Konsep Misi Dalam Masyarakat Pluralistik Ditinjau Dalam Perspektif Perjanjian Lama. Pendahuluan Sejak awal berdiri bangsa ini, Indonesia adalah negara yang beragam. Indonesia adalah negara kepulauan dengan wilayah- wilayahnya yang berbeda, baik secara geografis, bahasa dari penduduknya, tradisi dan kepercayaan yang berbeda-beda. Inilah realitas Indonesia sejak awal sejarahnya. Seorang tokoh sejarah bangsa ini, Gadjah Mada pernah mengucapkan Sumpah Palapa di mana dia tidak akan beristirahat sebelum nusantara dapat dipersatukan. Cita-cita ini pun tercermin dalam program nasionalisme dengan menyatukan komunitas dengan keberagaman luar biasa, melintasi batas geografis, suku, bahasa, agama, serta status sosial. Cita- cita dan harapan penyatuan keberagaman ini di bawah suatu identitas nasional. Penduduk dengan jumlah lebih dari dua ratus juta jiwa menyimpan sumber daya manusia yang sangat potensial. Letak nusantara pun berada di antara dua benua dan dua samudera sehingga menjadikan Indonesia begitu istimewa. Di sisi yang lain, cita-cita nasionalisme tersebut di atas telah berubah arah kepada homogenitas yang terintervensi secara
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Konsep Misi Dalam Masyarakat PluralistikDitinjau Dalam Perspektif Perjanjian Lama.
Pendahuluan
Sejak awal berdiri bangsa ini, Indonesia adalah negara yang
beragam. Indonesia adalah negara kepulauan dengan wilayah-
wilayahnya yang berbeda, baik secara geografis, bahasa dari
penduduknya, tradisi dan kepercayaan yang berbeda-beda. Inilah
realitas Indonesia sejak awal sejarahnya. Seorang tokoh sejarah
bangsa ini, Gadjah Mada pernah mengucapkan Sumpah Palapa di mana
dia tidak akan beristirahat sebelum nusantara dapat dipersatukan.
Cita-cita ini pun tercermin dalam program nasionalisme dengan
menyatukan komunitas dengan keberagaman luar biasa, melintasi
batas geografis, suku, bahasa, agama, serta status sosial. Cita-
cita dan harapan penyatuan keberagaman ini di bawah suatu
identitas nasional. Penduduk dengan jumlah lebih dari dua ratus
juta jiwa menyimpan sumber daya manusia yang sangat potensial.
Letak nusantara pun berada di antara dua benua dan dua samudera
sehingga menjadikan Indonesia begitu istimewa.
Di sisi yang lain, cita-cita nasionalisme tersebut di atas
telah berubah arah kepada homogenitas yang terintervensi secara
otoritarian. Hampir semua segi dalam bangsa ini diatur secara
ketat oleh undang-undang yang dibuat oleh pemerintah. Alasannya
adalah keberagaman dapat memicu potensi sebuah konflik. Belum
lagi kelompok-kelompok mayoritas yang merasa memiliki kekuatan
dan kekuasaan, mengintimidasi kelompok-kelompok kecil dengan
berbagai dalih. Akhirnya konflik sosial tidak dapat dihindari
lagi.
Gereja di Indonesia harus menjawab beberapa pertanyaan
mendasar sehingga dapat menyatakan eksistensinya. Apa situasi
yang menjadi dasar bermisi di Indonesia? Bagaimana strategi misi
yang relevan bagi konteks Indonesia? Dan Bagaimana masa depan
misi di Indonesia? Karena fakta kemajemukan itu tidak mungkin
dilihat semata-mata sebagai suatu fakta sosiologis lagi, tetapi
juga menjadi konteks berteologi Gereja-gereja di Indonesia. Dan
proses berteologi dalam kemajemukan itu tidak pula semata-mata
abstark hingga melulu dijawab secara akademis, tetapi perlu suatu
dialog yang bermakna memperbincangkan secara bertanggung jawab
yang bercorak akademis dan oikumenis dalam memberi respons runtut
terhadap konteks kemajemukan itu.1
1 Tim Balitbang PGI, Meretas Jalan Teologi Agama-agama di Indonesia (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1999), Ix.
