Konflik Etnis Antara Etnis Dayak dan Madura Di Sampit dan Penyelesaiannya (2001—2006) Rinchi Andika Marry, Mohammad Iskandar Program Studi Ilmu Sejarah, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia Kampus UI Depok Jawa Barat 16424 Indonesia Email: [email protected]Abstrak Skripsi ini menjelaskan tentang konflik etnis yang terjadi di Sampit. Kalimantan Tengah pada 18 Februari 2001 yang melibatkan dua kelompok etnis yaitu Suku Dayak dan Madura. Konflik antara dua kelompok etnis ini telah berulang kali terjadi pada masa Orde Baru, tetapi konflik terbuka baru meledak pada era Reformasi. Banyak faktor yang menjadi pemicu konflik diantaranya yang utama adalah sosial-budaya. Benturan antara kedua kelompok etnis ini telah menyebabkan banyak korban jiwa dari pihak Suku Madura dan membuat mereka harus meninggalkan Kalimantan Tengah. Mereka harus tinggal di tempat-tempat pengungsian di Jawa Timur. Pemerintah telah melakukan beberapa usaha rekonsiliasi untuk kedua pihak yang berkonflik. Setelah melakukan beberapa perjanjian perdamaian, warga dari suku Madura boleh kembali lagi ke Kalimantan Tengah dengan beberapa persyaratan. Mereka yang diijinkan kembali tersebut diantaranya haruslah yang tidak terlibat tindak kriminal dan telah lahir dan tinggal di Kalimantan Tengah dalam waktu yang lama. Kata Kunci : Konflik Etnis; Suku Dayak; Suku Madura; Sampit; Kalimantan Tengah. Konflik etnis..., Rinchi Andika Marry, FIB UI, 2014
22
Embed
Konflik Etnis Antara Etnis Dayak dan Madura Di Sampit dan ...
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Konflik Etnis Antara Etnis Dayak dan Madura Di Sampit dan
Penyelesaiannya
(2001—2006)
Rinchi Andika Marry, Mohammad Iskandar
Program Studi Ilmu Sejarah, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia
Skripsi ini menjelaskan tentang konflik etnis yang terjadi di Sampit. Kalimantan Tengah pada 18 Februari 2001 yang melibatkan dua kelompok etnis yaitu Suku Dayak dan Madura. Konflik antara dua kelompok etnis ini telah berulang kali terjadi pada masa Orde Baru, tetapi konflik terbuka baru meledak pada era Reformasi. Banyak faktor yang menjadi pemicu konflik diantaranya yang utama adalah sosial-budaya. Benturan antara kedua kelompok etnis ini telah menyebabkan banyak korban jiwa dari pihak Suku Madura dan membuat mereka harus meninggalkan Kalimantan Tengah. Mereka harus tinggal di tempat-tempat pengungsian di Jawa Timur. Pemerintah telah melakukan beberapa usaha rekonsiliasi untuk kedua pihak yang berkonflik. Setelah melakukan beberapa perjanjian perdamaian, warga dari suku Madura boleh kembali lagi ke Kalimantan Tengah dengan beberapa persyaratan. Mereka yang diijinkan kembali tersebut diantaranya haruslah yang tidak terlibat tindak kriminal dan telah lahir dan tinggal di Kalimantan Tengah dalam waktu yang lama.
Kata Kunci : Konflik Etnis; Suku Dayak; Suku Madura; Sampit; Kalimantan Tengah.
The Ethnic Conflict Between Madurese and Dayaks In Sampit and The Settlement (2001—2006)
Abstract This thesis describes about an ethnic conflict which occured in Sampit, Central Kalimantan on February 18th 2001, involving two ethnic groups which were Madurese and Dayaks. The conflict had been many times happened in the New Order era, but exploded in the Reformation era. There were motives on the conflict, including socio-culture. The clash between the two causing many victims from Madurese. They also had to leave Central Kalimantan. They had to live in evacuation areas in East Java. The government tried some efforts to do reconciliation for them. After some agreements they have done, the Madurese could come back to Central Kalimantan with conditions. They who were allowed to coming back were They who were not involved in crime and have born and lived in Central Kalimantan for a very long time.
