“KONFLIK ANTAR WARGA JEMAAT DALAM GMIT” Studi Kasus terhadap Konflik Antar Warga Jemaat di GMIT Jemaat Lahai Roi Merdeka dan Jemaat Getsemani Babau-GMIT Klasis Kupang Timur Oleh: ANDRI MARLON AOME 752011045 FAKULTAS TEOLOGI PROGRAM STUDI MAGISTER SOSIOLOGI AGAMA UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA SALATIGA, 2013
17
Embed
“KONFLIK ANTAR WARGA JEMAAT DALAM GMIT”repository.uksw.edu/bitstream/123456789/4095/1/T2_752011045_Judul.pdf · BPMU periode 2010-2011, GMKI, SM GKI, Pemuda GKI, terima kasih
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
��
�
“KONFLIK ANTAR WARGA JEMAAT DALAM GMIT”
Studi Kasus terhadap Konflik Antar Warga Jemaat di GMIT Jemaat Lahai Roi
Merdeka dan Jemaat Getsemani Babau-GMIT Klasis Kupang Timur
Oleh:
ANDRI MARLON AOME
752011045
FAKULTAS TEOLOGI
PROGRAM STUDI MAGISTER SOSIOLOGI AGAMA
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA, 2013
PERPUSTAKAAN UNIVERS]TAS
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANAJl. Diponegoro 52-50 Salatiga 50711
Jawa Tengah, lndonesiaTelp. 0298-321212, Fax. 0298-321433
Sebagai sivitas akademik Universitas Kristen Satya Wacana, saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama
NIM
Fakultas
Judul Tesis
Andri Marlon Aome
752011045
Teologi
Email
Program Studi
:ttaa-(o n . dtt61ra OVdrw' "(aa,t: Magister Sosiologi Agama
KONFLIK ANTAR WARGA JEMAAT DALAM GMIT
Suatu Studi Kasus Terhadap Konflik Antar Warga Jemaat di GMIT Jemaat Labai Roi Merdeka
dan Jemaat Getsemani Babau-GMIT Klasis Kupang Timur
Dengan ini menyerahkan karya tersebut di atas untuk disimpan dalam Koleksi Digital Perpustakaan Universitas dengan
ketentuan akses tugas akhir elektronik sebagai berikut (beri tanda pada kotak yang sesuai):
g a. Saya mengijinkan karya tersebut di atas untuk disimpan dalam Koleksi Digital Perpustakaan Universitas,
dan/atau portal GARUDA
I b. Saya tidak mengijinkan karya tersebut di atas untuk disimpan dalam Koleksi Digital Perpustakaan Universitas,
dan/atau portal GARUDA *
Dengan ini saya juga menyatakan bahwa:
1. Hasil karya yang saya serahkan ini adalah asli dan belum pernah diajukan untuk mendapatkan gelar kesarjanaan baik di
Universitas Kristen Satya Wacana maupun di institusi pendidikan lainnya.
2. Hasil karya saya ini bukan saduran/terjemahan melainkan merupakan gagasan, rumusan, dan hasil pelaksanaan
penelitian/implementasi saya sendiri, tanpa bantuan pihak Iain, kecuali arahan pembimbing akademik dan narasumberpenelitian.
3. Hasil karya saya ini merupakan hasil revisi terakhir setelah diujikan yang telah diketahui dan disetujui oleh pembimbing.
4. Dalam karya saya ini tidakterdapat karya atau pendapatyangtelah ditulis atau dipublikasikan orang lain, kecuali yang
digunakan sebagai acuan dalam naskah dengan menyebutkan nama pengarang dan dicantumkan dalam daftar pustaka
5. Saya menyerahkan hak non-eksklusif kepada Perpustakaan Universitas - Universitas Kristen Satya Wacana untukmenyimpan, mengatur akses serta melakukan pengelolaan terhadap karya saya ini dengan mengacu pada ketentuan akses
tugas akhir elektronik di atas dan norma hukum yang berlaku.
Pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya. Apabila di kemudian hari terbukti ada penyimpangan dan ketidakbenarandalam pernyataan ini maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan gelar yang telah diperoleh karena
karya saya ini, serta sanksi lain yang sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Kristen Satya Wacana.
