1 BAB I PENGANTAR ILMU SOSIALDAN BUDAYA DASAR A. HAKIKAT, TUJUAN, DAN RUANG LINGKUP 1. Hakikat Ilmu Soaial dan Budaya Dasar (ISBD) Ilmu Sosial dan Budaya Dasar (ISBD) merupakan Matakuliah Berkehidupan Bermasyarakat (MBB) dengan visi “Berkembangnya mahasiswa sebagai manusia terpelajar yang kritis, peka dan arif dalam memahami keragaman, kesetaraan, dan kemartabatan manusia yang dilandasi nilai-nilai estetika, etika, dan mmoral dalam kehidupan bermasyarakat”.Adapun misinya adalah “Memberikan landasan dan wawasan yang luas, serta menumbuhkan sikap kritis, pekam dan arif pada mahasiswa untuk memahami keragaman, kesetaraan, dan kemartabatan manusia dalam kehidupan bermasyarakat selaku individu dan makhluk social yang beradab serta bertanggung jawab terhadap sumber daya dan lingkungannya”. ISBD bukanlah suatu disiplin ilmu yang berdiri sendiri, melainkan suatu rangkaian pengetahuan mengenai aspek-aspek yang paling dasar yang ada dalam kehidupan manusia sebagai makhluk social yang berbudaya, dan masalah-masalah yang terwujud daripadanya.Selain itu, mata kuliah ini
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
BAB I
PENGANTAR ILMU SOSIALDAN BUDAYA DASAR
A. HAKIKAT, TUJUAN, DAN RUANG LINGKUP
1. Hakikat Ilmu Soaial dan Budaya Dasar (ISBD)
Ilmu Sosial dan Budaya Dasar (ISBD) merupakan Matakuliah
Berkehidupan Bermasyarakat (MBB) dengan visi “Berkembangnya
mahasiswa sebagai manusia terpelajar yang kritis, peka dan arif dalam
memahami keragaman, kesetaraan, dan kemartabatan manusia yang
dilandasi nilai-nilai estetika, etika, dan mmoral dalam kehidupan
bermasyarakat”.Adapun misinya adalah “Memberikan landasan dan
wawasan yang luas, serta menumbuhkan sikap kritis, pekam dan arif pada
mahasiswa untuk memahami keragaman, kesetaraan, dan kemartabatan
manusia dalam kehidupan bermasyarakat selaku individu dan makhluk
social yang beradab serta bertanggung jawab terhadap sumber daya dan
lingkungannya”.
ISBD bukanlah suatu disiplin ilmu yang berdiri sendiri, melainkan
suatu rangkaian pengetahuan mengenai aspek-aspek yang paling dasar
yang ada dalam kehidupan manusia sebagai makhluk social yang
berbudaya, dan masalah-masalah yang terwujud daripadanya.Selain itu,
mata kuliah ini pada prinsipnya sebagai pengatur dasar menuju pengenalan
teori ilmu-ilmu social dan kebudayaan sehingga diharapkan mahasiswa
dapat memiliki wawasan keilmuan yang bersifat multidisipliner tentang
keragaman, kesetaraan, dan kemartabatan manusia dalam kehidupan
bermasyarakat dan bernegara.
2. Tujuan Ilmu Sosial dan Budaya Dasar (ISBD)
Berdasarkan hakikat keilmuan di atas, maka tujuan Ilmu Sosial dan
Budaya Dasar (ISBD) yang merupakan bagian dari Matakuliah
Berkehidupan Bermasyarakat (MBB) adalah:
2
a. Mengembangkan kesadaran mahasiswa menguasai pengetahuan
tentang keanekaragaman, kesetaraan, dan kemartabatan manusia
sebagai individu dan makhluk social dalam kehidupan bermasyarakat.
b. Menumbuhkan sikap kritis, peka dan arif dalam memahami
keragaman, kesederajatan, dan kemartabatan manusia dengan
landasan nilai estetika, etika, dan moral dalam kehidupan
bermasyarakat.
c. Memberikan landasan pengetahuan dan wawasan yang luas serta
keyakinan kepada mahasiswa sebagai bekal bagi hidup
bermasyarakat, selaku individu dan makhluk social yag beradab
dalam mempraktikkan pengetahuan akademik dan keahliannya dan
mampu memecahkan maalah social budaya secara arif.
3. Ruang Lingkup Mata Kuliah Pengantar Ilmu Sosial Dan Budaya
(ISBD)
Untuk mewujudkan visi, misi dan tujuan mata kuliah Ilmu Sosial
dan Budaya Dasar (ISBD) pada perguruan tinggi, berikut ini adalah ruang
lingkup dan sub bahasannya.
a. Pengantar Ilmu Sosial dan Budaya Dasar (ISBD)
1. Hakikat dan ruang lingkup ISBD
2. ISBD sebagai MBB dan pendidikan umum; dan
3. ISBD sebagai alternative pemecahan masalah social budaya
b. Manusia sebagai Makhluk Budaya:
1. Hakikat manusia sebagai makhluk budaya;
2. Apresiasi terhadap kemanusiaan dan kebudayaan;
3. Etika dan estetika berbudaya
4. Memanusiakan manusia melalui pemahaman konep-konsep dasar
manusia; dan
5. Problematika kebudayaan
3
c. Manusia sebagai Individu dan Makhluk Sosial;
1. Hakikat manusia sebagai individu dan makhluk social;
2. Fungsi dan peran manusia sebagai individu dan makhluk social;
3. Dinamika interaksi social; dan
4. Dilema antara kepentingan individu dan kepentingan masyarakat;
d. Manusia dan Peradaban
1. Hakikat peradaban;
2. Manusia sebagai makhluk beradab dan masyarakat adab;
3. Evolusi budaya dan wujud peradaban dalam kehidupan social-
budaya;
4. Dinamika peradaban global; dan
5. Problematika peradaban pada kehidupan manusia
e. Manusia, Keragaman dan Kesetaraan;
1. Hakikat keragaman dan kesetaraan manusia;
2. Kemajemukan dalam dinamikan social dan budaya;
3. Keraganan dan kesetaraan sebagai kekayaan social, budaya bangsa;
dan
4. Problematika keragaman dan kesetaraan serta solusinya dalam
kehidupan masyarakat dan negara
f. Manusia, Nilai, Moral, dan Hukum
1. Hakikat, fungsi, dan perwujudan nilai, oral dan hukum dalam
kehidupan manusia, masyarakat dan negara;
2. Keadilan, ketertiban, dan kesejahteraan sebagai wujud masyarakat
yang bermoral dan menaati hukum dan
3. Problematika nilai, moral, dan hokum dalam masyarakat dan
negara
g. Manusia, Sains, Teknologi dan Seni:
1. Hakikat dan makna sains, teknologi dan seni bagi manusia;
2. dampak penyalahgunaan IPTEKS pada kehidupan social dan
budaya; dan
3. Problematika pemanfaatan IPTEKS di Indonesia
4
h. Manusia dan Lingkungan
1. Hakikat dan makna lingkungan bagi manusia;
2. Kualitas penduduk dan lingkungan terhadap kesejahteraan manusia
3. Problematika lingkungan social-budaya yang dihadapi masyarakat;
dan
4. Isu-isu penting tentang persoalan lintas budaya dan bangsa.
B. ISBD SEBAGAI MBB DAN PENDIDIKAN UMUM
ISBD sebagai bagian dari Matakuliah Berkehidupan Bermasyarakat
(MBB) mempunyai tema pokok, yaitu hubungan timbale balik antara manusia
dengan lingkungannya. Dengan wawasan tersebut diharapkan perguruan
tinggi mampu menghasilkan tenaga ahli dengan tigas jenis kemampuan secara
simultan, yang meliputi:
1. Kemampuan personal: para tenaga ahli diharapkan memiliki pengetahuan
sehingga mampu menunjukkan sikap, tingkah laku dan tidnakan yang
mencerminkan kepribadian Indonesia, memahami dan mengenal nilai-nilai
keragaman, kemasyarakatan dan kenegaraan, serta memiliki pandangan
yang luas dan kepekaan terhadap berbagai masalah yang dihadapi oleh
masyarakat Indonesia.
2. Kemampuan akademis; kemampuan untuk berkomunikasi secara ilmiah
baik lisan maupun tulisan, mengusai peralatan analiss, maupun berpikir
logis, kritis, istematis, analisis, memiliki kemampuan konsepsional untuk
mengidentifikasi dan merumuskan masalah yang dihadapi, serta mampu
menawarkan alternative pemacahannya.
3. Kemampuan professional: kemampuan dalam bidang profesi sesuai
keahlian bersangjutan, para ahli diharapkan memiliki pengetahuan dan
ketrampilan yang tinggi dalam bidang profesinya.
5
C. ISBD SEBAGAI ALTERNATIF PEMECAHAN MASALAH SOSIAL-
BUDAYA
Dengan bekal wawasan, sikap, dan perilaku melalui mata kuliah Ilmu
Sosial dan Budaya Dasar (ISBD) diharapkan mahasiswa dapat menjadi
manusia yang memiliki kemampuan personal, kemampuan akademik dan
kemampuan professional sehingga para lulusan akan mampu mengenali
masalah dan mengatasi masalah tersebut dengan bijaksana. Dengan itu
problematika kemanusiaan dan peradaban manusia merupakan fakta objektif
yang penting dikenali secara menunjung tinggi pemikiran serta nilai-nilai
luhur tradisi.
Di samping diurai kondisi objektif konteks keindonesiaan, buku ini
juga mengulas lesson learns atau pelajaran berharga dari akta atau fenomena
social yang terjadi di sekitar lingkungan kita baik yang dialami secara
langsung atau tidak langsung dalam perspektif lintas keilmuan secara
simultan. Pendekatan multidisipliner dipilih guna menstimulus mahasiswa
berpikir terbuka dan kritis atas apa yang didengar, dimengerti, dipahami, dan
dikonsepsikannya selama ini agar dapat didiskusikan dan dikomunikasikan
menjadi pengetahuan yang ilmuah.
