Top Banner
1 Pipit R. Kartawidjaja 2016 01. Memperkuat Sistem Presidensialisme Indonesia 02. Bagaimana Sistem Pemilu Jerman; Upaya Menghadirkan Alternatif Sistem Pemilu 03. Cara Mengalokasikan Kursi Parlemen 04. Daerah Pemilihan (DAPIL) 05. Perbandingan Metode Penghitungan Suara Kompilasi Paper: SERI PERTAMA
87

Kompilasi Paper · Kompilasi Paper: SERI PERTAMA . 2 2016 Pipit R. Kartawidjaja ... Dalam soal ketidak-efektivan dan ketidak efisienan sistem keparlemenan, pada tahun 2009

Mar 22, 2019

Download

Documents

truongdang
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Kompilasi Paper · Kompilasi Paper: SERI PERTAMA . 2 2016 Pipit R. Kartawidjaja ... Dalam soal ketidak-efektivan dan ketidak efisienan sistem keparlemenan, pada tahun 2009

1

Pipit R. Kartawidjaja

2016

01. Memperkuat Sistem Presidensialisme Indonesia

02. Bagaimana Sistem Pemilu Jerman; Upaya Menghadirkan Alternatif Sistem Pemilu

03. Cara Mengalokasikan Kursi Parlemen

04. Daerah Pemilihan (DAPIL)

05. Perbandingan Metode Penghitungan Suara

Kompilasi Paper:

SERI PERTAMA

Page 2: Kompilasi Paper · Kompilasi Paper: SERI PERTAMA . 2 2016 Pipit R. Kartawidjaja ... Dalam soal ketidak-efektivan dan ketidak efisienan sistem keparlemenan, pada tahun 2009

2

2016

Pipit R. Kartawidjaja

Sindikasi Pemilu dan Demokrasi Jl. Proklamasi No. 65, Jakarta Pusat

[email protected]│+621 3906072

www.spd-indonesia.com

Page 3: Kompilasi Paper · Kompilasi Paper: SERI PERTAMA . 2 2016 Pipit R. Kartawidjaja ... Dalam soal ketidak-efektivan dan ketidak efisienan sistem keparlemenan, pada tahun 2009

3

Memperkuat Sistem

Presidensialisme Indonesia

Page 4: Kompilasi Paper · Kompilasi Paper: SERI PERTAMA . 2 2016 Pipit R. Kartawidjaja ... Dalam soal ketidak-efektivan dan ketidak efisienan sistem keparlemenan, pada tahun 2009

4

Memperkuat Sistem Presidensialisme Indonesia

Penyederhanaan sistem kepartaian demi kuatnya sistem presidensialisme dan efektifnya

sistem keparlemenan (pengambilan keputusan tidak bertele-tele) tidak hanya dilakukan lewat

penetapan ambang terselubung (penciutan daerah pemulihan) dan ambang batas resmi,

namun juga harus menengok cara-cara lain seperti elemen teknis pemilu (simultanitas),

perluasan kewenangan presiden dan peningkatan efektivitas/efisiensi parlemen

(pembentukan legislator delegate atau tustee, perlengkapan yang memadai bagi legislator,

disiplin fraksi, syarat pembentukan fraksi,syarat pembentukan Komisi)

Penerapan Ambang Batas DPR (dikenal dengan PT atau Parliamentary Threshold) sejak pileg

(pemlihan legislatif) 2004 diharapkan dapat menciptakan sistem multikepartaian sederhana

dalam tubuh DPR. Sistem multikepartaian sederhana tersebut diperlukan

(a) Untuk Eksekutif demi terciptanya ‗ Pemerintah yang efektif dan produktif serta

stabilitas politik‖ (Penjelasan Pemerintah dalam PUTUSAN MK Nomor 51/PUU-

X/2012, hal. 36); ―Iklim pemerintahan yang kuat, tegas, bersih, berwibawa,

bertanggung jawab, dan transparan (Penjelasan Pemerintah dalam PUTUSAN MK

Nomor 51/PUU-X/2012, hal. 36): ― sistem presidensial yang efektif‘ (PUTUSAN

Mahkamah Konstitusi NOMOR 3/PUU-VII/2009, hal. 111);

(b) Untuk Legislatif (DPR) demi tercapai efisiensi dan efektivitas sistem keparlemenan

(Keterangan DPR dalam PUTUSAN MK Nomor 51/PUU-X/2012, hal. 46)

Dalam soal ketidak-efektivan dan ketidak efisienan sistem keparlemenan, pada tahun 2009

pihak pemerintah menyatakan sebagai berikut: „Perubahan sistem Pemilu dari electoral

threshol (ET) ke sistem parliamentary threshold (PT) merupakan upaya Pemerintah bersama

DPR untuk menciptakan sistem multi partai yang sederhana. Semangat perubahan sistem

tersebut antara lain adalah guna menciptakan sistem presidensial yang efektif. Oleh

karenanya sangat wajar apabila posisi Presiden yang sangat penting dalam penyelenggaraan

pemerintahan, memperoleh dukungan politik yang memadai di parlemen. Sistem multi partai

yang ada saat ini, cenderung memperlemah tata kelola pemerintahan, serta mempersulit

dicapainya konsensus, baik di antara partai-partai maupun antara parlemen dan pemerintah.

Proses pengambilan keputusan dan kebijakan politik akan memerlukan waktu yang panjang

dan bahkan bisa bertele-tele di DPR (Dalam Putusan Nomor 3/PUU-VII/2009 tentang

Persyaratan Ambang Batas Perolehan Suara Dalam Pemilihan Umum Legislatif, hal. 130).

Sedangkan alasan DPR: „Ketentuan ambang batas (parlimentary threshold) yang tercantum

dalam Pasal 202 ayat (1) UU 10/2008 adalah pilihan kebijakan untuk memperkuat sistem

presidensiil dan membangun sistem kepartaian yang sederhana. Pilihan kebijakan PT ini

untuk menggantikan pilihan kebijakan electoral thershold (ET) yang dianut dalam Undang-

Undang Pemilu sebelumnya yang ternyata tidak mampu memperkuat sistem presidensiil dan

menciptakan sistem kepartaian yang sederhana (Dalam Ikhtisar PutusanPerkara Pengujian

Undang-Undang Dan Sengketa Kewenangan Lembaga Negara, Mahkamah Konstitusi 2008-

01

Page 5: Kompilasi Paper · Kompilasi Paper: SERI PERTAMA . 2 2016 Pipit R. Kartawidjaja ... Dalam soal ketidak-efektivan dan ketidak efisienan sistem keparlemenan, pada tahun 2009

5

2009, diterbitkan oleh Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 24 Juni

2010, hal. 129-130).

"Presidential Threshold"

Jika orang berbicara tentang pemulihan umum tentang "presidential threshold" itu, maka

yang dimaksudkan adalah syarat seorang calon presiden untuk terpilih menjadi presiden.

Misalnya di Brazil 50 persen plus satu, di Ekuador 50 persen plus satu atau 45 persen asal

beda 10% dari saingan terkuat; di Argentina 45 persen atau 40 persen asal beda 10% dari

saingan terkuat dan sebagainya 1.

Untuk Indonesia: Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang mendapatkan suara lebih

dari lima puluh persen dari jumlah suara dalam pemilihan umum dengan sedikitnya dua

puluh persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di

Indonesia, dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden (Pasal 6A ayat 3 UUD 1945

Amandemen). Dalam hal tak kesampaian, seperti di Bolivia, untuk Indonesia berlaku: Dalam

hal tidak ada pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang terpilih, dua pasangan calon

yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum dipilih oleh

Majelis Permusyawaratan Rakyat dan pasangan yang memperoleh, suara terbanyak dilantik

sebagai Presiden dan Wakil Presiden. (Pasal 6A ayat 4 UUD 1945 Amandemen)

Jadi, apa betul penggunaan istilah presidential threshold untuk calon presiden yang boleh

turun ke arena pilpres?

Presidensialisme AS, Amerika Latin dan Indonesia

Perbedaan presidensialisme AS dan Amerika Latin

Presidensialisme Amerika Latin (secara umum) Presidensialisme AS

Berhak mengajukan RUU (la iniciativa legislativa) tidak berhak

Berhak mencampuri proses legislasi di parlemen

(ministers and the president wield important power in

setting the assembly's internal legislative agenda in Latin

America)

tidak berhak (but not in the U.S.)

Parlemen berhak menjatuhkan sangsi & mosi tidak

percaya terhadap kepala dan anggota kabinet (la

refrendación ministerial, la interpelación, la censura

ministerial, el Consejo de Ministros, el Primer Ministro):

Dari 18 presidensialisme, 6 negara tidak mengenalnya

(Brazil, Chile, Rep. Dominika, Honduras, Meksiko dan

Nikaragua

tidak berhak

whereas they can often sit in the assembly (practically

speaking) in Latin America and are often appointed with

an eye to solidifying assembly support

ministers cannot sit in the

assembly in the U.S. and

typically are not appointed with

an eye to building assembly

support;

1 J. Mark Payne, Daniel Zobatto G., Fenando Carrillo Flórez, Andrés Allamnd Zavala: "Democracies im

Development: Politics and Reform in Latin America", The Inter-American Development Bank and the

International Institue for Democracy and Electoral Assitance, The John Hopkins University Press, Washington

D.C 2002, hal. 73

Page 6: Kompilasi Paper · Kompilasi Paper: SERI PERTAMA . 2 2016 Pipit R. Kartawidjaja ... Dalam soal ketidak-efektivan dan ketidak efisienan sistem keparlemenan, pada tahun 2009

6

the integration of the executive and legislative branches

of the parties is often greater in Latin America than in the U.S.

Menurut Gary Cox/Scott Morgenstern dan Pedro Planas dalam Detlef Nolte, Reform des

Präsidentialismus und Stärkung der Parlamente, Hamburg 2000, hal. 12 dan 14; Detlef

Nolte, Presidentialism revisited: Gewaltentrennung und Gewaltenverschraenkung in den

lateinamerikanischen Praesidialdemokratien, Lateinamerika Analysen 7, Februar 2004,

Hamburg: IIK, hal. 58

Dalam hal pembuatan RUU, presiden-presiden di Amerika Latin harus kawin dengan

legislatif (baik uni- maupun bikameral).

Oleh sebab itu, presidensialisme di Amerika Latin disebut Presidencialismo de coalizão

(Brazil) atau neopresidencialismo de compromiso (Uruguay) atau parlementarisasi

presidensialisme (Nolte). Di sana, logika sistem parlementer yang berjalan, seperti

perkawinan kekuasaan (convergence of power) dan perkawinan tujuan (convergence of

purpose). Dalam hal convergence of power dan convergence of purpose antara eksekutif dan

legislatif, maka orang kerap menyebutnya dengan united government.

Presidensialisme Amerika

Serikat

(Setelah 1945) *)

Presidensialisme Amerika Latin (secara umum)

Parlementarisasi Presidensialisme

presidencialismo de coalizão (Brazil)

neopresidencialismo de compromiso (Uruguay)

Check and Balance Check and Balance (partial)

Separation of Powers Convergence of Powers

Separation of Purpose Convergence of Purpose

Divided Government United Government

Sistem Pileg mayoritas Untuk DPR sistem Pileg proporsional (dan

campuran) demi representasi dan partisipasi

Jenis Legislatif: Legislature

Dgn Trustee

Jenis Legislatif: Parliament

dgn Delegate & Trustee & Katrolan

Demokrasi Mayoritan/Persaingan Demokrasi Konkordans/Konsensual

Maka, keharusan presiden RI (eksekutif) untuk kawin dengan DPR (legislatif, unikameral)

membuat presidensialisme Indonesia mirip dengan presidensialisme di Amerika Latin.

Oleh sebab itu, pengambilan contoh Amerika Serikat tidaklah cocok. Pengambilan contoh

presidensialisme Rusia seperti yang kadangkala diturunkan di media massa pun tidak tepat,

oleh sebab di Rusia, seorang presiden dapat membubarkan DUMA (DPR Rusia).

Yang menurut saya sangat penting untuk digaris bawahi adalah pilihan Indonesia untuk

berdemokrasi konkordans/konsensual. Artinya, ya perlu kesabaran yang luar biasa. Dalam hal

ini, mungkin presidensialisme di Amerika Latin menarik untuk dicermati, mana kala sejak

gelombang redemokratisasi, sistem pemilu legislatif proporsional atau campuran (terkecuali

Chile) banyak diterapkan. Peningkatan representasi dan partisipasi dalam sistem proporsional

Page 7: Kompilasi Paper · Kompilasi Paper: SERI PERTAMA . 2 2016 Pipit R. Kartawidjaja ... Dalam soal ketidak-efektivan dan ketidak efisienan sistem keparlemenan, pada tahun 2009

7

atau campuran menjadi sasaran utama dan konsentrasi produk sistem mayoritan tidak

dihiraukan 2

Di negara-negara Amerika Latin yang pernah menggunakan system mayoritan macam di

Argentina, sistem kepartaian dwi-partai tokh tidak menjamin stabilitas dan efektivitas sistem

presidensialisme

Dwi-partai tidak menjamin presidensialisme yang efektif (Contoh Uruguay dan Argentina).

Uruguay 3 Argentina

4

Tahun ENPP Fragmentasi ENP Fragmentasi

1942 2,33

Dwi-

Partai 0,571 rendah Kudeta militer

1946 2,71

Dwi-

Partai 0,631 rendah 1,77 Dwi-Partai 0,435 rendah

1948 1,80 Dwi-Partai 0,444 rendah

1950 2,46

Dwi-

Partai 0,593 rendah 2,10 Dwi-Partai 0,524 rendah

1952 1,20 Dwi-Partai 0,167 rendah

1954 2,46

Dwi-

Partai 0,593 rendah 1,12 Dwi-Partai 0,106 rendah

1958 2,45

Dwi-

Partai 0,592 rendah 1,78 Dwi-Partai 0,438 rendah

1960 2,12 Dwi-Partai 0,528 rendah

1962 2,36

Dwi-

Partai 0,576 rendah

1963

2,97 Dwi-Partai 0,663 rendah

1965 3,34 Sederhana 0,701 rendah

1966 2,33

Dwi-

Partai 0,571 rendah

1971 2,31

Dwi-

Partai 0,567 rendah

1973 Kudeta milite 2,84 Dwi-Partai 0,648 rendah

Kudeta Militer

Ternyata, seperti di Uruguay, meski terbentuk dwi-partai, namun di dalam tubuh setiap partai

tumbuh sublema (fraksi/kelompok) yang saling berkelahi, dan lebih akrab dengan sublema

partai lain

2 Dieter Nohlen, ―Internationale Trends der Wahlsystementwicklung‖, Österreichische Zeitschrift für

Politikwissenschaft (ÖZP), 34 Jg. (2005) H. 1, 11.26 3 Bernhard Thibaut, „Praesidentialismus und Demokratie in Lateinamerka, Opladen 1996, hal. 171-173

4 Bernhard Thibaut, "Praesidentialismus und Demokratien in Latein Amerika", Leske+Budrich, Opladen 1996,

hal. 107

Page 8: Kompilasi Paper · Kompilasi Paper: SERI PERTAMA . 2 2016 Pipit R. Kartawidjaja ... Dalam soal ketidak-efektivan dan ketidak efisienan sistem keparlemenan, pada tahun 2009

8

Pembagian Kursi Dalam DPR Uruguay 1942 – 1973 (dalam %)

1942 1946 1950 1954 1958 1962 1966 1971

Partido Colorado

(PC)

58,6 47,5 53,5 51,5 38,5 44,4 50,5 41,4

Sublema terkuat 34,3 (a) 11,1 41,4 (a) 33,3 (c) 26,3 (c) 28,3 (e) 25,3 (f) 28,3 (n)

Sublema terkuat kedua 14,1 (b) 11,1 21,2 (b) 15,2 (d) 12,2 (d) 7,1 (f) 18,2 (g) 12,1 (g)

Partido National

(PN)

23,2 31,3 31,3 35,4 51,5 47,5 41,4 40,4

Sublema terkuat - - - 22,2 (h) 25,3 (k) 20,2 (k) 19,2

(m)

30,3 (o)

Sublema terkuat kedua - - - 12,1 (i) 24,2 (l) 20,2 (l) 14,1 (k) 10,1 (h)

Jumlah PC dan PN 81,8 78,8 84,8 86,9 90 91,9 91,9 81,8

Parpol laen 18,2 21,2 15,2 13,1 10 8,1 8,1 18,2 (p)

ENPP 2,4 2,9 2,6 2,5 2,4 2,4 2,3 2,7

Nama Sublema (Fraksi) dan Grup

(a): Batllismo

(b): Libertad y Justicia

(c): Grup 15 (Fraksi Luis Battle Berres)

(d): Grup 14 (Fraksi Batllismo Tradisional)

(e): Por la Unión del Partido

(f): Unión Colorado y Batllista (tahun 1966: Fraksi

Gestido/

Pacheo

(g): Unidad y Reforma (Fraksi Jorge Battle; trahnya

Grup 15)

(h): Fraksi Herrera

(i): Moviemiento Popular

Nacionalista

(k): Unión Blancia Democrática

(l): Herrera – Por la Reformia

(m): Herrerismo-Ruralismo

(n): Unión Nacional Reeleccionista

(Fkasi Bordaberry/Pacheco)

(o): Por la Patria/Movimiento

Nacional Rocha (Fraksi Ferreira)

(p): Frente Amplio

(Tabel dikutip dari Bernhard Thibaut, „Praesidentialismus und Demokratie in Lateinamerka,

Opladen 1996, hal. 174)

Sejak tahun 1990an begitu, sistem kepartaian dwipartai mengalami keruntuhan. Umumnya,

kekuatan-kekuatan baru itu sempalan dari PLC dan PC, yang tampil pada pemilu dengan

gonta-ganti nama. Selaen itu tumbuh banyak parpol (sekitar 70 biji). Parpol-parpol ini lebih

banyak berfungsi sebagai kumpulan pemilu personal yang tak berbasis massa dengan struktur

keanggotaannya lemah 5. Perubahan sistem kepartaian dwipartai ini dimungkinkan oleh UUD

baru 1991, yang tujuannya memperluas partisipasi politik kelompok-kelompok lainnya.

Meskipun begitu, masih saja kubu Liberal dan Konservatif tetap berkuasa. Alternatif yang

berpengaruh pada akhir-akhir ini datang dari Polo Democrático Alternativo 6.

5 ―Kolumbien‖, Bertelsmann Transfo rmation Index 2003, hal. 6-7, http://bti2003.bertelsmann-transformation-

index.de/100.0.html 6 Viento de Popayán, Wahlen in Kolumbien, http://rothen.info/viento/2010/02/16/wahlen-in-kolumbien/

Page 9: Kompilasi Paper · Kompilasi Paper: SERI PERTAMA . 2 2016 Pipit R. Kartawidjaja ... Dalam soal ketidak-efektivan dan ketidak efisienan sistem keparlemenan, pada tahun 2009

9

Basis Politik Pemerintah Sistem Presidensialisme di Amerika Latin:

Karena harus kawin itu, maka presiden perlu dukungan mayoritas parlemen, maka

berdasarkan pengamatan yang dibuat oleh Thibaut/Cindy Skach pada tahun 1996, maka basis

politik pemerintah di parlemen dapat diragakan sebagai berikut:

BASIS POLITIK PEMERINTAH SISTEN PRESIDENSIALISME AMERIKA LATIN

homogen (satu parpol)

heterogen

(koalisi/gabungan)

1

United government

(Mayoritas Pemerintahan

secara kelembagaan)

A C

Costa Rica (kerap sejak

1948, kontinyu 1982-1994)

Venezuela (kerap 1963-93)

Kolumbia (kerap sejak 1974)

Honduras (sejak 1982)

Bolivia (sejak 1985),

Chile (sejak 1989)

2

Divided Government

(Minoritas Pemerintahan

secara kelembagaan)

B D

Argentina (sejak 1983)

Guatemala (1990-93)

El Salvador (sejak 1986)

Brazil (sejak 1989)

Peru (1990-92)

Ekuador (sejak 1978)

Guatemala (sejak 1993)

Nikaragua (sejak 1990)

(dikutip dalam Bernhard Thibaut/Cindy Skach, „Parlamentarische oder praesidentielle

Demokratie?: Zum theoretischen Grenznutzen einer institutionellen Dichotomie in der

Regierungslehre― dalam Demokratieexport in die Länder des Südens?, Hamburg: Deutsches

Übersee-Institut, 1996 hal. 557, www.hcs.harvard.edu/~skach/docs/demo_in_die.pdf).

Ihtiar Penciptaan Sistem Kepartaian Sederhana di Amerika Latin:

Sistem kepartaian selalu bertolak dari jumlah efektif partai di parlemen (ENPP alias The

Effective Number of Parties Parliament atau ENP alias The Effective Number of Parties)

Dengan rumusan Sartori 7 yang diformulakan oleh Lakso dan Taagepera

8 diperoleh

n

ENPP = 1 / ( ∑ si) 2

i=1

Sistem multikepartaian dibagi ke dalam 9

7 Giovanni Sartori, ―Parties and Party Systems‖, Cambridge University Press, 1976; Prof. Dr. André Kaiser,

Artikulation, Aggregation, und Vermittlung gesellschaftlicher Interesse im politischen Prozess, Lehrtstuehl fuer

vergleichende Politikwissenschaft, Universitaet Koln, hal. 17, http://www.politik.uni-

koeln.de/kaiser/Studium/Lehre/WS%202006-2007/VL%20Kaiser/Block_4.pdf) 8 Patrick Dumont — Jean-François Caulier: THE ―EFFECTIVE NUMBER OF RELEVANT PARTIES‖:

How Voting Power Improves Laakso-Taagepera‘s Index, December 11, 2003, hal. 5;

Hermann Schmitt, „Multiple Parteienbindungen; Parteienbindungen der Schweizerinnen und Schweizer im

internationalen Vergleich―, Jahreskongress der SVPW in Balstahl, 2-3.11.2000, hal. 12. 9 Michael Coppedge, ―The Dymic Diversity of Latin American Party Systems‖, University of Notre Dame, hal.

11, www.nd.edu/~mcoppedg/crd/ddlpas.htm

Page 10: Kompilasi Paper · Kompilasi Paper: SERI PERTAMA . 2 2016 Pipit R. Kartawidjaja ... Dalam soal ketidak-efektivan dan ketidak efisienan sistem keparlemenan, pada tahun 2009

10

Sistem Multikepartaian Dwi-Partai Moderat/Sederhana Ekstrim/Ultra

ENPP atau ENP 2 s/d 3 >3 s/d 5 Lebih dari 5

Alhasil, jumlah efektif partai dalam parlemen bukan jumlah riil berdasarkan hitungan jari.

Junlah efektif partai dalam parlemen itu sendiri berhubungan langsung dengan fragmentasi:

n Dalilnya

10: F = 1 - (si)

2 = 1 – 1/ENPP

i

1. Penerapan Dapil dan Ambang Batas, Penyelenggaraan Pileg dan Pilpres terpisah (kasus

Indonesia): Sebelum menengok Amerika Latin, Indonesia mencoba menyederhanakan sistem

kepartaian dalam tubuh DPR (a) tahun 2004 lewat penerapan dapil 3 s/d 12 (2004) dan (b)

tahun 2009 lewat kombinasi penerapan ambang parlemen resmi 2,5 persen dengan penerapan

dapil 3 s/d 10 dan cara penghitungan suara ―ajaib‖ (50 persen BPP untuk sisa kursi).

