terjadi. Tentunya pendidikan yang Islami sebagaimana
yang diutarakan Murtadha Muthahhari harus mempunyai peran dalam membentuk
peserta didik yang berakhlak mulia. Yang menjadi permasalahan dalam penelitian
ini adalah bagaimana konsep pendidikan Murtadha Muthahhari.
Penelitian ini ingin mendeskripsikan serta mendapatkan data dan fakta
mengenai pokok-pokok pemikiran pendidikan menurut Murtadha Muthahhari.
Hasil penelitian ini diharapkan memberikan sumbangsih dalam pengembangan
khazanah ilmu pengetahuan, khususnya dalam pendidikan Islam. Metode yang
digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif dan teknik penelitian
yang digunakan adalah penelitian perpustakaan (library research). Dalam
penelitian ini data diolah dari pelbagai buku, surat kabar, majalah dan beberapa
tulisan yang memiliki keterkaitan dengan penelitian ini.
Hasil penulisan skripsi ini mengenai konsep pendidikan Murtadha
Muthahhari menunjukkan bahwa pendidikan terkait erat dengan fitrah, kewajiban
mencari ilmu adalah kunci dari semua kewajiban, sains (ilmu pengetahuan) dan
agama (keimanan) adalah dua hal yang saling melengkapi satu sama lain, dan
sikap dunia pendidikan dalam menghadapi perubahan zaman adalah tidak secara
buta menerima seluruh perkembangan zaman dan tidak seluruhnya menolak
perkembangan zaman.
Page 11
ii
KATA PENGANTAR
Puji sukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan nikmat sehat,
nikmat akal, serta nikmat yang tiada batas sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi ini dengan baik. Sholawat dan salam tetap tercurahkan kepada junjungan
alam Nabi Muhammad SAW, para keluarganya yang disucikan, dan para sahabat
setianya serta kepada para pengikutnya hingga akhir zaman.
Ucapan terimakasih yang tak terhingga atas bimbingan, pengarahan,
dukungan serta bantuan dari berbagai pihak kepada penulis dalam menyelesaikan
skripsi ini. Untuk itu penulis sangat berterima kasih kepada yang terhormat:
1. Aba dan Umi tercinta yang senantiasa mendoakan dan memberi motivasi
kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi.
2. Ibu Nurlena Rifa’i, M.A.,Ph.D., selaku Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan
Keguruan.
3. Bapak Abdul Majid Khon, M.Ag, selaku Ketua Jurusan Pendidikan Agama
Islam.
4. Ibu Marhamah Saleh, LC, M.A, selaku Sekretaris Jurusan Pendidikan Agama
Islam.
5. Bapak Dr. Muhammad Dahlan, M.Hum selaku dosen pembimbing yang mau
meluangkan waktu untuk memberikan pengarahan dan motivasi kepada
penulis selama proses bimbingan.
6. Bapak Ghufron Ihsan selaku penasehat akademik.
7. Seluruh dosen dan staff jurusan Pendidikan Agama Islam.
8. Kakak dan adik-adikku yang selalu menghibur dan seluruh keluarga yang
turut memberi motivasi dan doa.
9. Ali Alatas, S.Kom yang terus memberi semangat dan dukungan serta bantuan
lainnya kepada penulis.
10. Teman-teman seperjuangan di Pendidikan Agama Islam angkatan 2009
terutama untuk anak kelas G, semoga sukses selalu.
Page 12
iii
11. Sahabat-sahabatku Ika, Ina, Kokom, Ikoh, yang selalu mengerjakan sama-
sama di perpustakaan. Semoga kita terus berhubungan baik dan saling
silaturahmi.
12. Untuk semua orang yang ada dalam kehidupan penulis yang senantiasa
memberikan semangat dan motivasi.
Semoga Allah SWT membalas semua amal kebaikan atas jasanya yang
diberikan kepada penulis. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih banyak
kekurangan karena terbatasnya kemampuan penulis.
Mudah-mudahan skripsi ini dapat bermanfaat untuk penulis dan bidang
ilmu pengetahuan, Amiin.
Jakarta, 12 Maret 2014
Penulis
Ifah Nabilah Zahidah
NIM.109011000288
Page 13
ii
KATA PENGANTAR
Puji sukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan nikmat sehat,
nikmat akal, serta nikmat yang tiada batas sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi ini dengan baik. Sholawat dan salam tetap tercurahkan kepada junjungan
alam Nabi Muhammad SAW, para keluarganya yang disucikan, dan para sahabat
setianya serta kepada para pengikutnya hingga akhir zaman.
Ucapan terimakasih yang tak terhingga atas bimbingan, pengarahan,
dukungan serta bantuan dari berbagai pihak kepada penulis dalam menyelesaikan
skripsi ini. Untuk itu penulis sangat berterima kasih kepada yang terhormat:
1. Aba dan Umi tercinta yang senantiasa mendoakan dan memberi motivasi
kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi.
2. Ibu Nurlena Rifa’i, M.A.,Ph.D., selaku Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan
Keguruan.
3. Bapak Abdul Majid Khon, M.Ag, selaku Ketua Jurusan Pendidikan Agama
Islam.
4. Ibu Marhamah Saleh, LC, M.A, selaku Sekretaris Jurusan Pendidikan Agama
Islam.
5. Bapak Dr. Muhammad Dahlan, M.Hum selaku dosen pembimbing yang mau
meluangkan waktu untuk memberikan pengarahan dan motivasi kepada
penulis selama proses bimbingan.
6. Bapak Ghufron Ihsan selaku penasehat akademik.
7. Seluruh dosen dan staff jurusan Pendidikan Agama Islam.
8. Kakak dan adik-adikku yang selalu menghibur dan seluruh keluarga yang
turut memberi motivasi dan doa.
9. Ali Alatas, S.Kom yang terus memberi semangat dan dukungan serta bantuan
lainnya kepada penulis.
10. Teman-teman seperjuangan di Pendidikan Agama Islam angkatan 2009
terutama untuk anak kelas G, semoga sukses selalu.
Page 14
iii
11. Sahabat-sahabatku Ika, Ina, Kokom, Ikoh, yang selalu mengerjakan sama-
sama di perpustakaan. Semoga kita terus berhubungan baik dan saling
silaturahmi.
12. Untuk semua orang yang ada dalam kehidupan penulis yang senantiasa
memberikan semangat dan motivasi.
Semoga Allah SWT membalas semua amal kebaikan atas jasanya yang
diberikan kepada penulis. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih banyak
kekurangan karena terbatasnya kemampuan penulis.
Mudah-mudahan skripsi ini dapat bermanfaat untuk penulis dan bidang
ilmu pengetahuan, Amiin.
Jakarta, 12 Maret 2014
Penulis
Ifah Nabilah Zahidah
NIM.109011000288
Page 15
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan adalah proses yang sangat penting di dalam kehidupan
manusia. Melalui pendidikan, setiap manusia belajar seluruh hal yang belum
diketahui. Bahkan dengan pendidikan, seorang manusia dapat menguasai
dunia dan tidak terikat lagi oleh batas-batas yang membatasi dirinya.
Pendidikan melahirkan seorang yang berilmu, yang dapat menjadi khalifah
Allah di bumi ini. Seperti diungkapkan Muhammad „Abduh, seorang tokoh
pembaharu Muslim terkenal, bahwa pendidikan adalah hal terpenting dalam
kehidupan manusia dan dapat mengubah segala sesuatu.1
Al-Qur'an merupakan firman Allah yang dijadikan pedoman hidup
oleh umat Islam dan tidak ada lagi keraguan didalamnya. Ia mengandung
ajaran-ajaran pokok (prinsip dasar) menyangkut segala aspek kehidupan
manusia yang selanjutnya dapat dikembangkan sesuai dengan nalar masing-
masing dan secara fungsional dapat memecahkan problem kemanusiaan.
Salah satu permasalahan yang tidak sepi dari perbincangan umat adalah
masalah pendidikan.
Al-Qur'an telah memberi isyarat bahwa permasalahan pendidikan
sangat penting, Jika al-Qur'an dikaji lebih mendalam maka kita akan
menemukan beberapa prinsip dasar pendidikan, yang selanjutnya bisa kita
jadikan inspirasi untuk dikembangkan dalam rangka membangun pendidikan
yang bermutu. Ada beberapa indikasi dalam al-Qur'an yang berkaitan dengan
pendidikan antara lain: menghormati akal manusia, bimbingan ilmiah, fitrah
manusia, penggunaan cerita (kisah) untuk tujuan pendidikan dan memelihara
keperluan sosial masyarakat.
Manusia menurut al-Qur‟an, memiliki potensi untuk meraih ilmu dan
mengembangkannya dengan seizin Allah. Karena itu bertebaran ayat yang
1 Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Islami, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2012), h. 38.
Page 16
2
memerintahkan manusia menempuh berbagai cara untuk mewujudkan hal
tersebut. Allah juga menegaskan bahwa pengetahuan manusia amatlah
terbatas. Allah berfirman:2
Artinya: “kamu tidak diberi pengetahuan kecuali sedikit”. (QS. Al-
Isra‟: 85)
Iman dan ilmu adalah karakteristik kemanusiaan, maka pemisahan
keduanya akan menurunkan martabat manusia. Iman tanpa ilmu akan
mengakibatkan fanatisme dan kemunduran, takhayul dan kebodohan. Ilmu
tanpa iman akan digunakan untuk memuaskan kerakusan, kepongahan, ambisi,
penindasan, perbudakan, penipuan dan kecurangan. Muthahhari menegaskan
bahwa Islamlah satu-satunya agama yang memadukan iman dan ilmu (sains).3
Keterkaitan antara iman dan ilmu serta pertalian keduanya yang tidak
dapat dipisahkan selalu mewarnai pemikiran dan dasar pemikiran pendidikan
Muthahhari. Lazimnya para ulama yang lain, Muthahhari menegaskan bahwa
kewajiban menuntut ilmu tidak bisa tergantikan.
Artinya: “Katakanlah, „Adakah sama orang-orang yang mengetahui
dengan orang-orang yang tidak mengetahui?‟ Sesungguhnya orang-
orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran”. (QS. Az
Zumar:9).
Sebagaimana ayat al-Qur‟an di atas, banyak sekali hadis-hadis yang
mewajibkan menuntut ilmu. “Mencari ilmu wajib hukumnya bagi setiap
muslim”. Arti dari hadis ini adalah bahwa salah satu kewajiban Islam, yang
2 Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur‟an, (Bandung: Mizan,2000), Cet ke-XI, h.435-436
3 Murtadha Muthahhari, “Tafsir” Holistik Kajian Seputar Relasi Tuhan, Manusia, dan
Alam, Terj. dari Man and Universe oleh Ilyas Hasan, (Jakarta: Citra, 2012), h. 11.
Page 17
3
sejajar dengan semua kewajiban lainnya adalah mencari ilmu. Mencari ilmu
adalah wajib hukumnya bagi setiap orang muslim; tidak hanya dikhususkan
bagi satu kelompok dan tidak bagi kelompok yang lain.4
Di dalam sejarah disebutkan bahwa pada masa sebelum datangnya
Islam, sebagian masyarakat berperadaban pada waktu itu memandang bahwa
mencari ilmu adalah hak sebagian kelompok, dan tidak mengakui bahwa
mencari ilmu adalah hak seluruh lapisan masyarakat. Di dalam Islam, ilmu
bukan hanya dianggap sebagai hak setiap orang, melainkan Islam
menganggapnya sebagai tugas dan kewajiban bagi semua orang. Mencari ilmu
adalah sebuah kewajiban sebagaimana kewajiban-kewajiban yang lain seperti
shalat, puasa, zakat, dan haji.
Islam pada abad keemasan bagaikan harta karun kekayaan peradaban
intelektual yang tidak ternilai harganya. Ia menyebar hampir ke seluruh dunia.
Kehebatan imperium Islam dalam abad keemasan tersebut melampaui
kehebatan imperium Romawi, 7 abad sebelumnya. Di antara nilai peradaban
intelektualnya yaitu:
Pertama, semangat mencari ilmu yang luar biasa dari orang-orang
Islam. Hal ini bisa terjadi karena dipicu oleh doktrin Islam, bahwa mencari
ilmu, mengembangkan dan kemudian mengamalkannya untuk membangun
kehidupan, adalah wajib hukumnya. Semangat pencarian ilmu tersebut
menjadi kunci penjelajahan intelektual Islam pada puncaknya abad ke-9, 10,
dan 11M.
Kedua, semangat pencarian ilmu menemukan momentumnya dalam
imperium Islam di bawah bimbingan para khalifah. Pada masa itu dana serta
fasilitas dari istana untuk mempercepat perkembangan peradaban baru yang
berbasis pengetahuan (knowledge based) merupakan kebijakan prioritas.5
Menuntut ilmu adalah kewajiban setiap orang baik laki-laki ataupun
perempuan. Menuntut ilmu juga tidak memiliki batasan waktu atau masa
4 Murtadha Muthahhari, Ceramah-ceramah Seputar Persoalan Penting Agama dan
Kehidupan, (Jakarta: Lentera, 1999), Cet. Ke-1, h. 157. 5 Mastuhu, Sistem Pendidikan Nasional Visioner, (Jakarta: Lentera Hati, 2007), Cet. Ke-
1, h. 71-72.
Page 18
4
tertentu, sebagaimana hadis Nabi saw, “Carilah Ilmu dari buaian sampai ke
liang kubur” (Bukhari & Muslim). Pada setiap zaman manusia haruslah
menggunakan kesempatan yang ada untuk mencari ilmu. Keluasan kewajiban
menuntut ilmu juga digambarkan dalam hadis, “Carilah ilmu walaupun di
negeri Cina”. Artinya bahwa mencari ilmu tidak memiliki batasan tempat
tertentu.
Dalam hal ini dapat dilihat bahwa Islam telah memerintahkan
menuntut ilmu dengan tiada batasan golongan tertentu, waktu, tempat dan
pengajarnya tetapi mengapa Islam begitu mundur dan generasi muda saat ini
selalu berteman dengan kebodohan? Hal inilah yang sangat menyedihkan
karena sesungguhnya perintah-perintah yang mulia ini telah ditinggalkan
begitu saja oleh generasi muda saat ini.
Masih dalam konsep kewajiban mencari ilmu, Muthahhari menukil
salah satu hadis Rasulullah SAW, “Seandainya engkau mengetahui apa yang
terkandung di dalam mencari ilmu, maka niscaya mencarinya meskipun
sampai harus mengalirkan darah dan menyelami lautan”. Dalam mengambil
ilmu sebagai hikmah Muthahhari juga tidak membatasi pada satu golongan
tertentu. Hal ini berdasarkan hadis Rasul SAW, “Hikmah adalah barang orang
mukmin yang hilang, yang akan diambil di mana saja mereka
menemukannya”. Dalam Nahjul Balaghah, Imam Ali KW juga menyatakan,
“Hikmah adalah barang orang mukmin yang hilang, maka ambillah hikmah itu
meskipun dari orang munafik”.6
Dilihat dari perspektif pendidikan dan pengajaran, ketentuan-ketentuan
akhlak Islam ditujukan untuk mendidik manusia agar sesuai dan selaras
dengan apa yang diinginkan oleh Islam. Sasaran utama pendidikan dipandang
dari sisi sebuah kerangka pengantar terbentuknya masyarakat yang baik, maka
pembentukan kepribadian seseorang sangatlah penting. Islam sangat menjaga
dan menghormati kejejatian individu dan masyarakat.7
6 Murtadha Muthahhari, op. cit., h.158.
7 Murtadha Muthahhari, Dasar-Dasar Epistimologi Pendidikan Islam, (Jakarta: Sadra
International Institute, 2011), Cet ke-1, h.2.
Page 19
5
Untuk mengetahui lebih jauh pemikiran Murtadha Muthahhari tentang
pendidikan, penulis akan meneliti lebih dalam lagi mengenai “Konsep
Pendidikan Menurut Murtadha Muthahhari”.
B. Identifikasi Masalah
Dari latar belakang yang telah diuraikan, menunjukkan bahwa mencari
ilmu wajib hukumnya. Tidak membeda-bedakan baik laki-laki atau perempuan
dan tidak memiliki batasan waktu atau masa tertentu. Maka penulis mencoba
mengidentifikasi beberapa masalah, antara lain:
1. Kurangnya semangat dalam belajar mengajar
2. Murtadha Muthahhari menyatakan banyak pendidikan yang belum dapat
mendidik akhlak atau moral seseorang.
3. Pendidikan modern mendominasi pembelajaran.
C. Pembatasan Masalah dan Rumusan Masalah
Pembatasan masalah dimaksudkan agar kajian menjadi jelas dan terarah,
sehingga tujuan kajian tercapai. Dalam kajian ini permasalahan dibatasi pada:
pemikiran Murtadha Muthahhari tentang pendidikan.
Berdasarkan pembatasan masalah, masalah kajian ini dirumuskan dalam
pertanyaan sebagai berikut: Bagaimana konsep pendidikan menurut Murtadha
Muthahhari?
D. Tujuan Penelitian
Dengan melihat dan memperhatikan rumusan masalah di atas, tujuan
dari penelitian ini adalah untuk menjelaskan konsep pendidikan menurut
Murtadha Muthahhari.
E. Manfaat Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang ada, maka dapat dijelaskan
manfaat dari kajian ini adalah sebagai berikut:
Page 20
6
1. Memberikan sumbangan bagi perkembangan khazanah ilmu pengetahuan,
terutama bagi kemajuan ilmu pendidikan, khususnya menyangkut konsep
pendidikan Muthahhari yang belum begitu dikenal akrab oleh pakar-pakar
di bidang pendidikan.
2. Menambah sumber referensi bagi jurusan ilmu pendidikan (tarbiyyah),
yang akan meneliti lebih lanjut mengenai konsep pendidikan menurut
Murtadha Muthahhari.
3. Memberikan masukan bagi para pakar di bidang pendidikan mengenai
keunggulan dan originalitas konsep pendidikan Muthahhari, yang nantinya
diharapkan dapat ditransfer ke dalam dunia pendidikan Islam Indonesia.
Page 21
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan adalah proses yang sangat penting di dalam kehidupan
manusia. Melalui pendidikan, setiap manusia belajar seluruh hal yang belum
diketahui. Bahkan dengan pendidikan, seorang manusia dapat menguasai
dunia dan tidak terikat lagi oleh batas-batas yang membatasi dirinya.
Pendidikan melahirkan seorang yang berilmu, yang dapat menjadi khalifah
Allah di bumi ini. Seperti diungkapkan Muhammad „Abduh, seorang tokoh
pembaharu Muslim terkenal, bahwa pendidikan adalah hal terpenting dalam
kehidupan manusia dan dapat mengubah segala sesuatu.1
Al-Qur'an merupakan firman Allah yang dijadikan pedoman hidup
oleh umat Islam dan tidak ada lagi keraguan didalamnya. Ia mengandung
ajaran-ajaran pokok (prinsip dasar) menyangkut segala aspek kehidupan
manusia yang selanjutnya dapat dikembangkan sesuai dengan nalar masing-
masing dan secara fungsional dapat memecahkan problem kemanusiaan.
Salah satu permasalahan yang tidak sepi dari perbincangan umat adalah
masalah pendidikan.
Al-Qur'an telah memberi isyarat bahwa permasalahan pendidikan
sangat penting, Jika al-Qur'an dikaji lebih mendalam maka kita akan
menemukan beberapa prinsip dasar pendidikan, yang selanjutnya bisa kita
jadikan inspirasi untuk dikembangkan dalam rangka membangun pendidikan
yang bermutu. Ada beberapa indikasi dalam al-Qur'an yang berkaitan dengan
pendidikan antara lain: menghormati akal manusia, bimbingan ilmiah, fitrah
manusia, penggunaan cerita (kisah) untuk tujuan pendidikan dan memelihara
keperluan sosial masyarakat.
Manusia menurut al-Qur‟an, memiliki potensi untuk meraih ilmu dan
mengembangkannya dengan seizin Allah. Karena itu bertebaran ayat yang
1 Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Islami, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2012), h. 38.
Page 22
2
memerintahkan manusia menempuh berbagai cara untuk mewujudkan hal
tersebut. Allah juga menegaskan bahwa pengetahuan manusia amatlah
terbatas. Allah berfirman:2
Artinya: “kamu tidak diberi pengetahuan kecuali sedikit”. (QS. Al-
Isra‟: 85)
Iman dan ilmu adalah karakteristik kemanusiaan, maka pemisahan
keduanya akan menurunkan martabat manusia. Iman tanpa ilmu akan
mengakibatkan fanatisme dan kemunduran, takhayul dan kebodohan. Ilmu
tanpa iman akan digunakan untuk memuaskan kerakusan, kepongahan, ambisi,
penindasan, perbudakan, penipuan dan kecurangan. Muthahhari menegaskan
bahwa Islamlah satu-satunya agama yang memadukan iman dan ilmu (sains).3
Keterkaitan antara iman dan ilmu serta pertalian keduanya yang tidak
dapat dipisahkan selalu mewarnai pemikiran dan dasar pemikiran pendidikan
Muthahhari. Lazimnya para ulama yang lain, Muthahhari menegaskan bahwa
kewajiban menuntut ilmu tidak bisa tergantikan.
Artinya: “Katakanlah, „Adakah sama orang-orang yang mengetahui
dengan orang-orang yang tidak mengetahui?‟ Sesungguhnya orang-
orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran”. (QS. Az
Zumar:9).
Sebagaimana ayat al-Qur‟an di atas, banyak sekali hadis-hadis yang
mewajibkan menuntut ilmu. “Mencari ilmu wajib hukumnya bagi setiap
muslim”. Arti dari hadis ini adalah bahwa salah satu kewajiban Islam, yang
2 Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur‟an, (Bandung: Mizan,2000), Cet ke-XI, h.435-436
3 Murtadha Muthahhari, “Tafsir” Holistik Kajian Seputar Relasi Tuhan, Manusia, dan
Alam, Terj. dari Man and Universe oleh Ilyas Hasan, (Jakarta: Citra, 2012), h. 11.
