Mata Kuliah / Materi Kuliah
SOSIOLOGI PERTANIAN:
1. Konflik Tanah di Jenggawah 2. Interaksi Sosial Umat Beragama
Pada Tiga Desa Pertanian Di Kecamatan Tanjung Morawa
1. Moch. Nurhasim,2. Chuzaimah Batubara, dkkLab. Komunikasi dan
Pengembangan Masyarakat, Fakultas Pertanian Universitas
BrawijayaKonflik Tanah di JenggawahTujuan Pembelajaran
1. Pendahuluan
2. Kerangka Teoritik Konflik
3. Struktur Sosial dan Asal Usul Konflik Tanah Jenggawah
4. Pergolakan Petani Jenggawah 1969-19955. Tipologi Kelompok -
Kelompok yang Berkonflik6. Pola Penyelesaian Konflik7.
Kesimpulan
8. Pertanyaan Diskusi
Tujuan PembelajaranSetelah mempelajari materi ini, mahasiswa
akan mampu :
1Mampu menjelaskan latar belakang terjadinya konflik tanah di
Jenggawah, Jember.
2Mampu menjelaskan tipologi konflik yang terjadi di
Jenggawah.
3Mengidentifikasi dan menjelaskan pihak-pihak yang terlibat
dalam konflik di Jenggawah.
4Menjelaskan pola (mekanisme) penyelesaikan konflik tanah di
Jenggawah (pendekatan yang ditempuh dan proses yang berlangsung
dalam penyelesaian konflik)
5 Menjelaskan potensi konflik muncul kembali di kemudian hari
dari hasil penyelesaian konflik tersebut.
1. Pendahuluan
Fenomena yang menonjol pada masyarakat petani di pedesaan adalah
masalah yang selalu berkaitan dengan tanah. Konflik yang terjadi di
pedesaan pada umumnya melibatkan sumber utama ini, sebagai
satu-satunya tempat berpijak dan penentu hidup-matinya masyarakat
pedesaan. Studi ini ingin melihat sisi konflik tanah di Jenggawah,
Jember, Jawa Timur yang memfokuskan pada konflik antara
petani-PTP-negara, serta kelompok-kelompok lain. Tulisan ini juga
menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang latar belakang, siapa yang
terlibat, tipologi konflik, strategi yang diterapkan oleh
kelompok-kelompok yang berkonflik, dan bagaimana peran negara dalam
upaya menyelesaikan konflik.
Tulisan ini disarikan dari draft hasil penelitian yang dibiayai
oleh The Toyota Fondation (Yayasan Ilmu-ilmu Sosial) berjudul
Konflik Tanah Jenggawah, Studi tentang Proses dan Hambatan
Penyelesaian Konflik Tanah di Jenggawah, Kabupaten Jember, Jawa
Timur
1. Asumsi ini berdasarkan suatu kondisi struktur sosial di
pedesaan yang masih belum terstratifikasi secara rumit, masih
didominasi oleh struktur sosial yang sebagian penduduknya hidup
berani.
Dinamika masyarakat desa selalu menarik untuk diamati, paling
tidak dengan sandaran asumsi bahwa dinamika kehidupan mereka tidak
terlepas sama sekali dari dimensi konfliktual. Kecenderungan ini
juga dialami oleh struktur masyarakat pedesaan yang mata
pencahariannya adalah bertani. Betapun semula sistem sosialnya
masih dianggap homogen1, tetapi akibat perubahan sosial2, stuktur
petani di Indonesia mengalami pergeseran situasi dan
ekologis.3Perubahan itu juga ditandai oleh munculnya pergeseran
pemilikan tanah yang terpolarisasi dalam strata yang timpang,
perubahan status sosial dan pekerjaan. Dalam konteks yang lebih
nyata, perubahan itu pun mendorong munculnya dilemma hubungan
antara petani dan tanah yang berafinitas dengan munculnya protes
atau konflik pertanahan.
Mengapa tanah menjadi sumber nyata konflik petani? Secara
teoritis hal ini tidak lepas dari pertanyaan lain, siapa sebenarnya
petani dan bagaimana hubungannya dengan tanah, sehingga tanah
dibela mati-matian?
Para ahli, yang pernah melakukan penelitian tentang petani,
sepakat menjawab makna khusus tanah bagi petani. Menurut Barrington
Moore, hal ini disebabkan pemilikan de facto atas tanah merupakan
cirri pokok yang membedakan seorang petani atau tidak. Artinya
tanah telah menjadi bagian kehidupan petani yang tidak dapat
dipisahkan.4Dari gambaran ini, tanah menjadi soal hidup mati
petani, sehingga untuk itu mereka bersedia melakukan apa saja,
seperti ungkapan Jawa, sedumuk bathuk senyari bumi, ditohing
pecahing dodo lan wutahing ludiro.5 Dari pepatah ini, makna tanah
ternyata berafinitas dengan protes petani.Kondisi ini dijelaskan
oleh Wolf, karena petani merupakan produsen pertanian dengan
penugasan efektif pada tanah,6 mengganggu tanah berarti mengusik
statusnya sebagai produsen pertanian, sebagai tulang punggung
hidupnya. Apalagi petani dengan tanah dianggap oleh Shanin,7
memiliki kaitan khusus dengan cirri-ciri: bahwa masyarakat petani
(1) mempunyai hubungan khusus pdengan tanah dengan cirri spesifik
produksi pertanian berakar pada keadaan khusus petani; (2) usaha
petani keluarga merupakan satuan dasar pemilikan produksi dan
konsumsi serta kehidupan sosial petani; (3) kepentingan pokok
pekerjaan dalam menentikan kedudukan sosial; peranan dan
kepribadian petani dikenal secara baik oleh masyarakat yang
bersangkutan; (4)
2. Berdasarkan studi yang pernah dilakukan sebelumnya, perubahan
sosial di pedesaan digerakkan oleh 4 faktor yaitu (1) tekanan
penduduk, (2) revolosi hijau, (3) komersialisasi pedesaan, (4)
strategi pembangunan yang bertumpu pada pertumbuhan ekonomi; lihat
Ester Boserup, The Condition of Agriculture Growth (Chicago:
Aedine, 1965); bandingkan dengan beberapa tulisan lain, misalnya,
J.H Booke, dari Empat Juta menjadi Empat Puluh Empat Juta (Jakarta:
Bathara,1974) dan I Tubagus Feridhanustyawan, Perubahan Struktur
Pertanian Indonesia, dalam Artikel CSIS XIX. No.2 Maret-April
19903. Pergeseran situasi ini oleh Booke ditandai dengan masih
kuatnya dualism ekonomi. James C. Scott melihatnya sebagai
subsitensi ekonomi dan Geertz menggambarkannya sebagai berbagi
kemiskinan dan involosi pertanian; lihat D H Burger,
Perubahan-perubahan Struktur dalam Masyarakat Jawa (Jakarta;
Bathara Jaya, 1993), hal 1-22; James C. Scott, Moral Ekonomi
Petani; Pergolakan dan Subsistensi di Asia Tenggara, terj. Hasan
Bahari (Jakarta: LP3ES, 1981); Cliford Geertz, Agricultural
Involotion (Berkeley: University Of Calivornia Press,1971).
4. Henry A. Landsberger. Pergolakan Petani dan Perubahan Sosial
(Jakarta: Rajawali Pers, 1984) Hal. 9-15.
5. Arti kalimat itu bersinggungan antara kepala dan tanah yang
akan dibela hingga keluarnya tetesan darah
struktur sosial desa merupakan keadaan khusus bagi daerah
tertentu; dan (5) masyarakat petani merupakan sebuah kesatuan
sosial pra-industri yang memindahkan unsur-unsur spesifik struktur
sosial ekonomi dan kebudayaan lama ke dalam masyarakat
kontemporer.
Dampak salah satu fenomena konflik yang tetap menonjol pada
masyarakat petani di pedesaan adalah masalah yang berkaitan dengan
tanah. Salah satu fenomena konflik yang terjadi di pedesaan adalah
konflik tanah di Jenggawah, yang menjadi masalah nasional dan
menghiasi media massa yang menyertainya.
Dari gambaran itu, studi ini ingin melihat sisi-sisi konflik
tanah di Jenggawah yang memfokuskan pada konflik tanah di Jenggawah
yang memfokuskan pada konflik antara petani-PTP-negara, serta
kelompok-kelompok lain. Tulisan ini akan menjawab
pertanyaanpertanyaan tentang latar belakang konflik, siapa yang
terlibat dalam konflik tanah Jenggawah, bagaimana tipologi konflik,
strategi yang diterapkan oleh kelompok-kelompok yang berkonflik,
dan bagaimana peran negara dalam upaya menyelesaikan konflik,
merugikan atau menguntungkan siapa?
Kerangka Teoritik
Secara teoritis, Paige melihat berbagai kelompok yang memiliki
peran cukup besar dalam pertumbuahn konflik di pedesaan.
Kelompok-kelompok ini secara konsepsi adalah cultivator dan
non-cultivator yang secara konvensional sebenarnya merupakan suatu
kelas sosial seperti, buruh tanah, pemegang usaha kecil, pemilik
modal, dan kelas menengah desa.
Mereka memiliki banyak prinsip yang kemungkinan berbeda dari
kelompok sosialnya, tetapi mereka juga mempunyai peran utama yang
unik terhadap tanah pertanian. Keunikan ini tercermin dalam
interaksi antarkelas yang memiliki kepentingan relatif pada tanah
dengan modal atau upah terbatas, dan memiliki insentif dalam
konflik kelas di pedesaan.Berpijak dari kategori ini, bagaimana
sesungguhnya tipologi kelas sosial8 di Jenggawah dalam kaitannya
dengan konflik yang muncul; apakah bangunan Paige cocok. Jika kelas
diartikan secara sosiologis sebagai tingkatan-tingkatan dalam
masyarakat yaitu kelas atas, kelas menengah, dan kelas bawah, maka
kajian ini tampak akan lebih cocok.9Dari prespektif ini, akhirnya
peneliti memberi batasan bahwa kelompok-kelompok sosial di
Jenggawah terlihat sebagai berikut, yaitu Petani Cukupan
(cultivator), Petani Kekurangan (non-cultivator) dan perkebunan.
Dari ketiga kelompok secara teoritis ini konflik sosial bisa
diterjemahkan secara agak relevan.
6. Scott, op. cit
7. Lihat Nasikun, dkk, Struktur Kelas dan Perubahan Sosial di
Jawa, dalam seri monografi FISIPOL UGM No. 3/1992
8. Penggunaan istilah kelas masih menjadi perdebatan teoritik.
Perdebatan ini selalu mempertengahkan bahwa konsep kelas yang
secara teoritik berkembang di barat tidak cocok untuk memahami
kelas dalam masyarakat yang sedang berkembang di Indonesia
semata-mata karena struktur sosialnya yang tidak sama. Perdebatan
ini member catatan khusus bahwa penggunaan konsep kelas harus
diberi catatan-catatan tertentu.
9. Dalam kerangka ini penulis lebih setuju menggunakan kelas
dalam pandangan sosiologis yang membagi menjadi tiga kelas,
meskipun dapat pula dipilah-pilah lagi.
Konflik, menuurt versi Paige, akan muncul dari kelompok
cultivataor dan non-cultivator. Munculnya konflik berasal dari dua
kategori variable yang menentukan timbulnya suatu konflik sosial
yaitu tanah dan upah. Interaksi ini menghasilkan 3 tipologi konflik
yaitu: (a) apabila class non-cultivator/CNC (petani kekurangan)
pendapatanya tergantung dari tanah, dan ekonominya cenderung lemah,
akan menghasilkan focus konflik pada distribusi dan pemilikan
lahan; (b) apabila CNC pendapatannya dari tanah dan tidak bebas
atas pekerja, konflik yang muncul cenderung dipolitisasi; (c) jika
lelas yang ada produktivitas ats tanah dengan produksi yang tetap,
akan menghasilkan zero-sum-conflict (konflik menang-kalah) antara
cultivator dan non-cultivator dan hasil kompromi di bidang ekonomi
akan sangat sukar.10 Teori ini tidak akan menelusuri mengapa
konflik itu muncul, tetapi lebih menekankan interaksi antara
kelompok-kelompok. Paige tidak menyadari bahwa ada eksploitasi
dalam interaksi itu.
Timbulnya konflik petani di pedesaan menurut kalangan
strukturalis Scottian di gambarkan bahwa kondisi sosial penduduk
pedesaan, yang juga beerarti merupakan realitas sosial sebagian
besar petani di Asia Tenggara, dengan mengutip metafora Tawney,11
ada daerah-daerah di mana posisi penduduk pedesaan ibarat orang
yang selamanya berdiri terendam dalam air sampai ke leher, sehingga
ombak yang kecil sekalipun sudah cukup untuk menenggelamkannya.Para
petani subsisten ini, di sati pihak, hanya menguasai lahan yang
sangat kecil dan cara bertani yang amat tradisional; tetapi di
pihak lain merka harus menghadapi tantangan berupa tingkah polah
cuaca dan pajak berupa uang tunai, tenaga kerja dan hasil tanaman
yang dipungut oleh negara, belum lagi soal ijon, (yang) telah
mendatangkan hantu lapar dan kekurangan sehingga menjadi sangat
rawan terhadap risiko subsistensi.