Konflik ini bermula dari pembentukkan jemaat yang baru, di mana sebelum pembentukkan ini jemaat tergabung dalam satu jemaat, yakni GMIT jemaat Getsemani Babau. Pembentukkan jemaat yang baru ini kemudian diikuti dengan pembangunan tempat beribadat. Pembangunan ini merupakan langkah lanjutan dari pembangunan pertama tahun 1979 yang tertunda karena adanya kelalaian panitia pembangunan dalam pembangunan pada waktu itu. Ketika proses pembentukkan jemaat yang baru serta pembangunan gedung beribadat yang baru dilaksanakan, terjadi interaksi antara semua warga jemaat. Ada yang berinisiatif untuk mengumpulkan warga jemaat untuk membangunan kembali tempat beribadat di kelurahan Merdeka. Untuk bisa mendapat perhatian dari warga jemaat maka beberapa tokoh masyarakat turut berpartisipasi dalam penghimpunan para warga jemaat. Usaha-usaha ini memiliki hasil yang cukup memuaskan karena banyak warga jemaat yang menyambut usulan untuk membangun gedung beribadat dengan baik. Mengawali pembangunan tersebut semua tua-tua adat dan tokoh-tokoh masyarakat yang ada di Merdeka berkumpul dan membicarakan rencana pembentukkan dan pembangunan tersebut.
Ketika proses pembangunan berlangsung, ada beberapa warga jemaat yang tidak bisa mengambil bagian dalam pekerjaan tersebut. Meskipun mereka tidak bisa hadir dalam pembangunan tersebut, mereka juga masih menaruh simpati terhadap pembangunan tersebut dengan memberikan sumbangan dana dan material. Melihat sikap seperti ini, beberapa tokoh jemaat yang berpengaruh di Merdeka murka dan menganggap sikap tersebut merupakan sikap yang tidak mendukung adanya pembangunan dan pembentukkan jemaat yang baru. Bagi mereka yang dibutuhkan adalah tenaga orangnya bukanlah sumbangan dana dan material. Kemarahan mereka memuncak ketika beberapa tokoh masyrakat dan tua-tua adat yang mengikuti rapat pembentukkan dan pembangunan tidak kunjung-kunjung datang dan membangun tempat beribadat telah disepakati bersama. Sikap yang tidak datang untuk membangun ini, dinilai oleh beberapa orang warga jemaat yang membangun pada waktu itu sebagai sikap yang tidak mendukung adanya persatuan dalam kampung tercinta mereka.
Dalam perkembangannya, gedung ibadat dan pembentukkan jemaat yang baru berhasil dilaksanakan sesuai dengan rencana. Keberhasilan ini kemudian membagi masyrakat Merdeka menjadi dua kelompok, yakni kelompok yang setia dalam membangun tempat beribadat dan pembentukkan jemaat yang baru dan kelompok yang tidak setia dalam membangun tempat beribadat dan pembentukkan jemaat yang baru. Kelompok yang setia biasa disebut dengan istilah “orang Lahai Roi,” nama ini sesuai dengan nama gedung tempat beribadat mereka, yakni gedung Gereja Lahai Roi Merdeka, sedangkan kelompok yang tidak setia dipanggil dengan sebutan, “orang Getsemani.” Orang Getsemani sesuai dengan nama gedung tempat beribadat mereka, yakni gedung Gereja Getsemani Babau. Dalam penamaan ini, orang Lahai Roi
��
�
merupakan masyarakat yang berada di kelurahan Merdeka dan beribadat di tempat yang sama, sedangkan orang Getsemani merupakan masyarakat yang berada di kelurahan Merdeka, dan beribadat di kelurahan Babau, karena gedung Gereja Getsemani berada di teritorial kelurahan Babau.