Page 23
3
sejajar dengan semua kewajiban lainnya adalah mencari ilmu. Mencari ilmu
adalah wajib hukumnya bagi setiap orang muslim; tidak hanya dikhususkan
bagi satu kelompok dan tidak bagi kelompok yang lain.4
Di dalam sejarah disebutkan bahwa pada masa sebelum datangnya
Islam, sebagian masyarakat berperadaban pada waktu itu memandang bahwa
mencari ilmu adalah hak sebagian kelompok, dan tidak mengakui bahwa
mencari ilmu adalah hak seluruh lapisan masyarakat. Di dalam Islam, ilmu
bukan hanya dianggap sebagai hak setiap orang, melainkan Islam
menganggapnya sebagai tugas dan kewajiban bagi semua orang. Mencari ilmu
adalah sebuah kewajiban sebagaimana kewajiban-kewajiban yang lain seperti
shalat, puasa, zakat, dan haji.
Islam pada abad keemasan bagaikan harta karun kekayaan peradaban
intelektual yang tidak ternilai harganya. Ia menyebar hampir ke seluruh dunia.
Kehebatan imperium Islam dalam abad keemasan tersebut melampaui
kehebatan imperium Romawi, 7 abad sebelumnya. Di antara nilai peradaban
intelektualnya yaitu:
Pertama, semangat mencari ilmu yang luar biasa dari orang-orang
Islam. Hal ini bisa terjadi karena dipicu oleh doktrin Islam, bahwa mencari
ilmu, mengembangkan dan kemudian mengamalkannya untuk membangun
kehidupan, adalah wajib hukumnya. Semangat pencarian ilmu tersebut
menjadi kunci penjelajahan intelektual Islam pada puncaknya abad ke-9, 10,
dan 11M.
Kedua, semangat pencarian ilmu menemukan momentumnya dalam
imperium Islam di bawah bimbingan para khalifah. Pada masa itu dana serta
fasilitas dari istana untuk mempercepat perkembangan peradaban baru yang
berbasis pengetahuan (knowledge based) merupakan kebijakan prioritas.5
Menuntut ilmu adalah kewajiban setiap orang baik laki-laki ataupun
perempuan. Menuntut ilmu juga tidak memiliki batasan waktu atau masa
4 Murtadha Muthahhari, Ceramah-ceramah Seputar Persoalan Penting Agama dan
Kehidupan, (Jakarta: Lentera, 1999), Cet. Ke-1, h. 157. 5 Mastuhu, Sistem Pendidikan Nasional Visioner, (Jakarta: Lentera Hati, 2007), Cet. Ke-
1, h. 71-72.
Page 24
4
tertentu, sebagaimana hadis Nabi saw, “Carilah Ilmu dari buaian sampai ke
liang kubur” (Bukhari & Muslim). Pada setiap zaman manusia haruslah
menggunakan kesempatan yang ada untuk mencari ilmu. Keluasan kewajiban
menuntut ilmu juga digambarkan dalam hadis, “Carilah ilmu walaupun di
negeri Cina”. Artinya bahwa mencari ilmu tidak memiliki batasan tempat
tertentu.
Dalam hal ini dapat dilihat bahwa Islam telah memerintahkan
menuntut ilmu dengan tiada batasan golongan tertentu, waktu, tempat dan
pengajarnya tetapi mengapa Islam begitu mundur dan generasi muda saat ini
selalu berteman dengan kebodohan? Hal inilah yang sangat menyedihkan
karena sesungguhnya perintah-perintah yang mulia ini telah ditinggalkan
begitu saja oleh generasi muda saat ini.
Masih dalam konsep kewajiban mencari ilmu, Muthahhari menukil
salah satu hadis Rasulullah SAW, “Seandainya engkau mengetahui apa yang
terkandung di dalam mencari ilmu, maka niscaya mencarinya meskipun
sampai harus mengalirkan darah dan menyelami lautan”. Dalam mengambil
ilmu sebagai hikmah Muthahhari juga tidak membatasi pada satu golongan
tertentu. Hal ini berdasarkan hadis Rasul SAW, “Hikmah adalah barang orang
mukmin yang hilang, yang akan diambil di mana saja mereka
menemukannya”. Dalam Nahjul Balaghah, Imam Ali KW juga menyatakan,
“Hikmah adalah barang orang mukmin yang hilang, maka ambillah hikmah itu
meskipun dari orang munafik”.6
Dilihat dari perspektif pendidikan dan pengajaran, ketentuan-ketentuan
akhlak Islam ditujukan untuk mendidik manusia agar sesuai dan selaras
dengan apa yang diinginkan oleh Islam. Sasaran utama pendidikan dipandang
dari sisi sebuah kerangka pengantar terbentuknya masyarakat yang baik, maka
pembentukan kepribadian seseorang sangatlah penting. Islam sangat menjaga
dan menghormati kejejatian individu dan masyarakat.7
6 Murtadha Muthahhari, op. cit., h.158.
7 Murtadha Muthahhari, Dasar-Dasar Epistimologi Pendidikan Islam, (Jakarta: Sadra
International Institute, 2011), Cet ke-1, h.2.
Page 25
5
Untuk mengetahui lebih jauh pemikiran Murtadha Muthahhari tentang
pendidikan, penulis akan meneliti lebih dalam lagi mengenai “Konsep
Pendidikan Menurut Murtadha Muthahhari”.
B. Identifikasi Masalah
Dari latar belakang yang telah diuraikan, menunjukkan bahwa mencari
ilmu wajib hukumnya. Tidak membeda-bedakan baik laki-laki atau perempuan
dan tidak memiliki batasan waktu atau masa tertentu. Maka penulis mencoba
mengidentifikasi beberapa masalah, antara lain:
1. Kurangnya semangat dalam belajar mengajar
2. Murtadha Muthahhari menyatakan banyak pendidikan yang belum dapat
mendidik akhlak atau moral seseorang.
3. Pendidikan modern mendominasi pembelajaran.
C. Pembatasan Masalah dan Rumusan Masalah
Pembatasan masalah dimaksudkan agar kajian menjadi jelas dan terarah,
sehingga tujuan kajian tercapai. Dalam kajian ini permasalahan dibatasi pada:
pemikiran Murtadha Muthahhari tentang pendidikan.
Berdasarkan pembatasan masalah, masalah kajian ini dirumuskan dalam
pertanyaan sebagai berikut: Bagaimana konsep pendidikan menurut Murtadha
Muthahhari?
D. Tujuan Penelitian
Dengan melihat dan memperhatikan rumusan masalah di atas, tujuan
dari penelitian ini adalah untuk menjelaskan konsep pendidikan menurut
Murtadha Muthahhari.
E. Manfaat Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang ada, maka dapat dijelaskan
manfaat dari kajian ini adalah sebagai berikut:
Page 26
6
1. Memberikan sumbangan bagi perkembangan khazanah ilmu pengetahuan,
terutama bagi kemajuan ilmu pendidikan, khususnya menyangkut konsep
pendidikan Muthahhari yang belum begitu dikenal akrab oleh pakar-pakar
di bidang pendidikan.
2. Menambah sumber referensi bagi jurusan ilmu pendidikan (tarbiyyah),
yang akan meneliti lebih lanjut mengenai konsep pendidikan menurut
Murtadha Muthahhari.
3. Memberikan masukan bagi para pakar di bidang pendidikan mengenai
keunggulan dan originalitas konsep pendidikan Muthahhari, yang nantinya
diharapkan dapat ditransfer ke dalam dunia pendidikan Islam Indonesia.
Page 27
7
BAB II
DEFINISI PENDIDIKAN
A. Pengertian Pendidikan Islam
Berbicara masalah pendidikan merupakan suatu kajian yang cukup
menarik, karena pemahaman makna tentang pendidikan adalah beragam.
Pendidikan dalam arti sempit yaitu bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh
pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani anak didik menuju
terbentuknya kepribadian yang utama. Dalam arti luas pendidikan adalah
menyangkut seluruh pengalaman.1
Menurut Ibrahim Amini, pendidikan adalah memilih tindakan dan
perkataan yang sesuai, menciptakan syarat-syarat dan faktor-faktor yang
diperlukan, dan membantu seorang individu yang menjadi objek pendidikan
supaya dapat dengan sempurna mengembangkan segenap potensi yang ada
dalam dirinya, dan secara perlahan-lahan bergerak maju menuju tujuan dan
kesempurnaan yang diharapkan.2
Menurut Ahmad Tafsir, pendidikan adalah pengembangan pribadi
dalam semua aspeknya, dengan menjelaskan bahwa yang dimaksud
pengembangan pribadi ialah yang mencakup pendidikan oleh diri sendiri,
pendidikan oleh lingkungan, dan pendidikan oleh orang lain (guru). Seluruh
aspek mencakup jasmani, akal, dan hati.3
Omar Muhammad al-Toumy al-Syaibani memaknai pendidikan adalah
suatu proses mengubah tingkah laku individu, pada kehidupan pribadi,
masyarakat dan alam sekitarnya, dengan cara pengajaran sebagai suatu
aktivitas asasi dan sebagai profesi di antara profesi-profesi asasi dalam
masyarakat.4
1 Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam, (Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2007), Cet. Ke-7, h.24-25 2 Ibrahim Amini 1, Asupan Ilahi, (Jakarta: Al-Huda, 2011), Cet. Ke-1, h.21
3 Ahmad Tafsir, op. cit., h.26
4 Abuddin Nata, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: KENCANA, 2012), cet ke 2, h. 28
Page 28
8
Menurut Ali Ashraf, pendidikan adalah sebuah aktivitas tertentu yang
memiliki maksud tertentu yang diarahkan untuk mengembangkan individu
sepenuhnya.5
Menurut Murtadha Muthahhari sendiri pendidikan identik dengan
proses pengembangan yang bertujuan agar membangkitkan sekaligus
mengaktifkan potensi-potensi yang terkandung (al-malakat al-kaminah) dalam
diri manusia.6
Menurut Marimba pendidikan Islam adalah bimbingan atau pimpinan
secara sadar oleh pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani anak
didik menuju terbentuknya kepribadian yang utama menurut ukuran-ukuran
Islam.7
Menurut Musthafa Al-Ghulayaini Pendidikan Islam ialah menanamkan
akhlak yang mulia di dalam jiwa anak dalam masa pertumbuhannya dan
menyiraminya dengan air petunjuk dan nasihat, sehingga akhlak itu menjadi
salah satu kemampuan (meresap dalam) jiwanya kemudian buahnya berwujud
keutamaan, kebaikan dan cinta bekerja untuk kemanfaatan tanah air.
Dari pendapat di atas dapat diambil kesimpulan bahwa Pendidikan
Islam ialah bimbingan yang dilakukan oleh seorang dewasa kepada terdidik
dalam masa pertumbuhan agar ia memiliki kepribadian muslim.
Pendidikan mempunyai peran yang sangat urgen untuk menjamin
perkembangan dan kelangsungan kehidupan suatu bangsa. Pendidikan juga
menjadi tolak ukur kemajuan suatu bangsa, dan menjadi cermin kepribadian
masyarakatnya.8 Begitu pula dengan ilmu yang dikembangkan dalam
pendidikan haruslah berorientasi pada nilai-nilai Islami.
Yang harus dilakukan dalam pendidikan pada dasarnya adalah
orientasi terhadap masa depan. Karena pendidikan Islam tidak hanya
5 Ali Ashraf, Horison Baru Pendidikan Islam, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996), h. 1
6 Murtadha Muthahhari, Dasar-dasar Epistimologi Islam, (Jakarta: Sadra Press, 2011), h.
37 7 Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: al Ma’arif,
1989), h.19 8 Hasbullah, Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1996),
Cet. Ke-1, h.27.
Page 29
9
berorientasi pada masa sekarang tetapi juga berorientasi pada masa depan,
yang sekaligus merupakan ciri visi dan misi pendidikan Islam. Islam
mengajarkan agar kita tidak hanya memperhatikan masa kini tetapi juga
memperhatikan serta mempersiapkan diri untuk masa depan, dengan
mengantisipasi serta menetapkan sasaran atas apa-apa yang akan menjadi hasil
atau akibat yang diharapkan dari tindakan-tindakan yang dilakukan.9
Pada zaman Nabi, pendidikan merupakan sesuatu yang dinamis,
praktis, dan relevan sesuai dengan kebutuhan masyarakat riil, sehingga
pendidikan di kala itu mempunyai kekuatan dalam hal memberi inspirasi dan
mentransformasikan kehidupan manusia menyeluruh. Model pendidikan
profetik ini mempunyai substansi pengalaman kehidupan sehari-hari dan
permasalahan-permasalahan komunitas muslim pada awalnya dari masa ke
masa. Pendidikan tersebut tidak seperti pendidikan Islam yang ada sekarang,
yang stagnan dan tidak respontif.10
Pendidikan sebagai proses penyiapan peserta didik agar memiliki
kemampuan mengantisipasi persoalan hari ini dan esok harus dilihat dari
dimensi informasi. Dengan kata lain, kemampuan tersebut akan dicapai hanya
melalui intensitas mencari, mengolah, dan menginterpretasikan informasi.
Menguasai informasi hari ini berarti mampu menguasai informasi hari esok.
Menguasai permasalahan hari ini berarti menguasai permasalahan hari esok.
Sekarang dan esok sebenarnya bersifat saling berkaitan dan merupakan
jaringan-jaringan masalah yang kompleks meski dengan tingkat kompleksitas
yang beragam.11
Dalam melaksanakan pendidikan Islam, peranan pendidik sangat
penting artinya dalam proses pendidikan, karena dia yang bertanggung jawab
dan menentukan arah pendidikan tersebut. Itulah sebabnya Islam sangat
menghargai dan menghormati orang-orang yang berilmu pengetahuan yang
bertugas sebagai pendidik, karena memiliki ilmu pengetahuan untuk
9 Muthahhari, op.cit., h. 25.
10 Zainuddin, Paradigma Pendidikan Terpadu, (Malang: UIN MALANG PRESS, 2008),
h. 106 11
Ibid., h. 92.
Page 30
10
melaksanakan tugasnya sebagai pendidik. Pendidik mempunyai tugas yang
mulia, sehingga Islam memandang pendidik mempunyai derajat yang lebih
tinggi dari pada orang-orang yang tidak berilmu dan orang-orang yang bukan
sebagai pendidik.12
B. Tujuan Pendidikan Islam
Pendidikan adalah suatu proses, maka proses tersebut akan berakir
pada tercapainya tujuan akhir pendidikan. Suatu tujuan yang hendak dicapai
oleh pendidikan pada hakikatnya adalah suatu perwujudan dari nilai-nilai ideal
yang terbentuk dalam pribadi manusia yang diinginkan.
Pendidikan harus bergerak dinamis, berjalan tiada henti mengikuti
perkembangan bahkan memimpin perkembangan itu menuju kemajuannya.
Maka tujuan yang utama bagi pendidikan ialah melatih anak didik supaya
membiasakan diri untuk berdiri sendiri, dan harus mampu memandang dan
menjangkau jauh ke depan, kepada masa datang yang bakal ditempatinya.13
Menurut Murtadha Muthahhri, pendidikan dan pembelajaran bertujuan untuk
memaksimalkan potensi berpikir pelajar.14
Secara filosofis, pendidikan Islam bertujuan untuk membentuk al-insan
kamil atau manusia paripurna. Beranjak dari konsep di atas, maka setidaknya
pendidikan Islam diarahkan pada dua dimensi, yaitu: pertama, dimensi
dialektika horizontal terhadap sesamanya. Kedua, dimensi ketundukan vertikal
kepada Allah.15
Pada dimensi pertama, pendidikan hendaknya mengembangkan
pemahaman tentang kehidupan konkret dalam konteks dirinya, sesama
manusia, dan alam semesta. Akumulasi berbagai pengetahuan, keterampilan,
dan sikap mental merupakan bekal utama pemahaman terhadap makna
12
Zuhairini, dkk. Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2004), Cet ke 4, h.
167. 13
Zainal Abidin, Memperkembang dan MempertahankanPendidikan Islam di Indonesia,
(Jakarta: Bulan Bintang ), h. 16. 14
Muthahhari, op. cit., h. 13 15
A.M. Saefuddin, Desekularisasi Pemikiran Landasan Islamisasi, (Bandung: Mizan,
1991), h. 126
Page 31
11
kehidupan. Sementara pada dimensi kedua, memberikan arti bahwa
pendidikan sains dan tekhnologi, selain menjadi alat untuk memanfaatkan,
memelihara, dan melestarikan sumber daya alami, juga menjadi jembatan
dalam mencapai hubungan yang abadi dengan Sang Pencipta. Untuk itu,
pelaksanaan ibadah dalam arti seluas-luasnya merupakan sarana yang dapat
menghantarkan manusia ke arah ketundukan vertikal kepada Khaliknya.
Menurut Abdul Fatah Jalal, tujuan umum pendidikan Islam ialah
terwujudnya manusia sebagai hamba Allah. Jadi menurut Islam, pendidikan
haruslah menjadikan seluruh manusia yang menghambakan kepada Allah.
Yang dimaksud menghambakan diri ialah beribadah kepada Allah. Islam
menghendaki agar manusia dididik supaya ia mampu merealisasikan tujuan
hidupnya sebagaimana yang telah digariskan oleh Allah. Tujuan hidup
menusia itu menurut Allah ialah beribadah kepada Allah. Seperti firman-
Nya:16
Artinya: “Dan Aku menciptakan Jin dan Manusia kecuali supaya
mereka beribadah kepada-Ku”. (QS. Adz-Zariyat:56)
Tujuan merupakan sesuatu yang esensial bagi kehidupan manusia.
Dengan adanya tujuan, semua aktivitas dan gerak manusia menjadi lebih
dinamis, terarah, dan bermakna. Tanpa tujuan, semua aktivitas manusia akan
kabur dan terombang-ambing. Dengan acuan ini, manusia dan makhluk
ciptaan-Nya juga memiliki tujuan dalam kehidupannya, yaitu untuk mengabdi
kepada-Nya seperti dalam firman-Nya:
Artinya: “Katakanlah sesungguhnya sembahyangku, ibadatku,
hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam”. (QS.
Al-An’am ayat:162)
16
HAMKA, Lembaga Hidup, (Jakarta: Djajamurni, 1962), h. 99
Page 32
12
Jalal menyatakan bahwa sebagian orang mengira ibadah itu terbatas
pada menunaikan shalat, shaum pada bulan Ramadhan, mengeluarkan zakat,
ibadah Haji, serta mengucapkan syahadat. Tetapi sebenarnya ibadah itu
mencakup semua amal, pikiran, dan perasaan yang dihadapkan (atau
disandarkan) kepada Allah. Aspek ibadah merupakan kewajiban orang islam
untuk mempelajarinya agar ia dapat mengamalkannya dengan cara yang
benar.17
Dalam pandangan Hamka, tujuan pendidikan Islam adalah “mengenal
dan mencari keridhoan Allah, membangun budi pekerti untuk berakhlak
mulia”,18
serta “mempersiapkan peserta didik untuk hidup secara layak dan
berguna di tengah-tengah komunitas sosialnya”.19
Pandangan-pandangan di atas memberikan makna, bahwa secara
substansial pendidikan Islam tidak hanya bertujuan mencetak ulama. Tujuan
ini bahkan mungkin hanya feriferal, mengingat keulamaan bukan sekedar soal
kedalaman ilmu, akan tetapi juga berkaitan dengan akhlak, pengakuan
masyarakat (social recognition), dan aktivias kehidupan kekinian. Oleh karena
itu, tujuan pendidikan Islam sesungguhnya lebih berorintasi pada
transinternalisasi ilmu kepada peserta didik agar mereka menjadi insan yang
berkualitas, baik dalam aspek keagamaan maupun sosial. Dalam arti lain,
tujuan pendidikan Islam yang dibangunnya bukan hanya bersifat internal bagi
peserta didik guna memiliki sejumlah ilmu pengetahuan dan mengenal
Khaliknya, akan tetapi juga secara eksternal mampu hidup dan merefleksikan
ilmu yang dimiliki bagi kemakmuran alam semesta. Untuk mencapai tujuan
ideal ini, maka pendidikan Islam hendaknya diformulasi secara sistematis dan
integral, sehingga dapat merangsang tumbuhnya dinamika fitrah peserta didik
secara optimal.20
17
Tafsir, op. cit., h.46-47. 18
HAMKA, op. cit., h. 190. 19
HAMKA, Lembaga Budi, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983), h. 2-3. 20
Samsul Nizar, Memperbincangkan Dinamika Intelektual dan Pemikiran HAMKA
Tentang Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana, 2008), h. 117.
Page 33
13
Menurut Muhammad Abduh, tujuan pendidikan Islam sebagai upaya
mendidik akal dan jiwa serta menyampaikannya hingga batas-batas
kemungkinan manusia (peserta didik) mampu mencapai kebahagiaan hidup
dunia dan akhirat.21
Pandangan ini seirama dengan rumusan tujuan
pendidikan pada Kongres se-Dunia ke II tentang pendidikan Islam tahun 1980
di Islamabad. Pada kongres tersebut, dinyatakan bahwa:
Tujuan pendidikan Islam adalah untuk mencapai keseimbangan
pertumbuhan kepribadian manusia (peserta didik) secara menyeluruh dan
seimbang yang dilakukan melalui latihan jiwa, akal pikiran (intelektual), diri
manusia yang rasional, perasaan dan indera. Karena itu pendidikan hendaknya
mencakup pengembangan seluruh aspek fitrah peserta didik; aspek spiritual,
intelektual, imajinasi, fisik, ilmiah, dan bahasa, baik secara individual maupun
kolektif, dan mendorong semua aspek tersebut berkembang ke arah kebaikan
dan kesempurnaan. Tujuan terakhir pendidikan muslim terletak pada
perwujudan ketundukan yang sempurna kepada Allah, baik secara pribadi
komunitas, maupun seluruh umat manusia.
Berpijak pada tujuan pendidikan Islam yang dikemukakannya di atas,
pendidikan Islam hendaknya senantiasa berorientasi pada upaya mengantarkan
peserta didik agar mampu menjawab tantangan zaman yang timbul dalam
kehidupan sosial sebagai konsekuensi logis dari perubahan peradabannya.