Namun, sebenarnya di bawah permukaan itu terdapat bara api yang
sewaktu-waktu dapat membara ketika permukaan air bergerak meninggi
melampaui batas leher, dan disimpulkan oleh mereka akan mengancam
keselamatan dirinya. Bara api itu menurut Scott berelasi dengan
menguatnya 3 bentuk kerawanan (lihat Skema 1)
SKEMA 112. Kerawanan Scottian dan Protes Petani
10. Penggunaan istilah kelas masih menjadi perdebatan teoritik.
Perdebatan ini selalu mempertengahkan bahwa konsep kelas yang
secara teoritik berkembang di barat tidak cocok untuk memahami
kelas dalam masyarakat yang sedang berkembang di Indonesia
semata-mata karena struktur sosialnya yang tidak sama. Perdebatan
ini member catatan khusus bahwa penggunaan konsep kelas harus
diberi catatan-catatan tertentu.
11. Dalam kerangka ini penulis lebih setuju menggunakan kelas
dalam pandangan sosiologis yang membagi menjadi tiga kelas,
meskipun dapat pula dipilah-pilah lagi.
12. Lihat, Jeffrey M. Paige Agrarian revolution: Social Movement
and Export Agriculture in the Underdeveloped World (New York: The
Free Press, 1975) hal 4-6.
Menurut Scott, ada 3 kerawanan yang menimbulkan munculnya protes
petani. Tetapi jika dilihat lebih jauh, ketiga kerawanan tersebut
juga ditopang oleh etika agama dan protes sosial (Weber) serta
pngaruh budaya, etika dan spirit protes. Agama, terutama untuk
wilayah Jawa Timur dan subbudaya Madura, memiliki nilai sendiri
yang member kontribusi bagi munculnya protes petani. Apalagi
perpaduan antara nilai agama dan budaya, menjadi etika baru yang
berarti memiliki kesesuaian logis dengan kelas sosial petani
subsisten dan memiliki kesesuaian psikologis dengan subbudaya
Madura dan Jawa Timur yang ekspresif dan ekstrovert, termasuk
kejadian di wilayah Jenggawah, Jember. Karena itu di Skema 2
menjabarkan pula soal ini.
SKEMA 213 Budaya, Etika dan Spirit Protes
Subbudaya sebagai konteks makna atau jaringan makna menciptakan
etika sosial yang dominan dan memadai bagi munculnya bara atau
spirit protes. Pertama, ada etika sosial yang merupakan produk
dialektika budaya besar dan kecill. Kedua, ada kondisi memadai yang
merupakan produk dialektis antara kerawanan sosial, ekologis, dan
monokultur yang terus menerus berakumulasi, bara api (proses
petani) dalam konteks ini tinggal menunggu waktu persinggungan
antara elit kekuasaan yang memegang pasang-surut air para petani
terendam.
Posisi konflik tanah Jenggawah, sebenarnya terjadi di tiga
kecamatan dan lima desa yang terlibat secara intens. Wilayah yang
terlibat dalam konflik ini adalah Desa Kaliwining (Kecamatan
Rambipuji), Desa Cangkring Baru, Desa Jenggawah, Desa Sukomakmur
(Kecamatan Jenggawah) dan Desa Lengkong (Kecamatan Mumbulsari).
Dalam peta Kabupaten Daerah Tingkat II Jember, kasus ini
terletak di daerah Jember Selatan (lihat peta) yang secara ekologis
merupakan dataran rendah yang ditaburi bukit-bukit kecil sehingga
tanahnya sangat subur, sebagai tempat bercocok tanam dengan sistem
tadah hujan. Secara kuantitas, jumlah mitra masyarakat petani yang
terlibat dalam konflik kurang lebih 1.800 Kepala Keluarga.
Kabupaten Jember, dengan ibukota Jember, terletak di Provinsi
Jawa Timur berdiri pada 8 Agustus 1950 dengan landasan hokum UU No.
12/1950. Luas wilayah kabupaten ini sekitar 2.518,82 km2 (5,25
persen luas Provinsi Jawa Timur). Kabupaten ini sejak zaman Hindia
Belanda dikenal sebagai daerah pusat perkebunan tembakau.
13. Lihat, Otto Syamsudin Ishak, Gerakan Protes Petani: sebuah
Sketsa Teoritis Strukturalis Scottian dan Kulturalis Weberian,
dalam Prisma, No. 7. 1996. Hal 87-96.
Disebut sebagai konflik tanah Jenggawah, karena tempat ini
merupakan pusat penyebaran konflik, dengan beberapa tokohnya yang
terlibat dan sebagai pengkonsolidasi massa, terutama pada konflik
1979. Pusat penyebaran ini dapat dipetakan sebagai berikut, konflik
pertama-tama muncul pada 1979, di sekitar Desa Jenggawah, meskipun
para petani yang melakukan tindak kekerasan bukan hanya berasal
dari Desa Jenggawah, tetapi juga berasal dari Desa Rambipuji, Desa
Lengkong, Desa Ajung, Desa Membulsari, Desa Cangkring Baru, dan
Desa Kaliwining.
Struktur Sosial dan Asal Usul Konflik Tanah Jenggawah
Jenggawah, sebagaimana desa-desa lain, memiliki struktur sosial
yang masih agraris. Dalam perkembangan masyarakat seperti ini maka
ciri menonjol adalah tradisionalisme.14 Dalam masyarakat desa yang
tradisional dan bersifat pertanian, maka pranata-pranata yang
menghubungkan antar personal di dalam masyarakat adalah (1)
bersifat pribadi, (2) tak lengkap, (3) bersaluran sedikit, (4)
ditandai oleh lebih banyak komunikasi ke bawah ketimbang komunikasi
ke atas, dan (5) jarang dimanfaatkan. Sementara pilihan-pilihan
kekuasaan yang digunakan dalam masyarakat pedesaan lebih menekankan
aspek kewibawaan tradisional dan kekerasan fisik.
Sebagai suatu wilayah yang masih tergolong tradisional, dalam
pola-pola struktur sosial masyarakat Jenggawah lebih menekankan
pola hubungan pribadi atau patron client. Jika struktur dipahami
sebagai tingkatan status sosial yang berbeda dalam masyarakat
secara sosiologis, maka struktur sosial Jenggawah ditempati oleh:
(1) golonan stuktur atas, adalah kelompok orang-orang kaya, kiai,
aparat desa, dan kaum terdidik yang memiliki jabatan terpandang;
(2) golongan menengah adalah para petani yang mampu mengelola
tanahnya dengan baik, agak mandiri, atau kelompok petani agak
cukupan; dan(3) golongan bawah, yaitupetani gurem, dan petani
kekurangan, yang cenderung menjadi client, abdi dari patron
atas.Hubungan yang lebih ke arah kewibawaan tradisional menyebabkan
kiai memiliki peran cukup dominan dalam struktur masyarakat
Jenggawah memiliki dua perpaduan struktur ssial yaitu Madura dengan
budaya santrinya dan struktur soaial dari budaya Jawa dengan
struktur kepriyayian dan abangan. Struktur ini dibangun oleh dua
asalanggotamasyarakat Jenggawah. Ketika masa-masa perubahan sosial
pada abad XIX, Jenggawah merupakan daerah jarang penduduk, tetapi
keberadaan perkebunan kemudian mendatangkan banyak urbanisasi dari
daerah lain. Maduramendominasi urbanisasi karena kebutuhan tenaga
kerja di perkebunan besar Hindia Belanda. Sementara pendatang lain
berasal dari Lumajang, Kendal (JawaTengah), dan Ponorogo.Karena itu
struktur sosial Jenggawah didominasi oleh dua kultur budaya ini,
yaitu budaya santri dan budaya kejawen, atau abangan. Meskipun
demikian, kedua kultur ini sesungguhnya telah menampakkan
proses
14. Ibid., hal 89-90
Karena itu struktur sosial Jenggawah didominasi oleh dua kultur
budaya ini, yaitu budaya santri dan budaya kejawen, atau abangan.
Meskipun demikian, kedua kultur ini sesungguhnya telah menampakkan
proses akulturasi sosial. Tidak teralu mudah untuk menafsirkan
secara hitam putih. Tetapi sejarah perkembangan Jember termasuk di
dalamnya Jenggawah, memberikan lustrasi perpaduan budaya ini. Dalam
kenyataan, struktur sosialnya didoaminasi oleh kultur santri (dari
Madura). Dominannya kultur santri memiliki peran cukup mendasar
dalam berkembang dan dominannya kultur kewibawaan tradisisonal.
Kiai diberi tempat cukup penting dalam kultur sosial ini.
Tetapi, model-model pola kewibawaan ini pun tidak serta merta
muncul dan terjadi. Model ini berkembang cukup lama, menurut Kar D.
Jackson, karena struktur pola hubungan patron client, dibangun
berdasarkan jangkan waktu cukup lama. Apalagi, secara sosial,
perkebunan telah membawa dampak ekonomi cukup dramatis. Perkebunan
Hindia Belanda, memperkenalkan sistem ekonomi komersial. Sistem
ekonomi ini dianggap sebagai ancaman dari sistem ekonomisubsisten
yang selama ini berkembang dalam pola hubungnan patron-client.
Patron menjadi pelindung dari client, sementara client melindungi
pila kepentingan patron. Dengan masuknya sistem perkebunan
komersial, pola saling menguntungkan ini dianggap berada dalam
ancaman.
Menyadari munculnya pola struktur sosial demikian, maka
kebijakan perkebunan yang diterapkan adalah pola kemitraan.
Onderneeming memberi bibit dan uang untuk menggarap lahan agar
petani tetap eksis, dengan sistem geblangan, dan sebaliknya petani
harus pula melindungi kepentingan Onderneeming untuk produksi
tembakau Na Oogst dan harus menjual ke Onderneeming. Perkembangan
perkebunan masa Hindia Belanda yang terjadi kemudian tetap mampu
mempraktikkan dua pola sistem sekaligus, yaitu sistem ekonomi
komersial yang juga menghidupi pla sistem ekonomi subsisten.
Ketika perkebunan dinasionalisasi dan diambil alih oleh negara,
muncul masalah mendasar, terutama urusan dengan tanah. Pada masa
Onderneeming, rakyat menggarap tanahnya sendiri,
kemudiandiberlakukan pula sewa menyewa tanah. Tetapi ketika
perkebunan mulai diambil alih oleh PNP, timbul masalah, karena
tanah diklaim sebagai milik PTP XXVII, sedangkan rakyat hanya
memiliki hak sebagai penggarap.
Jika dilihat dari asal usulnya, tanah sumber konflik antara
petani dan PTP XXVII yang kemudian melibatkan Negara Orde Baru
(NOB) adalah bekas hak erpacht Hindia belanda. Berdasarkan bahan
sekunder dan cerita para penduduk, hasil penelitian George Bernie
di distrik Bondowoso (termasuk di dalamnya Jenggawah, sebagai
bagian wilayah distrik Bondowoso) pada 1859 menunjukkan bahwa
wilayah tersebut sangat subur dan cocok untuk jenis tembakau Na
Oogst. Selanjutnya Bernie mengajukan permohonan izin membuka
perkebunan (Onderneeming)tembakau di Jember pada Pemerintah Hindia
Belanda berdasarkan Agrarisch Besluit (AB). Menurut versi petani,
George Bernie pada 1870 mendapatkan hak erpacht untuk membuka
perkebunan tembakau meliputi Kecamatan Rambipuji, Mangli, Jenggawah
dan Mumbulsari di Jember. Hak erpacht diberikan untuk jangka waktu
75 tahun.15 Tetapi karena Jember waktu itu jarang penduduknya,
Pemerintah Hindia Belanda
15. Ibid., hal 89-90
mendatangkan tenaga kerja dari Madura dan Kendal untuk membuka
lahan hutan. Pada perkembangan berikutnya, rakyat diberi hak
menanam palawija dan padi serta tidak ditarik pajak dengan
konsekuensi harus menanam tembakau jenis Na Oogst,16 dengan sistem
geblangan (untuk memelihara kesuburan tanah) dan bagi hasil. Tanah
yang sudah dibabat, diperuntukkan perkebunan pemukiman penggarap,
sarana sosial, gedung oven, gudang penyimpanan, rumah karyawan
perkebunan dan kantor pengelolaan perkebunan NV. LMOD (Namloose
Vennoetschaap Maatschappy Ould Djember). Sebenarnya masa berlaku
Onderneeming tersebut akan habis pada 1945, tetapi keadaan ini
berubah setelah Pemerintah Hindia Belanda kalah oleh pemerintah
pendudukan Jepang. Pada 1943 terjadi kondisi vakum yang segera
diambil alih oleh rakyat sampai kemudian diambil denganpaksa oleh
Jepang sebagai penguasa baru, dan rakyat diwajibkan menanam kapas
yang seluruh hasilnya diserahkan kepada Jepang. Ketika Jepang
menyerah kepada Sekutu, dan terjadi kevakuman lagi, tanah kembali
dikelola oleh petani. Perkembangan selanjutnya 1953, petani yang
memngambil alih lahan bekas hak erpacht, dibebani pajak dan
diberikan nomor pipil/petok D. Ketentuan membayar pajak berlangsung
hingga 1970. Pada saat mereka dibebani pajak ini, sebenarnya tanah
bekas hak erpacht sudah dikuasai oleh PPN Baru Jatim IX. Hal ini
berkaitan dengan diberlakukannya UU No. 86/1959 (UU tentang
Nasionalisasi perusahaan-perusahaan milik Belanda yang berada di
RI), Jo. PP. No. 4/1959 tentang penentuan perusahaan pertanian/
perkebunan tembakau milik Belanda yang dinasionalisasi, maka NV
LMOD secara otomatis terkena nasionalisasi dan tanah hak erpacht
menjadi milik negara.17Diawali dengan PP No. 173/1961 dibentuklah
Perusahaan Perkebunan Negara Kesatuan jatim (PPN Baru Jatim IX);
yang kemudian bentuknya diubah menjadi Perusahaan Perkebunan
(Negara) Tembakau V dan VI melaui PP No.30/1966. Selanjutnya,
melaui PP No. 14/1968 digabungkanlah Perusahan Negara Perkebunan
(PNP) XXVII. Hingga akhirnya lewatPP No. 7/1972 tentang pengalihan
bentuk PNP XXVII menjadi Perusahaan Perseroan (Persero) PT.