Keywords: The Ethnic Conflict; Masacre; Madurese; Sweeping; kayau; Central Kalimantan.
Kalimantan merupakan pulau terbesar di Indonesia dengan Suku Dayak sebagai
penduduk aslinya. Dalam perkembangannya kemudian, khususnya setelah
Indonesia merdeka, banyak etnik lain yang bermigrasi ke Kalimantan seperti Suku
Jawa, Madura, Batak, dan Sunda, sehingga penduduk Kalimantan menjadi lebih
heterogen dibandingkan dengan masa sebelumnya. Para etnik pendatang
bermigrasi ke Kalimantan sebagian besar dilatari oleh faktor ekonomi. Pulau
Kalimantan menjadi daerah destinasi para imigran karena kekayaan alam yang
melimpah sementara jumlah penduduk masih sedikit. Semakin lama jumlah
penduduk di Pulau menjadi semakin heterogen akibat semakin berdatangannya
para imigran dari pulau lain terutama Pulau Jawa dan Madura. Sebagai suku asli
yang mendiami pulau Kalimantan, Suku Dayak cenderung hidup mengelompok
dan memiliki pola pemukiman yang sebagian besar tinggal di pinggiran sungai
atau pedalaman.1 Interaksi mereka dengan lingkungannya juga diatur oleh hukum
adat.
Suku Madura bermigrasi ke Kalimantan sejak tahun 1930-an melalui program
transmigrasi pemerintah Hindia Belanda. Namun migrasi terbesar terjadi pada
masa Orde Baru melalui program transmigrasi yang dimulai pada Pelita I—VI.2
Mereka telah berbaur dengan penduduk lokal bahkan melakukan perkawinan
dengan penduduk setempat. Di Kalimantan Tengah jumlah etnis Madura yang
paling besar adalah di Sampit. Mereka menguasai sektor industri penebangan dan
perdagangan kayu.3
Menurut Dr. Kuntowijoyo, ikatan solidaritas orang Madura khususnya yang
berada di perantauan lebih menggunakan fungsi agama secara simbolik yang
cenderung menjadikan orang Madura perantauan memiliki pola eksklusif. Hal ini
menjadi faktor yang mempersulit mereka berintegrasi ke dalam sistem politik,
ekonomi, dan sosial setempat. Jika terjadi persoalan di daerah baru, kepentingan
1 “Dendam Dayak Bisa Tujuh Turunan”, Kompas, 04 Maret 2001 2 Sri Edi Swasono dan Masri Singarimbun, Transmigrasi di Indonesia 1905-1985, Jakarta: UI Press. 1985, hlm. 57 3ICG, “Kekerasan Etnis di Indonesia: Pelajaran dari Kalimantan”, Jakarta/Brussel: International Crisis Group, 2001, hlm. 7 (Terjemahan)
etnik didahulukan serta harus membela sesama orang Madura bukan dari benar
atau salahnya.4
Pada masa Orde Baru, hal-hal yang menyangkut SARA (Suku, Agama, Ras dan
Antar Golongan) sangat tabu untuk dibicarakan sehingga setiap terjadi ketegangan
yang disebabkan faktor ini langsung diselesaikan dengan cara hukum formal
maupun kesepakatan damai melalui hukum adat setempat. Meskipun telah ada
kesepakatan damai, konflik masih sering muncul kembali karena ada pihak yang
melanggar kesepakatan damai tersebut. Konflik-konflik ini memunculkan stigma
terhadap masing-masing pihak yang tidak bisa hilang begitu saja. Perbedaan latar
belakang budaya menjadi salah satu faktor kuat terjadinya konflik tersebut.
Lembaga Musyawarah Masyarakat Dayak Daerah Kalimantan Tengah (LMMDD-
KT) telah mencatat sejumlah konflik besar antara Suku Madura dan Dayak yang
terjadi, antara lain adalah perkelahian, perkosaan, dan pembunuhan yang sebagian
besar korbannya adalah dari Suku Dayak dan pelakunya ditengarai dari Suku
Madura.
