KONSEP METODE PENDIDIKAN AKHLAK IBNU MISKAWAIH DAN RELEVANSINYA TERHADAP PENDIDIKAN AKHLAK DI SDN PETIR 3 SKRIPSI Diajukan Kepada Jurusan Pendidikan Agama Islam Untuk Memenuhi Persyaratan Meraih Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd) Oleh : ASEP QUSYAIRI 1113011000041 FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2020 M / 1441 H
93
Embed
KONSEP METODE PENDIDIKAN AKHLAK IBNU MISKAWAIH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...pendidikan ibnu miskawaih masih relavan terhadap pendidikan karakter di Indonesia.
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
KONSEP METODE PENDIDIKAN AKHLAK IBNU
MISKAWAIH DAN RELEVANSINYA TERHADAP
PENDIDIKAN AKHLAK DI SDN PETIR 3
SKRIPSI
Diajukan Kepada Jurusan Pendidikan Agama Islam Untuk Memenuhi Persyaratan
Meraih Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd)
Oleh :
ASEP QUSYAIRI
1113011000041
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA 2020 M / 1441 H
i
ABSTRAK
Asep Qusyairi (NIM: 1113011000041) Konsep Metode Pendidikan Akhlak Ibnu
Miskawaih Dan Relevansinya Terhadap Pendidikan Akhlak Di Sdn Petir 3
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui konsep pendidikan akhlak ibnu
miskwaih dan relevansinya terhadap pendidikan karakter di Indonesia. Penelitian
ini menggunakan pendekatan kualtitatif, yaitu data yang diperoleh (berupa kata-
kata, gambar dan perilaku) tidak dituangkan dalam bentuk bilangan atau angka
melainkan tetap dalam bentuk kualitatif, sifatnya menganalisa dan memberi
pemaparan mengenai situasi yang diteliti dalam bentuk naratif. Jenis penelitian
yang digunakan adalah penelitian kepustakaan/library research yakni
mengumpulkan, menelaah dan mengkaji data atau karya tulis ilmiah yang bertujuan
dengan obyek penelitian atau pengumpulan data yang bersifat kepustakaan. Sumber
data primer adalah data yang diperoleh langsung dari objek yang diteliti. Dalam hal
ini kitab Tahzib al Akhlaq. Sedangkan data sekunder merupakan data-data yang
mendukung data primer, yaitu buku-buku dan literatur yang relevan dengan
penelitian ini. Data sekunder yang digunakan peneliti dalam penelitian ini adalah
buku, jurnal dan sumber literatur lainnya yang mengkaji tentang akhlak terkait
konsep pendidikan akhlak ibnu akhlak. Teknik analisis data menggunakan teknik
content analysis dalam bentuk deskriptif. Hasil penelitian ini yakni konsep
pendidikan ibnu miskawaih masih relavan terhadap pendidikan karakter di
Indonesia. Karena konsep yang beliau bawa dalam kitabnya, menekankan
pembangunan pendidikan moral. Hal itu tentu sesuai dengan apa yang di inginkan
oleh masyarakat Indonesia yang nilai moral masih jauh tertinggal oleh Negara lain.
Terutama dalam moral akhlak islami.
ii
ABSTRACT
Asep Qusyairi (NIM: 1113011000041) The Concept of Ibn Miskawaih Moral
Education Method and Its Relevance to Moral Education in Sdn Petir 3
This study aims to determine the concept of Ibn Miskwaih's moral education and
its relevance to character education in Indonesia. This study uses a qualitative
approach, ie the data obtained (in the form of words, pictures and behavior) is not
set forth in the form of numbers or numbers but remains in a qualitative form, the
nature of analyzing and giving exposure to the situation under study in narrative
form. The type of research used is library research / library research that is
collecting, studying and reviewing data or scientific papers that aim at the object of
research or collection of data that are library. Primary data sources are data obtained
directly from the object under study. In this case the book of Tahzib al Akhlaq.
While secondary data is data that supports primary data, namely books and
literature relevant to this study. Secondary data used by researchers in this study are
books, journals and other sources of literature that examines morals related to the
concept of Ibn Moral Moral Education. Data analysis techniques using content
analysis techniques in descriptive form. The results of this study are Ibnu
Miskawaih's concept of education is still relevant to character education in
Indonesia. Because the concept he brought in his book, emphasizes the building of
moral education. That is certainly in accordance with what is desired by the people
of Indonesia whose moral values are still far behind by other countries. Especially
in Islamic moral morals.
iii
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahiim.
Assalamua’alaikum Warohmatullahi Wabarakatuh ..
Segala Puji bagi Allah atas limpahan rahmat-Nya, atas segala nikmat yang
telah diberikan, baik nikmat islam, iman dan sehat wal afiat. Shalawat dan salam
penulis haturkan kepada Nabi Muhammad SAW yang telah diberikan keistimewaan
oleh Allah SWT yakni Jawami’ulkalim (ungkapan yang singkat namun maknanya
padat).
Penulis bersyukur atas rahmat dan berkah-Nya, sehingga skripsi ini dapat
diselesaikan dengan judul “Konsep Pendidikan Akhlak Ibnu Miskawaih dan
Relevansinya Terhadap Pendidikan Karakter di Indonesia.” Skripsi ini disusun
untuk melengkapi dan memenuhi persyaratan dalam memperoleh gelar Sarjana
Pendidikan (S.Pd). Penelitian ini terselesaikan tentunya tidak dengan hasil kerja
penulis pribadi, melainkan mendapat bantuan dari berbagai pihak, maka dari itu
penulis ingin mengucapkan banyak terima kasih kepada:
1. Prof. Dr. Hj. Amany Burhanuddin Umar Lubis selaku Rektor Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Pendidikan UIN Syarif Hidayatullah Ibu
Sururin, M.Ag beserta Staf dan Jajarannya.
3. Terima kasih saya ucapkan kepada Bapak Drs. Abdul Haris, M.Ag selaku
Ketua Jurusan Pendidikan Agama Islam.
4. Terima kasih pula kepada Drs. Rusdi Jamil, M.Ag Selaku Sekretaris Jurusan
Skripsi yang telah meluangkan waktu dan tenaganya sehingga skripsi
selesaikan. Semoga Allah swt membalas segala amal baik beliau dengan
sebaik-baiknya balasan.
6. Bapak. Dr Dimyati, M.Ag., selaku dosen pembimbing akademik.
iv
7. Segenap para Dosen jurusan Pendidikan Agama Islam yang telah
memberikan banyak ilmu dan membantu baik prihal akademik maupun hal
lainnya.
8. Kedua Orang tua, Almarhum Ayahanda saya H. Ali dan Ibunda Hj.
Kosriyah yang tanpa henti memberikan Do’a, dukungan dan bimbingannya
kepada penulis dan semoga ibunda saya selalu diberikan kesehatan.
9. Kepada para sahabat seperjuangan kelas PAI-B dan juga keluarga besar
PAI angkatan 2013 yang telah memberikan banyak kesan baik selama
berkecimpung di dunia perkuliahan. Semoga Allah membalas segala amal
baik kalian.
10. Keluarga Besar SDN Petir 3 yang telah memberikan masukan, dukungan
dan motivasi kepada penulis, semoga selalu diberikan kesehatan dan selalu
dalam lindungan Allah Swt.
11. Sahabat-sahabat Keluarga Besar MAPK 2013 terutama Ahmad Milki,
Ajrine Rahma, Ahmad Ulan Fahri serta Forum AL-MADANY (Alumni MA
Annida Al-Islamy) yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu, semoga
selalu dalam lindungan Allah Swt.
Dan kepada semua pihak, teman-teman yang lain dimanapun kalian berada
yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu yang telah membantu terselesaikannya
skripsi ini semoga dimanapun kalian berada senantiasa diberikan kesehatan dan
dilancarkan segala urusan. Penulis meminta maaf karena pasti terdapat kekurangan
dalam penulisan ini, Olehkarenanya, saran dan kritik yang membangun dari
berbagai pihak senantiasa penulis harapkan demi terciptanya penelitian yang lebih
baik lagi.