Hakikat Misi
Secara singkat pada bagian ini akan dibahas definisi Misi
baik secara morfologi maupun secara operasional. Dalam bahasa
Inggris, Jerman, dan Perancis digunakan kata mission serta bahasa
Belanda memakai kata zending. Menurut Kamus latin bahasa
Indonesia, Missio berasal dari kata Mitto yang mempunyai arti
sebagai berikut: Pengiriman; hal mengutus; hal membiarkan pergi
seperti : pembebasan (orang tawanan/tahanan); pemberhentian (dari
dinas militer); Misi, Mitto mempunyai arti: menyebabkan pergi,
membiarkan pergi (membebaskan, melepaskan).Setiap kata yang
merujuk kata misi disebut di atas bermakna tugas yang diberikan
Allah kepada setiap orang percaya untuk menyatakan karya Allah
atas segala mahluk. Roger Bowen melihat kata Misi sebagai sebuah
ekspresi dari sebuah kegerakan, sebab menyangkut hal mengirim dan
utusan.2 Misi dimengerti sebagai cara yang dipakai oleh Gereja
dikirim keluar ke dalam dunia untuk memproklamirkan Kristus dan
bukan bergerak ke dalam diri sendiri. Donal Dorr dalam bukunya
Mission in Today’s World lebih melihat misi dalam makna praktis, di
mana misi dimengerti sebagai proses evangelisasi, inkulturasi,
2 Roger Bowen, ..So I Send You (Cambridge: SPCK, 1996), 1.
rekonsiliasi, dsb.3 Bila disimpulkan Misi adalah kegiatan yang
dilaksanakan oleh para utusan (misionaris) dengan maksud
menyampaikan kabar baik (Injil) kepada dunia di bawah otoritas
sang Ilahi.
Misi Dalam Perjanjian Lama; Sebuah Tinjauan
Banyak orang melihat Perjanjian Lama hanya sekedar dokumen
usang dan tidak pernah secara langsung berbicara mengenai tugas
pemberitaan Injil. Merekonstruksi Perjanjian Lama untuk membangun
dasar bagi teologi misi dipandang hanya sebagai usaha menjaring
angin saja. Bahkan untuk mencari petunjuk sederhana mengenai
aktivitas misi pun kelihatan sebagai usaha memaksakan teks pada
konteks. Oleh George W. Peters, Perjanjian Lama terlalu sering
ditafsirkan dari sudut perasaan nasionalistis sempit atau dari
sudut pandang legalistis, Perjanjian Lama jarang dilihat sebagai
tujuan yang menakjubkan dari Allah ke dalam dunia untuk maksud-
maksud penyelamatan.4 Edmund Woga juga melihat kalau pendasaran
misi gereja dalam Perjanjian lama mengalami hambatan-hambatan
karena suasana tertentu di dalam kehidupan bangsa Israel yang
3 Lihat dalam Donal Dorr, Mission in Today’s World (New York, Orbis Book, 2002), 76-183.4 George W. Peters. A Biblical Theology of Missions (Malang: Gandum Mas, 2006), 99.
sepintas lalu memberikan kesan tidak mendukung proses “lintas
batas” iman Israel kepada Yahweh.5 Kenyataan ini membuat kesan
diskontinuitas perutusan antara umat Allah dalam Perjanjian Lama
dengan Perjanjian Baru. Dua nama lain, C. Stuhlmuller6 dan L.
Legrand7, mereka melihat kesulitan pokok yang sering mengganjal
langkah penemuan fenomena perutusan dalam kehidupan umat Allah
Perjanjian Lama ialah pertama-tama pengertian mengenai misi.