Faktor lain yang juga menjadi penyebab konflik etnis antara Madura dan Dayak
adalah adanya persaingan elit politik lokal akibat diberlakukannya Otonomi
Daerah tahun 1999. Fakta di lapangan memperlihatkan munculnya persaingan
yang tinggi di kalangan elite lokal di Sampit (Kabupaten Kotawaringin Timur)
untuk menguasai pemerintahan dan kekayaan daerah. Elit-elit lokal ini seringkali
menggunakan sentimen anti Madura untuk memperoleh dukungan politik dari
masyarakat.5 Sentimen anti Madura ini digunakan oleh elit-elit politik lokal
karena telah berkembang luas di masyarakat.
Pada Era Reformasi, semangat kesatuan menjadi pudar dan semangat kedaerahan
menjadi semakin dominan sebagaimana dengan diterapkannya otonomi daerah.
Hal-hal yang berbau SARA yang pada era Orde Baru menjadi hal tabu dan
dilarang bahkan dikecam, pada era reformasi mulai didengung-dengungkan. Di
daerah-daerah banyak terjadinya konflik-konflik yang menyangkut SARA dan
salah satunya yang dalam skala besar adalah konflik etnis di Kalimantan Tengah
4 Ibid. 5 Eriyanto, Media dan Konflik Etnis: Bagaimana suratkabar di Kalimantan meliput dan memberitakan konflik di Sampit tahun 2001, Institut Studi Arus Informasi (ISAI), Jakarta. Februari 2004, hlm. 23
cukup dekat, kesempatan kerja juga lebih bervariatif terutama di sektor informal
seperti menjadi penjual makanan keliling, buruh kasar, buruh pabrik dan lain-
lain.6 Semakin lama migrasi orang-orang Madura sudah semakin meluas, tidak
terbatas hanya ke Jawa Timur saja, tetapi juga ke pulau lainnya di Indonesia.
Pulau Kalimantan menjadi salah satu tujuan migrasi orang-orang Madura. Para
imigran dari Pulau Madura ini bermigrasi melalui program transmigrasi
pemerintah dan tidak sedikit bermigrasi atas keinginan sendiri.
Migrasi awal terjadi pada masa pemerintahan Hindia-Belanda dan sempat terhenti
pada masa kependudukan Jepang. Kemudian pada masa Presiden Soekarno
program transmigrasi dimulai lagi dan dilanjutkan oleh Orde Baru melalui
program Pelita I—VI. Orang-orang Madura bermigrasi ke Kalimantan dengan dua
alasan pokok. Pertama, sumber daya alam di Kalimantan sangat melimpah,
wilayahnya luas dengan jumlah penduduknya yang sedikit. Kekayaan alam pulau
Kalimantan ini memungkinkan untuk perkembangan kegiatan ekonomi di bidang
pertanian, perikanan, peternakan, kehutanan, dan perdagangan. Kedua, Pulau
Kalimantan dikelilingi oleh sungai-sungai besar yang memungkinkan bagi orang-
orang yang ingin bermigrasi dengan menggunakan transportasi laut.
Di Kalimantan Tengah, para transmigran Madura ini di tempatkan di areal-areal
perkebunan sebagai tenaga upahan atau buruh kontrak. Mereka diberikan tempat
tinggal sederhana oleh pemerintah untuk ditinggali bersama keluarganya.
