PEMANFAATAN KERJASAMA KEAMANAN (COOPERATIVE SECURITY ) UNTUK MENGHADAPI BAHAYA KEAMANAN KOMPREHENSIF (COMPHREHENSIVE SECURITY THREAT) DALAM RANGKA KETAHANAN NASIONAL DAN MEMPERKOKOH NKRI -------------------------------------------------------- Prof. Dr. Muladi, SH (Bahan Ceramah PPRA DAN PPSA Lemhannas 2012) ABST RAK : 1) Konsep “cooperative security ” secara umum didefinisikan sebagai : “a process whereby countries with common interest work jointly through agreed mechanism to reduce tensions and suspicion, resolve or mitigate disputes , build confidence , enhance economic development prospects , and maintain stability in their regions ” ( Michael Moodle, Chemical and Biological Arms Control Institute, January, 2000); 2) Konsep “cooperative security” berkembang atas dasar beberapa hal : Masalah saat ini berada di luar kemampuan dari negara per Negara untuk memecahkannya, karena bersifat transnasional 1
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
globalisasi ekonomi yang tidak adil (global injustice), perompakan
di laut, pemerintahan yang otoriter (state crime) dll. Di samping
itu masih terjadinya bahaya keamanan tradisional yang berifat
“state centric” dan bersifat lebih kompleks ( Afrika Tengah
menggambarkan terjadinya apa yang dinamakan konflik yang
merupakan perpaduan antara “interstate rivalries, internal
conflicts and transnational ethnic problems”) ; dua spektrum
ancaman bahaya ini digambarkan oleh James Rosenau (1990)
sebagai “the two world of world politics” atau “bifurcated conflict
environment” (lingkungan conflict dua cabang);
Terjadinya fenomena penyebarluasan wmd dan senjata-senjata
berteknologi maju yang senyatanya diprodukasi oleh sector
swasta yang memerlukan pengawasan akibat praktek “dual use”
(privatisasi teknologi);
Kemajuan atau modernisasi alat komunikasi, transportasi dan
informatika di era globalisasi, yhamh dimanfaatkan untuk
kepentingan negatif (globalization of crime);
“The enemies of yesterday were static, predictable, homogenous,
rigid, hierarchical, and resistant to change. The enemies of today
are dynamic, unpredictable, diverse, fluid, networked, and
constantly evolving” (Jenkins, 2007);
Konsep “competitive security” yang bersifat tradisional melalui
pembangunan arsenal militer atau berusaha mendominasi
keamanan regional, ternyata tidak menghasilkan hal-hal positif
dan bahkan menciptakan masalah-masalah internal. Contoh
kasus Iraq yang melakukan agresi terhadap Kuwait. Persaingan
Pakistan dan India dalam test nuklir diragukan menciptakan
keamanan nasional. Begitu juga yang dilakukan Iran yang justru
menimbulkan rasa khawatir negara-negara tetangganya; Tidak
berbeda apa yang terjadi di ASEAN dan Amerika Latin serta
Timur Tengah;
2
Konsep “cooperative security” diharapkan dapat meningkatkan
kesadaran betapa pentingnya suatu struktur lingkungan yang
terintegrasi antar Negara, sehingga mampu memelihara
kesejahteraan dan kemanan rakyatnya. Munculnya Negara gagal
(failed states) seperti Somalia dll. yang potensial mengancam
Negara-negara lain, yang tak dapat diselesaikan oleh negara yang
bersangkutan, kecuali melalui “international and regional
cooperation”;
3) Paska perang dingin, di samping alasan-alasan yang masih
berkaitan dengan peranan kompetisi kekuatan militer, telah
mengemuka alasan ekonomis dan lingkungan dalam
pengembangan “cooperative security”;
Contoh “cooperative security” : Asean Security Community dalam kerangka ASEAN Charter, Lombok Treaty antara Indonesia-Australia, kesepakatan Korea Utara dan Selatan untuk menjamin proses perdamaian dalam rangka ”interKorean economic cooperation”; kerjasama keamanan Negara-negara Amerika Latin yang dipelopori Argentina dan Brasilia untuk mencegah penyebarluasan senjata nuklir, kimia, dan biologi, Munculnya Organizational of American States (OAS) tahun 1992 yang memiliki “Special Commitee on Hemispheric Security” , melalui intelligence sharing, joint exercises dll. untuk menjamin stabilitas kawasan; China yang mengembangkan kerjasama dengan Negara-negara tetangga (Korsel, Pakistan, India, Negara Asia Pasific, Rusia, Jepang, Asean, Amerika, , Burma, Laos, Mongolia), dalam