Top Banner
KONSEP ETIKA MA’RIFAT DALAM PENDIDIKAN MENURUT PANDANGAN AL-GHAZALI Afifah Abstract: The study focuses on the ethic concept of al-Ghazâlî in education. The approach used by al-Ghazâlî, in relation to the educational ethic, is sufistic-philosopichal which tends to the concept of ma‘rifat Allâh, taqarrub, and tah assub through riyâdlah. These three dimentions are the main basis of how to educate the moslem’s ethic. For those whose spiritual has not been good yet, they are suppossed to learn constantly. Therefore, an educator may guide and bring spiritually the students to be close to Allah. In fact, al-Ghazâlî’s concept of ethic in education by sufistic-philosopichal approach has theoretically and practically broad influences for the moslem life all over the world. Such two influences indicate that practically and theoretically al-Ghazalî’s school of thought in ethical education turns out to be the basic of further thinking. Thus, the very strong al-Ghazalî’s influence toppled down the sufism at that time. Abstrak: Kajian ini membahas konsep pendidikan etika al-Ghazâlî. Pendekatan yang digunakan oleh al-Ghazâlî dalam membina etika bermuara pada sufistik-filosofis yang cenderung pada ma‘rifat Allâh dan diproses dengan metode tazkîyat an-nafs, taqarrub, dan tah assub dengan cara riyâdlah. Tiga dimensi ini menjadi landasan untuk membina etika seseorang secara baik. Bagi seseorang yang jiwanya belum bersih, dia harus berguru dan minta petunjuk. Dengan demikian, guru dapat memberi petunjuk dan mengantarkan seorang murid sampai kepada Tuhan. Dalam perkembangannya, konsep pendidikan etika sufistik-filosofis al-Ghazâlî berpengaruh di belahan dunia baik secara teoritik maupun praktis. Dua pengaruh ini menggambarkan pemikiran al-Ghazâlî secara teoritis-praktis dalam bidang pendidikan etika. Pengaruh al-Ghazâlî yang sangat kuat mampu menumbangkan aliran tasawuf yang berlaku pada saat itu. Keywords: Al-Ghazâlî, Tazkiyat al-Nafs, Taqarrub, Tah assub, Riyâdlah. Ma'rifatullah Seorang ahli ibadah akan optimis dalam hidupnya. Ia optimis bahwa Allah akan menolong dan mengarahkan hidupnya.Semua yang ada di alam ini mutlak ada dalam kekuasaan Allah. Ketika melihat fenomena alam, idealnya kita bisa ingat kepada Allah. Puncak ilmu adalah mengenal Allah (ma'rifatullah). Kita dikatakan sukses dalam belajar bila dengan belajar itu kita semakin
22

KONSEP ETIKA MA'RIFAT DALAM PENDIDIKAN MENURUT PANDANGAN AL- GHAZALI

Jan 26, 2023

Download

Documents

Bezoek Distop
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: KONSEP ETIKA MA'RIFAT DALAM PENDIDIKAN MENURUT PANDANGAN AL- GHAZALI

KONSEP ETIKA MA’RIFAT DALAM PENDIDIKAN MENURUT PANDANGAN AL-GHAZALI

Afifah

Abstract: The study focuses on the ethic concept of al-Ghazâlî in education. The approachused by al-Ghazâlî, in relation to the educational ethic, is sufistic-philosopichal which tends tothe concept of ma‘rifat Allâh, taqarrub, and tahassub through riyâdlah. Thesethree dimentions are the main basis of how to educate the moslem’s ethic. For those whosespiritual has not been good yet, they are suppossed to learn constantly. Therefore, aneducator may guide and bring spiritually the students to be close to Allah. In fact, al-Ghazâlî’sconcept of ethic in education by sufistic-philosopichal approach has theoretically andpractically broad influences for the moslem life all over the world. Such two influencesindicate that practically and theoretically al-Ghazalî’s school of thought in ethical educationturns out to be the basic of further thinking. Thus, the very strong al-Ghazalî’s influencetoppled down the sufism at that time.

Abstrak: Kajian ini membahas konsep pendidikan etika al-Ghazâlî. Pendekatan yangdigunakan oleh al-Ghazâlî dalam membina etika bermuara pada sufistik-filosofis yangcenderung pada ma‘rifat Allâh dan diproses dengan metode tazkîyat an-nafs,taqarrub, dan tahassub dengan cara riyâdlah. Tiga dimensi ini menjadi landasanuntuk membina etika seseorang secara baik. Bagi seseorang yang jiwanya belum bersih, diaharus berguru dan minta petunjuk. Dengan demikian, guru dapat memberi petunjuk danmengantarkan seorang murid sampai kepada Tuhan. Dalam perkembangannya, konseppendidikan etika sufistik-filosofis al-Ghazâlî berpengaruh di belahan dunia baik secarateoritik maupun praktis. Dua pengaruh ini menggambarkan pemikiran al-Ghazâlî secarateoritis-praktis dalam bidang pendidikan etika. Pengaruh al-Ghazâlî yang sangat kuatmampu menumbangkan aliran tasawuf yang berlaku pada saat itu.

Keywords: Al-Ghazâlî, Tazkiyat al-Nafs, Taqarrub, Tahassub, Riyâdlah.

Ma'rifatullah

Seorang ahli ibadah akan optimis dalam hidupnya. Ia optimis bahwa Allah

akan menolong dan mengarahkan hidupnya.Semua yang ada di alam ini mutlak

ada dalam kekuasaan Allah. Ketika melihat fenomena alam, idealnya kita bisa

ingat kepada Allah. Puncak ilmu adalah mengenal Allah (ma'rifatullah). Kita

dikatakan sukses dalam belajar bila dengan belajar itu kita semakin

Page 2: KONSEP ETIKA MA'RIFAT DALAM PENDIDIKAN MENURUT PANDANGAN AL- GHAZALI

mengenal Allah. Jadi percuma saja sekolah tinggi, luas pengetahuan, gelar

prestisius, bila semua itu tidak menjadikan kita makin mengenal Allah.

Mengenal Allah adalah aset terbesar.

Mengenal Allah akan membuahkan akhlak mulia. Betapa tidak, dengan mengenal

Allah kita akan merasa ditatap, didengar, dan diperhatikan selalu. Inilah

kenikmatan hidup sebenarnya. Bila demikian, hidup pun jadi terarah, tenang,

ringan, dan bahagia. Sebaliknya, saat kita tidak mengenal Allah, hidup kita

akan sengsara, terjerumus pada maksiat, tidak tenang dalam hidup, dan

sebagainya.Ciri orang yang ma'rifat adalah laa khaufun 'alaihim wa lahum yahzanuun.