Sedangan imigran Madura yang bermigrasi atas keinginan sendiri banyak
menempati area-area sekitar pesisir seperti Kotawaringin karena akses dan
letaknya mudah untuk dicapai.7 Mereka membawa hewan ternak untuk dipelihara
di tanah yang baru. Mata pencaharian awal mereka di Kalimantan Tengah adalah
petani atau pekerjaan-pekerjaan kasar seperti kuli bongkar pasang muatan di
pelabuhan Sampit dan sekitarnya.8
Penyebaran para imigran Madura di wilayah Kalimantan Tengah seperti di Sampit,
Palangka Raya, Kasongan, dan Tewah dilakukan dengan menyeberangi sungai-
sungai besar seperti Sungai Kapuas, Mentaya, dan Katingan. Penyebaran para
6 Suhandadji, “Migrasi dan Adaptasi Orang Madura di Surabaya: Kajian Perilaku Ekonomi Migran Madura di Kelurahan Sidotopo Kecamatan Semampir Kotamadya Surabaya”, Jakarta: UI, 1998, hlm. 152 7 Huub de Jonge, Madura dalam Empat Zaman: Pedagang, Perkembangan Ekonomi, dan Islam, Jakarta: PT Gramedia, hlm.25 8 Sri Edi Swasono, Op. Cit, hlm. 55
imigran Madura ini semakin pesat setelah jalan penghubung antar-daerah selesai
dibuat. Selain itu, semakin bermunculannya perusahaan-perusahaan pertambangan
dan karet juga menjadi pemicu berkembang pesatnya persebaran para imigran
Madura ke Sampit dan sekitarnya. Perpindahan penduduk Madura ke Sampit
secara signifikan terjadi saat Proyek Jalan Kalimantan, jalan raya yang
menghubungkan Sampit dengan Palangkaraya (220 km) pada 1957 dimulai.9
Interaksi Orang Madura dengan Penduduk Lokal
Pola permukiman orang-orang Madura dianggap eksklusif, mereka cenderung
hidup mengelompok dengan suku mereka saja.10 Namun semakin lama, banyak
pula orang Madura yang telah hidup berbaur dengan masyarakat setempat, baik
itu dengan penduduk lokal maupun para pendatang lainnya.
Orang Madura yang berada di perantauan memiliki rasa solidaritas yang tinggi
terhadap sesama orang Madura. Solidaritas ini juga berlaku ketika terjadi konflik
dengan suku lain. Mereka cenderung akan membela sesama orang Madura, tidak
dilihat dari benar atau tidaknya perbuatan orang Madura tersebut.11 Mereka juga
memiliki hubungan kekerabatan yang erat terhadap sesama orang Madura. Rasa
solidaritas dan kekerabatan antar sesama orang Madura di perantauan ini dipupuk
dengan menggunakan fungsi agama secara simbolik. Peran kyai sebagai
pemimpin agama sangat kuat. Kyai, bisa dikatakan sebagai elite desa yang
menangani ritual-ritual keagamaan.12
Migrasi Orang-orang Madura ke Kalimantan Tengah membawa dampak bagi
berbagai aspek. Dari aspek ekonomi, orang Madura banyak menguasai berbagai
mata pencaharian. Orang Madura sangat gigih dan ulet dalam bekerja sehingga
mereka banyak menguasai banyak mata pencaharian di daerah perantauan,
termasuk pekerjaan kasar seperti kuli angkut di pelabuhan dan sebagainya. Tujuan
dari kegigihan dan sikap ulet ini adalah untuk memperbaiki nasib supaya bisa
9 Bektiati, dkk, “Mencari Akar, Mencari Jawaban: Prof. Dr. Parsudi Suparlan, Ph.D”, Koran Tempo edisi 01/30 hlm. 23 10 Eriyanto, Media dan Konflik Etnis: Bagaimana Surat Kabar di Kalimantan Meliput dan Memberitakan Konflik Sampit tahun 2001, Jakarta: ISAI, 2004, hlm. 21 11 Ibid. 12 Prof. Dr. Kuntowijoyo, Perubahan Sosial dalam Masyarakat Agraris Madura: 1850-1940, Yogyakarta: Matabangsa, 2002, hlm. 333
ekonomi, politik, dan hukum yang terjadi pada masa Orde Baru.16 Perasaan
seperti ini berkembang semakin besar dan menyebabkan konflik berulangkali
terjadi dan tidak pernah benar-benar selesai. Puncaknya adalah konflik yang
terjadi di Sampit pada Februari 2001 yang berdampak sangat serius bagi
kehidupan masyarakat di Kalimantan Tengah. Konflik bernuansa etnis ini
memakan banyak korban jiwa dari pihak Madura dan membuat mereka harus
meninggalkan Kalimantan Tengah.