rangka menciptakan stabilitas untuk perkembangan pertumbuhan ekonomi dan pembangunan jangka panjang. China merupakan anggota Chemical Weapon Convention (CWC), the Nuclear Non-Proliferation Treaty (NPT), pengiriman observer di pelbagai area di dunia, anggota APEC, ARF. Selanjutnya The Proliferation Security Initiative yang dipelopori AS + 90 negara sejak 2003 untuk memegat kapal-kapal Niaga negara ketiga yang berlayar di laut bebas yang dicurigai membawa WMD dari negara-negara yang dianggap berbahaya seperti Korea Utara dll.; Yang menarik adalah latihan bersama pesawat-pesawat Nato dengan Rusia untuk menghadapi terorisme (Vigilant Skies 2011);
4) Di masa pasca perang dingin system internasional, di samping
memperhatikan peranan dari kekuatan dan kompetisi militer,
memperkenalkan “cooperative security” yang juga mencakup
keamanan ekonomi dan lingkungan. Kinerja ekonomi tidak kalah
pentingnya daripada kapabilitas militer dilihat sebagai kekuatan
negara di dalam komunitas internasional. Bahaya didefinisikan
sebagai bahaya ekonomi, lingkungan dan demografi. Namun
3
demikian kepedulian terhadap tantangan bahaya non-tradisional
tidak mengeliminasi kekhawatiran terhadap bahaya tradisional.
5) Kerjasama antar Negara dibutuhkan, karena negara-negara
merasa tidak mungkin mengatasi banyak permasalahan secara
sendirian. Untuk itu perlu dibangun kapabilitas melalui
kesepakatan internasional, usaha bersama mengatasi bahaya
transnasional, mencegah atau menyelesaikan konflik, dan
membangun masyarakat madani;
6) Makna kedaulatan mengalami pergeseran dari konsep
Westphalian 1648 yang menegaskan prinsip “privilege and
control” berkembang juga je arag tanggungjawab (responsibility)
baik internal maupun ekaternal;
7) Indonesia memiliki beban moral yang besar untuk
mengembangkan kerjasama keamanan karena:
sifat mayarakatnya yang ekstrapluralistik;
proses demokratisasi yang belum tuntas;
postur sebagai negara kepulauan (archipelagic state) terbesar
dengan kelemahan berupa multi akses yang sulit dikontrol secara
efektif;
PENDAHULUAN
Istilah kerjasama keamanan secara bergantian digunakan
sebagai terjemahan dari “security cooperation ” atau “cooperative
security”. Hal ini menjadi sangat populer di kalangan negara-negara
ASEAN dengan tekadnya pada tahun 2003 dalam summit meeting di
Bali menerima ASEAN Concord II, menggantikan Deklarasi ASEAN
Concord I (1976) al. untuk membangun pilar “ASEAN Security
Community”, di mana terkandung tekad agar supaya segala konflik
dikelola secara kolektif (managed collectively ) . Dalam hal ini
tercakup apa yang dinamakan “ conflict prevention”, “conflict
resolution” dan “post-conflict peace building ”.
4
Dengan istilah “cooperative security” dapat digambarkan adanya
usaha penekanan perbedaan melalui pendekatan konvensional ,
seperti “ collective defence and collective security” . “Collective
defence” menekankan pada pembentukan “ military alliances ”
( defence pact) diarahkan untuk melawan musuh yang bersifat
spesifik. Dalam hal ini pendekatan bersifat konfrontatif, yang
ditujukan untuk mencegah atau menghalangi serangan musuh
dengan cara memelihara kemampuan militer untuk melancarkan
serangan balik. Contoh : NATO (Kasus ketegangan militer akibat
penembakan pesawat tempur Turki oleh Suriah), Pakta Warsawa di
masa lalu (1955-1991), Pakta militer antara AS-Korsel, AS-Jepang,
Five Power Defence Arrangement (FPDA) antara Inggris, Singapura,
negara-negara untuk melakukan suatu pendekatan kerjasama dan
bertujuan membangun usaha-usaha multilateral tanpa beranggapan
adanya hubungan antara teman-musuh. Hal ini merupakan usaha
untuk mencapai “security with others”, sedangkan “collective
defence” merupakan suatu usaha untuk memelihara prinsip
“ security against enemy ” . Selanjutnya tujuan “collective security ”
adalah mematahkan agresi melalui pemeliharaan kekuatan militer
untuk menghukum agresor. Di dalam kerangka “collective security “
ini, asas “ one for all, all for one ” diterapkan . Agresi terhadap salah
satu anggota dianggap sebagai suatu serangan terhadap
seluruhnya, sehingga semua anggota dapat menghukum agresor.
