KOMUNITAS DAN ANALISIS BIOEKOLOGI KEPITING BAKAU (Scylla spp.) DI MANGROVE CENGKRONG DESA KARANGGANDU KECAMATAN WATULIMO KABUPATEN TRENGGALEK SKRIPSI PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBER DAYA PERAIRAN JURUSAN MANAJEMEN SUMBER DAYA PERAIRAN Oleh : BRILYAN HAFITYAN RAMADHAN NIM.135080101111038 FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2017
85
Embed
KOMUNITAS DAN ANALISIS BIOEKOLOGI KEPITING BAKAU …repository.ub.ac.id/6357/1/Ramadhan, Brilyan Hafityan.pdf · 2020. 8. 24. · FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
KOMUNITAS DAN ANALISIS BIOEKOLOGI KEPITING BAKAU (Scylla spp.)
DI MANGROVE CENGKRONG DESA KARANGGANDU KECAMATAN
WATULIMO KABUPATEN TRENGGALEK
SKRIPSI
PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBER DAYA PERAIRAN JURUSAN MANAJEMEN SUMBER DAYA PERAIRAN
Oleh :
BRILYAN HAFITYAN RAMADHAN NIM.135080101111038
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG 2017
KOMUNITAS DAN ANALISIS BIOEKOLOGI KEPITING BAKAU (Scylla spp.)
DI MANGROVE CENGKRONG DESA KARANGGANDU KECAMATAN
WATULIMO KABUPATEN TRENGGALEK
SKRIPSI
PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBER DAYA PERAIRAN JURUSAN MANAJEMEN SUMBER DAYA PERAIRAN
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Meraih Gelar Sarjana Perikanan di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Universitas Brawijaya
Oleh : BRILYAN HAFITTYAN RAMADHAN
NIM.135080101111038
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG 2017
iii
iv
PERNYATAAN ORISINALITAS
Saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Brilyan Hafityan Ramadhan
NIM : 135080101111038
Prodi : Manajemen Sumberdaya Perairan
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi yang saya tulis ini
merupakan hasil karya sendiri dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak
terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain
kecuali yang tertulis dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Apabila di kemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan bahwa Skripsi ini
adalah hasil plagiasi, maka saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan
tersebut sesuai hukum yang berlaku di Indonesia.
Malang, 28 Juli 2017
Brilyan Hafityan Ramadhan
v
UCAPAN TERIMA KASIH
Penyusunan laporan penelitian skripsi ini tidak lepas dari segala bentuk
dukungan yang penulis peroleh dari berbagai pihak. Oleh karena itu penulis
mengucapkan terima kasih kepada:
1) Allah SWT yang senantiasa memberikan kesehatan, kesabaran, kemudahan
dan kelancaran untuk saya dalam menyelesaikan skripsi ini.
2) Orang tua dan saudara – saudara saya yang selalu mendukung dan
mendoakan yang terbaik untuk saya.
3) Prof. Dr.Ir. Endang Yuli Herawati, MS dan Dr. Ir. Mohammad Mahmudi, MS
selaku dosen pembimbing skripsi yang telah sabar membimbing dan
memberikan nasihat.
4) Nanik Retno Buwono, S.Pi., MP. selaku dosen penguji yang telah memberikan
masukan dalam penelitian ini.
5) Mas Imam, Pak Nahrowi dan nelayan kepiting bakau yang lain yang telah
bersedia direpotkan selama proses penangkapan kepiting bakau.
6) Universitas Brawijaya, sebagai wahana dalam proses saya mengais ilmu dan
Bapak/Ibu Dosen serta seluruh staff di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
atas sumbangan ilmu dan pengalaman berharganya.
7) Farid, Fikri, Didik, Novan, Dika, Febriyanti, Randa, Alfian yang telah
mendukung dan membantu dalam proses penelitian.
8) Surya Widianto yang telah direpotkan dan menemani beberapa hari sampling
di Trenggalek.
9) Suryaningsih yang telah banyak memberi semangat dan selalu menemani
dalam pengerjaan laporan sampai larut malam.
10) Keluarga Asparaga dan Cendana yang telah banyak mendukung dan
membantu.
11) Semua pihak yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu yang secara
langsung maupun tidak langsung dan baik sengaja maupun tidak sengaja
telah membantu hingga terselesaikannya skripsi ini.
Semoga Tuhan yang maha kuasa senantiasa membalas segala kebaikan
yang telah diberikan oleh pihak-pihak tersebut dengan pahala dan ilmu yang
bermanfaat. Semoga apa yang kita kerjakan dapat menjadi berkah. Aamiin.
vi
RINGKASAN
BRILYAN HAFITYAN RAMADHAN. Komunitas dan Analisis Bioekologi Kepiting Bakau (Scylla spp.) di Mangrove Cengkrong Desa Karanggandu Kecamatan Watulimo Kabupaten Trenggalek. (dibawah bimbingan Prof. Dr. Ir. Endang Yuli Herawati, MS dan Dr. Ir. Mohammad Mahmudi, MS)
Kawasan Ekosistem Mangrove Cengkrong Trenggalek terdapat berbagai organisme salah satunya ialah kepiting bakau. Melimpahnya kepiting bakau dan belum ada penelitian tentang kepiting bakau lebih lanjut maka diperlukan informasi tentang analisis bioekologi kepiting bakau dan komunitasnya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui aspek biologi yang meliputi nisbah kelamin, tingkat kematangan gonad, fekunditas dan hubungan lebar karapas dengan berat tubuh kepiting bakau. Aspek ekologi yang meliputi kualitas air dan sifat fisika dan kimia tanah serta komunitasnya yang meliputi kepadatan, keanekaragaman dan dominasi. Penelitian ini dilaksanakan di Mangrove Cengkrong Desa Krangmadu Trenggalek pada bulan Juni 2017.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survei dengan tehnik pengambilan sampel yaitu dengan random purposive sampling. Lokasi pengambilan sampel terdapat 3 stasiun dengan 6 titik sampling perstasiun, yaitu stasiun 1 berada di area mangrove, stasiun 2 berada di muara sungai, stasiun 3 merupakan daerah muara besar yang langsung terhubung ke laut. Pengambilan sampel dengan menggunakan metode transek kwadrat 1 x 1 m2 dengan masing-masing tiap stasiun 6 transek. Parameter kualitas air yang diukur meliputi suhu, pH, salinitas dan kedalaman. Analisa substrat yang diukur meliputi pH tanah, tekstur tanah dan bahan organik.
Jumlah kepiting bakau yang tertangkap oleh nelayan pada penelitian ini sebanyak 31 ekor (13 ekor jantan dan 18 ekor betina). Kisaran lebar karapas dan berat kepiting bakau jantan yaitu 7,97 – 11,81 mm dengan berat 95,74 – 248,70 gram dan kepiting betina 7,76 – 14,87 mm dengan berat 59,21 – 251,43 gram. Pola pertumbuhan kepiting bakau jantan dan betina yaitu allometrik negatif (b<3). Pengamatan tingkat kematangan gonad selama masa penelitian yang paling banyak tertangkap yaitu TKG I sebesar 61,29 % dan sisanya TKG II dan TKG III. Analisis nisbah kelamin jantan dan betina adalah 1 : 1,39. Nilai kepadatan terbanyak pada stasiun 2 dengan tangkapan sebanyak 13 ind/m2. Nilai keanekaragaman tergolong rendah yaitu 1,05 dan nilai dominasi 0,27 yang berarti tidak ada yang mendominasi. Analisa habitat kepiting bakau dibagi 2 yaitu parameter kualitas air dan substrat tanah. Parameter kualitas air diperoleh nilai suhu berkisar 28,6-30,7 0C, salinitas berkisar 29-30 ppt, pH berkisar 7-8,
kedalaman berkisar 58-64 cm. Sedangkan analisa substrat habitat kepiting bakau diperoleh nilai pH tanah berkisar 6,85-7,23, bahan organik tanah berkisar 3,10-4,67 % dan tekstur tanah didominasi oleh lempung.
Kepiting bakau yang tertangkap di Kawasan Mangrove Cengkrong Desa Karanggandu Trenggalek masih belum sesuai dengan peraturan pemerintah (Nomor 1/Permen-KP/2015) yang melarang menangkap ukuran <15 cm. Sehingga masih perlu adanya pengawasan lebih lanjut dan sosialisasi tentang penangkapan kepiting bakau serta perlu disediakannya tempat pembesaran kepiting bakau untuk tangkapan yang belum memenuhi syarat.
vii
KATA PENGANTAR
Dengan memanjatkan puja dan puji syukur ke hadirat Allah SWT, atas
limpahan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan
laporan skripsi dengan judul “Komunitas dan Analisis Biologi Kepiting Bakau
di Mangrove Cengkrong Desa Karanggandu Kecamatan Watulimo
Kabupaten Trenggalek”. Laporan skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat
memperoleh gelar sarjana di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas
Brawijaya.
Penulis menyadari keterbatasan dan kekurangan dalam pembuatan
laporan skripsi ini. Oleh karena itu, saran dan kritik yang membangun sangat
diharapkan penulis demi kesempurnaan tulisan ini. Penulis berharap semoga
proposal ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.