Perkebunan XXVII, maka PNP XXVII dialihkan menjadi PTP XXVII.
Dalam proses peralihan bentuk tersebut, diterbitkan SK Mendagri
No. 32/HGU/DA/1969 tertanggal 5 Desember 1969. Menurut wakil
negara, SK ini dan SK No. 15/HGU/DA/1970 tertanggal 18 Juni 1970
yang meberikan dua Hak Guna Usaha (HGU) kepada PNP XXVII atas tanah
bekas hak erpacht NV. LMOD dianggap cacat hukum. Karena sebenarnya
peraturan yang ada adalah mengatur tentang HGB (hak guna bangunan)
dan merujuk pada konsideran point 5 SK tersebut, yakni, HGB berlaku
bila tidak terdapat adanya tanah rakyat yang digarap/atau diduduki
rakyat. Sedangkan pada saat diberlakkukannya kedua SK tersebut,
tanah bekas hak erpacht masih digarap dan atau diduduki oleh
rakyat. Dariperbedaan pemahaman tentang pemberian HGU/HGB inilah,
akhirnya konflik mulai terlihat intens dan trasparan.
15..Dokumen sekunder yang diperoleh dari petani Desa Kaliwining
pada 1995
16..Na Oogst adalah jenis tembakau yang ditanam pada musim
penghujan, yang memerlukan waktu persiapan tanam sampai dengan
selesai petik daun antara Juli-Desember17..Laporan kunjungan kerja
tim tanah Fraksi Persatuan Pembangunan DPR-RI, tahun 1993
Pergolakan Petani Jenggawah 1969-1995
Perjalanan konflik tanah di Jenggawahdimulai sebelum 1969.
Peristiwa yang mendahului adah gagalnya pelaksanaan landreform atau
orang desa (petani) menyebutnya dengan pengkaplingan tanah, karena
tanah yang luas dikapling-kapling menjadi 0,300 ha untuk masing
masing bagian.
Tetapi konflik yang bersumber dari gagalnya landreform mereda.
Kemudian konflik muncul kembali pada 1969, ketika akan diberlakukan
SK Mendagri No. 32/HGU/DA/1969 kepada PPN XXVIIyang dianggap gagal.
Karena ketika itu (1968) tersebar berita akan dilakukan penggantian
girik/petok D menjadi sertifikat. Sejak itu semua girik/petok D
harus diserahkan kepada aparat desa, kecamatan dan beberapa aparat
keamana yang mengunjungi setiap desa dan mensosialisasikan adanya
pemberian sertifikat tanah. Tetapi sepuluh tahunkemudian diketahui
bahwa pemberian petok D ternyata dipergunakan sebagai lampiran
permohonan HGU kepada Menteri Dalam Negeri. Melihat manipulasi ini,
maka pada Januari 1979 kerusuhan-kersuhan besar tidak dapat
dihindari lagi.
Kerusuhan itu memunck pada Juli 1979, sehingga terjadi
pengrusakan terhadap tanaman, rumah dan pembakaran gudang.
Kerusuhan disertai oleh tindak kekerasan petani Jenggawah, memaksa
pengerahan 6 peleton pasukan tempur. Massa yang rusuh ditenangkan
dengan menggunakan helikopter.18 Buntutnya, sebelas orang pemimpin
petani dinyatakan bersalah di Pengadilan Negeri Jember dan
Pengadilan Tinggi Surabaya. Mereka dijatuhi hukuman sekitar 13
bulan, hanya satu orang yang lolos, dan segera mengajukan
permohonan kasasi ke MA yang ternyata dikabulkan. Akhirnya
kesepuluh tokoh petani yang ditahan tersebut dibebaskan dari segala
tuntutan hukum dan dinyatakan tidak bersalah.
Setelah peristiwa 1979, petani tampaknya mengambil strategi
cooling down menuju pada status wilayah yang diperlihatkan aman.
Strategi perjuangan dilakukan dengan melakukan konsolidasi interen,
yaitu memantapkan langkah dalam berkonflik. Pertama, adanya
kesepakatan menunggu masa berakhirnya HGU pada 1995. Kedua, dalam
menanti masa berakhirnya HGU itu, masing-masing desa yang terlibat
dalam konflik memilih dan menugaskan tuntutannya kepada 2 pemimpin
masing-masing desa. Tercata nama-nama pemimpin mereka di antaranya
Moch. Imam Chudori, Drs. Ahmad Yusuf, Masduki P. Anang, H. Much.
Imam Mashuri, H. Lutfillah, Khotib, Sarman, M. Cholil, dan (Alm)
Imam Rusdiono. Masing-masing pemimpin bertugas melakukan
konsolidasi di daerahnya yaitu Desa Cangkring Baru, Desa Lengkong,
Desa Kaliwining, Desa Jenggawah dan Desa Sukomakmur. Ketiga,
membentuk jaringan dan bertemu dengan aktivis seperti LBH atau
aktivis hukum lain guna menyusun surat permohoan yang disesuaikan
dengan jumlah petani, yang dianggap masih memiliki bukti hukum
untuk dipergunakan mengajukan tuntutan.
Dasar penentuan pemimpin sebagai wakil para petani dalam
mengorganisasikan kepentingannya yaitu (a) alasan penguasaan
masalah, apakah seseorang mempunyai kemampuan dan dasar-dasar
keahlian tentang tanah yang mereka perjuangkan; (b) konsistensi
perjuangan, keberanian, dan sikap ngemong sebagai suatu wibawa
untuk mengorganisasikan kepentingna mereka, baik ketika berhadapan
dengan petani maupun dengan aparat pemerintah.
18. Eman Rajdagukguk, Pemahaman Rakyat tentak Hak atas Tanah,
dalam Prisma, No. 9 September 1979, hal. 14-16Konsolidasi ini
berlangsung sejak 1980-1994. Upaya memperjuangkan tanah bekas hak
erpacht adalah (1) melalui jalur permohonan legal; (2) konsultasi
hukum; dan (3) dengan tindakan sosialisasi konsistensi perjuangan
tentang tanah yang mereka minta, terutama, kesiapan menanti masa
berakhirnya HGU 1995. Kurun waktu masa penantian kurang lebih 25
tahun itu, dengan berbagai endapan masalah yang terjadi, tiba-tiba
menbakar emosi mereka ketika pada Mei 1995, sebagai momentum yang
dinantikan, ternyata HGU diperpanjang lagi.
Ledakan konflik dengan berbagai konsekuensinya ini bermula dari
munculnya keputusan Menteri Negara Agraria/badan Pertanahan
Nasional No. 74/HGU/BPN/1994tentang pemberian perpanjangan hak guna
usaha PT Perkebunan XXVII atas tanah perkebunan Ajong Gayasan di
Kabupaten Jember. Petani tidak bisa menerima kenyataan ini, dan
menganggap PTP XXVII adalah penyebabnya karena dinilai telah
memanipulasi keadaan sebenarnya. Dalam permohonan tanah tersebut
dijelaskan bahwa tanah yang bersangkutan adalah tanah kosong dan
hanya ada kebun karet. Padahal kenyataanya dari tanah HGU yang
diperpanjang tersebut sebagian besar telah menjadi pekarangan yang
terdiri dari berbagai bangunan
Akibatnya, kasus 1979 terulang kembali. Pada kamis, 4 Mei 1995
ratusan warga, yang menunggu penyelesaian sengketa tanah HGU antara
PTP XXVII dan petani, melakukan aksi kekerasan dengan modus hampir
sama dengan peristiwa Januari dan Juli 1979. Warga petani Jenggawah
dan Kaliwining kembali memporak-porandakan rumah dan gudang di
wilayah Dusun Curahwelut , Desa Pancakarya, Kecamatan Jenggawah,
serta Dusun Curah Suko dan Dusun Curah Banteng, Desa kaliwining.
Jalan menuju rumah mandor di gali dan ditanami pohon pisang. Di
halaman rumah itu pula, puluhan pohon pisang ditebang. Perusakan di
rumah mandor Mulyadi terjadi sekitar pukul 09.00. sebanyak 250
warga merobohkan atap teras rumah mandor dan menggali tanah di
halaman rumah.
Perusakan serupa terjadi dirumah mandor Tonali, Dusun Curahrejo,
Desa Sukomakmur, Kecamatan Jenggawah. Selain rumah mandor Tonali,
rumah mandor Sodiq di Desa Manggara, kecamatan Jenggawah, dan rumah
mandor Sidik di Dusun Curahkendal desa setempat juga diserbu warga.
Aksi ini berlanjut dengan pembakaran gudang milik PTP XXVII,
perusakan kantor BPN Jember, serta aksi pemukulan terhadap Ketua
BPN Jember. Massa benar-benar menumpahkan kekecewaannya dengan cara
tindak kekerasan dan perusakan.19
Rasa ketidakpuasan ini, jika dilihat dari struktural Scottian
dengan 3 bentuk kerawanan yang dialami petani, ternyata konflik
tanah Jenggawah memiliki tingkat kerawanan struktural yang
mengakibatkan munculnya protes petanidengan tindakan kekerasan
(lihat Skema 1). Memperhatikan model kerawanan Scottian maka
pemberian perpanjangan HGU oleh Menteri Negara Agraria/Badan
Pertanahan Nasional dapat dianggap sebagai ancaman nyata, baik
secara legal maupun struktural.
19. Berita-berita kliping Jawa Pos, Mei-Agustus 1995
Memperhatikan model kerawanan Scottian maka pemberian
perpanjangan HGU oleh Menteri Negara Agraria/Badan Pertanahan
Nasional dapat dianggap sebagai ancaman nyata, baik secara legal
maupun struktural. Sebab dengan perpanjangan HGU berarti para
petani yang berharap HGU tidak dapat diperpanjang sebagai
konsekuensi konsideran pada point 5 SK tahun 1969 yang berbunyi
bahwa HGU hanya berlaku apabila tidak terdapat tanah rakyat yang
digarap atau diduduki rakyat, namun tanah itu di duduki dan digarap
oleh petani, ternyata masih diberikan kepada PTP, maka keputusan
ini dianggap sebagai ancaman.
Mengapa hal ini dianggap ancaman oleh petani Jenggawah? Pertama,
karena dengan diberlakukannya kembali HGU, maka praktis hidup
petani dibawah bayang-bayang PTP, sebab tanah yang mereka garap
bukan hak milik secara hukum, hingga sewaktu-waktu dapat
mengancamnya. Kedua, aset tanah yang dicakup oleh perpanjangan HGU
tersebut meliputi seluruh luas tanah di 5 desa, sekitar 2 ribu
hektar, yang berarti hidup para petani di bawah wilayah kekuasaan
PTP. Ketiga, potensi tanah yang menjadi sumber konflik merupakan
penghasil terbesar tembakau jenis Na Oogst di 1980 menunjukkan
bahwa tembakau rakyat di Karesidenan Besuki, termasuk Jenggawah,
sebagai salah satu bagiannya, memiliki kontribusi cukup besar.Dari
penjelasan ini sebenarnya spirit protes petani Jenggawah muncul
akibat kerawanan struktural yang dianggap merugikan mereka.
Sementara aspek kerawanan ekologis tidak mempengaruhi, karena
wilayah Jenggawah merupakan areal tanah yang sanagt subur. Demikian
pula kerawanan monokultur masih belum mampu mempengaruhi munculnya
spirit protes petani, karena kultur pertanian masih bervariasi,
artinya tidak khusus untuk satu tanaman saja yang diharuskan kepada
petani; mereka masih boleh menanam padi dan palawija.
Tipologi Kelompok-Kelompok yang Berkonflik
Berkaitan dengan konflik tanah yang muncul, ada beberapa
pertanyaan yang dapat diajukan untuk lebih mendalami kompleksitas
permasalahan petani Jenggawah. Bagaimana tipolaogi
kelompok-kelompok yang berkonflik? Jika tipologi dipahami sebgai
upaya penyederhanaan atas ruwetnya kelompok yang terlibat dalam
interaksi yang mengakibatkan konflik, bagaimana
perilaku-perilakunya? Kelompok mana yang kuat dan kelompok mana
yang lemah? Apakah tipologi terhadap mereka yang terlibat dalam
konflik bersifat homogen, jika mengacu pada tindakan mereka yang
cenderung radikal?
