Top Banner
45 KONSEP PARTISIPASI MASYARAKAT DIENG DALAM PELAKSANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN PARIWISATA Susilo, S.S., M.Si Jurusan Hospitality S1 Sekolah Tinggi Pariwisata Ambarrukmo (STIPRAM) Yogyakarta, Jl. Ahmad Yani, Ring Road Timur No. 52 Yogyakarta Telp. (0274) 485650, Fax. (0274) 485214 Email: [email protected] ABSTRACT Dieng tourism resources is a unity between natural resources, archeological, and community life. These conditions resulted in nearly all processes of tourism development will affect people's lives, and conversely, any community activities will also affect tourism. In every aspect of tourism development needs to involve the community as part of the development impact and receiver. Dieng community participation in social and cultural activities is one manifestation of ngaruhake norm. Ngaruhake is a social norm that aims to maintain harmony within the community scale, but does not apply to a public scale. Participation is based on a moral obligation to realize the common interests or helping others, not for himself personally. Levels of participation can be divided into three groups, namely mokoki (main actors), ngombyongi (supporting actor), and masabodoa (not involved). Spatially, greater area of space, community participation will be lower and the other hand, narrow region of space will increase community participation. Key words: participation, tourism, Dieng PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Pembangunan pariwisata berkelanjutan adalah pembangunan pariwisata yang didukung secara ekologis sekaligus layak secara ekonomi, serta adil secara etika dan sosial masyarakat. Pembangunan berkelanjutan dapat diartikan sebagai upaya terpadu dan terorganisasi untuk mengembangkan kualitas hidup dengan cara mengatur penyediaan, pengembangan, pemanfaatan, dan pemeliharaan sumber daya secara berkelanjutan (WTO, 2004:7). Berdasarkan konsep pembangunan berkelanjutan tersebut di atas, aspek sosial menjadi salah satu aspek penting yang harus diperhatikan dalam setiap pengembangan pariwisata. Peran penting aspek sosial dipertegas oleh Murphy (1985) yang menyatakan bahwa pengembangan pariwisata merupakan kegiatan yang berbasis masyarakat. Segala sumber daya dan keunikan, baik elemen fisik maupun non fisik yang melekat pada suatu masyarakat merupakan unsur penggerak utama kegiatan pariwisata. Masyarakat lokal yang hidup berdampingan dengan suatu objek wisata menjadi bagian dari sistem ekologi yang saling terkait. Proses pengembangan pariwisata yang berada di suatu lingkungan yang berdampingan dengan kehidupan masyarakat memiliki konsekuensi perlu
14

KONSEP PARTISIPASI MASYARAKAT DIENG DALAM …

Oct 15, 2021

Download

Documents

dariahiddleston
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: KONSEP PARTISIPASI MASYARAKAT DIENG DALAM …

45

KONSEP PARTISIPASI MASYARAKAT DIENGDALAM PELAKSANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN

PARIWISATA

Susilo, S.S., M.SiJurusan Hospitality S1

Sekolah Tinggi Pariwisata Ambarrukmo (STIPRAM) Yogyakarta,Jl. Ahmad Yani, Ring Road Timur No. 52 Yogyakarta

Telp. (0274) 485650, Fax. (0274) 485214Email: [email protected]

ABSTRACT

Dieng tourism resources is a unity between natural resources, archeological, and community life. These conditions resulted in nearly all processes of tourism development will affect people's lives, and conversely, any community activities will also affect tourism. In every aspect of tourism development needs to involve the community as part of the development impact and receiver. Dieng community participation in social and cultural activities is one manifestation of ngaruhake norm. Ngaruhake is a social norm that aims to maintain harmony within the community scale, but does not apply to a public scale. Participation is based on a moral obligation to realize the common interests or helping others, not for himself personally. Levels of participation can be divided into three groups, namely mokoki (main actors), ngombyongi (supporting actor), and masabodoa (not involved). Spatially, greater area of space, community participation will be lower and the other hand, narrow region of space will increase community participation.

Key words: participation, tourism, Dieng

PENDAHULUAN

1. Latar BelakangPembangunan pariwisata berkelanjutan

adalah pembangunan pariwisata yang didukung secara ekologis sekaligus layak secara ekonomi, serta adil secara etika dan sosial masyarakat. Pembangunan berkelanjutan dapat diartikan sebagai upaya terpadu dan terorganisasi untuk mengembangkan kualitas hidup dengan cara mengatur penyediaan, pengembangan, pemanfaatan, dan pemeliharaan sumber daya secara berkelanjutan (WTO, 2004:7).

Berdasarkan konsep pembangunan berkelanjutan tersebut di atas, aspek sosial menjadi salah satu aspek penting

yang harus diperhatikan dalam setiap pengembangan pariwisata. Peran penting aspek sosial dipertegas oleh Murphy (1985) yang menyatakan bahwa pengembangan pariwisata merupakan kegiatan yang berbasis masyarakat. Segala sumber daya dan keunikan, baik elemen fisik maupun non fisik yang melekat pada suatu masyarakat merupakan unsur penggerak utama kegiatan pariwisata. Masyarakat lokal yang hidup berdampingan dengan suatu objek wisata menjadi bagian dari sistem ekologi yang saling terkait.

Proses pengembangan pariwisata yang berada di suatu lingkungan yang berdampingan dengan kehidupan masyarakat memiliki konsekuensi perlu

Page 2: KONSEP PARTISIPASI MASYARAKAT DIENG DALAM …

46 JURNAL Kepariwisataan Volume 12 Nomor 3 September 2018 : 45-58

melibatkan masyarakat dalam setiap aspek pengembangannya. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan kesempatan sebesar-besarnya kepada masyarakat sebagai bagian dari pengembangan pariwisata, sekaligus penerima dampak manfaat (benefit) dari pengembangan kegiatan yang dilakukan, serta untuk mendukung keberhasilan pengembangan pariwisata dalam jangka panjang.