DPR Jumlah Parpol di DPR

Threshold ENPP atau ENP

Sistem Kepartaian terselubung

(1/2m dan 1/(1+m) resmi

Inggeris 2005 12 (dgn 1 independen)

dapil kecil 2,46 Dwi

Brazil 2006 21 dapil provinsi 9,32 Ultra

DPR RI 1999 21 dapil provinsi 4,72 Sederhana

DPR RI 2004 17 dapil kecil/menengah/besar

7,07 Ultra

DPR RI 2009 9 dapil kecil/menengah 2,50% 6,21 ultra

Pengalaman Pileg 2004 dan 2009 memperlihatkan, bahwa Ambang Batas Parlemen dan

penciutan daerah pemilihan serta cara penghitungan suara yang ajaib itu belum tentu sanggup

menyederhanakan sistem kepartaian. Kegagalan tersebut terletak pada tidak mampunya

parpol yang mengaku besar meraup suara/kursi yang berarti (Tahun 1999 misalnya dua

parpol menguasai DPR yaitu 33% PDIP dan 26%GOLKAR, sedangkan pada pemilu

berikutnya minimal tiga parpol yang menguasai DPR)

2. Pileg dan Pilpres Simultan, Presidential Threshold rendah (kasus Amerika Latin):

penyederhanaan sistem kepartaian diraih lewat pilpres yang diselenggarakan simultan

dengan pileg. Simultan bisa berarti serentak hari penyelenggaraan dan bisa kartu pemulihan

capres menyatu dengan partai coblosan). Adapun efek penyederhanaan sistem kepartaian

dalam legislatif nasional makin sederhana, apabila syarat menjadi presiden tergantung pada

―plurality‖ (alias presiden terpilih asal mayoritas), runoff with reduced threshold (presiden

terpilih dengan ambang yang rendah, misalnya di Argentina cukup 45 persen suara atow 40

persen suara asal beda 10 persen dengan capres kedua), dan ―majority runoff‖ (presiden

terpilih dengan suara mutlak 50 persen plus 1).

10

Fragmentierung und Zahl der Parteien, hal. 64,

http://www.kpm.unibe.ch/ladner/dokumente/Seminar05/H_Kapitel3_Zahl_der_Parteien.pdf.

atow dapat dibacak dalam Pipit R. Kartawidjaja/Mulyana W. Kusumah, Editor: Sidik Pramono, „Kisah Mini

Sistem Kepartaian―, 7 Strategic Studies, hal. 62-63; atow Jan-Erik Lane & Svante Ersson, „Dimensions of Party

Sytems―, Chapter 5: Party System, London 1987, hal. 4)

Page 11: Kompilasi Paper · Kompilasi Paper: SERI PERTAMA . 2 2016 Pipit R. Kartawidjaja ... Dalam soal ketidak-efektivan dan ketidak efisienan sistem keparlemenan, pada tahun 2009

11

Selain itu, lewat presidential threshold yang rendah, pilpres dapat dilakukan lewat satu

putaran.

Fragmentation of Party Systems according to Type of Presidential Election System

Country

Effective number of parties (lower house seats)

ENP atau ENPP = 1/∑ (si)222

FFFrrraaagggmmmeeennntttaaasssiii (((FFF))) === 1 – 1/ENPP

Plurality

Argentina (1983, 1989) 2,70

Colombia (1978, 1982, 1986, 1990) 2,33

Dominican Rep. (1978, 1982, 1986, 1990, 1994) 2,43

Honduras (1981, 1985, 1989, 1993, 1997) 2,10

Mexico (1982, 1988, 1994, 2000) 2,29

Nicaragua (1990) 2,05

Panama (1989, 1994, 1999) 3,77

Paraguay (1989, 1993, 1998) ,20

Uruguay (1984, 1989, 1994) 3,18

Venezuela (1978, 1983, 1988, 1993, 1998, 2000) 3,62

Average of country averages 2,67

Average for all elections 2,72

Reduced threshold

Argentina (1995, 1999) 2,64

Costa Rica (1978. 1982, 1986, 1990, 1994,

1998) 2,32

Ecuador (1998) 1 5,73

Nicaragua (1996) 2,79

Peru (1980) 2,46

Average of country averages 3,19

Average for all elections 2,74

Majority runoff

Bolivia 2

(1980, 1985, 1989, 1993, 1997) 4,40

Brazil (1982, 1986, 1989, 1994, 1998) 6,70

Chile (1989, 1993, 1999) 3 5,04

Colombia (1994, 1998) 2,95

Dominican Rep. (1996, 2000) 2,32

Ecuador (1978, 1984, 1988, 1992, 1996) 5,69

El Salvador (1984, 1989, 1994, 1999) 3,11

Guatemala (1985, 1990, 1995, 1999) 3,19

Peru (1985, 1990, 1995, 2000) 3,76

Uruguay (1999) 3,07

Venezuela (2000) 3,44

Average of country averages 4,02

Average for all elections 4,37

Page 12: Kompilasi Paper · Kompilasi Paper: SERI PERTAMA . 2 2016 Pipit R. Kartawidjaja ... Dalam soal ketidak-efektivan dan ketidak efisienan sistem keparlemenan, pada tahun 2009

12

Note: The format for this table is based on Shugart and Carey (1992, Table 10.2), but different

data are used. 1 Ecuador´s system requiring 50 percent + 1 or 45 percent and a 10 percent

advantage over the next finisher is close in practical terms to a majority runoff system. So its

placement in this table is somewhat debateble. 2 In Bolivia, the congress selects the president if no candidate obtains a majority in the first round.

3 In Chile, a computation of the effective number of parties based on coalitions rather than

indviduals parties would result in much lower measure of fragmentation in the lower house

(J. Mark Payne, Daniel Zobatto G., Fenando Carrillo Flórez, Andrés Allamnd Zavala:

"Democracies im Development: Politics and Reform in Latin America", The Inter-American

Development Bank and the International Institue for Democracy and Electoral Assitance,

The John Hopkins University Press, Washington D.C 2002, hal. 73)

3. Pemisahan pemilu legislatif nasional dari pemilu legislatif daerah (termasuk pilkadal),

sekaligus mengijinkan parpol lokal

Di Brazil misalnya pileg lokal 2008, sedangkan pileg nasional 2010. Kegunaan pemisahan

adalah check and balances antara pusat dengan daerah, merapatkan disiplin fraksi koalisi

(pusat biasanya sama dengan daerah)

Kegunaan disiplin fraksi akan dibahas.

Selain itu, menurut saya, keberadaan partai lokal dapat dijadikan syarat buat pileg nasional

(misalnya, jika parpol duduk di 50 persen DPRD, maka parpol tersebut boleh ikutan pemilu

DPR)

4. Penciptaan kubu bipolar (kubu pemerintah dan oposisi)

Contoh Chile: presidensialisme di Chile tergolong presidensialisme yang stabil dan efektif di

Amerika Latin. Chile menerapkan system pemilu ―Binominal‖ dengan pemaksaan gabungan

parpol. Di sana, parpol yang bergabung itu tidak harus melebur atau berganti nama. Di sana,

gabungan parpol masih mencantumkan parpol-parpol asli

Tengok misalnya Pemilu Legislatif 2005:

Tampil dalam pemilu DPR Chile itu 10 parpol plus 5 jenis kubu inpendenden. Karena

kecilnya dapil (daerah pemilihan), lalu mereka bikin gabungan. Ambil Contoh gabungan B

(Concertación Democrática). Di situ ada bergabung parpol-parpol Partido Demócrata

Cristiano, Partido Por la Democracia, Partido Socialista de Chile, Partido Radical

Socialdemócrata dan kubu Independen.

LISTA/PACTO VOTOS Kursi % Kursi (% Kursi) 2

A. Fuerza Regional Independiente

Alianza Nacional de los

Independientes 20.075

Partido de Acción Regionalista de

Chile 26.405

Independientes Lista A 30.102

Total Lista/Pacto 76.582

Page 13: Kompilasi Paper · Kompilasi Paper: SERI PERTAMA . 2 2016 Pipit R. Kartawidjaja ... Dalam soal ketidak-efektivan dan ketidak efisienan sistem keparlemenan, pada tahun 2009

13

B. Concertación Democrática

Partido Demócrata Cristiano 1.354.631 21 17,50% 3,06%

Partido Por la Democracia 1.006.480 22 18,33% 3,36%

Partido Socialista de Chile 653.692 15 12,50% 1,56%

Partido Radical Socialdemócrata 229.126 7 5,83% 0,34%

Independientes Lista B 130.936

Total Lista/Pacto 3.374.865 65 54,17%

C. Juntos Podemos Más

Partido Comunista de Chile 335.215

Partido Humanista 101.598

Independientes Lista C 45.694

Total Lista/Pacto 482.507

D. Alianza

Renovación Nacional 920.524 34 28,33% 8,03%

Unión Demócrata Independiente 1.456.430 20 16,67% 2,78%

Independientes Lista D 145.604

Total Lista/Pacto 2.522.558 54 45,00%

E. Independientes (Fuera de Pacto) 61.489 1 0,83% 0,01%

Válidamente Emitidos 6.518.001 0,19

ENPP Riil 5,22

(Praesidentschafts- und Parlamentswahlen in Chile vom 11. Dezember 2005, hal. 4-6,

http://www.kas.de/wf/doc/kas_7711-1522-1-30.pdf?051213171218)

Jika dihitung alokasi kursi per parpol, yang terjadi adalah sistem multikepartaian

ultra/ekstrim dengan ENPP 5,22. Namun dengan pamaksaan gabungan, yang terjadi bukan

hanya sistem kepartaian dwi-partai (ENPP 2,02), namun bipolarisme:

LISTA/PACTO VOTOS CALEG

TERPILIH % Kursi

(% Kursi) 2

A. Fuerza Regional Independiente

Alianza Nacional de los Independientes 20.075

Partido de Acción Regionalista de Chile 26.405

Independientes Lista A 30.102

Total Lista/Pacto 76.582

B. Concertación Democrática

Partido Demócrata Cristiano 1.354.631 21

Partido Por la Democracia 1.006.480 22

Partido Socialista de Chile 653.692 15

Partido Radical Socialdemócrata 229.126 7

Independientes Lista B 130.936

Total Lista/Pacto 3.374.865 65 54,17% 29,34%

C. Juntos Podemos Más

Partido Comunista de Chile 335.215

Partido Humanista 101.598

Independientes Lista C 45.694

Total Lista/Pacto 482.507

D. Alianza

Renovación Nacional 920.524 34

Page 14: Kompilasi Paper · Kompilasi Paper: SERI PERTAMA . 2 2016 Pipit R. Kartawidjaja ... Dalam soal ketidak-efektivan dan ketidak efisienan sistem keparlemenan, pada tahun 2009

14

Unión Demócrata Independiente 1.456.430 20

Independientes Lista D 145.604

Total Lista/Pacto 2.522.558 54 45,00% 20,25%

E. Independientes (Fuera de Pacto) 61.489 1 0,83% 0,01%

Válidamente Emitidos 6.518.001 0,50

ENPP Gab 2,02

Disebut Bipolar, sebab di dalam DPR Chile hanya ada kubu pro pemerintah (dalam hal ini

Concertación Democrática) dan kubu oposisi (dalam hal ini Alianza).

Menariknya kala itu, Presiden Michelle Bachelet berasal dari Partido Socialista de Chile,

kekuatan ketiga dalam tubuh gabungan Concertación Democrática. Maklum, parpol terkuat

dalam gabungan tersebut „mengalah―.

Memperkuat Presidensialisme Lewat Pemerkasaan Presiden:

Kekuasaan presiden di Amerika Latin dibagi ke dalam:

Kekuasaan Presiden dalam Presidensialisme Amerika

Latin Catatan

1 constitunional

powers

legislative

powers

mengajukan RUU

mencampuri proses

pembuatan UU di parlemen

Misalnya menetapkan tempo

pembahasan

dekret Untuk meningkatkan disiplin fraksi

veto UU produk parlemen

inisiatif kebijakan

pemerintah

mengundang plebisit &

referendun Membobol kebuntuan komunikasi

non-

legislative

powers

membentuk kabinet atau

mengangkat pejabat-pejabat

negara

4 jurus maut presiden diukur lewat

Cabinet Coalitions Rate

Penciptaan jabatan penghubung

parlemen dengan kabinet (kepala

pemerintahan)

2 partisan

powers

tergantung pada banyak faktor, seperti

UU Pemilu dan sistem kepartaian,

kualitas presiden

UU Susduk (misalnya pembentukan

komisi), disiplin fraksi (tergantung

pada jenis legislator, diterapkannya

kontrol ex ante und kontrol ex post),

mendirikan kantor kepresidenan di

legislatif Disiplin fraksi RICE ij =

|%Pro - %Kontra|

Volatilitas V = ½ Ci, t+1 - Ci,

t (Argentina), pengorganisasian

parlemen

Page 15: Kompilasi Paper · Kompilasi Paper: SERI PERTAMA . 2 2016 Pipit R. Kartawidjaja ... Dalam soal ketidak-efektivan dan ketidak efisienan sistem keparlemenan, pada tahun 2009

15

Dirangkum dari: J. Mark Payne, Daniel Zobatto G., Fenando

Carrillo Flórez, Andrés Allamnd Zavala: "Democracies im

Development: Politics and Reform in Latin America", The

Inter-American Development Bank and the International

Institute for Democracy and Electoral Assitance, The John

Hopkins University Press, Washington D.C 2002, hal. 189-190

Contoh non-legislative powers Presiden (jurus pembentukan kabinet)

Sistem Parlementer Sistem Parlementarsasi Presidensialisme

1 Tanpa Koalisi Tanpa Koalisi

2 Koalisi Formal Koalisi Formal

3 Kooptasi Parlemen

4 Kooptasi Non-Parlemen

Contoh Jurus Pembentukan Kabinet di Amerika Latin

Negara Presiden

Kurun

Waktu

Tanpa

Koalisi

Koalisi

Formal/Resmi

Kooptasi

Parlemen

Kooptasi

Non-

Parlemen

Argentinien Alfonsin 1983-89 X X

Menem 1989-95 X X

Menem 1995- X

Chile Aylwin 1990-94 X

Frei 1994- X

Brasilien Sarney 1985-90 X

Collor 1990-93 (X) X

Franco 1993-95 (X) X

Cardoso 1995- (X) X

Uruguay Sangwinetti 1985-90 X

Lacalle 1990-95 (X) X

Sangwinetti 1995- X

Penjelasan: tanda silang dobel misalnyaAlfonsin berarti selaen tanpa koalisi, Alfonsin juga merekrut

kubu non-parlemen (strategi ganda presiden). Strategi ganda ini dipakai sepanjang pemerintahannya buat

melengkapi strategi awal atow sepanjang pemerintahannya ganti strategi. Tidak dalam kurung berarti,

strategi yang umumnya dipakai.

Berhanrd Thibaut, "Praesidentialismus und Demokratien in Lateinamerika", Leske+Budrich, Opladen

1996, s. 284

Page 16: Kompilasi Paper · Kompilasi Paper: SERI PERTAMA . 2 2016 Pipit R. Kartawidjaja ... Dalam soal ketidak-efektivan dan ketidak efisienan sistem keparlemenan, pada tahun 2009

16

Contoh Jurus Pembentukan Kabinet Brazil:

1

President Masa Jabatan Partai

Presiden

President

Election

Coalition

Initial Cabinet Composition*

Dutra 1945-1950 PSD PSD, PTB PSD(5), PTB (1)

Vargas 1950-1954 PTB PTB, PSP PSD(5), UDN (1), PTB (1), PSP

(1)

Kubitschek 1955-1960 PSD PSD, PTB PSD (4), PTB (2), PSP (1), PR (1)

Quadros 31.01.-

25.08.1961 PSP

UDN, PDC,

PL,

PTN UDN (3), PTB (3), PSD (1),

PSP (1), PR (1), PSB (1)

2

KABINET TAHUN Partai

Presiden KOALISI

SARNEY

Ia (03/85-02/86) PMDB PMDB –PTB—PFL-PDS

SARNEY

II (02/86-01/89) PMDB-PFL

SARNEY

III (01/89-03/90) PMDB-PFL

COLLOR

Ib (03/90-10/90) PRN PMDB-PFL-PRN

COLLOR

II (10/90-01/92) PFL-PDS-PRN

COLLOR

III (01/92-04/92) PFL-PDS (tanpa parpol presiden)

COLLOR

IV (04/92-10/92)

PSDB-PTB-PFL-PDS- PL (tanpa

parpol presiden)

FRANCO I (10/92-01/93) Non-Partisan PSB - PSDB-PMDB-PFL- PTB-

PDT

FRANCO

II (01/93-05/93)

PSB-PT - PSDB-PMDB- PTB-

PFL-PDT

FRANCO

III (05/93-09/93) PSB- PSDB-PMDB- PTB-PFL

FRANCO

IV (09/93-01/94) PSDB-PMDB- PTB-PFL-PP

FRANCO

V (01/94-01/95) PSDB-PMDB-PFL- PP

CARDOS

O I 01/95-04/96) PSDB PSDB-PMDB-PTB -PFL

CARDOS

O II (04/96-12/98) PPS-PSDB-PMDB-PTB -PFL-PPB

3 Rousseff 2011-2012 PT PT, PMDB, PP, PDT, PTB, PR &

partai-partai gurem

* The numbers in parentheses refer to the number of cabinet positions allocated to different parties

Page 17: Kompilasi Paper · Kompilasi Paper: SERI PERTAMA . 2 2016 Pipit R. Kartawidjaja ... Dalam soal ketidak-efektivan dan ketidak efisienan sistem keparlemenan, pada tahun 2009

17

(1) Lúcia Hippólito, PSD: De Raposas e Reformistas (Rio de Janeiro: Paz e Terra, 1985), pp. 293-303;

Tribunal Superior Eleitoral

(2) Octavio Amorim Neto, PRESIDENTIAL CABINETS, ELECTORAL CYCLES, AND

COALITION DISCIPLINE IN BRAZIL * MARCH 2000

(3) Brasilien. Auswaertiges Amt, Maret 2012, http://www.auswaertiges-

amt.de/DE/Aussenpolitik/Laender/Laenderinfos/01-Laender/Brasilien.html

Memperkuat Presidensialisme Lewat Pengefektifan Parlemen:

Menengok Amerika Latin dan beberapa negara lain, maka efektifnya parlemen tergantung pada hal-hal sebagai berikut: 1. Profesionalisasi anggota dewan

Legislator, menurut ahli ketatanegaraan Inggeris Edmund Burke, dibagi ke dalam trustee dan delegate. Trustee adalah wakil yang secara politis bebas berpendapat dan menentukan, namun secara umum wajib bertanggungjawab kepada para pemilihnya. Trustee misalnya produk daftar terbuka baik dalam sistem pemilu proporsional maupun mayoritan. Sedangkan Delegate adalah utusan yang terikat pada kehendak para pemilihnya dan berperan sebagai pelaksana. Delegate merupakan produk daftar tertutup

11.

Umumnya, baik trustee maupun delegate amatiran tak bisa menggunakan kekuasaan berlegislasi. Kekhusuan ini biasanya dimiliki oleh politisi profesional. Politisi ini biasanya dibentuk oleh pengalaman berparlemen yang lama atau berpengalaman menduduki jabatan politisi. Keahlian ini dapatlah dipahami juga sebagai ressource kekuasan buat berlegislasi

12.

Keahlian itu umumnya diperoleh dari masa jabatan di DPR: Di Jerman misalnya, sejak tahun 1970, sekitar 80 persen anggota DPR terpilih kembali. Duapertiganya terpilih dua kali berturut-turut. Separuhnya tiga kali berturut-turut. Hampir 25 persen, sudah sejak tahun 1969 duduk di Bundestag (DPR Jerman), dengan catatan penelitian dibuat tahun 1999

13

Ini tentu berbeda dengan legislator di beberapa negara Amerika Latin yang tingkat keterpilihannya rendah:

Persentase terpilihnya legislator DPR - Pertengahan tahun 1990an

Argentina 1993-1995 20%

Argentina 1997 24%

Brazil 1994 61%

Brazil 1998 54%

Kolumbia 1998 47%

Meksiko tidak boleh dipilih secara berturut-turut (Sumber: Heinrich W. Krumwiede/Detlef Nolte, „Die Rolle der Parlamente in den Praesidialdemokratien Lateinamerkas, Institut fuer Iberoamerika-Kunde, Hamburg 2000, hal. 119)

11

Suzanne S. Schuettemeyer, Parlamentarische Demokratie, Informationen zur politischen Bildung, Nomor

295/2007, Bundeszentrale fuer politische Bildung, Bonn, hal. 29 12

Heinrich W. Krumwiede / Detlef Nolte: Die Rolle der Parlamente in den Paesidialdemokratien

Lateinamerikas, Institut fuer Iberoamerika-Kunde – Hamburg 2000, Band 4, hal. 100 13

Heinrich W. Krumwiede/Detlef Nolte, „Die Rolle der Parlamente in den Praesidialdemokratien

Lateinamerkas, Institut fuer Iberoamerika-Kunde, Hamburg 2000, hal. 118

Page 18: Kompilasi Paper · Kompilasi Paper: SERI PERTAMA . 2 2016 Pipit R. Kartawidjaja ... Dalam soal ketidak-efektivan dan ketidak efisienan sistem keparlemenan, pada tahun 2009

18

2. Dukungan infrastruktur/tenaga ahli bagi para anggota Dewan dan parpol pendukung

yang tergantung pada jenis parlemen Antara Legislature dan parliament Dalam membandingkan sistem pemerintahan Presidensialisme AS, Parlementarisme Inggeris dan Jerman, Winfried Steffani membedakan tipologi Parlemen ke dalam Rede- dan Arbeitsparlament (Parlemen Yang Berbicara dan Parlemen Yang Bekerja). Di Inggeris dikenal istilah „legislature“ dan „parliament“. Sebutan „legislature“ diberikan kepada dewan perwakilan rakyat di Amerika Serikat, dan sebutan „parliament“ diberikan kepada dewan perwakilan rakyat di benua Eropa (Barat). Pembedaan ini hendak memperjelas kedudukan antara Legislatif dan Eksekutif dalam sistem Presidensialisme AS dengan kedudukan antara Legislatif dan Eksekutif dalam sistem Parlementarisme Eropa (Barat). Di dalam sistem Parlementarisme Eropa (Barat), „parliament“ atau Redeparlement atau Parlemen Yang berbicara, mayoritas parlemen berfungsi buat mendukung pemerintahnya dalam meloloskan rancangan UU, segenap perencanaan dan persiapan program. „Parliament― dalam sistem parlementerisme Inggeris dan Jerman adalah „mesin perestuan― buat kebijakan pemerintah

14 -- misalnya RUU sodoran eksekutif.