Menurut Paige, tipologi konflik pertanian terjadi antara
organisasi pertanian yang disokong oleh kebijkan dan mereka yang
berkedudukan sebagai pekerja; terjadi antara kelas atas baru dalam
pertanian (pemilik modal) dan petani lama ang menguasai tanah; juga
antara masuknya tanah ke dalam commercial enterpreneur dan petani
penyewa yang dibatasi tenaga kerjanya baik yang sewaan maupun yang
tetap.21
Sedangkan Stincombe menjelaskan tipologi konflik pertanian
terjadi antara the family-sized-tenancy atau keluarga penyewa
dengan plantation atau perkebunan. Keluarga penyewa merupakan
penghasil intensitas konflik organisasi pertanian, bahkan merupakan
sumber lahirnya revolutionary action.22 Pakar lain, yakni Wolf 20.
Lihat Jamie , Perkebunan dan Tanaman Perdagangan di Jawa Timur:
Pola yang sedang berubah, dalam Howard Diel (ed). Pembangunan yang
berimbang Jawa Timur dalam era orde baru (Jakarta: Gramedia, 1997),
hal. 282-286
21. Paige, op.cit., hal. 4-6
22. Ibid
berargumen bahwa middle peasant adalah penghasil basis massa
revolusi.23 Dari kategorisasi tersebut, tipologi Stincombe
tampaknya agak relevan dengan kasus Jenggawah, yang sebenarnya
merupakan konflik antara penggarap dan pihak perkebunan.
Pihak penggarap (petani) dalam status tanah HGU merupakan basis
sumber konflik atau bahkan juga merupakan sumber lahirnya konflik
1969-1995, dengan kecenderungan tindakan radikal. Kelompok-kelompok
yang berkonflik di Jenggawah dijelaskan dalam Skema 3.
Dari Skema 3 tampak bahwa tipologi kelompok-kelompok yang
terlibat dalam konflik tanah di Jenggawah adalah (1) petani dan
kelompok-kelompok penekan yang mendukung petani; (2) Negara dan
aparatnya; (3) Tim mediasi; (4) PTP XXVII dan buruh tani, mandor
dan centeng; serta (5) petani fiktif.
Petani Inti Basis Konflik
Menurut istilah penduduk Jenggawah, petani inti disebut sebagai
petani keturunan, yaitu petani dengan bentuk penguasaan tanah
yasan, berupa tanah yang diperoleh berkat usaha nenek moyang mereka
dalam membuka hutan liar untuk dijadikan sebagai tanah garapan.
Dengan kata lain, dengan kata lain hakseseorang atas tanah ini
berasal dari fakta bawa dialah, atau nenek moyangnya yang semula
membuka tanah tersebut. Istilah tanah yang dibuka, menurut bahasa
Jawa yoso, berarti membuat sendiri atau membangun sendiri (bukan
membeli).24 Jumlah petani ini sangat besar, tersebar di 5 desa dan
3 kecamatan, yaitu Desa Kaliwining (450 KK), Desa Cangkring (385
KK), Desa Lengkong (250 KK), Desa Jenggawah (375 KK) dan terakhir
Desa Sukomakmur (340 KK) yang tersebar di tiga kecamatan Mumbulsari
dan Kecamatan Jenggawah.Petani ini dianggap sebagai cikal bakal
penduduk yang menguasai tanah HGU hingga sekarang, sebagaimana
penuturan para pemimpin mereka.25Petani keturunan adalah nenek
moyangnya orang-orang yang membabat tanah di perkebunan NV LMOD di
Jember, saat pertama kali pembukaan lahan perkebunan tembakau oleh
Belanda. Mereka didatangkan dari Madura, Pasuruan, Ponorogo (Jawa
Timur0 dan CurahKendal (Jawa Tengah). Paling besar jumlahnya adalah
mereka yang berasal dari Madura. Mereka dianggap sebagai generasi
pertama, hingga kini masih banyak yang hidup, meskipun sebagian
telah bergeser (pindah) ke anak-anaknya sebagi generasi kedua.
23. Ibid 24. Gunawan Wiradhi dan Mikali, Penguasaan Tanah dan
Kelembagaan, dalam Faisal Kasryno (ed), Prospek Pembangunan Ekonomi
Pedesaan Indonesia (Jakarta: Yayasan Obor, 1984) hal. 48
25. Hasil wawancara dengan para informan di Jenggawah, Lengkong,
dan Kaliwining, Kabupaten Jember, Oktober 1995.SKEMA 3. Tipologi
Kelompok-kelompok yang Terlibat Konflik Tanah Jenggawah dan
Interaksinya
Keterangan garis skema:
Garis interaksi konflik
Garis Interaksi resiprositas
Garis control politik
Kalau membandingkan asal-usul mereka dalam kaitannya dengan
budaya yang mempengaruhi perilaku mereka, ternyata ada dua akar
yang kuat, meminjam terminologi Geertz (santri-abangan). Paling
tidak, jika dikaitkan dengan presepsi elit (para pemimpin
petani)masing-masing desa, ada 2 orang dalam menggagas strategi
konflik apakah konservatif atau radikal. Secara sepintas, mereka
yang berasal dari Madura (yang jumlahnya cukup besar hampir menjadi
warga yang dominan di Jenggawah) mewakili varian santri dengan
perilaku konservatif dalam konflik, sementara yang berasal dari
Curah Kendal dan Ponorogo, masih mewarisi varian abangan dalam
perilaku konflik.
Dari perbedaan ini, maka petani keturunan (petani inti basis
konflik) terbagi menjadi dua secara realitas konflik, yaitu (1)
petani radikal dan (2) petani konservatif. Kedua tipologi petani
inti basis ini terpusat pada dua kekuatan pengaruh kepemimpinan
yanitu petani konservatif yang cenderung dekat dengan tipe
kepemimpinan santri dari kelompok-kelompok petani yang moderat,
sedangkan kelompok petani radikal diperkenankan oleh kelompok yang
lebih dekat dengan tipe kepemimpinan abangan yang dimainkan oleh
kelompok-kelompok petani yang radikal.
Dikotomi petani ini didasarkan pada persepsi pemimpin (elit)
dalam memandang konflik yang terjadi serta strategi konflik yang
akan diterapkan. Persepsi ini tampak di antara kedua kelompok
itu.
... bahwa strategi kelompok-kelompok abangan terkesan sangat
keras, baik di tingkat ide maupun tindakan yang tidak
terorganisir.ide yang keras ini muncul setelah mengadakan aksi
(terjadinya aksi). Strategi ini muncul, karena ada kecenderungan
bahwa suara mereka baru didengar oleh pemerintah kalau terjadi
keributan dan kekerasan.26
Di sisi lain, salah sseorang informan yang berhasil diwawancarai
mengatakan:26. Hasil wawancara dengan informan di Kaliwining.
Oktober 1995.
... bahwa kekerasan yang terjadi juga diakibatkan oleh
ketidakpastian posisi kasus tanah yang sedang terjadi, sehingga
rakyat mempunyai perasaan susah untuk diajak kompromi. Saya tidak
bisa mencegahnya, apabila ada kekerasan-kekerasan yang muncul.
Posisi yang berbeda terjadi pada kelompok yang cenderung dekat
dengan tradisisantri yang lebih moderat dan mengambil sikap,
sebagaimana hasil wawancara yang pernah dilakukan.27
... mereka telah mengadakan perjanjian dengan para petani, bahwa
pihak I (petani) tidak bisa berbuat dan bertindak yang berhubungan
dengn masalah tanah tersebut, tanpa sepengetahuan dan persetujuan
pihak II (pemimpin petani). Peristiwa penantanngan carok oleh H.
Mushlis, menunjukkan bahwa pemimpin kelompok mempunyai tanggung
jawab untuk mengendalikan massanya. Alasannya, saya ingin memberi
contoh pelaksanaan hukum dan ketaatan di hadapan hukum.
Sementara itu salah seorang informan di Cangkring Baru
memandang,
... kekerasan adalah dosa menurut ajaran Islam dan itu dilarang
oleh agam. Iniselalu saya jelaskan kepada para petani baik melaui
informasi pengajian maupun saat tahlilan.Implikasi dari presepsi
yang berbeda ini, ternyata melahirkan model strategi yang berbeda
pula dalam tindakan-tindakan petani untuk memenangkan konflik.
Perbedaan itu terlihat bahwa petani radikal memandang (1) cara
kekarsan efektif untuk memancing perhatian umum dan pemerintah
pusat, agar konflik segera diselesaikan. (2) Untuk itu, strategi
konflik dianggap efektif, bila dilakukan dengan cara ekstra legal.
Sementara kelompok petani konservatif memandang bahwa strategi (1)
harus dilakukan dengan cara prosedurral, sebab bagaimana pun status
tanah HGU perlu mendapat jaminan secara hukum; (2) untuk memudahkan
ini, mereka menolak cara-cara kekerasan, tetapi menggunakan cara
damai dan konsolidasi memenagkan massa dengan pendekatan keagamaan
melaui tahlilan, agar massa dapat dikendalikan; (3) persepsi ini
dilatarbelakangi oleh pemahaman bahwa cara kekerasan justru
dianggap merugikan.
Betapapun, dalam tingkat persepsi mudah untuk dibedakan dua
kelompok elit petani radikal dan konservatif; persoalannya adalah
bahwa komitmen elit ini tidak tertransformasi pada massa yang
bergejolak dengan aneka pemupukan kekecewaan dan keputusasaan yang
telah menghinggapi. Kerena itu sangat sukar untuk memisahkan
dikotomi tersebut, dalam tingkat presepsi mungkin dapat dipisahkan,
tetapi dalam tindakan kolektif menjadi sesuatu yang sangat sukar
untuk dipilah, massa mana yang radikal dan massa mana yang
cenderung konservatif. Meski bergitu, formulasi presepsi ini,
memberikan gambaran bahwa ada gejala dikotomi itu, dan tentu saja
akan berimplikasi pada gerakan politik dalam konflik tanah yang
mereka lakukan.
27. Hasil wawancara dengan informan di Cangkring Baru, Oktober
1995.
Pada sisi lain, basis inti petani yang terlibat dalam konflik
menurut umur, terlihat didominasi oleh interval usia antara 54-57
tahun. Secara kasar, tingkat umur ini, memiliki signifikasi dengan
mudahnya intensitas konflik untuk meluas dan berkembang, apa lagi
luas tanah yang dijadikan ajang konflik cukup luas. Intensitas ini
juga dipengaruhi oleh konsistensi perjuangan para pemimpinnya
ketika mereka mengkonsolidasikan massa untuk mendukung
mempertahankan tanah HGU dan mengajukan melalui jalur hukum yang
ada. Termasuk hal ini adalah pengorbanan harta benda mereka yang
tidak terhitung besarnya dalam mengajukan permohonan milik baik
melaui surat yang ditunjukan kepada instansi yang dianggap
berwenang dengan konflik tanah yang terjadi.
Identitas para petani inti basis konflik ini, sekaligus
menunjukkan para petani yang memohon agar tanah HGU bekas hak
erpacht itu dialihfungsikan menjadi hak milik kepada para petani.
Basis sosial petani inti basis, jika dilihat dari sisi umur,
jumlah, latar belakang dan tanah yang dimohon dapat dilihat Tabel 1
dan Tabel 2.
PTP XXVII dan Kelompok-Kelompok Pendukung
Para pendukung PTP XXVII adalah buruh tani, mandor dan para
centeng. Buruh tani adalh mereka yang bekerja sebagai buruh di
perkebunan. Petani ini sangat tergantung pada PTP, karena sebagian
dari mereka adalah tenaga kerja harian. PTP, dalam konflik yang
terjadi, menggunakan alasan ini untuk menandingi aksi-aksi
kekerasan petani inti basis yang terlibat dalam konflik tanah,
seperti munculnya bentrokan fisik antara petani inti basis konflik
dan para buruh perkebunan.
Tabel 1. Basis Massa Petani dilihat dari Tingkat Umur
Interval Umur/TahunJumlah Petani
22-25 tahun
26-29 tahun
30-33 tahun
34-37 tahun
38-41 tahun
42-45 tahun
46-49 tahun
50-53 tahun
54-57 tahun
58-61 tahun
62-65 tahun
66-69 tahun
>70 tahun15
18
31
29
30
21
30
55
9
23
17
4
7
Jumlah289
Sumber. Diolah dari data sekunder permohonan petani di Desa
Lengkong dan Desa Kaliwining
Tabel 2. Luas Tanah Sengketa dan Jumlah Petani
Luas Tanah (ha)Jumlah Petani Pemohon
0,100-0,250
0,251-0,401
0,402-0,552
0,553-0,703
0,704-0,850
0,851-1,003
>1,003125
91
52
14
-
-
7
Jumlah289
Sumber. Diolah dari data sekunder permohonan petani di Desa
Lengkong dan Desa Kaliwining
Kelompok pendukung PTP lainnya adalah para mandor dan para
centeng. Mandor sebenarnya memiliki peran cukup mendasar untuk
menjembatani kepentingan petani dengan PTP. Tetapi
tindakan-tindakan mereka seringkali dianggap merugikan petani.
Karena itu, saat konflik Mei 1995 meletus, sasaran pertama yang
diserbu adalah rumah mandor PTP. Ini terjadi,karena petani merasa
penerapan kebijakan PTPyang dilaksanakan oleh mandor, justeru
diselewengkan; baik mulai saat merekrut tenaga kerja, penggarapan
lahan di sawah atau saat bagi hasil panen dengan PTP. Perselisihan
sering terjadi berkaitan dengan kriteria kualitas tembakau yang
acapkali dimanipulasikan mandor apakah masuk kriteria A (baik), B
(sedang) dan C (cukup).