6
BAB 2
HAKIKAT MANUSIASEBAGAI MAKHLUK BUDAYA
A. HAKIKAT MANUSIA SEBAGAI MAKHLUK BUDAYA
Sebelum mengulas manusia sebagai makhluk budaya penting bagi kita
mencermati kajian tentang filsafat manusia secara singkat dan
mendasar.Bahwasanya diskusi klasik yang hingga kini masih dibincangkan
seputar manusia adalah pertanyaan siapakah sebenarnya manusia itu.Dengan
pertanyaan tersebut sejauh ini telah menghasilkan pelbagai teori, konsep,
konstruk pemikiran tentang haikat manusia.Secara sederhana aliran tersebut
dapat diklasifikasikan dalam beberapa aliran utama, yaitu materialisme,
idealisme, realisme, dan aliran agamawan (teologis).Tetapi pentin ditegaskan
di sini bahwasanya hingga kini jawaban tentang siapa manusia itu tampaknya
belum juga terpuaskan atau belum final.
Untuk aliran materialisme misalnya mempunyai pemikiran bahwa
materi atau zat merupakan satu-satunya kenyataan, karena itu semua peristiwa
dapat terjadi melalui proses materiil. Demikian pula analogi yang terjadi pada
manusia, yakni kejadian “adanya adalah juga bagian dari proses-proses
materiil itu sendiri.Aliran ini baik dari kalangan aliran materilalisme didaktik
atau humanistic, keduanya tidak mengenal adanya kenyatan bersifat
spiritual.Karena itu, bagi aliran ini kenyataan yang sebenarnya adalah alam
semesta yang bersifat badaniah.
Sebaliknya, bagi pemikir atau filsuf dari airan idelisme mereka
menyangkul secara mendasar pemikiran materialisme di atas. Menurut aliran
idelisma, bukan materi yang menjadi “kenyataan”, tetapi kenyataan yang
sebenarnya adalah “ide” yang bersifat rohani dan/atau intelegensi. Karena itu,
manusia oleh aliran ini dipandang bukan sebagai materi tetapi makhluk yang
berjiwa/berkerohanian.
Substansi pemikiran dari dua aliran di atas diyakini secara bersamaan
oleh aliran realisme. Bagi aliran realisme kenyataan dapat berupa kenyataan
dunia batin atau rohani dan dapat berupa kenyataan dunia batin atau rohani
7
dan dapat juga berupa kenyataan dunia materi. Keduanya dalam pandangan
realisme adalah hakikat asli dan abadi. Hakikat manusia dengan demikian,
adalah dapat dipandang sebagai makhluk kejiwaan/kerohanian, dan sekaligus
makhluk materiil.
Bandingkan berikutnya dengan pemikiran para tokoh aliran teologis.
Aliran teologis ini jika dicermati tidak memiliki irisan dengan pemikiran
aliran-aliran sebelumnya. Karana mereka cenderung meletakkan kedudukan
manusia secara berbeda dengan makhluk lain di muka bumi, yakni karena
hubungannya dengan Tuhan. Artinya, manusia menurut aliran ini diyakini
sebagai makhluk materi, makhluk rohani, tetapi keduanya tidak bersifat abadi
dan/atau sebagai hakikat asli. Menurut aliran ini, hakikat asli atau kenyataan
utama adalah Tuhan itu sendiri.
Jika kita tarik benang merah dari pemikiran beberapa aliran di atas,
umumnya berusaha mendudukkan hakikat manusia sebagai makhluk di antara
makhluk-makhluk lainnya di muka bumi ini, sekaligus membandingkan di
antara keduanya. Kesamaan manusia sebagai makhluk dengan makhluk
lainnya adalah pada dorongan naluriah (animal instinct) yang termuat dalam
tiap gen mereka. Adapun yang membedakan manusia dari makhluk lainnya
dalam hal pengetahuan dan perasaan (emosional dan kejiwaan). Melalui
pengetahuan yang dimiliki manusia, ia dapat hidup jauh lebih berkembang
(survival) daripada pengetahuan makhluk lainnya. Demikian juga melalui
perasaan manusia, mereka dapat mengembangkan eksistensi kemanusiaannya
menajdi lebih beradab disbanding makhluk lainnya.
Secara lebih mendalam pendekatan keilmuan yang umumnya
digunakan untuk membincangkan hakikat manusia ini adalah melalui ilmu
antropologi filsafat atau filsafat manusia (anthropos dalam bahasa Yunani,
berarti: “manusia”). Di mana awalnya, filsafat manusia lebih dekat dengan
kajian psikologi filosofis atau psikologi rasional, tetapi tampaknya pendekatan
psikolog dianggap kurang mencakup diskusi tentang manusia secara holistis.
Karena sesungguhnya diskusi tentang filsafat manusia tidak saja membahas
aspek jiwa dan raganya, tetapi juga roh dan badannya.
8
Dalam pandangan Adelbert Snijders, filsafat manusia dirumuskan
sebagai refleksi atas pengalaman yang dilaksanakan secara rasional, kritis
serta ilmiah, dan dengan maksud untuk memahami diri manusia dari segi yang
paling asasi. Yakni, memahami manusia sebagai suatu kesatuan, di mana
dalam kesatuan itu terdapat unsur “keduanya” (jiwa dan badan). Tujuan dari
kajian filsafat manusia tidak lain adalah untuk memahami diri manusia dari
segi yang paling mendasar tersebut. Berikut ini akan dikupas pandangan
beberapa tokoh, pemikiran, dan alirannya.
Sebagaimana pemiiran Plato dan Plotinos, bahwa manusia adalah
makhluk ilahiah. Bahkan lebih ekstrem disampaikan Deserates, menurutnya
manusia memiliki kebebasaan mirip seperti kebebasan yang dimiliki Tuhan.
Tetapi, pandangan manusia sebagai makhluk ilahah tersebut ditolak oleh
Epikuros dan Lukretius. Menurut keduannya manusia tak lebih dari makhluk
hidup berumur pendek, ia lahir karena kebetulan, dan akhirnya sama sekali
lenyap. Demikian juga seperti yang disampaikan Voltaire, manusia tidak
berbeda secara esensial ibarat binatang yang paling tinggi atau sempurna.
Pandangan lain tentang manusia disampaikan Hobbes. Ia berpendapat
bahwa manusia pada dasarnya memiliki sifat agresif dan jahat. Tetapi
Rousseau justru melihat sebaliknya, yaitu manusia dalam kodratnya adalah
baik. Belakangan para pemikir, seperti Buber, Marcel, Levinas, dan Mounier
menegaskan bahwa setiap manusia memiliki suatu kepribadian dengan
kompeksitas manusia memiliki suatu kepribadian dengan kompleksitas nilai
yang unik. Tetapi, pemikiran lainnya justru meletakkan manusia sebagai
makhluk yang tak berarti atau “keinginan” yang sia-sia.
Dapat disimpulkan bahwa para pemikir filsafat manusia dan ilmuwan
memiliki pandangan yang berseberangan di antara dua titik secara ekstrem
baik mereka yang berlatar periode kesejahteraan yang sama atau berbeda.
Namun perdebatan hakikat manusia (lebens-philosophie)menurut penilaian
filsuf mazhab Frankfurt Jerman Max Horkheimer (1895-1973) merupakan
diskursus ilmiah yang sehat, yang dapat membuka kebekuan berpikir rasional
yang abstrak dan menjadi lawan dari debut kapitalisme yang selama ini
9
berkembang pesat. Sebagai pengkritik positivisme, Horkheimer menyatakan
selama ini saintisme tak lebih pendukung status-quo yang bersembunyi di
balik objektivitas. Segala bentuk demikian menurut Horkheimer dan juga
Habermas, telah dijerumuskan oleh kepentingan kognitif, dan karenanya tidak
bebas nilai, termasuk teori kritis yang didorong oleh kepentingan
emansipatoris (Sulistyanta, 2005). Menurut Jurgen Habermas (1929), bahwa
kekuatan kritik erat kaitannya dengan metodologi maupun kondisi sejarah
yang melatari, yakni kesadaran akan kritis social pada histories (sejarah)
tertentu.
Jika dicermati sesungguhnya kajian filsafat manusia tumbuh subur
bersamaan dengan ideology kapitalisme yang sedang mendominasi arus
keilmuan. Kritik mendasar yang hendak disampaikan para pengkaji filsafat
manusia adalah seraun untuk tidak membatasi cara pandang keilmuan, selalu
berpikir reflektif, dan jangan membuang cirri utama manusia sebagai makhluk
yang selalu bertanya dan berpikir. Karena itu, berpikir refleksi merupakan
aktivitas rohaniah, menemukan kebenaran untuk kehidupan bersama, sebagai
makhluk eksentrik. Dengan berpikir kritis dan refleksi tidak menjadikan
seseorang jauh dari Tuhan, berbeda dengan pemikiran kapitalis yang lebih
mendekatkan seseorang pada materi atau kebendaan.
Ungkapan Descartes yang dikenal luas “cogito ergo sum” (aku
berpikir, maka aku ada). Cogito (aku berpikir) adalah suatu kepastian tak
tergoyahkan, ia ingin suatu kepastian tentang ekesistensi Tuhan dan
ketidakmatian jiwa manusia. Hal yang sama dikemukakan Maine de Biran
yang bertitik tolak pada volo (aku mau), dengan merefkeksikan “aku mau”, ia
menemukan paham tentang diri dan pengaruh afeksi atas segala kepastiannya.
Atau filsafat karl Marx dengan ungkapan “manusia adalah makhluk yang
bekerja”. Artinya, sebagai makhuk paradoksal, manusia itu bebas dan terikat,
otonom dan tergantung, terbatas dan tidak terbatas. Sebagai makhluk yang
dinamis, manusia bebas dan bertanggung jawab, tetapi dalam kebebasan juga
hadir suatu dorongan metafisika, suatu orientasi dasariah untuk menuju diri
yang sejati. Sebagai makhluk multidimensional, manusia meskipun sebagai
10
suatu kesatuan, tetapi di dalam kesatuan itu ditemukan pelbagai dimensi
ontologis dengan tingkatan yang berbeda.
Herbert Marcuse, mengatakan meskipun seolah-olah manusia itu one-
dimensional man, yang terkurung dalam dimensi produksi-konsumsi, tetapi
konsumerisme itu sesungguhnya bertentangan dengan panggilannya sebagai
makhluk pluridimensional. Panggilan atau seruan itu berkaitan erat dengan
hakikat manusia. W Luijpen, mengatakan being man is having to be man (diri
manusia merupakan suatu seruan etis untuk manusia).