Ia tidak takut dan sedih dengan urusan duniawi. Karena itu, kualitas ma'rifat

kita dapat diukur. Bila kita selalu cemas dan takut kehilangan dunia, itu

tandanya kita belum ma'rifat. Sebab, orang yang ma'rifat itu susah senangnya

tidak diukur dari ada tidaknya dunia. Susah dan senangnya diukur dari dekat

tidaknya ia dengan Allah. Maka, kita harus mulai bertanya bagaimana agar

setiap aktivitas bisa membuat kita semakin kenal, dekat dan taat kepada

Allah.

Salah satu ciri orang ma'rifat adalah selalu menjaga kualitas ibadahnya.

Terjaganya ibadah akan mendatangkan tujuh keuntungan hidup. Pertama, hidup

selalu berada di jalan yang benar (on the right track). Kedua, memiliki kekuatan

menghadapi cobaan hidup. Kekuatan tersebut lahir dari terjaganya keimanan.

Ketiga, Allah akan mengaruniakan ketenangan dalam hidup. Tenang itu mahal

harganya. Ketenangan tidak bisa dibeli dan ia pun tidak bisa dicuri. Apa

pun yang kita miliki, tidak akan pernah ternikmati bila kita selalu resah

gelisah. Keempat, seorang ahli ibadah akan selalu optimis. Ia optimis

karena Allah akan menolong dan mengarahkan kehidupannya. Sikap optimis akan

menggerakkan seseorang untuk berbuat. Optimis akan melahirkan harapan.

Tidak berarti kekuatan fisik, kekayaan, gelar atau jabatan bila kita tidak

Page 3: KONSEP ETIKA MA'RIFAT DALAM PENDIDIKAN MENURUT PANDANGAN AL- GHAZALI

memiliki harapan. Kelima, seorang ahli ibadah memiliki kendali dalam

hidupnya, bagaikan rem pakem dalam kendaraan. Setiap kali akan melakukan

maksiat, Allah SWT akan memberi peringatan agar ia tidak terjerumus.

Seorang ahli ibadah akan memiliki kemampuan untuk bertobat. Keenam, selalu

ada dalam bimbingan dan pertolongan Allah. Bila pada poin pertama Allah

sudah menunjukkan jalan yang tepat, maka pada poin ini kita akan dituntun

untuk melewati jalan tersebut. Ketujuh, seorang ahli ibadah akan memiliki

kekuatan ruhiyah, tak heran bila kata-katanya bertenaga, penuh hikmah,

berwibawa dan setiap keputusan yang diambilnya selalu tepat. Untuk menjadi

ahli ibadah kita bisa menumbuhkan ACM (Aku Cinta Masjid). Seorang Muslim

dengan masjid bagikan ikan dengan air. Tidak mungkin seorang Muslim tidak

betah di masjid. Diragukan keimanannya bila ia tidak akrab dengan masjid.

Ikhtiar menumbuhkan kecintaan terhadap shalat dan masjid adalah dengan

berusaha shalat tepat waktu, di masjid dan dilakukan secara berjamaah. Cara

paling mudah untuk melaksanakannya adalah dengan datang lebih awal ke

masjid untuk menunggu shalat.

Saudaraku, di tengah kondisi yang semakin sulit, tidak ada yang bisa

menolong kita selain Allah SWT. Salah satu ikhtiar untuk menggapai

pertolongan Allah dengan meningkatkan pengenalan kita kepada Allah. Cara

menggapainya adalah dengan ibadah secara istikamah. Wallaahu a'lam

( KH Abdullah Gymnastiar )

Dialektika Syariat, Thariqat, Haqiqat, Ma'rifat

Ada yang namanya ilmu hayat, bukan dan sering berbeda dibanding ilmul-madrasah,

ilmu persekolahan. Kalau pakai ilmu madrasah, saya terlalu awam. Kalau ilmu

saya itu ilmu ngasak: mengaisi sisa-sisa padi sesudah orang panen. Bukan

Page 4: KONSEP ETIKA MA'RIFAT DALAM PENDIDIKAN MENURUT PANDANGAN AL- GHAZALI

ilmu sekolahan, tapi ilmu jalanan, ilmu lapangan, ilmu langsungnya orang

hidup

Syariat saya ibaratkan badan. Badan Anda yang bisa bergerak, melangkah, bisa

gedek (geleng) segala macamnya. Thariqat-nya adalah cara Anda bergerak, cara

Anda masak, cara Anda mengajar, cara Anda menjadi presiden, cara Anda

menangani jajak pendapat. Thariqat itu semacam dengan kaifiyyah. Thariq itu

jalan, dengan atau tanpa tanda petik, denotatif atau konotatif. Syari' itu

juga jalan. Tapi kalau thariq lebih bersifat kualitatif, kalau syari' bersifat

kuantitatif. Jadi kalau ini jelas Jetis itu syari' bukan thariq. Kalau thariq

itu jalan dalam arti yang yang lebih abstrak."

Jadi syariat dan thariqat itu artinya sama-sama jalan. Jadi, sekali lagi,

syariat saya terjemahkan sebagai badan Anda yang bisa bergerak itu. Thariqat

adalah cara Anda bergerak, cara Anda mengelola sesuatu. Haqiqat adalah ke

mana Anda berjalan, titik tuju Anda, atau apa yang akan Anda tuju, atau apa

yang akan Anda capai. Itulah haqiqat. Jadi sekali lagi empat ini adalah satu

sistem, satu sistem perilaku, satu sistem managemen, bukan tingkatan-

tingkatan. Bukan kok, Wah ini manusia syari'at. Yang itu kalau shalat Jum'at

selalu di Mekah, jadi sudah ma'rifat. Kalau yang sana tak perlu shalat lagi

karena sudah ngerti hakekatnya..

.

Bukan. Itu bukan level. Tolong jangan diseram-seramkan. Kita sering

terpukau oleh kata haqiqat, ma'rifat, thariqat, syari'at. Terpukau. Apa sih ma'rifat?

Ma'rifat adalah, anak SD belum bisa berhitung; mulai hari ini bisa ngitung.

Tadi dia berangkat dari rumah belum tahu 2x3 itu 6, sekarang dia tahu

2x3=6. Itulah ma'rifat. Cuma itu doang.

Page 5: KONSEP ETIKA MA'RIFAT DALAM PENDIDIKAN MENURUT PANDANGAN AL- GHAZALI

Bill Gate dan timnya terus ber-ma'rifat. Tentu saja ada ma'rifat intelektual,

ada ma'rifat kultural, ada ma'rifat spiritual, dan berbagai rumusan lagi.

"Makanya sifat Allah yang ketiga adalah 'alimul-gha'ibi was-syahadah. Sesudah

ilahun (Tuhan), lantas rabbun (Pengasuh); kemudian 'Alimul-ghaibi was-syahadah.