Di samping itu, muncul perlakuan diskriminatif yang dilakukan
oleh mandor dan centeng, disertai tindakan teror. Tindakan ini
tercermin dalam beberapa kasus yang pernah terjadi misalnya,
peristiwa pembabatan sekitar 300 pohon jeruk milik H. Muchlis oleh
orang-orang yang tidak dikenal. Peristiwa di Ajong dengan
pembabatan yang dilakukan oleh orang-orang suruhan PTP pada waktu
padii kurang 3 harilagi akan dipanen, tetapi esoknya sudah rata
dengan tanah.peristiwa lain adalah penantangan carok oleh tiga
orang yang mengaku suruhan PTP yang terjadi di Kaliwining, sehingga
ketiga orang tersebut dikepung dan akan diadili oleh massa sekitar
500 orang.
Di sisi lain PTP acapkali menerapkan kebijakan kerjasama dengan
petani yang diserai oleh aparat keamanan, tanpa pendekatan
persuasif. Kebijakan yang diterapkan justru sebaliknya, meskipun
telah ada perjanjian dengan para petani, kadang-kadang mengalami
penyimpangan dalam pola kemitraan yang diterapkan. Apalagi PTP
merupakan bagian dari aset negara, maka aparat pemerintah atau
negara tampak melindungi kepentingannya, baik di tingkat desa,
kecamatan, kabupaten maupun pusat.
Perkembangan konflik menunjukkan penyimpangan, misalnya
munculnya petani fiktif yang dianggap mempuunyai hubungan khusus
dengan aparat dan PTP, sebab dari temuan terakhir, ternyata mulai
1979-1987 petani fiktif ini dapat menyertifikatkan tanah HGU
(seharusnya menurut hukum jika diterapkan secara konsisten, tidak
dapat dilakukan karena menyalahi aturan yang ada).28 Petani fiktif
muncul sebagai akibat penyalahgunaan wewenang atas tanah HGU,
dengan terjadinya jual beli di bawah tangan antara petani fiktif
dan orang-orang tertentu yang punya akses dengan PTP.
28. Hasil wawancara dengan Tim Mediasi, Oktober 1995.
.Implikasinya di kalangan petani muncul dugaan kuat adanya
kolusi antara beberapa aktor PTP dan aparat negara untuk meloloskan
permohonan sertifikat, kepada beberpa orang, baik mantan pejabat
PTP maupun non-pribumi yang berstatus sebagai pengusaha. Data
terakhir menunjukkan ada sekitar 27 sertifikat.
Kelompok-Kelompok Penekan Pendukung Petani Inti Basis
Konflik
Kelompok ini merupakan kelompok penekan yang cenderung terlibat
secara intens dalam konflik yang terjadi di Jenggawah. Mereka
terbagi dalam dua kelompok, yaitu (a) kelompok advokasi; dan (b)
kelompok jalanan. Kelompok advokasi diwakili oleh Lembaga Bantuan
Hukum, atas permintaan petani, untuk menjadi konsultan hukum dalam
menuntut hak-hak mereka. Sedangkan kelompok jalanan, diwakili oleh
komite-komite solidaritas yang dibentuk oleh aktivis mahasiswa baik
dari intra kampus maupun ekstra kampus. Di antara aktivis jalanan
yang terlibat adalah aktivis dari GMNI, HMI, dan mahasiswa
Jember.Upaya ini dilakukan lebih untuk mendukung moral para petani
yang tertindas dan tidak berdaya. Upaya dukungan kelompok jalanan
ini dilakukan dengan cara unjuk rasa, demonstrasi dan aksi-aksi
keprihatinan.
Pembentukan Tim Mediator
Dalam pandangan teoritis, mestinya mediator dibentuk oleh pihak
yang berkonflik, yaitu petani dan PTP. Tetapi, melihat perkembangan
konflik yang semakin meluas, Pangdam V Brawijaya mencoba
mengusulkan pembentukan tim mediasi setelah sebelumnya posisi
konflik dinyatakan dalam kodisi staus quo, atau berada dalam
pengawasan keamanan. Maka, sebagai terapi cooling down, salah satu
strategi yang dipilih oleh Pangdam V Brawijaya adalah pembentukan
tim mediasi yang terdiri dari Kiai Yusuf Muhammad, Kiai Lutfi, dan
Kiai H. Khotib Umar.
Implikasinya, mau tidak mau, petani yang terlibat dalam konflik
tanah harus bersedia menerima kehadiran mereka. Ini yang disebut
oleh Kerr sebagai suatu arbritasi/penindasan, sebab pihak-pihak
yang berkonflik tidak memiliki alternatif untuk menyelesaikan
konflik. Kelompok petani radikal meolak kehadiran tim mediasi
karena dianggap justru akan merugikannya, dan akan lebih
menguntungkan PTP. Sementara kelompok petani konservatif melihat
hal ini positif, untuk mengartikulasikan kepentingan yang akan
diperjuangkan. Perbedaan ini menyulut konflik interen antar
kelompok petani, karena dianggap beberapa elit pemimpin akan
memanfaatkan momentum ini untuk kepentingan pribadi. Prasangka ini
dinilai wajar, sebab kehadiran tim mediasi masih dianggap
teka-teki, menguntungkan atau merugikan.
Upaya-upaya tim mediasi diawali dengan cara mengakomodasi
pihak-pihak yang berkepentingan dalam konflik, juga pihak-pihak di
luar konflik. Menurut tim mediasi ada dua pihak yang jelas-jelas
berkepentingan dengn konflik tanah yaitu petani dan PTP. Di samping
kedua belah pihak itu, pihak lainyang berkepentinagn adalah
pemerintah atau aparat negara seperti ABRI dan BPN. Kepentingan
ABRI adalah agar di daerah sekitar perkebunan konflik tidak membawa
akibat yang lebih besar. Sedangkan BPN berperan menentukan status
tanah HGU tersebut, karena lembaga ini berhak mengeluarkan izin
sertifikat sebagai tanda hak milik. Dari konteks ini, disadari atau
tidak, tim mediasi telah melakukan tekanan-tekanan, atau versi Kerr
disebut penindasan dengan sosialisasi bahwa kepentingan harmonis
harus segera diwujudkan dalam wilayah Jember, terutama Jenggawah
yang bergolak.
Upaya selanjutnya adalah melakukan pendekatan untuk mengetahui
kemauan kelompok-kelompok lain yang berkepentingan yaitu
instansi-instansi yang berwenang. Upaya lain adalah melakukan
musyawarah, dengan kelompok yang berkonflik dan menghubungkannya
dengn mengatakan bahwa untuk saat ini hak milik tidak mungkin
diberikan maka perlu diarahkan pada pola kemitraan dalam rangka
mendekatkan berbagai kepentingan berbeda yang muncul dalam
konflik.29
Mengapa justru Kiai yang dipakai sebagai tim mediasi kalau
memang negara memiliki kepentingan menyelesaikan konflik, mengapa
bukan anggota-anggota DPR yang adalah wakil rakyat. Dari pertanyaan
ini, terlihat bahwa negara dan aparatnya sendiri tidak yakin bahwa
kasus konflik yang telah munculnya memanas dan meluas dengan
intensitasnya yang tinggi, akan mampu diselesaikan. Peran pemimpin
informal akhirnya jadi alternatif karena dianggap menguntungkan dan
memiliki fungsi pengayom untuk menyandarkan peran-peran basis massa
yang terlibat dalam konflik. Pola ini mirip dengan munculnya Kiai
Alawi Muhammad ketika konflik Nipah mencuat ke permukaan, yang
tiba-tiba menjadikannya sebagai tokoh nasional. Mengapa aparat
negara takut mendekati rakyatnya sendiri?
Potret ini mengindikasikan munculnya disintegrasi elit massa
dalam perjalanan politik lokal, termasuk timbulnya gejala konflik
tanah di Jenggawah. Karena birokrasi lokal sebgai aparat negara
mengalami kesullitan wenang untuk menyelesaikan konflik yang
muncul, sebab rakyat sudah tidak percaya lagi, sehingga peran itu
kemudian diambil oleh pemimpin informal seperti ketiga Kiai
tersebut, yang mampu merumuskan kepentingan-kepentingan petani,
kemudian meyakinkannya dengan berbagai tindakan di tengah-tengah
mereka. Dari konteks ini, maka ada kecenderungan tersumbatnya
saluran penyelesaian konflik politik yang dialami oleh
masyarakat.Pola Penyelesaian Konflik
Istilah penyelesaian konflik mengacu pada pendekatan manajemen
konflik politik dan teori strukturalis semi otonom. Kedua paradigma
ini melihat keterlibatan negara secara konkret sebagai penengah
munculnya konflik yang terjadi dalam masyarakat. Menurut pendekatan
manajemen konflik, penyelesaian konflik, dianggap sebagai upaya
pengelolaan konflik oleh negara. Negara memainkan peran dalam
mengelola konflik yang terjadi di masyarakat sehingga dapat
ditransformasikan menjadi konsesus.3029. Hasil wawancara dengan Tim
Mediasi di Jember, Oktober 1995
30. R. Eep Saifullah Fatah, Manajemen Konflik Politik dan
Demokrasi, dalam Prisma, No. 8, Agustus 1994
Sementara teori strukturalis semi otonom mempersepsikan negara
sebagai lembaga politik yang lebih otonom. Negara dianggap lebih
berperan sebagai penengah konflik antara berbagai kelompok
kepentingan, sehingga pembangunan oleh negara dipandang sebagai
upaya menggalang sumber daya untuk menengahi konflik yang
terjadi.31Negara dalam kedua terminologi tersebut,
dopersonifikasikan baik secara individual maupun lembaga.
Nordlinger melihat negara secara subjektif atau dalam perangkat
analias individual yaitu individu yang menduduki posisi yang
memiliki kewenangan membuat dan melaksanakan keputusan yang
mengikat semua pihak yang ada dalam wilayah tertentu. Termasuk
dalam kategori ini adalah presiden, para menteri, dan para kepala
daerah. Sementara Kresner dan Scotpol melihat negara dalam arti
lembaga dan individu, seperti Mahkamah Agung, militer, kehakiman,
BPN, ABRI, maupun Pengadilan, DPR, dan lain-lain.32 Sementara
individu adalah seperti Bupati, Menteri, Presiden dan Wakil
Presiden, dan Pangdam V Brawijaya.
Studi ini menemukan bahwa arah kontrol politik hanya diberikan
dan diterapkan oleh negara dan aparatnya terhadap petani dan
kelompok-kelompok penekan yang mendukungnya, serta tim mediator.
Sementara kecenderungan kolusi yang menguntungkan PTP tampak sekali
dalam berbagai tindakan aparat negara.
Kontrol politik oleh negara Orde baru (NOB) dan aparatnya,
dilihat dari dua kriteria yaitu (a) siapa yang melakukan
intervensi/ kontrol politi; dan (b) dalam bentuk apa intervensi/
kontrol politik dilakukan, baik kepada petani dan kelompok penekan,
maupun tim mediasi. Sedang arah efektivitasnya dilihat melalui tiga
kriteria yaitu, (1) apakah efektivitasnya tinggi, ditandai dengan
stabilitas konsensus; (2) apakah efektivitasnya semu, ditandai
dengan melatenkan konflik yang terjadi; dan (3) apakah
efektivitasnya rendah, ditandai dengan mematikan konflik politik
yang terjadi.Dari Skema 4 terlihat kontrol polotik yang dilakukan
oleh negara justru melahirkan efektivitas semu dan rendah. Ini
berbeda dengan harapan masyarakat agar efektivitas penyelesaian
yang tinggi yang ditandai adanya konsensus di antara pihak-pihak
yang berkonflik. Tetapi realitasnya muncul efektivitas semu dan
rendah yang cenderung mematikan dan melatenkan konflik. Sebab pola
yang diterapkan cenderung represif dengan mengedepankan security
approach. Dampaknya, konflik tanah Jenggawah yang semestinya
selesai pada 1969, tiba-tiba mencuat kembali dengan modus yang
hampir sama yakni tindakan kekerasan dan radikalisme.
31. Piere James, State Theories and New Order Indonesia, dalam
Arief Budiman (ed), State and Civil Society in Indonesia (Monas
Papers on Shoutheast Asia, No. 22, 1990
32. Ramlan Surbakti, dalam Jurnal Ilmu Politik 14
Dari kriteria tersebut, arah kontrol politik dan efektivitasnya
dijabarkan dalam Skema 4.Apa dampak bagi proses penyelesaian
konflik yang diharapkan oleh masyarakat? Ternyata pola penyelesaian
otokratis, di mana kontrol politik diarahkan untuk menindas
partisipan konflik, secara paradigmatik hal ini merupakan negasi
dari peran NOB dan aparatnya dalam upaya mengelola konflik yang
muncul, selalu dikalkulasik merugikan penguasa untuk mempertahankan
status quo kekuasaan, atau tidak. Jadi, gejala penggunaan
kekerasan, represif-non institusional, acapkali menjadi bagian yang
tidak terpisahkan dari pola penyelesaian konflik yang didominasi
kekuasaan kalkulatif.