B. HAKIKAT MANUSIA DALAM KAJIAN ISLAM
Melengkapi kajian hakikat manusia pada bahasan sebelumnya, maka
dipandang penting untuk mendiskusikan hakikat manusia dalam perspektif
Islam. Mengkaji manusia dalam perspektif keislaman tidak dapat dilepaskan
dari konteks masyarakat muslim itu sendiri. Sebagaimana disebutkan Fazlur
Rahman bahwasanya masyarakat Islam dibentuk karena ideologinya, yaitu
Islam (Fazlur Rahman, 1980: 43). Ideologi adalah Weltanchauiting, yang
menjelaskan realitas dalam perspektif tertentu. Ideologi adalah cara
memandang realitas. Di antara realitas penting yang diulas ideologi adalah
hakikat manusia. Konteks manusia dan masyarakat tersebut sebagaimana
disebutkan dalam Al-Qur'an, terdapat sekurangnya tiga istilah kuncui yang
mengacu kepada makna pokok manusia, yaitu: basyar,insan, dan al-nas.
Basyar disebut dalam AI-Qur'an sebanyak 27 kali. Dalam seluruh ayat
tersebut, kalimat basyar menunjuk pada referensi manusia- sebagai makhluk
biologis. Lihatlah bagaimana Maryam berkata: Tuhanku, bagaimana mungkin
aku mempunyai anak, padahal aku tidak disentuh basyar (QS. 3: 47); atau
bagaimana kaum yang diseru para nabi menolak ajarannya, karena nabi
hanyalah basyar-manusia biasa yang "seperti kita", bukan manusia superstar.
Kata basyar juga dihubungkan dengan ungkapan mitslukum (sebanyak tujuh
kali) dan mitsluna (sejumlah enam kali). Nabi Muhammad SAW., disuruh
Allah untuk menegaskan bahwasanya dirinya secara biologis, ia tak ubahnya
sama seperti manusia yang lain: Katakanlah, aku ini manusia biasa (basyar)
11
seperti kamu, hanya saja aku diberi wahyu bahwa Tuhanmu ialah Tuhan
yang satu (QS. 18: 110; QS. 41: 6). Tentang para nabi, orang-orang kafir
selalu berkata: Bukankah ia basyar seperti kamu, ia makan apa yang kamu
makan, dan ia minum apa yang kamu minum (QS. 33: 33). Ayat ini juga
ditegaskan dalam QS. 25: 7, Mereka berkata; Rasul itu memakan makanan
dan berjalan-jalan di pasar; dan QS. 25: 20, Dan tidak Kami utus
sebelumnya para utusan kecuali mereka itu memakan makanan dan berjalan-
jalan di pasar. Ketika wanita-wanita Mesir takjub melihat ketampanan Yusuf
as., mereka berkata, Ya Allah, ini bukan basyar, tetapi ini tidak lain kecuali
malaikat yang mulia (QS. 12: 31). Dari uraian tersebut, maka secara singkat
bahwasanya konsep basyar selalu dihubungkan dengan sifat-sifat biologis
manusia semata, yaitu butuh makan, minum, seks, berjalan di pasar, dan
seterusnya.
Sebaliknya, adalah tidak tepat jika menafsirkan kalimat basyarun
mitsluklim sebagai manusia seperti kita dalam hal berbuat dosa.
Keeenderungan para rasul untuk tidak patuh pada dosa dan kesalahan
bukanlah masuk kategori sifatsifat biologis, tetapi merupakan sifat-sifat
psikologis (atau spiritual). Sama tidak tepatnya ketika menafsirkan:
Sesungguhnya telah kami jadikan insan dalam bentuk yang sebaikbaiknya
(QS. 95: 4) dengan menunjukkan karakteristik fisiologi manusia. Yusuf Ali
(1977: 1759), dengan tepat menafsirkan ayat ini to man God gave the purest
and the best nature, and man's duty is to preserve the pattern on which God
has made him (QS. 30: 30). Al-Syaukani (1964, 5: 65) menyebutkan
umumnya para mufasir mengartikan ayat ini untuk menunjukkan kelebihan
manusia secara fisiologis, yaitu berjalan tegak, dan makan dengan
menggunakan tangan. Tetapi Ibn ‘Arabi berkata, tidak ada makhluk Allah
yang lebih bagus daripada manusia. Allah membuatnya hidup, mengetahui,
berkuasa, berkehendak, berbicara, mendengar, melihat, dan memutuskan, dan
ini adalah sifat-sifat rabbaniyah.
12
Artinya, konsepsi insan secara tegas berbeda dengan basyar. Jika
ditelisik didapatkan penyebutan insan disebut sebanyak 65 kali dalam Al-
Qur'an. Kita dapat mengelompokkan konteks insan tersebut dalam tiga
kategori pokok. Pertama, insan dihubungkan dengan keistimewaannya
sebagai khalifah atau pemikul amanah. Kedua, insan dihubungkan dengan
predisposisi negatif diri manusia. Dan ketiga, insan dihubungkan dengan
proses penciptaan manusia. Kecuali kategori ketiga yang akan kita jelaskan
kemudian, semua konteks insan menunjuk pada sifat-sifat psikologis atau
spiritual.
Sementara istilah al-Nas sebagai konsep kunci ketiga mengacu pada
manusia sebagai makhluk sosial. Inilah manusia yang paling banyak disebut
dalam Al-Qur'an (240 kali, lihat ‘Abd. al-Baqi, al-Mu'jam; pada kata al-Nas).
Pertama, banyak ayat yang menunjukkan kelompok-kelompok sosial dengan
karakteristiknya. Ayat-ayat itu lazimnya dikenal dengan ungkapan wa min al-
Nas (dan di antara sebagian manusia). Dengan memerhatikan ungkapan ini,
kita menemukan kelompok manusia yang menyatakan beriman, tetapi
sebetulnya tidak beriman (2:8), yang mengambil sekutu terhadap Allah
(2:165), yang hanya memikirkan kehidupan dunia (2:200), yang
memesonakan orang dalam pembicaraan tentang kehidupan dunia, tetapi
memusuhi kebenaran (2:204), yang berdebat dengan Allah tanpa ilmu,
petunjuk, dan Al-Kitab (22: 3, 8; dan 31: 20), yang menyembah Allah dengan
iman yang lemah (22: 11; dan 29: 10), yang menjual pembicaraan yang
menyesatkan (31:6) ; di samping ada sebagian orang yang rela mengorbankan
dirinya untuk mencari kerelaan Allah.
Kedua, dengan memerhatikan ungkapan aktsar al-Nas, kita dapat
menyimpulkan, sebagian besar manusia mempunyai kualitas rendah, baik
dari segi ilmu maupun dari segi iman. Menurut Al-Qur'an sebagian manusia
itu tidak berilmu (7: 187; 12: 21; 28; 68; 30: 6, 30; 45: 26; 34: 28, 36; dan 40:
57), tidak bersyukur (40: 61; 2: 243; dan 12: 38), tidak beriman (11: 17; 12:
103; dan 13: 1), fasik (5: 49), melalaikan ayat-ayat Allah (10: 92), kafir (17:
89; dan 25: 50), dan kebanyakan harus menanggung azab (22: 18). Ayat-ayat
13
ini dipertegas dengan ayat-ayat yang menunjukkan sedikitnya kelompok
manusia yang beriman (4: 66; 38: 24; 2: 88; 4: 46; dan 4: 155), yang berilmu
atau dapat mengambil pelajaran (18: 22; 7: 3; 27: 62; 40: 58; dan 69:42),
yang bersyukur (34: 13; 7: 10; 23: 78; 67: 23; dan 32: 9), yang selamat dari
azab Allah (11: 116), yang tidak diperdayakan setan (4:83). Surat 11: 16
menyimpulkan bukti kedua ini, jika kamu ikuti kebanyakan yang ada di bumi,
mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah.
Ketiga, Al-Qur'an menegaskan bahwa petunjuk Al-Qur'an bukanlah
hanya dimaksudkan pada manusia secara individual, tetapi juga manusia
secara sosial. Al-Nas sering dihubungkan Al-Qur'an dengan petunjuk atau Al-
Kitab (57: 25; 4: 170; 14: 1; 24: 35; 39: 27).
C. HAKIKAT MANUSIA DALAM KEBUDAYAAN
Kebudayaan sering kali dipahami dengan pengertian yang tidak tepat.
Beberapa ahli ihnu sosial telah berusaha merumuskan berbagai definisi
tentang kebudayaan dalam rangka memberikan pengertian yang benar tentang
apa yang dimaksud dengan kebudayaan tersebut. Akan tetapi, ternyata
definisi-definisi tersebut tetap saja kurang memuaskan. Terdapat dua aliran
pemikiran yang berusaha memberikan kerangka bagi pemahaman tentang
pengertian kebudayaan ini, yaitu aliran ideasional dan aliran behavio-
risme/materialisme. Dari berbagai definisi yang telah dibuat tersebut,
Koentjaraningrat berusaha merangkum pengertian kebudayaan dalam tiga
wujudnya, yaitu kebudayaan sebagai wujud cultural system, social system,
dan artefact. Artinya, kebudayaan tersusun atas beberapa komponen utama,
yaitu yang bersifat kognitif, normatif, dan materiil.
Sayangnya kemudian, cara pandang orang melihat kebudayaan sering
kali terjebak dalam sifat chauvinism, yaitu membanggakan kebudayaannya
sendiri dan menganggap rendah kebudayaan lain. Contoh sikap chauvinism
seperti yang dikemukakan oleh Adolf Hitler misalnya, dengan kalimat
Deutschland Uber Alles in der Welt (Jerman di atas segala-galanya dalam
dunia). Demikian juga Inggris denganslogan: Right or Wrong is My Country.
14
Demikian pula Jepang yang menganggap bangsanya merupakan keturunan
Dewa Matahari. Padahal seharusnya dalam memahami kebudayaan kita perlu
jujur dan berpegangan pada sifat-sifat kebudayaan yang variatif, relatif,
universal, dan counter-culture (meremehkan kultur lain).
Antara manusia dan kebudayaan terjalin hubungan yang sangat erat,
karena menjadi manusia tidak lain adalah merupakan bagian dari hasil
kebudayaan itu sendiri. Hampir semua tindakan manusia merupakan produk
kebudayaan. Kecuali tindakan yang sifatnya naluriah saja (animal instinct)
yang bukan merupakan kebudayaan. Tindakan yang berupa kebudayaan
tersebut dibiasakan dengan cara belajar, seperti melalui proses internalisasi,
sosialisasi, dan alkulturasi. Karena itu, budaya bukanlah sesuatu yang statis
dan kaku, tetapi senantiasa berubah sesuai perubahan sosial yang ada.
