Top Banner

of 42

Konsensus IBD

Jul 06, 2018

Download

Documents

Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
  • 8/17/2019 Konsensus IBD

    1/42

  • 8/17/2019 Konsensus IBD

    2/42

    2

    Konsensus Nasional Penatalaksanaan IBD di Indonesia 2011

    dilandaskan kepada angan-angan proses pencatatan dan pelaporan

    yang lebih seragam dan lebih bertanggung-jawab untuk suatu

    penelitian epidemiologi, baik dalam populasi maupun data Rumah

    Sakit. Latar-belakang dibuatnya Konsensus IBD, secara teknis

    didasarkan atas beberapa hal, yakni: (1) Diperlukannya pengetahuan

    yang cukup dan awareness tentang IBD di Indonesia, mengingat per-

     jalanan penyakit IBD yang bersifat kronik-eksaserbatif; (2) Diperlukannya

    kemampuan klinis untuk dapat membedakan IBD dengan penyakit

    kolon lain yang banyak di Indonesia dan mempunyai kemiripan

    gambaran klinis, seperti kolitis Tbc dan amoebiasis usus, sertakeganasan usus; (3) Dibutuhkan sarana penunjang diagnosis

    yang lengkap dan relatif mahal untuk menegakkan diagnosis serta

    menyingkirkan diagnosis bandingnya, dimana hal tersebut belum

    tersedia merata di seluruh Indonesia; (4) Keperluan Konsensus: agar

    temuan kasus IBD dapat terlaksana, penatalaksanaan lebih optimal,

    serta program pencatatan-pelaporan lebih akurat.

    Konsensus yang sekarang ini merupakan Draft Konsensus

    Nasional IBD yang disusun Tahun 2005 yang diperbaharui secara

    redaksional dan lay-out , serta dengan penambahan informasi baru

    sesuai perkembangan yang ada, namun tanpa meninggalkan /

    mengurangi isi-esensi yang terkandung di dalam materi konsensus

    tersebut sebelumnya.

  • 8/17/2019 Konsensus IBD

    3/42

    3

    II. EPIDEMIOLOGI, ETIO-PATOGENESIS

    DAN GAMBARAN KLINIS

    Sistim rujukan di Indonesia belum berkembang secara optimal

    sehingga sebahagian besar kasus terduga IBD akan mengalami

    under-diagnosed  atau justru over-diagnosed  dan sangat dimungkin-

    kan oleh karena terjadinya variasi akurasi diagnosis antar laporan,

    mengingat adanya perbedaan sarana penunjang-diagnostik yang

    tersedia. Kewenangan profesi yang mampu melakukan penilaian

    pada  kasus tersebut bertujuan agar tidak terjadi under-treatment  

    atau over-treatment  pada pasien.

    1. Epidemiologi

    Sudah hampir 4 tahun berlalu sejak rencana penyusunan Konsensus pertama-kali dicanangkan, akan tetapi hingga saat ini

    belum dapat diwujudkan suatu penelitian epidemiologi untuk IBD

    di Indonesia. Data IBD masih berdasarkan laporan Rumah Sakit

    (Hospital based ) saja. Data lama dari Jakarta dapat dilihat pada tabel

    1. Data baru yang dilaporkan dari beberapa Rumah Sakit di Jakarta

    dan daerah, dapat dilihat seperti pada tabel 2.

    Tabel 1. Data IBD berbasis Unit Endoskopi di Rumah Sakit di Jakarta

    Sumber Data KU PC

    RSCM 1991 - 1995 2,8%* 1,4%*

    RSCM 1996 25%** 5,5%**

    Dharmika D, Gastroenterol Hep 5,5%*** 2,0%***

    M Simadibrata, Tesis doctor 2002 5,2%* 5,2%*

    * Dari total kolonoskopi;

    ** Dari total kasus Kolitis;*** Dari total kasus diare kronik, berdarah dan nyeri perut

  • 8/17/2019 Konsensus IBD

    4/42

    4

    Konsensus Nasional Penatalaksanaan IBD di Indonesia 2011

    Dari data di Unit Endoskopi pada beberapa Rumah Sakit di

    Jakarta (RSCM, RS Tebet, RS Siloam Gleaneagles, RS Jakarta)

    didapatkan kesan bahwa kasus IBD terdapat pada 12,2% dari

    kasus yang dikirim dengan diare kronik, 3,9% dari kasus dengan

    hematokhezia, 25,9% dari kasus dengan diare kronik + berdarah +

    nyeri perut. Sedangkan pada kasus dengan nyeri perut didapatkan

    sebesar 2,8%.

    Tabel 2. Data IBD dari Total Kolonoskopi di Beberapa Rumah Sakit Nasional

    Sumber Data JumlahKolonoskopi

    IBD KU PC

    RSCM Tahun 2001 – 2006 1541 8,3% 5,4% 2,9%

    RSPAD Gatot Soebroto

    Tahun 2002 - 2006

    532 10,15% 6,95% 3,20%

    RS Hasan Sadikin,

    Bandung Tahun 2007

      192 9,89% 8,33% 1,56%

    RSUP Dr Sardjito,

    Yogyakarta Tahun 2007

      269 44% 23% 3,3%

    RSZA Banda Aceh Tahun

    2006 - 2007

      113 4,25% 2,55% 1,70%

    RSAB/PengCab PGI,

    Pekanbaru Tahun 2007

      325 5,23% 3,08% 2,15%

    RS Syaiful Anwar, Malang

    Tahun 2007

    364 17% 16% 1%

    RSUD Jambi, Tahun 2007 86 1,16% ? ?

    RS Usadha Insani,

    Tangerang Tahun 2007

    166 26,5% 16,3% 10,2%

    Pengambilan data berbagai Rumah Sakit di Jakarta dan Daerah

    dilakukan secara survey berdasarkan data endoskopi dimasing-

    masing rumah sakit tersebut . Dari data yang ada dapat disimpulkan

    bahwa sementara ini kasus KU cenderung terlihat lebih banyak

    daripada kasus PC. (lihat tabel 2)

  • 8/17/2019 Konsensus IBD

    5/42

    5

    Konsensus Nasional Penatalaksanaan IBD di Indonesia 2011

    2. Etio-Patogenesis

    Sampai saat ini belum diketahui etiologi IBD yang pasti maupun

    penjelasan yang memadai mengenai pola distribusinya. Konsepdasar patogenesis IBD dapat diilustrasikan seperti pada bagan di

    bawah ini.

    Bagan 1. Konsep dasar Patogenesis IBD

    Tidak dapat disangkal bahwa faktor genetik memainkan peranan

    penting dengan adanya kekerapan yang tinggi pada anak kembar dan

    adanya keterlibatan familial. Teori adanya peningkatan permeabilitas

    epitel usus, terdapatnya anti neutrophil cytoplasmic autoantibodies,

    peran nitric oxide dan riwayat infeksi (terutama M. paratuberculosis)

    banyak dikemukakan. Yang tetap menjadi masalah adalah hal

    apa yang mencetuskan keadaan tersebut. Defek imunologisnya

    kompleks, antara interaksi antigen eksogen, kemudahan masuk

    antigen (termasuk permeabilitas usus) dan kemungkinan disregulasi

    mekanisme imun pasien IBD. Secara umum diperkirakan bahwa

    proses patogenesis IBD diawali oleh adanya infeksi, toksin, produk

    bakteri atau diet intralumen kolon, yang terjadi pada individu yang

    rentan dan dipengaruhi oleh faktor genetis, defek imun, lingkungan,

    sehingga terjadi kaskade proses inflamasi pada dinding usus.