Ini jelas berbeda dengan „legislature“ atau Arbeitsparlament atau Parlemen Yang Bekerja dalam Sistem Presidensialisme AS. Di sana, wakil-wakil rakyat tak bisa menyentuh pemerintah dan karenanya lalu membangun politik secara mandiri. Wakil-wakil rakyat ini yang merancang UU dan mengendalikannya lewat proses parlemen. Alhasil, dalam „legislature―, wakil-wakil rakyat itu „bekerja―. Konggres AS (setara dengan MPR) merupakan salah satu prototyp dari „legislature―. Setiap wakil rakyat, baik di DPR maupun di Senat, merupakan pengusaha politik individual yang mandiri. Setiap wakil rakyat dilengkapi oleh sejumlah staf pembantu. Dengan bantuan mereka, setiap wakil rakyat dapat mengambil inisiatif merancang UU dan mempersiapkan langkah-langkah dan kerja detail dalam komisi-komisi. Komisi-komisi ini merupakan tempat penting guna merangkai koalisi-koalisi. Sebabnya ya tak ada mayoritas pemerintah di satu pihak dan oposisi di lain pihak. Biasanya, dalam sistem presidensialisme, ada aturan inkompatibiltas. Yaitu larangan rangkap jabatan antara mandat parlemen dan jabatan pemerintah, Di AS misalnya, presiden dilarang menjadi anggota DPR dan Senat. „Legislature― atau Arbeitsparlament atau Parlemen Yang Bekerja dalam sistem presidensialisme AS bukanlah „mesin perestuan― kebijakan pemerintah.

14

Suzanne S. Schuettemeyer, Die Logik der parlamentarischen Demokratie, Informationen zur politischen

Bildung, Bundeszentrale fuer politische Bildung alias Lembaga Pendidikan Politik Federal Jerman, Bonn 2007,

http://www.bpb.de/publikationen/U4940A,0,Die_Logik_der_parlamentarischen_Demokratie.html

Page 19: Kompilasi Paper · Kompilasi Paper: SERI PERTAMA . 2 2016 Pipit R. Kartawidjaja ... Dalam soal ketidak-efektivan dan ketidak efisienan sistem keparlemenan, pada tahun 2009

19

Sebagai perbandingan Bantuan Negara Kepada Seorang Legislator:

Tunjangan Negara Untuk Seorang

Trustee Delegate Legislature AS Parliament Jerman s/d 15 Tenaga Ahli (DPR) dan antara 13 s/d 70 Tenaga Ahli (Senat)

s/d 4 atau 5 Tenaga Ahli

TA terdiri dari Legislative Assistants dan Administrative Assistants (di kantor legislatif) serta case worker (di saerah pemilihan)

TA terdiri dari 2 TA bidang Administratif dan sisanya lingkup kerja sang legislator

Data untuk tahun 1980. Untuk bisa membayangkan, TA DPR dan Senat AS tahun 1960an berjumlah 6.300 orang. Dua dasawarsa kemudian meningkat menjadi 15.000 orang (Sumber: Kurt L. Shell, Kongress und Praesident, dalam Willi Paul Adams/Peter Loesche (Hrsg.), Laenderbericht USA, Bundeszentrale fuer politische Bildung alias Lembaga Pendidikan Politik Federal Jerman, Band 357, Bonn 1998, hal. 213-214)

Sumber: Aufwandsentschädigung für die Abgeordneten des Deutschen Bundestages, http://www.bundestag.de/ bundestag/abgeordnete17/mdb_diaeten/1334d.html dan Suzanne S. Schuette-meyer, Parlamentarische Demokratie, Informationen zur politischen Bildung, No 295/2007, Bundeszentrale fuer politische Bildung, Bonn, hal. 23

Bantuan negara untuk legislator di beberapa negara Amerika Latin

Negara DPR Senat Badan Perlengkapan

Argentina 2 TA 10 TA Komisi 8 s/d 12 TA

Brazil Per bulan maksimal 20.000 US$,

per pos jabatan 4.000 US$

6 s/d 9

TA Baleg memiliki 188 TA)

Kolumbia 5 TA 5 TA

Meksiko tak ada tak ada TA per fraksi

Uruguay 5 TA (biasanya PNS Kementerian)

3. Pembentukan Fraksi Sebagai Cara Penciptaan Multikepartaian Sederhana

3.1. Di Jerman penggolongan anggota itu terdiri dari (a) fraksi, (b) kelompok anggota dan (c) legislator tanpa fraksi. Syarat pembentukan fraksi: 5 persen jumlah anggota DPR Jerman. Untuk kelompok anggota minimal 3 (tiga) orang legislator. Dalam tahun pemilu DPR Jerman 1990, parpol Gabungan 90/Hijau (Buendnis 90/Die Gruenen) dan PDS (Partai Demokrasi Sosialisme) masuk ke DPR Jerman. Bündnis 90/Die Gruenen dan PDS masing-msing mengirimkan 8 dan 17 wakil. Karena kedua parpol tersebut tidak memenuhi syarat pembentukan fraksi, maka keduanya hanya berstatuskan kelompok anggota. Dalam pemilu DPR 2002, PDS hanya berhak mengirimkan 2 (dua) wakilnya ke Bundestag (DPR Jerman). Akibatnya, kedua legislator tersebut hanya berstatuskan legislator tanpa fraksi

15.

Untuk pemilu DPR Jerman 2009, enam parpol masuk DPR, dan terdapat li,a fraksi, karena dua parpol membentuk fraksi gabungan

16.

15

Martin Fehndrich und Matthias Cantow, „Fraktion―, 27.10.2004

http://www.wahlrecht.de/lexikon/fraktion.html 16

German Bundestag, Official result for the 2009 Bundestag election

http://www.bundestag.de/htdocs_e/bundestag/elections/results/index.html

Page 20: Kompilasi Paper · Kompilasi Paper: SERI PERTAMA . 2 2016 Pipit R. Kartawidjaja ... Dalam soal ketidak-efektivan dan ketidak efisienan sistem keparlemenan, pada tahun 2009

20

Tidak berfraksi itu ya susah. Antara lain ya tidak bias masuk ke Komisi untuk mengajukan RUU.

3.2. Syarat pembentukan fraksi dapat dijadikan instrumen buat penciptaan multi-kepartaian sederhana dalam tubuh parlemen. Misalnya ambang batas 5 persen bisa diterapkan buat pembentukan fraksi dalam DPR.

No. Partai Kursi DPR %

1 Demokrat 148 26,4 2 Golkar 106 18,92 3 PDI-P 94 16,78 4 PKS 57 10,17 5 PAN 46 8,21 6 PPP 38 6,78 7 PKB 28 5,00 8 GERINDRA 26 4,64 9 HANURA 17 3,04 Total 560 100,00

(Fraksi, http://www.dpr.go.id/id/tentang-dpr/fraksi)

GERINDRA dan HANURA, apa boleh buat, tidak berhak membentuk fraksi (Bung Ger dan Bung Han, sorri ya!). Terkecuali jika keduanya bergabung atau bergabung dengan parpol lain. Bergabung itu bukan melebur!

4. Disipilin Fraksi:

4.1. Umumnya, trustee berdisiplin fraksi rendah; sedangkan delegate sebaliknya. 4.2. Dalam penelitiannya terhadap 31 negara

17, Kailitz menemukan, secara umum,

disiplin/kekompakan fraksi dalam sistem parlementerisme itu tinggi, sedangkan dalam sistem presidensialisme rendah rendah

18.

Dalam hal pengaruh sistem pemilu, kekompakan fraksi dalam sistem parlementerisme yang tak mengenal persaingan antar kandidat (misalnya lewat proporsional daftar tertutup/tetap) itu sangat tinggi. Sebaliknya, kekompakan fraksi dalam sistem presidensialisme yang mengenal persaingan antar kandidat (misalnya lewat proporsional daftar terbuka atau sistem mayoritas alias distrik) sangat lemah

19.

Dalam sistem presidensialisme itu sendiri, kekompakan fraksi berbeda-beda. Umumnya tergantung pada hak monopol pimpinan partai menetapkan kandidat. Di dalam sistem presidensialisme yang mengenal pemilihan calon legislator lewat persaingan dalam tubuh partai (demokrasi internal) seperti di AS, kekompakan fraksi sangat rendah. Sebaliknya, dalam sistem presidensialisme yang tidak mengenal pemilihan calon legislator lewat persaingan dalam tubuh partai, kekompakan fraksi sangat tinggi. Dalam sistem kepartaian yang lemah dengan disiplin partai dan fraksi rendah macam di Brazil ada jalan pintas buat pemerintah agar memperoleh dukungan mayoritas parlemen. Agar pemerintah memperoleh dukungan parlemen, maka jalan pintasnya ya membeli para legislator: Waktu kepresidenan Lula meletus satu skandal. Bos

17

Steffen Kailitz, „Ein Unterschied wie Tag und Nacht? – Fraktionsgeschlossenheit in Parlamentarismus und

Praesidentialismus―, Zeitschrift fuer Politikwissenschaft Tahun ke 18, 2008, Nr. 3, hal. 302 18

Steffen Kailitz, „Ein Unterschied wie Tag und Nacht? – Fraktionsgeschlossenheit in Parlamentarismus und

Praesidentialismus―, Zeitschrift fuer Politikwissenschaft Tahun ke 18, 2008, Nr. 3, hal. 293, 318 19

Steffen Kailitz, „Ein Unterschied wie Tag und Nacht? – Fraktionsgeschlossenheit in Parlamentarismus und

Praesidentialismus―, Zeitschrift fuer Politikwissenschaft Tahun ke 18, 2008, Nr. 3, hal. 311

Page 21: Kompilasi Paper · Kompilasi Paper: SERI PERTAMA . 2 2016 Pipit R. Kartawidjaja ... Dalam soal ketidak-efektivan dan ketidak efisienan sistem keparlemenan, pada tahun 2009

21

kabinet dan orang terkuat di pemerintahannya, José Dirceu, ternyata dengan dana gila-gilan telah ngenazaruddin dengan membeli para kutu loncat partai lain dan mengucurkan dana kepada partai-partai dan legislator-legislator parlemen

20.

Di Rusia, ampai tahun 2003, Rusia menerapkan sistem campuran: separoh dari 450 kursi DUMA (DPR Rusia), diperebutkan lewat sistem proporsional daftar tertutup/tetap (daftar partai)

21dan sisanya lewat sistem mayoritan. Dari sistem

mayoritannya, 8 persen legislator independen (Trustee) duduk di Duma 1994-1995, 16 persen legislator inndependen (Trustee) duduk di Duma 1996-1999 dan 4 persen legislator independen (Trustee) duduk di Duma 2000-2003

22.

Dalam pemilu DUMA 2007, sistem pemilunya diganti menjadi sistem proporsional daftar tertutup/tetap (daftar partai). Soalnya, dari sistem mayoritan, lahir legislator-legislator independen (Trustee) yang memiliki sumber dana kuat. Begitu legislator ini masuk ke Duma, legislator-legislator ini masuk ke salah satu fraksi partai. Tapi, kedudukannya di fraksi berbeda dengan Delegate, yaitu legislator yang meraup mandat lewat daftar partai (daftar tertutup/tetap). Lewat dananya yang kuat pula, legislator independen (Trustee) ini memperoleh keistimewaan yaitu semacam otonomi tersendiri, lepas dari jangkauan pimpinan partai yang dia masuki. Akibatnya, disiplin fraksi di parlemen melemah

23

Kehadiran legislator-legislator independen (Trustee) itu menimbulkan masalah baru, yaitu instabilitas politik dalam DUMA 1994-1995

24. Presiden Jelzin misalnya,

kesulitan memerintah oleh karena mayoritas parlemen tidak jelas. Fluktuasi antar fraksi sangat tinggi dengan kekaburan identifikasi partai para legislator tersebut

25.

Akibat sistem mayoritan dalam sistem pemilu campuran (hybrida) itu, tidak diherankan jika DUMA kemasukan tokoh-tokoh beken seperti seniman dan mantan olahragawan. Tentu saja, dengan dihapusnya sistem mayoritan itu, tak sedikit tokoh-tokoh beken seperti juara olimpiade tari es berulangkali Irina Rodnina atau pemain hockey es yang legendaris, Wladislaw Tretjak,pada berbondong-bondong masuk ke partai pemerintah, Jedinaja Rossija (Rusia Bersatu atau Persatuan Rusia)

26.

20

Wilhelm Hofmeister, Brasilien seit mehr als 100 Tagen im Bann der politischen Krise –

und kein Ende in Sicht, Focus Brasilien, Nr. 7 / 2005 – 23. August 2005, hal 1,

http://www.kas.de/wf/doc/kas_7083-1522-1-30.pdf?091015105645 21

Istilah daftar tertutup di Indonesia berasal dari bahasa Inggeris closed list. Di Jerman namanya starre Liste

atau daftar tetap. Penggunaan istilah daftar tertutup itu tidak menguntungkan. Sebab daftar tertutup di Indonesia

dipahami sebagai memilih kucing dalam karung, sebab yang dicoblos hanya gambar partai. Sementara itu, di

Jerman, di dalam kertas suara, selain nama partai, di bawahnya tertera nama calon legislatornya secara

berurutan. Dan jika nama partai itu dicoblos, maka terpilihlah caleg-caleg secara berurutan berdasarkan nomor

sesuai dengan persentase perolehan partai. Jadi, nama-nama caleg itu terbuka, hanya saja urutannya tetap, tidak

bisa dirubah-rubah. 22

Silvia von Steinsdorff, Die russische Staatsduma, Russlandanalysen 3/2003, hal. 4, http://www.laender-

analysen.de/russland/pdf/Russlandanalysen003.pdf 23

Grigorii V. Golosov, St. Petersburg, Die Novellierung von Partei- und Wahlgesetz in ihren Folgen fuer das

russische Parteiensystem. russlandanalysen 53/05, hal. 3, http://www.laender-

analysen.de/russland/pdf/Russlandanalysen053.pdf 24

Dieter Nohlen & Mirjana Kasapovic, Wahlsysteme und Systemwechsel in Osteuropa, Leske und Budrich,

Opladen 1996, hal. 78-79 25

Margareta Mommsen, Russlands politisches Systems des „Superpraesidentialismus― dalam Hans-Hermann

Hoehmann & Hans-henning Schroeder (Hrsg.), Russland unter neuer Führung, Bundeszentrale fuer politische

Bildung, Krips B.V. Meppel/NL 2001, hal. 49 26

Angelika Nußberger und Dmitry Marenkov, Wahlgesetz als Steuerungsmechanismus: Zu den neuen

rechtlichen Grundlagen der Duma-Wahlen im Dezember 2007, russlandanalysen Nr. 146, 26.10.2007, hal. 2,

http://www.laender-analysen.de/russland/pdf/Russlandanalysen146.pdf

Page 22: Kompilasi Paper · Kompilasi Paper: SERI PERTAMA . 2 2016 Pipit R. Kartawidjaja ... Dalam soal ketidak-efektivan dan ketidak efisienan sistem keparlemenan, pada tahun 2009

22

Alexander Weschnjakow, Ketua KPU Rusia, mengatakan, perubahan sistem campuran ke sistem proporsional daftar tetap/tertutup di Rusia dimaksudkan buat memperkuat pembanguan sistem kepartaian. Wladimir Schirinowski, wakil ketua Duma (DPR) Rusia menyatakan, bahwa penghapusan sistem mayoritan dalam sistem campuran itu dimaksudkan buat menumpas korupsi. Dalam prakteknya katanya, dalam satu daerah pemilihan ongkosnya bisa mencapai setengah juta Dolar AS. Ini jelas membuat perbedaan kesempatan para kontestan. Katanya juga, legislator-legislator independen itu tidak jelas tujuan politiknya

27.

Kekompakan fraksi atau fraksi koalisi itu diukur lewat Rice-Index

28

untuk Fraksi i dalam voting j. Nilainya antara 0 s/d 100 atau 0 s/d 1. Interpretasinya: 0 berarti, 50 persen anggota fraksi setuju dan 50 persen sisanya tidak setuju. Jadi, fraksinya total terpecah. 100 atau 1 berarti fraksinya. Selain angka 0, maka penggolongan angka-angkanya sebagai berikut:

Rice Indeks Tingkat Disipilin/Kekompakan Fraksi

100-91 Sangat Tinggi/Langitan

90-81 Tinggi

80-61 Rendah

60-41 Sangat Rendah/Tiarap

di bawah 40 Tidak kompak/Ambrul-adul (Steffen Kailitz, „Ein Unterschied wie Tag und Nacht? – Fraktionsgeschlossenheit in Parlamentarismus und Praesidentialismus“, Zeitschrift fuer Politikwissenschaft Tahun ke 18, 2008, Nr. 3, hal. 306). Contoh kekompakan fraksi koalisi misalnya bisa ditengok kekompakan fraksi partai koalisi pendukung Susilo Bambang Yudoyono dalam kasus Kenaikan Harga BBM. Untuk mudahnya, hitungannya tanggal 30 Maret 2012 pas Golkar dan PKS menolak:

Parpol Pemerintah Kursi di DPR Koalisian % Akur BBM naik % Ogah BBM naik

GOLKAR 106 25,06%

DEMOKRAT 148 34,99%

PAN 46 10,87%

PKB 28 6,62%

PPP 38 8,98%

PKS 57 13,48%

JUMLAH 423 61,47% 38,53%

RICE-INDEX | %AKUR-%OGAH| 22,93% (Sumber: Golkar dan PKS Tolak Kenaikan Harga BBM, Kompas 30 Maret 2012; Manuver PKS Bikin Galau Koalisi, Gatra 11 April 2012, hal. 12-16)

27

Experten kommentieren geplante Abschaffung direkter Parlamentsmandate, russland.ru, 11. Nov. 2004,

http://russland.ru/rupol0010/morenews.php?iditem=2724 28

Erik Fritzsche. „Der Rice-Index, seine Varianten und andere Indizes zur Verdichtung des

Informationsgehaltes der Daten namentlicher Abstimmungen―. Oktober 2007, hal. 1. RICE-INDEX dinilai

tidak memuaskan. ―This index is not ideal, as it ignores abstentions and absences, but it probably provides a

good rank ordering, which in the narrow .6 to 1.0 range use here cannot be far off‖ (Michael Coppedge, „Party

Systems, Governability, and the Quality of Democracy in Latin America‖, Kellogg Institute, Hesburgh Center,

University of Notre Dame, June 7-8, 2001, hal. 8). Namun demikian, RICE-Index membantu buat menyimaki

disiplin fraksi, apalagi jika posisinya hanya pro dan kontra.

RICE ij = |%Akur - %Ogah|

Page 23: Kompilasi Paper · Kompilasi Paper: SERI PERTAMA . 2 2016 Pipit R. Kartawidjaja ... Dalam soal ketidak-efektivan dan ketidak efisienan sistem keparlemenan, pada tahun 2009

23

Berdasarkan RICE-Index, kekompakan fraksi pemerentah SBY yang cuma 22,93% itu tergolong „ambrul-adul―. 4.3. Disiplin Fraksi atau Fraksi Koalisi yang tergantung pada ―tumbal‖ sistem presidensialisme itu sendiri.

Menurut Octavio Amorim Neto disiplin fraksi tergantung juga pada Cabinet

Coalescence Rate:

29

Mi= % menteri-menteri parpol i yang duduk di kabinet (Pos Kabinet)

Si= % kursi parpol i (parpol menteri) yang tergabung dalam koalisi (Kursi Koalisi)

Cabinet Coalescence Rate itu sama dengan 0 (nol). Artinya, pembagian pos jabatan

kabinet tidak proporsional dengan kekuatan koalisi di parlemen.

Yang disebut independen itu non-partisan. Jadi, kalau ada Jendral ikutan, oleh

Octavio Amorim Neto dikandangkan ke dalam independen 30

.

Berangkat dari kasus Brazil, Octavio Amorim Neto berkesimpulan 31

:

(a) Semakin tinggi Cabinet Coalescence Rate atau The more coalescent the cabinet, makin tinggi pula tingkat kedisiplinan legislator parpol yang bergabung dalam kabinet dalam pemungutan suara.

(b) Menjelang berakhirnya masa kepresidenan, semakin rendah pula disiplin koalisi dalam pemungutan suara. Artinya, pada awal-awal pemerintahan, disiplin koalisi tinggi.

(c) Semakin lebar kesenjangan ideologi dalam kabinet, semakin rendah pula disipilin koalisi dalam pemungutan suara.

(d) Semakin bagus satu parpol terepresentasikan dalam tubuh kabinet, semakin tinggi pula dukungannya terhadap presiden dalam pemungutan suara

32.

(e) Semakin lebar kesenjangan ideologi satu parpol dengan presiden, semakin rendah pula dukungan parpol itu dalam pemungutan suara.

Dari formula di atas, kita dapat bandingkan dengan Kabinet Indonesia Bersepatu bentukan Oktober 2009.

29

Octavio Amorim Neto, PRESIDENTIAL CABINETS, ELECTORAL CYCLES, DISCIPLINE IN BRAZIL,

Rio de Janeiro Graduate Research Institute, MARCH 2000, hal. 5 30

Octavio Amorim Neto, PRESIDENTIAL CABINETS, ELECTORAL CYCLES, DISCIPLINE IN BRAZIL,

Rio de Janeiro Graduate Research Institute, MARCH 2000, hal. 6 31

Octavio Amorim Neto, PRESIDENTIAL CABINETS, ELECTORAL CYCLES, DISCIPLINE IN BRAZIL,

Rio de Janeiro Graduate Research Institute, MARCH 2000, hal. 13-14, 16-17 32

Octavio Amorim Neto, PRESIDENTIAL CABINETS, ELECTORAL CYCLES, DISCIPLINE IN BRAZIL,

Rio de Janeiro Graduate Research Institute, MARCH 2000, hal. 16

Page 24: Kompilasi Paper · Kompilasi Paper: SERI PERTAMA . 2 2016 Pipit R. Kartawidjaja ... Dalam soal ketidak-efektivan dan ketidak efisienan sistem keparlemenan, pada tahun 2009

24

KABINET INDONESIA BERSEPATU (Oktober

2009)

Parpol DPR

Kursi di DPR

Koalisian

Pos Jabatan

Kabinet

%Kursi

DPR

%Pos

Kabinet |%Kursi-%PosKabinet|

PAN 46 3 10,87% 14,29% 3,41%

GOLKAR 106 4 25,06% 19,05% 6,01%

DEMOKRAT 148 6 34,99% 28,57% 6,42%

PKB 28 2 6,62% 9,52% 2,90%

PPP 38 2 8,98% 9,52% 0,54%

PKS 57 4 13,48% 19,05% 5,57%

Non-Partisan 0 13 0,00% 61,90% 61,90%

JUMLAH 423 34 1,00 ∑ 86,76%

kali 1/2 43,38%

Cabinet Coalescence Rate 1 - 0,5* ∑ |%Kursi-%PosKabinet| 56,62%

(sumber: rangkuman dari “Inilah 34 Menteri Kabinet Indonesia Bersatu II & Catatannya”,

Oktober 21, 2009, http://nusantaranews.wordpress.com/2009/10/21/inilah-menteri-kabinet-

indonesia-bersatu-ii-catatannya/)

Cabinet Coalescence Rate Kabinet Indonesia Bersepatu 1 itu 0,57 atau tidak

mencerminkan kekuatan partai di DPR.