Sebaliknya “cooperative security” pada hakikatnya bersifat “ non-
militeristic”. Dalam kerangka kerjasama ini semua peserta
bekerjasama untuk meningkatkan stabilitas suatu kawasan, yang
sangat didambakan oleh semua anggota. Asas yang berlaku dalam
hal ini adalah “all for all ”.
Hal ini sangat menjiwai makna security community yang
memungkinkan para anggotanya untuk mengembangkan rasa “W e-
ness ” atau “W e -feeling ” dan ada suatu jaminan bahwa mereka tidak
5
akan berkelahi secara fisik satu sama lain dan akan menyelesaikan
segala perselisihannya dengan cara lain , yaitu cara damai.
Bagi Indonesia konsep “ cooperative security ” sangat tepat
sehubungan politik bebas aktif yang dianut dan berkaitan pula
dengan salah satu tujuan nasional dalam Pembukaan UUD NRI
Tahun 1945 yakni “ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan social”.
Kadang-kadang hal ini bersifat ironis, mengingat di sekitar kita
terdapat semacam “collective defence” yaitu FPDA (The Five Power
Defence Arrangements) antara Australia, New Zealand, The United
Kingdom, Malaysia dan Singapura (sejak 1971), pasca konfrontasi
Indonesia vs. Malaysia ( 1963-1966), sekalipun bentuknya sebagai
forum konsultasi. Seorang penulis menyebutkannya sebagai
“unobtrusive alliance” (aliansi rendah hati).
Indonesia tidak begitu mengkhawatirkan hal ini (eksistensi
FPDA) , karena perdamaian dan keamanan internasional dilindungi
oleh norma, nilai dan standard badan-badan internasional seperti
PBB dengan UN Charternya serta berfungsinya Dewan Keamanan
PBB, di samping kesepakatan-kesepakatan baik multilateral, bilateral
maupun regional yang dibangun. Di samping itu atas dasar Statuta
Roma tahun 1998 yang dipertegas oleh Deklarasi Kampala (2010),
“the crime of agression” dinyatakan sebagai kejahatan internasional.
Dalam hal ini Sekjen PBB Ban Ki-Moon menyebutnya sebagai :
“the historic agreement in the a new age of accountability, replacing
the old era of impunity” yang datang dari Kampala, Uganda (14 Juni
2010), di mana International Criminal Court Review Conference (The
Assembly of State Parties of Rome Statute of ICC), setelah 2 minggu
melakukan perdebatan telah mendefinisikan dengan baik salah satu
yurisdiksi materi yang tertera di dalam Statuta Roma 1998 tentang
apa yang dinamakan “the crime of aggression” (di samping yang
sudah baku seperti genosida, kejahatan terhadap kemanusian dan
kejahatan perang) yang dapat diadili oleh Mahkamah Pidana
Internasional (International Criminal Court). Karena alasan
6
prosedural, perjuangan bertahun-tahun tersebut baru akan mulai
berlaku tahun 2017. Definisi agresi yang disepakati adalah :
“the planning, preparation, initiation or execution, by a person in a
position effectively to exercise control over or to direct the political
or military action of a State, of an act of aggression which, by its
character, gravity and scale, constitutes a manifest violation of the
Charter of the United Nations”.
Dalam kerangka ini blokade pelabuhan dan pantai dari suatu
Negara oleh angkatan bersenjata Negara lain, termasuk suatu invasi
atau serangan oleh tentara suatu Negara ke dalam wilayah Negara
lain, merupakan perbuatan agresi di bawah Statuta tersebut. Namun
demikian pilihan untuk memperkuat sistem pertahanan nasional
yang didukung oleh substasi, struktur dan kultur yang solid serta
keberadaan alutsista yang memadai dan didukung oleh industri
strategis yang unggul merupakan pilihan yang tidak dapat
dihindarkan untuk memperkuat posisi tawar Indonesia serta
menimbulkan effek deterrent ( Penulis Romawi Publius Flavius
Vegetius Renatus menyatakan : “Civis Pacem Para Bellum” – IF YOU
WANT PEACE PREPARE FOR WAR ( barang siapa menginginkan
perdamaian harus siap untuk berperang ).” Iqitur qui desiderat pacem
praeparet bellum”.