Mengetahui kegaiban. Yang mengetahui yang ghaib, dan menguasai kesaksian

atas kegaiban. Kalau manusia bersifat muta'allimul ghaib, yang mempelajari

kegaiban." Yang gaib itu apa? Yang gaib itu sederhana, yaitu sesuatu yang

Anda belum tahu. Begitu saja. Warung soto di sana itu enak: gaib bagi yang

belum merasakannya. Begitu ke sana, langsung tidak gaib lagi."

Barang gaib itu sederhana. Orang-orang Indonesia itu suka banget sama yang

serem-serem gitu, Nyerem-nyeremin. Lia Aminuddin diserem-seremin; Wo anaknya

itu Imam Mahdi. O dia habis nantang Nyai Roro Kidul. Kalau memang anaknya

Imam Mahdi ya alhamdulilah. Jadi ndak perlu reformasi, tak perlu suksesi.

Makmur semua, wong ada Imam Mahdi. Tapi kalau ternyata tetap repot,

Indonesia tetap kacau berarti dia bukan Imam Mahdi. Cukuplah begitu

berpikirnya.

Jadi tolong jangan terkontaminasi oleh mitologi kata, oleh mitos-mitos di

dalam otaknya sendiri. Kita ribut sama mitos-mitos kita mengenai hantu.

Umpama ada gendruwo ya lewatlah saja 'kan ndak apa-apa. Kita sering

menimpakan kepada diri kita sendiri sesuatu yang sebenarnya ringan-ringan

saja.

Ma’rifat, Sifat-sifat Orang Arif dan Hakikatnya

Pengajian Syeikh Abu Nashr as-Sarraj"

Abu Said al Kharraz rahimahullah pernah ditanya tentang ma'rifat. Lalu ia

menjawab, "Ma'rifat itu datang lewat dua sisi: Pertama, dari anugerah

Page 6: KONSEP ETIKA MA'RIFAT DALAM PENDIDIKAN MENURUT PANDANGAN AL- GHAZALI

Kedermawanan Allah langsung, dan kedua, dari mengerahkan segala kemampuan

atau yang lebih dikenal sebagai usaha (kasab) seorang hamba."

Sementara itu Abu Turab an-Nakhsyabi - rahimahullah - ditanya tentang sifat

orang yang arif, lalu ia menjawab, "Orang arif adalah orang yang tidak

terkotori oleh apa saja, sementara segala sesuatu akan menjadi jernih

karenanya."

Ahmad bin 'Atha' - rahimahullah - berkata, "Ma'rifat itu ada dua: Ma'rifat

al-Haq dan ma'rifat hakikat. Adapun ma'rifat al-Haq adalah ma'rifat

(mengetahui) Wahdaniyyah-Nya melalui Nama-nama dan Sifat-sifat yang

ditampakkan pada makhluk-Nya. Sedangkan ma'rifat hakikat, tak ada jalan untuk

menuju ke sana. Sebab tidak memungkinkannya Sifat Shamadiyyah (Keabadian dan

Tempat ketergantungan makhluk)-Nya, dan mengaktualisasikan Rububiyyah

(Ketuhanan)-Nya. Karena Allah telah berfirman:

"Sedangkan ilmu mereka tidak dapat meliputi (memahami secara detail) Ilmu-

Nya"." (Q.s. Thaha: 110).

Syekh Abu Nashr as-Sarraj - rahimahullah - menjelaskan:

Makna ucapan Ahmad bin'Atha', "Tak ada jalan menuju ke sana," yakni ma'rifat

(mengetahui) secara hakiki. Sebab Allah telah menampakkan Nama-nama dan

Sifat-sifat-Nya kepada makhluk-Nya, dimana Dia tahu bahwa itulah kadar

kemampuan mereka. Sebab untuk tahu dan ma'rifat secara hakiki tidak akan

mampu dilakukan oleh makhluk. Bahkan hanya sebesar atom pun dari ma'rifat-Nya

tidak akan sanggup dicapai oleh makhluk. Sebab alam dengan apa yang ada di

dalamnya akan lenyap ketika bagian terkecil dari awal apa yang muncul dari

Kekuasaan Keagungan-Nya. Lalu siapa yang sanggup ma'rifat (mengetahui) Dzat

Yang salah satu dari Sifat-sifat-Nya sebagaimana itu?

Oleh karenanya ada orang berkata, "Tak ada selain Dia yang sanggup

mengetahui-Nya, dan tak ada yang sanggup mencintai-Nya selain Dia sendiri.

Sebab Kemahaagungan dan Keabadian (ash-Shamadiyyah) tak mungkin dapat

Page 7: KONSEP ETIKA MA'RIFAT DALAM PENDIDIKAN MENURUT PANDANGAN AL- GHAZALI

dipahami secara detail. Allah swt. berfirman:

"Dan mereka tidak mengetahui apa apa dari ilmu Allah melainkan apa yang

dikehendaki-Nya"." (Q.s. al-Baqarah: 255).

Sejalan dengan makna ini, ada riwayat dari Abu Bakar ash-Shiddiq r.a. yang

pernah berkata, "Mahasuci Dzat Yang tidak membuka jalan untuk ma'rifat-Nya

kecuali dengan menjadikan seseorang tidak sanggup mengetahui-Nya."

Asy-Syibli - rahimahullah - pernah ditanya, "Kapan seorang arif berada dalam

tempat kesaksian al-Haq?"

Ia menjawab, "Tatkala Dzat Yang menyaksikan tampak, dan bukti-bukti fenomena

alam yang menjadi saksi telah fana' (sirna) indera dan perasaan pun menjadi

hilang."

"Apa awal dari masalah ini dan apa pula akhirnya?"

Ia menjawab, "Awalnya adalah ma'rifat dan ujungnya adalah mentauhidkan-Nya."

Ia melanjutkan, "Salah satu dari tanda ma'rifat adalah melihat dirinya berada

dalam 'Genggaman' Dzat Yang Mahaagung, dan segala perlakuan Kekuasaan Allah

berlangsung menguasai dirinya. Dan ciri lain dari ma'rifat adalah rasa cinta

(al-Mahabbah). Sebab orang yang ma'rifat dengan-Nya tentu akan mencintai-

Nya."

Abu Nazid Thaifur bin Isa al-Bisthami - rahimahullah - pernah ditanya tentang

sifat orang arif, lalu ia menjawab, "Warna air itu sangat dipengaruhi oleh

warna tempat (wadah) yang ditempatinya. Jika air itu anda tuangkan ke dalam

tempat yang berwarna putih maka anda akan menduganya berwarna putih. Jika

Anda tuangkan ke dalam tempat yang berwarna hitam, maka Anda akan menduganya

berwarna hitam. Dan demikian pula jika Anda tuangkan ke dalam tempat yang

berwarna kuning dan merah, ia akan selalu diubah oleh berbagai kondisi.

Sementara itu yang mengendalikan berbagai kondisi spiritual adalah Dzat Yang

memiliki dan menguasainya."