Salah satu kasus yang menarik untuk dikaji terkait dengan keterlibatan masyarakat dalam pengembangan pariwisata adalah Dieng. Hal ini mengingat bahwa sumber daya pariwisata Dieng merupakan satu kesatuan antara sumber daya alam, kepurbakalaan, dan kehidupan masyarakat. Kondisi demikian menjadikan hampir semua proses pembangunan kepariwisataan akan berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat setempat, dan sebaliknya setiap kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat akan berpengaruh juga terhadap kondisi kepariwisataan Dieng.

Pada awal abad ke-20, Dieng sudah dimanfaatkan untuk tujuan wisata. Sejumlah foto di website KITLV Belanda memperlihatkan bahwa pada sekitar tahun 1900-1937 Dieng telah dikunjungi oleh wisatawan. Namun demikian, pengembangan secara intensif baru dilakukan mulai tahun 1977 melalui SK. Gub. Kepala Daerah Tingkat I Jawa Tengah No. H.K. 14/1977 tentang Pembentukan Daerah Kesatuan Pariwisata Dataran Tinggi Dieng dan Pembentukan Badan Pengembangan Pariwisata Dataran Tinggi Dieng (Dirjen Pariwisata Dephub, 1977:XIII-6).

Wilayah pengembangan pariwisata berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Jateng No HK. 14/1977 tanggal 14 Februari 1977 meliputi delapan desa, yaitu Desa Dieng Wetan, Dieng Kulon, Sembungan, Karangtengah, Kepakisan, Pekasiran,

Tieng, dan Bakal. Namun demikian, dalam kenyataannya kegiatan pariwisata banyak terpusat di wilayah Desa Dieng Wetan dan Dieng Kulon. Berdasarkan observasi di lapangan, objek wisata di luar kedua desa tersebut tidak banyak dikunjungi wisatawan dan kegiatan usaha di bidang pariwisata yang dilakukan penduduk tidak berkembang.

Gambar 1. Promosi Wisata Dieng Tahun 1910 dan Wisatawan Eropa ke Dieng pada

Tahun 1925 (Sumber: Dokumentasi KITLV)

Kondisi umum masyarakat di Desa Dieng Wetan dan Dieng Kulon relatif sama, yaitu sebagian besar penduduk beragama Islam dan bermatapencaharian sebagai petani dengan tingkat pendidikan rata-rata relatif masih rendah. Dalam kehidupan masyarakat, hubungan antarwarga masih sangat akrab, ditandai dengan saling mengenal di antara warga, saling menyapa ketika berpapasan atau berjumpa di suatu tempat. Kebiasaan saling membantu di antara warga masih kental seperti ketika ada salah satu warga yang sedang menggelar

Page 3: KONSEP PARTISIPASI MASYARAKAT DIENG DALAM …

47Susilo, S.s., M.si :Konsep Partisipasi Masyarakat Dieng dalam Pelaksanaan Program Pengembangan Pariwisata

acara hajatan (duwe gawe) atau ketika ada warga yang sedang mengalami musibah.

Kegiatan ekonomi yang dominan dilakukan oleh masyarakat Dieng pada umumnya adalah sebagai petani kentang dengan hasil usaha di atas rata-rata hasil usaha lainnya. Budidaya tanaman kentang mulai dikembangkan warga Dieng pada tahun 1980-an. Ketertarikan warga ini dimulai setelah pengusaha dari Bandung membudidayakan kentang di Dieng dan hasilnya sangat menguntungkan. Pada tahun 1985–1995 tanaman kentang dibudidayakan secara besar-besaran dan mampu meningkatkan kesejahteraan petani. Tahun 1990-an, mobil-mobil merk terkenal keluaran terbaru menjadi simbol status sebagian petani Dieng (Kompas, 29 Mei 2000).

Keuntungan hasil budidaya kentang telah mendorong sebagian warga untuk memanfaatkan lahan yang dianggap tidak produktif sebagai lahan pertanian kentang. Area situs dan lereng bukit yang semula merupakan lahan konservasi kemudian ditebang dan diganti dengan tanaman kentang. Aktivitas pertanian yang dilakukan warga sering dianggap mengganggu kegiatan pariwisata, seperti penimbunan pupuk di sepanjang jalan yang menimbulkan bahu kurang sedap dan pipa saluran air menjadi pemandangan umum

yang banyak ditemui di wilayah Dieng dan sekitarnya. Dampak lainnya berupa erosi tanah sangat tinggi dan pada saat musim penghujan sering terjadi longsor dan jalan-jalan digenangi lumpur. Kondisi ini terkadng menyebabkan adanya anggapan dari Pemerintah Daerah atau pelaku pariwisata bahwa masyarakat Dieng kurang berpartisipasi di dalam pengembangan pariwisata.

2. Rumusan Masalah

Dalam kasus pengembangan pariwisata Dieng, berbagai peluang usaha dan bekerja di bidang pariwisata sebenarnya sangat terbuka untuk warga Dieng. Dalam kenyataannya, peluang usaha yang ada kurang dimanfaatkan secara maksimal oleh warga Dieng sehingga sebagian peluang tersebut dimanfaatkan oleh pelaku usaha dari luar Dieng. Kegiatan usaha biasanya dilakukan sebagai usaha sampingan di luar pertanian. Di sisi lain, antusias warga untuk melakukan aktivitas budaya sebagai atraksi wisata justru lebih menonjol. Hal ini terlihat dari kegiatan pentas kesenian secara rutin di lingkungan objek wisata, upacara ritual potong rambut gimbal sebagai atraksi wisata, dan Pekan Budaya Dieng sebagai even budaya dan pariwisata masyarakat Dieng.