Untuk itu, alternatif yang terbaik adalah bersikap terbuka terhadap ilmu
pengetahuan umum dan menanamkan nilai-nilai agama kepada peserta didik
ecara seimbang.22
Tujuan pendidikan Islam adalah membina manusia agar mampu
menjalankan fungsinya sebagai abid Allah dan khalifahNya, manusia yang
memiliki unsur-unsur jasmani, akal, dan jiwa. Pembinaan akalnya akan
menghasilkan ilmu, sedangkan pembinaan jasmaninya menghailkan
keterampilan dan pembinaan jiwa menghasilkan akhlak (moral) yang
21
Mastuhu, Memberdayakan Sistem Pendidikan Islam, (Jakarta: LOGOS Wacana Ilmu,
1999), h. 24. 22
Nizar, op. cit., h. 119-120.
Page 34
14
dilakukan secara integral. Dengan demikian terciptalah makhluk dwi-dimensi
dalam satu keseimbangan ilmu, amal, dan iman.23
Tujuan dari pendidikan Islam bukanlah untuk memberi informasi
tentang Islam kepada anak-anak didik saja, tetapi lebih menekankan
bagaimana menjadi seorang muslim dan memberi mereka inspirasi sehingga
ilmu tersebut bisa ditransformasikan dalam kehidupan mereka.24
Menurut pandangan Islam manusia itu satu hakikat tetapi mempunyai
tiga dimensi wujud, yaitu; wujud jasmani (fisik), wujud hewani, dan wujud
insani.25
Dari sisi sebagai jasmani manusia mempunyai rupa dan susunan
khusus yang dengannya manusia dapat tumbuh dan berketurunan. Oleh karena
itu, pendidikan berpengaruh terhadap kondisi fisik anak, dan tentunya hal ini
harus mendapat perhatian dari para pendidik. Para pendidik harus
memperhatikan perkembangan fisik anak, dan harus berusaha mendidik
mereka menjadi individu yang sehat, kuat dan seimbang.
Dari sisi sebagai hewan, manusia mempunyai kebutuhan-kebutuhan
yang untuk memenuhinya telah diletakkan berbagai insting dalam dirinya dan
untuk mencapainya telah diciptakan baginya anggota-anggota tubuh yang
sesuai. Manusia memiliki perasaan, kehendak, kemampuan gerak, syahwat
dan marah, yang jika ia kehilangan salah satu darinya maka kehidupan
hewaninya menjadi terganggu. Oleh karena itu, dalam mendidik anak para
pendidik harus mengembangkan insting dan sifat-sifat hewani si anak secara
seimbang.
Akan tetapi manusia tidak terbatas hanya pada dimensi-dimensi fisik,
tumbuhan dan hewan saja, melainkan manusia juga mempunyai dimensi
insani. Manusia memiliki kemampuan keilmuan yang tidak dimiliki hewan-
hewan yang lain. Manusia diciptakan bebas, mempunyai kemampuan memilih
dan mengemban kewajiban di pundaknya. Manusia mempunyai fitrah mencari
dan menyembah Tuhan. Dengan perantara ilmu, iman, amal sholeh dan
23
Quraisy Syihab, Membumikan Al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 2002), h.173 24
Zainuddin, op. cit., h. 107. 25
Amini, op. cit., h.98.
Page 35
15
berakhlak terpuji, diri manusia menjadi sempurna dan menjadi dekat dengan
Alllah SWT; sebaliknya keyakinan yang menyimpang, amal perbuatan buruk
dan akhlak tercela akan menjatuhkan dan menjerumuskannya.
Untuk itu, para pendidik harus mengembangkan sisi-sisi kemanusiaan
anak dan mendidiknya supaya menjadi manusia. Para pendidik harus
mendidik mereka menjadi manusia yang berakal, cerdas, beriman, mengenal
kewajiban, gigih, ulet, dan lain-lain. Oleh karena itu, target dan tujuan
pendidikan itu luas dan harus mencakup seluruh dimensi wujud manusia
terutama dimensi-dimensi insaninya.
Peran seorang pendidik tentunya tidak hanya terbatas kepada
pemberian informasi dan mengajarkan kepada pelajar agar mampu menguasai
ilmu. Karena hal ini hanya akan menjadikan otak para pelajar membeku
sehingga tidak termotivasi agar menggunakan nalar dan kreasi mereka.26
C. Dasar-dasar Pendidikan Islam
Pendidikan merupakan sebuah sistem yang mengandung aspek visi,
misi, tujuan, kurikulum, bahan ajar, proses belajar mengajar, guru, murid,
manajemen, sarana prasarana, biaya, lingkungan dan sebagainya. Berbagai
komponen pendidikan tersebut membentuk sebuah sistem yang memiliki
konstruksi atau bangunan yang khas. Agar konstruksi atau bangunan
pendidikan tersebut kukuh, maka ia harus memiliki dasar, fundament, atau
asas yang menopang dan menyangganya, sehingga bangunan konsep
pendidikan tersebut dapat berdiri kukuh dan dapat digunakan sebagai acuan
dalam praktek pendidikan. Dengan demikian, dasar-dasar pendidikan yaitu
segala sesuatu yang bersifat konsep, pemikiran dan gagasan yang mendasari,
melandasi, dan mengasasi pendidikan. Agar bangunan pendidikan tersebut
benar-benar memberikan keyakinan bagi orang yang menggunakannya, maka
ia harus memiliki dasar, fundamen atau asas yang kukuh pula.
26
Muthahhari, op. cit., h. 11.
Page 36
16
Kajian tentang dasar pendidikan telah banyak dibicarakan para ahli.
Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakir misalnya berpendapat, bahwa dasar
pendidikan Islam merupakan landasan operasional yang dijadikan untuk
merealisasikan dasar ideal/sumber pendidikan Islam. Namun menurut Prof.
Abudin Nata lebih cenderung mengatakan, bahwa dasar pendidikan bukanlah
landasan operasional, tetapi lebih merupakan landasan konseptual. Karena
dasar pendidikan tidak secara langsung memberikan dasar bagi pelaksanaan
pendidikan, namun lebih memberikan dasar bagi penyusunan konsep
pendidikan.27
Dasar ilmu pendidikan Islam bersumber dari al-Qur`an, sunnah
Rasulullah SAW, dan ra`yu (hasil pikir manusia). Tiga sumber ini harus
digunakan secara hirarkis. Al-Qur`an harus didahulukan. Apabila suatu ajaran
atau penjelasan tidak ditemukan di dalam al-Qur`an, maka harus dicari di
dalam sunnah, apabila tidak ditemukan juga dalam sunnah, barulah digunakan
ra`yu. Sunnah tidak bertentangan dengan al-Qur`an, dan ra`yu tidak boleh
bertentangan dengan al-Qur`an dan sunnah. Macam-macam dasar-dasar
pendidikan Islam:
1. Al-Qur`an
Al-Qur`an adalah kalam Allah SWT yang diturunkan kepada
Muhammad SAW dalam bahasa Arab yang terang, guna menjelaskan jalan
hidup yang bermaslahat bagi umat manusia baik di dunia maupun di
akhirat. Terjemahan al-Qur`an ke dalam bahasa lain dan tafsirannya
bukanlah al-Qur`an, dan karenanya bukan nash yang qath`i dan sah
dijadikan rujukan dalam menarik kesimpulan ajarannya.28
Al-Qur`an menyatakan dirinya sebagai kitab petunjuk. Allah swt
menjelaskan hal ini di dalam firman-Nya:
27
Nata, op. cit., h. 89-90. 28
Tafsir, op. cit., h. 12.
Page 37
17
Artinya:“Sesungguhnya Al-Quran ini memberikan petunjuk kepada
(jalan) yang lebih lurus dan memberi khabar gembira kepada
orang-orang Mu'min yang mengerjakan amal saleh bahwa bagi
mereka ada pahala yang besar”. (Q.S. Al-Isra:9)
Petunjuk al-Qur`an sebagaimana dikemukakan Mahmud Syaltut
dikelompokkan menjadi tiga pokok yang disebutnya sebagai maksud-
maksud al-Qur`an, yaitu:
a. Petunjuk tentang aqidah dan kepercayaan yang harus dianut oleh
manusia dan tersimpul dalam keimanan akan keesaan Tuhan serta
kepercayaan akan kepastian adanya hari pembalasan.
b. Petunjuk mengenai akhlak yang murni dengan jalan menerangkan
norma-norma keagamaan dan susila yang harus diikuti oleh manusia
dalam kehidupan.
c. Petunjuk mengenai syariat dan hukum dengan jalan menerangkan
dasar-dasar hukum yang harus diikuti oleh manusia dalam hubugannya
dengan Tuhan dan sesamanya.
Pengelompokan tersebut dapat disederhanakan menjadi dua, yaitu
petunjuk tentang akidah dan petunjuk tentang syari`ah. Dalam menyajikan
maksud-maksud tersebut, al-Qur`an menggunakan metode-metode sebagai
berikut:
1. Mengajak manusia untuk memperhatikan dan mengkaji segala ciptaan
Allah SWT.
2. Menceritakan kisah umat terdahulu kepada orang-orang yang
mengerjakan kebaikan maupun yang mengadakan kerusakan, sehingga
dari kisah itu manusia dapat mengambil pelajaran tentang hukum
sosial yang diberlakukan Allah terhadap mereka.
3. Menghidupkan kepekaan bathin manusia yang mendorongnya untuk
bertanya dan berfikir tentang awal dan materi kejadiannya,
Page 38
18
kehidupannya dan kesudahannya, sehingga insyaf akan Tuhan yang
menciptakan segala kekuatan.
4. Memberi kabar gembira dan janji serta peringatan dan ancaman.
Menurut M. Quraish Shihab hubungan al-Qur`an dan ilmu tidak
dilihat dari adakah suatu teori tercantum di dalam al-Qur`an, tetapi adakah
jiwa ayat-ayatnya menghalangi kemajuan ilmu atau sebaliknya, serta
adakah satu ayat al-Qur`an yang bertentangan dengan hasil penemuan
ilmiah yang telah mapan. Kemajuan ilmu tidak hanya dinilai dengan apa
yang dipersembahkannya kepada masyarakat, tetapi juga diukur
terciptanya suatu iklim yang dapat mendorong kemajuan ilmu itu.29
Dalam hal ini para ulama sering mengemukakan perintah Allah
SWT langsung maupun tidak langsung kepada manusia untuk berfikir,
merenung, menalar dan sebagainya, banyak sekali seruan dalam al-Qur`an
kepada manusia untuk mencari dan menemukan kebenaran dikaitkan
dengan peringatan, gugatan,atau perintah supaya ia berfikir, merenung dan
menalar.
2. Sunnah
Al-Qur`an disampaikan oleh Rasulallah SAW kepada manusia
dengan penuh amanat, tidak sedikitpun ditambah ataupun dikurangi.
Selanjutnya, manusialah hendaknya yang berusaha memahaminya,
menerimanya dan kemudian mengamalkannya. Sering kali manusia
menemui kesulitan dalam memahaminya, dan ini dialami oleh para
sahabat sebagai generasi pertama penerima al-Qur`an. Karenanya mereka
meminta penjelasan kepada Rasulallah SAW, yang memang diberi otoritas
untuk itu. Allah SWT menyatakan otoritas dimaksud dalam firman Allah
SWT di bawah ini:
29
M. Qurais Shihab, Membumikan al-Qur`an : Fungsi dan Peran Wahyu Dalam
Kehidupan Masyaraka,, (Bandung: Mizan, 1995), h. 42.
Page 39
19
Artinya:“…dan Kami turunkan kepadamu al-Dzikri (Al Quran),
agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah
diturunkan kepada mereka dan supaya mereka berfikir”. (Q. S. al-
Nahl:44)
Penjelasan itu disebut al-Sunnah yang secara bahasa al-Thariqoh
yang artinya jalan, adapun hubungannya dengan Rasulullah SAW berarti
perkataan, perbuatan, atau ketetapannya. Para ulama meyatakan bahwa
kedudukan Sunnah terhadap al-Qur`an adalah sebagai penjelas. Bahkan
Umar bin al-Khaththab mengingatkan bahwa Sunnah merupakan
penjelasan yang paling baik. Ia berkata “ Akan datang suatu kaum yang
membantahmu dengan hal-hal yang subhat di dalam al-Qur`an. Maka
hadapilah mereka dengan berpegang kepada Sunnah, karena orang-orang
yang bergelut dengan sunah lebih tahu tentang kitab Allah SWT.30
Menurut Abdurrahman al-Nahlawi mengemukakan dalam lapangan
pendidikan sunnah mempunyai dua faedah:
a. Menjelaskan sistem pendidikan Islam sebagaimana terdapat di dalam
al-Qur`an dan menerangkan hal-hal rinci yang tidak terdapat di
dalamnya.
b. Menggariskan metode-metode pendidikan yang dapat dipraktikkan.
3. Ra`yu
Masyarakat selalu mengalami perubahan, baik pola-pola tingkah
laku, organisasi, susunan lembaga-lembaga kemasyarakatan, lapisan-
lapisan dalam masyarakat, kekuasaan, wewenang dan sebagainya.31
30
http://berbagi-makalah.blogspot.com/2012/06/dasar-dasar-pendidikan-islam.html
31 Soerjono Soekanto, Pokok - Pokok Sosiologi Hukum, (Jakarta: Rajawali Pers, 198), h. 67-
88.
Page 40
20
Pendidikan sebagai lembaga sosial akan turut mengalami
perubahan sesuai dengan perubahan yang tejadi di masyarakat. Perubahan-
perubahan yang ada di zaman sekarang atau mungkin sepuluh tahun yang
akan datang mestinya tidak dijumpai pada masa Rasulullah SAW, tetapi
memerlukan jawaban untuk kepentingan pendidikan di masa sekarang.
Untuk itulah diperlukan ijtihad dari para pendidik muslim. Ijtihad pada
dasarnya merupakan usaha sungguh-sungguh orang muslim untuk selalu
berprilaku berdasarkan ajaran Islam. Untuk itu manakala tidak ditemukan
petunjuk yang jelas dari al-Qur`an ataupun Sunnah tentang suatu prilaku,
orang muslim akan mengerahkan segenap kemampuannya untuk
menemukannya dengan prinsip-prinsip al-Qur`an atau Sunnah.
Ijtihad sudah dilakukan para ulama sejak zaman shahabat. Namun,
tampaknya literatur-literatur yang ada menunjukkan bahwa ijtihad masih
terpusat pada hukum syarak, yang menurut Ali Hasballah ialah proposisi-
proposisi yang berisi sifat-sifat syariat (seperti wajib, haram, sunnat) yang
disandarkan pada perbuatan manusia, baik lahir maupun bathin.32
Kemudian dalam hukum tentang perbuatan manusia ini tampaknya aspek
lahir lebih menonjol ketimbang aspek bathin. Dengan perkataan lain, fiqih
zhahir lebih banyak digeluti dari pada fiqih bathin. Karenanya,
pembahasan tentang ibadat, muamalat lebih dominan ketimbang kajian
tentang ikhlas, sabar, memberi maaf, merendahkan diri, dan tidak
menyakiti oang lain. Ijtihad dalam lapangan pendidikan perlu
mengimbangi ijtihad dalam lapangan fiqih (lahir dan bathinnya).
Salah satu dasar pendidikan dan pembelajaran adalah berorientasi
kepada perkembangan atau kecerdasan emosi. Kecerdasan emosional ini
berbeda dalam setiap umur dan perkembangan anak, semakin dewasa
seseorang maka kecerdasan emosinya pun makin berkembang. Secara
umum emosi anak mulai stabil ketika berumur 17 tahun ke atas. Karena itu
Islam sangat memperhatikan pendidikan sesorang mulai sejak usia 7 tahun
hingga 30 tahun. Dalam banyak hadis Rasulullah saw diingatkan bahwa
32
Noer Aly, MA, Ilmu Pendidikan Islam. (Kudus: Perpustakaan kudus), h. 48.
Page 41
21
periode 7 sampai 30 tahun ini di anggap sebagai periode untuk pendidikan
dan pembelajaran. Suatu periode yang cocok untuk mengembangkan
berbagai potensi diri, baik potensi keagamaan, potensi keilmuwan, potensi
akhlak, dan sebagainya. Bahkan periode ini dianggap sebagai fase umur
dan keterbukaan. Pada fase ini segala aspek pembelajarannya berkembang
secara aktif, melalui pertambahan informasi, perkembangan potensi
berpikir, dan perkembangan perasaan dan mental secara umum. Pada fase
ini, daya ingat dan daya tangkap baik sekali. Fase ini merupakan fase
produktif seseorang dalam segala bidang, dan sangat menentukan unsur
material dan spiritual masa depannya.
Aspek yang sangat penting dalam konteks ini berkaitan dengan
sejauh mana perspektif Islam dalam mendidik manusia, karena manusia
terdiri dari fisik dan mental. Menurut ilmu jiwa, jiwa manusia terdiri dari
potensi-potensi fisik atau jasmani dan potensi-potensi psikis atau rohani.33
D. Kajian Terdahulu yang Relevan
Ayatullah Murtadha Muthahhari adalah salah seorang arsitek utama
kesadaran baru Islam di Iran. Muthahhari juga di kenal sebagai tokoh
intelektual Iran yang terkenal sangat produktif dalam menelurkan pemikiran-
pemikiran baru mengenai ajaran Islam lewat karya-karyanya. Bisa dikatakan,
beliau adalah kampiun bagi kebangkitan tradisi intelektual di dunia Muslim.
Kajian terdahulu ini dilakukan untuk mengetahui sampai sejauh mana
masalah ini pernah ditulis oleh orang lain sebelum kajian ini dilakukan.
Kemudian untuk menghindari penelitian yang sama akan ditinjau sejauh mana
perbedaan antara tulisan sebelumnya dengan kajian ini.
Dibawah ini beberapa penelitian yang telah menulis tentang Murtadha
Muthahhari, yaitu:
1. Mahbubillah, dengan judul Pemikiran Murtadha Muthahhari Tentang
Manusia dan Tujuan Pendidikan Islam. Dalam skripsinya, Mahbubillah
menjelaskan bahwa manusia adalah makhluk multi dimensi. Manusia
33
Muthahhari, op. cit., h. 42.
Page 42
22
dilengkapi dengan berbagai potensi seperti akal pikiran, agar dapat
menegmbangkan dirinya ke arah yang positif. Dari konsep manusia
menurut Murtadha Muthahhari, maka tujuan pendidikan Islam adalah
pertama, pendidikan Islam mengarahkan seluruh potensi tersebut secara
maksimal dan ke arah yang jelas dan benar. Kedua, pendidikan Islam
membentuk manusia secara integral dengan mengembangkan nilai-nilai
insaniyah secara seimbang untuk menjadi manusia sempurna (insan
kamil).34
2. Zuhriadi, dengan judul Konsep Pendidikan Akhlak Muratdha Muthahhari.
Dalam skripsinya, zuhriadi menjelaskan tujuan dari pendidikan akhlak
Murtadha Muthahhari adalah usaha menanamkan, membimbing
keutamaan perangai, tabiat yang dimiliki anak didik. Konsep pendidikan
akhlak Murtadha Muthahhari sangat relevan dengan pendidikan akhlak di
Indonesia. Murtadha Muthahhari meletakkan sebuah konsep pendidikan
akhlak melalui kerangka berfikir ilmiah serta pengembangan semua
potensi yang ada pada anak didik.35
Dari paparan hasil kajian tersebut diatas, penulis menawarkan sebuah
tulisan yang berbeda, di karenakan banyaknya karya ilmiah yang telah ditulis
atau diteliti oleh para pendahulu mengenai pemikiran-pemikiran Murtadha
Muthahhari. Dengan demikian jelas bahwa perbedaannya adalah Tulisan ini
lebih mengacu kepada pandangan Murtadha Muthahhari konsep pendidikan
yang difokuskan bagaimana menghadapi tantangan zaman yang terus
berkembang.
34
Mahbubillah, Pemikiran Murtadha Muthahhari Tentang Manusia dan Tujuan
Pendidikan Islam, IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2003. 35
Zuhriadi, Konsep Pendidikan Akhlak Murtadha Muthahhari, UIN Sunan Kalijaga,
Yogyakarta, 2009.
Page 43
23
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Penelitian
Tempat penelitian adalah tempat atau lokasi di mana penelitian dilakukan.
Sedangkan waktu penelitian berisi penjelasan kapan penelitian dilakukan
(semester, tahun pelajaran) dan lama penelitian dilakukan. Dalam penelitian
kualitatif, tempat penelitian biasa disebut latar atau setting penelitian. Latar berisi
penjelasan secara rinci situasi sosial meliputi: lokasi, tempat, aktivitas, atau tokoh
yang diteliti.1
Penelitian yang berjudul “Konsep Pendidikan Menurut Murtadha
Muthahhari” ini dilaksanakan dalam waktu beberapa bulan, mulai dari bulan
Juli-Maret (2013-2014)
B. Jenis dan Pendekatan Penelitian
Dalam penulisan karya ilmiah, termasuk penelitian dapat menggunakan
salah satu dari tiga grand metode, yaitu library research, field research, dan
bibliography research. Yang dimaksud dengan dengan library research adalah karya
ilmiah yang didasarkan pada literature atau pustaka. Field research adalah
penelitian yang didasarkan pada studi lapangan. Sedangkan bibliography research
adalah penelitian yang memfokuskan pada gagasan yang terkandung dalam teori.
Dalam penelitian ini, jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian
kualitatif deskriptif, yang memfokuskan penelitian pada kajian kepustakaan
(library research) dan mencoba mengkaji seorang tokoh yakni Murtadha
Muthahhari tentang pemikiran konsep pendidikan. Untuk mempertajam analisis
metode deskritif kualitatif, peneliti menggunakan teknis content analisys, yaitu
1 Pedoman Penulisan Skripsi (Jakarta: FITK UIN Syarif Hidayatullah, 2013)
Page 44
24
suatu analisis yang menekankan pada analisis ilmiah tentang isi pesan suatu
komunikasi. Content analysis memanfaatkan prosedur yang dapat menarik kesimpulan
benar dari sebuah buku atau dokumen. Proses content analysis adalah dimulai dari
isi pesan komunikasi tersebut, dipilah-pilah, kemudian dilakukan kategorisasi
(pengelompokan) antara data yang sejenis, dan selanjutnya dianalisis secara kritis
dan obyektif.2
Sedangkan metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
a. Pendekatan historis, yaitu pendekatan yang dilakukan
untuk mengungkapkan sejarah sang tokoh, yakni Murtadha
Muthahhari. Oleh karena itu, studi tokoh harus menggunakan kaidah-
kaidah kesejarahan yang tidak lepas dari ruang dan waktu beserta
fakta-fakta sejarahnya.
b. Pendekatan sosio cultural religius, maksudnya dalam melakukan studi
pemikiran sang tokoh peneliti tidak bisa melepaskannya dari konteks
sosio cultural religi sang tokoh, karena pada dasarnya perasaan,
pikiran dan tindakan sang tokoh merupakan refleksi dari sosio cultural
sang tokoh tersebut.