Syekh Abu Nashr as-Sarraj - rahimahullah - menjelaskannya: Artinya, - hanya

Page 8: KONSEP ETIKA MA'RIFAT DALAM PENDIDIKAN MENURUT PANDANGAN AL- GHAZALI

Allah Yang Mahatahu - bahwa kadar kejernihan air itu akan sangat bergantung

pada sifat dan warna tempat (wadah) yang ditempatinya. Akan tetapi warna

benda yang ditempatinya tidak akan pernah berhasil mengubah kejernihan dan

kondisi asli air itu. Orang yang melihatnya mungkin mengira, bahwa air itu

berwarna putih atau hitam, padahal air yang ada di dalam tempat tersebut

tetap satu makna yang sesuai dengan aslinya. Demikian pula orang yang arif

dan sifatnya ketika "bersama" Allah Azza wa jalla dalam segala hal yang

diubah oleh berbagai kondisi spiritual, maka rahasia hati nuraninya "bersama"

Allah adalah dalam satu makna.

Al-junaid - rahimahullah - pernah ditanya tentang rasionalitas orang-orang

arif (al-'arifin). Kemudian ia menjawab, "Mereka lenyap dari kungkungan

sifat-sifat yang diberikan oleh orang-orang yang memberi sifat."

Sebagian dari para tokoh Sufi ditanya tentang ma'rifat. Lalu ia menjawab,

"Adalah kemampuan hati nurani untuk melihat kelembutan-kelembutan apa yang

diberitahukan-Nya, karena ia telah menauhidkan-Nya."

Al-Junaid - rahimahullah - ditanya, "Wahai Abu al-Qasim, (nama lain dari

panggilan al-junaid, pent.). apa kebutuhan orang-orang arif kepada Allah?"

Ia menjawab, "Kebutuhan mereka kepada-Nya adalah perlindungan dan

pemeliharaan-Nya pada mereka."

Muhammad bin al-Mufadhdhal as-Samarqandi - rahimahullah - berkata, "Akan

tetapi mereka tidak membutuhkan apa-apa dan tidak ingin memilih apa pun.

Sebab tanpa membutuhkan dan memilih, mereka telah memperoleh apa yang

semestinya mereka peroleh. Karena apa yang bisa dilakukan orang-orang arif

adalah berkat Dzat Yang mewujudkan mereka, kekal dan fananya juga berkat Dzat

Yang mewujudkannya."

Muhammad bin al-Mufadhdhal juga pernah ditanya, " Apa yang dibutuhkan orang-

orang arif?"

Ia menjawabnya, "Mereka membutuhkan moral (akhlak) yang dengannya semua

Page 9: KONSEP ETIKA MA'RIFAT DALAM PENDIDIKAN MENURUT PANDANGAN AL- GHAZALI

kebaikan bisa sempurna, dan ketika moral tersebut hilang, maka segala

kejelekan akan menjadi jelek seluruhnya. Akhlak itu adalah istiqamah."

Yahya bin Mu'adz - rahimahullah - ditanya tentang sifat orang arif, maka ia

menjawab, "Ia bisa masuk di kalangan orang banyak, namun ia terpisah dengan

mereka."

Dalam kesempatan lain ia ditanya lagi tentang orang yang arif, maka ia

menjawab, "Ialah seorang hamba yang ada (di tengah-tengah orang banyak) lalu

ia terpisah dengan mereka."

Abu al-Husain an-Nuri - rahimahullah - ditanya, "Bagaimana Dia tidak bisa

dipahami dengan akal, sementara Dia tidak dapat diketahui kecuali dengan

akal"

Ia menjawab, "Bagaimana sesuatu yang memiliki batas bisa memahami Dzat Yang

tanpa batas, atau bagaimana sesuatu yang memiliki kekurangan bisa memahami

Dzat Yang tidak memiliki kekurangan dan cacat sama sekali, atau bagaimana

seorang bisa membayangkan kondisi bagaimana terhadap Dzat Yang membuat

kemampuan imajinasi itu sendiri, atau bagaimana orang bisa menentukan 'di

mana' terhadap Dzat Yang menentukan ruang dan tempat itu sendiri. Demikian

pula Yang menjadikan yang awal dan mengakhirkan yang terakhir, sehingga Dia

disebut Yang Pertama dan Terakhir. Andaikan Dia tidak mengawalkan yang awal

dan mengakhirkan yang terakhir tentu tidak bisa diketahui mana yang pertama

dan mana yang terakhir."

Kemudian ia melanjutkannya, "Al-Azzaliyyah pada hakikatnya hanyalah al-

Abadiyyah (Keabadian), di mana antara keduanya tidak ada pembatas apa pun.

Sebagaimana Awwaliyyah (awal) adalah juga Akhiriyyah (akhir) dan akhir adalah

juga awal. Demikian pula lahir dan batin, hanya saja suatu saat Dia

menghilangkan Anda dan suatu saat menghadirkan Anda dengan tujuan untuk

memperbarui kelezatan dan melihat penghambaan ('ubudiyyah). Sebab orang yang

mengetahui-Nya melalui penciptaan makhluk-Nya, ia tidak akan mengetahui-Nya

secara langsung. Sebab penciptaan makhluk-Nya berada dalam makna firman-Nya,

Page 10: KONSEP ETIKA MA'RIFAT DALAM PENDIDIKAN MENURUT PANDANGAN AL- GHAZALI

'Kun' (wujudlah). Sementara mengetahui secara langsung adalah menampakkan

kehormatan, dan sama sekali tidak ada kerendahan."

Saya (Syekh Abu Nashr as Sarrai) katakan: Makna dan ucapan an-Nuri,

"mengetahui-Nya secara langsung," ialah langsung dengan yakin dan kesaksian

hati nurani akan hakikat-hakikat keimanan tentang hal-hal yang gaib.

Syekh Abu Nashr as-Sarraj - rahimahullah - melanjutkan penjelasannya: Makna

dari apa yang diisyaratkan tersebut - hanya Allah Yang Mahatahu - bahwa

menentukan dengan waktu dan perubahan itu tidak layak bagi Allah swt. Maka

Dia terhadap apa yang telah terjadi sama seperti pada apa yang bakal terjadi.

Pada apa yang telah Dia firmankan sama seperti pada apa yang bakal Dia

firmankan. Sesuatu yang dekat menurut Dia sama seperti yang jauh, begitu

sebaliknya, sesuatu yang jauh sama seperti yang dekat. Sedangkan perbedaan

hanya akan terjadi bagi makhluk dari sudut penciptaan dan corak dalam masalah

dekat dan jauh, benci dan senang (ridha), yang semua itu adalah sifat

makhluk, dan bukan salah satu dari Sifat-sifat al-Haq swt. - dan hanya Allah

Yang Mahatahu-.