Kembali ke Brazil: jadi presiden-presiden Brazil itu setel berkuasanya ada yang acuh ama parlemen (dan tak selamat), ada yang berdamai lewat pengangkatan menteri-menteri dari parpol yang ada di dalam parlemen.

Dari hasil penghitungan, Octavio Amorim Neto menyimpulkan dari pengamatannya terhadap 57 presiden di 10 negara-negara presidensialisme Amerika Latin antara taon 1946-1995, bahwa tingginya Cabinet Coalescence Rate kayak jaman Cardoso itu punyak ―fungsi positif‖ terhadap ―size of the president‘s party‖ dan untuk Amerika Latin ―a negative function of whether the constitution grants the president the power to issue decree laws‖ alias karna harus berkompromi Presiden tidak seenaknya nurunkan dekrit

33.

Kita pusatkan saja pada fungsi positifnya. Jadi, dengan tingginya Cabinet Coalescence Rate, Presiden bisa menyederhanakan sistem kepartaian dalam parlemen.

5. Pembentukan Komisi Sebagai Cara Penciptaan Multikepartaian Sederhana

5.1. Kekuatan Fraksi Yang Tidak Jelas di DPR: Lantaran cara penghitungan perolehan kursi DPR itu melalui metoda kuota Hare/Hamilton dengan suara sisa terbanyak, maka cara ini pun selayaknya juga dipakai untuk menentukan susunan dan keanggotaan setiap Komisi DPR. Namun, kenyataannya tidak demikian. Tengok misalnya Komisi VII DPR yang beranggotakan 45 orang

34 itu:

33

Octavio Amorim Neto, PRESIDENTIAL CABINETS, ELECTORAL CYCLES, DISCIPLINE IN BRAZIL,

Rio de Janeiro Graduate Research Institute, MARCH 2000, hal. 8 34

http://www.dpr.go.id/id/Komisi/Komisi-VIII

Page 25: Kompilasi Paper · Kompilasi Paper: SERI PERTAMA . 2 2016 Pipit R. Kartawidjaja ... Dalam soal ketidak-efektivan dan ketidak efisienan sistem keparlemenan, pada tahun 2009

25

No. Fraksi Kursi DPR

% SEHARUSNYA REALITASNYA

1 FPD 148 26,4 11,88 12 13

2 FPG 106 18,92 8,51 8 7

3 FPDI-P 94 16,78 7,55 8 8 4 FPKS 57 10,17 4,58 5 5 5 FPAN 46 8,21 3,69 4 3 6 FPPP 38 6,78 3,05 3 3 7 FPKB 28 5 2,25 2 3

8 F-GERINDRA 26 4,64 2,09 2 2

9 F-HANURA 17 3,04 1,37 1 1 Total 560 100

45 45

Menariknya, dalam Komisi VIII yang beranggotakan 45 orang sebagai misal, Hanura dengan 1 (satu) legislatornya harus menangani 3 (tiga) ruang lingkup kerja atau 3 (tiga) Kementerian dan 3 (tiga) lembaga negara

35. Sungguh superman sang legislator

Hanura ini! Selain itu, Fraksi Demokrat seharusnya hanya berhak mengirimkan 12 orang wakil. Namun pada kenyataannya 13 legislator. Begitu juga FPKB, dari dua menjadi 3 wakil. Di pihak lain, fraksi-fraksi tertentu mengisi keanggotaan fraksi kurang dari jatahnya seperti FPG dan FPAN. Hal yang serupa terjadi dalam komisi-komisi yang beranggotakan 48

36 orang

No. Fraksi Kursi DPR

% SEHARU-SNYA

Realitas KOMISI I

Realitas KOMISI VII

Realitas KOMISI XI

1 FPD 148 26,4 12,67 13 13 11 12 2 FPG 106 18,92 9,08 9 10 10 10 3 FPDI-P 94 16,78 8,05 8 9 8 8 4 FPKS 57 10,17 4,88 5 6 4 5 5 FPAN 46 8,21 3,94 4 3 4 4 6 FPPP 38 6,78 3,25 3 2 4 3

7 FPKB 28 5 2,40 2 2 3 2

8 F-GERINDRA 26 4,64 2,23 2 2 2 2

9 F-HANURA 17 3,04 1,46 2 1 2 2

Total 560 100

48 48 48 48

35

http://www.dpr.go.id/id/Komisi/Komisi-VIII 36

http://www.dpr.go.id/id/komisi

Page 26: Kompilasi Paper · Kompilasi Paper: SERI PERTAMA . 2 2016 Pipit R. Kartawidjaja ... Dalam soal ketidak-efektivan dan ketidak efisienan sistem keparlemenan, pada tahun 2009

26

Atau dalam komisi-komisi yang beranggotakan 50 37

orang:

REALITAS KEANGGOTAAN

No. Fraksi Kursi DPR

% SEHARUSNYA KOMISI II

KOMISI III

KOMISI IV

1 FPD 148 26,4 12,67 13 15 14 12 2 FPG 106 18,92 9,08 10 9 10 10 3 FPDI-P 94 16,78 8,05 8 8 7 9 4 FPKS 57 10,17 4,88 5 5 5 4 5 FPAN 46 8,21 3,94 4 4 4 5 6 FPPP 38 6,78 3,25 3 3 4 4 7 FPKB 28 5 2,40 3 2 2 3

8 F-GERINDRA 26 4,64 2,23 2 2 2 2

9 F-HANURA 17 3,04 1,46 2 2 2 1 Total 560 100 50 50 50 50

Tidak menggunakan jatah sepenuhnya seperti FPD dalam Komisi IV yang beranggotan 50 itu (jatah 13, diisi hanya 12) masih tergolong lumrah. Namun mengisi kursi lebih dari jatah yang seharusnya, merupakan satu keanehan. Terkecuali jika terjalin koalisi resmi, misalnya fraksi pemerintah. Di antara anggota-anggota fraksi ini biasanya bisa saling tukar-menukar sesuai kesepakatan. Namun, fraksi pemerintah tidak pernah terdengar. Jika fraksi pemerintah itu tokh ada, maka kasus 30 Maret 2012 tentang BBM tidak mungkin terjadi. Atau, fraksi tersebut memang ada, hanya kekompakan fraksi lemah. 5.2. Jumlah Komisi Lebih Dari Jumlah Kementerian (kasus Jerman) Atau Setara Dengan Jumlah Kementerian: Untuk, setiap ruang lingkup kerja, terdapat satu Komisi. Untuk kasus Jerman, di sanalah setiap Legislator yang memenuhi syarat mengerjakan bagian dari politik. Misalnya menyiapkan rancangan UU sebelum disahkan di pleno. Di sana juga, fraksi-fraksi yang berkepentingan menyiapkan pembentukan mayoritas terhadap RUU tersebut. Dalam masa kerja periode ke 17, Bundestag (DPR Jerman) memiliki 22 Komisi dengan 22 ruang lingkup kerja Ke 22 Komisi ini berhadapan dengan 14 Kementerian (Catatan: di Jerman tidak dikenal Kementerian Koordinator). Hanya komisi-komisi tertentu, memiliki Subkomisi. Misalnya Komisi Urusan Luar Negeri dengan 4 Subkomisi. . Berbeda dengan alat-alat kelengkapan lainnya atau misalnya Komisi Penengah, Komisi Bersama, Komisi Penyelidikan, susunan dan keanggotaan ke 22 komisi DPR ini berdasarkan perimbangan dan pemerataan kekuatan fraksi di DPR

38.

Sebaliknya, di DPR Indonesia terdapat 11 komisi dan badan-badan kelengkapan. Susunan dan keanggotaan komisi ditetapkan oleh DPR dalam Rapat paripurna menurut perimbangan dan pemerataan jumlah anggota tiap-tiap Fraksi, pada permulaan masa keanggotaan DPR dan pada permulaan Tahun Sidang. 11 Komisi DPR ini harus mengerjakan 46 ruang lingkup kerja

39. Sedangkan jumlah

kementerian di Indonesia ada 31 (tanpa Kementerian Koordinator) 40

.

37

http://www.dpr.go.id/id/komisi 38

Bundestag, Staendige Ausschuesse, http://www.bundestag.de/bundestag/ausschuesse17/index.html 39

DPR, Komisi, http://www.dpr.go.id/id/komisi 40

Kementerian Indonesia, http://id.wikipedia.org/wiki/Kementerian_Indonesia

Page 27: Kompilasi Paper · Kompilasi Paper: SERI PERTAMA . 2 2016 Pipit R. Kartawidjaja ... Dalam soal ketidak-efektivan dan ketidak efisienan sistem keparlemenan, pada tahun 2009

27

Artinya 1 komisi DPR harus menangani rata-rata 4 ruang lingkup kerja atau 3 kementerian -- dan belum badan/lembaga negara lainnya. Artinya, jumlah komisi di Indonesia lebih rendah ketimbang jumlah ruang lingkup kerja atau kementerian. Di Chile pada tahun 2002, terdapat 17 kementerian dan di DPR ada 18 komisi serta di Senat ada 19 komisi. 14 Ketua Komisi DPR dan 10 Ketua Komisi di Senat dipegang oleh kubu Concertación yang terdiri dari PDC, PPD, PS dan PRSD. Di DPR, 6 Ketua Komisi dipegang leh PDC, 4 oleh PPD, 3 oleh PS dan 1 oleh PSRD. Adapun anggota2 Komisi ditentukan berdasarkan kekuatan di DPR dan Senat parpol secara proporsional . Selaen itu, di sana ketua DPR-nya itu gantian, meskipun gak ada di SusDuknya. Aplosan antara koalisi pemerentah

41.

Argentina dan Meksiko berada di peringkat atas dalam soal jumlah komisi (38 dan 42). Memang, di Argentina dengan jumlah komisi yang mbludak itu, dimaksud buat memperbanyak pos jabatan politis seperti ketua dan wakil ketua komisi

42.

Negara Jumlah Komisi Masa Jabatan

Ditetapkan oleh

Argentina 38 2 tahun Pleno atau Ketua Parlemen

Bolivia 12 1 tahun Ketua Parlemen&Fraksi&Pleno

Brazil 16 tak ditetapkan Ketua Parlemen&Komisi Pengendalian

Chile 17 4 tahun Ketua Parlemen&Pleno

Ekuador 20 1 tahun Ketua Parlemen

Kolumbia 16 4 ahun Pleno

Meksiko 42 2 tahun Komisi Pengendalian&Pleno

Paraguay 22 1 tahun Pleno atau Ketua Parlemen

Peru 15 tak ditetapkan Ketua Parlemen&Fraksi&Pleno

Uruguay 15 tak ditetapkan Fraksi&Komisi Khusus

Venezuela 22 1 tahun Ketua Parlemen&Presidium

(Tabel dikutip dari: Heinrich W. Krumwiede/Detlef Nolte, „Die Rolle der Parlamente in den Praesidialdemokratien Lateinamerkas, Institut fuer Iberoamerika-Kunde, Hamburg 2000, hal. 97) Dari persandingan antara Jerman dan Indonesia itu, dapat disaksikan betapa tinggi beban yang harus dipikul seorang anggota dewan Indonesia itu. Maka, pantaslah jika pengambilan keputusan bertele-tele. Namun, bertele-telenya bukan akibat banyaknya parpol di DPR. Jadi tak ada urusannya dengan penerapan ambang batas parlemen (PT). 5.3 Pembentukan Komisi Berdasarkan Kekuatan Fraksi Lewat Cara Penghitungan Suara Pembentuk Mayoritas (Kasus DPRD di Jerman)

Memakai cara penghitungan suara pembentuk mayoritas parlemen lewat jurus divisor Jefferson/d Hondt. Contoh susunan anggota satu komisi di DPRD Jerman. Kasus ini terjadi pada tahun 2002 di DPRD Landsberg am Lech di provinsi Bavaria yang dipersengketakan di pengadilan Tata Usaha Negara Daerah Bavaria

43.

41

Ingrid Wehr, „Koalitionen im postautoritaeren Chile―, Lateinamerika Analysen 3, Oktober 2002, Hamburg:

IIK, hal. 142 42

Heinrich W. Krumwiede/Detlef Nolte, „Die Rolle der Parlamente in den Praesidialdemokratien

Lateinamerkas, Institut fuer Iberoamerika-Kunde, Hamburg 2000, hal. 96 43

Bayerischer Verwaltungsgerichtshof, fatwa nr. 4 BV 03.1159, 17. Maret 2004

Page 28: Kompilasi Paper · Kompilasi Paper: SERI PERTAMA . 2 2016 Pipit R. Kartawidjaja ... Dalam soal ketidak-efektivan dan ketidak efisienan sistem keparlemenan, pada tahun 2009

28

Jumlah Parpol Yang Masuk ke DPRD 2002 Landsberg itu sebagai berikut: No Parpol Kursi 1 CSU 30 2 SPD 11 3 GAL 5 4 FW 5 5 UBV 4 6 BP 2 7 OeDP 2 8 FDP 1 JUMLAH 60

Di DPRD tersebut terdapat 6 komisi, dengan perincian sebagai berikut: Komisi Wilayah 12 anggota, Komisi Bantuan Sosial 12 anggota, Komisi Lingkungan Hidup 12 anggota, Komisi Bantuan Remaja 8 anggota, Komisi Pemeriksaan Anggaran 7 anggota dan Komisi Keuangan 7 orang. BP, OeDP dan FDP kemudian membentuk fraksi bersama, karena cara penghitungan suara yang dipakai adalah metoda divisor varian d`Hondt (di AS beken dengan nama Jefferson). Karena itu, untuk Komisi Wilayah yang berjumlah 12 anggota itu, pembagian kursinya tersusun sebagai berikut: No. Parpol Kursi Komisi Wilayah 1 CSU 7 2 SPD 2 3 GAL 1 4 FW 1 5 BP/OeDP/FDP 1 6 UBV - JUMLAH 12

Parpol UBV tidak memperoleh kursi. Dan sialnya, di setiap komisi, nasib UBV sama

KOMISI Jumlah kursi Komisi CSU SPD GAL FW BP/OeDP/FDP

Komisi Wilayah 12 7 2 1 1 1 Komisi Bantuan Sosial 12 7 2 1 1 1 Komisi Lingkungan Hidup 12 7 2 1 1 1 Komisi Bantuan Remaja 7 5 2 Komisi Pemeriksaan Anggaran

6 5 1

Komisi Keuangan 6 5 1 JUMLAH 36 10 3 3 3

\ Kita saksikan, CSU yang hanya memiliki 30 kursi di DPRD, berhak menduduki 36 kursi di seluruh komisi; SPD yang memiliki 11 kursi di DPRD itu hanya diperbolehkan mengisi 10 pos komisi; GAL dan FW, masing-masing dengan 5 anggota DPRD hanya boleh mengisi masing-masing 3 kursi komisi. Sedangkan Fraksi BP/OeDP/FDP yang totalnya memiliki 5 anggota DPRD mendapatkan jatah 6 kursi komisi. Dalam komisi yang beranggotakan 7 orang, parpol-parpol gurem bahkan pada berguguran. Kita melihat bahwa dalam komisi terjadi penyederhanaan sistem kepartaian.

Page 29: Kompilasi Paper · Kompilasi Paper: SERI PERTAMA . 2 2016 Pipit R. Kartawidjaja ... Dalam soal ketidak-efektivan dan ketidak efisienan sistem keparlemenan, pada tahun 2009

29

6. Cara pengambilan keputusan

Sistem multi partai yang ada saat ini, cenderung memperlemah tata kelola pemerintahan, serta mempersulit dicapainya konsensus, baik di antara partai-partai maupun antara parlemen dan pemerintah (Dalam Putusan Nomor 3/PUU-VII/2009 tentang Persyaratan Ambang Batas Perolehan Suara Dalam Pemilihan Umum Legislatif, hal. 111) Lha kalau namanya konsensus, ya bertele-tele lumrah-lumrah saja. Kalau konsensus yang hendak digunakan, berarti Indonesia memilih demokrasi konkordans/konsensual dan bukan demokrasi persaingan/mayoritan. Jika begitu, ya harus tekun dan sabar. Barangkali kita mesti belajar dari Swis.

7. Kemandirian Birokrasi DPR

Di Jerman sana, unsur penunjang Bundestag (DPR) namanya Bundestagsverwaltung alias adminstrasi (negara) DPR (setara dengan Sekretariat Jenderal DPR. Pimpinannya disebut Direktor, diangkat dan dicopot oleh Ketua DPR dan langsung berada di bawahnya. Direktor ini setara dengan Sekretaris Negara dalam Kementerian-Kementerian Jerman (kalau di Indonesia barangkali Deputi Menteri). Di dalam Sekretariat Jenderal DPR Jerman pegawai negeri sipil (termasuk polisi DPR) dan pegawai publik (Angestellte) serta pegawai honrer. Khususnya pegawai negeri sipil di Sekretariat Jenderal DPR Jerman, yang ngangkat ya Ketua DPR. Untuk pegawai publik, cukup sang Sekjen. Adapun sumpah setia pegawai negeri DPR Jerman, sama halnya dengan pegawai negeri lainnya, adalah taat dan setia kepada negara (UUD dan segenap UU yang berlaku). Ini juga berlaku bagi pegawai publik. DPR Jerman mengurus dirinya dalam hal Perincian dan perumusan tugas, fungsi dan susunan organisasi serta tata kerja Sekretariat Jenderal

44.

Alhasil, dalam tubuh legislatif Jerman, sama sekali tidak berbau eksekutif. Alias, pemisahan tegas antara eksekutif dan legislatif. Benar-benar checks and balances. Ini jelas berbeda dengan di Indonesia. Sekretariat Jenderal DPR-RI merupakan unsur penunjang DPR, yang berkedududukan sebagai Kesekretariatan Lembaga Negara yang dipimpin oleh seorang Sekretaris Jenderal dan dalam melaksanakan tugasnya bertanggung jawab kepada Pimpinan DPR. Sekretaris Jenderal diangkat dan diberhentikan dengan Keputusan Presiden atas usul Pimpinan DPR. Sekretariat Jenderal DPR RI personelnya terdiri atas Pegawai Negeri Sipil. Susunan organisasi dan tata kerja Sekretaris Jenderal ditetapkan dengan keputusan Presiden. Sekretaris Jenderal dibantu oleh seorang Wakil Sekretaris Jenderal dan beberapa Deputi Sekretaris Jenderal yang diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul Pimpinan DPR

45.

Yang aneh, Sekretariat Jenderal DPR-RI itu aparatur pemerintah: "Sekretariat Jenderal Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia adalah aparatur pemerintah yang di dalam menjalankan tugas dan fungsinya berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Pimpinan DPR-RI"

46.

Dalam hal Perincian dan perumusan tugas, fungsi dan susunan organisasi serta tata kerja Sekretariat Jenderal DPR, ditetapkan oleh Sekretaris Jenderal, setelah terlebih dahulu

44

Bundestag, http://www.bundestag.de/bundestag/verwaltung/index.html; Pasal 64 dan Pasal 129

Bundesbeamtengesetz (UU Pegawai Negeri Federal) 05.02.2009 dengan perubahan terakhir 15.03.2012) 45

Dewan Perwakilan Rakyat, http://id.wikipedia.org/wiki/Dewan_Perwakilan_Rakyat 46

Pasal 1 Perpres RI No. 23 Tahun 2005 Tentang Sekretariat Jenderal DPR

Page 30: Kompilasi Paper · Kompilasi Paper: SERI PERTAMA . 2 2016 Pipit R. Kartawidjaja ... Dalam soal ketidak-efektivan dan ketidak efisienan sistem keparlemenan, pada tahun 2009

30

mendapat persetujuan tertulis dari Menteri Negara yang bertanggung jawab di bidang pendayagunaan aparatur negara dan Menteri Negara Sekretaris Negara

47.

Bahwa Sekretariat Jenderal DPR-RI itu aparatur pemerintah dipertegas oleh asalnya Sekretariat Jenderal yang pegawai negeri sipil

48 dan pegawai negeri sipil itu unsur

aparatur Pemerintahan, harus setia dan taat kepada Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Pemerintah

49.

Alhasil, loyalitas pegawai negeri sipil DPR itu ya kepada eksekutif.

Pada Akhirnya: Penciptaan sistem presidensialisme yang kuat (apalagi dalam demokrasi konkordans/konsensual) , perlu pembahasan yang menyeluruh. Tidak parsial seperti sekarang: UU pemilu legislatif gonta ganti dan hanya terpusatkan pada penciptaan multikepartaian sederhana berdasarkan hitungan jari – tanpa memperkuat kewenangan presiden dan mengefektifkan DPR.

Tabik, Pipit Kartawidjaja Jakarta, 12 Oktober 2012

47

Pasal 28 Keputusan Presiden RI Nomor 23 Tahun 2005 tentang Sekretariat Jenderal Dewan Perwakilan

Rakyat Republik Indonesia 48

Pasal 393 ayat 2 UU Nomor 2 Tahun 2009 Tentang MPR, DPR, DPRD dan DPD 49

UU No 43 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas UU No 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian;

Pasal 3 ayat 3 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 53 TAHUN 2010

TENTANG DISIPLIN PEGAWAI NEGERI SIPIL

Page 31: Kompilasi Paper · Kompilasi Paper: SERI PERTAMA . 2 2016 Pipit R. Kartawidjaja ... Dalam soal ketidak-efektivan dan ketidak efisienan sistem keparlemenan, pada tahun 2009

31

Bagaimana Sistem Pemilu

Jerman (Upaya Menghadirkan Alternatif Sistem Pemilu)

Page 32: Kompilasi Paper · Kompilasi Paper: SERI PERTAMA . 2 2016 Pipit R. Kartawidjaja ... Dalam soal ketidak-efektivan dan ketidak efisienan sistem keparlemenan, pada tahun 2009

32

Bagaimana sistem pemilu DPR Jerman?

Contoh sistem Jerman yang paling komplit adalah pemilu resmi tahun 1994. Sebab hasil

pemilu 1994 bisa menjelaskan sistem pemilu Bundestag (DPR Jerman). Sistem kombinasinya

(orang Jerman bilang sistem personalisierte Verhaeltniswahl alias sistem proporsional nan

personal) mengalami perubahan dalam cara penghitungan suara.

Sebelum tahun 2009, cara penghitungan suaranya memakai metoda Hare/Hamilton Sisa

Suara Terbanyak (persis di tanah Nuswantoro).

Setelah diketemukannya paradoks „negatives Stimmgewicht― (alias „nilai suara negatif― atau

„nilai suara termehek-mehek― produk metoda kuota Hare/Hamilton Sisa Suara Terbanyak),

setelah tahun 2009 diganti oleh metoda divisor Sainte-Laguë/Schepers dengan divisor 1, 3, 5

dst. Kenapa kok ada embel-embel Schepers, ahli fisika Jerman? Oleh karena divisor Sainte-

Laguë itu tak lain adalah metoda kuota yang pendistribusian sisa suara dengan pembulatan ke

atas (Method of Major Fractions). Pendistribusain pembulatan ke atas ini dapat menyisakan

kursi. Dan jika hal ini terjadi, dilakukan penghitungan tahap kedua seperti yang Schepers

perlihatkan (Tentang hal ini lihat catatan di belakang).