Davies (1991) dalam Soetomo (2006:82)

Gambar 2. Aktivitas Pertanian Penduduk Dieng

Page 4: KONSEP PARTISIPASI MASYARAKAT DIENG DALAM …

48 JURNAL Kepariwisataan Volume 12 Nomor 3 September 2018 : 45-58

menyatakan bahwa elemen-elemen dalam komunitas adalah lokalitas, hubungan emosional, keterlibatan sosial, kohesi sosial, dan kepentingan bersama. Dalam kehidupan bersama, elemen-elemen tersebut menjadi pendorong tumbuhnya jaringan sosial dalam komunitas yang dibangun, baik melalui interaksi dan relasi sosial yang bersifat formal maupun informal. Jaringan sosial tersebut mempunyai kapasitas untuk mendorong tindakan individu maupun tindakan kolektif dalam menghadapi berbagai persoalan.

Sejalan dengan hal tersebut di atas, penelitian ini mencoba untuk mengetahui jaringan sosial yang mendasari partisipasi masyarakat Dieng dalam kegiatan pengembangan pariwisata. Masalah yang dirumuskan dalam pertanyaan penelitian ini adalah: “seperti apa dan bagaimana parisipasi masyarakat Dieng dalam pelaksanaan program pengembangan pariwisata?”

TINJAUAN PUSTAKAPengertian partisipasi menurut

Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah ”peran serta”. UNHCS (Parwoto, 1997) menekankan bahwa partisipasi adalah pelibatan aktif tanpa disuruh untuk melaksanakan keputusan yang langsung menyangkut kehidupan mereka. Sanoff (1990) mendefinisikan partisipasi sebagai interaksi langsung dari individu-individu dalam membahas dan memahami sejumlah hal atau nilai-nilai yang dianggap penting bagi semua. Dua hal yang digarisbawahi adalah pertama, individu yang terlibat dan dilibatkan, dan kedua, kesepakatan bersama atau substansi yang dibahas dan dipahami bersama. Berdasarkan definisi yang dikemukakan oleh para ahli, dapat disimpulkan bahwa partisipasi masyarakat merupakan pelibatan diri secara aktif dan suka rela dari tiap-tiap individu masyarakat

dalam suatu kegiatan yang merupakan hasil kesepakatan bersama dengan tujuan untuk kepentingan bersama. Tingkatan partisipasi masyarakat menurut Arnstein (1969) dalam Budihardjo (2002) dibedakan menjadi delapan tingkatan, yaitu 1) manipulasi (manipulation), 2)_terapi (theraphy), 3) pemberitahuan (informing), 4) konsultasi (consultatation), 5) penenteraman (placation), 6) kemitraan (partnership), 7) pendelegasian kekuasaan (delegated power), dan 8) kontrol masyarakat (citizen control).

Pertumbuhan dan perkembangan partisipasi masyarakat dalam pembangunan sangat ditentukan oleh 3 (tiga) unsur pokok, yaitu: adanya kemauan, kesempatan, dan kemampuan untuk berpartisipasi (Mardikanto, 2003). Kesuksesan dan kegagalan partisiapasi masyarakat dalam proses pembangunan dapat dibedakan menjadi faktor internal dan eksternal (Setiawan, 2003: 21-22). Faktor internal menyangkut sejarah, struktur dan kapasitas organisasi, sumberdaya yang dimiliki, dan kepemimpinan komunitas. Faktor eksternal berasal dari luar komunitas, meliputi dua aspek, yaitu menyangkut sistem sosial-politik makro dan berkaitan dengan ada tidaknya agen-agen perantara (intermediary agencies).

Definisi pariwisata menurut UU No. 10 Tahun 2009 adalah berbagai macam kegiatan wisata dan didukung berbagai fasilitas serta layanan yang disediakan oleh masyarakat, pengusaha, Pemerintah, dan Pemerintah Daerah. Sebagai salah satu pemangku kepentingan, masyarakat berperan sebagai tuan rumah dan merupakan pihak yang terkena dampak langsung dari kegiatan kepariwisataan. Wearing (2001) menegaskan bahwa keberhasilan industri pariwisata dalam jangka panjang sangat tergantung dari tingkat penerimaan dan dukungan komunitas lokal.

Murphy (1995) mengemukakan

Page 5: KONSEP PARTISIPASI MASYARAKAT DIENG DALAM …

49Susilo, S.s., M.si :Konsep Partisipasi Masyarakat Dieng dalam Pelaksanaan Program Pengembangan Pariwisata

bahwa kegiatan pariwisata pada dasarnya merupakan kegiatan berbasis komunitas. Segala sumberdaya dan keunikan komunitas lokal merupakan penggerak kegiatan pariwisata. Menurut Drake (1991) Partisipasi masyarakat lokal dalam pengembangan pariwisata dapat dikelompokkan ke dalam 3 (tiga) area, yaitu: 1) tahap perencanaan (planning stage), 2) implementasi atau pelaksanaan (implementation stage), serta 3) dalam hal mendapatkan manfaat atau keuntungan (share benefits) baik secara ekonomi maupun sosial budaya.

METODE PENELITIANDalam penelitian ini, fokus penelitian

adalah partisipasi masyarakat dalam pengembangan pariwisata dan lokus penelitian meliputi Desa Dieng Wetan dan Dieng Kulon. Pemilihan kedua desa ini dimaksudkan bukan untuk dibandingkan tetapi sebagai satu entitas wilayah kajian. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan fenomenologis yang berusaha memahami arti peristiwa dalam situasi tertentu dan merupakan pengertian interpretatif dalam pemahaman manusia (Moleong 2005:15).