Wassalamu ‘alaikum …
Jakarta, 1 Jnui 2020
Penulis
Asep Qusyairi
v
DAFTAR ISI
HALAMAN
ABSTRAK i
ABSTRACT ii
KATA PENGANTAR iii
DAFTAR ISI v
LAMPIRAN vii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah 1
B. Identifikasi Masalah 6
C. Pembatasan Masalah 6
D. Rumusan Masalah 7
E. Tujuan Penelitian 7
F. Manfaat Penelitian 7
BAB II
KAJIAN TEORI
A. Pengertian Pendidikan Akhlak 8
B. Konsep Pendidikan Akhlak Ibnu Miskawaih 21
C. Metode Mujahadah dan Riyadhoh 33
D. Model Pendidikan Akhlak 36
E. Hasil Penelitian Yang Relevan 44
vi
HALAMAN
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Jenis dan Pendekatan Penelitian 46
B. Objek dan Subjek Penelitian 47
C. Teknik Pengumpulan Data 48
D. Teknik Analisis Data 48
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Metode Pendidikan Akhlak Ibnu Miskawaih 50
B. Metode Pendidikan Akhlak di SDN Petir 3 Kota Tangerang 54
C. Relevansi Konsep Metode Pendidikan Akhlak Ibnu Miskawaih
Terhadap Pendidikan Akhlak di SDN Petir 3 Kota Tangerang 57
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan 64
B. Saran 66
DAFTAR PUSTAKA 69
LAMPIRAN 72
vii
LAMPIRAN-LAMPIRAN
LAMPIRAN 1 Surat Bimbingan Skripsi
LAMPIRAN 2 Surat Izin Penelitian
LAMPIRAN 3 Surat Keterangan Penelitian
LAMPIRAN 4 Surat Uji Referensi
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Masalah terbesar yang sedang dihadapi bangsa Indonesia adalah semakin
merosotnya moral bangsa. Perilaku yang tidak bermoral dapat disaksikan setiap saat
melalui media elektronik, mulai dari kasus korupsi, pencurian, pemerkosaan,
pembunuhan, judi, minuman keras, obat-obatan terlarang, seks bebas, kekerasan
dalam rumah tangga, tauran pelajar, gang motor dan lain-lain.
Kemerosotan moral yang demikian itu lebih menghawatirkan lagi, karena
bukan hanya terjadi di kalangan orang dewasa dalam berbagai jabatan, kedudukan
dan profesinya, melainkan juga telah menimpa para pelajar, pemuda yang di
harapkan dapat melanjutkan perjuangan membela kebenaran, keadilan dan
perdamaian masa depan.
Tingkah laku menyimpang yang ditunjukkan oleh sebagian generasi muda
harapan masa depan itu, sekalipun jumlahnya mungkin hanya seperkian persen dari
jumlah pelajar secara keseluruhan, tetapi tetap sangat disayangkan. karena
fenomena tersebut dapat mencoreng citra bangsa Indonesia yang dulu terbiasa
santun dalam berperilaku, ramah tamah, musyawarah mufakat dalam
menyelesaikan masalah, mempunyai kearifan lokal yang kaya dengan pluralitas,
serta bersikap toleran dan gotong royong.
Pelajar sebagai seorang remaja memiliki peranan sangat penting dan
keberadaannya tidak bisa kita pisahkan dari masyarakat. Hal ini dapat diasumsikan
bahwa permasalahan remaja dengan berperilaku negatif merupakan bagian dari
permasalahan sosial yang merugikan masyarakat. Pada masa usia seperti mereka
inilah terjadi kerawanan, sehingga memerlukan perhatian khusus.
Kerawanan yang sering terjadi pada masa remaja ini disebabkan
bergejolaknya keinginan dan dorongan-dorongan yang kadang dapat
2
menjerumuskan mereka kepada perilaku negatif. Karena masa remaja adalah masa
timbulnya berbagai macam kebutuhan dan emosi serta tumbuhnya kekuatan dan
kemampuan fisik lebih jelas dan daya pikir menjadi matang.
Semua perilaku negatif masyarakat Indonesia baik yang terjadi di kalangan
pelajar dan mahasiswa maupun kalangan yang lainnya, jelas menunjukkan
rapuhnya moral bangsa Indonesia yang salah satunya disebabkan oleh tidak
optimalnya pengembangan pendidikan akhlak di lembaga pendidikan. Padahal
negara dalam Undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional (Sisdiknas) telah menegaskan bahwa pendidikan nasional berfungsi
mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang
bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung
jawab.
Apabila gejala dan fakta realitas tersebut tidak disikapi secara profesional
dan bijak, bangsa ini menjadi bangsa yang gagal karena generasi mudanya telah
teracuni narkoba, miras, sex bebas dan tawuran, sedangkankan generasi tuanya
telah terkontaminasi oleh budaya koruptif dan selingkuh, yang merupakan
eksistensi dari kehidupan matrealisme, permisivisme dan glamorisme.1
Membuat peserta didik berkarakter adalah tugas pendidikan, yang esensinya
adalah membangun manusia seutuhnya, yaitu manusia yang baik dan berkarakter.2
Lembaga pendidikan formal atau sekolah dikonsepsikan untuk mengemban
fungsi reproduksi, penyadaran, dan mediasi secara simultan. Fungsi-fungsi sekolah
itu diawadahi melalui proses pendidikan dan pembelajaran sebagai inti bisnisnya.
1 Anas Salahudin dan Irwanto, Pendidikan Karakter, Pendidikan Berbasis Agama dan
Budaya, (Bandung: Pustaka setia, 2013), h. 16. 2 Ibid., h. 43
3
Pada proses pendidikan dan pembelajaran itulah terjadi aktivitas kemanusiaan dan
pemanusiaan sejati.3
Menurut ajaran Islam, hakikat pendidikan adalah mengembalikan nilai-nilai
ilahiah pada manusia (fitrah) dengan bimbingan Al-Qur’an dan Hadits sehingga
menjadi manusia yang berakhlak mulia.4 Hal tersebut sangat sesuai dengan firman
Allah SWT. Yang menjelaskan:
كتاب أنزلناه إليك مبارك ليدبروا آياته وليتذكر أولو اللباب
Artinya: “Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh
dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatNya dan supaya mendapat
pelajaran orang-orang yang mempunyai fikiran.” (Q.S Shadd:29)
Salah satu misi utama agama Islam adalah menyempurnakan akhlak
manusia. al-akhlak al-karimah yang diajarkan Islam merupakan orientasi yang
harus dipegang oleh setiap muslim. Seseorang yang hendak memperoleh
kebahagiaan sejati (al-sa’âdah al-haqîqiyyah), hendaknya menjadikan akhlak
sebagai landasan dalam berperilaku. Sebaliknya orang yang tidak memperdulikan
pembinaan akhlak adalah orang yang tidak memiliki arti tujuan hidup.
Membicarakan akhlak merupakan hal yang sangat penting dan sangat
mendasar. Akhlak yang baik adalah semulia-mulianya sesuatu, sebaik-baiknya
manusia. Dengan Akhlak yang baik, manusia menjadi lebih tinggi derajatnya
ketimbang derajat binatang.5 Begitu pentingnya akhlak bagi kehidupan manusia
sehingga jatuh bangunnya suatu masyarakat tergantung kepada bagaimana
akhlaknya. Apabila akhlaknya baik, maka sejahteralah lahir dan batinnya, apabila
akhlaknya rusak maka rusaklah lahir dan batinnya.
Di era modern seperti sekarang ini, sedikitnya terdapat tiga fungsi akhlak
dalam kehidupan manusia. Pertama, ia dapat dijadikan sebagai panduan dalam
3 Sudarwan Danim, Visi Baru Manajemen Sekolah, (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), h. 1 4 Ibid., h. 49 5 Ibnu Maskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhlak, (Bandung: Mizan, 1994), Cet. I, h. 25
4
memilih apa yang boleh diubah, dan apa pula yang harus dipertahankan. Kedua,
dapat dijadikan sebagai obat penawar dalam menghadapi berbagai ideologi
Oleh karena itu tujuan pendidikan yang ingin dicapai oleh Ibnu
Miskawaih adalah bersifat menyeluruh, yakni mencapai
kebahagiaan hidup manusia dalam arti yang seluas-luasnya.
2) Muatan Materi
Di samping konsep yang ditawarkan oleh Ibnu Miskawaih,
untuk mencapai tujuan yang diinginkan dalam konteks pendidikan
akhlak, maka perlu mendeskripsikan komponen-komponen sebagai
jembatan yang harus dilalui. Komponen yang dimaksud dalam hal
ini ialah materi pendidikan sebagai perantara menuju tujuan. Materi
pendidikan yang disampaikan harus berkaitan dengan tujuan yang
ingin dicapai agar berkesinambungan. Ada tiga hal penting atau
pokok yang dapat dipahami sebagai materi pendidikan akhlaknya,
yaitu: hal-hal yang wajib bagi kebutuhan tubuh manusia, hal-hal
yang wajib bagi jiwa dan hal-hal yang wajib bagi hubungannya
dengan sesama manusia. Oleh karenanya, Ibnu Miskawaih berbeda
dengan al-Ghazali yang mengkategorikan dan mengklasifikasikan
ilmu dengan dua macam, yaitu ilmu agama dan ilmu non-agama
serta hukum mempelajarinya. Adapun materi yang wajib bagi
kebutuhan manusia menurut Ibnu Miskawaih ialah seperti salat dan
puasa. Sedangkan materi pendidikan akhlak yang wajib dipelajari
bagi keperluan jiwa ialah seperti pembahasan tentang akidah yang
benar, meng-Esakan Allah dengan segala kebesaran-Nya serta
memotivasi untuk senang terhadap ilmu.