Ada yang berpendapat bahwa lingkungan ASEAN yang penuh
konflik memang sulit untuk menerapkan spirit “security community”
tersebut. Tetapi yang jelas hampir tidak ada konflik
bersenjata/perang terbuka antar negara ASEAN. Dalam hal ini
proses konsultasi dan dialog melalui diplomasi selalu didorong oleh
perasaan kepentingan dan nilai bersama dengan bantuan Negara
ASEAN lain (contoh konflik antara Thailand dan Kamboja, Indonesia
dan Malaysia).
Di kalangan ASEAN dikenal istilah “ the ASEAN Way” yang
norma-normanya menekankan betapa pentingnya kedaulatan dan
otonomi atas dasar prinsip “ non-interference” di dalam masalah
dalam negerinya masing-masing dan segala keputusan diperoleh
melalui konsensus. Secara luas hal ini dirumuskan dalam Chapter I
7
(Purposes and Principles) Asean Charter. Di lain pihak prinsip
tersebut sering mempersulit pemecahan masalah.
Asean Security Community menjadi semakin mantab dengan
adanya ASEAN Charter (2007) yang diharapkan dapat memberikan
andil keamanan bersama baik di kawasan ASEAN maupun Asia
Timur. Dalam perkembangannya baik ASEAN maupun ASEAN + 3
(ASEAN + China, Jepang dan Korsel) yang semula lebih menekankan
pada kerjasama ekonomi dan keuangan, beberapa tahun terakhir
sangat aktif berbicara tentang keamanan komprehensif, termasuk
apa yang dinamakan kerjasama di bidang issue-issue keamanan non-
tradisional seperti terorisme global dan keamanan maritim, termasuk
juga issue-issue sosial seperti kemiskinan dan kesetaraan gender.
Yang menarik adalah diselenggarakannya East Asian Summit (EAS) pada tgl. 14 Desember 2005 di Kuala Lumpur yang dihadiri 16 negara yang kemudian akan mencapai 18 negara, termasuk negara-negara ASEAN, Amerika Serikat , China, India, Jepang, Korea Selatan, , Australia dan New Zealand, serta Russia. Hal ini bersaing dengan East Asian Community (EAC) yang hanya terdiri atas ASEAN 10 + 3 yang banyak didominasi China, yang bersifat tertutup dan eksklusif, sedangkan EAS bersifat inklusif dan telah merobah arsitektur keamanan Asia. Hal ini melengkapi ARF (Asean Regional Forum) yang mempromosikan perdamaian dan keamanan di Asia Pasifik melalui dialog dan kerjasama. Di samping itu APEC (Asia Pacific Economi Cooperation) juga membahas tentang issue-issue keamanan non-tradisional seperti counter terrorisme dan penyakit menular serta keamanan maritim, energi dan lingkungan dan hal-hal yang lebih luas, di mana AS juga berperanan di dalamnya. AS mempertimbangkan keduanya sebagai instrumen diplomatik terhadap sistem aliansi militer bilateral, khususnya dengan Jepang. Belum lagi kdrjasama untuk memerangi terorisme di ASEAN ; ASEAN-Australia; ASEAN-Canada; ; ASEAN-India; ASEAN-Japan; ASEAN-Republic of Korea; ASEAN -New Zealand; ASEAN-Pakistan; ASEAN-Russian Federation; dan ASEAN-US;
KEAMANAN KOMPREHENSIF
Istilah “comphrehensive security ” yang muncul di dalam Bali
Concord II (2003) , semakin popul e r seiring pula dengan berakhirnya
Perang Dingin sekitar tahun 1988, yang berseberangan dengan
harapan masyarakat dunia yang mengharapkan dengan penuh
optimisme munculnya perdamaian abadi, baik internal maupun antar
8
negara, berkurangnya kekerasan dan tegaknya ketertiban dunia di
bawah kendali PBB.