C. Sumber Data
Sumber data dapat dibedakan menjadi dua bagian yaitu sumber primer dan
sumber sekunder.
1. Data Primer
Data primer adalah data utama dari berbagai referensi atau sumber-
sumber yang memberikan data langsung dari tangan pertama.3 Sumber utama
dalam penelitian ini adalah buku-buku karya Murtadha Muthahhari yang
2 Soejono, dkk, Metode Penelitian ; Suatu Pemikiran dan Penerapan, (Jakarta : Rineka
Cipta,1999), h. 8-18.
3 Saefudin Azwar, Metode Penelitian, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), h. 89
Page 45
25
memuat pemikirannya mengenai konsep pendidikan Islam. Di antara buku
yang menjadi sumber utama dalam penelitian ini adalah:
a. Dasar-dasar Epistimologi Pendidikan Islam, Jakarta: Sadra International
Institute, 2011.
b. Man and Universe. Qum: Ansariyan Publication, 1401 H.
c. Ceramah-ceramah Seputar Persoalan Penting Agama dan Kehidupan,
terjemahan Dah Guftor oleh A. Subandi. Jakarta: Lentera, 1999.
d. Manusia dan Agama. Bandung: Mizan, 1995.
e. Bimbingan untuk Generasi Muda, Jakarta: Sadra International Institute,
2011.
2. Data Sekunder
Data sekunder adalah sumber data yang diperoleh dari sumber-sumber
lain yang masih berkaitan dengan masalah penelitian dan memberi interpretasi
terhadap sumber primer.4
Adapun data skunder dalam penulisan skripsi ini adalah buku-buku
pendidikan, artikel-artikel, majalah dan sebagainya yang relevan dengan
pembahasan skripsi.
D. Tekhnik Pengumpulan Data
Dalam hal metode atau strategi yang dipakai dalam pengumpulan data,
penulis menggunakan metode dokumentasi. Data dokumentasi ini biasanya digunakan untuk
melengkapi data yang diperoleh dari wawancara, namun karena peneliti tidak
menggunakan metode wawancara maka dokumentasi ini hanya digunakan penulis
untuk mencatat tulisan-tulisan tokoh lain yang berkaitan dengan sang tokoh.
Dalam hal ini, peneliti menggunakan tehnik documenter yang diperoleh dari
karya tulis orang terdekat Murtadha Muthahhari dan karya orang lain yang berkaitan
4 Ibid., h. 91
Page 46
26
dengan obyek kajian, tanpa menggunakan karya tulis dari sang tokoh, dikarenakan sang
tokoh tidak meninggalkan pemikiran tentang konsep pendidikan dalam karya
tulis.
Pengambilan data dengan tehnik dokumenter dapat dilakukan dengan
beberapa tahap. Pertama, mencari dan menelusuri data tentang pemikiran
Murtadha Muthahhari tentang konsep pendidikan. Kedua, dari data-data tersebut
akan ditemukan pemikiran Murtadha Muthahhari tentang konsep pendidikan.
Ketiga, setelah ditemukan data-data tersebut kemudian dibaca dan dipelajari
secara teliti dan mendalam. Keempat, tahap pencatatan dan penulisan data, baik
secara tekstual maupun kontekstual.
E. Teknik Pengolahan Data
Sesuai dengan jenis data penelitian ini, data diolah dengan menggunakan
teknik analisis non statistic atau analisis data kualitatif, yaitu mempelajari data
yang akan diteliti secara mendasar dan mendalam. Langkah-langkah dalam
analisis tehnik non statistik ini adalah: Pertama, klasifikasi data, yaitu
menggolongkan aneka ragam data ke dalam kategori-kategori yang jumlahnya
lebih terbatas. Secara teknik kategori-kategori tersebut harus disusun berdasarkan
kriteria yang lengkap, sehingga tidak ada satu pun yang tidak mendapat tempat
serta kategori satu dengan yang lain terpisah secara jelas dan tidak saling tumpang
tindih. Kedua, mengklasifikasikan data tersebut dengan memberi tanda sesuai dengan
data yang dibutuhkan. Ketiga, memeriksa keabsahan data. Keempat, penafsiran data
dalam mengolah hasil sementara menjadi teori substansif, dan Kelima, penarikan
kesimpulan.
Analisis atau pengolahan data dalam studi pemikiran sang tokoh dapat dilakukan
melalui langkah-langkah sebagai berikut:
1. Menemukan pola atau tema tertentu. Artinya peneliti berusaha menangkap
karakteristik pemikiran sang tokoh dengan cara menata dan melihatnya
Page 47
27
berdasarkan dimensi suatu bidang keilmuan sehingga dapat ditemukan pola
atau tema tertentu.
2. Mencari hubungan logis antara pemikiran sang tokoh dalam suatu bidang
keilmuan sehingga dapat ditemukan alasan mengenai pemikiran tersebut.
Peneliti juga berupaya untuk menemukan arti dibalik pemikiran tersebut
berdasarkan kondisi social politik yang mengitarinya.
3. Mencapai generalisai gagasan yang spesifik, artinya berdasarkan temuan-
temuan yang spesifik tentang pemikiran sang tokoh, peneliti akan dapat
menemukan aspek-aspek pemikiran yang dapat dikomparasikan
(dibandingkan) dengan tokoh-tokoh lain yang sebelumnya sudah dipaparkan
dalam kumpulan atauteori yang telah ada. Selain itu, dapat ditemukan pula
aspek-aspek pemikiran sang tokoh yang dapat diimplikasikan dalam
kumpulan pengetahuan yang telah mapan, dalam hal ini peneliti dapat
menemukan aspek pemikiran sang tokoh yang dapat diaktualisasikan pada
pendidikan Islam di abad 21.
Page 48
28
BAB IV
PEMBAHASAN
A. Biografi Murtadha Muthahhari
Ayatullah Murtadha Muthahhari adalah salah seorang arsitek utama
kesadaran baru Islam di Iran. Ia dilahirkan di Fariman di propinsi Khurasan pada
tanggal 2 Februari 1920. Ayahnya, Hujjatul Islam Muhammad Husein
Muthahhari, terkenal sebagai alim ulama yang dihormati.1
Awal Muthahhari bersentuhan dengan dunia pendidikan dari ayahnya. Ia
belajar pengetahuan agama di bawah asuhan ayahnya di sebuah madrasah
tradisional di Fariman yang mengajarkan membaca dan mempelajari surat-surat
pendek dari al-Qur‟an dan sastra Arab. Sejak kecil telah tampak bakat dan
kecintaannya yang luar biasa terhadap ilmu pengetahuan, serta kecerdasan dan
perhatiannya yang besar terhadap ilmu kalam (teologi).2
Di usia yang ke 12 tahun, Muthahhari mulai belajar ilmu-ilmu agama di
Hauzah Ilmiyah di Masyhad (pusat belajar dan ziarah kaum Syi‟ah yang besar di
Iran Timur). Di tempat itulah Muthahhari semakin tertarik dengan dunia filsafat,
teologi, dan irfan. Di antara guru yang sangat berkesan di Masyhad ialah sosok
pribadi dan pemikiran Mirza Mahdi Syahid Razavi,3 yang mengajarkan tentang
filsafat Ilahiyah di pusat kajian ini.4
Razavi wafat pada tahun 1936, ketika Muthahhari belum cukup umur
untuk mengikuti kuliah-kuliahnya. Ia meninggalkan Masyhad pada tahun
berikutnya untuk belajar di lembaga pengajaran di Qum yatitu pusat kajian agama
di Iran yang diminati oleh banyak siswa.
1 Murtadha Muthahhari, Pengantar Pemikiran Shadra: Filsafat Hikmah, terj: Tim penerjemah
Mizan, (Bandung: Mizan, 2002), cet 1, h. 23. 2 M. Dawam Raharjo, Konsepsi Manusia Menurut Islam, (Jakarta: Grafitti Press, 1987), h.
127. 3 Muthahhari, op. cit., h. 24.
4 Haidar Bagir, Murtadha Muthahhari Sang Mujahid, (Bandung: Yayasan Muthahhari, 1988),
cet 2, h. 25.
Page 49
29
Di Qum, Muthahhari memperoleh pelajaran (manfaat dari pengajaran
sejumlah ulama), seperti fiqh dan ushul yaitu pelajaran-pelajaran pokok
kurikulum tradisional yang diajarkan oleh sejumlah ulama seperti: Ayatullah
Hujjah Khuk Kamari, Ayatullah Sayyid Muhammad Damad, Sayyid Muhammad
Riza Gulpayani, dan Haji Sayyid Shadr al-Gin Shadr. Tetapi yang lebih penting di
antara mereka ini adalah Burujerdi, pengganti Ha‟iri sebagai direktur lembaga
pengajaran di Qum. Muthahhari senantiasa mengikuti kuliah-kuliahnya sejak di
Qum sampai ia ke Teheran pada tahun 1952.5
Tahun 1940, beliau berkenalan dengan Mirza Ali asy-Syirazi al-Isfahani,
tokoh yang ahli dalam naskah literatur Syi‟ah, dari perkenalan ini menyebabkan
Muthahhari dapat menimba ilmu dari kitab Nahjul Balaghah. Ketika berada di
Qum, Muthahhari mulai melihat arah kecenderungan intelektualnya yang mulai
terbangun dengan hadirnya sejumlah guru-guru yang ia kagumi seperti Ayatullah
Ruhullah Khomeini, pada waktu itu sebagai seorang pengajar muda yang sangat
menonjol karena kedalaman dan keluasan wawasan keislamannya dan
kemampuan menyampaikannya kepada orang lain. Kualitas-kualitas ini
termanivestasikan dalam kuliah-kuliahnya tentang etika yang mulai diajarkan di
Qum pada awal 1930an. Kuliah-kuliah tersebut menarik banyak orang dari luar
maupun dari dalam lembaga pengajaran keagamaan, dan berpengaruh sekali atas
mereka. Di sinilah Muthahhari mengenal Imam Khomeini. Dari Imam Khomeini
inilah ia belajar teks pasal tentang nafs, Asfar al-Arba‟ah karya Mulla Sadhra dan
Syarh manzhumah karya Mula Hadi Sabzwari. Awalnya kuliah ini diberikan
secara tertutup, hanya sedikit orang yang terpilih dari para pelajar Qum. Pada
tahun 1946, atas permintaan Muthahhari dan Muntazhari, Ayatullah Khomeini
mengajarkan kuliah formal pertamanya tentang fiqih dan ushul, mengambil bab
tentang dalil-dalil rasional dari jilid kedua kifayat al-Ushul karya Akhund
Khurasani sebagai naskah pengajarannya.6
5 Muthahhari, op. cit., h. 26.
6 Murtadha Muthahhari, Bimbingan Untuk Generasi Muda, (Jakarta: Sadra International
Institute, 2011), cet 5, h. 11-12.
Page 50
30
Di antara guru-guru lainnya yang pengaruhnya dirasakan Muthahhari di
Qum adalah pakar besar tafsir Qur‟an dan filosof, Ayatullah Sayyid Muhammad
Husain Thabathaba‟i (q.s.). Muthahhari ikut serta dalam pelajaran-pelajaran
Thabathaba‟i tentang kitab Al-Syifa‟ karya Abu Ali Ibn Sina dari 1950 hingga
1953, dan pertemuan-pertemuan malam Jum‟at yang berlangsung di bawah
arahannya. Subjek dari pertemuan-pertemuan ini adalah filsafat materialis.
Muthahhari sendiri untuk pertama kali memahami minat besar pada filsafat
materialis, terutama Marxisme, segera setelah naik ke jenjang studi formal ilmu-
ilmu rasional.7
Selain filsafat materialis, Muthahhari juga mempelajari secara mendalam
segala aliran sejak Aristoteles sampai Sarte. Ia juga membaca sebelas jilid kisah
peradaban, kelezatan filsafat serta buku-buku lainnya karya Will Durand. Ia
menelaah tulisan Sigmund Freud, Betrand Russel, Albert Einstein, Erich Fromm,
Alexix Carrel, dan pemikir-pemikir lainnya dari Barat.8 Pada tahun 1954 ia mulai
mengajar di Teheran University di Fakultas Teologi. Ia menjabat sebagai Ketua
Jurusan Filsafat. Keluasan ilmunya tampak pada nama-nama kuliah yang
diasuhnya: kuliah Fiqh, kuliah al-Ushul, kuliah Ilmu Klam, kuliah al-Irfan, kuliah
Logika dan kuliah filsafat.
Muthahhari juga aktif di politik dan berjuang bersama Imam Khomeini.
Pada tahun 1963 bersama Imam Khomeini ia ditahan. Ketika revolusi Islam yang
dipimpin Imam Khomeini meletus pada tahun 1978-1979, Muthahhari merupakan
salah seorang arsitek revolusi itu. Ia mengepalai kelompok ulama mujahidin dan
menjadi anggota Dewan Revolusi. Ketika revolusi sudah di ambang pintu
kemenangan, Muthahhari ditunjuk Imam Khomeini untuk memimpin Dewan
Revolusi Iran, yang mengendalikan roda politik di Iran. Akan tetapi, sebelum
menerapkan konsep-konsep politiknya pada pemerintahan baru, hanya kurang
7 Ibid., h. 13.
8 Murtadha Muthahhari, Perspektif al-Qur‟an tentang Manusia dan Agama, Terj: Haidar
Bagir (Bandung: Mizan, 1995), cet 8, h. 8.
Page 51
31
dari 3 bulan menjelang kemenangan revolusi Iran yang spektakuler itu, ia
mengehembuskan nafas terakhir akibat peluru teroris Furqon, kelompok ekstrim
kiri yang mengidentikkan diri dengan Islam. Peristiwa itu mengejutkan rakyat
Iran dan menyakitkan para pejuang kemerdekaan, karena bagi mereka, Murtadha
Muthahhari bukan hanya sebagai pemikir brilian atau sebagai suara rakyat
tertindas, melainkan juga sebagai pejuang kemerdekaan yang gigih, terutama
dalam kemerdekaan berpikir.9
Muthahhari telah tiada tapi jasanya dalam menegakkan kebenaran melalui
keteguhan keyakinan dan keluasan ilmu dapat menjadi suri tauladan bagi kaum
muslim. Ia adalah figur yang telah menorehkan sejarah hidupnya dengan prinsip-
prinsip Islam yang sejati.10
Murtadha Muthahhari adalah salah satu figur ulama yang dapat
memadukan keulamaan dan keintelektualan. Seorang tokoh yang tidak hanya
menguasai dan memahami ilmu-ilmu Islam tradisional, tapi juga akrab dengan
literatur Barat klasik maupun modern. Ia fasih berbicara tentang mazhab-mazhab
pemikiran Barat mengenai: materialisme, sosialisme, kapitalisme, dan
humanisme. Muthahhari adalah salah satu figur yang berjuang dengan
kemampuan intelektual sekaligus melalui gerakan-gerakan politik untuk
mewujudkan cita-cita politik di bawah kepemimpinan Imam Khomeini.
Karakteristik yang menonjol pada diri Muthahhari adalah kedalaman
pemahamannya tentang Islam, keluasan pengetahuannya tentang filsafat dan ilmu
pengetahuan modern, dan pengetahuannya terhadap keyakinan dan ideologi yang
tangguh.11
Kejeniusan dan kecerdasannya tampak dari karya-karya yang
dilahirkannya dalam beberapa aspek keislaman, yang meliputi masalah tasawuf,
9 Syamsuri, Manusia Sempurna Perspektif Murtadha Muthahhari, (Penelitian Dosen Fakultas
Ushuluddin dan Filsafat, UIN, 2001), h. 16. 10
Muthahhari, Pengantar Pemikiran Shadra, op. cit., h. 40. 11
Murtadha Muthahhari, Pengantar Ilmu-ilmu Islam, (Jakarta: Pustaka Azzahra, 2003), cet 1,
h. xxi.
Page 52
32
filsafat, teologi, logika, fiqh, etika, agama, sosial, ushul fiqh, sejarah, dan lain-
lain. Walaupun pokok tulisan-tulisannya tampak sekali berlainan namun
semuanya mempunyai satu tujuan, yaitu Islam. Karena menurutnya Islam sebagai
sebuah agama ternyata belum banyak dikenal secara benar, banyak kebenaran-
kebenaran di dalamnya yang terabaikan sehingga banyak orang yang
menghindarinya.12
Muthahhari melihat fisafat bukan sekedar alat polemik atau disiplin
intelektual. Filsafat merupakan suatu pola tertentu dari religiusitas, yaitu suatu
jalan untuk memahami dan merumuskan Islam. Muthahhari memang bagian dari
tradisi Syi‟ah yang mempunyai perhatian terhadap fisafat. Untuk mengatakan
bahwa pandangan Muthahhari mengenai Islam bersifat filosofis, tidak berati
bahwa dia tidak memiliki spiritualitas, atau dia menafsirkan dogma samawi secara
filosofis, atau dia menerapkan terminologi filosofis pada semua masalah
keagamaan. Tetapi dia memandang peraihan ilmu pengetahuan dan pemahaman
sebagai tujuan dan manfaat utama agama. Karena itu dia berbeda dengan banyak
ulama yang menjadikan fiqh segala-galanya dari kurikulum, atau dengan kaum
modernis yang memandang filsafat sebagai cermin pengacauan Helenis ke dalam
dunia Islam, serta dengan mereka yang semangat revolusinya membuat tidak
sabar terhadap pemikiran filosofis.13
Pada tahun 1952 Murtadha Muthahhari meninggalkan Qum menuju
Teheran, di sana ia menikah dengan putri Ayatullah Ruhani, dan mulai mengajar
filsafat di Madrasah Marvi, salah satu lembaga pengetahuan keagamaan di
ibukota Iran. Di Teheran ia menemukan suatu bidang kegiatan keagamaan,
pendidikan, dan perpolitikan yang lebih luas dan memuaskan. Tahun 1954 ia
mengajar teologi dan ilmu keislaman di Universitas Teheran. Ia mengajar di sana
selama 22 tahun, pemgangkatannya dan promosinya ke professor tertunda oleh
12
Murtadha Muthahhari, Keadilan Ilahi; Asas Pandangan Dunia Islam, Terj: Agus Efendi,
(Bandung: Mizan, 1995), cet 2, h. 12. 13
Muthahhari, Pengantar Pemikiran Shadra, op. cit, h. 30.
Page 53
33
kecemburuan sebagian koleganya dan pertimbangan-pertimbangan politis yaitu
kedekatannya dengan Imam Khomeini yang telah diketahui dengan luas.14
Karena niat untuk menyebarkan agama Islam di tengah masyarakat dan
keterlibatan yang efektif para ulama dalam urusan sosial, membuatnya diangkat
menjadi pimpinan kelompok ulama Teheran, dikenal dengan “masyarakat
keagamaan bulanan”. Suatu langkah serupa yang jauh lebih penting adalah
pendirian Husainiyah al-Irsyad, sebuah lembaga di Teheran Utara yang
dimaksudkan untuk memperoleh kesetiaan kaum muda berpendidikan sekuler
kepada Islam. Tahun 1965 Muthahhari termasuk salah satu anggota badan
pengarah, ia juga memberikan kuliah di sana, juga menyunting dan menyumbang
bagi beberapa karyanya. Lembaga tersebut memperoleh dukungan banyak orang.
Salah satunya adalah konteks politik aktivitas-aktivitas lembaga, yang
menimbukan perbedaan mengenai perlu tidaknya aktivitas lembaga masuk ke
dalam kancah konfrontasi politik. Sebuah masalah yang lebih radikal
dimunculkan oleh adanya konsep-konsep dan interpretasi yang saling
bertentangan di dalam Husainiyah Irsyad mengenai Islam dan misi sosial
kulturalnya. Diungkapkan secara lebih sederhana, di dalam lembaga ini ada
kepribadian mencolok Ali Syariati dan kontroversi-kontroversi yang
dilahirkannya.15
Sosok Muthahhari tidak dapat dipisahkan dengan Imam Khomeini, karena
kesamaan pemikiran yang mendasar yaitu menginginkan adanya revolusi di Iran,
maka komitmen itu tidak dapat diganggu gugat oleh siapapun untuk melawan
rezim Pahlevi yang diktator. Sehingga Muthahhari sangat dipengaruhi
intelektualnya dengan orientasi keinginan untuk mengubah tatanan sebuah negara
yang berorientasi Islam.
Ketika Imam Khomeini diasingkan ke Turki pada tanggal 4 November
1964, maka selama pengasingan ini Muthahhari-lah yang mengambil alih
14
Ibid., h. 31-32. 15
Ibid., h. 34.
Page 54
34
kepemimpinan dan menggerakkan para ulama mujahidin bersama ulama lainnya.
Selama masa ini Muthahhari tetap berhubungan dengan Imam Khomeini baik
secara langsung maupun tak langsung. Selama tahun-tahun yang penuh dengan
pertentangan politik Muthahhari bekerja keras untuk menjelaskan ideolog Islam
yang otentik baik melalui khutbah di fakultas-fakultas, lembaga-lembaga Islam, di
masjid-masjid maupun melalui artikel serta komentar-komentar yang disiarkan.
Kedekatan Muthahhari dengan Imam Khomeini dikukuhkan dengan
ditunjuknya ia sebagai anggota Dewan Revolusi Islam, yang keberadaannya
dikukuhkan pada tanggal 12 Januari 1979. Bersama anggota lainnya dengan
Muthahhari dan Dewan Revolusi Islam memainkan peranan penting dalam
mengorganisasikan kekuatan-kekuatan revolusioner. Pengabdian Muthahhari
kepada Revolusi Islam dihentikan secara brutal dengan pembunuhan atas dirinya
pada 1 Mei 1979 oleh kelompok Furqan, yang menyatakan diri sebagai
pendukung suatu “Islam Progresif”, yang bebas dari apa yang mereka sebut
“pengaruh menyimpang ulama”.