Malang, Juli 2017
Penulis
viii
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN .................................................................................. iii
PERNYATAAN ORISINALITAS ......................................................................... iii
UCAPAN TERIMA KASIH ................................................................................... v
RINGKASAN ...................................................................................................... vi
KATA PENGANTAR ......................................................................................... vii
DAFTAR ISI ..................................................................................................... viii
DAFTAR TABEL ................................................................................................ xi
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................ xii
1. PENDAHULUAN .......................................................................................... 1 1.1. Latar Belakang ...................................................................................... 1 1.2. Rumusan Masalah ................................................................................ 4 1.3. Tujuan Penelitian................................................................................... 5 1.4. Kegunaan Penelitian ............................................................................. 5 1.5. Tempat dan Waktu Penelitian ............................................................... 5
2.3. Aspek Ekologi Lingkungan Kepiting Bakau ......................................... 15 2.3.1. Substrat .................................................................................. 16 2.3.2. Tekstur Tanah......................................................................... 16 2.3.3. Derajat Keasaman (pH) Tanah ............................................... 17 2.3.4. Bahan Organik Tanah ............................................................. 17
3. METODE PENELITIAN .............................................................................. 20 3.1. Materi Penelitian ................................................................................. 20 3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ............................................................... 20 3.3. Alat dan Bahan .................................................................................... 20 3.4. Metode Penelitian................................................................................ 21 3.5. Lokasi Pengambilan Data Jumlah Sampel Kepiting..............................21 3.6. Prosedur Pengambilan Sampel ........................................................... 22
meliputilebar karapas, berat, tingkat kematangan gonad, nisbah kelamin,
fekunditas, sedangkan aspek ekologi kepiting bakau meliputi pH tanah, tekstur
21
tanah dan bahan organik tanah. Alat dan bahan yang digunakan pada Lampiran
1.
3.4. Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah metode
survei. Metode survei adalah penyelidikan yang diadakan untuk memperoleh
fakta-fakta dari gejala-gejala yang ada dan mencari keterangan-keterangan
secara faktual. Teknik pengambilan data yang digunakan yaitu teknik deskriptif.
Menurut Aditya (2009), metode deskriptif adalah kegiatan penelitian dengan tujuan
utama untuk memberikan gambaran atau deskripsi tentang suatu kedaaan secara
objektif.
Sumber data yang digunakan dikelompokkan menjadi dua macam yaitu
data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh atau
dikumpulkan langsung di lapangan oleh orang yang melakukan penelitian atau
yang bersangkutan yang memerlukannya. Data primer disebut juga data asli atau
data baru (Qomarudin, 2012). Data ini diperoleh secara langsung dengan
melakukan pengamatan dan pencatatan berdasarkan hasil observasi, wawancara
dan dokumentasi. Sedangkan Data sekunder adalah data yang diperoleh dari
dokumen/ publikasi/ laporan penelitian dari dinas, instansi atau sumber data
lainnya yang menunjang (Darmawan, 2013). Data sekunder diperoleh dari buku,
jurnal dan media internet yang berhubungan dengan penelitian ini. Data sekunder
meliputi keadaan umum lokasi penelitian dan letak geografis.
3.5. Penentuan Lokasi Pengambilan Data Jumlah Sampel Kepiting Bakau
Pengambilan data dilakukan berdasarkan pada lokasi penangkapan
kepiting bakau yang dilakukan di Mangrove Cengkrong Desa Karanggandu
Kecamatan Watulimo Kabupaten Trenggalek. Penentuan titik sampling dilakukan
dengan “Random Purposive Sampling” dengan menentukan 3 stasiun utama dan
22
6 titik sampling setiap stasiunnya dengan dibantu menggunakan alat bantu Global
Posting System (GPS) untuk penentuan titik kordinatnya. Peta lokasi pengambilan
sampel disajikan pada Lampiran 2. Sampel kepiting bakau yang diambil berasal
dari tangkapan di masing-masing stasiun. Pengambilan sampel kepiting bakau
dilakukan setiap hari selama 1 minggu.
3.6. Prosedur Pengambilan Sampel
3.6.1. Kepiting Bakau
Pemasangan transek kuadrat diletakkan di setiap stasiun sampling secara
acak dan dihitung jumlah kepiting bakau. Jumlah seluruh transek yang digunakan
pada tiga stasiun pengamatan adalah 18. Lokasi penempatan transek ditentukan
dengan menelusuri daerah stasiun pengamatan yang dinaungi tumbuhan
mangrove dan muara sungai. Sampling kepiting bakau dilakukan dengan
menggunakan transek kuadrat yang berukuran 1x1 m2 dan alat penangkapan
menggunakan bubu serta umpan ikan sebagai alat pancingnya. Pengabilan
sampel dengan cara memasang transek 1x1 m2 dengan meletakkan satu bubu ke
dalam satu transek kemudian diambil setelah 3 – 4 jam kemudain. Penggunaan
transek 1x1 m2 bertujuan agar sampel yang ditangkap dapat merata dalam satu
lokasi stasiun.
Setiap jenis kepiting bakau diambil perwakilannya yaitu satu individu untuk
dapat diidentifikasi. Setiap kepiting bakau yang keluar di permukaan maupun yang
tertangkap oleh bubu dihitung menggunakan handtally counter, setelah selesai
dihitung lalu difoto dan dan diambil kepiting bakau. Cara pengambilan sampel
kepiting bakau adalah dengan menunggu di sekitar liangnya sampai kepiting
bakau keluar dari liang tempat habitatnya, karena sifat kepiting bakau yang selalu
kembali ke dalam liang ketika ada gangguan dari luar.
23
3.7. Analisis Aspek Biologi Kepiting Bakau
3.7.1. Pengukuran Lebar Karapas dan Bobot Individu
Kepiting bakau yang tertangkap diukur lebar total karapasnya
menggunakan jangka sorong dengan ketelitian 0.05 mm. Pengukuran panjang
total dimulai dari ujung duri karapas sebelah kanan hingga ujung duri karapas
sebelah kiri (Gambar 4). Sedangkan berat kepiting bakau ditimbang dengan
menggunakan timbangan digital dengan ketelitian 0.01 gram.
Gambar 4. Pengukuran lebar karapas (Google Images, 2015).
Gambar 5. Morfologi Kepiting Bakau (WWF, 2015)
24
3.7.2. Nisbah Kelamin
Pengamatan nisbah kelamin kepiting bakau dilakukan dengan melihat ciri
morfologinya yaitu bentuk abdomen kepiting bakau jantan dan kepiting bakau
betina seperti pada Gambar 6 dibawah.
Gambar 6. Perbedaan Kepiting jantan (B) dan Betina (A)
3.7.3. Tingkat Kematangan Gonad
Pengamatan tingkat kematangan gonad kepiting bakau dilakukan dengan
cara membuka karapas pada sampel kepiting, kemudian ditentukan tingkat
kematangan gonad kepiting bakau dengan melihat ciri morfologinya yaitu
berdasarkan bentuk, ukuran panjang, warna dan perkembangan gonad yang
diamati secara visual. Klasifikasi tingkat kematangan gonad jantan dan betina
dapat dilihat pada Tabel 3 dan Tabel 4.
25
Tabel 3. Tingkat kematangan testis kepiting bakau (Castiglioni dan Fransozo, 2006 dalam Siahainenia, 2008)
TKG Klasifikasi Gambar Visual Testis
(Siahainenia, 2008) Ciri morfologi testis
I Belum Matang
Testis mulai Nampak terlihat berbentuk filament kecil dan tidak bewarna (transparan)
II Menjelang
Matang
Testis kecil, Nampak terlihat agak bergelung seperti
kumparan. Terlihat bewarna putih buram
III Matang
Sempurna
Testis semakin besar dengan gelungan yang semakin
banyak. Berwarna putih susu
IV Salin
Testis kembali berbentuk filamen, tipisd dan lembut
serta tidak bewarna (transparan)
26
Tabel 4. Tingkat kematangan ovarium kepiting bakau (John & Sivadas 1974 dalam Siahainenia, 2008)
TKG Klasifikasi Gambar Visual Ovarium
(Siahainenia, 2008) Ciri Morfologi Ovarium
I Belum Matang
Abdomen belum Nampak perbedaan dengan kepiting yang tidak bertelur. Pigmentasi pada tutup abdomen mulai nampak. Tubuh terlihat tipis bila diintip melalui celah karapas Nampak
ovarium berupa titik bewarna putih atau krem. Ovarium berbentuk filament tipis bewarna putih gading atau krem. Masih terlihat sebagian besar masa hepatopankreas.
II Menjelang
Matang
Karapas nampak mulai melebar dan mengembung, muncul pigmentasi kuat pada ujung atas thorachicsternum mauppun tutup abdomen. Tutup abdomen juga mulai melebar. Bagian
belakang bawah tubuh terlihat mulai tebal. Bila di intip melalui celah karapas nampak sebagian masa ovarium bewarna kuning tua sampai orange. Ovarium berwarna kuning tua
sampai orange muda. Ukuran ovarium nampak membesar perbandingan dengan hepatopankreas kira kira 1:5. Butiran telur belum terlihat jelas
III Menjelang
Matang
Karapas semakin melebar dan karapas nampak cembung. Tutup abdomen semakin melengkung dan bila abdomen ditekan terasa sangat keras danterlihat sangat padat. Bagian belakang bawah tubuh nampak terlihat tebal. Bila diintip melalui celah karapas maka terlihat hamper sebagian besar masa ovarium yang bewarna orange. Ukuran ovarium bertambah
hampr memenuhi seluruh rongga punggung. Perbandingan dengan hepatopankreas kira-kira 1:2. Butiran telur sudah terlihat tapi masih tampak menyatu bila ovarium disentuh terasa licin
dan berminyak.
IV Matang
Karapas semakin lebar dan tubuh nampak cembung dan tinggi. Abdomen semakin melengkung dan bila abdomen ditekan terasa sangat keras dan terlihat sangat padat. Bagian
belakng bawah tubuh sangat tebal bila diintip melalui celah karapas maka terlihat masa ovarium yang berwarna orange kemerahan menutupi seluruh bagian tersebut. Ovarium
berwarna orange kemerah merahan. Ukuran ovarium sangat besar dan memnuhi rongga punggung. Hepatopankreas tidak terlihat sama sekalikarena tertutup masa ovarium. Butiran
telur nampak jelas dan mudah dipisahkan. Bila ovarium disentuh terasa kasar karena terlepasnya butiran telur.