Gejala ini lebih parah lagi, tatkala upaya transformasi konflik
tanah di Jenggawah ke arah konsesus,hanya dipandang dari sisi
legalitas hukum yang berlaku dalamproses pengambilan keputusan. NOB
dan aparatnya dalam mengadaptasi konflik yang muncul mestinya juga
memandang dari sisi sosiologis dan psikologis, untuk menelusuri (1)
bagaimana formulasi sikap dan konflik; (2) sumber-sumber yang
menyebabkan konflik; (3) mengidentifikasi pola yang cocok untuk
penyelesaian kasus. Negara tidak perlu mengeneralisasikan semua
konflik yang terjadi dengan pola-pola penyelesaian yang sama yaitu
represif-non-institisional dengan ciri intimidasi, teror, ancaman
dan penangkapan.
Fungsi penelususran secara sosiologis dan psikologis dimaksudkan
adalah untuk menghindari munculnya polarisasi baru, baik dalam
persepsi maupun tindakan kelompok-kelompok yang terlibat dalam
konflik. Sebab apabila kekuasaan kalkulatif masih mendominasi,
peran NOB dan aparatnya tetap dianggap merugikan rakyat dan
melemahkan kekuatannya. Dampaknya, sikap resistensi petani tetap
akan muncul baik pada aras persepsi maupun tindalkannya, sebagai
dampak ketidakpercayaan terhadap mekanisme kontrol politik Negara
Orde Baru.
Resistensi ini juga dipengaruhi oleh semakin lemahnya kondisi
ekonomi mereka, karena saluran-saluran ekonomi di luar pertanian
tertutup. Tidak hanya itu, dari segi akses politik, mereka juga
menjadi kelompok marginal di tengah kekuatan dahsyat yang setiap
saat menghimpitnya. Lemahnya akses politik kelompok petani ini
menimbulkan kristalisasi kekecewaan yang lebih mendalam. Potret ini
dialami oleh petani Jenggawah. Di samping lemah secara ekonomi,
mereka juga lemah dalam akses politik, ketika akan menyampaikan
ketidakmampuannya. Sementara di sisi lain PTP secara ekonomi kuat,
juga akses politiknya, sehingga makin menjadi tanda Tanya besa.
Karena dalam perkembangan konflik yang muncul, peran NOB dan
aparatnya dianggap mengamankan kepentingan PTP dengan cara kolusi,
terutama dalam memperpanjang tanah HGU, yang menjadi sumber
konflik, dan penyelesaian konflik yang terjadi.
Padahal, upaya petani untuk mempengaruhi proses politik sudah
dilakukan sejak 1990 dengan mengajukan permohonan hak milik yang
disampaikan lewat Bupati KDH TK II Jember. Pada 1993 tercatat 15
kali pengajuan permohonan kepada Pemda TK II Jember, DPRD TK II
Jember, DPRD TK I Jatim, Bakostanda Jatim, DPR RI, Dirjen
Perkebunan dan menteri Agraria. Sementara sepanjang 1997 diajukan 7
kali permohonan hak mlik, sedangkan pada 1995 tercatat 2 kali
dengan hasil yang tidak menentu.
Pola penyelesaian konflik tanah di jenggawah dilakukan dengan
cara represif dan hasil konsesnsus yang dibangun sangat rapuh,
mematikan konflik dan melatenkan konflik politik. Hal demikian
tidak lain karena kuatnya pengaruh aparat dan NOB hingga tingkat
desa. Negara masuk desa, demikian meminjam istilah weber. Artinya,
ideology Negara dengan birokrasi sentralistis dan komando dari
pusat, benar-benar menguasai seluk beluk kehidupan masyarakat,
termasuk kehidupan pertanian. Jaringan birokrasi yang demikian,
kenyataannya menjadi benang kusut yang sangat sulit untuk dicari
ujungnya, praksis di tingkat desa pun, dengan pola keamanan
(security approach), diterapkan dengan adanya Babinsa, Koramil,
Camat dan Kepolisian sebagai pilar-pilar pelaksana birokrasi di
tingkat lokal.
Setidaknya ada tiga kecenderungan menarik tentang implikasi
kuatnya jaringan tersebut bagi masyarakat Jenggawah. Pertama
munculnya interaksi antara kuatnya jaringan birokrasi di tingkat
lokal dan petani Jenggawah. Kecenderungan ini menyadarkan mereka
atas munculnya kekuatan besar yang akan dihadapi. Kedua,
terbentuknya jaringan kepentingan lokal (antar desa) untuk
mengimbangi kekuatan birokrasi dalam perkembangan konflik tanah I
jenggawah. Kepentingan petani yang berbeda, yang sebelumnya tidak
terorganisasi secara utuh. Ini merupakan bukti atas pemahaman
mereka terhadap dinamika konflik, akibat akumulasi perlakuan yang
dialami selama konflik berlangsung, sehingga menyatukan konsistensi
perjuangan melalui jaringan organisasi antar desa dan elit
pemimpin. Ketiga, konflik cenderung meluas, berintensitas tinggi,
dan dibarengi oleh sikap radikalisme massa, wujudnya yang khas
dalam setiap demonstrasi dan unjuk rasa. Kekentalan ini memberikan
arti penting atas timbulnya gagasan menggugat hegemoni Negara
melalui tindakan resistensi menolak peran NOB dan aparatnya dalam
penyelesaian konflik yang tidak berimbang. Jika dikaji secara state
of nature, ada beberapa faktor yang mempengaruhi, terutama faktor
internal. Pergulatan massa dengan konflik yang hampir 25 tahun
dialami, mempengaruhi cara pandang mereka tentang politik,
keadilan, konsistensi hukum, dan moral aparat Negara. Kondisi
subjektif ini menjadi kuat pengaruhnya ketika hadir faktor
eksternal. Faktor ini dipengaruhi oleh persinggungan para petani
dengan aktivis advokasi dan parlemen jalanan dalam mendiskusikan
problematika yang mereka alami. Pertanyaannya sampai kapan kondisi
subjektif dan objektif ini akan bertahan dan menjadi kekuatan baru
dalam sosio kultur masyarakat petani?
Paling tidak pertanyaan ini menyangkut persoalan, apakah konflik
yang belum terselesaikan mungkin akan meledak kembali. Menurut
Smleser, 33 kecenderungan ini akan terjadi, jika sumber-sumber
konflik tidak diakomodasi secara seimbang dan tidak sejauhmana
nilai-nilai konflik tetap diinternalisasikan oleh kelompok-kelompok
petani yang tidak puas. Jika ini terpenuhi, mungkin sekali menurrut
Smelser konflik akan muncul pada generasi berikutnya dan akar serta
persoalannya tetap akan sama seperti konflik sebelumnya.
Kesimpulan : Rakyat dan Kekuasaan Hubungan keserasian antara
rakyat dan negara dalam terminologi paradigm kultural Jawa
dicerminkan oleh konsep manunggaling kawulo gusti. Raja sebagai
gusti dan rakyat sebagai kawula wong cilik lan abdi, merupakan
elemen sistem sosial yang mereka kendalikan secara harmonis. Apa
kunci keharmonisan itu? Dalam sejarah, dongeng rakyat melindungi
raja atau sebaliknya seringkali menjadi cerita anak-anak negeri.
Secara filosofis Jawa, keharmonisan itu terjadi, karena terjaganya
lingkungan mikro dan makro, lingkungan mikro sebagai indikasi
kawula, sedangkan lingkungan makro sebagai gambaran raja. Tatanan
yang dibangun kerapkali disebut dengan istilah hubungan kawulo
gusti atau dalam terminology teori modern disebut hubungan patron
client suatu pola hubungan manunggal dan saling melindungi.
Kawulo memang manunggal dengan gusti, karena dalam tatanan
filososfis Jawa raja memegang peranan legitimasi ilahiyah, yang
menjadi panutan. Legitimasi itu akan musnah ketika moralitas sang
raja tidak terjaga dan tertata dengan apik, atau raja merusak
tatanan kosmos yang menjadi pilar kekuasaannya. Buntutnya, tanah
pun juga dianggap milik raja, rakyat hanya de facto sebagai
penggarap yang kemudian menyetor upeti yang telah ditata dalam
hubungan itu.
33. Lihat Smelser dalam Mark N. Hagopian, Regime Movements, and
ideologies; A. Comparative Introduction to political science (New
York and London, Logman, 1978), hal. 262-265Masalahnya mengapa
hanya konsep kekuasan saja yang diadopsi oleh orde baru dari
filosofi Jawa? Mengapa pola keserasian itu kemudian hancur lebur
oleh kepentingan pembangunan yang berorientasi pertumbuhan ekonomi.
Kenapa ketika timbul goro-goro atas munculnya pergeseran hubungan
rakyat dan negara, polanya menjadi represif dan cenderung menindas?
Kaidah pergeseran ini, justru mengimplementasikan negara
berperilaku Machiavellian kuat, rakus, dan menindas.
Pergeseran ini secara tidak langsung menjadi pemicu atas
munculnya berbagai resistensi tindakan petani menyangkut persoalan
tanah mereka. Hal ini terjadi karena 1) Negara yang harus menjadi
pelindung dan pengelola konflik justru mereduksi dan mengalienisasi
kekuatan-kekuatan rakyat dalam pembangunan, 2) tindakan dalam
pengelolaan konflik yang lebih cenderung represif non
institusional, mengindikasikan perubahan dan pergeseran hubungan
itu. Perspektif ini menarik, untuk mencari akar filosofis kekuasaan
yang dipahami oleh petani Jenggawah, yang seharusnya
dimanifestasikan dalam wujud melindungi dan mengatur konflik.
Harapan ini selalu muncul, bahwa keadilan, konsistensi hukum, peran
membina masyarakat, menjadi harapan konkret untuk diterapkan
sebagai formulasi upaya negara menyelesaikan konflik.
Pertanyaan DiskusiAKonflik Tanah di Jenggawah
1Coba dijelaskan latar belakang terjadinya konflik di
Jenggawah?
2Termasuk tipologi yang mana konflik yang terjadi di
Jenggawah?
3Sebutkan dan jelaskan pihak-pihak mana saja yang terlibat dalam
konflik tersebut?
4Bagaimana mekanisme penyelesaian konflik tanah di jenggawah,
dan apa peran pemerintah dalam menyelesaikan konflik tersebut?
5 Menurut anda, bagaimana peluang (potensi) terjadinya konflik
kembali dari hasil penyelesaian sekarang?
INTERAKSI SOSIAL UMAT BERAGAMA PADA TIGA DESA PERTANIAN DI
KECAMATAN TANJUNG MORAWA: Upaya Menemukan Strategi Penguatan
Kerukunan Umat Beragama Berbasis Sosial dan EkonomiChuzaimah
Batubara, dkkTujuan Pembelajaran
1. Pendahuluan2. Kerangka Analisis
3. Latar Belakang Sosio-kultural4. Jaringan Sosioekonomi Umat
Beragama5. Pusat-pusat Interaksi Antarumat Beragama6. Pembahasan :
Kegiatan Pertanian Sebagai Basis Kerukunan Umat Beragama7.
Kesimpulan
8. Pertanyaan Diskusi
Tujuan PembelajaranSetelah mempelajari materi ini, mahasiswa
akan mampu :
1Mampu menjelaskan latar belakang interaksi sosial umat beragama
pada tiga desa pertanian di kecamatan tanjung morawa
2Mampu menjelaskan pihak-pihak yang terlibat dalam interaksi
sosial umat beragama di desa pertanian Kecamatan Tanjung Morawa
3Menjelaskan Latar Belakang Sosio-kultura, Jaringan Sosioekonomi
Umat Beragama, Pusat-pusat Interaksi Antarumat Beragama
4Mengetahui dan menjelaskan pola-pola interaksi sosial
antarkelompok-kelompok keagamaan dari waktu ke waktu sesuai
perkembangan sejarah sosial umat beragama di Kecamatan Tanjung
Morawa
5Mengetahui dan menjelaskan cara-cara masyarakat dan peran
institusi-institusi sosial dalam mengelola interaksi sosial
antarkelompok keagamaan, baik dalam mengelola konflik yang terjadi
sewaktu-waktu, maupun dalam meningkatkan kualitas kerukunan
antarkelompok.
PendahuluanPada masyarakat primordial, suku dan agama dianggap
sebagai dasar utama dalam pengelompokan sosial. Karena itu, tidak
dapat dihindari bahwa pembentukan komunitas-komunitas di dalam
masyarakat selalu saja mengacu pada kesamaan atau perbedaan suku
dan agama. Lebih jauh, sikap dan perilaku sosial juga banyak
ditentukan oleh kesamaan dan perbedaan suku dan agama tersebut.