Sebagaimana dikatakan Van Peursen (1988), bahwasanya budaya semestinya
diperlakukan sebagai kata kerja, bukannya sebagai kata benda. Sebab suatu
budaya dalam masyarakat terus-menerus berubah, bahkan meskipun itu
adalah sebuah tradisi. Dan biasanya proses pengalihan atau perubahan budaya
difasilitasi oleh adanya kontak komunikasi melalui bahasa. Tanpa bahasa,
proses pengalihan kebudayaan tidak akan terjadi.
Selanjutnya, hubungan antara manusia dengan kebudayaan juga dapat
dilihat dari kedudukan manusia tersebut terhadap kebudayaannya. Manusia
mempunyai empat kedudukan terhadap kebudayaan, yaitu sebagai
kebudayaan; dan 4) pencipta kebudayaan. Sebagai penganut kebudayaan
seseorang hanya menjadi pelaku tradisi dan kebiasaan yang berkembang
dalam masyarakatnya. Sebaliknya, pembawa kebudayaan adalah pihak luar
dan/atau anggota masyarakat setempat yang membawa budaya asing atau
baru dalam tatanan masyarakat setempat. Tidak semua anggota masyarakat
dapat beradaptasi dengan budaya baru yang datang dari luar. Umumnya,
budaya baru sulit diterima dan butuh waktu bertahap untuk penyesuaian jika
budaya baru tersebut ada kemungkinan diterima. Sementara manipulator
kebudayaan adalah anggota masyarakat yang melakukan aktivitas
15
kebudayaan atau mengatasnamakan budaya setempat tetapi tidak sesuai
dengan nilai-nilai atau ide luhur sebagaimana yang seharusnya dilakukan.
Kedudukan tertinggi adalah manusia sebagai pencipta kebudayaan, yaitu
mendorong secara sadar atau tidak sadar ke semua lapisan masyarakat untuk
melakukan revitalisasi kebudayaan lama atau meneiptakan dan menemukan
kembali kesepakatan barn terkait ide, aktivitas bermasyarakat, atau budaya
baru yang dapat diterima secara masif.
Pembentukan kebudayaan sebagaimana diuraikan di atas
sesungguhnya dikarenakan manusia dihadapkan pada persoalan yang
meminta pemecahan dan penyelesaian atas kondisi kehidupan yang
dialaminya. Dalam rangka bertahan atau survive, maka manusia harus mampu
memenuhi apa yang menjadi kebutuhannya sehingga manusia melakukan
berbagai cara agar tetap mampu beradaptasi dengan perubahan sosial yang
terjadi. Apa yang dilakukan oleh manusia tersebut dapat disebut sebagai
proses kebudayaan. Kebudayaan yang digunakan oleh manusia untuk
menyelesaikan masalah-masalahnya, atau yang bisa kita sebut sebagai way of
life, pedoman hidup yang digunakan setiap individu dalam bertingkah laku.
Dengan demikian, maka secara definitif makna kebudayaan sendiri
adalah keseluruhan pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat,
serta kemampuan dan kebisaan lainnya yang diperoleh manusia sebagai
bagian dari anggota masyarakat (E. B. Taylor, 1871:21). Substansi penjelasan
Taylor tersebut pada dasarnya telah rnerangkum semua definisi tentang
kebudayaan yang pernah muncul (Jujun S. Suriasumantri, 2003: 261). Namun
Kuntjaraningrat (1974), kemudian membaginya menjadi unsur-unsur
kebudayaan secara lebih terperinci, yaitu terdiri dari sistem religi dan upacara
keagamaan, sistem dan organisasi kemasyarakatan, sistem kemasyarakatan,
sistem pengetahuan, bahasa, kesenian, sistem pencarian, serta sistem
teknologi peralatan.
Dalam kehidupannya, manusia mempunyai kebutuhan yang beragam
dan terus bertambah mengikuti deras laju perubahan lingkungan sosial di
sekitarnya. Dan secara naluriah, manusia melakukan banyak tindakan melalui
16
pelbagai cara agar kebutuhan dasarnya terpenuhi. Cara pemenuhan kebutuhan
dasarnya itulah yang membedakaan manusia dengan makhluk hidup lainnya
yang juga memiliki kebutuhan dasar, yang mungkin tidak jauh berbeda
dengan manusia. Kebudayaan dalam konteks ini yang menjadi pembeda
antara manusia dan binatang. Maslow dalam Jujun (2003: 262), membagi
kebutuhan manusia dalam lima kelompok kebutuhan mendasar, yaitu
fisiologi, rasa aman, afiliasi, harga diri, dan pengembangan potensi. Pada
binatang, kebutuhan pokoknya terpusat pada fisiologi dan rasa aman,
demikian juga pemenuhannya dilakukan secara instingtif atau naluriah.
Sementara pada manusia, pemenuhan kebutuhannya diperoleh melalui cara
hidup berdasarkan kebiasaan, tradisi, atau kebudayaan pendahulunya. Karena
itu, kebudayaan tak ubahnya seperti kompas penyelamat (survival kit) bagi
keberlanjutan nilai-nilai kemanusiaan.
Manusia memiliki kemampuan dasar selain instingtif, juga
kemampuan untuk terus belajar, berkomunikasi, dan menguasai objek-objek
yang bersifat fisik. Dengan kemampuan berkomunikasi dan belajar
menjadikan manusia terus meningkatkan kecerdasan dan eara berpikirnya.
Selain itu, manusia juga memiliki kehalusan perasaan atau kejiwaan yang di
dalamnya terkandung dorongan-dorongan hidup dasar, insting, perasaan,
berpikir, kemauan, dan fantasi. Kejiwaan atau budi yang dimiliki manusia
menjadi motor atau penggerak bagi tereiptanya hubungan bermakna dengan
alam sekitarnya melalui penilaian atas objek dan kejadian. Nilai yang
diberikan oleh manusia inilah yang menjadi tujuan dan substansi dari
kebudayaan itu sendiri.
Jika disimpulkan, maka inti dari kebudayaan adalah nilai-nilai dasar
dari segenap wujud kebudayaan atau hasil kebudayaan. Nilai-nilai budaya
dan segenap hasilnya adalah muncul dari tata cara hidup yang merupakan
kegiatan manusia atas nilai-nilai budaya yang dikandungnya. Cara hidup
manusia tidak lain adalah bentuk konkret (nyata) dari nilai-nilai budaya yang
bersifat abstrak (ide). Dengan bahasa lain nilai budaya hanya bisa diketahui
melalui budi dan jiwa, sementara tata cara hidup manusia dapat diketahui
17
oleh pancaindra. Dari ide kebudayaan dan tata cara hidup manusia kemudian
terwujud produk (artefak) kebudayaan sebagai sarana untuk memudahkan
atau sebagai alat dalam berkehidupan. Sarana kebudayaan adalah perwujudan
secara fisik atas nilai-nilai budaya dan tata cara hidup yang dilakukan
manusia guna memudahkan atau menjembatani tercapainya pelbagai
kebutuhan manusia.
Mendukung konsepsi kebudayaan sebelumnya, sebagaimana
dikemukakan Parsudi Suparlan, “kebudayaan adalah keseluruhan
pengetahuan yang dipunyai manusia sebagai makhluk sosial; yang isinya
adalah perangkat model-model pengetahuan (pedoman hidup; atau blueprint;
atau desain untuk kehidupan) yang secara selektif dapat digunakan untuk
memahami dan menginterpretasi lingkungan yang dihadapi, dan untuk
mendorong dan menciptakan tindakan-tindakan yang diperlukannya
(menghasilkan kelakuan dan benda/peralatan).” Definisi ini tampaknya
sejalan dengan James P. Spradley yang menyatakan "Culture is the acquired
knowledge that people use to interpretation experience and to generate social
behavior .., we speak of them as cultural knowledge, cultural behavior, and
Cultural artifacts" (Kebudayaan adalah pengetahuan yang diperoleh yang
digunakan penduduk untuk menginterpretasi pengalaman dan melahirkan
tingkah laku sosial ... kita katakan semua itu sebagai kebudayaan
pengetahuan, kebudayaan tingkah laku, dan kebudayaan kebendaan)1.
Kebudayaan, dengan demikian adalah ide berupa model-model
pengetahuan yang dijadikan landasan atau acuan oleh seseorang sebagai
anggota masyarakat melakukan aktivitas sosial, menciptakan materi
kebudayaan dalam unsur budaya universal: agama, ilmu pengetahuan,
teknologi, ekonomi, organisasi sosial, bahasa dan komunikasi, serta kesenian,
seperti pada Gambar 1.
1Lihat juga Malinowski, Bronislaw, Magic, Science and Religion and Other Essays. Garden Ciry New York: Doubleday & Company, Inc., 1948 hlm. 91; dan Tumanggor, Rusmin, Sistern Kepercayaan dan Pengobatan Tradisional (Disertasi), Jakarta: Universitas Indonesia, 1999, hlm. 3; White, Leslie A katakan "... we shall distinguish three sub-system of culture. namely, technological, sociological, and ideological system. ...These three categories comprise the system of culture as a whole" (dalam The Science of Culture: A Study of Man and Civilization). New York: Doubleday Canada Ltd. 1949 hlm. 364
18
19
Legenda: Setiap kotak unsur kebudayaan ini terbuka satu sama lainnya,
termasuk dari suatu suku bangsa kepada suku bangsa lainnya.
Agama sering menjadi kuat dominasinya jika ia kuat penekanannya pada
nilai tertinggi "ultimate value", yaitu hubungannya dengan Maha Pencipta
(Tuhan), dan kehidupan abadi serta keadilan tertinggi atas kebaikan dan
keburukan (pahala atau dosa) atas pola pikir, sikap, dan perilaku selama di
dunia fana.
1) Agama
Dalam temuan antropologi dan sosiologi, komponen-komponen
pokokyang terdapat dalam setiap agama meliputi adanya: umat beragama,
sistem keyakinan, sistem peribadatan/ritual, sistem peralatan ritus, dan
emosi keagamaan.
2) Ilmu pengetahuan
Dari penelitian antropologi dan sosiologi, semua masyarakat pendukung
suatu kebudayaan, memiliki sistem pengetahuan yang utuh menanggapi
keberadaan alam nyata (natural) dan nirnyata (supernatural). Kondisi ini
menyambung kepada pemahaman tentang kehidupan dankematian,
perbuatan dan keadilan, kefanaan dankeabadian.