V Salin
Bentuk karapas masih seperti pada TKG IV tapi bila bagian punggung dan abdomen ditekan teras berongga. Bagian belakang bawah tubuh masih terlihat tebal bila diintip melalui celah
karapas, hanya nampak bagian kecil masa telur bewarna orange kemerahan. Ovarium kembali berbentuk tipis dan lembut, transparan sampai bewarna oranye kemerahan.
Perbandingan dengan hepatopankreas kira-kira 1:5
26
27
3.7.4. Fekunditas
Penghitungan fekunditas dilakukan dengan mengambil gonad kepiting
bakau yang sudah mencapai TKG IV, dalam hal ini butiran telur sudah terlihat jelas.
Cara menghitung fekunditas dilakukan dengan menggunakan metode volumetrik.
Wadah yang digunakan adalah gelas ukur 50 ml yang berisi air. Sampel gonad
yang diperiksa adalah 1 ml dan selanjutnya dihitung jumlah telur yang ada pada 1
ml tadi. Nilai fekunditas dapat diukur dengan membandingkan volume telur
seluruhnya dengan volume sampel telur dan dikalikan dengan jumlah telur yang
ada pada sampel.
3.8 Karakteristik Lingkungan Kepiting Bakau
Kualitas lingkungan adalah faktor penting yang dapat mempengaruhi
keberadaan dan pertumbuhan kepiting bakau. Kepiting bakau hanya akan
menempati bagian – bagian perairan yang memiliki kondisi kualitas lingkungan
yang mampu ditolerir olehnya. Karakterisitik kualitas lingkungan yang menjadi
habitat kepiting bakau perlu diketahui untuk mengetahui habitat alami kepiting
bakau itu sendiri.
3.8.1 Suhu Perairan
Suhu lingkungan sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan organisme
air. Menurut Fuad (2005) dalam Sagala, et al. (2013), suhu mempunyai peran
dalam kehidupan kepiting atau organisme akuatik lain, peran tersebut antara lain
adalah respirasi, kestabilan konsumsi pakan, metabolisme, pertumbuhan, tingkah
laku, reproduksi dan bioakumulasi serta mempertahankan kehidupan. Hampir
semua organisme sangat peka terhadap perubahan suhu lingkungan yang terjadi
secara drastis, perubahan suhu lingkungan sebesar 5oC secara tiba-tiba dapat
menimbulkan stress atau bahkan kematian pada beberapa jenis organisme (Kordi,
1997).
28
Suhu air mempunyai peranan yang sangat penting dalam pengaturan
aktivitas hewan-hewan yang dipelihara. Tingkat reaksi biologi kimia akan menjadi
dua kali lipat untuk setiap kenaikan suhu sebesar 10oC. Ini berarti bahwa
organisme air akan menggunakan oksigen terlarut sebanyak dua kali lipat dan
reaksi kimia juga akan meningkat dua kali lipat pada suhu 30oC apabila
dibandingkan dengan suhu 20oC (Chairunnisa, 2004). Menurut Mulya (2000)
kepiting bakau dapat bertoleransi hidup pada perairan yang mempunyai kisaran
suhu 12 – 35oC dan tumbuh dengan cepat pada perairan yang mempunyai kisaran
suhu 23 – 32oC. Kepiting bakau dapat tumbuh secara optimal pada kisaran suhu
20 – 42oC.
3.8.2 Salinitas
Menurut Sara (1994), salinitas perairan diduga mempengaruhi struktur dan
fungsi organ organisme perairan, melalui perubahan tekanan osmotik, proporsi
relative bahan pelarut, koefisien absorbsi dan kejenuhan kelarutan, perubahan
penyerapan sinar, pengantaran suara dan daya hantar listrik. Hal ini akan
mengubah komposisi spesies pada situasi ekologis saat itu. Tiap fase dari siklus
hidup suatu spesies membutuhkan kisaran salinitas yang berbeda (Clark, 1974).
Menurut Hill, et al. (1989), salinitas perairan berpengaruh terhadap tiap
fase kehidupan kepiting bakau, terutama pada saat pergantian kulit. Secara umum
kisaran salinitas yang dapat ditolelir oleh kepiting bakau cukup luas. Menurut Kasry
(1996), kepiting bakau dapat hidup pada kisaran salinitas yang lebih kecil dari 15
ppt sampai lebih besar dari 30 ppt. Di Queensland, kepiting bakau dapat hidup
pada kisaran salinitas 2 – 50 ppt, walaupun belum diketahui pengaruh nilai salinitas
tersebut terhadap pertumbuhannya (Queensland Department of Primary Industry,
1989 dalam Siahainenia, 2008). Menurut Susanto (2007) dalam Habibi, et al.
(2013) Salinitas yang optimal untuk kehidupan kepiting bakau berkisar 10 - 32 ppt.
29
3.8.3 Kedalaman Air
Kedalaman air dipengaruhi salah satunya oleh peristiwa pasang surut.
Kedalaman air berpengaruh bagi kehidupan kepiting bakau pada saat terjadi
perkawinan. Walau demikian, kepiting bakau dapat hidup pada perairan yang
dangkal (Siahainenia, 2008). Menurut Wahyuni dan Ismail (1987) dalam
Siahainenia (2008), kepiting bakau dijumpai pada kedalaman 30 - 79 cm di
perairan dekat hutan mangrove dan 30 - 125 cm di muara sungai.
3.8.4 pH Perairan
Peningkatan CO2 di dalam air akan mengakibatkan menurunnya pH
perairan. Meningkatnya pH dapat menyebabkan daya racun ammonia meningkat,
sebaliknya dengan bertambahnya kandungan CO2 bebas,pH air akan menurun
sehingga pengaruhnya terhadap daya racun ammonia akan menurun. Kisaran pH
yang optimal bagi perikanan termasuk crustacean adalah 5 – 9 (Kordi, 1997).
Perairan yang mempunyai substrat lempung cenderung mempunyai pH
asam, sedangkan perairan yang substratnya banyak mengandung kalsium dalam
bentuk CaCO3 bersifat basa (Clough, et al. 1983) Dari hasil penelitian Sudiarta
(1988) dalam Siahainenia (2008), kisaran pH antara 7,9 - 8,3 dapat mendukung
kehidupan kepiting bakau yang dipelihara.
3.9 Prosedur Pengambilan Sampel Substrat
Sampel substrat tanah di ambil dari tiga lokasi stasiun penelitian, dengan
menentukan titik-titik pengambilan sampelnya. Pada setiap lokasi stasiun
ditentukan satu titik pengambilan sampel substrat sesuai dengan daerah tata letak
transek. Jumlah sampel substrat yang diambil dari tiga lokasi stasiun adalah tiga
sampel. Sampel substrat diambil dengan menggunakan cetok, dengan cara
menggali liang tanah sedalam ± 10 cm. Sampel substrat yang telah diambil
dimasukkan ke dalam plastik bening dan ditandai dengan label, lalu diikat. Sampel
30
substrat yang telah diberi nama dibawa ke Laboratorium Kimia Universitas
Muhammadiyah Malang untuk di analisa pH tanah, tekstur tanah dan bahan
organik tanah.
3.10 Analisis Data Komunitas Kepiting Bakau
3.10.1 Kepadatan Kepiting Bakau
Kepadatan kepiting dihitung berdasarkan banyaknya spesies kepiting
bakau yang didapatkan. Menurut Taqwa (2010), rumus kepadatan kepiting bakau
adalah sebagai berikut :
D = Ni
A
keterangan :
D = kepadatan I (individu/m2) Ni = total individu jenis ke-1 yang ditemukan A = luas total pengambilan contoh pada transek ke-I (m2)
3.10.2 Indeks Keanekaragaman Kepiting
Menurut Barus (2004) indeks keanekaragaman kepiting dihitung
menggunakan rumus Shannon-Wiener yaitu :
keterangan:
H = indeks keanekaragaman Shannon-Wiener Pi = proporsi jumlah individu spesies ke-I (ni) terhadap total individu (N) : (n/N)
Dengan kriteria hasil keanekaragaman (H’) adalah sebagai berikut:
H’ < 1 = Kenakeragaman rendah artinya penyebaran jumlah individu tiap spesies dan kestabilan komunitas rendah.
1 < H’ < 3 = Keanekaragaman sedang artinya penyebaran jumlah individu tiap spesies dan kestabilan komunitas sedang
H’ > 3 = Keanekaragaman tinggi artinya penyebaran individu tiap spesies dan kestabilan komunitas tinggi.
H’ = - (ni/N) In (ni/N)
31
3.11.3 Indeks Dominasi Kepiting Bakau
Hasil perhitungan Indeks dominasi digunakan sebagai jawaban untuk
mengetahui spesies kepiting bakau mana yang mendominasi di setiap stasiun
dengan kondisi substrat yang berbeda.
Indeks dominasi kepiting dihitung dengan menggunakan rumus sebagai
berikut (Odum, 1993) :
D = ∑(pi)2 = ∑ (Ni) 2
N
keterangan:
D = indeks dominasi simpson
Pi = proporsi spesies ke-I dalam komunitas
Ni = jumlah individu spesies ke-i
N = jumlah total individu
3.11 Analisis Data Aspek Biologi
3.11.1 Hubungan Lebar Karapas dengan Bobot Individu
Menurut Asmara (2004) untuk melihat bagaimana hubungan lebar kaparas
dengan berat tubuh, maka perlu dicari hubungan antara lebar karapas dengan
berat tubuh menggunakan pendekatan regresi linier. Untuk menduga laju
pertumbuhan, kedua parameter yang diamati dapat dilihat dari nilai b yang dapat
dihitung dengan rumus di bawah ini.