Orang akan selalu saja mengelompokkan teman sesuku atau seagama
sebagai our (kita, minna, in-group) sedangkan orang yang berbeda
suku atau agamanya sebagai they (mereka, minhum, out group). Ini
sudah menjadi fakta sosial yang dianggap sebagai fenomena alamiah
dan diterima sebagai sesuatu yang seharusnya demikian. Berdasarkan
alasan inilah, harus diakui bahwa aspek kesukuan dan keyakinan
agama menjadi sekat psikologis yang dapat menciptakan jarak sosial
antara satu sama lain di dalam masyarakat. Berdasarkan penelitian
dan pengamatan di daerah-daerah multietnik dan agama, diketahui
bahwa perbedaan suku dan agama selalu saja menjadi faktor penting
dalam menciptakan pembedaan antara satu komunitas dengan komnitas
lainnya. Walaupun demikian halnya, ternyata pola hubungan antara
kelompok-kelompok berbeda agama tidak selalu persis sama di setiap
daerah. Ada daerah yang rawan konflik, sehingga sedikit saja
persoalan muncul maka dengan mudah bermuara kepada disintegrasi,
tetapi ada pula daerah tertentu yang mampu mengelola perbedaan
menjadi basis bagi terbentuknya kerukunan yang harmonis. Jadi pada
dasarnya, relasi sosial antarumat beragama sangat tergantung pada
faktor kondisional dan upaya-upaya yang dilakukan untuk membangun
hubungan antara komunitas-komunitas yang berbeda.Penelitian ini
bermaksud untuk memahami lebih dalam pola-pola interaksi sosial
kelompok-kelompok keagamaan di desa pertanian yang multietnik dan
agama. Secara spesifik, penelitian akan menelusuri lebih jauh
fungsi institusi-institusi pertanian dalam menciptakan jaringan
sosial yang kuat sehingga mampu mewujudkan pola-pola relasi sosial
yang rukun dan harmonis. Dengan demikian, maksud penelitian tidak
hanya untuk menemukan bagaimana keadaan interaksi sosial umat
beragama, melainkan juga untuk mencermati strategi-strategi sosial
dalam membentuk pola-pola interaksi tersebut.Lokasi penelitian
dipilih pada tiga desa pertanian sawah di Kecamatan Tanjung Morawa.
Dasar pemilihan tiga desa ini bertolak dari pengamatan, bahwa di
daerah tersebut telah tercipta kerukunan yang tumbuh secara
alamiah. Kerukunan yang ada di tiga desa tersebut jelas bukan
timbul dengan sendirinya, dan sangat beralasan jika dikatakan bahwa
apa yang terlihat sekarang ini adalah hasil dari proses interaksi
dan aksi serta peran yang telah dan sedang dimainkan oleh aktor
yang ada termasuk sesuatu yang tersembunyi (invisible hand). Lebih
jauh, dapat dikatakan bahwa penduduk tiga desa ini adalah para
pendatang dari berbagai daerah, khususnya Tapanuli, Karo, dan Pulau
Jawa, yang berintegrasi dalam suatu model kehidupan pertanian.
Karena itu sejarah pertemuan antara berbagai etnik dan penganut
agama masih mungkin ditelusuri ke belakang. Pokok masalah
penelitian ini dapat dirumuskan ke dalam satu bentuk pertanyaan
sebagai berikut: Bagaimana strategi-strategi pengelolaan interaksi
sosial antarkelompok keagamaan untuk memperkuat kerukunan di
desa-desa pertanian. Lebih spesifik, pokok pembahasan meliputi tiga
hal penting tentang kerukunan umat beragama. Pertama, deskripsi
pola-pola hubungan antarkelompok keagamaan dalam perkembangan
sejarah, serta cara-cara yang ditempuh untuk menyelesaikan
persoalan-persoalan yang dihadapi; kedua, deskripsi tentang
strategi-strategi pengembangan kerukunan hidup umat beragama dengan
berbasis pada kegiatan sosio-ekonomi; dan ketiga, rumusan tentang
strategi pembinaan kerukunan hidup antarumat beragama yang dapat
dikembangkan ke depan.Penelitian ini bertujuan untuk
mendeskripsikan kondisi kerukunan hidup umat beragama yang terjadi
pada tiga desa pertanian di Kecamatan Tanjung Morawa. Kemudian
secara lebih rinci tujuan penelitian ini adalah: a. Untuk
mengetahui pola-pola interaksi sosial antarkelompok-kelompok
keagamaan dari waktu ke waktu sesuai perkembangan sejarah sosial
umat beragama di Kecamatan Tanjung Morawa.
b. Untuk mengetahui cara-cara masyarakat dan peran
institusi-institusi sosial dalam mengelola interaksi sosial
antarkelompok keagamaan, baik dalam mengelola konflik yang terjadi
sewaktu-waktu, maupun dalam meningkatkan kualitas kerukunan
antarkelompok.
c. Untuk menemukan strategi pengembangan kerukunan yang feasible
dan applicable bagi masyarakat majemuk di pedesaan yang berbasis
pada sosio-ekonomi pertanian.
Kerangka Analisis
Ada tiga landasan teoritik yang dijadikan dasar untuk membangun
kerangka analisis dalam penelitian ini. Ketiga dasar teoritik itu
adalah teori Caser tentang konflik sebagai dasar penguatan
kerukunan, teori Blake tentang pola-pola interaksi yang mungkin
timbul ketika terjadi konflik, dan teori Hassan Hanafi tentang tiga
aspek yang perlu dikritisi dalam mencari strategi penguatan
hubungan antarumat beragama. Dua teori pertama akan dijadikan
sebagai landasan untuk mengamati proses-proses yang terjadi di
wilayah penelitian, sedangkan teori terakhir digunakan sebagai
dasar pemikiran dan pendekatan dalam memahami content yang mungkin
dikembangkan ke depan sebagai dasar perumusan strategi pengembangan
kerukunan berbasis sosio-ekonomi.
1. Konflik sebagai dasar penguatan kerukunan; Dalam sejarah
interaksi sosial antarkelompok, konflik adalah suatu realitas
sosial yang tidak dapat dihindari. Konflik itu merupakan suatu yang
inheren di dalam masyarakat. Namun demikian, dari perspektif
sosiologis, konflik antara dua kelompok --yang terjadi
sewaktu-waktudinilai cukup penting dalam memperkuat kerukunan.
Sebagaimana dinyatakan oleh Caser (1956), konflik yang terjadi
dalam masyarakat dapat membawa ke arah integrasi dalam berbagai
bentuk termasuk berkembangnya batas-batas sosial, terciptanya
ketenteraman masyarakat, dan berkembangnya struktur masyarakat yang
lebih kompleks. Merujuk pada teori Caser ini, pengelolaan konflik
menjadi kata kunci yang penting dalam membangun kerukunan.
Cara-cara tertentu yang dilakukan elit-elit sosial akan memberikan
kotribusi yang besar dalam proses interaksi menuju terciptanya
kerukunan atau konflik berkepanjangan. Jadi, jika kelompok-kelompok
yang berkonflik mampu mengelola konflik itu sebagai dasar untuk
membangun kerukunan, maka dengan sendirinya akan muncul pola baru
hubungan antarkelompok. Demikian seterusnya, setiap muncul konflik
baru akan memunculkan pola kerukunan yang baru.
2. Sikap sosial terhadap konflik; Secara teoritik, seperti
dikemukan Blake, Shepard, dan Mouton (1964) terdapat tiga kategori
kemungkinan dalam pengelolaan konflik oleh orang-orang yang
terlibat di dalamnya: (1) konflik tidak dapat dihindarkan, tetapi
persetujuan tidak dimungkinkan; (2) konflik dapat dihindarkan,
tetapi persetujuan tidak dimungkinkan; dan (3) meskipun ada
konflik, persetujuan dimungkinkan. Berkaitan dengan tiga perangkat
sikap itu, dapat diperkirakan karakteristik tindakan yang akan
terjadi bergantung pada taruhan-taruhan yang muncul saat tertentu.
Apabila orang-orang merasa bahwa konflik tidak dapat dihindarkan
dan persetujuan juga tidak dimungkinkan, perilaku mereka boleh jadi
akan pasif atau sangat aktif. Tindakan mereka akan cenderung pasif
dan membiarkan nasib yang memutuskan konflik tersebut jika
taruhannya rendah. Tetapi bilamana taruhannya cukup besar, mereka
akan memperkenankan campur tangan pihak ketiga untuk memutuskan
konflik tersebut. Akhirnya, bilamana taruhan itu tinggi, mereka
akan melibatkan diri secara aktif dalam konfrontasi menang-kalah
atau dalam perjuangan memperebutkan kekuasaan.
3. Analisis intelektual terhadap konflik: Hassan Hanafi dalam
karya kontrovesialnya berjudul Religious Dialoge and Revolution,
menawarkan tiga kritik yang harus dilakukan sebagai usaha kinerja
intelektual: Pertama, melakukan kritik historis, yaitu kritik yang
dilakukan terhadap sejarah hingga ditemukan motivasi orisinil yang
mengonstruksi sebuah fakta sejarah. Kedua, kritik eidetik, yaitu
krititk yang dilakukan terhadap kitab suci untuk mendapatkan
orisinalitas pesan-pesan Tuhan dan bukan pesan-pesan yang
dimanipulasi manusia. Dan ketiga, kritik praxys, yaitu kritik yang
dilakukan terhadap bentuk aksi keberagamaan yang selama ini
berlangsung hingga ditemukan formula aksi yang orisinil pula.
Ketiga kritik ini merupakan gagasan elaboratif-integralistik, tidak
bisa dipisahkan antara satu dengan lainnya, satu kesatuan utuh dan
sinergis. Ketiganya merupakan piranti paradigma yang "mumpuni"
dalam melakukan kinerja intelektual yang mengkaji kemandulan cara
pandang beragama dalam mengapresiasi kenyataan pluralisme.
Berdasarkan tiga teori tersebut, disusun kerangka analisis yang
akan diterapakan dalam penelitian ini. Kerangka analisis dimaksud
adalah:
1. Bahwa pertemuan yang cukup panjang antar kelompok-kelompok
keagamaan di kecamatan Tanjung Morawa telah melampaui banyak
peristiwa yang dipandang berkaitan dengan proses interaksi sosial
di antara mereka. Dalam proses interaksi dimaksud terdapat
fase-fase genting dan kritis yang dapat melemahkan serat-serat
kerukunan, dan terdapat pula peristiwa-peristiwa atau
kegiatan-kegiatan yang dipandang memperkuat kerukunan.2. Bahwa
tokoh-tokoh lokal telah melakukan banyak tindakan dalam mengatasi
persoalan-persoalan hubungan sosial di antara kelompok-kelompok
keagamaan. Tindakan-tindakan itu diasumsikan amat beragam, baik
yang berkaitan dengan upaya penyelesaian konflik maupun yang
berkaiatan dengan penguatan kerukunan. Semua tindakan tersebut
bernilai untuk diinventarisis, diseleksi dan kemudian dirumuskan
kembali untuk memperoleh strategi pengembangan kerukunan hidup umat
beragama yang visible dan applicable ke depan. 3. Dalam penelitian
ini, strategi pengembangan kerukunan dipahami sebagai cara-cara
pengorganisasian masyarakat agar terwujud sistem sosial yang padu,
kuat dan produktif. Di sini, sasaran pengelolaan tidak hanya pada
penanganan persoalan konflik, tetapi juga pada aktivitas yang
berorientasi pada konstruksi solidaritas yang kuat. Dengan
demikian, strategi-strategi pengembangan kerukunan yang ingin
digali dan dirumuskan disesuaikan dengan kondisi sosial yang sedang
dihadapi. Berikut dikemukakan gambaran umum, strategi-strategi yang
mungkin ditemukan dan dirumuskan kembali dihubungkan dengan kondisi
hubungan-hubungan sosial yang terjadi.NoKondisi hubungan
sosialStrategi Pengembangan Kerukunan
1Konflik terbuka antarkelompok keagamaanStrategi dan cara-cara
yang ditempuh untuk memperbaiki hubungan antar kelompok, sehingga
tidak tampak lagi gejala permusuhan.
2Konflik laten antarkelompok, seperti saling curiga dan tampak
tidak akrab.Strategi dan cara-cara menghilangkan sikap-sikap
negatif terhadap kelompok lain dan menumbuhkan sikap saling
mempercayai.
3Hubungan antarkelompok keagamaan berlangsung normal, tetapi
tidak menghasilkan kerja-kerja produktif. Strategi dan cara-cara
menciptakan sistem sosial yang terorganisir dengan baik, saling
membantu, dan selalu bekerja-sama untuk menolong orang lain tanpa
diskriminasi.
4Hubungan antarkelompok sudah sampai pada taraf kerjasama yang
baik Strategi dan cara-cara untuk membuat hubungan kerjasama lebih
produktif serta dapat mempercepat proses akulturasi dan asimilasi
yang intens antarkelompok.
4. Bahwa untuk menemukan strategi pengembangan kerukunan
berbasis ssosio-ekonomi diperlukan pengkajian secara intelektual
terhadap hal-hal yang berkembang di tengah masyarakat. Untuk maksud
ini diperlukan suatu pendekatan inteleketual untuk; (a) mengkaji
secara kritis pola-pola pemahaman umat beragama terhadap
perkembangan historis hubungan antarumat beragama pada masa lalu,
(b) mengkaji secara kritis pola-pola pemahaman keagamaan yang hidup
pada masing-masing penganut agama, dan (c) mengkaji secara kritik
sikap-sikap sosial dan tindakan-tindakan umat beragama, baik dalam
kelompok terbatas maupun bersama-sama, yang berkaitan langsung atau
tidak langsung dengan penguatan dan pelemalahan jaringan kerukunan
hidup umat beragama.