3) Teknologi
Antropologi dan sosiologi juga menjumpai bahwa setiap warga
masyarakat pendukung suatu kebudayaan memiliki kemampuan secara
ide hingga melaksanakan kegiatan bersama melahirkan peralatan hidup
yang difungsikan untuk memenuhi kebutuhan pada pelbagai unsur
kebutuhan budaya universal lainnya.
20
4) Ekonomi
Antropologi serta sosiologi juga menemukan dalam setiap masyarakat
kebudayaan adanya bentuk-bentuk ekonomi (berburu-meramu, bercocok
tanam, barter, pasar/ uang, dan foto, komunikasi). Rentangan kekuatan
ekonomi (investasi, produksi, keagenan, distribusi, eceran, buruh,
kegiatan pasar, dan penjabaran penghasilan).
5) Organisasi sosial
Pada setiap masyarakat pendukung kebudayaan akan selalu terdapat
variasi kelompok warga masyarakat (kemargaan, jaringan kawin-mawin,
kampung/kewilayahan, keetnisan, profesi, dan politik).
6) Bahasa dan komunikasi
Setiap masyarakat pendukung suatu Icebudayaan memiliki simbol-simbol
bunyi dan intonasi serta isyarat yang digunakan untuk menyampaikan
sesuatu maksud kepada seseorang atau khalayak untuk dipahami dan
dilaksanakan. Ada untuk pereakapan, tulisan, maupun seni. Ada kata-kata
untuk umum, dari hati ke hati, anak-anak, teman sebaya, orang tua, dan
tamu. Ada yang esensinya world view, penjelasan alam semesta, dan
tatakrama.
7) Kesenian
Antropologi menemukan bahwa pada setiap masyarakat kebudayaan
mempunyai ungkapan seni berupa simbol pernyataan rasa senang dan
susah (suka duka). Baikuntuk umum maupun untuk sendiri. Muncul pula
dalam berbagai bentuk: ukiran, gambar, tulisan, ungkapan, teater, pentas,
dan gerak/tari.
Semua komponen ini dimiliki sebagai unsur kebudayaan bahkan
menjadi faktor pembangunan dari setiap suku bangsa mulai dari tingkat
sektoral, regional, nasional, hingga internasional. Unsur-unsur itu juga akan
melintasi batas-batas wilayah tersebut (cross cultural). Selain itu, dapat
diketahui simbol-simbol lain yang wujudnya lebih konkret dari wujud
pertama untuk dapat menjadi pembeda atau berlaku sebagai cultural traits
antara kebudayaan yang satu dengan lainnya. Wujud konkret dari simbol-
21
simbol tersebut ialah perilaku, kebiasaan, habitus (sebagaimana sosiolog
Perancis, Pierre Bourdieu, menyebutnya), atau yang kita kenal dengan istilah
adat istiadat sebagai wujud kedua dari kebudayaan. Selain adat istiadat,
elemen lainnya ialah budaya materiil. Budaya materiil (material culture) atau
artefak atau benda-benda hasil produksi suatu kebudayaan merupakan hal-hal
dalam kebudayaan yang paling konkret (empiris).
Ada empat bentuk yang dapat diidentifikasi dan dikategorikan sebagai
peninggalan budaya. Pertama, benda-benda fisik atau material culture.
Wujud pertama ini mencakup seluruh benda-benda basil kreasi manusia,
mulai dari bendabenda dengan ukuran yang relatif kecil hingga benda-benda
yang sangat besar (dari emblem kerajaan Sultan Nata Sintang, kain songket,
keris, sampai Candi Borobudur, misalnya). Kemudian, wujud kedua ialah
pola-pola perilaku yang merupakan representasi dari adat istiadat sebuah
kebudayaan tertentu. Bentuk kedua ini meliputi hal-hal keseharian, seperti
pola makan, kerja, belajar, berdoa, hingga pola-pola yang bersangkutan
dengan aktivitas sebuah komunitas, seperti pola upacara adat ataupun ritual
Ngaben di masyarakat Bali.
Di dalam pola-pola keseharian itu, terkandung nilai-nilai atau tata
aturan dari adat istiadat yang berlaku. Tata aturan yang berlaku tersebut
merupakan ejawantah dari pandangan hidup atau sistem nilai dalam
masyarakat tertentu, di mana pandangan hidup ini merupakan wujud ketiga
dari kebudayaan. Wujud ketiga ini bersifat lebih abstrak dibanding kedua
wujud sebelumnya. Sistem nilai atau pandangan hidup ini bisa berupa
falsafah hidup atau kearifan lokal dari suatu masyarakat dalam memandang
atau memaknai lingkungan sekitarnya. Hal ini tiada lain adalah representasi
dari pola pikir atau pengetahuan atau logika masyarakat pengampu
kebudayaan tertentu.
Selain itu, dalam konteks tinggalan budaya di sini, terdapat satu lagi
bentuk peninggalan yang merupakan wujud keempat, yakni lingkungan.
Barangkali, muncul pertanyaandalam benak kita mengapa lingkungan dapat
dikategorikan sebagai warisan budaya? Lantas, lingkungan seperti apa yang
22
termasuk peninggalan budaya? Sebelum masuk pada pemaparan atas
pertanyaan-pertanyaan tersebut, ada baiknya bila mengetahui terlebih dulu
pengertian lingkungan di dalam tulisan ini. Ahimsa-Putra (2004: 38),
menjelaskan bahwa lingkungan atau environment secara garis besar dapat
dibedakan berdasarkan (1) sifat atau keadaannya dan (2) asal usulnya.
Lingkungan atas dasar kategori sifat ini masih dapat dipilah lagi menjadi:
1. Lingkungan fisik, berupa benda-benda yang ada di sekitar kita, makhluk
hidup, dan segala unsur-unsur alam.
2. Lingkungan sosial, meliputi perilaku-perilaku manusia atau pelbagai
aktivitas sosial yang berupa interaksi antar-individu serta berbagai
aktivitas individu.
3. Lingkungan budaya, mencakup pandangan-pandangan, pengetahuan,
norma-norma, serta aturan-aturan yang berlaku dalam suatu masyarakat.
Adapun, lingkungan yang dilihat dari asal usulnya berupa: (1)
lingkungan alami (natural environment), di mana lingkungan jenis ini
memiliki pengertian keseluruhan unsur di luar diri manusia yang bukan
ciptaan manusia, dan (2) lingkungan buatan (built environment) yakni
lingkungan yang merupakan hasil kreasi manusia.
Lingkungan dapat menjadi bagian dari tinggalan budaya (artifacts),
oleh karena itu, lingkungan memainkan peran sebagai bagian yang tak
terpisahkan bagi terciptanya kebudayaan itu sendiri. Sebagai ilustrasi, dapat
dibandingkan masyarakat pesisir atau nelayan di sepanjang Pantai Utara Jawa
di Cirebon, masyarakat nelayan di Kepulauan Karimunjawa, atau masyarakat
Suku Laut di Thailand Selatan dengan masyarakatnya yang agraris, seperti
masyarakat petani salak di Yogyakarta atau masyarakat petani kopi di
kawasan pegunungan Minahasa. Letak perbedaan pertama yang tampak
dengan jelas ialah kawasan atau lingkungan di mana mereka menjalani siklus
kehidupannya (lahir, bekerja, berinteraksi, kawin, dan sebagainya), yakni
pegunungan atau dataran tinggi dan pesisir atau pantai. Perbedaan kedua ialah
pola pikir masyarakatnya atau cara pandang mereka terhadap hidupnya. Pola
pikir masyarakat pesisir dengan masyarakat pegunungan sudah tentu
23
berlainan. Perbedaan ini terletak pada tataran perangkat pengetahuan (sistem
simbol) masyarakat yang pada gilirannya memengaruhi cara mereka
memaknai persoalan-persoalan atau hal-hal yang berkaitan dengan
lingkungannya, dengan hidupnya. lnilah yang dinamakan kearifan lokal,
sebuah pengetahuan yang khas pada masyarakat tertentu, yang muncul lewat
penghayatan manusia atas lingkungannya. Penghayatan terhadap lingkungan
inilah yang kemudian menghasilkan kearifan lokal atau kebudayaan yang
khas pula, yakni sistem nilai, adat istiadat, dan artefak-artefak budaya
(Ahimsa-Putra, 2008: 11-12). Dengan demikian, lingkungan sebagai salah
satu entitas penting dalam pembentukan sebuah kebudayaan dapat
dikategorikan sebagai warisan atau tinggalan budaya, sehingga ia harus
dilindungi dan dilestarikan.
D. ETIKA DAN ESTETIKA BERBUDAYA
Perjalanan kebudayaan manusia dalam sejarahnya erat kaitannya
dengan pendidikan. Sebab semua materi yang terkandung dalam kebudayaan
yang diperoleh manusia selain dilalui secara sadar juga dilalui dengan proses
belajar. Melalui proses belajar itulah transfer nilai-nilai kebudayaan terhadap
generasi ke generasi berikutnya dilakukan. Sehingga nilai-nilai kebudayaan
senantiasa berkelanjutan dari waktu ke waktu, dari kebudayaan masa lalu
menuju kebudayaan masa kini. Adakebudayaan masa lalu yang tetap
dipertahankan dalam kebudayaan masa kini, ada juga yang ditinggalkan atau
tidak digunakan. Meskipun demikian, tidak menutup kemungkinan
kebudayaan pada masa lalu yang pernah ditinggalkan akan kembali
digunakan oleh generasi mendatang. Artinya, sebagaimana disampaikan oleh
Alferd Korybski, bahwa kebudayaan mempunyai kemampuan mengikat
waktu. Jika tanaman hanya mampu mengikat bahan-bahan kimiawi yang
penting bagi pertumbuhan tanaman itu, binatang mengikat ruang, maka
manusia mengikat waktu (Jujun, 2003: 263). Dengan itu seseorang dikatakan
berbudaya pada hakikatnya ketika ia telah menjaga nilai-nilai luhur dan
24
tatanan kemasyarakatan yang telah berlaku sebelumnya, dan dengan tetap
terbuka terhadap kemungkinan masuknya kebudayaan baru.
Kebudayaan Indonesia adalah salah satu dari sekian ba-
nyakkebudayaan yang ada di dunia. Keberadaannya-sama dengan
kebudayaan laintelah berlangsung dalam waktu yang lama. Mendiskusikan
kebudayaan Indonesia, maka kita akan berbicara tentang sejarah panjang
pertemuan antar kebudayaan daerah Indonesia dengan kebudayaan dari luar
Indonesia.
