Kongres Bahasa Indonesia Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas Belum Diperiksa Kongres Bahasa Indonesia adalah pertemuan rutin 5 tahunan yang diadakan oleh pemerintah dan praktisi bahasa dan sastra Indonesia untuk membahas Bahasa Indonesia dan perkembangannya. Kongres ini pertama kali diadakan di kota Solo pada tahun 1938 . Pada mulanya kongres diadakan untuk memperingati hariSumpah Pemuda yang terjadi pada tahun 1928 , selanjutnya ajang ini tidak hanya untuk memperingati Sumpah Pemuda tetapi juga untuk membahas perkembangan bahasa dan sastra Indonesia dan rencana pengembangannya Suasana Kongres Bahasa Indonesia ke VI di Hotel Indonesia Jakarta Daftar isi [sembunyikan ] 1 Sejarah Kongres Bahasa Indonesia 2 Keputusan-keputusan penting o 2.1 Kongres Bahasa Indonesia I o 2.2 Kongres Bahasa Indonesia II o 2.3 Kongres Bahasa Indonesia III o 2.4 Kongres Bahasa Indonesia IV o 2.5 Kongres Bahasa Indonesia V o 2.6 Kongres Bahasa Indonesia VI o 2.7 Kongres Bahasa Indonesia VII o 2.8 Kongres Bahasa Indonesia VIII o 2.9 Kongres Bahasa Indonesia IX 3 Lihat pula 4 Referensi
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Kongres Bahasa IndonesiaDari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Belum Diperiksa
Kongres Bahasa Indonesia adalah pertemuan rutin 5 tahunan yang diadakan oleh pemerintah dan praktisi bahasa dan sastra Indonesia untuk membahas Bahasa Indonesia dan perkembangannya. Kongres ini pertama kali diadakan di kota Solo pada tahun 1938. Pada mulanya kongres diadakan untuk memperingati hariSumpah Pemuda yang terjadi pada tahun 1928, selanjutnya ajang ini tidak hanya untuk memperingati Sumpah Pemuda tetapi juga untuk membahas perkembangan bahasa dan sastra Indonesia dan rencana pengembangannya
Suasana Kongres Bahasa Indonesia ke VI di Hotel Indonesia Jakarta
Daftar isi
[sembunyikan]
1 Sejarah Kongres Bahasa Indonesia
2 Keputusan-keputusan penting
o 2.1 Kongres Bahasa Indonesia I
o 2.2 Kongres Bahasa Indonesia II
o 2.3 Kongres Bahasa Indonesia III
o 2.4 Kongres Bahasa Indonesia IV
o 2.5 Kongres Bahasa Indonesia V
o 2.6 Kongres Bahasa Indonesia VI
o 2.7 Kongres Bahasa Indonesia VII
o 2.8 Kongres Bahasa Indonesia VIII
o 2.9 Kongres Bahasa Indonesia IX
3 Lihat pula
4 Referensi
Sejarah Kongres Bahasa Indonesia[sunting | sunting sumber]
Kongres Bahasa Indonesia I di Solo, Jawa Tengah, Oktober 1938
Bagian ini tidak memiliki referensi sumber tepercaya sehingga isinya tidak bisa diverifikasi.Bantulah memperbaiki artikel ini dengan menambahkan referensi yang layak.Materi yang tidak dapat diverifikasikan dapat dihapus sewaktu-waktu oleh Pengurus.Tag ini diberikan tanggal Februari 2014
Kongres Bahasa Indonesia I[sunting | sunting sumber]
Tanggal 25-28 Juni 1938 dilangsungkan Kongres Bahasa Indonesia I di Solo.
Dari hasil kongres itu dapat disimpulkan bahwa usaha pembinaan dan
pengembangan bahasa Indonesia telah dilakukan secara sadar oleh cendekiawan
dan budayawan Indonesia saat itu. Tanggal 18 Agustus 1945 ditandatanganilah
Undang-Undang Dasar 1945, yang salah satu pasalnya (Pasal 36) menetapkan
bahasa Indonesia sebagai bahasa negara. Tanggal 19 Maret 1947 diresmikan
penggunaan ejaan Republik sebagai pengganti ejaan Van Ophuijsen yang berlaku
sebelumnya.