Data yang dianalisis diperoleh melalui wawancara dan observasi lapangan, meliputi kegiatan keagamaan, sosial, adat dan tradisi, kesenian, usaha di bidang pariwisata, dan perencanaan program pengembangan pariwisata. Wawancara dilakukan secara mendalam (in-depth interview) kepada informan yang dianggap memiliki kompetensi terhadap objek yang diteliti. Informan dalam penelitian ini berasal dari instansi pemerintah, masyarakat, dan Lembaga Swadaya Masyarakat.

Teknik yang digunakan adalah wawancara semi terstruktur yaitu dengan menanyakan sejumlah pertanyaan yang sudah disusun secara terstruktur kemudian

diperdalam dengan meminta keterangan lebih lanjut (Moleong, 2005). Sifat wawancara adalah open-ended, artinya wawancara dilakukan secara simultan, tanpa memberikan batasan/arahan terhadap jawaban yang diberikan oleh informan (bebas). Hasil wawancara direkam dan dituangkan ke dalam log book dan menjadi pedoman peneliti dalam menganalisis data.

Analisis data dilakukan secara induktif dengan menggunakan metode deskriptif kualitatif, yakni mendeskripsikan secara terperinci dan menyeluruh terhadap pandangan atau pernyataan dari informan atau narasumber yang kemudian dijadikan dasar untuk menyusun unit informasi dan tema-tema serta menginterpretasikan dan suatu kesimpulan terkait dengan partisipasi masyarakat dalam pengembangan kepariwisataan Dieng. Unit analisis tersebut merupakan tema-tema yang muncul dari tanggapan dan pandangan masyarakat terhadap konsep partisipasi dan pengembangan kepariwisataan Dieng.

Tahapan/langkah-langkah dalam penelitian ini adalah: (1) tahap persiapan yang mencakup kegiatan pengkajian berbagai literatur (literature review) dan perumusan kerangka penelitian, satuan analisis, dan alat pengumpulan data; (2)_tahap pengumpulan data di lapangan melalui wawancara dan observasi lapangan; (3)_tahap analisis data yang mencakup pengecekan data, pengelompokan unit-unit informasi yang diangkat sebagai tema-tema, dan pengkategorian data; dan (4)_tahap penarikan kesimpulan dan rekomendasi.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

1) Ngaruhake sebagai dasar partisipasi masyarakatSecara harafiah, ngaruhake berarti

“ngajak guneman” atau mengajak berbicara

Page 6: KONSEP PARTISIPASI MASYARAKAT DIENG DALAM …

50 JURNAL Kepariwisataan Volume 12 Nomor 3 September 2018 : 45-58

(Poerwadarminta, 1939:19), dalam kata lain “ngaruh-aruhi” yang berarti menyapa (Mangunsuwito, 2007: 301). Ngaruhake di dalam kehidupan masyarakat Dieng memiliki makna yang lebih luas yaitu sebagai suatu kebiasaan untuk menghormati, memperhatikan dan berempati terhadap keadaan orang lain, dan berpartisipasi dalam suatu kegiatan kemasyarakatan. Ngaruhake dalam konteks menghormati orang lain dilakukan dalam bentuk menyapa, meminta restu atau persetujuan orang yang dituakan, dan memberitahu tetangga sekitar ketika akan menggelar hajatan. Ngaruhake dalam konteks memberi perhatian dan berempati terhadap keadaan seseorang dapat diwujudkan dalam bentuk mengunjungi, memberi bantuan barang, informasi, tenaga, uang, ketrampilan, atau pikiran. Dalam konteks memberi perhatian dan melibatkan diri pada suatu kegiatan kemasyarakatan, ngaruhake diwujudkan dalam bentuk kehadiran, memberi bantuan barang, uang, informasi, tenaga, ketrampilan, atau pikiran.

Ngaruhake dapat dikatakan sebagai suatu norma sosial yang bertujuan untuk menjaga kerukunan warga. Kerukunan merupakan salah satu prinsip yang dipegang orang Jawa untuk mempertahankan kehidupan bermasyarakat dalam keadaan yang harmonis (Mulder (1978) dalam Suseno, 2003:39). Dalam kehidupan masyarakat terdapat prinsip tepa selira yang artinya setiap orang harus bertoleransi dan memberikan perhatian kepada orang lain. Dalam menjalani kehidupan bermasyarakat, orang Jawa juga dituntut untuk “bisa ajur ajer” atau mampu beradaptasi, menyeleksi, dan mampu menempatkan dirinya secara adaptif di mana pun berada (Mulyana, 2006:2).

Hubungan antarwarga dalam kebiasaan ngaruhake didasarkan oleh prinsip reciprocity atau timbal balik. Siapa yang membantu orang lain yang membutuhkan

bantuan, maka suatu saat pasti akan dibantu ketika membutuhkan bantuan. Hal ini sejalan dengan pandangan hidup “sapa nandur kabecikan, mesti bakal ngunduh” atau “siapa menanam kebaikan pasti akan memetik hasilnya” (Haidar, 2008). Dalam konsep resiprositas tersebut, tidak ada hukum yang secara ketat mengontrol, hanya moral yang mendorong masing-masing warga untuk menerima kebiasaan sebagai suatu kebenaran yang tidak boleh dilanggar.