Pertemuan antar kebudayaan-kebudayaan di Indonesia, sudah dimulai
sejak masuknya agama Hindu dan Buddha. Kebudayaan daerah Indonesia
yang masih sederhana kemudian bertemu dengan agama Hindu dan Buddha
yang menjadi sedemikian meluas dan dianut oleh banyakmasyarakat di
Indonesia. Hal ini dapat dilihat dengan banyaknya kerajaan yang pernah ada
di wilayah Barat dan Tengah.
Indonesia yang menganut agama tersebut seperti Kutai,
Tarumanegara, Sriwijaya, Padjajaran, dan Majapahit. Pada masa Kerajaan
Majapahit, kebudayaan Indonesia mencapai kebersamaannya dengan
menyatukan kerajaan yang ada di Nusantara oleh Patih Gajah Mada, yang
terkenal dengan Sumpah Palapa. Kesatuan ini jelas menjadikan kebudayaan
di Indonesia semakin dinamis. Terlihat mulai munculnya berbagai persoalan
kebudayaan, salah satunya seperti hubungan kerajaan di daerah dengan
Majapahit. Keadaan ini semakin terlihat, ketika agama Islam mulai banyak
dianut oleh masyarakat di Indonesia, bahkan hingga tingkat kerajaan.
Perubahan keyakinan ini membuat banyak perubahan di bidang lain,
kesetaraan antara sesama manusia, semakin berkembangnya sastra, berdirinya
kerajaan-kerajaan baru, dan lain-lain.
Perjalanan kebudayaan Indonesia dipengaruhi oleh masuknya
Portugis, awal masa penjajahan melanda wilayah Nusantara. Dengan
ditutupnya Terusan Suez membuat banyak negara di belahan dunia Barat
mengalihkan perhatiannya ke wilayah-wilayah tropis untuk mencari rempah-
rempah. Tokoh-tokoh, seperti Vasco da Gama, Marcopolo, dan Bartholomeus
25
Diaz, mencari sebuah wilayah perdagangan baru. Salah satu wilayah yang
mereka temukan adalah tanah Nusantara, yang akhirnya menjadikan
Nusantara sebagai wilayah jajahan dalam periode masa yang panjang.
Meskipun dalam kesabaran yang panjang pula akhirnya Nusantara menapaki
jalan menuju persatuan, menjadi Negara RepublikIndonesia. Masa tersebut,
dipenuhi dengan berbagai peperangan di berbagai daerah Nusantara, mulai
dari negeri Aceh hingga Maluku. Peperangan yang digerakan oleh
semangatmempertahankan diri. Strategi perang dengan taktik memecah belah
atau devide et impera membuat perlawanan yang diberikan oleh para pejuang
di daerah menjadi tidak berarti. Meskipun demikian, perlawanan di seluruh
wilayah Nusantara masih terus diberikan terhadap kedatangan para pendatang
asing yang bermaksud menjajah, mulai dari "kecil-kecilan" hingga akhirnya
memuncak pada perlawanan secara serentak terhadap penjajahan di bumi
Nusantara. Peristiwa paling dikenang adalah ketika Indonesia akhirnya
memperoleh kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945.
Jika dikaji selama dalam masa penjajahan tersebut, bukan hanya kisah
perlawanan fisik semata, tetapi juga tentang perlawanan kebudayaan. Oleh
karena itu, terjadi perubahan yang besar dalam banyak bidang kehidupan kita.
Dalam hal ini, misalnya dapat disoroti perubahan bentuk pemerintahan.
Perubahan bentuk pemerintahan, dari kerajaan kepada negara, menjadi
sebuah perubahan yang menuntut adanya kesatuan wilayah dan kebudayaan
di Indonesia. Pada masa ini pula, polemik tentang dasar negara, bahasa,
Undang-Undang Dasar, dan persoalan kebudayaan nasional mulai terlihat.
Saat itu, telah banyak usaha yang dilakukan untuk merumuskan apa itu
kebudayaan Indonesia. Kekayaan kebudayaan yang sedemikian hebat dari
wilayah Indonesia, membuat para perumus tidak ingin menghilangkan
kebudayaan yang sudah lama hidup di negeri ini. Kekayaan kebudayaan yang
telah terkenal kebesarannya ke seluruh mancanegara, dari Tiongkok hingga
Eropa. Namun hingga saat ini, usaha perumusan tersebut belum membuahkan
hasil yang final dan memuaskan. Bahkan kita tampaknya perlu jujur bahwa
26
masyarakatIndonesia telah banyak yang teralihkan perhatiannya kepada
kebudayaan yang dibawa oleh bangsa Eropa dan Amerika.
Untuk itu, penting bagi kita semua melakukan upaya pengembangan
kebudayaan Indonesia secara terus-menerus. Rumusan nilai-nilai luhur yang
tertuang dalam UUD Dasar 1945 dan Pancasila perlu untuk terus
disempurnakan secara berkelanjutan agar kebudayaan nasional sebagai
identitas kebangsaan teraktualisasi secara nyata dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara kita. Prinsip-prinsip pengembangan kebudayaan Indonesia
sebagaimana telah dilakukan oleh generasi sebelumnya penting
mempertimbangkan hal-hal berikut:
a. Jujur.
b. Tanggung jawab.
c. Menepati janji. Toleransi.
d. Berpedoman pada kebudayaan Indonesia.
e. Tanamkan minat sejak dini pada kebudayaan daerah Indonesia.
f. Mempelajari dan mengenali kebudayaan daerah Indonesia (tarian,
kerajinan tangan, seni bertutur, alat musik daerah, membangun rumah
kebudayaan daerah, dan lain-lain).
Sudah saatnya kebudayaan Indonesia memiliki kesejajaran dengan
budaya barat. Oleh karena itu, mulai disadari bahwa kebudayaan daerah di
Indonesia memiliki keunggulan mulai dari pandangan tentang alam hingga
pranata sosial. Dan masyarakat Barat juga mulai menyadari kekurangan
kebudayaan mereka sendiri, yang terlihat lewat gairah dan ketertarikan
kepada kebudayaan Timur sebagai penawar kegelisahan mereka.
Mengenali dan mengembangkan kebudayaan Indonesiaadalah tugas
yang diemban oleh setiap warga negara Indonesia. Jangan tinggalkan
kebudayaan Indonesiakarenakekayaan menunggu untuk dikenali,
dikembangkan, hingga akhirnya dapat hidup mencapai kebesarannya, yang
dahulu pernah dimiliki.
Konteks keindonesiaan, kebudayaan manusia Indonesia dalam
beberapa tahun terakhir telah didesak oleh serbuan kebudayaan asing melalui
27
deras arus globalisasi (tata cara hidup sosial lintas-antarbenua). Sementara
kebudayaan milik daerah atau nasional sendiri sering kali sulit beradaptasi
dengan budaya asing. Di era tahun 2000-an, misalnya terlihat begitu
mencolok perilaku atau tata cara hidup generasi muda yang dekat dengan
budaya asing. Bandingkan antara kegiatan para remaja yang keluar masuk
pub, diskotek dan tempat hiburan malam lainnya terutama di kota-kota besar
dan metropolitan dengan kegiatan gotong royong, silaturahmi (kunjung
mengunjungi) sanak famili, membatik, belajar pantun, dan lainnya yang
menjadi wujud kebudayaan leluhur masa lalu. Proses akulturasi budaya asing
dengan budaya lokal masih kental dengan pengejawantahan nilai-nilai asing
itu sendiri dibanding menjadi sebuah kebudayaan milik sendiri. Artinya,
kebudayaan yang ditampilkan kebanyakan generasi muda saat ini bukan
melalui proses belajar dan secara sadar mewakili kebutuhan mendasar
mereka, tetapi lebih mengikuti tren kebudayaan baru dari luar (budaya
global).
Contoh-contoh akibat globalisasi sebelumnya menunjukkan bahwa,
dalam realitasnya, globalisasi mampu menjadi penentu arah perkembangan
kebudayaan dan peradaban manusia di dunia. Dalam lingkup sosiokultural
yang lebih sempit, salah satu implikasi globalisasi ialah pada munculnya
pola-pola baru dari suatu kebudayaan dalam beragambentuk dan
tatanannya.Kebudayaan dengan corak baru ini kerap kita sebut sebagai
kebudayaan pasca-industri, pascamodern, ataupun postmodern. Keadaan
masyarakat di era milenium kelima tersebut memiliki konsekuensi logis pada
situasi yang akan menggiring kita, sebagai "warga dunia", untuk berpikir,
berkeputusan, hingga bertindak dalam ritme yang relatif cepat. Dari
kenyataan itu, tidak bisa dimungkiri bahwa realitas sosial semacam ini
sesungguhnya lahir karena transformasi yang signifikan pada core
kebudayaan itu sendiri, yakni pola atau cara berpikir dan cara memandang
dunia. (Al Mudra, 2007a dan 2008a)
Dalam konteks sosial-budaya masyarakatIndonesia, implikasi lain dari
lahirnya bentuk-bentuk baru dari peradaban dan kebudayaan postmodern di
28
atas ialah mulai ditinggalkannya produk-produk kebudayaan lokal (seni,
bahasa, pola-pola perilaku, maupun benda budaya lainnya) oleh
masyarakatnya. Produk-produk budaya lokal mulai ditinggalkan lantaran
dianggap ketinggalan zaman, tidakup-to-date, kuno, dan semacamnya. Oleh
karenanya, generasi terkini dengan basis kulturalnya masing-masing
kemudian, meski tidak semua, akhirnya lebih memilih untuk mengadopsi
budaya baru atau budaya kekinian (hybrid culture) yang telah berasimilasi
dengan budaya Barat. Persoalannya bukan terletak pada boleh tidaknya
diterima dan dipraktikkannya budaya hybrid tersebut, melainkan terletak pada
sikap penafian budaya lama (peninggalan nilai luhur nenek moyang) oleh
generasi masa kini. Ketika warisan budaya tiada lagi diindahkan, maka yang
akan terjadi ialah sebuah krisis idcntitas (jati diri).
Oleh karena itu, sudah sepantasnya kita berupaya menjaga, merawat,
mengemas, dan memublikasikan kekayaan warisan budaya kita kepada dunia
untuk mengukuhkan identitas kita sebagai bangsa yang bermartabat. Sebab,
hanya dengan memahami dan menjaga kekayaan warisan budaya dan sejarah,
bangsa ini akan dihargai dan dipandang secara terhormat oleh bangsa lain.