Namun yang terjadi pada tahun 1990-an justru menimbulkan
pertanyaan, karena yang muncul adalah kekerasan yang dilakukan
oleh “ non-state actors ” seperti perang saudara, pelanggaran HAM
berat seperti genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan, konflik
berdasar identitas, pemanasan bumi (global warming) yang
menyebabkan perubahan iklim (climate change) yang
membahayakan umat manusia akibat ulah manusia (man made),
terorisme yang dipicu oleh frustasi akibat perasaan-perasaan
kasenjangan sosial ekonomi, ketidakadilan, “xenophobia”,
ketidakamanan akibat globalisasi yang dirasakan sebagai “corporate
globalism” yang menimbulkan “global injustice” (kaji pula peristiwa
krisis ekonomi global sebagai dampak krisis dengan center of gravity
Amerika Serikat beberapa waktu yang lalu), separasi politik, tuntutan
solidaritas agama yang sempit, yang dimanipulasi oleh kaum
ekstremis, fanatik, fundamentalis dan kelompok radikalis. (Muladi,
2006).
Dalam perkembangannya istilah “ comphrehensive security ”
pada dasarnya merupakan “ re-organized security concept ” yang
“goes beyond (but does not exclude) the military to embrace the
political, economic and sociocultural dimensions”. (Alagappa, 1998).
Oleh Council for Security Cooperation in the Asia Pacific (CSCAP)(20
negara), “comphrehensive security” didefinisikan sebagai “the pursuit
of sustainable security in all fields (personal, political. economic, social,
cultural, military, environmental) in both the domestic and external
spheres, essentially through cooperative means”. (CSCAP, 1995).
Secara tradisional, keamanan telah didefinisikan dalam kerangka
geo-politik, yang mencakup pelbagai aspek seperti “ deterrence, power
balancing and military strategy” yang cenderung melekat pada “nation’s
security”, hubungan antar negara dan kekuatan militer . Hal ini selama
beberapa waktu merefleksikan “intellectual myopia” atau “intellectal
straitjacket” ( Tan and Boutin, 2001).
9
Konsep keamanan komprehensif tersebut mempromosikan apa
yang dinamakan “human security ” untuk menggantikan kerangka
pemikiran yang berorientasi pada “state-centrism ”, yang sama sekali
meninggalkan ruang lingkup pengertian keamanan simetrik, untuk
merefleksikan ketidakamanan yang biasa dihadapi oleh manusia baik
individual, kelompok atau masyarakat yang bersifat kronis dan
kompleks dalam kaitannya dengan kondisi kehidupan sehari-hari seperti
persoalan makanan, tempat berteduh, lapangan kerja, kesehatan,
keamanan umum, dan HAM, jauh dari kaitannya dengan hubungan
dengan negara lain sebagai aktor dan kekuatan militer .
Doktrin Jepang tentang “human security ” dilandasi oleh premis
bahwa keamanan nasional tidak hanya berkaitan dengan keamanan
yang bersifat militer ( military security) untuk mempertahankan suatu
bangsa dari ancaman dari luar, tetapi juga “human security ” untuk
mempertahankan bangsa dari ancaman dari dalam, karena stabilitas
nasional tergantung pada kondisi dimana manusia individual
mempunyai dan merasakan “ food security; employment security; social
security (education, health and old age pension); energy security;
information security (acces to transport and communication). (Rana,
2008 , p.3).
Canada mensikapi pemikiran tentang keamanan komprehensif lebih
luas lagi dan mencakup “ individual human rights as an integral part of
international law and diplomacy ”. Dengan demikian terkait di sini “rights
and duties” dari negara-negara untuk mengikuti Preamble Piagam PBB
(UN Charter) yang menyatakan bahwa “ We the peoples of the
UN ------------------“. Jadi bukan “ states atau governments ” yang
ditekankan untuk menjaga perdamaian dan harmoni internasional.
Gangguan terhadap kualitas kehidupan akan menyebabkan “human
insecurity” dan ujung-ujungnya akan mengancam perdamaian dunia,
sebab dalam kerangka globalisasi yang menumbuhkan “international
society ”, aktor-aktor non-negara ( non-state actors ) memainkan peranan
penting di dalam perdamaian dan kemajuan dunia.
UN Development Programme ( Report 1994) menggambarkan bahwa
“ human security ” mencakup “ safety from chronic threats such as
10
hunger, disease, and repression, as well as protection from sudden and
harmful disruptions in the pattern of daily life”. Semua dalam kerangka
“freedom from want, freedom from fear and freedom to live in dignity”
bagi semua orang yang mencakup tujuh area yaitu : keamanan
ekonomi, makanan, kesehatan, lingkungan hidup, personal, masyarakat
dan keamanan politik.