Berbagai tuntutan dalam menjalankan kehidupan bermasyarakat tersebut memunculkan adanya sanksi sosial bagi warga yang tidak menjalankan norma hidup bersama. Bentuk sanksi sosial bagi warga yang tidak pernah ngaruhake di antaranya adalah dipergunjingkan atau tidak dibantu ketika menggelar acara hajatan atau sedang mengalami musibah. Seorang warga yang tidak pernah membantu tetangga sekitar, dapat dipastikan warga tersebut tidak akan dibantu oleh tetangga sekitarnya. Penerapan sanksi sosial tersebut lebih nyata dan dirasakan di lingkup wilayah yang lebih sempit terutama lingkup wilayah Rukun Tetangga yang memiliki karakter hubungan antarwarga masih sangat intensif.

Kebiasaan ngaruhake dapat dikategorikan dalam bentuk simbolis dan konkrit. Simbolisasi ngaruhake di antaranya dalam bentuk sumbangan barang/uang atau membagi makanan kepada tetangga (munjung atau anter-anter). Secara konkrit, ngaruhake dapat diwujudkan dalam bentuk sapaan, komunikasi, kunjungan dan bantuan di antara warga, kehadiran dalam suatu acara, serta keterlibatan dalam suatu kegiatan bersama. Manifestasi ngaruhake sebagai bentuk penghormatan kepada orang yang dituakan (sesepuh) di antaranya adalah meminta nasehat atau persetujuan ketika akan melaksanakan suatu kegiatan bersama.

Kebiasaan ngaruhake untuk saling membantu dan bekerjasama dalam suatu

Page 7: KONSEP PARTISIPASI MASYARAKAT DIENG DALAM …

51Susilo, S.s., M.si :Konsep Partisipasi Masyarakat Dieng dalam Pelaksanaan Program Pengembangan Pariwisata

kegiatan sangat terkait dengan kebiasaan gotong-royong yang telah berjalan dalam kehidupan masyarakat Dieng. Gotong-royong merupakan bentuk kerja sama yang spontan, serta mengundang unsur-unsur timbal balik yang bersifat sukarela untuk memenuhui kebutuhan insidentil maupun yang berkelangsungan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan bersama, baik material maupun spiritual (Syamsi, 1986). Hal ini sesuai dengan pendapat Bintarto (1980) bahwa gotong-royong dilaksanakan oleh sekelompok penduduk di suatu daerah yang datang membantu atau menawarkan tenaga tanpa pamrih, atau dengan lain perkataan secara sukarela menolong secara bersama (Munawaroh, 2006:2). Hasil keterlibatan seseorang dalam kegiatan tersebut dirasakan secara tidak langsung dan biasanya bersifat sosial dan budaya, seperti penghargaan, kemuliaan, kewibawaan, popularitas, sanjungan, berkah, dan yang utama adalah tidak terkena sanksi sosial atau tekanan moral dari kelompok atau masyarakat.

Bentuk gotong-royong dalam kehidupan masyarakat Dieng di antaranya diwujudkan dalam kegiatan musyawarah (rembug warga), kerja bakti, penggalangan dana, dan sambatan. Musyawarah umumnya dilaksanakan untuk membahas sesuatu permasalahan atau merencanakan suatu kegiatan bersama. Kegiatan tersebut dilakukan dengan memanfaatkan forum-forum pertemuan warga, seperti forum arisan di tingkat RT. Dalam situasi tertentu yang menyangkut kepentingan di tingkat desa, musyawarah terkadang dilakukan dalam bentuk rapat desa dengan mengundang perangkat desa dan tokoh-tokoh masyarakat. Kerja bakti dilakukan untuk kepentingan bersama dan umumnya dilaksanakan secara terorganisir oleh suatu kelompok warga atas dasar wilayah atau keanggotaan suatu kelompok. Kegiatan

sambatan dilakukan untuk membantu seseorang atau suatu keluarga, baik atas dasar permintaan keluarga yang membutuhkan bantuan maupun karena adanya empati dari warga yang ada di sekitarnya.

Norma ngaruhake hanya berlaku di skala komunitas dan tidak dapat diterapkan dalam skala publik. Hal ini disebabkan karena kebiasaan ngaruhake biasanya melekat pada kehidupan masyarakat yang didasari oleh ikatan sosial yang masih kuat, hubungan kekeluargaan yang masih dekat, dan nilai gotong-royong masih kuat. Di dalam skala publik, hubungan antar individu bersifat artifisial dan biasanya dilandasi oleh nilai-nilai ekonomi yang menjurus pada persaingan. Dalam kegiatan ekonomi, ngaruhake tidak berlaku karena kegiatan bersifat individu dengan tujuan mencari keuntungan pribadi. Hubungan antarpihak dalam kegiatan ekonomi bersifat resiprositas negatif, masing-masing pihak berusaha untuk mengambil keuntungan dari pihak lain.

Dalam kegiatan ekonomi, hukum rasional lebih dikedepankan dengan mempertimbangkan hasil (materi) yang diperoleh dalam suatu kegiatan (Samuel Popkin (1982) dalam Thohir (2007:189)). Secara moral, tidak ada kewajiban bagi seorang warga untuk bekerja atau membuka usaha di lingkup wilayahnya dan boleh membuka usaha di tempat lain walaupun itu bukan tempat tinggalnya. Dalam kegiatan ekonomi, ruang tidak bisa membatasi, tetapi sangat tergantung kesempatan, kemauan, dan modal yang dimiliki.