Benefit lain yang bisa dipetik ialah bahwa bangsa ini juga dapat berangsur
melepaskan diri dari hegemoni budaya asing (A1 Mudra, 2007b). Penting
untuk digarisbawahi di sini, masyarakat yang dinamis tidak selalu menolak
pengaruh budaya luar. Produk budaya asing yang mendorong kepada
perbaikan hidup dankemajuan, tidak perlu serta-merta ditolak, meski tetap
menjaga maratabat dan jati diri bangsa. Hal ini berpegang pada prinsip "al
muhafadhatu ‘ala al qadimi as sholih wal akhdzu bi al jadidi al ashlah",
yang maknanya adalah menjaga warisan (budaya) lama yang baik, dan
mengadopsi sesuatu (budaya) yang baru yang lebih baik. (Ibid, 2007b)
“Hanya manusia yang memiliki kebudayaan,” begitu kira-kira teori
Erns Cassirer, seorang ahli lingustik asal Swiss, dalam bukunya An Essay on
Man (1945 via Ahimsa-Putra, 2002; 2004; 2005). Disebutkan olehnya bahwa
kebudayaan atau budaya merupakan eiri penting (khas) dari manusia, yang
membedakan manusia dengan binatang. Mengulang bahasan sebelumnya,
29
mengapa hanya manusia yang memiliki kebudayaan, sedangkan binatang atau
makhluk lainnya tidak? Pendapat ini berangkat dari pemahaman bahwa
manusia merupakan animal symbolicum atau binatang yang mengkreasi
simbol. Sebab itu, hanya manusia yang dapat melakukan simbolisasi terhadap
sesuatu. Manusia merupakan makhluk yang mampu menggunakan,
mengembangkan, dan menciptakan lambang-lambang atau simbol-simbol
untuk berkomunikasi dengan sesamanya (Ahimsa-Putra, 2004:29). Sementara
itu, apa yang dimaksud dengan simbol? Definisi konsep simbol atau lambang
ialah segala sesuatu yang dimaknai di mana malrna dari suatu simbol itu
mengacu pada sesuatu (konsep) yang lain. Wujud lambang-lambang ini bisa
berupa teks (tulisan), suara, bunyi, gerak, gambar, dan lain sebagainya. (Ibid.)
Oleh karena hanya manusia yang dapat melakukan pemaknaan
terhadap sesuatu dan sesuatu yang dimaknai ini merupakan sebuah lambang
basil kreasi manusia sendiri, dan proses simbolisasi ini melahirkan
kebudayaan, maka kebudayaan dalam hal ini dapat didefinisikan sebagai:
seperangkat atau keseluruhan simbol yang digunakan atau dimiliki manusia
dalam hidupnya untuk bisa melakukan reproduksi dan menghadapi
lingkungannya, yang diperoleh lewat proses belajar dalam kehidupannya
sebagai anggota suatu masyarakat atau komunitas (Ibid). Di sini perlu dicatat
bahwa setiap manusia beserta komunitasnya memiliki perangkat simbol
(baca: kebudayaan) dan proses simbolisasinya (proses berkembangnya
kebudayaan) masing-masing, sehingga pemaknaan atau penafsiran yang lahir
juga beragam (lihat juga Geertz, 1973: 89). Hal inilah yang kemudian
melahirkan diversivitas budaya dalam kehidupan manusia.
Catatan berbudaya seperti apakah yang perlu ditanamkan ke setiap
generasi bangsa terhadap kebudayaan Nusantara kita. Adalah di antaranya
dengan menjaga sikap jujur dan bertanggung jawab terhadap setiap
perubahan nilai, aktivitas bersosial dan bermasyarakat, serta produk
kebudayaan yang dihasilkannya. Tanpa harus tertutup terhadap kebudayaan
luar, pelestarian kebudayaan sendiri merupakan prioritas utama untuk
menegaskan identitas kebangsaan dan kenegaraan kita.
30
E. PROBLEMATIKA KEBl1DAYAAN INDONESIA
Menelusuri pergulatan kebudayaan di Indonesia, akan ditemukan
sebuah fenomena yang lazim dihidupi yaitu, kerendahdirian
masyarakatIndonesia terhadap kebudayaannya sendiri. Kerendahdirian ini
muncul dari hubungan antara kebudayaan Barat dengan kebudayaan daerah di
Indonesia, Barat yang sering diposisikan sebagai pihak superior dan
kebudayaan daerah di Indonesia sebagai pihak inferior. Rendah diri ini
disebabkan oleh penjajahan, kerusakan perilaku masyarakatIndonesia, dan
pencitraan yang kuat dari media tentang keunggulan kebudayaan Barat.
Namun dari beberapa sebab tersebut, yang terus terjadi hingga saat ini dan
yang paling mendasar adalah peneitraan. Dikatakan mendasar karena pada
saat penjajahan pun sudah terjadi proses pencitraan tersebut.
Ungkapan khusus seperti, ilmiah, keren, funky, dan gaul adalah
ungkapan yang secara tidak langsung menujukkan kondisi rendah diri.
Ungkapan-ungkapan tersebut sering kali dilekatkan kepada kebudayaan
Barat, sedangkan kebudayaan daerah di Indonesia, sepertinya jauh dari
ungkapan-ungkapan tersebut. Hal ini memang tidak sepenuhnya bermasalah,
karena Barat memang memiliki keunggulan dalam bidang-bidang tertentu,
seperti di bidang sains (ilmu pengetahuan). Namun penilaian kebudayaan
Barat lebih superior dan kemudian fenomena masyarakat Indonesia
meninggalkan kebudayaannya sendiri yang sudah lama dihidupi, tentu
menjadi suatu masalah. Kebudayaan daerah di Indonesia ditinggalkan hanya
karena dieitrakan tidak ilmiah, keren, dan sebagainya. Padahal, mulai disadari
bahwa kebudayaan daerah di Indonesia memiliki keunggulan mulai dari
pandangan tentang alam hingga pranata sosial. Dan juga masyarakat Barat
mulai menyadari kekurangan kebudayaan mereka sendiri yang terlihat lewat
gairah dan ketertarikan kebudayaan Timur sebagai penawar kegelisahan
mereka.
Menurut banyak ahli permasalahan kemunduran budaya nasional
muncul karena persoalan pencitraan, dan karena itu harus juga diselesaikan
31
dengan cara pencitraan. Sudah saatnya kita melihat bahwa kebudayaan
Indonesia memiliki kesejajaran dengan kebudayaan Barat, setelah
kebudayaan Indonesia kurang dikenakan dan kurang dikenali oleh sebagian
masyarakat Indonesia yang hidup mulai masa 70-an. Tentu, usaha untuk
mengenali kebudayaan Indonesia adalah tugas yang diemban oleh setiap
warga negara Indonesia. Pengenalan ini merupakan salah satu modal untuk
memiliki dan mengembangkan kebudayaan Indonesia. Minimnya pengenalan
ini, merupakan salah satu faktor yang membuat rendahnya rasa kepemilikan
dan keinginan untuk mengembangkan kebudayaannya sendiri.
Problem kebudayaan dewasa ini antara lain adalah terjadinya
penafsiran budaya yang cenderung keliru. Hal tersebut akibat miskomunikasi
budaya antargenerasi yang terusmenerus terjadi. Padahal, sebagai sistem
gagasan yang terdiri dari nilai-nilai, norma dan aturan, kebudayaan harus
dilihat dalam tiga aspek sekaligus, masing-masing proses pembelajaran,
konteks, dan pelaku pendukung kebudayaan. Ketiga aspek ini dapat
menentukan seberapa besar dan kuat peran kebudayaan dalam membangun
kehidupan lebih baik. Revitalisasi kebudayaan merupakan proses logis dari
bagaimana kebudayaan berperan dalam pembangunan dengan tanpa
meninggalkannya atau bahkan melupakannya.
Kebudayaan selamanya merupakan langkah strategis pembangunan
bangsa. Alasannya, belum ada suatu usaha yang teruji untuk mengakomodasi
budaya lokal di tingkat nasional, sehingga ternyata perjalanan bangsa sampai
kini masih menuju pada kondisi yang memprihatinkan secara budaya.
Contohnya, konflik yang menggunakan atau memanipulasi simbol-simbol
budaya. Padahal tujuan akhir dari pengembangan kebudayaan pada
hakikatnya adalah peradaban. Sebagai bangsa yang beradab (civilized
society), Indonesia sangat perlu menempatkan kebudayaan sebagai konsepsi
dan sekaligus strategi. Kelembagaan formal dan informal dalam masyarakat
bertanggung jawab kepada keutuhan masyarakat. Pendukung kebudayaan
menjadi titik sentral bagaimana proses pengembangan kebudayaan
berlangsung secara kelembagaan (instituted process).
32
33
BAB 3
MANUSIA SEBAGAI INDIVIDUDAN MAKHLUK SOSIAL
A. HAKIKAT MANUSIA SEBAGAI INDIVIDU DAN MAKHLUK
SOSIAL
Di dalam diri manusia terdapat dua kepentingan, yaitu kepentingan
individu dan bersama. Kepentingan individu didasarkan manusia sebagai
makhluk individu, karena pribadi manusia yang ingin memenuhi kebutuhan
pribadi. Kepentingan bersama didasarkan manusia sebagai makhluk sosial
(kelompok) yang ingin memenuhi kebutuhan bersama.
Dalam perjalanannya, kepentingan-kepentingan tersebut kadang saling
berhadapan dan kadang pula saling berkait. Terkadang muncul suatu
penolakan dan penerimaan yang pada akhirnya bermuara pada etika, yaitu
suatu ajaran tentiang norma dan tingkah laku yang berlaku dalam suatu
kehidupan manusia. Artinya, titik kompromi antara kepentingan individu dan
bersama ditimbang menurut kadar etis-tidaknya kedua kepentingan tersebut.
Menurut Jurgen Habermas (2001), masyarakat memiliki tiga jenis
kepentingan yang memiliki pendekatan rasio berbeda. Pertama, kepentingan
teknis (objective welt). Hal ini sangat kuat berhubungan dengan penyediaan
sumber daya natural dan juga kerja (instrumentalis). Kedua, kepentingan
interaksi (social welt). Ini merupakan kepentingan praktis yang sesuai dengan
hakikat manusia sebagai makhluk sosial. Ketiga, Kepentingan kekuasaan. Di
satu sisi, hal ini berhubungan erat dengan distribusi kekuasaan dalam
masyarakat. Di sisi lain, adanya sebuah kebutuhan dasariah manusia untuk
membebaskan diri dari segala bentuk dominasi atau kebebasan (Freiheit).