Keterangan :
N = Jumlah kepiting jantan atau betina L = Lebar Karapas (mm) W = Berat tubuh (gram)
Log a = (Log W/N) – b x (Log L/N)
32
Menurut Effendie (1997), korelasi hubungan lebar karapas dengan berat
tubuh dapat dilihat dari nilai konstanta b yaitu dengan hipotesis :
1. Bila b = 3, dikatakan hubungan isometrik (pola pertumbuhan lebar karapas
sama dengan pola pertumbuhan berat).
2. Bila b ≠3, dikatakan memiliki hubungan allometrik , yaitu :
a. Bila b < 3, allometrik negatif (pola pertumbuhan lebar karapas lebih
dominan dari pola pertumbuhan berat tubuh).
b. Bila b > 3, allometrik positif (pola pertumbuhan berat tubuh lebih
dominan dari pola pertumbuhan lebar karapas).
3.11.2 Nisbah Kelamin
Menurut Zahid dan Charles (2009), nisbah kelamin kepiting bakau dihitung
dengan cara membandingkan jumlah kepiting bakau jantan dan jumlah kepiting
bakau betina sebagai berikut :
Keterangan :
X = nisbah kelamin J = jumlah kepiting bakau berkelamin jantan (ekor) B = jumlah kepiting bakau berkelamin betina (ekor)
Selanjutnya dilakukan uji keseimbangan nisbah kelamin dengan
menggunakan uji Chi Kuadrat (α = 0.05).
33
3.11.3 Fekunditas
Menurut Tuhuteru (2004) perhitungan fekunditas kepiting bakau dengan
metode volumetrik menggunakan rumus sebagai berikut.
Keterangan :
F = Fekunditas (butir) V = Volume total telur (ml) v = Volume sampel telur (ml)
N = Jumlah telur pada sampel (butir)
34
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Keadaan Umum Lokasi Penelitian
Kecamatan Watulimo merupakan salah satu kecamatan yang berada di
Kabupaten Trenggalek, Jawa Timur. Tepatnya berada di sebelah tenggara
Kabupaten Trenggalek. Secara geografis terletak diantara 111° 38’41’’-112°
46’41’’ BT dan 8° 8’31’’- 8° 23’01’’ LS. Kecamatan Watulimo berada di ketinggian
7 - 573 m dari permukaan laut. Batas-batas daerahnya, meliputi :
Utara : Kec. Gandusari
Timur : Kab. Tulungagung
Selatan : Samodera Indonesia
Barat : Kec. Munjungan
Kecamatan Watulimo meliputi 12 desa, yaitu Karanggandu, Prigi,
Gambar 27. Grafik Sebaran Frekuensi Tingkat Kematangan Gonad Kepiting Bakau Jantan Berdasar Tangkapan per-Stasiun
Gambar 28. Grafik Sebaran Frekuensi Tingkat Kematangan Gonad Kepiting Bakau Betina Berdasar Tangkapan per-Stasiun
Berdasarkan hasil tangkapan kepiting bakau per-stasiun, dapat
disimpulkan bahwa kepiting bakau jantan pada stasiun 1 dan stasiun 2 masih
terdapat TKG 2 dan TKG 3, sedangkan pada kepiting bakau betina pada stasiun
1 dan stasiun 2 hanya terdapat TKG 1. Kepiting bakau betina yang terdapat TKG
2 dan TKG 3 lebih banyak di stasiun 3 hal ini dikarenakan stasiun 3 terletak pada
muara besar yang terhubung langsung ke laut sehingga pada lokasi ini menjadi
tempat bermigrasinya kepiting bakau betina untuk tempat melakukan pemijahan
menjelang TKG 4 nantinya.
2
4
0
3
1
0
1 1 1
0 0 00
1
2
3
4
5
Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3
Fre
kuensi
TKG 1 TKG 2 TKG 3 TKG 4
3
6
4
0 0
3
0 0
2
0 00
1
2
3
4
5
6
7
Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3
Fre
kuensi
TKG 1 TKG 2 TKG 3 TKG 4
51
a. b.
Gambar 29. TKG 2 (a) dan TKG 3 (b) (Dokumentasi Pribadi, 2017)
Berdasarkan dengan Permen Nomor 1/2015 yang melarang menangkap
kepiting bakau yang sedang betelur dan berdasarkan Buku Panduan
Penangkapan Kepiting bakau (Scylla spp.) 2015, bahwa kepiting bakau matang
gonad pertama kali menjelang dewasa yang memiliki lebar karapas >15 dan
kepiting bakau yang belum matang gonad memiliki lebar karapas <15, pada hasil
tangkapan ini tidak didapatkan kepiting bakau matang gonad (TKG IV) dan TKG 1
lebih banyak tertangkap tetapi pada tangkapan ini juga belum layak untuk
ditangkap karena ukuran dan beratnya yang belum memenuhi syarat dan masih
tergolong kepiting muda, hal ini dikarenakan wilayah tangkapan lebih banyak
dilakukan di sekitar mangrove dan di sepanjang aliran sungai serta diduga pada
saat penelitian belum mencapai puncak musim pemijahan. Menurut Siahainenia
(2008), sebaran kepiting betina TKG 1 dan TKG 2 berada di wilayah belakang
hutan sampai tengah, TKG 3 dan TKG 4 di zona depan hutan dan wilayah pesisir.
4.6 Analisis Hubungan Lebar Karapas dan Berat
Pengamatan hubungan lebar karapas dengan berat tubuh kepiting bakau
dipisahkan menurut jenis kelamin dan dianalisa secara terpisah. Hal ini di
karenakan lebar karapas dan berat kepiting bakau dipengaruhi oleh berat gonad
yang ada didalam tubuh kepiting bakau berdasarkan jenis kelamin. Analisa ini
bertujuan untuk mengetahui pola pertumbuhan kepiting bakau dengan
menggunakan parameter lebar karapas dan berat tubuh kepiting bakau dan
52
dianalisa menggunkan analisis regresi. Berdasarkan hasil perhitungan pada
Lampiran 7 , diperoleh grafik pada Gambar 30 dan 31 sebagai berikut.
Gambar 30. Grafik Hubungan Lebar Karapas dan Berat Kepiting Bakau Jantan
Gambar 31. Grafik Hubungan Lebar Karapas dan Berat Kepiting Bakau Betina
Berdasarkan grafik diatas, hasil analisis hubungan lebar karapas dan berat
kepiting bakau (Scylla spp.) didapatkan nilai koefisien determinasi (R2) kepiting
bakau jantan sebesar 0,8555 atau 85,55 % dengan persamaan y = 0,00146782,3123x
dan kepiting betina 0,7651 atau 76,51 % dengan persamaan y = 0,167571,9365x.
Menurut Tahmid (2016) koefisien determinasi merupakan koefisien yang
menjelaskan seberapa besar kemampuan variable bebas (x) mampu menjelaskan
variable terikat (y), sehingga dapat ditentukan apakah individu dalam populasi
dapat diduga bobot tubuhnya dengan mengetahui ukuran lebar karapasnya. Nilai
koefisien determinasi kepiting bakau jantan kurang dari 0,5 % yang berarti ukuran
y = 14.678e2.3123x
R² = 0.8555
0
50
100
150
200
250
300
0 2 4 6 8 10 12 14
Ber
at (
w)
Panjang (x)
y = 16.757e1.9365x
R² = 0.7651
0
50
100
150
200
250
300
0 5 10 15 20
Ber
at (
w)
Panjang (x)
53
berat tubuh kepiting bakau jantan tidak mempengaruhi panjang tubuhnya
sedangkan betina lebih dari 0,5% menunjukan bahwa ukuran berat tubuh kepiting
bakau betina dapat diduga dari ukuran panjang karapasnya.
Nilai b yang diperoleh pada hubungan lebar karapas dan berat tubuh
kepiting bakau jantan dan betina yaitu b ≠ 3 yang berarti pertumbuhan lebar
karapas tidak sama dengan pertumbuhan beratnya (allometrik). Pada kepiting
bakau jantan, nilai b yang diperoleh yaitu 2,312 dan nilai b kurang dari 3 (b < 3).
Hal ini menunjukan bahwa kepiting bakau jantan memiliki pola pertumbuhan
allometrik negatif yang berarti pertumbuhan berat tubuh lebih lambat dari pada
pertumbuhan karapasnya. Sedangkan pada kepiting bakau betina nilai b yang
diperoleh yaitu 1,93 dan nilai b lebih kecil dari 3 (b < 3). Hal ini menunjukan bahwa
kepiting bakau betina memiliki pola pertumbuhan allometrik negatif yang berarti
pertumbuhan berat tubuh lebih rendah dari pada pertumbuhan karapasnya.
Menurut Effendie (2002), pola pertumbuhan tersebut menunjukkan
pertumbuhan lebar karapas kepiting bakau cenderung lebih cepat dari
pertumbuhan beratnya. Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi perbedaan
pertumbuhan lebar karapas kepiting dengan berat tubuh antara lain yaitu habitat,
makanan, dan faktor lain meliputi kelamin, umur, waktu. Pola pertumbuhan
alometrik negatif tersebut bersesuaian dengan pola pertumbuhan kepiting bakau
di perairan Segara Anakan, Cilacap (Tanod, 2000) dan di perairan Ujung Pangkah,
Gresik (Tutuheru, 2004).
Berdasarkan hasil dari banyaknya kepiting bakau yang tertangkap
disimpulkan bahwa lebar karapas kepiting bakau jantan lebih besar dari pada
kepiting bakau betina dan tubuh kepiting jantan lebih berat dari pada tubuh kepiting
betina, hal ini dikarenakan tidak adanya kepiting bakau betina yang tertangkap
pada saat matang gonad (TKG IV) sehingga berat kepiting bakau betina tergolong
rendah, tetapi jika kepiting bakau betina mengalami pertumbuhan sampai dewasa
54
sehingga mencapai matang gonad tubuh kepiting bakau betina akan jauh lebih
berat dari pada kepiting bakau jantan, hal ini disebabkan karena pengaruh berat
telur yang ada dalam tubuh kepiting bakau betina.