Allah (YAHWEH) Sebagai Aktor Utama Misi Dalam Perjanjian Lama
Pada bagian ini akan dibahas tentang apa yang Perjanjian
Lama bicarakan mengenai misi. Bagi Brueggemann Perjanjian Lama
menyimpan sebuah wacana yang dengan jelas memperlihatkan bahwa
Allah tinggal di dalam, dengan dan di bawah retorika teks, dan
tidak di tempat lain dan tidak dalam cara lain yang baginya
bermodel drama di mana imajinasi dan metafora merupakan unsur
5 Edmund Woga, CSsR, Dasar-Dasar Misiologi (Yogyakarta: Kanisius, 2002), 57.6 Lihat C. Stuhlmuelle. The Biblical Foundations for Mission (London: 1983), ia melihat misi dalam konteks integral sejarah dunia dan melihatnya sebagai peristiwa historis umum, yang oleh bangsa Israel – berdasarkan interpretasi dan motivasi religious mereka – ditafsir sebagai karya penyelamatan Allah dalam sejarah, di mana Allah dialami sebagai Tuhan atas sejarah. Peran bangsa Israel dalam hal ini ialah tanda kehadiran yang ilahi yang membuka mata dunia untuk menyadari unsur-unsur dan daya iman dalam kesehariannya.7 Lihat L. Legrand. The God Who Comes – Mission in the Bible (Quezon City: 1991), ia melihat pengertian tentang misi tidak secara sempit yakni hanya sebagai usaha perambatan iman, namun criteria yang ia berikan adalah criteria klasik gerejawi dalam pengertian tentang misi (yakni; penyebaran iman, penyaksian, dan ziarah menuju Allah).
yang penting.8 Di dalam teks-teks Perjanjian Lama terutama dalam
ragam kalimat ataupun kata-kata verbal positif menyajikan
gambaran Yahweh sebagai pelaku utama dalam sejarah (dan juga
sejarah keselamatan). Perjanjian Lama memberikan sebuah kesaksian
yang menguatkan tentang bagaimana Yahweh bertindak untuk
melakukan perubahan dalam bangsa Israel (dan dunia), Israel pun
menjadi kesaksianya. Brugemmen melukiskan hal tersebut, seperti:
Kehidupan yang teratur alih-alih khaos yang mematikan;
Peluang masa depan alih-alih putus asa;
Tarian kebebasan alih-alih penindasan;
Ketaatan dalam persekutuan penuh gairah alih-alih otonomi
absolute;
Makanan dan perawatan alih-alih ketelantaran nan malang.9
Kesaksian-kesaksian yang termuat dalam Perjanjian Lama secara
sadar memuat janji-janji belum terpenuhi oleh Yahweh, serta
penegasan bahwa janji-janji di dalamnya akan digenapi, menjadi
unsur bagi sikap yang tepat bagi kita berharap pada Allah dan
juga bagi misi. dalam janji-janji-Nya, Yahweh akan menjaga agar
8 Walter Brueggemann, Theology Of The Old Testament (Minneapolis: Fortress Press, 1997), 50.9 Brueggeman, 209.
mereka yang terikat dengan-Nya dalam sebuah perjanjian tidak akan
mengalami kebinasaan.10
Fakta mengenai misi yang lain dalam Perjanjian Lama terdapat
pada Kej. 3:15; “Aku akan mengadakan permusuhan antara engkau dan
perempuan ini, antara keturunanmu dan keturunannya; keturunannya akan
meremukan kepalamu, dan engkau akan meremukkan tumitnya.” Ayat ini bagi
banyak ahli misi sebagai bentuk Protevangelium dalam Perjanjian
Lama. Ayat ini mengungkapkan janji pertama akan kedatangan
penebus, satu janji yang memiliki arti penting secara universal11
setelah kejatuhan manusia di dalam dosa. Bila diselidiki secara
seksama maka ada sekurang-kurangnya 6 bukti penting misi Allah
dalam Kej. 3:15; 1) keselamatan diadakan oleh Allah, 2)
keselamatan akan menghancurkan iblis, sang seteru, 3) keselamatan
mempengaruhi seluruh umat manusia, 4) keselamatan akan datang
melalui seorang perantara yang secara organis berhubungan dengan
manusia, 5) keselamatan terkait dengan penderitaan sang Penebus,
dan 6) keselamatan itu terjadi dalam sejarah. Hal ini menunjukkan
kalau sejak terjatuhnya manusia ke dalam dosa, Allah telah
10 Brueggemann, 217.11 George W. Peters, A Biblical Theology of Missions. 101.
merancang sebuah rencana penyelamatan secara universal. Ia adalah
aktor utama penggagas rencana keselamatan tersebut.