Freiheit, yang menurut Sartre sebagai sprat utama yang mendorong eksistensi
manusia menuju peradaban yang maju.
Dalam perbedaan kepentingan ini masyarakat mengalami sebuah
pertarungan yang sangat tajam dalam kehidupan sosial dan politik. Apalagi
kalau kepentingan kekuasaan dan kepentingan teknis mengabaikan
kepentingan sosial. Kalau kepentingan kekuasaan mengarah pada tendensi
34
untuk menciptakan distorsi terhadap komunikasi, maka yang terjadi hanya ada
penindasan dan redulai. Menurut Haber mas, untuk bisa mendamaikan konflik
kepentingan ini, kita membutuhkan adanya sebuah ruang publik (public
spare). Ini merupakan media untuk menjembatani setiap kepentingan karena
setiap komponen dalam masyarakat memiliki akses yang sama untuk
berbicara, berdiskusi, dan mencari alternatif yang tepat tentang segala
persoalan dalam kehidupan bermasyarakat.
Manusia sebagai makhluk individu diartikan sebagai person atau
perseorangan atau sebagai diri pribadi. Manusia sebagai diri pribadi
merupakan makhluk yang diciptakan secara sempurna oleh Tuhan Yang Maha
Esa. Disebutkan dalam Kitab Suci Al-Qur'an bahwa “Sesungguhnya Kami
telah menciptakan manusia manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya”.
Dalam ajaran agama-agama dunia juga diterangkan sangat jelas kedudukan
manusia sebagai makhluk yang mulia, karena itu tidak dibenarkan manusia
melakukan perbuatan tercela, seperti berjudi, korupsi, berzina, membunuh,
mabuk, dan seterusnya. Sebaliknya, pribadi manusia dituntut mampu
berinteralai, berkomunikasi, bekerja sama, dan saling berlomba-lomba
melakukan perubahan menuju yang lebih baik dengan individu lainnya.
Manusia sebagai makhluk sosial, artinya manusia sebagai warga
masyarakat. Dalam kehidupan sehari-hari manusia tidak mungkin dapat hidup
sendiri atau mencukupi kebutuhan sendiri. Meskipun dia mempunyai
kedudukan dan kekayaan, dia selalu membutuhkan bantuan manusia lain.
Setiap manusia cenderung untuk berkomunikasi, berinteraksi, dan
bersosialisasi dengan manusia lainnya. Bahkan sejak lahir pun, manusia sudah
disebut sebagai makhluk sosial.
Telah berabad-abad konsep manusia sebagai makhluk sosial itu ada,
yang menitikberatkan pada pengaruh masyarakat yang berkuasa kepada
individu. Yakni memiliki unsur-unsur keharusan biologis, yang terdiri dari:
1. Dorongan untuk makan.
2. Dorongan untuk mempertahankan diri.
3. Dorongan untuk melangsungkan hubungan beda jenis.
35
Dengan keharusan biologis tersebut menggambarkan betapa individu
dalam perkembangannya sebagai seorang makhluk sosial meniscayakan
adanya dorongan untuk saling ketergantungan dan membutuhkan antara satu
dengan lainnya. Karena itu, komunikasi antar masyarakat menentukan peran
manusia sebagai makhluk sosial. Kedudukan manusia sebagai makhluk sosial,
dengan demikian tidak dapat dilepaskan dari cara dan bentuk adaptasi mereka
terhadap lingkungannya.
Dalam perkembangannya, manusia mempunyai kecenderungan sosial
untuk selalu meniru guna membentuk diri dalam kehidupan masyaratmya. Di
antara kebutuhan untuk meniru adalah dalam hal:
1. Penerimaan bentuk-bentuk kebudayaan, yaitu menerima bentuk-bentuk
pembaruan yang berasal dari luar sehingga dalam diri manusia terbentuk
sebuah pengetahuan,
2. Penghematan tenaga, yaitu tindakan meniru untuk tidak terlalu
menggunakan banyak tenaga dari manusia sehingga kinerja manusia
dalam masyarakat bisa berjalan secara efektif dan efisien.
Pada umumnya, hasrat meniru itu kita dapat lihat paling jelas di dalam
ikatan kelompok, yang secara lebih luas juga terjadi di dalam kehidupan
masyarakat. Proses meniru dapat dicontohkan misalnya anak terhadap orang
tuanya, pribumi terhadap pendatang atau sebaliknya, dan masyarakat
tradisional terhadap pendatang modern. Dari gambaran tersebut jelas
bagaimana manusia itu membutuhkan sebuah interaksi atau komunikasi untuk
membentuk dirinya sebagai pribadi (individu) dan sekaligus sebagui makhluk
sosial.
Banyak faktor yang mendorong manusia secara individual
membutuhkan dirinya sebagai makhluk sosial sehingga terbentuk interaksi
sosial antara manusia satu dengan manusia yang lainnya. Secara garis besar,
faktor-faktor personal yang memengaruhi interaksi manusia terdiri dari tiga
hal, yakni:
1. Tekanan emosional. Kondisi psikologis seseorang sangat memengaruhi
bagaimana manusia berinteralai satu sama lain, apakah sedang bahagia,
36
senang, atau sebaliknya sedih, berduka dan seterusnya.
2. Harga diri yang rendah. Ketika kondisi seseorang berada dalam kondisi
yang direndahkan, maka ia akan memilikihasrat yang tinggi untuk
berhubungan dengan orang lain. Karena ketika seseorang merasa
direndahkan dengan secara spontan la membutuhkan kasih sayang dari
pihak lain atau dukungan moral untuk membentuk kondisi psikologis
kembali seperti semula.
3. Isolasi sosial. Orang yang merasa atau dengan sengaja terisolasi oleh
komunitasnya atau pihak-pihak tertentu, maka ia akan berupaya
melakukan interaksi dengan orang yang sepaham atau sepemikiran agar
terbentuk sebuah interaksi yang harmonis.
B. FUNGSI DAN PERAN MANUSIA SEBAGAI INDIVIDU DAN
MAKHLUK SOSIAL
Pada hakikatnva, manusia senantiasa berperan ganda. Yaitu sebagai
makhluk individu dan makhluk sosial. Dalam berinteraksi dengan sekitar, ada
hubungan secara vertikal (hubungan dengan Tuhan) dan secara horizontal
(hubungan dengan sesama manusia, alam sekitar, dan makhluk lainnya).
Manusia sebagai makhluk sosial, artinya manusia tidak bisa hidup sendirian.
Manusia sejak lahir sampai masuk liang kubur selalu membutuhkan kehadiran
orang lain selain dirinya. Jika manusia tidak berhubungan atau berinteraksi
dengan sesama manusia lainnya, maka orang tersebut belum bisa dikatakan
manusia. Karena itu, dalam hubungan sesama manusia terdapat model dan
kualitasnya yang berbeda.
Ada tiga teori yang dapat membantu menerangkan model dan kualitas
hubungan antarmanusia (Achmad Mubarok, : 2009)
1. Teori Transaksional (Model Pertukaran Sosial) Menurut teori ini,
hubungan antarmanusia (interpersonal) berlangsung mengikuti kaidah
transaksional, yaitu apakah masing-masing merasa memperoleh keuntung-
an dalain transaksinya atau malah merugi. Jika merasa memperoleh
keuntungan, maka hubungan itu pasti mulus, tetapi jika merasa rugi, maka
37
hubungan itu akan terganggu, putus, atau bahkan berubah menjadi
permusuhan.
2. Teori Peran
Menurut teori ini, sebenarnya dalam pergaulan sosial itu sudah ada
skenario yang disusun oleh masyarakat, yang mengatur apa dan bagaimana
peran setiap orang dalam pergaulannya. Dalam skenario itu sudah
"tertulis" seorang presiden harus bagaimana, seorang gubernur harus
bagaimana, seorang guru harus bagaimana, dan murid harus bagaimana.
Demikian juga sudah tertulis perau apa yang harus dilakukan oleh suami,
istri, ayah, ibu, anak, mantu, mertua, dan seterusnya. Menurut teori ini,
jika seseorang mematuhi skenario, maka hidupnya akan harmoni, tetapi
jika menyalahi skenario, maka ia akan dicemooh oleh penonton dan
ditegur sutradara.
3. Teori Permainan
Menurut teori ini, klasifikasi manusia itu hanya terbagi tiga, yaitu anak-
anak, orang dewasa, dan orang tua. Anak-anak itu manja, tidak mengerti
tanggung jawab, dan jika permintaannya tidak segera dipenuhi ia akan
menangis terguling-guling atau ngambek. Adapun orang dewasa, ia lugas
dan sadar akan tanggung jawab, sadar akibat dan sadar risiko. Adapun
orang tua, ia selalu memaklumi kesalahan orang lain dan menyayangi
mereka. Tidak ada orang yang merasa aneh melihat anak kecil menangis
terguling-guling ketika minta es krim, tetapi orang akan heran jika ada
orang tua yang masih kekanak-kanakan.
Manusia memang tidak akan bisa lepas dari berhubungan dengan
orang lain. Dalam hubungan itu kita harus bisa memahami peranan dan
kedudukan masing-masing. Jangan sampai terjadi kesalahan. Karena hal itu
bisa membual tidak harmonisnya hubungan kita dengan sesama manusia.
Untuk menjaga hubungan yang harmonis sebagai individu dan
makhluk sosial, umumnya setiap suku bangsa memiliki nilai-nilai dan tradisi
yang dapat dikembangkan menjadi model kedamaian yang kondusif bagi
keeratan antar suku bangsa, agama, ras, dan perbedaan-perbedaan lainnya.
38
Sebagaimana disebutkan Mubarok di atas, masing-masing individu tampaknya
biasa melakukan kontak hubungan transaksional, jika merasa beruntung
hubungan akan berjalan mulus, demikian jika merasa dirugikan akan
mengarah perpecahan.
Dalam praktiknya, hubungan transaksional ini bermacam-macam
sifatnya. Adakalanya bersifat barter atau pertukaran langsung seperti jual beli
di pasar atau mal-mal. Masing-masing individu mendapat manfaat dari proses
interaksi secara langsung dan seketika. Dapat pula transaksional bersifat
kekeluargaan atau kekerabatan seperti dilakukan umumnya etnis Jawa dengan
sebutan "sambatan". Salah satu anggota keluarga yang sedang tertimpa