Pada (Scylla spp.) jantan moulting lebih jarang terjadi, asupan makanan
cenderung digunakan untuk memanjangkan dan membesarkan chelae (capit),
yang berperan penting pada proses perkawinan (Wijaya, 2011). Menurut Onyango
(2002) dalam Wijaya (2011), Scylla serrata jantan biasanya memiliki capit sangat
besar dibandingkan dengan betina dengan ukuran yang sama dan lebih disukai
nelayan selama lebar karapas lebih dari 70 mm, hal ini bisa menghasilkan
perbedaan ukuran yang signifikan antara jantan dan betina. Oleh karena itu
apabila berada pada ukuran lebar karapas yang sama, kecenderungan kepiting
bakau jantan lebih besar beratnya karena capitnya menambah bobot tubuhnya.
4.7 Analisis Nisbah Kelamin
Kepiting bakau yang diperoleh dari hasil tangkapan di Mangrove
Cengkrong yaitu berjumlah 13 ekor kepiting bakau jantan dan 18 ekor kepiting
bakau betina. Dari jumlah kepiting bakau yang diamati perbandingan jenis kelamin
jantan dan betina adalah 1 : 1,38. Berdasarkan uji chi square yang dilakukan pada
selang kepercayaan 95% diperoleh bahwa Xhitung < Xtabel (Lampiran 8). Hal ini
berarti nisbah kelamin kepiting bakau jantan dan betina seimbang.
Kondisi nisbah kelamin yang seimbang antara jantan dan betina dengan
perbandingan 1 : 1,38 masih dalam keadaan yang baik. Menurut Phelan dan
Grubert (2007) dalam Wijaya (2011), jumlah individu betina yang mendominasi dari
sudut pandang reproduksi menguntungkan, karena kepiting betina hanya
memerlukan satu kali proses kopulasi untuk tiga kali lebih periode bertelur. Kepiting
bakau betina memiliki spermatecha yang dapat menyimpan sperma dari kepiting
bakau jantan hingga beberapa bulan.
55
4.8 Fekunditas
Hasil pengamatan fekunditas pada kepiting bakau betina di kawasan
Mangrove Cengkrong Kota Trenggalek yaitu tidak ditemukan sama sekali kepiting
bakau yang sedang membawa telur yang telah terbuahi dan melekat pada rambut-
rambut pleopod. Hal tersebut dikarenakan wilayah tangkapan nelayan kepiting
bakau hanya dilakukan di sekitar mangrove dan muara sungai. Menurut Arriolla
(1940 dan Brick (1974) dalam Siahanenia (2008) kepiting bakau bertelur akan
bermigrasi dari perairan payau ke perairan laut untuk memijah. Menurut Kasry
(1996) bahwa setelah perkawinan berlangsung, secara perlahan-lahan kepiting
bakau betina akan bermigrasi dari perairan bakau atau tambak ke tepi pantai dan
selanjutnya ke tengah laut untu melakukan pemijahan. Migrasi kepiting bakau
betina matang gonad ke perairan laut merupakan upaya mencari perairan yang
kondisnya cocok sebagai tempat memijah, inkubasi dan menetaskan telur.
4.9 Komunitas Kepiting Bakau (Scylla spp.)
4.11.1 Kepadatan Kepiting Bakau
Jenis kepiting bakau yang ditemukan di kawasan Mangrove Cengkrong
adalah Scylla transqubarica, Scylla seratta, Scylla oceania, Scylla paramomasain.
Setiap lokasi stasiun penelitian mempunyai jumlah jenis yang berbeda-beda untuk
lebih jelasnya dapat dilihat pada Lampiran 10, pada lokasi stasiun satu didapatkan
tiga jenis kepiting bakau, lokasi stasiun dua didapatkan tiga jenis kepiting bakau
dan lokasi stasiun tiga didapatkan empat jenis kepiting bakau. Gambar 32 - 34
merupakan grafik nilai kepadatan kepiting bakau pada masing-masing lokasi
stasiun penelitian di Mangrove Cengkrong.
56
Gambar 32. Kepadatan kepiting bakau stasiun 1 (ind/m2)
Gambar 33. Kepadatan kepiting bakau stasiun 2 (ind/m2)
Gambar 34. Kepadatan kepiting bakau stasiun 3 (ind/m2)
Berdasarkan lokasi 3 stasiun didapat kesamaan bahwa nilai kepadatan
jenis kepiting Scylla seratta dan Scylla oceania tertinggi pada stasiun 2. Nilai
kepadatan kepiting Scylla seratta dan Scylla oceania pada stasiun 2 didapatkan
hasil tangkapan sebanyak 6 ind/m2. Hal ini dikarenakan lokasi ini berada dekat
3 3 3
00
0.5
1
1.5
2
2.5
3
3.5
S. Transqubarica S. Seratta S. Oceania S. Paramomasain
Frek
uen
si in
d/m
2
1
6 6
00
1
2
3
4
5
6
7
S. Transqubarica S. Seratta S. Oceania S. Paramomasain
Frek
uen
si in
d/m
2
1 1
5
2
0
1
2
3
4
5
6
S. Transqubarica S. Seratta S. Oceania S. Paramomasain
Frek
uen
si in
d/m
2
57
dengan muara sungai dan kepiting jenis ini lebih menyukai jenis substrat lempung
beriliat untuk habitat hidupnya. Kepadatan Scylla transqubarica terbanyak didapat
pada lokasi stasiun satu yaitu 3 ind/m2, lokasi ini berada di wisata Mangrove
Cengkrong yang masih dipengaruhi pasang surut air laut dan memiliki kerapatan
mangrove yang rapat serta menyukai substrat lempung liat berpasir untuk habitat
hidupnya. Jenis kepiting Scylla paramomasain ditemukan pada stasiun 3, spesies
ini lebih menyukai hidup di muara besar yang berhubungan langsung ke laut
dengan kedalaman 64 cm dan bersubstrat lempung.
Berdasarkan hasil kepiting bakau yang tertangkap secara keseluruhan
terdapat jumlah yang berbeda-beda tiap lokasi stasiun. Lokasi stasiun satu
sebanyak 9 ind/m2, lokasi stasiun dua sebanyak 13 ind/m2, dan lokasi stasiun tiga
sebanyak 9 ind/m2. Kepadatan kepiting bakau terbanyak terdapat pada stasiun 2
dengan hasil tangkapan 13 ekor, hal tersebut dikarenakan lokasi stasiun 2 terletak
pada aliran sungai yang dikelilingi mangrove dan kepiting bakau cenderung lebih
senang dengan lingkungan mangrove yang terbuka daripada mangrove yang
tertutup dengan pohon-pohon mangrove yang lebat sehingga matahari kurang
optimal masuk sampai ke permukaan tanah.
4.11.2 Indeks Keanekaragaman Spesies Kepiting Bakau
Indeks keanekaragaman jenis (H’) merupakan nilai yang menggambarkan
keragaman jenis dalam suatu komunitas. Keanekaragaman jenis adalah suatu
karakteristik tingkatan komunitas berdasarkan organisasi biologisnya. Suatu
komunitas dikatakan mempunyai keanekaragaman jenis tinggi, jika komunitas itu
disusun oleh banyak jenis dengan kelimpahan tiap jenis yang sama (Soegianti,
1994 dalam Taqwa, 2010). Nilai Keanekaragaman jenis dapat dilihat pada
Lampiran 11.
58
Nilai keanekaragaman spesies kepiting bakau di Mangrove Cengkrong
adalah sebesar 1,05. Keanekaragaman jenis kepiting bakau dari ketiga stasiun
relatif rendah, karena menurut Magurran (1988) dalam Suprayogi et al. (2014), jika
nilai H’ < 1 maka keanekaragaman jenis rendah; nilai 1 < H’ < 3 maka
keanekaragaman jenis sedang, serta nilai H’ > 3 maka keanekaragaman jenis
tinggi. Nilai keanekaragaman kepiting bakau di Mangrove Cengkrong disebabkan
karena vegetasi mangrove yang padat. Menurut Tahunalia (2010), nilai indeks
keragaman selain tergantung pada faktor lingkungan seperti tekstur tanah, pH
tanah dan bahan organik juga tergantung pada ada tidaknya masukan cahaya
matahari. Hal tersebut yang menyebabkan kepiting bakau lebih banyak di daerah
terbuka dari pada di bawah tegakan mangrove.
Nilai keanekaragaman yang rendah juga disebabkan karena ekosistem yang
secara fisik terkendali oleh faktor pembatas fisika dan kimia yang kuat. Hasil faktor
fisika dan kimia pada penelitian ini ada pada substrat tanah. Substrat tanah yang
mendominasi di Mangrove Cengkrong cenderung berlempung, hasil kimia tanah
yaitu pH tanah antara 6,85 sampai 7,23, bahan organik antara 3,10 sampai 4,67%.
Menurut Odum (1993), keanekaragaman cenderung akan rendah dalam
ekosistem yang secara fisik terkendali (yakni yang menjadi pembatas fisika-kimia
yang kuat) dan tinggi dalam ekosistem yang diatur secara biologi.
Berdasarkan hal tersebut nilai keanekaragaman setiap lokasi stasiun
pengamatan, nilai keanekaragaman kepiting bakau di Mangrove Cengkrong
tergolong rendah. Jumlah nilai keanekaragaman di Ekosistem Mangrove
Cengkrong adalah 1,05. Menurut Magurran (1988) dalam Suprayogi et al. (2014)
nilai keanekaragaman tersebut tergolong tinggi karena jika nilai keanekaragaman
1 < H’ < 3 maka keanekaragaman jenis adalah rendah.