Kongres Bahasa Indonesia II[sunting | sunting sumber]
Tanggal 28 Oktober s.d 2 November 1954 diselenggarakan Kongres Bahasa
Indonesia II di Medan. Kongres ini merupakan perwujudan tekad bangsa Indonesia
untuk terus-menerus menyempurnakan bahasa Indonesia yang diangkat sebagai
bahasa kebangsaan dan ditetapkan sebagai bahasa negara.
Tanggal 16 Agustus 1972 H. M. Soeharto, Presiden Republik Indonesia,
meresmikan penggunaan Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan (EYD)
melalui pidato kenegaraan di hadapan sidang DPR yang dikuatkan pula dengan
Keputusan Presiden No. 57 tahun 1972.
Tanggal 31 Agustus 1972 Menteri Pendidikan dan Kebudayaan menetapkan
Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan dan Pedoman
Kongres Bahasa Indonesia VII[sunting | sunting sumber]
Tanggal 26-30 Oktober 1998 diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia VII di
Hotel Indonesia, Jakarta. Kongres itu mengusulkan dibentuknya Badan
Pertimbangan Bahasa.
Kongres Bahasa Indonesia VIII[sunting | sunting sumber]
Pada bulan Oktober tahun 2003, para pakar dan pemerhati Bahasa Indonesia akan menyelenggarakan Kongres Bahasa Indonesia ke- VIII. Berdasarkan Sumpah Pemuda yang dicetuskan pada bulan Oktober tahun 1928 yang menyatakan bahwa para pemuda memiliki satu bahasa yakni Bahasa Indonesia, maka bulan Oktober setiap tahun dijadikan bulan bahasa. Pada setiap bulan bahasa berlangsung seminar Bahasa Indonesia di berbagai lembaga yang memperhatikan Bahasa Indonesia. Dan bulan bahasa tahun ini mencakup juga Kongres Bahasa Indonesia.
Kongres Bahasa Indonesia IX[sunting | sunting sumber]
Dalam rangka peringatan 100 tahun kebangkitan nasional, 80 tahun Sumpah Pemuda, dan 60 tahun berdirinya Pusat Bahasa, pada tahun 2008 dicanangkan sebagai Tahun Bahasa 2008. Oleh karena itu, sepanjang tahun 2008 telah diadakan kegiatan kebahasaan dan kesastraan. Sebagai puncak dari seluruh kegiatan kebahasaan dan kesastraan serta peringatan 80 tahun Sumpah Pemuda, diadakan Kongres IX Bahasa Indonesia pada tanggal 28 Oktober-1 November 2008 di Jakarta.
Kongres tersebut akan membahas lima hal utama, yakni bahasa Indonesia, bahasa daerah, penggunaan bahasa asing, pengajaran bahasa dan sastra, serta bahasa media massa. Kongres bahasa ini berskala internasional dengan menghadirkan para pembicara dari dalam dan luar negeri. Para pakar bahasa dan sastra yang selama ini telah melakukan penelitian dan mengembangkan bahasa Indonesia di luar negeri sudah sepantasnya diberi kesempatan untuk memaparkan pandangannya dalam kongres tahun ini.
membenarkan pendapat DPR, maka DPR menyelenggarakan sidang paripurna
untuk meneruskan usul pemberhentian kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat
(MPR). MPR kemudian menyelenggarakan sidang paripurna untuk memutus usul
tersebut, dengan terlebih dahulu memberikan kesempatan kepada Presiden
dan/atau Wakil Presiden untuk menyampaikan penjelasan. Putusan Mahkamah
Konstitusi yang membenarkan pendapat DPR tidak bersifat mengikat. Dalam
tahapan selanjutnya putusan ini dapat saja “dimentahkan” oleh suara mayoritas
di MPR. Dan tidak ada satu pun klausul dalam Konstitusi maupun peraturan
perundang-undangan lain yang mengatur secara eksplisit kekuatan putusan
Mahkamah dalam hal ini. Ditambah lagi dengan masih diberikannya kesempatan
kepada Presiden dan/atau Wakil Presiden menyampaikan penjelasan dalam
sidang paripurna di MPR.