Sebelum konflik terbuka di Sampit pecah, ada beberapa peristiwa yang menjadi
pemicunya sehingga membuat situasi antara kedua kelompok etnis ini memanas,
diantaranya peristiwa perkelahian di Desa Kereng Pangi yang menewaskan
seorang Dayak bernama Sendung. Peristiwa ini memunculkan solidaritas etnis
sesama orang Dayak menjadi semakin kuat. Selain itu penemuan sejumlah bahan
peledak yang diyakini sebagai bom rakitan di beberapa rumah warga Madura turut
memanaskan suasana. Ditambah dengan isu ditemukannya Dokumen Haji
Marlinggi semakin memperkuat isu rencana penguasaan wilayah oleh etnis
Madura. Ketidak tegasan aparat dalam menangkap pelaku pembunuhan Sendung
serta pemilik bom-bom rakitan di rumah-rumah warga juga turut menjadi pemicu
kemarahan etnis Dayak yang pada akhirnya membuat mereka bertindak sendiri
melakukan penghakiman terhadap warga Madura.
Peristiwa Pecahnya Konflik Terbuka di Sampit Tahun 2001
Konflik bermula pada 18 Februari 2001 dini hari sekitar pukul 00.30 WIB.17
Berawal dari penyerangan dan pembunuhan terhadap 4 anggota keluarga dari
warga etnis Madura bernama Matayo di Kecamatan Baamang, Sampit.18Motif
penyerangan terhadap rumah warga Madura tersebut terkait balas dendam
terhadap peristiwa yang terjadi di Kereng Pangi. Tuduhan diarahkan kepada orang
Dayak. Warga etnis Madura yang marah kemudian mendatangi rumah Timil yang
dianggap telah menyembunyikan pelaku pembunuhan keluarga Matayo. Mereka
yang tidak berhasil menemukan pelaku yang dicari ini lalu membakar rumah
16 “Luka Itu Terbuka!”, Kompas, 4 Maret 2001 17 Rusli Haudy, Tangisan Anak Pulau: Sebuah Catatan Tragedi Sampit. Jakarta: CV. DIharfin Jaya, 2001, hlm. 27 18 “Dendam Yang Tak Kunjung Padam”, Kompas, 4 Maret 2001
Timil beserta isinya. Tidak hanya itu, para warga etnis Madura yang marah
tersebut kemudian menuju rumah Dahur, saudara Timil yang di tinggal di Jalan
Padat Karya, lalu membakar rumah tersebut beserta para penghuninya. Dahur
beserta anak dan seorang cucunya tewas terpanggang di dalam rumahnya. Berita
mengenai peristiwa ini langsung menyebar dengan cepat di kalangan warga etnis
Dayak. Kondisi semakin memanas ketika sekelompok warga etnis Dayak yang
merasa tidak terima terhadap aksi pembakaran melakukan aksi balasan kepada
pihak Madura. Akhirnya, sekelompok warga Dayak membakar rumah warga
Madura di Jalan Tidar.19
Dalam peristiwa tersebut, ada tokoh intelektual yang menjadi dalang utamanya.
Tokoh intelektual tersebut adalah pejabat Kotawaringin Timur, yaitu Fedlik Asser
dan Lewis yang sehari-harinya menjabat di Dinas Kehutanan dan Kantor Bappeda.
Fedlik Asser juga merupakan tokoh paguyuban Etnis Dayak.20 Target mereka
adalah untuk menggagalkan pelantikan pejabat Eselon I, II, dan III yang akan
mengisi struktur baru otonomi daerah pada 19 Februari 2001.21 Fedlik dan Lewis
merasa tidak puas karena pejabat yang akan dilantik tersebut semuanya beragama
Islam. Keduanya ingin Wahyudi K. Anwar, Bupati Kotawaringin Timur pada saat
itu, untuk turun dari jabatannya.22 Mereka berdua membayar sejumlah provokator
untuk menyulut kerusuhan dengan melakukan penyerangan ke rumah warga
Madura.