  • 8/17/2019 Konsensus IBD

    6/42

    6

    Konsensus Nasional Penatalaksanaan IBD di Indonesia 2011

    3. Gambaran Klinis

    Diare kronik yang disertai atau tanpa darah dan nyeri perut

    merupakan manifestasi klinik IBD yang paling umum denganbeberapa manifestasi ekstra intestinal seperti arthritis, uveitis,

    pioderma gangrenosum, eritema nodosum dan kolangitis. Disamping

    itu tentunya disertai dengan gambaran keadaan sistemik yang

    timbul sebagai dampak keadaan patologis yang ada seperti gangguan

    nutrisi. Gambaran klinis KU relatif lebih seragam dibanding PC. Hal

    ini disebabkan distribusi anatomik saluran cerna yang terlibat pada

    KU adalah kolon, sedangkan pada PC lebih bervariasi, yaitu dapat

    melibatkan atau terjadi pada semua segmen saluran cerna mulai

    dari mulut sampai anorektal.

     Perjalanan klinik IBD ditandai oleh fase aktif dan fase remisi.

    Fase remisi dapat disebabkan oleh pengobatan tetapi tidak jarang

    dapat terjadi secara spontan. Dengan perjalanan klinik IBD yang

    kronik-eksaserbasi-remisi, diusahakan suatu kriteria klinik sebagai

    gambaran aktifitas penyakit untuk keperluan pedoman keberhasilan

    pengobatan maupun penetapan fase remisi. Secara umum Disease

     Activity Index (DAI) yang didasarkan pada frekuensi diare, ada

    tidaknya perdarahan peranum, penilaian kondisi mukosa kolon pada

    pemeriksaan endoskopi serta penilaian keadaan umum (tanda-tanda

    vital, kesadaran, status gizi), dapat dipakai untuk maksud tersebut.

    Namun penetapan DAI ini belum ada dari PB PGI.

     Derajat klinik KU dapat dibagi atas berat, sedang dan ringan

    berdasarkan frekuensi diare, ada tidaknya demam, derajat berat-

    ringannya anemia yang terjadi dan LED (laju endap darah) sesuai

    Klasifikasi Truelove. Perjalanan penyakit KU dapat dimulai dengan

    serangan pertama yang berat atau dimulai dengan tampilan ringan

    yang bertambah berat secara gradual setiap minggu. Berat ringannya

  • 8/17/2019 Konsensus IBD

    7/42

    7

    Konsensus Nasional Penatalaksanaan IBD di Indonesia 2011

    serangan pertama sesuai dengan panjangnya kolon yang terlibat. Lesi

    mukosa bersifat difus dan terutama hanya melibatkan lapisan mukosa.

    Pada PC selain gejala umum diatas, adanya fistula merupakan

    hal yang karakteristik (termasuk perianal). Nyeri perut relatif lebih

    mencolok. Hal ini disebabkan oleh sifat lesi yang transmural sehingga

    dapat menimbulkan fistula dan obstruksi serta berdampak pada

    timbulnya bacterial overgrowth. Lihat tabel 3.

    Tabel 3. Gambaran Klinik IBD

    klinis Kolitis Ulseratif / KU Penyakit Crohn / PCDiare kronik

    Hematokhezia

    Nyeri perut

    Massa abdomen

    Fistulasi

    Stenosis/striktur 

    Keterlibatan usus halus

    Keterlibatan rektumEkstra-intestinal

    Megatoksik kolon

    ++

    ++

    +

    0

    +/-

    +

    +/-

    95%+

    +

    ++

    +

    ++

    ++

    ++

    ++

    ++

    50%+

    +/-

    Keterangan:  ++ Sering; + Kadang; +/- Jarang; 0 Tidak ada

    Tabel 4.Gambaran Patologis IBD

    Patologis Kolitis Ulseratif / KU Penyakit Crohn / PC

    Lesi bersifat segmental(ada skip area)

    Lesi bersifat transmural

    Granuloma

    Fibrosis

    Fistulasi

    Predileksi anatomik:

    Ileo-caecal

    Rektum

    0

    +/-

    0

    +

    +/-

    +/-

    ++

    ++

    +/++

    50%

    ++

    ++

    ++

    +/-

    Keterangan : ++ Sering; + Kadang; +/- Jarang; 0 Tidak ada

  • 8/17/2019 Konsensus IBD

    8/42

    8

    Konsensus Nasional Penatalaksanaan IBD di Indonesia 2011

     Adanya gambaran klinik IBD yang bervariasi ini, memerlukan

    pengetahuan yang cukup memadai untuk membedakannya dengan

    penyakit lain yang sering di Indonesia ( dan juga negara-negara

    berkembang lainnya) seperti kolitis infeksi dan Tbc usus. Gambaran

    klinis, bahkan radiologik dan endoskopik (lihat gambar 1 dan 2), sulit

    untuk membedakan PC dengan Tbc gastrointestinal yang mempunyai

    predileksi anatomik yang sama, yaitu di daerah ileo-caecal . Pemeriksaan

    histopatologikpun tidak jarang sulit untuk menyingkirkan penyakit

    infeksi kronik yang endemik ini (Apakah LED dapat membedakan?).

    Setelah mendapatkan diagnosis IBD, masuk dalam tahap berikutnya,yaitu membedakan apakah kolitis ulseratif (KU), penyakit Crohn (PC)

    atau untuk sementara dimasukkan dalam kategori Indeterminate

    colitis (IC) bila sulit dibedakan.

    Gambar 1. Mukosa Kolon pada KU Gambar 2. Mukosa Kolon pada PC

  • 8/17/2019 Konsensus IBD

    9/42

    9

    III. PENATALAKSANAAN IBD

    Di dalam rencana penatalaksanaan sesuai catatan medik

    berorientasi masalah (CMBM, atau POMR – problem oriented medical

    report ) disimpulkan tiga pendekatan pengelolaan kasus, meliputi

    rencana diagnostik (rencana penunjang diagnosis penyakit), rencana

    terapeutik (rencana pengobatan penyakit) dan rencana edukasional

    (pemberian informasi / penjelasan tentang situasi penyakit) yang

    secara simultan harus menjadi bagian penting kegiatan keseharian

    dokter dalam mengelola kasus. Untuk Konsensus Nasional Penata-Untuk Konsensus Nasional Penata-

    laksanaan IBD, pola ini dijadikan sebagai acuan.

    Sebagai ringkasan dan pedoman, dalam rangka memudahkan

    proses pemahaman alur diagnosis dan pengobatan (terapeutik),

    disusun pula rangkaian algorithma penatalaksanaan IBD.