Tulisan ini bertujuan untuk memahami makna pemberhentian Presiden dan/atau
Wakil Presiden dalam masa jabatannya sebagaimana diatur dalam Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan merumuskan
mekanisme baru pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa
jabatannya yang sesuai dengan prinsip negara hukum.
Metode pendekatan yang digunakan dalam tulisan ini adalah metode yuridis
normatif, yaitu dengan cara melakukan penelitian yang mengacu kepada aspek-
aspek yuridis. Metode ini dilakukan melalui studi kepustakaan (library research)
atas berbagai literatur yang terkait dengan teori-teori dan asas-asas hukum.
Selain metode tersebut, tulisan ini juga menggunakan metode perbandingan
Hukum Tata Negara untuk membandingkan mekanisme impeachment di
beberapa negara, yakni Amerika Serikat dan Filipina. Kedua negara ini menganut
sistem presidensil, seperti halnya Indonesia. Karenanya
mekanisme impeachment yang diterapkan oleh kedua negara ini dijadikan
pembanding dalam rangka merumuskan mekanisme impeachment baru yang
sesuai dengan sistem ketatanegaraan Indonesia. Spesifikasi penulisan yang
digunakan adalah deskriptif analitis. Sumber-sumber hukum yang dipakai dalam
studi kepustakaan ini meliputi; bahan hukum primer, bahan hukum sekunder,
dan bahan hukum tersier. Data-data dikumpulkan dengan cara melakukan
pencarian, sistematisasi dan analisa terhadap tulisan-tulisan yang erat kaitannya
dengan permalahan yang tengah diteliti. Berbagai data itu kemudian akan
dianalisa secara yuridis analitis.
Indonesia merupakan negara yang menganut sistem pemerintahan presidensil.
Hal ini meskipun tidak secara tegas dinyatakan dalam Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, namun dapat diidentifikasi dari pasal-
pasal dalam UUD yang mengandung ciri sistem pemerintahan presidensil.
Mekanisme pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden (impeachment)
sebagaimana diterapkan saat ini ditujukan untuk memperkuat sistem
pemerintahan presidensil yang dianut oleh Indonesia. Karena
melalui impeachment Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak dapat dengan
mudah diturunkan dari jabatannya oleh Parlemen tanpa dasar/alasan yang
konstitusional atau sebagaimana dikemukakan oleh Prof. Bagir Manan, yakni
hanya dapat diberhentikan dengan alasan-alasan hukum. Hal ini berbeda
dengan mekanisme pemberhentian sebelumnya (pra perubahan), yakni Presiden
dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan jika pertanggungjawabannya tidak
diterima oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Atau dengan kata lain
Presiden dan/atau Wakil Presiden kala itu dapat diberhentikan jika
pertanggungjawaban atas pelaksanaan kebijakan-kebijakannya tidak diterima
oleh MPR. Mekanisme semacam ini jelas sangat kontradiktif dengan sistem
presidensiil yang menghendaki terjaminnya stabilitas pemerintahan. Oleh karena
itu, mekanisme impeachment yang digulirkan melalui perubahan ketiga UUD
merupakan salah satu instrumen untuk mewujudkan pemerintahan yang stabil.
Melalui perubahan ketiga pula, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (3)
UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, bahwa Indonesia adalah negara
hukum. Prinsip negara hukum yang menghendaki suatu kekuasaan peradilan
yang merdeka, yang tidak dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan lain yang akan
menyimpangkan hakim dari kewajiban menegakkan hukum, keadilan, dan
kebenaran seolah dikesampingkan dalam
mekanisme impeachment sebagaimana diatur dalam Pasal 7A sampai Pasal 7B
ayat (7) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sebagaimana diuraikan
diatas bahwa dalam mekanismeimpeachment, putusan Mahkamah Konstitusi
yang membenarkan pendapat DPR tidak bersifat mengikat. Dalam tahapan
selanjutnya putusan ini dapat saja “dimentahkan” oleh suara mayoritas di MPR.