1. Sistem Pemilu Kombinasi Jerman 1994

Jumlah anggota

DPR Jerman 1994 656 orang

Cara Pemilihan

328 orang

(disebut Suara

Pertama)

dipilih melalui sistem mayoritan sederhana single

district

328 orang

(disebut Suara

Kedua)

dipilih melalui sistem proporsional daftar tertutup/tetap

Jenis legislator Bisa asal partai Bisa independen (non-partisan)

Cara pemberian

suara seorang pemilih memiliki dua suara

Ambang Batas

Parlemen

5 persen Untuk proporsional daftar Tertutup/tetap

3 kandidat

Jika satu partai gagal menembus ambang batas parlemen,

tapi 2 calegnya terpilih, maka caleg itu boleh duduk di

parlemen, tapi gak berhak membikin fraksi.

Jika satu partai gagal menembus Ambang Batas

Parlemen, tapi 3 calegnya terpilih dalam sistem

mayoritan, maka partai tersebut berhak duduk di

parlemen beserta 3 calegnya. Tapi gak berhak

membentuk fraksi, sebab persyaratan pembentukan

fraksi itu minimal 5 persen

Cara Penghitungan

Suara

prinsip

proporsional untuk suara kedua (proporsional daftar

tertutup/tetap) dengan cara pendistribusian kursi 656 ke

masing-masing partai, baru kemudian ke partai-partai di

provinsi.

formula metoda kuota Hare/Hamilton Sisa Suara Terbanyak

02

Page 33: Kompilasi Paper · Kompilasi Paper: SERI PERTAMA . 2 2016 Pipit R. Kartawidjaja ... Dalam soal ketidak-efektivan dan ketidak efisienan sistem keparlemenan, pada tahun 2009

33

2. Kertas suara sistem kombinasi Jerman pemilu 1998 (juga gak beda dengan yang 1994

dan yang aktual):

Turun ke arena

pemilu 25 partai.

Yang dicoblos adal

partai. Meski daftar

tertutup/closed list,

tapi nama-nama

caleg tercantumkan

secara berurutan.

Jadi istilah

mencoblos gambar

atau memilih

kucing dalam

karung itu salah

kaprah!! Yang

bener, mencoblos

caleg sarungan

Kertas suara di

dapil 99 kota

Muenster

Suara Pertama

Untuk milih

legislator

individual (bisa

caleg partai, bisa

independen).

Dalam kertas

suara pertama ini

yang nyalonin

hanya 11 caleg

Page 34: Kompilasi Paper · Kompilasi Paper: SERI PERTAMA . 2 2016 Pipit R. Kartawidjaja ... Dalam soal ketidak-efektivan dan ketidak efisienan sistem keparlemenan, pada tahun 2009

34

3. Hasil pemilu Bundestag (DPR Jerman) 1994:

Dari 60.452.009 warganegara yang berhak memilih, 47.737.99 makhluk ada mencoblos.

Suara sah suara pertama tercatut 46.949.356, sedangkan suara sah suara kedua 47.105.174.

Dalam pemilu Bundestag 1994, terjun ke arena pemilu sebanyak 33 peserta pemilu (partai,

Waehlergruppe alias grup-grup pemilih dan calon independen). Tidak semua partai itu

berlaga di setiap negara bagian (setara provinsi). Contohnya Partai Uni Kristen Sosial CSU

yang hanya tampil di satu provinsi saja, yaitu di provinsi Bavaria. Partai Komunis Jerman

KPD hanya berlaga di dua provinsi, yaitu Berlin dan Thueringen. Begitu juga, calon

independen hanya tampil di beberapa provinsi seperti Berlin, Hamburg, Sachsen, Bavaria

atau Nordrhein-Westfalen.

No. PARTAI/KUBU

PEMILIH/INDEPENDEN

Suara Pertama

(Mayoritan)

Kedua (Prop.

Closed List)

Suara Sah % Suara Sah %

1

Sozialdemokratische Partei Deutschlands

(SPD)

17.966.813 38,3 17.140.354 36,4

2

Christlich Demokratische Union

Deutschlands (CDU)

17.473.325 37,2 16.089.960 34,2

3 Christlich-Soziale Union in Bayern (CSU) 3.657.627 7,27 3.427.196 7,3

4 Bündnis 90/Die Grünen (GRÜNE) 3.037.902 6,5 3.424.315 7,3

5 Freie Demokratische Partei (F.D.P.) 1.558.185 3,3 3.258.407 6,9

6

Partei des Demokratischen Sozialismus

(PDS)

1.920.420 4,1 2.066.176 4,4

7 Die Republikaner (REP) 787.757 1,7 875.239 1,9

8 Die Grauen – Graue Panther (GRAUE) 178.450 0,4 238.642 0,5

9 Ökologisch-Demokratische Partei (ÖDP) 200.138 0,4 183.715 0,4

10 Naturgesetz Partei (NATURGESETZ) 59.087 0,1 73.193 0,2

11

Partei Mensch Umwelt Tierschutz (Die

Tierschutzpartei)

– – 71.643 0,2

12 Partei Bibeltreuer Christen (PBC) 26.864 0,1 65.651 0,1

13 Statt Partei 7.927 0 63.354 0,1

14 Bayernpartei (BP) 3.324 0 42.491 0,1

15

Autofahrer- und Bürgerinteressenpartei

Deutschlands (APD)

1.654 0 21.533 0

16 Christliche Mitte (CM) 3.559 0 19.887 0

17

Partei der Arbeitswilligen und Sozial

Schwachen (PASS)

489 0 15.040 0

18

Marxistisch-Leninistische Partei

Deutschlands (MLPD)

4.932 0 10.038 0

19 Bürgerrechtsbewegung Solidarität (BüSo) 8.032 0 8.103 0

20 Christliche Liga (LIGA) 3.788 0 5.195 0

21 Deutsche Zentrumspartei (ZENTRUM) 1.489 0 3.757 0

22 Bund Sozialistischer Arbeiter (BSA) 1.285 0

23 Freie Bürger Union (FBU) 8.193 0

24 Deutsche Soziale Union (DSU) 2.395 0

Page 35: Kompilasi Paper · Kompilasi Paper: SERI PERTAMA . 2 2016 Pipit R. Kartawidjaja ... Dalam soal ketidak-efektivan dan ketidak efisienan sistem keparlemenan, pada tahun 2009

35

25 Deutsche Kommunistische Partei (DKP) 693 0

26 Deutsche Volkspartei (DVP) 606 0

27

Freisoziale Union – Demokratische Mitte

(FSU)

467 0

28

Kommunistische Partei Deutschlands

(KPD)

426 0

29 Unabhängige Arbeiter-Partei (UAP) 302 0

30 Liberale Demokraten (LD) 221 0

31 Bund für Gesamtdeutschland (BGD) 107 0

32 Die Demokraten (DEMOKRATEN) 104 0

33

Wählergruppen/Einzelbewerber (Kubu

Pemilih/Independen) 8 0,1

Total 46.915.284 47.105.174

4. Lantas bagaimana ngitungnya?

Tahap pertama:

Syaratnya harus lolos ambang batas parlemen 5 persen atau jika perolehan suara partai

hendak disertakan dalam hitungan, maka partai harus berhasil meloloskan 3 kandidat

langsung dalam sistem mayoritan.

Dari 33 partai peserta pemilu (partai, Waehlergruppe alias grup-grup pemilih dan calon

independen), lolos ambang batas parlemen 5 persen hanya lima partai. Yaitu: Partai Sosdem

SPD, Partai Uni Kristen Demokrat CDU, Partai Uni Kristen Sosial CSU, Partai Hijau

Bundnis 90/Die Gruenen dan Partai Libral FDP.

Namun gara-gara partai Demokrasi Sosialisme PDS yang berbasiskan di mantan Jerman

Timur merebut langsung 4 kursi dalam sistem mayoritan (suara pertama), maka PDS yang

total hanya meraup 4,4 persen suara (ambang batas parlemen 5 persen) diikutkan ke dalam

pendistribusian kursi DPR yang proporsional daftar tertutup/tetap (Catatan: kalau pakai data

pemilu aktual yaitu 2013, gak ada parpol di bawah 5 persen tapi 3 kandidatnya merebut

mandat langsung dalam sistem mayoritannya)

Tahap kedua:

Mula-mula yang dihitung adalah persentase suara proporsional closed list (suara kedua) dari

total kursi Bundestag, yaitu 656 (bukan 328! – hal yang yang membedakannya dengan sistem

kombinasi jenis paralel seperti di Jepang atau pernah diterapkan di Rusia). Dasar filsafatnya

gampang: menjaga asas proporsionalitas, maka amatlah proporsional jika satu partai

memperoleh kursi setara yang suara yang diraupnya.

Page 36: Kompilasi Paper · Kompilasi Paper: SERI PERTAMA . 2 2016 Pipit R. Kartawidjaja ... Dalam soal ketidak-efektivan dan ketidak efisienan sistem keparlemenan, pada tahun 2009

36

Karena itu, distribusi kursi berdasarkan proporsional closed sbb:

No. PARTAI

Suara Kedua (Prop. Closed List)

Suara Sah Kuota

Kursi Kuota Kursi

1

Sozialdemokratische Partei Deutschlands

(SPD)

17.140.354 247,63 248

2

Christlich Demokratische Union

Deutschlands (CDU)

16.089.960 232,46 232

3 Christlich-Soziale Union in Bayern (CSU) 3.427.196 49,51 50

4 Bündnis 90/Die Grünen (GRÜNE) 3.424.315 49,47 49

5 Freie Demokratische Partei (F.D.P.) 3.258.407 47,08 47

6

Partei des Demokratischen Sozialismus

(PDS)

2.066.176 29,85 30

Total 45.406.408 656

Oleh sebab partai Demokrasi Sosialisme PDS hanya bisa mengirimkan 30 legislator, maka

partai PDS tidak berhak membentuk fraksi di Bundestag. Syarat pembentukan fraksi

samadengan 5 persen. Dengan cara ini, maka dalam parlemen, dapat dibikin penyederhanaan

sistem kepartaian

Tahap Ketiga: Setelah diketahui perolehan kursi secara nasional itu, barulah kursi dibagikan

ke setiap provinsi. Contoh Partai Sosdem SPD yang secara nasional meraup 17.140.354 suara

dan 248 kursi.

PEROLEHAN SUARA PARTAI SOSIALDEMOKRAT SPD BERDASARKAN PROVINSI

Total Suara 17.140.354, Total Kursi 248

No. PROVINSI Suara Kedua (Prop. Closed List)

Suara Sah Kuota Kursi Kursi

1 Baden-Württemberg 1.742.592 (1.742.592/17.140.354) x 248 =

25,2131791443747 25

2 Bavaria 1.983.979 28,7058 29

3 Berlin 663.081 9,5940 9

4 Brandenburg 617.362 8,9325 9

5 Bremen 179.311 2,5944 3

6 Hamburg 389.857 5,6408 6

7 Hessen 1.296.788 18,7629 19

8 Mecklenburg-Vorpommern 283.029 4,0951 4

9 Niedersachsen 1.938.321 28,0451 28

10 Nordrhein-Westfalen 4.534.820 65,6133 66

11 Rheinland-Pfalz 955.383 13,8232 14

12 Saarland 329.287 4,7644 5

13 Sachsen 621.620 8,9941 8

14 Sachsen-Anhalt 502.193 7,2661 7

15 Schleswig-Holstein 670.791 9,7055 10

16 Thüringen 431.940 6,2496 6

Total Suara Partai Sosdem 17.140.354 248

Page 37: Kompilasi Paper · Kompilasi Paper: SERI PERTAMA . 2 2016 Pipit R. Kartawidjaja ... Dalam soal ketidak-efektivan dan ketidak efisienan sistem keparlemenan, pada tahun 2009

37

Pendistribusian kursi partai-partai lainnya ke provinsi dilakukan dengan cara yang sama.

Cara pendistribusian tanah Jerman, yaitu kursi provinsi tergantung pada perolehan suara itu

(tanpa kursi provinsi ditetapkan terlebih dahulu), memaksa partai buat bekerja keras

memobilisasi pemilih. Di tanah Nuswantoro umpamanya, suara sah di SUMUT I 36,07

persen tapi kursi boleh 10 alias 1.907.627 suara, sedangkan di MADURA (DAPIL XI

JATIM) suara sahnya mencapai 67,88 persen alias 2.621.413 suara tapi kursinya tetap 8 saja

atau di PAPUA suara sahnya mencapai 70,15 persen alias 2.963.280 suara tapi kursinya

cumak 10 doang –panteslah PAPUA mintak merdeka.

Tahap keempat: Jika pendistribusian kursi ke setiap provinsi telah dilakukan, barulah peroleh

suara pertama produk sistem mayoritan ditengok dan disandingkan. Ambilah contoh provinsi

Brandenburg, yang dapil sistem mayoritannya ada 13 biji. Dari 13 dapil itu, caleg Partai

Sosdem SPD berhasil memenangkan 12 kursi secara langsung. Namun secara proporsional,

SPD provinsi Brandenburg hanya boleh memperoleh 9 kursi. Oleh sebab kandidat langsung

lebih dihormati, maka Partai Sosdem Provinsi Brandenburg berhak memperoleh 12 kursi.

Alhasil, kelebihan 3 kursi ini (12 minus 9) disebut sebagai Ueberhangsmandat alias mandat

surplus.

Dalam pemilu Bundestag 1994 tercatat 16 Mandat Surplus (12 ke Partai Uni Kristen

Demokrat, 4 ke Partai Sosdem). Akibatnya, kursi Bundestag naek dari 656 menjadi 672. Dan

kursi Bundestag pada prinsipnya selalu bisa naek, tapi gak mungkin berkurang.

Prinsip ini dipertahankan meski kursi Bundestag saat ini berjumlah 598 dan cara

penghitungan suaranya berubah.

5. Lalu apa yang membedakan sistem kombinasi Jerman dengan Jepang atau Rusia atau

Meksiko yang disebut sistem paralel? Ambilkan saja contoh dari kasus Jerman di atas dengan

segenap syarat ambang batas sama dan cara penghitungan secara nasional duluan.

Ngitungnya sendiri-sendiri. Jadi, untuk yang proporsional closed list, porsi suaranya

berdasarkan kursi closed list yang 328. Begitu pula yang mayoritan 328 itu. Lantas keduanya

dijumlahkan. Kalau disandingkan, hasilnya seperti bagan dibawah ini:

Page 38: Kompilasi Paper · Kompilasi Paper: SERI PERTAMA . 2 2016 Pipit R. Kartawidjaja ... Dalam soal ketidak-efektivan dan ketidak efisienan sistem keparlemenan, pada tahun 2009

38

Sistem Kombinasi Jerman Sistem Paralel Jepang/Rusia/Meksiko

PARTAI Suara

Kedua

Kursi

secara prop

(suara

kedua)

Mandat

langsung dari

Mayoritan

(Suara Pertama)

Mandat

Surplus

Kursi

Total

Kursi secara

prop (suara

kedua)

Mandat

langsung dari

Mayoritan

(Suara

Pertama)

Kursi Total

Sosial Demokrat SPD 17.140.354 248 103 4 252 124 103 227

Uni Kristen Demokratik CDU 16.089.960 232 177 12 244 116 177 293

Uni Kristen Sosial CSU 3.427.196 50 44 50 25 44 69

Hijow (Bündnis 90/Die Grünen) 3.424.315 49 0 49 25 25

Libral FDP 3.258.407 47 0 47 23 23

Sosialisme Demokratik PDS 2.066.176 30 4 30 15 4 19

Total Jindralnya Jindral 45.406.408 656 328 672 328 328 656

Setahu saya, sistem kombinasi Jerman ini ditiru sama Selandia Baru.

Catatan: sistem paralel di Rusia cumak berlaku sampek

pemilu DUMA (DPR Rusia) 2003. 225 mayoritan dan

225 closed list Setelah itu sistem proporsional closed list.

Dan rencananya, mau ganti sistem paralel kembali

Di Meksiko: 300 mayoritan dan 200 prop. closed list

Jepang (sejak 1994): 300 mayoritan, 180 prop. closed

list.

Page 39: Kompilasi Paper · Kompilasi Paper: SERI PERTAMA . 2 2016 Pipit R. Kartawidjaja ... Dalam soal ketidak-efektivan dan ketidak efisienan sistem keparlemenan, pada tahun 2009

39

6. Lantas mana yang lebih baik? Kalau ukuran ciamik dan jebloknya itu proporsionalitas, maka berdasarkan Indeks Disproporsionalitas

Galagher, sistem kombinasi Jerman lebih bagus ketimbang sistem kombinasi Jepang & Rusia (paralel). Galagher-Index sistem Jerman 0,69 %

jauh lebih kecil ketimbang Jepang/Rusia yang 8,19 %.

Formula Galagher Index (GHI) atau least squares index (LSq)

Sistem Kombinasi Jerman Sistem Paralel Jepang/Rusia/Meksiko

PARTAI Suara Kedua %Vote Kursi

Total %Seat

(%Vote-

%Seat) 2

Kursi

Total %Seat (%Vote-%Seat)

2

Sosial Demokrat SPD 17.140.354 37,75% 252 37,50% 0,0006% 227 34,60% 0,0989%

Uni Kristen Demokratik CDU 16.089.960 35,44% 244 36,31% 0,0076% 293 44,66% 0,8518%

Uni Kristen Sosial CSU 3.427.196 7,55% 50 7,44% 0,0001% 69 10,52% 0,0882%

Hijow (Bündnis 90/Die Grünen) 3.424.315 7,54% 49 7,29% 0,0006% 25 3,81% 0,1392%

Libral FDP 3.258.407 7,18% 47 6,99% 0,0003% 23 3,51% 0,1347%

Sosialisme Demokratik PDS 2.066.176 4,55% 30 4,46% 0,0001% 19 2,90% 0,0274%

Total Jindralnya Jindral 45.406.408 100,00

% 672 Ʃ 0,0094% 656 Ʃ 1,3401%

0,5 Ʃ 0,0047%

0,5 Ʃ 0,6701%

GHI=LSq 0,69% GHI=LSq 8,19%

Page 40: Kompilasi Paper · Kompilasi Paper: SERI PERTAMA . 2 2016 Pipit R. Kartawidjaja ... Dalam soal ketidak-efektivan dan ketidak efisienan sistem keparlemenan, pada tahun 2009

Pipit Rochijat Kartawidjaja, SPD (Sindikasi Pemilu dan Demokrasi)

40

7. Tentu saja jika tanah Nuswantoro mau niru sistem kombinasi, baik ala Jerman ataupun ala

Jepang/Rusia/Meksiko, maka kursi provinsi atau dapil bisa ditetapkan terlebih dahulu. Variannya juga

banyak. Umpamanya Jakarta yang berkusi 21 dengan 3 dapil. Bisa pendapilan model sekarang. Dapil

berkursi 6 dibagi 3 closed list dan 3 mayoritan dst. Bisa juga 11 mayoritan dengan 11 dapil (single

district) dan 10 satu dapil (dapil provinsi). Bedanya, single district itu lebih mengurangi korupsi

ketimbang dapil berkursi 3, 4, 5 dst. Sebab caleg tahu, peluangnya susah. Single district

memungkinkan lebih akuntabilitas. Dengan closed list satu dapil, jadinya ada dua macam legislator:

legislator dapil dan legislator provinsi (buat keterwakilan perempuan dan memperkuat sistem

kepartaian dan menyertakan caleg-caleg pinter yang gak populer). Yang saya paparkan ini cumak

gambaran umum saja, yang hendak mengilustrasikan, bahwa penerapan satu sistem pemilu di tanah

Nuswantoro itu mintaknya rakus.

Catatan Tentang Metoda Scheppers:

Diketahui: perolehan suara parpol (lihat tabel) dan jumlah kursi yang diperebutkan 8.

Langkah pertama: Dicari kuota sementara = 17.500/8 = 2.187,50

Parpol Suara Kuota Alokasi

Pertama

Sisa

Kursi

Kursi Final (Pembulatan Ke

atas)

A 10.000 10.000 ⁄2.187,50 = 4,57 4 0,57 5

B 6.000 6.000 ⁄ 2.187,50 = 2,74 2 0,74 3

C 1.500 1.500⁄ 2.187,50 = 0,69 0 0,69 1

Jumlah 6 9

Oleh sebab jumlah kursi (9) melebihi jumlah kursi yang diperebutkan, maka dicari kuota baru dengan

cara menaikkan divisor dari 2.187,50 menjadi 2.300

Langkah kedua:

Parpol Suara Kuota Alokasi

Pertama

Sisa

Kursi

Kursi Final (Pembulatan Ke

atas)

A 10.000 10.000 ⁄2.300 = 4,35 4 0,35 4

B 6.000 6.000 ⁄ 2.300 = 2,61 2 0,61 3

C 1.500 1.500⁄ 2.300 = 0,66 0 0,66 1

Jumlah 6 8

Page 41: Kompilasi Paper · Kompilasi Paper: SERI PERTAMA . 2 2016 Pipit R. Kartawidjaja ... Dalam soal ketidak-efektivan dan ketidak efisienan sistem keparlemenan, pada tahun 2009

Pipit Rochijat Kartawidjaja, SPD (Sindikasi Pemilu dan Demokrasi)

41

(Sumber: Der Bundeswahlleiter, „Einführung der Berechnungsmethode Sainte-Laguë/Schepers für die

Vertei-lung der Sitze bei Bundestags- und Europawahl―,

https://www.bundeswahlleiter.de/de/aktuelle_mitteilungen/downloads/Kurzdarst_Sitzzuteilung.pdf )

Metoda Schepers ini tak berbeda dengan metoda Webster, yang menghasilkan perolehan sama dengan

metoda divisor Sainte-Laguë.

Perbandingan dengan metoda divisor Sainte-Laguë

A B C

Suara 10.000 6.000 1.500

Divisor

1 10.000 6.000 1.500

3 3.333 2.000 500

5 2.000 1.200 300

7 1.429 857 214

9 1.111 667 167

Kursi 4 3 1

Pengetahuan bahwa metoda Schepers dan metoda Webster dengan metoda divisor Sainte-Laguë

itu sama, sangatlah penting. Alasan: di kalangan para pengusul cara penghitungan pengganti

cara penghitungan yang saat ini dipakai (metoda kuota Hare/Hamilton dengan sisa suara

terbanyak) beranggapan, bahwa yang menjadi persoalan dalam metoda yang dipakai saat ini

terletak pada sisa suara. Dan karenanya, guna menghindari persoalan sisa suara diusulkan

metoda divisor. Satu anggapan yang keliru.

Tabik,

Pipit R. Kartawidjaja

Peneliti Senior Sindikasi Pemilu dan Demokrasi

Berlin 26/7/2016, Selasa Pahing, hari yang suka membuat perkara, keberuntungannya jatuh

belakangan. Kalow mau duluan, sebaiknya bersesajen nasi uduk dang-dangan berlaukan ayam

dilembaran.