61 Abuddin Nata, h. 11-12
28
Selanjutnya, materi yang terkait dengan keperluan manusia
terhadap manusia lain ialah seperti ilmu muamalat, pertanian,
perkawinan, saling menasehati, peperangan dan sebagainya.
Ketiganya merupakan sesuatu yang tidak boleh tidak harus dimiliki
oleh manusia demi keberlangsungan hidupnya dan mencapai
kebahagiaan di dunia dan akhirat. Kemudian, karena materi-materi
tersebut selalu dikaitkan dengan pengabdian kepada Tuhan, maka
apapun materi yang terdapat dalam suatu ilmu yang ada, asalkan
semuanya tidak lepas dari tujuan pengabdian kepada Tuhan, Ibnu
Miskawaih tampaknya akan menyetujuinya.
Dan juga Ibnu Miskawaih menganjurkan agar mempelajari
buku-buku yang khusus berbicara tentang akhlak supaya mendapat
motivasi yang kuat untuk beradab. Pendapat Ibnu Miskawaih di atas
nampaknya lebih jauh mempunyai maksud agar setiap
guru/pendidik, apapun materi bidang ilmu yang diasuhnya harus
diarahkan untuk terciptanya akhlak yang mulia bagi diri sendiri dan
murid-muridnya.62
3) Kode etik Pendidik dan Peserta Didik
Menurut Ibnu Miskawaih, pendidik mempunyai tugas dan
tanggung jawab untuk meluruskan peserta didik melalui ilmu
rasional agar mereka dapat mencapai kebahagiaan intelektual dan
untuk mengarahkan peserta didik pada disiplin-disiplin praktis dan
aktifitas intelektual agar dapat mencapai kebahagiaan praktis.63 Dari
pernyataan tersebut dapat diketahui bahwa pandangan Ibnu
Miskawaih tentang pendidik sesuai dengan pandangannya tentang
daya jiwa yang ada dalam diri manusia dan pendidik mempunyai
tugas dan tanggung jawab untuk mengembangkan ilmu yang bersifat
62 Maghfiroh., Muliatul, “Pendidikan Akhlak menurut kitab Tahzib Al-Akhlak karya Ibnu
Miskwaih”, Tadris, Vol. 11 nomor 2, Desember 2016, hal. 210. 63 Ibn Miskawaih, h. 61-62
29
rasional dan praktis tersebut, sehingga etika filsafat Ibnu Miskawaih
dapat dikategorikan pada filsafat etika praktis dan teoritis.
Pandangan Ibnu Miskawaih tentang pendidik diklasifikasikan
menjadi dua, yaitu orang tua dan guru. Sementara itu, guru
menurutnya ada dua, yaitu guru ideal mua'lim al-hakim dan guru
biasa dengan persyaratan masing-masing. Adapun pandangan Ibnu
Miskawaih tentang kewajiban peserta didik adalah mencintai guru
yang melebihi cintanya terhadap orang tua. Bahkan kecintaan
peserta didik terhadap gurunya disamakan dengan cinta terhadap
Tuhannya. Oleh karena itu, dalam interaksi edukatif antara guru dan
murid harus didasarkan pada perasaan cinta kasih. Dengan adanya
dasar semacam ini proses pembelajaran diharapkan berjalan sesuai
dengan yang diharapkan.
4) Metode Pendidikan
Metode yang dikemukakan Ibnu Miskawaih dalam upaya
mencapai akhlak yang baik adalah pertama; kemauan yang
bersungguh-sungguh. Adanya kemauan secara bersungguh-sungguh
untuk berlatih secara terus menerus dan menahan diri (al-‘adat wa
al-jihad) untuk memperoleh keutamaan dan kesopanan yang
sebenarnya adalah sesuai dengan keutamaan jiwa.64
Latihan ini bertujuan untuk menahan kemauan jiwa al-
syahwaniyyat dan alghadabiyyat. Latihan yang dilakukan antara lain
adalah dengan makan dan minum yang tidak berlebihan yang
membawa pada kerusakan tubuh. Sedangkan yang kedua; yakni
menjadikan pengetahuan dan pengalaman orang lain sebagai cermin
bagi dirinya, yaitu pengetahuan dan pengalaman berkenaan dengan
hukum akhlak yang berlaku bagi sebab munculnya kebaikan dan
64 Ibn Miskawaih, h. 65
30
keburukan bagi manusia. Dengan cara ini seseorang tidak akan
hanyut kepada perbuatan yang tidak baik, karena ia bercermin
kepada perbuatan buruk dan akibat buruk yang dialami orang lain.65
5) Materi Pendidikan Akhlaq
Secara garis besar Ibnu Miskawaih mengklasifikasikan materi
pendidikan akhlak ke dalam tiga jenis, Di antaranya yaitu (1) hal-hal
yang wajib bagi kebutuhan tubuh manusia, (2) hal-hal yang wajib
bagi jiwa manusia dan (3) hal-hal yang wajib bagi hubungannya
dengan sesama manusia. Pembagian semacam ini tidak terlepas dari
pembagian Ibnu Miskawaih tentang daya jiwa manusia. 66 Dari
ketiga pokok materi tersebut, maka akan diperoleh ilmu yang secara
garis besar dapat dikelompokkan menjadi dua, pertama; ilmu-ilmu
tentang pemikiran (al-‘ulum al-fikriyah), kedua; ilmu yang berkaitan
dengan indera (al-‘ulum al-bissiyat).
6) Lingkungan Pendidikan
Kebahagiaan tidak akan dapat dicapai oleh manusia tanpa
bantuan orang lain, kebahagiaan bisa dicapai jika manusia
bekerjasama, saling tolong menolong dan saling melengkapi.
Kondisi tersebut akan tercipta jika sesame manusia saling mencintai.
Menurut Ibnu Miskawaih sebaik-baik manusia adalah orang yang
berbuat baik terhadap keluarga dan orang-orang yang masih ada
kaitan dengannya; baik saudara, anak atau orang yang masih ada
hubungan dengan saudara atau anak, kerabat, keturunan, rekan,
tetangga, kawan atau kekasih.67 Salah satu tabiat manusia adalah
memelihara diri.
65 Abuddin Nata, h. 23-25 66 Ibn Miskawaih, h. 116 67 Ibn Miskawaih, h. 44
31
Untuk memperolehnya, maka manusia harus berusaha dan
memperolehnya secara bersama-sama dengan makhluk sejenisnya,
Di antaranya adalah dengan cara melakukan pertemuan; seperti
shalat berjamaah. Untuk mencapai lingkungan yang demikian, maka
kepala negara dan aparatnya wajib menciptakannya. 68 Walaupun
Ibnu Miskawaih tidak membicarakan secara eksplisit tentang
lingkungan pendidikan, tetapi ia banyak membicarakan tentang
lingkungan masyarakat secara umum.
c. Orientasi Pendidikan Akhlaq
Kehidupan manusia yang senantiasa terus berproses dalam
perkembangan kehidupannya. Di antara persoalan pendidikan yang
cukup penting dan mendasar adalah mengenai tujuan pendidikan.
Tujuan pendidikan merupakan masalah sentral dalam pendidikan, sebab
tanpa adanya perumusan tujuan pendidikan yang baik, maka perbuatan
mendidik tidak akan jelas, tanpa arah dan bahkan bisa menjadi tersesat.