Pada kerusuhan awal tanggal 18 dan 19 Februari 2001, etnis Madura melakukan
sweeping23 terhadap rumah-rumah orang Dayak. Selama melakukan sweeping,
warga Madura juga melemparkan bom-bom rakitan seperti yang terjadi di Jalan
Baamang Tengah I , Baamang Tengah II, dan Baamang Tengah III.24 Pembakaran
dan perusakan di Sampit terus dilakukan, seperti pembakaran yang terjadi di
Perumahan Karyawan Bank Pembangunan Daerah Kalimantan Tengah Cabang
Sampit di Jalan HM. Arsyad Gang Mangga Dua, rumah beberapa orang Dayak di
19 Kompas, 26 Februari 2001 20 “Konflik Sampit Tidak Berdiri Sendiri. Bersifat Laten dan Bisa Menjadi Wabah”, Tempo, 11 Maret 2001 21 Heru Cahyono, Op. Cit., hlm. 79 22 “Konflik Sampit Tidak Beridiri Sendiri. Sifatnya Laten dan Bisa Menjadi Wabah”, Loc. Cit 23 Istilah sweeping sering digunakan saat terjadi kerusuhan. Istilah ini mengacu pada tindakan pencarian dan pembunuhan terhadap pihak lawan 24 “Kesepakatan Warga Antar Etnis di Sampit Tentang Solusi Tragedi Sampit Kelabu”, hlm. 4
Jalan Dormosugondo, di Komplek Dusma, dan Hotel Rama di Jalan Baamang
Tengah I, Sampit. 25 Tidak hanya melakukan pembakaran dan pengrusakan
terhadap rumah warga Dayak, sekelompok oknum dari etnis Madura ini juga
memasang spanduk-spanduk provokatif yang memancing kemarahan warga etnis
Dayak. Spanduk-spanduk tersebut antara lain spanduk bertuliskan “Kota Sampit
Kota Sampang II” yang dipasang di Jalan S. Parman, spanduk “Selamat Datang di
Kota Madura” yang dipasang di sekitar Jalan Jiwa, Pelabuhan Sampit, dan
spanduk “Kota Sampit Serambi Mekkah” di Jalan S. Parman.26
Aksi tersebut membuat orang-orang Dayak dari luar Sampit berdatangan ke
Sampit untuk melakukan pembalasan dan perlawanan terhadap orang-orang
Madura. Mereka datang dengan bersenjatakan senjata tradisional seperti mandau
(sejenis parang), lunju (tombak), dan sumpit. Konflik berdarah antara dua
kelompok etnis ini tidak dapat dihindari lagi. Sebelum melakukan sweeping
terhadap warga Madura, mereka terlebih dulu melakukan upacara atau ritual
khusus, yakni meminta ijin dan pertolongan kepada roh nenek moyang. Dalam
upacara ini, mereka melakukan pemanggilan roh nenek moyang yang disebut
Nayo atau Nayau demi melancarkan jalannya kayau.27 Setelah ritual dilakukan,
barulah tindakan kayau terhadap orang-orang Madura dilakukan.
Dalam aksi kayau (pemenggalan kepala) dan sweeping yang dilakukan etnis
Dayak, warga Madura yang terdesak mencoba melarikan diri ke hutan atau
mencari perlindungan kepada aparat. Mereka yang lari ke hutan banyak yang
berhasil ditangkap lalu dieksekusi di tempat. Sweeping dilakukan kepada semua
orang yang memiliki darah dan garis keturunan Madura meskipun tidak tahu
menahu soal kerusuhan awal yang terjadi antara kedua kelompok etnis ini.
Tuntutan mereka agar seluruh warga etnis Madura yang ada di Kalimantan
Tengah segera pergi. Sweeping dilakukan ke rumah-rumah dan jalan-jalan besar
maupun gang-gang kecil. Selain itu, sweeping juga dilakukan terhadap setiap
kendaraan yang lewat, tidak terkecuali kendaraan yang keluar masuk Sampit.
Selama kerusuhan berlangsung, pembunuhan terhadap etnis Madura terjadi
dimana-mana, awalnya di sekitar pusat kota Sampit, terutama di permukiman
25 Ibid. 26 Ibid. 27 “Prof. Dr. Parsudi Suparlan, Ph.D.: Dalam Konflik Sampit, yang Bertanggung Jawab Nayau", Wawancara Tempo dengan Prof.Dr. Parsudi Suparlan, Ph.D, 20 Mei 2001
warga etnis Madura.30 Lumpuhnya kegiatan ekonomi saat kerusuhan membawa
dampak pada aksi penjarahan, terutama terhadap harta benda atau aset milik etnis
Madura yang telah ditinggalkan oleh pemiliknya.