Selanjutnya muncul istilah “Roque States” (Noam Chomsky, 2000)
yang menggambarkan suatu Negara yang memerintah atas dasar
kekerasan (the Rule of Force), tidak taat dan tidak merasa terikat kepada
norma-norma hukum internasional (UN Charter, pelbagai konvensi
internasional, putusan International Court of Justice), dan sering pula
disebut sebagai “outlaw nation” atau “ criminal state ” yang
membahayakan negara tetangga dan dunia internasional. Untuk itu
muncullah pelbagai pemikiran untuk mengembangkan kerjasama
keamanan regional atau internasional seperti “ ASEAN Security
Community” di bawah ASEAN Charter (ART.1.8. “ To respond
effectively, in accordance with the principle of comphrehensive security,
to all forms of threat, transnational crimes, and transboundary
challenges”), kemudian Lombok Treaty (2007) antara Indonesia dan
Australia (2007). Hal ini merupakan ‘legal basis’ pengakuan atas
integritas teritorial masing-masing, yang mengatur kerjasama sbb. :
a. Defence cooperation;
Konsep keamanan komprehensif sangat valid di Era pasca perang
dingin 1990-an , karena di era globalisasi saat ini tidak ada sesuatu
negara yang secara sendirian mampu mengendalikan,
mengkoordinasikan kepentingan nasionalnya melalui diplomasi
tradisional, yang mengandalkan penggunaan kekuatan untuk ditaati,
karena dalam hal ini yang terlibat politik internasional tidak hanya
negara tetapi juga aktor-aktor non-negara . Ditambah lagi bahaya yang
ditimbulkan oleh “ the failed states ” (Failed states can no longer perform
basic functions such as education, security, or governance, usually due
to fractious violence or extreme poverty. –Global Policy Forum, 2008),
yang sangat rentan, lemah, dan berada dalam konflik atau krisis yang
pemerintahan pusatnya sangat lemah atau tidak effektif, tidak dapat
11
mengawasi dan mengendalikan wilayahnya serta sangat
membahayakan keamanan regional dan global. (Indonesia tahun 2011,
masuk kategori “warning” (no. 63 dari 177 negara dengan kategori
“alert, warning, moderate, sustainable” melalui 13 indikator).
b. Law enforcement cooperation (in preventing and combating
transnational crimes, in particular related to : people smuggling
and trafficking in persons; money laundering; financing terrorism;
corruption; illegal fishing; cyber crimes, illicit trafficking in
narcotics drugs and psychotropic substances and its precursors;
illicit trafficking in arms, ammunition, explosives and other
dangerous materials and the illegal production thereof; and other
types of crime if deemed necessary by both parties);).
c. Counter-terrorism cooperation;
d. Intelligence cooperation;
e. Maritime security;
f. Aviation safety and security;
g. Proliferation of weapon of mass destruction;
h. Emergency cooperation;
i. Community understanding and people- to -people cooperation.
SAARC (1985) (South Asian Association for Regional Cooperation)
terdiri atas : India, Pakistan, Sri Lanka, Maldives, Bhutan, Pakistan,
Bangladesh, Nepal, Afganistan. Akan menusul Korea Selatan, Iran,
Myanmar, Russia.
Hal-hal yang ditekankan dalam kerjasama keamanan adalah :
1) Penghormatan terhadap kedaulatan, kemerdekaan dan integritas
teritorial;
2) Tanggungjawab kolektif untuk memperkokoh perdamaian,
keamanan dan kesejahteraan;
3) Penolakan agresi;
4) prinsip non-interference dalam masalah internal;
5) mengembangkan konsultasi;
6) penolakan kekerasan;
7) pengembangan terhadap kebenaran dan rekonsiliasi;
12
8) penolakan blokade ekonomi dan boikot serta ancaman
penggunaan kekuatan;
9) batas nasional yang tak boleh diganggu gugat;
10) penghormatan terhadap HAM , perbedaan kultur, bahasa dan
agama serta warisan peradaban;
11) ketentuan tentang “human security” untuk semua;
12) penyelesaian perselisihan secara damai;
13) saling membantu dalam mengatasi bencana alam;
14) perhatian atas keluhan atas rasa takut atau khawatir;
15) terbuka, komprehensif dan berorientsi ke depan;
16) menghargai Piagam PBB, hukum internasional; prinsip good
governance, demokrasi dan konstitusi;
17) menghargai pluralisme budaya, sosial dan agama dan
keanekaragaman;
18) perlakuan khusus terhadap negara-negara yang belum
berkembang;
19) pengembangan “people to people contact”;
Di samping itu kerjasama pertahanan dan atau keamanan juga
dilakukan dengan pelbagai negara seperti dengan India, Korea Selatan,
China, Amerika Serikat dll. al. untuk memajukan industry strategis dan
latihan bersama serta pendidikan.