Oleh karenanya masalah tujuan pendidikan menjadi inti dan sangat
penting dalam menentukan isi dan arah pendidikan yang diberikan.69
Menurut Ibnu Miskawaih tujuan pendidikan akhlak adalah
terwujudnya sikap batin yang mampu mendorong melakukan perbuatan
yang bernilai baik atau pribadi susila, sehingga akan memperoleh
kebahagiaan disisi Allah di akhirat kelak dan hidup dengan perilaku
yang baik di dunia. Dengan begitu diharapkan akan diperoleh
kebahagiaan (al-Sa'adah).70
Dalam mewujudkan sikap batin yang mampu mendorong perbuatan
yang bernilai baik, menurut Ibnu Miskawaih dapat dilakukan dengan
68 Ibn Miskawaih, h. 128-129 69 Kartini Kartono, Pengantar Ilmu Mendidik Teoritis, (Bandung : Mandar Maju, 1992), h.
214 70 Busyairi Majidi, Konsep Penddikan Islam Para Filosof Muslim, (Yogyakarta : al-Amin
Press, 1997), h. 70
32
keharusan meluruskan perangai berlandaskan ajaran filsafat yang benar,
sehingga perbuatan akan terwujud dengan mulus. Ibnu Miskawaih
menganalisis kebahagiaan dan mendefinisikan kebaikan tertinggi guna
menyimpulkan kebahagiaan manusia selaku manusia. Kebahagiaan
dimaksud harus menjadi tujuan tertinggi dengan sendirinya, karena
berhubungan dengan akal, suatu hal yang paling mulia pada diri
manusia.71
Menurutnya, manusia memiliki dua kebajikan, pertama adalah
kebajikan ruhani yang dengannya ia dapat mencapai kebahagiaan
menyamai ruh-ruh yang baik (ruh malaikat) dan kedua adalah kebajikan
jasmani, yang dengannya ia dapat mencapai kebahagiaan menyamai
binatang. Dengan berbekal fisik,yang dengannya ia menyamai binatang,
manusia tinggal di alam rendah dan akan mendapat kebahagiaan yang
relatif singkat untuk memakmurkan bumi ini. Apabila dia telah
mencapai derajat kesempurnaan dalam mengemban tugas
kemanusiaannya, dia akan berpindah ke alam tinggi dan tinggal di sana
penuh keabadian dan kesentosaan bersama para malaikat atau ruh-ruh
yang baik.72
Dengan demikian kebahagiaan yang paling tinggi adalah kebajikan
yang bersifat ilahi, yaitu perbuatan yang seluruhnya sudah menjadi
perbuatan ilahi dan keluar dari diri sejati yang merupakan akal yang
bersifat ilahi, dan esensi realnya berarti esensi-Nya juga. Kalau manusia
sudah mencapai tingkatan ini, maka jiwa kebinatangannya akan hilang
dan digantikan dengan jiwa akal.
Untuk itu manusia harus berusaha mencapai kebajikan terakhir ini,
akan tetapi karena kebajikan bukanlah sesuatu yang bersifat alami dalam
diri manusia, maka harus diusahakan. Karenanya menjadi suatu
71 Ahmad Mahmud Subhi, Filsafat Etika ; Tanggapan Kaum Rasionalis dan Intusionalis
Islam, (Jakarta : Serambi, 2001), 310 72 Ibn Miskawaih, h. 94-96
33
kewajiban untuk mengajarkan dasar-dasar pengetahuan dan pergaulan.
Pengetahuan yang paling penting bagi anak kecil adalah pengetahuan
syariat, sebab itu adalah kewajiban guna menerima kebijaksanaan dan
mencari keutamaan dan kebahagiaan.
Demikianlah arah dan orientasi tujuan pendidikan akhlak Ibnu
Miskawaih yang berusaha mewujudkan peserta didik yang berbudi
pekerti susila dan punya ilmu pengetahuan yang memadai, sehingga
akan memperoleh kebahagiaan di dunia dan di akhirat secara sempurna.
Disamping itu yang patut dibanggakan dalam pendidikan akhlak Ibnu
Miskawaih adalah juga berorientasi untuk membentuk manusia yang
berkepribadian utama atau manusia yang berkepribadian muslim atau
insan kamil, sehingga orientasi pendidikan akhlak bersesuaian dengan
formulasi rumusan tujuan pendidikan Islam.
C. Metode Mujahadah dan Riyadhah
Di kalangan para sâlikîn atau pengamal tarikat, istilah mujâhadah
dan riyâdhah dikenal sebagai metode. Mujâhadah menurut bahasa artinya
bersungguh-sungguh agar sampai kepada tujuan.6 Secara lebih luas,
mujâhadah adalah suatu upaya yang sungguh-sungguh dalam memerangi
hawa nafsu (keinginankeinginan) serta segala macam ambisi pribadi supaya
jiwa menjadi suci bersih bagaikan kaca yang segera dapat menangkap apa
saja yang bersifat suci, sehingga ia berhak memperoleh pelbagai
pengetahuan yang hakiki tentang Allah dan kebesaran-Nya.
Dengan demikian, mujâhadah merupakan tindakan perlawanan
terhadap nafsu, sebagaimana usaha memerangi semua sifat dan perilaku
buruk yang ditimbulkan oleh nafsu amarahnya, yang lazim disebut
mujâhadah alnafs.7
Berkaitan dengan ini, Allah Swt. berfirman, “Dan mereka yang
mujâhadah /bersungguh-sungguh mencari Allah, maka sungguh kami
(Allah) akan menunjukkan jalan (Tarekat) kepada kamu.” (Q.S. [29]:49)
34
Ujung dari keberhasilan mujâhadah adalah munculnya kebiasaan dari
seorang sâlikîn untuk menghiasi dirinya dengan dzikrullah sebagai cara
untuk membersihkan hatinya dan sebagai upaya untuk mencapai
musyahadah (merasakan adanya kehadiran Allah).8
Adapun riyâdhah artinya “latihan”. Maksudnya adalah latihan
rohaniah untuk menyucikan jiwa dengan memerangi keinginan-keinginan
jasad (badan). Proses yang dilakukan adalah dengan jalan melakukan
pembersihan atau pengosongan jiwa dari segala sesuatu selain Allah,
kemudian menghiasi jiwanya dengan zikir, ibadah, beramal saleh dan
berakhlak mulia. Pekerjaan yang termasuk kedalam amalan riyâdhah adalah
mengurangi makan, mengurangi tidur untuk salat malam, menghindari
ucapan yang tidak berguna, dan berkhalwat yaitu menjauhi pergaulan
dengan orang banyak diisi dengan ibadah, agar bisa terhindar dari perbuatan
dosa.9
Tujuan riyâdhah bagi seorang sufi adalah untuk mengontrol diri,
baik jiwanya maupun badannya, agar roh tetap suci.10 Karena itu, riyâdhah
haruslah dilakukan secara sungguhsungguh dan penuh dengan kerelaan.
Riyâdhah yang dilakukan dengan kesungguhan dapat menjaga seorang
sâlikîn dari berbuat kesalahan, baik terhadap manusia ataupun makhluk
lainnya, terutama terhadap Allah Swt. Dan bagi seorang sufi riyâdhah
merupakan sarana untuk mengantarkan dirinya lebih lanjut pada tingkat
kesempurnaan, yaitu mencapai hakekat.11
Mujâhadah dan riyâdhah yang dilakukan oleh sâlikin secara
sungguh-sungguh akan mendatangkan cahaya di dalam kalbu mereka.
Dengan kesungguhan ber-mujâhadah dan berriyâdhah, Allah akan
menumbuhkan rasa manisnya amal ibadah di hati para sâlikin, sehingga
mereka semakin tekun beribadah. Mereka benar-benar akan merasakan
nikmatnya salat, puasa, zikir, dan ketaatan lainnya. Dan akhirnya Allah akan
35
menumbuhkan dalam kalbu mereka sifat-sifat terpuji, seperti ikhlas,
tuma’ninah, sabar, jujur, istiqamah dan selalu gemar beribadah.
Bagi mereka yang sudah bersungguh-sungguh melakukan
mujâhadah dalam ibadahnya, biasanya akan menerima nur dari Allah yang
datang ke hatinya, sehingga hati itu mengalami keadaan (hâl) yang
bermacam-macam. Ada yang merasakan keresahan dan ketakutan yang
sangat kepada Allah, atau rasa cinta yang besar kepada Allah, atau
munculnya rasa kasih sayang kepada semua makhluk Allah, atau
menimbulkan gairah menegakkan agama Allah, dan bahkan ada yang
mendapatkan kasyf (tersingkapnya rahasia batin) atau musyâhadah.
Dalam suatu hadits Qudsi, Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:
“Senatiasa hamba-Ku tetap berupaya mendekatkan diri kepada-Ku dengan
amalamal sunnah hingga Aku mencintainya. Jika Aku telah mencintainya,
maka Aku adalah pendengarannya yang dipakainya untuk mendengar, dan
penglihatannya yang dipakai olehnya untuk melihat serta tangannya yang
dipakainya untuk menggenggam”.12 Bagi para sâlikin, hadits qudsi di atas
sering dijadikan rujukan dalam beribadah secara sungguh-sungguh. Tak
heran, jika ahli ahli tarikat sering kali dicirikan sebagai orang yang
keterlaluan dalam menjalankan mujâhadah.
Namun demikian, Islam adalah agama pertengahan dan
penyeimbang. Rasulullah Saw. sendiri mengajarkan umatnya agar berlaku
pertengahan dalam menjalankan ibadah dan tidak ekstrim. Beliau bersabda:
“Aku berpuasa dan berbuka, makan daging dan juga menggauli istri-istriku.
Maka barang siapa tidak menyukai sunahku, dia tidak termasuk
golonganku.”13 Sebagaimana dikatakan di atas, mujâhadah dan riyâdhah
yang diamalkan oleh para sâlikîn merupakan latihan rohaniah dalam rangka
menyucikan jiwa (tazkiyyatun nafs), agar hati diliputi nur Ilahiah,
tersingkapnya rahasia batin (mukâsyafah), merasakan nikmat dan lezatnya
36
beribadah. Ini merupakan keadaan (hâl) bagi para sâlikîn dalam
mendekatkan dirinya kepada Allah Swt.