Pada Selasa, 1 Mei 1979, Muthahhari pergi ke rumah Dr.Yadullah Sahabi
untuk berkumpul dengan para anggota lain dari Dewan Revolusi Iran. Sekitar
22:30 ia meninggalkan rumah Sahabi dan berjalan sendiri menuju sebuah gang di
mana mobil yang akan membawanya pulang di parkir di situ. Muthahhari tiba-
tiba mendengar suara yang tak ia kenal memanggil-manggilnya. Ia memandang
sekeliling untuk melihat dari mana asal suara itu, dan sebutir peluru pun
menghantam kepalanya, masuk di bawah gendang telinga kanan dan keluar di
atas alis kirinya. Ia hampir wafat seketika. Walaupun ia dilahirkan ke rumah sakit
terdekat, tidak ada yang dapat dilakukan kecuali kabar duka cita kematiannya.
Jenazahnya pertama-tama dibawa ke Universitas Teheran untuk dishalatkan dan
kemudian ke Qum untuk dikuburkan, bersebelahan dengan makam Syekh
Abdulkarim (q.s.).16
Imam Khomeini tidak menyembunyikan tangisnya ketika
16
Muthahhari, Bimbingan Untuk Generasi Muda, op. cit., h. 27.
Page 55
35
Muthahhari dimakamkan dan ia menggambarkannya sebagai “putra tercinta”,
sebagai “buah hidupku”, sebagai “sebagian dagingku”. Tetapi dalam sambutan
perkabungannya, Imam Khomeini juga menunjukkan bahwa kepergiannya tidak
menghilangkan pribadinya, tidak pula mengganggu jalannya revolusi.17
1. Karya-karya Murtadha Muthahhari
Karya-karya Muthahhari baik hasil ceramah maupun tulisan sangat
banyak, mencapai lebih dari 200 karya dalam berbagai bidang, seperti filsafat,
kalam, sosiologi, sejarah dan antropologi, dan etika. Karya-karya Muthahhari
telah dibukukan dan diterjemahkan keberbagai bahasa, termasuk Indonesia.18
Di antara buku yang telah diterbitkan adalah:
Insản Kảmil buku ini dilatarbelakangi karena kondisi masyarakat saat
ini yang sangat memperhatikan sisi sosial tanpa memperhatikan sisi spiritual.
Ia mencoba menjelaskan wajah Islam yang komprehensif. Insan Kamil adalah
manusia yang multi dimensional, dengan melaksanakan seluruh ajaran Islam
secara utuh dan harmonis.
Mas‟ale-ye Syenỏkh, berasal dari sepuluh ceramah, yang disampaikan
pada bulan Muharram tahun 1379H/1977, hal ini dijelaskan untuk
menguatkan landasan fisafat, karena pada masa itu sangat mempunyai arti dan
pengaruh yang khusus untuk melawan para pengikut Marxisme yang telah
melakukan aktivitas besar-besaran di bidang kebudayaan dan mendapat restu
dari kerajaan, sehingga ia mencoba melawan dengan memperbaiki kerangka
pemikiran umat Islam agar tidak terjebak dengan ajaran Marxis.
al-Adl al-Ilahi, merupakan buku karya Murtadha Muthahhari yang
sistematis dan sempurna tentang konsep keadilan, baik keadilan Tuhan
maupun keadilan manusia. Bahwa keadilan Tuhan adalah sebuah keniscayaan
bagi seluruh sistem alam, baik yang berwujud fisik atau yang berwujud non
17
Muthahhari, Pengantar Pemikiran Shadra, op. cit., h. 41. 18
Muhsin Labib, Para Filosof; Sebelum dan Sesudah Mulla Sadra, (Jakarta: al-Huda, 2005),
cet 1, h. 280.
Page 56
36
fisik. Pada bab pertama dibahas pandangan mengenai jabr dan ikhtiar yang
pada beberapa aliran kalam, yang intinya, bagaimana pandangan manusia
secara umum tentang kejadian-kejadian yang ada di alam ini, baik secara
rasional dan juga secara spiritual, hingga menimbulkan pandangan dan prinsip
yang bermacam-macam.
Goal of Life, merupakan buku yang dikumpulkan dari ceramah
Murtadha Muthahhari ketika menyampaikan materi tentang Islam, tujuan dan
keniscayaan proses dan penyempurnaan manusia. Buku ini terdiri dari lima
pokok bahasan, yaitu: mengenai tujuan penciptaan, landasan etika personal
dan etika sosial, agama, mazhab pemikiran, dan pandangan dunia Islam, dan
proses penyempurnaan manusia serta tauhid Islam.
Deh Guftỏr, merupakan buku yang berisi kumpulan dari 20 ceramah
Muthahhari yang disampaikan di hadapan masyarakat umum sekitar tahun
1378-1382 H, di dalamnya dijelaskan mengenai keadilan.
Perspektif al-Qur‟an tentang Manusia dan Agama, buku ini
membahas mengenai tiga persoalan pokok yaitu manusia dan keimanan,
manusia menurut al-Qur‟an, manusia dan takdirnya. Kesemuanya berbicara
bagaimana mengangkat posisi kemanusiaan untuk tetap menjadikan manusia
pada posisi kemanusiaannya sehingga Murtadha Muthahhari sangat mendasar
dalam menjelaskannya mulai dari kepribadiannya sampai kepada kebebasan
dan juga ketidakbebasannya.
Man and Univers, buku ini merupakan akumulasi poin-poin penting
tentang manusia dan alam semesta, pembahasannya mengenai berbagai
problematika tentang manusia dan binatang, ilmu pengetahuan dan agama,
mazhab pemikiran dan sumber-sumber pemikiran, kearifan, keadilan serta
argumentasinya yang ilmiah, filosofis, logis serta merujuk kepada al-Qur‟an.
Fundamentals of Islamic Though God, Man and Univers, di dalamnya
Murtadha Muthahhari membahas tentang persoalan Tuhan, manusia dan alam
semesta, lebih rinci dia juga membahas berbagai dasar keyakinan manusia
Page 57
37
seperti pandangan dengan dunia tauhid, filsafat, baik iluminasi maupun
paripatetik tetapi tidak terlepas bahasannya dengan kehidupan di dalam al-
Qur‟an.
Introduction to Kalam, ilmu kalam adalah ilmu yang mengkaji
mengenai dasar-dasar pokok akidah seseorang terhadap teologi. Buku ini
membahas doktrin-doktrin dasar utama kalam beserta modifikasinya.
Meskipun merujuk dari pemahamn teologi mu‟tazilah, asy‟ariyah, tetapi
teologi yang ditawarkan Muthahhari telah menampilkan wajah menengah
yang mencoba mengambil posisi di tengah.
Hak wa al-Bảthỉl, buku ini menjelaskan nilai-nilai pandangan dunia
ideologi Islam di hadapan pandangan dunia dan ideologi lain (sosialisme-
marxisme, dan barat pada umumnya). Buku ini mencoba memberikan tawaran
pemikiran alternatif tentang kebenaran dan kebathilan, plus berbagai kritik
yang jitu terhadap berbagai penyelewengan pemikiran yang sedang
berkembang.
Inna al-Din „Inda Ilảh al-Islảm, di dalam buku ini ada dua akumulasi
yang ingin dicapai. Pertama, bagaimana umat Islam mengetahui secara benar
ajaran Islam yang murni sebagai bentuk filsafat sosial dan keyakinan ke-
Tuhanan, pola pikir dan kepercayaan yang konstruktif dan komprehensif.
Kedua, bagaimana mengenal kondisi atau tuntutan zaman, umat Islam harus
senantiasa cermat melihat orientasi perkembangan sains dan pengetahuan,
mana fenomena yang menyimpang, iman yang sebenarnya secara substansi
harus dikembangkan.19
19
Izkar Sobah, Kejahatan dan Keadilan Tuhan Dalam Perspektif Teologi Murtadha
Muthahhari, (Aqidah Filsafat: Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, 2006), h. 20-24.
Page 58
38
B. Fitrah
1. Pengertian Fitrah dari Segi Bahasa
Lafal fithrah, dengan berbagai derivasinya, banyak disebutkan dalam
al-Qur‟an, misalnya pada ayat-ayat di atas, yang dalam konteks ini berate al-
khalq dan al-ibda‟. Al-Khalq itu sendiri identik dengan al-ibda‟ (yang
memiliki arti meniptakan sesuatu tanpa contoh). Hanya saja, yang
menyebutkannya dalam bentuk ini (fithrah). Allah SWT berfirman:20
Artinya: “Maka hadapkanlah wajahmu kepada Agama (Din) yang
lurus, (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia
menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan dalam ciptaan Allah. Itulah
agama yang lurus, akan tetapi kebanyakan manusia tidak
mengetahuinya”. (QS. Ar-Rum: 30)
Artinya: Ibrahim berkata: “Sebenarnya Tuhan kamu ialah Tuhan
langit dan bumi yang telah menciptakannya, dan aku adalah termasuk
orang-orang yang bersaksiakan hal itu”. (QS. Al-Anbiya: 56)
Artinya: “Sesungguhnya aku menghadapkan wajahku kepada Tuhan
yang menciptakan langit dan bumi, dan aku bukanlah termasuk dari
orang-orang yang menyekutukannya” (QS. Al-An'am: 79)
20
Murtadha Muthahhari, Fitrah, Terj. dari al-Fithrah oleh H. Alif Muhammad, (Jakarta:
CITRA, 2011), h. 6.
Page 59
39
Artinya: “Apabila langit terbelah”. (QS. Al-Infithar: 1)
Artinya: “Langit (pun) menjadi pecah-belah pada hari itu karena
Allah. Adalah janji-Nya itu pasti terlaksana”. (QS. Al-Muzammil: 18)
Lafal fithrah yang berkaitan dengan keadaan manusia dan hubungan
keadaan tersebut dengan agama, yakni yang disebutkan dalam ayat, “Fitrah
Allah yang menciptakan manusia menurut fitrah itu” (QS. Ar-rum: 30)
mengandung arti keadaan yang dengan itu manusia diciptakan. Artinya, Allah
telah menciptakan manusia dengan keadaan tertentu, yang di dalamnya
terdapat kekhususan-kekhususan yang ditempatkan Allah dalam dirinya saat
dia diciptakan, dan keadaan itulah yang menjadi fitrahnya.21
Ibn Atsir, dalam kitab an-Nihayah, ketika mengemukakan hadits yang
berbunyi: “Setiap bayi dilahirkan dalam keadaan fitrah”. Kitab tersebut
memberikan komentar sebagai berikut:22
"Al-Fathr" berarti menciptakan dan menjadikan (al-ibtida‟ wa al-
ikhtira‟), dan fithrah merupakan keadaan yang dihasilkan dari
penciptaan itu. Yakni, menciptakan sesuatu dalam wujud yang baru,
yang merupakan kebalikan dari “membuat sesuatu dengan mengikuti
contoh sebelumnya.” Allah adalah al-Fathir. Dia adalah al-
Mukhtari‟ (yang menciptakan tanpa contoh), sedangkan manusia
adalah at-taqlidi (membua tsesuatu dengan mengikuti contoh).
Manusia hanyalah mengikuti, bahkan di saat dia membuat sesuatu
21
Ibid.,h.7. 22
Ibid., h.7-8.
Page 60
40
yang baru sekalipun. Sebab, hasil dari kreasinya pasti mengandung
unsur-unsur yang sudah ada sebelumnya.
Ibnu Atsir mengatakan, “Al-Fithrah adalah keadaan yang dihasilkan
dari penciptaan itu, seperti halnya al-jilsah dan ar-rikhbah, yakni fitrah
merupakan sejenis ciptaan khusus yang memiliki keadaan tertentu.
Berdasarkan pengertian tentang fitrah dari para ulama di atas, dapat
diambil kesimpulan bahwasanya fitrah adalah sesuatu yang ada dalam diri
manusia yang berhubungan dengan awal diciptakannya, yang langsung
diciptakan oleh Allah Swt dengan tanpa meniru dari contoh yang lain.
2. Fitrah Sebagai Dimensi Asasi Pendidikan Islam
Pembahasan mengenai pendidikan Islam, khususnya dalam pemikiran
Murtadha Muthahhari, biasanya diawali dengan awal terciptanya manusia.
Dari awal penciptaan manusia ini akan diperoleh sejumlah informasi yang
akan menjelaskan mengenai landasan utama pendidikan Islam yang
sesungguhnya.
Pembahasan pemikiran Muthahhari dalam masalah fitrah sebagai
dimensi asasi pendidikan Islam ini lebih bernuansa filosofis. Beliau
mengutarakan hal-halyang terkait dengan awal penciptaan manusia hingga
dilahirkan ke dunia lalu membahas masalah mengenai: Manusia dan
Pengetahuan. Pembahasan Manusia dan Pengetahuan ini adalah untuk
mengetahui sifat dari fitrah manusia, dan apakah pengetahuan yang didapat
oleh manusia bersifat fitri ataukah murni hasil dari pencarian manusia sendiri.
Di dalam Al-Qur‟an dan sunnah Rasul, persoalan fitrah memperoleh
perhatian yang sangat besar. Sebab, kedua sumber tersebut memiliki
perspektif tersendiri tentang manusia ketika keduanya mengatakan bahwa
manusia mempunyai fitrah. Dengan demikian, harus dikaji sejarah kosakata
fitrah dan maknanya, termasuk menjawab pertanyaan apakah di dalam diri
Page 61
41
manusia benar-benar terdapat masalah-masalah yang bersifat fitrah, ataukah
tidak.23
Menurut Muthahhari sendiri, bahwa pendidikan terkait erat dengan
fitrah. Hal itu pun akan terlihat sama dalam pandangan al-Ghazâlî, yang
menurutnya pondasi pendidikan manusia adalah pada nilai-nilai Ilahiyah,
yang disebut oleh al-Ghazâlî sebagai khulq (sebagai persamaan istilah dari
fitrah).24
Di tengah-tengah kajian tentang fitrah/khulq ini nantinya akan muncul
beberapa cabang, antara lain masalah “pendidikan” dan “pengajaran”, suatu
tema yang amat luas dan merentang panjang.
Bahkan, istilah “pendidikan” (al-tarbiyah) yang digunakan, disadari
atau tidak, juga terbentuk atas asasfitrah tersebut. Sebab yang dimaksud
dengan pendidikan ialah rekayasa dan usaha untuk menyempurnakan
kecerdasan (al-rusyd) dan pertumbuhannya. Semua itu disandarkan pada
sekumpulan sarana. Atau, jika digunakan istilah modern, semua itu
membutuhkan sejumlah kekhususan yang mencukupi dalam diri manusia,
yang dimensi asasinya adalah fitrah.25
Dari pendapat di atas, sangat jelas terlihat bahwa dimensi
dasar pembentukan manusia melalui pendidikan adalah terletak pada fitrah
manusia. Fitrah manusialah yang selalu membawa manusia untuk selalu
condong kepada kebenaran dan membenci kejahatan, sebagaimana juga sifat
pendidikan yang mengajarkan manusia kepada pencapaian kebenaran dan
mencegah kejahatan.
Dengan demikian, tugas pendidikan yang utama adalah memberikan
informasi kepada manusia mengenai kebenaran. Dan, dengan adanya fitrah
23
Ibid., h. 1-2. 24
Jalaluddin Rahmat, et. al, “Kuliah-kuliah Tasawuf”, dalam Husein Shahab, Tasawuf dalam
Perspektif Mazhab Etika, (Jakarta: Pustaka Hidayah, 2000), cet. Ke-1, h. 42.
25 Muthahhari, Fitrah, op. cit., h. 2.
Page 62
42
dalam diri manusia, maka informasi itu berguna sebagai bekal dalam
pencarian kebenarannya. Hal itu lebih disebabkan adanya sifat fitrah yang
cinta kebenaran. Manusia, menurut Muthahhari, adalah makhluk pencari
kebenaran
C. Kewajiban Mencari Ilmu
Berikut ini adalah pembahasan yang dikemukakan oleh Muthahhari
mengenai “Kewajiban Mencari Ilmu”. Tema tentang kewajiban mencari ilmu ini
berlandaskan atas firman Allah SWT:26
Artinya: “Katakanlah, „Adakah sama orang-orang yang mengetahui
dengan orang- orang yang tidak mengetahui?‟ Sesungguhnya orang-
orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran”. (QS. Az-Zumar:
9)
“Mencari ilmu itu wajib hukumnya bagi setiap Muslim dan Muslimat dari
buaian hingga liang lahat” (HR. Bukhori & Muslim). Hadits tersebut adalah salah
satu dari sekian banyak hadits-hadits yang diriwayatkan baik oleh ulama hadits
dari mazhab Sunni maupun Syi‟ah. Masing-masing dari mereka menukilnya dari
Rasulullah SAW melalui sanad-sanad mereka.
Kata faridhah dalam hadits di atas berarti „wajib‟. Kata ini berasal dari
akar kata fardhu, yang berarti pasti dan wajib. Sesuatu yang sekarang kita
nyatakan dengan ungkapan wajib dan mustahab, pada masa awal mereka
menyatakannya dengan ungkapan mafrudh dan masnun. Kata wujub dan wajib
pada masa awal Islam pun juga digunakan, namun yang lebih banyak digunakan
26
Murtadha Muthahhari, Ceramah-ceramah Seputar Persoalan Penting Agama dan
Kehidupan, (Jakarta: PT Lentera Basritama, 1999), h. 156.
Page 63
43
adalah kata faridhah, mafrudh, dan fardhu. Sedangkan kata mustahab, dengan
makna khusus ini, di samping tidak digunakan di dalam al-Qur‟an satu kali pu,
juga tidak satu kali pun digunakan di dalam hadis. Bahkan, para fuqaha terdahulu
tidak menggunakan istilah ini. Pada zaman dahulu, untuk mengungkapkan makna
yang sekarang kita nyatakan dengan kata mustahab mereka menggunakan kata
masnun atau kata mandub.27
Arti dari hadits di atas adalah bahwa salah satu kewajiban Islam, yang
sejajar dengan semua kewajiban lainnya adalah mencari dan menuntut ilmu.
Mencari ilmu adalah wajib hukumnya bagi setiap Muslim, tidak hanya
dikhususkan bagi satu kelompok dan tidak bagi kelompok yang lain. Di dalam
sejarah disebutkan bahwa pada masa sebelum datangnya Islam, sebagian
masyarakat berperadaban pada waktu itu memandang bahwa mencari ilmu adalah
hak sebagian kelompok, dan tidak mengakui bahwa mencari ilmu adalah hak dari
seluruh lapisan masyarakat. Di dalam Islam, ilmu bukan hanya dianggap sebagai
hak bagi setiap orang, melainkan Islam menganggapnya sebagai tugas dan
kewajiban bagi setiap orang. Mencari ilmu adalah sebuah kewajiban sebagaimana
kewajiban-kewajiban yang lain.28
Muthahhari menjelaskan secara luas mengenai kewajiban mencari ilmu.
Shalat adalah satu kewajiban, puasa adalah salah satu kewajiban, zakat adalah
salah satu kewajiban, haji adalah salah satu kewajiban, jihad adalah salah satu
kewajiban, dan amar makruf nahi munkar adalah satu kewajiban. Demikian juga
halnya berdasarkan hadits di atas dengan mencari ilmu, ia merupakan salah satu
kewajiban. Pada sisi ini, secara umum, tidak ada perselisihan. Sejak masa
permulaan Islam hingga hari ini seluruh kelompok dan seluruh ulama Islam
sepakat dan menerima hal ini. Di dalam kitab-kitab hadits selalu ada satu bab
khusus dengan judul “Bab Kewajiban Mencari Ilmu” atau judul-judul lain yang
27
Ibid., h. 157. 28
Muthahhari., loc. cit., h. 157
Page 64
44
sejenis. Kalau pun ada perselisihan, itu hanya pada penjelasan dan penafsiran
makna dan maksud hadits ini, dan sampai sejauh mana cakupan hadits ini.
Akal manusia karena merupakan alat untuk memperoleh ilmu.
Sebagaimana Muthahhari, maka al-Ghazâlî pun memberikan tempat yang
terhormat baginya. Akal ia jadikan sebagai objek kajian khusus, sebagaimana ia
lakukan terhadap tabiat dan kekuatan bawaan manusia. Menurutnya, puncak
kesempurnaan manusia ialah terseimbangnya peran akal dan hati dalam membina
ruh manusia. Jadi sasaran inti dari pendidikan adalah kesempurnaan akhlak
manusia, dengan membina ruhnya. Hal ini berlandaskan pada firman Allah swt
dan hadits di bawah ini:
Artinya: “Sesungguhnya engkau (Muhammad) benar-benar mempunyai
akhlak yang sangat agung”. (QS. Al-Qalam: 4)
”Sesungguhnya aku (Muhammad) diutus untuk menyempurnakan
kemuliaan akhlaq”. (HR. Bukhari & Muslim).
Kewajiban menuntut ilmu tidak memiliki pengkhususan, hanya untuk
wanita atau lelaki saja, sebagaimana jihad dan shalat Jum‟at hanya untuk kaum
mukminin. Menuntut ilmu juga tidak memiliki batasan waktu atau masa tertentu,
sebagaimana hadis Nabi SAW, “Carilah Ilmu dari buaian sampai ke liang kubur”.
(Bukhari &Muslim). Pada setiap zaman manusia haruslah menggunakan
kesempatan yang ada untuk mencari ilmu. Keluasan kewajiban menuntut ilmu
juga digambarkan dalam hadis, “Carilah ilmu walaupun di negeri Cina”. Artinya
bahwa mencari ilmu tidak memiliki batasan tempat tertentu, sebagaimana juga
tidak memiliki waktu tertentu seperti ibadah haji (umrah) di Mekah.
Muthahhari menyebutkan bahwa akal dan ilmu merupakan saudara
kembar. Kembarnya akal dan ilmu adalah suatu keniscayaan dan merupakan
perkara yang sangat penting. Orang yang memiliki kemampuan berpikir tetapi
Page 65
45
informasi ilmu yang dimilikinya sangat sedikit dan lemah, ibarat sebuah pabrik
yang tidak memiliki bahan baku yang akan diolah atau bahan bakunya sangat
sedikit, sehingga produksinya akan sangat sedikit pula. Karena, banyaknya
produksi tergantung banyaknya bahan baku yang diolah. Sebaliknya, pabrik yang
memiliki banyak bahan baku tetapi mesin pengolahnya tidak difungsikan, maka
pabrik itu akan lumpuh tak berproduksi.29
Muthahhari mengutip perkataan Imam Musa al-Kazhim, "Ya Hisyam,
ketahuilah dengan jelas, sesungguhnya akal sejalan dengan ilmu." Ungkapan ini
sekaligus menegaskan hubungan timbal balik antara akal dan ilmu. Ilmu
merupakan proses mengambil, ibarat mendapatkan bahan baku mentah.