Walter C. Kaiser, Jr. juga melihat dalam Kej. 12:3 sebagai
sebuah “Amanat Agung”12 Perjanjian Lama yang harus dikenali dan
digali maknanya. Teks ini mengandung pesan mengenai tujuan dan
rencana Allah untuk mencurahkan kasih karunia dan berkat kepada
setiap orang di muka bumi ini. Ini adalah sebuah babak baru dalam
rencana agung keselamatan dari Allah kepada manusia setelah
peristiwa kejatuhan manusia ke dalam dosa. Selain itu ayat ini
secara tersirat mengungkapkan suatu janji yang bukan saja kepada
Abraham tetapi juga janji kepada semua keturunannya (bangsa-
bangsa). Edmund Woga melihat hal ini sebagai ziarah sentripetal
bangsa Israel.13 Ditegas kembali oleh Bosch, kalaupun ada
misionaris di dalam Perjanjian Lama maka Dia adalah Allah sendiri
yang sebagai perbuatan eskhatologisnyayang par excellence akan
membawa bangsa-bangsa untuk menyembah-Nya bersama-sama umat
perjanjian-Nya.14
12 Walter C. Kaiser, Jr. Mission in the Old Testament; Israel as a Light to the Nations (GrandRapids, Baker Books, 2001), 7.13 Edmund Woga, CSsR. Dasar-Dasar Misiologi (Yogyakarta: kanisius, 2002), 64.14 Bosch, 27.
“Aku akan memberkati orang-orang yang memberkati engkau, dan
mengutuk orang-orang yang mengutuk engkau, dan olehmu semua kaum
di muka bumi akan mendapat berkat” (Kej. 12:3). Kejadian 12
memperkenalkan sebuah zaman baru di dalam sejarah keselamatan –
sejarah yang bersifat khusus dalam metode, tetapi bersifat
universal dalam hal janji, rancangan dan dampak.15 Dari ayat
tersebut dapat teridentifikasi sedikitnya ada 4 pihak yang
terlibat di dalam misi:
1. “Aku” mengacu kepada Allah sebagai inisiator misi.
2. “engkau” mengacu kepada Abraham sebagai orang pilihan Allah
untuk melaksanakan misi-Nya.
3. “orang-orang yang memberkati dan yang mengutuk” mengacu
kepada setiap orang yang berinteraksi dengan Abraham.
4. “semua kaum di muka bumi” mengacu kepada universalitas
jangkauan janji Allah melalui Abraham.
Di sini terlihat bahwa sedikitnya ada tiga lapisan misi
15 George W. Peters, A Biblical Theology of Missions. 107.
Allah
Orang yangMemberkati&
= arah proses tindakan misi keselamatan
Jadi Allah sebagai pemrakarsa dari rencana keselamatan ini dan
memilih Abraham, Abraham menjadi perpanjangan tangan Allah untuk
orang-orang yang berada di sekitarnya, dan kemudian berdampak
luas bagi semua kaum di muka bumi. Allah dalam teks tersebut di
atas adalah Allah missioner yang berkarya secara aktif atas
seluruh bumi. Maksud pemilihan Allah kepada Abraham bukanlah
bersifat ekslusif melainkan melalui Abraham maksud rencana
penyelamatan Allah bagi seluruh bumi disebarkan. Di sini terdapat
jaminan, bahwa pekerjaan penyelamatan itu akan meluas secara
aktif dan dinamis sehingga mencapai “kebesaran dalam jumlah” dan
“keluasan dalam lingkup pencapaian” yaitu meliputi semua kaum di
muka bumi.16 Panggilan Abraham adalah awal pembuktian yang akan
menyingkap takdir sejarah.17 Janji Allah kepada Abraham dengan
16 Y. Tomatala, Penginjilan Masa Kini ( Malang, Gandum Mas, 2002), 14.17 A. Naftallino, Teologi Misi; Misi di Abad Postmodernisme Tantangan Autentisitas Injil di Abad Modern (Bekasi: Logos, 2010), 25.