Pencapaian tersebut tidak lepas dari jalan (tharîq) yang harus mereka
lalui. Karena syariat bagaikan pohon, tarekat bagaikan cabang, makrifat
bagaikan daun, dan hakekat bagaikan buah”, demikian ungkap As-Syekh
Abdul Qadir Jaelani.14 Dalam menempuh jalan, diumpamakan cabang
tersebut terdiri dari beberapa tingkatan (maqâmât) yang harus ditempuh satu
demi satu, dan memerlukan waktu yang panjang dan berat, mereka akan
mengalami berbagai keadaan batin yang disebut dengan ahwal. Jadi,
maqâmât dan ahwâl merupakan tahap-tahap yang lazim dilalui oleh para
sâlik menuju tujuan puncaknya, yaitu mencapai ma`rifatullâh (buah).
D. Model Pendidikan Karakter
1. Pengertian Model Pendidikan Akhlak
Model diartikan sebagai kerangka konseptual yang dipergunakan
sebagai pedoman atau acuan dalam melakukan sesuatu yang berurutan
mewujudkan suatu proses seperti penilaian suatu kebutuhan, pemilihan
media, metode maupun evaluasi. 73 Sedangkan pendidikan akhlak
merupakan sub atau bagian pokok dari materi pendidikan agama yang
merupakan proses internalisasi nilai-nilai akhlak mulia ke dalam peserta
didik sehingga nilai-nilai tersebut tertanam kuat dalam pola pikir (mindset),
ucapan dan perbuatannya, serta dalam interaksinya dengan Tuhan, manusia,
serta lingkungan alam.74
Maka dilihat dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa Model
pendidikan akhlak dapat diartikan sebagai bentuk pendidikan yang
tergambar dari awal hingga akhir yang disajikan secara khas oleh sekolah
73 Amirullah Syarbini, Model Pendidikan Karakter Dalam Keluarga, hlm. 7 74 Abudin Nata, Kapita Selekta Pendidikan Islam Isu Isu Kontemporer tentang Pendidikan
Islam, (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), hlm. 209
37
mengenai pendidikan akhlak. Di dalamnya terkandung strategi pencapaian
kompetensi siswa dengan pendekatan, metode, dan teknik.
Dari pengertian tersebut diketahui bahwa model mencakup beberapa
hal, yang terangkum dalam strategi yang dilaksanakan, dan menjadi
pedoman, yang mana model tersebut digunakan sebagai petunjuk oleh guru
dalam operasionalnya dari awal hingga akhir dalam mendidik sehingga
menjadi kekhasan tersendiri. Dengan demikian, model pendidikan akhlak
tidaklah monolitik dalam pengertian harus menjadi nama bagi suatu sistem
di lembaga, melainkan terintegrasi38 dalam berbagai mata pelajaran atau
kegiatan sekolah.
Merespon sejumlah kelemahan dalam pelaksanaan pendidikan
akhlak dan budi pekerti, sebagaimana dipaparkan dalam “Pendidkan
karaker Islami“ terutama melalui dua mata pelajaran Pendidikan agama dan
Pendidikan Kewarganegaraan, telah diupayakan inovasiinovasi
pendidikan, berikut ini inovasi-inovasi tersebut:
1) Pendidikan akhlak dilakukan secara terintegrasi ke dalam semua mata
pelajaran. Integrasi yang dimaksud meliputi pemuatan nilai-nilai ke dalam
substansi pada semua mata pelajaran dan pelaksanaan kegiatan
pembelajaran yang memfasilitasi dipraktiknya nilainilai dalam setiap
aktifitas di dalam dan di luar kelas untuk semua mata pelajaran
2) Pendidikan akhlak juga diintegrasikan ke dalam pelaksanaan kegiatan
pembinaan peserta didik
3) Pendidikan akhlak dilaksanakan melalui kegiatan pengolahan semua urusan
disekolah yang melibatkan semua warga sekolah.75
Dari bentuk inovasi di atas yang paling penting dan langsung
bersentuhan dengan aktifitas pembelajaran sehari-hari adalah
pengintegrasian pendidikan akhlak atau karakter dalam proses
75 Marzuki, Pendidikan Karakter Islami, (Jakarta : Amzah 2015), Hlm 115
38
pembelajaran. Pengintegrasian pendidikan akhlak melalui proses
pembelajaran semua mata pelajaran di sekolah sekarang menjadi salah satu
model yang banyak ditetapkan. Model ini ditempuh dengan paradigma
bahwa semua guru adalah pendidik akhlak, semua mata pelajaran juga
diasumsikan memiliki misi dalam membentuk akhlak mulia peserta didik.
Disamping model ini ada juga model subjeck matter dalam bentuk
mata pelajaran sendiri, yaitu menjadikan pendidikan akhlak sebagai mata
pelajaran tersendiri sehingga memerlukan adanya rumusan tersendiri
mengenai standar isi, standar kompetensi, kompetensi dasar, silabus, RPP,
bahan ajar serta srategi pembelajaran dan penilaian.76 Model ini tidaklah
mudah dan akan menambah beban peserta didik yang sudah diberi sekian
banyak mata pelajaran. Oleh karena itu, model pendidikan akhlak dalam
mata pelajaran dinilai lebih efektif dan efisien disbanding dengan model
sebjeck matter.
2. Implementasi Model Pendidikan Akhlak
Untuk merumuskan model pendidikan akhlak sebagaimana dalam buku
yang berjudul “model pendidikan karakter dalam keluarga” dapat dijelaskan
bahwa pendidikan akhlak meliputi: tujuan, pendidik, peserta didik, materi,
metode, alat, progam, dan evaluasi.
1) Tujuan
Tujuan sangat penting di dalam aktivitas pendidikan, karena
merupakan arah yang hendak di capai. Tujuan pendidikan akhlak adalah
sasaran atau hasil akhir yang ingin dicapai melalui proses pendidikan akhlak
dalam sekolah. Adapun besar atau kecil dan ruang lingkup yang ingin
dicapai hasil pendidikan itu ditentukan dan dibatasi oleh klasifikasi
76 Marzuki, Pendidikan Karakter Islami,,Hlm 116
39
tujuannya. Oleh karena itu tujuan dan model ini dibagi menjadi dua
kategori, yaitu tujuan umum dan tujuan khusus.
Secara khusus tujuan pendidikan akhlak adalah sebagai
pembentukan, pengembangan, peningkatan, pemeliharaan, dan perbaikan
perilaku anak didik agar mereka mampu menjalani kehidupan secara
Melalui pendidikan akhlak peserta didik diharapkan mampu memahami
nilai-nilai positif atau terpuji dan menginternalisasikannya dalam perilaku
kehidupan sehari-hari.77 Sedangkan secara umum tujuan pendidikan akhlak
adalah untuk membina anakanak agar menjadi pribadi yang taat pada Allah
dan rosulnya, berbakti kepada orang tua dan bermanfaat bagi masyarakat
serta berguna bagi agama dan bangsa.
2) Pendidik
Peserta didik atau Anak didik adalah orang yang menerima
pengetahuan dan bimbingan dalam melaksanakan amal ibadahnya, dengan
memusatkan segala perhatian dan usahanya ke arah itu, melepas segala
kemauannya dengan menggantungkan diri dan nasibnya kepada iradah
Allah.
Untuk memperoleh keberhasilan dalam proses pendidikan
diperlukan persyaratan dan adab sopan santun yang harus dilaksanakan
selama masa pendidikan dibawah bimbingan pendidik. Dan juga harus
menyerahkan diri sepenuhnya kepada pendidik serta tunduk dan rela dengan
tata tertib yang ada.78
77 Amirullah Syarbini, Model Pendidikan Karakter Dalam Keluarga, Hlm 99 78 Nur Uhbiyati, Dasar Dasar Ilmu Pendidikan Islam, (Semarang: FITK Walisongo, 2012),
Hlm 139.
40
3) Peserta Didik
Yang dimaksud pendidik disini adalah orang dewasa yang
bertanggung-jawab memberi bimbingan atau bantuan kepada anak didik
dalam perkembangan jasmani dan rohaninya agar mencapai kedewasaannya
dan mamu melaksanakan tugasnya sebagai makhluk Allah, khalifah di
permukaan bumi, sebagai makhluk social dan sebagai individu yang
sanggup berdiri sendiri.
Sebagaimana tersirat dalam pengertian pendidik, maka didalamnya
tersirat pula mengenai tugas pendidik Di antaranya adalah (1) Membimbing
peserta didik dalam mencari pengenalan terhadap kebutuhan ilmu,
kesanggupan, bakat, minat bagi peserta didiknya. (2) Menciptakan situasi
untuk pendidikan, agar dalam proses pendidikan bias berjalan dengan lancer
(3) berkompeten dalam bidang ilmu pengetahuan yang diperlukan.