Dengan Korea Selatan kerjasama sangat maju dalam bentuk “ Joint
Defence Logistics and Industrial Committee” yang telah membangun
kapal “landing plattform dock” bersama PT PAL, overhaul kapal selam,
pembuatan panser kanon dan rencana membangun Korean Fighter (KF-
X).
Istilah keamanan komprehensif ini dalam perkembangannya
dikaitkan dengan “non-traditional security” (NTS) atau “ non-military
security threat ” atau “ non-conventional security threat ” atau “ asymetric
security threat”. Digunakannya istilah “security” dalam hal ini
dimaksudkan agar masalahnya memperoleh perhatian sungguh-
sungguh dari negara-negara di dunia, karena potensi viktimisasi yang
ditimbulkannya terhadap umat manusia sangat besar.
13
Kita tidak dapat menutup mata bahwa pada 50 tahun terakhir dalam
kerangka proses globalisasi, pertumbuhan dinamis masyarakat dunia
luar biasa, yang diwarnai oleh pelbagai inovasi di segala bidang. Namun
demikian kita juga tidak buta terhadap kenyataan, bahwa terutama sejak
krisis ekonomi di Asia orang juga disadarkan oleh keterbukaan dan
interdependensi serta sifat transnasional dari hal-hal yang bersifat
mencederai tidak hanya negara, tetapi juga “human security”. Contoh
terakhir adalah krisis ekonomi global yang melanda dunia, akibat
perilaku korporasi multi nasional di Amerika Serikat yang berperilaku
jauh dari etika bisnis.
Kejadian terakhir di Indonesia yang menjurus terrorisme yang
diarahkan untuk mencederai simbol-simbol Negara oleh kelompok
radikalis dapat dikatakan merupakan sinergi ( hybrid ) antra ancaman
yang simetrik dan asimetrik.
Kita sadar bahwa masalah keamanan selalu didominasi oleh
ke prihatinan tradisional seperti kedaulatan, kemerdekaan politik dan
militer serta pertahanan sampai dengan keamanan regional.
Meskipun demikian kenyataan yang terjadi adalah munculnya
tantangan-tantangan baru seperti ancaman terhadap kesehatan
(penyakit infeksi menular seperti SARS, flu burung dll), pengangguran,
kemiskinan, krisis ekonomi, bencana alam (tsunami) , degradasi
lingkungan hidup, migrasi manusia yang tidak tertib, kompetisi untuk
memperoleh sumberdaya alam, kejahatan transnasional terorganisasi,
perdagangan illegal narkoba, terorisme dan saling ketergantungan
ekonomi, yang sangat berbahaya baik bagi negara maupun umat
manusia.
Hal ini sama sekali telah merobah pandangan manusia, bahwa
ancaman bahaya keamanan tidak hanya bersumber pada hal-hal yang
bersentuhan dengan terminologi geopolitik, yang meliputi “ deterrence,
power balancing and military strategy” sehubungan dengan pertahanan
dari serangan militer dari luar saja, yang sebelumnya merupakan fokus
eksklusif dari kebijakan keamanan. Dengan demikian pengertian
keamanan dalam arti sempit (narrow definition of security) mulai
14
dipertanyakan dan seharusnya juga mencakup ancaman keamanan
yang non- militer.
Human security konsep menyadarkan kita bahwa apa yang
dinamakan “people centered view of security ” sangat penting untuk
diperhatikan dalam rangka terciptanya stabilitas baik secara nasional,
regional maupun global. Suatu konsorsium yaitu Consortium on Non-
Traditional Security Studies in Asia mendefinisikan NTS sebagai
“challenges to the survival and well-being of peoples and states that
arise primarily out of non military sources, such as climate change,