Semua kaum dibumi
membuatnya menjadi bapak segala bangsa menjadi tonggak awal
rencana penyelamatan atas semua manusia(universal).
Israel Sebagai Mitra Allah dalam Misi
Motif lain yang muncul dalam Perjanjian Lama mengenai misi
adalah peristiwa keluarnya bangsa Israel dari tanah perbudakan
menuju Tanah Perjanjian yaitu Kanaan. Kaiser mengatakan bahwa
pemilihan Israel dimaksudkan untuk memainkan peran mereka sebagai
Imamat Rajani18 bagi bangsa-bangsa yang berada di sekitar mereka.
“…kamu akan menjadi bagi-Ku kerajaan imam dan bangsa yang kudus…”
(Kel 19:5-6). Fungsi Israel dipanggil bukan hanya menjadi pelayan
Allah yang mendedikasikan diri untuk melayani Allah tetapi juga
menjadi sebuah bangsa yang melayani bangsa-bangsa yang lain
sepanjang waktu.19 Pembebasan yang Allah lakukan terhadap Israel
bukan semata-mata ingin membuktikan Israel sebagai umat pilihan
Allah tetapi di balik semua peristiwa pembebasan itu ada tugas
dan tanggung jawab yang diemban oleh bangsa Israel yaitu
(berdampak) misi untuk keselamatan bangsa-bangsa. David J. Bosch
mengatakan bahwa maksud pemilihan ini adalah “pelayanan” dan
18Walter C. Kaiser, Jr. Mission in the Old Testament; Israel as a Light to the Nations, 23.19 Kaiser, 57.
apabila hal ini disangkal, pemilihan itu kehilangan maknanya.20
Tuhan memberikan pengetahuan tentangNya kepada Israel, sehingga
akhirnya semua bangsa akan belajar keadilan dan akan bergaul
dengan Tuhan. Sedangkan Arie de Kuiper mengatakan kalau Israel
dalam pelayanan yang diminta oleh Allah atas dasar pemilihan
itu.21 Israel dipanggil untuk menjadi agen berkat Allah kepada
bangsa-bangsa.
Peran Israel sebagai umat pilihan Allah jauh melampaui
kewajiban Israel untuk melakukan keadilan di dalam tindakannya
dan menjaga kekudusan dalam hidupnya. Brueggemann malah melihat
bahwa Israel dikatakan memiliki sebuah peran, sebagai bagian dari
panggilan dan takdirnya demi kemaslahatan dunia.22 Melalui Israel
memungkinkan sebuah persekutuan yang baru dan pemulihan hubungan
antara Yahweh dan dunia. Artinya, Israel memiliki tanggung jawab
dan kepentingan yang besar bagi segenap ciptaan. Brueggemann juga
mengatakan “Israel adalah komunitas yang ditempatkan (diciptakan)
20 David J. Bosch, Transformasi Misi Kristen: Sejarah Teologi Misi Yang Mengubah dan Berubah (Jakarta, BPK Gunung Mulia, 2006), 26.21 Arie De Kuiper, Missiologia (Jakarta, BPK Gunung Mulia, 2008), 20.22 Walter Brueggemann, Theology of The Old Testament; Testimony, Dispute, Advocacy (Minneapolis, Fortress Press, 1997), 430.