Pengetahuan ini jangan hanya sekedar diketahui tetapi juga diamalkan dan
diyakininya sendiri, karena kedudukan pendidik adalah pihak yang lebih
dalam situasi pendidikan.79
4) Materi
Materi adalah sekumpulan pesan, pengetahuan, informasi,
pengalaman dan nilai-nilai akhlak yang akan diberikan kepada peserta didik.
Materi tersebut dibagi menjadi dua sebagaimana prioritasnya materi pokok
dan materi penunjang. Materi pokok seperti Akidah-akhlak, fiqih, Sejarah
Islam, Qur’an dan Hadits. Kemudian materi penunjang seperti tambahan
kegiatan ekstrakulikuler rohani islamiyah, kegiatan amaliyah harian.
5) Metode
Metode adalah semua cara atau jalan yang ditempuh untuk mencapai
untuk mencapai sebuah tujuan pendidikan akhlak, metode yang biasa
79 Nur Uhbiyati, Dasar Dasar Ilmu Pendidikan Islam, Hlm 142
41
diterapkana dalam rangka pembentukan atau pembinaan akhlak siswa
disekolah Di antaranya adalah:
a) Metode Internalisasi
b) Melalui mata pelajaran tersendiri dan terintegrasi ke dalam
semua mata pelajaran
c) Melalui kegiatan diluar mata pelajaran yaitu pembiasaan-
pembiasaan dan pengembangan diri.
d) Melalui metode keteladanan (uswah hasanah)
e) Melalui nasihat-nasihat dan memberi perhatian
f) Metode reward dan punishment.80
6) Alat
Alat adalah segala sesuatu yang digunakan oleh pelaksana
pendidikan untuk mencapai tujuan pendidikan dengan demikian alat
mencakup apa saja yang dapat digunakan untuk membantu berjalannya
sebuah pendidikan. Baik alat tersebut yang bersifat visual, audio, maupun
audio visual.81
Karena berhasil dan tidaknya pedidikan akhlak dipengaruhi oleh
seluruh faktor yang mendukung pelaksanaan pendidikan. Apabila timbul
permasalahan di dalam pendidikan maka suatu lembaga harus dapat
mengklarifikasikan masalah yang dihadapi kedalam faktor-faktor yang ada.
Terutama dari segi alat pendukung melalui sarana dan prasarana pendidikan
yang memadai.
7) Program
Progam adalah segala bentuk kegiatan usaha yang dilakukan dalam
menanamkan karakter pada diri anak. Progam ini dapat dilakukan melalui
pengajaran, pemotivasian, peneladanan, pembiasaan, dan penegakan aturan.
80 Marzuki, Pendidikan Karakter Islami,,Hlm 113 81 Nur Uhbiyati, Dasar Dasar Ilmu Pendidikan Islam, hlm. 198
42
8) Evaluasi
Evaluasi adalah penilaian/pengukuran tingkat keberhasilan anak
mencapai tujuan yang telah ditetapkan dalam sebuah progam. Terkait
dengan keberhasilam siswa dalam membudayakan nilai-nilai akhlak mulia,
tentu bias dilakukan evaluasi dalam bentuk penilaian oleh guru. Dalam
pendidikan akhlak penilaian harus dilakukan dengan baik dan benar.
Penilaian tidak hanya menyangkut pencapaian kognitif peserta didik tetapi
juga pencapaian afektif dan psikomotoriknya. Pada pendidikan akhlak lebih
ditekankan pada penilaian afektif dan psikomotoriknya mengingat
keberhasilan pendidikan akhlak dapat terlihat dari sikap dan perilaku peserta
didik.82
3. Model-model Pendidikan Akhlak
Ada berbagai model pendidikan akhlak dalam menciptakan suasana
religius di sekolah antara lain adalah sebagai berikut:83
a) Model Struktural
Penciptaan Suasana religius yang disemangati oleh adanya
peraturan-peraturan, pembangunan kesan baik dari dunia luar atas
kepemimpina atau kebijakan suatu lembaga pendidikan atau suatu
organisasi. Model ini bersifat top-down yakni kegiatan prakarsa atau
intruksi dari pejabat/pimpinan atasan.
b) Model Formal
Penciptaan Suasana religius yang didasari atas pemahaman bahwa
pendidikan agama adalah upaya manusia untuk mengajarkan masalah-
masalah kehidupan akhirat atau ruhani saja. Model ini berimplikasi terhadap
pengembangan pendidikan agama yang lebih berorientasi kepada akhirat,
82 Marzuki, Pendidkan Karakter Islami,,Hlm 114 83 Muhaimin, dkk. Paradigma Pendidikan Islam, hlm, 305
43
sedangkan masalah dunia dianggap tidak penting. Model ini bersifat
normative, doktriner, dan absolutis.
c) Model Mekanik
Penciptaan Suasana religius yang didasari atas pemahaman bahwa
kehidupan terdiri atas berbagai aspek, dan pendidikan dipandang sebagai
penanaman dan pengembangan seperangkat kehidupan yang masing-
masing bergerak dan berjalan sesuai fungsinya. Masing-masing bergerak
bagaikan sebuah mesin yang terdiri atas beberapa komponen atau elemen-
elemen yang masing-masing menjalankan fungsinya sendiri-sendiri. Model
ini berimplikasi pada pengembangan pendidikan agama yang menonjolkan
dimensi afektif. Dimensi kognitif dan psikomotor diarahkan untuk
pembinaan afektif (moral dan spiritual) yang berbeda dengan mata pelajaran
lainnya (kegiatan dan kajian-kajian keagamaan hanya untuk pendalaman
agama dan kegiatan spiritual).
d) Model Organik
Penciptaan Suasana religius yang disemangati oleh pandangan
bahwa pendidikan agama adalah kesatuan atau sebagai sistem yang
berusaha mengembangan pandandangan hidup agamis yang
dimanifestasikan dalam sikap hidup dan keterampilan hidup yang religius.
Model ini berimplikasi pada pengembangan pendidikan agama yang
dibangun dari fundamental doctrins dan fundamental value yang terdapat
dalam al-Qur’an dan al-sunnah shahih sebagai sumber pokok.84
84 Muhaimin, dkk.Paradigma Pendidikan Islam, hlm, 305-307
44
E. Hasil penelitian yang relavan
1. Skripsi Muthoharoh (2014), dengan judul “Konsep Dan Strategi
Pendidikan Akhlak Menurut Ibnu Miskawaih Dalam Kitab Tahdzib Al-
Akhlak.” Dalam penelitian tersebut membahas segala konsep pendidikan
akhlak menurut Ibnu Miskawaih. Perbedaan dengan penelitian penulis yaitu
lebih melihat bagaimana pandangan pendidikan modern terhadap konsep
pendidikan modern.
2. Skripsi Siti Rohmah (2012), dengan judul “Relevansi Konsep Pendidikan
Islam Ibnu Khaldun Dengan Pendidikan Modern.” Penelitian yang
dilakukan oleh Siti Rohmah ini bertujuan untuk mengetahui relevansi
konsep pendidikan modern dengan konsep pendidikan modern. Perbedaan
dengan penelitian penulis yaitu, penulis meneliti konsep pendidikan Ibnu
Miskawaih sedangkan Siti Rohmah meneliti tentang konsep pendidikan
Ibnu Khaldun.
45
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
Pada dasarnya, setiap melakukan penelitian ilmiah untuk lebih terarah
diperlukan metode yang sesuai dengan objek yang diteliti, karena metode tersebut
berfungsi sebagai cara mengerjakan sesuatu dalam upaya agar kegiatan penelitian
dapat terlaksana secara rasional guna mencapai hasil optimal. Dengan adanya
metode dapat dijamin kemahiran seseorang dalam melakukan penelitian dan
penulisan.
Metode adalah strategi dalam penelitian ilmiah yang bertujuan untuk
meramalkan, dan menjelaskan gejala-gejala yang teramati guna mendapatkan
kebenaran yang diinginkan. 85 Sedangkan penelitian adalah usaha untuk
menemukan, mengembangkan, menguji kebenaran suatu pengetahuan yang
dilakukan dengan menggunakan metode.86 Metode penelitian menurut Sugiono
adalah cara-cara ilmiah untuk mendapatkan data yang valid, dengan tujuan dapat
ditemukan, dikembangkan dan dibuktikan, suatu pengetahuan tertentu sehingga
pada gilirannya dapat digunakan untuk memahami, memecahkan, dan
mengantisipasi masalah.