Ahmad bin Atha' - rahimahullah - pernah mengemukakan sebuah ungkapan tentang

ma'rifat. Dimana hal ini konon juga diceritakan dari Abu Bakar al-Wasithi.

Akan tetapi yang benar adalah ungkapan Ahmad bin 'Atha', "Segala sesuatu yang

dianggap jelek itu akan menjadi jelek hanya karena tertutupi hijab-Nya (tidak

ada nilai-nilai Ketuhanan). Sedangkan segala Sesuatu yang dianggap baik itu

menjadi baik hanya karena tersingkap (Tajalli)-Nya (terdapat nilai-nilai

Ketuhanan). Sebab keduanya merupakan sifat yang selalu berlaku sepanjang

masa, sebagaimana keduanya berlangsung sejak azali. Dimana tampak dua ciri

yang berbeda pada mereka yang diterima dan mereka yang ditolak. Mereka yang

diterima, benar-benar tampak bukti-bukti Tajalli-Nya pada mereka dengan sinar

terangnya, sebagaimana tampak jelas bukti bukti tertutup hijab-Nya pada

mereka yang tertolak dengan kegelapannya. Maka setelah itu, tidak ada

Page 11: KONSEP ETIKA MA'RIFAT DALAM PENDIDIKAN MENURUT PANDANGAN AL- GHAZALI

manfaatnya lagi warna-warna kuning, baju lengan pendek, pakaian serba lengkap

maupun pakaian-pakaian bertambal (yang hanya merupakan simbolis semata,

pent.)."

Saya katakan, bahwa apa yang dikemukakan oleh Ahmad bin Atha' maknanya

mendekati dengan apa yang dikatakan oleh Abu Sulaiman Abdurrahman bin Ahmad

ad-Darani - rahimahullah - dimana ia berkata, "Bukanlah perbuatan-perbuatan

(amal) seorang hamba itu yang menjadikan-Nya senang (ridha) atau benci. Akan

tetapi karena Dia ridha kepada sekelompok kaum, kemudian Dia jadikan mereka

orang-orang yang berbuat dengan perbuatan (amal) orang-orang yang diridhai-

Nya. Demikian pula, karena Dia benci pada sekelompok kaum, kemudian Dia

jadikan mereka orang-orang yang berbuat dengan perbuatan orang-orang yang

dibenci-Nya."

Sedangkan makna ucapan Ahmad bin Atha', "Segala sesuatu yang dianggap jelek

itu akan menjadi jelek hanya karena tertutupi hijab-Nya." Maksudnya adalah

karena Dia berpaling dari kejelekan tersebut. Sementara ucapannya yang

menyatakan, "Segala sesuatu yang dianggap baik itu menjadi baik hanya karena

tersingkap (Tajalli)-Nya." Maksudnya adalah karena Dia menyambut dan

menerimanya. Makna semua itu adalah sebagaimana yang diterangkan dalam sebuah

Hadis:

Dimana Rasulullah saw. pernah keluar, sementara di tangan beliau ada dua buah

Kitab: Satu kitab di tangan sebelah kanan, dan satu Kitab yang lain di tangan

sebelah kiri. Kemudian beliau berkata, "Ini adalah Kitab catatan para

penghuni surga lengkap dengan nama-nama mereka dan nama bapak-bapak mereka.

Sementara yang ini adalah Kitab catatan para penghuni neraka lengkap dengan

nama-nama mereka beserta nama bapak-bapak mereka." (H.r. Tirmidzi dari

Abdullah bin Amr bin Ash. Hadist ini Hasan Shahih Gharib. Juga diriwayatkan

oleh ath-Thabrani, dari Ibnu Umar).

Ketika Abu Bakar al-Wasithi - rahimahullah - mengenalkan dirinya kepada kaum

elite Sufi, maka ia berkata, "Diri (nafsu) mereka (kaum arif telah sirna,

Page 12: KONSEP ETIKA MA'RIFAT DALAM PENDIDIKAN MENURUT PANDANGAN AL- GHAZALI

sehingga tidak menyaksikan kegelisahan dengan menyaksikan fenomena-fenomena

alam yang menjadi saksi Wujud-Nya al-Haq, sekalipun yang tampak pada mereka

hanya bukti-bukti kepentingan nafsu."

Demikian juga orang yang memberikan sebuah komentar tentang makna ini.

Artinya - dan hanya Allah Yang Mahatahu -, "Sesungguhnya orang yang

menyaksikan bukti-bukti awal pada apa yang telah ia ketahui, melalui apa yang

dikenalkan Tuhan Yang disembahnya, ia tidak menyaksikan kegelisahan dengan

hanya menyaksikan apa yang selain Allah (yakni fenomena alam), dan juga tidak

merasa senang dengan mereka (makhluk)."

Jual Beli Ilmu Ma’rifatSekarang jual beli suara politik sudah jamak dimana-mana, apalagi menjelang

pemilu kemarin. Tentu, biasanya jual beli dilanjutkan dengan jual ayat-ayat

dalam kampanye. Nah, tidak kalahnya, mulai marak jual beli ilmu ma’rifat.

Kisahnya dimulai dari kerinduan anak muda yang bener-bener kepingin bertemu

Allah dan mengetahui ma’rifat itu seperti apa. Lalu ia ikuti sebuah iklan di

surat kabar, mengenai teknik mencapai ma’rifat dengan biaya ratusan ribu

rupiyah. Berapa pun biayanya akan dibayar jika ia bisa ma’rifat kepada Allah.

Maka Maduni, nama pemuda itu bergegas mengikuti acara “ma’rifat” itu.

Semula ia disuruh berdzikir, lalu disuruh memejamkan matanya.

“Kamu sudah melihat apa tadi?” Tanya pembimbingnya.

“Nggak melihat apa- apa, Cuma klemun-klemun di otak saya, kayak pusing-

pusing…”

“Lho kamu nggak lihat cahaya tadi?”

“Wah, kalau lihat cahaya, setiap mata saya terpejam, selalu ada, warna-warni

pelangi…?”

“Nah, itu cahaya ma’rifat. Apakah masuk di dadamu?”

“Tapi begini Pak, kalau saya terpejam, mata saya gelap, saya selalu terbayang

Page 13: KONSEP ETIKA MA'RIFAT DALAM PENDIDIKAN MENURUT PANDANGAN AL- GHAZALI

cahaya apa saja yang pernah saya lihat. Semua

warna warni tampak…”

“Terus-terus…nanti ada cahaya lagi…”

Madun, jadi bingung. Sudah bayar ratusan ribu, hanya untuk membayangkan

cahaya. Ia baru sadar, begitu mahalnya untuk

sekadar membayangkan cahaya.