    1. Rencana Diagnostik

    Umumnya, rencana penunjang diagnosis disimpulkan setelah

    anamnesis dan pemeriksaan fisik dilakukan dan berdasarkan temuan

    patofisiologi, patologi-anatomi serta etiologi sesuai pengkajian data

    kasus dan dipertimbangkan sesuai keperluan (tidak berlebih-lebihan)

    dalam rangka menyimpulkan masalah dan menegakkan diagnosis

    IBD. Penunjang diagnostik yang lazim untuk pengkajian / penegakan

    diagnosis IBD meliputi gambaran laboratorium, pemeriksaan

    radiologi, endoskopi, serta histo-patologi.

    1.1.Gambaran Laboratorium.  Umumnya tidak ada parameter

    laboratorium yang spesifik untuk IBD, sebagian besar hanya

    merupakan parameter proses inflamasi secara umum atau

  • 8/17/2019 Konsensus IBD

    10/42

    10

    Konsensus Nasional Penatalaksanaan IBD di Indonesia 2011

    dampak sistemik akibat proses inflamasi gastrointestinal

    yang mempengaruhi proses digesti / absorpsi. Adanya

    gambaran abnormalitas hemoglobin, lekosit, LED, trombosit,

    C-reactive protein (CRP), kadar besi serum dapat terjadi

    pada IBD dan pada semua kasus infeksi. Juga, tidak terdapat

    perbedaan yang spesifik antara gambaran laboratorium PC dan

    KU. Data laboratorium lebih banyak berperan untuk menilai derajat

    aktifitas penyakit dan dampaknya pada status nutrisi pasien.

    Penurunan kadar hemoglobin, hematokrit dan besi serum dapat

    menggambarkan derajat kehilangan darah lewat saluran cerna.Tingginya laju endap darah (LED) dan CRP yang positif meng-

    gambarkan aktifitas inflamasi, seta rendahnya kadar albumin

    mencerminkan status nutrisi yang rendah.

    1.2.Pemeriksaan Radiologi. Teknik pemeriksaan radiologi kontras

    ganda merupakan pemeriksaan diagnostik pada IBD yang

    saling melengkapi dengan endoskopi. Barium kontras ganda

    dapat memperlihatkan lesi striktur, fistulasi, mukosa yang iregulair,

    gambaran ulkus dan polip ataupun perubahan distensibilitas

    lumen kolon berupa penebalan dinding usus dan hilangnya

    haustrae. Interpretasi radiologik tidak berkorelasi dengan aktifitas

    penyakit. Pemeriksaan radiologik merupakan kontraindikasi pad

    KU berat karena dapat mencetuskan megakolon toksik. Fotopolos abdomen secara sederhana dapat mendeteksi adanya

    dilatasi toksik, yakni suatu penampakan lumen usus yang melebar

    tanpa material feses didalamnya. Untuk menilai keterlibatan usus

    halus dapat dipakai metoda enteroclysis yaitu pemasangan kanul

    naso-gastrik sampai melewati ligamentum Treitz sehingga barium

    dapat dialirkan secara kontinyu tanpa terganggu oleh kontraksi

  • 8/17/2019 Konsensus IBD

    11/42

    11

    Konsensus Nasional Penatalaksanaan IBD di Indonesia 2011

    pylorus. Peran CT-scan dan USG lebih banyak ditujukan kepada

    PC dalam mendeteksi adanya abses atau fistula.

    1.3.Pemeriksaan Endoskopi. Pemeriksaan endoskopi memainkanperanan paling penting dalam penegakan diagnosis dan terapi

    IBD. Akurasi diagnostik kolonoskopi pada IBD adalah 89%

    dengan 4% kesalahan dan 7% hasil meragukan. Gambaran

    patologis KU dan PC yang karakteristik per endoskopik dapat

    dilihat pada tabel 4. Per endoskopik pula, penilaian aktifitas

    kolitis ulseratif (KU) relatif mudah dengan menilai gradasi patologis

    IBD melalui berat-ringan lesi mukosa dan luasnya bagian usus

    yang terlibat (lihat tabel 5). Tetapi pada penyakit Crohn (PC),

    Tabel 5. Gambaran Lesi Endoskopik IBD

    Temuan KolonoskopiKolitis

    Ulseratif / KU

    Penyakit

    Crohn / PC

    Lesi Infamasi (hiperemia, ulserasi, dll)Bersifat kontinyu

     Adanya skip area (ada mukosa normal

    diantara lesi)

    Keterlibatan rektum

    Lesi mudah berdasar 

    Cobblestone appereance  (CSA) atau

    pseudopolip

    +++

    0

    +++

    +++

    +

    +

    +++

    +

    +

    +++

    Sifat Ulkus

    Terdapat pada mukosa yang inamasiKeterlibatan ileum

    Lesi ulkus bersifat diskrit

    +++0

    +

    +++++

    ++++

    Bentuk Ulkus

    Diameter > 1 cm

    Dalam

    Bentuk linier (longitudinal)

     Aphtoid

    +

    +

    +

    0

    +++

    +++

    +++

    ++++

    Keterangan :  0 = Tidak ada;  ++++sangat diagnostik (karakteristik)

  • 8/17/2019 Konsensus IBD

    12/42

    12

    Konsensus Nasional Penatalaksanaan IBD di Indonesia 2011

    hal terebut lebih sulit terlebih bila ada keterlibatan usus halus

    (tidak terjangkau oleh tehnik pemeriksaan kolonoskopik biasa),

    sehingga dipakai kriteria yang lebih spesifik, disebut Crohn’s

    Disease Activity Index (C-DAI) yang didasari oleh adanya

    penilaian demam, data laboratorium, manifestasi ekstra-intestinal,

    frekuensi diare, nyeri abdomen, fistulasi, penurunan berat badan,

    terabanya massa intra-abdomen dan rasa sehat pasien.

    1.4.Pemeriksaan Histo-patologi. Harus diakui bahwa, spesimen

    yang berasal dari operasi lebih mempunyai nilai diagnostik

    daripada spesimen yang diambil secara biopsi per endoskopik.

    Terlebih lagi bagi PC yang lesinya bersifat transmural sehingga

    tidak terjangkau oleh forcep biopsi. Gambaran untuk KU adalah

    adanya abses kripti, distorsi kripti, infiltrasi sel MN (mononukleus)

    dan PMN (polimorfonukleus) di lamina propria. Sedangkan pada

    PC adanya granuloma tuberkuloid (terdapat pada 20-40% kasus)

    merupakan hal yang karakteristik disamping adanya infiltrasi selmakrofag dan limfosit di lamina propria serta ulserasi yang dalam.

    Temuan molekular displasia pada mukosa dapat dihubungkan

    dengan adenoma atau carcinoma, yang merupakan hasil pro-

    vokasi keradangan kronik pada IBD.