Pada penelitian pustaka akan ditemukan suatu teori atau pendekatan baru
yang lebih akurat dan konprehensif (menyeluruh). Studi kepustakaanmenghasilkan
berupa teori dan bahan-bahan lain yang dijadikan landasan dan latar belakang yang
dapat mendasari dalam penulisan dan penelitian.87
Untuk terarahnya pembahasan maka perlu ditentukan tahaptahapan yang
digunakan dalam proses penyusunan skripsi ini. Tahaptahapan ini meliputi: jenis
dan pendekatan penelitian, sumber data, teknik pengumpulan data dan teknik
bodoh. Karena dirinya tidak mampu belajar dari pengalaman yang sudah
dialaminya sendiri.
Sepertinya Ibnu Miskawaih percaya bahwa akhlak itu pada
keseluruhannya diperoleh dari pengalaman dan pedidikan. Ia terpengaruh
oleh faktor-faktor waktu, tempat, situasi dan kondisi masyarakat, adat,
tradisi, sistemnya, dan harapan-harapannya. Ia tidak terpelihara (ma’sum).
Dalam Tahdzib Ibnu Miskawaih mengatakan :
“Setiap karakter dapat berubah. Sedangkan apapun yang berubah
maka sifatnya tidak alami. Karena tidak ada yang bisa merubah
sesuatu yang alami. Tidak ada seorang pun yang bisa membuat batu
yang dilempar agar jatuh ke atas, tidak ke bawah.”105
Sedangkan pendidikan menurut Hasan Langgulung adalah suatu
proses yang bertujuan untuk menciptakan pola tingkah laku tertentu pada
anak-anak atau orang yang sedang dididik.106
John Dewey berpendapat bahwa pendidikan adalah suatu proses
pembentukan kemampuan dasar yang fundamental, baik menyangkut daya
pikir (intelektual) maupun daya perasaan (emosional) menuju ke arah tabiat
manusia biasa.107
Abuddin Nata berpendapat pendidikan adalah suatu usaha yang
didalamnya ada proses belajar untuk menumbuhkan atau menggali segenap
potensi fisik, psikis, bakat, minat, dan sebagainya yang dimiliki oleh para
manusia.108
Intinya, dalam pendidikan itu ada proses dan tahapan, dimana
membutuhkan waktu dan sistem. Sebenarnya pendapat dalam masalah
105 Ibnu Miskawaih, hlm. 28. 106 Hasan Langgulung, Asas-Asas Pendidikan Akhlak, Jakarta: PT. Pustaka al-Husna Baru,
2003, hlm. 1. 107 M. Arifin, Filsafat Penddikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1991, hlm. 1. 108 Abuddin Nata, Pemikiran Pendidikan Islam dan Barat, Jakarta: Rajawali Pers, 2012,
hlm. 19
pendidikan dapat dibagi kedalam dua kelompok yaitu golongan yang
menggunakan sudut internal, dan golongan yang menggunakan sudut
eksternal. Bagi golongan pertama, menganggap bahwa pengembangan
potensi manusia ditentukan oleh faktor hereditas, yaitu faktor pembawaan
yang bersifat kodrat dari kelahiran, yang tidak dapat dirubah oleh
lingkungan atau pengajaran dari luar. Gagasan ini diperkenalkan oleh
Sokrates. Misalnya, ia berkata , bahwa; “saya ini bukanlah seorang guru,
melainkan seorang bidan”. Tugas bidan hanya mengeluarkan janin yang
sebenarnya sudah ada dan berbentuk, bukan merubah dan menciptakan
janin. Selanjutnya gagasan sudut internal ini dikembangkan oleh Arthur
Schopenhauer (1788-1860) dengan aliran nativismenya.109
Jika dilihat, UU RI No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional juga cenderung mengikuti aliran nativisme ini. Disebutkan bahwa
pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana
belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.110
Sedangkan golongan sudut eksternal adalah kebalikan dari golongan
sudut internal dimana mereka menganggap bahwa pengembangan potensi
manusia harus dipelajari dan tidak bersifat kodrati, bawaan sejak lahir.
Diasumsikan proses pendidikan, bahwa peserta didik adalah gelas kosong,
atau kertas putih, atau dapat dibentuk sesuai dengan keinginan orang yang
akan membentuknya. Golongan ini diikuti oleh Aritoteles dan mayoritas
ahli pendidikan modern.111
Terkait dua golongan ini, nampaknya Ibnu Miskawaih berada pada
posisi tengah antara golongan sudut internal dan eksternal, dimana dalam
109 Abuddin Nata, Pemikiran Pendidikan Islam dan Barat, hlm. 30 110 www.dikti.go.id/files/atur/UU20-2003Sisdiknas.pdf , di akses pada (15 Januari 2020). 111 Abuddin Nata, Pemikiran Pendidikan Islam dan Barat.., hlm. 32
salah satu penjelasannya ia membagi manusia menjadi tiga golongan, yaitu;
Pertama, golongan yang baik menurut tabi‟atnya. Jika orang baik menurut
tabi‟atnya, maka ia tidak bisa berubah menjadi orang jahat. Kedua,
Manusia yang jahat menurut tabi‟atnya. Mereka akan sulit merubahnya,
karena merupakan bawaan. Kedua golongan ini merupakan hal yang jarang
terjadi. Terjadi tapi mungkin hanya kepada orang-orang tertentu. Yang
Ketiga adalah Golongan yang dapat menjadi baik dan menjadi jahat, hal itu
terjadi karena faktor lingkungan atau faktor pendidikan yang ia terima. Ini
adalah mayoritas dari manusia dan fungsi pendidikan akhlak adalah untuk
membimbing golongan ini.112
Sedangkan pengertian pendidikan akhlak atau pembinaan akhlak,
menurut Ibnu Miskawaih adalah :
“Pendidikan akhlak adalah pendidikan yang difokuskan untuk
mengarahkan tingkah laku manusia agar menjadi baik (sebagaimana
yang akan saya sampaikan)”.113
Point penting dari defenisi pendidikan akhlak menurut Ibnu
Miskawaih adalah mengarahkan tingkah laku manusia. Tingkah laku
manusia menurutnya ada 2 (baik) yaitu baik dan buruk. Tingkah laku yang
baik adalah tingkah laku yang sesuai dengan esensi manusia diciptakan,
karena menurutnya manusia mempunyai kecenderungan untuk menyukai
kebaikan dari pada keburukan. Hal ini sejalan dengan apa yang dijelaskan
dalam hadis Nabi saw, yaitu:
“Tidak seorang anak itu dilahirkan kecuali dalam keadaan fitrah,
maka kedua ibu bapaknyalah yang membuatnya menjadi Yahudi,
atau Nashrani atau bahkan Majusi.”114
Naluri manusia untuk melakukan kebaikan dapat dilihat ketika
orang melihat suatu musibah besar yang menimpa suatu tempat, misal, dala
112 Ibnu Miskawaih, Tahdzib al-Akhlak...,hlm. 12-13. 113 Ibnu Miskawaih, hlm. 30 114 Imam Muslim bin al-Hajjaj, Shohih Muslim, Bairut: Daar Ihya alMaktab al-Arabiyah,
jil. 4, 1985, hlm. 2047.
pendidikan akhlak di SDN petir 3 siswa biasanya diminta untuk
memberikan uang takziyah jika ada orang tua temannya yang meninggal
dunia. Maka terlihat semua siswa, baik yang terkenal kebaikannya maupun
yang terkenal keburukannya. Mereka menaruh belas kasihan, ikut berduka,
dan bahkan mencoba mengulurkan tangan membantu dengan pelbagai
upaya. Tetapi Di antara semua orang yang ikut merasa iba, ada sebagian
yang hanya cukup sebatas iba saja, dan sebagian lagi dengan kesadaran
tergugah hatinya untuk ikut menolong.
Relevansi metode pendidikan akhlak Ibn Miskawaih dengan yang
terjadi di SDN Petir 3 masih sangat relavan. Karena Ibn masih banyak
kesamaan yang terjadi antara kedua metode tersebut. Di SDN Petir 3 masih
mengutamakan metode pembiasaan, begitu juga Ibn Miskwaih yang yakin
bahwa akhlak seseorang masih bisa diubah. Melalui pelatihan dan
pembiasaan sehari-hari.
64
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Ibnu Miskawaih memiliki nama lengkap Ahmad bin Muhammad
bin Ya’qub bin Miskawaih, Abu Ali, seorang pengkaji dan sejarawan. Ada
pula yang memanggilnya hanya dengan Miskawaih (tanpa Ibnu). Ia
dilahirkan di kota Ray (Iran) pada tahun 932 M/320 H. Menetap di Isfahan
dan meninggal dunia di kota ini pada tahun 421 H/1030 M.