Dampak lain yang paling besar dirasakan oleh warga etnis Madura. Untuk
mendinginkan suasana, Pemerintah Daerah Kotawaringin Timur mengungsikan
warga etnis Madura keluar Kalimantan Tengah, sebagian besar ke Jawa Timur
untuk menghindari meluasnya konflik. Tindakan ini sifatnya sementara sampai
situasi dianggap kondusif.
Tindakan sweeping terhadap Madura ini mau tidak mau membuat citra etnis
Dayak menjadi buruk. Mereka dinilai beringas, kejam, dan keji atas tindakan
kayau yang mereka lakukan terhadap warga Madura di Sampit dan Kalimantan
Tengah.31 Tindakan ini juga sempat memicu situasi panas bagi orang Madura di
luar Kalimantan Tengah yang menyaksikan berita tersebut. Imbasnya, mereka
ingin membalaskan dendam kepada orang-orang Dayak yang ada di Jawa atau
Madura.
Di antara etnis Dayak sendiri ada yang pro dan kontra mengenai tindakan
mengungsikan etnis Madura keluar Kalimantan Tengah. Mereka yang setuju
menginginkan warga etnis Madura keluar dari Kalimantan Tengah secara
permanen atau selamanya. Salah satu alasannya adalah adanya kekhawatiran akan
terjadinya bentrokan serupa sebagai aksi balas dendam dari pihak etnis Madura
terhadap etnis Dayak.32 Mereka yang tidak setuju umumnya karena memiliki
keluarga keturunan Madura atau tetangga Madura yang selama ini tidak pernah
bermasalah dengan mereka.
Penyelesaian Konflik
Pemerintah Daerah Kalimantan Tengah telah memfasilitasi pertemuan-pertemuan,
baik formal maupun informal, dari para tokoh agama, tokoh masyarakat, tokoh
adat, dan tokoh pemuda dari kedua etnis untuk melakukan proses perdamaian. Di
Kalimantan Tengah telah diadakan pertemuan antara tokoh-tokoh paguyuban dari
30 Ibid. 31 LMMDD-KT, “Konflik Etnik Sampit: Kronologi, Kesepakatan Aspirasi Masyarakat, Analisis, Saran”, Kalimantan Tengah: Lembaga Musyawarah Masyarakat Dayak dan Daerah Kalimantan Tengah, 2001 32 “ Madura ke Kalteng Bisa Bentrok Lagi”, Kalteng Pos, 21 Oktober 2001
bantuan pemerintah maupun pihak-pihak yang peduli pada nasib mereka tanpa
dapat melakukan apa-apa.36 Alasan lainnya karena kebanyakan mereka tidak
memiliki aset atau usaha yang dapat menunjang keberlangsungan hidup mereka di
Pulau Madura.37 Rasa tertekan selama di pengungsian juga membuat mereka ingin
kembali lagi ke Kalimantan Tengah.
FK-4 telah menyusun langkah-langkah konkret mengenai nasib para pengungsi.
Mereka membuat acara pertemuan akbar pengungsi, yaitu Musyawarah Besar
Pengungsi Kalimantan Tengah (MBPKT) di Kecamatan Ketapang, Kabupaten
Sampang, Madura. Secara garis besar, pertemuan ini bertujuan untuk menampung
aspirasi pengungsi yang mayoritas ingin kembali ke Kalimantan Tengah.