      Secara praktis, alur proses diagnosis IBD didasarkan kepada:

    (1) Anamnesis yang akurat, adanya perjalanan penyakit yang

    akut disertasi eksaserbasi kronik-remisi, diare, kadang berdarah,

    nyeri perut, serta ada riwayat keluarga. (2) Gambaran klinis

    yang sesuai. (3) Data laboratorium yang menyingkirkan

    penyebab inflamasi lain, terutama untuk Indonesia adanya infeksi

    gastrointestinal. Eksklusi penyakit tbc sangat penting mengingat

    gambaran kliniknya sangat mirip dengan PC. Tidak ada parameter

    laboratorium yang spesifik untuk IBD. (4) Temuan endoskopik

  • 8/17/2019 Konsensus IBD

    13/42

    13

    Konsensus Nasional Penatalaksanaan IBD di Indonesia 2011

    yang karakteristik dan didukung konfirmasi histo-patologik. (5)

    Temuan gambaran radiologik yang khas. (6) Pemantauan per-

     jalanan klnik pasien yang bersifat akut-remisi-eksaserbasi kronik.

    Lihat bagan 2.

    Bagan 2. Alur Proses Diagnosis IBD

      Realitas permasalahan di Indonesia dalam hal temuan kasus

    baru (diagnosis kasus) IBD adalah tidak meratanya ketersediaanfasilitas penunjang diagnostik seperti endoskopi dan radiologi.

    Dalam keadaan demikian, selain faktor sistim rujukan, maka harus

    ditingkatkan kemampuan klinik dalam menegakkan diagnosis

    pereksklusionum untuk memperoleh temuan kasus baru (kasus

    terduga) IBD. Sebagian besar penyakit infeksi dapat disingkirkan/

    ditegakkan berdasarkan gambaran klinik dan laboratorium (atau

    radiologi) yang tersedia.

  • 8/17/2019 Konsensus IBD

    14/42

    14

    Konsensus Nasional Penatalaksanaan IBD di Indonesia 2011

      Sistim rujukan ideal diharapkan dapat mengatasi proses

    diagnosis IBD secara efisien dan efektif. Tetapi kenyataan di lapangan

    hal ini masih jauh dari harapan. Selain melengkapi sarana penunjang

    diagnostik, maka secara bertahap harus ada peningkatan

    pengetahuan mengenai IBD dan kewaspadaan akan keberadaannya

    dalam populasi praktek sehari-hari, sehingga bila sistim rujukan

    dapat dilaksanakan terjadi peningkatan pelayanan kesehatan

    yang diharapkan.

    Disini pentingnya peran pelayanan kesehatan lini pertama

    dalam menjaring temuan kasus baru IBD (case finding ). Tetapi selaindiberikannya pengetahuan dan keterampilan dalam proses

    diagnosis IBD, tentunya juga harus dibekali pengetahuan dan

    kewenagan dalam proses pengobatan terutama bila kasus

    tersebut tidak dapat dirujuk untuk proses diagnosis definitif.

    Perannya suatu konsensus profesi adalah untuk mengayomi hal

    itu agar dalam penatalaksanaan dapat dipertanggung-jawabkan

    kaedah ilmiahnya walaupun terdapat keterbatasan dalam sarana

    penunjang diagnostik.

    Gambaran/perjalanan klinis, data laboratorium dan beberapa

    data penunjang diagnostik pada prinsipnya dapat membawa

    dokter kearah suatu diagnosis kerja (dalam CMBM disebut

    sebagai simpulan/rumusan masalah) yang diawali dari kasus

    terduga IBD ( possible IBD), masalah (diagnosis kerja) IBD serta

    berakhir sebagai diagnosis definitif IBD.

    Secara konseptual alur diagnosis pada pelayanan lini pertama

    ( primary care) dapat disederhanakan seperti pada bagan 3

    di bawah dan bagan 4 pada lini kedua (secondary care) dimana

    sarana diagnostik endoskopi belum tersedia tetapi saran penunjang

    lainnya sudah ada.

  • 8/17/2019 Konsensus IBD

    15/42

    15

    Konsensus Nasional Penatalaksanaan IBD di Indonesia 2011

    Bagan 3. Temuan Kasus Baru (Case Finding ) IBD di Pelayanan Kesehatan Lini

    Pertama (Primary Care)

    Bagan 4. Temuan Kasus Baru (Case Finding ) IBD di Pelayanan Kesehatan Tingkatkedua (Secondary Care)

      Pada pelayanan tingkat ketiga (tertiary referal cases finding )

    dimana pasien dengan masalah IBD dirujuk kepusat pelayanan

    medis di RS dengan ketersediaan sarana diagnostik endoskopi

    lengkap, polanya dapat sampai menegakkan diagnosis definitif

    IBD, lihat bagan 5.

  • 8/17/2019 Konsensus IBD

    16/42

    16

    Konsensus Nasional Penatalaksanaan IBD di Indonesia 2011

    2. Rencana Terapeutik

    Rencana terapeutik lebih ditekankan kepada penghambatan

    kaskade proses inflamasi (kalau tidak dapat dihilangkan sama sekali)

    karena etiologi dan patogenesis IBD belum jelas, mengacu kepada

    konsep pengobatan umum serta prinsip terapi medikamentosa

    pada IBD, yakni : (1) Mengobati keradangan aktif IBD dengan cepat

    sampai tercapai remisi; (2) Mencegah keradangan berulang dengan

    mempertahankan remisi selama mungkin; dan (3) Mengobati serta

    mencegah komplikasi.Pada pelayanan primer dan sekunder, dimana sarana endoskopi

    belum dimiliki, diagnosis pasti sebagai dasar pengobatan definitif

    tidak dapat ditegakkan, sehingga dibutuhkan suatu pedoman

    empirik yang bisa mengarahkan pengobatan kesasaran yang sesuai.

    Untuk hal itu diperlukan algoritma yang dapat diterima oleh semua

    komponen yang terlibat. Sedangkan tindakan bedah dipertimbangkan

    pada tahap akhir bila medikamentosa mengalami kegagalan atau

    Bagan 5. Temuan Kasus Baru (Case Finding ) IBD di Pelayanan Kesehatan Tingkat

    Tiga (Tertiary Care)

  • 8/17/2019 Konsensus IBD

    17/42

    17

    Konsensus Nasional Penatalaksanaan IBD di Indonesia 2011

    komplikasi tak teratasi berupa perforasi usus yang terlibat, perdarahan

    persisten, stenosis usus fibrotik, obstruksi, degenerasi maligna (risiko

    terjadinya kanker pada IBD lebih kurang 13%), ataupun megakolon

    toksik terutama pada KU.

    2.1. Pengobatan Umum

     Dilatar-belakangi oleh dasar berfikir, bahwa dugaan adanya

    faktor/agen proinflamasi dalam bentuk bakteri intralumen usus dan

    komponen diet sehari-hari yang dapat mencetuskan proses inflamasikronik pada kelompok yang rentan, harus dieliminasi dengan berbagai

    cara tindakan.

    Rencana Tindakan, dapat dipertimbangkan beberapa langkah

    berikut :

    2.1.1. Pemberian antibiotik/khemoterapeutik: Metronidazole cukup

    banyak diteliti dan bermanfaat pada PC dalam menurunkan

    derajat aktitas penyakitnya dalam keadaan aktif, jika diberikan

    dalam dosis terbagi 1500 – 3000 mg/hari. Pada KU jarang

    diberikan antibiotik sebagai terapi terhadap agen inamasi.