Ia menekuni bidang kimia, filsafat, dan logika untuk masa yang
cukup lama. Banyak penulis berpendapat bahwa Ibnu Miskawaih adalah
seorang Syi'i. Pendapat tersebut didasarkan atas kenyataan bahwa sebagian
besar hidupnya dihabiskan untuk mengabdi kepada pemerintah Dinasti
Buwaihi (salah satu kerajaan beraliran Syi'ah yang menggantikan posisi
Daulah Abbasiyah di Irak sekitar abad ke 10 -12 M).
Ibnu Miskawaih sangat tertarik kepada masalah sejarah, filsafat dan
etika. Pemikirannya dipengaruhi oleh pemikiran Plato, Aristoteles.
Pemikiran filsafatnya dapat dijumpai dalam bukunya al-Fauz al-Asghar.
Kendatipun disiplin ilmunya meliputi bahasa, sejarah dan filsafat, namun ia
lebih populer sebagai filosof akhlak (al-Falsafah al 'Amaliyah), ketimbang
sebagai filosof ketuhanan (al-Falsafah al-Nadzariyyah al-'Amaliyah).
Hal itu terbukti banyaknya karya-karya yang berbicara masalah
pendidikan, pengajaran, etika yang utama dan metode-metode yang baik
bagi semua masalah tersebut. Adapun karya-karyanya adalah Tajarih Al-
Umam, Ta’qub Al-Himam, Thaharat Al-Nafs, Adab Al-‘Arab wa Al-
Firs, Al-Fawz Al-Ashgar fi Ushul Al-Dinayat, Al-Fawz Al-Akbar (dalam
bidang etika), Kitab Al-Siasat, Mukhtar Al-Asy’ar, Nadim Al-Farid, Nuzhat
65
Namah ‘Alaiy, Jawidan Khird, Tartib Al-Sa’adat, Al-Adwiyah Al-
Mufridah, Al-Asyribah dan Tahdzîb al-Akhlaq wa Tathîr al-A'raq
Pemikiran Ibnuu Miskawaih sangat dipengaruh oleh filsafat Yunani,
peradaban Pesia, ajaran syariat islam dan pengalaman pribadi. Walaupun
tidak ditemukan satupun yang mebahas secara khusus tentang pendidikan
karakter, namun dalam beberapa karyanya dinilai banyak berhubungan
dengan pendidikan. Ibnuu Miskawaih sendiri mengakui hakikat dan fungsi
dari pendidikan adalah untuk membentuk kepribadian diri manusia
sehingga terbentuk manusia yang memiliki karakter terpuji.
Pemikiran Ibnu Miskawaih terkait pendidikan, tidak terlepas dari
pemikirannya mengenai manusia dan akhlak. Mengenai konsepnya tentang
manusia, Ibnu Miskawaih memandang bahwa manusia memiliki tiga daya,
yaitu daya bernafsu (an-Nafs al-Bahimiyat), daya berani (an-Nafs al-
Sabu’iyat) dan daya berpikir (an-Nafs al-Natiqah).
Mengenai akhlaq, menurutnya akhlaq merupakan suatu keadaan
jiwa. Keadaan jiwa ini yang membuat manusia berbuat tanpa berpikir atau
dipertimbangkan secara mendalam. Akhlaq dibagi menjadi dua, pertama
barsifat alamiah dan bertolak dari jiwa. Kedua, yang tercipta melalui
kebiasaan dan latihan. Pada mulanya, keadaan ini terjadi karena
dipertimbangkan dan dipikirkan, namun kemudian melalui praktik terus
menerus, menjadi karakter. Kedua watak tersebut menurut Ibnu Miskawaih
pada hakekatnya tidak alami, meskipun kita diciptakan dengan menerima
watak, akan tetapi watak tersebut dapat diusahakan melalui pendidikan dan
pengajaran. Ibnu Miskawaih menegaskan bahwa pendidikan akhlak
didasarkan atas doktrin jalan tengah. Menurutnya jalan tengah diartikan
sebagai keseimbangan, moderat, harmoni, utama, mulia atau posisi tengah
antara dua ekstrim baik dan buruk yang ada dalam jiwa manusia.
Pendidikan akhlak yang digagas pertama kali oleh Ibnu Miskawaih
memiliki urgensi nilai yang cukup signifikan, dalam hal ini, Ibnu
66
Miskawaih menekankan pendidikan moral (moral education) bagi
pembangunan manusia. Karena sejatinya pembangunan manusia adalah
pembangunan jiwa dengan keutamaan (ahsan taqwîm) harus berbanding
lurus dengan kenikmatan jasmani, harta dan kekuasaan.
Kehidupan manusia bukanlah kehidupan zuhud dan penolakan,
melainkan kompromi dan penyesuaian antara tuntutan jasad dan ruh
(jasmani dan rohani). Orang bijak bukanlah orang yang meninggalkan
kenikmatan dunia sepenuhnya akan tetapi menghubungkannya dengan
kenikmatan spiritual dengan etika sebagai kontrolnya. Hal ini cukup relevan
jika kita jadikan acuan di era masa kini, agar kita tidak hanya mementingkan
kehidupan duniawi saja ataupun sebaiknya, melainkan kita harus
mengkombinasikan keduanya dan mengaturnya sedemikian rupa agar
segala yang kita kerjakan di dunia ini semata-mata hanyalah untuk
kehidupan akhirat kelak yang sifatnya lebih kekal.
Menurut penulis, konsep pendidikan akhlak Ibnu Miskawaih dalam
metodenya masih sangat relevan dan dapat dijadikan acuan untuk
memperbaiki pendidikan etika zaman sekarang. Beberapa hal yang perlu
diterapkan dalam pendidikan sekarang Di antaranya: reorientasi ilmu
pengetahuan, menghidupkan dan mengembangkan tradisi pemikiran dalam
islam, system pendidikan yang terpadu, dan integrasi keilmuan.
B. Saran
Pemikiran konsep pendidikan akhlak Ibnuu Miskawaih ini cukup
relavan dengan dengan konsep pendidikan karakter di Indonesia.
Membangun manusia yang berkarakter islami tidak terlepas dari kajian-
kajian atau penelitian-penelitian para aktivis akademisi dalam menggali
suatu konsep yang digagas para pemikir islam pada masa lampau sehingga
bisa digunakan para era seperti sekarang ini.
67
Berdasarkan simpulan dalam kajian ini dapat disarankan sebagai
berikut :
Pertama, keluarga perlu memberikan perhatian dalam membentuk
karakter anak dimulai dari anak masih dalam kandungan. Para calon orang
tua hendaknya sudah memberikan perhatian dalam menyiapkan karakter
anak dengan menjaga perilaku orang tua mulai dari ucapan, tingkah laku,
makanan yang dikonsumsi ibu berasal dari yang halal dan bergizi serta
pengamalan agama yang lebih baik. Demikian juga ketika anak sudah lahir
para orang tua juga tetap menanamkan nilai-nilai dengan contoh perilaku
orang tua sehari-hari dengan akhlak mulia.
Kedua, sekolah sebagai tempat kedua dari lingkungan keluarga juga
perlu menciptakan kondisi yang lebih baik dalam memberikan
pembentukan karakter peserta didik. Sekolah perlu menciptakan hubungan
yang dengan peserta didik dengan memperlakukan lemah lembut tetapi
tetap dalam kondisi disiplin kepada peserta didik. Sekolah memberikan
dorongan anak untuk tetap berkreasi tanpa ada tekanan dan memberikan
penghargaan bagi peserta didik yang berprestasi sebaliknya bagi peserta
didik yang melanggar tata tertib sekolah perlu dikenakan sanksi yang dapat
memberikan pembelajaran supaya peserta didik mengerti bahwa apa yang
dilakukan tidak benar. Keteladanan guru perlu diciptakan karena gurulah
sebagai tokoh sentral yang setiap saat di sekolah menjadi perhatian peserta
didik sehingga perilaku guru mulai dari ucapan, penampilan selalu terjaga
dalam membentuk karakter peserta didik.
Ketiga, pendidikan karakter perlu juga keterlibatan semua
komponen bangsa dalam hal ini masyarakat dimana lingkungan anak
tersebut berada . Artinya perlu adanya peran dari masyarakat lingkungan,
media masa, dalam membentuk karakter anak sehingga semua komponen
bangsa ikut bertanggung jawab dalam membentuk karakter anak untuk bisa
68
mandiri menjadi manusia yang bermanfaat bagi dirinya, keluarga dan
bangsanya.
Dengan demikian, diharapkan akan terciptanya pendidikan karakter
islami sesuai dengan konsep pendidikan akhlak Ibnuu Miskawaih dan juga
akan tercapainnya tujuan pendidikan islam. Khususnya di Indonesia yang
berbudi luhur ini.
69
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Yatimin. Studi Akhlak dalam Perspektif Al-Qru’an, (Jakarta: Amzah,
2007)
Alim, Muhammad. Pendidikan Agama Islam, (Bandung, PT Remaja Rosdakarya,