Permasalahan perbedaan kelurahan ini, yakni kelurahan Merdeka dan kelurahan Babau merupakan sebuah perbedaan yang bukan semata-mata perbedaan geografis. Lebih daripada itu, ini merupakan perbedaan identitas, yakni adat istiadat, suku, kebudayaan dan terutama kampung halaman tempat kelahiran. Sikap yang tidak setia dari “orang Getsemani” dinilai oleh “orang Lahai Roi” sebagai ketidaksetiaan bukan saja kepada Gereja melainkan juga terhadap budaya, adat istiadat dan terutama terhadap kampung halaman sendiri. Bagi sebagian besar “orang Lahai Roi,” sikap ini adalah tindakan membangun kampung orang lain. Kampung orang lain yang dimaksud adalah kelurahan Babau karena bagi “orang Lahai Roi,” simbol kekuatan atau kemegahan kelurahan Merdeka, adalah gedung Gereja yang beridiri megah di tengah-tengah kampung. Ketika ada gedung Gereja ada prestasi tersendiri bagi mereka serta ada kebanggan tersendiri.
Kehidupan bermasyarakat-pun menjadi kacau dan terjadi sikap untuk tidak saling berinteraksi antara satu dengan yang lain. Warga jemaat Lahai Roi menganggap warga jemaat Getsemani sebagai musuh dalam selimut, dan karena musuh, warga jemaat Getsemani tidak boleh mengikuti acara-acara yang diselenggarakan oleh warga jemaat Lahai Roi, seperti pernikahan dan kematian. Saat terjadi situasi seperti ini, maka adat istiadat yang sudah dikonstruksi oleh para leluhur menjadi hancur dan tidak lagi terlaksana sampai saat ini. Konflik ini terus berlanjut sampai saat ini dan tidak mendapatkan jalan keluar yang terbaik. Usaha-usaha untuk mempersatukan kembali sempat dilakukan namun semua usaha itu menemui jalan buntu. Sejak usaha-usaha itu tidak berhasil, konflik sudah berubah menjadi konflik yang kehilangan identitasnya tersnediri. Konflik menjadi non-realistik dan kehilangan tujuan yang ingin dicapai oleh warga jemaat yang berkonflik. Warga jemaat masih berkonflik sampai saat ini, tanpa mengetahui apalagi tujuan yang ingin dicapai. Dengan kata lain, saat ini kedua warga jemaat terjerumus dalam satu rumah dan tak tahu dimana pintu untuk keluar. Mereka terjebak dalam romantisme konflik yang sepertinya membuat mereka terasa nyaman, padahal ini bukan merupakan kenyamanan yang dibutuhkan oleh sebagai besar masyarakat di Kupang- Nusa Tenggara Timur.
Gereja Masehi Injili di Timor yang ada dalam posisi konflik seperti ini, harus mempertanyakan eksistensi ajaran Kristus yang mereka sampaikan kepada warga jemaat. Sikap warga jemaat merupakan pemikiran yang sempit karena warga jemaat tidak memahami gereja itu sendiri. Pada masa konflik masih realistik majelis jemaat dan pendeta tidak berusaha untuk memberi pemahaman kepada warga jemaat tentang
���
�
pengertian Gereja dan nilai-nilai Kekristenan, yang ada para majelis justru memicu terciptanya konflik dan bersikap seolah-olah memberika stimulus dan menjaga konflik agar tetap awet. Sikap para pekerja gereja seperti ini, menunjukkan bahwa orang Kristen belum sepenuhnya memahami tentang Kristus dan terutama tentang sesama mereka sendiri. Sikap para pekerja gereja dan warga jemaat Lahai Roi, merupakan salah satu tantangan tersendiri bagi Gereja dalam memarangi etnosentrime para warga gereja.
Penelitian ini, mencoba menyediakan salah satu bukti kepada sinode Gereja Masehi Injili di Timor tentang konflik dalam tubuh sendiri dan bagaimana cara mengelola konflik seperti ini. Selain itu, penelitian ini juga menyediakan salah satu contoh konflik sosial yang harus dipelajari oleh masyarakat luas. Bahwasanya kesamaan identitas primordial dan bahkan kesamaan aliran gereja tidak menjamin terciptanya kehidupan yang kondusif dan damai, karena di atas semua itu bertahta kepentingan-kepentingan untuk mencari sumber daya yang lebih langkah daripada apa yang sudah dimiliki oleh masyarakat.