    2.1.2. Lavase usus, dapat dengan ca iran fisiologis maupun

    eksperimen dengan sukralfat cair.

    2.1.3. Mengikat produksi bakteri, dikatakan berbagai jenis probiotik

    ada perannya disini.

    2.1.4. Mengistirahatkan kerja usus, dan atau dengan perubahan pola

    diet. Disamping beberapa konstituen diet yang harus dihindari

    karena dapat mencetuskan serangan (seperti wheat, cereal

    yeast dan produk peternakan), terdapat pula konstituen yang

    bersifat antioksidan yang dalam penelitian dilaporkan ber

    manfaat pada kasus IBD, yaitu glutamin dan asam lemak rantai

    pendek.

  • 8/17/2019 Konsensus IBD

    18/42

    18

    Konsensus Nasional Penatalaksanaan IBD di Indonesia 2011

    2.2 Pengobatan Keradangan Aktif 

     Ada berbagai golongan obat yang dapat berperan dalam meng-

    obati keradangan aktif IBD dengan tujuan menginduksi remisi secepatmungkin. Golongan obat tersebut adalah kortikosteroid dan asam

    amino salisilat.

    2.2.1. Obat Golongan Kortikosteroid

     Dilatar-belakangi oleh dasar berfikir, bahwa sampai saat ini obat

    golongan glukokortikoid masih merupakan obat pilihan untuk IBD

    derajat sedang dan berat dalam fase keradangan aktif. Kortikosteroid

    konvensional peroral sangat efektif untuk induksi cepat remisi klinis

    tetapi tidak berperan didalam mempertahankan remisi. Pada keadaan

    berat diberikan steroid parenteral. Untuk mempertahankan remisi,

    dosis kortikosteroid diturunkan bertahap (tappered off slowly ) meng-

    ikuti introduksi obat-obat immuno-modulators / imunosupresif. Rencana bertindak diawali dengan : (a) Memilih Obat: Secara

    konvensional, prednison, metilprednisolon atau steroid enema masih

    menjadi pilihan yang sering karena murah dan mudah dijangkau.

    Preparat budesonide  (Budenofalk)   dipakai untuk memperoleh

    tujuan konsentrasi steroid yang tinggi pada dinding usus, dengan

    efek sistemik (dan efek sampingnya) yang rendah, khususnya pada

    pengobatan IBD di daerah ileum terminalis dan colon ascendens

    baik dalam bentuk preparat oral lepas lambat ataupun enema.

    (b) Mempertimbangkan dosis. Dosis rata-rata yag banyak digunakan

    untuk mencapai fase remisi adalah setara dengan 40-60 mg

    prednison, atau setara prednisolon dalam rentang dosis 0,5 – 1,0

    mg/kgbb. Tindakan terapi kemudian tappering off dose setelah remisi

    yang tercapai dalam waktu 8-12 minggu.

  • 8/17/2019 Konsensus IBD

    19/42

    19

    Konsensus Nasional Penatalaksanaan IBD di Indonesia 2011

    2.2.2. Obat Golongan Asam aminosalisilat

    Dilatar-belakangi oleh dasar berfikir, bahwa preparat sulfasalazin

    merupakan obat yang sudah lama dan mapan dipakai dalampengobatan IBD, terdiri dari gabungan sulfapiridin dan aminosalisilat

    dalam ikatan azo yang dalam usus dipecah menjadi sulfapiridin dan

    mesalazine / 5-acetil salicylic acid / 5-ASA. Telah diketahui bahwa

    yang berperan sebagai anti-inflamasi / antiradang adalah mesalazine

    atau 5-ASA ini. Efek samping 5-ASA murni lebih kecil dibanding

    Sulfasalazin (terdapat pada unsur sulfapiridin), sedangkan efektifitas

    relatif sama dalam pengobatan IBD.

     Rencana tindakan : (a) Preparat 5-ASA murni atau derivatnya

    (olsalazine: ikatan bersama dua molekul mesalazine) lebih diutama-

    kan dibanding mesalazine yang terikat molekul pembawa (carrier

    molecule: sulfasalazine dan blasalazide), karena dapat dilepas lambat

    pada pH > 5 (dalam lumen usus halus/ileum terminalis dan kolon

    proksimal) serta lebih efektif dalam penggunaan oral (coated ) maupunrektal (foam-enema / suppository ). (b) Dosis rata-rata 5-ASA untuk

    mencapai remisi adalah 2-4 gram/hari. Setelah remisi tercapai –

    yang umumnya setelah 16-24 minggu – diberikan kemudian dosis

    pemeliharaan yang bersifat individual.

    Terapi jangka panjang 5-ASA dapat pula mencegah terjadinya

    kanker kolorektal – dengan cara apoptosis dan menurunnya proliferasi

    mukosa kolorektal – pada IBD.

    2.3. Pengobatan Pencegahan Keradangan Berulang

    Upaya pengobatan pencegahan keradangan berulang IBD adalah

    dengan mempertahankan masa remisi selama mungkin melalui dosis

    pemeliharaan 5-ASA yang bersifat individual atau melalui introduksi/

  • 8/17/2019 Konsensus IBD

    20/42

    20

    Konsensus Nasional Penatalaksanaan IBD di Indonesia 2011

    substitusi obat steroid pada fase keradangan akut dengan obat-obat

    Golongan Imunosupresif (Immunomodulators), Anti-tumour necrosis

    antibody  dan Probiotik. Selanjutnya dapat pula dilengkapi dengan

    memperbaiki life style (gaya hidup) individual yang lebih sesuai untuk

    menghambat kondisi perkembangan patogenesis IBD.

    2.3.1. 5-ASA/Mesalazine

    Komponen 5-Aminosalicylic acid (5-ASA)  dari sulfasalazine

    (aminosalicylates) dikenal dalam berbagai merk dagang yang cukuppopuler. Di Indonesia paling banyak dipakai Salofalk yang mem-

    punyai 4 sediaan Salofalk tablet 500 mg, 250 mg, Enema 4g/ 60 ml

    serta supositoria 500 mg, disamping itu ada Pentasa dan Asacol (dari

    Singapura). Untuk dosis pemeliharaan (maintenance doses) diberikan

    1,5-3,0 gram/hari. Untuk kasus-kasus usus bagian kiri/distal, dapat

    diberikan mesalazine/5-ASA suppositoria atau enema. Tapi untuk

    kasus yang berat, preparat 5-ASA (mesalazine) saja biasanya tidak

    cukup adekwat.

    2.3.2. Immunomodulators (Obat Golongan Imunosupresif)

     Ada berbagai preparat yang biasa dipakai untuk kelompok ini,

    yakni: Azathioprine dan 6-mercaptopurine (6-MP), Cyclosporine,Methotrexate dan golongan antibiotik tertentu yang memiliki efek

    imunomodulasi.

     Azathioprine atau metabolit aktifnya 6-MP, memerlukan waktu

    pemberian 2-3 bulan sebelum memperlihatkan efek terapeutiknya.