Page 42: Kompilasi Paper · Kompilasi Paper: SERI PERTAMA . 2 2016 Pipit R. Kartawidjaja ... Dalam soal ketidak-efektivan dan ketidak efisienan sistem keparlemenan, pada tahun 2009

Pipit Rochijat Kartawidjaja, SPD (Sindikasi Pemilu dan Demokrasi)

42

Cara Mengalokasikan Kursi

Parlemen

Page 43: Kompilasi Paper · Kompilasi Paper: SERI PERTAMA . 2 2016 Pipit R. Kartawidjaja ... Dalam soal ketidak-efektivan dan ketidak efisienan sistem keparlemenan, pada tahun 2009

Pipit Rochijat Kartawidjaja, SPD (Sindikasi Pemilu dan Demokrasi)

43

CARA MENGALOKASI KURSI PARLEMEN

Pipit Rochijat Kartawidjaja50

1. Metoda Kuota Hare/Hamilton Dengan Sisa Suara Terbanyak

Guna menghitung pengalokasian, baik kursi parlemen di dapil (daerah pemilihan) maupun perolehan

kursi partai di parlemen, di Indonesia digunakan metoda kuota Hare dengan sisa suara terbanyak

(Largest Remainder atau LR). Metoda ini juga disebut sebagai Largest remainder method. Penemunya

adalah Thomas Hare (1806-1891), pengacara, bekerja sebagai pimpinan sistem kesejahteraan kerajaan

Inggeris Raya. Tergugah oleh kepentingan massa, Hare menciptakan sistem representasi proporsional.

Sama dengan metoda Thomas Hare, setengah abad sebelumnya juga ditawarkan oleh Alexander

Hamilton (1755-1804), salah seorang Founding Vaters AS, Menteri Keuangan pertama di bawah

Presiden George Washington. Hanya saja, metoda Hamilton buat mengalokasi kursi United States

House of Representatives (DPR AS) diveto oleh Presiden George Washington.

Dalam buku-buku pustaka kepemiluan, yang selalu disebut adalah nama-nama penemu metoda

penghitungan suara/kursi yang berasal dari Eropa – dan bukan dari Amerika Serikat, yang

sesungguhnya mendahului Eropa 51

Karena metoda kuota Hare sama dengan metoda kuota Hamilton, maka saya menyebutnya sebagai

metoda kuota Hare/Hamilton.

Formula Metoda Kuota Largest Remainder (LR)52

Langkah pertama: menetapkan BPP (Bilangan Pembagi Pemilih) dengan cara membagi total suara

partai di dapil dengan total kursi dapil. Hasilnya dibulatkan.

BPP = V ∕ S V : Jumlah perolehan suara partai di satu dapil

S : Jumlah kursi di satu dapil

Langkah kedua: mencari perolehan kursi satu partai i di satu dapil. Caranya membagi perolehan suara

partai I tersebut dengan BPP. Sisa kursinya dibagikan kepada partai-partai yang mmeiliki sisa suara

terbanyak secara berurutan

50

Sindikasi Pemilu dan Demokrasi (SPD). Materi disampaikan sebagai bahan peningkatan kapasitas internal bagi Staf dan

CPNS Biro H2PI Badan Pengawas Pemilu. Selasa, 22 Maret 2016. 51

Friedrich Pukelsheim, Guru Besar Matematika pada Universitas Augsburg Jerman, ―Die drei in Deutschland verwendeten

Mandatszuteilungsmethoden und ihre Namenspatrone‖, http://www.math.uni-

augsburg.de/stochastik/pukelsheim/2002g.html 52

Dr. Martin Fehndrich, (Ahli Fisika yang bekerja pada Bagian Penelitian dari satu Perusahaan di Bochum, Jerman),

―Hare/Niemeyer‖, 01.09.2013, http://www.wahlrecht.de/verfahren/hare-niemeyer.html

03

Page 44: Kompilasi Paper · Kompilasi Paper: SERI PERTAMA . 2 2016 Pipit R. Kartawidjaja ... Dalam soal ketidak-efektivan dan ketidak efisienan sistem keparlemenan, pada tahun 2009

Pipit Rochijat Kartawidjaja, SPD (Sindikasi Pemilu dan Demokrasi)

44

Si = (Vi ∕ BPP) + LR Si kursi partai i

Vi perolehan suara partai i

Untuk alokasi kursi di satu dapil, perolehan suara partai dan perolehan kursi partai digantikan dengan

jumlah penduduk dan perolehan kursi di satu dapil.

2. IHWAL SISA SUARA TERBANYAK:

Simak Tabel tentang data penduduk dunia di bawah ini

PENDUDUK DUNIA 1975 53

BENUA Juta % Berdasar Pembulatan

(dalam %)

Berdasar Sisa Suara

Terbanyak

Asia tanpa Uni Soviet 2.295 57,289 57 57

Eropa dengan Uni Soviet 734 18,323 18 18

Amerika 540 13,480 13 14

Afrika 417 10,409 10 10

Australia, Oskania 20 0,499 0 1

JUMLAH 4.006 100,000 98 100

Tidak mencapai 100% Mencapai 100%

Lewat pembulatan, persentase tidak mencapai 100% (Kolom IV) seperti dalam Kolom III. Hal ini

berbeda, jika diterapkan cara Sisa Suara Terbanyak.

53

Klaus Kopfermann, Guru Besar Matematika Universitas Hannover (Jerman), "Mathematische Aspekte der

Wahlverfahren", Wissenschaftsverlag Mannheim/Wien/Zuerich, 1991, hal. 109

Page 45: Kompilasi Paper · Kompilasi Paper: SERI PERTAMA . 2 2016 Pipit R. Kartawidjaja ... Dalam soal ketidak-efektivan dan ketidak efisienan sistem keparlemenan, pada tahun 2009

Pipit Rochijat Kartawidjaja, SPD (Sindikasi Pemilu dan Demokrasi)

45

3. CONTOH CARA PENGHITUNGAN SUARA DAN KURSI PARTAI54

Dalam tahap pertama, hanya 5 (lima) kursi yang teralokasikan langsung keempat partai (PKB, PDIP,

GOLKAR dan GERINDRA), sebab perolehan suaranya melewati BPP (16.166). Karena itu, masih

tersisa 6 (enam) kursi. Pada tahapan ini ditemui sisa suara dari setiap partai.

Sisa suara jenis pertama adalah sisa suara keempat partai (PKB, PDIP, GOLKAR dan GERINDRA)

yang tidak habis terbagi oleh BPP, sedangkan sisa suara jenis kedua adalah sisa suara yang tidak

melampaui BPP (NASDEN, PKS, Demokrat, PAN, PPP, HANURA, PBB dan PKPI).

Kemudian dicari secara berurutan sisa suara terbanyak yang berhak memperoleh 6 (enam) sisa kursi.

Penerima sisa kursi adalah Demokrat, PDIP, GERINDRA, PKS, PPP dan PAN.

Kemudian kursi perolehan tahap pertama (melewati BPP) dan kursi perolehan tahap kedia (sisa suara

terbanyak) dijumlahkan dan hasilnya sbb: PKB (1), PKS (1), PDIP (3), GOLKAR (1), GERINDRA

(2), Demokrat (1), PAN (1), PPP (1)

54

KPU Kota Semarang, BUKU HASIL PEMILU LEGISLATIF 2014, BAB III: PROSES PEMILU ANGGOTA DPRD

KOTA SEMARANG, ttp://kpu-semarangkota.go.id/BUKU-HASIL-PEMILU-LEGISLATIF--2014

V = 177.829 S = 11 BPP = S ∕ V =177.829/11 = 16.166 SPKB = VPKB ∕BPP = 18.782 ∕16.166 PKB memperoleh 1 kursi dan bersisa suara 2.616 SPDIP = VPDIP ∕BPP = 45.586 ∕16.166 PDIP memperoleh 2 kursi dan bersisa suara a 13.354 Dan seterusnya

Page 46: Kompilasi Paper · Kompilasi Paper: SERI PERTAMA . 2 2016 Pipit R. Kartawidjaja ... Dalam soal ketidak-efektivan dan ketidak efisienan sistem keparlemenan, pada tahun 2009

Pipit Rochijat Kartawidjaja, SPD (Sindikasi Pemilu dan Demokrasi)

46

4. CONTOH CARA PENGHITUNGAN ALOKASI KURSI DPRD 2014-2019 KOTA

CILEGON 55

*)

Kursi dapil di satu wilayah dialokasikan dengan cara yang sama.

No DAERAH PEMILIHAN PEN-

DUDUK

JUMLAH

PDK

GABUNGAN

KURSI

I

SISA

SUARA

KURSI

II

KURSI

FINAL

1 DP KOTA CILEGON 1 Meliputi

Kecamatan:

90.651 8 2.579 8 1.1 CIBEBER 47.809

1.2 CILEGON 42.842

2 DP KOTA CILEGON 2 Meliputi

Kecamatan:

107.903 9 8.822 1 10 2.1 CIWANDAN 43.798

2.2 CITANGKIL 64.105

3 DP KOTA CILEGON 3 Meliputi

Kecamatan:

85.841 7 8.778 1 8 3.1 PULOMERAK 47.855

3.2 GEROGOL 37.986

4 DP KOTA CILEGON 4 Meliputi

Kecamatan:

100.919 9 1.838 9 4.1 JOMBANG 62.308

4.2 PURWAKARTA 38.611

J U M L A H PENDUDUK (V) 385.314 385.314 33 2 35

KURSI (S) 35 BPP = V/S = 385.314/35 = 11.009

55

Keputusan Komisi Pemilihan Umum Lampiran II.11.72 No. 108/Kpts/KPU/TAHUN 2013, 9 MARET 2013

Page 47: Kompilasi Paper · Kompilasi Paper: SERI PERTAMA . 2 2016 Pipit R. Kartawidjaja ... Dalam soal ketidak-efektivan dan ketidak efisienan sistem keparlemenan, pada tahun 2009

Pipit Rochijat Kartawidjaja, SPD (Sindikasi Pemilu dan Demokrasi)

47

5. Metoda Proporsi Matematika Dengan Sisa Suara Terbanyak

Metoda kuota Hare atau Hare/Hamilton, juga kerap disebut dengan metoda Niemeyer atau Metoda

Proporsi Matematika. Horst Nemeyer (*1931- 2007) adalah guru besar matematika di Universitas

Teknik Aachen Jerman, Horst F. Niemeyer. Selain itu, Samuel F. Vinton (1806-1891), politisi

Amerika Serikat, dan George Pólya (1887–1985), pakar matematika dari Swis juga disebut sebagai

penggagas Metoda Proporsi Matematika56

.

FORMULANYA:

Karena BPP = V ∕ S, maka Si = (Vi ∕ BPP) + LR

= [Vi ∕ (V ∕ S)] + LR

= [(Vi ∕ V ) x S] + LR

56

Friedrich Pukelsheim, Guru Besar Matematika pada Universitas Augsburg Jerman, ―Die drei in Deutschland verwendeten

Mandatszuteilungsmethoden und ihre Namenspatrone‖, http://www.math.uni-

augsburg.de/stochastik/pukelsheim/2002g.html; Martin Fehndrich (Pakar Fisika) ―Hare/Niemeyer‖, 01.09.2013,

http://www.wahlrecht.de/verfahren/hare-niemeyer.html

Page 48: Kompilasi Paper · Kompilasi Paper: SERI PERTAMA . 2 2016 Pipit R. Kartawidjaja ... Dalam soal ketidak-efektivan dan ketidak efisienan sistem keparlemenan, pada tahun 2009

Pipit Rochijat Kartawidjaja, SPD (Sindikasi Pemilu dan Demokrasi)

48

CONTOH CARA PENGHITUNGAN SUARA DAN KURSI PARTAI DI KABUPATEN

TALIABU (PROVINSI MALUKU) PADA PEMILU LEGISLATIF 2014

Maka, tersusunlah tabel perolehan suara dan kursi partai politik sebagai berikut::

NO. PARPOL SUARA

SAH

KUOTA

KURSI KURSI I

SISA

SUARA

KURSI

II

KURSI

FINAL

1 NASDEM 2.459 1,73 1 0,73 1 2

2 PKB 126 0,09

0,09

3 PKS 991 0,70

0,70 1 1

4 PDIP 6.645 4,67 4 0,67 1 5

5 GOLKAR 9.690 6,80 6 0,80 1 7

6 GERINDRA 1.561 1,10 1 0,10

1

7 DEMOKRAT 2.304 1,62 1 0,62

1

8 PAN 1.104 0,78

0,78 1 1

9 PPP 161 0,11

0,11

10 HANURA 1.529 1,07 1 0,07

1

14 PBB 1.050 0,74

0,74 1 1

15 PKPI 865 0,61

0,61

TOTAL

SUARA 28.485 20,00 14

6 20

TOTAL

KURSI 20 Sisa Kursi 6

Page 49: Kompilasi Paper · Kompilasi Paper: SERI PERTAMA . 2 2016 Pipit R. Kartawidjaja ... Dalam soal ketidak-efektivan dan ketidak efisienan sistem keparlemenan, pada tahun 2009

Pipit Rochijat Kartawidjaja, SPD (Sindikasi Pemilu dan Demokrasi)

49

Menariknya, jumlah kursi di Kabupaten adalah 20 (duapuluh), yang berbeda dengan ketentuan

jumlah kursi maksimal 12 (duabelas) 57

.

6. CONTOH ALOKASI KURSI DPR 2014-2019 PROVINSI BANTEN

57

Menurut Pasal 27 ayat 2 UU No. 8 TAHUN 2012 Tentang Pemilu Anggota DPR, DPRD dan DPD.

Page 50: Kompilasi Paper · Kompilasi Paper: SERI PERTAMA . 2 2016 Pipit R. Kartawidjaja ... Dalam soal ketidak-efektivan dan ketidak efisienan sistem keparlemenan, pada tahun 2009

Pipit Rochijat Kartawidjaja, SPD (Sindikasi Pemilu dan Demokrasi)

50

Jika berangkat dari data penduduk KPU tanggal 9 Maret 2013, maka terdapat perbedaan antara Alokasi

Kursi Anggota DPR 2014-2019 Provinsi Banten dengan alokasi ketetapan UU seperti yang dapat

dilihat dalam tabel di bawah ini..

Jumlah Kursi di Dapil Banten bukan 6-6-10 seperti dalam Lampiran UU No. 8 TAHUN 2012 Tentang

Pemilu Anggota DPR, DPRD dan DPD, melainkan 5-5-12.

Tentu saja, dapil berkursi 12 harus dipecah menjadi dua. Atau DAPIL Provinsi Banten tetap 3 DAPIL,

namun dengan alokasi kursi mesti disusun baru.

DAPIL ANGGOTA DPR 2014-2019 PROVINSI BANTEN

MENURUT

UU 58

* SEHARUSNYA

N

o DAERAH PEMILIHAN

JUMLAH

POPULAS

I 59

JUMLAH

POPULASI

GABUNGA

N

KURSI

KUOT

A

KURSI

KURSI

1 DAPIL BANTEN I Meliputi

Kab/Kota:

2.240.759 6 4,96 5 1.1 LEBAK 1.050.591

1.2 PANDEGLANG 1.190.168

2 DAPIL BANTEN II

Meliputi Kab/Kota:

2.357.567 6 5,22 5 2.1 KOTA CILEGON 385.314

2.2 KOTA SERANG 565.641

2.3 SERANG 1.406.612

3 DP BANTEN III Meliputi

Kab/Kota:

5.340.494 10 11,82 12 3.1 TANGERANG 2.484.641

3.2 KOTA TANGERANG 1.631.198

3.3 KOTA TANGERANG

SELATAN 1.224.655

JUMLAH POPULASI 9.938.820 9.938.820 22 22

JUMLAH KURSI 22

58

Menurut LAMPIRAN UU No. 8 TAHUN 2012 Tentang Pemilu Anggota DPR, DPRD dan DPD. 59

Surat Keputusan Komisi Pemilihan Umum, 108/Kpts/KPU/TAHUN 2013, 9 MARET 2013

Page 51: Kompilasi Paper · Kompilasi Paper: SERI PERTAMA . 2 2016 Pipit R. Kartawidjaja ... Dalam soal ketidak-efektivan dan ketidak efisienan sistem keparlemenan, pada tahun 2009

Pipit Rochijat Kartawidjaja, SPD (Sindikasi Pemilu dan Demokrasi)

51

Dari contoh di atas, kita dapat menyaksikan, bahwa ketetapan dalam UU tidak sesuai dengan realitas

yang ada. Hal ini tentu berakibat pada perolehan kursi parpol.

Kita hitung saja perolehan kursi parpol di Dapil Banten I dan Dapil Banten II yang masing-masing

seharusnya berkursi 5 (lima). Untuk DAPIL Banten III sengaja tidak dihitung, sebab data perolehan

suara di masing-masing Kabupaten/Kota tidak diketahui, sehingga tidak memungkinkan penghitungan

perolehan kursi apabila DAPIL Banten III dipecah menjadi 2 (dua) Dapil

PEROLEHAN SUARA & KURSI PARPOL DI DAPIL PROVINSI BANTEN DALAM PILEG

2014 ANTARA HAIL PEMILU LEGISLATIF 2014 DENGAN JIKA KURSI DAPL

DIALOKASI ULANG

DAPIL BANTEN I (KURSI MENURUT UU dan KURSI JIKA ALOKASI ULANG)

Jika DAPIL Banten I berkursi 5 (lima), maka NASDEM tidak mendapatkan kursi

PARPOL SUARA*) KURSI KUOTA KURSI KURSI SELISIH

NASDEM 103.015 1 0,45 1

PKB 82.575 0,36

PKS 85.277 0,37

PDIP 174.580 1 0,76 1

GOLKAR 192.641 1 0,84 1

GERINDRA 141.161 1 0,62 1

DEMOKRAT 138.046 1 0,60 1

PAN 37.898 0,17

PPP 138.003 1 0,60 1

HANURA 50.402 0,22

SUARA SAH LOLOS

PT 1.143.598 6 5,00 5

Page 52: Kompilasi Paper · Kompilasi Paper: SERI PERTAMA . 2 2016 Pipit R. Kartawidjaja ... Dalam soal ketidak-efektivan dan ketidak efisienan sistem keparlemenan, pada tahun 2009

Pipit Rochijat Kartawidjaja, SPD (Sindikasi Pemilu dan Demokrasi)

52

DAPIL BANTEN II (KURSI MENURUT UU dan KURSI JIKA ALOKASI ULANG)

Jika DAPIL Banten II berkursi 5 (lima), maka PKS tidak mendapatkan kursi.

PARPOL SUARA 60

KURSI KUOTA KURSI KURSI SELISIH

NASDEM 73.425 0,35

PKB 73.477 0,35

PKS 91.247 1 0,44 1

PDIP 117.960 1 0,56 1

GOLKAR 148.768 1 0,71 1

GERINDRA 169.466 1 0,81 1

DEMOKRAT 76.324 0,37

PAN 130.641 1 0,62 1

PPP 105.439 1 0,50 1

HANURA 58.676 0,28

SUARA SAH LOLOS

PT 1.045.423 6 5,00 5

PROBLEM METODA KUOTA DENGAN SISA SUARA TERBANYAK:

Dalam tabel di bawah ini, tercatat perolehan suara partai A, B dan C masing-masing 52, 35 dan 13

untuk memperbutkan 5 kursi. Partai B dan C berkoalisi.

Hasil penghitunganj suara:

PARTAI SUARA % SUARA KUOTA

KURSI KURSI % KURSI

A 52 52% 2,60 2 40%

B 35 35% 1,75 2 40%

C 13 13% 0,65 1 20%

JUMLAH 100 100% 5

KURSI 5

60

KEPUTUSAN KOMISI PEMILIHAN UMUM NOMOR: 411/Kpts/KPU/TAHUN 2014 TENTANG PENETAPAN

HASIL PEMILIHAN UMUM ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN DAERAH,

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH PROVINSI, DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH

KABUPATEN/KOTA SECARA NASIONAL DALAM PEMILIHAN UMUM TAHUN 2014, 9 Maret 2016

Page 53: Kompilasi Paper · Kompilasi Paper: SERI PERTAMA . 2 2016 Pipit R. Kartawidjaja ... Dalam soal ketidak-efektivan dan ketidak efisienan sistem keparlemenan, pada tahun 2009

Pipit Rochijat Kartawidjaja, SPD (Sindikasi Pemilu dan Demokrasi)

53

Masalahnya, partai A sang peraup mayoritas suara (52%) dan 2 (dua) kursi (40%), tapi ―dijajah‖ oleh

minoritas B dan C (48%) dengan 3 (tiga) kursi (60%)..

Oleh sebab itu,tatkala Jerman memakai metoda kuota dengan sisa suara terbanyak (1987-2005), dalam

UU-nya dibubuhi ketetapan yang menyatakan bahwa dalam keadaan serupa di atas, partai mayoritas

berhak memperoleh mayoritas kursi.

Oleh sebab itu juga, tak sedikit negara yang menggunakan metoda divisor d‘ Hondt/Jefferson yang

memang dirancang buat menciptakan mayoritas,

Tentang metoda ini, akan dijelaskan pada lain kesempatan.

TAMAT

Tabik

Pipit rochijat kartawidjaja

Jakarta 22 Maret 2016

Page 54: Kompilasi Paper · Kompilasi Paper: SERI PERTAMA . 2 2016 Pipit R. Kartawidjaja ... Dalam soal ketidak-efektivan dan ketidak efisienan sistem keparlemenan, pada tahun 2009

Pipit Rochijat Kartawidjaja, SPD (Sindikasi Pemilu dan Demokrasi)

54

Daerah Pemilihan

(DAPIL)

Page 55: Kompilasi Paper · Kompilasi Paper: SERI PERTAMA . 2 2016 Pipit R. Kartawidjaja ... Dalam soal ketidak-efektivan dan ketidak efisienan sistem keparlemenan, pada tahun 2009

Pipit Rochijat Kartawidjaja, SPD (Sindikasi Pemilu dan Demokrasi)

55

DAERAH PEMILIHAN (DAPIL)

Daerah Pemilihan (Dapil) merupakan perangkat sistem pemilu yang terpenting dan kerap menjadi

persoalan. Penetapan dapil berpengaruh langsung terhadap satu sistem pemilu, hubungan antara jumlah

penduduk/suara dengan kursi, jumlah wakil rakyat yang pantas mewakili satu dapil dan peluang satu

partai politik untuk memperoleh kursi. Lewat dapil bisa pula diarahkan dan dikendalikan pembagian

representasi politik, keterwakilan perempuan, sistem kepartaian, efektivitas pemerintahan, money

politics dan sebagainya. Maka, daerah pemilihan selayaknya menjadi bahan perdebatan penting

manakala merancang, merevisi, mengawasi atau menilai satu sistem pemilu.

Yang terpenting, kata begawan pemilu dunia, Dieter Nohlen, dapil tidak dapat kekal ditetapkan.