Tingkatan keterlibatan warga dalam suatu kegiatan gotong-royong dapat dikategorikan dalam tiga kelompok, yaitu mokoki, ngombyongi, dan masabodoa. Tingkatan partisipasi tersebut dapat dijabaran dalam uraian sebagai berikut. (1) Mokoki dapat diartikan keterlibatan

Page 8: KONSEP PARTISIPASI MASYARAKAT DIENG DALAM …

52 JURNAL Kepariwisataan Volume 12 Nomor 3 September 2018 : 45-58

seseorang dalam suatu kegiatan sebagai pelaku pokok. Seseorang yang berperan sebagai pelaku pokok biasanya akan mengerahkan segala kemampuan, baik waktu, pikiran, tenaga, ketrampilan, dana, barang, atau bentuk lainnya demi keberlangsungan dan tercapainya tujuan kegiatan. Dalam beberapa kasus, peran mokoki sering dikaitkan dengan fungsi koordinatif, inisiatif, pengambil keputusan, atau penyandang dana.

(2) Ngombyongi dapat diartikan keterlibatan seseorang dalam suatu kegiatan bersifat sebagai pendukung. Seseorang yang berperan sebagai pengombyong penekanannya adalah dukungan tenaga, barang/dana, kehadiran, atau sebagai saksi atas suatu kegiatan. Beberapa istilah yang sering dijumpai terkait dengan dukungan dalam suatu kegiatan adalah nyumbang dan rewang. Nyumbang biasanya bantuan dalam bentuk dana atau barang dan rewang dalam bentuk bantuan tenaga.

(3) Masabodoa dapat diartikan tidak terlibat dalam suatu kegiatan, baik secara langsung dalam bentuk kehadiran maupun tidak langsung dalam bentuk materi.

2) Lingkup Spasial Ngaruhake Hasil analisis keruangan partisipasi

masyarakat Dieng memperlihatkan bahwa semakin luas wilayah ruang, partisipasi warga semakin rendah dan sebaliknya semakin sempit wilayah ruang, partisipasi warga semakin tinggi. Hal ini terlihat dari keterlibatan masing-masing komponen masyarakat dalam kegiatan di lingkup mikro cenderung lebih banyak yang berperan mokoki bila dibandingkan dengan kegiatan di tingkat meso atau makro. Lingkup spasial partisipasi warga dalam suatu kegiatan kemasyarakatan disajikan dalam matriks sebagai berikut.

Identifikasi atas keterlibatan masing-masing komponen masyarakat Dieng dalam kegiatan dapat digambarkan dalam ilustrasi sebagai berikut.

Gambar 3. Lingkup Spasial Partisipasi

Secara spasial, kecenderungan kualitas partisipasi masyarakat dapat digambarkan dalam grafik sebagai berikut.

Kedekatan dan intensitas hubungan antarwarga di lingkup mikro telah mendorong terbentuknya suatu ikatan sosial yang kuat sehingga setiap warga selalu berusaha untuk membantu, memperhatikan dan terlibat pada suatu kegiatan bersama. Sejalan dengan semakin luasnya wilayah ruang, intensitas hubungan antarwarga semakin menipis sehingga berpengaruh terhadap ikatan sosial di antara warga.

3) Nilai pendorong partisipasiNilai pendorong keterlibatan warga

Dieng dalam suatu kegiatan yang ada di lingkungan mereka di antaranya adalah sebagai berikut: a. Nilai religiositas, yaitu adanya keyakinan

atau kepercayaan kepada kekuatan di luar dirinya yang dianggap sebagai Adi Kuasa dan kegiatan yang dijalankan sebagai bentuk ibadah,

b. Nilai kerukunan, yaitu adanya perasaan

Page 9: KONSEP PARTISIPASI MASYARAKAT DIENG DALAM …

53Susilo, S.s., M.si :Konsep Partisipasi Masyarakat Dieng dalam Pelaksanaan Program Pengembangan Pariwisata

Tabel 1. Lingkup Spasial Partisipasi Masyarakat Dieng

senasib sepenanggungan, atau perasaan sebagai bagian dari keluarga besar suatu komunitas.

c. Nilai kebanggaan, yaitu adanya dorongan psikologis untuk dihargai dan menunjukkan eksistensinya terhadap kemampuan yang dimiliki.

d. Nilai hiburan, yaitu adanya dorongan psikologis untuk mengalihkan rutinitas kegiatan yang dijalankan keseharian.

e. Nilai kepemimpinan, yaitu adanya rasa hormat dan segan kepada tokoh atau pemimpin yang ada di lingkungannya.

f. Nilai perekonomian, yaitu adanya pertimbangan untung dan rugi yang

dinilai secara material.

4) Gejala pergeseran motif partisipasiDinamika kehidupan masyarakat Dieng

yang terus berkembang, telah berpengaruh terhadap pola partisipasi warga dalam suatu kegiatan gotong-royong. Beberapa kasus memperlihatkan bahwa dalam kehidupan masyarakat Dieng telah terjadi pergeseran. Bentuk partisipasi yang semula ditekankan pada kehadiran dengan tujuan menjaga kerukunan melalui kontak langsung antarwarga tergeser dengan bentuk sumbangan dana pelaksanaan kegiatan. Berbagai perubahan tersebut sebenarnya

Page 10: KONSEP PARTISIPASI MASYARAKAT DIENG DALAM …

54 JURNAL Kepariwisataan Volume 12 Nomor 3 September 2018 : 45-58

Gambar 4. Grafik Spasial Tingkatan Partisipasi

Page 11: KONSEP PARTISIPASI MASYARAKAT DIENG DALAM …

55Susilo, S.s., M.si :Konsep Partisipasi Masyarakat Dieng dalam Pelaksanaan Program Pengembangan Pariwisata

merupakan hal yang wajar, terkait dengan sifat manusia yang dinamis dan terus berkembang mengikuti berbagai perubahan dan tuntutan jaman. Namun demikian, terjadinya pergeseran tersebut perlu diwaspadai karena akan mendorong sikap menyepelekan yang mengangap keterlibatan secara langsung bisa digantikan dengan materi. Dalam suatu titik tertentu, akan semakin sulit untuk menggerakkan warga untuk terlibat dalam suatu kegiatan yang membutuhkan kehadiran untuk memberikan sumbangan pemikiran, tenaga, ketrampilan, atau waktu secara langsung dalam suatu kegiatan.