    Umumnya sebagai introduktor/substituensi pada kasus-kasus steroid

    dependent  atau refrakter (steroid refractory IBD patients). Umumnya

    dosis initial 50 mg sampai tercapai efikasi substitusi, kemudian

  • 8/17/2019 Konsensus IBD

    21/42

    21

    Konsensus Nasional Penatalaksanaan IBD di Indonesia 2011

    dinaikkan bertahap 2,5 mg/kgbb untuk azathioprine atau 1,5 mg/

    kgbb untuk 6-MP. Efek samping yang sering, meliputi nausea dan

    dispepsia, lekopenia, limfoma, hepatitis dan pankreatitis.

    Siklosporin intravena dapat dipakai sebagai penatalaksanaan

    akut dari kasus KU-refrakter steroid berat dengan keberhasilan bisa

    mencapai 50%-80%. Pada kasus PC-fistulated , dapat menutup

    secara cepat. Sayangnya, konversi ke dosis oral sering menyebabkan

    relapses pada banyak kasus. Efek samping yang sering muncul

    adalah nefrotoksisitas, fits (?) dan infeksi oportunistik (Pneumocystis

    carinii pneumonia).Methotrexate dikenal sebagai preparat yang efektif untuk

    kasus PC-steroid dependent  dan terakhir dikenal sangat baik untuk

    mempertahankan remisi pada KU. Untuk induksi diberikan 25 mg

    secara parenteral per minggu (sc atau im) sampai selesai tappered

    off steroid  selesai, kemudian dosis pemeliharaan dipertimbangkan

    pada batas tidak terjadi efek samping yang berhubungan dengan

    efek imunosupresi seperti munculnya pneumonia interstitialis dan

    atau fibrosis hati. Biasanya respons efektifitas klinis akan terlihat

    dalam beberapa minggu.

    2.3.3. Agen Biologik, Antibiotik dan Probiotik

    Beberapa obat anti-tumor (dikenal juga sebagai ‘biologic agents’)

    akhir-akhir ini banyak dicobakan kepada IBD, seperti Infliximab

    dengan efek anti-tumour necrosing factor  (anti-TNF) dan beberapa

    lagi lainnya (adalimumab, certolizumab) yang sedang dikembangkan

    dalam clinical trials. Umumnya diindikasikan untuk kasus PC fistulated  

    sedang dan berat (refrakter steroid). Secara ekonomik, masih sangat

    mahal namun kedepan diharapkan golongan preparat ini lebih affordable 

    (memiliki kemampuan) menuntaskan masalah terapi IBD.

  • 8/17/2019 Konsensus IBD

    22/42

    22

    Konsensus Nasional Penatalaksanaan IBD di Indonesia 2011

    Peran antibiotik umumnya tidak ada untuk antimicrobial per se,

    namun sebagai efek imunomodulasi dapat dicobakan. Metronidazol

    dan siprofloksasin secara sendiri atau kombinasi keduanya dapat

    diberikan dan efektif pada PC-perianal. Sebaliknya, flora enterik

    memegang peran dalam patogenesis radang usus non-infeksi

    (RUNI). Dengan dasar itu, banyak penelitian dapat menerima pro-

    biotik sebagai salah-satu modalitas terapi IBD, terutama untuk KU

    tipe pembentukan keradangan kantong iliaka (ileal pouch formation,

     pouchitis).

    2.3.4. Memperbaiki Gaya hidup

    Tidak dapat disangkal bahwa merokok dan kehidupan dengan

    risiko-tinggi, seperti pada penderita HIV-AIDS merupakan

    predisposisi patogenesis IBD disamping gizi buruk (malnutrition).

    Risiko rekurensi IBD meningkat dua kali lipat pada smokers, merokok

     juga menurunkan efektifitas infliksimab. Pada penderita HIV-AIDS,

    penurunan daya tahan tubuh menyebabkan proses keradangan akan

    semakin meningkat dan juga mengundang infeksi oportunistik.

    Memperbaiki gaya hidup membutuhkan kerjasama yang paripurna

    dari segenap unsur yang terlibat.

    2.4. Pengobatan Pencegahan Komplikasi

    Beberapa faktor penting yang berperan dan terlibat langsung

    adalah : Nutrition, Surgery, Health-mentally Social Working Group.

    Nutrisi yang baik sangat berarti pada penatalaksanaan IBD.

    Konsultan Gizi (Dietitian) perlu terlibat aktif memacu perbaikan

    kondisi malnutrisi (osteoporosis, defisiensi besi) dengan mensuportasi

    suplemen-mineral dan vitamin (terutama kalsium, zat besi, vit D

  • 8/17/2019 Konsensus IBD

    23/42

    23

    Konsensus Nasional Penatalaksanaan IBD di Indonesia 2011

    dan B12). Perubahan diet termasuk memperbaiki/mengurangi diet

    laktosa dan fruktosa untuk mencegah diare serta diet rendah serat

    untuk mencegah perburukan PC-strictures and intestinal narrowing .

    Begitu juga dengan kelompok pekerja sosial-kesehatan, yang secara

    psikologis mampu memberikan dukungan yang sesuai dan layak.

    Pasien KU berat umunya disertai oleh buang air besar berdarah

    (hematokhezia) yang sering berulang (10-15 kali/hari), dihubungkan

    dengan kehilangan berat badan, dehidrasi, demam dan anemia

    berat. Untuk keadaan demikian dibutuhkan perawatan rumah sakit

    (admission to hospital ) karena KU bisa secara progresif mengalamikomplikasi megakolon toksik, obstruksi intestinal, perforasi dan

    kematian. Tujuan perawatan RS adalah untuk pengobatan segera

    dan pengendalian resusitasi cairan, mengistirahatkan kolon, suportasi

    nutrisi dalam bentuk TPN (total parenteral nutrisi), pemberian

    kortikosteroid intravena, obat-obat lain, bahkan mungkin persiapan

    untuk pertimbangan prosedur bedah cito (tabel 5). Demikian pula

    dengan PC, indikasi rawat inap di RS sama seperti KU, disamping

    dapat pula akibat adanya fistula dan abses perianal.

    2.5. Prosedur Bedah

    Indikasi bedah dan kerjasama dengan tim bedah digestif di-

    perlukan untuk kasus-kasus refrakter (lebih dari 15% kasus IBD)

    dan complicated . Hal ini perlu dipertimbangkan sejak awal dalam

    rangka memperbaiki kualitas  hidup pasien. Untuk kasus-kasus KU,

    disamping terapi steroid intravena, lebih dari 25% kasus complicated  

    akhirnya harus menjalan i prosedur bedah emergensi.

    Melihat tingginya prevalensi kasus refrakter dan fulminant  pada IBD

    yang akhirnya memerlukan tindakan bedah cito, maka pertimbangan

    prosedur bedah memang harus difikirkan sejak awal melakukan

  • 8/17/2019 Konsensus IBD

    24/42

    24

    Konsensus Nasional Penatalaksanaan IBD di Indonesia 2011

    pengkajian kasus-kasus IBD. Beberapa prosedur bedah yang perlu

    dipertimbangkan dapat dilihat pada tabel 6 dibawah ini.