Migrasi penduduk/pemilih, pemekaran wilayah, prinsip keterwakilan dan sebagainya, menuntut

penyesuaian dapil atau modifikasi jumlah kursi parlemen. Biasanya, alasan klasik penganak emasan

satu dapil berangkat dari pengedepanan daerah pedalaman (malapportionment), yang tentunya

bertabrakan dengan prinsip demokrasi (satu orang satu suara satu nilai) 61

.

Jika ditengok jumlah kursi DPR sejak reformasi -- bahkan ada yang sejak tahun 1971-- dan sampai

sekarang, bak warisan yang keramat, kursi DPR satu provinsi tidak boleh berkurang, meski

mencederai perimbangan alokasi kursi dengan provinsi lain. Hal ini tentu sangat berbeda misalnya

dengan di Amerika Serikat. Kursi DPR negara bagian (setara provinsi) New York misalnya, menyusut

dari 43 kursi (1950) menjadi hanya 27 kursi (2010) atau negara bagian Illinois berkurang dari 25

(1950) menjadi 18 (2010) 62

.

Mungkin Belanda dan Israel merupakan negara-negara yang menerapkan konsep NKRI, sebab di sana

dapilnya hanya satu, yakni Dapil Nasional.

Dengan demikian, kritik terhadap dapil itu bertolak dari dua hal: (a) manipulasi secara aktif demi

keuntungan satu parpol, provinsi atau paham politik dan (b) mengabaikan keharusan reformasi dapil

DAPIL TERBAGI KE DALAM

Lingkup dapil: administrasi negara/pemerintahan, malapportionment (perwakilan berproporsi

berbeda), gerrymandering (tipu-tipu penetapan perbatasan dapil), jumlah

penduduk/pemilih, kekompakan (a.l. haram berbentuk pisang atau terpotong oleh

rintangan alam) , persamaan kepentingan, latar belakang sejarah, ikatan

pertetanggaan, identitas komunitas, komunikasi, transportasi dan sebagainya.

61

Dieter Nohlen, ―Wahlrecht und Parteiensysteme: Zur Theorie und Empirie der Wahlsysteme‖, Cetakan ke VI, Verlag

Barbara Budrich, Opladen & Farmington Hills, MI, hal. 86-87 62

Kristin D. Burnett, Congressional Apportionment, 2010 Census Briefs, United States Census Bureau, November 2011.

Table 1

04

Page 56: Kompilasi Paper · Kompilasi Paper: SERI PERTAMA . 2 2016 Pipit R. Kartawidjaja ... Dalam soal ketidak-efektivan dan ketidak efisienan sistem keparlemenan, pada tahun 2009

Pipit Rochijat Kartawidjaja, SPD (Sindikasi Pemilu dan Demokrasi)

56

Besaran Dapil: Jumlah kursi daerah pemilihan (District Magnitude), dihuni oleh Ambang

Terselubung/Matematikal/Gaib

Lapisan Dapil: Dipakai untuk cara penghitungan suara/kursi.

Lingkup dapil:

Untuk DPR 2014 tidak disebutkan kriterianya. Dapil DPR 2014 bertolak dari Dapil DPR 2009. Dan

Dapil 2009 bertolak dari Dapil DPR 2003, yang menyebutkan lingkup adalah administrasi

negara/pemerintahan (provinsi, kabupaten, kota, gabungan kabupaten atau gabungan kabupaten/kota),

perbedaan representasi (malapportionment), minimal dan maksimal jumlah kursi dalam dapil.

Hanya saja, ketika kursi DPR 2003 bertambah menjadi 560 dalam DPR 2009 dan besaran dapil

diciutkan dari 3 s/d 12 menjadi 3 s/d 10, tercipta Gerrymandering (DPR 2009 & 2014)

Misalnya DAPIL DPR 2009 dan 2014:

Kota Bogor dengan Kabupaten Cianjur (DAPIL JABAR III)

Kota Depok dengan Kota Bekasi (DAPIL JABAR VI), Kota Bekasi terpisah dari kabupaten

Bekasi

Page 57: Kompilasi Paper · Kompilasi Paper: SERI PERTAMA . 2 2016 Pipit R. Kartawidjaja ... Dalam soal ketidak-efektivan dan ketidak efisienan sistem keparlemenan, pada tahun 2009

Pipit Rochijat Kartawidjaja, SPD (Sindikasi Pemilu dan Demokrasi)

57

Gerrymandering

Sebutan berasal dari Gubernur Elbridge Gerry (salah seorang

penandatangan pernyataan kemerdekaan Amerika Serikat).

Pada tahun 1812, Ia menandatangani UU Pemilu yang

memuat daerah pemilihan serupa salamander. Akibatnya,

Ketetapan UU No. 10 Tahun 2008 dan No, 8 Tahun 2012 Tentang Pemilu Legislatif

Page 58: Kompilasi Paper · Kompilasi Paper: SERI PERTAMA . 2 2016 Pipit R. Kartawidjaja ... Dalam soal ketidak-efektivan dan ketidak efisienan sistem keparlemenan, pada tahun 2009

Pipit Rochijat Kartawidjaja, SPD (Sindikasi Pemilu dan Demokrasi)

58

kaum Federalis yang menguasai mayoritas dalam pemilu 1912 (51% suara), hanya memenangkan 11

calon legislatifnya di 40 dapil (daerah pemilihan) 63

.Gerrymandering has been condemned because it

violates two basic tenets of electoral apportionment—compactness and equality of size of

constituencies. A U.S. Supreme Court ruling of 1964 stated that districtsshould be drawn to reflect

substantial equality of population.

However, using studies of regional voting behaviour, the majority parties in certain state legislatures

continue to set district boundaries along partisan lines without regard for local boundaries or even

contiguity. For example, in some states, representatives from rural and small town districts seek to limit

the representation of more densely populated urban centres 64

.

CONTOH:

A B Pemenang

Suara 5 4 A

Kursi (Skenario I) 2 1 A

Kursi (Skenario 2) 1 2 B

Martin Fehndrich, ―Wahlkreisgeometrie, Gerrymandering‖, http://www.wahlrecht.de/lexikon/gerrymander.html, 01.07.2006

63

Martin Fehndrich, ―Wahlkreisgeometrie, Gerrymandering‖, http://www.wahlrecht.de/lexikon/gerrymander.html,

01.07.2006

64 http://www.britannica.com/topic/gerrymandering

Skenario1 Skenario 2

Page 59: Kompilasi Paper · Kompilasi Paper: SERI PERTAMA . 2 2016 Pipit R. Kartawidjaja ... Dalam soal ketidak-efektivan dan ketidak efisienan sistem keparlemenan, pada tahun 2009

Pipit Rochijat Kartawidjaja, SPD (Sindikasi Pemilu dan Demokrasi)

59

Gerrymandering DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota 2014

Untuk DPRD Provinsi, Kabupaten/Kota, guna mencegah Gerrymandering misalnya, KPU menurunkan

Peraturan KPU Nomor 5 Tahun 2013. Pasal 3 menyebutkan bahwa »Dalam penyusunan daerah

pemilihan Anggota DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota, memperhatikan prinsip :

1. Kesetaraan nilai suara yaitu mengupayakan nilai suara (harga kursi) yang setara antara satu

daerah pemilihan dengan daerah pemilihan lainnya dengan prinsip satu orang-satu suara-satu nilai.

2. Ketaatan pada Sistem Pemilu yang Proporsional yaitu mengutamakan pembentukan daerah

pemilihan dengan jumlah kursi yang besar agar persentase jumlah kursi yang diperoleh setiap partai

politik setara mungkin dengan persentase suara sah yang diperolehnya,

3. Proporsionalitas yaitu memperhatikan kesetaraan alokasi kursi antar daerah pemilihan agar tetap

terjaga perimbangan alokasi kursi setiap daerah pemilihan.

4. Integralitas wilayah yaitu beberapa kabupaten/kota atau kecamatan yang disusun menjadi satu

daerah pemilihan harus saling berbatasan, dengan tetap memperhatikan keutuhan dan keterpaduan

wilayah, mempertimbangkan kondisi geografis, sarana perhubungan dan aspek kemudahan

transportasi.

5. Berada dalam cakupan wilayah yang sama (Coterminous) yaitu penyusunan daerah pemilihan

Anggota DPRD Provinsi yang terbentuk dari satu, beberapa dan/atau bagian kabupaten/kota, harus

tercakup seluruhnya dalam suatu daerah pemilihan Anggota DPR; begitu pula dengan daerah pemilihan

anggota DPRD Kabupaten/Kota yang terbentuk dari satu, beberapa dan/atau bagian kecamatan harus

tercakup seluruhnya dalam suatu daerah pemilihan Anggota DPRD Provinsi.

6. Kohesivitas yaitu penyusunan daerah pemilihan memperhatikan sejarah, kondisi sosial budaya, adat

istiadat dan kelompok minoritas.

7. Kesinambungan yaitu penyusunan daerah pemilihan dengan memperhatikan daerah pemilihan yang

sudah ada pada pemilu tahun 2009, kecuali apabila alokasi kursi pada daerah pemilihan tersebut

melebihi 12 (dua belas) kursi atau apabila bertentangan dengan keenam prinsip di atas «.

Page 60: Kompilasi Paper · Kompilasi Paper: SERI PERTAMA . 2 2016 Pipit R. Kartawidjaja ... Dalam soal ketidak-efektivan dan ketidak efisienan sistem keparlemenan, pada tahun 2009

Pipit Rochijat Kartawidjaja, SPD (Sindikasi Pemilu dan Demokrasi)

60

Namun, dalam kenyataannya, tidaklah begitu.

CONTOH DAPIL LONCAT: DAPIL 9 dan 10 DPRD PROVINSI JAKARTA 2014

CONTOH DAPIL LONCAT-LONCAT: DAPIL 4 DPRD KABUPATEN YAKUHIMO 2014

Page 61: Kompilasi Paper · Kompilasi Paper: SERI PERTAMA . 2 2016 Pipit R. Kartawidjaja ... Dalam soal ketidak-efektivan dan ketidak efisienan sistem keparlemenan, pada tahun 2009

Pipit Rochijat Kartawidjaja, SPD (Sindikasi Pemilu dan Demokrasi)

61

Besaran Daerah Pemilihan: Jumlah kursi daerah pemilihan

Dalam Pemilu DPR 2014, Indonesia dibagi ke dalam 77 dapil:

NO DAPIL POPULASI KURSI KUOTA KUOTA THD.

RATA-RATA

KUOTA THD.

TERENDAH

1 KEP. RIAU 1.895.590 3 631.863 140,51% 195,49%

2 RIAU I 3.728.536 6 621.423 138,19% 192,26%

3 JABAR VI 3.691.500 6 615.250 136,82% 190,35%

4 RIAU II 2.727.786 5 545.557 121,32% 168,79%

5 LAMPUNG II 4.908.385 9 545.376 121,28% 168,73%

6 NTB 5.398.573 10 539.857 120,05% 167,02%

7 SULTRA 2.691.623 5 538.325 119,71% 166,55%

8 BANTEN III 5.340.494 10 534.049 118,76% 165,23%

9 SULBAR 1.589.162 3 529.721 117,80% 163,89%

10 SUMUT I 5.288.928 10 528.893 117,61% 163,63%

11 LAMPUNG I 4.678.107 9 519.790 115,59% 160,82%

12 KALTIM 4.154.954 8 519.369 115,50% 160,69%

13 KALBAR 5.193.272 10 519.327 115,49% 160,67%

14 JABAR VII 5.182.247 10 518.225 115,24% 160,33%

15 SUMSEL II 4.612.743 9 512.527 113,97% 158,57%

16 JAMBI 3.532.126 7 504.589 112,21% 156,11%

17 SUMUT III 5.029.627 10 502.963 111,85% 155,61%

18 BENGKULU 1.996.538 4 499.135 111,00% 154,43%

Page 62: Kompilasi Paper · Kompilasi Paper: SERI PERTAMA . 2 2016 Pipit R. Kartawidjaja ... Dalam soal ketidak-efektivan dan ketidak efisienan sistem keparlemenan, pada tahun 2009

Pipit Rochijat Kartawidjaja, SPD (Sindikasi Pemilu dan Demokrasi)

62

19 JATENG X 3.462.794 7 494.685 110,01% 153,05%

20 SUMUT II 4.909.164 10 490.916 109,17% 151,88%

21 SUMSEL I 3.915.976 8 489.497 108,85% 151,44%

22 SULTENG 2.935.343 6 489.224 108,79% 151,36%

23 JABAR VIII 4.355.716 9 483.968 107,62% 149,73%

24 JATIM XI 3.861.686 8 482.711 107,34% 149,34%

25 JABAR IX 3.837.116 8 479.640 106,66% 148,39%

26 DKI III 3.805.032 8 475.629 105,77% 147,15%

27 Bali 4.227.705 9 469.745 104,46% 145,33%

28 MALUKU 1.866.248 4 466.562 103,75% 144,35%

29 DKI I 2.721.996 6 453.666 100,89% 140,36%

30 JATIM VI 4.074.531 9 452.726 100,68% 140,07%

31 JABAR II 4.512.574 10 451.257 100,35% 139,61%

32 KEP. BABEL 1.349.199 3 449.733 100,01% 139,14%

INDONESIA 251.824.296 560 449.686 100,00% 139,13%

Page 63: Kompilasi Paper · Kompilasi Paper: SERI PERTAMA . 2 2016 Pipit R. Kartawidjaja ... Dalam soal ketidak-efektivan dan ketidak efisienan sistem keparlemenan, pada tahun 2009

Pipit Rochijat Kartawidjaja, SPD (Sindikasi Pemilu dan Demokrasi)

63

NO DAPIL POPULASI KURSI KUOTA KUOTA THD.

RATA-RATA

KUOTA THD.

TERENDAH

INDONESIA 251.824.296 560 449.686 100,00% 139,13%

33 JATENG I 3.588.609 8 448.576 99,75% 138,78%

34 JATENG VII 3.133.087 7 447.584 99,53% 138,48%

35 JATIM I 4.468.134 10 446.813 99,36% 138,24%

36 JATIM III 3.089.416 7 441.345 98,15% 136,55%

37 KALTENG 2.640.070 6 440.012 97,85% 136,13%

38 JATENG VI 3.516.302 8 439.538 97,74% 135,99%

39 DKI II 3.076.389 7 439.484 97,73% 135,97%

40 YOGYAKARTA 3.458.029 8 432.254 96,12% 133,73%

41 SULUT 2.583.511 6 430.585 95,75% 133,22%

42 NTT II 3.008.559 7 429.794 95,58% 132,97%

43 JATIM VIII 4.282.801 10 428.280 95,24% 132,50%

44 JABAR XI 4.261.942 10 426.194 94,78% 131,86%

45 JATENG IX 3.397.980 8 424.748 94,45% 131,41%

46 JATIM IV 3.380.900 8 422.613 93,98% 130,75%

47 PAPUA 4.224.232 10 422.423 93,94% 130,69%

48 JATENG II 2.945.374 7 420.768 93,57% 130,18%

49 JATENG V 3.357.939 8 419.742 93,34% 129,86%

50 MALUT 1.258.354 3 419.451 93,28% 129,77%

Page 64: Kompilasi Paper · Kompilasi Paper: SERI PERTAMA . 2 2016 Pipit R. Kartawidjaja ... Dalam soal ketidak-efektivan dan ketidak efisienan sistem keparlemenan, pada tahun 2009

Pipit Rochijat Kartawidjaja, SPD (Sindikasi Pemilu dan Demokrasi)

64

51 SUMBAR II 2.507.792 6 417.965 92,95% 129,31%

52 SULSEL I 3.326.769 8 415.846 92,47% 128,66%

53 JATIM II 2.906.153 7 415.165 92,32% 128,45%

54 JATIM V 3.278.797 8 409.850 91,14% 126,80%

55 JATIM X 2.457.712 6 409.619 91,09% 126,73%

56 JATENG III 3.630.795 9 403.422 89,71% 124,81%

57 JATENG VIII 3.216.662 8 402.083 89,41% 124,40%

58 JATIM VII 3.213.896 8 401.737 89,34% 124,29%

59 SULSEL III 2.775.251 7 396.464 88,16% 122,66%

60 ACEH II 2.372.474 6 395.412 87,93% 122,34%

61 BANTEN II 2.357.567 6 392.928 87,38% 121,57%

62 JABAR X 2.749.479 7 392.783 87,35% 121,52%

63 JABAR I 2.728.679 7 389.811 86,69% 120,60%

64 NTT I 2.335.343 6 389.224 86,55% 120,42%

65 SUMBAR I 3.110.185 8 388.773 86,45% 120,28%

Page 65: Kompilasi Paper · Kompilasi Paper: SERI PERTAMA . 2 2016 Pipit R. Kartawidjaja ... Dalam soal ketidak-efektivan dan ketidak efisienan sistem keparlemenan, pada tahun 2009

Pipit Rochijat Kartawidjaja, SPD (Sindikasi Pemilu dan Demokrasi)

65

NO DAPIL POPULASI KURSI KUOTA KUOTA THD.

RATA-RATA

KUOTA THD.

TERENDAH

65 SUMBAR I 3.110.185 8 388.773 86,45% 120,28%

66 JABAR V 3.489.223 9 387.691 86,21% 119,95%

67 KALSEL I 2.300.949 6 383.492 85,28% 118,65%

68 GORONTALO 1.147.528 3 382.509 85,06% 118,34%

69 ACEH I 2.642.760 7 377.537 83,96% 116,81%

70 JATIM IX 2.255.859 6 375.977 83,61% 116,32%

71 BANTEN I 2.240.759 6 373.460 83,05% 115,54%

72 KALSEL II 1.844.894 5 368.979 82,05% 114,16%

73 JABAR IV 2.192.819 6 365.470 81,27% 113,07%

74 PAPUA BARAT 1.091.171 3 363.724 80,88% 112,53%

75 SULSEL II 3.266.087 9 362.899 80,70% 112,28%

76 JATENG IV 2.328.815 7 332.688 73,98% 102,93%

77 JABAR III 2.908.979 9 323.220 71,88% 100,00%

Dapil JABAR III adalah Dapil ―overrepresented‖ (keterwakilan anak emas), sedangkan Dapil

Kepulauan Riau ―underrepresented‖ (keterwakilan anak tiri). Perbedaannya amat mencolok: kuota di

dapil kepulauan Riau (631.863) itu 195,49%-nya kuota di dapil JABAR III (323.220) – alias hampir

dua kali lipatnya.

Perbedaan kesetaraan dalam satu provinsipun amat mencolok, misalnya antara dapil JABAR VI yang

berkuota 615.250 dengan JABAR III yang berkuota 323.220 -- alias hampir dua kali lipatnya, demi

NKRI.

Page 66: Kompilasi Paper · Kompilasi Paper: SERI PERTAMA . 2 2016 Pipit R. Kartawidjaja ... Dalam soal ketidak-efektivan dan ketidak efisienan sistem keparlemenan, pada tahun 2009

Pipit Rochijat Kartawidjaja, SPD (Sindikasi Pemilu dan Demokrasi)

66

JENIS DAPIL

JENIS DAPIL BERWAKIL BANYAK 65

DAPIL DPR 2014

Besaran Dapil (Jumlah Kursi Dapil) Jenis Dapi Jumlah Dapil Jumlah Kursi Porsi

2 s/d 5 teri 10 38 7%

6 s/d 9 menengah 55 402 72%

10 dan lebih kakap 12 120 21%

Di provinsi-provinsi yang dapilnya dua atau lebih, umumnya berdapil menengah. Di provinsi besar

misalnya SUMUT, BANTEN, JABAR dan JATIM ditemui dapil kakap. Hanya SUMUT yang

memiliki 3 dapil kakap yang homogen (masing-masing berkursi 10).

AMBANG TERSELUBUNG:

Karena besaran dapil berbeda, maka peluang parpol untuk meraup kursipun berbeda pula – bahkan

dalam satu provinsi atau kabupaten/kota. Pasalnya, setiap dapil memiliki Ambang Terselubung

(Tterselubung).

Dalilnya: Ambang Terselubung Atas (Tupper) = 100% / (m+1)

Ambang Terselubung Bawah (T lower) = 100% / 2m

m: jumlah kursi

65

Dieter Nohlen, ―Wahlrecht und Parteiensysteme: Zur Theorie und Empirie der Wahlsysteme‖, Cetakan ke VI, Verlag

Barbara Budrich, Opladen & Farmington Hills, MI, hal. 92

Page 67: Kompilasi Paper · Kompilasi Paper: SERI PERTAMA . 2 2016 Pipit R. Kartawidjaja ... Dalam soal ketidak-efektivan dan ketidak efisienan sistem keparlemenan, pada tahun 2009

Pipit Rochijat Kartawidjaja, SPD (Sindikasi Pemilu dan Demokrasi)

67

Untuk metoda kuota Hare/Hamilton/Niemeyer. parpol yang melewati Ambang Terselubung Atas

(Tupper) dipastikan meraup kursi. tapi parpol yang bersuara lebih dari Ambang Terselubung Bawah (T

lower) boleh mengharapkan kursi. Bahkan kadangkala, yang kurang dari itu pun bisa meraup kursi.