Grafik di atas menggambarkan bahwa dalam suatu partisipasi terdapat dua kutub kepentingan yang berbeda, yaitu antara kepentingan budaya dan kepentingan ekonomi. Dalam kasus partisipasi masyarakat Dieng, terjadi kecenderungan penurunan kualitas partisipasi. Motivasi budaya atau religi didasari oleh adanya keyakinan atau kepercayaan kepada

kekuatan yang berada di luar dirinya. Kualitas partisipasi atas dasar budaya atau religi sifatnya cenderung konstan dan tanpa diminta seseorang akan berpartisipasi dalam suatu kegiatan. Kualitas motivasi atas dasar dorongan sosial sifatnya sedang dan seseorang akan berpartisipasi dalam suatu kegiatan jika berakibat meningkatkan status sosial atau karena takut terkena sanksi sosial. Hubungan sosial dan kesepakatan-kesepakatan antarwarga menjadi dasar bagi seseorang untuk berpartisipasi dalam suatu kegiatan. Patisipasi yang didorong oleh motivasi ekonomi memiliki pertimbangan untung rugi yang dinilai secara materi. Partisipasi atas dasar motivasi ekonomi memiliki kualitas rendah dan sifatnya sangat labil karena sangat tergantung kepada hasil atau imbalan yang didapatkan seseorang dalam suatu kegiatan. Partisipasi atas dasar kepentingan ekonomi akan cenderung didominasi oleh kepemilikan modal.

5) Partisipasi Masyarakat dalam

Gambar 5. Grafik Pergeseran Kualitas Partisipasi

Page 12: KONSEP PARTISIPASI MASYARAKAT DIENG DALAM …

56 JURNAL Kepariwisataan Volume 12 Nomor 3 September 2018 : 45-58

Pengembangan PariwisataPartisipasi masyarakat Dieng dalam

pengembangan pariwisata pada dasarnya tercermin dalam aktivitas keseharian. Aktivitas tersebut, disadari atau tidak, pada dasarnya merupakan bagian dari kepariwisataan Dieng. Hal ini seperti pendapat Murphy (1985), bahwa pengembangan kegiatan budaya dan pariwisata merupakan kegiatan yang berbasis komunitas. Partisipasi warga dalam kegiatan pariwisata tercermin dalam bentuk pertemuan warga, gotong-royong, dan kegiatan usaha. Berbagai kegiatan tersebut memiliki keterkaitan baik secara langsung maupun tidak langsung dengan kepariwisataan.

Partisipasi warga dalam tahap perencanaan dilakukan melalui rembug warga, baik dalam forum yang secara khusus membahas pariwisata yang dilakukan oleh Kelompok Sadar Wisata atau forum yang membahas kegiatan warga secara umum dalam bentuk arisan warga atau rapat desa. Kebiasaan ngaruhake diterapkan dalam proses perencanaan melalui forum arisan dan rapat desa walaupun pada dasarnya tidak memiliki keterkaitan secara langsung dengan kegiatan kepariwisataan. Keterlibatan warga dalam forum pertemuan tersebut lebih didasari oleh kepentingan sosial untuk menjalin hubungan silaturahmi di antara warga sekaligus kebersamaan dalam menjalani hidup bermasyarakat. Dalam proses musyawarah, tokoh masyarakat biasanya sebagai pelaku utama (pihak yang mokoki), sementara perangkat desa atau warga dan komponen masyarakat lainnya sebagai pendukung (pengombyong).

Partisipasi warga dalam tahap implementasi dilakukan dalam bentuk kegiatan kesenian, ritual potong rambut gimbal, merti dusun, slametan Malem Suro, kerjabakti menjaga kebersihan lingkungan,

pengamanan lingkungan, pembuatan website pokdarwis, pengembangan homestay, dan pembangunan fasilitas umum. Dalam kegiatan tersebut, kebiasaan ngaruhake dapat dirasakan dalam kegiatan sosial budaya yang bersifat gotong-royong. Dalam kegiatan yang bersifat ekonomi, kebiasaan ngaruhake tidak diterapkan karena kegiatan bersifat individu dengan prinsip mengambil keuntungan dari pihak lain. Dalam pelaksanaan kegiatan yang bersifat budaya, tokoh masyarakat setempat dan pelaku kesenian tradisional biasanya berlaku sebagai pelaksana utama (mokoki), sementara perangkat desa, karang taruna, dan warga sebagai pendukung (pengombyong). Dalam kegiatan sosial, tokoh masyarakat dan perangkat desa biasanya berlaku sebagai pelaksana utama (mokoki), sementara karang taruna, dan warga sebagai pendukung (pengombyong).

Partisipasi masyarakat dalam pemanfaatan kegiatan kepariwisataan yang memberikan keuntungan dilakukan melalui kegiatan usaha dan bekerja di bidang pariwisata, atau menjadi buruh bangunan ketika pelaksanaan projek pembangunan fisik. Faktor pendorong partisipasi warga dalam tahap pemanfaatan ini adalah adanya kesempatan, kemauan, dan modal yang dimiliki, bukan karena kebiasaan ngaruhake. Manifestasi ngaruhake yang diwujudkan dalam bentuk keterlibatan warga dalam suatu kegiatan hanya berlaku untuk kegiatan yang bersifat sosial dan budaya dengan berlandaskan kewajiban moral. Motif ekonomi sebagai landasan partisipasi terkadang menyebabkan terjadinya persaingan yang tidak sehat di antara pelaku usaha dan hubungan yang kurang harmonis antara warga pelaku usaha / pekerja setempat dengan warga pelaku usaha / pekerja dari luar Dieng.