    Tabel 6.Prosedur Bedah Untuk IBD.*/

    Kolitis Ulseratif 

    Kolektomi dan ‘Ileal Pouch Formation’ 

    Proktokolektomi dengan Ileostomi

    Kolektomi dengan Ileorektal anastomosis

    Penyakit Crohn

    Duodenal disease

    Small bowel disease

    Colorectal disease

    Severe anorectal disease

    Strikturoplasti, duodenojejunostomi

    Dilatasi balloon per endoskopi

    Fistulas: reseksi dan anastomosis segmenyang rusak

    Strictures : reseksi,strikturoplasty atau

    dilatasi balon

    Kolektomi segmental untuk penyakit-

    penyakit terbatas

    Proktokolektomi untuk penyakit-penyakit

    difus dan ekstensif 

    Reseksi abdominoperineal dengan end-

    colostomy permanen.

    */ Disarikan dari rujukan no. 18 dan 22.

    3. Rencana Edukasional

    Secara komprehensif dan simultan, penatalaksanaan IBD harusdimengerti  oleh pasien dan keluarganya. Oleh karena itu, pemahaman

    terhadap kasus dan proses diagnostik dan terapeutik yang direncanakan

    serta yang dilakukan, harus senantiasa diinformasikan kepada dan

    dengan persetujuan  pihak pasien dan keluarganya. Termasuk disini

    proses informed consent  dan patient safety. Dalam edukasi pasien

    dan keluarga ini juga disampaikan tentang komplikasi yang mungkin

    terjadi akibat perjalanan penyakit yang kronik-eksaserbasi, serta

  • 8/17/2019 Konsensus IBD

    25/42

    25

    Konsensus Nasional Penatalaksanaan IBD di Indonesia 2011

    prognosis penyakit  yang pada dasarnya banyak dipengaruhi oleh

    ada tidaknya komplikasi serta tingkat respon terhadap pengobatan

    konservatif.

     Sebagai implikasi klinis suatu komplikasi kemungkinan tindakan

    bedah harus pula diinformasikan sejak awal dan apabila intevensi

    bedah akan dimulai, seharusnya persiapan tindakan berupa

    konsultasi toleransi  operasi termasuk informed consent tertulis

    sudah dikerjakan.

    4. Rencana Evaluasi

    Evaluasi dimaksudkan sebagai kontrol terhadap tiga konsep

    diagnostik, terapeutik dan edukasi diatas. Secara umum tiga

    konsep diatas dikenal sebagai konsep penatalaksanaan, dimana

    pada pelayanan kesehatan primer (lini pertama), dapat di ringkas

    dalam bentuk algoritma seperti pada bagan 6, 7 dan 8 berikut ini.

     Algoritma  untuk penatalaksanaan temuan kasus baru (case

    finding ) IBD digambarkan seperti pada bagan 6, sedangkan untuk

    penatalaksanaan kasus lama atau hasil rujukan dari sentra yang

    lebih tinggi dengan diagnosis kerja yang telah disimpulkan , dapat

    dipedomani dari algorithma bagan 7 dan 8.

  • 8/17/2019 Konsensus IBD

    26/42

    26

    Konsensus Nasional Penatalaksanaan IBD di Indonesia 2011

    Bagan 6. Algorithma Penatalaksanaan Temuan Kasus Baru (Diagnosis Terduga)

    IBD di Pelayanan Kesehatan

    Bagan 7. Algorithma Rencana Terapeutik Kolitis Ulseratif di Pelayanan Kesehatan

    Lini Pertama (Primary Care)

  • 8/17/2019 Konsensus IBD

    27/42

    27

    Konsensus Nasional Penatalaksanaan IBD di Indonesia 2011

    Bagan 8. Algorithma Rencana Terapeutik Penyakit Crohn di Pelayanan Kesehatan

    Lini Pertama (Primary Care)

  • 8/17/2019 Konsensus IBD

    28/42

    28

    IV. PENUTUP

    Sebagai penutup, dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut.

     Diagnosis klinik, radiologik dan endoskopik pada kasus klasik1.

    IBD yang dilaksanakan oleh sentra pelayanan kesehatan yang

    lengkap adalah relatif mudah.

      Keterbatasan atau tidak meratanya ketersediaan sarana2.

    penunjang diagnosis endoskopik dan histo-patologi di sentra

    pelayanan kesehatan di Indonesia akan mempersulit untuk

    menyingkirkan diagnosis banding.

     Dengan pembekalan pengetahuan dan keterampilan klinik yang3.

    memadai dapat meningkatkan temuan kasus baru terduga IBD,

    yang kemudian diharapkan dengan sistim rujukan yang baik akan

    dapat ditindak-lanjuti baik dari segi diagnosis maupun peng-

    obatannya. Untuk kemudian dilakukan rujukan balik agar tingkat

    pelayanan kesehatan menjadi lebih esien dan efektif.

     Tujuan pengobatan IBD adalah memacu dan mempertahankan4.

    remisi dan mencegah konsekuensi-komplikasi jangka panjang

    keradangan gastrointestinal. Hal ini umumnya didapat dengan

    pengobatan konservatif-medikamentosa disamping perbaikan

    gaya hidup, namun harus dihindari pemakaian kortikosteroid

     jangka panjang. Untuk IBD berat dan refrakter, penatalaksanaandapat secara powerful  menggunakan obat-obat baru seperti agen

    biologik (anti-TNF) dan probiotik.

      IBD adalah penyakit kronik dan kompleks. Penatalaksanaan5.

    yang paling baik adalah dengan pendekatan multidisipliner

    antara Dokter Umum (di Pelayanan Primer) dengan Konsulen

    Gastroentero-Hepatologi, Dokter Bedah-digestive dan Dietitian 

    di sentra pelayanan spesialistik/lengkap.

  • 8/17/2019 Konsensus IBD

    29/42

    29

    RUJUKAN

    Daldiyono, Dharmika Djojoningrat. IBD: Hospital based data and endo-1.scopic assessment ofdisease activity in Jakarta Indonesia. J GastroenterolHepatol 2000;15:B10

    Djojoningrat D. Penyakit Inamasi Kolon di RSUPN Cipto Mangunkusumo2. Jakarta. Dalam: Akil HAM ed. Pertemuan Ilmiah VIII PPHI dan KonasPEGI – PGI 1995. Yayasan Masa Depan, 1995:277-85.

    Djojoningrat D. IBD di Indonesia: Kekerapan rendah atau faktor prosedur3.diagnosis. Dalam: Acang N, Nelwan RHH eds. Buku Abstrak KOPAPDIX Padang,1996.

    Egan LJ. Advances in the treatment o Crohn’s disease. Gastroenterology4.2004;126:1574-81.

    Goebell H. Different activity index in Crohn’s disease. In Goebell H.5.Eds. IBD Basic Reseach and Clinical Application. Lancester, MPT Press;1988:253-8

    Greenberg GR. Oral budesonide as maintenance treatment for Crohn’s6.disease. Gastroenterology 1996;110:45-51.

    Hanuer SB. Medical therapy for ulcerative colitis 2004. Gastroenterology7.2003;126:1582-92.