Pertemuan tersebut juga menghasilkan komitmen pengungsi Kalimantan Tengah,
yakni mereka siap menaati segala peraturan dan aspirasi masyarakat Kalimantan
Tengah yang ada di Kalimantan Tengah supaya mereka bisa kembali.38
Langkah awal dari usaha-usaha konkret yang dilakukan oleh FK-4 yaitu dengan
melakukan pendataan-pendataan terhadap para pengungsi, yakni mendata siapa
saja yang menginginkan untuk kembali ke Kalimantan Tengah. Sebagian besar
pengungsi, yakni sekitar 95% diantara total keseluruhan, mengatakan ingin
kembali ke Kalimantan Tengah. Setelah pendataan, kemudian dilakukan
pembinaan mental terhadap para pengungsi etnis Madura dengan tujuan untuk
menghapus rasa traumatis atas konflik yang telah dialami. Selama berada di
pengungsian ini, peran kiai dan pemuka agama memiliki andil besar dalam proses
penyembuhan rohani pengungsi dari rasa frustrasi dan tertekan selama di
pengungsian.39
Upaya rekonstruksi pasca konflik juga dilakukan sebagai tahap lanjutan dari
resolusi konflik di Kalimantan Tengah. Upaya ini dilakukan atas kesadaran bahwa
tidak semua etnis Madura dan Dayak yang berkonflik, mereka hanya korban
generalisasi penyebaran konflik.40 Wilayah-wilayah pemukiman warga keturunan
Madura di Kalimantan Tengah yang tidak mengalami konflik secara masif ini
36 Wawancara dengan Bapak Sohibul Hidayat, 27 April 2014 37 Ibid. 38 Ibid. 39 Wawancara dengan Bapak Abdul Wahid, 25 April 2014 40 Abdul Wahid dan Mohammad Ilyas, Berdamai Dengan Sejarah: Panduan Praktis Mengelola Konflik, Yogyakarta: Alenia Press
kemudian menjadi sasaran eksplorasi potensial dalam upaya dan proses repatriasi
pengungsi warga keturunan Madura ke Kalimantan Tengah.
FK-4 kemudian melakukan penelitian lapangan di Madura dan Kalimantan
Tengah untuk menghimpun bahan dan masukan dalam menyusun rencana
strategis, efektif, dan aman. Data-data yang berhasil ditemukan dalam penelitian
tersebut selanjutnya diolah dan dikonsepkan. FK-4 menyusun sembilan langkah
repatriasi pengungsi41, yaitu; (1) Tahap Konsolidasi; (2) Tahap Pemetaan Wilayah
Konflik; (3) Tahap Negosiasi; (4) Tahap Pendampingan dan Pendidikan; (5)
Tahap Pendataan; (6) Tahap Sosialisasi; (7) Tahap Seleksi; (8) Tahap Realisasi; (9)
Tahap Pemantauan
Dari sejumlah pertemuan dan kesepakatan yang dilakukan kedua pihak, baik
secara internal maupun eksternal tersebut menghasilkan Peraturan Daerah No. 5
tahun 2004 yang mengatur masalah pengungsi korban kerusuhan etnis di
Kalimantan Tengah. Tidak hanya itu, pemerintah juga melibatkan masyarakat
dalam menentukan Peraturan Daerah (Perda) dengan menyebarkan angket berisi
43 pertanyaan dengan lima pilihan jawaban yang harus diisi oleh masyarakat.
Hasilnya sangat membantu dalam menentukan tindakan pemerintah selanjutnya
yang lebih konkret. Peraturan Daerah tersebut terdiri atas enam bab. Dalam bab
dua pasal dua Perda tersebut, terdapat poin penting mengenai rekonsiliasi. Poin
tersebut antara lain etnik yang kembali ke Kalimantan Tengah harus menjunjung
tinggi falsafah “Belom Bahadat”42 dan falsafah “dimana bumi dipijak disitu langit
dijunjung”. Sementara itu, pasal tiga membahas perihal penanganan dan penataan,
yaitu pemberian bantuan dalam bentuk pelayanan dan pembinaan mental, serta
melakukan penataan tempat pemukiman yang ditinggalkan akibat konflik.43
Dalam tahap awal proses pemulangan warga etnis Madura ke Kalimantan Tengah,
Pemerintah Daerah Kalimantan Tengah memprioritaskan anggota DPRD,
mahasiswa, dosen, dan PNS sebagai pihak-pihak yang pertama kali dipulangkan
ke Kalimantan Tengah. Tindakan ini dilakukan berdasarkan pemikiran bahwa
kalangan tersebut bukanlah pihak yang akan membuat masalah yang bisa
menyebabkan kerusuhan susulan. 41 Abdul Wahid dan Mohammad Ilyas, Op, Cit 42 Belom Bahadat berasal dari Bahasa Dayak yang artinya hidup yang berbudaya atau beradab 43 Peraturan Daerah Kabupaten Kotawaringin Timur Nomor 5 Tahun 2004 (data terlampir)