Sedangkan akal merupakan proses berpikir, ibarat pabriknya. Maka pabriklah
yang mengolah dan memproduksinya menjadi barang jadi, sekaligus sebagai
wadah proses analisa dan pemilahan.30
Masih dalam konsep kewajiban mencari ilmu, Muthahhari menukil salah
satu hadis Rasulullah SAW, “Seandainya engkau mengetahui apa yang
terkandung di dalam mencari ilmu, maka niscaya mencarinya meskipun sampai
harus mengalirkan darah dan menyelami lautan”. Dalam mengambil ilmu sebagai
hikmah, Muthahhari juga tidak membatasi pada satu golongan tertentu. Hal ini
berdasarkan hadis Rasul SAW, “Hikmah adalah barang orang mukmin yang
hilang, yang akan diambil di mana saja mereka menemukannya”. Dalam Nahjul
Balaghah, Imam Ali kw juga menyatakan, “Hikmah adalah barang orang mukmin
yang hilang, maka ambillah hikmah itu meskipun dari orang munafik”.
Muthahhari mencoba memberikan gambaran mengenai ketidaksesuaian
antara hal yang seharusnya (hal yang idealis sesuai dengan tuntunan ajaran Islam)
dengan realitas yang ada dalam masyakat Islam mengenai adanya kemunduran
dalam tradisi keilmuan Islam.
29
Murtadha Muthahhari, Konsep Pendidikan Islam, Terj. dari "Tarbiyatul Islam", (Jakarta:
Ikra Kurnia Gemilang, 2005), h. 38. 30
Muthahhari, loc.cit., 38.
Page 66
46
Menurut Muthahhari, bahwa salah satu sebabnya adalah kejadian yang
terjadi di tengah-tengah masyarakat Muslimin. Bermula muncul dengan
perantaraan alat-alat kekhalifahan, lalu kemudian diikuti dengan munculnya
friksi-friksi di dalam kehidupan Muslimin, yaitu terciptanya masyarakat yang
“berkasta”, yang sama sekali tidak sejalan dengan maksud ajaran Islam.
Masyarakat terbagi kepada dua kasta: “kasta orang miskin dan malang”, yaitu
mereka yang untuk memperoleh makanan pokok saja harus bekerja keras; dan
“kasta orang yang bermewah-mewahan dan sombong”. Mereka tidak mengetahui
apa yang harus mereka lakukan dengan harta yang ada di tanggannya. Keadaan
kehidupan seperti ini tidak lagi memberikan kesempatan untuk memperhatikan
dan melaksanakan perintah-perintah Islam, dan bahkan muncul faktor-faktor yang
mendorong tidak dilaksanakannya perintah-perintah Islam.
Sebab yang lain dari mundurnya umat Islam dalam bidang ilmu
pengetahuan, menurut Muthahhari, adalah adanya kesalahan persepsi dari
masyarakat Islam sendiri terhadap ajaran Islam itu sendiri. Gejala yang ada dalam
masyarakat saat ini adalah bukan berlomba-lomba untuk menjadikan diri mereka
dan anak-anak mereka sebagai orang yang berilmu, malah tertarik kepada
bagaimana memperoleh ganjaran dan keutamaan dengan cara menghormati dan
bersikap khudu‟ kepada orang yangberilmu. Penghargaan masyarakat dengan
sendirinya telah beralih dari yang seharusnya kepada ilmu pengetahuan tetapi
berbalik dengan mengambil bentuk yang salah arah, yaitu memberikan
penghargaan kepada orang-orang yang berilmu, meskipun hal itu bukan sesuatu
yang salah.31
Al-Ghazâlî, secara lugas membahas tentang ilmu. Menurutnya, karena
ilmudan amallah diciptakan langit dan bumi beserta segala isinya.32
31
Murtadha Muthahhari, Konsep Pendidikan Islam, Terj. dari "Tarbiyatul Islam", (Jakarta:
Ikra Kurnia Gemilang, 2005), h.168-169.
32 Osman Bakar, Hierarki Ilmu, (Bandung: Mizan, 1998), h. 231-240.
Page 67
47
Artinya: “Allah lah yang menciptakan tujuh langit dan seperti itu pula
bumi. Perintah Allah berlaku padanya, agar kamu mengetahui
sesungguhnya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu, dan sesungguhnya
ilmu Allah meliputi segala sesuatu”. (QS. Ath-Thalaq: 12)
1. Mencari Ilmu: Wajib Tahayyu’i (Siap Sedia)
Muthahhari menjelaskan bahwa, para fuqaha mempunyai sebuah
istilah, yaitu mereka mengatakan bahwa kewajiban mencari ilmuadalah
bersifat wajib tahayyu‟I (kewajiban menjadikan diri siap sedia). Artinya,
kewajiban ilmu bukan hanya satu kewajiban mukadimah seperti semua
mukadimah kewajiban-kewajiban, yang tidak memiliki hukum wajib yang
berdiri sendiri; melainkan dia adalah kewajiban yang berdiri sendiri. Pada saat
yang sama, ilmu juga merupakan satu kewajiban dari sisi dia memberikan
kesiapan kepada seorang manusia untuk bisa melaksanakan semua
kewajibannya.
Para fuqaha mengkhususkan wajib tahayyu‟I ini kepada mempelajari
ahkam (hukum-hukum). Sepertinya, kebanyakan dari mereka mengibaratkan
bahwa pelaksanaan kewajiban-kewajiban Islam hanya bisa dilaksanakan bila
Muslimin mengetahui kewajiban-kewajiban mereka. Ketika mereka telah
mengetahui kewajiban-kewajiban mereka, maka dengan sendirinya mereka
pun akan mampu melaksanakannya. Jadi, ilmu yang diwajibkan dalam
pandangan para fuqaha adalah ilmu yang menjadikan seorang Muslim
mengetahui kewajibannya, yaitu apakah menjadi seorang mujtahid atau
muqallid (orang yang bertaklid).
Jelas bahwa sebagaimana mengetahui kewajiban dan mempelajari
perintah-perintah agama adalah sesuatu yang wajib, maka banyak sekali
Page 68
48
pekerjaan-pekerjaan yang menurut hukum agama adalah wajib, yaitu
pekerjaan-pekerjaan yang menuntut belajar, pengetahuan, dan kemahiran.
Sebagai contoh, bidang kedokteran adalah kewajiban kafa‟I (fardhu
kifayah).Pelaksanaan kewajiban ini sulit untuk dilaksanakan tanpa terlebih
dahulu mempelajari ilmu kedokteran. Jadi berdasarkan ini, mempelajari ilmu
kedokteran pun wajib hukumnya. Demikian juga banyak bidang yang lain.
Jadi harus dilihat, perkara apa saja yang menurut pandangan Islam itu harus
wajib, dan perkara itu tidak bisa dilaksanakan dengan baik kecuali dengan
belajar, maka dapat disimpulkan bahwa ilmu yang berkaitan dengan perkara
itu wajib hukumnya.33
Kewajiban mencari ilmu, dari semua sisi mengikuti ukuran kebutuhan
masyarakat. Zaman dahulu, pertanian, pertukangan, perdagangan, dan
politik adalah sesuatu yang dibutuhkan masyarakat pada waktu itu; dan tidak
satu pun dari keempat bidang tersebut banyak membutuhkan ilmu dan belajar.
Masyarakat, cukup menjadi murid untuk beberapa saat di hadapan seorang
tukang kayu atau pedagang, dan bekerja di bawah pengawasan seorang
politikus atau pedagang yang mahir, atau tukang kayu. Sekarang, keadaan
dunia telah berubah, kebutuhan-kebutuhan masyarakat telah berubah. Zaman
sekarang, tidak satu pun dari bidang di atas dapat sejalan dan menyesuaikan
diri dengan keadaan dan tuntutan masyarakat sekarang kecuali bila disertai
ilmu dan belajar. Bahkan, pertanian pun, sekarang harus dilakukan
berdasarkan prinsip-prinsip pengetahuan. Seorang pedagang tidak dapat
menjadi pedagang yang diperhitungkan hingga dia mempelajari ilmu
ekonomi. Seorang politikus tidak bisa menjadi seorang politikus yang baik di
dunia sekarang hingga dia mempelajari ilmu politik.
33
Murtadha Muthahhari, Konsep Pendidikan Islam, Terj. dari "Tarbiyatul Islam", (Jakarta:
Ikra Kurnia Gemilang, 2005), h.172.
Page 69
49
Ilmu yang wajib dituntut oleh setiap mukallaf ada tiga jenis, yakni
ilmu tauhid, ilmu batin (sirr) yang berkaitan dengan kalbu dan jalan-jalannya,
ilmu ibadah lahir yang berkaitan dengan badan dan harta.
Muthahhari mengutip perkataan Imam Ali kw bahwa "Allah
mempunyai dua hujjah: hujjah yang nyata (hujjah zhahirah) dan hujjah yang
bathin (hujjah bathinah)." Hujjah yang nyata adalah para nabi, sedangkan
hujjah yang bathin adalah akal manusia.34
Kebodohan adalah lawan dari akal. Akal dalam riwayat-riwayat Islam
ditegaskan sebagai kekuatan atau daya untuk menganalisis (analysis power).
Islam senantiasa menyeru manusia untuk memerangi kebodohan, yaitu
kebodohan yang disebabkan tidak menggunakan potensi akal. Orang yang
berakal adalah orang yang mampu memahami dan menganalisis sedangkan
orang yang bodoh adalah orang yang tidak memiliki kemampuan ini.
Banyak orang yang dianggap pintar padahal sebenarnya tidak. Mereka hanya
memiliki banyak informasi yang mereka dapatkan dari luar. Mereka telah
mempelajari banyak hal, tetapi otak mereka hanya ibarat sebuah gudang yang
menyimpan banyak informasi namun tidak dimanfaatkan untuk melakukan
ijtihad, mencari solusi ataupun dalam menganalisis persoalan berbagai
persoalan yang dihadapi. Orang dalam kelompok ini masih belum dapat
dikatakan sebagai orang yang pintar, karena otak mereka beku.
Muthahhari pun mengutip pendapat Ibn Sina dalam menganalisis
masalah pentingnya ilmu. Di dalam kitab Al-Isyarat, Ibnu Sina menyatakan
"Barangsiapa yang terbiasa membenarkan sesuatu tanpa dalil, sesungguhnya
dia telah melepas atribut jati diri kemanusiaannya". Ini berarti bahwa
seseorang tidak boleh menerima sesuatu pernyataan tanpa sesuatu argument
atau dalil. Sebaliknya Ibn Sina juga menyatakan, "Barangsiapa yang terbiasa
mengingkari sesuatu tanpa dalil, maka sesungguhnya ini pun sesuatu yang
34
Ibid, h. 228.
Page 70
50
jelek". Dia pun mengatakan, "Manusia sesungguhnya adalah orang yang
senantiasa menerima dan menolak sesuatu berdasarkan kepada dalil. Jika
tidak ada dalil maka dia akan menjawab, "Saya tidak tahu".
Untuk memperkuat pemikirannya tersebut, Muthahhari pun mengutip
statement yang dikemukakan Backon, bahwa para ilmuwan itu dapat
dikategorikanm ke dalam tiga klasifikasi. Pertama, ada yang diibaratkan
seperti semut yang senantiasa menarik biji-bijian dari luar lalu menyimpannya
ke dalam gudang sarangnya. Ilmuwan semacam ini, otaknya tak ubahnya
seperti sebuah gudang, mereka hanya merekam seluruh informasi ilmu dan
menyimpannya. Ketika dibutuhkan barulah mereka menyebutkan apa yang
telah mereka pelajari. Kedua, ibarat ulat, mereka merajut sarang dengan
air liurnya, ilmuwan semacam ini juga tidak baik karena tidak ada masukan
informasi dari luar. Ia hanya melahirkan ilmu lewat daya imajinasi dan
batinnya saja. Akibatnya, mereka dapat tercekik di sarangnya sendiri. Ketiga,
mereka inilah ilmuwan sesungguhnya. Mereka ibarat lebah, mengisap saripati
bunga-bungaan dari luar kemudian mereka sendiri yang mengolah madu.
Karena itu akan lebih ideal jika antara akal dan ilmu berpadu, ilmu yang
diperoleh dipadu dengan daya kekuatan dari dalam serta daya analisis yang
dimiliki untuk melahirkan sesuatu yang bermanfaat.35
Di lain pihak, Muthahhari mengatakan bahwa pekerjaan dan profesi
zaman sekarang telah menjadi sedemikian rupa, sehingga tidak mungkin
dilakukan tanpa pengetahuan, belajar, dan spesialisasi. Jenis-jenis pekerjaan
yang zaman dahulu dapat dikuasai dengan hanya melakukan latihan
sebentar atau belajar singkat di hadapan seorang ahli, pada zaman sekarang
sudah sedemikian berbeda, di mana tidak dapat dikuasai kecuali dengan
belajar disekolah-sekolah menengah kejuruan, perguruan-perguruan tinggi
35
Ibid, h. 232.
Page 71
51
politeknik, atau lembaga-lembaga pendidikan lainnya. Pada zaman sekarang,
kebanyakan pekerjaan memerlukan orang-orang yang ahli.
Dapat dikatakan, dari penjelasan yang luas maka kewajiban mencari
ilmu merupakan pilar ajaran Islam yang mempunyai tujuan mulia dan sangat
sesuai dengan tuntutan zaman. Kewajiban mencari ilmu adalah kunci dari
semua kewajiban. Sebab tanpa adanya ilmu, maka kewajiban yang mesti
dilakukan oleh seseorang tidak akan di ketahuinya yang dengannya tidak
terpenuhi.
2. Ilmu Agama dan Bukan Ilmu Agama
Muthahhari menjelaskan bahwasanya telah menjadi sebuah istilah, di
mana kita menamakan sebagian ilmu pengetahuan dengan nama “ilmu
agama”, dan sebagian ilmu pengetahuan lain dengan nama “ilmu bukan
agama”. Ilmu-ilmu agama adalah ilmu-ilmu yang secara langsung terkait
dengan masalah-masalah keyakinan, akhlak, atau amal perbuatan agama, atau
ilmu-ilmu yang menjadi mukadimah bagi pengetahuan, perintah-perintah, dan
hukum-hukum agama, seperti ilmu gramatika bahasa Arab dan ilmu logika.36
Muthahhari melanjutkan, bahwa mungkin sebagian orang menyangka
ilmu-ilmu yang non-agama itu asing dari agama, dan setiap kali di dalam
Islam dikatakan tentang keutamaan ilmu dan pahala mencarinya, maka itu
hanya terbatas pada ilmu-ilmu yang menurut istilah dikatakan sebagai ilmu-
ilmu agama. Atau, jika Rasulullah SAW mengatakan bahwa ilmu itu wajib,
maka yang sebagian menganggap bahwa yang dimaksud oleh Rasulullah
SAW terbatas pada ilmu-ilmu agama.
36
Murtadha Muthahhari, Ceramah-ceramah Seputar Persoalan Penting Agama dan
Kehidupan, (Jakarta: PT Lentera Basritama, 1999), h.175.
Page 72
52
Seraya meluruskan pandangan di atas, Muthahhari berpendapat bahwa
yang benar, ini tidak lebih dari hanya sekadar istilah. Dari satu sisi
pandangan,ilmu-ilmu agama hanya terbatas pada matan-matan pertama
agama, yaitu al-Qur‟an al-Karim, Sunah Rasul SAW, atau wasiat-wasiat
beliau. Pada masa awal Islam pun, di mana masyarakat ketika itu masih belum
mengenal Islam, diwajibkan atas setiap Muslim untuk mempelajari matan-
matan pertama agama terlebih dahulu sebelum segala sesuatu. Pada masa itu
belum ada satu ilmu pun, belum ada yang dinamakan ilmu kalam, ilmu fiqih,
ilmu ushul fiqih, dan belum juga ada yang dinamakan ilmu sejarah Islam, dan
lain-lainnya.
Kemudian kaum Muslimin mulai mengenal matan-matan pertama
agama tersebut, yang berkedudukan sebagai undang-undang dasar Islam. Lalu
dengan berdasarkan perintah al-Qur‟an dan hadits Nabi Saw mereka mengenal
secara mutlak bahwa ilmu adalah sebuah kewajiban yang tidak diragukan, dan
selanjutnya secara bertahap ilmu-ilmu pun tersusun. Oleh karena itu, dari sisi
pandangan lain, setiap ilmu yang memberikan manfaat kepada kaum
Muslimin, maka ilmu itu merupakan kewajiban agama dan merupakan ilmu
agama. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa setiap ilmu yang bermanfaat
kepada keadaan Islam dan Muslimin, dan hal itu sesuatu yang harus bag
imereka, maka ilmu tersebut harus dikategorikan sebagai bagian dari ilmu-
ilmu agama. Dan jika seseorang mempunyai niat yang tulus dalam
mempelajari ilmu tersebut untuk bisa berkhidmat kepada Islam dan Muslimin,
maka dia tentu akan memperoleh ganjaran yang telah disebutkan bagi orang
yang mencari ilmu.
Sejak awal, pembagian ini sudah tidak benar, yaitu di mana membagi
ilmu kepada dua bagian: ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu bukan agama.
Karena, pembagian ini akan menimbulkan sangkaan bagi sebagian orang,
bahwa ilmu-ilmu yang menurut istilah sebagai “ilmu-ilmu bukan agama”
adalah ilmu-ilmu yang asing dari Islam. Kelengkapan dan keuniversalan Islam
Page 73
53
menuntut bahwa setiap ilmu yang bermanfaat, penting dan diperlukan oleh
masyarakat Islam, harus kita anggap sebagai ilmu agama.37
D. Kaitan antara Sains dan Agama (Ilmu dan Iman)
Setelah membahas mengenai dua konsep dasar pendidikan Muthahhari di
atas,yaitu tentang fitrah sebagai dimensi asasi pendidikan dan kewajiban mencari
ilmu bagi muslimin, maka selanjutnya akan dibahas pemikiran beliau tentang
kaitan antara Sains dan Agama. Hal ini sengaja dibahas pada sub bab khusus
untuk memperlihatkan bagaimana konsep dasar dari ide-ide Muthahhari dalam
dunia pendidikan, yang nantinya dapat dirumuskan bagaimana sistematika konsep
pendidikan Muthahhari secara utuh.
Di bawah judul “Kaitan antara Sains dan Keimanan” dalam buku Man
and Universe, Muthahhari menjelaskan secara rinci mengenai kedua hal tersebut
beserta analisisnya yang tajam. Dalam pandangan Muthahhari, sains memberi kita
kekuatan dan pencerahan, dan keimanan memberikan cinta, harapan, dan
kehangatan. Sains meniciptakan teknologi, dan keimanan menciptakan tujuan.
Sains memberi kita momentum, dan keimanan memberi kita arah. Sains berarti
kemampuan, dan keimanan adalah kehendak baik. Sains menunjukkan kepada
kita apa yang ada disana, sementara keimanan mengilhami kita tentang apa yang
mesti kita kerjakan. Sains adalah revolusi eksternal, dan keimanan adalah revolusi
internal. Sains memperluas hubungan manusia secara horizontal, dan keimanan
meningkatkannya secara vertikal. Baik keimanan maupun sains berarti keindahan.
Sains adalah keindahan kebijaksanaan, dan keimanan adalah ruh.38
Itulah yang dikatakan oleh Muthahhari, yang secara langsung dapat di
pahami bahwa menurut beliau Sains (ilmu pengetahuan) dan agama (keimanan)
adalah dua hal yang saling melengkapi satu sama lain. Ia tidak dapat dipisahkan,
37
Ibid, h. 177 38
Murtadha Muthahhari, “Tafsir” Holistik Kajian Seputar Relasi Tuhan, Manusia, dan Alam,
Terj. dari Man and Universe oleh Ilyas Hasan, (Jakarta: Citra, 2012), h. 18.
Page 74
54
jika salah satu hilang dalam diri manusia, maka akan terjadi apa yang dinamakan
oleh Muthahhari dengan mengutip hadits Nabi sebagai “orang berilmu yang
kurang ajar dan orang bodoh yang tekun beribadah”.39
Senada dengan pendapat Muthahhari di atas, adalah apa yang diutarakan
oleh Muhammad Iqbal. Beliau mengatakan secara tegas bahwa Eropa masa
sekarang adalah hambatan terbesar di tengah jalan menuju kemajuan etis manusia.
Hal itu dikarenakan adanya kesenjangan antara sains dan wahyu (keimanan).
Menurut Iqbal, kemanusiaan saat ini membutuhkan tiga hal: (1)
Interpretasi spiritual atas jagat, (2) kemerdekaan spiritual, dan (3) prinsip-prinsip
pokok yang memiliki makna universal yang mengarahkan evolusi masyarakat
manusia dengan berbasiskan rohani. Dari sini Eropa modern membangun sebuah
system yang realistis, namun pengalaman menunjukkan bahwa kebenaran yang
terungkap lewat akal murni tidak mampu memberikan semangat yang terdapat
dalam keyakinan hidup, dan semangat ini ternyata hanya dapat diperoleh dengan
pengetahuan personal yang diberikan oleh faktor adialami (wahyu). Inilah
sebabnya mengapa akal semata tidak begitu berpengaruh pada manusia,
sementara agama selalu meninggikan derajat orang dan mengubah masyarakat.