    Hommes DW. Endoscopy in IBD. Gastroenterology 2004;126:1561-73.8.

    Loftus EV. Clinical epidemiology of IBD. Gastroenterology 2004;126:1504-9.17.

    Pera A. Colonoscopy in IBD: Diagnosis accuracy and proposal of an10.endoscopic score. Gastroenterology 1987;92:181-5.

    Podolsky DK. Inammatory Bowel Disease. N Eng J Med 2002;347:417-11.29.

    Paunders RE. The Pathogenesis of IBD. Scan J Gastroenterol12.1994;29:11-5.

    Sands BE. From symptoms to diagnosis: Clinical distinctions among various13.forms of intestinal inammation. Gastroenterology 2004;126:1518-32.

    Shivananda S. Incidence of IBD across Europe. Gut 1996;39::690-7.14.

    Stenson WF, Korzenik J. Inammatory Bowel Disease. In: Yamada T, ed.15.Text book of Gastroenterology. Philadelphia. JB Lippincott Company,2003:1699-1759.

    Sartor RB. Mechanisms of Disease: Pathogenesis of Crohn’s Disease and16.

    Ulcerative Colitis. Nat Clin Pract Gastroenterl Hepatol. 2006;3(7):390-407.@2006 Nature Publishing Group Posted 07/12/2006

  • 8/17/2019 Konsensus IBD

    30/42

    30

    Konsensus Nasional Penatalaksanaan IBD di Indonesia 2011

    Ooi Choon-Jin. Inammatory Bowel Disease. In: Guan R, Ho KY, Merican17.I, et al. Management of Common Gastroenterological Problems A Malaysiaand Singapore Perspective. Ezyhealth (Singapore) Pte Ltd. Fourth Edition,2006;11:116-22.

    Chin BW, Grimm MC, Connor SJ, et al. Managing Inammatory Bowel18.Disease. Continuing Medical Education. Medical Progress March2008:141-7.

    Rhodes JM. Inammatory bowel disease-related cancer – just the same as19.sporadic? – Pro. In: Gasche C, Gutierrez JMH, Gassull M, et al. IntestinalInammation and Colorectal Cancer. Proceedings of Falk Symposium 158.Seville, Spain, 2007;I(6):85-91.

    Velayos FS. Can we prevent inammatory bowel disease-related colorectal 20.cancer with 5-ASA, azathioprine or 6-MP? The Clinical evidence. In:Gasche C, Gutierrez JMH, Gassull M, et al. Intestinal Inammation andColorectal Cancer. Proceedings of Falk Symposium 158. Seville, Spain,2007;V(15):193-200.

    Bos CL, Richel DJ, Peppelenbosch. Mesalazine and the prevention of21.colorectal cancer in IBD. In: Gasche C, Gutierrez JMH, Gassull M, etal. Intestinal Inammation and Colorectal Cancer. Proceedings of FalkSymposium 158. Seville, Spain, 2007;VI(19):226-35.

    Baratsis S. The surgical approach for refractory ulcerative colitis. In: Tozon22.N, Mantzaris G, Scholmerich J. IBD 2007 – Achievements in Reseach andClinical Practice. Proceeding of Falk Symposium 159, Istanbul, Turkey,2007;VIII(28):272-8 .

    Ari FS, Murdani A, Manan C, et al. Characteristics of Ulcerative Colitis23.and Crohn’s Disease in Cipto Mangunkusumo Hospital Period July 2001– June 2006. In: Marcellus S, Murdani A, Ari FS. (Eds.). Proceeding The4th International Endoscopy Workshop and International Symposium OnDigestive Disease. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit DalamFKUI Jakarta, April 2008:115-6 (Poster Session).

    Sudomo U, Lelosutan HSAR, Manan C, et al. The Pro�le of Lower Gastro-The Pro�le of Lower Gastro-24.intestinal Bleeding Patients Who Underwent Colonoscopy In Central ArmyHospital Gatot Soebroto. Poster Session on 2th Scienti�c Meeting CISHMSChina 2008, Chongqing International Convention Center – ChongqingChina, 7-8 Mei 2008.

    Bernstein CN, Fried M, Krabshuis JH, et al. World Gastroenterology25.Organization Practice Guidelines for the Diagnosis and Management ofIBD in 2010. Inamm Bowel Dis. Volume 16. Number 1, January 2010.

  • 8/17/2019 Konsensus IBD

    31/42

    31

    No Nama Cabang Tanda Tangan

    1Prof. Dr. dr. Hernomo O. K, Sp.PD-

    KGEHSurabaya

    2 Prof. dr. Si Nurjanah, SpPD-KGEH Yogyakarta

    3dr. H. Chudahman Manan, SpPD-

    KGEHJakarta

    4dr. H. Syafruddin A.R. Lelosutan,

    Sp.PD-KGEH, MARSJakarta

    5 dr. Leonardo Dairy, Sp.PD-KGEH Medan

    6 dr. Fauzi Yusuf, Sp.PD-KGEH Banda Aceh

    7dr. Sutanto Maduseno, SpPD-

    KGEHYogyakarta

    8 dr. T Yuli Pramana, SpPD-KGEH Surakarta

    9 dr. Herry Purbayu, SpPD-KGEH Surabaya

    10 dr. I G A Suryadarma, SpPD Denpasar

    11 dr. B.J. Waleleng, Sp.PD-KGEH Manado

    DAFTAR HAD IR

    KELOMPOK STUDY INFLA MMATORY BOWEL DISEASE  

    DI INDONESIA (KSIBDI)

  • 8/17/2019 Konsensus IBD

    32/42

    32

    Konsensus Nasional Penatalaksanaan IBD di Indonesia 2011

    12 dr. AY Haryanto, SpPD-KGEH Yogyakarta

    13 dr. Hery Djagat Purnomo, SpPD Semarang

    14 dr. Bogi Pratomo, SpPD Malang

    15 dr. Arnelis, SpPD Padang

    16 dr. Salius Silih, SpPD Bengkulu

    17 dr. Vidi Orba Busro, SpPD Palembang

    18 dr. Ali Imron Yusuf, SpPD Bandar Lampung

    19 dr. Lianda Siregar, SpPD Samarinda

    20 dr. Yustar Mulyadi, SpPD Ponanak

    21 dr. Fardah Akil, SpPD Makassar

    22 dr. Ummi Maimunah, SpPD Surabaya

  • 8/17/2019 Konsensus IBD

    33/42

    33

  • 8/17/2019 Konsensus IBD

    34/42

    34

  • 8/17/2019 Konsensus IBD

    35/42

    35

  • 8/17/2019 Konsensus IBD

    36/42

    36

  • 8/17/2019 Konsensus IBD

    37/42

    37

  • 8/17/2019 Konsensus IBD

    38/42

    38

  • 8/17/2019 Konsensus IBD

    39/42

    39

  • 8/17/2019 Konsensus IBD

    40/42

    40

  • 8/17/2019 Konsensus IBD

    41/42

    41

  • 8/17/2019 Konsensus IBD

    42/42

    Konsensus Nasional Penatalaksanaan IBD di Indonesia 2011