Dan tidak ada satu pun klausul dalam Konstitusi maupun peraturan perundang-
undangan lain yang mengatur secara eksplisit kekuatan putusan Mahkamah
Konstitusi dalam hal ini. Ditambah lagi dengan masih diberikannya kesempatan
kepada Presiden dan/atau Wakil Presiden menyampaikan penjelasan dalam
sidang paripurna di MPR. Artinya, putusan hukum dapat saja “dibatalkan” oleh
putusan politik.
Agar mekanisme impeachment yang ditujukan untuk memperkuat sistem
presidensial yang dianut oleh Indonesia sesuai dengan prinsip negara hukum
yang menjadi salah satu sendi politik bernegara, maka perlu diadakan perubahan
terhadap mekanisme ini. Perubahan yang dapat dilakukan adalah dengan
menjadikan putusan Mahkamah Konstitusi mempunyai kekuatan mengikat,
dalam hal ini mengikat MPR. Dengan demikian MPR memberhentikan Presiden
dan/atau Wakil Presiden setelah dugaaan atas pelanggaran yang dilakukan oleh
keduanya telah terbukti secara hukum. Atau meniadakan proses di Mahkamah
Konstitusi. Dan Ketua Mahkamah Konstitusi memimpin proses impeachment di
MPR untuk menjamin proses pemberhentian ini dilaksanakan secara
konstitusional. Hal ini dalam rangka menjalankan tugasnya sebagai The
Guardian of The Constitution. Dengan demikian impeachment di Indonesia
menjadi murni putusan politik, namun dengan tidak mengabaikan prinsip-prinsip
negara hukum itu sendiri. Kedua alternatif perubahan ini dapat dikembangkan
melalui praktik ketatanegaraan ataupun melalui amandemen terhadap UUD
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
SEJARAH PEMILIHAN UMUM DI INDONESIA HINGGA PEMILU 2014 ( INDONESIA ELECTION 2014)Posted: April 8, 2014 in News n Funs Tags: Indonesia Election 2014, Pemilu 2014, Sejarah Pemilu, Undang-Undang Pemilihan Presiden, Undang-Undang Pemilu
6
Siapakah Calon Presiden Pilihanmu?
Aburizal Bakrie Joko Widodo Dahlan Iskan Prabowo Subianto
Wiranto Hatta Rajasa Gita Wirjawan
VoteView Results Polldaddy.com
Pemilihan Umum (Pemilu) adalah proses pemilihan orang(-orang) untuk mengisi jabatan-
jabatan politik tertentu. Jabatan-jabatan tersebut beraneka-ragam, mulai
dari presiden, wakil rakyat di berbagai tingkat pemerintahan, sampai kepala desa. Dalam
Pemilu, para pemilih dalam Pemilu juga disebut konstituen, dan kepada merekalah para
peserta Pemilu menawarkan janji-janji dan program-programnya pada
masa kampanye. Kampanye dilakukan selama waktu yang telah ditentukan, menjelang
hari pemungutan suara. Setelah pemungutan suara dilakukan, proses penghitungan
dimulai. Pemenang Pemilu ditentukan oleh aturan main atau sistem penentuan pemenang
yang sebelumnya telah ditetapkan dan disetujui oleh para peserta, dan disosialisasikan ke
para pemilih.
SEJARAH PEMILIHAN UMUM PERTAMA DI INDONESIA TAHUN 1955
Pemilu tahun 1955 merupakan pemilu yang pertama dalam sejarah bangsa Indonesia.
Waktu itu Republik Indonesia berusia 10 tahun. Pemilihan Umum yang diadakan sebanyak
dua kali yaitu pertama pada tanggal 29 September 1955 untuk memilih anggota DPR dan
kedua pada tanggal 15 Desember 1955 untuk memilih anggota konstituante
(Sumber : Situs KPU).
Sejak berdirinya negara Indonesia, Bapak Hatta telah memikirkan untuk segera melakukan
pemilu sesuai maklumat X tanggal 3 November 1945. Tidak terlaksananya pemilu pertama