Itulah kisah Madun, ketika ia sudah mulai menempuh jalan Sufi, ternyata

banyak tipudaya yang menggambarkan cahaya itu seperti yang pernah tampak di

dunia. Padahal Cahaya itu adalah Cahaya Jiwa yang hanya bisa dirasakan dalam

pandangan terang benderangnya hati menuju kepada Allah. Bukan macam pelangi

atau goresan cahaya. Madun jadi ingat munculnya cahaya yang mengaku Allah di

hadapan Syeikh Abdul Qadir Jilani, dan cahaya itu adalah tipudaya Iblis.

Madun hanya senyum-senyum mengingat masa lalunya, berbelanja cahaya ma’rifat

lewat iklan Koran.

Peran Ma'rifat Dalam Mencapai Kesempurnaan

cisaat | June 21, 2005

".Katakanlah: Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang

yang tidak mengetahui?" (Q.S. Az-Zumar:9)

Landasan utama kesempurnaan setiap individu ataupun suatu komunitas

terletak pada kualitas ma'rifat (pengetahuan) dan pola fikir mereka.

Kesempurnaan tersebut tidak mungkin terealisasi secara utuh tanpa didukung

kualitas pengetahuan yang tinggi.

Islam adalah agama yang sangat menjunjung tinggi ilmu dan pengetahuan.

Pesan Islam tentang pentingnya peningkatan intelektual dan keilmuan akan

banyak kita dapati di berbagai rujukan tradisional yang tidak terhitung

Page 14: KONSEP ETIKA MA'RIFAT DALAM PENDIDIKAN MENURUT PANDANGAN AL- GHAZALI

jumlahnya. Sebagai contoh, hadis yang berbunyi,: "Tafakur sesaat lebih

utama dibanding ibadah tiga puluh tahun."

Sedemikian tinggi nilai ma'rifat di mata Islam, sehingga ia dikategorikan

sebagai paling mulianya ibadah, yang jika dibandingkan dengan ibadah sekian

puluh tahun lamanya dan tanpa didasari ilmu dan ma'rifat, maka ia jauh

lebih baik dari pada ibadah tersebut.

Allah swt dalam al-Quran menjelaskan bahwa salah satu fungsi diutusnya

rasul adalah untuk meningkatkan kualitas keilmuan dan pola fikir manusia, "

..dan mengajarkan kepada mereka kitab dan hikmah .." (Q.S. Jum'ah : 2).

Dalam pandangan Islam, kualitas sebuah perbuatan bisa diukur dari tingkat

ma'rifat si pelakunya. Jika pelaku tidak melandasi perbuatannya dengan

pengetahuan atau ma'rifat, perbuatannya itu tidak bernilai sama sekali.

Dengan kata lain, tingkat kualitas suatu tindakan ditentukan sesuai dengan

derajat ma'rifat pelakunya. Semakin tinggi derajat ma'rifat seseorang,

semakin tinggi pula kualitas perbuatannya, meskipun perbuatan itu secara

lahiriah nampak remeh, sebagaimana yang ditegaskan dalam riwayat "Tidurnya

orang alim adalah ibadah."

Di sisi lain, penekanan Islam dalam pengutamaan kualitas ibadah dibanding

kuantitasnya sangat mencolok, seperti yang kita amati dari ayat 2 surat Al-

Mulk: "... supaya Dia menguji kamu, siapa diantara kamu yang lebih baik

amalnya... "

Ayat ini menunjukkan bahwa Allah swt lebih menekankan amal yang terbaik,

bukan yang terbanyak. Jelas bahwa amal terbaik adalah amal yang dilandasi

dengan ma'rifat.

Page 15: KONSEP ETIKA MA'RIFAT DALAM PENDIDIKAN MENURUT PANDANGAN AL- GHAZALI

Imam Abu Ja'far a.s. bersabda, "Wahai anakku! Ketahuilah bahwasanya derajat

syiah (pengikut) kita akan sesuai dengan kadar ma'rifat mereka karena aku

pernah melihat di dalam "Kitab Ali" (Mushaf Ali) tertulis bahwa nilai

kesempurnaan seseorang ditentukan oleh kadar ma'rifat-nya" (Ma'ani al-

Akhbar).

Tentu saja, riwayat ini sama sekali tidak bertentangan dengan ayat yang

mengatakan, ". Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi

Allah ialah orang yang paling bertakwa diantara kamu ." (Q.S. Al-Hujurat :

13) karena kalau ditelusuri lebih dalam lagi kita akan ketahui bahwa

ketakwaan diperoleh berkat amal saleh dan amal saleh sendiri tidak akan

lahir kecuali dari sumber keimanan, sedangkan keimanan ini mustahil dicapai

tanpa landasannya, yaitu ma'rifat.

Ringkasnya, ketakwaan tidak mungkin didapati kecuali dengan ilmu dan

ma'rifat. Di samping itu, kemuliaan manusia yang dinilai dengan

ketakwaannya, juga dinilai dengan sumber ketakwaannya tersebut; yaitu

ma'rifat.

Maka, betapa besar perhatian dan penekanan ajaran Islam terhadap nilai ilmu

dan ma'rifat, sebagaimana yang ditegaskan firman Allah swt dalam hadis

qudsi berikut ini: "Aku ibarat harta yang terpendam, maka Aku senang untuk

diketahui. Oleh karena itu, Kuciptakan makhluk agar diriku diketahui"

(Bihar al-Anwar).

Penciptaan makhluk yang ada di alam semesta ini, khususnya manusia yang

memiliki berbagai potensi, adalah untuk ber-ma'rifat kepada Allah yang

merupakan tujuan utama penciptaan. Imam Ja'far Shadiq a.s. dengan menukil

Page 16: KONSEP ETIKA MA'RIFAT DALAM PENDIDIKAN MENURUT PANDANGAN AL- GHAZALI

riwayat dari kakek beliau, Imam Ali Zaenal Abidin a.s. menafsirkan kata

"al-Ibadah" yang tercantum dalam ayat "Tidaklah Kucipta-kan jin dan manusia

kecuali untuk beribadah kepada-Ku" (Q.S Al-hujarat : 13), bersabda, "Wahai

para manusia! Sesung-guhnya Allah swt tidak menciptakan hamba-hamba-Nya

kecuali untuk mengenal (ber-ma'rifat) kepada-Nya" (Biharul Anwar).

Jelas, dilihat dari sisi definisi, ibadah berbeda dengan ma'rifat. Namun,

jika kita lihat hubungan keduanya, maka kita akan dapat menilai eratnya

hubungan itu, karena bagaimana mungkin kita akan beribadah kepada Zat yang

tidak kita kenal, dan mungkinkah kita merasa sudah mengenal Zat

Mahasempurna, yang selayaknya disembah dan harus kita tuju untuk

kesempurnaan jiwa kita, sementara kita tidak melakukan ibadah kepada-Nya,

padahal kita tahu bahwa kesempurnaan jiwa mustahil dicapai tanpa ibadah.