59
4.11.3 Indeks Dominasi Kepiting Bakau
Indeks dominasi kepiting bakau di kawasan Mangrove Cengkrong adalah
tergolong rendah. Nilai indeks dominasi kepiting bakau yang didapat dari ketiga
lokasi stasiun sebesar 0,27. Menurut Odum (1971) dalam Nadia (2002), nilai
indeks dominasi berkisar antara 0 - 1. Indeks dominasi 0 berarti hampir tidak ada
individu yang mendominasi, apabila indeks dominasi mendekati nilai 1 berarti ada
satu jenis yang mendominasi. Nilai indeks dominasi kepiting bakau di Mangrove
Cengkrong dapat dilihat pada Lampiran 12.
Menurut Heddy dan Kurniati (1994) harga H’ dan D besarnya berlawanan,
karena H’ yang besar menyatakan dominasi yang rendah. Dapat dikatakan bahwa
keanekaragaman yang tinggi menyatakan rantai makanan yang panjang dan
banyak simbiosis (mutualisme, parasitisme, komensal dan lain-lain). Kondisi
tekstur tanah dapat menyebabkan tingginya nilai dominasi pada 3 lokasi stasiun.
Pada 3 lokasi stasiun substrat yang mendominasi adalah lempung dengan tekstur
tanah liat berpasir dan persentase pasir mencapai 40,4 % lebih tinggi
dibandingkan kandungan liat. Sedikitnya kandungan liat di 3 lokasi stasiun
membuat hanya beberapa kepiting bakau saja yang dapat hidup dengan kondisi
tekstur tanah tersebut karena sifat dari kepiting bakau yang menggali tanah untuk
tempat berlindung sehingga memerlukan tanah berliat.
4.10 Analisis Parameter Kualitas Air
Data kualitas air sebagai parameter lingkungan pendukung kehidupan
kepiting bakau (Scylla spp.) di Mangrove Cengkrong (Lampiran 9) diperoleh dari
pengamatan sebanyak 1 kali selama 1 minggu pada lokasi penangkapan yang
dilakukan oleh nelayan.
60
4.9.1 Suhu
Suhu lingkungan sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan organisme
air. Menurut Fuad (2005) dalam Sagala, et al. (2013), suhu mempunyai peran
dalam kehidupan kepiting atau organisme akuatik lain, peran tersebut antara lain
adalah respirasi, metabolisme, pertumbuhan, tingkah laku dan reproduksi serta
mempertahankan kehidupan. Hampir semua organisme sangat peka terhadap
perubahan suhu lingkungan yang terjadi secara drastis, perubahan suhu
lingkungan sebesar 5oC secara tiba-tiba dapat menimbulkan stress atau bahkan
kematian pada beberapa jenis organisme (Kordi, 1997). Data hasil pengukuran
suhu dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Data hasil pengukuran suhu
Berdasarkan data hasil pengamatan, kisaran nilai suhu yang diperoleh
pada lokasi 1 yaitu 28,6 0C, pada lokasi 2 yaitu 30,3 0C dan pada lokasi 3 yaitu
30,7 0C. Nilai tersebut dapat dikatakan cukup baik untuk kehidupan kepiting bakau.
Menurut Mulya (2000) kepiting bakau dapat bertoleransi hidup pada perairan yang
mempunyai kisaran suhu 12 – 35oC dan tumbuh dengan cepat pada perairan yang
mempunyai kisaran suhu 23 – 32oC. Kepiting bakau dapat tumbuh secara optimal
pada kisaran suhu 20 – 32oC.
4.9.2 Salinitas
Menurut Hill, et al. (1989), salinitas perairan berpengaruh terhadap tiap
fase kehidupan kepiting bakau, terutama pada saat pergantian kulit. Menurut Sara
(1994), salinitas perairan diduga mempengaruhi struktur dan fungsi organ
organisme perairan, melalui perubahan tekanan osmotik, perubahan penyerapan
Parameter Suhu
Lokasi Suhu (°C)
1 28,6
2 30,3
3 30,7
61
sinar, pengantaran suara dan daya hantar listrik. Data hasil pengukuran salinitas
dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6. Data hasil pengukuran salinitas
Parameter Salinitas
Lokasi Salinitas (ppt)
1 29
2 30
3 30
Berdasarkan data hasil pengamatan, kisaran nilai salinitas yang diperoleh
pada lokasi 1 yaitu 29 ppt, pada lokasi 2 yaitu 30 ppt dan pada lokasi 3 yaitu 30
ppt. Kisaran nilai salinitas tersebut masih dapat mendukung kehidupan kepiting
bakau. Menurut Susanto (2007) dalam Habibi, et al. (2013) salinitas yang optimal
untuk kehidupan kepiting bakau berkisar 10 - 32 ppt. Menurut Kasry (1996),
kepiting bakau dapat hidup pada kisaran salinitas yang lebih kecil dari 15 ppt
sampai lebih besar dari 30 ppt. Daerah Queensland, kepiting bakau dapat hidup
pada kisaran salinitas 2 – 50 ppt, walaupun belum diketahui pengaruh nilai salinitas
tersebut terhadap pertumbuhannya (Queensland Department of Primary Industry,
1989 dalam Siahainenia, 2008).
4.9.3 Derajat Keasaman (pH)
Peningkatan CO2 di dalam air akan mengakibatkan menurunnya pH
perairan. Meningkatnya pH dapat menyebabkan daya racun ammonia meningkat,
sebaliknya dengan bertambahnya kandungan CO2 bebas,pH air akan menurun
sehingga pengaruhnya terhadap daya racun ammonia akan menurun. Menurut
Boyd (1990), fluktuasi nilai pH dipengaruhi oleh aktivitas biologis misalnya
fotosintesis dan respirasi organisme, serta keberadaan ion-ion dalam perairan
tersebut. Data hasil pengukuran pH dapat dilihat pada Tabel 7.
62
Tabel 7. Data hasil pengukuran pH
Parameter pH
Lokasi pH
1 7
2 8
3 8
Berdasarkan data hasil pengamatan, kisaran nilai pH yang diperoleh yaitu
6 – 8. Kisaran nilai tersebut masih dapat mendukung kehidupan kepiting bakau.
Kisaran pH yang optimal bagi perikanan termasuk crustacean adalah 5 – 9 (Kordi,
1997). Dari hasil penelitian Sudiarta (1988) dalam Siahainenia (2008), kisaran pH
antara 7,9 - 8,3 dapat mendukung kehidupan kepiting bakau yang dipelihara.
4.9.4 Kedalaman
Kedalaman air dipengaruhi salah satunya oleh peristiwa pasang surut.
Kedalaman air berpengaruh bagi kehidupan kepiting bakau pada saat terjadi
perkawinan. Walau demikian, kepiting bakau dapat hidup pada perairan yang
dangkal (Siahainenia, 2008). Data hasil pengukuran kedalaman air dapat dilihat
pada Tabel 8.
Tabel 8. Data hasil pengukuran kedalaman air
Parameter Kedalaman
Lokasi Kedalaman (cm)
1 0
2 58
3 64
Berdasarkan data hasil pengamatan kedalaman air, nilai yang diperoleh
pada lokasi 1 yaitu 0 cm karena distasiun ini adalah tempat wisata yang
dipengaruhi pasang surut, pada lokasi 2 yaitu 58, pada lokasi 3 yaitu 64.
Perbedaan kedalaman pada lokasi 2 dan 3 tidak terlalu besar dikarenakan lokasi
ini merupakan muara sungai. Menurut Wahyuni dan Ismail (1987) dalam
Siahainenia (2008), kepiting bakau dijumpai pada kedalaman 30 - 79 cm di
perairan dekat hutan mangrove dan 30 - 125 cm di muara sungai.
63
4.11 Substrat Habitat Kepiting Bakau
4.10.1 pH Tanah
Reaksi tanah menunjukkan sifat kemasaman atau alkalinitas tanah yang
dinyatakan dengan nilai pH . Nilai pH menunjukkan banyaknya konsentrasi ion
hydrogen (H+) di dalam tanah dan ditemukan pula ion OH- yang jumlahnya
berbanding terbalik dengan ion H+. Pada tanah yang masam ion H+ lebih tinggi
dibanding OH-, sedang pada tanah alkalin kandungan OH- lebih banyak daripada
H+. Nilai pH berkisar antara 0 sampai 14, dengan pH 7 disebut netral, kurang dari
7 disebut masam dan pH lebih dari 7 disebut alkalis (Mustafa et al, 2012). Hasil
pH tanah pada lokasi penangkapan kepiting bakau dapat dilihat pada Gambar 35.
Gambar 35. Hasil Pengukuran pH tanah
Berdasarkan grafik diatas, pH tanah pada lokasi 1 memiliki nilai sebesar
7,23 pada lokasi 2 sebesar 7,11 dan lokasi 3 sebesar 6,85. Menurut Hakim (1986)
pH tanah antara 6 dan 8 merupakan pH terbaik. Suasana biologi dan penyediaan
hara umumnya berada pada tingkat terbanyak pada kisaran pH tersebut.
Berdasarkan hal tersebut, pH tanah di lokasi penangkapan kepiting bakau di
Mangrove Cengkrong tergolong baik.
7.23
7.11
6.85
6.6
6.7
6.8
6.9
7
7.1
7.2
7.3
Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3
pH
Tan
ah
64
4.10.2 Tekstur Tanah
Berdasarkan hasil analisis tekstur tanah pada lokasi penangkapan kepiting
bakau di Mangrove Cengkrong didapatkan hasil yaitu di lokasi 1 memiliki jenis
tekstur tanah lempung liat berpasir, di lokasi 2 memiliki jenis tekstur tanah
lempung berliat dan di lokasi 3 memiliki jenis tekstur tanah lempung (Tabel 9).