Page 13: KONSEP PARTISIPASI MASYARAKAT DIENG DALAM …

57Susilo, S.s., M.si :Konsep Partisipasi Masyarakat Dieng dalam Pelaksanaan Program Pengembangan Pariwisata

KESIMPULAN DAN SARANPartisipasi masyarakat Dieng dalam

kegiatan pariwisata yang bersifat kegiatan sosial dan budaya didasari oleh kebiasaan ngaruhake. Kebiasaan ini didorong oleh adanya kewajiban moral untuk mewujudkan kepentingan bersama atau membantu orang lain, bukan untuk diri pribadi. Kebiasaan ngaruhake hanya berlaku di skala komunitas dengan ikatan sosial dan intensitas hubungan yang masih kuat dan tidak berlaku di skala publik.

Partisipasi warga dalam proses pengembangan pariwisata yang didasari oleh kebiasaan ngaruhake dilakukan melalui rembug warga dan kegiatan sosial budaya, seperti pertemuan warga, pertunjukan kesenian dan adat tradisi, kerjabakti, dan pembangunan fasilitas umum warga. Kebiasaan ngaruhake tidak berlaku dalam tahap pemanfaatan dalam bentuk kegiatan usaha dan bekerja di bidang pariwisata. Hal ini karena kegiatan tersebut bersifat ekonomi dan cenderung dilakukan secara individu dengan prinsip mencari keuntungan dari pihak lain. Dalam pelaksanaan kegiatan yang bersifat budaya, tokoh masyarakat dan pelaku kesenian tradisional biasanya berperan sebagai pelaksana pokok (mokoki), dan komponen masyarakat lainnya sebagai pendukung (pengombyong). Dalam kegiatan sosial, tokoh masyarakat dan perangkat desa biasanya berperan sebagai pelaksana pokok (mokoki), sementara komponen masyarakat lainnya sebagai pendukung (pengombyong).

Upaya untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengembangan pariwisata yang berlandaskan kebiasaan ngaruhake dapat dilakukan dengan meningkatkan intensitas komunikasi antara pemerintah daerah dengan masyarakat melalui forum-forum pertemuan warga, meningkatkan kepedulian tokoh kunci penggerak warga terhadap kepariwisataan, dan dukungan terhadap kegiatan sosial dan budaya

masyarakat.

DAFTAR PUSTAKABudihardjo, Eko, 2002. “Keterlibatan

Masyarakat dalam Perencanaan Kota”, Jurnal Nalars. Vol. 1. No. 1. Januari 202. Laboratorium Arsitektur FT Universitas Muhamadiyah Jakarta, Jakarta

Drake, S.P., 1991. ”Local Participation in Eco-tourism Projects”, Whelan, T. (Ed.), Nature tourism: Managing for The Environment, hal. 133-163. Island Press, Washington D.C.

Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, 2009. UU No 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan. Jakarta.

Mangunsuwito, S.A., 2007. Kamus Lengkap Bahasa Jawa, Cetakan Keenam. CV. Irama Widya, Bandung.

Mardikanto, Totok, 2003. Redefinisi Penyuluhan. Puspa, Surakarta.

Moleong Lexy, J., 2005. Metodologi Penelitian Kualitatif. PT. Remaja Rosdakarya Bandung.

Munawaroh, Siti. 2006. “Pascagempa Intensitas Gotong Royong Semakin Tinggi” Jurnal Jantra Vol. I, No. 1, Juni 2006, hal. 1-5. Yogyakarta, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta.

Murphy, P.E., 1985. Tourism: A Community Approach. Methuen, London.

Parwoto, 1997. “Pembangunan Partisipatif”, Makalah Lokakarya Penerapan Strategi Pemberdayaan Masyarakat dalam Pembangunan Perumahan dan Permukiman. BKP4N, Jakarta.

Poerwadarminta, W.J.S., 1938. Baoesastra Djawa. Groningen Batavia, Batavia.

Sanoff, Henry, 1990. Participatory Design

Page 14: KONSEP PARTISIPASI MASYARAKAT DIENG DALAM …

58 JURNAL Kepariwisataan Volume 12 Nomor 3 September 2018 : 45-58

Theory and Techniques. Bookmaster, North Caroline.

Setiawan, Bobi B., 2003, “Hak Masyarakat dalam Proses Penyusunan dan Implementasi Kebijakan Tata Ruang”, Makalah Seminar Hak Suara Masyarakat dalam Proses Penyusunan dan Implementasi Kebijakan Tata Ruang. Pusat Studi Planologi Fak. Teknik Unissula, Semarang.

Soetomo, 2006, Strategi-Strategi Pembangunan Masyarakat. Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Suseno, Franz Magnis, 1988. Etika Jawa, Sebuah Analisa Falsafati tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa. Gramedia, Jakarta.

Syamsi, Ibnu, 1986. Studi Tentang Gotong Royong dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi di Desa Sinduadi, Mlati, Sleman. Yogyakarta, Fakultas Geografi UGM.

Tim Penyusun Kamus, Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1995. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Kedua. Balai Pustaka, Jakarta.

Thohir, Mudjahirin, 2007. Memahami Kebudayaan, Teori, Metodologi, dan Aplikasi. Semarang, Fisindo Press.

Wearing, Stephen, 2001. “Exploring Socio-cultural Impacts on Local Communities”, The Encyclopedia of Ecotourism (ed. D. Weaver). CAB International.