di dunia sehingga ada keadilan untuk disaksikan di dunia.”23
Maksud pemanggilan dikarenakan dan disejajarkan dengan krisis
dunia, sebuah krisis karena dunia dan seluruh ciptaan berada di
bawah kutukan dosa. Israel sebagai cerminan yang khas dan
representative yang menggambarkan kecondongan utama Israel
sebagai saksi, dan tanda-tanda pengenal khas Yahweh, sebagaimana
Ia hidup di dalam dan melalui kesaksian Israel.24 Dalam buku Studies
on the Second Part of the Book of Isaiah, Harry Orlinsky dan Norman Snaith juga
mengatakan bahwa maksud pemilihan Israel dan pemulihan bangsa yang
dilakukan Yahweh setelah peristiwa pembuangan adalah misi.25
Jadi jelas kalau pemilihan Israel bukan tanpa sebuah maksud
dan tujuan Misi. karenanya ada keistimewaan sekaligus tanggung
jawab yang harus diperankan oleh bangsa itu. Israel di tempatkan
di tengah-tengah, di antara Allah dengan bangsa-bangsa sebagai
perantara dan mediator bagi segala bangsa. Yahweh memanggil
Israel dalam kasih karunia agar menjadi mitra yang istimewa untuk
maksud keselamatan. Pada akhirnya keselamatan bangsa-bangsa bukan
Yahudi dipercayakan pada hidup dan karya Israel. Israel dibentuk
23 Brueggemann, 421.24 Brueggemann, 205.25 Lihat Harry M. Orlinsky and Norman H. Smith. Studies on the Second Part of the Book of Isaiah (Leiden: E.J. Brill 1967).
dan dianugerahi menjadi perjanjian bagi umat manusia (Yes 49:8)
dan bangsa.
Nabi Sebagai Mitra Yahweh dalam Misi
Kerangka kerja Allah dalam misi penyelamatan tidak hanya
terbatas pada pribadi Abraham dan pemilihan bangsa Israel. Allah
secara sadar memilih nabi-nabi-Nya untuk menyempaikan pesan
pertobatan dan keselamatan di dalam nama Yahweh kepada bangsa-
bangsa bukan Yahudi. Terlihat dasar yang sama dalam proses, makna
dan tujuan, Allah yang mengutus mengawali pengutusan-Nya dengan
memanggil pribadi yang akan diutusnya. Sebut saja Yunus, Yoel,
Amos, Mikha, Yesaya, Yeremia, dan Zakaria, mereka dipilih oleh
Allah secara pribadi untuk menjadi saksi bagi bangsa-bangsa dalam
suatu pertemuan yang begitu pribadi. Dalam hal panggilan dan
pengutusan, Allahlah yang menjadi actor utama. Tugas mereka bukan
hanya menyampaikan nubuatan-nubuatan yang akan terjadi di masa
depan namun juga memberitakan kabar keselamatan dan belas kasihan
di dalam Yahweh. Yakob Tomatala melihat setidaknya terdapat tiga
sifat pekerjaan nabi dalam hubungannya dengan misi Allah;26
Historical, yaitu yang berkenaan dengan sejarah.
26 Yakob Tomatala, 16-17.
Eksistensial, yaitu yang berporos pada Allah sebagai
kenyataan asasi. Dan
Prophetical, yaitu yang berkenaan dengan janji hari ini dan
masa depan.
Allah sama pedulinya terhadap bangsa-bangsa bukan Yahudi
seperti halnya terhadap Israel. Brueggemann mengatakan kalau
pribadi manusia adalah pribadi dalam relasi dengan Yahweh, yang
hidup dalam suatu mutualis yang intensif dengan Yahweh.27 Hal ini
menyiratkan perbedaan yang jelas antara kemitraan Yahweh dengan
Israel. Hubungan atau relasi antara pribadi manusia dan Yahweh
dinilai dari persesuaian antara karakter keduanya tetapi tidak
merusak ketidaksejajaran antara Yahweh dan pribadi manusia.