Mahkamah Agung Swis menggunakan Ambang Terselubung Atas (T lower) untuk cara penghitungan

Kuota Hagenbach-Bischoff (Droop Quota) 66

66

FRIEDRICH PUKELSHEIM/ CHRISTIAN SCHUHMACHER, Das neue Zürcher Zuteilungsverfahren für

Parlamentswahlen, AJP/PJA 5/2004, hal. 507

Page 68: Kompilasi Paper · Kompilasi Paper: SERI PERTAMA . 2 2016 Pipit R. Kartawidjaja ... Dalam soal ketidak-efektivan dan ketidak efisienan sistem keparlemenan, pada tahun 2009

Pipit Rochijat Kartawidjaja, SPD (Sindikasi Pemilu dan Demokrasi)

68

CONTOH Perolehan Suara dan Kursi dalam Pemilu DPRD 2014 Provinsi Jakarta*): Peraup kursi adalah parpol-parpol yang lolos

Ambang Terselubung Bawah (Tlower)

JAKARTA I JAKARTA II JAKARTA III JAKARTA IV JAKARTA V

PARTAI vi % vi si vi % vi si vi % vi si vi % vi si vi % vi si

NASDEM 29.463 6,23% 1 24.493 6,76% 1 24.018 6,65% 1 12.539 2,90%

15.351 3,35%

PKB 24.555 5,19% 1 16.851 4,65% 20.330 5,63% 1 74.264 17,18% 2 14.736 3,22%

PKS 41.788 8,83% 1 43.814 12,08% 1 24.326 6,74% 1 41.053 9,50% 1 52.291 11,42% 1

PDIP 137.938 29,15% 3 92.582 25,53% 2 128.539 35,60% 3 93.801 21,69% 2 105.346 23,02% 2

GOLKAR 37.952 8,02% 1 43.641 12,04% 1 14.178 3,93%

32.153 7,44% 1 39.541 8,64% 1

GERINDRA 62.434 13,19% 2 38.657 10,66% 1 49.667 13,76% 1 42.290 9,78% 1 50.501 11,03% 1

DEMOKRAT 47.987 10,14% 1 22.930 6,32% 1 25.167 6,97% 1 35.090 8,12% 1 48.145 10,52% 1

PAN 16.847 3,56% 14.007 3,86% 10.953 3,03%

18.980 4,39%

23.783 5,20% 1

PPP 33.882 7,16% 1 29.991 8,27% 1 15.303 4,24%

43.782 10,13% 1 70.259 15,35% 2

HANURA 29.189 6,17% 1 25.103 6,92% 1 41.448 11,48% 1 23.411 5,41% 1 27.566 6,02% 1

PBB 5.161 1,09% 6.064 1,67% 4.274 1,18% 8.217 1,90%

4.852 1,06%

PKPI 5.970 1,26% 4.456 1,23% 2.835 0,79% 6.784 1,57%

5.349 1,17%

Page 69: Kompilasi Paper · Kompilasi Paper: SERI PERTAMA . 2 2016 Pipit R. Kartawidjaja ... Dalam soal ketidak-efektivan dan ketidak efisienan sistem keparlemenan, pada tahun 2009

Pipit Rochijat Kartawidjaja, SPD (Sindikasi Pemilu dan Demokrasi)

69

V 473.166 12 362.589 9 361.038 432.364 10 457.720 10

S 12 9 9 10 10

BPP 39.431 40.288 40.115 43.236 45.772

T lower 4,17% 5,56% 5,56% 5,00% 5,00%

*) KPU Provinsi DKI Jakarta, ―Rekapitulasi Jumlah Perolehan Suara Sah dan Kursi Partai Politik Dalam Pemilu Anggota DPRD Provinsi

Tahun 2014‖, Jakarta 12 Mei 2014

Page 70: Kompilasi Paper · Kompilasi Paper: SERI PERTAMA . 2 2016 Pipit R. Kartawidjaja ... Dalam soal ketidak-efektivan dan ketidak efisienan sistem keparlemenan, pada tahun 2009

Pipit Rochijat Kartawidjaja, SPD (Sindikasi Pemilu dan Demokrasi)

70

CONTOH Perolehan Suara dan Kursi dalam Pemilu DPR 2014 Provinsi ACEH DAN PAPUA BARAT*): Kendati PDIP di PAPUA

BARAT hanya meraup 16,03% dan tak melampaui T lower 16,67%,

tapi PDIP terhibahi kursi.

PEMILU DPR 2014 ACEH I ACEH II PAPUA BARAT

PARPOL SUARA %Suara Kursi SUARA %Suara

Kurs

i

PAPUA

BARAT %Suara

Kurs

i

NASDEM 151.121 12,67% 1 120.453 11,77% 1 27.401 4,92%

PKB 92.905 7,79% 1 44.751 4,37% 18.174 3,26%

PKS 105.868 8,88% 1 73.940 7,23% 13.961 2,51%

PDIP 35.419 2,97% 110.281 10,78% 1 89.334 16,03% 1

GOLKAR 140.954 11,82% 1 91.546 8,95% 1 160.242 28,76% 1

GERINDRA 184.538 15,47% 1 181.847 17,77% 1 30.175 5,42%

DEMOKRAT 209.598 17,57% 1 142.411 13,92% 1 143.869 25,82% 1

PAN 151.996 12,74% 1 89.200 8,72% 45.242 8,12%

PPP 76.785 6,44% 123.946 12,11% 1 11.325 2,03%

HANURA 43.414 3,64% 44.768 4,38% 17.430 3,13%

Page 71: Kompilasi Paper · Kompilasi Paper: SERI PERTAMA . 2 2016 Pipit R. Kartawidjaja ... Dalam soal ketidak-efektivan dan ketidak efisienan sistem keparlemenan, pada tahun 2009

Pipit Rochijat Kartawidjaja, SPD (Sindikasi Pemilu dan Demokrasi)

71

SUARA SAH LOLOS PT 1.192.598 100,00% 7

1.023.14

3

100,00

% 6 557.153

100,00

% 3

KURSI 7

7 6

6 3

3

T lower 7,14%

8,33%

16,67%

T upper 12,50% 14,29% 25%

*) KEPUTUSAN KPU NOMOR: 411/Kpts/KPU/TAHUN 2014 TENTANG PENETAPAN HASIL PEMILIHAN UMUM ANGGOTA

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN DAERAH, DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH PROVINSI,

DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN/KOTA SECARA NASIONAL DALAM PEMILIHAN UMUM

TAHUN 2014

Page 72: Kompilasi Paper · Kompilasi Paper: SERI PERTAMA . 2 2016 Pipit R. Kartawidjaja ... Dalam soal ketidak-efektivan dan ketidak efisienan sistem keparlemenan, pada tahun 2009

Ambang Terselubung Efektif (Teff) 67

Di samping Ambang Atas Terselubung dan Ambang Bawah Terselubung, Arend Lipjhart

menawarkan Ambang Terselubung Efektif dengan formula:

Teff = 75% / (m+1) m = jumlah kursi dapil

Formula ini berasal dari

Formula Teff tidak cocok untuk pendistribusian kursi ke parpol Pemilu DPR & DPRD 2014

akibat cara penghitungan metoda kuota Hare/Hamilton/Niemeyer + LR

Hubungan antara Besara Dapil, Ambang Terselubung dan Proporsionalitas 68

Besaran Dapil Ambang Terselubung Proporsionalitas

Dapil teri tinggi rendah

Dapil menengah sedang sedang

Dapil kakap rendah tinggi

67

Arendt Lipjhart, ―Electoral Systems and Party Systems, Oxford University Press 1994, hal. 27, 182-183 68

Dikutip dari: Dieter Nohlen, ―Wahlrecht und Parteiensysteme: Zur Theorie und Empirie der Wahlsysteme‖,

Cetakan ke VI, Verlag Barbara Budrich, Opladen & Farmington Hills, MI. hal. 94

75%

1/m dapat diabaikan, sehingga Teff = ————

(m + 1)

Page 73: Kompilasi Paper · Kompilasi Paper: SERI PERTAMA . 2 2016 Pipit R. Kartawidjaja ... Dalam soal ketidak-efektivan dan ketidak efisienan sistem keparlemenan, pada tahun 2009

Pencampuran besaran dapil, menciptakan disproporsionalitas di tingkat provinsi atau nasional

– yang bertentangan dengan misi UU Pemilu Legislatif.

Proporsionalitasnya keterwakilan dicegah oleh dapil teri dan menengah. Konsentrasi partai

(pengurangan jumlah partai) dijegal oleh dapil kakap. Pencampuran besaran dapil

menciptakan persyaratan berbeda bagi partisipasi politik. Umumnya, di dapil-dapil teri dan

menengah, parpol gurem tak berpeluang, terkecuali di tempat basis massanya.

CONTOH PERGADO-GADOAN DAPIL DPRD PROVINSI & KABUPATEN/KOTA

SUMUT 2014

Perbedaan Ambang Terselubung Bawah (T lower) untuk DPRD Kabupaten Batu Bara

umpamanya amat njomplang: 16,67 % untuk Dapil 5 sebab berkursi 3 dan hanya 5,00 %

untuk Dapil tetangganya, Dapil 4, karena berkursi 10. Proporsionalitas dalam

Provinisi/Kabupaten/Kota dicederai.

KURSI DAPIL DPRD 2014 *)

PROVINSI SUMUT 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

DPRD PROVINSI SUMUT 10 7 12 5 10 8 10 6 9 8 5 10

KAB. DELI SERDANG 12 10 10 7 4 7

KAB. NIAS SELATAN 8 3 7 7 7 3

KAB. SAMOSIR 12 8 5

KAB. BATU BARA 9 5 8 10 3

KAB. PADABG LAWAS UTARA 11 9 7 3

KOTA TEBING TINGGI 5 9 11

*) Keputusan Komisi Pemilihan Umum Nomor 94/Kpts/KPU/TAHUN 2013, Tanggal 9

MARET 2013

CONTOH PERGADO-GADOAN DAPIL DPRD PROVINSI & KABUPATEN/KOTA

PAPUA 2014

Perbedaan Ambang Terselubung Bawah (T lower) untuk DPRD Kabupaten/Kota Mimika

umpamanya sangat njomplang: 16,67 % untuk Dapil 4 yang berkursi 3 dan hanya 5,00 %

untuk Dapil 3 yang berkursi 10. Proporsionalitas dalam Provinsi/Kabupaten/Kota dicederai.

Page 74: Kompilasi Paper · Kompilasi Paper: SERI PERTAMA . 2 2016 Pipit R. Kartawidjaja ... Dalam soal ketidak-efektivan dan ketidak efisienan sistem keparlemenan, pada tahun 2009

KURSI DAPIL 2014*)

PROVINSI PAPUA 1 2 3 4 5 6 7

DPRD PROVINSI PAPUA 10 5 10 9 7 8 6

KAB/KOTA JAYAPURA 12 4 4 5

KAB/KOTA MIMIKA 9 7 10 3 6

KAB/KOTA MAPPI 12 8 5

KAB/KOTA PUNCAK 10 5 10

*) Nomor Keputusan Komisi Pemilihan Umum Nomor 124/Kpts/KPU/TAHUN 2013,

Tanggal 9 MARET 2013

DAPIL GANJIL DAN GENAP

Selain itu, ke 77 dapil DPR 2014 itu terbagi ke dalam dua kelompok:

DAPIL GANJIL 32

DAPIL GENAP 45

Biasanya, di dapil ganjil, partai terkuat diuntungkan, sedangkan di dapil genap partai yang

lebih lemah. Dampak ini melemah dengan semakin besarnya dapil 69

.

Dapil DPR 2014 JATIM misalnya, terdiri dari 3 dapil ganjil dan 8 dapil genap atau JABAR

memiliki 5 dapil ganjil dan 6 dapil genap. DAPIL DPRD 2014 PROVINSI SUMUT terdiri

dari 4 dapil ganjil dan 8 dapil genap. Sedangkan DAPIL 2014 KABUPATEN NIAS

SELATAN terdiri atas 5 dapil ganjil dan 1 dapil genap

LAPISAN DAPIL 70

Akibat perbedaan besaran kursi secara nasional atau dalam satu provinisi atau

kabupaten/kota, maka guna memproporsionalkan atau mempertahakan asas umum dan adil

atau menciptakan derajat keterwakilan yang tinggi, di beberapa negara dikenal tingkatan

penghitungan suara. Bahkan, tingkatan ini juga dipakai guna mengakali masalah yang

69

Dieter Nohlen, ―Wahlrecht und Parteiensysteme: Zur Theorie und Empirie der Wahlsysteme‖, Cetakan ke VI,

Verlag Barbara Budrich, Opladen & Farmington Hills, MI, hal. 94-96 70

Dieter Nohlen, ―Wahlrecht und Parteiensysteme: Zur Theorie und Empirie der Wahlsysteme‖, Cetakan ke VI,

Verlag Barbara Budrich, Opladen & Farmington Hills, MI, hal. 97-98, 124-126, 187-188, 259; Dieter Nohlen,

―Wahlrecht und Parteiensysteme‖, Verlag Leske+Budrich GmbH, Opladen 2000, hal. 309-311; FRIEDRICH

PUKELSHEIM/ CHRISTIAN SCHUHMACHER, ―Das neue Zürcher Zuteilungsverfahren für

Parlamentswahlen‖, AJP/PJA 5/2004, hal. 505-522

Page 75: Kompilasi Paper · Kompilasi Paper: SERI PERTAMA . 2 2016 Pipit R. Kartawidjaja ... Dalam soal ketidak-efektivan dan ketidak efisienan sistem keparlemenan, pada tahun 2009

ditimbulkan oleh cara penghitungan suara metoda kuota Hare/Hamilton/Niemeyer serta

sekaligus menciptakan konsentrasi parpol. Misalnya:

Denmark mengenal dapil berlapis dua. Lapis pertama (lapis terendah) terdiri atas 17 dapil dan

lapis kedua terdiri dari hanya 1 dapil di tingkat nasional. Dari 175 kursi DPR, 135

dipertandingkan di dapil lapisan bawah, dan 40 kursi yang tak diperebutkan, dipakai buat

memproporsionalkan hasil pemilu DPR. Cara perhitungan yang dipakai adalah metoda

divisor gaya Denmark.

Di Austria dapilnya berlapis tiga (dapil, provinsi dan nasional). Di lapisan pertama dan kedua

dipergunakan metoda kuota Hare. Di lapisan ketiga dipakai metoda divisor d‘ Hondt guna

membagi sisa suara. Mirip dengan Austria adalah Eslandia. Perkawinan Denmark dan

Austria adalah Hongaria.

Nikaragua juga mengenal dua lapisan dapil. Lapis pertama di tingkat dapil lewat metoda

kuota Hare, sisa suara didistribusikan di tingkat nasional. Hanya saja, sisa suara itu dibagi

oleh satu Bilangan Pembagi Pemilih (BPP), yang diperoleh dari jumlah sisa suara dibagi BPP

rata-rata segenap dapil.

Jerman mengenal dua lapisan dapil. Kursi DPR provinsi tidak ditetapkan dari awal. Pada

lapisan pertama, perolehan kursi parpol dihitung secara nasional. Pada lapisan kedua,

dihitung porsi perolehan suara parpol di dapil terhadap perolehan suara parpol secara

nasional. Cara penghitungan yang dipakai St. Lague/Webster. Cara ini memaksa parpol buat

ikut berperan dalam menjaga/meningkatkan partisipasi pemilih.

DPRD Kota Swiss menerapkan sistem pemilu Biproporsional. Mula-mula dihitung perolehan

kursi parpol di dapil, yang kemudian dikoreksi oleh penghitungan suara di tingkat kota.

Adapun soal cara penghitungan suara, akan disampaikan pada kesempatan mendatang

TAMAT

Tabik,

Pipit Rochijat Kartawidjaja

Page 76: Kompilasi Paper · Kompilasi Paper: SERI PERTAMA . 2 2016 Pipit R. Kartawidjaja ... Dalam soal ketidak-efektivan dan ketidak efisienan sistem keparlemenan, pada tahun 2009

Perbandingan Metode

Penghitungan Suara

Page 77: Kompilasi Paper · Kompilasi Paper: SERI PERTAMA . 2 2016 Pipit R. Kartawidjaja ... Dalam soal ketidak-efektivan dan ketidak efisienan sistem keparlemenan, pada tahun 2009

Perbandingan Metoda penghitungan suara

05

Page 78: Kompilasi Paper · Kompilasi Paper: SERI PERTAMA . 2 2016 Pipit R. Kartawidjaja ... Dalam soal ketidak-efektivan dan ketidak efisienan sistem keparlemenan, pada tahun 2009
Page 79: Kompilasi Paper · Kompilasi Paper: SERI PERTAMA . 2 2016 Pipit R. Kartawidjaja ... Dalam soal ketidak-efektivan dan ketidak efisienan sistem keparlemenan, pada tahun 2009
Page 80: Kompilasi Paper · Kompilasi Paper: SERI PERTAMA . 2 2016 Pipit R. Kartawidjaja ... Dalam soal ketidak-efektivan dan ketidak efisienan sistem keparlemenan, pada tahun 2009

Komentar:

Sesuai UU Pemilu No. 8/2012 misalnya, azas dan misinya

adalah proporsionalitas, derajat keterwakilan tinggi atow

keadilan

Mengukur Proporsionalitas:

(a) Indeks Disproporsionalitas

(1) Loosemore-Handby-Index (LHI)

Indeks ini dipakai resmi oleh Independent The

Independent Commission on

the Voting System

(2) Gallagher-Index LSq atow GHI

(b) Swara Hangus

Mengukur Derajat Keterwakilan Tinggi atow Keadilan:

Formula Pukelsheim:

Deviasi Keadilan =|(si/vi)/(S/V) – 1

Page 81: Kompilasi Paper · Kompilasi Paper: SERI PERTAMA . 2 2016 Pipit R. Kartawidjaja ... Dalam soal ketidak-efektivan dan ketidak efisienan sistem keparlemenan, pada tahun 2009

Berdasarkan hasil penghitungan „Naskah Akademik Draft

RUU Kitab Hukum Pemilu― yang sama dengan hasil

penghitungan Kemendagri dan hitungannya benar, perolehan

kursi parpol menurut Hare, St. Laguë, D´Hondt dan St. Laguë

modifikasi

Page 82: Kompilasi Paper · Kompilasi Paper: SERI PERTAMA . 2 2016 Pipit R. Kartawidjaja ... Dalam soal ketidak-efektivan dan ketidak efisienan sistem keparlemenan, pada tahun 2009

82

Indeks Disporporsionalitas & Swara Hangus Hare:

No Parpol vi si %vi %si |%vi - %si| (%vi -

%si)2

Suara

Hangus

1 A 31.484

3,63% 0,00% 3,63% 0,13% 31.484

2 B 41.028

4,74% 0,00% 4,74% 0,22% 41.028

3 C 103.617 1 11,96% 16,67% 4,71% 0,22%

4 D 79.846 1 9,22% 16,67% 7,45% 0,56%

5 E 31.436

3,63% 0,00% 3,63% 0,13% 31.436

6 F 222.213 1 25,65% 16,67% 8,98% 0,81%

7 G 88.418 1 10,20% 16,67% 6,46% 0,42%

8 H 81.935 1 9,46% 16,67% 7,21% 0,52%

9 I 186.477 1 21,52% 16,67% 4,86% 0,24%

Jumlah 866.454 6 Jumlah 51,66% 3,24% 103.948

LHI 25,83% 1,62% 12,00%

GHI (LSq) 12,74%

Indeks Disporporsionalitas dan Swara Hangus St. Laguë sama, sebab alokasi kursi sama dengan

Hare

Page 83: Kompilasi Paper · Kompilasi Paper: SERI PERTAMA . 2 2016 Pipit R. Kartawidjaja ... Dalam soal ketidak-efektivan dan ketidak efisienan sistem keparlemenan, pada tahun 2009

83

Indeks Disporporsionalitas & Swara Hangus St. Laguë modifikasi:

Indeks Disporporsionalitas dan Swara Hangus D´Hondt sama, sebab alokasi kursi sama dengan

St. Laguë modifikasi

No Parpol vi si %vi %si |%vi - %si| (%vi - %si)2

Swara

Hangus

1 A 31.484

3,63% 0,00% 3,63% 0,13% 31.484

2 B 41.028

4,74% 0,00% 4,74% 0,22% 41.028

3 C 103.617 1 11,96% 16,67% 4,71% 0,22%

4 D 79.846

9,22% 0,00% 9,22% 0,85% 79.846

5 E 31.436

3,63% 0,00% 3,63% 0,13% 31.436

6 F 222.213 2 25,65% 33,33% 7,69% 0,59%

7 G 88.418 1 10,20% 16,67% 6,46% 0,42%

8 H 81.935

9,46% 0,00% 9,46% 0,89% 81.935

9 I 186.477 2 21,52% 33,33% 11,81% 1,40%

Jumlah 866.454 6 Jumlah 61,34% 4,86% 265.729

LHI 30,67% 2,43% 30,67%

GHI (LSq) 15,58%

Page 84: Kompilasi Paper · Kompilasi Paper: SERI PERTAMA . 2 2016 Pipit R. Kartawidjaja ... Dalam soal ketidak-efektivan dan ketidak efisienan sistem keparlemenan, pada tahun 2009

84

Derajat Keterwakilan atow Keadilan Hare

No Parpol vi si si/vi S/V (si/vi)/(S/V) |(si/vi)/(S/V)-

1|

1 A 31.484 0,000000 0,000007 0,000000 1,000000

2 B 41.028 0,000000 0,000007 0,000000 1,000000

3 C 103.617 1 0,000010 0,000007 1,393681 0,393681

4 D 79.846 1 0,000013 0,000007 1,808594 0,808594

5 E 31.436 0,000000 0,000007 0,000000 1,000000

6 F 222.213 1 0,000005 0,000007 0,649867 0,350133

7 G 88.418 1 0,000011 0,000007 1,633253 0,633253

8 H 81.935 1 0,000012 0,000007 1,762482 0,762482

9 I 186.477 1 0,000005 0,000007 0,774406 0,225594

Jumlah 866.454 6 6,173737

Derajat Keterwakilan atow Keadilan St. Laguë sama, sebab alokasi kursi sama dengan Hare

Page 85: Kompilasi Paper · Kompilasi Paper: SERI PERTAMA . 2 2016 Pipit R. Kartawidjaja ... Dalam soal ketidak-efektivan dan ketidak efisienan sistem keparlemenan, pada tahun 2009

85

Derajat Keterwakilan atow Keadilan St. Laguë modifikasi:

No Parpol vi si si/vi S/V (si/vi)/(S/V) |(si/vi)/(S/V)-

1|

1 A 31.484 0,000000 0,000007 0,000000 1,000000

2 B 41.028 0,000000 0,000007 0,000000 1,000000

3 C 103.617 1 0,000010 0,000007 1,393681 0,393681

4 D 79.846 0,000000 0,000007 0,000000 1,000000

5 E 31.436 0,000000 0,000007 0,000000 1,000000

6 F 222.213 2 0,000009 0,000007 1,299735 0,299735

7 G 88.418 1 0,000011 0,000007 1,633253 0,633253

8 H 81.935 0,000000 0,000007 0,000000 1,000000

9 I 186.477 2 0,000011 0,000007 1,548813 0,548813

Jumlah 866.454 6 6,875482

Derajat Keterwakilan atow Keadilan D´Hondt sama, sebab alokasi kursi sama dengan St. Laguë

modifikasi

Page 86: Kompilasi Paper · Kompilasi Paper: SERI PERTAMA . 2 2016 Pipit R. Kartawidjaja ... Dalam soal ketidak-efektivan dan ketidak efisienan sistem keparlemenan, pada tahun 2009

86

Perbandingan Indeks Disporporsionalitas, Swara Hangus dan Derajat Keterwakilan atow

Keadilan

Hare St. Lague D'Hondt Mod. St. Lague

No Parpol Suara Kursi Kursi Kursi Kursi

1 A 31.484 - - - -

2 B 41.028 - - - -

3 C 103.617 1 1 1 1

4 D 79.846 1 1 - -

5 E 31.436 - - - -

6 F 222.213 1 1 2 2

7 G 88.418 1 1 1 1

8 H 81.935 1 1 - -

9 I 186.477 1 1 2 2

866.454 6 6 6 6

LHI 25,83% 25,83% 30,67% 30,67%

Lsq 12,74% 12,74% 15,58% 15,58%

Deviasi keadilan 6,17 6,17 6,88 6,88

Jumlah

Page 87: Kompilasi Paper · Kompilasi Paper: SERI PERTAMA . 2 2016 Pipit R. Kartawidjaja ... Dalam soal ketidak-efektivan dan ketidak efisienan sistem keparlemenan, pada tahun 2009

87

Berbeda dengan kesimpulan „Naskah Akademik Draft RUU Kitab Hukum Pemilu“, metoda

Hare dan St. Laguë lebih proporsional dan lebih berderajat keterwakilan tinggi/lebih adil,

sebab Indeks Disporporsionalitas, Swara Hangus dan Deviasi Keadilan lebih kecil ketimbang

D´Hondt dan St. Laguë modifikasi.

Salah!