Imam Ali a.s. dalam Nahjul Balaghah membuka khutbah pertamanya dengan

ucapan, "Awal agama adalah mengenal-Nya." Maka, awal yang harus diraih

seorang hamba dalam ber-ma'rifat adalah pengetahuan tentang penciptanya

yang melahirkan suatu keyakinan. Ia tidak akan mencapai suatu keyakinan

tanpa pengetahuan.

Lawan ma'rifat adalah taqlid. Kata ini berarti mengikuti ucapan seseorang

tanpa landasan argumen. Maka, taqlid tidak dikategorikan sebagai ilmu. Ia

sama sekali tidak akan meniscayakan keyakinan.

Sehubungan dengan ma'rifatullah dalam pandangan Islam, khususnya mazhab

Ahlul Bayt, setiap manusia harus meyakini keberadaan Allah swt dengan

berbagai konsekuensi ketuhanan-Nya, karena keyakinan tidak mungkin muncul

tanpa landasan ilmu dan argumen. Oleh karena itu, Islam melarang taqlid

dalam masalah ini.

Page 17: KONSEP ETIKA MA'RIFAT DALAM PENDIDIKAN MENURUT PANDANGAN AL- GHAZALI

Tentu saja, manusia tidak mungkin ber-ma'rifat dan mengenal Zat Allah SWT

haqqu ma'rifatih (secara utuh dan sempurna), sebagaimana yang dibuktikan

oleh akal. Karena, bagaimana mungkin sesuatu yang terbatas (makhluk) dapat

mengetahui dan menjangkau zat yang tidak terbatas (al-Khaliq) dari berbagai

sisi-Nya. Oleh sebab itu, rasul sebagai makhluk yang paling sempurna pernah

bersabda dalam penggalan munajatnya, "Wahai Tu-hanku, diriku takkan pernah

mengetahui-Mu sebagaimana mestinya."

Hal ini tidak berarti kita bebas dari kewajiban mengenalnya, Imam Ali a.s.

pernah menegaskan, "Allah swt tidak menyingkapkan hakikat sifat-Nya kepada

akal, kendati Dia pun tidak menggugurkan kewajibannya untuk mengenal diri-

Nya" (Nahjul Balaghah).

Setiap ilmu dan ma'rifat, khususnya ma'rifatullah, yang dimiliki oleh

setiap individu ataupun suatu komunitas sangat berpengaruh pada perilaku

moral dalam kehidupan mereka sehari-hari. Kita bisa bandingkan mereka yang

meyakini pandangan dunia Ilahi dengan mereka yang menganut pandangan dunia

materialis. Kelompok kedua ini menganggap bahwa kehidupan manusia tidak

memiliki kepastian dan kejelasan tujuan yang harus ditempuh, anggapan yang

bermuara dari keyakinan bahwa kebermulaan alam ini dari shudfah

(kebetulan), sehingga mereka melihat bahwa kematian merupakan titik akhir

dari kehidupan dan manusia menjadi tiada hanya dengan kematian. Kematian

itu akan menghadang setiap orang tanpa pandang bulu, zalim maupun adil,

berbudi luhur maupun tercela.

Maka, ketika anggapan-anggapan tersebut menjadi dasar pengetahuan,

sekaligus menjadi dasar keyakinan, mereka hidup sebagai hedonis yang selalu

berlomba untuk mencari segala bentuk kenikmatan duniawi dan menganggapnya

Page 18: KONSEP ETIKA MA'RIFAT DALAM PENDIDIKAN MENURUT PANDANGAN AL- GHAZALI

sebagai kesempurnaan sejati yang harus dicari oleh setiap orang, sebelum

ajal mencengkeram mereka. Menurut mereka, tidak ada sesuatu yang lebih

sakral dibanding kenikmatan hidup ini, dan nilai-nilai moral seseorang akan

terus berubah seiring dengan perubahan situasi dan kondisi dunia dengan

berbagai atributnya, sehingga standar etika mereka adalah segala hal yang

berkaitan dengan prinsip materialisme dan hedonisme.

Berbeda dengan pandangan agama samawi, khususnya Islam. Bertolak dari

prinsip tauhid3 muncullah keyakinan-keyakinan, seperti adanya tujuan-tujuan

pasti yang tak pernah sia-sia di balik penciptaan alam semesta ini,

termasuk penciptaan manusia, sebagaimana firman Allah SWT, "Apakah engkau

menyangka bahwa telah kami ciptakan dirimu (manusia) dengan kesia-siaan,

dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada kami?" (Q.S. Al-Mu'minun :

115)

Oleh karena itu, kematian menurut mereka bukanlah akhir dari kehidupan.

Sebaliknya, ia lebih merupakan gerbang awal dari kehidupan abadi. Maka,

suatu keniscayaan bagi Allah swt Zat yang Maha adil dan Maha tahu akan

setiap gerak perilaku makhluk-Nya, untuk menjadikan suatu alam selain alam

dunia ini sebagai tempat pertanggung-jawaban atas setiap perbuatan manusia

selama masa hidupnya di dunia.

Sebagaimana telah kita ketahui bahwa hanya Allah swt satu-satunya Zat yang

Mutlak dari berbagai sifat kesempurnaan sehingga jika kita dapati kebaikan

dan keindahan di alam fana ini, maka itu merupakan bentuk manifestasi

penjelmaan) kebaikan dan keindahan-Nya.

Yang dimaksud dengan "manusia sempurna" adalah suatu derajat di mana

manusia telah mampu mencapai bentuk penjelmaan sifat-sifat Ilahi dalam

Page 19: KONSEP ETIKA MA'RIFAT DALAM PENDIDIKAN MENURUT PANDANGAN AL- GHAZALI

dirinya, sekaligus berhasil menjauhkan diri dari berbagai sifat yang harus

dijauhkan dari sifat-sifat Allah swt. Hal inilah yang selalu dianjurkan

oleh Rasul dalam sabda beliau: "Berakhlaklah dengan akhlak Allah."

Dalam konteks ibadah sehari-hari, kita selalu dianjurkan berniat untuk

taqarrub, yaitu mendekatkan diri kepada-Nya. Taqarub di sini mengisyaratkan

pada tasyabbuh (penyerupaan diri dengan sifat-sifatNya). Semakin bertambah

kualitas dan kuantitas manisfestasi sifat-sifat kesempurnaan Ilahi dalam

diri asyiq (seorang pecinta Tuhan), niscaya ia semakin dekat dengan

ma'syuq-nya (kekasih), begitu pula sebaliknya. Jika manifestasi itu minim

dan pudar, atau bahkan tidak ada sama sekali, ia akan selalu jauh dari

penciptanya.

Berbicara tentang penyerupaan sudah menjadi hal yang wajar bagi seseorang

mencintai sesuatu. Ia akan selalu berusaha untuk melakukan hal-hal yang

mengingatkan dirinya kepada kekasihnya seperti; meniru gaya hidup,

mencintai apa yang dicintai kekasihnya dan seterusnya. Begitu juga jika ia

membenci sesuatu, maka ia selalu berusaha untuk melupakan dan menjauhkan

diri dari apa yang ia benci. Demikian pula yang dialami oleh pecinta Ilahi.