Pribadi manusia diperintahkan, justru karena kodratnya sebagai
mahluk ciptaan untuk melakoni kehidupan demi keselamatan dunia.28
Bangsa-Bangsa Sebagai Mitra Misi Yahweh
Selain sebagai target karya misi Yahweh, bangsa-bangsa juga
secara tidak langsung menjadi mitra bagi Yahweh dalam karya
keselamatan. Kata Bangsa-bangsa (Ibr: kol goye) dalam Kej. 18:18;
26:4 dan 28:14. juga berlaku kepada bangsa di luar Yahudi. Tidak
27 Brueggemann, 453.28 Brueggemann, 454.
dapat dikatakan bahwa pesan keselamatan hanya ekslusif kepada
orang Yahudi dan bangsa Israel saja. Orang Israel dan non-Israel
memiliki derajad yang sama untuk menerima kabar baik. Kenyataan
ini sepertinya berlawanan dengan tugas yang diemban Israel
sebagai mitra Yahweh bagi keselamatan atas bangsa-bangsa (Mzm
96:10). Namun bagaimanapun Yahweh adalah Allah yang berdaulat
untuk menentukan cara-Nya menyelesaikan misi keselamatan atas
dunia ini. Brueggeman menyebut hal ini dalam pandangan bahwa
bangsa-bangsa adalah subjek kedaulatan Yahweh dan Yahweh mejalin
relasi dengan mereka dalam kebebasan dan kegairahan.29 Bosch juga
melihat hal ini sebagai sesuatu yang sangat provokatif dan
menerobos perbatasan30 di mana peran bangsa-bangsa bukan Yahudi
menggantikan posisi bangsa Yahudi dalam pekerjaan misi. sifat
universalitas keselamatan ini tercatat pada pasal-pasal pertama
29 Brueggemann, 493. Kebebasan Yahweh menyata dalam dua matra jejaring menyangkut sejarah dan nasib akhir bangsa-bangsa. Pertama, Yahweh dalam kebebasan memiliki kekuatan, kekuasaan, dan kemampuan untuk merekrut bangsa-bangsa demi tujuanNya sendiri, bahkan apabila tujuan-tujuan tersebut tidak dimaksudkan oleh bangsa-bangsa itu atau bahkan seandainya tujuan-tujuan itu bertentangan dengan harapa Israel. Demikianlah, bangsa-bangsa itu dipaksa untuk melayani kepentingan Yahweh, baik untuk menghukum Israel. Kedua kebebasan Yahweh tampak dalam kapasitasNya, tandas kesaksian Israel yang tidakdiminta, untuk membinasakan bangsa-bangsa termasuk para penguasa adidaya.30 Bosch, 46. Bosch menulis pernyataan ini dalam konteks Perjanjian Baru tetapi Penulis mengambil kutipan ini dengan alas an bahwa konteks Yesus melayani bangsa-bangsa Non Yahudi pada masa itu juga sebagai reaksi atas keekslusifan bangsa Israel terhadap bangsa non Yahudi.
kitab Perjanjian Lama di mana Yahweh mengikat perjanjian-Nya
dengan seluruh ciptaan setelah kejadian air bah (Kej. 1-11).
Perhatian Yahweh diarahkan kepada seluruh umat manusia dan
ciptaan-Nya. Arie de Kuiper juga melihat bahwa kekuasaan Tuhan
meliputi seluruh bumi, barulah diakui oleh umat Israel, tetapi
kelak akan diakui oleh umat manusia; itulah harapan Perjanjian
Lama.31
Bangsa-bangsa sebagai mitra misi bagi Yahweh oleh
Brueggemann berfungsi sebagai batu sandungan terhadap
partikularitas Israel, terhadap perhatian perhatian Israel atas
dirinya sendiri dan terhadap ideology Israel yang tampil sebagai
kesaksian.32 Memang tidaklah mudah bagi bangsa-bangsa bukan
Yahudi untuk tampil dan menjalankan fungsi ini namun mereka mesti
merintis jalan mereka sesuai dengan rencana Allah. Kisah mengenai
Ismael dan Esau dalam Kej. 12-36 menggambarkan bagaimana ada
suatu penetapan batas bagi bangsa-bangsa berhadapan dengan
realitas Israel sebagai umat pilihan di satu sisi dan di sisi
31 Kuiper, 21.32 Brueggemann, 499.
yang lain mereka juga adalah bangsa yang mesti diberkati dan
diperkaya seturut dengan janji Yahweh.