Tabel 9. Data Hasil Pengamatan Tekstur Tanah
Hasil Pengamatan Tekstur Tanah
Lokasi Pasir (%) Debu (%) Liat (%) Tekstur
1 55.3 21.7 23 Lempung liat berpasir
2 30.6 35.2 34.2 Lempung berliat
3 35.3 45.6 19.1 Lempung
Substrat di 3 lokasi penelitian didominasi oleh lempung yang termasuk
dalam kategori dapat digali oleh kepiting bakau untuk mencari makan, membuat
lubang sebagai tempat tinggal dan tempat bersembunyi. Menurut Webley et al.
(2009) dalam Tahmid (2016), kepiting bakau memanfaatkan lempung untuk
bersembunyi, mempertahankan diri agar tetap dingin selama air surut dan
melindungi diri dari predator. Kepiting bakau dewasa merupakan penghuni tetap
perairan zona intertidal dan sering membenamkan diri dalam substrat lempung
atau menggali lubang pada substrat yang lunak dan merupakan habitat yang
cocok bagi kepiting bakau.
Menurut Sulingga dan Dermanti (2007) dalam Suprayogi (2013), tanah
berpasir terdiri atas partikel-partikel yang kurang dapat menahan air. Air dalam
tanah akan bergerak ke bawah melalui rongga tanah. Tanah ini juga memiliki
karakteristik lempung maka tanah agak melekat, agak lembab dan tidak terlalu
padat. Jenis tanah liat berdebu memiliki sifat lebih licin karena adanya partikel-
partikel debu. Tanah yang mengandung fraksi debu dapat memegang air,
sehingga tanah pada stasiun ini cenderung basah.
65
4.10.3 Bahan Organik Tanah
Bahan organik tanah merupakan hasil dekomposisi atau pelapukan bahan-
bahan mineral yang terkandung dalam tanah. Bahan organik tanah dapat berasal
dari timbunan mikroorganisme dan sisa-sisa tanaman, hewan yang telah mati dan
terlapuk selama jangka waktu tertentu (Soetjito, et al. 1992 dalam Mustafa, et al.
2012). Kandungan bahan organic yang terkandung di tanah Mangrove Cengkrong
berasal dari seresah jaringan tumbuhan mangrove, jasad-jasad organisme yang
ada (berbagai jenis ulat, kepiting, ikan juvenil), feses organisme dan kandungan
bahan organik air sungai yang masuk ke dalam tanah. Hasil bahan organik tanah
yang terdapat di wilayah tangkapan kepiting bakau di Mangrove Cengkrong dapat
dilihat pada Gambar 36. sebagai berikut.
Gambar 36. Grafik Kandungan Bahan Organik Tanah
Berdasarkan grafik diatas, kandungan bahan organik tanah pada lokasi 1
sebesar 3,842 %, pada lokasi 2 sebesar 46,71 % dan pada lokasi 3 sebesar 3,101
%. Menurut Djaenuddin et al. (1994) dalam Yeanny (2007), kriteria tinggi
rendahnya kandungan organik substrat atau tanah berdasarkan persentase
adalah sebagai berikut, < 1% (sangat rendah), 1 - 2 % (rendah), 2,01 - 3 %
(sedang), 3,01 - 5 % (tinggi), > 5,01 % (sangat tinggi). Berdasarkan hal tersebut,
kandungan bahan organik tanah di tiga lokasi penangkapan kepiting bakau
3.842
4.671
3.101
0.000
0.500
1.000
1.500
2.000
2.500
3.000
3.500
4.000
4.500
5.000
Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3
Bah
an O
rgan
ik T
anah
(%
)
66
termasuk dalam kategori tinggi. Menurut Hidayat, et al. (2012), kandungan seresah
diyakini berkontribusi terhadap tingginya kandungan bahan organik.
Menurut Chairunnisa (2004) semakin tinggi kandungan bahan organik
pada substrat maka semakin semakin baik substrat tersebut untuk pertumbuhan
vegetasi mangrove, kandungan C-organik yang tinggi juga menandakan
banyaknya seresah daun mangrove yang terdekomposisi sehingga dapat diduga
persediaan makanan alami kepiting bakau juga cukup tersedia banyak. Salah satu
faktor yang mempengaruhi tinggi rendahnya bahan organik di substrat adalah
tekstur, tanah berpasir memungkinkan oksidasi yang menghabiskan bahan
organik dengan cepat.
67
5. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
1. Kepiting bakau (Scylla serrata) yang tertangkap nelayan selama penelitian
yaitu sebanyak 31 ekor (13 ekor jantan dan 18 ekor betina). Nisbah kelamin
jantan Kepiting bakau jantan dan betina 1 : 1,39. Pengamatan tingkat
kematangan gonad paling banyak tertangkap yaitu TKG 1 sebesar 61,29 %
dan sisanya TKG 2 dan 3. Kepiting bakau jantan dan betina memiliki pola
pertumbuhan allometrik negatif (b < 3).
2. Nilai kepadatan kepiting bakau di Mangrove Cengkrong Trenggalek terbanyak
terdapat pada stasiun 2 sebanyak 13 ekor kepiting. Nilai Keanekaragaman
kepiting bakau tergolong rendah yaitu sebesar 1,05 dan nilai dominasi kepiting
bakau sebesar 0,27 yang berarti tidak ada yang mendominasi pada 3 stasiun
3. Hasil pengukuran kualitas air didapatkan nilai rata rata yaitu suhu sebesar
29,8. Pengukuran salinitas diapatkan nilai sebesar 29,6. Pengukuran pH
didapatkan nilai 7, serta kedalaman diapatkan nilai sebesar 40,6 cm.
Pengamatan substrat didapatkan nilai rata rata yaitu pH tanah sebesar 21,19.
Tekstur tanah dari 3 lokasi stasiun didominasi oleh lempung. Kandungan
bahan organik tanah didapatkan nilai sebesar 3,87. Pengukuran kualitas air
dan substrat tanah didapatkan hasil yang normal sehingga kondisi habitat
kepiting bakau di Mangrove Cengkrong masih dalam keadaan cukup baik
untuk keberlangsungan hidup kepiting bakau.
68
5.2 Saran
Saran yang dapat penulis berikan dari penelitian ini adalah :
a) Perlunya pengawasan lebih lanjut tentang hasil tangkapan kepiting
mengenai ukuran minimal tangkapan yang boleh didaratkan
b) Perlu adanya tempat pembesaran kepiting bakau oleh Dinas Perikanan
untuk memberikan solusi agar kepiting bakau yang tertangkap dapat
dibesarkan terlebih dahulu sampai ukuranya memenuhi standar.
c) Bagi pengelola dan istansi terkait daerah Mangrove Cengkrong untuk tetap
menjaga keberadaan komunitas kepiting bakau dan habitat alaminya di
dengan cara tetap memelihara kelestarian hutan Mangrove Cengkrong
69
DAFTAR PUSTAKA
Aditya, D. 2009. Metode Penelitian Deskriptif. Buku Pembelajaran Metode Ilmiah. Poltekkes. Surakarta.
Amir .1994. Penggemukan dan Peneluran Kepiting Bakau, TECHner. Jakarta. Asmara, H. 2004. Analisis Beberapa Aspek Reproduksi Kepiting Bakau (Scylla
Serrata) Di Perairan Segara Anakan, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah. FPIK. IPB. Bogor.
Asmara, H., E. Riani., dan A. Susanto. 2011. Analisis Beberapa Aspek Reproduksi
Kepiting Bakau (Scylla Serrata) Di Perairan Segara Anakan, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah. Jurnal Matematika, Sains dan Teknologi. Vol 12. (1). Hal. 31-36.
Atmojo, S. W. 2003. Peranan Bahan Organik Terhadap Kesuburan Tanah dan
Upaya Pengelolaannya. Surakarta. Hlm 13. Barus, T. A. 2004. Faktor-Faktor Lingkungan Abiotik dan Keanekaragaman
Plankton Sebagai Indikator Kualitas Perairan Danau Toba. 11, (2), 64-72. Bliss, Dorothy. E. 1983. The Biology of Crustacea. Vol.8 Environmental
Adaptations. Academic Press, New York, 198 p. Boer, 1993. Studi pendahuluan Penyakit kunang-kunang pada larva kepiting
Bakau(Scylla serrata),Journal Penelitian Budidaya Pantai. Brower, J. E. dan J. H. Zar. 1989. Field and Laboratory Methods for General
Ecology. Wm . c. Brown Company Publishers. Carlisle, D. B. 1953. Moulting hormone in Leander (Crustacea Decapoda). Mar.
biol., Ass. United Kingdom, 32:95-289 pp. Clough B.F., Boto K.G., dan Atwil P.M. 1983. Mangroves and Sewage: An
Evaluation. In H.J. Teas Biology and Ecology of Mangrove. Dr. W. Junk, the Hauge, Boston, Lancaster. 151 – 161.
Darmawan, D. 2013. Metode Penelitian Kuantitatif. Bandung. PT.Remaja
163 Hal. Fachrul, Melati Ferianita. 2007. Metode Sampling Bioekologi. Bumi Aksara.
Jakarta. 155 hal.
70
Fushimi, H and S. Watanabe.. 2003. Problem in Species Indentification of the Mud Crab Genus Scylla (Brachura : Portunidae), Department of Marine Biotechnology, Fukuyama University, Fukuyama Hiroshima Japan.
Garth, J.S and D. P. Abbott. 1980. Branchyura: The True Crabs. In Intertidal
Invertebrates of California. California: Stanford University Press. Page : 594 – 623.
Gufron, M., dan H. Kordi. 2000, Budidaya kepiting & Ikan Bandeng di tambak system polikultur, Semarang, Dahara Prize. Habibi, M.W., Dyah H., dan Nur K. 2013. Perbedaan Lama Waktu Moulting
Kepiting Bakau Scylla serrata Jantan dengan Metode Mutilasi dan Ablasi. Lentera Bio. 2 (3) : 265 – 270.
Harahap, E., Azizah, N., Affandi, A. 2014. Menentukan Tekstur Tanah Dengan
Metode Perasaan di Lahan Politani. Jurnal Nasional Ecopedon. 2 (2) : 13-15.