Hasilnya adalah ego yang menyeleweng, yang mencari dirinya melalui
demokrasi-demokrasi saling tidak toleran yang befungsi hanya untuk menindas
yang miskin demi kepentingan kaum yang kaya. Eropa masa sekarang adalah
hambatan terbesar di tengah jalan menuju kemajuan etis manusia. Orang-
orangMuslim, di pihak lain, memiliki gagasan-gagasan puncak yang bersumber
dari wahyu yang datang dari lubuk kehidupan yang paling dalam,
menginternalisasikan eksternalitas nyatanya. Baginya, basis spiritual kehidupan
adalah masalah keyakinan yang untuknya orang-orang yang paling sedikit
tercerahkan di antara kita sekalipun bisa dengan mudah mengatur hidupnya.40
39
Murtadha Muthahhari, Ceramah-ceramah Seputar Persoalan Penting Agama dan
Kehidupan, (Jakarta: PT Lentera Basritama, 1999), h. 184. 40
Murtadha Muthahhari, “Tafsir” Holistik Kajian Seputar Relasi Tuhan, Manusia, dan Alam,
Terj. dari Man and Universe oleh Ilyas Hasan, (Jakarta: Citra, 2012), h. 18-19.
Page 75
55
Dengan lebih rinci, Muthahhari selanjutnya menegaskan bahwa telah tiba
saatnya bagi manusia untuk menyadari bahwa bukan saja sains dan keimanan itu
tidak bertentangan, tetapi mereka bahkan bersikap saling melengkapi satu sama
lain. Sejarah telah membuktikan bahwa pemisahan sains dari keimanan telah
menyebabkan kerusakan yang tak bisa diperbaiki lagi. Sementara itu, keimanan
tanpa sains akan berakibat fanatisisme dan kemandekan. Kalau tak ada ilmu
pengetahuan, agama menjadi alat bagi orang-orang pandai yang munafik.
Sains tanpa agama adalah seperti sebilah pedang di tangan pemabuk yang
kejam. Juga ibarat lampu di tangan pencuri yang digunakan untuk membantu si
pencuri mencuri barang yang berharga di tengah malam. Itulah sebabnya, sama
sekali tak ada bedanya antara watak dan perilaku orang tyak beriman dewasa ini
yang berilmu pengetahuan dan orang tak beriman pada masa dahulu yang tidak
berilmu pengetahuan.41
Pemisahan antara sains dan keimanan akan mengakibatkan bencana yang
mengerikan. Di mana saja ada agama tapi tak ada sains, maka upaya-upaya
kemanusiaan telah diselenggarakan dengan cara-cara yang tidak selalu memadai
dan bahkan telah menyebabkan fanatisisme, prasangka-prasangka dan bentrokan-
bentrokan destruktif. Sejarah masa lampau kemanusiaan penuh dengan contoh-
contoh semacam itu. Dan di mana saja ada sains tanpa tanda-tanda agama
sebagaimana di dalam masyarakat masa kini, maka semua kekuatan sains telah
digunakan untuk memenuhi pementingan diri sendiri, egoisme, ekspansionisme,
ambisi, penindasan, perbudakan, penipuan dan kecurangan.
Dengan berlandaskan pada pemikiran Muthahhari di atas, kaitannya
dengan pendidikan, maka dapat dikatakan bahwa jika suatu corak pendidikan
yang mengesampingkan salah satu dari kedua aspek di atas, yakni hanya
mementingkan sains tanpa agama dan sebaliknya, maka pendidikan tersebut
hanya akan melahirkan generasi-generasi, seperti yang dikatakan Muthahhari di
41
Ibid, h. 22-23.
Page 76
56
atas, yaitu orang berilmu yang kurang ajar dan orang bodoh yang tekun
beribadah. Inilah salah satu inti dasar pembahasan yang dapat di identiifkasikan
sebagai konsep pokok pendidikan Muthahhari, yaitu pendidikan yang berorientasi
pada pencapaian kemuliaan manusia dengan pijakan keimanan dan penguasaan
sains yang handal.
E. Dunia Pendidikan dan Tantangan Zaman
1. Belajar tentang zaman
Imam Ja‟far Ash-Shadiq mempunyai perkataan yang sungguh
merupakan perkataan yang besar, yaitu “seseorang yang mengenal dan
memahami zamannya, maka tidak akan diserang oleh berbagai macam
perkara yang membingungkan (dengan hal-hal yang di sekitarnya)”.42
Maksud dari hadits di atas, sebagaimana dikatakan oleh Muthahhari,
adalah siapa saja yang menguasai pengetahuan tentang zamannya dan
menguasai pengetahuan tentang segala seluk-beluknya, tidak akan sekali-kali
dikejutkan oleh hal-hal yang membingungkan. Muthahhari menambahkan,
bahwa dalam ucapan beliau ini, masih ada lagi kalimat-kalimat lainnya yang
menguatkan hal itu, di antaranya: “Takkan berhasil siapa saja yang tidak
menggunakan akalnya, dan takkan menggunakan akalnya siapa yang tidak
berpengetahuan”. Yakni, takkan berhasil orang yang tidak memiliki
pengetahuan, sebab akal sama dengan kemampuan melakukan analisis dan
menetapkan kaitan antara sejumlah permasalahan.
Muthahhari mengemukakan secara lugas mengenai bagaimana
membina dan mendidik generasi muda untuk dipersiapkan di masa depan
yang tantangan zamannya berbeda dengan zaman di saat sekarang. Menurut
beliau, ada sesuatu yang lebih penting dari pada hanya membuat
planning untuk membimbing generasi ini. Yaitu dengan memperteguh di
42
Muthahhari, Bimbingan Untuk Generasi Muda, op. cit., h. 85.
Page 77
57
dalam diri kita sendiri pendapat yang mengatakan bahwa bimbingan dan
pembinaan (pendidikan), baik dalam segi teknis administratif maupun dalam
aplikasinya, harus berbeda caranya sesuai dengan perkembangan zaman dan
juga perbedaan objek yang hendak dibina/dididik. Karenanya, kita harus
menghapus dari pikiran kita, bahwa kita mampu membina dan
mendidik generasi muda ini dengan cara-cara lama.43
Pertama-tama, kita harus memahami terlebih dahulu generasi muda
saat ini. Memahami karakteristik dan ciri-ciri khas kepribadiannya. Dan untuk
itu, secara umum, ada dua cara untuk menanganinya, serta ada dua cara pula
untuk melakukan penilaian terhadapnya. Sebagian orang menilai generasi
muda sebagai sekelompok orang yang belum matang dan dikuasai oleh ilusi
tentang dirinya sendiri, budak-budak hawa nafsu, dan seribu macam
keburukan lainnya. Orang-orang seperti itu memandang kepada generasi
muda dengan pandangan penuh kebencian dan pelecehan. Akan tetapi,
pandangan generasi muda itu kepada dirinya sendiri adalah sangat berbeda.
Mereka tidak melihat adanya suatu cacat dalam diri mereka. Bahkan mereka
adalah manusia-manusia yang penuh dengan kecerdasan dan kepiawaian yang
memiliki cita-cita paling mulia dan terhormat. Namun, terkadang generasi
lama memandang dari sudut dirinya sendiri dengan memandang buruk kepada
generasi saat ini, dikarenakan berbeda dalam segala aspeknya. Ada beberapa
ayat dalam Surat Al-Ahqâf yang mengandung dua gambaran tentang dua
generasi: yang saleh dan yang menyeleweng. Tetapi tidak mungkin dikatakan
bahwa generasi yang berikutnya senantias lebih banyak kerusakannya dari
pada generasi sebelumnya, dan bahwa dunia ini berjalan menuju kepada
kerusakan. Dan tidak pula dapat dikatakan bahwa generasi yang berikutnya
senantiasa lebih sempurna dari pada yang sebelumnya.44
Ayat-ayat tersebut
adalah sebagai berikut:
43
Murtadha Muthahhari, Muhadharat fi ad-Din wa al-Ijtima‟, (Teheran: Muassasah al-
Bi'tsah,1395 H), h. 59.
44 Muthahhari, Bimbingan Untuk Generasi Muda, op. cit., h. 99.
Page 78
58
Artinya : “Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik
kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan
susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula).
mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan,
sehingga apabila Dia telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh
tahun ia berdoa: "Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri
nikmat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu
bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yang saleh yang Engkau
ridhai; berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan)
kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau
dan Sesungguhnya aku Termasuk orang-orang yang berserah diri".
Ayat di atas melukiskan cara pemikiran generasi yang shaleh. Di
antaranya, adalah semangat bersyukur dan mengakui luasnya karunia-karunia
Allah SWT. “Wahai Tuhanku, berilah petunjuk agar aku mensyukuri nikmat-
Mu yang engkau berikan kepadaku dan kepada kedua orang tuaku…”. Di sini
ia mengakui nikmat-nikmat yang dikaruniakan Allah SWT atas dirinya dan
generasi pendahulunya, lalu meminta dari-Nya agar diberi kekuatan
untuk memenuhi rasa terima kasih dan penghargaannya atas semua itu. Dan
agar ia diberi petunjuk untuk dapat menggunakan nikmat-nikmat itu demi
meraih keridhaan-Nya. Sebab, arti mensyukuri suatu nikmat adalah dengan
memanfaatkannya secara proporsional, sesuai yang dikehendaki oleh Sang
Pemberi. Dan karenanya ia memohon dari Allah SWT agar memberinya
taufik untuk menggunakan nikmat-Nya demi sesuatu yang bermanfaat dan
Page 79
59
diridhaioleh-Nya: “…agar aku dapat beramal shaleh yang Engkau ridhai..”. Di
antaranya pula, perhatiannya kepada generasi berikutnya, semoga ia menjadi
generasi yang shaleh. Karenanya, ia memohon kepada Allah SWT,
“…Berikan kepadaku kebaikan dengan memberi kebaikan kepada anak-
cucuku…”. Selanjutnya, semangat bertobat dan menyesali kelalaian dan
kekurangannya pada masa-masa lalu, “…Sungguh aku bertobat kepada-
Mu...”.
Tentang generasi seperti ini, Allah Swt kemudian berfirman:45
Artinya : “Mereka itulah orang-orang yang Kami terima amal baik
yang telah mereka kerjakan,dan Kami ampuni kesalahan-kesalahan
mereka, bersama para penghuni surga, sebagai janji yang benar yang
dijanjikan kepada mereka” (QS. Al-Ahqaf: 16).
Adapun ayat berikutnya berbicara tentang suatu generasi yang rusak
dan menyimpang:46
Artinya: “Dan orang yang berkata kepada kedua ibu bapaknya, “Cis
bagikalian berdua; adakah kalian memperingatkan kepadaku bahwa aku
akandibangkitkan (setelah mati), padahal sungguh telah berlalu beberapa
umat sebelumku?” Lalu kedua orang tuanya itu memohon pertolongan
kepada Allah seraya mengatakan, “Celaka kamu, berimanlah! Sungguh
janji Allah adalah benar.” Maka berkatalah ia, “Ini tidak lain hanyalah
dongengan orang-orang dahulu belaka”. (QS. al-Ahqâf: 17).
45 Muthahhari, Bimbingan Untuk Generasi Muda, op. cit., h. 102.
46 Ibid, h. 103.
Page 80
60
Ayat ini, menurut Muthahhari, adalah menjelaskan generasi yang
menyimpang dan terkelabui. Generasi yang mentah, belum matang. Begitu
telinganya mendengar dua kalimat, ia tidal lagi merasa terikat dengan sesuatu.
Ia tidak merasa sebagai hamba Allah. Ia merasa kesal terhadap kedua orang
tuanya. Menghina mereka. Mengejek pandangan mereka, juga semua
kepercayaan mereka. Menertawakan mereka akibat ucapan mereka tentang
adanya Hari Kiamat, hari kebangkitan kembali tentang alam yang lain dan
kehidupan yang lain. Padahal generasi-generasi terdahulu, datang dan hidup,
kemudian mati dan tidak kembali lagi. Dan kedua orang tuanya yang religius,
dan yang tidak tahan mendnegar sesuatu yang bertentangan dengan agama,
kini mendengar putra kesayangan mereka menyakiti hati mereka dengan
omongan seperti itu, sehingga mereka berteriak, “Celaka kamu, berimanlah!
Sungguh janji Allahadalah benar.”
Itulah ayat-ayat yang menjelaskan tentang dua generasi yang berbeda
generasi yang shaleh dan yang lainnya rusak dan menyimpang. Dari
penjelasan Muthahhari di atas, dapat dikatakan bahwa penjelasan yang
disampaikan beliau di atas terkait erat dengan upaya memahami dalam
mengidentifikasi generasi saat ini, sebagai objek dari dunia pendidikan yang
akan hidup di zaman yang berbeda dengan kita. Memahami sifat dan
karakteristik generasi saat ini sangat penting dalam merumuskan metode
pendidikan yang akan diterapkan dalam sebuah lembaga pendidikan. Karena
metode lebih bersifat cara penyampaian pesan agar tujuan dari pesan dan misi
pendidikan sampai sesuai dengan yang diharapkan. Jika pengidentifikasian
objek pendidikan tidak dilakukan atau dilakukan secara tidak
komprehensif maka tujuan dari pendidikan tidak akan tercapai dengan
sendirinya, sehingga generasi yang shaleh yang diharapkan tidak akan
terwujud.
Page 81
61
2. Dunia Pendidikan dalam Menyikapi Perubahan Zaman
Muthahhari dalam bukunya “Islam Menjawab Tantangan Zaman”
mengutarakan pandangannya tentang cara menyikapi perubahan zaman.
Perubahan-perubahan mana yang mesti kita hitung sebagai mengarah pada
kebaikan dan perkembangan mana yang harus kita hitung sebagai mengarah
pada penyimpangan dan kerusakan? Dari mana kita bisa mengetahui bahwa
suatu perubahan keadaan itu baik dak kita mesti bekerja sama atau perubahan
keadaan itu justru buruk sehingga kita harus menentangnya? Apa yang
menjadi sebagai ukuran?
Ukuran umum ialah bahwa kita mesti memperhatikan dengan teliti apa
yang menjadi penyebab terjadinya berbagai macam fenomena yang ada pada
semua zaman, ke mana arah tujuannya, dan apa yang dihasilkannya.
Terkadang, dalam perkembangan ilmu pengetahuan sering muncul manusia
penyembah hawa nafsu yang memanfaatkan ilmu pengetahuan sebagai alat
untuk memeras kantong masyarakat dan moral mereka. Misalnya, ada
manusia yang mengeksploitasi ilmu pengetahuan untuk membuat film-film
yang merusak .47
Dengan demikian, dari pendapat Muthahhari di atas, jika dikaitkan
dalam dunia pendidikan, dapat dikatakan bahwa sikap dunia pendidikan
dalam menghadapi perubahan zaman adalah tidak secara buta menerima
seluruh perkembangan zaman dan tidak seluruhnya menolak perkembangan
zaman. Artinya, dalam penerapannya, dunia pendidikan tidak boleh
kehilangan jati dirinya diakibatkan terlalu ingin menyesuaikan diri dengan
perkembangan zaman, dan tidak boleh pula terlalu tradisionalistis dari sikap
menolak seluruh perkembangan zaman yang menurut pemahamannya tidak
sesuai dengan idealistis orang yang memandangnya.
47
Murtadha Muthahhari, Islam Menjawab Tuntutan Zaman, (Bandung: Yayasan Muthahhari,
1993), h. 48.
Page 82
62
Hendaknya sebuah lembaga pendidikan bersikap seimbang, yaitu
menerima perkembangan zaman yang dapat menunjang keberhasilan
pendidikan dan menolak perkembangan zaman yang akan menimbulkan efek-
efek negatif pada dunia pendidikan, dan tetap menjadikan keimanan
sebagailandasan utama dalam memilih perkembangan mana yang sesuai
dengan misidari sebuah lembaga pendidikan.
F. Pendidikan dan Dekadensi Moral
Dekadensi moral sudah menjadi fenomena umum yang melanda umat
manusia sekarang ini. Terutama peradaban Barat yang menyuarakan kebebasan
telah mengalami kerusakan moral yang luar biasa. Ironisnya budaya Barat yang
sudah mengalami kerusakan moral itu mereka sebarkan ke negeri-negeri muslim.
Akibatnya, masyarakat tertama terkontaminasi dengan budaya Barat, dan pada
akhirnya mengalami kegoncangan dan semakin dekat dengan gaya hidup barat.
Dan Indonesia adalah salah satu korbannya.
Melihat perkembangan terakhir umat Islam di Indonesia tergambar dengan
jelas betapa merosotnya akhlak sebagian umat Islam. Dekadensi moral terjadi
terutama di kalangan remaja. Sementara pembendungannya masih berlarut-larut
dan dengan konsep yang tidak jelas. Rusaknya moral umat tidak terlepas dari
upaya jahat dari pihak luar umat yang dengan sengaja menebarkan berbagai
penyakit moral dan konsepsi agar umat goyah dan berikutnya tumbang.
Pendidikan merupakan salah satu wadah untuk mengatasi masalah dekadensi
moral yang sudah sangat akut di Indonesia.
Moralitas umumnya berkaitan dengan tindakan-tindakan mental dan
perilaku yang dapat dibentuk agar menjadi kebiasaan, misalnya seseorang dapat
dididik agar menjadi seseorang yang berani dan dapat pula dididik agar menjadi
sesorang yang menjaga kesuciannya atau sebaliknya menjadi seseorang yang
selalu menuruti hawa nafsunya, dari penjelasan ini dapat dikatan bahwa bagian
Page 83
63
terbesar dari pendidikan adalah memproduksi manusia sebagaimana yang
diinginkan, karena itu kita dapati banyak aliran-aliran yang mendidik pengikutnya
seperti apa yang diinginkan olehnya, seperti apa yang diinginkan oleh pihak
pemerintah.48
Para ahli ilmu jiwa berpendapat bahwa moral merupakan fitrah manusia.
Artinya, manusia diciptakan untuk saling mengasihi, membantu dan berbuat baik.
Karena itu, jika ia berbuat buruk, misalnya menzalimi orang lain, maka ia akan
merasa tertekan perasaannya. Artinya, dengan potensi moralitas ini, seseorang
merasakan bahwa dia adalah bagian dari masyarakat dan masyarakat adalah
bagian dari dirinya, dan perasaan ini ada pada setiap individu.49
Dengan judul “Pengaruh Kebudayaan Asing”, Dr. Zakiah Drajat dalam
buku kecilnya yang bernama “Membina nilai-nilai moral di Indonesia”
menerangkan macam-macam hal pengaruh dari luaran itu:50
Di antara faktor yang
mempercepat terjadinya dekadansi moral di Indonesia, adalah banyaknya
kebudayaan asing yang diperkenalkan dan dikembangkan dalam masyarakat.
Terutama kebudayaan asing yang sebenarnya bertentangan dengan jiwa pancasila,
misalnya:
Film-film maksiat yang dipertunjukkan di bioskop-bioskop dan kadang-
kadang dalam lingkungan tertentu, dengan reklame dan gambar-gambar maksiat
yang dipasang di mana-mana, telah menjadi pelajaran yang ditiru oleh orang-
orang yang gelisah dan orang-orang yang tidak beriman, terutama anak-anak
muda.
Tempat-tempat maksiat, yang menjalar di tengah kota, di pinggir kota-
kota besar, bahkan telah menjalar ke kota-kota kecil, merupakan tempat-tempat
untuk mempraktekkan pelajaran yang mereka dapati dari melihat gambara atau
48
Murtadha Muthahhari, Dasar-dasar Epistimologi Pendidikan Islam, (Jakarta: Sadra
International Institute, 2011), h. 55. 49
Ibid., h. 46. 50
Zainal Abidin, Memperkembang dan Mempertahankan Pendidikan Islam di Indonesia,
(Jakarta: Bulan Bintang), h. 83.
Page 84
64
menonton film maksiat itu. Bahkan sekarang, kita telah melihat banyaknya “night
club” yang serba indah, lux, seerta dilengkapi dengan hostess yang cantik-cantik.
Buku-buku dan gambar-gambar maksiat, beredar di mana-mana, walaupun
secara resmi dilarang, namun peredarannya berjalan tanpa kendali, sehingga
buku-buku dan gambar-gambar yang merusak moral itu sampai ke tangan anak-
anak dan remaja-remaja kecil, dan menjadi bacaan tidak resmi bagi mereka.
Lebih jauh Dr. Zakiah menutup uraiannya: yang paling pertama akan
menjadi korbannya adalah para remaja, yang dalam diri mereka sedang
berkecamuk segala persoalan dan pertentangan perubahan dari segala segi,
disertai pula oleh kegoncangan rumah tangga dan masayarakat lingkungan.
Dalam Islam, seseorang diharapkan mampu memahami “diri”nya sendiri
dan mampu mengenali statusnya di alam ciptaan ini.51
Kritik utama dari kalangan
kaum intelektual yang ditujukan kepada budaya Barat adalah bahwa budaya
Barat merupakan suatu budaya duniawi yang menyeleweng ke arah keadaan lupa
diri. Dalam budaya ini, seseorang akan menjadi kenal dunia semata. Makin
seseorang sadar akan dunia, makin lupa ia akan dirinya. Inilah penyebab
sebenarnaya keruntuhan umat manusia di Barat. Jika seseorang kehilangan
dirinya sendiri, menurut al-Qur‟an, manfaat apa yang dapat dipetik dari
penguasaan seseorang terhadap dunia?.
Pendidikan berati pengembangan dan pembangunan. Terlepas dari cara
dan tujuannya, pendidikan juga meliputi manusia dan hewan. Demikian pula
pendidikan mental termasuk dalam pengertian pendidikan. Pelatihan tentara untuk
patuh kepada atasan, juga termasuk dalam pendidikan. Sementara itu dalam
pengertian akhlak, masalah keutamaan atau kesucian sangat diperhatikan. Karena
itulah, kata akhlak tidak dapat dipakai untuk menunjukkan tingkah laku hewan.
Misalnya sewaktu mendidik kuda maka tidak dikatakan mengajarkan akhlak
kuda.