Ciptaan Sebagai Mitra Yahweh Dalam Misi
Secara tidak tersirat Yahweh telah merancangkan bagi diri-
Nya segala sesuatu yang berkaitan dengan Misi. Akhir dari
peristiwa penciptaan yang Allah lakukan, Ia melihat bahwa hasil
ciptaan-Nya baik dan sempurna (Kej. 1:25,31). Pernyataan umum
diri Yahweh tampak dalam setiap ciptaan yang berawal pada kisah
penciptaan dalam Kej. 1-2. Pasal ini juga mengandung sebuah
mandat atas semua ciptaan dalam berbudaya. Yahweh pun dengan
bebas memilih dan memanggil ciptaan-Nya untuk melaksanakan
panggilan-Nya. Ciptaan, jejaring organism hidup yang menyediakan
suatu konteks yang dapat dihidupi dan menjadi “rumah” bagi
masyarakat manusia merupakan hasil akhir dari kebebasan Yahweh
untuk berdaulat dan dermawan.33 Pada saat Allah menciptakan dunia
dan isinya dari ketiadaan Allah telah menata sedemikian rupa
dalam kedaulatan-Nya sehingga memungkinkan kehidupan. Untuk
memberi dasar dan dukungan bagi pelaksanaan misi Allah maka Allah
33 Brueggemann, 528.
menguduskan diriNya “Sabat Penciptaan”34 yang di dalamnya Allah
sendiri mengikat perjanjian berkat bagi semua ciptaanNya. Dari
peristiwa ini mengindikasikan suatu rencana misi Allah yang bukan
saja hanya terhadap Adam sebagai manusia pertama tetapi juga
kepada seluruh ciptaan dalam suatu perjanjian. yang di dalamnya
Allah sendiri mengikat perjanjian berkat bagi semua ciptaanNya.
Dari peristiwa ini mengindikasikan suatu rencana misi Allah yang
bukan saja hanya terhadap Adam sebagai manusia pertama tetapi
juga kepada seluruh ciptaan dalam suatu perjanjian. Yakob
Tomatala mengindikasika beberapa hal yang berkaitan antara
ciptaan dengan pelaksanaan misi Allah;35
Sebagai pencipta, Ia pemberi berkat, Allah adalah jaminan
berkat bagi misiNya.
Sebagai pencipta, Ia pemberi berkat, Allah adalah pelaksana
berkat bagi misiNya.
Sebagai pencipta dan pemberi berkat, Allah adalah kenyataan
berkat bagi misiNya.
Sebagai pencipta dan pemberi berkat, Allah mengarahkan berkat
misiNya kepada ciptaanNya.
34 Tomatala, 6.35 Tomatala, 6.
Bosch juga melihat bagaimana pesta-pesta alam seperti pesta-pesta
buah sulung dan pesta panen, sesuai dengan logika ini, setahap
demi setahap diubah menjadi pesta-pesta peristiwa historis
artinya pesta-pesta alam menjadi perayaan-perayaan berbagai
perisiwa dalam sejarah keselamatan.36
Penutup
Kalau banyak pihak menyatakan Perjanjian lama tidak dapat
menjadi dasar untuk membangun sebuah teologi misi, itu adalah
sebuah kesalahan. Janji keselamatan dan rancangan misi Allah
secara konsisten mengalir dari mulai peristiwa penciptaan sampai
pada kegenapan janji keselamatan itu. Alkitab telah mencatat
bagaimana fakta misi penyelamatan yang Allah lakukan mengalir
dalam sejarah. Perjanjian lama seperti menjadi perintis jalan
bagi sejarah keselamatan yang universal bagi seluruh umat
manusia. Bosch mengutip perkataan dari Thomas Ohm dalam magnum
opus-nya – adalah pesannya (Perjanjian Lama) mengenai
pemerintahan Allah sebagai sesuatu yang “sepenuhnya bersifat
36 Bosch, 25.
keagamaan, supranasional, berasal dari dunia yang lain, sama