Hill, B.J. 1982. The Queensland Mud Crab Fishery. Queenland Department of
Primary Industry. Series FI 8201. Hunter, J. R., B. J. Macewicz., N. Chyanhuilo., C.A. Kimbrill.1992. Fecundity,
Spawning and Maturity of Female Dover Sole, Microstumus pacificus and Evaluations of Asumptions and Precisions. Fishery Bulletin, 90:101-128.
Heddy, S dan Metty, K. 1994. Prinsip-Prinsip ekologi Suatu Bahasan Tentang
Kaidah Ekologi dan Penerapannya. Raja Grafindo Persada. Jakarta. Herliany, N. E., dan Zamdial. 2015. Hubungan Lebar Karapas dan Berat Kepiting
Bakau (Scylla spp.) Hasil Tangkapan Di Desa Kahyapu Pulau Enggano Provinsi Bengkulu. Jurnal Kelautan. 8 (2) : 89-94.
Hermanto, D. T. 2004. Studi Pertumbuhan dan Beberapa Aspek Reproduksi
Rajungan (Portunus pelagicus) di Perairan Mayangan, Kabupaten Subang Jawa Barat. Skripsi. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Indah, R., Abdul A. dan Laga A. 2008. Perbedaan Substrat dan Distribusi Jenis
Mangrove (Studi Kasus: Hutan Mangrove di Kota Tarakan). Borneo University Library. Kalimantan Utara. Hlm 76.
Irwan, Zoer’aini Djamal. 1992. Ekosistem Komunitas dan Lingkungan. Bumi
Aksara. Jakarta. 210 hal. Jobággy E.G. and R.B Jackson. 2000. The vertical distribution of soil organic
carbon and its relation to climate and vegetation. Ecol. Appl. 10: 423-36. John, S and P. Sivades. 1978. Morphological Changes in The development of The
Ovary in The Eyestalk Abiated Estuarie Crab, Scylla Serata. Mahasgar Bulletin of the National Institude of Oceanography. (11) : 57-62
Kasry, A. 1996. Budidaya Kepiting Bakau Dan Biologi Ringkas. Penerbit Bhatara. Jakarta.
71
Kanna, I. 2000. Hormon Penghambat Moulting (MIH dan GIH) dalam Pembenihan
dan Pembesaran Kepiting Bakau, Kanisius, Jakarta, 30-32 hlm. Kementerian Kelautan Perikanan. 2012. Statistik Perikanan Tangkap Indonesia,
2011. Kementrian Kelautan Perikanan. Jakarta. Kordi, K. M. G. H. 1997. Budidaya Kepiting Dan Ikan Bandeng Di Tambak Sistem
Polikultur. Dahara prize. Semarang. Mukhlis, 2007. Analisis Tanah Dan Tanaman. USU press, Medan. 155 Hal Mulya, M. B. 2000. Kelimpahan dan Distribusi Kepiting Bakau (Scylla sp.) serta
Keterkaitannya dengan Karakteristik Biofisik Hutan Mangrove di Suaka Margasatwa Karang Gading dan Langkat Timur Laut Propinsi Sumatera Utara. Tesis Program Pascasarjana. IPB.
Mohapatra, A., Rajeeb K. M., Surya K. M., dan Dey S. K. 2010. Carapace width
and weight relationships, condition factor, relative condition factor and gonado somatic index (GSI) of mud crabs (Scylla spp.) from Chilika Lagoon, India. Indian Journal of Marine Science. 39(1). 120-127.
Mossa, K., I.Aswandy dan A.Kasry. 1995. Kepiting Bakau Scylla serrata dari
Perairan Indonesia. LON – LIPI. 18 hal. Motoh, H. 1977. Biological synopsis of Alimango, Genus Scylla. SEAFDEC
Aquaculture Department. Nadia, Y. 2002. Analisa Komunitas Krustasea Berukuran Kecil (Famili Ocypodidae
dan Grapsidae) di Habitat Mangrove Muara Sungai Bengawan Solo, Desa Pangkah Wetan Ujung Pangkah Gresik Jawa timur. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Hlm 35.
Odum, E. 1993. Fundamentals of Ecology. Gadjah Mada University Press.
Yogyakarta.
Pulungan, C. P. 2015. Nisbah Kelamin dan Nilai Kemontokan Ikan Tabingal (Puntioplites bulu Bikr) dari Siak, Riau. Jurnal Perikanan dan Kelautan. Universitas Riau.
Peritika, M. Z. 2010. Keanekaragaman Makrofauna Tanah Pada Berbagai Pola Agroforestri Lahan Miring di Kabupaten Wonogiri Jawa tengah. Universitas Sebelas Maret. Surakarta. Hlm 44-54.
Qomaruddin, Q. 2012. Sumber Data. Diakses dari https://eprints.uny.ac.id/9391/3
pada tanggal 3 Februari 2015 Retnowati, T.1991. Menentukan Tingkat Kematangan Gonad Kepiting Bakau
Scylla serrata (FORSKAL) Secara Morfologis dan Kaitannya dengan Perkembangan Gamet. Institut Pertanian Bogor. (Skripsi).
Robertson, A. 1988. Decomposition of Mangrove Leaf Litter in Tropical Australia.
Rosmaniar, 2008. Kepadatan dan Distribusi Kepiting Bakau (Scylla serrata) Serta
Hubungannya Dengan Faktor Fisik Kimia di Perairan Pantai Labu Kabupaten Deli Serdang [Tesis]
Sabaruddin, S. Ishizuka, K. Sakurai, S. Tanaka, S. Kubota, M. Hirota, S.J. Priatna,
and Juairiah. 2001. Characteristics of Ultisols under different wildfire history in South Sumatra, Indonesia: I. Physicochemical properties. Tropics 10: 565-580.
Sagala, L.S.S., Muhammad I., dan Mohammad N.I. 2013. Perbandingan
Pertumbuhan Kepting Bakau (Scylla serrata) Jantan dan Betina pada Metode Kurungan Dasar. Jurnal Mina Laut Indonesia. 3 (12) : 46 - 54.
Siahainenia, L. 2008. Bioekologi Kepiting Bakau (Scylla spp.) di Ekosistem
Mangrove Kabupaten Subang Jawa Barat. Institut Pertanian Bogor. (Disertasi).
Suprayogi, D. 2013. Keanekaragaman Kepiting Biola (Uca spp.) di Desa Tungkai
I Tanjung Jabung Barat. Jambi. Hlm 2-8.
Shelley C and Lovatelli, A. 2011. Mud crab aquaculture A practical manual. Fao Fisheries And Aquaculture Technical Paper 567.
Siburian, T. A. 2013. Metode Penelitian Manajemen Pendidikan. Universitas Negeri Medan. Medan.
Snedaker, S.C., dan Getter, C.D.1985. Coastal Resources Management
Guidelines. Research Planning Institute, Inc. Colombia, Melbourne, Sydney.
Tanod, A. L. 2000. Studi Perumbuhan dan Reproduksi Kepiting Bakau Scylla
serrata, S.tranquebarica, S.oceanica di Segara Anakan, Kab. Cilacap Jawa Tengah. Institut Pertanian Bogor. Skripsi.
Tanod, A., M. Sulistiono, S. Watanabe,. 2001. Reproduction and Gowth of Mud
Crabs In Segara Anakan Lagoon Indonesia. JSPS – DGHE International Symposium. Sustainable in Asia in the New Millennium.
Tahmid, M. 2016. Kajian Ekologi-Ekonomi Kepiting Bakau (Scylla serrata –
Forsskal, 1775) Di Ekosistem Mangrove Teluk Bintan Kabupaten Bintan. Institut Pertanian Bogor. Tesis.
Tahunalia, A. 2010. Struktur Komunitas Kepiting Biola (Uca) di Kawasan
Mangrove Kelurahan Mangunharjo Kota Probolinggi Propinsi Jawa Timur. Universitas Brawijaya. Malang. Hlm 46-47.
Taqwa, A. 2010. Analisis Produktivitas Primer Fitoplankton dan Struktur
Komunitas Fauna Makrobenthos Berdasarkan Kerapatan Mangrove di Kawasan Konservasi Mangrove dan Bekantan Kota Tarakan Kalimantan Timur. Universitas Diponegoro Semarang, Hlm 23.
73
Triyanto. 2016. Pengelolaan Sumberdaya Kepiting Bakau (Scylla serrata) di Indonesia. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Tutuheru, A. 2004. Studi Pertumbuhan dan Beberapa Aspek Reproduksi Kepiting Bakau Scylla serrata dan S. tranquebarica di Perairan Ujung Pangkah, Gresik, Jawa Timur. Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Skripsi: 84p.
Watanabe, S., M. Sulistiono, Yokota and R. Fuseya. 1996. The Fishing gear and
method of mud crab in Indonesia. Cancer, (5): 23-26. (In Japanese). Wijaya, N. I. 2011. Pengelolaan Zona Pemanfaatan Ekosistem Mangrove Melalui
Optimasi Pemanfaatan Sumberdaya Kepiting Bakau (Scylla serrata) di Taman Nasional Kutai Provinsi Kalimantan timur. Institut Pertanian Bogor. (Disertasi)
WWF. 2015. panduan Penangkapan dan Penanganan Kepiting Bakau. Ebook
Yeanny, M. S. 2007. Keanekaragaman Makrozoobenthos Di Muara Sungai Belawan. Jurnal Biologi Sumatra. ISSN 1907-5537. Vol 2. No 2
Zahid, A., dan Charles, P.H.S. 2009. Biologi Reproduksi dan Faktor Kondisi Ikan Ilat-ilat Cynoglossis bilineatus (Lac. 1820) (Pisces : Cynoglossidae) di Perairan Pantai Mayangan Jawa Barat. Jurnal Iktiologi Indonesia. 9 (1) : 85 – 95.