51
Murtadha Muthahhari, Manusia dan Agama, (Bandung: PT Mizan Pustaka, 2007), h. 146
Page 85
65
Akhlak, moral atau etika, khusus bagi manusia. Akhlak mengandung
makna kesucian dan kemuliaan. Pendidikan secara terminologi berkaitan dengan
usaha pengembangan dalam bentuk apapun yang diarahkan kepada tujuan dari
pengembangan dalam bentuk apapun yang diarahkan kepada tujuan dari
pengembangan itu sendiri. Sedangkan ilmu akhlak atau etika berkaitan dengan
perbuatan-perbuatan yang berdasarkan kepada etika atau moral, yang standarnya
adalah kesucian atau keutamaan. Karena itulah, perbuatan yang dilakukan secara
alami bukan perbuatan yang berlandaskan etika, bukan perbuatan yang
berlandaskan akhlak, namun tidak berati antara yang alami dan yang etis
keduanya bertentangan, melainkan saling berkaitan khususnya dalam kehidupan
manusia.52
Akhlak yang mulia memegang peranan yang sangat besar dalam
kehidupan seseorang. Orang yang memiliki akhlak mulia juga akan mampu
menghadapi rintangan-rintangan hidup dengan cara yang baik, berbeda dengan
mereka yang tidak memiliki akhlak yang mulia, berbeda dengan mereka yang
tidak memiliki akhlak yang mulia, mereka ini tak ubahnya dengan memelihara
binatang di dalam dirinya yang selalu menggigit dan menyakitinya dan itulah
beban derita yang sangat berkepanjangan.53
Muncul teori baru di kalangan ilmuwan Barat di bidang pendidikan bahwa
pendidikan pada dasarnya adalah pengembangan. Mereka melihat pendidikan
moralitas pendidikan dipandang dengan kacamata rasio bukan dari sisi agama
atau keindahan. Menurut mereka, pendidikan merupakan pengembangan potensi
rasional dan keinginan moralitas saja. Manusia tidak boleh dibiasakan dalam
bentuk apapun, baik itu perkara yang baik ataupun yang jelek. Karena pembiasaan
itu sendiri jelek dan karena manusia apabila terbiasakan sesuatu maka ia akan
tunduk pada peraturannya, dan tidak mungkin akan ditinggalkannya. Jika dia
melakukan sesuatu maka bukan berdasarkan rasio bukan pula dorongan moralitas,
52
Muthahhari, Dasar-dasar Epistimologi Pendidikan Islam, op. cit., h. 67-68. 53
Ibrahim Amini, Asupan Ilahi 2, (Jakarta: Al-Huda, 2011), h. 20
Page 86
66
bukan karena baik atau buruknya, tetapi ia melakukan hanya berdasarkan adat
kebiasaan. Jika dia tinggalkan, dia akan merasa terguncang.54
Muncul pemikiran kritis, “Apakah teori Barat ini benar? Bolehkah
manusia tidak membiasakan diri meskipun terhadap tindakan-tindakan baik?”
Dengan demikian, jelas dalam keyakinan kita bahwa teori Barat ini seratus persen
tidak benar dan tidak dapat dipedomani. Akal dan ilmu menjadi acuan ketika
mengerjakan sesuatu, sehingga seseorang dapat terlepas dari kendali kebiasaan
ataupun pengaruh tabiatnya.55
Dalam pandangan al-Qur‟an, ditemui metode pendidikan yang diangkat
dalam bentuk keteladanan. Untuk meniru hal-hal positif, al-Qur‟an menunjuk
keteladanan yang dapat dipelajari, apabila seseorang mau belajar dan
meneladaninya. Teladan itu adalah pribadi Rasulullah saw, seperti firman-Nya:
Artinya: “Sungguh telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang
baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan
(kedatangan) hari kiamat, dan yang banyak dzikir kepada Allah” (QS. Al-
Ahzab : 21)
Jika seorang individu mau dikatakan mempunyai kepribadian yang bagus,
ia harus menampilkan tindakan-tindakan yang bagus sebagai manifestasi dari
sifat-sifat kepribadiannya yang positif. Sebaliknya, perilaku dan perbuatan
individu yang buruk lahir dari sifat kepribadian yang buruk pula. Ciri-ciri
kepribadian yang buruk menunjukkan struktur kepribadian yang buruk, alias tidak
kokoh.56
54
Muthahhari. Loc. cit., h. 55 55
Ibid., h. 57. 56
Rif‟at Syauqi Nawawi, Kepribadian Qur‟ani, (Jakarta: AMZAH, 2011), h. 109-110
Page 87
67
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan Setelah dipaparkan mengenai pokok-pokok konsep pendidikan
Murtadha Mutahhari yang penulis coba identifikasikan dari seluruh karya-
karya beliau, maka pada bab ini penulis kesimpulan ke dalam poin-poin yang
sistematis.
1. Menurut Muthahhari, pendidikan terkait erat dengan fitrah. Fitrah adalah
dimensi asasi dari pendidikan. Fitrah adalah sesuatu yang melekat dan
hadir dalam diri manusia sejak diciptakannya. Pendidikan berfungsi
mengajarkan kebenaran sesuai dengan sifat dari fitrah yang selalui cinta
kebenaran. Maka, pendidikan yang Islami adalah pendidikan yang
berorientasi pada fitrah itu sendiri, yaitu pendidikan yang berazas pada
nilai-nilai kebenaran hakiki, yaitu nilai-nilai dari Allah SWT sebagai
pencipta dari fitrah itu sendiri. Di sinilah pendidikan Islam memainkan
perannya.
2. Muthahhari menunjukkan bahwa pada diri manusia ada sifat kehewanan
dan kemanusiaannya. Karakteristik khas dari kemanusiaannya ialah iman
dan ilmu. Iman tanpa ilmu mengakibatkan fanatisme dan kemunduran,
takhayul, dan kebodohan. Ilmu tanpa iman akan digunakan untuk
memuaskan kerakusan, kepongahan, ekspansionisme, ambisi, penindasan,
perbudakan, penipuan, dan kecurangan. Muthahhari menegaskan bahwa
Islam adalah satu-satunya agama yang memadukan iman dan ilmu.
3. Kewajiban mencari ilmu merupakan pilar ajaran Islam yang mempunyai
tujuan mulia dan sangat sesuai dengan tuntutan zaman. Keadaan dunia
telah berubah, kebutuhan-kebutuhan masyarakat telah berubah. Zaman
sekarang, tidak satu pun dari bidang kehidupan manusia dapat sejalan dan
menyesuaikan diri dengan keadaan dan tuntutan masyarakat sekarang
kecuali bila disertai ilmu dan belajar.
Page 88
68
4. Upaya untuk memahami dan mengidentifikasi karakteristik generasi saat
ini adalah sesuatu yang penting, sebagai objek dari dunia pendidikan yang
akan hidup di zaman yang berbeda dengan kita. Jika pengidentifikasian
objek pendidikan tidak dilakukan atau dilakukan secara tidak
komprehensif maka tujuan dari pendidikan tidak akan tercapai dengan
sendirinya, sehingga generasi yang shaleh yang diharapkan tidak akan
terwujud.
5. Sikap dunia pendidikan dalam menghadapi perubahan zaman adalah
tidak secara buta menerima seluruh perkembangan zaman dan tidak
seluruhnya menolak perkembangan zaman. Artinya, dalam penerapannya,
dunia pendidikan tidak boleh kehilangan jati dirinya diakibatkan terlalu
ingin menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman, dan tidak boleh
pula terlalu tradisionalis dari sikap menolak seluruh perkembangan zaman
yang menurut pemahamannya tidak sesuai dengan idealisme orang yang
memandangnya. Hendaknya sebuah lembaga pendidikan bersikap
seimbang, yaitu menerima perkembangan zaman yang dapat menunjang
keberhasilan pendidikan dan menolak perkembangan zaman yang akan
menimbulkan efek-efek negatif pada dunia pendidikan, dan tetap
menjadikan keimanan sebagai landasan utama dalam memilih
perkembangan mana yang sesuai dengan misidari sebuah lembaga
pendidikan.
B. Saran
Dalam penyusunan skripsi ini, penulis menyadari bahwa masih banyak
kekurangan yang perlu ditambah dan diperbaiki. Untuk itu dengan penuh
kerendahan hati, penulis ingin memberikan beberapa saran
1. Penulis mengharapkan para pembaca dapat mengembangkan lagi
pemikiran Murtadha Muthahhari.
2. Penulis mengharapkan para pembaca dapat mengembangkan kajian
konsep pendidikan menurut tokoh-tokoh lainnya.
Page 89
69
3. Penulis juga berharap agar dengan adanya skripsi ini bisa memberikan
sebuah perubahan khususnya dunia pendidikan dalam memahami konsep
pendidikan menurut Murtadha Muthahhari.
Page 90
70
DAFTAR PUSTAKA
Amini, Ibrahim, Asupan Ilahi 1, Jakarta: Al-Huda, 2011
……., Asupan Ilahi 2, Jakarta: Al-Huda, 2011
Ashraf, Ali, Horison Baru Pendidikan Islam, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996
Abidin, Zainal, Memperkembang dan MempertahankanPendidikan Islam di
Indonesia, Jakarta: Bulan Bintang
Aly, Noer, Ilmu Pendidikan Islam, Kudus: Perpustakaan kudus
Azwar, Saefudin, Metode Penelitian, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998
Bagir, Haidar, Murtadha Muthahhari Sang Mujahid, Bandung: Yayasan
Muthahhari, 1988
Bakar, Osman, Hierarki Ilmu, Bandung: Mizan, 1998
Hasbullah, Kapita Selekta Pendidikan Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada,1996
HAMKA, Lembaga Hidup, Jakarta: Djajamurni, 1962
……., Lembaga Budi, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983
Labib, Muhsin, Para Filosof; Sebelum dan Sesudah Mulla Sadra, Jakarta: al-
Huda, 2005
Muthahhari, Murtadha, “Tafsir” Holistik Kajian Seputar Relasi Tuhan, Manusia,
dan Alam, Terj. dari Man and Universe oleh Ilyas Hasan, (Jakarta: Citra,
2012)
……., Ceramah-ceramah Seputar Persoalan Penting Agama dan Kehidupan,
(Jakarta: Lentera, 1999)
……., Dasar-Dasar Epistimologi Pendidikan Islam, Jakarta: Sadra International
Institute, 2011
……., Pengantar Pemikiran Shadra: Filsafat Hikmah, terj: Tim penerjemah
Mizan, Bandung: Mizan, 2002
……., Bimbingan Untuk Generasi Muda, Jakarta: Sadra International Institute,
2011
……., Perspektif al-Qur’an tentang Manusia dan Agama, Terj: Haidar Bagir,
Bandung: Mizan, 1995
Page 91
71
……., Pengantar Ilmu-ilmu Islam, Jakarta: Pustaka Azzahra, 2003
……., Keadilan Ilahi; Asas Pandangan Dunia Islam, Terj: Agus Efendi,
Bandung: Mizan, 1995
……., Muhadharat fi ad-Din wa al-Ijtima’, Teheran: Muassasah al-Bi'tsah,1395
H
……., Manusia dan Agama, Bandung: PT Mizan Pustaka, 2007
……., Fitrah, Terj. dari al-Fithrah oleh H. Alif Muhammad, Jakarta: CITRA,
2011
……., Konsep Pendidikan Islam, Terj. dari "Tarbiyatul Islam", Jakarta: Ikra
Kurnia Gemilang, 2005
Mastuhu, Sistem Pendidikan Nasional Visioner, Jakarta: Lentera Hati, 2007
……., Memberdayakan Sistem Pendidikan Islam, Jakarta: LOGOS Wacana Ilmu,
1999
Marimba, Ahmad D., Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, Bandung: al Ma’arif,
1989
Mahbubillah, Pemikiran Murtadha Muthahhari Tentang Manusia dan Tujuan
Pendidikan Islam, IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2003. Tidak
dipublikasikan
Nata, Abuddin, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: KENCANA, 2012
Nizar, Samsul, Memperbincangkan Dinamika Intelektual dan Pemikiran HAMKA
Tentang Pendidikan Islam, Jakarta: Kencana, 2008
Nawawi, Rif’at Syauqi, Kepribadian Qur’ani, Jakarta: AMZAH, 2011
Pedoman Penulisan Skripsi, Jakarta: FITK UIN Syarif Hidayatullah, 2013
Raharjo, M. Dawam, Konsepsi Manusia Menurut Islam, Jakarta: Grafitti Press,
1987
Rahmat, Jalaluddin, et. al, “Kuliah-kuliah Tasawuf”, dalam Husein Shahab,
Tasawuf dalam Perspektif Mazhab Etika, Jakarta: Pustaka Hidayah, 2000
Shihab, Quraish, Wawasan Al-Qur’an, Bandung: Mizan, 2000
……., Membumikan Al-Qur’an, Bandung: Mizan, 2002
……., Membumikan al-Qur`an : Fungsi dan Peran Wahyu Dalam Kehidupan
Masyaraka,, Bandung: Mizan, 1995
Page 92
72
Syamsuri, Manusia Sempurna Perspektif Murtadha Muthahhari, Penelitian Dosen
Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, UIN, 2001
Sobah, Izkar, Kejahatan dan Keadilan Tuhan Dalam Perspektif Teologi Murtadha
Muthahhari, Aqidah Filsafat: Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, 2006
Soejono, dkk, Metode Penelitian ; Suatu Pemikiran dan Penerapan, Jakarta :
Rineka Cipta,1999
Soekanto, Soerjono, Pokok - Pokok Sosiologi Hukum, Jakarta: Rajawali Pers,
1998
Saefuddin, A.M., Desekularisasi Pemikiran Landasan Islamisasi, Bandung:
Mizan, 1991
Tafsir, Ahmad, Ilmu Pendidikan Islami, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2012
……., Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam, Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2007
Zainuddin, Paradigma Pendidikan Terpadu, Malang: UIN MALANG PRESS,
2008
Zuhairini, dkk. Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 2004
Zuhriadi, Konsep Pendidikan Akhlak Murtadha Muthahhari, UIN Sunan Kalijaga,
Yogyakarta, 2009. Tidak dipublikasikan
http://berbagi-makalah.blogspot.com/2012/06/dasar-dasar-pendidikan-islam.html
Page 93
r/I
DAFTAR UJI RBFERENSI
Nama : IfahNabilahZahidah
Nim : 109011000288
Jurusan : Pendidikan Agama Islam
Judul skripsi : Konsep Pendidikan Menurut Murtadha Muthahhari
NO Referensi Paraf Pembimbing
I Ibrahim Amini, Antpan Ilahi I, Jakarta: Al-Huda, 201 1
2. Ibrahim Amini. Asuoan llahi 2. Jakarta: Al-Huda. 2011aJ . Ali Ashral Horison Baru Penclidikan Islam, Jakarta: Pustaka
Firdaus, 1996
4. Zainal Abidin, Memperkembang dan Mempertaltankan
Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Bulan Bintang
5. Noer Aly, Ilmu Pendidikan Islam, Kudus: Perpustakaan kudus
6. Saefudin Azurar, Metode Penelitian, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
1998
7. Haidar Bagir, Murtadha Muthahhari Sang Mujahid, Bandung:
Yayasan Muthahhari, 1 988
8 . Osman Bakar, Hierarki llmu,Bandung: Mizan, 1998
9. Hasbullah, Kapita Selekta Pendidikan Islam, Jakarta: PT Raj
Grafindo Persada.1996
t0. HAMKA, Lembaga Hidup, Jakarta: Djajamumi, 1962
u HAMKA, Lembaga Budi,Iakarta: Pustaka Panjimas, 1983
t2 . Muhsin Labib, Para Filosof; Sebelum dan Sesudah Mulla Sadre
Jakarta: al-Huda,2005
13. Murtadha Muthahhari, "Tafsir" Holistik Kajian
Tuhan, Manusia, dan Alam, Terj. dari Man and
Ilyas Hasan, (Jakarta: Citra, 2012)
Seputar Relasi
Universe oleh
14. Murtadha Muthahhari, Ceramah-ceramalt Seputar Persoalan
Page 94
,/I
Penting Agama dan Kehidupan, Jakarta: Lentera, 1999 t1 l T
15. Murtadha Muthahhari, Dasar-Dasar Epistimologi Pendidikan
Islam, Jakarta: Sadra International Institute. 2011u">
16. Murtadha Muthahhari, Pengantar Pemikiran Shadra: Filsafot
Hihnah, terj : Tim penerj emah Mizan, B andung : Mizan, 2002
17 . Murtadha Muthahhari, Bimbingan Untuk Generasi Muda,
Jakarta: Sadra International Institute. 2011
18 . Murtadha Muthahhari, Perspektif al-Qur'an tentang Manusia dan
Agama, Terj: Haidar Bagir, Bandung: Mizan, 1995
19. Murtadha Muthahhari, Pengantar llmu-ilnru Islam, Jakarta:
Pustaka Azzahra,2003
20. Murtadha Muthahhari, Keadilan llahi; Asas Pandangan Dunia
Islam, Terj: Agus Efendi, Bandung: Mizan,1995
2t . Murtadha Muthahhari, Islam Menjawab Tuntutan Zaman,
Bandung: Yayasan Muthahhari, 1993\
22. Murtadha Muthahhari, Muhadharat fi ad-Din wa al-Ijtima',
Teheran: Muassasah al-Bi'tsah. I 395 H
23. Murtadha Muthahhari, Manusia dan Agama, Bandung: PT Mizan
Pustaka.2007
24. Murtadha Muthahhari, Fitrah, Terj. dari al-Fithrah oleh H. Alif
Muhammad, Jakarta: CITRA, 2011
25. Murtadha Muthahhari, Konsep Pendidikan Islam, Terj. da
"Tarbiyatul Islam", Jakarta: Ikra Kurnia Gemilang, 2005
26. Mastuhu, Sistem Pendidikan Nasional Visioner, Jakarta: Lentera
Hati,2007
27. Mastuhu, Memberdayakan Sistem Pendidikan Islsm, Jakarta:
LOGOS Wacana Ilmu, 1999 l^r28. Ahmad D Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam,
Bandung: al Ma'arif, 1989li" -"\,J
29. Mahbubillah, Pemikiran Murtadha Mtnhahhari Tentang Marutsia
Page 95
'ltI
dan Tujuan Pendidikan Islam,IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta,
2003. Tidak dipublikasikan ll.^430. Abuddin Nata, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: KENCANA,
2012I
31 . Samsul Nizar, Memperbincangkan Dinamika Intelekhrul dan
Pemikiran HAMKA Tentang Pendidikan Islant, Jakarta: Kencana,
2008
32. Rif at Syauqi Nawawi, Kepribaclian Qur'ani, Jakarta: AMZAH,
2OIT
J J . Pedoman Penulisan Skripsi, Jakarta: FITK UIN Syarif
Hidayatullah,2013
34. M. Dawam Raharjo, Konsepsi Manusia Memtrut Islam, Jakarta:
Grafitti Press. 1987
35. Jalaluddin Rahmat, et. al, "Kuliah-htliah Tasawttf', dalam
Husein Shahab, Tasawuf dalant Perspektif Mazhab Etika, Jakarta:
Pustaka Hidayah, 2000
36. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur'an, Bandung: Mizan, 2000
J t - Quraish Shihab, Memb umikan Al- Qur' an, B andung : Mizan, 2002
38. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur'an : Fungsi dan Peran
Wahyu D al am Kehi hry an Masy araka,, B andung ; Mizan, 199 5
39. Syamsuri, Manusia Sempurna Perspektif Murtadha Muthahhari,
Penelitian Dosen Fakultas Ushuluddin dan Filsafat. UIN. 2001
40. Izkar Sobah, Kejahatan dqn Keadilan Tuhan Dalam
Teologi Murtadha Muthahhari, Aqidah Filsafat:
Ushuluddin dan Filsafat . 2006
Perspektf
Fakultas
4r. Soejono, dkk, Metode Penelitian ; Suatu Pemikiran dan
Penerapan, Jakarta : Rineka Cipta,l999
42. Soerjono Soekanto, Pokok - Pokok Sosiologi Httkum, Jakarta:
Rajawali Pers, 1998 [,{^t43. A.M. Saefu ddin, Des ekularis asi P emikiran Landas an Islamis asi,
Page 96
I
Bandung: Mizan,l99ll l . il
t l
44. Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Islami, Bandung: PT Remaja
Rosdakarya,2012
ll\2,_lt,' - /
45. Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidiknn Dalam Perspektif Islam,
Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2007
46. Zainuddin, Paradignta Pendidikan Terpadu, Malang: UIN
MALANG PRESS, 2OO8
47. Zuhairini, dld<. Filsafat Pendidikan Islant, Jakarta: Burni Aksara,
2004
48. Zuhiadi, Konsep Pendidikan Akhlak Murtadha Muthahhari, UIN
Sunan Kalij aga, Yogyakarta, 2009. Tidak dipublikasikan
49. http://berbagi-rnakalah.blogspot.com/20 I 2/06/dasar-dasar-
pendidikan-i slam.htrnl t\/\-Lu-/
Jakarta, 07 Mei 2014 I
fl'*-J\V-LA-/'^---[ - /
Dr. Muhammad Dahlan. M.Hum
Page 97
KEMENTERIAN AGAMA
FORM (FR)
No. Dokumen : FITK-FR-AKD-081
UIN JAKARTA Tgl. Terbit : 1 Maret 2010
FITK No. Revisi: : 02 Jl. Ir. H. Juanda No 95 Ciputat 15412 Indonesia Hal : 1/1
SURAT BIMBINGAN SKRIPSI Nomor : Un.01/F.1/KM.01.3/......../20103 Jakarta, 19 Juni 2014
Lamp. : -
Hal : Bimbingan Skripsi
Kepada Yth.
Dr. Muhammad Dahlan, M.Hum Pembimbing Skripsi
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
Assalamu’alaikum wr.wb.
Dengan ini diharapkan kesediaan Saudara untuk menjadi pembimbing I/II
(materi/teknis) penulisan skripsi mahasiswa:
Nama : Ifah Nabilah Zahidah
NIM : 109011000288
Jurusan : Pendidikan Agama Islam
Semester : IX (Sembilan)
Judul Skripsi : Konsep Pendidikan MurtadhaMuthahhari
Judul tersebut telah disetujui oleh Jurusan yang bersangkutan pada tanggal
...................... , abstraksi/outline terlampir. Saudara dapat melakukan perubahan
redaksional pada judul tersebut. Apabila perubahan substansial dianggap perlu, mohon
pembimbing menghubungi Jurusan terlebih dahulu.
Bimbingan skripsi ini diharapkan selesai dalam waktu 6 (enam) bulan, dan dapat
diperpanjang selama 6 (enam) bulan berikutnya tanpa surat perpanjangan.
Atas perhatian dan kerja sama Saudara, kami ucapkan terima kasih.
Wassalamu’alaikum wr.wb.
a.n. Dekan
Kajur Pendidikan Agama Islam
Dr. Abdul Majid Khon, M.Ag
NIP. 19580707 198703 1 005 Tembusan:
1. Dekan FITK
2. Mahasiswa ybs.