Perlu ditekankan bahwa jauh-dekatnya seorang hamba kepada Tuhannya bukan

berupa jarak materi, tapi merupakan tingkat manifestasi sifat-sifat Ilahi

pada diri hamba tersebut, karena kesempurnaan Ilahi tidak teratas,

sementara manusia diliputi oleh berbagai macam keterbatasan. Oleh sebab

itu, perjalanan untuk liqa' (bertemu) dengan Allah swt pun tidak berbatas.

Untuk sampai dan bertemu dengan Tuhannya, para salik akan melalui banyak

rintangan, berupa hijab (tabir-tabir penghalang) yang harus ia singkirkan

untuk sampai pada tujuan yang dia rindukan. itu semua perlu usaha optimal,

Page 20: KONSEP ETIKA MA'RIFAT DALAM PENDIDIKAN MENURUT PANDANGAN AL- GHAZALI

baik berupa pengetahuan yang bersifat teoritis ataupun aplikatif nyata.

Karena, tanpa pengetahuan yang maksimal, suluk seorang hamba tidak akan

bisa terwujud. Bekal ilmu seorang salik yang terbatas akan menjauhkan diri

dari tujuannya. Imam Shadiq a.s. bersabda, "Seorang pelaku perbuatan tanpa

landasan pengetahuan ibarat berjalan di luar jalur yang akan ditempuh.

Semakin cepat ia bergerak, tidak akan menambah (cepat sampai tujuan), akan

tetapi malah semakin menjauh (dari tujuan)." (Ushul al-Kafi)

Kegagalan perjalanan seorang hamba dalam mencapai tujuannya disebabkan oleh

bekal pengetahuan yang tidak cukup, karena pengetahuan yang minim

menyebabkan kerancuan memilah baik dari buruk, keyakinan yang benar dari

yang salah, juga niat yang tulus dari yang tercemar oleh syirik atau

bisikan setan; memperdaya dan menipu dengan berbagai angan dan khayalan,

sehingga menerjang apa yang harus dihindari dan meninggalkan apa yang harus

dilakukan. Maka, bagaimana mungkin seorang hamba yang rindu bertemu dengan

kekasih sejatinya dan mendapatkan keridhoan-Nya, sementara ia menempuh

jalan yang tidak diridhai, bahkan dibenci oleh sang kekasih.

Seperti yang telah kita ketahui ilmu tanpa amal ibarat pohon tak berbuah.

Ilmu tidak akan memberi manfaat apapun bila tidak diamalkan. Allah swt

berfirman dalam surat Al-Jatsiah ayat 23, "Maka pernahkan kamu melihat

orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya." Ayat ini menjelaskan

bahwa ilmu tidak menjamin orang untuk mendapatkan hidayah (petunjuk).

Sedangkan penyesatan yang dilakukan oleh Allah swt terhadap orang yang

berilmu tadi, hanya karena ketaatan mereka kepada hawa nafsu dan

ketidaksesuaian amal mereka dengan pengetahuannya.

Allamah Thabatha'i r.a. dalam tafsir al-Mizan dalam mengomentari ayat di

atas menjelaskan bahwa pertemuan ilmu --tentang jalan yang harus ditempuh--

Page 21: KONSEP ETIKA MA'RIFAT DALAM PENDIDIKAN MENURUT PANDANGAN AL- GHAZALI

dengan kesesatan bukan suatu kemustahilan. Bukankah Allah swt berfirman,

"Dan mereka mengingkarinya karena kezaliman dan kesombongan, padahal hati

mereka sungguh meyakini kebenarannya" (an-Naml:14)..

Tidak ada konsekuensi antara ilmu dan hidayah atau antara kejahilan dan

kesesatan. Akan tetapi, petunjuk (hidayah) merupakan penjelmaan ilmu di

mana si empunya (alim) selalu komitmen dengan ilmunya, namun jika tidak,

maka kesesatan akan menimpanya walaupun ia berilmu.

Dalam kehidupannya, terkadang manusia melupakan apa yang disebut dengan

maslahat universal yang harus ia raih, sehingga ia lebih mengedepankan

maslahat semu di depan matanya dibanding maslahat jangka panjang yang

hakiki. Dalam meraih hal semu tersebut tak jarang ia menggunakan dengan

cara-cara yang bertentangan dengan perintah Allah dan lebih mengikuti hawa

nafsunya, "Terangkan kepadaku tentang orang-orang yang menjadikan hawa

nafsunya sebagai Tuhannya." (Q.S. Al-furqan : 43).

Oleh karena itu, dalam menuju kesempurnaan abadi dan maslahat hakiki,

selain diperlukannya ma'rifat sebagai pondasinya, juga tarbiyah yang dalam

bahasa al-Quran disebut tazkiyah (penyucian diri) sebagai salah satu fungsi

diutusnya rasul, ".Yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, menyucikan

mereka dan mengajarkannya .." (Q.S. Al-jum'ah : 2). Tazkiyah inilah sebagai

pilar utama dari tegaknya bangunan kesem-purnaan jiwa manusia.

\

Keutamaan ma’rifat

Ma'rifat adalah mengenal yang hak pada segala Asma dan sifatNya

dengan sebenar-benarnya. Ma'rifat adalah keistimewaan yang tertinggi

yang ada pada hati, karena seseorang yang sudah ma'rifat hubungan

antaranya dan Allah sudah sangat dekat dan harmonis hingga dirinya

Page 22: KONSEP ETIKA MA'RIFAT DALAM PENDIDIKAN MENURUT PANDANGAN AL- GHAZALI

menyatu dengan Allah, sifatnya adalah sifat Allah dan semua

aktivitasnya adalah qudrat Allah.

" Siapa yang mengenal dirinya maka ia mengenal Tuhannya " (al Hadits). Abu

Ali Addaqaq berkata: " Kehidupan orang yang Arif selalu tenang tidak ada rasa takut

atau bersedih hati dan tingkah lakunya menunjukkan kehebatan Allah ".

Daftar Pustaka http://teknologiforever.wordpress.com/2012/09/14/resume-aqidah-islamiyah-sayyid-sabiq/http://pienotes.blogspot.com/2010/12/al-makrifat-mengenal-allah-swt.htmlSabiq, sayyid. Aqidah Islamiyah : Pola Hidup Sederhana. Dipponegoro: Robbani Press,2008Mz, Labib dan Maftuh Ahnan. Kuliah Ma’rifat.  CV. Bintang PelajarSolihin, M. Tokoh-tokoh Sufi. Bandung : Pustaka Setia, 2003http://islamwiki.blogspot.com/2011/04/marifat-kepada-allah.html