Interaksi Sosial Umat Beragama Pada Tiga Desa Pertanian
Latar Belakang Sosio-kultural
Wilayah sekitar kota Lubuk Pakam, yang meliputi sebagian
kecamatan Tanjung Morawa, kecamatan Lubuk Pakam, dan kecamatan
Perbaungan merupakan area persawahan yang menjadi lumbung padi bagi
Kabupaten Deli Serdang. Pada zaman penjajahan, tanah yang
membentang luas di sekitar Lubuk Pakam menjadi lahan perkebunan
tembakau yang dikelola oleh pemerintah kolonial Belanda. Banyak
penduduk dari Pulau Jawa yang bekerja di perkebunan ini, sebagai
kuli kontrak. Tetapi kemudian, setelah kolonial Belanda keluar dari
Indonesia, yang kemudian diganti oleh penjajah Jepang, kebun
tembakau di daerah ini banyak yang tidak terurus. Akibatnya,
sejumlah areal perkebunan menjadi terlantar dan menjadi hutan dan
rawa-rawa yang ditumbuhi rumbia.
Diperkirakan, pada masa menjelang masa akhir penjajahan Belanda
di Indonesia, orang-orang Melayu sudah memasuki daerah ini dan
menetap di sana dalam sebuah kampung kecil, bernama Batang Kunyit
--sekitar 5 Km dari Jalan Lintas Sumatera ke arah Batang Kuis.
Populasi Melayu yang tinggal di sini tidak banyak, sekitar 15
sampai 20 keluarga. Namun tentu, sebagai penduduk asli setempat,
mereka merasa bahwa tanah yang luas membentang dari Lubuk Pakam
sampai ke Batang Kuis adalah milik mereka, yang kemudian oleh
pemerintah kolonial Belanda dijadikan sebagai kebun tembakau.
Selain orang-orang Melayu, penghuni daerah ini adalah dari etnis
Jawa yang didatangkan oleh pemerintah Belanda sebagai kuli kontrak
untuk mengerjakan kebun tembakau yang cukup luas. Berdasarkan
penuturan Mbah Sari (80 tahun), ia sendiri adalah orang yang
bermigrasi (bersama orangtua) dari Jawa Tengah ke daerah ini pada
tahun 1939. Mereka dipekerjakan mengelola kebun tembakau dan
ditempatkan di Desa Penara Kebun, sekitar 4 Km ke arah utara dari
jalan lintas Sumatera. Berat dugaan, pada tahun 1939 itu adalah
masa terakhir rombongan transmigran Jawa memasuki daerah Lubuk
Pakam. Dengan demikian, dapat dipastikan bahwa sebelum masa
kemerdekaan telah terdapat dua kelompok etnis yang bermukim di
daerah ini, yaitu etnis Melayu sebagai penduduk asli dan etnis Jawa
sebagai kuli kontrak yang didatangkan dari Pulau Jawa.
Tanah kosong yang membentang luas di daerah Lubuk Pakam ini
memiliki daya tarik tersendiri bagi etnis lain, terutama dari
daerah Tapanuli. Berdasarkan informasi yang dikumpulkan di
lapangan, sekitar tahun 1948 orang-orang dari Tapanuli mulai
memasuki daerah ini sebagai penggarap. Pada ketika itu, perantau
dari Toba, Tapanuli Selatan dan Karo yang dikenal cukup ulet,
melakukan penggarapan terhadap tanah-tanah kosong dan mengolahnya
menjadi lahan persawahan tadah hujan. Masing-masing mengambil lahan
antara 1 sampai 2 hektare. Melihat perkembangan baru itu,
orang-orang Jawa yang tinggal di desa Penara Kebun terpanggil untuk
ikut menggarap tanah kosong. Mereka, yang pada awalnya hanya
memanfaatkan tanah kosong yang ada sekitar pemukiman sebagai lahan
sayuran untuk memenuhi keperluan sehari-hari, kemudian memperluas
garapan dan menjadikannya sebagai sawah. Menurut penuturan Misran
(63 tahun) salah seorang informan di Desa Perdamean, orang-orang
Jawa memilih tanah garapan di sekitar pemukiman mereka, sedang
orang-orang yang datang dari Toba menggarap di tengah dan
orang-orang dari Tapanuli Selatan menggarap sekitar jalan raya.
Sebagian dari mereka itu ada yang tinggal di Lubuk Pakam, dan
sebagian lain ada yang membuat rumah-rumah sederhana di tanah
garapannya. Ditambahkannya pula, bahwa kedatangan perantau dari
Tapanuli itu tidak berlangsung sekaligus, melainkan datang secara
bergelombang sampai tahun 1952.
Tidak diperoleh data yang pasti berapa banyak jumlah penggarap
pertama dari orang-orang Tapanuli dan Karo. Namun, sebagian besar
yang menetap sekarang adalah pendatang belakangan, sebagai
penggarap generasi kedua setelah tahun 1950. Hal ini berkaitan
dengan jabatan Gubernur Sumatera Utara yang ketika itu dijabat oleh
Abdul Hakim Harahap. Sebab, berdasarkan asal-usul para perantau
dari Tapanuli Selatan yang datang ke daerah ini adalah berasal dari
sekitar kampung asal gubernur, yaitu dari daerah Pasar Matanggor,
Kecamatan Sosopan sekarang. Orang-orang yang datang belakangan itu
tentu tidak lagi menggarap tanah kosong, tetapi menjadi penggarap
generasi kedua setelah membelinya dari penggarap pertama.
Keterangan di atas menginformasikan bahwa daerah subur di
sekitar Lubuk Pakam telah dihuni oleh berbagai macam suku sejak
tahun 1948. Mereka itu adalah dari suku Jawa, Batak Toba, Batak
Angkola, dan Karo. Sampai sekarang keempat suku atau subetnis ini
menjadi penduduk utama di daerah tersebut. Pendatang baru yang
masuk ke daerah ini juga umumnya adalah orang-orang dekat dari
penggarap awal, sehingga penduduk di daerah ini menjadi terpola
sedemikian rupa. Sejak awal para penggarap lahan persawahan
membentuk komunitas-komunitas yang menjurus pada pengelompokan
sosial berdasarkan primordialisme kesukuan dan keagamaan.
Konsekwensinya, struktur pemukiman penduduk menjadi terpola sesuai
dengan area tanah garapan mereka, di mana orang-orang Jawa
terkonsentrasi di sekitar Desa Penara Kebun, orang-orang Batak Toba
dan Karo di bagian tengah, dan orang-orang Batak Angkola di
pinggiran jalan besar. Hal ini terbukti dari pola pemukiman pada
tiga desa yang cenderung segregatif antara satu kelompok umat
beragama atau etnis tertentu. Sekarang, setelah jumlah penduduk
semakin besar, dan sistem administrasi membagi wilayah pada 4 desa,
maka orang-orang Jawa banyak yang masuk ke wilayah Desa Wonosari
dan desa Perdamean, orang-orang Batak Toba terbagi pada dua desa
Perdamean dan Wonosari, serta orang-orang Angkola/Mandailig lebih
terkonsentrasi ke arah bagian selatan jalan raya, yang belakangan
menjadi kampung tersendiri, yaitu Desa Tanjung Mulia.
NoSubetnis dan AgamaNama DesaKonsentrasi Pemukiman
1Jawa IslamTanjung MuliaDusun 1
PerdameanDusun 2, 3, 4, 5, 10, 11.
WonosariDusun 2, 3, 4, 5, 6, 7.
2Batak Angkola/ Mandailing IslamTanjung MuliaDusun 2, 3, 4.
PerdameanDusun 5
Wonosari-
3Batak Toba dan Karo KristenTanjung Mulia-
PerdameanDusun 1, 6, 7, 8, 9.
WonosariDusun 1, 8, 9, 10, 11, 12.
Boleh dikatakan bahwa hampir semua penduduk usia produktif
(angkatan kerja) yang ada di tiga desa terlibat secara langsung
atau tidak langsung dengan pekerjaan pertanian sawah. Sekalipun
terdapat sejumlah penduduk yang bekerja sebagai pegawai negeri,
TNI/POLRI, pedagang, buruh pabrik dan bangunan, namun secara umum
mereka terlibat dalam pekerjaan pertanian sawah. Dengan demikian,
hampir semua penduduk di desa ini terikat dengan kehidupan
pertanian.
Jaringan Sosioekonomi Umat Beragama
Sekalipun pemukiman penduduk bersifat segregatif berdasarkan
suku dan agama, namun warga tiga desa memiliki jaringan interaksi
yang cukup kompleks. Dalam jaringan tersebut tercipta relasi-relasi
sosial dan komunikasi silang-saling, baik antarindividu maupun
antarkomunitas, seolah membentuk jaring laba-laba, di mana satu
sama lain saling berhubungan. Hal yang cukup menarik adalah
ternyata perbedaan suku dan agama tidak menjadi kendala bagi
masyarakat untuk beritegrasi satu sama lain.
Pada dasarnya sistem jaringan yang tercipta di tengah masyarakat
petani berakar pada kondisi kehidupan sosial-ekonomi yang
saling-membutuhkan antara satu sama lain. Kondisi itu malah dapat
dikategorikan sebagai saling-ketergantungan. Karena banyaknya
kebutuhan pada orang lain dalam mengelola sawah, dengan sendirinya
interaksi antarindividu dan antarkomunitas berlangsung secara
alamiah. Tidak ada satu kelompok pun yang mampu menjalankan usaha
pertanian tanpa bantuan dari pihak lain. Jadi, ketergantungan pada
yang lain menjadi faktor penting dalam membentuk jaringan sosial
yang kompleks di dalam masyarakat.
Pergaulan sosial di tengah masyarakat pertanian sawah dapat
dikatakan sebagai pola pergaulan yang berlangsung secara alamiah.
Pola pergaulan itu terbentuk karena kondisi kehidupan yang saling
membutuhkan. Ketika kegiatan pengelolaan pertanian tersebut masih
dilakukan secara manual, para petani mengembangkan strategi
pengelolaan dengan suatu sistem tersendiri yang bersifat kolektif.
Sistem kerja secara kolektif ini pada esensinya adalah suatu sistem
pengelolaan sawah dengan cara bergotong-royong, yang dalam tradisi
masyarakat Sumatera Utara disebut dengan istilah yang berbeda,
seperti marsiadapari atau marsiurupan (Batak Toba), marsialapari
(Angkola), aron (Karo), dan sambatan (Melayu). Sistem kerja semacam
ini, pada masa lalu, tidak saja berguna dalam menyelesaikan
pekerjaan besar di mana satu sama lain saling membutuhkan bantuan
orang lain, tetapi juga bermakna penting dalam memperkuat integrasi
antaranggota masyarakat.
Pada era teknologi pertanian yang semakin maju seperti saat saat
sekarang ini, ketika tenaga manusia banyak digantikan oleh
alat-alat pertanian, kebutuhan pada bantuan pihak lain malah
semakin meningkat. Hanya bentuknya yang berbeda, di mana pada masa
lalu dilakukan secara gotong royong (imbal jasa) sekarang
dilaksanakan dalam bentuk bayaran material. Sebab seorang petani
yang sedang menghadapi pekerjaan besar yang perlu diselesaikan
dalam waktu singkat tetap meminta bantuan pemilik alat pertanian
dan tenaga kerja bayaran. Dengan demikian, pada prinsipnya semangat
saling ketergantungan antara satu sama lain tetap terpelihara.
Itulah ciri kehidupan masyarakat petani, di mana pergaulan sesama
mereka berjalan di atas kondisi saling ketergantungan itu. Pola
pergaulan semacam ini selalu mempresentasikan integrasi yang kuat
antara satu sama lainnya.
Jaringan sosial dan ekonomi yang terbangun berdasarkan kondisi
saling-membutuhkan tersebut dapat digambarkan sebagaimana figur
berikut:
Figur: Jaringan Petani Sawah Berdasarkan Kebutuhannya
Figur ini tidak dimaksudkan untuk membagi penduduk ke dalam
berbagai jenis pekerjaan, sebab semua mereka itu adalah petani
sawah juga. Fungsi, jabatan atau pekerjaan, baik sebagai penyewa
sawah, pemilik traktor/grendel, buruh tani, pekerja lelesan,
pengusaha warung kopi, penjual pupuk, penarik ojek mupun pengusaha
kilang padi, adalah atribut tambahan. Dengan demikian, mereka yang
memiliki atribut tambahan ini tetap memiliki kebutuhan pada yang
lain sebagaimana seorang petani.
Untuk menjelaskan bagaimana kebutuhan seorang petani terhadap
yang lain dalam mengelola sawah dapat diringkas ke dalam bentuk
tabel berikut:
NoJenis KegiatanPemberi JasaBentuk jasa yang diberikan
1Pembajakan sawahPemilik TraktorMembajak sawah sampai dapat
ditanami
2Penanaman padiBuruh taniMenanam padi di sawah
Pengusaha warung kopi dan nasiMenyediakan makanan dan minuman
bagi buruh tani
3Perawatan padiPenjual PupukMenyediakan pupuk dan racun hama
Koperasi/rentenirDana pinjaman
Buruh taniMenebar pupuk dan racun hama
4PanenPemilik grendelMenuai dan merontokkan padi dari
rantingnya
Buruh tani
Pengusaha Warung Kopi dan NasiMenyediakan makanan dan minuman
bagi buruh tani
5Penyediaan airP3AMembersihkan dan memperbaiki tali air
6Penjualan hasilAgen padiMembeli gabah
7Penggilingan padiPengusaha KilangMenggiling padi
8Pengaturan kegiatan pertanianKelompok TaniMengatur pola tanam
dan tertib tanam
Satu hal yang menarik adalah keterlibatan semua komunitas etnis
dan penganut agama ke dala